21
1 PENDAHULUAN Sebagai bagian integral dari Universitas, mahasiswa memiliki peran penting untuk turut serta melaksanakan tugas-tugas Perguruan Tinggi yang tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan mampu secara teoritis maupun praktis untuk menerapkan bidang ilmunya sehingga dapat memberikan kontribusi nyata baik di lingkungan Universitas maupun masyarakat luas. Salah satu wadah yang memfasilitasi mahasiswa dalam pengembangan kemampuan akademik, serta mengupayakan penggunaannya dalam kehidupan masyarakat adalah organisasi mahasiswa (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud), 1998). Organisasi mahasiswa sendiri terbagi menjadi dua jenis berdasarkan lingkungan kegiatannya, yaitu organisasi ekstrauniversiter dan organisasi intrauniversiter. Menurut catatan sejarah, organisasi mahasiswa ekstrauniversiter lebih dulu lahir sejak sebelum era kemerdekaan, dan pergerakannya berfokus pada kehidupan beragama, sosial dan politik atau golongan. Sedangkan organisasi mahasiswa intrauniversiter baru muncul pasca kemerdekaan, dan pergerakannya berfokus pada kehidupan bermahasiswa sebagai sivitas akademika dan persoalan-persoalan studi yang sesuai dengan bidang ilmunya (Notosusanto, 1983). Sejak dikeluarkannya keputusan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) pada tahun 2002, mengenai larangan penyelenggaraan organisasi mahasiswa ekstra kampus dan aktivitas politik praktis di kampus, maka pengembangan organisasi mahasiswa lebih ditekankan pada pengembangan organisasi intra kampus (Dirjendikti, 2006). Hal tersebut didukung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, melalui pernyataanya yang mengungkapkan bahwa kegiatan kemahasiswaan intrakampus harus dikedepankan dan lebih dioptimalkan lagi agar meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan, serta menumbuhkan optimisme mahasiswa (Dikti, 2013). Bahkan setiap tahunnya, DIKTI sebagai institusi pemerintah yang menaungi seluruh perguruan tinggi di Indonesia, memberikan bantuan dana untuk pengembangan organisasi kemahasiswaan dan unit-unit kegiatan mahasiswa di seluruh Universitas di Indonesia (Dikti, 2014). Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) sebagai penyelenggara pendidikan tertinggi, memfasilitasi dan membina seluruh unit kegiatan mahasiswa di Lembaga Kemahasiswaan (LK) UKSW. Di dalam LK UKSW terdapat sub organisasi yang terbagi atas fungsi dan perannya diantaranya adalah Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas atau Fakultas (BPMU atau BPMF, untuk selanjutnya disebut BPMU atau BPMF) yang bertugas

Gaya Manajemen Konflik Pada Mahasiswa Yang Tergabung ......mahasiswa sendiri terbagi menjadi dua jenis berdasarkan lingkungan kegiatannya, yaitu organisasi ekstrauniversiter dan organisasi

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    PENDAHULUAN

    Sebagai bagian integral dari Universitas, mahasiswa memiliki peran penting untuk turut

    serta melaksanakan tugas-tugas Perguruan Tinggi yang tertuang dalam Tri Dharma Perguruan

    Tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian

    masyarakat. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan mampu secara teoritis maupun praktis

    untuk menerapkan bidang ilmunya sehingga dapat memberikan kontribusi nyata baik di

    lingkungan Universitas maupun masyarakat luas. Salah satu wadah yang memfasilitasi

    mahasiswa dalam pengembangan kemampuan akademik, serta mengupayakan

    penggunaannya dalam kehidupan masyarakat adalah organisasi mahasiswa (Kementerian

    Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud), 1998). Organisasi

    mahasiswa sendiri terbagi menjadi dua jenis berdasarkan lingkungan kegiatannya, yaitu

    organisasi ekstrauniversiter dan organisasi intrauniversiter. Menurut catatan sejarah,

    organisasi mahasiswa ekstrauniversiter lebih dulu lahir sejak sebelum era kemerdekaan, dan

    pergerakannya berfokus pada kehidupan beragama, sosial dan politik atau golongan.

    Sedangkan organisasi mahasiswa intrauniversiter baru muncul pasca kemerdekaan, dan

    pergerakannya berfokus pada kehidupan bermahasiswa sebagai sivitas akademika dan

    persoalan-persoalan studi yang sesuai dengan bidang ilmunya (Notosusanto, 1983).

    Sejak dikeluarkannya keputusan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI)

    pada tahun 2002, mengenai larangan penyelenggaraan organisasi mahasiswa ekstra kampus

    dan aktivitas politik praktis di kampus, maka pengembangan organisasi mahasiswa lebih

    ditekankan pada pengembangan organisasi intra kampus (Dirjendikti, 2006). Hal tersebut

    didukung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, melalui pernyataanya

    yang mengungkapkan bahwa kegiatan kemahasiswaan intrakampus harus dikedepankan dan

    lebih dioptimalkan lagi agar meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan, serta

    menumbuhkan optimisme mahasiswa (Dikti, 2013). Bahkan setiap tahunnya, DIKTI sebagai

    institusi pemerintah yang menaungi seluruh perguruan tinggi di Indonesia, memberikan

    bantuan dana untuk pengembangan organisasi kemahasiswaan dan unit-unit kegiatan

    mahasiswa di seluruh Universitas di Indonesia (Dikti, 2014).

    Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) sebagai penyelenggara pendidikan

    tertinggi, memfasilitasi dan membina seluruh unit kegiatan mahasiswa di Lembaga

    Kemahasiswaan (LK) UKSW. Di dalam LK UKSW terdapat sub organisasi yang terbagi atas

    fungsi dan perannya diantaranya adalah Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas atau

    Fakultas (BPMU atau BPMF, untuk selanjutnya disebut BPMU atau BPMF) yang bertugas

  • 2

    sebagai lembaga perwakilan dan permusyawaratan mahasiswa dan Senat Mahasiswa

    Universitas atau Fakultas (SMU atau SMF, untuk selanjutnya disebut SMU atau SMF) yang

    bertugas sebagai lembaga eksekutif yang mengkoordinasikan seluruh kegiatan mahasiswa

    baik kegiatan akademik maupun non akademik (KUKM UKSW, 2011). Dalam

    perkembangannya, LK UKSW sebagai organisasi mahasiswa juga mengalami berbagai

    konflik dan hambatan seperti organisasi pada umumnya. Bahkan LK UKSW merupakan

    organisasi mahasiswa intrakampus pertama di Indonesia yang anggotanya diundang untuk

    mengikuti rapat dosen dan menjadi senator di aras fakultas maupun universitas untuk turut

    berperan serta dalam pengambilan keputusan dan kebijakan kampus (“Sejarah Lembaga

    Kemahasiswaan dan Pembinaan Kemahasiswaan”, 2013). Hal tersebut menjadikan LK

    UKSW sebagai organisasi kemahasiswaan yang kompleks dan memiliki dinamika organisasi

    yang beragam.

