Upload
dodan
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
19
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. CSR dan CSR Berkelanjutan
Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) CSR
adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan,
bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-
komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka
meningkatkan mutu kehidupan (Rudito et al., 2004). Peningkatan mutu kehidupan
mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk
dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati, serta memanfaatkan
lingkungan hidup, termasuk perubahan-perubahan yang ada dan sekaligus memelihara.
Atau dengan kata lain, CSR merupakan cara korporat mengatur proses usaha untuk
memproduksi dampak positif pada masyarakat (Rudito et al., 2004). CSR berarti
perusahaan harus bertanggungjawab atas operasinya yang berdampak buruk pada
masyarakat, komunitas dan lingkungannya. Namun sebaliknya juga harus memberikan
dampak positif terhadap masyarakat sekitar. Suatu perusahaan tidak akan dapat bertahan
lama apabila dia mengisolasikan dan membatasi dirinya dengan masyarakat sekitarnya
(Djajadiningrat dan Famiola, 2004).
Terkait dengan aspek hukum maka terdapat 4 jenis CSR (Fajar, 2010) yaitu :
1. Social responsibility theory, yaitu kewajiban direksi dan manajemen untuk menjaga
keharmonisan kepentingan pemegang saham (shareholders) dan pemangku
kepentingan (stakeholders). Dalam teori ini seakan tanggung jawab sosial hanya
menjadi kewajiban direksi dan manajemen saja atau menjadi terlalu sempit dari
hakekat CSR yang seutuhnya.
2. Hobbesian Leviatan theory, yang menghendaki kontrol yang ketat dari Pemerintah
serta meniadakan upaya-upaya lainnya. Teori ini menempatkan hanya Pemerintah
sebagai pihak yang berwenang dan menentukan terhadap aktivitas CSR perusahaan
dan menegasikan alternatif lainnya dalam pengaturan CSR.
20
3. Corporate governance theory, menghendaki adanya corporate accountability dari
direksi korporasi. Cenderung lebih mengamati hubungan pihak internal korporasi
yaitu antara pemilik dan manajemen korporasi.
4. Reflexive law theory, digunakan untuk mengatasi kebuntuan atas pendekatan formal
terhadap kewajiban perusahaan dalam sistem hukum. Hukum formal adalah bentuk
intervensi negara dalam mengatur persoalan privat melalui bentuk perundang-
undangan seperti Undang-Undang Perseoran Terbatas yang didalamnya juga
mengatur mengenai tanggungjawab sosial perusahaan. Reflexive law theory adalah
teori hukum yang menjelaskan adanya keterbatasan hukum (limit of law) dalam
masyarakat yang kompleks untuk mengarahkan perubahan sosial secara efektif.
Mengacu dari definisi CSR tersebut, ternyata pengaturan mengenai CSR tidak
cukup hanya dengan ke 3 pendekatan atau jenis pertama karena keterbatasan-keterbatasan
dari teori hukum sedangkan ruang lingkup CSR melebihi dari aturan yang berlaku.
Reflexive law theory paling tepat untuk menekan kerumitan dan keberagaman masyarakat
melalui peraturan perundang-undangan yang ekstensif. Reflexive law theory bertujuan
untuk mengarahkan pola tingkah laku dan mendorong pengaturan sendiri (self
regulation). Proses ini adalah regulated autonomy atau membiarkan private actors,
seperti korporasi untuk bebas mengatur dirinya sendiri. Masyarakat yang akan
memberikan penilaian maupun sanksi (market‟s reward punishment) terhadap aktivitas
CSR perusahaan. Disisi lain hukum reflexive mengintervensi proses sosial dengan
membuat prosedur acuan untuk perilaku korporasi (code of conduct). Dalam mengontrol
perilaku korporasi maka reflexive law theory menghendaki adanya social accounting,
auditing dan reporting, yang disebut social reporting (Fajar, 2010).
