Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
iv
ABSTRAK
Mohamad Arik Borneo NIM 11150440000077 PENOLAKAN HAKIM TERHADAP IZIN POLIGAMI (ANALISIS PUTUSAN NOMOR
1143/Pdt.G/2012/PAJB.) Program studi Hukum Keluarga (ahwal syakhsiyyah). Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1441H/2019. (vii halaman + 66 halaman + 14 lampiran). Skripsi ini bertujuan untuk: a) mengetahui apa yang menjadi pertimbangan
Hakim berkesimpulan menolak izin poligami tersebut pada Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PA.JB, dan b) untuk mengetahui putusan Hakim yang menolak izin
poligami dalam perkara tersebut ditinjau dari Fiqh dan Peraturan di Indonesia. Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan normatif doktiner yaitu pendekatan yang menggunakan rumusan-rumusan berdasarkan Hukum Islam, dan sejumlah peraturan perkawinan di Indonesia yang
kemudian dihubungkan dengan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: a) Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Barat dalam putusannya menyatakan bahwa dalam pertimbangannya, hakim menolak untuk memberikan izin poligami padahal telah terpenuhinya salah satu syarat alternatif
yang ditentukan dalam undang-undang (istri tidak dapat melahirkan) itu dikarenakan suami ingin menikahi perempuan yang bukan pilihan istrinya, lebih pada keinginan
pribadi dan mengorbankan keutuhan rumah tangga. Sementara syarat yang diajukan oleh istri jika suaminya ingin berpoligami harus menikah dengan perempuan yang
dipilih oleh istrinya, agar tercapainya perkawinan yang sakinah. b) Penolakan Hakim terhadap izin poligami jika ditinjau menurut hukum Islam (Fikih) telah disepakati oleh
para ulama bahwasanya syarat untuk melangsungkan poligami adalah berlaku adil dan mampu mencukupi nafkah bagi keluarganya. Dengan terpenuhi syarat tersebut tampak
bahwa putusan nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB tidak sejalan dengan ketentuan fikih. Hanya saja, jika kita melihat kaidah fikih “Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan
daripada mengambil kemaslahatan”, maka putusan hakim tersebut telah tepat. Kemaslahatan yang mungkin diperoleh dalam hal ini adalah kemungkinan suami dapat
memperoleh keturunan dari pernikahan dengan isteri keduanya namun kemudian akan timbul mafsadah yakni rusaknya rumah tangga dengan istri pertama yang sudah setia
mendampingi suaminya karena calon istri kedua bukanlah orang yang tepat dalam keluarganya. Dalam kaidah tersebut diatur bahwa apabila ada maslahah disatu sisi dan
mafsadah disisi lain maka menolak mafsadah yang diutamakan. Namun dalam putusannya majelis hakim tidak menyinggung dan menelaah kaidah-kaidah yang ada
dalam fikih tersebut. Selanjutnya, ditinjau dari peraturan yang berlaku di Indonesia, tampak bahwa putusan nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB tersebut telah sesuai dengan UU
Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI pasal 58 yang menyebutkan harus adanya persetujuan dari istri/istri-istri yang akan dipoligami. Meskipun salah satu sayarat alternatif (istri
pertama tidak dapat melahirkan) sudah terpenuhi dalam kasus ini, namun permohonan izin poligami tersebut tetap ditolak dengan alasan tidak dipenuhinya syarat komulatif,
yatitu tidak adanya izin istri. Dengan demikian, ditinjau dari peraturan yang berlaku putusan hakim Pengadilan Agama Jakarata Barat tersebut sudah tepat. Kata Kunci : Penolakan Hakim, Poligami, Penolakan Poligami
Pembimbing : Dr. Mesraini, S.H., M.Ag. Daftar Pustaka : 1971 s.d 2019
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum dapat
diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
vi
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop ˋ ء
Y Ya ي
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u و
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
vii
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
 a dengan topi di
atas
Î i dengan topi di atas
Û u dengan topi di atas
Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (ال),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qomariyyah. Misalnya:
al-ijtihâd =اإلجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah =الرخصة
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
.al-syuf’ah tidak ditulis asy-syuf’ah =الشفعة
Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbȗtah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
“t” (te) (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
syarî’ah شريعة 1
al-syarî’ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2
viii
muqâranat al-madzâhib مقارنة املذاهب 3
Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului
oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: البخاري= al-
Bukhâri tidak ditulis Al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan diatas:
No Kata Arab Alih Aksara
-al-darûrah tubîhu al الضرورة تبيح احملظورات 1
mahzûrât
al-iqtisâd al-islâmî االقتصاد اإلسالمي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
al-‘asl fî al-asyya al-ibâhah األصل يف األشياء اإلابحة 4
al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة 5
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang
senantiasa memberikan karunia, kasih sayang, serta kekuatan yang terbentuk dari
segala ujian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, shalawat serta salam
semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya.
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari do’a, dukungan, dan bantuan
berbagai pihak, baik secara materi ataupun moril. Penulis menyampaikan ucapan
terima kasih banyak kepada:
1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Syarih Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Mesraini, SH, M.Ag Ketua Program Studi Hukum Keluarga, selaku
Dosen penasihat akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang
dengan sabar dan ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing dan
memberikan arahan serta saran-saran kepada penulis dalam penyelesaian
skripsi ini.
3. Ahmad Chairul Hadi, M.A. selaku Sekertaris Program Studi Hukum
Keluarga.
4. Seluruh Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang berharga kepada penulis beserta seluruh staf dan
karyawan yang telah memberikan pelayanan terpadu selama masa
perkuliahan penulis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kepada yang teristimewa kedua orang tua, yakni Ayahanda Muslim Harun
yang mana telah memberi semangat kepada penulis dan mendidik penulis
hingga saat ini dan Ibunda tercinta Maryani yang tidak pernah menyerah
memberikan dukungan moral dan materil hingga penulis dapat
menyelesaikan studinya, dan kakaku Ivan Riza Belgrade serta Adik-adik
Lucky dan Abel yang terus memberikan semangat.
6. Sahabat terbaik Alycia Nur Aulia yang selalu memberikan semangat dan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman seperjuangan Lutfi Zakaria, Aza, Helmi, Sarah, Amar, Windi,
Isti, Vania, Kiki, Ila, Ilham, Qotrun, Upay, Waton, Adams, Rahman, Syarif,
x
Fachrizal, Riki, Reza, Wildan, Syukur, Ei, Maulvi, Imam, Falih, Terima
Kasih atas kebersamaanya.
8. Teman-teman angkatan Hukum Keluarga 2015 Terima Kasih
Solidaritasnya selama perkuliahan.
9. SMA Cendrawasih 1 2014
10. Sahabat Takandani Coffee
Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih perlu perbaikan. Oleh
karena itu, kritik dan saran akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca dan
umumnya serta dicatat menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Amin.
Jakarta, 15 Oktober 2019
Mohamad Arik Borneo
Penulis
xi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................. v
KATA PENGANTAR .............................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................ xi
LAMPIRAN ............................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Identifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................... 7
C. tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8
D. tinjauan kajian terdahulu ........................................................... 8
E. metode penelitian ...................................................................... 9
F. sistematika penulisan ................................................................ 11
BAB II POLIGAMI MENURUT FIQH DAN PERATURAN DI INDONESIA
A. Pengertian Poligami ................................................................... 12
B. Hukum dan Dasar Hukum Poligami .......................................... 13
1. Menurut Fiqh .................................................................... 13
2. Menurut Hukum di Indonesia ............................................ 20
C. Jumlah Istri Dalam Poligami ..................................................... 23
D. Syarat Dan Ketentuan Pelaksanaan Poligami ............................. 25
E. Prosedur Beracara Persidangan Izin Poligami ............................ 29
BAB III DESKRIPSI PUTUSAN PA JAKARTA BARAT NOMOR
1143/Pdt.G/2012/PAJB YANG MENOLAK IZIN POLIGAMI
A. Posisi Kasus ............................................................................ 37
B. Putusan Hakim dan Pertimbangannya ....................................... 40
xii
BAB IV ANALISIS ATAS PUTUSAN PENOLAKAN IZIN POLIGAMI DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT
A. Penolakan Izin Poligami Di Tinjau Dari Hukum Islam ............... 43
B. Penolakan Izin Poligami Ditinjau Dari Pertauran Di Indonesia ... 48
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam
2. Hukum Acara di Pengadilan Agama .................................... 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 59
B. Rekomendasi .................................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam1, dan merupakan Peradilan khusus yang hanya menangani perkara-
perkara tertentu. Perkara tertentu tersebut adalah dalam bidang perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.2
Dalam penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2006 yang
merupakan amandemen Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama diuraikan bahwa yang dimaksud dengan “perkawinan”
adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang
mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah,
antara lainnya adalah izin beristri lebih dari seorang, yang biasa dikenal
dengan istilah izin poligami.3
Islam memang memperbolehkan seorang suami memiliki istri lebih
dari 1 dengan syarat dan ketentuan yang ketat. Allah swt telah
memperbolehkan poligami tetapi dengan menegaskan bahwa kondisi
poligami adalah suami harus adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya,4
adil dalam menafkahi dan memberi kebutuhan primer ataupun materil.
Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai, dua-dua, tiga-
tiga, empat-empat (menurut Muhammad Ali Ash-Shobuni).5 Kemudian
ulama Mustafa al-Siba’i mengatakan bahwa keadilan yang diperlukan
1 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. (Selanjutnya disebut UUPA)
2 Pasal 1 UUPA dan Pasal 2 dan 49 UUPA Perubahan Tahun 2006 3 Ahmad Zahri, Eksistensi dan Kewenangan Peradilan Agama di Era Reformasi, diakses
dari pa-luwuk.net, pada tanggal 1 Oktober 2019 4 Jm Apiko, Nubowo, Indahnya poligami pengalaman sakinah puspo wardoyo , ( Jakarta,
khairul bayan cetakan 1) h. 22 5 Ali Ash-Shobuni, Muhammad, Rowai’ul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam, (Jakarta: Keira
Publishing, Tahun 2016).
2
dalam poligami adalah keadilan material seperti yang berkenaan
dengan tempat tinggal, pakaian, makanan, minum, perumahan dan hal-hal
yang bersifat kebutuhan material istri. Ulama lain yaitu Zamahsyari
mengatakan bahwa perkataan itu ditujukan kepada orang banyak, yang
harus diulang supaya masing-masing orang yang hendak berpoligami sesuai
dengan hitungan itu1, dalam Al-Qur’an Surat An-Nissa (4): 3 disebutkan
اء س لن ن ا م م ك اب ل ا ط وا م ح ك ان ى ف ام ت ي ل وا يف ا ط س ق الا ت م أ ت ف ن خ إ و
ت ك ل ا م و م ة أ د واح وا ف ل د ع الا ت م أ ت ف ن خ إ ع ف ث وراب ال ن وث ث م
وا ول ع الا ت ن أ د ك أ ل م ذ ك ن ا ي أ
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS An-nisa :3).
Dalam penjelasan ayat tersebut maka diperbolehkannya poligami
dengan syarat harus berlaku adil dengan isteri-isteri dan anaknya. Dan jika
poligami tidak bisa berbuat adil terhadap isteri maka cukup seorang isteri
saja.2 Secara yuridis formal, poligami di Indonesia diatur dalam Undang-
undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1
Tahun 1974 pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
menganut asas monogami yaitu bahwasanya seorang laki-laki hanya boleh
memiliki seorang isteri dan begitupun sebaliknya. Namun bukan asas
monogami mutlak tetapi monogami yang bersifat tidak mutlak,
1Aris Baidhowi, Hukum Poligami dalam Perspektif Ulama Fiqh ( Jurnal Muwazah,
Volume 4, Nomor. 1, Juli 2012), h. 64 2 Jm Apiko Nubowo, Indahnya Poligami Pengalaman Sakinah Puspo Wardoyo, ( Jakarta:
PT Khairul Bayan, Tahun 2003, Cetakan Pertama) hlm. 23
3
dibuktikannya dengan diperbolehkan laki-laki beristeri lebih dari satu
dengan syarat telah mendapatkan izin dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Seperti telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 3 ayat
(2), pasal 4, dan pasal 5, serta juga peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975
pasal 40 yang berbunyi “Apabila seorang suami ingin beristeri lebih dari
satu orang maka seorang suami harus meminta izin dan wajib mengajukan
permohonan secara tertulis kepada pengadilan”. Inilah yang menjadi
pedoman dalam praktik poligami, secara umum diatur secara ketat di dalam
UU Nomor 1 Tahun 1974 bahwa asas pernikahan adalah monogami tetapi
sesuai pasal 4 dan 5 UU Nomor 1 Tahun 1974 suami dapat mengajukan izin
beristeri lebih dari satu ke Pengadilan Agama dengan syarat-syarat yang
berlaku3.
Dalam Pasal 4 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan bahwa:
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 (satu) Pasal ini hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan di atas, telah menjelaskan mengenai alasan-alasan bagi seorang
suami untuk dapat beristri lebih dari seorang. Selanjutnya dalam Pasal 5
3 Mursalin Supardi, Menolak Poligami, Studi tentang Undang-Udang Perkawinan dan
hukum Islam, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007),h.15
4
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan pula
bahwa untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-undang ini harus memenuhi
syarat-syarat berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-
istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
d. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 huruf (a) Pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlumendapat penilaian dari hakim pengadilan.4
Penjelasan Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan merupakan syarat fakultatif (tidak diwajibkan) yang
harus dipenuhi. Sedangkan Pasal 5 ayat 1 (satu) Undang-undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan syarat kumulatif (wajib) yang
harus dipenuhi untuk mendapatkan izin dari pengadilan, Perkawinan oleh
seorang pria untuk kedua kalinya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu
mendapatkan izin kawin untuk kedua kalinya sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
yang mengatur lebih lanjut tentang tatacara seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang (berpoligami).
Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa apabila
4 Muchtar Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang,
1974
5
seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari satu orang maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Selanjutnya
Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 juga memberikan alasan
yang memungkinkan kepada seorang suami untuk menikah lagi. Secara
lengkap Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa Pengadilan
kemudian memeriksa mengenai:
Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan suami kawin lagi
yaitu karena istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,
bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Ada atau tidaknya
dari persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila
persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus
diucapkan didepan sidang pengadilan. Ada atau tidaknya kemampuan suami
untuk menjamin keperluan hidup, istri-istri dan anak-anak dengan
memperlihatkan beberapa surat yaitu, surat keterangan mengenai
penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja atau
surat keterangan pajak penghasilan atau surat keterangan lain yang dapat
diterima oleh pengadilan. Dan juga ada atau tidak adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan
pernyataan atau janji yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Lebih lanjut dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkan
bahwasannya dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal
40 dan Pasal 41, pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang
bersangkutan. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat
permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa apabila
6
pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri
lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa
izin untuk beristri lebih dari seorang.5 Begitu juga sebaliknya, apabila hakim
menilai tidak cukup alasan bagi suami untuk beristri lebih dari seorang,
maka hakim dapat saja memberikan putusan yang menolak permohonan izin
poligami tersebut.
Berkaitan dengan permohonan izin poligami, penulis menemukan
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor 1143/Pdt. G/2012/PAJB.
Dalam putusan tersebut, hakim menolak permohonan izin poligami seorang
suami karena hakim menilai tidak cukup beralasan dan tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) Undang-undang
No 1 Tahun 1974. Akan tetapi, berbagai pertanyaan muncul karena
penolakan izin tersebut. Pertama, suami sudah memenuhi persyaratan
sebagaimana dikatakan dalam Pasal 4 ayat (1) di atas yaitu suami sudah
mendapat persetujuan dari istri untuk berpoligami. Kedua, keadaan sang
istri yang belum memiliki keturunan meskipun keadaan istri sehat dan
pernah hamil tapi keguguran. Bahkan sudah berusaha secara medis dan non
medis untuk mendapatkan keturunan tapi tetap tidak berhasil. Ketiga, suami
mampu secara finansial untuk memenuhi kebutuhan istri baik yang pertama
ataupun kedua. Terbukti dengan penghasilan suami yang mencapai jumlah
Rp. 50.000.000,- setiap bulan. Ditambah komisi dan bonus lainnya.
Keempat, dalam salinan putusan diketahui bahwa istri memperbolehkan
bahkan menyarankan suami untuk menikah lagi dengan tujuan memiliki
keturunan dan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah,
tetapi bukan dengan calon istri kedua yang diajukan oleh pemohon
melainkan dengan perempuan lain yang diterima dan dapat akur dengan istri
pertama pemohon.6
5 Nurudin Amiur dan Tarigan Ahmad Azhari, Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta:
Pernada Media, 2004) 6 Salinan Putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB
7
Hal ini menimbulkan pertanyaan apa sesungguhnya yang melatar
belakangi hakim menolak izin poligami ketika semua persyaratan sudah
dilengkapi. Penulis memilih untuk mengangkat masalah ini untuk dijadikan
skripsi dengan judul “Penolakan Hakim Terhadap Izin Poligami
(Analisis Putusan Nomor 1143/Pdt. G/2012/PAJB)”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan tersebut dapat
diidentifikasi sejumlah permasalahan, yaitu:
a. Latar belakang hakim berkesimpulan menolak permohonan izin
poligami dalam perkara putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PA.JB,
padahal semua persyaratan sudah dilengkapi
b. Putusan Hakim yang menolak izin poligami dalam perkara tersebut
ditinjau dari Fiqih dan Peraturan di Indonesia
c. Putusan Hakim yang menolak izin poligami dalam perkara tersebut
ditinjau dari Perspektif Gender
d. Putusan Hakim yang menolak izin poligami dalam perkara tersebut
ditinjau dari Maqashid Syariah
2. Pembatasan Masalah
Karena banyaknya permasalahan yang teridentifikasi dalam tema ini,
maka Penulis membatasi hanya membahas bagaimana putusan hakim
yang menolak izin poligami dalam perkara Nomor 1143/Pdt.
