14
HOMEOSTASIS GLUKOSA Pendahuluan Dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman tentang patofisiologi DM tipe 2 mengalami kemajuan secara dramatis, dimana sampai saat ini ditemukan 3 kelainan metabolisme yang menyebabkan hiperglikemi pada DM tipe 2, yaitu :1 1. Penurunan ambilan glukosa pada jaringan yang sensitif terhadap insulin, terutama otot rangka dan jaringan adiposa (lemak) sebagai akibat adanya resistensi insulin. 2. Peningkatan produksi glukosa hati pada keadaan puasa dan penurunan supresi produksi glukosa hati pada saat makan. Keadaan ini diduga sebagai manifestasi resistensi insulin didalam hati. 3. Gangguan fungsi sel-sel beta pankreas yang mengakibatkan penurunan respons insulin terhadap rangsangan glukosa. Hal ini juga diduga terjadi akibat resistensi insulin, dimana penurunan respons insulin terhadap rangsangan glukosa terjadi secara dini dalam patogenesis DM tipe 2. Pada individu sehat, respons sel-sel beta pankreas terhadap rangsangan oleh sekretagog insulin (seperti glukosa) berlangsung secara bifasik, dimana terjadi sekresi insulin fase awal selama 10 menit setelah rangsangan, diikuti sekresi insulin fase lanjut yang berakhir dalam beberapa jam. Sekresi insulin fase awal merupakan pelepasan insulin yang telah disintesis didalam granul2 sekresi sel-sel beta pankreas, sementara sekresi insulin fase lanjut merupakan pelepasan insulin yang baru disintesis sebagai

HOMEOSTASIS GLUKOSA.docx

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dr. Alwi Shahab Sp. PD, KEMD

Citation preview

Page 1: HOMEOSTASIS GLUKOSA.docx

HOMEOSTASIS GLUKOSA

Pendahuluan 

Dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman tentang patofisiologi DM tipe 2 mengalami

kemajuan secara dramatis, dimana sampai saat ini ditemukan 3 kelainan metabolisme yang

menyebabkan hiperglikemi pada DM tipe 2, yaitu :1 

1. Penurunan ambilan glukosa pada jaringan yang sensitif terhadap insulin, terutama otot rangka

dan jaringan adiposa (lemak) sebagai akibat adanya resistensi insulin.

2. Peningkatan produksi glukosa hati pada keadaan puasa dan penurunan supresi produksi glukosa

hati pada saat makan. Keadaan ini diduga sebagai manifestasi resistensi insulin didalam hati.

3. Gangguan fungsi sel-sel beta pankreas yang mengakibatkan penurunan respons insulin terhadap

rangsangan glukosa. Hal ini juga diduga terjadi akibat resistensi insulin, dimana penurunan

respons insulin terhadap rangsangan glukosa terjadi secara dini dalam patogenesis DM tipe 2. 

Pada individu sehat, respons sel-sel beta pankreas terhadap rangsangan oleh sekretagog insulin

(seperti glukosa) berlangsung secara bifasik, dimana terjadi sekresi insulin fase awal selama 10

menit setelah rangsangan, diikuti sekresi insulin fase lanjut yang berakhir dalam beberapa jam.

Sekresi insulin fase awal merupakan pelepasan insulin yang telah disintesis didalam granul2

sekresi sel-sel beta pankreas, sementara sekresi insulin fase lanjut merupakan pelepasan insulin

yang baru disintesis sebagai respons terhadap rangsangan sel-sel beta pankreas selanjutnya.

Kelainan awal dalam patogenesis DM tipe 2 adalah hilangnya sekresi insulin fase awal setelah

makan atau pemberian beban glukosa. Hal ini akan menyebabkan hambatan pencapaian puncak

profil insulin, yang akan diikuti dengan penurunan toleransi glukosa. Semakin berat progresivitas

gangguan toleransi glukosa, akan terjadi gangguan fungsi sel-sel beta pankreas yang akan

menyebabkan gangguan sekresi insulin baik fase awal maupun fase lanjut. Selama transisi dari

toleransi glukosa normal ke toleransi glukosa terganggu dan pada akhirnya DM tipe 2 klinis,

akan diikuti dengan beberapa episode hiperglikemi post prandial. Sejalan dengan progresivitas

penyakit, maka akan terjadi hiperglikemi baik dalam keadaan puasa maupun post prandial. 2,3

