Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Gambaran Implementasi Program Edukasi Pencegahan Demensia pada Lansia di Puskesmas Kecamatan Jatinegara Tahun 2017
Taufiqa Hidayati, Tiara Amelia
Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail: [email protected]
Abstrak Edukasi pencegahan demensia pada lansia penting untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap lansia terhadap upaya pencegahan demensia. Implementasi program edukasi pencegahan demensia dilihat berdasarkan upaya peningkatan aktifitas fisik, sosial, kognitif dan gizi di wilayah Puskesmas Kecamatan Jatinegara. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif menggunakan teori implementasi kebijakan Edward III. Pengumpulan data melalui indepth interview, focus group discussion dan observasi. Hasil penelitian ini adalah program edukasi pencegahan demensia sudah berjalan namun belum optimal dari sisi komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Selain itu, lansia memiliki risiko tinggi terkena demensia sedangkan pengetahuan mengenai demensia masih kurang. Hal ini dikarenakan fokus program saat ini adalah skrinning pencatatan dan pelaporan jumlah lansia berdasarkan perintah Kemenkes RI. Saran penelitian ini adalah meningkatkan koordinasi dan komitmen seluruh pelaksana dan pemangku kebijakan untuk menjadikan upaya pencegahan demensia sebagai prioritas program. Keyword: demensia, edukasi, implementasi program, lansia
Implementation of Dementia Prevention Education Program among Elderly at Puskesmas Kecamatan Jatinegara Year 2017
Abstract
Dementia prevention education among elderly is important to improve knowledge and attitude toward prevention of dementia. Implementation of dementia prevention education program can be seen based on efforts to increase physical, social, cognitive activity and nutritional fulfillment in elderly community of Puskesmas Jatinegara sub-district. This is a qualitative research with descriptive design using Edward III implementation theory. Data collection was obtained using indepth interview, focus group discussion and observation. The result of this research mention that dementia prevention educational program is running with unsatisfactory result from communication, resources, disposition, and bureaucratic structure. Furthermore, elderly have a high risk of dementia, while knowledge of dementia still lacking. All this happen because the focus of current program are screening, recording and reporting the number of elderly based on the Ministry of Health's order. The research recommendation is to improve coordination and commitment of all implementers and stakeholders to make dementia prevention as a priority program. Keyword: dementia, education, elderly, implementation program Pendahuluan
Penurunan fungsi kognitif pada lansia akan menurunkan aktifitas sosial sehari-hari
menjadi tidak produktif (Kementerian Kesehatan, 2013). Hal ini akan berdampak besar
terhadap kondisi kesehatan, sosial dan ekonomi pembiayaan keluarga, masyarakat dan
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
2
pemerintah. Tahun 2015, Kementerian Kesehatan telah merancang strategi nasional
penanggulangan demensia dan edukasi pencegahan demensia merupakan langkah awal untuk
mencegah demensia.
Pentingnya edukasi lanjut usia ini didukung oleh hasil penelitian yang menyebutkan
bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tindakan pencegahan demensia
(Musafa, 2006). Selain itu, pendidikan kesehatan sangat penting untuk meningkatkan
pengetahuan dan sikap lansia tentang demensia (Husnia, 2007).
Pentingnya program edukasi lansia dalam strategi nasional penanggulangan demensia
tersebut, tidak terlepas dari konsep yang dibuat dan implementasi nyata di lapangan. Menurut
Riant (2008) dalam penelitian Riau 2016, konsep yang baik berkontribusi pada 60%
keberhasilan kebijakan, namun keberhasilan akan hangus jika 40% implementasinya tidak
konsisten dengan konsep. Kesenjangan yang terjadi saat ini adalah banyak peneliti yang
menemukan bahwa dari konsep-konsep perencanaan, rata-rata konsistensi implementasi
antara 10-20% saja, dari sini terlihat bahwa implementasi kebijakan adalah hal yang krusial
(Riau, 2016). Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengetahui gambaran implementasi
program edukasi pencegahan demensia pada lansia khususnya di Kecamatan Jatinegara.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran implementasi program
edukasi pencegahan demensia pada lanjut usia serta hambatan dan tantangan yang dihadapi
Puskesmas Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur tahun 2017. Sedangkan tujuan khusus dari
penelitian ini adalah mengetahui gambaran komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur
birokrasi dan gambaran demensia pada lansia dari sisi aktifitas, faktor risiko, pengetahuan dan
ketertarikan informasi demensia.
Tinjauan Teoritis Lansia adalah adalah suatu proses nyata biologis yang dinamis, dan diluar kontrol
manusia. Di banyak negara, definisi lansia adalah titik dimana kontribusi aktif seorang
manusia tidak lagi memungkinkan (WHO, 2002). Batasan umur lansia yaitu pra lansia 45 –
59 tahun, lanjut usia 60 – 69 tahun, lanjut usia risiko tinggi >70 tahun atau ≥ 60 tahun dengan
masalah kesehatan (Permenkes Nomor 25 Tahun 2016).
Demensia adalah istilah yang digunakan untuk melukiskan gejala-gejala sekelompok
penyakit yang mempengaruhi otak. Demensia bukanlah hal yang normal dalam penuaan. Hal
ini terjadi ketika otak terserang penyakit (Alzheimer’s Society, 2016). Gejala demensia umum
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
3
diantaranya masalah daya ingat, perubahan perilaku dan perubahan fisik (Dementia handbook
for careers, 2014)
Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan perilaku yang dinamis dengan
tujuan mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia yang meliputi komponen pengetahuan,
sikap, ataupun praktik yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat baik secara individu,
kelompok maupun masyarakat, serta merupakan komponen dari program kesehatan (Suliha,
2002). Secara garis besar, selain dengan perilaku hidup sehat, peningkatan aktifitas sosial,
fisik, kognitif dan peningkatan gizi menjadi upaya edukasi dalam mencegah demensia (Feria,
2017).
