Click here to load reader
Upload
idrus-abidin
View
3.120
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
HERMENEUTIKA
DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA
Oleh : Idrus Abidin, Lc., MA.
Sumber : idrusabidin.blogspot.com
PENDAHULUAN
Tradisi interpretasi kitab suci adalah sesuatu yang mapan dalam diskursus
keagamaan. Hal ini terjadi sebagai akibat dari upaya masing-masing pemeluk agama
untuk memahami lebih baik kandungan kitab suci masing-masing. Dalam sejarah Yunani
kuno, hermeneutika dianggap sebagai sebuah media yang digunakan untuk memahami
buku-buku sastra dan teks-teks keagamaan. Lalu sesuai perkembangannya, kaum Yahudi
juga memanfaatkannya dalam rangka menginterpetasi Perjanjian Lama. Hal serupa juga
belakangan diikuti oleh teolog Kristen dan berupaya memberdayakan hermenutika dalam
diskursus Bibel studies. Dalam tradisi Kristen inilah berkembang wacana hermeneutika
dari pase teologi menuju pase rasionalisasi dan kajian filosofis. Lalu dengan kajian yang
dikembangkan oleh Friedrich Schliermacher, hermeneutika menjadi kajian bernuansa
filsafat yang dari sisi teoritis dimanfaatkan untuk memahami berbagai teks dari beragam
bentuk.
Dalam wacana keislaman, kajian hermeneutika mulai mendapatkan apresiasi
dari beberapa ilmuan Muslim yang melihat beberapa elemen yang dapat dimanfaatkan
dari teori hermeneutika. Munculnya ilmuan seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun,
Nashr Hamid Abu Zaid, dll sangat berperan dalam mentransformasikan kajian
hermeneutika terhadap qur’anic stadies. Melalui merekalah dunia Islam mulai mengenal
tradisi interpretasi Bibel dari para ahli hermeneutika seperti Friedrich Schliermacher,
Habermas, Wilhem Dilthey, Paul Ricour, hingga Gadamer.
Dalam lingkup Indonesia, hadirnya kajian Hermeneutika di tingkat universitas
juga merupakan penomena baru sehingga muncul perdebatan di kalangan intelektual
Muslim mengenai keabsahan hermeneutika sebagai alat interpretasi, baik dari pihak pro
maupun pihak yang kontra. Makalah ini berupaya mendiskripsikan dan menganalisa
faktor-faktor yang diperdebatkan oleh intelektual Muslim Indonesia seputar keabsahan
hermeneutika sebagai media penafsiran teks-teks al-Qur‟an.
TAFSIR, TA’WIL DAN HERMENEUTIKA.
Setidaknya terdapat tiga istilah penting yang perlu disandingkan dalam upaya
untuk melihat wacana yang digunakan oleh para ahli dalam mendekati pemaknaan teks
kitab suci. Dalam tradisi Islam, tafsir dan ta‟wil adalah dua peristilahan yang lahir dan
berkembang dalam sejarah interpretasi al-Qur‟an. Keduanya sering disandingkan dalam
rangka menggambarkan hasil penelusuran terhadap makna sebuah ayat dalam al-Qur‟an.
Di samping itu, dalam tradisi Kristen, hermeneutika merupakan media interpretasi yang
digunakan untuk mengungkap makna-makna yang terkandung dalam Bibel.
Ta‟wil adalah kata benda yang terderivasi dari bentuk kata kerja lampau awwala
yang berarti kembali kepada kondisi semula (sebenarnya). Dari sisi literalnya, kata ta‟wil
mengandung makna ; menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, menjelaskan,
menggambarkan dan menerjemahkan. Sementara berdasarkan penelusuran terhadap
penggunaan kata ini dalam al-Qur‟an yang terulang sebanyak 17 kali ditemukan makna-
makna seperti :
Pemecahan makna sesuatu yang bersifat simbolik seperti mimpi atau penjelasan
tentang hasil akhir dari sebuah proses. Makna ini ditemukan pada akhir pertemuan
Yusuf dengan kelurganya kembali, saat di mana Yusuf telah menjadi pejabat
penting di lingkup kerajaan Mesir ketika itu. Di hadapan ayahnya ia mengatakan,
sebagaimana pemaparan al-Qur‟an, “inilah maksud (ta‟wil) mimpiku
sebelumnya”.(QS Yusuf : 100 )
Berita-berita mengenai kejadian sebuah perkara sebelum perkara tersebut terjadi
secara faktual. Makna ini digunakan pada surah Yusuf terkait dengan ta‟wil
mimpi sahabat yang ikut bersamanya dalam penjara (QS. Yusuf : 37). Senada
dengan makna ini, kisah pertemuan dua hamba yang shaleh, Musa dan Khidir.
Ketika itu, Khidir merusak perahu, membangun kembali tembok yang runtuh, dan
membunuh anak kecil. Perbuatan demikian tidaklah lazim dalam horizon
pemikiran nabi Musa sehingga mengajukan keberatan kepada Khidir. Setelah
dijelaskan dengan seksama oleh Khidir, Musa pun mengerti dan tidak lagi
merasakan adanya keganjilan yang dirasakan sebelumnya. Di sini, Khidir
menggunakan kata ta‟wil sebgai penjelasan dari perbuatannya tersebut. Sehingga
dalam pengertian ini, ta‟wil dimaknai sebagai sebuah upaya pengungkapan
makna-makna yang tersembunyi di balik sebuah perbuatan nyata.
Menyertai sesuatu dengan tindakan pengaturan dan perbaikan agar sampai ke
maksud dan tujuan akhirnya. Dalam hal ini, firman Allah seperti, “Itulah yang
lebih baik dan lebih utama ta‟wilnya (akibatnya) bagimu”. (QS. Al-Israa : 35).1
Sedangkan kata tafsir, dari sisi etimologi berarti penjelasan dan penerangan.
