Upload
chrysna-nay-na-sinulingga
View
37
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
NASKAH PUBLIKASIDiajukan KepadaProgram Studi Sains PsikologiProgram Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakartauntuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna MemperolehGelar Magister dalam Ilmu Psikologi
Citation preview
i
HUBUNGAN KEPERCAYAAN DIRI DAN DUKUNGAN
KELUARGA DENGAN KECEMASAN MATEMATIKA
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Kepada Program Studi Sains Psikologi
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Psikologi
Oleh:
MUH EKHSAN RIFAI S. 300 120 009
MAGISTER SAINS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014
ii
HUBUNGAN KEPERCAYAAN DIRI DAN DUKUNGAN
KELUARGA DENGAN KECEMASAN MATEMATIKA
NASKAH PUBLIKASI
Disusun dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat Magister Sains Psikologi Kekhususan Psikologi Pendidikan
Oleh:
MUH EKHSAN RIFAI S. 300 120 009
MAGISTER SAINS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
iii
1
HUBUNGAN KEPERCAYAAN DIRI DAN DUKUNGAN
KELUARGA DENGAN KECEMASAN MATEMATIKA
Muh Ekhsan Rifai/NIM S.300120009 Magister Sains Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRACT. The aim of the study is to determine the relationship between confidence and family support with math anxiety. The hypothesis tested is, there is a relationship between confidence and parents support with math anxiety. Kind of research used is quantitative correlation with data collection technique using a scale. Sampling technique used is cluster random sampling. The research location is in the city of Sukoharjo. The data is collected by three scales, namely confidence, parents support and math anxiety. Based on the analysis of the data using multiple regression analysis on confidence, there is a significant relationship between confidence and family support to math anxiety is 60,3%. The result of the research is also obtained a correlation between the value of the confidence with math anxiety (rxly) of -0,758 with the effective contribution of 54, 27%. The value of the correlation between family support with math anxiety (rx2y) is -0,250 with the effective contribution of 6,03%. The result showed that there is a significant relationship between confidence and family support with math anxiety. The result of relationship between confidence and family support is negative to math anxiety. The implication of the research in education is, math anxiety can be reduced by increasing confidence and family support.
Keywords: confidence, family support, math anxiety
PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai
peran yang penting bagi peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Suatu
bangsa akan tertinggal dari bangsa
lain apabila pendidikan rakyatnya
rendah dan tidak berkualitas.
Sebaliknya, suatu negara dan bangsa
akan menjadi maju apabila rakyatnya
memiliki pendidikan yang tinggi dan
berkualitas. Tanpa sumber daya
manusia yang berkualitas, suatu
bangsa akan tertinggal dari bangsa
lain dalam percaturan dan persaingan
kehidupan global yang makin
kompetitif. Kualitas sumber daya
manusia salah satunya dapat
diketahui berdasarkan kualitas
pendidikan suatu bangsa. Maju dan
mundurnya suatu bangsa juga dapat
2
diketahui berdasarkan kualitas
pendidikan.
Salah satu wujud dari
kemajuan suatu negara adalah
dengan adanya kemajuan di bidang
teknologi. Kemajuan teknologi akan
ada ketika kemajuan dalam bidang
science juga mengalami kemajuan,
termasuk di dalamnya ilmu
matematika. Matematika merupakan
salah satu disiplin ilmu yang sangat
berkembang pesat dalam mening-
katkan kemajuan suatu negara.
Pengembangan matematika
tidak lepas dari bagaimana
matematika diajarkan lembaga
pendidikan. Pendidikan matematika
di sekolah merupakan fondasi kuat
dalam pengembangan matematika di
suatu negara, termasuk Indonesia.
Usaha Indonesia dalam pengembang-
an sains dan matematika terlihat dari
pemberian mata pelajaran
matematika sejak dini. Nawangsari
(2001) berpendapat pemfokusan
pelajaran matematika disebabkan
matematika merupakan dasar untuk
mengembangkan ilmu sehingga
mutlak diperlukan tenaga yang
terampil dan pandai dalam
matematika. Bila perkembangan ilmu
matematika dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan maka akan
diperoleh generasi yang berkualitas
di masa yang akan datang. Namun,
usaha tidak selalu sama dengan yang
diharapkan. Terkadang hambatan
tersebut muncul, baik dari dalam diri
peserta didik maupun dari
lingkungan sekitar atau bahkan dari
matematika itu sendiri karena sudah
tidak dapat disangkal lagi bahwa
matematika bukan ilmu yang mudah
untuk dipelajari. Bila hambatan-
hambatan tersebut tidak segera
ditanggulangi maka hambatan-
hambatan tersebut dapat menim-
bulkan kecemasan pada bidang
matematika.
