Upload
truongcong
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP)
Upaya Memperjuangkan Pengakuan Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Berbasis Masyarakat (PSDHBM)
Melalui Peluang Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK)
Periode Pelaporan September 2009 – Juni 2010
I. Pengantar
Sejak perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak (TNGHS) dari luasan 40.000 Ha menjadi 113.375 Ha, lahan-lahan pertanian (sawah
dan kebun) masyarakat yang sebelumnya berada di bawah kelola kawasan hutan produksi Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten berubah masuk menjadi kawasan Konservasi TNGHS.
Ketidakjelasan status hukum akses masyarakat atas lahan pertanian dan ruang hidupnya,
berdampak pada kecenderungan masyarakat untuk melakukan perluasan lahan pertaniannya.
Sementara itu peluang hukum pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan taman nasional
belum terimplementasi dengan baik.
Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) dikembangkan BTNGHS dalam kerangka membangun
kolaborasi bersama masyarakat. Hal ini menjadi bentuk respon pihak TNGHS terhadap kebijakan
kolaborasi (PerMenHut No. P. 19/2004) dan zonasi (PerMenHut No. P. 56/2006) di kawasan
konservasi. Dalam konteks RTRK tersebut, yang diharapkan bisa “dikolaborasikan” antara lain: 1)
Mendorong Pengakuan Model pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat atau
PSDHBM (KDTK & K2LPR1) Melalui Skema Pengelolaan Kolaboratif, 2) Membuka ruang dialog
antara masyarakat-TNGHS-pihak terkait lainnya, dan antar anggota masyarakat atas isu-isu
konservasi, kebijakan yang terkait dengan tata ruang kawasan konservasi dan program
pengelolaan kolaboratif. Adanya kesepahaman dan kesepakatan bersama atas akses ruang
pengelolaan di kawasan konservasi menjadi salah satu target capaian dalam proses ini.
Tujuan proyek ini adalah mendorong adanya pengakuan, penghargaan dan perlindungan atas
upaya masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat (KDTK dan K2LPR)
dengan tujuan mengembalikan habitat burung pemangsa endemic-Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi)
oleh masyarakat seluas 395,795 ha pada akhir tahun 2010.
1 KDTK = Kampung Dengan Tujuan Konservasi; K2LPR = Kawasan Kebun Lindung Produksi Rakyat
2
II. Implementasi Kegiatan
Beberapa tahap implementasi kegiatan yang dilaksanakan pada periode ini antara lain:
A. Fase Persiapan
A.1 Kajian Data Sekunder
Data sekunder dilakukan untuk menganalisis peluang-peluang hukum pengakuan
PSDHBM di kawasan konservasi. Kebijakan kolaborasi (Permenhut No.P.19 Tahun 2004
tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam)
dan zonasi (Permenhut No 56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional)
menjadi titik masuk yang paling penting untuk mengawali proses pengakuan ini. Selain itu
secara spesifik, Balai TNGHS pun telah membuat rancangan zonasi di TNGHS yang
diharapkan dapat mengakomodir seluruh kepentingan yang terdapat di kawasan TNGHS.
Salah satu peluang pengakuan keberadaan masyarakat adalah berada di zona khusus.
Berdasarkan PerMenHut No. P.56/MenHut-II/2006, Zona Khusus adalah bagian dari
taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok
masyarakat dan sarana penunjang kehidupan yang tinggal sebelum wilayah tersebut
ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana komunikasi, fasilitasi transportasi
dan listrik. Di dalam rancangan zonasi TNGHS dan Rencana Strategis BTNGHS peluang ini
harus dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding)
berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan wilayah zona khusus.
Dalam konteks model-model pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat atau
dikenal dengan istilah Community Based Forest Management (CBFM), saat ini
Departemen Kehutanan telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang memperkuat CBFM,
seperti Hutan Kemasyarakatan(HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, dll. Namun
kesemuanya itu belum bisa diimplementasikan secara spesifik di kawasan konservasi.
Oleh karena itu, Departemen Kehutanan melalui PHKA (Perlindungan Hutan Konservasi
Alam) sedang mencari model-model pengelolaan yang lebih tepat di kawasan konservasi.
Rancangan Hutan Kemasyarakat di kawasan Konservasi (HKm-K) dan Model Desa
Konservasi (MDK) masih menjadi substansi kajian bagi PHKA.
Model Kampung Konservasi (MKK)2 merupakan salah satu program yang dikeluarkan
TNGHS sejak tahun 2006 untuk merespon kebijakan kolaborasi dan zonasi. Dengan
mengedepankan tiga strategi yang dipilih yaitu restorasi, rehabilitasi dan income
generating, saat ini BTNGHS tengah mengembangkan 21 MKK di kawasan TNGHS. Alat
yang digunakan dalam MKK ini antara lain, melakukan observasi bersama dengan
masyarakat lokal, melakukan reboisasi dan rehabilitasi kawasan TNGHS yang rusak
dengan melibatkan masyarakat lokal, dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di TNGHS. Kesepakatan kerjasama MKK ini
ditandai dengan Memorandum of Understanding (MoU) dengan batasan waktu tertentu.
