Upload
vanphuc
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
II. LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyaastuti (2013) dengan judul
“Strategi Diseminasi Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di Kabupaten
Temanggung” menunjukkan bahwa dalam diseminasi BUMP di Kabupaten
Temanggung memiliki kekuatan utama dengan adanya kemauan untuk
mandiri, kreatif, berbisnis dan maju dari petani, kelemahan utama dalam
diseminasi BUMP di Kabupaten Temanggung adalah rendahnya kualitas
SDM (paradigma dan orientasi usahatani masih subsisten), peluang utama
dalam diseminasi BUMP di Kabupaten Temanggung adalah perkembangan
teknologi yang semakin canggih dan adanya Undang-undang Nomor 19
Tahun 2013, serta ancaman utama dalam diseminasi BUMP di Kabupaten
Temanggung adalah terbatasnya jumlah jaringan komunikasi/internet dan
agen media informasi di daerah perdesaan.
Penelitian mengenai “Sikap Petani Terhadap Teknologi Pengendalian
Hama Wereng Batang Cokelat Melalui Sekolah Lapang Pngendalian Hama
Terpadu di Desa Kebonharjo Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten”
yang dilakukan oleh Nanang Adi Pamungkas (2013), menunjukkan bahwa
hubungan antara sikap Petani dengan sikap terhadap teknologi pengendalian
hama wereng batang cokelat melalui SLPHT hubungan signifikan arah
negatif yaitu pendidikan non formal dan sangat signifikan kontak media
massa.
Darmawan Baskoro Wibisono (2011) melakukan penelitian dengan
judul “Sikap Petani Terhadap Program Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (Puap) Di Kota Salatiga” Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan positif antara umur dan sikap petani terhadap program
PUAP, ada hubungan positif antara pengalaman pribadi dan sikap petani
terhadap program PUAP, ada hubungan positif antara pendidikan formal dan
sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif antara pendidikan
non formal dan sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif
7
antara pengaruh orang lain yang dianggap penting dan sikap petani terhadap
program PUAP, ada hubungan positif antara media massa yang diakses petani
dan sikap petani terhadap program PUAP.
Tabel 1. Penelitian Terdahulu yang Terkait
No. Penelitian Terdahulu Persamaan Perbedaan
1. Lanjar Sugiarti 2010“Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Petani DenganTingkat Adopsi Budidaya Tanaman Semangka Hibrida Di Kabupaten Karanganyar Bekerjasama Dengan Pt. Tunas Agro Persada Semarang”
Menggunakan metode analisis data lebar interval dan rank kendall
Penelitian terdahulu menggunakan variabel terikat pada hubungan faktor sosial ekonomi petani dengantingkat adopsi budidaya tanaman semangka hibrida. Penelitian ini menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
2. Eliek Prasetiawan 2013 “Sikap Petani Buah Naga (Hylocereus Polyrhizus) Terhadap Teknik Penyuluhan Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo”
Faktor-faktor pembentuk sikap dan menggunakan metode analisis data lebar interval
Penelitian terdahulu menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani buah naga terhadap teknik penyuluhan. Penelitian ini menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
3. Dessy Suminta Uli S 2013 “Sikap Petani Terhadap Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) studi kasus: Desa Semanampang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara”
Faktor-faktor pembentuk sikap
Penelitian terdahulu menggunakan variabel terikat pada sikap petani terhadap perkumpulan petani pemakai air (p3a). Penelitian ini menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
4. Albeta Sekar Toraldy 2013 “Analisis Preferensi Konsumen Terhadap Buah Pisang Keprok di Kota Surakarta”
Menggunakan metode analisis data rank kendall
Penelitian terdahulu menggunakan variabel terikat pada analisis preferensi konsumen terhadap buah pisang keprok. Penelitian ini menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
Sumber: Data yang Diolah
8
B. Tinjauan Pustaka
1. Kelembagaan Agribisnis
Davis and Golberg, Sonka and Hunson, Farrel and Funk diacu
dalam Firdaus (2008), menyatakan bahwa “Agribusiness incluced all
operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies,
production on the farm, in the storage, processing and distribution of farm
commodities made from the trading (Wholesaler,retailers), consumers to
it, all non farm firms and institution serving them”. Dewasa ini pandangan
tentang agribisnis yang secara umum dianggap tepat sudah semakin luas.
Menurut pandangan ini, agribisnis mencakup semua kegiatan mulai dari
pengadaan sarana produksi pertanian (Farm Supplies) sampai dengan
tataniaga produk pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya.
Menurut Arsyad et al. (1985) dalam Firdaus (2008), yang dimaksud
dengan agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi
salah satu atau keseluruahan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil
dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas.
Pertanian dalam arti luas adalah kegiatan usaha yang menunjang kegitan
pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian.
Pengertian agribisnis menurut suku katanya berasal dari kata agri dan
bisnis. “agri adalah pertanian sedangkan bisnis adalah usaha yang
menghasilkan uang, dengan demikian pengertian agribisnis adalah setiap
usaha yang berkaitan dengan kegiatan produksi pertanian, yang meliputi
pengusahaan input pertanian dan atau pengusahaan produksi itu sendiri
ataupun juga pengusahaan pengelolaan hasil pertanian”. “Sistem agribisnis
adalah suatu rangkaian kegiatan yang terdiri dari empat sub-sistem yang
saling mempengaruhi yaitu sub-sistem penyedia input pertanian, sub-
sistem produksi pertanian, subsistem pengolahan hasil, dan sub-sistem
pemasaran hasil pertanian termasuk produk-produk turunannya, yang
seluruh kinerjanya dipengaruhi oleh koordinator agribisnis”. (Hadi P 1992,
diacu dalam Krisnamurthi B, et al 2010)
9
Pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua pengertian, yaitu :
kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of game) dalam interaksi
personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki
hierarkhi (Hayami dan Kikuchi 1981 dalam Baga L et al 2009).
Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan
baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata
hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak serta
tanggungjawabnya. Kelembagaan sebagai suatu organisasi menurut
Winardi (2003), dapat dinyatakan sebagai kumpulan orang-orang dengan
sadar berusaha memberikan sumbangsih mereka kearah pencapaian suatu
tujuan umum. Kelembagaan sebagai suatu organisasi biasanya menunjuk
pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintah.
Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan
peningkatan pada faktor-faktor: teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, dan kelembagaan (Uphoff, 1986; Johnson (1985) dalam
Pakpahan, 1989). Faktor-faktor tersebut merupakan syarat kecukupan
(sufficient condition) untuk mencapai performance pembangunan yang
dikehendaki. Artinya, apabila satu atau lebih dari faktor tersebut tidak
tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan, maka
tujuan untuk mencapai performance tertentu yang dikehendaki tidak akan
dapat dicapai.
Pemahaman terhadap konsep lembaga atau kelembagaan (institusi)
sejauh ini lebih terpaku pada organisasi formail maupun organisasi
nonformal. Konvensi Uphoff (1992) dan Fowlar (1992) menyatakan
bahwa suatu lembaga dapat berbentuk organisasi seperti pemerintah, bank,
partai, perusahaan, dan lain-lain. Institusi dapat juga berupa tata peraturan
seperti hokum atau undang-undang, sistem perpajakan, tata kesopanan,
adat-istiadat, dan lain-lain.
Kelembagaan petani yang dimaksud di sini adalah lembaga petani
yang berada pada kawasan lokalitas (local institution), yang berupa
organisasi keanggotaan (membership organization) atau kerjasama
10
(cooperatives) yaitu petani-petani yang tergabung dalam kelompok
kerjasama (Uphoff, 1986). Kelembagaan ini meliputi pengertian yang luas,
yaitu selain mencakup pengertian organisasi petani, juga ‘aturan main’
(role of the game) atau aturan perilaku yang menentukan pola-pola
tindakan dan hubungan sosial, termasuk juga kesatuan sosial-kesatuan
sosial yang merupakan wujud kongkrit dari lembaga itu. Kelembagaan
petani dibentuk pada dasarnya mempunyai beberapa peran, yaitu: (a) tugas
dalam organisasi (interorganizational task) untuk memediasi masyarakat
dan negara, (b) tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup mobilisasi
sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, informasi) dan
pengelolaannya dalam pencapaian tujuan masyarakat, (c) tugas pelayanan
(service tasks) mungkin mencakup permintaan pelayanan yang
menggambarkan tujuan pembangunan atau koordinasi permintaan
masyarakat lokal, dan (d) tugas antar organisasi (extra-organizational
task) memerlukan adanya permintaan lokal terhadap birokrasi atau
organisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agen-agen luar
(Esman dan Uphoff dalam Garkovich, 1989).
Kelembagaan petani merupakan lembaga yang ditumbuh
kembangkan dari, oleh dan untuk petani guna memperkuat kerjasama
dalam memperjuangankan kepentingan petani dalam bentuk kelompoktani
(poktan) dan gabungan kelomptani (gapoktan). Selain itu, kelompoktani
dengan lembagan petani mempunyai peran penting dan strategis dalam
pertumbuhan ekonomi di wilayah pedesaan. Sesuai dengan Permentan No.
82 Tahun 2013 tentang pembinaan poktan dan gapoktan bahwa
kelompoktani (poktan) adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang
dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan
social, ekonomi dan sumberdaya; kesamaan komoditas dan keakraban
untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Sedangkan
untuk gabungan kelompoktani (gapoktan) adalah kumpulan beberapa
kelompoktani yang tergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala
ekonomi dan efisiensi usaha (Syamsul, 2014).
11
Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan
petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial
atau social interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertanian juga
memiliki titik strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem
agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan
perlu diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme
dan posisi tawar petani (kelompok tani). Saat ini potret petani dan
kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang
diharapkan (Suradisastra, 2008).
Peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan
sektor pertanian di Indonesia terutama terlihat dalam kegiatan pertanian
tanaman pangan. Di tingkat makro nasional, peran lembaga pembangunan
pertanian sangat menonjol dalam program dan proyek intensifikasi dan
peningkatan produksi pangan. Kegiatan pembangunan pertanian
dituangkan dalam bentuk program dan proyek dengan membangun
kelembagaan koersif (kelembagaan yang dipaksakan), seperti Padi Sentra,
Demonstrasi Massal (Demas), Bimbingan Massal (Bimas), Bimas
Gotong Royong, Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa
(KUD) dan lain-lain. Kondisi di atas menunjukkan signifikansi
keberdayaan kelembagaan dalam akselerasi pembangunan sektor
pertanian. Hal ini sejalan dengan hasil berbagai pengamatan yang
menyimpulkan bahwa bila inisiatif pembangunan pertanian dilaksanakan
oleh suatu kelembagaan atau organisasi, di mana individu individu yang
memiliki jiwa berorganisasi menggabungkan pengetahuannya dalam tahap
perencanaan dan implementasi inisiatif tersebut maka peluang
keberhasilan pembangunan pertanian menjadi semakin besar (De los
Reyes dan Jopillo 1986;USAID 1987; Kottak 1991; Uphoff 1992a; Cernea
1993; Bunch dan Lopez 1994 dalam Suradisastra, 2011).
