167
i HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan PRA TUGAS AKHIR Program Studi S1 Arsitektur Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik Disusun oleh : Achmad Ricky Zulfahmiddin 10/296785/TK/36212 DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2016 Kampung Nelayan Vertikal di Tegal ACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.Eng Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

i

HALAMAN JUDUL

KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan

PRA TUGAS AKHIR

Program Studi S1 Arsitektur

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai

Gelar Sarjana Teknik

Disusun oleh :

Achmad Ricky Zulfahmiddin

10/296785/TK/36212

DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2016

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Kampung Nelayan Vertikal di Tegal

Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan

PRA TUGAS AKHIR

Program Studi S1 Asitektur

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai

Gelar Sarjana Teknik

Diajukan oleh :

Achmad Ricky Zulfahmiddin

10/296785/TK/36212

Yogyakarta, 2015

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Budi Prayitno M.Eng

NIP. 196107231986021001

Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan

Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Ketua,

Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., PhD

NIP. 195906281985031006

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahi ar-rahman, ar-rahiim. Segala pujian, nyanyian dan lantunan telah kembali ke

pangkuan Sang-Indah, Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan ridha-Nya dalam

penyusunan dan proses penulisan Pra-Tugas Akhir ini.

Pra Tugas Akhir ini disusun sebagai syarat kelulusan sarjana S-1 pada Jurusan Teknik

Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penulisan

Pra Tugas Akhir ini merupakan studi sekaligus implementasi konsentrasi studi arsitektur dan

bidang terkait lainnya dalam menyikapi krisis identitas arsitektur Indonesia, khususnya pada

sektor Maritim. Mengingat pepatah lama, Jales Veva Jaya Mahe, hanya dilautlah kita berjaya.

Saya berharap dengan penyusunan penulisan ini bersifat provokatif terhadap kaum intelegentia

dalam menyikapi permasalahan dalam bidangnya dan mengulik hingga ke sisi terdalam

permasalahan yang menjadi perhatian studi. Sehingga dengan ini, lulusan S1 tidak lagi menjadi

graduate abal-abal saja melainkan sudah siap benar dalam menjalankan amanat sebagai pelajar

dalam masyarakat dan memutar-balikkan peranan intelegentia ke ranah internasional. Saya

meyakini, suatu professional yang matang bermula dari amatir yang berusaha secara maksimal.

Masyarakat nelayan, sejatinya merupakan penunggu teras depan maritim Indonesia

sehingga mereka tentu saja merupakan cerminan dalam bangsa Indonesia. Hal-hal yang baik

terucap maupun tidak, menjadi akar permasalahan yang ada dalam segala problematika

esensional Indonesia. Dalam beberapa pendapat, ada yang menyatakan bahwa ilmu

pengetahuan Eropa adalah satu-satunya kunci untuk membawa gemilangnya peradaban kita.

Namun, bagi saya, itu merupakan sebuah pemaksaan. Sejatinya, kita telah memiliki ilmu

pengetahuan tersendiri dan ia tidak pernah bersembunyi. Hanya saja kita lupa untuk menyadari

dan menghargai.

Sudah menjadi aktifitas temurun dimana kaum nelayan Indonesia ter-eksploitasi oleh

dominasi suatu tatanan kelas dan menjeratnya kedalam kebodohan. Hal ini tentu

memprihatinkan mengingat adanya istilah ‘miang’/’mayang’. Menyikapi hal ini, saya

meyakini bahwasanya visualisasi tentu memiliki pengaruh atas psikologis. Terhadap mental

masyarakat, kami para arsitek adalah salah satu yang harus bertanggung jawab karena terlalu

banyak menciptakan kecantikan dengan tangkai mawar. Rosseau pernah berkata, peradaban

yang terutama diandalkan pada kekuatan penalaran memang menghasilkan orang pandai,

namun serentak dengan perkembangan itu semakin sulitlah mendapatkan orang yang

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

iv

berkebajikan. Maksud saya, demi dirinya sendiri, manusia menjadi rela merampas hak para

pejalan kaki.

Kita tidak akan pernah bisa memaksakan suatu bentuk arsitektur jika tidak pernah

melihat bagaimana suatu dapur. Itulah yang memaksa saya untuk melakukan penelitian yang

mendalam dan mengakar kepada ilmu sosial dalam pendekatan perancangan. Sesungguhnya

segala sesuatu itu saling berhubungan dalam suatu kesinambungan.

Begitu banyak kendala dijumpai dalam penulisan dan penelitian terkait isu Nelayan ini

namun, keberhasilan dalam penulisan tak urung jua merupakan hasil sinergi kerja sama yang

baik dari berbagai pihak yang ikut tertawa dan menangis dalam penyusunan Pra Tugas Akhir

ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Nabi Besar Muhammad SAW, selaku inspirasi paradigma dan motivasi perihal kebanggan

atasku kelak.

2. Bunda, Bapak, Richa pesek, Rais ketek dan malaikat malaikat rumah mungilku. Lama

sudah aku pergi, beri aku waktu sebentar lagi.

3. Budi Prayitno M.Eng, selaku dosen pembimbing Pra Tugas Akhir atas dukungan dan

kesabarannya dalam berdiskusi.

4. Kurnia Widiastuti, MT, selaku Dosen Pembimbing Akademik atas kesempatan yang

diberikan untuk berdiskusi banyak dan memberi inspirasi dalam bersikap.

5. Para Filantropi Golden yang banyak bersuka dan memberikan udara segar dalam hari

kelam. Tau(yam)fik SAS, Gus To’ Kistili, Ryan Ravalatski, Pacun-skay, Fak’o,Yomsza,

Palaentikum Solo, Ricky Bawah, Faqih Tersenyum Kembali, dan manusia lain yang akan

menghabiskan halaman jika disebutkan.

6. Manusia Architen yang tersisa dan berserak dimana-mana.

7. Keluarga Kanjeng Kidul yang selalu memberikan protein tinggi dengan ikan segarnya tiap

kali gulana menerjang.

8. Manusia-manusia yang saya jumpai dalam perjalanan ini. Meski sejenak, betapa banyak

yang harus kupetik dalam bait bait kisah berdarah kalian.

9. Dan seseorang yang saat ini entah sudah berada dimana. Langkah mungilmu terlalu cepat

untuk kuimbangi, tapi tawamu menginspirasi.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

v

Mengutip kalimat bijaksana Pramudya, “Seorang terpelajar harus sudah adil sejak

dalam fikirannya”. Untuk itu, betapa saya menyesali hari hari lalu yang telah dilalui dengan

tidak bijaksananya dalam bersikap. Sudah selayaknya kita bangkit dari berleha-leha di depan

perapian. Kisah kampus kita hari ini, tentang gugurnya dedaun rimbun. Bersandar rona dan

bersemi yang merekahkan cinta para pejuang ilmu yang tertimbun. Semua setimpal berkat doa.

Meski goresan pagi menua, akan tetap ada sebuah canda.

Saya sangat menyadari bahwa penulisan Pra Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna

dan masih memerlukan banyak masukan. Karena itu saya memohon maaf yang sebesar-

besarnya dan mengharapkan saran dan kritik yang kiranya dapat membantu penyempurnaan

Pra Tugas Akhir ini. Akhir kata, semoga Pra Tugas Akhir ini dapat memberi manfaat bagi

semua pihak khususnya di bidang pendidikan arsitektur. Terimakasih.

Yogyakarta, Desember 2015

Achmad Ricky Zulfahmiddin

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

vi

DAFTAR ISI

Contents HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... vi

ABSTRAKSI ....................................................................................................... xiii

BAB I ....................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.1.1 Kondisi Umum Kelautan di Indonesia ............................................. 1

1.1.2 Konsep Vertikal pada Perkampungan Nelayan ................................ 3

1.1.3 Tegal, Kota di Jawa Tengah sebagai Prototype Pemukiman Nelayan ..... 4

1.1.4 Kaidah Penerapan Rancangan Arsitektur ......................................... 9

1.2 Permasalahan.............................................................................................. 13

1.2.1 Umum ............................................................................................. 13

1.2.2 Khusus ............................................................................................ 14

1.3 Tujuan dan Sasaran Penulisan .................................................................... 14

1.3.1 Tujuan ............................................................................................. 14

1.3.2 Sasaran ........................................................................................... 14

1.4 Lingkup Penelitian ..................................................................................... 15

1.5 Metode Penelitian....................................................................................... 15

1.5.1 Pengumpulan Data ......................................................................... 15

1.5.2 Analisis ........................................................................................... 15

1.5.3 Sintesis ........................................................................................... 15

1.6 Sistematika Penulisan ................................................................................ 16

1.6.1 Bab I Pendahuluan ......................................................................... 16

1.6.2 Bab II Tinjauan Pustaka ................................................................. 16

1.6.3 Bab III Epistemologi ...................................................................... 16

1.6.4 Bab IV Tinjauan Lokasi ................................................................. 16

1.6.5 Bab V Pendekatan Konsep Perancangan ....................................... 16

1.6.6 Bab VI Konsep Perancangan .......................................................... 16

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

vii

1.7 Kerangka Penelitian ................................................................................... 17

17

1.8 Keaslian Penulisan ..................................................................................... 18

BAB II .................................................................................................................... 19

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 19

2.1 Kampung Nelayan ...................................................................................... 19

2.1.1 Permukiman Nelayan ..................................................................... 19

2.1.2 Konflik Kelas Sosial Nelayan ........................................................ 21

2.1.3 Kondisi Permukiman Nelayan ....................................................... 26

2.1.4 Rencana Pemukiman Nelayan ........................................................ 27

2.2 Kampung Nelayan Vertikal........................................................................ 29

2.2.1 Definisi Umum Desain Kampung Vertikal .................................... 29

2.2.2 Fasilitas dan Konfigurasi Lingkup Desain ..................................... 33

2.3 Studi Kasus : Presedent Kampung Nelayan di Indonesia .......................... 51

2.3.1 Rumah Susun Muara Angke .......................................................... 51

BAB III .................................................................................................................. 58

EPISTEMOLOGI .................................................................................................. 58

3.1 Epistemologi Asarnawa Sebagai Dasar Rancangan ................................... 58

3.1.1 Pengertian Asarnawa ...................................................................... 58

3.1.2 Konteks Sistematika Sosial Asarnawa dalam Dunia Arsitektur .... 59

3.2 Kaidah Arsitektural dalam Pendekatan Konsep ......................................... 61

BAB IV .................................................................................................................. 75

TINJAUAN LOKASI ............................................................................................ 75

4.1 Tinjauan Kota Tegal ................................................................................... 75

4.1.1 Kondisi Geografis dan Iklim Kota Tegal ....................................... 75

4.1.2 Kondisi Topografi dan Peruntukan Lahan ..................................... 76

4.1.3 Kondisi Permukiman Nelayan Tegalsari ....................................... 78

4.1.4 Kondisi Sosial dan Ekonomi .......................................................... 83

4.2 Analisis Lokasi Terpilih ............................................................................. 84

4.2.1 Kondisi Eksisting ........................................................................... 85

4.2.2 Batas Lokasi ................................................................................... 88

4.2.3 Akses Pencapaian ........................................................................... 88

4.2.4 Ukuran Tapak ................................................................................. 88

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

viii

BAB V ................................................................................................................... 90

PENDEKATAN KONSEP PERANCANGAN ..................................................... 90

5.1 Pendekatan Analisis Urban : Arsitektur Perilaku terhadap Konflik Dominasi pada

Sosial Nelayan ............................................................................................ 90

5.1.1 Alasan dipilihnya konteks konflik sosial sebagai acuan pendekatan desain

91

5.1.2 Isu dalam konteks sosial yang sedang berkembang di masyarakat 92

5.2 Konteks Sosial dalam metode perancangan Asarnawa ............................ 101

5.2.1 Skematik Pengembangan Kawasan .............................................. 101

5.2.3 Konteks Tapak Dalam Ikatan Perancangan ............................................. 104

5.3 Arsitektur Tropis : Filosofi Arsitektur Tradisional Jawa ........................... 107

5.3.1 Konteks Budaya – Filosofi Tradisional Jawa ............................... 107

5.4 Pendekatan Rancangan Ekologis dalam Desain ...................................... 109

5.5 Konsep Formal ......................................................................................... 111

5.5.1 Standard Kebutuhan Ruang .......................................................... 111

5.5.3 Konsep Sirkulasi .......................................................................... 113

5.5.4 Parkir ............................................................................................ 113

5.5.5 Terestrial-non terestrial ................................................................ 115

5.5.6 Konsep Akustik dan Pencahayaan ............................................... 115

5.5.7 Konsep Penghawaan .................................................................... 117

5.5.8 Sistem Struktur ............................................................................. 117

5.5.9 Sistem Penghijauan ...................................................................... 117

5.5.10 Sistem Pelistrikkan ....................................................................... 119

BAB VI ................................................................................................................ 123

KONSEP PERANCANGAN ............................................................................... 123

6.1 Pengertian Umum Konsep Perancangan .................................................. 123

6.2 Konsep Makro .......................................................................................... 126

6.3 Konsep Messo .......................................................................................... 127

6.4 Konsep Mikro .......................................................................................... 127

6.4.1 Ruang Sebagai Kesadaran Sosial ................................................. 131

6.4.2 Local Wisdom : Perwujudan Kultur dan Tropikal pada Bangunan137

6.4.3 Rancangan Ekologis ..................................................................... 141

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 147

LAMPIRAN ......................................................................................................... 151

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

ix

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

x

Daftar Gambar

Gambar 2.1 Gambar Persyaratan Tinggi Rumah Susun 35

Gambar 2.2 Jarak antar gedung menyangkut privacy 43

Gambar 2.3 Contoh dari sistem ventilasi di daerah koridor 43

Gambar 2.4 Pembakaran Ikan Pada Restoran Ikan Bakar 50

Gambar 2.5 Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) 51

Gambar 2.6 Eksterior Rumah Susun 51

Gambar 2.7 Tampak Prespektif dari Arah Luar 52

Gambar 2.8 Tampilan Bangunan Rumah Susun Bandarharjo 56

Gambar 3.1 Keseimbangan yin dan yang dalam hubungan

ekologis dan teknologi. 69

Gambar 4.1 Data Kependudukan di Kota Tegal 80

Gambar 4.2 Peta Letak Permukiman Kumuh di Kota Tegal 82

Gambar 4.3 Eksisting tapak. 84

Gambar 4.4 Batas Barat Eksisting. 85

Gambar 4.5 Eksisting tapak. 85

Gambar 4.6 Kondisi Eksisting. 86

Gambar 4.7 Tapak dalam Studi. 87

Gambar 4.8 Ukuran tapak terpilih. 88

Gambar 5.1 Skematik pengembangan kawasan. 101

Gambar 5.2 Flowchart Pemberdayaan Masyarakat. 102

Gambar 5.3 Mapping kampung nelayan. 104

Gambar 5.4 Minimnya perhatian warga terhadap kebersihan

lingkungan. 105

Gambar 5.5 Fasilitas MCK yang seadanya dan berada diatas

saluran pembungan. 105

Gambar 5.6 Penggunaan material saeadanya dalam pembangunan

rumah tinggal. 105

Gambar 5.7 Potongan Kawasan. 106

Gambar 5.8 Manusia dan Rumah Tinggal. 110

Gambar 5.9 Pembagian zonase. 112

Gambar 5.10 Analisis Parkir. 113

Gambar 5.11 Analisis aktifitas matahari pada ruangan. 115

Gambar 5.12 Analisis aktifitas matahari pada ruangan. 115

Gambar 5.13 Analisis perancangan atap hijau. 117

Gambar 5.14 Analisis perancangan saluran atap hijau. 117

Gambar 5.15 Analisis tebal tanah pada atap hijau. 118

Gambar 5.16 Analisis perbedaan temperatur. 119

Gambar 5.17 Analisis penggunaan energi matahari. 119

Gambar 5.18 Analisis kombinasi pemasangan energi

matahari. 120

Gambar 6.1 Alternatif 1. 127

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

xi

Gambar 6.2 Batara Baruna. 128

Gambar 6.3 Alternatif 2. 128

Gambar 6.4 Alternatif 3. 129

Gambar 6.5 Tegalan sebagai identitas mula Kota Tegal. 129

Gambar 6.6 Setting massa. 131

Gambar 6.7 Setting massa dalam vertikalitas. 132

Gambar 6.8 Denah tipe 30 133

Gambar 6.9 Denah tipe 50 134

Gambar 6.10 Denah tipe 36 135

Gambar 6.11 Taman dalam rancangan bersifat edukatif kedalam dua

pendekatan. 136

Gambar 6.12 Skema aktifitas hunian 137

Gambar 6.12 Skema aktifitas wisata 138

Gambar 6.14 Program ruang kampung susun 139

Gambar 6.15 Teknik vertikultur sebagai area hijau pada atap 142

Gambar 6.16 Pemasangan area hijau dalam fasad unit 143

Gambar 6.17 Detail pemasangan area hijau dalam fasad unit 144

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

xii

Daftar Tabel

Tabel 1.1 Luas Bangunan dan Lahan Pelabuhan Perikanan dan

Tempat Pelelangan Ikan Di Kelurahan Tegalsari 5

Tabel 1.2 Ketersediaan Fasilitas Pokok Pelabuhan Perikanan Tegalsari 5

Tabel 1.3 Ketersediaan Fasilitas Fungsional Di Kelurahan Tegalsari 5

Tabel 1.4. Ketersediaan Fasilitas Penunjang Di Kelurahan Tegalsari 6

Tabel 1.5 Paradigma Ekologis 11

Tabel 2.1 Luas lahan untuk Fasilitias lingkungan rumah susun dengan

KDB 50-60% 33

Tabel 2.2 Fasilitas Niaga dalam perancangan kampung vertikal 36

Tabel 2.3 Fasilitas Pendidikan dalam perancangan kampung vertikal 37

Tabel 2.4 Fasilitas Kesehatan dalam perancangan kampung vertikal 38

Tabel 2.5 Fasilitas Pelayanan Umum dalam perancangan kampung

vertikal 40

Tabel 2.5 Fasilitas Ruang Terbuka dalam perancangan kampung vertikal 41

Tabel 2.6 Analisa Pelaku pada Kawasan Tegalsari 46

Tabel 2.7 Analisa Aktifitas pada Kawasan Tegalsari 47

Tabel 2.8 Analisa Kelompok Aktifitas pada Kawasan Tegalsari 47

Tabel 2.9 Analisa Persyaratan dalam Organisasi Ruang pada

Kawasan Tegalsari 48

Tabel 3.1 Perbedaan Kaidah Lama dan Baru menurut Ernest

Callenbach 63

Tabel 4.1 Ketentuan Massa Bangunan pada Rumahsusun Kawasan

Tegalsari 76

Tabel 4.2 Produksi Perikanan Tangkap di Tegalsari 81

Tabel 5.1 Kaidah berfikir ekologis 109

Tabel 6.3 Perumusan konsep secara umum. 122

Tabel 6.2 Tabel Penjabaran Konsep 125

Tabel 6.3 Diagram Asarnawa perancangan Kampungsusun

Tegalsari, Kota Tegal 145

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

xiii

ABSTRAKSI

Kampung nelayan, merupakan suatu kawasan yang berada pada basis kelautan dan

merupakan citra penting sebagai penunggu teras depan Indonesia sebagai sebuah negara

yang berawal dari kisah-kisah kejayaan maritim. Namun kejayaan ini pada masa sekarang

tinggalah sebatas mimpi, kalau bukan utopia. Hal ini terlihat dalam pendapatan ekonomi

masyarakat yang rendah dan menjerat masyarakat nelayan dalam stigma kekumuhan yang

berakar pada perwujudan area Kansas yang sarat kriminalitas.

Menyikapi isu tersebut, maka perencanaan kawasan huni terpadu dalam bentuk

perancangan vertikal memfasilitasi unit hunian dan aktifitas kegiatan masyarakat khusus

nelayan yang berpenghasilan rendah dan terjebak ke dalam konflik dominasi oleh

hegemoni masyarakat kelas kapital. Kompleks hunian vertikal menjadi solusi dengan

menampilkan wujud dari pengelompokkan kelas tersebut dalam skema bangunan tanpa

melakukan pemisahan antar kedua kelas sehingga menimbulkan makna kesadaran diri

dalam berperilaku dalam bangunan tanpa terlibat dalam proses alienasi diri dalam perilaku

kognisinya masing masing.

Perancangan kampung nelayan vertikal perlu memperhatikan isu isu sosial,

konsepsi kebudayaan lokal, kondisi klimatologi dan topografi. Pendekatan arsitektur tropis

dan ekologis dalam perancangan dapat memaksimalkan potensi kawasan, karena adanya

kesatuan hubungan antara ruang dalam bangunan dengan lingkungan. Dengan

memanfaatkan pengalaman ruang sebagai visualisasi yang mempengaruhi keadaan psikis

perilaku pengguna bangunan, diharapkan bangunan dapat menjadi sebuah solusi yang

dominan dalam perilaku arsitektur baru yang bermahdzab pada kearifan lokal arsitektur

nusantara yang sejatinya pada masa lampau pernah berjaya.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

xiv

ABSTRACT

Fisherman Kampoong, one of district which base in marine and an important image as

an archipelagic country based on greatness ancient story. Although, those greatness in present

day is only a memory, and we can't feel it twice. Those statement based on low society income

and makes society entangled into poverty stigma. This stigma is a radix based upon 'Kansas'

area which full of crimes.

Respond those issue, so plan of integrated residential in vertical design for residential

unit which low income fisherman activity and stuck in domination conflict by capitalist

fisherman hegemony.

Vertical residential block is a solution because it show the social classes in building

scheme without seperating between class so that make the users get the consciousness in

behave in design scheme without involving alienation process in cognition behavior itself.

Vertical Fisherman Kampoong plan have to concern on social issues, anthropology

concept, climatology and topography condition. Tropical and ecological architectural

approaches in design can maximizing district potential, because there is integration between

building design and environment.

By leveraging the experience of space as a visualization that affect the psychological

state of user behavior of the building , the building is expected to be one solution that is

dominant in the behavior of the new architecture that based on local wisdom architecture a true

archipelago in the past had triumphed .

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.1.1 Kondisi Umum Kelautan di Indonesia

Laut adalah sebuah kawasan, daerah dan ekosistem yang sangat khas,

dicirikan dengan air asin yang selalu dinamis dan aktif bergerak. Dalam kawasan

ini terdapat berbagai kehidupan mulai dari permukaan bahkan hingga ke palung

terdalamnya sekalipun. Selain itu, laut juga memiliki kandungan mineral dari

bijih berbagai logam serta sumber minyak bumi dalam lapisan-lapisan batuan

sedimennya1.

Maka laut tak ayal menjadi salah satu bagian penting bagi suatu negara,

pun Indonesia yang memiliki wilayah laut berlimpah di segala isi tubuhnya.

Kekayaan dan kemelimpahan sumberdaya laut (SDL) yang termasuk dalam ruang

lingkup Indonesia, sudah selayaknya dapat memberikan kesejahteraan bagi

segenap warga, bangsa, dan rakyatnya. Hal semacam itulah yang terjadi di

negara-negara maju yang memiliki kekayaan SDL, terlihat dengan kawasan

pantai pesisir yang bersih, terawat dan tertata rapi dengan deretan kapal-kapal

pesiar di dermaganya. Namun, tidak demikian yang terjadi di Indonesia.

Permukiman di kawasan pesisir justru memiliki prototype sebagai kawasan yang

urakan, kumuh, jorok, bau dengan tumpukan sampah yang berserakan. Apabila

terdapat kapal, maka deretan kapal itu hanya kapal penangkap ikan dengan

berbagai ukuran, umumnya tiga, sehingga hasil lautnya pun terbatas.

Indonesia merupakan sebuah nergara kepulauan/maritim yang terdiri dari

kurang lebih 17.500 pulau dengan luas laut 5,8 juta km2, yaitu 75% dari luas

Indonesia seluruhnya. Lautan di Indonesia terkenal dengan kekayaan spesies flora

dan fauna kelautan. Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya berbagai kegiatan

yang berhubungan dengan kelau1tan diantaranya adalah kegiatan dan

1 Boy Rahardjo Sidharta , 2015, Budaya Bahari, dari Nusantara Menuju Mataram Moderen, Prolog.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

2

permukiman masyarakat nelayan. Kegiatan dari masyarakat ini memiliki peranan

yang cukup mendominasi dari sektor perekonomian negara Indonesia yakni

pendapatan nasional hasil ekspor dan impor melalui usaha kegiatan perikanan.

Konflik sosial dalam pemukiman kampung nelayan pun memegang peran

penting dalam perkembangan sosial kampung-kampung nelayan yang ada di

Indonesia. Fakta empiris menunjukkan bahwa konflik sosial merupakan bagian

dari kehidupan manusia dalam interaksinya antara satu dengan yang lain. Konflik

dapat dijumpai pada setiap sistem sosial, yang menurut Parsons, sebuah sistem

sosial terdiri dari pluralitas individual aktor yang berinteraksi satu sama lain,

yang bermulai dari tingkat terkecil hingga pada sistem sosial berskala

makrointernasional.2

Belakangan ini penguasaan dan akses terhadap sumber daya alam semakin

sering menjadi isu utama dalam konflik sosial seperti konflik antar-nelayan.

Beberapa tahun yang lalu MacNeill et al sudah memperkirakan bahwa konflik

mengenai sumber daya dan lingkungan itu akan semakin parah di masa yang akan

datang. Umumnya gejala konflik sosial ini ditandai dengan munculnya stigma

kansas area pada kawasan nelayan dimana patologi sosial dalam terminologi

kansas area adalah terkait isu premanisme dalam kelas kelas sosial terkait

kelompok masyarakat dalam kawasan tersebut3.

Isu utama dalam perkampungan nelayan umumnya berkisar pada masalah

dominasi, bukan eksploitasi yang marak terjadi di kalangan buruh Industri. Dalam

konteks ini konsep jarak dominasi menjadi penting. Sekalipun isu tersebut benar-

benar realistis, karena esensi konflik kelas nelayan menyangkut sumber

penghidupan atau masalah hidup dan mati, maka konfliknya cenderung menjadi

konflik kekerasan dan destruktif (violent). Dalam berbagai kasus konflik, para

nelayan bahkan dapat menggunakan senjata tajam, termasuk panah bahkan bom

molotov. Di kota Tegal sendiri, nelayan umumnya melakukan demo gerakan aksi

massa dengan kegiatan yang rusuh dan tak terkendali. Sedangkan pada kasus 16

2 Ibid. 3 Rilus. A Kinseng, 2015, Konflik Nelayan. Hal 2-6

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

3

Januari 2006 di Balikpapan, terjadi pembakaran perahu dan alat tangkap nelayan

purse sein yang menjadi lawan4.

Bersamaan dengan munculnya berbagai patologi kelas sosial nelayan,

muncul pula berbagai anomali kapitalis ekonomi yang lahir dan mengacaukan

sistem ekonomi kelas kelas sosial masyarakat pesisir yang mendominasi para

nelayan dengan ‘pukat temurun’ sehingga selamanya akan tetap atau bahkan

merasa nyaman di bawah ketiak para punggawa tanpa sedikitpun menjerit dalam

keadaan marjinalitas.

Aktifitas konflik ini, merupakan sebuah hal yang sepatutnya direnungkan

oleh arsitektur dalam melakukan penataan suatu ruang dalam kawasan.

Perancangan yang baik, adalah perancangan yang menjawab dan memberikan

desain solutif atas aktifitas individu yang menghuni rancangan desainnya untuk

menghindari terjadinya vandalism yang bertendensi menjadi tindak kriminal.

1.1.2 Konsep Vertikal pada Perkampungan Nelayan

Untuk memenuhi aspek dalam mekanisme kehidupan urban dan rural

dengan adanya sebuah pemukiman yang memiliki kerangka yang mengatur

pertumbuhan jaringan ekonomi dan aktifitas sosial secara lebih terpadu agar para

nelayan yang menempati bangunan terlepas dari cakar kapital/juragan ikan dan

dapat hidup bebas dan mandiri. Di Indonesia sendiri, bangunan-bangunan dengan

pendekatan technopolis yang mengatasnamakan teknologi untuk memecahkan

segala isu-isu perkotaan masih sekedar berupa impian, kalau bukan utopia. Untuk

kota-kota di Indonesia memiliki orientasi yang lebih menekankan konsep hunian

yang manusiawi (humanopolis) dan bersahabat dengan lingkungan (ecopolis)5

Perihal pembangunan sustainable yang termasuk dalam kaidah ekologi,

ada baiknya untuk mencermati dengan mendalam prinsip Sapta-E terutama pada

point “Sesuatu yang terkadang agak kontroversial, yaitu menyangkut estetika dan

keindahan. Kontroversi muncul dikarenakan adanya perbedaan persepsi tentang

keindahan. Misalnya, bila diperbincangkan tentang kampung kumuh atau

pedagang kaki lima, para pejabat pemerintah biasanya menilai bahwa kampung

4 Ibid. at 5 Pengantar : Prof. Ir. Eko Budiharjo, MSc, 2015, Kota dan Lingkungan : Pendekatan Baru Masyarakat

Berwawasan Ekologi. Judul Asli : Cities and Environment ; New approaches for eco-societies. Hal ix-xiv

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

4

kumuh itu semerawut, jelek, tidak indah, merusak pandangan dan mengganggu

citra kota. Sebaliknya rakyat kecil yang berperan sebagai users dan para tokoh

LSM terkait beranggapan bahwa keindahan kampung itu justru terketak pada

kekumuhan dan kesemerawutannya. “It is beautiful because it is ugly” kata

seorang pakar ekologis Barat.

1.1.3 Tegal, Kota di Jawa Tengah sebagai Prototype Pemukiman Nelayan

Sejalan dengan semangat Nawacita, peningkatan kualitas hidup nelayan

menjadi instrumen yang layak diarusutamakan. Sudah tidak dapat dibantah lagi

bahwa masyarakat nelayan membutuhkan peningkatan pasokan dan penguatan

akses kebutuhan papan yang memadai guna menunjang peningkatan

kesejahteraannya. Sebagai kawasan yang memberikan kontribusi terhadap

kebutuhan perikanan nasional, masyarakat nelayan kawasan Tegalsari Kota Tegal

membutuhkan perlindungan hak bermukim untuk mengatasi kesenjangan antara

konstribusi perikanan yang diberikan dengan tingkat kesejahteraan sosialnya.

Ketidakterjangkauan harga rumah dan tanah telah mengakibatkan munculnya

kesulitan bagi masyarakat nelayan Tegalsari untuk memiliki hunian yang layak,

tampak kontradiktif dengan amanat konstitusi yang menegaskan adanya

kewajiban kehadiran negara dalam memenuhi kesejahteraan papan bagi seluruh

warga negara. Oleh karena itu, pembangunan permukiman nelayan Tegalsari

membutuhkan prioritas penanganan nasional.6

Untuk merencanakan pembangunan di Kota Tegal khususnya di kawasan

Tegalsari perlu memperhatikan kondisi dan potensi yang dapat mengangkat

daerah tersebut. Berdasarkan kondisi geografisnya, kawasan Tegalsari

merupakan kelurahan yang berpotensial untuk pengembangan industri perikanan

sesuai dengan RTRW Kota Tegal. Dengan berbasis pada potensi perikanan, maka

sudah seharusnya pembangunan di wilayah tersebut berorientasi pada sektor

perikanan sebagai pendorong terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat

sekitar. Berikut beberapa data yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

pembangunan di sektor perikanan.

No Uraian Luas

6 Pusperkim UGM, Sustainable Habitat Engineering Laboratory, Pemkot Tegal, 2015, Pembangunan

Permukiman Nelayan Kelurahan Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Hal 3-10

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

5

1 Luas Lahan Total 17,2 Ha

2 Luas Bangunan 1.914 m²

3 Luas Kantor PPI/TPI 400 m²

4 Rencana Pengembangan Bangunan 800 m²

Tabel 1.1 Luas Bangunan Dan Lahan Pelabuhan Perikanan Dan Tempat Pelelangan Ikan Di

Kelurahan Tegalsari

Sumber : Master Plan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari 2014

S

Tabel 1.2 Ketersediaan Fasilitas Pokok Pelabuhan Perikanan Tegalsari

Sumber : Laporan Tahunan PPP Tegalsari Tahun 2014

No Jenis Fasilitas Ukuran/Luas Keterangan

1 Fasilitas Pendaratan Ikan

a. Bangunan TPI 1.914 m²

b. Tempat Pengepakan 756 m²

2 Fasilitas Navigasi dan Pelayaran

a. Rambu Suar 2 Unit

b. Suar Penuntun 1 Unit

c. Telepon 2 Unit

3 Fasilitas Suplai Air Bersih, Listrik dan Bahan Bakar

a. Reservoir 300 m²

No Jenis Fasilitas Ukuran Keterangan

1 Breakwater 1.350 m²

2 Revetment (tanggul

lereng)

1.657,8 m²

3 Training Jetty 529 m² Sibelis dan Gajahmada

4 Dermaga bongkar 358 m²

5 Dermaga tambat labuh 694 m²

6 Alur masuk pelabuhan 6.000 m²

7 Kolam labuh 170.000 m²

8 Kolam perbekalan 20.000 m²

9 Jalan Penghubung 2.248 m²

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

6

b. Sumur Artesis 2 Unit

c. Jaringan Air Bersih 2 Unit

d. SPBN (Pompa BBM

Solar)

1 Unit KUD Karya Mina

e. Catu Daya Listrik 53 KVA

f. Gardu Induk Listrik dan

Travo

1 Unit

g. Jalan dan Saluran 2.500 m²

h. Gorong-gorong 170,80 m²

4 Pabrik Es 1 Unit Kap. 8 ton/hari

5 Chiling Room/ Cold

Storage

1 Unit Kap.

6 Drainase 4.496 m²

Tabel 1.3 Ketersediaan Fasilitas Fungsional Di Kelurahan Tegalsari

Sumber : Laporan Tahunan PPP Tegalsari Tahun 2014

No Jenis Fasilitas Ukuran/Luas Keterangan

1 Kantor Administrasi

a. Kantor PPP Tegalsari 784 M²

b. Kantor Syahbandar 100 M²

c. Poskamladu 100 M²

d. Kantor Satker

Pengawasan Perikanan

100 M² Ditjen P2SDKP

2 Bangunan Serbaguna 180 M²

3 Balai Pelatihan Nelayan 418 M² SUPM Tegal

4 Mess Operator 150 M²

5 Toilet Umum 4 Unit

6 Kios Pedagang (Cofish) 60 Unit

7 Kios Pedagang Swadana 40 Unit

8 Kios Pedagang (APBD

Jateng Thn. 2007)

40 Unit

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

7

9 Tempat Pengepakan

(Cofish)

30 Unit

10 Tempat Pengepakan Ikan

(APBD Jateng Thn 2007)

4 Unit

11 Tempat Pengepakan Ikan

(Swadana)

15 Unit

12 Gerbang Pelabuhan 1 Unit

13 Gedung Pabrik Tepung Ikan 1 Unit

14 Tempat Parkir 1 Unit

15 Ruko Swadana 35 Unit

16 Unit Pengolah Limbah

(UPL)

1 Unit

17 Fillet Ikan 8 Unit

18 Pos Portal 2 Unit

Tabel 1.4. Ketersediaan Fasilitas Penunjang Di Kelurahan Tegalsari

Sumber : Laporan Tahunan PPP Tegalsari Tahun 2014

Berdasarkan tabel-tabel di atas, dapat diakui bahwa fasilitas yang banyak

tersedia di Kelurahan Tegalsari lebih berciri khas kawasan nelayan. Oleh sebab

itu, pembangunan berbasis minat menjadi dasar sebagai gebrakan peningkatan

kesejahteraan masyarakat di Kelurahan Tegalsari. Pada dokumen RTRW

disebutkan pula bahwa wilayah tersebut memang ditujukan sebagai kawasan

peruntukan pelabuhan perikanan pantai yang terintegrasi dengan industri

perikanan dengan operator utamanya adalah UPT Dinas Perikanan dan Kelautan.

