18
BAB SATU PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan Hukum Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri karena disamping menjadi salah satu factor pemersatu bangsa juga memberikan nuansa baru dalam keberislaman yang berbeda dengan karakter dan sifat keberislaman di Negara-negara Islam yang lain. Islam Indonesia mempunyai sinergisitas dan mampu berinteraksi dengan hukum adat, sehingga timbul beberapa konsep teori tentang ini. Hal ini menjadi salah satu pembahasan dalam makalah ini. Selain itu, merujuk pada realita kehidupan, hukum islam tampak belum bisa bersahabat sepenuhnya dengan masyarakat Indonesia. Selain itu adanya perbedaan dalam metodologi istinbath hukum oleh para ulama Indonesia menyebabkan masyarakat tidak seiring sejalan dalam beberapa permasalahan, sehingga menciptakan sekte-sekte dalam Masyarakat Islam Indonesia. Seperti yang kita lihat, adanya kontradiksi antara Muhammadiyah dan MUI dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal. Ini menjadi contoh sederhana betapa hukum Islam di Indonesia itu pecah oleh orang-orang Islam itu sendiri. 1

Hukum Islam Di Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hukum Islam Di Indonesia

BAB SATU

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan Hukum Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri

karena disamping menjadi salah satu factor pemersatu bangsa juga memberikan

nuansa baru dalam keberislaman yang berbeda dengan karakter dan sifat

keberislaman di Negara-negara Islam yang lain. Islam Indonesia mempunyai

sinergisitas dan mampu berinteraksi dengan hukum adat, sehingga timbul beberapa

konsep teori tentang ini. Hal ini menjadi salah satu pembahasan dalam makalah ini.

Selain itu, merujuk pada realita kehidupan, hukum islam tampak belum bisa

bersahabat sepenuhnya dengan masyarakat Indonesia. Selain itu adanya perbedaan

dalam metodologi istinbath hukum oleh para ulama Indonesia menyebabkan

masyarakat tidak seiring sejalan dalam beberapa permasalahan, sehingga

menciptakan sekte-sekte dalam Masyarakat Islam Indonesia. Seperti yang kita lihat,

adanya kontradiksi antara Muhammadiyah dan MUI dalam penetapan awal

Ramadhan dan Syawal. Ini menjadi contoh sederhana betapa hukum Islam di

Indonesia itu pecah oleh orang-orang Islam itu sendiri.

Dalam makalah ini, penulis mencoba menjelaskan dan merincikan sebab-

sebab adanya pembentukan sekte-sekte tersebut dalam perjalanan perkembangan

pemikiran hukum Islam di Indonesia mulai dari teori Eksistensi Hukum Islam,

metodologi penemuan Hukum sampai tema pemikiran hukum islam para ulama di

Indonesia.

1

Page 2: Hukum Islam Di Indonesia

BAB DUA

PEMBAHASAN

A. DINAMIKA HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Penjelasan tentang dinamika hukum Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan

dari wacana pergumulan social politik dan budaya yang ada di Indonesia sejak era

prakemerdekaan hingga era kemerdekaan. Berdasarkan kenyataan tersebut, kita dapat

menjelaskan dinamika hukum Islam di Indonesia dengan menggunakan teori-teori

berlakunya hukum Islam di Indonesia, yaitu:1

Teori Kredo (Syahadat)

Adalah teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang

telah mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai konsekuensi logis dari

pengucapan kredonya. Teori ini sesuai dengan teori otoritas hukum Islam yang

dijelaskan oleh Gibb dalam bukunya The Modern Trends in Islam.

Teori kredo ini berlaku di Indonesia ketika Indonesia berada di bawah kekuasaan

para Sulthan yang biasanya permberlakuan hukum Islam sangat bergantung pada

Madzhab yang di anut oleh para Sulthan tersebut. Contohnya, madzhab Syi’ah

pernah menjadi madzhab resmi kerajaan Peureulak yang didirikan oleh Sayyid

‘Abdul Aziz Syah. Terlepas dari berbagai madzhab yang di anut, hukum Islam

telah dilaksanakan oleh masyarakat (tidak semata-mata diaceh, tetapi juga

ditempat lain) dengan baik dan menjadi hukum yang hidup (Living Law). Ini

menunjukkan bahwa sosialisasi hukum Islam pada waktu itu berjalan sangat

hebat.