12
2. Kebijakan Pertanian
Ealau dan Prewitt dalam Suharto (1997), memberikan pengertian
kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh
perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun
yang meltaatinya (yang terkena kebijakan itu). Menurut Muhadjir (2003),
terdapat empat konsep dalam bentuk paradigma kebijakan yaitu (l)
Paradigma Social Welfare Policy, (2) Paradigma Public Policy, (3)
Paradigma Social Policy. dan (4) Paradigma Desentralisasi dan Otonomi.
Proses kebijakan diwarnai beberapa hal yaitu meliputi sebagai berikut: (l)
Interes dan keberanian dari pembuat atau penentu kebijakan, (2) Konteks
professional, (3) Batas kewenangan, yaitu kewenangan organisasi, dan
kewenangan akademik, (4) Kekuatan social, dan (5) Kecenderungan
kebijakan publik
Sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dan strategis
dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut antara lain adalah
meningkatkan penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja,
perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi
dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi
pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Pertanian diharapkan
mampu melayani kebutuhan pangan untuk penduduk yang besar dan terus
meningkat. Sejalan dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu tujuan pembangunan
pertanian diarahkan untuk meningkatkan sebesar-besarnya kesejahteraan
petani, yang merupakan pelaku utama pembangunan pertanian. Selama ini
petani telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan
pertanian dan pembangunan ekonomi perdesaan, terutama peran mereka
sebagai penyedia pangan nasional dan bahan baku industri pertanian. Oleh
karena itu, perlindungan dan pemberdayaan petani merupakan agenda
penting yang harus dilakukan. Berhubungan dengan adanya kebijakan
terutama kaitannya dengan pertanian maka UU No. 19 tahun 2013 tentang
13
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) merupakan tonggak penting
dalam pengorganisasian petani.
Dalam UU ini dicantumkan garis kebijakan yang jelas dan tegas.
Pada Pasal 71 tertulis “Petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif
dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat
(1)”. Organisasi dimaksud dalam UU ini disebut dengan lembaga atau
kelembagaan terdiri atas empat bentuk yaitu Kelompok Tani, Gabungan
Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas
Pertanian Nasional. Selain yang disebut dengan jelas tersebut, untuk
bentuk organisasi yang lebih bebas dikelompokkan ke dalam istilah
Kelembagaan Ekonomi Petani yang dimaknai sebagai “lembaga yang
melaksanakan kegiatan Usaha Tani yang dibentuk oleh, dari, dan untuk
Petani, guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi Usaha Tani, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”(Pasal 1).
Dalam konteks ini, maka bisa berupa koperasi, baik koperasi primer
maupun sekunder, serta juga badan usaha lainnya. Sangat dimungkinkan
pula jika petani ingin membentuk Perseroan Terbatas (PT) atau pun CV
(commanditaire vennootschap) atau sering disebut dengan Persekutuan
Komanditer. Organisasi usaha yang tidak berbadan hukum pun semestinya
juga menjadi perhatian pemerintah, sesuai dengan pemaknaan pada pasal 1
UU ini. Untuk penjabaran lebih jauh khusus untuk kelompok tani dan
Gapoktan telah dikeluarkan kebijakan terbaru yaitu Permentan No.
82/Permentan/Ot.140/8/2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani
dan Gabungan Kelompok Tani.
Disebutkan bahwa tujuan lahirnya pedoman ini adalah untuk: (1)
meningkatkan jumlah kelompok tani dan Gapoktan, (2) meningkatkan
kemampuan kelompok tani dan Gapoktan dalam menjalankan fungsinya,
dan (3) mendorong kelompok tani dan Gapoktan meningkatkan
kapasitasnya menjadi kelembagaan ekonomi petani. Jadi, dalam hal
berorganisasi, UU No. 19 tahun 2013 hanya mengakui lima jenis
14
organisasi, yaitu kelompok tani, Gapoktan, asosiasi komoditas, dewan
komoditas, dan kelembagaan ekonomi petani berupa BUMP. “Kelompok
Tani” adalah “kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar
kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi,
sumber daya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk meningkatkan
serta mengembangkan usaha anggota”, sedangkan, “Gabungan Kelompok
Tani” adalah “kumpulan beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan
bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha”
(Litbang, 2014).
3. Badan Usaha Milik Petani (BUMP)
Pembangunan pertanian adalah pembangunan sektor pertanian atau
pembangunan usahatani, yang selalu mengacu kepada selalu tercapainya
kenaikan produktivitas dan penerimaan usahatani untuk jangka waktu yang
tidak terbatas, secara berkelanjutan. Pembangunan pertanian memerlukan
turutnya campur tangan manusia (petani). Pembangunan pertanian sebagai
sub-sistem pembangunan ekonomi nasional, harus selalu memperhatikan
pautannya (linkage) dengan pembangunan ekonomi dalam arti yang
seluas-luasnya. Pembangunan pertanian sebagai bagian dari upaya
pembangunan wilayah seutuhunya, harus senantiasa memperhatikan
potensi wilayah yang bersangkutan, baik untuk kepentingan pembangunan
pertanian itu sendiri, maupun untuk kepentingan pembangunan wilayah
secara keseluruhan (Mardikanto, 2007).
Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan pertanian adalah
tercapainya peningkatan pendapatan masyarakat (petani) yang hidup di
pedesaan. Dengan adanya kenaikan pendapatan itu, jumlah dan ragam
serta mutu konsumsi masyarakat terus bertambah, baik konsumsi bahan
pokok (khususnya pangan) maupun konsumsi terhadap barang-barang dan
jasa yang dihasilkan oleh sektor non pertanian. Tetapi, kenyataan juga
menunjukkan bahwa, keberhasilan pembangunan pertanian tidak selalu
dapat menciptakan perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja,
terutama bagi angkatan kerja baru di pedesaan. Oleh sebab itu,
15
keberhasilan pembangunan pertanian tidak cukup dijadikan andalan bagi
pertumbuhan ekonomi nasional. Berkaitan dengan itu, diperlukan
pertumbuhan sektor-sektor lain yang memerlukan kebutuhan modal (untuk
investasi maupun modal kerja), kebutuhan tenaga kerja (yang murah),
serta tersedianya bahan mentah dan bahan baku yang dihasilkan oleh
sektor pertanian (Mardikanto, 2009).
Pertanian berkelanjutan adalah suatu pendekatan sistem yang
memahami keberlanjutan secara mutlak. Sistem ini memahaminya dari
sudut pandang yang luas, dari sudut pertanian individual, kepada
ekosistem lokal, dan masyarakat yang dipengaruhi oleh sistem pertanian,
baik lokal maupun global. Pendekatan sistem tersebut, memberikan kita
piranti untuk menggali interkoneksi antara pertanian dan aspek-aspek lain
dari lingkungan kita (SAREP, 1998).
Pertanian berkelanjutan mempertahankan keragaman hayati,
memelihara kesuburan tanah dan kemurnian air, melindungi dan
memperbaiki sifat-sifat kimia, fisika, dan kualitas biologis tanah, mendaur
ulang sumberdaya alam dan menghemat energi. Pertanian berkelanjutan
memproduksi bentuk-bentuk pangan bermutu tinggi, serat-seratan dan
obat-obatan yang beragam. Pertanian berkelanjutan menggunakan
sumbedaya yang terbarukan yang tersedia, teknologi tepat guna dan dapat
diterima, serta minimasi penggunaan input eksternal dan harus dibeli,
sehingga meningkatkan kebebasan lokal dan keswadayaan serta menjamin
sumber pendapatan yang mantab bagi petani, keluarga, dan petani kecil
maupun masyarakat pedesaan. Pertanian berkelanjutan lebih banyak
melibatkan masyarakat untuk tinggal di lahannya, menguatkan masyarakat
pedesaan dan memadukan manusia dengan lingkungan tempat hidupnya
(Mardikanto, 2009).
Badan Usaha Milik Petani (BUMP) diartikan sebagai badan usaha
yang dibentuk, dimiliki, dan dikelola oleh petani, dengan tujuan untuk
memperbaiki mutu budidaya dan pengelolaan usahatani demi terwujudnya
peningkatan produktifitas, nilai-tambah produk, dan perbaikan pendapatan
16
usahatani, perbaikan daya tawar dan kemampuan membangun kemitraan
yang sinergis, maju, inovatif dan berkelanjutan. Efisiensi pengembangan
BUMP tersebut mencakup:
a. BUMP dibentuk oleh inisiatif (wakil) petani untuk membangun
kelembagaan petani yang benar-benar mampu melayani
kebutuhan petani di semua sub-sistem kegiatan agrobisnis.
b. BUMP dimiliki oleh petani, wakil (yang diberi mandat) oleh
kelompok-tani/gapoktan dan atau pribadi-pribadi yang
memiliki kompetensi dan atau komiymen untuk melakukan
pemberdayaan (masyarakat) petani.
c. Lingkup BUMP pada awalnya terpusat pada semua bentuk
layanan kepada petani pada keseluruhan sub-sistem kegiatan
agrobisnis.
d. BUMP dikelola oleh pemilik/pemegang saham dan tenaga-
tenaga professional yang dipilih dan ditetapkan oleh
pemilik/pemegang saham.
e. BUMP merupakan lembaga yang mandiri, bebas dari campur
tangan kepentingan (oknum aparat) pemerintah. Meskipun
demikian, seperti halnya dengan badan usaha pada umumnya,
BUMP selalu tunduk pada kebijakan pemerintah, utamanya
kebijakan pembangunan pertanian dan kebijakan pembangunan
ekonomi pedesaan (Mardikanto dan Waluyo, 2012).
4. Sikap
a. Pengertian Sikap
Terdapat berbagai macam pengertian sikap yang dijelaskan oleh
beberapa orang ahli. Menurut Allen dan Edgley (1980) secara historis,
istilah ‘sikap’ (attitude) digunakan pertama kali oleh Hebert Spencer di
tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental
seseorang. Di masa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering
dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik atau posisi tubuh
seseorang (Wringhtsman dan Deaux, 1981).
17
Tahun 1888 Lange menggunakan istilah sikap dalam bidang
eksperimen mengenai respons untuk menggambarkan kesiapan subjek
dalam menghadapi stimulus yang datang tiba-tiba. Oleh Lange,
kesiapan (set) yang terdapat dalam diri individu untuk memberikan
respons itu disebut aufgabe atau task attitude. Sehingga menurut istilah
Lange, sikap tidak hanya merupakan aspek mental semata melainkan
mencakup pula aspek respons fisik (Azwar, 1995).
Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran, dan
kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen
mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponen-
komponen sikap adalah pengetahuan, perasaan-perasaan, dan
kecenderungan untuk bertindak. Lebih mudahnya, sikap adalah
kecondongan evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang memiliki
konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadapan dengan objek
sikap (Van den Ban dan Hawkins, 1999).
