Upload
muhamad-ridwan-nurrohman
View
307
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
al-Quran itu hanya produk budaya saja! benarkah?
Citation preview
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 1
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA
(Studi Kritis Terhadap Konsep Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd)
Muhamad Ridwan Nurrohman
A. Pendahuluan
Al-Quran merupakan kitab suci yang secara umum telah dipahami sejak dahulu sebagai
wahyu ilahi, kalamullah, yang secara lafdzan wa ma‟nan (teks dan makna) benar-benar bersumber
dari Allah Swt.1 namun akhir-akhir ini mulai muncul musuh-musuh Islam yang secara terang-
terangan menolak konsep dan pemahaman tersebut. Dengan mengatasnamakan objektifitas ala
Barat, ia mempersamakan al-Quran dengan buku-buku sastra buatan manusia, karena ia yakin
bahwa ketika Allah Swt. menurunkan al-Quran, maka ketika itulah al-Quran yang tadinya firman
ilahi menjadi ungkapan manusia biasa, karena bahasa Allah sebagai Tuhan jelas berbeda dengan
bahasa makhluk, dan mustahil dipahami oleh makhluk-Nya.2
Dengan pandangannya di atas, ia telah memposisikan al-Quran sebagai produk budaya atau
dalam istilah asli penulis muntaj tsaqafi.3 Setelah itu, pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa al-
Quran ini, secara teks, adalah “karangan” Rasulullah Saw. hanya maknanya saja yang dari Allah,
maka dari itu al-Quran dengan bahasa Arabnya Rasulullah Saw. ini amat sangat terikat dalam
peradaban, juga sosio-historis bangsa Arab, khususnya orang Quraisy.4
Begitulah gambaran umum konsep Abu Zayd terhadap al-Quran. Dalam makalah ini penulis
mencoba mengungkap bagaimana proses pergulatan pemikiran Abu Zayd yang pada akhirnya
sampai melahirkan kesimpulan seperti di atas, secara sederhana tentunya. Juga anasir-anasir apakah
yang menjadi pokok hermeneutika al-Quran Abu Zayd ini. Selain itu penulis juga berusaha
menampilkan penilaian kritis para Ulama terhadap konsep juga pandangan Abu Zayd tersebut.
Semoga Allah mencurahkan inayah-Nya kepada penulis untuk dapat menggapai tujuan-tujuan
tersebut. Semua yang benar tentu bersumber dari Allah Swt. sedangkan semua kesalahan tentu itu
dari penulis semata.
1 Manna bin Khalil al-Qahthani, Mabahis fi „Ulum al-Quran. (Kairo: Maktabah Wahbah, cet-14, 2007) hlm. 21. 2 Nasr Hamid Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran. Terj. Sunarwoto. (Yogyakarta: LKIS, 2012) hlm. 112-113. 3 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi „Ulum al-Quran. (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-„Arabi
li Thab‟ah wa al-Tauzi‟, cet-3: 1996) hlm. 24 dalam Ahmad Adnan “Mafhum al-Nash fi al-Khitab al-„Arabiyyah al-
Mu‟ashir: Nasr Hamid Abu Zayd.” Hlm. 1. 4 Lihat, Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran. Hlm. 88-89.
Hal ini didasarkan pada keterangan bahwa al-Quran ini memang diturunkan dengan bahasa Arab atas dasar
qira‟ah Quraisy. Untuk keterangan tersebut silahkan merujuk langsung Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-
Bukhari. Kitab al-Manaqib, bab Nuzulul Qur‟an bi Lisan Quraisy. Maka dari itu ia berkesimpulan demikian.
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 2
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
B. Mengenal Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd ini adalah seorang pemikir modernis asal Mesir, yang secara intens
mendalami kajian hermeneutika al-Quran. Dia lahir di Thantha, Mesir pada 7 Oktober 1943. Abu
Zayd tumbuh di tengah-tengah keluarga pedesaan yang sederhana. Saat berusia 8 tahun, dia telah
menghafal 30 juz seperti kebanyakan anak-anak muslim di negaranya. Namun karena keluarganya
tidak memiliki cukup materi untuk membiayai kuliah, pada awalnya ia tidak mendapatkan ijazah
Tsanawiyah „Ammah. Oleh karena itu, pada awalnya ia hanya mendapatkan gelar diploma dalam
bidang wireless dari sekolah industri. Namun, pada tahun 1972, Abu Zayd berhasil mendapatkan
gelar S1 dari Fakultas Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo. Setelah itu, masih di universitas
yang sama, dia berhasil mendapatkan gelar magister dan doktoral pada tahun 1976 (S2) dan 1979
(S3), dengan predikat highest honours.5
Namun dalam masa studi S3-nya, dia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-
1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Midle Eastern
Studies, University of Pensylvania, Philadelphia, USA. Di universitas ini dia mempelajari folklore6
dan metodologi kajian lapangan (fieldwork). Pada tahun 1992, dia menikah dengan Dr. Ibtihal
Yunis pada saat usianya menginjak 49 tahun. Di tahun yang sama pula, ia mengajukan karya-
karyanya untuk dipromosikan mendapat gelar profesor penuh di Fakultas Sastra Universitas Kairo.