Teori Receptio in Complexu

Teori ini diintrodusir oleh Van Den Berg berdasarkan kenyataan bahwa hukum

Islam diterima secara menyeluruh oleh umat Islam. Salah satu bukti

pemberlakuan teori ini terdapat dalam Statuta Batavia 1642 yang menyebutkan

1 Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal 67-89

2

Page 3: Hukum Islam Di Indonesia

bahwa: “sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus

diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai

oleh rakyat sehari-hari.”2

Teori Receptie

Pencetus teori ini adalah Cornelis Van Vallenhoven (1874-1923) dan Christian

Snouck Hurgronje (1857-1936). Mereka bermaksud untuk melakukan upaya

penyempitan terhadap keberlakuan hukum Islam. Menurut teori ini hukum yang

berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum

Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi (diterima) oleh hukum adat.3 Jadi,

hukum adat menjadi indikator atas pemberlakuan hukum Islam.

Teori ini muncul sebagai akibat dari kecurigaan dan ketakutan pemerintah

Belanda terhadap pengaruh yang ditimbulkan dari politisasi Islam yang terbukti

cukup merepotkan mereka. Bila hukum Islam terus dibiarkan berkembang, maka

itu akan sangat berbahaya.

Wujud nyata berlakunya teori receptie adalah mulai diterapkan pasal 134 ayat (2)

Indesche Staatsregeling (IS) 1925 yang berbunyi: “dalam hal terjadi perkara

perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam

apabila keadaan tersebut diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak

ditentukan lain oleh ordonasi.”

Sejak diberlakukannya teori receptie, eksistensi hukum islam secara formal

benar-benar mengalami kondisi yang amat memprihatinkan. Akan tetapi, itu

bukan berarti bahwa kegiatan intelektual pengembangan pemikiran hukum Islam

mengalami kemacetan. Memasuki abad ke 19 M, tokoh yang dapat diangkat

antara lain Syaikh Nawawi al Bantani (1813-1879), Kiai Mahfudz Abdullah (w.

1919 M), Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, dan lain sebagainya.

2 Ahamad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal 133 Mahzun Fuad, Hukum Islam Indonesia, dari Nalar Partisipatoris hingga Emansitatoris,

(Yogyakarta: LKiS, 2005), hal 52

3

Page 4: Hukum Islam Di Indonesia

Teori Receptie Exit

Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945,

upaya untuk melakukan pembaharuan hukum mulai dicanangkan, walaupun

dalam rangka menghindarkan kekosongan hukum, hukum yang diwariskan

colonial untuk sementara masih tetap diberlakukan. Namun, karena peraturan

perundang-undangan yang diberlakukan itu dibangun berdasarkan teori receptie,

maka menurut Hazairin dalam Tujuh Serangkai tentang Hukum sangat tidak

menguntungkan bagi umat Islam. Berkenaan dengan itu Hazairin menegaskan,

mestinya setelah Indonesia merdeka atau tepatnya setelah proklamasi

kemerdekaan Indonesia dan UUD 1945 dijadikan konstitusi Negara Republik

Indonesia, semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang

berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi. Argument yang dikemukakan

Hazairin, bahwa teori receptie bertentangan denagn jiwa UUD 1945. Dengan

demikian, teori receptie itu harus “exit” (keluar) dari tata hukum Indonesia

merdeka.

Teori Receptie a Contrario

Teori ini menurut Sajuti Thalib merupakan pengembangan dari teori receptie Exit.

