Upload
dangdang
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN ASUPAN ZAT GIZI (ENERGI, PROTEIN, BESI
DAN SENG), STUNTING DAN STIMULASI PSIKOSOSIAL DENGAN
STATUS MOTORIK ANAK USIA 3-6 TAHUN DI PAUD WILAYAH
BINAAN PUSKESMAS KECAMATAN KEBAYORAN LAMA TAHUN 2014
SKRIPSI
OLEH :
AMEILIA AMANDA
109101000071
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2014 M
v
RIWAYAT HIDUP
Nama : Ameilia Amanda
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 6 Mei 1991
Alamat : Komp. Taman Mangu Indah Blok B1
No. 4 RT 001 / 006 Pondok Aren
Tangerang Selatan
Telepon/Hp : 081287553806
Email : [email protected]
Tahun 1997 – 2003 : SDN 02 Pagi Pesanggrahan Jakarta
Tahun 2003 – 2006 : SMPN 177 Pesanggrahan Jakarta
Tahun 2006 – 2009 : SMAN 86 Bintaro Jakarta
Tahun 2009 – 2014 : Kesehatan Masyarakat FKIK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada ALLAH SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat dan nikmat yang tiada terkira kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini dengan baik.
Shalawat serta salam teruntuk yang tersayang Nabi Muhammad SAW,
semoga kita semua termasuk golongan umat yang mendapat syafaatnya. Aamiin.
Skripsi yang berjudul “Hubungan Asupan Zat Gizi, Stunting dan Stimulasi
Psikososial dengan Status Motorik Anak Usia 3-6 tahun di PAUD Wilayah Binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014” ini dibuat sebagai tugas akhir
untuk menyelesaikan studi kesehatan masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat diselesaikan dengan baik
tanpa bantuan, dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Pada kesempaatan ini
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Allah SWT, yang selalu memberikan segalanya dalam proses pembuatan
skripsi hingga selesai.
2. Kedua orang tua, papa Syafei Arifin serta mama Mulyani Muchtar yang tanpa
lelah memberikan doa dan semangat. Juga untuk kakak-kakak tersayang
Marisa dan Silvi serta para sepupu yang selalu memberi semangat.
3. Prof. DR (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D, selaku kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
5. Ibu Febri, M. Si, selaku Pembimbing Akademik dan Pembimbing I skripsi.
Terima kasih atas bimbingan, arahan, dan sarannya yang sangat berharga
selama proses perkuliahan dan proses penyusunan laporan skripsi ini.
6. Ibu Riastuti Kusumawardani SKM, M.KM, selaku dosen pembimbing II
skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran yang berharga
dalam proses penyusunan laporan skripsi ini.
7. Kepala sekolah dan Guru PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan
kebayoran lama yang telah membantu selama proses penelitian berlangsung.
8. Teman – teman Kesmas 2009 yang telah memberikan semangat dan bantuan
selama masa perkuliahan dan saat proses penyusunan skripsi ini terutama
sahabat – sahabat terbaik yang selalu memberi semangat.
9. Teman – teman di luar kampus yang juga turut membantu dan memberi
semangat dalam proses penyelesaian laporan skripsi ini.
Penulis menyadari penulisan ini masih kurang dari sempurna, sehingga sangat
diharapkan saran dan masukkannya. Semoga laporan skripsi ini dapat
bemanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, Juli 2014
Penulis
viii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
GIZI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, 2014
AMEILIA AMANDA, NIM : 109101000071
Hubungan Asupan Zat Gizi (Energi, Protein, Zat Besi dan Seng), Stunting
Dan Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik Di PAUD Wilayah Binaan
Puskesmas Kecamatan kebayoran Lama Tahun 2014
xviii + 106 halaman, 24 tabel, 5 gambar, 5 lampiran
ABSTRAK
Hasil survei Departemen Kesehatan RI tahun 2008 diketahui 19% balita
mengalami gangguan perkembangan motorik, namun sebarannya di setiap
provinsi belum memiliki data yang pasti. Berdasarkan studi pendahuluan pada 30
anak secara acak di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014 stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada anak
diperoleh 36% kurang (11 anak) dan cukup (15 anak) sementara status gizi
berdasarkan TB/U diperoleh 40% (12 anak) dengan kategori stunting.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi yaitu
energi, protein, zat besi (Fe), zat seng (Zn), stunting dan stimulasi psikososial
terhadap status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas
Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. Penelitian ini dilakukan dengan desain
cross sectional, dengan mengisi kuesioner. Penelitian ini dilakukan di PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama dengan jumlah sampel
penelitian sebanyak 85 orang.
Sebanyak 30,6% responden memiliki status motorik halus yang terganggu
dan 42,4% memiliki status motorik kasar yang terganggu. 63,5% responden
memiliki asupan energi kurang, 60% memiliki asupan protein kurang, 38,8%
memiliki asupan zat besi kurang, 52,9% memiliki asupan seng kurang. Ada
57,6% responden yang memiliki tubuh pendek (stunting) sebanyak 9,4%
menerima stimulasi baik dan 22,4% menerima stimulasi kurang dari keluarga.
Dapat disimpulkan bahwa variabel yang berhubungan dengan status motorik
kasar dan halus adalah asupan (energi, protein dan besi), stunting dan stimulasi
psikososial sedangkan variabel yang tidak berhubungan dengan status motorik
kasar dan halus adalah asupan seng. Maka dari pihak Puskemas wilayah binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, PAUD dan orang tua atau pengasuh
sebaiknya dapat berkerjasama dengan baik dalam memperbaiki asupan, status gizi
serta mengoptimalkan pemberian stimulasi psikososial kepada anak.
Kata Kunci : motorik, stunting, zat gizi, stimulasi psikososial, siswa PAUD
Daftar Bacaan : (2000-2014)
ix
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY
MAJOR OF COMMUNITY HEALTH NUTRITION
UNDERGRADUATED THESIS, 2014
AMEILIA AMANDA, NIM : 109101000071
The Relationship of Nutrient Intake, Stunting and Psychosocial
Stimulation of Motoric Status In Early Childhood Education with the
Patronage Region Kebayoran Lama Sub-District Health Centers in 2014
xviii + 106 Pages, 24 Tables, 5 Pictures, 5 Attachments
ABSTRACT
The results of the Ministry of Health survey in 2008 approximately
19% of infants known to impaired motor development, but spreading in every
province does not yet have definitive data. And based on the preliminary
study of 30 children randomly assigned in early childhood target area of
Kebayoran Lama sub-district health centers in 2014 psychosocial stimulation
given to the child's parents earned 36% less (11 children) and sufficient (15
children) while nutritional status based on H/A obtained 40% (12 children)
with stunting category.
This study aims to determine the relationship of the nutrient intake of
energy, protein, iron (Fe), zinc (Zn), stunting and psychosocial stimulation of
the motor status of children aged 3-6 years in the early childhood area of
Kebayoran Lama sub-district health center built in 2014. The study was
conducted with cross-sectional design, data retrieval way to fill out a
questionnaire. This research was conducted in the early childhood area of
Kebayoran Lama sub-district health centers built by the number of samples
are 85 people.
A total of 30.6% of respondents have impaired fine motor status and
42.4% have impaired gross motor status, 63.5% less energy intake, 60% have
less protein intake, 38, 8% have less iron intake, 52.9% have less zinc intake.
A total of 57.6% respondents had a short stature (stunting) and 9.4% received
good stimulation and 22.4% received less stimulation from their family. We
can conclude variables related to the status of gross and fine motor include
intake (energy, protein and iron), stunting and psychosocial stimulation, while
variables not related to the status of gross and fine motor is the intake of zinc.
Therefore, from the health centers target area Kebayoran Lama sub-district
health centers, early childhood education and the parents or care giver should
be able to cooperate well in improving the intake and nutritional status of the
x
child as well as to optimize the provision of psychosocial stimulation to the
child.
Refferences : (2000-2014)
Key Words : motoric, stunting, nutrient, psychosocial stimulation, early
childhood education.
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian ...................................................................... 7
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................... 9
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................... 11
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 13
2.1 Perkembangan Anak Usia Dini ...................................................... 13
2.1.1 Pengertian Perkembangan Anak Usia Dini ............................ 13
2.2 Motorik ........................................................................................... 14
2.2.1 Pengertian dan Prinsip Motorik ............................................ 14
2.2.2 Pengertian Motorik Kasar ..................................................... 15
2.2.3 Kemampuan Motorik Kasar anak usia 3-6 Tahun ................ 16
2.2.4 Pengertian Motorik Halus ..................................................... 17
2.2.5 Kemampuan Motorik Halus anak usia 3-6 Tahun ................ 18
2.2.6 Kuesioner Pra Skrining Pra Perkembangan (KPSP) ............. 20
2.3 Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ..................... 22
2.3.1 Pengertian PAUD ................................................................. 22
2.3.2 Ruang Lingkup Lembaga PAUD ......................................... . 22
2.4 Pengaruh Status Gizi berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur
(TB/U) terhadap status motorik ......................................................... 24
2.4.1 Penilaian Status Gizi ............................................................. 24
2.4.2 Indeks Antropometri ............................................................. 24
2.4.3 Stunting ................................................................................. 25
2.5 Pengaruh Asupan Zat Gizi (Energi, Protein, Besi dan Seng) dengan
Status Motorik .................................................................................... 28
Halaman
xii
2.5.1 Energi ................................................................................... 31
2.5.2 Protein ................................................................................... 31
2.5.3 Besi (Fe) ................................................................................ 32
2.5.4 Seng (Zn) .............................................................................. 34
2.5.5 Metode Food Recall 24 Jam ............................................... 35
2.6 Pengaruh Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik ................... 37
2.6.1 Mekanisme Kerja Stimulasi terhadap Motorik ................... 37
2.6.2 Pengertian Stimulasi Psikososial ........................................ 39
2.6.3 Home Observation for Measurement of the Environment
(HOME) ............................................................................... 39
2.7 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Anak .............. 41
2.7.1 Pengasuhan Anak ................................................................. 41
2.7.2 Gizi ...................................................................................... 41
2.7.3 Lingkungan Anak ............................................................... 42
2.8 Kerangka Teori ................................................................................... 42
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS ....................................................................................... 45
3.1 Kerangka Konsep .............................................................................. 45
3.2 Definisi Operasional .......................................................................... 49
3.3 Hipotesis ............................................................................................. 54
BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................. 56
4.1 Desain Penelitian ............................................................................... 56
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 56
4.3 Populasi dan Sampel .......................................................................... 57
4.3.1 Populasi .................................................................................... 57
4.3.2 Sampel dan Teknik Sampling ................................................... 57
4.4 Instrumen Penelitian ..................................................................... 60
4.5 Pengumpulan Data.............................................................................. 62
4.6 Pengolahan Data ................................................................................ 63
4.6 Analisis Data .................................................................................... 65
4.6.1 Analisis Univariat ................................................................... 65
4.6.2 Analisis Bivariat ..................................................................... 66
BAB V HASIL PENELITIAN.................................................................... 68
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................. 68
5.2 Analisis Univariat ............................................................................. 69
5.2.1 Gambaran Status Motorik Halus ..................................... 69
5.2.2 Gambaran Status Motorik Kasar ..................................... 70
5.2.3 Gambaran Asupan Energi ............................................... 70
5.2.4 Gambaran Asupan Protein .............................................. 71
xiii
5.2.5 Gambaran Asupan Zat Besi ............................................ 71
5.2.6 Gambaran Asupan Seng .................................................. 72
5.2.7 Gambaran Stimulasi Psikososial ..................................... 73
5.2.8 Gambaran Stunting .......................................................... 73
5.3 Analisis Bivariat ............................................................................... 74
5.3.1 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus
dengan Asupan Energi………………..………………… 74
5.3.2 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus
dengan Asupan Protein.................................................... 75
5.3.3 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus
dengan Asupan Zat Besi.................................................. 76
5.3.4 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus
dengan Asupan Seng........................................................ 76
5.3.5 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus
dengan Stunting................................................................ 77
5.3.6 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus
dengan Stimulasi Psikososial........................................... 78
5.3.7 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar
dengan Asupan Energi………………………………….. 79
5.3.8 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar
dengan Asupan Protein.................................................... 79
5.3.9 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar
dengan Asupan Zat Besi.................................................. 80
5.3.10 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar
dengan Asupan Seng........................................................ 81
5.3.11 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar
dengan Stunting................................................................ 81
5.3.12 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar
dengan Stimulasi Psikososial............................................ 82
BAB VI PEMBAHASAN... .............................................................................. 84
6.1. Keterbatasan Penelitian ............................................................... 84
6.2 Gambaran Status Motorik Halus dan Kasar ................................ 84
6.3 Gambaran dan Hubungan Asupan Energi dengan Status
Motorik Kasar dan Halus ............................................................ 86
6.4 Gambaran dan Hubungan Asupan Protein dengan Status
Motorik Kasar dan Halus ............................................................. 90
6.5 Gambaran dan Hubungan Asupan Zat Besi dengan Status
Motorik Kasar dan Halus ............................................................ 92
xiv
6.6 Gambaran dan Hubungan Asupan Seng dengan Status
Motorik Kasar dan Halus ............................................................ 95
6.7 Gambaran dan Hubungan Stunting dengan Status Motorik
Kasar dan Halus .......................................................................... 98
6.8 Gambaran dan Hubungan Asupan Protein dengan Status
Motorik Kasar dan Halus ............................................................ 100
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 104
7.1 Kesimpulan ................................................................................... 104
7.2 Saran ............................................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
Nomor
Tabel
Halaman
2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
TB/U..............................................................................................................
26
3.1 Definisi Operasional..................................................................................... 50
4.1 Data siswa PAUD di Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014.........................................................................................
58
4.2 Proporsi Jumlah Siswa PAUD DI Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014......................................................................
61
5.1 Distribusi Berdasarkan Status Motorik Halus pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014...........……..
70
5.2 Distribusi Berdasarkan Status Motorik Kasar pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014.....................
71
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
5.9
5.10
5.11
5.12
5.13
Distribusi Berdasarkan Berdasarkan Asupan Energi pada Siswa PAUD
Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014......
Distribusi Berdasarkan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014.....................
Distribusi Berdasarkan Asupan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014.....................
Distribusi Berdasarkan Asupan Seng pada Siswa PAUD Wilayah Binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014.................................
Distribusi Berdasarkan Stimulasi Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014…….............
Distribusi Berdasarkan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014.................................
Analisis Hubungan antara Status Motorik Haus dengan Asupan Energi
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014.........................................................................................
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Protein
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014 ......................................................................................
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Zat Besi pada
Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2014...................................................................................................
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Seng pada Siswa
PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun
2014................................................................... .......................................
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stunting pada
Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2014.................................................................................................
71
72
73
73
74
75
75
76
77
77
78
xvi
5.14
5.15
5.16
5.17
5.18
5.19
5.20
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stimulasi
Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014.......................................................................
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014.........................................................................................
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014 ......................................................................................
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Zat Besi pada
Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2014...............................................................................................
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Seng pada Siswa
PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun
2014...........................................................................................................
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stunting pada
Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2014............................................................................................
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stimulasi
Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014.......................................................................
79
80
80
81
82
82
83
xvii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
2.1 Jalur dan jenjang PAUD…….................................................. 24
2.2
2.3
2.4
3.1
Gambaran siklus neurotransmitter menghasilkan motorik ....
Gambaran mekanisme kerja stimulasi……………………….
Kerangka teori……………………………………………….
Kerangka konsep…………………………………………….
32
40
45
49
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran Judul Lampiran
1 Formulir Food Recall 24 Jam
2
3
Kuesioner HOME Inventory
Kuesioner Pra Skrining Perkembangan
4 Analisis Univariat
5 Analisis Bivariat
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hasil survei Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008 diketahui sekitar
19% balita mengalami gangguan perkembangan namun sebarannya di setiap
provinsi belum memiliki data yang pasti. Prevalensi tersebut apabila dibiarkan
akan memberikan dampak pada status perkembangan di wilayah tersebut tidak
optimal dan akan berpengaruh kepada keberhasilan pembangunan nasional suatu
bangsa yang ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) (Azwar,
2004). SDM yang berkualitas atau tidak berawal pada kualitas otak, khususnya
pada anak karena otak pada anak usia prasekolah bersifat plastis dengan kata lain
peka terhadap lingkungan sehingga untuk mempertahankan sekaligus
meningkatkan kualitasnya adalah dengan upaya kesehatan pada anak usia
prasekolah (0-6 tahun) berupa mendapatkan gizi yang baik dan stimulasi yang
memadai serta terjangkau (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Kekurangan akan kebutuhan gizi pada masa anak usia prasekolah selain
akan mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan jasmaninya juga akan
menyebabkan gangguan perkembangan anak, dalam hal ini adalah perkembangan
motorik (Sutarta, 2008).
Perkembangan motorik berkaitan erat dengan pengendalian gerakan
jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi
(Hurlock, 2000). Menurut Herawati (2009) terdapat tiga tahapan perkembangan
2
sel dan jaringan saraf dalam otak. Tahap pertama, pada periode pertama sekitar
masa kehamilan 32 minggu dan periode kedua sekitar berumur 15 bulan. Masa ini
disebut masa kritis karena merupakan fase pesat tumbuh kembang yang terjadi
pembelahan sel otak. Tahap kedua, usia 0-2 tahun dimana periode yang paling
krusial paska kelahiran terjadi dimana terjadi pembesaran sel otak yang amat
pesat. Tahap ketiga, usia 3-6 tahun juga merupakan masa kritis, pada usia ini
pertumbuhan dan perkembangan sel dan jaringan syaraf berlangsung pesat untuk
melanjutkan dan memantapkan potensi yang sudah dibangun pada usia
sebelumnya.
Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam pemantauan
tumbuh kembang anak adalah Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang (SDIDTK). Berdasarkan data SDIDTK dimana Penyimpangan
perkembangan yang dideteksi melalui Kuesioner Pra Skrining Perkembangan
(KPSP) yang dilakukan oleh petugas Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama,
diperoleh motorik kasar sebanyak 41 anak, motorik halus sebanyak 17 anak,
kemampuan bahasa sebanyak 5 anak dan sosialisasi kemandirian sebanyak 5 anak
pada tahun 2012 sedangkan pada tahun 2013 diperoleh motorik kasar sebanyak
38 anak, motorik halus sebanyak 13 anak, kemampuan bahasa sebanyak 5 anak
dan sosialisasi kemandirian sebanyak 2 anak.
Menurut Rumini dan Sundari (2004) prinsip perkembangan motorik
adalah perkembangan motorik tidak akan terjadi sebelum matangnya sistem
syaraf dan otot yaitu pada periode prenatal dimana perkembangan motorik akan
terjadi sebelum periode prenatal dan berlangsung saat sistem syaraf mengalami
3
perkembangan yaitu anak pada usia 0-6 tahun. Namun Zaviera (2008)
menjelaskan semakin berkembangnya sistem saraf otak yang mengatur otot
memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak.
Variasi siswa di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
juga pada usia 3-6 tahun sehingga populasi dan sampel dalam penelitian ini
adalah anak usia 3-6 tahun.
Terkait dengan kematangan sistem syaraf dan otot, hal ini berkaitan erat
dengan keadaan gizi anak pada masa lampau. Dimana ketidakmampuan untuk
mencapai perkembangan optimal atau stunting merupakan keadaan malnutrisi
kronik yang berkaitan dengan perkembangan otak anak. Hal ini disebabkan oleh
adanya keterlambatan kematangan sel-sel saraf terutama di bagian cerebellum
yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik sehingga koordinasi sel saraf
dengan otot menjadi kurang baik (Georgieff, 2001).
Pada penelitian Kartika et al (2002) didapatkan anak usia 3-6 tahun
mengalami kemampuan motorik kasar lebih rendah pada anak yang mengalami
stunting dibandingkan dengan anak yang tidak stunting, dimana anak yang
mengalami stunting mempunyai risiko 6 kali lebih besar mengalami gangguan
perkembangan motorik kasar dibandingkan dengan anak dengan status gizi
normal. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
stunting dengan motorik kasar pada anak usia 3-6 tahun. Hal yang serupa juga
dibuktikan pada penelitian Olney et al (2007) bahwa di daerah Zanzibar, Afrika
Timur, anak yang stunting memiliki skor Total Motor Activity (TMA) atau jumlah
4
aktivitas motorik lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lama dalam
melakukan gerakan-gerakan perpindahan.
Selain keadaan gizi masa lampau pada anak, pemberian asupan gizi yang
seimbang juga harus diperhatikan karena untuk mengembangkan kemampuan
saraf motoriknya (Zaviera, 2008). Menurut Gerorgieff (2001) asupan zat gizi
yang berperan dalam motorik diantaranya adalah energi, protein, besi (Fe) dan
seng (Zn). Dimana energi berperan dalam mempengaruhi zat kimia yang ada di
otak yang sering disebut neurotransmitter. Protein pada asam amino tirosin
berkaitan dengan neurotransmitter dan serotonin berperan dalam menstimulasi
tidur yang penting untuk perkembangan otak dalam memproses informasi
sedangkan catecholamine berkaitan dengan keadaan siaga yang membantu
menyerap informasi di otak. Besi (Fe) berperan dalam sintesis monoamine,
metabolisme energi di neuron serta mielinisasi dan seng (Zn) berperan dalam
pelepasan neurotransmitter.
