Upload
erika-pratami
View
64
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
HIV Pada Kehamilan, Persalinan Dan Pasca Persalinan Final
Citation preview
DAFTAR ISI
Daftar Isi ………………………………………………………………… 1
Kata Pengantar..…………………………………………………………. 2
Bab I Pendahuluan......………………….…………………………………3
Bab II HIV ………………………….…………………………………...... 4
II.1 Definisi .....................................………………………………… 4
II.2 Epidemiologi ..........……………………………………………. 5
II.3 Etiologi ..................................................…………………….. 5
II.4 Patogenesis .......................………………………………….. 5
II.5 Klasifikasi ......................................................……………….. 7
II.6 Diagnosis Klinik………………………………………………….. 10
II.7 Pemeriksaan Lab .............................................................................. 11
II.9 Prognosis dan Pencegahan.................................................................15
Bab III HIV Pada Kehamilan..…………………………………………….. 13
Daftar Pustaka ……………………………………………………………... 14
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga pada akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan referat ini dengan baik.
Penulisan referat ini bertujuan untuk memberikan sedikit kontribusi dalam dunia
kedokteran khususnya agar berguna bagi mahasiswa kedokteran yang sedang
menjalankan kepaniteraan klinik di rumah sakit. Adapun tujuan lain dari penulisan referat
ini yaitu untuk memenuhi tugas referat kepaniteraan klinik Ilmu Obstetri dan Ginekologi
di RSOB, Batam.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dorongan dari semua pihak, maka
penulisan referat ini tidak akan sempurna. Oleh karena itu pada kesempatan ini
izinkanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Neza P, SpOG
2. Kedua orang tua yang telah memberikan bantuan baik material maupun spiritual.
3. Serta saudara dan semua rekan-rekan yang telah memberikan bantuan baik secara
material maupun spiritual bagi penulis.
Pada akhirnya penulis berharap penulisan referat ini dapat bermanfaat bagi
penulis pada khususnya dan berbagai pihak pada umumnya. Demi kesempurnan penulis
dimasa yang akan datang, penulis mohon saran dan kritik yang membangun.
Jakarta, Februari 2009
Immanuel Hendro
2
BAB I
PENDAHULUAN
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, serta air susu ibu.
Menurut WHO pada akhir tahun 2002 terdapat 42 juta orang yang hidup dengan HIV, dan 95% dari infeksi baru terjadi di negara berkembang dimana HIV belum menjadi prioritas karena terbatasnya dana. Di Asia Tenggara pada tahun 2002 diperkirakan terdapat 6,1 juta ODHA, sedangkan di Indonesia sendiri terdapat 90.000 – 130.000 ODHA. Bila angka kelahiran di Indonesia 2,5% maka setiap tahun akan ada 2.250 – 3.250 bayi yang lahir dari ibu yang HIV positif. Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam kandungan, persalinan, dan menyusui, sedangkan hanya 10% ditularkan melalui transfusi darah tercemar HIV maupun cara lainnya. Resiko bayi tertular HIV dapat ditekan hingga 90%, bila ibu mendapatkan terapi antiretroviral (ARV) selama masa kehamilan. Dengan demikian pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak atau PMTCT menjadi penting, karena sebagian besar ODHA perempuan berada pada usia subur, lebih dari 90% kasus HIV ditularkan dari ibu. Anak yang dilahirkan akan menjadi yatim piatu, dan anak yang terinfeksi HIV mengalami gangguan tumbuh kembang karena lebih sering mengalami infeksi bakteri maupun virus, belum lagi hukuman sosial bagi anak tersebut.
Pada tahun 1994, Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) Protokol 076 mendemonstrasikan three part regimen of zidovudine (ZDV) dapat menurunkan resiko penularan HIV dari wanita hamil dengan HIV positif kepada janin untuk virus HIV tipe 1 (HIV-1) hingga 70%. Regimen tersebut termasuk ZDV oral yang diberikan pada usia kehamilan 14 – 34 minggu dan dilanjutkan selama kehamilan, dilanjutkan dengan ZDV intravena selama persalinan, dan pemberian ZDV oral untuk bayi, selama 6 minggu setelah dilahirkan.
Sejak tahun 1994, telah dilakukan pengembangan untuk mengetahui patogenesis serta pengobatan dan monitoring infeksi HIV-1. Kecepatan perkembangan virus pada semua tahap infeksi HIV-1, lebih cepat dari yang pernah diketahui sebelumnya; virion plasma diperkirakan memiliki paruh waktu hanya 6 jam. Maka dari itu, pengobatan intervensi difokuskan pada kombinasi agresif regimen antiretroviral untuk memaksimalkan penekanan replikasi virus, meningkatkan kembali fungsi imun, dan menurunkan hambatan penurunan daya tahan tubuh. Pada saat ini telah tersedia ARV poten, yang menghambat enzim protease HIV-1. Penggunaan kombinasi inhibitor protease dengan nucleoside analog reverse trancriptase inhibitors (NRTIs), tingkat plasma HIV-1 RNA ditekan untuk jangka waktu yang lebih lama, sampai pada tingkat yang tidak terdeteksi oleh pemeriksaan yang ada.
3
BAB IIHIV
(Human Immunodeficiency Virus)
PENDAHULUAN
Pertama kali HIV/AIDS menarik perhatian di bidang kesehatan pada tahun 1981.
Pertama kali menyerang pada homoseksual dan biseksual. Penyakit ini menyebabkan
infeksi yang berkaitan dengan defisiensi kekebalan tubuh yang sebelumnya dalam
keadaan sehat. Sebelum penyebabnya diketemukan, sudah diketahui bahwa transmisinya
adalah melalui darah, seksual dan juga melalui perinatal. HIV telah diisolasi dari darah,
semen, serum, cairan serviks, vagina, ASI, urin, jaringan otak dan cairan cerebrospinal.
HIV (human immunodeficiency virus) yang ditemukan pada tahun 1981 ini diakui
sebagai penyebab dari AIDS yang tergolong retrovirus. Dan dapat menimbulkan efek
sitopatik pada sel t-helper atau inducer atau T4. Virus hidup dan berkembang biak dan
berkembang biak didalam sel Th dan menyebabkan hancurnya sel-sel tersebut.
DEFINISI
HIV/AIDS ialah penyakit akibat menurunnya daya tahan tubuh yang didapat
karena infeksi HIV atau dapat juga dikatakan sebagai kumpulan gejala penyakit karena
menurunnya sistem imun seseorang karena terinfekssi oleh virus HIV.
Gambar 1. Human Immunodeficiency Virus
4
EPIDEMIOLOGI
Tahun 1989 dalam studi kohort, pada pria homoseksual dan biseksual di
California diketahui mempunyai HIV seropositif sebelum Januari 1981, ternyata 52%
diantaranya mengidap AIDS pada tahun 1989. Diperkirakan 54% yang mempunyai
seropositif HIV akan menderita AIDS dalam 10 tahun mendatang.
Saat ini faktor resiko terkuat bagi perkembangan AIDS adalah waktu. Semakin
lama waktu berlalu, individu yang terinfeksi semakin mungkin menderita AIDS. Pada
bulan April 1991, 164.000 penduduk Amerika telah terdiagnosis mengidap AIDS.
Epidemi makin meluas dalam kalangan pemakai obat-obatan intravena dan
pasangan-pasangan seksual mereka dalam populasi heteroseksual. Akhir-akhir ini banyak
yang kita ketahui tentang patologi dari HIV dan ini banyak bermanfaat dalam usaha-
usaha intervensi pengobatan, pengurangan resiko dan perubahan perilaku. Agar usaha ini
dapat berjalan efektif, perlu sekali untuk mengetahui imunopatogenesis dari HIV.
ETIOLOGI
Virus HIV, retro virus, dulu disebut LAV (Lymphadenopathy Associated Virus)
HTLV III (Human T cell Lymphotropic Virus III) HIV tipe I dan II
CARA PENULARAN
- Hubungan seksual
- Kontak langsung dengan darah, produk darah, jarum suntik
- Vertikal
GOLONGAN RESIKO TINGGI
- Sering berganti pasangan seksual
- Penyalahgunaan obat-obat (drug abuse)
PATOGENESIS
Virus HIV merupakan suatu retrovirus yang bersifat lymphotropis. Virus ini
dapat memperbanyak diri tanpa memastikan hospesnya. RNA virus HIV mampu
5
membuat DNA dan RNA dari hospesnya, dibantu dengan enzim reverse trancreptase,
sehingga sulit dikenali oleh sistem antibody tubuh. Virus ini makin banyak hingga
akhirnya menyebabkan penurunan kekebalan tubuh dan perbandingan ratio antara T
helper dan T suppressor menjadi terbalik.