Seperti yang dilakukan oleh MKK Cisangku, bahwa MoU hanya berlaku selama 3 tahun
2 Harmita (2009), definisi Kampung Konservasi menurut versi MKK adalah kampung yang didalamnya bisa melakukan
aktifitas perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan masyarakat.
3
dan jika diperlukan kembali, maka perlu ada surat kesepakatan kembali. KDTK dan K2LPR
merupakan dua konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang harapannya bisa
diakui sebagai bentuk pengelolaan wilayah yang disepakati bersama antara masyarakat
dan BTNGHS. Konsep pengelolaan wilayah serta dokumen kesepakatan bersama menjadi
salah satu bahan yang dikaji untuk melihat irisan persamaan dan perbedaan dari seluruh
konsep pengelolaan sumberdaya hutan yang terdapat di kawasan TNGHS, baik secara
substansi maupun secara proses.
A.2 Assessment Konsep KDTK/K2LPR
Proses assessment dilakukan dalam kerangka melihat ulang konsep pengelolaan
sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang telah diimplementasikan oleh masyarakat
sebagai proses awalan menuju kajian model-model PSDHBM. Proses assessment
dilakukan di dua konsep, yaitu Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) yang diinisiasi
oleh warga Kp. Nyungcung dan Kawasan Kebun Lindung Produksi Rakyat (K2LPR) yang
dinisiasi oleh warga Kp. Parigi.
Konsep rencana tata ruang kampung dengan konsep keberlanjutan secara ekologi,
ekonomi dan sosial ditunjukkan dengan adanya zonasi kampung, seperti (a). Leuweung
Larangan (area yang tidak boleh diganggu/konservasi), (b) Leuweung Dudukuhan (area
yang di tanam kayu dan buah/Koservasi-Produksi), (c) Lahan Sawah (area sebagai
sumber pokok pangan masyarakat/produksi), (d) Lahan Lembur (arae tempat aktifitas
sosial-ekonomi masyarakat) yang masih dipertahankan dan dihormati hingga saat ini. Hal
ini dikarenakan warga di kedua kampung tersebut ingin memiliki keinginan kuat untuk
diakui secara tertulis oleh negara, dalam hal ini adalah Balai Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak (BTNGHS). Pengakuan ini tidak sekedar tertulis, namun perlu ada
kesepakatan yang dibangun bersama secara kolaborasi antara pihak BTNGHS dan
masyarakat sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
Namun perlu diketahui bahwa konsep tata ruang kampung ini pada dasarnya sudah mulai
diadopsi di kampung lainnya di Desa Malasari (seperti Kp. Legok Jeruk, Kp. Citalahab, Kp.
Legok Batu, Kp. Garung dan Kp. Hanjawar) dan Desa Curug Bitung (Kp. Taluk Waru dan Kp.
Gunung Eusing). Proses assessment ini dilakukan untuk melihat seberapa besar potensi di
masing-masing wilayah untuk dikembangkan konsep serupa dengan KDTK dan K2LPR.
Pengembangan ini merupakan langkah lanjutan perwujudan K’DTK (Kawasan Dengan
Tujuan Konservasi) yang pernah diinisiasi RMI pada tahun 2006. Secara umum dari hasil
assessment menunjukkan bahwa harapan atas keamanan dan ketenangan mengakses
pengelolaan kawasan pertanian dan kehutanan secara berkelanjutan masih menjadi
prioritas.
B. Fase Implementasi
B.1 Kajian Model PSDHBM dan Kajian MKK
Kajian model-model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan konservasi TNGHS
dilakukan untuk melihat irisan persamaan dan perbedaan implementasi konsep KDTK,
K2LPR serta MKK (Model Kampung Konservasi). Kajian ini akan sangat bermanfaat
4
sebagai salah satu bahan negosiasi menuju pegakuan KDTK dan K2LPR sebagai usulan
konsep RTRK.
Secara proses, KDTK dan K2LPR merupakan konsep pengelolaan yang dibangun atas
inisiatif masyarakat Nyungcung dan Parigi yang secara sadar menyusun konsep
pengelolaan kawasan hutan yang berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Hal
ini ditunjukkan dengan pembagian ruang kelola masyarakat berdasarkan kondisi dan
pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal yang tergambar di dalam konsep ini jelas terlihat
pada konsep penataruangan wilayah, seperti lahan leuweung (wilayah hutan), lahan
dudukuhan (wilayah kebun campuran) dan lahan lembur (wilayah pemukiman) yang
menjadi perencanaan kedua kampung tersebut. Kesepakatan ini masih dihormati dan
dijaga dengan baik. Ini terlihat dari keseriusan warga dalam menjaga kawasan sesuai
dengan peta perencanaan yang telah disusun dan konsep pengelolaan yang dirancang
bersama. Selain program penghijauan kawasan hutan, Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM) Nyungcung juga berhasil mencegah inisiatif pengelolaan tambang bentonit yang
akan dikelola oleh perusahaan swasta dan beberapa warga Nyungcung di areal lahan
leuweung (berdasarkan konsep KDTK) melalui SK Kepala BTNGHS tahun 2008 tentang
pelarangan penambangan bentonit di areal TNGHS yang ditembuskan ke Bupati Bogor,
Kapolres Bogor, Camat Nanggung, dan Kepala Desa Malasari. Areal kritis di lahan ex
Perum Perhutani dan beberapa lahan perkebunan karet milik PT. Hevea Indonesia yang
peruntukkannya adalah lahan dudukuhan (kebun agroforestry), kini sudah bisa
dimanfaatkan warga untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga di Parigi. Manfaat lain
yang bisa dirasakan warga saat ini adalah mulai kembali berlimpahnya sumberdaya air di
Kampung Nyungcung.
