Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
KODE MATA KULIAH :
BLOCK BOOK
PLANING GROUP :
Dr. Putu Tuny Cakabawa, SH., MHum.
I Nengah Suantra, SH., MH.
I Dewa Gede Palguna, SH., MHum.
I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH.
Made Maharta Yasa, SH., MH..
Anak Agung Sri Utari, SH., MH.
Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH
Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa, SH., MHum.
I Made Budi Arsika, SH., LLM.
I Gede Putra Ariana, SH., MKn.
I Gusti Ngurah Parikesit Widia Tedja, SH., MHum.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2010
1. IDENTITAS MATA KULIAH
Nama Mata Kuliah : Hukum Perjanjian Internasional
Team Pengajar : Dr. Putu Tuny Cakabawa, SH., MHum.
I Nengah Suantra, SH., MH.
I Dewa Gede Palguna, SH., MHum.
I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH.
Made Maharta Yasa, SH., MH..
Anak Agung Sri Utari, SH., MH.
Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH
Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa, SH., MHum.
I Made Budi Arsika, SH., LLM.
I Gede Putra Ariana, SH., MKn.
I Gusti Ngurah Parikesit Widia Tedja, SH., MHum.
Status Mata Kuliah : Mata Kuliah Wajib Fakultas (Kurikulum 2009)
SKS : 2
2. MANFAAT MATA KULIAH
Pada era globalisasi ini dimana batas-batas antarnegara menjadi semakin tidak jelas
(borderless), muncul berbagai permasalahan Hukum Internasional, termasuk diantaranya
mengenai Hukum Perjanjian Internasional. Mata kuliah ini dikonstruksikan untuk: secara
teoritis, bahwa mahasiswa memperoleh pengetahuan mengenai asas-asas dan konsep-
konsep hukum tentang perjanjian internasional; dan secara praktis, mahasiswa diharapkan
agar mampu menganalisis masalah-masalah yang berkaitan dengan pembentukan dan
pelaksanaan perjanjian internasional.
3. DESKRIPSI MATA KULIAH
Mata kuliah ini mengkaji baik aspek teoritis maupun praktis Hukum Perjanjian
Internasional. Secara garis besar, materi-materi tersaji yang dibahas adalah: a) Definisi,
Sumber Hukum, dan Bahasa dalam Perjanjian Internasional, b) Jenis-Jenis Perjanjian
Internasional, c) Proses Pembentukan Perjanjian Internasional dan Mulai Berlakunya
Perjanjian Internasional, d) Penataan, Penerapan, Penafsiran, Amandemen dan Modifikasi
Perjanjian Internasional, e) Ketidaksahan, Pengakhiran dan Penundaan Bekerjanya suatu
Perjanjian Internasional, dan f) Perjanjian Internasional dalam Perspektif Hukum Nasional
dan Hukum Regional.
4. TUJUAN MATA KULIAH
Melalui partisipasi pada mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional ini mahasiswa
diharapkan mampu memahami asas-asas dan kaidah-kaidah Hukum Perjanjian
Internasional serta dapat menganalisa berbagai perkembangan dalam Hukum Perjanjian
Internasional.
5. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH HUKUM PERJANJIAN
INTERNASIONAL
Secara formal, mahasiswa yang akan menempuh mata kuliah ini harus telah lulus mata
kuliah Hukum Internasional. Secara Substantif, mata kuliah ini mensyaratkan adanya
pemahaman dan penguasaan mahasiswa terhadap materi-materi dasar Hukum
Internasional, diantaranya; konsep Kedaulatan (sovereignty), Sumber Hukum Internasional,
Subyek Hukum Internasional, serta Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum
Nasional.
6. METODE DAN STRATEGI PROSES PEMBELAJARAN
Metode Perkuliahan adalah Problem Based Learning (PBL) dimana pusat pembelajaran
ada pada mahasiswa. Metode yang diterapkan adalah “belajar” (learning) bukan
“mengajar” (teaching).
Strategi pembelajaran : Kombinasi perkuliahan (6 kali pertemuan), tutorial (6 kali
pertemuan, satu kali pertemuan untuk Ujian Tengah Semester, dan satu kali pertemuan
untuk Ujian Akhir Semester (UAS).
Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial.
Dalam Mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional ini, perkuliahan direncanakan
berlangsung selama 6 kali yaitu pertemuan ke 1,3,5,7,9, dan ke 11. Sedangkan Tutorial
direncanakan berlangsung 6 kali pertemuan yaitu: pertemuan ke 2, 4,6,8, 10 dan ke 12.
Strategi perkuliahan:
Perkuliahan berkaitan dengan pokok bahasan akan dipaparkan dengan alat bantu media
berupa papan tulis, power point slide, serta penyiapan bahan bacaan tertentu yang dapat
diakses oleh mahasiswa. Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa sudah
mempersiapkan diri (self study) melakukan penelusuran bahan, membaca dan memahami
pokok bahasan yang akan dikuliahkan sesuai dengan arahan (guidance) dalam Block Book.
Adapun tekhnik perkuliahan adalah pemaparan materi, tanya jawab, dan diskusi (proses
pembelajaran dua arah).
Strategi Tutorial:
• Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas : (Discuccion Task, Study Task dan Problem
Task) sebagai bagian dari self study (20 jam perminggu), kemudian berdiskusi di
kelas tutorial dan presentasi power point.
