12
1 FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) Upaya Memperjuangkan Pengakuan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM) Melalui Peluang Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) Periode Pelaporan September 2009 Juni 2010 I. Pengantar Sejak perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dari luasan 40.000 Ha menjadi 113.375 Ha, lahan-lahan pertanian (sawah dan kebun) masyarakat yang sebelumnya berada di bawah kelola kawasan hutan produksi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten berubah masuk menjadi kawasan Konservasi TNGHS. Ketidakjelasan status hukum akses masyarakat atas lahan pertanian dan ruang hidupnya, berdampak pada kecenderungan masyarakat untuk melakukan perluasan lahan pertaniannya. Sementara itu peluang hukum pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan taman nasional belum terimplementasi dengan baik. Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) dikembangkan BTNGHS dalam kerangka membangun kolaborasi bersama masyarakat. Hal ini menjadi bentuk respon pihak TNGHS terhadap kebijakan kolaborasi (PerMenHut No. P. 19/2004) dan zonasi (PerMenHut No. P. 56/2006) di kawasan konservasi. Dalam konteks RTRK tersebut, yang diharapkan bisa “dikolaborasikan” antara lain: 1) Mendorong Pengakuan Model pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat atau PSDHBM (KDTK & K2LPR 1 ) Melalui Skema Pengelolaan Kolaboratif, 2) Membuka ruang dialog antara masyarakat-TNGHS-pihak terkait lainnya, dan antar anggota masyarakat atas isu-isu konservasi, kebijakan yang terkait dengan tata ruang kawasan konservasi dan program pengelolaan kolaboratif. Adanya kesepahaman dan kesepakatan bersama atas akses ruang pengelolaan di kawasan konservasi menjadi salah satu target capaian dalam proses ini. Tujuan proyek ini adalah mendorong adanya pengakuan, penghargaan dan perlindungan atas upaya masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat (KDTK dan K2LPR) dengan tujuan mengembalikan habitat burung pemangsa endemic-Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi) oleh masyarakat seluas 395,795 ha pada akhir tahun 2010. 1 KDTK = Kampung Dengan Tujuan Konservasi; K2LPR = Kawasan Kebun Lindung Produksi Rakyat

FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

1

FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP)

Upaya Memperjuangkan Pengakuan Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Berbasis Masyarakat (PSDHBM)

Melalui Peluang Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK)

Periode Pelaporan September 2009 – Juni 2010

I. Pengantar

Sejak perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung

Halimun-Salak (TNGHS) dari luasan 40.000 Ha menjadi 113.375 Ha, lahan-lahan pertanian (sawah

dan kebun) masyarakat yang sebelumnya berada di bawah kelola kawasan hutan produksi Perum

Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten berubah masuk menjadi kawasan Konservasi TNGHS.

Ketidakjelasan status hukum akses masyarakat atas lahan pertanian dan ruang hidupnya,

berdampak pada kecenderungan masyarakat untuk melakukan perluasan lahan pertaniannya.

Sementara itu peluang hukum pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan taman nasional

belum terimplementasi dengan baik.

Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) dikembangkan BTNGHS dalam kerangka membangun

kolaborasi bersama masyarakat. Hal ini menjadi bentuk respon pihak TNGHS terhadap kebijakan

kolaborasi (PerMenHut No. P. 19/2004) dan zonasi (PerMenHut No. P. 56/2006) di kawasan

konservasi. Dalam konteks RTRK tersebut, yang diharapkan bisa “dikolaborasikan” antara lain: 1)

Mendorong Pengakuan Model pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat atau

PSDHBM (KDTK & K2LPR1) Melalui Skema Pengelolaan Kolaboratif, 2) Membuka ruang dialog

antara masyarakat-TNGHS-pihak terkait lainnya, dan antar anggota masyarakat atas isu-isu

konservasi, kebijakan yang terkait dengan tata ruang kawasan konservasi dan program

pengelolaan kolaboratif. Adanya kesepahaman dan kesepakatan bersama atas akses ruang

pengelolaan di kawasan konservasi menjadi salah satu target capaian dalam proses ini.

Tujuan proyek ini adalah mendorong adanya pengakuan, penghargaan dan perlindungan atas

upaya masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat (KDTK dan K2LPR)

dengan tujuan mengembalikan habitat burung pemangsa endemic-Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi)

oleh masyarakat seluas 395,795 ha pada akhir tahun 2010.

1 KDTK = Kampung Dengan Tujuan Konservasi; K2LPR = Kawasan Kebun Lindung Produksi Rakyat

Page 2: FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

2

II. Implementasi Kegiatan

Beberapa tahap implementasi kegiatan yang dilaksanakan pada periode ini antara lain:

A. Fase Persiapan

A.1 Kajian Data Sekunder

Data sekunder dilakukan untuk menganalisis peluang-peluang hukum pengakuan

PSDHBM di kawasan konservasi. Kebijakan kolaborasi (Permenhut No.P.19 Tahun 2004

tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam)

dan zonasi (Permenhut No 56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional)

menjadi titik masuk yang paling penting untuk mengawali proses pengakuan ini. Selain itu

secara spesifik, Balai TNGHS pun telah membuat rancangan zonasi di TNGHS yang

diharapkan dapat mengakomodir seluruh kepentingan yang terdapat di kawasan TNGHS.

Salah satu peluang pengakuan keberadaan masyarakat adalah berada di zona khusus.