G/2012/PA.JB ditinjau dari Fiqh dan peraturan di Indonesia. Penulis
tidak mengkaji dari perspektif Gender ataupun yang lainnya.
3. Perumusan Masalah
a. Apa yang menjadi pertimbangan Hakim berkesimpulan menolak
izin poligami padahal syarat-syarat sudah terpenuhi pada Putusan
Nomor 1143/Pdt. G/2012/PA.JB?
b. Bagaimanakah putusan Hakim yang menolak izin poligami dalam
perkara tersebut ditinjau dari Fiqh dan Peraturan di Indonesia?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ditetapkan sesuai dengan rumusan
masalah yaitu :
a. Untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan Hakim
berkesimpulan menolak izin poligami tersebut pada Putusan Nomor
1143/Pdt.G/2012/PA.JB.
b. Untuk mengetahui putusan Hakim yang menolak izin poligami
dalam perkara tersebut ditinjau dari Fiqh dan Peraturan di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Agar dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam menyikapi perilaku
poligami di masyarakat, dan memberikan gambaran ketika menghadapi
permasalahan dalam kehidupan sosial ini. Dan penelitian ini menjadi
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum.
D. Review Studi Terdahulu
Dari hasil penelusuran pada karya tulis ilmiah yang berkaitan
dengan progresivitas dan pertimbangan hakim dalam penetapan penolakan
izin poligami ternyata memiliki sejumlah bahasan yang berbeda. Adapun
kajian terdahulu yang penulis temukan diantaranya:
1) Agung Cahyono, mahasiswa Fakultas Syariah UIN Malang (2016)
dalam penelitian skripsinya berjudul: Isbat Poligami Menurut
Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Kota Probolinggo (Studi
Komparatif Perkara No.306/Pdt.G/2012/PA.Prob dan Perkara
No./141/Pdt.G/2013/PA.Prob). Kesimpulan: komparasi dua hakim yang
berbeda dengan perkara yang berbeda namun sama-sama tentang isbat
poligami. Dan pendapat masing-masing hakim yang mengabulkan serta
menolak mengabulkan perkara isbat poligami.
2) Siti Aisyah, mahasiswa Fakultas Syariah UIN Malang (2008) dengan
judul skripsinya: Pandangan Hakim Terhadap Isbat Nikah Poligami di
Pengadilan Agama Bondowoso. Kesimpulan: meneliti dan mengkaji
lebih mendalam bagaimana prosedur isbat nikah poligami dan landasan
9
dasar hukum apa yang dijadikan rujukan oleh majelis hakim Pengadilan
Agama Bondowoso dalam menetapkan putusan tersebut.
3) Fakhruddin, mahasiswa Fakultas Syariah UIN Yogyakarta (2005)
dengan judul skripsinya: Studi Terhadap Penolakan Izin Poligami di
Pengadilan Agama Yogyakarta. Kesimpulan: mengkaji tinjauan yuridis
dan hukum islam terhadap pertimbangan hakim di Pengadilan Agama
Yogyakarta dalam putusan perkara tersebut.
Dari ketiga karya studi terdahulu di atas, tampak bahwa apa yang penulis
bahas belum dikaji oleh para peneliti terdahulu.
E. Metode Penelitian
Dalam pembahasan penelitian ini, diperlukan suatu metode
penelitian untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-
masalah yang dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas,
tepat, dan akurat. Adapun metode yang penulis gunakan, yaitu:
1. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan normatif
doktiner yaitu pendekatan yang menggunakan rumusan-rumusan
berdasarkan Hukum Islam, dan sejumlah peraturan perkawinan di
Indonesia yang kemudian dihubungkan dengan Putusan Nomor
1143/Pdt. G/2012/PAJB.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Kualitatif yaitu penelitian
tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan
analisis.
3. Sumber Data
a. Data primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan penetapan
penolakan izin poligami yaitu salinan Putusan Nomor : 1143/Pdt.
G/2012/PAJB, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam.
10
b. Data sekunder yaitu buku-buku, jurnal, artikel, dan tulisan lain yang
berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok dalam
pembahasan dalam penelitian ini.
4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan Studi Kepustakaan dalam penelusuran
informasi dan data yang diperlukan dari beberapa sumber. Penyusunan
dengan menggunakan studi kepustakaan dilakukan dengan cara
membaca, mempelajari, serta menganalisis sumber-sumber yang
berkaitan dengan tema penelitian.
5. Analisis Data
Data yang telah didapatkan oleh penulis yang diperoleh dari hasil studi
kepustakaan, kemudian diseleksi dan disusun, setelah itu penulis
melakukan klasifikasi data, yaitu usaha mengumpulan data berdasarkan
kategori tertentu. Selanjutnya penulis melakukan analisis data dengan
metode content analysis yaitu penelitian yang bersifat pembahasan
mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam
media massa.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang di terbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM)
Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian skripsi ini terdiri dari 5 Bab, dimana masing-masing Bab
berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:
Bab Pertama, berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat
dengan permasalahan yang akan dibahas. Latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
11
Bab Kedua, kajian kepustakaan yang dibahas dalam bab ini adalah
ketentuan poligami menurut fiqh dan hukum di Indonesia.
Bab Ketiga, menjelaskan mengenai penetapan Hakim yang
menolak izin poligami dalam putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PA.JB
yang meliputi duduk perkara, pertimbangan Hakim, dan Penetapan
Hakim.
Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam
skripsi ini, yaitu analisis tentang pertimbangan hakim dalam penetapan
penolakan izin poligami dalam perkara Nomor 1143/Pdt.G/2012/PA.JB
yang ditinjau dari Fiqh dan Peraturan di Indonesia.
Bab Kelima, merupakan bab akhir pada penelitian ini yang terdiri
dari penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat
membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.
12
BAB II
POLIGAMI MENURUT FIQH & PERATURAN DI INDONESIA
A. Pengertian Poligami
Perkawinan di tinjau dari bahasa (etimologi), berasal dari kata kawin
yang mempunyai arti kata membentuk keluarga dengan lawan jenis dan
melakukan hubungan suami istri.1 Perkawinan yang mengharuskan adanya
ikatan pernikahan yang disebut ikatan (akad) perkawinan yang menyatukan
hati antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak mungkin
terlepas dari ketentuan hukum dan ajaran agama.2 Meski idealnya sebuah
perkawinan itu adalah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan,
namun kenyataannya banyak perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-
laki dengan lebih dari seorang perempuan yang dinamakan poligami, kata
poligami itu bersal dari bahasa Yunani dari kata poly atau polus yang berati
banyak dan gamein atau gamos yang berati kawin. Jadi secara bahasa,
poligami berati “suatu perkawinan yang banyak” atau “suatu perkawinan
yang lebih dari seorang baik pria atau wanita”. Poligami di bagi atas poligini
dan poliandri. Poligini adalah perkawinan seorang pria dengan lebih
seorang wanita. Sedangkan poliandri adalah perkawinan seorang wanita
dengan lebih seorang pria.3
Poligami menurut istilah Bahasa Arab disebut dengan تعدد الزوجات
yang diambil dari kata تعدد yang artinya banyak, dan الزوجات yang artinya
istri-istri.4 Dalam Ensiklopedi Indonesia poligami merupakan perkawinan
yang dalam hal ini pria mempunyai istri lebih dari seorang di dalam suata
masa.5 Pengertian yang lebih ringkas dan jelas menurut
1 Departmen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga (Jakarta
Balai Pustaka, 1995), h.518. 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,h.782. 3 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve,
1993) IV, h.107. 4 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir (Yogyakarta: Pon-Pes Al-Munawir, 1984),
h. 592 dan 904. 5 Hasan Sadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 1980), h.74.
13
Soemiyati, poligami ialah perkawinan seorang pria lebih dari seorang
wanita dalam waktu yang sama.1
Dengan demikian menurut para ahli bahwa poligami atau poligini
yaitu perkawinan dimana perkawinan seorang pria mengawini lebih seorang
wanita di dalam waktu yang bersamaan.2. Jadi, istrilah poligami yang
penulis maksudkan dalam skripsi ini adalah poligami dalam arti poligini,
bukan dalam arti poliandri, bahwa Poligami adalah suatu bentuk perkawinan
diman seorang pria beristri lebih dari seorang wanita pada waktu bersamaan
dan Hukum Islam membatasi jumlah wanita tersebut maksimal hanya
sebanyak empat orang istri.
B. Hukum Dan dasar Hukum Poligami
1. Menurut Hukum Fiqh
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu
terjun dalam suatu realita, mendidik dan menjauhkan diri dari sikap teledor
dan bermalas-malasan. Begitulah yang disaksikan dengan jelas dalam
hubungannya dengan masalah poligami. Dengan menitikberatkan demi
kepentingan manusia, baik secara individual maupun masyarakat.
Kebanyakan umat dahulu dan agama sebelum Islam membolehkan kawin
tanpa batas kemudian dibatasi menjadi empat orang istri saja dalam waktu
yang bersamaan. Poligami ini boleh dilaksanakan dengan persyaratan
khusus serta jumlah ketentuan hukum yang harus dilaksanakan.3
Terdapat ayat dalam al-Qur’an yang memberikan pilihan kepada
kaum laki-laki untuk menikahi anak yatim dengan rasa takut tidak berlaku
adil karena keyatimannya atau menikahi perempuan yang disenangi hingga
jumlahnya empat istri. Akan tetapi, jika dihantui oleh rasa takut tidak
1 Soemiyati, Hukum Perkawainan dalam Islam Dan Perundang-undangan Perkawinan
(Yogyakarta: Liberty, t.t), h.74. 2 Yayan Sopyan, Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional (Tanggerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011). h.139. 3 Abdur Rahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (syari’ah I ), (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h.260.
14
berlaku adil, lebih baik menikah dengan seorang perempuan atau hamba
sahaya, karena hal itu menjauhkan diri dari berbuat aniaya.4
Yang menjadi sebab turunnya ayat ini adalah pada waktu itu ada
seorang lelaki yang menguasai anak yatim, yang kemudian dikawini. Dia
mengadakan perserikatan harta dagang dengan wanita lain yang menjadi
tanggung jawabnya ini. Oleh sebab itu, di dalam perkawinan dia tidak
memberi apa-apa dan menguasai harta peserikatanya itu, sehingga wanita
ini tidak mempunyai kekuatan sama sekali terhadap miliknya yang telah
diserikataan. Sehubung dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke 3 surat
an-Nisa sebagai teguran, saran dan peringatan bagi mereka yang menikahi
anak yatim.5
Secara garis besar menurut ulama’ keseluruhan poligami dapat
digolongkan dalam tiga pendapat dalam sejarah pemikiran Islam. Ketiga
pendapat tersebut adalah :
1. Pandangan kebolehan menikahi wanita lebih dari satu dengan syarat-
syarat dan kondisi tertentu
2. Pandangan tentang kebolehan menikahi wanita melebihi dari satu secara
mutlak
3. Pendapat yang melarang poligami secara mutlak.6
Pendapat yang pertama, dikeemukakan oleh mayoritas pemikir
konteporer dan perundang-undangan. Kelompok ini membolehkan poligami
dengan syarat dan kondisi tertentu. Di antara tokoh yang masuk kelompok
ini adalah Muhammmad ‘Abduh, Fazlur Rahman, Amina Wadud dan
kelompok reformis lainya. Pendapat kedua, yaitu yang membolehkan
poligami secara mutlak dengan syarat mampu mencukupi nafkah keluarga
dan mampu berbuat adil terhadap istri dan anak, dipegangi oleh mayoritas
ulama’ klasik dan pertengahan, baik ulama’ ahli fiqh maupun tafsir.
4 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2, (Bandung, Pusaka Setia, 2001), h.155. 5 A Mujab Mahali, As-babun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2002), h.206. 6 Khoiruddin Nasution, “Perdebatan Sekitar Status Poligami”, Mustawa No,. I Vol. I,
Maret, 2002, h.58.
15
Sedangkan pendapat ketiga, yaitu yang mengharamkan poligami
dikemukakan oleh al-Hadad dan Habib bin Ruqayba.
Poligami menurut pendapat yang pertama, oleh Muhammad ‘Abduh
yaitu, poligami hanya mungkin bisa dilakukan oleh suami dalam hal-hal
tertentu. Kebolehan poligami sangat tergantung pada kondisi, situasi dan
tuntutan zaman. Karena itu konteks sejarah ketika turunnya ayat tentang
kebolehan melakukan poligami harus dibaca cermat dan jernih. Walaupun
‘Abduh sangat keras dalam mengharamkan poligami tetapi masih ada
kemungkinan untuk melakukanya, yaitu manakala ada tuntutan yang benar-
benar mengharuskan seseorang melaksanakannya. Larangan untuk
kebolehan melakukan poligami menurut ‘Abduh nampaknya lebih banyak
ditentukan oleh tuntutan zaman, yaitu keadaan darurat.7
Fazlur Rahman berpendapat bahwa al-Qur’an surah an-Nisa’ (4) : 3
memang mangajarkan poligami disertai syarat para suami mampu untuk
berbuat adil. Dengan diikuti penegasan “Jika engkau khawatir tidak mampu
berbuat adil, cukuplah hanya seorang istri saja”. Selanjutnya dalam ayat 129
ditegaskan “kamu sekali-kali tidak akan mampu untuk berbuat adil kepada
istri-istri kamu walaupun kamu sangat menghendaki demikian”. Beliau
tidak sependapat bahwa fase “berbuat adil” dalam an-Nisa’ (4): 3 hanya
terbatas perlakuan lahiriah, jika fase tersebut hanya pada perlakukan lahiriah
saja niscaya tidak ada penegasan dan peringatan yang disebutkan pada ayat
129 dengan memandang izin poligami bersifat temporal dan memandang
bahwa maksud yang hendak dituju oleh Al-Qur’an yang sebenarnya adalah
menegakkan monogami, akan menyelamatkan surah an-Nisa’ ayat 3 dan
129 dari pengertian yang kontradiktif.8
Sayyid Qutb mengatakan bahwa poligami merupakan suatu perbuatan
rukhsah, maka hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat yang benar-
benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan agar suami berbuat
7 Khoiruddin Nasution, “Perdebatan Sekitar Status Poligami”, Mustawa No,. I Vol. I,
Maret, 2002h.103. 8 Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentag Metodologi Pembaharuan Hukum
Islam, Cet I, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), h.174-175.
16
adil terhadap istri-istri mereka. Keadilan yang dituntut di sini merupakan
keadilan dalam bidang nafkah, mua’amalah, pergaulan, serta pembagian
malam. Sedangkan apabila suami tidak bisa berbuat adil kepada istri-
istrinya maka baginya cukup hanya seorang istri saja.9 Sementara bagi yang
mampu berbuat adil terhadap istrinya-istrinya, boleh berpoligami dengan
batasan maksimal empat orang istri.10
Sementara as-Sabuni lebih menekankan pada hikmah kebolehan
poligami. Namun sebelum menjelaskan hikmah poligami ini, as-Sabuni
lebih dulu menekankan jumlah wanita yang boleh dinikahi maksimal hanya
empat orang. Pendapat ini didasarkan pada ijma’ ulama’. Kebolehan
poligami maksimal empat istri ini pun bisa dilakukan dalam keadaan darurat
dengan syarat bisa berbuat adil diantara istri-istrinya, bila tidak dapat
berlaku adil maka cukup satu istri saja.11
Pendapat kedua yang meyakini kebolehan poligami secara mutlak,
karena pada umumnya yang dijadikan dasar kebolehan melakukan poligami
adalah surah an-Nisa’ (4) : 3 dan 129. Menurut mereka surah an-Nisa’ (4) :
3, turun seusai perang Uhud ketika itu banyak pejuang muslimin yang
gugur, sehingga banyak janda dan anak yatim yang ditinggal oleh suami
atau ayah mereka. Akibatnya banyak anak-anak yatim terabaikan kehidupan
dan pendidikanya untuk masa depan mereka. Di samping itu, ayat ini juga
berusaha menghapuskan kebiasaan orang Arab, yaitu seorang wali berkuasa
penuh kepada anak yatim yang ada di bawah asuhannya, yang cantik dan
kaya biasanya dinikahi, sebaliknya kalau tidak cantik atau tidak kaya tidak
dinikahi, dan tidak membolehkan orang lain menikahinya agar mereka tetap
menguasai harta anak yatim tersebut.12
Mayoritas ulama’ klasik dan pertengahan membolehkan seorang
suami mempunya istri maksimal empat orang secara mutlak, dengan syarat
9 Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur’an (t. tp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1961), Jilid IV, h.136. 10 Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur’an (t. tp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1961), Jilid IV, h.241. 11 Muhammad Ali as-Sabui, Rawa’I al-Bayan Fi Tafsir Ayat al-Qur’an, t. tp : Dar al-Qur’an
1391/1972) Jilid I : 428. 12 Imam as- Syafii, al- Umm, sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution, “Perdebatan
Sekitar Status Poligami” h.50
17
a. Mampu mencukupi nafkah keluarga
b. Mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya.13
Seorang suami yang berpoligami harus berbuat adil diantara istri-
istrinya. Keharusan berlaku adil ini berdasarkan al-Qur’an surah an-Nisa’(4)
: 3. Dalam kitab al-Umm karangan Imam as-Syafi’I dan sekaligus pendiri
mazhab Syafi’i, ditulis, bahwa Islam membolehkan seorang muslim
mempunya istri maksimal hanya empat berdasarkan Surat an-Nisa’ (4) ayat
3
Al-Ahzab (33) : 58
والاذين ي ؤذون المؤمنني والمؤمنات بغي ما اكتسبوا ف قد احتملوا بتان وإثا مبينا
Artinya : ” Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya
mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” Al-Mu’minun (23) : 5-6
م غي مل ومني والاذين هم لفروجهم حافظون. إالا على أزواجهم أو ما ملكت أيانم فإنا
Artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela”.
