Upload
trinhngoc
View
231
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
HADIS AL-WAHN DAN RELEVANSINYA DENGAN
KONTEKS KEKINIAN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh :
AMINAH BINTI SHAFIE
NIM: 109034000109
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H./2010 M.
HADIS AL-WAHN DAN RELEVANSINYA DENGAN
KONTEKS KEKINIAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
AMINAH BINTI SHAFIE NIM: 109034000109
Di Bawah Bimbingan:
DR. ATIYATUL ULYA, MA NIP. 19700112 199603 2 001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “HADIS AL-WAHN DAN RELEVANSINYA
DENGAN KONTEKS KEKINIAN” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah
Fakultas Ushuluddin “UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” pada tanggal 6 Agustus
2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana Program Strata Satu (S1) Pada Jurusan Tafsir Hadis.
Jakarta, 6 Agustus 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si Rifqi Muhammad Fathi, MA NIP. 19651129 199403 1 002 NIP. 19770120 200312 1 003
Anggota
Rifqi Muhammad Fathi, MA Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si NIP. 19770120 200312 1 003 NIP. 19651129 199403 1 002
Dr. Atiyatul Ulya, MA
NIP. 19700112 199603 2 001
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dirafa’kan ke hadrat Allah; Tuhan sekalian alam;
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang; dan yang sentiasa melimpahkan
rahmat dan kurniaan. Selawat dan salam tercurahkan ke haribaan junjungan
mulia, manusia teladan, insan pilihan, rasul termulia yakni Nabi Muhammad
SAW, ahli keluarganya, para sahabat dan tabien serta al-sabiqun dan al-awwalun
yang istiqamah dalam memperjuangkan sunnah dan ajarannya.
Kesyukuran yang tidak terungkapkan kata kepada Rabbul ‘Adzim karena
pertamanya memberi peluang kepada penulis memijak tanah bumi Negara
serumpun ini sebagai seorang mahasiswa internasional. Yang mencetus ide untuk
memahami budaya cultural Indonesia, mengutip seberapa banyak manfaat, ilmu
pengetahuan, ‘ibrah dan teladan, serta mengimarah antara pusat pengajian Islam.
Dan kedua diberi semangat kebertanggungjawaban untuk meyelesaikan tugas
menyusun skripsi yang berjudul ‘Hadis al-Wahn dan Relevansinya dengan
Konteks Kekinian’.
Sesungguhnya dengan keterbatasan upaya, materi dan pengetahuan
ilmiah, penulis menyedari bahwa tidak mungkin penulisan skripsi ini selesai
tanpa dorongan motivasi, saran dan kritik dari semua pihak. Jadi pada
kesempatan ini, penulis ingin menghulurkan ucapan terima kepada:
1. Bpk. Prof. DR. Zainon Kamaluddin Fakih, MA., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat.
2. Dr. Bustamin, M.Si, Ketua Jurusan Tafsir Hadis, dan Bpk Rifqi
Muhammad Fathi, MA, Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.
i
ii
3. Dr. Atiyatul Ulya, M.A, Dosen Pembimbing Skripsi, yang banyak
menunjuk ajar dan memperuntukkan waktu.
4. Seluruh tenaga pengajar program studi Tafsir Hadis (TH), Seluruh staf
dan karyawan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Akademik Pusat, dan Rektorat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Seluruh ahli keluarga di Malaysia, Ibunda tercinta, Mandak Abdullah,
Saudara-saudaraku k.Tie, Aisyah dan Ibrahim.
6. Teman-teman seperjuangan di UIN. Teman sekuliah Sya, Su, Saifuddin
dan Hadi. Teman-teman Indonesia Atik, Nita dan selainnya. Juga tidak
dilupakan teman-teman dari Malaysia angkatan 2009/2010.
Semoga usaha kecil penyusunan skripsi ini sebagai satu amal yang ikhlas,
yang membuahkan ganjaran di sisi Allah, yang menghasilkan karya ilmiah yang
bermanfaat, dan menambah ilmu dan kesadaran kepada penulis khususnya.
Akhirnya, segala kesempurnaan itu adalah mutlak milik sang Pencipta dan
kekurangan-kekurangan itu tentunya dari yang tercipta; makhluk yang rentan
kesalahan dan kekhilafan. Wassalam
Jakarta, 15 Juli 2010 3 Sya’ban 1431
Penulis
PEDOMAN TRANSLITERASI a. Padanan Aksara
Huruf Arab
Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا B be ب T te ت Ts te dan es ث J je جH ح ha dengan garis di bawah
Kh ka dan ha خ D de د Dz de dan zet ذ R er ر Z zet ز S es س Sy es dan ye شS ص es dengan garis di bawah
D ض de dengan garis di bawah
Th te dan ha طZ ظ zet dengan garis di bawah
koma terbalik diatas hadap kanan ‘ ع Gh ge dan ha غ F ef ف Q ki ق K ka ك L el ل M em م N en ن W we و H ha هـ apostrof ` ء Y ye ي
b. Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah i kasra u dammah
Adapun Vokal Rangkap
iii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i و au a dan u
c. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ــا î i dengan topi di atas ــــــي û u dengan topi di atas ـــــــو
d. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf )ال( , dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh الشمسية = al-syamsiyyah, القمرية = al-qamariyyah. e. Tasydîd
Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf samsiyyah. f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
g. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya . Contoh البخار = al-Bukhâri.
iv
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 6
D. Metode Penelitian ......................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan ................................................................... 8
BAB II KAJIAN SANAD DAN MATAN HADIS
A. Teks Hadis dan Terjemahan ......................................................... 10
B. Identifikasi Hadis .......................................................................... 10
C. Kegiatan Iktibar ............................................................................. 13
D. Kegiatan Penelitian Sanad ........................................................... 15
E. Kegiatan Penelitian Matan ............................................................ 41
1. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanadnya. .............. 42
2. Mengindektifikasikan Bentuk Periwayatan ............................ 42
3. Meneliti Susunan Lafal Berbagai Matan yang Semakna. ....... 42
4. Meneliti Kandungan Matan (Membandingkan dengan nas) ... 45
vi
BAB III RELEVANSI TEKS HADIS DENGAN KONTEKS
A. Teks dan Kontekstual Hadis ......................................................... 47
B. Pengertian al-wahn dan Penafsiran Hadis..................................... 49
C. Karakteristik al-wahn dan Problemika Umat Islam Kontemporer 56
D. Relevansi Interpretasi Teks dan Kebenarannya Melalui
Pembuktian di Konteks Modern ................................................... 71
E. Esensi Segala Krisis dan Rahsia Konspirasi Musuh ..................... 78
BAB IV KESIMPULAN
A. Kesimpulan .................................................................................. 81
B. Saran-saran .................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 82
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, seluruh jagat telah menyaksikan nasib malang yang dialami oleh
negara dan masyarakat muslim baik di dalam kasus pertahanan, pentadbiran,
persoalan teologi, penguasaan ekonomi, media massa dan sebagainya. Kita telahpun
menyaksikan bagaimana pencerobohan yang dilakukan oleh Amerika Serikat ke atas
tanah dan negara Islam Irak, Afghanistan, juga ancaman terhadap Iran,
pendominasian ekonomi dan industri oleh Barat, pemurtadan serius dalam kalangan
muda mudi, kekaburan fakta benar dalam informasi maklumat dan lain-lain.
Problem tersebut ini bukan hanya fenomena semasa. Ini karena, buku-buku
sejarah dan peradaban telah mencatat kekelaman dunia Islam dahulu akibat
penjajahan Barat dan sekutunya seperti kehancuran kerajaan Abbasiyah di bawah
serangan tentera Monggol,1 kehancuran Turki Usmani yang dipimpin oleh bapa
modern Kamal Artartuk,2 dan perebutan kuasa di Sepanyol oleh tentera Kristen di
bawah pimpinan Ferdinand III dari Castilla yang menyebabkan supremasi Islam
mulai mengalami kemunduran.3
Apa yang menimpa dunia Islam modern ini dari sudut sebab, strategi, metode
dan akibatnya adalah sama dengan apa yang menimpanya dunia Islam terdahulu,
yang berbeda hanya pelaku, alat dan waktu.
1 Busman Edyar, ed., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, September 2009), cet. ke- 2, h. 113.
2 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGraFido Persada, t.t.), h. 70-71. 3 Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 115-117.
1
2
Kecelakaan, keaiban dan kelemahan ini menyebabkan kita semua sudah
kehilangan akal apakah ini semua disebabkan karena takut, tiada kuasa, atau pokok
dan punca masalah sebenarnya adalah penyakit al-wahn; satu ungkapan yang
bermaksud cinta dunia dan takut mati di dalam sebuah hadis yang berisi petunjuk
antara sebab mengapa ‘Seluruh Dunia Mengerumuni Negara Islam’. Redaksinya
adalah seperti berikut:
حدثنا عبد الرحمن بن إبراهيم الدمشقي حدثنا بشر بن بكر حدثنا ابن جابر
بد السلام عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يوشك الأمم حدثني أبو ع
بل أن تداعى عليكم آما تداعى الأآلة إلى قصعتها فقال قائل ومن قلة نحن يومئذ قال
ئذ آثير ولكنكم غثاء آغثاء السيل ولينزعن الله من صدور عدوآم المهابة أنتم يوم
دنيا منكم وليقذفن الله في قلوبكم الوهن فقال قائل يا رسول الله وما الوهن قال حب ال
4اهية الموتوآر
Artinya: Menyampaikan hadis kepada kami ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm al-Dimasyqî menyampaikan hadis pada kami Bisyr bin Bakr menyampaikan hadis kepada kami Ibn Jâbir meriwayatkan hadis kepadaku Abû Abd al-Salâm daripada Tsaubân berkata, telah bersabda Rasulullah SAW: “Hampir saja bangsa-bangsa memangsa kalian sebagaimana orang-orang lapar menghadapi meja penuh hidangan.” Seseorang bertanya, “Apa kami saat itu sedikit”? Jawab beliau, “Bahkan kalian saat itu banyak, akan tetapi kalian seperti buih di laut. Allah sungguh akan mencabut rasa takut dari dada musuh kalian, dan Allah sungguh akan mencampakkan penyakit wahn ke dalam hatimu.” Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu wahn? Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati”.5
4Abî Dâwud Sulaimân bin al-`Asy‘ast al-Sijistânî 202-275, Sunan Abî Dâwud, (T.tp.: Dar al-
A‘lam, 1423H/2003M), cetakan pertama, h. 698. 5‘Umar Sulaimân al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-qiyâmah
al-Kubrâ, penerjemah Irfan Salim, (T.tp.:PT Serambi Ilmu Semesta, Rabiulakhir 1421H/Juli 2000M), cetakan kesatu, h. 161.
3
Namun demikian, problem yang menyangkut teks sebuah hadis masih dapat
saja muncul. Apakah pemahaman makna sebuah ritual hadis harus dikaitkan dengan
konteksnya (substance) atau tidak? Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi
pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika
diucapkan atau diperagakan? Relevankah kebenarannya sekiranya diinterpretasikan
dengan kondisi zaman-zaman setelah Nabi? Itulah sebagian persoalan yang dapat
muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis.6
Dengan demikian, apabila hadis ini dipahami secara kontekstual dan
dikomparasikan kebenarannya dengan problem yang berlaku dalam kelangsungan
hidup masyarakat saat ini, sangat jelas memperlihatkan kebenaran sabda Nabi SAW.
Gambaran yang jelas dan nyata daripada hadis dan fakta itu ialah ada satu
kelompok manusia yang dikuasai dan dijadikan makanan manakala ada satu
kelompok manusia lain yang menguasai dan mengerumuni untuk memakannya.
Sebab terjadinya tidak disebutkan dengan jelas dalam berita pertama. Kedua berita ini
saling keterkaitan yang mana salah satunya adalah satu bukti kebenarannya.
Pertamanya adalah hadis yang diungkap oleh Rasulullah SAW, dan kedua adalah
suatu bukti kebenarannya. Negara dan masyarakat Islam dijadikan makanan oleh
sekumpulan kelompok manusia dari Negara-negara dan agama bukan Islam yang
pada kenyataannya musuh agama. Mereka bangga dan tidak merasa takut terhadap
umat Islam, bahkan memperkecilkan mereka.
6Makhsis Shahaby, ‘Integritas hadis Dalam Konteks Dakwah Islam’, artikel ini diakses pada tanggal 31 Disember 2009 dari http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Hadis.html.
4
Umat Islam adalah kelompok yang kalah, lemah dan senang dikuasai sehingga
mereka dijadikan hidangan dengan niat dicabik, dikoyak, dicampuradukkan,
dipisahkan dan juga diperkosa kesuciannya oleh penyantap hidangan. Mereka seperti
disebutkan dengan jelas oleh hadis, karena terkena penyakit al-wahn yakni حب الدنيا
هية الموتوآرا .
Penyakit al-wahn yang menjadi penyebab utama kekalahan dalam setiap
perjuangan menimpa umat sebelum Islam bahkan ia dijadikan sunnahtullah (qadâ` al-
Mubram) oleh Yang Maha Kuasa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda
maksudnya; “Umatku akan ditimpa penyakit yang pernah menimpa umat terdahulu.”
Sahabat bertanya , “apakah penyakit umat terdahulu itu?” Nabi SAW menjawab; “
penyakit itu telah terlalu banyak seronok, terlalu mewah, menghimpun harta
sebanyak mungkin, tipu menipu dalam merebut harta benda dunia, saling memarah,
hasut-menghasut sehingga jadi zalim menzalimi”- (Hadith riwayat al-Hakim)
Penyakit yang disebutkan oleh Rasulullah SAW ini telah banyak kita lihat di
kalangan masyarakat muslim hari ini. Di sana sini kita melihat penyakit ini merebak
dan menular dalam masyarakat dengan ganasnya. Dunia Islam dilanda krisis rohani
yang sangat tajam dan meruncing. Dengan kekosongan rohani itulah mereka terpaksa
mencari dan menimbun harta benda sebanyak-banyaknya untuk memuaskan hawa
nafsu. Maka apabila hawa nafsu diperturutkan tentunya mereka terpaksa
menggunakan segala macam cara dan tipu daya.
5
Pada saat itu, hilanglah nilai akhlak dan yang terwujud hanyalah kecurangan,
khianat, hasut-menghasut dan sebagainya.
Maka jelaslah di sini bahwa hadis yang disabdakan Rasulullah SAW perlu
lebih diteliti kesahihan, esensi dan substansinya supaya pemahaman yang lebih tepat
karena al-wahn adalah satu wabah yang dapat memudaratkan pribadi umat muslim
sekiranya tidak ada inisiatif bagi menghalangi dan membendung penularannya.
Hubungan hadis tersebut sangat terkait dengan realitas kehidupan manusia
dewasa ini dan memerlukan penjelasan yang lebih luas. Permasalahan inilah yang
ingin diangkat dalam judul skripsi, dan penulis merasa tertarik untuk meneliti dan
mengeksperimentasi relevansi hadis tersebut dengan konteks kekinian yang akan
dituangkan di dalam skripsi berjudul “Hadis al-Wahn dan Relevansinya dengan
Konteks Kekinian”.
B. Pembatasan Masalah dan Perumusannya
Dari pembahasan makna teks hadis di atas, adalah wabah al-wahn berdasarkan
kepada kitab Sunan Abû Dâwud, begitu banyak persoalan yang muncul tatkalah
berbicara tentang hadis Nabi dan relevansi kebenarannya dengan konteks kekinian.
Hal ini merupakan suatu indikasi akan menariknya pembahasan ini, kerana penyakit
yang terkandung di dalam teks hadis yang diketengahkan penulis adalah merupakan
antara simpton kemunduran umat Islam. Dalam penelitian ini, penulis lebih
membatasi interpretasi kebenaran teks hadis kepada relevansinya di dalam konteks
kekinian.
6
Penulis juga akan membuat penelitian terhadap sanad dan matan hadis.
Mencoba menjelaskan apakah yang sebenarnya diartikan dalam hadis bersumber dari
kitab Sunan Abû Dâwud dan kitab Syarahnya ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî
Dâwud’.
Berdasarkan uraian pembatasan masalah di atas, penulis dapat merumuskan
masalah yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis tentang al-wahn dalam kitab
Sunan Abû Dâwud dan Sunan Ahmad ibn Hanbal.
2. Bagaimana kualitas hadis sahih dapat direlevansi kebenaran dari
penafsiran teksnya dengan konteks kekinian.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dan manfaat yang ingin digapai dalam penelitian ini antaranya adalah:
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui kualitas dan kandungan pokok hadis tentang masalah umat
dan kejelasan kedudukan dan status hadis tersebut apakah sahîh, hasan
atau da‘îf.
b. Mengetahui kebenaran hadis yang disabdakan oleh Rasulullah SAW
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”.
7
c. Mengetahui adakah teks hadis tersebut sesuai dan relevan atau tidak jika
dikomparasikan substansinya dengan konteks sebagaimana yang
dikemukakan pada perumusan masalah.
d. Untuk menentukan apakah hadis tentang penyakit al-wahn dapat dijadikan
hujjah dan pengajaran atau tidak.
2. Manfaat penelitian
a. Supaya lebih menyakini terhadap satu-satu hadis untuk dijadikan hujjah
atau dalil dalam lapangan dakwah.
b. Memperkayakan pemikiran Islam khususnya tentang bidang hadis.
c. Bagi memperoleh gelar Sarjana (SI) dalam bidang Tafsir Hadis di Fakultas
Ushuluddin.
D. Metodologi Penelitian
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diteliti melalui jenis penelitian
kepustakaan (library research). Dan dalam pengelolahan data-data, melalui metode
perbahasan analisa komparatif. Juga dilakukan penilaian kritik hadis yang
merangkum di dalamnya kritik sanad dan pendekatan kritik tekstual (matan) dengan
mengkaji hadis tersebut dari sisi pemahaman teksnya, apakah hadis itu memiliki
keseragaman redaksi, atau berbeda-beda redaksi dari sekian banyak sanad yang ada.
Dalam aspek penafsiran bagi mencari kaitan/relevansi dengan persoalan masa kini,
penulis menggunakan pendekatan pemahaman kontekstual dengan mengemukakan
pembuktian-pembuktiannya dalam konteks kekinian.
8
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, disertasi), yang diterbitkan oleh UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta” dengan kerjasama CeQDA (Center for Development and
Assurance), cetakan II, tahun 2007.
E. Sistematika Penelitian
Penulisan skripsi ini dibuat dalam empat bab, adapun perinciannya adalah
sebagai berikut.
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi dari uraian singkat
mengenai materi yang akan dibahas, yang merupakan penegasan pembatasan dan
perumusan masalah yang difokuskan kepada kasus relevansi kebenaran hadis dalam
konteks kekinian, di dalamnya mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab kedua adalah Takhrîj al-hadîts mengenai hadis al-Wahn. Pembahasan ini
meliputi melacak sumber hadis tersebut. Setelah itu, dikemukakan komparasi
periwayatan. Selain itu, ditelusuri biografi para periwayat dan komentar para ulama
mengenai kredibilitas mereka. Kemudian akan diberikan analisa terhadap kualitas
riwayat tersebut.
Bab ketiga pembahasan difokuskan pada pengertian kata al-wahn dan
penafsiran hadis, serta alasan kesesuaiannya di dalam pembahasan konteks kekinian
melalui pembuktian-pembuktian.
9
Bab keempat merupakan penutup dari skripsi ini, berisikan tentang
kesimpulan dan jawaban dari yang ada pada pembahasan dan perumusan masalah
seluruh pembahasan, serta saran-saran yang dapat disampaikan oleh penulis dalam
penyusunan skripsi.
