Hak Dan Kewajiban Narapidana (Siti)

Embed Size (px)

Citation preview

HAK DAN KEWAJIBAN NARAPIDANA Harus diakui, narapidana sewaktu menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan dalam beberapa hal kurang mendapat perhatian, khususnya perlindungan hak-hak asasinya sebagai manusia. Dengan pidana yang dijalani narapidana itu, bukan berarti hak-haknya dicabut. Pemidanaan pada hakekatnya mengasingkan dari lingkungan masyarakat serta sebagai pembebasan rasa bersalah. Penghukuman bukan bertujuan mencabut hak-hak asasi yang melekat pada dirinya sebagai manusia. Untuk itu, sistem pemasyarakatan secara tegas menyatakan, narapidana mempunyai hak-hak seperti hak untuk surat menyurat, hak untuk dikunjungi dan mengunjungi, remisi, cuti, asimilasi serta bebas bersyarat, melakukan ibadah sesuai dengan agamanya, menyampaikan keluhan, mendapat pelayanan kesehatan, mendapat upah atas pekerjaan, memperoleh bebas bersyarat. Hak-hak narapidana di Indonesia melalui sistem pemasyarakatan dikatakan baik, atau memiliki prospek, perlu dikaitkan dengan pedoman PBB Mengenai Standar Minimum Rules untuk memperlakukan narapidana yang menjalani hukuman ( Standard Minimum Rules For the Treatmen Of Prisoner, 31 juli 1957 ), yang meliputi: buku register, pemisahan narapidana pria dan wanita, dewasa dan anakanak, fasilitas akomodasi yang harus meiliki ventilasi, fasilitas sanitasi yang memadai, mendapatkan air serta perlengkapan toilet, pakaian dan tempat tidur, makanan sehat, hak untuk berolah raga ditempat terbuka, hak untuk mendapatkan pelayanan dokter umum maupun dokter gigi, hak untuk diperlakukan adil menurut peraturan dan hak untuk membela diri apabila dianggap indisipliner, tidak diperkenankan mengurung pada sel gelap dan hukuman badan, borgol dan jaket penjara tidak boleh dipergunakan narapidana, berhak mengetahui peraturan yang berlaku serta saluran resmi untuk mendapatkan informasi dan menyampaikan keluhan, hak untuk berkomunikasi dengan dunia luar, hak untuk mendapatkan bahan bacaan berupa buku-buku yang bersifat mendidik, hak untuk mendapatkan pelayanan agama, hak untuk mendapatkan jaminan penyimpanan barangbarang berharga, pemberitauan kematian, sakit dari anggota keluarga. (Elsam 1996:5-17)

Sebagai negara hukum hak-hak narapidana itu dilindungi dan diakui oleh penegak hukum, khususnya para staf di Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana juga harus harus diayomi hak-haknya walaupun telah melanggar hukum. Disamping itu juga ada ketidakadilan perilaku bagi narapidana, misalnya penyiksaan, tidak mendapat fasilitas yang wajar dan tidak adanya kesempatan untuk mendapat remisi. Untuk itu dalam Undang-undang No. 12 tahun 1995 Pasal ( 14 ) secara tegas menyatakan narapidana berhak: 1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya 2. Mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani 3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran 4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak 5. Menyampaikan keluhan 6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang 7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan 8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya 9. Mendapatkan pengurangan masa pidana 10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi ternasuk cuti mengunjungi keluarga 11. Mendapatkan pembebasan bersyarat 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas 13. Mendapatkan hak-hak Narapidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya hak antara narapidana perempuan dan narapidana pria adalah sama, hanya dalam hal ini karena narapidananya adalah wanita maka ada beberapa hak yang mendapat

perlakuan khusus dari narapidana pria yang berbeda dalam beberapa hal, diantaranya karena wanita mempunyai kodrat yang tidak dipunyai oleh narapidana pria yaitu menstruasi, hamil, melakirkan, dan menyusui maka dalam hal ini hak-hak narapidana wanita perlu mendapat perhatian yang khusus baik menurut Undang-Undang maupun oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan. Dalam Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal (14) disebutkan hak-hak narapidana, disamping hak-hak narapidana juga ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh narapidana seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan Pasal (15) yaitu: 1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu 2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dalam peraturan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang juga tercantum kewajiban narapidana wanita yaitu: 1. Mentaati semua peraturan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita 2. Wajib berlaku sopan, patuh dan hormat kepada semua petugas 3. Wajib menghargai semua warga binaan 4. Wajib menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan dan keindahan 5. Wajib berpakaian rapi dan sopan 6. Wajib mengikuti program pembinaan 7. Wajib memelihara barang-barang milik negara 8. Wajib menitipkan barang-barang berharga 9. Wajib memberitahu kepada petugas apabila melihat atau mengetahui tanda-tanda atau keadaan bahaya bagi keamanan Lembaga Pemasyarakatan. Hak dan kewajiban merupakan tolak ukur berhasil tidaknya pola pembinaan yang dilakukan oleh para petugas kepada narapidana. Dalam hal ini dapat dilihat apakah petugas benar-benar memperhatikan hak-hak narapidana. Dan apakah narapidana juga sadar selain hak narapidana juga mempunyai kewajiban yang harus dilakukan dengan baik dan penuh kesadaran. Dalam hal ini dituntut adanya kerjasama yang baik antara petugas dan para narapidana.

