26
6 II. LANDASAN TEORI A. Penelitian Terdahulu Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyaastuti (2013) dengan judul “Strategi Diseminasi Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di Kabupaten Temanggung” menunjukkan bahwa dalam diseminasi BUMP di Kabupaten Temanggung memiliki kekuatan utama dengan adanya kemauan untuk mandiri, kreatif, berbisnis dan maju dari petani, kelemahan utama dalam diseminasi BUMP di Kabupaten Temanggung adalah rendahnya kualitas SDM (paradigma dan orientasi usahatani masih subsisten), peluang utama dalam diseminasi BUMP di Kabupaten Temanggung adalah perkembangan teknologi yang semakin canggih dan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013, serta ancaman utama dalam diseminasi BUMP di Kabupaten Temanggung adalah terbatasnya jumlah jaringan komunikasi/internet dan agen media informasi di daerah perdesaan. Penelitian mengenai “Sikap Petani Terhadap Teknologi Pengendalian Hama Wereng Batang Cokelat Melalui Sekolah Lapang Pngendalian Hama Terpadu di Desa Kebonharjo Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klatenyang dilakukan oleh Nanang Adi Pamungkas (2013), menunjukkan bahwa hubungan antara sikap Petani dengan sikap terhadap teknologi pengendalian hama wereng batang cokelat melalui SLPHT hubungan signifikan arah negatif yaitu pendidikan non formal dan sangat signifikan kontak media massa. Darmawan Baskoro Wibisono (2011) melakukan penelitian dengan judul “Sikap Petani Terhadap Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (Puap) Di Kota Salatiga” Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan positif antara umur dan sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif antara pengalaman pribadi dan sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif antara pendidikan formal dan sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif antara pendidikan non formal dan sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif

II. LANDASAN TEORI A. Penelitian Terdahulu (2003), dapat dinyatakan sebagai kumpulan orang-orang dengan sadar berusaha memberikan sumbangsih mereka kearah pencapaian suatu ... Pemahaman

  • Upload
    vanphuc

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

6

II. LANDASAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyaastuti (2013) dengan judul

“Strategi Diseminasi Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di Kabupaten

Temanggung” menunjukkan bahwa dalam diseminasi BUMP di Kabupaten

Temanggung memiliki kekuatan utama dengan adanya kemauan untuk

mandiri, kreatif, berbisnis dan maju dari petani, kelemahan utama dalam

diseminasi BUMP di Kabupaten Temanggung adalah rendahnya kualitas

SDM (paradigma dan orientasi usahatani masih subsisten), peluang utama

dalam diseminasi BUMP di Kabupaten Temanggung adalah perkembangan

teknologi yang semakin canggih dan adanya Undang-undang Nomor 19

Tahun 2013, serta ancaman utama dalam diseminasi BUMP di Kabupaten

Temanggung adalah terbatasnya jumlah jaringan komunikasi/internet dan

agen media informasi di daerah perdesaan.

Penelitian mengenai “Sikap Petani Terhadap Teknologi Pengendalian

Hama Wereng Batang Cokelat Melalui Sekolah Lapang Pngendalian Hama

Terpadu di Desa Kebonharjo Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten”

yang dilakukan oleh Nanang Adi Pamungkas (2013), menunjukkan bahwa

hubungan antara sikap Petani dengan sikap terhadap teknologi pengendalian

hama wereng batang cokelat melalui SLPHT hubungan signifikan arah

negatif yaitu pendidikan non formal dan sangat signifikan kontak media

massa.

Darmawan Baskoro Wibisono (2011) melakukan penelitian dengan

judul “Sikap Petani Terhadap Program Pengembangan Usaha Agribisnis

Perdesaan (Puap) Di Kota Salatiga” Hasil penelitian menunjukkan bahwa

tidak ada hubungan positif antara umur dan sikap petani terhadap program

PUAP, ada hubungan positif antara pengalaman pribadi dan sikap petani

terhadap program PUAP, ada hubungan positif antara pendidikan formal dan

sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif antara pendidikan

non formal dan sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif

7

antara pengaruh orang lain yang dianggap penting dan sikap petani terhadap

program PUAP, ada hubungan positif antara media massa yang diakses petani

dan sikap petani terhadap program PUAP.

Tabel 1. Penelitian Terdahulu yang Terkait

No. Penelitian Terdahulu Persamaan Perbedaan

1. Lanjar Sugiarti 2010“Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Petani DenganTingkat Adopsi Budidaya Tanaman Semangka Hibrida Di Kabupaten Karanganyar Bekerjasama Dengan Pt. Tunas Agro Persada Semarang”

Menggunakan metode analisis data lebar interval dan rank kendall

Penelitian terdahulu menggunakan variabel terikat pada hubungan faktor sosial ekonomi petani dengantingkat adopsi budidaya tanaman semangka hibrida. Penelitian ini menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).

2. Eliek Prasetiawan 2013 “Sikap Petani Buah Naga (Hylocereus Polyrhizus) Terhadap Teknik Penyuluhan Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo”

Faktor-faktor pembentuk sikap dan menggunakan metode analisis data lebar interval

Penelitian terdahulu menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani buah naga terhadap teknik penyuluhan. Penelitian ini menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).

3. Dessy Suminta Uli S 2013 “Sikap Petani Terhadap Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) studi kasus: Desa Semanampang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara”

Faktor-faktor pembentuk sikap

Penelitian terdahulu menggunakan variabel terikat pada sikap petani terhadap perkumpulan petani pemakai air (p3a). Penelitian ini menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).

4. Albeta Sekar Toraldy 2013 “Analisis Preferensi Konsumen Terhadap Buah Pisang Keprok di Kota Surakarta”

Menggunakan metode analisis data rank kendall

Penelitian terdahulu menggunakan variabel terikat pada analisis preferensi konsumen terhadap buah pisang keprok. Penelitian ini menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).

