Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Pengembangan
Oktaviandy (2012: 2) mengartikan penelitian pengembangan sebagai suatu proses
yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk yang
digunakan dalam pendidikan. Produk yang dihasilkan dapat berupa: bahan
pelatihan untuk guru, materi belajar, media, soal, dan sistem pengelolaan dalam
pembelajaran.
Empat karateristik penelitian pengembangan menurut Wayan dalam Oktaviandy
(2012: 2) antara lain :
(1) Masalah yang ingin dipecahkan adalah masalah nyata yang berkaitandengan upaya inovatif atau penerapan teknologi dalam pembelajaransebagai pertanggung jawaban profesional dan komitmennya terhadappemerolehan kualitas pembelajaran; (2) Pengembangan model,pendekatan dan metode pembelajaran serta media belajar yang menunjangkeefektifan pencapaian kompetensi siswa; (3) Proses pengembanganproduk, validasi yang dilakukan melalui uji ahli, dan uji coba lapangansecara terbatas perlu dilakukan sehingga produk yang dihasilkanbermanfaat untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Prosespengembangan, validasi, dan uji coba lapangan tersebut seyogyanyadideskripsikan secara jelas, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secaraakademik; (4) Proses pengembangan model, pendekatan, modul, metode,dan media pembelajaran perlu didokumentasikan secara rapi dandilaporkan secara sistematis sesuai dengan kaidah penelitian yangmencerminkan originalitas.
9
Prosedur penelitian merupakan pemaparan prosedur yang ditempuh oleh
pengembang dalam membuat produk. Dalam prosedur, peneliti menyebutkan
sifat-sifat komponen pada setiap tahapan dalam pengembangan, menjelaskan
secara analitis fungsi komponen dalam setiap tahapan pengembangan produk, dan
menjelaskan hubungan antar komponen dalam sistem.
Adapun prosedur penelitian pengembangan menurut Sugiyono (2013: 408-426)
terdiri dari sepuluh langkah, yaitu: (1) Potensi dan masalah; (2) Pengumpulan
data; (3) Desain produk; (4) Validasi Desain; (5) Revisi desain; (6) Uji coba
produk; (7) Revisi produk; (8) Uji coba pemakain; (9) Revisi Produk;
(10) Produksi massal.
Langkah pertama yang harus dilakukan ialah melihat potensi dan masalah.
Masalah merupakan penyimpangan kenyataan dari kondisi yang diharapkan.
Kenyataan yang menyimpang ini tentunya akan berdampak buruk jika tidak
diselaraskan dengan kondisi harapan. Penyelarasan ini dilakukan dengan
menyelidiki masalah serta potensi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Penyelidikan diawali melalui survei atau kegiatan lain yang
relevan untuk mendapatkan informasi faktual. Melalui informasi tersebut, dapat
dilakukanlah analisis untuk merincikan masalah dan mencari solusi alternatif
berdasarkan potensi yang ada.
Oktaviandy (2012: 3) mengatakan bahwa:
masalah pembelajaran.dalam penelitian pengembangan adalah masalahyang terkait dengan perangkat pembelajaran, seperti silabus, bahan ajar,lembar kerja siswa, media pembelajaran, tes untuk mengukur hasil belajar,dan sebagainya. Perangkat pembelajaran dianggap menjadi masalahkarena belum ada, atau ada tetapi tidak memenuhi kebutuhan
10
pembelajaran, atau ada tetapi perlu diperbaiki, dan sebagainya. Tentunyatidak semua masalah perangkat pembelajaran akan diselesaikan sekaligus,satu masalah perangkat pembelajaran saja yang dipilih sebagai prioritasuntuk diselesaikan lebih dulu.
Langkah kedua ialah mengumpulkan data. Pengumpulan data ini dilakukan untuk
mendapatkan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan perencanaan produk
penyelesai masalah. Hal ini akan disesuaikan dengan penyebab masalah yang
ingin diselesaikan.
Setelah dilakukan pengumpulan data, barulah dibuat desain produk. Desain
produk yang dimaksud adalah rancangan produk yang bersifat hipotetik.
Efektivitas desain produk ini akan dibuktikan melalui pengujian-pengujian.
Sebelum dilakukan pengujian, desain poduk perlu dinilai rasionalitas serta
efektivitasnya terlebih dahulu. Penilaian ini disebut sebagai validasi desain dan
dilakukan oleh beberapa pakar yang sudah berpengalaman untuk menilai produk
baru yang dirancang. Hasil penilaian akan menunjukkan kelemahan dan kekuatan
desain. Selanjutnya, dilakukan perbaikan desain untuk mengurangi kelemahan.
Setelah dilakukan perbaikan desain, maka desain produk dapat dibuat dalam
bentuk prototipe. Prototipe tesebut perlu diuji coba terlebih dahulu. Uji coba
dilakukan dengan melakukan simulasi pada sebagian subjek penelitian. Menurut
Tim Puslitjaknov (2008: 12), uji coba produk merupakan bagian yang sangat
penting dalam penelitian pengembangan. Uji coba ini bertujuan untuk
mengetahui apakah produk yang dibuat layak digunakan atau tidak. Uji coba
produk juga dilakukan untuk melihat sejauh mana produk yang dibuat dapat
mencapai sasaran dan tujuan. Tim Puslitjaknov (2008: 12) juga menyatakan
11
bahwa produk yang baik memenuhi 2 kriteria, yaitu: kriteria pembelajaran
(instructional kriteria) dan kriteria penampilan (presentation kriteria).
Setelah dilakukan uji coba, dilakukan revisi untuk mendapatkan gradasi
efektivitas produk yang lebih tinggi. Setelah direvisi, produk perlu diujicobakan
ke subjek yang lebih luas. Pengoperasian uji coba ini tetap harus dinilai
kekurangan atau hambatan yang muncul untuk perbaikan lebih lanjut. Perbaikan
lebih lanjut dilakukan untuk memperoleh produk yang lebih baik, lebih efektif,
efisien, lebih menarik, dan lebih mudah dipakai. Ketika semua kriteria kelayakan
produk sudah terpenuhi maka produk pengembangan siap digunakan dalam
pembelajaran yang sebenarnya.
