Upload
others
View
26
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FORMULASI DAN KARAKTERISASI
TRANSFERSOM YANG MENGANDUNG
VERAPAMIL HIDROKLORIDA
SKRIPSI
RHESA RAMADHAN
1111102000068
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
APRIL 2015
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FORMULASI DAN KARAKTERISASI
TRANSFERSOM YANG MENGANDUNG
VERAPAMIL HIDROKLORIDA
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
RHESA RAMADHAN
1111102000068
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
APRIL 2015
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
Nama : Rhesa Ramadhan
Program Studi : Strata-1 Farmasi
Judul Skripsi : Formulasi dan Karakterisasi Transfersom yang
Mengandung Verapamil Hidroklorida
Transfersom merupakan sistem penghantaran obat berbasis fosfolipid, surfaktan,
dan air yang dapat meningkatkan penetrasi sediaan transdermal. Transfersom
diformulasikan untuk dapat memperbaiki penetrasi verapamil hidroklorida dalam
menembus membran kulit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula
transfersom yang mengandung verapamil hidroklorida yang dapat meningkatkan
laju penetrasi verapamil hidroklorida melalui membran kulit. Transfersom dibuat
dalam tiga formula, dengan perbandingan konsentrasi antara soya
phosphatidylcholine:tween 80 untuk F1, F2, dan F3 secara berurutan adalah
75:25; 85:15; dan 95:5. Transfersom yang dihasilkan dikarakterisasi ukuran
partikel dan efisiensi penjerapannya. Formula dengan karakteristik terbaik dibuat
menjadi sediaan gel dan diuji kemampuan penetrasinya. Hasil yang diperoleh
menunjukan bahwa F1 memiliki karakteristik terbaik dengan ukuran partikel
83,86 nm dan efisiensi penjerapan 98,5157±0,0016%, serta jumlah kumulatif
verapamil hidroklorida terpenetrasi 861,0263±1,885 μg/cm2 dengan fluks
107,628±0,214 μg.cm-2
.jam-1
, meningkat dibandingkan kontrol dengan jumlah
kumulatif verapamil hidroklorida terpenetrasi 610,303±1,718 μg/cm2
dengan fluks
76,287±0,235 μg.cm-2
.jam-1
.
Kata kunci : Transdermal, transfersom, verapamil hidroklorida
vii
ABSTRACT
Name : Rhesa Ramadhan
Study Program : Bachelor of Pharmacy
Title : Formulation and Characterization of Verapamil
Hydrochloride Loaded Transfersome
Transfersome is a drug delivery system, composed by phospholipid, surfactant,
and water which can improve penetration of transdermal drug delivery system.
Transfersome were formulated to improve the penetration of verapamil
hydrochloride through the skin membrane. The aims of this study were to obtain
formula of verapamil hydrochloride loaded transfersome which can improve
penetration of verapamil hydrochloride through the skin. Transfersom were
formulated by three formulas with the ratio concentration of soya
phosphatidylcholine:tween 80 for F1, F2, and F3 were 75:25; 85:15; and 95:5,
respectively. The result was characterized for particle size and entrapment
efficiency. A formula which show the best characterization was made into gel and
the penetration ability was evaluated. The result showed that F1 has the best
characterization which has particle size of 83.86 nm and the entrapment efficiency
were 98.5157±0.0016%, and the cumulative penetrated verapamil hydrochloride
were 861,0263±1,885 μg/cm2 and the flux were 107.628±0.214 μg.cm
-2.hours
-1
increased from the control which showed the cumulative penetrated verapamil
hydrochloride were 610,303±1,718 μg/cm2
and the flux were 76,287±0,235
μg.cm-2
.hours-1
Keywords : Transdermal, transfersome, verapamil hydrochloride
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Penulisan
skripsi yang berjudul “Formulasi dan Karakterisasi Transfersom yang
Mengandung Verapamil Hidroklorida” bertujuan untuk memenuhi persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan (FKIK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini, penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. dan Afriani Rahma, M.Farm., Apt., selaku
dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, waktu, tenaga,
saran, dan dukungan dalam penelitian ini.
2. Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt., selaku Kepala Program Studi Farmasi dan
Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt., selaku Sekretaris Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak motivasi, bantuan,
serta ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis.
4. Nelly Suryani, Ph.D., Apt., dan Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt., selaku dewan
penguji yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan dukungan
dalam penelitian ini.
5. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, atas
ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis.
6. Kedua orang tua, ayahanda tersayang Nugroho Dadi Santoso dan ibunda
tercinta Rosalina yang selalu memberikan kasih sayang, doa yang tak pernah
terputus dan dukungan baik moril maupun materil. Tak ada satu hal pun di
ix
dunia ini yang dapat membalas semua kebaikan, cinta, dan kasih sayang yang
telah kalian berikan kepada anakmu, semoga Allah selalu memberikan
keberkahan, kesehatan, keselamatan, perlindingan, cinta, dan kasih sayang
kepada kedua orang tua penulis tercinta.
7. Kedua kakakku tersayang Garry Ramdhany, B.Sc., dan Hendy Utomo, MBA,
dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan doa, semangat, dan
dukungan hingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
8. Seluruh keluarga besar Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan kesempatan, dan kemudahan untuk melakukan penelitian
serta dukungan yang amat besar.
9. Muhammad Reza, Aziz Iqbal Iraqia, dan Muhammad Haidar Ali atas segala
pengertian, semangat, perhatian, dan bantuannya.
10. Fio Noviany, Rianisa Karunia Dewi, serta teman-teman Program Studi
Farmasi Angkatan 2011 yang telah member banyak semangat dan
kebersamaannya, terimakasih atas kerjasama dalam penelitian ini.
11. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun
penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu farmasi pada
khususnya. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian
ini.
Ciputat, 9 April 2015
Penulis
x
xi
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
ABSTRACT .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............. x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................... 3
1.5. Hipotesis ..................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4
2.1. Anatomi dan Fisiologi Kulit ..................................................... 4
2.2. Sistem Penghantaran Obat Melalui Kulit .................................. 6
2.2.1. Mekanisme Absorpsi Obat Melalui Kulit ........................ 6
2.2.2. Teori Difusi...................................................................... 7
2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Obat Melalui Kulit 9
2.3. Verapamil Hidroklorida ............................................................. 11
2.4. Transfersom ............................................................................... 12
2.5. Komponen Pembentuk Sistem Transfersom .............................. 19
2.5.1. Fosfatidilkolin .................................................................. 19
2.5.2. Tween 80 ......................................................................... 19
2.5.3. Etanol ............................................................................... 20
2.5.4. Phosphate buffered saline ............................................... 21
2.6. Persen Efisiensi Penjerapan ....................................................... 21
2.7. Ukuran Partikel, Distribusi Ukuran Partikel, dan Indeks
Polidispersitas ........................................................................... 21
2.8. Gel Transdermal ....................................................................... 22
2.9. Preformulasi Gel Transdermal................................................... 23
xii
2.9.1. Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) ......................... 23
2.9.2. Gliserin ............................................................................ 23
2.9.3. Propilen Glikol ................................................................ 24
2.9.4. Metil Paraben .................................................................. 25
2.9.5. Propil Paraben ................................................................. 25
2.9.6. Natrium Metabisulfit ....................................................... 26
2.9.7. Aquadest .......................................................................... 26
2.10. Franz Diffusion Cell .................................................................... 26
2.11. Spektrofotometer UV-Vis ........................................................... 28
BAB 3 METODE PENELITIAN ................................................................. 30
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 30
3.2. Alat dan Bahan .......................................................................... 30
3.2.1. Alat .................................................................................. 30
3.2.2. Bahan ............................................................................... 30
3.3. Prosedur Penelitian .................................................................... 31
3.3.1. Formula Transfersom ...................................................... 31
3.3.1.1. Pembuatan Larutan Buffer Fosfat Saline pH 7,3 31
3.3.1.2. Pembuatan Transfersom dengan Metode Hidrasi
Lapis Tipis ......................................................... 31
3.3.2. Pengukuran Ukuran Partikel ........................................... 32
3.3.3. Pengukuran Efisiensi Penjerapan .................................... 32
3.3.4. Preparasi dan Pengujian Kadar Verapamil Hidroklorida 33
3.3.4.1. Preparasi Standar ............................................... 33
3.3.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Optimum ......... 33
3.3.4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi ............................... 33
3.3.4.4. Pengukuran Sampel ........................................... 33
3.3.5. Formula Gel .................................................................... 34
3.3.6. Pembuatan Gel Transfersom Verapamil Hidroklorida ... 34
3.3.7. Evaluasi Gel Transfersom Verapamil Hidroklorida ....... 35
3.3.7.1. Pemeriksaan Organoleptis Gel ......................... 35
3.3.7.2. Uji Homogenitas Gel ........................................ 35
3.3.7.3. Pengukuran pH Gel .......................................... 35
3.3.7.4. Pengukuran Viskositas Gel ............................... 35
3.3.8. Penyiapan Kulit Tikus ..................................................... 36
3.3.9. Uji Kemampuan Difusi Zat Aktif ................................... 36
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 37
4.1. Formulasi Transfersom ............................................................. 37
4.2. Karakterisasi Transfersom Verapamil Hidroklorida ................ 40
4.2.1. Organoleptis .................................................................... 40
4.2.2. Pengukuran Distribusi Ukuran Partikel .......................... 41
4.2.3. Pengukuran Efisiensi Penjerapan ................................... 41
4.2.3.1. Pembuatan Spektrum Serapan Kurva
Kalibrasi Verapamil Hidroklorida dalam
Phosphate Buffered Saline pH 7,3±0,2 ............ 41
4.2.3.2. Penentuan Jumlah Verapamil Hidroklorida
xiii
yang Tidak Terjerap Transfersom .................... 42
4.3. Formulasi Gel ............................................................................ 42
4.4. Karakterisasi Gel ....................................................................... 43
4.4.1. Pengamatan Organoleptis ............................................... 43
4.4.2. Pengujian Homogenitas .................................................. 44
4.4.3. Pengukuran Derajat Keasaman (pH) .............................. 44
4.4.4. Pengukuran Viskositas ................................................... 45
4.5. Uji Kemampuan Difusi Zat Aktif .............................................. 45
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 51
5.1. Kesimpulan ................................................................................ 51
5.2. Saran .......................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 52
LAMPIRAN .................................................................................................... 59
xiv
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1. Anatomi Kulit ....................................................................... 4
Gambar 2.2. Lapisan Epidermis Kulit ....................................................... 5
Gambar 2.3. Jalur Absorbsi Obat Melalui Kulit ........................................ 6
Gambar 2.4. Mekanisme Absorbsi Obat Melalui Kulit ............................. 7
Gambar 2.5. Verapamil Hidroklorida ........................................................ 11
Gambar 2.6. Struktur Transfersom ............................................................ 13
Gambar 2.7. Elastisitas Transfersom ......................................................... 16
Gambar 2.8. Soybean Derived Phosphatidylcholine ................................. 19
Gambar 2.9. Tween 80 .............................................................................. 20
Gambar 2.10. Struktur Kimia HPMC .......................................................... 23
Gambar 2.11. Struktur Kimia Gliserin ........................................................ 24
Gambar 2.12. Struktur Kimia Propilen Glikol ............................................ 24
Gambar 2.13. Struktur Kimia Metil Paraben ............................................... 25
Gambar 2.14. Struktur Kimia Propil Paraben ............................................. 26
Gambar 2.15. Struktur Kimia Natrium Metabisulfit .................................... 26
Gambar 2.16. Franz Diffusion Cell ............................................................. 27
Gambar 4.1. Dispersi Transfersom Verapamil Hidroklorida .................... 40
Gambar 4.2. Pengamatan Organoleptis Gel .............................................. 44
Gambar 4.3. Jumlah Kumulatif Verapamil Hidroklorida yang
Terpenetrasi Per Satuan Luas Membran .........................................................
Gambar 4.4. Persentase Jumlah Kumulatif Verapamil Hidroklorida
yang Terpenetrasi dari Gel Selama 8 Jam ......................................................
48
48
xv
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 3.1. Formula Transfersom Hidroklorida.............................................. 31
Tabel 3.2. Formula Gel .................................................................................. 34
Tabel 4.1. Data Distribusi Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas
Transfersom Verapamil Hidroklorida ......................................... 41
Tabel 4.2. Efisiensi Penjerapan Transfersom Verapamil Hidroklorida ....... 42
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1. Alur Penelitian ........................................................................ 59
Lampiran 2. Gambar Alat dan Bahan Penelitian ......................................... 60
Lampiran 3. Gambar Hasil Pembentukan Lapis Tipis ................................ 61
Lampiran 4. Gambar Uji Kemampuan Difusi Zat Aktif ............................. 61
Lampiran 5. Scanning Panjang Gelombang MaksimumVerapamil
Hidroklorida dalam Phosphate Buffered Saline pH 7,3±0,2.... 62
Lampiran 6. Data Absorbansi Kurva Standar Verapamil Hidroklorida
dalam Phosphate Buffered Saline pH 7,3±0,2 ........................ 63
Lampiran 7. Kurva Kalibrasi Verapamil Hidroklorida dalam Phosphate
Buffered Saline pH 7,3±0,2 ..................................................... 63
Lampiran 8. Kurva Distribusi Ukuran Partikel ........................................... 64
Lampiran 9. Data Efisiensi Penjerapan Transfersom Verapamil
Hidroklorida ............................................................................ 67
Lampiran 10. Data Hasil Uji Penetrasi Verapamil Hidroklorida dalam
Larutan Phosphate Buffered Saline pH 7,3±0,2 dari Gel
Verapamil Hidroklorida dan Gel Transfersom Verapamil
Hidroklorida ............................................................................ 67
Lampiran 11. Data Persentase Kumulatif Verapamil Hidroklorida
Terpenertasi dari Gel Verapamil Hidroklorida dan Gel
Transfersom Verapamil Hidroklorida Berdasarkan Uji
Penetrasi Selama 8 Jam ........................................................... 68
Lampiran 12. Data Hasil Jumlah Kumulatif Verapamil Hidroklorida yang
Terpenetrasi, Persentase Jumlah Verapamil Hidroklorida
yang Terpenetrasi, dan Fluks Verapamil Hidroklorida dari
Gel Verapamil Hidroklorida dan Gel Transfersom Verapamil
Hidroklorida berdasarkan Uji Penetrasi selama 8 jam ........... 68
Lampiran 13. Data Statistik Fluks Verapamil Hidroklorida ......................... 69
Lampiran 14. Contoh Perhitungan Persen Efisiensi Penjerapan
Verapamil Hidrokloridapada F1 .............................................. 70
Lampiran 15. Contoh Perhitungan Jumlah Verapamil Hidroklorida yang
Terpenetrasi dari Gel Transfersom Verapamil Hidroklorida
pada Menit ke-480 ................................................................... 71
Lampiran 16. Contoh Perhitungan Fluks Difusi pada Gel Transfersom
Verapamil Hidroklorida Jam ke delapan ................................. 72
Lampiran 17. Contoh Perhitungan Persentase Jumlah Kumulatif
Verapamil Hidroklorida yang Terpenetrasi dari Gel
Transfersom Verapamil Hidroklorida ..................................... 73
Lampiran 18. Sertifikat Analisis Soya Phosphatidylcholine .......................... 74
Lampiran 19. Sertifikat Analisis Verapamil Hidroklorida ............................. 75
Lampiran 20. Sertifikat Analisis Etanol ........................................................ 80
Lampiran 21. Sertifikat Analisis Phosphate Buffered Saline pH 7,3±0,2 ..... 82
Lampiran 22. Sertifikat Analisis HPMC ....................................................... 83
Lampiran 23. Sertifikat Analisis Gliserin ..................................................... 85
Lampiran 24. Surat Keterangan Hewan Uji .................................................. 87
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sistem penghantaran secara transdermal merupakan sistem penghantaran
obat melalui kulit yang mudah diaplikasikan, non-invasif, tidak mahal, serta dapat
dilakukan oleh pasien sendiri. Pelepasan obat melalui rute transdermal dilakukan
secara perlahan sehingga konsentrasi obat dalam plasma dapat terjaga dalam
waktu yang lebih lama. Sistem penghantaran transdermal memiliki keuntungan
dalam menghindari jalur metabolisme lintas pertama, dapat memberikan sifat
pemberian yang terkontrol pada periode waktu tertentu, dan meningkatkan
kenyamanan pada pasien saat pemberian. Pengembangan sistem penghantaran
secara transdermal dilakukan untuk mengatasi berbagai kekurangan pemberian
obat secara oral (Shah, Tojo, dan Chien, 1992).
Salah satu model obat yang dapat dapat diaplikasikan dalam sistem
penghantaran secara transdermal adalah verapamil hidroklorida. Hal ini
disebabkan karena verapamil hidroklorida yang diberikan secara oral memiliki
bioavaibilitas yang sangat rendah akibat metabolisme lintas pertama oleh hati.
Bioavaibilitas verapamil hidroklorida hanya sekitar 10 sampai 23% dan waktu
paruh eleminasinya juga sangat singkat, yaitu berkisar antara 2 sampai 4 jam
(Singh, 2014). Hal tersebut mengakibatkan pemberian dosis verapamil menjadi
besar dan juga frekuensi penggunaanya menjadi lebih banyak dalam sehari. Oleh
karena itu, dengan dibuatnya sediaan transdermal yang mengandung verapamil
hidroklorida, diharapkan permasalahan pemberian verapamil hidroklorida melalui
rute oral dapat teratasi.
Namun, pada sistem penghantaran transdermal, kemampuan obat
berpenetrasi menembus membran kulit menjadi permasalahan sekaligus menjadi
keterbatasan sistem penghantaran ini. Obat harus mampu melewati sawar kulit,
terutama stratum korneum. Stratum korneum memiliki struktur seperti batu bata
yang menyulitkan obat berpenetrasi masuk menembus jaringan kulit. Stratum
korneum mengandung keratin korneosit yang saling melekat satu sama lain
dengan adanya “semen”, yaitu lipid bilayer yang terdiri dari kolesterol, ester
1
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kolesterol, asam lemak, dan seramid, sehingga menyulitkan penetrasi obat melalui
jalur ini (Barry, 2001).
