Upload
bagus-oka
View
103
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PROPOSAL PENELITIAN GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN
DAN PENERAPAN PENANGANAN GIGITAN HEWAN PENULAR
RABIES PADA KEPALA KELUARGA WILAYAH DESA
TEGALLALANG, KECAMATAN TEGALLALANG, KABUPATEN
GIANYAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gigitan anjing merupakan faktor predisposisi terjadinya kasus rabies di
masyarakat. Rabies adalah penyakit viral yang menginfeksi sistem saraf
pusat (SSP) pada hewan yang berdarah panas dan manusia, menyebabkan
enchephalomyelitis akut dan hampir semua kejadian infeksinya berakhir
dengan kematian. Virus rabies sangat peka terhadap zat pelarut lemak
(seperti sabun, ether, chloroform, acetone), ethanol, dan jodium, virus ini
juga cepat rusak apabila terkena sinar matahari terutama sinar ultraviolet.
Sifat virus rabies lainnya adalah relatif stabil pada pH 5-10, mati pada pH 3,
mati pada suhu 56 0C selama 30 menit. Di laboratorium, virus rabies sangat
mudah mati dengan pemberian beta propiolactone.1,2
Kejadian rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Provinsi
Jawa Barat. Rabies pertama kali dilaporkan terjadi di Cirebon oleh Esser
pada tahun 1884. Dari Jawa Barat, rabies selanjutnya menyebar secara
berantai ke seluruh Indonesia. Sampai saat ini rabies telah bersifat endemik
di 24 provinsi, dan Bali merupakan provinsi terakhir yang tertular rabies.3,4
Penularan dan penyebaran rabies di Indonesia hampir 90% terjadi melalui
gigitan anjing, sedangkan di luar negeri dapat melalui kelelawar, rubah,
musang, cerpelai. Setelah terjadi gigitan hewan penderita rabies, masa
inkubasinya biasanya 14 sampai 90 hari tetapi bisa mencapai 2 tahun,
tergantung jarak masuknya virus ke otak penderita. Terjadinya infeksi pada
jaringan saraf dan non saraf yang secara bersamaan menyebabkan hewan
yang terinfeksi rabies bisa menunjukan agresifitas sekaligus terjadi pasase
1
virus kedalam saliva.5 Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kasus
gigitan oleh hewan penular rabies dan sekaligus penularan virus rabies
kepada korban gigitannya.
Begitu mulai muncul gejala klinis, baik pada hewan maupun pada manusia,
penderita akan berakhir dengan kematian. Kematian umumnya disebabkan
oleh tidak adanya perlakuan atau kurangnya perlakuan yang baik (post
exposure treatment) dari korban yang terkena Rabies. Tindakan vaksinasi
dan pemberian serum anti rabies sebagai tindakan post exposure treatment
(PET) telah meningkatkan keberhasilan pengobatan bagi korban terutama
manusia yang terkena gigitan dan berisiko.
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies,
penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal
jantung dan gagal nafas. Oleh karena itu diperlukan tindakan yang efektif
dan efisien baik pemberian profilaksis pra pajanan maupun pasca pajanan,
sehingga akibat buruk akibat virus ini dapat diminimalkan.
Sejak bulan Nopember 2008 saat pertama kali Bali dinyatakan terjangkit
rabies, sampai akhir bulan November 2010, kematian akibat rabies
mencapai 110 orang dan jumlah gigitan hewan penular rabies (HPR)
mencapai 71.543 gigitan (Sitrep November 2010).
Menurut data dari Dinas Peternakan Kecamatan Tegallalang, populasi
anjing peliharaan di Kecamatan Tegallalang pada tahun 2010 sebanyak 987
ekor. Berdasarkan data dari Puskesmas Tegallalang I penduduk Desa
Tegallalang pada tahun 2010 berjumlah 8315 jiwa, dan ini menempatkan
Desa Tegallalang sebagai desa dengan jumlah penduduk terbanyak di
Kecamatan Tegallalang.