B. Instrumen Penilaian
Menurut Purwanto (2006: 34), instrumen adalah alat ukur yang digunakan untuk
mengukur dalam rangka pengumpulan data. Penilaian menurut KBBI diartikan
sebagai proses, cara, perbuatan menilai, atau pemberian nilai. Sudiyono (2001:
4) menyebutkan bahwa menilai memiliki arti mengambil keputusan terhadap
sesuatu dengan mendasarkan diri atau berpegang pada ukuran baik atau buruk,
sehat atau sakit, pandai atau bodoh, dan sebagainya. Kunandar (2013: 65)
menyatakan bahwa penilaian merupakan kegiatan yang berkaitan dengan
pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta
didik yang mengikuti proses pembelajaran. Berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut, dapat dikatakan bahwa intrumen penilaian adalah alat ukur yang
digunakan untuk mendapatkan data pencapaaian kompetensi peserta didik yang
12
akan digunakan pengambilan keputusan dalam proses pembelajaran yang
berpegang pada acuan tertentu.
Black (1998: 1) menyatakan bahwa penilaian di dunia pendidikan memiliki tiga
fungsi utama, yakni: (1) Merekam prestasi siswa secara individual untuk
memperoleh keterangan; (2) Merekam prestasi kelompok, kelas, atau sekolah
untuk kebijakan lebih luas; (3) Melayani kebutuhan belajar dan mengajar. Fungsi
pertama memberikan rekaman untuk menentukan pembelajaran terbaik untuk
siswa di sekolah. Fungsi kedua, mengidentifikasi mutu sekolah atau sistem
pendidikan di suatu negara secara umum. Fungsi ketiga muncul karena setiap
pembelajaran memerlukan umpan balik, sehingga dibutuhkan informasi mengenai
keadaan setiap individu siswa yang dapat digunakan sebagai acuan untuk
menentukan tindakan yang tepat dalam memenuhi kebutuhan siswa. Penilaian ini
sering disebut sebagai penilaian formatif. Penilaian juga dapat digunakan untuk
melihat kemajuan belajar siswa. Penilaian ini disebut sebagai penilaian sumatif.
Penilaian sumatif dilaksanakan setelah sekumpulan program pembelajaran
berakhir. Sudiyono (2001: 4) menyatakan bahwa tujuan utama dari penilaian
sumatif adalah untuk menentukan nilai yang melambangkan keberhasilan peserta
didik setelah mereka menempuh program pengajaran dalam jangka waktu
tertentu.
Penilaian dalam proses pendidikan merupakan komponen yang tidak dapat
dipisahkan dari komponen lainnya khususnya pembelajaran. Penilaian
merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur
pencapaian hasil. belajar peserta didik. Penilaian hasil belajar oleh pendidik
13
dilakukan untuk memantau proses, kemajuan belajar, dan perbaikan hasil belajar
peserta didik secara berkesinambungan. Penilaian hasil belajar oleh pendidik
memiliki peran antara lain untuk membantu peserta didik mengetahui capaian
pembelajaran (learning outcomes). Berdasarkan penilaian hasil belajar oleh
pendidik, pendidik dan peserta didik dapat memperoleh informasi tentang
kelemahan dan kekuatan pembelajaran dan belajar.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 104 Tahun 2014 tentang Penilaian Hasil
Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, prinsip
penilaian hasil belajar oleh pendidik meliputi prinsip umum dan prinsip khusus.
Prinsip umum dalam penilaian hasil belajar oleh pendidik adalah sebagai berikut.
(1) Sahih: penilaian didasarkan pada data yang mencerminkankemampuan yang diukur; (2) Objektif: penilaian didasarkan padaprosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai;(3) Adil: penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didikkarena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku,budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender; (4) Terpadu:penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang takterpisahkan dari kegiatan pembelajaran; (5) Terbuka: prosedur penilaian,kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui olehpihak yang berkepentingan; (6) Holistik dan berkesinambungan:penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dan denganmenggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai dengan kompetensiyang harus dikuasai peserta didik; (7) Sistematis: penilaian dilakukansecara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku;(8) Akuntabel: penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segiteknik, prosedur, maupun hasilnya; (9) Edukatif: penilaian dilakukanuntuk kepentingan dan kemajuan peserta didik dalam belajar.
Prinsip khusus dalam penilaian hasil belajar oleh pendidik berisikan prinsip-
prinsip penilaian autentik sebagai berikut.
(1) Materi penilaian dikembangkan dari kurikulum; (2) Bersifat lintasmuatan atau mata pelajaran; (3) Berkaitan dengan kemampuan pesertadidik; (4) Berbasis kinerja peserta didik; (5) Memotivasi belajar pesertadidik; (6) Menekankan pada kegiatan dan pengalaman belajar pesertadidik; (7) Memberi kebebasan peserta didik untuk mengkonstruksi
14
responnya; (8) Menekankan keterpaduan sikap, pengetahuan, danketerampilan; (9) Mengembangkan kemampuan berpikir divergen;(10) Menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembelajaran;(11) Menghendaki balikan yang segera dan terus menerus;(12) Menekankan konteks yang mencerminkan dunia nyata; (13) Terkaitdengan dunia kerja; (14) Menggunakan data yang diperoleh langsung daridunia nyata; (15) Menggunakan berbagai cara dan instrumen.
Pelaksanaan proses penilaian memerlukan suatu instrumen agar aspek-aspek yang
ingin dinilai dapat terukur dengan baik. Aspek-aspek penilaian hasil belajar
tersebut meliputi penilaian kemampuan penguasaan materi, sikap, dan
keterampilan siswa. Hal ini sesuai dengan Kurikulum 2013 yang dirancang untuk
meningkatkan kompetensi siswa pada bidang pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill), dan sikap (attitude) secara utuh. Haryati (2007: 120)
menyatakan bahwa setiap mata pelajaran selalu mengandung ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor. Akan tetapi, masing-masing mata pelajaran memberikan
penekanan yang berbeda pada setiap ranah. Misalnya, mata pelajaran praktik
lebih memberikan tekanan pada ranah kognitif, dan psikomotor. Meskipun tidak
ditekankan, dalam mata pelajaran tersebut masih mengandung aspek sikap.
