2
Generasi Maling 6 April 2015 pukul 7:49 Di negeri ini, pengadaan Al Qur'an saja bisa dikorupsi. Gila, my man, kitab suci saja mereka korup. Apalagi buku lain. Jika kita bersedia buka-bukaan, hampir semua provinsi, kabupaten punya anggaran pembelian buku. Dianggarkan oleh dinas pendidikan atau dinas terkait, disetujui oleh DPRD (atau sebaliknya, dianggarkan DPRD, dieksekusi oleh dinas). Buku-buku itu lantas didrop ke sekolah-sekolah. Apakah buku2 itu memang layak dibaca murid? Bukan urusan mereka. Bahkan penulisnya pun antah berantah, penerbitnya pun tidak dikenal. Murid mau membaca buku itu? Mereka lihat covernya saja eneg, isi bukunya kacau sekali, jangan tanya kaidah kepenulisan, bahkan EYD saja tidak jelas. Tapi pejabat yang melakukan pengadaan ini memang tidak peduli soal itu. Bodo amat, yang penting uangnya dapat. Saya melakukan cek secara random judul2 buku yang bermasalah yang dibeli oleh dinas pendidikan, hasilnya menakjubkan, penulisnya bahkan tidak ada dalam website dunia tentang buku seperti goodreads, penerbitnya apalagi. Persis mahkluk gaib. Lantas kalian harus tahu, berapa sih, harga buku normal di toko buku? Buku dari penulis top dunia saja, di bawah Rp 100.000. Tapi buku2 yang dianggarkan oleh mereka, ketika masuk tender, bisa 150rb, gila kan? Buku apa sih yang harganya segitu? Dan itu dibeli dengan oplah banyak, misalnya 50 ribu buku setiap judul, maka tega banget cuy, masa' harganya tetap 150ribu? Situ beli di toko online, beli 4 bisa gratis 1 (dan sudah diskon 30%). Ini malah semakin banyak beli, harganya semakin mahal. Pejabat yang memeriksa anggaran ini pastilah jarang ke toko buku, masa' dia tidak tahu harga wajar sebuah buku? Satu kali pengadaan buku, uangnya milyaran rupiah. Tidak pernah sedikit. Katakanlah 10 milyar, kalikan ratusan kabupaten dan puluhan provinsi, nilainya bisa triliunan setiap tahun pengadaan buku. Hanya orang2 yang punya akses saja yang dimenangkan, bapaknya pejabat dinas, bapaknya anggota DPRD, cocok benar permainannya. Silakan saja dibuka, seluruh Indonesia punya tendensi korupsi seperti ini. Siapa yang dirugikan? Murid- murid yang seharusnya berhak mendapatkan buku2 terbaik. Siapa yang paling diuntungkan? Para pengatur anggaran dan pengadaan. Mereka tahu sama tahu, ini permainan biasa. Penerbit terbaik tidak akan bersedia ikut mekanisme ini. Tanya ke Gramedia Pustaka Utama misalnya, mereka ogah ikutan tender sejenis ini. Mereka punya kehormatan, standar, dan prinsip2 berbisnis. Hanya penerbit abal- abal, penulis abal-abal yang mau saja dilibatkan, cincai di belakang, sok paham benar soal royalti dll padahal isinya ya korupsi berjamaah. Maka inilah ironi paling menyedihkan, ketika ratusan ribu buku tidak jelas didropping ke sekolah2, menggunakan uang rakyat; sementara buku2 terbaik,