Dan hadis Nabi tentang Ghailan bin Salamah dan Naufal bin
Muawiyah yang memiliki sepuluh orang istri sebelum masuk Islam,
kemudian disuruh memilih empat orang istri saja dan menceraikan yang lain
ketika masuk Islam.14
حداث نا هنااد حداث نا عبدة عن سعيد بن أب عروبة عن معمر عن الزهري عن سال بن ع بد
اللا عن ابن عمر أنا غيالن بن سلمة الث اقفيا أسلم وله عشر نسوة يف الاهلياة فأ س لمن معه
عليه وسلام أن ي تخيا أرب عا من هن فأمره الناب صلاى اللا
13 Imam as- Syafii, al- Umm, sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution, “Perdebatan
Sekitar Status Poligami” h.58. 14 Imam as- Syafii, al- Umm, sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution, “Perdebatan
Sekitar Status Poligami” h.60.
18
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami [Hannad], telah menceritakan
kepada kami (Abdah) dari (Sa'id bin Abu 'Arubah) dari (Ma'mar) dari (Az Zuhri) dari (Salim bin Abdullah) dari (Ibnu Umar) bahwa Ghailan bin
Salamah Ats Tsaqafi masuk Islam sedang dia saat itu memiliki sepuluh orang istri dari masa Jahiliyah. Mereka semuanya masuk Islam juga. Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam menyuruhnya agar memilih empat dari mereka.”
Tuntutan harus berbuat adil di antara para istri menurut pandangan
Syafi’i berhubungan dengan urusan fisik, bukan dengan urusan hati.
Keadilan dalam hati menurut Syafi’I hanya Allah yang mengetahuinya,
karena itu mustahil seorang dapat berbuat adil terhadap istrinya. Yang
disyariatkan pada surah an-Nisa’ (4): 129 adalah yang berhubungan dengan
hati. Dengan demikian, hati memang tidak mungkin berbuat secara adil.
Sementara itu keharusan adil yang dituntut apabila seorang suami
mempunyai istri melebihi dari satu adalah adil dalam bentuk fisik, yakni
dalam perbuatan dan perkataan.15 Mazhab Hambali berpendapat, seorang
laki-laki boleh menikahi maksimal hanya empat orang istri berdasarkan
surah an-Nisa’ (4) : 3, kasus Ghailan bin Salamah dan kasus Naufal bin
Mu’awiyah.16
Pendapat yang mengharamkan poligami yaitu, menurut al-Hadad,
dengan turunnya an-Nisa’ (4) : 129 seharusnya poligami dicegah, karena
tujuan perkawinan menurut al-Hadad adalah untuk menciptkan keluarga
sakinah, mawaddah dan rahmah. Sementara dalam kenyataannya poligami
mengakibatkan keadaan yang sulit sekali melhairkan kehidupan yang
harmonis dan tentram antara suami , anak dan istri-istrinya. Demikian juga
menurut Habib bin Ruqaiba bahwa poligami adalah hal yang tidak mungkin
diizinkan pada abad ke-20 dan tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang
mempunyai pikiran yang benar. Sebuah keluarga dapat berhasil dengan baik
hanya dengan dasar saling menghormati dan menghargai antara pasangan.
15 Pendapat al-Hadad dan Habib bin Ruqaiba, ini dikutip dari Khoiruddin Nasution,
“Perdebatan Sekitar Status Poligami” h.61. 16 Pendapat al-Hadad dan Habib bin Ruqaiba, ini dikutip dari Khoiruddin Nasution,
“Perdebatan Sekitar Status Poligami” Khoiruddin Nasution, “Perdebatan Sekitar Status Poligami”
h.63.
19
Salah satu upayanya adalah dengan menikahi seorang istri secara
monogami.17
Demikianlah berbagai sudut pandang dari para Ulama’ mengenai
poligami yang pada dasarnya perbedaan itu bertujuan pada jumlah batasan
dalam poligami dengan berdasarkan pada surah an-Nisa’ (4) : 3 dan ayat
129.
2. Menurut Hukum di Indonesia
Dalam kamus Hukum, poligami adalah ikatan di mana salah satu
pihak mempunyai atau menikah dengan beberapa lawan jenis dalam kurun
waktu yang tidak berbeda.18 Berdasarkan hal tersebut, Poligami mempunyai
makna yaitu: Pertama, seorang laki-laki menikah dengan banyak
perempuan. Kedua, perempuan menikah dengan banyak seorang laki-laki.
Kemungkinan yang pertama disebut juga poligini. Dan kemungkinan yang
kedua disebut poliandri. Sejak berkembangnya zaman pengertian itu
mengalami perubahan sehingga poligini sendiri sudah tak lazim digunakan,
khusunya di Indonesia.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 3, Poligami dapat
diartikan ikatan tentang perkawinan di mana suami memiliki istri melebihi
dari seorang.19 Dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian bagi Pegawai Negri Sipil yang diamandemen menjadi PP
NO. 45 Tahun1990 dalam pasal 4 mengatur poligami dapat diartikan
pegawai negri sipil seorang pria yang melebihi istri seorang.20 Selanjutnya
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan poligami yaitu beristri lebih dari satu
17 Pendapat al-Hadad dan Habib bin Ruqaiba, ini dikutip dari Khoiruddin Nasution,
“Perdebatan Sekitar Status Poligami” Khoiruddin Nasution, “Perdebatan Sekitar Status Poligami”
h.76-77. 18 Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. VI, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) h.364. 19 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksana Lainya di Negri Hukum Indonesia, (Jakarata: Rajawali Pers, 2008), h.523. 20 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksana Lainya di Negri Hukum Indonesia, (Jakarata: Rajawali Pers, 2008), h.685.
20
orang pada waktu yang bersamaan, dan maksimal hanya empat orang istri.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) KHI.21
Landasan Hukum yang mengatur poligami di Indonesia adalah
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, PP NO 9 tahun 1975 dan Inpres Nomor
1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan yang menjadi dasar diperbolehkanya
poligami diatur pada Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi “Pengadilan dapat
memberi izin kepada sorang suami untuk beristri melebihi dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan’’.22
Pada dasarnya seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang suami yang ingin beristri melebihi dari seorang dapat
diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan
Pengadilan Agama telah memberi izin terlebih dahulu. Dasar pemberian izin
poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-
Undang Perkawinan seperti diungkapkan sebagai berikut:
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2. Istri tidak mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak
bisa disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di
atas, dapat dipahami bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok
pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang kekal dan
bahagia (sakinah, mawaddah dan rahmah) berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami istri
makan dapat dianggap rumah tangga mereka tidak akan mampu
menciptakan keluarga yang bahagia (mawaddah dan rahmah).23 Misalnya,
21 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akadamik Presindo,
1992) h.126. 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan 23 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.47.
21
istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri atau suami tidak
dapat menjalankan kewajibanya tentu akan mengganggu kehidupan rumah
tangga yang dijalani. Meskipun kebutuhan seksual hanyalah sebagai dari
tujuan perkawinan, namun akan mendatangkan pengaruh besar, manakala
tidak terpenuhi. Demikian juga, apabila istri mempunyai atau mendapatkan
cacat badan atau penyakit yang sulit atau tidak bisa disembuhkan.
Akan halnya alasan yang ketiga, tidak setiap pasangan suami istri,
yang istrinya tidak dapat melahirkan keturunan memilih alternatif dengan
cara berpoligami. Mereka terkadang menempuh cara mengangkat anak
asuh. Namun jika suami ingin berpoligami, adalah wajar dan masuk akal.
Karena keluarga tanpa ada anak, tidaklah lengkap.24
Dalam konteks al-Quran maupun hadis ketentuan tentang alasan di
bolehkanya poligami dalam peraturan di Indonesia tersebut tidak ditemukan
dasarnya dalam teks al-Quran dan hadis., seorang suami yang ingin
berpoligami tidak didasarkan atas alasan sebagaimana yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, misalnya poligami disebabkan istri
yang mengalami cacat badan, mandul, atau tidak menjalankan
kewajibannya sebagai seorang istri. Dalam syariat Islam poligami
dibenarkan atau dibolehkan dengan syarat suami berlaku adil terhadapt istri-
istrinya. Dengan demikian, suami yang akan melakukan poligami tidak
perlu menunggu istrinya mandul atau cacat badan yang sulit disembuhkan,
sebagaimana suami juga tidak harus menunggu istrinya tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.
Adapun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mempersulit
terjadinya poligami, memberikan pemahaman agar perempuan atau istri
diangkat derajatnya agar tidak diperlakukan semena-mena oleh laki-laki,
terutama suaminya sendiri. Oleh karena itu, suami yang bermaksud
berpoligami harus meminta izin kepada istri dan izin yang dimaksud harus
dinyatakan di depan majelis Hakim di Pengadilan. Kenapa harus ada izin
24 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
h.172.
22
dari istri ? karena istri adalah orang yang akan ikut menanggung dan
merasakan suka duka perkawinan poligami tersebut, sehingga di rasa wajar
jika persetujuan istri juga dipertimbangkan dalam hal poligami ini.
C. Jumlah Istri Dalam Poligami
Allah SWT membolehkan seorang suami berpoligami sampai 4
(empat) orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka, yaitu adil
dalam melayani istri, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah, jika tidak
bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (monogami).25
Dalam Q.S. An-Nisa Ayat 3 Allah SWT, berbicara kepada pengasuh
anak-anak perempuan yatim bahwa jika anak perempuan yatim berada di
bawah pengasuh salah seorang dari kalian, lalu apabila menikahinya dia
khawatir tidak akan memberinya mahar yang setara dengan yang lazim
diberikan kepada wanita-wanita lain, maka jangan menikahinya anak
perempuan yatim itu melainkan menikahlah dengan perempuan lain.
Sesungguhnya jumlah mereka sangat banyak dan Allah tidak mempersempit
peluang untuk menikah dengan mereka, melainkan dapat menikah dengan
satu hingga empat wanita. Tapi jika menikah lebih dari satu wanita dia
khawatir tidak dapat berlaku dengan adil, maka wajib menahan diri dengan
menikahi satu wanita saja.26
Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana
yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi yaitu, Islam memandang poligami lebih
banyak membawa resiko atau madharat dari pada manfaatnya, karena
manusia itu mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-
watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam
kehidupan keluarga yang poligamis. Menurut pandangan Rasyid Ridho
maksud dari ayat tersebut adalah untuk memberantas atau melarang tradisi
jahiliyyah yang tidak manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini
anak yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainya, dan ia
25 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Lencana Pradana Media Grup, 2008,
h.130. 26 Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqh Sunah Untuk Wanita, Penerjemah: Asep
Sobari, (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2007), h.726.
23
bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah, serta ia
menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa
menggunakan hartanya. Demikian pula tradisi zaman jahiliyyah yang
mengawini istri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak
manusiawi hal ini dilarang oleh Islam.27
Menurut Sayyid Qutub, sebagaimana yang dikutib oleh
Khutubuddin Aibak yaitu, poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah
yang dapat dilakukan hanya dalam keadaan darurat yang benar-benar
mendesak. Kebolehan ini masih disyaratkan harus bisa berbuat adil
terhadapat istri-istri di bidang nafkah, mu’amalah pergaulan dan pembagian
malam terhadap istri-istri. Bagi calon suami yang tidak sanggung berbuat
adil, maka diharuskan cukup menikahi satu orang istri saja, sedangkan bagi
suami yang sanggung berbuat adil, maka boleh berpoligami dengan batasan
maksimal hanya empat orang istri.28
Mengenai jumlah bilangan yang dibolehkan, terdapat perselisihan
ulama atas empat pendapat :
Pendapat pertama memandang bahwa kebolehan berpoligami
adalah terbatas pada empat wanita, demikian menurut jumhur ulama alasan
yang dipegang oleh golongan ini ialah Firman Allah SWT. Pendapat kedua
memandang bahwa kebolehan berpoligami adalah terbatas pada Sembilan
wanita, demikian menurut Nacha-‘y Ibnu Abi Laila, Qasim bin Ibrahim dan
mazhab Zhahiry. Pendapat ketiga memandang bahwa kebolehan
berpoligami adalah terbatas pada 18 wanita, demikian menurut Chawaridj
dan sebagian dari Sji’ah. Pendapat keempat memandang bahwa kebolehan
berpoligami tanpa ada batasan dan tergantung kepada kesanggupan.
Demikian menurut sebagian ulama Fiqh.29
27 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT. Gria
Karya, cet-1, 1988, cet- I ) , h.12. 28 Khutubuddin Aibak, Kajian Fiqh Konteporer, (Yogyakarta: Teras, 2009,) h.74. 29 Ibrahim Hosen, “Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah Talak Rujuk dan Hukum
Kewarisan”, (Jakarta : balai penerbit dan perpustakaan Islam yayasan Ihja Ulummidin Indonesia,
1971), h.116.
24
D. Syarat Dan Ketentuan Pelaksanaan Poligami
Dalam Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang
ingin melakukan poligami adalah:
a. Adanya persetujuan dari istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap anak dan istri-
istri mereka.
Untuk membedakan persyaratan yang ada di Pasal 4 dan 5 uu no 1
tahun 1974 adalah, pada Pasal 4 disebut dengan persyaratan arternatif yang
artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan
poligami.30 Artinya syarat istri tidak dapat menjalankan kewajiban, cacat
atau sakit yang tidak bisa disembuhkan dan istri mandul merupakan syarat
yang harus terpenuhi sala satu saja, tidak harus semuanya. Sedangkan dalam
Pasal 5 adalah kumulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi oleh
suami yang akan melakukan poligami.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat yang harus dipenuhi oleh
suami yang akan poligami tersebut diatur dalam pasal 55. Selanjutnya,
dalam Pasal 56 juga diuraikan tentang prosedur permohonan izin poligami
kepada Pengadilan Agam sebagai berikut:
1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat
izin dari Pengadilan Agama.
2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam BAB.VII
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga dan
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai
kekuatan Hukum.
30 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, BAB 1 Pasal 4 dan 5
25
Dalam Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pegadilan Agama
hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.31
Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 59 dinyatakan
istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri
lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam
Pasal 55 ayat (2) dan 57, maka Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini
istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.32
Beberapa alasan poligami yang ada di islam yaitu :
1. Apabila laki-laki atau suami kuat syahwatnya, menurutnya
seorang istri saja tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Maka
poligami diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan dengan
syarat dapat bersikap adil.
2. Apabila istri tidak dapat memenuhi keinginan suami untuk
mendapatkan keturunan.
3. Apabila istri mengidap penyakit yang menyebabkan sulit untuk
melayani suami dan mendapatkan keturunan.
4. Apabila jumlah perempuan di lingkungan masyarakatnya lebih
banyak daripada laki-laki, maka diperbolehkan bagi suami untuk
berpoligami dengan batas maksimal empat (4) orang. 33
Selain itu, menurut Islah Gusmian terdapat alasan yang bisa
digunakan oleh laki-laki bila ingin berpoligami, yaitu:
31 Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB IX Pasal 55. 32 Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB IX Pasal 59. 33 Noor Azizah, “Tinjauan…, h. 28-29. Sebagaimana dikutip dari Amir Syarifudin,
Hukum…, h.87.
26
1. Karena agama Islam memperbolehkan laki-laki berpoligami.
2. Sebagai sarana belajar bagi laki-laki atau suami untuk membina
rumah tangga dan keluarga yang baik.
3. Sebagai jihad untuk memiliki banyak anak. Jika dalam sebuah
pernikahan tidak dikaruniai anak, maka suami berhak untuk
menikah lagi atau berpoligami sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
4. Karena poligami dapat menghindari seseorang dalam berbuat
zina atau berselingkuh. Jika laki-laki tidak dapat mengedalikan
libidonya dengan baik, maka dianjurkan untuk menikah dalam
status poligami daripada zina atau berselingkuh.