Page 2: HOMEOSTASIS GLUKOSA.docx

Patofisiologi Hiperglikemi

Homeostasis glukosa darah

Pemahaman tentang fisiologi homeostasis glukosa merupakan landasan yang sangat penting

dalam terapi DM, khususnya terapi dengan insulin. Pankreas, hati, otot dan jaringan lemak

merupakan organ-organ tubuh yang paling berperan dalam homeostasis glukosa. Sedangkan otak

mampu memanfaatkan glukosa tanpa memerlukan insulin. Pankreas menghasilkan insulin dan

glukagon, sedangkan hati merupakan tempat produksi glukosa (glukoneogenesis) dan sekaligus

tempat penyimpanan glikogen. Jaringan otot juga merupakan tempat pemanfaatan glukosa serta

penyimpanan glikogen. Dalam keadaan puasa, glukosa darah merupakan hasil glukoneogenesis

didalam hati, sedangkan sesudah makan merupakan hasil absorbsi makanan dari usus halus.

Peningkatan glukosa darah akan merangsang pankreas mensekresi insulin.4,5,6

Insulin menurunkan kadar glukosa darah melalui 2 cara :

Cara pertama , insulin menekan proses glukoneogenesis dan meningkatkan sintesis glikogen

hati. Produksi glukosa di hati dirangsang oleh glukagon dan katekolamin. Glukosa sendiri

menekan proses glukoneogenesis oleh hati. Cara kedua, insulin meningkatkan transpor dan

metabolisme glukosa dijaringan perifer khususnya otot dan jaringan lemak. Oleh sebab itu,

gangguan homeostasis glukosa dapat timbul akibat gangguan pada pankreas, jaringan perifer dan

hati.4,7

Glukosa darah puasa (fasting = post absorbtive) dan glukosa darah sesudah makan (prandial)

berbeda secara metabolik dan hormonal. Glukosa darah puasa merupakan “resultan” aktivitas

glukoneogenesis yang dipengaruhi kadar insulin puasa (basal) dan glukagon serta katekolamin.

Oleh sebab itu peningkatan glukosa darah puasa terjadi akibat kurangnya insulin puasa atau

peningkatan glukagon/ katekolamin atau keduanya. Sedangkan glukosa prandial merupakan

resultan aktivitas absorbsi glukosa dari usus halus atau metabolisme (ambilan dan penggunaan)

glukosa di jaringan perifer (lemak dan otot) yang tergantung insulin. Peningkatan glukosa darah

prandial merupakan akibat dari asupan kalori (makanan) yang berlebihan, dan atau kekurangan

insulin prandial baik absolut maupun relatif (oleh karena resistensi insulin).

Page 3: HOMEOSTASIS GLUKOSA.docx

Pola sekresi insulin

Sekresi insulin pada individu normal 2

Sekresi insulin dapat dibedakan dalam 2 komponen yang berbeda, yaitu sekresi insulin basal dan

sekresi insulin prandial 

Sekresi insulin basal

Sekresi insulin basal (post absorptive) dipertahankan terus menerus dalam jumlah yang relatif

tetap (~ 1 uU/ jam), yang terjadi diantara 2 makan, malam hari atau selama puasa.

Sekresi insulin tersebut walaupun rendah tetapi selalu dipertahankan untuk tidak sampai

mengeliminasi produksi glukosa darah oleh hati (hepatic glucose production = HGP) yang

penting untuk metabolisme glukosa oleh sel-sel otak. Sekresi insulin basal mempunyai korelasi

yang tinggi dengan kadar glukosa darah basal.

Sekresi insulin prandial

Sekresi insulin prandial terjadi waktu makan (fed state) dan menghasilkan peningkatan yang

tajam (5 – 10 x basal rate) dalam waktu yang relatif singkat (1/2 – 1 jam sesudah makan). Dalam

keadaan normal sekresi tersebut kembali ke keadaan basal dalam waktu 2 – 4 jam. Kemampuan

sekresi insulin prandial berkaitan erat dengan kemampuan ambilan glukosa oleh jaringan. 

Page 4: HOMEOSTASIS GLUKOSA.docx

2. Sekresi insulin pada DM tipe 2

Untuk mengatasi resistensi insulin, sel-sel β pankreas harus mampu mensekresi insulin lebih

banyak. Sepanjang pankreas masih mampu mensekresi sejumlah insulin yg dibutuhkan , tidak

akan terjadi gangguan toleransi glukosa atau DM. 

