15
Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan Hubungannya dengan Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sari Rahmawati 1 , Nuri Purwito Adi 2 1. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya 6, Jakarta Pusat, 10430, Indonesia 2. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya 6, Jakarta Pusat, 10430, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Gangguan mental pada anak-anak dan remaja berkontribusi dalam beban penyakit dunia karena dampak yang ditimbulkan mencakup aspek yang luas. Di Indonesia, gangguan mental usia 15 tahun ke atas cukup tinggi dengan proporsi terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Komunikasi orang tua-anak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi emosi dan perilaku anak, terutama pada anak usia 3-6 tahun ketika dimulainya perkembangan kemampuan sosial pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gangguan emosi dan perilaku pada anak usia 3-6 tahun di Provinsi NTT dan hubungannya dengan frekuensi komunikasi orang tua-anak. Desain potong lintang analitik dilakukan terhadap 328 sampel anak usia 36-83 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 49,7% subjek mengalami gangguan emosi dan perilaku. Pada hampir setengah jumlah subjek jarang atau tidak pernah terjadi komunikasi orang tua-anak (44,2%). Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square didapatkan hubungan tidak bermakna antara frekuensi komunikasi orang tua-anak dengan gangguan emosi dan perilaku pada anak (p=0,272). Selain itu, didapatkan hasil yang tidak bermakna antara karakteristik subjek lainnya, yaitu faktor jenis kelamin (p=0,505), gangguan perkembangan (p=0,956), jumlah anak dalam keluarga (p=0,244), dan status ekonomi keluarga (p=0,707). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa frekuensi komunikasi orang tua-anak tidak berhubungan secara bermakna dengan gangguan emosi dan perilaku pada anak. Emotional and Behavioral Disorder of 3-6-Years-Old Children and Its Association with Parent-Child Communication Frequency in Nusa Tenggara Timur Abstract Children’s and adolescents’ mental disorder attributes to global burden of disease due to its wide impacts. In Indonesia, mental disorder of people aged 15 years old or more is high and Nusa Tenggara Timur (NTT) has the highest proportion. Parent-child communication is one of many factors that influences the development of children’s emotion and behavior, especially when they are 3-6 years old, the time whose social abilities is developing. This research aims to assess the emotional and behavioral disorder of 3-6-years-old children in NTT and its association with parent-child communication frequency. This analytical cross sectional study is used to 328 subjects of 3-6 years old children. The result shows that 49.7% subjects had emotional and behavioral disorder. Nearly half of the subjects had infrequently parent-child communication (44.2%). Bivariate analysis using chi-square test shows a nonsignificant association between parent-child communication and children’s emotional and behavioral disorder (p=0.272). In addition, there are nonsignificant association with other characteristics of the subjects: gender (p=0.505), developmental delay (p=0.956), number of children in the family (p=0.244), and family’s economic status (p=0.707). In conclusion, parent-child communication frequency has nonsignificant association with emotional and behavioral disorder among 3-6-years-old children in NTT. Keywords: 3-6 years old children; children’s emotional and behavior disorder; communication frequency; Nusa Tenggara Timur Province; parents. Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan Hubungannya dengan Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak di Provinsi Nusa

Tenggara Timur

Sari Rahmawati1, Nuri Purwito Adi2

1. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya 6, Jakarta Pusat, 10430, Indonesia

2. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya 6, Jakarta Pusat, 10430, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Gangguan mental pada anak-anak dan remaja berkontribusi dalam beban penyakit dunia karena dampak yang ditimbulkan mencakup aspek yang luas. Di Indonesia, gangguan mental usia 15 tahun ke atas cukup tinggi dengan proporsi terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Komunikasi orang tua-anak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi emosi dan perilaku anak, terutama pada anak usia 3-6 tahun ketika dimulainya perkembangan kemampuan sosial pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gangguan emosi dan perilaku pada anak usia 3-6 tahun di Provinsi NTT dan hubungannya dengan frekuensi komunikasi orang tua-anak. Desain potong lintang analitik dilakukan terhadap 328 sampel anak usia 36-83 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 49,7% subjek mengalami gangguan emosi dan perilaku. Pada hampir setengah jumlah subjek jarang atau tidak pernah terjadi komunikasi orang tua-anak (44,2%). Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square didapatkan hubungan tidak bermakna antara frekuensi komunikasi orang tua-anak dengan gangguan emosi dan perilaku pada anak (p=0,272). Selain itu, didapatkan hasil yang tidak bermakna antara karakteristik subjek lainnya, yaitu faktor jenis kelamin (p=0,505), gangguan perkembangan (p=0,956), jumlah anak dalam keluarga (p=0,244), dan status ekonomi keluarga (p=0,707). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa frekuensi komunikasi orang tua-anak tidak berhubungan secara bermakna dengan gangguan emosi dan perilaku pada anak.

