Upload
ulie-udlhiyah
View
80
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
HIKMAH MUTA'ALIYAH & KESEJATIAN WUJUD
Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam 1
Oleh Ali Sibramalisi
Magister Islamic Philosophy Program ICAS - JAKARTA
HIKMAH MUTA'ALIYAH
A.Pendahuluan
Memperbincangkan filsafat memang selalu menarik, karena kita diajak untuk memahami suatu jalan
pemikiran yang terjal dan berliku, tetapi di sepanjang jalan itu banyak ditumbuhi bunga-bunga yang
indah bermekaran. Sebuah perjalanan menuju penemuan nilai kebenaran yang hakiki, meskipun relatif
atau nisbi.
Nilai ketertarikan itu akan semakin ‘memaksa’ kita untuk semakin semangat menapakinya, ketika ruang
sebuah filsafat berhubunga n dengan dogma agama (Islam). Maka dalam sejarah, kita dapat
mengamati betapa Islam sebenarnya kaya akan filosof dan ahli filsafat. Sebut saja, Ibnu Sina, Al-Farabi,
Al-Ghazali, Al-Kindi, Ibnu Rusyd, Ibnu ‘Arabi, Al-Suhrawardi, termasuk juga Mulla Shadra. Semua filosof
tersebut memiliki karakter dan ciri khas dalam berfilsafat. Hal ini karena diperngaruhi oleh banyak
faktor, seperti faktor goegrafis dimana ia tinggal, pengaruh pemikiran guru-gurunya, atau juga karena
faktor sosial-politik kala itu.
B. Riwayat Singkat Mulla Shadra
Nama lengkapnya adalah Muhammad bi Ibrahim Yahya Qawami Syirazi, yang dikenal dengan nama
Shadr al-Din al-Syirazi, atau Mulla Shadra. Ia biasa dipanggil al-Syirazi, karena ia dilahirkan di Syiraz,
Persia (Iran) pada tahun 979 M / 1571 M dari keluarga Qawam yang terkenal dan terhormat. Ayahnya
dikenal sebagai seorang penesehat raja dan bekerja sebagai seorang ahli hukum di Pemerintahan
Safawi (Dinasti Safawiyah), tepatnya di Provinsi Fars.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di Syiraz, ia pindah ke Isfahan, sebuah kota pemerintahan
dan budaya-intelektual saat itu. Disana ia belajar ilmu-ilmu agama pada Syaikh Baha’ al-Din Al-‘Amili
(wafat 1621 M) dan belajar ilmu filsafat, dan logika pada Mir Damad (wafat 1631 M). Beberapa sumber
menyebutkan, bahwa ia penah belajar pada Mir Abu Al-Qasim Findereski (wafat 1640 M).[2] Dari kedua
gurunya itulah, ia kemudian dinyatakan sebagai filosof terbesar di zaman modern Persia.
Pada akhirnya, Mulla Shadra kembali ke Syiraz karena panggilan Allahwardi Khan (Gubernur Provinsi
Fars waktu itu) dan permintaannya menjadi guru besar di sekolah yang didirikan gubernur tersebut.
Dibawah kepemimpinannya, sekolah tersebut menjadi pusat studi berpengaruh di Persia. Ia wafat di
Basrah pada tahun 1641 M dalam perjalanan pulang dari menunaikan ibadah haji ketujuh kalinya, yang
ia lakukan dengan berjalan kaki.
Secara garis besar, riwayat hidup Mulla Shadra dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: (1) periode
studi formal dibawah asuhan guru-guru terbaik, dimana ia mendapat pendidikan fikih ala tradisi Syi’ah :
fikih madzhab Ja’fari (Imam Ja’far al-Shadiq), serta ilmu tafsir, hadits, dan Al-Qur’an dari Syaikh Baha’
Al-Din Al-‘Amili ; (2) periode studi filsafat dan logika dibawah bimbingan Mir Damad, yang dijuluki Sang
Guru Ketiga, setelah Aristoteles dan Al-Farabi (boleh jadi dalam masa ini ia juga dibimbing oleh Mir Abu
Al-Qasim Findereski), dimana ia menghabiskan waktunya dengan ‘uzlah (mengasingkan diri) ; dan (3)
periode kepulangannya untuk mengajar dan menulis.
Karya-karyanya sebagai sumbangan pemikiran dalam dunia filsafat sangat banyak. Ulasannya atas
karya Al-Suhrawardi (Hikmah Al-Isyraq, Al-Abhari, Al-Hidayah fi Al-Hikmah), serta karya Ibnu Sina (Al-
Syifa’), bersanding dengan risalah-risalahnya tentang Organization, Resurrection (Awal Penciptaan dan
Hari Akhir), Predicating Essence of Existence, dan beberapa makalah singkatnya dalam tema-tema
serupa. Namun karya-karya filsafatnya yang sangat berpengaruh adalah Al-Masya’ir (Keprihatinan), AL-
Mabda’ wa Al-Ma’ad (Kitab Asal dan Tujuan), Al-Syawahid Al-Rububiyyah (Kesaksian Ilahi), Al-Hikmah
Al-Arsyiyyah (Kitab Teosofi tentang Singgasana Ke-Ilahi-an), Kasr Asnam Al-Jahiliyyah
(Menghancurkan Arca-Arca Paganisme) dan “Hikmah Transendental”-nya yang berjudul Al-Hikmah Al-
Muta’aliyah fi Al-Asfar Al-Arba’ah (Teosofi Transenden Mengenai Empat Pengembaraan).[5]
C. Pemikiran Mulla Shadra
Memperbincangkan Filsafat Hikmah Mulla Shadra senantiasa sinergi dan berbanding lurus dengan
alasan berfilsafat-nya. Sebagaimana dalam pendahuluan kitab Al-Hikmah Al-Muta’aliyah fi Al-Asfar Al-
Arba’ah, Mulla Shadra menyesalkan sikap masyarakat Muslim kala itu yang berpaling dari studi filsafat.
Padahal, prinsip-prinsip filsafat yang dipadukan dengan kebenaran wahyu Nabi (agama) adalah cermin
nilai kebenaran tertinggi.
Mulla Shadra membangun madzhab baru filsafat-nya itu dengan semangat untuk mempertemukan
berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum Muslim, yakni aliran Aristolelian-Neo
Platonis (Al-Farabi dan Ibnu Sina), filsafat Illuminasinis/Isyraqiyyah (Ibnu ‘Arabi), serta Teologi Dialektis-
Filosofis (Nashir al-Din Al-Thusi). Disamping penggabungan itu, ia juga menunjukkan pengetahuan
yang dalam tentang Al-Qur’an dan Hadits, dalam kaitannya dengan filsafat.
Seperti filosof-filosof Muslim sebelumnya, filsafat hikmah Mulla Shadra juga didasarkan pada tiga hal,
yaitu : (1) ashaalah al-wujud (prinsipal eksistensi), (2) tasykik (gradasi/tahapan eksistensi), dan (3) al-
harakah al-jauhariyyah (gerak substansial).
Mulla Shadra mengawali filsafat hikmah dengan kata kuncinya, yaitu : wujud, karena ia juga meyakini
ashaalah al-wujud (prinsipal wujud). Dalam pandangannya wujud, itu tidak dapat didefinisikan, selama
ia tidak mempunyai diferentis, jenis, aksiden, atau sifat khusus tertentu. Aksiden itulah yang disebut
esensi (mahiyah/rksisfensi/kuiditas). Baik wujud dan eksistensi adalah sebuah konsep pemikiran,
sehingga secara konseptual wujud dan eksistensi/esensi berbeda.