Di antara sejumlah karyanya yang diajukan adalah Naqd al-Khitab al-Dini yang diterbitkan pertama
kalinya pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit di dunia Islam. Namun di tahun
ini juga dimulailah “kasus Abu Zayd” di persidangan yang berakhir dengan vonis murtad atas
dirinya dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun 1995. Karena karyanya dinilai tidak bermutu,
dan promosinya ditolak bahkan dinyatakan menyimpang dan merusak, karena isinya menghina dan
melecehkan ajaran Islam, menghujat Rasulullah Saw. dan masih banyak lagi. Prof. Abdul Shabur
Shahin, salah satu penguji ketika ia mengajukan promosi profesornya, dalam khutbahnya di Mesjid
„Amr bin „Ash menyatakan bahwa Abu Zayd telah murtad, yang kemudian di “amin-kan” oleh
para khatib lainnya di mesjid-mesjid pada hari jumat berikutnya, Mesir pun heboh. Dan pada
akhirnya pada 14 Juni 1995, “Mahkamah al-Isti‟naf Cairo” menyatakan Abu Zayd murtad.7
Setelah ia di usir dari Mesir –dengan fatwa murtad dan ia menolak untuk mencabut
keyakinannya kemudian dijatuhkan vonis hukuman mati yang dituntut oleh Majelis Ulama al-Azhar
5 Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam. (Bandung: Mizan, 2010) hlm. 457. Lihat juga, Henri Salahuddin,
Al-Qur‟an Dihujat. (Jakarta: Al-Qalam, 2007) hlm. 2. 6 Ilmu yang mempelajari kepercayaan-kepercayaan dan dongeng-dongeng tradisional mengenai suatu
masyarakat/bangsa. Kajian folklore ini kemudian diterapkan Abu Zayd sebagai salah satu pendekatan untuk
memperkuat asumsinya tentang historisitas al-Quran. Lihat, Henri Salahuddin, Al-Qur‟an Dihujat. Hlm. 3. Lihat juga,
Nasr Hamid Abu Zayd, al-Tafkir fi Zaman al-Takfir. (Kairo: Maktabah Madbuli, cet-2: 1995) hlm. 211. 7 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insani, 2008) hlm. 186-187.
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 3
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
kepada pemerintah Mesir, yang kemudian dibuktikan juga dengan dikeluarkannya keputusan dari
Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996, yang juga menyatakan ia telah murtad- maka
kemudian ia lari ke Madrid, Spanyol pada 23 Juli 1995, bersama-sama dengan istrinya. Sebelum
akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang (data pada tahun
2008).8
Menariknya, ketika di Mesir Abu Zayd dikafirkan, di Belada ia justru mendapatkan sambutan
hangat dan diperlakukan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden9 langsung merekrutnya sebagai dosen
sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang (data pada tahun 2008). Ia bahkan diberi kesempatan
dan kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom of Religion
and Conscience, kursi profesor prestisius di universitas tersebut. Tidak lama kemudian, Institute of
Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai Bucerius/ZEIT Fellow
untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam. Amerika juga tidak mau ketinggalan, pada 8 Juni
2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan “the Freedom of Worship
Medal”. Lembaga ini menyanjungnya terutama karena pemikiran-pemikirannya yang dinilai
„berani‟ dan „bebas‟ (courageous independence of though) serta sikapnya yang apresiatif terhadap
tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan humanisme Eropa.10
Bahkan ia juga
menduduki “kursi Ibn Rusyd dalam bidang kemanusiaan dan Islam” di Universitas Utrecht,
Belanda. Dia juga membimbing mahasiswa S2 dan S3 di Universitas Leiden.11
Al-Hasil, banyak muridnya di Leiden yang memang berasal dari Indonesia yang pada
waktunya menjadi para pembela juga penerus ajaran-ajarannya tersebut. Hingga saat ini, murid-
muridnya telah menempamati pos-pos penting di perguruan tinggi Islam di Indonesia. Mulailah
transfer pemikirannya ke Indonesia semakin masif ketika mereka sudah memegang peran-peran
tersebut, maka mulailah ajarannya diperkenalkan dan dijadikan bahan ajar di PTAI-PTAI yang
tersebar di seluruh Indonesia. Maka hadirlah ia layaknya “hero” bagi para pecinta ilmu-ilmu Islam
(Islamic Studies) kontemporer, dengan jargon “kebebasan berpikir”-nya,12
yang tentu saja hal
tersebut tidak lepas dari peran “Barat” untuk “memasarkannya”.13
Pada akhirnya, Abu Zayd hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang memilukan, terusir dari
kampung halaman sendiri karena keras kepala ingin mempertahankan “kekufuran berpikirnya”
setelah ia sendiri kalah dalam adu argumentasi bersama para Ulama besar al-Azhar. Bukan tanpa
kelonggaran, pada mulanya ia telah diminta oleh pihak al-Azhar untuk bertaubat dan mencabut
8 Ibid. Hlm. 187-188. 9 Berdiri sejak tahun 1575 di Amsterdam Selatan. Lihat, Henri Salahuddin, Al-Qur‟an Dihujat. Hlm. 4. 10 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Hlm. 189. 11 Henri Salahuddin, Al-Qur‟an Dihujat. Hlm. 4. 12 Ibid. Hlm. 1. 13 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Hlm. 188-189.
