Upload
vuongtuyen
View
218
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
I. LATAR BELAKANG
Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil penelitian tentang model relasi
institusi antara Lembaga Sosial Hafara dengan pemerintah di wilayah Kabupaten
Bantul dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Hal ini dipicu
semakin meningkatnya keberadaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis atau
biasa disingkat anjal dan gepeng di wilayah Kabupaten Bantul. Keberadaan
mereka sering dianggap sebagai masalah bagi masyarakat, sehingga pemerintah
diharuskan menangani anak jalanan, gelandangan dan pengemis agar tidak
semakin menjamur. Bukan hanya pemerintah yang memiliki perhatian khusus
terhadap keberadaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, banyak lembaga
non pemerintah yang turut terjun langsung menangani masalah tersebut, seperti
yang dilakukan oleh Lembaga Sosial Hafara. Walaupun Lembaga social Hafara
bukan merupakan institusi formal pemerintah, Lembaga Sosial Hafara tidak lantas
bekerja sendiri menangani masalah gepeng dan anjal, lembaga social tersebut
sering bekerja sama dengan Pemkab Bantul. Pertanyaan yang muncul selanjutnya
adalah bagaimana model relasi institusi antara Lembaga Sosial Hafara dengan
Pemerintah Kabupaten Bantul dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan
pengemis. Secara teknis terdapat tiga actor utama dalam tema penelitian ini, yaitu:
Lembaga social Hafara, pemerintah kabupaten Bantul dan komunitas jalanan
dalam hal ini anak jalanan, gelandangan, pengemis. Relasi antara Lembaga Sosial
Hafara dengan Pemkab Bantul menjadi hal yang menarik, walaupun Lembaga
sosial Hafara merupakan lembaga informal dan Pemkab Bantul merupakan
2
lembaga formal, kedua institusi tersebut dapat bersinergi untuk saling bekerja
sama dalam menangani masalah anak jalanan, gelandangan dan pengemis.
Anjal dan Gepeng merupakan suatu fenomena social yang penting, mereka
lahir melalui kekalahan persaingan dalam mencari pekerjaan yang mereka
harapkan untuk memperbaiki nasib. Di Indonesia pada umumnya, dan DIY pada
khususnya keberadaan lapangan pekerjaan sector formal sangatlah terbatas.
Belum lagi proses seleksi sector formal berdasarkan pendidikan, ketrampilan
bekerja, bahkan jejaring. Bagi mereka yang tidak dapat bekerja di sector formal,
maka sector informal menjadi pilihan yang memungkinkan, namun tidak semua
orang dapat bekerja di sector informal. Dibutuhkan modal yang kadang tidak
sedikit dan kemampuan bersaing dalam bisnis. Permasalahan muncul bagi mereka
yang tidak menempuh pendidikan formal, tanpa ketrampilan, tanpa jejaring dan
tanpa memiliki modal. Semakin ketatnya cara memperoleh pekerjaan, semakin
sulit bagi mereka memperoleh pekerjaan. Walaupun pekerjaan formal maupun
informal tidak didapat, mereka yang hidup kekurangan harus berfikir untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Gelandangan dan pengemis menjadi pilihan yang
memungkinkan karena pekerjaan tersebut tidak mempersyaratkan ketrampilan
khusus, persyaratan pendidikan maupun modal. Bukan hanya orang dewasa,
anak-anak pun turut serta menjadi anak jalanan yang mengais rejeki di jalanan.
Gelandangan umumnya lahir dari kemiskinan yang sudah lama mereka
jalani. Karena kondisi kemiskinan tersebutlah menjadikan keluarga tidak
memberikan keterampilan yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih
menjanjikan. Dengan menyadari modal ketrampilan yang pas-pasan serta
3
menyadari sulitnya mendapat pekerjaan, alhasil banyak dari mereka untuk tidak
memimpikan pekerjaan sector formal. Pekerjaan untuk menjadi anjal dan gepeng
semakin dilirik dan menjamur selain karena kemudahan untuk menjadi anjal dan
gepeng, Hasil yang didapatkan dari pekerjaan tersebut cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Walaupun terlihat banyak kemudahan dalam memperoleh
uang, anjal dan gepeng tetap dimasukkan ke dalam kelompok miskin karena tidak
memiliki pekerjaan tetap dan banyak dari mereka tidak memiliki tempat tinggal
tetap.
Permasalahan anjal dan gepeng bukan lagi hal baru, hampir di setiap kota-
kota besar menjadikan mereka sebagai masalah, terutama bagi masyarakat yang
menganggap kehadiran gepeng dan anjal menimbulkan ketidaknyamanan bagi
pengguna jalan raya. Pemerintah pun menganggap kehadiran gepeng dan anjal
menyebabkan ketidaktertiban seperti pencurian, munculnya kantong-kantong
hunian liar baik itu di pinggir jalan, kolong jembatan maupun diruang-ruang
public lainnya (Wibowo2012: 25). Selain itu banyak istilah- istilah negative yang
disematkan kepada mereka seperti nakal, kumuh, tidak tahu aturan, dll. Disadari
maupun tidak, stigma yang melekat kepada anjal dan gepeng semakin
mempersulit bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak.