Kata ini merupakan hasil pengembangan lebih lanjut dari kata al-fasr yang bermakna
penjelasan dan pengungkapan sesuatu. Selain itu, mufassir juga melihat bahwa kata tafsir
berasal dari kata al-safar yang mengandung arti perpindahan dan perjalan. Dalam kamus
leksikal dikatakan bahwa al-fasr bermakna penerangan dan pengungkapan sesuatu yang
tersembunyi. Dalam tradisi Arab sendiri, kata ini mengadung dua bentuk penggunaan.
Dari satu sisi, kata ini digunakan untuk menunjukkan makna pengungkapan sesuatu
secara nyata. Sedang dari sisi yang lain, kata ini mengandung pengungkapan makna
sesuatu yang abstrak seperti dalam hal mimpi.
Jika melihat bagaimana penggunaan kata al-fasr sebagaimana terdapat dalam
kamus leksikal klasik, Lisan al-Arab ditemukan bahwa arti dasarnya adalah pengamatan
dokter terhadap air. Sedang kata al-tafsirah digunakan untuk menunjuk air kencing yang
digunakan sebagai media oleh dokter untuk meganalisa jenis penyakit yang diderita oleh
seorang pasien. Dengan demikian, dalam kata al-fasr ditemukan dua unsur penting, yaitu
air sebagai objek penelitian dan aktifitas penelitian sendiri yang dilakukan oleh sang
dokter. Dalam materi safara, ditemukan banyak arti yang tersimpul pada makna
perpindahan dan perjalanan. Dari makna ini muncul kata penampakan dan penyingkapan.
Orang yang sedang melakukan perjalanan jauh disebut musafir karena mereka melepas
penutup hidungnya ketika telah sampai ke tempat tujuan. Kata asfara al-qaum berarti
bahwa sebuah kelompok telah tiba pada waktu pagi. Dari kata ini muncul pula kata safir,
yaitu utusan, atau pun dalam bahasa moderen disebut sebagai duta. Di samping itu,
1 Abu Zaid, Nashr Hamid, Teksutualitas al-Qur‟an : Kritik Terhadap Ulum al-Qur‟an, ( Yogyakarta :
LKiS ), cet.1, th.2001, hal.308-311.
makna al-safar yang berarti buku dan kata al-Safarah yang bermakna para pencatat amal
kebaikan juga ditemukan dalam al-Qur‟an. Kata pertama muncul dalam firman Allah,
“Bagaikan himar yang membawa buku-buku”. Sedang kata kedua muncul pada firman-
Nya, “Berada di tangan malaikat pencatat (amal kebaikan) yang mulia lagi berbakti”.2
Adapun makna tafsir dari sisi terminologisnya, maka dikatakan bahwa tafsir
adalah sebuah cabang ilmu yang menjadi media utama dalam memahami Kitabullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan berupaya menjelaskan hikmah-hikmah dan
ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya.3 Senada dengan makna ini, sebagian
sarjanan al-Qur‟an memberikan batasan berupa, sebuah ilmu yang mempokuskan
pembahasannya seputar perkataan yang terdapat dalam al-Qur‟an dari aspek kandungan
makna (dilalah) yang dikehendaki oleh Allah sesuai dengan batas-batas kemampuan
nalar manusia.4
Jika ditelusuri pembahasan sajana al-Qur‟an terkait kedua kata ini maka
ditemukan bahwa terjadi beragam pandangan dalam masalah ini. Terdapat ulama yang
memandang bahwa kedua istilah tersebut sama saja. Sementara sarjana lain mengatakan,
tafsir lebih umum dibanding ta‟wil. Tafsir lebih banyak digunakan dalam analisa aspek
lahiriah bahasa sementara ta‟wil diberdayakan pada aspek makna. Sebagian mengatakan
bahwa tafsir merupakan penegasan tentang maksud Allah di balik firman-firman-Nya,
sedang ta‟wil merupakan penentuan salah satu makna terkuat dan terpilih dari sekian
makna yang ada. Ada yang memandang bahwa tafsir sangat terkait dengan riwayat dan
ta‟wil terkait dengan rasio (dirayah).5
Sementara itu, hermeneutika dalam sejarahnya dinisbatkan kepada Dewa Yunani
Kuno, Hermes, yang bertugas menyampaikan berita dari yang maha Dewa yang
ditujukan kepada manusia. Karena pesan-pesan Dewa masih dalam koridor bahasa langit,
maka dibutuhkan apaya penerjemahan dan penafsiran ke dalam bahasa bumi yang
2 Abu Zaid, Nashr Hamid, Teksutualitas al-Qur‟an : Kritik Terhadap Ulum al-Qur‟an, ( Yogyakarta :
LKiS ), cet.1, th.2001, hal.304-306. 3 Al-Suyuti, Jalaluddin, al-Itqan Fi Ulum al-Qur‟an, ( Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah ), vol.1, cet.1,
th.1987, hal.25 4 Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (( Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah ), vol.1, cet.1, th.1987,
hal.88. 5 Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata‟amal ma‟a al-Qur‟an, ( Mesir : Dar al-Syuruq), cet.1, th.1999, hal.198
dipahami oleh manusia.6 Mengingat profesi utama Hermes adalah memintal maka kata
ini dikaitkan dengan padanan yang sama dalam bahasa latin, yaitu tegere. Hasil dari
pemintalan dalam bahasa latin ini adalah textus atau teks. Dan teks merupakan isu sentral
dalam kajian hermeneutika.7
Dalam perkembangannya, hermeneutika dipraktekkan
dalam lingkup wilayah Yunani dalam rangka menggali makna dan peran teks-teks sastra
yang berasal dari masyarakat Yunani Kuno. Sekali pun demikian, kata hermenutika
sendiri nanti ditemukan pada karya Plato (429-347 SM) Pollitikos, Efinomis, Definitione
dan Timues.
Hingga zaman moderen, menurut penelusuran Richard E. Palmer, terdapat enam
definisi hermeneutika berdasarkan pada perkembangan yang telah dilewatinya. Masing-
masing definisi mewakili zaman dan bentuk hermeneutika sebagaimanan dipahami oleh
para penggiatnya. Keenam definisi tersebut bisa disebut pendekatan Bibel, filologis,
saintifik, filsafat, fenomenologi eksistensi dan sistem interpretasi.