Pada awalnya, bentuk kelembagaan yang mengawal konsep KDTK ini adalah KSM Rimba
Lestari yang didirikan sejak tahun 2003. Namun dalam perkembangannya dan
mengakomodir aspek lainnya selain rimba, maka diputuskan berubah nama dengan
tujuan yang lebih luas menjadi KSM Nyungcung pada tahun 2005. Sedangkan di Kp.
Parigi, lembaga yang mengawal konsep K2LPR adalah Kelompok Tani Sekarsari yang
berdiri pada tahun 2005.
Model Kampung Konservasi (MKK)3 merupakan salah satu program yang dikeluarkan
TNGHS sejak tahun 2006 untuk merespon kebijakan kolaborasi dan zonasi. Dengan
mengedepankan tiga strategi yang dipilih yaitu restorasi, rehabilitasi dan income
generating, saat ini BTNGHS tengah mengembangkan 21 MKK di kawasan TNGHS. Alat
yang digunakan dalam MKK ini antara lain, melakukan observasi bersama dengan
masyarakat lokal, melakukan reboisasi dan rehabilitasi kawasan TNGHS yang rusak
dengan melibatkan masyarakat lokal, dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di TNGHS. Kesepakatan kerjasama MKK ini
ditandai dengan Memorandum of Understanding (MoU) dengan batasan waktu tertentu.
3 Harmita (2009), definisi Kampung Konservasi menurut versi MKK adalah kampung yang di dalamnya bisa melakukan
aktifitas perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan masyarakat.
5
Seperti yang dilakukan oleh MKK Cisangku, bahwa MoU hanya berlaku selama 3 tahun
dan jika diperlukan kembali, maka perlu ada surat kesepakatan kembali. Jangka waktu 3
tahun bagi Kelompok MKK Cisangku adalah lemah (terlalu pendek). Namun ini juga
dijadikan sebagai peluang awal pembuktian kepada pihak TNGH-S bahwa masyarakat bisa
mengelola. Kemampuan ini akan menjadi bahan argumentasi dalam memperbaharui
MoU bilamana terjadi perpanjangan. Penyepakatan melalui MoU hanya berbasis Resort
(Resort Gunung Botol) dan tidak langsung dilakukan oleh kepala Balai TNGH-S.
Kelembagaan lokal yang mengawal konsep ini adalah MKK Cisangku. Dalam konteks
peningkatan ekonomi lokal, TNGHS bersama PT. Aneka Tambang memberi bantuan
berupa ternak domba yang diharapkan bisa membantu ekonomi masyarakat dan
mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat menebang kayu, termasuk kayu
kampung seperti Sengon (Albazia Falcataria).
Secara prinsip, ketiga konsep yang dianalisis tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Konsep pembangunan berkelanjutan (ekologi, ekonomi dan sosial) masih
dijunjung tinggi oleh ketiga konsep ini. Namun dalam konteks penebangan, bagi warga
Nyungcung dan Parigi berharap tetap diperbolehkan dengan aturan tebang pilih dan
aturan main lainnya yang tidak merusak ekosistem yang ada. Selain itu, dalam konteks
kesepakatan kerjasama, di dalam dokumen MoU MKK Cisangku, masih ada kesan
masyarakat “mengontrak” di tanah TNGHS yang dibatasi dengan masa berlakunya MoU
tersebut. Bagi warga Nyungcung dan Parigi batasan waktu bukan untuk masa perjanjian
kerjasamanya namun dalam konteks waktu monitoring dan evaluasi (monev). Dimana
dalam monev ini akan disepakati bersama indikator-indikator kesuksesan dan kegagalan
dari implementasi konsep KDTK dan K2LPR tersebut. Juga disusun bersama system reward
and punishment yang bisa dipertanggungjawabkan dan dihormati bersama.
Perbedaan-perbedaaan ini lah yang harus didiskusikan terlebih dahulu dengan pihak
BTNGHS untuk menyamakan persepsi. KDTK dan K2LPR merupakan dua konsep
pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang harapannya bisa diakui sebagai bentuk
pengelolaan wilayah yang disepakati bersama antara masyarakat dan BTNGHS.
Kajian ini masih belum final, karena masih perlu dianalisis lebih lanjut dengan peta-peta
partisipatif masyarakat yang kondisinya masih perlu didigitasi kembali.
B.2 Verifikasi Hasil Kajian
Verifikasi hasil kajian dilakukan ke berbagai pihak, khususnya di tingkat kampung dan
pihak TNGHS, baik Seksi Bogor maupun Balai di Kabandungan. Verifikasi dilakukan untuk
meng-crosscheck data-data yang telah dihimpun oleh tim. Secara susbtansi hal-hal yang
diverifikasi adalah konsep KDTK dan K2LPR, khususnya tentang kondisi terkini wilayah dan
komunitas yang mengelola di wilayah KDTK dan K2LPR. Proses verifikasi ini berjalan pada
bulan Oktober dan Desember 2009.
