20
  (Studi atas Pemikiran Tasawuf Fazlur Rahman) Mahmud Gobel

Gerakan Neo Sufisme

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Gerakan Neo Sufisme

Citation preview

  • 2008

    Gerakan Neo-sufisme (Studi atas Pemikiran Tasawuf Fazlur Rahman)

    Mahmud Gobel

  • 2 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    PENDAHULUAN

    Mahmud Mahmud Mahmud Mahmud GobelGobelGobelGobel

    Ketika pemikiran seorang tokoh tertentu hendak dikaji, maka salah satu hal

    yang urgen diperhatikan adalah kondisi dan lingkungan dia dibesarkan. Kondisi dan lingkungan itulah pada umumnya menjadi Backround lahirnya frame-frame

    gagasan-gagasannya. Wajar bila lahir ungkapan al-Rajul ibn bi atihi, (M. Aunul Abied Shah. 2001:218). Tentang hal ini, Ibn Khaldun misalnya, menegaskan tentang fase-fase terbentuknya fisik dan mental manusia oleh faktor-faktor geografis dan cuaca mereka berada. Di samping cuaca, tradisi perilaku juga ikut mempengaruhi tingkat berfikir dan kecerdasan. Bahkan makanan dan minuman pun mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan watak, dan jiwa manusia, yang pada saatnya akan ikut mewarnai orientasi dan perilaku sosial politiknya.

    Pendapat Ibn Khaldun di atas agaknya sangat relevan bila kita jadikan pijakan untuk mengetahui sosok, sosio-politik dan sosio-kultural yang melatarbelakangi ide-ide pemikiran Fazlur Rahman tentang tasawuf. Fazlur Rahman adalah seorang ulama yang hidup di penghujung abad XX mempunyai pandangan yang sangat positif terhadap dunia. Dia menolak pandangan negatif dan menjauhkan diri dari dunia, manusia harus aktif dan berfikir positif terhadap dunia. Dia mencita-citakan Neo-

    Sufisme, yaitu sufisme yang cenderung menumbuhkan aktivisme (Amin Syukur. 1997:vii), yang lahir dari rahim sejarah perjalanan sufi yang cenderung meninggalkan aktivitas dunia.

    Munculnya gerakan asketisme yang merupakan permulaan lahirnya sifusme dalam Islam, berkembang di zaman Dinasti Umayyah. Kekejaman dan penindasan para penguasa politik kala itu dirasakan oleh masyarakat sebagai penindasan yang melewati batas kemanusiaan, sehingga melahirkan gerakan aksi protes sosial, politik. Salah satu gerakan aksi terhadap ketidakadilan sosial dan merosotnya moral kala itu adalah gerakan sufi, yang berusaha menangkap kedalaman dari spiritual Islam sejati. Bukan merupakan Islam yang sudah dipoles dengan kepentingan politik yang memberikan pembelaan hukum bagi elitisme, nepotisme dan eksploitasi kekuasaan.

    Selain kondisi soio-politik diatas, gerakan sufi juga muncul sebagai reaksi keras

    A. Latar Belakang Pemikiran

  • 3 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    terhadap sikap fuqaha yang terlalu menekankan aspek hukum dalam menafsirkan Islam, sehingga mengarahkan umatnya pada pemujaan terhadap hukum sebagai suatu ekspresi Islam yang lengkap dan menyeluruh. Padahal sesungguhnya hukum itu hanyalah berkaitan dengan laku perbuatan eksternal manusia dari masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan sufi yang pada awalnya hanya merupakan gerakan yang menekankan kepada umat manusia tentang pentingnya furifikasi spiritual dan dimensi moral, telah berubah menjadi suatu metode komunikasi dengan Tuhan yang bersifat esoterik. Sehingga sufisme kemudian menjadi semacam lawan terhadap kaidah-kaidah hukum dan fiqih yang begitu

    formal dan gersang. (Amin Rais. 1995:v). Bagi Islam, sebagai agama yang kaffah dan universal, telah memberikan ruang

    gerak kepada jenis penghayatan keagamaan eksoterik dan esoterik sekaligus. Walaupun tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari dua aspek tersebut akan melahirkan ketidakseimbangan yang menyalahi prinsip-prinsip tawazun dalam Islam, tetapi dalam konteks yang ada dalam kaum muslim, kecenderungan terhadap yang disebut lahiri (ahl al-Zawahir) sangat banyak, disamping pula yang lebih

    mengarah kepada yang batini (ahl al-Bawatin). (Nurcholish Madjid.1993:93). Dalam perjalanan sejarahnya, antara kedua dimensi penghayatan keagamaan

    tersebut sempat menimbulkan konflik ketegangan antara ahli tasawuf dan ahli fiqih, konflik antara ahli hakikat dan ahli syariat, konflik antara penganut ajaran esoterik dan penganjur ajaran eksoterik atau antara golongan Islam ortodoks dengan

    golongan Islam heterodoks. Hal ini terjadi terutama pada abad III H. (Amin Rais. 1995:vii).

    Selanjutnya dengan semakin berkembangnya tasawuf terutama pada abad III H, maka pengaruh eksternal semakin dirasakan. Diantaranya dipengaruhi oleh berbagai macam corak budaya. Akibatnya lahirlah dua corak pemikiran tasawuf. Yaitu corak tasawuf yang materi dasarnya bersandar pada al-Quran dan al-Sunnah, dengan ide gagasan pada pembentukan moralitas yang di back up oleh para ulama moderat. Sementara corak yang lain adalah tasawuf yang materi dasarnya banyak bersumber dari filsafat dengan kecenderungan pada materi-materi tentang hubungan manusia dengan Tuhan yang di usung oleh para pemikir yang terkadang mengemukakan pengalaman ekstasik-fananya dan ucapan-ucapan syatahat yang ganjil serta banyak ditandai oleh pemikiran-pemikiran spekulatif-metafisis, al-misal Hulul, wahdat al-wujud, ittihad dan sebagainya.

    Melihat kondisi seperti ini, seorang tokoh sufi terkenal yaitu, al-Ghazali mencoba memformulasikan tasawufnya yang sengaja dirancang guna rekonsiliasi sufistik antara berbagai disiplin keislaman dan lembaga tasawuf yang semakin senjang. Namun usaha ini belum mampu mengembalikan misi dan pesan dasar tasawuf secara total sebagai pendorong gerakan moral dan ruh Islam yang berkarakter damai dan harmonis. Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru banyak mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi spiritual-mistik-individual. Namun demikian tetap harus diakui bahwa usaha al-Ghazali memang sedikitnya cukup berhasil walaupun masih terdapat berbagai kelemahan. Salah satunya adalah bahwa sebagian besar karya al-Ghazali tidak berisi etos sosial di mana individu menjadi pusat perhatian yang berlebihan, sehingganya banyak di antara pengikutnya, juga tarekat yang muncul pasca al-Ghazali, yang lahir dari pergolakan dunia nyata, menyisih dari dunia sosial dan menjadi pemangku tangan dari

  • 4 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    dinamika sosial, politik dan kebudayaan masyarakatnya. Tatkala kondisi dan fenomena tersebut menjadi semakin melembaga, maka

    lahirlah kesadaran akan pentingnya membangkitkan kembali jati diri sufisme yang lebih menekankan dimensi moral umat dengan merekonstruksi sejarah awal dan substansi sufisme. Kesadaran ini sebagaimana dinyatakan Fazlur Rahman dipelopori oleh Ibn Taimiyah, yang kemudian diikuti oleh muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah.

