Upload
siti-marwasofa
View
57
Download
20
Embed Size (px)
DESCRIPTION
penentuan hidrokarbon dengan gc
Citation preview
KANDUNGAN POLISIKLIK AROMATIK HIDROKARBON
(PAH) DI WILAYAH PERAIRAN TELUK DORERI
MANOKWARI
SKRIPSI
FITRIYANTI JUMAETRI SAMI
SKRIP
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PAPUA
MANOKWARI
2009
ABSTRAK
Fitriyanti Jumaetri Sami. Kandungan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) di
Wilayah Perairan Teluk Doreri Manokwari, di bawah bimbingan Achmad Taher
dan Markus H. Langsa.
Penelitian kandungan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) pada air dan
sedimen dilakukan di beberapa lokasi perairan Teluk Doreri Manokwari.
Kandungan PAH ditentukan dengan menggunakan Kromatografi Gas detektor
FID. Hasil penelitian menunjukkan terdapat senyawa-senyawa PAH yaitu Me-
naphthalene, acenaphthylene, acenaphthalene, fluorene, phenanthrene, anthracene,
fluoranthene, pyrene, benzo-A-anthracene, chrysene, dan benzo-B-fluorantene.
Total PAH pada air stasiun A (Galangan Kapal AL) sebesar 0.0396 ppb, stasiun B
(Pelabuhan Perikanan Sanggeng) sebesar 0.0058 ppb, stasiun C (Pelabuhan Pelni)
sebesar 0.5055 ppb. Sedangkan pada sedimen diperoleh total PAH stasiun A
(Galangan Kapal AL) sebesar 3.9817 ppb, stasiun B (Pelabuhan Perikanan
Sanggeng) sebesar 2.1919 ppb, stasiun C (Pelabuhan Pelni) sebesar 5.8821 ppb
dan pada stasiun D (Belakang Pulau Lemon) tidak ditemukan senyawa PAH baik
pada air maupun sedimen. Analisis korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan
yang sangat erat antara kandungan PAH dalam air dan sedimen, dimana
kandungan PAH dalam air sangat berkontribusi terhadap kandungan PAH dalam
sedimen. Selain itu terdapat keterkaitan asal sumber pencemar pada sedimen dari
masing – masing stasiun.
KANDUNGAN POLISIKLIK AROMATIK HIDROKARBON
(PAH) DI WILAYAH PERAIRAN TELUK DORERI
MANOKWARI
FITRIYANTI JUMAETRI SAMI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains dari Universitas Negeri Papua
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PAPUA
MANOKWARI
2009
LEMBAR PERSEMBAHAN
Nilai tidak selamanya menggambarkan keberhasilan dimasa mendatang. Yang membuat seseorang akan tetap berhasil adalah niat, kemauan, dan rasa syukur atas nikmat Allah SWT yang telah diberikan
Jika menghadapi rintangan, janganlah pernah mengeluh, Jika mengalami kesulitan, janganlah larut dalam kesedihan Tetapi tetaplah bersyukur, berdoa, dan berilah kepercayaan hanya kepada Dia Sang Khalik Karena Dialah yang akan memberi kekuatan untuk mengatasi segala cobaan dan menjadikan kita sebagai pemenang …..
Mengiringi kebahagiaan dan rasa syukur, secara khusus penghargaan setinggi-tingginya penulis persembahkan tulisan ini kepada Ayahanda (Moh. Ola Sami) dan Ibunda (Mislina) atas segala doa, pengorbanan dan kesetiaan yang tulus dalam menanti keberhasilan penulis. Tak lupa kepada saudara-saudaraku (Kak Hendra dan Fitra) juga kepada segenap keluarga besar yang telah membantu baik moril maupun material.
Dialah Allah yang telah menjadikan sesuatu indah pada waktunya ……..
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Kandungan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) di
Wilayah Perairan Teluk Doreri Manokwari
Nama : Fitriyanti Jumaetri Sami
NIM : 200439008
Jurusan : Kimia
Program Studi : Kimia
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Achmad Taher, S.Si, M.Si Markus H. Langsa, S.Si, M.Sc
Diketahui,
Ketua Jurusan Kimia Dekan Fakultas MIPA
Dra. Apriani Sulu Parubak, M.Si Ir. Benidiktus Tanujaya, M.Si
Tanggal Lulus : 18 Februari 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya yang
senantiasa diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Kandungan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) di Wilayah Perairan
Teluk Doreri Manokwari”. Tak lupa sholawat serta salam semoga tetap tercurah
kepada Rasulullah SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir
jaman.
Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si)
pada Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri Papua. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada Achmad Taher, S.Si, M.Si dan Markus H. Langsa S.Si, M.Sc
selaku pembimbing yang telah mengarahkan dengan penuh kesabaran,
mencurahkan waktu dan pikiran serta bimbingan moril hingga selesainya skripsi
ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dra. Khosanah
Munawir selaku teknisi di Laboratorium LIPI Jakarta yang telah membantu dalam
pelaksanaan penelitian. Selain itu kepada teman-teman seangkatan Chem 04
(Maris, Christoffel, Nur, Lince, Sari, Harni, Lidia, Tiwi, Lila, Putut, Bayu, Ani,
Selvi, Siska, Fajar), Chem 03 (K Kino, Mas Eko, K Arsyad, K Ludia) dan
SeHMJ-Kimia atas bantuan dan kebersamaannya yang sudah terjalin selama ini.
Tak lupa buat teman-temanku Hendra, Nahor, Sensil, Risman, Chris, Amelian,
Lissa, Fatimah, Wanda, Muji, Ratna, dan K Hony atas segala motivasi, doa dan
saran-sarannya.
Secara khusus kebanggaan dan kebahagiaan yang tulus penulis
persembahkan kepada keluarga tercinta Ayahanda dan Ibunda serta saudara-
saudaraku, thank you for always encouraged me to study hard and follow my
dreams, always believing me, and do to make me feel better on tough days. Juga
kepada keluarga besar Ashari Ratoe, om Komaruddin, om Ahmad, keluarga
Sukimin, dan keluarga Bambang Setiawan yang selalu memberi motivasi kepada
penulis serta doa yang dipanjatkan.
Semoga Allah SWT meridhoi kita semua. Akhir kata tak ada sesuatu yang
sempurna, kesempurnaan hanyalah milik-Nya begitu juga dengan skripsi ini. Oleh
karena itu dengan segala kerendahan hati semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang memerlukannya. Amin.
Manokwari, Februari 2009
Fitriyanti J. Sami
RIWAYAT HIDUP
Fitriyanti Jumaetri Sami, dilahirkan di Manokwari pada tanggal 3 Juni 1986.
Anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan Moh. Ola Sami dan Mislina.
Penulis memasuki jenjang pendidikan Sekolah Dasar di SD N 01 Amban
Manokwari (1992-1998). Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama penulis tempuh pada
tahun (1998-2001) di SLTP N 01 Manokwari. Pada tahun 2001 penulis
melanjutkan pendidikannya ke SMU N 01 Manokwari dan selesai tahun 2004.
Setelah itu pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Universitas
Negeri Papua masuk melalui jalur SESAMA pada Jurusan Kimia. Selama kuliah
Penulis pernah mengikuti Loka Karya Pemberdayaan Minyak Atsiri sebagai
peserta pada tahun 2006. Pada semester VII penulis melaksanakan Praktek Kerja
Lapangan (PKL) di PT. Coca-cola Bottling Indonesia Southern Sulawesi
Makassar. Organisasi yang pernah diikuti penulis selama kuliah yakni pada Unit
Kegiatan Mahasiswa-Forum Komunikasi Mahasiswa Islam (UKM-FKMI),
Himpunan Mahasiswa Jurusan Kimia (HMJ-Kimia), serta penulis aktif sebagai
asisten praktikum Kimia baik pada mahasiswa MIPA maupun pada mahasiswa
Fakultas lain (jenjang D3 dan S1).
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................
DAFTAR GAMBAR …………………………....……………………...
DAFTAR TABEL ....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………....………....
I PENDAHULUAN …………………………………………………….
1.1 Latar Belakang ………………...………………………………..
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………. ......
1.3 Tujuan dan Manfaat ……………...…………………….………
II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
2.1 Perairan Laut dan Deskripsi Perairan Teluk Doreri .....................
2.2 Pencemaran Air Laut ...................................................................
2.2.1 Sumber Pencemar ...............................................................
2.2.2 Bahan Pencemar ..................................................................
2.2.2.1 Polutan Tak Toksik .................................................
2.2.2.2 Polutan Toksik ........................................................
2.3 Minyak Bumi dan Hidrokarbon ...................................................
2.4 Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) .....................................
2.5 Sumber Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) di Laut ...........
2.6 Kromatografi Gas (KG) ...............................................................
viii
x
xi
xii
1
1
2
3
4
4
5
5
6
6
7
8
10
12
13
III METODE PENELITIAN .................................................................... 15
3.1 Waktu dan Tempat ………………….…………………………..
3.2 Bahan dan Alat ……………………….…………………………
3.3 Prosedur Penelitian ………………….………………………….
3.3.1 Pengambilan dan Preparasi Sampel ………………………
3.3.2 Penentuan Kadar Air …………………….………………..
3.3.3 Ekstraksi …………………………………………………..
3.3.4 Pembersihan Ekstrak dengan Metode Kolom
Kromatografi .......................................................................
3.3.5 Fraksionasi dengan Metode Kolom Kromatografi ..............
3.3.6 Analisis PAH dengan Kromatografi Gas ............................
3.3.7 Analisis Data .......................................................................
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................
4.1 Kandungan PAH pada Air ...........................................................
4.2 Kandungan PAH pada Sedimen ...................................................
4.3 Korelasi Kandungan PAH dalam Air dan Sedimen .....................
15
15
15
15
16
16
17
17
18
18
19
20
23
28
ix
V PENUTUP ............................................................................................
5.1 Kesimpulan ..................................................................................
5.2 Saran .............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….…….....
LAMPIRAN .............................................................................................
30
30
30
31
33
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Bagan Kromatografi Gas .....................................................................
4.1 Penyebaran Jenis-jenis PAH pada Air dari Keempat Stasiun ...................
4.2 Penyebaran Jenis-jenis PAH pada Sedimen dari Keempat
Stasiun ..................................................................................................
4.3 Perbandingan Antara Fluor/Pyr pada Sedimen Setiap
Stasiun ..................................................................................................
4.4 Korelasi Air dan Sedimen pada Ketiga Stasiun ...................................
14
21
25
27
29
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Fraksi Minyak Bumi ……..……..........……………………................
2.2 Beberapa Jenis PAH dan Berat Molekulnya ........................................
2.3 Estimasi Tumpahan Senyawa Hidrokarbon Minyak Bumi ke
Lingkungan Laut …....…………………..……....................................
4.1 Parameter Sekunder Air .......................................................................
4.2 Kandungan PAH pada Air ...................................................................
4.3 Kandungan PAH pada Sedimen ...........................................................
4.4 Kadar Air pada Sedimen ......................................................................
4.5 Kandungan PAH pada Air Berdasarkan Jumlah Cincin Aromatik.......
4.6 Kandungan PAH pada Sedimen Berdasarkan Jumlah Cincin
Aromatik ..............................................................................................
10
11
13
19
20
23
26
28
28
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Diagram Alir Sampel Air ….........………………………......................
2 Diagram Alir Sampel Sedimen ..............................................................
3 Baku Mutu Air Laut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 51/2004 ......................................................................................