Gambar 2. Patogenesis infeksi HIV
Virus memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul
CD4. Kelompok sel terbesar yang mempunyai molekul CD4 adalah limfosit T4. Sel-sel
target lain adalah monosit, makrofag, sel dendrit, sel langerhans dan sel mikroglia.
Setelah mengikat molekul CD4, virus memasuki sel target dan melepaskan selubung
luarnya. RNA retrovirus ditrankripsi menjadi DNA melalui transkripsi terbalik.
6
Beberapa DNA yang baru terbentuk saling bergabung dan masuk ke dalam sel
target dan membentuk provirus. Provirus dapat menghasilkan protein virus baru yang
bekerja menyerupai pabrik-pabrik untuk virus-virus baru.
Sel target yang normal akan membelah dan memperbanyak diri seperti biasanya
dan dalam proses ini provirus juga ikut menyebar. Secara klinis berarti orang tersebut
terinfeksi untuk seumur hidupnya. Jika sel yang terinfeksi ini dipakai untuk memproduksi
virus, demikian juga sel target (sel hospes) akan dirusak dan virus akan keluar darinya.
Belum jelas faktor-faktor apa yang menjadi activator bagi produksi virus ini.
Mungkin agen endogen seperti CMV atau EBV ikut berperan. Atau mungkin juga karena
faktor-faktor lain yang merusak system kekebalan.
KLASIFIKASI INFEKSI HIV
1. KELOMPOK I : Infeksi akut
Gejala: demam, sakit tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat malam dan
keluhan gastrointestinal yaitu berupa nyeri menelan, mual, muntah dan diare.
Dapat juga ditemukan pembesaran KGB leher, faringitis, macular rash dan aseptic
meningitis.
Fase ini terjadi setelah adanya pemaparan virus yang dapat berlangsung 6 minggu
setelah kontak.
Patogenesis simtom ini tidak jelas tapi sangat mungkin sebagai reaksi imun
terhadap masuknya virus HIV. Saat ini pemeriksaan antibody terhadap virus HIV
masih negative tapi pemeriksaan Antigen P24 sudah positif (sangat infeksius)
2. KELOMPOK II : Infeksi kronik asimtomatik
Asimtomatik kadang dapat diisolasi virus HIV. Kemungkinan sampai jumlah
virus tertentu tubuh masih dapat menkompensasi penurunan sistem imun ini.
3. KELOMPOK III : Persisten Generalized Lymphadenopathy
7
Gejala awal menunjukan adanya hiperaktivitas sel limfosit B dalam kelenjar
limfe. Teraba KGB membesar 1cm atau lebih pada 2 tempat atau lebih pada extra
inguinal yang menetap lebih dari 3 bulan tanpa adanya penyakit atau keadaan
selain infeksi HIV yang dapat menjelaskan keadaan pembesaran KGB tersebut.
Pembesaran KGB dapat juga ditemukan di KGB leher anterior dan posterior,
submandibular dan axilla. Ditemukan limfa membesar pada 30% kasus.
4. KELOMPOK IV : Penyakit lain
a. Penyakit konstitusional
Bila terdapat 1 atau lebih gejala-gejala berikut ini:
- demam, lebih atau sama dengan 38 C, intermitten
- penurunan berat badan lebih dari 10%
- pembesaran KGB
- Diare intermiten atau terus menerus
- lemah, penurunan aktivitas fisik
- keringat malam
Kelainan laboratorium:
- limfopeni atau leukopeni
- trombositopeni
- anemia
- rasio CD4/CD8 menurun
- penurunan blastogenesis
- peninggian globulin
- alergi kulit
b. Penyakit neurologis
Didefinisikan bila terdapat 1 atau lebih kelainan dibawah ini:
- dementia
- miopati
8
- neuropati perifer tanpa adanya penyakit atau keadaab tertentu selain
infeksi HIV yang dapat menjelaskan keadaan tersebut.
c. Penyakit infeksi sekunder
Menurut definisi Surveillance CDC untuk AIDS:
- PCP
- Kriptosporidosis kronik
- Toksoplasmosis
- Strongiloidiasis extra intestinal
- Histoplasmosis
- Infeksi virus sitomegali
Infeksi sekunder lain, yang meliputi gejala-gejala :
- oral hairy leukimia
- herpes zoster multidermatom
- bakteremia salmonella yang berulang
- nokardiosis
- tuberculosis
- kandidiasis oral
d. Keganasan sekunder
- Sarkoma kaposi
- LMNH
- Limfoma primer dari otak
e. Kondisi lain-lain
Gambaran klinis atau penyakit lain yang tidak dapat diklasifikasikan
seperti diatas yang mungkin berhubungan dengan infeksi HIV dan atau
merupakan tanda gangguan imunoseluler meliputi penderita dengan
pneumonia interstitialis limfoid kronik.
9
Diagnosis Klinis Infeksi HIV pada Oang Dewasa (WHO)
Stadium
Gambaran Klinis Skala Aktivitas
I
Asimptomatik
Limfadenopti generalisataAsimptomatik, aktivitas
normal
II
Berat badan menurun < 10% Kelainan kulit dan mukosa yang ringan
seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren,
khilitis angularis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
ISPA seperti sinusitis bakterialis
Simptomatik, aktivitas normal
III
Berat badan menurun > 10% Diare kronis > 1 bulan
Demam berkepanjangan > 1 bulan Kandidiasis orofaringeal Oral hairy leukoplakia
TB paru dalam tahun terakhir
Infeksi bakterial berat seperti pneumonia, piomiositis
Pada umumnya lemah, aktivitas di tempat tidur
< 50%
IV HIV wasting syndrome seperti yang
didefinisikan CDC Pneumonia Pneumocytis carinii
Toksoplasmosis otak Diare kriptoporidiosis > 1 bulan Kriptokokosis ekstrapulmonal
Retinitis virus cytomegalo Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan Leukoensepalopati multifokal progresif
Mikosis diseminata seperti histoplasmosis Kandidiasis di esofagus, trakea, bronkus,
dan paru Mikobakteriosis atipikal diseminata Septisemia salmonelosis non tifoid
Pada umumnya sangat lemah, aktivitas di tempat tidur > 50%
10
Tuberkulosis di luar paru Limfoma
Sarkoma kaposi
Ensefalopati HIV
Klasifikasi Klinis Infeksi HIV pada Anak
Stadium
Gambaran Klinis
I
Asimptomatik
Limfadenopati generalisata
II.
Diare kronis > 30 hari, tanpa penyebab yang diketahui Kandidiasis severe persisten atau berulang pada masa neonatus Penurunan berat badan atau gagal tumbuh tanpa diketahui
penyebabnya Demam yang menetap > 30 hari tanpa diketahui penyebabnya
Infeksi bakteri berat berulang selain septikemia atau meningitis (mis: osteomielitis, pneumonia bakterial non TB, abses)
III
Infeksi oportunistik AIDS-defining Gagal tumbuh (failure to thrive) atau penurunan berat badan yang
berat tanpa diketahui penyebabnya Ensefalopati progresif Keganasan
Septikemia atau meningitis berulang
Keterangan:
Penurunan berat badan >10% jika baseline atau kurang dari persentil 5 dari grafik berat badan pada dua kali pengukuran dengan jarak lebih dari 1 bulan tanpa penyebab ataupun penyakit lain
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksaan antibody dan antigen HIV
11
a. Antibodi: cara ELISA, Western Blot, RIPA (Radio Immuno Presipitasi), IFA
(immunoflourescence)
b. Antigen: isolasi virus, antigen p24 dan PCR.