Oleh sebab itu pada DM tipe 2 , sekresi insulin sangat bervariasi, dari hiperinsulinemi akibat

resistensi insulin, sampai kekurangan insulin yang absolut akibat gangguan fungsi sel β

pankreas.7,8

Page 5: HOMEOSTASIS GLUKOSA.docx

3. Sekresi insulin pada DM tipe 1

Pada DM tipe 1 , sekresi insulin tergantung dari sisa massa sel β. Bila masih ada sisa massa sel β,

masih dijumpai insulin didalam darah. Bila massa sel β sudah habis, tidak ada lagi insulin

didalam darah.9

Patogenesis terjadinya Komplikasi Diabetes 

Diabetes Melitus akan disertai dengan komplikasi2 yang serius dan angka kejadian serta

beratnya komplikasi ini dapat diturunkan melalui kontrol glukosa darah yang baik. Beberapa

Page 6: HOMEOSTASIS GLUKOSA.docx

studi menunjukkan bahwa peningkatan kadar glukosa plasma mempunyai korelasi dengan

terjadinya komplikasi mikro dan makrovaskular. 10

Hiperglikemi kronik

Suatu studi retrospektif dari rekam medik pasien di Rochester Minnesota menunjukkan bahwa

angka kejadian DM tipe 2 per 100.000 penduduk pertahun adalah 80,1 pada populasi obes dan

45,6 pada populasi non obes. Dalam studi ini , prevalensi retinopati sebesar 2,6% pada saat

diagnosis DM ditegakkan. Setelah 20 tahun angka kejadian retinopati meningkat sampai 30%

pada pasien obes dan 36% pada pasien non obes. Angka kejadian kumulatif dari proteinuria

persisten setelah 20 tahun adalah 24,6 %, sedangkan pada saat diagnosis awal ditegakkan hanya

ditemukan 8,2%. Faktor risiko untuk terjadinya proteinuria antara lain usia pada saat diagnosis

DM ditegakkan, jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar glukosa plasma puasa dan adanya

retinopati serta komplikasi makrovaskular. Risiko untuk terjadinya Gagal Ginjal Kronik dengan

adanya proteinuria persisten pada saat pertama kali diagnosis DM ditegakkan meningkat menjadi

12 kali setelah 10 tahun. The Wisconsin Epidemiologic Study melakukan evaluasi hubungan

antara kadar A1c dengan komplikasi mikrovaskular. Dilakukan pemantauan terhadap pasien

selama 10 tahun. Dari hasil studi ini didapatkan peningkatan kejadian retinopati yang

berhubungan langsung dengan kadar A1c. Sebaliknya penurunan kadar A1c selama perjalanan

penyakit terbukti menurunkan risiko terjadinya retinopati.11

The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) yang merupakan studi berskala besar

membuktikan pula pentingnya kontrol glukosa darah yang ketat pada penderita DM tipe 1,

dimana pada kelompok penderita yang diberikan terapi insulin intensif terjadi penurunan

bermakna angka kejadian retinopati , nefropati dan neuropati dibandingkan kelompok penderita

yang mendapat terapi konvensional.7 

Hasil penelitian Kumamoto study terhadap penderita DM tipe 2 juga menunjukkan bahwa

kontrol glukosa darah yang ketat efektif menghambat onset dan progresivitas komplikasi

mikrovaskular. 

Studi longitudinal dalam skala besar terhadap penderita DM tipe 2 adalah the United Kingdom

Prospective Diabetes Study (UKPDS). Studi ini bertujuan untuk menilai apakah kontrol glikemik

yang ketat dapat menurunkan angka kejadian serta memperlambat progresivitas komplikasi DM.

Disamping itu juga menilai apakah suatu jenis terapi lebih baik daripada yang lain. Penderita

Page 7: HOMEOSTASIS GLUKOSA.docx

dikelompokkan kedalam kelompok terapi diet saja, sulfonilurea, metformin atau insulin dan

diikuti selama 10 tahun. Sama seperti hasil studi DCCT dan Kumamoto, studi UKPDS juga

membuktikan bahwa terapi intensif menurunkan risiko terjadinya komplikasi mikrovaskular.

Selanjutnya, studi ini juga menunjukkan bahwa sejauh kontrol glikemik tercapai, tidak ada

perbedaan efektivitas berbagai obat terhadap penurunan risiko komplikasi mikrovaskular.

Sedangkan efek kontrol glikemik terhadap penurunan komplikasi makrovaskular lebih bermakna

pada kelompok metformin.6

Hiperglikemi akut

Studi eksperimental menunjukkan bahwa hiperglikemi akut mempengaruhi fungsi ginjal dan

syaraf, perfusi retina, vasodilatasi, faktor2 koagulasi dan proses aterogenesis.