• Dalam 6 kali tutorial di kelas, mahasiswa diwajibkan:
- Secara individual menjawab seluruh pertanyaan yang tersedia di Blok Book
sebelum pertemuan tutorial dilaksanakan.
- Secara sukarela (atau dalam kondisi tertentu tutor akan menunjuk secara acak),
mahasiswa mempresentasikan jawaban-jawaban tersebut di kelas tutorial.
- Berdiskusi di kelas selama pelaksanaan tutorial dengan mengemukakan argumen-
argumen yang dikembangkan dalam jawaban individu mahasiswa terhadap
pertanyaan-pertanyaan di Blok Book.
- Secara individual menyusun sebuah paper dengan topik-topik yang akan
disampaikan pada perkuliahan/tutorial. Paper ini akan digunakan sebagai komponen
utama nilai tugas selain partisipasi dalam tanya jawab/diskusi selama
perkuliahan/tutorial.
- Secara kolektif berpartisipasi pada Role Play.
7. UJIAN DAN PENILAIAN
Ujian
Ujian dilaksanakan dua kali dalam bentuk tertulis yaitu Ujian Tengah Semester (UTS) dan
Ujian Akhir Semester (UAS).
Tugas-Tugas (TT)
Lihat Strategi Tutorial. Penilaian
Penilaian akhir dari proses pembelajaran ini berdasarkan rumus Nilai Akhir (NA) sesuai
buku pedoman, yaitu:
(UTS+TT)
_________ + 2(UAS)
2
NA: ___________________
3
Nilai Range
A 80-100
B+ 70-79
B 65-69
C+ 60-64
C 55-59
D+ 50-54
D 40-49
E 0-39
Di luar model penilaian di atas, mata kuliah ini juga memberikan Nilai Partisipasi Kelas
(Kolektif) sebagai nilai tambahan untuk Nilai Akhir. Lihat Pertemuan ke-6 Tutorial ke-3.
8. MATERI PERKULIAHAN (ORGANISASI PERKULIAHAN)
I. PENDAHULUAN
A. Peristilahan dan ruang lingkup
B. Sumber Hukum Perjanjian Internasional
A. Pemahaman terhadap Art 38 (1) of the Statute of the ICJ
B. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969
C. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978
D. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations, 1986
E. Pembanding dalam pengaturan nasional RI: Undang-Undang Nomor 24
tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan Undang-Undang Nomor 37
tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
C. Bahasa dalam Perjanjian Internasional
II. JENIS-JENIS PERJANJIAN INTERNASIONAL
A. Perjanjian Internasional dari Segi Bentuknya
B. Perjanjian Internasional dari segi jumlah pesertanya
C. Perjanjian Internasional dari segi kaidah hukum yang dilahirkannya
1. Perjanjian khusus atau perjanjian tertutup (Treaty Contract)
2. Perjanjian umum atau terbuka (Law-Making Treaty)
D. Perjanjian Internasional dari Segi Prosedur atau Tata Cara Pembentukannya
1. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui dua tahap
2. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui tiga tahap
E. Perjanjian Internasional dari segi jangka waktu berlakunya
F. Perjanjian Internasional dari Segi Bahasa yang Digunakan
G. Perjanjian Internasional dari Segi Para Pihak
III. PROSES PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DAN
MULAI BERLAKUNYA PERJANJIAN INTERNASIONAL
A. Kapasitas Subyek HI untuk membuat perjanjian
B. Hal-hal teknis dalam pembentukan perjanjian (Full Powers, Credentials)
C. Persetujuan untuk terikat dalam suatu Perjanjian Internasional
(Penandatanganan, Pertukaran instrumen, Pengesahan/Ratifikasi,
Penyetujuan/Approval, Aksesi)
D. Cara-cara menyatakan persetujuan terikat oleh suatu
E. Reservasi (Pensyaratan
IV. PENATAAN, PENERAPAN, PENAFSIRAN, AMANDEMEN DAN
MODIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL
A. Pacta Sunt Servanda
B. Asas Retroaktif
C. Penafsiran
D. Pihak ketiga dalam perjanjian
E. Amandemen dan Modifikasi
V. KETIDAKSAHAN, PENGAKHIRAN DAN PENUNDAAN
BEKERJANYA SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL
A. Ketidaksahan Perjanjian Internasional (Kekeliruan, Penipuan, Kecurangan,
Paksaan, Jus Cogens)
B. Pengakhiran
C. Penundaan
D. Pengawasan Ketidakmungkinan Pelaksanaan
E. Clause Rebus Sic Stantibus
F. Akibat-Akibat dari ketidaksahihan, pengakhiran, dan penundaan bekerjanya
perjanjian
VI. PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM
NASIONAL DAN HUKUM REGIONAL
A. Pemahaman terhadap aliran Dualisme dan Monisme (Primat HI dan Primat
HN)
B. Makna Art 27 of the Vienna Convention 1969
C. Pengujian Hukum Nasional terhadap Eksistensi Hukum Internasional
D. Pengujian Hukum Regional terhadap Eksistensi Hukum Internasional
9. BAHAN BACAAN
Instrumen Internasional
1. Charter of Association of Southeast Asian Nations, 2007
2. Charter of United Nations
3. Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations
and Co-operation among States in Accordance with the Charter of the United
Nations (1970).
4. Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between
ASEAN and China, 2002
5. ILC Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Act 2001,
Part Two.
6. Statute of the International Court of Justice (ICJ)
7. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969
8. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978
9. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations 1986
Instrumen Nasional
1. Surat Presiden Republik Indonesia Nomor : 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus
1960 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong.
2. Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
3. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Case Law
1. Advisory Opinion of the ICJ concerning Reservation of Genocide Convention,
1951.
2. Decision of the European Court of Justice (ECJ) in Kadi/Yusuf Case
3. Supreme Court of the United States, Case No. 06–984, Jose Ernesto Medellin,
Petitioner V. Texas, 2008
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 20/PUU-V/2007
Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi Terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Buku
1. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2,Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, 2005.
2. Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon Press, Oxford,
1998.
3. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2002.
4. ------------------------, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005.
5. Malcolm D. Evans, International Law, Second Edition, Oxford University
Press, 2006.
6. Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, Cambridge University
Press, Cambridge, 2003
7. Martin Dixon, Textbook on International Law, 6th Edition, Oxford University
Press, New York, 2007.
8. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Edisi Kedua, Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, 2003.
9. Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969),
CV. Armico, Bandung, 1985.
10. PERSIAPAN PROSES PERKULIAHAN
Sebelum perkuliahan dimulai mahasiswa diwajibkan sudah memiliki block book
mata kuliah Perkembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan sudah mempersiapkan
materi, sehingga perkuliahan dan tutorial dapat terlaksana dengan lancar
I. PERTEMUAN KE-1
Perkuliahan Ke-1 :
Pendahuluan
Pokok Bahasan :
A. Pengertian
B. Sumber Hukum Perjanjian Internasional
1. Pemahaman terhadap Art 38 (1) of the Statute of the ICJ
2. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969
3. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978
4. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations, 1986
5. Pembanding dalam pengaturan nasional RI: Undang-Undang Nomor 24 tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional dan Undang-Undang Nomor 37 tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
C. Bahasa dalam Perjanjian Internasional
Literatur:
1. The Statute of the International Court of Justice (ICJ)
2. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969
3. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978
4. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations 1986
5. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
6. Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
7. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 20/PUU-V/2007
Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi Terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
8. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2,Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, 2005, h. 83-
96.
9. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2002, h. 44-45.
10. Martin Dixon, Textbook on International Law, 6th Edition, Oxford University
Press, New York, 2007, p. 53-86
II. PERTEMUAN KE-2
Tutorial Ke-1 :
Discussion Task
1. Diskusikan perbedaan antara Hukum Perjanjian Internasional dan Hukum
Kontrak Internasional.
2. Diskusikan Perbedaan sistematika Konvensi Wina 1969 dan UU 24 tahun 2000.
Tuangkan hasil diskusi tersebut ke dalam matriks.
Problem Task
3. Apakah Memorandum of Understanding (MoU) dapat dikategorikan sebagai
suatu perjanjian Internasional?
Literatur:
1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969
2. Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
3. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 20/PUU-V/2007
Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi Terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
III. PERTEMUAN KE-3
Perkuliahan Ke-2 :
Bentuk-Bentuk Dan Jenis-Jenis Perjanjian Internasional
Pokok Bahasan:
A. Perjanjian Internasional dari Segi Bentuknya
1. Perjanjian Internasional dalam bentuk tertulis
2. Perjanjian Internasional dalam bentuk tidak tertulis
B. Perjanjian Internasional dari Segi Jumlah Pesertanya
C. Perjanjian Internasional dari Segi Kaidah Hukum yang Dilahirkannya
1. Perjanjian khusus atau perjanjian tertutup (Treaty Contract)
2. Perjanjian umum atau terbuka (Law-Making Treaty)
D. Perjanjian Internasional dari Segi Prosedur atau Tata Cara Pembentukannya
1. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui dua tahap
2. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui tiga tahap
E. Perjanjian Internasional dari Segi Jangka Waktu Berlakunya
F. Perjanjian Internasional dari Segi Bahasa yang Digunakan
G. Perjanjian Internasional dari Segi Para Pihak
Literatur:
1. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2002, h. 39-50.
2. Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969),
CV. Armico, Bandung, 1985, h. 69-82.
IV. PERTEMUAN KE-4
Tutorial Ke-2:
FTA CHINA-ASEAN Disepakati
Berdasarkan kesamaan itikad untuk memperluas jangkauan kerjasama ekonomi, Negara-
negara ASEAN dan China mengadakan pertemuan tingkat Menteri diselenggarakan di
Pnomh Phen, Kamboja. Pertemuan pada tahun 2002 tersebut melahirkan Framework
Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN-China. Mereka
sepakat untuk menurunkan tariff perdagangan untuk beberapa sector hingga 0%. Pertanian,
tekstil, teknologi informasi, pengembangan sumber daya manusia, dan investasi menjadi
substansi dari persetujuan ini. Mereka sepakat untuk menerapkan beberapa ketentuan
berbeda di negara-negara ASEAN.
Problem Task
1. Dari segi kaidah hukum yang dilahirkan termasuk ke dalam apakah FTA China-
ASEAN tersebut?
2. Dari segi prosedur atau tatacara pembentukannya, termasuk ke dalam apakah FTA
China-ASEAN tersebut?