Pada dasarnya CSR memiliki berbagai aliran pemikiran yang dibagi menjadi
beberapa school of thought yaitu adalah :
1. CSR dibagi menjadi 3 school of thought menurut Achwan (2006) yaitu:
a. The business of business is business yang berpandangan bahwa perusahaan pada
hakekatnya merupakan institusi pencipta kesejahteraan masyarakat. Setiap
perusahaan memiliki tujuan tunggal yaitu memaksimalkan keuntungan untuk
pemiliknya dan dipercaya dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Tangan-tangan
21
tak kentara (invisible hands), adalah naluri yang dimiliki setiap perusahaan. Dengan
kata lain, perusahaan adalah pencipta kekayaan (wealth), dalam masyarakat dan
patuh kepada rule of law. Semua kegiatan philanthropy-semacam ini pada dasarnya
adalah pencurian uang milik pemegang saham yang dilakukan oleh para direktur
perusahaan.
b. Corporate voluntarism yang lebih menekankan aspek kebajikan, virtue, dalam
mengejar keuntungan perusahaan. Asumsi dari alam pemikiran ini adalah sifat CSR
sukarela (voluntary) dan menolak campur tangan negara dalam mengatur CSR di
perusahaan, CSR mendorong keuntungan ekonomi perusahaan, lalu keberadaan
perusahaan tidak dapat lepas dari masyarakat tempat perusahaan beroperasi.
c. Corporate involuntarism berpendapat bahwa setiap perusahaan memiliki kewajiban
menjalankan tanggung jawab sosial. Kewajiban ini harus dituangkan dalam bentuk
undang-undang. Para penyokong aliran ini berpendapat bahwa dalam kondisi
sekarang ini, ketika multinational corporation (MNC) jauh lebih berpengaruh
dibandingkan negara bangsa, self regulation dan voluntarism tidaklah mencukupi.
Sehingga perlu campur tangan Pemerintah.
2. Pengelompokan lainnya tentang aliran pemikiran dari CSR juga membagi menjadi 3
school of thought menurut pandangan Michael (2010) yaitu :
a. Neo-liberal school atau markets provide CSR adalah kegiatan CSR dimana pasar
menjadi pendorong aktivitas CSR meliputi CSR product market demand atau CSR
pada produk yang didorong oleh permintaan pasar, labour market demand atau
CSR pada tenaga kerja yang didorong oleh permintaan pasar dan capital market
demand atau CSR atas modal yang didorong oleh permintaan pasar modal.
Aktivitas ini bersifat sukarela dengan mekanisme kegiatannya mengacu pada
triple bottom line (dampak environmental, social, financial), dan stakeholders
board.
b. State led school atau CSR as a public policy adalah kegiatan CSR yang diatur
oleh negara. Aktivitas CSR dalam hal ini sifatnya wajib dilaksanakan.
c. Third-sector school atau CSR as site of participation adalah aktivitas CSR yang
dilakukan dengan membentuk forum-forum kerjasama seperti gabungan
22
perusahaan-perusahaan, kerjasama perusahaan dengan lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
3. Pemikiran lainnya atas school of thought dari CSR adalah sebagaimana yang
dikemukakan Fajar (2010) yaitu :
a. CSR yang bersifat sukarela (voluntary), adalah bentuk tanggung jawab sosial
perusahaan yang dilaksanakan secara sukarela dengan alasan: tujuan perusahaan
mencari keuntungan, CSR merupakan kewajiban moral sesuai pendapat Milton
Friedman, diacu dalam Fajar (2010), pelaksanaan CSR bertentangan dengan hak
kepemilikan privat, dan tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dalam bisnis. Henry
Hansmann dan Reinier Kraakman mengatakan bahwa tujuan perusahaan dalam
jangka panjang adalah mencari keuntungan shareholders. Shareholders oriented
menjadi model standar untuk hukum perusahaan secara universal. Karena sifatnya
sukarela dan berada di wilayah etika maka CSR diatur dalam code of conduct
(softlaw) seperti Global Reporting Initiative (GRI) Sustainability Reporting
Guidelines, Organisation fot Economic Co-operation and Development (OECD)
Guidelines for Multinational Enterprises, dan lain sebagainya. Namun keberadaan
Corporate Code of Conduct tidak cukup mampu mengikat korporasi (Fajar,
2010).
b. Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang bersifar wajib (compulsory).
