Upload
buidung
View
219
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
HAK-HAK DASAR KEWARGANEGARAAN MALAYSIA DI
DALAM PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MOHD ZALANI BIN JUNOH
NIM: 109045200035
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini bahwa saya menyatakan :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta : 14 September 2011
16 Syawal 1432 H
Mohd Zalani bin Junoh
NIM : 109045200035
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi Tuhan Semesta
Alam, Yang Maha Esa, Yang Maha Kaya, Yang Maha Pencipta, Yang Maha
Mengetahui Segala Sesuatu yang ada di langit dan di bumi, yang nyata maupun yang
tersembunyi baik dalam terang benderang maupun gelap gelita, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Shalawat dan salam kepada Junjungan Besar kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga serta para sahabat dan pengikut-pengikutnya yang menyeru dengan seruannya,
berpedomankan petunjuk-petunjuk Allah SWT serta berpegang teguh dengan tali-Nya
(hablullah) sampai akhir zaman.
Alhamdulillah berkat rahmat-Nya, penulisan skripsi ini telah dapat diselesaikan
dengan baik walaupun masih banyak kekurangan. Penulis menyadari bahwa selesainya
skripsi ini tak luput dari dorongan dan bantuan semua pihak. Ucapan terima kasih
penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. H Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas
Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, yang telah memberikan
kepercayaan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
2. Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, dan Sekataris Program Studi Jinayah
Siyasah, Dr.Asmawi M.Ag, dan Afwan Faizin, MA. Yang telah membantu
penulis sejak masa perkuliahan hingga berakhirnya skripsi ini.
3. Prof. Dr.Masykuri Abdillah, Dosen Pembimbing skripsi penulis, yang dengan
sabar telah memberikan banyak masukan dan saran, sehingga skripsi ini dapat
selesai dengan baik. Semoga apa yang telah bapak ajarkan mendapat balasan
dari Allah SWT;
4. Seluruh staf pengajar (dosen) Fakultas Syariah dan Hukum di Uin Jakarta dan
kolej Universiti Darul Qur‟an yaitu Ust Mahmood Sulaiman, Ust Soud. Ust
Kamaruzzaman, Ust. Mourad, Sir Mukhdi,Ustazah Zaiton dan Puan Nailah yang
keramatullah.
5. TYT.Dato‟ Duta Malaysia di Indonesia, Tuan Pengarah JPMI, Atas Agama
serta seluruh staf Kedutaan Besar Malaysia atas pengawasan dan kebajikan yang
diberikan.
6. Teristimewa buat pemberi semangat nur kasih Ayah dan Ibu Tercinta,Junoh bin
Derahman dan Hasmah binti Daud, yang senantiasa menyayangi, merawat,
mengasuh, membesarkan, mendidik dan memberikan motivasi di setiap gerak
langkah penulis. serta adik beradik yang diingati, Saikuliana, Hasron, Radzi,
Sakinah,Zaid, Sazila, syamimi, Syuhada, Zawawi, Zubaidah, Naim serta ahli
keluarga yang dikasihi. Terima kasih atas bantuan moral dan material, hingga
penulis dapat menyelesaikan pengajian di sini dengan selamat,dan sempurna.
Semoga amal kalian diganti ridha Khaleed.
7. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FUF,
UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Umum Islam Imam Jama.
8. Teman-teman seperjuangan Tarmizi, Ba‟yah, Ameer, Hidayah,Dijah,Raudha,
Razman, Ukasyah, Riduan,Helmi, Hayafizul, Hafiz, Fuad, Sabri, Saifuddin,
Muaz, Hilman, Saiful Daulah, Najib, Zahid,Hadi, Tuan Izzuddin, Fakhri, Yunus,
Sufian, Fawwaz, Hadi,Baha, dan juga teman yang berada di Asrama Putri UIN
dan kost kosan, tidak lupa juga teman yang dicintai yang senantiasa memberi
semangat dan dukungan. Jutaan terima kasih atas teguran dan sumbangan yang
telah diberikan oleh Ridzuan, Faiz Awang, Aziz dan Tuan Izuddin Abu Bakar.
Tidak lupa juga sahabat-sahabat dari IPA, Ramadhan, Ustadz Azhari, Munir,
Syukri, Hanzalah, Riduan Hamid, Nasrullah, Syamil, Farid, Khalil dan Najmi
yang telah bersama kecimpung dalam menegakkan kalimat Allah.
9. Teman-teman Indonesiaku juga yang telah banyak membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini, Muchin, Boggie, Riri, Quen, Ria, Abg Lokman yang
mengenali penulis yang tidak mampu penulis catatkan satu persatu disini. dan
beberapa teman-teman lain yang membantu penulis untuk memahami dan
sharing mengenai ketatanegaraan Islam, khususnya negara Indonesia. Tak lupa
Jiran di samping kosanku, Pak Iskandar,Ibu halimah, Ibu Fatimah,Pak Wahab
Ibu Aminah,Masato,Ibu Lia, anaknya Niswah, Abrar, dan yang mengenali
mendoakan penulis dan semangat serta motiwasi, semoga kita tetap dalam
perjuangan
10. Kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu hingga terselesainya
skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih banyak semoga segala bantuan
tersebut diterima sebagai amal shaleh di sisi Allah SWT dan memperoleh
balasan pahala yang ganda. Amin.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan semua ini. Semoga apa
yang penulis usahakan ini kiranya dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Amin.
Jakarta: 20 September 2011
22 Syawal 1432 H
Penulis
PEDOMAN TRANSLITERASI
a. Padanan Aksara
Huruf
Arab
Huruf
Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h ha dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik diatas hadap kanan „ ع
gh ge dan ha غ
f ef ؼ
q ki ؽ
k ka ؾ
l el ؿ
m em ـ
n en ف
w we و
h ha هػ
apostrof ` ء
y ye ي
b. Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah
i kasra
u dammah
Adapun Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ي
au a dan u و
c. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ػػا
î i dengan topi di atas ــــــي
û u dengan topi di atas ـــــــو
d. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf (اؿ) , dialih-
aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf
qamariyyah. Contoh الشمسية = al-syamsiyyah, القمرية = al-qamariyyah.
e. Tasydîd
Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika
huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf
samsiyyah.
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata
sifat (na„t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
g. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau
kata sandangnya . Contoh البخاري = al-Bukhâri.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………..……………………………. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..…………iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………….…1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah………………..….4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………...……5
D. Kajian Terdahulu………………………………….…………..…5
E. Metode Penelitian…………………………………...………..…..8
F. Sistematika Penulisan…………………………..…………….…10
BAB II HAK-HAK DASAR KEWARGNEGARAAN DALAM
KETATANEGARAAN ISLAM
A. Pengertian dan Sejarah Hak Warga Negara................................11
B. Hak-hak Dasar dan Kewajiban dalam Ketatanegaraan Islam....17
C. Pandangan Ulama Tentang Hak-hak Warga Negara dalam
Islam...........................................................................................19
BAB III STATUS KEWARGANEGARAAN DI MALAYSIA
A. Definisi Warga Negara.................................................................. 22
B. Kewarganegaraan Menurut Negara-Negara Moden.......................23
C. Cara Mendapatkan Status Kewarganegaraan di Malaysia.............24
D. Hak-Hak Dasar Kewarganegaraan di Malaysia.............................28
BAB IV HAK-HAK DASAR KEWARGANEGARAAN DI DALAM
PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH
A. Dasar-dasar Fiqih Siyasah……………………………………...38
B. Hak-hak Dasar Kewarganegaraan Menurut Fiqih Siyasah…… 45
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………...…………………………………..…..66
B. Saran…………………………….….……………………….…..67
DAFTAR PUSTAKA…………………………………….………………………...…69
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fiqih Siyasah adalah mengatur, mengendalikan, mengurus atau membuat
keputusan. Yakni, pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara‟.
Sehingga dengan memahami fiqih siyasah diharapkan dapat membawa
kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukannya kepada jalan yang
menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat.1
Dalam objek kajiannya fiqih siyasah meliputi pengaturan hubungan antara
warga Negara dengan warga Negara, pengaturan dan perundangan-undangan yang
dituntut oleh hal ihkwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok
agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi
kebutuhannya. Sedangkan pembidangan fiqih siyasah yang terlihat dalam kurikulum
fakultas syari‟ah, yang membagi fiqih siyasah kedalam empat bidang pertama; Fiqh
Dustury, kedua; Fiqh Dawly, ketiga; Fiqh Maliy, dan keempat Fiqh Harby.2
Maka permasalahan yang terkait kedudukan kewarganegaraan di dalam fiqih
siyasah sudah banyak dibincangi oleh ulama Islam terdahulu maupun saat ini, antara
lain apa yang disebut Abul A‟la al-Maududi adalah hak rakyat itu ada empat pokok
1Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2007), cet. III, h. 257 2 Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet. II,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 34
utama; pertama perlindungan terhadap jiwa, harta dan kehormatan, kedua
perlindungan kebebasan pribadi, ketiga kebebasan menyatakan pendapat dan
keempat terjamin kebutuhan pokok.3
Selanjutnya apa yang di sebut oleh J Suyuthi Pulungan di dalam bukunya
Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah adalah prinsip-prinsip hak
asasi yaitu dasar ajaran yang berkaitan dengan jaminan akan hak yang dimiliki
manusia bersamaan dengan kelahiran atau kehadiranya di dalam kehidupan
masyarakat (penduduk madinah) tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama,
keyakinan, jenis kelamin, dan sebagainya,hak-hak asasi manusia terdiri dari hak
sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.4
Kehidupan bernegara dalam Islam sudah ada sejak masa Rasulullah dan
khulafa‟ dan ini merupakan contoh bagi kita semua dalam hidup berwarganagara,
meskipun pada masa itu umat Islam menempati posisi nomor satu (kelas satu) dalam
pemerintahan suatu Negara namun non muslim yang menjadi warganya merasa
aman, terlindungi, diberikan hak-hak kesejahteraan, kebahagian dan ketenteraman
yang sama dengan umat Islam mereka juga memiliki kedudukan yang sama dengan
kaum muslim.5
3Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet. II, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 34 4 J. Suyuthi Pulungan, Perinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Mandiah di Tinjau dari
Pandangan Al-Quran, ( Jakarta, PT Raja Grafindo Perseda:1996) cet II, hlm. 14 5Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2006), Cet , I, hlm. 34
Negara-negara demokrasi terkadang belum menjamin warga negaranya
untuk berdemokrasi karena demokrasi bukan hanya menjamin kebebasan tempat
peribadatan dan beragama artinya demokrasi juga harus memberi kebebasan pada
warga Negara yang domisilinya kecil dalam konteks muslim yang mayoritas
ataupun sebaliknya kaum muslim yang minoritas yang hidup diantara kaum non
muslim yang mayoritas di sejumlah Negara-negara dunia untuk menikmati hak-hak
demokratis persamaan politik.6
Undang-Undang Kewarganegaraan untuk pertama kali dibuat di Malaysia
yaitu pada tahun 1948. Undang-undang ini terkandung dalam Perjanjian
Persekutuan Tanah Melayu tahun itu. Pasal 125 sampai Pasal 133 telah menetapkan
siapa yang dikatakan sebagai warga negara Persekutuan. Pasal-pasal ini juga telah
menentukan jalan dan cara untuk mendapatkan kewarganegaraan Persekutuan, yaitu
dengan jalan pendaftaran dan naturalisasi. Undang-undang ini dilakukan perbaikan
sedikit pada tahun 1952 karena ingin menyesuaikan dengan undang-undang warga
negara Inggris yang diubah pada tahun 1949.7
Pada 1952 semua negeri Melayu mengesahkan undang-undang yang
menentukan siapa yang menjadi raja-raja rakyat Melayu di setiap masing-masing
negara bagian. Barang siapa yang menjadi rakyat keturunan raja-raja Melayu, maka
orang itu berhak menjadi warga negara Persekutuan Tanah Melayu. Seperti inilah
keadaan undang-undang kewarganegaraan di Malaya sebelum merdeka. Setelah
6 Artani Hasbi, Musyawarah & Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2001), cet. I, h. 1
7 Op, Cit, Tun Salleh Abas, hlm. 260
merdeka, Perlembagaan Persekutuan (Undang-undang Dasar Malaysia) dari Pasal
14 sampai Pasal 31 Perlembagaan Malaysia berisi butir-butir dan peraturan-
peraturan tentang kewarganegaraan.
Di dalam Hukum Islam dan Undang-undang kewarganegaraan di Malaysia
masih terdapat beberapa macam masalah, diantaranya apakah pandangan ulama
tentang hak kewarganegaraan dalam konteks fiqh siyasah? Bagaimana pandangan
ulama tentang istimbat atau pengambilan nash-nash terhadap kewarganegaraan ?
dan banyak lagi hal-hal yang akan di bahas di dalam skripsi ini. Jadi penulis ingin
mengangkat pembahasan ini sebagai tema utama dalam kajian ini dengan judul
‘Hak-Hak Dasar Kewarganegaraan Malaysia di dalam Perspektif Fiqih Siyasah’
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, penulis membatasi dan hanya
menfokuskan pada hak kewarganegaraan Malaysia di dalam konteks fiqih siyasah,
seterusnya indentifikasi permasalahan utama adalah bagaimana relevasi yang terkait
dengan hukum-hukum Islam. Dalam hal ini, pembatasan yang terkait hukum Islam
adalah menfokuskan pandangan ulama atau intlektual Islam kontemporer.
2. Perumusan Masalah
Berdasakan uraian dalam latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Sejauhmana hak-hak dasar kewarganegaraan yang diatur di dalam konstitusi
Malaysia?
b. Bagaimanakah kedudukan hak Kewarganegaraan Malaysia di dalam kajian fiqih
siyasah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya:
1. Untuk mengetahui hak dasar kewarganegaraan yang berlaku di dalam konstitusi
Malaysia
2. Untuk mengetahui kedudukan hak Kewarganegaraan Malaysia di dalam persepektif
fiqih siyasah
D. Kajian Terdahulu
Untuk melihat bahasan kajian yang membahas mengenai tema yang hampir
sama, namun substansi yang berbeda maka diperlukan studi review terhadap kajian
yang terdahulu. Adapun yang penulis masukan dalam perbandingan ini di dapat dari
bahan-bahan; buku-buku dan skripsi.