Russel (2010) menyatakan
bahwa kecemasan matematika tidak
jauh berbeda dengan demam
panggung (stagefright), atau dapat
digambarkan ketika seorang artis
merasa takut untuk menghadapi
banyak orang. Sedangkan kecemasan
matematika muncul ketika kurang
percaya diri dalam menyelesaikan
masalah-masalah matematika.
Seringkali kecemasan matematika
muncul karena pikiran-pikiran
negatif siswa atau pengalaman yang
memalukan ketika belajar matema-
tika ataupun juga karena guru yang
3
mengajar di tahun sebelumnya.
Kecemasan matematika ini dapat
menjadi hambatan bagi seseorang
untuk bisa memahami matematika.
Hasil studi pendahuluan pada
tanggal 16 Desember 2013 di SMA
XX Sukoharjo yang dilakukan
dengan meminta siswa kelas XI IPS
mengisi angket tentang jenis mata
pelajaran yang paling sulit
menunjukkan bahwa sebanyak 34 %
siswa menganggap matematika
sebagai pelajaran yang sulit.
Matematika memiliki persentase
paling besar jika dibandingkan
dengan mata pelajaran yang lain.
Urutan pelajaran dari pelajaran yang
paling sulit adalah matematika,
bahasa Inggris, sejarah, pendidikan
kewarganegaraan, bahasa Indonesia,
pendidikan agama, penjasorkes, seni
budaya, dan TIK. Persentase mata
pelajaran yang sulit menurut siswa
kelas XI IPS SMA XX Sukoharjo
tersaji pada Tabel 1.1.
Tabel 1. Persentase Mata Pelajaran yang Sulit Menurut Siswa Kelas XI
IPS SMA XX Sukoharjo.
Kode Jenis Mata Pelajaran (dalam %)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Persentase 34 5 5 11 21 13 3 3 5
Keterangan: 1: Matematika, 2: Bahasa Indonesia, 3: Pendidikan Agama, 4: Pendidikan Kewarganegaraan, 5: Bahasa Inggris, 6: Sejarah, 7: Seni Budaya, 8: TIK, dan 9: Penjasorkes.
Berdasarkan hasil peng-
ukuran juga menunjukkan bahwa
sebanyak 88 % siswa mengalami
kecemasan ketika menghadapi mata
pelajaran matematika. Adapun 12 %
siswa tidak mengalami kecemasan
ketika menghadapi mata pelajaran
matematika.
Tabel 2. Persentase Kecemasan Ketika Menghadapi Mata Pelajaran
Matematika Menurut Siswa Kelas XI IPS SMA XX Sukoharjo.
Kondisi Siswa
Cemas Tidak Cemas Persentase 88 % 12 %
Sebagian besar anak meng-
anggap matematika sebagai mata
pelajaran yang sulit. Selain itu,
beberapa anak minder dan tidak
percaya diri dalam mengikuti
pelajaran matematika. Jika mereka
diminta maju untuk mengerjakan
soal di papan tulis, mereka dengan
cepat mengatakan tidak bisa sebelum
mencobanya atau bahkan meminta
agar teman lain saja yang menger-
jakan. Berdasarkan hal-hal inilah,
penulis menduga bahwa kepercayaan
diri siswa terhadap mata pelajaran
matematika rendah. Kepercayaan diri
yang rendah tersebut dapat
menyebabkan terjadinya ketakutan
pada matematika.