Secara umum tidak ada perubahan yang signifikan terhadap konsep KDTK dan K2LPR.
Peta block plan yang sudah dibuat masyarakat masih bisa digunakan dan sesuai dengan
6
kondisi di masyarakat. Perubahan positif malah terlihat di Kp. Nyungcung dan Parigi.
Areal yang pada awalnya adalah areal kritis bekas dikelola Perum Perhutani, kini menjadi
hijau dan sudah hampir menyerupai hutan dan kebun campuran masyarakat.
Areal yang peruntukkannya sebagai leuweung larangan (hutan larangan) tetap dijaga
menjadi hutan yang tidak diperbolehkan ada campur tangan manusia. Ini terbukti dengan
adanya pohon tua yang tumbang di areal tersebut dan tidak ada satu pun warga yang
berani untuk memanfaatkannya. Selain itu areal tambang bentonit yang peruntukkannya
sebagai kawasan hutan larangan juga saat ini masih terus dihijaukan. Perluasan areal
sawah dan penjualan lahan pun tidak dilakukan, karena warga Nyungcung dan Parigi
berkomitmen untuk menjaga dan menghormati KDTK dan K2LPR yang sudah disepakati.
Bahkan bersepakat jika terjadi penjualan lahan oleh warga, maka akan ditindak langsung
oleh tim KDTK. Pemahaman perjuangan pengakuan KDTK dan K2LPR ini masih perlu
disebarkan ke berbagai pihak dan di tingkat warga sendiri.
Dalam konteks pengakuan dalam bentuk tertulis (MoU), KDTK dan K2LPR akan tetap
dipertahankankan, dan tidak akan mengikuti nama MKK, karena KDTK dan K2LPR
merupakan hasil inisiatif warga yang murni dan sesuai dengan kebutuhan ekonomi warga
dengan tetap mempertahankan kondisi ekologi.
Bagi pihak TNGHS Seksi Bogor, pada dasarnya sangat mendukung upaya pengakuan yang
akan dilakukan oleh Nyungcung dan Parigi. Namun dari sisi nama, TNGHS Seksi Bogor
masih berharap sebaiknya dengan nama MKK saja, karena MKK merupakan nama yang
sudah dipakai dan diakui oleh pihak Dirjen PHKA di wilayah TNGHS. Dalam konteks
konsep, TNGHS Seksi Bogor mengusulkan beberapa hal yang bisa didiskusikan bersama
masyarakat:
Pada dasarnya tidak ada pelarangan lahan garapan yang sudah ada, tetapi tidak
boleh memperluas lahan garapan atau bahkan membuka lahan garapan baru.
Kriteria jenis tanaman bisa didiskusikan bersama antara masyarakat dan TNGH-S.
Memang selama ini pada site-site MKK, tanaman masyarakat di lahan garapan
MKK lebih diarahkan pada tanaman bukan kayu dan buah. Ini untuk mengurangi
penebangan kayu yang dilakukan masyarakat
Restorasi lahan diisi oleh tanaman endemik.
Proses verifikasi juga dilakukan dengan Balai TNGHS di Kabandungan, pada bulan
Desember – Februari 2010. Proses ini dilakukan sehubungan dengan perkembangan yang
terjadi di kawasan Taman Nasional di Indonesia, terkait rancangan zonasi yang disusun
oleh TNGHS. Rancangan zonasi yang dibuat sepihak akan memicu perlawanan dari
masyarakat. Oleh karenanya proses audiensi perlu dilakukan, untuk mengklarifikasi
proses penyusunan rancangan zonasi yang dilakukan. Rancangan zonasi ini pun akan
berimplikasi pada proses pengakuan dan pilihan hukum yang akan diambil oleh KDTK dan
K2LPR. Zona khusus di dalam zonasi TN menjadi areal yang peruntukkannya bisa
mengakomodir kepentingan masyarakat. Namun faktanya di dalam rancangan zonasi,
7
belum semua keberadaan masyarakat ini diakui di dalam zona khusus. Perlu ada MoU
rencana tata ruang antara masyarakat dan TNGHS. Seperti hal nya kampung-kampung
yang sudah diakui sebagai areal MKK. Dalam konteks KDTK dan K2LPR pada dasarnya ini
menjadi peluang untuk melewati proses pengakuan menuju Rencana Tata Ruang
Kesepakatan (RTRK), meskipun perlu untuk disamakan kembali pemahaman konsep
antara masyarakat dan TNGHS.
B.3 Diskusi Pakar
Proses diskusi dan konsultasi bersama para pakar dilakukan untuk melihat seberapa besar
konsep KDTK dan K2LPR bisa diterima dan diakui secara ekologi, ekonomi dan sosial serta
tidak bertolak belakang dengan kebijakan negara. Diskusi bersama para pakar tidak
dilakukan secara khusus, namun dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan-kegiatan
seminar dan undangan pertemuan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya
hutan berbasis masyarakat.
