Upload
lamnga
View
249
Download
17
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN PENERAPAN BUDAYA KERATON
DENGAN AKHLAK SANTRI
PONDOK PESANTREN NADWATUL UMMAH
BUNTET PESANTREN CIREBON
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Disusun Oleh :
Ahmad Yusuf Qurdhowi
Nim : 109011000068
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
LEMBAR PENGESAHAN
HUBUNGAN PENERAPAN BUDAYA KERATON
DENGAN AKHLAK SANTRI
PONDOK PESANTREN NADWATUL UMMAH
BUNTET PESANTREN CIREBON
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I)
Disusun Oleh :
Ahmad Yusuf Qurdhowi
NIM : 109011000068
Dibawah Bimbingan :
Drs. Rusdi Jamil, MA
NIP. 1962 1231 19950 31 005
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ABSTRAK
Nama : Ahmad Yusuf Qurdhowi
Nim : 109011000068
Fak/Jurusan : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Hubungan Penerapan Budaya Keraton Terhadap Akhlak Santri di
Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Cirebon
Skripsi ini berjudul Hubungan Penerapan Budaya Keraton Terhadap
Akhlak Santri di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Cirebon. Lingkup yang
dijadikan penelitian penulis adalah sikap para abdi terhadap para sultan dan
keluarga sultan. Tujuan dari penulisan skripsi adalah untuk mencari hubungan
antara penerapan budaya keraton terhadap akhlak santri di pondok pesantren
Nadwatul Ummah Cirebon. Penerapan budaya keraton seperti ini sangat jarang
diterapkan dalam dunia pendidikan baik sekolah umum maupun dalam
pendidikan pesantren sehingga perlu diketahui latar belakang serta pengaruhnya
penerpan budaya keraton terhadap akhlak santri di pondok pesantren.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
deskriptif kuantitatif yang dalam pelaksanaannya penulis mengadakan penelitian
lapangan dengan cara menyebar angket kepada beberapa responden serta
mengadakan obserfasi di pesantren yang menjadi tempat penelitian.
Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan penulis menunjukan bahwa
antara penerapan budaya keraton dengan akhlak santri pondok pesantren
Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon menunjukan adanya hubungan yang
signifikan dengan hasil perhitungan yang menunjukan r hitung > r tabel (r hitung 0, 61 >
r tabel 5% = 0, 273 / r hitung 0, 61 > r tabel 1% = 0, 354) yang artinya r hitung lebih besar
(0, 61) dari r tabel 5% (0, 273) dan r tabel 1% (0, 354). Hal ini dikarenakan dengan
adanya penerpan budaya keraton dapat membantu proses pendidikan di peantren
terutama dalam pendidikan akhlak, dimana para santri mendapatkan pendidikan
akhlak yang nyata melalui penerapan budaya keraton.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara penerapan budaya keraton dengan akhlak santri di pondok
pesantren Nadwatul Ummah, karena dengan penerapan buadaya tersebut dapat
membantu proses pendidikan di pesantren.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah Illahi Rabbi yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini. Shalawat beriringan
salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
SAW sebagai suri tauladan bagi umat manusia.
Skripsi ini berjudul Hubungan Penerapan Budaya Keraton terhadap
Akhlak Santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon,
merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana
Pendidikan Islam (S. Pd. I).
Atas selesainya Skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan serta doa dari
berbagai pihak yang telah memberikan kontribusinya dalam rangka penyusunan
dan penulisan Skripsi ini, untuk itu penulis menyampaikan ribuan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyusun skripsi ini. Yaitu :
1. Kedua orang tua, yaitu Ahmad Junaedi dan Rianawati, S. Pd yang telah
merawat dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang secara tulus,
mendoakan dan mencukupi moril serta materil kepada penulis.
2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Ibu Nurlena Rifa‘i MA, Ph. D, beserta seluruh staffnya.
3. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam bapak Bahrissalim, M.Ag dan
seketaris Jurusan Pendidikan Agama Islam bapak Drs. Sapiuddin Shidiq, MA
beserta seluruh staffnya.
4. Bapak Drs. Rusdi Jami, MA yang telah sabar dan meluangkan waktunya
untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan ilmunya dan membimbing kepada penulis selama menuntut ilmu
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga bapak dan ibu dosen selalu dalam
ii
rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat
bermanfaat dikemudian hari.
6. Dra. Shofiah, M.Ag sebagai dosen penasehat akademik, yang memberikan
dukungan dan bimbingan kepada penulis, untuk menyelesaikan studi tepat
waktu.
7. Bapak pimpinan beserta para staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan
Fakulatas Tarbiyah dan Keguruan, atas segala kemudahan yang diberikan
kepada penulis untuk mendapatkan referensi yang mendukung penyelesaian
skripsi ini.
8. Pengasuh Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon Dr.
KH. Luthfi El-Hakim, MA beserta keluarga besar Pondok Pesantren yang
telah bersedia membantu penulis melakukan penelitian di Pesantren.
9. Seluruh santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon
yang telah bersedia membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir
dengan mengisi angket yang telah disebarkan.
10. Seluruh teman-teman Jurusan Pendidikan Agama Islam yang selalu
mensuport penulis serta memberikan masukan dalam menyelesaikan tugas
akhir hingga skripsi ini selesai.
Semoga bantuan yang telah diberikan dapat berbuah berkah dan pahala
sehingga bermanfa‘at bagi penulis dan juga semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi. Dan semoga apa yang telah
penulis hasilkan dari skripsi ini dapat bermanfa‘at bagi semua orang pada
umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri.
Amin ya Rabbal‘alamin.
Jakarta, 04 Mei 2014
Ahmad Yusuf Qurdhowi
iii
DAFTAR ISI
COVER
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK .....................................................................................................i
KATA PENGANTAR ...................................................................................ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................iv
DAFTAR TABEL .........................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................................4
C. Pembatasan Masalah ..................................................................................4
D. Perumusan Masalah ....................................................................................5
E. Tujuan Penelitian ........................................................................................6
F. Kegunaan Penelitian ...................................................................................6
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teoritik ......................................................................................7
1. Budaya ..............................................................................................7
a. Pengertian Budaya ........................................................................7
b. Substansi (Isi) Budaya ..................................................................9
2. Keraton .............................................................................................10
a. Pengertian Keraton .......................................................................10
b. Unsur-unsur Keraton ....................................................................11
c. Budaya Keraton ............................................................................11
3. Pesantren ...........................................................................................14
a. Pengertian Pesantren ....................................................................14
b. Tujuan Pesantren ..........................................................................15
c. Elemen-elemen Pesantren ............................................................15
d. Kategorisasi Pesantren ..................................................................17
e. Pola Pesantren ..............................................................................18
iv
4. Akhlak ...............................................................................................19
a. Pengertian Akhlak ..........................................................................19
b. Ruang Lingkup Akhlak..................................................................20
1) Akhlak Seorang Anak Kepada Orangtua ..............................20
2) Akhlak Seorang Murid Kepada Guru ....................................23
B. Kajian Penelitian Terdahulu Yang Relevan ..............................................24
C. Kerangka Berfikir .......................................................................................27
D. Hipotesis Penelitian ....................................................................................29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................30
B. Metode Penelitian .......................................................................................30
C. Populasi Dan Sampel ..................................................................................31
D. Teknik Pengumpulan Data .........................................................................32
E. Tehnik Analisis Data ..................................................................................34
F. Hipotesis Statistik .......................................................................................36
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data .............................................................................................37
1. Penerapan Budaya Keraton ...............................................................37
2. Deskripsi Data Hasil Angket Penelitian ...........................................42
B. Pengujian Hipotesis Penerapan Budaya Keraton Terhadap Akhlak santri . 59
C. Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................................60
1. Interprestasi dan Pemaknaan Hasil Penelitian ..................................60
2. Keterkaitan Pola Perilaku Adab Abdi Dalem di Keraton dengan
Akhlak Santri di Pesantren ................................................................62
3. Keterkaitan Hasil Penelitian dengan Penelitian Terdahulu ...............63
D. Keterbatasan Penelitian ..............................................................................64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................................67
B. Implikasi Penelitian ....................................................................................68
C. Saran ...........................................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................70
LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
Daftar Tabel
Tabel 1 Kisi-kisi angket
Tabel 2 Penskoran angket positif
Tabel 3 Penskoran angket Negatif
Tabel 4 deskripsi angket no. 1
Tabel 5 deskripsi angket no. 2
Tabel 6 deskripsi angket no. 3
Tabel 7 deskripsi angket no. 4
Tabel 8 deskripsi angket no. 5
Tabel 9 deskripsi angket no. 6
Tabel 10 deskripsi angket no. 7
Tabel 11 deskripsi angket no. 8
Tabel 12 deskripsi angket no. 9
Tabel 13 deskripsi angket no. 10
Tabel 14 deskripsi angket no. 11
Tabel 15 deskripsi angket no. 12
Tabel 16 deskripsi angket no. 13
Tabel 17 deskripsi angket no. 14
Tabel 18 deskripsi angket no. 15
Tabel 19 deskripsi angket no. 16
Tabel 20 deskripsi angket no. 17
Tabel 21 deskripsi angket no. 18
Tabel 22 deskripsi angket no. 19
Tabel 23 deskripsi angket no. 20
Tabel 24 deskripsi angket no. 21
Tabel 25 deskripsi angket no. 22
Tabel 26 Indeks Korelasi variabel X dan variabel Y
Tabel 27 Indeks Korelasi Product Moment
vi
Daftar Lampiran
Lampiran 1 angket penelitian
Lampiran 2 pedoman wawancara
Lampiran 3 pedoman wawancara
Lampiran 4 pedoman wawancara
Lampiran 5 pedoman observasi
Lampiran 6 hasil penentuan sampel
Lampiran 7 hasil hitungan validitas instrumen variabel X
Lampiran 8 hasil hitungan validitas variabel Y
Lampiran 9 hasil uji reliabilitas Variabel X
Lamppiran 10 hasil uji reliabilitas Variabel Y
Lampiran 11 data mentah hitungan variabel X
Lampiran 12 data mentah htungan variabel Y
Lampiran 13 hasil analisis deskriptif
Lampiran 14 photo hasil penelitian
Lampiran 15 profil pesantren
Lampiran 16 surat izin penelitian
Lampiran 17 surat keterangan pesantren
Lampiran 18 hasil uji referensi
Lampiran 19 hasil uji referensi
Lampiran 20 hasil uji referensi
Lampiran 21 data pribadi penulis
vii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang
merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan pesantren di Indonesia dimulai
sejak Islam masuk di Negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan
keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum datangnya Islam.
Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama hidup di Negeri ini, pondok
pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar dalam membangun pendidikan
agama di Indonesia. Pesantren tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh nasional yang
berpengaruh tapi juga di akui telah berhasil membangun watak tersendiri, dimana
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam selama ini dikenal sebagai
bangsa yang penuh tenggang rasa.
Kendatipun demikian, dalam perjalanan sejarahnya yang panjang pondok
pesantren mengalami dinamika yang luar biasa. Hal ini tentu saja tidak terlepas
dari berbagai konteks yang melatar belakanginya. Diantara hal-hal yang
melatarbelakanginya adalah; pertama, fenomena tuntutan dan harapan masyarakat
yang cukup besar terhadap lembaga pendidikan Islam, seumpama dengan
tercerminnya animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya kelembaga
pendidikan Islam karena dianggap lebih aman dari sisi moral. Kedua, adanya
tuntutan dari pengguna jasa terhadap lembaga penddidika Islam. Ketiga, adanya
tuntutan era reformasi yang memberi peluang otonomsasi pendidikan tingkat
kabupaten.1 Keempat, semakin berkembangnya kemajuan tehnologi dan informasi
yang terdapat pada masyarakat luas, yang akhirnya menuntut suatu lembaga agar
terus berkembang maju menngikuti permintaan zaman.
Proses sejarah pesantren yang mengalami dinamika transformasi
memunculkan ideologi serta sistem pesantren yang berbeda-beda, hal ini
tergambarkan dari munculnya model atau tipe pesantren-pesantren yang kini
1 Amin Haedari, Transformasi Pesantren Pengembangan Aspek Pendidikan, keagamaan,
dan Sosial, (Jakarta: LeKDIS & Media Nusantara, 2006), h. 7-8
2
banyak berkembang, diantanya adalah; 1. Podok Pesantren Tradisional yang
masih mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab
yang ditulis oleh ulama abad ke 15 dengan menggunakan Bahasa Arab dengan
menggunakan metode halaqoh yang dilaksanakan di masjid atau surau. 2. Pondok
Pesantren Modern, dimana pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe
pesantren karena orientasi belajarnya cenderung mengadopsi seluruh sistem
belajar secara klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional. 3. Pondok
Pesantren Komprehensif, disebut komprehensif karena merupakan sistem
pendidikan dan pengajaran gabungan antara tradisional dan modern.2
Tuntutan zaman yang semakin hari semakin terus berkembang maju telah
mendorong pesantren untuk bergerak dinamis dalam menjalankan perannya
sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas tinggi. Seperti halnya Pondok
Pesantren Nadwatul Ummah Buntet pesantren Cirebon, pesantren yang menjadi
fokus penulis dalam penulisan skirpsi ini. Pesantren Nadwatul Ummah mengalami
perubahan yang dinamis mulai dari sistem pembelajaranya hingga sistem sosial
yang diberlakuakan dalam lingkungan pesantren.
Pesantren Nadwatul Ummah pada dasarnya adalah pesantren
salafi/tradisional yang dalam sistem pembelajarannya masih menggunakan
metode wetonan, sorogan dan hafalan. Seiring dengan berkembanganya zaman
serta berubahnya kondisi masyarakat, pesantren Nadwatul Ummah merubah
sistem pembelajaran dengan menggunakan sistem kelas dan metode pembelajaran
yang lebih berpariasi. Kendatipun demikian metode-metode lama seperti wetonan,
sorogan, dan hafalan masih tetap dipakai karena metode tersebut dianggap cocok
dan sesuai dalam proses pembelajaran di pesantren.
Selain itu pula, pesantren Nadwatul Ummah dalam sistem sosial yang
diberlakukan di pesantren menerapkan sistem yang tidak biasa diterapakan dalam
dunia pendidikan di pesantren pada umumnya. Pesantren Nadwatul Ummah
menerapkan sistem sosial budaya yang sama dengan sistem sosial di keraton.
2 M. Bahri Ghazali, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan Kasus Pondok
Pesantren An-Nuqoyah, (Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 2001) h. 14 -15
3
Dimana para santri diibaratkan sebagai abdi dalem yang mengabdi kepada
sultan/raja disebuah kerajaan/keraton.
Dalam pola kehidupan dan kebudayaan seperti ini, santri dibaratkan
seorang abdi dalem yang mengabdikan dirinya terhadap guru/kiyai yang
memimpin pesantren untuk menimba ilmu dipesantren. Sama halnya seorang abdi
dalem, santri haruslah tunduk dan patuh terhadap guru/kiyai serta keturunan dan
juga kerabatnya. Sistem sosial budaya seperti ini menjadi wajib untuk diterapkan
dalam kegiatan sehari-hari. Dan bagi santri yang tidak menerapkan pola seperti ini
dianggap sebagai santri yang tidak beradab dan tak tahu sopan santun. Hal
semacam ini terus berlaku baik ketika santri berada di ligkungan pesantren
ataupun bagi santri yang tidak lagi menetap dipesantren/sudah selesai menimba
ilmu dipesantren, karena hal ini menjadi barometer bagi setiap santri dalam
melanjutkan perannya sebagai agen of change.
sistem yang diterapkan di pesantren Nadwatul Ummah nyata telah
menjelaskan bahwa akulturasi budaya pesantren dengan budaya lokal merupakan
proses negosiasi antara tradisi dan Islam, membentuk budaya baru pesantren. Hal
ini disebabkan karena Islam dipahami tidak pernah membangun relasi oposisional
dengan adat dan budaya lokal. Islam yang dibawa, diantaranya oleh ―Walisongo‖ ,
telah berkolaborasi dengan budaya Jawa dan menjadi Islam Jawa yang memiliki
karakterisitik khas Jawa. Islam Jawa yang memiliki mengartikulasikan
keislamannya melalui smbol-simbol dan tradisi Jawa. Dengan sentuhan ilmu dan
teknologi modern, pesantren juga berakulturasi dengan peradaban modern dan
membentuk simbol-simbol tradisi Jawa Islam modern.3
Hubungan pesantren dengan tradisi serta kepercayaan lain tidak statis
karena selalu mengalami pasang surut. Bagaimanapun doktrin Islam perlu
diperkenalkan, terutama yang berkaitaan dengan penegakan iman dan amal saleh
yakni penegakan moralitas atau etika sosial. Penekanan pada ajaran moral
sebagaimana yang diajarkan dalam tasawuf seperti yang berkembang dipesantren
3 Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender),
(Purwokerto, STAIN Purwokerto Press, 2007) h. 121
4
tradisional/salafi yang memiliki impilkasi sosial yang sangat besar.4 Untuk itulah
pengadopsian budaya keraton di pesantren ini dinilai tepat demi membangun
nilai-nilai moral sosial yang sesuai dengan syari‗at agama, karena pada masa kini
proses pendidikan yang berlaku di Indonesia telah melupakan hal terpenting
dalam dunia pendidikan yaitu pendidikan moral atau pendidikan akhlak yang
berperan penting dalam pembentukan moral bangsa.
Dengan memperhatikan hal tersebut, maka dalam penyusunan skripsi ini
penulis tertarik untuk meneliti dan membahas tentang ―Hubungan Penerapan
Budaya Keraton Dengan Akhlak Santri di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah
Buntet Pesantren Cirebon‖ .
B. Identifikasi Masalah
Berkaitan dengan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat
diidentifikasikan adalah sebagai berikut :
1. Ketepatan sistem pendidikan Pesantren yang menerapkan sistem sosial
budaya keraton terhadap pola kehidupan santri di pesantren.
2. Ketepatan sistem pendidikan Pesantren yang menerapkan sistem sosial
budaya keraton dalam membentuk akhlak santri di pesantren.
C. Pembatasan Masalah
Demi tidak akan munculnya kerancuan serta meluasnya pembahasan
dalam skirpsi ini, maka pembahasan ini akan di batasi dengan persoalan sebagai
berikut :
1. Penerapan budaya keraton dalam skirpsi ini dibatasi pada sikap/akhlak
abdi dalem terhadap sultannya. Dimana sikap/akhlak abdi dalem
merupakan salah satu unsur budaya yang berbentuk sistem sosial
sebagaimana yang dikatakan Koentjaraningrat bahwa sistem sosial
termasuk dalam bentuk kebudayaan yang berwujud aktivitas, tingkah laku
berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritual-ritual yang wujudnya lebih
4 M. Darwan Rahardjo, Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: Pustakan LP3ES
Indonnesia, 2007) h. 43
5
konkret dan dapat di amanati.5 Adapun aspek yang akan diteliti dalam
penulisan skripsi ini adalah tingkah laku berpola dan perilaku dalam wujud
berupa sikap unggah-ungguh abdi dalem dalam lingkungan keraton yang
meliputi :
a. Cara berjalan abdi dalem di lingkungan keraton
b. Cara sembah abdi dalem kepada sultan/raja
c. Cara duduk abdi dalem ketika menghadap sulatan/raja
d. Cara abdi dalem jalan jongkok/nglesot, dan
e. Cara abdi dalem berbicara dengan sultan/raja.