Pada penelitian Susanty (2012) dengan uji korelasi menunjukkan adanya
hubungan asupan energi dan protein tehadap status motorik anak dengan p<0,05.
Pada penelitan Black et al (2005) bahwa terdapat dampak positif pada
suplementasi zat seng (Zn) yang diberikan terhadap status motorik anak. Pada
penelitian Black et al (2004) juga menunjukkan bahwa terdapat dampak positif
pada suplementasi zat besi yang diberikan terhadap status motorik anak.
Disamping pengaruh gizi, stimulasi juga berpengaruh terhadap status
motorik. Melakukan stimulasi yang memadai artinya merangsang otak balita
sehingga kemampuan gerak atau motorik anak berlangsung secara optimal sesuai
5
dengan umur anak (Depertemen Kesehatan RI, 2008). Menurut Soetjiningsih
(2002) stimulasi psikososial merupakan rangsangan dari peristiwa-peristiwa
sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak
sehingga dapat mempengaruhi kualitas perkembangan anak.
Pada penelitian Gustiana et al (2011) dipaparkan bahwa anak pada umur
3-5 tahun mengalami status motorik kasar kurang baik lebih banyak pada anak
yang jarang diberi stimulasi psikososial yaitu sebesar 56%, sedangkan pada anak
yang sering distimulasi psikososial yang mengalami gangguan motorik kasar
hanya sebesar 24%. Anak yang mengalami status motorik kasar mempunyai
risiko 4,03 kali mendapatkan stimulasi psikososial yang jarang dibandingkan
yang cukup, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi
psikososial dengan status motorik kasar. Pada penelitian Gardner et al (2007)
dengan uji anova juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
stimulasi psikososial dengan status motorik pada p<0.01 dan dengan derajat
kepercayaan 95%.
Suyadi (2013) menjelaskan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan
pada peletakandasar ke arah perkembangan, yaitu koordinasi motorik (halus dan
kasar) sehingga lokasi penelitian adalah di PAUD. Berdasarkan wawancara dan
observasi dengan 3 kepala sekolah dan 5 guru dari 3 Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, ditemukan 12
anak mengalami gangguan status motorik seperti kesulitan menggambar dan
6
memegang suatu benda dan keterlambatan menulis dimana seharusnya sudah bisa
dilakukan sesuai dengan tahapan usia masing-masing anak.
Disamping itu, peneliti juga melakukan studi pendahuluan terhadap 30
anak yang dipilih secara acak di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama pada bulan Januari 2014. Dari hasil studi pendahuluan tersebut,
diperoleh 60% (18 anak) dengan asupan energi kurang, 43,3% (13 anak) dengan
asupan protein kurang, 76,6% (24 anak) dengan asupan zat besi kurang, 53,3%
(16 anak) dengan asupan zat seng kurang berdasarkan AKG (2012). Sedangkan
stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada anak diperoleh 36% kurang
(11 anak), 54,7% cukup (15 anak) dan 9,3% baik (4 anak), status gizi berdasarkan
TB/U diperoleh 40% (12 anak) dengan kategori stunting dan diperoleh 43,4% (13
anak) memiliki status motorik halus dengan kategori normal dan 56,6% (17 anak)
dengan kategori terganggu dan 36,7% (11 anak) memiliki status motorik kasar
dengan kategori normal dan 63,3% (19 anak) dengan kategori terganggu. Maka
dari itu, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi, stunting dan
stimulasi psikososial terhadap status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan wawancara dan observasi dengan 3 kepala sekolah dan 5
guru dari 3 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) wilayah binaan Puskesmas
Kecamatan Kebayoran Lama pada bulan Januari 2014, ditemukan 12 dari anak
mengalami gangguan status motorik seperti kesulitan menggambar dan
memegang suatu benda dan keterlambatan menulis. Disamping itu, peneliti juga
7
melakukan studi pendahuluan terhadap 30 anak yang dipilih secara acak di PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama. Dari hasil studi
pendahuluan tersebut, diperoleh 60% (18 anak) dengan asupan energi kurang,
43,3% (13 anak) dengan asupan protein kurang, 76,6% (24 anak) dengan asupan
zat besi kurang, 53,3% (16 anak) dengan asupan zat seng kurang berdasarkan
AKG (2012). Sedangkan stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada
anak diperoleh 36% kurang (11 anak), 54,7% cukup (15 anak) dan 9,3% baik (4
anak), status gizi berdasarkan TB/U diperoleh 40% (12 anak) dengan kategori
stunting dan diperoleh 43,4% (13 anak) memiliki status motorik halus dengan
kategori normal dan 56,6% (17 anak) dengan kategori terganggu dan 36,7% (11
anak) memiliki status motorik kasar dengan kategori normal dan 63,3% (19 anak)
dengan kategori terganggu. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk mengetahui
hubungan asupan zat gizi, stunting dan stimulasi psikososial terhadap status
motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama tahun 2014.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran asupan energi anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah
binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
2. Bagaimana gambaran asupan protein anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah
binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
3. Bagaimana gambaran asupan zat besi (Fe) anak usia 3-6 tahun di PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
8
4. Bagaimana gambaran asupan zat seng (Zn) anak usia 3-6 tahun di PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
5. Bagaimana gambaran stimulasi psikososial anak usia 3-6 tahun di PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
6. Bagaimana gambaran stunting anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
7. Bagaimana gambaran status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
8. Bagaimana gambaran status motorik halus anak usia 3-6 tahun di PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
9. Bagaimana hubungan asupan energi dengan status motorik kasar dan halus
anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama tahun 2014?
10. Bagaimana hubungan asupan protein dengan status motorik kasar dan halus
anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama tahun 2014?
11. Bagaimana hubungan asupan zat besi (Fe) dengan status motorik kasar dan
halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama tahun 2014?
12. Bagaimana hubungan asupan zat seng (Zn) dengan status motorik kasar dan
halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama tahun 2014?
9
13. Bagaimana hubungan stimulasi psikososial dengan status motorik kasar dan
halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama tahun 2014?
14. Bagaimana hubungan stunting dengan status motorik kasar dan halus anak
usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan asupan zat gizi yaitu energi, protein, besi
dan seng, stunting dan stimulasi psikososial dengan status motorik anak
usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran asupan energi anak usia 3-6 tahun di PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.
2. Diketahuinya gambaran asupan protein anak usia 3-6 tahun di PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.
3. Diketahuinya gambaran asupan zat besi (Fe) anak usia 3-6 tahun di
PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun
2014.
4. Diketahuinya gambaran asupan zat seng (Zn) anak usia 3-6 tahun di
PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun
2014.
10
5. Diketahuinya gambaran stunting anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah
binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.
6. Diketahuinya gambaran stimulasi psikososial anak usia 3-6 tahun di
PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun
2014.
7. Diketahuinya gambaran status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di
PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun
2014.
8. Diketahuinya gambaran status motorik halus anak usia 3-6 tahun di
PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun
2014.
9. Diketahuinya hubungan asupan energi dengan status motorik kasar dan
halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas
Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.
10. Diketahuinya hubungan asupan protein dengan status motorik kasar
dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas
Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.
11. Diketahuinya hubungan asupan zat besi (Fe) dengan status motorik
kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.
12. Diketahuinya hubungan asupan zat seng (Zn) dengan status motorik
kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.
11
13. Diketahuinya hubungan stimulasi psikososial dengan status motorik
kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.
14. Diketahuinya hubungan stunting dengan status motorik kasar dan halus
anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama tahun 2014.
1.5 Manfaat penelitian
1.5.1 Bagi PAUD
1. Memberikan informasi bagi PAUD tentang hubungan asupan zat gizi
dan stimulasi psikososial dengan status motorik anak.
2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk kebijakan
selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan pemantauan asupan zat gizi,
stimulasi psikososial dan upaya peningkatan kemampuan motorik
anak.
1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan untuk penelitian
berikutnya dengan mengembangkan metode yang lebih luas ruang
lingkupnya.
2. Lembaga pendidikan dapat memperoleh tolak ukur proses belajar
mahasiswa dengan keadaan yang nyata.
3. Memberikan informasi kepada institusi yang terkait sehingga dapat
menjadi bahan masukan untuk membuat kebijakan selanjutnya.
12
1.5.3 Bagi Peneliti Lain
1. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya.
2. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk
penelitian berikutnya.
1.5.4 Bagi Penulis
1. Merupakan suatu kesempatan untuk menerapkan ilmu pengetahuan
dan keterampilan yang telah diperoleh selama di bangku kuliah.
2. Menambah pengalaman bagi penulis dalam melakukan penelitian
ilmiah di bidang gizi kesehatan masyarakat.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan studi cross
sectional dengan judul “Hubungan Asupan Zat Gizi, Stunting dan Stimulasi
Psikososial dengan Status Motorik Anak Usia 3-6 Tahun di PAUD wilayah
binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014”. Penelitian ini
dilakukan dengan cara pengisian kuesioner baik untuk mengetahui variabel
dependen maupun untuk mengetahui variabel independen penelitian. Penelitian
ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni tahun 2014 dan lokasi
penelitian dilakukan di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Anak Usia Dini
2.1.1 Pengertian Perkembangan Anak Usia Dini
Terdapat hubungan yang sangat erat sekaligus perbedaan yang
cukup signifikan antara pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan
lebih mengandung unsur kuantitatif, yaitu adanya penambahan ukuran fisik
pada struktur tubuh. Anak menjadi lebih besar secara fisik dan organ-organ
dalam juga meningkat seperti tangan, kaki, badan, otak, dan lain-lain
(Suyadi, 2013).
Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam
struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan
dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini
menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh,
organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga
masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan
emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan
lingkungannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan
mempunyai dampak terhadap aspek fisik sedangkan perkembangan
berkaitan dengan pematangan fungsi organ atau individu (Suyadi, 2013).
Usia dini yaitu 0-6 tahun merupakan masa perkembangan dan
perttumbuhan yang sangat menentukan bagi anak di masa depannya atau
14
disebut juga masa keemasan (the golden age) sekaligus periode yang
sangat kritis yang menentukan tahap pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya (Suyadi, 2013).
2.2 Motorik
2.2.1 Pengertian dan Prinsip Motorik
Perkembangan bentuk kegiatan motorik yang sejalan dengan
perkembangan daerah sistem syaraf. Karena perkembangan pusat syaraf
yang lebih rendah, yang bertempat dalam urat syaraf tulang belakang, pada
waktu lahir berkembangnya lebih baik ketimbang pusat syaraf yang lebih
tinggi yang berada dalam otak, maka gerak refleks pada waktu lahir lebih
baik dikembangkan dengan sengaja ketimbang dibiarkan berkembang
sendiri. Cerebellum atau otak yang lebih bawah yang mengendalikan
keseimbangan, berkembang dengan cepat selama tahun awal kehidupan dan
praktis mencapai ukuran kematangan pada waktu anak berusia 5 tahun.
Demikian juga otak yang lebih atas atau cerebrum, khususnya ruang masuk
depan yang mengendalikan gerakan terampil berkembang dalam beberapa
tahun permulaan. Gerakan terampil belum dapat dikuasai sebelum
mekanisme otot anak berkembang (Hurlock, 2000).
Maka, Hurlock (2000) menyimpulkan bahwa perkembangan motorik
merupakan perkembangan dari pengendalian gerakan jasmaniah melalui
kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi. Pengendalian
tersebut berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan masa yang ada
pada waktu lahir. Dan menurut Rumini dan Sundari (2004) juga menyatakan
15
bahwa pada perkembangan motorik bergantung pada kematangan otot dan
syaraf. Motorik kasar berkembang terlebih dahulu, selanjutnya diikuti
perkembangan motorik halus. Motorik kasar melibatkan sebagian besar
bagian tubuh dan biasanya memerlukan tenaga karena itu dilakukan oleh
otot-otot yang lebih besar sedangkan mototik halus hanya melibatkan
bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot kecil karena itu
tidak begitu memerlukan tenaga.
Menurut Rumini dan Sundari (2004) ada empat prinsip motorik,
diantaranya adalah pertama, keterampilan motorik tergantung pada
kematangan otot dan syaraf. Kedua, perkembangan motorik mengikuti pola
yang dapat diramalkan. Ketiga, berdasarkan umur rata-rata suatu awal
perkembangan motorik dimungkinkan untuk menentukan norma bentuk
kegiatan motorik lainnya. Keempat, perbedaan individu juga mempengaruhi
laju perkembangan motorik.
2.2.2 Pengertian Motorik Kasar
Menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik kasar adalah bagian dari
aktivitas motor yang melibatkan keterampilan otot-otot besar. Gerakan-
gerakan seperti tengkurap, duduk, merangkak dan mengangkat leher.
Sedangkan menurut Adriana (2011) motorik kasar adalah aspek yang
berhubungan dengan perkembangan pergerakan dan sikap tubuh. Aktivitas
motorik yang mencakup keterampilan otot-otot besar seperti merangkak,
berjalan, berlari, melompat atau berenang.
16
2.2.3 Kemampuan Motorik Kasar 3-6 Tahun
Kemampuan motorik kasar yang harus dicapai anak sesuai usianya
berdasarkan Departemen Kesehatan RI (2009) adalah sebagai berikut:
a. Kelompok usia 36 bulan
- Dapat melempar bola lurus ke arah perut atau dada pengasuh
dari jarak 1,5 meter
- Dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua
kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari
- Dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter
b. Kelompok usia 42 bulan
- Dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter
- Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau
lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan
- Dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua
kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari
c. Kelompok usia 48 bulan
- Dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter
- Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau
lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan
- Dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua
kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari
17
d. Kelompok usia 54 bulan
- Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau
lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan
e. Kelompok usia 60 bulan
- Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau
lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan
- Dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki tanpa berpegangan
f. Kelompok usia 66 bulan
- Dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki tanpa berpegangan
- Dapat menangkap bola kecil (bola tenis) hanya dengan
menggunakan kedua tangannya
g. Kelompok usia 72 bulan
- Dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki tanpa berpegangan
- Dapat menangkap bola kecil (bola tenis) hanya dengan
menggunakan kedua tangannya
- Dapat berdiri satu kaki tanpa berpegangan dan mempertahankan
keseimbangan dalam waktu minimal 11 detik
2.2.4 Pengertian Motorik Halus
Menurut Adriana (2011) bahwa gerak atau motorik halus adalah
aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati
sesuatu serta dilakukan oleh otot-otot kecil. Sedangkan menurut
Soetjiningsih, dkk (2002) motorik halus merupakan aspek yang
berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu,
18
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan
dilakukan otot kecil tetapi memerlukan koordinasi yang cermat misalnya
kemampuan untuk menggambar dan memegang suatu benda.
2.2.5 Kemampuan Motorik Halus anak usia 3-6 Tahun
Kemampuan motorik halus yang harus dicapai anak sesuai usianya
berdasarkan Departemen Kesehatan RI (2009) adalah sebagai berikut:
a. Kelompok usia 36 bulan
- Dapat mencoret-coret kertas tanpa petunjuk saat diberi pensil
- Dapat meletakkan 4 buah kubus satu persatu di atas kubus yang
lain tanpa menjatuhkan kubusnya
- Dapat membuat garis lurus ke bawah sepanjang sekurang-
kurangnya 2,5 cm
b. Kelompok usia 42 bulan
- Dapat menggambar lingkaran dengan memberikan contoh tanpa
membantu anak dan jangan menyebut lingkaran
- Dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas kubus yang
lain tanpa menjatuhkan kubusnya
c. Kelompok usia 48 bulan
- Dapat menggambar lingkaran dengan memberikan contoh tanpa
membantu anak dan jangan menyebut lingkaran
- Dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas kubus yang
lain tanpa menjatuhkan kubusnya
19
d. Kelompok usia 54 bulan
- Dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas kubus yang
lain tanpa menjatuhkan kubusnya
- Dapat menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak tiga kali
dengan benar
- Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa
membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar
e. Kelompok usia 60 bulan
- Dapat menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak tiga kali
dengan benar
- Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa
membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar
f. Kelompok usia 66 bulan
- Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa
membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar
- Dapat menggambar sedikitnya 3 bagian tubuh ketia
diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak
- Dapat menggambar sedikitnya 6 bagian tubuh ketia
diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak
g. Kelompok usia 72 bulan
- Dapat menggambar sedikitnya 3 bagian tubuh ketika
diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak
20
- Dapat menggambar sedikitnya 6 bagian tubuh ketika
diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak
- Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa
membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar
2.2.6 Kuesioner Pra Skrining Pra Perkembangan (KPSP)
Departemen Kesehatan RI (2008) menjelaskan bahwa KPSP
(Kuesioner Pra Skrining Perkembangan) adalah alat atau instrumen yang
digunakan untuk mengetahui perkembangan anak normal atau ada
penyimpangan. Jadwal skrining atau pemeriksaan KPSP rutin adalah pada
umur 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60, 66 dan 72 bulan. Cara
penggunaan KPSP adalah sebagai berikut:
a. Pada waktu pemeriksaan anak harus dibawa.
b. Tentukan umur anak dengan menanyakan tanggal, bulan dan tahun
anak lahir. Bila umur ank lebih dari 16 hari dibulatkan menjadi 1
bulan, contoh : bayi umur 3 bulan 16 hari, dibulatkan menjadi 4
bulan. Bila umur bayi 3 bulan 15 hari, dibulatkan menjadi 3 bulan.
c. Setelah menentukan umur anak, pilih KPSP yang sesuai dengan
umur anak.
d. KPSP terdiri dari 2 macam pertanyaan, yaitu :
1. Pertanyaan yang dijawab oleh ibu/pengasuh anak. Contoh:
“Dapatkah bayi makan kue sendiri?”
21
2. Perintah kepada ibu/pengasuh anak atau petugas untuk
melaksanakan tugas yang tertulis pada KPSP. Contoh: “pada
posisi bayi anda terlentang, tariklah bayi pada pergelangan
tangannya secara perlahan-lahan ke posisi duduk”.
e. Baca dulu dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang ada. Bila tidak
jelas atau ragu-ragu tanyakan lebih lanjut agar mengerti sebelum
melaksanakan.
f. Pertanyaan dijawab berurutan satu persatu.
g. Setiap pertanyaan hanya mempunyai satu jawaban YA atau TIDAK.
h. Teliti kembali semua pertanyaan dan jawaban.
Dan setelah melakukan pemeriksaan petugas memulai penilaian
hasil yang diperoleh telah melakukan pemeriksaan dengan menggunakan
interpretasi hasil KPSP sebagai berikut:
1. Hitung jawaban Ya (bila dijawab bisa atau sering atau kadang-
kadang).
2. Hitung jawabab Tidak (bila jawaban belum pernah atau tidak
pernah).
3. Bila jawaban YA = 9-10, perkembangan anak sesuai dengan tahapan
perkembangan (S).
4. Bila jawaban YA = 7 atau 8, perkembangan anak meragukan (M).
5. Bila jawaban YA = 6 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan
(P).
6. Rincilah jawaban TIDAK pada nomor berapa saja.
22
2.3 Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
2.3.1 Pengertian PAUD
Secara yuridis, yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya
pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia
enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapam dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Suyadi,
2013).
Sedangkan secara institusional, PAUD juga dapat diartikan sebagai
salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada
peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan, baik koordinasi
motorik (halus dan kasar), kecerdasan emosi, kecerdasan jamak maupun
kecerdasan spiritual. Oleh karena itu penyelenggaraan PAUD disesuaikan
dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini itu
sendiri (Suyadi, 2013).
2.3.2 Ruang Lingkup Lembaga PAUD
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan bahwa ruang lingkup
lembaga-lembaga PAUD terbagi ke dalam tiga jalur, yakni formal, non
formal dan informal. Ketiganya merupakan jejaring pendidikan yang
diselenggarakan sebelum pendidikan dasar. Gambar berikut ini
mengilustrasikan bentuk penyelenggaraan lembaga PAUD tersebut.
