View
17
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk
hak asasi manusiayang tercantum dalam UUD 1945. Setiap orang mempunyai
hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Menurut UU No. 36 Tahun 2009, yang memiliki kewenangan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan adalah tenaga kesehatan. Dokter
merupakan salah satu komponen utama tenaga kesehatan yang mempunyai
peranan sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan
kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan.
Agar dapat melakukan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu, maka
sebelum melaksanakan praktik setiap dokter harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Persyaratan
tersebut antara lain memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik
(SIP).
UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa
STR merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia
kepada dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi. Syarat untuk memperoleh
STR yaitu memiliki ijazah dokter, surat pernyataan telah mengucapkan
sumpah/janji dokter, surat keterangan sehat fisik dan mental, sertifikat
kompetensi, dan telah membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan
ketentuan etika profesi. Kepemilikan STR menunjukkan bahwa dokter pemilik
STR tersebut telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah memiliki kualifikasi
lainnya serta telah diakui secara hukum untuk melakukan tindakan profesinya.
Dengan demikian maka kepemilikan STR merupakan salah satu cara untuk
menjamin mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter kepada masyarakat.
Namun pada kenyataannya masih ada pihak-pihak yang melaksanakan
praktik kedokteran tanpa kepemilikan STR. Salah satunya yaitu kasus Herma Ayu
Dewi, seorang wanita yang berpraktik tanpa STR di berbagai klinik di daerah
Cikampek, Bekasi, dan Depok. Herma Ayu Dewi tidak lulus dari pendidikan
kedokteran namun telah berpraktik selama sekitar 3 tahun. Hal ini dapat
membahayakan kesehatan dan jiwa pasien, serta menyalahi peraturan perundang-
undangan. Melakukan tindakan tersebut dapat mendapatkan ganjaran sanksi. Oleh
karena itu penting bagi dokter dan calon dokter untuk memahami aspek
medikolegal dari praktik kedokteran tanpa kepemilikan STR. Alasan inilah yang
membuat penulis tertarik untuk membahas dan mempelajari masalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
permasalahan dari referat ini yaitu “Bagaimana aspek medikolegal praktik
kedokteran di klinik tanpa kepemilikan STR?”
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui aspek medikolegal praktik kedokteran di klinik
tanpa kepemilikan STR.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui dan memahami definisi praktik kedokteran.
b. Untuk mengetahui dan memahami dasar hukum dan teknis
pelaksanaan praktik kedokteran.
c. Untuk mengetahui dan memahami sanksi dari praktik kedokteran
di klinik tanpa kepemilikan STR.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Memberikan pengembangan terhadap studi kedokteran tentang aspek
medikolegal khususnya mengenai praktik kedokteran di klinik tanpa
kepemilikan STR.
1.4.2 Manfaat Praktis
Dengan penyusunan referat ini penulis berharap seorang dokter atau
calon dokter mampu memahami aspek medikolegal dari praktik
kedokteran di klinik tanpa kepemilikan STR sehingga nantinya dapat
memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu kepada
masyarakat.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Praktik Kedokteran
Menurut UU no 29 tahun 2004 Praktik kedokteran adalah rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam
melaksanakan upaya kesehatan. Dokter dan dokter gigi adalah dokter umum,
dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui
oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
2.2 Undang – undang dan Pasal Terkait Praktik Kedokteran
Pasal yang mengatur tentang praktik kedokteran diatur dalam UU no 29
tahun 2004 pada :
1. Bab II tentang asas dan tujuan
2. Bab VI tentang praktik kedokteran registrasi dokter dan dokter gigi
3. Bab VII tentang penyelenggaraan praktik kedokteran
4. Bab VIII tentang disiplin dokter dan dokter gigi
5. Bab XI tentang ketentuan peralihan
2.2.1 Bab II Asas dan Tujuan
Pasal 2
Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan
pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta
perlindungan dankeselamatan pasien.
Pasal 3
Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk :
a. Memberikan perlindungan kepada pasien;
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan
c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter
gigi.
Dimana setiap dokter harus memiliki :
1. Sertifikat kompetensi.
Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap
kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan
praktik kedokteran diseluruh Indonesia setelah lulus uji
kompetensi.
Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi
yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai
kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk
melakukan tindakan profesinya.
2. Surat ijin praktik dan surat tanda registrasi praktik
Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah
kepada dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktik
kedokteran setelah memenuhi persyaratan.
Surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter
dan dokter gigi yang telah diregistrasi.
STR berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat di registrasi
ulang setiap 5 tahun dengan tetap memenuhi persyaratan diatas.
Dalam hal ini dapat dilihat pada undang-undang no 29 tahun 2004 tentang
praktek kedokteran.
2.2.2 Bab VI Praktik Kedokteran Registrasi Dokter dan Dokter Gigi
Pasal 29
1. Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda
registrasi dokter gigi.
2. Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia.
3. Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda
registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan:
a. Memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau
dokter gigi spesialis;
b. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji
dokter atau doktcr gigi;
c. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. Memiliki sertifikasi kompetensi;
e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan
ketentuan etika profesi.
4. Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi
berlaku selama 5 (lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima)
tahun sekali dengan tetap memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d.
5. Ketua Konsil Kedokteran dan Ketua Konsil Kedokteran Gigi dalam
melakukan registrasi ulang harus mendengar pertimbangan ketua divisi
registrasi dan ketua divisi pembinaan.
6. Ketua Konsil Kedokteran dan Ketua Konsil Kedokteran Gigi
berkewajiban untuk memelihara dan menjaga registrasi dokter dan
dokter gigi
Pasal 30
1. Dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang akan melaksanakan
praktik kedokteran di Indonesia harus dilakukan evaluasi.
2. Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Kesahan ijazah;
b. Kemampuan untuk melakukan praktik kedokteran yang dinyatakan
dengan surat keterangan telah mengikuti program adaptasi dan
sertifikat kompetensi;
c. Mempunyai surat pernyataan tclah mengucapkan sumpah/janji
dokter atau dokter gigi;
d. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan
etika profesi.
3. Dokter dan dokter gigi warga negara asing selain memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus melengkapi surat izin
kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan
kemampuan berbahasa Indonesia.
4. Dokter dan dokter gigi yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diberikan surat tanda registrasi
dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi oleh Konsil Kedoktcran
Indonesia.
Pasal 31
1. Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter dan
dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka
pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang
kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia.
2. Surat tanda registrasi sementara berlaku selama 1 (satu) tahun dan
dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
3. Surat tanda registrasi sementara diberikan apabila telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).
Pasal 32
1. Surat tanda registrasi bersyarat diberikan kepada peserta program
pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis warga negara
asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia.
2. Dokter atau dokter gigi warga negara asing yang akan memberikan
pendidikan dan pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk waktu tertentu, tidak memerlukan surat tanda registrasi
bersyarat.
3. Dokter atau dokter gigi warga negara asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) haus mendapat persetujuan dan Konsil Kedokteran
Indonesia.
4. Surat tanda registrasi dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3) diberikan melalui penyelenggara pendidikan dan
pelatihan.
Pasal 33
Surat tanda registrasi tidak berlaku karena:
1. Dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundangundangan;
2. Habis masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mendaftar ulang;
3. Atas permintaan yang bersangkutan;
4. Yang bersangkutan meninggal dunia; atau
5. Dicabut Konsil Kedokteran Indonesia
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi, registrasi ulang,
registrasi sementara, dan registrasi bersyarat diatur dengan Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 35
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan
pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:
a. Mewawancarai pasien;
b. Memeriksa fisik dan mental pasien;
c. Menentukan pemeriksaan penunjang;
d. Menegakkan diagnosis;
e. Menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. Melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
g. Menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. Menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
i. Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j. Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang
praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kewenanganlainnya diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia.
2.2.3 Bab VII Penyelenggaraan Praktik Kedokteran
Bagian Kesatu
Surat Izin Praktik
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat izin praktik.
Pasal 37
(1) Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan
oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat
praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.
(2) Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.
(3) Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
Pasal 38
(1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36, dokter atau dokter gigi harus :
a. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29, Pasal 31,dan Pasal 32;
b. Mempunyai tempat praktik; dan
c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
(2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :
a. Surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter
gigi masih berlaku; dan
b. Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam
surat izin praktik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Praktik
Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara
dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pasal 40
(1) Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik
kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau
dokter gigi pengganti.