    Penulis mencoba memetakan fenomena konflik yang terjadi di LK UKSW dengan

    mewawancari salah seorang ketua LK UKSW. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan

    oleh penulis pada tanggal 4 Januari 2013, diketahui bahwa LK UKSW sebagai organisasi

    mahasiswa juga menghadapi banyak konflik dalam perkembangannya. Narasumber yang

    ditemui oleh penulis mengatakan,

    “saya sendiri sebagai pimpinan LK sering mengalami

    konflik dengan sesama anggota di LK, biasanya persoalan

    yang menyebabkan konflik antara lain adalah adanya

    ketidaksepahaman dalam menyikapi suatu hal, kurangnya

    tanggung jawab dan komitmen anggota terhadap tujuan

    dan visi misi organisasi, kurangnya inisiatif anggota dalam

    bekerja sama dan kurangnya kekompakkan di dalam LK itu

    sendiri”.

    Narasumber juga menjelaskan bahwa konflik yang paling sering muncul di LK UKSW

    adalah konflik antara pimpinan LK dengan anggota LK, anggota LK dengan kepanitiaan,

    anggota LK dengan mahasiswa yang menjadi peserta dalam kegiatan-kegiatan LK dan

    anggota LK dengan mahasiswa pada umumnya. Menurut narasumber, usaha-usaha untuk

    menyelesaikan konflik telah banyak dilakukan, namun, hingga saat ini belum dapat

    menyelesaikan konflik sepenuhnya dan persoalan yang sama masih tetap muncul kembali.

    Pada dasarnya konflik di dalam organisasi dipandang sebagai hal yang tidak dapat

    dihindarkan, karena individu dan kelompok saling bergantung dalam mencapai tujuan

    organisasi. Sehingga apabila konflik tidak dikendalikan secara efektif, akan menimbulkan

    pengaruh yang buruk pada kinerja organisasi (Wahyudi, 2011). Menurut Wirawan (2010),

    apabila organisasi tidak mampu mengelola konflik dengan baik maka akan menyebabkan

  • 3

    menurunnya produktivitas kerja, merusak hubungan dan komunikasi di dalam organisasi,

    merusak sistem organisasi, menurunkan mutu pengambilan keputusan, menimbulkan sikap

    dan perilaku negatif bagi individu di dalam organisasi. Thomas (2002) menjelaskan bahwa

    hampir setengah atau sekitar 42% dari waktu pemimpin dalam suatu organisasi, digunakan

    untuk menyelesaikan konflik, diantaranya konflik antara pemimpin dan anggotanya, konflik

    di antara anggota organisasi dan konflik anggota organisasi dan pihak di luar organisasi.

    Oleh karena itu individu-individu di dalam organisasi perlu menguasai pengetahuan

    dan keterampilan mengenai pengelolaan atau manajemen konflik, agar dapat bermanfaat

    guna mendorong perubahan dan inovasi serta tidak menghambat tujuan organisasi. Walton &

    Owens (1991) memaparkan bahwa tujuan dari manajemen konflik adalah untuk mencapai

    kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan

    akibat konflik yang merugikan. Senada dengan pernyataan tersebut, Ross (dalam Lee, 2008)

    mendefinisikan manajemen konflik sebagai langkah-langkah yang diambil para pelaku

    konflik dalam rangka mengarahkan perselisihan yang terjadi dengan berupaya untuk

    mencapai hasil akhir berupa penyelesaian konflik yang positif, kreatif dan inovatif yang

    menghasilkan kesepakatan baru bagi pihak-pihak yang berkonflik.

    Terdapat lebih dari satu cara dalam menangani konflik bagi individu di dalam

    organisasi. Beberapa tokoh yang mempelajari perilaku organisasi telah mengembangkan gaya

    manajemen konflik yang dapat diterapkan dalam ruang lingkup organisasi. Salah satunya

    adalah Thomas dan Kilmann, yang mengembangkan taksonomi gaya manajemen konflik

    melalui dua dimensi dasar, yaitu cooperativeness (kooperatif) dan assertiveness (asertifitas)

    (Thomas & Kilmann dalam Wirawan, 2010). Dimensi cooperativeness dipahami sebagai

    upaya untuk memuaskan orang lain ketika individu sedang menghadapi konflik, sedangkan

    dimensi assertiveness diartikan sebagai upaya untuk memuaskan diri sendiri ketika individu

    sedang menghadapi konflik (Thomas, 2002). Berangkat dari kedua dimensi tersebut, Thomas

    (2002) mengemukakan lima gaya manajemen konflik, antara lain yaitu competing,

    collaborating, compromising, avoiding, dan accomodating. Penjabaran kelima gaya

    manajemen konflik tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Berikut ini.

  • 4

    Tabel 1. Penjabaran gaya manajemen konflik menurut Thomas & Kilmann

    Gaya

    Manajemen

    Konflik

    Dimensi Ciri-ciri Implikasi

    Competing Tingkat

    assertiveness

    berada dalam

    kategori tinggi,

    dan

    cooperativeness

    berada dalam

    kategori rendah

    1. Berorientasi pada kekuasaan atau

    kewenangan yang dimiliki

    individu.

    2. Pengambilan keputusan secara sepihak (dictating a

    decision).

    3. Tidak bernegosiasi ataupun tawar menawar

    (making no concessions).

    1. Dapat menjadi sangat efektif apabila organisiasi

    berada pada situasi yang

    mendesak.

    2. Beresiko mengalami disfungsional organisasi,

    menurunkan motivasi

    anggota, dan merusak

    hubungan antaranggota

    organisasi.

    Collaborating Tingkat

    assertiveness

    dan

    cooperativeness

    berada dalam

    kategori yang

    sama-sama

    tinggi

    1. Mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik

    dan menyelesaikan

    konflik dengan win-win

    solution.

    2. Mengkombinasikan solusi dari pihak-pihak

    yang berkonflik untuk

    mencari alternatif yang

    disepakati bersama dan

    memenuhi harapan

    kedua belah pihak

    1. Mendorong kreativitas dan inovasi untuk perbaikan dan

    pengembangan organisasi

    secara terbuka.

    2. Memperbaiki hubungan antaranggota, sehingga

    menciptakan suasana kerja

    yang kondusif.

    3. Diperlukan interpersonal skill yang baik, kepercayaan

    antaranggota dan sikap

    terbuka terhadap gagasan

    yang baru.

    4. Menuntut waktu yang lebih lama dalam penyelesaian

    konflik

    Compromising Tingkat

    assertiveness

    dan

    cooperativeness

    berada dalam

    kategori

    sedang.

    1. Melakukan negosiasi dan tawar menawar

    (exchanging concessions).

    2. Memanfaatkan peluang yang ada bersama lawan

    konflik secara bergantian.

    3. Mengambil keputusan dengan lebih lunak atau

    dengan menggabungkan

    gagasan pihak-pihak yang

    berkonflik.

    4. Dilakukan ketika konflik tidak cukup bernilai untuk

    dipertahankan, tetapi juga

    terlalu penting untuk

    dihindari.

    1. Menjadi sangat efektif ketika pihak-pihak yang

    berkonflik membutuhkan

    solusi sementara yang

    mendesak, demi

    keberlangsungan tujuan

    organisasi.

    2. Tidak membutuhkan waktu yang lama, namun tetap

    bermanfaat.

    3. Dapat memperbaiki hubungan pihak-pihak yang

    berkonflik

    4. Penyelesaian konflik tidak mendalam (superficial

    understanding).