23
Gambar 2.1
Jalur dan Jenjang PAUD
Gambar di atas menjelaskan bahwa PAUD jalur pendidikan formal
diselenggarakan pada Taman Kanak-Kanak, Raudhatul Athfal atau bentuk
lain yang sederajat dengan rantang usia anak 4-6 tahun. Selanjutnya,
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non formal diselenggarakan
pada kelompok bermain dengan rentang usia 2-4 tahun. Terakhir,
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan informal diselenggarakan pada
tempat penitipan anak dengan rentang usia anak 3 bulan sampai dengan 2
tahun atau bentuk lain yang sederajat (Satuan PAUD Sejenis/SPS) dengan
rentang usia anak 3-6 tahun. Berdasarkan penjelasan di atas, maka PAUD
di wilayahbinaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama termasuk
Satuan PAUD Sejenis. Dimana menurut Suyadi (2013) satuan PAUD
Sejenis (SPS) adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan diluar
Taman Kanak Kanak, Kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak
dengan rentang usia anak 3-6 tahun. Contohnya: Bina Keluarga Balita
(BKB), Posyandu, Pos PAUD, Taman Pendidikan Al Qur’an, Taman
Pendidikan Anak Sholeh, Sekolah Minggu dan Bina Iman.
Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul
Athfal (RA), atau bentuk lain
sederajat
Jalur Formal
Kelompok Bermain (KB) Jalur Non Formal
Tempat Penetipan Anak (TPA) atau
bentuk lain sederajat
Jalur Informal
24
2.4 Pengaruh Status Gizi berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
terhadap Status Motorik
2.4.1 Penilaian Status Gizi
Menurut Supariasa (2002) status gizi merupakan ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan
dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu, dan dapat diartikan pula
sebagai keadaan tubuh berupa hasil akhir dari keseimbangan antara zat
gizi yang masuk ke dalam tubuh dan juga perwujudan manfaatnya.
Menurut Supariasa (2002), penilaian status gizi secara langsung
yaitu antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi.
Antropometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan
ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002).
2.4.2 Indeks Antropometri
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri.
Menurut WHO (2005) standar antropometri penilaian status gizi anak
berdasarkan TB/U dan ambang batasnya adalah sebagai berikut:
25
Tabel 2.1
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak berdasarkan Indeks TB/U
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
Tinggi Badan/ Umur
Anak
Sangat Pendek <-3 SD
Pendek -3 SD s/d <-2 SD
Normal -2 SD s/d 2 SD
Sumber: Kemenkes RI, 2011
Indeks TB/U memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan sebagai
berikut (Supariasa, 2002):
a. Kelebihan
1. Baik untuk menilai status gizi masa lampau.
2. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.
b. Kekurangan
1. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun.
2. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak
sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya.
3. Ketepatan umur sulit didapat.
2.4.3 Stunting
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan
keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh
seiring dengan pertambahan umur. Berdasarkan karakteristik tersebut,
maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa, 2002).
Menurut penjelasan Hurlock (2000) status gizi lampau yaitu stunting
berkaitan erat dengan status motorik karena status motorik merupakan
26
perkembangan dari pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan
pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi sehingga pengendalian
tersebut berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan masa yang ada
pada waktu lahir.
Kaitan status motorik dengan status gizi lampau juga dijelaskan
oleh Georgieff (2001) dimana ketidakmampuan untuk mencapai
pertumbuhan dan perkembangan optimal merupakan keadaan malnutrisi
kronik juga berkaitan dengan perkembangan otak anak. Hal ini disebabkan
oleh adanya keterlambatan kematangan sel-sel saraf terutama di bagian
cerebellum yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik sehingga
koordinasi sel saraf dengan otot menjadi kurang baik.
Menurut Herawati (2009) tahapan perkembangan sel dan jaringan
saraf dalam otak dibagi menjadi beberapa tahap, diantaranya adalah:
1. Periode pertama sekitar masa kehamilan 32 minggu dan periode
kedua sekitar anak berumur 15 bulan. Gizi yang cukup selama
kehamilan akan menghasilkan bayi dengan berat otak dan jumlah sel
otak yang optimal. Pada saat lahir 2/3 jumlah sel otak telah terbentuk
tapi berat otak baru mencapai sepertiganya. Hal ini memberikan
indikasi bahwa sebagian besar pembelahan sel otak terjadi pada saat
janin dalam kandungan. Dalam kandungan, sel-sel otak janin
bertambah banyak dengan kecepatan sekita 250 ribu sel setiap menit.
2. Periode kedua yang paling krusial paska kelahiran terjadi pada usia
dini khususnya pada usia 0-2 tahun. Pada masa ini selain terjadi
27
pembesaran sel otak yang amat pesat, juga masih terjadi pembelahan
sel otak untuk melanjutkan 2/3 jumlah sel otak yang telah ternbentuk
pada saat anak lahir.
3. Periode ketiga, Usia 3-6 tahun adalah masa kritis ketiga. Pada usia ini
pertumbuhan dan perkembangan juga berlangsung pesat untuk
melanjutkan dan memantapkan potensi yang sudah dibangun pada
usia sebelumnya.
Menurut Rumini dan Sundari (2004) prinsip perkembangan
motorik adalah perkembangan motorik tidak akan terjadi sebelum
matangnya sistem syaraf dan otot yaitu pada periode prenatal dimana
perkembangan motorik akan terjadi sebelum periode prenatal dan
berlangsung saat sistem syaraf mengalami perkembangan yaitu anak
pada usia 0-6 tahun. Namun Zaviera (2008) menjelaskan semakin
berkembangnya sistem saraf otak yang mengatur otot memungkinkan
berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak. variasi
siswa di PAUD wilayah Kecamatan Kebayoran Lama juga pada usia 3-
6 tahun sehingga populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah anak
usia 3-6 tahun.
Pada penelitian Kartika et al (2002) didapatkan anak usia 3-5
tahun mengalami perkembangan motorik kasar lebih rendah pada anak
yang mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang tidak
stunting, dimana anak yang mengalami stunting mempunyai risiko 6
kali lebih besar mengalami gangguan perkembangan motorik kasar
28
dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal. Hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stunting
dengan perkembangan motorik kasar pada anak usia 3-5 tahun.
Hal yang serupa juga dibuktikan pada penelitian Olney et al
(2007) bahwa anak di daerah Zanzibari, Afrika Timur yang stunting
memiliki skor Total Motor Activity (TMA) atau jumlah aktivitas
motorik lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lama dalam
melakukan gerakan-gerakan perpindahan. Sedangkan pada penelitian
Susanty (2012) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
derajat stunting dengan perkembangan motorik halus dan kasar anak
balita.
2.5 Pengaruh Asupan Zat Gizi (Energi, Protein, Besi dan Seng) dengan Status
Motorik
Asupan gizi merupakan kebutuhaan anak yang berperan dalam proses
tumbuh kembang terutama dalam perkembangan otak. Kemampuan anak untuk
dapat mengembangkan kemampuan saraf motoriknya adalah melalui pemberian
asupan gizi yang seimbang. Pemberian asupan gizi seimbang ini sangat
berperan dalam tumbuh kembang anak mulai dari janin dalam kandungan,
balita, anak usia sekolah, remaja bahkan sampai dewasa (Zaviera, 2008).
Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap
kebutuhan tubuh dan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan
tubuh, dalam hal ini untuk perkembangan motorik, di dalam suatu susunan
hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Dikatakan konsumsi
atau asupan gizi adekuat dimana tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan
29
gizi yang baik, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Sebaliknya
konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi
kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama, 2000).
Kecukupan gizi anak meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Menurut Angka Kecukupan Gizi (2013) kecukupan anak dibedakan menjadi
kelompok usia, untuk anak usia 3 tahun kecukupan energinya sebesar 1125
kkal, 26 gram untuk protein, 8 mg untuk kecukupan besi, sedangkan seng 4 mg.
Pada usia 4-6 tahun kecukupan energinya sebesar 1600 kkal, 35 gram untuk
protein, 9 mg untuk kecukupan besi, sedangkan seng 5 mg.
Namun dalam mengonsumsi makanan tidak hanya jumlah dan kualitas
makanan yang harus diperhatikan akan tetapi harus diperhatikan juga cara
mengonsumsinya. Selain untuk memenuhi kebutuhan gizi juga untuk
menghindari interaksi yang terjadi antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh.
Interaksi antar zat gizi bisa berdampak positif dan negatif. Interaksi zat gizi
dapat terjadi pada tiga tempat. Pertama, dalam bahan makanan (produk pangan).
Kedua, dalam saluran pencernaan dan ketiga, dalam jaringan, sistem transpor
dan jalur ekskresi tubuh. Masing-masing interaksi dapat bersifat positif, negatif
dan kombinasi antara keduanya (Sulistyoningsih, 2011).
1. Interaksi dalam produk pangan
Zat gizi tertentu, terutama mineral dapat berinteraksi negatif dengan zat non
gizi yang terdapat dalam bahan makanan. Asam fitat dalam sayuran, serealia
atau umbi-umbian dapat mengikat mineral besi, seng atau magnesium.
Akibatnya, mineral-mineral itu tidak dapat diserap oleh tubuh.
30
2. Interaksi dalam saluran pencernaan
Sebagian besar interaksi zat gizi terjadi di dalam saluran pencernaan.
Interaksi itu dapat menguntungkan atau merugikan. Contoh yang
menguntungkan adalah interaksi atara vitamin C dengan Fe. Vitamin C
dapat meningkatkan kelarutan Fe sehingga Fe lebih mudah diserap tubuh.
Peningkatan penyerapan Fe juga dapat dibantu vitamin A dan vitamin B12.
Konsumsi protein yang relatif tinggi dapat meningkatkan penyerapan Ca
dan Zn, meskipun ekskresi Zn dalam urine menjadi meningkat.
3. Interaksi dalam metabolisme
Interaksi antara beberapa mineral dapat merugikan tubuh. Khususnya untuk
mineral, terdapat dua tipe interaksi yang terjadi, yaitu kompetisi dan
koadaptasi. Interaksi yang bersifat kompetisi ditentukan oleh kemiripan sifat
fisik dan kimia mineral itu satu sama lain, contohnya adalah Fe dengan Zn,
Fe dengan Cr, dan Zn dengan Cu. Mekanisme kompetisi terjadi karena satu
mineral yang dikonsumsi dalam jumlah berlebihan akan menggunakan alat
ranspor mineral lain sehingga akan terjadi kekurang salah satu mineral itu.
Misalnya transferrin merupakan alat transpor bagi Fe, ternyata dapat
digunakan oleh Zn, Ca dan Cr. Sedangkan koadaptasi merupakan upaya
adaptasi yang dilakukan usus dalam menyerap mineral tertentu. Koadaptasi
dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, bila suplai atau persediaan mineral
tubuh rendah, maka usus akan beradaptasi untuk meningkatkan efisiensi dan
transfer satu mineral. Kedua, apabila persediaan mineral dalam tubuh
31
berlebihan, usus akan beradaptasi untuk mengurangi penyerapan mineral
tersebut.
2.5.1 Energi
Energi berfungsi mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang
disebut neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari
satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik
(Georgieff, 2001). Westermack et al (2000) menjelaskan neurotransmitter
merupakan pelepasan senyawa melalui sinaps dari akson ke dendrit yang
berfungsi memicu rangsangan, yang berjalan menuruni dendrit ke badan
sel dan keluar melalui akson, seperti yang tertera pada gambar di bawah
ini:
Gambar 2.2
Gambaran Siklus Neurotransmitter Menghasilkan Motorik
Hasil penelitian Susanty et al (2012) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik
kasar dan halus. Demikian juga penelitian Kartika (2002) menunjukkan
ada hubungan antara energi dengan status motorik. Semakin rendah
asupan energi maka semakin rendah kemampuan motoriknya.
32
2.5.2 Protein
Georgieff (2001) menjelaskan protein merupakan prekursor untuk
neurotransmitter yang mendukung perkembangan otak. Dimana protein
disusun oleh asam amino yang terdiri dari esensial dan non esensial. Asam
amino tirosin merupakan jenis asam amino yang berhubungan dengan
mekanisme gerak motorik yang berfungsi sebagai neurotransmitter.
Westermack et al (2000) menjelaskan neurotransmitter bertugas dalam
menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga
menghasilkan gerak motorik (lihat gambar 2.1).
Georgieff (2001) juga menjelaskan fungsi otak yang baik
tergantung pada kapasitas menyerap dan memproses informasi.
Neurotransmitter catecholamies dibentuk dari asam amino dan Tyrosine
dan neurotransmitter serotonin dibentuk dari Tryptophan. Serotonin
menstimulasi tidur yang penting untuk perkembangan otak dalam
memproses informasi, sedangkan catecholamine berkaitan dengan
keadaan siaga yang membantu menyerap informasi di otak.
Hasil penelitian Susanty et al (2012) membuktikan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna secara statistik antara asupan protein dengan
status motorik, baik motorik kasar maupun motorik halus. Demikian juga
penelitian Herwan (2005) menunjukkan bahwa adanya hubungan asupan
protein dengan perkembangan motorik di Bengkulu pada bayi usia 6-12
bulan.
33
2.5.3 Besi (Fe)
Mineral besi merupakan zat gizi esensial yang berperan dalam
fungsi motorik. Fungsi yang pertama adalah besi (Fe) berperan dalam
sintesis monoamine (Georgieff, 2001). Monoamine merupakan enzim
mitokondria yang terdapat di semua bagian berhubungan dengan
metabolisme aerobik dari makanan yang menghasilkan energi, dengan kata
lain sebagai pusat pembangkit energi (Sadikin, 2002). Westermack et al
(2000) menjelaskan bahwa energi dapat mempengaruhi zat kimia yang ada
di otak yang sering disebut neurotransmitter yang bertugas dalam
menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga
menghasilkan gerak motorik (lihat gambar 2.1).
Kedua, besi berfungsi sebagai metabolisme energi di neuron
(Georgieff, 2001). Tambayong (2001) menjelaskan neuron adalah satuan
fungsional susunan saraf atau biasa disebut sel saraf. Neuron berfungsi
membawa pesan dari satu bagian tubuh ke bagian lain. Neuron terdiri dua
jenis yaitu neuron sensoris dan neuron motoris. Neuron sensoris berfungsi
membawa rangsangan dari organ sensoris, yaitu kulit, otot dan organ dalam
ke medulla spinalis atau otak. Sedangkan neuron motoris adalah neuron
yang membawa respons dari interneuron ke otot, kelenjar dan organ dalam
tubuh.
Ketiga, besi berfungsi sebagai mielinisasi (Georgieff, 2001).
Mielinisasi merupakan proses pembalutan neuron, yang berfungsi
34
mempercepat rangsangan ke otot, kelenjar dan organ dalam tubuh
(Tambayong, 2001).
Keempat, besi berfungsi sebagai sistem neurotransmitter, yang
bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya
sehingga menghasilkan gerak motorik (Westermack et al, 2000).
Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Olney et al (2007) yang
menunjukkan bahwa ada hubungan asupan zat besi dengan perkembangan
motorik, dimana anak yang kekurangan zat besi memiliki skor kemampuan
kasar lebih rendah. Hal yang sama juga dibuktikan pada penelitan Black et
al (2004) bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat besi yang
diberikan terhadap perkembangan motorik anak.
2.5.4 Seng
Asupan zat gizi merupakan kebutuhan anak yang berperan dalam
proses tumbuh kembang terutama tumbuh kembang otak. Dimana zat seng
(Zn) berperan dalam pelepasan neurotransmitter (Georgieff, 2001).
Seperti yang telah dijelaskan oleh Westermack et al (2000) bahwa
neurotransmitter bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke
saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (lihat gambar
2.1).
Dan Black (1998) menyatakan bahwa kekurangan zat seng akan
berakibat fatal terutama pada pembentukan struktur otak, fungsi otak dan
mengganggu respon tingkah laku dan emosi, yang artinya akan berakibat
fatalpada perkembangan motorik juga. Demikian pada penelitian Black
35
(2003) yang menunjukkan bahwa ada hubungan asupan zat seng dengan
perkembangan motorik. Hal yang sama juga dibuktikan pada penelitan
Black et al (2005) bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat
seng yang diberikan terhadap perkembangan motorik anak.
2.5.5 Metode Food Recall 24 Jam
Salah satu cara untuk survei konsumsi adalah dengan recall 24
jam. Recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan
makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu, pencatatan di
deskripsikan secara mendetail oleh pewawancara, meliputi semua
makanan dan minuman yang dikonsumsi serta cara pengolahannya, tetapi
terkadang responden lupa akan apa yang telah dikonsumsinya, maka dari
itu perlu dibantu dengan penjelasan waktu kegiatannya dan sebaiknya
dilakukan berulang pada hari yang berbeda (tidak berturut-turut),
tergantung dari variasi menu keluarga dari hari ke hari (Gibson, 2005).
Menurut Gibson (2005) metode untuk menilai asupan makanan
atau zat gizi dapat dilakukan berdasarkan pada tujuan dari penelitian.
Metode tersebut dibagi dalam empat tingkat, diantaranya adalah:
1. Tingkat 1
Tingkat satu adalah tingkat paling sederhana. Tujuannya adalah
untuk menentukan rata-rata asupan suatu kelompok yang dilakukan
pengambilan recall 24 jamsebanyak 1 kali.Dimana semua hari dalam
seminggu harus terepresentasi secara keseluruhan dan besar sampel
ditentukan oleh tingkat presisi yang dibutuhkan.
36
2. Tingkat 2
Tujuannya adalah untuk menentukan proporsi suatu populasi yang
beresiko ketidakcukupan asupan gizinya sehingga membutuhkan
pengukuran lebih dari satu hari yaitu dilakukan selama 2 hari secara
tidak berurutan.
3. Tingkat 3
Tujuannya adalah untuk menentukan peringkat asupan gizi pada
individu dalam suatu kelompok dan juga digunakan untuk
menguhubungkan asupan makanan dengan resiko dari penyakit
kronis sehingga membutuhkan pengukuran lebih dari dua hari secara
tidak berurutan.
4. Tingkat 4
Tujuannya adalah untuk menentukan asupan makanan atau gizi pada
individu untuk konseling atau analisis korelasi dan regresi dengan
pengukuran biokimia tiap individu sehingga membutuhkan
pengukuran lebih dari dua hari secara tidak berurutan.
Metode recall 24 jam memiliki beberapa kelebihan dan
kekurangan sebagai berikut (Supariasa, 2002):
a. Kelebihan :
1. Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden.
2. Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus
dan tempat yang luas untuk wawancara.
37
3. Cepat. Sehingga dapat mencakup banyak responden.
4. Dapat digunakan pada responden yang buta huruf.
5. Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi
individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.
b. Kekurangan :
1. Tidak dapat menggambarkan asupan sehari-hari bila hanya
dilakukan recall satu hari.
2. Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden.
3. The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang
kurus untuk melaporkan lebih banyak dan bagi responden yang
gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit.
4. Membutuhkan tenaga atau petugas yang terampil dan terlatih
dalam menggunakan alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang
dipakai menurut kebiasaan masyarakat.
5. Untuk mendapatkan gambaran konsumsi sehari-hari jangan
dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari pekan, dll.
2.6 Pengaruh Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik
2.6.1 Mekanisme Kerja Stimulasi terhadap Motorik
Status motorik sangat berkaitan erat dengan stimulasi yang diberikan
oleh pengasuh kepada anak. Kesempatan untuk menggerakkan semua
anggota tubuh perlu mendapat stimulasi sehingga akan mempercepat
tercapainya kemampuan motorik (Departemen Kesehatan RI, 2009). Hal ini
dapat disimpulkan bahwa stimulasi berperan terhadap perkembangan
38
motorik dimana Hurlock (2000) menjelaskan stimulasi sangat penting untuk
mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan perkembangan
otak. Dimana perkembangan motorik merupakan perkembangan dari
pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan
otot yang terkoordinasi.
Pada penelitian Gustiana et al (2011) dipaparkan bahwa anak pada
umur 3-5 tahun mengalami status motorik kasar kurang baik lebih banyak
pada anak yang jarang diberi stimulasi yaitu sebesar 56%, sedangkan pada
anak yang sering distimulasi yang mengalami gangguan motorik kasar
hanya sebesar 24%. Anak yang mengalami status motorik kasar mempunyai
risiko 4,03 kali mendapatkan stimulasi yang jarang dibandingkan yang
cukup, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi
dengan status motorik kasar, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara stimulasi dengan status motorik kasar. Dan pada penelitian
Gardner et al (2007) dengan uji anova juga menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan perkembangan motorik
pada p<0.01 dan derajat kepercayaan 95%.
Mekanisme kerja stimulasi hingga terjadinya kontraksi atau sebuah
motorik atau gerakan yaitu seperti yang dijelaskan oleh Tambayong (2001)
yaitu bahwa stimulasi yang diterima dan diteruskan melalui saraf ke otak
dan medulla spinalis, tempat pesan-pesan itu dianalisis, digabungkan,
dibanding-bandingkan dan dikoordinasikan oleh proses yang disebut
integrasi. Setelah dipilih, pesan-pesan itu diteruskan oleh saraf ke otot dan
39
kelenjar tubuh, menyebabkan otot berkontraksi atau relaksasi, dan kelenjar
bersekresi atau tidak menyekresi produknya.