Pelabuhan tersebut akan ditujukan untuk pelabuhan pengumpul dan pelabuhan

penyeberangan di lingkup regional.

Untuk mendukung pembangunan di Kota Tegal yang berbasis pada sektor

perikanan ini, maka diperlukan partisipasi dari berbagai tingkatan stakeholders

mulai dari pusat yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun di

daerah seperti sinkronisasi kinerja Pemerintah Kota Tegal, BUMD, Pemerintah

setingkat Kelurahan Tegalsari, dan masyarakat di Kelurahan Tegalsari. Di sisi

lain, sebagai bentuk untuk mensukseskan program Sekaya Maritim (Seribu

Kampung Nelayan Tangguh Indah Mandiri) yang mulai digalakkan tahun 2015.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

8

Hal ini dikarenakan dalam program tersebut terdapat berbagai kegiatan, antara

lain: pembangunan infrastruktur jalan, penyediaan sarana kesehatan, sertifikasi

tanah atas nama nelayan, bantuan alat tangkap ikan, dan kegiatan-kegiatan untuk

peningkatan kualitas lingkungan seperti penyediaan perumahan yang layak bagi

warga nelayan.7

Dengan melihat bahwa kebutuhan rumah layak huni dan kondisi geografis

khususnya luas tanah serta memperhatikan pasokan tanah ke depannya (berimbas

pada penataan kota), maka pembangunan vertikal merupakan salah satu jawaban

yang solutif. Acuan dasarnya dapat dilihat pula pada UU No. 1 Tahun 2011

Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No. 20 Tahun 2011

Tentang Rumah Susun. Sementara untuk dasar pengelolaan dalam

menyelenggarakan hunian vertikal, dapat dilihat dari Peraturan Daerah Kota

Tegal No. 1 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa

dengan tujuannya, agar pengelolaan Rusunawa dapat berhasil dan berdaya guna

sehingga dapat mencapai pemenuhan rumah tinggal yang tepat sasaran,

terjangkau, bermartabat, nyaman, aman, dan sehat bagi penghuninya. Sasarannya

tentu masyarakat di Kelurahan Tegalsari yang masuk dalam kategori sebagai

Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Sementara itu, telah direncanakan pembangunan perumahan bagi

masyarakat di Kelurahan Tegalsari. Tahapan awal rencana pembangunan

permukiman nelayan Tegalsari akan dilaksanakan pada pecahan lahan di zona 1

dengan luas 36.054,9m². Status tanah yang digunakan ialah tanah hak pakai

Pemerintah Kota Tegal. Secara teknis nantinya perumahan tersebut juga akan

dilengkapi dengan vegetasi penghilang atau pereduksi bau amis dan anyir ikan

serta pem-filter debu yang kerap terdapat pada kampung-kampung nelayan pada

umumnya.

Kelompok sasaran penerima manfaat ditujukan pada calon penghuni yang

terdiri dari 154 KK yang memiliki jumlah jiwa sebanyak 503 jiwa. Calon

penghuni tersebut oleh pemerintah setempat sudah diseleksi dan ditetapkan

berdasarkan pertimbangan by name by address. Lokasi pembangunannya berada

pada Jalan Brawijaya Kelurahan Tegalsari Kota Tegal, Jawa Tengah.

7 Ibid. 7

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

9

Pembangunan rumah susun tersebut sebagai bentuk kepedulian terhadap

masyarakat nelayan di Kelurahan Tegalsari dari Pemerintah Kota Tegal.8

Guna membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, terdapat

organisasi tingkat lokal di Kota Tegal yaitu KUD Karya Mina, Kota Tegal.

Seperti diketahui bahwa KUD Karya Mina ini pernah memiliki prestasi sebagai

juara nasional di tingkat nasional, sehingga pasti memiliki pola kerja dan

program-program yang mampu memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan

masyarakat nelayan. Seperti diketahui program-program yang dimiliki oleh KUD

Karya Mina ini antara lain: membantu memasarkan hasil tangkapan nelayan

melalui Tempat Pemasaran Ikan (TPI) seperti tempat untuk melelang ikan hasil

tangkapan nelayan, menyediakan dok kapal di Kelurahan Tegalsari untuk

mereparasi kapal-kapal nelayan, pemberian bantuan sembako, penyediaan alat-

alat perikanan yang beberapa tidak harus dibeli oleh nelayan karena

menggunakan sistem sewa seperti basket (tempat penyimpanan ikan berupa

keranjang agar tidak mudah busuk), pinjaman modal melalui usaha Unit Simpan

Pinjam/USP dengan bunga yang rendah yaitu hanya 1% per tahun bagi anggota.

Oleh sebab itu, mengingat peranan KUD itu penting maka seharusnya Pemerintah

Kota Tegal memberikan bantuan pengembangan organisasi lokal tersebut.9

1.1.4 Kaidah Penerapan Rancangan Arsitektur

Kaidah penerapan rancangan arsitektur di bumi nusantara pada masa

lampau sejatinya memenuhi kaidah filsafat yang mengandung esensi kearifan

lokal karena memiliki komunikasi yang selaras dengan alam dan lingkungan. Hal

ini sesuai dengan filsafat Timur yang tidak berpantang dari semua aktifitas dan

proses kosmik. Jika rancangan arsitektur berpantang melakukan sesuatu yang

berlawanan dengan alam, maka rancangan tersebut sejatinya selaras dengan Tao.

Dan oleh karena itu, tindakan-tindakannya akan berhasil. Inilah esensi utama dari

pernyataan Lao Tzu, “Dengan diam segala sesuatu dapat diselesaikan.”

Dengan demikian, tampak terdapat dua buah aktifitas-aktifitas selaras

dengan alam dan pula yang bertentangan. Konsep pasivitas, ketiadaan aksi sama

sekali sejatinya merupakan isapan jempol semata. Oleh karena itu, dalam

8 Ibid. 8 9 Ibid. 10

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

10

pandangan Cina, pengaitan yin dan yang dengan perilaku pasif dan aktif

dihubungkan dalam dua kutub dasar. Yin direpresentasikan sebagai aktifitas yang

agresif, konsolidatif, dan koorperatif sedangkan yang mengacu pada aktifitas

yang responsif, agresif, ekspansif dan kompetitif. Aksi yin adalah terapan sadar

lingkungan sedangkan yang adalah sadar akan dirinya sendiri. Dalam terminologi

modern, yin sering disebut sebagai “eco-action” dan yang sebagai “ego-action”.10

Kebudayaan masyarakat dalam masa akhir ini bertendensi merasa bangga

dengan serba keilmiahan sehingga zaman ini selain merupakan zaman teknologi

dan informasi juga disebut sebagai zaman Ilmiah. Zaman yang didominasi oleh

pemikiran rasional, dan pengetahuan ilmiah sering dianggap sebagai satu-satunya

jenis pengetahuan yang bisa diterima. Hal ini menurut hemat saya, Ilmu

Pengetahuan dapat dianalogikan seperti suatu agama baru untuk menentang

eksistensi nurani dengan merobohkan kepercayaan atas dogma mitos maupun

agama. Kenyataan bahwa terdapat pengetahuan intuitif yang sama sahihnya

diskeptiskan bahkan diacuhkan. Sikap ini, yang dikenal dengan nama

“scientism”, tersebar luas dan muncul di mana-mana dalam sistem pendidikan

dan semua lembaga sosial dan politik lainnya. Penekanan pada pemikiran rasional

dalam kebudayaan ini disimbolkan dalam statement terkenal Descrates, “Cogito,

ergosum” (Saya berfikir maka saya ada) mendorong kuat untuk menyamakan

identitas dengan pikiran rasional dan bukan organisme yang utuh.

Eksploitasi terhadap alam telah berjalan selama berabad-abad. Sejak

semula, alam dianggap sebagai seorang ibu pengasuh yang baik hati, tetapi

sekaligus juga dianggap sebagai perempuan liar yang tidak bisa dikendalikan.

Pada masa pra-patriarkhal banyak aspek alam dihubungkan dengan berbagai

manifestasi dari Dewi dengan gambaran kepasifan sehingga menimbulkan

paradigma kejam dimana sesuatu yang liar dan berbahaya harus ditaklukkan oleh

laki-laki (manusia). Dengan demikian, dalam Indonesia yang penuh sesak dengan

bangunan industrialis khusunya, kesadaran ekologis akan tumbuh hanya jika kita

memadukan pengetahuan rasional dengan intuisi untuk hakikat lingkungan yang

non-linear. Kearifan intuitif semacam itu merupakan ciri dari kebudayaan-

10 Fritjof Capra, 2002, Titik Balik Peradaban. Tulisan dalam bibliografi dikutip dan dipahami dalam bentuk

pemikiran arsitektural yang berkesinambungan dengan alam.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

11

kebudayaan tradisional dan ‘terbelakang’, terutama kebudayaan Indonesia

dimana perilaku dan pola laku kehidupan ditata berdasarkan pandangan filosofis

yang diproyeksikan dalam bentuk mitos.11

Terminologi yin dan yang sangat bermanfaat dalam analisis keseimbangan

kultural yang menggunakan pandangan ekologi yang luas dalam pengertian suatu

kearifan lokal yang khas dan kesalingtergantungan terhadap semua fenomena.

Hubungan antara teori dan sistematika terminologi tersebut tampak telah

mengenal polaritas dasar yang menjadi karakteristik sistem hidup. Penonjolan

diri dicapai dengan cara menampilkan perilaku yang dengan menuntut, agresif,

bersaing, mengembang dalam kerangka rancangan cityblocknya dengan

menggunakan pikiran linear dan analitis. Integrasi dikembangkan oleh perilaku

yin dengan sikap responsif, koorperatif, intuitif dan sadar lingkungan. Keduanya,

sama-sama memiliki tendensi untuk berintegrasi dan menonjolkan diri, yang

berperan penting dalam membangun hubungan-hubungan sosial dan ekologi yang

harmonis. Dalam hal ini, yin diejawantahkan dalam bentuk arsitektur tropikal dan

kaidah ekologis.

Merupakan hal yang sangat penting untuk memakai istilah “sustainable”

dalam pengertian yang tepat. Sebuah ekosistem atau masyarakat bisa

berkelanjutan dalam jangka menengah hingga jangka panjang jika mendaur ulang

hampir seluruh ‘nutrien’ serta menggunakan energi secara sangat efisien sama

dengan sistem kehidupan. Namun beruntung, apa yang kita sebut sebagai etika

ekologi saat ini sedang berkembang di seluruh dunia, ketika orang mencoba untuk

menggunakan temuan baru dalam ilmu ekologi atau ketika empiris

memperlihatkan kepada mereka bahwa kaidah-kaidah yang lama telah merusak

konsekuensi.12 Oleh dari itu maka ditunjukkan secara singkat perbandingan

kaidah lama dan kaidah baru untuk membentuk konsep rancangan berwawasan

ekologis.

Kaidah Lama Kaidah Baru

11 Ibid. At. 12 Pengantar : Prof. Ir. Eko Budiharjo, MSc, 2015, Kota dan Lingkungan : Pendekatan Baru Masyarakat

Berwawasan Ekologi. Judul Asli : Cities and Environment ; New approaches for eco-societies. Hal 23-29

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

12

Sampah-Limbah Beli murah dan buang Daur ulang

Penduduk Ayo, berkembang-biaklah Dua anak, cukup

Energi Kerjakan sesuatu dengan

biaya semurah mungkin,

apapun hasilnya.

Gunakan tenaga matahari,

angin, biomas dan geothermal.

Hubungan antar-

makhluk

Hanya manusia yang

memiliki arti.

Jangan biarkan makhluk

lainnya punah, lindungi habitat

mereka.

Future Biarkan masa depan

memikirkan masa depan

Pikirkan dampak segala

tindakan terhadap tujuh

generasi mendatang.

Tabel 1.5 Paradigma Ekologis

Sumber : Kota dan lingkungan : Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. Pengantar :

Prof. Ir. Eko Budiharjo, MSc

Konsep rancangan bangunan di Indonesia, pada dasarnya adalah adaptasi

bangunan terhadap iklim tropis, dimana kondisi tropis membutuhkan penanganan

khusus dalam desainnya. Pengaruh terutama dari kondisi suhu tinggi dan

kelembaban tinggi, dimana pengaruhnya adalah pada tingkat kenyamanan berada

dalam ruangan. Tingkat kenyamanan seperti tingkat sejuk udara dalam tubuh

bangunan, oleh aliran udara, adalah salah satu contoh aplikasi konsep bangunan

tropis. Meskipun konsep tropis selalu dihubungkan dengan sebab akibat dan

adaptasi bentuk (tipologi) bangunan terhadap iklim, banyak juga interpretasi

konsep ini dalam trend yang berkembang dalam masyarakat; sebagai penggunaan

material tertentu sebagai representasi dari kekayaan alam tropis, seperti kayu,

batuan ekspos, dan material asli yang diekspos lainnya.

Kondisi iklim tropis lembab memerlukan syarat-syarat khusus dalam

perancangan bangunan dan lingkungan binaan, mengingat ada beberapa faktor-

faktor spesifik yang hanya dijumpai secara khusus pada iklim tersebut, sehingga

teori-teori arsitektur, komposisi, bentuk, fungsi bangunan, citra bangunan dan

nilai-nilai estetika bangunan yang terbentuk akan sangat berbeda dengan kondisi

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

13

yang ada di wilayah lain yang berbeda kondisi iklimnya. Menurut DR. Ir. RM.

Sugiyatmo, kondisi yang berpengaruh dalam perancangan bangunan pada iklim

tropis lembab meliputi kenyamanan thermal, aliran udara melalui bangunan, dan

radiasi panas.13

Kedua hal tersebut diatas adalah metode-metode yang selayaknya

dipertimbangkan dan diterapkan dalam ber-arsitektur di bumi nusantara agar

tidak menciptakan stigma negatif tentang arsitektur yang mementingkan ego dan

idealisme dengan bentuk dan konsep-konsep futuristik. Penulis meyakini

penggunaan metode futuristik dengan bentuk dinamis sebenarnya tidak dilarang,

akan tetapi bangunan sebaiknyalah menerapkan kaidah tropis dan ekologis agar

tidak menciptakan paradoks-paradoks baru dalam perkembangan arsitektur. Di

era sekarang ini, sudah bukan hal yang mengejutkan lagi bahwasanya kaum

intelektual yang seharusnya ahli dalam bidang mereka tidak lagi mampu

menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang telah muncul dalam bidang

keahlian mereka. Penerapan terminologi yang yang bersifat agresif dan menuntut

perkembangan zaman agar arsitektur di Indonesia mampu bersaing dengan

arsitektur luar, seyogyanya juga memikirkan dan mengimbangi dengan

terminologi ying yang bersifat feminim dan memelihara lingkungan agar

bangunan tetap menciptakan komunikasi dengan alam lingkungan sekitar

sehingga memunculkan kearifan rancangan arsitektur secara tekstual.

1.2 Permasalahan

1.2.1 Umum

Sebuah konsep hunian yang memberikan kerangka ekperimental-solutif

berupa pembagian ruang, kegiatan dan sistem terpadu dalam kehidupan

masyarakat urban nelayan yang terperangkap dalam isu dominasi kelas kapital

yang secara turun temurun membelenggu kondisi perekonomian masyarakat serta

menyediakan sistem terapan baru dalam hegemoni sosial masyarakat nelayan

menghadapi isu-isu kekuasaan individual terkait sosial-ekonomi nelayan.

13 http://belajardesaindanarsitektur.blogspot.co.id/2012/06/pengertian-dan-konsep-arsitektur-tropis.html

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

14

1.2.2 Khusus

Aplikasi kaidah ekologis dan bangunan tropikal dalam perancangan

arsitekturnya ditambah dengan kajian teori sosial sehingga mampu menjawab

permasalahan kontekstual yang diproyeksikan bersama dengan latar belakang

masalah sosial-budaya masyarakat nelayan di Tegalsari, kota Tegal.

1.3 Tujuan dan Sasaran Penulisan

1.3.1 Tujuan

Merumuskan suatu konsep perencanaan dan perancangan bangunan

kampung vertikal dengan memperhatikan segala aspek perkampungan nelayan

dan dapat diapresiasi oleh semua lapisan masyarakat nelayan Tegalsari di kota

Tegal.

1.3.2 Sasaran

Menciptakan desain kampung nelayan vertikal di kota Tegal sebagai

prototype perencanaan arsitektur sejenis dengan :

1. Mengaplikasikan metode ekologis dan kaidah bangunan tropis sebagai

esensi kearifan lokal Indonesia dalam konteks kehidupan urban dengan

budaya marjinal.

2. Memberikan metode rancangan arsitektur yang solutif terhadap isu-isu

kehidupan nelayan dalam konteks kelas sosial, sumber penghidupan, serta

peran individu dalam kemasyarakatannya.

3. Mendesain sebuah perkampungan nelayan vertikal yang kedepannya akan

menjadi salah satu alternatif yang memperhatikan kaidah dan isu-isu terkait

dalam analisis kasus yang dapat dengan mudah tersampaikan pada lapisan

masyarakat yang lebih umum dan menimbulkan kesadaran individu

sehingga berdampak lebih luas dalam setiap lapisan sosial terhadap

perkembangan arsitektur, sosial dan industri kreatif nelayan.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

15

1.4 Lingkup Penelitian

Kawasan kampung nelayan Tegalsari di kota Tegal dengan aktifitas vertikal

dengan kaidah ekologis dan Tropis : kelas-kelas sosial dan budaya.

1.5 Metode Penelitian

1.5.1 Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data diklasifikasikan berdasarkan sumber data,

sebagai berikut :

1. Studi Literatur

Lingkup studi literatur terkait kampung nelayan vertikal dan dengan segala

aspeknya dari layout denah, bentuk sirkulasinya, pencahayaan, kapasitas

penghuni, sosial, hingga peran pengguna arsitektur. Metodologi terapan

dengan penjelasan dan penerapannya dalam desain di buku-buku penelitian

dan literatur lainnya.

2. Survey Lapangan

Kegiatan survey lapangan berupa gambar, foto, dan data skematik tematik

untuk mendapatkan penjelasan lebih jauh mengenai lokasi/site terpilih.

3. Studi kasus

Kegiatan studi kasus ini dilakukan dengan studi komparasi konflik nelayan

di kawasan pesisir pantai di beberapa daerah.

1.5.2 Analisis

Melakukan analisis secara kualitatif maupun kuantitatif terhadap data-

data terkumpul dengan membandingkannya dengan studi kasus dan studi literatur

mengenai macam kampung nelayan sebagai acuan dan standar perancangan

konsep vertikal pada kampung nelayan.

1.5.3 Sintesis

Proses perwujudan hasil analisis data menjadi sebuah rumusan konsep

perancangan sebagai sebuah solusi dari permasalahan dan dengan pendekatan

tertentu.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

16

1.6 Sistematika Penulisan

1.6.1 Bab I Pendahuluan

Memaparkan latar belakang masalah, permasalahan, tujuan, sasaran,

lingkup penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan, alur penelitian, dan

keaslian penulisan.

1.6.2 Bab II Tinjauan Pustaka

Merupakan pembahasan hasil observasi, wawancara dan pustaka

mengenai nelayan, konflik, kampung nelayan, kegiatan ekonomi dan industri

kreatif, dan membahas beberapa studi kasus mengenai pemukiman nelayan dan

referensinya yang ada di beberapa kota-kota pesisir Indonesia.

1.6.3 Bab III Epistemologi

Penjelasan tentang kaidah teori terkait yang akan menjadi penekanan

dalam desain perancangan kampung nelayan vertikal beserta pemahaman

paradigma terhadap konteks arsitektural.

1.6.4 Bab IV Tinjauan Lokasi

Menjelaskan dasar pertimbangan vertikal pada kampung nelayan dalam

pemilihan tapak dengan tinjauannya di lokasi kampung nelayan terpilih.

1.6.5 Bab V Pendekatan Konsep Perancangan

Menjelaskan proses pendekatan konsep perencanaan dan perancangan

arsitektur dengan berdasarkan studi pustaka / literatur, studi kasus dan tinjauan

lokasi.

1.6.6 Bab VI Konsep Perancangan

Membahas rumusan konsep perencanaan dan perancangan kampung

nelayan vertikal di kawasan Tegalsari kota Tegal dengan mempertimbangkan

kerangka solutif terhadap aspek-aspek kelas sosial nelayan dan kaidah-kaidah

tropis serta kegiatan ekologis.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

17

1.7 Kerangka Penelitian

LATAR BELAKANG

Hunian vertikal yang menjawab komunikasi site dan lingkungan

sekitar pada masyarakat nelayan yang terjebak dalam hegemoni

masyarakat dominasi dengan memberikan kegiatan solutif untuk

industri ekonomi kreatif berdasarkan peran dan profesi masyarakat

huni.

ISU

Presiden terpilih Ir. Joko

Widodo dalam kebijakannya

dengan kegiatan merevitalisasi

kawasan perkampungan

nelayan di pesisir Indonesia

untuk memajukan sistem

perekonomian terhadap sektor

maritim.

MASALAH

Kegiatan industri ekonomi yang ada

belum mampu memecahkan

permasalahan ekonomi eksis sehingga

memerlukan metode kreatif.

Terdapat peran dominasi dalam

kehidupan kelas kelas sosial nelayan di

Indonesia terkait label Kansas area.

Penataan pemukiman yang bersifat

chaos sehingga menebalkan stigma

kumuh dalam permukiman nelayan.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

18

1.8 Keaslian Penulisan

1) Kampung Nelayan di Pekalongan oleh Bawono, Septiono Eko

2) Desa Nelayan Kampung Laut Cilacap oleh Ernawati, Jenny

3) Koridor Cagar Alam – Kampung Nelayan Muara Angke oleh Sigit, Andreas

Eryono

TUJUAN

Merumuskan suatu kerangka konsep hunian vertikal

dengan kegiatan terpadu dengan memperhatikan segala

aspek keruangan dan sosialnya sehingga dapat diapresiasi

sebagai prototype kawasan pemukiman nelayan di

Indonesia dengan menekankan kaidah kaidah tropis dan

ekologikal.

TINJAUAN DATA

Studi kasus

Studi literatur

Lokasi

ANALISIS KOMPARASI DAN

KORELASI

KONSEP PERANCANGAN

PENDEKATAN KONSEP VERTIKAL

KAMPUNG NELAYAN TERHADAP

SOSIAL-BUDAYA

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kampung Nelayan

2.1.1 Permukiman Nelayan

a. Pengertian Permukiman

Dalam mempelajari permukiman, terdapat beberapa terminologi acuan

untuk mendifinisikan istilah permukiman menurut beberapa ahli. Definisi

tersebut antara lain adalah :

1. Pemukiman berasal dari kata “mukim” yang berarti suatu kawasan atau

daerah yang merupakan bagian dari kota atau bagian dari desa yang

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

20

mempunyai fungsi utama sebagai tempat tinggal (Kamus Besar Bahasa

Indonesia).

2. Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar dari kawasan

lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang

berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan

tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU RI

No. 4 tahun 1992).

3. Pemukiman (Human Settlement) adalah tempat (ruang) untuk hidup dan

berkehidupan bagi kelompok manusia. (Doxiadis, 1971). Pemukiman pada

intinya terdiri dari 2 unsur yaitu isi (contain) dan tempat/wadah (container)

dan selanjutnya terbagi menjadi 5 unsur penting yaitu: Nature (alam), Man

(manusia), Society (kehidupan sosial), Shell (ruang), dan Networks

(hubungan)14

Sehingga berdasarkan terminologi acuan tersebut dapat disimpulkan

bahwa pemukiman adalah suatu lingkungan yang terdiri dari perumahan tempat

tinggal manusia yang dilengkapi tidak hanya berupa aspek fisik dan teknis saja

namun juga menyangkut aspek sosial, ekonomi, budaya dan prasarana pelayanan

yang merupakan subsistem dari sistem kota secara keseluruhan sehingga

menuntut perancangan untuk memperhatikan aspek-aspek terkait.

b. Permukiman Nelayan

Permukiman nelayan adalah merupakan lingkungan tempat tinggal

dengan sarana dan prasarana dasar yang sebagian besar penduduknya merupakan

masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan memiliki akses dan

keterikatan erat antara penduduk permukiman nelayan dengan kawasan perairan

sebagai tempat mereka mencari nafkah, meskipun demikian sebagian dari mereka

masih terikat dengan daratan.15

14 Sumber:http://kuliaharsitektur.blogspot.com/2008/11/pengertian-permukiman.html

15 Rilus. A Kinseng, 2015, Konflik Nelayan

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

21

Secara umum permukiman nelayan dapat digambarkan sebagai suatu

permukiman yang sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat yang

memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Sedangkan pekerjaan nelayan itu sendiri

adalah pekerjaan yang memiliki ciri utama adalah mencari ikan di perairan.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik

Indonesia Nomor15/Permen/M/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan

Penyelenggaraan Pengembangan Kawasan Nelayan, perumahan kawasan

nelayan untuk selanjutnya disebut kawasan nelayan adalah perumahan kawasan

khusus untuk menunjang kegiatan fungsi kelautan dan perikanan.

2.1.2 Konflik Kelas Sosial Nelayan

a. Pengertian Nelayan

Khadija ST, (1998) membagi definisi kata Nelayan menjadi dua

pengertian yaitu :

1. Nelayan Sebagai subyek/orang, merupakan sekelompok masyarakat

manusia yang memiliki kemampuan serta sumber kehidupan disekitar

pesisir pantai.

2. Nelayan sebagai predikat/pekerjaan, suatu sumber penghasilan

masyarakat yang berkaitan erat dengan sektor perikanan dan perairan

(laut dan sungai).

b. Pengertian Konflik

Konflik adalah relasi sosial antar-aktor sosial yang ditandai oleh

pertentangan atau perselisihan dan kemarahan, baik dinyatakan secara terbuka

ataupun tidak, dalam rangka mencapai keinginan atau tujuan masing-masing

(Kinseng 2013). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa jika pertentangan atau

perselisihan dan kemarahan itu terbuka, maka ia merupakan sebuah konflik

terbuka. Sementara itu, jika konflik itu bersifat tertutup, maka ia adalah konflik

laten.

Karl Marx sebagai pencetus teori kelas menyatakan bahwa sumber konflik

dan radikalisme itu adalah pertentangan kepentingan antarkelas. Hubungan kelas

sosial yang bersifat antagonistik menghasilkan kelas sosial. Karena masing-

masing kelas sosial itu mempunyai kepentingan yang bertentangan, maka kelas

sosial itu sendiri secara inheren di dalamnya mengandung bibit konflik. Oleh

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

22

sebab itu, sepanjang kelas sosial itu masih ada, maka dominasi dan eksploitasi

manusia atas manusia lainnya, akan menciptakan gagasan konflik sosial yang

menghambat kemakmuran dalam tatanan masyarakat suatu permukiman. Konflik

dan radikalisme sangat berkaitan dengan kesadaran kelas. Marx berpendapat

bahwa semakin sadar kelas subordinat akan interest kolektif suatu sosial, maka

semakin besar peluangnya untuk menciptakan konflik terbuka melawan kelas

dominan.16

c. Konflik Kelas dalam Sosial Nelayan

Dalam tatanan sosial Nelayan, seperti halnya petani dan buruh secara

esensional juga terdapat kelas-kelas sosial seperti misalnya terdapat nelayan

kapitalis (punggawa/juragan), nelayan kecil (nelayan pemilik) dan nelayan buruh

(nelayan yang tidak memiliki kapal dan hanya memiliki tenaga). Namun di satu

polar, sifat sumber daya perikanan yang bergerak dan tidak bisa dimiliki secara

pribadi berbeda dengan sifat sumberdaya lahan pertanian yang bersifat permanent

dan bisa dimiliki secara pribadi. Hal ini dikarenakan ‘lahan’ nelayan yang berada

di wilayah perairan sehingga sulit untuk menetapkan suatu batas dan dogma

berbentuk mitos urban tentang ‘bumi untuk semua’.

Dalam berbagai analisis kelas nelayan, umumnya selalu terdapat kelas

kapitalis dan kelas buruh. Selain itu, ada pula yang menyebutkan kelas “semi-

proletarian”, “new fishery bourgeoisie” atau “small capitalist”, dan “big

capitalism” (Fairley 1990). Sementara itu, Barbara Neiss menganalisis hubungan

antara merchant class dengan “a class of oppressed and powerless fishermen”

(Neiss, 1981). Selanjutnya menurut Macdonald dan Conelly (1989), umunya

terdapat kesepakatan bahwa pekerja pada penangkapan di laut lepas (offshore

crew) adalah kaum buruh proletariat, demikian juga dengan tenaga kerja pada

penagkapan di pantai dan laut dangkal. Yang menjadi perdebatan menurut mereka

adalah posisi nelayan yang memiliki perahu sendiri, apakah mereka ini adalah

kapitalis kecil atau berada pada lokasi kelas yang kontradiktif.

Clement (1986) dalam bukunya “The struggle to Organized. Resistence in

Canada’s Fishery” sebenarnya tidak mengemukakan secara tegas struktur kelas

16 Ibid.23

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 37: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

23

masyarakat nelayan. Namun, struktur kelas tersebut dapat dikemukakan secara

implisit dalam uraiannya. Ia membagi pola produksi dalam struktur tersebut

menjadi lima, yaitu :

1. Pola produksi Subsistem

Produksi subsistem dilakukan hanya untuk dikonsumsi sendiri dan tidak

dijual.

2. Pola produksi Kapitalis

Pola produksi ini memisahkan produsen langsung dari alat produksi dan

memaksa mereka menjadi buruh.

3. Pola produksi Independent

Produksi komoditas independent menghubungkan antara produsen dengan

kapital melalui mekanisme pasar terbuka.

4. Pola produksi Dependent

Pola produksi ini terjadi manakala tidak terdapat hubungan pasar terbuka,

dan produsen langsung dipaksa untuk masuk pada hubungan monopoli

dengan kapital.

5. Pola produksi Koperasi

Pada pola ini, secara internal terdapat kepemilikan individu tetapi secara

eksternal terdapat hubungan korporat. Kepemilikan koperasi ini bersifat

individu sekaligus sosial.

Clement juga berpendapat bahwa untuk dapat memahami hubungan kelas

pada perikanan, maka perlu dibuat kategori sosial dari unit produksi (perahu) itu

sendiri. Dalam hal ini, pada perikanan di kawasan Tegalsari ada empat kategori

sosial, yaitu buruh (kelas proletariat yang tidak memiliki kapal sendiri. Dalam

melakukan aktifitas nelayannya, mereka biasanya ikut atau terlibat kedalam suatu

kelompok berlayar yang mana mereka bersifat fleksibel – bisa berada dalam kapal

kelas manapun tergantung kerjasamanya dengan pemilik kapal), kelas produsen

skala kecil (perahu yang digunakan biasanya kecil dengan muatan antara 7-10

orang dengan satu pemilik yang biasanya ikut berlayar. Aktifitas nelayan mereka

dilakukan setiap hari dengan jam kerja bermula sore hari dan kembali pada pagi

hari setiap hari), kelas produsen skala menengah (perahunya cukup besar dengan

muatan sekitar 15-20 orang. Aktifitas dilakukan dalam masa beberapa hari,

umumnya 4 sampai 5 hari dengan jeda dua hari libur), dan kelas produsen skala

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 38: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

24

besar (kapal yang digunakan dari jenis besar dengan muatan 20 orang lebih.

Pemilik biasanya adalah punggawa/juragan yang berarti pemilik biasanya tidak

ikut berlayar. Aktifitas nelayan dilakukan selama 2 minggu dengan hari libur

selama seminggu sebelum kembali melaut. Umumnya, proletar di kelas ini terikat

oleh seorang kapital kapal).

Dalam tipologi konflik nelayan, Kinseng (2014) mengelompokkan tipe

konflik nelayan kedalam tiga substansi yang membagi konflik internal nelayan,

yakni:

1. Konflik Kelas

Konflik kelas adalah konflik yang terjadi antara kelas nelayan yang berbeda,

misalnya, antara buruh dengan pemilik maupun antara kelas nelayan kecil

dengan nelayan kapital.

2. Konflik Identitas

Konflik identitas adalah konflik yang terjadi antara kelompok nelayan

berbasis identitas primordial seperti etnik dan asal daerah atau yang sering

dikenal dengan istilah lokal versus pendatang.

3. Konflik Alat Tangkap

Konflik alat tangkap adalah konflik yang terjadi antara kelompok nelayan

berbasis alat tangkap yang berbeda, tapi berada pada tingkat yang kurang

lebih setara.

Penggolongan konflik diatas perlu ditekankan bahwa tidak bersifat

mutually exclusive atau penggandaan konflik yang terjadi secara bersama dalam

suatu waktu. Selain konflik diatas, isu dalam konflik-konflik tersebut bisa berupa

perebutan wilayah tangkap (fishing ground), sistem bagi hasil, dan sebagainya.