Hiperglikemi akut akan menyebabkan hiperinfiltrasi glomerulus yang mengawali terjadinya

nefropati diabetik. Hiperglikemi akut meningkatkan laju filtrasi glomerulus, yang lebih

mencolok bila telah ditemukan mikroalbuminuria / proteinuria. Peningkatan laju filtrasi

glomerulus yang diinduksi oleh hiperglikemi akut mempunyai onset yang cepat dan akan

menetap selama hiperglikemi akut berlangsung. Suatu studi in vitro juga menunjukkan

peningkatan produksi kolagen oleh sel-sel mesangium yang terpajan oleh hiperglikemi.

Hiperglikemi akut juga akan menimbulkan gangguan kecepatan konduksi syaraf baik pada

penderita DM maupun individu normal. Hiperglikemi akut dapat menurunkan ambang rasa nyeri

pada hewan percobaan dan penderita DM. Variasi kadar glukosa plasma akan disertai dengan

perubahan2 aliran darah retina. Hiperperfusi sirkulasi darah retina akan memperberat

progresivitas retinopati diabetik. Hiperglikemi akut juga akan menimbulkan gangguan motilitas

gastrointestinal pada penderita DM yang akan menyebabkan hambatan pengosongan

lambung. 11

Hambatan pengosongan lambung ini dapat disebabkan baik oleh karena perubahan2 neuropati

maupun efek langsung dari hiperglikemi akut yang menyebabkan gastroparesis. Hiperglikemi

akut juga akan menyebabkan gangguan motilitas esofagus dan kontraksi kandung empedu.

Hiperglikemi akut juga akan menyebabkan gangguan faktor2 koagulasi. Waktu paruh fibrinogen

akan memendek, fibrinopeptida A, faktor VII dan faktor2 koagulasi lain akan

meningkat.12 Kadar ICAM-1 meningkat dalam keadaan hiperglikemi akut pada penderita DM

baik yang disertai maupun tanpa penyakit pembuluh darah. ICAM-1 merupakan salah satu

Page 8: HOMEOSTASIS GLUKOSA.docx

protein proadhesi yang dapat memperberat aterogenesis. Protein2 adhesi mempengaruhi interaksi

antara endothel dan lekosit yang memicu aterogenesis. Jadi hiperglikemi akut baik pada

penderita DM tipe 1 maupun DM tipe 2 akan menyebabkan abnormalitas metabolisme dan

biokimiawi sehingga mempercepat progresivitas komplikasi mikro serta makrovaskular.

Progresivitas komplikasi mikro dan makrovaskular disebabkan karena 2 mekanisme yaitu

glikosilasi non enzimatik dan stres oksidatif.

Glikemi post prandial

Glikemi post prandial merupakan respons fisiologik terhadap asupan makanan yang ditunjukkan

dengan terjadinya fluktuasi dari kadar glukosa darah basal. Glikemi post prandial masih berada

dalam rentang yang sempit antara 100 sampai 140 mg/dl. Hiperglikemi post prandial terjadi bila

kadar glukosa darah melebihi 140 mg/dl, yang akan disertai dengan peningkatan risiko terjadinya

komplikasi diabetes. Hiperglikemi post prandial pada penderita DM tipe 2 terjadi akibat

hilangnya sekresi insulin fase awal dan resistensi insulin serta hiperinsulinemi, yang selanjutnya

akan meningkatkan risiko komplikasi kardiovaskular. Dengan terjadinya hiperglikemi yang

persisten, akan menyebabkan gangguan respons sekresi insulin dari sel-sel beta pankreas,

sehingga memerlukan terapi insulin untuk mengembalikan respons sekresi insulin fase awal dan

memperbaiki kontrol glukosa darah. Terapi insulin juga akan memperbaiki regulasi reseptor

insulin dijaringan perifer dan memperbaiki kontrol glukosa darah serta menurunkan resistensi

insulin.13 

Berbagai studi menunjukkan penurunan mortalitas penderita DM usia lanjut dengan kontrol

glukosa darah yang baik. Kadar glukosa darah post prandial dan puasa mempunyai korelasi

dengan kadar A1c. 