10
BAB II
KAJIAN SANAD DAN MATAN HADIS
A. Teks Hadis dan Terjemahan
حدثنا عبد الرحمن بن إبراهيم الدمشقي حدثنا بشر بن بكر حدثنا ابن جابر
الله صلى الله عليه وسلم يوشك حدثني أبو عبد السلام عن ثوبان قال قال رسول
الأمم أن تداعى عليكم آما تداعى الأآلة إلى قصعتها فقال قائل ومن قلة نحن
ل ولينزعن الله من صدور يومئذ قال بل أنتم يومئذ آثير ولكنكم غثاء آغثاء السي
فقال قائل يا رسول الله وما الوهن عدوآم المهابة منكم وليقذفن الله في قلوبكم
1حب الدنيا وآراهية الموتالوهن قال Artinya: Menyampaikan hadis kepada kami ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm al-
Dimasyqî menyampaikan hadis pada kami Bisyr bin Bakr menyampaikan hadis kepada kami Ibn Jâbir meriwayatkan hadis kepadaku Abû ‘Abd al-Salâm daripada Tsaubân berkata, telah bersabda Rasulullah SAW: “Hampir saja bangsa-bangsa memangsa kalian sebagaimana orang-orang lapar menghadapi meja penuh hidangan.” Seseorang bertanya, “Apa kami saat itu sedikit”? Jawab beliau, “Bahkan kalian saat itu banyak, akan tetapi kalian seperti buih di laut. Allah sungguh akan mencabut rasa takut dari dada musuh kalian, dan Allah sungguh akan mencampakkan penyakit wahn ke dalam hatimu.” Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu wahn? Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati”.2
B. Identifikasi Hadis
Langkah pertama yang dilakukan di dalam menelusuri dan meneliti sebuah
hadis adalah menemukan sanad-sanad hadis dan perawi-perawi hadis yang ada di
dalamnya melalui metode takhrîj.
1Abî Dâwud Sulaimân bin al-`Asy‘ats al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud, kitab Al-Malâhim,
hadis ke-4297, (T.tp.: Dar al-A‘lam, 1423H/2003M), cet. 1, h. 698. 2‘Umar Sulaimân al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-qiyâmah
al-Kubrâ, penerjemah Irfan Salim, (T.tp.:PT Serambi Ilmu Semesta, Rabiulakhir 1421H/Juli 2000M), cetakan kesatu, h. 161.
11
Dalam melakukan kegiatan takhrîj al-hadîts, penulis telah menggunakan
metode takhrîj al-hadîts bi al-lafaz (penelusuran hadis melalui lafal atau kata-kata
dalam matan hadis).3 Untuk kepentingan takhrîj al-hadîts yang disebutkan, penulis
merujuk kepada kitab kamus al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Hadîts al-Nabawî.
Dari matan hadis yang diperoleh di atas, apabila ditempuh metode takhrîj al-
hadîts bi al-lafaz, maka lafal-lafal yang dapat ditelesuri adalah الوهن - السيل - غثاء.
Tujuan dan rasional penulis memilih lafal-lafal demikian adalah karena eksistensinya
yang asing ketimbang lafal selainnya. Adapun data yang disajikan oleh kitab al-
Mu’jam lewat penelesuran tiga lafal tersebut adalah sebagai berikut :
:حب الدنيا وآراهية الموتويجعل في قلوبكم الوهن قال قلنا وما الوهن قال , ويلقى( 4وهن
:ولكنكم غثاء آغثاء السيل ,5غثاء
:ولكنكم غثاء آغثاء السيل ,6السيل
٥مالحم :د .1
٢٧٨, ٥, ٣٥٩, ٢: حم .2
Berdasarkan data dari kitab kamus al-Mu‘jam tersebut, ternyata riwayat untuk
hadis yang ditakhrîj di atas masing-masing terletak di kitab-kitab seperti berikut:
3Metode ini tergantung kepada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik hadis itu
berupa ism atau fi‘il. Para penyusun kitab-kitab takhrîj hadis menitikberatkan peletakan hadis-hadisnya menurut lafal-lafal yang asing. Semakin asing ( )غريب suatu kata, maka pencarian hadis akan semakin mudah dan efisien. Lihat Metode Takhrij Hadits, penerjemah Agil Husin Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar, (Semarang: Dina Utama, t.t), h. 60.
4A.J Wensick, Al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Hadîts al-Nabawî, penerjemah M. Fouad Abdel Baky, (Leiden: E.J. Brill, 1936 M), juz 7, h. 342.
5A.J Wensick, Al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Hadîts al-Nabawî, juz 4, h. 406. 6A.J Wensick, Al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Hadîts al-Nabawî, juz 3, h. 53.
12
1. Sunan Abû Dâwud, nomor hadis 4297, kitab al-Malâhim, bab fî Tadâ’î al-
Umam ‘alâ al-Islâm, halaman 698.
2. Musnad Ahmad bin Hanbal, juz II, halaman 359 dan juz V halaman 278.
Berikut ini penulis menggunakan riwayat-riwayat hadis tersebut dari setiap
mukharrij berdasarkan naskhah aslinya.
Riwayat hadis dari mukharrij Abû Dâwud:
حدثنا ابن حدثنا عبد الرحمن بن إبراهيم الدمشقي حدثنا بشر بن بكر
جابر حدثني أبو عبد السلام عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم يوشك الأمم أن تداعى عليكم آما تداعى الأآلة إلى قصعتها فقال قائل
نحن يومئذ قال بل أنتم يومئذ آثير ولكنكم غثاء آغثاء السيل ومن قلة
ولينزعن الله من صدور عدوآم المهابة منكم وليقذفن الله في قلوبكم الوهن
7وما الوهن قال حب الدنيا وآراهية الموتفقال قائل يا رسول الله
Riwayat hadis dari mukharrij Ahmad ibn Hanbal:
حدثنا أبو النضر حدثنا المبارك بن فضالة حدثنا مرزوق أبو عبد الله
ء الرحبي عن ثوبان مولى رسول الله صلى الله عليه الحمصي حدثنا أبو أسما
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يوشك أن تداعى عليكم الأمم وسلم قال
من آل أفق آما تداعى الأآلة على قصعتها قال قلنا يا رسول الله أمن قلة بنا
تكونون غثاء آغثاء السيل ينتزع المهابة من ثير ولكن يومئذ قال أنتم يومئذ آ
7Abî Dâwud, Sunan Abî Dâwud, h. 698.
13
ي أخبرنا عبد الصمد بن حبيب الأزدي عن أبيه حدثنا أبو جعفر المدائن
حبيب بن عبد الله عن شبيل بن عوف عن أبي هريرة قال سمعت رسول الله
ان إذ تداعت عليكم الأمم صلى الله عليه وسلم يقول لثوبان آيف أنت يا ثوب
آتداعيكم على قصعة الطعام يصيبون منه قال ثوبان بأبي وأمي يا رسول الله
الوهنالوا وما ق الوهنأمن قلة بنا قال لا أنتم يومئذ آثير ولكن يلقى في قلوبكم
9يا رسول الله قال حبكم الدنيا وآراهيتكم القتال
Dalam melakukan penelitian sanad hadis (al-naqd al-sanad) ini, penulis akan
mengambil dan berusaha mengikuti beberapa langkah metodologis yaitu melakukan
kegiatan al-i‘tibâr, meneliti pribadi periwayat hadis yang berkenaan (kritik sanad)
dan membuat kesimpulan hasil pengumpulan data-data dari kitab-kitab takhrîj dan
kritik periwayat.
C. Kegiatan al-I‘tibâr
Tujuan kegiatan ini dilakukan adalah untuk memperlihatkan dengan jelas
seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya, dan
metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang
bersangkutan. Karena itu, untuk mempermudahkan proses kegiatan al-i’tibâr, penulis
akan membuat skema sanad dari kutipan dua mukharrij bagi hadis yang dijadikan
obyek penelitian. (lihat lampiran 1)
8Ahmad ibn Muhammad bin Hanbal ibn Hilâl ibn Asad al-Syaibânî, Al-Musnad li al-Imâm
Ahmad bin Hanbal, juz 8, hadis nomor 22460, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M), cet. 2, h. 327. 9Al-Syaibânî, Al-Musnad li al- Imâm Ahmad bin Hanbal, juz 17, hadis nomor 8356, h. 398.
14
Namun, sebelum dikemukakan skema sanadnya, ada beberapa hal yang perlu
dijelaskan terlebih dahulu. Dengan demikian, skema akan mudah difahami.
1. Dari tiga jalur sanad, ada tertulis periwayat yang menyandarkan nama kepada
nasab atau kuniyyah. Pertama Ibn Jâbir yang nama sebenarnya adalah ‘Abd
al-Rahman bin Yazîd bin Jâbir al-Azadî.10 Kedua periwayat ‘Abd al-Salâm
yang nama sebenarnya adalah Sâlih bin Rustam al-Hâsyimî.11 Ketiga Abû al-
Nadar yang nama sebenarnya Hâsyim bin al-Qâsim bin Muslim bin
Muqsam.12 Keempat Asmâ` al-Rahabî yang nama sebenarnya ‘Amrû bin
Martsad.13 Kelima Abû Ja‘far al-Madâ`inî yang nama sebenarnya adalah
Muhammad bin Ja‘far.14 Keenam Abû Hurairah yang nama sebenarnya
adalah ‘Abd al-Rahman bin Sakhr.15
2. Dari tiga jalur sanad tersebut duanya berakhir kepada Tsaubân. Dan sisanya
berakhir kepada Abû Hurairah.
Pada skema tampak bahwa periwayat pertama dan yang keseterusnya terdapat
periwayat yang berstatus pendukung berupa syâhid dan mutâbi’.16 Akan tetapi hadis
10Jamâl al-Dîn Abî al-Hujjâj Yûsuf al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ`al-Rijâl, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1413H/1992M), cet. 3, juz 11, h. 421. 11Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 9, h. 26. 12Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 19, h. 214. 13Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 745. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu
Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 2, h. 295. 14Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 16, h. 175. 15‘Izz al-Dîn Ibn Al-Asir Abî al-Hasan ‘Alî bin Muhammad al-Jazrî, UUsl al-Ghâbah fî
Ma‘rifah al-Sahâbah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1398H/1978M), cet 1, juz 5, h. 318-319. 16Syâhid ialah hadis yang periwayat di tingkat sahabat Nabi terdiri dari lebih seorang, sedang
hadis mutabi’ ialah hadis yang diriwayatkan lebih dari seorang dan terletak bukan pada tingkat sahabat Nabi. Lihat, M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 145.
15
ini hanya diterima oleh dua orang sahaja (‘azîz).17 Ini berarti bahwa hadis tersebut
merupakan bagian dari yang hadis berkategori âhâd, maka perlu diteliti, apakah hadis
yang bersangkutan dapat dipertanggungjawab keorisinalnya berasal dari Nabi SAW
ataupun tidak.
D. Kegiatan Penelitian Sanad
Dalam melihat kualitas periwayat hadis, maka dua aspek yang harus
diperhatikan yaitu:
1. Aspek ketersambungan sanad.18
2. Aspek intelektualitas periwayat.19
Oleh kerana hadis yang menjadi obyek penelitian hanya didapati dari tiga
jalur sanad, yaitu masing-masing satu jalur daripada sanad Abû Dâwud melalui
Tsaubân dan dua jalur dari sanad Ahmad ibn Hanbal melalui Tsaubân dan Abû
Hurairah, maka penulis akan meneliti kesemua hadis tersebut.
Urutan nama periwayat hadis riwayat Abû Dâwud:
17‘Azîz adalah hadis yang diterima oleh dua orang sahaja walau pada satu tempat. Lihat, Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), cet. 1, h. 347.
18Kriteria ketersambungan sanad: Pertama, periwayat hadis yang terdapat dalam sanad hadis yang diteliti semua berkualitas tsiqât (‘adl dan dhabt). Kedua, masing-masing periwayat menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah disepakati ulama (al-samâ’), yang menunjukkan adanya pertemuan di antara guru dan murid. Ketiga, adanya indikasi kuat perjumpaan antara mereka. Ada tiga indikator yang menunjukkan pertemuan antara mereka: A) Terjadi proses guru dan murid, yang dijelaskan oleh para penulis rijâl al-hadîts dalam kitabnya. B) Tahun lahir dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara mereka atau dipastikan bersamaan. C) Mereka tinggal belajar atau mengabdi (mengajar) di tempat yang sama. Lihat, Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 53.
19Ada dua syarat yang harus dimiliki oleh periwayat hadis, pertama: ‘âdil, kedua: dhâbit. Kriteria periwayat adil adalah: a) Beragama Islam, ketika mengajarkan hadis harus telah beragama Islam, namun penerima hadis tidak disyaratkan beragama Islam. B) Berstatus mukallaf. C) Melaksanakan ketentuan agama, yakni teguh melaksanakan adab-adab syara’. D) Memelihara muruah. Sementara kriteria periwayat dhâbit adalah: a) Kuat ingatan dan hafalan, tidak pelupa. B) Memelihara hadis samada yang tertulis atau tidak. Lihat Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 43.
16
1. Periwayat I: Tsaubân bin Yujdud al-Qurasyî al-Hâsyimî
2. Periwayat II: Sâlih bin Rustam al-Hâsyimî al-Dimasyqî
3. Periwayat III: ‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin Jâbir al-Azadî
4. Periwayat IV: Bisyr bin Bakr al-Tinnîsî
5. Periwayat V: ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm bin ‘Amrû bin Maimûn al-Qurasyî
Urutan nama periwayat hadis riwayat Ahmad ibn Hanbal:
Jalur Tsaubân
1. Periwayat I: Tsaubân bin Yujdud al-Qurasyî al-Hâsyimî
2. Periwayat II: ‘Amrû bin Martsad al-Rahabî al-Syâmî al-Dimasyqî
3. Periwayat III: Marzûq Abû ‘Abdullah al-Syâmî al-Himsî
4. Periwayat IV: Al-Mubârak bin Fadâlah bin Abî Umayyah al-Qurasyî
5. Periwayat V: Hâsyim bin al-Qâsyim al-Laitsî al-Baghdâdî
Jalur Abû Hurairah
1. Periwayat I: ‘Abd al-Rahman bin Sakhr
2. Periwayat II: Syubail bin ‘Auf bin Abî Hayyah
3. Periwayat III: Habîb bin ‘Abdullah
4. Periwayat IV: ‘Abd al-Samad bin Habîb bin ‘Abdullah
5. Periwayat V: Muhammad bin Ja‘far
Dalam kegiatan kritik sanad (naqd al-sanad), akan dimulai pada periwayat
terakhir (mukharrij), yakni Abû Dâwud, lalu diikuti pada periwayat sebelumnya dan
seterusnya sampai periwayat pertama.
1. Abû Dâwud
17
a) Nama lengkapnya: Menurut Ibn Abî Hâtim adalah Sulaimân bin al-`Asy‘ats
bin Syidâd bin ‘Amr bin ‘Âmir. Sedang menurut al-Khathîb al-Baghdâdî,
namanya adalah Sulaimân bin al-`Asy‘ats bin Syidâd bin ‘Amr bin ‘Imrân.
Beliau dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan, sebuah negara muslim
di Asia Tengah yang kini termasuk bekas wilayah Uni Soviet dan meninggal
dunia di Basrah pada 16 Syawal tahun 275 H/889 M dalam usia 73 tahun.20
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadits: Di antara guru Abû
Dâwud adalah Ahmad bin Hanbal (240 H), Yahyâ bin Ma‘în Abû Zakariyâ
(233 H), Musaddad bin Musarhad al-Asadî al-Basrî (228 H), dan ‘Amrû bin
‘Aun Nazîl al-Basrah (225 H). Sedang murid Abû Dâwud yang terkenal
adalah Abû ‘Îsâ al-Turmudzî, putranya; Abû Bakr Ibn Abû Dâwud, Ahmad
bin Muhammad bin Hârûn al-Hilâl al-Hanbâlî, Zakariyâ bin Yahyâ al-
Sajiyyû.21
c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap diri beliau:
1. Abû Hâtim ibn Hibbân berkata, “Abû Dâwud adalah salah seorang Imam
yang pintar, berilmu, dan hafîz. Dia telah mengumpulkan banyak hadis,
membukukannya dan telah mengoreksi karyanya; Al-Sunan.
2. Al-Hâkim berkata: Abû Dâwud adalah imam ahli hadis di masanya tanpa
dapat diragukan lagi.22
20Al-Mizî, jil. 2, h. 367. 21Al-Mizî,Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ`al-Rijâl, jil. 2, h. 356-360. Lihat Abû Dâwud Sulaimân
bin al-Asy‘ats Al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), juz. 1, h. 10. 22Ahmad ibn ‘Alî Hajar Abû al-Fadhl Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, (Beirut: Dar al-Fikr,
1984M/1404H), cet. 1, juz 4, h. 151.
18
3. Al-Dzahabî berkata: Abû Dâwud adalah seorang imam dalam hadis,
ulama besar dalam bidang fikih dan kitab karyanya merupakan bukti akan
hal itu. Dia termasuk murid Ahmad bin Hanbal yang terkemuka. Sewaktu
mulâzamah (bersama) dengan Ahmad bin Hanbal, dia banyak bertanya
kepada imam Ahmad tentang permasalahan-permasalahan usûl dan furû’
secara detail.23
4. Mûsâ bin Hârûn: Aku belum pernah melihat orang yang lebih alim dari
imam Abû Dâwud.24
Banyak ulama yang memberikan pujian terhadap kepribadian Abû Dâwud.
Dengan kedudukannya sebagai mukharrij maka tidak perlu diragukan lagi akan
pernyataannya yang menerima hadis dari ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm. Periwayatan
hadis antara keduanya setelah diteliti juga ternyata bersambung.
2. ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm
a) Nama lengkapnya: ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm bin ‘Amrû bin Maimûn.
Nasabnya adalah al-Qurasyî. Manakala kuniyyahnya adalah Abû Sa‘îd al-
Dimasyqî . Beliau lebih dikenali dengan laqabnya Duhaim ibn al-Yatîm,25
juga merupakan hamba dalam keluarga khalifah Utsmân bin ‘Affân.
23Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn Utsmân Al-Dzahabî, Siyâr al-A‘lâm Al-Nubalâ`,
(Qaherah: Dar al-Hadits, 2006), juz 13, h. 215-216. 24Al-Dzahabî, Siyâr al-A‘lâm Al-Nubalâ`, juz 13, h. 212-213. 25Ahmad ibn ‘Alî Hajar Abû al-Fadhl Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, (Syiria: Dar Al-
Rasyid, 1986), cet.1, jilid 1, h. 559.
19
b) Terdapat banyak pendapat yang membicarakan tentang tanggal kelahiran dan
kewafatannya. Ada yang mengatakan beliau dilahirkan pada bulan Syawal
170 H dan wafat pada hari ahad,13 terakhir Ramadhan 245 H di Palestin.26
Beliau pernah menjawat jawatan hakim di Urdun dan Palestin.27
c) Guru ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm cukup banyak, antara lain Bisyr bin Bakr
al-Tinnîsî , ‘Abdullah bin Nâfi‘ al-Sâ`igh, dan Sufyân bin Uyainah.28 Ulama
yang disebutkan pertama adalah guru beliau dalam hadis yang sedang diteliti.
Muridnya juga banyak, antara lainnya adalah al-Bukhârî (w.256 H), Abû
Dâwud (w. 275 H), al-Nasâ`î (w. 303 H), dan anak lelakinya Ibrâhîm.29
d) Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1. Abû Sa‘îd bin Yûnus: Beliau adalah periwayat yang tsiqah tsabat.
2. Ahmad bin ‘Abdullah al-‘Ijlî, Abû Hâtim, al-Nasâ`î, dan al-Darâqutnî:
Tsiqah.
3. Al-Nasâ`î: Ma’mûn lâ ba’s bih.
4. Abû Dâwud: Hujjah, tidak mungkin ada orang yang sepertinya di
Damsyiq pada zamannya. Beliau adalah tsiqah.30
5. Abû Ahmad bin ‘Ady: Duhaim atsbat dari Harmalah bin Yahyâ.31
6. Musagghir bin al-Yatîm: Tsiqah hâfiz mutqin.32
26Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, (Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1980), cet. 1, juz 11, h. 90. 27Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, (Beirut: Dar al-Kutub
Al-Sittah, 1983), cet 1, juz 2, h. 137. 28Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 87.
29Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 88. 30Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 89. 31Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 90.
20
Penelitian para kritikus hadis tersebut menunjukkan bahwa ‘Abd al-Rahman
adalah kibâr tâbi‘ al-atbâ‘ yang tsiqah. Tidak ada seorang pun kritikus hadis yang
mencela pribadi ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm. Pujian-pujian yang diberikan orang
kepadanya dikemukakan oleh kritikus berperingkat tinggi sekalipun ada pujian
tersebut menunjukkan peringkat lafal keterpujian tingkat keempat yang menghasilkan
sahîh dalam bentuk kedua, yang dikategorikan sebagai hadis hasan oleh al-
Turmudzî.33 Dengan demikian, pernyataan ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm yang
mngatakan bahwa dia menerima riwayat hadis di atas dari Bisyr bin Bakr dengan
metode al-samâ‘ (dengan lambang haddatsanâ) dapat dipercaya kebenarannya. Itu
berarti, sanad antara ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm dan Bisyr bin Bakr dalam keadaan
bersambung.