Gambar 2.3
Gambaran Mekanisme Kerja Stimulasi
2.6.2 Pengertian Stimulasi Psikososial
Menurut Soetjiningsih (2002) stimulasi adalah sebuah rangsangan
dari luar atau dari lingkungan yang merupakan hal penting dalam tumbuh
kembang anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur
akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau
tidak mendapatkan stimulasi. Dan psikososial menurut Supartini (2002)
adalah peristiwa-peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari
lingkungan luar diri seseorang atau anak yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka dapat disimpulkan bahwa
stimulasi psikososial adalah rangsangan dari peristiwa-peristiwa sosial
atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
40
2.6.3 Home Observation for Measurement of the Environment (HOME)
Latifah (2007) menjelaskan salah satu metode untuk mengukur
stimulasi orang tua terhadap anaknya menggunakan kuesioner HOME
(Home Observation for Measurement of the Environment) dari Bettye M.
Caldwell dan Robert H. Bradley (1983). Chandriyani (2009) menjelaskan
kualitas lingkungan anak dilihat dari apakah orangtua memberikan reaksi
emosi yang tepat, apakah orangtua mambu memberikan dorongan positif
kepada anak, apakah orangtua memberikan suasana yang nyaman kepada
anak, menunjukkan kasih sayang, menyediakan sarana tumbuh kembang
dan belajar bagi anak, turut berpartisipasi dan ikut serta dalam kegiatan
positif bersama anak, terlibat aktif dalam kegiatan bersama anak, dan juga
apakah orangtua memberikan lingkungan fisik yang nyaman di rumah
serta mengikuti kegiatan belajar.
Kuesioner ini dirancang untuk mengukur kuantitas dan kualitas
stimulasi dan penyediaan dukungan untuk anak di lingkungan rumah.
Fokusnya adalah pada anak di dalam lingkungan, anak sebagai penerima
masukan dari objek, peristiwa dan interaksi yang terjadi dalam
hubungan dengan lingkungan. Kuesioner ini dirancang untuk
penggunaan selama masa kanak-kanak (3-6 tahun). Kuesioner ini terdiri
dari 55 buah pertanyaan yang dilakukan dengan wawancara dan
observasi dan terbagi menjadi 8 sub skala yaitu: stimulasi belajar,
stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan,
41
stimulasi akademik, modelling, variasi stimulasi kepada anak, dan
hukuman positif (Latifah, 2007).
2.7 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Anak
2.7.1 Pengasuhan Anak
Pengasuhan anak didefinisikan sebagai perilaku yang dipraktikan
oleh pengasuh (ibu, bapak, nenek atau orang lain) dalam memberikan
makanan, pemeliharaan kesehatan, stimulasi serta dukungan emosional
yang dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang, juga termasuk di dalamnya
tentang kasih sayang dan tanggung jawab orang tua (Rumini dan Sundari,
2004).
Caldwell dan Bradley (1983) dalam Latifah (2007) menjelaskan
bagian dari cara pengasuhan terhadap anak yang menentukan kualitas
motorik anak adalah stimulasi psikososial. Stimulasi psikososial tidak
hanya terdiri dari stimulasi sensorik namun juga meliputi stimulasi afektif.
Stimulasi sensorik yaitu berperan untuk merangsang aktivitas otot
sedangkan stimulasi afektif meliputi aspek sosial dan kognitif yang
berperan untuk terwujudnya perkembangan motorik secara
optimal.Stimulasi psikososial merupakan stimulasi yang diberikan orang
tua dan keluarga yang terdiri dari memberikan kehangatan, suasana
penerimaan, pemberian teladan atau contoh, pemberian pengalaman,
dorongan belajar dan berbahasa serta dorongan bagi kemampuan akademik
anak.
42
2.7.2 Gizi
Anak yang mengalami kekurangan gizi dapat menyebabkan isolasi
diri, yaitu mempertahankan untuk tidak mengeluarkan energi yang banyak
dengan mengurangi kegiatan interaksi sosial, aktivitas, perilaku
eksploratori, perhatian dan motivasi. Pada keadaan ini, anak menjadi tidak
aktif, apatis, pasif dan tidak mampu bekonsentrasi. Akibatnya anak dalam
melakukan kegiatan eksplorasi terhadap lingkungan fisik di sekitarnya
hanya mampu sebentar saja. Hal ini jika dibiarkan berlanjut akan
menghambat perkembangan motoriknya (Rumini dan Sundari, 2004).
Keadaan kurang gizi juga berhubugan dengan keterlambatan
perkembangan motorik, dalam hal ini panjang badan atau tinggi badan
terhadap umur. Apabila keadaan kurang gizi diperbaiki dengan pemberian
asupan makanan yang adekuat maka perkembangan motorik bertambah
baik. Sebaliknya apabila keadaan kurang gizi diperparah dengan pemberian
asupan makanan yag tidak adekuat maka perkembangan motorik
bertambah buruk. Keadaan ini dapat disimpulkan bahwa perkembangan
motorik berhubungan erat dengan keadaan gizi (Husaini, 2002).
2.7.3 Lingkungan anak
Lingkungan anak adalah tempat dimana pengasuh mempraktikkan
pengetahuan yang dipunyainya dalam kehidupan sehari-hari serta
hubungan emosional anggota keluarga lainnya, tetangga dan masyarakat,
semuanya berakumulasi dalam membentuk kualitas tumbuh kembang anak
(Rumini dan Sundari, 2004).
43
2.8 Kerangka Teori
Berdasarkan penjelasan teori di atas, Rumini dan Sundari (2004)
menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik
anak meliputi pengasuhan anak, gizi dan lingkungan anak. Penjelasan lebih lanjut
oleh Georgieff (2001) mengenai hubugan asupan makanan yang cukup yaitu
terdiri dari energi, protein, lemak, seng (Zn) dan zat besi (Fe), dan stunting
terhadap perkembangan motorik. Dan Caldwell dan Bradley (1983) dalam Latifah
(2007) menjelaskan stimulasi psikososial merupakan bagian dari cara pengasuhan
anak. Dan juga dijelaskan lebih lanjut mengenai stimulasi psikososial oleh
Depkes RI (2009) dan Hurlock (2000). Namun menurut Soetjiningsih, dkk (2002)
perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, yang merupakan
bawaan anak yaitu potensi anak yang akan menjadi ciri khasnya seperti kerdil.
Pengaruh dari faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada bagan dibawah ini:
44
Gambar 2.4
Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi Rumini dan Sundari (2004), Soetjiningsih, dkk (2002), Caldwell
dan Bradley (2003) dalam Latifah (2007), Hurlock (2000) dan Georgieff
(2001).
Genetik
Pengasuhan Anak Stimulasi
Psikososial
Perkembangan
Motorik Anak
a. Motorik
Kasar
(Impuls
Syaraf dan
Otot)
b. Motorik
Halus
(Impuls
Syaraf dan
Otot)
Gizi
1. Status GiziTB/U
(stunting)
2. Asupan gizi
a. Energi
b. Protein
c. Seng (Zn)
d. Besi (Fe)
LingkunganAnak
45
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan zat
gizi, stunting dan stimulasi psikososial terhadap status motorik anak usia 3-6
tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun
2014. Berdasarkan teori, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
motorik terdiri dari genetik, pengasuhan anak, gizi yang terdiri dari satus gizi
berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U), asupan gizi (energi, protein, besi
dan seng) dan lingkungan anak.
Dalam penelitian ini ada dua variabel yang tidak diteliti, diantaranya
adalah variabel genetik dan lingkungan anak. Alasannya variabel genetik tidak
diteliti namun dikontrol karena keterbatasan peneliti untuk melakukan test genetik
dan keterbatasan orang tua atau pengasuh dalam mengingat kejadian masa lalu
yang berhubungan dengan perkembangan. Dan variabel lingkungan anak tidak
diteliti karena lingkungan anak menurut Rumini dan Sundari (2004) adalah
tempat dimana pengasuh mempraktikkan pengetahuan yang dipunyainya dalam
kehidupan sehari-hari serta hubungan emosional anggota keluarga lainnya,
tetangga dan masyarakat, dimana variabel tersebut sudah terwakili dengan
variabel stimulasi psikososial yang mencakup pemberian kehangatan, suasana
penerimaan, teladan atau contoh, pengalaman, dorongan belajar dan berbahasa
serta dorongan bagi kemampuan akademik anak.
46
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah status motorik. Sedangkan
variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini yaitu :
a. Energi
Energi mempengaruhi status motorik karena energi berperan dalam
mempengaruhi neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls
dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik.
b. Protein
Asupan protein mempengaruhi status motorik karena asam amino tirosin
berfungsi sebagai neurotransmitter yangmenghantarkan impuls dari satu saraf
ke saraf yang lainnya sedangkan serotonin berperan penting untuk
perkembangan otak dalam memproses informasi dan catecholamine berperan
dalam mebantu menyerap informasi di otak.
c. Seng (Zn)
Asupan zat seng dapat mempengaruhi status motorik karena zat seng berperan
dalam pelepasan neurotransmitter dan kekurangan zat seng akan berakibat
fatal terutama pada pembentukan struktur otak, fungsi otak dan mengganggu
respon tingkah laku dan emosi yang akan mempengaruhi status motorik juga.
d. Besi (Fe)
Asupan zat besi dapat mempengaruhi status motorik karena zat besi berperan
sebagai sintesis monoamine yang menghasilkan energi yang dapat
mempengaruhi neurotransmitter, metabolisme energi di neuron dan
mielinisasi.
e. Stimulasi psikososial
47
Stimulasi psikososial adalah rangsangan yang diberikan oleh pengasuh kepada
anak yang berfungsi mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan
rangsangan perkembangan otak sehingga semakin sering anak mendapat
stimulasi psikososial semakin mempercepat tercapainya kemampuan motorik.
f. Stunting
Keadaan stunting mempengaruhi status motorik karenaterjadi keterlambatan
kematangan sel-sel saraf terutama di bagian cerebellum yang merupakan pusat
koordinasi gerak motorik sehingga koordinasi sel saraf dengan otot menjadi
kurang baik.
Gambar 3.1
Kerangka Konsep
Asupan Energi
Asupan Protein
Status Motorik
(Kasar dan Halus)
Asupan zat besi (Fe)
Asupan zat seng (Zn)
Stimulasi Psikososial
Stunting
48
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Dependen
1. Status Motorik
Kasar
Tingkat kemampuan anak
dalam melakukan pergerakan
yang melibatkan otot-otot
besar seperti seperti
berjalan, berlari, menendang,
melempar dan melompat .
Wawancara Kuesioner Pra
Skrining
Perkembangan
(KPSP)
(Depkes RI,
2008).
Jika skor jawaban :
a. Kode 1 (Normal)
Jika skor perkembangan anak sesuai
dengan tahap usia perkembanganya
= ≥ median
b. Kode 2 (Terganggu)
Jika skor perkembangan anak terlambat
tidak sesuai dengan tahap usia
perkembangannya = < median
Ordinal
2. Status Motorik
Halus
Tingkat kemampuan anak
dalam melakukan pergerakan
yang melibatkan otot-otot
Wawancara Kuesioner Pra
Skrining
Perkembangan
Jika skor jawaban :
a. Kode 1 (Normal)
Jika skor perkembangan anak sesuai
Ordinal
49
kecil seperti menggambar
dan memegang suatu benda.
(KPSP)
(Depkes RI,
2008).
dengan tahap usia perkembanganya
= ≥ median
b. Kode 2 (Teganggu)
Jika skor perkembangan anak terlambat
tidak sesuai dengan tahap usia
perkembangannya = < median
Independen
1. Asupan Energi Jumlah rata-rata kalori dari
makanan yang dikonsumsi
anak selama tiga hari secara
tidak berurutan.
Wawancara Food Recall
3 x 24
Jam(Gibson,
2005).
Jika skor jawaban :
a. Kode 1 (Kurang)
Jika skor asupan energi <EAR
b. Kode 2 (Cukup)
Jika skor asupan energi ≥ EAR
Ordinal
2. Asupan Protein Jumlah rata-rata makanan
yang dikonsumsi anak yang
mengandung protein selama
Wawancara Food Recall
3 x 24 Jam
(Gibson,
Jika skor jawaban :
a. Kode 1 (Kurang)
Jika skor asupan protein < distribusi
Ordinal
50
tiga hari secara tidak
berurutan.
2005). presentase energi dari protein
b. Kode 2 (Cukup)
Jika skor asupan protein ≥ distribusi
presentase energi dari protein
3. Asupan Zat
Besi (Fe)
Jumlah rata-rata makanan
yang dikonsumsi anak yang
mengandung zat besi selama
tiga hari secara tidak
berurutan.
Wawancara Food Recall
3 x 24 Jam
(Gibson,
2005).
Jika skor jawaban :
a. Kode 1 (Kurang)
Jika skor asupan zat besi <AKG
b. Kode 2 (Cukup)
Jika skor asupan zat besi ≥ AKG
Ordinal
4. Asupan Zat
Seng (Zn)
Jumlah rata-rata makanan
yang dikonsumsi anak yang
mengandung zat seng selama
tiga hari secara tidak
berurutan.
Wawancara Food Recall
3 x 24 Jam
(Gibson,
2005).
Jika skor jawaban :
a. Kode 1 (Kurang)
Jika skor asupan zat seng <AKG
b. Kode 2 (Cukup)
Jika skor asupan zat seng ≥ AKG
Ordinal
5. Stimulasi Rangsangan dari peristiwa- Wawancara Kuesioner Jika skor jawaban : Ordinal
51
Psikososial peristiwa sosial atau
psikologis yang diberikan
pengasuh berupa
memberikan kehangatan,
suasana penerimaan,
pemberian teladan atau
contoh, pemberian
pengalaman, dorongan
belajar dan berbahasa serta
dorongan bagi kemampuan
akademik anak.
HOME
inventory
(Latifah,
2007).
a. Kode 0 (Stimulasi psikososial kurang)
Jika skor 0-29
b. Kode 1 (Stimulasi psikososial cukup)
Jika Skor 30-45
c. Kode 2 (Stimulasi psikososial baik)
Jika skor 46-55
6. Stunting Hasil status gizi anak pada
masa lalu dengan
pengukuran tinggi badan
anak pada masa sekarang
Mengukur
tinggi badan
dan
menanyakan
Microtoisedan
menanyakan
umur anak
(Supariasa,
Jika skor jawaban :
a. Kode 1 (Ya)
Jika Z score -2 SD sd 2 SD
b. Kode 2 (Tidak)
Jika Z score <-2 SD
Ordinal
52
dimana kurang dari indikator
yang telah ditentukan oleh
WHO (2005).
umur anak. 2002).
53
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara asupan energi dengan status motorik kasar anak usia
3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
tahun 2014.
2. Ada hubungan antara asupan energi dengan status motorik halus anak usia
3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
tahun 2014
3. Ada hubungan antara asupan protein dengan status motorik kasar anak usia
3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
tahun 2014.
4. Ada hubungan antara asupan protein dengan status motorik halus anak usia
3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
tahun 2014.
5. Ada hubungan antara asupan zat besi (Fe) dengan status motorik kasar anak
usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014.
6. Ada hubungan antara asupan zat besi (Fe) dengan status motorik halus anak
usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014.
7. Ada hubungan antara asupan zat seng (Zn) dengan status motorik kasar anak
usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014.
54
8. Ada hubungan antara asupan zat seng (Zn) dengan status motorik halus anak
usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014.
9. Ada hubungan antara stimulasi psikososial dengan status motorik kasar anak
usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014.
10. Ada hubungan antara stimulasi psikososial dengan status motorik halus anak
usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014.
11. Ada hubungan antara stunting dengan status motorik kasar anak usia 3-6
tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
tahun 2014.
12. Ada hubungan antara stunting dengan status motorik halus anak usia 3-6
tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
tahun 2014.
55
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain
cross sectional, dimana pengumpulan data dan pengukuran variabel
independen dan variabel dependen dilakukan pada waktu yang bersamaan
(Hastono, 2010). Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan asupan zat
gizi yaitu energi, protein, besi dan seng, stunting dan stimulasi psikososial
dengan status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di PAUD yang termasuk ke dalam
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan,
yaitu PAUD Anyelir I dan II, Cempaka, Seruni Ceria dan Nusa Indah.
Waktu penelitian dilaksanakan selama bulan April sampai dengan Juni
2014.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi merupakan keseluruhan dari unit di dalam
pengamatan yang akan kita lakukan (Hastono, 2010). Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh anak atau siswa yang berusia
56
3-6 tahun yang ada di PAUD wilayah binaan Puskesmas
Kecamatan Kebayoran Lama pada tahun 2014 yaitu:
Tabel 4.1
Data siswa PAUD di wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014
Sumber : Data Base PAUD
4.3.2 Sampel dan Teknik Sampling
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik
yang dimiliki oleh populasi (Hastono, 2010). Penelitian ini
dilakukan di PAUD yang termasuk dalam kelompok PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada tahun
2014.
Jumlah sampel (n) pada penelitian ini diperoleh dengan
menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi (Ariawan,
1998) sebagai berikut :
n = 1-α/2√ ( ) + Z 1-β √P1(1-P1)+P2(1-P2) ]2
(P1-P2)2
Keterangan :
No. Nama PAUD Jumlah Siswa
1. Anyelir I 24
2. Anyelir II 30
3. Cempaka 35
4. Seruni Ceria 36
5. Nusa Indah 31
Jumlah Populasi 156
57
- n = Besar sampel.
- α = Tingkat kemaknaan, nilainya 5%.
- β = Kekuatan uji, nilainya 95%.
- Z1-α/2= Nilai Z pada derajat kepercayaan 1- α/2 atau derajat
kepercayaan α pada uji dua sisi (two tail), yaitu sebesar
95%= 1,96.
- Z 1-β = Nilai Z pada kekuatan uji 1- β, yaitu sebesar 80% = 0,84.
- P1 = Proporsi yang diadaptasi untuk anak dengan faktor resiko
stimulasi psikososial sebesar 0.56 (56%) pada penelitian
sebelumnya (Gustiana, 2011).
- P2 = Proporsi yang diadaptasi untuk anak tanpa faktor resiko
resiko stimulasi psikososial sebesar 0.24 (24%) pada
penelitian sebelumnya (Gustiana, 2011).
Maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah:
n = 1-α/2√ ( ) + Z 1-β √P1(1-P1)+P2(1-P2)]2
(P1-P2) 2
n=[1,96 √ ( )( ) + 0,84 √ ( ) ( )]2
(0,56-0,24)2
n = 38
Karena memakai rumus uji beda dua proporsi maka sampel
yang diperlukan adalah 76 anak, untuk menghindari terjadinya
58
sampel yang drop out dan sebagai cadangan maka sampel minimal
yang dibutuhkan sebesar 85 anak.
Pengambilan sampel dilakukan dengan acak sederhana
(proportional random sampling) yaitu pengambilan sampel dari
tiap-tiap PAUD diambil secara proporsional sesuai dengan jumlah
siswa pada tiap-tiap PAUD dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
ni = Ni/N x n
Keterangan :
ni : Ukuran tiap proporsi sampel
Ni : Jumlah populasi setiap kelompok PAUD
N : Jumlah populasi kelompok PAUD wilayah binaan Puskesmas
Kecamatan Kebayoran Lama
n : Jumlah sampel yang diinginkan
Tabel 4.2
Proporsi Jumlah Siswa PAUD di Wilayah Binaan Puskesmas
Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014
No. Nama PAUD Jumlah Siswa Jumlah Sampel (n)
1. Anyelir I 24 n=24/156 x 85 = 13
2. Anyelir II 30 n=30/156 x 85 = 16
3. Cempaka 35 n=35/156 x 85 = 20
4. Seruni Ceria 36 n=36/156 x 85 = 20
5. Nusa Indah 31 n=31/156 x 85 = 17
Jumlah 156 85
Sumber : Hasil Analisis Perhitungan Sampel Penelitian
59
4.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Food Recall 3 x 24 jam digunakan untuk mengetahui asupan energi,
protein, zat besi (Fe) dan zat seng (Zn).
b. Kuesioner instrumen HOME inventory digunakan untuk menilai
stimulasi psikososial yang diberikan oleh keluarga kepada anaknya.
c. Untuk mengetahui status gizi kategori stunting dengan menggunakan
indeks TB/U kemudian menyesuaikan hasil pengukuran indeks
dengan pengklasifikasian z-score menurut WHO (2005). Untuk
rumus perhitungan z score adalah sebagai berikut:
Z score = Nilai individu Subjek – Nilai Median Baku Rujuk
Nilai Simpang Baku Rujukan
Dan alat pengukur tinggi badan anak yaitu microtoise. Syarat-
syarat posisi sewaktu mengukur anak, yaitu:
1. Posisi Anak sewaktu diukur, anak tidak boleh memakai alas
kaki dan penutup kepala
2. Posisi anak berdiri membelakangi dinding dengan microtoise
berada di tengah bagian kepala.