4
Ketakutan pada pelajaran
matematika pada akhirnya memicu
terjadinya kecemasan. Hal ini juga
dirasakan oleh siswa-siswi di SMA
XX Sukoharjo. Terlebih lagi,
matematika merupakan salah satu
mata Ujian Nasional (UN). Harapan
untuk lulus dalam mata pelajaran
tersebut datang bukan hanya dari
siswa saja, tetapi juga dari guru
maupun orang tua. Keinginan untuk
mewujudkan harapan tersebut
seringkali menambah beban
kecemasan pada siswa, di mana
mereka merasa tertekan dengan
banyaknya latihan-latihan dan tugas-
tugas yang diberikan oleh guru,
tambahan-tambahan pelajaran di
sekolah maupun di rumah. Siswa
yang mengalami kecemasan
matematika menunjukkan sikap
enggan belajar, merasa rendah diri,
merasa tidak ada artinya belajar
matematika, kebingungan, gugup,
gelisah, khawatir, serta mengalami
gangguan fisiologis (Nawangsari,
2001).
Dukungan keluarga sangat
bermanfaat dalam pengendalian
seseorang terhadap tingkat
kecemasan dan dapat pula
mengurangi tekanan-tekanan yang
ada pada konflik yang terjadi pada
dirinya. Dukungan tersebut berupa
dorongan, motivasi, empati, ataupun
bantuan yang dapat membuat
individu yang lainnya merasa lebih
tenang dan aman. Dukungan
didapatkan dari keluarga yang terdiri
dari suami, orang tua, ataupun
keluarga dekat lainnya. Dukungan
keluarga dapat mendatangkan rasa
senang, rasa aman, rasa puas, rasa
nyaman dan membuat orang yang
bersangkutan merasa mendapat
dukungan emosional yang akan
mempengaruhi kesejahteraan jiwa
manusia. Dukungan keluarga
berkaitan dengan pembentukan
keseimbangan mental dan kepuasan
psikologis.
LANDASAN TEORI
Zbornik (2001) mendefinisi-
kan kecemasan matematika sebagai
gejala spesifik yang tersusun dari
komponen kecemasan terhadap tes
meliputi kekhawatiran (worry)
merupakan aspek kognitif dari
kecemasan, dan aspek emosional
(emotionality) serta sebuah aspek
unik yaitu kecemasan yang
berhubungan dengan bilangan.
Kecemasan pada tes matematika
5
menunjuk pada kecemasan akan
antisipasi, mengambil, dan menerima
hasil tes.
Math anxiety sering diartikan
sebagai perasaan cemas terhadap
matematika. Kecemasan matematika
(math anxiety) didefinisikan sebagai
perasaan ketegangan dan kecemasan
yang mengganggu terkait manipulasi
angka dan pemecahan masalah
matematika dalam berbagai
kehidupan sehari-hari maupun situasi
akademik. Kecemasan matematika
dapat menyebabkan lupa dan
kehilangan akan kepercayaan diri
(Tobias. S, 1993). Menurut Wood
(2012), kecemasan matematika
adalah fenomena yang relatif sering
berhubungan dengan prestasi
matematika. Adapun menurut
Ashcraft (2009) kecemasan
matematika adalah reaksi negatif
seseorang terhadap situasi yang
melibatkan angka, matematika, dan
perhitungan matematika.
Kecemasan matematika
dapat diketahui berdasarkan gejala
yang terjadi. Gejala kecemasan
matematika menurut Cavanagh &
Sparrow (2011) adalah:
1. Gejala secara psikologis,
meliputi perasaan dari
ketegangan, ketakutan dan
kehawatiran kepercayaan diri
yang rendah, cara pandang
negatif terhadap pembelajaran
matematika, merasa terancam,
gagal untuk meraih potensi,
sertaterjadi reduksi dalam daya
ingat.
2. Gejala secara fisik, meliputi
tangan berkeringat, jantung
berdebar, muak, serta kesulitan
dalam bernapas.
Haber dan Runyon (dalam
Suryani, 2007) bahwa jika seseorang
mengalami perasaan gelisah, gugup,
atau tegang dalam menghadapi suatu
situasi yang tidak pasti, berarti orang
tersebut mengalami kecemasan, yaitu
ketakutan yang tidak menyenangkan,
atau suatu pertanda sesuatu yang
buruk akan terjadi. Harber dan
Runyon mengemukakan empat
dimensi kecemasan, yaitu:
1. Dimensi kognitif, yaitu perasaan
tidak menyenangkan yang
muncul dalam pikiran seseorang
sehingga ia mengalami rasa risau
dan khawatir. Kekhawatiran ini
dapat terbentang mulai dari
tingkat khawatir yang ringan, lalu
panik, cemas, dan merasa akan
terjadi malapetaka. Saat individu
6
mengalami kondisi ini ia tidak
dapat berkonsentrasi, mengambil
keputusan, dan mengalami
kesulitan untuk tidur.