Walaupun keberadaan anjal dan gepeng menimbulkan ketidaknyamanan,
tidak semua warga negara mampu dan mau untuk membantu mengentaskan
masalah anjal dan gepeng. Di Kabupaten Bantul banyak lapisan masyarakat yang
menaruh perhatian terhadap masalah anjal dan gepeng, seperti pelajar, mahasiswa,
dll. Namun tidak semua orang memiliki sumber daya untuk menyampaikan
4
aspirasi mereka. Salah satu cara untuk mewujudkan komitmen bagi masyarakat
yang peduli terhadap masalah-masalah social adalah dengan membentuk lembaga
social. Di Bantul sendiri salah satu lembaga social yang menangani masalah anjal
dan gepeng adalah Lembaga Sosial Hafara. Selain lembaga social tersebut,
Pemkab Bantul juga memiliki kewajiban untuk mengatasi permasalahan anjal dan
gepeng. Dalam menangani masalah gepeng dan anjal, Pemkab Bantul merupakan
actor formal yang memiliki kewajiban menangani masalah anjal dan gepeng di
wilayah Bantul seperti yang tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia
1945 pasal 34 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara,
sedangkan Lembaga social Hafara adalah lembaga informal yang membantu
secara sukarela dalam penanganan masalah anjal dan gepeng di wilayah Bantul.
Walaupun memiliki latar belakang, idiologi, tujuan, dan struktur organisasi yang
jelas berbeda antara Pemkab Bantul dengan Lembaga Sosial Hafara, namun
mereka memiliki keprihatinan yang sama terhadap masalah anak jalanan,
gelandangan dan pengemis. Perbedaan tersebutlah yang justru diperlukan dalam
menangani masalah tersebut. Sejatinya diperlukan kesadaran dan kerjasama
berbagai macam pihak dengan spesifikasi kemampuan yang berbeda, untuk
bekerja sama menambah kapasitas teknis. Relasi ini dilakukan dengan cara saling
mendukung dan melengkapi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dalam menangani masalah gepeng dan anjal terbentuklah relasi antara
Pemerintah Kabupaten Bantul dengan Lembaga social Hafara. Seperti diketahui
peran Negara dalam hal ini Pemkab Bantul sebagai pengatur dan pelindung
sedangkan Lembaga Sosial Hafara sebagai lembaga alternative yang bersifat
5
otonom. Dibandingkan Pemkab Bantul, Lembaga Sosial Hafara memiliki
keunggulan seperti lebih dekat dengan komunitas jalanan dalam hal ini gepeng
dan anjal, memiliki kemampuan dalam rehabilitasi dan pemberdayaan
masyarakat, memiliki staf yang terlatih dan berpengalaman, serta organisasi yang
kecil sehingga relative memudahkan pengorganisasian. Sesuai dengan
keunggulannya Lembaga social Hafara dapat member dukungan atas pelaksanaan
program pemerintah, selain itu juga dapat melakukan kegiatan yang kurang dapat
dilaksanakan oleh Pemkab Bantul.
Pemerintah sendiri sejak dahulu memiliki beragam undang-undang atau
peraturan untuk mengurangi masalah penanganan gelandangan, yaitu; UUD 1945
Pasal 34 ayat 1, Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No 1 tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial dan Perda Bantul No 10 tahun 2000 tentang Ketertiban , Keindahan,
Kesehatan Lingkungan dan Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan.
Walaupun memiliki beragam peraturan, usaha tersebut tentu tidak begitu efektif
karena mekanisme pencegahan kemunculan anjal dan gepeng tidak ada. Masalah
anjal dan gepeng sudah lama ada, namun tidak pernah bisa tuntas ditangani,
Pemerintah Kabupaten Bantul sendiri kurang memiliki sumber daya manusia yang
cukup berkompeten untuk melakukan rehabilitasi. Bagaimanapun juga pemerintah
daerah memiliki kapasitas yang terbatas . Tidak semua permasalahan di
masyarakat dapat diselesaikan, terlebih bagi pemerintah masalah gepeng dan anjal
tidaklah dianggap sebagai permasalahan yang krusial sehingga harus ditangani
secara lebih mendalam. Untuk itu penting bagi pemerintah untuk bekerja sama
6
dengan Lembaga Sosial Hafara sebagai lembaga yang cukup dipercaya untuk
melaksanakan program pemberdayaan dan rehabilitasi. Karena program yang
dijalankan akan lebih efisien dan efektif jika diserahkan kepada lembaga social
Hafara dari pada dilakukan sendiri oleh Pemkab Bantul. (Affan Gaffar1999, h
202)
Program penanganan masalah anjal dan gepeng memerlukan pengamatan
kepribadian masing-masing gelandangan, selain itu memerlukan pengamatan
gejala perkembangan kejiwaan. Sudah barang tentu dalam penanganan ini
menuntut kelengkapan sarana prasarana, anggaran serta tenaga profesional.
Pemerintah Kabupaten Bantul sebenarnya memiliki beragam program dan tenaga
untuk mengatasi masalah tersebut, namun untuk mengamati secara cermat para
gelandangan dirasa belum mencukupi.(LP3ES 1986,hal 118-119) Untuk itu
diperlukan kelembagaan social yang dapat mengkoordinasi program dengan
memperhatikan kearifan local, kerja sama, memperhatikan nilai-nilai social
budaya sehingga dapat membantu menyelesaikan permasalahan tersebut.
(Pranowo2006,h10) Dengan menjalin relasi dengan Lembaga Sosial Hafara
diharapkan dapat memberikan kemampuan untuk mengelola berbagai sumber
daya sehinggan para anak jalanan, gelandangan dan pengemis dapat lepas dari
ketergantungan terhadap kegiataannya selama ini.
