BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinusitis adalah penyakit multifaktorial ditandai oleh peradangan mukosa sinus paranasal
karena infeksi virus, bakteri atau jamur pada saluran pernapasan bagian atas [1]. Sinus
maksilaris terletak antara rongga hidung, mulut dan orbital dan karena itu paling rentan dari
semua sinus untuk invasi bakteri patogen melalui ostium hidung atau rongga mulut. Karena
sinus maksilaris berada di sekitar struktur vital, sehingga infeksi harus segera diobati [2].
Temuan radiologis yang paling sering pada sinus maksilaris adalah penebalan mukosa
dan kista mukosa [3]. Adanya penebalan mukosa sinus maksilaris umumnya
mengindikasikan adanya iritasi mukosa [7]. Iritasi odontogenik seperti abses periodontal, gigi
rahang atas nonvital, gigi tertanam, karies gigi yang luas, dan fistula oro-antral [8]. Sebab
odontogenik seperti penyakit periodontal dan lesi periapikal dilaporkan menyebabkan 58%
sampai 78% penebalan mukosa pada sinus maksilaris [3].
CT sangat membantu untuk mengevaluasi hubungan akar gigi rahang atas dengan dasar
sinus maksilaris. CT mengungkapkan adanya ketebalan mukosa, , gigi atau adanya benda
asing di dalam batas-batas sinus [6].
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sinusitis maksilaris odontogenik?
2. Apa saja temuan radiologis yang didapatkan pada sinusitis maksilaris odontogenik?
3. Adakah hubungan antara lekukan akar gigi dan sinusitis maksilaris?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan sinusitis maksilaris odontogenik
2. Mengetahui apa saja temuan radiologis yang didapatkan pada sinusitis maksilaris
odontogenik
3. Mengetahui hubungan antara lekukan akar gigi dan sinusitis maksilaris
1
1.4 Manfaat
Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu gigi dan mulut
pada khususnya
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abstrak
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara lekukan akar gigi dan sinusitis maksilaris.
Metode: Kami menilai rekam medis pasien yang menjalani computed tomography imaging
sinus paranasal yang dicurigai sinusitis.
Hasil: Kami mengidentifikasi total 52 pasien dengan prediagnosis sinusitis maksilaris.
Lekukan gigi terdeteksi pada 58 dari 104 (55,7%) sinus. Empat puluh enam dari 58 sinus
(79,3%) dengan lekukan gigi memiliki penebalan mukosa lebih dari 2 mm. Perbedaan antara
kelompok secara statistik signifikan (p = 0,007).
Kesimpulan: lekukan gigi harus diingat sebagai penyebab terjadinya inflamasi sinus
maksilaris kronis, jika penyebabnya tidak dapat diidentifikasi.
2.2 Introduksi
Sinusitis adalah penyakit multifaktorial ditandai oleh peradangan mukosa sinus paranasal
karena infeksi virus, bakteri atau jamur pada saluran pernapasan bagian atas [1]. Sinus maksilaris
terletak antara rongga hidung, mulut dan orbital dan karena itu paling rentan dari semua sinus
untuk invasi bakteri patogen melalui ostium hidung atau rongga mulut. Karena sinus maksilaris
berada di sekitar struktur vital, sehingga infeksi harus segera diobati [2]. Temuan radiologis yang
paling sering pada sinus maksilaris adalah penebalan mukosa dan kista mukosa [3]. Penebalan
mukosa sinus maksilaris dua kali lebih luas pada pasien dengan penyakit gigi [4] dan prevalensi
yang dilaporkan dari penebalan mukosa dalam survei radiografi berkisar antara 23% dan 31%
[5]. Selain itu, telah dilaporkan bahwa penebalan mukosa terdeteksi pada tingkat yang lebih
tinggi pada metode pencitraan cross sectional seperti computerized tomography (CT) untuk MRI
daripada dengan sinar-X [6].
Adanya penebalan mukosa sinus maksilaris umumnya mengindikasikan adanya iritasi
mukosa [7]. Iritasi odontogenik seperti abses periodontal, gigi rahang atas nonvital, gigi
tertanam, karies gigi yang luas, dan fistula oro-antral [8]. Sebab odontogenik seperti penyakit
3
periodontal dan lesi periapikal dilaporkan menyebabkan 58% sampai 78% penebalan mukosa
pada sinus maksilaris [3].