Salah satu cara untuk mengatasi masalah penetrasi tersebut adalah dengan
membuat suatu sistem penghantaran yang mampu menembus barrier pada
membran kulit dengan mudah. Dalam penelitian ini, dirancang vesikel lipid elastis
yang dapat menghantarkan suatu obat menembus membran sel untuk mencapai
tempat kerjanya dan menghasilkan efikasi yang tinggi, yaitu transfersom.
Transfersom merupakan suatu sistem penghantaran obat berbasis fosfolipid,
surfaktan, dan air yang ditujukan untuk memperbaiki penghantaran melalui rute
transdermal. Karena komposisinya tersebut, transfersom memiliki struktur
menyerupai barrier pada membran kulit, sehingga transfersom dapat berpenetrasi
menembus membran kulit dengan mudah. Transfersom memiliki elastisitas,
kemampuan berpenetrasi, dan kemampuan menjerap obat yang lebih baik
dibandingkan dengan vesikel lipid lainnnya (liposom, niosom, entosom, dan lain-
lain).
Transfersom akan membentuk vesikel yang akan menjerap verapamil
hidroklorida yang akan menghantarkannya menembus membran sel kulit.
Sehingga bioavaibilitas verapamil hidroklorida yang dihasilkan akan meningkat
(Vinod, 2012). Salah satu faktor yang mempengaruhi karakteristik transfersom
adalah rasio konsentrasi fosfolipid dengan surfaktan yang digunakan. Rasio
konsentrasi fosfolipid dengan surfaktan tersebut dapat mempengaruhi ukuran
partikel dan efisiensi penjerapan transfersom. Transfersom dengan karakteristik
yang baik memiliki ukuran partikel yang kecil dan efisiensi penjerapan yang
besar, sehingga jumlah obat yang dapat dihantarkan juga besar
Berdasarkan uraian di atas, maka pada penelitian ini akan diformulasi dan
dikarakterisasi transfersom yang mengandung verapamil hidroklorida dengan tiga
rasio konsentrasi fosfolipid dan surfaktan yang berbeda, sebagai sistem
penghantaran obat melalui rute transdermal.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimana formula, karakteristik, serta kemampuan penetrasi transfersom
verapamil hidroklorida?
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh formula transfersom yang
mengandung verapamil hidroklorida yang dapat meningkatkan laju penetrasi
verapamil hidroklorida melalui membran kulit.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini, dapat memberikan informasi mengenai transfersom
yang dapat meningkatkan penetrasi verapamil hidroklorida menembus membran
kulit.
1.5. Hipotesis
Transfersom dapat meningkatkan laju penetrasi verapamil hidroklorida
melalui membran kulit.
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Kulit
Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 sampai 2,0 m2 dengan
berat kira-kira 16% berat badan (4,8 kg pada pria dan 3,2 kg pada wanita). Kulit
mempunyai lima fungsi utama, yaitu fungsi proteksi, fungsi absorpsi, fungsi
ekskresi, fungsi persepsi, dan fungsi termoregulasi (Pearce, 2009).
Gambar 2.1. Anatomi Kulit
(sumber : McGraw-Hill Companies, 2009)
Kulit terdiri atas tiga lapisan dengan berbagai jenis sel dan fungsinya
(Trommer dan Neubert, 2006). Ketiga lapisan tersebut adalah:
a. Epidermis
Merupakan lapisan terluar kulit yang tidak terdapat pembuluh darah. Sel-
sel epidermis terus menerus mengalami mitosis, dan digantikan dengan sel baru
sekurang-kurangnya setiap 30 hari sekali. Bagian epidermis ini tersusun atas
jaringan epitel skuamosa bertingkat, yaitu: stratum korneum, stratum lusidum,
stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.
4
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Stratum korneum merupakan lapisan epidermis teratas yang tersusun atas
sel mati, tidak memiliki inti sel, mengandung zat keratin (protein), lapisan kulit
yang utama digunakan untuk difusi substrat yang larut air dan lemak. Stratum
korneum yang utuh menyediakan barrier permanen yang disebut dengan struktur
“brick and mortar” atau “bata dan semen” yang dianalogikan seperti dinding.
Stratum korneum tersusun atas lapisan lipid bilayer dari seramid, asam lemak,
kolesterol, dan ester kolesterol.
Gambar 2.2. Lapisan Epidermis Kulit
(sumber : McGraw-Hill Companies, 2009)
b. Dermis
Dermis adalah suatu lapisan yang tersusun atas jaringan fibrosa dan
jaringan ikat elastis yang terletak di bawah epidermis dan berfungsi sebagai
penopang struktur dan nutrisi. Permukaan lapisan dermis tersusun atas papila-
papila kecil, sedangkan pada lapisan yang lebih dalam terdapat jaringan
subkutan dan fasia. Lapisan dermis ini mengandung pembuluh darah,
pembuluh limfa, dan saraf yang disuplai oleh saraf sensorik dan motorik.
c. Subkutan (Hipodermis)
Lapisan ini terdiri atas jaringan penghubung, pembuluh darah, dan sel-
sel penyimpan lemak yang memisahkan lemak dengan otot, tulang, dan
struktur lain. Lapisan hypodermis berfungsi sebagai cadangan makanan dan
bantalan untuk melindungi tubuh dari benturan-benturan fisik, serta berperan
dalam pengaturan suhu tubuh.
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2. Sistem Penghantaran Obat Melalui Kulit
2.2.1. Mekanisme Absorpsi Obat Melalui Kulit
Mekanisme absorbsi obat melalui kulit terdiri dari dua jalur utama
(Gambar 2.3) (Trommer, 2006 ; Banker, 2002):
a. Transepidermal
Transepidermal merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang
terjadi melalui dua mekanisme, yaitu transelular yang berarti jalur difusi
melalui protein di dalam sel kemudian melewati daerah yang kaya akan lipid,
dan jalur paraselular yang berarti jalur melalui ruang atau celah antar sel.
Penetrasi transepidermal berlangsung melalui dua tahap. Pertama, pelepasan
obat dari pembawa ke stratum korneum, yang bergantung pada koefisien
partisi obat dalam pembawa dan stratum korneum. Kedua, difusi melalui
epidermis dan dermis yang dibantu oleh aliran pembuluh darah dalam lapisan
dermis. Jalur transepidermal merupakan jalur utama dibandingkan dengan
jalur melalui kelenjar-kelenjar lainnya karena luas permukaan epidermal 100
sampai 1000 kali lebih luas dari luas permukaan kelenjar-kelenjar tersebut.
b. Transappendageal
Transappendageal merupakan jalur masuknya obat melalui folikel
rambut (transfolikular) dan kelenjar keringat (transglandular) yang disebabkan
karena adanya pori-pori di antara kedua kelenjar tersebut, sehingga
memungkinkan obat berpenetrasi masuk ke dalam folikel atau kelenjar
keringat tersebut.
Gambar 2.3. Jalur Absorbsi Obat Melalui Kulit
(sumber : McGraw-Hill Companies, 2009)
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Secara skematis, langkah-langkah absorpsi obat rnelalui kulit dapat
dijelaskan dengan sebagai berikut (Banker, 2002):
Gambar 2.4. Mekanisme Absorbsi Obat Melalui Kulit
(Sumber: Banker, 2002)
2.2.2. Teori Difusi
Perlintasan dalam membran sintesis pada umumnya berlangsung dalam
dua tahap (Aiache, 1993):
a. Tahap awal adalah proses difusi zat aktif menuju permukaan yang kontak
dengan membran
b. Tahap kedua adalah pengangkutan
Proses masuknya obat ke dalam kulit secara umum terjadi melalui proses
difusi pasif. Difusi tersebut secara umum terjadi melalui stratum korneum (jalur
transepidermal), tetapi dapat juga terjadi melalui kelenjar keringat, minyak atau
folikel rambut (jalur transpappendageal atau transfolikular). Penetrasi
Disolusi obat dalam pembawa
Disolusi obat melalui pembawa ke permukaan kulit
Jalur Transepidermal Transappendageal
Partisi ke dalam
stratum korneum
Partisi ke dalam
sebum
Difusi melalui matriks protein-lipid
stratum korneum
Difusi melalui lipid dalam
kelenjar sebasea
Partisi ke dalam viabel epidermis Difusi melalui sel epidermis
Difusi melalui sel dermis Uptake kapiler dan dilusi sistemik
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
transpappendageal ini sangat sedikit digunakan untuk transport molekul obat,
karena hanya mempunyai daerah yang kecil (< 0,1% dari total permukaan kulit),
akan tetapi, penetrasi ini berperan penting pada beberapa senyawa polar dan
molekul ion yang hampir tidak berpenetrasi melalui stratum korneum (Moghimi,
1999 dan Swarbrick, 1995). Pada jalur transpappendageal, obat sulit berdifusi
menuju ke arah dalam karena berlawanan dengan arah sekresi kelenjar keringat.
Jalur transfolikular melibatkan difusi melalui sebum (lemak) yang ada dalam
kelenjar sebum, kemudian masuk ke pembuluh darah (Toitou, Barry, dan
Williams, 2007 ; Banker dan Anderson, 2002).
Difusi pasif merupakan proses di mana suatu substansi bergerak dari
daerah suatu sistem ke daerah lain dan terjadi penurunan kadar gradien diikuti
bergeraknya molekul. Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses trans-
membran, umumnya pada obat. Tenaga pendorong untuk difusi pasif ini adalah
perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Menurut Hukum Ficks,
molekul obat berdifusi dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah
konsentrasi obat rendah.
Keterangan :
dQ/dt = laju difusi
D = Koefisien difusi obat
K = Koefisien partisi obat dalam membran dan pembawa
A = Luas permukaan membran
h = Tebal membran
Cs = Konsentrasi obat dalam pembawa
C = Konsentrasi obat dalam medium reseptor
Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi,
viskositas dan ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi oleh
koefisien partisi, yaitu semakin besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi
obat. Kemampuan berdifusi suatu zat melalui kulit dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia dari zat aktif (bobot molekul, kelarutan, koefisien partisi) ataupun
(2.1)
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
juga dipengaruhi oleh karakteristik sediaan, basis dan zat-zat tambahan dalam
sediaan.
2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Melalui Kulit (Hillery, Loyc, dan
Swarbick, 2001)
Beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi suatu obat melalui kulit
adalah:
a. Stratum Korneum
Stratum korneum merupakan hambatan utama untuk penyerapan obat
di kulit. Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk meningkatkan penetrasi
obat pada sistem penghantaran transdermal. Salah satu cara yang dilakukan
adalah dengan mengubah komposisi lipid bilayer antarsel dengan
menggunakan enchancer fisika ataupun kimia. Untuk senyawa yang sangat
lipofilik (log P > 104), faktor yang menentukan absosrpsi tidak hanya terbatas
pada difusi pada stratum korneum, melainkan dipengaruhi pula oleh kinetika
pergerakan obat.
b. Anatomi Kulit
Absorpsi pada kulit juga dipengaruhi oleh anatomi kulit pada bagian
tubuh tertentu. Kulit pada bagian tubuh seperti alat kelamin, skrotum, ketiak,
wajah, kulit kepala, dan punggung telinga lebih permeable dibandingkan
dengan lengan, kaki, atau bagian tubuh lainnya. Namun, bukan berarti bagian
tubuh tersebut tidak dapat dijadikan lokasi penghantaran obat transdermal.
Pemberian obat secara transdermal biasanya disesuaikan pada tempat lokasi
tujuan pemberian obat tersebut.
c. Penyakit Kulit
Perubahan fungsi penghalang atau barrier karena penyakit kulit
umumnya menyebabkan perubahan komposisi lipid bilayer atau protein dari
stratum korneum atau menyebabkan diferensiasi sel epidermis normal. Hal ini
tentu membuat perubahan kemampuan penetrasi obat.
d. Usia
Perbedaan usia menyebabkan perbedaan kadar air transepidermis dan
kemampuan kulit sebagai barrier. Pada geriatri, kulit akan cenderung lebih
rapuh karena kadar air yang berkurang dan kemampuan barrier yang semakin
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
melemah. Sedangkan untuk pediatri, kulit masih sangat sensitif karena sedang
dalam fase pertumbuhan dan perkembangan, sehingga rentan terjadi
pemasalahan termasuk toksisitas.
e. Metabolisme Kulit
Metabolisme presistemik pada kulit dapat memodifikasi
bioavailabilitas obat transdermal. Hal tersebut disebabkan akibat enzim yang
terdapat pada kulit. Namun, kemampuan metabolisme pada kulit lebih rendah
dibandingkan dengan organ lainnya, sehingga tidak membuat penurunan
bioavaibilitas obat secara signifikan.
f. Deskuamasi
Epidermis mengalami regenerasi sel setiap tiga minggu atau lebih. Hal
ini disebabkan akibat deskuamasi lapisan stratum korneum per hari.
Deskuamasi mempengaruhi waktu pemberian sediaan transdermal pada kulit.
g. Iritasi Kulit dan Sensitisasi
Iritasi pada kulit merupakan respon inflamasi non-imunologi. Iritasi
dan sensitisasi membuat kulit akan semakin permeabel sehingga obat akan
semakin sulit berpenetrasi menembus kulit.
h. Aliran Darah
Perbedaan aliran darah ke pada kulit secara nyata akan mempengaruhi
kecepatan obat menembus kulit. Semakin lambat aliran darah (akibat
penggunaan vasokontriktor), maka semakin berkurang pula kemampuan obat
berpenetrasi menembus kulit.
i. Tempat Pemberian
Lokasi tempat pemberian menyebabkan perbedaan ketebalan stratum
korneum. Tebal stratum korneum bervariasi antara 9 sampai 600 pm. Sesuai
dengan hukum Ficks, maka ketebalan membran yang bermacam-macam akan
menyebabkan peningkatan waktu yang diperlukan obat untuk mencapai
keseimbangan konsentrasi pada stratum korneum, sehingga kemampuan
penetrasi obat juga terhambat.
j. Kelembaban dan Temperatur
Pada keadaan normal, kandungan air dalam stratum korneum berkisar
antara 5 sampai 15%. Kelembaban dan temperatur akan mempengaruhi
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
konformasi dari stratum korneum sehingga akan mempengaruhi kemampuan
obat untuk berpenetrasi masuk ke dalam kulit.
2.3. Verapamil Hidroklorida
Verapamil hidroklorida merupakan obat anti-hipertensi derivat
fenilalkilamin (non-dihidropirin) yang termasuk kelompok calcium channel
blocker (CCB). Verapamil bekerja dengan cara mengendurkan otot jantung dan
pembuluh darah. Dibandingkan dengan dihidropiridin, golongan CCB non-
dihidropiridin memiliki efek samping yang lebih rendah sehingga verapamil
hidroklorida banyak digunakan dalam penanganan penyakit hipertensi (Dipiro,
2009).
Verapamil hidroklorida memiliki rumus molekul C27H38N2O4 • HCl
(Gambar 2.5). Verapamil Hidroklorida berbentuk serbuk kristalin putih atau
hampir putih, tidak berbau dan memiliki rasa pahit. Verapamil hidroklorida
merupakan garam, sehingga memiliki kelarutan yang baik dalam air, kloroform,
etanol maupun metanol (Anonim, 2007). Verapamil hidroklorida memiliki bobot
molekul 491,07 dan titik leleh 144oC (Kusum Devi, 2003).
Gambar 2.5. Verapamil Hidroklorida
(Sumber: Pharmacopeia 2014)
Verapamil hidroklorida memiliki absorpsi yang baik secara oral. Sekitar
90% pemberian secara oral akan diabsorpsi dan mengalami biotransformasi secara
cepat. Karena proses biotransormasi terjadi secara cepat, hal ini menyebabkan
verapamil hidroklorida mengalami metabolisme lintas pertama hati secara
ekstrem. Tentunya hal ini berdampak pada bioavaibilitas verapamil hidroklorida
dalam darah. Bioavaibilitas verapamil hidroklorida dalam cairan hayati hanya
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berkisar antara 10% sampai 23% dan sekitar 90% akan terikat pada protein
plasma. Waktu puncak verapamil hidroklorida diperoleh sekitar 1 sampai 2 jam
setelah pemberian secara oral (Anonim, 2007). Sedangkan waktu paruh eleminasi
verapamil hidroklorida berkisar antara 2 sampai 4 jam. Akibatnya, diperlukan
pemberian dosis yang sempit yaitu setiap 6 jam sekali untuk menjaga
konsentrasinya dalam plasma. Sekitar 70% verapamil hidroklorida diekskresikan
dalam bentuk metabolit melalui urin, dan sisanya melalui feses. Dalam urin,
sekitar 3 sampai 4% verapamil hidroklorida berada dalam bentuk tidak berubah
(Singh T.P, Singh R.K., Shah, dan Mehta, 2014).
2.4. Transfersom
Liposom adalah analog sintetik dari membran alami, suatu vesikel berair
yang dikelilingi oleh membran lipid bilayer unilamelar atau multilamelar.
Liposom berbentuk kantung (vesikel) yang terbungkus dalam ukuran micron atau
submicron dan tersebar di lingkungan air. Dinding vesikel terdiri dari dua lapisan
yang bersifat ampifilik. Sifat bilayer yang dimiliki liposom membuat perbedaan
antara kompartemen air di dalam dengan media luar. Dengan adanya lingkungan
yang berbeda ini, maka liposom menjadi sistem pembawa yang baik untuk bahan
atau zat aktif yang bersifat hidrofobik, hidrofilik, ataupun ampifilik.
