24
BAB I PENDAHULUAN Fungsi utama sistem saraf adalah mendeteksi, menganalisis, dan menyalurkan informasi. Informasi dikumpulkan oleh sistem sensorik, diintegrasikan oleh otak, dan digunakan untuk menghasilkan sinyal kejalur motorik dan autonom untuk mengontrol gerakan serta fungsi organ viseral dan endokrin. Berbagai kegiatan ini dikontrol oleh neuron, yang saling berhubungan untuk membentuk jaringan sinyal yang membentuk sistem motorik dan sensorik. Selain neuron, sistem saraf mengandung sel neuroglia yang memiliki beragam fungsi imunologis dan penunjang serta memodulasi aktivitas neuron. 1 Sindrom Guillain-Barre, juga dikenal dengan nama poli-neuritis infeksiosa atau polineuritis idiopatik akut, merupakan bentuk polineuritis yang akut, 1

GBS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat neurologi

Citation preview

Page 1: GBS

BAB I

PENDAHULUAN

Fungsi utama sistem saraf adalah mendeteksi, menganalisis, dan

menyalurkan informasi. Informasi dikumpulkan oleh sistem sensorik,

diintegrasikan oleh otak, dan digunakan untuk menghasilkan sinyal kejalur

motorik dan autonom untuk mengontrol gerakan serta fungsi organ viseral dan

endokrin. Berbagai kegiatan ini dikontrol oleh neuron, yang saling berhubungan

untuk membentuk jaringan sinyal yang membentuk sistem motorik dan sensorik.

Selain neuron, sistem saraf mengandung sel neuroglia yang memiliki beragam

fungsi imunologis dan penunjang serta memodulasi aktivitas neuron.1

Sindrom Guillain-Barre, juga dikenal dengan nama poli-neuritis infeksiosa

atau polineuritis idiopatik akut, merupakan bentuk polineuritis yang akut,

progresif cepat, serta berpotensi fatal dan menyebabkan kelemahan otot serta

gangguan sensoris.2

Secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan

arefleksia. Secara patologi SGB memiliki 2 pola gambaran patologi, yaitu: bentuk

demielinisasi dan aksonopati. Demielinisasi segmental pada SGB dihubungkan

dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi.3

Sindrom ini dapat terjadi pada segala usia meskipun paling sering ditemukan

pada usia antara 30-50 tahun. SGB dialami laki-laki dan perempuan sama

seringnya. Kesembuhan terjadi spontan dan komplet pada 95% pasien sekalipun

1

Page 2: GBS

gangguan motorik atau refleks yang ringan dapat menetap pada kaki dan tungkai.

Prognosis sindrom ini paling baik jika keluhan dan gejala sudah menghilang

sebelum 15 hingga 20 hari sesudah awitan penyakit.2

Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang

cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan

penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada

beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya

mempunyai prognosa yang baik.4

Suatu penyakit dianggap sebagai auto-imunologik jika faktor persyaratan di

bawah ini terpenuhi.8

Lesi yang mendasari penyakit mengandung unsur-unsur respon imunologik

yang terdiri dari respon antibody dan respon CMI (cel-mediated immunity) 8

1. Sel plasma mengandung antibodi

2. B-sel dan T sel harus terbukti aktif melaksanakan respon imunologik

3. Limfoblas serta fagosit harus ikut melengkapi gambaran radang

setempat.

Antibody harus ditemukan dan pembuatannya harus ditiru, penyakitnya

harus dapat ditularkan kepada binatang percobaan dengan pemasukan

limfosit yang berasal dari penderita, faktor yang menghilangkan toleransi

imunologik harus ada, serta masa bebas gejala yang merupakan masa

berlangsungnya proses penyerapan substansi auto-antigen dan pembuatan

auto-antibody harus ada.8

2

Page 3: GBS

Adapun penyakit-penyakit susunan saraf yang memenuhi syarat tersebut di

atas ialah Ensefalomielitis diseminata Akuta, Skeloris multipleks,

Polineuritis akuta postinfeksiosa (sindrom Guillain-Barre-Strohl), Miastenia

gravis, dan Polimielitis.9

3

Page 4: GBS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Sindrom Guillain-Barre (poliradikuloneuropati demielinasi inflamatorik