2. Akhlak yang dimaksud dalam skripsi ini adalah akhlak santri kepada Guru
dan orangtua ketika berada di lingkungan Pondok Pesantren Nadwatul
Ummah. Akhlak yang dimaksud disini adalah sikap/etika santri ketika
berhadapan dengan guru dan kedua orangtuanya di lingkungan pesantren.
Adapun aspek yang akan diteliti dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Sikap santri ketika menghadap guru dan orangtua
b. Sikap santri ketika berbicara dengan guru dan orangtua
c. Sikap santri ketika melayani guru dan orangtua
d. Sikap santri ketika berada di lingkungan pesantren, dan
e. Sikap santri ketika menyambut kedatangan guru dan orangtua.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah, maka
perumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimana penerapan adab abdi dalem yang di terapkan kepada santri
Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon?
2. Bagaimana adab santri terhadap Guru dan Orangtua di lingkungan Pondok
Pesantren?
5Jalaludin, Psikologi Agama Memahami Prilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-
Prinsip Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012) h. 227
6
3. Apakah terdapat hubungan yang sigifikan antara penerapan Budaya
Keraton dengan akhlak santri di pondok Pesantren Nadwatul Ummah
Buntet Pesantren Cirebon?
4. Apakah terdapat kesamaan pola perilaku antara sikap abadi dalem
terhadap Sultan/Raja dengan pola perilaku santri terhadap Guru dan
Orangtua?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui efektivitas
Penerapan Budaya Keraton terhadap Akhlak Santri di Pondok Pesantren
Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon.
F. Kegunaan Penelitiian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat bermanfa‗at bagi peningkatan
mutu sistem pembelajaran di pesantren, sehingga dapat meningkatkan
kualitas belajar santri.
2. Sebagai sumber informasi ilmiah yang dapat dijadikan referensi untuk
peningkatan mutu dan kulitas pelajar. Khususnya para santri di Pondok
Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon.
3. Dapat dijadikan dasar alternatif dalam membuat kebijakan-kebijakan
sistem di pesantren.
7
BAB II
Kajian Teori
A. Deskripsi Teoritik
1. Budaya
a. Pengertian Budaya
Budaya pada dasarnya merupakan nilai-nilai yang muncul dari proses
interaksi antar individu. Nilai-nilai ini diakui, baik secara langsung maupun tidak,
seiring dengan waktu yang dilalui dalam interaksi tersebut. Bahkan terkadang
sebuah nilai berlangsung di alam bawah sadar indvidu dan diwariskan pada
generasi berikutnnya.
Budaya/kebudayaan merupakaan hasil yang dilakukan manusia yang
berupa material maupun non material yang dapat dinikmati baik berupa ilmu
pengetauan, ataupun norma keyakinan serta kerinduan akan keindahan dan
menolak kejelekan atau dengan singkat kata bahwa budaya adalah resultan dari
cipta, karsa dan rasa.6
Kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang
dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaaan tersebut.
Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingah laku maka
kebudayaan cenderung menjadi sebuah tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi
adalah suatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dengan kehidupan
masyarakatnya, dan tradisi masyarakat merupakan norma yang terbentuk dari
bawah hingga sulit diketahui sumber asalnya.7
Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta,
karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sansakerta
budhayah yaitu jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa
Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Belanda diistilahkan
dengan kata cultuur, dalam bahasa Latin, berasal dari kata colera. Colera berarti
6 D. Soenarto, Kesetiaan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, (Yogyakarta,
Kepel Press, 2013) h. 37
7 Jalaludin, op. cit., h. 223
8
mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani).
Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala
daya dan aktivitas manusia untuk mmengolah dan mengubah alam. Berikut
pengertian budaya atau kebudayaan :
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, milik diri manusia belajar.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa
kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku
yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur
pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.8
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya diartikan; pikiran, akal
budi, adat istiadat, sesuatu yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang
(beradab, maju) dan sesuatu yanng sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar
diubah.9
Secara pendekatan teori misalnya dalam tradisi antropologi, Cliffort
Geerzt mengartikan budaya sebagai nilai yang secara historis memiliki
karaterisrik tersendiri dan bisa dilihat dari simbol-simbol yang muncul. Sementara
dalam pendekatan etnografi, budaya diartikan sebagai konstruksi sosial maupun
historis yang mentransmisikan pola-pola tertentu melalui simbol, pemaknaan,
premis, bahkan tertuang dalam aturan. Adapun menurut Marvin Harris
mendefinisikan kebudayaan sebagai berbagai pola tingkah laku yang tidak bisa
dilepaskan dari ciri khas kelompok masyarakat tertentu misalnya adat istiadat.10
8 Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial & Budya Dasar Edisi
Kedua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) h. 27-28
9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001) h. 169
10 Rulli Nasrullah, Komunikasi Antar Budaya di Era Budaya Siber, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012) h. 15-17
9
Dengan demikian budaya atau kebudayaan merupakan pola tingkah laku
ataupun kegiatan manusia yang menyangkut keseluruhan aspek kehidupan
manusia baik dalam segi material maupun non material.
b. Substansi (isi) Kebudayaan
Substansi (isi) utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala
macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan di dalam masyarakat yang
memberi jiwa kepada masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk ataupun berupa
sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos
kebudayaan.
1) Sistem Pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk hidup sosial
merupakan suatu akumulasi dari perjalanan hidupnya dalam hal berusaha
memahami, alam sekitar, alam flora dan fauna di daerah tempat tinggal, zat-
zat bahan mentah dan benda-benada dalam lingkungan, tubuh manusia, sifat
dan tingkah laku sesama manusia, ruang dan waktu.
2) Nilai, adalah sesuatu yang selalu diinginkan, dicita-citakan dan dianggap
penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu
sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai
kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai-moral atau etis), religius (nilai
agama).
3) Pandangan hidup merupakan pedoman bagi suatu bangsa atau masyarakat
dalam menjawab atau mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya.
4) Kepercayaan yang mengandung arti lebih luas daripada agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5) Persepsi atau sudut pandang ialah suatu titik tolak pemikiran yang tersusun
dari seperangkat kata-kata yang digunakan untuk memahami kejadian atau
gejala dalam kehidupan.
6) Etos Kebudayaan berasal dari bahasa Inggris yang berarti watak khas. Etos
sering nampak pada gaya perilaku warga misalnya, kegemaran-kegemaran
10
warga masyarakatnya, serta sebagai benda budaya hasil karya mereka, dilihat
dari luar oleh orang asing.11
Sementara menurut Koentjaraningrat membedakan antara bentuk dan isi
kebudayaan, menurutnya bentuk kebudayaan terdiri atas 3 bagian yaitu :
1) Sistem Kebudayaan, yang berwujud gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai
budaya, norma-norma, pandangan-pandangan yang bentuknya abstrak
serta dalam pikiran para pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
2) Sistem Sosial, yang berwujud aktivitas, tingkah laku berpola, perilaku,
upacara-upacara serta ritual-ritual yang wujudnya lebih konkret. Sistem
sosial adalah bentuk kebudayaaan dalam wujud yang lebih konkret dan
dapat diamati.
3) Benda-benda Budaya disebut juga sebagai kebudayaan fisik atau
kebudayaan materil. Benda budaya merupakan hasil tingkah laku dan
karya pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
Selanjutnya, isi kebudayaan menurutnya terdiri atas 7 unsur yaitu: bahasa,
sistem-tehnologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi
dan kesenian.12
2. Keraton
a. Pengertian Keraton
Keraton dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat
kediaman ratu dan raja; istana raja; kerajaan. 13 Dalam keseharian keraton
difungsikan sebagai tempat peristirahatan bagi ratu dan raja serta keturunannya.
Pada umumnya orang-orang yang berdomisili di keraton adalah orang-orang yang
memiliki keturunan darah biru/bangsawan/kerajaan terdahulu yang pernah
berkuasa di suatu daerah.
Keraton merupakan pusat kepemerintahan bagi sebuah daerah, namun
dengan seiringnya waktu fungsi tersebut semakin sirna sehubugan dengan sistem
keperintahan di Indonesia yang menganut sistem Replubik.
11 Setiadi, op. cit., h. 31-33
12 Jalaludin, op. cit., h. 226-227
13 Nasional, op. cit., h. 551
11
b. Unsur-unsur Keraton
1) Sultan
Sultan secara bahasa diartikan Raja, Baginda, Johor.14 Istilah sultan sering
terdengar dalam kerajaan-kerajaan Islam terdahulu dimana seorang sultan
menempati kedudukan paling tinggi dalam sebuah kerajaan. Kedudukan sultan
hanya dapat diduduki secara garis keturunan/kekerabatan dari sultan-sultan
sebelumnya yang telah menjadi raja.
2) Abdi Dalem
Abdi dalem atau dalam kata lain adalah pegawai, dalam definisinya berarti
seorang yang memiliki tugas untuk bekerja dan mengabdi. Sedangkan jika
berbicara mengenai abdi dalem, pada dasarnya memiliki definisi yang sama yakni
seorang pekerja/pegawai, hanya saja istilah abdi dalem sebutan untuk mereka
yang mengabdikan dirinya kepada keraton.15
Sebagai pegawai, pejabat pemerintah, merasa belum pantas apabila belum
mendapatkan gelar abdi dalem. Kesetiaan abdi dalem dalam melayani keraton
dilatar belakangi oleh kesadaran akan jati dirinya sebagai orang Jawa untuk
mempertahankan dan memelihara budaya yang dimiliki. Selain itu, abdi dalem
ingin menceburkan diri untuk lebih dekat dengan keraton agar tahu budaya
keraton yang mengandung ajaran yang adiluhung untuk dikembangkan ke anak,
saudara keluarga, bahkan kepada wawangsanya (etnis) agar memiliki etika, moral,
dan kenangan hidup lebih baik, sekaligus ingin kedudukan spiritual di
masyarakat.16
3) Alun-alun
Pada awalnya Alun-alun merupakan tempat berlatih perang (gladi yudha)
bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah
(sabda) raja kepada kawula (rakyat), pusat perdagangan rakyat, juga hiburan
seperti Rampokan macan yaitu acara yang menarik dan paling mendebarkan yaitu
14 Nasional, op. cit.,h. 1100
15 Gelar S. Ramdani. Pengertian Abdi Dalem, 2012, (kompaasiana.com)
16 Soenarto, op. Cit., h. 6-7
12
dilepaskannya seekor harimau yang dikelilingi oleh prajurit bersenjata. Namun
seiring berkembangnya zaman, kini alun-alun merupakan suatu lapangan terbuka
yang luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan
masyarakat yang beragam.17
c. Budaya Keraton
1) Tatakrama Abdi Dalem
a) Sembah
Menyembah merupakan penghormatan kepada pihak lain, baik kepada
pemimpin (Raja), kepada orangtua atau orang yang dituakan yang patut mendapat
penghormatan. Adapun cara menyeembah adalah dengan meenangkapkan kedua
telapak tangan secara rapat ibu jari ketemu ibu jari, masing-masing jari bersatu,
kemudian diangkat dengan ibu jari mengenai hidung. Menyembah dilaksanakan
dengan duduk bersila, jongkok, atau berdiri.
b) Duduk Bersila
Cara duduk bersila diatur dengan maksud sebagai perwujudan sikap sopan
dan tertib. Adapun pelaksanaannya sebagi berikut :
Telapak kaki kanan berada di bawah depan kaki kiri, telapak kaki kiri
disisipkan diantara paha dengan betis kaki kanan. Tumit kaki kanan di bawah
betis kaki kiri, telapak kaki kiri maupun kanan menghadap ke atas. Kain dan
witon menutup kedua kaki kanan dan kaki kiri. Tangan kanan dan tangan kiri
menutup di depan kedua kaki yang disebut ngapurancang.
Punggung tegak dada ke depan, kepala tegak, pandangan tetap lurus tidak
dibiarkan melirik kiri maupun kekanan, jarak pandang kurang lebih 5 meter dari
tempat duduknya, tetapi hati tetap tenang tidak tertekan santai.
c) Duduk di Kursi
Cara duduk di kursipun di lingkungan Keraton diatur untuk tertib dan
sopan, kaki kiri dan kanan tidak saling tumpang, tetapi sejajar dan menapak di
lantai. Tangan kiri dan tangan kanan di depan pangkuan, badan tegak, dada ke
17 Sukawi ,Pengertian Alun-alun, 2013, (Loenpia. net)
13
depan sedikit, kepala tegak pandangan lurus ke depan kurang lebih 5 meter, tidak
banyak toleh kanan dan kiri.
d) Cara Berjalan
Berjalan dilingkungan Keraton juga diatur baik berjalan biasa maupun
jalan jongkok atau menggunakan pantat (nglesot). Cara berjalan biasa, tangan kiri
memegang lipatan kain (wiron), sedangn tangan kanan melambai biasa, tidak
sraweyan ke kanan ke kiri. Pandangan tetap ke depan tidak tolah toleh ke kanan
dan ke kiri, berjalan selalu mengambil di pinggir. Kalau berjalan bersama tidak
boleh bergerombol tetapi harus urut (seperti orang antre), dan tidak diizinkan
ngobrol, ngomong tidak perlu seyogyanya diam. Bila bicara harus berhenti dulu.
Di dalam keraton tidak diperkenankan memakai alas kaki baik sepatu atau
sandal (canela). Bila hujan diizinkan memakai payung. Bila payung satu untuk
berdua tidak dibenarkan satu orang memayungi yang lain tetapi harus masing-
masing memegang tangkainya. Sedang untuk jalan jongkok dan jalan pantat
hanya dibangsal yang sudah ditentukan acaranya.
e) Bahasa
Bahasa yang digunakan di lingkungan keraton menggunakan bahasa
campuran antara krama inggil, krama madya dan ngoko, disebut bahasa
bagongan. Penggunaan bahasa Bagongan ini dimaksudkan agar hubungan antar
sesama abdi dalem maupun dengan para Pangeran serta keluarga tanpa
memperlihatkan pangkat dan gelar sehingga akan lebiih akrab, lebih demokratis,
kecuali dengan Raja tetap menggunakan bahasa Krama inggil. 18
Penggunaan bahasa krama Inggil bagi abdi dalem kepada rajanya
merupakan bentuk memulyakan Raja sebagai orang nomer satu di wilayah keraton
atau kerajaan, karena bahasa krama inggil merupakan bahasa dengan kasta
tertinggi dalam penggunaan bahasa Jawa yang penggunaan bahasanya digunakan
untuk menghormati orang yang lebih tua atau orang yang lebih tinggi
kedudukannya.19
18 Soenarto, op. cit., 51- 54
19 Roqib, op. cit., 45
14
3. Pesantren
a. Pengertian Pesantren
Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran –an yang
berarti tempat tinggal santri. Sedang C. C, Berg berpendapat bahwa istilah santri
berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India diartikan orang yang tahu
buku-buku suci agama Hindu.20
Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Indonesia
lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari
pengertian asrama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu,
atau barangkali berasal dari kata Arab, funduq, yang artinya hotel atau asrama.
Terlepas dari usul-usul kata itu berasal dari mana, yang jelas ciri-ciri umum
keseluruhan pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia, yang
pada saat ini merupakan warisan kekayaan bangsa Indonesia yang terus
berkembang.21
Dalam pengertian lain, pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan
agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama
(komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem
pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan leadership
seorang atau beberapa orang kiyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik
serta independen dalam segala hal.22
Dengan demikian pesantren merupakan bentuk pola pendidikan murni
yang lahir di Indonesia yang khusus mempelajari pelajaran-pelajaran agama
dengan bentuk pembelajaran kitab-kitab klasik dan para santri yang menetap
tinggal disebuah asrama atau pondok. Hingga kini pola pendidikan di Pesantren
terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan animo masyarakat
yang terus maju, sehingga perkembangan pesantren di zaman sekarang telah
memasuki era pembaharuan dalam dunia pesantren.
20 Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat, (Surabaya, IMTIYAZ, 2011) h. 9
21 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 2011) h. 41
22 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi
Institusi, (Jakarta, Erlangga, 2009) h. 2
15
b. Tujuan Pesantren
Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar
berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan
menanamkan rasa keagamaan tersebut pada setiap segi kehidupannya serta
menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.
Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut :
1) Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang Muslim
yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan,
keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga negara yang baik.
2) Mendidik siswa/santri untuk menjadikan manusia Muslim selaku kader-kader
ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlash, tabah, tangguh, wiraswasta dalam
mengamalkan sejarah Islam secara utuh.
3) Mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal
semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggung jawab kepada
pembangunan bangsa dan negara.
4) Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional
(pedesaan/masyarrakat lingkungannya)
5) Mendidik siswa/santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai
sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental-spriritual.
6) Mendidik siswa/santri untuk membantu mmeningkatkan kesejahteraan sosial
masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat
bangsa.23
c. Elemen-elemen Pesantren
1) Pondok
Pondok, asrama bagi para santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren,
yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid
yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negaara lain.Pentingnya
23 Ibid., h. 6-7
16
pondok pesantren sebagai asrama para santri tergantung pada jumlah santri yang
datang dari daerah-daerah yang jauh.
Pondok tempat tinggal santri merupakan elemen yang paling penting dari
tradisis pesantren, tapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus
berkembang.
2) Masjid
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dari pesantren dan
diaanggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama
dalam praktik sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang jum‗at serta
pegajaran kitab-kitab klasik.
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren
merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional
dengan kata lain, kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada
masjid sejak Masjid Qubba didirikan oleh Nabi Muhammad SAW tetap
terpencaar dalam sistem pesantren.
3) Pengajian Kitab-kitab Klasik Islam
Pada masa lalu, pengajaran kitab Islam klasik, terutama karangan-
karangan ulama menganut faham Syafi‗i, merupakan satu-satunya pengajaran
formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utamanya adalah
untuk mendidik calon-calon ulama.
Sekarang kitab-kitab klasik yang diajarkan dipesantren digolongkan
kedalam 8 kelompok jenis pengetahuan yaitu, nahwu dan shorof, fiqih, ushul
fiqih, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf, dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan
balagah. Kitab—kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang
berjilid-jilid yang kesemuanya dapat digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu :
kitab dasar, kitab tingkat menengah dan kitab tingkat tinggi.
4) Santri
Santri adalah siswa yang belajar dipesantren, santri disetiap pesantren
dapat digolongkan menjadi dua bagian, yakni :
17
a) Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan
menetap dalam kelompok pesantren.
b) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekitar
pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti
pelajarannya di pesantren mereka berangkat dari rumah dan kembali lagi
kerumahnya tanpa menetap di pesantren.
5) Kiyai
Kiyai merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren. Ia sering
kali bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu
pesantren semata-mata bergantung pada kemampuan pribadi kiyainya.
Menurut asal-usulnya, perkataan kiyai dipakai untuk ketiga jensi gelar
yang saling berbeda :
1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat.