Berdasarkan PerMenHut No. P.56/MenHut-II/2006, Zona Khusus adalah bagian dari

taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok

masyarakat dan sarana penunjang kehidupan yang tinggal sebelum wilayah tersebut

ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana komunikasi, fasilitasi transportasi

dan listrik. Di dalam rancangan zonasi TNGHS dan Rencana Strategis BTNGHS peluang ini

harus dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding)

berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan wilayah zona khusus.

Dalam konteks model-model pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat atau

dikenal dengan istilah Community Based Forest Management (CBFM), saat ini

Departemen Kehutanan telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang memperkuat CBFM,

seperti Hutan Kemasyarakatan(HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, dll. Namun

kesemuanya itu belum bisa diimplementasikan secara spesifik di kawasan konservasi.

Oleh karena itu, Departemen Kehutanan melalui PHKA (Perlindungan Hutan Konservasi

Alam) sedang mencari model-model pengelolaan yang lebih tepat di kawasan konservasi.

Rancangan Hutan Kemasyarakat di kawasan Konservasi (HKm-K) dan Model Desa

Konservasi (MDK) masih menjadi substansi kajian bagi PHKA.

Model Kampung Konservasi (MKK)2 merupakan salah satu program yang dikeluarkan

TNGHS sejak tahun 2006 untuk merespon kebijakan kolaborasi dan zonasi. Dengan

mengedepankan tiga strategi yang dipilih yaitu restorasi, rehabilitasi dan income

generating, saat ini BTNGHS tengah mengembangkan 21 MKK di kawasan TNGHS. Alat

yang digunakan dalam MKK ini antara lain, melakukan observasi bersama dengan

masyarakat lokal, melakukan reboisasi dan rehabilitasi kawasan TNGHS yang rusak

dengan melibatkan masyarakat lokal, dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di TNGHS. Kesepakatan kerjasama MKK ini

ditandai dengan Memorandum of Understanding (MoU) dengan batasan waktu tertentu.

Seperti yang dilakukan oleh MKK Cisangku, bahwa MoU hanya berlaku selama 3 tahun

2 Harmita (2009), definisi Kampung Konservasi menurut versi MKK adalah kampung yang didalamnya bisa melakukan

aktifitas perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan masyarakat.

Page 3: FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

3

dan jika diperlukan kembali, maka perlu ada surat kesepakatan kembali. KDTK dan K2LPR

merupakan dua konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang harapannya bisa

diakui sebagai bentuk pengelolaan wilayah yang disepakati bersama antara masyarakat

dan BTNGHS. Konsep pengelolaan wilayah serta dokumen kesepakatan bersama menjadi

salah satu bahan yang dikaji untuk melihat irisan persamaan dan perbedaan dari seluruh

konsep pengelolaan sumberdaya hutan yang terdapat di kawasan TNGHS, baik secara

substansi maupun secara proses.

A.2 Assessment Konsep KDTK/K2LPR

Proses assessment dilakukan dalam kerangka melihat ulang konsep pengelolaan

sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang telah diimplementasikan oleh masyarakat

sebagai proses awalan menuju kajian model-model PSDHBM. Proses assessment

dilakukan di dua konsep, yaitu Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) yang diinisiasi

oleh warga Kp. Nyungcung dan Kawasan Kebun Lindung Produksi Rakyat (K2LPR) yang

dinisiasi oleh warga Kp. Parigi.

Konsep rencana tata ruang kampung dengan konsep keberlanjutan secara ekologi,

ekonomi dan sosial ditunjukkan dengan adanya zonasi kampung, seperti (a). Leuweung

Larangan (area yang tidak boleh diganggu/konservasi), (b) Leuweung Dudukuhan (area

yang di tanam kayu dan buah/Koservasi-Produksi), (c) Lahan Sawah (area sebagai

sumber pokok pangan masyarakat/produksi), (d) Lahan Lembur (arae tempat aktifitas

sosial-ekonomi masyarakat) yang masih dipertahankan dan dihormati hingga saat ini. Hal

ini dikarenakan warga di kedua kampung tersebut ingin memiliki keinginan kuat untuk

diakui secara tertulis oleh negara, dalam hal ini adalah Balai Taman Nasional Gunung

Halimun-Salak (BTNGHS). Pengakuan ini tidak sekedar tertulis, namun perlu ada

kesepakatan yang dibangun bersama secara kolaborasi antara pihak BTNGHS dan

masyarakat sesuai dengan kebijakan yang berlaku.

Namun perlu diketahui bahwa konsep tata ruang kampung ini pada dasarnya sudah mulai

diadopsi di kampung lainnya di Desa Malasari (seperti Kp. Legok Jeruk, Kp. Citalahab, Kp.

Legok Batu, Kp. Garung dan Kp. Hanjawar) dan Desa Curug Bitung (Kp. Taluk Waru dan Kp.

Gunung Eusing). Proses assessment ini dilakukan untuk melihat seberapa besar potensi di

masing-masing wilayah untuk dikembangkan konsep serupa dengan KDTK dan K2LPR.

Pengembangan ini merupakan langkah lanjutan perwujudan K’DTK (Kawasan Dengan

Tujuan Konservasi) yang pernah diinisiasi RMI pada tahun 2006. Secara umum dari hasil

assessment menunjukkan bahwa harapan atas keamanan dan ketenangan mengakses

pengelolaan kawasan pertanian dan kehutanan secara berkelanjutan masih menjadi

prioritas.