(2) Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dokter atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.
Pasal 41
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan
menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan
kesehatan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar
dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.
Pasal 42
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau
dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik
kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan praktik kedokteran diatur
dengan Peraturan Menteri.
2.2.4 Bab VIII Disiplin Kedokteran dan Kedokteran Gigi
Bagian Kesatu
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
Pasal 55
(1) Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan
lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia.
(3) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam
menjalankan tugasnya bersifat independen.
Pasal 56
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertanggung jawab
kepada Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 57
(1) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia berkedudukan di
ibu kota negara Republik Indonesia.
(2) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat
dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia atas usul Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
2.2.5 Bab XI Ketentuan Peralihan
Pasal 81
Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini semua peraturan
perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan praktik kedokteran, masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkanUndang-Undang ini.
Pasal 82
(1) Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki surat penugasan dan/atau
surat izin praktik, dinyatakan telah memiliki surat tanda registrasi dan
surat izin praktik berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Surat penugasan dan surat izin praktik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)harus disesuaikan dengan surat tanda registrasi dokter, surat
tanda registrasi dokter gigi, dan surat izin praktik berdasarkan Undang-
Undang ini paling lama 2 (dua) tahun setelah Konsil Kedokteran
Indonesia terbentuk.
Pasal 83
(1) Pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran disiplin pada saat belum
terbentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
ditangani oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi di Tingkat Pertama
dan Menteri pada Tingkat Banding.
(2) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Menteri dalam menangani
pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk Tim yang
terdiri dari unsur-unsur profesi untuk memberikan pertimbangan.
(3) Putusan berdasarkan pertimbangan Tim dilakukan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi atau Menteri sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum,
untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta
menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur
penyelenggaraan praktik kedokteran agar dapat berjalan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka perlu diatur praktik
kedokteran dalam suatu undang-undang. Untuk itu, perlu dibentuk
Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran.
Dalam Undang-Undang ini diatur:
1. Asas dan tujuan penyelenggaraan praktik kedokteran yang menjadi
landasan yang didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan,
kemanusiaan, keseimbangan serta perlindungan dan keselamatan
pasien;
2. Pembentukan Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi disertai susunan organisasi,
fungsi, tugas, dan kewenangan;
3. Registrasi dokter dan dokter gigi;
4. Penyusunan, penetapan, dan pengesahan standar pendidikan profesi
dokter dan dokter gigi;
5. Penyelenggaraan praktik kedokteran;
6. Pembentukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia;
7. Pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran; dan
8. Pengaturan ketentuan pidana.
2.3 Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di Tingkat Provinsi (MKDKI dan MKDKIP)
2.3.1 Organisasi dan Tata Kerja
Diatur dalam peraturan konsil kedokteran Indonesia nomor
15/KKI/PER/VIII/2006.
Bab III : Fungsi, tugas, dan kewenangan
Diatur dalam pasal 3, 4, 5, dan 6 :
Pasal 3
(1) Fungsi MKDKI dan MKDKI-P adalah untuk penegakan disiplin
kedokteran dan kedokteran gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran.
(2) Penegakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
penegakan aturan-aturan dan/atau penerapan keilmuan dalam pelaksanaan
pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi.
Pasal 4
(1) Tugas MKDKI :
a. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus
pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan
b. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran
disiplin dokter atau dokter gigi.
(2) Tugas MKDKI-P menerima pengaduan, memeriksa, memutuskan ada
tidaknya kasus pelanggaran disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan
menentukan sanksi yang diajukan di provinsi.