Sumber: Data yang Diolah

8

B. Tinjauan Pustaka

1. Kelembagaan Agribisnis

Davis and Golberg, Sonka and Hunson, Farrel and Funk diacu

dalam Firdaus (2008), menyatakan bahwa “Agribusiness incluced all

operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies,

production on the farm, in the storage, processing and distribution of farm

commodities made from the trading (Wholesaler,retailers), consumers to

it, all non farm firms and institution serving them”. Dewasa ini pandangan

tentang agribisnis yang secara umum dianggap tepat sudah semakin luas.

Menurut pandangan ini, agribisnis mencakup semua kegiatan mulai dari

pengadaan sarana produksi pertanian (Farm Supplies) sampai dengan

tataniaga produk pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya.

Menurut Arsyad et al. (1985) dalam Firdaus (2008), yang dimaksud

dengan agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi

salah satu atau keseluruahan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil

dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas.

Pertanian dalam arti luas adalah kegiatan usaha yang menunjang kegitan

pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian.

Pengertian agribisnis menurut suku katanya berasal dari kata agri dan

bisnis. “agri adalah pertanian sedangkan bisnis adalah usaha yang

menghasilkan uang, dengan demikian pengertian agribisnis adalah setiap

usaha yang berkaitan dengan kegiatan produksi pertanian, yang meliputi

pengusahaan input pertanian dan atau pengusahaan produksi itu sendiri

ataupun juga pengusahaan pengelolaan hasil pertanian”. “Sistem agribisnis

adalah suatu rangkaian kegiatan yang terdiri dari empat sub-sistem yang

saling mempengaruhi yaitu sub-sistem penyedia input pertanian, sub-

sistem produksi pertanian, subsistem pengolahan hasil, dan sub-sistem

pemasaran hasil pertanian termasuk produk-produk turunannya, yang

seluruh kinerjanya dipengaruhi oleh koordinator agribisnis”. (Hadi P 1992,

diacu dalam Krisnamurthi B, et al 2010)

9

Pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua pengertian, yaitu :

kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of game) dalam interaksi

personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki

hierarkhi (Hayami dan Kikuchi 1981 dalam Baga L et al 2009).

Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan

baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata

hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak serta

tanggungjawabnya. Kelembagaan sebagai suatu organisasi menurut

Winardi (2003), dapat dinyatakan sebagai kumpulan orang-orang dengan

sadar berusaha memberikan sumbangsih mereka kearah pencapaian suatu

tujuan umum. Kelembagaan sebagai suatu organisasi biasanya menunjuk

pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintah.

Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan

peningkatan pada faktor-faktor: teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya

manusia, dan kelembagaan (Uphoff, 1986; Johnson (1985) dalam

Pakpahan, 1989). Faktor-faktor tersebut merupakan syarat kecukupan

(sufficient condition) untuk mencapai performance pembangunan yang

dikehendaki. Artinya, apabila satu atau lebih dari faktor tersebut tidak

tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan, maka

tujuan untuk mencapai performance tertentu yang dikehendaki tidak akan

dapat dicapai.

Pemahaman terhadap konsep lembaga atau kelembagaan (institusi)

sejauh ini lebih terpaku pada organisasi formail maupun organisasi

nonformal. Konvensi Uphoff (1992) dan Fowlar (1992) menyatakan

bahwa suatu lembaga dapat berbentuk organisasi seperti pemerintah, bank,

partai, perusahaan, dan lain-lain. Institusi dapat juga berupa tata peraturan

seperti hokum atau undang-undang, sistem perpajakan, tata kesopanan,

adat-istiadat, dan lain-lain.

Kelembagaan petani yang dimaksud di sini adalah lembaga petani

yang berada pada kawasan lokalitas (local institution), yang berupa

organisasi keanggotaan (membership organization) atau kerjasama

10

(cooperatives) yaitu petani-petani yang tergabung dalam kelompok

kerjasama (Uphoff, 1986). Kelembagaan ini meliputi pengertian yang luas,

yaitu selain mencakup pengertian organisasi petani, juga ‘aturan main’

(role of the game) atau aturan perilaku yang menentukan pola-pola

tindakan dan hubungan sosial, termasuk juga kesatuan sosial-kesatuan

sosial yang merupakan wujud kongkrit dari lembaga itu. Kelembagaan

petani dibentuk pada dasarnya mempunyai beberapa peran, yaitu: (a) tugas

dalam organisasi (interorganizational task) untuk memediasi masyarakat

dan negara, (b) tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup mobilisasi

sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, informasi) dan

pengelolaannya dalam pencapaian tujuan masyarakat, (c) tugas pelayanan

(service tasks) mungkin mencakup permintaan pelayanan yang

menggambarkan tujuan pembangunan atau koordinasi permintaan

masyarakat lokal, dan (d) tugas antar organisasi (extra-organizational

task) memerlukan adanya permintaan lokal terhadap birokrasi atau

organisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agen-agen luar

(Esman dan Uphoff dalam Garkovich, 1989).

Kelembagaan petani merupakan lembaga yang ditumbuh

kembangkan dari, oleh dan untuk petani guna memperkuat kerjasama

dalam memperjuangankan kepentingan petani dalam bentuk kelompoktani

(poktan) dan gabungan kelomptani (gapoktan). Selain itu, kelompoktani

dengan lembagan petani mempunyai peran penting dan strategis dalam

pertumbuhan ekonomi di wilayah pedesaan. Sesuai dengan Permentan No.

82 Tahun 2013 tentang pembinaan poktan dan gapoktan bahwa

kelompoktani (poktan) adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang

dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan

social, ekonomi dan sumberdaya; kesamaan komoditas dan keakraban

untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Sedangkan

untuk gabungan kelompoktani (gapoktan) adalah kumpulan beberapa

kelompoktani yang tergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala

ekonomi dan efisiensi usaha (Syamsul, 2014).