Alasan utama dari CSR yang diwajibkan ini adalah: korporasi harus
memperhatikan kepentingan sosial yaitu stakeholders sebagaimana dikemukakan
oleh E.Merric Dodd, diacu dalam Fajar (2010) yang melahirkan stakeholders
theory. Selanjutnya pendapat ini didukung oleh Henry Hansmann dan Reinier
Kraakman yang berpendapat bahwa keberadaan perusahaan adalah untuk melayani
kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Terdapat 2 alasan mengapa CSR harus
diatur dalam hukum negara karena : 1). Tidak ada kekuatan memaksa dari hukum
kebiasaan dan prinsip sukaerela, tanpa diratifikasi dalam peraturan lokal sebuah
negara, 2). Prinsip sukarela yang tidak mengikat tidak akan memberikan efek
apapun secara jelas dan terukur (Fajar, 2010).
c. Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang tergantung situasi dan kondisi.
23
Kebijakan ini dipelopori oleh Jenkins, diacu dalam Fajar (2010) yang melihat dari
fungsi hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat. Untuk itu perlu dipahami
ranah apa saja yang masuk wilayah hukum dan mana yang tidak, Jenkins
mengatakan bahwa wilayah hukum dapat dilihat dari dua rezim yaitu necessity
(kebutuhan) dan possibility (kemungkinan). Necessity adalah rezim yang digunakan
untuk mendukung pembangunan manusia (human development). Tanpa kondisi
yang aman dan stabil pembangunan manusia tidak bisa dilakukan. Sementara
possibility berfungsi menciptakan kebebasan, kesempatan dan kemajuan yang
diperlukan, untuk menciptakan kesempurnaan kebaikan (absolute good). Jika rezim
necessity dan possibility menghendaki aturan hukum maka akan melahirkan
tanggung jawab hukum. Kewajiban untuk CSR menjadi perlu ketika korporasi
cenderung menghalangi pembangunan manusia dan berpeluang memunculkan
eksploitasi, korupsi, kesewenang-wenangan dan ketidakpastian dalam masyarakat
(Fajar, 2010).
Dari berbagai school of thought tersebut tampaknya Indonesia menganut konsep
mandatory atau compulsory (wajib) sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang
baik Undang-Undang Perseroan Terbatas nomor 4 tahun 2007 maupun Undang-Undang
Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007. Kewajiban melaksanakan CSR pun diwujudkan
dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009 untuk
aspek lingkungan, namun hingga kini belum ada peraturan organik yang merupakan
turunan dari berbagai undang-undang tersebut yang mengikat secara pasti dalam bentuk
peraturan pelaksanaan. Bila dilihat dari pada implementasinya cenderung dilakukan
sesuai dengan konsep self regulatory. Karena belum ada aturan pelaksanaan CSR
termasuk dalam sektor otomotif, sehingga setiap perusahaan menjalankan CSR sesuai
dengan konsepnya sendiri dan sesuai dengan pemahamannya masing-masing terhadap
CSR.
Menurut APCSRI (2009) praktek CSR yang baik mempunyai andil dalam :
(1) meminimalkan dampak negatif atas risiko aktifitas perusahaan terhadap masyarakat
dan lingkungan; (2) meminimalkan biaya operasional perusahaan, (3) meningkatkan
kinerja keuangan dan citra perusahaan, dan (4) pencapaian tujuan pembangunan
24
kesejahteraan masyarakat dan lingkungan, termasuk tujuan pembangunan millenium
(MDGs) di Indonesia. Lingkup dari CSR menurut Keraf (1998) dikatakan bahwa
perusahaan harus bertanggungjawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang
mempunyai pengaruh pada orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan dimana
perusahaan itu beroperasi. Maka, secara negatif itu berarti suatu perusahaan harus
menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa, sehingga tidak sampai merugikan
fihak-fihak tertentu dalam masyarakat. Secara positif itu berarti suatu perusahaan harus
menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya akan dapat ikut
menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahtera. Bahkan secara positif perusahaan
diharapkan ikut melakukan kegiatan tertentu yang tidak semata-mata didasarkan kepada
perhitungan keuntungan kontan yang langsung, melainkan demi kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa sesungguhnya pada tingkat
operasional bukan hanya staf manajemen yang bertanggungjawab sosial dan moral, tetapi
juga seluruh karyawan (Keraf, 1998).
Alasan mengapa perusahaan melakukan CSR menurut Lampesis (2005) adalah :
1. Memberikan timbal balik kepada komunitas, masyarakat dan lingkungan yang telah
memberikan manfaat dan keuntungan bagi perusahaan.