3) Bisyr bin Bakr al-Tinnîsî
a) Nama lengkapnya: Bisyr bin Bakr. Nasabnya adalah al-Tinnîsî al-Bajalî
manakala kuniyyahnya adalah Abû ‘Abd Allah.34 Beliau dilahirkan pada
32Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, jilid 1, h. 559. 33Al-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 61. 34Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 3, h. 59. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 1, h. 126.
21
tahun 124 H35 dan ada beberapa pendapat tentang tanggal kewafatannya. Ada
yang mengatakan pada tahun 200 H dan ini adalah pernyataan dari Hanbal bin
Ishâq. Abû Sa‘îd bin Yûnus mengatakan pada bulan Zulka’dah tanggal 205 H
dan makamnya berada di Turnisia dan daerah Dimyath. Abû Nasr al-
Kalâbadzî mengatakan pada akhir tahun 205H.36
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Antara guru Bisyr bin
Bakr adalah ‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin bin Jâbir, Sa‘îd bin ‘Abd al-‘Azîz
al-Tanûkhî, dan ‘Abd al-Hamîd bin Sawwar. Muridnya juga banyak, antara
lain ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm Duhaim, Sulaimân bin Syu‘aib al-Kaisânî,
dan Muhammad bin Idrîs al-Syâfi‘î.
c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:
1. Abû Zur‘ah: Tsiqah.
2. Abû Hâtim: Mâ bih ba’s.
3. Al-Darâqutnî: Tsiqah.37
4. Marrah: Laisa bih ba’s, tidakku ketahui kecuali hal-hal yang baik-baik
sahaja.
5. Al-‘Ijlî dan al-‘Aqilî: Tsiqah
6. Al-Hâkim: Ma’mûn.
35Ahmad ibn ‘Alî Hajar Abû al-Fadhl Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, (Beirut: Dar al-Fikr,
1984M/1404H), cet. 1, juz 1, h. 288. 36Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 3, h. 60. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî
Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1, h. 101. 37Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 1, 290. Lihat Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-
Rijâl, juz 3, h. 60.
22
7. Musalmah bin Qâsim, diriwayatkan dari al-Auzâ‘î: Lâ ba’s bih insya
Allah.
8. Ibn Hibbân (w. 354H/965M) juga menempatkan nama beliau namanya di
dalam kitab al-Tsiqât.38
Penelitian para kritikus hadis tersebut menunjukkan bahwa Bisyr bin Bakr
adalah al-sughrâ min al-atbâ‘ yang tsiqah. Tidak ada seorang pun kritikus hadis yang
mencela pribadi Bisyr bin Bakr. Pernyataannya menerima riwayat hadis di atas dari
‘Abd al-Rahman bin Yazîd dengan metode al-samâ‘ (dengan lambang haddatsanâ)
dapat dipercaya kebenarannya. Ini terbukti sanad antara Bisyr bin Bakar dan ‘Abd al-
Rahman bin Yazîd dalam keadaan (muttasil) bersambung.
4) Ibn Jâbir
a) Nama lengkapnya: ‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin Jâbir. Nasabnya adalah al-
Azadî al-Dimasyqî al-Dârimî. Manakala kuniyyahnya adalah Abû ‘Utbah.
Saudara kepada Yazîd bin Yazîd bin Jâbir dan bapa kepada ‘Abd Allah bin
‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin Jâbir.39 Banyak pendapat tentang tanggal
kewafatannya yaitu sekitar tahun 153, 154, 155, dan 156 H.40
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru Ibn Jâbir cukup
banyak antaranya Abî ‘Abd al-Salâm Sâlih bin Rustam, ‘Abd Allah bin ‘Umar
38Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 288. 39Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 421. 40Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 423. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 1, h. 595. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 2, h. 168.
23
bin ‘Abd al-‘Azîz, dan Zaid bin Aslam.41 Manakala muridnya dalam bidang
ini antaranya adalah Bisyr bin Bakr al-Tinnîsî, ‘Abd Allah bin al-Mubârak,
dan ‘Îsâ bin Yûnus.42
c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:
1. Ahmad bin Hanbal: Laisa bih ba’s.
2. Yahyâ bin Ma‘în: Tsiqah.
3. Ahmad bin ‘Abdullah al-‘Ijlî, Muhammad bin Sa‘îd, al-Nasâ`î dan
selainnya: Tsiqah.
4. Ya‘qûb bin Utsmân: ‘Abd al-Rahman dan Yazîd adalah anak lelaki Yazîd
bin Jâbir, keduanya tsiqah, menetap di Basrah kemudian berpindah ke
Syam.
5. Abû Dâwud: Beliau adalah tsiqât al-Nâs.
6. Abû Bakr bin Abî Dâwud: Tsiqah ma’mûn.
7. Mûsâ Hârûn: Abû Usâmah meriwayatkan dari ‘Abd al-Rahman bin Yazîd
bin Jâbir, beliau meyangka tidak akan menemui Ibn Jâbir sebaliknya
menemui ‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin Tamîm yang disangkanya adalah
Ibn Jâbir. Ibn Jâbir tsiqah, Ibn Tamîm da‘îf.43
Penelitian para kritikus hadis tersebut menunjukkan bahwa ‘Abd al-Rahman
bin Yazîd adalah kibâr al-atbâ‘ yang tsiqah. Tiada kritikus hadis yang mencela
pribadi beliau. Dengan demikian, pernyataannya menerima riwayat hadis di atas dari
41Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 421. 42Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 422. 43Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 322.
24
Sâlih bin Rustam dengan metode al-samâ‘ (dengan lambang haddatsanî) dapat
dipercayai. Itu berarti, sanad antara ‘Abd al-Rahman bin Yazîd dan Sâlih bin Rustam
dalam keadaan (muttasil) bersambung.
5) ‘Abd al-Salâm
a) Nama lengkapnya: Sâlih bin Rustam. Nasabnya al-Hâsyimî. Manakala
kuniyyahnya adalah Abû ‘Abd al-Salâm al-Dimasyqî.44Generasi kedua tabi‘in
Syam.45
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru ‘Abd al-Salâm
adalah Tsaubân; hamba Rasulullah SAW, ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rahman
bin Hawâlah al-Azadî dan Makhul al-Syâmî. Manakala muridnya adalah ‘Abd
Allah bin ‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin Jâbir, Sa’îd bin Ayyûb, dan
bapanya; ‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin Jâbir.
c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:
1. ‘Abd al-Rahman bin Abî Hâtim: Aku bertanya kepada ayahku tentangnya,
dia menjawab: Majhûl lâ nu‘rifuh.46
44Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 9, h. 26. Lihat juga Al-‘Asqalânî, Taqrîb
al-Tahdzîb, juz 1, h. 428. 45Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 9, h. 26. 46Al-Râzî, Al-Jarh wa al-Ta’dîl, (Beirut: Dar al-Fikr, 1954), cet 1, juz 4. h. 403. Lihat Al-
Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 9, h. 26.
25
2. Abû Zur‘ah al-Damsyiqî: Beliau adalah generasi kedua dari tabi‘in Syam,
Abû ‘Abd al-Salâm; yang meriwayatkan darinya adalah Ibn Jâbir,
namanya adalah Sâlih bin Rustam, aku bertanya kepada syeikh siapakah
yang melahirkannya, jawabnya dengan namanya (tidak diketahui
identitasnya).
3. Ibn Hibbân menyebut nama beliau di dalam kitabnya al-Tsiqât.47
Sekalipun identitas Sâlih bin Rustam dalam kesamaran, beliau masih dapat
dikategorikan surghrâ min al-atbâ’ yang tsiqah kerana pernyataan ahli hadis dengan
minimal ada dua orang yang meriwayatkan darinya atau lebih dapat menghilangkan
kejahalahan periwayat tersebut.48
6) Tsaubân
a) Nama lengkapnya: Tsaubân bin Yujdud. Nasabnya adalah al-Qurasyî al-
Hâsyimî. Kuniyyahnya adalah Abû ‘Abd Allah. Ada yang mengatakan Abû
‘Abd al-Rahman. Beliau meninggal di Hims pada tahun 44 H.49
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru Tsaubân adalah
Nabi Muhammad SAW. Manakala muridnya antaranya adalah Abû ‘Abd al-
Salâm Sâlih bin Rustam, Syidâd bin Aus,50 dan Abû Asmâ` al-Rahabî.
c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:
47Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, Juz 9, h. 26. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 4, h. 341. 48Lihat Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, UUsûl Al-Hadîts, penerjemah Qodirun Nur dan
AhmadMusyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pranata, 2007), cet. 4, h. 242. 49Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, Juz 3, h. 272. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb
Tahdzîb, juz 1, h. 151. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1, h. 119.
50Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 3, h. 271.
26
1. Ibn Hibbân menyebutnya sebagai tsiqât.
Tsaubân merupakan hamba kepada Rasulullah SAW dan penduduk al-Sarah;
tempat atau daerah di antara Makkah dan Yaman.51 Para ahli kritik hadis tidak ada
yang mencela pribadi Tsaubân dalam periwayatan hadis. Lambang periwayatan yang
digunakan dalam meriwayatkan hadis yang sedang diteliti sanadnya ini adalah qâla
yang oleh sebagian ulama, lambang itu disamakan kedudukannya dengan ‘an atau
pun ‘annâ. Kredibilitas keadilan sahabat juga tidak perlu dipertikai berdasarkan dalil-
dalil sifat adil sahabat dari kitab52 dan juga hadis.53
Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa hadis yang sanadnya diteliti ini
diterima langsung oleh Tsaubân dari Nabi, itu berarti pula bahwa antara Nabi dan
Tsaubân telah terjadi persambungan periwayatan hadis.
Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa sanad Abû Dâwud setelah diteliti
tidak mengandung syudzûdz (kejanggalan) dan ‘illah (cacat). Dinyatakan demikian,
kerana seluruh periwayatan yang terdapat dalam sanad yang diteliti, masing-masing
dari mereka itu bersifat tsiqât (adil dan dhabit), walau mayoritas periwayatnya telah
dinyatakan lafal keterpujian pada level yang keempat (yang menghasilkan sahîh
51Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 3, h. 271. 52Maksudnya: Kamu (wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (kerana) kamu menyuruh berbuat segala perkara yang baik dan melarang daripada segala perkara yang salah (buruk dan keji), serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan sebenar-benar iman). Dan kalaulah Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) itu beriman (sebagaimana yang semestinya), tentulah (iman) itu menjadi baik bagi mereka. (Tetapi) di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakkan mereka: orang-orang yang fasik. Surat al-Imran ayat 110. Lihat, Al-Khathib, UUsûl Al-Hadîts, h. 388. 53Manakala contoh hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudriy berbunyi: “Janganlah kalian mencaci salah seorang di antara sahabatku, karena salah seorang di antara kalian, seandainya menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, maka tidak akan dapat menyamai satu mud (yang dinafkahkan) oleh salah seorang di antara mereka dan tidak pula separuhnya”. Lihat, Al-Khathib, UUsûl Al-Hadîts, h. 387.
27
dalam bentuk kedua yaitu hasan), dan sanadnya bersambung mulai dari mukharrij
sampai kepada sumber utama berita, yaitu Rasulullah SAW.
Ini berarti, hadis yang diteliti ini telah memenuhi unsur-unsur kaidah
kasahihan sanad hadis, sehingga natijahnya dapat dinyatakan berkualitas sahih li
dzâtih.54
Jalur sanad Ahmad bin Hanbal melalui Tsaubân
Disini penulis meneliti jalur sanadnya dari periwayat terakhir (mukharrij),
yakni Ahmad bin Hanbal, sehingga yang seterusnya sebelum Nabi.
1) Ahmad bin Hanbal
a) Nama lengkap: Ahmad Ibn Muhammad bin Hanbal Ibn Hilâl Ibn Asad al-
Syaibânî Abû ‘Abd Allah al-Marwazî al-Baghdâdî.55 Beliau dilahirkan pada
bulan Rabi‘ul Awal tahun 164 hijrah atau november 780 M dan wafat pada
hari jumaat bulan Rabiul Awal tahun 241 hijrah di kota kelahirannya,
Baghdad dalam usia 77 tahun.56
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Antara guru Ahmad
adalah Abû Al-Nadar Hâsyim bin al-Qâsim, Ibrâhîm Ibn Khâlid al-Sin‘ânî,
dan ‘Abd al-Rahman bin Mahdî.57 Manakala muridnya antaranya adalah al-
54Hadis di atas sahîh berdasarkan keseluruhan jalurnya, sebagaimana dikatakan Syeikh
Nashiruddin al-Albani, ia menyandarkan hadis ini kepada Abû Dâwud, al-Rûyânî dalam Musnadnya, Ibn ‘Asâkir dalam Târîkh Baghdâd, Ahmad dalam Musnadnya, Abû Nu‘aim dalam al-Hilyah, dan lain-lain. Lihat Silsilah al-Hadîts al-Sahîhah, Muhammad Nasr al-Dîn Al-Albânî, (Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif, 1415H/1995M), cetakan terkini, juz 2, h. 647-648, no. 958.
55Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 97. Lihat Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 1, h. 226.
56Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1403H/1973M), cet. 2, juz 1, h. 465.
57Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 1, h. 437-439.
28
Bukhârî, Abû Dâud, dan ‘Abdullah Ibn ‘Umar Ibn Muhammad Ibn Abbân al-
Ju‘f.58
c) Pernyataan kritikus hadis terhadap diri beliau:
1. Al-‘Ijlî: Tsiqah, tsabat fî al-Hadîts.
2. Al-Syâfi‘î: Aku telah melihat seorang pemuda di negeri Baghdad; apabila
dia berkata حدثنا , semua orang akan mengatakan ia adalah sadûq. Ditanya
siapakah pemuda tersebut? Jawabnya: Ahmad bin Hanbal.
3. ‘Alî al-Madînî: Sesungguhnya Allah telah memuliakan agama ini kerana
Abû Bakr as-Siddîq pada peristiwa al-riddah dan dengan Ahmad bin
Hanbal pada peristiwa cobaan mengatakan al-Quran itu makhluk ( يوم
.( المحنة
4. Al-Nasâ`î: Ahmad itu tsiqah ma’mûn.
5. Ibn Hibbân: Ahmad itu hâfiz mutqin faqih.
6. Ibn Sa‘ad: Ahmad itu tsiqah tsabit sudûq.59
Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela Ahmad bin Hanbal. Pujian yang
diberikan orang kepadanya adalah pujian berperingkat tinggi dan tertinggi. Dengan
demikian, pernyataannya yang mengatakan bahwa dia telah menerima riwayat hadis
di atas dari Abû al-Nadar Hâsyim bin al-Qâsim dengan metode al-samâ‘ (dengan
lambang haddatsanâ) dapat dipercaya. Itu berarti bahwa sanad antara beliau dan Abû
al-Nadar dalam keadaan bersambung.
58Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 1, h. 440-441. 59Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn Uthmân Al-Dzahabî, Tadzkirah al-Huffâz,
(Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1375H-1955M), cet. 1, juz 11, h. 431-432.
29
2) Abû al-Nadar
a) Nama sebenarnya adalah Hâsyim bin al-Qâsim bin Muslim bin Miqsam.
Nasabnya adalah al-Laitsî al-Kharâsâni. Kuniyyahnya adalah Abû al-Nadar.
Manakala laqabnya adalah Qaisar.60 Dilahirkan pada 134 H dan meninggal di
Baghdad pada bulan Zulka’dah tahun 207 H.61
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru ulama hadis ini
cukup banyak antaranya Mubârak bin Fadâlah, Syarîk bin ‘Abdullah al-
Nakha‘î,62 dan ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd Allah bin Dînâr. Manakala
muridnya antaranya adalah Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin
Yahyâ al-Qatthân, dan Abû Bakr bin Abî al-Nadar.63
c) Pernyataan para kritikus terhadap diri beliau:
1. Ahmad bin Hanbal: Abû al-Nadar atsbat dari Syadzân.
2. Yahyâ bin Ma‘în: Tsiqah
3. ‘Alî bin al-Madînî, Muhammad bin Sa‘ad dan Abû Hâtim: Tsiqah
4. Al-‘Ijlî: Abû al-Nadar adalah kalangan kanak-kanak, mendomosili
Baghdad, seorang yang tsiqah sâhib sunnah, dan penduduk Baghdad
berbangga dengan beliau.64
60Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 19, h. 214. Lihat Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-
Tahdzîb, juz 11, h. 18. Lihat Al-’Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 261. 61Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 19, h. 216. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrib
Tahdzib, juz 2, h. 261. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1, h. 191-192.
62Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 19, h. 214. 63Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 19, h. 215. 64Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 19, h. 216.
30
Penelitian para kritikus hadis tersebut menunjukkan bahwa Abû al-Nadar
adalah al-surghrâ min al-atbâ‘ yang tsiqah. Kerana tidak ada seorang kritikus pun
yang mencelanya. Dengan demikian, pernyataannya menerima riwayat hadis di atas
dari Mubârak bin Fadâlah dengan metode al-samâ‘ (dengan lambang haddatsanâ)
dapat dipercaya. Itu berarti bahwa sanad antara beliau dan Mubârak bin Fadâlah
dalam keadaan bersambung.
3) Mubârak bin Fadâlah bin Abî Umayyah
a) Nama lengkapnya: Mubârak bin Fadâlah bin Abî Umayyah. Kuniyyahnya
adalah Abû Fadâlah. Manakala nasabnya adalah al-Basrî. Hamba Zaid bin al-
Khatthâb.65 Meninggal dunia pada tahun 166 H. Sadûq yudallis.66 Lâ ba’s
bih.67
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Antara gurunya adalah
Hasan al-Basrî, Abû Bakr bin ‘Abd Allah al-Mazanî, dan Wakî‘, Hibbân bin
Hilâl.68 Manakala murid antaranya Ibn Mubârak, Muslim, dan Hadbah.69
c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:
1. Hujjâj bin Muhammad: Aku bertanya kepada Syu‘bah tentang Mubarak
dan al-Rabî‘ bin Sabîh, jawabnya: Mubarak lebih aku sukai
berbandingnya,
65Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 62. 66Ahmad ibn ‘Alî Hajar Abû al-Fadhl Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 157. 67Al-‘Ajali, Ma’rifah al-Tsiqât, juz 2, h. 263. 68Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 157. 69Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1, h. 104.
31
2. ‘Amrû bin ‘Alî: Aku telah mendengar ‘Affân berkata Mubârak dianggap
ahli ibadah.
3. Yahyâ bin Sa‘îd memaniskan ucapan pujian terhadap beliau.
4. Abû Hâtim: Sesungguhnya ‘Affân memujinya secara berlebih-lebihan.
5. ‘Abdullah bin Ahmad, apabila ditanyakan kepada bapaku tentang al-
Mubârak dan al-Rabî‘ bin Sabîh, maka jawabnya: Aku tidak terlalu rapat
dengan mereka berdua, al-Mubârak yudallis.70
6. Abû Zur‘ah: Yudallis katsîr, apabila dia mengatakan haddatsanâ maka
tsiqah.71
Para kritikus hadis memuji Mubârak bin Fadâlah, dan ada yang menilainya
sebagai yudallis72. Tetapi beliau masih bisa dikatakan tsiqah kerana argumentasi
yang dinyatakan oleh kritikus hadis; Abû Zur‘ah di atas.
4) Marzûq
a) Nama lengkapnya: Marzûq Abû ‘Abd Allah al-Syâmî al-Himsî. Nasabnya
adalah al-Syâmî al-Himsî manakala kuniyyahnya adalah Abû ‘Abdullah.
Beliau mendomisili di Basrah.
70Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 10, h. 27. 71Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman bin Abî Bakr, Tabaqât al-Huffâz, (Beirut, Dar al-Kutub al-
‘Ilmiah, 1994), cet. ke-2, h. 93. 72Mudallas adalah hadis-hadis yang telah disisipkan ke dalam sanadnya, seseorang yang
bukan dari sanadnya, atau dirupakan dengan bukan rupa yang asli. Hadis ini amat daifnya. Ringkasnya perawi tersebut tidak mau menyebutkan nama orang yang memberikan hadis kepadanya. Orang yang diketahui pernah membuat hadis mudallas, tiada dipercayai lagi riwayatnya. Lihat, Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 350.