11

Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan

petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial

atau social interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertanian juga

memiliki titik strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem

agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan

perlu diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme

dan posisi tawar petani (kelompok tani). Saat ini potret petani dan

kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang

diharapkan (Suradisastra, 2008).

Peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan

sektor pertanian di Indonesia terutama terlihat dalam kegiatan pertanian

tanaman pangan. Di tingkat makro nasional, peran lembaga pembangunan

pertanian sangat menonjol dalam program dan proyek intensifikasi dan

peningkatan produksi pangan. Kegiatan pembangunan pertanian

dituangkan dalam bentuk program dan proyek dengan membangun

kelembagaan koersif (kelembagaan yang dipaksakan), seperti Padi Sentra,

Demonstrasi Massal (Demas), Bimbingan Massal (Bimas), Bimas

Gotong Royong, Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa

(KUD) dan lain-lain. Kondisi di atas menunjukkan signifikansi

keberdayaan kelembagaan dalam akselerasi pembangunan sektor

pertanian. Hal ini sejalan dengan hasil berbagai pengamatan yang

menyimpulkan bahwa bila inisiatif pembangunan pertanian dilaksanakan

oleh suatu kelembagaan atau organisasi, di mana individu individu yang

memiliki jiwa berorganisasi menggabungkan pengetahuannya dalam tahap

perencanaan dan implementasi inisiatif tersebut maka peluang

keberhasilan pembangunan pertanian menjadi semakin besar (De los

Reyes dan Jopillo 1986;USAID 1987; Kottak 1991; Uphoff 1992a; Cernea

1993; Bunch dan Lopez 1994 dalam Suradisastra, 2011).

12

2. Kebijakan Pertanian

Ealau dan Prewitt dalam Suharto (1997), memberikan pengertian

kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh

perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun

yang meltaatinya (yang terkena kebijakan itu). Menurut Muhadjir (2003),

terdapat empat konsep dalam bentuk paradigma kebijakan yaitu (l)

Paradigma Social Welfare Policy, (2) Paradigma Public Policy, (3)

Paradigma Social Policy. dan (4) Paradigma Desentralisasi dan Otonomi.

Proses kebijakan diwarnai beberapa hal yaitu meliputi sebagai berikut: (l)

Interes dan keberanian dari pembuat atau penentu kebijakan, (2) Konteks

professional, (3) Batas kewenangan, yaitu kewenangan organisasi, dan

kewenangan akademik, (4) Kekuatan social, dan (5) Kecenderungan

kebijakan publik

Sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dan strategis

dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut antara lain adalah

meningkatkan penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja,

perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi

dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi

pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Pertanian diharapkan

mampu melayani kebutuhan pangan untuk penduduk yang besar dan terus

meningkat. Sejalan dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu tujuan pembangunan

pertanian diarahkan untuk meningkatkan sebesar-besarnya kesejahteraan

petani, yang merupakan pelaku utama pembangunan pertanian. Selama ini

petani telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan

pertanian dan pembangunan ekonomi perdesaan, terutama peran mereka

sebagai penyedia pangan nasional dan bahan baku industri pertanian. Oleh

karena itu, perlindungan dan pemberdayaan petani merupakan agenda

penting yang harus dilakukan. Berhubungan dengan adanya kebijakan

terutama kaitannya dengan pertanian maka UU No. 19 tahun 2013 tentang

13

Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) merupakan tonggak penting

dalam pengorganisasian petani.

Dalam UU ini dicantumkan garis kebijakan yang jelas dan tegas.

Pada Pasal 71 tertulis “Petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif

dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat

(1)”. Organisasi dimaksud dalam UU ini disebut dengan lembaga atau

kelembagaan terdiri atas empat bentuk yaitu Kelompok Tani, Gabungan

Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas

Pertanian Nasional. Selain yang disebut dengan jelas tersebut, untuk

bentuk organisasi yang lebih bebas dikelompokkan ke dalam istilah

Kelembagaan Ekonomi Petani yang dimaknai sebagai “lembaga yang

melaksanakan kegiatan Usaha Tani yang dibentuk oleh, dari, dan untuk

Petani, guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi Usaha Tani, baik

yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”(Pasal 1).

Dalam konteks ini, maka bisa berupa koperasi, baik koperasi primer

maupun sekunder, serta juga badan usaha lainnya. Sangat dimungkinkan

pula jika petani ingin membentuk Perseroan Terbatas (PT) atau pun CV

(commanditaire vennootschap) atau sering disebut dengan Persekutuan

Komanditer. Organisasi usaha yang tidak berbadan hukum pun semestinya

juga menjadi perhatian pemerintah, sesuai dengan pemaknaan pada pasal 1

UU ini. Untuk penjabaran lebih jauh khusus untuk kelompok tani dan

Gapoktan telah dikeluarkan kebijakan terbaru yaitu Permentan No.

82/Permentan/Ot.140/8/2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani

dan Gabungan Kelompok Tani.

Disebutkan bahwa tujuan lahirnya pedoman ini adalah untuk: (1)

meningkatkan jumlah kelompok tani dan Gapoktan, (2) meningkatkan

kemampuan kelompok tani dan Gapoktan dalam menjalankan fungsinya,

dan (3) mendorong kelompok tani dan Gapoktan meningkatkan

kapasitasnya menjadi kelembagaan ekonomi petani. Jadi, dalam hal

berorganisasi, UU No. 19 tahun 2013 hanya mengakui lima jenis

14

organisasi, yaitu kelompok tani, Gapoktan, asosiasi komoditas, dewan

komoditas, dan kelembagaan ekonomi petani berupa BUMP. “Kelompok

Tani” adalah “kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar

kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi,

sumber daya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk meningkatkan

serta mengembangkan usaha anggota”, sedangkan, “Gabungan Kelompok

Tani” adalah “kumpulan beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan

bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha”

(Litbang, 2014).