  • 5

    Gaya

    Manajemen

    Konflik

    Dimensi Ciri-ciri Implikasi

    Avoiding Tingkat

    assertiveness

    dan

    cooperativeness

    berada dalam

    kategori rendah

    1. Menghindari konflik dengan cara menajuhkan

    diri dari pokok

    permasalahan, menunda

    hingga waktu yang tepat,

    maupun menarik diri dari

    konflik tersebut sementara

    waktu

    2. Menghindari pembahasan isu yang tidak penting,

    kompleks, maupun

    mengancam.

    3. Menghindari pihak-pihak tertentu yang sedang

    berkonflik.

    1. Tertundanya pengambilan keputusan organisasi.

    2. Berpotensi menurunkan komunikasi kerja, dan

    merusak hubungan

    antaranggota.

    3. Berada pada posisi aman atau menguntungkan,

    karena menjauhkan diri dari

    konflik yang berbahaya.

    4. Mengurangi stress dan menghemat waktu.

    Accomodating Tingkat

    assertiveness

    berada dalam

    kategori

    rendah, namun

    cooperativeness

    berada dalam

    kategori tinggi.

    1. Mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan

    berupaya memuaskan

    kepentingan lawan

    konfliknya.

    2. Merupakan win-lose strategy.

    3. Sangat mudah untuk dipengaruhi lawan konflik.

    4. Cenderung mematuhi otoritas

    1. Memiliki hubungan yang harmonis dengan anggota

    lainnya di organisasi.

    2. Dapat membantu pihak lain keluar dari

    permasalahannya.

    3. Kehilangan kesempatan karena mengorbankan

    tujuan pribadi.

    4. Menurunkan motivasi kerja dalam diri individu.

    Sedangkan penyebaran gaya manajemen konflik berdasarkan kategori dimensinya yaitu

    assertiveness dan cooperativeness, dapat dilihat pada Gambar 1. berikut ini.

    Assertiveness

    Cooperativeness

    Gambar 1. Gaya Manajemen Konflik Thomas & Kilmann

    Sumber : Thomas (2002)

    Variasi gaya manajemen konflik individu di dalam organisasi dipengaruhi oleh

    beberapa beberapa faktor, antara lain yaitu karakteristik kepribadian, kebutuhan

    interpersonal, usia, nilai dalam kelompok, kekuasaan yang diberikan, dan status organisasi

    Competing

    Compromising

    Collaborating

    Avoiding Accommodating

  • 6

    (Havenga, 2006). Hal ini disebabkan manajemen konflik sendiri berupa kecenderungan

    perilaku individu dalam merespons situasi, sehingga faktor-faktor yang memengaruhi gaya

    manajemen konflik pada individu dengan sendirinya berasal dari faktor-faktor internal

    maupun eksternal individu tersebut (Wahyudi, 2010).

    Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengungkap variasi gaya manajemen

    konflik individu dalam ruang lingkup organisasi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh

    Farmer & Roth (1998); Brewer, Mitchell & Weber (2002); Slabbert (2004) yang

    menghasilkan temuan bahwa status organisasi individu berpengaruh terhadap gaya

    manajemen konflik individu tersebut. Individu yang tergolong middle manager cenderung

    menggunakan gaya manajemen konflik yang asertif (kompetisi dan kolaborasi) karena berada

    dalam hirarki organisasi yang lebih tinggi, sedangkan individu yang tergolong junior

    manager cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang tidak kooperatif dan tidak

    asertif (menghindar) karena tindakannya didasarkan pada otoritas dan kepatuhan. Hasil

    temuan penelitian sebelumnya juga mengungkap bahwa collaborating dan competing

    memiliki dampak yang paling besar dalam efektivitas gaya manajemen konflik. Semakin

    sering kolaborasi digunakan maka akan semakin banyak hasil konstruktif yang didapatkan

    organisasi, sebaliknya, semakin sering kompetisi digunakan maka akan semakin banyak hasil

    yang merusak atau dysfunctional outcomes dalam organisasi (Vliert et al. dalam Thomas,

    Thomas & Schaubhut, 2008).

    Penelitian lain yang dilakukan oleh Havenga (2006) menyimpulkan bahwa individu

    yang tergolong usia muda (dibawah 36 tahun) cenderung menggunakan gaya manajemen

    konflik dominating dan obliging, sedangkan individu yang tergolong dalam usia yang lebih

    tua (36-45 tahun, dan 45 tahun ke atas) cenderung menggunakan gaya manajemen konflik

    integrating dan compromising. Variasi gaya manajemen konflik dalam organisasi juga

    ditunjukkan pada penelitian Thomas et al. (2008), yang menjelaskan bahwa pria cenderung

    menggunakan gaya manajemen konflik yang bersifat asertif yaitu kompetisi dan kolaborasi,

    sebaliknya, wanita cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang bersifat

    kooperatif seperti berkompromi, menghindar dan akomodasi. Rendahnya skor wanita dalam

    penggunaan gaya manajemen konflik asertif berdampak pada kecenderungan wanita akan

    turnover, segan untuk bernegosiasi, dan sering berada pada posisi no-win situation yang

    tentunya kurang menguntungkan bagi wanita, karena seringkali berakhir pada pemberian gaji

    yang rendah dan berkurangnya kesempatan untuk dipromosikan (Amantullah dalam Thomas

    et al., 2008). Kecenderungan gaya manajemen konflik individu dalam organisasi tidak hanya

    memberikan dampak pada individu tersebut, tetapi juga memberikan dampak pada organisasi

  • 7

    secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk mengetahui alternatif dan

    strategi penggunaan gaya manajemen konflik, serta mengetahui kapan penggunaan yang

    paling tepat.

    Kajian dan penelitian yang dipaparkan mendukung kesimpulan bahwa terdapat variasi

    gaya manajemen konflik pada individu dalam organisasi. Namun penelitian-penelitian yang

    dilakukan masih terbatas pada organisasi yang bersifat profit dan dalam ruang lingkup

    ekonomi, sedangkan LK UKSW sendiri adalah organisasi non profit yang berkecimpung

    dalam dunia pendidikan, yang tentunya mengalami jenis konflik yang berbeda dengan

    organisasi dari kajian dan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan. Oleh karena itu,

    penulis bermaksud melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana gambaran gaya

    manajemen konflik pada mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Kemahasiswaan

    UKSW.

    Melalui penelitian ini penulis berharap dapat memberikan gambaran kepada Pembantu

    Rektor III dan Koordinator Bidang Kemahasiswaan (Koorbidkem), sebagai pihak yang

    menaungi Lembaga Kemahasiswaan di UKSW, serta mahasiswa yang tergabung di LK

    UKSW, mengenai kondisi gaya manajemen konflik yang ada di LK UKSW. Selain itu, hasil

    dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada segenap fungsionaris LK

    UKSW mengenai alternatif-alternatif untuk mengatasi konflik berdasarkan gaya manajemen

    konflik yang sudah diketahui, sehingga konflik yang muncul di LK dapat diselesaikan dengan

    baik.