Contoh : “meja itu ada (the table is existent)”. Esensi “meja” tidak akan dapat dipahami bila tidak ada
yang masuk dalam pemaknaan, sebab dalam dunia realitas tidak ada substansi yang mandiri. Dilihat
dengan cara ini, maka keseluruhan fenomena “meja” (sebagai eksistensi) itu kemudian berubah
menjadi sesuatu seperti gambar bayang-bayang (sesuatu yang tidak sepenuhnya ilusi, tapi memiliki
sifat-sifat ilusi).
Meskipun wujud dan eksistensi berbentuk konsep, tetapi ia tetap bertalian dengan dunia realitas.
Pernyataan “meja itu ada” jelas berkaitan dengan sekeping realitas tertentu. “Meja” itu adalah wujud,
sedangkan (benda bernama) meja adalah aksiden yang menentukan bagaimana subjek menampakkan
diri sebagai suatu hal tertentu. Esensi meja adalah aksiden dalam jumlah tak terhitung yang mengubah
dan membatasi satu realitas tunggal, yakni wujud meja. Dalam pengertian ini, wujud sesungguhnya
melandasi semua realitas, konkrit atau abstrak.
Bila perbedaan wujud dan eksistensi hanya ada dalam pikiran (berupa konsepsi) dan di dunia eksternal
hanya ada satu realitas, maka bagi filsafat hikmah, realitas yang fundamental dan prinsipal adalah
eksistensi, sedangkan esensi hanyalah derivatif (turunan) dan abstraksi mental. Melalui pernyataan ini,
ia menarik kesimpulan bahwa objek ciptaan Tuhan (makhluk) bukanlah esensi, melainkan eksistensi
yang dinisbahkan pada esensi. Meski sepaham dengan pendapat Ibnu Sina dkk yang ada sebelumnya,
namun Mulla Shadra mampu mempertahankan prinsip tersebut dengan argumen rasional, tidak
sekedar berdasar pada intuisi mistik (kasyf) semata.
Dualisme wujuei dan eksistensi tersebut merupakan entitas ciptaan yang sama sekali tidak terdapat
pada Zat Wajib Al-Wujud (Cahaya Tertinggi, Cahaya diatas Cahaya, Allah). Zat mulia ini memberi
bentuk spesifik eksistensi pada semua entitas ciptaan melalaui radiasi atau iluminasi (isyraq), sehingga
entitas ciptaan itu sedikit-banyak bercahaya dan menyerupai Wajib Al-Wujud. Yang membedakannya
adalah watak gelap yang dimiliki entitas ciptaan sehingga berbeda dengan Cahaya di atas Cahaya.
Mulla Shadra juga berbeda pendapat dengan Ibnu Sina dalam tasykik (gradasi/tahapan eksistensi). Bila
Ibnu Sina dkk mengganggap eksistensi setiap benda itu berbeda dengan eksistensi yang lain, maka
bagi Mulla Shadra, eksistensi adalah realitas tunggal yang muncul dalam gradasi (tahap) yang berbeda.
Bila kita mengenal ada cahaya matahari, cahaya lampu, dan cahaya lain, maka semua itu adalah
cahaya (tunggal) hanya predikatnya yang berbeda. Begitu pula, ada Tuhan, ada manusia, ada
binatang, ada batu, ada tumbuhan. Semuanya satu eksistensi dan satu realitas, hanya intensitas dan
manifestasinya yang berbeda. Maka gradasi itu ada pada eksistensi, dan tidak ada pada esensi.
Tahapan tertinggi dalam tasykik adalah Tuhan yang Mahatinggi (Zat Wajib Al-Wujud), dan tahapan
paling rendah adalah Materi Awal.
Kaitannya dengan gradasi/tahapan eksistensi, jiwa manusia berbeda dengan semua entitas ciptaan
makhluk lantaran ia merupakan perpaduan antara cahaya dan kegelapan. Karena itulah, maka ada
keterkaitan antara alam akal (perintah, al-Amr’) dengan alam materiil (ciptaan, memisahkan jiwa dan
raga). Ia memiliki karsa dan potensi bebas tak terbatas, sehingga selalu bergerak menempuh tangga
eksistensial berdasarkan tingkat mental spiritualnya. Bila mental-spiritualnya baik, maka ia akan makin
mendekati kebenaran yang puncaknya Zat Wajib Al-Wujud. Akan tetapi bila mental-spiritualnya makin
buruk, maka ia akan terpuruk ke anak tangga yang lebih rendah.
Mulla Shadra juga sepakat dengan filosof kuno (Helmes, Thales, Pythagoras, dan Aristoteles) yang
menyatakan bahwa dunia diciptakan dalam waktu, sehingga dunia bersifat baru (huduts). Satu-satunya
realitas yang mendahului eksistensi waktu adalah Tuhan, yang meng-eksistensi(wujud)-kan dunia
melalui perintah (al-Amr’) kreatif-Nya. Akibatnya, maka waktu dan dunia yang diciptakan dalam waktu,
semuanya akan tunduk pada perubahan yang terus-menerus, dan karenanya itu tidak dapat disebut
abadi.
Bila filosof sebelumnya berpendapat bahwa gerak (perubahan) hanya terjadi pada empat kategori, yaitu
jumlah/kuantitas (kamm), mutu/kualitas (kaif), posisi (wadh’), dan tempat (ain), maka Mulla Shadra
dalam Al-Harakah Al-Jauhariyyah (gerak/perubahan substansial) berpendapat bahwa gerak
(perubahan) juga terjadi pada substansi. Ukuran, rasa, berat juga selalu berubah. Karena keberadaan
aksiden bergantung pad substansi, maka perubahan aksiden juga terkait dengan perubahan substansi.
Semua benda materiil berubah, maka ia tidak abadi.
D. Memahami Hikmah Muta’aliah
Pada dasarnya hikmah dalam filsafat Mulla Sadra memiliki pengertian khusus yaitu mengenal Tuhan,
sifat, perbuatan dan manifestasi-Nya. Dalam kitab Mafâtih al-Ghaib tentang hikmah muta'aliyyah
berkata, hakikat hikmah diperoleh dari ilmu hudhuri, jika seorang belum mencapai maqam ini maka
tidak disebut hakim (seorang yang memiliki hikmah).
Hikmah Muta'aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal),
penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling tingginya
hikmah. Dalam kitab Asfar dia berkata bahwa argumen akal, penyingkapan dan wahyu sejalan satu
sama lain dan tidak saling bertentangan, orang yang tidak mengikuti para nabi dan rasul pada dasarnya
tidak memiliki hikmah dan tidak disebut sebagai hakim atau filsuf ilahi. Syariat yang benar tidak mungkin
bertentangan dengan akal, karena pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu makrifat
Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya. Untuk sampai ke derajat kasyf dan syuhud maka akal harus dicahayai
dengan syariat, karena hakikat-hakikat yang diperoleh lewat argumen akal jika belum menyatu dengan
realitas luar maka merupakan hijab untuk mencapai hakikat-hakikat syuhudi, dengan bahasa lain kalau
akal belum dicahayai oleh syariat maka segala yang dipahami akal dengan ilmu husuli tidak akan
pernah mencapai ilmu huduri. Menurut Mulla Shadra fiqih untuk mengarahkan amal perbuatan manusia,
jika prilaku manusia terarah maka kondisi jiwa manusia akan sempurna menerima pancaran ilmu dan
makrifatnya dari Tuhan. Jadi fiqih merupakan pendahuluan bagi kesempurnaan ilmu dan makrifat
manusia.
