34
PAPER DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI) Disusun oleh: Andri Nurfajar 09310297 Devi Haryati 09310056 Riyanto 09310172 Konsulen: dr. Surjit Singh, MBBS, Sp. F, DFM dr. Arwan, Sp. F KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

forensik dvi

Embed Size (px)

Citation preview

PAPERDISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)

Disusun oleh:Andri Nurfajar 09310297Devi Haryati 09310056Riyanto 09310172

Konsulen:dr. Surjit Singh, MBBS, Sp. F, DFMdr. Arwan, Sp. F

KEPANITERAAN KLINIK SENIORBAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK RSUD Dr. R. M. DJOELHAM KOTA BINJAIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI2015KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga referat yang berjudul Disaster Victim Identification (DVI) dapat terselesaikan dengan baik. Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik di RSUD Dr. R. M. Djoelham Kota Binjai.Kiranya dapat penulis kemukakan bahwa tidak mungkin referat ini dapat diselesaikan tanpa bantuan, dorongan serta kerjasama berbagai pihak dengan sepenuh hati, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada dr. Surjit Singh, MBBS, Sp. F, DFM dan dr. Arwan, Sp. F selaku konsulen SMF Ilmu Kedokteran Forensik RSUD Dr. R. M. Djoelham Kota Binjai.Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Karena itu penulis mohon maaf bila terdapat kesalahan di dalamnya. Penulis juga mengharapkan kiritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki kekurangan referat ini di kemudian hari. Akhir kata, semoga referat ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Atas perhatian yang diberikan, penulis mengucapkan terima kasih.

Binjai, April 2015

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1KATA PENGANTAR 2DAFTAR ISI 3BAB I PENDAHULUANLatar Belakang BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. Identifikasi 1. Definisi Identifikasi 2. Prinsip Identifikasi 3. Manfaat Identifikasi 4. Peran Dokter Pada Proses Identifikasi 5. Teknik Identifikasi Jenazah B. Disaster Victim Identification 1. Definisi DVI 2. Tahap DVI 3. Metode Identifikasi 4. Identifikasi Korban BAB III SIMPULANDAFTAR PUSTAKA

BAB IPENDAHULUAN

Latar Belakang Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.Kasus bencana alam maupun non-alam, pembunuhan, pemekorsaan, dan lain-lain, seringkali jenazah yang ditemukan sudah tidak berbentuk sehingga sangat sulit untuk mengenalinya. Sementara itu, jenazah perlu dikembalikan kepada keluarga dari korban. Maka dari itu, diperlukan identifikasi terhadap jenazah tersebut. Identifikasi diartikan sebagai suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak dikenal, sedemikian rupa sehingga dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang yang hilang yang diperkirakan sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu. Sementara identifikasi secara forensik merupakan usaha untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan proses peradilan.Kegiatan identifikasi korban bencana massal (Disaster Victim Identification) menjadi kegiatan yang penting dan dilaksanakan hampir pada pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan setiap kejadian yang menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang banyak. Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. IDENTIFIKASI1. Definisi IdentifikasiIdentifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti sebagai berikut : pertama , tanda kenal diri; bukti diri; kedua, penentu atau penetapan identitas seseorang, benda, dan sebagainya; ketiga, proses psikologi yang terjadi pada diri seseorang arena secara tidak sadar membayangkan dirinya seperti orang lain yang dikaguminya, lalu dia meniru tingkah laku orang yang dikaguminya itu.Identifikasi forensik memiliki arti penetapan identitas seseorang berdasarkan ilmu kedokteran yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta medis. Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi dari tubuh yang tak dikenal, baik hidup ataupun mati, dapat dilakukan bagi kepentingan penyidikan perkara pidana dan bagi tugas kepolisian yang lain, misalnya pada peristiwa bencana alam, kecelakaan yang mengakibatkan korban massal (mass disaster) atau pada peristiwa ditemukannya seseorang dengan demensia atau kelainan jiwa yang sulit diajak berkomunikasi.Kepentingan dilakukannya identifikasi adalah sebagai upaya memenuhi hak dasar setiap individu untuk memiliki identitas semasa hidup ataupun setelah mati, dan untuk memudahkan penanganan masalah hukum perdata ataupun pidana antara orang yang meninggal dengan keluarga yang ditinggalkan.