Tulisan ini sekali lagi membagas mengenai bagaimana model relasi institusi
antara Lembaga Sosial Hafara dengan Pemerintah Kabupaten Bantul dalam
penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Tema ini dipilih mengingat
kurangnya penelitian yang membahas mengenai relasi antara lembaga social
7
dengan pemerintah melalui teori relasi institusi Levitsky Steven. Sebelum
ditulisnya penelitian ini terdapat penelitian terdahulu yang dianggap berhubungan
dengan pokok pembahasan diatas, walaupun demikian pembahasan tetap dari
fokus dan obyek yang berbeda. Penelitian yang saya temukan berikut
diklasifikasikan menjadi 3 kata kunci yaitu relasi antara pemerintah dan LSM,
relasi antar institusi pemerintah dan pembinaan.
Berhubungan dengan relasi antara pemerintah dengan LSM terdapat 2
skripsi. Nizam Zulfikar (2010), menuliskan dalam skripsi berjudul Pola relasi
yang terbangun antara negara dan Forum Komunikasi Masyarakat Code Selatan
(FKMCS) dalam rangka pembangunan masyarakat code selatan. Skripsi tersebut
menjelaskan mengenai relasi negara ( Balai Lingkungan Hidup Provinsi DIY,
Pemerintah Kota Yogyakarta, dan Dinas Pemukiman dan Prasarana wilayah
Yogyakarta) dengan FKMCS. Kemiskinan merupakan masalah yang harus
diselesaikan oleh negara, namun upaya pemberdayaan oleh pemerintah tidak
terlalu memberikan perubahan yang signifikan. Muncul dari keprihatinan elite
wilayah brontokusuman dan balai lingkungan hidup DIY terbentuklah FKMCS.
Dengan relasi kedua institusi yang bersifat komplementer tersebut FKMCS
berhasil melakukan perbaikan dan pembangunan bantaran kalicode selatan.
Skripsi kedua oleh Octo Noor Arafat berjudul LSM dan Pemerintah dalam
pelayanan umum: studi tentang model hubungan LSM dan pemerintah dalam
pelayanan social terhadap anak jalanan di Kota Yogyakarta (2003). Penelitian
tersebut menjelaskan model yang digunakan berbagai LSM ( Rumah Singgah
Anak Mandiri Yayasan Insan Mandiri / RSAM YIM dan RSAM Ceria) dengan
8
pemerintah ( Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Provinsi DIY) dalam menangani
masalah anak jalanan. Disini negara tidak selalu sebagai institusi satu-satunya
dalam pelayanan social tersebut, namun juga menuntut ketelibatan actor lainnya
seperti lembaga swasta, volunteer, maupun masyarakat umum. RSAM YIM
terlibat dalam kegiatan advokasi dan politik, namun RSAM Ceria tidak terlibat
dalam upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah tersebut, RSAM ceria hanya
bersifat memberdayakan anak jalanan.
Berhubungan dengan pembinaan, terdapat skripsi yang ditulis oleh Tri
Muryani (2008) berjudul Rehabilitasi social bagi gelandangan di Panti Sosial Bina
Karya Sidomulyo Yogyakarta. Skripsi ini membahas mengenai proses rekrutmen
dan proses rehabilitasi yang dilakukan Panti Sosial Bina Karya. Proses rekrutmen
sendiri terdapat 4 klasifikasi seperti razia, hasil motivasi petugas, datang atas
kesadaran sendiri dan kemitraan dengan pihak lain.
Skripsi selanjutnya adalah Evaluasi Program Pembinaan Anak Jalanan DI
Rumah Singgah Setara Semarang oleh Dimas Arfan Ardyana (2012). Secara garis
besar skripsi tersebut membahas bagaimana Rumah Singgah Setara Semarang
menjalankan program pembinaan anak jalanan. Sumber daya manusia menjadi
nilai plus dari evaluasi program tersebut, karena sumber daya manusia di rumah
singgah tersebut sangat berkompeten menjalankan program kerja. Program
kerjanya sendiri menganut pola pemberdayaan anak jalanan melalui pendidikan
dan ketrampilan.
Sesuai dengan penjelasan singkat mengenai penelitian terdahulu, hasil
penelitian ini merupakan perihal yang berbeda walaupun terdapat beberapa aspek
9
yang dapat menjadi masukan. Dalam aspek relasi antara pemerintah dengan LSM,
Nizam Zulfikar dalam penelitiannya membahas mengenai relasi Forum
Komunikasi Masyarakat Code Selatan (FKMCS) dengan negara menggunakan
dasar teori milik Levitsky Steven tentang relasi institusi dan teori spirit quasi
autonomous non governmental organizational yaitu FKMCS yang merupakan
lembaga informal, namun memiliki kecenderungan kepada pemerintah karena
terbentuk juga atas inisiasi pemerintah yaitu Balai Lingkungan Hidup Provinsi
DIY. Sedangkan skripsi kedua milik Octo Noor Arafat dimana terdapat beberapa
LSM yaitu RSAM YIM dan RSAM Ceria dan keduanya memiliki relasi yang
berbeda- beda dengan pemerintah. Pada penelitian relasi institusi lembaga social
Hafara dengan Pemkab Bantul yang saya tulis lebih membahas mengenai
bagaimana model relasi institusi antara dua lembaga tersebut dalam menangani
masalah gepeng dan anjal. Satu hal yang dapat ditarik benang merah bahwa kedua
penelitian tersebut memiliki kesamaan konsep karena sama-sama membahas relasi
antara LSM dengan pemerintah. Terlebih dengan skripsi milik Nizam Zulfikar
dimana memiliki persamaan teori yaitu milik Lavitsky Steven, yang menjadi
berbeda adalah teori spirit quasi autonomous non governmental organizational,
dimana dalam skripsi saya tidak membahas mengenai teori tersebut karena
Lembaga Sosial Hafara tidak lahir dari inisiasi pemerintah, sehingga masih
relative berdiri sendiri walaupun tidak menampik menjalin relasi dengan
pemerintah.