2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli agama Islam yang
memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-
kitab Islam klasik kepada para santrinya.24
d. Kategorisasi Pesantren
Menurut Zamakhsyari Dhofier tipe pesantren terbagi mennjadi 2
kelompok besar yaitu :
1. Tipe lama (klasik), yang inti pendidikannya mengajarkan kitab-kitab Islam
klasik. Walaupun sistem madrasah diterapkan, tujuannya untuk
mempermudah sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga
pengajian bentuk lama. Tipe ini tidak mengenaalkan pengajaran
pengetahuan umum.
2. Tipe baru (modern) yaitu mendirikan sekolah-sekolah umum dan
madrasah-madrassah yang mayoritas mata pelajaran yang
24 Dhofir, op. cit., h. 79-93
18
dikembangkannya bukan kitab-kitab Islam klasik. Sekalipun kitab-kitaab
klasik tetap dipertahankan namun porsi pengajarannya tidak memadai.25
Selain itu, Zamakhsyari Dhofier juga membagi 3 kelompok besar
pesantren sesuai dengan jumlah banyak sedikitnya sntri yaitu :
1. Pesantren yang tergolong kecil biasanya mempunyai jumlah santri
dibawah 1.000 dan pengaruhnya tebatas pada tingkat kabupaten.
2. Pesantren menengah biasanya memiliki santri antara 1.000 sampai
2.000, dan memiliki pengaruh dan menarik santri-santri dari beberapa
kabupaten
3. Pesantren besar biasanya memiliki santri lebih dari 2.000 yang berasal
dari berbagai kabupaten dan provinsi.26
e. Pola Pesantren
Yang dimaskud pola pesantren adalah sebuah bentuk dan sistem
kepesantrenan yang djalankan oleh sebuah pesantren. Adapun pola-pola pesantren
adalah sebagai berikut :
1) Pola 1 terdiri dari Masjid dan rumah kiyai. Bentuk pesantren ini masih bersifat
sederhana, diamana kiyai menggunakan masjid sebagi sarana pendidikan.
Santri yang datang ke pesantren pola ini biasanya hanya santri yang tinggal
disekitar pesantren dan metode pembelajaran yang diguakan adalah wetonan
dan sorogan.
2) Pola 2, terdiri dari Masjid, rumah kiyai, dan pondok. Pola pesantren semacam
ini telah memiliki pondok atau asrama yang disediakan bagi santri-santri yang
datang dari tempat yang jauh. Metode pembelajaran adalah wetonan dan
sorogan.
3) Pola 3, terdiri dari masjid, rumah kiyai, pondok, dan madrasah. Pesantren yang
telah memiliki madrasah seperti ini sudah mulai menggunakan sistem klasikal
dalam metode pembelajarannya. Dimana santri yang tinggal bisa sekolah
dimadrasah, begitu juga santri yang berasal dari wilayah sekitar pesantren.
25 Dhofir, op. cit., h. 76
26 Dhofir, op. cit., h. 79
19
4) Pola 4, terdiri dari masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat
keterampilan. Pola semacam ini menunjukan kemajuan pesantren dalam
mengeembangkan metode pembelajaran dengan disediakannya tempat
keterampilan untuk mmembantu mengembangkan sikomotorik pada santri.
5) Pola 5, terdiri dari masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat
keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga, dan sekolah
umum. Dalam pola ini pesantren sudah dapat digolongkan pesantren yang
mandiri dan modern karena keelengkapan sarana dan prasarananya demi
membantu kemajuan santri dalam mengembangkan potensi dirinya.27
4. Akhlak
a. Pengertian
Kata akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari kosakata bahasa Arab
(akhlaq) yang merupakan bentuk jamak dari kata (Khuluq) yang berarti as-
sajiyyah (perangai), at-tabi‟ ah (watak), al- „adah (kebiasaan atau kelaziman), dan
ad-din (keteraturan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Akhlak diartikan;
budi pekerti dan kelakuan.28
Jadi menurut kebahasaan kata akhlak mengacu kepada sifat-sifat manusia
secara universal, perangai, watak, kebiasaan, dan keteraturan. Menurut Ibnu
Manzur, akhlak pada hakikatnya adalah dimensi esetoris manusia yang berkenaan
dengan jiwa, sifat, dan karakteristiknya secara khusus, yang hasanah (baik)
maupun yang qabihah (buruk).29
Dalam kitab Al-Ta‟ rifat akhlak jamak dari kata khuluq diartikan sebagai
tingkah laku manusia yang dilakukan atau dikerjakan secara spontan tanpa ada
usaha untuk berfikir maupun perencanaan terlebih dulu. Apabila perbuatan itu
memunculkan perbuatan buruk maka hal tersebut dinamakan dengan akhlak yang
27 Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007) h. 66
28 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat,
(Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008) h. 27
29 Perpustakaan Nasional RI, Etika Berkeluarga Bermasyarakat dan Berpolitik, (Jakarta,
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‗an, 2009) h. 1-2
20
buruk, dan apabila perbuatan itu memunculkan perbuatan baik yang sesuai akal
dan syari‗at maka hal tersebut dinamakan dengan akhlak yang baik.30
Dengan demikian pengertian akhlak mengacu pada sifat manusia secara
umum tanpa melihat perbedaan jenis antara laki-laki maupun perempuan, oleh
karenanyalah akhlak terbagi atas dua bagian yaitu al-akhlaqul hasanah (akhlak
yang baik) danal-akhlaqul mahmudah (akhlak yang buruk.)
Dalam pengertian lain akhlak adalah sifat yang tertanam di dalam jiwa,
yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan baik atau buruk tanpa
membutuhkan pemikiran atau pertimbangan. Ibnu Maskawaih sebagai pakar
dibidang akhlak mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan.31
Karenanya akhlak secara kebahasaan bisa baik atau buruk tergantung
kepada nilai yang dipakai sebagai landasannya, meskipun secara sosiologis di
Indonesia kata akhlak sudah mmengandung konotasi baik, jadi orang yang
berakhlak berarti orang yang berakhlak baik.32 Allah SWT berfirman :
“(agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu. (Q.S. Asy-
Syu‗ara : 137)‖
b. Ruang Lingkup Akhlak
1) Akhlak Seorang Anak Kepada Orangtua
a) Berbakti Kepada Orangtua
Diantara sifat orang muslim yang menonjol adalah berbakti dan berbuat
baik kepada orangtua. Berbakti dan mentaati keduanya selama keduanya tidak
30
‗Ali Ibn Muhammad Al-Jarjani, تال يزع اف h. 101 (Al-Haramain, Jeddah) ,ت
31 Heny Narendrani Hidayati, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa, (Jakarta, UIN
Press, 2009) h. 7
32 Abu Ahmadi, Noor Salimi, MKDU Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk
Perguruan Tinggi, (Jakarta, Bumi Aksara, 2004)cet. Ke-4, hal. 198
21
menyuruh berbuat dosa dan memutus silaturrahmi33. Rasulullah SAW
bersabda:
―Diceritakan kepada kami abu al-Walidi Hisyam bin ‗Abdul Milki berkata
diceritakan kepada kami Syu‗bah berkata al-Walidi bin al-‗Izaz mengabarkan
kepada saya berkata saya mendengarkan aba Umar dan Syaiban berkata
diceritakan kepada kami bahwa pemilik rumah ini mengisyaratkan kepada
Abdullah, berkata ―Aku bertanya kepada Nabi SAW, perbuatan apakah yang
paling dicintai Allah ? beliau menjawab ―Melakukan shalat pada waktunya‖
kemudian apa ? Tanyaku. Beliau menjawab ―berbakti kepada orangtua‖ Aku
bertanya, kemudian apa? Beliau menjawab ―Jihad di jalan Allah‖ . (HR. Al-
Bukhori).
b) Berbuat Baik Kepada Orang yang Dicintai Orangtua
Bimbingan dan petunjuk Islam tidak hanya tertuju pada berbuat baik
kepada orangtua saja, melainkan Islam juga memerintahkan untuk berbuat baik
kepada orang yang dicintai orangtua. Dari Ibn Umar R. A dia menceritakan,
aku pernah mendengar Rasulullah SAW Bersabda :
―Sesungguhnya bakti yang paling baik adalah jika seorang laki-laki
menyambung tali persaudaraan orang yang dicintai ayahnya. (H. R. Muslim)‖
c) Cara Berbakti dan Berbuat Baik kepada Orangtua
Orang muslim yang telah mendapatkan didikan dan bimbingan Islam
akan menjadi orang yang benar-benar berbakti kepada orangtuanya. Dia selalu
33 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Akhlak Penuntut Ilmu, (2010, Pustaka At-
Taqwa, Bogor), h. 56 34
Abdullah bin Muhammad bin Isma‗il Al-Bukhori, Matan al-Bukhari, (t.t, Al-Haramain,
Jeddah), h. 102
35 Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, (2008, Dar-Alkitab, Lebanon), h. 412
22
memberikan penghormatan dan memuliakan keduanya, berdiri jika keduanya
berdiri dari tempat duduknya dan menundukan kepala sambari mencium kedua
tangannya, tidak mengangkat suara dihadapannya sebagai penghormatan bagi
keduanya, merendahkan diri serta berbicaralah lemah lembut dengannya.
Sehingga tidak ada kata—kata kotor yang keluar dan dapat meynakitkan
keduannya, tidak juga memperlakukannya dengan suatu yang menjadikan
keduanya mendapatkan aib.36
Selain itu sebagai anak yang sholeh, dengarkanlah perkataan orangtua
dengan sebaik-baiknya. Jalankanlah dan taatilah perintah mereka itu sesuai
dengan syari‗at Allah Ta‗ala. Datanglah lekas jika mereka memanggil,
tundukan kedua lengan bahu dan rendahkan diri di hadapan keduanya, seperti
yang diperintahkan Allah SWT :
“dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. Al-Isra‟
24)
Jangan merasa bosan berbakti kepada mereka. Jangan pula merasa
bosan menjalankan perintah mereka. Jangan memandang mereka dengan
pandangan sebelah mata. Jangan anda sampai melengkingkan suara dihadapan
mereka atau berkata dengan suara keras ketika berbicara dengan mereka.
Jangan pula anda menghardik atau berkata ―cis‖ kepada mereka apalagi kalau
sampai menyalahi, tidak mengindahkan perintah dan anjuran mereka.37
36 M. Abdul Ghoffar, Buku, Jati Diri Muslim, Terj. Dari Syahsiyatul Al-Muslim Kamaa
Yashughuha Al-Islam fii Al-Kkitab wa Al-Sunnah oleh Muhammad Ali Al-Hasyimil (Jakarta,
Pustaka Al-Kautsar, 1999) Cet. I, h. 61
37 Al-Ghazali (Penerjemah; A. M. Basalamah), Adab dalam Agama, (1992, Gema Insani
Press, Jakarta) Cet. 3 h. 59-60
23
2) Akhlak Seorang Murid Kepada Guru
a) Menjaga Kehormatan Guru
Adab murid terhadap gurunya adalah adab yang paling penting yang
harus dimiliki oleh seorang pelajar. Hendaklah dia menganggap gurunya
sebagai seorang pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar yang mengajarkan
ilmu, serta sebagai pendidik yang membimbingnya kepada budi pekerti yang
baik. Seorang murid kalau tidak percaya dengan gurunya pada dua hal ini,
maka dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.38
Dengan demikian bentuk penghormatan seorang pelajar terhadap guru
sangatlah penting demi terciptanya keharmonisan antara murid dan guru
sehingga murid akan mendapatkan berkah keilmuan dari keikhlasan guru yang
telah mendidik dan membimbing murid.
b) Cara Berakhlak Kepada Guru
Termasuk cara menghormati ilmu adalah menghormati guru, adapun
cara menghormati guru antara lain adalah : tidak berjalan di depannya, tidak
menduduki tempat duduknya, tidak mendahului bicara dihadapan guru kecuali
dengan izin guru, tidak bicara banyak di hadapan guru, tidak bertanya yang
membuat bosan, harus menjaga waktu dan tidak mengetuk-ngetuk pintunya,
namun harus bersabar untuk menunggunya keluar. Kesimpulannya, seorang
murid harus berusaha mendapatkan ridho guru, menghindari keemurkaannya
dan patuh kepadanya selain dalam menjalankan maksiat keepada Allah SWT,
sebab tidak boleh patuh kepada makhluk untuk melakukan perbuatan kepada
sang pencipta. Dan cara menghormati guru juga termasuk menghormati anak-
anaknya dan orang yang mempunyai hubungan dengannya.39
Selain itu, sebagai seorang murid yang baik haruslah menghormati
gurunya dengan baik. Usahakan muridlah yang terlebih dulu mengucapkan
salam. Kurangi banyak bicara yang asal bunyi dihadapan guru. Berdiri apabila
guru berdiri. Jangan mengatakan kepadanya ―Si Fulan berkata begini (yang
38
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‗Utsman, Penerjemah Ahmad Sabiq, Syarah Adab
dan Manfa‟ at Menuntut Ilmu, (Jakarta, Pustaka Imam Asy-Syafi‗i, 2007) cet 2, h. 111-112 39
Syekh Al-Zarnuji, تمال ع ل ي عت م ل ي و) , م ثو هدالوا اه كم دمحم هت دمحا ن ت ث Surabaya) hal. 17 ,ه
24
berlawanan)‖ . Jangan bertanya kepada teman-teman ketika dihadapan guru.
Jangan tertawa atau tersenyum-senyum ketika berbicara dengan guru. Jangan
mengutarakan hal-hal yang berlawanan dengan pendapatnya dan jangan
meminta penjelasan kepada sang guru ketika di tengah jalan dan jangan
menambah hal-hal yang membosankan guru.40
B. Kajian Penelitian Terdahulu yang Relevan
1. Berdasarkan hasil penelitian dari Tholobin dengan judul Skripsi Respons
Masyarakat Modern Terhadap Eksistensi Tradisi Panjang Jimat Keraton
Kasepuhan Cirebon (Studi Terhadap Masyarakat Kasepuhan RW.04
Sitimulya) dapat disimpulkan bahwa :
Tradisi Panjang Jimat merupakan tradisi yang selalu diperingati pada
setiap tahun yaitu pada tanggal 12 Robiul Awwal, sebagai hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW, yang berlangsung sangat meriah. Pihak keraton sebagai
penyelenggara atas terlaksananya tradisi tersebut, hal demikian karena pihak
keraton pewaris dari tradisi Panjang Jimat, sebagaimana layaknya tradisi yang
harus dijaga dan di hormati serta tetap di lestarikan. Bentuk dari tradisi Panjang
Jimat adalah adanya alegoris Panjang Jimat pada malam terakhir yang disebut
malam pelal.
Tradisi Panjang Jimat mempunyai potensi materil bagi masyarakat
Sitimulya. Fakta yang terjadi di lapangan masyarakat Sitimulya sangat senang
dengan adanya tradisi Panjang Jimat karena setiap individu maupun
masyarakat bisa berperan guna menyalurkan nilai kreatifitas yang ada selama
tradisi tersebut berlangsung. Hal ini menjadi alasan masyarakat Sitimulya agar
tradisi tersebut tetap eksis.
Adanya potensi-potensi yang terdapat dalam tradisi Panjang Jimat,
masyarakat Sitimulya bergerak untuk melakukan sesuatu. Bentuk dari respons
masyarakat Sitimulya terahadap berlangsungnya tradisi Panjang Jimat,
masyarakat Sitimulya melakukan banyak hal terutama dalam kegiatan ekonomi
dan wisata kebudayaan. Kegiatan ekonomi masyarakat Sitimulya bergerak
40 Al-Ghazali op, cit,. h. 21
25
dibidang barang dan jasa, kegiatan ekonomi bersifat barang adalah masyarakat
membuka lapangan pekerjaan dan perdagangan di area sekitar keraton sebagai
tempat pelaksaan tradisi Panjang Jimat, sedangkan kegiatan ekonomi yang
bersifat jasa, masyarakat Sitimulya menyiapkan atau menyediakan tempat-
tempat penginapan seperti halnya penyediaan kos-kosan, kontrakan bagi para
pengunjung dari luar yang datang selama tradisi Panjang Jimat berlangsung
juga membuka biro jasa penitipan barang. Kemudian pada sektor wisata
masyarakat Sitimulya melakukan wisata hiburan dengan memanfaatkan
momen tradisi Panjang Jimat sebagai wisata kebudayaan selama tradisi
tersebut berlangsung merupakan wisata alternatip bagi masyarakat Sitimulya.41
2. Berdasarkan hasil penelitian dari Yesy Wahyuning Tyas dengan judul Skripsi
Analisis Nilai Dan Makna Simbolik Teks Serat Tata Cara Keraton Dalam
Naskah Serat Abdi Dalem Keraton menjelaskan secara garis besar makna
filosofis dari aturan sikap di atas, mengandung nilai seperti apa yang
dituangkan dalam Serat Wulangreh dan Serat Raja Kapakapa, bahwa seorang
abdi dalem harus „darma lumaku sapakon‟ artinya, wajib berjalan menurut
perintah. Dalam hal ini, adalah menuruti perintah rajanya. Lalu aturan berjalan,
tidak boleh bolak- balik, tidak boleh merokok, tidak boleh melambai, hal ini
juga telah diajarkan dalam Serat Wulangreh dan Serat Raja Kapakapa, sikap
seorang abdi dalem harus mantep dan madep, yaitu harus bersikap mantap dan
tidak gentar.
Sikap berjalan dengan tidak boleh melambaikan tangan, menoleh kanan
dan kiri, harus senantiasa sigap. Juga dalam hal bersopan santun dan bersikap
seperti gambaran seorang wanita, halus, berbudi luhur, namun juga harus
seperti kuda yang senantiasa sigap apabila menerima perintah raja, dengan
aturan apabila berbicara harus dengan suara yang lirih dan halus. Berdasarkan
logika, bagaimana seorang abdi dalem dapat bersigap, ketika dirinya sambil
41
Tholibin ―Respons Masyarakat Modern Terhadap Eksistensi Tradisi Panjang Jimat
Keraton Kasepuhan Cirebon (Studi Terhadap Masyarakat Kasepuhan RW.04 Sitimulya)” Skripsi
Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga Yogyakarta, 2009, h. 102-103 tidak
dipublikasikan.
26
melakukan hal lain walaupun sekecil apapun, untuk itulah aturan-aturan sikap
tersebut dibuat.
Sikap yang harus ditunjukan ketika berpapasan dengan putra-putri raja
beserta kerabatnya, maka harus segera memberi jarak. Makna simbol dari sikap
tersebut selain sebagai simbol penghormatan kepada petinggi keraton, juga
sebagai tanda pembeda kasta, diantara atasan dan bawahan. Yang mana, yang
lebih berkuasa harus menjadi prioritas. Hal ini, merupakan ajaran peninggalan
agama hindu di Jawa.
Kemudian mengenai aturan untuk ndhodhok atau berjongkok. Apabila
dihadapan leluhur harus ndhodhok atau berjongkok, mengandung makna
sebagai suatu bentuk penghormatan, sikap seperti itu juga sebagai simbol
bahwa seorang abdi dalem adalah jabatan yang paling rendah dalam keraton.
Sembah, ngapurancang, bersila, berjongkok dan berjalan jongkok yang
disebut laku ndhodhok merupakan lambang- lambang yang selalu muncul pada
setiap interaksi dalam keraton. Tetapi, pemberian sembah dan laku ndhodhok
tersebut hanya dilakukan setiap kali apabila abdi dalem bertemu atau
menghadap raja dan kerabat raja.