3. Badan Usaha Milik Petani (BUMP)

Pembangunan pertanian adalah pembangunan sektor pertanian atau

pembangunan usahatani, yang selalu mengacu kepada selalu tercapainya

kenaikan produktivitas dan penerimaan usahatani untuk jangka waktu yang

tidak terbatas, secara berkelanjutan. Pembangunan pertanian memerlukan

turutnya campur tangan manusia (petani). Pembangunan pertanian sebagai

sub-sistem pembangunan ekonomi nasional, harus selalu memperhatikan

pautannya (linkage) dengan pembangunan ekonomi dalam arti yang

seluas-luasnya. Pembangunan pertanian sebagai bagian dari upaya

pembangunan wilayah seutuhunya, harus senantiasa memperhatikan

potensi wilayah yang bersangkutan, baik untuk kepentingan pembangunan

pertanian itu sendiri, maupun untuk kepentingan pembangunan wilayah

secara keseluruhan (Mardikanto, 2007).

Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan pertanian adalah

tercapainya peningkatan pendapatan masyarakat (petani) yang hidup di

pedesaan. Dengan adanya kenaikan pendapatan itu, jumlah dan ragam

serta mutu konsumsi masyarakat terus bertambah, baik konsumsi bahan

pokok (khususnya pangan) maupun konsumsi terhadap barang-barang dan

jasa yang dihasilkan oleh sektor non pertanian. Tetapi, kenyataan juga

menunjukkan bahwa, keberhasilan pembangunan pertanian tidak selalu

dapat menciptakan perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja,

terutama bagi angkatan kerja baru di pedesaan. Oleh sebab itu,

15

keberhasilan pembangunan pertanian tidak cukup dijadikan andalan bagi

pertumbuhan ekonomi nasional. Berkaitan dengan itu, diperlukan

pertumbuhan sektor-sektor lain yang memerlukan kebutuhan modal (untuk

investasi maupun modal kerja), kebutuhan tenaga kerja (yang murah),

serta tersedianya bahan mentah dan bahan baku yang dihasilkan oleh

sektor pertanian (Mardikanto, 2009).

Pertanian berkelanjutan adalah suatu pendekatan sistem yang

memahami keberlanjutan secara mutlak. Sistem ini memahaminya dari

sudut pandang yang luas, dari sudut pertanian individual, kepada

ekosistem lokal, dan masyarakat yang dipengaruhi oleh sistem pertanian,

baik lokal maupun global. Pendekatan sistem tersebut, memberikan kita

piranti untuk menggali interkoneksi antara pertanian dan aspek-aspek lain

dari lingkungan kita (SAREP, 1998).

Pertanian berkelanjutan mempertahankan keragaman hayati,

memelihara kesuburan tanah dan kemurnian air, melindungi dan

memperbaiki sifat-sifat kimia, fisika, dan kualitas biologis tanah, mendaur

ulang sumberdaya alam dan menghemat energi. Pertanian berkelanjutan

memproduksi bentuk-bentuk pangan bermutu tinggi, serat-seratan dan

obat-obatan yang beragam. Pertanian berkelanjutan menggunakan

sumbedaya yang terbarukan yang tersedia, teknologi tepat guna dan dapat

diterima, serta minimasi penggunaan input eksternal dan harus dibeli,

sehingga meningkatkan kebebasan lokal dan keswadayaan serta menjamin

sumber pendapatan yang mantab bagi petani, keluarga, dan petani kecil

maupun masyarakat pedesaan. Pertanian berkelanjutan lebih banyak

melibatkan masyarakat untuk tinggal di lahannya, menguatkan masyarakat

pedesaan dan memadukan manusia dengan lingkungan tempat hidupnya

(Mardikanto, 2009).

Badan Usaha Milik Petani (BUMP) diartikan sebagai badan usaha

yang dibentuk, dimiliki, dan dikelola oleh petani, dengan tujuan untuk

memperbaiki mutu budidaya dan pengelolaan usahatani demi terwujudnya

peningkatan produktifitas, nilai-tambah produk, dan perbaikan pendapatan

16

usahatani, perbaikan daya tawar dan kemampuan membangun kemitraan

yang sinergis, maju, inovatif dan berkelanjutan. Efisiensi pengembangan

BUMP tersebut mencakup:

a. BUMP dibentuk oleh inisiatif (wakil) petani untuk membangun

kelembagaan petani yang benar-benar mampu melayani

kebutuhan petani di semua sub-sistem kegiatan agrobisnis.

b. BUMP dimiliki oleh petani, wakil (yang diberi mandat) oleh

kelompok-tani/gapoktan dan atau pribadi-pribadi yang

memiliki kompetensi dan atau komiymen untuk melakukan

pemberdayaan (masyarakat) petani.

c. Lingkup BUMP pada awalnya terpusat pada semua bentuk

layanan kepada petani pada keseluruhan sub-sistem kegiatan

agrobisnis.

d. BUMP dikelola oleh pemilik/pemegang saham dan tenaga-

tenaga professional yang dipilih dan ditetapkan oleh

pemilik/pemegang saham.

e. BUMP merupakan lembaga yang mandiri, bebas dari campur

tangan kepentingan (oknum aparat) pemerintah. Meskipun

demikian, seperti halnya dengan badan usaha pada umumnya,

BUMP selalu tunduk pada kebijakan pemerintah, utamanya

kebijakan pembangunan pertanian dan kebijakan pembangunan

ekonomi pedesaan (Mardikanto dan Waluyo, 2012).

4. Sikap

a. Pengertian Sikap

Terdapat berbagai macam pengertian sikap yang dijelaskan oleh

beberapa orang ahli. Menurut Allen dan Edgley (1980) secara historis,

istilah ‘sikap’ (attitude) digunakan pertama kali oleh Hebert Spencer di

tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental

seseorang. Di masa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering

dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik atau posisi tubuh

seseorang (Wringhtsman dan Deaux, 1981).

