Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN KETERATURAN POLA MAKAN DENGAN
KEJADIAN DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA REMAJA :
SISTEMATIC REVIEW
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Keperawatan
DINI ERIKA SANDI
NIM AK.1.16.012
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2020
i
HUBUNGAN KETERATURAN POLA MAKAN DENGAN
KEJADIAN DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA REMAJA :
SISTEMATIC REVIEW
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) Pada
Program Studi Sarjana Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Bhakti
Kencana
Oleh :
DINI ERIKA SANDI
NIM AK.1.16.012
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2020
ii
iii
iv
v
iv
ABSTRAK
Dispepsi merupakan kumpulan dari gejala berupa nyeri atau rasa terbakar
di epigastrium, rasa kembung, cepat merasa kenyang, perut terasa penuh bisa
disertai mual. Ketidakteraturan pola makan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kejadian sindroma dispepsia funsional. DEPKES RI 2015
menyatakan bahwa dispepsia di Indonesia menempati urutan ke-15 dari 50
penyakit yang menyertai pasien rawat inap terbanyak. Sindroma Dispepsia masuk
dalam 10 besar penyakit yang terdapat di Prov. Jawa Barat tepatnya di Kabupaten
Bandung yang berada pada urutan Pertama pada Bulan Januari 2020 yaitu
sebanyak 410 kasus. Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara keteraturan
pola makan dengan kejadian dispepsia. Metode : Jenis penelitian menggunakan
metode Systematic Literature Review. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 244
jurnal yang didapatkan melalui situs Google Scholar, Semantik Scholar dan
Science Direct, dengan sampel sebanyak 14 jurnal dengan rekomendasi kuat.
Teknik pengumpulan sampel menggunakan Purposive Sampling. Evaluasi
kelayakan data menggunakan JBI Critical Appraisal Checlist for Analythical
Cross Sectional Studies.
Hasil Penelitian (result) : Hasil penelitian dari 14 jurnal yang telah diuji,
rata-rata terdapat hubungan atau keterkaitan antara pola makan dengan kejadian
dispepsia fungsional. Analisa : Penelitian ini menunjukan bahwa yang termasuk
kedalam faktor yang dapat memicu kejadian dispepsia adalah ketidakteraturan
pola makan seperti jeda waktu makan yang lama, aktivitas yang padat atau jadwal
yang tidak teratur, makanan yang tinggi akan lemak, memakan makanan yang
pedas asam dan meminum minuman yang mengandung karbonisasi. Kesimpulan
& Saran : Dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara pola makan
dengan kejadian dispepsia fungsional pada remaja. Diperlukan penelitian lebih
lanjut untuk melihat lebih jauh mengenai faktor risiko dispepsia seperti gaya
hidup (aktivitas dan diet), menerapkan pola makan yang benar dan sehat, serta
faktor social budaya dimana mereka hidup.
Keyword : keteraturan pola makan, dispepsia fungsional, remaja
Daftar Pustaka :
3 buku (2010-2020)
3 website (2010-2020)
14 jurnal (2010-2020)
v
ABSTRACK
Dyspepsy is a collection of symptoms in the form of pain or burning
sensation in the epigastrium, feeling of gas, feeling full quickly, feeling full
stomach can be accompanied by nausea. Dietary irregularity is one of the factors
that influence the incidence of functional dyspepsia syndrome. The 2015
Indonesian Ministry of Health stated that dyspepsia in Indonesia ranks 15th out of
50 diseases that accompany the most hospitalized patients. Dyspepsia syndrome is
included in the top 10 diseases found in Prov. West Java, to be precise, in
Bandung Regency, which is in the first place in January 2020, with a total of 410
cases. Objective : To determine the relationship between dietary regularity and
the incidence of dyspepsia. Methods: This type of research uses themethod
Systematic Literature Review. The population in this study were 244 journals
obtained through the Googlewebsites Scholar, Semantic Scholar and Science
Direct, with a sample of 14 journals with strong recommendations. The sample
collection technique used purposive sampling. Evaluation of the feasibility of data
using the JBI Critical Appraisal Checlist for Analythical Cross Sectional Studies.
Research results (result) : The results of research from 14 journals that
have been tested, on average there is a relationship or association between diet
and the incidence of functional dyspepsia. Analysis : This study shows that factors
that can trigger dyspepsia are dietary irregularities such as long eating breaks,
busy activities or irregular schedules, foods that are high in fat, eating spicy and
acidic foods and drinking healthy drinks. contains carbonization. Conclusion &
Suggestion: It can be concluded that there is a relationship between diet and the
incidence of functional dyspepsia in adolescents. Further research is needed to
look further about the risk factors for dyspepsia such as lifestyle (activity and
diet), adopting a correct and healthy diet, and socio-cultural factors in which they
live.
Keywords: dietary regularity, functional dyspepsia, teenangers
Bibliography :
3 books (2010-2020)
3 websites (2010-2020)
14 journals (2010-2020)
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdu lillahi rabbil „alamiin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah STW yang telah melimpahkan taufik dan hidayahnya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir “SKRIPSI” sebagai salah satu syarat untuk
mencapai sidang skripsi dengan judul penelitian “Hubungan Keteraturan Pola
Makan dengan Kejadian Dispepsia Fungsional pada Remaja : Sistematic Review”
shalawat serta salam tak lupa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW.
Penulisan skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik tanpa
adanya bantuan, bimbingan, informasi dan motivasi dan do‟a dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dengan
hati yang tulus kepada :
1. H. Mulyana, SH., M.Pd., M.H. Kes sebagai Ketua Yayasan Adhi Guna
Kencana Bandung
2. Dr.Entris Sutrisno, S.Farm., M.H. Kes Apt sebagai Rektor Universitas
Bhakti Kencana
3. Rd. Siti Jundiah, S.Kp., M.Kep sebagai Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Bhakti Kencana
4. Lia Nurlianawati, S.Kep., Ners., M.Kep sebagai Ketua Program Studi
Sarjana Keperawatan dan Pendidikan Profesi Ners Fakultas Keperawatan
dan Pendidikan Profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Bhakti
Kencana. Juga sebagai dosen Pembimbing I yang senantiasa memberikan
bimbingan sertapengarahan kepada peneliti
vii
5. Imam Abidin, S.Kep., Ners selaku dosen Pembimbing II yang senantiasa
memberikan bimbingan dan pengarahan kepada peneliti
6. Seluruh dosen, staff pengajar dan karyawan Program Studi Sarjana
Keperawatan Universitas Bhakti Kencana Bandung
7. Kedua orang tua dan keluarga yang selalu mendoakan, memberi dukungan
moril, materil, spiritual, motivasi tanpa henti bagi peneliti selama
menempuh pendidikan di Universitas Bhakti Kencana Bandung
8. Sahabat-sahabat, teman seperjuangan, dan tak lupa kepada hamba Allah
yang selalu memberikan semangat serta motivasi untuk terus berjuang
dalam mengerjakan skripsi ini sehinga memberikan motivasi kepada
peneliti untuk terus berjuang.
Semoga Allah SWT, senantiasa memberikan balasan amal baik atas
kebaikan kalian. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh
dari kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan
kritik dari semua yang membaca skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis, khususnya dan umumnya bagi para pembaca.
