Upload
wimalapermatasari
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/29/2019 Gastroenterologi Dyspepsia
1/10
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI I
SISTEM PENCERNAAN
DISPEPSIA
Disusun oleh :
KELOMPOK A1
Sartika (G1F009001)
Nurul Layyin Hariroh (G1F009002)
Ayu Fitryanita (G1F009003)
Tri Ayu Apriyani (G1F009004)
Dien Puspita Cammelianti (G1F009038)
Ning Uswiyatun (G1F009040)
Tri Hajar Handayani (G1F009041)
Rikha Kurniawaty (G1F009043)
Asisten : Ahmad Fiki Firdaus
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2011
7/29/2019 Gastroenterologi Dyspepsia
2/10
1
A. JUDULSistem Pencernaan : Dispepsia
B. DATA BASE PASIENNama Pasien : Sdr. R
Umur : 16 tahun
Alamat : Bantar Kawung
Riwayat penyakit saat MRS : Nyeri perut, mual (+), muntah (+), ma/mi (
7/29/2019 Gastroenterologi Dyspepsia
3/10
2
D. PATOFISIOLOGI PENYAKITDispepsia menggambarkan keluhan atau kelumpuhan gejala (sindrom)
yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,
kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa
panas yang menjalar di dada.
Dispepsia fungsional ini dibagi menjadi tiga kelompok berikut.
1. Dispepsia tipe seperti ulkus, dimana yang lebih dominan adalah nyeriepigastrik.
2. Dispepsia tipe dismotilitas, dimana yang lebih dominan adalah keluhankembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang.
3. Dispepsia tipe non spesifik, dimana tidak ada kluhan dominan.Dalam kasus kali ini dispepsia yang diderita oleh pasien masuk
kedalam kelompok dispepsia tipe dismotilitas. Dismotilitas gastrointestinal,
terjadi karena perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitasatrium (kasus sampai 50%), gangguan akomodasi lambung waktu makan,
distitmia gaster dan hipersensitiviatas viseral (kasus 1/2 sampai 1/3) atau
(kasus sama mencapai 25-80% dari penderita dispepsia). Pada kasus
dispepsia fungsional yang mengalami perlambatan pengosongan lambung
berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan rasa penuh di hulu hati,
sedangkan kasus hipersensitivitas terhadap distensi lambung biasanya akan
mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan. Rasa cepat
kenyang ditemukan pada yang mengalami gangguan akomodasi lambung
waktu makan.Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat
sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi
pentagastrian, yang rata-rata normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas
mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak diperut.
Selain sekresi asam, disfungsi otonom (disfungsi persarafan vagal) di
lambung diduga berperan dalam hipersensitifitas GI pada kasus dispepsia
fungsional. Adanya neuropati vagal juga berperan dalam kegagalan relaksasi
bagian proksimal lambung waktu menerima makanan sehingga menimbulkan
gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
E. KOMPOSISI TERAPIResep yang disarankan :
R/ IV FD RL 20 tpm
R/ Ranitidin 2x1 ampul
R/ Domperidone 3x1
R/ Antasida 3x1 cth
R/ Omeprazol 1x1
Alasan ondasentron diganti dengan domperidone karena ondansetron
merupakan obat yang biasa digunakan untuk mencegah mual dan muntah
7/29/2019 Gastroenterologi Dyspepsia
4/10
3
yang mungkin disebabkan oleh operasi atau dengan obat untuk mengobati
kanker (kemoterapi atau radiasi). Ondasentron memiliki efek samping yangmempengaruhi kerja jantung menjadi lambat, kesulitan bernafas dan sembelit.
Sedangkan domperidone berfungsi sebagai antiemetik yang dapat
meningkatkan motilitas usus.
F. PEMBAHASAN TERAPI YANG DIBERIKAN1. Infus Dekstrosa 5%
Infus dekstrosa diberikan kepada pasien karena berdasarkan
anmnesa diketahui bahwa pasien mengeluh lemas dan banyak muntah
sehingga perlu ditambah asupan nutrisi untuk menambah energi. Infus ini
berfungsi sebagai pemasok kalori karena mengandung dekstrosa
monohidrat yang nantinya akan dibakar dalam tubuh dan menjadi energi
tambahan untuk pasien.Selain untuk rehidrasi dan penambah energi, infus juga dapat
digunakan sebagai pelarut atau jalan masuknya sejumlah golongan obat
tanpa menimbulkan efek samping yang sangat berbahaya, seperti
antikonvulsan, antibiotik, kortikosteroid, kortikotropin B kompleks, dll.