5. Karena ingin berpoligami, hal ini dianggap bawaan dari genetik
dan juga sifat natural. 34
Sedangkan Mustafa al-Siba’i berpendapat bahwa ada dua syarat
pokok yang harus dipenuhi dalam berpoligami, yaitu: (1) Mampu
memperlakukan semua istri dengan adil. Ini merupakan syarat yang dengan
jelas disebutkan dalam Al-Qur’an ketika membolehkan poligami, (2)
Mampu memberikan nafkah pada istri kedua, ketiga, keempat dan juga
kepada anak-anak dari istri-istri tersebut.35
Kebolehan berpoligami ini sejalan dengan pandangan sebagai
berikut:
1. Islam mendapatkan masyarakat Arab umumnya melakukan poligami
dengan cara yang sewenang-wenang dan tidak terbatas, maka Islam
memperbaiki kedudukan wanita dengan jalan memberi hak kepada
mereka yang mesti dihormati oleh kaum pria, dan atas dasar ini pulalah
poligami dibolehkan.
2. Untuk mengatasi kekecewaan suami akibat istrinya mandul atau
menderita sakit lumpuh dan sebagainya. Menutup poligami dalam
34 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad SAW Berpoligami?, (Yogyakarta: Pustaka
Marwa), h. 44-46. 35 Haris Hidayatullah, “Adil Dalam Poligami Perspektif Ibnu Hazm”, Religi: Jurnal Studi
Islam, Vol. 6, No. 2, (Oktober 2015), h.219
27
keadaan seperti ini, akan mendorong sang suami memilih jalan yang
kejam yaitu menceraikan istrinya untuk dapat kawin dengan wanita
lain.
3. Banyaknya jumlah wanita dari pria dan adanya peperangan yang
mengakibatkan banyak korban, hal mana mengurangi jumlah pria dan
semakin banyak wanita yang tidak bersuami. Menutup poligami artinya
wanita yang tidak bersuami akan melakukan hubungan gelap dengan
laki-laki secara terkutuk dan membawa masyarakat kepada yang tidak
diinginkan.36
Sedangkan al-Maraghi, kondisi diperbolehkannya poligami
disebabkan beberapa hal:
1. Bila seorang suami beristrikan seorang wanita mandul sedangkan ia
sangat mengharapkan anak
2. Bila istri telah tua dan mencapai umur ya’isah (tidak haid) lagi, dan ia
mampu memberi nafkah kepada lebih dari seorang istri
3. Demi terpeliharanya kehormatan diri (agar tidak berzina) karena
kapabilitas seksualnya memang mendorongnya untuk berpoligami
4. Bila diketahui dari hasil sensus, kaum wanita lebih banyak dari kaum
pria dengan perbandingan yang mencolok. 37
E. Prosedur Beracara Persidangan Izin Poligami
Selain Peraturan Undang-Undang yang mengatur proses poligami
secara terperinci, penulis juga akan membahas terkait hukum acara atau
proses beracara dalam mengajukan permohonan izin tentang poligami,
karena penulis juga akan mengupas tentang proses beraca dalam putusan.
Berbeda halnya dengan permohonan lainya, permohonan izin poligami ini
termasuk kategori perkara yang bersengketa atau disebut juga dengan
36 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta: Balai Penerbitan & Perpustakaan Islam
Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, 1971), h. 83-84. 37 Khoirul Abror, “Poligami dan Relevansinya Dengan Keharmonisan Rumah Tangga
(Studi Kasus di Kelurahan Rajabasa Bandar Lampung), Al-‘Adalah Vol. XIII, No. 2, (Desember
2016), h. 230.
28
perkara gugatan contentious, karena terdapat dua pihak yang disebut juga
Pemohon (suami) dan termohon (istri), maka permohonan izin poligami ini
terdaftar dalam register induk perkara gugatan.38
Kewenangan relative pengadilan Agama mengenai permohonan izin
untuk beristri lebih dari seorang diajjukan kepada Pengadilan Agama di
tempat tinggalnya (Pasal 4 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), proses
beracaranya sebagai berikut:
1. Surat permohonan
Permohonan bisa disebut juga dengan Voluntair yaitu perkara yaitu
perkara yang tidak ada lawannya atau perkara yang tidak bersifat sengketa.
Akan tetapi permohonan izin poligami ini walaupun disebut juga sebagai
permohonan bukan merupakan perkara Voluntair akan tetapi termasuk
dalam perkara Contensius atau perkara yang mempunyai lawan dan juga
terdapat sengketa. Karena di dalam pemohonan izin poligami terdapat dua
pihak yaitu suami disebut juga sebagai pihak pemohon, sedangangkan istri
disebut sebagai pihak termohon, sengketa yang dimaksud dalam
permohonan izin poligami ini adalah pemohon meminta izin kepada
Pengadilan Agama agar diizinkan beristri lebih dari seorang akan tetapi
harus dengan disertai alasan dan syarat diperbolehkan beristri lebih dari
seorang, baik syarat alternative atau syarat utama yang terdapat dalam pasal
4 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 57 KHI dan syarat komulatif
yang disebut juga dengan syarat pelengkap seperti Pasal 5 UU No. 1 Tahun
1974 jo Pasal KHI. Dan dalam permohonan izin poligami Pengadilan
Agama mengeluarkan putusan bukan penetapan, dengan Amar mengadili
bukan menetapkan dan terhadap pihak yang kurang puas bisa mengajukan
upaya Hukum banding dan kasasi.39
Maka permohonan izin poligami ini mempunyai kode nomor perkara
seperti perkara gugatan (contensius) yang bersimbol (Pdt.G) bukan (Pdt.P),
38 Mukti Anto, Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011, h 39. 39 39 Mukti Anto, Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011, h.40.
29
seperti permohonan yang lainya.40 Surat permohonan izin beristri melebihi
dari seorang harus memuat:
a) Identitas: nama, umur, alamat yaitu suami sebagai Pemohon, istri sebagai
Termohon
b) Posita: alasan-alasan, untuk beristri lebih dari seorang disertai dengan
dalil Hukum, rincian harta kekayaan dan jumlah penghasilan, identitas
calon istri kedua
c) Petitum: permintaan dari pihak Pemohon
Pengajuan gugatan atau permohonan dimungkinkan secara tertulis
maupun secara lisan bagi yang buta huruf sebagaimana ketentuan Pasal
120 HIR. Jika gugatan atau permohonan diajukan secara lisan, maka
ketua Pengadilan menunjuk petugas untuk memformulasikan gugatan
atau permohonan lisan tersebut dalam bentuk surat gugatan atau
permohonan. Kewenangan relative dalam Pengadilan Agama yang
menangani permohonan izin poligami ini telah sesuai dengan Pasal 4
Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 yang
berbunyi “dalam hal suami akan beristri lebih dari seorang, ia wajib
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama di daerah tempat
tinggal nya”.
2. Pemanggilan pihak-pihak
Pengadilan Agama harus memanggil dan mendengar pihak suami
dan istri ke persidangan, panggilan dilakukan menurut tatacara
pemanggilan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata biasa yang diatur
dalam Pasal 390 HIR dan Pasal-Pasal terkait. Harus disampaikan di
tempat tinggal atau tempat domisili pilihan tergugat, disampaikan kepada
yang bersangkutan disampaikan kepada kepala desa , apabila yang
bersangkutan dan keluarga tidak ditemui jurusita ditempat tinggal atau
kediaman.
3. Pemeriksaan
40 Mukti Anto, Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011, h.41.
30
Pemohon izin poligami dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-
lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta
lampiran-lampiran. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untulk
umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut
pertimbangan Hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan,
pemeriksaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup.
4. Upaya Perdamaian
Pada setiap permulaan sidang sebelum pemeriksaan perkara Hakim
diwajibkan mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang
berperkara (Pasal 130 Ayat (1) HIR), jika tercapai perdamaian maka
dibuatlah akta untuk memenuhi isi perdamaian yang isinya menghukum
kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat dan
perkara yang diajukan boleh dicabut dan perkara dilanjutkan pembacaan
surat gugatan atau permohonan. Adanya perdamaian yang demikian itu
dapat untuk dicapai, pada waktu sidang diperbuat sebuah akta tentang
perdamaian, surat mana akan berkuatan dan akan dijalankan sebagai
putusan yang biasa.
5. Pembacaan Gugatan atau Permohonan
Dalam pembacaan gugatan atau permohonan Majelis Hakim
menanyakan terlebih dahulu kepada Penggugat atau Pemohon apakah
ada perubahan atau masih tetap, setelah pembacaan permohonan selesai
dan para pihak masih dengan pendirian, ingin melanjutkan proses
persidangan maka dilanjutkan dengan jawaban.
6. Jawaban
Setelah pembacaan gugatan atau permohonan dan isinya masih tetap
dipertahankan oleh Penggugatan/Pemohon kemudian
Tergugat/termohon diberi kesempatan untuk mengajukan jawaban, baik
secara tertulis maupun lisan (Pasal 121 Ayat (2) HIR/ Pasal 145 (2) R.Bg
jo. Pasal 132 Ayat 91) HIR/Pasal 158 (1) R.Bg. Dalam pengajuan
jawaban Tergugat harus datang sendiri atau diwakili oleh kuasa
Hukumnya, apabila Tergugat atau kuasa Hukumnya tidak hadir dalam
31
persidangan walapun mengirim surat jawaban tetap dinilai tidak hadir
dalam persidangan.
7. Pembuktian
Dalam memeriksa suatu perkara, Hakim bertugas untuk
mengonstatir, mengkualisifir dan kemudian mengkonstituir. Maksud dari
mengkonstatir yaitu Hakim harus menilai apakahperistiwa atau fakta-
fakta yang dikemukakan oleh para pihak itu benar-benar terjadi, hal ini
hanya dapat dilakukan melalui pembuktian. Membuktikan artinya
mempertimbangkan secara logis kebenaran atau fakta/peristiwa
berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut Hukum pembktian
yang berlaku.41 Tujuan pembuktian yaitu untuk memperoleh kepastian
bahwa suatu peristiwa yang diajukan itu benar terjadi, guna mendapatkan
putusan Hakim yang benar dan adil.
Dalam pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang ditentukan
oleh Undang-Undang sesuai dengan pasal 164 HIR Pasal 186 KUH
Pedata meliputi:
a. Akta (tulisan) atau bisa disebut dengan surat-surat
Alat bukti tertulis atau surat adalah alat bukti otentik dan akta
di bawah tangan. Akta otentik maksudnya akta yang dibuat oleh
atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk dan dalam
bentuk menurut ketentuan yang ditetapkan, maupun tanpa bantuan
dari yang berkepentingan di tempat di mana pejabat berwenang
menjalankan tugasnya. Pejabat yang dimaksud antara lain notaris,
Hakim, panitera, jurusita, pegawai pencatat sipil, pegawai pencatat
nikah dan lainya.
b. Keterangan saksi
Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka
sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu
peristiwa atau keadaan yang dia lihat, dengar dan dia alami sendiri,
41 Mukti Anto, Praktek Perkara Pedata pada Pengadilan Agama, h.140.
32
sebagai bukti suatu peristiwa atau keadaan. Seorang saksi dilarang
untuk menarik-menarik kesimpulan karena hal itu adalah tugas
Hakim. Saksi yang akan diperiksa sebelum harus bersumpah
menurut cara agamanya atau berjanji, bahwa dia akan menerangkan
yang sebenarnya. Setelah disumpah saksi wajib memberi
keterangan yang benar, apabila dia dengan sengaja memberi
keterangan palsu saksi dapat dituntut dan di hukum untuk sumpah
palsu menurut Pasal 242 W.v.S (KUH Pidana).
Yang tidak dapat didengar sebagai saksi dalam Pasal 145
ayat 1 HIR yaitu:
1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan
yang lurus dari salah satu pihak
2. Suami atau istri salah satu pihak, meski sudah bercerai
3. Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa
mereka sudah berumur 15 tahun
4. Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan
terang
5. Orang yang ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan
menerima upah42
c. Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa
yang telah dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa
yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang berdasarkan
Undang-Undang atau kesimpulan yang ditarik oleh Hakim.
d. Pengakuan
Pengakuan adalah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri,
bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.
Pengakuan dapat dibuktikan di muka Hakim di persidangan atau di
42 Retnowulan Sulantio dan Iskandar Oeripkatawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek, Bandung: Mandar maju, 1995, h.71.
33
luar persidangan, selain itu pengakuan dapat pula diberikan secara
tertulis maupun lisan di depan sidang.
e. Sumpah43
Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan
atau diucapkan pada waktu diberikan janji atau keterangan dengan
mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang
memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh
nya. Pembuktian dalam perkara permohonan izin poligami
Pengadilan Agama akan memeriksa mengenai:
a) Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami
kawin lagi, harus memenuhi syarat alternative sebagai berikut:
- Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai
seorang istri
- Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa
disembuhkan
- Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan
b) Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan
maupun tertulis, yang harus dinyatakan di depan sidang.
c) Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan
mempertimbangkan:
1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda
tangani oleh bendahara tempat bekerja
2. Surat keterangan pajak penghasilan
3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan
d) Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan
atau janji dari suami dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk
itu.
43 Yahya Harahab, Hukum Acara Perdata, Jakarta: (Sinar Grafika, 2008,) h.40.
34
e) Sekalipun sudah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan
ini harus dipertegaskan dengan persetujuan lisan di depan
sidang, kecuali dalam hal ini istri telah dipanggil dengan patut
dan resmi tetapi tidak hadir dalam sidang dan tidak pula
menyuruh orang lain untuk mewakilinya.
f) Persetujuan dari istri tidak diperlukan lagi dalam hal:
- Istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian
- Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2
tahun
- Karena sebab-sebab lainya yang perlu mendapat penilaian
dari Hakim Pengadilan Agama44
8. Putusan atau Penetapan
Putusan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum,
sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan dan perkara permohonan
yang disebut dengan penetapan. Dalam permohonan izin poligami ini,
bentuk pernyataan hakim yang dipakai adalah dalam bentuk putusan,
bukan penetapan, karena permohonan izin poligami ini termasuk perkara
contensius, sehingga putusannya bersimbol Pdt.G dan amar putusannya
pun “mengadili” bukan “menetapkan” serta putusan permohonan izin
poligami ini dapat diajukan banding dan kasasi.
44 Mukti Anto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), h.243.
35
BAB III
DESKRIPSI PUTUSAN PA JAKARTA BARAT NOMOR PUTUSAN
1143/Pdt.G/2012/PAJB YANG MENOLAK IZIN POLIGAMI
A. Posisi Kasus
Perkara kasus putusan 1143/Pdt.G/2012/PAJB dijelaskan bahwa
Pemohon mengajukan permohonan izin untuk berpoligami berdasarkan
oleh beberapa alasan. Alasannya yaitu karena Pemohon ingin mendapatkan
keturunan setelah 20 tahun menikah.1 Termohon dalam hal ini tidak dapat
memenuhi keinginan Pemohon untuk mendapat keturunan karena termohon
sudah berupaya namun tidak berhasil. Termohon pernah hamil, namun
keguguran yang menyebabkan termohon sulit mendapatkan keturunan lagi.
Termohon juga sudah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan
keturunan yaitu mencoba program bayi tabung yang dilakukan di dalam
maupun di luar negeri, namun tidak juga membuahkan hasil. Pemohon dan
termohon akhirnya mengadopsi anak yang mereka rawat hingga anak
tersebut sudah berumur 12 tahun terhitung ketika permohonan ini diajukan.2
Pemohon mengaku walaupun mengajukan permohonan untuk berpoligami,
semasa menjalani pernikahan dengan termohon hingga saat ini hubungan
Pemohon dengan Termohon tejalin harmonis dan penuh kebahagiaan atau
sakinah, mawaddah, warahmah.3
Pemohon dalam kasus ini merasa mampu untuk berpoligami
didasarkan oleh beberapa alasan. Pertama, Pemohon mampu untuk
memenuhi kebutuhan istri-istrinya kelak dalam hal urusan rumah tangga
karena Pemohon memiliki pekerjaan yang stabil. Pekerjaan Pemohon
adalah sebagai direktur utama yang memiliki penghasilan Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) perbulan, yang mana juga masih ditambah komisi
dan bonus lainnya. Kedua, Pemohon menyatakan sanggup untuk berlaku
1 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.2. 2 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.5. 3 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.5.
36
adil kepada istri-istrinya kelak jika dikabulkan permohonan tersebut.
Ketiga, Pemohon dan termohon memiliki harta bersama yaitu berupa saham
sebesar 95% di PT XXXXX sesuai akta notaris Nomor 2 tertanggal 12
Desember 2009 tentang pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang
Saham Luar Biasa PT XXXXX atas nama Pemohon sebesar 60% dan atas
nama Termohon sebesar 35%.1 Harta bersama milik Pemohon dan
termohon ini adalah harta yang mereka peroleh selama pernikahan mereka
yang tidak akan diganggu gugat oleh calon istri kedua Pemohon. Harta
bersama ini akan tetap milik Pemohon dan termohon walaupun nanti
Pemohon sudah menikah lagi dengan calon istri kedua. Keempat, orangtua
dari calon istri kedua Pemohon juga menyatakan kesanggupannya untuk
menjadi wali apabila Pemohon menikah dengan calon istri kedua Pemohon.
Kelima, bahwa Pemohon dengan calon istri kedua tidak ada larangan
melakukan perkawinan baik menurut Syariat Islam maupun Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku yaitu tidak adanya hubungan nasab atau
sepersusuan dengan Pemohon. Juga dalam kasus ini, calon istri kedua
Pemohon tidak terikat dengan pernikahan lain atau bertunangan dengan
laki-laki lain. Keenam, termohon juga sudah sempat menawarkan untuk
Pemohon menikah lagi jika memang Pemohon ingin segera mendapatkan
keturunan.