Nilai (value) dan opini (opinion) atau pendapat sangat erat
berkaitan dengan sikap, bahkan kedua konsep tersebut seringkali
digunakan dalam definisi-definisi mengenai sikap. Sebenarnya ketiga
istilah tersebut tidak sama persis maknanya. Opini merupakan
pernyataan sikap yang sangat spesifik atau sikap dalam artian yang
lebih sempit. Opini terbentuk didasari oleh sikap yang sudah mapan
akan tetapi opini lebih bersifat situasional dan temporer. Nilai
merupakan disposisi yang lebih luas dan sifatnya lebih mendasar. Nilai
berakar lebih dalam dan karenanya lebih stabil dibandingkan sikap
individu. Nilai dianggap sebagai bagian dari kepribadian individu yang
dapat mewarnai kepribadian kelompok atau kepribadian bangsa. Nilai
bersifat lebih mendasar dan stabil sebagai bagian dari ciri kepribadian,
sikap bersifat evaluatif dan berakar pada nilai yang dianut dan terbentuk
dalam kaitannya dengan suatu objek, sedangkan opini merupakan sikap
yang lebih spesifik dan sangat situasional serta lebih mudah berubah
(Azwar, 1995).
18
Sikap adalah sesuatu yang bersifat sedikit langsung, yaitu
kecenderungan untuk melihat kepada sesuatu yang mungkin agak
spesifik dengan cara-cara tertentu. Sikap adalah suatu kesiapan untuk
menanggapi, suatu kerangka yang utuh untuk menetapkan keyakinan
atau pendapat yang khas. Sikap biasanya banyak disadari. Orang dapat
menyatakannya, meskipun di dalam banyak hal mereka mungkin
memilih untuk tidak melakukannya (Leavitt, 1986).
Sifat-sifat dasar sikap biasa dikaitkan dengan dua prinsip utama,
yaitu pertama tentang pengertian sikap itu sendiri, yakni sebuah sistem
penilaian yang relatif bertahan. Penilaian itu bisa positif atau negatif
yang berkaitan dengan kepercayaan, perasaan, atau emosi, dan
kecenderungan untuk bertindak terhadap objek. Kedua, ada perbedaan
yang diakibatkan oleh dampak sikap terhadap tindakan sosial, hal itu
bergantung dari karakteristik utama sikap. Sifat dasar sikap
mengandung tiga kriteria pokok, yakni subjek dan objek sikap, struktur
atau komponen sikap, dan karakteristik sikap (Liliweri, 1997).
b. Faktor Pembentuk Sikap
Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami
oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar
adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota
kelompok sosial. Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi
membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai obyek psikologis
yang dihadapinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan
sikap antara lain:
1) Pengalaman Pribadi
Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi
terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi
yang melibatkan emosi, penghayatan akan lebih mendalam dan lebih
lama berbekas. Lebih lanjut Mardikanto (1996) menyatakan bahwa
pengalaman dalam melakukan kegiatan bertani tercermin dari
19
kebiasaan-kebiasaan yang mereka (petani) terapkan dalam kegiatan
bertani dan merupakan hasil belajar dari pengalamannya.
2) Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting
Seseorang yang dianggap penting akan banyak
mempengaruhi pembentukan sikap. Diantara orang yang biasanya
dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang
berstatus sosial lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman
kerja, istri atau suami. Pada umumnya, individu cenderung untuk
memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang
dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh
keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik
dengan orang yang dianggap penting tersebut. Mardikanto (1996)
menyatakan bahwa tokoh-tokoh informal (tokoh keagamaan, tokoh
adat, politikus dan guru) merupakan tokoh yang dianggap
berpengaruh karena memiliki katau wibawa untuk menumbuhkan
opini publik dan yang dijadikan panutan oleh masyarakat setempat.
Orang lain yang dianggap penting adalah orang orang yang
kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah laku dan
opini kita, orang yang tidak ingin dikecewakan, dan yang berarti
khusus. Misalnya adalah orang tua, pacar, suami/isteri, teman dekat,
guru, pemimpin. Umumnya individu tersebut akan memiliki sikap
yang searah (konformis) dengan orang yang dianggap penting
(Rahayuningsih, 2008). Pilihan terhadap pengaruh dari luar itu
biasanya disesuaikan dengan motif dan sikap di dalam diri manusia,
terutana yang menjadi minat perhatiannya. Lingkungan yang terdekat
dengan kehidupan dengan kehidupan sehari-hari banyak memiliki
peranan (Ahmadi, 1999).
3) Pengaruh Kebudayaan
Setiap kelompok masyarakat punya tradisi dan kebudayaan
tersendiri, yang tentu saja berbeda satu sama lainnya. Kebudayaan-
kebudayaan yang lebih sempurna dari suatu masyarakat yang
20
nantinya akan dapat menjadi sebuah peradaban. Namun, walaupun
masing-masing mempunyai keunikan tersendiri, budaya terdiri dari
unsur-unsur dan mempunyai fungsi-fungsi tersendiri bagi
masyarakatnya (Psychologymania, 2011).
Sementara Malinowski (1994) yang terkenal sebagai salah
seorang pelopor teori fungsional dalam anthropologi, menyebut
unsur-unsur pokok kebudayaan adalah terdiri dari sistem norma yang
memungkinkan kerjasama antara para anggota masyarakat di dalam
upaya menguasai alam sekelilingnya, organisasi ekonomi, alat-alat
dan lembaga atau petugas pendidikan. Kebudayaan setiap bangsa
atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur
kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat
kesatuan.
Para ahli menunjuk pada adanya tujuh unsur kebudayaan
yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu:
a) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan,
alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transportasi,
dan sebagainya).
b) Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian,
peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
c) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan organisasi politik,
sistem hukum, sistem perkawinan).
d) Bahasa (lisan maupun tertulis).
e) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya).
f) Sistem pengetahuan dan pendidikan.
g) Religi (sistem kepercayaan).