Dalam filsafat Mulla Sadra empat aliran berpikir - aliran peripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf -
tergabung secara sempurna dan melahirkan aliran baru filsafat yang disebut Hikmah al-Muta'aliyah,
aliran filsafat ini walaupun secara metodologi sama dengan empat aliran di atas tapi pemikiran yang
dihasilkannya sangat jauh berbeda. Karenanya aliran filsafat ini dikatakan sebagai aliran yang berdiri
sendiri dan sebuah pandangan dunia yang baru.
Aliran filsafat Mulla Sadra mampu menggabungkan antara doktrin Islam dengan pemikiran filsafat. Al-
Quran dan hadis dijadikan tumpuan dan sumber ilham untuk menyelesaikan setiap persoalan dan
pembahasan yang rumit dalam filsafat. Inilah salah satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran
filsafat lainnya. Penggabungan dua unsur tersebut menjadikan karya-karya filsafatnya sebuah kitab
tafsir agama
Mazhab filsafat Mulla Shadra yang mendalam dan menarik dapat berperan dalam mendesain filsafat
lingkungan hidup serta menguatkan dasar-dasar filosofisnya. Filosof ini telah melahirkan sebuah
mazhab filsafat paripurna. Ia berkembang dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran, sunnah Nabi
Muhammad SAW dan Ahlulbait. Di samping itu ia juga terilhami oleh filsafat yang diajarkan oleh Al-
Farabi, Ibnu Sina, Suhrawardi, pemikiran Yunani, Persia kuno, dan Irfan yang mendalam dari Muhyiddin
Ibn Arabi.
Filsafat Mulla Shadra membawa berita gembira keserasian teori-teori filsafat dengan obyek-obyek
syuhud para arif, dengan Kitab takwini Allah yaitu keindahan alam semesta dan apa yang di baliknya
dan dengan Kitab Tadwini Allah yaitu Al-Quran. Mulla Shadra meyakini bahwa Akal, Kalbu dan Al-
Quran adalah tiga jalur yang identik untuk mengenali rahasia alam. Ia berusaha keras untuk mendirikan
sebuah mazhab filsafat yang dapat menjelaskan syuhud para urafa secara rasional juga berdasarkan
ajaran agama, dapat mendukung dakwaan-dakwaan akal dengan syuhud para urafa.
Dengan kata lain, akal dan kalbu berjalan seiring dengan kandungan ayat-ayat al-Quran dan riwayat-
riwayat yang shohih. Untuk itu ia berdalil bahwa Tuhan yang merupakan awal dari alam semesta adalah
juga yang mengirim Al-Quran, memberi manusia kemampuan berpikir dan juga kalbu yang
berkemampuan untuk syuhud hakikat alam. Oleh sebab itu wajar jika ketiganya saling mendukung dan
seiring.
Secara ringkas sejumlah prinsip filsafat Mulla Shadra yang menunjukkan potensi besarnya sebagai
basis filsafat paripurna. :
Prinsip pertama adalah bahwa semua yang ada, termasuk di dalamnya Tuhan maupun ciptaan Tuhan
yang dengan sendirinya memiliki hirarki dan strata keberadaan yang beragam, memiliki persamaan
yang penting dan mendasar serta kesatuan erat yang tak dapat dipisahkan.
Walaupun Mulla Shadra tidak meyakini adanya wujud individual, meyakini ada banyak maujud di alam
yang memiliki keragaman dan derajat yang berbeda, namun dalam keragaman dan keterbilangan itu,
terdapat kesatuan dan ikatan yang mendalam antara semua maujud, dari Tuhan yang menduduki posisi
tertinggi dan termulia dalam hirarki keberadaan, maujud-maujud di bawahnya sampai maujud yang
terendah di alam benda. Mereka semua sama sama ada.
Untuk memperjelas, Mulla Shadra menggunakan perumpamaan yang berawal dari filsafat Persia kuno.
Cahaya memiliki misdaq (ekstensi, denotasi) yang banyak. Misdaq-misdaq ini berbeda dari sisi
kekuatan, kelemahan dan keragaman. Silsilah ini berawal dari cahaya lilin yang lemah, cahaya lampu
kecil, cahaya lampu besar hingga berakhir ke cahaya matahari atau bahkan lebih kuat dari itu.
Walaupun cahaya menjelma dalam beragam bentuk dan persona yang tak terhingga; dari segi ini
cahaya sangat banyak jumlahnya, namun segenap bentuk dan corak memiliki kesatuan dari sisi
ke’cahaya’an-nya. Jika kita menempatkan kegelapan di hadapan cahaya, semua persona cahaya akan
serentak dan sepakat sebagai sesuatu yang mematahkan kegelapan.
Mulla Shadra berpendapat bahwa semua ‘yang ‘ada’ sejalan dan laksana rantai yang terkait satu
dengan yang lain dalam rangka menentang dan melawan ketiadaan. ‘Yang ada’ mencakup Tuhan,
malaikat, manusia, langit, bumi, galaksi, binatang, pohon, tumbuh-tumbuhan, air dan benda-benda
padat dan lain sebagainya. Tidak satupun keluar dari lingkaran kebersamaan dan kesatuan ini.
Prinsip kedua, Mulla Shadra menyatakan bahwa hubungan antara sebab dan akibat merupakan
hubungan yang eksis secara khas dan semacam hubungan matematis. Dalam silsilah angka, misalnya,
kita tidak dapat mencabut angka 4 antara 3 dan 5 lalu menempatkannya di tempat lain. Tempat angka 4
hanya antara 3 dan 5. begitupula hubungan antara sebab ‘A’ dan akibatnya ‘B’. Hubungan tersebut
tidak dapat diubah dikarenakan sinkronisitas keberadaan di antara keduanya. Hubungan itu tidak dapat
diubah.
Tuhan adalah sebab dari ‘keberadaan’ semua maujud. Oleh sebab itu, hubungan keberadaanNya
dengan maujud lain seperti langit, alam, bumi, manusia dan yang lain adalah sebuah hubungan
keniscayaan. Begitu pula hubungan antara masing-masing akibatNya. Dengan demikian dapat
dimengerti bahwa hubungan antara satu maujud dengan yang lain di alam ini bersifat keniscayaan.
Karena Allah SWT, Maha Bijak dan Maha Mengetahui, Dia telah menciptakan alam dengan tatanan
terbaik yang mungkin terjadi. Mustahil dibayangkan sebuah tatanan yang lebih baik dari yang ada. Jika
mungkin maka pastilah telah diciptakannya.
Dalam tatanan terbaik ini, posisi manusia sangat istimewa. Karena memiliki kehendak, ia berbeda
dengan maujud yang tidak berkehendak atau berkehendak namun berlandaskan insting. Manusia
memiliki kehendak yang bebas dan selalu berada antara dua jalur kebenaran dan kesalahan. Al-Quran
menyatakan, “Telah Kami tunjukkan kepadanya jalan, terkadang ia bersyukur dan terkadang
mengingkari” [Surat al-Insan (76): 3]
Karena merupakan maujud yang berkehendak bebas, manusia bisa menjadi salah satu kategori berikut
di bawah ini: Hanya memikirkan dorongan syahwat kebinatangan dan mengatur hidupnya berdasarkan
itu. Dengan demikian ia telah merubah dirinya menjadi binatang seperti yang tidak memikirkan kecuali
perut dan libido. Melakukan penghancuran, aniaya dan kezaliman terhadap diri, masyarakat dan Tuhan.
Dengan demikian ia berubah menjadi srigala yang tidak memikirkan selain kebuasan dan kekejaman.