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 4
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
pendapatnya kembali, namun nasi telah menjadi bubur, ia tetap mempertahankan pemikiran
`nyeleneh` tersebut.14
Orang semacam ia ini cukup banyak. Ia jatuh ke lubang rasionalisme yang
digalinya sendiri. Abu Zayd seperti istrinya (Aladdin) telah menukar lampu lama dengan lampu
baru yang dijajakan oleh si tukang sihir.15
Karya-karyanya cukup banyak dalam bidang kajian al-Quran, namun praktis tercatat sebagai
karyanya yang paling berpengaruh adalah al-Ittijah al-Aqli fi Tafsir: Dirasah fi Qadhayyat al-
Majaz fi al-Quran „inda al-Mu‟tazilah (Tren Rasionalitas dalam Tafsir: Studi Problem Metafora
al-Quran menurut Mu‟tazilah, tesis Magister), Falsafat al-Ta‟wil: Dirasah Fi Ta‟wil al-Quran
„Inda Muhyiddin Ibn Arabi (Filsafat Hermeneutika: Studi Takwil al-Quran menurut Muhyiddin
Ibn Arabi, disertasi Doktor-nya), Mafhum al-Nash: Dirasah fi „Ulum al-Quran (Konsepsi Teks:
Kajian Ilmu-ilmu al-Quran, buku yang sempat ia ajukan untuk mendapatkan gelar Profesor pada
tahun 1993), al-Tafkir fi Zaman al-Takfir (Berpikir di Zaman Takfir), Naqd al-Khitab al-Diini
(Studi Kritik terhadap Diskursus Agama), al-Nash al-Sulthah al-Haqiqah (Teks, Otoritas, dan
Kebenaran), al-Imam al-Syafi‟i: Ta‟sis al-Aydiyulujiyya al-Wasatiyyah (Imam al-Syafi‟i dan
Pembentukan Ideologi Tengah), dan Isykalat al-Qira‟ah wa Aliyyat al-Ta‟wil (Problematika
Qira‟ah dan Mekanisme Hermeneutika).
C. Melihat Lebih Dekat Konsep Hermeneutika Abu Zayd
Secara sederhana, konsep Abu Zayd dalam menjabarkan teori hermeneutikanya terfokus
kepada dua hal, konsep historisitas al-Quran dan konsep kritik semiotika al-Quran, setidaknya itulah
yang diterangkan oleh Fahmi Salim.16
Konsep historisitas al-Quran disusun sebagai pondasi awal
dari hermeneutikanya, sedangkan konsep kritik semiotika al-Quran (literary critism) ia gunakan
sebagai pisau analisis utama dalam kajiannya terhadap teks al-Quran yang ia bahasakan sebagai
“kitab sastra Arab terbesar” (Kitab al-Arabiyyah al-Akbar) ini.17
14 Ibid. Hlm. 190. 15 Ibid. Hlm. 191. 16 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. (Jakarta: Perspektif, 2010) hlm. 219, 298 dan
398. 17 Ibid. Lihat juga, Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi „Ulum al-Quran. (Mesir: al-Hai-ah al-
Misriyyah al-„Ammah lil Kitab, 1990) hlm. 12.
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 5
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
“Abu Zayd nampak identik dengan
Schleirmacher saat menurunkan posisi
al-Quran dari yang asalnya “wahyu
yang suci”, menuju “teks sastra biasa”.
Kemudian ia nampak identik dengan
Dilthey ketika mengatakan bahwa al-
Quran ini hanyalah teks budaya, yang
dipengaruhi oleh kondisi sosial.”