Buku pertama, Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin
Politik Islam).8 Ada bahasan secara terperinci yang membahas mengenai
kewarganegaraan, seperti pembagian kewarganegaraan di bedakan kepada Dar Al-
Islam dan Dar Al-Harb. Di dalam Dar Al-Islam di tempati oleh Muslim, Ahl Al-
8 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001, cet. I
Dzimmi, Musta‟min. Sedangkan di Dar Al-Harb di tempati oleh golongan Harbiyun.
Buku kedua. “ Islam dan Tata Negara” karya Munawir Sjadzali.9 Buku ini
membahas diantaranya tentang Piagam Madinah semasa Nabi dan konsep
musyawarah. Hubungan antara permasalahan kedudukan warga negara dengan
hukum Islam sudah di jelaskan secara umum, sementara sistematika melalui teknik
komparatif dengan memperbandingankan pelbagai pemikiran politik masa klasik
maupun sekarang.
Buku ketiga, karya Luli Huliyah.10
“Konsep Negara Islam Menurut
Muhammad Husein Haikal,”, tulisan ini menampilkan prinsip-prinsip Negara Islam
dalam pandangan Husein Haikal yang dituangkannya dalam buku al-Hukûmât al-
Islâmiyyah. Disebutkan bahwa pokok-pokok pikiran Haikal tentang kenegaraan
antara lain: prinsip-prinsip dasar kehidupan bermasyarakat yang diberikan al-Qur‟an
dan al-Sunnah tidak ada langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Kehidupan
bernegra bagi umat Islam itu baru mulai pada waktu nabi telah hijrah dan menetap
di Madinah. Wahyu yang turun di Madinah meletakkan ketentuan-ketentuan dasar
bagi kehidupan keluarga, pembagian waris, usaha dan jual beli, yang itu semuanya
belum menyentuh secara rinci dasar-dasar bagi kehidupan pemerintahan. Mengenai
sistem pemerintahan, Haikal lebih cendung kepada sistem Republik daripada sistem
kerajaan.
9 Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI-Press, 1993.
10 Luli Huliyah, Konsep Negara Islam Menurut Muhammad Husein Haikal, (Jakarta: Fakultas
Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006).
Buku kelima, Karya Tun Mohd Salleh Abas.11
Tentang “Kewarganegaraan”
ditulis dalam buku yang berjudul “Prinsip Perlembangaan dan Pemerintahan di
Malaysia”, buku ini membahas tentang pengertian warga negara, kewarganegaraan
di sisi Undang-Undang, faktor dan cara untuk mendapatkan kewarganegaraan
Malaysia,pengeluaran sertifikat kewarganegaraan.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Jenis Penelitian
Untuk pemasalahan pengumpulan dan meneliti data dalam skripsi ini, penulis
mengunakan metode penelitian pustakaan (library research). Penulis mencoba
mengumpulkan data-datanya berasal dari sumber-sumber kepustakaan, baik berupa
buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini.
2. Obyek Penelitian
Yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah kedudukan kewarganegaraan
di Malaysia sementara subyek adalah kajian fiqih siyasah yang terkait dengan
permasalah ini.
3. Teknik Pengumpulan dan sumber data
Untuk mendapat data yang lebih akurat dan faktual yaitu himpunan
pandangan ulama hal-hal terkait hukum Islam terhadap kedudukan
kewarganegaraan, teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentar
dari bahan-bahan tertulis antaranya buku Fiqh Siyasah dan juga buku Perinsip
11 Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006.
Perlembagaan Malaysia. Data yang diperolehi dapat dibedakan menjadi data primer
dan skunder. Yang termasuk ke dalam sumber data primer adalah buku karangan
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), dan karya
Tun Mohd Salleh Abas tentang “Kewarganegaraan” ditulis dalam buku yang
berjudul “Prinsip Perlembangaan dan Pemerintahan di Malaysia”, seterusnnya
karangan-karangan lain yang terkait dengan judul skripsi ini, literature-literature,
dan website yang berkaitan dengan obyek penelitian. Kemudian data tertier berupa
kamus, jurnal dan artikal
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah melalui pendekatan yuridis normatif, yaitu
diantara data yang diperolehi seperti kedudukan Undang-undang kewarganegaraan
di dalam perlembagaan Malaysia dan juga pandangan ulama terhadap
kewarganegaraan di dalam kajian hukum Islam, seterusnya dengan pendekatan ini
penelitian menelusuri melalui analisis kuantitatif dan juga komparatif
(perbandingan) agar mendapat hepotesa komprehensif, seperti Undang-undang
kewarganegaraan Malaysia menetapkan rakyat yang lahir pada tempoh tertentu di
Malaysia akan dapat hak kewarganegaraan kerana antara landasan filsofis undang-
undang ini antaranya di tinjau hukum Islam adalah berdasakan teori piagam
madinah yang di lakukan oleh Rasulullah.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudahkan dan memperoleh gambaran yang utuh serta
menyeluruh, penelitian skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika sebagai
berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kajian terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.
Selanjutnya pada bab II merupakan tinjauan kedudukan Prinsip
Perlembagaan Persekutuan di dalamnya termuat pengertian, kedudukan sejarah
Perlembagaan Malaysia dan dasar-dasar yang termuat di dalam Perlembagaan
Malaysia.
Pada bab III akan dijelaskan prinsip Undang-undang kewarganegaraan dan
akan membahaskan sejarah muncul undang-undang kewarganegaraan seterusnya
kedudukan penjelasan pasal-pasal yang termuat di dalam undang-undang
kewarganegaraan.
Agar lebih jelas dan mendalam lagi di dalam studi hukum Islam, pada bab IV
ini, akan memaparkan teori-teori hukum Islam dalam konteks usul fiqih seterusnya
prinsip Perlembagaan Malaysia dan undang-undang kewarganegraan menurut teori
hukum Islam
Kemudian skripsi ini penulis tutup dangan kesimpulan dan saran pada bab
V.
BAB II
HAK-HAK DASAR KEWARGNEGARAAN DALAM KETATANEGARAAN
ISLAM
A. Pengertian dan Sejarah Hak Warga Negara
1. Pengertian Hak ;
Secara bahasa hak berarti yang benar, tetap dan wajib, kebenaran dan
kepunyaan yang sah.12
Hak dapat juga disebut hak asasi yaitu, sesuatu bentuk yang
dimiliki oleh seseorang karena kelahirannya, bukan karena diberikan oleh
masyarakat atau negara.13
Sedangkan dalam bahasa Arab, kata hak ( حق) dalam
kamus Lisan al-„Arab diartikan dengan ketetapan, kewajiban, yakin, yang patut dan
yang benar.14
Secara terminologis, ada beberapa definisi hak yang dikemukakan oleh para
ulama fiqih. Syeikh „Abdul Halim al-Luqnawi sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-
Zuhaili mendefinisikan kata hak dengan sesuatu hukum yang ditetapkan secara
syara‟. Sementara itu Syeikh Ali al-Khafifi mendefinisikan hak sebagai
kemaslahatan yang diperoleh secara syara‟.15
Musthafa Ahmad al-Zarqa dalam
kitabnya al-Madkhâl al-Fiqh al-„Am: al-Fiqh al-Islâmi fi Tsaubih al- Jadîd
memberikan definisi yang lebih lengkap. Menurut al-Zarqa hak adalah sesuatu
12 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h.
211 13 B. N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet. I, h. 193 14 Jalaluddin Muhammad Ibnu Manzhur, Lisân al‟Arab, juz II, (Mesir: Dâr al-Hadîts, 2003), h.
525-526 15 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, juz IV, (Damsyik: Dâr al-Fikr, 1425 H /
2004 M), cet. III, h. 8-9
kekhususan (yurisdiksi) di mana dengannya syara‟ menetapkan kekuasaan atau
tanggung jawab.16
Menurut Wahbah al-Zuhaili definisi yang dikemukakan oleh Syeikh Abdul
Halim al-Luqnawi belum bisa mencakup keseluruhan makna yang terkandung
dalam kata hak sebagaimana yang difahami oleh para ulama fiqih. Definisi yang
dikemukakan oleh al-Khafifi pun belum lengkap, sebab hanya menyinggung segi
tujuan dari hak. Definisi yang baik adalah yang dikemukakan oleh Musthafa Ahmad
al-Zarqa, sebab definisi tersebut mencakup keseluruhan yang terkandung dalam kata
hak seperti hak keagamaan (misalnya hak Allah atas hamba-Nya), hak perdata, hak-
hak kesopanan, hak-hak umum dan lain-lainnya.17
2. Hak Kewarganegaraan;
Secara garis besar hak kewarganegaraan dapat diartikan sebagai suatu
kebebasan dalam menentukan pilihan yang tidak dapat diganggu ataupun diambil
oleh siapapun dalam kehidupan bermasyarakat di suatu negara. Menurut para ahli
hukum hak kewarganegaraan adalah hak yang dimiliki dan diperoleh seseorang
dalam kapasitasnya sebagai anggota organisasi politik (negara), seperti hak memilih
(dan dipilih), mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam negara,18
atau
hak kewarganegaraan itu adalah hak-hak di mana individu memberi andil melalui
16 Musthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhâl al-Fiqh al-„Âm: al-Fiqh al-Islâmi fi Tsaubih al-Jadîd,
(Damsyik: Dar al-Fikr, t.th.), jilid III, h. 10 17 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 9
18 A. M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
cet. I, h. 17
hak tersebut dalam mengelola masalah-masalah negara atau memerintahnya.19
Selain itu hak kewarganegaraan dapat pula diartikan sebagai hak yang diperoleh
seseorang dalam kapasitasnya sebagai seorang anggota organisasi politik, seperti
hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam
negara. 20
Hak kewarganegaraan merupakan hak asasi untuk ikut serta dalam
penyelenggaraan pemerintahan, misalnya hak untuk berkumpul dan berserikat
(membentuk partai politik), dan hak untuk mengeluarkan pendapat termasuk
mengawasi dan mengkritisi pemerintah apabila terjadi penyalahgunaan
kewenangan, kekuasaan atau membuat kebijakan yang bertentangan dengan aspirasi
rakyat.
Berkaitan dengan hak warga negara dalam ketatanegaraan Islam, maka
perlu dibahas juga apa yang dimaksud dengan ketatanegaraan Islam. Berbicara
tentang ketatanegaraan Islam berarti berbicara tentang negara Islam. Menurut Imam
al-Mawardi negara Islam adalah negara yang melaksanakan konsep pemerintahan
Nubuwwah dalam menjaga agama dan mengurus urusan dunia dengan agama.21
Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah yang termasuk dalam negara Islam (Dar al-
Islam) negara di mana hukum-hukum agama Islam nampak di dalamnya atau
negeri-negeri di mana penduduknya beragama Islam bisa melahirkan (menjalankan)
19 Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan
Al-Amin, 1984), cet. I, h. 17 20 Mujar Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam,
(Bandung: Angkasa, 2003), cet. I, h. 49 21 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthâniyah, (T.tp: Dar al-Fikr, 1960), cet. I, h. 5
hukum-hukum Islam. Jadi termasuk negeri Islam semua negeri di mana semua
penduduknya itu sebagian besarnya beragama Islam, atau negeri-negeri yang
dikuasai oleh kaum muslimin, meskipun kebanyakan penduduknya tidak memeluk
agama Islam. Juga termasuk negeri Islam semua negeri yang tidak dikuasai oleh
kaum muslimin, selama penduduknya yang beragama Islam bisa melahirkan
hukum-hukum Islam atau selama tidak ada hal-hal yang menghalang-halangi
mereka untuk melahirkan hukum-hukum tersebut.22
Kemudian menurut Yusuf Al-Qardhawi negara Islam adalah negara madani
(civil society) yang berdasarkan Islam.23
Sedangkan negara bukan Islam adalah
negeri-negeri yang tidak termasuk dalam kekuasaan kaum muslimin, atau negeri-
negeri di mana hukum Islam tidak nampak, baik negeri-negeri tersebut dikuasai oleh
satu pemerintahan atau beberapa pemerintahan, baik penduduknya yang tetap terdiri
dari kaum muslimin atau bukan.24
Jadi, dari penjelasan di atas yang dimaksud dengan hak kewarganegaraan
dalam ketatanegaraan Islam adalah di mana individu dapat ikut andil, melalui hak
tersebut, dalam mengelola masalah-masalah negara atau pemerintahannya, misalnya
hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk berkumpul dan berserikat (membentuk
partai politik), dan hak untuk mengeluarkan pendapat termasuk mengawasi dan
22 Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî‟ al-Jinâ‟i al-Islâmi: Muqâranan bi al-Qânŭn al-Wadhi‟i,
(Beirut: Muasasah al-Risalah, 1998), juz I, h. 275 23 Yusuf al-Qaradhawi, al-Dîn wa al-Siyâsah, edisi bahasa Indonesia Meluruskan Dikotomi
Agama dan Politik diterjemahkan oleh Khoirul Amru Harahap, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008),
cet. I, h. 169 24 Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî‟ al-Jinâ‟i al-Islâmi: Muqâranan bi al-Qânŭn al-Wadhi‟i,
h. 277
mengkritisi pemerintah apabila terjadi penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan atau
membuat kebijakan yang bertentangan dengan aspirasi rakyat.
3. Sejarah Hak Warga Negara dalam Ketatanegaraan Islam;
Sejarah hak warga negara di dalam Islam sudah berlangsung ketika manusia
itu sudah diturunkan oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.
Perkembangan perpolitikan di dalam Islam terjadi pada saat Nabi Muhammad SAW
diutus Allah SWT untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia agar
berkehidupan dengan cara yang baik dan benar. Peristiwa ketatanegaraan Islam
yang memang khusus mengkaji pembahasan hak-hak warga negara di dalam Islam
terjadi pada saat adanya Piagam Madinah.