Berkaitan dengan hal tersebut, sikap merupakan bagian dari ranah afektif.
Berdasarkan pendapat di atas, setiap guru mata pelajaran sebagai pengukur
keadaan siswa harus memiliki instrumen penilaian yang dapat digunakan untuk
mengukur perubahan siswa pada ketiga aspek tersebut secara menyeluruh.
Pengukuran lebih efektif dilakukan oleh guru pada saat proses pembelajaran
berlangsung.
Sukardi (2008: 11) membagi instrumen penilaian menjadi dua: tes dan nontes.
Tipe yang pertama direalisasikan dalam bentuk tes tulis, baik tes objektif maupun
15
essay. Tes objektif biasanya digunakan untuk mengungkap, menghafal, atau
mengenal kembali materi yang telah diberikan. Item pertanyaan menghafal
berupa jawaban bebas, mengenali, dan identifikasi. Item pertanyaan mengenali
berupa soal benar-salah, pilihan ganda, atau menjodohkan. Penilaian dengan
pertanyaan essay digunakan untuk menerangkan, mengontraskan, menunjukkan
hubungan, memberikan pembuktian, menganalisis perbadaan, menarik
kesimpulan, dan menggeneralisasi pengetahuan peserta didik. Berdasarkan
peranannnya, penilain tes dibedakan menjadi: tes diagnostik, tes formatif, tes
pencapaian (achievement test), dan tes penempatan.
Instrumen nontes digunakan untuk menilai penampilan dan aspek-aspek belajar
afektif dari siswa. Instrumen nontes dapat berupa koesioner, angket, lembar
observasi, laporan tertulis, laporan audio-visual, atau dalam bentuk sosiometri.
Instrumen-instrumen ini dapat digunakan untuk menilai siswa baik ketika berada
di sekolah maupun di rumah. Pertimbangan subjektivitas amat perlu diperhatikan
dalam penggunaan jenis alat ini. Hal ini dilakukan untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya ketimpangan di dalam penilaian.
Kemungkinan terjadinya ketimpangan dalam penilaian dapat dikurangi dengan
adanya pedoman penskoran. Kunandar (2013: 238) menjelaskan pedoman atau
rubrik penskoran sebagai panduan atau petujuk yang menjelaskan tentang batasan
atau kata-kata kunci untuk melakukan penskoran terhadap soal-soal bentuk uraian
dan kriteria-kriteria jawaban yang digunakan untuk melakukan penskoran
terhadap soal-soal uraian non objektif dan subjektif. Guru dapat menggunakan
16
pedoman untuk mengoreksi pekerjaan atau jawaban peserta didik secara lebih
akurat dan terhindar dari subjektivitas.
Kunandar (2013: 82) menjelaskan bahwa instrumen penilaian yang baik
semestinya memenuhi enam karakteristik. Keenam karakteristik tesebut ialah:
(1) Valid: mengukur objek dengan tepat; (2) Reliabel: hasil yang diperoleh relatif
stabil; (3) Relevan: sesuai dengan domain hasil belajar dan indikator;
(4)Representatif: mewakili seluruh materi yang disampaikan; (5) Praktis: mudah
digunakan secara administrative dan teknis; (6) Diskriminatif: dapat
menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil; (7) Spesifik: khusus untuk objek yang
dievaluasi; (8) Proporsional: memiliki tingkat kesulitan yang proporsional.
Suryabrata (2012: 303) menyatakan bahwa karakteristik paling utama yang harus
ada dalam instrumen penilaian ialah adalah valid dan reliabel.
Sukardi (2008: 32) membedakan validitas instrumen penilaian menjadi empat
macam: validitas isi, validitas konstruk, validitas kongkruen, dan validitas
prediksi. Validitas isi merupakan derajat pengukuran cakupan substansi yang
ingin diukur menggunakan suatu instrumen penilaian. Validitas isi mempunyai
peran yang sangat penting untuk instrumen penilaian pencapaian hasil belajar
(achivenment test). Validitas isi umumnya ditentukan melalui pertimbangan para
ahli. Tidak ada formula matematis untuk menghitung dan tidak ada cara untuk
menunjukkan secara pasti. Pertimbangan ahli ini biasanya mencakup
kelengkapan aspek yang akan diukur melalui interpretasi pertanyaan dalam tes.
Validitas konstruk merupakan derajat yang menunjukkan suatu instrumen
penilaian mengukur konstuk sementara (hypothetical contruct). Konstruk
17
merupakan suatu sifat yang tidak dapat diobservasi, tetapi dapat diindera
pengaruhnya. Validasi konstruk dilakukan dengan cara melibatkan hipotesis
testing yang dideduksi dari teori relevan dan teruji keterpercayaannya yang
berhubungan dengan konstuk. Validitas konkruen merupakan derajat
keberhubungan suatu tes dengan tes lain yang telah baku. Validitas prediksi
merupakan derajat kemampuan instrumen penilaian memprediksi prospek
keberhasilan seseorang dalam malakukan pekerjaan yang sudah direncanakan.
Sudaryono (2013: 103) membagi validitas menjadi validitas logis dan empiris.
Validitas logis merupakan analisis kualitatif terhadap sebuah instrumen penilaian
untuk menentukan keberfungsian instrumen berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan, yakni aspek materi, konstruksi, dan bahasa. Nilai validitas logis
dinyatakan berdasarkan penalaran logis. Instrumen yang memiliki validitas tinggi
dapat menjalankan fungsi ukurnya sehingga memberikan hasil ukur yang sesuai
dengan yang dimaksud. Hal ini berarti, hasil ukur yang diberikan mencerminkan
secara tepat fakta sebenarnya. Validitas empiris merupakan derajat kelayakan
yang didasarkan pada pengalaman empiris di lapangan. Validitas Nilai validitas
empiris suatu butir instrumen yang dihitung secara statistik berdasarkan data yang
diperoleh dari hasil uji coba. Uji coba instrumen dilakukan kepada kelompok
sampel yang diidentifikasi memiliki karakteristik serupa dengan kelompok yang
akan diukur.