Alat tangkap merupakan sebuah isu yang hangat dalam konflik nelayan

dimana Menteri Kelautan dan Perikanan dalam kebijakannya No 2/Permen-

KP/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawl)

dan pukat tarik (seine nets) di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia

telah menyebabkan berbagai pro kontra dalam sosialita nelayan.17 “Tahun ini

saja, nelayan se-Tegal mengirim 40 bus yang isinya nelayan semua termasuk saya

17 Kompasiana 03/03/2015

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 39: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

25

buat demo ke ibu Susi.” Ungkap seorang nelayan di kawasan Tegalsari. “Bu

Menteri ngasih kebijakan tapi gak ngasih solusinya, ya kan kita bingung mau

nangkep ikan gimana?” lanjutnya.18

Disini dijelaskan ada beberapa cara yang biasa di lakukan oleh nelayan

untuk menangkap ikan. Salah satu yang paling sering di lakukan oleh nelayan

adalah mengumpulkan segerombolan ikan dengan menggunakan alat bantu

penangkap yang biasa disebut rumpon dan sinar lampu. Kedudukan rumpon dan

sinar lampu untuk usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia sangat penting

ditinjau dari segala aspek baik ekologi, biologi, maupun ekonomi. Sementara alat

yang biasa untuk digunakan oleh nelayan ada tujuh, yakni:

1. Pukat Ikan

Pukat ikan boleh di pergunakan dengan 2 ketentuan di antaranya di dalam

dan di luar selat malaka dengan Mesh size cod end > 50 mm. dan pada groud

rope tidak menggunakan bobbin dan rantai pengejut dan juga tidak boleh

dioprasikan dengan menggunakan 2 kapal sekaligus. Hal di atas memiliki

dasar hukum sebagai berikut Kep Mentan No.770/Kpts/IK.120/10/96; Kep.

Ditjen. No. IK.340/ D3. 2304/96K.

2. Pukat Udang

Pukat udang boleh di pergunakan dengan syarat mesh size cod end > 30 mm

serta harus menggunakan TED/API jarak jeruji > 10 cm dan tidak boleh di

oprasikan dengan 2 kapal serta Isobath <10 m & hanya boleh 130o BT ke

Timur. Pukat udang memiliki dasar hukum Kepres 85/82.

3. Purse Sein PK/PB

Purse Seine PK/PB alat ini tidak boleh di gunakan pada zona Jalur I a < 3

mil, serta Jalur I< 100 mil T.Tomini,L.Maluku, L.Seram, L.Banda, L.Flores,

L.Sawu dan ukuran alat yang tdak diperbolehkan melewati batas dari Panjang

jaring < 150 m, PS Non Group Panjang < 600 m, PS 2 Kapal Non Group

Panjang < 1000 m, PS Group & >350 GT < 800 GT, Purse Seine PB Ukuran

Mesh Size PS PK > 1 inchi, Ukuran Mesh Size PS PB > 3 inchi alat ini

memiliki dasar hukum dari Kep. Mentan 392/99.

18 wawancara 06/09/2015 dengan salah satu nelayan kelas buruh yang mengeluhkan kebijakan ekonomi nelayan

terkait ketetapan pemerintah.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 40: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

26

4. Gill Net

Gill net dapat di lakukan di zona Jalur 1a dengan panjang kurang dari 1000m

, jalur 1 dengan panjang kurang dari 2500m , serta jalur 1 dan 2 dengan

panjang lebih dari 2500m dengan dasar hukum dari Kep. Mentan 392/99.

5. Tuna Long Line

Tuna Longline dapat di gunakan pada jalur 1 dengan jumlah mata pancing

kurang dari 1200 sedangkan jalur 1 dan 2 dengan jumlah mata pancing lebih

dari 1200 dengan dasar hukum dari Kep.Mentan 293/99.

6. Pukat Hela

Pukat hela kaltim bagian utara dengan jarak kurang dari 1 mill dengan

batasan harus kurang dari 5 GT dan untuk jarak yang kurang dari 4 mill di

perbolehkan menggunakan lebih dari 5 GT tapi tidak di perbolehkan

melebihi dari 30 GT dengan dasar hukum dari Permen KP. No. 06/2008.

7. Gill Net ZEEI

Gill Net ZEEI dapat di gunakan di daerah perairan territorial kurang dari 12

mill dengan spesifikasi alat penangkap ikan Gill net hanyut (mesh size > 10

cm, panjang < 10000 m dan dalam < 30 m), Gill net tetap (mesh size > 20

cm, panjang << 10000 m dan dalam 30 m) dengan dasar hukum dari Permen

KP. No. 08/2008.

2.1.3 Kondisi Permukiman Nelayan

Kawasan perumahan nelayan haruslah mempunyai ataupun memenuhi

prinsip-prinsip layak huni yaitu memenuhi persyaratan teknis, persyaratan

administrasi, maupun persyaratan lingkungan sesuai dengan undang-undang

Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Permukiman serta biaya

perumahan dapat dijangkau oleh masyarakat. Persyaratan teknis berkaitan dengan

keselamatan dan kenyamanan bangunan dan keandalan sarana serta prasarana

lingkungannya. Persyaratan ekologis berkaitan dengan keserasian dan

keseimbangan baik antara lingkungan alam maupun dengan lingkungan sosial

budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Persyaratan

administratif berkaitan dengan pemberian usaha, izin lokasi dan izin mendirikan

bangunan serta pemberian hak atas tanah. Persyaratan lingkungan meliputi

pemantauan lingkungan dan pengelolaan lingkungan. Pemantauan lingkungan

bertujuan untuk mengetahui dampak negatif yang terjadi selama pelaksanan

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 41: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

27

pembangunan rumah atau perumahan, sedangkan pengelolaan lingkungan

bertujuan untuk dapat mengambil tindakan koreksi bila terjadi dampak negatif

dari pembangunan rumah atau perumahan.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan kondisi

karakteristik permukiman nelayan secara umum, yaitu :

- Umum

Merupakan permukiman yang terdiri dari satuan-satuan perumahan yang

memiliki berbagai sarana dan prasarana yang mendukung kehidupan dan

penghidupan penghuninya.

- Lokasi Geografis

Berdekatan atau berbatasan langsung dengan perairan dan memiliki akses

yang tinggi terhadap kawasan perairan.

- Pekerjaan Penduduk

Mayoritas dari jumlah penduduk adalah nelayan dan pekerjaan lainnya yang

terkait dengan pengolahan dan penjualan ikan.

- Sarana

Memiliki berbagai sarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan

penduduknya sebagai nelayan khususnya dikaitkan dengan kegiatan-

kegiatan eksplorasi ikan dan pengolahan ikan.

- Prasarana

Memiliki berbagai prasarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan

penduduknya sebagai nelayan khususnya dikaitkan dengan kegiatan-

kegiatan eksplorasi ikan dan pengolahan ikan.

2.1.4 Rencana Pemukiman Nelayan

Pola tata letak lingkungan perumahan nelayan selama ini biasanya

terjadi/terbentuk dengan sendirinya sesuai kondisi alam yang ada, selain itu faktor

manusia ikut memegang peranan penting dalam pembentukan pola tersebut.

Masyarakat nelayan membangun rumahnya biasanya kurang/tidak

memperhatikan kondisi alam sekitarnya, yang disadari secara berangsur akan

merusak kelestarian alam. Secara garis besar jenis pola dan tata letak lingkungan

perumahan nelayan yang berada pada daerah pantai, muara sungai dan danau

dapat dibedakan menjadi:

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 42: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

28

a. Pola mengelompok

b. Di pantai/danau

Daerah perumahan biasanya tumbuh cenderung mengelompok/memusat

pada suatu area yang relatif strategis (pusat kegiatan). Jika pertumbuhannya tidak

terkendali daerah dekat pusat kegiatan tersebut menjadi padat, maka akan terdapat

daerah slum/kumuh. Kadang-kadang pemukiman yang tumbuh secara tidak

terencana tersebut, menyebabkan keseimbangan alam terganggu dan terancam

kritis.

Sesuai dengan mata pencahariannya sebagai nelayan dalam hal orientasi

bangunan, umumnya kawasan pemukiman nelayan memiliki orientasi menuju

air (waterfront). Kawasan waterfront memiliki karakteristik akses terbuka dan

juga multi-fungsi, namun sangat rentan terhadap kerusakan serta perusakan

(Rahmat. 2012). Keberadaannya di tepi air tersebut membuat kawasan pesisir

memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung dari darat dan laut. Dengan

demikian, keseimbangan pada kawasan tersebut akan sangat dipengaruhi oleh

proses lingkungannya.

Sebagai kawasan yang akan direncanakan sebagai kawasan terintegrasi

dan wisata bahari, Tim Khusus Percepatan Pembangunan Perkampungan

Nelayan yang dibentuk oleh Presiden terpilih Ir. Joko Widodo merancang tiga

jenis ruang huni untuk diterapkan dalam skenario perencanaan kampung nelayan

di Tegalsari.

1. Rumah Susun

Skenario perencanaan lebih berkonsentrasi pada tapak darat dan sistematika

berkelanjutan. Perencanaan ini lebih mengacu pada konsep technopolis.

2. Kampung Deret

Dalam perencanaan kawasan ini, perkembangan bangunan memiliki

orientasi secara horizontal dan memanjang mengikuti tapak darat. Pada

perencanaan ini, fasilitas dan terminologi lebih mengacu kepada konsep

humanopholis.

3. Kampung Tepi Air

Secara garis besar, memiliki banyak persamaan dengan kaidah-kaidah yang

berlaku pada kampung deret. Perbedaannya terletak pada orientasi tapak

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 43: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

29

yang lebih condong kepada tapak air. Fasilitas yang ada dalam

perkembangannya, dengan mengikuti orientasi tapak akan lebih mem-

fasilitasi jenis nelayan yang memiliki kapal sendiri (Independent fisherman).

2.2 Kampung Nelayan Vertikal

2.2.1 Definisi Umum Desain Kampung Vertikal

Karena berada diantara konteks urban/kota, pengertian ‘kampung’ dalam

objek perancangan ini merujuk kepada terminologi kampung kota. Menurut Silas

(1983), kampung adalah suatu bentuk kemasyarakatan yang berada di tempat

tertentu dengan susunan yang heterogen, tetapi tidak tersedia prasarana fisik dan

sosial yang memadai dimana pengertian ini tidak sinonim dengan slum dan

squater, sebab kampung kota memiliki hak historis.

Kampung Nelayan Vertikal adalah kumpulan unit bangunan yang

membentuk hunian vertikal yang mengakomodir spirit kampung, serta

diperuntukkan untuk masyarakat nelayan yang secara umum berpenghasilan

rendah dan menengah ke bawah.

Pada umumnya, pembangunan kampung vertikal dilakukan dalam

beberapa variasi tingkat yang diperuntukkan untuk membentuk sebuah ruang fisik

dalam sebuah ruang terbuka yang terdiri dari beberapa variasi ukuran yang

berlandaskan pada pola pengaturan yang lebih teratur.19

Dalam perencanaan sebuah kampung vertikal biasanya terdapat beberapa

skenario aktifitas dan fungsi dalam suatu tatanan bangunan yang terpadu dalam

keseragaman bentuk. Aktifitas ini umumnya bersifat terpadu dengan kerangka

yang terstruktur dalam satu kesatuan lingkungan bina. Disini kerangka aktifitas

kampung sebagai pengembangan kampung secara vertikal, menggunakan konsep

dan kaidah rumah susun sebagai acuan konsep dasar ruang huni dan elemen

sentral desain perkotaan sebagai kaidah untuk men-skenariokan kegiatan

kampung tersebut.

a. Tipologi dan Jenis Rumah Susun dalam kerangka unit huni vertikal

19 Sumber : City Block means : http://c2.com/cgi/wiki?CityBlock

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 44: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

30

1. Jenis Rumah Susun Sederhana Menurut Sasaran Kelompok Masyarakat

yakni:

a. Rumah Susun Sederhana Milik

Bagi kelompok masyarakat yang secara ekonomi mampu untuk membeli

(tunai KPR) unit rumah susun.

b. Rumah Susun Sederhana Sewa Tanpa Subsidi

Bagi kelompok masyarakat yang secara ekonomi mampu tetapi memilih

tinggal di rumah sewa.

c. Rumah Susun Sewa Bersubsidi

Subsidi terbatas : untuk masyarakat dengan kemampuan ekonomi

menengah kebawah yang mampu membayar meskipun terbatas.

Subsidi penuh : bagi kelompok masyarakat yang kemampuan ekonominya

sangat terbatas, hanya mampu membayar sewa untuk menutup ongkos

operasi dan pemeliharaan rutin. 20

2. Berdasarkan Sistem Pembelian

a. Jual, unit satuan rumah susun menjadi hak milik penghuni dengan

sertifikat hak milik

b. Sewa tiap unitnya hanya dapat disewa. Sistem pembayaran dan lama

waktu tinggal tergantung pada kontrak yang berlaku antara calon

penghuni dan pengelola.

c. Jual-beli, umumnya penghuni yang akan tinggal berasal dari permukiman

yang diremajakan, mereka mendapat tiap unit rumah susun dari

konsolidasi tanah antara pemerintah dengan masyarakat yang tanahnya

terkena proyek peremajaan.

20 Sumber : Kepmen Perumahan dan Permukiman No.10/KPTS/M/ 1999

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 45: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

31

d. Sewa-beli, penghuni membeli unit rumah susun dengan jalan membayar

sewa hingga sejumlah harga jual.

e. Beli-cicil, mencicil tiap bulan sampai lunas untuk mendapatkan hak

kepemilikan.

3. Berdasarkan Ketinggian bangunan

a. Bertingkat rendah

2-4 lantai dengan sistem sirkulasi vertikal dengan tangga (walk up)

b. Bertingkat Sedang

4-8 Lantai dengan sistem sirkulasi vertikal dengan tangga (walk up) dan

lift hidrolik

c. Bertingkat tinggi

8 lantai keatas dengan sistem sirkulasi vertikal dengan tangga (walk up)

dan lift elektrik.

4. Berdasarkan Segi Ekonominya

a. Masyarakat Golongan Menengah Kebawah

Golongan masyarakat berpenghasilan di bawah Rp. 500.000. Tipe unit ini

sesuai dengan luasan lahan yang kurang dari 100m2 dengan material

minimalis (Rusunawa Sederhana).

b. Masyarakat Golongan Menengah Keatas

Golongan masyarakat berpenghasilan Rp. 2.000.000 keatas. Tipe unit

hunian yang sesuai adalah dengan luasan lebih dari 100m2 dengan

material yang berkualitas tinggi (Apartemen). 21

21 Siswono, 1991

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 46: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

32

2.2.1.1 Pengertian Arsitektur Tropis

Definisi Arsitektur menurut Francis DK Ching (1979) adalah

membentuk suatu tautan yang mempersatukan ruang, bentuk, teknik, dan

fungsi. Sedangkan kata tropis berasal dari kata yunani yaitu “tropikos”

yang berarti garis balik. Pengertian tersebut berlaku untuk daerah antara

kedua garis balik, yang meliputi sekitar 40% dari luas seluruh permukaan

bumi. Garis-garis balik tersebut adalah garis lintang 23º27’ utara dan

selatan yang terletak diantara garis isotherm 20º C. Dari definisi tersebut

arsitektur tropis dapat diartikan sebagai suatu bentuk, teknik, dan fungsi

yang membentuk suatu tautan pada daerah garis isotherm 20º C.

Arsitektur Tropis merupakan salah satu cabang ilmu arsitektur,

yang mempelajari tentang arsitektur yang berorientasi pada kondisi iklim

dan cuaca, pada lokasi di mana massa bangunan atau kelompok bangunan

berada, serta dampak, tautan ataupun pengaruhnya terhadap lingkungan

sekitar yang tropis. Dalam buku green architecture karangan Tri Harso

Karyono , arsitektur tropis didefinisikan sebagai suatu karya arsitektur

yang mampu mengantisipasi problematic yang ditimbulkan dari iklim

tropis.

2.2.1.2 Kaidah Terapan Dasar Ekologis

Ilmu ekologis sebagai suatu metode terminologi perancangan

sejatinya sudah sejak dahulu dilakukan secara turun temurun oleh manusia

Indonesia primitf meskipun tanpa berlandaskan teori keilmuan, melainkan

karena gagasan agama, kepercayaan dan mitologi. Seperti misalnya

tentang konsep petungan dalam budaya Jawa atau Tri Hita Kirana dan

Hasta Kosala Kosali milik kebudayaan Bali. Sikap dan perilaku yang

berlandaskan dari kepercayaan tersebut, bila dikaji secara ilmiah memiliki

value yang tinggi dari sudut pandang ekologis. Oleh sebab itu, dapat

dirumuskan bahwasanya kaidah terapan ecologis sudah sangat melekat

dalam sejarah pikir dan perilaku empirikal manusia Indonesia.22

22 Pengantar : Prof. Ir. Eko Budiharjo, MSc, 2015, Kota dan Lingkungan : Pendekatan Baru Masyarakat

Berwawasan Ekologi. Judul Asli : Cities and Environment ; New approaches for eco-societies.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 47: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

33

2.2.1.3 Aspek-Aspek Humanopholis dalam Desain

Istilah humanopholis mengacu kepada definisi desain yang

memanusiakan manusianya (manusiawi) sebagai dasar kaidah yang

mendukung pergerakan desain ecological. Ketika berbicara tentang

sebuah kota yang besar, yang terlintas pertama kali dalam benak adalah

aneka rona kepadatan : bangunan, lalu-lintas, manusia, barang dan lain-

lain (Budiharjo : 2001). Tingkat kekacauan yang terjadi pada tatanan suatu

perkotaan memiliki intensitas yang semakin chaos dan mengakibatkan

runtuhnya estetika suatu perkotaan. Kepadatan manusianya pun tidak

kalah, berakibat pada merebaknya permukiman kumuh, baik dalam

bentuk legal (slum) dan liar (squatters).

Berdasarkan hal tersebut, ada pakar yang mengatakan bahwa

semua masalah tersebut dapat diatasi dengan teknologi, yakni dengan

menciptakan apa yang kita sebut sebagai technopolis. Namun bagi negara

berkembang yang terlibat krisis multi-dimensi seperti Indonesia,

perwujudan kota berwawasan teknologi masih merupakan utopia. Maka

dari itu akan lebih tepat bila orientasi perkembangan arsitektural dalam

pembangunan perkotaan mengacu kepada penciptaan kota yang

manusiawi (humanopholis) dan bersahabat dengan lingkungan

(ecopolis).23

2.2.2 Fasilitas dan Konfigurasi Lingkup Desain

2.2.2.1 Dimensi Lahan

a. Fasilitas Rumah Susun

Jenis dan besaran fasilitas lingkungan rumah susun sederhana

campuran 4 lantai yang dibangun di lingkungan baru, mempunyai KDB

50%, KLB 1,25 atau kepadatan maksimal 1.736 jiwa/Ha, mencakup:

1. Cara pencapaian

23 Ibid. At.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 48: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

34

2. Tata letak pada lahan lingkungan dan atau

3. Posisi pada Iantai bangunan rumah susun

No. Jenis Peruntukkan Luas Lahan

Maksimum (%) Minimum (%)

1. Bangunan Untuk Hunian 50 -

2. Bangunan Fasilitas 10 -

3. Ruang Terbuka - 20

4. Prasarana Lingkungan - 20

Tabel 2.1 : Luas lahan untuk Fasilitias lingkungan rumah susun dengan KDB 50-60%

Keterangan :

- Luas Lahan untuk fasilitas Lingkungan rumah susun seluas-luasnya 30

% dari luas seluruhnya

- Luas lahan untuk fasilitas ruang terbuka, berupa taman sebagai

penghijauan, tempat bermain anak dan atau lapangan olahraga seluas-

luasnya 20 % dari luas lahan fasilitas lingkungan rumah susun

- Koefisien Dasar Bangunan (KDB) 24

b. Koordinasi Modular

Penerapan koordinasi modular harus memenuhi ketentuan bahwa

:

- Bentuk-bentuk dasar satuan rumah susun adalah persegi empat.

- Ukuran modul dasar M = 100 mm, modul desain harizontal 3m dan

vertikal 1 m, ukuran unit minimum 8 x 3 m dan maksimum 20 x 3 m,

24 SNI 03-7013-2014

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 49: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

35

tinggi minimum dari lantai ke langit-langit 24 m, ukuran ruang

berdasarkan ukuran unit, fleksibilitas ruang, penghawaan, pencahayaan,

koordinasi modular, matra ruang.

- Pengelompokan modul satuan rumah susun dapat menggunakan

beberapa cara dalam penentuan ukuran dan bahan modul fungsi

dipertimbangkan pada bahan struktur, dinding pengisi/ partisi, dan lantai

pengisi.

- Elemen, komponen dan bahan :

o Dinding, modul vertikal kelipatan 1 m dan modul horizontal 3 m dengan

jarak panjang dan lebar dinding diukur dari jarak bersih terbuat dari

bahan yang fleksibel untuk keperluan bongkar pasang, lantai,

berdasarkan grid kelipatan 3 m dipilih jarak bersih, menggunakan bahan

yang tidak lembab, permukaan halus dan dilapisi cat.

o Bukaan berupa jendela pada komponen vertikal dan horizontal untuk

kebutuhan penghawaan dan pencahayaan alami minimum 1/10 dari luas

lantai dan minimum 1/20 luas lantai dapat dibuka.

o Pintu dengan tinggi ambang atas minimum 2 m.

- Dalam beberapa hal diperbolehkan adanya penyela dan tidak harus

modular.

- Rumah susun hunian hingga panjang bangunan 30 m harus

menggunakan dilatasi pada sambungan antar bangunannya.

- Alat transportasi menggunakan tangga bila sampai 5 lantai dan

menggunakan lift bila lebih dari 5 lantai.

- Ukuran tinggi tingkat minimum 26 m dan tinggi perubahan tingkat harus

berkisar antara 3 m dan 12 m dengan kelipatan 3 m.

- Koridor dapat ditempatkan pada tengah dan pinggir massa bangunan

dengan lebar minimum 5 x 3 m. Pada bangunan kurang dari atau sama

dengan lima lantai dipersyaratkan menggunakan tangga.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 50: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

36

Gambar 2.1 Gambar Persyaratan Tinggi Rumah Susun

Sumber : SNI 03-2845-1992

- Fungsi bentuk dan bangunan didasarkan pada pengelompokan satuan

rumah susun dan penyediaan akses menuju masing-masing satuan rumah

susun.

- Tampak bangunan memperlihatkan keserasian, keharmonisan antara

fungsi dan estetika, serta dapat menarik minat calon penghuni dan

menaikkan status sosial. 25

c. Dimensi Unit Tinggal

Bangunan bertingkat berfungsi untuk mewadahi aktivitas

menghuni yang paling pokok, dengan luas tiap unit minimal 18 m2 dan

maksimal 36 m2.

d. Sarana, Pra-sarana, dan Fasilitas

Sebagai suatu kerangka hunian terpadu, desain kampung vertikal

yang dibangun harus memenuhi beberapa ketentuan yang tercantum

pada tabel sebagai berikut :

1. Fasilitas Niaga

25 SNI 03-2845-1992

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 51: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

37

Tabel 2.2 : Fasilitas Niaga dalam perancangan kampung vertikal

Sumber : SNI 03-7013-2004

2. Fasilitas Pendidikan

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 52: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

38

Tabel 2.3 : Fasilitas Pendidikan dalam perancangan kampung vertikal

Sumber : SNI 03-7013-200

3. Fasilitas Kesehatan

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 53: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

39

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 54: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

40

Tabel 2.4 : Fasilitas Kesehatan dalam perancangan kampung vertikal

Sumber : SNI 03-7013-2004

4. Fasilitas Peribadatan

Fasilitas peribadatan harian harus disediakan disetiap blok. Fasilitas

beribadat dapat disatukan dengan ruang serba guna atau ruang komunal, dengan

ketentuan sebagai berikut:

- Jumlah penghuni minimal yang dilayani adalah 40 KK untuk setiap satu

fasilitas peribadatan disediakan 1 mushola untuk tiap 1 blok, dengan luas

lantai 9 - 360 M2.

- Jumlah penghuni minimal harus mendukung untuk setiap fasilitas

peribadatan kecil adalah 400 KK.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 55: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

41

5. Fasilitas Pelayan Umum

Tabel 2.5 : Fasilitas Pelayanan Umum dalam perancangan kampung vertikal

Sumber : SNI 03-7013-2004

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 56: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

42

6. Fasilitas Ruang Terbuka

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 57: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

43

Tabel 2.5 : Fasilitas Ruang Terbuka dalam perancangan kampung vertikal

Sumber : SNI 03-7013-2004

e. Tingkat Kenyaman

1. Privasi

Faktor privasi dipertimbangkan untuk menciptakan kenyamanan

yang berasal dari bagian-bagian ruangan yang terbuka yang

menghadap ke luar gedung. Suatu ruangan yang menghadap keluar

sebaiknya memiliki jendela dengan ukuran ketinggian minimum yang

tepat dan besarnya disesuaikan untuk melindungi hal-hal pribadi.

Jarak horisontal minimum gedung (yang diperbolehkan) adalah

sebagai berikut :

Bagian muka gedung yang saling berhadapan, maka jarak

horisontal minimum gedung adalah 10 m.

Bagian muka gedung yang berhadapan dengan bukan bagian

muka gedung, maka jarak horisontal minimum gedung adalah 6

m.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 58: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

44

Gambar 2.2 Jarak antar gedung menyangkut privacy

Sumber : Pedoman Perencanaan dan Perancangan Pembangunan Rumah Susun (Draft Ke-

III) JICA secertary/Perum Perumnas, 5 Desember 1997

2. Ventilasi

Berdasarkan Penyampaian Menteri Pekerjaan Umum Nomor

60/PRT/1992 mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah

susun, pada penghawaan alami (Pasal 10 ayat 2), penghawaan alami

sebagaimana dimaksud adalah harus menggunakan sistem pertukaran

udara silang (Cross Ventilation) dengan lubang angin sekurang-

kurangnya 1% dari luas lantai rungan yang bersangkutan.

Gambar 2.3 Contoh dari sistem ventilasi di daerah koridor

Sumber : Pedoman Perencanaan dan Perancangan Pembangunan Rumah Susun (Draft Ke-III)

JICA secertary/Perum Perumnas, 5 Desember 1997

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 59: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

45

f. Struktur dan Konstruksi

Terdapat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 1988 Tentang Rumah Susun yang bersinggungan dengan konsep

kampung vertikal, membahas tentang Struktur, Komponen dan Bahan

Bangunan. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa struktur dan

konstruksi yang terdapat pada rumah susun haruslah kuat dan tahan

terhadap beban mati, beban gerak, hujan, gempa, banjir, angin,

kebakaran dan bahan bangunan yang sesuai dengan daya dukung tanah.

1. Tangga

Pada Penyampaian Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah

Susun, Pasal 18 ayat 2, bahwa standar dari suatu tangga adalah

sebagai berikut:

Lebar berguna sekurang-kurangnya 120 cm.

Lebar bordes sekurang-kurangnya 120 cm.

Lebar injakan anak tangga sekurang-kurangnya 22,5 cm.

Railing (Pagar pengaman) dengan ketinggian sekurang-

kurangnya 110 cm.

Pembuatan railling berbentuk lubang memanjang jarak antara

sisi-sisinya tidak boleh lebih dari 10 cm.

g. Utilitas dan MEE

Terdapat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 1988 Tentang Rumah Susun yang membahas tentang

Kelengkapan Rumah Susun yang menjelaskan bahwa rumah susun harus

dilengkapi dengan jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan gas,

saluran pembuangan air hujan, saluran pembuangan air limbah, tempat

pembuangan sampah, tempat pemasangan jaringan telepon, pintu

darurat kebakaran dan lain-lain.

h. Peraturan tentang penghunian dan persewaan rumah susun

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 60: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

46

Hal tersebut disebutkan dalam Peraturan Walikota Kota Tegal

tahun 2013 Tentang Penghunian dan Persewaan atas Rumah Sewa milik

Pemerintah Pemerintah Kota Semarang, tertulis sebagai berikut:

Berdasarkan Bab V pasal 17 Calon penghuni harus memenuhi

persyaratan dan ketentuan sebagai berikut :

Warga Negara Indonesia yang berdomosili di wilayah daerah.

Warga yang terkena dampak dari pembangunan yang

dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.

Warga yang bertempat tinggal di lingkungan permukiman

kumuh di wilayah daerah.

Sudah berkeluarga , lajang (namun bangunan dipisahkan).

Belum memiliki rumah/tempat tinggal dibuktikan dengan surat

keterangan dari RT/Kelurahan setempat bagi calon penghuni

yang tidak mempunyai pekerjaan tetap (pekerja musiman) dan

atau Pimpinan Perusahaan/ Pemerintah dimana calon penghuni

bekerja.

Berpenghasilan rendah dan atau minimum sebesar Upah

Minimum Kota (UMK) dibuktikan dengan surat keterangan dari

RT/Kelurahan setempat bagi calon penghuni yang tidak

mempunyai pekerjaan tetap (pekerja musiman) dan atau

Pimpinan Perusahaan/Pemerintah dimana calon penghuni

bekerja.

Pasal 22 :

Penghuni Rumah Sewa wajib mentaati tata tertib

penghunian sebagai berikut :

a. tempat hunian luas 21 m2, dapat dihuni paling banyak

4 orang.

b. tempat hunian diatas luas 21 m2, dapat dihuni paling

banyak 6 orang.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 61: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

47

2.2.2.2 Analisa Pelaku

Analisa Perilaku ini di dapat berdasarkan metode kualitatif

dengan cara wawancara terhadap masyarakat sekitar permukiman

Tegalsari.

PELAKU KEGIATAN

PENGELOLA Pimpinan

Wakil Pimpinan

Sekretaris

Bendahara

Bagian Umum

Bagian Teknis

PENGHUNI Keluarga Nelayan (Mayoritas memiliki 1-3 orang

anak)

PENGUNJUNG / TAMU Tamu Penghuni

Tamu Pengelola

Masyarakat sekitar rumah susun

Konsumen dari kios usaha

Tabel 2.6 : Analisa Pelaku pada Kawasan Tegalsari

Sumber : Hasil Wawancara dan Studi Banding

2.2.2.3 Analisa Aktivitas

Aktivitas yang dilakukan secara garis besar sama seperti

penghuni rumah susun pada umumnya. Hanya saja letaknya yang berada

di daerah pesisir pantai.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 62: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

48

PELAKU KEGIATAN AKTIFITAS

PENGHUNI Makan

Minum

Tidur

MCK

Berolahraga

Bermain

PENGELOLA Mengelola Rumah Susun

Mengatur administrasi

Mengatur keamanan

Memelihara keamanan teknis

PENGUNJUNG / TAMU Bertamu

Pembeli tempat usaha

Tabel 2.7 : Analisa Aktifitas pada Kawasan Tegalsari

Sumber : Hasil Wawancara dengan beberapa responden dari warga sekitar

Aktifitas di rumah susun dikelompokkan menjadi tiga kelompok

yaitu sebagai berikut :

KELOMPOK KEGIATAN AKTIFITAS

Kelompok Aktifitas Utama

(Nelayan dan Keluarga penghuni)

Tidur

Mandi

Memasak

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 63: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

49

Mencuci

Belajar

Bersantai

Kelompok Aktifitas Penunjang

(Penghuni di luar bangunan)

Bekerja

Berbelanja

Kerja Bakti

Meetings

Olahraga

Dll

Kelompok Aktifitas Teknis

Bangunan

(Pengelola Rumah Susun)

Perawatan bangunan

Pelayanan teknis bangunan

Parkir

Tabel 2.8 : Analisa Kelompok Aktifitas pada Kawasan Tegalsari

Sumber : Hasil Wawancara dengan beberapa responden dari warga sekitar

2.2.2.4 Analisa Fasilitas

Selain sebagai fasilitas sebagai syarat sebuah permukiman,

diadakan pula fasilitas umum dan sosial yang dibutuhkan untuk

masyarakat pengunjung sebagai fasilitas pendukung untuk menunjang

bangunan sebagai wadah kegiatan ekonomi kreatif, sebagai berikut :

o Sarana Pendidikan dan Perpustakaan Umum

o Sarana Kesehatan

o Sarana Perniagaan

o Sarana Pemerintahan dan Pelayanan Umum

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 64: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

50

o Sarana kebudayaan dan Rekreasi

o Sarana Peribadatan

o Open Space dan Stop Point Area

o Jalur Hijau

o Sentra Industri Ekonomi Kreatif

2.2.2.5 Organisasi Ruang

Persyaratan ruang-ruang tertentu :

Ruang Spesifikasi Ruang Kebutuhan

Ruang Huni Kamar Tidur 1. Sirkulasi udara yang baik

2. Jalur masuk cahaya matahari yang cukup

Ruang Tamu Sirkulasi udara yang baik agar tidak

menimbulkan stigma kumuh

Kamar Mandi 1. Sirkulasi udara yang baik

2. Jalur masuk cahaya matahari yang cukup

untuk penghematan energi

3. Instalasi air kotor

Dapur 1. Sirkulasi udara yang baik

2. Jalur masuk cahaya matahari yang cukup

untuk penghematan energi

3. Peletakkan menghadap luar dab tidak

terlalu terekspose.

Ruang Jemur 1. Sirkulasi udara yang baik

2. Jalur masuk cahaya matahari yang cukup

untuk penghematan energi

3. Peletakkan menghadap luar dab tidak

terlalu terekspose.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 65: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

51

Tempat Usaha Toko atau Perniagaan 1. Berada pada point yang strategis, terjangkau

oleh masyarakat sekitar.

2. Pencahayaan yang cukup

3. Sirkulasi yang baik

Sentra Industri Ekonomi

Kreatif

1. Berada pada point yang cukup jauh dari

permukiman untuk menghindari bau kepada

penghuni

2. Memiliki sitem pembuangan limbah yang

baik

3. Sirkulasi yang baik

4. Mudah terjangkau pengunjung

Fasilitas Umum Perpustakaan 1. Berada pada point yang strategis, terjangkau

oleh masyarakat sekitar.

2. Pencahayaan yang cukup

3. Sirkulasi yang baik

Sarana Kebudayaan dan

Open Space

1. Berada pada point yang strategis, terjangkau

oleh masyarakat sekitar.