Emotional and Behavioral Disorder of 3-6-Years-Old Children and Its Association with Parent-Child Communication Frequency in Nusa Tenggara Timur

Abstract

Children’s and adolescents’ mental disorder attributes to global burden of disease due to its wide impacts. In Indonesia, mental disorder of people aged 15 years old or more is high and Nusa Tenggara Timur (NTT) has the highest proportion. Parent-child communication is one of many factors that influences the development of children’s emotion and behavior, especially when they are 3-6 years old, the time whose social abilities is developing. This research aims to assess the emotional and behavioral disorder of 3-6-years-old children in NTT and its association with parent-child communication frequency. This analytical cross sectional study is used to 328 subjects of 3-6 years old children. The result shows that 49.7% subjects had emotional and behavioral disorder. Nearly half of the subjects had infrequently parent-child communication (44.2%). Bivariate analysis using chi-square test shows a nonsignificant association between parent-child communication and children’s emotional and behavioral disorder (p=0.272). In addition, there are nonsignificant association with other characteristics of the subjects: gender (p=0.505), developmental delay (p=0.956), number of children in the family (p=0.244), and family’s economic status (p=0.707). In conclusion, parent-child communication frequency has nonsignificant association with emotional and behavioral disorder among 3-6-years-old children in NTT. Keywords: 3-6 years old children; children’s emotional and behavior disorder; communication frequency; Nusa Tenggara Timur Province; parents.

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 2: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

Pendahuluan Gangguan mental merupakan salah satu beban penyakit dunia dan awitan terjadi lebih dini.

Berdasarkan survey oleh World Health Organization (WHO) World Mental Health (WMH)1,

prevalensi gangguan mental diestimasi sebesar 18,1-36,1%. Sebanyak 10-20% anak dan

remaja di dunia mengalami gangguan mental.2 Di Indonesia, gangguan mental emosional

pada usia 15 tahun ke atas cukup tinggi dengan proporsi tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara

Timur (NTT), sekitar 7,8% total penduduk.3

Terlepas dari tingginya angka gangguan mental, dampak yang ditimbulkan dari gangguan

mental, terutama gangguan emosi dan perilaku pada anak, mencakup aspek yang luas

(biologis, psikologis, dan sosial ekonomi) dan berjangka waktu yang pendek maupun panjang.

Gangguan emosi dan perilaku yang dialami anak dapat mengganggu fungsi mereka dalam

kehidupan sehari-hari. Risiko terjadinya gangguan mental atau gangguan fisik kronik

persisten di kemudian hari juga lebih tinggi pada anak dengan gangguan emosi dan perilaku.

Tidak hanya sebatas aspek biologis dan psikologis, dalam aspek sosial ekonomi, gangguan

emosi dan perilaku juga memakan biaya, tidak hanya untuk keperluan medis, tetapi juga

secara tidak langsung dengan menurunkan potensi sumber daya manusia yang ada.1,4–6

Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi emosi dan perilaku anak meliputi faktor genetik,

jenis kelamin, disabilitas, pengasuhan orang tua, termasuk komunikasi antara orang tua dan

anak, kondisi psikis orang tua, jumlah anak dalam keluarga, status ekonomi keluarga, dan

kejadian traumatis yang dialami anak.4 Komunikasi antara orang tua dan anak merupakan

salah satu faktor yang berperan penting, terutama saat anak beranjak usia 3 tahun, saat

kemampuan sosial reflektifnya mulai berkembang.7 Orang tua yang selalu mengamati dan

memberikan respon kepada anak membuat anak merasakan hubungan yang erat dengan orang

tua mereka dan memberikan rasa nyaman bagi mereka.4 Menjalin komunikasi yang terbuka

dan efektif dengan anak dapat meningkatkan hubungan baik antara orang tua dan anak. Salah

satu penelitian sebelumnya yang terkait, yaitu penelitian oleh Kamumu8, didapatkan bahwa

terdapat hubungan negatif yang signifikan antara komunikasi efektif dengan tingkat stres

remaja, sekitar 18,1%. Semakin baik komunikasi efektif, semakin rendah tingkat stres remaja.

Sayangnya, orang tua di Provinsi NTT tidak memiliki cukup waktu untuk merawat dan

memerhatikan anak mereka, terutama karena bekerja.9 Apalagi untuk anak usia 6 tahun ke

bawah belum terpapar dengan lingkungan sekolah formal sehingga stimulus yang diterima

lebih banyak dari lingkungan keluarga. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 3: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

gangguan emosi dan perilaku pada anak usia 3- 6 tahun dan hubungannya dengan frekuensi

komunikasi antara orang tua dan anak di Provinsi NTT.

Tinjauan Teoritis Menurut Cooper dalam Poulou10, gangguan emosi dan perilaku anak adalah penyimpangan

emosi/perasaan atau perilaku anak yang sangat jauh dari norma dan mengganggu

pertumbuhan serta perkembangan anak tersebut dan/atau orang sekitarnya. Secara garis besar,

gangguan emosional dan perilaku pada anak dapat dikategorikan sebagai gangguan

internalisasi dan eksternalisasi. Gangguan internalisasi pada anak merupakan gangguan

berupa tingginya pengontrolan diri pada anak sehingga emosi negatif mengarah pada dirinya

sendiri dibandingkan ke orang lain. Hal ini dapat menyebabkan anak mudah merasa cemas

dan takut. Gangguan eksternalisasi pada anak merupakan gangguan berupa rendahya

pengontrolan diri anak sehingga anak tidak dapat mengendalikan perilakunya. Berbanding

terbalik dari masalah internalisasi, emosi negatif akan diarahkan ke orang lain. Hal ini

dimanifestasikan dengan amarah, sikap agresif, dan frustrasi.11 Deteksi dini gangguan emosi

dan perilaku pada anak usia 3-18 tahun dapat menggunakan kuesioner Pediatric Symptom

Checklist-17 (PSC-17).12

Kondisi emosi dan perilaku anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun

eksternal. Faktor internal berasal dari individu anak tersebut, sedangkan faktor eksternal

merupakan kondisi lingkungan, termasuk keluarga.