    Oleh Fazlur Rahman dinamakan Neo Sufisme atau sufisme baru. (Fazlur Rahman. 1979.93).

    Menurut Rahman Neo sufisme adalah jenis tasawuf yang telah diperbaharui, di mana ciri dan kandungan asketik serta metafisisnya sudah dihilangkan dan diganti dengan kandungan dari dalil-dalil ortodoksi Islam. Menurutnya lagi bahwa metode tasawuf baru ini menekankan dan memperbaharui faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dan menyisihkan ciri-ciri ekstrimis (berlebihan) dalam tasawuf populer yang dipandang unortodox sufism (menyimpang). Dengan demikian, pusat perhatian Neo Sufisme adalah upaya rekonstruksi sosial-moral kaum muslimin. Atau secara epistimologis konsep tasawuf yang berdasarkan pada tiga prisip dasar yaitu (1) mengacu pada normativitas al-Quran dan al-Sunnah, (2) menjadikan Nabi dan para salaf al-shalihin sebagai panutan dalam aplikasinya dan (3) berprinsip pada sikap tawazun dalam Islam (penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam praksis social) . Prinsip inilah yang membedakan dengan tasawauf populer yang terutama lebih menekankan kesalehan individual dari pada kesalehan struktural (sosial). Sebagai konsekuensinya, Rahman menunjukkan keseluruhan karakteristik Neo Sufisme tidak lain adalah puritanis

    dan aktivis. (Fazlur Rahman. 1979.194). Setelah diketahui historis sejarah motivasi munculnya Neo-Sufisme Fazlur

    Rahman, maka timbul suatu pertanyaan, apakah gagasan tersebut mempunyai implikasi dalam realitas kekinian?

    Berdasarkan pemikiran diatas, pokok masalah yang hendak dibahas adalah :

    1. Bagaimana konsep gagasan Fazlur Rahman tentang Neo-Sufisme? 2. Bagaimana implementasi Neo-Sufisme dalam konteks kekinian?

    B. Rumusan Masalah

  • 5 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    BIOGRAFI INTELEKTUAL FAZLUR RAHMAN

    Mahmud GobelMahmud GobelMahmud GobelMahmud Gobel

    1. Geneologis

    Fazlur Rahman adalah seorang cendekiawan Muslim yang hidup pada abad modern ini, dilahirkan pada tahun 1338 H/1919 M., tatkala anak benua Indo-Pakistan masih belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, disebuah daerah yang kini terletak di barat laut Pakistan. Anak benua ini memang dikenal gudang intelektual muslim seperti Syah Waliyullah, Amr Al dan Muhammad Iqbal. Dalam kultur intelektual lingkungannya yang demikian, tidak mengherankan jika Fazlur Rahman berkembang sebagai sosok cendekiawan yang mempunyai pemikiran radikal dan liberal dalam pembaruan Islam, ditambah dia hidup dalam lingkungan keluarga Sunni bermazhab Hanaf, salah satu mazhab dalam hukum Islam (fiqh) yang lebih rasional daripada mazhab Fiqh yang lain. (Taufiq Adnan Amal.1989:79).

    2. Aktivitas Sosial Politik

    Aktivitas sosial politik Fazlur Rahman ia mulai sejak dia menyelesaikan studinya di Universitas Punjab Program Bahasa Arab pada tahun 1942 dengan gelar M. A. dan gelar Ph. D. diraihnya pada tahun 1951 di Universitas Oxford, yaitu dengan mengamalkan ilmunya selang beberapa tahun di Durham University, Inggris, kemudian di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dengan jabatan Associate Professor of Philosophy. (Taufiq Adnan Amal.1987:13)

    Pada tahun 1380 H./1960 M dia kembali ke kampung halamannya setelah sekian tahun mengabdikan ilmunya di negeri orang. Dia diberi jabatan sebagai staf senior pada Institute of Islamic Research, yaitu suatu lembaga yang bertugas menafsirkan Islam dan term-term rasional dan ilmiah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang progresif. (Amin Syukur. 1997:122-123).

    Untuk selanjutnya di tahun 1382 H./1962 M. ia diberi tanggung jawab sebagai direktur lembaga tersebut. Di tahun 1384 H./1964 M. diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintahan Pakistan, lembaga yang bertugas meninjau seluruh hukum positif untuk diselaraskan dengan al-Quran dan Sunnah, dan memberi rekomendasi kepada pemerintah pusat tentang bagaimana menjadi seorang Muslim yang lebih baik.

    A. Latar Belakang Internal

  • 6 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    Sejak saat itulah ia mulai menampilkan proyek-proyek pembaruannya tentang Islam. Majalah Islamic Studies, milik Lembaga Research Islam Pakistan ia jadikan sebagai sarana publikasi bagi pemikirannya secara efektif. (John L. Esposito. 1986:227).

    Sejak munculnya mega proyek tersebut, mendapat tantangan berat dari kelompok tradisionalis Pakistan, yang sebagian besar adalah para Ulama dan Mullah. Apalagi dengan diterbitkannya karya monumentalnya, Islam, ketegangan tersebut semakin memanas. Dia kemudian didemonstrasi dan dikecam secara pedas di berbagai media massa yang berafiliasi dengan kelompok fundamentalis dan konservatif, karena dalam beberapa hal ide-ide pembaruannya banyak dianggap asing oleh mereka. Bahkan mereka telah menvonisnya sebagai orang yang munkir al-Quran, sebagaimana yang dilansir oleh Jurnal al-Bayyint. Akhirnya Rahman memundurkan diri dari jabatan direktur lembaga tersebut pada tanggal 5 September 1968 setelah mendapat persetujuan presiden Ayyub Khan. Ia juga meletakkan keanggotaannya pada Dewan Penasihat Ideologi Islam di tahun berikutnya. (Taufiq Adnan Amal. 1987:15).

    Melihat semakin gencarnya diskriminasi intelektual yang melanda dirinya dan untuk menghindari kebekuan intelektual, maka ia hijrah ke Chicago, dan sejak tahun 1390 H./1970 M. ia menjadi guru besar Kajian Islam dalam berbagai aspeknya pada Department of Near Eastern Language and Civilization, University of Chicago. Di negeri inilah Fazlur Rahman mencapai puncak prestasi inteketualnya karena kebebasan berfikir yang mendukung. Dia selain memberikan kuliah dan studi-studi keislaman, dia juga aktif dalam kegiatan penelitian, dan seminar-seminar. Karena pola pemikiran pembaruannya berbeda dengan pola pembaruan para pembaharu sebelumnya, maka ia dijuluki sebagai Neomodernis.

    Proyek Rahman masih belum selesai, namun Allah SWT. menghendaki lain, dia dipanggil-Nya pada tanggal 26 Juli 1988 dengan jabatan terakhir sebagai guru besar pemikiran Islam di Universitas Chicago, Amerika Serikat.

    Walaupun secara fisik dia telah wafat, namun ide-idenya masih hidup ditengah-tengah masyarakat Muslim, dan selalu dikaji melalui karya-karyanya yang ditinggalkan, seperti, Islam; Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition; Islamic Methodology in History; Major Themes of the Qurn; Prophecy in

    Islam; Health and Medicine in the Islamic Tradition, dan lain-lain.

