20
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah penyakit multifaktorial ditandai oleh peradangan mukosa sinus paranasal karena infeksi virus, bakteri atau jamur pada saluran pernapasan bagian atas [1]. Sinus maksilaris terletak antara rongga hidung, mulut dan orbital dan karena itu paling rentan dari semua sinus untuk invasi bakteri patogen melalui ostium hidung atau rongga mulut. Karena sinus maksilaris berada di sekitar struktur vital, sehingga infeksi harus segera diobati [2]. Temuan radiologis yang paling sering pada sinus maksilaris adalah penebalan mukosa dan kista mukosa [3]. Adanya penebalan mukosa sinus maksilaris umumnya mengindikasikan adanya iritasi mukosa [7]. Iritasi odontogenik seperti abses periodontal, gigi rahang atas nonvital, gigi tertanam, karies gigi yang luas, dan fistula oro-antral [8]. Sebab odontogenik seperti penyakit periodontal dan lesi periapikal dilaporkan menyebabkan 58% sampai 78% penebalan mukosa pada sinus maksilaris [3]. CT sangat membantu untuk mengevaluasi hubungan akar gigi rahang atas dengan dasar sinus maksilaris. CT mengungkapkan adanya ketebalan mukosa, , gigi atau adanya benda asing di dalam batas-batas sinus [6]. 1

hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sinusitis adalah penyakit multifaktorial ditandai oleh peradangan mukosa sinus paranasal

karena infeksi virus, bakteri atau jamur pada saluran pernapasan bagian atas [1]. Sinus

maksilaris terletak antara rongga hidung, mulut dan orbital dan karena itu paling rentan dari

semua sinus untuk invasi bakteri patogen melalui ostium hidung atau rongga mulut. Karena

sinus maksilaris berada di sekitar struktur vital, sehingga infeksi harus segera diobati [2].

Temuan radiologis yang paling sering pada sinus maksilaris adalah penebalan mukosa

dan kista mukosa [3]. Adanya penebalan mukosa sinus maksilaris umumnya

mengindikasikan adanya iritasi mukosa [7]. Iritasi odontogenik seperti abses periodontal, gigi

rahang atas nonvital, gigi tertanam, karies gigi yang luas, dan fistula oro-antral [8]. Sebab

odontogenik seperti penyakit periodontal dan lesi periapikal dilaporkan menyebabkan 58%

sampai 78% penebalan mukosa pada sinus maksilaris [3].

CT sangat membantu untuk mengevaluasi hubungan akar gigi rahang atas dengan dasar

sinus maksilaris. CT mengungkapkan adanya ketebalan mukosa, , gigi atau adanya benda

asing di dalam batas-batas sinus [6].

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan sinusitis maksilaris odontogenik?

2. Apa saja temuan radiologis yang didapatkan pada sinusitis maksilaris odontogenik?

3. Adakah hubungan antara lekukan akar gigi dan sinusitis maksilaris?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan sinusitis maksilaris odontogenik

2. Mengetahui apa saja temuan radiologis yang didapatkan pada sinusitis maksilaris

odontogenik

3. Mengetahui hubungan antara lekukan akar gigi dan sinusitis maksilaris

1

Page 2: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

1.4 Manfaat

Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu gigi dan mulut

pada khususnya

2

Page 3: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abstrak

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara lekukan akar gigi dan sinusitis maksilaris.

Metode: Kami menilai rekam medis pasien yang menjalani computed tomography imaging

sinus paranasal yang dicurigai sinusitis.

Hasil: Kami mengidentifikasi total 52 pasien dengan prediagnosis sinusitis maksilaris.

Lekukan gigi terdeteksi pada 58 dari 104 (55,7%) sinus. Empat puluh enam dari 58 sinus

(79,3%) dengan lekukan gigi memiliki penebalan mukosa lebih dari 2 mm. Perbedaan antara

kelompok secara statistik signifikan (p = 0,007).