DT : 15 tpm = 15 x 60 x 24 = 21600 tetes/hari
1ml = 15 tetes = 21.600 tetes = 1440 ml/hari
Pasien berumur 16 th dan diberikan infus D5 NS sebanyak 15tpm=
1440 ml/hari dan tidak overdosis
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, infus dekstrosa diberikansecara intravena 15 tetes per menit dengan volume maksimal 1440 ml.
Infus dekstrosa digunakan setiap hari sampai kondisi pasien membaik
dan tidak memerlukan nutrisi dari luar lagi. D5 NS dapat berinteraksi
dengan makanan yang mengandung glukosa dengan meningkatkan fungsi
dari makanan tersebut dalam menghasilkan energi.Efek samping dari
infus ini adalah demam, iritasi atau infeksi pada tempat injeksi, trombosis
atau flebitis yang meluas dari tempat injeksi dan ekstravasasi,
hiperglikemia pada bayi baru lahir (Dipiro, etal., 2008).
2. OmeprazoleOmeprazole merupakan obat golongan gastrointestinal yang
memiliki indikasi untuk pengobatan ulser duodenum, gastro esophageal
reflux disease (GERD), esofagitis erosif, hipersekresi asam lambung, dan
membunuh mikroba H. pylori. Mekanisme kerja dari obat ini adalah
dengan menekan sekresi asam lambung (Tatro, 2003).
Omeprazole digunakan dalam terapi ini karena pasien mengalami
dispepsia akibat dismotilitas lambung sehingga mengalami nyeri perut,
mual, muntah, makan dan minum kurang, serta lemas. Berdasarkan data
laboratorium eosinofil juga mengalami peningkatan. Dismotilitas
7/29/2019 Gastroenterologi Dyspepsia
5/10
4
lambung akan menyebabkan pencernaan makanan terganggu sedangkan
asam lambung terus disekresi. Peningkatan asam lambung di dalam
lambung dapat menimbulkan radang sehingga perut terasa nyeri dan
dismotilitas lambung menyebabkan waktu pengosongan lambung
menjadi lebih lama. Penuhnya lambung menyebabkan pasien merasa
mual, muntah, dan tidak lapar/cepat kenyang. Akibatnya nafsu makan
berkurang sehingga pasien merasa lemas karena kurangnya asupan
nutrisi ke dalam tubuh. Selain itu, radang juga menyebabkan peningkatan
eosinofil. Eosinofil adalah sel darah putih yang berperan dalam respon
inflamasi dengan mempersempit otot polos bronkus, meningkatkan
sekresi mukus, dan menarik sel-sel inflamasi lainnya (Waldron, 2007).
Hal ini menyebabkan pasien mengalami sesak sehingga RR-nya akan
melebihi batas normal. Pemberian omeprazole akan menekan sekresi
asam lambung sehingga menghilangkan manifestasi-manifestasi yangdiakibatkan oleh peningkatan asam lambung tersebut.
Omeprazole diminum 1 x 60 mg/hari sebelum makan malam
selama 4-8 minggu. Omeprazole merupakan obat utama dalam
pengobatan dispepsia ini karena memiliki onset cepat (1 jam) dan durasi
yang lama (72 jam). Namun, pada hari pertama dan kedua efeknya baru
mencapai 25-30% dan akan mencapai 85-90% setelah 3-4 hari. Steady
state akan diperoleh setelah 4 hari. Oleh karena itu, pemberian
omeprazole dikombinasikan dengan ranitidin untuk membantu menekan
sekresi asam lambung selama omeprazole belum bekerja secaramaksimal (Lacy, et al., 2010).
Omeprazole berinteraksi dengan obat golongan benzodiazepin,
cilostazol, chlarithomycin, phenytoin, warfarin, dan obat yang BA-nya
tergantung pH lambung (ex : domperidone). Pada terapi ini terjadi
interaksi penurunan BA domperidone yang dapat beraksi pada kondisi
asam. Namun, keduanya tetap digunakan karena dibutuhkan untuk
mengobati dispepsia dan mual muntah yang dialami pasien (Tatro, 2003).
Efek samping dari omeprazole adalah sebagai berikut.
a. Kardiovaskuler : angina, takikardi, bradikardi, palpitasib. CNS : sakit kepala, pusingc. Dermatologi : ruamd. GI : konstipasi, sakit perut, mual, muntahe. Respiratori : batuk, ISPAf. Lainnya : astenia, sakit punggung (Tatro, 2003)
Berdasarkan efek samping tersebut yang perlu mendapatkan
perhatian untuk dimonitoring adalah pada jantung dan GI (konstipasi,
mual, muntah). Mual dan muntah dapat diatasi dengan obat antiemetik,
yaitu domperidone. Namun, untuk konstipasi perlu diperhatikan terjadi
pada pasien atau tidak karena apabila terjadi dikhawatirkan mual dan
7/29/2019 Gastroenterologi Dyspepsia
6/10
5
muntah akan tetap terjadi mengingat makanan akan tetap terakumulasi
dalam tubuh dan menyebabkan perut terasa penuh/cepat kenyang.