(Psychologymania, 2011)
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap seseorang. Tanpa
disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita
terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap
21
anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pula yang memberi
corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota
kelompok masyarakat asuhannya. Hanya kepribadian individu yang
telah mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominansi
kebudayaan dalam pembentukan sikap individual (Azwar, 1995).
4) Kosmopolitan
Secara sosial, Nas dalam Khairuddin (1992) menyatakan
bahwa masyarakat kota bersifat kosmopolitan. Arti kosmopolitan
menurut Departemen Kehutanan (1996) adalah tingkat hubungannya
dengan ”dunia luar” diluar sistem sosialnya sendiri. Dimana
kosmopolitnes dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang
dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Bagi warga yang
kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung lebih cepat. Tetapi
bagi yang ”localite” (tertutup, terkukung di dalam sistem sosialnya
sendiri), proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban
karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih baik
seperti yang telah dinikmati oleh orang-orang lain di luar system
sosialnya.
Menurut Soekartawi (1988) bahwa, masyarakat yang lebih
modern akan relatif lebih cepat melaksanakan adopsi inovasi bila
dibandingkan dengan masyarakat yang tradisional. Disamping itu,
masyarakat dengan individu-individu yang kosmopolitas akan relatif
lebih cepat melakukan adopsi inovasi daripada masyarakat yang
bersifat lokalitas.
5) Lembaga Pendidikan
Sistem pendidikan, yakni sekolah adalah lembaga sosial yang
turut menyumbang dalam proses sosialisasi individu agar menjadi
anggota masyarakat seperti yang diharapkan. Sekolah selalu saling
berhubungan dengan masyarakat. Melalui pendidikan terbentuklah
kepribadian seseorang. Boleh dikatakan hampir seluruh kelakukan
individu bertalian dengan atau dipengaruhi oleh orang lain. Maka
22
karena itu kepribadian pada hakikatnya gejala sosial (Nasution,
2004). Lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya
meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
Hal ini dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat
menentukan sikap kepercayaan maka pada gilirannya kemudian
konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu
terhadap sesuatu hal. Seperti diketahui, lembaga pendidikan sifatnya
bermacammacam diantaranya bersifat formal, informal dan non
formal. Pendidikan formal, dapat dilihat dari pendidikan yang
pernah dialami (dalam hal ini petani) melalui sekolah-sekolah, dari
jenjang tertinggi dari suatu tingkatan pendidikan formal yang
tersedia (Mardikanto, 1993).
5. Petani
Terdapat dua kata dalam bahasa Inggris berkenaan dengan “petani”
yang memiliki konotasi dan atribut yang sangat berbeda, yaitu “peasant”
dan “farmer”. Secara mudahnya, “peasant” adalah gambaran dari petani
yang subsisten, sedangkan “farmer” adalah petani modern yang
berusahatani dengan menerapkan teknologi modern serta memiliki jiwa
bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis. Upaya merubah petani dari
karakter peasant menjadi farmer itulah hakekat dari pembangunan atau
modernisasi. Peasant adalah suatu kelas petani yang merupakan petani
kecil, penyewa (tenants), penyakap (sharecroppers), dan buruh tani.
Meskipun berada pada level bawah, sesungguhnya mereka lah yang
menggerakkan pertanian. Istilah peasant misalnya digunakan untuk
menamai revolusi petani (peasant revolt) yang terjadi dahulu di Eropa.
Istilah “peasant revolt” juga digunakan dalam arti yang luas, yaitu
sebagai seluruh bentuk pelawanan yang datang dari petani
(Syahyuti, 2012).
Petani atau orang yang sebagai “manajer” mempunyai kewajiban
untuk mengambil keputusan, yang menguasai dan yang mengatur
23
penggunaan sumber-sumber produktif yang ada di dalam usahataninya
secara efektif, sehingga dapat menghasilkan benda dan pendapatan seperti
yang telah direncanakan. Di samping sebagai manajer, petani juga
merupakan “juru-tani”, yang harus mempunyai pengetahuan dan
ketrampilan di dalam bidang teknik pertanian, sehingga akan mampu
untuk melaksanakan pengolahan lahan, pemeliharaan tanaman,
pengambilan dan pengolahan hasil, serta penyimpanan dengan sebaik-
baiknya (Mardikanto, 2007).
Petani sebagai orang yang menjalankan usahataninya mempunyai
peran yang jamak (multiple roles) yaitu sebagai juru tani dan juga sebagai
kepala keluarga. Sebagai kepala keluarga petani dituntut untuk dapat
memberikan kehidupan yang layak dan mencukupi kepada kepada semua
anggota rumah tangganya. Sebagai manajer dan juru tani yang berkaitan
dengan kemampuan mengelola usahataninya akan sangat dipengaruhi oleh
faktor di dalam dan di luar pribadi petani itu sendiri yang sering disebut
sebagai karakteristik sosial ekonomi petani. Apabila ketrampilan bercocok
tanam sebagai juru tani pada umumnya adalah ketrampilan sebagai
pengelola mencakup kegiatan pikiran didorong oleh kemauan
(Mosher, 1981).
Batasan petani kecil di Indonesia berdasarkan kesepakatan pada
seminar petani kecil di Jakarta pada tahun 1979 adalah sebagai berikut :
a. Petani yang pendapatannya rendah, yaitu kurang dari setara 240 kg
beras per kapita per tahun.
b. Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 hektar
lahan sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar Jawa. Bila petani tersebut
juga mempunyai lahan tegal, maka luasnya 0,5 hektar di Jawa dan 1,0
hektar di luar Jawa.
c. Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan yang terbatas.
d. Petani yang memiliki pengetahuan terbatas dan kurang dinamik.