Triyono (2013: 182) menjelaskan langkah-langkah menentukan validitas, yaitu:
(1) menyebarkan instrumen yang akan diuji validitasnya ke responden yang
representatif dengan responden sebenarnya; (2) mengumpulkan data;
18
(3) memeriksa kelengkapan data; (3) memasukkan data ke dalam tabel;
(4) melakukan perhitungan-perhitungan untuk menentukan koefisien korelasi.
Reliabilitas menunjukkan gambaran praktis yang bekaitan dengan kebermanfaatan
(useability) instrumen penilaian. Reliabilitas suatu tes pada umumnya
diekpresikan secara numerik dalam bentuk koefisien. Azwar (2012: 112)
menyatakan bahwa koefisien reliabilitas berada dalam rentang 0 sampai dengan
1,00. Ketinggian nilai koefisien menunjukkan kerendahan kemungkinana
kesalahan. Semakin tinggi koefisien reliabilitas, berarti pengukuran semakin
reliabel. Meskipun demikian, nilai koefisien reliabilitas 1,00 belum pernah
dijumpai. Tipe-tipe reliabilitas yang sering digunakan dalam penilaian
diantaranya: tes-retes, ekuivalen, dan belah dua yang ditentukan melalui korelasi.
Ketika mengukur tes sikap, baik dalam bentuk pilihan ganda ataupun dalam
bentuk essay digunakan Alfa Cronbach. Pada prinsipnya, teknik ini mengukur
homogenitas yang didalamnya mencakup dua aspek penting: isi dan heterogenitas
dari dari tes tersebut. Semakin homogen suatu tes, maka harga koefisien alfanya
semakin tinggi. Hal ini berarti, tes tersebut semakin konsisten. Langkah-langkah
menentukan reliabilitas suatu instrumen menurut Tiyono (2013: 191) adalah:
(1) melakukan pengujian validitas setiap butir; (2) menghapus butir-butir yang
tidak valid; (3) menyusun kembali skor butir-butir yang valid dalam tabel;
(4) menghitung varians setiap butir dan varians keseluruhan; (5) memasukkan
hasil perhitungan ke dalam rumus untuk mendapatkan koefisien relabilitas.
19
C. Pembelajaran Sains
Sains berasal dari bahasa Inggris, yakni science. Berdasarkan Cambridge
Advanced Learner’s Dictionary Third Edition, science berarti ilmu pengetahuan
yang diperoleh dari pembelajaran sistematis tentang struktur dan perilaku di dunia
fisik, terutama dengan melihat, menghitung, dan melakukan eksperimen serta
perkembangan teori untuk mendeskripsikan hasil dari aktivitas-aktivitas tersebut.
Di Indonesia, sains disebut sebagai IPA (Ilmu Pengetahuan Alam).
Kemdikbud (2013: 175) menyatakan bahwa IPA berkaitan dengan cara mencari
tahu tentang alam secara sistematis. IPA merupakan suatu proses penemuan yang
mencakup kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau
prinsip-prinsip. Pendidikan IPA dapat dijadikan sebagai wahana bagi peserta
didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar hingga mampu
menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran IPA
menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan
kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah.
Merujuk pada pengertiannya, hakikat sains diliputi empat unsur, yaitu: (1) Sikap:
berupa rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta
hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan
melalui prosedur yang benar; (2) Proses: prosedur pemecahan masalah melalui
metode ilmiah, metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan
eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan;
(3) Produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; (4) Aplikasi: penerapan
20
metode ilmiah dan konsep sains dalam kehidupan sehari-hari. Keempat unsur
sains tersebut merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Melalui
hal ini, siswa dapat mengalami proses pembelajaran secara utuh, memahami
fenomena alam melalui kegiatan pemecahan masalah, metode ilmiah, dan meniru
cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru.
Yudianto (2011: 1) menjelaskan bahwa sains memiliki lima nilai instrinsik.
Nilai-nilai tersebut ialah: (1) nilai religi; (2) nilai praktis; (3) nilai intelektual;
(4) nilai sosial-politik; (5) nilai pendidikan. Penanaman dan pengembangan nilai-
nilai instrinsik sains tersebut mencerminkan integrasi aspek-aspek kognitif,
psikomotor, dan aspek afektifnya. Hal ini dapat juga dikatakan bahwa sains
merupakan integrasi iman, ilmu, dan amal. Sains digunakan sebagai media
berpikir untuk membaca tanda-tanda kebesaran Allah dan pelajaran dari
perumpamaan-perumpamaan yang ditampilkannya.
Perumpamaan-perumpamaan yang dipelajari berupa model-model Biologi, Kimia,
dan model Fisika. Hal serupa telah disebutkan dalam Q.S. Al-Ankabut: 43-44,
yang artinya:
” Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dantiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. Allahmenciptakan langit dan bumi dengan hak, sesungguhnya pada yangdemikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orangmukmin”.
Allah juga berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 164, yang artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinyamalam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yangberguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupaair, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya danDia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengi-saran angin dan
21
awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat)tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.
Terdapat enam pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan
pembelajaran sains, yaitu: (1) Empat pilar pendidikan (belajar untuk mengetahui,
belajar untuk berbuat, belajar untuk hidup dalam kebersamaan, dan belajar untuk
menjadi dirinya sendiri; (2) Inkuiri; (3) Konstruktivisme; (4) Sains, lingkungan,
teknologi, dan masyarakat; (5) Penyelesaian masalah; dan (6) Pembelajaran
sains yang bermuatan nilai. Zubaedi (2012: 292) berpendapat bahwa tujuan
pembelajaran sains adalah: (1) mengembangkan pemahaman peserta didik
tentang alam; (2) mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk
memperoleh dan mengolah pengetahuan baru; (3) mengembangkan sikap-sikap
positif.