Teori ini menyatakan bahwa hukum Adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum

Adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Bukti realisasi teori ini salah satunya terjadi di Aceh dan Minangkabau. Di Aceh

misalnya, masyarakatnya menghendaki agar permasalahan perkawinan dan

kewarisan diatur menurut hukum Islam. Ketentuan adat dalam upacara

perkawinan, tetap ditolerir sejauh tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Sedangkan di Minangkabau walaupun dikenal system kekerabatan secara

matrilineal (sisitem kekerabatan menurut garis ibu), karena pengaruh hukum

Islam perubahan besar telah terjadi. Sehingga berlakulah menurut tuntunan

hukum Islam.4

Teori Eksistensi

4 Ahamad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia…. Hal 22

4

Page 5: Hukum Islam Di Indonesia

Teori ini dikemukakan oleh Ichtijanto SA. menurutnya teori ini adalah teori yang

menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum Nasional Indonesia.

Adapun bentuk eksistensinya adalah sebahai berikut:

1. Ada, dalam artian sebagai bagian integral dari hukum Nasional Indonesia.

2. Ada, dalam artian adanya dengan kemandiriannya yang diakui keberadaannya

dan kekuatan wibawanya oleh hukum Nasional serta diberi status sebagai

hukum Nasional.

3. Ada, dalam hukum Nasional dalam artian norma hukum Islam (agama)

berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum Nasional Indonesia.

4. Ada, dalam artian sebagai bahan utama dan unsure utama hukum Nasional

Indonesia.

Selanjutnya, ditegaskan bahwa hukum Islam ada dalam hukum Nasional dan

mempunyai wibawa hukum sebagai hukum Nasional. Adanya hukum Islam

dalam hukum Nasional dibuktikan dengan adanya peraturan perundang-undangan

baik yang berbentuk hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, serta praktik

ketatanegaraan dan social keagamaan bangsa Indonesia.

Teori Sinkretisme

Teori ini dikemukakan oleh Hooker. Menurutnya tidak ada satupun system

hukum, baik hukum adat maupun hukum Islam yang saling menyisihkan.

Keduanya berlaku dan mempunyai daya ikat sederajat, yang pada akhirnya

membentuk suatu pola khas dalam kesadaran hukum masyarakat. Namun,

kesamaan derajat berlakunya dua system hukum ini tidak selamanya berjalan

dalam alur yang searah. Pada saat tertentu, dimungkinkan terjadinya konflik

(opposition) seperti digambarkan dalam hukum adat dengan hukum Islam di

Minangkabau.

Dengan demikian, menurut Hooker, daya berlakunya suatu system hukum baik

hukum adat maupun hukum Islam, tidak disebabkna oleh meresepsinya system

hukum tersebut pada system hukum lainnya, tetapi hendaknya disebabkan oleh

adanya kesadaran hukum masyarakat yang sungguh-sungguh menghendaki

5

Page 6: Hukum Islam Di Indonesia

system hukum apa yang berlaku. Denagn anggapan ini, akan tampak bahwa

antara system hukum adat dan hukum islam mempunyai daya berlaku yang sejajar

dalam suatu masyarakat tertentu.

B. FENOMENA OBJEKTIF HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Fenomena Objektif Hukum Islam di Indonesia dapat direfleksikan melalui

tiga poin penting di bawah ini, yaitu:5

1. Karakteristik hukum Islam Indonesia sangat dominan diwarnai oleh “kepribadian

Arab” (arab Oriented) dan lebih dekat kepada tradisi madzhab syafi’i. ini

dibuktikan dengan banyaknya para ulama Indonesia yang merujuk pada kitab-

kitab karya ulama syafi’iyyah.

2. Dilihat dari aspek materi substansi hukum Islam yang dikembangkan di

Indonesia, tampaknya lebih dititikberatkan kepada hukum privat (ahwal asy

syakhshiyyah), seperti perkawinan, perceraian, dan perwakafan seperti yang yang

tercakup dalam Kompilasi Hukum Islam. Lembaga peradilan agamapun saat ini

hanya berwenang menangani kasus-kasus diatas. Adapun hukum Islam yang

berkenaan dengan pidana, secara yuridis belum dapat diterapkan. Namun, pada

bidang muamalah, kehadiran Bank Syariah adalah salah satu fenomena

eksistentensi hukum Islam yang paling membanggakan. Pada saat ini keberadaan

bank-bank yang menerapkan prinsip syariah terbukti cukup mampu eksis dan

memperoleh keuntungan yang cukup besar dan terbukti pula tidak mengalami

kegoncangan yang cukup berarti ketika Indonesia dilanda krisis moneter pada

tahun 1997.