Bandung, 20 Agustus 2020
Penulis
Dini Erika Sandi
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................................... i
Lembar Persetujuan ........................................................................................................ ii
Lembar Pengesahan ........................................................................................................ iii
Abstrak ........................................................................................................................... iv
Kata Pengantar ............................................................................................................... vi
Daftar Isi ........................................................................................................................ viii
Daftar Tabel ................................................................................................................... xi
Daftar Bagan .................................................................................................................. xii
Daftar Lampiran ............................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 8
1.3.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 8
1.3.2 Tujuan Khusus......................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 8
1.4.1 Manfaat Teoritis/Ilmiah .......................................................................... 8
1.4.2 Manfaat Praktik ...................................................................................... 8
1. Manfaat Bagi Peneliti ........................................................................ 9
2. Manfaat Bagi Penelitian Selanjutnya .................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka ................................................................................................... 10
2.1.1 Konsep Dasar Dispepsia ....................................................................... 10
1. Definisi Dispepsia ........................................................................... 10
ix
2. Epidemiologi .................................................................................. 11
3. Etiologi ........................................................................................... 12
4. Klasifikasi....................................................................................... 13
5. Faktor yang Mempengaruhi Dispepsia Fungsional .......................... 14
6. Manifestasi Klinis Dispepsia Fungsional ......................................... 16
7. Diagosis Dispepsia Fungsional ........................................................ 18
8. Penatalaksanaan Klinis Dispepsia Fungsional ................................. 21
9. Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 24
2.1.2 Konsep Dasar Pola Makan .................................................................... 25
1. Definisi Pola Makan ....................................................................... 25
2. Klasifikasi Pola Makan ................................................................... 25
3. Faktor Pemicu Produksi Asam Lambung ........................................ 32
4. Gizi Seimbang ................................................................................ 34
2.1.3 Hubungan Keteraturan Pola Makan dengan Terjadinya Dispepsia
Fungsional ............................................................................................ 35
2.2 Kerangka Konseptual......................................................................................... 37
BAB III METODELOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian................................................................................................. 39
3.2 Variabel Penelitian ........................................................................................... 39
3.2.1 Variabel Independen ............................................................................. 39
3.2.2 Variabel Dependen ............................................................................... 39
3.3 Populasi dan Sampel ........................................................................................ 40
3.3.1 Populasi Penelitian ............................................................................... 40
3.3.2 Teknik Sampling .................................................................................. 40
1. Kriteria Inklusi ................................................................................ 40
2. Kriteria Ekslusi ............................................................................... 41
3.3.3 Sampel ................................................................................................. 41
3.4 Tahapan Literature Review .............................................................................. 41
3.4.1 Merumuskan Masalah ........................................................................... 41
3.4.2 Mencari dan Mengumpulkan Data / Loterature ..................................... 41
3.4.3 Mengevaluasi Kelayakan Data / Literature ............................................ 43
x
3.5 Analisa Data..................................................................................................... 44
3.6 Etika Penelitian ................................................................................................ 46
3.7 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 46
3.7.1 Lokasi Penelitian .................................................................................. 46
3.7.2 Waktu Penelitian .................................................................................. 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil .............................................................................................................. 47
4.1.1 Analisis Prisma Flow Diagram ............................................................. 48
4.1.2 Critical Appraisal Hubungan Keteraturan Pola Makan dengan
Kejadian Dispepsia Fungsional ............................................................ 49
4.2 Pembahasan ................................................................................................... 62
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 77
5.2 Saran ................................................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 79
LAMPIRAN .................................................................................................................. 82
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 2.1 Penyebab Sindrom Dispepsia 12
Tabel 2.2 Kriteria Dispepsia Fungsional 19
Tabel 2.3 Pembagian Jam Makan yang Tepat 26
Tabel 3.1 Metode PICO dalam Pencarian Jurnal 42
Tabel 4.1 Critical Appraisal 49
xii
DAFTAR BAGAN
Bagan Halaman
Bagan 2.1 Kerangka Konsep 38
Bagan 3.1 Contoh Prisma Flow Diagram 45
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1 Instrumen Penelitian 83
Lampiran 2 Format Checlist JBI 86
Lampiran 3 Tabel Analisis JBI 100
Lampiran 4 Penilaian JBI 102
Lampiran 5 Riwayat Hidup 105
Lampiran 6 Lembar Konsultasi Pembimbing 1 106
Lampiran 7 Lembar Konsultasi Pembimbing 2 109
Lampiran 8 Persayaratan Daftar Sidang 113
Lampiran 9 Surat Pernyataan Publikasi Ilmiah 114
Lampiran 10 Surat Pernyataan Keaslian Penelitian 115
Lampiran 11 Form Bukti menjadi Oponen 116
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat diantaranya adalah meningkatkan sumber daya manusia,
kualitas hidup, usia harapan hidup, tingkat kesejahteraan keluarga dan
masyarakat, serta kepedulian akan pola hidup sehat (Departemen
Kesehatan dalam Fithriyana, 2018). Salah satu upaya untuk menciptakan
pola hidup sehat adalah dengan memenuhi kebutuhan tubuh agar lebih
baik dengan cara mengatur kegiatan makan (Departemen Pendidikan
Indnesia dalam Irfan, 2019).
Pola makan ini berkaitan erat dengan kegiatan atau kebiasaan
makan. Pola makan terdiri dari : frekuensi makan, jenis makanan dan
porsi atau jumlah makan (Departemen Kesehatan RI dalam Irfan, 2019).
Dalam Ilmu Gizi mengatakan frekuensi makan tetap yaitu 3 kali dalam
sehari diselingi dengan makanan ringan, diantaranya jadwal makan yang
ideal dijalankan agar mempunyai pola makan yang baik adalah 5-6 kali
sehari, yaitu : sarapan pagi, snack, makan siang, snack, snack sore,
makan malam dan bila perlu boleh ditambah dengan snack malam
(Ayunda dalam Adhy, 2016). Sementara itu jenis makanan dapat
diklasifikasikan menjadi 2 yaitu makanan utama dan makanan selingan.
Makanan utama adalah makanan yang biasa dikonsumsi seperti makanan
pokok, lauk-pauk, sayuran, dan buah-buahan yang dilakukan 3 kali
2
dalam sehari yaitu pagi, siang, dan malam, sedangkan makanan selingan
adalah makanan kecil yang dibuat sendiri maupun yang dibeli seperti
keripik, kue-kue, dan cemilan lainnya (Yatmi, F. 2017 dalam Irfan 2019).
Jumlah makanan, jumlah makanan bergantung dari kandungan jumlah
kalori dalam setiap makanan yang dimakan. Jumlah kalori dalam
makanan sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan tubuh kita
(Freedomsiana, 2018). Menurut Adhy Tjah Kla-x (2016) mengatakan
penyakit akibat pola makan yang tidak sehat serta tidak teratur
diantaranya ada : Penyakit Jantung Koroner, Diabetes dan Lambung,
dimana pada lambung dapat mengakibatkan berbagai masalah seperti
gastritis (peradangan pada lapisan lambung), ulkus peptikum (luka pada
lapisan lambung atau usus dua belas jari), dan sindrom dispepsia (Adhy,
2016).
Menurut WHO Prevalensi dispepsia sendiri secara global
bervariasi antara 7-45 % tergantung pada definisi yang digunakan dan
lokasi geografis. Secara Global terdapat sekitar 15-40% penderita
dyspepsia dan hampir setiap tahun mengenai 25% populasi didunia. Di
Asia prevalensi dyspepsia 8-30% (Purnamasari dalam Penelitian Rahma
Nugroho, 2018). Di Negara barat prevalensi yang dilaporkan 23 % dan
41 %. Di daerah Asia Pasifik, dispepsia juga merupakan keluhan yang
banyak dijumpai prevalensinya sekitar 10-20 % (Dalam Penelitian Reny
Chaidir, 2015). Depkes RI mengatakan bahwa dispepsia di Indonesia
menempati urutan ke-15 dari 50 penyakit yang menyertai pasien rawat
inap terbanyak (Susanti, (2011) dalam Penelitian Reny Chaidir, 2015).