Menurut data dari staf Penelusuran Epidemiologi Puskesmas Tegallalang I,
kasus gigitan anjing termasuk ke dalam 10 besar penyakit terbanyak pada
Puskesmas Tegallalang I yang menempati urutan keenam (7,47 %) pada
tahun 2010. Terdapat 359 (5,43%) kasus gigitan anjing dari total 6.611
kunjungan ke Puskesmas pada tahun 2012 dari bulan Januari – Oktober dan
577 (7,85%) kasus gigitan anjing dari total 7.350 kunjungan ke Puskesmas
2
selama tahun 2011 di wilayah kerja Puskesmas Tegallalang I (Desa
Tegallalang, Desa Kenderan, Desa Kedisan dan Desa Keliki). Pada tahun
2010 terdapat 677 (7,47%) kasus gigitan HPR dari total 9.065 kunjungan ke
Puskesmas. Dari 677 kasus gigitan anjing selama tahun 2010 tersebut
sebanyak 3 kasus kematian dinyatakan positif rabies, ketiga kasus rabies
tersebut terjadi di Desa Tegallalang, yaitu 1 korban berasal dari Banjar
Abangan dan 2 korban berasal dari Banjar Gentong. Adanya 3 kasus
kematian akibat rabies tersebut menjadikan rabies sebagai kejadian luar
biasa di Desa Tegallalang. Selanjutnya dilaporkan pada bulan Januari tahun
2011, terdapat 1 kasus kematian akibat rabies yang dialami oleh anak laki-
laki umur 12 tahun di Banjar Bayad, Desa Kedisan.
Menurut data laporan kematian/kejadian luar biasa di Puskesmas Tegalalang
I, ketiga korban meninggal tersebut sebelumnya tidak mencari pengobatan
awal ke puskesmas ataupun praktek kesehatan swasta. Alasan korban tidak
mencari pengobatan pada laporan kasus kematian adalah korban merasa
lukanya hanya luka kecil dan tidak perlu diobati, cukup dengan air hangat
saja. Hal ini merupakan tindakan yang terbukti fatal, karena dengan tidak
mendapat penanganan awal gigitan hewan penular rabies dan pemberian
VAR, ketiga orang tersebut akhirnya menunjukkan gejala infeksi rabies
yang berujung pada kematian.
Adanya kasus kematian akibat rabies di wilayah kerja Puskesmas
Tegallalang I, dimana tiga orang korbannya merupakan penduduk desa
Tegallalang, laporan kematian korban yang menunjukkan bahwa
pengetahuan dan sikap korban untuk mencari penanganan pertama gigitan
hewan penular rabies yang masih minimal. Meskipun ketersediaan VAR
yang sudah tersedia sejak tahun 2009 dan program penyuluhan mengenai
rabies sudah dijalankan, namun tampaknya sebagian besar masyarakat
belum memahami sepenuhnya tentang penanganan awal gigitan hewan
penular rabies.
Hasil survey kami terhadap 15 pasien di poli umum mengenai pengetahuan
mereka tentang penanganan rabies, menunjukkan jika dari 15 pasien dewasa
3
tersebut, hanya empat orang yang mengerti mengenai rabies, penanganan
awal, dan VAR. Sebelas orang sisanya tidak mampu memberikan penjelasan
yang baik mengenai penanganan awal rabies dan apa itu VAR. Menurut
kesimpulan kami jumlah ini menunjukkan pengetahuan masyarakat yang
belum baik dan belum merata. Berdasarkan hasil survey cepat tersebut,
maka kami tertarik untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan penerapan
penanganan gigitan hewan penular rabies pada kepala keluarga wilayah desa
Tegalalang.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah tingkat pengetahuan dan penerapan penanganan gigitan
anjing dalam pencegahan penularan rabies pada kepala keluarga di desa
Tegallalang, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan penerapan penanganan
gigitan anjing dalam pencegahan penularan rabies pada kepala
keluarga di Desa Tegallalang, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten
Gianyar.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.1.1 Untuk mengidentifikasi sejauh mana pengetahuan penanganan
gigitan anjing dalam pencegahan penularan rabies kepala
keluarga di wilayah Desa Tegallalang, Kecamatan Tegalalang,
Kabupaten Gianyar.
1.3.1.2 Untuk mengidentifikasi sejauh mana penerapan pengetahuan
penanganan gigitan anjing dalam pencegahan penularan rabies
pada kepala keluarga di Desa Tegallalang, Kecamatan
Tegalalang, Kabupaten Gianyar.