3. Dilihat dari aspek pemberlakuan, tampaknya ada kecenderungan kuat bahwa

hukum Islam diharapkan menjadi bagian dari hukum Negara, sebagai bentuk

akomodasi pemerintah terhadap umat islam. Bila kecenderungan tersebut

dikaitkan dengan masalah efektivitas hukum, tampaknya ada harapan bahwa

dengan diangkatnya hukum islam menjadi hukum Negara, hukum islam akan

5 Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia…. Hal 90-96

6

Page 7: Hukum Islam Di Indonesia

mempunyai daya ikat yang kuat untuk ditaati oleh masyarakat yang beragama

islam. Kendatipun pada kenyataannya tidak selalu terjadi demikian.

C. METODOLOGI ISTINBATH HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Berbicara tentang Metodologi Istinbath hukum Islam berarti berbicara tentang

perkembangan disiplin ilmu Ushul Fiqh. Selain menggunakan metode Bayani, para

ulama Indonesia juga mengemukakan bahwa istinbath hukum islam di Indonesia juga

memakai beberapa metode Ijtihad lainnya, seperti:

Metode Qiyas

Metode ini berkembang akibat boomingnya madzhab imam Syafi’i di Indonesia,

khususnya pada pola berpikir mereka yang memahami syariah secara literalistik.

Ini banyak didapati pada pesantren-pesantren tradisional. Pada pesantren-

pesantren ini, para santri diajak berpikir bahwa pembicaraan tentang itihad hanya

dapat dibenarkan apabila dilakukan dalam bingkai qiyas, sehingga keluar

statement bahwa ijtihad adalah qiyas itu sendiri.

Konsekuensi dari penekanan semacam ini adalah menundukkan semua realitas

pada teks-teks (nash), atau dengan kata lain memutuskan hukum atas masalah

baru harus dicarikan cantolan dahulu terhadap teks yang telah ada. Baru

kemudian dicari persamaan illatnya. Metode semacam ini, disamping sangat

rumit, juga terkesan kaku. Karena itu, Hasbi ash Shiddieqy menyimpulkan bahwa

kadang kala metode qiyas dalam bingkai ini tidak dapat memenuhi kebutuhan.

Dari beberapa hal ini, dapat dilihat bahwa atmosfir pemikiran Hukum islam

sebagian ulama Indonesia masih sangat Syafiiyyah Minded, baik dari sisi

ketergantungannya terhadap produk pemikiran hukum Islam maupun dari segi

penerapan metodologinya.6

Metode ‘Urf

Menurut Hasbi ash Shiddieqy, produk pemikiran hukum Islam ulama-ulama masa

lalu yang kemudian dijumpai formulasinya dalam kitab-kitab fiqh dibangun

6 Ibid., hal 91-92

7

Page 8: Hukum Islam Di Indonesia

berdasarkan ‘urf Timur Tengah yang dalam beberapa hal tidak sesuai dengan

rasa kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang melembaga dalam hukum adat.

Atas dasar itulah ada bagian-bagian tertentu dalam hukum islam yang kurang

mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia, karena dianggap kurang

sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia.

Metode Mashlahah Mursalah

Dalam permasalahan modern dan kontemporer dibutuhkan suatu kajian

mendalam tentang tinjauan hukum islam terhadap permasalahan tersebut. Sebab

jika dipulangkan kepada nash, hamper tidak ditemukan jawaban yang secara tegas

dan langsung mengupas permasalahan tersebut, apalagi jika dipulangkan kepada

pembahasan kitab-kitab fiqh klasik.7

Ketiadaan hukum semacam ini membuka peluang bagi ulama Indonesia untuk

melakukan ijtihad dengan mengacu kepada kemashlahatan umat manusia dengan

senantiasa memperhatikan nilai-nilai moral al Qur’an atau analisis al Syariah.