    METODE

    Partisipan

    Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa yang tergabung dalam

    keanggotaan LK UKSW. Sedangkan sampel dalam penelitian ini berjumlah 183 fungsionaris

    LK yang terdiri dari fungsionaris SMF, BPMF, SMU, dan BPMU. Adapun yang menjadi

    karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah fungsionaris LK yang sedang dalam masa

    tugas periode 2013-2014, dan sedang aktif menjabat dalam susunan organisasi LK UKSW,

    bukan Pemegang Jabatan Sementara (PJS).

    Prosedur Sampling

    Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah purposive

    sampling. Adapun jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 183 fungsionaris,

    dari jumlah total fungsionaris LK UKSW sebanyak 600 fungsionaris. Sampel terdiri dari 72

    fungsionaris laki-laki dan 111 fungsionaris perempuan; 70 fungsionaris berstatus sebagai

  • 8

    pimpinan dan 113 fungsionaris berstatus sebagai anggota, yang telah memenuhi kriteria

    sampel dalam penelitian ini.

    Pengukuran

    Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah

    Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument (TKI) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa

    Indonesia. Alat ukur ini dikembangkan dari dua dimensi dasar manajemen konflik yang

    dikembangkan oleh Thomas dan Kilmann yaitu assertiveness (keasertifan) dan

    cooperativeness (kerja sama) (Thomas & Kilmann, 2007). TKI terdiri dari 30 item yang

    disusun berdasarkan model penskalaan paired comparison. Setiap item pada alat ukur ini

    disusun berpasangan dengan membandingkan dua pernyataan A dan B, yang masing-masing

    pernyataannya merujuk pada gaya manajemen konflik tertentu. Responden akan diminta

    untuk memilih salah satu dari pasangan tersebut yang paling menggambarkan keadaan

    dirinya. Dalam penelitian ini, responden juga diminta untuk menjabarkan identitas diri, status

    organisasi dan periode bertugas di LK.

    Selanjutnya, untuk mengetahui sejauh mana tingkat keandalan alat ukur yang

    digunakan, penulis melakukan uji reliabilitas menggunakan teknik test-retest, yang kemudian

    akan dihitung dengan akan rumus pearson correlation. Hasil koefisien korelasi alat ukur TKI

    dalam pada penelitian ini adalah sebesar 0,75. Berdasarkan kategori reliabilitas Azwar

    (2011), maka reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini tergolong cukup tinggi dan layak

    digunakan sebagai alat ukur penelitian.

    Prosedur Penelitian

    Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif

    deskriptif. Penelitian ini akan di lakukan di lingkungan sekitar kampus UKSW dan di tempat-

    tempat penyelenggaraan kegiatan LK UKSW. Penulis akan membagikan angket TKI yang

    nantinya akan diisi oleh fungsionaris LK UKSW yang telah memenuhi kriteria sebagai

    sampel penelitian. Selanjutnya, berselang dua minggu kemudian, penulis akan memilih 37

    responden yang telah mengisi angket TKI sebelumnya untuk kembali mengerjakan angket

    TKI untuk kepentingan uji reliabilitas alat ukur dengan teknik test-retest. Selain itu, penulis

    juga melakukan wawancara terhadap beberapa responden untuk mengungkap dampak dari

    kecenderungan gaya manajemen konflik fungsionaris terhadap LK secara keseluruhan.

    Data yang sudah terkumpul nantinya akan dianalisis secara deskriptif menggunakan

    aplikasi microsoft excel 2007. Penyajian hasil analisis deskriptif dapat berupa frekuensi dan

    persentase, tabulasi silang, serta berbagai bentuk grafik dan chart pada data yang bersifat

  • 9

    kategorikal serta berupa statistik-statistik kelompok (antara lain mean dan varians) pada data

    yang bukan kategorikal (Azwar, 2010).

    HASIL PENELITIAN

    Responden dibagi ke dalam beberapa kategori menurut jenis kelamin dan status

    organisasinya. Berikut ini pada Tabel 2 merupakan jumlah (N) responden dan persentase

    fungsionaris LK UKSW berdasarkan jenis kelamin dan status organisasinya.

    Tabel 2. Data Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di LK UKSW

    Status Organisasi

    Jenis Kelamin

    Pimpinan Anggota

    Total (N) N % N %

    Laki-laki 30 42,86 42 37,17 72

    Perempuan 40 57,14 71 62,83 111

    Total 70 100 113 100 183

    Untuk menghitung persentase, penulis menggunakan rumus sebagai berikut :

    % =

    dengan n adalah angka yang akan dicari persentasenya, dan N adalah jumlah total kelompok.

    Dari jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini, diketahui bahwa terdapat

    42,86% fungsionaris laki-laki yang berstatus sebagai pimpinan LK, dan sebanyak 57,14%

    fungsionaris perempuan berstatus sebagai pimpinan LK. Sedangkan fungsionaris laki-laki

    yang berstatus sebagai anggota adalah sebanyak 37,17%, dan fungsionaris perempuan yang

    berstatus sebagai anggota adalah sebanyak 62,83% dari total keseluruhan responden.

    Berdasarkan data tersebut, penulis kemudian mengelompokkan responden menurut

    gaya manajemen konfliknya untuk mengetahui penyebaran gaya manajemen konflik pada

    mahasiswa yang tergabung di LK UKSW dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

    Gambar 2. Penyebaran gaya manajemen konflik di LK

    18

    32

    50 47

    36

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

  • 10

    Pada grafik batang di atas, dapat diketahui bahwa gaya compromising, adalah gaya

    yang paling banyak digunakan oleh fungsionaris LK, tercatat sebanyak 50 fungsionaris

    (27,32%) menggunakan gaya ini. Kemudian gaya manajemen konflik yang juga banyak

    digunakan oleh fungsionaris LK adalah avoiding sebanyak 47 fungsionaris (25,68%), diikuti

    dengan gaya accomodating sebanyak 36 fungsionaris (19,67%). Sedangkan fungsionaris LK

    yang menggunakan gaya collaborating adalah sebanyak 32 fungsionaris (17,49%), dan yang

    paling jarang digunakan oleh fungsionaris LK adalah gaya competing, yaitu 18 fungsionaris

    (9,84%).

    Untuk mengetahui lebih dalam mengenai variasi gaya manajemen konflik di LK,

    penulis mengelompokkan gaya manajemen konflik menurut jenis kelamin dan status

    organisasinya. Tabel 3 berikut ini merupakan sebaran jumlah dan persentase gaya manajemen

    konflik berdasarkan jenis kelamin dan status organisasinya.