Dalam aspek Pembinaan, Tri Muryadi menjelaskan bagaimana berjalannya
proses rehabilitasi gelandangan sedangkan Dimas Arfan Ardhiyana membahas
10
mengenai evaluasi dari program pembinaan anak jalanan mengenai kelebihan dan
kekurangan. Satu kesamaan dari skripsi yang saya tulis adalah sama-sama
membahas bagaimana suatu panti social/rumah singgah/ lembaga social
melakukan pembinaan terhadap anjal atau gelandangan, yang menjadi pembeda
karena kedua skripsi terdahulu tersebut tidak menyebutkan teori secara terpusat
sehingga hanya terkesan menjelaskan konsep-konsep umum.
Relasi institusi antara lembaga social Hafara dengan Pemkab Bantul
merupakan hal yang patut menjadi masukan dalam ilmu politik, bahwa
penyelesaian dari suatu masalah yang sulit untuk ditangani, dapat lebih mudah
untuk ditangani atau diminimalisir dengan cara menjalin relasi. Menjalin relasi
dengan pemerintah sendiri tidak selalu terkesan buruk, seperti diketahui bahwa
menyelesaikan masalah public bukan hanya menjadi tanggung jawab negara,
namun juga seluruh lapisan masyarakat. Dengan bekerja sama antara LSM dengan
pemerintah setidaknya LSM dapat mengisi lubang yang belum diisi negara,
seperti yang dilakukan oleh Lembaga social Hafara.
I.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana model relasi institusi antara Lembaga Sosial Hafara dengan
Pemerintah Kabupaten Bantul dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan
pengemis?
11
I.3. TUJUAN PENELITIAN
1. Menganalisis model relasi institusi antara lembaga social Hafara dengan Pemkab
Bantul dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis
2. Mengetahui bagaimana berjalannya model pemberdayaan anak jalanan,
gelandangan dan pengemis
I.4. KERANGKA TEORI
I.4.1 Institusi Formal dan Institusi Informal
Sebelum membahas mengenai relasi institusi informal dengan institusi
formal (negara) dengan menggunakan teori Steven Levitsky, terlebih dahulu
akan dijelaskan mengenai perbedaan institusi formal dan informal.Menurut
Steven Levitsky institusi formal adalah aturan atau prosedur yang dibuat dan
bersifat memaksa yang menembus berbagai saluran dan diterima sebagai aturan
resmi. Dengan pengertian tersebut dapat diartikan pula bahwa institusi formal
menunjuk pada tubuh negara dimana terdapat kumpulan dua orang atau lebih
secara sadar mengikatkan diri pada peraturan bersama yang bersifat memaksa
(hukum atau regulasi). Institusi formal juga memiliki struktur atau bagian-bagian
dengan tugas dan wewenang yang berbeda-beda. Struktur tersebut menjadi hal
yang sangat penting bagi institusi Formal karena dalam struktur tersebut
dijelaskan bagaimana pembagian tugas masing-masing personil sampai
bagaimana mekanisme dan pola interaksi pada tiap bagian struktur. Maka tidak
mengherankan jika mekanisme institusi formal biasanya diidentikkan dengan
ketidakefektifan, terlebih ketika membuat aturan formal. Aturan tersebutharus
12
melewati channel-channel resmi yang panjang seperti legislative dan eksekutif
sebelum ditegakkan. Contohnya adalah pengadilan,ataupun birokrasi. Menurut
Max Webber (1986,h 232-233) dijelaskan cirri-ciri institusi formal atau birokrasi
modern sebagai berikut:
Pertama, Fungsi resmi diatur dalam bentuk peraturan
Kedua, Kewajiban melaksanakan fungsi yang sudah ditetapkan
Ketiga, Organisasi Kepegawaian melewati prinsip hirarkis
Keempat, Peraturan-peraturan yang mengatur seorang pegawai dapat merupakan
aturan atau norma yang bersifat teknis
Kelima, Para anggota terpisah dari kepemilikan alat – alat produksi atau
administrasi
Keenam, Tidak ada pemberian posisi kepegawaian oleh orang yang menduduki
suatu jabatan
Ketujuh, Tindakan, keputusan dan peraturan administrasi dicatat dalam bentuk
tertulis
Berbeda dengan institusi formal, institusi informal menurut Steven
Levitsky adalah aturan social yang biasanya tidak tertulis, dibuat dan
dikomunikasikan dengan sifat memaksa. Aturan ini berada diluar aturan resmi dan
hanya menyentuh bagian tertentu. Aktifitas yang terjalin bersama ini sering kali
memiliki tujuan bersama yang tidak disadari. Perbedaan yang jelas antara institusi
formal dan informal tersebut adalah bentuk pelaksanaan dari aturan. Peraturan
informal biasanya dibentuk dari masyarakat dan dijalankan oleh masyarakat.
Sedangkan peraturan formal dibuat oleh negara. Institusi Informal memiliki cirri –
13
cirri keswadayaan, dan sukarela. Helmke dan Levitsky (2004) mendefinisikan
institusi informal menjadi 3 pendekatan yaitu:
Pertama, pendekatan state sociental: sebagai institusi diluar institusi negara seperti
agama, kekerabatan, aturan dan organisasi sosial
Kedua, Pendekatan lokasi penegakkan aturan dapat diartikan institusi informal
memiliki penegakkan internal tempat anggota komunitas secara mutual merespon
satu sama lain dalam penegakkan aturan-aturan.