4 Struktur Molekul Jenis-jenis PAH .........................................................
5 Lokasi Pengambilan Sampel ...……………………...………................
6 Kromatogram Standar PAH pada Air ………….…………..….............
7 Kromatogram Air Stasiun A ....………...…………...............................
8 Kromatogram Air Stasiun B ……………...…………...........................
9 Kromatogram Air Stasiun C …………...….........……..........................
10 Kromatogram Air Stasiun D ..………………………...........................
11 Kromatogram Standar PAH pada Sedimen ..........................................
12 Kromatogram Sedimen Stasiun A .........................................................
13 Kromatogram Sedimen Stasiun B .........................................................
14 Kromatogram Sedimen Stasiun C .........................................................
15 Kromatogram Sedimen Stasiun D .........................................................
16 Penentuan Kadar PAH pada Air ...........................................................
17 Penentuan Kadar PAH pada Sedimen ...................................................
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
46
47
48
49
50
52
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi kimia merupakan salah satu konsekuensi dari
kemajuan teknologi saat ini, dimana perkembangan tersebut mengakibatkan
meningkatnya produksi dan penggunaan bahan-bahan kimia untuk keperluan
manusia. Penggunaan bahan kimia dan bahan bakar minyak untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat semakin meluas dan meningkat di berbagai bidang
diantaranya di bidang perindustrian, pertanian, pertambangan dan pelayaran.
Kenyataan ini menyebabkan emisi sejumlah besar bahan kimia beracun ke
lingkungan yang pada akhirnya meningkatkan ekspos bahan-bahan kimia ini ke
tubuh manusia dan ekosistem yang ada di dalamnya (Sastrawijaya, 1991).
Salah satu kontaminan lingkungan yang penting dan termasuk dalam
kelompok bahan kimia beracun adalah Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH).
PAH merupakan komponen organik yang mengandung lebih dari satu cincin
aromatik dalam satu molekul hidrokarbon (Effendi, 2003). Senyawa ini dapat
dijumpai di hampir seluruh kompartemen lingkungan, mulai dari udara, danau,
lautan, tanah, sedimen dan biota. PAH masuk ke lingkungan perairan lebih
banyak disebabkan oleh aktivitas manusia, diantaranya proses industri,
transportasi, buangan aktivitas manusia di daratan melalui muara sungai, serta
dapat pula berasal dari darat tetapi melalui udara (Law, et al., 1997). Penelitian
dan penyelidikan mengenai PAH di lingkungan akuatik merupakan proses yang
sangat penting untuk menentukan kualitas suatu lingkungan melalui penentuan
status kontaminannya dan kemungkinan pengaruhnya terhadap suatu ekosistem.
Dikarenakan sifatnya yang beracun, tahan lama, dan karsinogenik, maka
sumber dan distribusi PAH dalam suatu wilayah telah menjadi perhatian/kajian
utama penelitian dan penyelidikan, baik di wilayah perairan, sedimen bawah air,
tanah maupun udara. Sifat PAH bervariasi mulai dari yang bersifat mudah
menguap hingga tak mudah menguap (Effendi, 2003). Menurut Maskaoui, et al.,
(2001) senyawa ini pada perairan laut ditemukan dalam bentuk minyak
2
mengapung, emulsi dan fraksi terendap di dasar perairan serta dapat berinteraksi
dengan partikel lain sehingga bersifat persisten terhadap lingkungan.
1.2 Rumusan Masalah
Wilayah perairan yang dijadikan sebagai tempat galangan kapal, pelabuhan
perikanan dan pelabuhan transportasi laut (PELNI) merupakan bagian dari
perairan Manokwari yang merupakan pusat aktivitas industri galangan kapal,
pelabuhan perikanan tangkap nelayan dan pelabuhan laut baik untuk kapal
domestik nasional ataupun antar pulau di Papua. Pemanfaatan wilayah perairan
tersebut sangat ekonomis untuk dikembangkan, namun di lain pihak dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan daerah pesisir laut tersebut.
Jika hal ini terjadi terus-menerus tidak hanya berdampak pada menurunnya
kualitas perairan pesisir, namun juga akan menyebabkan turunnya fungsi dan
peranan perairan sebagai suatu ekosistem. Penelitian di beberapa lokasi yang
sama oleh Wiyono (2008), mendapati adanya kandungan hidrokarbon dalam
sedimen berupa hidrokarbon alifatik dan alisiklik. Hingga saat ini kandungan dan
penyebaran senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon di perairan tersebut belum
di ketahui. Dengan dimasukkannya PAH sebagai salah satu parameter penentu
kualitas air laut, baik untuk keperluan perairan pelabuhan, wisata bahari dan biota
laut oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Nomor 51
Tahun 2004, maka perlu adanya pemantauan terhadap keberadaan PAH di
perairan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh
gambaran tentang jenis dan kandungan PAH di beberapa lokasi perairan Teluk
Doreri diantaranya Galangan Kapal, Pelabuhan Perikanan, Pelabuhan Pelni dan
perairan belakang Pulau Lemon. Metode analisis yang cukup akurat untuk
menentukan jenis dan kadar PAH adalah dengan menggunakan Kromatografi Gas
(KG).
3
1.3 Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis dan kandungan polisiklik
aromatik hidrokarbon (PAH) pada air dan sedimen di perairan Galangan Kapal,
Pelabuhan Perikanan, Pelabuhan Pelni dan perairan belakang Pulau Lemon.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi ilmiah bagi
masyarakat dan pemerintah daerah serta sebagai data dasar bagi penelitian
selanjutnya mengenai keberadaan PAH di lokasi-lokasi tersebut dan perairan
Teluk Doreri pada umumnya.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perairan Laut dan Deskripsi Perairan Teluk Doreri
Perairan berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas
tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Sastrawijaya, 1991). Kombinasi
pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang
khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain 1). tempat
bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut, yang berlawanan menyebabkan
suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika
lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya. 2). pencampuran kedua
macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak
sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. 3). perubahan yang terjadi
akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian
secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya. 4). tingkat kadar garam di
daerah tergantung pada pasang surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-
arus lain, serta topografi daerah muara sungai tersebut.
Aktivitas yang ada dalam rangka memanfaatkan potensi yang terkandung di
wilayah pesisir, seringkali saling tumpang tindih, sehingga tidak jarang
pemanfaatan sumberdaya tersebut justru menurunkan atau merusak potensi yang
ada. Hal ini karena aktivitas-aktivitas tersebut, baik secara langsung maupun tidak
langsung, mempengaruhi kehidupan organisme di wilayah pesisir, melalui
perubahan lingkungan di wilayah tersebut. Sebagai contoh, adanya limbah
buangan baik dari pemukiman maupun aktivitas industri, walaupun limbah ini
mungkin tidak mempengaruhi tumbuhan atau hewan utama penyusun ekosistem
pesisir di atas, namun kemungkinan akan mempengaruhi biota penyusun lainnya.
Teluk Doreri telah dikenal sebagai pintu masuk kota Manokwari melalui
laut. Teluk ini letaknya cukup strategis yang dibatasi oleh tanjung Arowi
disebelah utara yang terletak pada 0o52
’18.03
’’ Lintang Utara dan 134
o08
’00.63
’’
Bujur Timur. Sebelah selatan dibatasi oleh tanjung Warkapi pada posisi geografis
1o01
’48.32
’’ Lintang Utara dan 134
o04
’14.62
’’ Bujur Timur. Sebelah barat
berbatasan dengan wilayah darat Manokwari dan sebelah timur berbatasan dengan
5
laut pasifik dan perairan Taman Nasional Teluk Cendrawasih (Pattiselanno,
2007).
Di seluruh pantai Barat Manokwari sampai teluk Wandama, cuaca dapat
berubah pada bulan Mei dan Juni ketika angin tenggara dari tanjung Sawaibu.
Pada mulanya angin bertiup tidak kencang (sedang), kemudian kuat, tetapi sedikit
gelombang terutama pada bulan Desember. Teluk Doreri merupakan perairan
pantai yang memiliki karakteristik khas karena terlindung oleh pulau Mansinam
dan pulau Lemon sehingga tidak berhubungan langsung dengan laut lepas.
Kondisi ini menyebabkan keadaan perairannya cenderung tidak didominasi oleh
pengaruh gelombang dan arus laut yang kuat. Dengan adanya pengaruh
gelombang dan arus laut, padatan tersuspensi menjadi tidak stabil sehingga akan
terjadi proses transpor yang mengakibatkan terjadinya pengendapan (Zein, dkk.,
2005).
Teluk Doreri dan pulau Mansinam yang berbukit adalah bagian pantai yang
penting untuk pelayaran umum. Di belakang pulau Mansinam terdapat Pelabuhan
Manokwari yang merupakan tempat berlabuh yang sedikit terlindung dari arus
dan angin dengan kedalaman 30 – 40 m dengan kedalaman sepanjang dermaga
pada saat air surut rata-rata adalah 41 m. Hasil analisis Suhaemi (2006)
menunjukkan bahwa, pola sirkulasi arus dalam sistem teluk Doreri mengikuti pola
elevasi muka laut, dimana sirkulasi arus bergerak dengan kecepatan tertinggi
dicapai pada saat massa air bergerak menuju pasang purnama dengan kecepatan
maksimum mencapai 0.22 m/s.
2.2 Pencemaran Air Laut
Pencemaran air adalah peristiwa masuknya zat, energi, unsur, atau
komponen lainnya ke dalam air sehingga menyebabkan kualitas air terganggu.
Kualitas air yang terganggu ditandai dengan perubahan bau, rasa, dan warna
(Rukaesih, 2004). Pencemar memasuki badan air dengan berbagai cara, misalnya
melalui atmosfer, tanah, limpasan pertanian, limbah domestik dan pertokoan,
pembuangan limbah industri dan sebagainya.
6
2.2.1 Sumber Pencemar
Sumber pencemar (polutan) dapat berupa suatu lokasi tertentu (point source)
atau tak tentu/tersebar (non-point/diffuse source). Sumber pencemar point source
misalnya knalpot mobil, cerobong asap pabrik, dan saluran limbah industri.
Pencemar yang berasal dari point source bersifat lokal, efek yang ditimbulkan
dapat ditentukan berdasarkan karateristik spasial kualitas air.
Sumber pencemar non-point source dapat berupa point source dalam jumlah
yang banyak. Misalnya limpasan dari daerah pertanian yang mengandung
pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah pemukiman (domestik), dan limpasan
dari daerah perkantoran.
2.2.2 Bahan Pencemar (Polutan)
Bahan pencemar (polutan) adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam
atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan
ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut (Effendi, 2003).
Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan (misalnya badan air), polutan
dibagi atas dua kelompok, yaitu polutan alamiah misalnya akibat letusan gunung
berapi, tanah longsor, banjir dan fenomena alam yang lain. Polutan yang
memasuki suatu ekosistem secara alamiah sukar dikendalikan.
Polutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke badan air akibat
manusia, misalnya kegiatan industri. Intensitas polutan antropogenik dapat
dikendalikan dengan cara mengontrol aktivitas yang menyebabkan timbulnya
polutan tersebut. Berdasarkan sifat toksiknya, polutan/pencemar dibedakan
menjadi dua yaitu polutan tak toksik dan polutan toksik.