    Tabel 3. Gaya manajemen konflik pada mahasiswa yang tergabung dalam LK UKSW

    Jenis Kelamin Status organisasi

    Gaya Manajemen konflik

    Laki-laki Perempuan Pimpinan Anggota

    N % N % N % N %

    Competing 6 8,33 12 10,81 7 10,00 11 9,73

    Collaborating 10 13,89 22 19,82 17 24,29 15 13,27

    Compromising 17 23,61 33 29,73 16 22,86 34 30,09

    Avoiding 20 27,78 27 24,32 14 20,00 33 29,20

    Accomodating 19 26,39 17 15,32 16 22,86 20 17,70

    Total 72 100 111 100 70 100 113 100

    Dari hasil pengelompokan gaya manajemen konflik menurut jenis kelaminnya,

    diketahui bahwa penggunaan gaya avoiding di antaranya terdapat 27,78% fungsionaris laki-

    laki dan 24,32% fungsionaris perempuan. Gaya compromising yang merupakan gaya yang

    paling banyak digunakan di LK, di antaranya terdapat 23,61% fungsionaris laki-laki, dan

    29,73% fungsionaris perempuan. Untuk gaya accomodating, terdapat 26,39% fungsionaris

    laki-laki dan 15,32% fungsionaris perempuan yang menggunakan gaya ini. Pada gaya

    collaborating, diketahui penggunanya adalah 13,89% fungsionaris laki-laki, dan 19,82%

    fungsionaris perempuan. Sedangkan fungsionaris yang cenderung menggunakan gaya

    competing, di antaranya sebesar 8,33% merupakan fungsionaris laki-laki, dan 10,81%

    merupakan fungsionaris perempuan. Untuk memperjelas perbandingan gaya manajemen

    konflik berdasarkan jenis kelamin, maka data tersebut dibuat dalam bentuk diagram pie

    seperti pada gambar 3 berikut ini.

  • 11

    Gambar 3. Gaya manajemen konflik di LK menurut jenis kelamin

    Selanjutnya, dari hasil pengelompokkan gaya manajemen konflik menurut status

    organisasinya, dapat diketahui bahwa fungsionaris LK yang menggunakan gaya

    collaborating terdiri dari pimpinan sebanyak 24,29% dan anggota sebanyak 13,27%. Pada

    penggunaan gaya compromising, diketahui sebanyak 22,86% pimpinan dan 30,09% anggota

    yang menggunakan gaya ini. Kemudian gaya avoiding, diketahui penggunaannya pada

    pimpinan sebanyak 20,00% dan pada anggota 29,20%. Untuk gaya accomodating, terdapat

    22,86% pimpinan dan 17,70% anggota yang menggunakannya. Sedangkan gaya competing,

    terdapat 10,00% pimpinan dan 9,73% anggota yang menggunakan gaya ini. Pada gambar 4

    berikut ini adalah perbandingan gaya manajemen konflik menurut status organisasinya.

    Gambar 4. Gaya manajemen konflik LK berdasarkan status organisasi

    Penulis kemudian menggabungkan kedua kategori tersebut ke dalam tabel tabulasi

    silang untuk mengetahui kaitan antara gaya manajemen konflik dengan kategori jenis

    kelamin dan status organisasi. Tabel 4 berikut ini merupakan tabel tabulasi silang untuk gaya

    manajemen konflik berdasarkan jenis kelamin dan status organisasinya.

    8,33%

    13,89%

    23,61% 27,78%

    26,39%

    Laki-laki

    Competing

    Collaborating

    Compromising

    Avoiding

    Accomodating

    10,81%

    19,82%

    29,73%

    24,32%

    15,32%

    Perempuan

    Competing

    Collaborating

    Compromising

    Avoiding

    Accomodating

    10,00%

    24,29%

    22,86%

    20,00%

    22,86%

    Pimpinan

    Competing

    Collaborating

    Compromising

    Avoiding

    Accomodating

    9,73%

    13,27%

    30,09% 29,20%

    17,70%

    Anggota

    Competing

    Collaborating

    Compromising

    Avoiding

    Accomodating

  • 12

    Tabel 4. Tabel tabulasi silang penyebaran gaya manajemen konflik LK

    Status organisasi

    Pimpinan Anggota

    Gaya manajemen konflik

    Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

    N % N % N % N %

    Competing 2 2,86 5 7,14 4 3,54 7 6,19

    Collaborating 5 7,14 12 17,14 5 4,42 10 8,85

    Compromising 7 10,00 9 12,86 10 8,85 24 21,24

    Avoiding 7 10,00 7 10,00 13 11,50 20 17,70

    Accomodating 9 12,86 7 10,00 10 8,85 10 8,85

    Total

    30 42,86 40 57,14 42 37,17 71 62,83

    N = 70 % = 100 N = 113 % = 100

    Dari tabel tabulasi di atas, dapat dilihat bahwa pada pimpinan, baik laki-laki maupun

    perempuan memiliki kecenderungan untuk menggunakan gaya collaborating (17,14%);

    accomodating (12,86%); dan compromising (12,86%). Berbeda dengan pimpinan, anggota

    yang berjenis kelamin laki-laki memiliki kecenderungan untuk menggunakan gaya avoiding

    (11,50%), sedangkan anggota yang berjenis kelamin perempuan cenderung menggunakan

    gaya compromising (21,24%), dan avoiding (17,70%).

    PEMBAHASAN

    Berdasarkan analisa data secara deskriptif, diketahui bahwa secara umum mahasiswa

    yang tergabung di LK UKSW cenderung menggunakan gaya compromising (27,32%) dan

    avoiding (25,68%). Maka dapat diketahui kondisi pengelolaan konflik compromising di LK

    muncul dalam bentuk seperti, banyak melakukan negosiasi dan tawar menawar (exchanging

    concessions), membagi peluang yang ada bersama lawan konflik, dan menggabungkan

    gagasan-gagasan yang ada antara pihak-pihak yang berkonflik. Sedangkan kondisi

    pengelolaan konflik avoiding di LK muncul dalam bentuk seperti, menunda atau menarik diri

    dari permasalahan, menghindari pembahasan isu yang rentan konflik dan mengancam, serta

    menghindari pihak-pihak tertentu yang sedang berkonflik. Gaya yang paling jarang

    digunakan oleh mahasiswa yang tergabung di LK adalah gaya competing (9,84%); diikuti

    dengan gaya collaborating (17,49%) dan accomodating (19,67%). Keadaan ini bisa

    diakibatkan oleh beberapa hal, beberapa di antaranya adalah jenis kelamin (Thomas &

    Schaubhut, 2008); Havenga, (2006) dan status organisasi (Farmer & Roth, 1998); Brewer,

    Mitchell dan Weber (2002); Slabbert (2004).

    Berdasarkan data yang diperoleh penulis, diketahui bahwa gaya manajemen konflik

    yang paling sering muncul pada fungsionaris laki-laki adalah avoiding (27,78%),

  • 13

    accomodating (26,39%), dan compromising (23,61%) karena berada di atas 20%. Sedangkan

    gaya yang sering muncul pada fungsionaris perempuan adalah compromising (29,73%),

    avoiding (24,32%), dan collaborating (19,82%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang

    dilakukan oleh Thomas et al. (2008); Havenga (2006); Weber et al. (2002), yang menjelaskan

    bahwa wanita cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang bersifat kooperatif

    seperti compromising dan avoiding. Tetapi pada fungsionaris laki-laki menunjukkan hasil

    yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Thomas et al. (2008); Webber et al. (2002);

    Havenga (2006); dan Wirawan (2010) menjelaskan bahwa pria cenderung menggunakan gaya

    manajemen konflik yang bersifat asertif yaitu competing dan collaborating. Sebaliknya, hasil

    penelitian ini menunjukkan bahwa competing adalah gaya yang paling jarang digunakan oleh

    fungsionaris laki-laki, diketahui penggunaannya adalah sebesar 8,33%. Broverman et al.