Dalam konteks kebijakan, peluang yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat adalah terkait
dengan kebijakan rancangan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) tentang
pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi. Pembahasan ini sangat bermanfaat
untuk menbaca peluang-peluang pilihan hukum lainnya yang menunjang proses
pengakuan konsep-konsep PSDHBM. Selain itu, kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan
di kawasan konservasi (HKm-K) juga menjadi penting untuk dilihat sebagai peluang atau
tidak. Perkembangan lainnya adalah pencanangan TNGHS sebagai salah satu taman
nasional yang ditetapkan sebagai KPH-K (Kesatuan Pengelolaan Hutan-Konservasi).
Menurut Bpk. Hariadi Kartodihardjo (Ketua Dewan Kehutanan Nasional-DKN),
pencanangan tersebut pada dasarnya sangat memberi peluang kepada masyarakat untuk
diakui hak akses sumberdaya alamnya oleh negara. Ini ditunjukkan dengan pola KPH-K
yang membagi hak pengelolaan kawasannya berbasiskan resort. Artinya ada institusi
yang lebih spesifik mengelola wilayah yang tidak terlalu luas.
Terkait dengan pemberdayaan masyarakat, kini PHKA bersama Working Group
Pemberdayaan (WGP) sedang menggodok draft Peraturan Menteri Kehutanan
(PerMenHut) tentang Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Konservasi. Ini merupakan
salah satu respon PHKA terkait dengan konflik sosial di kawasan konservasi. Konsep-
konsep pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan konservasi menjadi salah satu bentuk
keseriusan masyarakat yang bermukim di kawasan konservasi menjaga kawasan dengan
baik. Diskusi ini berlangsung selama bulan Desember 2009 hingga Februari 2010. Dalam
konteks peluang hukum yang bisa digunakan oleh KDTK dan K2LPR adalah kebijakan
kolaborasi dan pedoman zonasi taman nasional.
Berbicara tentang kondisi ekologi, para pakar yang ditemui tidak terlalu banyak
memberikan masukan, karena konsep agroforestry yang dikenal dengan istilah
dudukuhan/kebun campuran merupakan konsep yang sudah sangat baik memadukan
berbagai jenis vegetasi dengan jangka waktu yang berbeda. Namun yang perlu
diperhatikan juga adalah untuk memasukkan daftar jenis-jenis tanaman ke dalam konsep
KDTK yang disesuaikan dengan kondisi kecuraman lokasi dan jenis tanah.
8
Dalam konteks ekonomi, kebun campuran merupakan areal yang penggunaannya untuk
dimanfaatkan dalam pemenuhan ekonomi masyarakat. Termasuk sawah dan palawija
yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari serta kayu kampung yang dicadangkan
sebagai “tabungan” pendidikan dan kesehatan.
B.4. Workshop Sosialisasi Hasil Kajian
Dalam rangka membangun persepsi konsep KDTK dan K2LPR dari berbagai pihak, pada
tanggal 9 Februari 2010 di Aula SMP 1 Terbuka (Desa Cisarua) telah dilaksanakan kegiatan
Aksi Tanam Massal dan Ririungan, dengan tema “Membangun Pengelolaan Kawasan
Konservasi Secara Kolaborasi Menuju Hutan Halimun Lestari, Masyarakat Mandiri”.
Panitia bersama yang dibentuk (RMI, Kelompok Tani Sekarsari Parigi, KSM Nyungcung,
TNGHS, dan Pemerintah Desa) merupakan salah satu bentuk simbolisasi KOLABORASI di
Halimun telah dimulai. Mulai dari tahap persiapan merancang kegiatan hingga
pelaksanaan, panitia bersama yang dibentuk berbagi tugas.
Dukungan dari Camat Nanggung ditunjukkan dengan membuka kegiatan sekaligus turut
menanam satu pohon di areal perbatasan Nyungcung-Parigi yang sekaligus juga masuk ke
dalam areal konservasi TNGHS. Selain Camat, juga Kepala Seksi Bogor – TNGHS, Kepala
Desa Malasari dan Cisarua, Muspika, serta ketua KSM Nyungcung dan KTS Parigi turut
berkontribusi menanam di areal tersebut. Rasa kebersamaan yang dibangun ini juga
dihadiri oleh anak-anak SD yang bersama-sama menanam di areal yang disediakan. Bibit
yang terkumpul sebanyak 6100 bibit yang diperoleh dari masyarakat, BP DAS, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, PT. Aneka Tambang, TNGHS dan Kelompok MKK. Pada
pelaksanaannya pun dimeriahkan dengan lagu-lagu konservasi karya masyarakat.