B. Fase Implementasi

B.1 Kajian Model PSDHBM dan Kajian MKK

Kajian model-model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan konservasi TNGHS

dilakukan untuk melihat irisan persamaan dan perbedaan implementasi konsep KDTK,

K2LPR serta MKK (Model Kampung Konservasi). Kajian ini akan sangat bermanfaat

Page 4: FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

4

sebagai salah satu bahan negosiasi menuju pegakuan KDTK dan K2LPR sebagai usulan

konsep RTRK.

Secara proses, KDTK dan K2LPR merupakan konsep pengelolaan yang dibangun atas

inisiatif masyarakat Nyungcung dan Parigi yang secara sadar menyusun konsep

pengelolaan kawasan hutan yang berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Hal

ini ditunjukkan dengan pembagian ruang kelola masyarakat berdasarkan kondisi dan

pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal yang tergambar di dalam konsep ini jelas terlihat

pada konsep penataruangan wilayah, seperti lahan leuweung (wilayah hutan), lahan

dudukuhan (wilayah kebun campuran) dan lahan lembur (wilayah pemukiman) yang

menjadi perencanaan kedua kampung tersebut. Kesepakatan ini masih dihormati dan

dijaga dengan baik. Ini terlihat dari keseriusan warga dalam menjaga kawasan sesuai

dengan peta perencanaan yang telah disusun dan konsep pengelolaan yang dirancang

bersama. Selain program penghijauan kawasan hutan, Kelompok Swadaya Masyarakat

(KSM) Nyungcung juga berhasil mencegah inisiatif pengelolaan tambang bentonit yang

akan dikelola oleh perusahaan swasta dan beberapa warga Nyungcung di areal lahan

leuweung (berdasarkan konsep KDTK) melalui SK Kepala BTNGHS tahun 2008 tentang

pelarangan penambangan bentonit di areal TNGHS yang ditembuskan ke Bupati Bogor,

Kapolres Bogor, Camat Nanggung, dan Kepala Desa Malasari. Areal kritis di lahan ex

Perum Perhutani dan beberapa lahan perkebunan karet milik PT. Hevea Indonesia yang

peruntukkannya adalah lahan dudukuhan (kebun agroforestry), kini sudah bisa

dimanfaatkan warga untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga di Parigi. Manfaat lain

yang bisa dirasakan warga saat ini adalah mulai kembali berlimpahnya sumberdaya air di

Kampung Nyungcung.

Pada awalnya, bentuk kelembagaan yang mengawal konsep KDTK ini adalah KSM Rimba

Lestari yang didirikan sejak tahun 2003. Namun dalam perkembangannya dan

mengakomodir aspek lainnya selain rimba, maka diputuskan berubah nama dengan

tujuan yang lebih luas menjadi KSM Nyungcung pada tahun 2005. Sedangkan di Kp.

Parigi, lembaga yang mengawal konsep K2LPR adalah Kelompok Tani Sekarsari yang

berdiri pada tahun 2005.

Model Kampung Konservasi (MKK)3 merupakan salah satu program yang dikeluarkan

TNGHS sejak tahun 2006 untuk merespon kebijakan kolaborasi dan zonasi. Dengan

mengedepankan tiga strategi yang dipilih yaitu restorasi, rehabilitasi dan income

generating, saat ini BTNGHS tengah mengembangkan 21 MKK di kawasan TNGHS. Alat

yang digunakan dalam MKK ini antara lain, melakukan observasi bersama dengan

masyarakat lokal, melakukan reboisasi dan rehabilitasi kawasan TNGHS yang rusak

dengan melibatkan masyarakat lokal, dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di TNGHS. Kesepakatan kerjasama MKK ini

ditandai dengan Memorandum of Understanding (MoU) dengan batasan waktu tertentu.

3 Harmita (2009), definisi Kampung Konservasi menurut versi MKK adalah kampung yang di dalamnya bisa melakukan

aktifitas perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan masyarakat.

Page 5: FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

5

Seperti yang dilakukan oleh MKK Cisangku, bahwa MoU hanya berlaku selama 3 tahun

dan jika diperlukan kembali, maka perlu ada surat kesepakatan kembali. Jangka waktu 3

tahun bagi Kelompok MKK Cisangku adalah lemah (terlalu pendek). Namun ini juga

dijadikan sebagai peluang awal pembuktian kepada pihak TNGH-S bahwa masyarakat bisa

mengelola. Kemampuan ini akan menjadi bahan argumentasi dalam memperbaharui

MoU bilamana terjadi perpanjangan. Penyepakatan melalui MoU hanya berbasis Resort

(Resort Gunung Botol) dan tidak langsung dilakukan oleh kepala Balai TNGH-S.

Kelembagaan lokal yang mengawal konsep ini adalah MKK Cisangku. Dalam konteks

peningkatan ekonomi lokal, TNGHS bersama PT. Aneka Tambang memberi bantuan

berupa ternak domba yang diharapkan bisa membantu ekonomi masyarakat dan

mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat menebang kayu, termasuk kayu

kampung seperti Sengon (Albazia Falcataria).

Secara prinsip, ketiga konsep yang dianalisis tidak menunjukkan perbedaan yang

signifikan. Konsep pembangunan berkelanjutan (ekologi, ekonomi dan sosial) masih

dijunjung tinggi oleh ketiga konsep ini. Namun dalam konteks penebangan, bagi warga

Nyungcung dan Parigi berharap tetap diperbolehkan dengan aturan tebang pilih dan

aturan main lainnya yang tidak merusak ekosistem yang ada. Selain itu, dalam konteks

kesepakatan kerjasama, di dalam dokumen MoU MKK Cisangku, masih ada kesan

masyarakat “mengontrak” di tanah TNGHS yang dibatasi dengan masa berlakunya MoU

tersebut. Bagi warga Nyungcung dan Parigi batasan waktu bukan untuk masa perjanjian

kerjasamanya namun dalam konteks waktu monitoring dan evaluasi (monev). Dimana

dalam monev ini akan disepakati bersama indikator-indikator kesuksesan dan kegagalan

dari implementasi konsep KDTK dan K2LPR tersebut. Juga disusun bersama system reward

and punishment yang bisa dipertanggungjawabkan dan dihormati bersama.