    (dalam Webber et al., 2002) menjelaskan bahwa penggunaan gaya yang bersifat asertif pada

    pria dikarenakan pria cenderung akan mengembangkan karakteristik maskulin seperti agresif,

    independen, kompetitif, dan asertif, sedangkan perempuan cenderung mengembangkan

    karakteristik feminin seperti emosional, sensitif, dan kooperatif. Lemahnya penggunaan gaya

    competing di LK baik pada fungsionaris laki-laki maupun perempuan diakibatkan oleh sistem

    organisasi di LK yang lebih mengutamakan kebebasan dalam berpendapat. Seperti yang

    tertuang dalam Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa (KUKM) Pasal 35 mengenai

    mekanisme pengambilan keputusan, yang mengatakan bahwa pengambilan keputusan di LK

    dilakukan atas dasar musyawarah untuk mufakat, apabila dengan musyawarah kesepakatan

    belum tercapai maka akan dilakukan lobi, jika lobi masih belum mencapai kesepakatan maka

    keputusan akan di ambil dengan pemungutan suara (KUKM UKSW, 2011). Mekanisme

    tersebut lebih mendukung penggunaan gaya colaborating dan compromising yang

    mengedepankan negosiasi dan win-win solution, daripada gaya competing yang berorientasi

    pada kekuasaan dan tidak adanya negosiasi.

    Faktor lain yang juga menyebabkan variasi gaya manajemen konflik dalam organisasi

    adalah status organisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang tergabung

    di LK dan menjabat sebagai pimpinan cenderung menggunakan gaya collaborating

    (24,29%); compromising (22,86%); dan accomodating (22,86%). Gaya compromising dan

    accomodating ini memiliki persentase yang sama pada kategori pimpinan LK, yang berarti

    kedua gaya ini sering muncul dalam usaha penyelesaian konflik di tingkat pimpinan. Lain

    halnya dengan penyebaran gaya manajemen konflik pada anggota, gaya yang paling sering

    muncul adalah compromising (30,09%) dan avoiding (29,20%). Hasil tersebut sesuai dengan

    pernyataan Slabbert (2004); Weber (2002); Thomas, Thomas & Schaubhut (2008); dan

  • 14

    Wirawan (2010) yang menjelaskan bahwa individu yang tergabung dalam lower

    organizational status cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang kooperatif

    seperti compromising dan avoiding karena tindakannya didasarkan pada otoritas dan

    kepatuhan. Hasil yang berbeda terdapat pada penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa

    individu yang tergolong upper organizational status cenderung menggunakan gaya yang

    asertif seperti competing dan collaborating. Sebaliknya, hasil penelitian ini menunjukkan

    bahwa gaya competing merupakan gaya yang paling jarang digunakan di aras pimpinan.

    Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 14 & 15 Agustus

    2014, diketahui bahwa lemahnya penggunaan gaya competing di aras pimpinan diakibatkan

    karena LK merupakan organisasi non profit yang memberikan beban kerja dan tanggung

    jawab yang besar kepada anggota dalam aktivitas organisasi. Sehingga pimpinan LK

    berusaha tidak menggunakan gaya competing demi menjaga hubungan baik dengan anggota,

    menciptakan iklim organisasi yang kondusif, dan meningkatkan kinerja anggota.

    Penyebaran gaya manajemen konflik di LK dapat dilihat dengan lebih rinci setelah

    penulis mengklasifikasikan setiap gaya dengan menggabungkan kedua kategori yaitu jenis

    kelamin dan status organisasi. Dari penggabungan tersebut diketahui bahwa baik pimpinan

    laki-laki maupun perempuan cenderung menggunakan gaya collaborating, compromising,

    dan accomodating dalam usaha-usaha penyelesaian konfliknya. Sedangkan pada anggota,

    baik laki-laki maupun perempuan memiliki kecenderungan untuk menggunakan gaya

    avoiding dan compromising. Dari hasil tersebut terlihat jelas bahwa pengelolaan konflik di

    tingkat pimpinan sudah tepat sasaran, hanya saja di tingkat anggota masih perlu lebih

    ditingkatkan lagi penggunaannya. Penulis mencoba mengumpulkan informasi dengan

    kembali mewawancarai beberapa responden dalam penelitian ini untuk mengetahui gambaran

    dari pengelolaan konflik LK antara pimpinan dan anggota, yang terjadi dalam kurun waktu

    periode 2013-2014. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, diketahui terdapat

    beberapa hal yang mengindikasikan penggunaan gaya manajemen konflik yang tidak selaras

    antara pimpinan dan anggota. Beberapa di antaranya adalah, (1) seringnya terjadi

    kesalahpahaman antara fungsionaris LK dan panitia terkait dengan pemahaman konsep

    kegiatan mahasiswa, yang berakibat pada perubahan konsep keseluruhan kegiatan; (2)

    keterlambatan dalam pengurusan proposal kegiatan mahasiswa oleh pengurus kegiatan, yang

    pada akhirnya menghambat kinerja fungsionaris LK; (3) defisit anggaran kegiatan mahasiswa

    yang berujung pada penggunaan uang pribadi mahasiswa; (4) dan menurunnya minat

    mahasiswa dalam berorganisasi di LK.

  • 15

    Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa pada poin 1 dan 2

    menunjukkan adanya penggunaan gaya manajemen konflik collaborating dan accomodating

    di aras pimpinan. Penggunaan gaya collaborating terlihat dari persetujuan fungsionaris LK,

    untuk merubah konsep kegiatan, dengan maksud mereduksi konflik dengan anggota atau

    panitia, supaya tujuan organisasi tetap tercapai namun tidak merusak hubungan antaranggota.

    Selanjutnya penggunaan gaya manajemen konflik accomodating terlihat dari keputusan

    fungsionaris LK untuk memberikan toleransi waktu pada anggota apabila terdapat

    keterlambatan dalam pengurusan proposal kegiatan. Pemberian toleransi waktu sebenarnya

    merugikan fungsionaris LK karena akan menghambat kinerja berikutnya, namun tetap

    dilakukan dengan maksud membantu anggota menyelesaikan tugasnya. Pada poin 2 juga

    terlihat penggunaan gaya avoiding oleh anggota, mengingat keterlambatan ini terjadi karena

    lemahnya koordinasi antara pimpinan dan anggota.

    Selanjutnya, poin 3 dan 4 menunjukkan adanya penggunaan gaya manajemen konflik

    compromising pada pimpinan dan anggota, serta avoiding pada anggota. Penggunaan uang

    pribadi dalam kegiatan mahasiswa menunjukkan bahwa fungsionaris LK baik pimpinan

    maupun anggota tetap ingin menyelesaikan persoalan namun dengan beban yang sama,

    sehingga hubungan baik antaranggota tetap terjalin. Apabila defisit anggaran hanya ditangani

    oleh satu pihak saja, tentu saja akan memberatkan pihak tersebut untuk menggunakan uang

    pribadinya. Bagi fungsionaris LK, kondisi tersebut menjadi salah satu pengalaman yang

    kurang menyenangkan, yang berakibat pada menurunnya minat fungsionaris LK untuk

    kembali bertugas pada periode selanjutnya. Situasi tersebut menunjukkan penggunaan gaya

    manajemen konflik avoiding, yang menyebabkan LK diisi oleh mahasiswa yang belum

    memiliki pengalaman dalam berorganisasi.