Pasal 5
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
MKDKI mempunyai wewenang :
a. Menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi;
b. Menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau
pelanggaran etika atau bukan keduanya;
c. Memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi;
d. Memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi;
e. Menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi;
f. Melaksanakan keputusan MKDKI;
g. Menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter
dan dokter gigi;
h. Menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P;
i. Membina, mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan tugas
MKDKI-P;
j. Membuat dan memberikan pertimbangan usulan pembentukan
MKDKI-P kepada Konsil Kedokteran Indonesia; dan
k. Mengadakan sosialisasi, penyuluhan, dan diseminasi tentang
MKDKI dan dan MKDKI-P mencatat dan mendokumentasikan
pengaduan, proses pemeriksaan, dan keputusan MKDKI.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
MKDKI-P mempunyai wewenang :
a. Menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
di tingkat provinsi;
b. Menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau
pelanggaran etika atau bukan keduanya;
c. Memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
di tingkat provinsi;
d. Meminta keterangan saksi ahli jika diperlukan;
e. Memutuskan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi di tingkat
provinsi;
f. Menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi di tingkat provinsi melaksanakan keputusan MKDKI-P;
g. Melaksanakan keputusan MKDKI-P.
Pasal 6
Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, MKDKI harus
memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang kesehata serta
peraturan perundang-undangan lain yang terkait dan yang berlaku.
2.3.2 Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter
dan Dokter Gigi.
Diatur dalam peraturan konsil kedokteran indonesia nomor
16/KKI/PER/VIII/2006
Bab II Pengaduan
Pasal 2
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat
mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI atau Ketua MKDKI-P.
(2) Apabila tidak mampu mengadukan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat mengadukan secara lisan kepada MKDKI atau
MKDKI-P.
(3) Dalam hal pengaduan dilakukan secara lisan, Sekretariat MKDKI atau
MKDKI-P memfasilitasi atau membantu pembuatan permohonan
pengaduan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ditandatangani
oleh pengadu atau kuasanya.
(4) Untuk melengkapi keabsahan pengaduan MKDKI dan MKDKI-P dapat
melakukan verifikasi atas aduan yang dimasukkan.
(5) Untuk melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Ketua
MKDKI dapat mengangkat orang untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Pasal 5
(1) Dugaan pelanggaran disiplin yang dapat diadukan kepada MKDKI atau
MKDKI-P adalah dugaan pelanggaran disiplin yang saat terjadinya
tindakan dokter atau dokter gigi tersebut setelah diundangkannya Undang-
Undang Praktik Kedokteran pada tanggal 6 Oktober 2004.
(2) Dugaan pelanggaran disiplin yang telah diadukan/diperiksa pada Dinas
Kesehatan Provinsi atau Menteri untuk tingkat banding selama belum
terbentuknya MKDKI tetap diperiksa dan diselesaikan oleh Dinas Provinsi
dan Menteri untuk tingkat banding.
(3) Dugaan pelanggaran disiplin yang terjadi setelah Undang-Undang Praktik
Kedokteran diundangkan namun belum diadukan pada tingkat provinsi dan
Menteri untuk tingkat banding, dapat diadukan pada MKDKI atau MKDKI-
P bila sudah terbentuk.
(6) Dugaan pelanggaran disiplin yang telah diadukan/diperiksa pada Dinas
Kesehatan Provinsi atau Menteri untuk tingkat banding tidak dapat ditarik
dan diadukan kembali ke MKDKI atau MKDKI-P.
Bab III Majelis Pemeriksa Awal
Pasal 6
(1) MKDKI atau MKDKI-P melakukan pemeriksaan awal atas aduan yang
diterima.
Untuk melakukan pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Ketua MKDKI menetapkan Majelis Pemeriksa Awal.
(2) Majelis Pemeriksa Awal pada MKDKI terdiri dari 3 (tiga) orang yang
diangkat dari Anggota MKDKI.
(3) Untuk melengkapi berkas dalam pemeriksaan awal dapat dilakukan
investigasi oleh Majelis Pemeriksa Awal.
(4) Dalam melaksanakan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Majelis Pemeriksa Awal dapat menunjuk orang untuk pekerjaan tersebut.
(5) Majelis Pemeriksa Awal pada MKDKI-P terdiri dari 3 (tiga) orang yang
diangkat dari MKDKI-P dan atau MKDKI.
(6) Melakukan pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud ayat pada (1) antara
lain keabsahan aduan, keabsahan alat bukti, menetapkan pelanggaran etik
atau disiplin atau menolak pengaduan karena tidak memenuhi syarat
pengaduan atau tidak termasuk dalam wewenang MKDKI dan melengkapi
seluruh alat bukti.