1. Tentang Historisitas18
(Teks) al-Quran
Ketika al-Quran diturunkan kepada Rasulullah
Saw. maka ketika itu pula lah terjadinya perubahan
dari teks ilahi menjadi teks manusiawi.19
Karena
baginya, firman Tuhan juga butuh beradaptasi dalam
lingkup manusia, atau dalam bahasa lain
humanisasi. Dikarenakan ketika Allah ingin
berbicara kepada manusia, maka Allah harus
berbicara lewat bahasa manusia, karena jika tidak,
maka manusia mustahil bisa memahaminya. Maka berakhirlah kesimpulannya kepada The Quran is
human language atau al-Quran itu berbahasa manusia.20
Dalam ungkapan Abu Zayd, ketika itulah
al-Quran berubah dari tanzil kepada takwil.21
Jika pembaca membayangkan bahwa maksud
historisitas al-Quran di sini adalah asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, atau ilmu-ilmu al-Quran
lainnya maka Abu Zayd langsung menegaskan bahwa yang ia maksud bukanlah itu. Bahkan ia
menyebutkan bahwa apa yang dimaksud historisitas al-Quran di sini adalah dimensi historis yang
langsung berkaitan dengan teks al-Quran itu sendiri secara eksplisit sebagai konsekuensi logis dari
historisitas bahasa yang merangkai teks tersebut, atau lebih tepat dikatakan “Historisitas Teks al-
Quran”.22
Dalam perspektif historisitas al-Quran Abu Zayd, kekuasaan memegang peranan sangat besar
dalam mengubah sebuah pemahaman ke dalam “teks” atau nash dalam bahasa Abu Zayd.23
Transformasi besar mengenai al-Quran ini terjadi ketika teks al-Quran mulai diubah menjadi
mushaf, bagi Abu Zayd, dengan diubahnya menjadi mushaf telah menjadikan al-Quran yang
“mengandung makna” menjadi “hampa makna”.24
Fahmi Salim menjelaskan maksud dari konsep historisitas al-Quran Abu Zayd dengan
ungkapan “al-Quran sebagai teks linguistik dan produk budaya yang bertolak dari dan oleh
18 Kata “historisitas” atau “historisisme” untuk menyatakan bentuk paham, merupakan sebuah teori filsafat yang
dipegang oleh pemikir abad pencerahan di Barat tepatnya pada abad 17 dan 18 M. Historisisme adalah aliran dan tren
yang menyatakan bahwa hukum-hukum sosial bercirikan relativitas historis dan bahwa undang-undang itu berasal dari
pruduk nalar komunal. Lihat, Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Hlm. 315. 19 Ibid. Hlm. 220. 20 Abu Zayd dan Aster R. Nilson, Voice of An Exile: Reflections on Islam. (London: Wesport Connecticus, 2004)
hlm. 97. 21 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Hlm. 220. 22 Ibid. Hlm. 307. Lihat juga, Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini. (Beirut: Sina‟ li Nasyr, cet-1:
1992) hlm. 118-119. 23 Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran. Hlm. 88-89. 24 Ibid. Hlm. 15.
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 6
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
realita”.25
Begitulah konsep historisitas al-Quran Abu Zayd ini memposisikan al-Quran. Maka
tidak heran mengapa ia hanya memposisikan al-Quran sebagai “kitab sastra Arab terbesar”. Dengan
ini ia telah memposisikan al-Quran setara dengan karya-karya sastra biasa yang dibuat oleh para
penyair. Abu Zayd mencerminkan al-Quran sebagai pantulan sosiologis suatu periode sejarah
tertentu, seperti karya sastra lainnya yang merefleksikan periode dan pemikiran tertentu yang tidak
dapat melampaui zamannya dan kondisi sosio-antropologis saat karya itu dihasilkan, sama persis
dengan konsep hermeneutika seorang pemikir asal Jerman yaitu Wilhem Dilthey, “sits in leben”.26
Maka konsekuensinya adalah ia ingin menganulir setiap makna dan hukum-hukum tsawabit (tetap
dan berlaku abadi) yang ada di dalam al-Quran. Bahkan lebih dari itu, ungkap Fahmi Salim, ia telah
mengingkari sistem kepercayaan dan sistem legal al-Quran atas nama historisitas.27
Abu Zayd juga mengasumsikan al-Quran sebagai teks bahasa karena melihat realitas dan
kultur yang lekat dengan bahasa manusia, karena baginya realitas, kultur, dan bahasa adalah
fenomena historis; dan masing-masing memiliki kondisinya yang khusus. Karena alasan-alasan
itulah al-Quran juga adalah teks historis. Historisitas teks, realitas, kultur, dan bahasa menunjukkan
–tanpa sedikitpun keraguan- bahwa al-Quran adalah teks manusia. Dalam hal ini ia mengikuti
Schleirmacher (1768-1834), seorang penggagas “generale hermeneutic”, ia mengatakan bahwa
teks keagamaan sama saja dengan teks-teks lainnya dalam kebudayaan manusia. Maka dengan itu,
mengkaji al-Quran tidak memerlukan metode khusus. Pasalnya, menciptakan metode yang khusus
sama artinya mencegah manusia untuk memahami teks-teks agama secara mandiri.28
Baginya,
ketika al-Quran berada dalam areal sakralisasi, bahkan mitologisasi, dengan adanya metode
pengkajian yang khusus (studi tafsir yang telah mapan dalam Islam), maka di sana adalah akhir dari
manfaat teks tersebut, dan yang terpenting ia tidak dapat membangun rancangan metode
hermeneutikanya dalam pengkajian al-Quran.