Salah satu perkembangan dari liposom adalah transfersom. Transfersom
pertama kali dikenalkan pada tahun 1991 oleh Gregor Cevc. Transfersom
merupakan sistem penghantaran obat berbasis fosfolipid, surfaktan, dan air.
Transfersom berasal dari bahasa Latin “transferre” yang berarti “untuk membawa
seluruh” dan bahasa Greek “soma” yang berarti “tubuh”. Transfersom merupakan
vesikel buatan yang menyerupai vesikel alami. Transfersom terbentuk secara
spontan ketika fosfolipid dihidrasi dengan sejumlah air. Transfersom sangat cocok
untuk digunakan dalam sistem penghantaran obat menuju target dan terkontrol
(Vinod, Kumar, Anbazhagan, Sandhya, Saikumar, dan Rohit, 2012).
Transfersom adalah kompleks agregat yang mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungannya dan responsif terhadap stress. Transfersom membentuk
vesikel yang sangat elastis sehingga mampu berubah bentuk ketika melewati celah
pada membran sel. Sifat ultradeformable tersebut diperoleh karena inti cairan
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang dikelilingi oleh lapisan lipid bilayer yang kompleks. Komposisi dan bentuk
dari bilayer membuat vesikel elastis dan optimal menjalankan fungsinya sebagai
sistem penghantar. Oleh karena itu, transfersom mampu melewati berbagai
barrier transport dengan sangat efisien dan bertindak sebagai sistem penghantar
obat non-invasif untuk pelepasan yang terkontrol (Shilakari, Singh, dan Astahana,
2013).
Gambar 2.6. Struktur Transfersom
(Sumber: Sachan, Parashar, Singh V, Soniya, Singh G, Tyagi, dan Chirag, 2013)
Secara morfologi, transfersom dapat diklasifikasikan menjadi (Abdassah,
2004), di antaranya:
a. Multilamellar Vesicle (MLV)
Multilamellar Vesicle dapat menjerap molekul berukuran kecil maupun
besar. Ukuran Multilamellar Vesicle berkisar antara 0,1 sampai 0,5 µm dan
pada umumnya terdiri dari lima atau lebih lamellar. Faktor yang paling
penting pada preparasi Multilamellar Vesicle adalah waktu, proses hidrasi,
ketebalan lapisan tipis lipid, konsentrasi, komposisi lipid dan volume dapar.
Multilamellar Vesicle memiliki kekurangan di mana kapasitas penjerapan
untuk senyawa yang bersifat polar rendah.
b. Small Unilamellar Vesicle (SUV)
Small Unilamellar Vesicle berbentuk bulat dengan ukuran 20 sampai
50 nm. Small Unilamellar Vesicle dihasilkan dari proses sonikasi dispersi
fosfolipid. Keberhasilan Small Unilamellar Vesicle sangat bergantung pada
komposisi lipid, waktu sonikasi, dan jumlah kolesterol pada campuran lipid.
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Large Unilamellar Vesicle (LUV)
Large Unilamellar Vesicle dibentuk dari emulsi fosfolipid dalam dapar
dengan pelarut organik, diikuti dengan penguapan pelarut organik dibawah
tekanan vakum.
Menurut Sahil M, Sharad S, Jadhav, dam Kadam (2011), dibandingkan
dengan vesikel lipid lainnya, transfersom memiliki beberapa kelebihan, di
antaranya:
a. Transfersom memiliki efisiensi penjerapan yang lebih tinggi, sekitar 90%
untuk obat lipofilik
b. Penetrasi transfersom jauh lebih baik dibandingkan dengan liposom lainnya
karena elastisitasnya
c. Transfersom dapat berfungsi sebagai pembawa untuk obat dengan bobot
molekul tinggi ataupun rendah seperti analgesik, anastetik, kortikosteroid,
hormon seks, antikanker, insulin, albumin, gap junction protein, dan lain-lain
d. Transfersom memiliki struktur yang terdiri atas molekul hidrofobik dan
hidrofilik sehingga dapat menampung molekul obat dengan range solubilitas
yang besar
e. Transfersom dapat berfungsi sebagai depot yang akan melepaskan obat secara
perlahan dan bertahap
f. Transfersom dapat digunakan untuk menghantarkan obat baik secara sistemik
maupun topikal
g. Transfersom sangat biokompatibel dan biodegradabel karena terbuat dari
fosfolipid yang berasal dari alam
h. Transfersom dapat melapisi obat dan melindunginya dari degradasi metabolik
i. Mudah untuk melakukan scale up, karena prosesnya cukup mudah dan tidak
menggunakan bahan tambahan yang tidak kompatibel secara farmasetik
Di samping kelebihannya, transfersom juga memiliki beberapa kekurangan
(Sahil M, Sharad S, Jadhav, dam Kadam, 2011), di antaranya:
a. Stabilitas transfersom dapat terganggu akibat proses oksidasi yang akan
menyebabkan degradasi
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Kemurnian fosfolipid alami menentukan kualitas transfersom sebagai sistem
penghantar obat
c. Formulasi transfersom mahal
Ketika diaplikasikan pada kulit, transfersom menggunakan jalur hidrofilik
atau melalui celah antarsel pada kulit yang akan terbuka cukup lebar untuk
memungkinkan seluruh vesikel masuk melewati celah tersebut. Bentuknya yang
elastis mampu membuat vesikel dapat melewati celah sel dengan mudah tanpa
membuat vesikel tersebut kehilangan integritasnya. Fleksibilitas dari transfersom
diperoleh dari perbandingan konsentrasi antara surfaktan dengan fosfatidilkolin.
Fleksibilitas inilah yang akan menentukan pecah atau tidaknya vesikel tersebut
dalam kulit dan menentukan kemampuan transfersom untuk menembus epidermis
mengikuti gradien air ketika diaplikasikan pada kondisi non-oklusif.
Transfersom melindungi obat yang dikemas olehnya dari degradasi
metabolik. Transfersom bertindak sebagai depot yang akan melepaskan obat yang
dikemasnya secara perlahan dan bertahap. Transfersom dapat menembus stratum
korneum melalui dua rute dalam lipid intraseluler yang berbeda sifat bilayer-nya.
Transfersom mampu berpenetrasi melalui rute intraseluler maupun transeluler
pada barrier di seluruh bagian kulit tubuh (Shilakari, Singh, dan Astahana, 2013).
Mekanisme penetrasi transfersom mengikuti gradien osmotik. Transpor
dari vesikel ini bergantung pada konsentrasi. Hidrasi transepidermal
menghasilkan gaya pada vesikel untuk masuk ke dalam kulit. Karena
elastisitasnya, vesikel dapat menyesuaikan bentuk dengan pori atau celah yang
terdapat pada stratum korneum. Ukuran celah tersebut sekitar satu sampai sepuluh
kali lebih kecil dibandingkan dengan diameter vesikel (Prajapati, Patel C.N., dan
Patel C.G., 2011).
Gambar 2.7. Elastisitas Transfersom
(Sumber: Sachan, Parashar, Singh V, Soniya, Singh G, Tyagi, dan Chirag, 2013)
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ketika transfersom diaplikasikan pada permukaan biologis seperti kulit
yang non-oklusif, transfersom akan berpenetrasi dan bermigrasi menuju lapisan
yang lebih dalam dan kaya akan air untuk membuat vesikel terhidrasi dengan
cukup. Selama penetrasi menuju stratum korneum, terjadi deformasi atau
perubahan bentuk yang reversible pada bilayer. Intinya, mekanisme penetrasi
transfersom mengandung prinsip elasto-mekanik yang dikombinasikan dengan
gaya hidrasi atau osmotik (Sachan, Parashar, Singh V, Soniya, Singh G, Tyagi,
dan Chirag, 2013).
Komposisi utama transfersom terdiri dari (Prajapati, Patel C.N., dan Patel
C.G., 2011):
a. Fosfolipid
Fosfolipid digunakan sebagai komponen utama pembentuk vesikel.
Fosfolipid yang digunakan harus berasal dari alam, baik nabati ataupun
hewani. Untuk sediaan topikal atau transdermal, biasanya digunakan
fosfolipid nabati, karena umumnya fosfolipid hewani (egg yolk) menimbulkan
bau. Umumnya fosfolipid yang digunakan adalah soya phosphatidyl choline,
dipalmitoyl phosphatidyl choline, distearoyl phoshatidyl choline, dan lain-lain.
b. Surfaktan
Surfaktan merupakan komponen penting dalam transfersom. Surfaktan
bertindak sebagai agen yang membuat transfersom memiliki fleksibilitas yang
sesuai. Konsentrasi dan perbandingan fosfolipid dengan surfaktan akan
menentukan fleksibilitas dan elastisitas dari transfersom. Oleh karena itu, pada
perbandingan tertentu dapat dihasilkan transfersom dengan elastisitas
maksimum sehingga mampu berpenetrasi melalui lipid bilayer dengan baik.
Surfaktan yang biasa digunakan adalah sodium cholate, sodium deocycholate,
tween-80, span-80, dan lain-lain. Berdasarkan literatur, perbandingan
fosfolipid dan surfaktan yang ideal untuk menghasilkan transfersom dengan
kemampuan penetrasi yang baik adalah phosphatidyl choline:sodium cholate
(65:35 % b/b).
c. Pelarut Organik
Pelarut organik digunakan untuk melarutkan fosfolipid dan surfaktan.
Pelarut organik yang umum digunakan adalah alkohol seperti metanol atau
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
etanol. Selain itu, dapat digunakan kombinasi pelarut organik seperti metanol
dengan kloroform.
d. Buffering Agent
Metode yang umum digunakan dalam pembuatan transfersom adalah
hidrasi lapis tipis. Pada metode ini, diperlukan sebuah media penghidrasi dan
yang umum digunakan adalah Saline Phosphate Buffer pH 7,4.
e. Pewarna
Pada proses pembuatan transfersom, pewarna bukan merupakan
komponen utama. Pewarna hanya digunakan ketika akan dilakukan studi
mengenai profil distribusi misel lipid, transfersom, dan liposom yang
terfluoresens dengan menggunakan alat Confocal Scanning Laser Microscopy
(CSLM).
Transfersom dapat dibuat dengan menggunakan dua metode (Sachan,
Parashar, Singh V, Soniya, Singh G, Tyagi, dan Chirag, 2013):
a. Hidrasi Lapis Tipis
Pembuatan transfersom dengan metode hidrasi lapis tipis melibatkan dua
proses, yaitu pembentukan lapis tipis dan hidrasi lapis tipis. Lapis tipis
dibentuk dengan menguapkan pelarut yang digunakan untuk melarutkan
seluruh komponen pembentuk transfersom menggunakan vacuum rotary
evaporator. Sedangkan proses hidrasi lapis tipis dilakukan dengan melakukan
pengelupasan lapis tipis yang telah terbentuk dengan menggunakan buffer
hingga terbentuk dispersi transfersom. Proses sonikasi atau manual extrusion
dapat dilakukan untuk memperkecil ukuran partikel.
b. Pencampuran Langsung
Pada metode pencampuran langsung, seluruh komponen pembentuk
transfersom, termasuk buffer, dicampur secara langsung hingga terbentuk
dispersi transfersom. Dispersi yang telah terbentuk disonikasi dan dilakukan
proses freeze-thaw sebanyak 2 sampai 3 kali untuk mengkatalis pembentukan
vesikel. Tahapan terakhir dalam metode ini adalah memperkecil ukuran
partikel dengan melakukan proses homogenasi, ultrasonifikasi, dan/ atau
metode mekanis lainnya.
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Stabilitas transfersom adalah hal utama yang perlu diperhatikan dalam
pengembangannya. Obat yang terkandung di dalamnya dapat menjadi tidak
stabil akibat degradasi fisik dan kimia (Boylan, 1994). Perubahan struktur baik
fisik maupun kimia akan mempengaruhi disposisi obat yang terenkapsulasi.
Stabilitas transfersom sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu yang
akan mempengaruhi integritas dari membran bilayer yang terbentuk. Menurut
Boylan (1994), transfersom dipengharuhi oleh:
a. Stabilitas Kimia
Stabilitas dari transfersom bergantung pada komponen lipidnya.
Lipid merupakan biomolekul yang sangat sensitif dan cepat mengalami
reaksi degradasi kimia. Kestabilan kimia pada fosfolipid dapat dipengaruhi
oleh hidrolisis dan reaksi peroksidase. Reaksi hidrolisis terjadi pada ikatan
ester fosfatidilkolin yang menghasilkan produk degradasi yaitu 2-
lisofosfatidilkolin dan asam lemak bebas. Reaski peroksidase terjadi
terutama pada ikatan yang jenuh dalam rantai asil dari fosfolipid. Reaksi
peroksidase dapat dicegah dengan pemilihan fosfolipid dengan rantai asil
jenuh, penyimpanan transfersom dalam ruang hampa atau pada gas inert
seperti nitrogen, penyimpanan dalam tempat gelap untuk mengindari
fotooksidasi, penggunaan bahan pengkelat untuk mencegah reaksi
peroksidasi yang diaktivasi oleh ion logam serta penambahan antioksidan
seperti butylated hydroxyanisole, butylated hydroxytoluene, asam askorbat,
dan lain-lain.
b. Stabilitas Fisika
Ketidakstabilan fisik transfersom dapat dilihat dari terbentuknya
transfersom berukuran besar karena reaksi fusi atau agregasi.
Kecenderungan transfersom beragregasi tergantung pada konstituen bilayer
obat yang dijerap, ukuran partikel, dan suhu. Penambahan agen penginduksi
seperti fosfatidilgliserol atau kolesterol 10% dapat menstabilkan
transfersom.
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5. Komponen Pembentuk Sistem Transfersom
2.5.1. Fosfatidilkolin
Salah satu fosfolipid yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk
membuat transfersom adalah fosfatidilkolin. Transfersom dengan bahan dasar
fosfatidilkolin disebut dengan transfersom. Fosfatidilkolin berasal dari bahasa
Yunani lekithos yang berarti kuning telur, oleh karena itu nama lain dari
fosfatidilkolin adalah lesitin. Fosfatidilkolin dapat ditemukan pada kacang kedelai
(1,48 sampai 3,08%), kacang tanah (1,11%), hati anak sapi (0,85%), gandum
(0,61%), dan telur (0,39%). Fosfatidilkolin nabati tidak mengandung kolesterol
dan tidak berbau, sedangkan fosfatidilkolin hewani mengandung kolesterol dan
agak berbau, sehingga tidak cocok digunakan untuk sediaan kosmetik
(Mayangkara, 2011).
Gambar 2.8. Soybean Derived Phosphatidylcholine
(Sumber: Lipoid, 2014)
Fosfatidilkolin merupakan zat yang menyerupai lilin, berwarna putih,
bersifat higroskopis, praktis tidak berbau, dan larut dalam alkohol, eter, dan
kloroform, serta tidak larut dalam aseton. Fosfatidilkolin dapat berubah menjadi
warna cokelat apabila kontak dengan udara dan cahaya, sehingga perlu dilindungi
dari fotooksidasi dan oksidasi. Fosfatidilkolin akan memisah pada kondisi pH
yang ekstrim, higroskopis dan dapat menjadi sumber degradasi mikroba. Ketika
dipanaskan diatas 160oC, fosfatidilkolin akan teroksidasi menjadi gelap.
Penyimpanan fosfatidilkolin dilakukan pada suhu dibawah 10oC (Rowe, Paul, dan
Marian, 2009).
2.5.2. Tween 80
Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama
kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26
dan rumus strukturnya adalah sebagai berikut:
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.9. Struktur Kimia Tween 80
(Sumber: Exova, 2015)
Tween 80 pada suhu ruang berwujud cair, berwarna kekuningan dan
berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Larut dalam air dan
etanol, tidak larut dalam minyak mineral. Kegunaan Tween 80 antara lain sebagai:
zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan (Rowe, Paul, dan Marian,
2009). Selain fungsi, fungsi tersebut, Tween 80 juga berfungsi sebagai peningkat
penetrasi (Akhtar, Rehman, Khan, Rasool, Saeed, dan Murtaza, 2011).
Tween 80 dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dan medium
sekaligus membentuk misel sehingga molekul obat akan terbawa oleh misel larut
ke dalam medium (Martin, Swarbrick, dan Cammarata, 1993). Penggunaan
surfaktan pada kadar yang lebih tinggi akan berkumpul membentuk agregat yang
disebut misel. Selain itu pada pemakaiannya dengan kadar tinggi sampai
mencapai titik Critical Micelle Concentration (CMC) surfaktan diasumsikan
mampu berinteraksi kompleks dengan obat tertentu selanjutnya dapat pula
mempengaruhi permeabilitas membran tempat absorbsi obat karena surfaktan dan
membranmengandung komponen penyusun yang sama (Florence dan Attwood,
1985 ; Sudjaswadi, 1991).
2.5.3. Etanol
Etanol (CH3CH2OH) disebut juga etil alkohol merupakan pelarut organik
dengan titik didih sebesar 78,4oC. Etanol memiliki sifat tidak berwarna, volatil
dan dapat bercampur dengan air (Kartika, 1997). Dalam dunia Farmasi, etanol
merupakan pelarut yang sering digunakan karena etanol merupakan pelarut
universal yang dapat melarutkan semua senyawa organik (Kartika, 1997).
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5.4. Phosphate Buffered Saline
Phosphate Buffered Saline (PBS) merupakan larutan isotonis yang sering
digunakan dalam penelitian biologis. Larutan ini mengandung natrium klorida,
kalium klorida, natrium dihidrogen fosfat, dan kalium dihidrogen fosfat.
Osmolaritas dan konsentrasi ion larutan ini isotonis dengan cairan dalam tubuh
manusia. PBS banyak diaplikasikan karena bersifat isotonis dan tidak toksik
terhadap kebanyakan sel (Medicago AB, 2010). Aplikasinya dilakukan untuk
pengenceran dan pembilasan sel dengan tujuan untuk menjaga sel agar tetap
terjaga stabilitasnya. Selain itu, PBS juga dapat digunakan sebagai larutan
penyangga (Maureen, 2006). PBS memiliki pH yang berkisar antara 7,3–7,5 dan
osmolaritas yang berkisar antara 280–315 mOSm/kg. Penyimpanan PBS
dilakukan pada suhu 15–30oC dengan shelf life selama 24 bulan dari masa
pembuatan (Maureen, 2002).