Ketiga, Pendekatan berdasarkan kodifikansi dan komunikasi aturan: institusi
informal adalah aturan-aturan yang diterima secara sosial, biasanya tidak tertulis
dan ditegakkan diluar aturan-aturan resmi.
Sedangkan Soekanto (2002,79-80) mengklasifikasikan institusi Informal
di masyarakat seperti berikut :
Pertama, Dari sudut perkembangannya Cresive Institutions dan Enacted
Institutions. Creseive Institutions yaitu institusi masyarakat informal yang dengan
sendirinya tumbuh melalui adat istiadat masyarakat. Enacted Institutions
merupakan institusi yang sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu
tetapi masih tetap didasarkan ppada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.
Kedua, Dari sudut sistem nilai yang diterima masyarakat seperti Basic Institutions
dan Subsidiary Institutions. Basic Institutions adalah lembaga informal yang
penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat.
Sedangkan Subsidiary Institutions adalah institusi informal yang cenderung
mengatur kegiatan yang dianggap kurang penting bagi masyarakat.
14
Ketiga, Dari sudut penerimaan masyarakat seperti Approved institutions dan
Sanctioned institutions . Approved Institutions adalah institusi informal yang
keberadaanya diterima oleh masyarakat. Sanctioned Institutions adalah intitusi
informal yang keberadaanya ditolak oleh masyarakat.
Keempat, Dari sudut factor penyebaran institusi informal yaitu General
Institutions dan Restricted Institutions.
Kelima, Dari sudut fungsinya dibedakan menjadi Operative Institutions dan
Regulative Institutions. Operative institutions adalah institusi yang menghimpun
pola-pola atau cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan institusi yang
bersangkutan. Regulative Institutions adalah institusi informal yang bertujuan
untuk mengawasi tata kelakuan yang tidak menjadi bagian dari institusi itu
sendiri.
Munculnya institusi informal bukan tanpa alasan, beberapa alasan tersebut
seperti tidak berjalan efektifnya institusi formal. Selain itu bagi actor yang
menginginkan sesuatu tetapi tidak dapat meraih aksesnya, dapat menggunakan
institusi informal sebagai jalan keluarnya. Mekanisme institusi informal sendiri
berbeda dengan institusi formal. Namun berbeda dengan institusi informal, karena
bisa diciptakan dan dikomunikasikan di luar public channels bahkan tanpa
sepengetahuan public. Levitsky mengungkapkan proses kemunculan institusi
informal dibedakan menjadi dua jenis: Pertama, Institusi informal yang reaktif,
dimana ia tumbuh dan berkembang disebabkan struktur institusi formal atau
tumbuh secara independen dari struktur itu sendiri atau bisa disebut tumbuh diluar
struktur. Kedua, Institusi informal yang sengaja diciptakan. Dalam proses kedua
15
ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu bottom up dan top down.Bottom up adalah
suatu proses berasal dari koordinasi sejumlah besar aktor yang menegakkan
aturan, interaksi atau proses tawar menawar. Sedangkan Top down, merupakan
strategi yang didesain oleh sejumlah kecil elit, sehingga institusi informal
merupakan produk , dari desentralisasi atau koordinasi , elite creating , dan proses
historis yang menempatkan actor, kepentingan dan mekanisme sebagai peraturan
yang diciptakan dan dikomunikasikan (Helmke dan Levitsky 2004,h6-7)
I.4.2 Relasi Institusi Informal dengan negara menurut Steven Levitsky
Ada beberapa tipe yang dapat muncul dari institusi informal terhadap
institusi formal, yaitu:
1) Complementary informal institutions: adalah suatu tipe yang bersifat melengkapi
peran institusi formal. Tipe komplementer dapat berfungsi sebagai fondasi bagi
institusi formal. Selain itu juga dapat menciptakan atau memperkuat dari
kebijakan institusi formal.
2) Accomodating informal institutions: Tipe ini dapat disebut tipe mengakomodasi.
Dalam tipe ini kapasitas negara masih berjalan efektif. Namun institusi komunitas
dapat menciptakan peraturan yang bersumber dari norma/ nilai komunitas untuk
menegatur perilaku anggota atau warganya dengan secara tidak langsung merubah
nilai substansi dari perilaku formal.
3) Competing informal institutions atau bersaing dengan institusi formal. Persaingan
ini muncul karena institusi formal tidak berjalan efektif karena aturan dari institusi
16
formal banyak pelanggaran dan tidak ditegakkan. Relasi yang terjalin antara
institusi informal dan institusi formal bersifat jauh.
4) Substitutive Informal Institutions atau menggantikan institusi formal. Dalam
tipologi ini institusi formal tidak berjalan efektif, ditandai dengan melemahnya
kepatuhan terhadap negara. Tujuan institusi komunitas yang menggantikan
institusi formal negara agar mampu merespon dan mengarahkan kepentingan
bersama, karena institusi formal dianggap gagal menciptakan kepentingan
komunitas.
(Helmke dan Levitsky 2004,h11-14)
Keberadaan institusi informal yang menjalin relasi dengan pemerintah
selaku institusi formal sangat mendukung iklim kontrol yang efektif terhadap
kinerja pemerintah. Institusi informal banyak bergerak dalam bidang social
kemasyarakatan, banyak pula yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah
pengembangan sumber daya manusia, budaya maupun lingkungan hidup. Dengan
peningkatan partisipasi masyarakat dalam bentuk institusi informal sekaligus
dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan politik.