3. RanitidinRanitidin adalah obat golongan antagonis H2 histamin yang
memiliki indikasi untuk pengobatan dan pemeliharaan ulser duodenum,
pengaturan penyakit refluks gastroesofagus, termasuk penyakit erosif
atau ulseratif, pengobatan jangka pendek, ulser gastrik jinak, dan
kerusakan gastrik karena NSAID. Penggunaan sebagian dari multidrug
regimen untuk membasmi H. pylori pada pengobatan ulser peptik,
menjaga peningkatan asam selama anastesi, mencegah kerusakan mukosa
lambung apabila digabung dengan NSAID jangka panjang, mengontrol
pendarahan GI bagian atas akut, dan menjaga ulser stress. Mekanisme
kerja dari ranitidin ini adalah memblok histamin secara reversibel dankompetitif pada reseptor H2, terutama di sel parietal lambung, dan
menyebabkan penghambatan sekresi asam lambung (Tatro, 2003).
Ranitidin digunakan dalam terapi ini karena pasien mengalami
dispepsia akibat dismotilitas lambung sehingga mengalami nyeri perut,
mual, muntah, makan dan minum kurang, serta lemas. Berdasarkan data
laboratorium eosinofil juga mengalami peningkatan. Dismotilitas
lambung akan menyebabkan pencernaan makanan terganggu sedangkan
asam lambung terus disekresi. Peningkatan asam lambung di dalam
lambung dapat menimbulkan radang sehingga perut terasa nyeri dandismotilitas lambung menyebabkan waktu pengosongan lambung
menjadi lebih lama. Penuhnya lambung menyebabkan pasien merasa
mual, muntah, dan tidak lapar/cepat kenyang. Akibatnya nafsu makan
berkurang sehingga pasien merasa lemas karena kurangnya asupan
nutrisi ke dalam tubuh. Selain itu, radang juga menyebabkan peningkatan
eosinofil. Eosinofil adalah sel darah putih yang berperan dalam respon
inflamasi dengan mempersempit otot polos bronkus, meningkatkan
sekresi mukus, dan menarik sel-sel inflamasi lainnya (Waldron, 2007).
Hal ini menyebabkan pasien mengalami sesak sehingga RR-nya akan
melebihi batas normal. Pemberian ranitidin akan menekan sekresi asam
lambung sehingga menghilangkan manifestasi-manifestasi yang
diakibatkan oleh peningkatan asam lambung tersebut.
Ranitidin diminum 2 x 150 mg/2 ml ampul/hari secara iv pada
pagi dan malam hari selama 4-8 minggu untuk pemeliharaan. Ranitidin
digunakan sebagai obat penunjang untuk mencegah sekresi asam
lambung selama omeprazole yang merupakan obat utama dalam terapi ini
belum mencapai efek maksimal. Hal ini karena ranitidin memiliki onset
yang lebih cepat namun durasinya pun lebih cepat (Lacy, et al., 2010).
7/29/2019 Gastroenterologi Dyspepsia
7/10
6
Ranitidin dapat berinteraksi dengan diazepam, etanol, glipizide,
ketoconazole, lidocaine, dan warfarin. Pada terapi ini dapat terjadi
interaksi antara ranitidin dengan domperidone yang menyebabkan
penurunan BA domperidone yang dapat beraksi pada kondisi asam.
Namun, keduanya tetap digunakan karena dibutuhkan untuk mengobati
dispepsia dan mual muntah yang dialami pasien. Selain itu, ranitidin
tidak digunakan secara per oral sehingga dapat mengurangi interaksi
yang terjadi diantara keduanya (Tatro, 2003).
Efek samping dari ranitidin diantaranya sebagai berikut.
a. CV : aritmia kardia, bradikardib. CNS : sakit kepala, mengantuk, kelelahan, pusing,
halusinasi, depresi, insomnia
c. Dermatologi : alopesia, ruam, eritema multiformed. GI : mual, muntah, ketidaknyamanan abdomen, diare,
konstipasi, pankreasitis
e. Hematologi : agranulositosis, hemolitik autoimun atau anemiaplastik, trombositopenia, granusitopenia
f. Hepar : kolestatik atau hepatoselulerg. Lainnya : reaksi hipersensitivitas (Tatro, 2003).