A. Hermeneutika sebagai teori penafsiran Bibel.
Pemahaman paling pertama dan masih tersebar luas tentang hermeneutika adalah
masih merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bibel. Jika melihat buku-buku
yang terbit pada abad ke-17, ditemukan bahwa muatan kata Bibel masih seputar
interpretasi kitab suci. Buku yang dianggap muncul terkait dengan hermeneutika
dalam pengertian ini adalah buku Dannhauer pada tahun 1654 yang berjudul
hermeneutica sacra sive methodus exponemdarum sacrarum litterarum. Setelah
terbitanya buku dannhauer ini, istilah tersebut berkembang dengan cepat terutama
di wilayah Jerman.
Di Inggris dan di Amerika penggunaan kata hermeneutika mengikuti arah
kecenderugnan umum dalam menunjuk penafsiran Bibel. Pertama kali kata ini
digunakan oleh Oxford English Dictionary pada tahun 1737 dengan makna,
“bersikap bebas dengan tulisan suci, sama halnya dengan tidak diperkenankan
menggunakan bebrapa metode selain hermeneutika sebagaiamana seharusnya.
6 Nasir, Malki Ahmad, Hermeneutika Kritis (Studi Atas Pemikiran Habermas), dalam Majalah
Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004. 7
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama :Sebuah Kajian Hermeneutik, ( Jakarta :
Paramadina ), cet.1, th.1996, hal.125.
B. Hermeneutika sebagai metodologi filologis.
Pada abad ke-18 filologi klasik berkembang bersamaan dengan rasionalisme.
Keduanya mempuyai pengaruh besar terahadap hermeneutika. Ketika itu
muncullah metode kritik historis dalam teologi. Dalam metode ini ditegaskan
bahwa interpretasi Bibel dengan menggunakan displin hermeneutika juga bisa
dimanfaatkan untuk membaca teks-teks lainnya. Dengan pengembangan ini,
metode-metode hermeneutika Bibel secara esensial menjadi sinonim dengan teori
interpretasi sekuler seperti filologi klasik. Setidaknya dari pencerahan hingga
masa sekarang metode interpretasi Bibel tidak dapat dipisahkan dengan filologi.
C. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.
Schleiermacher berusaha memodifikasi ulang hermeneutika hingga menjadi
sebuah ilmu atau seni pemahaman. Ia mencurahkan seluruh energi intelektualnya
untuk maksud tersebut dan berhasil hingga batas-batas tertentu. Ia berusaha
melampaui persfektif hermeneutika yang bersifat teologi filologi dangan berupaya
menghadirkan hermeneutika sistematis-koheren. Yaitu sebuah ilmu yang
mendiskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam semua dialog.
D. Hermeneutika sebagai pondasi bagi filsafat.
Wilhelm Dilthey adalah seorang pemikir filsafat besar pada abad ke-19 di
samping sebagai penulis biografi Schleiermacher. Ia memandang hermeneutika
sebagai dasar bagi upaya memahami semua ilmu yang mempokuskan diri untuk
memahami seni, aksi, dan tulisan manusia. Untuk menafsirkan ekspresi hidup
manusia berupa hukum, karya sastra, maupun kitab suci membutuhkan
pemahaman historis. Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha
mengarahkan kritiknya ke dalam ruang lingkup psikologis. Namun karena
psiklogi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya terhambat sejak awal.
Di dalam hermeneutikalah Dilthey menemukan dasar yang lebih humanis dan
historis bagi usahanya untuk memformulasikan metodologi humanistik yang
nyata bagi semua upaya pendekatan filosofis.
E. Hermeneutika sebagai fenomenologi dan pemahaman eksistensial.
Dalam menghadapai persolan ontologis, Martin Heidegger meminjam metode,
Edmund Husserl, dan menggunakan studi fenomenoligi ini pada cara keberadaan
sehari-hari manusia di dunia. Hermeneutika dalam konteks ini tidaklah mengacu
pada ilmu atau kaedah interpretasi, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya
tentang keberadaan manusia itu sendiri. Analisis Haidegger mengindikasikan
bahwa pemahaman dan interpretasi merupakan model dasar keberadaan manusia.
F. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
Paul Ricoeur mendefinisakan hermeneutika yang mengacu kembali kepada
penafisran tekstual sebagai elemen penting dalam hermeneutika. Ia mengatakan,
“yang kita maksudkan dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah
yang menata sebuah penafsiran. Dengan kata lain, sebuah interpretasi teks
partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan sesuatu yang dianggap
sebuah teks.8
Dalam kajian hermeneutika, terdapat beberapa ahli yang ikut terlibat dan
mengembangkan wacana ini secara luas. Tokoh-tokoh dan peranannya dalam
hermenutika bisa kita telusuri seperti berikut :
1. Hermeneutika Friedrich Schliermacher. ( 1768 – 1834).
Dalam kajian hermeneutika yang bersifat filosofis, Friedrich Schliermacher
dianggap sebagai bapak hermeneutika modern. Ia dianggap berjasa
mengembangkan tradisi hermeneutika dari wilayah teologi menuju wilayah
filsafat. Ketika berada di wilayah filsafat inilah, hermeneutika bisa menjangkau
seluruh teks dan tidak hanya sebatas teks kitab suci semata yang berlandaskan
pada tradisi gereja katolik.9
Menurut Abu Zaid, pijakan hermeneutika Friedrich Schliermacher adalah bahwa
teks merupakan ekspresi perangkat linguistik yang mengembangkan ide
pengarang kepada pembaca. Dalam sisi kebahsaan, ia merujuk kepada lingusitik
dengan beragam perangkat-perangkat yang dimulikinya. Sedang dari aspek psikis,
ia merujuk ide subyektif pengarang. Hubungan kedua hal tersebut adalah
8 Richard E. Palmer, Hermeneutika :Teori Baru Mengenai Interpretasi, ( Yogyakarta : Pusataka
Pelajar ), cet.2, th.2005. 9 Adnin Armas, Metodologi Bibel ( Jakarta : Gema Insani Press), hal. 63-67.