Kesimpulan: lekukan gigi harus diingat sebagai penyebab terjadinya inflamasi sinus

maksilaris kronis, jika penyebabnya tidak dapat diidentifikasi.

2.2 Introduksi

Sinusitis adalah penyakit multifaktorial ditandai oleh peradangan mukosa sinus paranasal

karena infeksi virus, bakteri atau jamur pada saluran pernapasan bagian atas [1]. Sinus maksilaris

terletak antara rongga hidung, mulut dan orbital dan karena itu paling rentan dari semua sinus

untuk invasi bakteri patogen melalui ostium hidung atau rongga mulut. Karena sinus maksilaris

berada di sekitar struktur vital, sehingga infeksi harus segera diobati [2]. Temuan radiologis yang

paling sering pada sinus maksilaris adalah penebalan mukosa dan kista mukosa [3]. Penebalan

mukosa sinus maksilaris dua kali lebih luas pada pasien dengan penyakit gigi [4] dan prevalensi

yang dilaporkan dari penebalan mukosa dalam survei radiografi berkisar antara 23% dan 31%

[5]. Selain itu, telah dilaporkan bahwa penebalan mukosa terdeteksi pada tingkat yang lebih

tinggi pada metode pencitraan cross sectional seperti computerized tomography (CT) untuk MRI

daripada dengan sinar-X [6].

Adanya penebalan mukosa sinus maksilaris umumnya mengindikasikan adanya iritasi

mukosa [7]. Iritasi odontogenik seperti abses periodontal, gigi rahang atas nonvital, gigi

tertanam, karies gigi yang luas, dan fistula oro-antral [8]. Sebab odontogenik seperti penyakit

3

Page 4: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

periodontal dan lesi periapikal dilaporkan menyebabkan 58% sampai 78% penebalan mukosa

pada sinus maksilaris [3].

Gambaran radiologis adalah alat penting dalam menegakkan diagnosis. CT sangat

membantu untuk mengevaluasi hubungan akar gigi rahang atas dengan dasar sinus maksilaris.

CT mengungkapkan adanya ketebalan mukosa, , gigi atau adanya benda asing di dalam batas-

batas sinus [6]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti hubungan antara adanya lekukan

gigi ke dalam sinus maksilaris dan penebalan mukosa.

2.3 Bahan dan Metode

Penelitian retrospektif ini dilakukan pada pasien yang telah menjalani CT imaging sinus

paranasal yang dicurigai sinusitis. Protokol penelitian telah disetujui oleh Komite Etika Lokal.

Data demografi dan riwayat medis dari pasien diperoleh dari rekam medis.

Ketika semua pasien disaring dari arsip secara retrospektif, mereka sesuai dengan diagnose

sinusitis dalam hal symptomatologic dan mereka didiagnosis sebagai sinusitis dengan

symptomology dan setelah pemeriksaan CT imaging, pasien yang memiliki gejala klinis dengan

gambaran radiologis sinusitis menerima perawatan medis. Pada pemeriksaan CT, dengan kasus

yang didapatkan adanya patologi gigi primer (abses, tumor odontogenik dll) dikeluarkan dari

penelitian. Gambaran CT dan rekam medis pada 52 pasien berturut-turut mengunjungi

Departemen Telinga, Hidung dan Tenggorokan.

Pemeriksaan dilakukan dengan heliks CT (Somatom DRH, Siemens, Erlengen, Jerman).

Penyesuaian bagian dicapai pada scenograms lateral. CT scan aksial dan koronal dengan

ketebalan irisan 5 mm pada masing-masing pasien. Potongan direkonstruksi secara otomatis dan

dievaluasi oleh radiolog yang berpengalaman. Aksial diperoleh gambar baris data yang

direkonstruksi secara tipis (2 mm) gambar penampang (koronal dan sagital) dengan

menggunakan algoritma sharp-bone otomatis. Dalam setiap kasus baris berorientasi horizontal

melintasi tangensial titik terdalam dari dasar sinus maksilaris (Gambar 1). Ketinggian maksimal

pada lekukan yang berhubungan dengan gigi rahang atas dan ketebalan mukosa dicatat bersama-

sama dalam sebuah tabel. Tingkat indentasi dicatat dan penebalan mukosa sinus maksilaris

didefinisikan positif jika ketebalan struktur jaringan lunakdalam keberadaan jaringan lunak >2

mm.