2. Sirkulasi yang baik

Tabel 2.9 : Analisa Persyaratan dalam Organisasi Ruang pada Kawasan Tegalsari

Sumber : Hasil Wawancara dengan Dinas Perikanan dan Kelautan, buruh industri pengolahan

ikan dan beberapa responden dari warga sekitar

2.3 Studi Kasus : Presedent Kampung Nelayan di Indonesia

2.3.1 Rumah Susun Muara Angke

a. Lokasi

Rumah susun untuk nelayan di Muara Angke, terletak di Jakarta Utara

yang tepatnya di area pelabuhan Muara Angke. Di pelabuhan Muara Angke ini

terbagi menjadi beberapa zona, salah satunya adalah zona permukiman. Di zona

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 66: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

52

permukiman ini terdapat rumah susun untuk nelayan dan warga berpenghasilan

rendah lainnya.

Dari 60 hektar lahan yang disediakan untuk kawasan nelayan Muara

Angke, 21,26 hektar di antaranya ditetapkan sebagai lahan permukiman,

selebihnya dimanfaatkan untuk fasilitas tempat pendaratan ikan,

pengedokan/perbaikan kapal, permukiman dan sarana umum, pengolahan hasil

perikanan tradisional, tempat promosi hasil perikanan, dan tempat uji coba

budidaya biota laut. Menurut Kepala Seksi Pemukiman Nelayan UPT (Unit

Pelaksana Teknis)

b. Fasilitas

Kini Muara Angke terkenal sebagai tempat penjualan ikan laut segar dan

ikan bakar di Jakarta. Memang di sini terdapat fasilitas tempat pendaratan dan

pelelangan ikan, dan juga pasar ikan.

1. Restoran ikan bakar mulai tersedia sekitar tahun 1994, ketika RM (rumah

makan) Ikan Bakar dan RM Sinar Muara hadir di sini.

Gambar 2.4 Pembakaran Ikan Pada Restoran Ikan Bakar

Sumber : wikipedia.com

2. Di areal seluas 65 hektar ini juga terdapat pusat kegiatan Pengolahan Hasil

Perikanan Tradisional (PHPT). Berbagai jenis ikan asin, pindang dan asap

dihasilkan di sini. Selain tempat pengolahan dan penjemuran ikan, di bagian

ini juga terdapat beberapa toko yang menjual ikan asin dalam partai besar

maupun eceran. Sebagian ikan asin yang dihasilkan dikirim antar pulau atau

diekspor.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 67: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

53

Gambar 2.5 Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT)

Sumber : wikipedia.com

3. Lapak pedagang ikan segar di sepanjang kaki lima. Pasar ikan yang

sebenarnya terletak dalam gedung besar dibelakangnya.

4. Rumah susun nelayan

5. Terminal bus dan angkutan

6. SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umur

c. Tampilan Bangunan

Gambar 2.6 Eksterior Rumah Susun

Sumber : www.tempo.com

Gambar 2.7 Tampak Prespektif dari Arah Luar

Sumber : Jakarta.okezone.com

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 68: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

54

2.3.2 Rumah Susun Bandarharjo

a. Lokasi

Rumah susun Bandarharjo terletak +/- 2 km ke arah utara Kota Semarang

dan berlokasi di tengah permukiman padat dan kumuh di Kelurahan Bandarharjo

Semarang. Data dari BPS tahun 2007 menyebutkan bahwa Kelurahan

Bandarharjo memiliki luas wilayah secara administratif seluas 3,43 km2. Jumlah

penduduk pada tahun 2006 sebanyak 19.785 jiwa dengan jumlah rumah tangga

sebanyak 4.364 KK. Kepadatan penduduknya adalah 5.768 jiwa per km2. Rumah

susun Bandarharjo merupakan rumah susun sederhana sewa.

b. Fasilitas

Rumah susun Bandarharjo terdiri dari 3 blok, yaitu : blok lama, blok A,

dan blok B. Blok lama atau blok tengah merupakan bangunan pertama yang

dibangun. Bahan bangunannya menggunakan bahan yang berbeda (batu bata)

dengan blok A dan blok B (batako). Luas lahan blok lama sebesar 778,05 m2

dengan luas bangunan 1.008 m2. Unit hunian/rusun yang ada sebanyak 30 unit.

Blok lama dibangun pada tahun 1992 dengan jumlah lantai sebanyak 4

(empat) lantai sebagai berikut :

- Lantai I adalah lantai dasar.

- Lantai II (Type 27 : 8 unit & Type 36 : 2 unit).

- Lantai III (Type 27 : 8 unit & Type 36 : 4 unit).

- Lantai IV (Type 27 : 4 unit & Type 54 : 4 unit).

Tarif sewa yang dikenakan untuk unit sarusun sesuai tipe dan lantai pada

blok lama adalah sebagai berikut :

- Type 27 Lantai II : Rp. 17.500,-/bln/unit

- Type 36 Lantai II : Rp. 25.000,-/bln/unit

- Type 27 Lantai III : Rp. 15.000,-/bln/unit

- Type 36 Lantai III : Rp. 22.500,-/bln/unit

- Type 27 Lantai IV : Rp. 20.000,-/bln/unit

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 69: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

55

- Type 54 Lantai IV : Rp. 30.000,-/bln/unit

Blok A dibangun pada tahun 1997 dengan luas lahan sebesar 1.887 m2 dan

luas bangunan sebesar 2.592 m2. Kapasitas hunian sarusun adalah 90 unit. Bahan

bangunan utama blok A adalah batako. Blok A memiliki 4 (empat) lantai sebagai

berikut :

- Lantai I adalah lantai dasar.

- Lantai II (Type 27 : 24 unit & Type 36 : 6 unit)

- Lantai III (Type 27 : 24 unit & Type 36 : 6 unit)

- Lantai IV (Type 27 : 24 unit & Type 36 : 6 unit)

Tarif sewa unit sarusun yang diberlakukan sesuai tipe dan lantai pada blok

A adalah sebagai berikut :

- Type 27 Lantai II : Rp. 25.000,-/bln/unit

- Type 36 Lantai II : Rp. 30.000,-/bln/unit

- Type 27 Lantai III : Rp. 20.000,-/bln/unit

- Type 36 Lantai III : Rp. 25.000,-/bln/unit

- Type 27 Lantai IV : Rp. 15.000,-/bln/unit

- Type 36 Lantai IV : Rp. 20.000,-/bln/unit

Blok B dibangun pada tahun 1997 dengan luas lahan sebesar 1.887 m2 dan

luas bangunan sebesar 2.592 m2. Kapasitas hunian sarusun adalah 90 unit. Bahan

bangunan utama blok B adalah batako. Blok B memiliki 4 (empat) lantai sebagai

berikut :

- Lantai I adalah lantai dasar.

- Lantai II (Type 27 : 24 unit & Type 36 : 6 unit)

- Lantai III (Type 27 : 24 unit & Type 36 : 6 unit)

- Lantai IV (Type 27 : 24 unit & Type 36 : 6 unit)

Tarif sewa unit sarusun yang diberlakukan sesuai tipe dan lantai pada blok

B adalah sebagai berikut :

- Type 27 Lantai II : Rp. 25.000,-/bln/unit

- Type 36 Lantai II : Rp. 30.000,-/bln/unit

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 70: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

56

- Type 27 Lantai III : Rp. 20.000,-/bln/unit

- Type 36 Lantai III : Rp. 25.000,-/bln/unit

- Type 27 Lantai IV : Rp. 15.000,-/bln/unit

- Type 36 Lantai IV : Rp. 20.000,-/bln/unit

Terdapat beberapa buah kios, yaitu 24 buah kios dan tiap blok terdiri dari

8 kios, namun yang aktif sampai sekarang masih digunakan hanya 20 buah kios

saja. Hal ini ditunjukan dari para penghuni yang lebih nyaman berjualan di depan

rumah susun mereka ketimbang di kios yang sudah disediakan.

Perletakkannya jauh dari pasar, lapangan, serta sekolah sehingga

membuat masyarakat susah dalam memenuhi kebutuhan pendidikan maupun

bersosialisasi. Pada lantai 1 Blok B dialih fungsikan oleh warga menjadi tempat

bermain anak, hal ini dikaeranakan tidak tersedianya tempat bermain anak.

c. Massa Bangunan

Tiap lantai bangunan dihubungkan dengan tangga yamng berjumlah 2

buah setiap massa bangunan. Pada Blok A dan B letak tangga di tengah, yaitu

bersebelahan. Sementara letak tangga pada Blok Tengah berada di kanan dan kiri

bangunan. Selasar tiap lantai memiliki ukuran lebar 3 meter.

d. Utilitas

1. Jaringan Listrik

Listrik berasal dari PLN bertegangan 220 V dengan kapasitas daya sebesar

450 watt untuk semua tipe. Namun ada beberapa penghuni tipe unit hunian

besar (54) yang menambah daya menjadi 900 watt karna pertimbangan

kebutuhan listrik yang besar sehingga daya yang disediakan tidak mencukupi

kebutuhan.

2. Jaringan Air Bersih

Sumber air bersih dari sumur artetis yang berjumlah 3 buah yang melayani 3

blok bangunan. Air ini bersifat multi fungsi, karena selain dapat dipakai

sebagai air untuk mandi, mencuci, juga dapat digunakan sebagai air minum.

Air yang dipompa dari dalam tanah (air tanah) ditampung dalam tendon diatas

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 71: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

57

menara untuk dialirkan ke unit-unit rumah dengan metode gravitasi, sehingga

menghemat energi.

3. Jaringan Air Kotor

Sumber air bersih dari sumur artetis yang berjumlah 3 buah yang melayani 3

blok bangunan. Air ini bersifat multifungsi, karena selain dapat dipakai

sebagai air untuk mandi, mencuci, juga dapat digunakan sebagai air minum.

Air yang dipompa dari dalam tanah (air tanah) ditampung dalam tendon diatas

menara untuk dialirkan ke unit-unit rumah dengan metode gravitasi, sehingga

menghemat energi.

4. Sistem Pemadam Kebakaran

Untuk menanggulangi kebakaran bangunan ini tidak memiliki fire detector,

hydrant boy ataupun hydrant pillar dan tangga darurat. Tabung pemadam

kebakaran portable tersedia di masing-masing lantai dan terletak di dekat

tangga sebelah kiri bangunan untuk blok tengah dan disebelah tangga pada

blok A dan B.

e. Tampilan Bangunan

Gambar 2.8 Tampilan Bangunan Rumah Susun Bandarharjo

Sumber : wikipedia.com

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 72: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

58

BAB III

EPISTEMOLOGI

3.1 Epistemologi Asarnawa Sebagai Dasar Rancangan

3.1.1 Pengertian Asarnawa

Sistematika Asarnawa adalah sebuah manifestasi solutif dari faham

kehidupan dan konflik sosial-ekonomi terkait kawasan permukiman nelayan yang

berkisar pada masalah dominasi yang diejawantahkan ke dalam sistematika

aktifitas di suatu bangunan huni vertikal terkait tata guna ruang. Dalam

terapannya, konsep Asarnawa diejawantahkan kedalam bentukan taman terpusat

yang memiliki kegiatan edukatif untuk penghuninya menemukan esensi dan self-

consciousness sehingga memperkuat radix dari unsur human sebagai user dalam

bangunan.

Asarnawa diadopsi dari penggalan kata dalam bahasa Sansekerta Asa

(Harapan) dan Arnawa (Laut) yang diartikan sebagai Harapan dan doa dari laut.

Merupakan sebuah rumusan konsep yang diejawantahkan ke dalam aktifitas dan

rancangan arsitektural terhadap penghidupan sehari-hari masyarakat pesisir yang

memiliki kaitan erat dengan kehidupan yang bergantung pada sumber daya laut.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 73: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

59

3.1.2 Konteks Sistematika Sosial Asarnawa dalam Dunia Arsitektur

Kepedulian akan kualitas hidup manusia membantu berkembangnya ilmu

arsitektur menuju arah yang mengandung permasalah sosial. Permasalahan sosial

yang pada mulanya tidak banyak dibicarakan, bahkan acapkali dihindari dengan

menuding secara sempit bahwasanya masalah sosial adalah realitas dalam ilmu

sosial. Beberapa dasawarsa terakhir ini, kajian isu dalam permasalahan

humaniora tersebut mulai dibicarakan karena memiliki peranan yang besar

sebagai terminologi dan kaidah solutif dalam perkembangan ilmu arsitektur.

Kehadiran ilmu humaniora dalam terminologi teori arsitektur perilaku

menjadi sangat berarti setelah terjadinya peristiwa pada sebuah bangunan

kompleks perumahan di Amerika Serikat yang beberapa waktu sebelumnya

meraih award yang sangat prestisius dari intuisi arsitek di negara Paman Sam

tersebut. Namun meski mendapat award dalam pendekatan ilmu arsitektural,

nyatanya bangunan tersebut malah bertendensi dan menimbulkan berbagai

permasalah kepada users yang menempati. Vandalisme dan tindak kriminal

menyebabkan hilangnya rasa aman para penghuni bangunan tersebut. Visualisasi

diyakini salah satu faktor yang menyulut terjadinya konflik sosial tersebut.

Penulis meyakini betapa besar pengaruh psikis atas visualisasi yang dilihat secara

indrawi. Terhadap mental masyarakat suatu sosialita, para arsitek adalah salah

satu yang semesetinya bertanggung-jawab atas pemaksaan visualisasi dalam

desainnya. Meninjau peran arsitek dalam karya ‘Magnum Opus’nya, senada

dengan dasar pemikiran Bourdieu (1996) tentang arena intelektual yang hanya

merupakan salah satu dari berbagai bidang kehidupan dimana diatasnya para

aktor individual berjuang demi memperoleh pengakuan dan imbalan.26

Adalah suatu tanda zaman yang mengejutkan bahwa orang-orang yang

seharusnya ahli dalam bidang mereka, tidak lagi mampu untuk menyelesaikan

masalah-masalah mendesak yang telah muncul dalam bidang keahlian mereka

(Capra 1997) merupakan suatu paradoksikal eksoterik yang menjadi mainstream

dalam ranah intelegentia dalam era ini. Dalam hal ini, konteks sosial masyarakat

kuat dasarnya menjadi tanggung jawab dalam bidang arsitektur karena memiliki

peran dan pelaku dalam produk arsitektur. Singkatnya, yang dimaksud dengan

26 Haryadi, B.Setiawan, 2010, Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku. Hal 2

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 74: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

60

Asarnawa adalah sebuah manifestasi solutif dari faham kehidupan dan konflik

sosial-ekonomi terkait kawasan permukiman nelayan yang berkisar pada masalah

dominasi yang diejawantahkan ke dalam sistematika aktifitas di suatu bangunan

huni vertikal terkait tata guna ruang.

Ada beberapa alasan utama yang menjadikan isu tentang kelas dan konflik

nelayan di Indonesia memiliki perhatian khusus untuk dibahas secara lebih

mendalam. Sejatinya, konflik sosial di kalangan kaum nelayan Indonesia telah

terjadi sejak lama dan menyebar di berbagai penjuru negara Indonesia. (Adhuri

2002 ; Aduri (editor) 2005; Adhuri dan Wahyono (editor) 2004; Yamin dan Dhe

2004: Kusnadi 2002; Bailey 1988; Betke 1988, dsb). Selanjutnya, potensi sumber

daya perikanan tangkap (kelautan) di Indonesia cenderung semakin berkurang

dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, beberapa wilayah penangkapan di

Indonesia di bagian utara pulau Jawa, sudah cukup lama mengalami kelebihan

tangkap atau over fishing. Hal ini tidak terlepas dari sifat sumber daya perikanan

laut itu sendiri yang menjadi common property sehingga cenderung memicu

terjadinya “The tragedy of the commons” (Hardy 1970). Oleh sebab itu, Rilus A

Kinseng memperkirakan konflik sosial di kalangan nelayan di masa masa yang

akan datang akan semakin meningkat.

Menyangkut pengertian kelas sosial itu sendiri pada komunitas nelayan,

secara empiris, analisis terhadap kaum nelayan di Indonesia nyaris belum pernah

dilakukan. Sejalan dengan itu, kajian terhadap konflik-konflik nelayan di

Indonesia yang dilakukan oleh berbagai pihak selama ini juga belum pernah

menggunakan teori atau analisis kelas secara eksplisit (Absolut). Hal ini diyakini

karena, seperti kata Stavenhagen (1975:40), analisis kelas ini lahir dan

berkembang di masyarakat industri modern-kapitalis Barat. Di Indonesia sendiri

penggunaan konsep dan analisis kelas ini secara umum memang sangat langka

(Farid 2006). Padahal, berbagai konflik antarnelayan di Indonesia cukup ‘besar’

dan brutal yang justru merupakan sebuah konflik kelas sosial. Konflik brutal

berkepanjangan antara nelayan tradisional dengan nelayan trawl pada tahun-

tahun sebelum 1980, yang memaksa pemerintah Orde Baru untuk mengambil

keputusan dan tindakan cukup drastis, yakni mengeluarkan Keputusan Presiden

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 75: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

61

(Keppres) No.39 tahun 1980 yang melarang penggunaan trawl di wilayah

perairan di Indonesia.27

3.2 Kaidah Arsitektural dalam Pendekatan Konsep

3.2.1 Pemikiran Dasar dan Kaidah TerapanTeori Tematik

a. Ekologis

Pada dasarnya, ilmu Ekologis adalah ilmu yang membahas tentang

interaksi dari segala jenis makhluk hidup dan lingkungan. (Haeckel 1869). Arti

kata ekologi diambil dari penggabungan dua bahasa dalam bahasa yunani yaitu

“oikos” yang berarti rumah tangga atau cara bertempat tinggal dan “logos”

bersifat ilmu atau ilmiah. Ekologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang

mempelajari tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan

lingkungannya (Frick Heinz, Dasar-dasar Ekoarsitektur, 1998)

Ilmu ekologis sebagai suatu metode terminologi perancangan sejatinya

sudah sejak dahulu dilakukan secara turun temurun oleh manusia Indonesia

primitf meskipun tanpa berlandaskan teori keilmuan, melainkan karena gagasan

agama, kepercayaan dan mitologi. Seperti misalnya tentang konsep petungan

dalam budaya Jawa atau Tri Hita Kirana dan Hasta Kosala Kosali milik

kebudayaan Bali. Sikap dan perilaku yang berlandaskan dari kepercayaan

tersebut, bila dikaji secara ilmiah memiliki value yang tinggi dari sudut pandang

ekologis. Oleh sebab itu, dapat dirumuskan bahwasanya kaidah terapan ekologis

sudah sangat melekat dalam sejarah pikir dan perilaku empirikal manusia

Indonesia.

Eco-arsitektur menonjolkan arsitektur yang berkualitas tinggi meskipun

kualitas di bidang arsitektur sulit diukur dan ditentukan, tak ada garis batas yang

jelas antara arsitektur yang bermutu tinggi dan arsitektur yang biasa saja.

Fenomena eksis sebatas kualitas arsitektur yang hanya memperhatikan bentuk

dan konstruksi gedung dan cenderung kurang memperhatikan kualitas hidup dan

keinginan users meskipun peran users disini bukan menjadi actor utama.

27 Op. Cit. Rilus A Kinseng, Konflik Nelayan

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 76: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

62

Dalam pandangan eco-arsitektur gedung dianggap sebagai makhluk atau

organik, berarti bahwa bidang batasan antara bagian luar dan dalam gedung

tersebut, yaitu dinding, lantai, dan atap dapat dimengerti sebagai kulit ketiga

manusia (kulit manusia sendiri dan pakaian sebagai kulit pertama dan ke dua).

Dan harus melakukan fungsi pokok yaitu bernafas, menguap, menyerap,

melindungi, menyekat, dan mengatur. Oleh karena itu sangat penting untuk

mengatur sistem hubungan yang dinamis antara bagian dalam dan luar gedung.

Dan eco-arsitektur senantiasa menuntut agar arsitek (perencana) dan pengguna

gedung berada dalam satu landasan yang jelas.

Prinsip-prinsip ekologi sering berpengaruh terhadap arsitektur (Batel

Dinur, Interweaving Architecture and Ecology - A theoritical Perspective).

Adapun prinsip-prinsip ekologi tersebut antara lain :

a. Flutuation

Prinsip fluktuasi menyatakan bahwa bangunan didesain dan dirasakan

sebagai tempat membedakan budaya dan hubungan proses alami. Bangunan

seharusnya mencerminkan hubungan proses alami yang terjadi di lokasi dan lebih

dari pada itu membiarkan suatu proses dianggap sebagai proses dan bukan

sebagai penyajian dari proses, lebihnya lagi akan berhasil dalam menghubungkan

orang-orang dengan kenyataan pada lokasi tersebut.

b. Stratification

Prinsip stratifikasi menyatakan bahwa organisasi bangunan seharusnya

muncul keluar dari interaksi perbedaan bagian-bagian dan tingkat-tingkat.

Semacam organisasi yang membiarkan kompleksitas untuk diatur secara terpadu.

c. Interdependence (saling ketergantungan)

Menyatakan bahwa hubungan antara bangunan dengan bagiannya adalah

hubungan timbal balik. Peninjau (perancang dan pemakai) seperti halnya lokasi

tidak dapat dipisahkan dari bagian bangunan, saling ketergantungan antara

bangunan dan bagian-bagiannya berkelanjutan sepanjang umur bangunan.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 77: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

63

Dalam eco-arsitektur terdapat dasar-dasar pemikiran yang perlu diketahui,

antara lain :

1. Holistik

Dasar eco-arsitektur yang berhubungan dengan sistem keseluruhan,

sebagai satu kesatuan yang lebih penting dari pada sekedar kumpulan bagian.

2. Memanfaatkan pengalaman manusia

Hal ini merupakan tradisi dalam membangun dan merupakan pengalaman

lingkungan alam terhadap manusia.

3. Pembangunan sebagai proses dan bukan sebagai kenyataan tertentu

yang statis.

4. Kerja sama antara manusia dengan alam sekitarnya demi keselamatan

kedua belah pihak.

Dengan mengetahui dasar-dasar eco-arsitektur di atas jelas sekali bahwa

dalam perencanaan maupun pelaksanaan, eco-arsitektur tidak dapat disamakan

dengan arsitektur masa kini. Perencanaan eco-arsitektur merupakan proses

dengan titik permulaan lebih awal. Dan jika kita merancang tanpa ada perhatian

terhadap ekologi maka sama halnya dengan bunuh diri mengingat besarnya

dampak yang terjadi akibat adanya klimaks secara ekologi itu sendiri. Adapun

pola perencanaan eco-arsitektur yang berorientasi pada alam secara holistik

adalah sebagai berikut :

o Penyesuaian pada lingkungan alam setempat.

o Menghemat energi alam yang tidak dapat diperbaharui dan menghemat

penggunaan energi.

o Memelihara sumber lingkungan (air, tanah, udara).

o Memelihara dan memperbaiki peredaran alam dengan penggunaan

material yang masih dapat digunakan di masa depan.

o Mengurangi ketergantungan pada pusat sistem energi (listrik, air) dan

limbah (air limbah, sampah).

o Penghuni ikut secara aktif dalam perencanaan pembangunan dan

pemeliharaan perumahan.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 78: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

64

o Kedekatan dan kemudahan akses dari dan ke bangunan.

o Kemungkinan penghuni menghasilkan sendiri kebutuhan sehari-harinya.

o Menggunakan teknologi sederhana (intermediate technology), teknologi

alternatif atau teknologi lunak.

Penerapan paham ecological sebaiknya mengamati dan memperhatikan

beberapa kaidah yang menjadi acuan dasar dalam pembentukan masyarakat

berwawasan ekologis karena terdapatnya konsekuensi terhadap penggunaan

kalimat “berkelanjutan” atau sustainable. Sebuah ekosistem baru bisa melakukan

“berkelanjutan” jika hanya jika mendaur ulang hampir seluruh ‘nutrien’ dan

menggunakan energi secara sangat efisien sama dengan sistem kehidupan. Maka

dari itu, apa yang kita sebut dengan ‘etika ekologi’ dewasa ini sedang berkembang

pesat di seluruh dunia sebagai bentuk faham perlawanan atas kaidah-kaidah yang

pernah diterapkan pada masa era sebelumnya.

Ernest Callenbach (1999) menjelaskan perbedaan antara kaidah-kaidah

terapan lama dan baru sebagai berikut:

Kaidah Lama Kaidah Baru

Sampah-Limbah Beli murah dan buang Daur ulang

Penduduk Ayo, berkembang-

biaklah

Dua anak, cukup

Energi Kerjakan sesuatu dengan

biaya semurah mungkin,

apapun hasilnya.

Gunakan tenaga matahari,

angin, biomas dan geothermal.

Hubungan antar-

makhluk

Hanya manusia yang

memiliki arti.

Jangan biarkan makhluk lainnya

punah, lindungi habitat mereka.

Future Biarkan masa depan

memikirkan masa depan

Pikirkan dampak segala

tindakan terhadap tujuh generasi

mendatang.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 79: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

65

Tabel 3.1 : Perbedaan Kaidah Lama dan Baru menurut Ernest Callenbach

Sumber : Kota dan lingkungan : Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. Pengantar :

Prof. Ir. Eko Budiharjo, MSc

Pada perkembangannya eco-arsitektur disebut juga dengan istilah green

architecture (arsitektur hijau) mengingat subyek arsitektur dan konteks

lingkungannya bertujuan untuk meningkatkan kualitas dari hasil arsitektur dan

lingkungannya. Dalam perspektif lebih luas, lingkungan yang dimaksud adalah

lingkungan global alami yang meliputi unsur bumi, udara, air, dan energi yang

perlu dilestarikan. Eco-arsitektur dapat disebut juga sebagai arsitektur hemat

energi yaitu salah satu tipologi arsitektur yang ber-orientasi pada konservasi

lingkungan global alami.

b. Tropis

Definisi Arsitektur menurut Francis DK Ching (1979) adalah membentuk

suatu tautan yang mempersatukan ruang, bentuk, teknik, dan fungsi. Sedangkan

kata tropis berasal dari kata yunani yaitu “tropikos” yang berarti garis balik.

Pengertian tersebut berlaku untuk daerah antara kedua garis balik, yang meliputi

sekitar 40% dari luas seluruh permukaan bumi. Garis-garis balik tersebut adalah

garis lintang 23º27’ utara dan selatan yang terletak diantara garis isotherm 20º C.

Dari definisi tersebut arsitektur tropis dapat diartikan sebagai suatu bentuk,

teknik, dan fungsi yang membentuk suatu tautan pada daerah garis isotherm 20º

C.

Di Indonesia iklim dapat dibedakan menjadi dua katagori menurut letak

geografisnya. Tropis Kering dan Tropis Lembab. Iklim pada suatu daerah sangat

mempengaruhi efisiensi aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Manusia

memiliki aktivitas yang begitu banyak sehingga sebagian besar aktivitas mereka

tidak dapat diselenggarakan akibat ketidaksesuaian kondisi iklim luar. Cara untuk

memecahkan kondisi tersebut dalah dengan membuat sebuah bangunan sebagai

tempat untuk berlindung. Dengan adanya bangunan tersebut, diharapkan iklim

luar yang tidak menunjang aktivitas manusia dapat dimodifikasi dan diubah

menjadi iklim dalam (bangunan) yang lebih sesuai. Usaha manusia untuk

mengubah kondisi iklim luar yang tidak sesuai menjadi iklim dalam (bangunan)

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 80: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

66

yang sesuai seringkali tidak seluruhnya tercapai. Dalam banyak kasus, manusia

di daerah tropis seringkali gagal menciptakan kondisi termis yang nyaman di

dalam bangunan. Ketika berada di dalam bangunan, pengguna bangunan justru

seringkali merasakan udara ruang yang panas dan sumuk, sehingga kerap mereka

lebih memilih berada di luar bangunan. Oleh karena itu konsep arsitektur tropis

adalah suatu solusi primitif dalam mewujudkan iklim yang sesuai untuk

menunjang aktiviitas manusia di dalam bangunan khususnya pada daerah tropis.

Arsitektur Tropis merupakan salah satu cabang ilmu arsitektur, yang

mempelajari tentang arsitektur yang berorientasi pada kondisi iklim dan cuaca,

pada lokasi di mana massa bangunan atau kelompok bangunan berada, serta

dampak, tautan ataupun pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar yang tropis.

Dalam buku green architecture karangan Tri Harso Karyono , arsitektur tropis

didefinisikan sebagai suatu karya arsitektur yang mampu mengantisipasi

problema yang ditimbulkan dari iklim tropis.28

Saat ini arsitektur tropis telah mencapai cakrawala pemikiran dan konsep

baru. Arsitektur tropis pada saat ini dapat memiliki corak atau berwarna apa saja.

Contoh corak tersebut seperti arsitektur sub-tropis, modern, pasca modern,

dekonstruksi, high-tech, dan lainnya. Selama rancangan corak tersebut mampu

mengatasi problematic yang ditimbulkan dari iklim tropis maka corak dalam

suatu bangunan bukan menjadi masalah dalam mewujudkan eksplorasi desain

dalam sebuah bangunan. Problematic yang harus diatasi dalam prinsip arsitektur

tropis antara lain seperti hujan deras, terik matahari, suhu udara tinggi,

kelembaban tinggi ( untuk tropis basah) ataupun kecepatan angin yang pada

umumnya rendah.29 Arsitektur tropis ingin mengubah kondisi tidak nyaman

menjadi kondisi yang nyaman bagi penyelenggara aktivitas manusia yang berada

di dalam bangunan. Dengan pemahaman tersebut kriteria arsitektur tropis tidak

perlu lagi hanya dilihat dari sekedar bentuk atau estetika bangunan serta elemen-

elemennya, namun lebih kepada kualitas fisik ruangan yang ada didalamnya,

yaitu suhu ruang yang rendah, kelembaban yang tidak terlalu tinggi, pencahayaan

alami yang cukup, pergerakan udara (angin) yang memadahi, dan terhindar dari

28 http://belajardesaindanarsitektur.blogspot.co.id/2012/06/pengertian-dan-konsep-arsitektur-tropis.html 29 Tri Harso Karyono, 2008, Arsitektur Permukiman Berkelanjutan di Indonesia. Makalah.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 81: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

67

hujan dan terik matahari. Oleh karena itu bangunan yang dibangun dengan prinsip

arsitektur tropis akan mampu memberika kondisi fisik yang lebih nyaman

dibandingkan kondisi fisik diluar bangunan.

Menurut Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M. Arch, terdapat dua hal yang harus

dipertimbangkan dalam perancangan bangunan di daerah tropis :

Manusia dan kebutuhannya

Pentingnya kebiasaan setempat dan budaya yang mempengaruhi perancangan

rumah.

Pengaruh iklim Tropis

Perbedaan antara iklim tropis dan iklim sedang, bertingkat dengan bervariasinya

kombinasi antara matahari dan awan, hujan dan pengaruhnya tehadap kehidupan

manusia dan mahluk hidup lainnya. Dalam satu kasus suhu dibawah kalor darah,

namun badan dapat dipanaskan dengan makanan, gerakan dan shelter. Hal-hal

yang mempengaruhi iklim antara lain:

o View dan Orientasi bangunan

Dari contoh-contoh studi kasus desain bangunan tropis modern yang ada di

Indonesia pada saat ini, dapat disimpulkan ciri-ciri view dan orientasi bangunan

tropis adalah sebagai berikut:

- Menghadap pada arah dimana sinar matahari diusahakan dapat

memasuki ruangan pada pagi hingga sore hari.

- Ruangan dengan fungsi publik atau pusat aktifitas berada pada

kawasan yang mendapat cahaya matahari langsung, dengan suatu

sistem pelindung yang menambah kenyamanan manusia.

o Kenyaman Thermal

Kenyamanan thermal adalah suatu kondisi thermal yang dirasakan oleh manusia

bukan benda, binatang, dan arsitektur, tetapi dikondisikan oleh lingkungan dan

benda-benda di sekitar arsitekturnya atau kondisi fikir seseorang yang

mengekspresikan kepuasan dirinya terhadap lingkungan thermalnya. Faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi kenyamanan thermal pada bangunan antara lain:

- Sun Protection

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 82: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

68

Sun protection adalah suatu bagian memprotect atau menjaga bagian

dalam bangunan atau interior, dengan suatu sistem atau bahan, yang

dapat menambah kenyamanan.

- Sun Shading

Sun Shading adalah suatu bagian penyaring sinar matahari pada bukaan

atau ventilasi ruangan, yang biasanya terdapat pada material kaca atau

penyangga ventilasi bangunan.

- Window Radiation

Window radiation maksudnya pengaruh material atau system pada

bukaan atau jendela, baik terhadap lingkungan interior bangunan,

ataupun lingkungan luar / eksterior bangunan.

3.2.2 Paradigma Penerapan Teori dalam Perancangan

a. Paradigma

Sistematika Asarnawa, secara garis besarnya merupakan sebuah

manifesto solutif atas tuntutan kegiatan ekonomi masyarakat nelayan terhadap

hegemoni masyarakat yang mendominasi sebagai kelas kapital nelayan. Hal ini

menuntut peran intelegentia idealis yang ber-mahdzab kepada peran Filantropi

untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

Peran para idealisme ini memiliki kepentingan yang fluktuatif sesuai

dengan keadaan ekonomi yang terjadi. Hal ini menjadi kecenderungan pasti

dalam peranan individunya untuk menjawab tantangan peradaban yang semakin

lama cenderung menuju arah ekploitasi dengan dominasi perilaku hegemoni

masyarakat yang mengikat kegiatan ekonomi selama beberapa generasi.

Dalam penerapannya, desain perilaku akan mengacu pada terminologi

konsep Yin dan Yang dimana kaidah kaidah yang kontradiktif diterapkan untuk

saling menjaga keseimbangan tanpa menciptakan stigma paradoks. Terminologi

yin-yang sangat bermanfaat dalam analisis keseimbangan kultural yang memakai

pandangan ekologis yang luas, suatu paradigma yang bisa dikatakan sebagai

sebuah sistem, dalam pengertian kesalinghubungan dan saling ketergantungan

semua fenomena. Organisme hidup, masyarakat dan ekosistem semuanya

termasuk kedalam suatu tatanan sistem.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 83: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

69

Sistem Asarnawa itu diatur sedemikian rupa sehingga membentuk

strukturisasi yang multitingkat, dimana masing-masing tingkat terdiri dari

berbagai subsistem yang juga merupakan suatu keseluruhan dalam kaitannya

dengan bagian substansi melalui penekanan kepada terminologi yang sebagai sisi

maskulin perancangan arsitektur, pengetahuan rasional, analisis dan ekspansi

untuk mengimbangi dan tanpa mengabaikan esensi yin sebagai sisi feminin

perilaku yang memiliki kearifan intuitif, sintesis dan kesadaran ekologis.30

Kecenderungan menonjolkan diri yang berlebihan terwujud dalam bentuk

kekuasaan, pengendalian dan dominasi atas yang lain dengan kekuatan yang

mainstream dijumpai sebagai pola-pola problematika hegemoni masyarakat

Indonesia. Kekuatan ekonomi dan politik dipaksakan oleh suatu kelas berbadan

hukum yang dominan. Hierarki sosial dipertahankan bersama garis rasis dan

seksis.