2. Penurunan imunitas tubuh
a. Darah tepi: hemoglobin, jumlah leukosit, trombosit, limfosit, gambaran darah
tepi dan pemeriksaan sumsum tulang
b. Imunitas: jumlah sel T, sel B, rasio CD4/CD8
c. Tes kulit: misalnya tes mantoux
3. Keganasan atau infeksi opotunistik
Pemeriksaan biakan atau serologis ditujukan kepada protozoa, jamur maupun
keganasan.
PENGOBATAN DITUJUKAN UNTUK
1. Virus HIV
2. Infeksi oportunis
3. Kanker sekunder
4. Status kekebalan tubuh
5. Simtomatis dan suportif, termasuk pendekatan psikiatri
Indikasi pengobatan antiretroviral
Pengobatan ARV pada ODHA dewasa harus segera dimulai bila infeksi HIV telah ditegakan secara laboratoris disertai salah satu keadaan di bawah ini:
Tahap lanjut klinis infeksi HIV:o Infeksi HIV stadium IV tanpa memandang jumlah CD4o Infeksi HIV stadium III dengan CD4 < 350 sel/mm3
Infeksi HIV stadium I atau II dengan CD4 < 200 sel/mm3
Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4, sebagai indikator pengobatan ARV pada infeksi HIV simptomatik digunakan limfosit total ≤ 1200/mm3, dan pada pasien asimptomatik jumlah limfosit total kurang berkolerasi dengan jumlah CD4.
12
Pemeriksaan viral load (misalnya dengan kadar RNA HIV-1 dalam plasma) tidak dianggap perlu sebelum dimulainya ARV dan tidak direkomendasikan WHO sebagai tindakan rutin dalam pengambilan keputusan pengobatan.
Tabel Pengobatan ART pada ODHA Dewasa
Tersedia Pemeriksaan CD4 Stadium IV tanpa memandang jumlah CD4
Stadium III dengan CD4 < 350 sel/mm3
Stadium I atau II dengan CD4 < 200 sel/mm3
Tidak Tersedia Sarana Pemeriksaan CD4
Stadium IV tanpa memandang jumlah limfosit total Stadium III tanpa memandang jumlah limfosit total
Stadium II dengan limfosit total < 1200/mm3
Tabel Dosis Antiretroviral untuk ODHA Dewasa
Golongan / Nama Obat Dosis
Nucleoside RTI
Abicavir (ABC) 300 mg setiap 12 jam
Didanosine (ddl)
400 mg sekali sehari
(250 mg sekali sehari bila BB < 60 kg)
(250 mg sekali sehari bila diberikan bersama dengan TDF)
Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari
13
Stavudine (d4T)
40 mg setiap 12 jam
(30 mg setiap 12 jam bila BB < 60 kg)
Zidovudine (ZDV atau AZT)
300 mg setiap 12 jam
Nucleotide RTI
Tenofovir (TDF)
300 mg sekali sehari
(Interaksi obat dengan ddl, perlu mengurangi dosis ddl)
Non Nucleoside RTIs
Evafirenz (EFV) 600 mg sekali sehari
Nevirapine (NVP) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg
setiap 12 jam
Protease Inhibitors
Indinavir/ritonavir (IDV/r) 800 mg / 100 mg setiap 12 jam
Lopinavir/ritonavir (LPV/r)
400 mg / 100 mg setiap 12 jam
(533 mg / 133 mg setiap 12 jam bila dikombinasi dengan EVP atau NVP)
Nelfinavir (NFV) 1250 mg setiap 12 jam
Saquinavir/ritonavir (SQV/r)
1000 mg / 100 mg setiap 12 jam atau 1600 mg / 200 mg sekali sehari
Ritonavir (RTV/r) Kapsul 100 mg, larutan oral 400 mg / 5 ml
SASARAN OBAT ANTI VIRUS
1. Penghambat pengikatan virus dengan DNA : Soluble CD4
2. Penghambat enzyme reverse transcriptase
14
- Zidovudine (AZT)
- Zalcitabine (ddC)
- Stavidunie (d4T)
- Didanosine (ddl, videx)
- Lamivudine (3 TC)
- Foscarnet
3. Memutus sintesa rantai DNA
- Zidovudine
- Didanosine
- Zalcitabine
4. Memblokir pembentukan dan perkembangan virus : interferon
5. Menghambat pematangan inti virion: protease inhibitor (saquinavir, indinavir)
REKOMENDASI DIMULAI PENGOBATAN
- Simtomatik, dianjurkan pengobatan untuk semua pasien
- Asimtomatik:
- CD4 <500/ul, dimulai pengobatan
- CD4 >500/ul, pengobatan dianjurkan pada pasien dengan >30.000-50.000
copies/mL HIV RNA atau penurunan cepat hitung cel CD4.
Pertimbangan pengobatan bila jumlah HIV RNA > 5.000-10.000cps/mL
PROGNOSIS
Buruk, apabila sudah terjadi gejala opertunistik, dan belum ada obat yang benar – benar
tepat
PENCEGAHAN
1. Vaksin belum ada
2. Menghindari faktor resiko
3. Ketentuan wajib lapor untuk petugas kesehatan
4. Peranan Poli Konseling AIDS, LSM dan usaha masyarakat peduli AIDS
5. Peranan jarum suntik dan kondom sangat penting
15
6. Apabila HIV positif untuk hubungan sex dipilih absentia, be honesty, condom
(ABC).
BAB III
HIV pada Kehamilan
Kehamilan berencana maupun tidak berencana dapat terjadi pada wanita dengan HIV positif. Keinginan ODHA untuk hamil perlu diperhatikan. Setelah memperoleh informasi yang benar tentang pengaruh HIV pada kehamilan, serta resiko penularan terhadap bayi, maka kita perlu menghargai keputusan yang diambil ODHA
Efek infeksi HIV pada kehamilan berkaitan dengan abortus, prematuritas, IUGR (Intra Uterin Growth Restriction), IUFD (Intra Uterin Fetal Death), penularan pada janin, dan meningkatnya angka kematian ibu.
Sebaliknya, kehamilan hampir tidak berpengaruh pada infeksi HIV, adanya penurunan CD4 terjadi karena bertambahnya volume cairan tubuh selama kehamilan, di samping itu kadar HIV stabil dan tidak mempengaruhi resiko kematian atau perkembangan menjadi AIDS.
16
Pemantauan kehamilan pada CD4 < 500sel/mm3 dianjurkan setiap 3 minggu sampai usia kehamilan 28 minggu dan setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 36 minggu, kemudian seminggu sekali sampai persalinan.
Pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap, serta hitung CD4, dan USG bila fasilitas memungkinkan pada usia kehamilan 16, 28, dan 36 minggu pada wanita hamil yang menggunakan pengobatan antiretroviral atau CD4 < 200sel/mm3.
1. Penularan perinatal
Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA kepada janin pada masa perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 – 10%, saat persalinan sekitar 10 – 20%, dan saat menyusui sekitar 10 – 20% bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada masa menyusui terutama terjadi pada minggu – minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi saat menyusui. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV sekitar 15 – 30%, bila menyusui sampai 6 bulan kemungkinan terinfeksi 25 – 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang sampai 18 – 24 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 – 45 %.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari HIV, namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri, ataupun parasit pada plasenta, atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan semakin tinggi.
ASI dari ibu yang terinfeksi HIV tmengandung HIV dalam konsentrasi yang lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya. Penularan terjadi pada sekitar 10 – 20% bayi yang disusui selama 18 bulan atau lebih. Atas dasar tersebut, ibu dengan infeksi HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya dan diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan dari ibu ke bayi mencapai sekitar 15% dari populasi.
.
2. Faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke bayi
17
Penularan HIV dari ibu ke bayi umumnya terkait dengan daya tahan tubuh, dan virulensi kuman.
Faktor ibu :
Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan ke bayinya. Hal ini disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi dibandingkan jumlah virus pada ibu yang tertular HIV sebelum atau selama masa kehamilan.
Ibu dengan penyakit terkait HIV seperti batuk, diare terus – menerus, kehilangan berat badan, hal ini juga disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu tinggi.
Infeksi pada kehamilan, terutama infeksi menular seksual atau infeksi plasenta
Kurang gizi saat hamil, terutama kekurangan mikronutrisi Mastitis KPD, partus lama, dan intervensi saat persalinan seperti amniotomi,
episiotomi.