2. Dimensi motorik, yaitu perasaan
tidak menyenangkan yang
muncul dalam bentuk tingkah
laku, seperti meremas jari,
menggeliat, menggigit bibir,
menjentikkan kuku, dan gugup.
3. Dimensi somatik, yaitu perasaan
tidak menyenangkan yang
muncul dalam reaksi fisik
biologis, seperti mulut terasa
kering, kesulitan bernapas,
berdebar, tangan dan kaki dingin,
pusing seperti hendak pingsan,
banyak keringat, tekanan darah
naik, otot tegang terutama kepala,
leher, bahu, dan dada, serta sulit
mencerna makanan.
4. Dimensi afektif yaitu perasaan
tidak menyenangkan yang
muncul dalam bentuk emosi,
perasaan tegang karena luapan
emosi yang berlebihan seperti
dihadapkan pada suatu teror.
Luapan emosi ini biasanya
berupa kegelisahan atau
kekhawatiran bahwa ia dekat
dengan bahaya padahal
sebenarnya tidak terjadi apa-apa.
Menurut Alsa (2006),
kepercayaan diri diartikan sebagai
suatu keyakinan seseorang untuk
mampu berperilaku sesuai dengan
yang diharapkan dan diinginkan.
Apabila seseorang tidak memiliki
kepercayaan diri maka banyak
masalah akan timbul karena
kepercayaan diri merupakan aspek
kepribadian dari seseorang yang
berfungsi penting untuk
mengaktualisasikan potensi yang
dimilikinya. Kepercayaan diri adalah
satu aspek kepribadian yang
terbentuk melalui interaksi individu
dengan lingkungannya.
Menurut George dan
Cristian, kepercayaan pada diri
sendiri adalah kemampuan berpikir
rasional (rational belief) berupa
keyakinan-keyakinan, ide-ide dan
proses berpikir yang tidak
mengandung unsur keharusan yang
menuntut individu sehingga
menghambat proses perkembangan
dan ketika menghadapi problem atau
persoalan mampu berpikir, menilai,
menimbang, menganalisa, memu-
tuskan, dan melakukan. Rasa percaya
diri (self-confidence) adalah dimensi
evaluatif yang menyeluruh dari diri.
Rasa percaya diri juga disebut
7
sebagai harga diri atau gambaran diri
(Santrock, 2003).
Kepercayaan diri terdiri atas
beberapa aspek. Menurut Lauster
(2002), aspek-aspek kepercayaan
diri meliputi:
1. Optimis, merupakan sikap positif
seseorang yang selalu berpan-
dangan baik dalam menghadapi
segala hal tentang diri, harapan
dan kemampuan.
2. Keyakinan pada kemampuan
sendiri, merupakan sikap positif
seseorang yang mengerti dengan
sungguh-sungguh akan apa yang
dilakukannya.
3. Toleransi, adalah sikap meng-
hargai, menenggang, tidak mau
capur tangan serta membiarkan
tindakan, sikap dan pendapat
orang lain.
4. Ambisi normal, adalah suatu
keadaan seseorang yang memiliki
keinginan untuk mencapai segala
sesuatu yang dicita-citakan.
5. Tanggung jawab, merupakan
kesediaan seseorang untuk
menanggung segala sesuatu yang
telah menjadi konsekuensinya.
6. Rasa aman, adalah keadaan
seseorang yang merasa tidak
takut dan khawatir mengenai
pemuasan kebutuhannya
dikemudian hari dan mampu
menghadapi segala sesuatu
dengan tenang.
7. Mandiri, adalah sikap positif
seseorang untuk tidak bergantung
pada orang lain.
8. Mudah menyesuaikan diri,
merupakan sikap positif yang
dimiliki oleh seseorang
untukmelakukan interaksi dengan
lingkungan sekitarnya sehingga
merasa sesuai dan cocok dengan
lingkungan tersebut.