    Sebelum sampai pada pembahasan kondisi sosial politik dan kultural lahirnya gagasan Neo-Sufisme Fazlur Rahman, maka perlu diketahui dulu adalah masalah bagaimana awal munculnya asketisme (sufisme) dalam kehidupan masyarakat Islam. Menurut Fazlur Rahman Spiritualisme dalam Islam telah ada sejak Nabi Muhammad saw. Sebelumnya spiritualisme tersebut sebatas ibadah individual, namun dalam perkembangan selanjutnya, penanaman sikap tunduk dan patuh terhadap hukum Tuhan tersebut yang berpangkal dari rasa takut kepada-Nya, lambat laun menjadi

    B. Latar Belakang Eksternal (Setting Sospol dan Kultural)

  • 7 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    tahapan khusus penyucian diri dan introspeksi motif moral, hal inilah yang menjadi dasar berdirinya zuhud pada abad I sampai dengan II H./7 sampai dengan 8 M.

    Gerakan tersebut mendapat back up kuat dari kondisi sosial, ekonomi dan keimanan masyarakat, khususnya pada tingkat pejabat teras dinasti Umayyah, maka ada sekelompok masyarakat berupaya meningkatkan kesalehan secara individual. Dengan demikian gerakan ini adalah murni etis dengan pendalaman motif etik, seperti hasan al-Bashri (w. 110 H/728 M).

    Selain kondisi sosio-ekonomi di atas, eksklusivisme politik masyarakat juga telah mendorong lahirnya gerakan tersebut. Di mana fenomena eksklusivisme politik tersebut menjadikan umat Islam terhempas dari percaturan politik dan kenegaraan serta urusan umat secara keseluruhan, bahkan sampai anjuran untuk melakukan kontemplasi ke gua.

    Menurut Fazlur Rahman, selama dua abad pertama, sufisme baru merupakan sebatas fenomena individual, tetapi dengan berkembangnya disiplin formal hukum Islam dan teologi, maka gerakan yang semulanya baru sebatas praktek individual, berkembang dan melembaga dengan daya tarik tersendiri, yaitu diadakannya halaqah atau kelompok kajian untuk membahas masalah keagamaan dan mengadakan latihan kerohanian yang mengesampingkan urusan dunia. Dan gerakan ini bertambah intensif setelah mengadakan kontak dengan luar Islam. (Fazlur Rahman.1984:190-191).

    Finaly, banyak praktek sufisme yang menurut pandangan mereka berdasarkan hadits Nabi, menolak secara ekstrim terhadap dunia. Praktek seperti ini bagi Fazlur Rahman adalah keluar dari koridor ajaran Islam: Apa yang dapat disebut duniawi, yang menekankan implementasi aktual dari cita moral secara realistik dalam suatu konteks sosial, termasuk yang utama dari semangat al-Quran. Tetapi hadits-hadits sufi pun bila dilepaskan dari bumbu-bumbunya yang penuh hayalan dan berlebih-lebihan, juga akan mencerminkan kehidupan Nabi saw. dan ajaran al-Quran dalam menekankan kesucian hati dan kehidupan batin.

    Pola hidup yang menekankan kesalehan sebagai embrio lahirnya perilaku zuhud dalam arti mengadakan isolasi terhadap dunia telah menjadi fenomena sejarah yang berkembang cepat selama abad I-II H/VII-VIII M, mendapat sorotan tajam dari Rahman. Dalam perkembangannya, pola hidup demikian telah menjadi doktrin sufisme. Menghadapi ini, Rahman memandang zuhud merupakan inti tasawuf, sebab itulah dia tidak memasukkannya dalam deretan Maqmt sebagai The Sufi Way (jalan sufi).

    Dengan demikian, zuhud dalam pandangan Rahman adalah identik dengan tasawuf, yang pada awalnya zuhud merupakan reaksi atau protes moral spiritual dari keadaan yang ada pada waktu itu, yang akhirnya membawa sikap isolasi para sufi terhadap dunia, dan sikap sinisme politik akan menimbulkan pesimisme. Sikap isolasi terhadap dunia dan sinisme politik ini, bila dibiarkan berkembang, maka kehidupan bergolak dan mencari kesempatan lain untuk mengekspresikan dan menyempurnakan dirinya, baik secara sehat maupun tidak. (Fazlur Rahman. 1983:163). Memahami pola hidup sufisme di atas, tampaknya tidak murni etik, tetapi lebih sebagai bentuk ketidakberdayaan menghadapi proses lajunya zaman, maka beralihlah mencari kepuasan spiritual dengan mengisolasi dari proses sosial, memilih hidup kontemplasi dan introversi yang dalam perkembangannya menghasilkan doktrin-doktrin yang beku.

  • 8 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    Fazlur Rahman sangat tidak setuju pola kehidupan yang demikian, karena pola yang dipraktekkan oleh para sufi tersebut jauh dari ajaran al-Quran, sebab pesan dasar al-Quran adalah bagaimana manusia mampu mengimplementasikan dan mampu mengaktualisasikan citra spiritualisme dan moral secara realistik dalam praksis sosial. (Fazlur Rahman. 1983:166).

    Penolakan sikap isolasi terhadap dunia dapat dilihat pada konsep Rahman tentang individu dan masyarakat, menurutnya antara keduanya tidak bisa dipisahkan, tidak ada individu tanpa masyarakat dan begitu pula sebaliknya. Tujuan utama al-Quran ialah tegaknya sebuah tatanan sosial yang bermoral, adil dan dapat bertahan di muka bumi. Konsep taqwa hanya memiliki arti dalam sebuah konteks sosial. (Fazlur Rahman. 1983 a:54). Pemikiran ini adalah sikap penentangan terhadap hidup eksklusif yang banyak dilakukan para sufi. kesucian seseorang bukan karena keterasingan dari dunia dan praksis sosial, tetapi berada dalam gerakan menciptakan sejarah dan menjadi pelaku sejarah.

    Sebagai tindak lanjut dari sikap penolakan tersebut, maka Fazlur Rahman menawarkan gagasannya Neo-Sufisme, yaitu sufisme yang cenderung untuk menimbulkan aktivisme sosial dan menanamkan kembali sikap positif terhadap dunia. Tokoh perintisnya adalah Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah. Neo-Sufisme tidak menolak epistimologi kasyf yang dianggapnya sebagai derajat proses-proses yang bersifat intelektual, dan mempergunakan seluruh terminologi sufi yang esensial, serta mencoba memasukkan ke dalam sufisme makna moral dan puritanikal serta etos sosial . (Fazlur Rahman. 1984:284).

    Konsep Neo-Sufisme Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun (penyeimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia. umat Islam harus mampu memformulasikan ajaran Islam dalam kehidupan sosial.

    Fenomena Neo-Sufisme hampir sama dengan apa yang berkembang di Afrika Utara yang terjadi dalam kasus Tariqah Sansiyah. Sebuah tariqah yang didirikan oleh Muhammad ibn Al al-Sans dari Al-Jajair (w. 1275 H/1859 M). di Makkah.

    Tariqah Sansiyah merupakan tariqah yang menerapkan disiplin kesufian yang sangat ketat, namun mereka aktif dalam praksis sosial kemasyarakatan. Di mana di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu tasawuf di samping ilmu-ilmu ekonomi (bertani dan berdagang) serta teknik berperang.