Faktor bayi :
Bayi lahir prematur Menyusui pada ibu dengan HIV Lesi pada mulut bayi meningkatkan resiko tertular HIV, terutama pada
bayi dibawah usia 6 bulan
1. Pencegahan Penularan HIV pada Bayi dan Anak
Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World Health Organization menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan. PMTCT merupakan program yang komperhensif dan mengikuti protokol serta kebijakan nasional.
Intervensi PMTCT :
Pemeriksaan dan konseling HIV Antiretroviral Persalinan yang lebih aman Menyusui yang lebih aman
Keterlibatan pasangan dalam PMTCT:
18
Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama persalinan dan masa menyusui
Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV Kedua pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT
Faktor resiko MTCT selama kehamilan:
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan) Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya malaria) Infeksi menular seksual Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)
Faktor resiko MTCT selama persalinan:
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan) Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai Prosedur persalinan invasif Janin pertama pada kehamilan multipel Korioamnionitis
Faktor resiko MTCT selama masa menyusui:
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan) Lama menyusui Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal Abses payudara / puting yang terinfeksi Malnutrisi maternal Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)
WHO mencanangkan empat strategi untuk pencegahan penularan HIV pada bayi dan anak, yaitu :
1. Pencegahan primer, dengan melakukan pencegahan agar seluruh wanita jangan sampai terinfeksi HIV
Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat jangan sampai tertular HIV, untuk itu terutama ubah perilaku seksual, setia pada pasangan, hindari hubungan seksual dengan berganti pasangan, bila hal ini dilanggar, gunakan kondom. Penyakit yang ditularkan secara seksual harus dicegah dan diobati dengan segera. Jangan menjadi pengguna narkotika suntikan, terutama dengan penggunaan jarum suntik bergantian.
Untuk petugas kesehatan agar mengikuti kaidah kewaspadaan universal standar. Dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain yang merawat pasien dengan HIV / AIDS (ODHA) tidak termasuk kelompok resiko tinggi tertular HIV, khususnya bila menerapkan prosedur baku kewaspadaan universal
19
pencegahan penularan infeksi. Semua darah atau cairan tubuh harus dianggap dapat menularkan HIV atau penyakit lain yang terdapat dalam darah.
Transfusi darah harus memakai darah atau komponen darah yang sudah dinyatakan bebas HIV dan untuk operasi berencana upayakan transfusi darah autologus.
Pada pasangan yang ingin hamil, sebaiknya dilakukan tes HIV sebelum kehamilan, dan bagi yang telah hamil, dilakukan tes HIV pada kunjungan pertama.
Kunci dari keberhasilan program ini adalah VCT (Voulentary Counseling and Testing), yaitu konseling dan kesiapan menjalani tes HIV. Sasarannya adalah wanita muda dan pasangannya, serta ibu hamil dan menyusui.
2. Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita dengan HIV positif
Ada tiga strategi yang dicanangkan :
1. Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak mengetahui status serologis mereka, maka VCT memegang peranan penting. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk mereka yang terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk mencegah kehamilan yang tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah terinfeksi HIV agar mendapat pelayanan esensial dan dukungan termasuk keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya sehingga mereka dapat membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.
2. Menunda kehamilan berikutnya
Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun jarak antar kehamilan. Untuk menunda kehamilan :
Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab dapat menjalarkan infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi pelvis. Wanita yang menggunakan IUD mempunyai kecenderungan mengalami perdarahan yang dapat menyebabkan penularan lebih mudah terjadi.
Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah penularan HIV dan infeksi menular seksual, namun tidak mempunyai angka keberhasilan yang sama tinggi dengan alat kontrasepsi lainnya seperti kontrasepsi oral atau noorplant.
20
Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormonal jangka panjang seperti noorplant dan depo provera tidak merupakan suatu kontraindikasi pada wanita yang terinfeksi HIV. Penelitian sedang dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap perjalanan penyakit HIV.
Spons dan diafragma kurang efektif untuk mencegah kehamilan maupun mencegah penularan HIV.
Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling tepat adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah kehamilan, maka pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan HIV.
Gantikan efek kontrasepsi menyusui
Tindakan tidak menyusui untuk mencegah penukaran HIV dari ibu ke bayi menyebabkan efek kontrasepsi laktasi menjadi hilang, untuk itu perlu alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.
1. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin / bayinya meliputi empat hal, mulai saat hamil, melahirkan, dan setelah lahir :
Penggunaan ARV selama kehamilan (proyek PMTCT plus) Penggunaan ARV saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan Penanganan obstetrik selama persalinan Penatalaksanaan selama menyusui
1. Antiretroviral pada Kehamilan
Menurut rekomendasi penggunaan pengobatan antiretroviral pada wanita hamil dengan HIV-1 positif untuk kesehatan ibu, serta intervensi untuk menurunkan penularan HIV-1 perinatal di Amerika Serikat, yang direvisi pada 24 Februari 2005 oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group menyatakan, pengobatan untuk wanita hamil dengan HIV-1 positif berdasarkan keyakinan bahwa pengobatan mempunyai kegunaan yang telah diketahui bagi wanita selama kehamilan, kecuali ada efek yang diketahui bagi ibu maupun janin.
Pengobatan ARV pada wanita hamil diberikan bila :
1. Mengalami gejala berat HIV atau dengan diagnosa AIDS2. CD4 < 200 sel/mm33. Viral load > 1000/ml
21
Pengobatan ARV juga diperlukan untuk mencegah penularan HIV terhadap janin.
Pengobatan anti HIV merupakan bagian penting dalam menjaga kesehatan ibu, serta mencegah penularan HIV kepada janin. Keputusan untuk memulai terapi tergantung pada beberapa faktor, yang juga harus diketahui oleh wanita yang tidak hamil, yaitu :
Resiko infeksi HIV yang menjadi berat Resiko dan kegunaan menunda pengobatan Toksisitas pengobatan, serta interaksi obat dengan obat lain yang diminum The need to adhere to a drug regimen closely
Sebagai tambahan, bagi wanita hamil dengan HIV, harus mempertimbangkan :
Keuntungan menurunkan jumlah virus serta menurunkan resiko penularan HIV dari ibu ke janin
Efek jangka panjang yang belum diketahui terhadap bayi bila menggunakan obat ARV selama kehamilan
Informasi yang tersedia mengenai penggunaan obat anti HIV selama kehamilan
Wanita hamil dengan HIV pada trimester pertama tanpa gejala HIV, dapat menunda pengobatan sampai usia kehamilan 10 – 12 minggu. Setelah trimester pertama, ODHA hamil harus menerima pengobatan setidaknya dengan zidovudine (dikenal juga dengan ZDV atau AZT). Pengobatan tambahan dapat dipertimbangkan, sesuai dengan jumlah CD4 dan jumlah virus.
Kombinasi terapi antiretroviral biasanya terdiri dari dua nucleoside analog reserve transcriptase inhibitors (NRTIs) dengan protease inhibitor (PI), merupakan pengobatan standar yang direkomendasikan untuk orang dewasa dengan infeksi HIV-1 yang tidak hamil. Pada kehamilan tidak diperkenankan menggunakan regimen pengobatan ini.
Pemilihan pengobatan ARV pada wanita hamil dengan HIV positif, bergantung pada beberapa pemikiran :
Kemungkinan perubahan dosis kebutuhan sesuai dengan perubahan fisiologis yang berhubungan dengan kehamilan.
Efek potensial dari obat antiretroviral pada wanita hamil Efek potensial jangka pendek maupun panjang dari obat antiretroviral
terhadap janin maupun bayi, yang mungkin belum diketahui untuk semua obat antiretroviral
Keputusan penggunaan pengobatan ARV selama kehamilan harus dibuat oleh wanita hamil setelah berdiskusi dengan petugas kesehatan mengenai kegunaan yang sudah maupun belum diketahui, maupun resiko bagi wanita tersebut dan bayinya.