3
Di Indonesia diperkirakan hampir 30% pasien dyspepsia (Sudoyo dalam
Penelitian Rahma Nugroho, 2018). Menurut data Dinas Kesehatan
Kabupaten Bandung Disipepsia termasuk kedalam 10 Penyakit terbesar
di Kabupaten Bandung dan memempati urutan ke 4 yaitu sebanyak
130,188 kasus dengan 8,21% (Profil Kesehatan Dinas Kabupaten
Bandung 2019). Puskesmas Rancaekek termasuk kedalam Puskesmas
dengan Kasus Penderita Dispepsia nya termasuk kedalam 10 besar
mengalami kenaikan seriap bulannya dan menempati urutan pertama
pada bulan Januari tahun 2020 yaitu sebanyak 410 kasus dengan kriteria
jens kelamin perempuan sebanyak 285 orang dan laki-laki 185 kasus,
sementara pada bulan Februari berada di urutan kedua yaitu sebanyak
334 kasus (Profil Kesehatan Puskesmas Rancaekek DTP, 2020).
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman berupa nyeri atau rasa
terbakar di epigastrium, cepat kenyang, rasa kembung di saluran cerna
atas, rasa penuh setelah makan, mual, muntah, serta sendawa yang
dirasakan pada abdomen bagian atas (Konsesus Nasional dalam Irfan,
W. 2019). Dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu Dispepsia
Organik yang disebabkan karena adanya kelainan organik pada saluran
pencernaan dan Dispepsia Fungsional yang tidak terdapat kelainan
organik atau kelainan struktural pada saluran pencernaan tetapi dapat
diakibatkan karena pengaruh psikologis atau ketidakteraturan pola
makanan (Konsesus Nasional dalam Irfan, W. 2019).
4
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak
dibicarakan dan potensial yang berhubungan dengan dispepsia
fungsional yaitu hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, psikologis,
faktor lingkungan dan pola makan (Djojoningrat dalam Astri Dewi,
2017). Pola makan yang tidak teratur seperti meninggalkan sarapan pagi
karena kegiatan aktivitas yang padat dapat menyebabkan sindrom
dispepsia (Reshetnikov dalam Astri Dewi, 2017). Pada umumnya
seseorang melakukan makan utama 3 kali dalam sehari yaitu pagi,
siang dan malam. Penundaan waktu makan yang lama atau frekuensi
makan kurang dari 3 kali sehari sehingga akan berpengaruh dalam
pengisian dan pengosongan lambung. Jeda waktu makan yang baik
berkisar 4-5 jam (Sherwood. L, dalam Irfan, 2019). Kebiasaan dalam
meninggalkan sarapan pagi dan makan pagi tergesa merupakan hal yang
tidak boleh dilakukan karena proses metabolisme tubuh akan terganggu
(Wirakusumah dalam Astri Dewi, 2017). Jarang sarapan di pagi hari
beresiko terkena kejadian dispepsia, itu disebabkan karena pada pagi hari
tubuh memerlukan banyak kalori, apabila tidak makan dapat
menimbulkan produksi asam lambung (Harahap, 2009 dalam Astri
Dewi, 2017). Sedangkan apabila makanan dikonsumsi secara terburu-
buru maka akan menyebabkan produksi gas usus lebih banyak dari
biasanya (Salma dalam Astri Dewi, 2017).
Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam
lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali
waktu makan sehingga produksi asam lambung terkontrol. Kebiasaan
5
makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk
beradaptasi. Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan
berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung
sehingga timbul gastritis dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal
tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bisa
naik ke korongkongan yang menimbulkan rasa panas terbakar (Firman
dalam Astri Dewi, 2017).
Jenis-jenis makanan juga dapat mengakibatkan timbulnya
dispepsia. Beberapa jenis makanan tersebut adalah makanan yang
berminyak dan berlemak. Makanan ini berada di lambung lebih lama
dari jenis makanan lainnya. Makanan tersebut lambat dicerna dan
menimbulkan peningkatan tekanan di lambung. Proses pencernaan ini
membuat katup antara lambung dengan kerongkongan (lower
esophageal sphincter/LES) melemah sehingga asam lambung dan gas
akan naik ke kerongkongan (Firman dalam Astri Dewi, 2017).
Jenis makanan/minuman tertentu seperti minuman bersoda,
durian, sawi, nangka, kubis dan makanan sumber karbohidrat seperti
beras ketan, mie, singkong, dan talas dapat menyebabkan perut
kembung. Makanan yang sangat manis seperti kue tart dan makanan
berlemak seperti keju, gorengan merupakan makanan yang lama di
cerna/sulit dicerna menyebabkan hipersekresi cairan lambung yang dapat
membuat nyeri pada lambung (Salma dalam Astri Dewi, 2017).
Kafein adalah salah satu dari zat sekretagogue yang merupakan
salah satu penyebab antrum mukosa lambung menyekresikan hormon
6
gastrin. Hormon gastrin yang dikeluarkan oleh lambung mempunyai efek
sekresi getah lambung yang sangat asam dari bagian fundus lambung
(Guyton dalam penelitian Astri Dewi, 2017). Kafein dapat merangsang
sekresi getah lambung yang sangat asam walaupun tidak ada makanan
(Sherwood dalam Astri Dewi, 2017).
Mengonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan
merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus yang
berkontraksi. Hal ini akan menimbulkan rasa panas dan nyeri di ulu hati
yang disertai dengan mual dan muntah. Bila kebiasaan mengonsumsi
makanan pedas secara berlebihan lebih dari satu kali dalam seminggu
selama minimal enam bulan dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan
iritasi pada lambung (Suparyanto dalam Astri Dewi, 2017).
Menurut Djojoningrat (2009) dalam penelitian yang dilakukan
oleh Astri Dewi (2017) mengatakan bahwa remaja merupakan salah satu
kelompok yang beresiko untuk terkena sindrom dispepsia (Djojoningrat,
2009 dalam penelitian Astri Dewi, 2017). Remaja adalah masa peralihan
dari anak-anak ke masa dewasa yang berusia antara 12-21 tahun
termasuk Mahasiswa (Astri Dewi, 2017). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Wahdaniah Irfan (2019) yang mengatakan bahwa pada
usia remaja cenderung memiliki aktivitas yang sangat padat sehingga
akan berpengaruh terhadap pola makan dan perilaku hidup sehatnya.
Aktivitas dan jadwal kegiatan yang padat membuat remaja menunda
waktu makan bahkan tidak jarang mereka lupa untuk makan, sehingga
hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kerja lambung terutama sekresi
7
asam lambung sehingga akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi
dengan waktu makan (Irfan, 2019).
Hasil penelitian tersebut didukung dengan hasil penelitian dari
Nasution dkk (2015) yang mengatakan bahwa pelajar yang memiliki
pola makan yang tidak teratur cenderung mengalami sindrom dispepsia
dibandingkan dengan yang memiliki pola makan teratur. Apabila pola
makan teratur maka akan memudahkan kerja lambung dalam mengenali
waktu makan, sehingga produksi asam lambung bisa terkontrol. Apabila
pola makan tidak teratur berlangsung lama maka produksi asam lambung
akan meningkat sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung yang dapat
menyebabkan gastritis dan dapat menjadi tukak peptik yang dapat
menyebabkan mual dan rasa tidak enak serta nyeri pada gastrointestinal
bagian atas (Nasution, 2015). Berdasarkan latar belakang diatas peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian terkait hubungan keteraturan pola
makan dengan kejadian dispepsia fungsional.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka didapatkan
rumusan maslah sebagai berikut : “Apakah terdapat Hubungan antara
Keteraturan Pola Makan dengan Kejadian Dispepsia Fungsional”.