2.2.2.1 Polutan tak Toksik
Polutan/pencemar tak toksik biasanya telah berada pada ekosistem secara
alami. Sifat destruktif pencemar ini muncul apabila berada dalam jumlah yang
berlebihan sehingga dapat mengganggu kesetimbangan ekosistem melalui
perubahan proses fisika-kimia perairan. Polutan tak toksik terdiri atas bahan-
bahan tersuspensi dan nutrien. Bahan tersuspensi dapat mempengaruhi sifat fisika
perairan antara lain meningkatkan kekeruhan sehingga menghambat penetrasi
7
cahaya matahari. Dengan demikian intensitas cahaya matahari pada air menjadi
lebih kecil dari intensitas yang dibutuhkan untuk melangsungkan proses
fotosintesis. Keberadaan nutrien/unsur hara yang berlebihan dapat memacu
terjadinya eutrofikasi perairan dan dapat memacu pertumbuhan mikroalga dan
tumbuhan air secara pesat (blooming) yang selanjutnya dapat mengganggu
kesetimbangan ekosistem akuatik secara keseluruhan.
2.2.2.2 Polutan Toksik
Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian maupun bukan kematian,
misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku, dan karakteristik morfologi
berbagai organisme akuatik. Polutan toksik ini biasanya berupa bahan-bahan yang
bukan bahan alami, misalnya pestisida, detergen dan bahan lainnya. Polutan
berupa bahan yang bukan alami ini dikenal dengan istilah xenobiotik (polutan
artificial), yaitu polutan yang diproduksi oleh manusia.
Polutan yang berupa bahan-bahan kimia bersifat stabil dan tidak mudah
mengalami degradasi sehingga bersifat persisten di alam dalam kurun waktu yang
lama, polutan ini disebut rekalsitran. Mason dalam effendi, (2003)
mengelompokkan pencemar toksik sebagai berikut : logam (metals), meliputi
timbal, kadmium, timah, tembaga, dan merkuri. Logam berat diartikan sebagai
logam dengan nomor atom >20, tidak termasuk logam alkali, alkali tanah,
lantanida dan aktinida. Senyawa organik, meliputi pestisida organoklorin,
herbisida, PCB (polychlorinated biphenil), hidrokarbon alifatik berklor,
hidrokarbon petroleum, aromatik polinuklir dan sebagainya. Gas, misalnya klorin
dan amonia. Anion, misalnya sianida, fluorida, sulfida, dan sulfat.
Bintoro, (1998) menyatakan bahwa setelah memasuki perairan pesisir dan
laut sifat bahan pencemar ditentukan oleh beberapa faktor atau beberapa jalur
dengan kemungkinan perjalanan bahan pencemar sebagai berikut :
1. Terencerkan dan tersebar oleh adukan turbulensi dan arus laut
2. Dipekatkan melalui proses biologis dengan cara diserap ikan, plankton nabati
atau oleh ganggang laut bentik biota ini pada gilirannya dimakan oleh
mangsanya, dan melalui proses fisik dan kimiawi dengan cara absorpsi,
8
pengendapan, pertukaran ion dan kemudian bahan pencemar itu akan
mengendap di dasar perairan
3. Terbawa langsung oleh arus dan biota.
Menurut Rao dalam Effendi (2003), secara garis besar sumber pencemar di
perairan dikelompokkan menjadi beberapa bagian yaitu, limbah yang
mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut (oxygen demanding waste),
limbah yang mengakibatkan munculnya penyakit (disease causing agents),
senyawa organik sintesis, nutrien tumbuhan, senyawa anorganik dan mineral,
sedimen, radioaktif, panas (thermal discharge), dan minyak. Bahan pencemar
yang masuk ke dalam badan air biasanya merupakan kombinasi dari beberapa
jenis pencemar yang saling berinteraksi. Komposisi limbah organik ada beberapa
yaitu, lemak, selulosa, protein, asam amino, lignin dan sebagainya. Selain jenis-
jenis bahan organik tersebut, limbah organik juga mengandung bahan-bahan
organik sintesis yang toksik. Beberapa contoh bahan organik yang bersifat toksik
terhadap organisme akuatik adalah pestisida, surfaktan, PCB, polisiklik aromatik
hidrokarbon (PAH) dan fenol. Berbeda dengan limbah organik alami yang relatif
mudah diuraikan secara biologis, senyawa organik sintesis pada umumnya tidak
dapat diuraikan secara biologis. Senyawa organik sintesis juga bersifat persisten
atau bertahan dalam waktu yang lama di dalam badan air serta bersifat kumulatif.
2.3 Minyak Bumi dan Hidrokarbon
Kehidupan manusia di zaman modern ini tidak dapat dibayangkan tanpa
minyak bumi. Dewasa ini minyak bumi, termasuk gas alam merupakan sumber
utama energi dunia (meliputi 65.5% dari konsumsi energi dunia), disusul oleh
batubara (23.5%), tenaga air (6%) serta sumber-sumber lainnya. Menurut
Soepanan, (2002) minyak bumi adalah suatu campuran kompleks yang terjadi
secara alamiah yang terutama terdiri dari senyawa hidrokarbon dan senyawa-
senyawa lainnya seperti belerang, nitrogen dan oksigen. Minyak bumi terbentuk
dari pelapukan tumbuhan, hewan, dan jasad-jasad renik yang tertimbun di dalam
lapisan kerak bumi selama berjuta-juta tahun. Oleh karena itu, minyak bumi
bersama gas alam dan batubara disebut sebagai bahan bakar fosil.
9
Minyak bumi memiliki densitas yang lebih ringan dari pada air laut sehingga
akan terapung dan mudah menyebar keseluruh perairan. Penyebaran ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain angin, arus, penguapan, biodegradasi
dan sebagainya. Minyak tersebar di perairan dalam bentuk lapisan film yang tipis
yang terdapat di permukaan, emulsi, dan fraksi terserap. Di perairan interaksi dari
bentuk minyak ini sangat kompleks, dipengaruhi oleh penguapan, tekanan
permukaan, dan kelarutan. Penguapan merupakan proses yang penting dalam
tumpahan minyak bumi karena hampir seluruh atom C kurang dari 15 akan
teruapkan dari permukaan laut, sedangkan jumlah atom C diatas 15 akan sulit
menguap dan selanjutnya akan mengendap membentuk sedimen (National
Academic Of Science dalam Sarni, 2002). Pada proses degradasi minyak bumi
tidak terurai secara sempurna hanya beberapa konstituen minyak saja yang dapat
terdegradasi. Mikroorganisme hanya mampu mendegradasi hidrokarbon jenis n-
alkana, alkana bercabang, sikloalkana dan aromatik dengan cincin sedikit.
Hidrokarbon petroleum termasuk polutan. Minyak mentah mengandung
ratusan macam senyawa organik dengan sifat toksik yang bervariasi, mulai dari
yang bersifat mudah menguap hingga tak mudah menguap, yang bersifat mudah
larut hingga tidak larut, dan yang bersifat persisten hingga mudah terurai. Air
yang diperuntukkan bagi keperluan domestik sebaiknya bebas dari kandungan
minyak dan lemak karena air dengan petroleum tinggi menimbulkan rasa dan bau
yang tidak enak.
Hidrokarbon dalam minyak bumi dibedakan atas tiga katagori yakni n-
alkana, sikloalkana, dan aromatik. N-alkana dengan rumus CnH2n+2 (alifatik),
contohnya n-heptana, isooktana, heksana, metil-oktana dan sebagainya, golongan
sikloalkana meliputi sikloheksana, metil-sikloheksana, propil-sikloheksana dan
lain-lain. Sedangkan golongan aromatik terdiri dari aromatik satu cincin dan
aromatik lebih dari satu cincin, contohnya benzena, toluena, etil-benzena,
nafthalene (C10), dimetil-nafthalene (C11 dan C12), fluorene (C13), metil-fluorene
(C14), anthracene (C14), metil-penanthrene (C15), fluoranthene (C16),
benzo(a)pirene (C20).
10
Tabel 2.1 Fraksi Minyak Bumi
Fraksi minyak bumi Jumlah atom C Titik didih
Gas alam (LNG)
Elpiji (LPG)
Petroleum eter
Bensin
Nafta
Kerosin (minyak tanah)
Solar
Minyak pelumas
Vaselin dan lilin
Aspal
C1-C2
C3-C4
C5-C6
C7-C8
C9-C10
C11-C13
C14-C16
C17-C20
C21-C24
C36 dst
-160oC - -88
oC
-40oC – 0
oC
20oC – 70
oC
70oC – 140
oC
140oC – 180
oC
180oC – 250
oC
250oC – 350
oC
Di atas 350oC
Sumber : Minyak Bumi, Wikipedia (2008)
2.4 Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)
Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) merupakan hidrokarbon yang
mengandung lebih dari satu cincin aromatik dalam satu molekul, misalnya
phenanthrene, benzo-A-antracene, benzo-A-pyrene dan sebagainya yang termasuk
dalam bahan-bahan berbahaya karena bersifat karsinogenik. PAH dikelompokkan
menjadi dua, yaitu PAH dengan bobot molekul rendah yang berupa senyawa
dengan cincin aromatik ≤ 3 dan PAH dengan bobot molekul tinggi yang berupa
senyawa dengan cincin aromatik > 3. PAH dengan bobot molekul rendah lebih
mudah didegradasi secara biologis dibandingkan PAH dengan bobot molekul
tinggi. Selain itu PAH dengan bobot molekul rendah bersifat lebih mudah larut
dan mudah menguap, dibandingkan PAH dengan bobot molekul tinggi yang
bersifat hidrofobik dan memiliki daya larut rendah.
Jenis PAH yang biasa terdapat di perairan adalah PAH naphthalene,
anthracene, benzoanthracene dan benzopyrene. PAH cenderung berasosiasi
(berikatan) dengan bahan organik dan anorganik tersuspensi sehingga banyak
terdapat pada sedimen dasar. PAH dihasilkan oleh pembakaran bahan organik dan
bahan bakar fosil yang tidak sempurna. Senyawa ini juga terdapat dalam gas
cerobong asap dan aktivitas gunung berapi. Effendi, (2003) mengemukakan
bahwa PAH digunakan pada bahan bakar kendaraan, oli, aspal dan bahan
pengawet kayu. Keberadaan PAH di perairan juga disebabkan oleh sumber
antropogenik (aktivitas manusia) berupa penggunaan bahan bakar dan petroleum.
Tabel 2.2 menunjukkan beberapa jenis PAH dan bobot melekulnya.
11
Tabel 2.2 Beberapa Jenis PAH dan Bobot Molekulnya
Jenis PAH Bobot molekul Jumlah Cincin
Nafthalene
Acenafthylene
Acenafthene
Fluorene
Antracene
Fenanthrene
Fluoranthene
Pyrene
Benzo(a)antracene
Chrysene
Benzo(b)fluoranthene
Benzo(a)pyrene
Benzo(e)perylene
Dibenzo(b)chrycene
Coronene
128.2
152.2
154.2
170.0
178.2
178.2
202.2
202.2
228.3
228.3
252.3
252.3
276.3
278.4
302.4
2
2
2
3
3
3
4
4
4
4
5
5
5
6
6
Keberadaan minyak bumi di laut terjadi karena banyaknya pengeboran lepas
pantai yang berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran laut serta kebocoran
yang terjadi pada kapal tangker pengangkut minyak bumi. Sedangkan penggunaan
bahan bakar berasal dari transportasi laut yang menggunakan kendaraan yang
menghasilkan partikel-partikel kecil hasil pembakarannya.
Pencemaran lingkungan oleh senyawa PAH terus mengalami peningkatan
dan akan menimbulkan dampak yang berarti bagi kesehatan organisme hidup.