Faktor internal dapat berupa faktor genetik, disabilitas baik fisik maupun gangguan

perkembangan, dan karakter anak terhadap tekanan lingkungan. Adanya faktor predisposisi

genetik pada anak mempengaruhi ketahanan anak terhadap pengaruh lingkungan. Adanya

disabilitas, baik berupa keterbatasan fisik maupun keterlambatan perkembangan,

mempengaruhi kondisi psikisnya karena kondisinya tersebut. Deteksi dini keterlambatan

perkembangan dapat menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP). Selain

itu, karakter anak juga berpengaruh terhadap ketahanannya terhadap pengaruh lingkungan.4,13

Faktor eksternal dapat dibagi menjadi faktor struktural maupun insidental. Faktor struktural

dapat berupa kondisi alamiah anak, seperti jenis kelamin dan warna kulit, kondisi psikis orang

tua, pola asuh orang tua termasuk komunikasi orang tua-anak, pendidikan yang diberikan

kepada anak, kondisi sosial ekonomi lingkungan sekitar, budaya dan agama, serta kondisi

kedamaian dan ketentraman lingkungan sekitar. Kondisi keluarga, seperti jumlah anak dalam

keluarga, mempengaruhi besarnya perhatian yang diberikan orang tua kepada anaknya.

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 4: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

Dengan jumlah anak yang banyak, perhatian kepada setiap anak cenderung berkurang dan

risiko anak mengalami gangguan perilaku menjadi lebih besar. Faktor secara sosial ekonomi

juga berpengaruh terhadap penyakit mental, seperti adanya masalah ekonomi berkaitan

dengan tempat tinggal yang buruk, lingkungan yang tidak aman, kurangnya fasilitas, dan

buruknya asupan nutrisi, sehingga secara tidak langsung memengaruhi kesehatan mental

anak. Hal ini juga bergantung kepada seberapa baik keluarga tersebut dapat menghadapinya.4

Faktor insidental dapat berupa lahirnya adik, kematian keluarga, perceraian orang tua, dan

penyakit atau kejadian traumatis.13

Sangat penting bagi orang tua untuk melakukan komunikasi yang tebuka dan efektif terhadap

anak. Semakin baik komunikasi yang terjadi, semakin baik hubungan orang tua dangan

anaknya. Terjadinya komunikasi efektif diawali dengan seringnya terjadi komunikasi antara

orang tua dan anak sehingga anak merasa bahwa mereka didengar dan dimengerti oleh orang

tua. Hal ini membuat anak lebih kooperatif dengan apa yang diajarkan orang tua, seperti

moral.14

Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah desain potong lintang. Data yang digunakan

merupakan data sekunder hasil pemetaan oleh Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas

(IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Pengambilan data dilakukan di

Provinsi NTT pada tahun 2014 dan pengolahan data dilakukan di Jakarta dari bulan Juli 2015

hingga November 2016.

Dengan metode total sampling, diperoleh 328 sampel penelitian yang diseleksi berdasarkan

kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi meliputi anak berusia 3-6 tahun dan bertempat

tinggal di Provinsi NTT saat pengambilan data. Kriteria eksklusi meliputi subjek dengan data

yang tidak lengkap.

Setelah dipilah, data diolah menggunakan aplikasi SPSS versi 20. Analisis univariat

digunakan untuk mengetahui sebaran variabel yang diteliti. Selanjutnya dilakukan analisis

bivariat dengan uji chi-square untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan

dependen.

Variabel dependen yang diteliti yaitu gangguan emosi dan perilaku anak. Sementara variabel

independen yaitu frekuensi komunikasi orang tua dan anak dan karakteristik subjek yang

meliputi jenis kelamin, gangguan perkembangan anak, jumlah anak dalam keluarga, dan

status ekonomi.

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 5: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

a. Gangguan Emosi dan Perilaku Anak

Penilaian kondisi emosi dan perilaku anak dilakukan dengan kuesioner Pediatric

Symptoms Disease-17 (PSC-17). Kuesioner PSC-17 berisi pertanyaan-pertanyaan

mengenai perilaku anak yang dibagi ke dalam 3 subskala perilaku, yaitu internalisasi,

eksternalisasi, dan perhatian. Setiap pertanyaaan diberikan nilai 0 untuk jawaban tidak

pernah, nilai 1 untuk jawaban kadang-kadang, dan nilai 2 untuk jawaban sering. Setiap

subskala memiliki nilai batas yang dikatakan positif. Pada subskala internalisasi, nilai 5

atau lebih dikatakan positif, sedangkan pada subskala eksternalisasi dan perhatian, nilai 7

atau lebih pada setiap subskala dikatakan positif. Secara keseluruhan, jika setidaknya ada

satu subskala yang bernilai positif, maka hasil deteksi dini dengan PSC-17 bernilai positif

yang berarti anak kemungkinan memiliki gangguan emosi dan perilaku.

b. Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak

Frekuensi komunikasi orang tua dan anak diolah dari hasil kuesioner mengenai perilaku

orang tua terhadap anaknya yang diperoleh dari Departemen IKK FKUI. Terdapat 18

pertanyaan dari kuesioner yang terkait dengan komunikasi sehari-hari orang tua dan anak.