Ilmu dan teknologi kita didasarkan atas kepercayaan abad ke-tujuh belas

(science era) bahwa pemahaman tentang alam menyiratkan dominasi manusia

atas alam. Dipadu dengan model alam semesta yang mekanistik, yang juga

berasal dari abad ke-tujuh belas dengan penekanan yang berlebihan pada pikiran

linear telah menghasilkan suatu sikap yang tidak stabil atas probabilitas

perkembangan zaman kearah yang lebih tidak manusiawi. Suatu teknologi yang

menggantikan habitat manusia yang kompleks, organik dan alami dengan

lingkungan sintesis yang disederhanakan dan tinggal merakit (Mumford, 1970).

Hubungan antara teori sistem modern dan filosofis kebudayaan Cina kuno

yang terjadi beberapa abad lalu ini membantu kita melihat bahwa kebudayaan

universal secara konsisten telah memajukan dan menghargai unsur yang dan telah

mengesampingkan unsur yin. Namun demikian, dewasa ini masyarakat tengah

menghadapi fenomena gerakan evolusioner yang ditandai dengan kemunculan

faham ekologis yang menjadi titik balik dalam fluktuasi antara konsep yin dan

yang. Sebagaimana tertulis dalam manuskrip Cina, “Yang setelah mencapai

puncaknya, lalu mundur demi yin.”

30 Fritjof Capra, 2002, Titik Balik Peradaban. Tulisan dalam bibliografi dikutip dan dipahami dalam bentuk

pemikiran arsitektural yang berkesinambungan dengan alam.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 84: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

70

Gambar 3.1 Keseimbangan yin dan yang dalam hubungan ekologis dan teknologi.

Sumber : penulis.

Terdapat suatu perhatian yang semakin besar pada ekologi yang

menunjukkan batas-batas pertumbuhan, yang mendukung etika ekologi baru dan

mengembangkan teknologi lunak yang sesuai sebagai suatu tindakan

penyeimbangan yang diterapkan sebagai pengejawantahan keseimbangan.

Pandangan filosofis kebudayaan Cina kuno ini diyakini adalah suatu pandangan

yang berkesesuaian dengan paradigma kearifan budaya Indonesia yang sama-

sama hidup untuk dan kepada alam. Kearifan ini telah mengenal polaritas dasar

yang menjadi karakteristik sistem hidup. Penonjolan rancangan bangunan dicapai

dengan cara menampilkan perilaku yang dan di-Integrasi oleh sisi yin. Baik yin

maupun yang, tendensi-tendensi untuk berintegrasi dan menonjolkan diri,

diperlukan untuk membangun hubungan sosial dan ekologis yang harmonis.

Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pembahasan hubungan antara

arsitektur, lingkungan dan perliaku sosial memiliki peranan penting terhadap

esensi ruang. Konsepsi mengenai ruang (space), dikembangkan melalui beberapa

pendekatan yang berbeda dan selalu mengalami perkembangan. Paling tidak

terdapat tiga batas pendekatan yang mendominasi literatur-literatur mengenai

konsepsi ruang yakni, pendekatan ekologis (ecological approach), pendekatan

ekonomi dan fungsional (fungsional economical approach), dan pendekatan

sosial-politik (socio-political epparoach).31

Pendekatan ekologis menekankan pada tinjauan ruang sebagai satu

kesatuan ekosistem, dan melihat komponen-komponen ruang saling terkait dan

31 Friedman dan Weaver, 1979; Harvey 1973

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 85: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

71

berpengaruh secara mekanistis. Oleh karena hubungan yang mekanistis, sistem

ruang kemudian dapat dimodelkan secara matematis, terutama pengaruh suatu

komponen terhadap komponen lainnya. Pendekatan ini juga cenderung melihat

ruang sebagai satu sistem yang tertutup (closed system). Dalam sistem ini model-

model hubungan antara komponen ruang dibuat dengan asumsi bahwa terdapat

faktor eksternal yang berpengaruh terhadap sistem yang dikaji. Pendekatan

semacam ini sangat efektif untuk mengkaji dampak suatu kegiatan pembangunan

secara ekologis, tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi sosial, ekonomi dan

politis dari ruang.

Secara konseptual, pendekatan perilaku dalam perancangan ini

menekankan bahwa manusia merupakan makhluk yang hakikatnya berfikir

(Cogito, ergosum. Descrates) yang mempunyai perspesi dan keputusan dalam

interaksinya dengan lingkungan binaan. Interaksi antara manusia dan lingkungan

diyakini tidak dapat diinterpretasikan secara sederhana dan mekanistik,

melainkan kompleks dan cenderung dilihat sebagai suatu yang ‘probabilistik’.

Dalam interaksi yang kompleks ini, pendekatan perilaku mempekenalkan apa

yang disebut sebagai proses kognitif, yakni proses mental tempat human

mendapatkan, mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuannya untuk

memberi arti dan makna terhadap ruang yang digunakannya (di kasus ini, setting

human dirancang untuk pemaknaannya sebagai manusia sosial merdeka yang

harus lepas dari kekuasaan dominasi oleh kelas kapital –juragan- yang secara

multi-generasi menguasai politik ekonomi masyarakat nelayan).

Secara umum, pendekatan studi perilaku mulai mendapatkan momentum

yang menarik dan penting. Ketika beberapa ilmu (terutama psikologi, sosial dan

arsitektur) secara kolektif bekerjasama dan saling berbagi pengetahuan untuk

menganalisis kompleksitas hubungan antara lingkungan dan perilaku. Kerjasama

kolektif ini terutama ditujukan untuk memahami bagaimana aspek-aspek

psikologi, kultur dan sosiologi berperan memediasi hubungan atau interaksi

antara manusia dan lingkungannya.

b. Renungan

Berdasarkan pemahaman yang menjadi dasar suatu perancangan perilaku,

penulis meyakini bahwa estetika suatu bangunan yang dirancang berdasarkan

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 86: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

72

terminologi yin dan yang sebagai suatu keseimbangan majunya peradaban zaman

dan hubungannya dengan culture sebagai filosofis Indonesia, dapat dengan

mudah ditangkap masyarakat yang berada dalam domisili bangunan maupun

sekitar, secara indrawi dan persepsi. Namun, hal itu akan menjadi percuma, ketika

masyarakat tersebut tertahan dari esensi merdeka.

Konformitas masyarakat Indonesia, ketika berbicara tentang merdeka,

yang dimaksudkan adalah kemerdekaan individual bukan merdeka secara sosial.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan esensi pancasila sebagai landasan dasar

yang menyusun ideologi kerakyatan. Faham kapital, yang terejawantahkan

sebagai kelas juragan, alih-alih mendukung istilah kemerdekaan, justru

membelenggu dan secara subliminal, menghidupkan kembali sistem perbudakan.

Dengan kata lain, membelenggu manusia dalam kebodohan. Semakin lama hal

ini dibiarkan, akan bertendensi untuk menciptakan ekploitasi tanpa dasar yang

kokoh. Seperti misalnya pada peristiwa beberapa waktu lalu, masyarakat nelayan

melakukan aksi demo terhadap kebijakan Mentri Perikanan tentang pelarangan

penggunaan pukat harimau sebagai alat penangkapan. Mereka melakukan aksi

tersebut, saya meyakini, karena tidak memahami secara mendalam dampak yang

disebabkan oleh penggunaan alat tersebut. Pun terjadi dalam penerapan

rancangan arsitektur. Seperti misalnya dalam penggunaan jalan trotoar. Alih alih

digunakan sebagai area pejalan kaki, trotoar di Indonesia justru digunakan

sebagai lahan perniagaan bagi kelas kaki lima.

Visualisasi sangat penting terhadap kegiatan psikis suatu individu. Hal ini

tidak di-definisikan hanya sebatas ‘apa yang dilihat’ saja melainkan termasuk

juga atas ‘apa yang dilakukan, disentuh, dan dikagumi’. Hal ini sudah

diterjemahkan dalam konteks manusia memaknai ruang yang dilihat sebagai

ruang semiotiknya. Lebih mendalam, status-nya dalam sosial juga akan sangat

berpengaruh terhadap pemaknaan visual yang menjadi acuan dasar terhadap pola

laku secara besar-besaran. Kebijakan yang tercetus atas suatu kekuasaan, oleh

masyarakat yang didominasi akan menjadi suatu kebutuhan dan melupakan

hakikatnya sebagai makhluk yang berfikir. Sebagai contoh, kebijakan raja pada

suatu kerajaan, akan lebih berpengaruh atas rakyatnya daripada kebijakan seorang

presiden yang dimana kerajaan tersebut berada dalam ruang lingkup

pemerintahannya. Hal ini menjadi baik, jika kebijakan tersebut adalah baik.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 87: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

73

Namun, bagaimana jika kebijakan tersebut hanya berisi tentang pemakmuran

suatu kalangan saja? Bagaimana jika kebijakan tersebut hanya untuk memperkaya

diri sendiri saja? Dalam politik, tidak ada suatu kebetulan. Jika sesuatu terjadi,

kita dapat menyimpulkan sesuatu tersebut telah direncanakan (Franklin

Roosvelt). Dasar tersebut bertendensi untuk menciptakan disonansi dalam

paradigma masyarakat sehingga dapat mencetuskan revolusi intelegntia.

Kelas nelayan, sudah sekian lama terjebak dalam aktifitas monoton dan

berselimutkan kekuasaan politik juragan. Tanpa edukasi lebih lanjut, generasi

mereka pun bahkan kebanyakan meneruskan apa yang dilakukan oleh generasi

sebelumnya : menjadi nelayan lagi. Hal ini sejatinya bukan merupakan suatu

kesalahan, tetapi mengingat terdapat sebuah stereotype yang mengatakan bahwa

perkampungan nelayan umumnya adalah kawasan berbahaya karena rentan

terhadap kriminalitas, hal ini menjadi sangat penting untuk ditelusuri dan

diberikan solusinya. Sebagai contoh, terdapat stereotype oleh masyarakat sekitar

yang mengatakan bahwa nelayan adalah orang orang miskin dan bodoh. Jika hal

ini ditelusuri lebih dalam, kita dapat melihat akar konsumsi gizinya. Secara

umum, masyarakat nelayan hanya mengkonsumsi nasi dan ikan asin sebagai lauk.

Padahal, mereka adalah orang yang menangkap ikan di laut. Namun karena faktor

ekonomi, mereka bahkan harus menjual apa yang dapat dimakan demi memenuhi

kebutuhan ekonomi keluarganya. Berdasar pertimbangan sederhana tersebut,

ditemukan solusi bahwa masyarakat nelayan harus menyimpan hasil

tangkapannya untuk dikonsumsi sendiri.

Sejatinya, masyarakat nelayan adalah aktor penting dalam sektor maritim

Indonesia. Seperti halnya akan ruang security sebuah bangunan yang dilengkapi

dengan fasilitas untuk menjaga keamanan suatu bangunan, sebagai ‘penunggu

teras depan’, masyarakat nelayan memiliki hak utama dalam hal kesejahteraan.

Arsitektur sekitarnya,bertendensi menjadi sebuah cerminan dasar tentang

bagaimana kondisi di dalamnya. Yang terlihat, adalah gubuk yang sudah hampir

rubuh, pola pemukiman yang padat dan kumuh, serta lingkungan yang sampah

sudah hampir penuh. Namun ketika seorang arsitek merancang sesuatu

didalamnya, apakah desain yang dirancang akan dapat merubah paradigma

usernya sehingga maintenance terhadap bangunan dapat berjalan baik dan

bangunan dapat berfungsi sesuai magnum opus perencanaan arsitek tersebut? Jika

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 88: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

74

tidak, arsitek tersebut hanyalah membuang-buang waktunya demi sebuah

popularitas. Memiliki pengetahuan yang sangat luar biasa, merekayasa alam

menjadi sebuah sastra teknologi, karyanya menjadi sebuah magnum opus yang

dikagumi, berusaha menolong seseorang tetapi yang ditolong –karena beberapa

faktor yang belum terjawab- justru menciptakan vandalisme, bahkan bertendensi

terhadap tindak kriminal. Ia tidak mampu menolong dengan kekayaan

intelektualnya dan betendensi menyediakan wadah untuk menghancurkan

masterpiece karya sang arsitek sendiri.

Bukankah ini sebuah paradoks?

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 89: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

75

BAB IV

TINJAUAN LOKASI

4.1 Tinjauan Kota Tegal

4.1.1 Kondisi Geografis dan Iklim Kota Tegal

Kota Tegal sebagai salah satu daerah otonom di Provinsi Jawa Tengah

yang terletak 109o 08’ sampai 109o 10’ garis bujur timur dan 6o 50’ sampai 6o 53’

garis lintang selatan. Letak geografis Kota Tegal sangat strategis karena berada

di pertigaan jalur Kota besar Purwokerto- Tegal- Jakarta dan Semarang- Tegal-

Jakarta.

Batas – batas wilayah Kota Tegal diantaranya adalah :

- Sebelah Utara : Laut Jawa

- Sebelah Timur : Kabupaten Tegal

- Sebelah Selatan : Kabupaten Tegal

- Sebelah Barat : Kabupaten Brebes

Berdasarkan laporan tahunan Survei Pertanian (SP-VA) yang dilakukan

oleh BPS, luas wilayah Kota Tegal adalah 39,68 km2. Luas tersebut sekitar 0,11%

dari luas Propinsi Jawa Tengah. Secara administrasi Kota Tegal dibagi menjadi 4

kecamatan dengan 27 Kelurahan, dengan wilayah terluas adalah Kecamatan

Tegal barat sebesar 15,13 km2 disusul Kecamatan Margadana seluas 11,76 km2,

Kecamatan Tegal Selatan 6,43 km2 dan Kecamatan Tegal Timur seluas 6,36 km2.

Iklim di Kota Tegal adalah tropis dan bersuhu udara relatif panas. Di

tahun 2012 temperatur udara rata-rata perbulan mencapai 27,6oC dengan suhu

minimum mencapai 24,5oC dan suhu maksimum mencapai 31,6oC. Sedangkan

rata-rata hari hujan perbulan di Tahun 2012 adalah 9 hari dengan jumlah curah

hujan rata-rata 132 mm.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 90: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

76

4.1.2 Kondisi Topografi dan Peruntukan Lahan

a. Topografi

Topografi Kota Tegal terbagi menjadi 2 bagian yaitu daerah pantai dan

daerah dataran rendah. Sebelah utara merupakan daerah pantai yang relatif datar

dan di sebelah selatan merupakan daerah dataran rendah. Rata-rata elevasi

ketinggian di wilayah Kota Tegal antara 0- 7 meter di atas permukaan air laut

dengan kemiringan sungai rata-rata 0-2o.

b. Tapak Peruntukan

Jika petak lahan lebih dari 1000m² maka intensitas pemanfaatan ruang

menggunakan klasifikasi sebagai berikut :

1. Luas Lahan 1000 – 2000m2 > KDB dikurangi 5% dari KDH ditambah

2,5%

2. Luas Lahan lebih dari 2000m2 > KDB dikurangi 10% dan KDH ditambah

5%

Pelaksanaan pembangunan / pengembangan wajib menyediakan

prasarana dan sarana umum dengan proporsi 30% dari keseluruhan luas lahan

perumahan termasuk penyediaan RTH publik kawasan perumahan paling sedikit

20% dari luas lahan bangunan.

1. KDB (Koefisien Dasar Bangunan)

Menurut Peraturan Pemerintah Kota Tegal paragraf 2 pasal 77 dalam

Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya, yaitu :

- KDB (Koefisien Dasar Bangunan) sebesar 50% didapat dari Peraturan

Pemerintah Kota Tegal tentang pembangunan perumahan atau hunian

Vertikal. Angka ini mencakup konstruksi sarana dan prasarana.

- Rumah susun dan apartemen, diizinkan berada pada jalan kolektor

sekunder atau mempunyai akses jalan sendiiri ke jalan kolektor

sekunder.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 91: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

77

2. Jumlah Lantai dan Tinggi Bangunan

- Peraturan yang digunakan untuk Rumah Susun masuk kedalam

peraturan perumahan, jadi menurut Peraturan Pemerintah Kota Tegal

ketentuan tata masa bangunan perumahan adalah sebagai berikut :

Zona Lokasi GSB

(m)

GSJ (m) Jumlah

Lantai

Perumahan Arteri Primer 18 10 2

Arteri Sekunder 16 10 4

Kolektor Sekunder 10 8 4

Lokal Sekunder 6 4 2

Tabel 4.1 : Ketentuan Massa Bangunan pada Rumahsusun Kawasan Tegalsari

Sumber : Peraturan Pemerintah Kota Tegal

- Ketinggian maksimum Rumah Susun adalah 26m sesuai dengan

peraturan Rumah Susun Modular.

3. Densitas Bangunan

- Rumah Susun Di kelompokan menurut penghuninya yang sudah

berumah tangga maupun belum berumah tangga.

- Tempat usaha / industri yang menjadi fasilitas pendukung diletakkan

tidak menyatu dengan rusun.

4. Arahan Perancangan Arsitektur

- Alat transportasi vertikal yang ada di rumah susun ini adalah dengan

menggunakan tangga, dikarenakan bangunan direncanakan maksimal

berlantai 5 maka desain tangga di buat senyaman mungkin dengan

sudut 35o dan tanpa celah, guna menghindari kecelakaan dan

memudahkan evakuasi saat terjadi bencana.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 92: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

78

- Tempat industri dibuat senyaman mungkin dan tidak mengganggu

sekitar rusun serta menciptakan udara yang tetap bersih.

5. Arsitektur Bangunan

Bangunan bentuk desain lebih mempelajari bagaimana pelaku kegiatan

tersebut melakukan aktifitas. Dibuat seperti Kawasan Perkampungan Nelayan

sehingga memerlukan landscape untuk menambah daya tarik dari Rumah Susun

Nelayan. Material-material yang digunakan tidak mahal, namun mampu

menjadikan pemanfaatan alam sekitar dan beradaptasi dengan keadaan iklim di

Kota Tegal yaitu iklim tropis basah.

4.1.3 Kondisi Permukiman Nelayan Tegalsari

Kota Tegal adalah salah satu wilayah otonom di Provinsi Jawa Tengah

yang pernah menjadi cikal-bakal berdirinya Korps-Marinir seperti tercatat dalam

Pangkalan IV ALRI Tegal dengan nama Corps Mariniers. Penggunaan nama

Tegal mengacu pada istilah tegalan, tetegil (ladang) yang mana dalam sejarahnya

kota ini berasal dari kondisi geografis berupa hamparan perladangan. Kota ini

berada di jalur pantai utara (pantura) Jawa Tengah yang menjadi salah satu pusat

perniagaan dan persinggahan bagi jalur transportasi. Dilihat dari segi geografis,

kota Tegal berada pada orientasi Provinsi Jawa Tengah yang berada di wilayah

Barat sehingga memungkinkannya menjadi kota strategis yang menghubungkan

jalur perekonomian lintas nasional dan regional di wilayah pantura.

Dalam pembagian kawasan di Kota Tegal, terdapat empat kawasan

(kelurahan) yang berbatasan langsung dengan laut utara dan merupakan

perkampungan nelayan, antara lain adalah Tegalsari, Muarareja, Panggung dan

Mintaragen. Penggalan kawasan ini merupakan konsentrasi utama dalam RPPKP

(Rencana Program Penanganan Kawasan Priorotas). Rencana Program

Penanganan Kawasan Permukiman Prioritas, didasarkan pada Program

kebutuhan penanganan untuk :

o Penanganan Permukiman

o Penanganan jalan lingkungan.

o Penanganan drainase lingkungan permukiman

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 93: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

79

o Penanganan pengelolaan persampahan.

o Penanganan pengelolaan air limbah/Sanitasi

o Penanganan air bersih.

Rencana Program Penanganan Kawasan Permukiman Prioritas ini

disajikan pada masing-masing zona kawasan permukiman prioritas :

1. Zona 1 Kelurahan Tegalsari

Kawasan Permukiman Prioritas pada RW I, RW II Kelurahan Tegalsari

dan sebagian wilayah RW I Kelurahan Muarareja

2. Zona 2 Kelurahan Tegalsari.

Kawasan Permukiman Prioritas pada RW IX dan RW X Kelurahan

Tegalsari.

3. Zona 3 Kelurahan Tegalsari

Kawasan Permukiman Prioritas pada RW II dan RW III Kelurahan

Tegalsari.

4. Zona 4 Kelujrahan Mintaragen

Kawasan Permukiman Prioritas pada RW XI Kelurahan Mintaragen

5. Zona 5 Kelurahan Mintaragen

Kawasan Permukiman Prioritas pada RW X Kelurahan Mintaragen

6. Zona 6 Kelurahan Panggung.

Kawasan Permukiman Prioritas pada RW XI, RW XII, RW XIII

Kelurahan Panggung.

Berdasarkan data diatas, dapat dilihat bahwa terdapat prioritas lebih pada

kawasan Tegalsari yang mencapai 3 Zona untuk dijadikan kawasan prioritas

pembangunan. Melalui pembangunan permukiman nelayan Kelurahan Tegalsari,

setidaknya pemerintah berpeluang untuk mereduksi jeratan problema

pembangunan perumahan tersebut. Setidaknya dengan terpenuhinya pasokan

rumah layak huni bagi masyarakat nelayan Kelurahan Tegalsari, pemerintah telah

melaksanakan upaya yang melengkapi target pengentasan kawasan kumuh yang

dalam RPJMN ditargetkan 7.600 Ha per tahun.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 94: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

80

Berdasarkan acuan dari RTRW Kota Tegal, Kelurahan Tegalsari termasuk

salah satu dari sekian kelurahan di kota dengan sebutan bahari ini sebagai

perumahan berkepadatan tinggi. Oleh sebab itu, penataan yang cerdas wajib

dilakukan karena pada umumnya dengan tingkat yang padat, pola perumahan

akan cenderung terkesan kumuh dan sporadis. Seperti halnya di kota lain,

pembangunan rumah susun dapat menjadi salah satu strategi bijak dalam

mengantisipasi semakin kumuhnya permukiman masyarakat nelayan di

Kelurahan Tegalsari.

Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari merupakan salah satu dari 9

(sembilan) Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Pantai pada Dinas

Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah. Pelabuhan Perikanan Pantai

Tegalsari merupakan pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Tegalsari

yang dibangun mulai tahun 2000 melalui kegiatan Proyek Pembangunan

Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (Coastal Community

Development and Fisheries Resources Management Project) atau dikenal Cofish

Project yang merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah RI dengan Asian

Development Bank (ADB) yang tertuang dalam Naskah Perjanjian Luar Negeri

(NPLN) Loan Nos.1570/1571 (SF) INO tanggal 2 Februari 1998.

Sebagai kawasan yang akan direncanakan sebagai kawasan wisata bahari,

perlu diakui bahwa lingkungan di wilayah Kelurahan Tegalsari patut dibenahi

seperti halnya di lingkungan permukiman nelayan. Dengan indeks yang

mengatakan bahwa tingkat kepadatan permukimannya yang tergolong tinggi serta

kepadatan setiap rumah yang tinggi pula dimana setiap rumah masih ada beberapa

yang dihuni oleh 2-3 kepala keluarga (KK). Maka perlu ada penataan di sektor

perumahan sehingga mendukung program Sekaya Maritim dan tentu ber-output-

kan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kelurahan Tegalsari.

Sementara itu, saat ini direncanakan akan melakukan pembangunan

perumahan bagi masyarakat di Kelurahan Tegalsari, status tanah yang digunakan

ialah tanah hak pakai Pemerintah Kota Tegal. Secara teknis nantinya akan

perumahan tersebut juga akan dilengkapi dengan vegetasi penghilang atau

pereduksi bau amis dan anyir ikan dan pem-filter debu yang kerap terdapat pada

kampung-kampung nelayan pada umumnya.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 95: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

81

Kelompok sasaran penerima manfaat ditujukan pada calon penghuni yang

terdiri dari 154 KK. Calon penghuni tersebut sudah diseleksi dan ditetapkan

berdasarkan pertimbangan by name by address. Lokasi pembangunannya berada

pada Zona 1 yang berada di RW 1 dengan konsentrasi pembangunan berada di

area gang 1, gang 3, gang 5, gang 7, gang 9 dan gang 11 Kelurahan Tegalsari

Kota Tegal, Jawa Tengah. Pembangunan rumah susun tersebut sebagai bentuk

kepedulian terhadap masyarakat nelayan di Kelurahan Tegalsari dari Pemerintah

Kota Tegal.

Masyarakat nelayan Tegalsari menggantungkan mata pencahariannya dari

proses penangkapan ikan di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa pada posisi 109°

10' 0" BT dan 07° 01' 0" LS. Berdasarkan data statistik, dapat dilihat bahwa

proses penangkapan ikan di Tegalsari dilakukan nelayan dengan menggunakan

alat tangkap berupa 462 unit cantrang, 44 unit gill net, 2 unit badong dan 5 unit

kapal latih. Secara keseluruhan jumlah produksi maupun nilai produksi perikanan

masyarakat nelayan Tegalsari mengalami peningkatan secara kontinu. Pada tahun

2013 jumlah produksi ikan tercatat 50.870.625 kg dengan nilai produksi sebesar

Rp. 316.442017.500,-.

Gambar 4.1 Data Kependudukan di Kota Tegal

Sumber : Data BPS (Badan Pusat Statistik) Kota Tegal

Tahun Jumlah Produksi (kg) Nilai Produksi (Rp)

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 96: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

82

2009 12.00.633 48.617.326.975

2010 36.451.812 208.950.673.224

2011 44.414.927 264.724.622.925

2012 45.486.481 268.213.219.500

2013 50.870.625 316.442.017.500

Tabel 4.2 : Produksi Perikanan Tangkap di Tegalsari

Sumber: PPP Tegalsari dalam angka tahun 2014

Sebagian besar hasil tangkapan ikan dari Tegalsari dijual dalam bntuk

ikan segar. Provinsi DKI Jakarta menjadi lokasi utama tujuan pengiriman ikan

segar dari Tegalsari. Sedangkan sisanya diolah menjadi berbagai komoditas

seperti :

1. Diolah menjadi fillet ikan sebagai bahan baku utama pembuatan

krupuk, bakso dan otak-otak untuk dijual ke daerah Brebes, Pemalang dan

Cirebon,

2. Diolah menjadi ikan panggang/ ikan asap untuk dijual ke pasar

tradisional di Kota Tegal,

3. Dijemur menjadi ikan asin untuk dijual ke Jakarta dan luar pulau Jawa,

serta

4. Khusus untuk ikan berukuran kecil diolah menjadi tepung ikan untuk

bahan baku pakan ternak.

Bagi keluarga nelayan yang tidak memiliki kemampuan untuk menangkap

ikan, mata pencahariannya mengandalkan kegiatan pemasaran dan pengolahan

hasil tangkapan ikan. Pada kegiatan pengolahan ikan di TPI Tegalsari terdapat 12

orang pekerja, 41 orang berperan sebagai pemasar ikan segar dan 2 sebagai pihak

pemasar hasil olahan ikan.

Pada Kelurahan Tegalsari ini pula terdapat berbagai macam industri

pengolahan ikan seperti misalnya industri pengasapan ikan, industri pengolahan

ikan asin, dan juga industri fillet ikan. Pemilik industri rumahan ini sebagian besar

adalah istri dari para nelayan tersebut.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 97: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

83

Besarnya prosentase rumah tangga yang masih belum memiliki rumah

atau hunian yaitu sebanyak 2693 KK di Kecamatan Tegal Barat yang notabene

didalamnya terdapat kelurahan Tegalsari. Namun, banyak pula permukiman

kumuh yang timbul akibat pembangunan rumah yang tidak sesuai aturan. Hal ini

dapat dilihat dari peta lingkungan Kota Tegal 2011 :

Gambar 4.2 Peta Letak Permukiman Kumuh di Kota Tegal

Sumber : BAPPEDA Kota Tegal

Menurut hasil wawancara dengan Dinas Permukiman dan Tata Ruang

Kota Tegal, Permukiman kumuh dan asal dalam mendirikan bangunan (squaters)

sering dilakukan oleh masyarakat kalangan berpenghasilan rendah. Hal ini

dilakukan guna untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka dalam bermukim.

4.1.4 Kondisi Sosial dan Ekonomi

Kehidupan sosial masyarakat Kota Tegal ini bersifat heterogen

(bermacam latar belakang) termasuk di dalamnya kehidupan beragama,

kehidupan sehari-hari dengan mata pencahariaan masing-masing, hingga upacara

adat masing-masing keluarga (suku budayanya). Kegiatan sosial ini tertampung

dalam satu wadah aktivitas juga yang berbasis ekonomi, perdagangan, dan

pendidikan. Sehingga kegiatan ekonomi pun didukung oleh latar belakang

kehidupan budaya masing, masing; ada kompleks pecinan dengan segudang

festival kulinernya, toko-toko material, dan obat-obatan; kampung orang Jawa

dengan interaksi rumah tangga sehari-hari dan dekat dengan kompleks pasar

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 98: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

84

tradisionalnya; peninggalan-peninggalan bersejarah dari kebudayaan Belanda,

India, dan China yang menjadi tempat wisata dan mata pencaharian penduduk

sekarang.

Berada pada koordinat yang strategis yakni berada pada sumbu utama

jalur Pantura menyebabkan keadaan ekonomi Kota Tegal berada pada titik yang

menguntungkan. Kota ini ditinjau dalam aspek ekonomi memiliki potensi untuk

berkembang dalam hal pariwisata dan jalur perniagaan.

4.2 Analisis Lokasi Terpilih

Sebagai kawasan yang akan direncanakan sebagai kawasan wisata bahari, perlu

diakui bahwa lingkungan di wilayah Kelurahan Tegalsari patut dibenahi seperti halnya

di lingkungan permukiman nelayan. Dengan indeks yang mengatakan bahwa tingkat

kepadatan permukimannya yang tergolong tinggi serta kepadatan setiap rumah yang

tinggi pula dimana setiap rumah masih ada beberapa yang dihuni oleh 2-3 kepala

keluarga (KK). Maka perlu ada penataan di sektor perumahan sehingga mendukung

program Sekaya Maritim dan tentu beroutputkan peningkatan kesejahteraan masyarakat

di Kelurahan Tegalsari.

Dengan melihat bahwa kebutuhan rumah layak huni dan kondisi geografis

khususnya luas tanah serta memperhatikan pasokan tanah ke depannya (berimbas pada

penataan kota), maka pembangunan seperti rumah susun merupakan salah satu jawaban

yang solutif. Acuan dasarnya dapat dilihat pula pada UU No. 1 Tahun 2011 Tentang

Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah

Susun. Sementara untuk dasar pengelolaannya dalam menyelenggarakan rumah susun

tersebut bisa dari Peraturan Daerah Kota Tegal No. 1 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan

Rumah Susun Sederhana Sewa dengan tujuannya agar pengelolaan Rusunawa dapat

berhasil dan berdaya guna sehingga dapat mencapai pemenuhan rumah tinggal yang tepat

sasaran, terjangkau, bermartabat, nyaman, aman, dan sehat bagi penghuninya.

Sasarannya tentu masyarakat di Kelurahan Tegalsari yang masuk dalam kategori sebagai

Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 99: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

85

4.2.1 Kondisi Eksisting

Gambar 4.3 Eksisting tapak.

Sumber : analisis.

Berada pada jalur Kolektor Sekunder dengan KDB sebesar 50% dan KDH

sebesar ditambah 2.5%. Memiliki batas ketinggian hingga 26 m sebagai bangunan

hunian vertikal dan fasilitas umum. Pelaksanaan pembangunan / pengembangan

wajib menyediakan prasarana dan sarana umum dengan proporsi 30% dari

keseluruhan luas lahan perumahan termasuk penyediaan RTH publik kawasan

perumahan paling sedikit 20% dari luas lahan bangunan.

Kondisi pada penggal kawasan ini notabene masih berada dalam

kekumuhan dengan tata ruang yang semerawaut dan tingkat kepadatan tinggi

sehingga menciptakan kesan ‘sumpek’ dan kotor.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 100: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

86

Gambar 4.4 Batas Barat Eksisting.

Gambar 4.5 Eksisting tapak.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 101: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

87

Gambar 4.6 Kondisi Eksisting.

Sumber : analisis.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 102: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

88

4.2.2 Batas Lokasi

- Utara : pantai/pesisir laut Jawa

- Selatan : Jalan Brawijaya bersebrangan dengan kawasan permukiman

- Barat : Batas sungai Sibelis bersebrangan dengan Desa Muarareja

- Timur : Kawasan Permukiman Tegalsari

4.2.3 Akses Pencapaian

Kawasan Tegalsari ini dapat dicapai dari pusat kota dengan melewati jalan

Pantura ke arah Barat hingga melewati pertigaan TPI Tegalsari, memasuki jalan

Blanak atau yang lebih dikenal oleh masyarakat lokal sebagai ‘Kansas Area’ dan

lurus hingga mencapai jalan Brawijaya ke arah Desa Muarareja. Lahan ada tepat

disebelah kanan (utara) sebelum memasuki jembatan penghubung antara

Kelurahan Tegalsari dan Kelurahan Muarareja.

Semua akses ke Tegalsari ini dilalui dengan jalur darat, dapat dilalui

dengan kendaraan roda empat, roda dua, bus kota hingga becak. Tapak sangat

mudah ditemui dengan fasilitas jalan yang lebar dan permukaan rata. Jarak

tempuh dari Terminal bus Tegal memerlukan waktu ± 15 menit dengan kendaraan

roda 4; ± 7-10 menit dengan kendaraan roda 2 dan satu jam 45 menit dengan

berjalan kaki.32 Sedangkan dari stasiun Tegal Semarang jarak tempuhnya

memerlukan waktu ± 20 menit menggunakan becak maupun kendaraan roda 4

dan 2.