Adanya PAH di laut menyebabkan akan mengganggu kehidupan organisme di
dalam air karena menghalangi difusi oksigen dari udara ke dalam air dan
menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air. Selain itu air yang tercemar
oleh PAH juga tidak dapat dikonsumsi oleh manusia karena terdapat zat-zat
beracun seperti senyawa phenantrene, dan fluoranthene (Wardhana, 1995).
Limbah PAH di lingkungan perairan berasal dari berbagai sumber dan dapat
terdiri atas berbagai jenis salah satunya yaitu minyak, khususnya pencemaran oleh
produk minyak bumi (Mulyono, 1991). Produk minyak bumi antara lain adalah
minyak tanah, minyak solar dan minyak pelumas.
Hidrokarbon petroleum pada perairan laut ditemukan dalam bentuk minyak
mengapung, minyak emulsi, atau fraksi yang terlarut dalam air. Minyak yang
mengapung dapat menghambat proses difusi udara dan proses fotosintesis,
mencegah respirasi, serta mengganggu kehidupan burung dan mamalia laut.
12
Emulsi minyak dapat mengganggu fungsi insang melalui penempelan pada epitel
insang dan menutupi seluruh permukaan sel algae maupun zooplankton. Minyak
yang mengendap di dasar perairan dapat menutupi permukaan tubuh organisme
bentos. Fraksi minyak terlarut dalam air, khususnya hidrokarbon aromatik bersifat
sangat toksik bagi ikan dan organisme akuatik lainnya.
2.5 Sumber Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) di Laut
Secara umum hidrokarbon yang berada di lautan berasal dari dua sumber
yakni hidrokarbon alamiah dan hidrokarbon antropogenik. Hidrokarbon
antropogenik merupakan hidrokarbon yang sangat kompleks dengan struktur yang
besar dan bervariasi, komposisi aromatik dan sikloalkananya banyak serta
berasosiasi dengan logam. Sumber hidrokarbon antropogenik di laut ini antara lain
berasal dari beberapa operasi kapal, docking (perbaikan/perawatan kapal),
kecelakaan kapal tanker, dan bangunan lepas pantai (Mulyono, 1992).
Sedangkan hidrokarbon alamiah adalah hidrokarbon yang berasal dari alam
yang mana hidrokarbon ini biasanya sedikit deret homolognya, sederhana
komponen penyusunnya, tidak berasosiasi dengan logam, dan komposisi aromatik
dan sikloalkananya kurang. Hidrokarbon ini dibedakan atas sumber biogenik,
pirolitik, diagenetik dan geokimia. Hidrokarbon biogenik adalah hidrokarbon
yang dihasilkan dari metabolisme dan sintesa oleh mikroorganisme. Hidrokarbon
ini dilepas ke dalam lingkungan laut dengan cara ekskresi organisme hidup
melalui dekomposisi organisme mati. Contohnya plankton dan beberapa jenis ikan
lainnya.
Hidrokarbon pirolitik merupakan hidrokarbon hasil pembakaran hutan
maupun bahan bakar minyak yang terbawa ke udara berupa partikel-partikel kecil
yang kemudian masuk ke lingkungan laut. Hidrokarbon diagenetik adalah
hidrokarbon yang berasal dari proses kimia dan sedimen di laut dalam jangka
waktu yang pendek. Sedangkan hidrokarbon geokimia yaitu hidrokarbon yang
terjadi karena proses geologi yang berlangsung berjuta-juta tahun di bawah
permukaan tanah maupun laut seperti penyusunan minyak.
13
Tabel 2.3 Estimasi Tumpahan Senyawa Hidrokarbon Minyak Bumi
ke Lingkungan Laut
Sumber Juta/tahun Persentase (%)
Rembesan geologi 0.6 9.8
Produksi lepas pantai 0.08 1.3
Transportasi
Tanker
Drydocking
Operasi terminal
Kebocoran
1.08
0.25
0.003
0.5
17.7
4.0
0.1
8.2
Kecelakaan
Tanker lain-lain
Refinary
Atmosfer
Limbah industri, rumah tangga, sungai
dan lainnya
0.2
0.1
0.2
0.6
2.5
3.2
1.6
3.3
9.9
40.8
Total 6.113 100
Sumber : National Academic of Sciense dalam Edward dan Taringan, 1997.
2.6 Kromatografi Gas (KG)
Kromatografi adalah suatu metoda pemisahan dimana komponen-komponen
yang akan dipisahkan terdistribusi di antara 2 fase yang tidak saling bercampur
yaitu fase diam dan fase gerak. Fase gerak yang berupa gas atau cairan yang
dialirkan melalui kolom akan membawa campuran tadi. Proses yang terjadi adalah
absorpsi yang berulang kali dari komponen yang akan dipisah pada fase gerak dan
fase diam. Pemisahan terjadi karena adanya perbedaan kecepatan migrasi dari
masing-masing komponen yang didasarkan pada perbedaan nilai koefisien
distribusi dari komponen tersebut di antara dua fase (fase gerak dan fase diam).
Setiap komponen dari suatu campuran akan berinteraksi secara berbeda
dengan fase diam dan fase gerak. Oleh karena itu setiap komponen akan terelusi
keluar dengan waktu yang berbeda. Apabila konsentrasi masing-masing
komponen dalam fase disesuaikan terhadap banyaknya fase gerak (mL) yang
dibutuhkan untuk membawa keluar komponen dari kolom, maka akan diperoleh
kurva yang disebut kromatogram.
Volume fase gerak yang diperlukan untuk mencapai puncak maksimum
pada kromatogram disebut volume retensi (Vr), yang merupakan kisaran spesifik
bagi setiap komponen. Jadi volume retensi dapat digunakan untuk
mengidentifikasi secara kualitatif. Oleh karena pada alat kromatografi aliran fase
gerak dapat dikontrol secara tepat maka volume retensi (Vr) dapat dikonversikan
14
pada satuan waktu yang disebut waktu retensi (tr). Luas permukaan setiap puncak
sebanding dengan banyaknya tiap-tiap komponen dan perhitungan luas puncak
dapat digunakan sebagai analisa kuantitatif.
Pada proses pemisahan secara kromatografi, contoh harus berada dalam fase
gas. Senyawa berupa larutan harus diubah menjadi gas sehingga diperlukan
temperatur yang tinggi pada bagian penyuntikan, kolom dan juga detektor. Fase
gerak digunakan yaitu gas yang bersifat inert misalnya helium dan nitrogen. Fase
gerak ini akan membawa senyawa contoh melalui fase diam yang berada dalam
kolom.
Dengan bantuan fase gerak, senyawa contoh diteruskan ke dalam kolom dan
akhirnya ke detektor. Selama dalam kolom terjadi proses yaitu pada suatu suhu
tertentu dengan kecepatan arus yang konstan, senyawa contoh akan dielusi oleh
fase gerak dengan waktu karakteristik (waktu retensi).
Gambar 2.1 Bagan Kromatografi Gas
III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Negeri
Papua dan di Laboratorium Organik Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta,
serta berlangsung selama 2 bulan yaitu dari bulan Juli hingga Agustus 2008.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel air, sedimen, silika
gel 60 MERCK, alumina, kertas saring, glass woll, aquades, Na2SO4 anhidrous,
raksa (II) klorida, sikloheksana, pentana, dan diklorometana. Semua pelarut yang
digunakan dalam penelitian ini tipe pro analisis, p.a. Silika gel dan alumina untuk
kolom kromatografi diaktifkan dalam oven pada suhu 120oC selama 8 jam dan
dibilas dengan pelarut sebelum digunakan.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat peralatan gelas
laboratorium, oven, pemanas, neraca analitik, cawan porselin, seperangkat alat
ekstraksi, termometer, refraktometer, corong pisah, kolom fraksinasi,
Kromatografi Gas (KG), dan penyaring millipore model Nylon Acrodisc 0,45 m.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Pengambilan dan Preparasi Sampel
Pengambilan sampel dilakukan di empat stasiun sebagai berikut :
Stasiun A terletak di Galangan Kapal AL
Stasiun B terletak di Pelabuhan Perikanan Sanggeng
Stasiun C terletak di Pelabuhan Pelni
Stasiun D terletak di belakang Pulau Lemon
Pada tiap lokasi ditentukan pula 3 titik sampling, dimana jarak tiap titik
sampling pada stasiun A ± 7 m, stasiun B ± 7 m, stasiun C ± 20 m dan stasiun D ±
7 m. Pengambilan sampel air laut dilakukan dengan metode komposit, yaitu
sampel air diambil pada bagian permukaan, pertengahan dan dekat dasar perairan.
Sampel diambil dengan menggunakan alat kemmerer water sampler dengan cara
16
alat dalam posisi terbuka dimasukkan tegak lurus ke dalam perairan sampai pada
kedalaman yang dikehendaki, kemudian dengan meluncurkan pemberat sehingga
kedua tutup karet dikedua ujung tabung tersebut akan menutup. Sampel
selanjutnya digabungkan dan dimasukkan ke dalam wadah steril, kemudian
ditambahkan raksa (II) klorida untuk menghambat aktivitas mikroorganisme dan
disimpan pada suhu 4oC. Sampel sedimen diambil dengan menggunakan ekmen
grab dengan kedalaman 0-5 cm dari permukaan sedimen. Sampel diambil kurang
lebih 200 gram kemudian disimpan dalam wadah yang ditutupi dengan
alumunium foil dan disimpan dalam ice box. Untuk pengukuran suhu, salinitas,
kecerahan, pH dan DO air dilakukan langsung dimasing-masing lokasi (in situ).
3.3.2 Penentuan Kadar Air pada Sedimen
Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat sampel sebelum dan
sesudah dikeringkan. Cawan porselin yang akan digunakan dikeringkan dalam
oven terlebih dahulu ± 1 jam pada suhu 105oC, lalu dinginkan dalam desikator
selama 30 menit dan timbang hingga beratnya tetap. Sampel ditimbang sebanyak
10 gram dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu
105oC selama 24 jam. Cawan yang berisi sampel tersebut kemudian didinginkan
di dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang hingga beratnya tetap. Kadar
air dihitung dengan rumus :
Dimana : A = Bobot cawan dan sampel sebelum pengeringan
B = Bobot cawan dan sampel setelah pengeringan
C = Bobot sampel
3.3.3 Ekstraksi
Sebelum ekstraksi sampel air terlebih dahulu disaring dengan millipore.
PAH pada air diperoleh dengan cara, sampel air sebanyak 400 mL direfluks
selama 3-4 jam dengan 100 mL sikloheksana. Setelah itu sampel didinginkan pada
suhu kamar dan dimasukkan ke dalam corong pisah, kemudian dilakukan
Kadar Air (%) = C
BA X 100%
17
pemisahan antara fase organik dan air. Ekstrak yang diperoleh ditambahkan
Na2SO4 anhidrous untuk menghilangkan kadar air. Selanjutnya pelarut dalam
ekstrak diuapkan dengan water bath sampai diperoleh 2-3 mL ekstrak.
Sampel sedimen ditimbang sebanyak 40 gram berat basah tambahkan
Na2SO4 anhidrous dan digerus halus sampai agak kering. Kemudian dimasukkan
ke dalam soklet dan ekstrak selama ± 8 jam dengan 150 mL diklorometana.
Selanjutnya pelarut dalam ekstrak diuapkan sampai diperoleh 2-3 mL ekstrak.