Maka kesimpulan dari teori historisitas (teks) al-Quran Abu Zayd ini adalah dimana teks al-
Quran secara eksplisit benar-benar tidak mampu dilepaskan dari realitas ekonomis-sosial
masyarakat tempat teks itu sendiri keluar. Maka suatu teks itu tidak boleh dimaknai secara tekstual
(lahiriah; dzahir), karena secara pasti kemunculan teks itu hanya mampu menggambarkan alam
pikiran orang pada masa itu saja, sehingga sudah seharusnya teks tersebut dipalingkan kepada
makna batinnya (kontekstual), tanpa mempertimbangkan apakah teks itu berbicara tentang hal yang
tsawabit maupun yang mutagayyirat.29
Maka dari itu pula, al-Quran haruslah dibawa menuju ranah
25 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Hlm. 298. 26 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Hlm. 180. 27 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Hlm. 298. 28 Ibid. Hlm. 221. 29 Ibid. Hlm. 75.
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 7
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
realitas, kedisinian, dan membumi. Sekaligus juga harus dijauhkan dari istilah-istilah yang
berkonotasi sakral dan ketuhanan juga sekat-sekat absolutisme-ideologis, yang dinilai telah
memenjarakan makna dan menolak setiap kemungkinan multiinterpretasi.30
2. Tentang Konsep Kritik Semiotika al-Quran
Penelitian tentang konsep teks pada hakikatnya
adalah penelitian atas substansi al-Quran dan karakternya
sebagai teks bahasa, yaitu sebuah kajian yang mendekati
al-Quran hanya sebagai kitab sastra Arab terbesar dan
abadi. Kajian susastra al-Quran yang tidak menilik aspek
agama itulah yang kita inginkan dan juga diharapkan oleh
bangsa-bangsa Arab yang lain sebagai tujuan awal dan
utama yang mendahului semua tujuan lain, tegas Abu Zayd. Setelah itu, lanjut Abu Zayd, setiap
orang bisa menelaah al-Quran dari aspek lain seperti hukum perundangan, aqidah, akhlak, dan
reformasi sosial. Pasalnya, aspek-aspek tersebut baru dapat direalisasikan dengan baik setelah
melakukan kajian linguistik dan sastra al-Quran secara utuh dan komprehensif. Hanya metode
susastra –yang mana konsep teks menjadi porosnya- itulah yang menjamin terwujudnya kesadaran
kritis dan ilmiah untuk melampaui persepsi ideologis dalam kebudayaan dan pemikiran kita.31
Dari ungkapan Abu Zayd di atas terlihat bagaimana kecenderungannya dalam memandang
konsep penafsiran yang otoritatif bagi al-Quran itu hanya terbatas pada metode susastra saja.
Sehingga ia berani mengeliminir metode penafsiran lain dan men-judge bahwa metode selainnya
tidak mampu memberikan jaminan lompatan ilmiah. Bahkan ia menuduh bahwa metode tafsir yang
telah mapan dalam kajian Islam itu telah mengalami ideologisasi, mengkhianati teks al-Quran untuk
melayani kepentingan kelompok tertentu. Secara tidak langsung, ia telah mengkhianati diskursus
ilmiah yang ia lontarkan sendiri dengan tidak menyediakan ruang bagi metode lain untuk
memperkaya studi al-Quran.
Sebagaimana disinggung di awal, bahwa satu-satunya cara yang ditempuh oleh Abu Zayd
dalam menafsirkan al-Quran itu haruslah melalui kajian bahasa an sich –dengan melihat teks al-
Quran dari sisi historisnya- tanpa boleh membawa al-Quran ke dalam ranah absolutisme-ideologis
terlebih lagi dari ranah theistic-prophetic, yang hanya akan menjadikan al-Quran dan penafsirannya
sebagai teks sakral yang absolut. Karena baginya, suatu pandangan yang masuk ke ranah theistic-
30 Ibid. Hlm. 401. 31 Ibid. Hlm. 400. Lihat juga, Abu Zayd, Mafhum al-Nash. Hlm. 12-13. Secara terang Abu Zayd mengutip
ungkapan ini dari Amin al-Khuli dalam “Daa-irah al-Ma‟arif al-Islamiyyah” (Ensiklopedi Islam) pasal yang
menjelaskan tentang “Tafsir”.
Konsep “Historisitas (Teks) al-Quran”
disusun sebagai pondasi awal dari
hermeneutikanya, sedangkan konsep
“Kritik Semiotika al-Quran” (literary
critism) ia gunakan sebagai pisau
analisis utama dan satu-satunya dalam
kajiannya terhadap teks al-Quran.
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 8
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
prophetic hanya akan menjadikan al-Quran sebagai teks yang “rigid” (tidak sesuai dengan semangat
enlightment Barat) melalui sakralisasi dan mitologisasi terhadap teks al-Quran tersebut.