    Kecenderungan fungsionaris LK yang berjenis kelamin laki-laki dalam penggunaan

    gaya manajemen konflik yang bersifat kooperatif (avoiding dan accomodating) merupakan

    temuan baru terhadap penelitian gaya manajemen konflik dalam kaitannya dengan jenis

    kelamin. Hal ini berarti fungsionaris laki-laki dan perempuan di LK UKSW memiliki

    kecenderungan gaya manajemen konflik yang sama-sama bersifat kooperatif. Apabila

    penggunaan gaya manajemen konflik antara laki-laki dan perempuan berbeda, sesungguhnya

    tidak memberikan implikasi secara langsung pada organisasi, namun, implikasi secara

    langsung akan dialami individu dalam organisasi tersebut (Thomas, Thomas & Schaubhut

    2008). Seperti yang disampaikan Amantullah (dalam Thomas et. al., 2008), rendahnya skor

    wanita dalam penggunaan gaya manajemen konflik asertif berdampak pada kecenderungan

    wanita akan turnover, segan untuk bernegosiasi, dan sering berada pada posisi no-win

  • 16

    situation yang tentunya kurang menguntungkan bagi wanita, karena seringkali berakhir pada

    berkurangnya kesempatan untuk dapat menduduki posisi penting di organisasi.

    Kecenderungan gaya manajemen konflik yang sama antara laki-laki dan perempuan di LK

    justru berdampak pada terbukanya peluang yang sama bagi fungsionaris laki-laki maupun

    perempuan dalam kehidupan organisasi. Hal tersebut terlihat dari fungsionaris laki-laki yang

    menjabat sebagai pimpinan sebanyak 42,86% dan fungsionaris perempuan sebanyak 57,14%.

    Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa fungsionaris LK yang berstatus sebagai

    pimpinan memiliki kecenderungan gaya yang bersifat asertif (collaborating, compromising &

    accomodating). Thomas (2002) menjelaskan bahwa keuntungan penggunaan gaya yang

    bersifat asertif (collaborating & compromising) khususnya di aras pimpinan, dapat

    meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, meningkatkan kreativitas, dan memperkuat

    hubungan antaranggota. Dalam penggunaan gaya ini, diperlukan interpersonal skills, situasi

    organisasi yang kondusif, keterbukaan terhadap ide-ide baru dan kepercayaan antaranggota

    organisasi (Thomas, 2002). Kemudian, fungsionaris LK yang menjabat sebagai anggota

    cenderung menggunakan gaya yang kooperatif (compromising & avoiding). Oleh karena itu

    melalui penelitian ini penulis menyarankan pada pimpinan LK untuk tetap mempertahankan

    penggunaan gaya manajemen konflik collaborating, compromising & accomodating karena

    dinilai sudah efektif dan tepat sasaran. Namun pada tingkat anggota, penggunaan gaya

    manajemen konflik perlu lebih ditingkatkan lagi meningat penggunaan gaya avoiding dinilai

    merugikan organisasi, karena dapat merusak hubungan antaranggota, memperbesar konflik

    ketika tidak segera terselesaikan, dan menurunkan mutu pengambilan keputusan (Thomas,

    2002). Kecenderungan anggota LK dalam penggunaan gaya compromising dan avoiding

    disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu, fungsionaris LK yang berstatus sebagai

    anggota pada periode 2013-2014 merupakan mahasiswa yang belum memiliki pengalaman di

    LK, selain itu terbatasnya pelatihan gaya manajemen konflik dan problem solving juga

    menyebabkan anggota LK kurang mendapat pengetahuan mengenai cara-cara pengelolaan

    konflik.

    Dari paparan di atas, maka penulis menyarankan untuk diadakannya pelatihan gaya

    manajemen konflik agar dapat membekali fungsionaris LK khususnya anggota, terkait

    dengan teknik-teknik penyelesaian konflik serta untuk mengasah kemampuan gaya

    manajemen konflik fungsionaris LK. Untuk itu, pihak-pihak yang menaungi LK UKSW

    seperti Pembantu Rektor III, Koorbidkem dan segenap jajaran fungsionaris LK UKSW dapat

    bekerjasama untuk menyelenggarakan pelatihan gaya manajemen konflik, problem solving

    dan perencanaan strategis kepada fungsionaris LK UKSW. Pelatihan yang sudah ada, seperti

  • 17

    Latihan Menengah Kepemimpinan Mahasiswa (LMKM) dan Latihan Lanjutan

    Kepemimpinan Mahasiswa (LLKM) dinilai masih belum mampu menjawab kebutuhan

    fungsionaris LK terkait dengan kemampuan mengelola konflik, karena pada pelatihan

    tersebut pembekalan gaya manajemen konflik hanya diberikan dalam satu kali pelatihan

    dengan durasi 120 menit. Pelatihan gaya manajemen konflik yang diberikan sebaiknya berisi

    tentang gambaran alternatif gaya manajemen konfik beserta kelebihan dan kekurangan dari

    masing-masing gaya, penerapan gaya manajemen konflik pada situasi yang tepat, dan skill

    yang diperlukan dalam penggunaan gaya tersebut. Thomas (2002) menyatakan bahwa

    penggunaan gaya manajemen konflik dapat sangat efektif apabila individu mengetahui kapan

    penggunaan yang tepat pada masing-masing gaya, serta memiliki ketrampilan yang cukup

    untuk menerapkan setiap gaya. Penelitian yang dilakukan oleh Abubakar (2008)

    menyimpulkan bahwa pemberian pelatihan gaya manajemen konflik dapat meningkatkan

    kinerja individu secara signifikan.

    Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan program magang

    fungsionaris LK dengan maksimal. Narasumber yang ditemui oleh penulis menyampaikan

    bahwa hingga akhir periode 2013-2014, program magang fungsionaris LK belum dilakukan

    secara sistematis dan terarah, sehingga seusai mengikuti program magang, mahasiswa masih

    belum memahami fungsi dan perannya sebagai fungsionaris LK. Hal ini dikarenakan belum

    adanya ketentuan maupun kurikulum yang mengatur tentang program magang, sehingga LK

    UKSW belum memiliki acuan untuk materi pembekalan pada program magang. Program

    magang perlu untuk dimaksimalkan mengingat calon fungsionaris LK yang belum memiliki

    pengalaman organisasi membutuhkan proses penyesuaian terhadap kehidupan berorganisasi

    di LK UKSW. Pada pelaksanaan program magang, sebaiknya calon fungsionaris LK dibekali

    dengan gambaran konflik organisasi dan persoalan-persoalan yang kerap muncul di LK, serta

    alternatif gaya manajemen konflik yang dapat dilakukan.

    Kekurangan dalam penelitian ini antara lain yaitu, sampel dalam penelitian ini terbatas

    pada mahasiswa yang tergabung di LK UKSW, yang tentunya memiliki iklim organisasi

    yang berbeda dengan organisasi lainnya sehingga hasil penelitian ini tidak dapat

    digeneralisasikan pada organisasi lainnya, terutama organisasi yang berorientasi pada profit.