3.3.4 Pembersihan Ekstrak dengan Metode Kolom Kromatografi (Grave and
Grevenstuk dalam Muchtar, 1992)
Pembersihan ekstrak dilakukan dengan menggunakan kolom kromatografi
yang panjangnya 12 cm, diameter 6 mm, dengan menggunakan alumina yang
telah diaktivasi. Alumina yang telah disiapkan dimasukkan ± 2 gram ke dalam
kolom, kolom tersebut diatur sampai homogen dengan cara mengetuk dinding
kolom. Selanjutnya kolom dielusi dengan 10 mL diklorometana dan 10 mL n-
pentana sebagai pembilas. Kemudian 1 mL sampel dimasukkan dengan pipet ke
dalam kolom dan bilas bekas sampel dengan 1 mL n-pentana lalu dimasukkan ke
dalam kolom. Selanjutnya ditambahkan 10 mL 4% diklorometana dalam n-
pentana, penambahan ini harus menunggu sampai pelarut yang ada dalam kolom
berada pada batas alumina. Hasilnya ditampung dan pelarut diuapkan sampai 1
mL.
3.3.5 Fraksionasi dengan Metode Kolom Kromatografi (Holden and Marsden
dalam Muchtar, 1992)
Fraksionasi dilakukan dengan menggunakan kolom kromatografi yang
panjangnya 12 cm, diameter 6 mm, dengan menggunakan silika gel yang telah
diaktivasi. Silika gel yang telah disiapkan dimasukkan ± 2 gram ke dalam kolom,
kolom tersebut diatur sampai homogen dengan cara mengetuk dinding kolom.
Selanjutnya kolom dielusi dengan 10 mL diklorometana dan 10 mL n-pentana
sebagai pembilas. Kemudian 1 mL sampel dimasukkan dengan pipet ke dalam
kolom untuk mendapatkan dua fraksi. Fraksi alifatik hidrokarbon dielusi dengan
n-pentana (10 mL) dan tampung sebagai F1, dan fraksi aromatik diperoleh dengan
18
mengelusi 15 mL campuran 10% diklorometana dalam n-pentana dan tampung
sebagai F2. Fraksi F2 diuapkan sampai volume ± 1 mL, selanjutnya F2
dimasukkan ke dalam tabung injeksi dan tepatkan 1 mL dengan penambahan n-
heksana kemudian sampel siap diinjeksi ke dalam kromatografi gas.
3.3.6 Analisis PAH dengan Kromatografi Gas (Duinker and Hillebrand
dalam Muchtar, 1992)
Kondisi alat kromatografi gas yang digunakan untuk PAH jenis alat
Hewlett-Packard 5890 series II dengan detektor FID (flame ionisation detector)
serta automatic sampler. Kolom yang digunakan adalah kolom kapiler-fused silica
(WCOT- 25 m x 0,25 mm i.d x 0,25 μm). Suhu oven 60oC (waktu awal 2 menit)
dinaikkan 180oC dengan laju peningkatan suhu 10
oC/menit, kemudian didiamkan
selama 3 menit, suhu dinaikkan 220oC – 270
oC laju peningkatan 4
oC/menit. Suhu
injektor 240oC dan suhu detektor 325
oC dengan gas pembawa helium 29 cm/sec
serta volume injek 1 μL. Sebelum analisis standar relevan dialirkan terlebih
dahulu sebagai identifikasi dan kuantifikasi terhadap sampel yang diperoleh. Hasil
fraksinasi kemudian siap diinjeksikan ke alat kromatografi gas yang telah
dikondisikan. Analisis kuantitatif PAH dilakukan dengan menggunakan
perhitungan sebagai berikut :
3.3.7 Analisis Data
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Sedangkan
untuk mengetahui bentuk dan keeratan hubungan antara kandungan PAH dalam
air dan sedimen, maka data yang diperoleh dianalisis dengan analisis regresi
menggunakan SPSS 13.
Kadar sampel = Luas peak sampel x konsentrasi standar x multifaktorial
Luas peak standar
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis dan kandungan senyawa
polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) pada air dan sedimen di beberapa lokasi
perairan teluk Doreri, yang pengambilan sampelnya dilakukan pada saat air
pasang. Hasil pengukuran menggunakan kromatografi gas terdeteksi senyawa-
senyawa PAH seperti: Me-naphthalene, acenaphthylene, acenaphthene, fluorene,
phenanthrene, anthracene, fluoranthene, pyrene, benzo-A-anthracene, chrysene
dan benzo-B-fluoranthene. Selain dilakukan pengukuran terhadap PAH pada air
dan sedimen juga dilakukan pengukuran beberapa parameter sekunder diantaranya
suhu, kecerahan, salinitas, pH, dan DO. Tabel 4.1 menunjukkan bahwa parameter-
parameter tersebut masih baik bagi kehidupan organisme perairan pada umumnya.
Tabel 4.1 Parameter Sekunder Air
Lokasi Stasiun A Stasiun B Stasiun C Stasiun D
Koordinat LS 00o 52' 10.9" 00
o 51' 57.58" 00
o 52' 0.10" 00
o 52’ 5.56”
LU 134o 04' 10.2" 134
o 04' 10.2" 134
o 04' 20.3" 135
o 04’ 31.3”
Suhu oC 28 29 28 30
Kecerahan (m) 6 6 6 7
Salinitas (o/oo) 30 31 30 33
pH 7 8 8 8
DO (mg/L) 6 7 7 7.5 Ket : Stasiun A : Galangan Kapal AL
Stasiun B : Pelabuhan Perikanan Sanggeng
Stasiun C : Pelabuhan Pelni
Stasiun D : Belakang Pulau Lemon
Suhu air pada keempat sampel stasiun pengamatan di perairan teluk Doreri
selama penelitian yaitu berkisar 28 – 30oC. Suhu merupakan salah satu faktor
yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran
organisme. Suhu perairan dapat mempengaruhi keberadaan dan sifat bahan
tercemar. Tingginya intensitas penyinaran matahari, menyebabkan tingginya
tingkat penyerapan panas ke dalam perairan. Derajat keasaman (pH) sangat
penting sebagai parameter kualitas air karena parameter ini mengontrol tipe dan
laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Nilai pH perairan teluk Doreri
berkisar antara 7 - 8. Sedangkan kisaran salinitas yang diperoleh 30 – 33 0/00.
20
Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan. Oksigen
terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam
perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh
organisme untuk tumbuh dan berkembangbiak, DO pada lokasi penelitian berkisar
6 –7.5 mg/L.
4.1 Kandungan PAH pada Air
Hasil kuantifikasi sampel air menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi
PAH pada masing-masing stasiun. Kandungan PAH pada masing-masing stasiun
di tunjukkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Kandungan PAH pada Air
NO JENIS PAH KONSENTRASI (ppb)
Stasiun A Stasiun B Stasiun C Stasiun D
1 Me-Naphthalene 0.0039 0.0016 0.1386 TT
2 Acenaphthylene 0.0022 0.0009 0.0701 TT
3 Acenaphthene TT 0.0033 0.1596 TT
4 Fluorene 0.0028 TT 0.0633 TT
5 Phenanthrene 0.0022 TT 0.0209 TT
6 Anthracene TT TT 0.0005 TT
7 Fluoranthene 0.0018 TT 0.0418 TT
8 Pyrene TT TT 0.0009 TT
9 Benzo-A-Anthracene 0.0213 TT 0.0098 TT
10 Chrysene TT TT TT TT
11 Benzo-B-Fluoranthene 0.0054 TT TT TT
12 Benzo-K-Fluoranthene TT TT TT TT
13 Benzo-A-Pyrene TT TT TT TT
14 Indeno-123-cd-Pyrene TT TT TT TT
15 Dibenzo-AH-Anthracene TT TT TT TT
Σ PAH 0.0396 0.0058 0.5055 - Ket : TT : Tidak Terdeteksi
Stasiun A : Galangan Kapal AL
Stasiun B : Pelabuhan Perikanan Sanggeng Stasiun C : Pelabuhan Pelni
Stasiun D : Belakang Pulau Lemon
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada stasiun A terdapat tujuh jenis PAH
yaitu Me-naphthalene, acenaphthylene, fluorene, phenanthrene, fluoranthene,
benzo-A-anthracene, dan benzo-B-fluoranthene, dengan kandungan PAH tertinggi
terdapat pada jenis benzo-B-fluoranthene. Pada stasiun B terdapat tiga jenis PAH
21
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0.18
Me-Napt Acthy Acen Fluor Phen Antra Fluorth Pyr BaA Cry BbF
Jenis PAH
Ko
nsen
trasi
(pp
b)
SA
SB
SC
SD
yaitu Me-napthalene, acenaphthylene dan acenaphthene, dengan kandungan PAH
tertinggi terdapat pada jenis acenaphthene. Stasiun C terdapat sembilan jenis PAH
yaitu Me-naphthalene, acenaphthylene, acenaphthene, fluorene, phenanthrene,
anthracene, fluoranthene, pyrene dan benzo-B-fluoranthene, dengan kandungan
PAH tertinggi terdapat pada jenis acenaphthene. Sedangkan pada stasiun D tidak
ditemukan adanya senyawa PAH. Hasil analisis PAH pada air, menunjukkan
bahwa kandungan PAH berkisar 0.0005 - 0.1596 ppb untuk semua stasiun.
Dengan total PAH pada stasiun A sebesar 0.0396 ppb, stasiun B sebesar 0.0058
ppb, dan stasiun C sebesar 0.5055 ppb. Nilai yang diperoleh ini masih jauh di
bawah batas ambang yang diijinkan oleh Menteri Lingkungan Hidup untuk air
laut bagi kehidupan biota laut yaitu 3 ppb.
Gambar 4.1 Penyebaran Jenis-jenis PAH pada Air dari Keempat Stasiun
Berdasarkan penyebarannya terlihat bahwa pada umumnya jenis PAH Me-
napththalene, acenaphthylene, acenaphthene, fluorene, phenanthrene, anthracene,
fluoranthene, dan pyrene terbesar terdapat pada stasiun C. Sedangkan jenis
senyawa benzo-A-antracene dan benzo-B-fluorantene terbesar terdapat pada
stasiun A.
Pada stasiun D jenis senyawa PAH tidak terdeteksi, selain karena di lokasi
tersebut belum banyak terdapat aktivitas manusia, kondisi perairan pesisir dan laut
menyebabkan bahan pencemar akan terencerkan dan tersebar oleh adukan
turbulensi dan arus laut. Berdasarkan data yang diperoleh di atas bahan pencemar
22
PAH di pesisir mempunyai nilai yang rendah dan belum melewati batas ambang,
sehingga pencemaran PAH di sekitar teluk Doreri belum terjadi hal ini
menyebabkan bahan pencemar yang terbawa keluar teluk Doreri di sekitar pulau
Lemon tidak terdapat senyawa PAH. Dimana arus kuat terjadi pada bagian yang
dalam, di batas terbuka timur dan batas terbuka selatan, serta pada bagian yang
mengalami penyempitan antara pulau Lemon dan Mansinam sehingga bahan
pencemar bisa terencerkan. Pola sirkulasi arus di dalam sistem teluk Doreri
mengikuti pola elevasi muka laut yaitu dipengaruhi oleh gelombang pasang surut.
Secara garis besar pergerakan arus ketika massa air memasuki pantai melewati
pantai Kwawi hingga memasuki tanjung Sanggeng dan bergerak ke arah
pelabuhan Pertamina, kemudian massa air berputar keluar perairan laut lepas ke
arah selatan. Ketika angin dari selatan massa air masuk dari rendani menuju pantai
mendekati tanjung Sanggeng, kemudian ke luar ke arah timur pantai Kwawi.