D. Contoh Penafsiran al-Quran dengan Metode Hermeneutika Abu Zayd
Sebenarnya banyak kasus yang bisa diangkat berkaitan dengan contoh penafsiran Abu Zayd
terhadap teks al-Quran. Namun penulis di sini hanya akan mengangkat satu contoh kasus saja, yang
penulis anggap cukup menarik dan sangat problematik dari penafsiran Abu Zayd. Ketika Abu Zayd
membaca ayat-ayat yang berkaitan dengan konsep Allah Swt. dalam al-Quran yang digambarkan
sebagai Maharaja yang memiliki „Arasy atau biasa diartikan singgasana (QS. Yunus [10]: 3), kursiy
(QS. Al-Baqarah [2]: 255) dan tentara-tentara (QS. Al-Fath [48]: 4), demikian pula konsep Lauh
Mahfudz (QS. Al-An‟am [6]: 59) dan Qalam (QS. Al-Qalam [68]: 1) untuk mencatat amal
perbuatan. Semuanya itu ia klaim sebagai gambaran masyarakat Arab ketika itu, yang tidak lepas
dari spektrum kebudayaan Arab jahiliyyah yang berperan membentuk teks al-Quran tersebut secara
mitologis tentang dunia metafisika (ghaib).
Namun, amat tidak wajar jika wacana agama kontemporer bersikeras untuk membakukan
makna teologis-eskatologis32
semacam itu seperti pemahaman di era perdana yang bersifat mistis,
meski telah dilampaui oleh realitas dan budaya yang terus berkembang, tegas Abu Zayd.33
Ini
merupakan bukti lain tentang pemahaman konsep al-Quran yang telah mengalami historisasi dan
reduksi kandungan mitologis ala Abu Zayd.34
E. “Membaca Ulang” Konsep Hermeneutika Abu Zayd
Seperti telah digambarkan di atas, bahwa konsep hermeneutika Abu Zayd berpangkal pada
dua aspek penting yaitu konsep historisitas (teks) al-Quran dan konsep kritik semiotika al-Quran.
Maka dalam upaya “pembacaan ulang” ini hanya akan terfokus terhadap dua aspek inti ini saja.
Namun aspek yang akan dikaji dalam sub-bahasan ini hanya konsepsi dasar hermeneutikanya, yaitu
konsep historisitas teks al-Quran karena untuk konsep kritik semiotika al-Quran-nya telah penulis
paparkan dalam pembahasan di atas.
Titik tolak dan mekanisme Abu Zayd dalam konsep historisitas teks al-Quran ini dapat
dikelompokan menjadi tiga. Pertama, prinsip pemisahan antara makna dan signifikasi hukum.35
Ini
32 Maksudnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan kematian, hari akhir, dan kebangkitan. 33 Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini. Hlm. 207. 34 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Hlm. 303. 35 Inti dari buah pikiran Abu Zayd dalam kasus ini adalah dari maksud dari makna dan signifikasi. Jika makna
hanya mewakili petunjuk historis bagi teks dan dalam konteks apa teks tersebut dibentuk, maka signifikasi (maghza) ia
identikan dengan karakter modern sebagai hasil pembacaan masa kini yang berbeda dengan masa kemunculan teks
tersebut.
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 9
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
ia lakukan secara kasat mata pada kasus porsi harta waris laki-laki dan wanita, saat menakwilkan
QS. Al-Nisa (4): 176. Karena baginya, pemaknaan tersebut hanya berlaku di masyarakat Arab
jahiliah, yang memang sejak awal sama sekali patriarkis dan memandang rendah wanita, adalah
suatu hal yang logis jika ayat tersebut dimaknai demikian. Jadi pada intinya, teks tersebut
signifikasinya adalah “perbaikan nasib kaum wanita”. Maka di sini peran hermeneutika Abu Zayd
adalah memisahkan makna hukum dan signifikasi yang terkandung di dalamnya, dan ini semacam
mekanisme yang dibuat sebagai penganulir makna dan perubahan satu hukum kepada hukum lain
mengikuti kondisi yang berlaku di masing-masing kondisi pembaca. Sedangkan ia melupakan ada
lebih dari 30 kasus spesifik dalam pewarisan yang mana kaum wanita mendapatkan porsi harta
waris yang sama dengan laki-laki, atau lebih besar dari porsi laki-laki, atau bahkan saat posisi laki-
laki sama sekali tidak mewarisi (ter-hijab; ter-mahjub) sedangkan wanita menerima bagian, jika
dibandingkan dengan 4 kasus spesifik saja dalam konteks yang porsi waita hanya setengah dari laki-
laki.36
Pada hakikatnya, saat ia menghilangkan makna (hakikat) dan menggantinya kepada
signifikasi (metafora), maka ia telah melipat halaman petunjuk-petunjuk makna yang jelas
dan diganti dengan sesuatu yang “tak terkatakan” yang disingkap oleh pembacaan subjektif.