Setiap pertanyaan memiliki pilihan jawaban sering, kadang-kadang, dan tidak pernah

dengan nilai berturut-turut 1, 2, dan 3. Batas pengkategorian frekuensi komunikasi dibagi

berdasarkan persentil 30% dan 70% untuk batas penggolongan sering, jarang, dan tidak

pernah.

c. Gangguan Perkembangan Anak

Adanya gangguan perkembangan anak dinilai menggunakan Kuesioner Pra Skrining

Perkembangan (KPSP). KPSP merupakan kuesioner berisi 9-10 pertanyaan yang dijawab

dengan pilihan ya atau tidak untuk mendeteksi perkembangan anak usia 3 bulan hingga 6

tahun. KPSP memiliki isi pertanyaan yang berbeda-beda sesuai umurnya. Nilai batas anak

memiliki gangguan perkembangan pada penelitian ini adalah enam atau kurang.

d. Kondisi Keluarga

Jumlah anak dalam keluarga dikategorikan menjadi sedikit untuk jumlah anak dua atau

kurang dan banyak untuk jumlah anak lebih dari dua. Status ekonomi keluarga

dikategorikan menjadi status ekonomi rendah untuk penghasilan keluarga Rp1.000.000,00

atau kurang, dan status ekonomi cukup untuk penghasilan yang lebih besar, sesuai upah

minimum regional.

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 6: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

Hasil Penelitian Data yang diperoleh dari Departemen IKK FKUI sebanyak 1.227 responden. Setelah

dilakukan seleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, diperoleh subjek yang dianalisis

berjumlah 328 subjek. Tabel 1. Karakteristik Umum Subjek Variabel Frekuensi Persentase (%) Jenis Kelamin (n=328)

Laki-laki 169 51,5 Perempuan 159 48,5

Usia (n=328) 36-47 bulan 15 4,6 48-59 bulan 139 42,4 60-71 bulan 114 34,8 72-83 bulan 60 18,3

Kabupaten (n=328) Nagekeo 28 8,5 Sikka 62 18,9 Lembata 62 18,9 TTS 95 29,0 TTU 81 24,7

Tabel 2. Sebaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Gangguan Emosi dan Perilaku Variabel Frekuensi Persentase (%) Gangguan Emosi dan Perilaku Anak (n=328)

Positif 163 49,7 Negatif 165 50,3

Sebagaian besar subjek berjenis kelamin laki-laki, berusia 48-59 bulan, dan bertempat tinggal

di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sebaran karakteristik umum subjek dapat dilihat pada

Tabel 1. Dapat dilihat pada Tabel 2, didapatkan prevalensi gangguan emosi dan perilaku pada

anak usia 3-6 tahun sebesar 49,7%. Untuk sebaran frekuensi komunikasi orang tua dan anak

didapatkan sebagian besar subjek sering melakukan komunikasi orang tua-anak (55,8%).

Sebaran frekuensi komunikasi orang tua-anak dapat dilihat pada Tabel 3. Sebaran

karakteristik subjek berdasarkan gangguan perkembangan dan kondisi keluarga dapat dilihat

pada Tabel 4. Prevalensi gangguan perkembangan anak usia 3-6 tahun sebesar

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 7: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

Tabel 3. Sebaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak Variabel Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak (n=328)

Sering 183 55,8 Jarang atau Tidak Pernah 145 44,2

Tabel 4. Sebaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Gangguan Perkembangan Anak dan Kondisi Keluarga Variabel Frekuensi Persentase (%) Gangguan Perkembangan berdasarkan Kuesioner KPSP (n=328)

Perkembangan sesuai usia 237 72,3 Kemungkinan gangguan perkembangan 91 27,7

Jumlah Anak dalam Keluarga (n=328) Sedikit (≤2 anak) 203 61,9 Banyak (>2 anak) 125 38,1

Status Ekonomi Keluarga (n=328) Rendah (≤ Rp1.000.000,00) 302 92,1 Cukup (> Rp1.000.000,00) 26 7,9

Analisis bivariat dengan uji chi-square menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara

frekuensi komunikasi orang tua dan anak dengan gangguan emosi dan perilaku anak. Hasil

analisis hubungan variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Berdasarkan hasil uji chi-square, didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara faktor

internal berupa jenis kelamin dan gangguan perkembangan anak dengan gangguan emosi dan

perilaku anak; terdapat hubungan yang tidak bermakna antara kondisi keluarga berupa jumlah

anak dalam keluarga dan status ekonomi keluarga dengan gangguan emosi dan perilaku anak.

Hasil analisis hubungan variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Pembahasan Subjek dalam penelitian ini adalah anak berusia 3 hingga 6 tahun (36-83 bulan) dengan subjek

paling banyak berusia dalam rentang 48-59 bulan. Rentang usia prasekolah ini lah mulai

berkembangnya kemampuan sosial reflektif pada anak. Pada usia 3 tahun, anak sudah mulai

dapat memahami bahwa orang yang berbeda memiliki kemauan, kesukaan, dan perasaan yang

berbeda. Pada usia 4-5 tahun, anak sudah mulai memahami bahwa orang memiliki pemikiran

yang berbeda. Kemampuan sosial adalah unsur utama dari kemampuan anak untuk

berperilaku terhadap orang lain dan memiliki pemikiran sendiri.7 Stimulus yang diberikan

kepada anak dalam rentang masa ini merupakan faktor yang sangat mempengaruhi

perkembangan sosial dan emosi anak.15 Rentang usia tersebut juga waktu di mana anak belum

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 8: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

terpapar dengan lingkungan sekolah sehingga pendidikan yang diberikan sebagian besar dari

keluarga. Pada penelitian oleh Sari dkk6 mengenai prevalensi masalah emosi dan perilaku

pada anak prasekolah juga memiliki subjek penelitian berupa anak usia 3-6 tahun.