3. Posisi anak tegak bebas
4. Tangan dibiarkan tergantung bebas menempel ke badan
5. Tumit rapat, tetapi ibu jari kaki tidak rapat
6. Kepala, tulang belikat, pinggul dan tumit menempel ke dinding
60
7. Anak menghadap dengan pandangan lurus ke depan
Sedangkan cara penggunaan microtoise dan membaca angkanya
adalah sebagai berikut (Supariasa, 2002):
1. Segitiga siku-siku diletakkan di atas kepala.
2. Satu sisi menempel di bagian tengah kepala anak dan satu sisi
lainnya menempel ke pita meteran di dinding
3. Hasil pengukuran dibaca sebelum segitiga siku-siku yang
menempel di kepala anak digerakkan
4. Pembacaan angka dilakukan setelah anak selesai diukur pada
skala yang ditunjuk oleh sudut segitiga siku-siku
d. Kuesioner yang digunakan untuk menilai kemampuan
Perkembangan anak adalah KPSP (Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan). KPSP merupakan kuesioner denver II yang telah
dimodifikasi. Instrumen ini digunakan untuk mengetahui
perkembangan anak normal atau ada penyimpangan. Alat dan
bahan yang diperlukan adalah:
1. Kubus berukuran 2-2.5 cm
2. Bola plastik berdiameter 5 cm
3. Pensil
4. Kertas kosong atau buku
4.5 Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data
primer dikumpulkan untuk mengetahui asupan zat gizi anak dengan
61
mengisi formulir food recall, untuk mengetahui stunting pada anak
dengan mengukur tinggi badan anak dengan microtoise dan untuk
mengetahui stimulasi psikososial yang diberikan oleh keluarga yang
dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner HOME inventory
sedangkan untuk mengetahui perkembangan motorik anak menggunakan
kuesioner Pra Skrining Perkembangan yang telah dimodifikasi. Data
sekunder dikumpulkan untuk melihat data umum anak dari PAUD dan
data umum lokasi penelitian.
4.6 Pengolahan Data
Pengolahan data yang telah dikumpulkan, dilakukan dengan proses
komputerisasi, melalui beberapa langkah sebagai berikut:
1) Editing
Data yang telah dikumpulkan diperiksa kelengkapannya terlebih
dahulu.
2) Coding
Sebelum dimasukkan ke komputer, dilakukan proses pemberian kode
pada setiap jawaban yang terdiri variabel asupan zat gizi, stimulasi
psikososial dan status motorik anak.
a. Status Motorik
1. Kode 1
Skor ≥ median = status motorik anak sesuai dengan tahap
usia anak (Normal)
62
2. Kode 2
Skor < median = status motorik anak sesuai dengan tahap
usia anak (Terganggu)
b. Asupan Energi
1. Kode 1
Skor ≥ EAR = Asupan energi baik (Cukup)
2. Kode 2
Skor <EAR = Asupan energi kurang (Kurang)
c. Asupan Protein
1. Kode 1
Skor ≥ distribusi presentase energi dari protein = Asupan
protein baik (Cukup)
2. Kode 2
Skor < distribusi presentase energi dari protein = Asupan
protein kurang (Kurang)
d. Asupan Zat Besi (Fe)
1. Kode 1
Skor ≥ Angka Kecukupan Gizi = Asupan zat besi baik
(Cukup)
2. Kode 2
Skor < Angka Kecukupan Gizi = Asupan zat besi kurang
(Kurang)
63
e. Asupan Zat Seng (Zn)
1. Kode 1
Skor ≥ Angka Kecukupan Gizi = Asupan zat seng baik
(Cukup)
2. Kode 2
Skor < Angka Kecukupan Gizi = Asupan zat seng kurang
(Kurang)
f. Stimulasi Psikososial
1. Kode 1
Skor 0-29 = Stimulasi Pikososial kurang (Kurang)
2. Kode 2
Skor 30-45 = Stimulasi Pikososial cukup (Cukup)
3. Kode 3
Skor 46-55 = Stimulasi psikososial baik (Baik)
g. Stunting
1. Kode 1
Jika Z score -2 SD s/d 2 SD (Normal)
2. Kode 2
Jika Z score <-2 SD (stunting / pendek)
3) Entry
Memasukkan data dengan menggunakan komputer untuk analisa lebih
lanjut.
4) Cleaning
64
Pengecekkan kembali, untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan
pada data yang sudah dimasukkan, baik dalam pengkodean maupun
kesalahan dalan membaca kode. Dengan demikian data telah siap
dianalisis program software analisa data komputer.
4.7 Analisis Data
4.7.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menyajikan dan
menggambarkan distribusi frekuensi dari setiap variabel yang diteliti
dalam bentuk presentase dan disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik. Analisis univariat dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran variabel independennya, yaitu asupan zat gizi,
stunting dan stimulasi psikososial. Selain itu juga dilakukan untuk
mengetahui gambaran variabel dependennya yaitu status motorik.
4.7.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk menguji hipotesis yang ada
antara variable dependen dengan variabel independen. Analisis
bivariat yang dilakukan menggunakan uji Chi-Square untuk melihat
hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen,
dengan tingkat kemaknaan sebesar 0,05. Uji Chi-Square dapat
menggunakan rumus sebagai berikut :
X2Σ = (O – E)
2
E
DF = (k-1) (b-1)
65
Keterangan :
X2
= Chi Square
O = Nilai observasi
E = Nilai ekspektasi
k = Jumlah kolom
b = Jumlah baris
Melalui uji statistik chi-square akan diperoleh nilai P,
dimana dalam penelitian ini digunakan tingkat kemaknaan sebesar
0,05. Penelitian antara dua variabel dikatakan berhubungan jika
mempunyai nilai p<0,05 dan dikatakan tidak berhubungan jika
p>0,05.
Pada uji chi-square ini merupakan tabel lebih dari 2x2, maka
digunakan uji “Pearson Chi Square”. Namun jika tidak memenuhi
kriteria uji Chi Square, maka dilakukan pengurangan cells dengan
cara collaps.
66
BAB V
HASIL
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama dalam melakukan kinerjanya
selain mengkoordinasikan kinerja atau program di seluruh puskesmas kelurahan,
puskesmas kecamatan kebayoran lama juga memiliki wilayah binaan yaitu
wilayah RW 01, 08, 09, 10 dan 11. Wilayah yang termasuk ke dalam Puskesmas
Kecamatan Kebayoran Lama memili PAUD. Lokasi penelitian dilaksanakan di
PAUD yang termasuk ke dalam wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Jakarta Selatan, yaitu PAUD Nusa Indah, Anyelir I dan II,
Cempaka dan Seruni Ceria. PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama adalah PAUD yang berada dibawah Kementerian Kesehatan
dalam melaksanakan program tumbuh kembang anak (SDIDTK) yang
bekerjasama dengan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama.
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di PAUD
sebanyak tiga kali dalam seminggu selama 2 jam per hari. Jumlah keseluruhan
siswa di PAUD binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada tahun
ajaran 2013/2014 adalah 156 anak dimana masing-masing PAUD memiliki
jumlah siswa yang berbeda, yaitu Anyelir I (24 anak), Anyelir I (30 anak),
Cempaka (35 anak), Seruni ceria (36 anak) dan Nusa indah (31 anak). Pembagian
kelas setiap PAUD binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama terdiri dari
67
kelas A yang diikuti oleh anak usia 3-4 tahun dan kelas B yang diikuti oleh anak
usia 4-6 tahun.
5.2 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi variabel
dependen, yaitu status motorik halus dan kasar dan variabel independen terdiri
dari
asupan energi, protein, besi dan seng, stunting dan stimulasi psikososial.
5.2.1 Gambaran Status Motorik Halus
Dalam penelitian ini status motorik halus dibagi menjadi 2 (dua)
kategori yaitu normal dan terganggu. Seperti yang terlihat pada tabel 5.1
berikut ini:
Tabel 5.1
Distribusi Berdasarkan Status Motorik Halus pada Siswa PAUD
Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014
Status Motorik Halus Jumlah (n) Persen (%)
Normal 59 69.4
Terganggu 26 30.6
Total 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui paling banyak responden yang
memiliki status motorik halus yang normal yaitu 59 orang (69.4%)
dibandingkan dengan responden yang memiliki status motorik halus yang
terganggu yaitu 26 orang (30.6%).
68
5.2.2 Gambaran Status Motorik Kasar
Dalam penelitian ini status motorik kasar dibagi menjadi 2 (dua)
kategori yaitu normal dan terganggu. Seperti yang terlihat pada tabel 5.2
berikut ini:
Tabel 5.2
Distribusi Berdasarkan Status Motorik Kasar pada Siswa PAUD
Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun
2014
Status Motorik Kasar Jumlah (n) Persen (%)
Normal 49 57.6
Terganggu 36 42.4
Total 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui paling banyak responden yang
memiliki status motorik kasar yang normal yaitu 49 orang (57.6%)
dibandingkan dengan responden yang memiliki status motorik kasar yang
terganggu yaitu 36 orang (42.4%).
5.2.3 Gambaran Asupan Energi
Dalam penelitian ini asupan energi dibagi menjadi 2 (dua) kategori
yaitu kurang dan cukup. Seperti yang terlihat pada tabel 5.3 berikut ini:
Tabel 5.3
Distribusi Berdasarkan Asupan Energi pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014
Asupan Energi Jumlah (n) Persen (%)
Cukup 31 36.5
Kurang 54 63.5
Total 85 100
Sumber: Data Primer
69
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui paling banyak responden yang
memiliki asupan energi kurang yaitu 54 orang (63.5%) dibandingkan
dengan responden yang memiliki asupan energi cukup yaitu 31 orang
(36.5%).
5.2.4 Gambaran Asupan Protein
Dalam penelitian ini asupan protein dibagi menjadi 2 (dua)
kategori yaitu kurang dan cukup. Seperti yang terlihat pada tabel 5.4
berikut ini:
Tabel 5.4
Distribusi Berdasarkan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014
Asupan Protein Jumlah (n) Persen (%)
Cukup 34 40
Kurang 51 60
Total 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui paling banyak responden yang
memiliki asupan protein kurang yaitu 51 orang (60%) dibandingkan
dengan responden yang memiliki asupan protein cukup yaitu 34 orang
(40%).
5.2.5 Gambaran Asupan Zat Besi
Dalam penelitian ini asupan zat besi dibagi menjadi 2 (dua)
kategori yaitu kurang dan cukup. Seperti yang terlihat pada tabel 5.5
berikut ini:
70
Tabel 5.5
Distribusi Berdasarkan Asupan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014
Asupan Zat Besi Jumlah (n) Persen (%)
Cukup 52 61.2
Kurang 33 38.8
Jumlah 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui paling banyak responden yang
memiliki asupan zat besi cukup yaitu 52 orang (61.2%) dibandingkan
dengan responden yang memiliki asupan zat besi kurang yaitu 36 orang
(38.8%).
5.2.6 Gambaran Asupan Seng
Dalam penelitian ini asupan zat seng dibagi menjadi 2 (dua)
kategori yaitu kurang dan cukup. Seperti yang terlihat pada tabel 5.6
berikut ini:
Tabel 5.6
Distribusi Berdasarkan Asupan Zat Seng pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014
Asupan Zat Seng Jumlah (n) Persen (%)
Cukup 40 47.1
Kurang 45 52.9
Jumlah 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui paling banyak responden yang
memiliki asupan zat seng kurang yaitu 45 orang (52.9%) dibandingkan
dengan responden yang memiliki asupan zat seng cukup yaitu 40 orang
(47.1%).
71
5.2.7 Gambaran Stimulasi Psikososial
Dalam penelitian ini stimulasi psikososial dibagi menjadi 3 (tiga)
kategori yaitu kurang, cukup dan baik. Seperti yang terlihat pada tabel 5.7
berikut ini:
Tabel 5.7
Distribusi Berdasarkan Stimulasi Psikososial pada Siswa PAUD
Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada
Tahun 2014
Stimulasi Psikososial Jumlah (n) Persen (%)
Kurang 19 22.4
Cukup 58 68.2
Baik 8 9.4
Total 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.7 diketahui lebih banyak responden yang
menerima stimulasi psikososial cukup yaitu 58 orang (68,2%)
dibandingkan dengan responden yang menerima stimulasi psikososial baik
yaitu 8 orang (9.4%) dan responden yang menerima stimulasi psikososial
kurang yaitu 19 orang (22.4%).
5.2.8 Gambaran Stunting
Dalam penelitian ini stunting dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu
ya dan tidak. Seperti yang terlihat pada tabel 5.8 berikut ini:
Tabel 5.8
Distribusi Berdasarkan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014
Stunting Jumlah (n) Persen (%)
Ya 49 57.6
Tidak 36 42.4
Total 85 100
Sumber: Data Primer
72
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui paling banyak responden yang
memiliki status gizi pendek (stunting) yaitu 49 orang (57.6%)
dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki status gizi pendek
(stunting) yaitu 36 orang (42.4%).
5.3 Analisis Bivariat
Pada analisis bivariat, peneliti akan menghubungkan antara faktor
independen terdiri dari asupan energi, protein, zat besi dan zat seng, stunting,
stimulasi psikososial dengan faktor dependen yaitu status motorik pada anak 3-6
tahun.
5.3.1 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan
Energi
Tabel 5.9
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan
Energi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014
Asupan
Energi
Status Motorik Halus Total
P-value Normal Terganggu
N % N % N %
Kurang 29 53.7 25 46.3 54 100
0.000 Cukup 30 96.8 1 3.2 31 100
Total 59 69.4 26 30.6 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.9 diketahui dari 54 anak dengan asupan energi
kurang sebanyak 29 anak (53.7%) memiliki status motorik halus normal.
Sedangkan dari 31 anak dengan asupan energi cukup sebanyak 30 anak (96.8%)
memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value
sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik halus.
73
5.3.2 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Protein
Tabel 5.10
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Protein
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
LamaTahun 2014
Asupan
Protein
Status Motorik Halus Total
P-value Normal Terganggu
N % N % n %
Kurang 26 51 25 49 51 100
0.000 Cukup 33 97.1 1 2.9 34 100
Total 59 69.4 26 30.6 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui dari 51 anak dengan asupan protein
kurang sebanyak 26 anak (51%) memiliki status motorik halus normal.
Sedangkan dari 34 anak dengan asupan protein cukup sebanyak 33 anak
(97.1%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh
p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik halus.
5.3.3 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Besi
Tabel 5.11
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Besi
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
LamaTahun 2014
Asupan
Zat Besi
Status Motorik Halus Total
P-value Normal Terganggu
N % N % n %
Kurang 9 27.3 24 72.7 33 100
0.000 Cukup 50 96.2 2 3.8 52 100
Total 59 69.4 26 30.6 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.11 diketahui dari 33 anak dengan asupan zat besi
kurang sebanyak 9 anak (27.3%) memiliki status motorik halus normal.
74
Sedangkan dari 52 anak dengan asupan zat besi cukup sebanyak 50 anak
(96.2%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh
p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara asupan zat besi dengan status motorik halus.
5.3.4 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Seng
Tabel 5.12
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Seng
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014
Asupan
Zat Seng
Status Motorik Halus Total
P-value Normal Terganggu
N % N % n %
Kurang 28 62.2 17 37.8 45 100
0.16 Cukup 31 77.5 9 22.5 40 100
Total 59 69.4 26 30.6 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.12 diketahui dari 45 anak dengan asupan zat seng
kurang sebanyak 28 anak (62.2%) memiliki status motorik halus normal.
Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 31 anak
(77.5%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh
p-value sebesar 0.16, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara asupan zat seng dengan status motorik halus.
75
5.3.5 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stunting
Tabel 5.13
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stunting pada
Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2014
Stunting
Status Motorik Halus Total
P-value Normal Terganggu
N % N % n %
Ya 34 94.4 2 5.6 36 100
0.000 Tidak 25 51 24 49 49 100
Total 54 69.4 26 30.6 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.13 diketahui dari 36 anak dengan status gizi
pendek (stunting) sebanyak 34 anak (94.4%) memiliki status motorik halus
normal. Sedangkan dari 49 anak tidak dengan status gizi pendek (stunting)
sebanyak 25 anak (77.5%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji
statistik diperoleh p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stunting dengan
status motorik halus.
5.3.6 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stimulasi
Psikososial
Tabel 5.14
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stimulasi
Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014
Stimulasi
Psikososial
Status Motorik Halus Total
P-value Normal Terganggu
N % N % n %
Kurang 8 42.1 11 57.9 19 100
0.011 Cukup 44 75.9 14 24.1 58 100
Baik 7 87.5 1 12.5 8 100
Total 54 69.4 26 30.6 85 100
Sumber: Data Primer
76
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui dari 19 anak yang menerima stimulasi
psikososial kurang sebanyak 8 anak (42.1%) memiliki status motorik halus
normal dan dari 58 anak yang menerima stimulasi psiksososial cukup sebanyak
44 anak (75.9%) memiliki status motorik halus normal. Sedangkan dari 8 anak
yang menerima stimulasi psikososial baik sebanyak 7 anak (77.5%) memiliki
status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar
0.011, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara stimulasi psikososial dengan status motorik halus.
5.3.7 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi
Tabel 5.15
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama
Tahun 2014
Asupan
Energi
Status Motorik Kasar Total
P-value Normal Terganggu
N % N % n %
Kurang 19 35.2 35 64.8 54 100
0.000 Cukup 30 96.8 1 3.2 31 100
Total 49 57.6 36 42.4 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui dari 54 anak dengan asupan energi
kurang sebanyak 19 anak (35.2%) memiliki status motorik kasar normal.
Sedangkan dari 31 anak dengan asupan energi cukup sebanyak 30 anak
(96.8%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh
p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik halus.
77
5.3.8 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein
Tabel 5.16
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014
Asupan
Protein
Status Motorik Halus Total
P-value Normal Terganggu
N % N % n %
Kurang 17 33.3 34 66.7 51 100
0.000 Cukup 32 94.1 2 5.9 34 100
Total 49 57.6 36 42.4 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.15 diketahui dari 51 anak dengan asupan protein
kurang sebanyak 17 anak (33.3%) memiliki status motorik kasar normal.
Sedangkan dari 34 anak dengan asupan protein cukup sebanyak 32 anak
(94.1%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh
p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan status motorik kasar.
5.3.9 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Besi
Tabel 5.17
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Besi
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
LamaTahun 2014
Asupan
Zat Besi
Status Motorik Kasar Total
P-value Normal Terganggu
N % N % n %
Kurang 1 3 32 97 33 100
0.000 Cukup 48 92.3 4 7.7 52 100
Total 49 57.6 36 42.4 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.16 diketahui dari 33 anak dengan asupan zat besi
kurang sebesar 1 anak (3%) yang memiliki status motorik kasar normal.
78
Sedangkan dari 52 anak dengan asupan zat besi cukup sebanyak 48 anak
(92.3%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh
p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara asupan zat besi dengan status motorik kasar.
5.3.10 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Seng
Tabel 5.18
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Seng
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014
Asupan
Zat Seng
Status Motorik Kasar Total
P-value Normal Terganggu
N % N % N %
Kurang 21 46.7 24 53.3 45 100
0.25 Cukup 28 70 12 30 40 100
Total 49 57.6 36 42.4 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.17 diketahui dari 45 anak dengan asupan zat seng
kurang sebanyak 21 anak (46.7%) memiliki status motorik kasar normal.
Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 28 anak
(70%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh
p-value sebesar 0.25, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara asupan zat seng dengan status motorik kasar.
79
5.3.11 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stunting
Tabel 5.19
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stunting pada
Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2014
Stunting
Status Motorik Halus Total
P-value Normal Terganggu
N % N % N %
Ya 34 94.4 2 5.6 36 100
0.000 Tidak 15 30.6 34 69.4 49 100
Total 49 57.6 36 42.4 85 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.18 diketahui dari 36 anak dengan status gizi
pendek (stunting) sebanyak 34 anak (94.4%) memiliki status motorik kasar
normal. Sedangkan dari 49 anak tidak dengan status gizi pendek (stunting)
sebanyak 15 anak (30.6%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji
statistik diperoleh p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stunting dengan
status motorik kasar.
5.3.12 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stimulasi
Psikososial
Tabel 5.20
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stimulasi
Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014
Stimulasi
Psikososial
Status Motorik Halus Total P-value
Normal Terganggu
N % N % n %
Kurang 5 26.3 14 73.7 19 100
0.003 Cukup 4 37 63.8 21 36.2 58 100
Baik 7 7 87.5 1 12.5 8 100
Total 5 49 57.6 36 42.4 85 100
Sumber: Data Primer
80
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui dari 19 anak yang menerima stimulasi
psikososial kurang sebanyak 5 anak (26.3%) memiliki status motorik kasar
normal dan dari 58 anak yang menerima stimulasi psikososial cukup sebanyak
37 anak (63.8%) memiliki status motorik kasar normal. Sedangkan dari 8 anak
yang menerima stimulasi psikososial baik sebanyak 7 anak (87.5%) memiliki
status motorik kasar sesuai. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar
0.003, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara stunting dengan status motorik halus.