Padahal Allah Swt. sendiri telah mengungkapkan secara tegas, bahwa “Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr
[15]: 9). Maka aneh kiranya, saat Abu Zayd mengatakan “bahwa al-Quran itu hanyalah diskursus
sejarah dan tidak mengandung arti transenden yang tetap dan substansial, yang secara logis
berefek akan tidak adanya unsur-unsur substansial yang tetap di dalam teks dikarenakan setiap
pembacaan dalam arti historis-sosiologis memiliki substansinya sendiri yang tersingkap di dalam
teks”. Secara “vulgar” ia memakai teori tersebut dalam menafsirkan al-Quran, bahkan dalam
bukunya Isykaliyyat al-Qira‟ah wa Aliyyat al-Ta‟wil halaman 228, ia mengatakan, “Kita harus
menerima, seperti dinyatakan Louis Altussr, bahwa tak ada satu pun pembacaan yang objektif
(alias semuanya sangat subjektif, tergantung pembaca masing-masing).”37
Konsep historisitas
makna dan kontinuitas signifikasi dalam teks ini juga ia sadur dari konsep seorang kritikus asal AS
bernama David Hirsch (1928-...) yang telah sukses menerapkannya dalam kajian sastra –lewat
hermeneutika dialektis38
-materialis hasil penyempurnaan Gadamer (1900-2002 M)-, namun sangat
disayangkan bahwa Abu Zayd secara salah kaprah malah melakukannya untuk kitab suci al-Quran.
36 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Hlm. 306-307. 37 Ibid. Hlm. 315. 38 Makna kata ini secara singkat digambarkan dalam KBBI sebagai (1) hal berbahasa dan bernalar dengan dialog
sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah; (2) ajaran Hegel yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di
alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan hal lain lagi.
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 10
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
Kedua, historisitas struktur al-Quran. Konsep ini telah penulis uraikan panjang lebar dalam
pembahasan sebelumnya. Secara sederhana, dengan ini Abu Zayd telah mengafirmasi keniscayaan
historisitas al-Quran membuka pintu terhadap perkembangan dan perubahan konsep-konsep al-
Quran berupa sistem aqidah, hukum, dan kisah-kisah. Karena pada hakikatnya, tidak ada makna
yang tetap dalam teks al-Quran, karena teks al-Quran ini hanyalah teks humanis-antropologis yang
selalu berubah dan berkembang mengikuti perkembangan manusia, karena yang tetap itu hanyalah
teksnya saja –yang memang berguna sebagai simbol petunjuk- sedangkan pemahamannya
senantiasa bergerak dan berubah.39
Maka setiap teks harus dimaknai secara metafora tanpa boleh
dimaknai secara hakiki. Maka dengan begitu fungsi dari bahasa itu sendiri telah hancur, tidak lagi
dapat menunjukkan makna apa-apa, kemudian pemahaman manusia pun akan rancu.
Selain itu, tidak lagi ada artinya Allah Swt. menurunkan al-Quran dan mengutus nabi
Muhammad Saw. jika seandainya memang kemungkinan makna saja sudah dianggap cukup.
Bahkan al-Quran sendiri berargumen menentang kaum kafir dengan pengetahuan-pengetahuan logis
dan yang disepakati, maka jika makna dzahir menurut masyarakat arab itu bukan hujjah yang tidak
terlawan, maka ketetapan mereka tidak lagi jadi hujjah.40
Di atas semuanya itu, menurut logika, Allah Swt. tidak boleh meng-khitabi (berbicara) kepada
kita dengan lafadz yang dzahir sementara Dia tidak menghendaki makna yang dzahir tersebut,
melainkan makna yang lain tanpa memberikan tanda yang dapat menunjukkan apa yang dimaksud-
Nya41
. Karena sebuah lafadz untuk suatu makna yang tidak dzahir itu adalah hal yang sia-sia, dalam
arti tidak menunjukkan makna yang tidak dzahir tersebut. Maka secara logis, Allah Swt. tidak boleh
berbicara kepada kita dengan lafadz yang sia-sia, sebab itu main-main, dan Allah Swt. mustahil
bermain-main.42
Maka jadilah akhirnya al-Quran ini sebatas wadah kosong yang dapat diisi oleh
setiap pembaca dengan subjektivitasnya masing-masing.
Ketiga, perubahan kualitas teks dari situasi tanzil kepada ta‟wil antropologis. Abu Zayd
bahkan mengatakan bahwa ketika al-Quran diterima oleh Rasulullah Saw. itu adalah awal mula
terjadinya pergulatan antara wahyu (sebagai teks tanzil; teks otentik) dengan akal-pikiran
manusiawi beliau. Maka baginya, apa yang sering diistilahkan sebagai sunnah terlebih pemahaman
beliau terhadap al-Quran (yang kemudian dibacakan kepada sahabat sebagai teks ta‟wil; humanisasi
teks) itu bukanlah argumentasi yang perlu diperhitungkan, karena tidak ada keharusan pemahaman
39 Ibid. Lihat juga, Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini. Hlm. 118-119. 40 Ibid. Hlm. 12-13. 41 Tanda-tanda yang menunjukkan suatu teks itu bisa dimaknai secara majazi setidaknya ada tiga, (a) harus ada
korelasi antara makna hakiki dengan makna majazi yang diinginkan pembicara. (b) ia harus membuat indikasi tertentu
dari ucapannya baik kata-kata artikulatif maupun yang tak langsung, dan dapat membantu maksud sebenarnya dai
ucapannya itu. (c) harus ada hikmah atau alasan tertentu dibalik pengalihan makna itu. Lihat, ibid. Hlm. 322. 42 Ibid. Hlm. 12-13.