4

Page 5: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

Sinus maksilaris tanpa lekukan gigi pada kasus yang sama digunakan sebagai kelompok

kontrol normal. Semua langkah telah dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang akurat

(dengan akurasi = 0,1 mm) dalam perangkat lunak, dengan menggunakan tampilan layar

diagnostik.

Kemudian, dengan menggunakan semua data yang direkam, dilakukan analisa statistik

untuk mengungkapkan hubungan antara lekukan akar gigi dan sinusitis maksilaris. Analisis

statistik dibuat dengan menggunakan SPSS 11 (Chicago, IL). Data disajikan dengan rata-rata ±

SD. Kategori variabel dianalisis dengan menggunakan Chi-Square test dan variabel kontinyu

dianalisis dengan menggunakan independen sampel t test. p <0,05 yang betul-betul

dipertimbangan sebagai signifikan secara statistik.

Gambar 1. CT imaging pada potongan koronal sinus paranasal pada kasus yang berbeda. (a)

Pengukuran derajat lekukan akar diwakili oleh panah dua arah diatas dasar mukosa (garis putus-

putus). (b) Dalam kasus lain, penebalan mukosa diukur di bagian paling tebal dari patologi

(panah dua arah).

2.4 Hasil

Kelompok studi terdiri dari 52 pasien (50% pria dan 50% wanita) dengan usia rata-rata

33,1 + / - 10,2 tahun. Lekukan gigi terdeteksi pada 58 dari 104 (55,7%) sinus. Rata-rata panjang

lekukan gigi adalah 4.31 ± 2.87 mm. Lekukan gigi bilateral ditemukan pada 20 (38,4%) kasus

dan unilateral pada 19 (36,5%) kasus. Penebalan mukosa yang lebih dari 2 mm terdeteksi pada

71 dari 104 (68,3%) sinus. Empat puluh enam dari 58 sinus (79,3%) dengan lekukan gigi dan 25

dari 46 (54,3%) sinus tanpa lekukan gigi memiliki penebalan mukosa. Perbedaan antara

5

Page 6: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

kelompok secara statistik signifikan (p = 0,007). Selain itu, ketebalan mukosa secara signifikan

lebih tinggi di sinus dengan lekukan gigi (7.76 ± 8.39 mm) dibandingkan dengan sinus tanpa

adanya lekukan gigi (3.17 ± 4.14 mm) (p = 0,001).

2.5 Diskusi

Sinus maksilaris berkembang paling awal di antara sinus yang lain. Perkembangannya

dimulai pada bulan ke-3 kehidupan janin dan berakhir pada 14 - 16 usia ketika perkembangan

alveolar gigi atas berakhir [9]. Hal ini sering terlihat bahwa akar gigi molar menembus dasar

sinus maksilaris yang terbentuk selama perkembangan posterior dari proses alveolar rahang atas.

Selain itu, akar gigi rahang atas dapat menonjol ke dalam rongga sinus selama ekspansi lanjutan

dan pneumatisasi dari sinus maksilaris [10,11].

Secara umum, gigi seri dan gigi taring tidak memiliki kedekatan dengan sinus, tetapi gigi

premolar dan khususnya gigi molar terletak di bawah dasar sinus maksilaris. Sebagai hasil dari

hubungan ini, infeksi periapikal dapat menyebabkan iritasi mukosa dan penebalan dalam sinus

maksilaris [4].