2. Perusahaan memperoleh keuntungan kompetitif dan keuntungan reputasi dengan
mendemonstrasikan perhatian terbaik perusahaan kepada masyarakat luas sebagai
bagian integral dalam pembuatan kebijakan.
3. Penelitian Orlizty, Schmidt and Reynes (2003) telah menemukan bahwa terdapat
korelasi antara kinerja sosial/lingkungan dengan kinerja finansial.
Pendorong perusahaan untuk melakukan CSR :
1. CSR akan berjalan sebagai check on regulatory failures, artinya apa yang tidak diatur
oleh Pemerintah, namun tetap diperlukan untuk dilaksanakan, maka disitulah CSR
muncul.
2. CSR memberikan kesempatan kepada perusahaan akan suatu tingkat fleksibilitas dari
aturan yang berlaku. Artinya perusahaan melakukan CSR lepas dari aturan yang
berlaku.
25
Manfaat dari pelaksanaan CSR bagi masyarakat (Brew, 2008) adalah :
1. Aktivitas dan peluang ekonomi
2. Penyerapan tenaga kerja
3. Akses terhadap skill dan teknologi
4. Infrastruktur yang meningkat
5. Perlindungan terhadap lingkungan
6. Kesehatan
7. Investasi sosial
Dalam melaksanakan CSR ada tiga kriteria yang harus dipenuhi (Bronchain, 2003),
yaitu :
1. They are carried out on a voluntary basis, i.e. going beyond common regulatory
and conventional requirements; atau harus bersifat sukarela dan melebihi yang
telah dipersyaratkan. Artinya mendemonstrasikan komitmen tanggungjawab
sosial dan lingkungan lebih dari sekedar mematuhi hukum atau aturan yang
berlaku.
2. There is interaction with the stakeholders, atau terdapat interaksi dengan para
stakeholders. Artinya perlu dicari pola-pola kemitraan (partnership) dengan
seluruh stakeholders agar dapat berperan dalam pembangunan, sekaligus
meningkatkan kinerjanya agar tetap dapat bertahan dan bahkan berkembang
menjadi perusahaan yang mampu bersaing. Pengertian CSR dikaitkan dengan
pemangku kepentingan adalah :
CSR is the capacity of a company to listen to, to take care of, to understand and
to satisfy the legitimate expectations of the different actors who contribute to
their development (Olivera Neto, diacu dalam Sanchez, 2008)
Dikatakan bahwa CSR adalah kapasitas perusahaan dalam mendengarkan,
menjaga, mengerti dan memuaskan ekspektasi yang legitimate dari para
pemangku kepentingan. Selanjutnya dampak dari program tanggungjawab
sosialnya (CSR) akan sangat tergantung dari respons perusahaan terhadap
ekspektasi dari berbagai pemangku kepentingannya (Dawkins and Lewis,
2003), yaitu :
26
A company‟s balancing of these several priorities must therefore be informed
by its stakeholders of importance. The company must define, consult and engage
these stakeholders in its programme that its activity is seen as relevant both to
the business and to its stakeholders, and some companies are of course well
advanced in this process of dialogue (Dawkins and Lewis, 2003).
Perusahaan harus menyeimbangkan berbagai prioritas dalam CSR sesuai
dengan kepentingan pemangku kepentingan, sehingga perlu mendefinisikan,
konsultasi dan mengaitkan pemangku kepentingan dalam aktivitasnya, agar
terdapat relevansi antara bisnis dan pemangku kepentingan.
2. Social and environmental concerns are integrated into the business operations,
atau mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan kepada operasi perusahaan.
Tujuan akhir pelaksanaan CSR adalah menempatkan entitas bisnis dalam upaya
pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, tanggungjawab sosial itu
seharusnya menginternalisasi pada semua bagian kerja pada suatu pekerjaan. CSR
harus merupakan keputusan strategik perusahaan sejak awal dari mendesain
produk yang ramah lingkungan, hingga pemasaran, dan pengolahan limbah.