Bentuk-bentuk sikap di atas, yang mencerminkan nilai ‗andap asor‟
yang merupakan salah satu ajaran budaya Jawa. ‗Andap asor‟ berarti
merendahkan diri sendiri dengan sopan dan merupakan kelakuan yang benar
yang harus ditunjukan kepada setiap orang yang derajatnya lebih tinggi.
Dalam tatacara ini juga mengandung unggah- ungguh yang dipahami
oleh masyarakat besar di Jawa, yang banyak tampak dalam keseharian sampai
saat ini, yang juga diterapkan dalam keraton, yaitu apabila berbicara atau
berhadapan dengan orang yang lebih tua, atau dengan orang yang jabatannya
lebih tinggi, unggah- ungguh-nya adalah ‗jangan kita menatap wajah orang
yang lebih tua atau lebih tinggi jabatannya, karena apabila kita berani menatap
wajahnya, ini berarti kita menentang dan menantang orang tersebut.42
42 Yesy Wahyuning Tyas, “Analisis Nilai Dan Makna Simbolik Teks Serat Tata Cara
Keraton Dalam Naskah Serat Abdi Dalem Keraton” skripsi pada Universiitas Indonesia, Jakarta,
2009, h. 21- 23, tidak dipubliasikan
27
Sekalipun memiliki ruanglingkup yang sama dalam pnelitian, dari kedua
penelitian yang relevan diatas terdapat perbedaan penelitian dengan penelitian
yang penulis ajukan diantaranya adalah :
1. Dalam penjelasan yang diajukan oleh Yesy Wahyuning Tyas dalam
penelitiaannya analisis nilai dan makna simbolik teks serat tatacara keraton,
menjelaskan tentang makna yang terkandung dalam tata cara unggah-ungguh
abdi dalem maupun tata cara peletakan benda-benda pusaka keraton.
Sementara penelitian yang diajukan penulis menjelaskan tentang hubungan
penerapan budaya keraton yaitu sikap abbdi dalem terhadap rajanya dengan
akhlak santri di pesantren.
2. Dalam penjelasan penelitiaan yang diajukan oleh Tholibin dalam
penelitiaannya adalah respon masyarakat terhadap tradisi panjang jimat yang
dilakukan oleh keraton, sementara penelitian yang diajukan penulis adalah
pengaruh budaya keraton terhadap akhlak santri di pesantren.
Dengan demikian sekalipun penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan
hasil penelitian yang relevan di atas memiliki ruanglingkup yang sama yakni
Budaya Keraton, namun dari fokus penelitian yang dijelaskan masing-masing
penelitian memiliki fokus budaya yang berbeda sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas.
C. Kerangka Berfikir
Dari penjelasan di atas telah nampak jelas bahwa pesantren dalam
perjalanannya mengalami perkembangan yang dinamis di setiap zamannya
dengan mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Sesuai dengan
fungsinya, pesantren merupakan tempat pendidikan yang memfokuskan
pembelajaran pada pelajaran-pelajaran agama Islam. Walaupun kini pesantren
sudah banyak yang mengalami kemajuan dalam sistem pembelajarannya,
namun hal tersebut tetap tidak merubah hukum awal adanya pesantren yaitu
memberikan pelajaran agama yang mendalam.
Seiring dengan terus berkembangnya zaman, pesantren mulai
mengalami evolusi yang dinamis dengan banyaknya bermunculan pesantren-
28
pesantren yang bersistem modern yang pada pembelajarannya tidak hanya
terfokus pada pelajaran agama saja tetapi juga memasuki pelajaran-pelajaran
umum pada kurikulumnya. Hal ini sejalan dengan tujuannya didirikan
pesantren yaitu mendidik manusia untuk menjadi insan yang kamil baik dalam
budi pekerti maupun ilmu pengetahuannya.
Namun demikian hingga saat ini pun masih ada pesantren-pesantren
yang mempertahankan sistem lama dalam pembelajarannya maupun dalam
sistem sosialnya, semisal dengan pelajaran-pelajaran yang diajarkan hanyalah
pelajaran agama saja, hal ini berkaitan dengan sistem turun temurun yang
diterapkan oleh pihak kepengurusan pesantren yaitu kiyai yang menjadi
pengasuh sekaligus pemimpin tertinggi dalam pesantren.
Sistem yang dipakai oleh pesantren semacam ini biasanya dipengaruhi
juga oleh lingkungan maupun sejarah Daerah. Semisal dengan sistem pesantren
yang dipengaruhi oleh budaya ataupun sistem kepemerintahan dalam sistem
kepesantrenannya, hal ini menunjukan bahwa pesantren merupakan produk
budaya lokal yang didirikan sesuai dengan situasi dan kondisi dimana
pesantren itu didirikan.
Oleh karenanya, dalam sebuah sistem pendidikan di pesantren, situasi dan
kondisi lingkungan sangatlah berperan dalam menjalankan dan menciptakan
sebuah sistem pendidikan di pesantren. Karena pesantren merupakan produk
lokal yang berdiri dan berkembang dengan alur lingkungan.
Seperti halnya pondok pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren
Cirebon yang masih mempertahankan sistem turun temurunnya terutama dalam
sistem ke-Pesantrenan yang mengacu pada sistem sosial keraton. Dimana para
santri diibaratkan seorang abdi dalem yang selalu setia melayani keluarga
keraton, begitu juga santri yang setia melayani guru dalam menuntut ilmu demi
mendapatkan berkah serta ilmu yang manfa‗at dari sang guru dengan cara
menjaga sikap dan tau bagaimana harus bersikap kepada guru. Dalam
prakteknya, hal tersebut bertujuan untuk memberikan pendidikan akhlak secara
nyata kepada para santri agar tidak hanya memahami pendidikan akhlak yang
hanya terbatas pada teori saja.
29
Dengan demikian, para santri diharap dapat memahami bagaimana cara
untuk bersikap kepada guru maupun orangtua mereka, karena dengan sistem
yang demikian para santri dapat langsung memeraktekan apa yang telah
mereka pelajari selama mereka menjalani pendidikan di pesantren.
D. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis penelitian yang penulis ajukan adalah : Terdapat
hubungan yang positif antara penerapan budaya keraton dengan akhlak santri
pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon.
30
BAB III
Metodologi Penelitian
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat dalam pelaksanaan penelitian ini adalah di Pondok Pesantren
Nadwatul Ummah komplek Pondok Buntet Pesantren Rt. 010 Rw. 04 Ds.
Mertapada Kulon Kec. Astanajapura Kab. Cirebon Jawa Barat.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian secara umum diartikan sebagai cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.43 Adapun metode
penelitian yang digunakan peneliti adalah metode kuantitatif deskriptif yang
ditunjang dengan metode kualitatif yakni metode penelitian yang berusaha
memberikan gambaran dengan fakta-fakta yang valid tentang Hubungan
Penerapan Budaya Keraton dengan Akhlak Santri Pondok Pesantren Nadwatul
Ummah Buntet Pesantren Cirebon. Dengan menyebarkan angket kepada
responden di tempat penelitian yang telah ditentukan. Serta mendeskripsikan hasil
temuan penelitian di lapangan dengan memberikan informasi yag valid.
Dalam penyusunan skripsi, penulis menggunakan metode deskriptif
analisis yang didasarkan pada data atau informasi yang diperoleh melalui
penelitian sebagai berikut :
1. Penelitian Kepustakaan
Penelitian ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan meneliti
berbagai buku referensi yang relevan dengan tema yang diangkat. Adapun tujuan
dari penelitian kepustakaan adalah untuk memperoleh bahan-bahan dan konsep
yang berkaitan dengan tema penelitian.
2. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan langsung
terjun meneliti ditempat penelitian yang telah ditentukan. Penelitian lapangan ini
43 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuntitatif, Kualitatif dan R&D,
(Bandung, Alfabeta, 2010) Cet. Ke-10, h. 3
31
bertujuan untuk mendapatkan data yang valid tentang interaksi sosial individu
maupun kelompok yang terdapat pada tempat penelitian.
C. Populasi dan Sampel
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh santri
Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon yang berjumlah
251. Cara pengambilan sampel (teknik sampling) dengan probality sampling
(pengambilan sampling berdasarkan peluang). Dalam probality sampling semua
anggota populasi mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai
sampel yang dilakukan secara acak atau random. Adapun jumlah sampel yang
peneliti inginkan adalah 20% dari jumlah Populasi. Hal ini berdasarkan apa yang
telah diungkapkan oleh Suharsimi Arikunto sebagai berikut:
―Apabila subjeknya kurang dari seratus, lebih baik diambil semua,
sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi.Selanjutnya jika subjeknya
lebih dari seratus dapat diambil 10-15 % atau 20-25 %. 44
Dengan demikian, peneliti mengambil 20% sampel dari populasi yakni
sebanyak 50 santri. Teknik pengambilannya menggunakan metode random
sampling sistematis yaitu semua anggota dalam populasi mempunyai probabilitas
atau kesempatan yang sama untuk dipilih melalui acak nomor berdasarkan absensi
dengan menghitung kelipatan 2 dari jumlah di setiap kelas. Adapun kelas yang
terdapat di Pondok Pesantren berjumlah 9 kelas yang terdiri dari kelas Shifir
Awwal A, Shifir Awwal B, Shifir Tsani A, Shifir Tsani B, Tsnawiyah I A,
Tsnawiyah I B, Tsanawiyah II, Tsanawiyah III, dan Tsanawiyah IV.
Dan untuk menentukan jumlah sampel di setiap kelas, peneliti
menggunakan metode hitung dengan ketentuan sebagai berikut :
S = JSS x JS
JP
Keterangan : S : Sampel yang di butuhkan
JSS : Jumlah Sampel Strata
JP : Jumlah Populasi
JS : Jumlah Sampel
44 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:Rineka Cipta, 1993), h. 107
32
D. Tehnik Pengumpulan Data
1. Obserfasi
Obserfasi merupakan pengamatan langsung peneliti terhadap objek yang
akan ditelitinya dengan tujuan agar dapat mengetahui langsung keadaan sosial
yang ada di pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon.
2. Wawancara
Penulis dalam melakukan wawancara/interview kepada responden akan
menggunakan wawancara terstruktur yang hanya akan memuat garis besar dari
tema penelitian tersebut. Dalam hal ini, penulis akan mewawancarai orang-orang
yang bersangkutan semisal para santri dan Kiyai di Pondok Pesantren.
3. Angket
Angket yang akan disebarkan kepada responden oleh peneliti adalah
sebanyak 50 buah disesuaikan dengan jumlah sampel yang diambil. Bentuk
angket yang disebarkan adalah angket terstruktur atau tertutup dimana telah
dicantumkan jawaban-jawabannya.
33
Tabel Kisi-kisi Angket
Hubungan Penerapan Budaya Keraton Dengan Akhlak Santri
Di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon
Tabel 01
4. Dokumentasi
Dokumentasi adalah catatan peristiwa yang sudah dilakukan, biasanya
dokumetasi berupa tulisan ataupun berupa gambar.45 Dalam istilah lain
45 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung, Alfabeta, 2007) hal. 72
No Variabel Indikator
Jumlah
Item Soal
Item
Soal
Positif
Item
Soal
Negatif
1
Penerapan
Budaya
Keraton
1. Menerapkan
Budaya Keraton
dalam kegiatan
sehari-hari
2. Kefektifan
Penerapan Budaya
Keraton dalam
sistem sosial di
lingkungan
pesantren
7
1
1, 2, 3, 4,
5, 6, 7
8
2 Akhlak Santri
1. Akhlak Santri
Terhadap Guru di
lingkungan
Pesantren
2. Akhlak Santri
terhadap Orangtua
di lingkungan
Pesantren
6
8
9, 10, 11,
12,
16, 19,
20, 21, 22
13, 14,
15, 17,
18
34
dokumentasi adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan yang ada
dan mempunyai Hubungan dengan tujuan penelitian.46
Dokumentasi merupakan tehnik pengumpulan data dengan penelitian
melalui berkas-berkas atau dokumen berupa catatan yang dapat memberikan
informasi tambahan dalam penelitian.
E. Tehnik Analisis Data
Data-data yang telah diperoleh berdasarkan angket yang diberikan kepada
responden kemudian diolah dalam bentuk tabel dengan menggunakan metode
deskriptif presentase. Dari angket yang telah terkumpulkan kemudian diolah
dengan tahapan sebagai berikut :
Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan teknik analisis data adalah
langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis untuk memperoleh hasil akhir dalam
penelitian. Adapun langkah-langkah yang penulis tempuh dalam analisis data ini
adalah:
1. Editing, yaitu memeriksa jawaban angket yang telah diserahkan oleh
responden. Tujuannya adalah mengurangi kesalahan atau kekurangan yang
ada dalam daftar pertanyaan. Bila ada jawaban yang meragukan atau tidak
dijawab, penulis menghubungi responden yang bersangkutan.
2. Setelah data terkumpul dengan lengkap tahap berikutnya adalah tahap analisis
data. Analisa data dilakukan dengan menggunakan bentuk tabel dengan
menggunakan teknik deskriptif prosentase.
3. Kemudian selanjutnya adalah dengan skoring, untuk menentukan skoring ing
semua pernyataan setiap itemnya dengan bobot nilai setiap jawaban sebagai
berikut:
46 Anas Sujdono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2006) hal. 30
35
Tabel 02
Skor Positif Angket
Tabel 03
Skor Negatif
4. Selanjutnya untuk menganalisis hubungan antara variabel X (penerapan budaya
Keraton) dan Y (akhlak santri) digunakan analisis korelasi Product Moment,
dengan formulasi sebagai berikut:
∑ (∑ )(∑ )
√ ∑ (∑ ) ∑ (∑ )
Dengan keterangan sebagai berikut :
rxy : angka index korelasi
N : Number of Case
∑XY : Jumlah hasil perkalian antara Pertanyaan X dan Pertanyaan Y
∑X : Jumlah seluruh Pertanyaan X
Pertanyaan Item
Jawaban Skor Keterangan
SL 5 Selalu
SR 4 Sering
JR 3 Jarang
KD 2 Kadang-kadang
TP 1 Tidak Pernah
Pertanyaan Item
Jawaban Skor Keterangan
SL 1 Selalu
SR 2 Sering
JR 3 Jarang
KD 4 Kadang-kadang
TP 5 Tidak Pernah
36
∑Y : Jumlah seluruh Pertanyaan Y47
F. Hipotesis Statistik
Hipotesis merupakan dugaan sementara penilitian yang dilakukan oleh
peneliti, baik dugaan kemungkinan benar maupun dugaan kemungkinan salah.
Hipotesis akan diterima jika bukti-bukti yang ditunjukan peneliti ada
kebeneran dan jika salah maka akan dikelola kembali. Penolakan dan penerimaan
hipotesis tergantung pada penyelidikan bukti-bukti yang telah didapat. Adapun
hipotesis yang diajukan oleh peneliti adalah sebagai berikut :
1. Hipotesis alternative (Ha), yaitu adanya pengaruh yang signifikan
antara penerapan budaya keraton terhadap akhlak santri Pondok
Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon.
2. Hipotesis Nol (Ho), yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan antara
penerapan budaya keraton terhadap akhlak santri Pondok Pesantren
Nadwatul Ummmah Buntet Pesantren Cirebon.
47 ibid., h. 206
37
BAB IV
Hasil Penelitian
A. Deskripsi Data
1. Penerapan Budaya Keraton
Pondok pesantren Nadwatul Ummah adalah pondok pesantren yang
dikategorikan pesantren salafi. Karena sejak awal berdirinya pesantren pada tahun
1971 hingga saat ini metode pembelajaran yang digunakan adalah wetonan dan
sorogan. Serta kitab-kitab yang dipelajari adalah kitab-kitab klasik yang berbahasa
Arab atau sering dikenal dengan kitab kuning yang ditulis oleh para ulama
terdahulu yang berpaham Ahlussunnah Wal Jama‟ ah. Dan selesainya (khatam)
kitab yang dipelajari menjadi tolak ukur bagi santri untuk melanjutkan ke kelas
berikutnya.
Selain mengajarkan kitab-kitab klasik, pesantren Nadwatul Ummah juga
mengajarkan Al-Qur‗an sebagai modal dasar seorang muslim. Dalam sistem
pembelajaran Al-Qur‗an di pesantren menggunakan sistem ijazah. Namun bentuk
ijazah di pesantren tidak seperti ijazah-ijazah yang kita kenal dalam pendidikan
modern melainkan berbentuk pencantuman nama santri dalam suatu daftar rantai
transmisi pengetahuan yang dikeluarkan oleh guru terhadap santrinya yang telah
mengkhatamkan belajar Al-Qur‗an sehingga si murid dianggap menguasai dan
diperbolehkan mengajarkannya kepada orang lain.
Tradisi ijazah dalam pesantren umumnya di berlakukan ketika seorang
santri tingkat tinggi yang telah menyelesaiakan dan menguasai kitab-kitab besar
yang telah dipelajari. Sebagai mana yang telah dikatakan Zamakhsyari Dhofier
dalam bukunnya Tradisi Pesantren, bahwa ―Tradisi ijazah ini hanya dikeluarkan
untuk murid-murid tingkat tinggi dan hanya mengenai kitab-kita besar dan
masyhur.‖ 48 Berbeda dengan pesantren Nadwatul Ummah yang memang
lingkungan di komplek Buntet Pesantren, Al-Qur‗an menjadi acuan utama dalam
pembelajaran santri selain kitab-kitab kuning. Hal ini sudah terjadi sejak awal
berdiriya Pesantren di komplek Buntet Pesantren.
48 Dhofir, op. cit., h. 48
38
Pondok pesantren Nadwatul Ummah juga menerapkan kelas musyawarah
(bahsul matsail) yang menjadi ciri khas pesantren-pesantren salafi dalam mencari
solusi dari sebuah permasalahan agama. Kelas musyawarah di pesantren
Nadwatul Ummah dikenal dengan istilah MMU (Majlis Musyawarah Umum),
dimana para santri ditugaskan mencari jawaban dari pertanyaan yang
dimusyawarahkan di dalam kitab kuning. Ketika musyawarah dimulai para santri
diperbolehkan mengutarakan jawabannya dan santri juga diperbolehkan untuk
mendebat pernyataan santri lain yang tidak sepaham hingga ditemukannya solusi
yang terbaik. Pelaksanaan MMU di pesantren dipimpin langsung oleh kiyai atau
guru di pesantren yang bertugas menyimpulkan hasil musyawarah.
Pondok pesantren Nadwatul Ummah sejak didirikan oleh KH.
Muhammad Anis Fu‗ad Hasyim (Alm.) pada tahun 1971 memang selalu
mempertahankan tradisi tradisional baik dalam sistem pembelajarannya maupun
sistem sosialnya. Namun setelah anak pertama dari KH. Muhammad Anis Fu‗ad
Hasyim (Alm.) yaitu DR. KH. Luthfi El-Hakim ditunjuk sebagai pegasuh
pesantren, semua sistem yang telah berlaku dirubah, mulai dari sistem
pembelajaran hingga sistem sosial di pesantren. Sistem pembelajaran yang
tadinya hanya menggunakan metode wetonan ataupun sorogan, kini dimodifikasi
dengan menggunakan sistem madrasah namun tetap tidak meninggalkan metode
wetonan ataupun sorogan sebagai cirikhas dari tradisi pesantren salafi, dan kitab-
kitab yang diajarkanpun tetap kitab-kitab kuning klasik. Sistem madrasah
diberlakukan untuk mempermudah metode sorogan yang diterapkan di pesantren.
Hal ini sejalan dengan pendapat Zamakhsyari Dhofier ketika menjelaskan
kategorisasi pesantren yang dikelompokan menjadi 2 kelompok besar yaitu :
1. Tipe lama (klasik), yang inti pendidikannya mengajarkan kitab-kitab Islam
klasik. Walaupun sistem madrasah diterapkan, tujuannya untuk
mempermudah sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga
pengajian bentuk lama.
2. Tipe baru (modern) yaitu mendirikan sekolah-sekolah umum dan
madrasah-madrassah yang mayoritas mata pelajaran yang
39
dikembangkannya bukan kitab-kitab Islam klasik. Sekalipun kitab-kitaab
klasik tetap dipertahankan namun porsi pengajarannya tidak memadai.49
Selain sistem pembelajaran yang dirubah, sistem sosial yang
diberlakukanpun dirubah. Pesantren Nadwatul Ummah yang sebelumnya terlihat
bebas karena tidak ada peraturan yang mengikat santri sehingga santri terlihat
bebas dalam mengikuti program di pesantren. Dan hal semacam itu dinilai tidak
tepat dalam proses pendidikan di pesantren, karena pada dasarnya santri haruslah
beretika baik sehingga dapat mengikuti program di pesantren dengan baik dan
tertib.
Sehingga menurut DR. KH. Luthfi El-Hakim sistem tersebut perlu di
rubah demi menciptakan suasana pesantren yang islami, sehingga para santri
dapat beretika sesuai dengan apa yang telah mereka pelajari melalui kitab-kitab
klasik yang diajarkan kiyai atau guru di pesantren. Sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh Zamakhsyari Dhofier :
Secara umum, tingkah laku yang benar secara Islam dinyatakan dalam
contoh-contoh seperti yang dikerjakan para kiyai (melalui lembaga-lembaga
pesantren dan amalan-amalan beragama yang lain, seperti mengikuti sembahyang
dan khutbah jum‗at) mengajarkan kepada anggota-anggota masyarakat tingkah
laku Islam yang ideal, pola pikiran dan perasaan yang ideal, simbol-simbol dan
amalan-amalan Islam.50
Menurut DR. KH. Luthfi El-Hakim seorang santri haruslah menunjukan
etika/akhlak yang sesuai dengan gelarnya yaitu santri/pencari ilmu, dimana
seorang santri haruslah memulyakan gurunya sebagai landasan awal berakhlak
yang baik. Karena akhlak merupakan pondasi daam mencari ilmu tanpa akhlak
yang baik seorang santri tidak akan mendapatkan manfa‗at dari ilmu yang telah
dipelajari, hal ini sesuai dengan maqolah yang mengatakan :
أال دب ۞ بمبلعت مألبعأال اههبت أال دب يا اابل بمألبعأال عأيب
“wahai pencari „ilmu junjung tinggilah adab/akhlak, tuntutlah ilmu dengan
memprioritaskan adab/akhlak”.51
49 Dhofir, op. cit., h. 76
50 Dhofir, op. cit., h. 42 51 Muhammad bin ahmad Nubhan, (Surabaya,tt. p, 1980) h. 4
40
Oleh sebab itu DR. KH. Luthfi El-Hakim menerapkan sistem yang
menyerupai sistem di keraton yaitu etika/akhlak abdi dalem kepada sultannya.
Sehingga para santri diwajibkan beretika sopan santun yang baik kepada guru di
pesantren sebagaimana abdi dalem beretika kepada sultannya. Hal ini bertujuan
untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang pendidikan akhlak yang
nyata sehingga dapat membentuk santri yang bermoral dan berakhlak baik.
Dilihat dari nasab keturunannya, keluarga besar KH. Muhammad Anis
Fu‗ad Hasyim (Alm.) memang memiliki garis nasab dari Syekh Sultan Syarif
Hidayatullah pendiri kerajaan/keraton di Cirebon sekaligus penyebar agama Islam
di Cirebon. KH. Muhammad Anis Fu‗ad Hasyim (Alm.) merupakan keturunan ke-
20 dari urutan gari nasab Syekh Sultan Syarif Hidayatullah. Dan hingga kinipun
keluarga besar pesantren masih memiliki hubungan kekerabatan yang baik dengan
keluarga besar yang tinggal di keraton.
Menurut DR. KH. Luthfi El-Hakim sekalipun keluarga besar pesantren
memiliki kekerabatan yang dekat dengan pihak keraton, tidak serta merta sistem
sosial yang diberlakukan dipesantren meniru sistem yang diberlakukan di keraton.
Karena pada dassarnya etika/akhlah semacam itu sudah ada dan diajarkan dalam
agama Islam sesuai dengan Firman Allah :
―Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu
melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang
keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain,
supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.‖ (Q. S.
Al-Hujarat : 2)
Dan sabda Rasulullah SAW :
41
52
.
―Tidak ada orang yang lebih kucintai melebihi Rasulullah saw. dan di
mataku tidak ada yang lebih agung melebihi beliau. Saya tidak mampu
memandang beliau dengan mata terbuka lebar semata-mata karena
menghormatinya. Jika saya ditanya untuk mensifati beliau saya tidak akan mampu
menjawab sebab saya tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar.
(HR. Muslim)‖
Oleh karenanya, pondok pesantren Nadwatul Ummah dalam
pembelajarannya sangat menekankan kepada pelajaran Akhlak. Semisal dengan
kitab-kitab akhlak yang selalu diajarkan kepada santri seperti kitab Ta‟ lim
Muta‟ alim yang dibaca ketika pengajian umum, serta kitab-kitab akhlak kecil
seperti Taisirul Kholak dan „Izzul Adab yang diajakan di kelas Shifir.
Dengan diterapkannya sistem sosial tersebut, diharapkan para santri dapat
mendapatkaan pengalaman nyata dalam memahami nilai-nilai akhlak yang telah
diajarkan sehingga para santri tidak hanya memahami secara teori saja, melainkan
dalam praktekpun santri dapat memahami secara mendalam sesuai dengan apa
yang telah mereka pelajari.
Semisal dengan penjelasan Syekh Al-Zarnuji dalam kitabnya Ta‟ lim
Muta‟ alim yaitu termasuk salah satu menghormati guru adalah menghormati
anak-anaknya dan orang yang mempunyai hubungan dengannya. Guru kami
Syaikhul Islam Burhanudin pengarang kitab ―Al-Hidayah‖ pernah berkata. Bahwa
seorang ulama besar dari Bukhara sedang duduk dalam suatu majelis pengajian,
kemudian ia berdiri dan duduk kembali. Ketika ditanya kepadanya sikap itu, ia
menjawab : ―sesungguhnya saya melihat putra guruku sedang bermain di jalan
bersama teman-temannya. Jika saya melihatnya lalu saya berdiri, itu semata-mata
bentuk penghormatan saya kepada guruku.‖ 53
Hal tersebut sejalan dengan etika yang diberlakukan di pesantren bahwa
para santri diwajibkan berdiri dan menundukan kepala atau hanya menundukaan
kepala apabila bertemu atau berpapasan dengan kiyai/guru dan keturunanya serta
52
Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, (2007, Dar-Al-Ma‗rifah, Lebanon), h. 319
53 Syekh Al-Zarnuji, op, cit,. h. 17 - 18
42
kerabatnya dalam kondisi apapun. Apabila santri sedang berjalan maka berhenti
sejenak dan apabila santri berjalan di hadapan kiyai/guru dan keturunanya serta
kerabatnya maka harus menundukan kepalanya.
Selain untuk membentuk santri yang bermoral dan berakhlak baik, sistem
sosial seperti itu diberlakukan atas dampak dari kurangnya pendidikan akhlak
yang diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan modern sehingga hal tersebut
dapat dijadikan sebagai pembeda antara pendidikan modern dengan pendidikan
pesantren tradisional.
2. Deskripsi Data Hasil Angket Penelitian
Hasil penelitian yang penulis peroleh dengan menyebarkan angket kepada
50 santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon,
kemudian diolah dengan lagkah-langkah sebagai berikut :
a. Menghitung jumlah responden
b. Memeriksa angket sebelum dianalisa terlebih dahulu kemudian
meniterpestasikan data yang terkumpul dengan mengecek ulang data yang ada
dengan tujuan agar dapat memperoleh data yang valid.
c. Mencari frekuensi dengan cara menjumlahkan jawaban dan mencari
korelasinya. Adapun data tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
1) Deskripsi data variabel X penerapan budaya keraton di Pesantren
Tabel 04
Pertanyaan Positif
Dari tabel di atas dapat diperoleh penjelasan bahwa, 35 responden 70%
menjawab selalu berjalan jongkok atau nglesot ketika menghadap guru, 11
responden 22% sering berjalan jongkok atau nglesot ketika menghadap guru, 1
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya berjalan jongkok
atau nglesot ketika
menghadap guru
a. Selalu 35 70%
b. Sering 11 22%
c. Jarang 1 2%
d. Kadang-kadang 2 4%
e. Tidak Pernah 1 2%
Jumlah 50 100%
43
responden menjawab 2 berjalan jongkok atau nglesot ketika menghadap guru, 2
responden menjawab 4%, 1 responden menjawab 2% berjalan jongkok atau
nglesot ketika menghadap guru. Dengan demikian dapat dilihat bahwa santri yang
selalu berjalan jongkok ketika menghadap guru lebih banyak, hal ini didasari
kepada bentuk penghormatan seorang santri kepada gurunya.
Tabel 05
Pertanyaan Positif
Dari tabel di atas dapat diperoleh penjelasan bahwa, 30 responden
menjawab 60% menundukan kepala dan mengumpulkan tangan di bawah perut
serta berhenti sejenak ketika berpapasan dengan guru ketika berjalan dalam jarak
5m, 15 responden menjawab 30% menundukan kepala dan mengumpulkan tangan
di bawah perut serta berhenti sejenak ketika berpapasan dengan guru ketika
berjalan dalam jarak 5m, 2 responden menjawab 4 % menundukan kepala dan
mengumpulkan tangan di bawah perut serta berhenti sejenak ketika berpapasan
dengan guru ketika berjalan dalam jarak 5m 3 responden menjawab 6%
menundukan kepala dan mengumpulkan tangan di bawah perut serta berhenti
sejenak ketika berpapasan dengan guru ketika berjalan dalam jarak 5m, 5
responden menjawab 0% menundukan kepala dan mengumpulkan tangan di
bawah perut serta berhenti sejenak ketika berpapasan dengan guru ketika berjalan
dalam jarak 5m. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa santri yang selalu
menundukan kepala dan mengumpulkan tangan di bawah perut serta berhenti
sejenak ketika berpapasan dengan guru ketika berjalan dalam jarak 5m lebih
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya menundukan
kepala dan
mengumpulkan tangan
dibawah perut serta
berhenti sejenak ketika
berpapasan dengan
guru
a. Selalu 30 60%
b. Sering 15 30%
c. Jarang 2 4%
d. Kadang-kadang 3 6%
e. Tidak Pernah - -
Jumlah 50 100%
44
banyak, hal ini didasari oleh bentuk penghormatan santri yang diberikan kepada
guru-gurunya.
Tabel 06
Pertanyaan Positif
Dengan demikian dapat diperoleh penjelasan bahwa, 38 responden (76%)
menjawab selalu duduk seperti tasyaahud akhir dan menundukan kepala ketika
berbicara berhadapan dengan guru, 8 responden (16%) menjawab duduk seperti
tasyaahud akhir dan menundukan kepala ketika berbicara berhadapan dengan
guru, 3 responden (6%) duduk seperti tasyaahud akhir dan menundukan kepala
ketika berbicara berhadapan dengan guru, 1 responden (2%) menjawab duduk
seperti tasyaahud akhir dan menundukan kepala ketika berbicara berhadapan
dengan guru. Dapat disimpulkan bahwa santri yang selalu duduk seperti tasyahud
akhir dan menundukan kepala ketika berbicara berhadapan dengan guru lebih
banyak.
Tabel 07
Pertanyaan Positif
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya duduk seperti
tasyaahud akhir dan
menundukan kepala
ketika berbicara
berhadapan dengan
guru
a. Selalu 38 76%
b. Sering 8 16%
c. Jarang 3 6%
d. Kadang-kadang 1 2%
e. Tidak Pernah - -
Jumlah 50 100%
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Ketika duduk bersila,
saya menutupi kaki
saya dengan kain
sarung
a. Selalu 23 46%
b. Sering 12 24%
c. Jarang 11 22%
d. Kadang-kadang 3 6%
e. Tidak Pernah 1 2%
Jumlah 50 100%
45
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, 23 responden (46%) menjawab
Ketika duduk bersila, saya menutupi kaki saya dengan kain sarung, 12 respoden
(24%) menjawab ketika duduk bersila, saya menutupi kaki saya dengan kain
sarung, 11 responden (22%) menjawab ketika duduk bersila, saya menutupi kaki
saya dengan kain sarung, 3 responden (6%) menjawab ketika duduk bersila, saya
menutupi kaki saya dengan kain sarung, 1 responden (2%) menjawab ketika
duduk bersila, saya menutupi kaki saya dengan kain sarung. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa santri yang ketika duduk bersila, menutupi kaki dengan
kain sarung lebih banyak, hal ini dikarenakan untuk menjaga tatakarama
kesopanan seorang santri dalam menjalani kehidupan sosial sehari-hari.
Tabel 08
Pertanyaan positif
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, 18 responden (36%) menjawab
jarang menggunakan bahasa kromo inggil ketika berbicara dengan guru, 15
responden (30%) menjawab kadang-kadang menggunakan bahasa kromo inggil
ketika berbicara dengan guru, 7 responden (14%) menjawab selalu menggunakan
bahasa kromo inggil ketika berbicara dengan guru, 6 responden (12%) menjawab
sering menggunakan bahasa kromo inggil ketika berbicara dengan guru, 4
responden (8%) menjawab tidak pernah menggunakan bahasa kromo inggil ketika
berbicara dengan guru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang
jarang menggunakan bahasa kromo inggil ketika berbicara dengan guru lebih
banyak, hal ini dikarenakan tidak semua santri berasal dari wilayah/daerah yang
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya menggunakan
bahasa kromo inggil
ketika berbicara dengan
guru
f. Selalu 7 14%
g. Sering 6 12%
h. Jarang 18 36%
i. Kadang-kadang 15 30%
j. Tidak Pernah 4 8%
Jumlah 50 100%
46
berbahasa Jawa dan tidak semua santri mahir dalam berbahasa Jawa baik ngoko
maupun kromo.
Tabel 09
Pertanyaan Positif
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, 18 responden (36%) menjawab
selalu tidak berjalan bergerombol dengan teman-teman ketika berjalan di depan
rumah guru, 17 responden (34%) menjawab sering tidak berjalan bergerombol
dengan teman-teman ketika berjalan di depan rumah, 7 responden (14%)
menajwab jarang tidak berjalan bergerombol dengan teman-teman ketika berjalan
di depan rumah, 4 responden (8%) menjawab kadang-kadang tidak berjalan
bergerombol dengan teman-teman ketika berjalan di depan rumah, 4 responden
(8%) menjawab tidak pernah tidak berjalan bergerombol dengan teman-teman
ketika berjalan di depan rumah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa,
santri yang tidak berjalan bergerombol dengan teman-teman ketika berjalan di
depan rumah lebih banyak, hal ini dilakukan demi tidak menggangu aktifitas yang
sedang dilakukan guru.
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya tidak berjalan
bergerombol dengan
teman-teman ketika
berjalan di depan
rumah guru
a. Selalu 18 36%
b. Sering 17 34%
c. Jarang 7 14%
d. Kadang-kadang 4 8%
e. Tidak Pernah 4 8%
Jumlah 50 100%
47
Tabel 10
Pertanyaan Positif
Dari tabel di atas dapat dijelaskna bahwa, 17 responden (34%) menjawab
ketika duduk dibangku selalu merapatkan kedua kakinya, 12 responden (24%)
menjawab ketika duduk dibangku sering merapatkan kedua kakinya, 14 responden
(28) menjawab ketika duduk dibangku jarang merapatkan kedua kakinya, 6
responden (12%) menjawab ketika duduk dibangku kadang-kadang merapatkan
kedua kakinya, 1 responden (2%) menjawab ketika duduk dibangku tdak pernah
merapatkan kedua kakinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, santri
yang ketika duduk dibangku merapatkan kedua kakinya lebih banyak karena hal
ini merupakan tatakrama yang baik untuk diprktekan demi menjaga sopan santun
dalam kehidupan sosial.
Tabel 11
Pertanyaan Positif
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, 29 responden (58%) menjawab
selalu berpakian rapih baik dalam lingkungan pesantren maupun di luar
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya selalu
berpakian rapih baik
dalam lingkungan
pesantren maupun di
luar lingkungan
pesantren.
a. Selalu 29 58%
b. Sering 14 28%
c. Jarang 4 8%
d. Kadang-kadang 3 6%
e. Tidak Pernah - -
Jumlah 50 100%
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Ketika duduk
dibangku saya
merapatkan kedua
kaki saya
b. Selalu 17 34%
c. Sering 12 24%
d. Jarang 14 28%
e. Kadang-kadang 6 12%
f. Tidak Pernah 1 2%
Jumlah 50 100%
48
lingkungan pesantren, 14 responden (28%) menjawab selalu berpakian rapih baik
dalam lingkungan pesantren maupun di luar lngkungan pesantren, 4 responden
(8%) menjawab selalu berpakian rapih baik dalam lingkungan pesantren maupun
di luar lngkungan pesantren, 3 responden (6%) menjawab selalu berpakian rapih
baik dalam lingkungan pesantren maupun di luar lngkungan pesantren. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang selalu berpakian rapih baik dalam
lingkungan pesantren maupun di luar lingkungan pesantren lebih banyak hal ini
dipraktekan demi menjaga tatakrama yang baik dalam kehidupan sosial.
2) Deskripsi data variabel Y Adab Santri Terhadap Guru di Lingkungan
Pesantren
Tabel 12
Pertanyaan Positif
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 37 responden (74%)
menjawab ketika guru memanggil saya segera menghampirinya, 8 responden
(16%) menjawab ketika guru memanggil saya segera menghampirinya, 3
responden (6%) menjawab ketika guru memanggil saya segera menghampirinya,
2 responden (4%) menjawab ketika guru memanggil saya segera
menghampirinya. Dengan demikiandapat disimpulkan bahwa, santri yang
bersegera menghampiri ketika dipanggil oleh guru lebih banyak, hal ini
menunjukan bahwa akhlak terpuji kepada guru sangat diperhatikan oleh para
santri.