2.6. Persen Efisiensi Penjerapan
Istilah efisiensi penjerapan berhubungan dengan jumlah obat yang dimuat
(loading drug). Muatan obat menyatakan persen berat bahan aktif terjerap dengan
berat nanopartikel, sedangkan efisiensi penjerapan adalah rasio persentase antara
eksperimen kandungan obat yang ditentukan, dibanding dengan yang sebenarnya,
atau massa teoritis obat yang digunakan untuk penyusunan nanopartikel (Kharia,
Singhai, dan Velma, 2012).
Efisiensi muatan bergantung pada kombinasi obat polimer dan metode
yang digunakan. Polimer hidrofobik menjerap obat yang bersifat hidrofobik
dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan obat hidrofilik. Sedangkan
polimer hidrofilik mampu menjerap obat hidrofilik dengan jumlah yang lebih
besar dibandingkan dengan obat hidrofobik. Beberapa parameter formulasi seperti
jenis emulsifier, rasio berat polimer terhadap obat, dan lain sebagainya akan
mempengaruhi tingkat muatan obat (Kharia, Singhai, dan Velma, 2012).
2.7. Distribusi Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas
Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel merupakan faktor penting
dalam nanopartikel, di mana batch dengan distribusi ukuran partikel luas
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menunjukkan variasi yang signifikan dalam pemuatan obat, pelepasan obat,
bioavaibilitas dan efikasi (Kharia, Singhai, dan Velma, 2012). Pengukuran
distribusi ukuran partikel dapat dilakukan dengan menggunakan Particle Size
Analyzer. Particle Size Analyzer (PSA) merupakan instrumen analisis yang dapat
digunakan untuk mengukur distribusi ukuran diameter partikel dalam sampel.
Particle Size Analyzer (PSA) dapat mengukur ukuran diameter partikel-partikel
dalam suatu sampel dengan sangat cepat dan data yang diperoleh dapat
dikembangkan menjadi informasi suatu distribusi ukuran diameter parameter.
Particle Size Analyzer (PSA) menggunakan prinsip photon correlation
spectroscopy dan dynamic light scattering, di mana pengukuran distribusi
diameter partikel dilakukan dengan cara mengukur kecepatan fluktuasi intensitas
sinar laser yang dihamburkan oleh partikel karena partikel ini berdifusi melalui
fluida selama pengukuran analisis berlangsung (Jonassen, 2014).
Prinsip kerja instrumen Particle Size Analyzer (PSA) ini juga
memanfaatkan Brownian motion (gerak Brown), yaitu gerakan acak partikel
mikroskopis karena benturan yang tidak teratur antara partikel mikroskopis
tersebut dengan medium pendispersinya. Arah gerakan ini beraturan dan jarak
yang ditempuh pendek. Gerak ini disebabkan oleh medium pendispersi yang
bertumbukan dengan partikel terdispersi dari berbagai sisi (Jonassen, 2014).
Indeks polidispersitas adalah parameter yang menyatakan distribusi ukuran
partikel dari sistem nanopartikel (Nidhin, 2008), di mana rentang nilai 0 sampai
0,5 menunjukkan distribusi ukuran yang sempit (homogenitas tinggi), sementara
nilai yang lebih dari 0,5 menunjukkan distribusi yang luas (heterogenitas tinggi).
Nilai ini menunjukkan hasil perhitungan berat rata-rata molekul dibagi dengan
jumlah rata-rata berat molekul. Semakin mendekati nol, berarti distribusinya
semakin baik (Haryono, Restu, dan Harmani, 2012).
2.8. Gel Transdermal
Gel transdermal merupakan gel yang ditujukan untuk menghantarkan obat
melalui rute transdermal. Gel transdermal mudah untuk diaplikasikan dan
memiliki absorpsi yang baik pada perkutan (kulit). Gelling agent yang umumnya
digunakan dalam sediaan farmasi adalah makromolekul sintetik seperti carbomer,
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
derivate selulosa seperti karboksimetilselulosa (CMC), atau
hidroksipropilmetilselulosa (HPMC), ataupun gom arab seperti tragakan (Saroha,
Singh, Aggrawal, dan Nanda, 2013).
2.9. Preformulasi Gel Transdermal
2.9.1. Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC)
Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) merupakan polimer tidak berbau
dan berasa, putih atau berserat berbentuk granul bubuk berwarna putih
kekuningan. HPMC larut dalam air dingin, membentuk larutan koloid kental,
praktis tidak larut dalam air panas, kloroform, etanol (95%), dan eter, tetapi larut
dalam campuran etanol dan diklorometana, campuran metanol dan diklorometana,
serta campuran air dan alkohol. Beberapa grade dari HPMC larut dalam larutan
aseton, campuran aseton dan propan-2-ol, dan pelarut organik lainnya. Beberapa
grade dapat mengembang dalam etanol. Berbagai macam jenis viskositas tersedia
secara komersial (Rowe, Paul, dan Marian, 2009).
Gambar 2.10. Struktur Kimia HPMC
(sumber : Rowe, Paul, dan Marian, 2009)
HPMC tidak bercampur dengan beberapa zat pengoksidasi kuat. HPMC
merupakan polimer nonionik, sehingga tidak membentuk kompleks dengan garam
logam atau ion organik dan tidak membentuk endapan yang tidak terlarut. Larutan
HPMC stabil pada pH 3-11 (Rowe, Paul, dan Marian, 2009).
2.9.2. Gliserin
Gliserin (C3H8O3) merupakan cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau,
kental, rasa manis (± 0,6 kali lebih manis dibandingkan sukrosa), larut dalam
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
alkohol dan air, tetapi tidak larut dalam eter dan kloroform. Gliserin diperoleh dari
proses saponifikasi trigliserida dan sorbitol, suatu alkohol heksa. Penggunaan
gliserin pada umumnya digunakan sebagai humektan, emolien, juga sebagai
bahan tambahan pada akuous maupun non akuous gel. Selain itu gliserin
digunakan sebagai pelarut, plastisizer dan penambah viskositas. Pada gel ini,
gliserin digunakan sebagai gel vehicle aquous dengan konsentrasi 5-15% dan juga
sebagai humektan dengan konsentrasi < 30 % (Rowe, Paul and Marian, 2009).
Gambar 2.11. Struktur Kimia Gliserin
(sumber : Rowe, Paul, dan Marian, 2009)
2.9.3. Propilen Glikol
Propilen Glikol (C3H8O2) atau propana-1,2-diol merupakan salah satu jenis
pelarut atau kosolven yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan suatu
obat dalam formulasi sediaan cair, semi padat dan sediaan transdermal. Propilen
glikol berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, memiliki rasa
agak manis, dan higroskopik. Propilen glikol larut dalam air, aseton, gliserin,
etanol 95%, dan kloroform. Dalam minyak eter, kelarutannya berkurang, dan
praktis tidak larut dalam minyak mineral. Propilen glikol dapat terhidrolisis oleh
minyak atsiri (Rowe, Paul dan Marian, 2009).
Propilen glikol berfungsi sebagai pengawet, (antimikroba), desinfektan,
humektan, pelarut fase air, stabilizer dan kosolven dalam pelarut campur. Propilen
glikol digunakan secara luas dalam formulasi sediaan farmasi, industri makanan
maupun kosmetik, dan dapat dikatakan relatif non toksik (Rowe, Paul, dan
Marian, 2009).
Gambar 2.12. Struktur Kimia Propilen Glikol
(sumber : Rowe, Paul, dan Marian, 2009)
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.9.4. Metil Paraben
Metil paraben memiliki rumus molekul C8H8O3 dengan berat molekul
152,15. Metil paraben berbentuk kristal putih atau serbuk kristal putih, tak berbau
atau hampir tak berbau, dan memiliki sedikit rasa terbakar. Metil paraben mudah
larut dalam propilen glikol, etanol, etanol 50%, etanol 90%, eter, dan gliserin.
Kelarutannya dalam air lebih rendah dibandingkan dengan pelarut lainnya. Metil
paraben dapat terhidrolisis oleh asam kuat atau basa lemah. Penyimpanan metil
paraben dilakukan pada wadah tertutup, di tempat sejuk dan kering (Rowe, Paul,
dan Marian, 2009).
Metil paraben (nipagin) adalah senyawa antimikroba yang digunakan
sebagai bahan pengawet untuk banyak produk kesehatan dan kecantikan.
Berbagai produk yang menggunakan paraben diantaranya adalah obat-obatan,
kosmetik, dan berbagai produk makanan. Metil paraben digunakan sebagai agen
antimikroba dalam produk perawatan rambut, termasuk gel dan shampoo.
Aktivitas sebagai antimikroba dapat dihasilkan pada pH 4-8 dengan konsentrasi
antara 0,013-0,2% (Rowe, Paul, danMarian, 2009).
Gambar 2.13. Struktur Kimia Metil Paraben
(sumber : Rowe, Paul, dan Marian, 2009)
2.9.5. Propil Paraben
Propil paraben (nipasol) digunakan sebagai pengawet dalam obat-obatan.
Perbedaannya dengan metil paraben adalah fungsinya sebagai antijamur. Propil
paraben dengan konsentrasi 0,01-0,02% dapat berfungsi sebagai antijamur (Rowe,
Paul, dan Marian, 2009). Propil paraben memiliki rumus C10H12O3 dengan berat
molekul 180,20. Propil paraben berbentuk kristal atau serbuk putih yang tak
berbau, tak berasa. Propil paraben larut dalam aseton, eter, etanol, etanol 95%,
dan propilen glikol. Dalam air senyawa ini sukar larut, dan kelarutannya
meningkat seiring dengan peningkatan suhu air. Penggunaannya bersama dengan
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
asam kuat atau basa lemah dapat menyebabkan reaksi hidrolisis (Rowe, Paul, dan
Marian, 2009).
Gambar 2.14. Struktur Kimia Propil Paraben
(sumber : Rowe, Paul, dan Marian, 2009)
2.9.6. Natrium Metabisulfit
Natrium metabisulfit berbentuk serbuk, berwarna putih, larut dalam air,
sedikit larut dalam alkohol, dan berbau khas seperti gas sulfur dioksida,
mempunyai rasa asam dan agak asin. Penggunaan natrium metabisulfit sebagai
antioksidan pada sediaan topikal berkisar pada kadar sebesar 0,01-1,0% b/v.
Gambar 2.15. Struktur Kimia Natrium Metabisulfit
(sumber : Rowe, Paul, dan Marian, 2009)
2.9.7. Aquadest
Aquadest merupakan air murni yang dihasilkan dengan cara penyulingan,
pertukaran ion, osmosis terbalik atau dengan cara yang sesuai. Proses
pembuatannya dilakukan dengan menggunakan air yang dapat diminum. Aquadest
berbentuk cairan jernih yang tidak berwarna, berasa, maupun berbau (Rowe, Paul,
dan Marian, 2009).
2.10. Franz Diffusion Cell
Suatu uji perlu dilakukan untuk memperkirakan jumlah obat yang mampu
berdifusi menembus kulit. Uji tersebut dilakukan secara in vitro menggunakan
bahan dan alat yang mewakili proses difusi obat melewati stratum korneum. Studi
penetrasi kulit secara in vitro berhubungan dengan mengukur kecepatan dan
jumlah komponen yang menembus kulit dan jumlah komponen yang tertahan
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada kulit. Salah satu cara untuk mengukur jumlah obat yang terpenetrasi melalui
kulit yaitu dengan menggunakan sel difusi Franz. Sel difusi Franz terbagi menjadi
dua komponen, yaitu kompartemen donor dan kompartemen reseptor. Membran
yang digunakan dapat berupa kulit manusia atau kulit hewan. Membran
diletakkan di antara kedua kompartemen, dilengkapi dengan cincin O untuk
menjaga letak membran. Kompartemen reseptor diisi dengan larutan penerima.
Suhu pada sel dijaga dengan sirkulasi air menggunakan water jacket yang
mengelilingi kompartemen reseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada
membrane kulit. Pada interval waktu tertentu cuplikan diambil dari cairan reseptor
dalam gelas kimia dengan rentang waktu tertentu dan diencerkan dengan pelarut
campur. Cairan dari kompartemen reseptor yang diambil digantikan dengan cairan
awal sesuai volume yang diambil. Hal ini bertujuan untuk menjaga volume dalam
cairan reseptor tetap konstan dan untuk menjaga supaya cairan pada kompartemen
reseptor tetap dalam keadaan tunak (Fern Ng, Rouse, Sanderson, dan Eccleston,
2010). Cairan yang diambil kemudian diukur absorbannya dan konsentrasinya
pada panjang gelombang maksimum, sehingga laju difusi dapat dihitung
berdasarkan hukum Ficks. Membran difusi dapat menggunakan membran sintesis
yang menyerupai stuktur stratum korneum ataupun bisa menggunakan bagian
kulit dari hewan uji (Gummer dan Gregor, 1989).
Gambar 2.16. Franz Diffusion Cell
(Sumber: Permeager, Inc., 2015)
Jumlah kumulatif zat yang berpenetrasi melalui membran adalah :
∑
(2.2)
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
keterangan :
Q : Jumlah kumulatif zat per luas difusi (g/cm2)
Cn : Konsentrasi zat (g/mL)
∑ : Jumlah konsentrasi zat (g/mL) pada sampling pertama
V : Volume difusi franz (mL)
S : Volume sampling (mL)
A : Luas membran (cm2)
Pada keadaan tunak, fluks zat yang berpenetrasi melalui membran
dapat dihitung menggunakan rumus:
keterangan :
J : Laju penetrasi zat (fluks) (g cm-2
jam -1
)
Q : Jumlah zat yang berpenetrasi melalui membran (g cm-2
)
t : Waktu
2.11. Spektrofotometer UV-Vis
Dalam analisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis, perlu
diperhatikan:
1. Penentuan Panjang Gelombang
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah
panjang gelombang dimana terjadi absorbansi maksimum. Untuk memperoleh
panjang gelombang serapan maksimum dapat diperoleh dengan membuat
hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan
baku dengan konsentrasi tertentu.
2. Pembuatan Kurva Kalibrasi
Dilakukan dengan membuat seri larutan baku dalam berbagai
konsentrasi kemudian absorbansi tiap konsentrasi di ukur lalu dibuat kurva
yang meruapakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. Kurva
kalibrasi yang lurus menandakan bahwa hukum Lambert-Beer terpenuhi.
(2.3)
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Pembacaan Absorbansi Sampel
Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2-
0,8 atau 15% sampai 70% jika dibaca sebagai transmitan. Hal ini disebabkan
karena pada kisaran ini nilai absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang
terjadi adalah paling minimal.
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium
Penelitian I, Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Analisis Obat dan Pangan
Halal, Laboratorium Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
Laboratorium Analisis Bahan Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung 4 bulan, dari
bulan Januari 2015 hingga April 2015.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Timbangan analitik (KERN ACJ 220-4M, Balingen), rotary evaporator
(EYELA N-1000, Japan), glass beads, autoclave digital (MC 30-L., Ltd, Japan),
vortex mixer (VM-300, Taiwan), bath sonicator (Branson, USA), ultrasentrifuge
(Himac CP 100WX, Hitachi, Japan), particle size analyzer (VASCO, France),
spektrofotometer UV-Vis (Hitachi U-2910, Japan), pH meter (Horiba F-52,
Japan), homogenizer (SAII-2 Sower, China), viscotester HAAKE 6R (Thermo
Scientific, Jerman), Franz Diffusion Cell, freezer (Sanyo Medicool, Japan), vial,
spuit (Terumo, USA), mikropipet (Rainin, USA) dan alat – alat gelas.
3.2.2. Bahan
Verapamil hidroklorida (PT. Kimia Farma (Persero) Tbk, Bandung),
Phospholipon 90H (Lipoid, Switzerland), tween 80 (Bratachem, Jakarta), etanol
pro analisa (Merck, Jerman), buffer phosphate saline pH 7,3 (Oxoid, Inggris),
HPMC (Ashland, USA), nipagin (Bratachem, Jakarta), nipasol (Bratachem,
Jakarta), gliserin (Merck, Jerman), propilen glikol (Bratachem, Jakarta), natrium
metabisulfit, aquadest dan jaringan kulit tikus
30
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Formula Transfersom
Formula transfersom yang mengandung verapamil hidroklorida terdiri dari
fosfatidilkolin sebagai komponen utama pembentuk vesikel lipid, tween 80
sebagai agen yang membuat transfersom memiliki fleksibilitas yang sesuai, etanol
sebagai pelarut organik yang akan melarutkan zat aktif serta fosfatidilkolin, dan
phosphate buffered saline sebagai media penghidrasi sehingga terbentuk suspensi
transfersom. Adapun formula tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Formula Transfersom Verapamil Hidroklorida
BAHAN FORMULA
FUNGSI F1 F2 F3
Verapamil HCl 120 mg 120 mg 120 mg Zat aktif
Fosfatidilkolin 450 mg 510 mg 570 mg Fosfolipid
Tween 80 150 mg 90 mg 30 mg Surfaktan
3.3.1.1.Pembuatan Larutan Buffer Fosfat Saline pH 7,3
Dibuat larutan Buffer Fosfat Saline dengan melarutkan 10 buah tablet
phosphate buffered saline (Oxoid, Inggris) yang mengandung natrium klorida (8
g/L), kalium klorida (0,2 g/L), natrium dihidrogen fosfat (1,15 g/L), dan kalium
dihidrogen fosfat (0,2 g/L) dalam 1000 mL air bebas karbondioksida kemudian
diautoklaf pada suhu 115oC selama 10 menit menggunakan autoklaf digital
(Oxoid, 2001).