8
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari studi literature review ini adalah untuk mencari
Hubungan antara Keteraturan Pola Makan dengan Kejadian
Dispepsia Fungsional.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis Keteraturan Pola Makan
2. Menganalisis Sindrom Dispepsia Fungsional
3. Menganalisis Hubungan Keteraturan Pola Makan Dengan
Kejadian Dispepsia Fungsional
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis/Ilmiah
Manfaat teoritis dari literature ini adalah memberikan
sumbangan ilmiah dan menjadi literature pada pengembangan ilmu
keperawatan sesuai dengan masalah yang diteliti khususnya
mengenai hubungan keteraturan pola makan dengan kejadian
dispepsia fungsional.
1.4.2 Manfaat Praktik
Diharapkan hasil literature ini dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
9
1. Manfaat Bagi Peneliti
Diharapkan literatu dapat menambah wawasan dan
pengalaman terkait hubungan antara ketaraturan pola makan
dengan dispepsia fungsional.
2. Manfaat Bagi Penelitian Selanjutnya
Hasil literatur ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
referensi untuk melakukan penelitian sejenis dan lebih lanjut
dalam bidang yang sama.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KAJIAN PUSTAKA
2.1.1 KONSEP DASAR DISPEPSIA
1. Definisi Dispepsia
Dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau rasa tidak
nyaman yang berpusat pada perut bagian atas, yang dapat
disertai dengan keluhan-keluhan lain, seperti perut terasa cepat
penuh (fullness), kembung (bloating), ataupun cepat merasa
kenyang, meskipun baru makan lebih sedikit dari porsi
biasanya (early satiety); dan tidak aberhubungan dengan fungsi
kolon (Bayupurnama, 2019).
Menurut Konsensus Nasional, dispepsia merupakan rasa
tidak nyaman berupa nyeri atau rasa terbakar di epigastrium,
cepat kenyang, rasa kembung di saluran cerna atas, rasa penuh
setelah makan, mual, muntah, serta sendawa yang dirasakan
pada abdomen bagian atas (Konsesus Nasional dalam Irfan, W.
2019).
Berdasarkan Kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional
didefinisikan sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih
dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan,
cepat merasa kenyang, atau perasaan terbakar di ulu hati, yang
berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal
11
mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Astri
Dewi, 2017).
Istilah dispepsia menggambarkan keluhan atau kumpulan
gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman
di epigastrium, rasa mual, muntah, kembung, cepat merasa
kenyang, terasa penuh di epigastrium, sendawa dan rasa panas
yang menjalar di dada (Djojodiningrat, 2009 dalam Atri Dewi,
2017).
2. Epidemiologi
Dispepsia (yang disebut juga sebagai Uninvestigated
Dyspepsia atau dispepsia yang belum dilakukan pemeriksaan
diagnostic secara pasti) merupakan kasus yang sangat sering
dijumpai di masyarakat. Masyarakat Indonesia sering
menyebutnya sebagai gejala “maag”. Tenaga medis terkadang
secara tidak tepat dapat menyebutnya dengan “gastritis”, Istilah
“gastritis” seharusnya dipakai apabila kita telah melakukan
pemeriksaan obyektif, setidaknya dengan barium meal
(Oesofagus-Maag-Duodenum / OMD ) atau dengan standar
emas pemeriksaan, yaitu endoskopi saluran cerna bagian atas
dan patologi jaringan saluran cerna bagian atas (gaster atau
duodenum). Di Amerika Serikat prevalensi dipepsia mencapai
25%, diluar penyakit refluks esophagitis (gastroesophageal
reflux disease, GERD), Laporan dari sebuah senter di Indonesia
12
menunjukan angka prevalensi dispepsia mencapai 40%
(Bayupurnama, 2019).
3. Etiologi
Sindrom dispepsia dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai
penyakit, baik penyakit yang berasal dari dalam lambung, diluar
lambung, ataupun manifestasi sekunder dari penyakit sistemik
(Djojoningrat, 2014 dalam penelitian Ayang, 2015). Berikut ini
merupakan berbagai penyebab dari sindrom dispepsia yang
dapat dilihat di tabel dibawah ini :
Tabel 2.1 Penyebab SindromDispepsia
Esofagogastro-duodenal Tukak peptic, gastritis, tumor dan
sebagainya
Obat-obatan Anti inflamasi non steroid, teofilin,
digitalis, antibiotik dan sebagainya
Hepatobilier Hepatitis, kolesistitis, tumor,
disfungsi sfingter oddi dan
sebagainya
Pankreas Pankreatitis, keganasan
Penyakit Sistemik Diabetes mellitus, penyakit tiroid,
gagal ginjal, penyakit jantung
koroner, dan lain-lain
Gangguan Fungsional Dispepsia fungsional, irritable
bowel syndrome
Sumber : Djojoningrat, 2014 dalam penelitian Ayang, 2015
13
4. Klasifikasi
Dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu
dispepsia organik yang disebabkan karena adanya kelainan
organik pada saluran pencernaan dan dispepsia fungsional yang
tidak terdapat kelainan organik atau kelainan struktural pada
saluran pencernaan tetapi dapat diakibatkan karena pengaruh.
psikologis atau intoleransi makanan (Konsesus Nasional dalam
Irfan, W. 2019).
Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni
dispepsia organik dan dispepsia fungsional, jika kemungkinan
penyakit organik telah berhasil dieksklusi (Montalto M dkk
dalam Astri Dewi, 2017). Dispepsia organik penyebab
dispepsianya sudah jelas, misalnya ada ulkus peptikum,
karsinoma lambung, kholelithiasis, yang bisa ditemukan secara
mudah. Dispepsia fungsional penyebab dispepsia tidak
diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan
gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukannya
adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik
(Tarigan dalam Astri Dewi, 2017).
Menurut dr. Putut Bayupurnama (2019) dispepsia
fungsional merupakan suatu sindrom klinik dispepsia yang
didefinisikan sebagai gejala pada perut bagian atas yang
bersifat kronik dan kambuhan yang tidak dapat diketahui
14
penyebabnya dengan alat-alat diagnosis konvensional
(Bayupurnama, 2019).
5. Faktor yang Mempengaruhi Dispepsia
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling
banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan
dispepsia fungsional yaitu hipersensitivitas viseral, disfungsi
autonom, psikologis, pola makan dan faktor lingkungan
(Djojoningrat dalam Astri Dewi, 2017).
a. Hipersensitivitas Visceral
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor,
diantaranya ; reseptor kimiawi, mekanik dan nociceptor.
Beberapa pasien dengan keluhan dispepsia mempunyai
ambang nyeri yang lebih rendah. Peningkatan persepsi
tersebut tidak terbatas pada distensi mekanis, tetapi juga
dapat nutrisi, atau hormon, seperti kolesitokinin dan
glucagon-like peptide (Djojoningrat dalam Astri Dewi
2017).