Dukungan keluarga diartikan
sebagai bantuan yang diberikan oleh
anggota keluarga yang lain sehingga
akan memberikan kenyamanan fisik
dan psikologis pada orang yang
dihadapkan pada situasi stres
(Taylor, 2006). Aspek dukungan
keluarga menurut Sarafino (2004),
Hensarling (2009) adalah:
1. Aspek empathethic (emosional)
Aspek dukungan ini
melibatkan ekspresi, rasa empati
dan perhatian terhadap
seseorang sehingga membuatnya
merasa lebih baik, memperoleh
kembali keyakinannya, merasa
dimiliki dan dicintai pada saat
stres. Komunikasi dan interaksi
8
antara anggota keluarga
diperlukan untuk memahami
situasi anggota keluarga.
2. Aspek encouragement (peng-
hargaan)
Aspek ini terjadi melalui
ekspresi berupa sambutan yang
positif dengan orang-orang di
sekitarnya, dorongan atau
pernyataan setuju terhadap ide-
ide atau perasaan individu.
Perbandingan yang positif
dengan orang lain seperti
pernyataan bahwa orang lain
mungkin tidak dapat bertindak
lebih baik. Dukungan ini
membuat seseorang merasa
berharga, kompeten dan
dihargai.
3. Aspek facilitative (instrumental)
Aspek facilitative (instru-
mental) merupakan dukungan
yang bersifat nyata, di mana
dukungan ini berupa bantuan
langsung, contoh seseorang
memberikan/meminjamkan
uang. Dukungan ini dapat juga
berupa bantuan mengerjakan
tugas tertentu pada saat
mengalami stres. Aspek ini
memperlihatkan dukungan dari
keluarga dalam bentuk nyata
terhadap ketergantungan anggota
keluarga.
4. Aspek participative (partisipasi)
Dukungan ini berupa
pemberian saran percakapan
atau umpan balik tentang
bagaimana seseorang melakukan
sesuatu, misalnya ketika
seseorang mengalami kesulitan
dalam pengambilan keputusan,
dia akan menerima saran dan
umpan balik tentang ide-ide dari
keluarganya. Menurut Peterson
& Bredow (2009), aspek
partisipasi ini terdiri dari
pemberian nasihat, pengarahan,
atau keterangan yang diperlukan
oleh individu yang bersangkutan
serta untuk mengatasi masalah-
masalah pribadinya.
Berdasarkan beberapa teori
yang telah diuraikan, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah Ada
hubungan kepercayaan diri dan
dukungan keluarga dengan
kecemasan matematika. Adapun
hipotesis minornya adalah:
1. Ada hubungan negatif
kepercayaan diri dengan
kecemasan matematika. Artinya,
9
makin tinggi kepercayaan diri,
maka kecemasan matematika
makin rendah.
2. Ada hubungan negatif dukungan
keluarga dengan kecemasan
matematika. Artinya, makin
tinggi dukungan keluarga, maka
kecemasan matematika makin
rendah.
METODE PENELITIAN
Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah kepercayaan diri
dan dukungan keluarga. Adapun
variabel tergantungnya adalah
kecemasan matematika.
Populasi adalah seluruh
subyek penelitian (Arikunto, 2010).
Populasi pada penelitian ini adalah
peserta didik kelas XI IPS di SMA
XX Sukoharjo yang terbagi dalam 5
kelas.
Sampel dalam penelitian ini
berjumlah 132 siswa yang terkumpul
dalam 4 kelas XI IPS Sekolah
Menengah Atas di SMA XX
Sukoharjo Tahun Ajaran 2013/2014.
Sampel dipilih secara acak.
Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan
teknik studi populasi, yaitu teknik
pengambilan sampel yang dilakukan
dengan mengambil semua elemen
yang ada dalam wilayah penelitian
(Sabar, 2007).
Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah meng-
gunakan kuesioner, sedangkan
instrumen penelitian dalam
penelitian ini dengan menggunakan
skala.
Skala yang digunakan dalam
penelitian ini adalah skala kecemasan
matematika, skala kepercayaan diri,
dan skala dukungan keluarga yang
akan dibuat sendiri oleh peneliti.