3.3.1.2.Pembuatan Transfersom dengan Metode Hidrasi Lapis Tipis
Semua bahan, termasuk zat aktif, fosfolipid dan surfaktan (edge activator)
ditimbang sesuai dengan formula pada Tabel 3.1. Verapamil hidroklorida
dilarutkan dalam etanol pro analisa sebanyak 1 ml, dan fosfatidilkolin dilarutkan
dalam etanol pro analisa sebanyak 5 mL. Selanjutnya digunakan 1 mL etanol pro
analisa untuk proses pembilasan pada masing-masing wadah. Kemudian kedua
bahan tersebut dimasukkan ke dalam tween 80, lalu diaduk hingga homogen.
Setelah homogen, formula tersebut dimasukkan ke dalam labu evaporator.
Kemudian dilakukan proses evaporasi dengan menggunakan vacuum rotary
evaporator dengan temperatur waterbath sebesar 43oC (suhu transisi lipid) dan
temperatur kondensor sebesar 10oC (Patel, Singh S.K., Singh, dan Gendle, 2009).
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Setelah evaporasi selesai, maka pelarut organik (etanol pro analisa) akan menguap
seluruhnya dan terbentuk lapisan film tipis pada dinding labu evaporator. Lapisan
film yang terbentuk kemudian didiamkan 1x24 jam pada suhu 4oC. Tujuannya
adalah untuk membuat lapisan tipis yang terbentuk menjadi compact dan untuk
memastikan bahwa seluruh pelarut yang digunakan sudah menguap secara
keseluruhan (Sachan, Parashar, Singh V, Soniya, Singh G, Tyagi, dan Chirag,
2013).
Lapis tipis yang terbentuk dihidrasi secara perlahan dengan menggunakan
Phosphate buffered saline pH 7,3 dan dengan bantuan glass beads sampai
terbentuk dispersi transfersom yang homogen. Proses hidrasi dilakukan dengan
kecepatan 60 rpm selama 1 jam pada suhu 43oC (Sachan, Parashar, Singh V,
Soniya, Singh G, Tyagi, dan Chirag, 2013). Hasil hidrasi tersebut kemudian
disonikasi menggunakan bath sonicator pada suhu ruangan selama 30 menit
(Vinod, Kumar, dan Anbazhagan, 2012).
3.3.2. Pengukuran Ukuran Partikel
Ukuran partikel vesikel transfersom diukur dengan menggunakan particle
size analyzer. Sebanyak satu tetes dispersi transfersom diteteskan pada tempat
sampel kemudian dilakukan pengaturan terhadap intensitas cahaya yang
dihamburkan hingga didapatkan distribusi ukuran partikel dan indeks
polidispersitasnya (Vinod, Kumar, dan Anbazhagan, 2012).
3.3.3. Pengukuran Efisiensi Penjerapan
Konsentrasi verapamil hidroklorida pada formulasi transfersom diukur
dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Dilakukan pengendapan
transfersom dengan teknik sentrifugasi menggunakan ultasentrifuge. Transfersom
dimasukkan ke dalam centrifuge tube kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
30000 rpm pada temperatur 4oC selama 1 jam (Patel, Singh S.K., Singh, dan
Gendle, 2009; Patel, 2014). Supernatan yang diperoleh kemudian diambil dan
dianalisa menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang
277,5 nm (Kumar S.K., Kumar R.K., Kumar B.V.V., dan Annapurna, 2010).
Kadar yang terukur menunjukkan kadar obat yang tidak terjerap, sehingga
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
efisiensi penjerapan dapat dihitung dengan menggunakan perhitungan sebagai
berikut:
3.3.4. Preparasi dan Pengujian Kadar Verapamil Hidroklorida
3.3.4.1.Preparasi Standar
Ditimbang secara akurat 10 mg verapamil hidroklorida, kemudian
dilarutkan dengan menggunakan PBS pH 7,3 sebanyak 100 mL hingga larut
sempurna dan diperoleh larutan verapamil hidroklorida dengan konsentrasi 100
ppm (Kumar S.K., Kumar R.K., Kumar B.V.V., dan Annapurna, 2010).
3.3.4.2.Penentuan Panjang Gelombang Optimum
Penentuan panjang gelombang optimum verapamil hidroklorida dilakukan
dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Dilakukan scanning panjang
gelombang dari larutan standar verapamil hidroklorida dengan konsentrasi 100
ppm menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 200 –
400 nm dan dicatat nilai serapan dan panjang gelombang optimumnya (Kumar
S.K., Kumar R.K., Kumar B.V.V., dan Annapurna, 2010).
3.3.4.3.Pembuatan Kurva Kalibrasi
Pembuatan kurva kalibrasi dilakukan dengan menggunakan rentang
konsentrasi larutan standar verapamil hidroklorida 30, 40, 50, 60, dan 70 ppm.
Masing–masing konsentrasi diukur kadarnya menggunakan spektofotometer UV-
Vis dengan panjang gelombang optimum yang telah diperoleh. Selanjutnya dicatat
nilai serapan yang diperoleh dan dibuat kurva nilai serapan tersebut (Kumar S.K.,
Kumar R.K., Kumar B.V.V., dan Annapurna, 2010).
3.3.4.4.Pengukuran Sampel
Supernatan hasil ultrasentifugasi diukur dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang optimum yang telah
diperoleh. Selanjutnya dicatat nilai serapan yang diperoleh dan dihitung kadar
(3.1)
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang diperoleh dengan memplotkan nilai serapan kepada persamaan yang
diperoleh pada kurva kalibrasi (Kumar S.K., Kumar R.K., Kumar B.V.V., dan
Annapurna, 2010).
3.3.5. Formula Gel Verapamil Hidroklorida dan Transfersom Verapamil
Hidroklorida
Formula gel yang akan dibuat adalah sebanyak dua formula. Formula
pertama (F1) merupakan gel yang mengandung verapamil hidroklorida, dan
formula ke dua (F2) merupakan gel yang mengandung transfersom verapamil
hidroklorida yang memiliki karakterisasi terbaik.
Adapun formula gel yang akan dibuat terdiri dari HPMC sebagai
komponen utama pembentuk gel (gelling agent), gliserin dan propilen glikol
sebagai humektan, nipagin dan nipasol sebagai pengawet, natrium metabisulfit
sebagai antioksidan, dan aquadest sebagai pelarut dan pendispersi. Adapun
formula tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Formula Gel
BAHAN FORMULA
F1 (% b/v) F2 (% b/v)
Transfersom
Verapamil HCl -
Setara dengan 1% b/v
Verapamil HCl
Verapamil HCl 1 -
HPMC 5 5
Gliserin 5 5
Propilen Glikol 5 5
Nipagin 0,2 0,2
Nipasol 0,1 0,1
Natrium Metabisulfit 0,01 0,01
Aquadest Add 100 Add 100
3.3.6. Pembuatan Gel Verapamil Hidroklorida dan Transfersom Verapamil
Hidroklorida
Pembuatan gel dilakukan sesuai dengan formula yang tertera pada Tabel
3.2 menggunakan homogenizer. Pada pembuatan gel F1, semua bahan yang akan
digunakan ditimbang dengan seksama. HPMC didispersikan dalam aquadest
bersuhu 70 sampai 80oC dengan perbandingan 1:10, kemudian didiamkan selama
10 menit dan diaduk hingga terbentuk dispersi yang homogen. Setelah homogen,
ditambakan natrium metabisulfit, dan gliserin yang telah dicampur bersama
aquades dalam gelas beker lain. Nipagin dan nipasol yang telah dilarutkan dalam
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
propilen glikol ditambahkan ke dalam basis gel, kemudian diaduk dengan
kecepatan 150 sampai 250 rpm sampai semua bahan tersebut homogen dan
terlihat jernih. Setelah homogen, ditambahkan verapamil hidroklorida ke dalam
basis gel tersebut. Untuk F1, ditambahkan verapamil hidroklorida yang telah
dilarutkan menggunakan aquadest, sedangkan untuk F2 ditambahkan transfersom
verapamil hidroklorida, lalu diaduk hingga homogen (Arikumalasari, Dewantara,
dan Wijayanti, 2013).
3.3.7. Evaluasi Gel Verapamil Hidroklorida dan Transfersom Verapamil
Hidroklorida
3.3.7.1.Pemeriksaan Organoleptis Gel
Uji organoleptik dilakukan untuk melihat tampilan fisik sediaan dengan
cara melakukan pengamatan terhadap bentuk, warna dan bau dari sediaan yang
telah dibuat (Anief, 1997).
3.3.7.2.Uji Homogenitas Fisik Gel
Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah sediaan yang telah
dibuat homogen atau tidak. Caranya, gel dioleskan pada kaca transparan di mana
sediaan diambil 3 bagian yaitu atas, tengah dan bawah. Homogenitas ditunjukkan
dengan tidak adanya butiran kasar (Mappa, Edy, dan Kojong, 2013).
3.3.7.3.Pengukuran pH Gel
Uji pH dilakukan untuk melihat tingkat keasaman sediaan gel untuk
menjamin sediaan gel tidak menyebabkan iritasi pada kulit. pH sediaan gel diukur
dengan menggunakan pH meter. pH sediaan yang memenuhi kriteria pH kulit
yaitu dalam interval 4,5 – 6,5 (Tranggono dan Latifa, 2007).
3.3.7.4.Pengukuran Viskositas Gel
Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan viscometer
HAAKE 6R. Sampel ditempatkan dalam gelas beker, kemudian dipilih spindel
dengan ukuran yang sesuai dan spindel dimasukkan ke dalam gelas beker hingga
spindel terendam. Diatur kecepatan yang akan digunakan. Viskometer dijalankan,
kemudian viskositas dari gel akan terbaca (Septiani, 2011).
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.8. Penyiapan Kulit Tikus
Tikus dianestesi dengan eter, lalu diambil kulitnya pada bagian abdomen.
Bagian kulit yang dipotong dibersihkan dari lemak-lemak yang masih menempel,
digunting bulu-bulunya dan dicukur dengan pisau pencukur dengan hati-hati
sampai kulit tikus bersih dari bulu-bulu. Setelah itu kulit dicuci dengan
menggunakan air suling dan dibilas dengan larutan NaCl 0,9% untuk melepaskan
sisa jaringan yang masih melekat (Fatmawaty, Tjendra, dan Nisa, 2012).
3.3.9. Uji Kemampuan Difusi Zat Aktif
Uji kemampuan penetrasi atau difusi zat aktif dilakukan dengan
menggunakan Franz Diffusion Cell pada suhu 37ºC ± 0,5ºC. Membran kulit tikus
segar diletakkan di antara kompartemen donor dan reseptor. Kompartemen donor
diisi dengan menggunakan formula gel dan dibiarkan terpapar dengan atmosfer
(udara). Gel dengan bobot 0,3 gram dioleskan pada membran kulit tersebut.
Kompartemen reseptor diisi dengan larutan dapar fosfat pH 7,3 ± 0,2 dan diaduk
mengunakan pengaduk magnetik dengan kecepatan 50 rpm. Pada interval menit
ke 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420, dan 480 diambil 2 mL larutan
dapar fosfat pH 7,3 ± 0,2 dari kompartemen reseptor dan ditambahkan juga
sejumlah larutan dapar fosfat pH 7,3 ± 0,2 dengan volume yang sama. Kemudian
larutan tersebut diencerkan dan dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer
UV-Vis pada panjang gelombang maksimum (Irfan, Verma, dan Ram, 2012).
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Formulasi Transfersom
Transfersom yang mengandung verapamil hidroklorida diformulasikan
dengan kadar sebesar 24 mg/mL untuk penghantaran melalui kulit. Fosfolipid
yang digunakan adalah soya phosphatidylcholine (Phospholipon 90H) yang
merupakan fosfolipid dengan kemurnian 90% dan memiliki estetika yang baik
karena tidak menimbulkan bau seperti halnya egg phosphatidylcholin (Prajapati,
Patel CG, Patel CN, 2011). Edge activator yang digunakan adalah tween 80 yang
sudah umum digunakan dalam pembuatan transfersom. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Abdallah, 2013, tween 80 merupakan edge activator yang
baik karena dapat menghasilkan transfersom dengan efisiensi penjerapan yang
tinggi. Selain itu, menurut data keamanan material, tween 80 tidak menyebabkan
toksisitas maupun efek karsinogenik, mutagenik dan teratogenik, sehingga aman
digunakan (Acumedia, 2014). Pelarut organik yang digunakan adalah etanol pro
analisa. Dasar pemilihan etanol sebagai pelarut adalah kelarutan dari komponen
penyusun transfersom, di mana verapamil hidroklorida larut 30 sampai 100 bagian
etanol (Anonim, 2014), soya phosphatidycholine larut dalam 1 sampai 10 bagian
etanol (Anonim, 2014), dan tween 80 juga mudah larut dalam etanol (Rowe, Paul
dan Marian, 2009). Selain itu, etanol merupakan pelarut yang lebih aman dan
ramah lingkungan dibandingkan dengan pelarut organik lainnya. Zat penghidrasi
yang digunakan adalah phosphate buffered saline pH 7,3±0,2. Phosphate buffered
saline digunakan karena memiliki osmolaritas dan konsentrasi ion yang serupa
dengan kondisi fisiologis tubuh (Medicago AB, 2010).
Transfersom dibuat dengan menggunakan metode hidrasi lapis tipis.
Metode ini dipilih karena dapat menghasilkan transfersom dengan ukuran partikel
yang lebih kecil dan homogenitasnya besar. Selain itu, pada metode ini, pelarut
yang digunakan dapat benar-benar dipastikan menguap secara keseluruhan,
dibandingkan dengan metode pencampuran langsung. Hal tersebut disebabkan
karena pada metode ini pelarut dihilangkan menggunakan vacuum rotary
37
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
evaporator. Vesikel transfersom yang akan terbentuk dengan metode hidrasi lapis
tipis adalah multi lamellar vesicle (MLV), di mana pelepasan obat dapat dikontrol
dan jumlah obat yang dapat ditampung dalam vesikel pun banyak (Abdassah,
2004).
Transfersom dibuat menggunakan kombinasi fosfolipid dengan edge
activator dalam 3 perbandingan konsentrasi yang berbeda, dengan rasio
perbandingan soya phosphatidylcholine:tween 80 untuk F1, F2, dan F3 berturut
turut adalah 75:35, 85:15, dan 95:5. Penggunaan etanol pro analisa sebanyak 8
mL sebagai pelarut didasarkan atas proses optimasi yang telah dilakukan
sebelumnya dalam uji pendahuluan. Pada uji pendahuluan, dilakukan uji coba
terhadap jumlah etanol pro analisa yang digunakan untuk melarutkan soya
phosphatidylcholine dan verapamil hidroklorida. Jumlah etanol pro analisa yang
digunakan adalah 4 mL, 5 mL, 6 mL, 7 mL, dan 8 mL. Pada penggunaan etanol
pro analisa sebanyak 4 sampai 7 mL, soya phosphatidylcholine belum terlarut
secara sempurna, di mana masih terdapat butiran-butiran halus. Oleh karena itu,
hasil optimasi menunjukkan bahwa soya phosphatidylcholine dan verapamil
hidroklorida dapat larut secara sempurna dalam 8 mL etanol pro analisa.
Pembuatan lapis tipis dilakukan dengan menggunakan vacuum rotary
evaporator dengan suhu waterbath 43o±2
oC dan suhu kondensor 10
o±1
oC. Suhu
43o±2
oC digunakan karena pada suhu tersebut pelarut yang digunakan mudah
diuapkan dan merupakan suhu transisi soya phosphatidylcholine (Patel R, Singh
SK, Singh S, Sheth, Gendle, 2009). Labu evaporator kemudian dipasangkan pada
vacuum rotary evaporator. Pada percobaan pendahuluan, dioptimasi suatu kondisi
penggunaan alat yang mampu menghasilkan lapisan tipis terbaik, berupa lapisan
tipis yang merata pada dinding labu. Optimasi dilakukan terhadap ukuran labu
evaporator yang digunakan, di mana digunakan labu berukuran 200 mL dan 1000
mL. Hasil optimasi menunjukkan bahwa ukuran labu menentukan keberhasilan
pembentukan lapis tipis dan didapatkan penggunaan labu 200 mL dapat
menghasilkan lapis tipis yang baik.
Optimasi pembuatan lapis tipis yang harus dicapai adalah proses vakum
yang tepat, serta suhu dan kecepatan rotasi labu evaporator. Waktu yang
dibutuhkan untuk pembuatan lapis tipis adalah relatif, yaitu bergantung pada
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
banyaknya pelarut dan fosfolipid yang digunakan. Untuk formulasi yang dibuat,
dibutuhkan waktu ± 60 menit untuk membentuk lapis tipis yang kering dan
compact. Kondisi vakum sangat dibutuhkan untuk menguapkan atau
menghilangkan etanol pro analisa hingga terbentuk lapisan tipis. Proses optimasi
selanjutnya dilakukan terhadap kecepatan rotasi labu evaporator, di mana
dilakukan proses pembentukan lapis tipis pada dua kecepatan rotasi, yaitu 50 rpm
dan 150 rpm. Hasil optimasi menunjukkan bahwa pada kecepatan rotasi 50 rpm,
lapis tipis yang terbentuk terlihat lebih tebal dan tidak merata dibandingkan
dengan kecepatan rotasi 150 rpm. Oleh karena itu, setelah dilakukan optimasi,
lapis tipis yang merata dapat terbentuk dengan menggunakan vacuum rotary
evaporator dengan ukuran labu evaporator 200mL, suhu waterbath 43o±2
oC,
kecepatan rotasi labu evaporator 150 rpm, dan waktu pembuatan selama ± 60
menit.