Pembelajaran sains dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti
pengamatan, penyelidikan atau penelitian, diskusi, penggalian informasi mandiri
melalui tugas baca, wawancara narasumber, simulasi/bermain peran, nyanyian,
dan demonstrasi/ peragaan model. Melalui rangkaian kegiatan pembelajaran
tersebut, siswa dapat berinteraksi secara aktif dengan guru, tema, lingkungan, dan
berbagai sumber belajar lainnya sehingga siswa dapat merasakan pengalaman
belajar yang mengesankan makna.
Pembelajaran sains yang memberikan pengalaman belajar yang bermakna, tidak
hanya dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa. Melalui
pembelajaran tersebut, siswa dapat menghayati dan mengembangkan pengalaman
22
yang diperolehnya. Penghayatan dan pengembangan tersebut mengarahkan siswa
untuk memiliki sikap positif terhadap ilmu pengetahuan dan alam sekitar.
D. Kompetensi Sikap dalam Pembelajaran Sains
Kompetensi adalah kemampuan bersikap, berpikir dan bertindak secara konsisten
sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki oleh
peserta didik. Kemdikbud (2014: 3) mendefinisikan kompetensi sikap sebagai
ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang
dan diwujudkan dalam perilaku. Menurut Kunandar (2013: 99), sikap terdiri dari
tiga komponen: afektif, kognitif, dan konatif. Komponen afektif adalah perasaan
yang dimiliki oleh seseorang atau penilaiannya terhadap suatu objek. Komponen
kognitif adalah kepercayaan atau keyakinan seseorang mengenai objek.
Sedangkan komponen konatif adalah kecenderungan untuk berperilaku atau
berbuat dengan cara-cara tertentu berkenaan dengan kehadiran objek.
Sikap berkembang dari interaksi antara individu dengan lingkungan masa lalu dan
masa kini. Melaui proses kognisi dari integrasi dan konsistensi sikap dibentuk
menjadi komponen kognisi, emosi, dan kecendrungan bertindak. Setelah sikap
terbentuk akan mempengaruhi perilaku secara langsung. Perilaku akan
mempengaruhi perubahan lingkungan yang ada, dan perubahan-perubahan yang
terjadi akan menuntun pada perubahan sikap yang dimiliki.
Anwar (2009: 3) mengidentifikasikan sikap dalam lima dimensi sikap yaitu:
(1) Sikap memiliki arah, artinya sikap terbagi pada dua arah, setuju atautidak setuju, mendukung atau tidak mendukung, positif atau negatif.
23
(2) Sikap memiliki intensitas, artinya, kedalaman sikap terhadap objektertentu belum tentu sama meskipun arahnya sama. (3) Sikap memilikikeluasan artinya ketidak setujuan terhadap objek sikap dapat spesifik hanyapada aspek tertentu, tetapi sebaliknya dapat pula mencakup banyak aspek.(4) Sikap memiliki konsistensi yaitu kesesuaian antara peryataan sikapyang dikemukakan dengan tanggapan terhadap objek sikap. Sikap yangbertahan lama (stabil) disebut sikap yang konsisten, sebaliknya sikap yangcepat berubah (labil) disebut sikap inkonsisten. (5) Sikap memilikispontanitas, artinya sejauh mana kesiapan seseorang menyatakan sikapnyasecara spontan. Spontanitas akan nampak dari pengamatan indikator sikappada seseorang mengemukakan sikapnya.
Pembelajaran sains sebagai suatu produk dan proses, mencakup aspek-aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Interaksi ketiga aspek tersebut akan
membentuk karakter positif pada peserta didik. Rutherford dan Ahlgren dalam
Zuchdi dkk (2013: 34) menyatakan bahwa:
Sains diyakini berperan penting dalam pengembangan karakter warga ma-syarakat dan negara, karena kemajuan produk sains sangat pesat,keampuhan proses sains yang dapat ditransfer pada berbagai bidang lain,dan kekentalan muatan nilai, sikap, dan moral di dalam sains.
Pengembangan karakter pada peserta didik ini sangat penting dalam suatu proses
pembelajaran, karena hasil utama dalam proses pendidikan adalah perubahan
sikap dan tingkah laku peserta didik. Krech dan Ballancy dalam Yudianto (2011:
8) menyatakan bahwa perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh informasi yang
diperoleh, keinginannya (wants), afiliasi kelompok, dan kepribadiannya, serta
agama yang dianutnya. Hal ini berarti, penghargaan seseorang terhadap sains
bergantung kepada penafsirannya terhadap informasi tentang sains yang
diperolehnya melalui pembelajaran bersama pakar pendidikan sains dan agama.
Fitri dalam Musafah (2012: 50) berpendapat bahwa sikap seseorang akan
bergantung pada sistem nilai yang yang dianggapnya paling benar dan kemudian
24
sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang tesebut. Proses penyadaran
nilai-nilai dapat berlangsung secara integral dalam keseluruhan proses pendidikan.
Artinya, nilai-nilai itu dapat masuk ke semua mata pelajaran sehingga menjadi roh
dalam setiap kegiatan pembelajaran. Pembelajaran nilai diperankan sebagai
bagian dari keseluruahan dimensi pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
Yudianto (2011: 5) menyatakan bahwa sains dapat mengarahkan peserta didik
memiliki kasadaran akan keterikatannya terhadap Allah sebagai hamba-Nya. Hal
ini memunculkan aspek-aspek spiritual berupa keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah beserta dampak pengiringnya. Dampak pengiring tersebut berupa
kepemilikan karakter mulia. Melalui pembelajaran sains pula, siswa dapat
membaca fenomena alam yang ada di sekitarnya. Hal ini dapat menghasilkan
kemampuan berpikir kritis, analitis, dan kreatif untuk menyelesaikan masalah
dalam kehidupan. Kesadaran peserta didik bahwa mereka merupakan bagian dari
masyarakat dan lingkungan juga akan terbentuk melalui pembelajaran sains.
Perwujudan hal ini memerlukan kepribadian dan karakter guru yang layak
dijadikan contoh. Selain itu, diperlukan juga kemampuan akademik dan
pedagogik guru dalam menyajikan pembelajaran.