Skala kecemasan matematika dibuat
berdasarkan aspek kognitif dan aspek
emosional (Zbornik, 2001). Skala
kepercayaan diri dibuat berdasarkan
aspek optimis, keyakinan pada
kemampuan sendiri, toleransi, ambisi
normal, tanggung jawab, rasa aman,
mandiri, dan mudah menyesuaikan
diri (Lauster, 2002). Adapun skala
dukungan keluarga diperoleh
berdasarkan aspek emosional, aspek
penghargaan, aspek instrumental,
dan aspek partisipasi (Hensarling,
2009).
Analisis data dilakukan
dengan bantuan program komputer
Statistical Packages for Social
Science (SPSS) Versi 17.0.
10
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil analisis data menggunakan SPSS Versi 17.0 dapat
dirangkum pada Tabel 3.
Tabel 3.Rangkuman Hasil Analisis Data. Analisis Variabel Nilai Interpretasi
Hasil Anareg
Kecemasan matematika dengan kepercayaan diri dan dukungan keluarga Kepercayaan diri dengan kecemasan matematika
Koefisien R=0,776 (p=0.000;p
11
PEMBAHASAN
Hasil analisis regresi
berganda dengan menggunakan
program SPSS 17 for Windows,
diperoleh nilai koefisien korelasi R =
0,776; F regresi = 97,773; p = 0,000
(p < 0,01). Berarti ada hubungan
yang sangat signifikan antara
kepercayaan diri dan dukungan
keluarga dengan kecemasan
matematika. Berdasarkan hasil
analisis tersebut menunjukkan bahwa
hipotesis yang berbunyi ada
hubungan antara kepercayaan diri
dengan kecemasan matematika
diterima.
Menurut Lauster (2002),
kepercayaan diri merupakan suatu
sikap atau keyakinan atas
kemampuan diri sendiri sehingga
dalam tindakan-tindakannya tidak
terlalu cemas, merasa bebas untuk
melakukan hal-hal yang sesuai
keinginan dan tanggung jawab atas
perbuatannya, sopan dalam
berinteraksi dengan orang lain,
memiliki dorongan prestasi, serta
dapat mengenal kelebihan dan
kekurangan diri sendiri. Lauster
menggambarkan bahwa orang yang
mempunyai kepercayaan diri
memiliki ciri-ciri tidak memen-
tingkan diri sendiri (toleransi), tidak
membutuhkan dorongan orang lain,
optimis, dan gembira.
Hakim (2002), memperkuat
penelitian ini dengan mengung-
kapkan ciri-ciri yang tampak pada
individu yang kurang memiliki
kepercayaan diri, seperti mudah
cemas dalam menghadapi persoalan
dengan tingkat kesulitan tertentu,
gugup dan terkadang bicara gagap,
sering bereaksi negatif dalam
menghadapi masalah, misalnya
dengan menghindari tanggung jawab
atau mengisolasi diri, yang
menyebabkan rasa tidak percaya
dirinya semakin buruk. Untuk
meningkatkan kepercayaan diri,
dapat dilakukan dengan cara-cara
berikut.
1. Mengenali kepribadian klien
dengan baik dengan segala
kelebihan dan kekurangannya.
2. Menelusuri pemahaman klien
terhadap kelebihan-kelebihan
yang dimiliki dan keyakinannya
untuk berbuat sesuatu dengan
memanfaatkan kelebihan yang
dimiliki itu.
3. Pemahaman dan reaksi positif
klien terhadap kelemahan-
kelemahan yang dimilikinya.
12
4. Pengalaman responden dalam
menjalani berbagai aspek
kehidupan dengan menggunakan
segala kelebihan yang ada pada
dirinya sehingga tidak menim-
bulkan rasa sulit menyesuaikan
diri.
Kecemasan timbul karena
keadaan di mana individu merasa
terancam oleh salah satu hal yang
dianggapnya menakutkan dan
menyakitkan yang berasal dari luar
maupun dari dalam (di sini individu
mengalami kecemasan ketika
menghadapi pelajaran matematika).
Akibatnya, timbul kekhawatiran,
kegelisahan yang menganggu
ketenangan dan kesehatan yang
terkadang menimbulkan kekacauan
fisik.