2. Prinsip IdentifikasiDalam proses Identifikasi diperlukan dua aspek :a. Aspek pengumpulan data identitas; baik ante-mortem maupun post-mortemb. Aspek komparasi; antara data ante-mortem dengan post-mortem untuk menentukan korbanPrinsip dari proses identifikasi adalah membandinkan data antemortem dengan post-mortem, semakin banyak yang cocok semakin baik.Data yang digunakan untuk menentukan identitas seseorang, meliputi :a. Identifikasi primer, meliputi pemerikasaan sidik jari, data gigi dan deoxyrebose nucleic acid (DNA),b. Identifikasi sekunder, yakni data visual seperti pakaian ataupun perhiasan, data kepemilikan seperti obat-obatan dan gigi palsu, data dokumentasi seperti kartu identitas atau foto, dan data medis yaitu ciri tubuh, jenis kelamin, golongan darah, dan lain-lain.Kedudukan data identifikasi primer memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan data identifikasi sekunder. Korban dinyatakan positif teridentifikasi apabila satu atau lebih ukuran identifikasi primer terbukti dengan atau tanpa data sekunder, atau minimal dua data identifikasi sekunder yang cocok bila data primer tidak ada.3. Manfaat Identifikasia. Mengungkap kasus tindak pidanab. Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengurus sertifikat kematian. c. Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengetahui status pernikahan atau untuk melakukan pernikahan kembali. d. Untuk masalah hukum perdata lainnya, seperti menentukan hak pengurusan rumah atau tanah, hak waris, dll. e. Mengetahui asal-usul manusia, penyebarannya dan lain sebagainya. 4. Peran Dokter Pada Proses IdentifikasiDalam melakukan identifikasi, dokter diharapkan dapat :a. Membedakan jenazah manusia atau bukanApabila hanya di temukan tulang, terkadang tulang antara hewan dengan manusia mirip. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dapat dibedakan tulang tersebut berasal dari manusia atau hewan. Untuk tulang yang tidak teridentifikasi dapat ditentukan tulang manusia atau tulang hewan dengan pemeriksaan imunologik (precipitin test).b. Membedakan jenazah laki-laki atau perempuanPada keadaan dimana jenis kelamin tidak mungkin dilakukan dengan pemeriksaan luar, maka penentuan jenis kelamin dapat dilakukan dengan cara :1) Jaringan lunak tertentuUterus dan prostat merupakan jaringan lunak yang tahan terhadap pembusukkan dan dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin. Selain itu pemeriksaan seks kromatin dari sampel jaringan lunak atau tulang rawan pun bisa dilakukan. Pemeriksaan tersebut sering digunakan untuk menentukan jenis kelamin pada mayat yang terpotong-potong.2) Tulang-tulang tertentuBeberapa tulang pada laki-laki dan perempuan jelas perbedaannya, antara lain tengkorak, pelvis, tulang panjang, rahang dan gigi.3) Memperkirakan umurTulang dan gigi dapat memberikan informasi bagi perkiraan umur manusia. Namun signifikansi pemeriksaan tulang bergantung pada besarnya penyebaran kelompok umur, dikelompokkan menjadi kelompok fetus, neonatus, anak-anak, remaja dan dewasa. Pada kelompok fetus dan neonatus, pemeriksaan difokuskan pada inti penulangan dengan pemeriksaan ronsenologik atau otopsi. Pada anak hingga remaja umur 20 tahun yang paling berguna adalah pemeriksaan epifisis. Pada kelompok dewasa, dapat melihat penutupan sutura, perubahan sudut rahang dan adanya proses penyakit pada tulang.4) Menentukan tinggi badan jenazahTinggi badan merupakan salah satu informasi penting yang digunakan untuk melacak identitas. Perlu diketahui bahwa ukuran tinggi badan orang yang sudah meninggal biasanya sedikit lebih panjang sekitar 2,5 sentimeter dari pada tinggi badan waktu hidup. Jika jenazah tidak utuh, maka penentuan tinggi badan dapat dilakukan dengan meggunakan tulang panjang.