    Penelitian ini tidak mengukur kinerja individu, sehingga efektivitas setiap gaya manajemen

    konflik tidak dapat ditaksir. Pada saat pengambilan data, penulis kurang memperhatikan

    situasi lapangan saat partisipan sedang mengisi alat ukur, sehingga banyak ditemukan

    responden yang hasilnya tidak konsisten saat diujikan kembali. Selanjutnya, alat ukur yang

    digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen TKI yang telah diterjemahkan ke dalam

  • 18

    Bahasa Indonesia. Pada saat proses penerjemahan, penulis masih belum berhasil untuk

    sepenuhnya mengkaitkan dengan konteks organisasi mahasiswa khususnya LK UKSW,

    sehingga beberapa item tetap sulit dipahami meskipun telah diterjemahkan ke dalam Bahasa

    Indonesia. Pada akhirnya, penelitian ini hanya menggambarkan penggunaan gaya manajemen

    konflik LK pada satu masa periode saja (2013-2014), yang tentunya mengalami jenis konflik

    yang berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini tidak

    dapat digunakan untuk memprediksi gambaran pengelolaan konflik di LK pada periode

    selanjutnya. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui

    perkembangan penggunaan gaya manajemen konflik pada fungsionaris LK UKSW. Bagi

    peneliti selanjutnya, diharapkan untuk lebih mendalami lagi fenomena yang ada dengan

    menambahkan kategori seperti pengalaman organisasi, usia, tipe kepribadian, maupun

    karakteristik perkerjaan. Selain itu, penerjemahan alat ukur TKI dapat lebih disesuaikan

    dengan karakteristik organisasi yang menjadi partisipan penelitian.

  • 19

    DAFTAR PUSTAKA

    Abubakar, S. B. A. (2008). Pengaruh Pelatihan Manajemen Konflik Pada Kepala Ruangan

    Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit DR. H.

    Marzoeki Mahdi Bogor. Universitas Indonesia. Tesis. Tidak Diterbitkan.

    Ahmed, I., Nawaz, M, Muhammad., Shaukat Z, Muhammad., Usman, A. (2010). Personality

    Does Affect Conflict Handling Style: Study of Future Manager. International Journal of

    Trade, Economics and Finance, 1, 268-270.

    Azwar, S. (2008). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

    Azwar, S. (2011). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

    Bercovitch, J. (2011). Conflict and conflict management in organizations: A framework

    analysis. Journal of Conflict Resolution, 12, 104-123.

    Brewer, N., Mitchell, P. & Weber, N. (2002). Gender role, organizational status and conflict

    management style. The International Journal of Conflict Management,13, 78-94.

    De Dreu, W. C., & Gelfand, J.M. (2008). The Psychology of conflict and conflict

    management in organizations. New York : Taylor & Francis Group, LLC.

    Endarmoko, E. (2006). Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

    Farmer, M.S. & Roth, J. (1998). Conflict handling behavior in Work Groups : Effects of

    Groups Structure, Decision Processes and Time. Small Group Research Publication, Inc.

    29 (6), 669-713.

    Goel, D. & Khan, I. (2012). Predictive role of personality on conflict management strategies

    of individuals in IT sector: Indian perspective. New Delhi : Departement of Social Work.

    Havenga, W. (2006). Relationship between gender, age status differences and conflict

    management style in small bussines. Johannesburg, South Africa : Departement of

    Human Resource Management, University of Johannesburg.

    Huan, J. L. & Yaznadifard, R. (2012). The Difference of conflict management styles and

    conflict resolution in workplace. Bussines & Entrepreneurship Journal, 1(1), 141-155.

    Ivancevich, J.M., Konopaske, R. & Matteson, M.T. (2005). Organizational behavior and

    management. New York : McGraw-Hill International Edition.

    Juanita, S. (2002). Manajemen konflik dalam suatu organisasi. USU. Digital Library.

    Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. (2013). Retrieved October 13, 2013 from

    http://kbbi.web.id .

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (2013).

    Mendikbud: Mahasiswa menjadi prioritas utama. Retrieved from

    http://www.dikti.go.id/id/2013/03/01/mendikbud-mahasiswa-menjadi-prioritas-utama/

    http://www.dikti.go.id/id/2013/03/01/mendikbud-mahasiswa-menjadi-prioritas-utama/

  • 20

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (2002).

    Peraturan Perundangan: Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik

    dalam Kehidupan Kampus. Retrieved from http://www.dikti.go.id/id/peraturan-

    perundangan/files/atur/SKDirjen26-DIKTI-Kep-2002LaranganOrganisasiKampus.docx

    Kusnadi, A. (2009). Management for a great life. Jakarta : Elex Media Komputindo.

    Lee, L.K. (2008). An Examination between the relationship of conflict management style and

    employees satisfaction. International Journal of Business and Management. 3 (9), 11-

    25.

    Lewis, T.C. (1997). Conflict management as the essence of leadership: An Update. The

    Journal of Leadership & Organizational Studies, 4 (3), 20-31.

    Luthans, F. (2011). Organizational behavior: an evidence-based approach. 12th Edition.

    New York : McGraw-Hill Companies, Inc.

    Notosusanto, N. (1985). Menegakkan wawasan almamater. Jakarta: UI-Press

    Rahim, A.M. (2001). Managing conflict in organization. London: Greenwood Publishing

    Group , Inc.

    Robbins, P.S. (2002). Essentials of organizational behavior. New Jersey : Pearson Education,

    Inc.

    Robbins, P.S. & Judge A.J. (2008). Perilaku organisasi. Buku 2. Jakarta : Salemba Empat.

    Schaubhut, A. N. (2007). Technical brief for the Thomas-Kilmann conflict mode instrument:

    Description of The Update Normative Sample and Implications For Use. California :

    CPP Research Departement, Inc.

    Slabbert, A.D. (2004). Conflict management styles in traditional organisations. The Social

    Sciene Journal, 41, 83-92.

    Sugiyono (2012). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta

    Sugiyono (2013). Statistika untuk penelitian. Bandung : Alfabeta.

    Thomas, K. W. & Kilmann, H. R. (2007). Thomas-Kilmann conflict mode instrument.

    Mountain View, California: CPP, Inc.

    Thomas, K. W. (2002). Introduction to conflict management. Mountain View, California:

    CPP, Inc.

    Thomas, K. W. & Thomas, F. G (2008). Conflict style of men and wommen at six

    organization levels. International Journal of Conflict Management, 14, (2), 1-38.

    Universitas Kristen Satya Wacana. 2011. Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa Bab III

    Tahun 2011 Tentang Lembaga Kemahasiswaan. KUKM 2011. Salatiga.

    http://www.dikti.go.id/id/peraturan-perundangan/files/atur/SKDirjen26-DIKTI-Kep-2002LaranganOrganisasiKampus.docxhttp://www.dikti.go.id/id/peraturan-perundangan/files/atur/SKDirjen26-DIKTI-Kep-2002LaranganOrganisasiKampus.docx

  • 21

    Wahyudi. (2011). Manajemen konflik dalam organisasi. Bandung : Alfabeta, cv.

    Wirawan. (2010). Konflik dan manajemen konflik: Teori, aplikasi dan penelitian. Jakarta:

    Salemba Humanika.

    Winardi (2007). Manajemen konflik: konflik perubahan dan pengembangan. Bandung : CV.

    Mandar Maju