Sebagai bentuk rasa kebersamaan yang diawali dengan kegiatan tanam massal, KDTK,
K2LPR serta MKK mencoba mempresentasikan konsep-konsep yang telah ada dan
mencari irisan kesamaan konsep. Pada intinya, tujuan dari ketiga konsep tersebut
terdapat kesamaan, namun ijin menebang kayu kampung di dalam konsep MKK memang
masih belum bisa diakomodir. Dukungan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Bogor pun dijelaskan melalui program kerja PemKab Bogor dalam menghijaukan kawasan
tapi juga memperhatikan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Sebagai
output bersama, diakhir kegiatan berhasil dirumuskan sebuah DEKLARASI BERSAMA
Membangun Kawasan Konservasi Secara Kolaborasi Menuju Hutan Halimun Salak Lestari,
Masyarakat Mandiri. Deklarasi ini sebagai landasan bersama membangun kolaborasi
dalam menyusun kesepakatan pengelolaan zona khusus TNGHS berupa Rencana Tata
Ruang Kesepakatan (RTRK) secara tertulis. Semua persoalan yang terjadi di kawasan
TNGHS harus diselesaikan secara kolaborasi dan melibatkan masyarakat setempat.
B.5. Dialog dan Negosiasi
Proses dialog dan negosiasi mulai dilakukan dengan Kantor Seksi Bogor pada tanggal 22
Desember 2009 diawali dengan sharing konsep KDTK dan K2LPR serta memupuk rasa
saling percaya. Rancangan kerja bersama menjadi materi pembicaraan yang disepakati.
RMI dan TNGHS Seksi Bogor bersepakat bahwa program menuju pengakuan KDTK dan
9
K2LPR serta program Kampanye Bangga Hutan Halimun Lestari, Masyarakat Mandiri
menjadi pekerjaan bersama dan saling mendukung satu sama lain.
Kunci kebersamaan antara TNGHS dan Masyarakat adalah KOLABORASI. Kolaborasi yang
masih multi interpretatif menjadi bahan diskusi yang cukup menarik. Rancangan zonasi
yang dibangun oleh TNGHS mengundang RMI dan NGO lainnya serta masyarakat untuk
ikut urun rembug memberi masukan. Diskusi audiensi diterima pada tanggal 1 Desember
2009 di Kantor Balai TNGHS di Kabandungan, Sukabumi. Rancangan zonasi ini akan
sangat berpengaruh terhadap peluang pengakuan KDTK dan K2LPR. Maka menjadi sangat
penting RMI ikut serta di dalam proses rancangan zonasi tersebut. Pertemuan pertama
menghasilkan kesepakatan untuk menyusun road map yang ideal, mulai dari pra zonasi,
during zonasi hingga pre zonasi. Kesepakatan ini kemudian diikuti dengan diskusi-diskusi
di RMI beserta NGO lain untuk mengkoordinasikan rencana tindak lanjut. Beberapa kali
pertemuan di gelar untuk menyatukan pendapat dan pemahaman terhadap rancangan
zonasi TNGHS yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan TNGHS. Dari
pertemuan-pertemuan ini dihasilkan road map yang ideal untuk mendapatkan zonasi
TNGHS yang disepakati dan dihormati bersama oleh berbagai pihak.
Pertemuan kedua dilakukan pada tanggal 23 Desember 2009 yang agendanya adalah
sharing road map hasil diskusi RMI dan NGO lainnya, serta sharing hasil verifikasi peta
zonasi yang dilakukan oleh TNGHS. Peta zonasi yang telah ada akan berlanjut ke arah
konsultasi publik dan masukan-masukan pada saat konsultasi publik akan merevisi peta
zonasi sebelumnya. Proses konsultasi publik dilakukan di Sukabumi (18 Maret 2010) dan
Bogor (23 Maret 2010). Kegelisahan masyarakat diijinkan atau tidak dalam memanfaatan
kayu kampung masih belum mendapatkan kepastian. Hingga akhirnya BTNGHS dengan
mengundang mitra kerja nya (RMI, JKPP, JEEF, PEKA dan PILI) bisa bertemu dengan Kepala
Bagian Pemolaan (PHKA) untuk sharing rencana konsultasi publik pada tanggal 12 Maret
2010. Salah satu poin kesimpulan adalah tentang diperbolehkannya masyarakat untuk
menebang kayu lokal yang dibudidayakan masyarakat dengan mekanisme kesepakatan
yang dituangkan di dalam MoU Pengelolaan zona khusus.
Proses dialog menyamakan pandangan terhadap konsep dan aturan main pengelolaan
KDTK dan K2LPR di zona khusus terus dilakukan, baik bertatap muka langsung maupun
melalui media komunikasi lainnya seperti telp dan email. Perwakilan dari KSM
Nyungcung dan Kelompok Tani Sekarsari Parigi turut hadir di dalam proses dialog dan
negosiasi yang dilakukan secara intensif pada bulan April hingga Mei 2010.
B.6. Ground Check.
Kegiatan ground check pada dasarnya direncanakan untuk melihat bersama-sama titik
batas KDTK dan K2LPR. Meskipun peta partisipatif yang difasilitasi RMI sudah ada, pihak
TNGHS perlu melakukan validasi titik koordinat lokasi. Namun ini tidak terjadi, karena
data titik korodinat hasil pemetaan partisipatif ternyata dapat digunakan langsung oleh
pihak TNGHS untuk di overlay di peta zonasi TNGHS. Ini merupakan salah satu bentuk
kepercayaan yang dibangun antara RMI, Masyarakat dan TNGHS.