Menurut Pemohon, permohonan Pemohon ini telah cukup beralasan.
Maka Pemohon mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Barat cq Majelis Hakim, untuk sekiranya putusan ini dapat diperiksa
dan diadili untuk mendapatkan putusan. Namun, ada beberapa hal yang
ditemukan oleh Pengadilan Agama pada saat memeriksa permohonan
Pemohon.
Pertama, Termohon memang menawarkan Pemohon untuk menikah
lagi atau berpoligami namun dengan syarat yaitu calon istri kedua Pemohon
dicarikan oleh Termohon. Namun, dalam hal ini Pemohon menolak tawaran
1 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.4.
37
Termohon.2 Pemohon ingin menikahi calon istri kedua Pemohon bukan
hanya karena ingin mendapatkan keturunan, namun juga karena Pemohon
sudah mengenal dan menjalin hubungan secara khusus dengan calon istri
kedua Pemohon sejak tahun 2010. Termohon tidak mempercayai calon istri
kedua pilihan Pemohon dengan alasan bahwa calon istri kedua Pemohon
tidak akan membawa kebahagian dalam pernikahan mereka sebagaimana
yang diinginkan Termohon. Termohon merasa kehadiran calon istri kedua
Pemohon hanya akan menjadikan hubungan dan kehidupan rumah tangga
antara Pemohon dengan Termohon menjadi tidak harmonis. Pemohon juga
sempat mengajukan permohonan cerai talak kepada Termohon, namun
permohonan tersebut dicabut karena Pemohon dan Termohon merasa masih
memiliki rasa saling cinta kasih satu sama lain.3 Termohon merasa tidak
ridho dan tidak setuju apabila Pemohon menikah lagi dengan calon istri
kedua Pemohon karena hanya akan membawa pernikahan tersebut pada
kemadlorotan (kerusakan). Termohon sebenarnya mengizinkan Pemohon
untuk berpoligami dengan perempuan lain apabila dasarnya adalah demi
kemaslahatan keluarga, bukan mengorbankan keluarga yang sudah ada.4
Jadi, dalam kasus perkara ini Pemohon mengajukan permohonan poligami
ke.
Pengadilan Agama Jakarta Barat dengan alasan utama yaitu ingin
mendapatkan keturunan. Pemohon merasa sudah memenuhi Syariat Islam
dan juga Peraturan Perundang-undangan untuk berpoligami baik secara
Islam ataupun secara hukum. Namun, permohonan Pemohon dibantah dan
tidak disetujui oleh Termohon dikarenakan beberapa hal yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Pemohon ketika di persidangan tidak membantah
apapun yang dikatakan dan dibantah oleh Termohon dengan tidak
membawa bukti-bukti apapun yang dapat membantu Pemohon di
persidangan. Sebaliknya, Termohon membawa bukti berupa surat-surat
2 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.5. 3 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.6. 4 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.7.
38
untuk meneguhkan dalil-dalil yang dapat membantah pernyataan Pemohon
di persidangan.5
Menurut hukum, permohonan berpoligami yang diajukan oleh Pemohon
tidak beralasan dan terkesan hanya dicari-cari agar permohonan tersebut
dikabulkan. Keinginan Pemohon untuk menikah lagi dengan calon istri
kedua sebenarnya bukan hanya untuk mendapatkan keturunan, tetapi lebih
kepada keinginan pribadi untuk mencari kesenangan pribadi dan
mengorbankan kebahagiaan rumah tangga yang sudah terbangun selama 20
tahun.6 Hal ini juga menyebabkan Termohon semakin tidak menyetujui
keinginan Pemohon untuk berpoligami dengan perempuan tersebut.
Dalam pemeriksaan bukti-bukti terkait permohonan ini, Pemohon tidak
memenuhi alasan berpoligami sebagaimana yang telah disebutkan pada
Pasal 4 ayat 2 yaitu “ istri tidak dapat melahirkan keturunan” yang mana
dimaksudkan yaitu apabila “istri mandul” atau “istri rahimnya telah
diangkat”. Faktanya adalah Termohon sudah pernah hamil namun
keguguran. Kemudian Pemohon dan termohon juga sudah mengangkat anak
sejak bayi yang mana disebut Anak Angkat yang sudah dianggap seperti
anak kandung sendiri oleh kedua belah pihak, terbukti dengan
dicantumkannya nama anak tersebut di dalam Kartu Keluarga maupun
Ijasahnya.7 Dengan demikian, secara hukum Pemohon tidak memenuhi
syarat berpoligami. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka
Pengadilan Agama Jakarta Barat menjatuhi putusan yaitu menolak
permohonan Pemohon untuk berpoligami yang diputuskan pada Desember
tahun 2012.8
B. Putusan Hakim dan Pertimbangan nya
Dalam persidangan terbuka mengenai perkara ini, Hakim
memutuskan untuk menolak permohonan Pemohon seluruhnya dan
membebankan biaya perkara pada pemohon yaitu sejumlah Rp. 616.000,-
5 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.8. 6 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.10. 7 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.11. 8 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.13.
39
(enam ratus enam belas ribu rupiah) pada hari Rabu tanggal 26 Desember
2012. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu sebagai berikut;
1. Maksud dan tujuan Pemohon tidak sesuai dengan pernyataan Pemohon
di awal yaitu bukan hanya ingin mendapatkan keturunan melainkan juga
memenuhi kesenangan pribadi.
2. Pengadilan telah berupaya untuk mendamaikan antara Pemohon dengan
Termohon melalui proses mediasi namun hasilnya gagal.9
3. Bukti bahwa Pemohon dan Termohon terikat sebagai suami istri sah dan
masih hidup rukun dalam rumah tangganya.
4. Alasan Pemohon mengajukan permohonan adalah karena istri tidak dapat
melahirkan keturunan yang dimana mereka telah menikah selama 20
tahun, namun pada kenyataannya keduanya merasa sehat jasmani dan
rohani dan telah berupaya secara medis maupun non medis untuk
mendapatkan keturunan namun tidak juga berhasil.10
5. Termohon membenarkan bahwa selama 20 tahun berumah tangga belum
dikaruniai anak, namun sudah mengangkat anak sejak bayi hingga
sekarang berusia 12 tahun (terhitung perkara ini diajukan) sehingga
menjadikan kehidupan rumah tangga Pemohon dan Termohon tetap
bahagia dan harmonis. Maka keinginan Pemohon untuk menikah lagi
dengan calon istri kedua dianggap secara hukum bukan untuk
mendapatkan keturunan saja melainkan juga untuk mendapatkan
kesenangan pribadi.
6. Pemohon tidak dapat menunjukan bukti tentang adanya persetujuan istri,
baik persetujuan tertulis maupun lisan yang diakui oleh Termohon, dan
juga pernyataan mampu untuk berbuat adil kepada istri-istri juga anak-
anak. Maka menurut hukum, Pemohon tidak memenuhi syarat untuk
berpoligami seperti yang dimaksud pada Pasal 5 huruf (a), dan (c)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.11
9 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.9. 10 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.10. 11 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.12.
40
7. Pemohon tidak dapat menghadirkan calon istri kedua nya di persidangan
untuk dimintai keterangan mengenai hubungan kekeluargaan dan atau
tidak ada larangan untuk menikah dengan Pemohon sebagaimana
dimaksud pada Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi
Hukum Islam Pasal 39 s/d 42.
8. Pertimbangan-pertimbangan diatas dianggap tidak memenuhi syarat
untuk berpoligami dan sepatutnya ditolak seluruhnya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka Pengadilan
Agama Jakarta Barat menolak seluruh permohonan Pemohon untuk
berpoligami dan membebankan biaya perkara pada Pemohon.
41
BAB IV
ANALISIS ATAS PUTUSAN PENOLAKAN IZIN POLIGAMI DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT
A. Penolakan Izin Poligami Ditinjau dari Hukum Islam
Perkara poligami yang diajukan di Pengadilan Agama Jakarta Barat
dengan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB ditolak oleh Hakim. Dalam
kasus tersebut suami menyatakan bahwa dia mengajukan poligami karena
dari pernikahan selama 20 tahun istri tidak bisa melahirkan keturunan yaitu
istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, atau istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau istri tidak
dapat melahirka keturunan. Sekilas tampak bahwa sudah terpenuhi salah
satu syarat alternaitif untuk mengajukan poligami sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 4 ayat (2).
Meski syarat alternatif yang harus dipenuhi oleh seorang suami
yang akan melakukan poligami sudah terpenuhi oleh suami, hanya saja
ternyata Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Barat menolak izin poligami
tersebut dengan pertimbangan lain, bahwa :
1. Walaupun mereka sudah menikah selama 20 tahun, namun kenyataan
kedua nya masih merasa sehat jasmani dan kemungkinan bisa
mempunyai harapan untuk mendapatkan keturunan.
2. Persoalan keturunan menurut hakim tidak menjadi faktor utama
keluarga mereka menjadi tidak harmonis dan tidak dapat menjadi alasan
kuat si suami untuk menikah karena mereka sudah mengadopsi anak
dari kecil sampai umur 12 tahun dengan perlakuan seperti anak
kandung sendiri.
Apabila putusan hakim yang menolak permohonan izin poligami
dalam putusan nomor 1143/Pdt.G/2012/PA.JB ditinjau dari sudut Hukum
Islam, maka kita bisa merujuk pada pandangan ulama atau mazhab-mazhab
yang ada. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah memandang poligami
42
secara tekstual, mereka berpendapat bahwa poligami diperbolehkan
secara mutlak dan tidak memberikan persyaratan bahwa istri harus mandul,
cacat, dan sebagainya. Bagi Imam Syafi’i poligami yang dilakukan tidak
melebihi empat orang istri dan yang terpenting suami harus sanggung
berlaku adil terhadap istri-istrinya itu, artinya yang menjadi perhatian
Syafi’i dalam masalah poligami adalah teknis dalam perlakuan terhadap
istri-istri yang di poligami.1
Mengenai perkawinan poligami ini semua Imam Mazhab (Imam
Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki) sepakat bahwa seorang laki-laki boleh
beristri empat dalam waktu bersamaan dan tidak boleh lima.2 Sebagaimana
hadis Nabi Muhammad Saw. Dalam kitab Abu Dawud dari Harits bin Qais,
ia berkata:
ة ف ذ ك رت ذ لك للنبى صلى هللا عليه وسلم ف ق ال أ ا ن نسو عندى ثم سل مت و
أ رب عا منهنإخت ر
“Saya masuk Islam bersama-sama istri dengan delapan istri saya,
lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi Saw. Maka beliau bersabda: Pilihlah empat orang diantara mereka”
Adapun hadis yang mengisyaratkan diperbolehkannya poligami
diantaranya, dari Malik meriwayatkan dalam al-Muwattha’, Nasa’iy dan
Daruquthni dalam masing-masing kitab Sunnahnya, mengungkapkan:
ت حته أ ن النبي صلى هللا ع ق د أ سل م و ي ة الت ق ف ي و ن بن ام ليه وسلم ق ال لغ يل
ف ارق س ائر هن ة : إخت ر منهن أ رب عا و ع شر نسو
“Bahwa Nabi berkata kepada Ghailan bin Umayyah Attsaqafi yang masuk Islam, padahal ia mempunyai sepuluh orang istri. Rasulullah
bersabda kepadanya: pilihlah empat orang diantara mereka, dan ceraikan yang lainnya.” 3
1 Muhammad Mualimar Rifqi dkk, “Keadilan Dalam Poligami Perpektif Madzhab Syafi’i”
dalam jurna Himatnya Vol 1 No.2 (Malang : 2019), h.88 2 Syahrur, Muhammad, Al-Kitab wal Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, Damaskus : Ahali
cet ke II. 1990. h.428 3 Khoirul Abror, “Poligami dan Relevansinya dengan Keharmonisan Rumah Tangga (Studi
Kasus di Kelurahan Rajabasa Bandar Lampung), Al-‘Adalah” Vol. XIII, No. 2, (Desember 2016),
h. 231
43
Kebolehan poligami tidaklah secara mutlak. Menurut para ulama,
poligami hanya dibolehkan jika syarat-syarat yang ditetapkan telah
dipenuhi. Pada rangkaian kalimat فإنخفتم أالتعدلوا dalam Q.S Al-Nisa ayat 3
terdapat huruf syarat, yakni in syarthiyah. Dengan memahami posisi إن ini
sebagai syarat, dipahami bahwa berpoligami itu pada dasarnya tidak
dikehendaki. Ia manjadi dibolehkan jika terpenuhinya syarat yang
ditentukan, dalam hal ini adalah kemampuan suami berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya.4
Adil sebagai syarat boleh melakukan poligami tersebut adalah adil
dalam urusan-urusan yang bisa diukur, bukan dalam hal cinta dan kasih
sayang. Adil dalam hal cinta dan kasih sayang adalah hal yang mustahil
karena sebagian ulama berpendapat kata karena sebagian ulama )تقسطوا(
berpendapat kata (تقسطوا) tuqsitû dan(تعدلوا) ta’dilû dalam Q.S. al-Nisâ (04):
3 keduanya diterjemahkan adil. Ada ulama yang menyamakan maknanya,
dan ada juga yang membedakannya. Dengan mengatakan bahwa tuqsitû
adalah adil antara dua orang atau lebih sedangkan keadilan yang menjadikan
keduanya senang. Sedangkan ta’dilu adalah perbuatan baik baik untuk diri
sendiri maupun orang lain, namun keadilan tersebut bisa saja tidak
menyenangkan di lain pihak.5 Dan yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah
bahwa seorang suami tidak bisa berbuat adil dalam memberikan rasa cinta,
kebutuhan biologis, mempergauli dan membagi waktu antara dua, tiga, atau
empat istri. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan kamu sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian”. (Q.S. al-Nisâ (04): 129).6
Apabila salinan putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat nomor
1143/Pdt.G/2012/PA.JB yang menolak permohonan izin poligami tersebut
4 Mesraini, Fiqh Munakahat, (Ciputat: Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren, 2008),
h. 119-120. 5 M Quraish Shihab, Tafsîr Al- Misbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Ciputat:
Lentera Hati, 2012), jilid 3, h. 407 6 Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân (Kairo:
Dâr al-Hadîts, 2010), jilid 3, h. 22.
44
dikaitkan dengan pendapat ulama di atas, tampak bahwa penolakan hakim
tersebut tidak di dasarkan atas pendapat ulama mazhab manapun.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Menurut para ulama mazhab,
seorang suami boleh saja melakukan poligami dengan syarat dia berlaku
adil, tidak ada ketentuan bahwa istri harus mandul, atau cacat fisik ataupun
tidak bisa menjalankan kewajibannya. Dalam salinan putusan tersebut
terlihat bahwa suamisebagai pemohon dengan tegas sudah memberikan
pernyataan sanggung berlaku adil terhadap istri-istri nya dan sanggung
menafkahinya.7 Meski suami menyanggupi keadilan dan juga
menyanggupi menafkahi anak dan istri-istri nya, karena berpenghasilan Rp.
50.000.000 lebih dalam sebulan,namun hakim Pengadilan Agama Jakarta
Barat tersebut tidak menjadikan kesanggupan suami tersebut sebagai bahan
pertimbangan.
Selanjutnya, jika disorotin dari segi kondisi fisik, kita bisa menyoroti
pendapat al-Qurthuby, misalnya, yang menyatakan bahwa poligami
dibolehkan dalam istri apabila suami kuat syahwat nya dan seorang istri saja
tidak mampu memnuhi kebutuhanya, maka poligami diperbolehkan untuk
memenuhi kebutuhanya, maka poligami diperbolehkan untuk memenuhi
kebutuhanya tersebut dengan syarat dapat bersikap berlaku adil.8 Dalam
putusan nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB tampak bahwa istri tidak ada
masalah dalam kemampuan melayani kebutuhan syahwat suaminya, meski
istri belum bisa melahirkan tapi istri tetap harmonis meskipun tanpa ada
anak kandung. Keberadaan anak ternyata tidak mempengaruhi pelayanan
biologis suami istri dalam rumah tangga mereka. Hal ini terbukti dari
pernyataan mereka yang mengakui bahwa mereka masih saling mencintai
dan masih sakinah mawaddah wa rahmah.9
Menurut penulis putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB tersebut tidak mencantumkan pendapat
7 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB 8 Abi Abdillah, Muhammad bin Ahmad al-Qurthuby, al-jami’ li Ahkam al-Qur’an ( Kairo:
Dar al-Hadist, 2010), jilid 3, h. 22. 9 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB
45
ulama mazhab fiqh manapun dengan pertimbangan putusannya, termasuk
juga untuk memperkuat penolakan permohonan izin poligami tersebut,
padahal pendapat al-Qurthuby di atas bisa dijadikan dasar oleh hakim untuk
menolak permohonan suami yang ingin melakukan poligami.