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 11
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
Nabi Saw. itu sesuai dengan petunjuk asli teks tersebut. Sekaligus juga ia menghilangkan peran
“Rasulullah” pada diri Muhammad Saw. atau setidaknya ia telah menganulir status “ma‟sum” dari
diri Rasulullah Saw. dan ini jelas bertentangan dengan sebuah konsep yang telah tsubut dalam Islam
mengenai kenabian.43
F. Penutupan
Setelah melihat konsep hermeneutika Abu Zayd ini, layaklah kita bertanya kepadanya,
“Benarkah lafadz-lafadz al-Quran itu diwahyukan tanpa atau dengan maknanya sekaligus?” maka
jika jawabannya yang pertama, maka dia telah menuduh Allah Swt. telah berbicara kepada manusia
dengan lafadz yang tak ada maksud sama sekali. Itu artinya menyatakan bahwa turunnya wahyu al-
Quran itu adalah suatu perbuatan yang sia-sia belaka, yang tak pantas dilakukan oleh makhluk,
terlebih oleh Sang Khalik. Sebaliknya, jika ia cenderung kepada yang kedua, maka apa artinya jika
makna-makna al-Quran itu tidak tetap dan tidak objektif dan setiap orang berhak mengartikannya
secara subjektif?
Kajian bahasa, seperti yang diinginkan Abu Zayd lewat konsep kritik semiotika al-Quran,
sebenarnya bukanlah pisau analisis yang sama sekali dilupakan oleh para mufassir sejak rentang
waktu sahabat hingga hari ini. Namun berlebihannya Abu Zayd adalah ketika teks al-Quran itu
sama sekali tidak boleh dianggap sebagai teks ilahi, padahal itu salah satu rukun Iman dalam Islam.
Ia menginginkan bahwa suatu ucapan bisa dikendalikan seenaknya oleh pendengar, padahal penutur
tidak rela ucapannya diperlakukan seenaknnya begitu (ini dibuktikan dengan diutusnya Rasulullah
Saw.), karena memang dengan begitu ia telah membunuh fungsi bahasa itu sendiri. Aliran teori
“resepsi”44
telah ditolak oleh para pakar studi keislaman sejak berabad-abad yang lalu. Teori ini
juga telah lama dipraktikkan oleh kaum bathiniyyah klasik dan penganut paham filsafat Gnostik45
untuk menakwilkan al-Quran yang pada ujungnya, akan menganulir hukum-hukum syari‟ah dan
menjustifikasi aliran-aliran kepercayaan yang menyimpang dari konsesus (ijma‟) umat Islam. Maka
sebenarnya apa yang dibawa oleh Abu Zayd ini bukanlah hal yang benar-benar baru pada
hakikatnya, dan ini menjadikan konsep hermeneutikanya ini semakin tidak layak untuk diapresiasi
berlebihan (berupa pengagungan).
Wallahu a‟lam bi shawwab.
43 Sebagaimana ditegaskan oleh Wahbah al-Zuhaili, bahwa jika pun Nabi Saw. salah, itu hanya dalam urusan
yang tidak terkait dengan penyampaian syari‟at, itu pun dengan syarat kemungkinan keliru itu tidak berlaku lama dan
akan segera diperbaiki. Lihat, Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jld. 2. Hlm. 1063. 44 Teori yang mementingkan tanggapan pembaca terhadap karya sastra, yang mungkin berubah-ubah, yang
bersifat penafsiran dan penilaian terhadap karya sastra yang terbit dalam rentang waktu tertentu. 45 Paham yang menganggap Tuhan beremanasi kepada makhluk-Nya atau dikenal dengan istilah wihdatul wujud.
AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA | 12
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
DAFTAR PUSTAKA
Kitab dan Buku
Abu Zayd, Nasr Hamid. 1995. al-Tafkir fi Zaman al-Takfir. Kairo: Maktabah Madbuli.
__________________. 1990. Mafhum al-Nash: Dirasah fi „Ulum al-Quran. Mesir: al-Hai-ah al-
Misriyyah al-„Ammah lil Kitab.
_________________. 1992. Naqd al-Khitab al-Dini. Beirut: Sina‟ li Nasyr.
_________________. 2012. Teks Otoritas Kebenaran. Terj. Sunarwoto. Yogyakarta: LKIS.
Abu Zayd, Nasr Hamid dan Aster R. Nilson. 2004. Voice of An Exile: Reflections on Islam.
London: Wesport Connecticus.
Al-Qahthani, Manna bin Khalil. 2007. Mabahis fi „Ulum al-Quran. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr.
Arif Munandar Riswanto. 2010. Buku Pintar Islam. Bandung: Mizan.
Fahmi Salim. 2010. Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Jakarta: Perspektif.
Henri Salahuddin. 2007. Al-Qur‟an Dihujat. Jakarta: Al-Qalam.
Syamsuddin Arif. 2008. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani.
Makalah
“Mafhum al-Nash fi al-Khitab al-„Arabiyyah al-Mu‟ashir: Nasr Hamid Abu Zayd” karya Ahmad
Adnan.