merupakan interaksi dialektis dalam pandangan Friedrich Schliermacher.10
Untuk
dapat menyelami makna teks, seorang hermeneut hendaknya memiliki dua
kompetensi, yaitu kompetensi linguistik dan kemampuan dalam mengakses
wilayah budaya saat teks tersebut ditulis. Ketika seseorang hanya berangkat dari
aspek lingsuistik semata, kejelasan makna suatu bahasa tidaklah bisa dipahami
mengingat manusia tidak mengenal bahasa yang tidak tunduk kepada pemaknaan
tertentu. Demikian pula jika hanya memandang sisi kebudayaan saja, pemaknaan
tidak bisa benar karena kompleksitas sisi budaya yang melingkupi tidak bisa
ditangkap secara sempurna.11
2. Hermeneutika Wilhem Dilthey (1833 – 1911).
Dilthey adalah merupakan pelanjut dari Schliermacher. Keduanya yakin bahwa
seorang penafsir bisa memahami teks lebih baik dari penulisnya sendiri. Sekali
pun dilthey dipandang terpengaruh dengan Schliermacher, tetapi dilthey tetap
memilikii penekanan tersendiri dalam mendekati pemaknaan teks. Jika
Schliermacher menegaskan penafsiran secara komprehensif, Dilthey menekankan
aspek sejarah. Bagi Dilthey, Schliermacher kurang mempertimbangkan aspek
sejarah untuk merokontruksi makna lebih baik dari yang dipahami oleh
pengarangnya sendiri.12
3. Hermeneutika Emilio Betti ( 1890 – 1968 )
Seabagai pelanjut dari pemikir hermeneutika sebelumnya kontribusi Betti bisa
terlihat pada upaya menawarkan teori hermeneutika yang komprehensif. Ia juga
teoritikus hermeneutika pertama yang mendirikan institusi khusus untuk mengkaji
isu-isu penafsiran yang ditemukan dalam berbagai ranah keilmuan. Institut
tersebut ia dirikan di Universitas Roma, Italia.13
4. Gadamer ( 1990 – 1998 )
10
Abu Zaid, Nashr Hamid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problema Bacaan dan Cara-Cara
Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, ( Jakarta : ICIP), cet.1, th.2004, hal.15 11
Abu Zaid, Nashr Hamid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problema Bacaan dan Cara-Cara
Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, ( Jakarta : ICIP), cet.1, th.2004, hal.16. 12
Adnin Armas, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur‟an. (Makalah
disampaika di hadapan Mahasiswa UI dalam dauroh Pemikiran Islam. 13
Adnin Armas, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur‟an. (Makalah di
sampaika di hadapan Mahasiswa UI dalam dauroh Pemikiran Islam. Hal.8-9.
Hermeneutika Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan
menekankan pada subyek yang menafsirkan. Dalam mempertanyakan bagaimana
memberi makna, Gadamer berkonfrontasi dengan pendahulunya yaitu
Scheleirmacher dan Dilthey. Ia mengkritisi pendapat Schleiermacher yang
menyatakan bahwa keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan
mencoba mengerti si pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan
menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat menulis
teksnya. Menurut Gadamer, tujuan dari membaca sebuah teks adalah untuk
mempelajari mengenai subyek dalam teks itu sendiri. 14
Dalam pandangan Gadamer, situasi dan kondisi penafsir sekarang merupakan
penilaian awal yang tidak bisa dihindar karena merupakan takdir, di mana tidak
memiliki pilihan. Penilaian awal adalah hal yang mustahil dipisahakan menurut
Gadamer mengingat manusia harus menerimanya sebagai bagian dari perjalanan
hidup seseorang.
Karenannya, sebagaimana dikutip oleh Malki Ahmad dari Budi Hadirman,
hermeneutika Gadamer merupakan hermeneutika ontologis. Yaitu sebuah rasio
pemahaman yang tidak bisa diukur oleh ruang, waktu dan tempat karena ia
berhubungan dengan historitas yang selalu berubah-ubah. Karena itulah, obyektif
adalah hal yang masih absurd dan nihilis. Baginya, tidak ada kebenaran obyektif
sebab jika ada ia harus terukur oleh ruang dan waktu.15
HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN PENGERITIKNYA
Kalangan intelektual yang kontra terhadap hermeneutika berasumsi bahwa Bibel
memang memiliki sejumlah permasalahan yang membuatnya pantas untuk dicecar
dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan hermeneutis. Problema pertama adalah terkait
dengan teks Bibel yang tidak memiliki bahasa standar. Hal ini terjadi akibat tidak adanya
dokumen Bibel yang original. Akibatnya Bibel yang beredar di tengah penganut Kristen
14
Lady P.R. Mandalika, Hermeneutika Gadamer - Lingkaran yang Memperluas horizon.
http://forumteologi.com/blog/2007/04/24/hermeneutika-gadamer/. 15
Nasir, Malki Ahmad, Hermeneutika Kritis (Studi Atas Pemikiran Habermas), dalam Majalah
Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004.hal.35.
sangatlah beragam. Denga mengutif Metzger, Adian Husaini menunjukkan keragaman
Bibel dalam bahasa Yunani (Greek) yang hingga kini berjumlah sekitar 5000 manuskrip
teks Bibel dalam bahasa Greek yang berbeda antara satu dengan lainnya. 16
Karena tidak
ada seorang pun yang kini sebagai native dalam bahasa Hebrew kuno, maka untuk
memahami bahasa Hebrew itu para teolog Yahudi dan Kristen memerlukan bantuan
bahasa untuk dapat mengungkap bahasa Hebrew. Dan bahasa yang dapat memberikan
harapan untuk dapat mengunakap bahasa Hebrew itu tidak lain adalah bahasa Arab,
karena bahas Arab masih hidup hingga hari ini. Kita mengetahui bahwa bahasa Arab
yang hidup hingga hari ini karena pengaruh yang dihidupkan oleh al-Qur‟an itu sendiri.