17

Tahun 1888 Lange menggunakan istilah sikap dalam bidang

eksperimen mengenai respons untuk menggambarkan kesiapan subjek

dalam menghadapi stimulus yang datang tiba-tiba. Oleh Lange,

kesiapan (set) yang terdapat dalam diri individu untuk memberikan

respons itu disebut aufgabe atau task attitude. Sehingga menurut istilah

Lange, sikap tidak hanya merupakan aspek mental semata melainkan

mencakup pula aspek respons fisik (Azwar, 1995).

Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran, dan

kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen

mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponen-

komponen sikap adalah pengetahuan, perasaan-perasaan, dan

kecenderungan untuk bertindak. Lebih mudahnya, sikap adalah

kecondongan evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang memiliki

konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadapan dengan objek

sikap (Van den Ban dan Hawkins, 1999).

Nilai (value) dan opini (opinion) atau pendapat sangat erat

berkaitan dengan sikap, bahkan kedua konsep tersebut seringkali

digunakan dalam definisi-definisi mengenai sikap. Sebenarnya ketiga

istilah tersebut tidak sama persis maknanya. Opini merupakan

pernyataan sikap yang sangat spesifik atau sikap dalam artian yang

lebih sempit. Opini terbentuk didasari oleh sikap yang sudah mapan

akan tetapi opini lebih bersifat situasional dan temporer. Nilai

merupakan disposisi yang lebih luas dan sifatnya lebih mendasar. Nilai

berakar lebih dalam dan karenanya lebih stabil dibandingkan sikap

individu. Nilai dianggap sebagai bagian dari kepribadian individu yang

dapat mewarnai kepribadian kelompok atau kepribadian bangsa. Nilai

bersifat lebih mendasar dan stabil sebagai bagian dari ciri kepribadian,

sikap bersifat evaluatif dan berakar pada nilai yang dianut dan terbentuk

dalam kaitannya dengan suatu objek, sedangkan opini merupakan sikap

yang lebih spesifik dan sangat situasional serta lebih mudah berubah

(Azwar, 1995).

18

Sikap adalah sesuatu yang bersifat sedikit langsung, yaitu

kecenderungan untuk melihat kepada sesuatu yang mungkin agak

spesifik dengan cara-cara tertentu. Sikap adalah suatu kesiapan untuk

menanggapi, suatu kerangka yang utuh untuk menetapkan keyakinan

atau pendapat yang khas. Sikap biasanya banyak disadari. Orang dapat

menyatakannya, meskipun di dalam banyak hal mereka mungkin

memilih untuk tidak melakukannya (Leavitt, 1986).

Sifat-sifat dasar sikap biasa dikaitkan dengan dua prinsip utama,

yaitu pertama tentang pengertian sikap itu sendiri, yakni sebuah sistem

penilaian yang relatif bertahan. Penilaian itu bisa positif atau negatif

yang berkaitan dengan kepercayaan, perasaan, atau emosi, dan

kecenderungan untuk bertindak terhadap objek. Kedua, ada perbedaan

yang diakibatkan oleh dampak sikap terhadap tindakan sosial, hal itu

bergantung dari karakteristik utama sikap. Sifat dasar sikap

mengandung tiga kriteria pokok, yakni subjek dan objek sikap, struktur

atau komponen sikap, dan karakteristik sikap (Liliweri, 1997).

b. Faktor Pembentuk Sikap

Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami

oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar

adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota

kelompok sosial. Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi

membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai obyek psikologis

yang dihadapinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan

sikap antara lain:

1) Pengalaman Pribadi

Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi

terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi

yang melibatkan emosi, penghayatan akan lebih mendalam dan lebih

lama berbekas. Lebih lanjut Mardikanto (1996) menyatakan bahwa

pengalaman dalam melakukan kegiatan bertani tercermin dari

19

kebiasaan-kebiasaan yang mereka (petani) terapkan dalam kegiatan

bertani dan merupakan hasil belajar dari pengalamannya.

2) Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting

Seseorang yang dianggap penting akan banyak

mempengaruhi pembentukan sikap. Diantara orang yang biasanya

dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang

berstatus sosial lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman

kerja, istri atau suami. Pada umumnya, individu cenderung untuk

memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang

dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh

keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik

dengan orang yang dianggap penting tersebut. Mardikanto (1996)

menyatakan bahwa tokoh-tokoh informal (tokoh keagamaan, tokoh

adat, politikus dan guru) merupakan tokoh yang dianggap

berpengaruh karena memiliki katau wibawa untuk menumbuhkan

opini publik dan yang dijadikan panutan oleh masyarakat setempat.

Orang lain yang dianggap penting adalah orang orang yang

kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah laku dan

opini kita, orang yang tidak ingin dikecewakan, dan yang berarti

khusus. Misalnya adalah orang tua, pacar, suami/isteri, teman dekat,

guru, pemimpin. Umumnya individu tersebut akan memiliki sikap

yang searah (konformis) dengan orang yang dianggap penting

(Rahayuningsih, 2008). Pilihan terhadap pengaruh dari luar itu

biasanya disesuaikan dengan motif dan sikap di dalam diri manusia,

terutana yang menjadi minat perhatiannya. Lingkungan yang terdekat

dengan kehidupan dengan kehidupan sehari-hari banyak memiliki

peranan (Ahmadi, 1999).

3) Pengaruh Kebudayaan

Setiap kelompok masyarakat punya tradisi dan kebudayaan

tersendiri, yang tentu saja berbeda satu sama lainnya. Kebudayaan-

kebudayaan yang lebih sempurna dari suatu masyarakat yang

20

nantinya akan dapat menjadi sebuah peradaban. Namun, walaupun

masing-masing mempunyai keunikan tersendiri, budaya terdiri dari

unsur-unsur dan mempunyai fungsi-fungsi tersendiri bagi

masyarakatnya (Psychologymania, 2011).