Dengan posisi yang cukup terlindung dari arus kuat yaitu pada galangan
Fasharkan dimana letak perairan ini mengalami penyempitan ke arah dalam teluk
sehingga sirkulasi arus yang masuk kecil (Suhaemi, 2006). Ini berarti melalui
pergerakan arus yang terjadi pada beberapa perairan teluk Doreri dapat
menyebabkan bahan pencemar tersebut tidak menetap dan terpencar mengikuti
pergerakannya. Hal ini yang dapat menyebabkan penyebaran PAH pada air kecil
selain bersifat volatil penyebarannya sangat dipengaruhi oleh topografi dan
sirkulasi arus di perairan, sehingga bahan pencemar dapat terbawa arus ataupun
mengalami sedimentasi.
Keberadaan PAH dalam air terutama yang berasal dari
pembuangan/tumpahan minyak dapat dilihat secara fisik dari terbentuknya emulsi
di permukaan air laut. Minyak yang membentuk lapisan di permukaan air laut
akan mengganggu organisme yang hidup di bawahnya. Selain menghalangi difusi
oksigen ke dalam air, juga menghambat proses fotosintesis karena terhalangnya
cahaya matahari masuk ke dalam air. Akibat jangka pendek dari pencemaran PAH
antara lain adalah bahwa molekul-molekul hidrokarbon minyak dapat merusak
membran sel biota laut, mengakibatkan keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya
bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan
23
berbau minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak akan
menyebabkan kematian pada ikan disebabkan kekurangan oksigen, keracunan
karbon dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya. Sedangkan
akibat jangka panjang dari pencemaran PAH adalah terutama bagi biota laut yang
masih muda. PAH di dalam laut dapat termakan oleh biota-biota laut. Sebagian
senyawa PAH dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi
dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat
dipindahkan dari organisme satu ke organisme lain melalui rantai makanan. Jadi,
akumulasi PAH di dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya.
Demikian seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-
hewan laut lainnya, dan bahkan manusia.
4.2 Kandungan PAH pada Sedimen
Kandungan PAH pada sedimen menunjukkan adanya perbedaan pada
masing-masing stasiun. Hasil kuantifikasi PAH pada sedimen ditunjukkan pada
Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Kandungan PAH pada Sedimen
NO JENIS PAH KONSENTRASI (ppb)
Stasiun A Stasiun B Stasiun C Stasiun D
1 Me-Naphthalene 0.1929 0.2083 0.9781 TT
2 Acenaphthylene 0.1725 0.1361 1.4046 TT
3 Acenaphthalene 0.2308 0.2035 1.3292 TT
4 Fluorene 0.0146 0.1174 1.4836 TT
5 Phenanthrene 1.2386 1.0103 0.1758 TT
6 Anthracene 0.0784 0.0226 TT TT
7 Fluoranthene 0.4799 0.0044 0.0646 TT
8 Pyrene 1.4043 0.1544 0.0811 TT
9 Benzo-A-Anthracene 0.1599 0.0504 0.3418 TT
10 Chrysene 0.0073 0.0179 TT TT
11 Benzo-B-Fluoranthene 0.0025 0.2666 0.0233 TT
12 Benzo-K-Fluoranthene TT TT TT TT
13 Benzo-A-Pyrene TT TT TT TT
14 Indeno-123-cd-Pyrene TT TT TT TT
15 Dibenzo-AH-Anthracene TT TT TT TT
Σ PAH 3.9817 2.1919 5.8821 - Ket : TT : Tidak Terdeteksi
Stasiun A : Galangan Kapal AL
Stasiun B : Pelabuhan Perikanan Sanggeng Stasiun C : Pelabuhan Pelni
Stasiun D : Belakang Pulau Lemon
24
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa pada stasiun A terdapat sebelas jenis PAH
yaitu Me-naphthalene, acenaphthylene, acenaphthene, fluorene, phenanthrene,
anthracene, fluoranthene, pyrene, benzo-A-anthracene, chrysene dan benzo-B-
fluoranthene, dengan kandungan tertinggi adalah jenis pyrene. Pada stasiun B
terdapat sebelas jenis PAH yaitu Me-naphthalene, acenaphthylene, acenaphthene,
fluorene, phenanthrene, anthracene, fluoranthene, pyrene, benzo-A-anthracene,
chrysene dan benzo-B-fluoranthene, kandungan PAH tertinggi pada jenis
phenantrene. Pada stasiun C diperoleh sembilan jenis PAH yaitu Me-naphthalene,
acenaphthylene, acenaphthene, fluorene, phenanthrene, fluoranthene, pyrene,
benzo-A-anthracene, dan benzo-B-fluoranthene, dengan kandungan PAH tertinggi
adalah jenis fluorene. Sedangkan pada stasiun D tidak ditemukan adanya senyawa
PAH. Kandungan PAH pada sedimen berkisar 0.0044 - 1.4836 ppb untuk semua
stasiun, dengan PAH tertinggi terdapat pada stasiun C yaitu sebesar 5.8821 ppb,
kemudian stasiun A sebesar 3.9817 ppb, dan stasiun B sebesar 2.1919 ppb.
Apabila dibandingkan dengan standar kualitas air oleh kementerian lingkungan
hidup (Ministry of Environment, 1999) untuk sedimen yaitu 7 ppb, maka dapat
dikatakan bahwa kandungan PAH dalam sedimen pada perairan tersebut masih di
bawah batas ambang yang diperbolehkan.
Kandungan PAH yang tinggi pada stasiun C berkaitan dengan tingginya
kandungan PAH pada air, dimana PAH yang ada dalam air akan mengalami
pengendapan atau sedimentasi di dasar perairan. Selain itu lokasi ini merupakan
tempat pelabuhan Pelni dimana sumber pencemar dapat berasal dari aktivitas
transportasi laut, berupa buangan dan proses di kapal serta tumpahan yang
dihasilkan mesin-mesin yang menggunakan minyak bumi sebagai penggerak
motornya. Stasiun A menempati urutan kedua, stasiun ini merupakan tempat
galangan kapal dan dekat dengan PLTU, Law R.J et., al (1997) menyatakan PAH
dapat berasal dari proses industri kapal, bahan bakar kendaraan, dan limbah
PLTD-PLTU. Stasiun B menempati urutan ketiga, pada daerah ini selain
merupakan tempat perikanan nelayan tradisional, aktivitas pasar ikan di sekitarnya
turut mempengaruhi keberadaan pencemar karena menghasilkan limbah organik.
25
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
Me-Napt Acthy Acen Fluor Phen Antra Fluorth Pyr BaA Cry BbF
Jenis PAH
Ko
nsen
trasi
(pp
b)
SA
SB
SC
SD
Muchtar (1992), menyatakan aktivitas pasar dan pemukiman turut menghasilkan
senyawa PAH dalam perairan.
Tingginya kandungan PAH pada sedimen disebabkan sifat PAH yang tidak
menguap akan mengendap membentuk sedimen. Selain itu PAH pada perairan
juga cenderung berasosiasi dengan bahan-bahan anorganik maupun padatan
tersuspensi sehingga mengendap di dasar perairan (Effendi, 2003). Secara garis
besar penyebaran PAH di perairan dapat bertahan lama dan secara bertahap dapat
terjadi sedimentasi atau terdampar di pantai. Sedimentasi ini diakibatkan karena
bahan pencemar tidak dapat larut dalam air laut dan terbentuk emulsi dengan air
sehingga menjadi berat dan tenggelam ke dasar perairan, hal ini yang
menyebabkan PAH banyak terdapat pada sedimen dasar. Penurunan tingkat
pencemaran PAH oleh mikroorganisme dapat berjalan, meskipun dalam waktu
yang lama. PAH yang akan mengendap di dasar perairan dapat mengganggu
pertumbuhan ikan maupun reproduksi serta dapat menutupi zooplankton.
Gambar 4.2 Penyebaran Jenis-jenis PAH pada Sedimen dari Keempat Stasiun
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa penyebaran PAH dalam sedimen pada
umumnya didominasi oleh stasiun C dengan jenis PAH yaitu Me-napthalene,
acenapthylene, acenapthene, fluorene, dan benzo-A-antracene. Jenis senyawa
PAH phenentrene, antracene, fluoranthene, dan pyrene terbesar terdapat pada
stasiun A. Sedangkan jenis senyawa PAH crysene dan benzo-B-fluorantene
26
terbesar terdapat pada stasiun B. Pada stasiun D tidak ditemukan adanya senyawa
PAH.
Tabel 4.4 Kadar Air pada Sedimen
Lokasi Kadar air (%)
Stasiun A 40.12
Stasiun B 52.22
Stasiun C 56.90
Stasiun D 44.05 Ket : Stasiun A : Galangan Kapal AL
Stasiun B : Pelabuhan Perikanan Sanggeng Stasiun C : Pelabuhan Pelni
Stasiun D : Belakang Pulau Lemon
Akumulasi senyawa PAH ke dalam sedimen dipengaruhi oleh jenis sedimen,
yaitu ukuran besar kecilnya partikel penyusun sedimen. Berdasarkan data hasil
pengukuran kadar air dalam sedimen (Tabel 4.4), pada stasiun C memiliki kadar
air tertinggi 56.90% dengan tipe sedimen lumpur, stasiun B 52.22% lumpur
dengan sedikit pasir, stasiun C 40.12% berupa lumpur dengan sedikit pasir dan
stasiun D 44.05% berupa lumpur berpasir. Sedimen di ketiga lokasi pengamatan
secara visual terlihat berwarna hitam. Kondisi ini turut menggambarkan tingginya
kandungan PAH sebagaimana dikemukakan oleh Razak (1997), bahwa tipe
sedimen dapat mempengaruhi kandungan bahan pencemar dalam sedimen dengan
katagori kandungan bahan pencemar dalam lumpur > lumpur berpasir > berpasir.
Dari penelitian mengenai komposisi, sumber dan distribusi PAH di perairan
dengan membandingkan jenis PAH dari sumber yang diketahui pasti (misalnya
minyak) dengan bentuk terdegradasinya, maka dari perbandingan senyawa PAH
tertentu dapat diketahui sumber pencemarannya (Gschwend and Hites, 1981;
Readman et al., 1987; Klamer and Fomsgaard, 1993 dalam Maskaoui K, et al.,
2001). Hubungan ini dapat dilihat dari perbandingan phenantrene/antracene atau
perbandingan antara fluorantene/pyrene, dimana apabila nilai perbandingan jenis
PAH ini < 1 maka sumber pencemarnya berasal dari aktivitas laut (Scolo et al.,
1997 dalam Tolun L, et al., 2006), 1.2 - 5 berasal dari kebakaran hutan, 8 - 15
berasal dari pembakaran minyak bumi yang terbawa oleh udara melalui partikel-
partikel kecilnya (Gschwend and Hites, 1981; Readman et al., 1987; Klamer and
Fomsgaard, 1993 dalam Maskaoui K, et al., 2001), > 25 berasal dari minyak
27
mentah (petrogenik) (Tolun L, et al., 2006). Dari hasil penelitian ini di peroleh
perbandingan antara fluorantene/pyrene stasiun A 0.34, stasiun B 0.02, stasiun C
0.79. Rata-rata perbandingan fluorantene/pyrene untuk semua stasiun sebesar
0.38, nilai ini menunjukkan bahwa sumber PAH berasal dari aktivitas laut berupa
aktivitas antropogenik yaitu aktivitas operasi kapal, docking (perbaikan/perawatan
kapal), dan bangunan lepas pantai. Dengan korelasi antara fluorantene/pyrene R =
0.986, artinya terdapat keterkaitan yang kuat antara sedimen pada masing-masing
stasiun.