Gambaran radiologis adalah alat penting dalam menegakkan diagnosis. CT sangat
membantu untuk mengevaluasi hubungan akar gigi rahang atas dengan dasar sinus maksilaris.
CT mengungkapkan adanya ketebalan mukosa, , gigi atau adanya benda asing di dalam batas-
batas sinus [6]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti hubungan antara adanya lekukan
gigi ke dalam sinus maksilaris dan penebalan mukosa.
2.3 Bahan dan Metode
Penelitian retrospektif ini dilakukan pada pasien yang telah menjalani CT imaging sinus
paranasal yang dicurigai sinusitis. Protokol penelitian telah disetujui oleh Komite Etika Lokal.
Data demografi dan riwayat medis dari pasien diperoleh dari rekam medis.
Ketika semua pasien disaring dari arsip secara retrospektif, mereka sesuai dengan diagnose
sinusitis dalam hal symptomatologic dan mereka didiagnosis sebagai sinusitis dengan
symptomology dan setelah pemeriksaan CT imaging, pasien yang memiliki gejala klinis dengan
gambaran radiologis sinusitis menerima perawatan medis. Pada pemeriksaan CT, dengan kasus
yang didapatkan adanya patologi gigi primer (abses, tumor odontogenik dll) dikeluarkan dari
penelitian. Gambaran CT dan rekam medis pada 52 pasien berturut-turut mengunjungi
Departemen Telinga, Hidung dan Tenggorokan.
Pemeriksaan dilakukan dengan heliks CT (Somatom DRH, Siemens, Erlengen, Jerman).
Penyesuaian bagian dicapai pada scenograms lateral. CT scan aksial dan koronal dengan
ketebalan irisan 5 mm pada masing-masing pasien. Potongan direkonstruksi secara otomatis dan
dievaluasi oleh radiolog yang berpengalaman. Aksial diperoleh gambar baris data yang
direkonstruksi secara tipis (2 mm) gambar penampang (koronal dan sagital) dengan
menggunakan algoritma sharp-bone otomatis. Dalam setiap kasus baris berorientasi horizontal
melintasi tangensial titik terdalam dari dasar sinus maksilaris (Gambar 1). Ketinggian maksimal
pada lekukan yang berhubungan dengan gigi rahang atas dan ketebalan mukosa dicatat bersama-
sama dalam sebuah tabel. Tingkat indentasi dicatat dan penebalan mukosa sinus maksilaris
didefinisikan positif jika ketebalan struktur jaringan lunakdalam keberadaan jaringan lunak >2
mm.
4
Sinus maksilaris tanpa lekukan gigi pada kasus yang sama digunakan sebagai kelompok
kontrol normal. Semua langkah telah dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang akurat
(dengan akurasi = 0,1 mm) dalam perangkat lunak, dengan menggunakan tampilan layar
diagnostik.
Kemudian, dengan menggunakan semua data yang direkam, dilakukan analisa statistik
untuk mengungkapkan hubungan antara lekukan akar gigi dan sinusitis maksilaris. Analisis
statistik dibuat dengan menggunakan SPSS 11 (Chicago, IL). Data disajikan dengan rata-rata ±
SD. Kategori variabel dianalisis dengan menggunakan Chi-Square test dan variabel kontinyu
dianalisis dengan menggunakan independen sampel t test. p <0,05 yang betul-betul
dipertimbangan sebagai signifikan secara statistik.
Gambar 1. CT imaging pada potongan koronal sinus paranasal pada kasus yang berbeda. (a)
Pengukuran derajat lekukan akar diwakili oleh panah dua arah diatas dasar mukosa (garis putus-
putus). (b) Dalam kasus lain, penebalan mukosa diukur di bagian paling tebal dari patologi
(panah dua arah).
2.4 Hasil
Kelompok studi terdiri dari 52 pasien (50% pria dan 50% wanita) dengan usia rata-rata
33,1 + / - 10,2 tahun. Lekukan gigi terdeteksi pada 58 dari 104 (55,7%) sinus. Rata-rata panjang
lekukan gigi adalah 4.31 ± 2.87 mm. Lekukan gigi bilateral ditemukan pada 20 (38,4%) kasus
dan unilateral pada 19 (36,5%) kasus. Penebalan mukosa yang lebih dari 2 mm terdeteksi pada
71 dari 104 (68,3%) sinus. Empat puluh enam dari 58 sinus (79,3%) dengan lekukan gigi dan 25
dari 46 (54,3%) sinus tanpa lekukan gigi memiliki penebalan mukosa. Perbedaan antara
5
kelompok secara statistik signifikan (p = 0,007). Selain itu, ketebalan mukosa secara signifikan
lebih tinggi di sinus dengan lekukan gigi (7.76 ± 8.39 mm) dibandingkan dengan sinus tanpa
adanya lekukan gigi (3.17 ± 4.14 mm) (p = 0,001).