Berkaitan pula dengan salah
satu faktor yang memengaruhi
kecemasan, yaitu faktor kognitif di
mana faktor ini menjelaskan bahwa
kecemasan dititikberatkan pada
proses persepsi atau tingkah laku
yang mungkin menganggu
pertimbangan atau perkiraan
seseorang tentang bahaya yang dia
hadapi. Seseorang mungkin juga
berlebihan dalam mempertimbang-
kan alam atau kenyataan dari
ancaman atau ketidakmampuan
dirinya untuk mengatasi ancaman
dengan cara yang efektif.
Ketika seseorang yang
mengalami kecemasan yang
dipengaruhi oleh faktor kognitif
maka orang tersebut akan mengalami
proses persepsi atau tingkah laku
yang mungkin menganggu
pertimbangan atau perkiraan
seseorang tentang bahaya yang
dihadapi. Secara sederhana, orang
tersebut mengalami sebuah
perubahan dalam hal berpikir dan
berperilaku. Begitu juga pada orang
yang yang mengalami kecemasan
terhadap pelajaran matematika di
mana orang tersebut dapat
kehilangan rasa percaya dirinya.
Pelajaran matematika dapat dianggap
sebagai sebuah bahaya yang sedang
dihadapi sehingga timbul kecemasan
dan hilangnya kepercayaan diri.
Ketika seseorang meng-
alami kecemasan terhadap pelajaran
matematika maka kepercayaan diri
yang kurang dapat memperkuat
kecemasan yang sedang dialami
karena salah satu hal yang
berhubungan dengan kecemasan
adalah tingkat kepercayaan diri
seseorang. Namun, bagi orang yang
13
memiliki tingkat kepercayaan diri
yang tinggi, kecemasan menjadi
lemah atau berkurang karena
gangguan kecemasan berupa
kurangnya rasa percaya diri itu tidak
memperkuat kecemasan atau
mengkondisikan kecemasan.
Hasil analisis koefisien
determinasi didapat nilai R2 = 0,603
(60,3 %). Hal ini menunjukkan
bahwa peranan atau sumbangan
efektif dari kepercayaan diri dan
dukungan keluarga terhadap
kecemasan matematika adalah
sebesar 60,3 %. Sedangkan sisanya
(39,7 %) dapat dipengaruhi atau
dijelaskan oleh variabel-variabel lain
di luar variabel kepercayaan diri dan
dukungan keluarga, misalnya peran
dan model guru mengajar, serta
konsep diri siswa.
Berdasarkan perhitungan
menunjukkan bahwa sumbangan
efektif kepercayaan diri terhadap
kecemasan matematika adalah 54,27
%. Adapun sumbangan dukungan
keluarga terhadap kecemasan
matematika sebesar 6,03 %. Total
sumbangan efektif kepercayaan diri
dan dukungan keluarga terhadap
kecemasan matematika adalah
sebesar 60,3 %.
Sumbangan efektif dukung-
an keluarga terhadap kecemasan
matematika rendah dapat
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
karena orang tua yang memang
jarang memberikan dukungan kepada
anak-anaknya dan siswa yang kurang
memperhatikan bentuk dukungan
orang tua kepada dirinya. Beberapa
siswa merasa orang tuanya tidak
pernah menanyakan kesulitannya
pada pelajaran di sekolah, orang
tuanya tidak memberi bantuan ketika
mereka menemui kesulitan pada
pelajaran di sekolah, dan orang
tuanya tidak pernah member-
kan penghargaan baik berupa hadiah
maupun pujian ketika mereka
mencapai prestasi. Hal ini
mengindikasikan rendahnya persepsi
siswa mengenai dukungan sosial
orang tua.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis
data dan pembahasan dari penelitian
ini, maka dapat disimpulkan bahwa
hipotesis mayor yang diajukan teruji.
Ada hubungan yang sangat
signifikan antara kepercayaan diri
dan dukungan keluarga dengan
kecemasan matematika. Makin tinggi
14
kepercayaan diri dan dukungan
keluarga, maka makin rendah
kecemasan matematika.
Hipotesis minor pertama
yang diajukan penelitian juga teruji.
Ada hubungan negatif yang sangat
signifikan antara kepercayaan diri
dengan kecemasan matematika.
Makin tinggi kepercayaan diri siswa,
maka makin rendah kecemasan
matematika pada siswa. Hipotesis
minor kedua juga teruji. Ada
hubungan negatif yang sangat
signifikan antara dukungan keluarga
dengan kecemasan matematika.