Penelitian ini menggunakan model implementasi kebijakan menurut George C. Edward
III (1980). Pemilihan model ini karena model Edward III fokus pada aktor-aktor kebijakan
yang mengimplementasikan kebijakan itu sendiri atau implementor kebijakan (Riau, 2016).
Gambar 1
Model pendekatan implementasi menurut George C. Edward III
Sumber: George C. Edward, 1980, dikutip dari Tahjan, 2006
Faktor utama berasarkan teori model implementasi Edward III yang akan diteliti yaitu
komunikasi (transmisi, kejelasan dan konsistensi), sumber daya (SDM, anggaran, fasilitas,
informasi dan kewenangan), disposisi (sikap implementor), dan struktur birokrasi
(fragmentasi) terhaap implementasi program edukasi pencegahan demensia pada lansia.
Metode Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain deskriptif untuk
mendapatkan informasi mendalam mengenai gambaran edukasi pencegahan demensia sebagai
bagian dari strategi nasional penanggulangan demensia. Waktu penelitian ini adalah sejak
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
4
bulan Maret hingga Juni 2017. Lokasi dilaksanakannya penelitian adalah wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur. Teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini menggunakan data sekunder berupa dokumen dan data primer berupa observasi,
wawancara mendalam (in-depth interview) kepada Stakeholder bidang lansia Suku Dinas
Kesehatan Jakarta Timur dan Stakeholder bidang lansia Puskesmas Kecamatan Jatinegara
serta melakukan FGD (Focus Group Discussion) kepada kelompok kader dan lansia di
Cipinang Besar Utara wilayah kerja Puskesmas Jatinegara.
Informan dalam penelitian ini dipilih sesuai dengan prinsip pengambilan sampel pada
metode kualitatif yaitu non-probabilitas purposive sampling, dengan prinsip kesesuaian
(appropriateness) dan kecukupan (adequacy). Dalam mengumpulkan data atau informasi
yang dibutuhkan, penelitian ini menggunakan instrumen berupa pedoman wawancara
mendalam (In-Depth Interview), pedoman FGD, alat pencatat dan alat perekam (tape
recorder).
Hasil Penelitian
Data penelitian diperoleh dengan melakukan dan 2 Focus Group Discussion (FGD) dan 2
Indepth Interview atau wawancara mendalam. Pada FGD kader terdapat 10 informan yang
berusia 37 - 58 tahun yang tersebar di berbagai RT dengan pendidikan terakhir SMP sampai
dengan S1. Pekerjaan kader sebagian besar adalah ibu rumah tangga, dan seluruhnya sudah
menjadi kader selama 4 tahun. Pada FGD lansia, didominasi oleh lansia kategori risiko tinggi
yaitu berusia ≥ 60 tahun dengan masalah kesehatan. Informan wawancara mendalam
merupakan tenaga kesehatan stakeholder pemegang program lansia di Suku Dinas Kesehatan
Jakarta Timur dan Puskesmas Jatinegara. Hasil yang didapatkan diantaranya:
a. Program pencegahan demensia
Langkah pertama dalam pencegahan demensia menurut strategi nasional adalah
dengan meningkatkan pengetahuan lansia dengan edukasi pencegahan demensia. Upaya
edukasi pencegahan demensia sudah berjalan sebelumnya melalui upaya peningkatan
aktifitas fisik, sosial, kognitif dan gizi. Selain melanjutkan edukasi yang ada, pemberian
informasi khusus demensia belum dilakukan. Hal ini dikarenakan pada saat ini, fokus
program berada di tahap skrinning pencatatan dan pelaporan jumlah lansia dan menilai
kemampuan kognitif dengan tes intelegensi lansia. Semua program yang dijalankan
disesuaikan dengan perintah dari Kementerian Kesehatan RI.
b. Komunikasi (Transmisi)
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
5
Transmisi atau cara penyampaian informasi beragam. Transmisi informasi bersifat
fleksibel dan didominasi oleh bimbingan teknis, pelatihan dan rapat. Transmisi informasi
sudah memiliki alur yang jelas dan setiap institusi memiliki cara tersendiri dalam
menyampaikan informasi. Sebagaimana alur transmisi berikut:
Gambar 2 Alur Transmisi Informasi
Media yang digunakan dalam transmisi informasi berupa elektronik dan non
elektronik. Hambatan dalam pelaksanaan transmisi diantaranya intensitas pelatihan yang
kurang dan tidak merata sampai ke kelurahan, serta informasi yang diterima secara
berantai. Menurut Stakeholder Lansia Puskesmas Jatinegara, transmisi informasi tidak
berjalan dengan baik. Keterbatasan dana untuk mengadakan pelatihan yang merata
menjadi salah satu penghambat berjalannya transmisi. Hal ini menyebabkan informasi
yang diterima tidak optimal.
c. Komunikasi (Kejelasan)
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
6
Kejelasan merupakan informasi yang dapat dimengerti dan tidak membingungkan
pelaksana. Informasi dan sosialisasi program sudah diberikan pada bulan April 2017.
Namun, masih terdapat masalah dalam pencatatan dan pelaporan diakibatkan definisi
operasional yang belum jelas pada buku kesehatan lanjut usia dan format skrinning
pencatatan dan pelaporan. Kejelasan informasi yang kurang optimal tersebut merupakan
dampak dari hambatan dalam transmisi informasi yang tidak merata.
d. Komunikasi (Konsistensi)
Konsistensi merupakan suatu perintah yang tidak berubah, tidak membingungkan,
konsisten, kesesuaian persepsi dan respon pelaksana dalam memahami kebijakan.