Dokumen Piagam Madinah merupakan sumber ide yang mendasari negara
Islam pada awal pembentukannya, dokumen ini telah diakui otentik.25
Kelahirannya
memiliki konteks tersendiri, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah
penduduk di kota ini dilihat dari segi agama terdiri dari empat golongan besar, yaitu
warga Muslim, Musyrik, Yahudi, dan Nasrani. Warga Muslim terdiri Muhajirin dan
Anshar, golongan Muhajirin adalah warga imigran yang bermigrasi dari Mekkah,
mereka adalah orang-orang suku Quraisy yang telah masuk Islam, sedangkan kaum
Anshar adalah warga pribumi kota Madinah yang terdiri dua suku besar, yaitu suku
Aus dan suku Khazraj. Sementara warga Yahudi terdiri atas keturunan Yahudi
pendatang, terdapat tiga kelompok besar keturunan yaitu Bani Nadlir, Bani
25 W. Montogomery Watt, Muhammad at Medina, (London: Oxford University Press,
1991), h. 225
Qainuqa‟, dan Bani Quraizhah. Adapun warga Nasrani merupakan kelompok
minoritas yang umumnya mendiami daerah Najran.26
Dalam perspektif Islam, hak-hak warga negara sejatinya merupakan bagian
intrinsik dari hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu. Pelacakan intens terhadap
monoteisme Islam sebagai ajaran dasar akan menjelaskan secara sem-purna hal
tersebut. Sebagai prinsip dasar, monoteisme merupakan pembebasan yang
membawa konsekuensi pada keberadaan seluruh umat manusia dalam kedu-dukan
yang sederajat. Setiap manusia memiliki hak yang sama sesuai dengan kapasitas dan
kapabilitas masing-masing untuk mengaktualisasikan hak-hak dasariahnya, serta
mengartikulasikan aspirasinya yang objektif.
Demikian pula, hak-hak mereka yang bersifat prinsip harus mendapat
perlindungan yang sama. Tidak ada satu manusia atau kekuatan mana pun di dunia
yang dapat memasung dan mereduksi hak-hak dasar yang melekat pada setiap
manusia, termasuk hak-hak politik, kecuali karena alasan-alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan yang mengacu secara jelas kepada nilai-nilai etikamoral
kemanusiaan dan ajaran substansial agama.27
26 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalaam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: UI Press; 1995), h. 36
27 http://www.freelists.org/archives/ppi/04-2004/msg00033.html diakses pada tanggal 23
September 2008
Demikianlah penjelasan tentang pengertian dan sejarah hak-hak warga
negara dalam ketatanegaraan Islam, selanjutnya akan membahas mengenai hak
dasar yang dimiliki seseorang dalam ketatanegaraan Islam.
B. Hak-hak Dasar dan Kewajiban Dalam Ketatanegaraan Islam
Deklirasi ini juga memuat prinsip HAM Hak-hak dasar adalah hak-hak
yang dibutuhkan manusia untuk menjaga kelangsungan eksistensinya dan
keselamatan kehidupannya. Apabila hak-hak dasar ini dilanggar, maka
menyebabkan berakhirnya kehidupan manusia atau kehidupan manusia akan
mengalami kerusakan dan kehancuran yang parah. Dalam Islam, perlindungan atas
kebutuhan dasar manusia ini bertumpu pada tujuan diturunkannya syari‟at Islam
yaitu untuk melindungi dan memelihara kepentingan hidup manusia baik material
maupun spiritual, individual dan sosial.28
Berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh bahwa Allah telah menurunkan
syari‟at Islam dengan beberapa tujuan (Maqasid al-Tasyri‟ atau Maqasid al-
Syari‟ah)29
yang secara garis besar terdiri dari tiga hal, yakni dharuriat (tujuan
dasar), yaitu hal-hal penting yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup
manusia. Bila mana hal tersebut tidak terpenuhi, maka akan terjadi kerusakan,
kerusuhan dan kekacauan hidup manusia; hajiyat (tujuan sekunder) yaitu hal-hal
28 Ridwan HR., Fiqih Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2007), cet. I, h. 26 29 Pembahasan mengenai Maqasid al-Syari‟ah dapat dijumpai dalam kitab-kitab ushul fiqh
atau buku-buku yang membahas tentang filsafat hukum Islam, misalnya al-Syatibi dalam kitabnya al-
Muwafaqat, (Ttp: Dar al-Fikr, t.th), h. 2-5 dapat dilihat juga pada Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul
Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), h. 231-234
yang dibutuhkan oleh manusia untuk mendapatkan kelapangan dan kemudahan
dalam hidup di dunia. Bila mana hal tersebut tidak terpenuhi, maka manusia akan
mengalami kesulitan dan kesempitan; dan tahsiniyat (tujuan tersier), yaitu hal-hal
pelengkap yang terdiri dari kebiasaan dan akhlak yang baik.
Tujuan dasar atau dharuriyat meliputi perlindungan terhadap agama, jiwa,
akal, nasab dan harta (al-muhafadlah ala al-din wa al-nafs wa al-‟aql wa al-nasl wa
al-mal). Kehidupan manusia di dunia ini ditopang oleh lima hal ini. Manusia tidak
akan meraih kehidupan yang mulia tanpa memelihara hal tersebut, karena kemuliaan
manusia itu terletak pada terjaganya lima perkara tersebut. Pemerintahan Islam
wajib menjaga dan memberikan perlindungan terhadap kebutuhan dasar manusia,
dan tidak hanya terbatas pada warga negara muslim saja tetapi terhadap semua
warga negara yang berada di wilayah negara yang bersangkutan, apapun agamanya.
Perlindungan terhadap kebutuhan dasar manusia ini merupakan inti dari
perlindungan hak asasi manusia.
Demikianlah secara umum apa yang menjadi hak-hak dasar warga negara
yang harus dijamin dan diberikan oleh negara dalam negara Islam, yaitu
terpeliharanya lima perkara:
1. Perlindungan Terhadap Agama (Hifz al-Din) atau Hak untuk Memeluk Agama
atau Keyakinan;
2. Perlindungan terhadap jiwa (hifz al-Nafs) atau hak untuk hidup;
3. Perlindungan terhadap akal (hifz al-‟aql) atau hak untuk berfikir;
4. Perlindungan terhadap keturunan (hifz al-Nasl) atau hak atas keturunan dan
kehormatan; dan
5. Perlindungan terhadap harta (hifz al-mal) atau hak atas harta.
D. Pandangan Ulama Tentang Hak-Hak Warga Negara dalam Islam
Menurut Muhammad Anis Qasim Ja‟far, hak-hak warga negara itu ada tiga
macam, yaitu:30
a. Hak untuk mengungkapkan pendapat dalam pemilihan dan referendum;
b. Hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota lembaga perwakilan dan lembaga
setempat; dan
c. Hak untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan hal-hal lain yang
mengandung persekutuan dan penyampaian pendapat.
Ketiga hak ini, tegas Qasim, tidak berlaku kecuali bagi orang-orang yang
memenuhi syarat-syarat tertentu disamping syarat kewarganegaraan. Seseorang
boleh menggunakan atau tidak menggunakan hak-haknya tersebut tanpa ikatan apa
pun.31 Menurut A. M. Saefuddin bahwa tiap individu memiliki hak-hak warga
negara dalam politik di antaranya hak memilih, hak musyawarah, hak pengawasan,
hak pemecatan, hak pencalonan dalam pemilihan dan menduduki jabatan.32
Seorang Muslim mesti pasti menjadi seorang politik karena dia dituntut oleh
rasa keimanannya agar tidak hidup menyendiri tanpa memiliki perhatian pada
30 Mujar Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Nonmuslim dalam Komunitas Islam:
Tinjauan dari Persfektif Politik Islam, (Bandung: Penerbit Agkasa, 2003), cet. I, h. 67 31 Ibid. 32 A. M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, h. 17-19
persoalan orang lain. Terutama persoalan yang menimpa seorang mukmin lain tanpa
sesama saudara seiman.
Rasulullah SAW bersabda.
“ Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka dia
bukan sebagian daripada mereka.
Menurut Al-Maududi sebagaimana di kutip Ibnu Syarif paling tidak ada
enam macam hak warga negara yang diakui dalam Islam, yaitu:33
(1) Hak
Kebebasan untuk mengeluarkan dasar pikiran, pendapat, dan keyakinan.34
Hal ini
lanjut menurut Al-Maududi, meliputi hak kebebasan untuk mengkritik pemerintah
dan pejabatnya. (2) Hak untuk berserikat dan berkumpul, (3) Hak untuk memilih
dan dipilih sebagai kepala Negara, (4) Hak untuk menduduki jabatan umum dalam
pemerintahan Negara, (5) Hak untuk memilih atau dipilih sebagai ketua dan anggota
Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR), (6) Hak untuk memberikan suara dalam
pemilihan umum.
Pembahasan mengenai hak warga negara ini juga di sampaikan oleh Abd al-
Karim Zaidan, beliau merincikan mengenai haknya hampir memiliki persamaan
serta memiliki perbedaan dalam mengkategorikan pembagian hak-hak politik warga
negara dalam Islam, seperti yang telah dipaparkan oleh Abu A‟la al-Maududi.
Sedikitnya menurut beliau ada enam macam hak warga negara yang melibatkan
politik dalam Islam, yaitu: (1) Hak untuk memilih dan dipilih sebagai kepala
33 Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam, h. 52 34 Abu A‟la Maududi, Islamic Law and Constitution, (Lahore, Pakistan: Islamic
Publication Ltd, 1977), h. 283
Negara, baik langsung maupun melalui perwakilan, (2) Hak musyawarah atau hak
untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan ide, saran dan kritik yang konstruktif
kepada para penyelenggara negara terpilih, utamanya kepala Negara, agar tidak
melakukan hal-hal yang membahayakan umat/rakyat, (3) Hak pengawasan/hak
untuk mengontrol dan meluruskan penyimpangan yang dilakukan oleh para
penyelenggara Negara, (4) Hak untuk memecat atau mencopot kepala Negara dari
jabatannya bila tidak dapat menjalankan dengan baik tugas yang diamanahkan
umat/rakyat kepadanya, (5) Hak untuk mencalonkan diri untuk jabatan kepala
Negara/Presiden, dan (6) Hak untuk menduduki jabatan umum dalam
pemerintahan.35
35 Abd al-Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, h.17-52
BAB III
STATUS KEWARGANEGARAAN DI MALAYSIA
A. Definisi Warga Negara
Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari sesuatu
penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau
kawula negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai
orang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara, karena
warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu negara, yakni
peserta dari satu Persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas dasar
tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama. Untuk itu, setiap warga
negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga negara
memiliki kepastian hak, privasi dan tanggung jawab.36
Warga negara, yang merupakan keahlian penuh bagi sesuatu negara,
mempunyai beberapa syarat yang tertentu. Di antara syarat-syarat tersebut
mencakup umur, kediaman, hak asasi dan keistimewaan tertentu. Jika syarat-syarat
ini dipenuhi barulah boleh dianggap seseorang itu warga negara bagi sebuah
negara.37
Dalam Kamus Dewan Bahasa Malaysia, warga negara dapat diartikan
sebagai rakyat sebuah negara yang terdiri dari penduduk asli, atau pun orang asing
36 Dede Rosyada, dkk, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), cet. I h. 73 37 K. Ramanathan, Konsep Asas Politik, (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998),
h. 358
yang telah diterima menjadi rakyat berdasarkan undang-undang Malaysia.38
Warga
negara adalah penting untuk membentuk sesebuah negara kebangsaan yang baru,
baik itu negara kerajaan maupun republik.39
Kerakyatan atau kewarganegaraan
Malaysia itu sebenarnya bukanlah hak mutlak seseorang. Kewarganegaraan dapat
diperoleh melalui berbagai cara yang disahkan dan diakui oleh undang-undang
negara. Tidak terkecuali juga ialah hak kerajaan Malaysia untuk menggunakan
kuasa atau wewenang serta haknya untuk menarik kembali atau mencabut status
kewarganegaraan seseorang rakyatnya. Undang-undang tentang kewarganegaraan
yang berlaku di Malaysia sekarang dibagi kepada tiga bagian yaitu perolehan
kewarganegaraan, penamatan kewarganegaraan dan peruntukan tambahan.40
B. Kewarganegaraan Menurut Negara-Negara Modern
Di setiap negara pada umumnya mempunyai aturan tersendiri atas syarat-
syarat yang ditentukan untuk menjadi warga negara dari negara tersebut, namun
demikian dalam ilmu pengetahuan terdapat dua asas yang utama, yaitu asas jus soli
dan asas jus sanguinis.41
Yang dimaksud dengan jus soli (asas tempat kelahiran)
ialah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya.
Seseorang adalah warga negara dari negara B, karena ia dilahirkan di negara B
tersebut. Sedangkan asas jus sanguinis (asas keturunan) adalah penentuan
38 Hajah Noresah Binti Baharom, dkk., Kamus Dewan Bahasa, Edisi Ketiga, cet. VII,
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 2002), h. 1546 39 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 259 40 Mohd. Foad Sakdan, Asas Politik Malaysia, cet. II, h. 83
41 Gouw Giok Siong, Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Kinta, 1962), Jilid 2, h. 17
kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan dari orang yang
bersangkutan. Seseorang adalah warga negara A karena orang tuanya adalah warga
negara A.
Penentuan asas kewarganegaraan yang dianut oleh suatu negara adalah
merupakan hak masing-masing negara tersebut. Walaupun tidak dapat memenuhi
asas jus soli dan jus sanguinis orang dapat memperoleh kewarganegaraan dengan
jalan pewarganegaraan atau naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedur kewarga-
negaraan ini di berbagai negara sedikit banyak berlainan, menurut kebutuhan yang
dibawakan oleh kondisi dan situasi negara masing-masing 42
Sangat jelas bahwa klasifikasi warga negara di dalam Islam dengan negara
modern sangat berbeda, ini dilihat dari faktor hukum yang berlaku. Islam lebih
kepada hukum Tuhan baik dari sumber primer al-Qur‟an, hadis, maupun dari
sumber sekunder ijtihad, istihsan yang berupa fiqih. Sedangkan klasifikasi warga
negara modern dilihat dari kepentingan negara yang bersangkutan.
C. Cara Mendapatkan Status Kewarganegaraan di Malaysia
Dalam perlembagaan Malaysia, ada empat cara untuk mendapatkan status
kewarganegaraan, yaitu dengan cara jus soli, jus sanguinis, perkawinan dan
naturalisasi.43
42 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: Prenada Group, 2003), Cet. Revisi, h. 77 43 Nazaruddin Hj. Muhammad, Pengajian Malaysia: Kenegaraan dan Kewarga-negaraan,
cet. V, (Selangor: Prentice Hall, 2004), h. 173, dapat dilihat juga pada Tun Mohd Salleh Abas,
Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 268
1. Jus Soli (Undang-undang Tempat Lahir)
Dalam Perlembagaan Malaysia, seseorang yang dilahirkan di Malaysia
antara Hari Kemerdekaan tanggal 31 Agustus 1957 dan bulan Oktober tahun
196244
secara langsung menjadi warga negara tanpa memperhatikan
kewarganegaraan orang tuanya. Tetapi jika seseorang itu dilahirkan setelah
bulan November 1962, maka orang itu dapat menjadi warga negara apabila
memenuhi salah satu syarat di bawah ini:
a. Ketika kelahirannya salah seorang dari ibu bapaknya ialah warga negara;
b. Ketika kelahirannya salah seorang dari ibu bapaknya ialah orang yang
tinggal di negara ini, atau
c. Ketika kelahirannya dia tidak mempunyai kewarganegaraan negara mana
pun. 45
2. Jus Sanguinis (Undang-undang Keturunan Darah)
Jus sanguinis juga dipakai dalam Perlembagaan Malaysia sebagai satu
faktor yang sangat penting untuk menghubungkan seseorang dengan Malaysia.