4.2.4 Ukuran Tapak

Dengan luas tapak terpilih sebesar ± 36.054,9 m2, memiliki dimensi

sebagai berikut :

Gambar 4.7 Tapak dalam Studi

32 Menurut data survey lapangan oleh penulis 06 September 2015

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 103: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

89

Sumber : analisis.

Tapak yang sebagian besar berupa kawasan pemukiman berbatas muka air

tersebut akan dipilih sebagainya untuk lahan perancangan kampung vertikal dan

sebagian lain sebagai ruang terbuka hijau (RTH). Dengan lahan yang di

rencanakan seluas ± 36.054,9 m2 sudah termasuk lansekap, parkir, dan lantai

bangunan.

Gambar 4.8 Ukuran tapak terpilih.

Sumber : analisis.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 104: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

90

BAB V

PENDEKATAN KONSEP PERANCANGAN

“Asarnawa adalah sebuah manifestasi dari tuntunan dinamika

kehidupan nelayan yang mengacu pada ritme konflik sosial-ekonomi dengan

pembagian kelas sosial dan peranan dominasi oleh segelintir hegemoni yang

menciptakan kekuasaan dominasi yang memiliki esensi terhadap sumber

penghidupan yang dampaknya akan cenderung menciptakan konflik destruktif.

Asarnawa adalah sebuah mekanisme ekonomi transparan.”

5.1 Pendekatan Analisis Urban : Arsitektur Perilaku terhadap Konflik Dominasi

pada Sosial Nelayan

Dalam proses perancangan kampung nelayan vertikal ini, penulis mengangkat

sebuah masalah sosial dan arsitektur dengan kebutuhan ruang publik baru dalam

kehidupan bermasyarakat yang terjebak dalam isu dominasi. Sebagai proses awal, dalam

sebuah studi dan pendekatan desain, perlu adanya sebuah parameter dalam

menyelaraskan masalah dengan konsep/ideas. Isu dan masalah yang muncul dan dicoba

untuk diselesaikan dengan latar belakang sebuah konflik sosial ekonomi dalam

kehidupan masyarakat yang tenggelam dalam masalah dominasi oleh kelas nelayan

kapital. Dalam upaya menangani konflik pada pemukiman nelayan agar tidak destruktif,

diperlukan sebuah sikap preventif atau pencegahan. Dalam kegiatan arsitektur,

perancangan yang melibatkan suatu permukiman, sebaiknya memahami isu-isu konflik

dengan cukup mendalam, seperti jenis dan tipe konfliknya, aktor utama dan aktor terkait,

isu pokok, kepemimpinan lokal, kebijakan lokal, dan sebagainya sehingga akhirnya

ditemukan sebuah resolusi arsitektur secara bijak agar tidak menciptakan ruang yang

tidak berfungsi sehingga bertendensi memicu terjadinya vandalisme dan tindak kriminal.

Rancangan yang tidak memperhatikan aspek-aspek tersebut diyakini akan membuat

eskalasi konflik itu semakin tinggi dan pada gilirannya cenderung bersifat brutal.

Dari sinilah muncul sebuah konsep di mana konteks sosial ekonomi yang dapat

memperkuat status ruang huni vertikal semakin bermanfaat. Yaitu dapat mengakomodasi

suatu kegiatan positif seperti industri kreatif. Dilihat dari konteks lokasinya, Tegal,

penulis mencoba menilik lebih jauh ke belakang dan mendalam tentang bagaimana kota

tersebut tumbuh menjadi sebuah kota wisata bahari yang ‘layak’ untuk dikunjungi dalam

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 105: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

91

jalur pantura. Kehidupan yang dirintis dengan aspek ekonomi kecil hingga besar –hingga

kini, dengan masing-masing latarbelakang sosialnya menjadi semakin dewasa hingga

sekarang. Sektor perekonomian dari tiap-tiap wilayah pendatang yang menetap di kota

inilah yang menghidupi kota Tegal hingga saat ini. Berangkat dari analisis ini, skema

aktifitas yang berpusat kepada sistem koperasi sebagai tubuh utama perekonomian

masyarakat nelayan yang tinggal di dalamnya. Masyarakat yang berperan sebagai

penghuni, akan di-fasilitasi dengan beberapa aktifitas terpadu dengan sistematika yang

mengarah kepada perbaikan kualitas ekonomi nelayan sebagai penghuni utama dalam

bangunan yang direncanakan.

5.1.1 Alasan dipilihnya konteks konflik sosial sebagai acuan pendekatan desain

1. Berawal dari sebuah rasa empati atas kehidupan sosial masyarakat nelayan

yang terjebak dalam perangkap kemiskinan oleh dominasi hegemoni lokal

secara turun-temurun sehingga menuntut nurani untuk mengejawantahkan

definisi ‘merdeka’ secara publik.

2. Tercetusnya kebijakan Pemerintah untuk me’makmur’kan perkampungan

masyarakat nelayan sebagai teras depan negara Indonesia bagian pesisir

sehingga membutuhkan fasilitas edukasi lebih lanjut dalam bentuk-bentuk

ruang yang terejawantahkan berdasar gagasan dan tindakan arsitektur.

3. Berlatarbelakangkan konteks sosial dan lingkungan pemukiman masyarakat

nelayan yang kumuh dan cenderung menciptakan distorsi visual dalam segi

arsitektur sehingga menuntut penulis untuk mengambil sikap disonansi,

sebagai seorang yang mempelajari ilmu arsitek, agar adil kepada masyarakat

kelas bawah tersebut.

4. Melihat kegiatan demo oleh masyarakat nelayan terhadap kebijakan Mentri

Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti terkait pelarangan penggunaan pukat

harimau sebagai alat penangkap ikan, isu dalam masyarakat nelayan sudah

bertendensi untuk menciptakan eksploitasi namun, karena keterbelakangan

tingkat edukatif masyarakat, diyakini belum terstruktur dengan jelas apa yang

diinginkan pihak nelayan. Hal ini saya meyakini (seseorang atau kawula yang

melakukan sesuatu tanpa tujuan jelas, memiliki ‘penyulut’ yang bersembunyi

di balik layar) sebagai bentuk destruktif dari tatanan sosial masyarakat

sehingga dibutuhkan suatu gerakan responsif yang bersifat preventif sesegera

mungkin. Dalam hal ini, aktivis intelektual dari kalangan arsitektur,

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 106: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

92

seharusnyalah bekerjasama dengan kalangan sosio-humaniora untuk

menyusun teori dan rancangan solutif atas kegiatan tersebut dari tata ruang,

kegiatan, bahkan visualisasi.

5.1.2 Isu dalam konteks sosial yang sedang berkembang di masyarakat

Dalam konteks sosial yang berhubungan dengan masyarakat nelayan, isu

utama konflik nelayan berkisar pada masalah dominasi, bukan eksploitasi

sebagaimana yang terjadi di kalangan buruh industri. Dalam konteks ini konsep

jarak dominasi menjadi penting. Sekalipun isu tersebut benar-benar realistis,

karena esensi konflik kelas nelayan menyangkut soal sumber penghidupan atau

masalah hidup dan mati, maka konfliknya cenderung menjadi konflik kekerasan

dan destruktif.33

Dilihat dari segi jumlah, sebagian besar nelayan di Kota Tegal adalah

nelayan kecil dan buruh nelayan. Ini sejalan dengan pendapat Bailey yang

mengatakan bahwa sebagian besar nelayan yang ada di Indonesia adalah “small-

scale producers” (Bailey 1988:25). Berbagai pihak bahkan mengasosiasikan

nelayan dengan marginalitas. Seperti ucap Pujo Semedi (2003:15), misalnya,

mengatakan bahwa “In Asia, where agriculture takes pride of place as the

dominan economic activity, fishing communities... are marginal”. Sementara itu

Mubyarto, Soetrisno dan Dove (1984:16) mengatakan bahwa “Keluarga nelayan

pada umumnya lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin”.34

Para nelayan di Tegal pada umumnya memang berada pada posisi yang

lemah dan marginal. Dari segi permodalan, mainstream nelayan di kawasan

Tegalsari bergantung kepada para pemilik modal (tauke) yang biasanya adalah

pembeli ikan. Karena ketiadaan modal, maka para nelayan ini seringkali

meminjam dana dari tauke untuk biaya operasi penangkapan. Selain itu, beberapa

bahkan ada pula yang harus meminjam uang untuk membeli peralatan melaut

seperti perahu dan alat tangkap. Hutang ini terus berlanjut dan berakumulasi

sehingga tidak terbayarkan. Sebagai kompensasi bagi peminjaman modal ini,

umumnya mereka harus menjual hasil tangkapannya kepada tauke yang

meminjamkan modal tersebut. Disini posisi tawar menawar para nelayan menjadi

33 Rilus. A Kinseng, 2015, Konflik Nelayan 34 Ibid. at

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 107: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

93

sangat lemah–mereka tidak memiliki hak untuk menentukan harga barang yang

dijual dan menerima begitu saja keputusan harga yang dicantumkan oleh tauke

yang biasanya dibawah harga pasar.35

Dalam menyikapi konflik dominasi yang disebutkan, terdapat sebuah

sistematika ekonomi yang sangat merugikan pihak nelayan oleh kelas juragan

pemilik. Sistem tersebut adalah sistem bagi hasil dimana pola yang diberlakukan

menempatkan nelayan pada posisi yang lemah. Seperti misalnya yang terjadi di

Tegalsari, dalam sebuah pengadaan jaring nelayan, pihak nelayan dibebani

potongan 30 persen meskipun penggunaan jaring tersebut dilakukan oleh kelas

buruh nelayan. Dampak yang terjadi dalam hal ini adalah pemotongan dari hasil

pendapatan nelayan yang diikuti dengan pemotongan lagi atas biaya perbaikan

jaring tersebut. “Belum lagi belanja perbekalan dan lain-lain. Jika dihitung-

hitung, pola bagi hasil di Tegal ini sangat merugikan nelayan.” Tegas Busran

selaku Dirjen Pengendalian Sumber Kelautan dan Perikanan.36

Sesungguhnya, dari pihak pemerintah sudah pernah dicetuskan sebuah

rancangan arsitektur dengan sistematika ekonomi yang mencoba menentang

sistem hegemoni masyarakat oleh kelas juragan berupa Tempat Pelelangan Ikan

(TPI) sebagai ‘kail’ dan prasarana untuk memodalkan nelayan dalam

memperbaiki dan meningkatkan taraf hidupnya. Namun seiring berjalannya

waktu, sistem ini ternyata kurang efisien karena faktor pengelolaannya yang

belum professional (Bazari, ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Idenya

sangat baik karena dengan adanya pusat perjualan terpadu, nelayan tidak lagi

harus menjual ikan kepada tengkulak. Tetapi, menurut sejumlah nelayan di pesisir

pantai utara kehadiran TPI yang dikelola oleh pihak koperasi justru melupakan

perannya sebagai soko guru perekonomian masyarakat nelayan dan dinilai hanya

semakin memperpanjang birokrasi sehingga biaya menjadi lebih tinggi.

“Lembaga ini lupa akan perannya untuk meningkatkan penghasilan dan

kesejahteraan nelayan. Pengurusnya hanya mementingkan pungutan retribusi”.

Ucap H Sariyani, seorang tokoh nelayan setempat. Koperasi nelayan, sudah

selayaknya benar-benar bertujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi para

35 Ibid. 36 Harian Lokal Tegal, 1/3/02

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 108: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

94

nelayan, baik buruh maupun pemilik khususnya nelayan kecil dan menengah,

juga sangat penting. Keberadaan koperasi nelayan yang kuat sehingga mampu

menyediakan berbagai keperluan nelayan, termasuk modal usaha misalnya, akan

sangat berguna bagi peningkatan kualitas ekonomi kehidupan kaum nelayan.

Akan tetapi, membangun koperasi ini tentu tidak mudah. Berdasarkan telaah yang

telah dijelaskan dalam contoh kasus diatas, membangun sebuah koperasi nelayan

memerlukan peranan orang-orang yang memiliki idealisme dan kejujuran tinggi,

yang benar-benar ingin memperbaiki kehidupan para nelayan. Selain itu, penulis

menerapkan sebuah eksperimen mekanisme sistem koperasi dimana skenario

mekanisme-nya mirip dengan mekanisme kerja para punggawa, yakni

membangun hubungan patron-klien dengan para nelayan. Hanya saja, sistem

koperasi ini disajikan secara lebih transparan dan terjadi secara terbuka di tengah-

tengah pemukiman sosial nelayan agar memudahkan pencetusan ‘kritik’ oleh

masyarakat jika terjadi pelengseran esensi koperasi tersebut. Koperasi dalam

pelaksanaannya, sebaiknya menggunakan peran dari kalangan intelektual muda

yang diyakini masih memilki idealisme yang tinggi. Mengutip ucapan Tan

Malaka, bahwasanya idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki

oleh pemuda, pemilihan keanggotaan koperasi ini pun harus melalui seleksi ketat

dan dilakukan secara abstrak untuk meningkatkan peluang penemuan pemuda

dengan idealisme tinggi. Kelemahan dari metode ini adalah, bahwasanya para

pemuda memiliki hasrat yang begitu tinggi sehingga sangat mungkin untuk

mencetuskan gagasan masing masing dan memaksakan terapan dari gagasan

tersebut ke dalam sistematika koperasi yang dijalankan. Hal ini dapat

ditanggulangi dengan memberikan pelatihan terlebih dahulu oleh pihak

pemerintah – yang lagi lagi membutuhkan peran penganut faham idealisme – dan

transparansi pelaksanaannya terhadap masyarakat yang berada di dalam naungan

sistem koperasi tersebut.

Untuk melawan kelas kapital nelayan yang tersebar dalam perkampungan

nelayan, disini penulis meyakini perlunya melakukan re-strukturisasi kelas

masyarakat nelayan berdasarkan kelas kepemilikan dan dipisah dalam desain

ruang kelas (kelompok) yang berbeda. Untuk nelayan pemilik kapal, akan

ditempatkan pada lantai dasar yang memiliki orientasi hadap dan berdekatan

dengan laut sehingga memudahkan akses individu pemilik menjangkau kapal

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 109: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

95

miliknya. Sedangkan nelayan proletariat akan ditempatkan di lantai berikutnya.

Selain pengelompokkan berdasarkan kelas pemilikan, ruang huni juga akan

dibagi berdasarkan penggunaan alat tangkap karena umumnya di kawasan

Tegalsari sendiri, jenis alat tangkap yang digunakan hanya ada dua (dalam hal

pembagian kelas berdasarkan alat tangkap, diharapkan kedepannya akan

bertambah jumlahnya). Hal ini akan ditangkap oleh users sebagai makna dalam

kajian ruang semiotik dimana kesadaran akan keberadaan kelas tersebut menjadi

semakin nyata dan semakin menimbulkan potensi self-consciousness masing

masing individu.

Hasil laut yang diperoleh para nelayan, akan dihitung berdasarkan

pendapatan per-kapal lalu akan dibagi 80:20 dimana 80 akan dimasukkan ke

dalam koperasi untuk dijual dalam sistem pasar yang akan berada langsung di

dalam lingkup bangunan, dan 20 sisa pendapatan akan diolah kedalam sentra

industri ekonomi kreatif untuk dikonsumsi sendiri. Dalam hal ini, penulis

mempertimbangkan kebutuhan asupan gizi para keluarga nelayan itu sendiri.

Sistem koperasi pun memiliki andil dalam tatanan utama perekonomian

masyarakat huni. Bangunan Rusunawa yang mainstream menjadi fasilitas dari

pihak Pemerintah mewajibkan penhuni bangunan untuk melakukan pembayaran

atas ruang/rumah yang ia huni. Hal ini dijelaskan oleh pihak Pemerintah terkait

pembiayaan fasilitas tersebut. "Kami bukan sewakan, tapi kami minta uang

retribusi untuk keamanan, kebersihan, dan perawatan kira-kira Rp 15 ribu sehari,"

kata Gubernur DKI Jakarta, Ahok, saat meresmikan Rusunawa Tambora di

Jakarta Barat, Selasa (24/2). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa adanya

pembiayaan yang harus dilakukan oleh penghuni masyarakat nelayan pada

umumnya terjerat dalam keadaan ekonomi mencekik. Berdasarkan pernyataan

diatas, dapat ditegaskan bahwa biaya yang sejatinya harus dibayarkan dalam

sebulan menyentuh Rp 450.000,00 hingga Rp 465.000,00. Pada pelaksanaan

bangunan hunian di kawasan Tegalsari, Pemerintah setempat mematok harga

pada kisaran Rp 150.000,00 untuk biaya per bulannya. Namun hal ini dirasa

masih berat bagi kalangan nelayan yang mayoritas hidup dalam cekikan

kemiskinan.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 110: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

96

Menjawab hal ini, hasil-hasil produksi yang dihasilkan oleh masyarakat

nelayan penghuni akan dilakukan sistem bagi hasil dengan konsep tabungan

berkala. Upah yang dihasilkan oleh individu pekerja, selama sebulan akan

diestimasikan lalu dibagi 80:20, dimana 80 menjadi milik individu pekerja itu

kembali dan 20 disimpan dalam koperasi. Dari pembagian 20 ini, sebagian akan

dijadikan cicilan pembayaran sewa ruang huni (dihitung per unit yang digunakan.

Jika dalam satu unit terdapat sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua

anak dewasa, jika yang bekerja dalam sistem ini ada tiga orang, maka pembiayaan

satu unit ini akan dibebankan kepada ketiga orang yang bekerja dalam sistem

Asarnawa Cicilan pembayaran per harinya pun terasa sangat rendah yakni Rp

10.000,00 per hari dan dibagi per berapa jumlah orang yang bekerja dalam unit

tersebut. ). Hal ini memungkinkan bagi tiap individu pekerja masih memiliki

tabungan pribadi yang diharapkan dapat menjadi modal untuk melakukan usaha

bagi yang berminat untuk membuka usaha secara independent. Dengan kata lain,

mekanisme Asarnawa menjadi sebuah metodologi terapan dalam tatanan sosial-

ekonomi yang tidak mengikat pekerjanya.

Berbeda lagi terhadap isu yang beredar pada kalangan masyarakat nelayan

sendiri. Senioritas penduduk menjadi sebuah konsepsi kekuasaan minor atas

pendatang baru yang menahan penduduk baru untuk bersaing secara kompetitif.

Hal ini bertendensi untuk menciptakan hegemoni di dalam sebuah hegemoni. Hal

ini pada akhirnya terejawantahkan kedalam bentukan kawasan ‘kansas’ sebagai

manifestasi atas kekuasaan senioritas pada suatu ruang huni.

Berangkat dari sudut pandang ini, paradigma arsitektur perilaku kawasan

menjadi terbentuk dimana sebuah permukiman slum dan beberapa-bahkan masih

dijumpai-squatters dengan politik hegemoni minor bercampur aduk dengan

tuntutan ekonomi yang semakin kritis. Efek dari dominasi tersebut, akan

menciptakan ‘kebodohan’ pandangan dalam menyikapi sebuah sistem sehingga

statement bahwa Indonesia merdeka dan masyarakat ‘modern’ masih menjadi

sebuah utopia. Penulis meyakini, sehebat apapun bentuk arsitektur yang akan

diterapkan namun jika ‘kebodohan’ ini masih berlangsung atas sikap dominasi,

alih-alih percuma, justru akan menyediakan ruang vandalisme dan bahkan ruang

untuk tindak kriminal.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 111: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

97

Kota Tegal ketika dipilih untuk menjadi lokasi pengembangan kampung

nelayan dapat menjadi suatu wacana yang cukup sesuai sebagai prototype

pengembangan kawasan pesisir di seluruh Indonesia yang diharapkan oleh

Presiden terpilih Ir. Joko Widodo. Pasalnya, karena paradigma masyarakat sendiri

tidak terlalu terbelakang dan hampir siap untuk menerima pandangan baru

sehingga penerapan rancangan tidak akan terlalu sulit untuk di-realisasikan.

Memang, fasilitas untuk nelayan di kawasan ini sudah hampir terpenuhi namun

diyakini masih kurang efisien karena beberapa oknum yang berlindung dalam

faham materialisme dan cenderung ingin memperkaya diri sendiri. Hal ini,

diyakini karena belum adanya hierarki yang lebih terstruktur dalam sebuah wadah

yang lebih terpadu. Hal-hal yang telah disebutkan diatas terjadi karena kurang

adanya kegiatan transparan oleh oknum-oknum terkait dan akan mampu

diselesaikan jika aktifitas tersebut dijadikan lebih transparan dengan dijalankan

di dalam ‘rumah’ sendiri. Agar pengguna (masyarakat) melihat secara langsung,

bagaimana sistematika dan perkembangannya. Agar tidak ada lagi masyarakat

yang dibohongi. Agar tidak ada lagi sistem yang ‘tidak jujur’. Dengan begitu,

diharapkan perencanaan dan perancangan kampung vertikal kampung nelayan ini

mampu mengubah paradigma sistem yang tidak transparan tersebut menjadi lebih

terbuka dan menigkatkan respon masyarakat terhadap edukasi ekonomi, politik,

dan arsitektur.

5.1.3 Kegiatan ekonomi kreatif sebagai tindakan solutif konflik dominasi oleh

hegemoni masyarakat nelayan.

Kegiatan ekonomi kreatif nelayan dewasa ini sudah dikembangkan dalam

bentuk sentra industri ikan dimana nelayan peran kedua (nelayan yang tidak

melaut, umumnya para istri nelayan yang melaut) mengolah hasil tangkapan laut

untuk dijadikan sebuah produk industri. Produk yang dihasilkan biasanya berupa

ikan kaleng, bakso ikan, ikan asin, dan sebagainya.

Dalam kegiatan ini, hasil industri yang diproduksi tidak akan hanya

berupa produk konsumsi saja melainkan berupa souvenir, kerajinan tangan dan

kesenian, bahkan pembuatan kapal yang diperuntukkan menjadi fasilitas wisata

yang akan memancing wisatawan berkunjung ke lingkungan nelayan ini. Hal ini

juga dicetuskan untuk menghapus stigma masyarakat mainstream yang

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 112: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

98

mengelompokkan perkampungan nelayan sebagai area ‘kansas’ (kawasan bong,

rentang kriminal).

Terhadap potensi wisata, kota Tegal yang berada pada jalur Pantura

memiliki potensi pertumbuhan wisata yang sangat kritis. Sebagai kota yang

berada pada koridor kelautan dan jalur utama transportasi yang menghubungkan

beberapa kota besar di pulau Jawa, Tegal memiliki daya tarik tersendiri dalam

potensi pariwisata bahari. Hal ini menyebabkan pentingnya re-strukturisasi

perkampungan nelayan yang terintegrasi dengan potensi pada kawasan tersebut

dalam konsep vertikalitas. Dan sebagai sebuah bangunan yang terencana untuk

menjadi kawasan terbuka dan bangunan publik, desain seyogyanya memiliki citra

wisata yang ter-struktur untuk menarik minat pengunjung.

Esensi dari kegiatan ini adalah konsep dengan penekanan pada

penjaringan aspek-aspek stigma negatif terkait pemukiman nelayan menjadi

kawasan yang menyenangkan dan ‘layak’ dikunjungi.

5.1.4 Strategi pengelolaan hegemoni pemukiman nelayan

Dengan menggunakan metode kualitatif pada kawasan penelitian

(Tegalsari), ditemukan adanya permasalahan pada kinerja persnoaliti nelayan

tersebut. Dimana beberapa nelayan dinilai kurang melakukan aktifitas kerja pada

saat di laut namun memperoleh pembayaran yang lebih banyak dibandingkan

nelayan lainnya dari juragan sang pemilik kapal. Dalam aktifitas kerja individu

ini, mereka lebih banyak berdiam diri saat rekan kerja yang lain sibuk menjaring

dan menangkap ikan. Bahkan dalam beberapa waktu, mereka mengambil alih

menjadi “mandor” lapangan. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial dan

ketidaksukaan nelayan lain yang berada dalam satu kapal. “Kerjanya banyak

melamun toh mas, geraknya dikit tapi maunya untung banyak” ungkap seorang

nelayan usai melaut di pagi hari ketika merujuk kepada kinerja rekan satu

kapalnya yang berlayar bersama malam sebelumnya.37 “Tapi pas ketemu Pak ...,

si ... malah dapetnya banyak”. Hal tersebut jelas menunjukkan kecemburuan

sosial dalam pendapatan ekonomi antar individu nelayan.

37 wawancara 07/09/2015

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 113: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

99

Dalam hal ini, terdapat sebuah potensi atas “nelayan nakal” tersebut.

Dengan kemampuan imajiner dan verbalnya, sejatinya bukanlah orang yang giat

bekerja fisik melainkan bekerja menggunakan otak. Umumnya orang dengan

tipikal demikian memiliki rasa malas sebagai aset dan memiliki kemauan untuk

membebaskan waktu sebanyak mungkin dalam kesehariannya. Tipe seperti ini

umumnya memiliki tingkat intelegentia diatas rata-rata karena memiliki mimpi

dan penalaran dengan perandaian abstrak yang jarang diterima mainstream

pemikiran, selayaknya seorang inarticulate person. Mengutip faham Nassim

Nicholas Taleb dalam teori Black Swan, dengan memisahkan idea person yang

menjual produk intelektual dalam bentuk sebuah transaksi atau sebuah karya

dengan labor person yang menjual karyanya pada masyarakat. Individu dengan

tipikal “nelayan nakal” ini layak untuk dikelompokkan ke dalam tipe idea person

karena kecerdasannya menjual “kemalasan” menjadi sebuah penghasilan.

Sedangkan mainstream nelayan yang lain, dapat dikelompokkan ke dalam tipe

labor. Produk populasi idea yang umumnya adalah golongan kecil ini, tentu

memahami dengan benar ruang lingkup profesi nelayan dan kesehariannya

sehingga jika disandingkan dengan pengelompokkan idea person tersebut, akan

menciptakan kaum sophis nelayan (selanjutnya akan disingkat penggunaan

namanya menjadi Fishopis. Diambil dari kata Fish yang berarti ikan, dan Sophis

yang berarti bijak) yang akan berperan penting dalam pemikir dan penentu

kebijakan hegemoni koorporatif Asarnawa yang memikirkan secara teoritikal

tentang konflik-konflik di dalamnya.

Peran Fishopis dalam hal ini akan menjadi “juru selamat” dimana orang-

orang yang berpotensi menjadi Fishopis (pemilihan individu ini dilakukan secara

kualitatif dan membutuhkan survey yang agresif dimana tim peneliti –seharusnya

dilakukan oleh kalangan kaum kritis intelektual dan pihak pemerintah - harus

ikut kegiatan melaut dan melihat langsung para nelayan yang “malas” tetapi dapat

menciptakan uang dengan kemalasannya itu) akan berkumpul dalam suatu ruang

kerja sendiri yang terletak tidak jauh dari core ekonomi dalam bangunan ini.

Dalam kegiatannya, mereka akan diberikan pelatihan khusus oleh Pemerintah dan

Lembaga kemasyarakatan tentang etika dan estetika kelautan. Selama mereka

dilatih, akan dilakukan seleksi ketat untuk menghasilkan peran Fishopis yang

berkualitas. Setelah masa pelatihan ini, individu yang terpilih dalam peran

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 114: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

100

tersebut akan menjadi sebuah hegemoni baru yang merumuskan kebijakan untuk

diberlakukan dalam masyarakat penghuni kampung Asarnawa (kampung

vertikal). Kepada individu yang tidak lolos seleksi, mereka akan diberikan

pelatihan khusus lagi tentang paham pasar dan penjualannya yang lalu akan

berperan aktif sebagai sales dalam hal menciptakan kerjasama dan hubungan

ekonomi untuk meningkatkan penjualan produk yang dihasilkan oleh sentra

industri ekonomi kreatif. Selain itu, bergantung kepada kecondongan minat

individu, beberapa individu yang memiliki bakat seni dalam hal rupa, vokal dan

lukis akan diberikan pelatihan mendalam untuk kegiatan seninya sehingga

individu ini dapat menciptakan produk seni yang akan menjadi cinderamata

bernilai tinggi atau, dalam kelas lebih lanjut, para seniman ini akan diarahkan

untuk mendesainkan kapal-kapal wisata berukuran sedang hingga besar yang

hanya dapat diperoleh wisatwan ketika berkunjung ke lingkungan Asarnawa.

Dalam hal ini, para calon Fishopis yang gagal seleksi, untuk mencegah terjadinya

konflik yang terjadi karena efek disonansi kognitif, akan memegang kuat peranan

minat wisata lokal maupun interlokal.

Terkait dalam hal fungsi Fishopis tersebut, lahir sebuah pertanyaan yang

secara intuitif sangat memiliki potensi untuk menjadi sebuah isu. “Nelayan itu

adalah penangkap ikan, siapa yang meragukan kandungan protein dalam ikan

yang berperan penting untuk nutrisi otak, lantas mengapa kebanyakan mereka

terbelenggu dalam kebodohan dan kurangnya minat terhadap edukatif?”.38 Hal

sejenis ini yang akan menjadi tanggung-jawab bagi Fishopis dalam aktifitas

teoretik mereka. Menghadapi pertanyaan ini, saya meyakini bahwa hal tersebut

dikarenakan kurangnya konsumsi mereka terhadap hasil tangkapan mereka

sendiri. Hasil laut yang mereka produksi usai melaut, biasanya langsung

diserahkan kepada pengepul, untuk segera dibawa menuju pusat lelang.

Sedangkan untuk konsumsi sehari-hari, mereka memilih untuk mengkonsumsi

ikan asin karena relatif terjangkau dan tahan lama masa penyimpanannya. “Kalau

ikan asin, bisa dibawa ngelaut dan tahan seminggu, mas.”.39 Maka dari itu,

peranan konsep kelas baru (Fishopis) akan memegang kunci keberhasilan dalam

38 diskusi, 2015 39 wawancara 07/09/2015

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 115: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

101

tatanan masyarakat dominasi nelayan. Untuk melawan konsep kelas, maka harus

menggunakan terminologi konsep kelas yang berlawanan.

5.2 Konteks Sosial dalam metode perancangan Asarnawa

Perancangan desain ini begitu menekankan kepada konteks teori perilaku dalam

menyusun kerangka desain arsitektur berdasarkan konflik sosial yang berada di

dalamnya menyangkut soal sumber kehidupan sebagai aktifitas ekonomi masyarakat

nelayan tersebut. Desain kampung vertikal akan banyak sekali menerapkan terminologi

humanopholis yang condong kepada desain yang manusiawi. Definisi manusiawi disini

berarti menciptakan sesuatu tanpa faham kapital yang cenderung melakukan penekanan

biaya terhadap suatu produk untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya sehingga lebih

memanusiakan manusianya. Kampung vertikal dalam pendekatan ekonomi, sangat

krusial untuk terjebak dalam faham kapital karena baik pelaksanaan maupun produksinya

banyak menggunakan produk industrialis sehingga visualisasi rancangan akan sangat

berpengaruh kepada psikis perilaku penghuni dan hegemoni masyarakat yang

menikmatinya. Hal ini dapat diperhatikan dalam beberapa terminologi ilmu psikologi

(dalam literatur ini, penjelasan tidak akan dibahas secara mendalam karena desain akan

lebih didedikasikan kepada penggunaan potensi arsitektur dalam penyejahteraan kaum

kelas buruh dan kelas menengah nelayan sehingga teori psikologi yang akan diterapkan

kedalam bangunan hanya sebatas metodologi subliminal massage dalam bentuk ruang

dan warna sebagai manifestasi semiotika dalam penerapan rancangan arsitektural).

5.2.1 Skematik Pengembangan Kawasan

Tapak terpilih, Tegalsari menjadi objek desain sebagai area terbangun

dengan tujuan sebagai suatu pengembangan kawasan permukiman nelayan

menjadi kawasan industri perikanan terpadu dengan pemberdayaan masyarakat

dan menghadirkan atmosfer kegiatan nelayan sebagai potensi pariwisata.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 116: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

102

Gambar 5.1 Skematik pengembangan kawasan.

Sumber : Booklet permukiman nelayan. PusperkimUGM 2015

5.2.2 Flowchart Pemberdayaan Masyarakat

Proses menuju kawasan nelayan dengan industri kreatif yang berbasis

kepada pemberdayaan masyarakat dibagi dalam dua proses yaitu persiapan

jangka pendek dan persiapan sumberdaya jangka panjang. Kedua persiapan ini

dilakukan secara parallel dan saling melengkapi baik dari evaluasi dan inovasi

tentang cara produksi sampai dengan cara-cara kreatif dalam pengolahan ikan.

Proses ini membutuhkan wadah-wadah berupa bangunan dan ruang-ruang

pelengkap demi terwujudnya kawasan yang tanggap waktu (sustainable).

Kawasan yang sustainable sebagai cerminan model kawasan nelayan yang

mempertimbangkan aspek sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 117: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

103

Gambar 5.2 Flowchart Pemberdayaan Masyarakat.

Sumber : Booklet permukiman nelayan. PusperkimUGM 2015

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 118: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

104

5.2.3 Konteks Tapak Dalam Ikatan Perancangan

Dalam studi perancangan gedung konser ini tak lepas dari masalah lokal

yang menjadi objek studi nanti. Ruang lingkup perancangan seharusnya lebih

spesifik dan terikat dengan konteks lokasi atau lingkungan sekitar. Dengan tema

yang diusung adalah perancangan Kampung Vertikal di Tegalsari Kota Tegal,

seharusnya dapat menampilkan sebuah kebijakan atau unsur lokalnya sebagai

pengikat desain secara spesifik. Studi mewakili konsep humaniora dalam local

wisdom-nya yang terkait erat dengan peletakaan fungsi dalam tapak.

5.2.3.1 Data Mapping : Kampung Nelayan

Dalam sejarah perkembangannya, Kota Tegal merupakan kota

perdagangan dan jalur transportasi lintas utara yang disinggahi oleh

banyak orang yang melintasi jalur utara Pulau Jawa. Sehingga ketika

mereka pun memilih menetap di Tegal, banyak bermunculan

perkampungan baru dalam yang mendiami daerah tertentu yang

membuat kota ini maju dengan pesat kegiatan ekonominya. Namun

kegiatan ekonomi yang meningkat pesat di kota ini, tidak membuat

perkampungan nelayan ter’ciprat’ untuk ikut maju. Kawasan

perkampungan nelayan yang notabene berada di pesisir utara kota ini,

justru menjadi kawasan kumuh yang menjadi ‘teras’ maritim kota

tersebut.