32
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru Marzûq antaranya
adalah Abû Asmâ` al-Rahabî, ‘Abd Allah bin ‘Âmir, dan ‘Âsim bin ‘Alî al-
Bajalî.73 Manakala muridnya adalah Mubârak bin Fadâlah, Khulaid bin
Hassan dan Hammad bin Basyîr al-Jahdamî.74
c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:
1. Yahyâ bin Ma‘în: Marzûq Abû ‘Abdullah al-Syâmî laisa bih ba’s.
2. Ibn Hibbân juga menempatkan nama beliau di dalam karangan al-Tsiqât.
3. Abû Mu‘tamir dan Rauh: Sadûq.75
Tidak ada seorang pun dari kritikus hadis yang mencela pribadi Marzûq. Ini
menunjukkan Marzûq adalah seorang yang tsiqah. Dengan demikian, pernyataan
beliau yang menerima riwayat hadis di atas dari Abû Asmâ` al-Rahabî dengan
lambang haddatsanâ (dengan metode al-samâ‘) dapat dipercaya kebenarannya. Dan
berarti pula bahwa sanad antara Marzûq dan Abû Asmâ` al-Rahabî dalam keadaan
bersambung.
5) Abû Asmâ` al-Rahabî
a) Nama lengkapnya: ‘Amrû bin Martsad. Nasabnya adalah al-Rahabî al-Syâmî
al-Dimasyqî manakala kuniyyahnya adalah Abû Asmâ`. Meninggal dunia di
zaman khalifah ‘Abd al-Malik.76
73Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 27, h. 376. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1, h. 115.
74Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 27, h. 377. 75Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwayah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1, h. 115. Lihat Al-
Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 27, h. 377. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz 10, h. 79.
33
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru Abû Asmâ` al-
Rahabî antaranya adalah Tsaubân; hamba kepada Rasulullah, Syaddâd bin
Aus al-Ansârî, dan Abû Hurairah. Manakala muridnya pula antaranya adalah
Sâlih bin Jubair, Râsyid bin Dâwud al-Sin‘âni, dan Abû Sallâm al-Aswad.
c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:
1. Al-‘Ijlî: Beliau adalah seorang tabien, ahli Syam dan seorang yang tsiqah.
2. Ibn Hibbân juga menggolongkan dirinya di dalam kelompok periwayat
yang tsiqah sebagaimana yang terkandung di dalam kitabnya yaitu al-
Tsiqât.77
Penelitian para kritikus hadis tersebut menunjukkan bahwa Abû Asmâ` al-
Rahabî adalah al-wusthâ min al-tâbi‘în yang tsiqah. Tidak ada seorang pun kritikus
hadis yang mencela pribadi beliau. Dengan demikian, pernyataannya yang
mengatakan bahwa dia menerima riwayat hadis di atas dari Tsaubân dengan metode
al-samâ‘ (dengan lambang ‘an) dapat dipercaya kebenarannya dan berarti sanad
antaranya dan Tsaubân dalam keadaan (muttasil) bersambung.
Tsaubân
Sudah dikritisi penulis pada halaman 25-26.
Jalur sanad Ahmad bin Hanbal melalui Abû Hurairah
1. Abû Ja’far al-Madâ`inî
76Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 745. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 2, h. 295.
77Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 14, h. 329. Lihat Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 8, h. 87.
34
a) Nama lengkapnya: Muhammad bin Ja‘far. Nasabnya adalah al-Bazzâr.
Manakala kuniyyahnya adalah Abû Ja‘far al-Madâ`inî.78 Beliau meninggal
dunia pada tahun 206 H.79
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Antara guru Abû Ja‘far
adalah ‘Abd al-Samad bin Habîb, ‘Îsâ bin Maimûn al-Madanî, dan Mansûr
bin Abî al-Aswad. Manakala muridnya antaranya adalah Ahmad bin Hanbal,
Hatim bin al-Laits al-Jauharî, dan Muhammad bin al-Husîn al-Burjulânî.80
c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:
1. Abî Dâwud: Laisa bih ba’s, orang lain melayyinkannya.81
2. Ahmad bin Hanbal: Lâ ba’s bih.
3. Abû Hâtim: Hadisnya ditulis, akan tetapi tidak boleh dijadikan hujjah
dengannya (lâ yuhtaj bih).
4. Ibn Hibbân menyebut namanya di dalam kitab al-Tsiqât.82
Pernyataan terhadap Abû Ja‘far menunjukkan adanya para kritikus hadis yang
memuji dan mencelanya dengan lafal layyin dan lâ yuhtaj bih. Sedang lafal layyin
dan lâ yuhtaj bih adalah istilah untuk menyebut sifat periwayat yang tergolong al-
jarh (terdapat celaan) yang peringkatnya berada paling dekat dengan peringkat al-
78Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 16, h. 175. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 2, h. 63. Lihat Al-’Asqalânî , Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 9, h. 86. 79Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 16, h. 176. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 2, h. 63. 80Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 16, h. 176. 81Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1, h. 26. Lihat
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 16, h. 176. 82Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 16, h. 176. Lihat Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-
Tahdzîb, juz 9, h. 86.
35
ta’dîl yang terendah.83 Walaupun Abû Hâtim dan Abû Dâwud sudah terpercaya akan
ketsiqahan keduanya tetapi mereka tidak menjelaskan sebab-sebab yang
melatarbelakangi ke-layyin-an dan ke-lâ yuhtaj bih-an Abû Ja‘far al-Madanî.84
Kerananya, kritikan tersebut tidak mengurangi ke-tsiqat-an Abû Ja‘far al-Madanî.
2. ‘Abd al-Samad bin Habîb bin ‘Abdullah
a) Nama lengkapnya: ‘Abd al-Samad bin Habîb bin ‘Abdullah. Nasabnya adalah
al-Azdî al-Auzî. Ada pendapat lain yaitu al-Yuhmadî al-Basrî. Al-Bukhârî
menambah yakni beliau adalah ‘Abd al-Samad bin Abî al-Hantsar al-Râsibî.85
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru ‘Abd al-Samad
adalah bapanya Habîb, Sa‘îd bin Rahman al-Quthâ‘î dan Ma‘qil al-Qasmalî.
Manakala muridnya adalah Muhammad bin Ja‘far al-Madâ`inî, Abû Qutaibah
Salm bin Qutaibah, dan Abû al-Nadar Hâsyim bin al-Qâsim.
c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:
1. Yahyâ bin Ma‘în: Laisa bih ba’s. 86
2. Abû Zakariyâ: ‘Abd al-Samad bin Habîb adalah syeikh Baghdad laisa bih
ba’s. Beliau hâhinâ bi baghdâd.
3. Al-Bukhârî: Layyin al-Hadîts, Ahmad menda‘îfkannya.87
83Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, (Bandung: PT Alma’rif, 1974), cet. 1, h.
318. 84Lihat Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 75. 85Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 473. 86Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 473. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 1, h. 601. 87Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 2, h.173.
36
4. Abû Hâtim: Layyin al-Hadîts, Ahmad menda‘îfkannya, hadisnya ditulis,
laisa bi al-Matrûk.88
Memandangkan ‘Abd al-Samad bin Habîb menerima hadis dari ayahnya
dengan lambang ‘an, ulama telah banyak yang mempersoalkan tentang lafal atau harf
tersebut. Maka perlu memenuhi syarat-syarat tertentu.89 Setelah diteliti, penulis tidak
menemukan data adanya pertemuan yaitu tanggal wafat dan lahir, beliau juga
dinyatakan layyin. Oleh kerana ulama tidak menyertakan sebab kelayyinan beliau,
maka beliau masih bisa dikatakan tsiqah tetapi kredibilitasnya kurang.
3. Habîb bin ‘Abdullah
a) Nama lengkapnya: Habîb bin ‘Abdullah. Nasabnya adalah al-Azadî al-
Yuhmadî al-Basrî. Manakala kuniyyahnya adalah Abû ‘Abd al-Samad.90
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Gurunya adalah Syubail
bin ‘Auf al-Ahmasî, al-Hakam bin ‘Amrû al-Ghifârî, dan Sinan bin Salamah
bin al-Muhabbaq. Manakala muridnya hanya seorang sahaja yaitu anaknya;
‘Abd al-Samad bin Habîb.91
Penulis tidak menemukan data tentang penilaian kritikus terhadap periwayat
ini. Yang menandakan periwayat ini adalah mastûr (tidak diketahui hal ihwalnya).
Walaubagaimanapun jahâlah tersebut akan hilang sekiranya ada dua orang atau lebih
88Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 473. 89Syarat-syarat itu adalah: 1. Pada sanad tidak terdapat tadlîs. 2. Para periwayat yang
namanya beriring dan diantarai oleh lambang itu telah terjadi pertemuan. 3. Periwayat yang menggunakan lafal tersebut mestilah orang yang tsiqah. Lihat, Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 79.
90Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 4, h. 124. 91Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 4, h. 124.
37
yang meriwayatkan hadis darinya. Secara dzahirnya, mereka berstatus adil tetapi ke-
mastûr-an tersebut menyebabkan tiada ulama yang menilai tsiqah dan
mentarjîhkannya. Dengan keintelektualitas yang tidak dapat dibatasi tersebut, penulis
dapat memberi kesimpulan beliau adalah periwayat yang adil.
4) Syubail bin ‘Auf
a) Nama lengkapnya: Syubail bin ‘Auf bin Abî Hayyah. Nasabnya adalah al-
Ahmasî al-Bajalî. Manakala kuniyyahnya adalah Abû al-Thufail al-Kûfî.92
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Gurunya adalah Abû
Hurairah, ‘Umar bin al-Khatthâb, dan Abî Jabîrah bin al-Dahâk al-Ansârî.
Manakala muridnya adalah Habîb bin ‘Abdullah al-Azadî; bapa kepada ‘Abd
al-Samad bin Habîb dan Ismâ‘îl bin Abî Khâlid.93
c) Pernyataan para kritikus terhadap diri beliau:
1. Yahyâ bin Ma‘în: Tsiqah
2. Ibn Hibbân menyebut namanya di dalam kitab al-Tsiqât.94
3. Ibn Sa‘îd: Tsiqah, sedikit meriwayatkan hadis.95
Pernyataan para kritikus hadis tersebut telah memadai untuk menetapkan
bahwa Syubail bin ‘Auf adalah seorang periwayat hadis dari generasi kibâr al-tâbi‘în
yang tsiqah. Dengan demikian, pernyataan Syubail bin ‘Auf bahwa dia menerima
hadis di atas dengan metode al-samâ‘ (dengan lambang ‘an) dari Abû Hurairah, tidak
92Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 8, h. 280. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 412.
93Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 8, h. 280. 94Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 8, h. 280. Lihat Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-
Tahdzîb, juz 4, h. 273. 95Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 4, h. 273.
38
diragukan lagi kebenarannya. Itu berarti pula bahwa sanad antara Syubail bin ‘Auf
dan Abû Hurairah bersambung.
5) Abû Hurairah
a) Nama lengkapnya: ‘Abdullah atau ‘Abd al-Rahman al-Dausî dari Azd al-
Yamanî. Versi lain mengatakan bahwa namanya adalah Abû Hurairah bin
Sakhr.96 Beliau memeluk Islam pada tahun ke-7 H pada waktu peristiwa
Khaibar dalam usia kira-kira 27 tahun.97 Abû Hurairah lahir pada tahun 21
sebelum hijrah dan meninggal pada tahun 57 H/636M dalam usia 78 tahun.98
b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan: Guru Abû Hurairah antara lain
adalah Muhammad SAW, Abû Bakr al-Siddîq, dan Usâmah bin Zaid.
Manakala muridnya antara lain adalah ‘Abdullah bin ‘Umar, Muhammad bin
Sîrîn, dan ‘Urwah bin Zubîr.99
c) Pernyataan ulama kritikus hadis terhadap beliau:
1. ‘Abdullah bin ‘Umar (w. 37H) berkata bahwa Abû Hurairah sering
bersama Nabi Muhammad SAW daripada kami, lebih banyak menghafal
hadis dari kami.
96‘Izz al-Dîn Ibn Al-Asr Abî al-Hasan ‘Alî bin Muhammad al-Jazrî, UUsl al-Ghâbah fî
Ma’rifah al-Sahâbah, juz 5, h. 318-319. 97Mahmud ‘Ali Fayyad, Manhaj al-Muhadditsîn fî Dabth as-Sunnah, penerjemah A. Zarkasyi
Chumaidy, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1419H/1998M), cet. 1, h. 108. 98 Al-Jazrî, UUsl al-Ghâbah fî Ma’rifah al-Sahâbah, juz 5, h. 321. 99Ibrahim Dasuqi Al-Syahrawi, Mu‘âlah al-Hadîts, (Qairo: Syirkah al-Tiba’at al-Fanniyah al-
Muttahidah, t.t), h. 181.
39
2. Al-Syâfi‘î (w. 206H) berkata bahwa Abû Hurairah paling hapal hadis
daripada periwayat-periwayat hadis pada zamannya, dan paling banyak
meriwayatkan hadis daripada mereka.
3. Al-A‘raj (w. 117H) berkata bahwa Abû Hurairah banyak menerima hadis
dari Nabi Muhammad SAW, selalu menghadiri majlisnya, dan tidak
melupai apa yang telah didengarinya.100
Abû Hurairah merupakan generasi pertama sahabat. 101 Beliau terkenal
sebagai salah seorang yang sangat hampir dan banyak mendampingi Rasulullah,
seorang yang terkenal dengan kejujuran dan sangat penyayang.102
Dalam bidang periwayatan hadis, Abû Hurairah menduduki peringkat pertama
dari sahabat yang digelari al-muktsirûn fî al-hadîts.103
Para kritikus tiada yang mencela pribadi Abû Hurairah dalam periwayatan
hadis. Melihat hubungan pribadinya yang erat dengan Nabi SAW dan dedikasinya
yang tinggi dalam memelihara sumber ajaran Islam kedua ini, maka Abû Hurairah
100Bustamin dan M. Isa H.A Salam, Metodologi kritik hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004), cet. 1, h. 52.
101Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman bin Abî Bakr, Tabaqât al-Huffâz, (Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiah, 1994), cet. ke-2, h. 17.
102Hubungannya yang erat dengan Rasulullah kerana beliau tidak disibukkan dengan urusan. Hal ini kerana ia merupakan seorang yang fakir dan tidak berharta sehingga hampir seluruh waktunya digunakan untuk berada di sisi Rasul, suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh kaum anshar pada umumnya. Lihat, Fayyad, Manhaj al-Muhadditsîn fî Dabth as-Sunnah, h. 108.
103Al-Muktsirûn fî al-Hadîts (Bendaharawan Hadis) ialah sahabat Nabi SAW yang telah meriwayatkan hadis lebih dari 1000 buah hadis. Mereka itu ada tujuh orang, yakni (1) Abû Hurairah (w. 58H), (2) ‘Abdullah bin ‘Umar (w. 73H), (3) Anas bin Mâlik (w. 93H), (4) Um al-Mukminîn ‘Âisyah (w. 58H), (5) ‘Abdullah bin ‘Abbâs (w. 68H), (6) Jâbir bin ‘Abdullah (w. 78H), (7) Abû Sa‘îd Al-Khudrî. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî berjumlah 5374 buah. Di antara jumlah tersebut, 325 buah hadis disepakati oleh al-Bukhârî Muslim. 93 buah diriwayatkan oleh al-Bukhârî sendiri dan 189 buah diriwayatkan oleh Muslim sendiri. Sedang sisanya diriwayatkan oleh ulama hadis selain al-Bukhârî dan Muslim. Lihat, Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, h. 287-288.
40
termasuk salah seorang sahabat Nabi yang tidak diragukan kejujuran dan
kesahihannya dalam menyampaikan hadis. Lambang periwayatan yang digunakan
dalam meriwayatkan hadis yang diteliti sanadnya ini adalah sami‘tu. Ini berarti, Abû
Hurairah benar-benar telah mendengar langsung hadis tersebut dari Nabi Muhammad
SAW.
Dengan demikian, dapatlah dinyatakan bahwa hadis yang sanadnya diteliti ini
diterima langsung oleh Abû Hurairah dari Nabi SAW. Dan berarti pula bahwa antara
Nabi dan Abû Hurairah telah terjadi persambungan periwayatan hadis.
Kekuatan sanad Ahmad bin Hanbal semakin meningkat bila dikaitkan dengan
pendukung berupa syâhid dan mutâbi‘. Kesahihan sanad dari Abû Dâwud juga telah
menambah kekuatan sanad Ahmad.
Dengan argumentasi-argumentasi tersebut jelaslah bahwa sanad Ahmad bin
Hanbal melalui Abû Ja‘far al-Madâ`inî dan seluruh periwayatannya bersifat adil dan
dhabit (tsiqat), sanadnya juga dalam keadaan bersambung. Konklusinya dapat
dinyatakan bahwa hadis yang bersangkutan berkualitas sahîh li ghairih.104
E. Kegiatan Penelitian Matan
Dalam hubungannya dengan status kehujahan hadis, maka penelitian sanad
dan matan memiliki kedudukan yang sama pentingnya. Kerana menurut ulama hadis,
keotentikan sebuah hadis ditentukan oleh dua hal, yakni sanad dan matan. Sanad ialah
104Hadis di atas sahîh berdasarkan keseluruhan jalurnya, sebagaimana dikatakan Syeikh Nasr
al-Dîn al-Albânî, ia menyandarkan hadis ini kepada Abû Dâwud, al-Rûyânî dalam Musnadnya, Ibn ‘Asâkir dalam Târikh Baghdâd, Ahmad dalam Musnadnya, Abû Nu‘aim dalam al-Hilyah, dan lain-lain. Lihat Silsilah al-Hadîts al-Sahîhah, Muhammad Nasr al-Dîn Al-Albânî, (Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif, 1415H/1995M), cetakan terkini, juz 2, h. 647-648, no. 958.
41
rangkaian periwayat yang menyampaikan hadis dari masdarnya yang awal. Sedang
istilah matan adalah materi hadis itu sendiri. Kerana itu, sebuah hadis akan dianggap
otentik apabila memenuhi beberapa persyaratan yang terkait dengan sanad dan matan
yaitu apabila keduanya itu sama-sama berkualitas sahih.105
Adapun langkah-langkah metodologis kegiatan penelitian matan hadis yaitu
1) Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya. 2) Mengindektifikasikan bentuk
periwayatan. 3) Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna. 4) Meneliti
kandungan matan (membandingkan dengan nas). Sedangkan yang menjadi unsur-
unsur acuan utama yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas sahih
adalah terhindar dari syudzûdz (keganjalan) dan terhindar dari ‘illat (cacat).
Dalam kegiatan kritik matan (naqd al-matn al-dakhilî) ini, penulis akan
mencoba berusaha memenuhi langkah-langkah tersebut.
1. Melihat Kualitas Sanad Hadis
Konklusi hasil kritik sanad (naqd al-sanad, al-naqd al-kharijî) hadis yang
diteliti telah ditegaskan bahwa dua sanad hadis Ahmad bin Hanbal dan satu dari Abû
Dâwud adalah berkualitas sahîh. Itu berarti bahwa kualitas hadis dari kedua-dua
musnad telah memenuhi langkah pertama kritik matan untuk hadis yang
bersangkutan.
2. Mengindektifikasikan bentuk periwayatan
105Hadis yang sanadnya sahih dan matannya tidak sahih, atau sebaliknya, sanadnya dhaif dan
matannya sahih, tidak dinyatakan sebagai hadis sahih. Meskipun dalam prakteknya, kegiatan penelitian sanad didahulukan atas penelitian matan. Lihat, Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 122-123.
42
Redaksi matan hadis di atas merupakan hadis qauliyyah. Dari segi bahasa,
hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian, yaitu mengandung pesan yang
mengajak kepada kebenaran dan kesadaran dengan bahasa yang singkat, padat, sopan,
namun tegas dan terfokus kepada masalah yang dibicarakan.
Hadis sebagai sebuah pesan-pesan keagamaan disampaikan dalam sebuah
bahasa yang tentunya juga bersifat keagamaan. Sebagai sebuah bahasa keagamaan
tentu sedikit tidaknya berbeda dengan bahasa ilmiah atau bahasa umum. Salah satu
ciri yang paling menonjol dalam bahasa keagamaan adalah seringnya pemakaian
bahasa metaforis dan kiasan.106Sementara hadis di atas, Nabi menyampaikan maksud
hadis dengan simbolik, kiasan dan perumpamaan yang menarik.
3. Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna
Susunan matan hadis untuk ketiga sanad yang telah dikutip dari dua mukharrij
terlihat adanya perbedaan lafal. Untuk memperjelaskan adanya perbedaan lafal
dimaksud, berikut ini dikemukakan contoh perbedaan lafal dari kutipan tiga matan
tersebut:
107حب الدنيا وآراهية الموت .1
108حب الحياة وآراهية الموت .2
109حبكم الدنيا وآراهيتكم القتال .3
106 Maizuddin, “Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Nabi,”artikel diakses pada 6 Mac 2010
dari http://maizuddin.wordpress.com/artikel/pemahaman-kontekstual-atas-hadis-nabi/ 107Susunan matan dari mukharrij Abû Dâwud. 108Susunan matan dari mukharrij Ahmad, jalur Tsaubân. 109Susunan matan dari mukharrij Ahmad, jalur Abû Hurairah.
43
Dengan demikian, apabila ditempuh metode muqâranah terhadap perbedaan
lafal pada berbagai matan yang semakna, maka dapat dinyatakan bahwa perbedaan
lafal tersebut masih dapat ditoleransi. Pernyataan ‘dapat ditoleransi’ didasarkan atas
alasan bahwa di antara sanad-sanad dari hadis di atas kesemuanya sahîh110 dan
sebagai konsekuensi maknaperiwayatan hadis secara (al-riwâyah bi al-ma�nâ).111
Akan tetapi tidak seperti kesarjanaan Muslim dalam melakukan autentifikasi
hadis dengan metode autensitas hadis yang terlalu umum, penelitian hadis di Barat
lebih menekankan pada bagaimana memverifikasi sebuah hadis untuk mebedakan
yang autentik dari yang tidak autentik. Penekanan pada penelitian mereka adalah
bagaimana melakukan sebuah “penanggalan” (dating) atas sebuah hadis untuk
menilai historitas sebuah hadis.
Jadi bagi menjawab segala pertanyaan kapan, di mana dan siapa yang
menemukan sebuah hadis, sejumlah metode telah dikembangkan oleh kesarjanaan
Barat seperti Joseph Schacht, G.H.A Juynboll, Harald Motzki dan lain-lain. Salah
satu metode telah mengenalkan apa yang disebut dengan konsep “common link”,
yang telah menyebabkan lahirnya konsep-konsep lain seperti “partial common link”,
“spider”, “single strand”, dan “diving”.
110Hadis di atas sahîh berdasarkan keseluruhan jalurnya, sebagaimana dikatakan Syeikh Nasr
al-Dîn al-Albânî, ia menyandarkan hadis ini kepada Abû Dâwud, al-Rûyânî dalam Musnadnya, Ibn ‘Asâkir dalam Târikh Baghdâd, Ahmad dalam Musnadnya, Abû Nu‘aim dalam al-Hilyah, dan lain-lain. Lihat Silsilah al-Hadîts al-Sahîhah, Muhammad Nasr al-Dîn Al-Albânî, h. 647-648, no. 958.
111Para sahabat dan pakar hadis yang lahir kemudian mempersoalkan tentang boleh tidaknya periwayatan hadis secara makna. Tetapi kebanyakan dari mereka memperbolehkannya dengan menekankan pentingnya pemenuhan beberapa syarat yang cukup ketat. Lihat, M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), cet. 2, h. 70-71.
44
Konsep common link diperkenalkan oleh Joseph Schacht di dalam bukunya
The Origins of Muhammadan Jurisprudence telah diadopsi oleh Josef van Ess.
Mereka saling mengkaji perkembangan (proliferation) penyebaran isnâd, yakni
pembuatan otoritas (perawi) tambahan untuk matan yang sama. Dalam hal ini, yang
menimbulkan pertanyaan adalah bagaimana terjadinya perbedaan lafal di dalam dua
jalur redaksi hadis sedangkan ia bersumber dari seorang sahabat (Tsaubân)? Hasil
kajian tersebut melahirkan asumsi bahwa proliferasi isnâd mungkin terjadi dalam
beberapa cara yang dalam skripsi ini tidak dijelaskan oleh penulis.112
Berbeda dengan Schacht, Juynboll dan lain-lain yang menganggap common
link sebagai pemalsu atau pemula bagi sebuah hadis, konsep ini sebenarnya telah
dikritisi oleh Harald Motzki dengan metode penanggalan atas dasar analisis sanad dan
matan (isnâd cum matn analysis) mencoba mencari penjelasan lain tentang fenomena
common link dan single strands. Interpretasi Motzki pada fenomena common link
membawanya pada penafsiran yang berbeda tentang jalur tunggal antara common link
dan otoritas yang lebih awal (lebih tua) dan fenomena diving. Menurut beliau, jalur
tunggal (single strands) tidak harus berarti bahwa hanya satu jalur periwayatan. Jalur
tunggal hanya berarti bahwa common link ketika meriwayatkan sebuah hadis dari
koleksinya hanya menyebut satu jalur riwayat, yaitu versi yang paling dia ketahui.
Mungkin terdapat versi lain dengan jalurnya, yang tidak sempat terkumpul atau
menghilang karena common link (penghimpun pertama) tidak menerimanya atau
112Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT
Mizan Publika, April 2009), cetakan 1, h. 155-156.
45
tidak menyampaikannya, atau karena versi tersebut tidak diketahui pada masa dan di
tempat common link. Di kemudian hari, para murid common link atau penghimpun
belakangan mencoba untuk menemukan versi-versi (yang mungkin hilang atau
diabaikan oleh common link) bersama dengan jalur-jalur informasinya.113
4. Meneliti kandungan matan (membandingkan dengan nas)
Apabila dirujuk kepada hadis-hadis yang membicarakan tentang peristiwa-
peristiwa di akhir zaman, penulis menemukan matan lain yang memiliki topik
masalah yang sama dengan hadis yang sedang diteliti. Dan ternyata kandungannya
pun sejalan.
Hadis yang sejalan dimaksud diriwayatkan oleh al-Hâkim berbunyi:
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ، أنبأ محمد بن عبد اهللا ، أنبأ ابن بن هانئ الخوالني ، حدثني أبو سعيد الغفاري وهب ، أخبرني أبو هانئ حميد
سمعت رسول اهللا صلى : سمعت أبا هريرة ، رضي اهللا عنه يقول : ، أنه قال يا رسول اهللا ، وما داء : داء األمم فقالوا أمتيسيصيب : اهللا عليه وسلم يقول
األشر والبطر والتكاثر والتناجش في الدنيا والتباغض والتحاسد: األمم ؟ قال 114» هذا حديث صحيح اإلسناد ولم يخرجاه« حتى يكون البغي
Artinya: Dan pada Abû Hurairah r.a. katanya: Aku mendengar RasuIullah SAW bersabda, "Umatku akan ditimpa penyakit-penyakit yang pernah menimpa umat-umat dahulu". Sahabat bertanya, "Apakah penyakit-penyakit umat-umat terdahulu itu?" Nabi SAW menjawab, "Penyakit-penyakit itu ialah (1) terlalu banyak seronok, (2) terlalu mewah, (3) menghimpun harta
113Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, h. 167-168. 114Abî ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah Al-Hâkim al-Naisâbûrî, Al-Mustadrak, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, t.t.), hadis ke-7419, juz 17, h. 158.
46
sebanyak mungkin, (4) tipu menipu dalam merebut harta benda dunia, (5) saling memarahi, (6) hasut menghasut sehingga jadi zalim menzalim".115
Hadis disabdakan Nabi SAW di atas secara redaksi juga sehubungan dengan
turunnya al-Quran surat al-Imran ayat 7:
Maksudnya: Adapun orang-orang Yang ada Dalam hatinya kecenderungan ke
arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang samar-samar dari Al-Quran
untuk mencari fitnah.
Hal tersebut sekaligus memberi informasi bahwa hadis yang sedang diteliti
juga mendapat dukungan dari ayat al-Quran. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa
hadis yang diteliti mengandung petunjuk tentang gambaran perlunya kita
mengintrospeksi diri supaya terhindar dari penyakit al-wahn. Kerana ifek dari
penyakit ini akan menyebabkan kita sebagai umat Islam hilang hak dan keistimewaan
serta sangat mudah dikuasai oleh musuh.
115Al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-qiyâmah al-Kubrâ, h.
180.
47
BAB III
RELEVANSI TEKS HADIS DENGAN KONTEKS
A. Teks dan Kontekstual Hadis
Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengandung dua arti: 1) Bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat
mendukung atau menambah kejelasan makna. 2) Situasi yang ada hubungan dengan
suatu kejadian1. Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam
kajian pemahaman hadis. Manakala kontekstual yang dalam bahasa arab adalah al-
waqî‘iyyah. Di dalam hadis yang menunjukkan kaitannya dengan kontekstual adalah
asbâb al-wurûd.
Pemahaman kontekstual atas hadis adalah memahami hadis-hadis Rasulullah
dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi
yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut, atau dengan kata lain dengan
memperhatikan dan mengkaji konteksnya. Dengan demikian asbâb al-wurûd dalam
kajian kontekstual dimaksud merupakan bagian yang paling penting. Tetapi kajian
yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak hanya terbatas pada asbâb al-
wurûd dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itu
1Budiono MA, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Penerbit Agung, 2005), h. 285.
48
meliputi konteks historis-sosiologis, di mana asbâb al-wurûd merupakan bagian
darinya.2
Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas hadis Nabi berarti memahami
hadis berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis
diucapkan, dan kepada siapa pula hadis itu ditujukan. Artinya, hadis Nabi SAW
hendaknya tidak ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriah
tanpa mengkaitkannya dengan aspek-aspek kontekstualnya (konteks historis).3
Realitas sosial budaya juga menjadi pertimbangan yang penting. Sebab hadis
pada umumnya adalah respons terhadap situasi yang dihadapi oleh Rasul dalam ruang
dan waktu tertentu, baik itu situasi yang bersifat umum (sosial budaya) maupun
situasi khusus (terhadap seorang atau beberapa orang sahabat). Memahami situasi-
situasi tersebut atau asbâb al-wurûd akan mengantarkan penafsir atau pembaca
berada dalam ruang dan waktu di mana hadis itu diucapkan sehingga memberikan
wawasan yang lebih luas mengapa (‘illah) dan siapa yang menjadi sasaran (objek)
hadis. Dari sini maka akan dapat ditangkap maksud sebenarnya yang dituju oleh
hadis tersebut dengan baik serta akan memberikan jalan keluar bagi hadis-hadis yang
secara lahir tampak bertentangan.4
Tetapi sekiranya integritas hadis sebagai sumber materi dakwah Islam
digambarkan dalam konteks Islam modern, tentu akan mengalami distorsi pemaknaan
2Maizuddin, “Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Nabi”, artikel ini diakses pada 6 Mac 2010
dari http://maizuddin.wordpress.com/artikel/pemahaman-kontekstual-atas-hadis-nabi/ 3Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:
Paramadina, Oktober 1996), cet. 1, h. 214. 4Maizuddin, “Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Nabi”.
49
tentang fungsi dan kedudukan hadis. Yaitu perbedaan mendasarnya dan relevansinya
bagaimana masyarakat yang dihadapi di zaman Nabi SAW dengan masyarakat di era
modern ini yang tidak keluar dari pokok utama yaitu Al-Quran, supaya dapat
dipahami bahwa integritas hadis bisa menjadi pilar materi sekaligus sumber bagi
kelangsungan dakwah dalam konteks Islam modern yang kerap menghadapi isu-isu
kontemporer seperti HAM, demokrasi, gender, pluralisme, dan lain sebagainya.5
Oleh itu, dalam aspek penafsiran sebuah teks, bagi mencari relevansinya
dengan persoalan masa kini dan dalam tujuan meuniversalkan peran hadis sesuai
dengan kebutuhan zaman, penelusuran melalui metode pendekatan pemahaman
kontekstual yaitu melalui sejarah atau ulasan sosiologis dan dengan mengemukakan
pembuktian-pembuktiannya, sebab akibat dan penjelasan bahasa juga antara aspek
terpenting.
B. Pengertian al-Wahn dan Penafsiran Hadis
Menurut bahasa, seperti yang dikutip dari kitab lisân al-‘Arab, Mu‘jam al-
Wasîth dan Al-Munjid telah menginformasikan definisi kata al-wahn dengan arti
kelemahan, baik berbentuk: 1) lemah dalam amal dan urusan.6 2) lemah dan kelayuan
daya semangat hidup, vitalitas, energy, dinamika.7 Dengan melihat etimologi الوهن
5Makhsis Shahaby, “Integritas Hadis Dalam Konteks Dakwah”, artikel diakses pada 14 march
2010 dari http://lenterahadis.com/index.php?option=com_content&view=article&id=67:integritas-hadits-dalam-konteks-dakwah-islam&catid=36:kajian-hadis&Itemid=57
6Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukram ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1414 H/1994 M), cet. 3, jilid 13, h. 453. Lihat kamus Al-Munjid fî al-Lughah wa al-‘Alam, (Beirut: Dar al-Rasyid, t.t.), h. 921.
7Jumhuriyyah Mesir al-‘Arabiyyah, Mu‘jam al-Wasîth, (T.tp.: Maktabah al-Syuruf al-Dauliyyah, 1423H/2004M), cet. 4, h. 1060-1061.
50
Penafsirannya yang terekam di dalam al-Quran juga dengan arti ‘lemah
bertambah-lemah’, malah bukti eksistensi bahasa tersebut turut disenandungkan
dalam bait syair:8
وما ان بعظم له من وهن
…..Tidak dikatakan kuat seandainya baginya ada lemah
Adapun data yang disajikan kitab Mu’jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Qur`an
al-Karîm lewat penelusuran ungkapan wahn (وهن) terekam pada ayat 14 di dalam
surat Luqman:9
ووصينا اإلنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن
…..ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-
tambah lemah…
Menurut M. Quraisy Shihab di dalam Tafsir al-Mishbah, penafsiran kata al-
wahn dengan arti kelemahan atau kerapuhan adalah kurangnya kemampuan memikul
beban kehamilan, penyusuan dan pemeliharaan anak. Petron kata yang digunakan
ayat inilah mengisyaratkan betapa lemahnya sang ibu sampai-sampai ia dilukiskan
8Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1414 H/1994 M), cet. 3, jilid 13, h. 453. 9Penerjemah Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, Mu‘jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Qur`an al-
Karîm, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.), h. 935.
51
bagaikan kelemahan itu sendiri, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan
kelemahan telah menyatu pada dirinya dan dipikulnya.10
Adapun pengertian al-wahn menurut perspektif hadis telah ditafsirkan oleh
Rasulullah SAW sudah dinyatakan pada perbahasan pada bab sebelumnya. Yaitu
sebagaimana yang terkandung dalam Musnad Ahmad, dan Sunan Abû Dâwud adalah
‘cinta pada kehidupan dunia dan takut akan mati’.
Ulama juga telah menafsirkan ‘cinta dunia’ dengan arti tamak, rakus, bakhil,
egoisme dan tidak mau mendermakan harta ke jalan Allah, manakala ‘takut mati’
berarti leka dengan kehidupan dunia tanpa membuat persiapan untuk akhirat. Sedang
Al-Thîbî di dalam Kitab Syarh ‘Aun al-Ma‘bûd tidak memisahkan dua ungkapan tadi
karena saling berkaitan antara satu sama lain.11
Secara istilah kontemporer ungkapan al-wahn bisa diartikan dengan
hedonisme dan materialisme. Yang mengandung maksud, pertama ‘yang
menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan dalam hidup’.12
Manakala yang kedua berarti ‘haluan falsafah yang berpendapat bahwa benda jua
yang menjadi sebab segala yang ada dan terjadi di dunia’.13 Dalam hal ini, antara al-
wahn, hedonisme dan metarialisme memang sejajar maknanya jika dilihat pada
karekter perilaku dan sifatnya, yaitu kehidupan yang hanya berkiblabkan duniawi.
10M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera hati, Jumadil Akhir 1428/Juni
2007), cet. Viii, vol. ii, h. 127-130. 11Abî Thayyib Muhammad Syams Al-Haq al-‘Azîm Abadî dan Syams al-Dîn ibn Qayyim Al-
Jauziyyah, ‘Aun al-Ma‘bûd Syarh Sunan Abî Dâwud, (Beirut: Dar Al-Afkar, t.t.), juz. 11, h. 316. 12Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, h. 183. 13Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, h. 366.
52
Maka berdasarkan dua tafsiran di atas, yaitu penafsirannya al-wahn ibu hamil
dari ayat al-Quran yang berarti lemah fisik/mental dan penafsirannya oleh Nabi di
dalam hadis yang berarti lemah hati/spiritual terlihat adanya kontradiksi, tetapi lemah
mental juga membawa arti lemah jiwa. Hal ini ingin menyatakan bahwa konklusi dari
semua kutipan definisi dan penafsiran, al-wahn adalah sejenis penyakit yang muncul
ketika ketika manusia tidak bisa berfikir secara sihat, tidak lazim, kerana semua insan
akan berdepan dengan mati. Orang hamil juga sering tidak bisa berfikir secara sihat,
meminta sesuatu yang tidak lazim kerana mengalami al-wahn. Kondisi lemah mental
yang kini terjadi antaranya pada orang yang cenderung tergerus arus materialisme dan
hedonism.
Nabi mengatakan, saat itu umat Islam tidak lagi ditakuti oleh musuh-
musuhnya. Dan umat Islam mengalami penyakit al-wahn berupa cinta dunia dan
takut mati. Dengan kata lain, ini berarti sikap umat Islam yang mulai lebih cinta
kepada dunia, akan mulai takut kehilangan dunianya, kerana itulah mereka takut
untuk menghadapi mati merupakan sebuah kondisi ketika umat Islam tidak lagi
berpegang dengan ajaran-ajaran agamanya sendiri.
Hadis tersebut berisi sebuah prediksi. Penafsiran pada suatu masa bukan
semestinya mutamad bermaksud akhir zaman, kerana bisa juga berarti zaman
Rasulullah, karena Rasulullah mengatakan "hampir tiba sebuah masa". Ini menandai
bahwa masa itu begitu dekat dengan masa Nabi sendiri, sehingga bisa jadi bukan
akhir zaman. Maka meskipun obyek ketika hadis disabdakan adalah sahabat, yaitu
53
orang yang hampir dengan lingkungan beliau tetapi isensi dan moral yang ingin
disampaikan adalah tidak hanya pada kondisi saat itu.
Jika dikatakan bahwa zaman sekarang adalah masa akhir zaman, bahkan juga
karena ulama mengklasifikasikan hadis tersebut ke dalam kelompok hadis tanda-
tanda kiamat, maka persoalan yang akan muncul adalah apakah zaman sekarang
orang sudah sangat cinta dunia dan takut mati? Apakah konteks Rasulullah dan
sebelumnya tidak menyintai dunia?
Sedang apabila ditinjau dari setting sosialnya dan kondisi orang Arab ketika
itu dan sebelumnya (karena hadis ini tidak ditemukan data asbâb al-wurûd), mereka
juga sangat cenderung terhadap hal-hal keduniaan dan memiliki moral yang rendah,
ini karena Rasulullah pernah bersabda:
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ، أنبأ محمد بن عبد اهللا ، أنبأ ابن وهب ، : أخبرني أبو هانئ حميد بن هانئ الخوالني ، حدثني أبو سعيد الغفاري ، أنه قال
عليه وسلم سمعت رسول اهللا صلى اهللا : سمعت أبا هريرة ، رضي اهللا عنه يقول األشر : يا رسول اهللا ، وما داء األمم ؟ قال: داء األمم فقالوا أمتيسيصيب : يقول
هذا « والبطر والتكاثر والتناجش في الدنيا والتباغض والتحاسد حتى يكون البغي 14»حديث صحيح اإلسناد ولم يخرجاه
Maksudnya; “Umatku akan ditimpa penyakit yang pernah menimpa umat terdahulu.” Sahabat bertanya, “apakah penyakit umat terdahulu itu?” Nabi SAW menjawab; “penyakit itu telah terlalu banyak seronok, terlalu mewah, menghimpun
14Abî ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah Al-Hâkim al-Naisâbûrî, Al-Mustadrak ‘Alâ al-
Sahîhain, hadis ke- 7419, juz. 17, h. 158.