    Menurut Rahman, tariqah ini melarang jamaahnya mencintai secara berlebihan terhadap harta kekayaan, melarang menimbun emas dan perak, hal ini dimaksudkan bukan untuk legislasi semangat kehidupan akhirat, namun untuk kepentingan kesejahteraan moral dan sosial di dunia. Gerakan ini berada pada perjuangan dan pembaruan dan programnya lebih berada dalam tataran positivisme moral dan praksis sosial daripada batasan-batasan spiritual keakhiratan. Coraknya lebih Purifikasionis dan lebih aktivis daripada yang lain. Ia menyeru kepada kemurnian Islam, memberantas penyelewengan moral, sosial, dan keagamaan. Berusaha mengubah dan membangun kembali masyarakat yang lebih baik dan bermoral daripada cita-cita untuk memperoleh jaminan sorga, walaupun kedua hal tersebut tidak boleh saling terpisah.Tariqah Sansiyah inilah yang merupakan salah satu prototipe pembaruan yang dilancarkan Fazlur Rahman dalam bidang tasawuf. Di samping setting sosio-politik dan sosio-kultural yang menjadi fenomena kala itu.

  • 9 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN

    TENTANG TASAWUF

    Mahmud GobelMahmud GobelMahmud GobelMahmud Gobel

    Untuk melacak gagasan Rahman di bidang tasawuf, dapat kiranya diketahui dari

    pandangannya tentang perjalanan spiritual dalam Islam. Sebagaimana pada bahasan bab sebelumnya, baginya spiritualisme itu telah ada semenjak Nabi Muhammad saw, dan ia sebagai penunjang misi kenabian dan kerasulannya, namun para sahabat tidak mempersoalkannya, sebab mereka dituntut melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Pengalaman spiritual dianggapnya sebagai kekhususan beliau. Dalam perkembangan selanjutnya, penanaman taat terhadap hukum Tuhan, lama-kelamaan menjadi tahapan khusus interiorisasi dan introspeksi motif moral, hal inilah yang menjadi landasan kehidupan asketisme Islam yang berkembang dengan pesat pada abad VII dan VIII M. (Amin Syukur.1997:122-123).

    Praktek tersebut mendapat dorongan kuat dari realitas sosial, ekonomi dan keberagamaan masyarakat, khususnya penguasa Dinasti Umayyah, maka ada sekelompok yang rupanya meningkatkan kesalehannya secara individual. Dengan demikian gerakan ini adalah murni etis dengan pendalaman motif etis. Juga didorong oleh adanya fenomena isolasi politik, agar umat terlepas dari percaturan politik dan kenegaraan serta umat secara keseluruhan, bahkan sampai anjuran untuk uzlah ke gua, ditambah lagi reaksi terhadap formalisme dan legalisme dalam Islam.

    Kehidupan asketisme merupakan awal kehidupan tasawuf yang merupakan reaksi atau protes moral spiritual dari keadaan pada waktu itu (Fazlur Rahman. 1979:132-133), yang akhirnya membawa sikap isolasi para sufi terhadap dunia, dan sikap sinisme politik akan menimbulkan pesimisme. Rahman sangat tidak sepakat dengan model kehidupan yang demikian tersebut dan keduanya bertentangan dengan ajaran al-Quran, sebab yang utama dalam al-Quran adalah imlpementasi aktual dari citra moral secara realistik dalam suatu konteks sosial. (Fazlur Rahman. 1984:163-164). Justifikasi para sufi dengan kehidupan Nabi tidak bisa diartikan penolakan Beliau terhadap dunia, akan tetapi sekedar menunjukkan kesederhanaan

    A. Konsep Neo-sufisme Fazlur Rahman

  • 10 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    Nabi. Sebab bagaimanapun juga penolakan secara ekstrim terhadap kehidupan duniawi adalah salah dan hal demikian sangat asing bagi Nabi sendiri.

    Adalah sangat tidak tepat bila dikatakan bahwa diantara para sahabat ada yang mengalami ektase-ektase seperti Abu Yazid al-Busthami, Ibn Arabi, al-Hallaj dan sebagainya. Pada dasarnya gerakan asketisme ini adalah sebuah gerakan moral yang menandaskan, betapa pentingnya usaha-usaha interiorisasi, pendalaman dan penyucian terhadap motif moral dan memperjuangkan kepada umat manusia mengenai tanggung jawab yang maha berat yang dibebankan dalam hidup ini ke atas pundak manusia. Inilah yang sebetulnya model gerakan yang didukung oleh al-Quran dan al-Hadits Nabi saw.

    Namun dalam prakteknya, Rahman tidak sependapat dengan pandangan para tokoh tasawuf falsafi, yang menurutnya mereka telah melakukan penambahan dalam agama. Karena ektase (fana diri) yang dijalaninya telah menyebabkan pengisolasian diri yang dianggap sebagai the ultimate goal atau perjalanan manusia menuju Khaliknya. Penolakan Rahman tersebut berdasarkann pada perilaku Rasulullah. Menurutnya, seandainya ekstase diri para sufi itu dianggap sebagai religious experience (pengalaman agama), maka Rasulullah pun mengalaminya. Tetapi pengalaman asketisme bukan sebagai titik akhir apalagi mengisolasikan diri dari kehidupan duniawi, melainkan tampil dalam bentuk social movement atau gerakan sosial. Sebab kesucian seseorang bukan karena keterasingannya dari dunia dan proses sosial, namun harus berada di dalamnya dalam bentuk gerakan menciptakan sejarah. Dan demikian itulah yang sebetulnya menjadi tujuan utama, al-Quran; yaitu tegaknya sebuah tata sosial yang bermoral, adil dan dapat survive di muka bumi. Konsep taqwa hanya memiliki arti dalam konteks sosialnya. (Fazlur Rahman. 1983:54). Konteks sosial-historis kemanusiaan, memberikan tanggapan kritis dan pemikiran alternatif untuk keberadaannya khususnya menghadapi masa depan. Selain itu dikaitkannya dengan berbagai bidang keislaman seperti teologi, fiqh, politik, dan doktrin-doktrin ortodok Islam secara kontekstual-sosiologis.

    Paradima di atas kalau dicermati lebi dalam, maka sesungguhnya gagasan Neo-Sufisme Fazlur Rahman tersebut dilatar belakangi oleh beberapa anomali atau problemeatika yang dipraktekkan oleh para sufi terutama puncaknya pada abad III H. Anomali tersebut adalah pertama, anomali teologis yang berhubungan dengan pengalaman ekstasik-fana dan ucapan-ucapan syatahat yang ganjil serta banyak ditandai oleh pemikiran-pemikiran spekulatif-metafisis, al-misal Hulul, wahdat al-wujud, ittihad dan sebagainya, kedua, anomali non-formalistik yang berhubungan dengan dasar praktek-aplikatif tasawuf yang tidak bersandar pada normativitas al-Quran dan al-Sunnah, dan ketiga, anomali holistika, yang berhubungan dengan aspek aksiologis (implementasi) tasawuf dimana para sufisme lebih memilih sikap isolasi dari kehidupan dengan melakukan kontemplasi dan uzlah dan tidak mau aktif dalam praksis kemasyarakatan.

    Maka dengan demikian Neo-Sufisme Fazlur Rahman dengan kerangka pemikiran back to Quran and Sunnah yang begitu kuat, akan melahirkan alternatif kehidupan sufistik di masa sekarang sesuai dengan tantangan zaman yang semakin berkembang.

  • 11 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    Setelah diketahui bagaimana sesungguhnya konsep Neo-Sufisme Fazlur Rahman, maka selanjutnya bagaimana implementasinya dalam realitas kekinian. Ada dua pertanyaan yang sangat penting untuk dijawab sebelum sampai pada bagaimana peranan Neo-Sufisme dalam konteks kekinian, terutama dalam menanggulangi krisis spiritual. Pertanyaan tersebut adalah: mengapa krisis spiritual itu dapat menurunkan martabat manusia dan bahkan dapat mengancam peradaban dan eksistensi manusia itu sendiri? Kedua, mengapa manusia modern terkena krisis spiritualitas?