Selain itu, secara eksternal CSR juga memastikan jangan sampai perusahaan
justru mengurangi kesejahteraan masyarakat di lingkungan sekitarnya (Nindita,
diacu dalam Tunggal, 2007). Tujuan dari pelaksanaan CSR dalam aspek
lingkungan didefinisikan sebagai :
As a result the environmental aspect of CSR is defined as the duty to cover the
environmental implications of the company‟s operations, products and
facilities; eliminate waste and emissions; maximize the efficiency and
productivity of its resources; and minimize practices that might adversely affect
the enjoyment of the country‟s resources by future generations (Mazurkiewicz,
2008).
Artinya bahwa tujuan CSR dalam aspek lingkungan adalah bagaimana
mengurangi dampak lingkungan akibat operasi perusahaan, produk maupun
fasilitas perusahaan mengurangi limbah dan emisi, memaksimalkan tingkat
efisiensi dan produktivitas dari sumber daya, serta mengurangi praktek-praktek
27
yang dapat mempengaruhi keberadaan sumber daya untuk generasi mendatang.
Bila di rinci kegiatan tersebut adalah :
1.Adanya fasilitas perusahaan, baik plant, gudang penyimpanan dan segala
inventaris perusahaan yang tidak mencemari lingkungan.
2.Adanya produk perusahaan berupa mobil yang ramah lingkungan
3. Adanya efisiensi dan produktivitas dalam penggunaan sumber daya, termasuk
bahan baku
4.Aktivitas perusahaan yang tidak mengganggu ketersediaan sumber daya untuk
generasi mendatang (berkelanjutan).
Cara pandang perusahaan terhadap CSR amatlah beragam. Ada yang
memandang CSR sekedar memenuhi regulasi yang ditetapkan pemerintah,
sementara yang lain sudah mulai melihat CSR sebagai cara berpikir baru
dalam mengelola bisnis secara keseluruhan. Secara umum, kegiatan CSR
berdimensi lingkungan menurut Rewarding Upland Poor for Enviromental
Services (RUPES), diacu dalam Leimona dan Fauzi (2008) dapat
dikategorikan sebagaimana pada Tabel 1.
Tabel 1. Kategorisasi CSR
Type aktivitas CSR Isu Lingkungan Isu Utama Bisnis
Tipe CSR 1
Compliance to
environmental regulation
Minimal dampak negatif
terhadap lingkungan akibat
proses produksi
Bisnis taat regulasi dan
minimal konflik
Tipe CSR 2
Contribution to
environmental
conservation
Pendukung konservasi
lingkungan
Peningkatan ”brand
image” alat pemasaran
dan periklanan serta
perluasan jaringan
Tipe CSR 3
Conservation for
additional income
Peningkatan mutu
lingkungan melalui proses
industri, dan melebihi baku
mutu yang ditetapkan
regulasi
Efisiensi proses
produksi, pengurangan
biaya produksi dan
penambahan benefit
Tipe CSR 4
Conservation for direct
production sustainability
Peningkatan mutu
lingkungan secara langsung
di kawasan sumber bahan
baku industry
Jaminan bagi
kelangsungan sumber
produksi perusahaan
28
Kategorisasi tersebut tidak dimaksudkan untuk memberikan peringkat baik
dan buruk, tetapi sebagai alat untuk melihat sejauhmana kegiatan CSR suatu jenis
industri dapat memberikan kontribusi terhadap lingkungan dan bisnisnya. CSR
berkaitan dengan konsep “go green”, menurut pandangan Howard Schultz,
pimpinan perusahaan Starbucks, CSR adalah “trying to achieve a fragile balance of
creating the necessity of profitability and the balance of having a social
conscience”(Leiu, 2010) atau mencapai keseimbangan antara kebutuhan akan
keuntungan perusahaan dan kepentingan sosial. Perusahaan semakin sadar terhadap
konsekwensi jejak lingkungan yang mereka tinggalkan dibelakangnya (ecological
footprints). Karena itu bersikap go green adalah langkah penerapan CSR dalam
aspek lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan. Konsep go green dalam bisnis
menjadi green business berarti konsep ramah lingkungan dalam segala aspek dalam
bisnis, dimana green business mencakup komitmen terhadap lingkungan dan
inisiatif terhadap keadilan sosial, termasuk dalam hal ini adalah mengurangi emisi
gas rumah kaca dan pencemar udara lainnya, penggunaan sumberdaya energi
terbarukan, efisiensi energi, pelestarian sumberdaya alam dan energi, minimalisasi
limbah dan penciptaan lapangan kerja didaerah yang dilayani. (Green For All,
2010). Dengan demikian green business berkaitan juga dengan penciptaan
kesejahteraan masyarakat. Dalam menyikapi kondisi lingkungan maka selain
bersifat reaktif atas apa yang diperbuat atas dampak operasi perusahaan, maka
green business adalah sikap menjaga lingkungan (environmental stewardship).