Selalu berpikir untuk menipu orang lain dan mendasari tindakannya dengan itu. Dengan demikian ia
menjadi manusia jelmaan setan.
Manusia juga dapat hanya mencari kesempurnaan, kejernihan dan kebersihan. Menghiasi jiwa dengan
nilai-nilai kesempurnaan dengan menambah pengetahuan dan beramal salih. Ia adalah manusia yang
menjadi malaikat.
Oleh sebab itu dalam tatanan terbaik alam semesta, hanya manusia yang memiliki peranan yang
menentukan. kepada manusia Tuhan menyerahkan pembentukan alam ciptaan sesuai dengan
kehendakNya. Hanya manusia yang dapat menyampaikan tatanan terbaik ini ke posisi semestinya.
Hanya manjusia pula yang dapat mendatangkan kerusakan di dalamnya. Hanya manusia yang dapat
sampai ke tahapan tertinggi kesempurnaan dan melewati malaikat. Itulah harmoni yang sesungguhnya
di dalam tatanan keberadaan. Dengan demikian manusia menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dan
cermin seutuhnya Tuhan. Atau sebaliknya, dengan menginjak nilai-nilai moral dan spiritual, ia jatuh ke
lembah terdalam kehinaan.
Dalam pada itu, Tuhan, pencipta alam semesta termasuk manusia, telah mengirim buku panduan
melalui utusan-utusanNya untuk membimbing kehendak bebas manusia. Agar ia dapat mengenali jalur
yang benar dari yang salah. Karena alam ciptaan dan kitab bersumber dari Tuhan, keduanya tidak
hanya tidak bertentangan, malah terdapat harmoni dan sinkronisitas yang sempurna di antara
keduanya. Masing-masing bertanggung jawab terhadap sebagian dari proyek tatanan terbaik ini.
Prinsip ketiga, filsafat Mulla Shadra menyatakan bahwa segenap maujud di alam semesta, baik yang
material maupun yang metafisikal, kesemuanya adalah tampilan dan jelmaan Tuhan. Semua laksana
cermin menampakkan Tuhan di dalamnya. Oleh sebab itu semua maujud adalah tanda Tuhan.
Bahwa sebenarnya jelmaan dan penampakan (madhahir) Tuhan tidak berbilang dan tidak beragam.
Dengan ungkapan lain, Tuhan tidak memiliki lebih dari satu madzhar (jelmaan) dalam tahapan kreasi
dan aksi. Sebagai contoh jika kita memancarkan cahaya dari atas ke sejumlah kaca dengan warna
yang beragam, cahaya yang terpentul ke benda-benda lain melewati kaca-kaca tersebut akan menjadi
beragam sebanyak warna yang ada pada kaca-kaca tadi. Padahal hanya ada satu cahaya yang
dipancarkan. Mulla Shadra berpandangan bahwa jelmaan dan emanasi Tuhan ke alam semesta hanya
satu. Namun karena terkena pada banyak hal, menjadi beragam dan banyak. Contoh lain dinukil dari
Ibnu Arabi. Manusia memproduksi suara dengan cara melewatkan nafas yang keluar dari paru-paru
melalui banyak titik yang berbeda; lidah, gigi dan bibir. Susunan suara menjadi ribuan kata, susunan
kata menjadi kalimat, susunan kalimat menjadi media komuniklasi yang dapat memindahkan ide,
pandangan dan informasi yang tertutup di hati. Akan tetapi kesemuanya itu tidak lain hanya nafas yang
keluar dari paru-paru manusia. Perbedaan hanya disebabkan karena nafas tersebut dalm
perjelanannya telah membentur dinding dan permukaan yang berbeda-beda di mulut manusia.
Makhluk Allah SWT juga seperti ucapan. Mereka semua adalah emanasi dan Nafas Ilahi (Nafas Ar-
Rahman) yang berbenturan dengan quiditas-quiditas yang berbilang dan muncul dengan bentuk-bentuk
makhluk yang beragam. Kesemuanya menunjukkan Tuhan sesuai dengan kadar dan kesiapan masing-
masing. Kesatuan di antara keragaman ini sangat mendasar dan penting. Hal tersebut menunjukkan
bahwa jika manusia bergerak melawan biosistem dan makhluk lainnya, maka ia sendirilah yang
sebenarnya merugi.
Implikasi prinsip di muka adalah kenyataan bahwa seluruh bagian dan makhluk yang ada di dunia
seluruhnya merupakan perwujudan serta bentuk nyata dari kebenaran Tuhan di alam raya. Semua
makhluk merupakan nama dan kata Tuhan; “nama” di sini adalah sesuatu yang menunjukkan
kebenaran yang spesifik. Seluruh hal merupakan tanda-tanda Tuhan, alam raya seperti sebuah cermin
di mana Tuhan hadir dan nyata, dan semua makhluk ini dengan ukurannya masing-masing
mewujudkan Tuhan, yang berarti, mereka semua mengindikasikan kehadiran Tuhan.
Kenyataan bahwa semua makhluk, dengan keterbatasan yang ada padanya, merupakan tanda Tuhan.
akan kesucian, keindahan, kilauan, ilmu pengetahuan, hidup, dan kesempurnaan lainnya dari Tuhan.
Seluruh makhluk tanpa terkecuali, diharuskan untuk memuji dan mengagungkan Tuhan, dan
berdasarkan hal tersebut, Shadr-ul-Muta’allihin Shirazi percaya bahwa semua atribut kesempurnaan
seperti makluk hidup, intelektual, sinar mengalir dan beredar pada semua makhluk di seluruh alam raya.
Prinsip keempat, Mulla Shadra adalah bahwa setiap maujud alam ini, yang berada di martabat dan
level keberadaan manapun, memiliki semua sifat kesempurnaan. Setiap ‘yang ada’ memiliki kehidupan,
pengetahuan, kekuatan, kasih sayang, cinta… sesuai dengan kadar keberadaannya. Sifat-sifat
kesempurnaan mengalir di segenap maujud alam ini baik yang material maupun yang tidak. Itu karena
semua sifat kesempurnaan adalah eksisten (bersifat ada). Maka, setiap ‘yang ada’ pasti memiliki sifat
kesempurnaan. Di dunia, semua mendengar, melihat, sadar dan mencintai.
Semua mencintai Tuhan sebagai pelopor cahaya, kebaikan dan sebagai kekasih yang mereka semua
menujuNya. Mereka tidak kunjung tenang sebelum mencapai cahaya, kesenangan dan kesempurnaan
absolut, yaitu Allah SWT. Kesemua makhluk itu bertutur kata dengan mengingatNya, bertasbih, dan
bersujud kepadaNya; sebagaimana Al-Quran menjelaskan:“Tidak satupun makhluk kecuali bertasbih
dengan memujiNya akan tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka” (Al-Israa’: 44)
“Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang di
bumi…” (An-Nahl: 49) Karena cinta mereka kepada Tuhan, mereka mencintai diri sendiri dan makhluk
lain yang merupakan tanda dan saksi Tuhan. Argumen lain yang mendukung bahwa segenap maujud
alam semesta mencintai diri sendiri dan makhluk lain adalah bahwa semua maujud itu baik dan secara
alamiah semua mencintai kebaikan dalam ukuran apapun dan dimanapun.
Jika kita hendak menyimak lapisan lebih dalam dari filsafat Mulla Shadra, kita akan menemukan bahwa
Mulla Sadra meyakini bahwa kekasih dan ‘yang dicintai’ itu tidak lebih dari satu dan dia adalah Tuhan
Yang merupakan kemolekan dan cahaya absolut. Namun dikarenakan maujud lain adalah akibat
dariNya maka keindahan itu terdapat pada semuanya, namun secara terbatas sesuai dengan level
keberadaan masing-masing. Oleh sebab itu kita menemukan para pecinta Tuhan saat menyaksikan
jelmaan dan refleksi cahaya dan keindahan Sang Kekasih di segala hal niscaya mencintai jelmaan-
jelmaan itu karena Tuhan.