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Ketika guru
memanggil, saya
segera
menghampirinya
a. Selalu 37 74%
b. Sering 8 16%
c. Jarang 3 6%
d. Kadang-kadang 2 4%
e. Tidak Pernah - -
Jumlah 50 100%
49
Tabel 13
Pertanyaan Positif
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 35 responden (70%)
menjawab selalu menghormati kerabat guru sebagaimana saya menghormati guru,
11 responden (22%) menjawab Saya sering menghormati kerabat guru
sebagaimana saya menghormati guru, 2 responden (4%) menjawab jarang
menghormati kerabat guru sebagaimana saya menghormati guru, 2 responden
(4%) menjawab kadang-kadang menghormati kerabat guru sebagaimana saya
menghormati guru, dan 0 responden menjawab tidak pernah menghormati kerabat
guru sebagaimana saya menghormati guru. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa santri yang menghormati kerabat guru sebagaimana menghormati guru
mereka lebih banyak, hal ini dikarenakan pemahaman santri terhadap bentuk
penghormatan terhadap guru tidak hanya terbatas pada guru saja melainkan
kepada orang-orang yang berhubungan dekat dengan gurupun juga harus
dihormati, baik dalam ruang lingkup keluarga maupun kerabat.
Tabel 14
Pertanyaan Positif
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya menghormati
kerabat guru
sebagaimana saya
menghormati guru
a. Selalu 35 70%
b. Sering 11 22%
c. Jarang 2 4%
d. Kadang-kadang 2 4%
e. Tidak Pernah - -
Jumlah 50 100%
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya menjaga
kepercayaan yang
telah diberikan guru
kepada saya
a. Selalu 33 66%
b. Sering 14 28%
c. Jarang 3 6%
d. Kadang-kadang - -
e. Tidak Pernah - -
Jumlah 50 100%
50
Dari tabel di atas dapaat dambil penjelasan bahwa, 33 responden (66%)
menjawab saya selalu menjaga kepercayaan yang telah diberikan guru kepada
saya, 14 responden (28%) menjawab Saya sering menjaga kepercayaan yang telah
diberikan guru kepada saya, 3 responden (6%) menjawab saya jarang menjaga
kepercayaan yang telah diberikan guru kepada saya, dan 0 responden menjawab
kaadang-kadang bahkan tidak pernah menjaga kepercayaan yang telah dberikan
guru kepada saya. Dengan demikian kesimpulan yang didapat adalah santri yang
menjaga kepercayaan yang telah diberikan guru kepadanya lebih banyak, hal ini
dilatarbelakangi oleh pemikiran para santri yang selalu mempunyai keinginan
untuk selalu memberikan yang terbaik untuk guru.
Tabel 15
Pertanyaan Positif
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, 32 responden (64%) menjawab
ketika berjalan dengan guru saya selalu berjalan di belakangnya, 15 responden
(30%) menjawab Ketika berjalan dengan guru saya sering berjalan di
belakangnya, 3 responden (6%) menjawab Ketika berjalan dengan guru saya
berjalan di belakangnya, dan 0 responden menjawab ketika berjalan dengan guru
saya kadang-kadang bahkan tidak pernah berjalan di belakangnya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang ketika berjalan dengan guru selalu
berjalan di belakangnya, hal ini dilatar belakangi oleh bentuk penghormatan para
santri yang tidak ingin mendahului bahkan berada di depan guru sehingga
menghalangi perjalanannya.
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Ketika berjalan
dengan guru saya
berjalan di
belakangnya
a. Selalu 32 64%
b. Sering 15 30%
c. Jarang 3 6%
d. Kadang-kadang - -
e. Tidak Pernah - -
Jumlah 50 100%
51
Tabel 16
Pertanyaan Negatif
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 40 responden (80%)
menjawab Saya tidak pernah memotong pembicaraan guru ketika guru sedang
berbicara kepada saya, 8 responden (16%) menjawab Saya kadang-kadang
memotong pembicaraan guru ketika guru sedang berbicara kepada saya, 0
responden menjawab Saya jarang tidak pernah memotong pembicaraan guru
ketika guru sedang berbicara kepada saya, 2 responden (4%) menjawab Saya
sering memotong pembicaraan guru ketika guru sedang berbicara kepada saya,
dan 0 responden menjawab Saya selalu memotong pembicaraan guru ketika guru
sedang berbicara kepada saya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa santri
yang tidak memotong pembicaraan guru ketika guru sedang berbicara kepadanya
lebih banyak, hal ini dikarenakan rasa ta‗dzim santri kepada guru demi untuk
menjaga perasaan guru untuk tidak tersinggung dengan sikap santri yang
memotong pembicaraan guru ketika guru sedang berbicara kepadanya.
Tabel 17
Pertanyaan Negatif
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya memotong
pembicaraan guru
ketika guru
sedang berbicara
kepada saya
a. Selalu - -
b. Sering 2 4%
c. Jarang - -
d. Kadang-kadang 8 6%
e. Tidak Pernah 40 80%
Jumlah 50 100%
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Ketika berhadapan
dengan guru saya
berdiri sementara
guru dalam keadaan
duduk
a. Selalu 1 2%
b. Sering 1 2%
c. Jarang - -
d. Kadang-kadang 6 12%
e. Tidak Pernah 42 84%
Jumlah 50 100%
52
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 42 responden (84%)
menjawab ketika berhadapan dengan guru saya tidak pernah berdiri sementara
guru duduk, 6 responden menjawab ketika berhadapan dengan guru saya kadang-
kadang berdiri sementara guru duduk, 1 responden (2%) menjawab ketika
berhadapan dengan guru saya selalu berdiri sementara guru duduk, 1 responden
(2%) menjawab ketika berhadapan dengan guru saya sering berdiri sementara
guru duduk, 0 responden menjawab ketika berhadapan dengan guru saya jarang
berdiri sementara guru duduk. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa santri
yang ketika berhadapan dengan guru tidak pernah berdiri sementara guru dalam
kondisi duduk lebih banyak, hal ini merupakan bentuk penghormatan santri
terhadap segala suatu kondisi guru sehingga santripun harus mengikuti dan
memakluminya.
3) Deskripsi data variabel Y akhlak santri kepada Orangtua
Tabel 18
Pertanyaan Negatif
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, 28 responden (56%) menjawab
saya tidak pernah membantah perintah orangtua, 15 responden (30%) menjawab
kadang-kadang saya membantah perintah orangtua, 6 responden (12%) menjawab
saya jarang membantah perintah orangtua, 1 responden (2%) menjawab saya
selalu membantah perintah orangtua, 0 responden menjawab saya sering
membantah perintah orangtua. Dengan demikian dapat diambil penjelasan bahwa
santri yang tidak pernah membantah perintah orangtua lebih banyak, hal ini
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya membantah
perintah orangtua
a. Selalu 1 2%
b. Sering - -
c. Jarang 6 12%
d. Kadang-kadang 15 30%
e. Tidak Pernah 28 56%
Jumlah 50 100%
53
dikarenakan pemahaman tentang akhlak seorang anak kepada orangtuanya yang
harus selalu mematuhi perintah orangtua selama hal itu baik.
Tabel 19
Pertanyaan Positif
Dari tabel di atas dapat di jelaskan bahwa, 15 responden (30%) menjawab
saya jarang mencium lutut dan kaki kedua orangtua saya ketika orangtua
menjenguk ke pesantren, 14 responden (28%) menjawab saya selalu mencium
lutut dan kaki kedua orangtua saya ketika orangtua menjenguk ke pesantren, 9
responden (18%) menjawab saya kadang-kadang mencium lutut dan kaki kedua
orangtua saya ketika orangtua menjenguk ke pesantren, 8 responden (16%)
menjawab saya sering mencium lutut dan kaki kedua orangtua saya ketika
orangtua menjenguk ke pesantren, 4 responden (8%) menjawab saya tidak pernah
mencium lutut dan kaki kedua orangtua saya ketika orangtua menjenguk ke
pesantren. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang jarang
mencium lutut dan kaki kedua orangtua ketika orangtua menjenguk ke pesantren,
hal ini dikarenakan masih adanya rasa malu untuk melakukan hal tersebut,
sekalipun hal tersebut baik dan merupakan salah satu bentuk penghormatan anak
kepada orangtuanya.
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya mencium lutut
dan kaki kedua
orangtua saya ketika
orangtua menjenguk
ke pesantren
a. Selalu 14 28%
b. Sering 8 16%
c. Jarang 15 30%
d. Kadang-kadang 9 18%
e. Tidak Pernah 4 8%
Jumlah 50 100%
54
Tabel 20
Pertanyaan Positif
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, 42 responden (84%) menjawab
saya selalu menghormati kedua orangtua sebagaimana saya menghormati guru, 4
responden (8%) menjawab saya sering menghormati kedua orangtua sebagaimana
saya menghormati guru, 1 responden (2%) menjawab saya jarang menghormati
kedua orangtua sebagaimana saya menghormati guru, 2 responden (4%)
menjawab saya kadang-kadang menghormati kedua orangtua sebagaimana saya
menghormati guru, 1 responden (2%) menjawab saya tidak pernah menghormati
kedua orangtua sebagaimana saya menghormati guru. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa, santri yang selalu menghormati kedua orangtuanya
sebagaimana saya menghormati guru, hal ini didasari pada rasa cinta seorang anak
kepada orangtuanya serta tidak adanya rasa membedakan antara guru dan
orangtua, karena guru dan orangtua sama-sama orang yang selalu ada untuk
memberikan pendidikan.
Tabel 21
Pertanyaan Negatif
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya menghormati
kedua orangtua
sebagaimana saya
menghormati guru
a. Selalu 42 84%
b. Sering 4 8%
c. Jarang 1 1%
d. Kadang-kadang 2 4%
e. Tidak Pernah 1 2%
Jumlah 50 100%
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya melalaikan
nasihat orangtua
a. Selalu 1 2%
b. Sering 3 6%
c. Jarang 4 8%
d. Kadang-kadang 17 34%
e. Tidak Pernah 25 50%
Jumlah 50 100%
55
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 25 responden (50%)
menjawab saya tidak pernah melalaikan nasihat orangtua, 17 responden (34%)
menjawab saya kadang-kadang melalaikan nasihat orangtua, 4 responden (8%)
menjawab saya jarang melalaikan nasihat orangtua, 3 responden (6%) menjawab
saya sering melalaikan nasihat orangtua, 1 responden (2%) menjawab saya selalu
melalaikan nasihat orangtua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, santri
yang tidak pernah melalaikan nasihat orangtua lebih banyak hal ini didasari oleh
rasa ta‗dzim seorang anak untuk selalu memulyakan kedua orangtuanya.
Tabel 22
Pertanyaan Positif
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa, 32 responden (64%) menjawab
ketika orangtua memerintah saya selalu langsung melaksanakannya, 12 responden
(24%) menjawab ketika orangtua memerintah saya sering langsung
melaksanakannya, 3 responden (6%) menjawab ketika orangtua memerintah saya
jarang langsung melaksanakannya, 3 responden (6%) menjawab ketika orangtua
memerintah saya kadang-kadang langsung melaksanakannya, dan 0 responden
menjawab ketika orangtua memerintah saya tidak pernah langsung
melaksanakannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang ketika
orangtua memerintah selalu langsung melaksanakannya lebih banyak, hal ini
didasari oleh sikap santri yang tidak ingin membuat kecewa orangtuanya yang
menanti-nanti perintah dari orangtuanya.
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Ketika orangtua
memerintah saya
langsung
melaksanakannya
a. Selalu 32 64%
b. Sering 12 24%
c. Jarang 3 6%
d. Kadang-kadang 3 6%
e. Tidak Pernah - -
Jumlah 50 100%
56
Tabel 23
Pertanyaan Positif
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 32 responden (64%)
menjawab saya selalu menghormati kerabat-kerabat orangtua sebagaimana saya
menghormati orangtua, 12 responden (24%) menjawab saya sering menghormati
kerabat-kerabat orangtua sebagaimana saya menghormati orangtua, 3 responden
(6%) menjawab saya jarang menghormati kerabat-kerabat orangtua sebagaimana
saya menghormati orangtua, 3 responden (6%) menjawab saya kadang-kadang
menghormati kerabat-kerabat orangtua sebagaimana saya menghormati orangtua,
dan 0 responden menjawab saya tidak pernah menghormati kerabat-kerabat
orangtua sebagaimana saya menghormati orangtua. Dengan demikian dapat
dijelaskan bahwa santri yang selalu menghormati kerabat-kerabat orangtua
sebagaimana saya menghormati orangtua lebih banyak, hal ini disebabkan oleh
pemahaman santri tentang akhlak dan bersikap kepada kerabat-kerabat orangtua
sebagaimana yang dianjurkan dalam syari‗at islam.
Tabel 24
Pertanyaan Positif
Petanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Saya menghormati
kerabat-kerabat
orangtua sebagaimana
saya menghormati
orangtua
a. Selalu 32 64%
b. Sering 12 24%
c. Jarang 3 6%
d. Kadang-kadang 3 6%
e. Tidak Pernah - -
Jumlah 50 100%
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Ketika berbicara
dengan orangtua
saya merendahkan
suara saya
a. Selalu 29 58%
b. Sering 12 24%
c. Jarang 3 6%
d. Kadang-kadang 4 8%
e. Tidak Pernah 2 4%
Jumlah 50 100%
57
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 29 responden (58%)
menjawab ketika berbicara dengan orangtua, saya selalu merendahkan suara saya,
12 responden (24%) menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya sering
merendahkan suara saya, 3 responden (6%) menjawab ketika berbicara dengan
orangtua saya jarang merendahkan suara saya, 4 responden (8%) menjawab ketika
berbicara dengan orangtua saya kadang-kadang merendahkan suara saya, 2
responden (4%) menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya tidak pernah
merendahkan suara saya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang
ketika berbicara dengan orangtua selalu merendahkan suaranya lebih banyak, hal
ini dikarenakan para santri telah dapat memahami dengan baik bagaimana harus
bersikap ketika berhadapan dengan orangtua.
Tabel 25
Pertanyaan Positif
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 31 responden (58%)
menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya selalu menggunakan bahasa
yang baik dan sopan, 12 responden (24%) menjawab ketika berbicara dengan
orangtua saya sering menggunakan bahasa yang baik dan sopan, 3 responden
(6%) menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya jarang menggunakan
bahasa yang baik dan sopan, 4 responden (8%) menjawab ketika berbicara dengan
orangtua saya kadang-kadang menggunakan bahasa yang baik dan sopan, 0
responden menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya tidak pernah
menggunakan bahasa yang baik dan sopan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa, santri yang ketika berbicara dengan orangtua selalu menggunakan bahasa
Pertanyaan Alternatif Jawaban Frekuensi Presentase
Ketika berbicara
dengan orangtua saya
menggunakan bahasa
yang baik dan sopan
a. Selalu 31 58%
b. Sering 12 24%
c. Jarang 3 6%
d. Kadang-kadang 4 8%
e. Tidak Pernah - -
Jumlah 50 100%
58
yang baik dan sopan lebih banyak, hal ini membuktikan bahwa para santri telah
dapat memahami dengan baik akhlak dan cara bersikap kepada orangtua.
B. Pengujian Hipotesis Penerapan Budaya Keraton terhadap Akkhlak Santri
Tabel 26
Perhitungan untuk memperoleh angka indeks korelasi
antara variabel X dan Variabel YNo.
Responden X Y X² Y² XY
1 29 55 841 3025 1595
2 31 65 961 4225 2015
3 29 59 841 3481 1711
4 28 66 784 4356 1848
5 31 57 961 3249 1767
6 32 59 1024 3481 1888
7 33 54 1089 2916 1782
8 32 56 1024 3136 1792
9 33 57 1089 3249 1881
10 31 52 961 2704 1612
11 34 61 1156 3721 2074
12 29 58 841 3364 1682
13 34 64 1156 4096 2176
14 32 60 1024 3600 1920
15 36 65 1296 4225 2340
16 34 54 1156 2916 1836
17 25 44 625 1936 1100
18 21 39 441 1521 819
19 34 63 1156 3969 2142
20 24 52 576 2704 1248
59
21 37 68 1369 4624 2516
22 37 68 1369 4624 2516
23 30 64 900 4096 1920
24 38 64 1444 4096 2432
25 26 67 676 4489 1742
26 36 67 1296 4489 2412
27 30 66 900 4356 1980
28 34 58 1156 3364 1972
29 34 63 1156 3969 2142
30 19 59 361 3481 1121
31 25 64 625 4096 1600
32 38 70 1444 4900 2660
33 38 70 1444 4900 2660
34 39 69 1521 4761 2691
35 39 69 1521 4761 2691
36 38 69 1444 4761 2622
37 36 69 1296 4761 2484
38 31 67 961 4489 2077
39 36 68 1296 4624 2448
40 36 68 1296 4624 2448
41 30 63 900 3969 1890
42 37 62 1369 3844 2294
43 22 58 484 3364 1276
44 36 61 1296 3721 2196
45 37 63 1369 3969 2331
46 38 68 1444 4624 2584
47 31 65 961 4225 2015
48 35 61 1225 3721 2135
60
Setelah keseluruhan data dihitung maka dapat diketahui N = 50, ∑X = 1630,
∑Y = 3102, ∑X² = 54338, ∑Y² = 194556, ∑XY = 102107, maka dapat dicari
indeks korelassinnya dengan menggunakan rumus product moment sebagai
berikut :
∑ (∑ )(∑ )
√ ∑ (∑ ) ∑ (∑ )
= 50 x 102107 – 1630 x 3102
√[(50 x 54338 – (1630)²)][(50 x 194556 – (3102)²)]
= 5105350 – 5056260
√(2716900 – 2656900)(9727800 – 9622404)
= 49090
√60.000 . 105396
= 49090
√6. 323. 760. 000
= 49090
79. 522, 07241
= 0, 61
Setelah melakukan perhitungan secara keseluruhan, maka hasil yang
didapatkan antara hubungan penerapan budaya keraton dengan akhlak santri
Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon, diperoleh angka
korelasi ―r‖ product moment sebesar 0, 61.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Interpretasi dan Pemaknaan Hasil Angket Penelitian
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka penulis memberikan
interpretasi terhadap angka indeks korelasi ―r” product moment melalui dua cara
yaitu :
49 37 68 1369 4624 2516
50 38 66 1444 4356 2508
N= 50 ∑X = 2
1630
∑Y = 2
3102
∑X²
54338
∑Y²
194556
∑XY
102107
61
a. Interpretasi secara sederhana atau kasar
Interpretasi terhadap rxy dan perhitungan di atas ternyata angka korelasi
antara variabel X dan Variabel Y bertanda positif, berarti diantara kedua
variabel tersebut terdapat korelasi positif (korelasi yang berjalan searah).
Dengan memperhatikan besarnya rxy (yaitu 0, 61), berarti antara variabel X
dan Y memang terdapat korelasi yang signifikan. Hal ini mengacu pada Angka
Indeks Korelasi ―r‖ Product Moment yaitu :
Tabel 27
Indeks Korelasi Product Moment
b. Interpretasi dengan menggunakan tabel nilai ―r‖ product moment
Rumusan Hipotesa Alternatif (Ha) dan Hipotesa Nihil (Ho), yang penulis
ajukan adalah :
1) Hipotesis alternative (Ha), yaitu adanya pengaruh yang signifikan
antara penerapan budaya keraton terhadap akhlak santri Pondok
Pesantren Nadwatul Ummmah Buntet Pesantren Cirebon.
2) Hipotesis Nol (Ho), yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan antara
penerapan budaya keraton terhadap akhlak santri Pondok Pesantren
Nadwatul Ummmah Buntet Pesantren Cirebon.