(Dwiyanto2002,h136-137)
I.4.3Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat memiliki makna harfiah membuat berdaya atau
dapat diartikan untuk meningkatan kemandirian masyarakat. Menurut Ife dalam
buku Pekerjaan social dan Kesejahteraan social hal 270 Pemberdayaan merupakan
suatu cara bagi kelompok kurang beruntung untuk meningkatkan kekuasaan. Dua
17
kata kunci dalam pengertian pemberdayaan tersebut adalah kekuasaan dan
kekurang beruntungan. Kekuasaan sendiri dapat diartikan sebagai kondisi
ketimpangan relasi antar masyarakat dimana terdapat suatu kelompok yang
mendominasi kelompok lainnya, efek yang terjadi adalah munculnya kompetisi
yang tidak menguntungkan bagi kelompok tertentu. Kekurangberuntungan adalah
kondisi suatu kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan yang lemah.
Contoh dari kelompok masyarakat kurang beruntung seperti kelompok yang rugi
secara structural (ketimpangan kelas,dll), merugi karena factor ekonomi (cacat,
usia tua,dll) dan rugi karena factor personal (krisis identitas,dll). (Miftachul Huda
2009,h 273)
Pemberdayaan menurut Kartasasmita(1996:145) adalah upaya untuk
membangun sumber daya dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan
kesadaran potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkkannya. Tujuan
penberdayaan secara garis besar bukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan materi
melainkan juga memberikan arahan agar dapat menganalisis keadaanya sendiri
serta mengembangkan potensi setiap orang agar dapat mengembangkan
kehidupannya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dan meningkatkan kemandirian
masyarakat atau suatu kelompok tertentu proses merupakan suatu hal yang
penting. Dalam penanganan Anak Jalanan, gelandangan dan pengemis dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu penanganan terorganisir dan penanganan tidak
terorganisir. Penanganan terorganisir adalah penanganan yang dilakukan oleh
pemerintah secara berkelanjutan meliputi dua system yaitu system panti sosial dan
nonpanti sosial. Dalam system non panti, peranan masyarakat yang besar. Dalam
18
system ini rumah singgah yang dikelola masyarakat dapat menjadi contoh system
non panti. Dalam penanganan tidak terorganisir adalah bentuk kegiatan yang tidak
direncanakan misalnya adalah bakti sosial atau pemberian sedekah. (Mardian
Wibowo2012,h 124-125)
Untuk meningkatkan kualitas hidup kelompok sasaran harus disesuaikan
dengan dinamika lingkungannya. Banyak hal yang mempengaruhi seperti modal
sosial, sumber daya manusia, sampai persoalan yang berbeda-beda, berbagai hal
tersebutlah yang menyebabkan proses pemberdayaan oleh tiap actor berbeda-
beda. Pada dasarnya ada beberapa proses yang mengganggu pemberdayaan
masyarakat. Pertama, pemberdayaan yang mengutamakan proses instan. Dengan
kebiasaan memberikan bantuan langsung kepada kelompok sasaran untuk
menyelesaikan masalah, maka bisa jadi selamanya kelompok sasaran tersebut
tidak akan mampu mewujudkan kemandirian karena kelompok sasaran lebih
senang untuk mencari bantuan dari pada menyelesaikan masalah secara mandiri.
Kedua, sikap yang hedonis. Kelompok sasaran yang terlalu dimanjakan justru
rentan menjadi tidak berdaya. Masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang
mampu menghadapi berbagai dinamika dan perubahan sosial.
Upaya yang dapat dilakukan dalam proses pemberdayaan adalah dengan
menciptakan suasana yang memungkinkan untuk masyarakat dapat berkembang,
memberikan bantuan seperti dana, pelatihan, sarana prasarana, dan juga dengan
cara melindungi kelompok yang lemah atau kurang beruntung dari persaingan
tidak seimbang dengan cara membentuk kemitraan (Sumodiningrat 1999,h254-
255). Memberdayakan masyarakat kurang beruntung bukan hanya kewajiban dari
19
pemerintah, namun juga setiap masyarakat. Masyarakat juga memiliki peran
penting sebagai pelaku social-ekonomi untuk ikut serta dalam proses
pemberdayaan.
Unsur yang paling penting dalam pemberdayaan adalah penguatan dan
pengakuan posisi seseorang terhadap hak dan kewajiban yang dimiliki. Dalam hal
ini seseorang dituntut untuk menyadari dan memperjuangkan apa yang menjadi
hak dan kewajibannya, walaupun proses tersebut membutuhkan bantuan pihak
lain untuk mendampingi, poin penting dalam pemberdayaan masyarakat adalah
mengutamakan usaha sendiri. Untuk lebih memperlancar proses pemberdayaan
ada beberapa hal yang harus dibangun dalam setiap kegiatan pemberdayaan, yaitu:
pertemanan, kesetaraan dan partisipasi. Dengan menganggap seseorang atau suatu
kelompok tertentu sebagai teman yang setara mampu menumbuhkan kepercayaan
diri dan kepercayaan terhadap pendamping. Sedangkan pendekatan partisipatif
sendiri membuka peluang bagi kelompok sasaran untuk menentukan sendiri
kegiatan yang akan dilakukan. Dengan keadaan yang demikian akan memudahkan
bagi kelompok sasaran dan pendamping untuk bekerja sama untuk memudahkan
terlaksananya kegiatan pemberdayaan.(Tjandraningsih1996,h5-6)
I.4.4.Strategi pemberdayaan
Masalah ekonomi merupakan salah satu permasalahan utama yang
menyebabkan diperlukannya pemberdayaan, namun menitikberatkan
pemberdayaan pada aspek ekonomi melalui berbagai program tidak serta merta
menyelesaikan masalah. Diperlukan suatu strategi khusus agar kelompok sasaran
20
dalam hal ini anak jalanan, gelandangan dan pengemis dapat mengembangkan
potensi mereka secara mandiri. Strategi tersebut diarahkan untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat pada umumnya dan kelompok sasaran pada khususnya.