22
Perubahan fisiologis selama kehamilan dapat berpengaruh pada kinetik absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan eliminasi obat, sehingga juga mempengaruhi pada dosis obat yang dibutuhkan, serta kemungkinan toksisitas yang ditimbulkan. Selama kehamilan, waktu transit di saluran pencernaan memanjang, kadar air serta lemak dalam tubuh meningkat, diikuti dengan peningkatan cardiac output, ventilasi, serta aliran darah liver dan renal, penurunan konsentrasi protein plasma, peningkatan reabsorbsi sodium renal, serta perubahan jalur metabolik enzim di liver. Transport obat pada plasenta, kompartementalisasi obat pada embrio / fetus dan plasenta, biotransformasi obat oleh fetus dan plasenta, serta eliminasi obat oleh janin, juga berakibat pada farmakokinetik obat pada wanita hamil. Pertimbangan tambahan penggunaan obat pada wanita hamil :
Efek obat pada janin dan bayi baru lahir, termasuk potensi teratogenik, metagenitas, maupun karsinogenitas
Farmakokinetik serta toksisitas obat yang ditransport melalui plasenta.
Akibat yang timbul pada janin dari ibu untuk obat tertentu, tidak hanya bergantung pada obat itu sendiri, namun juga pada dosis obat, umur kehamilan saat janin terpapar, durasi paparan, interaksi dengan obat lain yang juga terpapar pada janin, serta genetik ibu dan janin.
Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World Health Organization menyebutkan bahwa pengobatan ARV menurunkan replikasi virus dan jumlah virus pada ibu, serta melindungi janin terhadap pemaparan virus HIV. Obat ARV secara efektif mengobati infeksi HIV maternal serta mencegah penularan vertikal.
Pengobatan jangan disamakan dengan pencegahan (profilaksis). Pengobatan ARV merupakan penggunaan antiretroviral jangka panjang untuk mengobati infeksi HIV / AIDS ibu, serta mencegah MTCT. Sedangkan profilaksis ARV merupakan penggunaan antiretroviral jangka pendek untuk mengurangi penularan HIV dari ibu kepada janin.
Pengobatan dengan antiretroviral selama kehamilan, bila ada indikasi, akan meningkatkan kesehatan wanita, serta menurunkan resiko penularan HIV terhadap janin, dan direkomendasikan dalam situasi sebagai berikut:
1. Jika tersedia pemeriksaan CD4, direkomendasikan untuk mencatat jumlah CD4, serta menawarkan pengobatan ARV pada pasien dengan:
Stadium IV WHO, tanpa memperhatikan jumlah CD4 Stadium III WHO dengan CD4 < 350/mm3 Stadium I atau II WHO dengan CD4 ≤ 200/mm3
2. Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, direkomendasikan untuk menawarkan pengobatan ARV pada pasien dengan:
Stadium IV WHO, tanpa memperhatikan jumlah limfosit total Stadium III WHO, tanpa memperhatikan jumlah limfosit total
23
Stadium II WHO dengan limfosit total ≤ 1200/mm3
Bila pengobatan ARV sudah diindikasikan pada kehamilan, maka harus segera dilaksanakan. Terkadang pengobatan ditunda sampai setelah trimester pertama. Wanita hamil yang memperoleh pengobatan ARV membutuhkan perawatan serta monitoring berkelanjutan antara program HIV / AIDS lokal. Bila terjadi koinfeksi dengan TB, maka dibutuhkan pengobatan tambahan serta penatalaksanaan klinis untuk meminimalkan efek samping.
Di negara berkembang terdapat beberapa regimen antiretroviral untuk mencegah penularan dari ibu ke janin / bayinya yang dianjurkan diantaranya:
1. Nevirapine
Ibu: diberikan nevirapine 200 mg dosis tunggal saat persalinan
Bayi: 2 mg/kgBB sebelum umur 3 hari (dalam 72 jam pertama setelah lahir).
Regimen ini menjadi pilihan karena mudah pemberiannya, tidak perlu terapi ulangan dan efektif mencegah penularan dari ibu ke anak sampai 13%, serta ekonomis. Faktor ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relatif mahal dan padaprinsipnya ARV harus diberikan seumur hidup.
Nevirapine dapat menimbulkan ruam kulit, sindrom Steven-Johnson, peningkatan serum aminotransferase, serta hepatitis.
2. AZT
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3 jam selama persalinan berlangsung. Regimen ini lebih efektif untuk menurunkan resiko penularan dari ibu ke bayi (9%), namun lebih mahal, sebab memerlukan terapi ulangan dengan lama terapi sampai 1 bulan. Mengingat harga obat relatif, maka dipakai regimen yang paling sesuai dengan kondisi setempat.
Efek samping yang sering terjadi pada wanita hamil yang mengkonsumsi AZT adalah anemia, karena itu perlu skrining anemia dan penanganannya bila terjadi anemia. Efek samping lain zidovudine adalah netropenia, intoleransi gastrointestinal, sakit kepala, insomnia, miopati, asidosis laktat.
Pemberian antiretroviral pada wanita hamil tidak menimbulkan resistensi terhadap antiretroviral, karena pemberiannya hanya dalam waktu singkat, kurang dari 3 bulan. Walupun diketahui ada kemungkinan terapi tunggal dengan nevirapine
24
dapat menimbulkan resitensi dengan cepat, namun sejauh ini belum ada bukti untuk itu.
Tabel Panduan Pengobatan ARV pada PMTCT
Kondisi Klinis
Regimen bagi Ibu
(dosis sesuai tabel 3) Regimen bagi Bayi
1.
ODHA dengan indikasi ARV yang mungkin
dapat hamil
Pastikan tidak sedang dalam keadaan hamil
sebelum memulai ARV Hindari penggunaan EFV AZT + 3TC + NVP atau
d4T + 3TC + NVP
2. ODHA dengan
ARV yang kemudian hamil
Lanjutkan regimen ARV yang sekarang digunakan
Bila mendapat pengobatan dengan EFV diganti
dengan NVP atau PI pada kehamilan trimester I
Lanjutkan pengobatan ARV yang sama selama
persalinan dan pasca persalinan
AZT (4mg/kgBB setiap 12 jam)
selama 1 minggu atau
NVP (2mg/kgBB) dosis tunggal atau
NVP dosis tunggal + AZT selama 1
minggu
3. ODHA hamil
dengan inidikasi ARV
Tunda ARV sampai setelah trimester I bila mungkin. Bila kondisi
buruk perlu pertimbangkan untung – rugi pemakaian
ART dini ARV seperti pada ODHA
biasa ARV lini I: AZT + 3TC +
NVP atau d4T + 3TC + NVP
EFV tidak boleh diberikan pada kehamilan trimester I
NVP dosis tunggal dalam 72 jam
pertama + AZT selama 1 minggu
atau AZT selama 1
minggu atau
NVP dosis tunggal dalam 72 jam
pertama
Kondisi Klinis
Regimen bagi Ibu
(dosis sesuai tabel 3) Regimen bagi Bayi
25
4. ODHA hamil
namun belum ada indikasi ARV
AZT dimulai pada usia kehamilan 28 minggu atau
segera setelah itu, dilanjutkan selama masa
persalinan, +
NVP dosis tunggal pada awal persalinan
NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama + AZT
selama 1 minggu
Regimen alternatif:
AZT dimulai pada usia kehamilan 28 minggu atau
segera setelah itu, dilanjutkan selama
persalinan
AZT + 3TC: sejak kehamilan 36 minggu atau
segera setelah itu, dilanjutkan selama masa
persalinan hingga 1 minggu pasca persalinan
AZT selama 1 minggu
AZT + 3TC (2mg/kgBB) selama
1 minggu
NVP dosis tunggal intrapartum NVP dosis tunggal dalam
72 jam
5.
ODHA hamil dengan indikasi
ARV namun tidak mulai ARV
Sesuai butir 4, namun lebih baik menggunakan regimen yang paling efektif dari yang ada
6. ODHA hamil dengan TB aktif OAT yang sesuai
untuk wanita hamil tetap diberikan
Bila dipertimbangkan untuk menggunakan ARV:
AZT + 3TC + SQV/r atau D4T + 3TC + SQV/r
Bila pengobatan dimulai pada trimester III:
AZT + 3TC + EFV atau d4T + 3TC + EFV
Bila tidak akan menggunakan ARV, ikuti
26
butir 4
7.