Perbedaan-perbedaaan ini lah yang harus didiskusikan terlebih dahulu dengan pihak

BTNGHS untuk menyamakan persepsi. KDTK dan K2LPR merupakan dua konsep

pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang harapannya bisa diakui sebagai bentuk

pengelolaan wilayah yang disepakati bersama antara masyarakat dan BTNGHS.

Kajian ini masih belum final, karena masih perlu dianalisis lebih lanjut dengan peta-peta

partisipatif masyarakat yang kondisinya masih perlu didigitasi kembali.

B.2 Verifikasi Hasil Kajian

Verifikasi hasil kajian dilakukan ke berbagai pihak, khususnya di tingkat kampung dan

pihak TNGHS, baik Seksi Bogor maupun Balai di Kabandungan. Verifikasi dilakukan untuk

meng-crosscheck data-data yang telah dihimpun oleh tim. Secara susbtansi hal-hal yang

diverifikasi adalah konsep KDTK dan K2LPR, khususnya tentang kondisi terkini wilayah dan

komunitas yang mengelola di wilayah KDTK dan K2LPR. Proses verifikasi ini berjalan pada

bulan Oktober dan Desember 2009.

Secara umum tidak ada perubahan yang signifikan terhadap konsep KDTK dan K2LPR.

Peta block plan yang sudah dibuat masyarakat masih bisa digunakan dan sesuai dengan

Page 6: FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

6

kondisi di masyarakat. Perubahan positif malah terlihat di Kp. Nyungcung dan Parigi.

Areal yang pada awalnya adalah areal kritis bekas dikelola Perum Perhutani, kini menjadi

hijau dan sudah hampir menyerupai hutan dan kebun campuran masyarakat.

Areal yang peruntukkannya sebagai leuweung larangan (hutan larangan) tetap dijaga

menjadi hutan yang tidak diperbolehkan ada campur tangan manusia. Ini terbukti dengan

adanya pohon tua yang tumbang di areal tersebut dan tidak ada satu pun warga yang

berani untuk memanfaatkannya. Selain itu areal tambang bentonit yang peruntukkannya

sebagai kawasan hutan larangan juga saat ini masih terus dihijaukan. Perluasan areal

sawah dan penjualan lahan pun tidak dilakukan, karena warga Nyungcung dan Parigi

berkomitmen untuk menjaga dan menghormati KDTK dan K2LPR yang sudah disepakati.

Bahkan bersepakat jika terjadi penjualan lahan oleh warga, maka akan ditindak langsung

oleh tim KDTK. Pemahaman perjuangan pengakuan KDTK dan K2LPR ini masih perlu

disebarkan ke berbagai pihak dan di tingkat warga sendiri.

Dalam konteks pengakuan dalam bentuk tertulis (MoU), KDTK dan K2LPR akan tetap

dipertahankankan, dan tidak akan mengikuti nama MKK, karena KDTK dan K2LPR

merupakan hasil inisiatif warga yang murni dan sesuai dengan kebutuhan ekonomi warga

dengan tetap mempertahankan kondisi ekologi.

Bagi pihak TNGHS Seksi Bogor, pada dasarnya sangat mendukung upaya pengakuan yang

akan dilakukan oleh Nyungcung dan Parigi. Namun dari sisi nama, TNGHS Seksi Bogor

masih berharap sebaiknya dengan nama MKK saja, karena MKK merupakan nama yang

sudah dipakai dan diakui oleh pihak Dirjen PHKA di wilayah TNGHS. Dalam konteks

konsep, TNGHS Seksi Bogor mengusulkan beberapa hal yang bisa didiskusikan bersama

masyarakat:

Pada dasarnya tidak ada pelarangan lahan garapan yang sudah ada, tetapi tidak

boleh memperluas lahan garapan atau bahkan membuka lahan garapan baru.

Kriteria jenis tanaman bisa didiskusikan bersama antara masyarakat dan TNGH-S.

Memang selama ini pada site-site MKK, tanaman masyarakat di lahan garapan

MKK lebih diarahkan pada tanaman bukan kayu dan buah. Ini untuk mengurangi

penebangan kayu yang dilakukan masyarakat

Restorasi lahan diisi oleh tanaman endemik.

Proses verifikasi juga dilakukan dengan Balai TNGHS di Kabandungan, pada bulan

Desember – Februari 2010. Proses ini dilakukan sehubungan dengan perkembangan yang

terjadi di kawasan Taman Nasional di Indonesia, terkait rancangan zonasi yang disusun

oleh TNGHS. Rancangan zonasi yang dibuat sepihak akan memicu perlawanan dari

masyarakat. Oleh karenanya proses audiensi perlu dilakukan, untuk mengklarifikasi

proses penyusunan rancangan zonasi yang dilakukan. Rancangan zonasi ini pun akan

berimplikasi pada proses pengakuan dan pilihan hukum yang akan diambil oleh KDTK dan

K2LPR. Zona khusus di dalam zonasi TN menjadi areal yang peruntukkannya bisa

mengakomodir kepentingan masyarakat. Namun faktanya di dalam rancangan zonasi,

Page 7: FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

7

belum semua keberadaan masyarakat ini diakui di dalam zona khusus. Perlu ada MoU

rencana tata ruang antara masyarakat dan TNGHS. Seperti hal nya kampung-kampung

yang sudah diakui sebagai areal MKK. Dalam konteks KDTK dan K2LPR pada dasarnya ini

menjadi peluang untuk melewati proses pengakuan menuju Rencana Tata Ruang

Kesepakatan (RTRK), meskipun perlu untuk disamakan kembali pemahaman konsep

antara masyarakat dan TNGHS.