Menurut Ife dalam buku Pekerjaan social dan Kesejahteraan social hal 274-276
kurang lebih ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk memberdayakan
masyarakat, yaitu perencanaan dan kebijakan, aksi social dan politik, peningkatan
kesadaran dan pendidikan. Pemberdayaan melalui perencanaan dan kebijakan
sering kali dilakukan oleh institusi formal. Dengan melakukan perubahan struktur
dan institusi akan memudahkan masyarakat mengakses berbagai hal untuk
meningkatan taraf hidup, contohnya kebijakan upah minimum regional yang
tinggi. Aksi social dan politik dengan merubah system masyarakat partisipatif,
sehingga memungkinkan lebih besarnya keterlibatan masyarakat dalam proses
pemberdayaan. Sedangkan strategi yang terakhir memerlukan kesadaran
kelompok sasaran itu sendiri. Karena banyak dari kelompok sasaran justru tidak
menyadari mengenai hak dan kewajibannya. Terlebih lagi kurangnya
keterampilan dan strata pendidikan yang rendah semakin merujuk kelompok
sasaran ke dalam penindasan secara tidak langsung. Untuk itu diperlukan strategi
peningkatan kesadaran dan pendidikan.
I.5. DEFINISI KONSEPTUAL
a. Relasi institusi informal dengan institusi formal: Hubungan yang terjalin
antara institusi informal (Lembaga social Hafara)dan institusi formal (Pemerintah
kabupaten Bantul) dengan didasarkan pada tujuan tertentu. Pemerintah memiliki
21
kewajiban untuk mengatasi suatu masalah, namun tetap saja pemerintah memiliki
suatu keterbatasan kapasitas mengingat banyaknya cangkupan permasalahan yang
harus diatasi oleh pemerintah. Hal ini berbeda dengan institusi informal dimana
mereka terfokus pada suatu permasalahan tertentu sehingga dapat menjalankan
fungsinya secara lebih maksimal, walaupun tetap terdapat berbagai kendala yang
harus diatasi.
b. Pemberdayaan masyarakat: suatu proses sosial untuk mendorong,
memotivasi dan membangkitkan kesadaran potensi individu atau kelompok agar
dapat memperbaiki keadaanya dan meningkatkan taraf kehidupan secara mandiri.
I.6. DEFINISI OPERASIONAL
Masalah mengenai anak jalanan, gelandangan dan pengemis menjadi
permasalahan yang selalu ada hampir di seluruh kota besar di Indonesia.
Pemerintah memiliki beragam kebijakan dan tindakan untuk mengatasi hal
tersebut contohnya dengan pemberdayaan. Namun kebijakan tersebut tidak cukup
untuk mengatasi permasalahan atau mengurangi keberadaan anak jalanan,
gelandangan dan pengemis. Bukan hanya pemerintah saja yang memiliki
perhatian terhadap masalah tersebut, banyak lembaga informal yang juga
memiliki perhatian terhadap masalah tersebut dengan menyiapkan berbagai
program pemberdayaan untuk kelompok anak jalanan, gelandangan dan
pengemis. Antara institusi informal dan formal sama-sama memiliki pandangan
dan cara tersendiri dalam melihat dan mengatasi permasalahan anak jalanan,
gelandangan dan pengemis. Menjadi menarik ketika kedua institusi tersebut saling
22
berhubungan. Karena pola relasi yang terjalin bukan hanya dapat bersifat
membantu seperti melengkapi, namun juga dapat bersifat menggantikan,
mengakomodasi ataupun bersaing. Untuk menghindari perbedaan interpretasi
dalam konteks penelitian ini, maka akan diberikan batasan dari masing-masing
variabel teori dalam penelitian ini. Definisi operasional dari masing-masing
variabel adalah sebagai berikut:
1.6.1 Relasi institusi informal dan institusi formal
1) Proses kemunculan institusi informal dibedakan menjadi dua jenis yaitu
Institusi informal yang reaktif dan Institusi informal yang sengaja diciptakan.
2) Kerja sama negara dengan instiitusi informal
3) Antara Institusi Formal dengan Informal saling mempengaruh menghasilkan
tipe pola relasi yang dapat muncul dari institusi informal terhadap institusi
formal seperti complementary, substitusi, accommodating dan competing.
I.6.2 Pemberdayaan kelompok anak jalanan, gelandangan dan pengemis
1) Dalam penanganan terorganisir anak Jalanan, gelandangan dan pengemis dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu dengan penanganan oleh pemerintah yang
biasanya menggunakan sistem panti sosial dan non panti yang dilakukan oleh
masyarakat sebagai sektor informal.
2) Tujuan pemberdayaan bukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan materi
melainkan juga memberikan arahan agar dapat menganalisis keadaanya sendiri
serta mengembangkan potensi untuk mengembangkan kehidupannya.
23
3) Kurang lebih ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk memberdayakan
masyarakat, yaitu: perencanaan dan kebijakan, aksi sosial dan politik,
peningkatan kesadaran dan pendidikan.