81
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Berdasarkan teori untuk menggunakan kuesioner KPSP seharusnya
didampingi dengan dokter anak namun dikarenakan waktu penelitian yang tidak
sama dengan jadwal dokter maka digantikan dengan petugas puskesmas yang
sudah terlatih. Selain itu di dalam kuesioner HOME Inventory ada beberapa
pertanyaan yang menanyakan bagaimana kondisi fisik lingkungan responden
namun dikarenakan keterbatasan waktu maka peneliti tidak mendatangi semua
rumah responden sehingga pada saat responden mengisi kuesioner peneliti
menanyakan langsung bagaimana kondisi fisik lingkungan responden. Dan pada
penelitian ini pengumpulan data konsumsi makanan terkait konsumsi energi,
protein, zat besi dan seng dilakukan dengan menggunakan metode recall 3x24
jam. Metode tersebut dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan
makanan yang dikonsumsi pada periode 3 x 24 jam yang menggunakan teknik
wawancara dan hanya mengandalkan ingatan responden.
6.2 Gambaran Status Motorik Halus dan Kasar
Menurut Adriana (2011) bahwa gerak atau motorik halus adalah aspek
yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu serta
dilakukan oleh otot-otot kecil. Sedangkan menurut Soetjiningsih, dkk (2002)
motorik halus merupakan aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak
untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian
82
tubuh tertentu saja dan dilakukan otot kecil tetapi memerlukan koordinasi yang
cermat misalnya kemampuan untuk menggambar dan memegang suatu benda.
Dari hasil analisis univariat didapatkan bawa paling banyak responden
yang memiliki status motorik halus yang normal yaitu 59 orang (69.4%)
dibandingkan dengan responden yang memiliki status motorik halus yang
terganggu yaitu 26 orang (30.6%).
Pada penelitian ini, responden yang paling banyak memiliki status motorik
kasar yang terganggu adalah usia tiga hingga lima tahun dibandingkan dengan
responden yang berusia lima hingga enam tahun. Menurut Zaviera (2008)
semakin berkembangnya sistem saraf otak yang mengatur otot memungkinkan
berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak.
Hal ini sejalan dengan penelitian Mumtahanah (2004) yang menyatakan
bahwa responden balita cenderung memiliki status motorik halus terganggu
dibandingkan dengan balita berusia di atas lima tahun.
Akibat dari anak yang memiliki motorik halus terganggu adalah
ketidakmampuan mengatur keseimbangan. Anak-anak yang mengalami kesulitan
dalam mengatur keseimbangan tubuhnya biasanya juga memiliki kesulitan dalam
mengontrol gerakan anggota tubuh. Masalah pengaturan keseimbangan tubuh ini
berhubungan dengan sistem vestibular yang akan berdampak pada kemampuan
anak dalam membaca dan menulis (Rumini dan Sundari, 2004).
Menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik kasar adalah bagian dari
aktivitas motor yang melibatkan keterampilan otot-otot besar. Gerakan-gerakan
seperti tengkurap, duduk, merangkak dan mengangkat leher. Berdasarkan hasil
83
analisis univariat bahwa paling banyak responden yang memiliki status motorik
kasar yang normal yaitu 49 orang (57.6%) dibandingkan dengan responden yang
memiliki status motorik kasar yang terganggu yaitu 36 orang (42.4%). Hal ini
sejalan dengan penelitian Dewi dan Kartika (2010) yang menyatakan bahwa
responden yang berusia lima tahun kebawah cenderung memiliki status motorik
kasar terganggu dibandingkan dengan responden berusia di atas lima tahun.
Menurut Adriana (2011) gangguan pada motorik kasar adalah yang
berhubungan dengan perkembangan pergerakan dan sikap tubuh yaitu
keterlambatan dalam keterampilan otot-otot besar seperti merangkak, berjalan,
berlari, melompat atau berenang. Apabila dibandingkan dengan target program
SDIDTK tingkat puskesmas yaitu presentase kasus perkembangan anak yang
ditemukan sebesar 90% maka dapat disimpulkan bahwa status motorik kasar dan
halus di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama masih
belum merupakan masalah serius namun jika kasus motorik dibiarkan akan terus
meningkat dan akan berdampak pada perkembangan anak yang lainnya seperti
perkembangan kognitif, sosial dan bahasa. Oleh karena itu dari pihak Puskesmas
wilayah Kecamatan Kebayoran Lama mewajibkan setiap PAUD wilayah
binaannya untuk mengikuti program SDIDTK setiap tahunnya untuk memantau
perkembangan anak khususnya perkembangan motorik.
6.3 Gambaran dan Hubungan Asupan Energi dengan Status Motorik Kasar dan
Halus
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak. Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan
84
protein (Kemenkes RI, 2014). Konsumsi energi berasal dari makanan yang
diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai
ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan
kesehatan jangka panjang (Mustika, 2011 dalam Kemenkes RI , 2014).
Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak atau gajih dan
minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan
kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah (kacang tanah
dan kacang kedele) dan aneka pangan produk turunannya. Pangan sumber energi
yang kaya kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat, serealia lainnya, umbi-
umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang dan kurma)
dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya protein antara
lain daging, ikan telur, susu dan aneka produk turunannya (Kemenkes RI, 2014).
Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa paling
banyak responden yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal yaitu
54 orang (63.5%) sedangkan responden yang mengkonsumsi energi di atas
kebutuhan minimal yaitu 31 orang (36.5%). Konsumsi energi yang masih kurang
tersebut dimungkinkan karena kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi.
Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh
dan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh, di dalam suatu
susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Dikatakan
konsumsi atau asupan gizi adekuat dimana tubuh akan mendapatkan kondisi
kesehatan gizi yang baik, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Sebaliknya
85
konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi
kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama, 2000).
Hal ini sejalan dengan penelitian Hendrawan (2003) yang menyatakan
bahwa ada hubungan anatara asupan energi dengan kualitas pangan yang
dikonsumsi. Pada Penelitian Suhardjo (2007) juga menyatakan bahwa kualitas
serta kuantitas pangan berperan besar dalam asupan kalori seseorang.
Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang
dari energi yang dikeluarkan, sehingga tubuh akan mengalami keseimbangan
energi. Akibatnya berat badan kurang dari berat badan seharusnya. Bila terjadi
pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan.
Gejala yang ditimbulkan pada anak-anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah,
kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi
(Mustika, 2011 dalam Kemenkes RI, 2014).
Dari hasil uji Chi-square, didapat bahwa status asupan energi secara
signifikan berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue
0,000). Hal tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus dan
kasar yang terganggu cenderung karena menurut pengamatan peneliti
berdasarkan data recall 3 x 24 jam responden, rendahnya asupan energi pada
siswa PAUD dikarenakan umumnya jenis makanan yang dikonsumsinya tidak
bervariasi dan kebanyakan makanan yang dikonsumsi oleh responden bukan
makanan yang mengandung sumber energi yang adekuat tetapi jenis makanan
yang bersumber dari karbohidrat, baik dari makanan utama maupun kudapannya
86
seperti biskuit, ciki, kue bolu dan permen sehingga dapat mempengaruhi status
motorik halus dan kasar siswa. Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik,
didapatkan bahwa 46,3% siswa yang memiliki status motorik halus terganggu
juga mempunyai asupan energi yang kurang.
Menurut Adriana (2011) gerak atau motorik halus adalah aspek yang
berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu serta dilakukan
oleh otot-otot kecil. Sedangkan menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik kasar
adalah bagian dari aktivitas motor yang melibatkan keterampilan otot-otot besar.
Otot tersebut dikendalikan oleh neurotransmitter yang dipengaruhi oleh energi
sehingga menghasilkan gerak motorik. Energi berfungsi mempengaruhi zat
kimia yang ada di otak yang disebut neurotransmitter yang bertugas dalam
menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga
menghasilkan gerak motorik (Georgieff, 2001). Hal tersebut didukung oleh
penelitian Susanty et al (2012) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara asupan energi dengan status motorik kasar dan halus. Demikian
juga penelitian Kartika (2002) menunjukkan ada hubungan antara energi dengan
status motorik kasar dan halus. Semakin rendah asupan energi maka semakin
rendah kemampuan motorik kasar dan halusnya.
Disimpulkan bahwa kondisi asupan energi pada siswa PAUD wilayah
binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang
serius yaitu terdapat 54 orang (63.5%) jika dibandingkan dengan kebijakan dan
strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah
tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47% dan dari hasil uji bivariat
87
menujukkan bahwa asupan energi secara signifikan berhubungan dengan status
motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan status motorik halus p=0,00 (p<0,05). Oleh
karena itu pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua
atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang
mengandung energi yang adekuat dan memberikan simulasi kepada orang tua
tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan energi dalam sehari dengan tepat
yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing anak.
6.4 Gambaran Asupan Protein dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar
dan Halus
Protein adalah salah satu makronutrien yang memiliki peranan penting
dalam pembentukan biomolekul. Protein merupakan makromolekul yang
menyusun lebih dari separuh bagian sel. Protein menentukan ukuran dan struktur
sel, komponen utama dari enzim yaitu biokatalisator berbagai reaksi
metabolisme dalam tubuh (Kemenkes RI, 2014).
Pangan sumber protein hewani meliputi daging, telur, susu, ikan, seafood
dan hasil olahannya. Pangan sumber protein nabati meliputi kedele, kacang-
kacangan dan hasil olahannya seperti tempe, tahu dan susu kedele. Secara umum
mutu protein hewani lebih baik dibanding protein nabati (Kemenkes RI, 2014).
Mutu protein makanan ditentukan salah satunya oleh komposisi dan jumlah asam
amino esensial. Pangan hewani mengandung asam amino lebih lengkap dan
banyak dibanding pangan nabati, karena itu pangan hewani mempunyai mutu
protein yang lebih baik dibandingkan pangan nabati (Gibney, 2002).
88
Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa paling
banyak responden yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal
yaitu 51 orang (60%) sedangkan responden yang mengkonsumsi protein di atas
kebutuhan minimal yaitu 34 orang (40%).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermina dan
Prihatini (2010) konsumsi protein pada anak balita umur 24-59 bulan di
Indonesia masih dibawah standar angka kecukupan gizi dengan hasil rata-rata
menggunakan pengukuran recall 1 x 24 jam sebesar 111,5%.
Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor
pada anak-anak di bawah lima tahun. Kekurangan protein ditemukan secara
bersamaan dengan keurangan energi yang menyebabkan kondisi yang
dinamakan marasmus. Sindroma gabungan antara dua jenis kekurangan ini
dinamakan KEP (Kurang Energi Protein) (Almatsier, 2001).
Georgieff (2001) menjelaskan protein merupakan perkursor untuk
neurotransmitter yang mendukung perkembangan otak. Dimana Asam amino
tirosin merupakan jenis asam amino yang berhubungan dengan mekanisme gerak
motorik yang berfungsi sebagai neurotransmitter. Westermack et al (2000)
menjelaskan neurotransmitter bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu
saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik.
Dari hasil uji Chi-square, didapat bahwa asupan protein secara signifikan
berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD wilayah
binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue 0,000). Hal
tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus dan kasar yang
89
terganggu cenderung karena asupan protein yang kurang yang disebabkan oleh
mutu protein. Mutu protein adalah protein dengan nilai biologi tinggi atau
bermutu tinggi dimana protein yang mengandung semua jenis asam amino
esensial dalam proporsi yang ses uai. Mutu protein beberapa bahan makanan
diantaranya adalah telur, susu sapi, ikan, daging sapi, beras tumbuk, kacang
tanah, beras giling, gandum utuh, jagung, kacang kedelai dan biji-bijian
(Almatsier, 2001). Sedangkan bahan makanan yang dikonsumsi responden
cenderung bahan makanan seperti sayuran hijau, daging ayam, mie, tahu dan
tempe sehingga dapat mempengaruhi status motorik halus dan kasar siswa.
Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik, didapatkan bahwa 49% siswa
yang memiliki status motorik halus terganggu juga mempunyai asupan protein
yang kurang. Dan didapatkan bahwa 66,7% siswa yang memiliki status motorik
kasar terganggu juga mempunyai asupan protein yang kurang. Hal tersebut
didukung dengan hasil penelitian Susanty et al (2012) yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara asupan protein dengan
status motorik halus dan kasar.
Dan pada penelitian Antoni (2005) juga menunjukkan proporsi bayi yang
mengalami keterlambatan perkembangan motorik sebagian besar pada bayi
dengan asupan kurang dari AKG yaitu sebesar 85% dengan menggunakan
analisis statistik dengan uji Chi-square yang menunjukkan adanya hubungan
antara asupan protein dengan perkembangan motorik bayi (p <0.05).
Disimpulkan bahwa kondisi asupan protein pada siswa PAUD wilayah
binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang
90
serius yaitu terdapat 50 orang (61%) jika dibandingkan dengan kebijakan dan
strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah
tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47% dan dari hasil uji bivariat
menujukkan bahwa asupan protein secara signifikan berhubungan dengan status
motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan status motorik halus p=0,00 (p<0,05). Oleh
karena itu pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua
atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang
mengandung protein yang adekuat dan memberikan simulasi kepada orang tua
tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan protein dalam sehari dengan tepat
yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing anak.
6.5 Gambaran Asupan Zat Besi dan Hubungannya dengan Status Motorik
Kasar dan Halus
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam
tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia
dewasa. Meskipun luas, namun masih mengalami kekurangan zat besi yang
sangat berpengaruh terhadap produktifitas kerja, penampilan kognitif dan sistem
kekebalan tubuh (Almatsier, 2001).
Sumber besi dalam makanan hewani adalah daging, hati, unggas dan ikan
sedangkan dalam makanan nabati adalah kacang-kacangan dan hasil olahannya,
sayuran hijau dan rumput laut. Besi dalam makanan hewani terdapat dalam
bentuk hem, sedangkan yang terdapat di dalam nabati dalam bentuk non-hem.
Ketersediaan biologis besi dalam bentuk hem lebih tinggi daripada besi non-hem
(Soetardjo dkk, 2011).
91
Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa
diketahui paling banyak responden yang mengkonsumsi zat besi di atas
kebutuhan minimal yaitu 52 orang (61.2%) dibandingkan dengan responden
yang mengkonsumsi besi di bawah kebutuhan minimal yaitu 33 orang (38.8%).
Hal ini sejalan dengan penelitian Dewi, dkk (2012) yang menyatakan
bahwa terdapat 29,16% atau 14 siswa prasekolah yang mengalami defisiensi zat
besi dengan menggunakan wawancara berpedoman Semi Qualitative Food
Frequency Qustionaire ( SQ-FFQ).
Kekurangan besi akan menyebabkan anemia gizi besi yang ditandai
dengan kulit pucat, letih dan nafasnya pendek akibat kekurangan oksigen.
Kekurangan zat besi juga sangat berpengaruh terhadap produktifitas kerja,
penampilan kognitif dan sistem kekebalan tubuh (Mustika, 2011 dalam
Kemenkes RI, 2014).
Mineral besi merupakan zat gizi esensial yang berperan dalam fungsi
motorik. Fungsi yang pertama adalah besi (Fe) berperan dalam sintesis
monoamine (Georgieff, 2001). Monoamine merupakan enzim mitokondria yang
terdapat di semua bagian berhubungan dengan metabolisme aerobik dari
makanan yang menghasilkan energi, dengan kata lain sebagai pusat pembangkit
energi (Sadikin, 2002). Westermack et al (2000) menjelaskan bahwa energi
dapat mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang sering disebut
neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke
saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik. Kedua, besi berfungsi
sebagai metabolisme energi di neuron (Georgieff, 2001). Tambayong (2001)
92
menjelaskan neuron adalah satuan fungsional susunan saraf atau biasa disebut
sel saraf. Neuron berfungsi membawa pesan dari satu bagian tubuh ke bagian
lain. Neuron terdiri dua jenis yaitu neuron sensoris dan neuron motoris. Neuron
sensoris berfungsi membawa rangsangan dari organ sensoris, yaitu kulit, otot dan
organ dalam ke medulla spinalis atau otak. Sedangkan neuron motoris adalah
neuron yang membawa respons dari interneuron ke otot, kelenjar dan organ
dalam tubuh. Ketiga, besi berfungsi sebagai mielinisasi (Georgieff, 2001).
Mielinisasi merupakan proses pembalutan neuron, yang berfungsi mempercepat
rangsangan ke otot, kelenjar dan organ dalam tubuh (Tambayong, 2001).
Keempat, besi berfungsi sebagai sistem neurotransmitter, yang bertugas dalam
menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga
menghasilkan gerak motorik (Westermack et al, 2000).
Dari hasil uji Chi-square didapatkan bahwa status asupan besi secara
signifikan berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue
0,000). Hal tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus yang
terganggu cenderung karena asupan besi yang kurang yang disebabkan oleh
interaksi antara zat besi dengan zat gizi lainnya. Menurut (Soetardjo dkk, 2011)
sumber besi dalam makanan hewani adalah daging, hati, unggas dan ikan
sedangkan dalam makanan nabati yaitu kacang-kacangan dan hasil olahannya,
sayuran hijau dan rumput laut. Konsumsi makanan yang kaya dengan vitamin C,
seperti sayur dan buah dapat membantu penyerapan besi sedangkan penyerapan
besi menurun karena adanya antacid, teh dan serat kasar. Hal ini terbukti pada
93
konsumsi responden yang cenderung jarang menkonsumsi makan sumber zat
besi yang disebutkan di atas dan cenderung mengkonsumsi daging dan diiringi
dengan mengkonsumsi teh, hal ini yang meyebabkan kurangnya konsumsi zat
besi kurang dan penyerapan besi terhambat.
Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa 72,7% siswa
yang memiliki status motorik halus terganggu juga mempunyai asupan besi yang
kurang. Dan didapatkan bahwa 97% siswa yang memiliki status motorik kasar
terganggu juga mempunyai asupan besi yang kurang. Hal tersebut diperkuat
dengan penelitian Olney et al (2007) yang menunjukkan bahwa ada hubungan
asupan zat besi dengan perkembangan motorik, dimana anak yang kekurangan
zat besi memiliki skor kemampuan kasar lebih rendah. Hal yang sama juga
dibuktikan pada penelitan Black et al (2004) bahwa terdapat dampak positif pada
suplementasi zat besi yang diberikan terhadap perkembangan motorik anak.
Disimpulkan bahwa kondisi asupan zat besi pada siswa PAUD wilayah
binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang
serius yaitu terdapat 33 orang (38,8%) jika dibandingkan dengan kebijakan dan
strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah
tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47% dan dari hasil uji bivariat
menujukkan bahwa asupan besi secara signifikan berhubungan dengan status
motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan status motorik halus p=0,00 (p<0,05). Oleh
karena itu pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua
atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang
mengandung zat besi yang adekuat dan memberikan simulasi kepada orang tua
94
tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan besi dalam sehari dengan tepat
yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing anak.
6.6 Gambaran Asupan Seng dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar
dan Halus
Seng adalah mineral mikro esensial baik pada manusia. Mineral ini
diperlukan dalam pembentukan jaringan mata sehingga dapat tetap melihat di
kegelapan, pembentukan sel darah putih dalam sistem kekebalan tubuh, fungsi
lambung, kesehatan kulit, pertumbuhan dan fungsi sistem reproduksi,
pertumbuhan janin dan sistem pusat saraf (Kemenkes RI, 2014). Pangan sumber
seng diantaranya adalah ikan terutama kerang dan daging sedangkan dari
tumbuhan adalah serealia. Seng dari sumber nabati umumnya rendah dibanding
sumber hewani (Hotz, 2004 dalam Kemenkes RI, 2014).
Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa
diketahui paling banyak responden yang mengkonsumsi seng di bawah
kebutuhan minimal yaitu 45 orang (52,9%) dibandingkan dengan responden
yang mengkonsumsi seng di atas kebutuhan minimal yaitu 40 orang (47,1%).
Hal ini sejalan dengan penelitian Ferdiansyah, dkk (2009) yang
menyatakan bahwa masih tinggi defisiensi seng dimana terdapat 62% balita usia
37-60 bulan yang mengalami defisiensi seng dengan menggunakan pengukuran
recall 2 x 24 jam.
Defisiensi seng dikarenakan kurangnya asupan seng, atatu kurangnya
absorsi seng ke dalam tubuh. Tanda-tanda defisiensi seng meliputi rambut
rontok, luka pada kulit, diare, kehilangan jaringan tubuh dan akhirnya kematian.