Berdasarkan asas jus sanguinis, seseorang yang berketurunan warga negara akan
tetap menjadi warga negara, walaupun dia dilahirkan di luar negara, karena
kewarganegaraan bapaknya diwarisi olehnya. Tetapi masalahnya sebatas mana
kewarganegaraan itu dapat diberikan kepada sese-orang yang dilahirkan di luar
negara. Berdasarkan Perlembagaan, seseorang yang dilahirkan di luar Malaysia
44 Akta (Pindaan) Perlembagaan 1962 (No. 14 1962). 45 Ibid., Bagian 1, Jadual kedua
hanyalah boleh menjadi warga negara, jika bapaknya warga negara dan salah
satu dari syarat berikut dipenuhi:46
a. Bapaknya sendiri dilahirkan di Malaysia, atau
b. Bapaknya memegang jabatan dalam perkhidmatan awan (pegawai negeri)
Persekutuan atau negeri atau
c. Kelahirannya didaftarkan di kantor Konsul Malaysia47
ataupun dengan
Kerajaan Malaysia dalam jangka waktu satu tahun setelah kelahirannya,
ataupun dalam jangka waktu yang lama jika mendapat izin dari Kerajaan.48
3. Perkawinan
Faktor perkawinan dapat menjadi salah satu cara untuk mendapatkan
status kewarganegaraan Malaysia yaitu bagi seorang wanita asing yang menikah
dengan seorang warga negara Malaysia untuk memohon menjadi warga negara
jika:
a. Si suami telah menjadi warga negara pada bulan Oktober 1962 atau
sebelumnya dan perkawinan itu masih kekal, atau
b. Wanita asing itu telah tinggal dalam Persekutuan Malaysia selama 2 tahun
sebelum permohonan itu dibuat dan niatnya hendak tinggal menetap dalam
Persekutuan Malaysia dan berkelakuan baik
Isteri asing boleh meminta didaftarkan menjadi warga negara jika
46 Ibid., Pasal 1 (1) (d) dan (e) Bagian 1 dan Pasal 1(b), (c) dan (d) Bagian II 47 Kantor Konsul Persekutuan, termasuk semua kantor yang menjalankan fungsi konsul bagi
pihak Persekutuan. 48 Pasal 1 (1) (e) Bagian 1 dan Pasal 1(c), Bagian II, Jadual Kedua Akta (Pindaan)
Perlembagaan 1962 (Nomor. 14 1962).
perkawinan itu telah didaftar menurut undang-undang yang ada dalam Per-
sekutuan,49
tetapi syarat ini tidak dikenakan kepada seorang isteri yang telah
membuat permohonan kewarganegaraan sebelum awal bulan September 1965.
4. Masukan (Naturalisasi)
Bagi orang yang tidak dilahirkan di Malaysia, jika ia tinggal atau berniat
menetap di Malaysia, ia bisa mendapatkan status kewarganegaraan Persekutuan
dengan jalan masukan (naturalisasi). Berdasarkan Pasal 19 Perlembagaan
Persekutuan, orang asing yang berumur 21 tahun atau lebih boleh membuat
permohonan untuk dimasukkan menjadi warga negara, sekiranya dia dapat
memenuhi syarat-syarat yang tersebut di bawah:
(a). Dia telah tinggal dalam Persekutuan selama 12 tahun terdahulu dari dan
hingga tanggal permohonan itu tidak kurang dari 10 tahun.
(b). Berniat hendak tinggal menetap di negeri ini,
(c). Berkelakuan baik, dan
(d). Mempunyai kemampuan berbahasa Malaysia dengan fasih.
Tiap-tiap orang yang akan dimasukkan menjadi warga negara mengangkat
sumpah taat setia kepada Persekutuan sebelum diberikan kartu tanda penduduk
warga negara.
49 Pasal 15 (1), ibid
D. Hak-Hak Dasar Kewarganegaraan di Malaysia
Hak-hak dasar telah diatur dalam Perlembagaan Malaysia dengan
memakai istilah kebebasan asasi. Dalam Perlembagaan Malaysia secara umum telah
disebut tentang hak dan kebebasan setiap warganya yang dijamin oleh negara, di
antaranya adalah:
a. Hak Atas Kebebasan Diri (Pasal 5)
Bagian pertama Pasal 5 Perlembagaan Persekutuan menyatakan bahwa
tidak seorangpun boleh diambil nyawanya dan dihilangkan kebebasan dirinya
melainkan berdasarkan undang-undang. Pengadilan berhak melepaskan dia, jika
di dapati bahwa dia ditahan karena menyalahi undang-undang. Apabila
seseorang itu ditangkap, ia hendaklah diberitahu sebab-sebab dia ditangkap,
Bagian kedua menyebutkan bahwa Pengadilan Tinggi harus menyelidiki jika ada
pengaduan dibuat setelah pengacara menyatakan seseorang ditahan dan
melanggar undang-undang, dan jika tersangka terbukti tidak bersalah, ia harus
dibebaskan. Bagian ketiga menyebutkan bahwa jika seseorang ditangkap, dia
hendaklah diberitahu alasan penangkapannya dan dia berhak membela diri
melalui pengacara.
Berkenaan dengan kebebasan pribadi di atas sudah menjadi dasar
Undang-Undang Pidana di negara Malaysia, yaitu setiap orang tidak boleh
dipaksa mengaku bersalah atau memberi keterangan yang menunjukkan bahwa
ia telah melakukan kesalahan. Jika dengan menggunakan jalan paksa,
pengadilan berhak menolak pengakuan itu. Untuk membuktikan kesalahan itu,
orang yang mendakwa harus mencari keterangan-keterangan atau bukti-bukti
yang lain.50
Akan tetapi, hak atas kebebasan diri ini dibatasi oleh undang-undang
dan seseorang tidak boleh ditangkap tanpa bukti bahwa ia bersalah, atau
perbuatannya dirasakan berbahaya bagi keselamatan negara dan keamanan
umum.
b. Hak Atas Kebebasan dari Perbudakan dan Kerja Paksa (Pasal 6)
Bagian pertama dan kedua menyebutkan tidak seorang pun boleh ditahan
sebagai abdi (hamba) dan kerja paksa, tetapi undang-undang persekutuan boleh
membuat peruntukan untuk mengadakan khidmat bagi negara. Bagian ketiga
menyebutkan kerja-kerja yang berkaitan dengan hukuman tahanan tidak dapat
dikatakan sebagai kerja paksa.
Pengabdian atau perbudakan adalah diharamkan oleh Perlembagaan
Malaysia.51
Semua jenis kerja paksa itu dilarang, tetapi Parlemen dapat
membuat Undang-undang untuk memaksa warganya bekerja demi negara. Dan
juga tidaklah dianggap salah dari sisi Undang-undang jika kerja yang
dipaksakan kepada seseorang itu berkaitan dengan melaksanakan hukuman
penjara yang dijatuhkan kepada narapidana.52
Setiap warga negara boleh bekerja
untuk mencari nafkah asalkan perkerjaannya itu tidak bertentangan dengan
Undang-undang.
50 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 297 51 Pasal 6 Poin 1 dan 2 52 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 306
c. Hak Persamaan (Pasal 8)
Bagian pertama dan kedua menyebutkan bahwa semua warga negara
adalah berhak mendapat perlindungan yang sama rata di sisi undang-undang dan
setiap warga negara tidak boleh dibedakan atas sebab agama, kaum (bangsa),
keturunan atau tempat lahir. Bagian ketiga menyebutkan bahwa tidak boleh ada
pembedaan kepentingan seseorang disebabkan ia merupakan rakyat Raja negeri
bagian. Bagian keempat menyebutkan bahwa pihak berkuasa tidak boleh
membedakan seseorang sebab ia menetap atau menjalankan perniagaan di
negara bagian Persekutuan di luar wewenang pihak yang berkuasa.
Ada satu poin yang penting tentang hak persamaan dalam Perlembagaan
Malaysia ialah poin yang mengharamkan perbedaan dengan sebab agama,
bangsa, keturunan, dan tempat lahir. Begitu juga Perbedaan dengan sebab laki-
laki dan perempuan. Semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang
sama yang dilindungi oleh Undang-undang. Pasal 8 ayat (1) Perlembagaan
Malaysia menyebutkan bahwa semua orang berhak mendapat-kan perlakuan dan
perlindungan yang sama berdasarkan Undang-undang.
d. Hak Kebebasan Bergerak dan Larangan Buang Negeri / Diusir (Pasal 9)
Bagian pertama menyebutkan bahwa tidak ada warga negara yang boleh
dibuang negeri (diusir) atau ditahan masuk ke dalam Persekutuan. Bagian kedua
ada menyebutkan bahwa setiap warga negara adalah berhak bebas bergerak dan
menetap di seluruh Persekutuan.
Akan tetapi untuk keamanan negara, Pemerintah dapat membatasi gerak
gerik warga negara dengan membuat undang-undang, dan undang-undang itu
harus memenuhi kehendak Perlembagaan seperti kesemarataan, kecuali jika
undang-undang itu dibuat berdasarkan keselamatan khusus atau kewenangan
darurat pemerintah.53
Kebebasan bergerak bagi warga negara diseluruh
Persekutuan dibatasi oleh salah satu empat asas: (1) keselamatan, (2) keamanan
umun, (3) kesehatan umun, (4) hukuman bagi pesalah.54
e. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat, Berkumpul dan Bepersatuan (pasal 10)
Bagian pertama dan kedua menyebutkan bahwa Perlembagaan
Persekutuan menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul dan bepersatuan.
Walau bagaimanapun parlimen dapat memberikan batasan yang dirasakan perlu
demi menjaga keselamatan Persekutuan dan negara-negara bagian untuk
ketenteraman umum.
Kebebasan mengeluarkan pendapat ini dibatasi dengan kata-kata yang
tidak menjadi fitnah, provokatif, tidak menghina Pengadilan dan kata-kata yang
melanggar hak keutamaan Parlemen dan Dewan Negeri. Mengeluarkan kata-
kata fitnah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Barang siapa yang
berkata, menulis, mencetak, menjual atau menyebarkan perkataan-perkataan
yang bersifat provokatif dapat dianggap oleh undang-undang telah melakukan
kesalahan yang dapat dihukum hingga lima tahun penjara atau denda RM
53 Pasal 149, 150 dan 151 Perlembagaan Malaysia 54 Muhammad Kamil Awang, Sultan dan Perlembagaan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, 2001), cet. I, h. 102
5000.55
Poin 28 Akta Keselamatan Dalam Negeri menyebutkan bahwa siapa
saja yang menyebarkan berita palsu yang menakut-nakuti masyarakat umum,
demikian juga dibuat dengan ucapan atau pun tulisan dapat dianggap telah
melakukan suatu kesalahan.
Bahan-bahan tertulis diawasi oleh undang-undang, jika seseorang hendak
membuka atau mendirikan penerbitan atau pun surat kabar (media cetak), harus
terlebih dahulu mendapatkan izin dari Menteri Dalam Negeri, setiap surat kabar
atau bentuk tulisan apa pun hendaklah memiliki dan mencantumkan nama dan
alamat penerbitnya dalam bahasa Melayu atau bahasa Inggris di halaman depan
atau akhir. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Pemerintah mempunyai
wewenang untuk menutup setiap surat kabar (media cetak), buku-buku atau pun
bahan-bahan bertulis lainnya agar perizinan itu tidak dipersalahkan gunakan.
Bahkan sangat penting bagi pemerintah mengawasi penerbitan-penerbitan surat
kabar (media cetak) atau buku-buku secara tegas yang mungkin dapat merusak
suasana politik dan keamanan di Malaysia.56
Pengawasan kebebasan berpendapat bukan hanya dalam bentuk tulisan
dan ucapan saja, bahkan juga dalam setiap permainan, pertunjukan, hiburan atau
acara-acara yang serupa dengan itu. Menteri Dalam Negeri dapat menutup atau
melarang setiap acara jika dianggap dapat mengakibatkan gangguan keamanan
negara Malaysia. Untuk menjamin bahwa sekolah-sekolah, tempat-tempat atau
55 Seksyen 500, Kanun Keseksaan 56 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 302
yayasan-yayasan pendidikan digunakan hanya untuk mendapatkan pendidikan
dan terhindar dari ajaran-ajaran politik komunis serta ajaran-ajaran yang dapat
menggangu keamanan negara, maka Pemerintah berwenang:
(a) Membuat Undang-undang supaya tidak melantik guru atau pensyarah
(Dosen) yang akan membahayakan kepentingan negara;
(b) Membuat Undang-undang supaya menutup setiap sekolah atau lembaga
pendidikan, jika sekolah atau lembaga pendidikan tersebut digunakan untuk
mengganggu kepentingan negara; dan
(c) Membuat Undang-undang supaya para pelajar, mahasiswa, guru dan dosen
tidak boleh membuat perkumpulan (organisasi) kecuali telah mendapat izin
dari polisi.57
Dalam hal kebebasan berkumpul, hendaklah dalam keadaan aman dan
tidak bersenjata, Parlimen adapat membuat Undang-undang untuk menjaga
kepentingan dan keselamatan negara. Berdasarkan Poin 27 Akta Polis 1967,
setiap perhimpunan, perkumpulan atau pertemuan (konvensi) hendaklah
dilakukan dengan mendapat izin dari polisi terlebih dahulu dan polisi berwenang
tidak mengeluarkan izin tersebut jika dianggap bahwa perhimpunan,
perkumpulan atau pertemuan itu akan membahayakan keselamatan negara. Jika
perhimpunan, perkumpulan atau pertemuan (konvensi) dilakukan tanpa
mendapat izin, polisi berhak menghentikan dan membubarkannya dan setiap
orang yang bertanggung jawab dapat dihukum karena melakukan kesalahan.