    Untuk menjawab pertanyaan pertama dibutuhkan penjelasan yang mendalam dan cermat tentang substansi manusia. Dengan kata lain, informasi tentang asal usul manusia mutlak dibutuhkan, karena melalui pengetahuan tersebut akan terlihat kebutuhan-kebutuhan pokok yang harus dipenuhi demi terwujudnya manusia yang sempurna.

    Secara teologis, manusia adalah makhluk Allah. Ia adalah ciptaan-nya yang ditunjuk sebagai hamba dan khalifah-Nya di muka bumi ini. Manusia diciptakan oleh Allah dari tanah liat. Allah berfirman:

    Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang

    memulai penciptaan manusia dari tanah. (Q.S. al-Sajadah: 7)

    Dalam ayat lain Allah berfirman:

    (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: Sesungguhnya Aku

    akan menciptakan manusia dari tanah. (Q.S. Shaad:71)

    Disamping jasad, manusia memiliki ruh. Allah berfirman:

    Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan

    dalamnya ruh (ciptaan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan

    bersujud. (Q.S. al-Hijr: 29)

    B. Peranan Neo-sufisme dalam Konteks Kekinian

  • 12 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    Ayat ini menunjukkan adanya hubungan yang langsung dan erat antara ruh dan Allah. Sehingga ini menunjukkan bahwa unsur ruh yang ada dalam diri manusia memiliki hubungan yang langsung dengan Allah, karenanya ruh (spiritual) merupakan unsur terpenting dalam pribadi manusia.

    Sejalan dengan al-Quran, para filosofis Islam juga mengakui bahwa manusia itu tersusun dari elemen materi dan immateri. Kedua elemen ini merupakan hasil emanasi Tuhan. Melalui unsur immateri yang ada dalam dirinya, manusia dapat berhubungan langsung dengan Allah. Karena itulah, unsur spiritual yang dimiliki oleh manusia memiliki posisi yang sangat penting, sebab ia merupakan jalur penghubung antara manusia dengan Tuhan, hamba dengan yang diabdi, khalifah dan Dzat yang memberikan mandat kekhalifahan.

    Senada dengan al-Quran, ahli sufi mengakui adanya dualitas dalam diri manusia, yaitu materi dan immateri (jasad dan ruhiyyah). Meskipun demikian mereka lebih tertarik dalam membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan spiritual. Hal ini dapat diketahui misalnya dalam pemikiran salah satu tokoh sufi al-Hallaj.

    Dalam pandangan al-Hallaj, Allah dan manusia masing-masing memiliki aspek lahut dan nasut. (Harun Nasution. 1987:86). Nasut Allah berada dalam bentuk Adam yang dimiliki-Nya, sedangkan lahut manusia berwujud ruh yang berasal dari-Nya. Manakala seorang sufi sudah suci jiwanya, maka nasut Allah akan bertempat pada diri manusia dan bercampur dengan ruh (lahut) manusia.

    Percampuran dua aspek inilah yang dikenal dengan hulul (Abu al-Ala Afifi. 1963:233). Dan dalam kondisi inilah manusia akan memperoleh kebahagiaan dan kesenangan serta kedamaian.

    Dari elaborasi di atas diketahui bahwa secara teologis, filosofis dan Sufis, manusia tersusun dari dua unsur, yaitu materi dan immateri. Dari segi hubungannya, unsur materi memiliki hubungan yang jauh dari Allah, sedangkan unsur spiritual yang ada pada diri manusia memiliki hubungan dekat dengan Allah. Karenanya, spiritual memiliki posisi yang sangat dominan dan menentukan dalam pribadi manusia. Kebahagiaannya mengungguli kebahagiaan jasmani, kenikmatan yang dirasakanpun mendominasi kenikmatan yang dirasakan oleh jasmani.

    Mengingat unsur spiritual itu memiliki fungsi yang sangat dominan dalam diri manusia, maka krisis spiritual bagi manusia menyebabkan terjadinya berbagai penyakit jiwa yang menimbulkan berbagai kemudharatan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Di samping itu krisis spiritual akan menurunkan martabat manusia sejajar dengan martabat materi hewani. Bahkan akan membawa manusia kejurang kehancuran yang mengancam peradaban dan eksistensi manusia. Inilah jawaban persoalan pertama.

    Kedua, problem spiritual bagi manusia modern merupakan hal yang tidak mudah untuk dipecahkan begitu saja. Bagi orang modern perbedaan ruh dan jasad hanya dalam logika saja, tidak dalam realitas. Manusia modern dalam pandangan Carl Jung adalah the man who is aware of the immediate present (Jaroslav Pelikan. 1990:130-131). Oleh karena itu manusia modern telah kehilangan keyakinan-keyakinan metafisis dan eskatologis diganti dengan ide-ide materialisme. Sebab manusia modern akhir dari eksistensialisme yang hanya mengakui eksistensi manusia manakala manusia tersebut sudah merdeka. Dan dia merdeka hanya kalau dia menjadi ateis (Louis Leahy Sj. 1985:58).

  • 13 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    Manusia modern dalam istilah Auguste Compte, peletak dasar aliran positivisme, adalah mereka yang sudah sampai kepada tingkat pemikiran positif. Pada tahapan ini manusia sudah lepas dari pemikiran religius dan filsafat dan masih global. Mereka telah sampai kepada pengetahuan yang rinci tentang sebab-sebab segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini (Murtadha Muthahari. 1992:45-46).

    Karena keyakinannya terhadap aliran materialisme, manusia modern melihat keberadaan manusia tidak lebih dari keberadaan sebuah mobil yang tersusun dari berbagai bagian-bagian sebab dan akibat. Mereka tidak lagi mempercayai adanya spiritual yang ada pada diri manusia, karena hal tersebut secara materi tidak pernah ada. Keyakinan manusia modern terhadap eksistensialisme dan positivisme juga menafikan berbagai informasi baik yang bersumber dari kitab suci maupun dari tradisi mistik yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki unsur spiritual. Karenanya manusia modern mengalami krisis spiritual.

    Dengan tanpa mengingkari berbagai kemajuan dan keberhasilan manusia yang mengikuti aliran filsafat di atas, eksistensialisme dan positivisme juga melahirkan manusia yang tidak sempurna, pincang dan hanya berorientasi temporal (duniawiyah) serta mengingkari spiritual dan agama. Manusia yang tidak sempurna ini selanjutnya menghasilkan perubahan tersebut sebagian ada yang terjadi secara evolusi dan di sisi lain ada yang terjadi secara revolusi. Setiap perubahan yang tidak dilandasi oleh pegangan hidup dan tujuan hidup yang kuat akan menimbulkan krisis. Sebab hilangnya keyakinan dan ketidakpastian menyebabkan kesangsian, kebimbangan melahirkan kegelisahan dan akhirnya memunculkan rasa ketakutan (Sidi Gazalba. 1983:251-252). Setelah diketahui penyebab terjadinya krisis, maka selanjutnya bagaimana peranan Neo-Sufisme dalam menanggulangi krisis spiritual tersebut.