Berdasarkan analisis univariat persebaran jenis kelamin dan tempat tinggal subjek,

perbandingan jenis kelamin laki-laki dan perempuan sekitar 1:1 dengan persentase laki-laki

sedikit lebih tinggi (51,5%) dan paling banyak berasal dari Kabupaten Timor Tengah Selatan

(29,0%). Perbandingan tersebut sebanding dengan data persebaran jenis kelamin dari

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.16 Data persebaran tempat tinggal sebanding dengan

data kependudukan Provinsi NTT oleh BPS yang menunjukkan bahwa persentase penduduk

terbanyak ada di Kabupaten TTS.17

Prevalensi gangguan emosi dan perilaku anak di NTT, sebesar 49,7%, lebih tinggi daripada

data prevalensi gangguan mental dari Riskesdas tahun 20133, sebesar 7,8%. Perbedaan ini

disebabkan oleh berbedanya rentang usia sampel dan instrumen ukur. Riskesdas

menggunakan sampel berusia 15 tahun ke atas dan menggunakan instrumen Self Reporting

Questionnaire-20 (SQR-20). Paparan faktor-faktor risiko maupun protektif gangguan emosi

yang diterima pada setiap fase siklus kehidupan berbeda sehingga tingkat risiko terjadinya

gangguan mental berbeda pada usia dengan fase siklus yang berbeda.15 Hasil prevalensi pada

penelitian ini juga lebih tinggi daripada penelitian oleh Soekartiningsih18 yang menunjukkan

prevalensi gangguan emosi dan perilaku pada anak prasekolah di Klaten sebesar 43,6%.

Perbedaan ini dapat terjadi karena jumlah sampel, instrumen ukur, dan lokasi penelitian yang

berbeda. Faktor budaya setempat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cara

pengasuhan orang tua maupun tingkat tekanan stress psikologis terhadap anak.4

Pada penelitian ini didapatkan bahwa komunikasi orang tua dan anak di Nusa Tenggara

Timur sebagian besar sering dilakukan (55,8%). Hasil ini lebih rendah daripada proporsi

kuantitas komunikasi keluarga di Cengkareng (82%).19 Hal ini terjadi karena perbedaan

instrumen ukur, karakteristik dan jumlah sampel.

Prevalensi gangguan perkembangan pada anak usia 3-6 tahun di Provinsi NTT sebesar 27,7%.

Hasil pada penelitian ini sedikit lebih tinggi daripada penelitian yang dilakukan oleh Moonik

dkk20 yang mendapatkan prevalensi gangguan perkembangan anak usia 4-5 tahun di

Kabupaten Mongondow, Sulawesi Utara, pada tahun 2015 sebesar 26,6%. Hasil tidak jauh

berbeda karena sebaran usia subjek pada penelitian ini paling banyak dalam rentang 48-59

bulan. Sementara itu, hasil ini lebih rendah daripada hasil penelitian oleh Dwierin21 yang

mendapatkan prevalensi sebesar 34,4% di Kota Metro, Lampung, pada tahun 2015. Perbedaan

ini dapat terjadi karena adanya perbedaan paparan faktor-faktor yang mempengaruhi

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 9: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

perkembangan anak, seperti faktor genetik, asupan nutrisi, dan stimulasi eksternal yang

diberikan kepada anak.

Sebagian besar keluarga di Provinsi NTT memiliki dua anak atau kurang (61,9%), sesuai

rekomendasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang

menyarankan cukup memiliki 2 anak.22 Status ekonomi keluarga di NTT sebagian besar

rendah atau di bawah upah minimum regional (UMR) Provinsi NTT yang besarnya

Rp1.010.000,00.23

Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square didapatkan hubungan yang tidak

bermakna secara statistik antara frekuensi komunikasi orang tua dan anak dengan gangguan

emosi dan perilaku anak (p=0,272). Dapat dilihat dari Tabel 5, anak yang jarang atau tidak

pernah berkomunikasi dengan orang tuanya cenderung mengalami gangguan emosi dan

perilaku. Kecenderungan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Santos dkk24 yang

menyatakan bahwa rendahnya interaksi ibu dan anak meningkatkan 1,9 kali lipat

kemungkinan gangguan perilaku pada anak. Purwanty19 pernah melakukan penelitian sejenis

tetapi dengan karakteristik sampel yang berbeda, yaitu meneliti hubungan antara kuantitas

komunikasi keluarga dengan perilaku kekerasan remaja. Dari penelitian tersebut juga

didapatkan hubungan yang tidak bermakna. Hal ini dapat terjadi karena peneliti hanya menilai

kuantitas, seberapa sering komunikasi orang tua dan anak dilakukan, tetapi tidak menilai

efektivitas maupun pola komunikasi yang dilakukan.  Dalam membentuk sikap dan perilaku

anak, selain diperlukannya komunikasi yang sering, juga perlu diperhatikan pola

komunikasinya, apakah pola otoriter, demokratis, atau permisif, untuk menanamkan nilai-

nilai secara tepat.25 Selain itu, kondisi emosi dan perilaku anak dipengaruhi oleh faktor-faktor

lain yang juga berperan penting, seperti faktor genetik, kondisi psikis orang tua, pengalaman

traumatis yang pernah dialami sebelumnya, kekerasan dalam rumah tangga, dan paparan

buruk lainnya. Tabel 5. Hubungan antara Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku Anak di Provinsi NTT