3. Sebutkan jangka waktu berlakunya FTA China-ASEAN tersebut?
Literatur:
1. The Charter of Association of Southeast Asian Nations, 2007.
2. Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN
and China, 2002.
V. PERTEMUAN KE-5
Perkuliahan ke-3 :
Proses Pembentukan Perjanjian Internasional
Dan Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional
Pokok Bahasan:
A. Kapasitas Subyek HI untuk membuat perjanjian
B. Hal-hal Teknis dalam Pembentukan Perjanjian (Full Powers, Credentials)
C. Persetujuan Untuk Terikat Dalam Suatu Perjanjian Internasional
(Penandatanganan, Pertukaran Instrumen, Pengesahan/Ratifikasi,
Penyetujuan/Approval, Aksesi)
D. Cara-cara Menyatakan Persetujuan untuk Terikat dalam suatu Perjanjian
E. Reservasi (Pensyaratan)
Literatur:
1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part II
2. Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab II & III.
3. Surat Presiden Republik Indonesia Nomor : 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus
1960 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong.
4. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2,Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, 2005, h. 100-
135.
5. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2002, h. 18-26, h. 93-210.
6. Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press,
Cambridge, 2003, p. 821-831.
7. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Edisi Kedua, Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, 2003, h. 45-54.
8. Advisory Opinion of the ICJ concerning Reservation of Genocide Convention,
1951.
VI. PERTEMUAN KE-6
Tutorial ke-3 :
Role Play
DPR mempertanyakan Perjanjian RI dan Amerika Serikat.
Pemerintah RI (eksekutif) memiliki rencana untuk mengadakan latihan militer bersama
dengan pihak militer Amerika Serikat (AS) dalam rangka meningkatkan kemampuan
Tentara Nasional Indonesia (TNI), terutama Angkatan Darat. Untuk mematangkan konsep
ini, pemerintah bersurat ke komisi I DPR RI untuk mendengar berbagai saran dan masukan.
Dalam rapat yang digelar di ruang Komisi I DPR RI yang juga dihadiri oleh berbagai
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), diputuskan bahwa kerja sama tersebut dipandang
perlu, sehingga direkomendasikan untuk menjajagi kerjasama bilateral dengan AS.
Pemerintah RI kemudian membentuk sebuah delegasi yang terdiri dari Wakil Menteri
Pertahanan (Wakil Menhan), Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa
Deplu, Kepala Staf Umum TNI (Kasum TNI), Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat
(Wakasad) Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk AS di Washington (Dubes
RI untuk AS), Atase Pertahanan (Athan) KBRI Washington, serta Kepala Bidang Politik
(Kabid Politik) KBRI Washington. Mereka ditugaskan untuk menghadiri, merundingkan,
dan menerima hasil akhir daripada kerjasama bilateral tersebut. Seluruh pejabat tersebut
dilengkapi Surat Kepercayaan (credentials), sementara khusus bagi Wakil Menteri
Pertahanan yang ditunjuk sebagai Ketua Delegasi ditambahkan dengan Surat Kuasa (Full
Powers).
Melalui fasilitasi oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk AS di
Washington, proses perundingan bilateral antara delegasi RI dan AS yang dipimpin
langsung oleh Menteri Pertahanan AS kemudian berlangsung di Pentagon selama satu
minggu. Dalam perundingan tersebut akhirnya disepakati adanya suatu kerjasama latihan
militer bersama antara kedua negara dengan memfokuskan pada latihan perang gerilya.
Secara teknis, latihan militer akan mengambil tempat di Aceh, Kalimantan Timur, Nusa
Tenggara Timur, dan Papua dalam kurun waktu 2 tahun penuh. Untuk masing-masing
wilayah tersebut, dari pihak militer Indonesia akan dilibatkan masing-masing 1 batalyon
infantri (raiders), sementara dari pihak AS akan dilibatkan masing-masing 3 kompi infantry
of US Army.
Ketika perjanjian ini hendak diratifikasi melalui undang-undang, terjadi perdebatan serius
di Komisi I DPR RI. Hampir seluruh anggota komisi tersebut menolak untuk meratifikasi
perjanjian tersebut dengan alasan latihan militer tersebut mengancam kedaulatan teritorial
RI. Salah satu alasan utama adalah terdapatnya klausul yang memungkinkan perluasan
kerjasama hingga perlindungan aset-aset ekonomi AS di Indonesia, walaupun klausul ini
baru dapat dilaksanakan berdasarkan kesepakatan di antara kedua belah pihak. Berbagai
LSM juga melayangkan kritik tajam. Mereka berpandangan bahwa terdapat dua hidden
agenda di balik perjanjian kerjasama ini Pertama, mereka mencurigai AS berupaya mencari
titik lemah strategi perang gerilya. Kedua, mereka mengkhawatirkan AS menyiapkan
strategi pengamanan terhadap perusahan-perusahaan AS di Indonesia khususnya yang
bergerak di bidang eksplorasi dan eksploitasi mineral.