Makin tinggi dukungan keluarga,
maka makin rendah kecemasan
matematika.
Hasil penelitian ini diha-
rapkan mampu memberikan kons-
tribusi bagi siswa, orang tua, dan
sekolah. Siswa diharapkan dapat
mempertahankan kepercayaan diri
yang tinggi. Caranya, antara lain
dengan yakin terhadap kemampuan
diri sendiri, memiliki penilaian yang
positif terhadap diri sendiri, serta
bertindak mandiri. Berbekal
kepercayaan diri yang baik maka
dapat membantu siswa dalam meng-
atasi kecemasan matematika.
Orang tua diharapkan lebih
memperhatikan, membimbing, dan
memberikan dukungan terhadap
anaknya dalam masalah pendidikan.
Ketika mengalami krisis percaya diri
dan kecemasan terhadap masalah
pendidikan, orang tua harus mampu
memberikan dukungan (mensuport).
Orang tua juga diharapkan senantiasa
menghargai prestasi putra-putri yang
telah mereka raih.
Sekolah mempunyai peran
yang sangat penting terhadap
perkembangan siswa-siswinya. Pihak
sekolah diharapkan dapat membantu
meningkatkan kepercayaan diri pada
setiap siswanya, khususnya ketika
mengalami kecemasan menghadapi
suatu jenis mata pelajaran. Salah
satunya adalah ketika mengalami
kecemasan matematika.
DAFTAR PUSTAKA Alsa, A. (2006). Hubungan Antara
Dukungan Sosial Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Remaja Penyandang Cacat Fisik. Jurnal Psikologi, 1, 47-58.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ashcraft, M.H., and Alex M. Moore. (2009). Mathematics Anxiety and the Affective Drop in
15
Performance. Journal of Psychoeducational Assessment, 27; 197-207 DOI: 10.1177/0734282908330580
Cavanagh & Sparrow, (2011). Mathematics Anxiety: Scaffolding A New Construct Model. Mathematics: Traditions and [New] Practices. http://www.questia.com
Hakim, T. (2002). Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara.
Hensarling, J. (2009). Development and psychometric Testing of Henserlings Diabeter Family Support Scale, a Dissertation. Degree of Doctor of Psilodophy in The Graduate School of The Texas Womens University. Diakses dari www.proquest.com pada tanggal 8 Agustus 2013
Lauster, P. (2002). Tes Kepribadian (Alih Bahasa: D.H Gulo). Edisi Bahasa Indonesia. Cetakan Ketigabelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Nawangsari, N.A.F. (2001). Pengaruh Self Efficacy dan Expectancy-Value terhadap Kecemasan Menghadapi Pelajaran Matematika. Jurnal Insan Media Psikologi, 3, 75-88.
Peterson, Sandra J. & Bredow, Timothy S. (2009). Middle Range Theories, Application to Nursing Research. Second edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.
Russel, D. (2010). Math Anxienty (online). Tersedia http://math. about.com
Safarino, E.P. (2004). Health Psychology: Biopsychosocial Interaction. (2 nd). New York: John Wilky and Sons Inc.
Santrock, J.W. (2003). Adolecense (Perkembangan Remaja). Terjemahan oleh Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Suryani, A.O. (2007). Gambaran Sikap terhadap Hidup Melajang dan Kecemasan akan Ketidakhadiran Pasangan pada Wanita Lajang Berusia di Atas 30 Tahun. Jurnal Ilmiah Psikologi Manasa, 1, 75-93.
Taylor, S. (2006). Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana Predana Media.
Tobias, Sheila. (1993). Overcoming Math Anxiety: Revised and Expanded. New York: W.W.Norton & Company.
Wood, G., Pedro Pinheiro-Chagas, Annelise Julio-Costa, Letcia RettoreMicheli, Helga Krinzinger, Liane Kaufmann, KlausWillmes, and Vitor Geraldi Haase. (2012). Math Anxiety Questionnaire: Similar Latent Structure in Brazilian and German School Children. Hindawi Publishing Corporation Child Development Research. 2012, 1-10 DOI:10.1155/2012/610192
Zbornik, J. (2001). Make Sure Your Math Anxiety Diagnosis, Remediation Add Up. http://www.lkwpdl.org/schools/specialed/zbornik2.htm.12/8/2007.