Variabel Gangguan Emosi dan Perilaku

pada Anak Nilai p Positif (+) Negatif (-)

Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak (n=328) Sering 86 (47,0%) 97 (53,0%) 0,272 Jarang dan Tidak Pernah 77 (53,1%) 68 (46,9%)

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 10: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

Analisis bivariat dengan chi-square juga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jenis

kelamin, gangguan perkembangan anak, jumlah anak dalam keluarga, dan status ekonomi

keluarga dengan gangguan emosi dan perilaku anak. Didapatkan hubungan yang tidak

bermakna secara statistik antara variabel-variabel tersebut. Hasil analisis dapat dilihat secara

lengkap pada Tabel 6.

Hasil analisis bivariat antara jenis kelamin dengan gangguan emosi dan perilaku anak

didapatkan hubungan tidak bermakna dengan p=0,505. Didapatkan kecendrungan anak laki-

laki lebih banyak mengalami gangguan emosi dan perilaku (51,5%). Hal ini sejalan dengan

hasil penelitian oleh Wichstrøm dkk26 yang didapatkan gangguan emosi dan perilaku lebih

banyak ditemukan pada anak laki-laki pada anak usia 4 tahun. Pada penelitian oleh Naik

dkk27 juga didapatkan hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan gangguan perilaku

pada anak 6 hingga 18 tahun dengan kecendrungan anak laki-laki lebih banyak mengalami

gangguan perilaku dibandingkan perempuan. Hasil didapatkan hubungan tidak bermakna

dapat disebabkan oleh adanya faktor lain yang lebih berperan dalam mempengaruhi kondisi

emosi dan perilaku pada anak.

Hasil analisis bivariat antara gangguan perkembangan dengan gangguan emosi dan perilaku

didapatkan hubungan tidak bermakna dengan p=0,956. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian

oleh Dekker dkk28 yang menyatakan bahwa kemungkinan anak dengan gangguan

perkembangan intelektual mengalami gangguan emosi dan perilaku 3-4 kali lipat lebih tinggi

dibandingkan dengan anak dengan perkembangan normal. Hal ini terjadi karena perbedaan

instrumen ukur yang digunakan dan karakteristik sampel yang diteliti, serta adanya faktor-

faktor lain yang lebih mempengaruhi kondisi emosi dan perilaku anak, seperti faktor genetik

dan tekanan stress psikologis dari lingkungan sekitar.

Hasil analisis bivariat antara jumlah anak dalam keluarga dengan gangguan emosi dan

perilaku didapatkan hubungan tidak bermakna dengan p=0,224. Dari hasil didapatkan bahwa

anak dalam keluarga yang memiliki sedikit anak cenderung memiliki kemungkinan gangguan

emosi dan perilaku (52,2%), sedangkan dalam keluarga dengan banyak anak, anak cenderung

tidak memiliki gangguan emosi dan perilaku (54,4%). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian

yang dilakukan olah Naik dkk27 yang menyatakan bahwa anak dari keluarga yang memiliki

lebih dari 3 anak lebih banyak mengalami gangguan perilaku karena kebutuhan secara fisik

dan emosi anak tidak tercukupi sehingga membuat anak mengalami gangguan perilaku.

Ketidaksesuaian hasil penelitian dengan penelitian lain dapat terjadi karena perbedaan faktor

internal maupun faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi emosi dan perilaku anak,

seperti faktor genetik, kekerasan rumah tangga, dan budaya pola asuh setempat. Di Provinsi

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 11: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

NTT, anak kecil yang ditinggal orang tuanya bekerja dititipkan anak tersebut kepada anaknya

yang sudah sekolah, saudara, tetangga, atau dibawa ke kebun.9 Kecendrungan anak tidak

memiliki gangguan emosi dan perilaku pada keluarga dengan jumlah anak yang banyak

karena anak tersebut masih diberikan perhatian yang lebih oleh anggota keluarganya, dalam

hal ini saudara-saudaranya yang menjaga anak tersebut. Selain itu, anak dengan banyak

saudara kandung akan lebih sadar akan kesehatan mentalnya dibandingkan dengan anak

tunggal.7 Faktor-faktor lain juga dapat berperan lebih terhadap kondisi emosi dan perilaku

anak, seperti faktor genetik, peristiwa traumatis yang pernah dialami sebelumnya, kondisi

psikis orang tua, dan kekerasan dalam rumah tangga. Tabel 6. Hubungan antara Jenis Kelamin, Gangguan Perkembangan Anak, Jumlah Anak dalam Keluarga, dan Status Ekonomi Keluarga dengan Gangguan Emosi dan Perilaku Anak di Provinsi NTT

Variabel Gangguan Emosi dan Perilaku pada

Anak Nilai p Positif (+) Negatif (-)

Jenis Kelamin (n=328) 0,505 Laki-laki 87 (51,5%) 82 (48,5%)