10
B.7 Penyusunan Regulasi Fungsi Ruang dalam PSDHBM
Penyusunan draft regulasi fungsi ruang dalam bentuk perjanjian kerjasama dimulai secara
intensif sejak bulan April 2010. Proses penyusunan draft perjanjian kerjasama dilakukan
di tingkat masyarakat, kantor Seksi Bogor – TNGHS dan BTNGHS. Tiga hal yang menjadi
titik berat usulan masyarakat, yaitu:
1. Waktu perjanjian kerjasama. Pada perjanjian kerjasama MKK, umumnya ada batasan
waktu perjanjian kerjasama. Salah satu interpretasi dari batasan waktu ini adalah,
masyarakat hanya diijinkan mengelola wilayah nya dengan waktu yang ditetapkan
(biasanya 3 – 5 tahun). Usulan dari masyarakat adalah waktu yang dituagkan di
dalam perjanjian kerjasama seharusnya hanya menunjukkan waktu pelaksanaan
evaluasi program. Dari hasil evaluasi tersebut nantinya akan menjelaskan apakah
konsep KDTK dan K2LPR bisa terimplementasi dengan baik atau tidak.
2. Perihal perjanjian kerjasama yang diusulkan bukan dengan nama MKK, melainkan
dengan nama lokal KDTK dan K2LPR.
3. Perijinan memanfaatkan kayu kampung juga diharapkan dapat dituangkan di dalam
perjanjian kerjasama. Hal ini untuk memastikan bahwa warga Nyungcung dan Parigi
dapat memanfaatkan kayu kampung yang telah dibudidayakan sesuai dengan aturan
yang disepakati bersama. Misalnya pemanfaatan kayu hanya boleh dilakukan pada
pohon yang berdiameter lebih dari 15 cm dan setiap kali menebang pohon, harus
ditanami kembali dengan 5 bibit pohon.
Proses penyusunan regulasi di tingkat masyarakat juga sekaligus mendetailkan kembali
aturan main pengelolaan ruang zona khusus di Kampung Nyungcung dan Kampung Parigi.
Seperti halnya terdapat tambahan ruang berupa hutan komunal dengan nama
leuweung/lumbung sarerea yaitu areal Pinus yang akan dikelola menjadi hutan rakyat
yang dialokasikan sebagai cadangan kebutuhan kayu untuk membangun fasilitas umum.
Begitu pula dengan kelembagaan yang akan “mengawal” impelementasi KDTK dan K2LPR.
KSM Nyungcung dan Kelompok Tani Sekarsari Parigi dipastikan lembaga lokal yang akan
akan mengawal KDTK dan K2LPR.
Poin-poin penting masyarakat kemudian di hasilkan draft perjanjian kerjasama yang
diusulkan ke TNGHS Seksi Bogor dan BTNGHS. Kunjungan ke TNGHS Seksi Bogor (27 Mei
2010) dan BTNGHS (31 Mei 2010) merupakan waktu negosiasi sekaligus
mempresentasikan kembali konsep KDTK dan K2LPR serta draft usulan perjanjian
kerjasama antara BTNGH dan Masyarakat Nyungcung dan Parigi. Dengan adanya
pergantian kepala BTNGHS, RMI dan Masyarakat “memanfatkan” waktu negosiasi
tersebut juga dengan silaturahmi sekaligus memperkenalkan diri.
Mekanisme monitoring dan evaluasi tidak sampai dibahas secara detail. Untuk waktu
monitoring dan evaluasi disepakati setiap minimal satu tahun sekali.
Setelah melewati berbagai diskusi, pihak BTNGHS menyebutkan bahwa bentuk perjanjian
kerjasama antara BTNGHS dan KSM Nyungcung serta KTS Parigi ini unik. Dan pada
11
dasarnya rasa saling percaya sudah terbangun. Namun karena perjanjian kerjasama ini
secara hukum harus bersifat universal dan bisa digunakan di lokasi lain, maka poin
penting tentang batasan waktu perjanjian kerjasama dan pencantuman diijinkan nya
masyarakat memanfaatkan kayu kampung dengan aturan yang disepakati terpaksa tidak
bisa dicantumkan di dalam Perjanjian Kerjasama. Namun akan dicantumkan di dalam
dokumen arahan program atau di dalam konsep KDTK dan K2LPR. Negosiasi ini pun bisa
diterima oleh masyarakat yang tertantang untuk memanfaatkan kawasan zona khusus
sesuai dengan aturan main yang disepakati.
B.8 Penandatanganan MoU
Pelaksanaan penandatanganan Perjanjian Kerjasama ini dilaksanakan pada tanggal 22
Juni 2010. Dokumen Perjanjian Kerjasama yang dilampirkan dengan konsep Pengelolaan
KDTK dan K2LPR. Perjanjian kerjasama KDTK ditandatangani oleh Ketua KSM Nyungcung
dan Kepala BNTGHS serta diketahui oleh Direktur Kawasan Konservasi. Dan K2LPR
ditandatangani oleh Ketua Kelompok Tani Sekarsari Prigi dan Kepala BNTGHS serta
diketahui oleh Direktur Kawasan Konservasi.