PEMBINAAN NARAPIDANA Pembinaan narapidana adalah penyampaian materi atau kegiatan yang efektif dan efesien yang diterima oleh narapidana yang dapat menghasilkan perubahan dari diri narapidana ke arah yang lebih baik dalam perubahan berfikir, bertindak atau dalam bertingkah laku. Secara umum narapidana adalah manusia biasa, seperti kita semua, tetapi tidak dapat menyamakan begitu saja, karena menurut hukum ada karakteristik tertentu yang menyebabkan seseorang disebut narapidana. Maka dalam membina narapidana tidak dapat disamakan dengan kebanyakan orang atau antara narapidana yang satu dengan yang lain. Pembinaan yang sekarang dilakukan pada awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat yang tumbuh di masyarakat. Bagaimanapun juga narapidana adalah manusia yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan kearah yang positif, yang mampu merubah seseorang untuk menjadi lebih produktif, lebih baik dari sebelum seseorang menjalani pidana. Tujuan perlakuan terhadap narapidana di Indonesia mulai nampak sejak tahun 1964, setelah Dr. Sahardjo mengemukakan dalam konferensi Kepenjaraan di Lembang, Bandung bahwa tujuan pemidanaan adalah pemasyarakatan. Jadi mereka yang menjadi narapidana bukan lagi dibuat jera, tetapi dibina untuk dimasyarakatkan. Ide Pemasyarakatan bagi terpidana, dikemukakan oleh Dr. Sahardjo yang dikenal sebagai tokoh pembaharu dalam dunia kepenjaraan. Pokok dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian kita adalah: 1. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia 2. Tiap orang adalah mahluk kemasyarakatan, tidak ada orang diluar masyarakat 3. Narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan bergerak

Sahardjo dalam Harsono ( 1995:2 ) juga mengemukakan sepuluh prinsip yang harus diperhatikan dalam membina dan membimbing narapidana yaitu: 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat. 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari pemerintah. 3. Rasa tobat bukanlah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan. 4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau jahat daripada sebelum ia masuk Lembaga 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya di peruntukkan bagi kepentingan Lembaga atau negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditujukan kepada pembangunan negara 7. Bimbingan dan didikkan harus berdasarkan Pancasila 8. Tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat, tidak boleh dijatuhkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat 9. Narapidana itu hanya dijatuhkan pidana hilang kemerdekaan 10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Sepuluh prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana itu sangat berkait dengan pelaksanaan pembinaan narapidana karena sepuluh ( 10 ) prinsip pembinaan dan bimbingan serta sistem pembinaan narapidana merupakan dasar pemikiran dan patokan bagi petugas dalam hal pola pembinaan terhadap narapidana khususnya narapidana wanita. Pembinaan itu sendiri adalah suatu proses di mana, narapidan wanita itu pada waktu masuk di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita sudah dalam kondisi tidak harmonis pada masyarakat sekitarnya. Adapun penyebabya adalah karena narapidana tersebut telah melakukan tindak pidana yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan masyarakat Pembinaan narapidana harus menggunakan empat komponen prinsip-prinsip pembinaan narapidana, ( Harsono, 1995:51 ) yaitu sebagai berikut: 1. Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri. Narapidana sendiri yang harus melakukan proses pembinaan bagi diri sendiri, agar mampu untuk merubah diri kearah perubahan yang positif.

2. Keluarga, yaitu keluarga harus aktif dalam membina narapidana. Biasanya keluarga yang harmonis berperan aktif dalam pembinaan narapidana dan sebaliknya narapidana yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis kurang berhasil dalam pembinaan. 3. Masyarakat, yaitu selain dukungan dari narapidana sendiri dan keluarga, masyarakat dimana narapidana tinggal mempunyai peran dalam membina narapidana. Masyarakat tidak mengasingkan bekas narapidana dalam kehidupan sehari-hari 4. Petugas pemerintah dan kelompok masyarakat, yaitu komponen keempat yang ikut serta dalam membina narapidana sangat dominan sekali dalam menentukan keberhasilan pembinaan narapidana. Sedangkan pemasyarakatan itu sendiri bertujuan: 1. Memasukkan bekas narapidana ke dalam masyarakat sebagai warga yang baik 2. Melindungi masyarakat dari kambuhnya kejahatan bekas narapidana dalam masyarakat karena tidak mendapat pekerjaan. Perubahan pandangan dalam memperlakukan narapidana di Indonesia tentunya didasarkan pada suatu evaluasi kemanusiaan yang merupakan wujud manisfestasi Pancasila, sebagai dasar pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengakui hak-hak asasi narapidana. Dr. Sahardjo adalah tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya perbaikan pelakuan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara. Ide pemikirannya mempengaruhi para staf dinas kepenjaraan sehingga, menghasilkan sistem pemasyarakatan. Sistem ini merupakan satu-satunya metode pembinaan yang secara resmi berlaku diseluruh Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat

pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Bentuk pembinaan bagi narapidana menurut Pola Pembinaan Narapidana/ tahanan meliputi: 1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dengan yang dibina 2. Pembinaan yang bersifat persuasif yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan 3. Pembinaan berencana, terus menerus dan sistematis 4. Pembinaan keperibadian yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kasadaran hukum, ketrampilan, mental spiritual. Sehubungan dengan pengertian pembinaan Sahardjo yang dikutip oleh Petrus dan Pandapotan ( 1995:50 ) melontarkan pendapatnya sebagai berikut: Narapidana bukan orang hukuman melainkan orang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan. Sistem Pemasyarakatan (narapidana) itu sendiri dilaksanakan berdasarkan asas: 1. Pengayoman 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan 3. Pendidikan 4. Pembimbingan 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia 6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan 7. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Petrus dan Pandapotan ( 1995:38 ) Pembinaan narapidana menurut sistem pemasyarakatan terdiri dari pembinaan didalam lembaga, yang meliputi pendidikan agama, pendidikan umum, kursus ketrampilan, rekreasi, olah raga, kesenian, kepramukaan, latihan kerja asimilasi, sedangkan pembinaan diluar lembaga antara lain bimbingan selama terpidana, mendapat bebas bersyarat, cuti menjekang bebas. Lebih lanjut didalam sistem pemasyarakatan terdapat proses pemasyarakatan yang diartikan sebagai suatu proses sejak seorang narapidana masuk ke Lembaga Pemasyarakatan sampai lepas kembali ketengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan itu, berdasarkan Surat Edaran Kepala Direktorat Pemasyarakatan No. Kp 10. 13/3/1/tanggal 8 Februari 1965, telah ditetapkan pemasyarakatan sebagai proses dalam pembinaan narapidana dan dilaksanakan melalui empat tahap yaitu: 1. Tahap Keamanan Maximal sampai batas 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya. 2. Tahap Keamanan menengah sampai batas 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya 3. Tahap Keamanan minimal sampai batas 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya 4. Tahap integrasi dan selesainya 2/3 dari masa tahanan sampai habis masa pidananya Perlunya mempersoalkan hak-hak narapidana itu diakui dan dilindungi oleh hukum dan penegak hukum, khususnya para staf di Lembaga Pemasyarakatan, merupakan suatu yang perlu bagi negara hukum yang menghargai hak-hak asasi narapidana sebagai warga masyarakat yang harus diayomi, walaupun telah melanggar hukum. Disamping itu, juga banyak ketidak adilan pelakuan bagi narapidana. Misalnya penyiksaan, tidak mendapatkan fasilitas yang wajar, tidak adanya kesempatan untuk mendapatkan remisi, cuti menjelang bebas. Harus diakui, narapidana sewaktu menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan dalam beberapa hal kurang mendapat perhatian, khususnya perlindungan hak-hak Asasinya sebagai manusia. Hal itu menggambarkan perlakuan yang tidak adil. Padahal konsep Pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Sahardjo menyatakan, narapidana adalah orang yang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Memahami hal ini, jelas pembinaan tidak dengan kekerasan, melainkan dengan cara-cara yang manusiawi yang menghargai hak-hak narapidana.

DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda, Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti -----------.1996.Hak-hak Narapidana. Jakarta: Elsam Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta: Djambatan Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta Moleong, Lexi, j. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Roda Jaya Muladi dan Arief, Barda Nawawi. Teori-teori Dan Kebijakan Pidana . Bandung: Alumni Panjaitan, Irwan, Petrus dan Simorangkir, Pandapotan. 1995. Lembaga Pemasyarakatan Dalam Prespektif Sistem Peradilan Pidana Penjara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Poernomo, Bambang. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan SistemPemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty Rahardjo, Satjipto. 1996. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti Santoso, Topo, dan Achyani, Zulfa. 2001. Kriminologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Simanjuntak, B dan Pasaribu, I, L. 1998. Teori-teori Kebijakan Pidana. Alumni: Bandung Soeharto. 1991. Hukum Pidana Materiil. Jakarta: Sinar Grafika Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan W.J.S Poerwadarminta. 1988. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka