12
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 1 Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA (Studi Kritis Terhadap Konsep Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd) Muhamad Ridwan Nurrohman A. Pendahuluan Al-Quran merupakan kitab suci yang secara umum telah dipahami sejak dahulu sebagai wahyu ilahi, kalamullah, yang secara lafdzan wa ma‟nan (teks dan makna) benar-benar bersumber dari Allah Swt. 1 namun akhir-akhir ini mulai muncul musuh-musuh Islam yang secara terang- terangan menolak konsep dan pemahaman tersebut. Dengan mengatasnamakan objektifitas ala Barat, ia mempersamakan al-Quran dengan buku-buku sastra buatan manusia, karena ia yakin bahwa ketika Allah Swt. menurunkan al-Quran, maka ketika itulah al-Quran yang tadinya firman ilahi menjadi ungkapan manusia biasa, karena bahasa Allah sebagai Tuhan jelas berbeda dengan bahasa makhluk, dan mustahil dipahami oleh makhluk-Nya. 2 Dengan pandangannya di atas, ia telah memposisikan al-Quran sebagai produk budaya atau dalam istilah asli penulis muntaj tsaqafi. 3 Setelah itu, pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa al- Quran ini, secara teks, adalah “karangan” Rasulullah Saw. hanya maknanya saja yang dari Allah, maka dari itu al-Quran dengan bahasa Arabnya Rasulullah Saw. ini amat sangat terikat dalam peradaban, juga sosio-historis bangsa Arab, khususnya orang Quraisy. 4 Begitulah gambaran umum konsep Abu Zayd terhadap al-Quran. Dalam makalah ini penulis mencoba mengungkap bagaimana proses pergulatan pemikiran Abu Zayd yang pada akhirnya sampai melahirkan kesimpulan seperti di atas, secara sederhana tentunya. Juga anasir-anasir apakah yang menjadi pokok hermeneutika al-Quran Abu Zayd ini. Selain itu penulis juga berusaha menampilkan penilaian kritis para Ulama terhadap konsep juga pandangan Abu Zayd tersebut. Semoga Allah mencurahkan inayah-Nya kepada penulis untuk dapat menggapai tujuan-tujuan tersebut. Semua yang benar tentu bersumber dari Allah Swt. sedangkan semua kesalahan tentu itu dari penulis semata. 1 Manna bin Khalil al-Qahthani, Mabahis fi „Ulum al-Quran. (Kairo: Maktabah Wahbah, cet-14, 2007) hlm. 21. 2 Nasr Hamid Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran. Terj. Sunarwoto. (Yogyakarta: LKIS, 2012) hlm. 112-113. 3 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi „Ulum al-Quran. (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-„Arabi li Thab‟ah wa al-Tauzi‟, cet-3: 1996) hlm. 24 dalam Ahmad Adnan Mafhum al-Nash fi al-Khitab al-„Arabiyyah al- Mu‟ashir: Nasr Hamid Abu Zayd.” Hlm. 1. 4 Lihat, Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran. Hlm. 88-89. Hal ini didasarkan pada keterangan bahwa al-Quran ini memang diturunkan dengan bahasa Arab atas dasar qira‟ah Quraisy. Untuk keterangan tersebut silahkan merujuk langsung Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al- Bukhari. Kitab al-Manaqib, bab Nuzulul Qur‟an bi Lisan Quraisy. Maka dari itu ia berkesimpulan demikian.

Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

Embed Size (px)

DESCRIPTION

al-Quran itu hanya produk budaya saja! benarkah?

Citation preview

Page 1: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 1

Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA

(Studi Kritis Terhadap Konsep Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd)

Muhamad Ridwan Nurrohman

A. Pendahuluan

Al-Quran merupakan kitab suci yang secara umum telah dipahami sejak dahulu sebagai

wahyu ilahi, kalamullah, yang secara lafdzan wa ma‟nan (teks dan makna) benar-benar bersumber

dari Allah Swt.1 namun akhir-akhir ini mulai muncul musuh-musuh Islam yang secara terang-

terangan menolak konsep dan pemahaman tersebut. Dengan mengatasnamakan objektifitas ala

Barat, ia mempersamakan al-Quran dengan buku-buku sastra buatan manusia, karena ia yakin

bahwa ketika Allah Swt. menurunkan al-Quran, maka ketika itulah al-Quran yang tadinya firman

ilahi menjadi ungkapan manusia biasa, karena bahasa Allah sebagai Tuhan jelas berbeda dengan

bahasa makhluk, dan mustahil dipahami oleh makhluk-Nya.2

Dengan pandangannya di atas, ia telah memposisikan al-Quran sebagai produk budaya atau

dalam istilah asli penulis muntaj tsaqafi.3 Setelah itu, pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa al-

Quran ini, secara teks, adalah “karangan” Rasulullah Saw. hanya maknanya saja yang dari Allah,

maka dari itu al-Quran dengan bahasa Arabnya Rasulullah Saw. ini amat sangat terikat dalam

peradaban, juga sosio-historis bangsa Arab, khususnya orang Quraisy.4

Begitulah gambaran umum konsep Abu Zayd terhadap al-Quran. Dalam makalah ini penulis

mencoba mengungkap bagaimana proses pergulatan pemikiran Abu Zayd yang pada akhirnya

sampai melahirkan kesimpulan seperti di atas, secara sederhana tentunya. Juga anasir-anasir apakah

yang menjadi pokok hermeneutika al-Quran Abu Zayd ini. Selain itu penulis juga berusaha

menampilkan penilaian kritis para Ulama terhadap konsep juga pandangan Abu Zayd tersebut.

Semoga Allah mencurahkan inayah-Nya kepada penulis untuk dapat menggapai tujuan-tujuan

tersebut. Semua yang benar tentu bersumber dari Allah Swt. sedangkan semua kesalahan tentu itu

dari penulis semata.

1 Manna bin Khalil al-Qahthani, Mabahis fi „Ulum al-Quran. (Kairo: Maktabah Wahbah, cet-14, 2007) hlm. 21. 2 Nasr Hamid Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran. Terj. Sunarwoto. (Yogyakarta: LKIS, 2012) hlm. 112-113. 3 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi „Ulum al-Quran. (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-„Arabi

li Thab‟ah wa al-Tauzi‟, cet-3: 1996) hlm. 24 dalam Ahmad Adnan “Mafhum al-Nash fi al-Khitab al-„Arabiyyah al-

Mu‟ashir: Nasr Hamid Abu Zayd.” Hlm. 1. 4 Lihat, Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran. Hlm. 88-89.

Hal ini didasarkan pada keterangan bahwa al-Quran ini memang diturunkan dengan bahasa Arab atas dasar

qira‟ah Quraisy. Untuk keterangan tersebut silahkan merujuk langsung Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-

Bukhari. Kitab al-Manaqib, bab Nuzulul Qur‟an bi Lisan Quraisy. Maka dari itu ia berkesimpulan demikian.

Page 2: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 2

Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

B. Mengenal Nasr Hamid Abu Zayd

Nasr Hamid Abu Zayd ini adalah seorang pemikir modernis asal Mesir, yang secara intens

mendalami kajian hermeneutika al-Quran. Dia lahir di Thantha, Mesir pada 7 Oktober 1943. Abu

Zayd tumbuh di tengah-tengah keluarga pedesaan yang sederhana. Saat berusia 8 tahun, dia telah

menghafal 30 juz seperti kebanyakan anak-anak muslim di negaranya. Namun karena keluarganya

tidak memiliki cukup materi untuk membiayai kuliah, pada awalnya ia tidak mendapatkan ijazah

Tsanawiyah „Ammah. Oleh karena itu, pada awalnya ia hanya mendapatkan gelar diploma dalam

bidang wireless dari sekolah industri. Namun, pada tahun 1972, Abu Zayd berhasil mendapatkan

gelar S1 dari Fakultas Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo. Setelah itu, masih di universitas

yang sama, dia berhasil mendapatkan gelar magister dan doktoral pada tahun 1976 (S2) dan 1979

(S3), dengan predikat highest honours.5

Namun dalam masa studi S3-nya, dia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-

1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Midle Eastern

Studies, University of Pensylvania, Philadelphia, USA. Di universitas ini dia mempelajari folklore6

dan metodologi kajian lapangan (fieldwork). Pada tahun 1992, dia menikah dengan Dr. Ibtihal

Yunis pada saat usianya menginjak 49 tahun. Di tahun yang sama pula, ia mengajukan karya-

karyanya untuk dipromosikan mendapat gelar profesor penuh di Fakultas Sastra Universitas Kairo.

Di antara sejumlah karyanya yang diajukan adalah Naqd al-Khitab al-Dini yang diterbitkan pertama

kalinya pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit di dunia Islam. Namun di tahun

ini juga dimulailah “kasus Abu Zayd” di persidangan yang berakhir dengan vonis murtad atas

dirinya dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun 1995. Karena karyanya dinilai tidak bermutu,

dan promosinya ditolak bahkan dinyatakan menyimpang dan merusak, karena isinya menghina dan

melecehkan ajaran Islam, menghujat Rasulullah Saw. dan masih banyak lagi. Prof. Abdul Shabur

Shahin, salah satu penguji ketika ia mengajukan promosi profesornya, dalam khutbahnya di Mesjid

„Amr bin „Ash menyatakan bahwa Abu Zayd telah murtad, yang kemudian di “amin-kan” oleh

para khatib lainnya di mesjid-mesjid pada hari jumat berikutnya, Mesir pun heboh. Dan pada

akhirnya pada 14 Juni 1995, “Mahkamah al-Isti‟naf Cairo” menyatakan Abu Zayd murtad.7

Setelah ia di usir dari Mesir –dengan fatwa murtad dan ia menolak untuk mencabut

keyakinannya kemudian dijatuhkan vonis hukuman mati yang dituntut oleh Majelis Ulama al-Azhar

5 Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam. (Bandung: Mizan, 2010) hlm. 457. Lihat juga, Henri Salahuddin,

Al-Qur‟an Dihujat. (Jakarta: Al-Qalam, 2007) hlm. 2. 6 Ilmu yang mempelajari kepercayaan-kepercayaan dan dongeng-dongeng tradisional mengenai suatu

masyarakat/bangsa. Kajian folklore ini kemudian diterapkan Abu Zayd sebagai salah satu pendekatan untuk

memperkuat asumsinya tentang historisitas al-Quran. Lihat, Henri Salahuddin, Al-Qur‟an Dihujat. Hlm. 3. Lihat juga,

Nasr Hamid Abu Zayd, al-Tafkir fi Zaman al-Takfir. (Kairo: Maktabah Madbuli, cet-2: 1995) hlm. 211. 7 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insani, 2008) hlm. 186-187.

Page 3: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 3

Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

kepada pemerintah Mesir, yang kemudian dibuktikan juga dengan dikeluarkannya keputusan dari

Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996, yang juga menyatakan ia telah murtad- maka

kemudian ia lari ke Madrid, Spanyol pada 23 Juli 1995, bersama-sama dengan istrinya. Sebelum

akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang (data pada tahun

2008).8

Menariknya, ketika di Mesir Abu Zayd dikafirkan, di Belada ia justru mendapatkan sambutan

hangat dan diperlakukan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden9 langsung merekrutnya sebagai dosen

sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang (data pada tahun 2008). Ia bahkan diberi kesempatan

dan kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom of Religion

and Conscience, kursi profesor prestisius di universitas tersebut. Tidak lama kemudian, Institute of

Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai Bucerius/ZEIT Fellow

untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam. Amerika juga tidak mau ketinggalan, pada 8 Juni

2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan “the Freedom of Worship

Medal”. Lembaga ini menyanjungnya terutama karena pemikiran-pemikirannya yang dinilai

„berani‟ dan „bebas‟ (courageous independence of though) serta sikapnya yang apresiatif terhadap

tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan humanisme Eropa.10

Bahkan ia juga

menduduki “kursi Ibn Rusyd dalam bidang kemanusiaan dan Islam” di Universitas Utrecht,

Belanda. Dia juga membimbing mahasiswa S2 dan S3 di Universitas Leiden.11

Al-Hasil, banyak muridnya di Leiden yang memang berasal dari Indonesia yang pada

waktunya menjadi para pembela juga penerus ajaran-ajarannya tersebut. Hingga saat ini, murid-

muridnya telah menempamati pos-pos penting di perguruan tinggi Islam di Indonesia. Mulailah

transfer pemikirannya ke Indonesia semakin masif ketika mereka sudah memegang peran-peran

tersebut, maka mulailah ajarannya diperkenalkan dan dijadikan bahan ajar di PTAI-PTAI yang

tersebar di seluruh Indonesia. Maka hadirlah ia layaknya “hero” bagi para pecinta ilmu-ilmu Islam

(Islamic Studies) kontemporer, dengan jargon “kebebasan berpikir”-nya,12

yang tentu saja hal

tersebut tidak lepas dari peran “Barat” untuk “memasarkannya”.13

Pada akhirnya, Abu Zayd hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang memilukan, terusir dari

kampung halaman sendiri karena keras kepala ingin mempertahankan “kekufuran berpikirnya”

setelah ia sendiri kalah dalam adu argumentasi bersama para Ulama besar al-Azhar. Bukan tanpa

kelonggaran, pada mulanya ia telah diminta oleh pihak al-Azhar untuk bertaubat dan mencabut

8 Ibid. Hlm. 187-188. 9 Berdiri sejak tahun 1575 di Amsterdam Selatan. Lihat, Henri Salahuddin, Al-Qur‟an Dihujat. Hlm. 4. 10 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Hlm. 189. 11 Henri Salahuddin, Al-Qur‟an Dihujat. Hlm. 4. 12 Ibid. Hlm. 1. 13 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Hlm. 188-189.

Page 4: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 4

Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

pendapatnya kembali, namun nasi telah menjadi bubur, ia tetap mempertahankan pemikiran

`nyeleneh` tersebut.14

Orang semacam ia ini cukup banyak. Ia jatuh ke lubang rasionalisme yang

digalinya sendiri. Abu Zayd seperti istrinya (Aladdin) telah menukar lampu lama dengan lampu

baru yang dijajakan oleh si tukang sihir.15

Karya-karyanya cukup banyak dalam bidang kajian al-Quran, namun praktis tercatat sebagai

karyanya yang paling berpengaruh adalah al-Ittijah al-Aqli fi Tafsir: Dirasah fi Qadhayyat al-

Majaz fi al-Quran „inda al-Mu‟tazilah (Tren Rasionalitas dalam Tafsir: Studi Problem Metafora

al-Quran menurut Mu‟tazilah, tesis Magister), Falsafat al-Ta‟wil: Dirasah Fi Ta‟wil al-Quran

„Inda Muhyiddin Ibn Arabi (Filsafat Hermeneutika: Studi Takwil al-Quran menurut Muhyiddin

Ibn Arabi, disertasi Doktor-nya), Mafhum al-Nash: Dirasah fi „Ulum al-Quran (Konsepsi Teks:

Kajian Ilmu-ilmu al-Quran, buku yang sempat ia ajukan untuk mendapatkan gelar Profesor pada

tahun 1993), al-Tafkir fi Zaman al-Takfir (Berpikir di Zaman Takfir), Naqd al-Khitab al-Diini

(Studi Kritik terhadap Diskursus Agama), al-Nash al-Sulthah al-Haqiqah (Teks, Otoritas, dan

Kebenaran), al-Imam al-Syafi‟i: Ta‟sis al-Aydiyulujiyya al-Wasatiyyah (Imam al-Syafi‟i dan

Pembentukan Ideologi Tengah), dan Isykalat al-Qira‟ah wa Aliyyat al-Ta‟wil (Problematika

Qira‟ah dan Mekanisme Hermeneutika).

C. Melihat Lebih Dekat Konsep Hermeneutika Abu Zayd

Secara sederhana, konsep Abu Zayd dalam menjabarkan teori hermeneutikanya terfokus

kepada dua hal, konsep historisitas al-Quran dan konsep kritik semiotika al-Quran, setidaknya itulah

yang diterangkan oleh Fahmi Salim.16

Konsep historisitas al-Quran disusun sebagai pondasi awal

dari hermeneutikanya, sedangkan konsep kritik semiotika al-Quran (literary critism) ia gunakan

sebagai pisau analisis utama dalam kajiannya terhadap teks al-Quran yang ia bahasakan sebagai

“kitab sastra Arab terbesar” (Kitab al-Arabiyyah al-Akbar) ini.17

14 Ibid. Hlm. 190. 15 Ibid. Hlm. 191. 16 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. (Jakarta: Perspektif, 2010) hlm. 219, 298 dan

398. 17 Ibid. Lihat juga, Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi „Ulum al-Quran. (Mesir: al-Hai-ah al-

Misriyyah al-„Ammah lil Kitab, 1990) hlm. 12.

Page 5: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 5

Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

“Abu Zayd nampak identik dengan

Schleirmacher saat menurunkan posisi

al-Quran dari yang asalnya “wahyu

yang suci”, menuju “teks sastra biasa”.

Kemudian ia nampak identik dengan

Dilthey ketika mengatakan bahwa al-

Quran ini hanyalah teks budaya, yang

dipengaruhi oleh kondisi sosial.”

1. Tentang Historisitas18

(Teks) al-Quran

Ketika al-Quran diturunkan kepada Rasulullah

Saw. maka ketika itu pula lah terjadinya perubahan

dari teks ilahi menjadi teks manusiawi.19

Karena

baginya, firman Tuhan juga butuh beradaptasi dalam

lingkup manusia, atau dalam bahasa lain

humanisasi. Dikarenakan ketika Allah ingin

berbicara kepada manusia, maka Allah harus

berbicara lewat bahasa manusia, karena jika tidak,

maka manusia mustahil bisa memahaminya. Maka berakhirlah kesimpulannya kepada The Quran is

human language atau al-Quran itu berbahasa manusia.20

Dalam ungkapan Abu Zayd, ketika itulah

al-Quran berubah dari tanzil kepada takwil.21

Jika pembaca membayangkan bahwa maksud

historisitas al-Quran di sini adalah asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, atau ilmu-ilmu al-Quran

lainnya maka Abu Zayd langsung menegaskan bahwa yang ia maksud bukanlah itu. Bahkan ia

menyebutkan bahwa apa yang dimaksud historisitas al-Quran di sini adalah dimensi historis yang

langsung berkaitan dengan teks al-Quran itu sendiri secara eksplisit sebagai konsekuensi logis dari

historisitas bahasa yang merangkai teks tersebut, atau lebih tepat dikatakan “Historisitas Teks al-

Quran”.22

Dalam perspektif historisitas al-Quran Abu Zayd, kekuasaan memegang peranan sangat besar

dalam mengubah sebuah pemahaman ke dalam “teks” atau nash dalam bahasa Abu Zayd.23

Transformasi besar mengenai al-Quran ini terjadi ketika teks al-Quran mulai diubah menjadi

mushaf, bagi Abu Zayd, dengan diubahnya menjadi mushaf telah menjadikan al-Quran yang

“mengandung makna” menjadi “hampa makna”.24

Fahmi Salim menjelaskan maksud dari konsep historisitas al-Quran Abu Zayd dengan

ungkapan “al-Quran sebagai teks linguistik dan produk budaya yang bertolak dari dan oleh

18 Kata “historisitas” atau “historisisme” untuk menyatakan bentuk paham, merupakan sebuah teori filsafat yang

dipegang oleh pemikir abad pencerahan di Barat tepatnya pada abad 17 dan 18 M. Historisisme adalah aliran dan tren

yang menyatakan bahwa hukum-hukum sosial bercirikan relativitas historis dan bahwa undang-undang itu berasal dari

pruduk nalar komunal. Lihat, Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Hlm. 315. 19 Ibid. Hlm. 220. 20 Abu Zayd dan Aster R. Nilson, Voice of An Exile: Reflections on Islam. (London: Wesport Connecticus, 2004)

hlm. 97. 21 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Hlm. 220. 22 Ibid. Hlm. 307. Lihat juga, Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini. (Beirut: Sina‟ li Nasyr, cet-1:

1992) hlm. 118-119. 23 Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran. Hlm. 88-89. 24 Ibid. Hlm. 15.

Page 6: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 6

Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

realita”.25

Begitulah konsep historisitas al-Quran Abu Zayd ini memposisikan al-Quran. Maka

tidak heran mengapa ia hanya memposisikan al-Quran sebagai “kitab sastra Arab terbesar”. Dengan

ini ia telah memposisikan al-Quran setara dengan karya-karya sastra biasa yang dibuat oleh para

penyair. Abu Zayd mencerminkan al-Quran sebagai pantulan sosiologis suatu periode sejarah

tertentu, seperti karya sastra lainnya yang merefleksikan periode dan pemikiran tertentu yang tidak

dapat melampaui zamannya dan kondisi sosio-antropologis saat karya itu dihasilkan, sama persis

dengan konsep hermeneutika seorang pemikir asal Jerman yaitu Wilhem Dilthey, “sits in leben”.26

Maka konsekuensinya adalah ia ingin menganulir setiap makna dan hukum-hukum tsawabit (tetap

dan berlaku abadi) yang ada di dalam al-Quran. Bahkan lebih dari itu, ungkap Fahmi Salim, ia telah

mengingkari sistem kepercayaan dan sistem legal al-Quran atas nama historisitas.27

Abu Zayd juga mengasumsikan al-Quran sebagai teks bahasa karena melihat realitas dan

kultur yang lekat dengan bahasa manusia, karena baginya realitas, kultur, dan bahasa adalah

fenomena historis; dan masing-masing memiliki kondisinya yang khusus. Karena alasan-alasan

itulah al-Quran juga adalah teks historis. Historisitas teks, realitas, kultur, dan bahasa menunjukkan

–tanpa sedikitpun keraguan- bahwa al-Quran adalah teks manusia. Dalam hal ini ia mengikuti

Schleirmacher (1768-1834), seorang penggagas “generale hermeneutic”, ia mengatakan bahwa

teks keagamaan sama saja dengan teks-teks lainnya dalam kebudayaan manusia. Maka dengan itu,

mengkaji al-Quran tidak memerlukan metode khusus. Pasalnya, menciptakan metode yang khusus

sama artinya mencegah manusia untuk memahami teks-teks agama secara mandiri.28

Baginya,

ketika al-Quran berada dalam areal sakralisasi, bahkan mitologisasi, dengan adanya metode

pengkajian yang khusus (studi tafsir yang telah mapan dalam Islam), maka di sana adalah akhir dari

manfaat teks tersebut, dan yang terpenting ia tidak dapat membangun rancangan metode

hermeneutikanya dalam pengkajian al-Quran.

Maka kesimpulan dari teori historisitas (teks) al-Quran Abu Zayd ini adalah dimana teks al-

Quran secara eksplisit benar-benar tidak mampu dilepaskan dari realitas ekonomis-sosial

masyarakat tempat teks itu sendiri keluar. Maka suatu teks itu tidak boleh dimaknai secara tekstual

(lahiriah; dzahir), karena secara pasti kemunculan teks itu hanya mampu menggambarkan alam

pikiran orang pada masa itu saja, sehingga sudah seharusnya teks tersebut dipalingkan kepada

makna batinnya (kontekstual), tanpa mempertimbangkan apakah teks itu berbicara tentang hal yang

tsawabit maupun yang mutagayyirat.29

Maka dari itu pula, al-Quran haruslah dibawa menuju ranah

25 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Hlm. 298. 26 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Hlm. 180. 27 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Hlm. 298. 28 Ibid. Hlm. 221. 29 Ibid. Hlm. 75.

Page 7: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 7

Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

realitas, kedisinian, dan membumi. Sekaligus juga harus dijauhkan dari istilah-istilah yang

berkonotasi sakral dan ketuhanan juga sekat-sekat absolutisme-ideologis, yang dinilai telah

memenjarakan makna dan menolak setiap kemungkinan multiinterpretasi.30

2. Tentang Konsep Kritik Semiotika al-Quran

Penelitian tentang konsep teks pada hakikatnya

adalah penelitian atas substansi al-Quran dan karakternya

sebagai teks bahasa, yaitu sebuah kajian yang mendekati

al-Quran hanya sebagai kitab sastra Arab terbesar dan

abadi. Kajian susastra al-Quran yang tidak menilik aspek

agama itulah yang kita inginkan dan juga diharapkan oleh

bangsa-bangsa Arab yang lain sebagai tujuan awal dan

utama yang mendahului semua tujuan lain, tegas Abu Zayd. Setelah itu, lanjut Abu Zayd, setiap

orang bisa menelaah al-Quran dari aspek lain seperti hukum perundangan, aqidah, akhlak, dan

reformasi sosial. Pasalnya, aspek-aspek tersebut baru dapat direalisasikan dengan baik setelah

melakukan kajian linguistik dan sastra al-Quran secara utuh dan komprehensif. Hanya metode

susastra –yang mana konsep teks menjadi porosnya- itulah yang menjamin terwujudnya kesadaran

kritis dan ilmiah untuk melampaui persepsi ideologis dalam kebudayaan dan pemikiran kita.31

Dari ungkapan Abu Zayd di atas terlihat bagaimana kecenderungannya dalam memandang

konsep penafsiran yang otoritatif bagi al-Quran itu hanya terbatas pada metode susastra saja.

Sehingga ia berani mengeliminir metode penafsiran lain dan men-judge bahwa metode selainnya

tidak mampu memberikan jaminan lompatan ilmiah. Bahkan ia menuduh bahwa metode tafsir yang

telah mapan dalam kajian Islam itu telah mengalami ideologisasi, mengkhianati teks al-Quran untuk

melayani kepentingan kelompok tertentu. Secara tidak langsung, ia telah mengkhianati diskursus

ilmiah yang ia lontarkan sendiri dengan tidak menyediakan ruang bagi metode lain untuk

memperkaya studi al-Quran.

Sebagaimana disinggung di awal, bahwa satu-satunya cara yang ditempuh oleh Abu Zayd

dalam menafsirkan al-Quran itu haruslah melalui kajian bahasa an sich –dengan melihat teks al-

Quran dari sisi historisnya- tanpa boleh membawa al-Quran ke dalam ranah absolutisme-ideologis

terlebih lagi dari ranah theistic-prophetic, yang hanya akan menjadikan al-Quran dan penafsirannya

sebagai teks sakral yang absolut. Karena baginya, suatu pandangan yang masuk ke ranah theistic-

30 Ibid. Hlm. 401. 31 Ibid. Hlm. 400. Lihat juga, Abu Zayd, Mafhum al-Nash. Hlm. 12-13. Secara terang Abu Zayd mengutip

ungkapan ini dari Amin al-Khuli dalam “Daa-irah al-Ma‟arif al-Islamiyyah” (Ensiklopedi Islam) pasal yang

menjelaskan tentang “Tafsir”.

Konsep “Historisitas (Teks) al-Quran”

disusun sebagai pondasi awal dari

hermeneutikanya, sedangkan konsep

“Kritik Semiotika al-Quran” (literary

critism) ia gunakan sebagai pisau

analisis utama dan satu-satunya dalam

kajiannya terhadap teks al-Quran.

Page 8: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 8

Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

prophetic hanya akan menjadikan al-Quran sebagai teks yang “rigid” (tidak sesuai dengan semangat

enlightment Barat) melalui sakralisasi dan mitologisasi terhadap teks al-Quran tersebut.

D. Contoh Penafsiran al-Quran dengan Metode Hermeneutika Abu Zayd

Sebenarnya banyak kasus yang bisa diangkat berkaitan dengan contoh penafsiran Abu Zayd

terhadap teks al-Quran. Namun penulis di sini hanya akan mengangkat satu contoh kasus saja, yang

penulis anggap cukup menarik dan sangat problematik dari penafsiran Abu Zayd. Ketika Abu Zayd

membaca ayat-ayat yang berkaitan dengan konsep Allah Swt. dalam al-Quran yang digambarkan

sebagai Maharaja yang memiliki „Arasy atau biasa diartikan singgasana (QS. Yunus [10]: 3), kursiy

(QS. Al-Baqarah [2]: 255) dan tentara-tentara (QS. Al-Fath [48]: 4), demikian pula konsep Lauh

Mahfudz (QS. Al-An‟am [6]: 59) dan Qalam (QS. Al-Qalam [68]: 1) untuk mencatat amal

perbuatan. Semuanya itu ia klaim sebagai gambaran masyarakat Arab ketika itu, yang tidak lepas

dari spektrum kebudayaan Arab jahiliyyah yang berperan membentuk teks al-Quran tersebut secara

mitologis tentang dunia metafisika (ghaib).

Namun, amat tidak wajar jika wacana agama kontemporer bersikeras untuk membakukan

makna teologis-eskatologis32

semacam itu seperti pemahaman di era perdana yang bersifat mistis,

meski telah dilampaui oleh realitas dan budaya yang terus berkembang, tegas Abu Zayd.33

Ini

merupakan bukti lain tentang pemahaman konsep al-Quran yang telah mengalami historisasi dan

reduksi kandungan mitologis ala Abu Zayd.34

E. “Membaca Ulang” Konsep Hermeneutika Abu Zayd

Seperti telah digambarkan di atas, bahwa konsep hermeneutika Abu Zayd berpangkal pada

dua aspek penting yaitu konsep historisitas (teks) al-Quran dan konsep kritik semiotika al-Quran.

Maka dalam upaya “pembacaan ulang” ini hanya akan terfokus terhadap dua aspek inti ini saja.

Namun aspek yang akan dikaji dalam sub-bahasan ini hanya konsepsi dasar hermeneutikanya, yaitu

konsep historisitas teks al-Quran karena untuk konsep kritik semiotika al-Quran-nya telah penulis

paparkan dalam pembahasan di atas.

Titik tolak dan mekanisme Abu Zayd dalam konsep historisitas teks al-Quran ini dapat

dikelompokan menjadi tiga. Pertama, prinsip pemisahan antara makna dan signifikasi hukum.35

Ini

32 Maksudnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan kematian, hari akhir, dan kebangkitan. 33 Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini. Hlm. 207. 34 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Hlm. 303. 35 Inti dari buah pikiran Abu Zayd dalam kasus ini adalah dari maksud dari makna dan signifikasi. Jika makna

hanya mewakili petunjuk historis bagi teks dan dalam konteks apa teks tersebut dibentuk, maka signifikasi (maghza) ia

identikan dengan karakter modern sebagai hasil pembacaan masa kini yang berbeda dengan masa kemunculan teks

tersebut.

Page 9: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 9

Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

ia lakukan secara kasat mata pada kasus porsi harta waris laki-laki dan wanita, saat menakwilkan

QS. Al-Nisa (4): 176. Karena baginya, pemaknaan tersebut hanya berlaku di masyarakat Arab

jahiliah, yang memang sejak awal sama sekali patriarkis dan memandang rendah wanita, adalah

suatu hal yang logis jika ayat tersebut dimaknai demikian. Jadi pada intinya, teks tersebut

signifikasinya adalah “perbaikan nasib kaum wanita”. Maka di sini peran hermeneutika Abu Zayd

adalah memisahkan makna hukum dan signifikasi yang terkandung di dalamnya, dan ini semacam

mekanisme yang dibuat sebagai penganulir makna dan perubahan satu hukum kepada hukum lain

mengikuti kondisi yang berlaku di masing-masing kondisi pembaca. Sedangkan ia melupakan ada

lebih dari 30 kasus spesifik dalam pewarisan yang mana kaum wanita mendapatkan porsi harta

waris yang sama dengan laki-laki, atau lebih besar dari porsi laki-laki, atau bahkan saat posisi laki-

laki sama sekali tidak mewarisi (ter-hijab; ter-mahjub) sedangkan wanita menerima bagian, jika

dibandingkan dengan 4 kasus spesifik saja dalam konteks yang porsi waita hanya setengah dari laki-

laki.36

Pada hakikatnya, saat ia menghilangkan makna (hakikat) dan menggantinya kepada

signifikasi (metafora), maka ia telah melipat halaman petunjuk-petunjuk makna yang jelas

dan diganti dengan sesuatu yang “tak terkatakan” yang disingkap oleh pembacaan subjektif.