Kini Pemerintah dalam kondisi dilema. Mereka telah berupaya meyakinkan DPR dengan
menjamin bahwa kerja sama tersebut tetap dalam koridor kepentingan nasional dan sama
sekali tidak akan membuka ruang bagi intervensi AS terhadap Indonesia. Namun ternyata
berbagai argumen yang dilontarkan oleh para anggota DPR dan LSM melalui berbagai
media ternyata lebih sukses mengambil opini publik. Kini, proses ratifikasi tersebut
ternyata menggulirkan bola panas dalam perpolitikan domestik Indonesia.
Setting Role Play
Peran yang dibutuhkan: Presiden RI (1), Wakil Presiden RI (1), Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (1), Menteri Luar Negeri (1), Menteri Pertahanan
(1), Wakil Menteri Pertahanan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa
Deplu (1), Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk AS di Washington (Dubes
RI untuk AS), Atase Pertahanan (Athan) KBRI Washington, Kepala Bidang Politik (Kabid
Politik) KBRI Washington, Panglima TNI (1), Kepala Staf Umum TNI (1), Kepala Staf
TNI AD (1), Wakil Kepala Staf TNI AD (1), Ketua DPR RI (1) Ketua Komisi I DPR RI
(1), LSM (3), Menteri Pertahanan AS, Kepala Staf Gabungan (Militer) AS (1), Duta Besar
AS Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk RI di Jakarta (Dubes AS untuk RI) 1.
Peran tambahan: Anggota DPR RI, Anggota Komisi I DPR RI, Pers, mahasiswa, Ormas.
Simulasi
Bagian I : Proses Persiapan Pembuatan Perjanjian Internasional
Tahap 1 : Rapat Kabinet terbatas
Tempat : Istana Negara
Peserta : Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan,
Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD.
Agenda : 1. Pembahasan usulan kerjasama militer bilateral RI-AS.
2. Rencana bersurat ke Komisi I DPR RI.
Tahap 2 : Rapat Koordinasi Pemerintah dan Komisi I DPR
Tempat : Ruang Sidang Komisi I DPR RI
Peserta : Ketua Komisi I DPR RI, anggota Komisi I DPR RI, Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar Negeri,
Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD, beberapa
LSM.
Agenda : 1. Penyampaian rencana kerjasama militer bilateral Pemerintah RI-AS
2. Dengar pendapat, saran, dan masukan dari anggota Komisi I DPR
RI dan LSM
Tahap 3: Rapat Koordinasi Menteri-Menteri Bidang Polhukkam
Tempat : Kantor Menteri Koordinator Bidang Polhukkam
Peserta : Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar
Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD,
Wakil Menteri Pertahanan (Wakil Menhan), Direktur Jenderal
Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu, Kepala Staf Umum TNI
(Kasum TNI) serta Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Wakasad).
Agenda : 3. Pembahasan pendapat, saran, dan masukan pada rapat Koordinasi
Pemerintah dan Komisi I DPR RI.
4. Penyampaian hasil Rapat Koordinasi Menteri-Menteri Bidang
Polhukkam oleh Menlu kepada Duta Besar AS Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh untuk RI di Jakarta.
5. Koordinasi Menteri Luar Negeri dengan Duta Besar RI Luar Biasa
dan Berkuasa Penuh untuk AS di Washington (via telepon)
mengenai lobby agenda dan tempat perundingan kepada Pemerintah
AS.
6. Pembentukan Delegasi RI
Situasi: AS ternyata menyambut baik usulan Pemerintah RI. Kemudian disepakati
bersama bahwa proses perundingan akan dilakukan di Pentagon, AS. Delegasi
kemudian berangkat menuju Washington AS.
Tahap 4: Rapat koordinasi teknis Persiapan Perundingan
Tempat : Kantor KBRI Washington
Peserta : Wakil Menhan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa
Deplu, Kasum TNI, Wakasad, Dubes RI untuk AS, Athan KBRI
Washington, Kabid Politik KBRI Washington.
Agenda : 1. Penyampaian perkembangan koordinasi teknis antara KBRI
Washington dan Dephan AS oleh Dubes RI untuk AS.
2. Penyampaian hasil-hasil kesepakatan rapat koordinasi di Indonesia
oleh Ketua Delegasi
3. Diskusi penyamaan persepsi
4. Diskusi strategi diplomasi dalam proses perundingan.
Bagian II: Proses Perundingan Bilateral RI-AS
Tahap 1: Perundingan, Penandatanganan, dan Penyampaian Hasil ke Publik
Tempat : Pentagon, AS
Peserta : Wakil Menhan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa
Deplu, Kasum TNI, Wakasad, Dubes RI untuk AS, Athan KBRI
Washington, Kabid Politik KBRI Washington, Menhan AS, KasGab
Militer AS, jajaran staf Dephan AS.
Agenda : 1. Perundingan RI-AS
2. Penandatanganan Perjanjian Bilateral
3. Konferensi Pers Bersama
Catatan : Kalau memungkinkan proses perundingan dilakukan dalam Bahasa Inggris.
Bagian III: Proses Ratifikasi
Tahap 1: Rapat Penyampaian hasil Perjanjian RI-AS
Tempat : Istana Negara
Peserta : Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan,
Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD, Wakil Menhan, Direktur Jenderal
Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu, Kasum TNI, Wakasad.
Agenda : 1. Penyampaian hasil Perjanjian RI-AS
2. Tanggapan Presiden dan jajaran mengenai hasil perjanjian
3. Pengiriman surat pembahasan ratifikasi perjanjian kepada Ketua
DPR RI
Situasi: Ketua DPR RI kemudian mendisposisi surat Presiden RI kepada Komisi I untuk
dibahas.