2.5 Diskusi
Sinus maksilaris berkembang paling awal di antara sinus yang lain. Perkembangannya
dimulai pada bulan ke-3 kehidupan janin dan berakhir pada 14 - 16 usia ketika perkembangan
alveolar gigi atas berakhir [9]. Hal ini sering terlihat bahwa akar gigi molar menembus dasar
sinus maksilaris yang terbentuk selama perkembangan posterior dari proses alveolar rahang atas.
Selain itu, akar gigi rahang atas dapat menonjol ke dalam rongga sinus selama ekspansi lanjutan
dan pneumatisasi dari sinus maksilaris [10,11].
Secara umum, gigi seri dan gigi taring tidak memiliki kedekatan dengan sinus, tetapi gigi
premolar dan khususnya gigi molar terletak di bawah dasar sinus maksilaris. Sebagai hasil dari
hubungan ini, infeksi periapikal dapat menyebabkan iritasi mukosa dan penebalan dalam sinus
maksilaris [4].
Dasar sinus merupakan barier yang efektif sehingga jarang memungkinkan untuk penetrasi
langsung infeksi odontogenik ke dalam sinus maksilaris. Akan tetapi, pada individu yang
akarnya gigi proksimal ke lantai sinus atau menonjol ke rongga sinus, infeksi odontogenik dapat
masuk ke dalam sinus dan akan menghasilkan respons mukosa reaktif di dalam sinus [4,12].
Vallo et al. mendukung bahwa temuan gigi patologis dan perawatan saluran akar secara
signifikan berhubungan dengan penebalan mukosa tapi tidak berhubungan dengan kista mukosa
[3]. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan besar dalam nilai rata-rata dari
penebalan mukosa pada dua kelompok sinus maksilaris (dengan dan tanpa lekukan gigi).
Ketebalan mukosa pada sinus maksilaris yang normal menjadi variabel [13]. Beberapa
studi mendukung bahwa, rata-rata, ketebalan normal pada sinus yang sehat dapat mencapai
sekitar 1 mm, dengan variasi antara individu [14]. Secara umum, 2 mm dianggap sebagai
ambang batas yang dianggap sebagai pembengkakan mukosa patologis [15]. Dalam penelitian
kami, ketebalan mukosa lebih dari 2 mm dianggap sebagai patologis. Kami menemukan bahwa
ketebalan mukosa secara signifikan lebih tinggi di sinus dengan lekukan gigi (7.76 ± 8.39 mm)
dibandingkan dengan sinus tanpa lekukan gigi (3.17 ± 4.14 mm) (p = 0,001).
6
Meskipun, ada studi yang meneliti penyakit gigi dan sinus maksilaris patologis, tidak ada
studi yang menyelidiki hubungan antara lekukan gigi dan sinusitis maksilaris. Abrahams et al.
menunjukkan bahwa dua kali lipat peningkatan terjadi pada penyakit sinus maksilaris yaitu
pasien dengan penyakit periodontal dan mendukung adanya hubungan kausal [10]. Falk et al.
mendukug bahwa pasien yang menjalani pengobatan yang berhasil pada penyakit periodontal
memiliki penurunan yang signifikan dalam insiden penyakit sinus maksilaris [16].
Pemeriksaan radiologi adalah alat penting untuk menegakkan diagnosis penyakit sinus
[17,18]. Kemampuan untuk memvisualisasikan tulang dan jaringan lunak dan memperoleh
potongan dan beberapa gambaran sehingga CT menjadi metode pencitraan pilihan untuk
mengevaluasi sinus paranasal [12]. gambaran aksial dan koronal juga memungkinkan melihat
adanya periapikal abses odontogenik yang dekat dengan defek dasar sinus dan jaringan sinus
yang sakit. CT harus dipilihi ketika temuan klinis sangat mendukung sinusitis tapi pada
pemeriksaan sinar-X gagal untuk mendeteksi sinusitis [19].