4
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Dapat dipergunakan sebagai bahan evaluasi mengenai gambaran
tingkat pengetahuan dan penerapan penanganan gigitan anjing dalam
pencegahan rabies pada penduduk wilayah Desa Tegallalang,
Kecamatan Tegallalang, Kbaupaten Gianyar.
1.4.2 Dapat dipergunakan sebagai bahan pustaka, informasi dan referensi
untuk penelitian selanjutnya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indra manusia, sebagian besar diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang.7
Sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri
orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu :
Awareness, (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
Interest, yaitu orang mulai tertarik kepada stimulus.
Evaluation, menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.
Adoption, dimana subjek telah perilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.7
Pengetahuan yang cukup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat
yaitu :
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau dirangsang yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan
tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2) Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai sesuatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
6
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan dan menyebutkan.
3) Aplikasi (Aplication)
Diartikan sebagai sesuatu kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
4) Analisis (Analysis)
Diartikan sebagai sesuatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
sesuatu objek ke dalam sesuatu komponen–komponen, tetapi masih di
dalam suatu struktur organisasi. Dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti
dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan
sebagainnya.
5) Sintesis (Synthesis)
Sintesis yang menunjukan kepada sesuatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian–bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.7
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan
1) Umur
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat
berulang tahun semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.
2) Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap orang
lain menuju ke arah suatu cita–cita tertentu, jadi dapat dikatakan bahwa
pendidikan itu menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi
7
kehidupannya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin mudah menerima informasi
sehingga semakin banyak pula menerima pengetahuan yang dimilikinya.
3) Pekerjaan
Pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupan dan kehidupan keluargannya.
4) Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi terlalu rendah sehingga tidak begitu memperhatikan
pesan-pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan kebutuhan-
kebutuhan lain yang lebih mendesak.7
2.2. Penyakit Rabies
Epidemiologi
Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Esser pada tahun
1884 pada seekor kerbau, kemudian oleh Pening tahun 1889 pada seekor
anjing, dan Eilerls de Zhaan pada tahun 1894 pada manusia. Semua kasus
ini terjadi di Cirebon, Jawa Barat, dan setelah itu menyebar ke daerah lain di
Indonesia.8
Selama kurun waktu dua tahun terakhir ini, Bali menempati urutan teratas
dalam kasus rabies di Indonesia. Di Bali kasus rabies pertama muncul pada
14 November 2010, menimpa seorang warga banjar Giri Darma, Desa
Unggasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Data terakhir
menyebutkan, tahun 2012 ini empat desa di Bali masih dikategorikan
sebagai desa penularan rabies. Namun kata Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Bali, Putu Sumantra, jumlah rabies di bali menurun lebih
dari 70% dibanding tahun 2010. Penurunan ini bukan berarti kasusnya telah
habis. Keempat desa yang masih dikategorikan sebagai desa penularan
rabies antara lain dua desa di Kabupaten Jembrana, satu desa di Kabupaten
Bangli, dan satu desa di Kabupaten Klungkung. Sejak wabah rabies
merebak di Bali pada akhir tahun 2008, sudah 124 warga tewas akibat virus
8
anjing gila ini. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, namun rabies
masih sulit dikendalikan.9
Etiologi dan Vektor
Rabies disebabkan oleh virus rabies yang masuk keluarga Rhabdoviridae
dan genus Lysavirus. Karakteristik utama virus keluarga Rhabdoviridae
adalah hanya memiliki satu utas negatif RNA yang tidak bersegmen. Virus
ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara
penularan. Spesies hewan perantara bervariasi pada berbagai letak geografis.
Hewan-hewan yang diketahui dapat menjadi perantara rabies antara lain,
rakun (Procyon Lotor) dan sigung (Memphitis memphitis) di Amerika
Utara, rubah merah (Vulpes vulpes) di Eropa, dan anjing di Afrika, Asia,
dan Amerika Latin. Hewan perantara menginfeksi inang yang bisa berupa
hewan lain atau manusia melalui gigitan. Infeksi juga dapat terjadi melalui
jilatan hewan perantara pada kulit yang terluka. Setelah infeksi, virus akan
masuk melalui saraf-saraf menuju ke sumsum tulang belakang dan otak dan
bereplikasi di sana. Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf ke
jaringan non saraf, misalnya kelenjar liur, dan masuk ke dalam air liur.
