Upload
bimaindra
View
5
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
dr. Alwi Shahab Sp. PD, KEMD
Citation preview
HOMEOSTASIS GLUKOSA
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman tentang patofisiologi DM tipe 2 mengalami
kemajuan secara dramatis, dimana sampai saat ini ditemukan 3 kelainan metabolisme yang
menyebabkan hiperglikemi pada DM tipe 2, yaitu :1
1. Penurunan ambilan glukosa pada jaringan yang sensitif terhadap insulin, terutama otot rangka
dan jaringan adiposa (lemak) sebagai akibat adanya resistensi insulin.
2. Peningkatan produksi glukosa hati pada keadaan puasa dan penurunan supresi produksi glukosa
hati pada saat makan. Keadaan ini diduga sebagai manifestasi resistensi insulin didalam hati.
3. Gangguan fungsi sel-sel beta pankreas yang mengakibatkan penurunan respons insulin terhadap
rangsangan glukosa. Hal ini juga diduga terjadi akibat resistensi insulin, dimana penurunan
respons insulin terhadap rangsangan glukosa terjadi secara dini dalam patogenesis DM tipe 2.
Pada individu sehat, respons sel-sel beta pankreas terhadap rangsangan oleh sekretagog insulin
(seperti glukosa) berlangsung secara bifasik, dimana terjadi sekresi insulin fase awal selama 10
menit setelah rangsangan, diikuti sekresi insulin fase lanjut yang berakhir dalam beberapa jam.
Sekresi insulin fase awal merupakan pelepasan insulin yang telah disintesis didalam granul2
sekresi sel-sel beta pankreas, sementara sekresi insulin fase lanjut merupakan pelepasan insulin
yang baru disintesis sebagai respons terhadap rangsangan sel-sel beta pankreas selanjutnya.
Kelainan awal dalam patogenesis DM tipe 2 adalah hilangnya sekresi insulin fase awal setelah
makan atau pemberian beban glukosa. Hal ini akan menyebabkan hambatan pencapaian puncak
profil insulin, yang akan diikuti dengan penurunan toleransi glukosa. Semakin berat progresivitas
gangguan toleransi glukosa, akan terjadi gangguan fungsi sel-sel beta pankreas yang akan
menyebabkan gangguan sekresi insulin baik fase awal maupun fase lanjut. Selama transisi dari
toleransi glukosa normal ke toleransi glukosa terganggu dan pada akhirnya DM tipe 2 klinis,
akan diikuti dengan beberapa episode hiperglikemi post prandial. Sejalan dengan progresivitas
penyakit, maka akan terjadi hiperglikemi baik dalam keadaan puasa maupun post prandial. 2,3
Patofisiologi Hiperglikemi
Homeostasis glukosa darah
Pemahaman tentang fisiologi homeostasis glukosa merupakan landasan yang sangat penting
dalam terapi DM, khususnya terapi dengan insulin. Pankreas, hati, otot dan jaringan lemak
merupakan organ-organ tubuh yang paling berperan dalam homeostasis glukosa. Sedangkan otak
mampu memanfaatkan glukosa tanpa memerlukan insulin. Pankreas menghasilkan insulin dan
glukagon, sedangkan hati merupakan tempat produksi glukosa (glukoneogenesis) dan sekaligus
tempat penyimpanan glikogen. Jaringan otot juga merupakan tempat pemanfaatan glukosa serta
penyimpanan glikogen. Dalam keadaan puasa, glukosa darah merupakan hasil glukoneogenesis
didalam hati, sedangkan sesudah makan merupakan hasil absorbsi makanan dari usus halus.