Penyakit sinus odontogenik memerlukan pertimbangan khusus karena beberapa perbedaan
yang ada dalam patofisiologi, mikrobiologi, dan penanganan dibandingkan dengan community-
acquired sinusitis. Jika tidak, pengobatan penyakit sinus akan gagal dan menyebabkan terapi
medis lama atau operasi yang tidak perlu [1,4].
Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama-tama, evaluasi kasus dalam hal
simtomatologinya dilakukan oleh seorang spesialis Telinga Hidung Tenggorokan dan ini adalah
penilaian subyektif. Kedua, kami memilih nilai 2 mm, untuk mendapatkan ketebalan tertentu
dalam setiap pengukuran, serta untuk mengukur secara objektif dalam bagian CT. Kami memilih
nilai ini karena kami harus menetapkan nilai batas minimum yang dapat diukur dengan jelas.
7
BAB III
PEMBAHASAN
Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Penyakit sinusitis
selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal (KOM) oleh infeksi, obstruksi
mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran infeksi gigi.
Sinus maksilaris, yang secara anatomi berada di pertengahan antara hidung dan rongga
mulut merupakan lokasi yang rentan terinvasi organisme patogen lewat ostium sinus maupun
lewat rongga mulut. Sinusitis dentogen dapat mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus
sinusitis maksilaris.
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus
maksila adalah prosesus alveolaris tenpat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila
hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa
tulang pembatas.
Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah
menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :
a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi kaninus
sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar
gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada
juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal.
b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya dasar sinus
sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi.
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari membran
periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus.
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila.
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambahan akibat
pengisian saluran akar yang berlebihan.
f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis.
8
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan
folikuler.
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan
obstruksi ostium yang memicu sinusitis.
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel
respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan
viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat yang berfungsi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah
terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya
hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan
mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus
yang kurang baik pada sinus. Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi
karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan
lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan
pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai
selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga
terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar
menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu
inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus
menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila. Dengan ini
dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi
ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan
merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tidak
jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa
bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik
9
dan turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di
tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada. Sinusitis maksilaris dari
tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya
sangat berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta
pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal
mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis dentogen menjadi lebih lambat
dari sinusitis tipe rinogen.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CTscan. Foto
polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-
sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan,
batas udara-cairan (airfluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa. CT-scan sinus
merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit
dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan
atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.
10
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Kami menemukan hubungan antara lekukan akar gigi dan penebalan mukosa pada sinus
maksilaris. Oleh karena itu, lekukan gigi harus tetap diingat sebagai penyebab pada inflamasi
sinus maksilaris kronis, jika penyebab tidak dapat diidentifikasi. Sebuah upaya kolaborasi erat
antara medis dan spesialis gigi sangat penting untuk diagnosis yang akurat dan pengobatan yang
optimal. Selanjutnya penelitian multisenter diperlukan untuk mengkonfirmasi hubungan antara
lekukan gigi dan sinusitis maksilaris.
11
DAFTAR PUSTAKA
1. O. Arias-Irimia, C. Barona-Dorado, J. A. Santos-Marino, N. Martínez-Rodriguez and J.
M. Martínez-González, “Meta-Analysis of the Etiology of Odontogenic Maxillary
Sinusitis,” Medicina Oral Patologia Oral y Cirugia Bucal, Vol. 15, No. 1, 2010, pp. 70-
73. doi:10.4317/medoral.15.e70
2. D. P. Kretzschmar and J. L. Kretzschmar, “Rhinosinusitis: review from a dental
perspective”, Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology, and Endo-
dontics, Vol. 96, No.2, 2003, pp. 128-135. doi:10.1016/S1079-2104(03)00306-8
3. J. Vallo, L. Suominen-Taipale, S. Huumonen, K. Soik- konen and A. Norblad,
“Prevalence of Mucosal Abnor- malities of the Maxillary Sinus and Their Relationship to
Dental Disease in Panoramic Radiography: Results from the Health 2000 Health
Examination Survey,” Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology,
and Endodontics, Vol. 109, No. 3, 2010, pp. 80-87. doi:10.1016/j.tripleo.2009.10.031
4. A. Whyte and G. Chapeikin, “Opaque Maxillary Antrum: A Pictorial Review,”
Australasian Radiology, Vol. 49, No. 3, 2005, pp. 203-213. doi:10.1111/j.1440-
1673.2005.01432.x
5. K. Patel, S. V. Chavda, N. Violaris and A. L. Pahor, “In-cidental Paranasal Sinus
İnflammatory Changes in a British Population,” Journal of Laryngology and Otology,
Vol. 110, No. 7, 1996, pp. 649-651. doi:10.1017/S0022215100134516
6. I. Brook, “Sinusitis of Odontogenic Origin,” Otolaryn- gology—Head and Neck Surgery,
Vol. 135, No. 3, 2006, pp. 349-355. doi:10.1016/j.otohns.2005.10.059
7. H. M. Worth and D. W. Stoneman, “Radiographic İnter- pretation of Antral Mucosal
Changes Due to Localized Dental İnfection,” Journal of the Canadian Dental Asso-
ciation, Vol. 38, No. 3, 1972, pp. 111-116.