Berdasarkan studi, Hipersensitivitas viseral memainkan
peranan penting pada semua gangguan fungsional dan
dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan dispepsia
fungsional (Djojoningrat dalam Astri Dewi 2017).
b. Disfungsi Autonomy
Disfungsi persarafan vagal memiliki peran dalam
terjadinya hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus
15
dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga
berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal
lambung sewaktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat
kenyang (Djojoningrat dalam Astri Dewi 2017).
c. Psikologi
Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi
gastrointestinal dan mencetusakan keluhan pada orang
sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung
yang mendahului mual setelah stimulus stres sentral. Tetapi
korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi
otonom dan motilitas masih kontroversial (Djojoningrat
dalam Astri Dewi 2017).
d. Lingkungan
Penularan kuman H. pylori ini terjadi secara oral
melalui sarana, air, muntahan, saliva, terutama
terkontaminasi feses sehingga faktor resiko secara
epidemiologi untuk terinfeksi H. pylori salahsatunya adalah
kondisi lingkungan yang tidak memenuhi standar kesehatan
(Bayupurnama, 2019).
e. Pola Makan
Faktor makanan menjadi penyebab potensial dari gejala
dispepsia fungsional. Frekuensi makan yang kurang dari 3
x sehari, serta tidak sarapan pagi dan sarapan pagi yang
16
tergesa dapat mengganggu proses metabolisme tubuh.
Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah
pola makan karena adanya intoleransi terhadap beberapa
makanan khususnya makanan berlemak yang telah
dikaitkan dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan
prevalensi yang dilaporkan lebih besar dari 40% termasuk
rempah-rempah, alkohol, makanan pedas, coklat, paprika,
buah jeruk, dan ikan (Chan & Burakoff, 2010 dalam Astri
Dewi, 2017).
6. Manifestasi Klinis Dispepsia Fungsional
Gejala dan tanda dispepsia sangat bervariasi, tetapi sesuai
definisi gejala tersebut bersumber di daerah epigastrium. Gejala
yang termasuk dispepsia menurut Bayupurnama (2019) adalah:
a. Rasa nyeri atau tidak nyaman di ulu hati (epigastric pain /
discomfort)
b. Rasa penuh di ulu hati (epigastric fullness)
c. Perut cepat merasa kenyang dan berhenti makan padahal
porsi makan biasanya belum habis (early satiety)
d. Rasa penuh setelah makan (postprandial fullness)
e. Kembung (bloating)
f. Sering sendawa (belching)
g. Mual (nausea), dan
h. Muntah (vomitus).
17
Gejala-gejala tersebut memburuk dengan aktivitas makan
dan mungkin juga disertai penurunan berat badan. Ada
referensi yang mengelompokan gejala-gejala tersebut menjadi :
a. Gangguan pengosongan lambung yang terlambat (delayed
gastric emptying), yaitu dispepsia fungsional dengan gejala
seperti :
1) Mual
2) Muntah
3) Perut terasa penuh sehabis makan
b. Hipersensitif terhadap distensi gaster, yaitu dispepsia
fungsional dengan gejala seperti :
1) Rasa nyeri
2) Sering sendawa
3) Penurunan berat badan
c. Akomodasi yang lemah (impaired accommodation), yaitu
dispepsia fungsional dengan gejala seperti :
1) Early Satiety
2) Penurunan berat badan
Gejala-gejala dispepsia diatas bisa muncul tunggal atau
hanya beberapa gejala sekaligus pada satu orang pasien. Gejala
dispepsia juga ada yang masuk kategori gejala alarm (alarm
features), menurut Bayupurnama (2019) yaitu sebagai berikut :
18
a. Perdarahan warna hitam per rectal (melena) pada usia
diatas 45 tahun
b. Penurunan berat badan >10%
c. Anoreksia atau early satiety
d. Muntah persisten
e. Anemia atau perdarahan
f. Ada massa di abdomen atau ada limfadenopati
g. Disfagia atau odinofagia progresif
h. Riwayat kelarga kanker saluran cerna bagian atas
i. Operasi lambung atau keganasan sebelumnya
j. Riwayat ulkus peptikum sebelumnya
Diantara gejala alarm tersebut, penurunan berat badan,
muntah persisten, dan disfagia merupakan tiga gejala yang
menonjol pada kanker saluran cerna bagian atas dan disfagia
merupakan gejala yang paling menonjol pada kasus kanker
esophagus (Bayupurnama, 2019).
7. Diagnosis Dispepsia Fungsional
Diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan berdasarkan
Kriteria Roma IV (2016) yang tersaji dalam Tabel 2.1, apabila
pada pemeriksaan klinis dan endoskopik memang tidak
ditemukan penyebab organik gaster yang dapat diduga menjadi
penyebab keluhan dispepsia (Bayupurnama, 2019).
19
Tabel 2.2
Kriteria Dispepsia Fungsional
menurut Kriteria ROMA IV (2016)
Posprandial
Distress
Syndrome
(PDS)
a. Rasa perut bagian atas cepat penuh saat
makan dengan porsi yang biasanya (early
satiety)
b. Perut rasa penuh setelah makan
(postprandial fullness) yang mengganggu
c. Dialami 3 hari atau lebih per minggu
d. Telah berlangsung dalam 3 bulan terakhir
(paling tidak ada riwayat 6 bulan)
Epigastric
Pain
Syndrome
(EPS)
a. Nyeri atau rasa terbakar di epigastrium
yang mengganggu
b. Yang dialami 1 hari atau lebih perminggu
c. Dalam 3 bulan terakhir (paling tidak ada
riwayat 6 bulan)
Sumber : Bayupurnama, 2019
Pada pasien dispepsia fungsional sekitar 40% mengalami
gangguan akomodasi dibagian proksimal yang membuat
distribusi makanan mengalami gangguan dan langsung
terkumpul di gaster bagian distal. Keadaan ini seringkali
dikaitkan dengan gejala perut terasa cepat merasa kenyang
20
meskipun makan kurang dari porsi biasanya.(early satiety).
Namun banyak juga psien dispepsia fungsional yang
mengalami disfungsi motorik antral dan pengosongan gaster
yang tertunda (Bayupurnama, 2019).
Hubungan antara gangguan akomodasi gaster dengan
gejala dispepsia hanya terdapat pada sebagian pasien (40%)
dispepsia fungsional dengan gejala-gejala yang berhubungan
dengan makanan (Bayupurnama, 2019). Pengaruh
Hipersensitivitas terhadap distensi visceral sudah banyak
diteliti terutama gaster bagian proksimal, 34-65% pasien
dispepsia fungsional yang mengalami hipersensitivitas gaster
dan hipersensitivitas ini diikuti dengan nyeri postprandial,
sendawa, dan penurunan berat badan serta pengosongan gaster
yang tertunda (36%) (Bayupurnama, 2019).
Gangguan pengosongan lambung yang tertunda dapat
memberi gejala perut terasa penuh postprandial, mual dan
muntah. Kontrol neural terhadap sensasi dan motilitas usus
(brain-gut axis) terjadi pada tiga tingkat primer, yaitu system
saraf enterik (enteric nervouse system) yang bersifat lokal di
usus, medula spinalis, dan otak. Upregulasi sensasi pada setiap
3 level dapat menerangkan sensitivitas pada gangguan
fungsional saluran cerna (Bayupurnama, 2019).
21
8. Penatalaksanaan Klinis Dispepsia Fungsional
Penanganan penyakit dispepsia fungsional hingga saat ini
belum memuaskan. Menurut berbagai penelitian yang telah
dilakukan dalam penanganan penyakit dispepsia fungsional ini
melibatkan berbagai macam golongan obat (beserta nilai
tambah terapinya) seperti : Terapi eradiksi H. pylori (6-14%),
Penggunaan PPI atau Proton Pump Inhibitor (7-10%), H2-RA
sangat bervariasi (8-35%), Obat Prokinetik (18-45%),
Antidepresan Trisiklik atau amitriptilin (64070%), tetapi nilai
tambah terapeutiknya masih rendah (Bayupurnama, 2019).