B.3 Diskusi Pakar

Proses diskusi dan konsultasi bersama para pakar dilakukan untuk melihat seberapa besar

konsep KDTK dan K2LPR bisa diterima dan diakui secara ekologi, ekonomi dan sosial serta

tidak bertolak belakang dengan kebijakan negara. Diskusi bersama para pakar tidak

dilakukan secara khusus, namun dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan-kegiatan

seminar dan undangan pertemuan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya

hutan berbasis masyarakat.

Dalam konteks kebijakan, peluang yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat adalah terkait

dengan kebijakan rancangan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) tentang

pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi. Pembahasan ini sangat bermanfaat

untuk menbaca peluang-peluang pilihan hukum lainnya yang menunjang proses

pengakuan konsep-konsep PSDHBM. Selain itu, kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan

di kawasan konservasi (HKm-K) juga menjadi penting untuk dilihat sebagai peluang atau

tidak. Perkembangan lainnya adalah pencanangan TNGHS sebagai salah satu taman

nasional yang ditetapkan sebagai KPH-K (Kesatuan Pengelolaan Hutan-Konservasi).

Menurut Bpk. Hariadi Kartodihardjo (Ketua Dewan Kehutanan Nasional-DKN),

pencanangan tersebut pada dasarnya sangat memberi peluang kepada masyarakat untuk

diakui hak akses sumberdaya alamnya oleh negara. Ini ditunjukkan dengan pola KPH-K

yang membagi hak pengelolaan kawasannya berbasiskan resort. Artinya ada institusi

yang lebih spesifik mengelola wilayah yang tidak terlalu luas.

Terkait dengan pemberdayaan masyarakat, kini PHKA bersama Working Group

Pemberdayaan (WGP) sedang menggodok draft Peraturan Menteri Kehutanan

(PerMenHut) tentang Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Konservasi. Ini merupakan

salah satu respon PHKA terkait dengan konflik sosial di kawasan konservasi. Konsep-

konsep pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan konservasi menjadi salah satu bentuk

keseriusan masyarakat yang bermukim di kawasan konservasi menjaga kawasan dengan

baik. Diskusi ini berlangsung selama bulan Desember 2009 hingga Februari 2010. Dalam

konteks peluang hukum yang bisa digunakan oleh KDTK dan K2LPR adalah kebijakan

kolaborasi dan pedoman zonasi taman nasional.

Berbicara tentang kondisi ekologi, para pakar yang ditemui tidak terlalu banyak

memberikan masukan, karena konsep agroforestry yang dikenal dengan istilah

dudukuhan/kebun campuran merupakan konsep yang sudah sangat baik memadukan

berbagai jenis vegetasi dengan jangka waktu yang berbeda. Namun yang perlu

diperhatikan juga adalah untuk memasukkan daftar jenis-jenis tanaman ke dalam konsep

KDTK yang disesuaikan dengan kondisi kecuraman lokasi dan jenis tanah.

Page 8: FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

8

Dalam konteks ekonomi, kebun campuran merupakan areal yang penggunaannya untuk

dimanfaatkan dalam pemenuhan ekonomi masyarakat. Termasuk sawah dan palawija

yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari serta kayu kampung yang dicadangkan

sebagai “tabungan” pendidikan dan kesehatan.

B.4. Workshop Sosialisasi Hasil Kajian

Dalam rangka membangun persepsi konsep KDTK dan K2LPR dari berbagai pihak, pada

tanggal 9 Februari 2010 di Aula SMP 1 Terbuka (Desa Cisarua) telah dilaksanakan kegiatan

Aksi Tanam Massal dan Ririungan, dengan tema “Membangun Pengelolaan Kawasan

Konservasi Secara Kolaborasi Menuju Hutan Halimun Lestari, Masyarakat Mandiri”.

Panitia bersama yang dibentuk (RMI, Kelompok Tani Sekarsari Parigi, KSM Nyungcung,

TNGHS, dan Pemerintah Desa) merupakan salah satu bentuk simbolisasi KOLABORASI di

Halimun telah dimulai. Mulai dari tahap persiapan merancang kegiatan hingga

pelaksanaan, panitia bersama yang dibentuk berbagi tugas.

Dukungan dari Camat Nanggung ditunjukkan dengan membuka kegiatan sekaligus turut

menanam satu pohon di areal perbatasan Nyungcung-Parigi yang sekaligus juga masuk ke

dalam areal konservasi TNGHS. Selain Camat, juga Kepala Seksi Bogor – TNGHS, Kepala

Desa Malasari dan Cisarua, Muspika, serta ketua KSM Nyungcung dan KTS Parigi turut

berkontribusi menanam di areal tersebut. Rasa kebersamaan yang dibangun ini juga

dihadiri oleh anak-anak SD yang bersama-sama menanam di areal yang disediakan. Bibit

yang terkumpul sebanyak 6100 bibit yang diperoleh dari masyarakat, BP DAS, Dinas

Kehutanan dan Perkebunan, PT. Aneka Tambang, TNGHS dan Kelompok MKK. Pada

pelaksanaannya pun dimeriahkan dengan lagu-lagu konservasi karya masyarakat.