Menurut Stakeholder Lansia Sudinkes Jaktim ada ketidaksesuaian persepsi dan respon
pelaksana dalam memahami kebijakan. Dalam sosialisasi kebijakan baru pada pencatatan
dan pelaporan, tidak semua petugas pelaksana mendapatkan sosialisasi. Hal ini
dikarenakan tenaga kesehatan yang sudah terlatih dan sudah disosialisasi
dipindahtugaskan ke tempat lain. Sebab kedua, karena peserta pelatihan sosialisasi yang
diundang sedang berhalangan hadir sehingga digantikan oleh petugas lain yang bukan
berasal dari bidang lansia.
Sementara itu menurut kader, berkurangnya konsistensi cenderung kepada perubahan
sikap petugas puskesmas yang dirasa kurang memberikan perhatian pada kader. Hal ini
berakibat pada berkurangnya motivasi kader dalam memberikan laporan tepat waktu.
e. Sumber daya (Sumber daya manusia)
Sumber daya manusia dalam penelitian ini dilihat berdasarkan kuantitas atau jumlah
dan kualitas atau kompetensi petugas. Dari hasil pengumpulan data, ditemukan bahwa
kuantitas tenaga kesehatan di wilayah kerja Jakarta Timur, khususnya di Kecamatan
Jatinegara terbatas. Program pencegahan demensia yang terhambat akibat kuantitas
sumber daya manusia adalah pelaksanaan puskesmas santun lansia, pemeriksaan kognitif
tes intelegensi, pemeriksaan awal dan konseling demensia, serta pelaksanaan Pos Lansia.
Dari segi kualitas atau kompetensi petugas pelaksana program di wilayah kerja Jakarta
Timur, khususnya Kecamatan Jatinegara turut dirasa kurang dalam pelaksanaan program
lansia.
f. Sumber daya (Anggaran)
Sumber dana sudinkes berasal dari APBD (Anggaran, Pendapatan, dan Belanja
Daerah), puskesmas berasal dari BLUD (Bantuan Langsung Umum Daerah) dan pada
awal pembentukan Pos Lansia berasal dari dana kelurahan. Namun, dalam pelaksanaan
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
7
kegiatan, dana Pos Lansia berasal dari swadaya warga. Walaupun sumber dana berbeda,
hal yang serupa diungkapkan bahwa dana yang ada jumlahnya terbatas.
Salah satu dampak dari keterbatasan dana di wilayah kerja Sudinkes Jakarta Timur
adalah pelatihan yang kurang merata. Diketahui bahwa Jakarta Timur memiliki wilayah
yang luas dengan 10 Puskesmas Kecamatan dan 78 Puskesmas Kelurahan. Sementara itu,
petugas kesehatan penanggung jawab lansia di kelurahan berganti dengan cepat dengan
variasi sekitar 2 sampai 6 bulan sekali. Dana yang terbatas, sedangkan kebutuhan
pelatihan yang tinggi mengakibatkan pelaksanaan program lansia belum optimal.
Dampak lain dari keterbatasan anggaran adalah Program tidak aktif di bidang pencegahan
demensia melalui aktifitas sosial yaitu pertemuan forum keluarga lanjut usia (FKLU)
kelurahan akibat minimnya dana penunjang. Selain itu, program peningkatan kognitif
lansia yang bekerja sama dengan dinas sosial belum dilanjutkan kembali akibat anggaran
pemberdayaan lansia yang belum dialokasikan.
g. Sumber daya (fasilitas)
Dari segi fasilitas, Stakeholder Lansia Sudinkes Jaktim dan kader menyatakan bahwa
fasilitas yang tersedia belum memadai seperti ketersediaan poli lansia, media promosi
edukasi pencegahan demensia, dan alat cek laboratorium. Hal yang berbeda diungkapkan
oleh Stakeholder Lansia Puskesmas Kecamatan Jatinegara yang menyatakan bahwa di
Puskesmas Kecamatan jatinegara sudah memiliki Poli lansia dan fasilitas yang tersedia
dirasa sudah cukup dalam program edukasi lansia.
Keterbatasan fasilitas lebih dirasakan di Puskesmas kelurahan akibat minimnya
ruangan poli lansia yang tersedia. Hal ini mengakibatkan pendirian Puskesmas Santun
Lansia belum dapat direalisasikan di kelurahan.
h. Sumber daya (informasi dan kewenangan)
Informasi dan kewenangan adalah ketersediaan informasi dalam bentuk tulisan,
pedoman, petunjuk dan tata cara pelaksanaan kebijakan, dan wewenang. Dalam hal ini,
Sudinkes Jaktim mapun Puskesmas sudah terdapat informasi yang tersedia dalam bentuk
modul dari Kemenkes. Sementara itu, belum tersedianya informasi berupa media promosi
edukasi pencegahan demensia diantaranya poster, flyer, dan leaflet. Selain itu, belum
tersedianya data lansia yang terkena demensia karena belum dilakukan pemeriksaan. Di
Pos Lansia, informasi kesehatan lebih cenderung pada penyakit degeneratif dan belum
ada informasi mengenai demensia. Bentuk informasi yang tersedia berasal dari kader
yang berinisiatif membuat informasi yang ditempel di ruang Pos Lansia.
i. Disposisi (sikap implementor)
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
8
Disposisi merupakan watak atau karakteristik pelaku kebijakan. Dari penelitian ini
ditemukan bahwa sikap implementor dirasa kurang dalam mendukung terlaksananya
program. Berbagai hambatan yang muncul dalam pelaksanaan program, mengakibatkan
program yang berjalan masih belum optimal. Hambatan yang muncul terlihat dari
perilaku kinerja petugas yang lambat dan kurangnya pemahaman program.