Yusuf (2012: 66 ) memberikan alternatif cara pembentukan mengembangkan
sikap sosial siswa dengan pemberian tugas-tugas kelompok yang membutuhkan
tenaga fisik atau pikiran. Tugas-tugas kelompok tersebut memberikan
kesempatan kepada setiap peserta didik untuk menunjukkan prestasinya dan
menagarahkan pada pencapaian tujuan bersama. Pelaksanaan tugas kelompok ini
25
membuat siswa dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan bekerja sama, saling
menghormati, bertenggang rasa, dan bertanggung jawab.
Musafah (2012: 9) berpendapat bahwa tujuan adanya pendidikan adalah
mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual peserta
didik. Keshalehan spiritual sekaligus keshalehan sosial sangat diharapkan muncul
pada diri peserta didik. Melalui hal ini, wujud kehidupan masyarakat dan bangsa
diwarnai dengan nilai-nilai kasih sayang, ketulusan , tanggung jawab, kejujuran,
pengorbanan, kepatuhan, kedisiplinan, rasa malu, penghormatan, penghargaan,
kemuliaan, rendah hati, cinta lingkungan, dan nasionalisme. Nilai-nilai tesebut
seharusnya menjadi budaya dan karakter bangsa. Hal serupa dengan pernyataan
Whitehead dalam Musafah (2012: 9), “the essence of education is that it be
religious”. perasaan dekat dengan Allah akan membimbing manusia ke arah
perilaku yang semata baik.
Musafah (2012: 10) melanjutkan pendapatnya bahwa tujuan yang baik dan benar
harus dilakukan dengan cara yang baik dan benar pula. Metode pendidikan
mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Beberapa metode pendidikan yang bisa
digunakan adalah perumpamaan, kisah, targhib-tarhib, dialog, teladan, praktik,
dan nasehat. Penerapan metode ini menuntut guru untuk sabar dan menghindari
hukuman fisik. Hal ini dikarenakan oleh ketaatan yang lahir dari hukuman fisik
bersifat semu. Sebaliknya, kepatuhan harus lahir dari kesadaran diri pribadi
(inner self) melalui pemahaman akan kebaikan dan manfaat dari perbuatannya.
Selanjutnya, guru juga harus berusaha menjadi teladan. Beberapa aspek
26
pemikiran dan perilaku moral pada dasarnya dipengaruhi oleh pengamatan dan
teladan.
Zubaedi (2012: 234) membenarkan hal ini dalam pendidikan nilai dan
spiritualitas. Strategi pemodelan atau pemberian teladan sangat membutuhkan
sosok yang menjadi model. Model dapat ditemukan oleh peserta didik di
lingkungan sekitarnya. Semakin dekat model bagi peserta didik akan semakin
mudah dan efektiflah pendidikan karakter tersebut. Contoh nyata dan paling
dekat dengan siswa adalah guru.
Zubaedi (2012: 39) menyatakan bahwa fungsi penanaman sikap sosial pada
peserta didik berfungsi sebagai kerangka acuan dalam berinteraksi dan berperilaku
dengan sesama sehingga keberadaanya dapat diterima di masyarakat. Sikap sosial
dapat dijadikan sebagai pedoman bagi warga masyarakat untuk hidup berkasih
sayang sesama manusia, hidup harmonis, hidup disiplin, hidup demokrasi dan
hidup bertanggung jawab.
Zubaedi (2012: 292) mengungkapkan bahwa sains merupakan salah satu media
dalam membentuk pribadi siswa. Dalam hal ini, siswa dapat diajak menelaah
serta mempelajari nilai-nilai dalam sains yang berguna dalam kehidupan
bermasyarakat. Pembelajaran sains perlu dilakukan secara holistis dengan
mengajarkan dalam sistem nilai-nilai dan moral pada setiap pembahasan materi.
Pembelajaran sains perlu diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa
dalam memahami fenomena alam dari sudut pandang keilmuan, menggali
berbagai sumber informasi dan menganalisinya untuk menyempurnakan
27
pemahaman tersebut, mengomunilasikan pemahaman tersebut kepada orang lain,
dan memahami bahwa fenomena tersebut tidak lepas dari peran sang pencipta.
Melalui keteraturan alam yang dipelajari dalam sains, dapat ditanamkan karakter
keagungan dan kekuasaan Allah yang pada akhirnya akan menumbuhkan cinta
kepada Allah dan makhluk-makhluk-Nya.
Zubaedi (2012: 295) melanjutkan bahwa sains merupakan ilmu yang mengajarkan
real life system yang mencakup manusia secara pribadi, satuan kemasyarakatan,
satuan kelamana biologis, kimiawi, dan fisis. Melalui real life system, kita dapat
mempelajari nilai-nilai yang diperlihatkan oleh keteraturan dan keselarasan sistem
kehidupan. Manusia dapat mempelajarinya untuk memperbaiki diri, memperbaiki
amal kepada sesama masyarakat, dan meningkatkan ketaatan kepada Allah. Sains
juga dapat mengajarkan kepada manusia tentang keselarasan hidup. banyak
hikmah yang dapat dipelajari melalui perilaku alam yang dapat dijadikan cermin
dalam kehidupan manusia. Pembelajaran sains yang holistik merupakan urusan
penting untuk menanamkan intelektualitas dan ketauhidan pada diri siswa.
Melalui pengkajian pengetahuan tentang makhluk hidup dalam sains dapat
ditumbuh-kembangkan sikap dan keterampilan berpikir.