Peran dan posisi manusia dalam konteks prinsip ini adalah unik. Sebagai bentuk ciptaan Tuhan yang
paling sempurna, manusia adalah perwakilan Tuhan dan wujud nyata Tuhan yang paling sempurna di
muka bumi. Dia adalah pengemban kepercayaan yang berat dan bertanggung jawab yang besar yang
tidak dapat diterima makhluk lain. Manusia adalah perantara antara Pencipta dan makhluk lain mulai
dari yang teratas (Tuhan) ke yang terbawah (pergerakan ke bawah) dari seluruh ciptaanNya dan sifat
ketuhananNya (kita milik Tuhan)
Melalui manusia kesempurnaan dan rahmat Tuhan turun ke bumi, dalam perjalanan menuju Tuhan,
melalui manusialah seluruh alam raya dapat menggapai Tuhan; dengan kata lain, manusia adalah
penjaga alam, pemelihara, dan penyebab kehidupan di dalamnya. Bagaimanapun juga, sangat menarik
bahwa manusia yang sama juga mencari bantuan dari alam dalam pendakiannya dan pergerakan ke
atas menuju Tuhan; kesempurnaanya tidak mungkin tanpa alam dan isinya.
Imam Ali bin Abi Thalib (AS) menjelaskan hal ini kepada salah seorang Muslim, yang mencoba
mengingkari kehidupan dunia alami: “Adalah melalui dunia fana di mana para malaikat mencapai
kesempurnaan. Adalah di dunia ini di mana wahyu Tuhan diturunkan ke bumi melalui Nabi dan orang-
orang yang dibimbing kearah cahaya dan kesempurnaaan.” Karena manusia memiliki atribut
perwakilan ketuhanan dan kesempurnaan, yang mengharuskan pengingkaran terhadap pemujaan diri
sendiri dan sifat materialistis, dan yang merupakan kepentingannya adalah mengamati batasan dirinya
sendiri dengan hak makhluk lain. Di alam semesta dia melihat cahaya Tuhan, dan dia mendengar
melalui jiwanya suara makhluk di alam yang diwajibkan untuk memuja Tuhan.
E. Filsafah Dan Agama
Refleksi awal tentang pemikiran Mulla Shadra dapat dikemukakan bahwa ia menempatkan ilmu dan
agama tidak dalam posisi “konflik”, keduanya mempunyai tolak ukur kebenaran sendiri tetapi kebenaran
yang diperoleh tidaklah saling bertentangan. Metode yang di gunakan untuk menemukan kebenaran
ilmu dan agama bersifat kooperatif-saling mendukung. Ini terlihat dari pandangannya yang tidak
menolak rasio dan empiris sebagai sarana untuk memperoleh kebenaran, disamping ia juga
menambahkan metode sufistik untuk mencapai kebenaran hakiki. Mulla Shadra melakukan sintesis
terhadap sumber pengetahuan yang meliputi iluminasi intelektual (kasyf, zauq atau isyraq), penalaran
atau pembuktian rasional (‘akal, burhan, atau istidlal) dan agama atau wahyu (syara’ atau wahy).
Kebenaran ilmu dan agama dianalogikan sebagaimana sinar yang ‘satu’ yang menyinari suatu ruangan
yang memiliki jendela dengan beragam warna. Setiap jendela akan memancarkan warna yang
bermacam-macam sesuai dengan warna kacanya. Demikianlah ia menggambarkan bahwa kebenaran
berasal dari Yang Satu, dan tampak muncul beragam kebenaran tergantung sejauh mana manusia
mampu menangkap kebenaran itu. Kebenaran yang ditangkap ilmuwan hanyalah sebagian yang
mampu ditangkap dari kebanaran Tuhan, demikian pula kebenaran yang ditangkap oleh agamawan.
Dengan demikian, kebenaran yang ditangkap ilmuwan dan agamawan bersifat komplementer, saling
melengkapi.
Mulla Shadra adalah tokoh yang hidup sezaman dengan Galileo Galilei. Artinya ketika di Barat sedang
terjadi kebuntuan pemahaman tentang ilmu dan agama, Mulla Shadra telah mempunyai konsep yang
cemerlang untuk menjawab kebuntuan itu. Satu kondisi atmosfir keilmuan yang sangat kontras karena
di Barat sedang terjadi konfrontasi antara ilmu dan agama sedangkan di dunia Islam hubungan ilmu dan
agama justru mengalami penguatan.
Pemikiran Mulla Shadra, sebagai bagian dari fragmentasi perkembangan pemikiran Islam, secara
cerdas dan jernih menempatkan kedudukan ilmu dan agama pada posisi yang harmonis. Tidak salah
tentunya apabila ada ungkapan bahwa kemajuan pemikiran Islam terjadi manakala agama secara
mutualis menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan ilmu. Agama bukan penghambat
perkembangan ilmu sebagaimana terjadi di Barat tetapi justru merupakan pendorong sekaligus ruh bagi
karakteristik keilmuan Islam.
Prinsip Filsafat Mulla Shadra, Secara ringkas dapat dasarkan pada prinsi-prinsif utama, antara
lain :
a.Kesatuan Wujud
Bahwa dasar utama filsafat Islam adalah kesatuan wujud, denga penjabaran para filosof yang beragam.
Kaidah kehakikian wujud dan penampakan atau kemajazian kuiditas, Hanya terdapat satu hakikat
wujud. Kejamakan yang ada, pada hakikatnya, adalah manifestasi, citra dan tajalli hakikat wujud
tersebut, Hakikat wujud adalah Wâjib al-Wujud atau mumkin al-wujud (baca: segala makhluk), Watak
kebergantungan (imkan) merupakan tolok ukur kebergantungan akibat kepada sebab.
Penjelasan argumentasi sebagai berikut: Berdasarkan prinsip hakikat wujud merupakan sesuatu yang
hakiki, prinsipil dan mendasar, bahkan hakikat wujud adalah realitas yang berada dan berwujud itu
sendiri, hakikat wujud sebagai realitas yang tunggal, esa dan satu, yang ada hanyalah hakikat wujud
dan selainNya hanyalah manifestasi-Nya. Sekarang kita bisa katakan bahwa apakah hakikat wujud
tersebut adalah Wâjib al-Wujud atau mumkin al-wujud? Kalau hakikat wujud tersebut adalah Wâjib al-
Wujud (baca: Tuhan) maka terbukti dan tertegaskanlah eksistensi Tuhan dan kalau hal tersebut adalah
mumkin al-wujud maka harus bergantung kepada sesuatu yang lain, sementara tak ada sesuatu yang
lain selain hakikat wujud tersebut dimana dia bersandar padanya.
Oleh karena itu, hakikat wujud setara dan identik dengan kemestian esensi dan keniscayaan wujud
(wujub al-dzati) yang azali, yang berarti bahwa hakikat wujud adalah eksistensi, keberadaan dan
kemandirian itu sendiri dan tak satupun faktor dan kondisi yang menyebabkan ketiadaan wujud-Nya.