Sementara Malinowski (1994) yang terkenal sebagai salah

seorang pelopor teori fungsional dalam anthropologi, menyebut

unsur-unsur pokok kebudayaan adalah terdiri dari sistem norma yang

memungkinkan kerjasama antara para anggota masyarakat di dalam

upaya menguasai alam sekelilingnya, organisasi ekonomi, alat-alat

dan lembaga atau petugas pendidikan. Kebudayaan setiap bangsa

atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur

kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat

kesatuan.

Para ahli menunjuk pada adanya tujuh unsur kebudayaan

yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu:

a) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan,

alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transportasi,

dan sebagainya).

b) Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian,

peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).

c) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan organisasi politik,

sistem hukum, sistem perkawinan).

d) Bahasa (lisan maupun tertulis).

e) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya).

f) Sistem pengetahuan dan pendidikan.

g) Religi (sistem kepercayaan).

(Psychologymania, 2011)

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai

pengaruh besar terhadap pembentukan sikap seseorang. Tanpa

disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita

terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap

21

anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pula yang memberi

corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota

kelompok masyarakat asuhannya. Hanya kepribadian individu yang

telah mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominansi

kebudayaan dalam pembentukan sikap individual (Azwar, 1995).

4) Kosmopolitan

Secara sosial, Nas dalam Khairuddin (1992) menyatakan

bahwa masyarakat kota bersifat kosmopolitan. Arti kosmopolitan

menurut Departemen Kehutanan (1996) adalah tingkat hubungannya

dengan ”dunia luar” diluar sistem sosialnya sendiri. Dimana

kosmopolitnes dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang

dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Bagi warga yang

kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung lebih cepat. Tetapi

bagi yang ”localite” (tertutup, terkukung di dalam sistem sosialnya

sendiri), proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban

karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih baik

seperti yang telah dinikmati oleh orang-orang lain di luar system

sosialnya.

Menurut Soekartawi (1988) bahwa, masyarakat yang lebih

modern akan relatif lebih cepat melaksanakan adopsi inovasi bila

dibandingkan dengan masyarakat yang tradisional. Disamping itu,

masyarakat dengan individu-individu yang kosmopolitas akan relatif

lebih cepat melakukan adopsi inovasi daripada masyarakat yang

bersifat lokalitas.

5) Lembaga Pendidikan

Sistem pendidikan, yakni sekolah adalah lembaga sosial yang

turut menyumbang dalam proses sosialisasi individu agar menjadi

anggota masyarakat seperti yang diharapkan. Sekolah selalu saling

berhubungan dengan masyarakat. Melalui pendidikan terbentuklah

kepribadian seseorang. Boleh dikatakan hampir seluruh kelakukan

individu bertalian dengan atau dipengaruhi oleh orang lain. Maka

22

karena itu kepribadian pada hakikatnya gejala sosial (Nasution,

2004). Lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai

pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya

meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.

Hal ini dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat

menentukan sikap kepercayaan maka pada gilirannya kemudian

konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu

terhadap sesuatu hal. Seperti diketahui, lembaga pendidikan sifatnya

bermacammacam diantaranya bersifat formal, informal dan non

formal. Pendidikan formal, dapat dilihat dari pendidikan yang

pernah dialami (dalam hal ini petani) melalui sekolah-sekolah, dari

jenjang tertinggi dari suatu tingkatan pendidikan formal yang

tersedia (Mardikanto, 1993).

5. Petani

Terdapat dua kata dalam bahasa Inggris berkenaan dengan “petani”

yang memiliki konotasi dan atribut yang sangat berbeda, yaitu “peasant”

dan “farmer”. Secara mudahnya, “peasant” adalah gambaran dari petani

yang subsisten, sedangkan “farmer” adalah petani modern yang

berusahatani dengan menerapkan teknologi modern serta memiliki jiwa

bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis. Upaya merubah petani dari

karakter peasant menjadi farmer itulah hakekat dari pembangunan atau

modernisasi. Peasant adalah suatu kelas petani yang merupakan petani

kecil, penyewa (tenants), penyakap (sharecroppers), dan buruh tani.

Meskipun berada pada level bawah, sesungguhnya mereka lah yang

menggerakkan pertanian. Istilah peasant misalnya digunakan untuk

menamai revolusi petani (peasant revolt) yang terjadi dahulu di Eropa.

Istilah “peasant revolt” juga digunakan dalam arti yang luas, yaitu

sebagai seluruh bentuk pelawanan yang datang dari petani

(Syahyuti, 2012).

Petani atau orang yang sebagai “manajer” mempunyai kewajiban

untuk mengambil keputusan, yang menguasai dan yang mengatur

23

penggunaan sumber-sumber produktif yang ada di dalam usahataninya

secara efektif, sehingga dapat menghasilkan benda dan pendapatan seperti

yang telah direncanakan. Di samping sebagai manajer, petani juga

merupakan “juru-tani”, yang harus mempunyai pengetahuan dan

ketrampilan di dalam bidang teknik pertanian, sehingga akan mampu

untuk melaksanakan pengolahan lahan, pemeliharaan tanaman,

pengambilan dan pengolahan hasil, serta penyimpanan dengan sebaik-

baiknya (Mardikanto, 2007).

Petani sebagai orang yang menjalankan usahataninya mempunyai

peran yang jamak (multiple roles) yaitu sebagai juru tani dan juga sebagai

kepala keluarga. Sebagai kepala keluarga petani dituntut untuk dapat

memberikan kehidupan yang layak dan mencukupi kepada kepada semua

anggota rumah tangganya. Sebagai manajer dan juru tani yang berkaitan

dengan kemampuan mengelola usahataninya akan sangat dipengaruhi oleh

faktor di dalam dan di luar pribadi petani itu sendiri yang sering disebut

sebagai karakteristik sosial ekonomi petani. Apabila ketrampilan bercocok

tanam sebagai juru tani pada umumnya adalah ketrampilan sebagai

pengelola mencakup kegiatan pikiran didorong oleh kemauan

(Mosher, 1981).