Tahap 2: Rapat Pembahasan Komisi I
Tempat : Ruang sidang Komisi I
Peserta : Ketua Komisi I beserta wakil-wakil serta seluruh anggota Komisi I
Agenda : Pembahasan Hasil Perjanjian kerjasama Bilateral RI-AS oleh seluruh
anggota Komisi I
Situasi: Dalam rapat tersebut hampir seluruh anggota Komisi I menolak untuk
meratifikasi. Selanjutnya mereka mengundang Pemerintah untuk menyampaikan
keterangannya atas seluruh proses perundingan hingga dicapainya hasil perjanjian.
Tahap 3: Rapat Penyampaian Keterangan Pemerintah kepada Komisi I
Tempat : Ruang sidang Komisi I
Peserta : Ketua Komisi I beserta wakil-wakil serta seluruh anggota Komisi I,
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri
Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD,
Wakil Menhan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa
Deplu, Kasum TNI, Wakasad.
Agenda : 1. Penyampaian keterangan pemerintah atas hasil yang dicapai
2. Penyampaian Pendapat Komisi I terhadap keterangan Pemerintah
Situasi: Komisi I menyatakan tidak puas terhadap keterangan Pemerintah. Hampir
seluruh anggota komisi tersebut menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut. Komisi
I kemudian memutuskan untuk melakukan rapat dengar pendapat dari civil society.
Tahap 4: Rapat dengar Pendapat kepada Komisi I
Tempat : Ruang sidang Komisi I
Peserta : Komisi I beserta wakil-wakil serta seluruh anggota Komisi I dan Civil
Society (LSM, Mahasiswa, Ormas)
Agenda : Dengar pendapat civil society tentang hasil perjanjian RI-AS
Situasi: Civil society memiliki pendapat yang selaras dengan Komisi I. Mereka menolak
dengan tegas perjanjian tersebut diratifikasi. Kini proses Ratifikasi tidak menemui
kejelasan yang berarti. Komisi I tidak bersedia untuk membawa proses ini ke sidang
Pleno/Paripurna DPR sebelum ada persetujuan yang didukung sekurang-kurangnya
50+1 dari anggota Komisi I. Komunikasi antara Pemerintah dan DPR RI dalam proses
ini pun terancam dead lock.
Hal-hal teknis yang perlu disusun dan dipersiapkan secara berkelompok: 1. Credentials
2. Full Powers
3. Agreement between the Republic of Indonesia and the Republic of the United States of
America concerning Armed Force Joint Training (2010)
Penyelenggaraan dan Penilaian:
1. Role Play akan diselenggarakan seseuai dengan hari/tanggal tutorial dengan bertempat
di ruang Moot Court/Video Conference FH UNUD, Jl. Bali, Denpasar.
2. Waktu pelaksanaan total paling lama 70 menit .
3. Role Play akan diobservasi dan dinilai langsung oleh pengajar Hukum Perjanjian
Internasional yang bersangkutan
4. Nilai yang diambil dari Role Play akan dijadikan Nilai Partisipasi Kelas (kolektif) yang
akan digunakan sebagai nilai tambahan pada saat pemberian Nilai Akhir seluruh
mahasiswa. Nilai Partisipasi Kelas maksimal 1 (satu).
Literatur:
1. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969
2. Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
VII. PERTEMUAN KE-7
Perkuliahan Ke-4 :
Penataan, Penerapan, Penafsiran, Amandemen
dan Modifikasi Perjanjian Internasional
Pokok Bahasan:
B. Pacta Sunt Servanda
C. Asas Retroaktif
D. Penafsiran
E. Pihak ketiga dalam perjanjian
F. Amandemen dan Modifikasi
Literatur:
1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part III and IV.
2. Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab IV.
3. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h. 261-368.
4. Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press,
Cambridge, 2003, p. 832-844.
VIII. PERTEMUAN KE-8
Tutorial ke-4:
Pengusaha Indonesia Protes Pemberlakuan FTA ASEAN-China
FTA ASEAN-China yang mulai berlaku 1 Januari 2010 menuai protes dari kalangan
pengusaha Indonesia. Mereka mengkhawatirkan keberlangsungan usahanya akibat
bebasnya arus barang yang masuk utamanya produk China ke dalam pasar Indonesia.
Masih tingginya biaya produksi ditambah rendahnya kualitas sumber daya manusia
menjadi alasan utama rendahnya daya saing produk Indonesia. Para pengusaha menuntut
pemerintah untuk menunda pemberlakuan FTA. Pemerintah melalui Menteri Perdagangan
Mari E. Pangestu menganggap permintaan tersebut sulit untuk dipenuhi, berdasarkan asas-
asas perjanjian internasional yang ada.
Pertanyaan:
1. Solusi apakah yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut bagi
pemerintah dan masyarakat?
Literatur:
1. The Charter of Association of Southeast Asian Nations, 2007
2. Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN
and China, 2002
IX. PERTEMUAN KE-9
Perkuliahan Ke 5:
Ketidaksahan, Pengakhiran Dan Penundaan
Bekerjanya Suatu Perjanjian Internasional
Pokok Bahasan:
A. Ketidaksahan Perjanjian Internasional (Kekeliruan, Penipuan, Kecurangan,
Paksaan, Jus Cogens)
B. Pengakhiran
C. Penundaan
D. Pengawasan Ketidakmungkinan Pelaksanaan
E. Clause Rebus Sic Stantibus
F. Akibat-Akibat dari ketidaksahihan, pengakhiran, dan penundaan bekerjanya
perjanjian
Literatur:
1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part V.
2. Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab VI.
3. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2,Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, h.149-162.
4. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h.393-487.
5. Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press,
Cambridge, 2003, p. 845-858.
X. PERTEMUAN KE-10
Tutorial ke-5: Eksistensi Perjanjian Internasional Akibat Pemutusan Hubungan
Diplomatik.
Kasus Imaginer:
“Status Quo Sengketa Diplomatik RI-Australia”
Indonesia dan Australia berada dalam hubungan diplomatik yang kurang harmonis.
Tindakan pemerintah Australia yang memberikan visa sementara bagi 5 orang WNI yang
dianggap melakukan perbuatan makar terhadap negara Indonesia telah seolah menggores
kembali luka lama permasalah diplomatik kedua negara. Sebagai reaksi, Pemerintah RI
kemudian mem-persona non grata-kan atase pertahanan Kedubes Australia di Jakarta. Dua
hari kemudian, tindakan Pemerintah RI ini dibalas serupa terhadap atase pertahanan
Kedubes RI di Canberra. Tanpa berselang lama, Presiden RI kemudian mengumumkan
pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia. Lebih jauh, Presiden juga menyatakan
secara unilateral bahwa segala perjanjian bilateral antara RI dan Australia dinyatakan
berakhir. Memperjelas pernyataan Presiden, juru bicara Presiden menyatakan bahwa
pemerintah RI tidak mengakui lagi seluruh hak dan kewajban yang ditimbulkan dari
perjanjian bilateral antara RI dan Australia. Menteri luar Negeri RI secara teknis kemudian
memulangkan Duta Besar RI Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Australia di Canberra
beserta seluruh jajaran pejabat diplomatik.
Tiga hari setelah pengumuman tersebut, terjadi kerusuhan massal di beberapa kota di
Indonesia. Massa menghancurkan bank serta perusahaan-perusahaan yang dianggap terkait
dengan Australia. Pemerintah Australia dalam situasi dilematis. Di satu sisi, dengan
pertimbangan prinsip resiprositas dalam hubungan diplomatik mereka hendak
memulangkan kembali seluruh jajaran staf diplomatiknya di Jakarta. Namun di sisi lain,
mereka memiliki tanggung jawab untuk melindungi kepentingan nasionalnya di Indonesia.
Perdana Menteri Australia kemudian menyampaikan beberapa hal penting: pertama,
menyerukan travel warning kepada seluruh warga negara Australia ke Indonesia; kedua,
meminta pemerintah Indonesia untuk menjamin perlindungan terhadap kepentingan
Australia di Indonesia; ketiga, menghormati tindakan unilateral pemerintah Indonesia
untuk melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia berdasarkan atas
penghormatan atas Hak Legasi Aktif Indonesia. Sebagai reaksi, Pemerintah Australia akan
melakukan hal yang sama, namun akan dilakukan secara bertahap guna melaksanakan
fungsi perlindungan kepentingan Australia di Indonesia hingga situasi keamanan di
Indonesia lebih kondusif; keempat, menolak dengan tegas pernyataan unilateral Pemerintah
RI terhadap pengakhiran segala perjanjian bilateral antara RI dan Australia dinyatakan dan
pernyataan Indonesia yang tidak mengakui lagi seluruh hak dan kewajban yang
ditimbulkan dari perjanjian-perjanjian bilateral tersebut.
Pemerintah RI ternyata tidak terlalu menanggapi pernyataan Pemerintah Australia. Seusai
rapat kabinet terbatas, Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa sikap pemerintah RI
masih akan tetap sebagaimana pernyataan Presiden sebelumnya, sampai Pemerintah
Australia memulangkan 5 orang WNI tersebut untuk dapat dikenakan proses hukum di
Indonesia. Tidak hanya pihak eksekutif, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
juga menyatakan bahwa berdasarkan hasil rapat antara pimpinan DPR RI beserta seluruh
anggota Komisi I DPR RI telah diputuskan adanya peninjauan ulang terhadap seluruh
Perjanjian Bilateral RI yang disahkan melalui undang-undang dalam waktu dekat.
Problem Task:
1. Apakah tindakan pemerintah RI yang mengakhiri secara sepihak seluruh perjanjian
bilateral antara RI dan Australia sesuai dengan kaidah Hukum Perjanjian
Internasional?
2. Upaya (diplomasi dan hukum) apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Australia
dalam kasus ini?
Literatur:
1. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969, Part V and Part VI
2. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h. 473-478.
XI. PERTEMUAN KE-11
Perkuliahan ke-6:
Perjanjian Internasional
Dalam Perspektif Hukum Nasional Dan Hukum Regional
Pokok Bahasan
A. Pemahaman terhadap aliran Dualisme dan Monisme (Primat HI dan Primat HN)
B. Makna Art 27 of the Vienna Convention 1969
C. Pengujian Hukum Nasional terhadap Eksistensi Perjanjian Internasional
D. Pengujian Hukum Regional terhadap Eksistensi Perjanjian Internasional
Literatur:
1. Charter of the United Nations
2. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969 Part III.