(7) Bilamana dari hasil pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditemukan bahwa pengaduan yang diajukan adalah pelanggaran etik maka
MKDKI atau MKDKI-P melanjutkan pengaduan tersebut kepada organisasi
profesi.
(8) Bilamana pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditemukan bahwa pengaduan tersebut adalah dugaan pelanggaran disiplin
maka ditetapkan Majelis Pemeriksa Disiplin oleh Ketua MKDKI.
(9) Setiap keputusan Majelis Pemeriksa Awal dalam kurun waktu 14 (empat
belas) hari kerja harus disampaikan kepada Ketua MKDKI atau ketua
MKDKI-P.
Bab IV Majelis Pemeriksa Disiplin
Pasal 7
(1) Selambatnya-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja
sesudah hasil pemeriksa awal diterima dan lengkap dicatat dan benar,
MKDKI segera membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin untuk MKDKI dan
28 (dua puluh delapan) hari untuk MKDKI-P.
(2) Majelis Pemeriksa Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dalam Keputusan Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia.
(3) Untuk hal tertentu dan alasan yang sah dan dibenarkan maka Ketua MKDKI
dapat menangguhkan pembentukan Majelis Pemeriksa Disiplin.
Bab VI Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin
Pasal 27
(1) Keputusan sidang Majelis Pemeriksa Disiplin adalah merupakan keputusan
MKDKI atau keputusan MKDKI-P yang mengikat Konsil Kedokteran
Indonesia, dokter atau dokter gigi yang diadukan, pengadu, Departemen
Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta institusi terkait.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a. Tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran disiplin kedokteran;
atau
b. Terbukti bersalah melakukan pelanggaran disiplin kedokteran dan
pemberian sanksi disiplin.
(3) Pengaduan yang telah diputuskan pada MKDKI atau MKDKI-P tidak dapat
diadukan kembali.
Pasal 28
(1) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf (b)
dapat berupa :
a. Pemberian peringatan tertulis;
b. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin
Praktik; dan/atau
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa rekomendasi
pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik sementara
selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau rekomendasi pencabutan Surat Tanda
Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap atau selamanya.
(3) Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c dapat berupa:
a. Pendidikan formal;
b. Pelatihan dalam pengetahuan dan atau keterampilan, magang di
institusi pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya
atau sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk,
sekurangkurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
(4) Sebagai bukti telah melaksanakan kewajiban mengikuti pendidikan atau
pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh
kolegium terkait.
BAB VII Pelaksanaan Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin
Pasal 33
(1) Setiap Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin dalam kurun waktu 14 (empat
belas) hari kerja harus menyampaikan kepada Ketua MKDKI atau Ketua
MKDKI-P.
(2) Ketua MKDKI atau Ketua MKDKI-P dalam 14 (empat belas) hari kerja
harus menyampaikan Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada pihak-pihak yang terkait.
Pasal 34
Pelaksanaan Keputusan MKDKI dan MKDKI-P tentang tidak terbukti
bersalah melakukan pelanggaran disiplin kedokteran dilakukan oleh
sekretariat MKDKI atau sekretariat MKDKI-P dan disampaikan kepada
dokter atau dokter gigi yang bersangkutan.
Pasal 35
Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang
penolakan pengaduan karena ditemukan pelanggaran etika, oleh Sekretariat
MKDKI atau sekretariat MKDKI-P diteruskan pengaduannya kepada
organisasi profesi yang bersangkutan.
Pasal 36
(1) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau MKDKI-P tentang sanksi disiplin
peringatan tertulis, oleh Sekretariat MKDKI atau MKDKI-P disampaikan
kepada dokter atau dokter gigi yang bersangkutan.
(2) Tanggal dan hari tanda terima Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sebagai bukti bahwa tanggal dan hari tersebut telah dilaksanakan
Keputusan MKDKI atau Keputusan MKDKI-P terhadap dokter atau dokter
gigi yang dikenakan sanksi disiplin peringatan tertulis.
Pasal 37
(1) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang sanksi
disiplin rekomendasi pencabutan STR disampaikan oleh sekretariat
MKDKI atau MKDKI-P kepada Konsil Kedokteran Indonesia untuk
dilaksanakan.
(2) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang sanksi
rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambatlambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak tanggal dan hari diterimanya Keputusan MKDKI atau
Keputusan MKDKI-P oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 38
(1) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau MKDKI-P tentang sanksi disiplin
rekomendasi pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) disampaikan oleh
sekretariat MKDKI atau MKDKI-P kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota tempat Surat Izin Praktik (SIP) tersebut diterbitkan untuk
dilaksanakan.
(2) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang sanksi
disiplin rekomendasi pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan selambatlambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak tanggal dan hari diterimanya Keputusan MKDKI atau
keputusan MKDKI-P oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat Surat
Izin Praktik (SIP) tersebut diterbitkan.
Pasal 39
(1) Pelaksanaan keputusan MKDKI atau MKDKI-P tentang sanksi disiplin
mengikuti pendidikan atau pelatihan disampaikan Sekretariat MKDKI atau
MKDKI-P kepada Konsil Kedokteran Indonesia untuk dilaksanakan.
(2) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang sanksi
mengikuti pendidikan/pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hari dan
tanggal diterimanya Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P oleh
Konsil Kedokteran Indonesia.
(3) Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang sanksi disiplin
mengikuti pendidikan atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
oleh Konsil Kedokteran Indonesia diteruskan/disampaikan kepada kolegium
dan institusi pendidikan yang berkompetensi.
(4) Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P tentang sanksi
disiplin mengikuti pendidikan atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibiayai oleh dokter atau dokter gigi yang dikenai sanksi.
2.4 Sanksi
Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MKDKI berdasarkan Undang-
undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 69 ayat (3)
adalah :
1. Pemberian peringatan tertulis;
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik;
dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik
yang dimaksud dapat berupa:
a. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik
sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau
b. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik
tetap atau selamanya;
Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi yang dimaksud dapat berupa :
a. Pendidikan formal; atau
b. Pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang di institusi
pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana
pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan
dan paling lama 1 (satu) tahun.
Sedangkan untuk sanksi pidana ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bab 10 tentang ketentuan pidana pasal
75, 76, 77, 78 dan 80.
Pasal 75
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar
atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki
surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
dan/atau surat izin paktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 73 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara
lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan
kesan seolah olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 80
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter
gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan
berupa pencabutan.
2.4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004
Tentang Klinik yang Terkait.
Bab II Jenis Klinik
Pasal 4
(1) Klinik yang dimiliki oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus
didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Klinik yang dimiliki oleh masyarakat yang menyelenggarakan rawat jalan
dapat didirikan oleh perorangan atau badan usaha.
(3) Klinik yang dimiliki oleh masyarakat yang menyelenggarakan rawat inap
harus didirikan oleh badan hukum.
Bab IV Persyaratan
Bagian empat : ketenagaan
Pasal 11
(1) Ketenagaan Klinik rawat jalan terdiri atas tenaga medis, tenaga
keperawatan, Tenaga Kesehatan lain, dan tenaga non kesehatan sesuai
dengan kebutuhan.
(2) Ketenagaan Klinik rawat inap terdiri atas tenaga medis, tenaga
kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga gizi, tenaga analis kesehatan,
Tenaga Kesehatan lain dan tenaga non kesehatan sesuai dengan
kebutuhan.
(3) Jenis, kualifikasi, dan jumlah Tenaga Kesehatan lain serta tenaga non
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disesuaikan
dengan kebutuhan dan jenis pelayanan yang diberikan oleh Klinik.
Pasal 12
(1) Tenaga medis pada Klinik pratama yang memberikan pelayanan
kedokteran paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang dokter dan/atau dokter
gigi sebagai pemberi pelayanan.
(2) Tenaga medis pada Klinik utama yang memberikan pelayanan kedokteran
paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang dokter spesialis dan 1 (satu) orang
dokter sebagai pemberi pelayanan.
Pasal 13
(1) Setiap tenaga medis yang berpraktik di Klinik harus mempunyai Surat
Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap tenaga kesehatan lain yang bekerja di Klinik harus mempunyai
Surat Tanda Registrasi (STR), dan Surat Izin Kerja (SIK) atau Surat Izin
Praktik (SIP) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Klinik harus bekerja sesuai
dengan standar profesi, standar prosedur operasional, standar pelayanan,
etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan kepentingan
dan keselamatan pasien.