Sebagai bentuk rasa kebersamaan yang diawali dengan kegiatan tanam massal, KDTK,

K2LPR serta MKK mencoba mempresentasikan konsep-konsep yang telah ada dan

mencari irisan kesamaan konsep. Pada intinya, tujuan dari ketiga konsep tersebut

terdapat kesamaan, namun ijin menebang kayu kampung di dalam konsep MKK memang

masih belum bisa diakomodir. Dukungan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten

Bogor pun dijelaskan melalui program kerja PemKab Bogor dalam menghijaukan kawasan

tapi juga memperhatikan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Sebagai

output bersama, diakhir kegiatan berhasil dirumuskan sebuah DEKLARASI BERSAMA

Membangun Kawasan Konservasi Secara Kolaborasi Menuju Hutan Halimun Salak Lestari,

Masyarakat Mandiri. Deklarasi ini sebagai landasan bersama membangun kolaborasi

dalam menyusun kesepakatan pengelolaan zona khusus TNGHS berupa Rencana Tata

Ruang Kesepakatan (RTRK) secara tertulis. Semua persoalan yang terjadi di kawasan

TNGHS harus diselesaikan secara kolaborasi dan melibatkan masyarakat setempat.

B.5. Dialog dan Negosiasi

Proses dialog dan negosiasi mulai dilakukan dengan Kantor Seksi Bogor pada tanggal 22

Desember 2009 diawali dengan sharing konsep KDTK dan K2LPR serta memupuk rasa

saling percaya. Rancangan kerja bersama menjadi materi pembicaraan yang disepakati.

RMI dan TNGHS Seksi Bogor bersepakat bahwa program menuju pengakuan KDTK dan

Page 9: FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

9

K2LPR serta program Kampanye Bangga Hutan Halimun Lestari, Masyarakat Mandiri

menjadi pekerjaan bersama dan saling mendukung satu sama lain.

Kunci kebersamaan antara TNGHS dan Masyarakat adalah KOLABORASI. Kolaborasi yang

masih multi interpretatif menjadi bahan diskusi yang cukup menarik. Rancangan zonasi

yang dibangun oleh TNGHS mengundang RMI dan NGO lainnya serta masyarakat untuk

ikut urun rembug memberi masukan. Diskusi audiensi diterima pada tanggal 1 Desember

2009 di Kantor Balai TNGHS di Kabandungan, Sukabumi. Rancangan zonasi ini akan

sangat berpengaruh terhadap peluang pengakuan KDTK dan K2LPR. Maka menjadi sangat

penting RMI ikut serta di dalam proses rancangan zonasi tersebut. Pertemuan pertama

menghasilkan kesepakatan untuk menyusun road map yang ideal, mulai dari pra zonasi,

during zonasi hingga pre zonasi. Kesepakatan ini kemudian diikuti dengan diskusi-diskusi

di RMI beserta NGO lain untuk mengkoordinasikan rencana tindak lanjut. Beberapa kali

pertemuan di gelar untuk menyatukan pendapat dan pemahaman terhadap rancangan

zonasi TNGHS yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan TNGHS. Dari

pertemuan-pertemuan ini dihasilkan road map yang ideal untuk mendapatkan zonasi

TNGHS yang disepakati dan dihormati bersama oleh berbagai pihak.

Pertemuan kedua dilakukan pada tanggal 23 Desember 2009 yang agendanya adalah

sharing road map hasil diskusi RMI dan NGO lainnya, serta sharing hasil verifikasi peta

zonasi yang dilakukan oleh TNGHS. Peta zonasi yang telah ada akan berlanjut ke arah

konsultasi publik dan masukan-masukan pada saat konsultasi publik akan merevisi peta

zonasi sebelumnya. Proses konsultasi publik dilakukan di Sukabumi (18 Maret 2010) dan

Bogor (23 Maret 2010). Kegelisahan masyarakat diijinkan atau tidak dalam memanfaatan

kayu kampung masih belum mendapatkan kepastian. Hingga akhirnya BTNGHS dengan

mengundang mitra kerja nya (RMI, JKPP, JEEF, PEKA dan PILI) bisa bertemu dengan Kepala

Bagian Pemolaan (PHKA) untuk sharing rencana konsultasi publik pada tanggal 12 Maret

2010. Salah satu poin kesimpulan adalah tentang diperbolehkannya masyarakat untuk

menebang kayu lokal yang dibudidayakan masyarakat dengan mekanisme kesepakatan

yang dituangkan di dalam MoU Pengelolaan zona khusus.

Proses dialog menyamakan pandangan terhadap konsep dan aturan main pengelolaan

KDTK dan K2LPR di zona khusus terus dilakukan, baik bertatap muka langsung maupun

melalui media komunikasi lainnya seperti telp dan email. Perwakilan dari KSM

Nyungcung dan Kelompok Tani Sekarsari Parigi turut hadir di dalam proses dialog dan

negosiasi yang dilakukan secara intensif pada bulan April hingga Mei 2010.

B.6. Ground Check.