    Sebagaimana telah disebutkan, bahwa Neo-Sufisme yang telah dikonstruk Fazlur Rahman dapat dikategorikan sebagai tasawuf model salafi. Sebuah model tasawuf yang secara epistimologis berdasarkan acuan normatif al-Quran dan al-Sunnah, menjadikan Nabi dan para salaf al-shalihin sebagai panutan dalam aplikasinya yang tidak berlebih-lebihan dalam menjalankan proses spiritualisasi ketuhanannya dengan mengeliminir unsur mistik-metafisik dan asketik dalam tasawuf serta unsur-unsur heterodoks asing lainnya, dan digantikan dengan doktrin-doktrin yang bernuansa salaf yang quranik-normatif namun tidak elitis-esklusif. Doktrin ini dimaksudkan untuk menjadikan tasawuf mampu berperan dalam konteks sosial kemasyarakatan. Hal ini dilakukan karena berbagai anomali atau problem (teologis, normative dan sosiologis) yang berkembang di tubuh tasawuf kala itu, harus diperbaharui agar supaya tasawuf sebagai bagian dari keislaman dapat memberikan kontribusi positif-konstruktif terhadap kehidupan masyarakat muslim dalam berbagai bidang kehidupannya.

    Telaah metodologis Neo-Sufisme Fazlur Rahman di atas, membawa kita pada visi baru tentang tasawuf sebagai produk sejarah masa lalu yang bermakna ganda (Muslim Kadir. 1998:7). Pertama adalah mengembalikannya pada bentuk keberagamaan masa Rasul Allah namun dengan tetap menerima peranan tasawuf dalam mendekati Tuhan. Makna yang kedua adalah mengembangkan potensi tasawuf untuk menawarkan pemecahan praktis masalah kemanusiaan abad modern dengan memanfaatkan pengalaman intuitif. Dalam hal ini tasawuf didudukkan sebagai proses peningkatan kualitas keberagamaan atau meminjam rumusan Abu al-

  • 14 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    Wafa menunjuk pada filsafat dan cara hidup untuk memperoleh keutamaan moral, irfan sufi dan kebahagiaan spiritual.

    Unsur dasar yang menjadi perhatian utama visi ini adalah sifat kehidupan manusia yang senantiasa berubah. Artinya, konteks kehidupan tasawuf di abad lalu berbeda dengan konteks kekinian. Karena masyarakat manusia adalah realitas yang senantiasa berubah dan mencair, oleh karena itu perubahan masakini harus disikapi dengan pola yang baru pula. Tasawuf yang dipraktekkan masakini harus dengan memperhatikan bahwa masalah kemanusiaan dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari kerberagamaan para sufi. Tujuan yang dapat dicapai tetap sama yaitu ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan intuitif tetap kemudian dilebarkan bukan hanya untuk individu melainkan juga untuk dan dalam bentuk kesalehan sosial.

    Puncak pengalaman intuitif yang diburu oleh para sufi dan perkumpulan tarekat, harus tetap dalam kesadaran bahwa pengalaman fana dan baqa yang menjadi peluangnya tidak berlangsung selamanya, melainkan temporer. Jika hal ini dipahami sebagai pengalaman yang berlangsung kontinyu, maka akan mematikan fungsi tubuh untuk melakukan kewajiban agama. Lebih dari itu, puncak pengalaman yang diburu itu adalah ahwal yang diperoleh sufi bukan atas dasar karyanya melainkan semata-mata anugerah dari Allah SWT. Tahap kesadaran sufi pada fana dan baqa tidak selamanya harus berakhir pada penghayatan diri Tuhan. Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul mengemukakan teori yang sangat menarik (Muslim Kadir. 1998:8-9). Menurut pendapatnya, fana adalah tahap pengalaman sufi ketika Tuhan menguasai dan meliputinya sehingga kesadaran diri yang terbatas itu lebur dalam keberadaan-Nya. Akan tetapi dalam pengalaman ini sufi masih memiliki kesadaran akan kedudukannya di hadapan Tuhan dan dunia sekitarnya. Pemenuhan kewajiban kepada Tuhan tidak melupakan kewajibannya terhadap dunia.

    Pemikiran Syuhrawardi ini benar-benar menyadarkan akan potensi tasawuf untuk memiliki penghayatan yang utuh, keberadaan Tuhan dan menghayati pelaksanaan petunjuknya di dunia termasuk menghayati manusia. Sebagai suatu kesadaran, pengalaman sufi masih memiliki potensi aktif terhadap dunia di sekitarnya. Setiap kesadaran manusia sesungguhnya memiliki dua sisi, yaitu aktif dan fasif, sisi aktifnya berkaitan dengan bentuk kegiatannya dalam kehidupan sosial. Bahkan lebih dari itu, tingkat pengalaman tasawuf yang dimiliki akan merupakan kunci kualitas perilakunya sebagai aktualisasi dari sisi aktif tersebut.

    Dengan demikian, tampilan empiris seorang Neosufis menuju kedekatan dengan Allah SWT dapat dilakukan di tengah-tengah kesibukan dunia modern. Ia adalah seorang mukmin, namun sekaligus seorang wiraswasta, birokrat, teknolog, bankir atau bahkan seorang akuntan yang senantiasa menjadikan tuts komputer sebagai tasbih pemujian asma Allah. Atas dasar persepsi bahwa zahid tidak berbeda dengan sufi, maka ia dapat melakukan riadah (latihan ruhani) dalam konteks kesibukannya sebagai orang modern. Kelebihan dari sosok praktek ini adalah masing-masing individu mencapai peningkatan spiritual sehingga memperoleh ketenangan hidup, kedamaian dan kebahagiaan di sisi Allah SWT, tidak perlu stress karena sikap zahidnya akan senantiasa membentuk qalbunya untuk tidak terikat dengan dunia, tidak perlu lupa diri menumpuk kekayaan karena sadar bahwa tujuan utamanya adalah memperoleh pengalaman fana dan baqa di sisi-Nya. Ia memang berpeluang untuk memperoleh pengalaman marifat dalam terminologi Imam al-Ghazali, akan tetapi, persepsinya bahwa pola pengalaman keberadaan

  • 15 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    Tuhan yang terkait dengan mengalami pelaksanaan perintah-Nya dalam kehidupan sosial ini akan membangkitkan semangat sufinya untuk membangun dunia di sekitarnya. Sufi jenis ini mungkin sekali seorang jutawan, namun kenyatannya itu tidak menjerat hatinya untuk tetap berupaya mencari kedekatan dengan Alah SWT yang sebenarnya menjadi tujuan dirinya.

    Profil pengamal Neo-Sufisme atau yang dikenal dengan sufisme baru tersebut di atas, tidak semata-mata berakhir pada kesalehan individual melainkan berupaya untuk membangun kesalehan sosial bagi masyarakat di sekitarnya. Mereka tidak hanya bermaksud memburu sorga bagi dirinya sendiri dalam keterasingan, melainkan justru membangun sorga untuk orang banyak dalam kehidupan sosial. Makna yang dapat diperoleh dari pemahaman ini adalah alternatif pengembangan tasawuf untuk menghayati keberadaan Tuhan menuju pada pengamalan perintah-Nya dalam pola tasawuf sosial.

    Seyyed Hossein Nasr, sebagaimana dikutif oleh Amin Syukur, menyimpulkan,

    bahwa dalam beberapa dekade terakhir Sufisme mengalami kebangkitan di Dunia Muslim sejak Syria, Iran Turki, Pakistan sampai Asia Tenggara. Terdapat peningkatan signifikan dalam minat terhadap Sufisme, terutama dikalangan terdidik. Menurutnya, sebagian kebangkitan itu berkaitan dengan meningkatnya kegiatan tarekat-tarekat sufi, semacam tarekat Syadzlyah dan Nimatullah yang sangat aktif, misalnya di Syria dan Iran. Lebih dari itu, juga terdapat usaha-usaha serius untuk menggali kembali pemikiran tokoh-tokoh besar sufi, khususnya Ibn Arabi dan mengaktualisasikannya guna menjawab tantangan kemanusiaan dan keruhanian di masa modern (Amin Syukur. 1996:127).