akut) merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai

dengan kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan

cepat menjalar ke otot-otor proksimal. Terjadi demielinasi segmental dan sel-sel

inflamasi kronik yang mengenai radiks saraf serta saraf perifer. Kelainan ini

dimediasi oleh imun dan sering terjadi sesudah infeksi virus (sitomegalovirus,

Virus Epstein Barr) atau campylobacter jejuni.5

II.2 Struktur dan Fungsi Normal Sistem saraf

Fungsi utama neuron adalah menerima, memadukan, dan menyalurkan

informasi ke sel lain. Neuron terdiri dari tiga bagian: dendrit, yaitu tonjolan

memanjang yang menerima informasi dari lingkungan atau dari neuron lain;

badan sel, yang mengandung nukleus dan akson, yang panjangnya dapat mencapai

1 meter dan menghantarkan impuls ke otot, kelenjar, atau neuron lain. Sebagian

besar neuron bersifat multipolar, yang mengandung satu akson dan beberapa

dendrit. Neuron bipolar memiliki satu dendrit dan satu akson dan ditemukan di

ganglion cochleare dan vestibulare, retina, serta mukosa olfaktorik. Ganglion

sensorik spinal mengandung neuron-neuron pseudounipolar yang memiliki suatu

4

Page 5: GBS

tonjolan yang keluar dari badan sel dan terbagi menjadi dua cabang, satu

memanjang ke medula spinalis dan yang lain memanjang ke perifer. Akson dan

dendrit biasanya bercabang-cabang secara ekstensif di bagian ujungnya.

Percabangan dendrit dapat sangat rumit, dengan akibat bahwa satu neuron dapat

menerima ribuan masukan. Setiap cabang akson berakhir di sel berikutnya di

sinaps, yakni suatu struktur khusus untuk menyalurkan informasi dari akson ke

otot, ke kelenjar atau ke neuron lain. Sinyal merambat secara elektris di

sepanjang akson.1

Mielinisasi meningkatkan kecepatan hantaran potensial aksi. Mielin

terutama terdiri dari lipid. Selaput mielin berfungsi sebagai insulator, sperti karet

yang membungkus kabel listrik, untuk mencegah arus bocor menembus bagian

membran yang bermielin. Mielin sebenarnya bukan bagian dari sel saraf tetapi

terdiri dari sel-sel pembentuk mielin terpisah yang membungkus diri mengelilingi

akson seperti kue bolu gulung. Hilangnya mielin memperlambat transmisi impuls

pada neuron yang terkena. Pembentukan jaringan parut berkaitan dengan

kerusakan mielin dapat juga merusak akson dibawahnya yang semakin

menggangu perambatan potensial aksi.7

Susunan saraf mempunyai reaksi imunologik terhadap antigen-antigen yang

berasal dari susunan saraf itu sendiri. Autoantigenik neural ini tidak patologik

selama toleransi imunologik masih ada. Tetapi karena suatu sebab, toleransi

imunologik itu dapat dihilangkan dan timbullah proses auto-imunopatologik yang

mengakibatkan timbulnya kerusakan jaringan. Apa yang dinamakan sel T itu

ternyata sebuah limfosit yang mempunyai struktur kimiawi lipopolisakarida.

5

Page 6: GBS

Menurut teori yang diuraikan maka beberapa penyakit nerologik disebabkan oleh

proses imunopatologik dan auto-imunopatologik. Namun demikian yang

dianggap imunologik atau autoimunologik dapat diperbaiki dengan farmaka

yang dinamakan imunosupresor.8

II.3 Epidemiologi

Guillain-Barré Syndrome merupakan penyakit neurologi yang cukup jarang,

angka insidensi GBS dari 2 penelitian epidemiologi terdahulu dapat dilihat pada

penelitian yang dilakukan Ress, dkk (1998) dengan metode dan subyek yaitu

prospektif 1 tahun, 97 pasien didiagnosa GBS dimana angka insiden per 100.000

penduduk adalah 1,2 dan peneltian yang dilakukan Casmiro dkk (1998) dengan

metode dan subyek yaitu prospektif studi 2 tahun, 87 pasien didiagnosa GBS,

dimana angka insiden per 100.000 penduduk adalah 1,1.4

Penelitian yang dilakukan oleh Ress, dkk (1998) menunjukkan bahwa rasio

laki-laki dan perempuan adalah 0.8/1. Rata-rata umur (SD) adalah 47.7 tahun

(19.5) dan berkisar antara 5 sampai 85 tahun. Sementara penelitian Casmiro, dkk

(1998) menunjukkan bahwa puncak insidensi adalah pada usia 60-69 tahun

dengan angka insidensi 2,34/100.000 penduduk.3 Data di Indonesia mengenai

gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa

insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun)

dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian

di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan

6

Page 7: GBS

usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi

pergantian musim hujan dan kemarau.4

II.4 Etiologi

Penyebab sindrom Guillein-Barre sampai saat ini belum diketahui

(idiotaptik) dan termasuk dalam kelompok penyakit autoimun. Akibat suatu

infeksi atau kedaan tertentu yang mendahului GBS akan timbul autoantibodi atau

imunitas seluler terhadap jaringan saraf perifer.9

II.5 Patofisiologi

Manifestasi patologis yang utama adalah demielinisasi segmental saraf

perifer. Keadaan ini menghalangi transmisi impuls elektris yang normal

disepanjang radiks saraf sensoris. Karena sindrom ini menyebabkan inflamasi dan

perubahan degeneratif pada radiks saraf posterior (sensoris) maupun anterior

(motorik), maka tanda-tanda gangguan sensoris dan motorik akan terjadi secara

bersamaan.2

Mekanisme imun seluler dan humoral tampak ikut berperan, lesi inflamasi

awal akan menyebabkan infiltrasi limfosit dan makrofag pada komponen mielin.

Pada gambaran dengan mikroskop elektron tampak bahwa makrofag merusak

selubung mielin. Faktor imun humoral seperti antibodi, antimielin dan

komplemen ikut berperan dalam proses opsonisasi makrofag pada sel Schwann.

Proses ini dapat diamati baik pada radiks saraf, saraf tepi, dan saraf kranialis.

Sitokin ikut pula berperan, hal ini ditunjukkan dengan korelasi klinik Tumor

Necrotic Factor (TNF) dengan beratnya kelainan elektrofisiologik. Respon imun

7

Page 8: GBS

pada SGB dipercaya langsung menyerang komponen glikolipid dari aksolemma

dan selubung mielin. Antibodi pada saraf perifer akan mengaktivasi sistem

komplemen dan makrofag, sehingga akan muncul sitotoksisitas seluler yang

tergantung pada antibodi terhadap komponen mielin dan aksolemma. Kerusakan

selubung mielin akan menyebabkan demielinisasi segmental, yang menyebabkan

menurunnya kecepatan hantar saraf dan conduction block. SGB tipe aksonal

disebut pula sebagai Acute Motor Aaxonal Neuropathy (AMAN), yang terutama

ditandai oleh kerusakan aksonal yang nyata, dan ditunjukkan dengan Compound

Muscle Action Potential (CMAP) distal yang rendah.3

Kejadian SGB sering didahului oleh hal-hal berikut: (1) infeksi tractus

respiratorius atau tractus gastrointestinal (pada2/3 kasus), (2) vaksinasi, (3)

malignancy, (4) obat-obatan, dan (5) kehamilan. Mekanisme yang mendasari

munculnya SGB adalah respon abnormal sel T akibat infeksi. Sel T CD4 helper

berperan banyak, bersama dengan antigen GM1 gangliosida.3

Temuan histopatologik dominan adalah infiltrasi saraf perifer oleh

makrofag dan limfosit reaktif, dan demielinisasi segmental. CSS biasanya

memperlihatkan peningkatan kandungan protein, tetapi reaksi selnya minimal.6

II.6 Tanda dan Gejala

Gejala timbul secara progresif dan meliputi:2

1. Kelemahan otot yang simetris (tanda neurologi utama) dan muncul pertama-

tama pada tungkai (tipe asenden) yang kemudian meluas ke lengan serta

mengenai nervus fasialis dalam 24 hingga 72 jam akibat terganggunya

transmisi impuls melalui radiks saraf anterior

8

Page 9: GBS

2. Kelemahan otot yang pertama-tama terasa pada lengan (tipe descenden) atau

terjadi sekaligus pada lengan dan tungkai akibat terganggunya transmisi impuls

melalui radiks syaraf anterior.

3. Tidak terdapat kelemahan otot atau hanya mengenai nervus fasialis (pada

bentuk yang ringan).

4. Parestesia yang kadang-kadang mendahului kelemahan otot, tetapi akan

menghilang dengan cepat; keluhan ini terjadi karena terganggunya transmisi

impuls melalui radiks syaraf dorsalis.