E. Penilaian Sikap Spiritual dan Sosial
Suparlan (2014: 1) mengatakan bahwa penilaian sikap dalam pembelajaran
merupakan serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mengukur sikap peserta
didik sebagai hasil dari suatu program pembelajaran. Penilaian sikap juga
merupakan aplikasi suatu standar atau sistem pengambilan keputusan terhadap
28
sikap. Kegunaan utama penilaian sikap sebagai begian dari pembelajaran adalah
refleksi pemahaman dan kemajuan sikap peserta didik secara individual. Objek
sikap yang perlu dinilai adalah: (1) Sikap terhadap materi pelajaran; (2) Sikap
terhadap pengajar; (3) Sikap terhadap proses pembelajaran; (4) Sikap berkaitan
dengan nilai-nilai dan norma-norma tertentu berhubungan dengan suatu materi
pelajaran; (5) Sikap berhubungan dengan kompetensi afektif lintas kurikulum
yang relevan dengan mata pelajaran. Kemdikbud (2014: 6) mengradasikan ranah
sikap spiritual dan sosial dalam 5 tingkatan:
(1) Menerima nilai: kesediaan menerima suatu nilai dan memberikanperhatian terhadap nilai tersebut; (2) Menanggapi nilai: kesediaanmenjawab suatu nilai dan ada rasa puas dalam membicarakan nilaitersebut; (3) Menghargai nilai: menganggap nilai tersebut baik; menyukainilai tersebut; dan komitmen terhadap nilai tersebut; (4) Menghayati nilai:memasukkan nilai tersebut sebagai bagian dari sistem nilai dirinya;(5) Mengamalkan nilai: mengembangkan nilai tersebut sebagai ciri dirinyadalam berpikir, berkata, berkomunikasi, dan bertindak (karakter).
Menurut Kunandar (2013: 73), standar perencanaan penilaian hasil belajar
sebagai berikut.
(1) Terpadu dan mengacu pada silabus dan RPP. (2) Mengembangkankriteria pencapaian KD sebagai dasar penilaian. (3) Menentukan teknikdan instrumen penilaian sesuai indikator. (4) Menginformasikan sejakawal kepada murid tentang aspek-aspek yang dinilai beserta kriteriaketercapaiannya. (5) Menuangkan seluruh komponen penialain ke dalamkisi-kisi. (6) Menganalisis kualitas instrumen penilaian dengan mengacupada pesyaratan instrumen serta menggunakan acuan kriteria.(7) Menentukan bobot tiap-tiap teknik peniaian dan menetapkan nilai akhirhasil belajar peserta didik. (8) Menetapkan KKM untuk dijadikan rujukanpengambilan keputusan
Penyusunan instrumen penilaian merupakan hal yang sangat penting dalam
kegiatan penilaian hasil belajar peserta didik. Instrumen penilaian yang tepat akan
menghasilkan informasi ketercapaian kompetensi peserta didik yang valid dan
akurat. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan instrumen adalah:
29
(1) Memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, dan bahasa.(2) Persyaratan substansi merepresentasikan kompetensi yang dinilai.(3) Persyaratan konstruksi adalah persyatratan teknis sesuai dengan bentukinstrumen yang digunakan. (4) Persyaratan bahasa berhubungan denganpenggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar serta komunikatifsesuai dengan taraf perkembangan peserta didik. (5) Instrumen dilengkapidengan pedoman penskoran.
Senada dengan hal tersebut, Kemdikbud (2013: 5) menjelaskan persyaratan
Instrumen penilaian ialah: (1) substansi yang merepresentasikan kompetensi yang
dinilai; (2) konstruksi yang memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk
instrumen yang digunakan; dan (3) penggunaan bahasa yang baik dan benar serta
komunikatif sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Purnomo (2013:
7) menyebutkan bahwa langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
mengembangkan instrumen penilaian sikap terdiri dari sebelas tahap, yaitu:
(1) Menentukan spesifikasi instrumen; (2) Menulis instrumen;(3) Menentukan skala instrumen; (4) Menentukan pedoman penskoran;(5) Menelaah instrumen; (6) Merakit instrumen; (7) Melakukan uji coba;(8) Menganalisis hasil uji coba; (9) Memperbaiki instrumen;(10) Melaksanakan pengukuran; dan (11) Menafsirkan hasil pengukuran.
Kurikulum 2013 membagi kompetensi sikap menjadi dua, yaitu sikap spiritual
dan sosial. Sikap spiritual berkaitan dengan pembentukan peserta didik yang
beriman dan bertaqwa. Sikap spiritual merupakan perwujudan penguatan
interaksi vertikal siswa dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan sikap sosial
berkaitan dengan pembentukan peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri,
demikratis, dan bertanggung jawab. Sikap sosial merupakan perwujudan
eksistensi kesadaran dalam upaya mewujudkan harmoni kehidupan.
Pada jenjang SMP/MTs, kompetensi sikap spiritual mengacu pada KI-1:
Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. Sedangkan
30
kompetensi sikap sosial mengacu pada KI-2: Menghargai dan menghayati
perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun,
percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam
dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya. Menurut Kunandar (2013: 115),
pengukuran sikap dapat dilakukan dengan teknik-teknik berikut:
(1) Observasi (Pengamatan Perilaku): Dilakukan secaraberkesinambungan dengan menggunakan indra, baik secara langsungmaupun dengan menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlahindikator perilaku; (2) Penilaian Diri: Peserta didik diminta untuk menilaidirinya sendiri berkaitan dengan status, proses, dan tingkat ketercapaiankompetensi yang dipelajari; (3) Penilaian Teman Sejawat: Dilakukan olehpeserta didik lain menggunakan angket atau kuesioner; (4) Jurnal:Dilakukan berdasarkan catatan tentang kekuatan dan kelemahan pesertadidik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku di dalam dan di luar kelas;(5) Wawancara: Dilakukan dengan menanyakan secara langsung kepadapeserta didik mengenai sikap mereka tentang pembelajaran pembelajaranyang dikaitkan dengan sikap spiritual dan sosial mereka.
Masing-masing penggunaan teknik penilaian memiliki kelebihan dan kekurangan.
Menurut hasil analisa yang dilakukan, teknik yang paling cocok untuk
dikembangkan ialah teknik penilaian diri.