95
Defisiensi seng dapat menyebabkan rusaknya organ dan fungsi penglihatan,
pengecap, bau dan ingatan, gangguan pertumbuhan, luka kulit dan
perkembangan jenis kelamin yang tidak normal pada remaja laki-laki. Selain itu
defisiensi seng juga dapat menyebabkan anemia, rendahnya daya tahan terhadap
infeksi, sintesis kolagen tidak normal, menurunya fungsi pencernaan dan
pengecapan serta gangguan sitem otak saraf yang dapat menyebabkan
kemunduran mental (Soetardjo dkk, 2011).
Bedasarkan hasil analisis bivariat diketahui dari 45 anak dengan asupan
zat seng kurang sebanyak 28 anak (62,2%) memiliki status motorik halus
normal. Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 31
anak (77,5%) memiliki status motorik halus normal. Pada hasil uji Chi-square
didapatkan bahwa status asupan besi tidak berhubungan dengan status motorik
halus pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014 (Pvalue 0,16).
Dan berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui dari 45 anak dengan
asupan zat seng kurang sebanyak 21 anak (46.7%) memiliki status motorik kasar
normal. Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 28
anak (70%) memiliki status motorik kasar normal. Pada hasil uji Chi-square
didapatkan bahwa status asupan seng tidak berhubungan dengan status motorik
kasar pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014 (Pvalue 0,25).
Hal ini Hal ini tidak sesuai dengan teori Georgieff (2001) dimana seng
berperan dalam proses tumbuh kembang terutama tumbuh kembang otak dalam
96
pelepasan neurotransmitter dimana neurotransmitter merupakan zat kimia yang
ada di otak yang dipengaruhi oleh energi yang bertugas menghantarkan impuls
dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik.
Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan pada responden yang rendah asupan
seng memiliki asupan energi yang rendah juga. Soetardjo (2011) menjelaskan
bahwa seng berperan dalam reaksi yang berkaitan dengan karbohidrat, protein,
lipida, dan asam nukleat. Dalam hal ini seng berperan sebagai katalisator energi
dalam sistem neurotransmitter untuk menghasilkan gerak motorik sehingga
semakin besar asupan energi maka semakin besar pula asupan seng yang
diperlukan untuk mepercepat sistem neurotransmitter.
Dapat disimpulkan bahwa kondisi asupan zat seng pada siswa PAUD
wilayah binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi
yang serius yaitu terdapat 45 orang (52,9%) jika dibandingkan dengan kebijakan
dan strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah
tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47% dan dari hasil uji bivariat
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan seng
dengan status motorik kasar p=0,25 (p>0,05) dan dengan status motorik halus
p=0,16 (p>0,05). Namun dari pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi
kepada orang tua atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan
pangan apa saja yang mengandung zat seng yang adekuat dan memberikan
simulasi kepada orang tua tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan zat seng
dalam sehari dengan tepat yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing
anak.
97
6.7 Gambaran Stunting dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar dan
Halus
Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu,
dan dapat diartikan pula sebagai keadaan tubuh berupa hasil akhir dari
keseimbangan antara zat gizi yang msuk ke dalam tubuh dan juga perwujudan
manfaatnya. Penilaian status gizi secara langsung yaitu antropometri adalah
ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2002).
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini
menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa, 2002). Menurut Gibson (2005)
stunting merupakan hasil dari jangka panjang pada ketidakcukupan asupan
makanan, kualitas diet yang buruk, angka kematian yang meningkat atau
kombinasi dari ketiganya.
Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa
paling banyak responden yang memiliki status gizi pendek (stunting) yaitu 49
orang (57.6%) dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki status gizi
pendek (stunting) yaitu 36 orang (42.4%).
98
Hal ini sejalan dengan penelitian Muljati, dkk (2010) bahwa prevalensi
stunting masih tinggi dimana angka kejadian stunting pada anak usia 3-6 tahun
di DKI Jakarta adalah sebesar 27,4%.
Dari hasil uji Chi-square, didapatkan bahwa stunting secara signifikan
berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD wilayah
binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue 0,000). Hal
tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus dan kasar yang
terganggu cenderung karena stunting yang disebabkan oleh keadaan gizi masa
lalu sehingga dapat mempengaruhi status motorik halus. Stunting adalah akibat
dari ketidakcukupan asupan makanan dalam jangka waktu yang lama, kualitas
asupan makanan yang buruk, meningkatnya angka kematian atau kombinasi dari
ketiganya (Gibson, 2005). Hal ini terbukti dari banyaknya responden yang
memiliki asupan energi kurang yaitu 54 orang (63,5%), asupan protein kurang
yaitu 51 orang (60%), asupan zat besi cukup yaitu 52 orang (61,2%) dan asupan
zat seng kurang yaitu 45 orang (52,9%) dari 85 responden.
Status motorik berkaitan dengan status gizi lampau dimana
ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal
merupakan keadaan malnutrisi kronik juga berkaitan dengan perkembangan otak
anak yang disebabkan oleh adanya keterlambatan kematangan sel-sel saraf
terutama di bagian cerebellum yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik
sehingga koordinasi sel saraf dengan otot menjadi kurang baik (Georgieff, 2001).
Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa 49% siswa yang
stunting memiliki status motorik halus terganggu dan didapatkan bahwa 30,6%
99
siswa yang tidak stunting sebanyak 15 anak (30.6%) memiliki status motorik
kasar normal.
Hal ini sejalan dengan penelitian Kartika, dkk (2011) didapatkan anak usia
3-5 tahun mengalami perkembangan motorik kasar lebih rendah pada anak yang
mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang tidak stunting, dimana anak
yang mengalami stunting mempunyai risiko 6 kali lebih besar mengalami
gangguan perkembangan motorik kasar dibandingkan dengan anak dengan status
gizi normal. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
stunting dengan perkembangan motorik kasar pada anak usia 3-5 tahun. Hal yang
serupa juga dibuktikan pada penelitian Olney et al (2007) bahwa anak di daerah
Zanzibari, Afrika Timur yang stunting memiliki skor Total Motor Activity (TMA)
atau jumlah aktivitas motorik lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lama
dalam melakukan gerakan-gerakan perpindahan.
Disimpulkan bahwa kondisi stunting pada siswa PAUD wilayah binaan
puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang serius
terdapat 36 orang (42,4%) jika dibandingkan Rencana Strategi Kementerian
Kesehatan tahun 2010-2014 yaitu target menurunnya prevalensi anak yang
pendek (stunting) adalah kurang dari 32% dan dari hasil uji bivariat menunjukkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara stunting dengan status motorik kasar
p=0,00 (p>0,05) dan dengan status motorik halus p=0,00 (p>0,05). Oleh karena
itu dari pihak PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
menyediakan alat ukur tinggi badan dan orang tua atau pengasuh sebaiknya rutin
100
mengukur tinggi badan anak yaitu setiap satu bulan sekali dan diarsipkan dalam
buku perkembangan siswa.
6.8 Gambaran Stimulasi Psikososial dan Hubungannya dengan Status Motorik
Kasar dan Halus
Menurut Soetjiningsih (2002) stimulasi adalah sebuah rangsangan dari
luar atau dari lingkungan yang merupakan hal penting dalam tumbuh kembang
anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat
berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapatkan
stimulasi. Dan psikososial menurut Supartini (2002) adalah peristiwa-peristiwa
sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka dapat
disimpulkan bahwa stimulasi psikososial adalah rangsangan dari peristiwa-
peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang
atau anak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa
diketahui lebih banyak responden yang menerima stimulasi psikososial cukup
yaitu 58 orang (52,9%) dibandingkan dengan responden yang menerima stimulasi
psikososial baik yaitu 8 orang (9,4%) dan responden yang menerima stimulasi
psikososial kurang yaitu 19 orang (22,4%).
Hal ini sejalan dengan penelitian Salimar, dkk (2009) bahwa anak usia 3-6
tahun pada keluarga miskin di kabupaten Bogor yang kurang menerima stimulasi
psikososial dari orang tua sebesar 49,3%, cukup sebesar 26% dan baik sebesar
24,7% dengan menggunakan kuesioner HOME Inventory.
101
Menurut Soetjiningsih (2002) stimulasi adalah sebuah rangsangan dari
luar atau dari lingkungan yang merupakan hal penting dalam tumbuh kembang
anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat
berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapatkan
stimulasi.
Dari hasil uji Chi-square, didapatkan bahwa stimulasi psikososial secara
signifikan berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue
0,011). Hal tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus dan
kasar yang terganggu cenderung karena stimulasi psikososial yang diberikan
keluarga kurang disebabkan oleh kurangnya keluarga menyediakan alat bermain
sebagai penunjang kegiatan stimulasi seperti bola, buku-buku, boneka, alat musik
dan kurangnya perhatian orang tua terhadap anak sehingga dapat mempengaruhi
status motorik halus.
Menurut Supartini dan Soetjiningsih (2002) Stimulasi psikososial adalah
rangsangan dari peristiwa-peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari
lingkungan luar diri seseorang atau anak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan anak. Status motorik sangat berkaitan erat dengan stimulasi
yang diberikan oleh pengasuh kepada anak. Kesempatan untuk menggerakkan
semua anggota tubuh perlu mendapat stimulasi sehingga akan mempercepat
tercapainya kemampuan motorik (Departemen Kesehatan RI, 2009). Hal ini dapat
disimpulkan bahwa stimulasi berperan terhadap perkembangan motorik dimana
Hurlock (2000) menjelaskan stimulasi sangat penting untuk mengoptimalkan
102
fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan perkembangan otak. Dimana
perkembangan motorik merupakan perkembangan dari pengendalian gerakan
jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi. Hal
ini terbukti dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa 49% siswa yang
menerima stimulasi psikososial kurang (57,9%) dan cukup (24,1%) dari keluarga
memiliki status motorik halus terganggu.
Hal ini sejalan dengan penelitian Gustiana et al (2011) bahwa anak pada
umur 3-5 tahun mengalami status motorik halus dan kasar kurang baik lebih
banyak pada anak yang jarang diberi stimulasi psikososial yaitu sebesar 56%,
sedangkan pada anak yang sering distimulasi psikososial yang mengalami
gangguan motorik halus hanya sebesar 24%. Anak yang mengalami status
motorik halus mempunyai risiko 4,03 kali mendapatkan stimulasi psikososial
yang jarang dibandingkan yang cukup, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara stimulasi psikososial dengan status motorik halus, hasil ini
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan
status motorik halus. Pada penelitian Gardner et al (2007) dengan uji anova juga
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial
dengan perkembangan motorik halus pada p<0.01 dan derajat kepercayaan 95%.
Disimpulkan bahwa dari hasil uji bivariat menunjukkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara stimulasi psikososial dengan status motorik
kasar p=0,003 (p<0,05) dan dengan status motorik halus p=0,011 (p<0,05) pada
siswa PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama. Oleh
103
karena itu dari Pihak PAUD sebaiknya memberikan saran kepada orang tua agar
lebih rajin mengenalkan macam bentuk kepada anak melalui waktu makan.
104
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan asupan zat gizi (energi,
protein, zat besi dan seng), stunting, dan stimulasi psikososial dengan status
motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama tahun 2014 maka didapatkan :
1. Dari analisis univariat yang telah dilakukan, responden yang memiliki status
motorik kasar yang normal (69,4%) dan terganggu (30,6%), motorik halus
yang normal (69,4%) dan terganggu (30,6%), asupan energi kurang (63,5%)
dan cukup (36.5%), asupan protein kurang (60%) dan cukup (40%), asupan
besi cukup (61,2%) dan kurang (38,8%), asupan seng kurang (52,9%) dan
cukup (47,1%), stunting (57,6%) dan tidak stunting (42,4%), stimulasi
psikososial cukup dari keluarga (68,2%) yang menerima stimulasi psikososial
baik dari keluarga (9,4%) dan yang menerima stimulasi psikososial kurang
dari keluarga yaitu 22,4%.
2. Dari analisis bivariat yang telah dilakukan, determinan yang berhubungan
dengan status motorik kasar dan halus diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Asupan energi dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan dengan
status motorik halus p=0,00 (p<0,05).
b. Asupan protein dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan dengan
status motorik halus p=0,00 (p<0,05).
105
c. Asupan zat besi dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan dengan
status motorik halus p=0,00 (p<0,05).
d. Stunting dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan dengan status
motorik halus p=0,00 (p<0,05).
e. Stimulasi psikososial dengan status motorik kasar p=0,003 (p<0,05) dan
dengan status motorik halus p=0,011 (p<0,05).
Sedangkan determinan yang tidak berhubungan dengan status motorik
kasar dan halus adalah asupan seng, tidak ada hubungan yang bermakna antara
asupan seng dengan status motorik kasar p=0,25 (p>0,05) dan dengan status
motorik halus p=0,16 (p>0,05).
7.2 Saran
1. Puskesmas wilayah Kecamatan Kebayoran Lama mewajibkan setiap PAUD
wilayah binaannya untuk mengikuti program SDIDTK setiap tahunnya untuk
memantau perkembangan anak khususnya perkembangan motorik.
2. Pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua atau
pengasuh siswa PAUD berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja
yang mengandung sumber zat gizi (energi, protein, besi dan seng) dan
memberikan simulasi kepada orang tua tentang bagaimana cara memenuhi
kebutuhan energi dalam sehari dengan tepat yang dibutuhkan oleh anak sesuai
umur masing-masing anak serta memberikan konseling kepada orang tua
apabila memiliki kesulitan dalam memberikan makanan pada anak.
106
3. Pihak PAUD sebaiknya menyediakan mewajibkan orang tua atau pengasuh
agar mengukur tinggi badan anak yaitu setiap satu bulan sekali dan diarsipkan
dalam buku perkembangan siswa.
4. Pihak PAUD sebaiknya memberikan saran kepada orang tua agar lebih rajin
mengenalkan macam bentuk kepada anak melalui waktu makan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Djaeni, Sediaoetama. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I.
Jakarta: Dian Rakyat
Adriana, Dian. 2011. Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta:
Salemba Medika
AKG. Angka Kecukupan Gizi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi WNPG X.
https://docs.google.com/file/d/0B_8e76vgfxWLUlhvOWRkX3JGQk0/edit?pli
=1 diakses tanggal 20 September 2013.
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ariawan, I. 1998. Besar dan Metoda Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok:
Jurusan Biostatistik dan Kependudukan FKM-UI
Azwar, Saifuddin. 2004. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Black, M. 1998. Zinc Deficiency and Child Development. American Journal of
Clinical Nutrition. Diakses pada tanggal 13 Spetember 2013 dari
http://ajcn.nutrition.org
Caldwell & Bradley. 2003. Home Observation and Measurment of Environment
(HOME). Arkansas.
Depkes RI. 2008. Instrumen Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang
Anak.
Depkes RI. 2009. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi Dini Tumbuh Kembang
Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar.
Georgieff, MK. 2001. Nutrition and Developing Brain: Nutrient Priorities and
Measurement. American Journal of Clinical Nutrition. Diakses pada tanggal
15 Spetember 2013 dari http://ajcn.nutrition.org
Gibson, R.S., 2005. Principle of Nutritional and Assessment. Oxford University
Press. Newyork :625.
Gustiana,et al. 2011. Hubungan Stunting dan stimulasi dengan perkembangan
motorik kasar pada Anak Taman Kanak-Kanak Usia 3-5 Tahun di Banda
Aceh. Nutrition department of Health Politechnic of Aceh. Diakses pada
tanggal 19 September 2013 dari http://www.nasuwakes.poltekkes-
aceh.ac.id/download/GUSTIANA%20S.SiT,M.Kes(2).pdf
Hastono, SP. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta: UI Press
Henningham, et al. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC
Hurlock, Elizabeth. 2000. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga
Husaini. 2002. Pernan Gizi Dan Pola Asuh Dalam Meningkatkan Kualitas Tumbuh
Kembang. Jakarta: Dian Rakyat
Kartika, Latinulu S. 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Motorik
Anak Usia 3-6 Tahun Di Keluarga Miskin Dan Tidak Miskin. Jurnal penelitian
gizi dan makanna. 25, 38-48.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-
2015. Diakses pada tanggal 3 april 2014 dari
http://www.bappenas.go.id/files/2013/5228/1645/4-konsep-paparan-ran-pg-
2011-2015revisi-28-feb__20110301150611__1.pdf
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Prosiding: Angka Kecukupan Gizi yang
Dianjurkan Bagi Bangsa Idonesia.
Latifah, M. 2007. Stimulasi Perkembangan Anak serta Pengukurannya. Institut
Pertanian Bogor
Mansyur, Herawati. 2009. Psikologi Ibu dan Anak untuk Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika
Nursalam.2005. Asupan Keperawatan Bayi dan anak. Jakarta: Salemba Medika
Olney, K. et al. 2007. Young Zanzibari Children with Iron Deficiency, Iron
Deficiency Anemia, Stunting, or Malaria have Lower Motor Activity Scores
and Spend Less Time in Locomotion. The Journal of Nutrition. Diakses pada
tanggal 14 September 2013 dari
http://jn.nutrition.org/content/suppl/2007/11/20/137.12.2756.DC1.html
Papalia, et al. 1998. Human Development. Boston: McGraw-Hill
Pudjadji. 2005. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak, Edisi Keempat. Depok: Balai Penerbit
FKUI
Riyanto, Agus. 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha
Medika
Rosmana. 2003. Hubungan Pola Gizi dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 bulan di
Kabupaten Serang Propinsi Banten Tahun 2004, Tesis, Program Pasca
Sarjana FKM UI, Depok.
Rumini, Sundari. 2004. Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta
Sadikin, Moh. 2004. Biokimia Enzim. Jakarta: Widya Medika
Sally, et al. 2005. Zinc supplementation and Psychosocial Stimulation: Effects on the
Development ofUndernourished Jamaican Children. American Journal of
Clinical Nutrition. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2013 dari
http://ajcn.nutrition.org/content/82/2/399.full.pdf+html?sid=51c20296-851c-
4920-aa72-7bebd71a516a
Schmidt, et al. 2004. Mental and Psychomotor Development in Indonesian Infants of
Mothers Supplemented with Vitamin A in Addition to Iron During Pregnancy.
British Journal of Nutrition. Diakses pada tanggal 20 September 2013 dari
http://journals.cambridge.org/action/displayFulltext?type=1&pdftype=1&fid=
912440&jid=BJN&volumeId=91&issueId=02&aid=912428
Soenardi, T. 2000. Makanan untuk Bayi. Jakarta: Gramendia Pustaka Utama
Soetardjo,dkk. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : Gramedia
Soetjiningsih, dkk. 2002. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC
Sulistyoningsih, Hariyani. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak.
Sumantri, Arif. 2011. Yogyakarta: Graha Ilmu. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Prenada Media
Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Susanty, M dan Margawati, A. 2012. Hubungan Derajat Stunting, Asupan Zat Gizi
dan Sosial Ekonomi Rumah Tangga dengan Perkembangan Motorik Anak
Usia 24-36 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Bugangan Semarang. Journal
of Nutrition College. Vol. 1, No. 1, diakses pada 13 September 2013 dari
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnc
Sutarta, 2008. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta: UI Press
Suyadi, M dan Ulfah M. 2013. Konsep Dasar PAUD. Bandung: Remaja Rosdakarya
Tambayong, Jan. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Westermack T, Antila E. 2000. Diet in Relation to the Nervous System. Human
Nutrition and Dietetik. New York: Churchill Living Stone.
Zaviera, Ferdinand. 2008. Mengenali dan Memahami Tumbuh Kembang Anak.
Yogyakarta: KATAHATI
LAMPIRAN 1
1FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM
Tanggal :
Hari ke :
Waktu Makan Menu Makanan
Banyaknya
URT Berat
(gram)
PAGI
SIANG
MALAM
LAMPIRAN 2
Koesioner HOME Inventory
A. STIMULASI PSIKOSOSIAL (Jika “Ya” beri tanda checklist)
E1. STIMULASI PEMBELAJARAN
Anak mempunyai mainan yang mengajarkan warna
Anak mempunyai mainan yang mengajarkan ukuran (kecil sampai besar)
Anak mempunyai tiga buah atau lebih puzzle
Anak mempunyai permainan rekaman, sedikitnya ada lima rekaman anak-anak
Anak mempunyai mainan yang memungkinkan berekspresi bebas (dokter,
polisi, masak-masakan dll)
Anak mempunyai mainan yang membantu mengajarkan angka
Anak mempunyai sedikitya 10 buku anak-anak
Sedikitnya ada 10 buku anak-anak tersedia di rumah
Keluarga membeli dan membaca koran setiap hari
Keluarga berlangganan sedikitnya satu majalah
Anak mempunyai mainan yang membantu mengajarkan nama-nama binatang
Subtotal
E2. STIMULASI BAHASA
Anak didiorong untuk belajar bentuk (bola, kubus, tabung dll)
Anak didorong untuk mempelajari alfabet/huruf (A sampai Z)
Orang tua mengajarkan anak cara bebrbicara sederhana (misal: silahkan,
terimakasih, ucapakan salam).