57 Ibid., h. 303-304
Kemudian kebebasan untuk membentuk persatuan atau organisasi, ada
undang-undang yang mengaturnya juga, yaitu Akta Pertubuhan tahun 1966.
berdasarkan Poin 5 Akta ini, Menteri Dalam Negeri berhak membuat keputusan
yaitu suatu organisasi adalah dilarang keras jika organisasi tersebut digunakan
untuk tujuan yang dapat membahayakan kepentingan dan keamanan negara.
Suatu lembaga atau organisasi yang termasuk dalam jenis di atas tidak boleh
didaftarkan, dan jika telah terdaftar maka akan dicabut keabsahannya.58
f. Kebebasan Beragama (Pasal 11).
Bagian pertama pasal ini menyebutkan bahwa agama Islam sebagai
agama resmi Persekutuan Tanah Melayu, akan tetapi setiap warga negara masih
berhak untuk mengamalkan agamanya sendiri. Bagian kedua menyebutkan
bahwa tidak seorang pun juga yang dipaksa untuk membayar pajak jika hasil
dari pajak itu adalah bertujuan untuk membiayai suatu agama. Bagian ketiga
menyebutkan setiap organisasi keagamaan berhak untuk mengatur urusan
agamanya, membentuk atau mendirikan yayasan untuk kemajuan dan kebaikan
agamanya.
Hak kebebasan beragama ini tidak akan diganggu atau dibatasi walaupun
agama Islam telah menjadi agama rasmi,59
kecuali tentang penyebaran agama
kepada orang-orang Islam saja. Di sini undang-undang setiap negara bagian
berwenang membuat Undang-undang untuk menghalangi penyebaran agama
58 Ibid., h. 305 59 Pasal 3, Islam adalah agama Persekutuan, tetapi agama lain bolehlah diamalkan dalam
keadaan yang aman dan damai di mana-mana tempat di Persekutuan
kepada orang Islam. Undang-undang ini ditujukan kepada orang Islam dan juga
kepada orang-orang yang bukan Islam. Semua Undang-undang yang berkaitan
dengan agama Islam di setiap negara bagian hanya berlaku bagi orang Islam
saja.60
Kebebasan beragama ini tidak boleh melanggar Undang-undang tentang
Keamanan, Kesehatan atau Kemaslahatan Umum. Di sinilah letaknya batasan
kebebasan beragama. Perlembagaan tidak memberikan definisi tentang agama.
Oleh karena itu agama bisa bermakna kepercayaan kepada kekuasaan yang lebih
tinggi dari manusia. Akan tetapi, jika ada suatu keper-cayaan yang meyakini
bahwa agamanya membolehkan mereka membunuh orang dan berbuat keji,
maka Perlembagaan sudah tentu tidak akan membenar-kan agama seperti ini
diamalkan, karena merusak keamanan umum.61
Setiap agama berhak mendirikan yayasan untuk mensyiarkan agamanya
dan Undang-undang tidak boleh membuat perbedaan berdasarkan agama tentang
yayasan itu. Tetapi ada satu pengecualian yaitu Undang-undang Persekutuan dan
Undang-undang negara bagian dapat membuat aturan tentang pemberian dana
berkenaan dengan pendirian yayasan Islam atau dalam kegiatan mengajarkan
agama kepada orang Islam.62
g. Hak atas Pendidikan (Pasal 12)
Bagian pertama menyebutkan bahwa pengelolaan setiap yayasan
60 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 302 61 Pasal 8 ayat (2) Perlembagaan Malaysia 62 Pasal 11 ayat 3 (a) (b) (c)
pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak berkuasa umum berkaitan dengan
penerimaan pelajar atau mahasiswa dan pembiayaan pemerintah tidak boleh
membedakan antara kaum, keturunan dan tempat lahir. Bagian ini juga ada
menyebutkan tentang keuangan yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah
dibagi samarata. Bagian kedua menyebutkan bahwa setiap organisasi keagamaan
berhak mendirikan institusi-institusi pendidikan anak-anak dalam komunitas
mereka. Bagian ketiga menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dipaksa
menerima ajaran-ajaran atau mengambil bagian dalam upacara atau sembahyang
suatu agama yang lain daripada agamanya sendiri.
h. Hak Terhadap Harta (pasal 13)
Bagian pertama menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat
dihilangkan hartanya kecuali berdasarkan undang-undang. Bagian kedua
menyebutkan bahwa tidak ada satu undang-undang pun boleh membuat tuntutan
untuk mengambil atau menggunakan harta-harta secara paksa dengan tidak ada
ganti rugi yang seimbang.
Setiap orang berhak memiliki harta, dan jika hartanya diambil oleh
pemerintah dengan sebab kepentingan umum, ganti rugi yang setimpal
hendaklah diberikan kepadanya. Setiap Undang-undang yang mengatur tentang
hal pengambilan harta rakyat tidak sah jika tidak ada ketentuan yang mengatur
tentang ganti ruginya.
Dari penjelasan di atas, dapat difahami bahwa adanya pengaturan dalam
undang-undang tentang pembatasan hak dan kebebasan warga negara, ditujukan
untuk menjaga dan memelihara kepentingan serta keamanan negara. Jika
undang-undang yang dibuat oleh Parlemen telah menghalangi warga negaranya
untuk bebas bergerak di wilayah Malaysia atau membatasi kebebasan
berpendapat, berkumpul atau berorganisasi, kebebasan beragama dan lain-lain,
karena pembatasan yang dibuat itu adalah untuk menjaga keselamatan dan
keamanan negara, maka Undang-undang tersebut adalah sah dan tidak boleh
ditentang.
BAB IV
HAK-HAK DASAR KEWARGANEGARAAN DI DALAM PERSPEKTIF
FIQIH SIYASAH
A. Dasar-Dasar Fiqih Siyasah
Kajian fiqih siyasah terus berkembang seiring perkembangan dunia politik
yang semakin pesat dengan munculnya isu-isu politik mutakhir, seperti demokrasi,
civil society, dan hak asasi manusi. Ditambah lagi dengan isu-isu pemikiran seperti
sekularisme, liberalisme dan sosialisme yang mesti mendapat respon dari Islam.
Perkembangan tersebut tentunya menghadirkan banyak pemahaman-pemahaman
baru yang dikembangkan oleh para tokoh fiqih siyasah yang menciptakan sejumlah
perbedaan pemikiran tentang konsep fiqih siyasah dimaksud. Untuk melakukan
kajian tentang fiqih Siyasah secara luas dan mendalam dalam hubungannya sebagai
ilmu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul seiring
perkembangan zaman.63
Istilah Fiqih Siyasah merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang
terdiri dari dua kata, yakni fiqih dan siyasah. Secara etimologi, fiqih merupakan
bentuk masdhar (gerund) dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti
pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan
dan atau tindakan tertentu.64
Sedangkan secara terminologi, fiqih lebih populer
63 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Siyasah Pengantar Ilmu politik Islam, (Bandung, Pustaka Setia:
2002) Cet, I, hlm. 35
64
Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2007), cet. III, h. 9
didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara‟yang bersifat perbuatan
yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci.65
Sementara itu secara etimologi,
mengenai asal kata siyasah terdapat beberapa pendapat yang berbeda di kalangan
ahli fiqih.
Pertama, sebagaimana dianut Al Maqrizy mengatakan bahwa kata siyasah
berasal dari bahasa mongol yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan sin
berbaris kasra diawalnya sehingga dibaca siayasah. Pendapat tersebut didasarkan
pada sebuah kitab undang-undang milik Jenghis Khan yang berjudul ilyasa yang
berisi panduan pengelolaan negara dan berbagai bentuk hukuman berat bagi pelaku
pindak pidana tertentu.
Kedua, sebagaimana yang dianut Ibn Taghri Birdi, Siyasah berasal dari
campuran dari tiga bahasa, yakni bahasa Persia, Turki dan Mongol. Partikel Si
dalam Bahasa Persia berarti 30, yasa dalam bahasa Turki dan Mongol berarti
larangan dan karena itu ia dapat juga dimaknai sebagai hukum atau aturan.
Ketiga, sebagaimana dianut Ibnu Manzhur menyatakan siyasah berasal dari
Bahasa Arab, yakni bentuk mashdar dari tashrifan kata sasa-yasusu-siyasatan, yang
semula berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususya kuda.
Adapun menurut Terminologi Ulama, pengertian fiqih siayasah adalah;
1. Menurut Ahmad Fathi, fiqih siyasah adalah Pengurusan kemaslahatan umat
manusia sesuai dengan ketentuan syara. (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah al-
jinaiyyah fi al-syari‟at al-Islamiyah).
65 Ibid, hlm. 10
2. Menurut Ibnu‟Aqil, dikutip dari pendapat Ibnu al-Qoyyim, bahwa fiqh siyasah
adalah Perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemalahatan
(kesejahteraan) dan lebih jauh menghindari mafsadah (keburukan/ kemerosotan),
meskipun Rasul tidak menetapkannya dan wahyu tidak membimbingnya.
3. Menurut Ibnu ‟Abidin yang dikutip oleh Ahmad Fathi adalah Kesejahteraan
manusia dengan cara menunjukkan jalan yang benar (selamat) baik di dalam urusan
dunia maupun akhirat. Dasar-dasar siyasah berasal dari Muhammad saw, baik
tampil secara khusus maupun secara umum, datang secara lahir maupun batin.66
4. Menurut Abd Wahab al-Khallaf, Siyasah syar\‟iyyah adalah pengurusan hal-hal
yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara menjamin perwujudan
kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (bahaya) dengan tidak melampaui
batas-batas syari‟ah dan pokok-pokok syari‟ah yang bersifat umum, walaupun tidak
sesuai dengan pendapat ulama-ulama Mujtahid. Maksud Abd Wahab tentang
masalah umum negara antara lain adalah ;
i. Pengaturan perundangan-undangan negara.
ii. Kebijakan dalam harta benda (kekayaan) dan keuangan.
iii. Penetapan hukum, peradilan serta kebijakan pelaksanaannya, dan
iv. Urusan dalam dan luar negeri.67
66 Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet. II,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 34
67 Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2007), cet. III, h. 9
5. Menurut Abd al-Rahman Taj; siyasah syar‟iyah adalah hukum-hukum yang
mengatur kepentingan negara dan mengorganisir urusan umat yang sejalan dengan
jiwa syari‟at dan sesuai dengan dasar-dasarnya yang universal (kully), untuk
merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat kemasyarakatan, meskipun hal
tersebut tidak ditunjukkan oleh nash-nash yang terinci dalam Al-Qur‟an maupun al-
Sunnah.68
6. Ibn Taimiyah menganggap bahwa norma pokok dalam makna kontekstual ayat 58
dan 59 surat al-Nisa [3], tentang dasar-dasar pemerintahan adalah unsur penting
dalam format siyasah syar‟iyah. Ayat pertama berhubungan dengan penguasa, yang
wajib menyampaikan amanatnya kepada yang berhak dan menghukumi dengan adil,
sedangkan ayat berikutnya berkaitan dengan rakyat, baik militer maupun sipil, yang
harus taat kepada mereka. Jika meminjam istilah untuk negara kita adalah; Penguasa
sepadan dengan legislatif, yudikatif dan eksekutif (trias politika)dan rakyat atau
warga negara.69
7. Sesuai dengan pernyataan Ibn al-Qayim, siyasah syar‟iyah harus bertumpu
kepada pola syari‟ah. Maksudnya adalah semua pengendalian dan pengarahan umat
harus diarahkan kepada moral dan politis yang dapat mengantarkan manusia
(sebagai warga negara) kedalam kehidupan yang adil, ramah, maslahah dan hikmah.
68 Abdul Qadim Zallum, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam,
diterjemahkan oleh Abu Faiz, cet. II, (Bangil: Al-Izzah, 2004), h. 11 69 Moh. Mufid, Politik dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. I, h.
9
Pola yang berlawanan dari keadilan menjadi dzalim, dari rahmat menjadi
niqmat(kutukan), dari maslahat menjadi mafsadat dan dari hikmah menjadi sia-sia.70
Ruang Lingkup objek kajian Fiqih Siyasah Setiap ilmu mempunyai objek dan
metode, maka kalau kita membicarakan suatu ilmu haruslah mengetahui apa
objeknya , luas lapangan pembicaraan, bahasan dan metodenya. Fiqih siyasah
adalah ilmu yang otonom sekalipun bagian dari ilmu fiqih.71
Selanjutnya, Hasbi Ash
Shiddieqy sebagaimana dikutip Dr.J. Suyuthi Pulungan, mengungkapkan bahwa
bahasan ilmu fiqih mencakup individu, masyarakat dan Negara, meliputi bidang-
bidang ibadah, muamalah, kekeluargaan, perikatan, kakayaan, warisan, criminal,
peradilan, acara pembuktian, kenegaraan dan hukum-hukum internasional, seperti
perang, damai dan traktat.72
Objek fiqh siyasah menjadi luas, sesuai kapasitas bidang-bidang apa saja yang
perlu diatur, seperti peraturan hubungan warga negara dengan lembaga negara,
hubungan dengan negara lain, Islam dengan non Islam ataupun pengatuaran-
pengaturan lain yang dianggap penting oleh sebuah negara, sesuai dengan ruang
lingkup serta kebutuhan negara tersebut.
Dr. J. Suyuthi Pulungan mengungkapkan tiga pendapat tokoh tentang bidang-
bidang fiqih siyasah. Pertama, Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-
70 Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet. II,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 34 71 J. Suyuthi Pulungan, Perinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Mandiah di Tinjau dari
Pandangan Al-Quran, ( Jakarta, PT Raja Grafindo Perseda:1996) cet II, hlm. 14 72 Mujar Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam,
(Bandung: Angkasa, 2003), cet. I, h. 49
Sulthaniyat membahas bidang siyasat dusturiyat (siyasah perundang-undangan),
siyasat maliyat (siyasat keuangan), siyasat qadhaiyat (siyasah peradilan), siyasat
harbiyat (siyasat peperangan), dan siyasat idariyat (siyasah administrasi).