Pasal 15
Pendayagunaan tenaga kesehatan warga negara asing di Klinik
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian kelima : peralatan
Pasal 18
(1) Peralatan medis yang digunakan di Klinik harus diuji dan dikalibrasi
secara berkala oleh institusi pengujian fasilitas kesehatan yang berwenang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bab IV Perizinan
(1) Setiap penyelenggaraan Klinik wajib memiliki izin mendirikan dan izin
operasional.
(2) Izin mendirikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota.
(3) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota.
BAB III
CONTOH KASUS DAN PEMBAHASAN
3.1 Contoh Kasus
Ayu, Dokter Gadungan Berstatus Mahasiswa Yang Ditangkap Polresta
Depok
depokklik.com — Seorang perempuan yang biasa berpraktik dokter di Depok,
Jawa Barat ditangkap Satuan Reskrim Polresta Depok. Polisi membongkar kedok
dokter palsu yang telah berpraktek selama tiga tahun. Dokter gadungan yang
bernama Herma Ayu Dewi alias Kafha Niliam alias Ayu, 35, itu kerap praktek di
klinik Depok, Bogor, dan satu klinik di Bekasi. Tersangka kasus dokter gadungan
yang ditangkap polisi adalah Herma Ayu Dewayani, yang masih bersatus
mahasiswa kedokteran universitas swasta di Yogyakarta.
Dari hasil pemeriksaan, tersangka mengaku berpraktik dokter atas
pemintaan para pemilik klinik. Dalam aksinya tersangka menangani pasien yang
mengidap penyakit saluran pernafasan. Selama ini, tersangka berpraktik di 5
klinik yang ada di Cikampek, Bekasi dan Depok. Dalam setiap praktiknya,
tersangka mengaku mendapat upah sebesar Rp 150 ribu. Sebagai barang bukti,
polisi menyita seragam dokter, stetoskop, senter, dan jarum suntik. Polisi sendiri
masih menyelidiki keterlibatan pemilik klinik.
Kepala Kepolisian Resor Depok Ajun Komisaris Besar Dwiyono
mengatakan polisi membongkar kasus ini setelah mendapatkan laporan dari
seorang dokter. Dari laporan itu, Klinik Syaiful milik Ayu tak berizin dan Ayu tak
memiliki izin praktek dokter. Dari informasi itu, polisi menangkap Ayu saat
praktek di Klinik Syaiful di Jalan KH Abdul Rahman Nomor 48, Kelurahan
Pondok Terong, Kecamatan Cipayung, Rabu pekan lalu. Dari pengakuan pelaku,
dia membuka praktek untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. “Bayarannya
sampai Rp 1,2 juta dalam sehari,” kata Dwiyono, Senin (25/5/2015). Dokter palsu
ini bisa memeriksa 30 pasien dalam sehari.
Berikut kelima klinik tersebut: Pertama, Klinik Yasmin Cikampek milik dokter
Dewi. Ayu telah melakukan pemeriksaan kurang lebih 25 pasien dan
mendapatkan bayaran sebesar Rp 600 ribu per pasien.
Kedua, Klinik Medika Cakralawa Depok milik dokter Hadi. Ayu telah melakukan
pemeriksaan kurang lebih 30 pasien dan mendapatkan bayaran sebesar Rp 300
ribu per pasien.
Ketiga, Klinik Pelita Sehat Pomad Kota Bogor. Ayu telah memeriksa kurang lebih
60 pasien dan mendapatkan bayaran Rp 900 ribu per pasien.
Keempat,. Klinik Pelita Sehat Pomad Cibinong Kabupaten Bogor. Ayu telah
memeriksa kurang lebih 60 pasien dan mendapatkan bayaran Rp 900 ribu per
pasien.
Kelima, Klinik Nancy Kota Bekasi. Ayu telah memeriksa kurang lebih 30 pasien
dan mendapatkan bayaran Rp1,2 juta per pasien.
Keenam, Klinik Syaiful K.H Abdul Rahman No. 48 Kelurahan Pondok Terong
Kecamatan Cipayung Kota Depok, tempat Ayu ditangkap. Di klinik tersebut Ayu
telah melakukan pemeriksaan kurang lebih 25 pasien dan mendapatkan bayaran
Rp 600 ribu per pasien.