Salah satu hal yang menjadi perhatian dalam variabel disposisi adalah pendapat
kader petugas puskesmas dianggap masih kurang dalam merespon kebutuhan Pos Lansia.
Selain itu, keterlambatan pengiriman data seperti yang dikatakan pihak puskesmas
sependapat dengan kader yang terlambat mengirimkan data. Setelah ditelusuri, ternyata
ada hubungan timbal balik antara kurangnya perilaku positif berupa perhatian puskesmas
dengan terlambatnya pengiriman data oleh kader.
j. Struktur Birokrasi (Fragmentasi)
Struktur birokrasi Program Lansia daerah wilayah Jakarta Timur khususnya di
Kecamatan Jatinegara adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2
Struktur Organisasi
Dalam struktur organisasi, Stakeholder Lansia Sudinkes Jaktim, Stakeholder Lansia
Puskemas Jatinegara dan Stakeholder Lansia Puskesmas Kelurahan masing-masing
dipegang oleh 1 orang di bidang lansia. Sementara itu, struktur organisasi kader di Pos
Lansia terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota.
Pada fragmentasi atau penyebaran wewenang dan tanggung jawab, menurut
Sudinkes Jaktim tidak memiliki penyebaran dalam satu institusi karena setiap 1 institusi
hanya ada 1 pengelola lansia tanpa tim khusus lansia. Sehingga, penyebaran wewenang
dan tanggung jawab hanya kebawah.
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
9
Menurut Stakeholder Lansia Puskesmas Jatinegara adanya ketidaksesuaian antara
tugas, pokok dan fungsi dalam menjalankan program lansia karena pemegang program
bertanggung jawab juga di poli lain. Sementara itu, diperlukan penguatan koordinasi
dengan kepala puskesmas untuk pembentukan poli lansia dan penetapan petugas
pemegang program lansia agar tidak berganti terlalu cepat.
k. Demensia pada lansia
Pada kelompok lansia, sebagian besar lansia telah merealisasikan aktifitas sosial,
fisik, kognitif dan pemenuhan gizi lansia sebagai upaya pencegahan demensia. Namun,
pada semua lansia ditemukan berbagai faktor risiko terhadap kejadian demensia. dari
hasil penuturan lansia saat FGD, ditemukan beberapa lansia yang diindikasikan memiliki
gejala demensia yaitu lupa ketika meletakkan barang-barang berharga di rumah maupun
tempat umum. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa lansia menganggap demensia
adalah hal yang normal dari penuaan. Oleh karena itu, lansia lebih tertarik pada informasi
kesehatan yang berhubungan langsung dengan penyakit yang sedang lansia diderita
seperti hipertensi, diabetes, asma, dan tuberkulosis.
Pembahasan
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu informan stakeholder lansia Kemenkes tidak
dapat diwawancarai karena sibuk. Akibat dari informan yang tidak dapat diwawancarai,
informasi mengenai kondisi implementasi program edukasi pencegahan demensia dari pihak
pembuat program tidak dapat diperoleh. Selain itu, keterbatasan penulis dalam menggali
informasi masih kurang, penelitian ini bersifat lokalitas dan jumlah FGD kader dan lansia
yang kurang akibat keterbatasan waktu an perizinan. Pembahasan dalam penelitian ini
menggunakan teori model implementasi kebijakan menurut George C. Edward III (1980).
a. Program pencegahan demensia
Strategi nasional penanggulangan demensia merupakan strategi yang masih baru.
Upaya mendukung terlaksananya program ini khususnya edukasi pencegahan demensia,
langkah pertama yang saat ini dilakukan adalah pengumpulan data berupa skrinning
pencatatan dan pelaporan jumlah lansia, serta tes intelegensi lansia. Dalam
pelaksanaannya, upaya edukasi pencegahan demensia masih terus dilakukan tidak hanya
berupa peningkatan wawasan, namun edukasi dapat berupa tersedianya kegiatan yang
dapat mencegah demensia sesuai sesuai dengan upaya pencegahan demensia yaitu
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
10
dengan meningkatkan aktifitas fisik, sosial, kognitif, dan gizi (Kementerian Kesehatan
2017, Alzheimer Research UK 2016; Feria, 2017).
b. Komunikasi (Transmisi)
Kegiatan dalam alur transmisi informasi tergolong baik karena setiap institusi
memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan informasi pada sasaran. Hal ini sesuai
teori implementasi kebijakan Edward III yang menyatakan bahwa kebijakan dan perintah
harus disampaikan kepada personil yang tepat dengan informasi yang akurat dan mudah
dimengerti oleh pelaksana.
Keterkaitan antar insititusi dilakukan dengan adanya alur transmisi yang melintas
atau melompati suatu institusi. Hal ini menjadikan tahapan birokrasi pemberian informasi
menjadi lebih fleksibel. Hal ini sesuai teori implementasi kebijakan Edward III, bahwa
informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada
kelompok sasaran dan pihak yang terkait.