Jadi al-Qur‟an lah yang menyelamatkan bahasa Arab. Sedang dalam kasus Bibel, mereka
harus menyelamatkan dulu bahasa Hebrew sebelum dapat menyelamatkan Bibel. Karena
tidak adanya bahasa asal Bibel maka wajarlah para teolog Yahudi dan Kristen mencari
jalan dan metodologi untuk memehami kembali Bibel melalui hermeneutika. Dalam hal
ini, hermeneutika dapat membantu karya terjemahan, lebih-lebih lagi jika bahasa asalnya
sudah tidak ditemukan lagi.17
Selain permasalahan di atas, kenyataan bahwa dalam
Kristen otoritas pendeta sebagai pemegang monopoli interpretasi Bibel makin
memperuncing permasalahan. Sehingga Gereja dengan pendetanya menjadi sebuah
lembaga yang bertanggung jawab secara penuh terhadap pemaknaan Bibel.
Problem lain yang muncul dalam tradisi Kristen, menurut kalangan kontra
hermeneutik adalah hubungan antara Bibel dengan sains modern. Dengan menelaah
perkembagan berbagai genre dalam interpretasi herneneutis Bibel, Adian
mendiskripsikan peroblema yang terjadi antara penafsiran literal dengan penafsiran
alegoris terkait dengan masalah kosmologi. Menurut asumsi kaum literal, ayat-ayat Bibel
terkait dengan alam semesta seharsunya diartikan secara literal. Selain itu, dasar-dasar
kosmologi haruslah diambil dari konsep Bibel itu sendiri. Dengan adanya otoritas kuat
penganut ajaran literalis dalam gereja yang begitu kuat, maka dalam sejarah pernah
terjadi ketegangan antara sains dengan doktrin literalis Bibel. Tercatat Galileo Galilei
16
Husaini, Adian, Problema Teks Bibel dan Hermeneutika, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban
Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.9 17
Ugi Sugiharto, Apakah al-Qur‟an Memerlukan Hermeneutika ?, dalam Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.48-49.
(1564-1642) dihukum oleh pihak otoritas gereja akibat dari temuannya berupa, matahari
sebagai pusat galaksi dan bukanlah bumi yang berperan sebagai pusat tata surya.18
Sebagai sikap anti terhadap kekuasaan gereja, keberadaan Hermeneutika yang
pada awalnya diterapkan untuk mencari makna asli di balik kata-kata Bibel, kini menjadi
senjata ampuh bagi teolog liberal untuk menegaskan perlawananya terhadap otoritas
gereja pada masa pertengahan. Liberalisasi yang dikuatkan oleh semangat hermeneutika
modern tersebut tampak dalam upaya yang dilakukan oleh Friedrich Schliermacher
(1768-1834). Baginya faktor kondisi dan motif pengarang sangatlah penting untuk
memahami makna suatu teks , di samping faktor gramatikal.19
Di lain pihak, Hamid Fahmi Zarkasyi menyatakan sikap kontra terhadap
hermeneutika juga disebabkan karena faktor muatan nilai yang dikandungnya. Dengan
mengutip Werner, ia menyebutkan tiga hal yang berpengaruh terhadap keberadaan
hermeneutika sebagai sebuah konsep atau teori interpetasi. Ketiganya adalah pertama
millaeu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua milleu masyarakat
Yahudi dan Nasrani yang menghadapi masalah teks kitab suci agama mereka dan
berupaya mencari model yang cocok untuk interpretasi yang dimaksud. Ketiga milleu
masyarakat Eropa pada zaman pencerahan yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan
dan membawa hermeneutika keluar dari konteks keagamaan.20
Berangkat dari ketiga
faktor tersebut, Zarkasyi berusaha mendeskripsikan pengaruh pandangan hidup
(worldview) terhadap tiga pase perkembagan hermeneutika, yaitu : pertama dari
motologi Yunani menuju teologi Yahudi dan Kristen. Kedua, dari teologi Kristen yang
problematik menuju gerakan rasionalisasi dan filsafat. Ketiga, dari hermeneutika filosofis
menjadi filsafat hermeneutika.
Setelah deskripsi di atas, Zarkasyi menyimpulkan bahwa heremeneutika dengan
kedua genrenya, alegoris dan gramatikal adalah metode pemahaman yang merupakan
produk kebudayaan Yunani. Karenanya dipandang tidak bebas nilai. Ketika masuk dalam
18
Husaini, Adian, Problema Teks Bibel dan Hermeneutika, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban
Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.13. 19
Husaini, Adian, Problema Teks Bibel dan Hermeneutika, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban
Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.14. 20
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Menguak nilai Di Balik Hermeneutika, dalam Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.18.
ranah penafsiran Bibel pada fase awal, hermeneutika tidaklah mendapatkan resistensi
karena memang tradisi Bibel belum memiliki mekansime interpretasi tersendiri ketika itu.
Namun setelah hermeneutika diberlakukan, perpecahan terjadi dalam internal Kristen.
Walaupun perpecahan tersebut tidaklah mewakili sikap resistensi mutlak terhadap
hermeneutika, tetapi hal itu lebih menunjukkan kepada fakta bahwa pemikiran Plato dan
Aristoteles ketika itu sangat mendominasi teologi Kristen. Bahkan pertentangan ini
melahirkan dua kelompok besar dalam agama Kristen, yaitu Protestan dan Katolik.
Realitas di atas dipandang oleh Zarkasyi sebagai bukti bahwa hermeneutika
tidak bisa diadopsi begitu saja tetapi perlu diadapsi ke dalam realitas teologi Kristen.
Mengigat mekanisme tersebut tidak ada dalam tradisi Kristen maka dengan cepat kajian
hermeneutika secara teologis berubah menjadi kajian filsafat. Dalam diskursus filsafat
inilah nilai-nilai barat dengan mekanisme pembaratannya mengisi pemaknaan baru
terhadap herneneutika. Karena keluar dari frame teologi dan bukan lagi teori interpretasi
kitab suci maka penggunaan hermeneutika dapat merusak sendi-sendi agama. Hal ini
terbukti dengan mendudukan teks Bibel sebagai sama dengan berbagai teks lainnya,
bahkan dipandang tidak lagi bisa dianggap pedoman dalam mengartikulasikan keimanan
Kristen.