5. Diplegia yang mungkin disertai oftalmoplegia (paralisis okuler) akibat

terganggunya transmisi impuls melalui radiks saraf motorik dan terkenanya

nervus kranialis III,IV, serta VI.

6. Disfagia atau Disartria dan yang lebih jarang terjadi, kelemahan otot yang

dipersarafi nervus kranialis XI (nervus aksesorius spinalis)

7. Hipotonia dan arefleksia akibat terganggunya lengkung refleks.

Penegakan diagnosa SGB, yaitu secara klinis, berbagai pemeriksaan penunjang

lain (LP, seroimunologi, dan neurofisiologi) yang dapat membantu dalam

penegakan diagnosa.

II.7 Diagnosis

Diagnosis GSB berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis yang spesifik,

disosiasi sito albuminik dan kelainan elektrofisiologis (EMG).9

Kriteria klinik yang dipakai secara luas dalam diagnosa SGB adalah kriteria

Asbury, yaitu sebagai berikut:3

9

Page 10: GBS

Kriteria diagnosis

a. Kriteria yang harus ada

1. Kelemahan progresif lebih dari 1 anggota gerak

2. Hiporefleksia atau arefleksia

b. Menunjang diagnosa

1. Progresivitas sampai 4 minggu

2. Relatif simetris

3. Gangguan sensoris ringan

4. Katerlibatan saraf kranial (paling sering N VII)

5. Perbaikan dalam 4 minggu

6. Disfungsi autonom ringan

7. Tanpa demam

8. Protein LCS meningkat setelah 1 minggu

9. Leukosit LCS <10/mm3

10. Pelambatan hantar saraf

c. Meragukan diagnosa

1. Asimetris

2. Disfungsi BAB dan BAK

3. Leukosit LCS >50/mm2

4. Gangguan sensoris berbatas nyata

d. Mengeksklusikan diagnosa

1. Gangguan sensoris saja

2. Terdiagnosa sebagai polineuropati lain

10

Page 11: GBS

II.8 Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium9

Gambaran Laboratorium yang paling menonjol adalah peninggian kadar

protein dalam cairan otak > 0,5 mg % Tanpa diikuti peningkatan jumlah

sel, Hal ini disebut disosiasi sitoalbuminik. Peninggian kadar protein

dalam cairan otak dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit, dan

mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear kurang

dari 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak

ditemukan peningkatan jumlah protein dalam sel. Imunoglobulin bisa

meningkat, bisa timbul hiponatremi pada beberapa penderita yang

disebabkan oleh SIADH.

2. Pemeriksaan Elektromiografi9

Gambaran penderita GBS antara lain 1) Kecepatan hantaran saraf motorik

dan sensorik melambat, 2) Distal motor latensi memanjang, 3) Kecepatan

hantaran gelombang F melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen

proksimal dan radiks saraf.

II.9 Penatalaksanaan

Penanganan yang pertama bersifat supportif meliputi intubasi endotrakea

atau trakeotomi jika gangguan pada otot-otot pernapasan membuat pasien sulit

mengeluarkan dahak.2

Kaji dan atasi disfungsi pernafasan. Jika otot pernapasan melemah, lakukan

perekaman kapasitas vitas secara serial. Gunakan respirometer dengan mouthpiece

atau masker untuk bedside testing.2

11

Page 12: GBS

Lakukan pemeriksaan gas darah arteri. Karena penyakit neuromuskular

menimbulkan hipoventilasi disertai hipoksemia dan hiperkapnia, awasi tekanan

parsial oksigen arterial (PaO2) yang bila berada dibawah 70 mmHg menandakan

gagal napas.2 Pilihan terapi farmakologi yang direkomendasikan adalah sebagai

berikut:3

Pertukaran plasma (plasma exchange) bermanfaat bila dikerjakan dalam

waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per

exchange adalah 40-50 ml/Kg. Dalam waktu 7-14 hari, dilakukan 3-5 kali plasma

exchange.9

Pengobatan dengan menggunakan imunoglubulin dapat bermanfaat untuk

GBS. Dosis imunoglobulin 0,4 gr/kg selama lima hari.9

Pemakaian kortikosteroid pada GBS masih diragukan manfaatnya, namun

ada yang berpendapat bahwa pemakaian kortikosteroid pada fase dini mungkin

bermanfaat.9

Penggunaan terapi imunoglobulin (Ig) relatif lebih sederhana dan lebih

mudah dibandingkan dengan plasma exchange. Kajian yang dilakukan oleh Bril,

dkk (1999) menunjukkan bahwa penggunaan terapi Ig pada pasien SGB sama

efektifnya dengan plasmaparesis, apabila terapi diberikan dalam 2 minggu pasca

onset penyakit. Persatuan dokter spesialis saraf di Inggris.3

II.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari GBS adalah poliomielitis, Botulisme, Hysterical