Seperti contoh istinbath hukum terhadap kasus bayi tabung dan KB. Dengan

kenyataan ini, metode mashlahah Mursalah mempunyai relevansi yang tinggi

untuk menjawab masalah-masalah hukum kontemporer dan juga untuk

pembaruan Hukum Islam. Relevansi tersebut terletak pada segi maqashid asy

Syariah, yaitu pembaruan hukum Islam yang bertujuan untuk merealisasikan

kemashlahatan bagi umat manusia. Sedangkan mashlahat mursalah merupakan

salah satu metode istinbath hukum yang sangat mementingkan maqashid asy

syariah.8

D. TIPOLOGI TEMA PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Upaya Tipologisasi dalam berbagai aspek pemikiran berimplikasi pada

penyederhanaan terhadap berbagai persoalan yang kompleks. Hal ini tentunya juga

7 Husni Mubarak A. latief, Fiqh Islam dan Problematika Kontemporer, (Banda Aceh: Arraniry Press, 2012), hal 28

8 Mukhsin Nyak Umar, Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, (Banda Aceh: PeNA, 2006), hal 202

8

Page 9: Hukum Islam Di Indonesia

berlaku pada tipologisasi yang dilakukan atas tema-tema pemikiran hukum Islam di

Indonesia. Dialektika pemikiran hukum Islam pada dasarnya dilihat dari berbagai

sudut pandang, yaitu sumber pemikiran, paradigma atau dasar pemikiran, dan

pendekatan. Berdasarkan dialektika tersebut, tipologi dari tema pemikiran hukum

Islam di Indonesia mengarah kuat apada empat pola berikut, yaitu:

1. Kontekstualisasi-Madzhabi Responsi-Simpatis Partisipatoris

Tema pemikiran Fiqh Indonesia yang digagas oleh Hasbi ash Shiddieqy mengarah

pada pola ini. Tipologi pada tema ini didasarkan pada tiga fakta berikut:

Dalam hal upaya penemuan dan pengembangan hukum baru, secara cukup

dominan Hasbi mengacu pada hasil-hasil pemikiran dan penemuan hukum

dari berbagai madzhab, yang disinergikan dengan keadaan modern yang

dihadapinya.

Hasil ijtihad Hasbi cenderung menampakkan kesejajarannya dengan

modernisasi-pembangunan, terutama ketika teori ini diambil menjadi pola

kebijakan dan pembangunan resmi Negara. Hal ini terlihat pada dukungannya

secara penuh terhadap pengelolaan zakat oleh Negara.

Dilihat dari makna tema fiqh Indonesia sebagai fiqh dengan kepribadian

Indonesia, yang kelahirannya secara implisit diawali dengan adanya

perdebatan dengan Soekarno tentang pentingnya peran ulama dalam memberi

konstribusi signifikan terhadap proses pembangunan (revolusi), dan latar

belakang Hasbi sebagai pegawai pemerintah, maka pola strategi implementasi

hukum Islam dalam tema pemikiran ini mengarah pada pola partisipatoris.

2. Rekonstruksi-Interpretatif Responsi-Simpatis partisipatoris

Tema pemikiran Fiqh Madzhab Nasional yang digagas oleh Hazairin dan

Reaktualisasi Ajaran islam yang digagas oleh Munawir Sjadzali mengarah pada

pola ini. Tipologi pada tema pada dasarnya mengarah pada fakta yang sama

dengan tipologi sebelumnya, hanya yang membedakan adalah pada upaya

penemuan dan pengembangan hukum baru. Hazairin dan Munawwir memilih

9

Page 10: Hukum Islam Di Indonesia

metode alternatif yang mereka kembangkan sendiri, yakni rekonstruksi

penafsiran.