Peningkatan glukosa darah akan merangsang pankreas mensekresi insulin.4,5,6
Insulin menurunkan kadar glukosa darah melalui 2 cara :
Cara pertama , insulin menekan proses glukoneogenesis dan meningkatkan sintesis glikogen
hati. Produksi glukosa di hati dirangsang oleh glukagon dan katekolamin. Glukosa sendiri
menekan proses glukoneogenesis oleh hati. Cara kedua, insulin meningkatkan transpor dan
metabolisme glukosa dijaringan perifer khususnya otot dan jaringan lemak. Oleh sebab itu,
gangguan homeostasis glukosa dapat timbul akibat gangguan pada pankreas, jaringan perifer dan
hati.4,7
Glukosa darah puasa (fasting = post absorbtive) dan glukosa darah sesudah makan (prandial)
berbeda secara metabolik dan hormonal. Glukosa darah puasa merupakan “resultan” aktivitas
glukoneogenesis yang dipengaruhi kadar insulin puasa (basal) dan glukagon serta katekolamin.
Oleh sebab itu peningkatan glukosa darah puasa terjadi akibat kurangnya insulin puasa atau
peningkatan glukagon/ katekolamin atau keduanya. Sedangkan glukosa prandial merupakan
resultan aktivitas absorbsi glukosa dari usus halus atau metabolisme (ambilan dan penggunaan)
glukosa di jaringan perifer (lemak dan otot) yang tergantung insulin. Peningkatan glukosa darah
prandial merupakan akibat dari asupan kalori (makanan) yang berlebihan, dan atau kekurangan
insulin prandial baik absolut maupun relatif (oleh karena resistensi insulin).
Pola sekresi insulin
Sekresi insulin pada individu normal 2
Sekresi insulin dapat dibedakan dalam 2 komponen yang berbeda, yaitu sekresi insulin basal dan
sekresi insulin prandial
Sekresi insulin basal
Sekresi insulin basal (post absorptive) dipertahankan terus menerus dalam jumlah yang relatif
tetap (~ 1 uU/ jam), yang terjadi diantara 2 makan, malam hari atau selama puasa.
Sekresi insulin tersebut walaupun rendah tetapi selalu dipertahankan untuk tidak sampai
mengeliminasi produksi glukosa darah oleh hati (hepatic glucose production = HGP) yang
penting untuk metabolisme glukosa oleh sel-sel otak. Sekresi insulin basal mempunyai korelasi
yang tinggi dengan kadar glukosa darah basal.
Sekresi insulin prandial
Sekresi insulin prandial terjadi waktu makan (fed state) dan menghasilkan peningkatan yang
tajam (5 – 10 x basal rate) dalam waktu yang relatif singkat (1/2 – 1 jam sesudah makan). Dalam
keadaan normal sekresi tersebut kembali ke keadaan basal dalam waktu 2 – 4 jam. Kemampuan
sekresi insulin prandial berkaitan erat dengan kemampuan ambilan glukosa oleh jaringan.
2. Sekresi insulin pada DM tipe 2
Untuk mengatasi resistensi insulin, sel-sel β pankreas harus mampu mensekresi insulin lebih
banyak. Sepanjang pankreas masih mampu mensekresi sejumlah insulin yg dibutuhkan , tidak
akan terjadi gangguan toleransi glukosa atau DM.