Besarnya "r"
Product
Moment (rxy)
Interpretasi
0,00-0,20
Antara variable X dengan variable Y memang terdapat
korelasi, akan tetapi korelasi itu sangat lemah atau sangat
rendah sehingga korelasi itu diabaikan ( di anggap tidak ada
korelasi antara variable X dengan variable Y )
0,20 -0,40 Antara variable X dengan variable Y terdapat korelasi yang
lemah atau sangant rendah
0,40 -0,70 Antara variable X dengan variable Y terdapat korelasi yang
sedang atau cukup
0,70 -0,90 Antara variable X dengan variable Y terdapat korelasi yang
kuat atau tinggi
0,90 -1,00 Antara variable X dengan variable Y terdapat korelasi yang
sangat tinggi
62
Adapun kriteria pengajuannya adalah : jika r hitung > r tabel maka Ha
diterima dan Ho ditolak. Sebaliknya jika r hitung < r tabel maka Ha ditolak dan
Ho diterima. Kemudian penulis mencari derajat bebasnya (df atau db) dengan
rumusnya adalah : Df = N – nr
= 50 – 2
= 48
Dengan memeriksa tabel ―r‖ roduct moment ternyata df sebesar 48 tidak
terdapat dalam tabel, maka angka yang digunakan adalah angka yang terdekat dari
48 yaitu 50, sehingga diperoleh r tabel pada taraf signifikasi 5% adalah 0, 27 dan
pada taraf signifikasi 1% adalah 0, 35. Dengan demikian hasil yang diperoleh
adalah r hitung > r tabel (r hitung 0, 61 > r tabel 5% = 0, 27 / r hitung 0, 61 > r
tabel 1% = 0, 35) yang artinya r hitung lebih besar (0, 61) dari r tabel 5% (0, 27)
dan r tabel 1% (0, 35). Maka hasil akhir yang diperoleh adalah bahwa hubungan
antara penerapan budaya keraton dengan akhlak santri Pondok Pesantren
Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon merupakan korelasi yang positif
yakni terdapat hubungan yang signifikan.
2. Keterkaitan Pola Perilaku Adab Abdi Dalem di Keraton dengan Adab
Santri di Pesantren
Berdasarkan hasil penelitian yang telah ditemukan, bahwa penerapan
budaya keraton mempunyai pengaruh yang signifikan dalam pembentukan akhlak
santri pondok Pesantren Nadwatul Ummah. Hal ini menggambarkan bahwa
dengan adanya sistem penerapan budaya keraton sangat membantu proses
pendidikan di pesantren terutama pendidikan akhlak yang berperan dalam
membentuk moral santri yang sesuai dengan syari‗at Islam.
Karena pada dasarnya sistem penerapan budaya keraton di pesantren
bertujuan memberikan pendidikan akhlak secara nyata sehingga para santri dapat
memahami secara mendalam teori pendidikan yang telah dipelajari. Semisal
dengan teori pendidikan akhlak yang menjelaskan bahwa seorang murid haruslah
mendapat ridlo dari seorang guru dan menghindari kemurkaannya serta harus
patuh kepada guru, hal ini tergambar dalam sistem sosial yang diberlakukan di
pesantren bahwa setiap santri ketika berjalan di depan rumah guru tidak boleh
63
bergerombol dan memunculkan kerimbutan karena hal tersebut dapat
mengganggu ketenangan guru dan keluarganya sehingga dapat membuat guru
kesal dan marah.
Selain itu, para santri juga diwajibkan bersikap sopan kepada orangtua
dengan tidak memandang wajahnya ketika berbicara, sikap demikian dilakukan
sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa seorang anak ketika berhadapan
dengan oangtuanya haruslah merendahkan dirinya. Hal ini menunjukan bahwa
dengan adanya sistem tersebut santri dapat langsung memahami dan
memeraktekan teori akhlak secara langsung dalam kehidupan sehari-hari di
pesantren.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerapan budaya keraton
sangat efektif untuk di terapkan karena dapat membantu proses pendidikan
terutama pendidikan akhlak yang langsung dipraktekan oleh para santri lewat
terapan sistem budaya keraton yang dalam hal ini adalah bentuk akhlak atau sikap
abdi dalem terhadap sultan atau raja. Selain itu pula dengan diterapkannya sistem
budaya keraton di pesantren telah memberikan efek positif terhadap para santri
karena dengan adanya terapan sistem tersebut para santri benar-benar telah
memahami bagaimana harus bersikap terhadap guru beserta keluarganya, juga
kepada orangtua maupun kerabat orangtua mereka.
3. Keterkaitan Hasil Penelitian Dengan Penelitian Terdahulu
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa hasil dari penelitian penulis
terkait hubungan penerapan budaya keraton dengan akhlak santri pondok
pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon memiliki hubungan yang
signifikan, dikarenakan praktek budaya yang diterapkan dipesantren memiliki
peran yang positif dalam memberikan pengalaman nyata terhadap para santri
terutama dalam hal pendidikan akhlak.
Dalam kajian penelitian terdahulu yang relevan, dijelaskan bahwa keraton
memiliki peran penting terhadap kehidupan sosial masyarakat yang tinggal di
wilayah sekitar Keraton, baik dalam hal ekonomi maupun dalam segi pelestarian
budaya. Hal ini disebabkan oleh fungsi Keraton yang kini berfungsi sebagai
64
tempat pelestarian budaya nenek moyang serta menjadi pusat perekonomian
masyarakat sekitar yang membuka usaha di sekitar keraton.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keterkaitan hasil penelitian
dengan hasil penelitian terdahulu yang relevan adalah bahwa Keraton telah
memberikan dampak positif terhadap masyarakat yang berada di lingkungan
sekitar baik dalam hal perekonomian, pelestarian budaya, serta dalam hal
pendidikan di wilayah sekitar keraton. Hal ini didasari pada faktor sejarah dimana
Keraton pada masa dulu merupakan kerajaaan yang berkuasa di wilayahnya
sehingga kebijakan-kebijakan Keraton akan selalu memberikan dampak terhadap
kehidupan masyarakat sekitar.
D. Keterbatasan Penelitian
Pada pelaksanaan penelitian, peneliti menemukan beberapa hambatan
sehingga menyulitkan peneliti untuk mendapatkan menyelesaikan penelitian
sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, adapun hambatan yang ditemui
penulis antara lain adalah :
1. Waktu dan Jarak
Judul dalam skripsi ini adalah Hubungan Penerapan Budaya Keraton
Terhadap Akhlak Santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren
Cirebon, sehubungan dengan judul yang terkait secara otomatis dalam
pelaksanaan penelitian haruslah mengadakan peneletian di tempat yaitu di Pondok
Pesantren Nadwatul Umma Buntet Pesantren Cirebon. Karena hal itulah, peneliti
sedikit merasa terberatkan karena jarak tempuh antara Jakarta dan Cirebon
tidaklah dekat. Selain itu pula, waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan
penelitian tidaklah sebentar, dan terkadang ketika peneliti sudah menjadwal
dengan baik jadwal penelitian namun sesekali jadwal tersebut tidak sesuai dengan
situasi dan kondisi di Pesantren sehingga jadwal harus diatur ulang dengan
menyesuaikan situasi dan kondisi di Pesantren, semisal ketika peneliti ingin
melaksanakan wawancara dengan pengasuh Pesantren yang ternyata ketika
peneliti datang Pengasuh sedang tidak berada di Pesantren sehingga
membutuhkan waktu lagi untuk melakukan wawancara dilain hari. Selain itupula,
dalam proses observasi maupun pengambilan photo dokumentasi kegiatan di
65
pesantren peneliti tidak bisa langsung melaksankan berbarengan dengan
pelaksanaan kegiatan di pesantren karena waktu dan kondisi peneliti yang tidak
tepat dan tidak sesuai dengan jadwal kegiatan Pesantren.
2. Biaya Penelitian
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penelitian dilaksanakan
di tempat yang jauh dari asal peneliti sehingga dalam pelaksanaannya
membutuhkan biaya yang tidak sedikit, terhitung dari biaya transportasi maupun
akomodasi sehari-hari peneliti dalam melaksanakan penelitian di Pesantren yang
terkadang penelitipun harus berkali-kali mendatangi Pesantren di waktu dan hari
yang berbeda, serta biaya pembuatan angket yang harus disebar ke beberapa
santri di Pesantren yang tidak sedikit. Oleh karenanyalah peneliti dalam
melaksanakan penelitian sangat berhati-hati terutama dalam kebijakan
menggunakan biaya untuk pelaksanaan penelitian.
3. Kekhawatiran Peneliti
Pesantren yang menjadi fokus penelitian dalam penulisan skripsi ini
merupakan tempat dimana peneliti pernah menjadi santri dan menjalani proses
pendidikan agama Islam, sehingga sedikit banyaknya peneliti memahami situasi
dan kondisi sosial di Pesantren serta dalam diri peneliti masih tersimpan
kepatuhan yang dalam akan nasihat dan titah Pengasuh dan juga keluarga besar
Pesantren. Berdasarkan hal tersebut, peneliti sedikit merasa khawatir akan
penelitian ini. Adapun sebab kekhawatiran peneliti antaralain adalah :
a. Peneliti khawatir pihak Pesantren baik Pengasuh maupun keluarga besar
Pesantren merasa tersiggung dengan tema maupun judul dari penelitian,
b. Adanya perasaan kurang menyenangkan dari peneliti, karena khawatir
penelitian yang dilaksanakan merupakan hal yang tidak sopan untuk
dilakukan karena terkesan melawan,
c. Khawatir akan adanya penolakan tentang penelitian sehingga
menyebabkan peneliti harus merubah konsep dan juga tema maupun
judul skripsi, dan
66
d. Khawatir akan adannya perlawan dari pihak pesantren tentang hasil
penelitian nanti bila hasil penelitian ternnyata jauh dari harapan yang di
inginkan pihak pesantren.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam pelaksanaan penelitian baik
wawancara maupun observasi peneliti tidak merasakan kebebasan sehingga
menyebabkan proses penelitian sedikit terhambat, semisal dengan pertanyaan-
pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara kepada pengasuh Pesantren
peneliti harus kembali berdiskusi dengan para guru yang berada di Pesantren demi
menjaga tidak adanya kesalah pahaman dalam proses wawancara.
4. Pendapat Pengasuh yang Berbeda
Sebagaimana yang telah penulis ketahui bahwa sistem yang diberlakukan
di pesantren merupakan sistem yang serupa dengan sistem yang diberlakukan di
keraton terutama dalam hal penerapan sikap abdi dalem kepada sultan atau raja.
Namun ketika penulis melaksanakan wawancara dan menanyakan kepada
pengasuh tentang latar belakang penerapan sistem dipesantren, beliau
menerangkan bahwa sistem yang diberlakukan bukan karena meniru terhadap
sistem yang diterapkan dalam keraton melainkan sistem yang diberlakukan
merupakan terapan yang memang sudah ada dalam syari‗at Islam. Dengan adanya
pernyataan tersebut membuat penulis sedikit bingung karena pada praktek
nyatanya setelah dipadukan dengan temuan teoritis oleh penulis, sistem yang
diterapkan banyak meniru sistem yang ada dikeraton.
67
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Setelah penjelasan dari hasil penelitian yang penulis dapat, maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Pondok pesantren Nadwatul Ummah adalah pesantren yang dikategorikan
sebagai pesantren yang Klasik/Salafi. Hal tersebut dikarenakan masih banyak
tradisi-tradisi pesantren klasik yang diterapakan di pesantren. Semisal, sistem
pengajian yang masih menggunakan metode sorogan dan wetonan serta kitab
yang diajarkan merupakan kitab-kitab klasik (kitab kuning), tradisi
musyawarah/Bahtsul masail, dan pemberian ijazah kepada santri yang telah
menyelesaikan pembelajaran kitab-kitab Besar dan masyhur.
2. Pengasuh Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon
merupakan keturunan dari Syekh Syarif Hidyatullah pendiri kerajaan Islam di
Cirebon yang sekarang dikenal dengan Keraton Kasepuhan Cirebon dan hingga
saat ini masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan keluarga
besar Keraton Kasepuhan Cirebon. Sehingga pola pendidikan dan pola
kehidupan sosial di pesantren telah terpengaruh oleh sistem yang berlaku di
Keraton. Hal tersebut digambarkan dengan diterapkannya sistem budaya
keraton yang dalam hal ini adalah adab abdi dalem kepada sultan/raja dan
santri diibaratkan seorang abdi dalem yang harus beradab luhur ketika berada
di lingkungan keraton. Sehingga ketika santri berada di lingkungan pesantren
haruslah beradab luhur dan patuh serta tunduk kepada titah Kiyai/Guru di
Pesantren.
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara penerapan Budaya Keraton dengan
Akhlak santri di Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon dengan
nilai korelasi sedang atau cukup yaitu sebesar 0, 61. Penilaian tersebut
mengacu pada tabel Indeks Korelasi Product Moment yang menyebutkan
bahwa apabila nilai korelasi yang didapat adalah 0, 40 – 0, 70 maka nilai
korelasi yang didapat antra variabel X dan Y adalah sedang atau cukup.
68
4. Pola perilaku abdi dalem ketika berada di lingkungan Keraton dengan pola
perilaku santri ketika berada di ilngkungan pesantren memiliki kesamaan yang
signifikan. Hal tersebut dikarenakan penerapan sistem budaya keraton yang
diterapkan di pesantren sesuai dengan syari‗at agama yang menjelaskan
tentang adab-adab seorang murid kepada guru. Semisal dengan adab seorang
abdi dalem ketika menghadap sultan harus duduk dengan posisi yang lebih
rendah dari sultan/raja. Demikian pula dengan santri yang ketika menghadap
Kiyai/guru harus duduk dengan posisi yang lebih rendah dari posisi duduk
Kiyai/guru. Karena hal tersebut merupakan betuk penghormatan dan
memulyakan seorang guru yang derajatnya lebih tinggi.
5. Penerapan adab abdi dalem yang diterpakan kepada santri di Pesantren
sangatlah tepat, karena dapat membantu proses belajar mengajar di pesantren
terutama dalam pembelajaran akhlak. Karena dengan adanya terapan adab abdi
dalem, santri dapat langsung memahamai secara mendalam dan memeraktekan
teroi-teori pendidikan aklak yang telah mereka pelajari dalam pengajian kitab-
kitab klasik.
B. Implikasi
Setelah disimpulkan hasl dari penelitian yang dilakukan penulis, maka
implikasi dari hasil penelitian ini adalah :
1. Penerapan budaya keraton sangat efektif diterapkan karena membantu proses
pendidikan di pesantren terutama pendidikan akhlak, oleh karenanyalah perlu
adanya peningkatan dalam penerapan budaya tersebut.
2. Model-model penerapan budaya keraton tersebut perlu kiranya untuk diberikan
pejelasan kepada seluruh santri karena tidak semua santri dapat memahami
betul makna dan tujuan dari penerapan budaya keraton di pesantren.
C. Saran
Melihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis memberi
saran dalam penerapan budaya keraton di pesantren adalah :
69
1. Bagi para santri harus merealisasikan penerapan budaya keraton tersebut dalam
kehidupan sehari-hari baik di lingkungan pesantren maupun di luar lingkungan
pesantren, karena akhlak merupakan pondasi dari setiap perbuatan.
2. Sekalipun budaya keraton diterapkan para guru harus tetap menjaga intensitas
pertemuan dengan santri demi terciptanya hubungan sosial yang harmonis
antar guru dan murid sehingga murid tidak akan memiliki rasa enggan bahkan
takut untuk berhadapan maupun berdiskusi dengan guru.
70
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu, Noor Salimi, MKDU Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk
Perguruan Tinggi, (Jakarta, Bumi Aksara, 2004)cet. Ke-4
Al-Ghazali (Penerjemah; A. M. Basalamah), Adab dalam Agama, (1992, Gema
Insani Press, Jakarta) Cet. 3
Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, (2007, Dar-Al-Ma‗rifah, Lebanon)
Al-Jarjani, ‗Ali Ibn Muhammad, تال يزع اف (Al-Haramain, Jeddah) ,ت
Al-Zarnuji, تمال ع ل ي عت م ل ي (t.t, tt. p, Surabaya) ,م
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
(Jakarta:Rineka Cipta, 1993)
bin Abdul Qadir Jawas, Yazid, Adab & Akhlak Penuntut Ilmu, (2010, Pustaka At-
Taqwa, Bogor)
bin ahmad Nubhan, Muhammad, عداألدب, (Surabaya,tt. p, 1980)
bin Al-Hajjaj, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, (2008, Dar-Alkitab, Lebanon)
bin Shalih al-‗Utsman, Muhammad, Penerjemah Ahmad Sabiq, Syarah Adab dan
Manfa‟ at Menuntut Ilmu, (Jakarta, Pustaka Imam Asy-Syafi‗i, 2007) cet 2
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 2011)
El-Hakim,Luthfi, Wawancara, Pondok Pesantren Nadwatul Ummah, Cirebon, 20
Juli 2013
Ghazali, M. Bahri, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan Kasus Pondok
Pesantren An-Nuqoyah, (Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 2001)
Ghoffar, M. Abdul, Buku, Jati Diri Muslim, Terj. Dari Syahsiyatul Al-Muslim
Kamaa Yashughuha Al-Islam fii Al-Kkitab wa Al-Sunnah oleh
Muhammad Ali Al-Hasyimil (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1999) Cet. I
Haedari, Amin, Transformasi Pesantren Pengembangan Aspek Pendidikan,
keagamaan, dan Sosial, (Jakarta: LeKDIS & Media Nusantara, 2006)
Hidayati, Heny Narendrani, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa, (Jakarta,
UIN Press, 2009)
Isma‗il Al-Bukhori, Abdullah bin Muhammad bin, Matan al-Bukhari, (t.t, Al-
Haramain, Jeddah)
71
Jalaludin, Psikologi Agama Memahami Prilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-
Prinsip Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012)
M. Setiadi, Elly, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial & Budya Dasar
Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012)
Nasrullah, Rulli, Komunikasi Antar Budaya di Era Budaya Siber, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012)
Pendidikan Nasional, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008)
Pendidikan Nasional, Departemen, Kamus Besar Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001)
Perpustakaan Nasional RI, Etika Berkeluarga Bermasyarakat dan Berpolitik,
(Jakarta, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‗an, 2009)
Putra, Haidar, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007)
Qomar, Mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi
Institusi, (Jakarta, Erlangga, 2009)
Rahardjo, M. Darwan, Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: Pustakan
LP3ES Indonnesia, 2007)
Roqib, Moh, Harmoni Dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan
Gender), (Purwokerto, STAIN Purwokerto Press, 2007)
S. Ramdani, Gelar. Pengertian Abdi Dalem, 2012, (kompaasiana.com)
Soenarto, D, Kesetiaan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,
(Yogyakarta, Kepel Press, 2013)
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung, Alfabeta, 2007)
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuntitatif, Kualitatif dan
R&D, (Bandung, Alfabeta, 2010) Cet. Ke-10
Suharto, Babun, Dari Pesantren Untuk Umat, (Surabaya, IMTIYAZ, 2011)
Sujdono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2006)
Sukawi ,Pengertian Alun-alun, 2013, (Loenpia. net)
72
Tholibin ―Respons Masyarakat Modern Terhadap Eksistensi Tradisi Panjang
Jimat Keraton Kasepuhan Cirebon (Studi Terhadap Masyarakat
Kasepuhan RW.04 Sitimulya)” Skripsi Fakultas Ushuludin Universitas
Islam Negeri Sunan Kali Jaga Yogyakarta, 2009, tidak dipublikasikan.