Dua ciri yang menonjol pada petani kecil ialah kecilnya kepemilikan dan
penguasaan sumberdaya serta rendahnya pendapatan yang diterima. Dari
24
segi ekonomi, ciri-ciri yang sangat penting pada petani kecil ialah
terbatasnya sumberdaya dasar tempat para petani berusahatani. Pada
umumnya, mereka hanya menguasai sebidang lahan kecil, kadang-kadang
disertai dengan ketidakpastian dalam pengelolaannya. Lahannya sering
tidak subur dan terpencar-pencar dalam beberapa petak. Mereka
mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan kesehatan yang sangat
rendah (Soekartawi et al, 1986).
Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang pertanian,
utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk
menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan
lain lain) dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut
untuk digunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Mereka
juga dapat menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti serealia untuk
minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau kapan untuk penenunan
dan pembuatan pakaian. Di negara miskin atau kebudayaan pra-industri,
kebanyakan petani melakukan pertanian subsisten, sebuah sistem pertanian
organik yang mendayagunakan rotasi tanaman, penyisihan benih, tebang
dan bakar, atau metode lainnya. Di negara maju, petani memiliki sebidang
lahan yang luas dan pembudidayaan dilakukan dengan memanfaatkan
mesin pertanian untuk mendapatkan efisiensi tinggi. Dengan menggunakan
mesin, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menjadi jauh berkurang
(Wikipedia, 2013).
C. Kerangka Berpikir dan Pendekatan Masalah
Pembangunan pertanian adalah pembangunan sektor pertanian atau
pembangunan usahatani, yang selalu mengacu kepada selalu tercapainya
kenaikan produktivitas dan penerimaan usahatani untuk jangka waktu yang
tidak terbatas, secara berkelanjutan. Pembangunan pertanian memerlukan
turutnya campur tangan manusia (Mardikanto, 2007). Petani adalah orang-
orang yang memelihara dan menentukan bagaimana usaha taninya harus
dimanfaatkan. Namun sebagian petani tidak mempunyai pengetahuan serta
25
wawasan yang memadai untuk dapat memecahkan permasalahan mereka.
Pemecahan masalah secara serta merta dilakukan secara bersama-sama dalam
bentuk kelompok ataupun organisasi. Badan usaha milik petani merupakan
badan usaha yang sedemikian rupa pembentukan dan organisasinya dibentuk,
dimiliki dan dikelola oleh petani dengan tujuan untuk memperbaiki mutu
budidaya dan pengelolaannya menjadi maju inovatif dan berkelanjutan.
Strategi merupakan cara-cara yang digunakan oleh organisasi untuk mencapai
tujuannya, melalui pengintegrasian segala keunggulan organisasi dalam
menghadapi tantangan dan ancaman yang dihadapi dan potensial untuk
dihadapi di masa yang akan datang oleh organisasi yang bersangkutan.
Strategi perusahaan merupakan rumusan perencanaan komprehensif tentang
bagaimana perusahaan akan mencapai misi dan tujuannya dan manajemen
strategi adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang
menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang (Hunger, 2003).
Adapun susunan kerangka berpikir secara sistematis dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka Berpikir Hubungan Antara Faktor Pembentuk Sikapdengan Sikap Petani Terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di Kabupaten Temanggung.
Sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani(BUMP) :1) Konsep BUMP2) Tujuan BUMP3) Kegiatan BUMP4) Dampak BUMP
Faktor-faktor pembentuk sikap
1) Pengalaman pribadi
2) Pendidikan formal3) Pendidikan non
formal4) Pengaruh orang
lain yang dianggap penting
5) Kosmopolitan6) Kebudayaan
26
D. Hipotesis
Diduga terdapat hubungan yang signifikan antara faktor-faktor
pembentuk sikap yaitu pada umur, pengalaman responden, pendidikan formal,
pendidikan non formal, pengaruh orang lain yang dianggap penting,
kosmopolitan, dan pengaruh kebudayaan dengan sikap petani terhadap BUMP
di Kabupaten Temanggung.
E. Pembatasan Masalah
1. Responden penelitian adalah petani yang menjadi anggota Badan Usaha
Milik Petani di Kabupaten Temanggung.
2. Faktor pembentuk sikap pada penelitian ini dibatasi pada tingkat umur,
pengalaman responden, pendidikan formal, pendidikan non formal,
pengaruh orang lain yang dianggap penting, kosmopolitan, dan pengaruh
kebudayaan terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
3. Hubungan timbal balik dimungkinkan terjadi antara faktor pembentuk
sikap yang diteliti dengan sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani
(BUMP) di Kabupaten Temanggung, namun dalam penelitian ini hanya
dipelajari hubungan searah antara faktor pembentuk sikap dengan sikap
petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Definisi Operasional
a. Variabel Pembentuk Sikap (Variabel Bebas)
Variabel-variabel pembentuk sikap yaitu variabel personal yang
ada dalam diri individu yang turut mempengaruhi pola perilakunya
sehingga dapat membentuk sikap petani terhadap Badan Usaha Milik
Petani (BUMP) adalah :
1) Pengalaman responden adalah pengalaman responden menjadi
anggota Badan Usaha Milik Petani (dinyatakan dalam bulan yang
diukur dengan skala likert).
27
2) Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan yang pernah ditempuh
oleh responden di sekolah.
3) Pendidikan non formal adalah frekuensi pendidikan yang diperoleh
responden di luar pendidikan non formal (pelatihan atau penyuluhan
pertanian).