Perempuan 76 (47,8%) 83 (52,2%) Gangguan Perkembangan berdasarkan Kuesioner

KPSP (n=328) 0,956 Perkembangan sesuai usia 118 (49,8%) 119 (50,2%)

Kemungkinan gangguan perkembangan 45 (49,5%) 46 (50,5%) Jumlah Anak dalam Keluarga (n=328)

0,244 Sedikit (≤2 anak) 106 (52,2%) 97 (47,8%) Banyak (>2 anak) 57 (45,6%) 68 (54,4%)

Status Ekonomi Keluarga (n=328) 0,707 Rendah 151 (50,0%) 151 (50,0%)

Cukup 12 (46,2%) 14 (53,8%) Hasil analisis bivariat antara status ekonomi keluarga dengan gangguan emosi dan perilaku

didapatkan hubungan tidak bermakna dengan p=0,70. Pada keluarga yang berpendapatan

cukup, anak cenderung tidak memiliki gangguan emosi dan perilaku (53,8%). Pada penelitian

yang dilakukan oleh Gleason dkk29 pada anak usia 18-60 bulan, didapatkan bahwa

pendapatan memiliki hubungan terbalik dengan gangguan mental anak. Pada penelitian lain

oleh Wichstrøm dkk26, juga didapatkan didapatkan bahwa emosi dan gangguan emosi dan

perilaku lebih umum terjadi pada anak dengan keluarga yang memiliki pendapatan yang

rendah. Hasil pada penelitian ini sejalan dengan semua studi tersebut. Semakin tinggi

pendapatan keluarga, anak cenderung tidak memiliki gangguan emosi dan perilaku.

Hubungan yang tidak bermakna dapat terjadi karena karakteristik sampel sebagian besar

berpendapatan rendah dan status ekonomi tidak berperan langsung dalam mempengaruhi

kondisi mental anak.4 Status ekonomi dikaitkan terhadap pemenuhan kebutuhan anak, baik

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 12: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

secara fisik maupun psikis, sehingga walaupun status ekonomi rendah, tetapi kebutuhan anak

masih dapat terpenuhi, status ekonomi tidak mempengaruhi terjadinya gangguan emosi dan

perilaku anak. Selain itu, gangguan emosi dan perilaku juga dapat dipengaruhi oleh faktor-

faktor lainnya yang secara langsung mempengaruhi, seperti faktor genetik dan pernah

mengalami peristiwa traumatis sebelumnya.

Kesimpulan Prevalensi gangguan emosi dan perilaku pada anak usia 3 hingga 6 tahun di NTT cukup

tinggi, sebesar 49,7%. Masih cukup banyak orang tua di NTT yang jarang atau tidak pernah

berkomunikasi dengan anaknya (44,2%). Prevalensi keterlambatan perkembangan anak usia 3

hingga 6 tahun di NTT sebesar 27,7%. Sebagian besar keluarga di NTT berstatus ekonomi

rendah, di bawah UMR (92,1%).

Tidak terdapat hubungan bermakna antara frekuensi komunikasi orang tua dan anak dengan

gangguan emosi dan perilaku anak usia 3-6 tahun berdasarkan kuesioner PSC-17 di Provinsi

NTT. Selain itu, tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin, gangguan

perkembangan, jumlah anak dalam keluarga, dan status ekonomi keluarga dengan gangguan

emosi dan perilaku anak usia 3-6 tahun di Provinsi NTT.

Saran Edukasi dan penyuluhan mengenai gangguan emosi dan perilaku anak kepada orang tua perlu

dilakukan agar orang tua dapat lebih memperhatikan kondisi mental anaknya dan dapat

mendeteksi lebih dini bila terjadi gangguan. Pada penelitian selanjutnya perlu diteliti

mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi kondisi emosi dan perilaku pada anak.

Daftar Referensi 1. Kessler RC, Aguilar-Gaxiola S, Alonso J, Chatterji S, Lee S, Ormel J, et al. The global

burden of mental disorders: An update from the WHO World Mental Health (WMH)

Surveys. Epidemiol Psichiatr Soc. 2009;18(1):23–33.

2. Kieling C, Baker-Henningham H, Belfer M, Conti G, Ertem I, Omigbodun O, et al.

Child and adolescent mental health worldwide: evidence for action. The Lancet. Oktober

2011;378(9801):1515–25.

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 13: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

4. Earle J. Emotional and Behavioural Problems. In: Growing up in the UK: ensuring a

healthy future for our children. UK: British Medical Association; 2013. hal. 121–48.

5. Merikangas KR, Nakamura EF, Kessler R C. Epidemiology of mental disorders in

children and adolescents. Dialogues Clin Neurosci. 2009;11:7–20.

6. Sari LGMP, Ardani IGAI. Prevalensi Masalah Emosi dan Prilaku pada Anak Prasekolah

di Dusun Pande, Kecamatan Denpasar Timur. eum. 2014;3(11):1–9.

7. Astington JW, Edward MJ. The Development of Theory of Mind in Early Childhood

[Internet]. Encyclopedia on Early Childhood Development. 2010. Tersedia pada:

http://www.child-encyclopedia.com/sites/default/files/textes-experts/en/588/the-

development-of-theory-of-mind-in-early-childhood.pdf

8. Kamumu R. Hubungan antara komunikasi efektif orangtua dan anak dengan tingkat stres

pada remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta. EMPATHY. 2013;2(1).