Wahyuning Tyas, Yesy, ―Analisis Nilai Dan Makna Simbolik Teks Serat Tata
Cara Keraton Dalam Naskah Serat Abdi Dalem Keraton‖ skripsi pada
Universiitas Indonesia, Jakarta, 2009, tidak dipublikasikan
Lampiran 1
Angket Penelitian
Lampiran 2
Pedoman Wawancara
Wawancara dilaksanakan di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet
Pesantren Cirebon dan diajukan kepada Pengasuh Pondok Pesantren Dr. KH.
Luthfi El-Hakim, MA.
1. Bagaimana sejarah berdirinya pesantren Nadwaul Ummah Buntet Pesantren
Cirebon?
Pondok Pesantren Nadwatul Ummah berdiri pada tahun 1971 oleh Prof.
Dr. KH. MA. Fu‘ad Hasyim di Buntet Pesantren Astana Japura Cirebon.
Berdirinya Pondok Pesantren Nadwatul Ummah diawali oleh pemikiran Prof.
Dr. KH. MA. Fu‘ad Hasyim akan pentingnya mendirikan pesantren demi
menjadi wadah bagi putra-putrinya untuk mengamalkan ilmunya ketika dewasa
nanti, hal ini dikarenakan hampir semua putra dan putri beliau menjalani
pendidikan melalui pesantren-pesantren yang berada di Indonesia maupun di
luar Indonesia, dengan harapan ketika putra dan putri beliau telah selesai
menjalani pendidikannya sudah ada wadah untuk mengamalkan serta
memanfa‘atkan ilmu yang telah didapat dalam pendidikannya.
Pada awal berdirinya Pondok Nadwatul Ummah, Prof. Dr. KH. MA.
Fuad Hasyim tidak membuka jalur pendidikan di dalam pesantren, beliau
hanya memfasilitasi para santri yang ingin tinggal dan mengaji di Buntet
dengan menempatkan mereka di Pondok yang hanya terbuat dari bilik bambu.
Beliaupun hanya mengajar para santrinya pada bulan Ramadhan saja dengan
mengajarkan kitab Tafsir Al-Jalalain, hal ini dikarenakan kesibukan beliau
dalam berdakwah baik di dalam maupun luar negeri. Sekalipun demikian para
santri tetap menjalani pendidikan pesantren lewat pengajian sorogan dan
wetonan di rumah-rumah kiyai maupun asrama-asrama yang mengadakan
pengajian Al-Qur‘an maupun pengajian Kitab Kuning. Karena Buntet
merupakan lingkungan pesantren, sehingga banyak kiyai yang membuka
pengajian dirumahnya masing-masing.
Lampiran 3
Pedoman Wawancara
2. Apakah penerpan sistem di pesantren mencontoh sistem sosial yang ada di
keraton?
Perlu diketahui, bahwa sistem penerapan tersebut bukan semata-
mata meniru ataupun mencontoh dari keraton, karena pada dasarnya
islampun sudah mengajari kita untuk menghormati guru, dan dalam
syari‘at islampun hal-hal tersebut sudah diajari. Semisal dengan akhlak
para sahabat kepada Nabi Muhammad SAW yang tercantum dalam Al-
Qur‘an :
.3
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan
suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya
dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu
terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu
sedangkan kamu tidak menyadari. (Q. S. Al-Hujarat : 2)
Dan juga etika para sahabta yang tidak pernah memandang wajah
Rasul dikarenakan sebagai bentuk penghormatan dan juga karena tidak
sanggup untuk memandang wajah Rasul karena pancaran cahaya yang
sangat terang.
Lampiran 4
Pedoman Wawancara
3. Apa latar belakang diterapkannya sistem sosial budaya keraton abdi dalem
di pesantren?
Sistem pendidikan yang ada pada zaman ssekarang menjadi fakto
utama dalam diterpakannya sistem di pesantren, karena pada umumnya
lembaga-lembaga pendidikan baik yang negeri amupun yang swasta
mereka kurang memperhatikan pentingnya pendidikan akhlak. Mereka
hanya memperhatikan sistem pendidikan yang hanya terfokus pada teori
saja tanpa adanya praktek nyata dalam sebuah proses pendidikan di
sekolah.
4. Apa sistem tersebut diterapkan sejak berdirinya pesantren Nadwatul
Ummah?
Sistem sosial yang dditerapkan di pesantren, diterapkan mulai
tahun 1998 ketika saya (Dr. KH. Lthfi El-hakim) diangkat menjadi
pengasuh oleh bapak di pesantren .
5. Apa tujuan diterapkannya sistem sosial budaya keraton abdi dalem di
pesantren?
Tujuan yang mendasar dari penerapan sistem ini di pesantren adalah utuk
memberikna pendidikan akhlak secara nyata kepada santri agar para santri
dapat memahami secara mendalam tentang teori-teori akhlak yang telah
dipelajari.
6. Bagaimana santri memahami terapan sistem tersebut dengan baik,
Sementara tidak semua santri mengenal keraton?
Setiap penerimaan santri baru, di pesantren selalu mengadakan
penataran. Dimana dalam kegiatan tersebut, para santri di didik maksimal
5 hari lamanya. Adapun dalam pelaksanaan kegiatan tersebut diisi oleh
pengenalan-pengenalan mendasar pesantren seperti sejarah pesantren,
pengenalan keluarga besar pesantren, serta pengenalan dan pemberian
pemahaman sistem sosial yang diberlakukan di pesantren.
Lampiran 5
Pedoman Observasi
Lampiran 6
Penentuan Sampel
Dalam menentukan sampel penelitian, peneliti menggunakan metode
sistematis random sampling, karena populasi sampel berstrata dalam tingkatan
kelas yang berjumlah 9 kelas, maka peneliti menggunakan metode hitungan dalam
menentukan sampel di setiap kelas dengan cara sebagai berikut : S = JSS x JS
JP
Keterangan : S : Sampel yang di butuhkan
JSS : Jumlah Sampel Strata
JP : Jumlah Populasi
JS : Jumlah Sampel
Dengan memperhatikan jumlah populasi (Santri) 251 dan jumlah sampel
yang dibutuhkan adalah 20% dari populasi yaitu 50 Sampel (Santri), maka hasil
yang diperoleh adalah :No Kelas Jumlah Santri Hasil Hitungan
1 Shifir Awwal A 31 S = 31 x 50 = 6
251
2 Shifir Awwal B 43 S = 43 x 50 = 9
251
3 Shifir Tsani A 44 S = 31 x 50 = 9
251
4 Shifir Tsani B 42 S = 31 x 50 = 8
251
5 Tsanawiyah A 21 S = 31 x 50 = 4
251
6 Tsanawiyah B 23 S = 31 x 50 = 5
251
7 Tsanawiyah II 21 S = 31 x 50 = 4
251
8 Tsanawiyah III 17 S = 31 x 50 = 3
251
9 Tsanawiyah IV 9 S = 31 x 50 = 2
251
Lampiran 7
Hasil Validitas Instrumen Variabel X
*Valid
**Valid
(Hasil Hitung Program SPSS)
Lampiran 8
Hasil Validitas Variabel Y
*Valid
**Valid
(Hasil Hitung Program SPSS)
Lampiran 9
Hasil Uji Reliabilitas Variabel
Variabel X
Reliability Statistics
(Hasil Hitung Program SPSS)
Case Processing Summary
N %
Cases Valid
Excludeda
Total 50
50
0
50
100,0
,0
100,0
Cronbach's Alpha N of Items
,712 11
Lampiran 10
Hasil Uji Reliabilitas Variabel
Variabel Y
Reliability Statistics
(Hasil Hitung Program SPSS)
Case Processing Summary
N %
Cases Valid
Excludeda
Total 50
50
0
50
100,0
,0
100,0
Cronbach's Alpha N of Items
,711 18
Lampiran 11
Data Mentah Hitungan
Variabel XNo
Item Soal Total
1 2 3 4 5 6 7 8
1 5 4 5 5 2 2 2 4 29
2 5 3 5 4 2 4 3 5 31
3 4 4 5 3 2 5 2 4 29
4 5 4 4 3 3 3 3 3 28
5 4 5 4 5 3 4 3 3 31
6 4 5 5 5 2 4 3 4 32
7 5 5 5 4 4 3 3 4 33
8 5 5 5 3 2 4 4 4 32
9 4 5 5 4 3 4 4 4 33
10 5 4 5 3 3 4 3 4 31
11 5 5 5 5 2 2 5 5 34
12 5 4 4 5 4 1 2 4 29
13 3 4 4 5 3 5 5 5 34
14 4 4 5 4 3 4 5 3 32
15 5 5 5 5 3 3 5 5 36
16 5 5 5 5 1 5 3 5 34
17 5 4 5 2 2 3 2 2 25
18 2 2 4 1 2 4 2 4 21
19 5 5 5 3 3 4 4 5 34
20 5 2 3 4 1 4 4 1 24
21 5 5 5 5 3 4 5 5 37
22 5 5 5 5 3 4 5 5 37
23 4 4 4 4 2 3 4 5 30
24 5 5 5 5 4 5 4 5 38
25 5 4 5 2 2 4 2 2 26
26 5 5 5 5 3 5 3 5 36
27 4 4 5 3 5 3 4 2 30
28 4 5 5 5 3 4 3 5 34
29 5 4 5 5 1 5 4 5 34
30 2 3 3 3 2 1 1 4 19
31 4 5 3 4 2 1 2 4 25
32 5 5 5 5 5 5 3 5 38
33 5 5 5 5 3 5 5 5 38
34 5 5 5 5 4 5 5 5 39
35 5 5 5 5 4 5 5 5 39
36 5 5 5 5 3 5 5 5 38
37 5 5 5 5 3 4 5 4 36
38 5 4 4 4 2 4 3 5 31
39 5 5 5 3 3 5 5 5 36
40 5 5 5 3 3 5 5 5 36
41 4 4 4 4 1 5 4 4 30
42 4 5 5 5 5 3 5 5 37
43 1 2 2 2 4 2 4 5 22
4 5 5 5 4 3 5 5 4 36
5 5 5 5 3 5 4 5 5 37
6 5 5 5 4 5 5 4 5 38
7 5 4 5 4 2 2 4 5 31
8 5 5 5 5 2 5 3 5 35
9 5 5 5 3 5 4 5 5 37
10 5 5 5 5 5 5 3 5 38
Total 1630
Lampiran 12
Data Mentah Hitungan
Variabel YNo
Item Soal Total
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
1 5 5 3 4 5 5 3 2 3 5 3 5 4 3 55
2 5 5 5 4 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 65
3 5 4 5 4 5 5 4 1 5 4 4 5 4 4 59
4 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 4 5 4 4 66
5 3 5 4 5 5 5 4 3 5 4 2 4 4 4 57
6 5 5 4 5 5 5 3 3 5 3 4 4 4 4 59
7 4 4 4 4 2 4 4 3 5 4 4 4 4 4 54
8 3 4 4 4 5 5 4 1 5 5 4 4 4 4 56
9 5 4 4 5 4 4 4 2 4 4 5 4 4 4 57
10 4 3 5 4 4 5 4 3 4 4 3 2 3 4 52
11 5 5 5 3 5 5 5 3 5 5 4 5 2 4 61
12 5 4 3 4 5 4 5 5 4 4 5 5 1 4 58
13 5 5 4 3 5 5 4 5 5 4 5 5 5 4 64
14 4 4 4 5 5 5 3 4 5 4 4 4 5 4 60
15 5 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 4 2 65
16 5 5 5 5 5 5 4 3 2 4 4 2 3 2 54
17 4 2 4 4 4 5 4 1 4 4 2 2 2 2 44
18 3 4 4 3 2 4 4 2 2 2 3 2 2 2 39
19 5 5 4 5 5 5 3 4 5 4 4 5 4 5 63
20 3 5 3 5 5 1 4 3 5 3 2 4 4 5 52
21 5 5 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 5 68
22 5 5 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 5 68
23 5 4 4 4 5 5 5 2 5 5 5 5 5 5 64
24 5 5 5 5 5 4 4 1 5 5 5 5 5 5 64
25 5 5 5 4 5 5 5 5 5 4 5 4 5 5 67
26 5 5 5 4 4 5 5 5 5 5 5 4 5 5 67
27 5 4 5 5 4 5 5 4 5 5 5 4 5 5 66
28 5 5 5 4 5 5 3 2 5 2 5 2 5 5 58
29 2 5 5 5 5 5 5 4 5 5 5 2 5 5 63
30 5 3 5 5 5 5 5 2 5 3 5 5 3 3 59
31 4 4 5 4 5 2 5 5 5 5 5 5 5 5 64
32 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 70
33 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 70
34 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 69
35 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 69
36 5 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 69
37 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 69
38 5 5 5 4 5 5 5 3 5 5 5 5 5 5 67
39 5 5 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 5 68
40 5 5 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 5 68
41 4 4 4 4 5 5 4 5 5 5 5 4 4 5 63
42 5 5 5 5 5 5 5 4 5 1 5 4 3 5 62
43 5 2 4 5 5 4 5 2 5 5 5 5 1 5 58
44 5 5 5 5 5 5 3 2 5 2 4 5 5 5 61
45 4 5 5 5 4 5 5 3 5 3 4 5 5 5 63
46 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 5 5 5 68
47 5 5 4 5 5 5 5 2 5 4 5 5 5 5 65
48 5 5 5 5 5 5 1 1 5 4 5 5 5 5 61
49 5 5 5 5 5 5 5 4 5 4 5 5 5 5 68
50 5 5 5 5 4 5 5 3 5 4 5 5 5 5 66
Total 3102
Lampiran 13
Hasil Analisis Deskriptif
Setelah keseluruhan data dihitung maka dapat diketahui N = 50, ∑X = 1630,
∑Y = 3102, ∑X² = 54338, ∑Y² = 194556, ∑XY = 102107, maka dapat dicari
indeks korelassinnya dengan menggunakan rumus product moment sebagai
berikut :
∑ (∑ )(∑ )
√ ∑ (∑ ) ∑ (∑ )
= 50 x 102107 – 1630 x 3102
√[(50 x 54338 – (1630)²)][(50 x 194556 – (3102)²)]
= 5105350 – 5056260
√(2716900 – 2656900)(9727800 – 9622404)
= 49090
√60.000 . 105396
= 49090
√6. 323. 760. 000
= 49090
79. 522, 07241
= 0, 617
Dengan memeriksa tabel ―r‖ roduct moment ternyata df sebesar 48 tidak
terdapat dalam tabel, maka angka yang digunakan adalah angka yang terdekat dari
48 yaitu 50, sehingga diperoleh r tabel pada taraf signifikasi 5% adalah 0, 273 dan
pada taraf signifikasi 1% adalah 0, 354. Dengan demikian hasil yang diperoleh
adalah r hitung > r tabel (r hitung 0, 617 > r tabel 5% = 0, 273 / r hitung 0, 617 > r
tabel 1% = 0, 354) yang artinya r hitung lebih besar (0, 617) dari r tabel 5% (0,
273) dan r tabel 1% (0, 354). Maka hasil akhir yang diperoleh adalah bahwa
hubungan antara penerapan budaya keraton dengan akhlak santri Pondok
Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon merupakan korelasi yang
positif yakni terdapat hubungan yang signifikan.
Lampiran 14
Photo-photo Hasil Penelitian
Lampiran 15
Profil Pesantren
1. Alamat Pesantren
Pondok Pesantren Nadwatu Ummah beralamat di komplek Pondok Buntet
Pesantren Rt. 010 Rw. 04 Ds. Mertapada Kulon Kec. Astanajapura Kab. Cirebon
Jawa Barat.
2. Visi
Pondok Pesantren Nadwatul Ummah adalah lembaga pendidikan dan
pengajaran agama Islam yang sejak berdirinya tahun 1971 tetap mempertahankan
salafiyahnya dengan menganut Thoriqoh At-Ta’alum Watta’alum senantiasa
menjadi rukun pengembangn keilmuan ke-Islaman dan dakwah multi kultural.
3. Misi Pondok Pesantren
a. Mengembangkan pesantren secara keilmuan dan kelembagaan serta melakukan
pencerahan kepada masyarakaat melalui kegiatan Ta’lim Tarbiyah dan Ta’dib.
b. Meningkatkan kompetensi lulusan Pondok Pesantren melalui pembekalan
moral, skill dan penguatan dibidang ilmiah dan alamiah serta pengembangan
wawasan demi mencetak lulusan yang berakhlakul karimah serta berilmu
amaliyah dan beramal ilmiah.
4. Dirosah Diniyah
Jenjang pendidikan Pondok Pesantren Nadwatul Ummah dimulai dirosah
diniyyah dengan dua tingkat, yaitu tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah. Ditingkat
ibtidaiyyah yang ditempuh selama dua tahun, lebih diprioritaskan pada pembinaan
akhlak, ilmu tajwid, pemantapan tauhid dan pengenalan dasar-dasar gramatikal
arab (ilmu nahwu) sebagai persiapan memasuki tingkat tsnawiyah.
Selanjutnya ditingkat tsanawiyah akan ditempuh selama 4 tahun pada
kelas 1, 2, 3, dan 4 tsanawiyah. Materi yang ditekankan adalah pendalaman ilmu
nahwu dan shororf (dengan kajian utama: kelas 1 Jurumiyah, kelas 2 Imrithi, kelas
3 Alfiyah ibn Malik Juz I, kelas 4 Alfiyah Ibn Malik juz 2) serta dilegkapi pula
kajan tauhid, fiqih, ushul fiqih, mustholahul hadits, maupun risalatul mahidh
sebagai penyempurna.
Lampiran 16
Surat Izin Penelitian
Lampiran 17
Surat keterangan telah melaksanakan penelitian di pesantren
Lampiran 18
Hasil Uji Referensi
Lampiran 19
Hassil Uji Referensi
Lampiran 20
Hassil Uji Referensi
Lampiran 21
Data Pribadi Penulis
Nama : Ahmad Yusuf Qurdhowi
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 21 Februari 1992
Status : Belum Nikah
Tinggi Badan : 165 Cm
Berat Badan : 52 Kg
Agama : Islam
Alamat : Jl. Thalib II Rt. 10 Rw. 05 Krukut Tamansari
Jakarta Barat
1. Riwayat Pendidikan Formal :
a. TK Islam Fatahilah Jakarta Barat masuk tahun 1996 lulus tahun 1998.
b. SDN (Sekolah Dasar Negeri) 01 Pagi Ketapang Krukut Jakarta Barat
masuk tahun 1998 lulus tahun 2003
c. MTs NU (Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul Ulama) Buntet Pesantren
Cirebon, masuk tahun 2003 lulus tahun 2006.
d. MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Buntet Pesantren Cirebon, masuk tahun
2006 lulus tahun 2009.
e. UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta, masuk tahun
2009.
2. Riwayat Pendidikan non-Formal :
a. Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon, masuk
tahun 2003 selesai tahun 2009
b. Pondok Pesantren Darul Hikam Ciputat, masuk tahun 2009 selesai tahun
2013.