Hewan yang terinfeksi bisa mengalami rabies buas/ganas ataupun rabies
jinak/tenang. Pada rabies buas/ganas, hewan yang terinfeksi tampak galak,
agresif, menggigit, dan menelan segala macam barang; air liur terus
menetes, meraung-raung gelisah, kemudian menjadi lumpuh dan mati. Pada
rabies jinak/tenang, hewan yang terinfeksi mengalami kelumpuhan lokal
atau kelumpuhan total, suka bersembunyi di tempat gelap, mengalami
kejang dan sulit bernafas, serta menunjukkan kegalakan.8,9,10
Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan melalui hirupan udara
yang tercemar virus rabies. Dua pekerja laboratorium telah mengkonfirmasi
hal ini setelah mereka terekspos udara yang mengandung virus rabies. Pada
tahun 1950, dilaporkan dua kasus rabies terjadi pada penjelajah gua di Frio
Cave, Texas, yang menghirup udara dimana ada jutaan kelelawar hidup di
tempat tersebut. Mereka diduga tertular lewat udara karena tidak ditemukan
sama sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar.8
9
Manifestasi Klinis
Gejala rabies biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah
terinfeksi. Masa inkubasi virus hingga munculnya penyakit adalah 10-14
hari pada anjing tetapi bisa mencapai 9 bulan pada manusia. Bila disebabkan
oleh gigitan anjing, luka yang memiliki resiko tinggi meliputi infeksi pada
mukosa, luka di atas daerah bahu (kepala, muka, leher), luka pada jari
tangan atau kaki, luka pada kelamin, luka yang lebar dan dalam, dan luka
yang banyak. Sedangkan luka dengan resiko rendah meliputi, jilatan pada
kulit yang luka, garukan atau lecet, serta luka kecil di sekitar tangan, badan,
dan kaki. Gejala sakit yang dialami seseorang yang terinfeksi rabies
meliputi 4 stadium:8
1. Stadium Prodormal
Dalam stadium ini sakit yang timbul pada penderita tidak khas, yang
menyerupai infeksi virus pada umumnya, yang meliputi demam, sulit
makan yang menuju taraf anoreksia, pusing, mual, dan lain sebagainya.
2. Stadium Sensoris
Pada stadium ini penderita umumnya akan mengalami rasa nyeri pada
daerah luka gigitan, panas, gugup, kebingungan, hipersalivasi, dilatasi
pupil, hiperhidrosisi, hiperlakrimasi.
3. Stadium Eksitasi
Pada stadium ini penderita menjadi gelisah, mudah kaget, kejang-
kejang setiap ada rangsangan dari luar sehingga terjadi ketakutan pada
udara (aerofobia), ketakutan pada cahaya (fotofobia), dan ketakutan air
(hidrofobia). Kejang-kejang terjadi akibat adanya gangguan daerah otak
yang mengatur proses menelan dan pernafasan. Hidrofobia yang terjadi
pada penderita rabies terutama karena adanya rasa sakit yang luar biasa
di kala berusaha menelan air.
4. Stadium Paralitik
Pada stadium paralitik setelah melalui ketiga stadium sebelumnya,
penderita akan menunjukkan tanda kelumpuhan dari bagian atas tubuh
ke bawah yang bersifat progresif.
10
Karena durasi penyebaran penyakit yang cukup cepat, maka pada umumnya
keempat stadium di atas tidak dapat dibedakan dengan jelas. Gejala-gejala
yang tampak jelas pada penderita di antaranya adanya nyeri pada luka bekas
gigitan dan ketakutan pada air, udara, dan cahaya, serta suara yang keras.
Sedangkan pada hewan yang terinfeksi, gejala yang tampak adalah dari
jinak menjadi ganas, hewan peliharaan menjadi liar dan lupa jalan pulang,
serta ekor dilengkungkan ke bawah perut.8,10
2.3. Pencegahan Gigitan Anjing
Anjing merupakan peliharan domestik dan keluarga yang banyak diminati.