Bahkan tidak hanya itu, menurut penulis sebenarnya hakim juga
dapat mendasarkan pertimbangan penolakan permohonan poligami tersebut
pada kaidah fiqh, diantaranya adalah kaidah tentang mafsadah. Padahal istri
dalam jawaban nya sudah tegas dan menolak permohonan izin poligami
suami tersebut dengan alasan bahwa calon istri kedua yang diajukan oleh
suami itu bukanlah orang yang dikehendaki oleh istri pertama sehingga
kehadiran istri kedua tersebut memungkinkan munculnya mafsadah dalam
rumah tangga mereka.10 Karena istri berargumen sebenarnya suami boleh
berpoligami asal dengan istri kedua yang dia restui.11
Oleh karena itu, menurut penulis idealnya hakim dalam putusan
tersebut mencantumkan kaidah berikut :
الح لب الم ص ف اسد مق دم ع ل ى ج د رء الم
“Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil
kemaslahatan”.12
Jika dilihat dari kaidah ini bahwasanya menolak mafsadah
(kerusakan) lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Jika
dikaitkan dengan kasus dalam perkara ini penulis berpendapat bahwa sudah
tepat kiranya jika majelis hakim mencantumkan kaidah tersebut dalam
putusan nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB mengabulkan permohonan poligami
yang diajukan suami, emamng ada maslahah nya, yaitu kemungkinan suami
akan memperoleh keturunan dari istri keduanya. Hanya saja izin poligami
tersebut juga akan muncul mafsadahnya, yaitu rusaknya rumah tangga
dengan istri pertama yang selama ini sudah setia mendapingi kehidupan
suaminya karena calon istri kedua yang diajukan suami bukanlah orang
10 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB 11 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB 12 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar Al-fikr, t.th) h.367
46
yang tepay dalam keluarga mereka. Dalam kaidah tersebut diatur bahwa
apabila ada maslahah di satu sisi dan mafsadah di sisi lain, maka mafsadah
yang diutamakan. Namun disayangkan kaidah tersebut tidak disinggung-
singgung oleh majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya.
Majelis hakim lebih menekankan bahwasanya kondisi suami-istri
masih sehat secara fisik/jasmani meskipun mereka telah menikah 20 tahun
lamanya. Kemudian Majelis Hakim berpendapat bahwa persoalan
keturunan tidak menjadi faktor utama yang menyebabkan keluarga mereka
tidak harmonis. Karena mereka sudah mengadopsi anak dari anak usia 12
tahun dan fakta bahwa Termohon atau istri sebelumnya pernah
mengandung, hanya saja sang istri keguguran. Ini berarti bahwa belum
adanya keturunan bukan karena Termohon tidak dapat memberikan
keturunan sama sekali.
Pada akhir subbab ini penulis perlu menegaskan bahwa sebenarnya
peraturan tentang syarat-syarat poligami yang ada di Indonesia tidak seperti
syarat poligami versi para ulama mazhab karena menurut para ulama
mazhab syarat untuk berpoligami hanyalah berlaku adil, akan tetapi ketika
Hakim berijtihad menolak permohonan poligami untuk menemukan hukum
baru dipersilakan saja tetapi juga harus berdasarkan dalil-dalil yang
argumentative dam sebaiknya dalil-dalil ushul fiqh atau kaidah fiqh yang
ada dicantumkan juga dalam pertimbangan putusan Pengadilan Agama.
B. Penolakan Izin Poligami Ditinjau dari Peraturan di Indonesia
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
Izin poligami ditinjuau dari segi peraturan perundang-undangan di
Indonesia diatur dalam pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan di mana pasal 4 menjelaskan bahwa seorang suami harus izin
kepada pengadilan jika ingin beristri lebih dari seorang, yang bunyinya:
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
47
mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Adapun dalam pasal 5, dijelaskan syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang suami jika hendak beristri lebih dari satu, yaitu:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Berdasarkan pasal 4 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan bahwa seorang suami apabila hendak berpoligami
harus mengajukan permohonan kepada pengadilan Agama di daerah tempat
tinggal suami. Di dalam putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB diketahui
bahwa suami sebagai pemohon bertempat tinggal di Kota Jakarta Barat.
Dalam hal ini sudah sesuai antara kasus tersebut dengan peraturan yang
berlaku.
48
Berdasarkan pasal 4 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bahwa pengadilan memberikan syarat sebagaimana tersebut di
atas. Di dalam putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB diketahui bahwa istri
atau termohon dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri juga tidak
mempunyai cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Akan
tetapi selama pernikahan yang sudah berjalan 20 tahun, istri tersebut tidak
melahirkan seorang anak pun. Dalam perjalanan pernikahan tersebut sang
istri pernah hamil, akan tetapi tidak sampai melahirkan (keguguran). Suami
istri tersebut sudah melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan
keturunan seperti mengikuti program kehamilan termasuk bayi tabung pada
tahun 2000 dan iseminasi pada tahun 2001, namun Allah SWT belum
berkehendak memberikan keturunan. Selain usaha-usaha tersebut, mereka
telah mengangkat anak sejak dari bayi hingga putusan ini diputuskan anak
angkat tersebut telah berusia 12 tahun sehingga anak angkat tersebut sudah
dianggap seperti anak kandung sendiri.13 Dengan demikian alsan, suami
bahwa sebenarnya istri tidak dapat melahirkan keturunan (mandul) tidak
diterima hakim yang memutuskan perkara 1143/Pdt.G/2012/PAJB ini,
menurut penulis pertimbangan hakim ini sudah tepat, karena sebenarnya
persoalan anak keturunan telah mereka temukan solusinya dengan
mengangkat anak dan rumah tangga mereka bahagia dengan anak angkat
tersebut, sama seperti punya anak kandung sendiri. Penulis juga sependapat
dengan istri yang menyatakan bahwa sesungguhnya factor suami ingin
berpoligami itu bukan karena tidak ada anak, melainkan karena memang
tergoda wanita lain, kalau alasan nya karena anak, si istri sudah siap
dipoligami asal dengan wanita lain yang disetujui oleh istri, tapi suami justru
mencari wanita lain yang tidak akur dengan istri pertama.
Berdasarkan pasal 5 ayat (1) poin a UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bahwa seorang suami jika hendak berpoligami harus
mendapatkan persetujuan dari istri. Di dalam putusan ini pada awalnya istri
13 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB
49
menyetujui suami untuk berpoligami dengan syarat bahwa istri keduanya
adalah pilihan istri akan tetapi suami memohonkan calon istri kedua bukan
pilihan istri. Selain alasan tersebut istri tidak ridho dan tidak setuju jika
suami menikah lagi dengan calon istri keduanya karena penikahan tersebut
lebih banyak mudharatnya (kerusakanya) dibanding manfaatnya. Dengan
demikian, pertimbangan hakim dalam putusan nomor
1143/Pdt.G/2012/PAJB itu sudah tepat, karena memang pasal 5 ayat (1) UU
No 1 Tahun 1974 yang mengharuskan adanya persetujuan istri tidak
terpenuhi.
Berdasarkan pasal 5 ayat (1) poin b UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bahwa syarat yang kedua adalah suami dapat memenuhi
kebutuhan istri atau istri-istri dan anak-anak jika berpoligami. Di dalam
putusan nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB menurut penulis suami dapat
memenuhi kebutuhan istri atau istri-istri dan anak-anak karena penghasilan
suami setiap bulannya sekitar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah),
ditambah komisi dan bonus lainya. Hal ini menjadi alasan penulis
menganggap bahwa suami dapat memenuhi kebutuhan tersebut karena rata-
rata kebutuhan rumah tangga di Indonesia dapat terpenuhi dengan
penghasilan tersebut. Meski syarat yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 poin b
tentang kesanggupan menafkahi anak dan istri-istri nya sudah terpenuhi,
hanya saja syarat lain ada yang tidak terpenuhi maka permohonan izin
poligami tersebut ditolak, karena persyaratan tersebut adalah syarat
komulatif. Artinya, semua syarat yang diatur dalam pasal 5 UU No 1 Tahun
1974 yaitu : adanya persetujuan istri-istri kesanggupan menafkahi anak dan
istri-istrinya serta kesanggupan suami untuk berbuat adil, haruslah terpenuhi
semua. Jika ada salah satu yang tidak terpenuhi maka permohonan poligami
dapat ditolak oleh hakim.
Berdasarkan pasal 5 ayat (1) poin c UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bahwa seorang suami dapat menjamin keadilan kepada istri-
istrinya jika poligami tersebut diizinkan. Dalam putusan ini diketahui bahwa
suami mengenalkan secara dekat calon istri kedua terhadap istri pertamanya
50
sehingga ada indikasi tidak dapat adil dalam hal cinta dan kasih sayang.
Apalagi dalam pertimbangan hakim dicantumkan bahwa calon istri kedua
tidak dihadirkan ke persidangan oleh suami. Ini memperkuat pernyataan
istri bahwa mereka tidak akan bisa hidup sakinah mawaddah wa rahmah lagi
jika permohonan izin poligami dengan calon istri kedua itu dikabulkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, terdapat dasar-dasar yang
memperbolehkan seseorang untuk beristri lebih dari satu orang atau
berpoligami yang terdapat pada Pasal 55, yaitu:
(1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat orang istri saja.
(2) Syarat utama untuk beristri lebih dari seorang yaitu suami harus mampu
bersikap dan berlaku adil terhadap istri-istrinya dan juga anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama seperti yang sudah disebut pada ayat (2) tidak
dapat dipenuhi, maka suami dilarang untuk beristri lebih dari satu orang
atau berpoligami.
Berdasarkan pasal 55 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa
syarat suami yang ingin beristri lebih dari satu hanya sampai empat orang
istri. Di dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat nomor
1143/Pdt.G/2012/PAJB ini suami memohonkan untuk menikah yang kedua
kalinya. Berarti tidak ada masalah jika hanya melihat pada poin ini. Akan
tetapi, apabila didasarkan pasal 55 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam
(KHI) bahwa syarat utama poligami adalah berlaku adil sedangkan dalam
putusan ini suami tidak memenuhi kriteria tersebut sebagaimana yang telah
penulis jelaskan dalam sebelumnya.
Kemudian mengenai kebolehan poligami lebih lanjut dijelaskan di
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagai berikut :
1. Pasal 56 KHI menjelaskan tentang persyaratan berpoligami.
2. Pasal 57 KHI menjelaskan tentang persyaratan menurut Pengadilan
Agama jika seorang suami hendak berpoligami.
3. Pasal 58 KHI menjelaskan bahwa persetujuan yang diberikan oleh
istri untuk berpoligami dapat berupa lisan maupun tertulis.
51
2. Hukum Acara di Pengadilan Agama
Pengadilan Agama merupakan salah satu dari pelaksana kekuasaan
kehakiman sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Selain itu, Peradilan Agama mempunyai wewenang atau kekuasaan
yang dikenal dengan “Kekuasaan Relatif” dan “Kekuasaan Absolut”.
Kekuasaan relatif adalah kewenangan mengadili suatu perkara yang
menyangkut wilayah atau daerah hukum (yuridiksi). Sedangkan
kekuasaan absolut adalah kewenangan yang menyangkut kekuasaan
mutlak untuk mengadili suatu perkara, dalam hal ini di khususkan
perkara-perkara yang diatur dalam UU Peradilan Agama.14
Melihat kewenangan tersebut di dalam putusan nomor
1143/Pdt.G/2012/PAJB ini sudah sesuai dengan wewenang Peradilan
Agama yang mana dalam putusan ini pemohon bertempat tinggal di
Kota Jakarta Barat dan memohonkan permohonannya kepada
Pengadilan Agama Jakarta Barat (kekuasaan relatif). Juga dalam
putusan ini perkara yang dimohonkan adalah perkara izin poligami yang
mana poligami tersebut masuk ke dalam perkara perkawinan dan
perkara perkawinan adalah wewenang absolut Peradilan Agama
sebagaimana diatur dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan UU No. 7 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yang
berbunyi:
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
14 Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia,
(Bandung: Pustaka Setia, 2017), h. 117.
52
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
h. Shadaqah, dan
i. Ekonomi syari’ah
Berkaitan dengan putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB, penulis
menganalisis hukum acara yang ada di dalam putusan tersebut mulai
dari analisis gugatan/permohonan, proses pemeriksaan, proses
pembuktian, dan putusan.
Gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua
Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak di
dalamnya mengandung sengketa dan merupakan dasar landasan
pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak tertentu dari
pihak tertentu. Sedangkan permohonan adalah surat yang berisi
tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap
suatu hal yang tidak mengandung suatu sengketa.15
Bentuk dan isi dari surat gugatan atau permohonan secara
garis besar terdiri dari:
a. Identitas pihak-pihak.
b. Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah
pihak biasa disebut posita atau positum.
c. Isi tuntutan yang biasa disebut petita atau petitum.16
Di dalam putusan ini dapat diketahui bahwa perkara yang
diajukan adalah izin poligami yang mana perkara tersebut adalah
15 Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h.
173-174. 16 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h.64.
53
perkara contensius maka yang diajukan adalah surat permohonan.
Dalam surat permohonan tersebut berisi sebagai berikut:
Pemohom saat ini berusia 45 tahun beralamat tinggal di Jakarta
Barat pendidikan sarjana dan bekerja sebagai karyaawan swasta
memeluk Agama Islam. Sedangkan termohon berumur 45 tahun juga
beralamat tinggal di Jakarta Barat dan beragama Islam.
Termohon dalam hal ini tidak dapat memenuhi keinginan Pemohon
untuk mendapat keturunan karena termohon sudah berupaya namun
tidak berhasil. Termohon pernah hamil, namun keguguran yang
menyebabkan termohon sulit mendapatkan keturunan lagi. Termohon
juga sudah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan keturunan
yaitu mencoba program bayi tabung yang dilakukan didalam maupun
diluar negeri, namun tidak juga membuahkan hasil. Pemohon dan
termohon akhirnya mengadopsi anak yang mereka rawat hingga anak
tersebut sudah berumur 12 tahun terhitung ketika permohonan ini
diajukan.17 Pemohon mengaku walaupun mengajukan permohonan
untuk berpoligami, semasa menjalani pernikahan dengan termohon
hingga saat ini hubungan Pemohon dengan Termohon tejalin harmonis
dan penuh kebahagiaan atau sakinah, mawaddah, warahmah.
Jadi, dalam kasus perkara nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB ini
Pemohon mengajukan permohonan poligami ke Pengadilan Agama
Jakarta Barat dengan alasan utama yaitu ingin mendapatkan keturunan.
Pemohon merasa sudah memenuhi syariat Islam dan juga peraturan
perundang-undangan untuk berpoligami baik secara Islam ataupun
secara hukum.
Setelah surat permohonan didaftarkan atau dicatat dalam register
induk perkara, Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya
menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Pengadilan Agama
selambat-lambatnya 7 hari dan Ketua Pengadilan Agama tersebut
17 Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, h.5.
54
menetapkan majelis hakim dan hari sidang. Selanjutnya pada sidang
pertama majelis hakim berkewajiban untuk mendamaikan para pihak
yang berperkara.18 Di dalam putusan ini, majelis hakim telah
melakukan upaya perdamaian dengan para pihak dengan mediasi akan
tetapi tidak berhasil.
Tahapan kedua dilanjutkan dengan pembacaan surat permohonan
oleh pemohon atau kuasanya. Dalam putusan ini, isi dari permohonan
tersebut juga sudah disebutkan dalam bagian petita. Tahapan ketiga
dilanjutkan dengan jawaban, yaitu termohon berhak mempertahankan
hanya dengan memberikan jawaban terhadap permohonannya. Dalam
putusan ini jawaban yang diberikan termohon adalah: permohonan
Pemohon dibantah dan tidak disetujui oleh Termohon dikarenakan
beberapa hal yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pemohon ketika
dipersidangan tidak membantah apapun yang dikatakan dan dibantah
oleh Termohon dengan tidak membawa bukti-bukti apapun yang dapat
membantu Pemohon di persidangan. Sebaliknya, Termohon membawa
bukti berupa surat-surat untuk meneguhkan dalil-dalil yang dapat
membantah pernyataan Pemohon di persidangan.
Tahapan keempat adalah replik, yaitu kesempatan yang diberikan oleh
hakim kepada pemohon untuk menanggapi jawaban termohon sesuai
dengan pendapatnya atau mempertahankan permohonannya.19 Tahapan
kelima adalah duplik yang merupakan jawaban atau tanggapan dari
replik. Tahapan keenam dan ketujuh adalah pembuktian. Pembuktian
adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu
perkara yang sedang dipersengketakan atau diperiksa hakim.20
18 Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h.
259-260. 19 Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h.
259-260. 20 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradya Paramitha, 1978), h. 5.
55
Dalam hal pembuktian, untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan, maka
diperlukan alat bukti. Dalam pasal 164 HIR disebutkan 5 macam alat
bukti, yaitu:
a. Bukti surat;
b. Bukti Saksi;
c. Persangkaan;
d. Pengakuan:
e. Sumpah.21
Di dalam putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB ini alat bukti yang
diajukan pemohon hanya lah alat bukti surat, yaitu:
a. Foto kopi Akta Nikah
b. Foto kopi Kartu Keluarga
c. Foto kopi Ijazah anak angkat
d. Foto dengan calon istri kedua
Tahapan selanjutnya adalah kesimpulan dan pembacaan putusan
atau penetapan. Dalam putusan ini, hakim membacakan amar putusan
sebagai berikut: Dalam persidangan terbuka mengenai perkara ini, Hakim
memutuskan untuk menolak seluruh permohonan Pemohon serta
mengharuskan pihak pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.616.000,- (enam ratus enam belas ribu rupiah) pada hari Rabu tanggal
26 Desember 2012. Setelah yang penulis uraikan diatas berdasarkan Hukum
Acara Peradilan Agama yang berlaku di Indonesia Hakim yang
memutuskan Perkara Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB secara tekstual sudah
benar mengikuti peraturan beracara yang berlaku mulai dari awal
persidangan sampai dibacakanya amar putusan. Oleh karna itu, Hakim yang
berpendapat bahwa alasan untuk memiliki keturunan tidak relevan dengan
fakta di lapangan tersebut sudah tepat, sebab Hakim yang menilai istri
pertama masih sehat jasmani dan rohani sehingga Hakim menolak
21 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Prakter, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h. 61.