Gambar 4.3 Perbandingan Antara Fluor/Pyr pada Sedimen Setiap Stasiun
Hasil PAH pada air dan sedimen yang diperoleh di wilayah perairan teluk
Doreri ini masih lebih rendah. Bila dibandingkan dengan hasil PAH pada air dan
sedimen yang dilakukan Munawir (2007), pada teluk Klabat Bangka berkisar
0.375 – 44.486 ppb bulan maret dan 1.329 – 27.826 ppb pada bulan Juli dalam air.
Serta 0.209 – 22.029 ppb bulan Maret dan 1.002 – 44.729 ppb bulan Juli pada
sedimen.
Senyawa PAH tidak hanya bersifat toksik pada organisme akuatik saja tetapi
juga pada manusia, contoh phenantrene dapat menyebabkan kerusakan pada hati
yang parah (Syaequ, 2005). Senyawa inipun telah terbukti bersifat karsinogenik,
penelitian lanjut Syaequ senyawa tersebut dapat menghasilkan tumor pada tikus
dalam waktu yang sangat singkat meskipun hanya sedikit dioleskan pada kulitnya,
contohnya salah satu karsinogen yang paling kuat dari jenis ini adalah benzo-A-
pyrene. Hidrokarbon karsinogenik ini tidak hanya terdapat pada minyak bumi
28
melainkan pemanasan batubara, jelaga, kebakaran hutan, letusan gunung berapi
dan asap tembakau serta pada daging yang dibakar pada suhu tinggi dari tetesan
daging pada arang panas dan menempel ke makanan melalui asap (Zakaria dan
Mahat, 2006).
Data kadar PAH yang didapat ini memang masih di bawah batas ambang
yang diijinkan, namun dengan perkembangan dan peningkatan penduduk
Manokwari sejalan dengan berkembangnya daerah ini sebagai ibukota propinsi
tidak menutup kemungkinan terjadi bioakumulasi yang disertai biomagnifikasi.
Kalau hal ini terjadi tentunya akan memberikan dampak negatif. Namun,
mengingat di lingkungan juga terjadi proses biodegradasi oleh mikroorganisme
meskipun secara bertahap namun setidaknya dapat mengurangi bahan pencemar.
4.3 Korelasi Kandungan PAH dalam Air dan Sedimen
Tabel 4.5 dan 4.6 menunjukkan kandungan PAH dalam air dan sedimen
berdasarkan jumlah cincin aromatik. Nevenka et al., (2007) dan Uthe (1991),
menyatakan hubungan kandungan PAH pada air dan sedimen dapat dilihat dari
jumlah cincin aromatik dan total dari senyawa-senyawa PAH. Dimana hasil yang
didapat jenis PAH 2 cincin (Me-naphthalene, acenaphthylene, acenaphthalene), 3
cincin (fluorene, phenanthrene, anthracene), 4 cincin (fluoranthene, pyrene,
benzo-A-anthracene, chrysene), dan 5 cincin (benzo-B-fluorantene). Korelasi
antara kandungan PAH pada air dan sedimen ditampilkan pada Gambar 4.4.
Tabel 4.5 Kandungan PAH pada Air Berdasarkan Jumlah Cincin Aromatik
Tabel 4.6 Kandungan PAH pada Sedimen Berdasarkan Jumlah Cincin Aromatik
Jenis PAH
Lokasi 2 cincin 3 cincin 4 cincin 5 cincin Total
Stasiun A 0.5962 1.3316 2.0514 0.0025 3.9817
Stasiun B 0.5479 1.1503 0.2271 0.2666 2.1919
Stasiun C 3.7119 1.6594 0.4875 0.0233 5.8821 Ket : Stasiun A : Galangan Kapal AL Stasiun B : Pelabuhan Perikanan Sanggeng
Stasiun C : Pelabuhan Pelni
Jenis PAH
Lokasi 2 cincin 3 cincin 4 cincin 5 cincin Total
Stasiun A 0.0061 0.005 0.0231 0.0054 0.0396
Stasiun B 0.0058 0 0 0 0.0058
Stasiun C 0.3683 0.0847 0.0525 0 0.5055
29
Stasiun A Stasiun B
Stasiun C
Gambar 4.4 Korelasi Air dan Sedimen pada Ketiga Stasiun
Hasil analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat
antara kandungan PAH pada air dan sedimen. Dimana kandungan PAH dalam air
sangat berkontribusi terhadap kandungan PAH dalam sedimen. Maka atas dasar
analisis regresi di atas, dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi kandungan PAH
dalam air maka makin tinggi pula kandungan PAH yang dapat terakumulasi dalam
sedimen. Hal ini sejalan dengan Muchtar (1992), bahwa senyawa-senyawa PAH
dalam perairan cenderung diabsorpsi oleh partikel-partikel bahan dan terdeposit di
dalam sedimen.
30
V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari data hasil analisis didapatkan bahwa air dan sedimen di beberapa lokasi
perairan Teluk Doreri terkandung polisiklik aromatik hidrokaron dengan senyawa
Me-naphthalene, acenaphthylene, acenaphthalene, fluorene, phenanthrene,
anthracene, fluoranthene, pyrene, benzo-A-anthracene, chrysene, dan benzo-B-
fluorantene. Dengan total pada air stasiun A sebesar 0.0396 ppb, stasiun B sebesar
0.0058 ppb, stasiun C sebesar 0.5055 ppb. Total PAH pada sedimen diperoleh
pada stasiun A sebesar 3.9817 ppb, stasiun B sebesar 2.1919 ppb dan stasiun C
sebesar 5.8821 ppb, sedangkan kandungan PAH dalam air maupun sedimen pada
stasiun D tidak ditemukan.
Dari hasil analisis korelasi setiap stasiun menunjukkan bahwa ada hubungan
yang sangat erat antara air dan sedimen pada masing-masing stasiun. Rata-rata
perbandingan jenis PAH fluor/pyr sebesar 0.38 mengindikasikan bahwa hubungan
sumber PAH pada setiap stasiun berasal dari aktivitas laut berupa aktivitas
antropogenik. Bila dibandingkan dengan standar PAH pada air dan sedimen oleh
kementerian lingkungan hidup, maka air dan sedimen pada lokasi-lokasi tersebut
masih di bawah batas ambang yang ditentukan yaitu 3 ppb untuk air dan 7 ppb
untuk sedimen. Hal ini menunjukkan bahwa perairan teluk Doreri, secara
keseluruhan belum tercemar oleh senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon
(PAH).
5.2 Saran
Perlu dilakukan pemantauan mengenai pencemaran polisiklik aromatik
hidrokarbon (PAH) pada perairan-perairan Manokwari di waktu mendatang secara
berkala pada air, sedimen, dan biota untuk mengetahui perkembangan tingkat
pencemar tersebut. Data yang didapatkan dalam penelitian ini dapat digunakan
sebagai data dasar (base line), sehingga sangatlah perlu untuk pemantauan di
waktu mendatang minimal setiap tahunnya untuk mendapatkan suatu data base
cemaran PAH di perairan Manokwari.
DAFTAR PUSTAKA
Bintoro.1998. Pencemaran Lingkungan. http://www.bkusumoh.com/. Download
20 Mei 2008.
Duinker, J.C. and M.Th.J. Hillebrand. 1981. Minimizing Blank in Chlorinated
Hydrocarbon and Petroleum Hydrocarbon Analysis. Journal
Chromatography. 150 : 195-199.
Edward dan Taringan, Z. 1997. Kandungan Hidrokarbon dalam Sedimen di
Perairan Sorong Irian Jaya. Balitbang Sumberdaya Laut. P30 LIPI. Ambon.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Grave, P.V. and W.B.F. Grevenstuk. 1980. Aconvenient Small-scale Cleanup
Method for Extracts of Fatty Samples with Basic Alumina before GLC
Analysis on Organochlorine and Petroleum. Meded faculty landbouwwed.
40 : 1115-1124.
Holden, A.V. and K. Marsden. 1983. Single Stage Clean-up of Animal Tissue
Extracts for Organochlorine Residue Analysis. J. Chromat. 44 : 481-492.
Law, R.J., V.J. Dawes., and P. Matthiessen. 1997. Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAH) in Seawater around England and Wales. Marine
Pollution Buletin, Vol. 34, No. 5, pp. 306-322.
Maskaoui, K., J.L. Zhou., H.S Hong., and Z.L. Zhang. 2001. Contamination by
Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in the Jiulong River Estuary and
Western Xiamen Sea, China. Evironmental Pollutian 118 : 109-202
Ministry of Environment. 1999. Water Quality Standar by Ministri of Live
Environment for Sediment. Goverment of U.S.
Muchtar, Musweery. 1992. Penentuan Zat Organik: Pestisida, Polikloro Bifenil
(PCB), dan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) dengan Gas
Khromatografi. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta.
Mulyono, M. 1992. Hidrokarbon di dalam Lingkungan Perairan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi. Lemigas. Jakata.
Munawir, K. 2007. Distribusi Kadar Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)
dalam Air, Sedimen dan Beberapa Sampel Biota di Perairan Teluk Klabat,
Bangka. Puslit Oseanografi LIPI. Jakarta.
Nevenka, B., F. Maya., and P.Vanda. 2007. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons
and Ecotoxicological Characterization of Seawater, Sediment and Mytylus
galloprovincialis from the Gulf of Rijeka, the Adriatic Sea, Croatia. Achives
of Environmental Contamination and Toxicology 52 (3) : 379-387.
32
Pattiselanno, F. 2007. Merenda Harapan Mencapai Teluk Doreri yang Asri.
http://www.wetlands.or.id/wklb/.pdf. Download 15 April 2008.
Razak, H. 1997. Polisiksik Aromatik Hidrokarbon (PAH) di Perairan Sungai Siak,
Riau. Prosiding Seminar Nasional Wilayah Pantai : Aspek Manajemen dan
Dinamika Biogeofisik. Puslit Oseanografi LIPI. Jakarta.
Rukaesih, Ahmad. 2004. Kimia Lingkungan. Penerbit : Andi. Yogyakarta
Sarni. 2002. Analisis Hidrokarbon Aromatik Sedimen Permukaan pada Pulau
Lumu-lumu Kepulauan Supermonde. UNHAS. Makassar.
Sastrawijaya, T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta
Suhaemi. 2006. Simulasi Model Numerik Hidrodinamika Teluk Doreri Kabupaten
Manokwari dengan Metode Beda Hingga Eksplisit. Skripsi Sarjana Ilmu
Kelautan. Universitas Negeri Papua. Manokwari. (tidak diterbitkan)
Soepanan. 2002. Crude Oil (Minyak Bumi). Pusat Pengembangan Tenaga
Perminyakan dan Gas Bumi (PPT MIGAS). Cepu.
Syaequ. 2006. Polisiklik Aromatik Hidrokarbon dan Kanker. Jurusan Kimia
FMIPA. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.
Tolun, L., D. Martens., O.S. Okay., and K.W. Schramn. 2006. Polycyclic
Aromatic Hydrocarbons Contamination in Coastal Sediments of the Izmit
Bay (Marmara Sea) Case Studies Before and After the Izmit Earthquake.
Environment International 32 : 758-765
Uthe, J.F., 1991. Polycyclic Aromatic Hydrocarbon in the Environment. Marine
Chemistry Division, Departement of Fisher and Oceans. Halifax. Canadian
Chemical news : 25-27.