Dengan demikian, terapi perlu diberikan sesuai dengan
gejala dan tanda yang dijumpai pada pasien, apakah EPS
ataukah PDS atau kombinasi keduanya. Gejala yang perlu
dipertimbangkan adalah gejala nyeri ulu hati, mual, muntah dan
gejala dispepsia lainnya (Bayupurnama, 2019).
1. PDS (Posprandial Distress Syndrome)
a. Obat Prokinetik :
1) Metoclopramide
2) Domperidone
3) Clebopride dan Cisapride
b. Antidepresan trisiklik
2. EPS (Epigastric Pain Syndrome)
a. PPI atau Proton Pump Inhibitor
b. H2-RA
22
Untuk gejala nyeri abdomen neuropatik yang biasanya
disertai dengan rasa panas diperut, obat-obat seperti anti
nosiseptik seperti gabapentin atau pregabalin bisa diberikan
(Bayupurnama, 2019).
Penelitan juga menunjukan bahwa faktor-faktor psikologi
seperti gangguan depresi dan kecemasan sering menyertai
penderita dispepsia fungsional, sehingga terapi psikologi
(psikoterapi) menjadi bagian penting dalam tatalaksana
penyakit ini. Penggunaan terapi alternative komplementer
(misalnya obat herbal) dan pengaturan diet (misalnya
pengaturan diet lemak dan karbohidrat serta makanan pedas)
belum menunjukan bukti yang kuat dan masih memerlukan
banyak penelitian untuk menjadi bagian dari tata laksana utama
pasien dispepsia fungsional. Pengaturan diet leih bersifat
individual bergantung persepsi pasien. Pemberian terapi pada
dispepsia fungsional biasanya diberikan dalam jangka waktu
tertentu dan dimonitor perkembangannya, bukan diberikan
hanya bila diperlu kan saat gejala dirasakan pasien
(Bayupurnama, 2019).
Pertimbangan tindakan invasive seperti endoskopi, selain
mempertimbangkan batas umur, juga mempertim-bangkan
lama gejala yang diderita (akut atau kronik), berat dan
ringannya gejala, serta pengaruh gejala tersebut terhadap
aktivitas sehari-hari pasien. Adanya gejala alarm merupakan
23
alasan kuat untuk melakukan pemeriksaaan endoskopi seawall
mungkin (Bayupurnama, 2019).
Observasi merupakan pendekatan diagnosis noninvasif,
yaitu dengan pengamatan pada pasien dengan gejala yang
bersifat temporer dan ringan sehingga belum memerlukan
pengobatan. Kelemahannya adalah penundaan diagnosis pasti
(Bayupurnama, 2019).
Pemberian terapi antosekretorik asam lambung secara
empiric dapat dijadikan alat diagostik yang menilai ada
tidaknya respon terapi terhadap gejala-gejala yang
berhubungan dengan gastroesophageal reflux disease (GERD)
dan ulkus peptikum (Bayupurnama, 2019).
Pemberian Proton Pump Inhibitor (PPI) dosis tunggal
selama 2-4 minggu dapat membantu penegakan diagnosis
sebelum diputuskan apakah pasien harus dirujuk untuk
endoskopi. Kelemahan strategi ini menunda endoskopi dan
arena sudah medapat terapi sehingga saat kemudian diperlukan
endoskopi hasilnya menjadi negative palsu (Bayupurnama,
2019).
Di daerah dengan prevalensi H. pylori tinggi, metode pylori
test and treat bisa dilakukan karena tindakan ini akan
memperbaiki gejala. Cara ini aman dan cost effective
disbanding endoskopi. Kelemahannya adalah hanya bermanfaat
pada pasien yang terbukti ada ulkus peptikum sehingga
24
mungkin keluhan dapat berlanjut atau kambuh berulang kali,
yang pada akhirnya memerlukan pemeriksaan invasif degan
endoskopi (Bayupurnama, 2019).
Cara lain adalah dengan H. pylori treat and scope di daerah
yang H. Pylori rendah. Strategi ini hanya bermanfaat pada
pasien yang terdeteksi H. pylori positif dengan endoskopi
sehingga endoskopi memegang peran dalam diagnosis pada
strategi ini dan strategi ini tidak efesien untuk daerah yang H.
Pylori nya tinggi (Bayupurnama, 2019).
Strategi terakhir adalah dilakukan pemeriksaan endoskopi
sejak awal. Meskipun tindakan ini merupakan baku emas
pemeriksaan, metode ini invasive dan juga mahal, serta
mungkin tidak efisien karena mayoritas mukosa gaster pasien
dispepsia tampak normal (Bayupurnama, 2019).
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan H. Pylori dapat menggunakan metode
pemeriksaan endoskopi atau tanpa endoskopi. Namun,
sensitivitas kedua metode ini menurun kalo sedang berlangsung
atau baru saja penggunaan PPI, bismuth, atau antibiotik
(Bayupurnama, 2019).
a. Pemeriksaan dengan Endoskopi, meliputi :
1) Pemeriksaan Histopatologi
2) Rapid Urease Testing (RUT)
3) Kultur
25
4) Polymerase Chain Reaction
b. Pemeriksaan tanpa bantuan Endoskopi, meliputi :
1) Tes IgG H. pylori (kuantitatif dan kualiatif)
2) Urea Breath Test (13
C dan 14
C)
3) Fecal Antigen Test
2.1.2 KONSEP DASAR POLA MAKAN
1. Definisi Pola Makan
Pola makan merupakan cara ataupun usaha dalam
mengatur kegiatan makan untuk memenuhi kebutuhan tubuh
agar menjadi lebih baik (Departemen Pendidikan Indnesia
dalam Irfan, 2019). Menurut Depkes RI pola makan adalah
suatu cara atau usaha dalam mengatur jumlah dan jenis
makanan dengan maksud mempertahankan kesehatan tubuh,
status nutrisi, mencegah penyakit atau membantu kesembuhan
penyakit (Depkes RI dalam Irfan, 2019). Pola makan terdiri
dari frekuensi makan, jenis makanan, dan, porsi atau jumlah
makan (Depkes RI dalam Irfan, 2019).
2. Klasifikasi Pola Makan
a. Frekuensi Makan
Frekuensi makan adalah beberapa kali makan dalam
sehari meliputi makan pagi, makan siang, makan malam
dan makan selingan (Sulistyoningsih, 2011). Frekuensi
makanan merupakan jumlah makan sehari-hari, baik
kualitatif maupun kuantitatif. Secara alamiah makanan
26
diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari
mulut sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung
bergantung pada sifat dan jenis makanan. Rata-rata
lambung kosong antara 3-4 jam. Oleh karena itu,
pembagian jam makan yang tepat (Freedomsiana, 2018),
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3
Pembagian Jam Makan yang Tepat
04.00 – 12.00 Lambung bekerja untuk membuang
kotoran. Oleh karena itu, jam-jam ini
yang paling baik adalah makan
makanan yang berserat, seperti jus
buah, atau makanan yang dapat
membantu proses pengeluaran
makanan (Freedomsiana, 2018).
12.00 – 20.00 Saat dimana tubuh kita menyerap
makanan dengan baik. Oleh karena
itu, sangat baik jika mengonsumsi
makanan yang kaya akan protein,
vitamin, dan makanan-makanan
bergizi lainnya, bahkan karbohidrat
seimbang dianjurkan untuk
27
dikonsumsi pada jam-jam ini
(Freedomsiana, 2018).
20.00 – 04.00 Waktu dimana tubuh kita mencerna
makanan. Konsumsi makanan me-
ngenyangkan yang bernutrisi dan
rendah gula (Freedomsiana, 2018).