4. AntasidaAntasida adalah suatu garam basa anorganik lemah yang bekerja
menetralkan asam lambung yang sudah dihasilkan. Jadi antasida baruakan efektif bila pada saat asam lambung sudah keluar. Jenis antasida
yang sering digunakan adalah garam aluminium hidroksida dan
magnesium hidroksida, namun ada juga berupa kalsium atau kombinasi
beberapa jenis garam. Asam lambung bereaksi dengan antasida misal
magnesium hidroksida, akan menghasilkan magnesium klorida yang larut
dan karbondioksida. CO2 dapat menyebabkan kembung dan eruktasi/
bersendawa. Obat ini lebih banyak tidak diserap, hanya sekitar 30 %
magnesium diserap oleh usus. Yang tidak diabsorpsi ini akan dieksresi
bersama feses. Keunggulan obat ini memiliki onset kerja yang lebih
pendek (FKUI, 2007).
Dosis antasida dalam bentuk suspensi (Larutan), untuk dewasa 1-
2 sendok takar (5 ml) sebanyak 3-4 kali sehari (setiap 6-8 jam) dan
sebelum tidur (AHFS Drug Information, 2005). Pasien berumur 16 tahun
dan dapat dikategorikan sudah dewasa. Oleh sebab itu tidak ada
pengaturan dan perubahan dosis. Semua sesuai dengan literatur.
Riwayat pasien yang mengalami nyeri pada perut, mual, dan
muntah dapat disebabkan oleh adanya kenaikan asam lambung. Selain
itu, kurangnya asupan makanan dari luar, sekresi asam lambung pun akan
7/29/2019 Gastroenterologi Dyspepsia
8/10
7
semakin meningkat. Antasida berfungsi untuk menetralkan asam
lambung tersebut, sehingga tidak akan mengiritasi lambung.
Antasida akan berinteraksi dengan banyak obat maupun apapun,
karena akan membentuk senyawa yang komplek, dan obat lain pun
absorpsinya akan berkurang atau bahkan tidak akan di absorpsi. Sehingga
dihindarkan penggunaan bersama dengan obat lain dan pemberian
dipisahkan dengan selang waktu 2 jam antara antasida dengan obat yang
lain. Antasida mempunyai efek Samping pada gastroinstestinal yaitu
konstipasi, kram lambung, fecal impaction, mual, muntah, perubahan
warna feses (bintik-bintk putih).
5. DomperidoneDomperidone merupakan antagonis dopamin yang mempunyai
kerja anti emetik. Efek antiemetik dapat disebabkan oleh kombinasi efekperiferal (gastroprokinetik) dengan antagonis terhadap reseptor dopamin
di kemoreseptor trigger zone yang terletak diluar saluran darah otak di
area postrema. Pemberian oral domperidone menambah lamanya
kontraksi antral dan duodenum, meningkatkan pengosongan lambung
dalam bentuk cairan dan setengah padat pada orang sehat, serta bentuk
padat pada penderita yang pengosongan lambungnya terhambat, dan
menambah tekanan pada sfingter esofagus bagian bawah pada orang
sehat.
Dosis untuk Dispepsia fungsional untuk dewasa yaitu 10 mg (1tablet) 3 kali sehari, 15-30 menit sebelum makan dan jika perlu sebelum
tidur malam. Sedangkan untuk Mual dan muntah (termasuk yang
disebabkan oleh levodopa dan bromokriptin). Dewasa: 10 20 mg (1 2
tablet) 3 4 kali sehari, 15 30 menit sebelum makan dan sebelum tidur
malam. Domperidon digunakan 15 30 menit sebelum makan dan
sebelum tidur malam dengan pemberian interval waktu 4 8 jam dan
penggunaan domperidon jangan melebihi 12 minggu.
Umur pasien yang 16 tahun dapat dikatakan sudah dewasa
sehingga pemberian domperidon dengan dosis 10 mg untuk pemakaian 3
kali sehari aman diberikan dan tidak over dosis. Pasien mengalami gejala
mual dan muntah sehingga asupan makanan dan minuman yang masuk
kedalam tubuh menjadi berkurang sehingga pasien mengalami lemas.
Domperidon bekerja menekan pada pusat mual dan muntah,
sehingga domperidon digunakan sebagai antimuntah yang efektif.