Setelah lapisan tipis terbentuk, lapis tipis didiamkan 1x24 jam dalam
lemari pendingin, selanjutnya dihidrasi menggunakan phosphate buffered saline
pH 7,3±0,2. Tujuan dari penyimpanan lapis tipis selama 1x24 jam dalam lemari
pendingin adalah untuk menjadikan lapis tipis yang terbentuk lebih compact dan
untuk memastikan bahwa seluruh pelarut telah menguap dan tidak ada pelarut
yang tersisa (Patel R, Singh SK, Singh S, Sheth, Gendle, 2009). Selanjutnya,
lapis tipis yang telah terbentuk dilakukan proses hidrasi yang ditujukan untuk
membentuk dispersi transfersom. Pada proses hidrasi, pengelupasan lapis tipis
dibantu dengan menggunakan glass beads yang berupa bola-bola kaca berukuran
kecil yang tidak menimbulkan kerusakan pada labu evaporator, di mana glass
beads akan membantu pengelupasan lapis tipis secara mekanik dengan
memberikan penekanan pada lapis tipis, sehingga lapis tipis dapat tercampur
homogen dengan phosphate buffered saline. Proses hidrasi tersebut akan
menghasilkan dispersi transfersom yang kemudian dilakukan proses sonikasi
menggunakan bath sonicator 50 Hz selama 30 menit dengan tujuan untuk
memperkecil ukuran partikel (Laxmi, Zafaruddin, Kuchana, 2015). Mekanisme
pengecilan ukuran partikel berdasarkan teori tumbukan dari frekuensi yang
dihasilkan dari sonikator sebesar 50 Hz, sehingga terjadi tumbukan antarpartikel
dan menyebabkan ukuran partikel menjadi lebih kecil. Proses optimasi terhadap
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
lamanya waktu sonikasi juga diperlukan, karena apabila terlalu lama, maka
partikel akan semakin berukuran kecil dan dapat terbentuk agregat yang akan
menyebabkan ukuran partikel semakin besar. Optimasi dilakukan terhadap waktu
optimum proses sonikasi, di mana dilakukan proses sonikasi selama 10 menit, 30
menit, dan 60 menit. Hasil optimasi menunjukan bahwa pada proses sonikasi
selama 10 menit, partikel masih berukuran besar karena tumbukan antarpartikel
belum terjadi secara keseluruhan. Sedangkan pada proses sonikasi selama 60
menit, partikel membentuk agregat dan ukuran partikelnya menjadi semakin
besar. Sehingga, waktu optimum yang diperoleh adalah 30 menit. Kemudian,
transfersom yang telah disonikasi tersebut disimpan dalam lemari pendingin untuk
menjaga stabilitasnya, sebelum dilakukan karakterisasi.
4.2. Karakterisasi Transfersom Verapamil Hidroklorida
4.2.1. Organoleptis
Pengujian organoleptis transfersom verapamil hidroklorida dilakukan
terhadap bentuk, bau, dan warna. Di mana transfersom yang dihasilkan berupa
dispersi nanopartikel dalam phosphate buffered saline pH 7,3±0,2. Berdasarkan
Gambar 4.1, transfersom verapamil hidroklorida terlihat sebagai larutan koloid
berwarna putih susu (opaque) dan berbau khas soya phosphatidylcholine. Secara
organoleptis, terlihat perbedaan yang nyata terkait intensitas warna dan kekentalan
yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah soya phosphatidylcholine yang
digunakan, maka intensitas warna putih susu (opaque) yang dihasilkan akan
semakin pekat dan kekentalannya juga semakin besar.
(A) (B) (C)
Gambar 4.1. Dispersi Transfersom Verapamil Hidroklorida: F1 (A), F2 (B), F3 (C)
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2.2. Pengukuran Distribusi Ukuran Partikel
Pengukuran distribusi ukuran partikel transfersom dilakukan dengan
menggunakan Particle Size Analyzer. Adapun data distribusi ukuran partikel dan
indeks polidispersitas transfersom tertera pada Tabel 4.1 dan Lampiran 7.
Tabel. 4.1. Data Distribusi Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas
Transfersom Verapamil Hidroklorida
Formula Ukuran Partikel Indeks Polidispersitas
F1 83,86 nm 0,0870
F2 196,66 nm 0,2900
F3 331,49 nm 0,0810
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa perbandingan jumlah penggunaan soya
phosphatidylcholine:tween 80 memiliki pengaruh terhadap ukuran partikel yang
dihasilkan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Patel R, Singh
SK, Singh S, Sheth, Gendle, 2009, bahwa peningkatan jumlah surfaktan dapat
membentuk dispersi transfersom dengan ukuran partikel yang lebih kecil. Hal
yang berbeda terjadi pada fosfatidilkolin, di mana semakin banyak jumlah
fosfatidilkolin yang digunakan, maka semakin besar ukuran partikel dari dispersi
transfersom yang dihasilkan. Oleh karena itu, F1 dengan perbandingan soya
phosphatidylcholine:tween 80 sebesar 75:25 memiliki ukuran partikel yang lebih
kecil dibandingkan dengan F2 dan F3.
Berdasarkan data indeks polidispersitas yang diperoleh pada F1, F2, dan
F3 didapatkan nilai kurang dari 0,5. Hal ini menunjukkan bahwa dispersi ketiga
formula tersebut homogen. Karena nilai indeks polidispersitas mendekati 0
menunjukan dispersi yang homogeny (Avadi, 2010).
4.2.3. Pengukuran Efisiensi Penjerapan
4.2.3.1.Pembuatan Spektrum Serapan Kurva Kalibrasi Verapamil
Hidroklorida dalam Phosphate Buffered Saline pH 7,3±0,2
Kurva serapan verapamil hidroklorida dalam phosphate buffer saline pH
7,3±0,2 menghasilkan panjang gelombang maksimum 277,5 nm. Kemudian
dibuat kurva standar pada konsentrasi 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm, dan 70
ppm yang menghasilkan absorbansi secara berurutan adalah 0,280667; 0,353667;
0,453; 0,545; 0,638. Pembuatan kurva kalibrasi verapamil hidroklorida dalam
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
phosphate buffered saline pH 7,3±0,2 menghasilkan persamaan garis y = 0,0091 x
- 0,0004 dengan nilai r = 0,9993. Adapun kurva liniearitas dapat dilihat pada
Lampiran 6.
4.2.3.2.Penentuan Jumlah Verapamil Hidroklorida yang Tidak Terjerap
Transfersom
Hasil perhitungan efisiensi penjerapan transfersom verapamil hidroklorida
tertera pada Tabel 4.2 dan Lampiran 9.
Tabel. 4.2. Efisiensi Penjerapan Transfersom Verapamil Hidroklorida
Formula Σ % Efisiensi Penjerapan
F1 98,5157±0,0016
F2 98,5537±0,0016
F3 98,5930±0,0070
Berdasarkan Tabel 4.2, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan efisiensi penjerapan yang signifikan antarformula. Hasil ini juga
menunjukkan bahwa efisiensi penjerapan transfersom verapamil hidroklorida
sangat baik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Patel R, Singh SK, Singh
S, Sheth, Gendle, 2009, rasio penggunaan fosfolipid dengan surfaktan sangat
mempengaruhi efisiensi penjerapan transfersom yang dihasilkan. Efisiensi
penjerapan dapat menurun seiring dengan penambahan jumlah surfaktan yang
digunakan. Hal ini sesuai dengan efisiensi penjerapan yang diperoleh dalam
penelitian ini, bahwa efisiensi penjerapan berkurang, walau tidak secara
signifikan, dengan penambahan penggunaan jumlah surfaktan.
4.3. Formulasi Gel Verapamil Hidroklorida dan Gel Transfersom
Verapamil Hidroklorida
Formulasi gel verapamil hidroklorida dan gel transfersom verapamil
hidroklorida ini dibuat sediaan gel menggunakan polimer hidroksi propil metil
selulosa (HPMC). Penggunaan HPMC sebagai polimer didasarkan pada proses
optimasi pada uji pendahuluan. Uji pendahuluan dilakukan dengan menggunakan
dua polimer dengan berbagai konsentrasi. Adapun polimer yang digunakan saat
uji pendahuluan adalah Carbomer 940 dan Na CMC. Hasil uji pendahuluan
menunjukkan bahwa gel verapamil hidroklorida yang dibuat menggunakan
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
polimer carbomer 940 dan Na CMC akan menghasilkan endapan berwarna putih
yang tidak larut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elkeshen, 2001,
verapamil hidroklorida yang memiliki gugus amin tersier dapat berinteraksi
dengan gugus fungsi polimer (karboksi) yang bermuatan negatif saat terjadi
perubahan pH. Perubahan pH tersebut membuat kelarutan dari verapamil
hidroklorida berkurang dan dapat menyebabkan terbentuknya presipitat putih
yang kompleks. Oleh karena itu, digunakan polimer non ionik, yaitu HPMC
untuk menghindari inkompatibilitas dengan verapamil hidroklorida.
Selanjutnya, untuk memperoleh gel yang baik, dilakukan optimasi
konsentrasi polimer HPMC yang akan digunakan. Optimasi juga perlu dilakukan
karena tidak terdapatnya suatu batasan keketalan gel. Variasi konsentrasi yang
dilakukan pada proses optimasi adalah 3%, 4%, dan 5%. Dari hasil optimasi
tersebut, konsentrasi 3%, dan 4% menghasilkan gel yang masih encer dan mudah
mengalir ketika diaplikasikan pada kulit. Sedangkan konsentrasi 5% sudah cukup
kental dan tidak mengalir ketika diaplikasikan pada kulit, oleh sebab itu pada
konsentrasi 5%, polimer HPMC digunakan sebagai basis dalam pembuatan gel.
Formula gel yang dibuat dibagi menjadi dua, yaitu F1 sebagai gel
pembanding yang menggunakan verapamil hidroklorida (tanpa dibuat
transfersom), dan F2 yang menggunakan dispersi transfersom verapamil
hidroklorida dengan konsentrasi masing-masing formula baik F1 dan F2 adalah
1%. Pembuatan kedua formula dimaksudkan untuk membandingkan efektivitas
sistem transfersom dalam menghantarkan verapamil hidroklorida melalui kulit.
4.4. Karakterisasi Gel
4.4.1. Pengamatan Organoleptis
Hasil pengamatan organoleptis menunjukkan bahwa, kedua sediaan gel
memiliki karakteristik berupa warna putih, berbau lemah, dan homogen (Gambar
4.3). Warna putih yang dihasilkan berasal dari verapamil hidroklorida dan/ atau
transfersom, di mana pada gel F2 yang mengandung transfersom, warna putih
yang dihasilkan terlihat lebih dominan dibandingkan dengan gel F1. Hal ini
dikarenakan transfersom verapamil hidroklorida berbentuk dispersi berwarna
putih susu, sedangkan larutan verapamil hidroklorida berbentuk larutan jernih.
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bau lemah yang dihasilkan pada F1 timbul karena penggunaan propilen glikol dan
gliserin, sedangkan bau lemah pada F2 timbul karena penggunaan soya
phosphatidylcholine, gliserin, dan propilen glikol. Kedua sediaan yang dihasilkan
tidak menunjukkan adanya gelembung udara. Walaupun pada saat pembuatan
dihasilkan gelembung udara akibat pengadukan, namun gelembung udara akan
hilang setelah dilakukan penyimpanan sediaan selama 2x24 jam.
Gambar 4.2. Pengamatan Organoleptis (A) Gel Transfersom Verapamil
Hidroklorida, (B) Gel Verapamil Hidroklorida
4.4.2. Pengujian Homogenitas
Hasil pengujian homogenitas gel menunjukkan bahwa kedua gel yang
dihasilkan menunjukkan homogenitas yang baik, di mana tidak terdapat butiran
kasar pada hasil pengamatan.
4.4.3. Pengukuran Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH sediaan gel F1 dan F2 secara berturut-turut adalah 5,855 dan
6,767. Perbedaan pH ini terjadi akibat dari penggunaan dispersi transfersom yang
mengandung verapamil hidroklorida. Verapamil hidroklorida yang dilarutkan
dalam aquadest memiliki pH lebih rendah (pH=5,806) dibandingkan dengan pH
dispersi transfersom yang mengandung verapamil hidroklorida (pH=7,082). Hal
ini disebabkan karena pada transfersom verapamil hidroklorida, verapamil
hidroklorida terjerap dalam sistem transfersom sehingga verapamil hidroklorida
tidak memberikan pengaruh terhadap pH sediaan. Selain itu, perbedaan pH juga
disebabkan oleh penggunaan phosphate buffered saline pH 7,3±0,2 pada
(A) (B)
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
transfersom. Buffer yang digunakan tersebut akan menjaga pH agar tetap berada
pada rentang 7,3. Sediaan topikal sebaiknya memiliki pH yang berada dalam
rentang pH balance kulit, yaitu 4,5-6,5 (Tranggono dan Latifah, 2007). pH gel
yang dihasilkan pada F2 sedikit berada di luar rentang pH balance kulit, namun
masih aman untuk digunakan.
4.4.4. Pengukuran Viskositas
Pengukuran viskositas sediaan gel dilakukan dengan menggunakan alat
viskotester HAAKE 6R spindel R6 dengan kecepatan 60 rpm. Kedua gel yang
dihasilkan memiliki perbedaan viskositas, di mana viskositas gel F1 dan F2 secara
berturut-turut adalah 7.400 dan 12.200 cPs. Berdasarkan hasil pengukuran
viskositas pada kedua gel tersebut diketahui bahwa terdapat pengaruh dispersi
transfersom terhadap viskositas gel yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena
pada transfersom verapamil hidroklorida terdapat soya phosphatidylcholine dan
tween 80 yang dapat meningkatkan viskositas dari gel yang dihasilkan.
4.5. Uji Kemampuan Difusi Zat Aktif
Dilakukan uji penetrasi secara in vitro dengan menggunakan sel difusi
Franz. Pengujian dilakukan untuk mengetahui jumlah verapamil hidroklorida
yang dapat berpenetrasi melalui membran kulit selama interval waktu tertentu.
Membran yang digunakan yaitu kulit bagian abdomen tikus betina dari galur
Sprague Dawley yang berumur 8 sampai 10 minggu, dengan berat ± 150 gram
dengan ketebalan membran 0,6 ± 0,1 mm, dan luas membran 3,14 cm2. Alasan
penggunaan kulit tikus sebagai membran karena cukup mudah didapat dan telah
dilaporkan bahwa permeabilitas kulit tikus yang telah dicukur bulunya mirip
dengan permeabilitas kulit manusia (Wester dan Maibach, 1990).
Tikus terlebih dahulu dibius dengan eter hingga mati, kemudian rambut
tikus dicukur karena ditakutkan bahan kimia yang diaplikasikan dapat menempel
pada keratin rambut sehingga akan mengurangi jumlah zat aktif yang mencapai
stratum korneum (Iswandana, 2012). Rambut tikus dicukur dengan hati-hati agar
kulit tidak terluka, karena kulit yang terluka akan berpengaruh terhadap penetrasi
zat aktif. Lemak subkutan harus dihilangkan terlebih dahulu agar tidak
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengganggu penetrasi obat masuk ke dalam kulit. Kulit yang telah bersih
direndam dalam larutan NaCl fisiologis dan phosphate buffered saline pH 7,3±0,2
selama 30 menit. Kulit dapat disimpan dalam lemari pendingin sebelum
digunakan, tetapi sebaiknya digunakan kulit yang masih segar, kulit dapat
digunakan dalam rentang waktu tidak lebih dari 24 jam (Iswandana, 2012). Hal
penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah zat aktif dalam hal ini adalah
verapamil hidroklorida harus larut dalam cairan kompartemen reseptor yang
digunakan. Phosphate buffered saline pH 7,3±0,2 dipilih sebagai simulasi kondisi
pH cairan tubuh manusia. Pengadukan pada kompartemen reseptor berfungsi
untuk homogenisasi yang dapat mempercepat proses difusi zat yang terpenetrasi.
Pengadukan dilakukan dengan menggunakan pengaduk magnetik dengan
kecepakan konstan. Suhu dijaga dengan menggunakan water jacket pada
37±0,5oC. dengan menggunakan air yang dialirkan dari termostat. Suhu 37±0,5
oC
ini menggambarkan suhu tubuh manusia. Suhu harus tetap dijaga, karena suhu
juga berpengaruh terhadap banyaknya zat aktif yang dapat berdifusi masuk ke
dalam kulit. Semakin tinggi suhu, maka nilai serapan yang diukur akan semakin
besar (Ansel, 1989). Membran harus kontak dengan cairan reseptor agar sediaan
yang diaplikasikan pada membran dapat berpenetrasi langsung menembus kulit
menuju cairan reseptor.
Banyaknya hal-hal secara teknis yang harus diperhatikan dalam uji
penetrasi, maka setiap perbedaan perlakuan dapat memberikan hasil yang berbeda
(Iswandana, 2012). Oleh karena itu, dalam penelitian ini diusahakan untuk
mengeleminasi segala kemungkinan yang dapat mengganggu uji penetrasi dengan
mengkondisikan perlakuan yang sama pada kedua sampel tersebut. Kecepatan
pengadukan dan pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi hasil uji
penetrasi. Semakin besar kecepatan pengadukan, maka obat dalam kompartemen
reseptor akan menjadi semakin homogen sehingga diusahakan menggunakan
kecepatan yang sama pada setiap perlakuan. Adanya variasi ketebalan kulit juga
dapat memberikan hasil yang berbeda, tetapi sedapat mungkin diusahakan
ketebalan kulit yang digunakan kurang lebih sama.