56
permintaan izin poligami demi menjaga kemaslahatan serta keharmonisan
pernikahan yang sudah berlangsung selama 20 tahun tersebut.
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian tentang Penolakan Hakim Terhadap
Izin Poligami pada Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa :
1. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam putusannya menyatakan
bahwa dalam pertimbangannya, hakim menolak untuk memberikan izin
poligami padahal telah terpenuhinya salah satu syarat alternatif yang
ditentukan dalam undang-undang (istri tidak dapat melahirkan) itu
dikarenakan suami ingin menikahi perempuan yang bukan pilihan istrinya,
lebih pada keinginan pribadi dan mengorbankan keutuhan rumah tangga.
Sementara syarat yang diajukan oleh istri jika suaminya ingin berpoligami
harus menikah dengan perempuan yang dipilih oleh istrinya, agar
tercapainya perkawinan yang sakinah.
2. Penolakan Hakim terhadap izin poligami jika ditinjau menurut hukum Islam
(Fikih) telah disepakati oleh para ulama bahwasanya syarat untuk
melangsungkan poligami adalah berlaku adil dan mampu mencukupi nafkah
bagi keluarganya. Dengan terpenuhi syarat tersebut tampak bahwa putusan
nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB tidak sejalan dengan ketentuan fikih. Hanya
saja, jika kita melihat kaidah fikih “Menolak mafsadah (kerusakan)
didahulukan daripada mengambil kemaslahatan”, maka putusan hakim
tersebut telah tepat. Kemaslahatan yang mungkin diperoleh dalam hal ini
adalah kemungkinan suami dapat memperoleh keturunan dari pernikahan
dengan isteri keduanya namun kemudian akan timbul mafsadah yakni
rusaknya rumah tangga dengan istri pertama yang sudah setia mendampingi
suaminya karena calon istri kedua bukanlah orang yang tepat dalam
keluarganya. Dalam kaidah tersebut diatur bahwa apabila ada maslahah
disatu sisi dan mafsadah disisi lain maka menolak mafsadah yang
diutamakan. Namun dalam putusannya majelis hakim tidak menyinggung
58
dan menelaah kaidah-kaidah yang ada dalam fikih tersebut. Selanjutnya,
ditinjau dari peraturan yang berlaku di Indonesia, tampak bahwa putusan
nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB tersebut telah sesuai dengan UU Nomor 1
Tahun 1974 dan KHI pasal 58 yang menyebutkan harus adanya persetujuan
dari istri/istri-istri yang akan dipoligami. Meskipun salah satu sayarat
alternatif (istri pertama tidak dapat melahirkan) sudah terpenuhi dalam
kasus ini, namun permohonan izin poligami tersebut tetap ditolak dengan
alasan tidak dipenuhinya syarat komulatif, yatitu tidak adanya izin istri.
Dengan demikian, ditinjau dari peraturan yang berlaku putusan hakim
Pengadilan Agama Jakarata Barat tersebut sudah tepat.
B. Rekomendasi
Berdasarkan penelitian, pembahasan, dan kesimpulan penulis ini.
maka penulis untuk memberikan saran-saran sebagai bahan pertimbangan
di kemudian hari. Saran-saran tersebut penulis tuju kepada :
1. Dalam era reformasi ini, banyak kemajuan yang telah diperoleh pengadilan
di lingkungan Peradilan Agama yang patut didambakan supaya tetap terjaga
kebebasan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama, sehingga
tidak hanya terpaku pada pemahaman tekstual namun hakim juga bisa
beritjihad selama tidak keluar dari koridor dan jiwa ajaran islam serta
memenuhi rasa keadilan.
2. kepada para pelajar/mahasiswa dan masyarakat, serta pemuda/pemudi
untuk bersungguh-sungguh dalam berprinsip mencari jodoh, apalagi dalam
berpoligami, agar tidak jadi sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Dan jadikanlah poligami sebagai suatu tanggung jawab juga motivasi bagi
anda untuk bekerja keras, serta mendekatkan diri kepada Allah agar dapat
berguna bagi keluarga bangsa dan agama.
3. Karya ini merupakan usaha maksimal dari penulis, tetapi sebagai manusia,
penulis tentunya mempunyai kekurangan dan karya ini jauh dari
kesempurnaan. Untuk perbaikan karya penulis berikut, kritik, saran, pikiran,
dan masukan dari pembaca sangat dinantikan. Dengan dorongan rasa
hormat, simpati dan cinta terhadap perempuan, tulisan ini dapat
59
terselesaikan. Sekiranya, rasa letih dan menguras tenaga dan pikiran selama
proses pengerjaan karya ini terobati saat bapak, ibu, saudara, saudari
mengkonsumsi tulisan ini. sebagai kepedulian penulis terhadap ilmu
pengetahuan, semoga karya kecil ini dapat menjadi insipirasi kecil untuk
menciptakan karya besar, semoga bermanfaat, tetap semangat sukses selalu.
60
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akadamik Presindo,
1992. Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân
Kairo: Dâr al-Hadîts, 2010
Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqh Sunah Untuk Wanita, Penerjemah: Asep
Sobari, Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2007.
Ahmad Saebani, Beni. Fiqh Munakahat 2, Bandung: Pusaka Setia, 2001.
Aibak, Khutubuddin Kajian Fiqh Konteporer, Yogyakarta: Teras, 2009.
Ali as-Sabui, Muhammad. Rawa’I al-Bayan Fi Tafsir Ayat al-Qur’an, Dar al-
Qur’an, Jilid I 1972.
Amin Suma, Muhammad. Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksana Lainya di Negri Hukum Indonesia, Jakarata: Rajawali Pers, 2008.
Amiur, Nurudin dan Tarigan Ahmad Azhari. Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta: Pernada Media, 2004.
Anto, Mukti . Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
A Mas’adi, Ghufron. Pemikiran Fazlur Rahman tentag Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Cet I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997.
Apiko Nubowo,Jm. Indahnya Poligami Pengalaman Sakinah Puspo Wardoyo, Jakarta: Khairul bayan, 2003.
A. Rasyid, Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Pt. Raja Grafindo Persada, 1991.
Ash-Shobuni, Ali. Rowai’ul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam, Jakarta: Keira Publishing, 2016.
Departmen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993.
61
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat, Jakarta: Lencana Pradana Media Grup,
2008.
Gusmian, Islah. Mengapa Nabi Muhammad SAW Berpoligami?, Yogyakarta:
Pustaka Marwa.
Harahab, Yahya. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Hosen, Ibrahim . Fiqh Perbandingan, Jakarta: Balai Penerbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, 1971.
Kamal, Muchtar. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Mahali, A Mujab. As-babun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002.
Mesraini, Fiqh Munakahat, Ciputat: Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren, 2008.
Muhammad, Abu Zahra, Ushul Fiqh, Damaskus: Daar Al-fikr, 2001.
Muhammad, Syahrur. Al-Kitab wal Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, Damaskus:
Ahali cet ke II. 1990.
Rahman I Doi, Abdur. Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1996.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000.
Sadily, Hasan. Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 1980.
Supardi, Mursalin. Menolak Poligami, Studi tentang Undang-Udang Perkawinan dan hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Soemiyati. Hukum Perkawainan dalam Islam Dan Perundang-undangan Perkawinan, Yogyakarta: Liberty.
Sopyan, Yayan. Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional Tanggerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah 2011.
Sudarsono. Kamus Hukum, Cet. VI, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Subekti, R. Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradya Paramitha, 1978.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Prakter, Bandung: Mandar Maju, 2009.
62
Sulantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkatawinata. Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Bandung: Mandar maju, 1995.
Qutb, Sayyid. Fi Zilal al-Qur’an Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Jilid IV, 1961.
Quraish Shihab, M. Tafsîr Al- Misbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Ciputat: Lentera Hati, 2012.
Warson Munawir, Ahmad. Kamus al-Munawir, Yogyakarta: Pon-Pes Al-Munawir, 1984.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.47.
Zuhdi, Masyfuk. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: PT. Gria Karya, cet-1, 1988.
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2017.
Jurnal
Abror, Khoirul. Poligami dan Relevansinya Dengan Keharmonisan Rumah Tangga
(Studi Kasus di Kelurahan Rajabasa Bandar Lampung), Al-‘Adalah Vol. XIII, No. 2 Desember, 2016.
Baidhowi, Aris. Hukum Poligami dalam Perspektif Ulama Fiqh Jurnal Muwazah, Volume 4, Nomor. 1 Juli, 2012.
Hidayatullah, Haris. Adil Dalam Poligami Perspektif Ibnu Hazm, Religi: Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 2 Oktober 2015.
Mualimar Rifqi, Muhammad. Keadilan Dalam Poligami Perpektif Madzhab Syafi’I dalam jurnal Himatnya Vol 1 No.2 Malang: 2019.
Nasution, Khoiruddin. Perdebatan Sekitar Status Poligami Mustawa No,. I Vol. I, Maret, 2002.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2003
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
63
Salinan Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PAJB
Internet
http://www.pa-luwuk.net/pojok-pak-dirjen/210-daftar-artikel-pa-luwuk/261-
eksitensi-dan-kewenangan-peradilan-agama-di-era-reformasi diakses pada tanggal 1 Oktober 2019 pukul 19.00 WIB
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
SALINAN
PUTUSAN
No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Klas I-A Jakarta Barat yang mengadili perkara-perkara
tertentu, dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan sebagaimana tersebut
dibawah ini dalam perkara permohonan ijin poligami antara :---------------------------------
PEMOHON, umur 45 tahun, agama Islam, pendidikan sarjana (S-1), pekerjaan
swasta, bertempat tinggal di Kota Jakarta Barat, dalam hal ini telah
memberikan kuasa kepada M. JAYA BUTAR BUTAR, SH dan TARIANA
SOENANDAR, SH, MH, advokat, sesuai surat kuasa khusus tertanggal 6
September 2012, selanjutnya disebut PEMOHON ;----------------------------------
Melawan
TERMOHON, umur 45 tahun, agama Islam, pendidikan sarjana (S-1),
pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Kota Jakarta Barat, dalam hal ini telaqh
memberikan kuasa kepada DEDDY MULYADI MUIS, SH, MH dan
CHAIRUL AMAN, SH, keduanya advokat, sesuai surat kuasa khusus
tertanggal 17 Oktober 2012, selanjutnya disebut TERMOHON ;-----------------
Pengadilan Agama tersebut;------------------------------------------------------------------------
Setelah membaca surat-surat dalam perkara;----------------------------------------------------
Setelah mendengar keterangan kedua belah pihak berperkara dalam
persidangan;---------
TENTANG DUDUK PERKARANYA
halaman 1 dari 15 halaman, putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa Pemohon melalui kuasanya berdasarkan surat
permohonannya tertanggal 07 September 2012, telah mengajukan permohonan ke
Pengadilan Agama Jakarta Barat dan selanjutnya terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan
Agama tersebut dibawah perkara No.1143/Pdt.G/20012/PA.JB tanggal 07 September
2012, yang pada pokoknya telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut :------------------
• Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri sah yang menikah pada
tanggal 27 Desember 1992 dan tercacatat pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan Karanganom, sebagaimana ternyata dalam Duplikat Kutipan Akta
Nikah Nomor : XXXXXXX tanggal 26 Juni 2003;---------------
• Bahwa setelah menikah tersebut, Pemohon dan Termohon terakhir bertempat
tinggal di Kota Jakarta Barat;-----------------------------
• Bahwa selama pernikahan tersebut yaitu 20 tahun lamanya, Pemohon dan
Termohon hingga sekarang tidak memperoleh keturunan (anak);--------------------
• Bahwa Pemohon dan Termohon telah berusaha melakukan pemeriksaan
kesehatan dan Termohon telah melakukan upaya bayi tabung didalam maupun
diluar negeri, namun hingga sekarang tetap tidak membuahkan hasil;---------------
• Bahwa untuk mendapatkan keturunan, maka Pemohon hendak menikah lagi
(poligami) dengan seorang wanita bernama CALON ISTERI KEDUA
PEMOHON, umur 36 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal
di Jakarta Barat;-----
• Bahwa Pemohon mampu untuk memenuhi kebutuhan isteri-isteri dalam rumah
tangga karena penghsilan Pemohon sebagai seorang direktur utama setiap
bulannya sekitar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), ditambah komisi dan
bonus lainnya;--------------------------------------------------------------------------------
• Bahwa Pemohon menyatakan sanggup berlaku adil terhadap isteri-isteri
Pemohon;-------------------------------------------------------------------------------------
2
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa selama pernikahan Pemohon dan Termohon telah memiliki harta bersama
berupa saham sebesar 95 % di PT XXXXX sesuai akta notaris Nomor 2
tertanggal 17 Desember 2009 tentang pernyataan Keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham Luar Biasa PT XXXXX atas nama Pemohon sebesar 60 % dan
atas nama Termohon 35 %;------------------
• Bahwa terhadap harta yang diperleh selama dalam pernikahan antara Pemohon
dengan Termohon tersebut diatas, mohon ditetapkan sebagai harta bersama
antara Pemohon dengan Termohon;------------------------------------------------------
• Bahwa calon isteri kedua Pemohon menyatakan tidak akan mengganggu gugat
atas harta benda yang ada selama ini, dan tetap utuh sebagai harta bersama
Pemohon dengan Termohon;--------------------------------------------------------------
• Bahwa kedua orang tua calon isteri kedua Pemohon menyatakan setuju dan rela
menjadi wali apabila Pemohon menikah dengan calon isteri kedua Pemohon
(CALON ISTERI KEDUA PEMOHON);-----------------------------------------------
• Bahwa antara Pemohon dengan calon isteri kedua (CALON ISTERI KEDUA
PEMOHON) tidak ada larangan melakukan perkawinan baik menurut Syariat
Islam maupun Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu antara
Pemohon dengan calon isteri kedua tersebut tidak ada hubungan nasab maupun
sepersusuan, dan calon isteri kedua tersebut tidak terikat dengan pernikahan atau
pertunangan dengan laki-laki lain;-------------------------------------------------------
Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana terurai diatas, maka permohonan Pemohon
telah cukup beralasan menurut hukum dan karenanya Pemohon memohon kepada Ketua
Pengadilan Agama Jakarta Barat cq Majlis Hakim, kiranya berkenan memeriksa dan
mengadili perkara ini dengan menjatuhkan
putusan :--------------------------------------------
1. Mengabulkan permohonan Pemohon
seluruhnya ;--------------------------------------
halaman 3 dari 15 halaman, putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2. Memberikan ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami)
dengan seorang wanita bernama CALON ISTERI KEDUA
PEMOHON;-----------------
3. Menetapkan harta berupa saham sebesar 95 % di PT XXXXX sesuai akta
notaris Nomor 2 tertanggal 17 Desember 2009 tentang pernyataan
Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT XXXXX atas
nama Pemohon sebesar 60 % dan atas nama Termohon 35 % merupakan
harta bersama antara Pemohon dengan Termohon;----------------
4. Menetapkan biaya perkara menurut
hukum;--------------------------------------------
Atau jika Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono);------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa untuk kepentingan tersebut, Majlis Hakim telah
memeriksa Pemohon dan Termohon yaitu dengan meminta keterangan kedua belah
pihak dalam sidang dan telah pula mendamaikannya serta telah ditempuh proses
mediasi, namun usaha perdamaian tersebut tidak berhasil ;------------------------------------
Menimbang, bahwa selanjutnya dibacakanlah surat permohonan Pemohon
tersebut diatas yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon ;------------------------------
Menimbang bahwa atas dalil-dalil permohonan Pemohon tersebut, Termohon
melalui kuasa hukumnya, telah memberikan jawabannya secara tertulis tertanggal 31
Oktober 2012 yang pada pokoknya sebagai berikut :-------------------------------------------
• Bahwa benar antara Pemohon dengan Termohon adalah suami isteri sah yang
menikah pada tanggal 27 Desember 1992 di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Karanganom, Klaten;-----------------------------
• Bahwa benar Pemohon dan Termohon terakhir bertempat tinggal di Kota Jakarta
Barat;-------------------------------------------------------------
4
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa benar selama dalam perkawinan tersebut Pemohon dan Termohon telah
mempunyai harta bersama sebagai mana disebutkan Pemohon dalam surat
permohonannya;-----------------------------------------------------------------------------
• Bahwa benar selama berumah tangga, Pemohon dan Termohon belum dikaruniai
anak, namun kehidupan rumah tangga Pemohon dan Termohon tetap terjalin
harmonis, cinta kasih dan penuh kebahagiaan atau sakinah, mawaddah dan
rahmah;----------------------------------------------------------------------------------------
• Bahwa belum adanya keturunan tersebut bukan karena Termohon tidak dapat
memberikan keturunan sama sekali, karena kenyataannya Termohon pernah
hamil, namun keguguran, dan karena niat yang kuat untuk memperoleh
keturunan, maka Termohon telah berusaha mengikuti program kehamilan,
termasuk bayi tabung tahun 2000 dan inseminasi pada tahun 2001, namun Allah
swt belum berkehendak untuk memberikan keturunan;--------------------------------
• Bahwa kehidupan rumah tangga Pemohon dan Termohon selama ini tetap