I.7. KERANGKA PEMIKIRAN
24
I.8. METODE PENELITIAN
1.8.1 Jenis Penelitian
Pada penelitian mengenai model relasi institusi ini menggunakan metode
penelitian kualitatif. Kualitatif peneliti rasa lebih sesuai untuk mengeksplorasi
bagaimana cara suatu institusi informal yaitu Lembaga Sosial Hafara berinteraksi
dengan Pemkab Bantul sebagai institusi formal untuk mengatasi masalah anak
jalanan, gelandangan dan pengemis. Metode penelitian yang akan digunakan
adalah dengan studi kasus. Metode tersebut dirasa cocok untuk menjelaskan
rumusan penelitian Bagaimana model relasi institusi antara Lembaga Sosial
Hafara dengan Pemerintah Kabupaten Bantul dalam penanganan anak jalanan,
gelandangan dan pengemis? Penelitian ini juga bersifat deskriptif yang akan
mencoba melakukan eksplorasi mengenai latar belakang munculnya Lembaga
Sosial Hafara sebagai institusi informal.
1.8.2 Teknik Pengumpulan Data
Sumber penelitian yang akan dicari ada dua macam, yaitu sumber primer
dan sekunder. Sumber primer terkait dengan model relasi antara Lembaga Sosial
Hafara dengan Pemkab Bantul dalam mengatasi masalah anak jalanan,
gelandangan dan pengemis. sedangkan sumber sekunder dalam penelitian berisi
sejarah terbentuknya Lembaga social Hafara, dan cara pemberdayaan anak
jalanan, gelandangan dan pengemis.
25
Untuk mengumpulkan data primer tersebut melalui sumber wawancara
dengan aktor- aktor strategis terkait permasalahan tersebut, hal tersebut sebagai
metode utama dan studi dokumen sebagai sampingan. Wawancara yang akan
dilakukan diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu: (1)wawancara dengan
pengurus Lembaga Sosial Hafara mewakili institusi informal, (2)wawancara
dengan instansi pemerintah (Dinas Sosial Bantul, Dinas Sosial DIY, Satpol PP ),
selaku institusi formal.
Metode wawancara yang dilakukan adalah dengan cara in-depth interview
atau juga biasa disebut wawancara secara mendalam. Disini mencoba menggali
data-data melalui informan yang mengetahui atau terlibat langsung proses relasi
antara lembaga social hafara dengan instansi pemerintah dalam mengatasi
masalah anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Seperti yang sudah dijelaskan
diatas, wawancara tidak hanya dilakukan kepada Lembaga Sosial Hafara semata
namun juga melalui pemerintah . Tentu dalam wawancara, tidak dapat dilakukan
tanpa alat bantu wawancara. Alat bantu wawancara yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah pedoman pertanyaan wawancara.
Pengumpulan data sekunder sebagai bahan untuk memperkuat argumentasi,
disini akan berusaha memaparkan, mengumpulkan berbagai sumber seperti
dokumen-dokumen, berita media cetak, elektronik maupun internet. Metode
dokumentasi yang akan dilakukan adalah dengan mengumpulkan data-data diatas
untuk melengkapi data primer. Tujuan dari penggabungan data primer dan data
sekunder sendiri adalah untuk memperoleh informasi yang valid dan dapat
diambil kesimpulan dari kedua data tersebut.
26
1.8.3 Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data sendiri ada 4 proses utama yang akan dilewati
sebagai arahan peneliti untuk melakukan penelitian, yaitu dengan:
Pertama, Terjun ke lapangan dengan berbekal pada teori awal yang ditujukan
sebagai arahan. Beberapa yang akan dituju adalah kantor Lembaga social Hafara,
Pemkab Bantul, Dinas Sosial, Satpol pp.
Kedua, Mengumpulkan data-data, baik primer maupun sekunder baik melalui
wawancara dengan aktor- aktor strategis terkait kebijakan tersebut dan juga
berbagai sumber seperti dokumen-dokumen, berita media cetak, elektronik
maupun internet
Ketiga, Menafsirkan data-data yang kemudian dikaitkan dengan kerangka teori.
Keempat, Menarik kesimpulan dari penafsiran data-data.
I.9. SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini secara umum membahas mengenai model relasi institusi
antara Lembaga Sosial Hafara dengan Pemerintah Kabupaten Bantul dalam
penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Dengan judul Relasi
institusi antara Lembaga Sosial Hafara dengan Pemerintah Kabupaten Bantul
dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Disini penulis
menekankan pada Lembaga Sosial Hafara sebagai institusi informal dalam
mengatasi permasalahan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Penulisan
penelitian ini akan dibagi menjadi 5 subbab, yaitu:
27
Subbab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, kerangka
konseptual, dan metode penelitian sebagai bahan informasi awal yang akan
mengantarkan pada kesimpulan mengapa memilih topik tersebut. Kata kunci
penting dalam bab ini adalah model relasi institusi, dan pemberdayaan. Subbab
kedua membahas mengenai pemberdayaan yang dilakukan oleh Lembaga Sosial
Hafara sebagai institusi informal. Dalam subbab ketiga bentuk bentuk
pemberdayaan yang dilakukan oleh institusi formal dalam hal ini Dinas Sosial,
Satpol PP, Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan. Selain itu juga dibahas
mengenai kelemahan pemberdayaan oleh institusi formal. Subbab empat
menjelaskan relasi yang terjalin antara Lembaga social Hafara dengan Pemkab
Bantul, dan bentuk pemberdayaan yang dilakukan oleh kedua institusi tersebut.
Serta relasi kuasa yang terdapat dalam tubuh Hafara sehingga membentuk pola
relasi. Subbab lima atau terakhir adalah kesimpulan yang berisi penjelasan model
relasi institusi antara Lembaga Sosial Hafara dengan Pemerintah