Menurut teori implemetasi Edward III, dalam transmisi, terdapat 3 poin utama dalam
penyampaian informasi. Perintah harus disampaikan kepada personil yang tepat dengan
informasi yang mudah dimengerti, penyaluran informasi yang meminimalkan tahapan
birokrasi, dan kesesuaian kebijakan dengan keadaan di lapangan. Dalam penelitian ini,
sudah terdapat alur transmisi informasi yang jelas, tahapan birokrasi fleksibel sesuai
sasaran dan kebutuhan. Namun, dalam penyampaian informasi masih terdapat kendala
pesan yang berantai, pelatihan yang tidak merata dan kebijakan yang tidak sesuai dengan
keadaan di lapangan. Hal ini menjadikan transmisi informasi belum berjalan optimal.
c. Komunikasi (Kejelasan)
Dari hasil penelitian, kejelasan informasi dianggap masih kurang. Pada kenyataannya,
Menurut teori implementasi kebijakan Edward III, implementasi kebijakan seharusnya
tidak hanya dipahami namun harus jelas. Hal ini berdampak pada perbedaan persepsi
petugas dalam pencatatan dan pelaporan sehingga validitas data menjadi berkurang dan
saat ini diakui data masih belum valid.
Jika ditelusuri, pelatihan sudah diberikan untuk meningkatkan kompetensi petugas.
Namun, petugas yang telah diberi pelatihan berganti terlalu cepat dalam jangka waktu
beragam yaitu 2- 6 bulan. Sedangkan petugas yang baru tidak mendapat pelatihan karena
keterbatasan dana dari penyelenggara. Hal inilah yang mendasari petugas kebingungan
dalam menyelesaikan tugas karena tidak memahami informasi. Upaya yang dilakukan
untuk meningkatkan pemahaman petugas yang dilakukan adalah dengan turun langsung
kelapangan atau melakukan konsultasi langsung.
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
11
d. Komunikasi (Konsistensi)
Program edukasi pencegahan demensia dan format skrinning pencatatan dan
pelaporan yang bersifat baru, menjadi awal kebingungan pelaksana program. Menurut
teori implementasi kebijakan Edward III, perintah yang berubah mengakibatkam
ketidaksesuaian respon pelaksana dalam memahami program. Kondisi saat ini adalah
sulitnya petugas dalam memahami tugas akibat perubahan format laporan yang tidak
disosialisasikan sejak awal, pemindahtugasan petugas terlatih, dan ketidaksesuaian
sasaran peserta pelatihan menjadikan menurunnya validitas laporan pencatatan dan
pelaporan jumlah lansia untuk mengintervensi pencegahan demensia.
Hal ini tidak dapat disalahkan pada suatu institusi karena perubahan adalah hal yang
aktif dan dinamis (Webster, 1828). Namun yang disayangkan adalah kurangnya
sosialisasi yang justru menjadi penghambat walau perubahan adalah upaya untuk
menjadikan program berjalan lebih baik.
Point utama dalam konsistensi tidak hanya dalam persepsi, namun konsistensi dapat
berupa perilaku pelaksana. Konsistensi yang dirasakan berubah menurut kader karena
pergantian dan perilaku petugas. Kader yang biasanya merasa diperhatikan saat ini
menjadi menurun respon dan kinerjanya. Perhatian atau dukungan mungkin terlihat kecil
namun memiliki dampak yang besar. Dalam penelitian ini, dampak dari perilaku yang
tidak konsisten adalah keterlambatan dalam mengumpulkan laporan.
e. Sumber daya (Sumber daya manusia)
Menurut teori implementasi kebijakan Edward III, implementasi program tidak akan
berjalan efektif tanpa tersedianya sumber daya yang memadai. Dari hasil penelitian,
seluruh informan sepakat bahwa kuantitas atau jumlah tenaga medis sedikit dengan
pekerjaan yang banyak. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa kualitas atau kompetensi
petugas di puskesmas dinilai masih kurang. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
pemahaman, pemindahtugasan tenaga yang terlatih, pergantian petugas yang cepat
sehingga tidak mengikuti pelatihan, intensitas pelatihan yang kurang, beban kerja yang
tinggi dan keberanian petugas. Pada penelitian lain, keterbatasan sumber daya turut
mengakibatkan sumber daya manusia dalam implementasi program menjadi penghambat
proses kerja yang efektif (Sosiawan, 2008). Dari hasil penelitian ini, kuantitas dan
kualitas sumber daya manusia dalam implementasi program lansia masih belum memadai.
f. Sumber daya (Anggaran)
Anggaran dapat disebut sebagai motor penggerak program. Menurut teori
implementasi kebijakan Edward III, anggaran diperlukan untuk menjamin terlaksananya
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
12
kebijakan. Ketersediaan anggaran mempengaruhi 4 faktor utama dalam implementasi
kebijakan yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Beberapa
hambatan yang terjadi akibat kurangnya dana diantaranya
Komunikasi : sosialisasi dan pelatihan yang tidak merata
Sumber daya : belum optimalnya kualitas sumber daya manusia
dalam pelaksanaan program melalui pelatihan, belum
optimalnya ketersediaan fasilitas poli lansia dan Pos
Lansia
Disposisi : Semangat kader Pos Lansia berbeda dengan semangat
kader PSN yang mendapat insentif
Struktur
birokrasi
: Pelaksanaan koordinasi dengan kepala puskesmas
dalam pendirian poli lansia. dan koordinasi dengan
petugas pelaksana dalam implementasi program
g. Sumber daya (fasilitas)
Menurut teori implementasi kebijakan Edward III, fasilitas merupakan hal penting
dalam pelaksanaan program. Fasilitas menyangkut sarana dan prasarana yang layak
seperti gedung, tanah, peralatan perkantoran dan penunjang lainnya akan mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan.
Menurut Stakeholder Lansia Sudinkes Jakarta Timur, ketersediaan fasilitas khusus
untuk lansia dirasakan kurang. Selain keterbatasan fasilitas pada ketersediaan poli lansia
di Puskesmas, keterbatasan turut dirasakan media yang mendukung edukasi pencegahan
demensia pada lansia seperti poster, flyer, dan leaflet. Namun, untuk Puskesmas lain
masih terdapat keterbatasan dalam fasilitas untuk lansia, khususnya dalam edukasi lansia.