Kedua, Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Siyasatal Syariat fi Ishlah al Ra‟i wa al-
raiyat membahas siyasat dusturiyat, siyasat idariyat dan siyasah maliyat. Ketiga,
Abdul wahab khalaf dalam bukunya Al-Siyasat Al-Syariyat hanya membahas tiga
bidang saja yaitu siyasat dusturiyat, siayasar kharijiyat (siyasah hubungan luar
negeri), dan siyasat maliyat. Keempat, Prof. DR.T.M Hasbi Ash Shiddieqy
membagi bidang fiqih siyasah kepada delapan bidang, yaitu siyasah dusturiyah,
syariyah, siyasah Tasyri‟iyah syariah, siyasah qadhoiyah syariah, siyasah maliyah
syariah, siyasah idariyah syariah, siyasah khorijiyah syariah/siyasah dauliyah,
siyasah tanfiedziyah syariah, siyasah harbiyah syariah.73
Sementara itu, Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada juga mengemukakan
pendapat Abdurahman Taj yang mengklasifikasikan bidang kajian fiqih siyasah
menjadi tujuh macam , yakni (1) siyasah dusturiyyah, (2) Siyasah Tasyriiyyah,
(3)siyasah Qadhaiyyah, (4) Siyasah Maliyyah, (5) Siyasah Idariyyah, (6) Siyasah
Tanfidziyyah, dan (7) Siyasah Kharijiyyah. Selanjutnya, Dr. J. Suyuthi Pulungan
mempersempit pembidangan yang beragam tersebut kepada empat bidang saja
yaitu:
73 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, fiqh Siyasah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008),
cet. I, h. 41
1. Bidang fiqih siyasah dusturiyah mencakup siyasah tasyri‟iyah syariah
(siyasah penetapan hukum yang sesuai dengan syariat), siyasah qadhaiyah syariah
(siyasah peradilan yang sesuai menurut syariah), siyasah idariyah syariah (siyasah
administrasi yang sesuai dengan syariat), dan siyasah tanfiedziyah syariah (siayasah
pelaksanaan syariat).
2. Bidang fiqih siyasah dauliyah/kharijiyah, yaitu siyasah yang berhubungan
dengan pengaturan pergaulan antara negara-negara islam dengan negara-negara
bukan islam, tata cara pengaturan pergaulan warga negara muslim dengan warga
negara non muslim yang ada dinegara islam, hukum dan peraturan yang membatasi
hubungan negara islam dengan negara-negara lain dalam situasi damai dan perang.
3. Bidang fiqih siyasah maliyah adalah siyasah yang mengatur tentang hak-hak
orang-orang miskin, mengatur sumber-sumber mata air (irigasi) dan perbankan.
4. Bidang fiqih siyasah harbiyah yaitu siyasah yang mengatur tentang
peperangan dan aspek-aspek yang berhubungan dengannya, seperti perdamaian.
Jadi untuk kesimpulanya, Fiqih Siyasah adalah mengatur, mengendalikan,
mengurus atau membuat keputusan. Yakni, pengurusan kemaslahatan umat manusia
sesuai dengan syara‟. Sehingga dengan memahami fiqih siyasah di harapkan dapat
membawa kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukannya kepada jalan yang
menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat.74
74
Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2007), cet. III, h. 257
Dalam objek kajiannya fiqih siyasah meliputi pengaturan hubungan antara
warga Negara dengan warga Negara, pengaturan dan perundangan-undangan yang
dituntut oleh hal ihkwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok
agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi
kebutuhannya. Sedangkan pembidangan fiqih siyasah yang terlihat dalam kurikulum
fakultas syari‟ah, yang membagi fiqih siyasah kedalam empat bidang pertama; Fiqh
Dustury, kedua; Fiqh Dawly, ketiga; Fiqh Maliy, dan keempat Fiqh Harby.75
B. Hak-Hak Dasar Kewarganegaraan Menurut Fiqih Siyasah
a). Hak Memilih dan Dipilih
Mengenai hak politik rakyat untuk memilih dan dipilih sebagai kepala
negara, Abd al-Karim Zaidan menyatakan bahwa setiap rakyat suatu negara yang
telah memenuhi syarat mempunyai hak untuk memilih kepala negara yang
dianggapnya mampu mewakilinya dalam mengelola semua urusannya sesuai dengan
syariat Islam. Landasan hak ini menurutnya termaktub dalam ayat 38 surat al-Syura,
yang berbunyi:
......... .......... (38: 42/انشر )
Artinya: ”............ urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara
mereka.......” (Q.S. As-Syura/42: 38).76
75 Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet. II,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 34
76 Terjemahan dari setiap ayat al-Qur‟an diperoleh dari al-Qur‟an dan Terjemahannya,
(Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur‟an Depertemen Agama RI, 1971).
Ayat di atas, lanjut Abd al-Karim Zaidan, dengan amat jelas menyatakan
bahwa masalah kaum muslimin, utamanya yang penting diputuskan dengan jalan
musyawarah. Penentuan calon kepala negara merupakan salah satu masalah yang
sangat penting yang harus diputuskan berdasarkan musyawarah. Hak untuk memilih
kepala negara ini dapat dipergunakan secara langsung atau melalui perwakilan oleh
ahl hal wa al-‟aqd, yakni tokoh-tokoh yang diteladani, dipatuhi, dan dipercaya
umat/rakyat untuk mengatur segala urusannya.77
Dalam syariat Islam, lanjut Abd al-Karim Zaidan, tidak ada peraturan yang
defenitif tentang mekanisme pemilihan kepala negara, karena itu pengaturannya
diserahkan kepada umat sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Bila
diperlukan mereka bisa mempergunakan cara pemilihan langsung dan kalau dirasa
cara yang pertama ini tidak atau kurang efektif, mereka bisa memilih alternatif
kedua, yakni melalui perwakilan ahl hal wa al-‟aqd. Sekiranya pemilihan kepala
negara dilakukan melalui perwakilan, menurut dia, rakyat sendirilah yang
sebenarnya melakukan pemilihan itu.78
Perlu diperhatikan bahwa pemilihan kepala negara selama ini menjadi
pembicaraan yang selalu aktual, apalagi apabila terjadi di negara-negara muslim,
semisal al-Maududi menyatakan bahwa hak untuk menjadi kepala negara itu hanya
terbuka untuk kaum Muslimin. Karena itu, warga negara non-Muslim yang tidak
mengakui Islam tidak mempunyai hak untuk ikut campur dalam urusan-urusan
negara berideologi Islam yang secara jujur tidak diakuinya. Selain itu, ia juga
77 Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam, h. 54 78 Ibid., h. 52
mengemukakan bahwa orang yang berhak dicalonkan sebagai kepala negara di
samping harus memenuhi syarat-syarat:79
Muslim, laki-laki, dewasa, sehat jasmani
dan rohani, warga negara yang terbaik, shaleh, kuat komitmennya terhadap Islam,
orang yang dipercaya, dicintai, dan diinginkan oleh rakyat.
Seperti halnya seorang warga negara pada umumnya mereka memiliki
semua hak-hak politik seperti hak memilih dan dipilih, begitupun dengan Islam
yang sangat menghargai setiap hak yang dimiliki oleh umatnya. Demikianlah
pemaparan mengenai hak politik warga negara dalam hal hak memilih dan dipilih.
b). Hak Berserikat dan Berkumpul
Islam juga telah memberikan hak kepada rakyat untuk bebas berserikat dan
membentuk partai-partai atau organisasi-organisasi. Hak ini tunduk kepada aturan-
aturan umum tertentu. Hak ini harus dilaksanakan untuk menyebarkan kebaikan dan
kebenaran dan bukan untuk menyebarkan kejahatan dan kekacauan. Kebebasan
untuk berserikat dan berkumpul ini, terdapat dan disebutkan di dalam Al-Qur‟an
tetapi Al-Qur‟an itu menganggap ini sebagai keharusan bagi pribadi manusia untuk
turut serta mengambil bagian secara aktif dalam urusan-urusan masyarakat (umat)
yang mengajak manusia berbuat baik dan mencegah mungkar serta meyakini Allah
SWT. 80
Pada dasarnya agama Islam adalah agama yang menghendaki pergaulan atau
diistilahkan dengan jamaah setiap Muslim selalu menyediakan diri untuk
79 Abu A‟la Maududi, Islamic Law and Constitution, h. 252 80 Abu A‟la Maududi, Hak-hak Manusia dalam Islam, penterjemah Bambang Iriana
Djajaatmadja, cet. III, (Jakarta: Bumi aksara, 2005), h. 32
menjunjung tinggi panggilan Tuhan dengan mengerjakan Shalat berjamaah.
Menurut ajaran Islam dengan melalui sebuah musyawarah sebagaimana firman
Allah SWT di dalam al-Qur‟an:81
.
( 38: 42/انشر)
Artinya: “ Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan
melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka, dan mereka menginfakan sebagian dari
rezeki yang kami berikan kepada mereka. (Q.S Asy-Syura ayat 38).
Ayat ini dapat menjadi pegangan untuk berkumpul atau berserikat serta
berpendapat. Bahkan menjadi konsep dasar untuk bermasyarakat dan bernegara
yang memhendaki pendapat. Jelasnya syura atau bermasyarakat jadi pokok dalam
membangun masyarakat dan bernegara dalam Islam. Menurut ajaran Islam dengan
melalui lembaga perserikatan dan perkumpulan dan mengadakan hubungan-
hubungan (musyawarah) konsultasi dan sebagainya suatu kekuatan untuk
memperjuangan hak-hak manusia dalam suasana persaudaraan.
Adanya kebebasan berserikat mendapatkan jaminan dalam Islam. Al-Qur‟an
menganggap bahwa hak atas berserikat sebagai salah satu keharusan bagi pribadi
manusia untuk turut serat mengambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh
karena itu setiap orang berhak untuk turut serta menjalankan perannya masing-
masing dalam kehidupan keagamaan, sosial budaya dan politik. Hal ini dapat
diimplementasikan dengan mendirikan lembaga-lembaga di mana memungkinkan
81 Dalizar Putra, HAM (Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur‟an), (Jakarta: PT. Al-Husna
Zikra, 1995), cet. II, h. 57
semua orang untuk mengembang-kan kreatifitas dan kemampuannya serta
menikmati hak-haknya.
Perlu diingatkan lagi hak berkumpul dan berserikat merupakan hak dasar
bagi umat (rakyat) untuk bebas berserikat dan membentuk partai-partai atau
organisasi-organisasi. Hak ini tunduk pada aturan-aturan hukum tertentu, dan harus
dilaksanakan untuk menyebarkan kebaikan dan kebenaran, bukan untuk
menyebarkan kejahatan dan kekacauan. Yakni hak ini harus dilaksanakan untuk
tujuan propaganda (dakwah) amal-amal kebaikan dan kesolehan, serta harus
dipergunakan untuk menumpas kejahatan dan kesesatan. Rakyat dapat bebas
mengadakan dan mengorganisasikan pertemuan-pertemuan, serta sebuah negara
Islam tidak boleh melarang hak ini kecuali kalau mengadakan pelanggaran yang
nyata.82
Allah berfirman:
(110: 3/ ال عمران)Artinya: “Kamu adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh umat
manusia. Kamu menyuruh berbuat kebajukan dan melarang kemungkaran serta kamu beriman kepada Allah”. (QS. Ali-Imran/3:110)
Ini berarti bahwa merupakan kewajiban dan tugas seluruh umat muslim
untuk melarang melakukan kejahatan. Apabila umat muslim seluruhnya tidak
melaksanakan tugas ini maka, “Hendaklah ada sekelompok orang dari kamu yang
menyeru manusia kepada kebaikan, menyuruh berbuat baik dan mencegah
kemungkaran” (QS: al-Imran/3: 104). Ini jelas menunjukkan bahwa apabila
82 Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), cet.I , h. 84
masyarakat semuanya mulai melalaikan kewajiban-kewajibannya, maka mutlak
penting di sana ada paling tidak sekelompok masyarakat yang bersedia
melakukannya.83
Di Malaysia hak atau kebebasan berkumpul dan berserikat telah
dijamin oleh Perlembagaan Persekutuan
Jelasnya bahwa Islam menjamin kebebasan berkumpul dan berserikat bagi
setiap orang. Hal ini tidak hanya sekedar jaminan melainkan dituntut untuk
mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari
c). Hak Mengeluarkan Pendapat
Islam memberikan hak kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat
kepada seluruh warga negara Islam dengan syarat bahwa hak itu digunakan untuk
menyebarkan kebaikan dan bukan untuk menyebar keburukan. Konsep Islam
tentang kebebasan mengeluarkan pendapat jauh lebih tinggi daripada hak yang
diakui barat. Memang hak untuk kebebasan mengeluarkan pendapat guna
menyebarkan kebaikan dan bukan hanya semata-mata hak tetapi suatu kewajiban.
Berpendapat adalah mengemukakan ide atau gagasan. Ia adalah hasil
renungan terhadap kejadian langit dan bumi, serta alam semesta ini, guna untuk
mendorong kemajuan umat dan keluhuran kehidupan. Setiap orang mempunyai hak
untuk menyatakan pendapatnya selama dia tetap dalam batas-batas yang ditentukan
oleh hukum dan norma-norma lainnya. Artinya tidak seorang pun diperbolehkan
83 Abul A‟la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam (terjemahan), cet. III, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2005), h. 32
menyebarkan fitnah, hasut dan berita-berita yang mengganggu ketertiban umum dan
mencemarkan nama baik orang. Pendapat yang dikehendaki adalah pendapat yang
bersifat konstruktif, tidak bersifat destruktif dan tidak pula bersifat anarkis. Bagi
seorang muslim selalui dianjurkan mengemukakan ide atau gagasan untuk
menciptakan kebaikan dan mencegah kemungkaran Allah SWT menjelaskan dalam
firman-Nya yang berbunyi:84
(104: 3/ال عزا )
Artinya: ”... Dan adalah di antara kamu segolongan umat yang menyuruh kepada
kebaikan dan mencegah kepada yang mungkar merekalah orang-orang
yang beruntung”. (Q.S. Ali-Imran/ 3: 104).
Kesempurnaan Islam seorang Muslim tergantung kepada empat syarat yaitu:
Iman, amal soleh, nasehat-menasehati dalam kebenaran dan nasehat menasehati
dalam kesabaran. Nasehat menasehati adalah dalam rangka memberikan pendapat
kepada orang lain.85
Ibnu Jarir bin Abdullah berkata:
ثبعت انج صه هللا عه سهى عه انصح نكم يسهى86
Artinya: “Saya membaiat akan Nabi Muhammad SAW atas keharusan
mendengarkan sabda dan mentaati perintah-Nya. Maka beliau
memerintahkan apa yang saya sanggupi memberikan nasehat kepada
orang lain”.