Pengujian dilakukan dengan tiga kali replikasi untuk F1 dan F2 selama 8
jam dan pengambilan sampel dilakukan sebanyak 12 kali, yaitu pada menit ke-15,
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420, dan 480. Sampel setiap kali diambil
sebanyak 2 mL. Untuk sampel yang membutuhkan pengenceran dilakukan
pengenceran menggunakan mikropipet. Setiap kali dilakukan pengambilan
sampel, larutan kompartemen reseptor diganti kembali sebanyak yang diambil
menggunakan phosphate buffered saline pH 7,3±0,2 untuk menjaga volume
cairan reseptor tetap konstan selama percobaan. Dengan demikian, dalam
perhitungan digunakan faktor koreksi akibat adanya proses pengenceran yang
dilakukan. Selanjutnya dilakukan pengukuran serapan sampel dengan
menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum
verapamil hidroklorida dalam larutan phosphate buffered saline pH 7,3±0,2, yaitu
pada 277,5 nm.
Hasil pengujian penetrasi melalui membran kulit tikus dari sediaan gel F1
dan F2 secara berturut turut adalah 610,303 ± 1,885 µg/cm2 dan 861,0263 ±
1,718 µg/cm2 selama 8 jam. Adapun kurva jumlah kumulatif verapamil
hidroklorida yang terpenetrasi per satuan luas membran dapat dilihat pada
Gambar 4.3.
Berdasarkan Gambar 4.3, terlihat perbedaan jumlah kumulatif verapamil
hidroklorida yang terpenetrasi per satuan luas membran antara gel F1 dan F2.
Hasil tersebut menunjukan bahwa transfersom verapamil hidroklorida mampu
meningkatkan kemampuan penetrasi verapamil hidroklorida dalam menembus
membran kulit, di mana jumlah verapamil hidroklorida terpenetrasi dapat dihitung
berdasarkan persentase jumlah verapamil hidroklorida yang terpenetrasi dari dosis
yang diaplikasikan. Persen verapamil hidroklorida yang terpenetrasi dari sediaan
gel F1 dan F2 secara berturut-turut adalah 63,878 ± 0,1973 % dan 90,120 ±
0,1798 % selama 8 jam. Adapun persentase jumlah kumulatif verapamil
hidroklorida yang terpenetrasi dari gel dapat dilihat pada Gambar 4.4.
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.3. Jumlah Kumulatif Verapamil Hidroklorida yang terpenetrasi
Per Satuan Luas Membran
Gambar 4.4. Persentase Jumlah Kumulatif Verapamil Hidroklorida yang
Terpenetrasi dari Gel Selama 8 Jam
Berdasarkan Gambar 4.4, terlihat perbedaan persentase jumlah kumulatif
verapamil hidroklorida yang terpenetrasi antara gel F1 dan F2. Hasil tersebut
membuktikan bahwa transfersom verapamil hidroklorida mampu meningkatkan
jumlah kumulatif verapamil hidroklorida yang terpenetrasi menembus membran
kulit.
Kemudian fluks diperoleh pada keadaan steady state dengan mengikuti
kaidah hukum Ficks. Fluks merupakan jumlah obat yang terpenetrasi per satuan
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
0 2 4 6 8 10
Jum
lah
Te
rpe
ne
tras
i (µ
g/cm
2)
Waktu (jam)
Verapamil Hidroklorida
Transfersom VerapamilHidroklorida
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 2 4 6 8 10
Jum
lah
Ve
rap
amil
yan
g te
rpe
ne
tras
i (%
)
Waktu (jam)
Verapamil Hidroklorida
Transfersom VerapamilHidroklorida
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
luas membran dan waktu. Adapun fluks dari kedua sediaan gel F1 dan F2 secara
berturut-turut adalah 76,287 ± 0,235 µg.cm-2
.jam-1
dan 107,628 ± 0,214 µg.cm-
2.jam
-1. Hasil tersebut menunjukan bahwa sediaan gel F2 memiliki kecepatan
penetrasi obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan gel F1. Selain itu, dari hasil
pengolahan data menggunakan statistik SPSS 16 menunjukkan bahwa nilai fluks
F1 dan F2 berbeda secara signifikan (p < 0,05), hal ini terlihat dari nilai
signifikansi yang dihasilkan pada pengujian. Apabila dibandingkan dengan gel
verapamil hidroklorida biasa (tidak dibuat transfersom), kemampuan penetrasinya
akan terlihat berbeda. Pada gel verapamil hidroklorida (F1), verapamil
hidroklorida tidak dilapisi oleh suatu pembawa (vesikel) dalam melewati stratum
korneum. Hal ini menyebabkan kemampuan penetrasinya lebih rendah karena
sifat hidrofilisitasnya (Prajapati, Patel CG, Patel CN, 2011). Verapamil
hidroklorida memiliki sifat hidrofil sehingga sulit menembus stratum korneum
pada membran kulit, sedangkan verapamil hidroklorida yang dibuat dalam sistem
transfersom akan lebih mudah berpenetrasi menembus stratum korneum. Hal ini
disebabkan karena transfersom memiliki struktur yang menyerupai membran kulit
sehingga transfersom dapat dengan mudah menembus membran kulit dan
menghantarkan verapamil menuju ke tempat kerjanya.
Transfersom merupakan vesikel lipid bersifat elastis dan ultradeformable.
Hal inilah yang menyebabkan gel F2 yang mengandung verapamil hidroklorida
dalam sistem transfersom memiliki kecepatan penetrasi yang lebih baik. Sifat dan
strukturnya yang serupa dengan fosfolipid bilayer pada stratum korneum,
memungkinkan transfersom mudah menembus barrier pada membran kulit
tersebut. Vesikel lipid yang mengandung verapamil hidroklorida tersebut dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan mampu berubah bentuk ketika akan
melewati celah pada membran sel. Fleksibilitas yang dimiliki transfersom
sangatlah baik, bahkan dapat menembus celah yang ukurannya sepuluh kali lebih
kecil dari diameternya. Fleksibilitas inilah yang akan menentukan pecah atau
tidaknya vesikel tersebut dalam kulit dan menentukan kemampuan transfersom
untuk menembus kulit (Prajapati, Patel CG, Patel CN, 2011). Secara skematis,
mekanisme absorbsi obat melalui kulit menuju sistemik dapat dilihat pada
Gambar 2.2.
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fleksibilitas dari transfersom diperoleh dari perbandingan konsentrasi
antara surfaktan dengan fosfatidilkolin. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Abdallah, 2013, terdapat konsentrasi maksimum penggunaan surfaktan dalam
pembuatan transfersom, terkait dengan rigiditas, ukuran vesikel yang terbentuk,
dan efisiensi penjerapannya. Rasio perbandingan fosfatidilkolin dan surfaktan
yang sesuai dapat menghasilkan vesikel dengan susunan lamellar yang sesuai
sehingga elastisitasnya semakin baik (Abdallah, 2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gupta, 2012, transfersom
mampu meningkatkan jumlah zat aktif yang terpenetrasi sampai dua kali lebih
besar dibandingkan dengan zat aktif tanpa dibuat transfersom. Dalam penelitian
ini hasil yang sama tidak diperoleh, di mana jumlah zat aktif terpenetrasi
meningkat, namun tidak mencapai dua kali lipatnya. Hal ini dimungkinkan karena
penggunaan zat aktif yang terlalu sedikit jumlahnya, sehingga ruang yang terdapat
pada vesikel transfersom tidak terisi penuh dan efisiensi penjerapannya belum
optimal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Iswandana, 2012, verapamil
hidroklorida yang dibuat nanopartikel dengan menggunakan metode gelasi ionik
memiliki kemampuan penetrasi yang lebih rendah (819,71±2,23 µg/cm2) jika
dibandingkan dengan verapamil hidroklorida yang dibuat dalam sistem
transfersom (861,0263 ± 1,718 µg/cm2) selama 8 jam. Hasil ini tidak menunjukan
perbedaan yang signifikan, namun dapat membuktikan keberhasilan transfersom
dalam meningkatkan kemampuan penetrasi obat menembus membran kulit.
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Transfersom yang mengandung verapamil hidroklorida dengan rasio
perbandingan soya phosphatidycholine:tween 80 sebesar 75:25 dapat
diformulasikan dengan metode hidrasi lapis tipis. Dihasilkan ukuran partikel
sebesar 83,86 nm dengan indeks polidispersitas 0,0870 dan efisiensi penjerapan
98,5157±0,0016%, serta jumlah verapamil hidroklorida terpenetrasi
90,120±0,1798% dan fluks 107,628 ± 0,214 µg.cm-2
.jam-1
.
5.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya untuk mendapatkan
transfersom dengan ukuran partikel yang lebih kecil dengan
melakukan optimasi perbandingan antara soya
phosphatidylcholine:tween 80.
2. Perlu dilakukan peningkatan kadar zat aktif untuk melihat efisiensi
penjerapan transfersom yang dihasilkan.
3. Perlu dilakukan pengujian stabilitas sediaan yang mengandung
transfersom.
51
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Abdallah, Marwa H. 2013. Transfersomes as a transdermal drug delivery system
for enhancement the antifungal activity of nystatin. International Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Science: India.
Abdassah. 2004. Transfersom sebagai sistem penghantaran obat kanker. Review
Artikel. Jurusan Farmasi FMIPA UNPAD: Jatinangor-Sumedang.
Akhtar, N; Rehman, MU; Khan, HMS; Rasool, F; Saeed, T; Murtaza, G. 2011.
Penetration Enhancing Effect of Polysorbate 20 and 80 on the In Vitro
Percutaneous Absorption of L-Ascorbic Acid. Trop J Pharm Res Vol 10.
India.
Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia: Jakarta.
Anonim 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia: Jakarta.
Anonim. 2007. Product Information L-α-Phosphatidylcholine. Sigma Aldrich.
Missouri: USA.
Anonim. 2013. Product Information: Verapamil (hydrochloride). Cayman
Chemical. Michigan: USA.
Anonim. 2014. Material Safety Data Sheet: Tween 80 (Polysorbate 80). Acumedia
Manufacturers, Inc. Michigan: USA.
Ajay, Gaur; Vinit, Mittal Kumar. 2013. Development and characterization of
ketoprofen loaded protransfersome by using sodium cholate for transdermal
delivery. International Journal of Pharmaceutical Quality Assurance Vol. 4:
India.
Arikumalasari, J; Dewantara I.G.N.A; Wijayanti, N.P.A.D. 2013. Optimasi
HPMC sebagai gelling agent dalam formula gel ekstrak kulit manggis
(Garcinia mangostana L.). Jurnal Farmasi Udayana. Jimbaran: Bali.
Avadi, M.R.; Assal, M.M.S.; Nasser, M; Saideh, A; Fatemeh, A; Rassoul, D;
Morteza, R. 2010. Preparation and characterization of insulin nanoparticles
using chitosan and arabic gum with ionic gelation method. Nanomedicine:
Nanotechnology, Biology, and Medicine. Tehran: Iran.
Barry, B.W. 1983. Dermatological Formulations: Percutaneous Absorption.
Marcel Dekker, Inc.: New York. Hal 8-13; 160-161.
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Banker, G.S; Anderson, N.R., 1989. Teori dan Praktek Farmasi Industri, edisi
ketiga, Vol. II. Universitas Indonesia Press:Jakarta.
Bhoomi, Patel J; Jitendra, Patel L. 2014. Design and development of transfersome
of fluconazole for topical drug delivery system. An International Journal of
Pharmaceutical Science. Gujarat: India.
Crommelin, D.J.A; Zuidam, N.J; Grit, M. 1993. Transfersome Technology
Second Edition Vol.I. CRC Press: USA. Hal. 337-462.
Djajadisastra, J.; A. Mun’im; Dessy. N.P. 2009. Formulasi gel topikal dari ekstrak
Nerii folium dalam sediaan anti jerawat. Jurnal Farmasi Indonesia:
Indonesia.
DiPiro, J.T; Talbert, R.L; Yee, G.C; Matzke, G.R; Wells, B.G; Posey, L.M. 2008.
Pharmacotherapy: a Pathophysiologic Approach, Seventh Edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc.: USA.
Elkheshen, Seham A. 2001. Interaction of verapamil hydrochloride with carbopol
934p and its effect on the release rate of the drug and the water uptake of the
polymer matrix. Drug Development and Industrial Pharmacy. Cairo: Egypt.
Emami, J; Varshosaz, J; Saljougian, N. 2008. Development and evaluation of
controlled-release buccoadhesive verapamil hydrochloride tablets. DARU
Vol. 16, No. 2: Iran.
Evelyn C, Pearce. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. PT. Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Fatmawaty, Aisyah; Tjendra, Apolarosa; Riski, Radhia; Nisa, Michrun. 2012.
Formulasi, evaluasi fisik, dan permeasi krim pemutih asam kojat dengan
variasi enchancher. Majalah Farmasi dan Farmakologi Vol 16, No 3.
Makassar.
Fern Ng, Shiow; Rouse, Jennifer; Sanderson, Dominic; Eccleston, Gillian. 2010.
A comparative study of transmembran diffusion and permeation of
ibuprofen across synthetic membrans using franz diffusion cells. Journal of
Pharmaceutics. Kuala Lumpur: Malaysia.
Florence, A.T; Attwood, D. 1983. Surfactant System, Their Chemistry,Pharmacy,
and Biology. Chappmann and Hall: London and New York.
Franco, F; Maqueda, L.A. Perez; Rodriguez, J.L.Perez. 2004. The effect of
ultrasound on the particle size and structural disorder of a well-ordered
kaolinite. Journal of Colloid and Interface Science. Malaga: Spain.
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gummer, W.D; Gregor, D.J. 1989. The In Vitro Evaluation of Transdermal
Delivery in Transdermal Drug Delivery. Development Issues and Research
Initiatives, Marcel Dekker: New York. Hal: 177-186
Gupta, Ankit; Aggarwal, Geeta; Singla, Samita; Arora, Ritika. 2012.
Transfersomes: a novel vesicular carrier for enhanced transdermal delivery
of sertraline: development, characterization, and performance evaluation.
Scientia Pharmaceutica Research Article: India
.
Haryono, Agus; Restu, Witta Kartika; Harmani, Sri Budi. 2012. Preparasi dan
karakterisasi nanopartikel aluminium fosfat. Pusat Penelitian Kimia (P2K)-
Lipi. Serpong: Tangerang.
Heather A.E.; Benson. 2005. Transdermal Drug Delivery Techniques. Curr Drug
Dev: USA.
Hillery, A.M; Loyc, A.W; Swarbick, J., 2001, Drug Delivery and Targeting for
Pharmacist and Pharmaceutical Scientist. London Taylor and Francais:
London.
Irfan, Mohammed; Verma, Sushma; Ram, Alpana. 2012. Preparation and
characterization of ibuprofen loaded transfersome as a novel carrier for
transdermal drug delivery system. Asian Jorunal of Pharmaceutical and
Clinical Research: India.
Iswandana, Raditya. 2012. Preparasi Nanogel Verapamil Hidroklorida
Menggunakan Metode Gelasi Ionik Antara Kitosan – Natrium Tripolifosfat
Sebagai Sediaan Antihipertensi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia. Depok: Indonesia.
Jahanshahi, M; Babaei, Z. 2008. Protein nanoparticle: an unique system as drug
delivery vehicles. African Journal of Biotechnology. Babol: Iran.
Jonassen, Helene. 2014. Polysaccharide Based Nanoparticles for Drug Delivery
Applications. Thesis for Degree of Philosophiae Doctor. Oslo: Norway.
Kartika, B. 1997. Petunjuk Evaluasi Produk Industri Hasil Pertanian. PAU Pangan
dan Gizi UGM: Yogyakarta.
Kumar, K.P.S; Bhowmik, D; Chiranjib, B; Chandira, M. 2010. Transdermal drug
delivery system-a novel drug delivery system and its market scope and
oppurtunities. International Journal of Pharma and Bio Sciences: India.
Kumar, Satish K; Kumar, Ravi K; Kumar, Ravi BVV; Annapurna, M Mathrusri.
2010. Validated new spectrophotometric methods for the estimation of
verapamil in pharmaceutical dosage forms. Journal Pharmaceutical
Education and Research Vol. 1, Issue No. 2: India.
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kusum Devi, V; Saisivam, S; Maria, GR; Deepti, PU. 2003. Design and
evaluation of matrix diffusion controlled transdermal patches of verapamil
hydrochloride. Drug Development and Industrial Pharmacy: India.
Kun, Lu; Xie, Shuanshuan; Han, Shilong; Zhang, Jidong; Chang, Xinwen; Chao,
Jing; Huang, Qingqing; Yuan Qing; Lin, Haiyan; Shen, Changxing; Tan,
Min; Qu, Shen; Wang, Changhui; Song, Xiaolian. 2014. Preparation of nano
emodin transfersome and study on it’s anti-obesity mechanism in adipose
tissue of diet-induced obese rat. Journal of Translational Medicine. Biomed
Central: China.
Kurniawan, D. W. 2009. Teknologi Sediaan Farmasi. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Langley, C. 2008. Pharmaceutical Compounding and Dispensing. Pharmaceutical
Press: London.
Laxmi, Vijaya M; Zafaruddin Md; Kuchana, Vijaya. 2015. Design and
characterization of transfersomal gel of repaglinide. International Journal of
Research Pharmacy. Hyberabad: India.
Lin, Yan; Tanaka, Shuzo. 2006 Ethanol Fermentation From Biomassa Resource:
Current State and Prospects. Spring-Verlag.
M. Sartor. 2011. Index of neurophysics courses. University of California San
Diego: USA..
Mappa, Tiara; Edy, Hosea Jaya; Kojong, Novel. 2013. Formulasi gel ekstrak daun
sasaladahan (Peperomia pellucid (L.) H.B.K) dan uji efektivitasnya terhadap
luka bakar pada kelinci (Orytolagus cuniculus). Jurnal Ilmiah Farmasi
UNSRAT: Manado.
Martin, A; Swarbrick, J; Cammarata, A. 1993. Farmasi Fisik. Edisi ke-3.
Universitas Indonesia Press: Jakarta. Hal 830-831.
Maureen, L. Coleman; Chisolm, Sallie W; Martiny, Adam C. 2006. Phosphate
acquisition genes in prochlorococcus ecotypes: evidence for genome-wide
adaptation. Proceedings of the National Academu of Sciences of The United
States of America: USA.