Padahal Allah Swt. sendiri telah mengungkapkan secara tegas, bahwa “Sesungguhnya Kami-lah

yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr

[15]: 9). Maka aneh kiranya, saat Abu Zayd mengatakan “bahwa al-Quran itu hanyalah diskursus

sejarah dan tidak mengandung arti transenden yang tetap dan substansial, yang secara logis

berefek akan tidak adanya unsur-unsur substansial yang tetap di dalam teks dikarenakan setiap

pembacaan dalam arti historis-sosiologis memiliki substansinya sendiri yang tersingkap di dalam

teks”. Secara “vulgar” ia memakai teori tersebut dalam menafsirkan al-Quran, bahkan dalam

bukunya Isykaliyyat al-Qira‟ah wa Aliyyat al-Ta‟wil halaman 228, ia mengatakan, “Kita harus

menerima, seperti dinyatakan Louis Altussr, bahwa tak ada satu pun pembacaan yang objektif

(alias semuanya sangat subjektif, tergantung pembaca masing-masing).”37

Konsep historisitas

makna dan kontinuitas signifikasi dalam teks ini juga ia sadur dari konsep seorang kritikus asal AS

bernama David Hirsch (1928-...) yang telah sukses menerapkannya dalam kajian sastra –lewat

hermeneutika dialektis38

-materialis hasil penyempurnaan Gadamer (1900-2002 M)-, namun sangat

disayangkan bahwa Abu Zayd secara salah kaprah malah melakukannya untuk kitab suci al-Quran.

36 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Hlm. 306-307. 37 Ibid. Hlm. 315. 38 Makna kata ini secara singkat digambarkan dalam KBBI sebagai (1) hal berbahasa dan bernalar dengan dialog

sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah; (2) ajaran Hegel yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di

alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan hal lain lagi.

Page 10: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 10

Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

Kedua, historisitas struktur al-Quran. Konsep ini telah penulis uraikan panjang lebar dalam

pembahasan sebelumnya. Secara sederhana, dengan ini Abu Zayd telah mengafirmasi keniscayaan

historisitas al-Quran membuka pintu terhadap perkembangan dan perubahan konsep-konsep al-

Quran berupa sistem aqidah, hukum, dan kisah-kisah. Karena pada hakikatnya, tidak ada makna

yang tetap dalam teks al-Quran, karena teks al-Quran ini hanyalah teks humanis-antropologis yang

selalu berubah dan berkembang mengikuti perkembangan manusia, karena yang tetap itu hanyalah

teksnya saja –yang memang berguna sebagai simbol petunjuk- sedangkan pemahamannya

senantiasa bergerak dan berubah.39

Maka setiap teks harus dimaknai secara metafora tanpa boleh

dimaknai secara hakiki. Maka dengan begitu fungsi dari bahasa itu sendiri telah hancur, tidak lagi

dapat menunjukkan makna apa-apa, kemudian pemahaman manusia pun akan rancu.

Selain itu, tidak lagi ada artinya Allah Swt. menurunkan al-Quran dan mengutus nabi

Muhammad Saw. jika seandainya memang kemungkinan makna saja sudah dianggap cukup.

Bahkan al-Quran sendiri berargumen menentang kaum kafir dengan pengetahuan-pengetahuan logis

dan yang disepakati, maka jika makna dzahir menurut masyarakat arab itu bukan hujjah yang tidak

terlawan, maka ketetapan mereka tidak lagi jadi hujjah.40

Di atas semuanya itu, menurut logika, Allah Swt. tidak boleh meng-khitabi (berbicara) kepada

kita dengan lafadz yang dzahir sementara Dia tidak menghendaki makna yang dzahir tersebut,

melainkan makna yang lain tanpa memberikan tanda yang dapat menunjukkan apa yang dimaksud-

Nya41

. Karena sebuah lafadz untuk suatu makna yang tidak dzahir itu adalah hal yang sia-sia, dalam

arti tidak menunjukkan makna yang tidak dzahir tersebut. Maka secara logis, Allah Swt. tidak boleh

berbicara kepada kita dengan lafadz yang sia-sia, sebab itu main-main, dan Allah Swt. mustahil

bermain-main.42

Maka jadilah akhirnya al-Quran ini sebatas wadah kosong yang dapat diisi oleh

setiap pembaca dengan subjektivitasnya masing-masing.

Ketiga, perubahan kualitas teks dari situasi tanzil kepada ta‟wil antropologis. Abu Zayd

bahkan mengatakan bahwa ketika al-Quran diterima oleh Rasulullah Saw. itu adalah awal mula

terjadinya pergulatan antara wahyu (sebagai teks tanzil; teks otentik) dengan akal-pikiran

manusiawi beliau. Maka baginya, apa yang sering diistilahkan sebagai sunnah terlebih pemahaman

beliau terhadap al-Quran (yang kemudian dibacakan kepada sahabat sebagai teks ta‟wil; humanisasi

teks) itu bukanlah argumentasi yang perlu diperhitungkan, karena tidak ada keharusan pemahaman

39 Ibid. Lihat juga, Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini. Hlm. 118-119. 40 Ibid. Hlm. 12-13. 41 Tanda-tanda yang menunjukkan suatu teks itu bisa dimaknai secara majazi setidaknya ada tiga, (a) harus ada

korelasi antara makna hakiki dengan makna majazi yang diinginkan pembicara. (b) ia harus membuat indikasi tertentu

dari ucapannya baik kata-kata artikulatif maupun yang tak langsung, dan dapat membantu maksud sebenarnya dai

ucapannya itu. (c) harus ada hikmah atau alasan tertentu dibalik pengalihan makna itu. Lihat, ibid. Hlm. 322. 42 Ibid. Hlm. 12-13.