Interaksi domperidon dengan obat lain diantaranya domperidon
mengurangi efek hipoprolaktinemia dari bromokriptin, pemberian obat
anti kolinergik muskarinik dan analgetik opioid secara bersamaan dapat
mengantagonisir efek domperidon, pemberiaan antasida secara
bersamaan dapat menurunkan bioavailabilitas domperidon, efek
7/29/2019 Gastroenterologi Dyspepsia
9/10
8
bioavailabilitas dapat bertambah dari 13 % menjadi 23 % bila diminum
1,5 jam setelah makan.
Domperidon yang mempunyai brandname domedon dapat
digunakan untuk pengobatan gejala dispepsia fungsional, untuk mual dan
muntah akut, untuk mual dan muntah yang disebabkan oleh pemberian
levodopa dan bromokriptin lebih dari 12 minggu. Efek samping
domperidon seperti mulut kering, sakit kepala, diare, ruam kulit, rasa
haus,pusing, cemas, gatal, gugup, memerah, sulit tidur, kejang perut, hot
flashes dan kram kaki, Peningkatan prolaktin serum sehingga
menyebabkan galaktorrhoea dan ginekomastia, pemberian intravena
domperidone dapat menyebabkan aritmia jantung, serangan jantung dan
kematian mendadak (Dione).
G. MONITORING1. Monitoring
a. Penggunaan infus di kontrol sehingga tidak menimbulkan udem padadaerah infus.
b. Pemeriksaan laboratorium dan klinik secara berkala.c. Melakukan evaluasi efek farmakologis obat yang telah diberikan
kepada pasien.
d. Pasien perlu dipantau apakah gejala berkurang selama pengobatandiihat dari tanda-tanda seperti mual, muntah.
e.
Monitoring efek samping dari masing-masing obat yang diberikan.f. Mengidentifikasi problem obat yang timbul maupun yang berpotensi
untuk timbul (Anonim, 2010).
2. Konseling, Informasi dan Edukasia. Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung.b. Mengatur pola makan.c. Perbaikan kebiasaan sehari-hari, pasien harus mengerti bahwa gejala
dispepsia bisa kambuh kembali tetapi dapat dicegah melalui
perubahan gaya hidup dan pemilihan jenis makanan.
d. Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan pedas, obat-obatan yang berlebihan, nikotin rokok dan stress.
e. Memberikan informasi dosis pemberian dan pemeliharaanf. Memberikan informasi tentang khasiat, cara pemberian, waktu
pemberian dan efek samping obat.
g. Memberikan informasi tentang penyakit dari gejala, untukmeningkatkan kepedulian pasien untuk sembuh.
h. Edukasi terhadap anggota keluarga dalam melakukan pengawasanlangsung Pengawas Minum Obat (PMO) dan mempertahankan
kesehatan, kebersihan dan kualitas hidup pasien.
7/29/2019 Gastroenterologi Dyspepsia
10/10
9
i. Edukasi tentang faktor-faktor pencetus, agar keluarga pasienmenghindarkannya dari pasien.
j. Edukasi tentang pentingnya terapi lanjutan untuk mencegahdispepsia (Anonim, 2007).
3. Follow UpData klinik sebaiknya disertakan hasil dari pemeriksaan
endoskopi agar dapat mengetahui keadaan lambung pasien sebenarnya
dan seberapa parah kerusakan lambung pasien.
H. DAFTAR PUSTAKAAnonim. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma. Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Depkes RI Jakarta.
Anonim. 2010. Cara Menghitung Tetesan Infus. http://fkunhas.com/cara-menghitung-tetesan-infus-20100701234.html. Diakses pada tanggal
29 November 2011.
Anonim. 2010.MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 9. PT Buana Ilmu
Populer : Jakarta.
Anonim.2010.Domperidone.http://www.hexpharmjaya.com/page/domperidon
e.aspx. Diakses pada tanggal 29 November 2011.
Anonim.2010.Farmasiku.http://www.farmasiku.com/index.php?target=produ
cts&product_id=30052. Diakses pada tanggal 29 November 2011.
Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. 2008.Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 7
thEdition. The
McGraw-Hill Companies, Inc. : United States.
Gunawan SG. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapetik FKUI : Jakarta.
Lacy, C. F., Amstrong, L. L., Goldman, N. P., Lanco, L. L. 2009. Drug
Information Handbook 18th
Edition. Lexi-Comp, Inc. : USA.
McCab BJ, Frankel EH, Wolfe, JJ. 2003. Handbook of Food-Drug
Interactions. CRC Press LCC : Florida.
Soeparman, SW. 1991. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI :
Jakarta.
Tatro, DS. 2003.A to Z Drug Facts. Facts and Comparisons : San Fransisco.
Waldron J. 2007.Asthma Care in The Community. John Wiley & Sons, Ltd :
England.