Mayangkara, Jati. 2011. Pengaruh etanol dan asam oleat terhadap penetrasi
liposom transdermal. Skripsi Studi S-1 Farmasi. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Depok: Jawa Barat
Medicago, AB. 2010. Phosphate buffered saline Spesification Sheet.
Nidhin, M; Indumathy, R; Sreeram, K.J.; Nair, Balachandran Unni. 2008
Synthesis of iron oxide nanoparticles of narrow size distribution on
polysaccharide templates. Indian Academy of Sciences. Chennai: India.
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Patel, J; Patel, B; Banwait, H; Parmar, K; Patel, M. 2011. Formulation and
evaluation of aceclofenac gel using different gelling agent. International
Journal of Drug Development and Research: India.
Patel, R; Singh, SK; Singh, S; Sheth, NR; Gendle R. 2009. Development and
characterization of curcumin loaded transfersome for transdermal delivery.
Journal of Pharmaceutical Science and Research: India.
Pathan, I.B; Setty, C.M. 2009. Chemical penetration enhancers for transdermal
drug delivery systems. Tropical journal of Pharmaceutical Research: India.
Perrie. 2010. Pharmaceutics: Drug Delivery and Targeting. Pharmaceutical Press:
London.
Prajapati, Shailesh T; Patel, Charmi G; Patel, Chhagan N. 2011. Transfersomes: a
vesicular carrier system for transdermal drug delivery. Asian Journal of
Biochemical and Pharmaceutical Research: India.
Rama, P. 2008. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. Penerbit Agro
Media: Jakarta.
Ramirez, Marcela; Robles, Leopoldo V. 2004. Effect of formulation variables on
verapamil hydrochloride release from hydrated hpmc matrices. Rev. Soc.
Quím. Méx. Mexico.
Redelmeier Schutze, Marie; Tardi, Paul; Oja, Conrad; Cullis, Pieter R. 1999.
Doxorubicin entrapped within transfersome - associated antigens results in a
selective inhibition of the antibody response to the linked antigen.
Biochimica et Biophysica Acta (BBA) - Biomembrans: Canada
Riaz, M. 1996, Transfersomes preparation methods. Pakistan Journal of
Pharmaceutical Science Vol 19: Pakistan.
Roth, H.J; Blaschke, Gottfried. 1994. Analisis Farmasi, Cetakan Kedua.
Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Rowe, Raymond C; Marian E, Queen; Paul J, Sheskey. 2009.
Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th
Edition. American Pharmacist
Assiciation and Pharmaceutical Press: Washington DC and London.
Sachan, Roopesh; Parashar, Tarun; Singh, Vishal; Soniya; Singh, Gaurav; Tyagi,
Satyanand; Patel, chirag; Gupta, Anil. 2013. Drug carrier transfersomes: a
novel tool for transdermal drug delivery system. International Journal of
Research and Development in Pharmacy and Life Sciences: India.
Sahil M., Gavali; Pacharane, Sharad S; Jadhav, Kisan R; Kadam, Vilasrao J.
2011. Clinical p transfersome: a new technique for transdermal drug
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
delivery. International Journal of Research in Pharmacy and Chemistry:
India.
Saroha, Kamal; Singh, Sarabjeet; Aggrawal, Anjay; Nanda, Sanju. 2013.
Transdermal gels – an alternative vehicle for drug delivery. International
Journal of Pharmaceutical, Chemical, and Biological Science. India.
Selvam, R. Panner; Singh, Anoop Kumar; Sivakumar, T. 2010. Transdermal Drug
Delivery Systems for Antihypertensive Drugs - A Review. International
Journal of Pharmaceutical and Biomedical Research: India.
Shiaw, Fern Ng; Jennifer, Rouse; Dominic, Sanderson; Gilian, Eccleston. 2010. A
comparative study of transmembran and permeation of ibuprofen across
synthetic membrans using franz diffusion cells. Journal of Pharmaceutical
Science: Malaysia.
Shah, H.S; Kakuji, T.; dan Yie, W.C. 1992. Transdermal controlled delivery of
verapamil: characterization of in vitro skin permeation. Internaional Journal
of Pharmaceutics. New Jersey: USA.
Shah, H.S; Chen, H.C.; Chao, F.K.; dan Jin, D.H. 1992. Transdermal controlled
delivery of verapamil: determination of in vitro/in vivo relationship. Journal
of Controlled Release. New Jersey: USA.
Shilakari, Gyati; Singh, Davinder; Astahana, Abhat. 2013. Novel vesicular
carriers for topical drug delivery and their application’s. International
Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research: India.
Singh, Tej Pratap; Singh, Rakesh Kumar; Shah, Jigar N; Mehta, Tejal A. 2014.
Mucoadhesive bilayer buccal patches of verapamil hydrochloride:
formulation development and characterization. International Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Science: India.
Sood, Jatin; Kaur, Varinder; Pawar, Pravin. 2013. Transdermal delivery of
verapamil hcl: effect of penetration agent on in vitro penetration through rat
skin. Journal Applied Pharmaceutical Science Vol. 3: India
Sudjaswadi, R.. 1991. Tween 80 dan Stabilitas Asetosal. Majalah Farmasi
Indonesia Volume 2: Indonesia.
Swarbrick, J.A. Boylan. 1994. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology.
Marcel Dekker: New York.
Tangri, Pranshu; Khurana, Shaffi. 2011. Niosomes: Formulation and Evaluation.
International Journal of Biopharmaceutics: India.
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Thirupathi, Ajimera; Vancha, Anarendar Reddy; Sunitha, S. 2014. Preparation
and evaluation of transdermal film of verapamil. International Journal of
Biopharmaceutics: India.
Tranggono, R.I; F. Latifah. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.
PT. Gramedia: Jakarta.
Trommer, H.; Neubert, R.H.H. 2006. Overcoming The Stratum Corneum: The
Modulation of Skin Penetration. Skin Pharmacology and Physiology: USA
Tortora, G.J; Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology
Twelfth Edition. Wiley: Asia.
Touitou, E; Barry, BW; Williams, A.C.W. 2007. Chemical Permeation
Enhancment, in: Enhancement in Drug Delivery. CSC Press: USA.
Vinod, Kombath; Kumar, Minumula Suneel; Anbazhagan, Sockalingan; Sandhya,
Subadhra; Saikumar, Parre; Rohit, Reddy Tera; Banji, David. 2012. Critical
issues related to transfersomes – novel vesicular system. Scientiarum
Polonorum, Acta Sci. Pol., Technol. Alignment: India.
Voight. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi Kelima. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.
Washington, N; Washington, C; Wilson, C.G. 2003. Physiological Pharmaceutics:
Barriers to Drug Absorption Second Edition. Taylor and Francis: New York.
Hal 183.
Wester, R.C.; Maibach, H.I. 1990. In Vitro Testing of Topical Pharmaceutical
Formulations. Dalam Topical Drug Delivery Formulations. Marcel Dekker,
Inc. New York: USA.
Willis, M.C; Collins, B.D; Zhang, T; Green, L.S; Sebesta, D.P; Bell, C; Kellogg,
E; Gill, S.C; Magallanez, A; Knauer, S; Bandele, R.A; Gill, P.S; Janjic, N.
1998. Transfersome anchored vascular endothelial growth factor aptamers.
Pubmed: USA.
Zhang, Yong-Tai; Xu, Yue-Ming; Zhao, Ji-Hui; Wang, Zhi; Xu, Ding-Qin; Feng,
Nian-Ping. 2014. In vivo microdialysis for the evaluation of transfersomes as
a novel transdermal delivery vehicle for cinnamic acid. Drug Developmemt
and Industrial Pharmacy. Informa Health Care: China.
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Alur Penelitian
Penyiapan alat dan bahan
Optimasi Metode dan Formula Transfersom
Pemb
Pembuatan Gel
Formulasi Transfersom
Pemb
Analisa Ukuran Partikel Analisa Efisiensi Penjerapan
Pengukuran Kadar Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis
Pengujian
Organoleptis Gel
Uji Homogenitas
Gel
Pengukuran
pH Gel
Uji Kemampuan
Difusi Zat Aktif
Analisis Data
Pembahasan
Kesimpulan
Pengukuran
Viskositas Gel
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Gambar Alat dan Bahan Penelitian
Glass Beads Ultracentrifuge Tube
Ultracentrifuge Particle Size Analyzer
Sel Difusi Franz Spektrofotometer UV-Vis
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Gambar Hasil Pembentukan Lapis Tipis
Lampiran 4. Gambar Uji Kemampuan Difusi Zat Aktif
(A)
(C)
(D)
(B)
(E)
Keterangan: (A) Kulit tikus sebelum uji difusi; (B) Kulit tikus setelah uji difusi; (C) Kompartemen
donor dan reseptor; (D) Kompartemen donor (tampak atas); (E) Rangkaian alat Franz Diffusion
Cell
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Verapamil Hidroklorida
dalam Phosphate Buffered Saline pH 7,3±0,2
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Data Absorbansi Kurva Standar Verapamil Hidroklorida dalam
Phosphate Buffered Saline pH 7,3±0,2
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0
-0,001
-0,001
-0,001
30
0,280
0,281
0,281
40
0,353
0,354
0,354
50
0,453
0,453
0,453
60
0,545
0,545
0,545
70
0,638
0,638
0,638
Lampiran 7. Kurva Kalibrasi Verapamil Hidroklorida dalam Phosphate Buffered
Saline pH 7,3±0,2
y = 0,0091x - 0,0004 R² = 0,9993
-0,1
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Ab
sorb
ansi
Konsentrasi (ppm)
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Kurva Distribusi Ukuran Partikel Transfersom Verapamil
Hidroklorida
(A)
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(B)
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(C)
Keterangan: (A) Formula F1 (B) Formula F2 (C) Formula F3
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Data Efisiensi Penjerapan Transfersom Verapamil Hidroklorida
Formula Serapan (A)
F. Pengenceran 10x
Konsentrasi
(ppm)
% Efisiensi
Penjerapan
Σ % Efisiensi
Penjerapan
F1
0,324 356,483 98,514
98,5157±0,0016 0,323 355,384 98,519
0,324 356,483 98,514
F2
0,316 347,296 98,552
98,5537±0,0016 0,316 347,296 98,552
0,315 346,197 98,557
F3
0,304 334,109 98,607
98,5930±0,0070 0,308 338,890 98,587
0,309 339,604 98,585
Lampiran 10.Data Hasil Uji Penetrasi Verapamil Hidroklorida dalam Larutan
Phosphate Buffered Saline pH 7,3±0,2 dari Gel Verapamil
Hidroklorida dan Gel Transfersom Verapamil Hidroklorida
Waktu (menit)
Jumlah Verapamil Hidroklorida Terpenetrasi (µg/cm2) (n=3)
F1 F2
1 2 3 ∑ 1 2 3 ∑
15 10,551 12,913 11,338 11,601 39,686 38,111 38,111 38,637
30 34,324 34,534 34,394 34,418 92,034 93,469 95,831 93,779
45 88,320 88,320 85,962 87,538 127,87 131,16 127,43 128,82
60 119,71 125,22 125,80 123,58 162,95 159,29 156,58 159,61
90 154,38 157,23 159,66 157,09 212,28 217,44 203,84 211,19
120 180,87 185,02 180,50 182,13 248,69 244,46 244,81 246,00
180 237,30 246,31 240,38 241,34 329,52 322,80 331,60 327,98
240 301,98 296,45 293,59 297,34 423,85 438,25 435,09 432,40
300 362,42 368,15 359,15 363,29 526,90 529,81 535,75 530,83
360 446,85 446,62 455,30 449,59 611,75 612,68 613,24 612,56
420 517,70 515,26 513,74 515,57 761,06 761,13 757,20 759,80
480 609,98 613,71 607,20 610,30 857,99 861,14 863,94 861,03
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Data Persentase Kumulatif Verapamil Hidroklorida Terpenetrasi
dari Gel Verapamil Hidroklorida dan Gel Transfersom Verapamil
Hidroklorida berdasarkan Uji Penetrasi Selama 8 Jam
Waktu (menit)
Persentase Kumulatif Verapamil Hidroklorida Terpenetrasi (%) (n=3)
F1 F2
1 2 3 ∑ 1 2 3 ∑
15 1,104 1,351 1,186 1,214 4,153 3,989 3,989 4,043
30 3,592 3,614 3,600 3,602 9,632 9,783 10,03 9,815
45 9,244 9,244 8,997 9,162 13,38 13,72 13,33 13,48
60 12,53 13,10 13,16 12,93 17,05 16,67 16,38 16,70
90 16,15 16,45 16,71 16,44 22,21 22,75 21,33 22,10
120 18,93 19,36 18,89 19,06 26,03 25,75 25,62 25,74
180 24,83 25,78 25,16 25,25 34,49 33,78 34,70 34,32
240 31,60 31,02 30,73 31,12 44,336 45,87 45,53 45,25
300 37,93 38,53 37,60 38,02 55,14 55,45 56,07 55,55
360 46,77 46,74 47,65 47,05 64,03 64,12 64,18 64,11
420 54,18 53,93 53,77 53,96 79,65 79,66 79,25 79,52
480 63,84 64,23 63,55 63,87 89.80 90,13 90,42 90,12
Lampiran 12. Data Hasil Jumlah Kumulatif Verapamil Hidroklorida yang
Terpenetrasi, Persentase Jumlah Verapamil Hidroklorida yang
Terpenetrasi, dan Fluks Verapamil Hidroklorida dari Gel
Verapamil Hidroklorida dan Gel Transfersom Verapamil
Hidroklorida Berdasarkan Uji Penetrasi Selama 8 Jam
Formula
Jumlah Kumulatif Verapamil
Hidroklorida Terpenetrasi
(µg/cm2) (n=3)
% Jumlah Kumulatif
Verapamil Hidroklorida
Terpenetrasi (n=3)
Fluks Verapamil
Hidroklorida
(µg.cm-2
.jam-1
)
(n=3)
F1 610,303 ± 1,885 63,878 ± 0,1973 76,287 ± 0,235
F2 861,0263 ± 1,718 90,120 ± 0,1798 107,628 ± 0,214
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Data Statistik Fluks Verapamil Hidroklorida
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14. Contoh Perhitungan Persen Efisiensi Penjerapan Verapamil
Hidroklorida pada F1
Diketahui: y = 0,0091 - 0,0004x
y = 0,324
Kadar total verapamil hidroklorida = 24000 ppm
Ditanya: C = ? % efisiensi penjerapan = ?
a. Nilai C
y = 0,0091 - 0,0004x
0,324 = 0,0091 - 0,0004x
C = 35,6483 ppm
b. Faktor Pengenceran (FP)
FP = volume labu tentukur : volume sampling
FP = 5 mL : 0,5 mL
FP = 10x
c. Kadar Verapamil Hidroklorida yang Tidak Terjerap
Kadar Verapamil Hidroklorida yang Tidak Terjerap = C x FP
Kadar Verapamil Hidroklorida yang Tidak Terjerap = 35,6483 x 10
Kadar Verapamil Hidroklorida yang Tidak Terjerap = 356,483 ppm
d. % Efisiensi Penjerapan
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Contoh Perhitungan Jumlah Verapamil Hidroklorida yang
Terpenetrasi dari Gel Transfersom Verapamil Hidroklorida pada
Menit ke-480
Diketahui: y = 0,0091 - 0,0004x
y = 0,5045
Ditanya: C = ?
Jumlah Kumulatif Verapamil Hidroklorida Terpenetrasi (Q) = ?
a. Nilai C
y = 0,0091 - 0,0004x
0,5045 = 0,0091 - 0,0004x
C = 55,4835 ppm
b. Faktor Pengenceran (FP)
FP = volume labu tentukur : volume sampling
FP = 2 mL : 1 mL
FP = 2x
c. Konsentrasi Terpenetrasi
Konsentrasi Terpenetrasi = C x FP
Konsentrasi Terpenertasi = 55,4835 x 2
Konsentrasi Terpenetrasi = 111,362 ppm
d. Jumlah Kumulatif Terpenetrasi
)
))
Cn = Konsentrasi verapamil hcl (µg/mL) pada sampling menit ke-480
V = Volume sel difusi Franz = 22,5 mL
= Konsentrasi terpenetrasi pada menit sebelumnya (menit ke-420)
S = Volume sampling = 2 mL
A = Luas area membran = 3,14 cm2
(
⁄ )
⁄ ))
⁄
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 16. Contoh Perhitungan Fluks Difusi pada Gel Transfersom Verapamil
Hidroklorida Jam ke delapan
Kecepatan Penetrasi Verapamil (Fluks; J, µg.cm-2
.jam-1
) dihitung dengan rumus:
)
Dimana:
J = Fluks (µg.cm-2
.jam-1
)
M = Jumlah kumulatif verapamil yang melalui membran (µg)
S = Luas area difusi (cm2)
t = Waktu (jam)
Diketahui: ⁄ =
⁄
Ditanya: J = ?
)
⁄
µg.cm-2
.jam-1
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 17. Contoh Perhitungan Persentase Jumlah Kumulatif Verapamil
Hidroklorida yang Terpenetrasi dari Gel Transfersom Verapamil
Hidroklorida
Jumlah Verapamil dalam 0,3 g sampel adalah 0,3 mg
Sampel yang diaplikasikan pada kulit sebanyak 0,3 g
Dalam 0,3 g sampel mengandung verapamil sebanyak 0,3 mg = 3000µg
⁄
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 18. Sertifikat Analisis Soya Phosphatidylcholine
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 19. Sertifikat Analisis Verapamil Hidroklorida
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 20. Sertifikat Analisis Etanol
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 21. Sertifikat Analisis Phosphate Buffered Saline pH 7,3±0,2
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 22. Sertifikat Analisis HPMC
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 23. Sertifikat Analisis Gliserin
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 24. Surat Keterangan Hewan Uji