Dasar sinus merupakan barier yang efektif sehingga jarang memungkinkan untuk penetrasi

langsung infeksi odontogenik ke dalam sinus maksilaris. Akan tetapi, pada individu yang

akarnya gigi proksimal ke lantai sinus atau menonjol ke rongga sinus, infeksi odontogenik dapat

masuk ke dalam sinus dan akan menghasilkan respons mukosa reaktif di dalam sinus [4,12].

Vallo et al. mendukung bahwa temuan gigi patologis dan perawatan saluran akar secara

signifikan berhubungan dengan penebalan mukosa tapi tidak berhubungan dengan kista mukosa

[3]. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan besar dalam nilai rata-rata dari

penebalan mukosa pada dua kelompok sinus maksilaris (dengan dan tanpa lekukan gigi).

Ketebalan mukosa pada sinus maksilaris yang normal menjadi variabel [13]. Beberapa

studi mendukung bahwa, rata-rata, ketebalan normal pada sinus yang sehat dapat mencapai

sekitar 1 mm, dengan variasi antara individu [14]. Secara umum, 2 mm dianggap sebagai

ambang batas yang dianggap sebagai pembengkakan mukosa patologis [15]. Dalam penelitian

kami, ketebalan mukosa lebih dari 2 mm dianggap sebagai patologis. Kami menemukan bahwa

ketebalan mukosa secara signifikan lebih tinggi di sinus dengan lekukan gigi (7.76 ± 8.39 mm)

dibandingkan dengan sinus tanpa lekukan gigi (3.17 ± 4.14 mm) (p = 0,001).

6

Page 7: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

Meskipun, ada studi yang meneliti penyakit gigi dan sinus maksilaris patologis, tidak ada

studi yang menyelidiki hubungan antara lekukan gigi dan sinusitis maksilaris. Abrahams et al.

menunjukkan bahwa dua kali lipat peningkatan terjadi pada penyakit sinus maksilaris yaitu

pasien dengan penyakit periodontal dan mendukung adanya hubungan kausal [10]. Falk et al.

mendukug bahwa pasien yang menjalani pengobatan yang berhasil pada penyakit periodontal

memiliki penurunan yang signifikan dalam insiden penyakit sinus maksilaris [16].

Pemeriksaan radiologi adalah alat penting untuk menegakkan diagnosis penyakit sinus

[17,18]. Kemampuan untuk memvisualisasikan tulang dan jaringan lunak dan memperoleh

potongan dan beberapa gambaran sehingga CT menjadi metode pencitraan pilihan untuk

mengevaluasi sinus paranasal [12]. gambaran aksial dan koronal juga memungkinkan melihat

adanya periapikal abses odontogenik yang dekat dengan defek dasar sinus dan jaringan sinus

yang sakit. CT harus dipilihi ketika temuan klinis sangat mendukung sinusitis tapi pada

pemeriksaan sinar-X gagal untuk mendeteksi sinusitis [19].

Penyakit sinus odontogenik memerlukan pertimbangan khusus karena beberapa perbedaan

yang ada dalam patofisiologi, mikrobiologi, dan penanganan dibandingkan dengan community-

acquired sinusitis. Jika tidak, pengobatan penyakit sinus akan gagal dan menyebabkan terapi

medis lama atau operasi yang tidak perlu [1,4].

Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama-tama, evaluasi kasus dalam hal

simtomatologinya dilakukan oleh seorang spesialis Telinga Hidung Tenggorokan dan ini adalah

penilaian subyektif. Kedua, kami memilih nilai 2 mm, untuk mendapatkan ketebalan tertentu

dalam setiap pengukuran, serta untuk mengukur secara objektif dalam bagian CT. Kami memilih

nilai ini karena kami harus menetapkan nilai batas minimum yang dapat diukur dengan jelas.

7

Page 8: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

BAB III

PEMBAHASAN

Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Penyakit sinusitis

selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal (KOM) oleh infeksi, obstruksi

mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran infeksi gigi.