bahagia dan harmonis dan untuk menjaga keharmonisan tersebut, Pemohon dan
Termohon telah mengangkat anak sejak dari bayi, dan anak tersebut telah
dianggap sebagai anak kandung sendiri dan sekarang anak angkat tersebut telah
berusia 12 tahun;----------------------------------------------------------------------------
• Bahwa keinginan Pemohon untuk berpoligami dengan CALON ISTERI KEDUA
PEMOHON, bukan semata-mata untuk mendapatkan keturunan, karena
Termohon telah menawarkan jika Pemohon akan menikah lagi, maka Termohon
yang mencarikannya, namun tawaran itu ditolak oleh Pemohon;---------------------
• Bahwa Termohon berharap jika Pemohon menikah lagi, maka perkawinan itu
sesuai dengan tujuan dan hakekat pernikahan yaitu untuk mendapatkan rumah
tangga yang sakinah, wamaddah dan rahmah, sehingga diharapkan antara
halaman 5 dari 15 halaman, putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Termohon dengan isteri kedua Pemohon nanti dapat tercipta suasana yang rukun
dan harmonis;--------------------------------------------------------------------------------
• Bahwa secara sosiofilosofi, dibolehkannya berpoligami itu jika Pemohon dapat
menjaga nilai-nilai keadilan dan menjaga kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah bagi seluruh anggota rumah tangga termasuk para isteri,
sedangkan dalam hal ini antara Termohon dengan calon isteri kedua yang
Pemohon ajukan itu tidak saling mengenal secara dekat, sehinga niat Pemohon
untuk poligami tersebut bukan untuk kemaslahatan keluarga;------------------------
• Bahwa niat Pemohon untuk menikah lagi dengan CALON ISTERI KEDUA
PEMOHON tidak cukup dengan adanya kemampuan Pemohon untuk mencukupi
nafkah keluarga, tetapi harus benar-benar bisa berlaku adil terhadap isteri-isteri,
dan dalam hal ini Termohon tidak setuju dengan calon isteri yang diajukan
Pemohon tersebut sehingga Termohon tidak percaya kalau pernikahan Pemohon
dengan CALON ISTERI KEDUA PEMOHON akan membawa kebahagiaan
sebagaimana dimaksud Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 2
dan 3 Kompilasi Hukum Islam;------------------------------------------------------------
• Bahwa adanya hubungan antara Pemohon dengan CALON ISTERI KEDUA
PEMOHON menjadikan kehidupan rumah tangga antara Pemohon dengan
Termohon mulai tidak harmonis, sehingga Pemohon pernah mengajukan
permohonan cerai talak ke pengadilan, namun karena Pemohon dan Termohon
tetap saling cinta kasih, maka permohonan tersebut dicabut;--------------------------
• Bahwa maksud Pemohon untuk menikah lagi dengan CALON ISTERI KEDUA
PEMOHON bukan semata-mata untuk mendapatkan keturunan, karena
hubungan mereka telah terjalin secara khusus sejak tahun 2010 sehingga
mengganggu kebahagiaan rumah tangga Pemohon dengan Termohon;-------------
• Bahwa Termohon tidak ridlo dan tidak setuju jika Pemohon menikah lagi dengan
CALON ISTERI KEDUA PEMOHON karena pernikahan tersebut lebih banyak
6
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
madlorotnya (kerusakannya), sehingga alasan Pemohon untuk berpoligami
tersebut menjadi kabur (obscuur libele);-------------------------------------------------
• Bahwa Termohon dapat menyetujui maksud Pemohon untuk berpoligami jika
dasarnya adalah demi kemaslahan keluarga, bukan mengorbankan keluarga yang
sudah ada;------------------------------------------------------------------------------------
• Bahwa Termohon berpendapat maksud Pemohon untuk berpoligami dengan
CALON ISTERI KEDUA PEMOHON bertentangan dengan maksud Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 2 dan 3 KHI, jo. Pasal 5 ayat (1)
dan (3) jo. Pasal 55 ayat (2) dan (3) KHI dan perauran hukum lainnya yang
berkaitan dengan perkawinan poligami;--------------------------------------------------
• Bahwa permohonan ijin poligami selain cukup beralasan menurut hukum, juga
harus dipenuhi persyaratan poligami sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1), (2)
dan (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan persyaratan itu bersifat
komulatif, sehingga jika salah satunya tidak terpenuhi, maka persyaratan untuk
poligami tidak mencukupi menurut hukum;---------------------------------------------
Berdasarkan uraian jawaban diatas, maka Termohon mohon kepada Majlis Hakim
yang memeriksa perkara a quo untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut :-----------
1. Menolak permohonan ijin poligami Pemohon untuk seluruhnya; atau;--------------
2. Menolak permohonan ijin poligami Pemohon untuk menikah dengan perempuan
bernama CALON ISTERI KEDUA PEMOHON atau setidak-tidaknya
menyatakan permohonan ijin poligami Pemohon tidak dapat diterima (niet on
vankelijke verklaard);-----------------------------------------------------------------------
3. Memberi ijin poligami kepada Pemohon untuk menikah dengan perempuan lain
selain dari CALON ISTERI KEDUA PEMOHON;------------------------------------
4. Membebankan biaya perkara yang timbul dalam perkara ini kepada
Pemohon;----
Atau jika pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya;-------
halaman 7 dari 15 halaman, putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa terhadap jawaban Termohon tersebut, Pemohon melalui
kuasanya, telah mengajukan replik tertulis tertanggal 7 Nopember 2012, pada pokoknya
berketetapan pada dalil-dalil dan petitum yang terurai dalam surat permohonanya
tersebut diatas;---------------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa atas replik Pemohon tersebut, Termohon melalui kuasa
hukumnya, telah mengajukan duplik tertulis tertanggal 14 Nopember 2012, yang pada
pokoknya berketetapan pada dalil-dalil jawaban semula dan menolak seluruh petitum
permohonan Pemohon;------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa setelah terjadi jawab jinawab antara Pemohon dengan
Termohon, dan karena sebagian dalil-dalil permohonan Pemohon ditolak atau dibantah
oleh Termohon, maka Pemohon diwajibkan mengajukan bukti-bukti dan sebaliknya
Termohon juga dibebani pembuktian atas dalil sangkalannya;--------------------------------
Menimbang, bahwa Pemohon atau kuasa hukumnya tidak mengajukan suatu
bukti apapun untuk meneguhkan dalil-dalil yang dibantah Termohon, sedangkan
Termohon telah mengajukan bukti surat-surat untuk meneguhkan dalil-dalil
jawabannya;
Menimbang, bahwa bukti surat yang diajukan Termohon adalah sebagai
berikut :------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Foto copy Duplikat Kutipan Akta Nikah Nomor : XXXXXXX tanggal 26 Juni
2003, bermeterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, diberi tanda T-1;--
2. Foto copy Kartu Keluarga (KK) No. XXXXXXX an. PEMOHON, tertanggal 10
Oktober 2011, bermeterai cukup, telah dicocokkan dengan aslinya, diberi tanda
T-2;----------------------------------------------------------
3. Foto copy ijasah SD an. ANAK ANGKAT PEMOHON DAN
TERMOHON,tertanggal 16 Juni 2012, bermeterai cukup, telah dicocokkan
dengan aslinya, diberi tanda T-3;----------------------------
8
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
4. Foto copy gambar Pemohon dengan CALON ISTERI KEDUA PEMOHON,
bermeterai cukup, diberi tanda T-4;-------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa selanjutnya terhadap bukti surat-surat tersebut Pemohon
membenarkannya, dan ia menyatakan cukup dan akhirnya mohon putusan yang seadil-
adilnya ;-----------------------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka ditunjuk
hal ihwal sebagaimana tercatat dalam berita acara sidang dan merupakan bagian dari
putusan ini ;-------------------------------------------------------------------------------------------
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
sebagaimana terurai diatas;-------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa Pengadilan telah berusaha mendamaikan Pemohon dengan
Termohon, namun tidak berhasil dan selanjutnya telah ditempuh perdamaian melalui
proses mediasi namun hasilnya gagal;-------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa perkara ini adalah perkara permohonan untuk berpoligami
dan para pihak beragama Islam, serta berdomisili di wilayah hukum pemerintahan
Jakarta Barat, maka sesuai ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
beserta penjelasannya, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 jo. Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka Pengadilan Agama Jakarta Barat baik
secara absolute maupun relatif berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini;----------
Menimbang, bahwa pertama-tama berdasarkan pengakuan kedua belah pihak
dan sebagaimana ternyata dalam bukti T-1, telah terbukti bahwa Pemohon dan
Termohon adalah telah terikat sebagai suami isteri sah dan masih hidup rukun dalam
rumah tangga dan karenanya Pemohon mempunyai legal standing dalam perkara a quo;-
halaman 9 dari 15 halaman, putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa alasan Pemohon dalam mengajukan permohonan ijin
poligami adalah Pasal 4 ayat 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu
isteri tidak dapat melahirkan keturunan dimana mereka telah menikah selama 20 tahun,
namun hingga sekarang tidak ada keturunan atau tidak dikaruniai anak, pada hal
keduanya merasa sehat jasmani dan rohani dan pula telah berusaha secara medis
maupun non medis untuk mendapatkan keturunan, namun tidak juga
berhasil;------------------------
Menimang, bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, Termohon membenarkan
bahwa selama dua puluh tahun berumah tangga dengan Pemohon belum dikaruniai anak,
namun demikian Pemohon dan Termohon telah sepakat mengangkat anak dan anak
angkat tersebut sekarang telah berusia 12 tahun (anak angkat dari bayi) dan sudah
dianggap sebagai anak kandung sendiri sehingga menjadikan kehidupan rumah tangga
Pemohon dan Termohon tetap bahagia dan harmonis. Dan pula keinginan Pemohon
untuk menikah lagi dengan CALON ISTERI KEDUA PEMOHON, sebenarnya bukan
karena ingin mendapatkan keturunan, tetapi lebih pada keinginan untuk mencari
kesenangan pribadi dan mengorbankan kebahagiaan rumah tangga yang sudah
terbangun selama 20 tahun, pada hal Termohon hingga sekarang dan sampai kapanpun
tetap taat dan setia kepada Pemohon. Dengan demikian alasan Pemohon untuk
berpoligami dengan rencana menikahi CALON ISTERI KEDUA PEMOHON hanya
dicari-cari dan tidak beralasan menurut hukum. Oleh karena itu Termohon tidak setuju
dan menolak rencana Pemohon untuk berpoligami dengan perempuan
tersebut;----------------------------
Menimbang, bahwa pada dasarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, menganut asas monogami yaitu seorang laki-laki hanya boleh
beristeri seorang dan perempuan hanya boleh bersuami seorang, namun demikian
seorang laki-laki boleh beristeri lebih dari seorang (poligami) apabila memenuhi salah
10
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
satu alasan sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974;----------------------------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa oleh karena dalil Pemohon dibantah oleh Termohon, maka
sesuai ketentuan Pasal 163 HIR, Pemohon wajib memberikan bukti untuk meneguhkan
dalil-dalilnya tersebut, demikian pula Termohon wajib memberikan bukti atas
bantahannya tersebut;--------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa dalam hal ini Pemohon tidak mengajukan suatu bukti
apapun, baik surat maupun saksi, sebagaimana dimaksud Pasal 164 HIR, sedangkan
Termohon telah mengajukan bukti surat-surat yaitu ditandai dengan T-1, T-2 dan T-3
dan T-4 sebagaimana terurai diatas;--------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon tidak dapat mengajukan suatu bukti
apapun, sedangkan Termohon telah mengajukan bukti surat terutama bukti T-2 dan T-3,
maka pengadilan berpendapat bahwa meskipun Pemohon dan Termohon secara biologis
tidak mempunyai anak kandung, namun kenyataannya Pemohon dan Termohon telah
mempunyai anak angkat yang diangkat sejak bayi bernama ANAK ANGKAT
PEMOHON DAN TERMOHON dan kedua belah pihak telah memperlakukan anak
angkat tersebut seperti layaknya anak kandung sendiri yaitu dengan mencantumkan
nama Pemohon dan Termohon sebagai orang tuanya baik dalam Kartu Keluarga maupun
Ijasah anak angkatnya tersebut (bukti T-2 dan T-3). Disamping itu Pasal 4 ayat 2 huruf
(c) yang menyatakan bahwa pengadilan boleh memberikan ijin poligami dengan alasan
“isteri tidak dapat melahirkan keturunan” harus dipahami bahwa kebolehan berpoligami
itu antara lain dikarenakan “isteri mandul” atau “isteri rahimnya telah diangkat”
sehingga tidak mungkin lagi dapat memberikan keturunan atau melahirkan anak,
sedangkan dalam perkara a quo Termohon pernah hamil dan benar-benar sehat jasmani
dan rohani serta tetap berusaha dengan berbagai cara (program) untuk mendapatkan
keturunan sehingga masih ada kemungkinan kedua belah pihak mendapatkan keturunan.
Dengan demikian permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan hukum
halaman 11 dari 15 halaman, putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 ;------------------------------------
Menimbang, bahwa selain harus terpenuhinya alasan berpoligami, juga
Pemohon harus memenuhi persyaratan berpoligami sebagaimana dimaksud Pasal. 5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ;----------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa dengan mendasarkan kepada pernyataan Termohon bahwa
Termohon tidak pernah memberikan ijin baik secara tertulis maupun secara lisan kepada
Pemohon untuk menikah lagi dengan CALON ISTERI KEDUA PEMOHON, sedangkan
Pemohon tidak dapat menunjukkan bukti-bukti surat terutama tentang adanya
persetujuan isteri, dan pernyataan mampu untuk berbuat adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak, maka pengadilan berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak memenuhi
persyaratan untuk berpoligami sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf (a), dan (c)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ;----------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa Pemohon juga tidak dapat menghadirkan calon isterinya
bernama CALON ISTERI KEDUA PEMOHON dimuka sidang untuk dimintai
keterangannya terutama apakah ia ada hubungan kekeluargaan dan atau tidak ada
larangan untuk menikah dengan Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 8 dan 9
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 s/d 42 ;----
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
maka permohonan Pemohon untuk minta ijin poligami tidak cukup beralasan dan idak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1)
Undang-Unang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 57 dan 58 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Dengan demikian permohonan Pemohon untuk berpoligami tersebut patut
ditolak;------------------------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa mengenai petitum angka 3 dalam surat permohonan
Pemohon yaitu mengenai penetapan harta bersama antara Pemohon dengan Termohon,
karena permohonan tersebut bersifat assesoir dengan permohonan pokok, sedangkan
12
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
permohonan pokoknya (ijin poligami) ditolak, maka petitum angka 3 tersebut patut juga
ditolak;-------------------------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
maka permohonan Pemohon patut ditolak seluruhnya;-----------------------------------------
Menimbang, bahwa sesuai ketentuan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 tahun
1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubaan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka seluruh biaya perkara ini
dibebankan kepada Pemohon;----------------------------------------------------------------------
Mengingat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum
syar’y yang berkaitan dengan perkara
ini;---------------------------------------------------------
MENGADILI
1. Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;------------------------------------
2. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang hingga
kini dihitung sejumlah Rp. 616.000,- (enam ratus enam belas ribu rupiah);--------
Demikian putusan ini dijatuhkan di Jakarta pada hari Rabu tanggal dua puluh
enam Desember tahun dua ribu dua belas masehi, bertepatan tanggal dua belas Shafar
tahun seribu empat ratus tiga puluh empat Hijriah, oleh kami Drs. H. Yusuf Buchori,
SH, MSI sebagai Hakim Ketua, Drs. H. Shonhaji, MH dan Drs. Sanusi, MH, masing-
masing sebagai Hakim Anggota dan putusan tersebut dibacakan pada hari itu oleh
Hakim Ketua tersebut dalam persidangan terbuka untuk umum, dengan dibantu Gunadi,
SH, MH sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Termohon/kuasanya dan diluar
hadirnya Pemohon/kuasanya;-----------------------------------------------------------------------
Hakim Anggota I; Hakim Ketua;
ttd ttd
halaman 13 dari 15 halaman, putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
DRS. H. SHONHAJI, MH DRS. H. YUSUF BUCHORI, SH, MSI
Hakim Anggota II;
ttd
DRS. SANUSI, MH Panitera Pengganti;
ttd
GUNADI, SH, MH
Perincian beaya perkara :
1. Beaya pendaftaran (PNBP) ......... Rp. 30.000,-
2. Beaya proses ................................ Rp. 75.000,-
3. Beaya panggilan para pihak ….... Rp. 500.000,-
4. Beaya redaksi .............................. Rp. 5.000,-
5. Beaya meterai ………………...... Rp. 6.000,-
Jumlah Rp. 616.000,-
14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
halaman 15 dari 15 halaman, putusan No. 1143/Pdt.G/2012/PA.JB
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15