9. Raflizar, Aridhini L, Tagul CM, Setyoadi GS, Sadewo FS, Angkasawati TJ. Buku Seri

Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Manggarai Desa Wae Codi Kecamatan

Cibal Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Surabaya: Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI; 2012.

10. Poulou MS. Emotional and behavioural difficulties in preschool. J Child Fam Stud.

Februari 2015;24(2):225–36.

11. Aunola K, Nurmi J-E. The role of parenting styles in children’s problem behavior. Child

Dev. November 2005;76(6):1144–59.

12. Walter HJ, DeMaso KP. Assessment and Interviewing. In: Kliegman R, Behrman RE,

Nelson WE, editor. Nelson textbook of pediatrics. 20 ed. Phialdelphia, PA: Elsevier;

2015. hal. 124–7.

13. Delfos MF. Children and behavioural problems: anxiety, aggression, depression and

ADHD, a biopsychological model with guidelines for diagnostics and treatment.

London  ; Philadelphia: Jessica Kingsley; 2004.

14. Zolten K, Long MA, Long N. Parent/child communication [Internet]. Department of

Pediatrics, University of Arkansas for Medical Sciences; 2006. Tersedia pada:

http://www.parenting-ed.org/handouts/communication-parent%20to%20child.pdf

15. Risks to mental health: an overview of vulnerabilities and risk factors [Internet]. WHO

Secretariat; 2012 [dikutip 13 Oktober 2016]. Tersedia pada:

http://www.who.int/mental_health/mhgap/risks_to_mental_health_EN_27_08_12.pdf

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 14: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

16. Ompusunggu S. Riskesdas dalam Angka Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013. Jakarta:

Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian

Kesehatan RI; 2013.

17. Badan Pusat Statistik. Persentase Penduduk, Rasio Jenis Kelamin, dan Kepadatan

Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2015 [Internet].

Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. [dikutip 19 Oktober 2016].

Tersedia pada: http://ntt.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/569

18. Endang Soekartiningsih. Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Gangguan Emosi dan

Perilaku Pada Anak Usia Prasekolah di Taman Kanak-Kanak Speak First Klaten

[Internet] [Thesis]. [Yogyakarta]: Universitas Gadjah Mada; 2014 [dikutip 13 Oktober

2016]. Tersedia pada:

http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail

&act=view&typ=html&buku_id=74966

19. Purwanty. Pengaruh kuantitas dan kualitas komunikasi keluarga terhadap perilaku

kekerasan pada remaja [Skripsi]. [Jakarta]: Universitas Indonesia; 2001.

20. Moonik P, Lestari HH, Wilar R. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan

perkembangan anak taman kanak-kanak. J E-Clin. April 2015;3(1):124–32.

21. Dwierin. Perbandingan Hasil Skrining Deteksi Tumbuh Kembang Anak Usia Prasekolah

antara Metode Pemeriksaan KPSP (Kuesioner Pra-Skrining Perkembangan) dengan

Denver II di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Metro [Skripsi]. [Bandar Lampung]:

Universitas Lampung; 2016.

22. Trianto. Aktifkan Kembali Kampanye “Dua Anak Cukup“ dan “4 Terlalu“ [Internet].

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2013 [dikutip 16 Oktober

2016]. Tersedia pada:

http://www.bkkbn.go.id/_layouts/mobile/dispform.aspx?List=9c6767ad-abfe-48e3-

9120-af89b76d56f4&View=174a5cf7-357b-4b83-a7ac-be983c5ddb0e&ID=813

23. Badan Pusat Statistik. Rata-rata Upah/Gaji, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah

Minimum Kabupaten/Kota (UMR) Sebulan Tahun di Provinsi Nusa Tenggara Timur,

2010-2014 [Internet]. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. [dikutip 16

Oktober 2016]. Tersedia pada: http://ntt.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/530

24. Santos LM dos, Queirós FC, Barreto ML, Santos DN dos. Prevalence of behavior

problems and associated factors in preschool children from the city of Salvador, state of

Bahia, Brazil. Rev Bras Psiquiatr. Maret 2016;38(1):46–52.

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016

Page 15: Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan

25. Lusiana. Pola komunikasi orang tua dengan anak depresi [Internet] [Skripsi].

[Surabaya]: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya; 2014 [dikutip 19 Oktober

2016]. Tersedia pada: http://digilib.uinsby.ac.id/id/eprint/778

26. Wichstrøm L, Berg-Nielsen TS, Angold A, Egger HL, Solheim E, Sveen TH. Prevalence

of psychiatric disorders in preschoolers: Psychiatric disorders in preschoolers. J Child

Psychol Psychiatry. Juni 2012;53(6):695–705.

27. Naik JD, Jogdand SS. Socio-meographic correlates of behavior problems amongst the

urban slum dwellers aged between 6 to 18 years. Natl J Med Res. September

2013;3(3):222–5.

28. Dekker MC, Koot HM, Ende J van der, Verhulst FC. Emotional and behavioral

problems in children and adolescents with and without intellectual disability. J Child

Psychol Psychiatry. November 2002;43(8):1087–98.

29. Gleason MM, Zamfirescu A, Egger HL, Nelson CA, Fox NA, Zeanah CH.

Epidemiology of psychiatric disorders in very young children in a Romanian pediatric

setting. Eur Child Adolesc Psychiatry. Oktober 2011;20(10):527–35.

Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016