Pada permaslahan yang sama, Adnin Armas menegaskan bahwa kehadiran
hermeneutika dalam iklim peradaban Barat didominasi oleh konstruk ilmu yang skeptik.
Karena itulah konsep yang ditawarkan oleh para hermeneut tentang sebuah makna,
kandungan, dan teori hermeneutika selalu mengalami perubahan. Perubahan demikian
dianggap sebagai sebuah penyempurnaan dari upaya menyelami makna menjadi lebih
baik dan lebih objektif. Friedrich Schliermacher, pendiri teologi protestan modern,
misalnya teori-teorinya tentang hermeneutika dimodifikasi oleh Wilhem Dilthey, Hans-
Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Hirsch, Emilio Betti dan lain-lain. Hal demikian tidak
terjadi secara ekstrim dalam tradisi tafsir. Sekalipun penafsir belakangan hadir dengan
beragama karya yang berbeda, namun tetap saja hal-hal yang sudah mapan tidak disentuh
dan tetap disepakati. Penyaliban Nabi Isa sebagai contoh. Tidak ada seorang penafsir pun
mengatakan bahwa Isa mati di tiang salib. Demikian pula kesepakatan mereka bahwa
tidak boleh wanita Muslimah kawin dengan lelaki non Muslim.21
Sedang sikap intelektual kontra hermeneutika memandang upaya hermeneutika
yang dilakukan oleh sarjana Muslim telah menjadi gugatan baru dalam wacana keislaman
moderen. Upaya memandang berbagai teks sebagai kitab yang memiliki penulis,
termasuk di dalamnya al-Qur‟an telah diwacanakan oleh Muhammad Arkoun dan Nasr
Hamid Abu Zaid. Muhammad Arkoun memandang bahwa formulasi mushaf utsmani
telah dijadikan sebagai wilayah yang steril dan tidak dapat disentuh oleh siapa pun oleh
penguasa ketika awal pembentukannya dulu. Padahal formulasi ini hanyalah sebuah hasil
konstruk sosial budaya ketika itu dan tidak sama sekali sakral. Bagi Arkoun, al-Qur‟an
merupakan hasil tokoh-tokoh historis yang mengangkat statusnya sebagai kitab suci.
Adapun status kewahyuan al-Qur‟an itu sendiri hanya bisa dikenal manusia lewat edisi
dunia. Al-Qur‟an dalam edisi dunianya inilah yang dianggap oleh Arkoun sebagai telah
dimodifikasi, revisi dan substitusi.22
Demikian pula pandagan Nasr Hamid Abu Zaid, ia melihat al-Qur‟an telah
menjadi bahasa manusia. Perubahan teks ilahi menjadi teks yang manusiawi terjadi sejak
al-Qur‟an samapai kepada Rasulullah saw. Dalam asumsi Nasr Hamid, al-Qur‟an lahir
dalam konstruk budaya dan setting sosial tertentu selam lebih dari dua puluh tahun.
Karenanya, al-Qur‟an dianggap sebagai produk budaya yang sangat kuat nuansa
kemanusiawiannya. Dalam hal ini, al-Qur‟an telah diturunkan dari posisi sakralnya
sebagai wahyu dan dianggap sebagai konstruk manusia layaknya pendapat Muhammad
Arkoun. Hanya saja bahasa yang digunakan oleh Nasr Hamid lebih halus dan tampak
lebih ilimiah disbanding penggambaran Arkoun.
Selain dua pemikir Arab Kontemporer di atas, Fazlur Rahman juga ditengarai
terpengaruh oleh metodologi hermenutika dalam kajiannya. Gerak ganda yang menjadi
landasan teoritis penafsiran Fazlur Rahman dianggap dipengaruhi oleh pemikiran Emilio
Betti. Gerak ganda yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman itu adalah upaya pembacaan al-
21
Adnin Armas, Tafsir al-Qur‟an atau Hermeneutika al-Qur‟an, dalam Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.42. 22
Adnin Armas, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur‟an. (Makalah di
sampaika di hadapan Mahasiswa UI dalam dauroh Pemikiran Islam. Hal.20
Qur‟an dengan menerobos masa lalu, kemudian mentransfernya kembali ke masa kini.
Inilah gerak ganda yang ia maksudkan dan memandangnya sebagai metodologi paling
tepat dalam mendekati pemaknaan al-Qur‟an. Bahkan ia menganggap bahwa kesalahan
para mufassir sebelumnya karena pendekatan yang mereka lakukan hanya bersifat
parsial. Fazlur Rahman memetakan hubungan teks dengan pembacanya sebagai
hubungan dialektis. Yaitu makna muncul setelah dipertemukan dengan pikiran pembaca.
Ia menolak kalau teks hanya bisa dipahami oleh pembaca semata, sebagaimana
penolakannya bahwa teks mampu memberikan pemahaman kepada pembaca secara
otonom. Ia sangat menekankan makna asal sebuah teks. Karenanya ia sangat melihat
betapa pentingnya mengetahui sosio historis al-Qur‟an dalam mengungkap hal tersebut.
HERMEUNETIKA DALAM PANDANGAN PENDUKUNGNYA
Bagi para pengusung teori-teori hermeneutika sebagai salah satu alat bantu
dalam mengungkap historis dan sosio politik sekaligus aspek psikologis al-Qur‟an,
berasumsi bahwa tafsir, ta‟wil dan hermeneutika sebagai ilmu interpteasi kitab suci
adalah sama.23
Persamaannya terletak pada fakta bahwa sarjana al-Qur‟an yang dinilai
memiliki kompetensi dalam ranah penafsiran adalah mereka yang mapan dalam ilmu
sejarah al-Qur‟an dan gramatika serta sastra arab.24
Hal ini tentu sama dengan fokus
kajian hermeneutika yang menjadikan bahasa sebagai medium teks dan sejarah yang
menjelaskan proses kreatif lahirnya teks dalam sebuah milleu. Seabagai wujud persamaan
hermeneutika dan tafsir, setidaknya dalam aspek bahasa, Sumaryono menulis, “disiplin
ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutikm adalah ilmu tafsir kitab
suci. Sebab karya yang mendapatkan isprisai ilahi seperti al-Qur‟an, kitab taurat, kitab-
23
Anis Masduki, Menggagas Interaksi Positif Ta‟wil dan Hermeneutika, dalam “http://anismasduki.