Hakikat wujud juga sama dengan Wâjib al- Wujud, karena hakikat mumkin al-wujud bersifat
penampakan belaka dan juga memiliki kuiditas selain wujud serta memiliki keterbatasan dan
kebergantungan.
b. Kehakikian wujud (Ashâlah al-Wujud)
Berdasarkan prinsip tersebut, hakikat wujud adalah secara esensial merupakan realitas hakiki dari
komprehensi dan pemahaman atas wujud dan kuiditas hanyalah sebuah komprehensi yang
menceritakan tentang batasan dari hakikat wujud dan secara aksiden dipredikasikan atas hakikat
wujud, Oleh karena itu, meskipun pikiran kita ketika berhadapan dengan realitas segala sesuatu, pada
tingkatan pertama, yang dicerap dan diindera adalah kuiditas mereka (mahiyah), tetapi sebenarnya
yang dicerap secara hakiki adalah wujud segala sesuatu itu dimana di alam luar merupakan suatu
kenyataan yang benar-benar berwujud.
Mulla Sadra mengambil prinsip ini dari irfan teoritis dan kemudian menjabarkannya secara filosofis serta
menjadikannya sebagai landasan dan pondasi bagi sistem filsafat yang dikontruksinya.
c. Gradasi Wujud (Tasykik al-Wujud)
Dalam perspektif Hikmah Muta'aliyah, wujud merupakan suatu realitas yang tunggal dimana dalam
kesatuan dan ketunggalannya memiliki banyak tingkatan dan gradasi; gagasan ini berlawanan dengan
pemikiran kaum peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud itu secara esensial berbeda satu
dengan lainnya dan tak memiliki unsur kesamaan serta yang ada di alam adalah kejamakan murni;
gagasan tersebut berbeda dengan konsep para sufi dan 'arif tentang ketunggalan dan kesatuan wujud
yang bersifat individual (wahdah al-syakhsh al-wujud) dan menolak secara ekstrim adanya kejamakan
wujud; gagasan itu juga bertentangan dengan pemikiran Muhaqqiq Dawwani tentang kesatuan wujud
dan kejamakan maujud. meskipun konsep gradasi ini, sebelum Mulla Sadra, dalam filsafat iluminasi
Suhrawardi yang digambarkan dalam bentuk gradasi cahaya, tetapi bagaimanapun gradasi wujud
berbeda dengan gradasi cahaya, menurut Mulla Sadra, wujud merupakan hakikat tunggal yang memiliki
tingkatan dari intensitas yang paling tinggi hingga derajat yang paling rendah, sedemikian sehingga
ketunggalan wujud tidak menafikan kejamakan maujud dan begitu pula sebaliknya bahwa kejamakan
maujud tak bertentangan dengan ketunggalan wujud; sedangkan cahaya dalam filsafat iluminasi
merupakan hakikat-hakikat cahaya yang banyak dimana berbeda berdasarkan tingkatan tinggi-
rendahnya intensitas. Dengan penjelasan lain, gradasi wujud dalam filsafat Mulla Sadra ditopang oleh
dua unsur: kesatuan wujud dan kejamakan wujud, sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi
tidak berpijak pada kesatuan dan ketunggalan.
d. Prinsip Kausalitas (al-illiyaj)
Dalam pandangan Mulla Sadra, akibat (ma'lul) adalah keterikatan dan kebergantungan kepada sebab
('illat). dan tidak memiliki kemandirian. Kebergantungan wujud, dengan istilah al-imkan al-faqr, yang
melahirkan kebutuhan akibat kepada sebabnya.
Berdasarkan prinsip kehakikian wujud, tafsiran atas teori kausalitas tersebut bisa dengan mudah
diterima, karena jika realitas segala sesuatu itu didasari oleh wujud dan bukan kuiditas maka kebutuhan
mereka kepada sebab juga bersifat eksistensial dan hakiki. Maka karena itu, Mulla Sadra menolak
watak kebergantungan kuiditas sebagai tolok ukur kebutuhan kepada sebab.
Mulla Sadra dalam kitab al-Syawahid al-Rububiyyah disamping menjabarkan dan menjelaskan burhan
shiddiqin, dia juga menganalisa dan mengkritik tolok ukur yang diletakkan oleh filosof sebelumnya
berhubungan dengan dimensi kebutuhan dan kebergantungan akibat kepada sebab. Berdasarkan
analisanya, tolok ukur kebutuhan akibat kepada sebab bukan kebermulaan (huduts), karena huduts
bermakna bahwa keterdahuluan ketiadaan sesuatu atas keberadaannya; oleh karena itu, dalam
pengertian huduts terkandung tiga unsur, yaitu: wujud, ketiadaan dan keterdahuluan ketiadaan atas
wujud. Dari ketiga unsur tersebut, unsur ketiadaan merupakan penafian murni, dan karenanya keluar
dari lingkaran sebab-akibat dan ketergantungan; maka dari itu tidak bisa dijadikan tolok ukur kebutuhan
kepada sebab. Unsur keterdahuluan ketiadaan atas wujud juga merupakan kemestian eksistensi
sesuatu dan secara tak terpisah dari penciptaan dan perwujudan, unsur tersebut tak lebih dari sebuah
komprehensi yang terambil dari keberwujudan sesuatu. Dengan dasar inilah dia bukan tolok ukur hakiki
kebutuhan kepada sebab. Berbeda dengan unusur wujud, yang merupakan sesuatu yang hakiki dan
secara riil hadir di alam, jika dia perlu kepada sebab maka keperluaannya pasti hakiki, riil dan esensial,
begitu pula jika tak butuh kepada sebab maka ketakbutuhannya juga bersifat hakiki.
F. Ashalatul Wujud dan I'tibari Mahiyah Mulla Shadra
Dalam prinsip filsafat Islam, segala maujud tidak lepas dari wujud,. Setiap maujud tentu mengandung
wujud. Dan secara logis setiap spesiesa, tidak boleh lepas dari genus. Dalam kacamata ontologis,
pengetahuan itu bukanlah suatu konfirmasi antara yang mengetahui dengan yang diketahui.
Pengetahuan adalah perubahan menjadi meluas bagi yang mengetahui. Meluas bukan bermakna
secara bentuk tetapi secara batiniah (dzihn). Pengetahuan diambil dari “'wijdan” yang berarti
'ditemukan'. Maka, pengetahuan itu bukanlah tiada sebelumnya, tetapi ia telah ada.
Kekeliruan epistemologi Barat karena mereka menganggap 'berfikir' terlebih dahulu barulah muncul
'ada'. Prinsip ini tentu saja menimbulkan makna yang keliru yakni 'ada' adalah akibat dari 'aku’ yang
berfikir'. Dari sini muncul prinsip 'aku' (manusia) sebagai sentral, sebagai penyebab utama. Padahal
secara sederhana saja prinsip ini keliru karena mana mungkin ada 'aku' bila 'ada' tidak ada terlebih
dahulu.
.
Bisa saja berdalih makna prinsip tersebut adalah: ‘aku’ yang berfikir, tentunnya ‘aku’ telah mengada
terlebih dahulu. Namun prinsip tersebut bukan persoalan simantik, ini adalah persoalan epistemologis,
bahkan metafisik. Dari penjelasan Descartes sendiri maupun kaum rasionalis lain dapat ditemukan
bukti: bahwa yang dimaksudkan memang hal keliru yaitu ‘aku’ berfikir yang memunculkan ada. Karena
menjadikan manusia yang ‘dia’nya adalah differensia sebagai sentral, maka struktur logikanya harus
berkutat terus menerus pada sesama differensia lagi. Konsekuensi ontologis dari epistemologi
semacam ini akan melahirkan konsep berjalan di tempat.
Filsafat Islam menekankan pembedaan antara emosi dengan pengetahuan. Emosi itu sifatnya berubah.