Batasan petani kecil di Indonesia berdasarkan kesepakatan pada

seminar petani kecil di Jakarta pada tahun 1979 adalah sebagai berikut :

a. Petani yang pendapatannya rendah, yaitu kurang dari setara 240 kg

beras per kapita per tahun.

b. Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 hektar

lahan sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar Jawa. Bila petani tersebut

juga mempunyai lahan tegal, maka luasnya 0,5 hektar di Jawa dan 1,0

hektar di luar Jawa.

c. Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan yang terbatas.

d. Petani yang memiliki pengetahuan terbatas dan kurang dinamik.

Dua ciri yang menonjol pada petani kecil ialah kecilnya kepemilikan dan

penguasaan sumberdaya serta rendahnya pendapatan yang diterima. Dari

24

segi ekonomi, ciri-ciri yang sangat penting pada petani kecil ialah

terbatasnya sumberdaya dasar tempat para petani berusahatani. Pada

umumnya, mereka hanya menguasai sebidang lahan kecil, kadang-kadang

disertai dengan ketidakpastian dalam pengelolaannya. Lahannya sering

tidak subur dan terpencar-pencar dalam beberapa petak. Mereka

mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan kesehatan yang sangat

rendah (Soekartawi et al, 1986).

Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang pertanian,

utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk

menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan

lain lain) dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut

untuk digunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Mereka

juga dapat menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti serealia untuk

minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau kapan untuk penenunan

dan pembuatan pakaian. Di negara miskin atau kebudayaan pra-industri,

kebanyakan petani melakukan pertanian subsisten, sebuah sistem pertanian

organik yang mendayagunakan rotasi tanaman, penyisihan benih, tebang

dan bakar, atau metode lainnya. Di negara maju, petani memiliki sebidang

lahan yang luas dan pembudidayaan dilakukan dengan memanfaatkan

mesin pertanian untuk mendapatkan efisiensi tinggi. Dengan menggunakan

mesin, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menjadi jauh berkurang

(Wikipedia, 2013).

C. Kerangka Berpikir dan Pendekatan Masalah

Pembangunan pertanian adalah pembangunan sektor pertanian atau

pembangunan usahatani, yang selalu mengacu kepada selalu tercapainya

kenaikan produktivitas dan penerimaan usahatani untuk jangka waktu yang

tidak terbatas, secara berkelanjutan. Pembangunan pertanian memerlukan

turutnya campur tangan manusia (Mardikanto, 2007). Petani adalah orang-

orang yang memelihara dan menentukan bagaimana usaha taninya harus

dimanfaatkan. Namun sebagian petani tidak mempunyai pengetahuan serta

25

wawasan yang memadai untuk dapat memecahkan permasalahan mereka.

Pemecahan masalah secara serta merta dilakukan secara bersama-sama dalam

bentuk kelompok ataupun organisasi. Badan usaha milik petani merupakan

badan usaha yang sedemikian rupa pembentukan dan organisasinya dibentuk,

dimiliki dan dikelola oleh petani dengan tujuan untuk memperbaiki mutu

budidaya dan pengelolaannya menjadi maju inovatif dan berkelanjutan.

Strategi merupakan cara-cara yang digunakan oleh organisasi untuk mencapai

tujuannya, melalui pengintegrasian segala keunggulan organisasi dalam

menghadapi tantangan dan ancaman yang dihadapi dan potensial untuk

dihadapi di masa yang akan datang oleh organisasi yang bersangkutan.

Strategi perusahaan merupakan rumusan perencanaan komprehensif tentang

bagaimana perusahaan akan mencapai misi dan tujuannya dan manajemen

strategi adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang

menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang (Hunger, 2003).

Adapun susunan kerangka berpikir secara sistematis dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Berpikir Hubungan Antara Faktor Pembentuk Sikapdengan Sikap Petani Terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di Kabupaten Temanggung.

Sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani(BUMP) :1) Konsep BUMP2) Tujuan BUMP3) Kegiatan BUMP4) Dampak BUMP

Faktor-faktor pembentuk sikap

1) Pengalaman pribadi

2) Pendidikan formal3) Pendidikan non

formal4) Pengaruh orang

lain yang dianggap penting

5) Kosmopolitan6) Kebudayaan

26

D. Hipotesis

Diduga terdapat hubungan yang signifikan antara faktor-faktor

pembentuk sikap yaitu pada umur, pengalaman responden, pendidikan formal,

pendidikan non formal, pengaruh orang lain yang dianggap penting,

kosmopolitan, dan pengaruh kebudayaan dengan sikap petani terhadap BUMP

di Kabupaten Temanggung.

E. Pembatasan Masalah

1. Responden penelitian adalah petani yang menjadi anggota Badan Usaha

Milik Petani di Kabupaten Temanggung.

2. Faktor pembentuk sikap pada penelitian ini dibatasi pada tingkat umur,

pengalaman responden, pendidikan formal, pendidikan non formal,

pengaruh orang lain yang dianggap penting, kosmopolitan, dan pengaruh

kebudayaan terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).

3. Hubungan timbal balik dimungkinkan terjadi antara faktor pembentuk

sikap yang diteliti dengan sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani

(BUMP) di Kabupaten Temanggung, namun dalam penelitian ini hanya

dipelajari hubungan searah antara faktor pembentuk sikap dengan sikap

petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).

F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Definisi Operasional

a. Variabel Pembentuk Sikap (Variabel Bebas)

Variabel-variabel pembentuk sikap yaitu variabel personal yang

ada dalam diri individu yang turut mempengaruhi pola perilakunya

sehingga dapat membentuk sikap petani terhadap Badan Usaha Milik

Petani (BUMP) adalah :

1) Pengalaman responden adalah pengalaman responden menjadi

anggota Badan Usaha Milik Petani (dinyatakan dalam bulan yang

diukur dengan skala likert).