5. Teknik Identifikasi JenazahUntuk mengidentifikasi jenazah, dapat digunakan berbagai teknik, yaitu :a. Dokumentasi kejadianb. Pengenalan visualMetode ini dilakukan dengan memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah yang belum membusuk, sehingga masih mungkin dikenali wajah dan tubuhnya, oleh lebih dari satu orang. Besar kemungkinan adanya faktor emosi yang mengaburkan pembenaran atau penyangkalan identitas jenazah.c. Penyesuaian data antemortem dan postmortemCara pengumpulan data ante-mortem adalah sebagai berikut :1) Melalui Unit polisi pencarian orang hilang dalam DVIPengumpulan data berupa nama, alamat, nomor telpon yang bisa dihubungi dari keluarga korban serta data medis korban.2) OdontologisForensik odontology harus menghubungi seluruh dokter gigi yang pernah melakukan perawatan gigi terhadap korban. Data tersebut harus asli dan meliputi: odontogram, radiograf, cetakan gigi dan fotograf.Data post-mortem meliputi :1) Sidik jari2) Data dan foto dari pakaian, perhiasan, tato3) Pemeriksaan patologi forensikData yang paling sering digunakan adalah odontology forensik.Data post mortem dapat dikumpulkan pada tempat kejadian perkara (TKP). Setelah data ante mortem dan post mortem yang di kumpulkan oleh tim yang berbeda terkumpul, kemudian dibawa ke pusat identifikasi untuk dicocokkan (matching). Proses identifikasi menggunakan 2 metode, yaitu metode sederhana dan metode ilmiah. d. Metode obyektif atau ilmiahMetode ilmiah dibagi menjadi 3 macam, yaitu:1) Sidik JariIdentifikasi menggunakan pola sidik jari merupakan teknik biometrik tertua di dunia.Sejarahnya kembali ke zaman 6000 tahun sebelum masehi. Penggunaan sidik jari telah tercatatkan oleh bangsa Assyiria, Babilonia Jepang dan Cina.Bangsa Cina menggunakan sidik jari sebagai alat identifikasi penulis dari suatu dokumen.Sejak tahun 1897, dactyloscopy (identifikasi sidik jari tanpa berbasis komputer) telah digunakan untuk identifikasi kejahatan.Karakteristik sidik jari setiap orang adalah unik dan tidak akan berubah selama hidup. Berdasarkan penelitian peluang dua orang memiliki sidik jari yang sama lebih kecil dari satu dalam satu milyar.Identifikasi sidik jari dilakukan dengan mencocokkan pola karakteristik yang khas, yang diketahui sebagai detail Galton, point of identity atau minutiae, dan pemanding minutiae adalah cetak referensi berupa cap sidik jari menggunakan tinta dari sidik jari tersangka.Ada tiga gambaran dasar dari bentuk karakter dasar, yaitu : a) The ridge endingb) The bifurcationc) The dot or islandDalam satu sidik jari terdapat lebih dari 100 poin yang digunakan dalam identifikasi. Tidak ada ukuran jumlah pasti poin identifikasi yang ditemukan pada luas area tertentu tergantung dari lokasi penempelan. Contoh, daerah delta mungkin mengandung lebih banyak poin permilimeter persegi dibanding daerah ujung jari.2) Rekam gigiMerupakan metode identifikasi yang memiliki banyak keunggulan, yaitu :a) Gigi resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrimb) Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi dan restorasi gigi membuat identifikasi gigi memiliki ketepatan tinggic) Kemungkinan adanya data antemortem berupa rekam gigid) Terlindung oleh otot bibir dan pipi, trauma akan mengenai otot-otot tersebut lebih dahulu.e) Bentuk gigi geligi di dunia tidak sama, kemungkinan sama satu banding dua miliarf) Gigi tahan panas hingga 400Cg) Gigi tahan asam keras.Batasan dari forensik odontologi terdiri dari :a) Identifikasi dari mayat tak dikenal.b) Penentuan umurc) Pemeriksaan jejas gigitd) Penentuan ras berdasarkan gigie) Analisis dari trauma orofasialf) Dental jurisprudensi berupa keterangan saksi ahlig) Peranan pemeriksaan DNA dalam identifikasi personal3) DNADNA adalah asam nukleat yang mengandung materi genetik yang berfungsi untuk mengatur perkembangan biologik seluruh bentuk kehidupan secara seluler.DNA terdiri dari dua molekul yang membentuk struktur double helix.Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan sebagai sampel tes DNA, tapi yang sering digunakan adalah sampel darah, rambut, apusan pipi, dan kuku. Untuk kasus forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis lainnya yang di temukan di TKP dapat menjadi sampel tes DNA.a) Tujuan Tes DNA Tujuan pribadi: penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dari anak. Tujuan hukum: meliputi masalah forensik, seperti identifikasi korban yang telah hancur, sehingga butuh pencocokkan antara DNA korban dengan keluarga, ataupun pembuktian pelaku kejahatan.b) Metode tes DNA : STR (Short Tandem Repeat)STR adalah lokus DNA yang tersusun atas pengulangan 2-6 basa. Dalam genom manusia dapat ditemukan pengulangan basa yang bervariasi jumlah dan jenisnya. Dengan memprofilkan DNA menggunakan STR, DNA dapat dibandingkan satu sama lain. PCR (Polymerase Chain Reaction)PCR merupakan teknik yang memungkinkan sintesis wilayah DNA tertentu. Yang memungkinkan peneliti membuat berjuta-juta salinan DNA dalam waktu singkat untuk kemudian di identifikasi.

B. DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)1. Definisi DVIDVI atau Disaster Victim Identification adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline.Yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan DVI adalah polisi didukung oleh para ahli seperti patologi forensik, odontologi forensik, ahli sidik jari, ahli DNA, fotografi, dan tim bantuan lain. Prosedur DVI diperlukan dalam menegakkan HAM, merupakan bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, serta untuk kepentingan hukum (asuransi, warisan, dan status perkawinan). Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Tujuan penerapan DVI adalah dalam rangka mencapai identifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sempurna dan paripurna dengan semaksimal mungkin sebagai wujud dari kebutuhan dasar hak asasi manusia, dimana seorang mayat mempunyai hak untuk dikenali.DVI diterapkan pada bencana yang menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme. Selain itu juga dapat diterapkan pada bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal. Rujukan Hukum :a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencanab. UU No.2 tahun 2002 tentang Polric. UU No.23 tentang kesehatand. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencanae. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim Identificationf. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003

2. Tahap DVIProses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut yaitu :

a. Fase I TKP (The Scene)Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut:a. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI;b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada setiap tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan tercampur atau hilang;c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh dipisahkan;d. Untuk barangbarang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat;e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk dalam fase kedua dan seterusnya. Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan. Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah langkah tersebut antara lain adalah :1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line.2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan otorisasi.6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area bencanaPada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan korban korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.