3. ILC Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Act 2001, Part
Two.
4. Decision of the European Court of Justice (ECJ) in Kadi/Yusuf Case.
5. Supreme Court of the United States, Case No. 06–984, Jose Ernesto Medellin,
Petitioner V. Texas, 2008.
2. Eileen Denza, The Relationship between International and National Law dalam
Malcolm D. Evans, International Law, Second Edition, Oxford University Press,
2006, h. 423-448.
3. Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon Press, Oxford,
1998, p. 31-56.
4. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h.275-276.
5. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT.
Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan ke-1, 2003, h. 55-94.
XII. PERTEMUAN KE-12
Tutorial ke-6:
Mahkamah Agung Afghanistan Uji UN Charter
Kasus Imaginer
Afghanistan merupakan negara yang menjadi home base gerakan terorisme. Gerakan ini
dituduh melancarkan aksi tidak hanya di internal Afghanistan, namun juga di Pakistan,
India, dan bahkan Amerika Serikat. Pihak kepolisian dan militer Afghanistan telah
kewalahan untuk mngatasi aksi mereka. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah
pengikut gerakan ini mereka semakin meningkat. Melalui rapat kabinet terbatas,
Pemerintah Afghanistan, yang dipimpin oleh penguasa sipil demokratik, memutuskan
untuk mengundang keterlibatan masyarakat internasional untuk mengatasi kasus ini.
Presiden Afghanistan kemudian bersurat kepada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-
Bangsa (Sekjen PBB) untuk memohon bantuan PBB terlibat aktif di Afghanistan.
Sekjen PBB kemudian meneruskan surat tersebut ke Sidang Umum (SU) PBB untuk
dibahas oleh semua negara anggota PBB. Hasilnya, SU PBB memberikan otoritas kepada
Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai
dengan Chapter VII of the UN Charter. Dalam perdebatan yang sangat alot, DK PBB
kemudian mengeluarkan sebuah resolusi pengiriman pasukan keamanan multinasional ke
Afghanistan.
Langkah DK PBB ini pada awalnya disambut dengan baik. Pengiriman pasukan
kemananan sejumlah 50.000 personil di tahun pertama dapat mendukung efektivitas
pergerakan aparat kepolisian dan militer Afghanistas untuk menggempur sarang-sarang
teroris hingga ke pelosok-pelosok wilayah Afganistan. Namun ketika jumlah pasukan
keamanan ini ditingkatkan hingga dua kali lipat pada tahun berikutnya, muncul
permasalahan karena jumlah ini lebih besar daripada jumlah keseluruhan personil
kepolisian dan militer Afghanistan. Pihak kepolisian dan militer kemudian menyampaikan
keberatannya kepada pihak pemerintah (eksekutif) Afghanistan dengan berargumen bahwa
PBB sebaiknya memperkuat personil kepolisian dan militer Afghanistan dengan
memberikan pelatihan-pelatihan dan pendampingan daripada melakukan penambahan
jumlah pasukan keamanan yang berpotensi untuk terjadinya intervensi terhadap kedaulatan
teritorial Afghanistan. Namun pemerintah Afghanistan tetap bersikukuh dengan
keputusannya untuk melanjutkan keterlibatan PBB dengan pertimbangan gerakan terorisme
masih belum dapat dituntaskan. Ketika isu kudeta mulai terdengar, Pemerintah Afghanistan
mengajukan permohonan pendapat hukum Mahkamah Agung (MA) Afghanistan tentang
permasalahan ini.
Secara mengejutkan MA afghanistan memberikan pendapat hukum sebagai berikut:
1. Keputusan pemerintah untuk mengundang keterlibatan masyarakat internasional untuk
mengatasi kasus ini dapat dibenarkan berdasarkan hukum nasional Afghanistan
sepanjang masih sesuai dengan kepentingan nasional terutama di bidang keamanan dan
pertahanan.
2. Pengiriman pasukan keamanan PBB dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah
total personil kepolisian dan militer Afghanistan dapat dipandang sebagai upaya yang
tidak menghormati kedaulatan teritorial Afghanistan. Dalam hal ini, PBB tidak
konsisten menerapkan UN Charter. Di satu sisi, misi ini didasarkan pada Chapter VII
UN Charter, sementara di sisi lain, pelaksanaan misi ini bertentangan dengan Art 1 (1)
dan Art 2 (4) UN Charter serta bertentangan dengan prinsip non-intervention
sebgaimana tertuang dalam Declaration on Principles of International Law concerning
Friendly Relations and Co-operation among States in Accordance with the Charter of
the United Nations (1970).
Problem Task
1. Apakah Mahkamah Agung Afghanistan memiliki kompetensi untuk menguji UN
Charter dan Declaration on Principles of International Law concerning Friendly
Relations and Co-operation among States in Accordance with the Charter of the United
Nations (1970)?
2. Apakah Pendapat Hukum Mahkamah Agung Afghanistan tersebut mengikat bagi
pemerintah Afganistan dan sekaligus mengikat bagi PBB?
3. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Afghanistan?
Literatur:
1. The Charter of the United Nations
2. The Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations
and Co-operation among States in Accordance with the Charter of the United
Nations (1970).