Kegiatan ground check pada dasarnya direncanakan untuk melihat bersama-sama titik

batas KDTK dan K2LPR. Meskipun peta partisipatif yang difasilitasi RMI sudah ada, pihak

TNGHS perlu melakukan validasi titik koordinat lokasi. Namun ini tidak terjadi, karena

data titik korodinat hasil pemetaan partisipatif ternyata dapat digunakan langsung oleh

pihak TNGHS untuk di overlay di peta zonasi TNGHS. Ini merupakan salah satu bentuk

kepercayaan yang dibangun antara RMI, Masyarakat dan TNGHS.

Page 10: FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

10

B.7 Penyusunan Regulasi Fungsi Ruang dalam PSDHBM

Penyusunan draft regulasi fungsi ruang dalam bentuk perjanjian kerjasama dimulai secara

intensif sejak bulan April 2010. Proses penyusunan draft perjanjian kerjasama dilakukan

di tingkat masyarakat, kantor Seksi Bogor – TNGHS dan BTNGHS. Tiga hal yang menjadi

titik berat usulan masyarakat, yaitu:

1. Waktu perjanjian kerjasama. Pada perjanjian kerjasama MKK, umumnya ada batasan

waktu perjanjian kerjasama. Salah satu interpretasi dari batasan waktu ini adalah,

masyarakat hanya diijinkan mengelola wilayah nya dengan waktu yang ditetapkan

(biasanya 3 – 5 tahun). Usulan dari masyarakat adalah waktu yang dituagkan di

dalam perjanjian kerjasama seharusnya hanya menunjukkan waktu pelaksanaan

evaluasi program. Dari hasil evaluasi tersebut nantinya akan menjelaskan apakah

konsep KDTK dan K2LPR bisa terimplementasi dengan baik atau tidak.

2. Perihal perjanjian kerjasama yang diusulkan bukan dengan nama MKK, melainkan

dengan nama lokal KDTK dan K2LPR.

3. Perijinan memanfaatkan kayu kampung juga diharapkan dapat dituangkan di dalam

perjanjian kerjasama. Hal ini untuk memastikan bahwa warga Nyungcung dan Parigi

dapat memanfaatkan kayu kampung yang telah dibudidayakan sesuai dengan aturan

yang disepakati bersama. Misalnya pemanfaatan kayu hanya boleh dilakukan pada

pohon yang berdiameter lebih dari 15 cm dan setiap kali menebang pohon, harus

ditanami kembali dengan 5 bibit pohon.

Proses penyusunan regulasi di tingkat masyarakat juga sekaligus mendetailkan kembali

aturan main pengelolaan ruang zona khusus di Kampung Nyungcung dan Kampung Parigi.

Seperti halnya terdapat tambahan ruang berupa hutan komunal dengan nama

leuweung/lumbung sarerea yaitu areal Pinus yang akan dikelola menjadi hutan rakyat

yang dialokasikan sebagai cadangan kebutuhan kayu untuk membangun fasilitas umum.

Begitu pula dengan kelembagaan yang akan “mengawal” impelementasi KDTK dan K2LPR.

KSM Nyungcung dan Kelompok Tani Sekarsari Parigi dipastikan lembaga lokal yang akan

akan mengawal KDTK dan K2LPR.

Poin-poin penting masyarakat kemudian di hasilkan draft perjanjian kerjasama yang

diusulkan ke TNGHS Seksi Bogor dan BTNGHS. Kunjungan ke TNGHS Seksi Bogor (27 Mei

2010) dan BTNGHS (31 Mei 2010) merupakan waktu negosiasi sekaligus

mempresentasikan kembali konsep KDTK dan K2LPR serta draft usulan perjanjian

kerjasama antara BTNGH dan Masyarakat Nyungcung dan Parigi. Dengan adanya

pergantian kepala BTNGHS, RMI dan Masyarakat “memanfatkan” waktu negosiasi

tersebut juga dengan silaturahmi sekaligus memperkenalkan diri.

Mekanisme monitoring dan evaluasi tidak sampai dibahas secara detail. Untuk waktu

monitoring dan evaluasi disepakati setiap minimal satu tahun sekali.

Setelah melewati berbagai diskusi, pihak BTNGHS menyebutkan bahwa bentuk perjanjian

kerjasama antara BTNGHS dan KSM Nyungcung serta KTS Parigi ini unik. Dan pada

Page 11: FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

11

dasarnya rasa saling percaya sudah terbangun. Namun karena perjanjian kerjasama ini

secara hukum harus bersifat universal dan bisa digunakan di lokasi lain, maka poin

penting tentang batasan waktu perjanjian kerjasama dan pencantuman diijinkan nya

masyarakat memanfaatkan kayu kampung dengan aturan yang disepakati terpaksa tidak

bisa dicantumkan di dalam Perjanjian Kerjasama. Namun akan dicantumkan di dalam

dokumen arahan program atau di dalam konsep KDTK dan K2LPR. Negosiasi ini pun bisa

diterima oleh masyarakat yang tertantang untuk memanfaatkan kawasan zona khusus

sesuai dengan aturan main yang disepakati.

B.8 Penandatanganan MoU

Pelaksanaan penandatanganan Perjanjian Kerjasama ini dilaksanakan pada tanggal 22

Juni 2010. Dokumen Perjanjian Kerjasama yang dilampirkan dengan konsep Pengelolaan

KDTK dan K2LPR. Perjanjian kerjasama KDTK ditandatangani oleh Ketua KSM Nyungcung

dan Kepala BNTGHS serta diketahui oleh Direktur Kawasan Konservasi. Dan K2LPR

ditandatangani oleh Ketua Kelompok Tani Sekarsari Prigi dan Kepala BNTGHS serta

diketahui oleh Direktur Kawasan Konservasi.