8. N. L. Rhodus, “The Prevalence and Clinical Significance of Maxillary Sinus Mucous
Retention Cyst in a General Clinic Population,” Ear, Nose and Throat Journal, Vol. 69,
No. 2, 1990, pp. 82-90.
9. H. C. Kelley and L. W. Kay, “The Maxillary Sinus and İts Dental İmplications,” John
Wright and Sons, Bristol, 1975.
12
10. J. Abrahams and R. M. Glassberg, “Dental Disease: A Frequently Unrecognized Cause of
Maxillary Sinus Ab-normalities?” American Journal of Roentgenology, Vol. 166, No. 5,
1996, pp. 1219-1223.
11. H. Sicher, “The Viscera of Head and Neck,” CV Mosby, St. Louis, 1975.
12. P. Mehra, A. Caiazzo and S. Bestgen, “Odontogenic Sinusitis Causing Orbital Cellulitis:
A Case Report,” Journal of the American Dental Association, Vol. 130, No. 7, 1999, pp.
1086-1092.
13. C. Phillips and T. Platts-MiIIs, “Chronic Sinusitis: Relationship between CT Findings
and Clinical History of Asthma, Allergy, Eosinophilia, and İnfection”, Ameri- can
Journal of Roentgenology, Vol. 164, No. 1, 1995, pp. 185-187.
14. J. P. Van den Bergh, C. M. ten Bruggenkate, F. J. Disch and D. B. Tuinzing, “Anatomical
Aspects of Sinus Floor Elevations,” Clinical Oral Implants Research, Vol. 11, No. 3,
2000, pp. 256-265. doi:10.1034/j.1600-0501.2000.011003256.x
15. C. A. Cagici, C. Yilmazer, C. Hurcan, C. Ozer and F. Ozer, “Appropriate İnterslice Gap
for Screening Coronal Paranasal Sinus Tomography for Mucosal Thickening,” European
Archives of Otorhinolaryngology, Vol. 266, No. 4, 2009, pp. 519-525.
doi:10.1007/s00405-008-0786-6
16. H. Falk, S. Ericson and A. Hugosona, “The Effects of Periodontal Treatment on Mucosal
Membrane Thickening in the Maxillary Sinus,” Journal of Clinical Periodo- ntology,
Vol. 13, No. 3, l986, pp. 217-222.
17. K. Yoshiura, S. Ban, T. Hijiya, K. Yuasa, K. Miwa, E. Ariji, et al., “Analysis of
Maxillary Sinusitis Using Com- puted Tomography,” Dentomaxillofacial Radiolology,
Vol. 22, No. 2, 1993, pp. 86-92.
18. D. Yildirim, O. Saglam, B. Gurpinar and T. Ilica, “Nasal Cavity Masses: Clinico-
Radiologic Collaborations, Diffe- rential Diagnosis by Special Clues,” Open Journal of
Medical Imaging, Vol. 2 No. 1, 2012, pp. 10-18. doi:10.4236/ojmi.2012.21002
19. E. Konen, M. Faibel, Y. Kleinbaum, M. Wolf, A. Lusky, C. Hoffman, et al., “The Value
of the Occipitomental (Water’s) View in Diagnosis of Sinusitis: A Comparative Study
with Computed Tomography,” Clinical Radiology, Vol. 55, No. 11, 2000, pp. 856-860.
13
Recommended