Page 11: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 11

Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

Nabi Saw. itu sesuai dengan petunjuk asli teks tersebut. Sekaligus juga ia menghilangkan peran

“Rasulullah” pada diri Muhammad Saw. atau setidaknya ia telah menganulir status “ma‟sum” dari

diri Rasulullah Saw. dan ini jelas bertentangan dengan sebuah konsep yang telah tsubut dalam Islam

mengenai kenabian.43

F. Penutupan

Setelah melihat konsep hermeneutika Abu Zayd ini, layaklah kita bertanya kepadanya,

“Benarkah lafadz-lafadz al-Quran itu diwahyukan tanpa atau dengan maknanya sekaligus?” maka

jika jawabannya yang pertama, maka dia telah menuduh Allah Swt. telah berbicara kepada manusia

dengan lafadz yang tak ada maksud sama sekali. Itu artinya menyatakan bahwa turunnya wahyu al-

Quran itu adalah suatu perbuatan yang sia-sia belaka, yang tak pantas dilakukan oleh makhluk,

terlebih oleh Sang Khalik. Sebaliknya, jika ia cenderung kepada yang kedua, maka apa artinya jika

makna-makna al-Quran itu tidak tetap dan tidak objektif dan setiap orang berhak mengartikannya

secara subjektif?

Kajian bahasa, seperti yang diinginkan Abu Zayd lewat konsep kritik semiotika al-Quran,

sebenarnya bukanlah pisau analisis yang sama sekali dilupakan oleh para mufassir sejak rentang

waktu sahabat hingga hari ini. Namun berlebihannya Abu Zayd adalah ketika teks al-Quran itu

sama sekali tidak boleh dianggap sebagai teks ilahi, padahal itu salah satu rukun Iman dalam Islam.

Ia menginginkan bahwa suatu ucapan bisa dikendalikan seenaknya oleh pendengar, padahal penutur

tidak rela ucapannya diperlakukan seenaknnya begitu (ini dibuktikan dengan diutusnya Rasulullah

Saw.), karena memang dengan begitu ia telah membunuh fungsi bahasa itu sendiri. Aliran teori

“resepsi”44

telah ditolak oleh para pakar studi keislaman sejak berabad-abad yang lalu. Teori ini

juga telah lama dipraktikkan oleh kaum bathiniyyah klasik dan penganut paham filsafat Gnostik45

untuk menakwilkan al-Quran yang pada ujungnya, akan menganulir hukum-hukum syari‟ah dan

menjustifikasi aliran-aliran kepercayaan yang menyimpang dari konsesus (ijma‟) umat Islam. Maka

sebenarnya apa yang dibawa oleh Abu Zayd ini bukanlah hal yang benar-benar baru pada

hakikatnya, dan ini menjadikan konsep hermeneutikanya ini semakin tidak layak untuk diapresiasi

berlebihan (berupa pengagungan).

Wallahu a‟lam bi shawwab.

43 Sebagaimana ditegaskan oleh Wahbah al-Zuhaili, bahwa jika pun Nabi Saw. salah, itu hanya dalam urusan

yang tidak terkait dengan penyampaian syari‟at, itu pun dengan syarat kemungkinan keliru itu tidak berlaku lama dan

akan segera diperbaiki. Lihat, Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jld. 2. Hlm. 1063. 44 Teori yang mementingkan tanggapan pembaca terhadap karya sastra, yang mungkin berubah-ubah, yang

bersifat penafsiran dan penilaian terhadap karya sastra yang terbit dalam rentang waktu tertentu. 45 Paham yang menganggap Tuhan beremanasi kepada makhluk-Nya atau dikenal dengan istilah wihdatul wujud.

Page 12: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 12

Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

DAFTAR PUSTAKA

Kitab dan Buku

Abu Zayd, Nasr Hamid. 1995. al-Tafkir fi Zaman al-Takfir. Kairo: Maktabah Madbuli.

__________________. 1990. Mafhum al-Nash: Dirasah fi „Ulum al-Quran. Mesir: al-Hai-ah al-

Misriyyah al-„Ammah lil Kitab.

_________________. 1992. Naqd al-Khitab al-Dini. Beirut: Sina‟ li Nasyr.

_________________. 2012. Teks Otoritas Kebenaran. Terj. Sunarwoto. Yogyakarta: LKIS.

Abu Zayd, Nasr Hamid dan Aster R. Nilson. 2004. Voice of An Exile: Reflections on Islam.

London: Wesport Connecticus.

Al-Qahthani, Manna bin Khalil. 2007. Mabahis fi „Ulum al-Quran. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr.

Arif Munandar Riswanto. 2010. Buku Pintar Islam. Bandung: Mizan.

Fahmi Salim. 2010. Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Jakarta: Perspektif.

Henri Salahuddin. 2007. Al-Qur‟an Dihujat. Jakarta: Al-Qalam.

Syamsuddin Arif. 2008. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani.

Makalah

“Mafhum al-Nash fi al-Khitab al-„Arabiyyah al-Mu‟ashir: Nasr Hamid Abu Zayd” karya Ahmad

Adnan.