Selama persiapan berlangsung, Kepala BTNGHS siap hadir dan menandatangani Perjanjian
Kerjasama tersebut. Namun pada pelaksanaannya, Kepala BTNGHS tidak bisa hadir
karena harus mengikuti diskusi tim penyidik terkait dengan penyelesaian kasus
pembangunan Villa di TNGHS. Sebagai penggantinya adalah Kepala Seksi Bogor – TNGHS
yang secara fisik hadir untuk memberi paraf. Dokumen Perjanjian Kerjasama akan tetap
ditandatangani oleh Kepala BTNGHS dan Direktur Kawasan Konservasi.
Sebagai bentuk simbolisasi KOLABORASI ini telah terbangun, serah terima bibit dari
masyarakat dan BTNGHS pun dilakukan. Bibit kayu dari TNGHS diserahkan kepada
masyarakat, dan bibit buah dari masyarakat kepada TNGHS.
Penandatangan Perjanjian Kerjasama ini dihadiri oleh masyarakat, perwakilan kelompok
tani, BNTGHS, TNGHS Seksi Bogor dan Resort Gunung Botol, Pemerintah Desa, Kecamatan
Nanggung dan RMI. Pengumumam pemenang lomba petisi perempuan dan pentas seni
lagu-lagu konservasi pun dilantunkan selama proses penandatanganan Perjanjian
Kerjasama ini berlangsung. PoinPlus Band bersama para pencipta lagu-lagu konservasi
Halimun secara langsung menyanyikan secara bersama-sama.
Penandatangan Perjanjian kerjasama merupakan titik awal proses Kolaborasi dibangun.
Kolaborasi dan kebersamaan di berbagai kegiatan merupakan perwujudan dari rasa saling
percaya antara masyarakat dan BTNGHS. Masih banyak tantangan bagi kedua belah
pihak untuk bersama-sama mengimplementasikan rencana tata ruang kesepakatan yang
telah disepakati, yaitu konsep KDTK dan K2LPR.
12
III. Pembelajaran dan Rekomendasi
Proyek yang berlangsung selama 10 (sepuluh) bulan ini berjalan efektif 8 (delapan) bulan.
Tantangan besar mengelola proyek yang juga melibatkan pihak lain. Berikut adalah beberapa
pembelajaran penting selama proyek ini berlangsung :
1. Stigmatisasi bahwa RMI adalah “anak nakal” yang tidak pernah mau duduk bersama dengan
TNGHS selalu disebutkan sebelum proyek ini berlangsung. Komunikasi, koordinasi dan
negosiasi merupakan kunci untuk merubah image bahwa RMI dan masyarakat tidak bisa
berkolaborasi dengan pemangku kepentingan di Halimun. Komunikasi intensif merupakan
bentuk aktivitas yang strategis dalam memupuk rasa kepercayaan dengan berbagai pihak
2. Tingkat pengetahuan dan pemahaman yang berbeda di tingkatan TNGHS tentang kolaborasi,
konservasi untuk kesejahteraan manusia, zona khusus juga menjadi tantangan lain yang harus
diminimalisir selama proses negosiasi dibangun. Peningkatan kapasitas para staff TNGHS ini
menjadi penting untuk dilakukan
3. Situasi politik dan dinamika konflik yang terjadi merangsang berbagai pihak untuk secara
intensif mengikuti perkembangan yang terjadi dan berupaya mengintervensi situasi tersebut
untuk kepentingan terakomodirnya kebutuhan masyarakat. Pengawalan perkembangan
zonasi TNGHS, khususnya zona khusus hingga konsultasi publik zonasi TNGHS menjadi agenda
RMI bersama LSM lain yang bekerja di Kawasan TNGHS. Karena ini akan berdampak pada di
ruang mana masyarakat bisa diakomodir di zonasi TNGHS serta mekanisme seperti apa yang
akan diterapkan di dalam ruang kesepakatan tersebut.
4. Pergantian Kepala BTNGHS pun menjadi tantangan sendiri untuk memahami karakter kepala
BTNGHS yang baru. Proses diskusi dan negosiasi yang berlangsung sebelumnya akan menjadi
acuan menilai kepala BTNGHS yang baru. Komunikasi yang intensif serta penggalian
informasi tentang Kepala BTNGHS yang baru menjadi kegiatan intensif pasca serah terima
jabatan.
5. Pasca penandatangan Perjanjian Kerjasama ini perlu dilakukan monitoring
pengimplementasian konsep KDTK dan K2LPR serta bentuk-bentuk dukungan yang diberikan
oleh BTNGHS dan Pemerintah Kabupaten Bogor serta pihak lainnya terhadap kawasan zona
khusus yang dikelola secara legal dan tertulis oleh masyarakat langsung.
6. Dinamika kelembagaan RMI turut mewarnai seluruh proyek yang dikelola oleh RMI.
Pergantian Koordinator Proyek dan tidak adanya proses tranferisasi data dan informasi dari
koordinator sebelumnya membuat Koordinator Proyek yang baru dan tim proyek harus
bekerja keras menyesuaikan waktu kerja yang telah disepakati sebelumnya. Begitu pula
dengan situasi internal yang turut berkontribusi memperlambat kinerja penyelesaian proyek.
Tantangan tersendiri bagi Koordinator Proyek untuk membagi waktu dan konsentrasi dalam
penyelesaian proyek.