Nasehat itu mengandung ajaran melakukan kebaikan, ajakan meninggal-kan
kejahatan dan menyedarkan mereka terhadap kelalaiannya. Demikian pentingnya
84 Ibid, h. 52 85 T. M. Hasbi ash Shiddiqy, 2002 Mutiara Hadits I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.
183 86 Muslim bin Hajjaj Abu Husin al-Qusyairi, Shahîh Muslim, juz, I, (Beirut: Dar Ihya‟ al-
Turâts al-Arabi, t.th), h. 75, no hadis: 56
menyatakan pendapat dalam Islam demi untuk kemaslahatan umum. Dengan
goresan pena orang dapat menyatakan pendapatnya, mengetahui pendapat orang
lain, mendalami ilmu pengetahuan, memperjuangkan hak-haknya dan sebagainya.
Goresan pena dalam mengemukakan pendapat ini tentu selalu memperhatikan etika
pergaulan dan juga jangan sampai merugikan orang lain sesuai dengan prinsip amar
ma‟ruf nahi mungkar.
d). Hak Kebebasan Beragama
Hifz al-Din adalah tujuan utama dari tujuan-tujuan syariah (Maqashid
Syariah). Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah
kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Setiap pemeluk agama berhak atas
agamanya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama lain, juga
tidak boleh ditekan untuk berpindah dari keyakinannya untuk masuk Islam.
Dalam aspek agama, Islam tidak membenarkan paksaan dalam beragama.
Islam tidak memaksa seseorang untuk mengubah keyakinannya dan memeluk Islam,
walaupun Islam menyerukan untuk itu. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-
Baqarah (2): 256
د ك انل ل ي انزر ك لك جي زا انلد (256:2/انجقزح)… ك
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Oleh itu, penganut agama lain dibenarkan menganut dan beramal dengan
ajaran mereka. Mereka tidak boleh diganggu atau dilarang untuk berbuat yang
dibenarkan oleh agama mereka. Contohnya yang berkait dengan makanan, minuman
dan lain-lain kecuali dalam hal yang tidak berperikemanusiaan seperti upacara
mengorbankan manusia yang berlaku di kalangan agama zaman dahulu. Mereka
bebas melakukan upacara perkawinan dan berkeluarga mengikut agama masing-
masing.87
Sarjana Kristen Arabia, Prof. Phillips Hitti yang telah menjadi warganegara
Amerika, di dalam bukunya Sejarah Arab mengakui bahwasanya ayat yang tersebut
di atas itulah salah satu ayat dalam Islam yang patut menjadi anutan manusia dalam
segala agama.88
Sejak dari zaman kedatangan Islam, kita melihat tidak sekali pun seorang
penguasa atau raja Islam yang yang berani bertindak memaksa non-muslim
memeluk Islam, meskipun penguasa itu keras tindakannya, padahal jumlah non-
muslim sangat kecil saja di waktu itu. Malahan tenaga-tenaga non-muslim banyak
yang dipakai dalam administrasi kenegaraan. Faktor yang menyebabkan penguasa-
penguasa Islam itu tidak mau menjalankan paksaan memeluk Islam adalah karena
takut akan terlanggar ayat tersebut.89
Akan tetapi, orang Islam tidak boleh menukar agamanya kepada yang bukan
Islam. Ini adalah karena apabila ia memeluk agama Islam, ia yakin bahwa agama
87 Abdul Hadi Awang. Islam dan Demokrasi, cet.I, (Selangor: PTS Islamika, 2007), h.35. 88 Hamka, Tafsir Al-Azhar, cet.II, jil.II (Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 2008), h.31.
89 Ibid, h.34.
Islam itu adalah satu-satunya agama yang benar dan boleh menyelamatkannya di
akhirat kelak.
Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah (2): 217
ك د ككىك ع ك زك لدك ي ي تطبعا ك اسك ك دكىك ىك ع قب هكىك حتي زدر شان
حبة انيبر ىك نئك أصك ك أ اخزح كب بنىك انلر نئك حجطتك أعك ك ب ز أ تك
( 217: 2 / انجقزح) ب خبنل
Artinya: Mereka (orang kafir) tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai
mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran),
seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari
agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.
Kebebasan beragama yang diberikan oleh Perlembagaan Persekutuan tidak
bebas berdasarkan dengan kebebasan beragama yang diberikan oleh hukum Islam
dalam pengertian yang literal dan menghalang untuk dilaksanakan hukum Islam,
karena mengikut hukum Islam, setiap orang Islam dan non-muslim bebas menganut
dan mengamali agamanya tanpa apa-apa halangan. Tetapi mengenai undang-undang
yang lain daripada undang-undang keluarga, warga non-muslim diwajibkan
menerima undang-undang Islam.90
Warga non-muslim juga diberi kebebasan menganut dan memilih agama
yang disukai, tetapi orang-orang Islam tidak boleh memilih agama lain.
e). Hak Kebebasan Diri
90 Abu Bakar Abdullah, Ke Arah Perlaksanaan Undang-Undang Islam Di Malaysia: Masalah
Dan Penyelesaiannya, cet. I (Kuala Terengganu: Pustaka Damai, 1986), h.287.
Islam telah meletakkan dengan jelas kasus-kasus dan situasi ketika hidup
manusia boleh dibinasakan. Pencabutan nyawa manusia tanpa adanya konsep yang
diperbolehkan Islam dianggap sebagai dosa terbesar selepas syirik. Islam
menganugerahkan hak hidup ini kepada setiap manusia dari ras, bangsa, maupun
agama manapun ia berasal.91
Pembunuhan adalah sesuatu yang sangat keji. Pembunuhan adalah
menghancurkan bangunan iradah Allah dan melenyapkan nyawa si korban tanpa
alasan yang benar, yang dilakukan oleh orang lain. Dalam perbuatan ini ada
penganiayaan kepada keluarga atau ahli waris si korban, yakni mereka yang menjadi
mulia karena keberadaan si korban, mereka yang dapat mengambil manfaat dari diri
si korban, dan mereka yang akan sangat membutuhkan bantuan ketika si korban
tidak lagi bersama mereka. Allah SWT telah mengharamkan membunuh jiwa yang
tidak berdosa. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra‟ (17): 33
زفك سهكطبب ال سك ند ك تم يظكهيب قلك جعهكب ن ي ي ثبنكحقد و هللاي قكتها انيفكس انيت حزي
يصرا ب ( 33:17/اإلسزاء). انكقتكم ي
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa
dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada
ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.
Di titik puncak perhatiannya intik melindungi nyawa, syariat Islam telah
mencapai target yang tinggi, yang tidak dapat dicapai oleh syariat apa pun di dunia,
91 Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam. Penerjemah Abdul Rochim C.N.,
cet.I (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.60.
hingga saat ini. Tindakan penganiayaan terhadap jiwa yang dilakukan dengan cara
membunuhnya merupakan perbuatan keji dan keluar dari ajaran dan undang-undang
agama Islam, menodai sesuatu yang dimuliakan dan dilindungi oleh Allah,
memerangi firah yang diciptakan Allah untuk jiwa tersebut, serta mencabut ikatan
ketaatan dan penghambaan kepada Tuhan semesta alam.92
Untuk menjamin pelaksanaan hak hidup ini, ajaran Islam tidak hanya
mencakupkan pada tanggungjawab moral atau ancaman siksaan akhirat semata-
mata. Lebih dari itu, syariat Islam menetapkan pula berbagai ketentuan hukum
untuk menjamin pelaksanaannya secara nyata.
Sebagai contoh dalam hubungan dengan hak hidup ini misalnya penetapan
adanya hukuman qisas terhadap tindak pembunuhan sengaja, sebagaimana yang
ditetapkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 178
ككىك انكقصبص انكقتكه ب آيا تت عه (178:2 /انجقزح)...أرب انيذ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh.
Adalah masuk akal dan tidak diperselisihkan, bahwa pelaku kejahatan harus
mendapatkan balasan setimpal dan sepadan karena kejahatan yang telah
diperbuatnya agar kehidupan dapat berjalan tegak dan stabil, manusia dapat merasa
aman dan menikmati ketenangan. Di dunia ini, dari dulu hingga sekarang, tidak ada
sanksi yang lebih baik dari sanksi qisas, sanksi yang paling adil, karena pelaku
92Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, Penerjemah Khikmawati, cet.I, (Jakarta:
2009), h. 41.
kejahatan diganjar sesuai dengan perbuatannya, sanksi yang paling baik untuk
keamanan dan peraturan, karena ketika pelaku kejahatan mengetahui bahwa dia
akan mendapat ganjaran setimpal dengan perbuatannya, maka pada umumnya dia
tidak akan kembali melakukan kejahatan.93
Islam menjaga hak-hak semua individu agar tidak ada yang teraniaya. Dasar
hukum yang dikenakan oleh Islam terhadap seseorang bukanlah atas dasar dugaan,
tetapi prinsipnya adalah praduga tidak bersalah. Tidak boleh dihukum kecuali jika
sudah jelas pelanggarannya dan dengan kadar hukuman sebagaimana ditetapkan
oleh hukum Islam, dan tanpa harus menyertakan orang selain pelaku pelanggaran itu
sendiri, sebagai pelaksanaan firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra‟ (17): 15
يب يب ز ر أخك سك اسرح شر كب ب ضمر عه ك ضمي إي ي كتل نفكس ب كتل إي ا ي
حتي جكع رس ث (1715:/اإلسزاء){يعذد
Artinya: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa
yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan
seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan
mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
Islam juga melihat bahwa semua rakyat adalah sama dan sederajat di
hadapan hukum dan peradilan dan semuanya tunduk di bawah undang-undang.
Segala tata cara, ketentuan dan prosedur yang ada dalam proses peradilan hendaklah
diperlakukan sama bagi semua pihak yang terlibat, tanpa membedakan satu sama
93 Ibid, h. 80.
lain. Bahkan musuh sekalipun dapat menikmati keadilan dan sistem persamaan di
hadapan hukum.94
Hal yang tidak kurang pentingnya dengan persamaan di hadapan hukum
adalah kesempatan dalam proses beracara.Islam sangat melarang penahanan
seseorang tanpa dibicarakan. Hal ini karena perbuatan itu menafikan hak individu
itu untuk membela diri dan mengemukakan hujah-hujahnya di peradilan.
Di dalam praktek peradilan, prosese beracara sangatlah menentukan, karena
dari sinilah dasar suatu putusan akan diambil. Oleh sebab itu hanya proses beracara
yang adil dan benar yang dapat menjamin keabsahan suatu putusan.
Prinsip Islam terkait kebebasan diri ialah tidak ada warganegara, kapan pun
juga, yang boleh dihalang-halangi dari hak-haknya, kecuali atas dasar hukum.
Mereka tidak pula boleh dijatuhi hukuman atas tuduhan apapun tanpa diberi
kesempatan untuk membela diri atau tanpa melalui keputusan pengadilan. 95
Mengenai kebebasan seseorang untuk berimigrasi, Al-Qur‟an mengizinkan
dan bahkan menganjurkan dalam rangka bercermin diri dan mencari nafkah.96
Firman Allah SWT QS. Al-Mulk (67): 15
ك ن ك رسك ها ي شا يب جب ض ذن بيك انيذ جعم نكىك األرك
(6715:/انهك).انرشر
94 Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Syariat Islam, (Aceh: Ar-
Raniry Press, t.th.), h.136. 95 Ibid, h.152. 96 A.M Saefuddin, Ijtihad Politik Cendikiawan Muslim, cet.I (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), h. 10-11.
Artinya: “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di
segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-
Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.
Kebebasan diri di Malaysia juga tidak berdasarkan prinsip kebebasan yang
ditetapkan oleh fiqih Islam. Di dalam fiqih telah ditetapkan hukuman bagi tindak pidana
pembunuhan adalah menggunakan hukum qisas. Tetapi hukum yang digunakan di
Malaysia adalah hukum peninggalan penjajah yang berpegang pada hukum Eropa Barat.
Dalam praktek sejarah, Rasulullah SAW pernah memerintahkan agar
dibebaskan segera orang yang ditahan tanpa dikemukakan alasan. Demikian juga
Saidina Ali Karramallahu Wajhah pernah memberi jaminan kebebasan kepada
golongan Khawarij yang menolak konsep negara asalkan mereka tidak menyebabkan
pertumpahan darah atau melakukan keganasan.
Kenyataan tersebut cukup kuat untuk membuktikan bahwa tidak ada alasan
untuk dihukum terhadap siapa saja sebelum diputuskan kesalahannya dengan adil oleh
mahkamah.97
f). Hak Kebebasan Ekonomi
Tujuan syariah juga adalah termasuk Hifz al-Mal (menjaga harta). Dalam
pemerintahan Islam, seorang individu berhak melakukan pekerjaan yang
dikehendaki, baik perdagangan, perindustrian, ataupun pertanian, dengan syarat
tidak melakukan pekerjaan yang diharamkan syariah Islam.98
97 Abu Bakar Abdullah, Ke Arah Perlaksanaan Undang-Undang Islam Di Malaysia: Masalah
Dan Penyelesaiannya, cet. I (Kuala Terengganu: Pustaka Damai, 1986), h.293. 98 Ibid, h.14.
Islam mengharamkan pendapatan yang kotor karena prinsip Islam ialah
menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang kotor. Pencarian (pendapatan)
yang kotor ialah pendapatan yang diperoleh melalui jalan kezaliman dan mengambil
harta orang lain secara tidak benar seperti merampok, mencuri, menipu,
mengurangkan sukatan dan timbangan, memonopoli, menggunakan kesempatan atas
keterdesakan orang lain untuk mengambil keuntungan dan lain-lain. Juga
memperoleh sesuatu tidak sepadan dengan usaha dan pengorbanan seperti riba, judi
(termasuk loteri) dan sebagainya.
Islam juga mengharamkan pendapatan melalui aset yang haram seperti arak,
babi, berhala, patung, bijana yang diharamkan, anjing dan sebagainya. Juga
pendapatan yang dihasilkan melalui manfaat yang tidak diakui syara „ seperti upah
tukang ramal, penenung nasib, pengurusan riba, atau bekerja di bar, disko dan
tempat-tempat hiburan yang diharamkan dan seumpamanya.