Beberapa kampung permukiman nelayan tersebut antara lain

adalah :

- Desa Muarareja

- Kawasan Tegalsari

- Kawasan Mintaragen

- Kawasan Panggung

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 119: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

105

Gambar 5.3 Mapping kampung nelayan.

Sumber : Dinas PU Kota Tegal.

5.2.3.2 Permasalahan Umum Permukiman Nelayan

Studi berikutnya adalah men-restrukturisasi permasalahan umum

dari sudut pandang arsitektur dalam permukiman nelayan untuk menjadi

acuan ke-2. Permasalah umum yang dimaksud adalah beberapa fasilitias

sarana dan pra-sarana yang tidak/kurang memadai yang ada dan

dibutuhkan di dalam permukiman nelayan.

- Parkir kapal yang masih kurang memadai fasilitas pelabuhan logistik

dan nelayan yang masih tercampur.

- Metode pengeringan ikan yang masih jauh dari teknologi dan cara

pemasaran yang masih bersifar lokal.

- Tidak adanya industri perikanan hulu hilir dalam satu tempat yang

memuat unsur ekonomi bawah.

- Minimnya perhatian terhadap sekitar lingkungan, khususnya sampah

yang ada di sekitar lingkungan.

- Akses dalam lingkungan yang bersifat spontan dan tidak terencana

yang berpotensi besar pada marginalitas.

- Minimnya ruang publik dan ruang bermain untuk anak.

- Ruang masih belum layak baik dari segi kebutuhan ruang dan dampak

terhadap lingkungan.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 120: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

106

- Material bangunan (untuk permukiman kumuh) diambil dari barang

bekas dan dipasang sekadar untuk membentuk ruang seadanya dan

pola penataan yang berantakan (untuk permukiman dengan bangunan

permanent) yang berpotensi mengakibatkan kepadatan dan

kekumuhan.

- Fasilitas MCK yang kurang baik dan berada diatas aliran selokan,

mengakibatkan masyarakat nelayan beradaptasi atas dasar terpaksa.

Gambar 5.4 Minimnya perhatian warga terhadap kebersihan lingkungan.

Sumber : analisis.

Gambar 5.5 Fasilitas MCK yang seadanya dan berada diatas saluran pembungan.

Sumber : analisis.

Gambar 5.6 Penggunaan material saeadanya dalam pembangunan rumah tinggal.

Sumber : analisis.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 121: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

107

Gambar 5.7 Potongan Kawasan.

Sumber : analisis.

5.3 Arsitektur Tropis : Filosofi Arsitektur Tradisional Jawa

Desain bangunan tropis, umumnya memang sarat dengan bentukan bentukan atap

yang miring dan terbuat dari material lokal. Namun dalam pandangan tropis disini,

perancangan tidak hanya memperhatikan bentuk atap saja melainkan penataan halaman

dan ruang ruang dalam bangunan.

Studi perancangan kampung vertikal ini tak lepas dari masalah lokal yang

menjadi objek studi nanti. Ruang lingkup perancangan seharusnya lebih spesifik dan

terikat dengan konteks lokasi atau lingkungan sekitar. Dengan tema yang diusung adalah

perancangan kampung nelayan vertikal yang berbasis pada konteks kelas sosial dalam

masyarakat nelayan Tegalsari Kota Tegal, seharusnya dapat menampilkan sebuah

kebijakan atau unsur lokalnya sebagai pengikat desain secara spesifik.

5.3.1 Konteks Budaya – Filosofi Tradisional Jawa

Ruang dapat dipahami sebagai satu daerah teritori yang sangat personal,

karena sebuah ruang tercipta didasari oleh pengetahuan dan kebutuhan penghuni

dan dari ruang inilah esensi arsitektur itu muncul. Dalam wacana arsitektur

tradisional ruang yang tercipta merupakan ekspresi dari pengetahuan masyarakat

masa lalu dalam upaya hidup laras, menyatu dengan lingkungan alam dan bahkan

merupakan dialog antara manusia dengan alam. Alam tidak saja dianggap sebagai

musuh yang harus ditaklukkan tetapi alam diposisikan sebagai bagian dari

kehidupan manusia itu. Oleh karena itu cara cara tradisional menciptakan ruang

adalah belajar dari fenomena yang terjadi.

Pada bahasan konteks budaya dalam arsitektur tradisional Jawa sebagai

suatu paradigma masyarakat agraria, terdapat sebuah ilmu lokal yang membahas

terkait arsitektur Jawa yaitu Ilmu Kalang atau sering disebut sebagai Wong

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 122: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

108

Kalang. Terminologi Wong Kalang mengacu kepada rumah merupakan

manifestasi dari kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos serta pandangan hidup

masyarakat Jawa. Pembagian ruangan pada bangunan Jawa didasarkan atas

klasifikasi simbolik yang diantaranya berdasarkan dua kategori yang berlawanan

atau saling melengkapi yang oleh Tjahjono (1990) disebut sebagai dualitas. Selain

itu terdapat pemusatan sentral dalam tata ruang bangunan. Rumah Jawa yang

ideal paling tidak terdiri dari dua atau tiga unit bangunan, yakni pendopo,

pinggitan, dan dalem.

Arsitektur tradisional Jawa menurut Dakung (1987) dibedakan menjadi

lima klasifikasi menurut bentuk atapnya, yaitu : atap Panggung Pe atau atap

kampung, atap Limasan, atap Joglo, dan atap Tajug. Dari kalisifikasi tersebut

terdapat hierarki kesempurnaan atau keutamaan dilihat dari kompleksitas

strukturnya, teknik pengerjaannya, jumlah material bangunan, biaya serta tenaga

yang digunakan. Menurut Tjahjono (1990) perbedaan bentuk pada rumah Jawa

menunjukkan status sosial, sedangkan persamaan dalam susunan ruang

menandakan adanya pandangan hidup yang diejawantahkan melalui aturan-

aturan dalam kehidupan rumah tangga.

Arsitektur tradisional Jawa sejatinya telah mengalami suatu proses

perkembangan bentuk dari masa ke masa. Hal tersebut disebabkan adanya

kebutuhan hidup yang lebih luas dan akhirnya membutuhkan tempat yang lebih

luas pula. Oleh karena itu arsitektur rumah tradisional Jawa juga berkembang

sesuai dengan proses terbentuknya suatu kebudayaan, yaitu dari taraf yang

sederhana menuju taraf yang kompleks.

Secara umum, arsitektur tradisional Jawa memiliki tipologi atau bentuk

keseluruhan rumah tempat tinggal yang dapat dilihat dalam denah berupa bujur

sangkar atau persegi panjang. Sedangkan arsitektur yang tipologinya berbentuk

oval atau bulat tidak terdapat pada bangunan tradisional Jawa. Hal tersebut

dikarenakan pandangan estetika Jawa yang menggunakan konsep keblat papat

limo pancer yaitu simbol kemantapan dan sekaligus keselarasan yang merupakan

lambang empat penjuru mata angin dengan pusat di tengahnya.

Dalam konteks Wong Kalang terdapat sebuah terminologi kejawen

sebagai sebuah ilmu yang membahas eksistensi ‘Neptu’ atau angka gaib yang

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 123: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

109

berada pada koordinat empat lima. Perhitungan neptu berarti pencarian angka-

angka yang berhubungan dengan kepentingan dalam penentuan tanggal upacara.

Namun perhitungan neptu empat lima ini mencerminkan sikap manusia terhadap

alam yang telah merosot dan menjadi takhayul.

Rangka Lima

Tuhan menciptakan manusia Jawa dalam rangka lima :

Kakang kawah (kendangan, pacenta)

Adi ari-ari (embing-embing,tuntutan,fluidum amnoticum)

Rah/ banyu (air ketuban, vernic caseosa)

Tali pusar (funisumbiliscus)

Sedulur tunggal pertapaan (saudara tungga pertapaan, guwagarba

ibu)

Panca Kreti (lima tingkah laku)

Trapsila (sopan santun)

Ukara (tutur kata)

Sastra (kepandaian dan kesenian)

Susila (moralitas)

Karya (pekerjaan)

5.4 Pendekatan Rancangan Ekologis dalam Desain

Terminologi ekologis pada pengejawantahannya di bangunan ini adalah

dengan memperhatikan aspek aspek dalam konsep kebudayaan lokal seperti

halnya konsep keblat papat limo pancer yaitu simbol kemantapan dan sekaligus

keselarasan yang merupakan lambang empat penjuru mata angin dengan pusat di

tengahnya.

Penerapan kaidah ekologi, sejatinya adalah sebuah penerapan analisis

keseimbangan dalam tubuh bangunan dalam pengertian kearifan lokal yang khas

dan kesalingtergantungan terhadap semua fenomena. Hal ini menyebabkan

pentingnya menggunakan istilah berkelanjutan dengan tepat.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 124: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

110

Kaidah Lama Kaidah Baru

Sampah-Limbah Beli murah dan buang Daur ulang

Penduduk Ayo, berkembang-biaklah Dua anak, cukup

Energi Kerjakan sesuatu dengan

biaya semurah mungkin,

apapun hasilnya.

Gunakan tenaga matahari,

angin, biomas dan geothermal.

Hubungan antar-

makhluk

Hanya manusia yang

memiliki arti.

Jangan biarkan makhluk

lainnya punah, lindungi habitat

mereka.

Future Biarkan masa depan

memikirkan masa depan

Pikirkan dampak segala

tindakan terhadap tujuh

generasi mendatang.

Tabel 5.1 Kaidah berfikir ekologis

Sumber : Kota dan lingkungan : Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. Pengantar :

Prof. Ir. Eko Budiharjo, MSc

Perancangan arsitektur ekologis pada bangunan ini melibatkan

penggunaan ruang ruang hijau yang disusun secara vertikal sebagai biota hidup

alami yang berada pada ruang ruang dalam bangunan yang masih memiliki

bukaan cukup untuk sirkulasi angin sehingga keberadaan tanaman itu tidak

mengganggu aktifitas pernafasan pengguna bangunan pada malam hari.

Jenis dari tetumbuhan ini adalah jenis tumbuhan yang merambat dan dapat

hidup pada daerah panas seperti tomat dan cabai. Selain itu, terdapat juga

beberapa tumbuhan biasa yang ditanam pada wadah wadah tanaman yang disusun

berjajar pada tembok bangunan. Dengan begitu, memungkinkan keberadaan biota

hidup lain sehingga dapat menjaga ekosistem lingkungan secara baik dan alami.

Dalam penekanan industri kreati terkait pengolahan limbah, bangunan

menyediakan fasilitas terkait pengolahan limbah menjadi kerajinan tangan kreatif

yang dapat dijadikan produk jual, atau untuk digunakan sendiri.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 125: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

111

5.5 Konsep Formal

5.5.1 Standard Kebutuhan Ruang

Dalam merancang suatu fungsi ruang dalam arsitektur, terdapat beberapa

pendekatan dan batasan yang harus sangat dipertimbangkan terkait perhitungan

luas yang memiliki pengaruh besar terhadap faktor psikis pengguna ruang

tersebut.

Secara garis besar, faktor faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat

kenyamanan antara lain adalah faktor thermal, psikis terhadap warna dan orientasi

ruangan.

Gambar 5.8 Manusia dan Rumah Tinggal.

Sumber : Data Arsitek 1.

Rumah tinggal, seharusnya memiliki fungsi utama untuk melindungi

manusia terhadap keganasan cuaca dan memberi suatu lingkungan, yang menjaga

kesehatan dan memberi kemampuan. Maka diperlukan pertimbangan yang cukup

dalam melakukan desain suatu hunian. Pun daripada itu, psikologis pengguna

dalam menyikapi suatu ruangan akan memiliki definisi yang berbeda beda

tergantung aktifitas empiri pengguna itu sendiri. Secara umum, faktor

pembentukan kenyamanan ditentukan melalui beberapa faktor antara lain warna

dan orientasi ruang.

Secara garis besar, faktor faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat

kenyamanan antara lain adalah faktor thermal, psikis terhadap warna dan orientasi

ruangan.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 126: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

112

5.5.2 Zonase Umum

Definisi kampung dalam bahasa Jawa berarti halaman desa, orang desa

yang tidak mempunyai sawah dan polisi desa. Belum jelas benar, namun pada

umumnya yang digunakan lapisan rakyat jelata adalah rumah rumah yang

berukuran seperti itu. Rumah bentuk kampung dianggap rumah orang tidak

mampu atau miskin pada zamannya. Di kemudian hari, istilah tersebut menjadi

umum dan memiliki corak arsitektur sendiri, yaitu panggang pe. Orang golongan

menengah, dicirikan dengan atap limasan.

Secara garis besar, pola perkampungan dalam perencanaan kampung

susun menggunakan tiga konsep dalam terminologi Wong Kalang yaitu pendopo

(ruang untuk pertemuan atau ruang teras), pinggitan (ruang untuk pertunjukkan

atau halaman tengah), dan dalem (ruang inti keluarga).

GAGALSARI (Gapura Tegalsari) dan PEGALSARI (Pelabuhan

Tegalsari)

Gapura dan Pelabuhan merupakan zona ruang depan di kedua

polar bangunan (darat dan air). Sebagai sebuah ruang pertemuan,

aktifitas-aktifitas teras dalam terminologi pendopo terjadi pada

zona ini.

BEGALSARI (Beranak Tegalsari)

Mengacu kepada filsafat Socrates tentang definisi beranak adalah

membantu manusia untuk menghasilkan suatu pandangan baru,

zona ini memiliki inti utama dalam peran fishopis sebagai ruang

‘bijak’ dan aktifitas-aktifitas bijak itu sendiri. Sebagai suatu zona

yang memiliki sebuah pemikiran, tentu memiliki titik kawasan

untuk pengejawantahan dari kebijakan itu sendiri. Hal ini mengacu

kepada terminologi pinggitan sebagai halaman tengah suatu

rumah secara semi-private yang memiliki arena ajang

intelektualitas.

RUDALSARI (Rumah di Tegalsari)

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 127: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

113

Rumah, sebagai suatu manifestasi dan dasar perlindungan

masyarakat huni, merupakan suatu bidang utuh sebagai inti dari

kawasan kampung susun. Dalam zona ini, aktifitas-aktifitas inti

terjadi menyebabkannya membutuhkan tingkat privasi yang cukup

tinggi sehingga kawasan ini mengacu kepada definisi dalem dalam

filosofi hunian masyarakat Jawa.

Gambar 5.9 Pembagian zonase.

Sumber : Penulis.

5.5.3 Konsep Sirkulasi

Sirkulasi ruang dalam dalam bangunan kawasan semuanya tertuju pada

ruang publik di tengah, yaitu Begalsari sebagai batas konsep pinggitan. Zona ini

dapat dari entrance utama pada bagian luar sisi selatan, ruang servis dan

managerial, dan kawasan hunian sebagai esensi utama dari perancangan

bangunan kawasan ini sendiri (lihat Gambar 5.9).

5.5.4 Parkir

Area parkir ini merupakan area yang cukup besar dalam ratio kebutuhan

gedung kawasan sendiri. Area parkir ini memuat 50 mobil, kapal pemilik besar

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 128: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

114

sebanyak 15 buah, sedang 20 buah dan kecil 40 buah kapal, dan kendaraan roda

2 dan sepeda sebanyak 350 motor. Perhitungannya adalah sebagai berikut :

- Mobil : 50 50 x (2,75 x 5 x 2,5) = 50 x 3,45 = 172,5 m2

- Kapal secara total : 15 + 20 + 40 75 x 52 (luasan total unit kapal) =

3900 m2 (pada tapak air)

- Motor dan sepeda : 350 350 (2 x 0,75) = 525 m2

Sehingga total area kebutuhan parkir adalah 697.5 + (20%.697,5) = 837 m2

untuk darat dan 3900 + (20%.3900) = 4680 m2

Gambar 5.10 Analisis Parkir.

Sumber : Data Arsitek 1.

Keberadaan parkir ini juga mempengaruhi sirkulasi ruang luar dari tapak

ini. Parkir di sebelah selatan dicapai melalui jalur darat dan parkir pada sisi utara

untuk kapal, akan membuka jalur air baru yang masuk kedalam lingkungan

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 129: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

115

kawasan sehingga parkir kapal tidak berada diluar zona kawasan itu sendiri.

Gerbang masuk kendaraan pada orientasi darat berada pada sebelah barat

bangunan dan keluar pada sisi sebelah timur.

5.5.5 Terestrial-non terestrial

Tapak berada dalam area pesisir Laut Jawa dan memiliki hubungan

langsung dengan pantai dan laut. Dengan begitu kondisi pantai harus tetap dijaga

dengan mempertahankan hak publik terhadap pantai. Ketika gedung kawasan

sedang dalam aktifitas keseharian tanpa pengunjung wisata, akses publik sekitar

kawasan ke pantai harus tetap berlangsung. Kondisi seperti inilah yang menjadi

salah satu alasan dibuatnya akses publik dari dan ke dalam gedung serta akses

publik ke rumah makan di bagian belakang kawasan ini.

Dua konteks tapak, terestrial (pantai) dan non-terestrial (laut) harus diolah

agar meberi kemudahan publik dalam berkegiatan di sana.

5.5.6 Konsep Akustik dan Pencahayaan

5.5.6.1 Akustik / Sistem suara

Pada perancangan konsep akustik ruang, tidak ada spesifikasi

khusus yang mementingkan privasi individu dalam pengejawantahan

konsep kepada hunian karena konsep dari kampung itu sendiri adalah

pemikiran untuk hidup secara berkesamaan dan terbuka. Dalam hal ini,

suara bising akan menjadi suatu hal yang dibutuhkan dalam kehidupan

utama kampung.

5.5.6.2 Pencahayaan

Pada prinsipnya sebagai kawasan yang menggunakan konsep

tropikal arsitektur, pencahayaan dalam gedung lebih menggunakan

pencahayaan alami sehingga membutuhkan banyak perlubangan pada

tembok dan ruang ruang aktifitas lain.

Pencahayaan yang terpenting pada kawasan ini adalah pada

kawasan taman sebagai suatu arena untuk bermain dan beraktifitas dan

memiliki peran tinggi di malam hari. Pada penggal zona ini banyak

didukung oleh artificial lighting yang mempengaruhi visualisasi atas

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 130: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

116

aktifitas. Sebuah lighting yang baik menjadi salah satu kunci

keberhasilan suatu aktifitas dalam sebuah aktualisas.

Gambar 5.11 Analisis aktifitas matahari pada ruangan.

Sumber : Data Arsitek 1.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 131: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

117

Gambar 5.12 Analisis aktifitas matahari pada ruangan.

Sumber : Data Arsitek 1.

5.5.7 Konsep Penghawaan

Gedung dalam kawasan ini menggunakan sistem penghawaan alami di

dalam ruangannya. Prioritas pada setiap ruang yang digunakan memilki banyak

aktifitas perkampungan tradisional. Dengan sistem ini, efisiensi dan penghematan

terhadap listrik dapat dikendalikan.

5.5.8 Sistem Struktur

Sesuai konteks di area eksisting, bangunan terbuat dengan material beton

dan finishing cat berwarna. Dengan ketinggian kurang lebih 3-5 lantai, sistem

struktur yang dipakai sebatas konstruksi rangka beton dan baja. Sehingga

kemungkinan gedung-gedung dalam kawasan ini juga berusaha menyesuaikan

dengan konteks tapak dan eksisting.

Tapak yang berada di area pesisir sehingga sistem struktur seharusnya

tidak memberatkan beban di atas tanah karena tanah merupakan tanah reklamasi.

Sesuai dengan bahasan pada sub-bab konteks tapak, material yang digunakan

lebih mengarah pada material-material ekspos dan tanpa finishing cat atau coating

untuk menyesuaikan dengan iklim pantai.

5.5.9 Sistem Penghijauan

Secara umum, penghijauan dilakukan pada space sisa yang tidak

digunakan sebagai lahan bangunan sehingga kawasan ini akan didominasi oleh

kawasan hijau. Dalam lahan hunian, penghijauan dilakukan pada sisi atap

berdampingan dengan peletakkan solar panel. Dan secara khusus, penghijauan

dilakukan dalam bentuk vertikal pada tembok tembok bangunan sebagai sebuah

usaha untuk membina lingkungan hidup. Keberadaan area hijau pada tubuh

bangunan dapat secara bertahap dan siginifikan menjaga kealamian ekosistem

yang ada pada kawasan ini. Letaknya yang mudah dijangkau membuat pengguna

lebih mudah dalam melakukan pemeliharaan. Dalam peletakannya, area hijau

akan diletakkan pada tembok depan unit hunian dimana lorong lorong masih

bersifat terbuka sehingga akan menciptakan ruang ruang sejuk pada siang hari

dan tidak membahayakan sistem pernafasan pengguna bangunan pada malam

hari.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 132: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

118

Gambar 5.13 Analisis perancangan atap hijau.

Sumber : Data Arsitek 1.

Gambar 5.14 Analisis perancangan saluran atap hijau.

Sumber : Data Arsitek 1.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 133: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

119

Gambar 5.15 Analisis tebal tanah pada atap hijau.

Sumber : Data Arsitek 1.

5.5.10 Sistem Pelistrikkan

Pada prinsipnya sebagai kawasan yang menggunakan konsep ekologikal

arsitektur dan memiliki hawa panas yang cukup tinggi, pelistrikkan pada kawasan

ini banyak mengandalkan kepada energi surya yang ditangkap melalui surya

panel dan dibangkitkan menjadi energi listrik.

Pelistrikkan yang terpenting pada kawasan ini adalah pada bangunan huni

sebagai suatu rancangan arsitektur yang memiliki penggunaan listrik terbanyak.

Umumnya suatu unit huni memiliki kebutuhan listrik sebesar 500 volt, sehingga

pada kebutuhan 250 huni akan membutuhkan energi sebesar 125000 volt. Hal ini

tentu akan memakan biaya yang relatif besar dalam pemasangannya. Namun,

biaya yang besar ini menjadi murah karena penggunaan pv atau solar panel

terhitung mudah dalam perawatannya sehingga mendukung konsep co-benefit

yang telah dicanangkan oleh pihak pemerintah.

Pada penggal kawasan yang lain, kebutuhan akan listrik terhitung relatif

lebih kecil dibandingkan kebutuhan pada unit huni. Secara general, kebutuhan

listrik kesuluruhan kawasan (tidak terhitung hunian) membutuhkan kapasitas

listrik sebesar ± 5000 volt. Penggunaan listrik lebih banyak dibutuhkan sebagai

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 134: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

120

pencahayaan sebagai penerangan pada malam hari dan beberapa kios yang akan

digunakan secara penuh waktu (24 jam).

Gambar 5.16 Analisis perbedaan temperatur.

Sumber : Data Arsitek 1.

Gambar 5.17 Analisis penggunaan energi matahari.

Sumber : Data Arsitek 1.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 135: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

121

Gambar 5.18 Analisis kombinasi pemasangan energi matahari.

Sumber : Data Arsitek 1.

5.5.11 Sistem Air Bersih dan Kotor

Sistem penyediaan air bersih menggunakan sistem pemipaan yang telah

tersedia di eksisting dengan menggunakan down feed system di gedung utama

yang akan dikembangkan menjadi beberapa lantai.

Air kotor berupa black water dari saluran buangan disatukan dengan

sistem pembuangan yang kemudian diolah di septic tank. Grey water atau air

kotor berupa air lemak dan sabun dari dapur sumber buangan dan kamar mandi

akan ditampung dulu di bak penampung lemak (untuk air lemak) kemudian

diserap oleh sumur resapan sebelum dialirkan ke riol kota. Sedangkan untuk air

hujan dapat dialirkan ke tanaman di taman-taman ekologi.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 136: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

122

5.5.12 Sistem Pengolahan Sampah

Sampah yang mungkin didaur ulang dan sampah basah yang tidak

memungkinkan untuk langsung didaur ulang dipisahkan. Sampah yang mungkin

untuk di daur ulang ditempatkan di tong khusus. Hal ini untuk memfasilitasi dan

mendorong kemungkinan pengrajin dalam kegiatan ekonomi kreatif untuk

berkreasi dengan bahan bekas. Sedangkan untuk sampah basah yang tidak bisa

langsung didaur ulang diletakkan di dekat akses yang memungkinkan truk

pengangkut sampah mudah untuk mengambilnya.

5.5.13 Sistem Pemadam Kebakaran

Upaya prefentif dilakukan dengan pemilihan bahan bangunan yang tidak

mudah terbakar api. Sedangkan upaya represif dilakukan dengan meletakkan fire

detector dan alarm di tiap ruang terpilih untuk meningkatkan kewaspadaan dan

agar pengguna bangunan lebih cepat tanggap. Fire hydrant dan fire extinguisher

berupa tabung berisi CO2 disediakan di beberapa titik untuk memadamkan

kebakaran.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 137: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

123

BAB VI

KONSEP PERANCANGAN

6.1 Pengertian Umum Konsep Perancangan

Tabel 6.1 Perumusan konsep secara umum.

Sumber : analisis.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 138: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

124

Konsep perancangan Kampung nelayan vertikal Tegalsari ini merupakan sebuah

manifestasi atas prinsip dari studi dalam pendekatan yang bertemakan sosial politik-

ekonomi terhadap masyarakat nelayan kota Tegal. Segala aspek dalam studi konteks

sosial dalam lingkup politik-ekonomi diproyeksikan pada kebutuhan ruang huni pribadi

baru untuk mencapai masyarakat yang lebih self-consciousness sehingga mampu

mewujudkan tatanan masyarakat dengan mental yang lebih baik dan apresiatif. Aspek

terkait bangunan ini meliputi vertikalisasi unit hunian kampung, taman, fasilitas

ekonomi, fasilitas industri kreatif, dan filosofi Wong Kalang sebagai pendekatan

arsitektur tradisional Jawa yang diasimilasikan dalam suatu konsep yang dapat mewakili

tiap prinsip tersebut dengan suatu kebutuhan formal.

Dalam konteksnya dengan tapak di permukiman nelayan Tegalsari, kampung

vertikal ini juga mempertahankan hak kepemilikan nelayan dan perwujudan dari buah

fikir atas sumberdaya masyarakat nelayan. Ruang pribadi dan fasilitas ini menjadi sebuah

titik awal kebangkitan peradaban nelayan menuju berkembangnya sektor maritim di

Indonesia dengan harapan pencapaian eksistensi masyarakat nelayan yang lebih jernih

dan self-consciousness melalui wadah arsitektur yang baik dan mengkondisikan kembali

tatanan masyarakat dengan pengelompokkan berdasar kebutuhan ruang dan kebutuhan

fasilitas dalam kompleks huni.

Arsitektur dalam hal ini adalah komponen yang mewadahi kegiatan manusia dalam

bentuk ruang. Suatu kegiatan manusia pada dasarnya adalah kumpulan dari aktifitas-

aktifitas oleh tindakan manusia perorangan. Dengan begitu akan lahir pulalah sebuah

pertanyaan tentang kualitas dari aktifitas dan perilaku menusia tersebut. Semakin buruk

kualitas suatu individu, maka perannya dalam masyarakat untuk memperlakukan suatu

arsitektur pun akan semakin buruk. Terlebih kepada perwujudan bangunan urban dengan

aktifitas urban yang kental.

Pendekatan perilaku menekankan keterkaitan dialektik antara ruang dengan

manusia dan masyarakat yang memanfaatkan atau menghuni ruang tersebut. Pendekatan

ini menekankan perlunya memahami perilaku manusia atau masyarakat dalam

memanfaatkan ruang. Dalam pendekatan ini, ruang memiliki arti dan nilai yang plural

dan berbeda tergantung tingkat apresiasi dan kognisi individu yang menggunakan ruang

tersebut. Dengan kata lain, pendekatan ini melihat bahwa aspek norma, kultur,

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 139: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

125

penguasaan sosial/hegemoni, ekonomi, psikologi masyarakat yang berbeda akan

menghasilkan kegunaan dan manifestasi ruang yang berbeda.

Diadakannya re-strukturisasi kelas ini adalah agar masyarakat yang telah

terobyektifikasikan menjadi sadar atas eksistensinya lalu dapat memutuskan secara benar

suatu tindakan atas kesadaran pribadi bahwasanya peran nelayan dalam ekonomi maritim

Indonesia pada sektor kelautan. Dalam hal ini, membuat para nelayan tadi yang merasa

hidup bebas dan bertindak secara nyaman di dalam ruang kamarnya dengan merasa

sendiri menyadari bahwasanya ia telah selama ini diamati oleh seseorang dari balik

lubang kunci pintu yang telah mengenainya sebagai subyek yang teridentifikasi. Hal ini

membuat mereka menjadi mampu menguasai situasi seutuhnya dan mempertimbangkan

secara jelas eksistensinya untuk menjadi subyek yang telah tersedia dalam strategi

ekonomi kreatif Asarnawa, dimana nelayan yang telah memiliki self-consciousness

mempunyai modal untuk mengambil sebuah keputusan dalam dinamika ekonomi

kehidupannya.

Secara konseptual, pendekatan perilaku subyek ini menekankan kembali kepada

persepsi cogito (berfikir) dan respondeo (merespon) dalam interaksinya dengan

lingkungan. Konsep ini dengan demikian meyakini bahwa interaksi atau respon antara

manusia dengan lingkungan tidak dapat diintepretasikan secara sederhana dan

mekanistik, melainkan kompleks dan cenderung dilihat sebagai sesuatu yang

probabilistik. Dalam interaksi yang kompleks ini, pendekatan perilaku memperkenalkan

apa yang disebut sebagai proses kognitif yaitu proses mental tempat orang mendapatkan,

mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuannya untuk memberi arti dan makna

terhadap ruang yang digunakannya.

Konsep

Makro

Konsep Messo Konsep Mikro

Perancangan

kampung

vertikal yang

tanggap pada

konteks

masyarakat

sosial politik-

ekonomi

- Desain urban dalam

ruang lingkup kawasan

Tegalsari yang

termodifikasi secara

mikro dalam tapak

- Perencanaan tapak dalam

studi dengan skala

terminologi yang lebih luas

- Kampung Nelayan Vertikal

di Tegal

- tanggap kondisi sosial

masyarakat dan budaya

urban dalam kawasan

- perancangan arsitektur

dengan metode dalam

terminologi Wong Kalang

berangkat daripada studi

tentang isu kelas sosial

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 140: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

126

dalam dominasi hegemoni

masyarakat nelayan

- konteks lokasi dalam

kehidupan berbudaya

politik-ekonomi dan

urban sosial

- arsitektur untuk publik :

peran kampung sebagai

ruang huni untuk

mendapatkan self-

consciousness guna

mewujudkan Indonesia ber-

identitas yang dicanangkan

oleh presiden terpilih Jokowi

- filosofi tata kampung dalam

terminologi Jawa dalam

pembentukan organisasi

ruang

- Konteks Tegal : kota

bahari dengan esensi

masyarakat Nelayan

yang terjebak

konformitas oleh

kapital juragan

- Konsep hunian vertikal

sebagai alternatif untuk

mengatasi permasalahan

permukiman kumuh di

Tegalsari adalah dengan

menata blok-blok hunian

vertikal di dalam kawasan

dengan KDB 50%, RTH

50% dan menyediakan area

normalisasi sungai. Blok

blok hunian ditata

membentuk cluster-cluster.

- Ecological dan Tropical

dalam desain arsitektur - Konsep Industri ekonomi

kreatif yang menerapkan

kaidah-kaidah ecological

- Orientasi hadap bangunan

dan pengaturan thermal serta

pelistrikkan yang

mempertimbangkan fungsi

tropis dalam arsitektural

Tabel 6.2 Tabel Penjabaran Konsep.

Sumber : analisis.

6.2 Konsep Makro

Secara makro perancangan kampung susun ini merupakan sebuah manifestasi

dari identitas masyarakat nelayan yang terjebak dalam tindak kekuasaan kapital dalam

masyarakat itu sendiri dan mencoba menerjemahkannya dalam bentuk arsitektur dengan

melakukan pembagian spesifikasi ruang dan kebutuhan radix masyarakat tersebut.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 141: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

127

Dengan menilik sisi radix, saya meyakini subyek yang teridentifikasikan dapat menemui

self-consciousness nya dan memenuhi pra-syarat menjadi suatu masyarakat yang siap

dalam menghadapi perkembangan suatu zaman. Kebutuhan terhadap ruang huni ini

memenuhi salah satu aspek kehidupan urban yang secara khusus terdefinisi sebagai

perkampungan vertikal yang menanggapi isu pembangunan dari pemerintah pusat terkait

pembangunan sektor maritim melalui arsitektur.

6.3 Konsep Messo

Dalam lingkup pertengahan atau messo, perancangan desain kawasan kampung

yang dikelompokkan ke dalam vertical design ini diproyeksikan ke dalam lingkup tapak

yang berada dalam zona premanisme dan hegemoni atas juragan terhadap kaum proletar

nelayan. Tapak berada pada kawasan pemukiman dekat pantai, di dalam kota Tegal.

Konteks masalah politik-ekonomi dan sosial ini sangat erat implementasinya pada studi

pendekatan konsep. Secara khusus, perancangan dilakukan dengan pertimbangan

konsepsi Wong Kalang sebagai manifestasi kearifan lokal.

6.4 Konsep Mikro

Konsep secara mikro diterjemahkan ke dalam studi massa, konfigurasi ruang dan

konsep secara formal lainnya. Konsep mikro ini sebagai pengejawantahan atas konsep-

konsep yang tersusun dari beberapa isu yang telah disebutkan dalam bab-bab

sebelumnya.

Dalam menanggapi isu sosial kelas masyarakat, desain dilakukan dengan

mengelompokkan masyarakat huni ke dalam kelas kelasnya sendiri sehingga users dalam

menghadapi kelas tersebut lebih merasa dan terpicu penghuninya ke arah self-

consciousness yang tepat dengan semakin merapatnya fasilitas kebutuhan untuk

menopang eksistensi keberadaan kelas itu sendiri. Dalam pengertian, kesadaran akan

kelas ini bukanlah menjadi alat untuk mendorong mereka kepada perasaan rendah diri

melainkan untuk menarik mereka untuk bangkit.