Sehingga jumlah populasi binatang ini semakin meningkat di dunia,
sehingga perlu sekali adanya panduan untuk mencegah gigitan anjing.
Pencegahan dapat dimulai dari kejelian pemilihan jenis anjing saat akan
dipelihara dan edukasi terhadap anak kecil berumur di bawah 14 tahun dan
orangtua. Sebab angka tertinggi gigitan anjing pada anak dengan usia
dibawah 14 tahun. Sedangkan beberapa jenis ras anjing memiliki tingkat
agresifitas yang berbeda-beda. Anjing seperti pit bul, chow-chow, bull
terrier, dan collie memiliki tingkat agresifitas tinggi dan tingkat penyerang
yang tinggi. Anjing seperti dalmation, boxer, spaniel, dan labrador memiliki
tingkat agresifitas yang rendah dan cocok sebagai anjing keluarga.11
Ada beberapa sikap yang perlu diperhatikan untuk mencegah adanya gigitan
anjing:
Jangan pernah mendekati anjing yang tidak dikenali.
Jangan pernah lari ataupun menjerit di depan anjing.
Cobalah untuk berpura-pura seperti “pohon”, ketika didekati oleh
anjing.
Jika dicoba untuk diserang, mencobalah untuk tenang dan nampak
seperti “batang kayu”.
Hindari anak-anak untuk bermain dnegan anjing tanpa didampingi
orangtua.
Segera laporkan jika ada anjing yang tersesat ataupun nampak bersikap
aneh.
11
Hindari kontak langsung mata dnegan anjing.
Jangan ganggu anjing yang sedang makan, tidur, ataupun sedang
merawat anaknya.
Jangan pelihara anjing tanpa membiarkan anjing tersebut membaui anda
terlebih dahulu.
Beritahukan anak-anak agar melaporkan jika adnaya gigitan anjing
kepada orang dewasa sesegera mungkin.11
Dalam menanggulangi penularan rabies, selain mencegah adanya transmisi
rabies dari binatang melalui gigitan, beberapa langkah lainnya juga
dilakukan. Seperti adanya edukasi untuk kesehatan masyarakat mengenai
rabies. Tindakan esensial yang perlu dilakukan adalah edukasi terhadap
masyarakat mengenai rabies, pertanggungjawaban dari pemilik hewan
peliharaan jika peliharannya menggigit orang lain, dan vaksin serta
perawatan hewan berkala. Peningkatan adanya paparan rabies terhadap
binatang dan manusia dapat dicegah melalui peningkatan kesadaran
mengenai: rute transmisi rabies, menghindari kontak dengan hewan liar,
ikuti perawatan hewan peliharaan secara berkala. Pengenalan dan laporan
dini mengenai kemungkinan terpaparnya rabies, kepada profesi medis dan
pemegang otoritas kesehatan masyarakat sangatlah penting.12
Langkah lain yang dapat dilakukan adalah eliminasi paparan terhadap
binatang dan manusia dengan menyediakan terapi dini berupa perawatn luka
dan administrasi dari vaksin rabies. Dilakukannya vaksinasi terhadap hewan
peliharan terutama anjing juga sangatlah penting untuk dilakukan.12
2.4. Penanganan Gigitan Anjing
Gigitan merupakan segala penetrasi ke dalam kulit oleh gigi dimana
terdapat paparan terhadap suatu gigitan. Semua gigitan memiliki resiko
yang potensial, akan tetapi tergantung dari spesies binatang yang menggigit,
lokasi anatominya, dan tingkat keparahan dari luka. Salah satu gigitan yang
berbahaya adalah gigitan anjing, sebab saliva atau air liur anjing
12
mengandung berbagai jenis virus dan bakteri yang dapat menimbulkan
penyakit. Salah satunya adalah virus rabies.13
Kementerian Kesehatan Indonesia memiliki tiga pesan utama yang terdiri
dari:14
1. Hindari Gigitan Anjing. Kandangkan anjing dan lindungi anak-anak
dari risiko tergigit anjing.