    Di Indonesia sendiri dalam beberapa tahun terakhir, gejala munculnya tasawuf ke panggung kehidupan keagamaan juga terlihat lebih jelas. media massa sering melaporkan, bahwa literatur tasawuf termasuk diantaranya buku-buku terlaris dipasaran. Kehidupan sufistik ini bahkan merambah ke dunia kepenyairan. Terdapat seniman atau penyair, yang tidak malu-malu lagi meproklamasikan diri sebagai penyair sufistik.

    Kebangkitan tasawuf umumnya dan tarekat khususnya di masa modern ini, tidak urung lagi menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan para pengkaji sosiologi agama dan modernisasi. Mengapa dalam situasi di mana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian marak, justru semakin banyak orang tertarik kepada tasawuf? Apakah ini sekedar gejala eskapisme dalam dunia modern? Kesimpulan singkat yang diberikan Naisbitt dan Aburdene dalam Megatrends 2000 (1990) sebagaimana yang dikutif oleh Azyumardi Azra, agaknya menarik untuk dicatat. Menurut mereka, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak memberikan makna tentang kehidupan. Kebangkitan agama (termasuk tasawuf) merupakan penolakan yang tegas terhadap kepercayaan buta kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, tulis keduanya. (Muhammad Wahyuni Nafis (Ed) . 1996:295).

    C. Neo-sufisme dan Masa Depannya

  • 16 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    Penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang selama ini nyaris menjadi pseudo-religion merupakan salah satu fenomena yang cukup menonjol di masa sekarang, yang oleh sebagian ahli disebut juga sebagai masa post modernism atau pasca-modernisme. Masa ini ditandai oleh krisis yang mendalam pada berbagai aspek kehidupan. Kehidupan semakin keras, sulit dan penuh dengan kriminalitas. Pada saat yang sama, masyarakat diberondong dan ditaklukkan media massa; dunia menjadi global village (kampung global). Globalisasi informasi dan gaya hidup yang dibawa media massa, seringkali justru mengakibatkan semakin akutnya anomali nilai-nilai. Ekspansi dan globalisasi kapitalisme telah mendorong kehidupan masyarakat yang materialistik dan hedonistik, akibatnya rasa terancam dan kecemasan muncul di kalangan masyarakat terhadap bagian-bagian yang paling rawan dalam kehidupan mereka. (Muhammad Wahyuni Nafis (Ed) . 1996:288).

    Demikianlah, modernisasi dipandang gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia. Karena itu tidak heran kalau orang kembali kepada agama yang memang berfungsi, antara lain, untuk memberikan makna dan tujuan hidup. Modernisme dan modernisasi, ternyata gagal menyingkirkan agama dari kehidupan masyarakat. modernisasi memang menciptakan tantangan-tantangan baru terhadap agama, tetapi sama sekali tidak melumpuhkannya. Yang terjadi justru sebaliknya: sepanjang menyangkut makna, modernisme dan modernisasi justru menghantarkan manusia ke jalan buntu.

    Dari fenomena tersebut di atas, telah mengantarkan pada kebangkitan tasawuf di masa kontemporer saat ini. Hal ini dapat diamati pada terjadinya pendekatan yang lebih intens antara spiritualitas tasawuf dengan mainline (ide pokok) Islam. Karya-karya dan manual sufistik yang dihasilkan pemikir sufi kontemporer menunjukkan terdapatnya usaha-usaha yang kontinyu dan terarah untuk menegaskan bahwa tradisi sufistik tidak pernah terlepas dari Islam ortodoks.

    Kecenderungan perkembangan masyarakat dalam masa pasca-modernisme seperti di atas mengisyaratkan bahwa Neo-Sufisme akan lebih mempunya prospek perkembangan yang cerah dan akan semakin berkembang seiring dengan lajunya perkembangan zaman. Satu keyakinan yang diungkapkan oleh Syaykh Fadhullah Khayri, sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra yang perlu di dicermati bahwa pesan-pesan sufisme lebih urgen di dunia yang semakin materialistik dan konsumeristik. (Muhammad Wahyuni Nafis (Ed) . 1996:296).

  • 17 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    PENUTUP

    Mahmud GobelMahmud GobelMahmud GobelMahmud Gobel

    Sebagai penutup dari penelitian ini, penulis akan mmberikan beberapa hal penting yang menjadi main focus tentang Fazlur Rahman ini. Untuk dapat melihat hasil pendeskripsian dan penelaahan secara lebih tegas dan khusus, berikut akan dipaparkan kesimpulan yang mengacu kepada kerangka permasalahan yang telah dinyatakan pada bab pertama. Sedangkan untuk mempertimbangkan kegunaan penelitian, beberapa saran akan dikemukakan setelahnya.

    Setelah melihat pembahasan demi pembahasan tentang latar belakang pemikiran Fazlur Rahman, model pemikirannya tentang tasawuf dan bagaimana implementasinya dalam konteks kekinian, maka dari keseluruhannya dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Fazlur Rahman memandang ada tiga pokok yang merupakan anomali atau problematika yang ada dalam tasawuf, dan perlu rekonstruksi. Anomali tersebut adalah pertama, anomali teologis yang berhubungan dengan pengalaman ekstasik-fana dan ucapan-ucapan syatahat yang ganjil serta banyak ditandai oleh pemikiran-pemikiran spekulatif-metafisis, al-misal Hulul, wahdat al-wujud, ittihad dan sebagainya, kedua, anomali non-formalistik yang berhubungan dengan dasar praktek-aplikatif tasawuf yang tidak bersandar pada normativitas al-Quran dan al-Sunnah, dan ketiga, anomali holistika, yang berhubungan dengan aspek aksiologis (implementasi) tasawuf. Rekonstruksi anomalis tersebut didasarkan pada prinsip tasawuf Fazlur Rahman yaitu: (1) al-Quran dan al-Hadits, (2) pertauladan pada generasi salafi, dan (3) prinsip tawazun dalam Islam.

    A. Simpulan

  • 18 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    Prinsip-prinsip dan beberapa anomali dalam tasawuf di atas, dijadikan dasar rekonstuksi Rahman terhadap formulasi wacana tasawuf guna pengembangan konsep Neo-Sufisme, rekonstruksi dan dinamisasi tersebut meliputi: a. Hakekat substansial tasawuf atau dimensi ontoligisnya, berhubungan

    dengan du hal penting: 1) Secara substansial, tasawuf adalah perpanjangan tangan dari ajaran

    Islam itu sendiri yang menekankan pembentukan moralitas, tekun beribadah dan tidak tenggelam dalam glamoritas dan kenikmatan jasmani-duniawi.