blogspot.com2008/01/menggagas-interaksi-positif-takwil-dan.html” Diakses pada hari Senin,3 Agustus
2009. 24
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama :Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta :
Paramadina), cet.1, th.1996, hal.136.
kitab veda, dan upasihad supaya dapat dimengerti memrlukan interpertasi atau
hermeneutik.25
Hermeneutika yang berkembang dalam tradisi filsafat modern dipandang maju
lebih jauh dalam aspek metodologis dibanding jangkauan tafsir yang berkembang dalam
tradisi Islam.26
sekalipun, dalam asumsi intelektual pro hermeneutic, ini tidak bisa
diartikan sebagai wujud keunggulan hermeneutika atas tradisi tafsir dalam diskursus
keislaman. Karena hal demikian hanyalah terkait dengan perbedaan tradisi dan
metodologi yang diterapkan, yang masing-masing berkembang dalam sejarah dan filsafat
yang berbeda.
Dalam tradisi Islam, al-Qur‟an dipandang sebagai kalam Allah yang diwahyukan
sehingga outensititasnya disepakati oleh kaum Muslim. Sementara dalam lingkup
kristiani, kemunculan dan peran hermeneutika berbeda denga apa yang berlaku dalam
ranah keislaman. Al-Qur‟an dengan posisi tersebut di atas menjadi standar dalam aspek
hukum, etika dan seluruh aspek hidup seorang Muslim. sementara di pihak lain, Bibel
bukanlah firman tuhan langsung, tetapi hanyalah catatan tentang sejarah tuhan Yesus.
Karenanya, Bibel tidaklah dijadikan standar hokum sehingga bebas ditafsirkan dan
diterjemahkan. Jika para ahli hermeneutika Barat mengawali kajiannya dalam aspek
keaslian teks Bibel, maka bagi Muslim hal itu telah final. Jika praktek hermeneutika
dibarat diuapayakan untuk mencari makna yang lebih baik, maka dalam diskursus al-
Qur‟an, tidak ada makna yang lebih baik selain makna yang dikehendaki oleh Allah swt27
Namun, sekalipun berbeda, baik al-Qur‟an dan Bibel tetap saja harus dihadapkan
dengan pertanyaan-pertanyaan hermeneutis menyangkut penafsiran dan pengungkapan
makna-makna yang dianggap masih asing dan perlu penjelasan tentang inti pesan yang
dikandungnya.
Al-Qur‟an yang diyakini berlaku sepanjang zaman dan pada berbagai tempat
juga sangat dijunjung tinggi oleh semua ummat Muslim. hanya saja dalam asumsi pro
25
E. Sumaryono, Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius), th.1999,
hal.41. 26
Hermeneutika dan Dinamisasi Tafsir 27
Hermeneutika dan Dinamisasi Tafsir
hermenetika, dari segi pemahaman dan pelaksanaan klaim tersebut tetap menuntut
pembuktian di satu sisi, dan di sisi lain, manusia punya pilihan untuk menentukan sikap
dan pilihannya sendiri. Dalam ruang seperti inilah lingkaran hermenetik terjadi, yatu
manakala al-Qur‟an dan pembeacanya terlibat secara intens. Dalam proses ini al-Qur‟an
terkadang berposisi sebagai subyek yang menentukan dan di saat lain ia berposisi sebagai
objek yang sedang dikaji. Dalam posisi terakhir ini, al-Qur‟an diharapkan mampu
menjawab berbagai klaim-klaim kebenaran yang dikandungnya.28
Dalam asumsi pro hermeneutika, hasil pemahaman manusia terhadap al-Qur‟an
tidak bisa dikategorikan sebagai pengetahuan yang absolut, karena ia lahir dari rasio
manusia yang memiliki keterbatasan. Ketika sebuah penalaran diabsolutkan maka ia telah
menyamai bahkan menandingi al-Qur‟an itu sendiri. Sebaliknya pun demikian, bagi
Muslim, jika pesan al-Qur‟an tidak diabsolutkan maka bisa saja terjatuh kedalam
nihilisme. Karenanya, produk pemahan manusia terhadap al-Qur‟an merupakan
penghubung antara yang absolut dengan yang relative. Karenanya Hamid Abu Zaid
mmepertanyakan, bagaimana mungkin makna obyektif al-Qur‟an dapat dicapai ? Apakah
mengugkap maksud Tuhan dengan segala keabsolutan-Nya termasuk dalam jangkauan
manusia dengan segala kekurangan dan keterbatasnnya. Tidak ada dari kedua genre
penafsiran (tafsir bi al-ma‟tsur dan tafsir bi al-ra‟yi) berkeyakinan demikian.29
Dalam lapngan hermenutika al-Qur‟an, Hasan hanafi lah yang dikenal pertama
kali melontarkannya dalam wacana keislaman. Hal yang dianggap paling menonjol
dalam hermeneutika hanafi adalah muatan ideologisnya yang sarat dengan maksud-
maksud praksis.dalam pandagan hanafi, hermeneutika bukanlah sekedar ilmu interpretasi
dan teori pemahaman semata, tetapi ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari
tingkat perkataan sampai ke tingkat kenyataan, dan lugas sampaii praksis serta juga
tampaknya wahyu dan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.30
28
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta :
Paramadina), cet.1, th.1996, hal.139. 29
Abu Zaid, Nashr Hamid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problema Bacaan dan Cara-Cara
Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, ( Jakarta : ICIP), cet.1, th.2004, hal.7 30
Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam Sahiron Syamsuddin “Hermeneutika Al-
Qur‟an : Mazhab Yogya”, (Yoyakarta : Islamika), cet.1, th.2003, hal.60-61.