Sumber : Freedomsiana, 2018
Ilmu Gizi mengatakan frekuensi makan tetap yaitu 3
kali dalam sehari diselingi dengan makanan ringan,
diantaranya jadwal makan yang ideal dijalankan agar
mempunyai pola makan yang baik adalah 5-6 kali sehari,
yaitu : sarapan pagi, snack, makan siang, snack, snack sore,
makan malam dan bila perlu boleh ditambah dengan snack
malam (Ayunda, 2014 dalam Adhy, 2016).
Pada umumnya seseorang melakukan makan utama
3 kali dalam sehari yaitu pagi, siang dan malam.
Penundaan waktu makan yang lama atau frekuensi makan
kurang dari 3 kali sehari sehingga akan berpengaruh dalam
pengisian dan pengosongan lambung. Jeda waktu makan
yang baik berkisar 4-5 jam (Sherwood. L, 2015 dalam
Irfan, 2019).
Kebiasaan dalam meninggalkan sarapan pagi dan
makan pagi tergesa merupakan hal yang tidak boleh
28
dilakukan karena proses metabolisme tubuh akan terganggu
(Wirakusumah dalam Astri Dewi, 2017). Pola makan yang
tidak teratur seperti meninggalkan sarapan pagi karena
kegiatan aktivitas yang padat dapat menyebabkan sindrom
dispepsia (Reshetnikov dalam Astri Dewi, 2017).
b. Jenis Makan
Jenis makan adalah sejenis makanan pokok yang
dimakan setiap hari, terdiri dari makanan pokok, lauk
hewani, lauk nabati, sayuran dan buah yang dikonsumsi
setiap hari (Sulistyoningsih, 2011). Makanan yang
dikategorikan sebagai makanan sehat adalah makanan yang
mengandung unsur-unsur zat yang dibutuhkan tubuh dan
tidak mengandung bibit penyakit atau racun. Namun,
makanan ini sangat berhubungan dengan sikap dan pola
makan setiap orang. Jadi, makanan yang mengandung
unsur-unsur bergizi harus disertai dengan upaya menjaga
kebersihan dan kesehatan orang yang mau memakannya
(Freedomsiana, 2018).
1) Unsur zat makanan yang sehat diperlukan agar tubuh
dapat beraktivitas dengan normal, yaitu : makanan sehat
adalah makanan yang mengandung zat-zat, seperti
protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin, dan air
dengan takaran yang seimbang (Freedomsiana, 2018).
29
2) Manfaat dari unsur makanan zat yang dikandung dalam
makanan mempunyai fungsi atau manfaat bagi tubuh.
Zat yang dibutuhkan tubuh berfungsi sebagai tenaga,
pembangun, pengatur dan sebagainya (Freedomsiana,
2018)
a) Zat tenaga, zat tenaga biasa berasal dari
karbohidrat, lemak, dan protein. Unsur-unsur ini
biasa terdapat pada nasi, jagung, daging, telur, dan
sebagainya (Freedomsiana, 2018).
b) Zat pembangun, dalam makanan terdapat zat yang
disebut dengan zat pembangun, seperti protein,
mineral, dan air. Unsur tersebut harus seimbang
agar kesehatan seseorang terjaga dengan baik
(Freedomsiana, 2018).
c) Zat pengatur, makanan yang terdapat zat pengatur
adalah mineral, vitamin, dan air. Zat-zat ini mudah
diperoleh dalam makanan yang Anda makan
(Freedomsiana, 2018).
Jenis makanan dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu
makanan utama dan makanan selingan. Makanan utama
adalah makanan yang biasa dikonsumsi seperti makanan
pokok, lauk-pauk, sayuran, dan buah-buahan yang
dilakukan 3 kali dalam sehari yaitu pagi, siang, dan malam,
sedangkan makanan selingan adalah makanan kecil yang
30
dibuat sendiri maupun yang dibeli seperti keripik, kue-kue,
dan cemilan lainnya (Yatmi, F. 2017 dalam Irfan 2019).
Terdapat beberapa jenis makanan dan minuman yang
dapat merusak mukosa lambung sehingga kurang baik
untuk dikonsumsi, seperti (Abata, Qorry A. 2014 dalam
Irfan, 2019) :
a) Minuman kopi, susu, dan anggur putih dapat
merangsang sekresi asam lambung.
b) Makanan yang asam dan pedas dapat merangsang
lambung dan merusak mukosa lambung.
c) Makanan yang berlemak dapat memperlambat
pengosongan lambung sehingga terjadi peningkatan
peregangan lambung yang menyebabkan meningkatnya
asam lambung.
Jenis-jenis makanan juga dapat mengakibatkan
timbulnya dispepsia. Beberapa jenis makanan tersebut
adalah makanan yang berminyak dan berlemak. Makanan
ini berada di lambung lebih lama dari jenis makanan
lainnya. Makanan tersebut lambat dicerna dan
menimbulkan peningkatan tekanan di lambung. Proses
pencernaan ini membuat katup antara lambung dengan
kerongkongan (lower esophageal sphincter/LES) melemah
sehingga asam lambung dan gas akan naik ke
kerongkongan (Firman dalam Astri Dewi, 2017).
31
Makanan yang sehat adalah makanan yang didalamnya
terkandung zat- zat gizi, seperti karbohidrat, protein dan
lemak ditambah dengan vitamin dan mineral (Hardani
dalam Astri Dewi, 2017). Jenis makanan/minuman tertentu
seperti minuman bersoda, durian, sawi, nangka, kubis dan
makanan sumber karbohidrat seperti beras ketan, mie,
singkong, dan talas dapat menyebabkan perut kembung
(Salma, 2011 dalam Astri Dewi, 2017). Kembung termasuk
kedalam salahsatu gejala dari sindroma dispepsia. Perut
kembung disebabkan oleh masuknya angin (aerophagia) atau
karena usus membuat banyak gas. Makan terburu-buru
menyebabkan produksi gas usus lebih banyak dari biasanya
(Salma, 2011 dalam Astri Dewi, 2017).
Kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman seperti
makanan pedas, makanan atau minuman asam, kebiasaan
minum teh, kopi, dan minuman berkarbonasi dapat
meningkatkan resiko munculnya gejala dyspepsia (Astri
Dewi, 2017). Jenis makanan yang dikonsumsi hendaknya
mempunyai proporsi yang seimbang antara karbohidrat (55-
65 %), protein (10-15 %) dan lemak (25-35 %) (Susanti,
2011 dalam Astri Dewi, 2017 ).
c. Jumlah Makanan
Jumlah makan adalah banyaknya makanan yang
dimakan dalam setiap orang atau setiap individu dalam
32
kelompok (Sulistyoningsih, 2011). Jumlah makanan
bergantung dari kandungan jumlah kalori dalam setiap
makanan yang dimakan. Jumlah kalori dalam makanan
sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan tubuh
kita. Kalori adalah satuan unit yang digunakan untuk
mengukur nilai energi yang diperoleh tubuh ketika
mengonsumsi makanan atau minuman. Untuk memastikan
agar kebutuhan nilai gizi tercukupi dengan baik, sebaiknya
Anda melihat kadar kalori pada makanan atau minuman
yang dikonsumsi (Freedomsiana, 2018).
Kandungan kalori di dalam makanan dapat
ditentukan oleh kandungan gizi, seperti lemak, karbohidrat,
dan protein yang terkandung di dalam makanan itu sendiri.