Konflik sosial yang terjadi pada kawasan ini sejatinya mereduksi aktifitas fikir

masyarakat melalui sudut paradigma ke dalam konformitas tentang aktualisasi diri

sehingga mentalitas masyarakat menjadi semakin tidak terbentuk dan menjauh dari radix

consciousness-nya. Pembagian kelas ini tentu saja tidak terasakan oleh masyarakat

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 142: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

128

umum karena terhanyut dalam buaian modus kebersamaan sehingga mengaburkan

pandangan-pandangan atas kepemilikan pribadi dan mulai meletakkan rasa iri terhadap

apa-apa yang dimiliki oleh orang lain. Hal ini sejatinya terjadi pada kawasan permukiman

yang memiliki pola dan aktifitas kampung yang padat dan ramai.

Selain bertendensi kepada perilaku iri, esensi dari konflik ini juga menciptakan

destruksi dalam aktifitas perilakunya. Secara umum kita mengenal kawasan nelayan

sebagai kawasan yang berbahaya dan sarat akan tindak kriminalitas dimana aktifitas

premanisme kecil memiliki peran penting dalam sektor pertahanan yang menjadi citra

kuat dalam terminologi Kansas sebagai citra yang kuat pada kawasan ini. Citra ini secara

subliminal terbentuk karena faktor arsitektur yang kumuh pada suatu kawasan dan juga

karena ketidak-siapan mentalitas users yang mendiami kawasan tersebut. Sehingga,

tepatlah jika mengatakan visualisasi tentu mempengaruhi psikologis.

Terdapat tiga buah alternatif desain yang menjadi landasan utama dalam

perancangannya dimana ketiga alternatif tersebut masing masing perwujudan dari citra

dan wacana kontekstual terhadap site terpilih.

Gambar 6.1 Alternatif 1.

Sumber :analisis.

Konsep ini dalam bentukannya mengacu kepada simbolik Batara Baruna sebagai

dewa penguasa air, hukum dan pengetahuan di dalam mitologi Jawa. Konsep ini memiliki

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 143: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

129

elemen kearifan lokal yang begitu kuat, khas, dan radix dalam eksistensi masyarakat

pesisir pantai Indonesia.

Gambar 6.2 Batara Baruna.

Sumber : http://www.amazine.co/24948/siapakah-baruna-kisah-dewa-air-dalam-kepercayaan-hindu/

Gambar 6.3 Alternatif 2.

Sumber :analisis.

Dalam perancangan desain alternatif 2, pendekatan yang diambil adalah

kesederhanaan dalam lingkungan binaan dimana pendekatan rancang bangunan hunian

mengadopsi konsepsi rumah susun. Konsep ini lebih mengedepankan peran pelabuhan

sebagai citra utama dalam kawasan nelayan. Pola ini sangat tepat untuk digunakan pada

kawasan yang berbatasan langsung dengan tapak air dengan kemungkinan banyaknya

kepemilikan atas kapal nelayan.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 144: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

130

Gambar 6.4 Alternatif 3.

Sumber :analisis.

Pendekatan rancang desain mengacu pada konsep tegalan dimana konteks tegalan

tersebut merupakan suatu pengejawantahan dari identitas site bangunan ini berada : kota

Tegal. Tegalan, dipadukan dengan konteks air pada site dan alur-alur dinamis sehingga

memungkinkan orientasi fikir penghuni dapat lebih berkembang dengan efek psikis

bentukan yang dinamis tapi tidak melupakan dari mana ia berasal.

Konsep ini adalah visualisasi jati diri kota Tegal dan efek subliminal yang kuat

terhadap pembentukan self-consciousness pada masyarakat huninya.

Gambar 6.5 Tegalan sebagai identitas mula Kota Tegal.

Sumber : http://www.panoramio.com/photo/75391396

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 145: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

131

Kerangka rancangan yang tersusun dalam skematik kampung vertikal diatas

adalah perwujudan dari pemisahan kelas-kelas sosial dalam bentuk pemikiran

arsitektural. Dalam rancangan ini, rancangan desain adalah pemicu kesadaran

(consciousness) user dalam aktifitas empiris yang ter-setting dalam ruang tinggal dan

ruang aktifitas keseharian. Pemisahan ini pada hakikatnya mendirikan benteng yang

menyandarkan pandangan users ke dalam status sosialnya tanpa diucapkan secara verbal.

Pengendalian pencetusan secara verbal tentang benteng pemisah ini diatur dengan

memberikan rasa ‘merdeka’ dari belenggu punggawa yang telah selama ini meracuni

paradigma hidup bebas dan melakukan aktifitas ekonomi yang kreatif.

6.4.1 Ruang Sebagai Kesadaran Sosial

Secara prinsip, manusia adalah makhluk sosial yang memberikan makna

pada ruang ruang dimana ia berada. Hal ini dimaknai sebagai ruang tempat ia

tumbuh dan berada sehingga sedikit banyak mempengaruhi aktifitas dan

kecenderungan ia dalam mengambil sebuah keputusan dan menyukai suatu hal.

Menghadapi suatu aktifitas dalam sebuah ruangan, manusia umumnya menandai

ruang tersebut sebagai wadah berlindung, berempati, berbicara, dan lain lain yang

dilakukannya dalam aktifitas keseharian sehingga ruang ini juga dinamakan ruang

semiotik.

Dalam pengelompokkan sosial, ruang hunian penggunan bangunan tidak

dikelompokkan ke dalam suatu blok atau kelas tertentu yang terpisah jauh satu

sama lainnya melainkan memberikan pengelompokkan secara nyata dalam

susunan ruang yang saling berdekatan. Hal ini merupakan wujud dari strategi

rancangan yang memberikan pengalaman dalam modus kebersamaan. Modus

kebersamaan ini pada akhirnya akan tereduksikan kepada self-consciousness

yang tanpa tersampaikan secara verbal dan pada akhirnya akan menciptakan

perilaku kompetitif tanpa melakukan kecurangan satu sama lain karena jarak

privasinya yang kurang. Jarak yang berdekatan ini akan menjadi penghambat

mereka untuk melakukan hal-hal yang mengancam eksistensi mereka di dalam

lingkungan binaan tersebut sehingga mengurangi presentase munculnya

konspirasi antar-warga.

Untuk hematnya, rancang jarak dapat dilihat pada gambar berikut.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 146: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

132

Gambar 6.6 Setting massa.

Sumber :analisis.

Pada gambar diatas, pemisahan antara dua kelas sosial dalam suatu

lingkungan binaan menjadi sangat nyata namun tidak mengurangi ruang ruang

mereka untuk saling bertemu dan melakukan aktifitas secara kolektif dan berkala.

Hal ini pada dasarnya hanya terjadi hanya pada suatu tingkatan bangunan tertentu

jika tidak memiliki connector yang menghubungkan suatu tingakatan dengan

tingkatan yang lain sehingga dalam skema yang vertikal membutuhkan konsep

void sebagai connector perilaku antar ruang. Dalam perwujudannya, void tersebut

haruslah memenuhi standard keamanan users yang mana dalam skala users juga

terdapat anak anak dibawah umur yang belum memahami arti dari keamanan itu

sendiri. Maka dalam rancangan bangunan, void ini tidak bersifat ‘menutupi’, tapi

juga tidak bersifat terlalu ‘membuka’. Hal ini pada akhirnya diterjemahkan

kedalam bentuk yang ‘merenggang’ dimana terminologi merenggang ini

mengarah kepada perwujudan bentuk diagonal dua arah yang saling

beralawanan.

Selain berfungsi untuk menjaga keamanan tersebut, rancangan diagonal

ini secara alami juga mengatur tingkat akustik ruang secara keseluruhan. Hasil

akhir yang diinginkan dalam rancangan diagonal ini adalah suasana yang sayup-

sayup ‘tidak terlalu bising, tidak terlalu sunyi’ sehingga nuansa kampung yang

dirasakan oleh psikis users yang menjadi reseptor masih didapatkan.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 147: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

133

Pun dengan orientasi angin dan cahaya. Konsep diagonal ini pada

dasarnya juga memberikan kebebasan ruang gerak dalam pergerakan angin dan

cahaya namun kebebasan ini sendiri, sejatinya tidak benar benar bebas melainkan

‘diarahkan menjadi bebas’.

Gambar 6.7 Setting massa dalam vertikalitas.

Sumber :analisis.

Program ruangnya yang tidak berada dalam suatu garis lurus,

menghilangkan kesan lorong yang panjang dan menyebabkan pergerakkan angin

menyempit.

Dalam klasifikasi ruang hunian, penghuni dibagi kedalam 3 (tiga)

kelompok berdasarkan kepemilikan. Pembagian kelompok yang didasarkan pada

kepemilikan ini berlandaskan dasar kebutuhan dan orientasi aktifitas dalam

skema bangunan keseluruhan.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 148: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

134

Gambar 6.8 Denah tipe 30.

Sumber :analisis.

Tipe ini diperuntukkan kepada nelayan kelas buruh biasa yang berada

pada lantai dua keatas berdekatan dengan kelas pemilik. Tipe ini memiliki ukuran

30 m2 dan memiliki dua buah pintu sehingga memiliki dua hadapan. Hal ini

dilakukan untuk memperbanyak titik komunikasi antara penghuni unit dengan

penghuni unit lainnya sehingga tidak menghilangkan kesan kampung yang ramai

akan aktifitas dan komunikasi. Dalam salah satu orientasi hadapan unit ini

terdapat ruang industri kreatif kecil sehingga letak ruang kerja dengan ruang

tinggalnya tidak berjauhan.

Dalam penggunaannya, kapasitas penghuni pada tipe ini hanya sampai 3-

4 orang sehingga biaya sewa dalam unit ini relatif lebih kecil daripada unit yang

lain.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 149: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

135

Gambar 6.9 Denah tipe 50.

Sumber :analisis.

Tipe ini diperuntukkan kepada nelayan kelas pemilik dimana kepemilikan

disini berarti kepemilikannya atas kapal dan alat tangkap. Pada dasarnya, status

kelas ini adalah kelas feodal. Namun jarak unit ini yang berdekatan dengan kelas

buruh (proletar), menghilangkan batas kelas tersebut sehingga menghilangkan

tendensi konflik dan menciptakan ruang komunikasi yang lebih luas.

Tipe ini memiliki ukuran yang lebih besar dari kelas sebelumnya, yakni

50 m2 dan memiliki kapasitas hingga 6 penghuni sehingga biaya sewa pada unit

ini relatif lebih mahal. Pada kelas ini hanya terdapat satu buah orientasi hadapan

dan tersambung dengan jalur yang menghubungkannya dengan unit dari kelas

sebelumnya. Hal ini secara tidak langsung memaksa aktifitas bermain anak untuk

bergabung dengan ruang bermain dari kelas lain.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 150: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

136

Pada unit ini, terdapat titik vital penghijauan indoor dimana peran

ekologis pada unit ini akan sangat berpengaruh terhadap kondisi thermal di dalam

ruangan sehingga memaksa penghuni untuk saling bersama menjaga tanaman

yang ada.

Gambar 6.10 Denah tipe 36.

Sumber :analisis.

Tipe terakhir, atau tipe ketiga ini diperuntukkan kepada kelas buruh dan

pembuat alat sehingga unit ini diletakkan pada bangunan lantai dasar dimana

pintu belakang pada unit ini terhubung langsung dengan tapak air sebagai bengkel

pembuatan kapal dan parkir kapal. Tipe ini memiliki ukuran yang kurang lebih

sama dengan tipe sebelumnya, yakni 36 m2 namun didesain lebih memanjang dan

memiliki kapasitas hingga 4 orang penghuni.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 151: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

137

6.4.2 Local Wisdom : Perwujudan Kultur dan Tropikal pada Bangunan

Pandangan kultur kebudayaan masyarakat Jawa sangat erat kaitannya

dengan pandangan arsitektur tropis dimana esensi utama dari aktifitasnya adalah

kebersamaan dan pendidikan. Hal ini, dalam kebudayaan masyarakat Jawa masa

lampau, dilakukan dalam area terbuka baik umum maupun pribadi.

Dalam skala aktifitas vertikal terkait local wisdom, terdapat ruang aktifitas

lain berbentuk taman dan kios untuk kuliner dan lain lain. Zona ini juga memiliki

peranan penting dalam kerangka vertikal karena menjadi pusat ekonomi kreatif

dan kawasan edukatif. Pada penataannya, zona ini ditempatkan pada penggal

Begalsari (Beranak di Tegalsari) sebagai kawasan semi-private atau zona

pinggitan dalam terminologi Wong Kalang.

Dalam penataan taman, desain dipisah menjadi dua berdasarkan

kebutuhan dan aktifitasnya, yakni taman akademos sebagai taman edukatif secara

khusus dan segmented serta taman asarnawa sebagai taman edukatif dalam

konteks luas (segala umur) dimana aktifitas pembelajaran terhadap self-

consciousness dan prinsip-prinsip dalam sosial ekonomi kreatif terjadi yang

tersusun pula dari konsep sistematika Asarnawa.

Gambar 6.11 Taman dalam rancangan bersifat edukatif kedalam dua pendekatan.

Sumber :analisis.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 152: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

138

Secara garis besar, skema aktifitas di dalam kerangka hunian vertikal ini

dibagi menjadi dua bagian dimana bagian pertama diperuntukkan kepada aktifitas

hunian dan yang kedua untuk aktifitas komersial. Kegiatan dalam hunian,

umumnya bersifat edukatif guna membantu masyarakat huni menemukan self-

consciousnessnya sebagai masyarakat penjaga teras depan wilayah maritim

Indonesia.

Spesifikasi skema aktifitas huni dapat dilihat pada bagan berikut :

Gambar 6.12 Skema aktifitas hunian.

Sumber :analisis.

Dalam pengembangan sisi ekonomi-kreatif, produk yang dihasilkan oleh

masyarakat huni dipublikasikan secara langsung di kawasan tersebut. Dalam hal

ini, kegiatan dalam kawasan tersebut membutuhkan ruang wisatawan sehingga

wisatawan yang membeli dapat melihat proses pembuatan produk yang

dihasilkan oleh masyarakat nelayan. Konformitas di Indonesia saat ini adalah

masyarakat secara umum hanya tahu sesuatu itu berbentuk, bukan terbentuk. Hal

ini yang menimbulkan stigma-stigma negatif antara masyarakat satu dengan

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 153: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

139

masyarakat lain. Seperti misalnya pada isu beras palsu, betapa mudahnya

masyarakat Indonesia terjebak akan kepercayaan bahwa beras yang dikonsumsi

terbuat dari plastik. Mencegah hal ini, maka dalam kawasan kampung susun yang

dirancang memberikan wadah edukatif kepada masyarakat luas untuk melihat

secara langsung proses pembuatan produk yang dipasarkan secara umum dan

tanpa prosedur yang menyusahkan.

Di sisi lain dalam skema aktifitas wisata, pengunjung diajak untuk

melakukan komunikasi lebih lanjut dalam interaksi pada kawasan taman yang

berada pada zona pinggitan. Hal ini dilakukan untuk melakukan tukar pikiran

sehingga stigma ‘kansas area’ yang diberikan masyarakat luas kepada kawasan

mukim nelayan perlahan terhapuskan dan masyarakat nelayan yang terjebak

kebodohan pun perlahan bertambah wawasannya.

Gambar 6.13 Skema aktifitas wisata.

Sumber :analisis.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 154: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

140

Menyikapi ruang-ruang kebutuhan oleh dua sudut perilaku, maka secara

garis besar program ruang dalam lingkungan kampung susun menjadi sebagai

berikut :

Gambar 6.14 Program ruang kampung susun.

Sumber :analisis.

Untuk menekankan citra tropis pada bangunan ini, maka pemilihan bentuk

atap akan sangat mempengaruhi pola dan citra visual dari bangunan. Secara tapak,

bangunan ini berada pada daerah dengan curah hujan tinggi dan iklim yang sangat

panas sehingga pemilihan atap yang tepat adalah bentukan atap tradisional

dengan bentukan miring dan terdapat sebagian area hijau diatasnya yang

bertujuan untuk mereduksi panas sebelum mencapai tubuh bangunan dan

mengganggu kenyamanan hunian.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 155: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

141

6.4.3 Rancangan Ekologis

Dalam perancangannya, orientasi utama mengarah kepada tapak laut

sebagai finest rest area dimana kedua sisi masyarakat dapat melakukan interaksi

secara lebih mendalam sembari melihat sea-view sebagai orientasi pandangan

masyarakat Indonesia yang seharusnya lebih memperhatikan sektor kelautannya.

Dalam melakukan sebuah komunikasi, subyek source dan subyek reseptor

sejatinya saling terfokus kepada obyek yang berada di depannya sebagai ruang

fokus dalam indra. Ruang ruang lain di sekitar subyek tersebut sejatinya bukan

menjadi ruang kosong, melainkan menjadi sebuah ruang pembentuk empirisnya

dalam menanggapi bentuk komunikasi tersebut. Segala visual, audio dan kinetikal

yang dia lihat dalam ruang pandang tadi diresap kedalam alam bawah sadarnya

sehingga menyublim menjadi mindset dan paradigma. Hal ini lah yang

dimaksudkan dengan proses subliminasi dalam pendekatan desain, dimana

paradigma user dibentuk melalui gejala-gejala indrawi yang dilihat pada ruang

sekelilingnya yang terabaikan oleh peran fokus pandang.

Untuk mewujudkan bangunan dan ruang ruang ekologis yang berada

berdekatan dengan tapak air, pemilihan material bangunan adalah kayu ulin (kayu

besi) dimana kayu ini memiliki keunikan yaitu semakin kayu tersebut terkena air,

maka semakin kuat ia. Hal ini membuat penggunaan kayu ulin sebagai exposed

construction pada bangunan ini memenuhi syarat dalam kaidah sustainable.

Selain itu, untuk tubuh bangunan sendiri, material yang digunakan adalah antara

lain :

Kayu Kamper

Kayu ini mempunyai aroma khas seperti aroma kamper sehingga

dinamai kayu kamper. Kelebihannya Kuat dari serangat rayap

tetapi bobot beratnya lebih ringan dari pada kayu besi atau jati.

kayu ini sudah sekian lama di Indonesia menjadi bahan

alternatif untuk bahan bangunan berkelas mnimalis modern,

karena dengan harganya yang relatif terjangkau, selain itu kamper

memiliki serat kayu yang halus dan indah sehingga sering menjadi

pilihan untuk di jadikan bahan untuk membuat pintu dan jendela

dalam ukuran standar.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 156: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

142

Kayu Kelapa

Kayu kelapa ini sendiri termasuk kategori jenis palem dan

teksturnya pun cukup keras karena kayu ini memiliki serat lurus,

tidak bercabang, dan mudah dijadikan balok. Biasanya kayu ini

banyak di gunakan untuk dipakai tiang penyangga atap rumah.

Dan kualitasnya pun cukup bagus dengan catatan pilih usia pohon

kelapa yang sudah lebih dari 60 tahun atau lebih, apabila umur

pohonnya masih muda tidak disarankan untuk di jadikan bahan

bangunan, karena akan mudah di makan rayap dan serangga

lainnya.

Kayu Jati

Kayu ini sering dianggap sebagai kayu dengan serat dan tekstur

paling keras dan indah. Karakteristiknya yang stabil, kuat dan

tahan lama membuat kayu ini menjadi pilihan utama sebagai

material bahan bangunan. Kayu jati juga terbukti tahan terhadap

jamur, rayap dan serangga lainnya karena kandungan minyak di

dalam kayu itu sendiri. Kayu ini termasuk kayu yang paling

banyak di gunakan untuk bangunan rumah. Karena kualitasnya

tidak diragukan bahkan tidakmempunyai kelemahan apabila

dipakai jangka panjang.

Kayu Mahoni

Kualitas kayu Mahoni tergolong keras dan sangat baik digunakan

untuk meubel, furnitur, barang-barang aksesoris pelengkap

bangunan. Dari segi kualitas kayu mahoni mempunyai kelebihan

cenderung awet dan tidak mudah berubah bentuk.

Pun selain materi kayu, penggunaan bata merah dan batako juga akan

digunakan secara ekspose untuk menambah nilai estetis bangunan.

Penerapan atap yang memenuhi standard ekologis pun menjadi penting

disamping nilai tropisnya. Atap yang pada dasarnya miring dan terbuat dari bahan

genteng tanah liat, pada beberapa sisi akan dipasang PV sebagai pembangkit

listrik tenaga surya dan disisi lain akan diberikan tumbuhan yang dijajarkan

dengan menggunakan pot sehingga tidak memerlukan atap dengan sistem dak

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 157: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

143

yang memiliki biaya mahal dan tidak sesuai dalam iklim tropis. Pot pot ini pada

dasarnya terbuat dari pipa saluran air yang ditumbuhi tetumbuhan. Curah air

hujan yang ditampung oleh atap, kemudian dialirkan kedalam sistem perpipaan

itu sehingga tidak memerlukan perawatan secara serius dalam penataan

tamannya.

Gambar 6.15 Teknik Vertikultur sebagai area hijau pada atap

Sumber :analisis.

Teknik ini dinamakan vertikultur yang secara konsepnya adalah

penghijauan pada lahan sempit. Vertikultur adalah sistem tanam di dalam pot

yang disusun/dirakit horizontal dan vertikal atau bertingkat. Jenis tanamannya

adalah tanaman sayuran sehingga penghuni bangunan memiliki kebun sayuran

yang sendiri pada atap bangunannya.

Menanggapi perihal angin, efek yang dibutuhkan masih berjalan

beriringan dengan kebutuhan akan efek yang diingankan dalam aktifitas akustik

dimana diperlukannya suatu ‘filter’ yang dapat menahan dan menangkap kedua

hal tersebut. Dalam hal ini, tanaman adalah salah satu material yang tepat untuk

digunakan karena tanaman pada dasarnya adalah penghambat laju angin dan

penahan reduksi suara. Pemasangan taman dalam skema aktifitas dalam ruang ini

membutuhkan tempat yang tidak banyak membutuhkan space beraktifitas

sehingga dilakukan secara vertikal pada fasad depan unit tinggal.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 158: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

144

Gambar 6.16 Pemasangan area hijau dalam fasad unit.

Sumber :analisis.

Dalam pemilihan jenis tanaman, rancangan desain menggunakan tanaman

jenis rambat dan pot yang dapat mudah diletakkan dan disusun dimana saja. Pun

terhadap iklim setempat yang panas dan tergolong lembab sehingga akan sangat

berpengaruh kepada kebutuhan tanaman. Jenis tanaman yang dipilih antara lain

adalah :

Tanaman Hias

1. Areca Palm (Chrysalidocarpus lutescens)

2. Bamboo Palm (Chamaedorea seifrizii )

3. English Ivy (Hedera helix)

4. Spider Plants

5. Aloe Vera

6. Sri Rezeki (Dieffenbachia)

7. Tanaman Rambat

8. Bambu Air

9. Lidah mertua (Sansevieria trifasciata)

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 159: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

145

Tanaman Pengusir Nyamuk

1. Akar Wangi

2. Rosemary

3. Citrosa Mosquito

Tanaman Outdoor

1. Palm

2. Kelapa

3. Lavender

4. Cabai

5. Jeruk

6. Tomat

7. Dan Sayur mayur lainnya.

Gambar 6.17 Detail pemasangan area hijau dalam fasad unit.

Sumber :analisis.

Secara sitematis, semua studi dan pendekatan perancangan yang tergabung dalam

rancangan kampung nelayan vertikal dapat di jelaskan pada gambar di bawah :

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 160: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

146

Tabel 6.3 Diagram Asarnawa perancangan Kampung Vertikal Tegalsari, Kota Tegal.

Sumber : analisis.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 161: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

147

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Budihardjo, Eko. 1997. Arsitektur dan Kota di Indonesia. Bandung : Penerbit Alumni

Budihardjo, Eko. 2015. Kota dan Lingkungan, pendekatan baru terhadap masyarakat

berwawasan ekologi. Jakarta : LP3ES, 2003.

Capra, Fritjof. 2002. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta : Bentang.

Fukuyama, Francis. 2014. The Great Disruption, Hakikat Manusia dan Rekonstruksi

Tatanan Sosial. Yogyakarta : Qalam.

Goss, Andrew. 2014. Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda

Sampai Orde Baru. Depok : Komunitas Bambu.

Haryadi. 2010. Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku. Pengantar ke Teori, Metodologi

dan Aplikasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Hoed, Benny. 2008. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas Bambu.

Kinseng, Rilus. A. 2015. Konflik Nelayan. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Kustiawan, Iwan. 2011. Perencanaan Kota. Jakarta : Penerbit Universitas Terbuka.

Mutahir, Arizal. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Boudieu, Sebuah Gerakan Untuk

Melawan Dominasi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Neuvert, Ernst. 2002. Data Arsitek Jilid 1. Jakarta : Erlangga.

Neuvert, Ernst. 2002. Data Arsitek Jilid 2. Jakarta : Erlangga.

Pratikno, Priyo. 2011. Etika dan Estetika, cara-cara berarsitektur dengan bijak.

Yogyakarta : Andi.

Setiarini, Marlia. 2010. Keindahan Arsitektur Rumah Adar Nusantara. Jakarta : Multi

Kreasi Satudelapan.

Sutaryono. 2007. Dinamika Penataan Ruang dan Peluang Otonomi Daerah.

Yogyakarta : Tugu Jogja Grafika.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 162: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

148

Taleb, Nassim Nicholas. 2009. The Black Swan, Rahasia Terjadinya Peristiwa-

peristiwa Langka yang Tak Terduga. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Triatmodjo, Bambang. 2012. Perencanaan Bangunan Pantai. Yogyakarta : Beta Offset.

Yunus, Hadi Sabari. 1999. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Zuhdi, Susanto. 2014. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. Depok : Komunitas Bambu.

LITERATUR

Annatagia, Wienna. 2009. Dukuh Atas Interchange Station dengan Pendekatan Koneksi

dalam Konteks Urban, Pra Tugas Akhir. Yogyakarta : UGM.

Askin, Damayanti. 2014. Rumah Susun Nelayan dengan Konsep Tanggap Iklim di

Romokalisari Surabya, Jurnal. Malang : UNBRAW.

Budi, Agung. 2014. Rumah Susun di Muarareja Kota Tegal dengan Penekanan Desain

Arsitektur Tropis, Jurnal. Semarang : UNDIP.

Hakim, Lukmanul. 2007. Penerapan Arsitektur Ekologis pada Desain Rumah Tinggal,

Makalah. Jakarta : Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Kartono, J. Lukito. 2005. Konsep Ruang Tradisional Jawa dalam Konteks Budaya,

Makalah. Surabaya : Universitas Kristen Petra Surabaya.

Kiroh, Christian Immanuel. 2014. Kampung Susun Nelayan di Tuminting (Ekspressi

Perilaku pada Gubahan Bentuk dan Ruang Arsitektur), Papper. Manado :

UNISRAT.

Putro, Hendro Trieddiantoro. 2013. Kajian Komparasi Arsitektur Tradisional Jawa dan

Bali, Makalah. Yogyakarta. UGM.

Ramadan, Irma. 2014. Perancangan Cottage di Karimunjawa dengan Pendekatan

Arsitektur Organik, Pra-Tugas Akhir. Yogyakarta : UGM.

Rezkiawal, Andi. 2013. Tinjauan Yuridis tentang Tindak Pidana Penggunaan Bahan

Kimia dalam Penangkapan Ikan, Skripsi. Makassar : UNHAS.

Subkhan, Mokh. 2008. Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa di Cengkareng

Jakarta Barat, Tesis. Semarang : UNDIP.

Wijaya, Antony. 2009. Manajemen Konflik Sosial dalam Masyarakat Nelayan, Makalah.

Bengkulu.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 163: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

149

BAHAN KULIAH-DOKUMEN

Budi Pradono, Diagramming & Programming in Urban Design/Architecture, Open

House Universitas Indonesia Februari, 2007.

Budi Prayitno, Booklet Model Permukiman Nelayan Tegalsari, Universitas Gadjah

Mada, 2014.

Budi Prayitno, Penyuluhan Perikanan : Pengolahan Ikan Non Konsumsi, Universitas

Gadjah Mada 2014.

Budi Prayitno, Karakteristik Perikanan Laut Indonesia : Alat Tangkap, Universitas

Gadjah Mada 2014.

Pemerintah Kota Tegal. Rencana Pembangunan Kawasan Permukiman Prioritas

(RPKPP) Kota Tegal, Dokumen. Kota Tegal.

Pemerintah Kota Tegal. Profil Kota Tegal, Dokumen. Kota Tegal.

INTERNET

Keberagaman Kampung Vertikal,

http://rumah-yusing.blogspot.co.id/2011/01/keberagaman-kampung-vertikal.html

https://en.wikipedia.org/wiki/City_block

Permukiman Tropis,

http://digilib.bppt.go.id/sampul/IP_89D_13_0514-00001-00001.pdf

Kreatifitas,

http://www.kompasiana.com/ekogenshter/pengertian-kreatif-dan-

inovatif_552feef86ea834b36b8b45ac

Semiotika Laut,

https://www.selasar.com/ekonomi/semiotika-laut

Epistemologi yang Tercecer,

http://www.kompasiana.com/roman/epistemologi-yang-

tercecer_555ad3aae6afbdcd0b050e7c

Mitologi Baruna – Dewa Air dalam konsepsi Hindu Jawa,

http://www.amazine.co/24948/siapakah-baruna-kisah-dewa-air-dalam-kepercayaan-

hindu/

Filosofi Rumah Jawa Tengah,

http://ilarizky.com/7-makna-filosofi-rumah-joglo-jawa-tengah/

http://rumahadat.blog.com/2012/02/26/rumah-adat-jawa-tengah/#more-46

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 164: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

150

https://wisatasejarah.wordpress.com/2010/01/20/filosofi-rumah-tradisional-jawa/

Konsumsi Ikan,

http://kanikanpin.blogspot.co.id/2013/11/seputar-kandungan-gizi-pada-ikan-asin.html

http://www.womenshealth.co.id/health/tj.kesehatan/bahaya.terlalu.sering.konsumsi.ikan

.asin/004/003/13

Arsitektur Ekologi,

https://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur_ekologi

http://ekohidayat91.blogspot.co.id/2013/06/arsitektur-ekologi.html

http://anisamardwiana.blogspot.co.id/2013_01_01_archive.html

https://www.academia.edu/9563878/Beberapa_Jenis_Tanaman_Hias_Pembersih_Udara

http://www.lamudi.co.id/journal/pilihan-bahan-material-kayu-untuk-rumah/

Semangat Nawa Cita,

https://id.wikipedia.org/wiki/Nawa_Cita

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 165: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

151

LAMPIRAN

Studi Kasus di Luar Indonesia : 8 House, Copenhagen, Denmark

Gambar L.1 Eksterior bangunan 8 House

Sumber : http://www.designboom.com/architecture/big-architects-8-house-under-construction/

8 House (Dalam bahasa Denmark: 8 Tallet), Juga dikenal sebagai Big House,

merupakan bangunan "mixed-use" besar berbentuk angka 8 yang terletak di selatan

pinggiran kota Ørestad di Copenhagen, Denmark. Di desain oleh Bjarke Ingels pendiri

Bjarke Ingels Group (BIG), Bangunan ini terdri dari 61.000 m2 ruang huni yang terdiri dari

3 tipe dan 10.000m2 ruang komersil dan kantor. Bangunan ini adalah proyek terbesar di

Denmark. yang disponsori oleh Store Frederikslund Holding, Høpfner A/S and Danish Oil

Company A/S in 2006, merupakan proyek rumah ke-3 dari BIG di Ørestad setelah VM

Houses and Mountain Dwellings.

Proyek ini adalah awal dari realitas tindakan yang mana ide batas antara bangunan

dan urbanisme lahir. Proyek ini berasal dari naiknya kebutuhan terhadap hunian ketika harga

pasar yang sedang menjulang tinggi.

Berada di perbatasan antara kota dengan daerah perkebunan yang masing-masing

memiliki potensinya sendiri-sendiri. Dimana kota berpotensi untuk bangunan komersil dan

kantor sedangkan daerah perkebunan yang berpotensi sebagai pemandangan dan tempat

tinggal.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 166: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

152

Gambar L.2 Konsep bangunan 8 House

Sumber : http://www.designboom.com/architecture/big-architects-8-house-under-construction/

Konsepnya adalah menciptakan lingkungan perkotaan baru dimana kehidupan

pinggiran kota menyatu dengan energi dari kota besar, dimana bisnis dan perumahan

berjalan berdampingan. Perbedaan tinggi bangunan memungkinkan pengguna memiliki

view terhadap lansekap sekitar bangunan.

Penghijauaan pada area atap seluas 1700 m² yang ditempatkan secara strategis untuk

mengurangi suhu panas serta memberikan identias visual pada bangunan dan memunculkan

kembali lahan hijau yang berorientasi ke arah selatan.

Secara harfiah, bangunan berbentuk angka 8 dimana pada sudut timur bangunan

sedikit lebih terangkat dan sudut barat daya lebih rendah daripada sisi bangunan lainnya

memungkinkan cahaya dan udara untuk masuk secara leluasa ke dalam bangunan

Perbedaan tinggi ini memungkinkan untuk pengguna bangunan memiliki view

terhadap kanal Kopenhagen.

8 house memiliki dua halaman intim yang dipisahkan oleh sebuah ‘titik’ temu yang

berfungsi sebagai fasilitas umum yang tersedia untuk semua penghuni. Pada bagian yang

sama, bangunan ini ditembus oleh suatu bagian yang luas yang memudahkan aksesibilitas

antara area taman di dalam bangunan dengan area kanal di sisi timur bangunan.

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 167: HALAMAN JUDUL KAMPUNG NELAYAN VERTIKAL DI TEGAL

153

Gambar L.3 Penghijauan bangunan 8 House

Sumber : http://www.designboom.com/architecture/big-architects-8-house-under-construction/

Profil alami dalam view cityscape bangunan ini pada dasarnya adalah lansekap air

yang berpadu dengan corak langit yang terpisah oleh horizontal cakrawala. Setiap unit pada

bangunan ini memiliki orientasi view terhadap view air dan lansekap ini. Penggunaan

material landscape menggunakan bentuk desain dinamis dan sederhana bertujuan untuk

penyederhanaan visualitias. Orientasi lansekap tidak hilag dari interior bangunan untuk

menjaga visualisasi kolektif bangunan. Orientasi view utama dari bangunan 8 house secara

keseluruhan adalah pemandangan cityscape Copenhagen Kalvebod.

Gambar L.4 Perspectif-view 8 House

Sumber : http://www.designboom.com/architecture/big-architects-8-house-under-construction/

Kampung Nelayan Vertikal di TegalACHMAD RICKY ZULFAHMIDDIN, Dr.Ir.Budi Prayitno M.EngUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/