Sinus maksilaris, yang secara anatomi berada di pertengahan antara hidung dan rongga

mulut merupakan lokasi yang rentan terinvasi organisme patogen lewat ostium sinus maupun

lewat rongga mulut. Sinusitis dentogen dapat mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus

sinusitis maksilaris.

Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus

maksila adalah prosesus alveolaris tenpat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila

hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa

tulang pembatas.

Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah

menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe.

Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :

a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi kaninus

sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar

gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada

juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal.

b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya dasar sinus

sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi.

c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari membran

periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus.

d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila.

e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambahan akibat

pengisian saluran akar yang berlebihan.

f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis.

8

Page 9: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan

folikuler.

h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan

obstruksi ostium yang memicu sinusitis.

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens

mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel

respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan

viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk

membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat yang berfungsi

sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.

Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah

terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya

hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan

mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus

yang kurang baik pada sinus. Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi

karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan

lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan

pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai

selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga

terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar

menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu

inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus

menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila. Dengan ini

dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi

ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan

merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tidak

jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa

bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik

9

Page 10: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

dan turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di

tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan

terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada. Sinusitis maksilaris dari

tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya

sangat berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta

pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal

mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis dentogen menjadi lebih lambat

dari sinusitis tipe rinogen.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CTscan. Foto

polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-

sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan,

batas udara-cairan (airfluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa. CT-scan sinus

merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit

dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya

dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan

atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.

10

Page 11: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Kami menemukan hubungan antara lekukan akar gigi dan penebalan mukosa pada sinus

maksilaris. Oleh karena itu, lekukan gigi harus tetap diingat sebagai penyebab pada inflamasi

sinus maksilaris kronis, jika penyebab tidak dapat diidentifikasi. Sebuah upaya kolaborasi erat

antara medis dan spesialis gigi sangat penting untuk diagnosis yang akurat dan pengobatan yang

optimal. Selanjutnya penelitian multisenter diperlukan untuk mengkonfirmasi hubungan antara

lekukan gigi dan sinusitis maksilaris.

11

Page 12: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

DAFTAR PUSTAKA

1. O. Arias-Irimia, C. Barona-Dorado, J. A. Santos-Marino, N. Martínez-Rodriguez and J.

M. Martínez-González, “Meta-Analysis of the Etiology of Odontogenic Maxillary

Sinusitis,” Medicina Oral Patologia Oral y Cirugia Bucal, Vol. 15, No. 1, 2010, pp. 70-

73. doi:10.4317/medoral.15.e70

2. D. P. Kretzschmar and J. L. Kretzschmar, “Rhinosinusitis: review from a dental

perspective”, Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology, and Endo-

dontics, Vol. 96, No.2, 2003, pp. 128-135. doi:10.1016/S1079-2104(03)00306-8

3. J. Vallo, L. Suominen-Taipale, S. Huumonen, K. Soik- konen and A. Norblad,

“Prevalence of Mucosal Abnor- malities of the Maxillary Sinus and Their Relationship to

Dental Disease in Panoramic Radiography: Results from the Health 2000 Health

Examination Survey,” Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology,

and Endodontics, Vol. 109, No. 3, 2010, pp. 80-87. doi:10.1016/j.tripleo.2009.10.031

4. A. Whyte and G. Chapeikin, “Opaque Maxillary Antrum: A Pictorial Review,”

Australasian Radiology, Vol. 49, No. 3, 2005, pp. 203-213. doi:10.1111/j.1440-

1673.2005.01432.x

5. K. Patel, S. V. Chavda, N. Violaris and A. L. Pahor, “In-cidental Paranasal Sinus

İnflammatory Changes in a British Population,” Journal of Laryngology and Otology,

Vol. 110, No. 7, 1996, pp. 649-651. doi:10.1017/S0022215100134516

6. I. Brook, “Sinusitis of Odontogenic Origin,” Otolaryn- gology—Head and Neck Surgery,

Vol. 135, No. 3, 2006, pp. 349-355. doi:10.1016/j.otohns.2005.10.059

7. H. M. Worth and D. W. Stoneman, “Radiographic İnter- pretation of Antral Mucosal

Changes Due to Localized Dental İnfection,” Journal of the Canadian Dental Asso-

ciation, Vol. 38, No. 3, 1972, pp. 111-116.