3. Rekonstruksi-Interpretatif Responsi-Kritis Emansipatoris

Tema Pemikiran Agama Keadilan yang digagas oleh Masdar F. Mas’udi

mengarah pada pola ini. Tipologi pada tema ini didasarkan pada tiga fakta

berikut:

Dari segi upaya penemuan hukum, ia melakukan hal yang sama dengan apa

yang dilakukan oleh Hazairin dan Munawir.

Hasil pemikiran hukum Masdar cenderung menampakkan sisi-sisi kritis

terhadap ideology pembangunan, terutama ketika ia diambil menjadi pola

kebijakan dan pembangunan resmi Negara. Pemikirannya di dominasi oleh

pemikiran Karl Marx, yang menurutnya telah memberikan pencerahan untuk

memahami Islam.

Sebagai konsekuensi logis dari sikap kritisnya terhadap modernisasi-

pembangunan, maka strategi implementasi hukum Islam dalam pandangan

Masdar lebih condong pada pola emansipatoris.

4. Kontekstualisasi-Madzhabi Responsi-Kritis Emansipatoris

Tema pemikiran Fiqh Sosial yang digagas oleh Sahal Mahfudh dan ali Yafie

mengarah pada pola ini. Tipologi pada tema ini didasarkan pada fakta bahwa

dalam penemuan hukum mereka sama dengan jalan yang ditempuh oleh Hasbi

ash shiddieqy, tetapi dalam hal hasil pemikiran hukum dan strategi

implementasinya lebih mengarah pada opsi yang digunakan oleh Hazairin dan

Munawir.9

BAB TIGA

PENUTUP

9 Mahzun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansitatoris…. Hal 244-252

10

Page 11: Hukum Islam Di Indonesia

KESIMPULAN

Dari paparan pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa

kesimpulan, bahwa hukum Islam di Indonesia telah menjadi hukum yang hidup

(living law) sejak masa kesulthanan. Namun saat masa penjajahan, politik colonial

berusaha memisahkan Hukum Islam dari penganutnya dengan memunculkan

eksistensi Hukum adat. Sehingga timbullah teori-teori seperti teori receptie.

Hal ini tidak berlangsung lama, karena kegigihan para pemikir Islam saat itu

maka teori iblis diatas yang disponsori oleh Van Vallenhoven dan Snouck Hurgranje

dapat dijinakkan , sehingga setelah itu muncul teori receptie Exit, sebagai bentuk

penolakan terhadap teori receptie. Pemikiran tersebut terus berkembang hingga

akhirnya memunculkan teori Receptie a Contrario.

Dari sisi kacamata pembentukan hukum Islam melalui metode istinbath

hukum oleh para ulama yang mumpuni dan kompeten, dapat disimpulkan bahwa

mereka selain memakai metode bayani juga memakai metode ijtihad lain seperti

qiyas, ‘urf, dan mashlahah Mursalah.

Diharapkan dengan kegigihan para pemikir Islam dapat merealisasikan

eksistensi Hukum Islam dalam Masyarakat Indonesia. Hal ini dirasa penting

mengingat Indonesia merupakan Negara Islam terbesar. Dan hukum Islam jangan

hanya berlaku pada hal-hal yang bersifat hukum privat, namun menjalar sampai ke

hukum public.

Demikian makalah ini ditulis, semoga dapat menjadi konstribusi dalam hal

pengetahuan tentang perkembangan pemikiran hukum Islam. Makalah ini masih jauh

dari kata sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran-saran

progressif dari pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

11

Page 12: Hukum Islam Di Indonesia

Syaukani, Imam. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2006

Rofiq, Ahamad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003

Fuad, Mahzun. Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga

Emansitatoris, Yogyakarta: LKiS, 2005

A. latief, Husni Mubarak. Fiqh Islam dan Problematika Kontemporer, Banda Aceh:

Arraniry Press, 2012

Umar, Mukhsin Nyak. Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, Banda

Aceh: PeNA, 2006

12