Gambar 1. Kontainer dan perbendaharaan pemeriksaan badan korban post mortem.Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:1) membuat sektorsektor atau zona pada TKP;2) memberikan tanda pada setiap sektor;3) memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah;4) memberikan label hijau (property label) pada barangbarang pemilik yang tercecer.5) membuat sketsa dan foto setiap sektor;6) foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya;7) isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai berikut :a. pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur, tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP;b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;c. diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk, menulang, hilang atau terlepas;d. keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI PM 8) masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah;9) formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;10) masukkan barangbarang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung plastik dan diberi label sesuai nomor properti;11) evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.b. Fase II Kamar Mayat/Post Mortem (The Mortuary)Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkaplengkapnya mengenai korban. Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut : 1) Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;2) Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah dan barangbarang;3) membuat foto jenazah;4) mengambil sidik jari korban dan golongan darah;5) melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia;6) melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat; 7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban. 8) Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda 9) membuat rontgen foto jika perlu;10) mengambil sampel DNA;11) menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;12) melakukan pemeriksaan barangbarang kepemilikan yang tidak melekat di mayat yang ditemukan di TKP;13) mengirimkan datadata yang telah diperoleh ke unit pembanding data.Data data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut :1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi medis)Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu minimal apabila salah satu identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal dua dari identifikasi sekunder.Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahanperubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.c. Fase III Ante MortemPada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan korban.d. Fase IV RekonsiliasiPada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.e. Fase V DebriefingKorban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.

3. Metode IdentifikasiSecara umum, identifikasi yang akurat diperoleh dari mencocokan data ante mortem dengan post mortem yang didapatkan dari :a. Bukti sirkumstansial (pakaian, perhiasan, dan isi kantong)b. Bukti fisik, yang diperoleh dari :1) Pemeriksaan eksternal, misal : deskripsi secara umum, maupun sidik jari.2) Pemeriksaan internal, misal : bukti medis, hasil pemeriksaan gigi geligi (dental record), hasil labolatorium, dan identifikasi genetik.

4. Identifikasi KorbanUntuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data :a. Data orang hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian namun terdaftar sebagai korban selamat)b. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadianDalam mengidentifikasi korban, Interpol DVI Guide membentuk beberapa tim atau unit, diantaranya :a. Bagian Korban Hilang (Missing Brunch), terdiri dari :1) Unit pengumpulan data ante-mortem (Ante-mortem record unit)2) Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)3) Daftar korban (Victim list)b. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery), terdiri dari :1) Koordinator tim pemulihan (Recovery Co-ordinatory)2) Tim pencari (Search teams)3) Tim dokumentasi (Photography)4) Tim pemulihan jenazah (Body Recovery team)5) Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property Recovery team)6) Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue Station)c. Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch), terdiri dari :1) Unit keamanan (Security unit)2) Unit transportasi jenazah (Body movement unit)3) Unit pengumpul data post-mortem (Post-mortem record unit)4) Unit pemeriksa jenazah (Body Examination unit), terdiri dari:a) Unit dokumentasi (Post-mortem photography unit)b) Unit sidik jari (Post-mortem property unit)c) Unit barang-barang pribadi (Post-mortem property unit)d) Unit media (Post-mortem medical unit)e) Unit pemeriksa gigi geligi (Post-mortem dental unit)d. Pusat Identifikasi (Identification Centre), terdiri dari :1) Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification centre file section)2) Bagian khusus pusat identifikasi (Identification centre specialized section), terdiri dari :a) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)b) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print)c) Bagian penyelidkan barang-barang pribadi (Property section)d) Bagian penyelidikan medis (Medical section)e) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)f) Bagian analisis DNA (DNA analysis)g) Badan identifikasi (Identification board)h) Bagian pelepasan jenazah (Body realese section)

BAB IIISIMPULAN

Identifikasi dalam bidang forensik dilakukan untuk membantu penyidik dalam melakukan penetapan identitas seseorang. Dalam proses identifikasi diperlukan dua aspek, yaitu aspek pengumpulan data ante-mortem maupun post-mortem dan aspek komparasi antara kedua data tersebut. Data yang digunakan untuk menentukan identitas jenazah meliputi data identifikasi primer (sidik jari, odontologi, dan DNA) dan data identifikasi sekunder (pakaian, perhiasan, kartu identitas, foto, data medis, dll).DVI adalah sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu kepada standar baku interpol. Terdapat lima fase dalam prosedur DVI yaitu, TKP, pengumpulan informasi post-mortem, ante-mortem, perbandingan data ante-mortem dan post-mortem, dan debriefing. Seseorang positif teridentifikasi apabila memenuhi salah satu identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal dua dari identifikasi sekunder.

DAFTAR PUSTAKA3