Di antara perkara yang sangat diharamkan ialah pengeksploitasian golongan
kuat terhadap golongan lemah. Umpamanya pemegang wasiat yang memakan harta
anak-anak yatim, para pemimpin memakan harta rakyat, majikan memakan hak
pekerja dan pemilik tanah yang memakan hasil keringat petani tanpa bayaran upah.
Yang diharamkan secara keras oleh Islam ialah mengambil harta awam
secara salah, karena setiap orang mempunyai hak atas harta awam. Jika ia mencuri
atau merampasnya berarti ia telah menzalimi mereka keseluruhannya. Kelak mereka
semua akan menuntutnya pada Hari Kiamat nanti.
Begitu juga diharamkan penggunaan harta masyarakat bagi para pemerintah
yang tinggi sebagaimana ia juga diharamkan ke atas penjabat jabatan yang rendah.
Tidak harus bagi mereka menggunakan walau seratus rupiah pun dengan jalan yang
salah. Mereka tidak boleh menggunakan jawatan mereka untuk menghimpun
kekayaan atas alasan bonus atau hadiah.99
Perolehan hak milik itu juga mestilah melalui jalan yang benar sebagaimana
juga pemanfaatannya. Cara-cara yang benar dalam memperoleh hak milik ialah
dengan bekerja dan perolehan langsung, melalui pelimpahan hak dengan jalan
warisan atau wasiat serta dengan jalan aqad-aqad pemindahan hak milik yang sah
seperti jual-beli atau hibah.100
Pemerintahan Islam tidak boleh melarang seorang pun untuk melakukan
pekerjaan yang dibenarkan, kecuali dengan seizin syari‟at misalnya larangan bagi
pegawai pemerintah untuk berdagang, agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dan
pengaruh mereka yakni korupsi.101
Beberapa asas dalam falsafah ekonomi Islam yang melahirkan jaminan hak-
hak manusia dalam bidang ekonomi dapatlah dirangkumkan sebagai berikut.
1. Perspektif Eskatologis. Di antara ajaran dasar syariat Islam ialah kepercayaan
bahwa kehidupan seorang muslim di dunia ini hanyalah suatu fase sementara
99http://www.scribd.com/doc/14163850/Ekonomi-Menurut-Dr1-Yusof-
AlQardawi?autodown=doc, diakses tanggal 13 Nopember 2009, pukul 20.00 WIB. 100 Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Syariat Islam, (Aceh: Ar-
Raniry Press, t.th.) h. 165. 101 A.M Saefuddin, Ijtihad Politik Cendikiawan Muslim, cet.I (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), h. 14.
dari kehidupan azalinya di akhirat. Dunia dengan segala atributnya bukanlah
tujuan, akhiratlah yang kekal, dan semua proses yang dilakukan harus menuju ke
arah kehidupan akhirat.
2. Anasir Ibadah dalam Setiap Tingkah Laku. Asas ini membawa maksud bahwa
setiap tingkah laku muslim adalah cerminan dan manifestasi ibadah kepada
Allah SWT. Segala tindak-tanduk dan kegiatan seorang muslim, dengan
demikian tidak lepas dari hubungan vertikal dengan Allah SWT. Ini termasuk
juga tingkah laku ekonomi manusia karena ianya merupakan bagian dari tingkah
laku manusia pada umumnya.
3. Prinsip Kebebasan Bekerja dan Berusaha. Ini adalah prinsip paling utama dalam
hubungan dengan jaminan dengan hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi.
Prinsip ini berakar dari beberapa ayat Al-Qur‟an, misalnya Allah SWT
menegaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 29 bahwa Allahlah pencipta
segalanya yang ada di bumi untuk manfaat kepada umat manusia. Dengan
demikan, bumi dan seluruh isinya sesungguhnya tidaklah dimaksudkan untuk
dimiliki oleh sesuatu kaum atau bangsa, tetapi adalah untuk semua jenis
manusia. Oleh karena itu adalah hak asasi setiap individu manusia untuk
berusaha mendapatkan bagiannya masing-masing dari warisan tuhan ini.
4. Asas Keseimbangan dalam Sistem Ekonomi Islam. Asas ini terlihat dalam
beberapa aspek tingkah laku ekonomi yang dianjurkan dalam ajaran Islam,
misalnya ajaran tentang kesederhanaan, sikap hemat, tidak berlebih-lebihan dan
tidak terlalu kikir. Konsep keseimbangan ini juga berlanjut dalam ajaran
keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan umum dan keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
Firman Allah SWT dalam QS. Al-A‟raf (7): 31
حتر ز ا ي سك زثا ا ك ها جل كل مد يسك ب ث آدو خذا ستكىك ع
ز سك ( 31: 7 / األعزاف). انك
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.
Dalam masalah sosial, ketika Islam berpihak kepada kelompok umat dan
menjadikan kebutuhan sebagai tolok ukur kekuasaan, maka sesungguhnya Islam
memiliki target untuk menghindari semua bahaya dan mudarat yang muncul dari
tindak pemusatan kekayaan di tangan sebagian kecil orang-orang kaya yang
memutar dan membatasinya di antara kalangan mereka saja, karena dalam
pengonsentrasian harta seperti ini benar-benar terdapat kerusakan dalam bidang
materi, pikiran, dunia, dan agama. Islam menetapkan dan membuat sampel
mengenai hal ini, lengkap dengan nasihat dan pelajaran mengenai pengalaman
manusia sepanjang sejarahnya.102
Ketentuan halal dan haram menurut Islam tidak diambil kira asalkan
pekerjaan itu telah halal menurut undang-undang. Sebagai contoh, perjudian serta
riba itu menjadi halal jika telah mendapat keizinan dari pemerintah. Ini jelas
102 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, Penerjemah Khikmawati, cet.I,
(Jakarta: 2009), h. 178.
bertentangan dengan hukum Islam karena judi dan riba itu jelas-jelas telah
diharamkan oleh Allah SWT. Sebagai contoh, Islam melarang riba karena bahaya
yang dikandungnya, baik bersifat individu, sosial, atau ekonomi, dan di dalamnya
juga tidak ada lagi kata kebaikan untuk jiwa manusia. Ketamakan dan cinta materi
menempati posisi riba, serta menyebabkan penimbunan harta dan kekayaan dengan
cara yang tidak benar, serta masuk dalam tindak eksploitasi atas jerih payah orang
lain.103
103 Ibid, h. 197.
BAB V
PENUTUP
Pada bab terakhir ini penulis memberikan beberapa kesimpulan dari apa yang
telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, kemudian penulis juga
menyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait.
A. Kesimpulan
Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam
skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa hak-hak dasar warga negara Malaysia dilindungi dan dijamin oleh
Undang-undang Dasar (Perlembagaan) Malaysia, yaitu tentang hak memilih
hak atas kebebasan diri, hak persamaan, hak atas kebebasan dari perbudakan
dan kerja paksa, hak kebebasan bergerak dan larangan buang negeri / diusir, hak
kebebasan mengeluarkan pendapat, berkumpul dan bepersatu, hak atas
pendidikan dan terahkir hak terhadap harta dan dipilih. Namun, hal itu semua
diatur sedemikian rupa dan diberikan batasan-batasan tertentu dengan
memberikan syarat-syarat tertentu seperti ada persyaratan dalam hak memilih
dan dipilih, demikian juga ada syarat-syarat tertentu dalam membentuk suatu
organisasi atau pertubuhan dan mengeluarkan pendapat, sehingga hak atau
kebebasan tersebut tidak sebebas-bebasnya. Jaminan asas-asas tersebut
diberikan kepada semua warga negara sama rata, tanpa membedakan golongan-
golongan tertentu maupun ras, status sosial ekonomi dan budaya. Akan tetapi
dalam hal-hal tertentu terutama yang menyangkut hal ihwal kepemimpinan dan
pengurusan agama Islam.
2. Sementara fokus hak-hak kewarganegaraan dalam kajian fiqih siyasah adalah
lebih meneliti terhadap indikasi atau dilalah dari sumber utama dalam syariat
Islam, yaitu al-Quran,al-Hadis, dan tidak terkecuali dari sumber rujukan
sekunder yaitu qiyas, maslahah al mursalah, sad az-zariat, qowaid kuliyyat dan
uruf atau adat. Antara kesimpulan yang diperolehi dengan melalui pendekatan
komporatif antara undang-undang kewarganegaraan dengan hukum Islam adalah
setiap aturan hak-hak dasar di dalam konstitusi Malaysia seperti hak kebebasan
pendapat dan sebagainya semuanya sudah diatur di dalam al-Quran dan al-
Hadis.
B. Saran-saran
Berkaitan dengan adanya hak-hak istimewa bagi kaum Melayu terutama di
negara-negara bagian yang bersultan, penulis memberikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Agar perlembagaan diamandemen dengan dengan diadakan suatu peruntukan
untuk memelihara hak asasi manusia, yaitu agama Islam, nyawa, akal, keturunan
dan harta benda. Kebebasan yang harus diatur dan dipelihara meliputi kebebasan
beragama kepada setiap orang kecuali bagi agama Islam, kebebasan diri,
kebebasan berbicara serta menulis, kebebasab berserikat, kebebasan membangun
persatuan dan kebebasan mendapat manfaat dari institusi sosial.
2. Perlembagaan juga hendaklah memperuntukkan bahwa muslim dan non-muslim
hendaklah mengikuti hukum Islam dalam perkara jinayah, sipil dan
kekeluargaan. Tetapi diberikan pengecualian kepada non-muslim untuk memilih
terkait hukum kekeluargaan antara hukum Islam dan hukum agama mereka.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur‟an
Depertemen Agama RI, 1971
Abas, Tun Mohammad Salleh, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia,
cet. III, Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn.Bhd,
2006
Abdullah, Abu Bakar Ke Arah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia:
Masalah dan penyelesaiannya, Kuala Terengganu: Pustaka Damai, 1986,
cet. I
Ahmad, Siti Rosnah Haji, Pemerintah dan Pemimpin-peminpin Kerajaan Malaysia,
Selangor: Golden Books Centre Sdn. Bhd, 2006, cet. I
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalaam Masyarakat Majemuk,
Jakarta: UI Press; 1995
Aini, Noryamin, Pengantar Dasar Konsep Hak Asasi Manusia, makalah Mata Kuliah
HAM, Syari‟ah dan Hukum, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007
Anggota Persatuan Penerbit Buku Malaysia, Malaysia Kita Panduan Dan Rujukan
Untuk Peperiksaan Am Kerajaan, Selangor: Golden Books Centre Sdn. Bhd,
2007, cet. VIII
al-Mâwardî, Abî al-Hasan 'Alî bin Muhammad bin Habîb al-Basrî al-Bagdâdî, al-
Ahkâm al-Sulthâniyah, T.tp: Dâr al-Fikr, 1960, cet. I
al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, juz IV, Damsyik: Dâr al-Fikr, 1425
H / 2004 M, cet. III
ash-Shiddiqy T. M. Hasbi, 2002 Mutiara Hadits I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Anis, Ibrahim, dkk, al-Mu‟jam al-Wasith, Kairo: T.tp, 1972 , Juz I
Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri‟ al-Jinâ‟i al-Islâmi: Muqâranan bi al-Qânun al-
Wadhi‟i, Beirut: Muasasah al-Risalah, 1998, juz I
Awang, Muhammad Kamil, Sultan dan Perlembagaan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, 2001, cet. I
Ayub, Abdul Razak, Perpecahan Bangsa Melayu, Selangor: Dewan Pustaka fajar, 1985,
cet. I
Baharom, Hajah Noresah Binti, dkk., Kamus Dewan Bahasa, Edisi Ketiga, cet. VII,
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan
Malaysia, 2002
Bari, Abdul Aziz, Perlembagaan Malaysia: Asas-asas dan Masalah, Selangor: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2001, cet. I
----------, Majelis Raja-raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan Malaysia,
cet. II, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XXVII, Jakatra: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2005
HR., Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan, Yogyakarta: FH UII
Press, 2007, cet. I
Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press,
1996, cet. I
Hussin, Hasnah dan Mardiana Nordin. Pengajian Malaysia, Selangor: Oxford Fajar,
2007, cet. I
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001, cet. I
Ka‟bah, Rifyal, Politik dan Hukum dalam Al-Qur‟an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005, cet.
I
Kencana, Inu, Al-Quran dan Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996, cet. I
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Hadits, 2003
Manzhur, Jalaluddin Muhammad Ibnu, Lisân al‟Arab, juz II, Mesir: Dâr al-Hadîts, 2003
Marbun, B. N., Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, cet. I
Maududi, Abu A‟la, Islamic Law and Constitution, Lahore, Pakistan: Islamic
Publication Ltd, 1977
----------, Hak-hak Manusia dalam Islam, penterjemah Bambang Iriana Djajaatmadja,
cet. III, Jakarta: Bumi aksara, 2005
Mufid, Moh., Politik dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004, cet. I
Muhammad, Nazaruddin Hj., Pengajian Malaysia: Kenegaraan dan Kewarga-
negaraan, cet. V, Selangor: Prentice Hall, 2004
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi ke-III, Jakarta: Balai Pustaka, 2005
Putra, Dalizar, HAM (Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur‟an), Jakarta: PT. Al-Husna
Zikra, 1995, cet. II
Ramanathan, K., Konsep Asas Politik, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia, 1998
Rasyid, Abdul, Ilmu Politik Islam, Bandung:Pustaka, 2001, cet. I
Rosyada, Dede, dkk, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, cet. I
Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet. II,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995
Saefuddin, A. M., Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, Jakarta: Gema Insani Press,
1996, cet. I
Sakdan, Mohd. Foad, Asas Politik Malaysia, cet. II, Ampang/ Hulu Kelang Selangor
Darul Ehsan: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997
Soehino, Ilmu Negara, cet. VI, Yogyakarta: Liberty, 2004
Syarif, Mujar Ibnu, Hak-hak Politik Minoritas Nonmuslim dalam Komunitas Islam:
Tinjauan dari Persfektif Politik Islam, Bandung: Agkasa, 2003, cet. I
------------, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2006, cet. I
Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Jakarta: Prenada Group, 2003, cet. Revisi
Zada, Khamami dan Arief R. Arofah, Diskursus Politik Islam, Jakarta: Lembaga Studi
Islam Progresif, 2004, cet. I
Zaidan, Abdul Karim, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, Jakarta: Yayasan
Al-Amin, 1984, cet. I
Perlembagaan Persekutuan, cet. V, Ulu Kelang Kuala Lumpur: MDC Penerbit
Pencetakan Sdn Bhd, 1995