Ibu hamil dalam masa persalinan dengan status
HIV tidak diketahui
Atau
ODHA yang datang saat
persalinan tetapi belum pernah
mendapat ARV
Bila sempat tawarkan pemeriksaan dan konseling pada ibu yang belum diketahui status HIV-nya, bila tidak, lakukan pemeriksaan dan konseling segera setelah persalinan (dengan persetujuan) dan
ikuti butir 8
Bila positif:
Berikan NVP dosis tunggal Bila persalinan sudah
terjadi jangan berikan NVP, namun ikuti butir 8,
atau
AZT + 3TC saat persalinan hingga 1 minggu pasca
persalinan
NVP dosis tunggal dalam 72 jam
pertama
AZT + 3TC selama 1 minggu
8.
Bayi lahir dari ODHA yang belum pernah mendapat obat
ARV
NVP dosis tunggal sesegera mungkin + AZT selama 1
minggu. Bila diberikan setelah > 2 hari kurang
bermanfaat
* Dikutip dari: "Recommendation on ARVs and MTCT Prevention 2004". WHO Juli 2004
1. Keamanan dan Toksisitas Pengobatan Anti HIV selama Kehamilan
Informasi mengenai pengobatan anti HIV bagi wanita hamil terbatas dibanding dengan wanita dewasa yang tidak hamil, namun cukup diketahui untuk merekomendasikan pengobatan yang cocok bagi ibu dan bayinya.
Bagaimanapun, menurut Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun 2005 efek jangka panjang dari pengobatan ARV terhadap janin in-utero masih belum diketahui.
Salah satu regimen pengobatan yang dapat digunakan adalah non-nucleosid reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) niverapine (NVP). Penggunaan jangka panjang NVP dapat menyebabkan beberapa efek samping negatif seperti kelelahan atau kelemahan, mual, kehilangan nafsu makan, mata atau kulit yang menguning, atau tanda toksisitas liver seperti liver pengerasan atau pembesaran atau peningkatan liver enzim. Efek tersebut belum ditemukan pada penggunaan jangka pendek (satu atau dua dosis) NVP selama kehamilan. Kondisi pasien selama pengobatan dengan NVP harus diawasi sebab, kehamilan dapat
27
menimbulkan beberapa gejala awal toksisitas liver. Penggunaan NVP juga memerlukan perhatian pada wanita yang belum pernah mendapat pengobatan anti HIV serta pada wanita dengan CD4 > 250 sel/mm3. Toksisitas liver lebih sering timbul pada penderita tersebut.
Delavirdine dan efavirenz, merupakan NNRTI yang disetujui oleh FDA, namun tidak direkomendasikan penggunaannya pada wanita hamil dengan HIV positif. Penggunaan obat ini selama kehamilan dapat menimbulkan cacat lahir.
Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) dapat menimbulkan toksisitas mitokondrial, yang dapat menimbulkan timbunan asam laktat dalam darah. Timbunan ini dikenal sebagai hyperlactemia atau asidosis laktat. Toksisitas ini dapat dipertimbangkan bagi wanita hamil dan bayinya yang akan terpapar NRTIs secara in-utero.
Protease Inhibitors (PIs) dihubungkan dengan peningkatan kadar gula darah atau hiperglikemia, timbulnya diabetes mellitus, atau memberatnya gejala diabetes mellitus, serta diabetik ketoasidosis. Kehamilan juga merupakan faktor resiko untuk hiperglikemia, namun belum diketahui apakah penggunaan PI meningkatkan resiko timbulnya hiperglikemia yang berhubungan dengan kehamilan atau diabetes gestasional.
Enfuvirtide (T-20) merupakan satu – satunya fusion inhibitor yang disetujui FDA, sangat sedikit yang diketahui mengenai penggunaannya selama kehamilan
.
2. Penanganan Persalinan
Kebanyakan penularan HIV terhadap janin / bayi terjadi saat persalinan, maka pemberian pengobatan pada saat ini merupakan hal yang sangat penting untuk melindungi infeksi HIV terhadap bayi. Menurut Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun 2005, terdapat beberapa regimen pengobatan yang dapat menurunkan resiko penularan terhadap bayi. Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV regimen :
1. Wanita hamil dengan HIV
ZDV dimulai pada kehamilan 14 – 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg, atau 3 x 200 mg, atau 2 x 300 mg
2. Persalinan
Pada saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena
28
3. Bayi
Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam selam 6 minggu setelah dilahirkan.
Bila selama kehamilan wanita hamil dengan HIV positif sudah mendapat pengobatan anti HIV lain, maka pengobatan tersebut dilanjutkan sesuai jadwal selama persalinan.
Pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan HIV positif, tergantung pada keadaan kesehatan serta pengobatannya. Persalinan dapat dilakukan pervaginam maupun secara operatif dengan seksio sesarea. Pemilihan cara persalinan harus dibicarakan terlebih dahulu selama kehamilan, seawal mungkin.
Seksio sesarea direkomendasikan bagi wanita hamil dengan HIV positif dengan:
Jumlah virus tidak diketahui atau > 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu Belum pernah mendapat pengobatan anti HIV atau hanya mendapat
zidovudine selama kehamilan Belum pernah mendapat perawatan prenatal sampai usia kehamilan 36
minggu atau lebih
Untuk lebih efektif dalam mencegah penularan, seksio sesarea sudah harus dijadwalkan pada kehamilan 38 minggu, dan harus dilakukan sebelum ketuban pecah.
Persalinan pervaginam merupakan pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan HIV positif dengan:
Sudah memperoleh perawatan prenatal selama kehamilan Viral load < 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu Mendapat pengobatan ZDV dengan atau tanpa obat anti HIV lainnya.
Persalinan pervaginam juga dapat dilakukan pada wanita hamil dengan HIV positif bila ketuban sudah pecah, dan persalinan berlangsung secara cepat.
Semua cara persalinan mempunyai resiko, namun resiko penularan HIV dari wanita hamil dengan HIV positif kepada bayinya lebih tinggi pada persalinan pervaginam dibanding seksio sesarea yang terencana. Bagi ibu, seksio sesarea meningkatkan resiko infeksi, masalah yang berhubungan dengan anestesia, serta resiko lain yang berhubungan dengan tindakan operatif. Bagi bayi, seksio sesarea meningkatkan resiko infant respiratory disetress.
Pemberian ZDV intravena (i.v) dimulai 3 jam sebelum tindakan seksio sesarea, dan dilanjutkan setelah bayi dilahirkan. ZDV i.v harus diberikan selama persalinan dan setelah bayi lahir pada persalinan pervaginam. Hal yang juga penting dilakukan adalah meminimalkan kontak bayi terhadap darah ibu. Hal ini
29
dapat dilakukan dengan dengan menghindari pemeriksaan invasif, serta persalinan dengan vakum maupun forsep.
Semua bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif harus memdapat pengobatan anti HIV untuk mencegah penularan HIV. Pengobatan minimal dengan pemberian ZDV selama 6 minggu, terkadang juga dengan pemberian obat tambahan lainnya.
Bila telah diputuskan untuk melakukan tindakan seksio sesarea yang terjadwal untuk menghindari penularan virus HIV, ACOG merekomendasikan untuk melakukannya pada usia kehamilan 38 minggu, dilihat dari keadaan klinik yang diperkirakan paling baik serta menghindari pecahnya ketuban. Pada wanita yang tidak terinfeksi virus HIV, penatalaksanaan seksio sesarea tanpa mengetahui kematangan paru janin, menurut ACOG, ditunda sampai pada usia kehamilan 39 minggu, atau pada saat memasuki persalinan, untuk mengurangi kemungkinan komplikasi pada janin. Tindakan seksio sesarea antara usia kehamilan 38 atau 39 minggu, memiliki sedikit perbedaan pada kemungkinan peningkatan terjadinya infant respiratory distress, yang membutuhkan ventilasi mekanis. Peningkatan resiko ini diimbangi dengan kejadian resiko persalinan serta pecahnya ketuban sebelum mencapai usia kehamilan 39 minggu.
Pada wanita yang telah dijadwalkan untuk dilakukan tindakan seksio sesarea, pemberian ZDV harus dimulai 3 jam sebelum tindakan operatif, sesuai dengan standar dosis rekomendasi. Pengobatan antiretroviral lain yang digunakan selama kehamilan harus tetap dilanjutkan pada saat mendekati saat persalinan, dan selama persalinan berlangsung. Dengan meningkatnya morbiditas maternal akibat infeksi, perlu dipikirkan juga mengenai pemberian antibiotik profilaksis perioperatif, walaupun belum ada penelitian mengenai efisiensinya.