Wadhana, A.W. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset.
Yogyakarta.
Wikipedia. 2008. Minyak Bumi. http://id.wikipedia.org/wiki/minyak bumi.
Download 20 April 2008.
Wiyono, Eko. 2008. Analisis Hidrokarbon Sedimen Permukaan pada Perairan
Teluk Doreri. Skripsi Sarjana Kimia. Universitas Negeri Papua. Manokwari.
(tidak diterbitkan)
Zakaria, M.P., and A.A. Mahat. 2006. Distribution of Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAH) in Sediments in the Langet Estuary. Coastal Marine
Science 30 (1) : 387-395.
Zein, S.R., A.H.A. Toha., L. Sembel., dan H. Koplit. 2005. Uji Salinitas Terhadap
Distribusi Kecepatan Pengendapan Partikel Tersuspensi, Studi Kasus di
Perairan Teluk Doreri Manokwari. Universitas Negeri Papua. Manokwari.
33
L A M P I R A N
34
Lampiran 1 Diagram Alir Sampel Air
Disaring dengan Millipore
o 400 mL sampel air
o 100 mL Sikloheksana
o Refluks 3 – 4 jam
o Dinginkan dan masukkan pada
corong pisah
o Tambahkan Na2SO4 anhidrous
o evaporasi
o kromatografi kolom dengan alumina
o elusi dengan 4% diklorometana dalam n-pentana
o Kromatografi kolom dengan silika gel
o Elusi dengan n-pentana
o Elusi dengan 10% diklorometana dalam n-pentana
o Evaporasi
o Pengukuran dengan kromatografi gas
Sampel air
Refluks
Fraksi aromatik Fraksi alifatik
Data
Analisis data
Ekstraksi
Fase organik Fase air
Pembersihan ekstrak
Fraksi organik
Fraksionasi
35
Lampiran 2 Diagram Alir Sampel Sedimen
Timbang 40 gram
Tambah Na2SO4 anhidrous
Tambahkan 150 mL diklorometana
Ekstrak ± 8 jam
Evaporasi
o kromatografi kolom dengan alumina
o elusi dengan 4% diklorometana dalam n-pentana
o Kromatografi kolom dengan silika gel
o Elusi dengan n-pentana
o Elusi dengan 10% diklorometana dalam n-pentana
o Evaporasi
o Pengukuran dengan kromatografi gas
Sampel sedimen
Ekstraksi
Pelarut organik Ekstrak bahan
organik
Pembersihan ekstrak
Fraksi organik
Fraksionasi
Fraksi alifatik Fraksi aromatik
Data
Analisis data
36
Lampiran 3 Baku Mutu Air Laut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
51/2004
No Parameter Satuan Baku Mutu
1
2 3
4
5
6 7
1
2
3
4 5
6
7 8
9
10
11
12
13 14
15
16
17
18 19
20
21 22
23 24
1
2
3
1
FISIKA
Kecerahan
Kebauan Kekeruhan
Padatan tersuspensi total
Suhu
Sampah Lapisan minyak
KIMIA
pH
Salinitas
Oksigen Terlarut (DO)
BOD5 Amoniak bebas (NH3-N)
Fosfat (PO4-P)
Nitrat (NO3) Sianida (CN-)
Sulfida (H2S)
PAH (polisiklik aromatik hidrokarbon)
Senyawa fenol total
PCB (poliklor bifenil)
Surfaktan (deterjen) Minyak & Lemak
Pestisida
TBT (tributil tin)
Logam terlarut
Raksa (Hg)
Kromium heksavalen (Ca(VI)) Arsen (As)
Cadmium (Cd)
Tembaga (Cu) Timbal (Pb)
Seng (Zn) Nikel (Ni)
BIOLOGI
Coliform (total)
Patogen
Plankton
RADIO NUKLIDA
Komposisi yang tidak diketahui
m
- NTU
mg/L
oC
- -
-
0/00
mg/L
mg/L mg/L
mg/L
mg/L mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L MBAS mg/L
mg/L
mg/L
mg/L mg/L
mg/L
mg/L mg/L
mg/L mg/L
MPN/100 mL
sel/100 mL
sel/100 mL
Bq/L
Coral : >5<10% perubahan cuphotic depth mangrove
lamun : >3
Alami <5
Coral:20<10% perubahan
konsentrasi rata-rata musiman mangrove :80
lamun:20
Alami Coral: 28-30 mangrove:28-
32 lamun:28-30
Nihil Nihil
7-8.5
Alami coral : 33-34
mangrove:s/d 34 lamun : 33-34
>5>6)>80-90% kejenuhan)
20 0.3
0.015
0.008 0.5
0.01
0.003
0.002
1
1 1
0.01
0.01
0.001
0.005 0.012
0.001
0.008 0.008
0.05 0.05
1000
Nihil
Tidak bloom
4
37
Lampiran 4 Struktur Molekul Jenis-jenis PAH
Napthalene Acenapthylene Acenapthene Fluorene
Phenanthrene Antracene Fluoranthene Pyrene
Benzo-A-antracene Chrysene Benzo-B-fluoranthene Benzo-K-fluoranthene
Benzo-A-pyrene Indeno-cd-123-pyrene Coronene
38
Lampiran 5 Lokasi Pengambilan Sampel
39
Lampiran 6 Kromatogram Standar PAH pada Air
40
Lampiran 7 Kromatogram Air Stasiun A
41
Lampiran 8 Kromatogram Air Stasiun B
42
Lampiran 9 Kromatogram Air Stasiun C
43
Lampiran 10 Kromatogram Air Stasiun D
44
Lampiran 11 Kromatogram Standar PAH pada Sedimen
45
46
Lampiran 12 Kromatogram Sedimen Stasiun A
47
Lampiran 13 Kromatogram Sedimen Stasiun B
48
Lampiran 14 Kromatogram Sedimen Stasiun C
49
Lampiran 15 Kromatogram Sedimen Stasiun D
50
Lampiran 16 Penentuan Kadar PAH pada Air
Rumus :
Stasiun A
1. Me- Naphtalene = 20888 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0039 ppb
1322165
2. Acenapthylene = 10695 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0022 ppb
1201470
3. Fluorene = 13847 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0028 ppb
1211441
4. Phenantrene = 41312 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0022 ppb
4620467
5. Fluoranthene = 3563 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0018 ppb
488544
6. Benzo-A-antracene = 12606 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0213 ppb
147666
7. Benzo-B-fluorantene = 5668 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0054 ppb
263265
Stasiun B
1. Me-Naphtalene = 8319 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0016 ppb
1322165
2. Acenapthylene = 4456 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0009 ppb
1201470
3. Acenapthene = 6310 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0033 ppb
475956
Kadar sampel = Luas peak sampel x konsentrasi standar x multifaktorial
Luas peak standar
51
Stasiun C
1. Me-Napthalene = 732845 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.1386 ppb
1322165
2. Acenapthylene = 336771 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0700 ppb
1201470
3. Acenapthene = 303822 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.1596 ppb
475956
4. Fluorene = 306688 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0633 ppb
1211441
5. Phenanthrene = 385697 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0209 ppb
4620467
6. Antracene = 1636 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0005 ppb
815372
7. Fluoranthene = 81620 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0418 ppb
488544
8. Pyrene = 2222 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0009 ppb
567353
9. Benzo-A-antracene = 5761 x 100 ppb x 1 mL/400 mL = 0.0097 ppb
147666
52
Lampiran 17 Penentuan Kadar PAH pada Sedimen
Rumus :
Stasiun A
Kadar Air = 52.22%
Bobot Air = 100 – kadar air x berat sampel
100
= 100 – 52.22 x 40 gram
100
= 19.111 mL
MF = 1 mL/19.111 mL = 0.052
1. Me-Napthalene = 45666 x 100 ppb x 0.052 = 0.1929 ppb
1231122
2. Acenapthylene = 36203 x 100 ppb x 0.052 = 0.1725 ppb
1091641
3. Acenapthene = 57007 x 100 ppb x 0.052 = 0.2308 ppb
1284231
4. Fluorene = 3136 x 100 ppb x 0.052 = 0.0146 ppb
1113012
5. Phenanthrene = 211960 x 100 ppb x 0.052 = 1.2386 ppb
889761
6. Antracene = 45949 x 100 ppb x 0.052 = 0.0784 ppb
3048822
7. Pyrene = 232659 x 100 ppb x 0.052 = 1.4043 ppb
861498
8. Fluoranthene = 26496 x 100 ppb x 0.052 = 0.4799 ppb
287112
9. Benzo-A-antracene = 4225 x 100 ppb x 0.052 = 0.1599 ppb
137336
10. Chrysene = 1787 x 100 ppb x 0.052 = 0.0073 ppb
1269579
11. Benzo-B-fluorantene = 696 x 100 ppb x 0.052 = 0.0025 ppb
144822
Kadar sampel = Luas peak sampel x konsentrasi standar x multifaktorial
Luas peak standar
53
Stasiun B
Kadar Air = 40.12%
Bobot Air = 100 – kadar air x 100%
100
= 100 – 40.12 x 100%
100
= 23.954 mL
MF = 1 mL/23.954 mL
= 0.042
1. Me-Napthalene = 61058 x 100 ppb x 0.042 = 0.2082 ppb
1231122
2. Acenapthylene = 35370 x 100 ppb x 0.042 = 0.1361 ppb
1091641
3. Acenapthene = 62229 x 100 ppb x 0.42 = 0.2035 ppb
1284231
4. Fluorene = 31130 x 100 ppb x 0.042 = 0.1174 ppb
1113012
5. Phenanthrene = 214036 x 100 ppb x 0.042 = 1.0103 ppb
889761
6. Anthracene = 16407 x 100 ppb x 0.042 = 0.0226 ppb
3048822
7. Pyrene = 914 x 100 ppb x 0.042 = 0.0044 ppb
861498
8. Fluoranthene = 10561 x 100 ppb x 0.042 = 0.1544 ppb
287112
9. Benzo-A-antracene = 1649 x 100 ppb x 0.042 = 0.0504 ppb
137336
10. Chrysene = 5429 x 100 ppb x 0.042 = 0.0179 ppb
1269579
11. Benzo-B-fluoranthene = 9195 x 100 ppb x 0.042 = 0.2666 ppb
144822
54
Stasiun C
Kadar Air = 56.90%
Bobot Air = 100 – kadar air x berat sampel
100
= 100 – 56.90 x 40.276 gram
100
= 17.357 mL
MF = 1 mL/17.357 mL
= 0.058
1. Me-Naphtalene = 207624 x 100 ppb x 0.058 = 0.9781 ppb
1231122
2. Acenapthylene = 264376 x 100 ppb x 0.058 = 1.4046 ppb
1091641
3. Acenapthene = 294303 x 100 ppb x 0.058 = 1.3292 ppb
1284231
4. Fluorene = 284710 x 100 ppb x 0.058 = 1.4836 ppb
1113012
5. Phenanthrene = 26980 x 100 ppb x 0.058 = 0.1758 ppb
889761
6. Fluoranthene = 584 x 100 ppb x 0.058 = 0.0646 ppb
287112
7. Pyrene = 12044 x 100 ppb x 0.058 = 0.0811 ppb
861498
8. Benzo-B-antracene = 8094 x 100 ppb x 0.058 = 0.3418 ppb
137336
9. Benzo-B-fluorantene = 2197 x 100 ppb x 0.058 = 0.0233 ppb
144822