Hal serupa dinyatakan oleh kader di Pos Lansia yang kekurangan fasilitas dalam
pemeriksaan kesehatan, dan alat kesehatan yang tersedia diakui sering error dan belum
pernah dikalibrasi sejak 4 tahun Pos Lansia didirikan. Nyatanya, kalibrasi alat kesehatan
sebaiknya dilakukan satu tahun sekali untuk menjamin akurasi hasil pemeriksaan
(Medicalogy, 2017).
h. Sumber daya (informasi dan kewenangan)
Menurut teori implementasi kebijakan Edward III, ketersediaan informasi dalam
bentuk pedoman menjadi pemudah petugas dalam melaksanakan program. Informasi ini
dapat berupa segala keterangan dalam bentuk tulisan, pedoman, petunjuk dan tata cara
pelaksanaan untuk melaksanakan kebijakan. Dalam penelitian ini, informasi sudah
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
13
tersedia dalam bentuk buku dan modul pelatihan sebagai pedoman pelaksanaan yang
bersumber dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Namun, masih ada kebutuhan pelaksanaan program edukasi pencegahan demensia
yang belum dimiliki institusi kesehatan yaitu poster, flyer, dan leaflet mengenai demensia.
Nyatanya, informasi kesehatan yang dapat dilihat langsung oleh sasaran atau lansia akan
meningkatkan awareness dan penyerapan informasi kesehatan.
Hambatan yang muncul dalam ketersediaan informasi adalah data mengenai lansia
yang terkena demensia. Pada dasarnya, kegunaan data dapat memberikan suatu gambaran
keadaan atau persoalan (Nenggol, 2015). Hambatan yang terjadi saat ini, data kognitif
lansia belum seluruhnya tersedia karena tidak dilakukannya pemeriksaan akibat
keterbatasan jumlah dan waktu petugas. Selain itu, hambatan lain yang terjadi saat ini
adalah data yang tersedia masih belum valid. Nyatanya, data merupakan hal penting yang
dapat mempermudah analisis situasi dan merencanakan tindakan intervensi yang sesuai.
i. Disposisi (sikap implementor)
Menurut teori implementasi kebijakan Edward III, disposisi merupakan faktor yang
bertalian dengan watak atau sikap serta komitmen yang harus dimiliki oleh pelaksana
kebijakan, pelaksana harus mengetahui apa yang harus dikerjakan, memiliki kapasitas
untuk melakukannya, dan memiliki perilaku yang positif dalam mengimplementasikan
kebijakan. Dalam penelitian ini, komitmen, dukungan dan perilaku pelaksana dalam
mengimplementasikan kebijakan dinilai beragam. Namun, sebagian besar informan
mengatakan bahwa perilaku petugas masih dirasa kurang dalam mendukung
terlaksananya program.
Dari pernyataan informan, diketahui bahwa terdapat hal-hal yang mendasari
menurunnya komitmen dan dukungan petugas dalam melaksanakan program diantaranya
karena kurangnya pengetahuan, usia, ketersediaan insentif, ketersediaan anggaran
program, perhatian atasan dan beban pekerjaan yang tinggi. Nyatanya, hal ini
melatarbelakangi perilaku petugas sehingga menjadikan proses implementasi kebijakan
menjadi tidak efektif. (Tachjan, 2006).
j. Struktur Birokrasi (Fragmentasi)
Jakarta Timur khususnya daerah wilayah Kecamatan Jatinegara memiliki area yang
luas. Kebutuhan struktur birokrasi atau organisasi yang baik dapat mengoptimalkan
implementasi program. Menurut teori implementasi kebijakan Edward III, struktur
organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap implementasi kebijakan.
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
14
Dalam struktur organisasi pelaksanaan program lansia, diketahui bahwa hanya
terdapat 1 penanggung jawab program dari setiap institusi, sehingga fragmentasi hanya
kearah bawah dan tidak ada penyebaran setingkat atau tim dalam 1 institusi. Keuntungan
dari sistem organisasi seperti ini adalah mempermudah dalam koordinasi dan pemberian
informasi. Struktur seperti ini dinilai fleksibel karena tidak terlalu rumit. Hal ini sesuai
dengan teori implementasi kebijakan Edward III yaitu struktur organisasi yang terlalu
panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni
prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak
fleksibel.
Hambatan yang terjadi dalam struktur birokrasi khususnya di puskesmas adalah
penanggung jawab program lansia ditugaskan di poli lain yang tidak linier dengan
kesehatan lansia. Padahal, edukasi lansia dapat berlangsung saat pemeriksaan kesehatan
lansia walau hanya sebentar. Selain itu, diketahui bahwa pergantian petugas terlalu cepat
tanpa adanya pelatihan yang memadai. Hal ini menjadikan kompetensi dan koordinasi
petugas dalam melaksanakan program menjadi terhambat karena penanggung jawab lama
yang sudah mendapat pelatihan tidak memiliki kesempatan untuk mengimplementasikan
program yang dibuat.
k. Demensia pada lansia
Aktifitas lansia yang dapat mendukung pencegahan demensia, telah dilakukan sesuai
dengan empat cara pencegahan demensia. Aktifitas lansia yang dilakukan sebagian besar
lansia telah sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pencegahan demensia dapat
dilakukan dengan meningkatkan aktifitas fisik, kognitif, sosial dan gizi lansia
(Kementerian Kesehatan, 2017; Alzheimer Research UK, 2016; Feria, 2017).