4) Pengaruh orang lain adalah komponen sosial yang dapat
mempengaruhi pembentukan sikap. Pengaruh orang lain seperti
intensitas dengan PPL, petani lain, dan keluarga.
5) Kosmopolitan merupakan masyarakat dengan dunia di luar sistem
sosialnya sendiri yang dinyatakan melalui frekuensi bepergian ke
luar wilayah tempat tinggalnya. Diukur dengan seringnya responden
bepergian ke luar kota untuk memperoleh informasi mengenai
inovasi yang dilaksanakan serta melalui media cetak maupun
elektronik.
6) Pengaruh kebudayaan adalah tingkat budaya tradisional atau adat
istiadat tradisional dan tingkat budidaya kerukunan masyarakat
setempat yang dapat mempengaruhi pola pikir responden.
b. Sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di Kabupaten
Temanggung (Variabel Terikat)
Sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di
Kabupaten Temanggung diartikan sebagai tanggapan atau respon
evaluatif petani responden terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP)
yang berupa sikap sangat setuju/ sangat positf, setuju/ positif, tidak
tahu/ ragu-ragu, tidak setuju/ negatif, sangat tidak setuju/ sangat negatif
dilihat dari pengetahuan responden tentang :
1) Konsep adalah suatu pandangan atau pengetahuan kognitif
seseorang terhadap BUMP.
2) Tujuan merupakan pernyataan tentang hal-hal yang diinginkan
atau ingin dihasilkan, implikasi atau hal-hal yang perlu
dilakukan sebagai pemanfaatan hasil melalui Badan Usaha
Milik Petani (BUMP).
28
3) Kegiatan/ penerapan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yaitu
segala bentuk kegiatan teknis di lapang terkait dengan
penerapan Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
4) Dampak merupakan suatu konsekuensi dari tindakan yang
diambil terkait dengan penerapan Badan Usaha Milik Petani
(BUMP).
Skor pernyataan sikap untuk pernyataan positif adalah :
- Sangat setuju : 5
- Setuju : 4
- Ragu-ragu : 3
- Tidak Setuju : 2
- Sangat tidak setuju : 1
Sedangkan untuk pernyataan negatif adalah :
- Sangat setuju : 1
- Setuju : 2
- Ragu-ragu : 3
- Tidak setuju : 4
- Sangat tidak setuju : 5
2. Pengukuran Variabel
Pengukuran variabel dalam penelitian ini menggunakan skala
ordinal. Ciri-ciri penerapan skala ordinal adalah seperangkat obyek atau
sekelompok orang diurutkan dari yang paling atas ke yang paling bawah
dalam atribut tertentu (Suryabrata, 2008). Skala ordinal adalah skala yang
sudah memiliki tingkatan namun jarak antar tingkatan belum pasti
(Suliyanto, 2006).
29
a. Faktor Pembentuk Sikap
Tabel 2. Faktor-Faktor Pembentuk Sikap Petani Terhadap BUMP
Variabel Indikator Kategori Skor
1. Pengalaman responden
Lamanya pengalaman responden tergabung dalam BUMP (dalam satuan bulan)
1-7 bulan8-14 bulan15-21 bulan22-28 bulan29-36 bulan
12345
2. Pendidikan formal Tingkat pendidikan yang pernah ditempuh responden di bangku sekolah
Tidak SekolahSD
SMPSMA
D3/Sarjana
12345
3. Pendidikan non formal
Frekuensi responden mengikuti kegiatan penyuluhan (dalam 1 musim tanam, terdapat minimal 5 kali pertemuan)
Sangat Jarang (1 kali)Jarang (2 kali)Kadang (3 kali)Sering (4 kali)
Sangat Sering ( ≥ 5 kali)
12345
4. Pengaruh orang lain :a) Tingkat
pengaruh PPLFrekuensi memperoleh informasi atau saran tentang pertanian
Sangat JarangJarangKadangSering
Sangat Sering
12335
b) Tingkat petani lain
Frekuensi memperoleh informasi atau saran tentang pertanian
Sangat JarangJarangKadangSering
Sangat Sering
12335
c) Tingkat pengaruh keluarga
Frekuensi memperoleh informasi atau saran tentang pertanian
Sangat JarangJarangKadangSering
Sangat Sering
12335
30
5. Kosmopolitan Seringnya responden berpergian ke luar ddaerah untuk memperoleh informasi mengenai BUMP
1-2 kali3-4 kali5-6 kali7-8 kali≥ 9
12345
6. Pengaruh kebudayaan :a) Tingkat
pengaruh budaya tradisional
Sering tidaknya melaksanakan adat tradisional
Sangat JarangJarangKadangSering
Sangat Sering
12345
b) Tingkat pengaruh budaya kerukunan
Sering tidaknya melaksanakan budaya kerukunan
Sangat JarangJarangKadangSering
Sangat Sering
12345
31
b. Sikap Petani Terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP)
Tabel 3. Sikap Petani Terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP)
Variabel Indikator Kategori Skor
a. Konsep BUMP Pemahaman responden terhadap pengertian BUMP
Sangat tidak setujuTidak setuju
NetralSetuju
Sangat setuju
12345
b. Tujuan BUMP Pemahaman responden terhadap tujuan BUMP
Sangat tidak setujuTidak setuju
NetralSetuju
Sangat setuju
12345
c. Kegiatan BUMP
d. Dampak BUMP
Sikap responden terhadap pelaksanaan BUMP
Kemanfaatan BUMP bagi responden
Sangat tidak setujuTidak setuju
NetralSetuju
Sangat setuju
Sangat tidak setujuTidak setuju
NetralSetuju
Sangat setuju
12345
12345