Generasi Maling

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jleb! karya Tere Liye

Citation preview

Page 1: Generasi Maling

Generasi Maling6 April 2015 pukul 7:49

Di negeri ini, pengadaan Al Qur'an saja bisa dikorupsi. Gila, my man, kitab suci saja mereka korup. Apalagi buku lain.Jika kita bersedia buka-bukaan, hampir semua provinsi, kabupaten punya anggaran pembelian buku. Dianggarkan oleh dinas pendidikan atau dinas terkait, disetujui oleh DPRD (atau sebaliknya, dianggarkan DPRD, dieksekusi oleh dinas). Buku-buku itu lantas didrop ke sekolah-sekolah. Apakah buku2 itu memang layak dibaca murid? Bukan urusan mereka. Bahkan penulisnya pun antah berantah, penerbitnya pun tidak dikenal. Murid mau membaca buku itu? Mereka lihat covernya saja eneg, isi bukunya kacau sekali, jangan tanya kaidah kepenulisan, bahkan EYD saja tidak jelas.Tapi pejabat yang melakukan pengadaan ini memang tidak peduli soal itu. Bodo amat, yang penting uangnya dapat. Saya melakukan cek secara random judul2 buku yang bermasalah yang dibeli oleh dinas pendidikan, hasilnya menakjubkan, penulisnya bahkan tidak ada dalam website dunia tentang buku seperti goodreads, penerbitnya apalagi. Persis mahkluk gaib.Lantas kalian harus tahu, berapa sih, harga buku normal di toko buku? Buku dari penulis top dunia saja, di bawah Rp 100.000. Tapi buku2 yang dianggarkan oleh mereka, ketika masuk tender, bisa 150rb, gila kan? Buku apa sih yang harganya segitu? Dan itu dibeli dengan oplah banyak, misalnya 50 ribu buku setiap judul, maka tega banget cuy, masa' harganya tetap 150ribu? Situ beli di toko online, beli 4 bisa gratis 1 (dan sudah diskon 30%). Ini malah semakin banyak beli, harganya semakin mahal. Pejabat yang memeriksa anggaran ini pastilah jarang ke toko buku, masa' dia tidak tahu harga wajar sebuah buku?Satu kali pengadaan buku, uangnya milyaran rupiah. Tidak pernah sedikit. Katakanlah 10 milyar, kalikan ratusan kabupaten dan puluhan provinsi, nilainya bisa triliunan setiap tahun pengadaan buku. Hanya orang2 yang punya akses saja yang dimenangkan, bapaknya pejabat dinas, bapaknya anggota DPRD, cocok benar permainannya. Silakan saja dibuka, seluruh Indonesia punya tendensi korupsi seperti ini. Siapa yang dirugikan? Murid-murid yang seharusnya berhak mendapatkan buku2 terbaik. Siapa yang paling diuntungkan? Para pengatur anggaran dan pengadaan. Mereka tahu sama tahu, ini permainan biasa.Penerbit terbaik tidak akan bersedia ikut mekanisme ini. Tanya ke Gramedia Pustaka Utama misalnya, mereka ogah ikutan tender sejenis ini. Mereka punya kehormatan, standar, dan prinsip2 berbisnis. Hanya penerbit abal-abal, penulis abal-abal yang mau saja dilibatkan, cincai di belakang, sok paham benar soal royalti dll padahal isinya ya korupsi berjamaah. Maka inilah ironi paling menyedihkan, ketika ratusan ribu buku tidak jelas didropping ke sekolah2, menggunakan uang rakyat; sementara buku2 terbaik, harus dibeli oleh aktivis gerakan buku, organisasi yang peduli, lembaga swadaya yang urunan uang, pun murid2 dan guru2 yang rela memberikan buku koleksi mereka untuk perpustakaan sekolah.Pejabat2 yang bermain pengadaan buku untuk sekolah itu sudah mati hatinya. Kelam sekali. Sama persis seperti pejabat yang bermain pengadaan Al Qur'an, hitam sekali. Karena pelacur sekalipun, mereka akan enggan melacurkan diri di kamar yang ada kitab sucinya; tapi koruptor, mereka tetap tega melakukannya.Tulisan ini tidak akan pernah membuat mereka sadar. Lantas kenapa saya tetap menulisnya? Agar dibaca oleh kalian. Yang besok lusa akan menjadi bagian dalam masyarakat. Adik2 sekalian, di

Page 2: Generasi Maling

tangan kalianlah kita bisa mengubah banyak hal. Ini soal common sense. Ketika kita bersepakat untuk membuat generasi yang lebih baik. Bukan generasi maling. Bukan generasi pencuri.