Pecahnya ketuban, meningkatkan kejadian penularan perinatal, pada wanita yang tidak memperoleh pengobatan antiretroviral. Pada wanita yang memperoleh pengobatan ZDV, penelitian menunjukan meningkatnya resiko penularan pada ketuban yang pecah 4 jam atau lebih sebelum persalinan. Prosedur obstetri meningkatkan resiko pemaparan janin terhadap darah ibu, seperti amniosintesis, serta monitoring secara invasif harus dihindari. Prosedur ini harus dilakukan hanya jika ada indikasi. Jika terjadi ketuban pecah dini, sebelum atau menjelang persalinan, perlu dilakukan tindakan untuk mempersingkat waktu persalinan, seperti pemberian oksitosin, dapat dipikirkan
Rekomendasi pencegahan penularan vertikal HIV terhadap janin :
Usaha memaksimalkan kesehatan wanita hamil, pemberian kombinasi terapi antiretroviral, diharapkan dapat menurunkan jumlah virus serta angka penularan vertikal. Penurunan minimum penularan HIV, direkomenndasikan pemberian regimen ZDV profilaksis menurut PACTG 076.
30
Tingkat plasma HIV-1 RNA harus dimonitor selama kehamilan sesuai dengan standar pelaksanaan infeksi HIV pada dewasa.
Penularan HIV perinatal dapat diturunkan dengan tindakan seksio sesarea terencana, pada wanita dengan tingkat RNA HIV-1 yang tidak diketahui, yang tidak memperoleh pengobatan antiretroviral, atau hanya memperoleh ZDV profilaksis.
Wanita dengan tingkat HIV-1 RNA > 1000/ml, harus dikonsultasikan untuk membicarakan mengenai tindakan seksio sesarea terencana untuk menurunkan resiko penularan vertikal.
Penatalaksanaan pada wanita yang telah direncanakan untuk tindakan seksio sesarea dan datang dengan ketuban pecah, atau datang dalam keadaan persalinan, harus berdasarkan lamanya waktu ketuban pecah, jalannya persalinan, tingkat plasma HIV-1 RNA, pengobatan antiretroviral sebelumnya, serta faktor klinis lainnya. Masih belum jelas manfaat tindakan seksio sesarea yang dilakukan setelah ketuban pecah, atau setelah persalinan berlangsung.
Wanita tersebut juga harus memperoleh penjelasan mengenai resiko yang berhubungan dengan tindakan seksio sesarea. Resiko yang timbul harus seimbang dengan manfaat yang diperoleh bagi janin.
Wanita tersebut juga harus memperoleh konsultasi mengenai data yang masih terbatas. Keputusan mengenai persalinan yang akan dijalankan harus dihormati.
1. Persalinan bagi Wanita Hamil dengan HIV Positif di Indonesia
Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2003 menyebutkan, di negara maju, seksio sesarea sebelum mulai persalinan dapat mengurangi resiko penularan dari ibu ke bayi sampai 80% (1,8% dibandingkan 10,5%). Penelitian pada 8533 pasangan ibu dan anak di Amerika Utara dan Eropa didapatkan bahwa seksio sesarea elektif sebelum inpartu dan sebelum pecah ketuban dapat menurunkan resiko penularan HIV dari ibu ke anak sebesar 50% dibandingkan persalinan pervaginam. Bila seksio sesarea elektif disertai penggunaan pengobatan antiretroviral, maka resiko dapat diturunkan sampai 87%. Bila dilakukan perbandingan antara seksio sesarea disertai pengobatan antiretroviral dengan partus pervaginam yang disertai pengobatan antiretroviral, insiden penularan menjadi 2% pada seksio sesarea elektif dan 7,3% pada partus pervaginam. Walaupun demikian, seksio sesarea bukanlah operasi tanpa resiko, apalagi pada ODHA dimana imunitas penderita sangat lemah. Di Zambia dilaporkan 75% ODHA mengalami keterlambatan penyembuhan luka dengan resiko infeksi meningkat. Di Ruwanda, seksio sesarea bahkan menyebabkan kematian penderita ODHA meningkat.
WHO tidak merekomendasikan untuk melakukan seksio sesarea, tetapi juga tidak melarang mengingat kondisi di masing- masing daerah berbeda, perlu
31
dipertimbangkan biaya untuk operasi, fasilitas untuk tindakan tersebut, komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat imunitas ibu yang rendah.
Tindakan yang tidak diperbolehkan karena meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah berupa tindakan obstetrik invasif yang tidak perlu, dan dapat menjadi jalur penularan HIV, seperti:
Episiotomi rutin Ekstraksi vakum Ekstraksi cunam Pemecahan ketuban sebelum pembukaan lengkap Terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam Memantau analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel darah
diambil dari kulit kepala janin
Tabel Alat pelindung bagi Tenaga Medis
Jenis Tindakan
Cuci Tanga
n
Sarung Tanga
n
Masker
Kaca
Mata
Topi
Celemek
Gaun
Sepatu Pelindun
g
Pemeriksaan fisik kulit
utuh + - - - - - - -
Pemeriksaan fisik kulit
luka + + - - - - - -
Mengambil sample darah
+ + - - - - - -
Menyuntik intravena
+ + - - - - - -
Membersihkan luka /
venaseksi + + - - - - - -
Kateterisasi + + - - - - - -
32
urine
Pemeriksaan pelvis
(vaginal toucher)
+ + - - - - - -
Menolong persalinan
+ + + + + + + +
Memandikan bayi
+ + - - - - - -
Membersihkan ruang
+ + - - - + / - - + / -
Mencuci piring / alat
makan+ + - - - + / - - -
Mencuci pakaian
+ + + / - + / - + / - + + / - +
1. Pasca Persalinan bagi Wanita dengan HIV Positif dan bayinya
Pengobatan bagi wanita postpartum dengan HIV, sedapat mungkin harus sudah dibicarakan salama kehamilan atau segera setelah melahirkan. Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun 2005 menyebutkan, bayi yang lahir dari wanita dengan HIV positif, mendapat pemeriksaan HIV yang berbeda dari orang dewasa. Pada orang dewasa dilakukan pemeriksaan untuk mencari antibodi HIV dalam darah. Bayi menyimpan antibodi ibu dalam darahnya, termasuk antibodi HIV, selama beberapa bulan setelah dilahirkan. Maka, tes antibodi yang diberikan sebelum bayi berusia 1 tahun akan memperoleh hasil positif walaupun bayi tersebut tidak menderita HIV. Untuk tahun pertama, bayi diperiksa untuk HIV secara langsung, bukan untuk mencari antibodi HIV. Bayi berusia > 1 tahun, tidak lagi memiliki antibodi dari ibunya, sehingga dapat diperiksa antibodi HIV.
Pemeriksaan preliminary HIV untuk bayi biasanya dilakukan pada:
Antara 48 jam setelah lahir Antara 1 – 2 bulan
33
Antara 3 – 6 bulan
Bayi dicurigai terinfeksi HIV bila hasil pemeriksaan positif pada dua dari pemeriksaan di atas.
Pada usia 12 bulan, bayi yang memiliki hasil pemeriksaan preliminary positif, harus dilakukan pemeriksaan antibodi HIV untuk memastikan infeksi. Bayi dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV negatif, pada saat ini tidak terinfeksi HIV. Bayi dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV positif, harus diperiksa ulang pada usia 15 – 18 bulan.
Bayi yang yang lahir dari wanita dengan HIV positif harus dilakukan pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) setelah dilahirkan. Bayi harus diawasi juga dari tanda anemia, yang merupakan efek samping negatif yang ditimbulkan pengobatan ZDV selama 6 minggu yang diberikan kepada bayi. Bayi tersebut juga harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, serta imunisasi lainnya.
Semua bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif direkomendasikan untuk mendapat pengobatan ZDV oral selama 6 minggu untuk mencegah penularan HIV dari ibunya. Regimen ZDV oral ini harus mulai diberikan 6 – 12 jam setelah bayi lahir. Pemberian ZDV dapat juga dikombinasikan dengan ARV lainnya.