8. N. L. Rhodus, “The Prevalence and Clinical Significance of Maxillary Sinus Mucous

Retention Cyst in a General Clinic Population,” Ear, Nose and Throat Journal, Vol. 69,

No. 2, 1990, pp. 82-90.

9. H. C. Kelley and L. W. Kay, “The Maxillary Sinus and İts Dental İmplications,” John

Wright and Sons, Bristol, 1975.

12

Page 13: hubungan lekukan akar gigi dengan sinusitis maksilaris

10. J. Abrahams and R. M. Glassberg, “Dental Disease: A Frequently Unrecognized Cause of

Maxillary Sinus Ab-normalities?” American Journal of Roentgenology, Vol. 166, No. 5,

1996, pp. 1219-1223.

11. H. Sicher, “The Viscera of Head and Neck,” CV Mosby, St. Louis, 1975.

12. P. Mehra, A. Caiazzo and S. Bestgen, “Odontogenic Sinusitis Causing Orbital Cellulitis:

A Case Report,” Journal of the American Dental Association, Vol. 130, No. 7, 1999, pp.

1086-1092.

13. C. Phillips and T. Platts-MiIIs, “Chronic Sinusitis: Relationship between CT Findings

and Clinical History of Asthma, Allergy, Eosinophilia, and İnfection”, Ameri- can

Journal of Roentgenology, Vol. 164, No. 1, 1995, pp. 185-187.

14. J. P. Van den Bergh, C. M. ten Bruggenkate, F. J. Disch and D. B. Tuinzing, “Anatomical

Aspects of Sinus Floor Elevations,” Clinical Oral Implants Research, Vol. 11, No. 3,

2000, pp. 256-265. doi:10.1034/j.1600-0501.2000.011003256.x

15. C. A. Cagici, C. Yilmazer, C. Hurcan, C. Ozer and F. Ozer, “Appropriate İnterslice Gap

for Screening Coronal Paranasal Sinus Tomography for Mucosal Thickening,” European

Archives of Otorhinolaryngology, Vol. 266, No. 4, 2009, pp. 519-525.

doi:10.1007/s00405-008-0786-6

16. H. Falk, S. Ericson and A. Hugosona, “The Effects of Periodontal Treatment on Mucosal

Membrane Thickening in the Maxillary Sinus,” Journal of Clinical Periodo- ntology,

Vol. 13, No. 3, l986, pp. 217-222.

17. K. Yoshiura, S. Ban, T. Hijiya, K. Yuasa, K. Miwa, E. Ariji, et al., “Analysis of

Maxillary Sinusitis Using Com- puted Tomography,” Dentomaxillofacial Radiolology,

Vol. 22, No. 2, 1993, pp. 86-92.

18. D. Yildirim, O. Saglam, B. Gurpinar and T. Ilica, “Nasal Cavity Masses: Clinico-

Radiologic Collaborations, Diffe- rential Diagnosis by Special Clues,” Open Journal of

Medical Imaging, Vol. 2 No. 1, 2012, pp. 10-18. doi:10.4236/ojmi.2012.21002

19. E. Konen, M. Faibel, Y. Kleinbaum, M. Wolf, A. Lusky, C. Hoffman, et al., “The Value

of the Occipitomental (Water’s) View in Diagnosis of Sinusitis: A Comparative Study

with Computed Tomography,” Clinical Radiology, Vol. 55, No. 11, 2000, pp. 856-860.

13