Namun studi2 terakhir menunjukkan bahwa hiperglikemi post prandial yang ditunjukkan dengan

kadar A1c merupakan petunjuk kontrol glikemi yang lebih baik daripada kadar glukosa darah

puasa. Avignon dan kawan-kawan14 melaporkan bahwa kadar glukosa plasma setelah makan

siang mempunyai sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktif yang lebih tinggi daripada kadar

glukosa puasa atau premeal. Ceriello dan kawan-kawan melaporkan bahwa hiperglikemi post

prandial mempunyai korelasi dengan over produksi trombin, yang akan meningkatkan risiko

kardiovaskular. Terjadi penurunan total Radical Trapping Antioxidant Parameter (TRAP) akibat

hiperglikemi post prandial baik pada penderita DM maupun orang normal. Penurunan TRAP

menunjukkan bahwa peningkatan kadar glukosa plasma meningkatkan stres oksidatif dan

Page 9: HOMEOSTASIS GLUKOSA.docx

menurunkan mekanisme pertahanan anti oksidan. Terdapat bukti kuat bahwa kontrol yang baik

terhadap kadar glukosa plasma puasa maupun post prandial pada penderita DM dapat

menurunkan komplikasi mikro dan makrovaskular. The Honolulu Heart Study15 menunjukkan

bahwa risiko PJK meningkat secara bermakna dengan meningkatnya kadar glukosa post meal.

The Whitehall Study16 menunjukkan bahwa mortalitas PJK pada laki2 Inggris meningkat dua

kali lipat pada kadar glukosa plasma 2 jam sesudah makan lebih dari 96 mg/dl. Prevalensi semua

jenis PJK ( perubahan EKG, angina atau infark miokard) pada Islington Diabetes Survey17

meningkat dari 9% pada individu dengan kadar glukosa darah < 120 mg/dl menjadi 20% bila

kadar glukosa darah ≥ 180 mg/dl. The Diabetes Intervention Study menunjukkan bahwa kadar

glukosa plasma sesudah makan merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya infark

miokard dan kematian akibat PJK. Pada studi DECODE (Diabetes Epidemiology Collaborative

Analysis of Diagnostic Criteria in Europe)10, peningkatan kadar glukosa plasma setelah 2 jam

pembebanan disertai dengan peningkatan mortalitas yang tidak tergantung dari kadar glukosa

puasa, sementara hubungan antara kadar glukosa plasma puasa dengan mortalitas tergantung

dengan kadar glukosa plasma 2 jam post prandial. The Helsinki Policemen

Study 16 membuktikan adanya hubungan antara kadar insulin plasma 1 dan 2 jam sesudah

makan dengan kejadian PJK, yang tidak ditunjukkan oleh kadar insulin plasma puasa. The Paris

Prospective Study16 mendapatkan bahwa hiperinsulinemi sesudah makan merupakan indikator

yang lebih baik terhadap mortalitas PJK dibandingkan hiperglikemi. 

The Quebec Cardivascular Study 10 melaporkan bahwa dalam periode studi selama 5 tahun ,

kadar insulin plasma puasa merupakan prediktor kuat terhadap penyakit jantung iskemik.

Namun, hiperinsulinemi post prandial menggambarkan disfungsi sel beta dan resistensi insulin

sehingga dapat dipakai sebagai pertanda (marker) dari patofisiologi yang mendasari DM tipe 2.

Simpulan :

Pada individu sehat, respons sel-sel beta pankreas terhadap rangsangan oleh sekretagog insulin

(seperti glukosa) berlangsung secara bifasik, dimana terjadi sekresi insulin fase awal selama 10

menit setelah rangsangan, diikuti sekresi insulin fase lanjut yang berakhir dalam beberapa jam.

Sekresi insulin fase awal akan menghambat produksi glukosa hati dalam keadaan puasa,

sementara sekresi insulin fase lanjut berfungsi meningkatkan ambilan glukosa oleh jaringan

Page 10: HOMEOSTASIS GLUKOSA.docx

perifer. Kedua proses ini bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah puasa dan post

prandial dalam keadaan normal. 

Hiperglikemi post prandial yang terjadi pada penderita DM tipe 2 terjadi akibat hilangnya sekresi

insulin fase awal dan resistensi insulin serta hiperinsulinemi, yang selanjutnya akan

meningkatkan risiko komplikasi kardiovaskular. Dengan terjadinya hiperglikemi yang persisten,

akan menyebabkan gangguan respons sekresi insulin dari sel-sel beta pankreas, sehingga

memerlukan terapi insulin untuk mengembalikan respons sekresi insulin fase awal dan

memperbaiki kontrol glukosa darah. Terapi insulin juga akan memperbaiki regulasi reseptor

insulin dijaringan perifer dan memperbaiki kontrol glukosa darah serta menurunkan resistensi

insulin.