Oleh sebab itu pada DM tipe 2 , sekresi insulin sangat bervariasi, dari hiperinsulinemi akibat
resistensi insulin, sampai kekurangan insulin yang absolut akibat gangguan fungsi sel β
pankreas.7,8
3. Sekresi insulin pada DM tipe 1
Pada DM tipe 1 , sekresi insulin tergantung dari sisa massa sel β. Bila masih ada sisa massa sel β,
masih dijumpai insulin didalam darah. Bila massa sel β sudah habis, tidak ada lagi insulin
didalam darah.9
Patogenesis terjadinya Komplikasi Diabetes
Diabetes Melitus akan disertai dengan komplikasi2 yang serius dan angka kejadian serta
beratnya komplikasi ini dapat diturunkan melalui kontrol glukosa darah yang baik. Beberapa
studi menunjukkan bahwa peningkatan kadar glukosa plasma mempunyai korelasi dengan
terjadinya komplikasi mikro dan makrovaskular. 10
Hiperglikemi kronik
Suatu studi retrospektif dari rekam medik pasien di Rochester Minnesota menunjukkan bahwa
angka kejadian DM tipe 2 per 100.000 penduduk pertahun adalah 80,1 pada populasi obes dan
45,6 pada populasi non obes. Dalam studi ini , prevalensi retinopati sebesar 2,6% pada saat
diagnosis DM ditegakkan. Setelah 20 tahun angka kejadian retinopati meningkat sampai 30%
pada pasien obes dan 36% pada pasien non obes. Angka kejadian kumulatif dari proteinuria
persisten setelah 20 tahun adalah 24,6 %, sedangkan pada saat diagnosis awal ditegakkan hanya
ditemukan 8,2%. Faktor risiko untuk terjadinya proteinuria antara lain usia pada saat diagnosis
DM ditegakkan, jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar glukosa plasma puasa dan adanya
retinopati serta komplikasi makrovaskular. Risiko untuk terjadinya Gagal Ginjal Kronik dengan
adanya proteinuria persisten pada saat pertama kali diagnosis DM ditegakkan meningkat menjadi
12 kali setelah 10 tahun. The Wisconsin Epidemiologic Study melakukan evaluasi hubungan
antara kadar A1c dengan komplikasi mikrovaskular. Dilakukan pemantauan terhadap pasien
selama 10 tahun. Dari hasil studi ini didapatkan peningkatan kejadian retinopati yang
berhubungan langsung dengan kadar A1c. Sebaliknya penurunan kadar A1c selama perjalanan
penyakit terbukti menurunkan risiko terjadinya retinopati.11
The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) yang merupakan studi berskala besar
membuktikan pula pentingnya kontrol glukosa darah yang ketat pada penderita DM tipe 1,
dimana pada kelompok penderita yang diberikan terapi insulin intensif terjadi penurunan
bermakna angka kejadian retinopati , nefropati dan neuropati dibandingkan kelompok penderita
yang mendapat terapi konvensional.7
Hasil penelitian Kumamoto study terhadap penderita DM tipe 2 juga menunjukkan bahwa
kontrol glukosa darah yang ketat efektif menghambat onset dan progresivitas komplikasi
mikrovaskular.
Studi longitudinal dalam skala besar terhadap penderita DM tipe 2 adalah the United Kingdom
Prospective Diabetes Study (UKPDS). Studi ini bertujuan untuk menilai apakah kontrol glikemik
yang ketat dapat menurunkan angka kejadian serta memperlambat progresivitas komplikasi DM.
Disamping itu juga menilai apakah suatu jenis terapi lebih baik daripada yang lain. Penderita
dikelompokkan kedalam kelompok terapi diet saja, sulfonilurea, metformin atau insulin dan
diikuti selama 10 tahun. Sama seperti hasil studi DCCT dan Kumamoto, studi UKPDS juga
membuktikan bahwa terapi intensif menurunkan risiko terjadinya komplikasi mikrovaskular.
Selanjutnya, studi ini juga menunjukkan bahwa sejauh kontrol glikemik tercapai, tidak ada
perbedaan efektivitas berbagai obat terhadap penurunan risiko komplikasi mikrovaskular.
Sedangkan efek kontrol glikemik terhadap penurunan komplikasi makrovaskular lebih bermakna
pada kelompok metformin.6
Hiperglikemi akut
Studi eksperimental menunjukkan bahwa hiperglikemi akut mempengaruhi fungsi ginjal dan
syaraf, perfusi retina, vasodilatasi, faktor2 koagulasi dan proses aterogenesis.
Hiperglikemi akut akan menyebabkan hiperinfiltrasi glomerulus yang mengawali terjadinya
nefropati diabetik. Hiperglikemi akut meningkatkan laju filtrasi glomerulus, yang lebih
mencolok bila telah ditemukan mikroalbuminuria / proteinuria. Peningkatan laju filtrasi
glomerulus yang diinduksi oleh hiperglikemi akut mempunyai onset yang cepat dan akan
menetap selama hiperglikemi akut berlangsung. Suatu studi in vitro juga menunjukkan
peningkatan produksi kolagen oleh sel-sel mesangium yang terpajan oleh hiperglikemi.