    2) Secara metodologis, tasawuf merupakan bentuk ijtihad terutama bidang amalan batin (al-aml al-btiniyyah) yang keberadaannya sepadan dengan bidang-bidang keagamaan Islam lain.

    b. Sumber dan perolehannya (aspek epistimologisnya), yang menekankan bahwa wacana tasawuf dan praktek-aplikatifnya harus berasal/diambil dari sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Quran dan al-Sunnah, demikian pula dalam rangka mendalami dimensi sufistik dan memperoleh pengetahuan (tujuan) spiritual harus tetap dalam kontrol kedua sumber pokok tersebut, serta praktek-praktek kesufian-spiritual generasi Salafi. Hanya dengan berpatokan dua dasar dan salafiyyin itulah sufisme dapat dianggap sah.

    c. Fungsi tasawuf, atau aspek aksiologis, yang menekankan kegunaan dan manfaat tasawuf yang harus ditujukan untuk pengkayaan penghayatan ajaran Tuhan, yang berimplikasi pada pembentukan moralitas individual dan sosial baik kultural maupun strukturalnya secara inklusif. Sebaliknya penghayatan spiritual tersebut tidak diarahkan pada eksistensi Tuhan yang spekulatif-mistik yang berimplikasi pada eksklusifme dan stagnan.

    Dengan formulasi wacana tasawuf tersebut maka tasawuf model Fazlur Rahman adalah tasawuf Salafi, yang secara lebih khusus memiliki ciri khas puritanis, aktifis dan populis.

    2. Model tasawuf salafi yang furitanis, aktifis dan populis tersebut dalam perkembangannya melahirkan semangat pembaruan tasawuf, dan menjadi paradigma munculnya gagasan Neo-Sufisme Rahman.

    3. Unsur dasar yang harus diperhatikan dalam mengaktualisasikan gagasan Neo-Sufisme dalm konteks kekinian, adalah sifat kehidupan manusia yang senantiasa berubah. Artinya, konteks kehidupan tasawuf di abad lalu berbeda dengan konteks kekinian. Karena masyarakat manusia adalah realitas yang senantiasa berubah dan mencair, oleh karena itu perubahan masakini harus disikapi dengan pola yang baru pula. Tasawuf yang dipraktekkan masakini harus dengan memperhatikan bahwa masalah kemanusiaan dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari kerberagamaan para sufi. Tujuan yang dapat dicapai tetap sama yaitu

  • 19 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan intuitif tetap kemudian dilebarkan bukan hanya untuk individu melainkan juga untuk dan dalam bentuk kesalehan sosial. Jika ini mampu diaktulisasikan di tengah-tengah kesibukan dunia modern, maka akan lahir zahid-zahid baru, Ia adalah seorang mukmin, namun sekaligus seorang profesionalis, wiraswasta, birokrat, teknolog, atau bahkan seorang bankir. Atas dasar persepsi bahwa zahid tidak berbeda dengan sufi, maka ia dapat melakukan riadah (latihan ruhani) dalam konteks kesibukannya sebagai orang modern. Kelebihan dari sosok praktek ini adalah masing-masing individu mencapai peningkatan spiritual sehingga memperoleh ketenangan hidup, kedamaian dan kebahagiaan di sisi Allah SWT, tidak perlu stress karena sikap zahidnya akan senantiasa membentuk qalbunya untuk tidak terikat dengan dunia, tidak perlu lupa diri menumpuk kekayaan karena sadar bahwa tujuan utamanya adalah memperoleh pengalaman fana dan baqa di sisi-Nya. Sisi lain bahwa pola pengalaman keberadaan Tuhan yang terkait dengan mengalami pelaksanaan perintah-Nya dalam kehidupan sosial ini akan membangkitkan semangat sufinya untuk membangun dunia di sekitarnya. Sufi jenis ini mungkin sekali seorang jutawan, namun kenyatannya itu tidak menjerat hatinya untuk tetap berupaya mencari kedekatan dengan Alah SWT yang sebenarnya menjadi tujuan dirinya.

    Dengan mempertimbangkan pemikiran tasawuf Fazlur Rahman sebagaimana di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disarankan antara lain: 1. Dalam memahami pemikiran atau pandangan tokoh, tentu harus dipahami berbagai hal yang melatarbelakanginya, baik internal maupun eksternal, sehingga memperoleh gambaran yang utuh, atas suatu pemikiran. Demikian pula dengan Fazlur Rahman, sebelum memberikan sikap terhadap pemikirannya, terlebih dahulu haruslah dipahami keseluruhan bangunan pemikiran, tidak apriori terlebih dahulu terhadapnya, karena ternyata dalam hal Neo-Sufisme Rahman justru hendak memberikan kontribusi yang konstruktif untuk pembangunan Islam khususnya untuk masa depan.

    2. Perlu kiranya mengadakan penelitian lebih lanjut terhadap pemikiran tasawuf Fazlur Rahman khususnya ketika pemikiran tersebut

    B. Saran

  • 20 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

    disosialisasikan dalam konteks pragmatis-aplikatif, termasuk dilingkungan masyarakat muslim Indonesia.

    3. Dengan memahami pemikiran tasawuf Fazlur Rahman secara empati dan holistik, perlu diterapkan dalam konteks pemahaman Islam khususnya dalam menggairahkan dan mendinamisir wacanan dan praktek tasawuf, sehingga tasawuf yang hidup di Indonesia mampu memberikan kontribusi yang lebih kongkrit terhadap pembangunan masyarakat, agama bangsa dan negara.

    4. Kepada siapa saja, khususnya yang mempunyai konsen terhadap khazanah tasawuf untuk menelaah secara kritis, simpati dan empati sehingga kekurangan dan kelemahan dari penulisan ini dapat disempurnakan. Karena bagaimanapun juga penulis menyadari bahwa penulisan ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itulah kritik dan saran yang konstruktif amat sangat penulis harapkan. Semoga Allah memberikan berkah dan manfaat.

    Adnan Amal, Taufiq. 1987. Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, Bandung: Mizan Adnan Amal, Taufiq. 1989. Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur

    Rahman, Bandung: Mizan Afifi, Abu al-Ala. 1963. al-Tasawuf al-Tsaurah al-Ruhiyyah fii al-Islam, Iskandariyah: Daar al_maarif Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta Esposito, John L. (ed.). 1986. Identitas Islam pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta: Bulan Bintang. Gazalba, Sidi. 1983. Islam dan Perubahan Sosial Budaya, Jakarta: Pustaka al-Husna Harahap, Syahrin. 2000. Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin. Jakarta: RajaGrafindo. Kadir, Muslim. 1998. Konfigurasi Iman Menuju Tasawuf Modern, Makalah pada Seminar Tasawuf Bagi

    Masyarakat Modern, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo: Semarang Leahy, Louis. 1985. Aliran-aliran Besar Ateisme, Yogyakarta: Kanisius Madjid, Nurcholish. 1993. Sufisme dan Masa Depan Agama, Jakarta: Pustaka Firdaus. Muthahari, Murtadha. 1992. Kritik Islam Terhadap Faham Materialisme, Jakarta: Risalah Masa Nasution, Harun. 1987. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Pelikan, Jaroslav. 1990. The World Treasury of Modern Religious Thought, London: Little, Brown and

    Company Rahman, Fazlur. 1979. Islam, Chicago: The Unersity of Chocago Press. Rahman, Fazlur. 1983. Membuka Pintu Ijtihad, terjemahan Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka Rahman, Fazlur. 1983. Tema Pokok Al-Quran, terjemahan Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka Rahman, Fazlur. 1984. Islam, terjemahan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka Rais, Amin. 1995. Islam dan Pembaharuan, Jakarta: PT. Rajaprasindo. Shah, M. Aunul Abied (et al.) 2001. Islam Garda Depan: Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah,

    Bandung: Mizan. Syukur, Amin. 1996. Menggugat Tasawuf, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Syukur, Amin. 1997. Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wahyuni Nafis, Muhammad (Ed). 1996. Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Jakarta: Paramadina

    Daftar Rujukan