Penelitian ini didominasi oleh masyarakat berumur ≥ 60 tahun dengan masalah
kesehatan. Hal ini tentu meningkatkan risiko demensia pada lansia karena semakin
bertambahnya usia, lansia memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap lansia (Alzheimer
Australia, 2016). Diketahui bahwa pengetahuan dari sesi pengertian, penyebab, faktor
risiko, dan upaya pencegahan demensia dinilai masih kurang. Sumber pengetahuan lansia
tentang demensia didominasi oleh pengalaman pribadi. Salah satu penyebab pengetahuan
lansia masih kurang karena lansia belum pernah terpapar informasi khusus mengenai
demensia. Pemberian informasi kesehatan di Pos Lansia hanya diterima 1-2 tahun sekali,
dan belum pernah ada edukasi mengenai demensia.
Diketahui dalam penelitian ternyata lansia lebih tertarik pada informasi yang
berhubungan langsung dengan penyakit yang sedang diderita. Hal ini didasarkan pada
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
15
kebutuhan prioritas lansia itu sendiri. Prioritas merupakan sesuatu yang didahulukan dan
diutamakan dari pada hal yang lain (KBBI, 2017), dalam penelitian ini, lansia memiliki
kebutuhan prioritas informasi yang didasarkan pada penyakit yang diderita.
Kesimpulan
Strategi nasional penanggulangan demensia yang diluncurkan pada tahun 2016 menjadi
jawaban atas permasalahan peningkatan jumlah lansia di Indonesia yang menderita demensia.
Langkah pertama dalam pencegahan demensia menurut strategi nasional adalah dengan
meningkatkan pengetahuan lansia dengan edukasi pencegahan demensia. Upaya edukasi
pencegahan demensia sudah berjalan sebelumnya melalui upaya peningkatan aktifitas fisik,
sosial, kognitif dan gizi. Namun, upaya edukasi ini ternyata masih membutuhkan proses yang
sangat panjang. Hal ini dikarenakan fokus program berada di tahap skrinning pencatatan dan
pelaporan jumlah Lansia. Hal ini disesuaikan dengan perintah dari Kementerian Kesehatan.
Sosialisasi strategi nasional telah dilakukan dari Kementerian Kesehatan RI hingga
kepada Puskesmas. Namun dalam pengimplementasiannya, masih ditemukan banyak
hambatan sehingga edukasi pencegahan demensia ini belum optimal. Sebagaimana teori
Edward III bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi komunikasi, sumber
daya, disposisi dan struktur birokrasi.
1. Komunikasi menjadi hal pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi dari
Kemenkes sampai Puskesmas. Komunikasi dalam program edukasi pencegahan demensia
di wilayah Kecamatan Jatinegara Kelurahan Cipinang Besar Utara masih belum optimal
baik dalam transmisi, kejelasan dan konsistensi informasi. Transmisi informasi yang
berantai melalui kegiatan pelatihan masih belum merata. Akibatnya, kejelasan program
tidak komprehensif dan konsistensi kebijakan apabila mengalami perubahan tidak
tersampaikan dengan baik sampai Puskesmas Kelurahan.
2. Sumber daya terutama masalah anggaran yang terbatas menyebabkan implementasi
program edukasi demensia mengalami keterbatasan dalam banyak hal. Mulai dari kualitas
sumber daya manusia yang kurang mendapat pelatihan, fasilitas poli lansia dan pos lansia,
media edukasi dan kegiatan sosialisasi. Kondisi ini tentu menyebabkan pencapaian
keberhasilan program edukasi pencegahan demensia pada lansia belum optimal.
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
16
3. Disposisi berupa komitmen dan dukungan petugas pada program lansia belum optimal.
Hal ini dikarenakan program edukasi pencegahan demensia masih program baru dan
masih fokus pada kegiatan skrinning pencatatan dan pelaporan.
4. Struktur birokrasi sudah efektif dalam arti alur yang pendek dan pembagian tugas pokok
dan fungsi sesuai dengan orang yang terlibat, namun demikian, terbatasnya sumber daya
manusia membuat petugas yang terlibat juga bertanggung jawab pada program lain.
Akibatnya petugas tidak fokus hanya pada program lansia.
5. Lansia yang tinggal di wilayah Cipinang Besar Utara memiliki risiko tinggi terhadap
demensia dikarenakan usia, riwayat penyakit dan keterpaparan asap rokok. Sebagian
besar pengetahuan lansia mengenai adalah demensia dianggap hal yang normal akibat
dari proses penuaan dan tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, lansia lebih tertarik pada
edukasi kesehatan yang dialami saat ini seperti hipertensi, diabetes, asam urat, ashtma,
dan tuberkulosis.
Kesemua hal tersebut menyimpulkan bahwa, edukasi pencegahan demensia memang
belum optimal. Hal ini wajar terjadi karena saat ini fokus kegiatan pencegahan demensia pada
skrinning pencatatan dan pelaporan. Oleh karena itu, kedepannya diharapkan pada tahap
edukasi pencegahan demensia mendapat perhatian yang cukup baik dalam materi maupun
imateri. Sehingga dapat mengatasi masalah yang terjadi baik pada komunikasi, sumber daya,
disposisi, dan struktur birokrasi.
Saran Dalam upaya optimalisasi implementasi program edukasi pencegahan demensia pada lansia,
terdapat beberapa rekomendasi pelaksanaan diantaranya:
Saran Aplikatif
1. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
a. Memasukan program pencegahan demensia menjadi salah satu program prioritas.
b. Meningkatkan sosialisasi implementasi program edukasi pencegahan demensia
melalui petihan kepada para petugas yang terkait dari Suku Dinas Kesehatan sampai
Puskesmas.
c. Memberikan masukan pada pihak puskesmas agar petugas kesehatan yang sudah
mendapat pelatihan mengenai demensia dan bertanggung jawab di bidang lansia
tidak dirotasi terlalu cepat. Sehingga dapat mengimplementasikan program edukasi
pencegahan demensia di wilayah cakupan Puskemas.