Hiperglikemi akut juga akan menimbulkan gangguan kecepatan konduksi syaraf baik pada
penderita DM maupun individu normal. Hiperglikemi akut dapat menurunkan ambang rasa nyeri
pada hewan percobaan dan penderita DM. Variasi kadar glukosa plasma akan disertai dengan
perubahan2 aliran darah retina. Hiperperfusi sirkulasi darah retina akan memperberat
progresivitas retinopati diabetik. Hiperglikemi akut juga akan menimbulkan gangguan motilitas
gastrointestinal pada penderita DM yang akan menyebabkan hambatan pengosongan
lambung. 11
Hambatan pengosongan lambung ini dapat disebabkan baik oleh karena perubahan2 neuropati
maupun efek langsung dari hiperglikemi akut yang menyebabkan gastroparesis. Hiperglikemi
akut juga akan menyebabkan gangguan motilitas esofagus dan kontraksi kandung empedu.
Hiperglikemi akut juga akan menyebabkan gangguan faktor2 koagulasi. Waktu paruh fibrinogen
akan memendek, fibrinopeptida A, faktor VII dan faktor2 koagulasi lain akan
meningkat.12 Kadar ICAM-1 meningkat dalam keadaan hiperglikemi akut pada penderita DM
baik yang disertai maupun tanpa penyakit pembuluh darah. ICAM-1 merupakan salah satu
protein proadhesi yang dapat memperberat aterogenesis. Protein2 adhesi mempengaruhi interaksi
antara endothel dan lekosit yang memicu aterogenesis. Jadi hiperglikemi akut baik pada
penderita DM tipe 1 maupun DM tipe 2 akan menyebabkan abnormalitas metabolisme dan
biokimiawi sehingga mempercepat progresivitas komplikasi mikro serta makrovaskular.
Progresivitas komplikasi mikro dan makrovaskular disebabkan karena 2 mekanisme yaitu
glikosilasi non enzimatik dan stres oksidatif.
Glikemi post prandial
Glikemi post prandial merupakan respons fisiologik terhadap asupan makanan yang ditunjukkan
dengan terjadinya fluktuasi dari kadar glukosa darah basal. Glikemi post prandial masih berada
dalam rentang yang sempit antara 100 sampai 140 mg/dl. Hiperglikemi post prandial terjadi bila
kadar glukosa darah melebihi 140 mg/dl, yang akan disertai dengan peningkatan risiko terjadinya
komplikasi diabetes. Hiperglikemi post prandial pada penderita DM tipe 2 terjadi akibat
hilangnya sekresi insulin fase awal dan resistensi insulin serta hiperinsulinemi, yang selanjutnya
akan meningkatkan risiko komplikasi kardiovaskular. Dengan terjadinya hiperglikemi yang
persisten, akan menyebabkan gangguan respons sekresi insulin dari sel-sel beta pankreas,
sehingga memerlukan terapi insulin untuk mengembalikan respons sekresi insulin fase awal dan
memperbaiki kontrol glukosa darah. Terapi insulin juga akan memperbaiki regulasi reseptor
insulin dijaringan perifer dan memperbaiki kontrol glukosa darah serta menurunkan resistensi
insulin.13
Berbagai studi menunjukkan penurunan mortalitas penderita DM usia lanjut dengan kontrol
glukosa darah yang baik. Kadar glukosa darah post prandial dan puasa mempunyai korelasi
dengan kadar A1c.