Selama persiapan berlangsung, Kepala BTNGHS siap hadir dan menandatangani Perjanjian

Kerjasama tersebut. Namun pada pelaksanaannya, Kepala BTNGHS tidak bisa hadir

karena harus mengikuti diskusi tim penyidik terkait dengan penyelesaian kasus

pembangunan Villa di TNGHS. Sebagai penggantinya adalah Kepala Seksi Bogor – TNGHS

yang secara fisik hadir untuk memberi paraf. Dokumen Perjanjian Kerjasama akan tetap

ditandatangani oleh Kepala BTNGHS dan Direktur Kawasan Konservasi.

Sebagai bentuk simbolisasi KOLABORASI ini telah terbangun, serah terima bibit dari

masyarakat dan BTNGHS pun dilakukan. Bibit kayu dari TNGHS diserahkan kepada

masyarakat, dan bibit buah dari masyarakat kepada TNGHS.

Penandatangan Perjanjian Kerjasama ini dihadiri oleh masyarakat, perwakilan kelompok

tani, BNTGHS, TNGHS Seksi Bogor dan Resort Gunung Botol, Pemerintah Desa, Kecamatan

Nanggung dan RMI. Pengumumam pemenang lomba petisi perempuan dan pentas seni

lagu-lagu konservasi pun dilantunkan selama proses penandatanganan Perjanjian

Kerjasama ini berlangsung. PoinPlus Band bersama para pencipta lagu-lagu konservasi

Halimun secara langsung menyanyikan secara bersama-sama.

Penandatangan Perjanjian kerjasama merupakan titik awal proses Kolaborasi dibangun.

Kolaborasi dan kebersamaan di berbagai kegiatan merupakan perwujudan dari rasa saling

percaya antara masyarakat dan BTNGHS. Masih banyak tantangan bagi kedua belah

pihak untuk bersama-sama mengimplementasikan rencana tata ruang kesepakatan yang

telah disepakati, yaitu konsep KDTK dan K2LPR.

Page 12: FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan (BROP) dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan

12

III. Pembelajaran dan Rekomendasi

Proyek yang berlangsung selama 10 (sepuluh) bulan ini berjalan efektif 8 (delapan) bulan.

Tantangan besar mengelola proyek yang juga melibatkan pihak lain. Berikut adalah beberapa

pembelajaran penting selama proyek ini berlangsung :

1. Stigmatisasi bahwa RMI adalah “anak nakal” yang tidak pernah mau duduk bersama dengan

TNGHS selalu disebutkan sebelum proyek ini berlangsung. Komunikasi, koordinasi dan

negosiasi merupakan kunci untuk merubah image bahwa RMI dan masyarakat tidak bisa

berkolaborasi dengan pemangku kepentingan di Halimun. Komunikasi intensif merupakan

bentuk aktivitas yang strategis dalam memupuk rasa kepercayaan dengan berbagai pihak

2. Tingkat pengetahuan dan pemahaman yang berbeda di tingkatan TNGHS tentang kolaborasi,

konservasi untuk kesejahteraan manusia, zona khusus juga menjadi tantangan lain yang harus

diminimalisir selama proses negosiasi dibangun. Peningkatan kapasitas para staff TNGHS ini

menjadi penting untuk dilakukan

3. Situasi politik dan dinamika konflik yang terjadi merangsang berbagai pihak untuk secara

intensif mengikuti perkembangan yang terjadi dan berupaya mengintervensi situasi tersebut

untuk kepentingan terakomodirnya kebutuhan masyarakat. Pengawalan perkembangan

zonasi TNGHS, khususnya zona khusus hingga konsultasi publik zonasi TNGHS menjadi agenda

RMI bersama LSM lain yang bekerja di Kawasan TNGHS. Karena ini akan berdampak pada di

ruang mana masyarakat bisa diakomodir di zonasi TNGHS serta mekanisme seperti apa yang

akan diterapkan di dalam ruang kesepakatan tersebut.

4. Pergantian Kepala BTNGHS pun menjadi tantangan sendiri untuk memahami karakter kepala

BTNGHS yang baru. Proses diskusi dan negosiasi yang berlangsung sebelumnya akan menjadi

acuan menilai kepala BTNGHS yang baru. Komunikasi yang intensif serta penggalian

informasi tentang Kepala BTNGHS yang baru menjadi kegiatan intensif pasca serah terima

jabatan.

5. Pasca penandatangan Perjanjian Kerjasama ini perlu dilakukan monitoring

pengimplementasian konsep KDTK dan K2LPR serta bentuk-bentuk dukungan yang diberikan

oleh BTNGHS dan Pemerintah Kabupaten Bogor serta pihak lainnya terhadap kawasan zona

khusus yang dikelola secara legal dan tertulis oleh masyarakat langsung.

6. Dinamika kelembagaan RMI turut mewarnai seluruh proyek yang dikelola oleh RMI.

Pergantian Koordinator Proyek dan tidak adanya proses tranferisasi data dan informasi dari

koordinator sebelumnya membuat Koordinator Proyek yang baru dan tim proyek harus

bekerja keras menyesuaikan waktu kerja yang telah disepakati sebelumnya. Begitu pula

dengan situasi internal yang turut berkontribusi memperlambat kinerja penyelesaian proyek.

Tantangan tersendiri bagi Koordinator Proyek untuk membagi waktu dan konsentrasi dalam

penyelesaian proyek.