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
17
2. Bagi Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur
a. Meningkatkan sosialisasi program edukasi pencegahan demesia melalui pelatihan
untuk meningkatkan kompetensi petugas kesehatan di level Puskesmas.
b. Melakukan koordinasi, monitoring dan evaluasi kepada pihak Puskemas selama
proses implementasi kebijakan edukasi pencegahan demensia.
3. Bagi Puskesmas Kecamatan Jatinegara dan Puskesmas Kelurahan Cipinang Besar Utara
a. Sebagai upaya meningkatkan motivasi kader dalam edukasi pencegahan demensia
pada lansia, pihak Puskesmas dapat memberikan reward kepada kader berupa
pemberian pelatihan, sehingga kader memiliki wewenang memberikan informasi
pencegahan demensia pada lansia.
b. Melakukan advokasi kepada pihak kelurahan agar anggaran dana PMT dapat
digunakan untuk mendukung kegiatan pos lansia sebagai upaya pencegahan
demensia.
Saran Kebijakan
1. Bagi Kementerian Kesehatan RI
a. Melakukan pengadaan media edukasi pencegahan demensia dan melakukan
pendistribusian dengan jumlah yang cukup sesuai sasaran dan kebutuhan sampai
pada level puskesmas.
2. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
a. Meningkatkan kerjasama dengan lintas sektor yang turut memiliki fokus pada lansia
dalam hal ini Dinas Sosial. Hal ini ditujukan untuk memperluas penjaringan skrining
pencatatan dan pelaporan lansia yang terkena demensia agar lebih efektif dan optimal,
serta melakukan pemberdayaan lansia sebagai upaya pencegahan demensia.
3. Bagi Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur
a. Melakukan advokasi kepada Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan Kementerian
Kesehatan RI dalam meningkatkan komitmen upaya pencegahan demensia menjadi
program prioritas.
Saran Akademis
1. Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan menggunakan mix method kuantitatif dan
kualitatif mengenai implementasi kebijakan pencegahan demensia pada lansia.
2. Melakukan penelitian yang berfokus pada monitoring dan evaluasi setelah semua tahapan
implementasi kebijakan strategi nasional penanggulangan demensia lengkap dilakukan
untuk melihat efektifitas program.
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
18
Daftar Pustaka Alzheimer Australia (2016). About dementia: understand alzheimer’s educate Australia.
Australia. Alzheimer Research UK. (2016). All about dementia, the power to defeat dementia. Granta
Park, Cambridge. Alzheimer’s Society. (2016). The dementia guide, living well after diagnosis. Dementia Handbook for Careers. (2014). What is dementia?. Copyright BHTF 2014.
Berkshire West Edward III, C. George. (1980). Implementing public policy. Washington Dc. Congressional
Quaterly Inc. Feria. (2017). Personal interview Husnia, Rina. (2007). Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan
sikap lansia tentang demensia di panti wredha wening wardoyo ungaran. Undergraduate Thesis, Diponegoro University. http://eprints.undip.ac.id/16288/.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). (2017). Pengertian prioritas. Juli 6, 2017. http://kbbi.web.id/prioritas.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Buletin jendela data dan informasi kesehatan. ISSN 2088-270X. semester I, 2013. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Modul pelatihan bagi pelatih pelayanan kesehatan lanjut usia dan geriatri untuk petugas puskesmas: materi dasar kebijakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan lanjut usia di puskesmas. Jakarta
Medicalogy (2017). Pentingnya kalibrasi alat kesehatan. Juli 5, 2017. https://www. medicalogy.com/blog/pentingnya-kalibrasi-alat-kesehatan/.
Musafa, Ahmad Said. (2006). Hubungan tingkat pengetahuan tentang demensia senilis dengan tindakan pencegahan pada lansia di posyandu lansia wilayah kerja puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember. Universitas Airlangga. Surabaya.
Neggol. (2015). Arti dan kegunaan data. Juli 4, 2017. http://nenggol.com/arti-dan-kegunaan-data/.
Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 25 tahun 2016 tentang Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lanjut Usia Tahun 2016-2019.
Riau, Dwi Putranto. (2016). Pengaruh komunikasi, struktur birokrasi dan dukungan publik terhadap sumber daya dan disposisi dalam meningkatkan kinerja implementasi kebijakan. Disertasi. Universitas Jember.
Sosiawan, Edwi Arief. (2008). Tantangan dan hambatan dalam implementasi e-government di Indonesia. Seminar Nasional Informatika (Semnas IF). ISSN: 1979-2328 UPN “Veteran” yogyakarta, 24 mei 2008. Ilmu Komunikasi FISIP UPN "Veteran": Yogyakarta.
Suliha, U. (2002). Pendidikan Kesehatan Dalam Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Tachjan, Dr. H, M.Si. (2006). Implementasi kebijakan publik. Bandung: Aipi. Tachjan. (2006). Implementasi kebijakan publik. Asosiasi ilmu politik indonesia. Puslit KP2W
Lemlit Unpad: Bandung. Webster. (1828). pengertian perubahan. Mei 3, 2017. http://www.merriam-webster.com. World Health Organization. (2002). Proposed working definition of an older person in Africa
for the MDS Project. Retrieved from Health statistics and information systems: http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefnolder/en/
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017
19
Gambaran implementasi ..., Taufiqa Hidayati, FKM UI, 2017