Lemak menghasilkan kalori yang paling banyak diantara
yang lainnya, yaitu 9 kalori/gram, sedangkan karbohidrat
dan protein menghasilkan 4 kalori/gramnya. Makanan yang
mengandung banyak lemak adalah makanan yang
mengandung kalori tinggi. Sebaliknya, yang memiliki
kalori rendah adalah buah-buahan dan sayur-sayuran karena
mengandung banyak serat dan kadar airnya tinggi
(Freedomsiana, 2018).
3. Faktor Pemicu Produksi Asam Lambung
Faktor yang memicu produksi asam lambung berlebihan,
diantaranya beberapa zat kimia, seperti alkohol, umumnya obat
33
penahan nyeri, asam cuka. Makanan dan minuman yang
bersifat asam, makanan yang pedas serta bumbu yang
merangsang, misalnya jahe, merica (Warianto, 2011 dalam
Astri Dewi, 2017).
Suasana yang sangat asam di dalam lambung dapat
membunuh organisme patogen yang tertelan bersama makanan.
Namun, bila barrier lambung telah rusak, maka suasana yang
sangat asam di lambung akan memperberat iritasi pada dinding
lambung (Herman dalam Astri Dewi, 2017).
Makan terburu-buru menyebabkan produksi gas usus lebih
banyak dari biasanya. Jenis makanan/minuman tertentu seperti
minuman bersoda, durian, sawi, nangka, kubis dan makanan
sumber karbohidrat seperti beras ketan, mie, singkong, dan
talas dapat menyebabkan perut kembung. Makanan yang sangat
manis seperti kue tart dan makanan berlemak seperti keju,
gorengan merupakan makanan yang lama di cerna/sulit dicerna
menyebabkan hipersekresi cairan lambung yang dapat
membuat nyeri pada lambung (Salma, 2011 dalam Astri Dewi,
2017).
Zat yang terkandung dalam kopi adalah kafein.dapat
meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi hormon gastrin
pada lambung dan pepsin. Hormon gastrin yang dikeluarkan
oleh lambung mempunyai efek sekresi getah lambung yang
sangat asam dari bagian fundus lambung. Hal ini sejalan
34
menyatakan bahwa kafein adalah salah satu dari zat
sekretagogue yang merupakan salah satu penyebab antrum
mukosa lambung menyekresikan hormon gastrin. Kafein dapat
merangsang sekresi getah lambung yang sangat asam walaupun
tidak ada makanan (Astri Dewi, 2017)
Mengonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan
merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus
yang berkontraksi. Hal ini akan menimbulkan rasa panas dan
nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Bila
kebiasaan mengonsumsi makanan pedas secara berlebihan
lebih dari satu kali dalam seminggu selama minimal enam
bulan dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan iritasi pada
lambung (Suparyanto, 2012 dalam Astri Dewi, 2017).
4. Gizi Seimbang
Pada Pedoman Gizi Seimbang Kemenkes Kesehatan RI
telah memberikan 7 pesan yaitu (Direktur Jendral Bina Gizi
dan KIA Kemenkes RI, 2014 dalam Irfan 2019) :
1. Biasakan makan 3 kali sehari yaitu pagi, siang, dan malam
bersama keluarga.
2. Biasakan mengkonsumsi ikan dan sumber protein lainnya.
3. Perbanyak mengkonsumsi sayuran dan cukup buah-buahan.
4. Biasakan membawa air putih dan bekal makanan dari
rumah.
5. Kurangi mengkonsumsi makanan yang cepat saji, jajanan,
35
dan maknan selingan yang berlemak, manis dan asin.
6. Biasakan sikat gigi 2 kali sehari yaitu waktu bangun tidur
dan ketika ingin tidur.
7. Hindari merokok.
2.1.3 HUBUNGAN KETERATURAN POLA MAKAN DENGAN
TERJADINYA DISPEPSIA FUNGSIONAL
Pola makan merupakan salah satu faktor yang berperan
pada kejadian dispepsia. Makan yang tidak teratur, kebiasaan
makan yang tergesa-gesa dan jadwal yang tidak teratur dapat
menyebabkan dyspepsia (Djojodiningrat dalam Astri Dewi, 2017).
Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi
asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung
mengenali waktu makan sehingga produksi asam lambung
terkontrol. Kebiasaan makan yang tidak teratur akan membuat
lambung sulit untuk beradaptasi. Jika hal ini berlangsung
lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat
mengiritasi dinding tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan
rasa perih dan mual. Gejala tersebut bias naik ke korongkongan
yang menimbulkan rasa panas terbakar (Nadesul dalam Astri Dewi,
2017).
Jarang sarapan di pagi hari beresiko terkena kejadian
dispepsia. Pada pagi hari tubuh memerlukan banyak kalori.
Apabila tidak makan dapat menimbulkan produksi asam lambung
36
(Harahap dalam Astri Dewi, 2017). Kebiasaan makan yang teratur
sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut
memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi
asam lambung terkontrol.
Kebiasaan makan yang tidak teratur akan membuat
lambung sulit untuk beradaptasi. Jika hal ini berlangsung lama,
produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat
mengiritasi dinding mukosa pada lambung sehingga timbul
gastritis dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut
dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bias naik
ke korongkongan yang menimbulkan rasa panas terbakar (Firman
dalam Astri Dewi, 2017).
Jarang sarapan di pagi hari beresiko terkena kejadian
dispepsia. Pada pagi hari tubuh memerlukan banyak kalori.
Apabila tidak makan dapat menimbulkan produksi asam lambung
(Harahap dalam Astri Dewi, 2017). Ketidakteraturan makan seperti
kebiasaan makan buruk, tergesa-gesa, dan jadwal yang tidak teratur
dapat menyebabkan dispepsia (Firman dalam Astri Dewi, 2017).
Berdasarkan penelitian tentang gejala gastrointestinal yang
dilakukan oleh Reshetnikov kepada 1562 orang dewasa, jeda
jadwal makan yang lama, dan ketidakteraturan makan berkaitan
dengan gejala dispepsia (Firman dalam Astri Dewi, 2017).
Mendukung hasil penelitian diatas, berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Ervianti pada 48 orang subjek tentang faktor yang
37
berhubungan dengan kejadian sindrom dispepsia, didapatkan salah
satu faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom dispepsia
adalah keteraturan makan. (Ervianti dalam Astri Dewi, 2017).
Okviani (2011) dalam penelitian Irfan (2019) mengatakan
bahwa porsi makan tidak berhubungan dengan terjadinya kelainan
gastrointestinal bagian atas (Oktaviani, 2011 dalam Irfan, 2019).
2.2 KERANGKA KONSEPTUAL
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan keteraturan
pola makan dengan terjadinya dispepsia. Variabel ndependen dari
penelitian ini adalah Keteratursn Pola Makan, sedangkan Variabel
Dependen dari penelitian ini adalah Dispepsia. Sehingga Kerangka
Penlitian dari penelitian ini dapat dilihat seperti dibawah ini :
38
Bagan 2.1
Kerangka Konsep
Hubungan Ketidakteraturan Pola Makan dengan Kejadian Dispepsia Fungsional
Sumber : (Djojoningrat, 2009 dalam Astri Dewi, 2017) & (Bayupurnama, 2019)
Hipersensitivitas
Visceral
Disfungsi
Otonom
Psikologis
Lingkungan /
Infeksi HP
Pola
Makan
Frekuensi
Jenis
Makanan
Jumlah
Sindrom Dispepsia
a. Rasa nyeri di ulu hati
b. Rasa penuh di ulu hati
c. Perut cepat merasa
kenyang
d. Rasa penuh setelah
makan
e. Kembung (bloating)
f. Sering sendawa
g. Mual (nausea), dan
h. Muntah (vomitus).
Keterangan
: Variabel diteliti
: Tidak diteliti