Emosi berasal dari kata 'emotion'. Oleh karenanya, emosi tidak dapat dijadikan sebagai rujukan
pengetahuan, apalagi sebagai referensi untuk bertindak. Pengetahuan sifatnya tetap karena memang
mengetahui itu bukan saja perubahan tetapi juga penemuan. Maka, filsafat Islam tentu tidak
mengabaikan bahwa tempat berangkat kita memang harus dari diri manusia dahulu, dan dari
differensia, dan setiap kajian filsafat tentu dimulai dengan epistemologi. Meski tidak menjadikan
manusia sebagai sentral, namun epistemologi Islam, atau epistemologi manapun harus beranjak dari
epistemologi. Dan, perlu dicatat bahwa epistemologi itu bukan murni filsafat. Epistemologi adalah
instrumen untuk mengobjektifkan hal-hal subjektif di ranah metafisik.
Modal melakukan kajian epistemoligis adalah rasio dan empirik. Keduanya harus saling mengoreksi,
melengkapi dan mengkonfirmasi. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan. Penelitian ilmiah
mustahil dilakukan tanpa mengandalkan kedua instrumen ini secara seimbang. Penelitian memang
adalah sebuah pengguanan rasionalitas yang ketat serta fakta empiris yang jelas. Dengan
memperjelas antara genus dan spesies, Mulla Shadra memperjelas antara wujud dengan maujud.
Kontribusi logika ini berimplikasi pada persoalan ontologis. Melalui penerangan ini, kita dapat masuk
dan mengeksplorasi cara pandang teologisnya.
Dalam kajian inti filsafat Islam yakni megenai yang paling mndasar antara wujud dan eksistensi
(mahiyah), Mulla Shadra awalnya mendukung eksistensi sebagai yang lebih mendasar sebagaimana
prinsip yang dianut gurunya, Mir Damad dan Syhabuddin Suhrawardi. Namun setelah melalui
penyucian diri, dia mengaku mendapatkan ilham dari Allah dan mengganti prinsipnya dengan mengakui
wujud lebih mendasar (ashal) dan eksitensi hanya sebagai proyeksi mental (i'tibari). Sebagaimana
sering kita ulang, bila melihat sesuatu, kita terlebih dahulu memunculkan pertanyaan "apa itu ?".
Sesuatu yang kita lihat itu lalu kita bentuk konsepnya di dalam pikiran kita. Maka disebutlah ada dua
eksistensi yakni realitas eksternal dan yang ada di dalam konsep. Pembentukan konsep ini disebut
kuiditas. Maka dalam pandangan Mulla Shadra dan penganut mazhab kemendasaran wujud (ashalatul
wujud), ke”apa”an sesuatu itu tidak mendasar, yang mendasar adalah ke'ada'annya.
Penganut mazhab kemendasaran eksistensi (ashalatul mahiyah) mengkritik penganut kemendasaran
wujud Kata mereka, tidak ada dualitas wujud (eksternal dan konsep). Sebenarnya memang tidak ada
dualitas di alam eksternal, tetapi karena yang kita andalkan adalah intelek, maka dia bekerja memberi
bentuk dan memilah-milah tiap sesuatu dengan menemukan konfimasinya di ruang eksternal supaya
dia dapat menyimpan semua kosep dengan baik sesuai karakteristiknya.
Sebenarnya ada juga yang mendukug keutamaan keduanya yakni Syaikh Ahmad Ahsa'i. Namun
gagasannya kurang populer dan tidak terlalu dipertimbangkan. Memang terlalu mudah bagi kita untuk
mangakui bahwa sesuatu yang kita kenal di alam realitas adalah pemberi makna pada pikiran bahkan
pembentuk pikiran. Namun bila kita mau merenung secara mendalam, maka kita akan menemukan
bahwa ternyata justru realitas eksternal adalah membentuk mental bawah sadar kita meski sering tidak
kita sadari. Orang sufi baru meyakini pernyataan ini setelah mereka dikaruniai pandangan tentang
hakikat segala sesuatu. Dalam pandangan ini, semua realitas akan tampak sama semata semuanya.
Pembedaan antara satu hal dengan hal lain barulah terjadi ketika menggunakan pandangan melalui
intelek. Ketika intelek diandalkan, maka dia akan mengkonfirmasi konsep murni di dalam diri dengan
realitas eksternal. Dalam perngkonfirmasian ini, maka dikonstruksikanlah sesuatu hal ke dalam
pemahaman intelektual. Ketika sesuatu telah dipahami, barulah dia dapat dibedakan dengan sesuatu
hal lain yang telah dipahami juga. Di sinlah muncul pemahaman atas realitas eksternal.
Analogi gradasi adalah sesuai dengan logika murni. Setiap eksistensi umum tentunya dikandung oleh
eksistensi partikular. Matahari bercahaya, lampu bercahaya, keduanya bercahaya. yang mebedaknnya
adalah tingkatannya. Analogi gradasi ini tampaknya diambil Mulla Shadra dari Ibn Arabi atau
Suhrawardi. Tetapi tanpa kedua orang terakhir inipun, sistem rasio akan membentuk analogi semacam
itu. Maka Mulla Shadra meluruskan proposisi "manusia ada" menjadi "ada manusia". 'Munusia' itu
differensia dan 'ada' adalah genus, mustahil differensis mendahului genus. Genus adalah penyebab
dan spesies adalah akibat, tentunya sebablah yang mendahului akibat.
Menurut Mulla Shadra dan pengikut setianya, Haji Sabzawari, tingkatan wujud itu dibagi menjadi wujud
bersyarat negatif (bi syartil la), wujud tak bersyarat (la bi syart) dan wujud bersyarat karena sesuau (bi
syart syaiin). Semua tinkatan ini sesuai dengan sistem logika umurn kausalitas, genus, spesies,
dfferensia. Untuk mengobjektifkan pengalaman yang murni subjektif diperlukan instrumen dan
instrumenya adalah rasio. Namun untuk menjangkaunya rasio tidak mampu, maka yang mampu adalah
etika. Dalam Islam, etika yang dimaksud adalah, semua amal syariat yang sunat dan wajib serta amar
makruf nahi mugkar dan ajaran agama lainnua. Bila fisafat Barat modern punya masalah tentang mana
yag lebih prima antara rasio dan empiris, filsafat Islam punya masalah tentang mana lebih prima antara
wujud dengan eksistensi (mahiyah) .Pada relitas eksternal, apakah yang mendasar adalah wujud atau
eksistensi? Aliran paripatetik menjawab "wujud" dan aliran isyraqi mejawab "eksistensi atau mahiyah".
Maka dapat disiimpulkan bahwa penganut ashalatul mahiyah meyakni bahwa yang mendasar dari
realitas adalah eksistens,i karena tanpa eksistensi atau mahiyah tidak ada hal apapun yang dapat
dikenal pada realitas eksternal. Sementara penganut kemendasaran wujud menyatakan wujudlah yang
mendasar karena tanpa wujud, tidak ada yang dapat diiris-iris untuk dikenali, yang diiris itu adalah
wujud.
Yang membuat banyak pembelajar bingung adalah alasan kenapa pada realitas eksternal hanya ada
satu kuiditas (mahiyah pada realitas eksternal) tapi dalam konsep menjadi dua entitas. Ini adalah
karakter esensi pada mahiyah dalam konsep. Kebingungan lain adalah terletak pada apakah kuiditas
yang membetuk esensi, atau sebaliknya. Bila jawabannya adalah yang pertama maka akan
dibingungkan dengan alasan: kenapa kita bereaksi pada kuiditas. Bila jawabannya adalah sebaliknya,
akan tertolak ketika ada perubahan tiba-tiba dari satu kuiditas menjadi kuiditas yang lain (inkilab).