Ibu menggunakan tata bahasa dan pengucapan yang benar
Orang tua mendorong anak untuk berbicara dan meluangkan waktu untuk
mendengar
Suara orang tua dengan penyampaian perasaan positif pada anak (lembut dan
ramah).
Anak diizinkan untuk memilih menu sarapan atau makan siang
Subtotal
E3. LINGKUNGAN FISIK
Bangunan rumah aman dan baik
Lingkungan bermain di luar rumah aman
Kondisi rumah tidak gelap dan membuat anak jenuh
Tetangga menyenangkan dan ramah
Luas rumah cukup dan sesuai untuk penghuni (tidak sempit)
Ruangan tidak terlalu penuh dengan perabotan
Rumah bersih dan jauh dari kekacauan/gangguan
Subtotal
E4. KEHANGATAN DAN PERHATIAN
Orang tua memeluk anak 10-15 menit perhari
Orang tua berbicara dengan anak sedikitnya 3 kali setiap sehari
Orangtua menjawab pertanyaan anak secara verbal/bicara
Orangtua merespon setiap ucapan atau permintaan anak
Orang tua memuji kemampuan dan kualitas yang dimiliki anak
Orangtua mencium, memeluk dan menggendong anak setiap hari
Orangtua mengajarkan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan
Subtotal
E5. STIMULASI AKADEMIK
Anak didorong untuk belajar warna
Anak didorong untuk belajar pola bicara (menyanyi, bercerita dll)
Anak didorong untuk belajar komunikasi dengan temannya
Anak didorong untuk belajar angka
Anak didorong untuk belajar beberapa kata baru (misal: belajar kosa kata
bahasa Inggris).
Subtotal
E6. MODELING
Anak tidak memiliki masalah kurang nafsu makan
Anak menonton acara anak di TV
Orang tua memperkenalkan orang lain kepada anak
Anak selalu mengungkapkan perasaan negatif/masalah pada orangtua
Anak dapat memukul orangtua tanpa ada balasan yang kasar dari orang tua
Subtotal
E7. VARIETAS DAN PENGALAMAN
Anak memiliki alat musik mainan atau sungguhan
Anak di bawa keluar oleh anggota keluarga sedikitnya 2 kali dalam seminggu
(misal: jalan-jalan atau piknik)
Anak pernah melakukan perjalanan jauh
Anak pernah diajak ke museum
Anak diajak untuk membereskan mainannya tanpa bantuan
Orang tua selalu menambahakan dan mengajarkan kata-kata baru pada anak
(misalkan mulai mengajarkan kosa kata Bahasa Inggris)
Anak dapat memperlihatkan hasil karya seni yang telah dibuatnya
Anak makan bersama ayah dan ibu sedikitnya sekali dalam sehari
Orang tua membiarkan anak memilih beberapa makanan di toko
Subtotal
E8. PENERIMAAN
Orang tua tidak menhina atau mengejek anak lebih dari satu kali
Orang tua tidak menghukum anak dengan hukuman fisik
Orangtua tidak memukul atau menampar anak saat anak nakal.
Tidak lebih dari satu kali melakukan hukuman fisik dalam seminggu terakhir
Subtotal
Total Skor
LAMPIRAN 3
No. Motorik Halus Ya Tidak
1. Bila diberi pensil, apakah anak mencoret-coret kertas tanpa bantuan/ petunjuk? (O)
2. Dapatkah anak meletakkan 4 buah kubus satu persatu di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubus itu?
Kubus yang digunakan 2.5 – 5 cm. (O)
3. Buat garis lurus ke bawah sepanjang sekurang – kurangnya 2.5 cm.
Suruh anak menggambar garis lain di samping garis ini. (O)
Jawab YA bila ia menggambar garis seperti ini :
Jawab TIDAK bila ia menggambar garis seperti ini :
No. Motorik Kasar
1. Dapatkah anak melempar bola lurus kea rah perut atau dada dari jarak 1.5 meter (O)
2. Letakkan selembar kertas seukuran buku ini di lantai. Apakah anak dapat melompati bagian lebar kertas dengan
mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari? (O)
3. Dapatkah anak mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? (W)
Umur 42-47 bulan
No. Motorik Halus Ya Tidak
1. Jangan membantu anak dan jangan menyebut lingkaran. Suruh anak menggambar seperti contoh ini di kertas
kosong yang tersedia. Dapatkah anak menggambar lingkaran? (O)
Jawab : YA
Jawab : TIDAK
2. Dapatkah anak meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain tanpa menjatuhkan kubus tersebut?
Kubus yang digunakan 2.5 – 5 cm. (O)
No. Motorik Kasar
1. Dapatkah anak mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? (W)
2. Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpeangan. Jika perlu tunjukkan caranya dan beri anak kesempatan
melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau lebih? (O)
3 Letakkan selembar kertas seukuran buku ini di lantai. Apakah anak dapat melompati bagian lebar kertas dengan
mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari? (O)
Umur 48-53 bulan
No. Motorik Halus Ya Tidak
1. Jangan membantu anak dan jangan menyebut lingkaran. Suruh anak menggambar seperti contoh ini di kertas
kosong yang tersedia. Dapatkah anak menggambar lingkaran? (O)
Jawab : YA
Jawab : TIDAK
2. Dapatkah anak meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain tanpa menjatuhkan kubus tersebut?
Kubus yang digunakan 2.5 – 5 cm. (O)
Motorik Kasar
1. Dapatkah anak mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? (O)
2. Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpeangan. Jika perlu tunjukkan caranya dan beri anak kesempatan
melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau lebih? (O)
3 Letakkan selembar kertas seukuran buku ini di lantai. Apakah anak dapat melompati bagian lebar kertas dengan
mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari? (O)
Umur 54-59 bulan
No. Motorik Halus Ya Tidak
1. Dapatkah anak meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain tanpa menjatuhkan kubus tersebut?
Kubus yang digunakan 2.5 – 5 cm. (O)
2. Jangan mengoreksi/membantu anak. Jangan menyebut kata “lebih panjang”.
Perlihatkan gambar kedua garis ini pada anak. (O)
Tanyakan: “Mana garis yang lebih panjang?”
Minta anak menunjuk, putar lembar ini
dan ulangi pertanyaan tersebut.
Setelah anak menunjuk, putar lembar ini lagi
dan ulangi pertanyaan tadi.
Apakah anak dapat menunjuk garis yang
lebih panjang sebanyak 3 kali dengan benar?
3. Jangan membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar ini, suruh anak menggambar seperti contoh ini
di kertas kosong yang tersedia. Berikan 3 kali kesempatan. (O)
Apakah anak dapat menggambar seperti contoh ini?
Jawablah : YA
Jawablah: TIDAK
Motorik Kasar Ya Tidak
1. Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpeangan. Jika perlu tunjukkan caranya dan beri anak kesempatan
melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau lebih? (O)
Umur 60 bulan
No. Motorik Halus Ya Tidak
1. Jangan mengoreksi/membantu anak. Jangan menyebut kata “lebih panjang”.
Perlihatkan gambar kedua garis ini pada anak. (O)
Tanyakan: “Mana garis yang lebih panjang?”
Minta anak menunjuk, putar lembar ini
dan ulangi pertanyaan tersebut.
Setelah anak menunjuk, putar lembar ini lagi
dan ulangi pertanyaan tadi.
Apakah anak dapat menunjuk garis yang
lebih panjang sebanyak 3 kali dengan benar?
2. Jangan membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar ini, suruh anak menggambar seperti contoh ini
di kertas kosong yang tersedia. Berikan 3 kali kesempatan. (O)
Apakah anak dapat menggambar seperti contoh ini?
Jawablah : YA
Jawablah : TIDAK
Motorik Kasar
1. Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpeangan. Jika perlu tunjukkan caranya dan beri anak kesempatan
melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau lebih? (O)
2. Suruh anak melompat dengan satu kaki beberapa kali tanpa berpegangan (lompatan dengan dua kaki tidak ikut
dinilai). Apakah ia dapat melompat 2-3 kali dengan satu kali? (O)
LAMPIRAN 4. ANALISIS UNIVARIAT
1. Status Motorik Halus
motorik_halus
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid sesuai 59 48.4 69.4 69.4
terlambat 26 21.3 30.6 100.0
Total 85 69.7 100.0
Missing System 37 30.3
Total 122 100.0
2. Status Motorik Kasar
motorik_kasar
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid sesuai 49 40.2 57.6 57.6
terlambat 36 29.5 42.4 100.0
Total 85 69.7 100.0
Missing System 37 30.3
Total 122 100.0
3. Asupan Energi
asupan_energi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid kurang 54 44.3 63.5 63.5
cukup 31 25.4 36.5 100.0
Total 85 69.7 100.0
Missing System 37 30.3
Total 122 100.0
4. Asupan Protein
asupan_protein
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid kurang 54 44.3 63.5 63.5
cukup 31 25.4 36.5 100.0
Total 85 69.7 100.0
Missing System 37 30.3
Total 122 100.0
5. Asupan Zat Besi
asupan_besi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid kurang 33 27.0 38.8 38.8
cukup 52 42.6 61.2 100.0
Total 85 69.7 100.0
Missing System 37 30.3
Total 122 100.0
6. Asupan Seng
asupan_seng
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Kurang 45 36.9 52.9 52.9
Cukup 40 32.8 47.1 100.0
Total 85 69.7 100.0
Missing System 37 30.3
Total 122 100.0
7. Stunting
stunting
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid normal 36 29.5 42.4 42.4
stunting 49 40.2 57.6 100.0
Total 85 69.7 100.0
Missing System 37 30.3
Total 122 100.0
8. Stimulasi Psikososial
stimulasi_PsiKlp
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid
Stimulasi psikososial kurang
Jika skor 0-29 19 15.6 22.4 22.4
Stimulasi psikososial cukup
Jika skor 30-45 58 47.5 68.2 90.6
Stimulasi psikososial baik
Jika skor 46-55 8 6.6 9.4 100.0
Total 85 69.7 100.0
Missing System 37 30.3
Total 122 100.0
LAMPIRAN 5. ANALISIS BIVARIAT
1. Hubungan Status Motorik Halus dengan Asupan Energi
asupan_energi * motorik_halus Crosstabulation
motorik_halus
Total sesuai terlambat
asupan_energi kurang Count 29 25 54
% within asupan_energi 53.7% 46.3% 100.0%
cukup Count 30 1 31
% within asupan_energi 96.8% 3.2% 100.0%
Total Count 59 26 85
% within asupan_energi 69.4% 30.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 17.207a 1 .000
Continuity Correctionb 15.238 1 .000
Likelihood Ratio 21.282 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 17.005 1 .000
N of Valid Casesb 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.48.
b. Computed only for a 2x2 table
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
asupan_energi (kurang /
cukup)
.039 .005 .304
For cohort motorik_halus =
sesuai .555 .430 .717
For cohort motorik_halus =
terlambat 14.352 2.043 100.812
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
asupan_energi (kurang /
cukup)
.039 .005 .304
For cohort motorik_halus =
sesuai .555 .430 .717
For cohort motorik_halus =
terlambat 14.352 2.043 100.812
N of Valid Cases 85
2. Hubungan Status Motorik Halus dengan Asupan Protein
asupan_protein * motorik_halus Crosstabulation
motorik_halus
Total sesuai terlambat
asupan_protein kurang Count 26 25 51
% within asupan_protein 51.0% 49.0% 100.0%
cukup Count 33 1 34
% within asupan_protein 97.1% 2.9% 100.0%
Total Count 59 26 85
% within asupan_protein 69.4% 30.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 20.400a 1 .000
Continuity Correctionb 18.288 1 .000
Likelihood Ratio 24.976 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 20.160 1 .000
N of Valid Casesb 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.40.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
asupan_protein (kurang /
cukup)
.032 .004 .248
For cohort motorik_halus =
sesuai .525 .399 .692
For cohort motorik_halus =
terlambat 16.667 2.369 117.274
N of Valid Cases 85
3. Hubungan Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Besi
asupan_besi * motorik_halus Crosstabulation
motorik_halus
Total sesuai terlambat
asupan_besi kurang Count 9 24 33
% within asupan_besi 27.3% 72.7% 100.0%
cukup Count 50 2 52
% within asupan_besi 96.2% 3.8% 100.0%
Total Count 59 26 85
% within asupan_besi 69.4% 30.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 45.114a 1 .000
Continuity Correctionb 41.928 1 .000
Likelihood Ratio 49.053 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 44.583 1 .000
N of Valid Casesb 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.09.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for asupan_besi
(kurang / cukup) .015 .003 .075
For cohort motorik_halus =
sesuai .284 .162 .496
For cohort motorik_halus =
terlambat 18.909 4.781 74.784
N of Valid Cases 85
4. Hubungan Status Motorik Halus dengan Asupan Seng
asupan_protein * motorik_kasar Crosstabulation
motorik_kasar
Total sesuai terlambat
asupan_protein kurang Count 17 34 51
% within asupan_protein 33.3% 66.7% 100.0%
cukup Count 32 2 34
% within asupan_protein 94.1% 5.9% 100.0%
Total Count 49 36 85
% within asupan_protein 57.6% 42.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 30.871a 1 .000
Continuity Correctionb 28.432 1 .000
Likelihood Ratio 35.702 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 30.508 1 .000
N of Valid Casesb 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.40.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
asupan_protein (kurang /
cukup)
.031 .007 .146
For cohort motorik_kasar =
sesuai .354 .238 .527
For cohort motorik_kasar =
terlambat 11.333 2.913 44.089
N of Valid Cases 85
5. Hubungan Status Motorik Halus dengan Stunting
stunting * motorik_halus Crosstabulation
motorik_halus
Total sesuai terlambat
Stunting normal Count 34 2 36
% within stunting 94.4% 5.6% 100.0%
stunting Count 25 24 49
% within stunting 51.0% 49.0% 100.0%
Total Count 59 26 85
% within stunting 69.4% 30.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 18.431a 1 .000
Continuity Correctionb 16.443 1 .000
Likelihood Ratio 21.324 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 18.214 1 .000
N of Valid Casesb 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.01.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for stunting
(normal / stunting) 16.320 3.526 75.530
For cohort motorik_halus =
sesuai 1.851 1.391 2.463
For cohort motorik_halus =
terlambat .113 .029 .449
N of Valid Cases 85
6. Hubungan Status Motorik Halus dengan Stimulai Psikososial
stimulasi_PsiKlp * motorik_halus Crosstabulation
motorik_halus
Total sesuai terlambat
stimulasi_PsiKlp Stimulasi psikososial kurang
Jika skor 0-29
Count 8 11 19
% within stimulasi_PsiKlp 42.1% 57.9% 100.0%
Stimulasi psikososial cukup
Jika skor 30-45
Count 44 14 58
% within stimulasi_PsiKlp 75.9% 24.1% 100.0%
Stimulasi psikososial baik
Jika skor 46-55
Count 7 1 8
% within stimulasi_PsiKlp 87.5% 12.5% 100.0%
Total Count 59 26 85
% within stimulasi_PsiKlp 69.4% 30.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 9.042a 2 .011
Likelihood Ratio 8.679 2 .013
Linear-by-Linear Association 8.012 1 .005
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 9.042a 2 .011
Likelihood Ratio 8.679 2 .013
Linear-by-Linear Association 8.012 1 .005
N of Valid Cases 85
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 2.45.
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for
stimulasi_PsiKlp (Stimulasi
psikososial kurang Jika skor
0-29 / Stimulasi psikososial
cukup Jika skor 30-45)
a
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a
2*2 table without empty cells.
7. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi
asupan_energi * motorik_kasar Crosstabulation
motorik_kasar
Total sesuai terlambat
asupan_energi kurang Count 19 35 54
% within asupan_energi 35.2% 64.8% 100.0%
cukup Count 30 1 31
% within asupan_energi 96.8% 3.2% 100.0%
Total Count 49 36 85
% within asupan_energi 57.6% 42.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 30.597a 1 .000
Continuity Correctionb 28.127 1 .000
Likelihood Ratio 36.956 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 30.237 1 .000
N of Valid Casesb 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.13.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
asupan_energi (kurang /
cukup)
.018 .002 .143
For cohort motorik_kasar =
sesuai .364 .252 .525
For cohort motorik_kasar =
terlambat 20.093 2.893 139.551
N of Valid Cases 85
8. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein
asupan_protein * motorik_kasar Crosstabulation
motorik_kasar
Total sesuai terlambat
asupan_protein kurang Count 32 22 54
% within asupan_protein 59.3% 40.7% 100.0%
cukup Count 17 14 31
% within asupan_protein 54.8% 45.2% 100.0%
Total Count 49 36 85
asupan_protein * motorik_kasar Crosstabulation
motorik_kasar
Total sesuai terlambat
asupan_protein kurang Count 32 22 54
% within asupan_protein 59.3% 40.7% 100.0%
cukup Count 17 14 31
% within asupan_protein 54.8% 45.2% 100.0%
Total Count 49 36 85
% within asupan_protein 57.6% 42.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .158a 1 .691
Continuity Correctionb .029 1 .866
Likelihood Ratio .157 1 .692
Fisher's Exact Test .820 .432
Linear-by-Linear Association .156 1 .693
N of Valid Casesb 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.13.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
asupan_protein (kurang /
cukup)
1.198 .491 2.922
For cohort motorik_kasar =
sesuai 1.081 .733 1.594
For cohort motorik_kasar =
terlambat .902 .545 1.493
N of Valid Cases 85
9. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Besi
asupan_besi * motorik_kasar Crosstabulation
motorik_kasar
Total sesuai terlambat
asupan_besi kurang Count 1 32 33
% within asupan_besi 3.0% 97.0% 100.0%
cukup Count 48 4 52
% within asupan_besi 92.3% 7.7% 100.0%
Total Count 49 36 85
% within asupan_besi 57.6% 42.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 65.905a 1 .000
Continuity Correctionb 62.299 1 .000
Likelihood Ratio 78.673 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 65.130 1 .000
N of Valid Casesb 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.98.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for asupan_besi
(kurang / cukup) .003 .000 .024
For cohort motorik_kasar =
sesuai .033 .005 .227
For cohort motorik_kasar =
terlambat 12.606 4.907 32.383
N of Valid Cases 85
10. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Seng
asupan_seng * motorik_kasar Crosstabulation
motorik_kasar
Total sesuai terlambat
asupan_seng kurang Count 21 24 45
% within asupan_seng 46.7% 53.3% 100.0%
cukup Count 28 12 40
% within asupan_seng 70.0% 30.0% 100.0%
Total Count 49 36 85
% within asupan_seng 57.6% 42.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 4.722a 1 .030
Continuity Correctionb 3.815 1 .051
Likelihood Ratio 4.787 1 .029
Fisher's Exact Test .047 .025
Linear-by-Linear Association 4.667 1 .031
N of Valid Casesb 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.94.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for asupan_seng
(kurang / cukup) .375 .153 .917
For cohort motorik_kasar =
sesuai .667 .459 .968
For cohort motorik_kasar =
terlambat 1.778 1.029 3.071
N of Valid Cases 85
11. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Stunting
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 34.634a 1 .000
Continuity Correctionb 32.069 1 .000
Likelihood Ratio 40.026 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 34.226 1 .000
N of Valid Casesb 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.25.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for stunting
(normal / stunting) 38.533 8.178 181.566
For cohort motorik_kasar =
sesuai 3.085 2.009 4.738
For cohort motorik_kasar =
terlambat .080 .021 .312
N of Valid Cases 85
stunting * motorik_kasar Crosstabulation
motorik_kasar
Total sesuai terlambat
Stunting normal Count 34 2 36
% within stunting 94.4% 5.6% 100.0%
stunting Count 15 34 49
% within stunting 30.6% 69.4% 100.0%
Total Count 49 36 85
% within stunting 57.6% 42.4% 100.0%
12. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Stimulasi Psikososial
stimulasi_PsiKlp * motorik_kasar Crosstabulation
motorik_kasar
Total sesuai terlambat
stimulasi_PsiKlp Stimulasi psikososial kurang
Jika skor 0-29
Count 5 14 19
% within stimulasi_PsiKlp 26.3% 73.7% 100.0%
Stimulasi psikososial cukup
Jika skor 30-45
Count 37 21 58
% within stimulasi_PsiKlp 63.8% 36.2% 100.0%
Stimulasi psikososial baik
Jika skor 46-55
Count 7 1 8
% within stimulasi_PsiKlp 87.5% 12.5% 100.0%
Total Count 49 36 85
% within stimulasi_PsiKlp 57.6% 42.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 11.457a 2 .003
Likelihood Ratio 11.976 2 .003
Linear-by-Linear Association 11.011 1 .001
N of Valid Cases 85
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 3.39.
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for
stimulasi_PsiKlp (Stimulasi
psikososial kurang Jika skor
0-29 / Stimulasi psikososial
cukup Jika skor 30-45)
a
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a
2*2 table without empty cells.