Paralysis, Neuropati toksik, Diphtheritic paralisi, porfiria intermitten akut,

Neuropati karena timbal, Mielitis akut.9

12

Page 13: GBS

II.11 Prognosis

Kematian penderita GBS berkisar antara 2%-10% dengan penyebab

kematian karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru,

dan emboli paru. Sebagian besar penderita (60 – 80%) sembuh secara sempurna

dalam waktu 6 bula, sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan

dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki.

Sekitar 3 – 5 % penderita mengalami relaps.9

Kajian yang dilakukan oleh Berger dan Pulley, (2000) memperlihatkan

bahwa prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit, derajat degenerasi

aksonal, dan umur pasien. Faktor prediktor prognosis yang buruk dalam penelitian

Lyu dkk, (1997) adalah : (1) usia > 40 tahun, (2) amplitudo CMAP yang rendah,

dan (3) perlunya ventilasi mekanik. Sebuah penelitian prospektif lain dengan

waktu follow-up 1 tahun terhadap 79 pasien SGB dilakukan oleh Ress dkk, (1998)

memperlihatkan bahwa usia tua (>=60 tahun) merupakan faktor prediktor

prognosis yang buruk untuk tidak tercapainya pemulihan sempurna (p=0.05; odds

ratio 0.35; 95% CI 0.12-1.00). Penelitian lain oleh Kuwabara dkk, (2001)

menunjukkan bahwa refleks tendo yang positif merupakan salah satu prediktor

tercapainya pemulihan SGB yang cepat (skala Hughes meningkat 2 skor dalam

waktu 14 hari) (44% : 9%, p=0,01).3

13

Page 14: GBS

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barre (poliradikuloneuropati demielinasi inflamatorik

akut) merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai

dengan kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan

cepat menjalar ke otot-otor proksimal. Terjadi demielinasi segmental dan sel-sel

inflamasi kronik yang mengenai radiks saraf serta saraf perifer. Penyebab GBS

sampai saat ini belum diketahui penyebabnya dan termasuk kelompok penyakit

autoimun akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahuluinya. Gejala

dini yang biasanya dirasakan adalah kelemahan otot yang simetris (tanda

neurologi utama), parestesia pada kaki dan tangan dengan kelemahan dari lengan.

Paralisis dari tungkai dahulu dan kemudian disusul dengan kelemahan dari

lengan. Paralisis dari tungkai dan lengan itu memperlihatkan tanda-tanda LMN.

Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

eletromiografi. Pada umumnya pengobatan GBS meliputi plasma exchange,

Imunoglonulin, dan pemakaian kortikosteroid. Pemakaian kortikosteroid masih

diragukan manfaatnya.

14

Page 15: GBS

DAFTAR PUSTAKA

1. Ganong William F, Stephen J Mcphee. Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju Kedokteran Klinis edisi 5. Penerbit EGC, Jakarta, 2007.

2. P. Kowalak Jennifer, William Wels, dkk. Guillan-Barre Sindrome dalam Professional Guide To Pathophysiology. Penerbit EGC, Jakarta, 2011.

3. Pinzon Rizaldy. Sindrom Guillan-Barre : Kajian Pustaka. Jurnal Kedokteran: Dexa Medica, Jakarta, 2007.

4. Iskandar Japardi, Sindroma Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Di akses pada repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1958/1/bedahiskandar%20japardi46.pdf.

5. Robbins, Cotran. Penyakit saraf perifer dalam Dasar Patologis Penyakit. Penerbit EGC, Jakarta, 2010.

6. Kumar Penyakit Sistem saraf perifer dalam Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7. Penerbit EGC, Jakarta, 2007.

7. Sherwood Laurale. Fisiologi Neuron dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke sistem. Penerbit EGC, Jakarta 2010.

8. Mahar Mardjono. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 2009.

9. Buku Staf medis fungsional neurologis RS pelamonia

15

Page 16: GBS

16