Sebagai tambahan dalam pengobatan ARV, bayi juga harus memperoleh pengobatan untuk mencegah P. carinii/jiroveci pneumonia (PCP). Pengobatan yang direkomendasikan adalah dengan kombinasi sulfamethoxazole dan trimethoprim. Pengobatan ini harus dimulai saat bayi berusia 4 – 6 minggu dan dilanjutkan sampai bayi diyakinkan HIV negatif. Bila hasil pemeriksaan bayi HIV positif, maka pengobatan terus dilanjutkan.
Berikan penjelasan kepada pasien untuk dapat memperoleh perawatan kesehatan yang sesuai serta pelayanan pendukung lainnya bagi ibu dan bayi :
Perawatan kesehatan rutin Perawatan khusus HIV Keluarga berencana Pelayanan kesehatan jiwa Substance abuse treatment Case management
Wanita dengan HIV positif diharapkan tidak menyusui bayinya untuk mencegah penularan HIV melalui ASI.
Selama masa postpartum dapat terjadi perubahan fisik dan emosional, bersamaan dengan tekanan dan tanggungjawab untuk merawat bayi, dapat mempersulit dalam melanjutkan pengobatan regimen ARV.
34
Perlu juga dibicarakan kepada pasien mengenai:
Hal yang tidak dimengerti yang mengenai regimen obat dan pengobatan yang baik
Rasa depresi (banyak wanita yang mengalaminya setelah melahirkan) Rencana jangka panjang untuk melanjutkan perawatan kesehatan dan
pengobatan ARV bagi ibu dan bayi
1. Penanganan Pasca Persalinan di Indonesia
Sesuai dengan Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2003, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pasca persalinan, antara lain :
1. Kontrasepsi
Bila bayi tidak disusui, maka efek kontraseptif laktasi akan hilang, sehingga pasangan tersebut harus memakai kontrasepsi untuk menghindari atau menunda kehamilan berikutnya. Seorang ODHA sudah harus menggunakan alat kontrasepsi paling lambat 4 minggu post partum.
2. Menyusui
Bagi ibu yang belum diketahui status serologinya, dianjurkan menyusui bayinya secara ekslusif selama 6 bulan, dan dapat dilanjutkan sampai 2 tahun atau lebih. Makanan alternatif diberikan sejak bayi berusia 6 bulan.
Bagi ibu dengan HIV positif tidak dianjurkan menyusui bayinya, sebab dapat terjadi penularan HIV antara 10 – 20%, apalagi bila terdapat lecet pada payudara, atau terdapat mastitis.
Sebaliknya bila tidak menyusui, bayi akan beresiko untuk salah gizi dan mudah terserang penyakit infeksi termasuk HIV. Pada keadaan dimana ibu tidak bisa membeli susu formula, lingkungan yang tidak memungkinkan seperti tidak tersedianya air bersih dan sosiokultural, bila pemberian susu formula tidak dapat diterima, tidak menguntungkan, tidak terjangkau, tidak berkesinambungan, tidak aman, maka bayi dapat diberi ASI ekslusif sampai usia 4 – 6 bulan, selanjutnya segera disapih.
Sekitar 50 – 75% dari bayi yang disusui ibu ODHA, terinfeksi HIV pada 6 bulan pertama kehidupannya, tetapi bayi yang disusui secara ekslusif selama 6 bulan mempunyai resiko lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang mendapat makanan tambahan. Pada bayi yang mendapat makanan tambahan pada usia < 6 bulan, dapat terjadi stimulasi imunologis dini
35
akibat kontak dengan makanan yang terlalu dini sehingga terjadi gangguan pencernaan yang mengakibatkan peningkatan permiabilitas usus, yang dapat merupakan tempat masuknya HIV.
Pemberian ASI ekslusif selama 4 – 6 bulan mengurang morbiditas dan mortalitas akibat infeksi selain HIV. Pemberian makanan tambahan juga berkaitan dengan resiko mastitis, akibat ASI yang terakumulasi pada payudara ibu. Cara lain menghindari penularan HIV, dengan menghangatkan ASI di atas 66 C untuk membunuh virus HIV dan mnyusui hanya dilakukan pada bulan – bulan pertama saja.
PASI (Pengganti Air Susu Ibu) dapat disiapkan dari susu hewan seperti sapi, kerbau, kambing. Susu hewan murni mengandung terlalu banyak protein, sehingga dapat merusak ginjal dan menganggu usus bayi, maka susu tersebut harus dicairkan dengan air, dan ditambahkan gula untuk energi. PASI sebaiknya diberikan dengan cangkir, sebab lebih mudah dibersihkan dibandingkan botol. Pemberian makanan campuran seperti susu, makanan, jus, dan air tidak diperkenankan sebab dapat meningkatkan resiko penularan dan peningkatan angka kematian bayi.
Bila dimungkinkan, diberikan susu formula, bila tidak, dapat dilakukan pemberian ASI secara ekslusif selama 6 bulan penuh, selanjutnya segera disapih.
3. Terapi antiretroviral dan imunisasi
Sebelum mendapat pengobatan antiretroviral, ibu perlu mendapatkan konseling. Sesuai protokol ARV, minimal 6 bulan sudah harus periksa CD4. Pengobatan antiretroviral semakin penting setelah ibu melahirkan, sebab ibu harus merawat anaknya sampai cukup besar. Tanpa pengobatan antiretroviral dikhawatirkan usia ibu tidak cukup panjang.
Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes HIV harus sudah dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang saat berusia 18 bulan.
36
BAB IV
KESIMPULAN
World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan.
Pengobatan ARV pada wanita hamil diberikan bila :
1. Mengalami gejala berat HIV atau dengan diagnosa AIDS2. CD4 < 200 sel/mm33. Viral load > 1000/ml
Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV regimen :
1. Wanita hamil dengan HIV
ZDV dimulai pada kehamilan 14 – 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg, atau 3 x 200 mg, atau 2 x 300 mg
2. Persalinan
Pada saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena, bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam selam 6 minggu setelah dilahirkan.
Pemeriksaan preliminary HIV untuk bayi biasanya dilakukan pada:
Antara 48 jam setelah lahir Antara 1 – 2 bulan Antara 3 – 6 bulan
Regimen antiretroviral di negara berkembang untuk mencegah penularan dari ibu ke janin / bayinya yang dianjurkan diantaranya:
1. Nevirapine
Ibu: diberikan nevirapine 200 mg dosis tunggal saat persalinan
Bayi: 2 mg/kgBB sebelum umur 3 hari (dalam 72 jam pertama setelah lahir).
37
2. AZT
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3 jam selama persalinan berlangsung.
Hindari tindakan obstetrik invasif yang tidak perlu, seperti:
Episiotomi rutin Ekstraksi vakum Ekstraksi cunam Pemecahan ketuban sebelum pembukaan lengkap Terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam Memantau analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel darah
diambil dari kulit kepala janin
Pasca persalinan, antara lain :
1. Kontrasepsi
Kontrasepsi yang dianjurkan dengan menggunakan kondom. Seorang ODHA sudah harus menggunakan alat kontrasepsi paling lambat 4 minggu post partum.
2. Menyusui
Bila dimungkinkan, diberikan susu formula, bila tidak, dapat dilakukan pemberian ASI secara ekslusif selama 6 bulan penuh, selanjutnya segera disapih.
3. Terapi antiretroviral dan imunisasi
Ibu minimal 6 bulan sudah harus periksa CD4. Pengobatan antiretroviral semakin penting setelah ibu melahirkan, sebab ibu harus merawat anaknya sampai cukup besar.
Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes HIV harus sudah dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang saat berusia 18 bulan.
38
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. http://bobbyindrautama.blogspot.com/2008/09/hiv-pada-kehamilan-persalinan-dan-pasca_25.html
2. ALARM INTERNATIONAL: A Program to Reduce Maternal Mortality and Morbidity
3. Treatment for Adult HIV Infection2006 Recommendations of the International AIDS Society-USA Panel. JAMA. 2006;296:827-843.
4. Antiretroviral Drug Resistance Testing in Adults Infected with Human Immunodeficiency Virus Type 1: 2003 Recommendations of an International AIDS Society-USA PanelCID 2003; 37:113-28.
5. http://www.who.int/hiv/topics/mtct/en/index.html
39