Polisi Depok berhasil mengumpulkan bukti satu buah jas dokter, satu buah senter
warna kuning, satu buah termometer, satu buah stetoskop, satu buah tensi meter,
dan satu buah buku absen serta data pasien.
“Saat ini kami masih mendalami. Termasuk pemilik klinik,” Dwiyono berujar.
Ayu diancam dengan Pasal 78, 77, dan atau 73 Undang-Undang RI Nomor 29
Tahun 2004 tentang Kedokteran. “Ancamannya, pidana 5 tahun penjara,”
tuturnya.
3.1 Pembahasan
Pada kasus diatas, saudari Herma Ayu Dewi telah menggunakan gelar
dokter serta menggunakan alat- alat kedokteran berupa jas dokter, stestoskop,
tensimeter dan lain-lain dalam mendukung praktik kedokterannya tanpa adanya
surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik sehingga saudari Ayu dinyatakan
telah melanggar pasal 73 UU No. 29 tahun 2004 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Praktik Kedokteran yang berbunyi,
1. Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan
adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
dan / atau surat izin praktik.
2. Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dan ayat (2) tidak berlaku
bagi tenaga kesehatan yang di beri kewenangan oleh peraturan perundang
undangan.
Berdasarkan pasal diatas, maka sanksi yang harus diterima oleh saudari
Ayu tercantum pada pasal 77 dan pasal 78 UU No. 29 tahun 2004 tentang
Ketentuan Pidana Praktik Kedokeran yang berbunyi,
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin paktik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah)
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
Maka, dalam pasal-pasal yang telah disebutkan diatas, saudari Ayu
dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp. 150.000.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
BAB IVKESIMPULAN
Dokter merupakan salah satu komponen utama tenaga kesehatan yang
mempunyai peranan sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian
pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Agar dapat melakukan
pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu, maka sebelum melaksanakan
praktik setiap dokter harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam UU
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Persyaratan tersebut antara lain
memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP).
Pada penerapannya, praktik kedokteran diatur dalam UU No. 29 Tahun
2004 yang menyebutkan bahwa STR merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah
diregistrasi. Syarat untuk memperoleh STR yaitu memiliki ijazah dokter, surat
pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter, surat keterangan sehat fisik
dan mental, sertifikat kompetensi, dan telah membuat pernyataan akan mematuhi
dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Kepemilikan STR menunjukkan bahwa
dokter pemilik STR tersebut telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah
memiliki kualifikasi lainnya serta telah diakui secara hukum untuk melakukan
tindakan profesinya.
Sedangkan Majelis Kehormatan Disiplin Kedoktera Indonesia dan Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di Tingkat Provinsi (MKDKI DAN
MKDKI-P) merupakan lembaga yang berfungsi untuk menegakkan disiplin dalam
praktik kedokteran serta bertugas untuk menerima pengaduan, memeriksa,
memutuskan ada tidaknya kasus pelanggaran disiplin kedokteran dan kedokteran
gigi dan menentukan sanksi yang diajukan oleh setiap orang yang mengetahui
atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua
MKDKI atau Ketua MKDKI-P.
Pada contoh kasus Herma Ayu Dewi, yang merupakan seorang wanita yang
tidak lulus dari pendidikan kedokteran namun telah berpraktik selama 3 tahun di
berbagai klinik di daerah Cikampek, Bekasi, dan Depok, ia dinyatakan telah
melanggar pasal 73 UU No. 29 tahun 2004 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Praktik Kedokteran karena telah menggunakan identitas berupa gelar yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah
dokter yang telah memiliki surat tanda registrasi dan / atau surat izin praktik.
Sedangkan untuk sanksinya dikenakan sanksi pidana berdasarkan Undang-
undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bab 10 tentang
ketentuan pidana pasal 77 dan 78.
DAFTAR PUSTAKA
Diunduh dari (http://depokklik.com/2015/06/25/ayu-dokter-gadungan-berstatus-mahasiswa-yang-ditangkap-polresta-depok/ ). 20 September 2015.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Klinik
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 15/KKI/PER/VIII/2006.
Undang – undang No. 29 Tahun 2004.