Upaya pendekatan al-Qur‟an dengan disiplin hermeneutic seperti yang dilakukan
oleh Nasr Hamid Abu Zaid akhirnya menjadi wacana di antara para pemerhati dan
pengkertik hermeneutika. Dengan adanya resistensi sejumlah ulama dari da‟erah ketika
kedatangannya ke Indonesia, Abu Zaid pun urung untuk tampil di beberapa forum yang
telah direncanakan. Kondisi demikian membuat pemerhati hemeneutik mengemukakan
gugatan. Apa yang sesungguhnya mengerikan dalam elemen hermeneutis yang diusung
Abu Zayd? Di mana letak yang membahayakan itu? Barangkali yang dikhawatirkan para
penyerang itu adalah jika dialog takwil dan hermeneutika akan memelintir makna takwil
sebenarnya. Dalam bahasa Fahmi Salim selanjutnya “Konsep itu (takwil) tidak lagi
dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan
berdasarkan dalil kuat, yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna.
Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan
antara teks dan pemiliknya, juga antara makna dan segala kemungkinan arti yang
diakomodasi oleh dalil yang kuat”. Sebuah kekhawatiran yang tidak seharusnya terjadi.
Bukankah wacana “takhawwul dalali” (transformasi makna) telah ada dan masuk dalam
kajian semantik yang sudah ada prosedur dan batasan-batasannya. Memang garis batas
antara strukturalisme semantik dengan hermeneutik bahasa pernah kabur dan tumpang
tindih. Semantik lebih berorientasi pada pemaknaan “syntaxtical” sedangkan hermeneutik
lebih kepemahaman isi. Hermeneutika bahasa lebih kepemahaman isi dengan membuat
telaah interpretif phenomenologik. Hermeneutika bahasa ini dalam tradisi Barat lebih
dikenal sebagai hermeneutika Heidegger dan Derrida. Adapun hermeneutik ontologik
Gadamer yang postmodern dapat disebut sebagai hermeneutik filsafat atau hermeneutik
phenomenologik (Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, 2006). Dalam sejarah intelektual Islam
klasik kajian semantik sudah dibahas, dibuatkan prosedur dan batasan secara lebih berani
– daripada para penyerang Abu Zayd yang mengkhawatirkan metode ini – oleh tokoh-
tokoh linguistik semisal Al Farra‟, Al Jahidl, Qadli Abdul Jabbar, Al Jurjani dan lain-lain
dalam teori-teori mereka laiknya “al qashdu”, “ma‟nal ma‟na”, “majaz”, “nadlm” dan
sebagainya (Abu Zayd, Al Ittijah Al „Aqli, 2003). Abu Zayd lah yang justru
mengapresiasi temuan-temuan pakar bahasa Islam klasik ini dan menganggapnya sebagai
elemen progresif yang mendesak untuk diungkap dan diajarkan ke public.31
KESIMPULAN.
Berdasarkan papran di atas, bisa disimpulkan bahwa hermeneutika yang menjadi
ajang diskusi antara kedua belah pihak masih berada seputar keabsahan dan
kepantasannya untuk dijadikan landasan metodologis interpretasi. Tampaknya istilah
tafsir, ta‟wil dan hermeneutika tidaklah dipermasalahakan oleh kalangan pro
hermneutika. Sehingga kata hermeneutika yang digunakan selalu sinonim dengan istilah
ta‟wil dalam wacana keislaman. Hal demikian diangap bermasalah bagi kalangan kontra
hermeneutika. Sejumlah permaslahan menjadi landasan penolakan ini. Mulai dari aspek
keoutentikan al-Qur‟an dengan bahasa aslinya yang masih terjaga hingga saat ini sampai
pada kultur budaya yang membentuk tafsir serta ta‟wil tidak pernah meragukan aspek
historisnya dan linguistiknya sebagai mampu untuk menerjemahkan kehendak Tuhan
tanpa harus terbebani dengan budaya dan konstruk sosial yang melingkupi setiap
penafsir. Wallahu a‟lam.
Oleh kerenanya, jelas bahwa diskusi seputar hermeneutika dan tafsir al-Qur‟an
tetap harus terus berdialektika hingga masing-masing mampu untuk menujukkan sisi-sisi
yang pantas untuk digunakan untuk merekonstruksi kembali bagunan pemikiran Islam
kontemporer.
31 Anis Masduki, Menggagas interaksi positif tafsir dan hermeneutika, http://anismasduki.
blogspot.com /2008/01/menggagas-interaksi-positif-takwil-dan.html
DAFTAR PUSTAKA.
Abu Zaid, Nashr Hamid, Teksutualitas al-Qur’an : Kritik Terhadap Ulum al-Qur’an,
(Yogyakarta : LKiS ), cet.1, th.2001.
-------------------------------, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problema Bacaan dan
Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, ( Jakarta : ICIP), cet.1,
th.2004.
Al-Suyuti, Jalaluddin, al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, ( Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah ),
cet.1, th.1987.
Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, ( Baerut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah), cet.3,
th.2006.
Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an, ( Mesir : Dar al-Syuruq), cet.1,
th.1999, hal.198
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta
: Paramadina ), cet.1, th.1996.
Richard E. Palmer, Hermeneutika : Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar ), cet.2, th.2005.
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an ( Jakarta : Gema Insani Press),
cet.1, th.2004.
----------------, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur’an,
(Makalah disampaikan di hadapan Mahasiswa UI dalam dauroh Pemikiran Islam).
E. Sumaryono, Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Penerbit
Kanisius), th.1999, hal.41.
Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam Sahiron Syamsuddin
“Hermeneutika Al-Qur‟an : Mazhab Yogya”, (Yoyakarta : Islamika), cet.1,
th.2003.
Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, ( Jakarta : Khairul Bayan ), no.1,
th.2004.
Lady P.R. Mandalika, Hermeneutika Gadamer - Lingkaran yang Memperluas horizon.
http://forumteologi.com/blog/2007/04/24/hermeneutika-gadamer/.
Anis Masduki, Menggagas Interaksi Positif Ta‟wil dan Hermeneutika, dalam
“http://anismasduki. blogspot.com2008/01/menggagas-interaksi-positif-takwil-
dan.html”