27

2) Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan yang pernah ditempuh

oleh responden di sekolah.

3) Pendidikan non formal adalah frekuensi pendidikan yang diperoleh

responden di luar pendidikan non formal (pelatihan atau penyuluhan

pertanian).

4) Pengaruh orang lain adalah komponen sosial yang dapat

mempengaruhi pembentukan sikap. Pengaruh orang lain seperti

intensitas dengan PPL, petani lain, dan keluarga.

5) Kosmopolitan merupakan masyarakat dengan dunia di luar sistem

sosialnya sendiri yang dinyatakan melalui frekuensi bepergian ke

luar wilayah tempat tinggalnya. Diukur dengan seringnya responden

bepergian ke luar kota untuk memperoleh informasi mengenai

inovasi yang dilaksanakan serta melalui media cetak maupun

elektronik.

6) Pengaruh kebudayaan adalah tingkat budaya tradisional atau adat

istiadat tradisional dan tingkat budidaya kerukunan masyarakat

setempat yang dapat mempengaruhi pola pikir responden.

b. Sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di Kabupaten

Temanggung (Variabel Terikat)

Sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di

Kabupaten Temanggung diartikan sebagai tanggapan atau respon

evaluatif petani responden terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP)

yang berupa sikap sangat setuju/ sangat positf, setuju/ positif, tidak

tahu/ ragu-ragu, tidak setuju/ negatif, sangat tidak setuju/ sangat negatif

dilihat dari pengetahuan responden tentang :

1) Konsep adalah suatu pandangan atau pengetahuan kognitif

seseorang terhadap BUMP.

2) Tujuan merupakan pernyataan tentang hal-hal yang diinginkan

atau ingin dihasilkan, implikasi atau hal-hal yang perlu

dilakukan sebagai pemanfaatan hasil melalui Badan Usaha

Milik Petani (BUMP).

28

3) Kegiatan/ penerapan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yaitu

segala bentuk kegiatan teknis di lapang terkait dengan

penerapan Badan Usaha Milik Petani (BUMP).

4) Dampak merupakan suatu konsekuensi dari tindakan yang

diambil terkait dengan penerapan Badan Usaha Milik Petani

(BUMP).

Skor pernyataan sikap untuk pernyataan positif adalah :

- Sangat setuju : 5

- Setuju : 4

- Ragu-ragu : 3

- Tidak Setuju : 2

- Sangat tidak setuju : 1

Sedangkan untuk pernyataan negatif adalah :

- Sangat setuju : 1

- Setuju : 2

- Ragu-ragu : 3

- Tidak setuju : 4

- Sangat tidak setuju : 5

2. Pengukuran Variabel

Pengukuran variabel dalam penelitian ini menggunakan skala

ordinal. Ciri-ciri penerapan skala ordinal adalah seperangkat obyek atau

sekelompok orang diurutkan dari yang paling atas ke yang paling bawah

dalam atribut tertentu (Suryabrata, 2008). Skala ordinal adalah skala yang

sudah memiliki tingkatan namun jarak antar tingkatan belum pasti

(Suliyanto, 2006).

29

a. Faktor Pembentuk Sikap

Tabel 2. Faktor-Faktor Pembentuk Sikap Petani Terhadap BUMP

Variabel Indikator Kategori Skor

1. Pengalaman responden

Lamanya pengalaman responden tergabung dalam BUMP (dalam satuan bulan)

1-7 bulan8-14 bulan15-21 bulan22-28 bulan29-36 bulan

12345

2. Pendidikan formal Tingkat pendidikan yang pernah ditempuh responden di bangku sekolah

Tidak SekolahSD

SMPSMA

D3/Sarjana

12345

3. Pendidikan non formal

Frekuensi responden mengikuti kegiatan penyuluhan (dalam 1 musim tanam, terdapat minimal 5 kali pertemuan)

Sangat Jarang (1 kali)Jarang (2 kali)Kadang (3 kali)Sering (4 kali)

Sangat Sering ( ≥ 5 kali)

12345

4. Pengaruh orang lain :a) Tingkat

pengaruh PPLFrekuensi memperoleh informasi atau saran tentang pertanian

Sangat JarangJarangKadangSering

Sangat Sering

12335

b) Tingkat petani lain

Frekuensi memperoleh informasi atau saran tentang pertanian

Sangat JarangJarangKadangSering

Sangat Sering

12335

c) Tingkat pengaruh keluarga

Frekuensi memperoleh informasi atau saran tentang pertanian

Sangat JarangJarangKadangSering

Sangat Sering

12335

30

5. Kosmopolitan Seringnya responden berpergian ke luar ddaerah untuk memperoleh informasi mengenai BUMP

1-2 kali3-4 kali5-6 kali7-8 kali≥ 9

12345

6. Pengaruh kebudayaan :a) Tingkat

pengaruh budaya tradisional

Sering tidaknya melaksanakan adat tradisional

Sangat JarangJarangKadangSering

Sangat Sering

12345

b) Tingkat pengaruh budaya kerukunan

Sering tidaknya melaksanakan budaya kerukunan

Sangat JarangJarangKadangSering

Sangat Sering

12345

31

b. Sikap Petani Terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP)

Tabel 3. Sikap Petani Terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP)

Variabel Indikator Kategori Skor

a. Konsep BUMP Pemahaman responden terhadap pengertian BUMP

Sangat tidak setujuTidak setuju

NetralSetuju

Sangat setuju

12345

b. Tujuan BUMP Pemahaman responden terhadap tujuan BUMP

Sangat tidak setujuTidak setuju

NetralSetuju

Sangat setuju

12345

c. Kegiatan BUMP

d. Dampak BUMP

Sikap responden terhadap pelaksanaan BUMP

Kemanfaatan BUMP bagi responden

Sangat tidak setujuTidak setuju

NetralSetuju

Sangat setuju

Sangat tidak setujuTidak setuju

NetralSetuju

Sangat setuju

12345

12345