54
harta sebanyak mungkin, tipu menipu dalam merebut harta benda dunia, saling memarah, hasut-menghasut sehingga jadi zalim menzalimi”.15
Hadis di atas ingin meyakinkan bahwa al-wahn tetap wujud di setiap zaman
pada generasi ummat. Kaum Bani Israil juga bersikap al-wahn seperti yang ditafsir
oleh Rasul. Sejarah pemerintahan khalifah Umayyah tercatat berlaku perebutan
kuasa. Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemunduran kerana al-wahn. Hal ini
adalah logis sekalipun ummat Muhammad adalah ‘khair ummah’ tapi tujuan
Muhammad adalah ‘lî utammimal makârimul akhlâq’ membawa arti bahwa
mad’ûnya (ummat) masih belum sempurna akhlaknya.
Jadi yang sebenarnya dapat dimergertikan dari sabdanya Rasulullah adalah
bahwa inti ajaran dan tujuan (‘illah) yang ingin ditunjuk oleh baginda kepada para
sahabat adalah supaya mempersiapkan diri untuk akhirat dan bahwa Islam adalah
ajaran yang suci dan mendukung etika dan moral yang tinggi. Islam memiliki nilai
spiritualitas yang tinggi sebagai agama. Kondisi ketinggian posisi Islam inilah yang
menjadikan Islam ditakuti oleh sekian banyak musuh-musuhnya. Jika sebaliknya
‘Allah sungguh akan mencabut rasa takut dari dada musuh kalian’ sebagaimana
yang telah dijelaskan hadis.
Penggunaan ungkapan تداعى: dengan maksud menghadapi yang terbina dari
wazan تفاعل (tafâ’al): (saling berbuat), secara tatabahasa bahasa Arab membawa
pengertian bekerjasama, cooperation, yaitu yang melibatkan dua pihak dan lebih. Di
15 ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-qiyâmah al-Kubrâ, penerjemah Irfan Salim, (T.tp.:PT Serambi Ilmu Semesta, Rabiul akhir 1421H/Juli 2000M), cetakan kesatu, h. 180.
55
Perumpamaan Rasulullah dari ‘Hampir saja bangsa-bangsa memangsa kalian
sebagaimana orang-orang lapar menghadapi meja penuh hidangan’
diinterpretasikan ulama dengan musuh-musuh saling berpadu menguasai Islam, bisa
dilihat dari dua sudut pandang yaitu penguasaan fizikal dan pemikiran. Sudut pertama
bisa berarti penguasaan mereka adalah antaranya melalui serangan senjata,
peperangan, teknologi, industri, memonopoli ekonomi.
Manakala sudut kedua atau dengan istilah kontemporer, yang bukan
berbentuk fisik yaitu serangan pemikiran atau al-ghazwu'l-fikrî. Dia mempunyai
karakteristik yang dekat dengan brain washing atau dengan istilah lain thought
control, ideological reform samada melalui pendidikan, kebudayaan, fesyen, sukan
dan sebagainya. Bahkan serangan tersebut sangat cocok berdasarkan pembuktian
kondisi ummat saat ini. Ini kerana serangan pemikiran atau brain washing ini
biasanya sangat efektif pada saat keadaan tidak normal atau tidak berimbang.
56
Singkatnya serangan pemikiran ini akan mudah melancarkan serangannya di
lingkungan atau individu-individu yang belum mempunyai kepribadian yang tangguh
dan ilmu yang cukup atau lebih tepatnya mengalami (al-wahn).16
Kendatipun hadis yang menjadi obyek penelitian termuat di dalam referensi
hadis tanda-tanda akhir zaman, bahkan karena ulama juga telah mengklafikasikan
bahwa pada akhir zaman musuh Islam berkonspirasi mengjatuhkan umat Islam. Arti
yang sebenarnya adalah bukan musuh Islam yang akan menjatuhkan umat Islam
dengan konspirasinya, tetapi umat Islam sendiri yang mulai meninggalkan agamanya
dan dengan itu umat Islam kehilangan martabatnya yang tinggi. Ini adalah
konsekuensi logis, kerana kekuatan umat dewasa ini tidak terkosentrasi pada musuh,
tetapi pada diri sendiri.17
Adapun kebenaran teks dari sudut pembuktiannya dalam konteks ini akan
dibahas penulis pada sub bab berikut.
C. Karakteristik al-Wahn dan Problemika Umat Islam Kontemporer
Dalam kelangsungan hidup dewasa ini, kita tidak dapat menidakkan lahirnya
problemika yang menimpa umat Islam secara aqliyah, diniyah, ruhaniyah, akhlak,
maupun amaliah. Ringkasnya, ummat Islam khususnya konteks ini sering melupakan
16Indrayogi, ‘Serangan pemikiran dalam Pendidikan Islam’, artikel ini diakses pada 3 Jun
2010 dari http://indrayogi.multiply.com/journal/item/85 17‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Kiamat Kecil dan Tanda-tanda Kiamat Besar, penerjemah Irfan
Salim, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Sastera, Rabi’ul awal 1421H/Juli 2000M), cet. 1, h. 161-162.
57
Allah, sehingga lupa akan diri sendiri.18 Sedang yang diinginkan Allah SWT adalah
sebaliknya. Allah berfirman di dalam surat al-Hasyr ayat 19:
⌧
⌧
Artinya: “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang telah
melupakan (perintah-perintah) Allah, lalu Allah menjadikan mereka melupakan (amal-amal yang baik untuk menyelamatkan) diri mereka. Mereka itulah orang-orang yang fasik – derhaka”.
Bagaimana fenomena ini terjadi sedangkan asalnya Allah telah mensifati umat
ini sebagai umat yang baik serta menerangkan kebaikannya.19 Allah berfirman di
dalam surat Ali Imran 110.
☺ ⌧ ☺
Artinya: “Kamu (wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (kerana) kamu menyuruh berbuat segala perkara yang baik dan melarang daripada segala perkara yang salah (buruk dan keji), serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan sebenar-benar iman). Allah juga mensifati umat ini sebagai umat yang adil dan pilihan.20
FirmanNya di dalam surat al-Baqarah ayat 143:
18Yusuf Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, penerjemah Rusydi Helmi, (Jakarta Timur:
Penebar Salam, Syawal 1421H/Januari 2001), cet. 1, h. 16. 19Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, h. 14. 20Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, h. 15.
58
⌧ ⌧
⌧
Artinya: “Dan demikianlah (sebagaimana Kami telah memimpin kamu ke jalan yang lurus), Kami jadikan kamu (wahai umat Muhammad) satu umat yang pilihan lagi adil, supaya kamu layak menjadi orang yang memberi keterangan kepada umat manusia (tentang yang benar dan yang salah) dan Rasulullah (Muhammad) pula akan menjadi orang yang menerangkan kebenaran perbuatan kamu”.
Bahkan Allah juga mensifati umat ini sebagai umat yang bersatu, ketika ia
beriman.21 FirmanNya di dalam surat al-Anbiya’ ayat 92:
Artinya: “Sesungguhnya agama Islam inilah agama kamu, agama yang satu asas pokoknya, dan Akulah Tuhan kamu; maka sembahlah kamu akan Daku”. Saat ini boleh dikatakan ummat Islam adalah ummat yang paling tertinggal
dibanding ummat-ummat beragama lainnya. Ummat Yahudi meski berjumlah hanya
40 juta, namun menguasai ekonomi dan politik dunia. Mereka bisa menguasai
Masjid al-Aqsha tanpa perlawanan berarti dari ummat Islam yang katanya berjumlah
1,2 milyar atau 30 kali lipat lebih banyak dari kaum Yahudi.22
Ummat Nasrani di Eropa, Australia, AS, dengan bantuan kemajuan,
kepantasan, kepesatan ilmu dan teknologi yang tanpa had, sangat maju di bidang
21Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, h. 14-16. 22 Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’, artikel
ini diakses pada tanggal 21 April 2010 dari http://www.semuabisnis.com/articles/100514/1/Mengapa-Ummat-Islam-Mundur-dan-Ummat-Selain-Islam-Maju/Page1.html
59
teknologi, juga menguasai negara-negara Islam secara ekonomi dan politik. Mereka
mampu membuat dan memasarkan berjenis merek mobil, kapal selam, kapal induk
yang mampu memuat ratusan kapal terbang, rudal antar benua dan pesawat ulang
alik.23
Amerika Serikat dan sekutunya mampu menyerang, menjajah dan membunuh
ummat Islam di Afghanistan dan Irak tanpa perlawanan dari seluruh ummat Islam.
Bahkan sebagian ummat Islam dengan semangat “toleransi” justru bekerjasama
dengan mereka.24
Jepang juga meskipun secara rasmi adalah Negara yang didomisili oleh
mayoritas non muslim, dan sumber pertaniannya merupakan sektor ekonomi yang
kecil kerana ketidaksuburan bumi kesan serangan atom di Hirosyima dan Nagasaki
yang dijatuhi oleh Amerika Serikat pada tanggal 6 Agustus 1945,25 tetap mempunyai
subsidi yang tinggi dan merupakan satu sektor yang dilindungi.
Bahkan ekonomi pasaran sosial perindustrian Jepang merupakan yang ketiga
terbesar di dunia, selepas disesuaikan dengan pariti kuasa beli (PPP), selepas Amerika
Serikat dan Republik Rakyat China. Jepang juga merupakan ekonomi kedua terbesar
mengikut KDNK kasar, KDNK nominal dan kadar pertukaran pasaran.26
23 Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’. 24 Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’. 25Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, ‘Serangan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki’, di akses pada tanggal 21 April 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_bom_atom_di_Hiroshima_dan_Nagasaki
26Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas, ‘Ekonomi Jepun’, diakses pada tanggal 17 April 2010 dari http://ms.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Jepun
60
Fakta-fakta tersebut tidak bermaksud Islam tidak mengalami saat
kegemilangannya, dan zaman-zaman sebelumnya tidak mengalami kegentingannya.
Ini dikarenakan zaman Nabi, sahabat, dan beberapa generasi sesudahnya selama 700
tahun ummat Islam begitu maju menguasai dunia. Islam berkibar dari Ternate, India,
Timur Tengah, Yugoslavia, Albania, Bulgaria, Yunani, bahkan hingga Sepanyol.27
Ummat Islam mampu mengalahkan orang-orang kafir, Yahudi, bahkan dua
kerajaan Super Power saat itu yaitu Romawi dan Persia. Bahkan ibukota kedua
negara tersebut, yaitu Constantinople (Istambul) dan Baghdad berada di tangan Islam
yaitu di negara Turki dan Irak.28
Semangat jihad ummat Islam begitu tinggi sehingga 200 ribu pasukan
Romawi selama tujuh hari pertempuran tidak mampu mengalahkan strategi pasukan
Islam yang dipimpin komander Khalid bin Walid yang berjumlah hanya tiga ribu
orang.
Dalam Perang Salib antara ummat Kristen dengan Ummat Islam yang terjadi
beberapa kali dari tahun 1096 hingga 1291 untuk memperebutkan Palestina, hanya
perang Salib pertama yang dimenangkan ummat Kristen. Setelah itu ummat Islam
yang menang dan berkuasa hingga abad 20 sebelum akhirnya jatuh ke tangan Israel.
Sama halnya di bidang ilmu pengetahuan, Ibnu Sina (Avicenna) yang dikenal
sebagai Bapa Kedokteran dunia. Ketika perang Salib dan Raja Richard the Lion Heart
sakit, tiada ada satu dokter Eropa pun yang mampu mengobatinya. Justru Sultan
27Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’. 28Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’.
61
Salahuddin Al-Ayyubi yang menyelinap ke tenda Richard yang bisa mengobatinya
yang menjadi bukti keunggulan ilmu kedokteran Islam saat itu. 29
Ilmuwan Islam Al-Khawarizmi juga mengembangkan ilmu Matematika
seperti Aljabar (Algebra), Algoritma (Algorithm) yang dikenali hingga kini. Bahkan
angka yang digunapakai sekarang merupakan hasil penemuan ilmuwan Islam yang
disebut dengan ”ARABIC NUMERAL” yang menggantikan Sistem Bilangan
Romawi yang sangat tidak fleksibel. Pada saat munculnya Islam, bangsa Barat belum
mengenal angka 0 (No l) dan Islamlah yang mengenalkan angka itu pada mereka.30
Tetapi kini cahaya keunggulan dan kegemilangan Islam itu sudah malap sama
sekali, yang jelas adalah ummat Islam modern ini mengalami kebalikannya. Mengapa
dan kenapa hal ini bisa terjadi? Apa gerangan faktor kelemahan tersebut? Salah
siapa? Siapa yang perlu dipertanggungjawabkan? Bagaimana mencari cara
penanggulangannya? Apakah betapa kelemahan tersebut sukar dideteksi dan
didiagnosis? Maka di sinilah, penulis berasumsi bahwa sebenarnya segala titik
melemahnya setiap aspek tadi samada di masa lampau, saat ini dan kemudian
bertepatan dengan sabdanya hadis yang menjadi obyek penelitian, yaitu disebabkan
krisis spiritual yaitu al-wahn.
Lemahnya segala aspek kehidupan disebabkan oleh rusaknya hati (ruhaniyah),
yang menurut Yusuf al-Qaradhawi al-Khalal (kelemahan) yang sebenarnya adalah
29Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’. 30 Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’.
62
hilang kesadaran atau penafsiran al-wahn dari definisi sebelumnya berarti tidak bisa
berfikir secara sihat.31 Nabi SAW bersabda:
زآرياء عن عامر قال سمعت النعمان بن بشير يقول حدثنا أبو نعيم حدثنا
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول الحلال بين والحرام بين وبينهما
قى المشبهات استبرأ لدينه وعرضه ومن مشبهات لا يعلمها آثير من الناس فمن ات
وقع في الشبهات آراع يرعى حول الحمى يوشك أن يواقعه ألا وإن لكل ملك حمى
مضغة إذا صلحت صلح الجسد ألا إن حمى الله في أرضه محارمه ألا وإن في الجسد
32آله وإذا فسدت فسد الجسد آله ألا وهي القلب
Maksudnya: Diriwayatkan dari al-Nu‘man bin Basyir r.a: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda “Yang halal dan yang haram telah jelas. Namun sebagian besar umat manusia tidak mengetahui bahwa di antara keduanya terdapat syubhat ( sesuatu yang diragukan). Siapa pun yang meninggalkannya, ia telah menyelamatkan agamanya dan kehormatannya. Dan orang yang menurutkannya bagaikan seorang pengembala yang menggembalakan (ternaknya) di dekat hima (padang rumput pribadi) milik orang lain, dan kapan saja ia dapat terperangkap di dalamnya. (wahai umatku!) berhati-hatilah! Setiap raja memiliki hima dan hima kepunyaan Allah SWT di bumi ini adalah segala sesuatu yang diharamkan Allah.
Hati-hatilah! Ada segumpal daging di dalam tubuh yang apabila gumpalan daging itu baik maka baik pulalah seluruh tubuh, dan bila gumpalan daging itu buruk maka buruk pulalah seluruh tubuh. Segumpal daging itu adalah hati (qalb)”.33
Soal benar atau tidak argumentasi ini bisa dilihat dari sudut keterkaitan hadis
dengan konteksnya yang sedaya akan dibahaskan penulis.
31Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, h. 13. 32Al-Bukhârî, Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ismâ‘îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, kitab al-
Iman, bab Fadl Man Istabrâ` Li dînih, hadis ke-52, (Jordan: Bait al-Afkar wa al-Dauliyyah), cet. Terbaru. h. 18-19.
33Al-Zabidi, Ringkasan Shahîh al-Bukhârî, penerjemah Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis, (Bandung: PT Mizan Pustaka, Jumada al-Tsaniyah 1429/Juni 2008), cetakan 1, h. 26.
63
Islam adalah sebuah agama yang menganjur penganutnya untuk menikmati
kehidupan dunia baik yang berupa harta kekayaan atau sebagainya dengan syarat
supaya mentradisikan keseimbangan diri. Faktor persyaratan tersebut adalah karena
segala kekuasaan, kekayaan yang tidak diimbangi dengan nilai iman dan norma
manusiawi akan melahirkan kekufuran, kebongkakan, arogan, kezaliman dan engkar
atas nikmat Allah yang menuntun kepada kehancuran dan kebinasaan di muka
bumi.34
Ini juga karena tabiat semulajadi manusia itu selalu cenderung pada hal-hal
yang cepat untuk mendapatkan kecintaan dan kesuksesannya, terkadang banyak yang
tidak lagi mempedulikan bagaimana dan cara bagi mencapai kesuksesan. Seperti yang
dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 20-21 dan surat Al-Insan ayat 27:
⌧⌧ ⌧
Artinya: “Ingat! bahkan kamu suka yang segera dan kamu tinggalkan akhirat.”
⌧
⌧
Artinya: “Sesungguhnya mereka itu mencintai yang segera, dan meninggalkan di belakangnya hari yang berat pertanggungan jawabnya (siksanya).” Sayyid Qutb telah menjelaskan bahwa: “Dalam hidup dan kehidupan ini
setiap zaman dan waktu, seseorang selalu terbuai dengan kenikmatan duniawi.
34Majidy dan Nik Mat, Kisah Cinta Dalam Al-Quran: Mengenal Cinta Meraih Allah, h. 144.
64
Mereka lupa ada kenikmatan yang lebih tinggi dan lebih abadi berbanding
kenikmatan dunia yang sesaat ini. Mereka terbuai dengan kemegahan mata kasar.
Mereka sama sekali tidak pernah memikirkan dari mana kekayaan itu diperoleh,
dengan cara seperti apapun dipergunakan untuk apa. Cara pandang mereka (insan
yang lemah iman) melihat dunia tidak jauh beza dengan cara semut melihat gula.
Yang ada di benak mereka adalah bagaimana mendapatkan harta sebanyak-
banyaknya tanpa mempedulikan cara dan etika pencariannya”.35
Al-Wahn melalui karekter hedonism (fenomena hidup mewah) juga adalah
alamat kehancuran. Bahkan ini adalah konsekuensi logis, karena di antara aspek yang
memperpanjang usia dan memperluas kemakmuran serta disegani musuh yaitu tidak
hidup mewah dan tidak terjerumus ke dalam kesenangan. Kerana hidup mewah
melupakan orang dari tugas dan tanggungjawab, menimbulkan pengangguran,
kemalasan dan sikap pengecut. Orang-orang yang menjerumuskan diri dalam
kemewahan biasanya tidak sanggup menghadapi rintangan dan tidak mau
berkorban.36
Ibnu Khaldun rahimahullah berkata:
“Kehidupan mewah (jet set) merusak manusia. Ia menanamkan dalam diri manusia berbagai macam kejelekan, kebohongan dan perilaku buruknya lainnya. Nillai-nilai yang baik yang notebene merupakan tanda-tanda kebesarannya hilang dari mereka dan diganti dengan nilai-nilai buruk yang merupakan sinyal kehancurannya dan kepunahannya. Itulah di antara
35Majidy dan Nik Mat, Kisah Cinta Dalam Al-Quran: Mengenal Cinta Meraih Allah, h. 150. 36Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam Dari Bani Umayyah Hingga Imperialisme
Modern, penerjemah Fadhli Bahri, Lc, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, November 2009), cet. 6, h. 21.
65
ketentuan Allah yang berlaku pada makhluknya yang menjadikan Negara sebagai ajang kezhaliman, merusak strukturnya dan menimpakan penyakit kronis berupa ketuaan yang membawa kepada kematiaannya”.37 Kemewahan menjerumus kepada sikap suka bersenang dan berhiburan tanpa
memikirkan beban tanggungjawab. Sedang apabila kehidupan banyak dihiasi dengan
maksiat, berhibur dan bersenang akan melentur hati menjadi keras, sebagaimana
kerasnya hati para ahli kitab sebelumnya.38 Allah berfirman di dalam surat al-
Baqarah ayat 74:
⌧
⌧ ☺ ⌧
☺ ☺
☺ ☺ ☺
Artinya: “Kemudian sesudah itu, hati kamu juga menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu ada yang terpancar dan mengalir air sungai daripadanya; dan ada pula di antaranya yang pecah-pecah terbelah lalu keluar mata air daripadanya; dan ada juga di antaranya yang jatuh ke bawah kerana takut kepada Allah; sedang Allah tidak sekali-kali lalai daripada apa yang kamu kerjakan”. Padahal ajaran yang paling penting dari agama kita adalah pensucian hati dan
pembersihan diri.39 Allah berfirman di dalam surat al-Syamsy ayat 9 dan 10:
37Mukaddimah Ibnu khaldun, hal. 187. 38Al-Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, h. 34. 39Al-Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, h. 35.
66
⌧
Artinya: “Sesungguhnya berjayalah orang yang menjadikan dirinya - yang sedia bersih bertambah-tambah bersih (dengan iman dan amal kebajikan). Dan sesungguhnya hampalah orang yang menjadikan dirinya - yang sedia bersih - itu susut dan terbenam kebersihannya (dengan sebab kekotoran maksiat)”. Para ulama juga ada menyebutkan bahwa di antara langkah-langkah syaitan
adalah menyibukkan diri dengan hal-hal yang al-mubah secara berlebihan sehingga
dapat menyebabkan kelalaian dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT dan
menyita waktu. Yang sangat berpengaruh terhadap hati sekiranya melampaui batas.40
Apabila manusia tenggelam dalam kenikmatan dan kemewahan yang al-
mubah maka pasti terjerumus ke dalam lembah keraguan-raguan, dan pada gilirannya
terjerumus ke dalam jurang syahwat, seterusnya akan tumpul pemikiran dan
kemampuan mujahadahnya. Faktor utama yang merusak lingkuangan, baik di muka
bumi, di laut saat ini adalah karena tunduknya manusia kepada hawa nafsu dan
mementingkan kepuasan syahwat serta hasrat duniawinya.41 Allah berfirman di
dalam surat al-Mu’minun ayat 71:
⌧
☺
40Hussin Muhammad Syamir, 31 Sebab Lemahnya Iman, penerjemah Musthafa Aini, (Jakarta:
Darul Haq, Muharram 1430H/Januari 2009), cet. VII, h. 117. 41Yusuf al-Qardhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, penerjemah Abdullah Hakam Shah,
Dkk., (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, Mei 2002), cet. 1, h. 354.
67
Artinya: “Dan kalaulah kebenaran itu tunduk menurut hawa nafsu mereka, nescaya rosak binasalah langit dan bumi serta segala yang adanya. (Bukan sahaja Kami memberikan ugama yang tetap benar) bahkan Kami memberi kepada mereka Al-Quran yang menjadi sebutan baik dan mendatangkan kemuliaan kepada mereka; maka Al-Quran yang demikian keadaannya, mereka tidak juga mahu menerimanya”. Manusia juga sering menganggap amanah adalah satu sumber keuntungan
bukannya sebagai landasan tanggungjawab yang sekiranya dilaksanakan sesuai
perintahNya akan diberi ganjaran.
Bahkan Allah SWT memperlihatkan sikap tersebut melalui firmanNya di
dalam surat al-‘Alaq ayat 6-7:
⌧⌧ ⌧
Artinya: “Ingatlah! Sesungguhnya jenis manusia tetap melampaui batas (yang sepatutnya atau yang sewajibnya). Dengan sebab ia melihat dirinya sudah cukup apa yang dihajatinya”.
Sebenarnya keghairahan terhadap kekuasaan yang tidak diimbangi dengan
penguasaan atau kesedaran diri hanya akan membuat si empunya kehilangan
keseimbangan diri, serta menjebaknya kepada kenikmatan sesaat dan boleh
membawa kepada kehancuran dan kekufuran. Sedangkan Allah telah mengingatkan
bahwa segala bentuk kekuasaan, kenikmatan, dan kesenangan dunia adalah sekedar
penipuan. FirmanNya di dalam surat al-Ra’du ayat 26:
☺
68
Artinya: Allah memewahkan rezeki bagi sesiapa yang dikehendakiNya, dan Ia juga yang menyempitkannya. Dan mereka (yang ingkar): bergembira dengan kehidupan dunia, sedang kehidupan dunia itu tidak lain, hanyalah kesenangan yang kecil dan tidak, kekal berbanding dengan kesenangan hari akhirat.
Ibnu Khaldun menukil nasihat salah seorang ulama Persia kepada rajanya
yang isinya:
“Baginda raja, ketahuilah bahwa kejayaan suatu Negara tidak terwujud dengan menjalankan syariat, taat kepada Allah, dan bertindak sejalan dengan perintah dan larangannya. Syariat tidak tegak tanpa kekayaan. Tidak ada kejayaan bagi kerajaan tanpa Sumber Daya Manusia tanpa kekayaan. Tidak ada jalan untuk mendapatkan kekayaan kecuali dengan menegakkan keadilan. Keadilan adalah neraca yang dipikulkan di pundak pemimpin oleh Allah”.42 Peneliti besar Islam, Dr. Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa Islam adalah
paling pertama yang ditimpa kemalangan dan dampak negatif dari kejahatan
kediktatoran dan kezaliman. Tirani dan kediktatoran bukan saja merusak politik, tapi
juga merusak menajemen, ekonomi, moral, agama, dan merusak semua kehidupan.43
Dia merusak menajemen kerana menajemen yang baik akan memilih orang
yang duduk dalam sebuah jabatan adalah orang yang mampu, terpercaya, mampu
menjaga, dan memang ahlinya, menempatkan seseorang yang tepat di kedudukan
yang pas pula; yang baik diberi bonus dan yang jahat dikenai sanksi.44
42Mukaddimah Ibnu Khaldun, hal. 320. 43Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 256. 44Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 257.
69
Tetapi kediktatoran sebaliknya, ia lebih mendahulukan orang dapat dipercaya
(menurutnya) untuk dijadikan hakim, daripada yang ahli dan berkemampuan. Ia
mendekati orang penting dan orang-orang munafik, atas perhitungan kaum moralis
dan agamis.45 Dengan begitu, kehidupan jadi terkatung-katung, keseimbangan pun
lenyap, dan umat akan mendekati masa kehancurannya.46 Hal ini sebagaimana yang
telah diisyaratkan oleh hadis yang berbunyi:
حدثنا محمد بن سنان حدثنا فليح بن سليمان حدثنا هلال بن علي عن عطاء بن
الله عليه وسلم إذا يسار عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى
ضيعت الأمانة فانتظر الساعة قال آيف إضاعتها يا رسول الله قال إذا أسند الأمر
إلى غير أهله فانتظر الساعةArtinya: “Jika kamu telah menyia-nyiakan amanat, maka tunggulah kehancuran. Dikatakan: “dan bagaimana menyiakannya?”. Rasulullah menjawab: “jika sesuatu perkara diberikan kepada selain ahlinya maka tunggulah kehancuran”.47 Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ada dua kelompok umatku yang jika
mereka baik maka akan baik seluruh umatku, dan jika mereka rusak maka akan rusak
seluruh umatku. Mereka itu adalah para penguasa”. 48
Pada konteks ini juga, banyak wanita misalnya terjerumus di dalam bidang
kerjaya antaranya periklanan dan prostitusi. Mereka menjadi obyek eksploitasi sistem
kapitalisme yang memandang materi adalah segalanya. Para perempuan ini, sadar dan
45Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 257. 46Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 257. Lihat, Majidy dan Nik Mat, Kisah
Cinta Dalam Al-Quran: Mengenal Cinta Meraih Allah, h. 170-174. 47Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 257. 48Syeikh ibn al-Rais Karmani, Mega Tragedi Lengkap Asyura, penerjemah Ahmad Subandi,
(T.tp.: Al-Huda, Disember 2008), cet. 1, h. 35.
70
tidak, menjadi ujung tombak dalam sistem ekonomi kapitalisme. Mereka menjadi
umpan dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah.
Di sisi lain, perempuan modern ini terdidik yang berkesempatan mengenyam
pendidikan tinggi turut terjebak dalam lingkaran eksploitasi. Tenaga dan pikiran
mereka diperas habis-habisan untuk menggerakkan roda-roda perekonomian.
Dengan dalih kebebasan berekspresi, setiap inci tubuh perempuan dijadikan
komoditi. Membuka aurat, bahkan sampai adegan berzina pun dilakoni, asal
mendatangkan materi. Aurat perempuan dilombakan dan dinilai, mana yang paling
mendatangkan hoki. Tidak hanya perempuan dewasa, bahkan gadis-gadis, sejak belia
sudah mulai dikader untuk menjadi bagian dari bisnis eksploitasi ini di layar kaca,
bintang sinetron, iklan atau penyanyi bertaburan artis-artis cilik.49
Al-Wahn yang menjadi antara faktor wanita dieksploitasi dan mengeksploitasi
antara penyimpangan sosial yang banyak terdapat di hampir seluruh Negara ini
memang sudah berumur tua, selalu ada dalam kehidupan masyarakat sejak ribuan
tahun yang lalu.
Al-Wahn bukan sekedar melekat pada individu kecil, malah kepada
pemerintah. Demi wang dan kekayaan, banyak antara pemimpin yang terlibat di
dalam amalan korupsi, kasus suap, korupsi, gratifikasi, tipu menipu dan bahwa
masalah tersebut telah menjadi praktik yang melekat dengan kekuasaan.50
49Asri Supatmiati, “Eksploitasi Wanita”, artikel diakses pada 1 march 2010 dari laman web
http://www.indoforum.org/showthread.php?t=42372 50‘Parpol Tak Lepas dari Jerat Korupsi’, Kompas, senin, 12 April 2010, h. 1. Lihat
http://korupsi.vivanews.com/ diakses pada tanggal 20 April 2010. Lihat ‘Perlu, Upaya Mendasar
71
Amalan korupsi dan segala sikap seperti sikap arogansi terhadap harta benda,
hedonism, banyak melakukan kemaksiatan, merebut kedudukan demi uang dan nama
merupakan antara karakter al-wahn.
Segala penyakit tersebut adalah penyebab kegoncangan dalam kesatuan,
berpecah-belah, saling bermusuhan antara satu sama lain. Ummat Islam boleh
dikatakan ummat yang paling miskin, paling ketinggalan, dan paling suka bertengkar
dengan sesama.
Sedangkan sebab kebejatan morallah yang akan merusak seluruh kehidupan,
menghancurkan umat dan bangunan hidupnya. Syauqi al-Marhum berkata dalam
syairnya:
قوم فى أخالقهم فأقم عليهم مأتما وعويالاذا أصيب ال “Jika suatu kaum terbencana dalam akhlaknya, maka laksanakanlah upacara kesedihan dan duka cita…”51 Pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah, ummat Islam, termasuk Muslimah,
mengalami kemunduran luar biasa di berbagai lapangan kehidupan juga disebabkan
terkuburnya sistem Islam dan akhlak Islam berganti dengan sistem sekular dan moral
barat yang tidak tertanding dengan kehebatan hukum Islam turut mengubur
kemuliaan kaum Muslim. Ummat tidak lagi dibentang dengan tembok akidah Islam
yang ketat sehingga pemikiran sesat mudah merasuk ke dalam diri mereka.
Indonesia Bisa Meniru China untuk Berantas Praktik Suap’, Kompas, Senin, 5 April 2010, h. 1. Lihat Heri Susanto dan Desy Afrianti, ‘Kasus Bank Century Berkas Robert Tantular Diserahkan ke Kejati’, diakses pada tanggal 20 April 2010 dari http://korupsi.vivanews.com/news/read/25631-berkas_robert_tantular_diserahkan_ke_kejati
51Yusuf al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, penerjemah Moh. Farid AZ, (Surabaya: CV. Dunia, 21 Ramadhan 1416 H/11 Februari 1995), h. 314.
72
D. Relevansi Interpretasi Teks dan Kebenarannya Melalui Pembuktian di Konteks
Modern
Berdasarkan penafsiran hadis yang dibahaskan sebelum ini, maka didapati
hadis yang menjadi obyek penelitian relevan dibuktikan dengan beberapa kasus yang
menimpa umat hari. Antara pembuktiannya adalah ambisi kepimpinan Amerika
Serikat untuk menguasai dan pencerobohan ke atas Baghdad lewat beberapa tahun
yang lalu.
Sekiranya kita memusatkan pemerhatian dengan kanta hati dan iman terhadap
dua berita yang akan disebutkan, nescaya kita akan mendapati persamaan di antara
keduanya yaitu berita pertama dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud
manakala berita kedua dilaporkan oleh mana-mana agensi berita:
حدثنا عبد الرحمن بن إبراهيم الدمشقي حدثنا بشر بن بكر حدثنا ابن جابر
وسلم يوشك الأمم حدثني أبو عبد السلام عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه
بل أن تداعى عليكم آما تداعى الأآلة إلى قصعتها فقال قائل ومن قلة نحن يومئذ قال
صدور عدوآم المهابة أنتم يومئذ آثير ولكنكم غثاء آغثاء السيل ولينزعن الله من
دنيا منكم وليقذفن الله في قلوبكم الوهن فقال قائل يا رسول الله وما الوهن قال حب ال
52وآراهية الموت
Pertama: “Hampir saja bangsa-bangsa memangsa kalian sebagaimana orang-orang lapar menghadapi meja penuh hidangan.” Seseorang bertanya, “Apa kami saat itu sedikit”? Jawab beliau, “Bahkan kalian saat itu banyak, akan tetapi kalian seperti buih di laut. Allah sungguh akan mencabut rasa takut dari dada musuh kalian, dan Allah sungguh akan mencampakkan penyakit wahn
52Abî Dâwud Sulaimân bin al-`Asy‘ats al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud, (T.tp.: Dar al-A’lam,
1423H/2003M), Cetakan pertama, h. 698.
73
ke dalam hatim.” Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu wahn? Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati”.53
Kedua: Untuk menjayakan ‘misi keamanan’ di Iraq seperti yang memberi kenyataan
Amerika Serikat, mereka telah meminta untuk membabitkan kemasukan tentera
Negara asing dalam jumlah yang banyak yang melibatkan ketenteraan dari Negara
seperti Britain, Korea Selatan, Australia, Georgia, Romania, Denmark, Poland,
Azerbaijan, Albania, Latvia, Mongolia, Bosnia Herzegovina, Kazasthan.
Ada 18 buah Negara lain yang ikut menceroboh pada 2003 tetapi menarik
balik tenteranya.54
Negara terbabit ialah Nicaragua, Sepanyol, Dominika, Honduras, Filipina,
Thailand, New Zealand, Tonga, Portugal. Belanda, Hungary, Singapura, Norway,
Ukraine, Jepun, Itali, Slovakia dan Moldova.55
Gambaran yang jelas dan nyata daripada kedua-dua berita itu ialah ada satu
kelompok manusia yang dijadikan makanan dan ada satu kelompok manusia yang
mengerumuni untuk memakannya. Sebab terjadinya tidak disebutkan dengan jelas
dalam berita pertama. Kedua-dua berita ini ada hubung kait yang mana salah satunya
adalah satu bukti kebenarannya. Yang satu adalah hadis dan yang lainnya adalah
suatu bukti kebenarannya. Iraq dijadikan makanan oleh sekumpulan kelompok
manusia 39 negara dunia moden pimpinan Amerika yang pada kenyataannya bukan
53‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-qiyâmah al-Kubrâ, penerjemah Irfan Salim, (T.tp.:PT Serambi Ilmu Semesta, Rabiulakhir 1421H/Juli 2000M), cetakan kesatu, h. 161.
54“Kebenaran Hadis Dalam Senario Iraq Modern: Kejatuhan Baghdad 772 Tahun Lalu Berulang Akibat Kerakusan Mengejar Keduniaan”, Utusan Malaysia, 21 februari 2004, h. 12.
55“Kebenaran Hadis Dalam Senario Iraq Modern: Kejatuhan Baghdad 772 Tahun Lalu Berulang Akibat Kerakusan Mengejar Keduniaan”, Utusan Malaysia, 21 februari 2004, h. 12.
74
Negara Islam. Mereka adalah penceroboh tetapi mereka bangga dan tidak berasa
gerun terhadap umat Islam, bahkan memperkecilkan mereka.
Ummat Islam adalah kelompok yang kalah. Mereka juga seperti apa yang
telah disebutkan dengan jelas oleh hadis, terkena jangkitan penyakit al-wahn yakni
cinta pada dunia dan takut pada mati.
Penyakit al-wahn yang menjadi penyebab utama kekalahan dalam setiap
perjuangan menimpa umat sebelum Islam. Dalam sebuah hadis, baginda bersabda:
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ، أنبأ محمد بن عبد اهللا ، أنبأ ابن وهب ،
: سعيد الغفاري ، أنه قال أخبرني أبو هانئ حميد بن هانئ الخوالني ، حدثني أبو
سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم : سمعت أبا هريرة ، رضي اهللا عنه يقول
األشر : يا رسول اهللا ، وما داء األمم ؟ قال: داء األمم فقالوا أمتيسيصيب : يقول
هذا « والبطر والتكاثر والتناجش في الدنيا والتباغض والتحاسد حتى يكون البغي
56»حيح اإلسناد ولم يخرجاه حديث صMaksudnya; “Umatku akan ditimpa penyakit yang pernah menimpa umat
terdahulu. “Sahabat bertanya , “apakah penyakit umat terdahulu itu?” Nabi SAW menjawab; “penyakit itu telah terlalu banyak seronok, terlalu mewah, menghimpun harta sebanyak mungkin, tipu menipu dalam merebut harta benda dunia, saling memarah, hasut-menghasut sehingga jadi zalim menzalimi”.57
Penyakit yang disebutkan oleh Rasulullah SAW ini telah banyak kita lihat
dikalangan muslim hari ini. Di sana sini kita melihat penyakit ini merebak dan
menjalar dalam masyarakat dengan ganasnya. Dunia Islam dilanda krisis rohani yang
56Abî ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah Al-Hâkim al-Naisâbûrî, Al-Mustadrak ‘Alâ al-
Sahîhain, hadis ke-7419, juz. 17, h. 158. 57Al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-qiyâmah al-Kubrâ, h.
180.
75
sangat tajam dan meruncing. Dengan kekosongan rohani itulah mereka terpaksa
mencari dan menimbun harta benda sebanyak-banyaknya untuk memuaskan hawa
nafsu. Maka apabila hawa nafsu diperturutkan tentunya mereka terpaksa
menggunakan segala macam cara dan tipu helah.
Pada saat itu, hilanglah nilai akhlak dan yang wujud hanyalah kecurangan,
khianat, hasut-menghasut dan sebagainya.
Apa yang menimpa Iraq modern hari ini adalah sama halnya juga dengan apa
yang menimpanya 772 tahun lalu. Pada 656H/1258M, Baghdad jatuh ke tangan
penceroboh Hulagu dari Monggol.58
Cucu Genghis Khan, Ibn Katsîr menulis, “Saya memasuki kota Baghdad pada
656H. Pada tahun itu saya telah melihat bala tentara Tatar telah mengepung kota
Baghdad. Kemudian pasukan Tatar mengepung istana khalifah lalu menghujani
dengan anak panah dari setiap penjuru sehingga akhirnya mengenai seorang sahaya
wanita yang sedang bermain dengan khalifah. Sahaya yang bernama Arfah itu
termasuk salah seorang gundik khalifah. Ketika anak panah itu mengenainya dia
sedang menari di hadapan khalifah. Khalifah pun terkejut dan ketakutan”.59
Dari segi sebab, strategi, metode dan akibatnya adalah lebih kurang sama,
yang berbeda hanyalah pelaku, alat dan waktu. Pada masa pencerobohan itu 1.8 juta
orang terbunuh seperti dilaporkan Ibn Katsîr. Bandingkan dengan ribuan jumlah
58Free Ensiklopedia, “Bani Abbasiyah”, artikel ini diakses pada tanggal 31 Disember 2009
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah 59Abî al-Fidâ` al-Hafîz Ibn Katsîr (w. 774H), Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.), cet.1, juz. 13, h. 200.
76
rakyat Iraq yang terbunuh selepas beberapa tahun pencerobohan Amerika ke atas
Negara tersebut.
Di antara sebab kejatuhan Baghdad dulu adalah jatuhnya Turkestan dan
peristiwa Utrar; jatuhnya Khurasan; hedonisme khalifah, memburu harta, meminum
minuman keras dan seks; kekikiran khalifah; perselisihan dan pertempuran antara
penganut mazhab; dan ketidakserasian antara khalifah, wazir dan general Turki.60
Manakala di antara sebab kejatuhan Baghdad hari ini adalah jatuhnya kota
besar Irak bermula dari Selatan, Basra hingga Utara, Kurdistan; hedonisme pemimpin
Parti Baath yang memerintah Irak pimpinan Saddam Hussein; perselisihan mazhab
yang membakar dan ketidakserasian jentera kerajaan sehingga diakui seorang jeneral
Irak. Kementerian Pertahanan yang seharusnya memegang peranan dalam peperangan
itu tidak dibenarkan untuk berbuat demikian malah diserahkan kepada Pengawal
Republik pimpinan anak Saddam; Qusai yang tidak berpengalaman dalam strategik
peperangan.61
Dalam kejatuhan Baghdad pertama, nampak sangat jelas pepecahan serius di
antara umat Islam yang berbilang bangsa ketika itu di mana ia mengundang
kelemahan yang membunuh kerajaan Abbasiyah. Namun, kemunculan Hulagu ke
Baghdad itu adalah peristiwa yang paling bersejarah.pada zaman Bani Buwaih
mazhab khilafah Abbasiyah adalah Syiah. Selepas berpindah kepada Seljuk, mazhab
kerajaan kembali kepada Sunni. Akan tetapi, khalifah pada akhir era kerajaan
60Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafido Persada, t.t.), h.70-71. 61Ensikliopedia Bebas, “Invasi Iraq 2003”, artikel diakses pada tanggal 31 Disember 2009
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Invasi_Irak_2003
77
Abbasiyah masih terus percaya kepada tokoh Syiah seperti Mu’ayyid ad-Deen bin al-
Alqami. Atas perbalahan yang berlaku di antara Sunni dan Syiah, Mu’ayyid telah
menjemput Hulagu mengisi cita-citanya menawan Baghdad. Beliau yang sepatutnya
menjalankan tugas mewakili khalifah untuk berbincang dengan Hulagu berpaling
tadah dan membuka laluan kepada Hulagu menyerang Baghdad sehingga ke akar
umbi pada 656H.62
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan
saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan
awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai
pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu
pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Monggol yang
dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
Senario Iraq moden termasuk di dalamnya minyak bukanlah senario Iraq dan
barat pimpinan Amerika saja tetapi ia sebenarnya senario kebenaran dan kebatilan,
Islam dan jahilliyyah serta menjelaskan bahwa rakusnya manusia terhadap hal-hal
keduniaan. Ini telah diterangkan Rasulullah dalam sebuah hadis:
قال حدثنا حسن بن موسى حدثنا زهير عن سهيل عن أبيه عن أبي هريرة قال
ات رسول الله صلى الله عليه وسلم يحسر الفرات أو لا تقوم الساعة حتى يحسر الفر
62Ensiklopedia Bebas, “Bani Abbasiyah”, artikel diakses pada tanggal 31 Disember 2009 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah
78
Bermaksud, “Tidak terjadi hari kiamat kecuali Sungai Euphrates menjadi surut airnya sehingga ternampak sebuah gunung dari emas. Ramai orang yang berperang untuk merebutnya. Maka terbunuh Sembilan puluh Sembilan daripada seratus orang yang berperang. Dan masing-masing yang terbabit berkata, “mudah-mudahan akulah yang terselamat itu”. Di dalam riwayat lain ada disebutkan; sudah dekat suatu masa di mana Sungai Euphrates akan menjadi surut airnya lalu ternampak penbendaharaan daripada emas, maka barang siapa yang hadir di situ janganlah ia mengambil sesuatupun daripada harta itu.” (Muttafaq Alaih)64
E. Esensi Segala Krisis dan Rahsia Konspirasi Musuh
Sebenarnya akibat yang menimpakan umat seperti yaitu kezaliman dan
kerosakan, ditindas, dijajah, adalah berpusat pada esensi krisis besar yang menurut
Yusuf Qardhawi adalah krisis spiritual moralitas, krisis keimanan dan akhlak. Krisis
di sisi yang jangka masa yang panjang akan mengarah kepada ekonomi, politik,
manajemen, sains dan teknologi. Yang intinya berpangkal pada matinya ruh
keimanan dan akhlak. Dan menurut KH Imam Zarkasyi segala permasalahan
berpunca dari racun yang ditanam musuh, sejenis penyakit yang samar kelihatan dan
tersembunyi letaknya tetapi amat besar bahayanya yaitu egoism.65
Keduanya adalah kelemahan iman dan akhlak dalam dalam diri seluruh
pemerintah dan penduduk yang merupakan congakan Firaun, kesombangan Haman,
63Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, juz 17, cet. 1, Musnad Abû
Hurairah, hadis ke-8038, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 80. 64Al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-qiyâmah al-Kubrâ, h.
192. 65KH Imam Zarkasyi, ‘Jangan Jadi Penyakit di Masyarakat’, Gantor, Februari
2006/Muharram 1427, h. 37.
79
Artinya: “Kepada Firaun dan kaumnya; lalu kaum Firaun menurut perintah Firaun, sedang perintahnya itu bukanlah perintah yang betul”.
⌧
Artinya: “(Dengan yang demikian), maka Firaun memperbodohkan kaumnya, lalu mereka mematuhinya; sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang fasik – derhaka”.
Ini adalah kelemahan yang tercermin dalam: “cinta dunia dan takut akan
mati” dalam diri manusia.
Jika penguasa tidak lagi mau diganti kursinya oleh orang lain, ia berniat mau
untuk mempertahankannya. Segala cara dihalalkan agar tetap berjabat. Mereka adalah
orang yang menyia-nyiakan bangsa dan menghinakan masyarakat.
Kebanyakan perpecahan yang kita perhatikan terjadi di bangsa dan
pemerintahan kita sendiri. Sumbernya bukanlah perbedaan cara berfikir dan siasat,
namun sekedar perbedaan kamauan dan tujuan serta kemaslahatan penguasa di atas
krisis hukum dan kepimpinan.67
66Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 318. 67Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 319.
80
Masalah ummat seperti hutang piutang, penyalahgunaan kuasa, politik wang,
memilik barang haram hasil dari penipuan, suap, gratifikasi, korupsi, bisnis prostitusi,
zina, eksploitasi diri dan sebagainya untuk melengkapkan dan memewahkan
kebutuhan kehidupan lahir dari semboyan ‘het doel heiling de middelen’ (segala jalan
boleh ditempuh) dalam mengejar kekayaan dan kenikmatan. Tanpa peduli halal dan
haram. Prinsip-prinsip machiavelisme seperti yang benar dan berkuasa diterapkan
untuk mencapai tujuan tanpa menghiraukan baik buruk, benar salah semuanya
menandakan al-wahn ummat.68
Sifat-sifat tercela seperti materialistis, egois, kekanak-kanakan, menghalalkan
segala cara, oportunisme, juga kehinaan aroganisme, acuh tak acuh, malas, lemah
dalam produksi, sikap apatis, adalah kotoran dan penyakit, bahkan lebih bahaya dari
seluruh penyakit.69
Dalam kehidupan modern, sepintas lalu akan dirasa adanya kemajuan dan
kenikmatan secara materi. Tetapi di lain pihak, tanpa disedari adanya pencemaran
jiwa (mental pollution) yang menyerapi diri yang menjadi rahsia konspirasi musuh
dan menyebab kemunduran agama. Dengan arti bahwa bukan musuh Islam yang akan
menjatuhkan umat Islam dengan konspirasinya, tetapi umat Islam sendiri yang mulai
meninggalkan agamanya adalah esensi segala konspirasi musuh dan dengan itu umat
Islam kehilangan martabatnya yang tinggi.
68Kh Imam Zarkasyi, ‘Rapuhnya Moral Agama’, Gontor, edisi 12 tahun vi, April 2009/Rabiul
Akhir 1430, h. 1. 69Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 321.
81
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan ke atas sanad dan matan tentang hadis al-
wahn serta perbahasan mengenai relevansi kebenarannya dapatlah ditetapkan butir-
butir kesimpulan seperti berikut:
1. Hadis nombor 4297 yang dikutip dari kitab Sunan Abû Dâwud (sahîh li
dzâtih) dan dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya. Begitu juga
hadis dari Musnad Ahmad bin Hanbal melalui Abû Hurairah (8356) dapat
disimpulkan sebagai hasan li ghairih setelah dikuatkan oleh jalur sahih
dari Sunan Abû Dâwud dan melalui Tsaubân (22460) oleh jalur Musnad
Ahmad yang berkualitas hasan li gharih.
2. Di samping keotentikan hadis juga perbahasan mengenai pembuktiannya
di konteks ini dapat disimpulkan bahwa hadis yang menjadi obyek
penelitian dapat diakui relevansi kebenarannya.
3. Berdasarkan uraian tentang hadis al-wahn, dapatlah difahami bahawa al-
wahn adalah penyebab kejatuhan moral, akhlak, tamadun, maruah dan
harga diri yang seterusnya menjadi sumber mudahnya agama Islam
dikuasai dan dijajah. Segala problematika kaum Muslimin kontemporer
menurut hadis adalah bersumber dari dalam diri kaum muslimin itu
sendiri, yaitu dari penyakit al-wahn yang merupakan penyakit campuran
dari dua unsur yang selalu wujud dalam bentuk kembar dua, dua penyakit
82
ini tidak dapat dipisahkan, yaitu ‘cinta dunia’ dan ‘takut mati’. Umat
Islam kini secara kuantitas memang tidak dinafikan, tetapi aspek kualitas,
dan otoritas selalu dipersendakan. Ditindas, diinjak-injak, disakiti,
dibunuh dan sebagainya. Bangsa-bangsa dari seluruh dunia walau pun
berbeda-beda agama, mereka bersatu untuk melawan dan melumpuhkan
kekuatannya. Oleh itu, hadis yang diteliti yang mengandung petunjuk
tentang segala pemasalahan yang menimpa umat dulu dan kini asalnya
berakar dan berpangkal dari penyakit al-wahn berfungsi untuk dijadikan
sumber hujjah.
B. Saran-saran
Sejalan dengan beberapa hal yang dibahas penulis dalam skripsi ini, maka
penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Maka hendaknya kaum muslimin mentradisikan sikap bersederhana terhadap
nafsu memburu harta kekayaan karena bentuk ujian iman tersebut akan
menyampaikan manusia kepada bentuk pengingkaran kepada Allah dan
banyak melahirkan tindakan aniaya dan permusuhan.
2. Hendaknya ummat Islam bersatu karena obor kesatuan umat ‘al-Wihdah’
adalah benteng utama kekuatan ummat. Tetapi harus memulainya dengan
pengukuhan akidah dan iman karena dengan sahaja akan melahirkan
kesederhanaan seterusnya melahirkan persaudaraan Islam.
3. Hendaknya ilmu-ilmu khususnya hadis saat ini dikaji lebih mendalam
sehingga inti ajaran dan apa yang diterapkan oleh beliau dapat direalisasikan
sebaiknya.
83
Konklusinya, semoga penulisan ini terhindar dari kesalahfahaman yang
sedayanya diwaspadai penulis. Hanya kepada Allah penulis memohon keampunan
dan berharap semoga penelitian yang jauh dari kesempurnaan ini bermanfaat
khususnya untuk penulis dan seluruh pembaca amnya. Wassalam.
Lampiran 1
ء إلى قصعتها فقال قائل ومن قلة نحن يومئذ قال بل أنتم يومئذ آثير ولكنكم غثا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يوشك الأمم أن تداعى عليكم آما تداعى الأآلة قال حب الدنيا وآراهية الموت الوهنم الوهن فقال قائل يا رسول الله وما غثاء السيل ولينزعن الله من صدور عدوآم المهابة منكم وليقذفن الله في قلوبكآ
سمعت قال
عن عن عن
عن أخبرنا حدثنى
عن حدثنا حدثنا
حدثنا حدثنا حدثنا
دثناح حدثنا دثناح
النبى صلى اهللا عليه وسلم
W. 57/ أبو هريرة
الكوفة/ بن عوف شبيل الشام/ عمرو بن مرثد / أبو أسماء الشام/ عبد السالم
البصرة/ حبيب بن عبد اهللا
عبد الصمد بن حبيب
.W/ هاشم بن القاسم / أبو النضر 207 H / L. 134 H
.W/ البصرة / مبارك بن فضالة 166
الشام / مرزوق
محمد بن / أبو جعفر المدائنى W. 206 H/ المدائن / جعفر
/ عبد الرحمن بن يزيد / ابن جابر H W. 153/الشام
W. 275 H L. 202/أبو داود H/
/ الشام / عبد الرحمن بن ابراهيم W. 245 H / L. 170 H
.H W/الشام / بشر بن بكر205 /L. 124 H
/ W. 241 H/ أحمد بن حنبل L. 164 H
)w. 44(ثوبان
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`an al-Karim Budiono MA. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Agung, 2005. Al-Qatthan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu al-Quran. Indonesia: PT. Mitra Kerjaya, 2007. Cet 10 Bustamin dan Salam, M. Isa H.A.. Metodologi Kritik Hadis. JAKARTA: PT
RajaGrafindo Persada, Maret 2004. Cetakan pertama. Fatah Yasin, Qurratul Ain. Ilmu Mustholah Hadis. Kuala Lumpur: ISP Shahab
Trading 2006. Cetakan pertama. Al-Sijistânî, Abî Dâwud Sulaimân bin al-`Asy�ast. Sunan Abî Dâwud. T.tp.: Dar al-
A�lam, 1423H/2003M. Cetakan pertama. Metode Takhrij Hadits, Penerjemah Agil Husin Munawwar dan Ahmad Rifqi
Muchtar. Semarang: Dina Utama, t.t A.J Wensick. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Hadîst al-Nabawî. Penerjemah
M. Fouad Abdel Baky. Leiden: E.J. Brill, 1936 M. Al-Syaibânî, Ahmad ibn Muhammad bin Hanbal ibn Hilâl ibn Asad. Al-Musnad li
al-Imâm Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M. Cet. 2. Al-‘Asqalânî, Ahmad ibn �Alî Hajar Abû al-Fadhl. Taqrîb al-Tahdzîb. Syiria, Dar
Al-Rasyid, 1986. Cetakan pertama. ……………, Tahdzîb Tahdzîb. Beirut: Dar al-Fikr, 1984M/1404H. Cetakan pertama. Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 2007. Cet. 2. ……………., Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah). Jakarta: Bulan Bintang, 1988. Ash Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1997. Cetakan pertama. Al-Mizî, Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj. Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl. Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1992 M/1413H, cet. 3. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1980, cetakan pertama.
84
Al-Baghdâdî, Al-Khathîb. Târikh Baghdâd. Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn Uthmân al-Dzahabî. Siyâr al-A’lâm Al-
Nubalâ. Qaherah: Darul Hadis, 2006. Al-Dzahabî. Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah. Beirut: Dar al-
Kutub Al-Sittah, 1983. Cetakan pertama. ……………, Tadzkirah al-Huffâz. Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1375H-1955M.
Cetakan pertama. Al-Râzî. Al-Jarh wa al-Ta’dîl. Beirut: Dar al-Fikr, 1954. Cetakan pertama.
Al-Khathib, Muhammad ‘Ajaj. UUsûl Al-Hadîts. Penerjemah Qodirun Nur dan AhmadMusyafiq. Jakarta: Gaya Media Pranata, 2007. Cet. 4.
Abî Bakr, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman. Thabaqât al-Huffâz. Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1994. Cet. 2.
Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: PT Alma’rif, 1974.
Cetakan pertama. Al-Jazrî, ‘Izz al-Dîn Ibn Al-Asir Abî al-Hasan ‘Alî bin Muhammad. UUsl al-Ghâbah
fî Ma’rifah al-Sahâbah. Beirut: Dar al-Fikr, 1398H/1978M. Cetakan pertama. Fayyad, Mahmud ‘Ali. Manhaj al-Muhaddtsîn fî Dabth al-Sunnah. Penerjemah A.
Zarkasyi Chumaidy. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1419H/1998M. Cetakan pertama.
Al-Syahrawi, Ibrahim Dasuqi. Mu’âlah al-Hadîts. Qairo: Syirkah al-Tiba’at al-
Fanniyah al-Muttahidah. t.t. Abî Bakr, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman. Tabaqât al-Huffâz. Beirut: Dar al-Kutub Al-
Ilmiah, 1994. Cet. 2. Al-Naisâbûrî, Abî ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah Al-Hâkim. Mustadrak,
Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t. Al-Jauziyyah, Abî Thayyib Muhammad Syams Al-Haq al-‘Adzîm Abadî dan Syams
al-Dîn ibn Qayyim. ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud. Beirut: Dar Al-Afkar, tt
85
Manzûr, Abî al-Fadhl Jamâl al-Din Muhammad bin Mukram ibn. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dar Shadir, 1414 H/1994 M). Cet. 3
Mu’jam al-Wasîth. T.tp.: Maktabah al-Syuruf al-Dauliyyah, 1423H/2004M. Cet. 4. Baky, Muhammad Fouad ‘Abdel. Mu’jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Qur`an al-
Karîm. Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.. Shihab, M. Quraisy. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera hati, Jumadil Akhir
1428/Juni 2007. Cet. VIII. Al-Qardhawi, Yusuf. Keprihatinan Islam Modern. Penerjemah H. Moh. Farid AZ.
Surabaya: CV. Dunia Ilmu, 21 Ramadhan 1416H/11 Februari 1995. Cetakan pertama.
……………, Titik Lemah Umat Islam. Penerjemah Rusydi Helmi. Jakarta Timur: Penebar Salam, Syawal 1421H/Januari 2001. Cetakan pertama. ……………, Islam Agama Ramah Lingkungan. Penerjemah Abdullah Hakam Shah,
Dkk.. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, Mei 2002. Cetakan pertama. Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik.
Jakarta: Paramadina, Oktober 1996. Cetakan pertama. Al-Asyqar, ‘Umar Sulaiman. Kiamat Kecil dan Tanda-tanda Kiamat Besar.
Penerjemah Irfan Salim. Jakarta: PT Serambi Ilmu Sastera, Rabi’ul awal 1421H/Juli 2000M. Cetakan pertama.
Al-Bukhârî, Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ismâ�îl. Sahîh al-Bukhârî. Jordan: Bait
al-Afkar wa al-Dauliyyah. Cet. Terbaru. Al-Wakil, Muhammad Sayyid. Wajah Dunia Islam Dari Bani Umayyah Hingga
Imperialisme Modern. Penerjemah Fadhli Bahri, Lc. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, November 2009. Cet. 6.
Syamir, Hussin Muhammad. 31 Sebab Lemahnya Iman. Penerjemah Musthafa Aini. Jakarta: Darul Haq, Muharram 1430H/Januari 2009. Cet. VII.
Ibnu katsir, Abi al-Fida al-Hafidz. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.. Cetakan pertama. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT RajaGrafido Persada, t.t.. Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Bandung: PT Mizan Publika, April 2009. cetakan 1.
86
87
Dokumen elektronik dari internet: Maizuddin. “Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Nabi”. Artikel diakses pada 6 Mac
2010 dari http://maizuddin.wordpress.com/artikel/pemahaman-kontekstual-atas-hadis-nabi/
Shahaby, Makhsis. “Integritas hadis Dalam Konteks dakwah Islam”. Artikel diakses
pada tanggal 31 Disember 2009 dari http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Hadis.html
Shahaby, Makhsis. “Integritas Hadis Dalam Konteks Dakwah”. Artikel diakses pada
14 march 2010 dari http://lenterahadis.com/index.php?option=com_content&view=article&id=67:integritas-hadits-dalam-konteks-dakwah-islam&catid=36:kajian-hadis&Itemid=57
Supatmiati, Asri. “Eksploitasi Wanita”. Artikel diakses pada 1 march 2010 dari laman web http://www.indoforum.org/showthread.php?t=42372
Free Encyclopedia. “Bani Abbasiyah”. Artikel ini diakses pada tanggal 31 Disember 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah
Berbagai Sumber. “Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju”. Artikel diakses pada tanggal 21 April 2010 dari http://www.semuabisnis.com/articles/100514/1/Mengapa-Ummat-Islam-Mundur-dan-Ummat-Selain-Islam-Maju/Page1.html
Artikel dan berita dari Koran: “Perlu, Upaya Mendasar Indonesia Bisa Meniru China untuk Berantas Praktik Suap”.
Kompas, Senin, 5 April 2010. Zarkasyi, KH Imam. “Jangan Jadi Penyakit di Masyarakat”. Gantor, Februari
2006/Muharram 1427, h. 37.
“Kebenaran Hadis Dalam Senario Iraq Modern: Kejatuhan Baghdad 772 Tahun Lalu Berulang Akibat Kerakusan Mengejar Keduniaan”. Utusan Malaysia, 21 februari 2004, h. 12.
“Parpol Tak Lepas dari Jerat Korupsi”. Kompas, Senin, 12 April 2010, h. 1. Ilyas, Abustani. “Kontribusi Pemikiran Hadis Rasyid Ridha”. Refleksi: Jurnal Kajian
Agama dan Filsafat. Vol. IX, no. 3 (2007). h. 253.