Kemdikbud (2013: 207) mengartikan penilaian diri (self assessment) sebagai
suatu teknik penilaian dengan subjek yang ingin dinilai diminta untuk menilai
dirinya sendiri berkaitan tentang status, proses, dan tingkat pencapaian
kompetensi yang dipelajarinya dalam mata pelajaran tertentu. Menurut Kunandar
(2013: 130), penilaian diri dapat memberikan dampak positif terhadap
perkembangan kepribadian seseorang. Beberapa keuntungan yang dapat
diperoleh dari penggunaan penilaian diri di kelas menurut Kemdikbud (2013:
271) ialah: (1) Dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik; (2) Peserta
didik dapat menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya; (3) Dapat mendorong,
31
melatih, dan membiasakan peserta didik untuk berperilaku jujur. Prinsip-prinsip
yang harus diperhatikan dalam penilaian diri menurut Kunandar (2013: 132)
antara lain:
(1) Aspek-aspek yang mau dinilai harus jelas; (2) Menentukan danmenetapkan cara dan prosedur yang digunakan dalam penilaian diri,misalnya dengan daftar cek atau dengan skala; (3) Menentukan caramengolah dan menentukan hasil penilaian diri oleh peserta didik;(4) Membuat kesimpulan hasil penilaian diri.
Kunandar (2013: 137) memberikan contoh format penilaian diri sikap peserta
didik untuk mata pelajaran matematika sebagai berikut.
Gambar 1. Contoh 1 Format Penilaian Diri Sikap Peserta Didik
Kriteria penilaiannya ialah: (1) Bila siswa menjawab ya pada pernyataan positif
maka skornya 1 dan menjawab tidak skornya 0; (2) Bila siswa menjawab ya pada
pernyataan negatif maka skonya 0 dan menjawab tidak skornya 1.
Nilai siswa:Skor Perolehan
Skor Maksimal×100
PENILAIAN Sikap Peserta Didik terhadap Mata Pelajaran Matematika
Nama Peserta didik : ….. Kelas : ………..Mata Pelajaran : ……….. Semester : …….
No. PernyataanTanggapan
Ya Tidak1. Saya senang belajar matematika
2. Pelajaran matematika bermanfaat
3. Saya berusaha hadir tiap pelajaran matematika
4. Saya berusaha memiliki buku mapel matematika
5. Pelajaran matematika membosankan
6. Guru matematika saya menguasai materi yang diajarkan
7. Pembelajaran matematika menggunakan media yang menarik
8. Pembelajaran matematika menggunakan berbagai sumber belajar
9. Saya malas mengerjakan tugas-tugas mata pelajaran matematika
10. Guru matematika mengajar dengan penuh semangat
32
Keterangan penilaian yang digunakan:
(1) 91-100 berarti amat baik atau SM (Sudah Membudaya); (2) 71-90berarti baik atau MM (Mulai Membudaya); (3) 61-70 berarti cukup atauMT (Mulai Terlihat); (4) Nilai kurang dari 61 berarti kurang atau BT(Belum Terlihat).
Kemdikbud (2013: 86) menyatakan bahwa penilaian diri dapat dilakukan oleh
peserta didik pada setiap mempelajari satu KD atau pada saat telah
menyelesaikan tugas tertentu. Kemdikbud (2013: 87) memberikan contoh
format penilaian diri setelah peserta didik mengerjakan Tugas Proyek IPA
sebagai berikut.
PENILAIAN DIRI
Tugas:............................ Nama:..........................Kelas:..............................
Bacalah baik-baik setiap pernyataan dan berilah tanda V pada kolom yang sesuaidengan keadaan dirimu yang sebenarnya.
No Pernyataan YA TIDAK
1 Selama melakukan tugas kelompok saya bekerjasamadengan teman satu kelompok
2 Saya mencatat data dengan teliti dan sesuai dengan fakta3 Saya melakukan tugas sesuai dengan jadwal yang telah
dirancang4 Saya membuat tugas terlebih dahulu dengan membaca
literatur yang mendukung tugas5 ……………………………………….
Gambar 2. Contoh 2 Format Penilaian Diri Sikap Peserta
Arikunto (2008: 180) menjelaskankan beberapa skala sikap yang dapat
dipergunakan untuk mengukur domain afektif yaitu:
(1) Skala likert: Menggunakan item l yang secara pasti baik dan secarapasti buruk, disusun dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh limarespon yang menunjukkan tingkatan. Misalnya: SS (sangat setuju), S(setuju), TB (tidak berpendapat/abstain), TS (tidak setuju), STS (sangattidak setuju). (2) Skala pilihan ganda: bentuknya seperti soal bentuk
33
pilihan jamak, yaitu terdiri dari sejumlah pertanyaan yang diikuti olehsejumlah alternative jawaban. (3) Skala thurstone: Pada umumnya setiapitem mempunyai asosiasi nilai antara 1 sampai dengan 10, tetapi nilai-nilainya tidak diketahui oleh responden. Perbedaan skala Thurstone danskala Likert ialah pada skala Thurstone interval yang panjangnya samamemiliki intensitas kekuatan yang sama, sedangkan pada skala Likerttidak pernah sama. (4) Skala Guttman: merupakan skala kumulatif danmengukur satu dimensi saja dari satu variable yang multi dimensi,sehingga skala ini termasuk mempunyai sifat undimensional. (5) SkalaSemantic Deferensial: tersusun dalam satu garis kontinum, jawaban yangsangat positif terletak dibagian kanan garis dan jawaban negatif disebelahkiri garis, atau sebaliknya.
Zuchdi (2008: 100) berpendapat bahwa skala Likert lebih popular dan relatif
mudah disusun. Skala Likert yang sering digunakan berupa pernyataan dengan
skala lima: sangat setuju, setuju, tidak pasti, tidak setuju, sangat tidak setuju.
Pilihan ini dapat dimodifikasi dalam bentuk lain sesuai dengan kondisi.
Penyusunan skala ini diawali dengan membuat definisi operasional tujuan sikap
yang akan diukur, kemudian menyusun pernyataan positif dan negatif dalam
jumlah yang seimbang. Masing-masing indikator dibuat beberapa butir
pernyataan. Lembar penilaian mestinya dilengkapi dengan petunjuk pengisian
yang disajikan secara singkat dan jelas. Langkah selanjutnya, butir-butir
pernyataan diserahkan kepada pakar untuk diteliti hingga diyakini sudah
menceminkan capaian sikap yang akan diukur. Langkah terakhir ialah
mengadakan uji coba terhadap subjek didik. Hasil uji coba digunakan untuk
melakukan analisis untuk mengetahui kesahihan setiap butir soal dan faktor untuk
mengetahui internal konsistensinya.