2. Pertolongan pertama pada gigitan hewan penular rabies (HPR) yaitu:
a. Cuci luka dengan sabun/deterjen menggunakan air mengalir selama
10-15 menit.
b. Berikan desinfektan atau antiseptik.
c. Segera berobat ke Puskesmas/Rabies Center atau sarana kesehatan
lainnya untuk mendapatkan pertolongan dan pengobatan.
3. Pemeliharaan kesehatan anjing peliharaan dengan pemeriksaan rutin ke
dokter hewan dan vaksinasi.
Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan cepat
dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang
masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka
gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau detergent selama
10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat
merah dan lain-lain). Meskipun pencucian luka menurut keterangan
penderita sudah dilakukan namun di Puskesmas Pembantu/ Puskesmas/
Rumah Sakit harus dilakukan kembali seperti di atas. Luka gigitan tidak
dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu sekali
untuk dijahit (jahitannya berupa jahitan situasi), maka diberi Serum Anti
Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di
sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra
muskuler. Disamping itu harus dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian
serum/vaksin anti tetanus, antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian
analgetik.11,14,15
13
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di desa Tegallalang, Kecamatan Tegallalang,
Kabupaten Gianyar wilayah kerja Puskesmas Tegallalang I, pada tanggal 26
November 2012 – 29 Desember 2012.
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif kuantitatif dengan
pendekatan cross sectional untuk mengetahui tingkat pengetahuan
penanganan gigitan anjing dalam mencegah penularan rabies pada
penduduk wilayah Desa Tegallalang, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten
Gianyar.
14
Penduduk
- Umur
- Jenis Kelamin
- Sosioekonomi
- Tingkat Pendidikan
Tingkat pengetahuan penanganan gigitan anjing dalam pencegahan penularan rabies
Penerapan pengetahuan penanganan gigitan anjing dalam pencegahan penularan rabies
- Penyuluhan
- Media Informasi Skup Penelitian
3.4. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah kepala keluarga di desa Tegalalang,
Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Giayar pada tahun 2012 berjumlah 4583
orang.
3.5. Besar Sampel
Dihitung menggunakan rumusan : = 60
Prevalensi yang diperoleh sebesar 20% ± 10% = 10% - 30%. Jika dihitung
nilai NxP, akan didapatkan minimal 10% x 60 = 6 dan maksimal 30% x 60
= 18. Nilai keduanya lebih besar dari 5. Dengan demikian, besar sampel
sebesar 60 boleh digunakan karena memenuhi syarat besar sampel untuk
penelitian deskriptif.
3.6. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara multistage sampling. Desa
Tegalalang terdiri atas 11 banjar. Dari sebelas banjar, pemilihan banjar
dirandom. Seluruh KK pada banjar yang terpilih akan diacak sederhana lagi,
untuk menentukkan KK yang terpilih untuk menjadi responden sebanyak
60. Jika pada banjar yang terpilih belum memenuhi jumlah sampel sebanyak
60, maka akan dipilih banjar lain untuk memenuhi kekurangannya.
3.7. Variabel Penelitian
Tingkat pengetahuan penanganan gigitan anjing untuk pencegahan
penularan Rabies :
15
n = jumlah sampel diperlukan
z = 1,96 (α=0,05)
p = 20% , q = 80%
d = deviasi yang diinginkan 10%
Tingkat pengetahuan penanganan gigitan anjing untuk pencegahan
penularan Rabies
Perilaku penanganan gigitan anjing untuk pencegahan penularan Rabies
3.8. Definisi Operasional variable
Tingkat pengetahuan penanganan gigitan anjing untuk pencegahan
penularan rabies: Kemampuan yang dimiliki seorang responden dalam
menjawab kuisioner yang berkaitan dengan penanganan gigitan anjing
untuk pencegahan penularan rabies.
Penerapan pengetahuan penanganan gigitan anjing untuk pencegahan
penularan rabies: Konsistensi dalam menerapkan pengetahuan yang
dimiliki untuk penanganan gigitan anjing untuk pencegahan penularan
rabies.
3.9. Instrumen dan Alat Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah kuesioner dalam bentuk
wawancara terstruktur untuk memperoleh data kuantitatif.
3.10. Cara Pengumpulan Data
Data diperoleh dengan cara melakukan wawancara kepada responden,
sampel yang tidak dapat dihubungi, diganti dengan sampel lainnya yang
diambil secara acak. Wawancara dilakukan di rumah kediaman responden
dengan tidak adanya pihak ketiga agar tidak mempengaruhi jawaban.
3.11. Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan deskriptif dengan menskoring berdasarkan
pertanyaan yang dibuat dalam kuisioner kemudian dikategorikan ke dalam
tiga kategori, baik, sedang, dan buruk. Dari ketiga kategori ini kemudian
akan didistribusikan berdasarkan data demografi dari responden, yaitu
umur, jenis kelamin, sosioekonomi dan tingkat pendidikan. Kemudian data
16
tersebut akan didistribusikan kembali berdasarkan kategori penerapannya,
apakah diterapkan atau tidak.
3.12. Jadwal Penelitian
Kegiatan penelitian meliputi :
a. Persiapan : pembuatan proposal penelitian, pemilihan alat pengumpul
b. data, listing penduduk usia dewasa dan pemilihan sampel.
c. Pengumpulan data
d. Pengolahan data : editing, coding, data entry, data cleaning dan
analisis
e. data
f. Penulisan laporan
g. Presentasi laporan penelitian
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian
No Kegiatan Waktu (Minggu)
1 2 3 4 5
1 Persiapan/Pembuatan
Proposal
2 Perbaikan Proposal
3 Pelaksanaan
Penelitian
4 Analisis Data
5 Presentasi
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Bowen-Davies, J. and Lowings, P. (2000) Current perspectives on
rabies.1. The biology of rabies and rabies-related viruses. In practice,
March 2000, 118-124.
2. Kaplan, M.M. (1996) Safety Precautions in Handling Rabies Virus. Dalam
“Laboratory Techniques in Rabies”. Fourth Edition, Edited by F.X.
Meslin, M.M. Kaplan and H. Koprowski. World Health Organization,
Geneva, 1-8.
3. Corey, Lawrence (1999). “Rabies, Rhabdovirus, dan Agen Mirip-
Marburg”. In: Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13.
EGC. Jakarta.
4. Putra A. A. G., 2009. Tinjauan Ilmiah Upaya Pemutusan Rantai Penularan
Rabies Dalam Rangka Menuju Indonesia Bebas Rabies 2015. Buletin
Veteriner BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 75, Desember 2009.
5. M. Donal McGavin, James F. Zachary, (2007). Pathologic Basis of
Veterinary Disease. MOSBY ELSEVIER, 11830 Westline Industrial
Drive, St. Louis, Missouri 63146. pp. 887-890.
6. Bleck. TP. Rupprecht. CE. Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE,
Dollin R (Eds) (2000). “Mandell, Douglas and Bennet’s Principles and
Practice of Infectious Diseases”. 5th ed. Churchill Livingstone,
Philadelphia.
7. Shvoong. Anonim. Konsep Tingkat Pendidikan. 2010. Diunduh dari:
http://id.shvoong.com/humanities/linguistics/2053284-konsep-tingkat-
pengetahuan/ (akses: 18 Maret 2012).
8. Wikipedia. Rabies. 2012. Diunduh dari: http://wikipedia.com/rabies/html
(akses: 18 Maret 2012).
18
9. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Penyakit Rabies di Bali. Diunduh dari:
http://balimandara.co.id/penyakitrabies/html (akses: 18 Maret 2012).
10. Muftisany H. Rabies di Bali Turun 70 Persen. Diunduh dari:
http://republica.co.id (akses: 18 Maret 2012).
11. Presutti, John. Prevention and Treatment of Dog Bites. Am Fam
Physician. 2001;63(8):1567-1573.
12. Brown M, Catherine. Compendium of Animal Rabies Prevention and
Control, 2011. National Association of State Public Health Veterinarians,
Inc. 2001:1-16.
13. CDC. What Type of Exposure Occurred? 2011. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/rabies/ exposure/type.html (akses: 18 Maret 2012).
14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hari Rabies Sedunia 2010.
2010. Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-
release/1221-hari-rabies-sedunia-2010.html (akses: 18 Maret 2012).
15. CDC. Human Rabies Prevention-United States 2008. 2008. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr57e507a1.htm (akses: 18
Maret 2012).
19