Maka bahwa antara kuiditas dan eksistensi adalah setara. Namun kesadaran kita melalui eksestensi
menciptakan suatu sensasi berupa kuiditas. Maka inkilab itu sebenarnya adalah terjadi pada
eksostensi dan kuiditas sekaligus.
Para filosof Hikmah mengakui hubungan wujud dengan eksestensi adalah melalui gradasi.. Inspirasinya
adalah dari Ibn Arabi. Padahal gradasi adalah sebuah analogi. Kita hanya bisa menginformasikan
sesuatu melalui benda dan sifat yang bisa dikenali pada realitas eksternal. Maka pastinya hubungan
wujud dengan ekssistensi (mahiyah) bukan demikian sebenarnya. Teori cahaya Suhrawardi
menganggap eksistensi (mahiyah) adalah manifestasi wujud. Sama dengan gradasi juga. Bahkan
'cahaya' itu sendiri adalah analogi. Suhrwardi sendiri mengatakan bila antara sesuatu dengan yang lain
berjarak maka perlu perantara. Yang memperantarai juga harus diperantarai, maka akan terjadi
perantaraan yang tak usai. Suhrawardi ingin menegaskan sesuatu dengan yang lain adalah satu jua.
Maka antara wujud dengan eksistensi dalam pandangan Suhrwardi adalah tunggal. Dengan itu maujud-
maujud dengan Wujud adalah tunggal. Maka kesimpulan ini akan diklaim sebagai syirik. Secara teks
agama, karena menyamakan Tuhan dengan ciptaan. Padahal tidak ada sesuatu pun yang serupa Dia.
Filosof Hikmah meluruskan dengan mengatakan wujud bukan eksistensi. sebagaimana kata Mulla
Shadra adalah entitas tetap (ain tsabithah) yang tidak pernah mencium wangi wujud. Dapat disimpulkan
bahwa filosof Hikmah menerima adanya perantara antara wujud dengan eksistensi. Namun
kenyataannya analogi yang mereka buat untuk menjelaskan hubungan wujuda dengan eksistensi
adalah hubungan gradasi. Padahal gradasi itu adalah lompatan dari satu tingkatan ke tingkatan yang
lain. Tidak ada ruang kosong dari satu tingkat ke tingkat lain yang tak terjelaskan.
Maka Prinsip Ashalatul Wujud adalah :
1. Wujud dan eksistensi mustahil kedua-duanya mewujud, sebagaimana mustahil kedua-duanya
sama-sama tidak mewujud.
2. Maka pasti ada sisi yang mewujud secara eksistensi dan sisi yang tidak mewujud secara
eksistensial di alam luar, maka wujud adalah sisi yang eksis dalam mental bukan yang
mewujud di alam luar.
3. Eksistensi dapat difahami sebagai bagian dari wujud. Penyandaran eksistensi pada wujud
merupakan eksiden pada wujud.
Eksistensi ada pada kesetaraan antara wujud dan ketiadaan, hal tersebut dapat dijelaskan
demgam argumentasi sebagai berikut :
1. Wujud dapat dilepaskan dari eksistensi (mahiyah). Jika wujud merupakan bagian atau dzat bagi
eksistensi maka hal tersebut mustahil.
2. Penisbatan wujud atas eksistensi (mahiyyah) membutuhkan argumentasi dan dasar,
Sekiranya wujud adalah dzat atau bagian bagi eksistensi maka tidak membutuhkan
argumentasi untuk keberadaannya.
3. Eksistensi (Mahiyah) secara dzati memiliki relasi yang setara antara wujud dan ketiadaan
(‘adam). Jika Wujud adalah dzat bagi eksistensi maka hal tersebut mustahil.
Mulla Shadra memberikan argumentasi atas kesejatian wujud (ashalatul wujud) :
1. Ekesistensi (mahiyah atau quiditas) bukanlah sesuatu selain dirinya berada dalam
kesetaraan antara wujud dan ketiadaan. Ketika eksistensi keluar pada tingkat wujud bukan
dengan perantaraan Wujud pastilah terjadi perubahan substansial pada hakikat eksistensi
atau kuiditas (yang diseburt Inqilab) dan hal tersebut tidak mungkin. Karenanya satu-
satunya hakikat yang mengeluarkan eksistensi (kuiditas) pada tingkat wujud adalah wujud
itu sendiri.
2. Eksistensi (Kuiditas) sumber perbedaan atau keberagaman, setiap kuiditas berbeda dari
kuiditas yang lain . Dalam hal ini masing masing tidak memiliki kesatuan yang sama. Jika
tidak ada realitas yang menyatukan yang berbeda tersebut dan menggabungkannya, maka
tidak ada proposisi yang dipredikatkan satu kuiditas kepada kuiditas yang lain. Karena itu
diperlukan satu realitas dasar untuk menggabungkan berbagai kuiditas tersebut. Realitas
tersebut adalah wujud
3. Eksistensi (Kuiditas) mewujud dengan Wujud kepada keberadaan eksternal sehingga
memiliki implikasi efek (api membakar, air membasahi) dan pada saat yang sama mewujud
juga pada wujud mental (zihnī) dan tidak memiliki implikasi efek sebagaimana kuiditas
eksternal. Jika yang real sejati dan hakiki adalah eksistensi (kuiditas), pastilah efek yang
ditimbulkan sama pada dua keadaan tersebut dan tidak terjadi perbedaan. Fakta
menunjukkan sebaliknya sehingga hal tersebut jelas keliru dan karenanya wujudlah yang
utama dan real.
4. Eksistensi (Kuiditas) netral dalam keadaannya. Baik antara intensitas dan kelemahan,
kepadatan dan ketidakpadatan. Tetapi pada realitas eksternal kita melihat ada yang intens
(seperti sebab) dan ada yang lemah (seperti akibat). Jika bukan Wujud yang real dan hakiki
maka perbedaan atribut tersebut kembali kepada kuiditas padahal kuiditas bersifat netral.
Jelas wujudlah yang real dan hakiki.
G. Penutup
Dalam dunia filsafat Islam, Ibnu Sina adalah orang pertama yang yang memperkenalkan perbedaan
antara kuiditas dengan eksistensi. Gagasan ini awalnya telah dimulai Aristoteles dalam mengkritik
idealisme Plato. Namun Arstoteles belum menarik dikotomi antara kuiditas dan eksistensi.. Adalah Ibnu
Sina pemikir pertama yang memberi penjelasan tentang dikotomi ini. dan Al-Farabi memberi perhatian
lebih tentang perbedaan antara kuiditas dan eksistensi. Setelahnya, Pemikiran tersebut banyak dikritik
karena sulitnya para pemikir memahami thesisnya. Dan para pemikir muslim dibagi menjadi dua
kelompok yakni yang mendukung wujud sebagai ashil (lebih utama) sementara mahiyah sebagai I'tibar
dan yang mendukung mahiyah sebagai ashil sementara wujud hanya I'tibar.
Mulla Shadra adalah leader dalam aliran filsafat Islam karena dia mampu mensintesiskan antara filsafat
gnosis Ibn Arabi dengan peripatetik Ibn Sina. Dia juga dapat meluruskan kritik kaum teolog atas
peripatetik dan kritik para penganut kemendasaran esensi. Bahkan sejauh ini belum ada pegkritik Mulla
Shadra. Malah, penemuan-penemuan saintifk modern semakin meneguhkan eksistensinya. Selamat
mengkaji Hikamah Mutaaliyah.