Namun studi2 terakhir menunjukkan bahwa hiperglikemi post prandial yang ditunjukkan dengan
kadar A1c merupakan petunjuk kontrol glikemi yang lebih baik daripada kadar glukosa darah
puasa. Avignon dan kawan-kawan14 melaporkan bahwa kadar glukosa plasma setelah makan
siang mempunyai sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktif yang lebih tinggi daripada kadar
glukosa puasa atau premeal. Ceriello dan kawan-kawan melaporkan bahwa hiperglikemi post
prandial mempunyai korelasi dengan over produksi trombin, yang akan meningkatkan risiko
kardiovaskular. Terjadi penurunan total Radical Trapping Antioxidant Parameter (TRAP) akibat
hiperglikemi post prandial baik pada penderita DM maupun orang normal. Penurunan TRAP
menunjukkan bahwa peningkatan kadar glukosa plasma meningkatkan stres oksidatif dan
menurunkan mekanisme pertahanan anti oksidan. Terdapat bukti kuat bahwa kontrol yang baik
terhadap kadar glukosa plasma puasa maupun post prandial pada penderita DM dapat
menurunkan komplikasi mikro dan makrovaskular. The Honolulu Heart Study15 menunjukkan
bahwa risiko PJK meningkat secara bermakna dengan meningkatnya kadar glukosa post meal.
The Whitehall Study16 menunjukkan bahwa mortalitas PJK pada laki2 Inggris meningkat dua
kali lipat pada kadar glukosa plasma 2 jam sesudah makan lebih dari 96 mg/dl. Prevalensi semua
jenis PJK ( perubahan EKG, angina atau infark miokard) pada Islington Diabetes Survey17
meningkat dari 9% pada individu dengan kadar glukosa darah < 120 mg/dl menjadi 20% bila
kadar glukosa darah ≥ 180 mg/dl. The Diabetes Intervention Study menunjukkan bahwa kadar
glukosa plasma sesudah makan merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya infark
miokard dan kematian akibat PJK. Pada studi DECODE (Diabetes Epidemiology Collaborative
Analysis of Diagnostic Criteria in Europe)10, peningkatan kadar glukosa plasma setelah 2 jam
pembebanan disertai dengan peningkatan mortalitas yang tidak tergantung dari kadar glukosa
puasa, sementara hubungan antara kadar glukosa plasma puasa dengan mortalitas tergantung
dengan kadar glukosa plasma 2 jam post prandial. The Helsinki Policemen
Study 16 membuktikan adanya hubungan antara kadar insulin plasma 1 dan 2 jam sesudah
makan dengan kejadian PJK, yang tidak ditunjukkan oleh kadar insulin plasma puasa. The Paris
Prospective Study16 mendapatkan bahwa hiperinsulinemi sesudah makan merupakan indikator
yang lebih baik terhadap mortalitas PJK dibandingkan hiperglikemi.
The Quebec Cardivascular Study 10 melaporkan bahwa dalam periode studi selama 5 tahun ,
kadar insulin plasma puasa merupakan prediktor kuat terhadap penyakit jantung iskemik.
Namun, hiperinsulinemi post prandial menggambarkan disfungsi sel beta dan resistensi insulin
sehingga dapat dipakai sebagai pertanda (marker) dari patofisiologi yang mendasari DM tipe 2.
Simpulan :
Pada individu sehat, respons sel-sel beta pankreas terhadap rangsangan oleh sekretagog insulin
(seperti glukosa) berlangsung secara bifasik, dimana terjadi sekresi insulin fase awal selama 10
menit setelah rangsangan, diikuti sekresi insulin fase lanjut yang berakhir dalam beberapa jam.
Sekresi insulin fase awal akan menghambat produksi glukosa hati dalam keadaan puasa,
sementara sekresi insulin fase lanjut berfungsi meningkatkan ambilan glukosa oleh jaringan
perifer. Kedua proses ini bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah puasa dan post
prandial dalam keadaan normal.
Hiperglikemi post prandial yang terjadi pada penderita DM tipe 2 terjadi akibat hilangnya sekresi
insulin fase awal dan resistensi insulin serta hiperinsulinemi, yang selanjutnya akan
meningkatkan risiko komplikasi kardiovaskular. Dengan terjadinya hiperglikemi yang persisten,
akan menyebabkan gangguan respons sekresi insulin dari sel-sel beta pankreas, sehingga
memerlukan terapi insulin untuk mengembalikan respons sekresi insulin fase awal dan
memperbaiki kontrol glukosa darah. Terapi insulin juga akan memperbaiki regulasi reseptor
insulin dijaringan perifer dan memperbaiki kontrol glukosa darah serta menurunkan resistensi
insulin.