Dalam berbagai kasus, bisnis yang mengadopsi etika standar dalam menjaga
lingkungan (environmental stewardship) yang melebihi aturan yang berlaku akan
memperoleh keunggulan kompetitif (competitive advantage), mendapatkan
kesetiaan pelanggan (costumer loyalty) dan pangsa pasar (market share), dan juga
mengurangi resiko bisnis (Olson, 2010). Menjaga lingkungan (environmental
stewardship) adalah bagian dari CSR dalam aspek lingkungan (Olson, 2010)
Hubungan korporat dengan pemangku kepentingan sangat dipentingkan bagi
pelaksanaan CSR. Hubungan korporat dengan pemangku kepentingan tidak lagi
29
bersifat pengelolaan saja, tetapi sekaligus melakukan kolaborasi, yang dilakukan
secara terpadu dan berfokus pada pembangunan kemitraan. Kemitraan tidak lagi
bersifat penyangga organisasi, tetapi menciptakan kesempatan-kesempatan dan
keuntungan bersama, untuk tujuan jangka panjang dan pembangunan berkelanjutan
sesuai dengan tujuan, misi, nilai-nilai dan strategi-strategi tanggungjawab
perusahaan secara sosial yang pada dasarnya mendorong korporat untuk hidup
secara langgeng di dalam masyarakat. Kemitraan yang terwujud dalam interaksi
antar pemangku kepentingan ini pada dasarnya merupakan juga suatu bentuk
community development (CD) sebagai muara dari CSR (Rudito et al., 2004). Sarana
yang digunakan dalam rangka implementasi konsep CSR adalah program
community development (Rudito et al., 2004).
Salah satu yang menonjol dari praktik CSR di Indonesia adalah penekanan
pada aspek community development, karena paling sesuai kondisi dan kebutuhan
masyarakat Indonesia yang masih bergelut dengan kemiskinan dan pengangguran
(Ambadar, 2008). Bentuk dari community development terdiri dari community
relation atau pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi
kepada para pihak yang terkait, seperti konsultasi publik, penyuluhan dan
sebagainya, community service merupakan pelayanan korporat untuk memenuhi
kepentingan masyarakat ataupun kepentingan umum, seperti pembangunan fasilitas
umum, antara lain pembangunan/peningkatan sarana transportasi/jalan, sarana
pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya, dan community empowerment adalah
program-program berkaitan dengan memberikan akses lebih luas kepada
masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Berkaitan dengan program ini
adalah seperti pengembangan ataupun penguatan kelompok-kelompok swadaya
masyarakat, komuniti lokal, organisasi profesi serta peningkatan kapasitas usaha
masyarakat yang berbasiskan sumber daya setempat (Budimanta dan Rudito, 2008).
Bentuk-bentuk dari pelaksanaan CSR yang paling sering dilakukan oleh
perusahaan menurut Kotler and Lee (2005) terbagi dalam 6 bentuk meliputi :
30
1. Cause Promotion adalah kegiatan sosial yang dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesadaran, partisipasi, maupun penyertaan dana terhadap suatu
isu tertentu yang dipilih.
2. Cause-Related Marketing, perusahaan berkomitmen untuk melakukan donasi
atau kontribusi atas suatu issue tertentu berdasarkan atas penjualan produk.
Perusahaan akan melakukan bantuan dana berupa persentase tertentu atas
pendapatan penjualan. Biasanya dilakukan dalam periode waktu tertentu atas
suatu produk tertentu dan dalam bentuk sumbangan tertentu. Program ini
memiliki dua sasaran, yaitu memperoleh sejumlah dana tertentu untuk
didonasikan, disamping itu meningkatkan penjualan produk. Jenis aktivitas ini
tujuannya sama dengan cause promotion, namun dikaitkan dengan respons
konsumen terhadap penjualan (misalnya, besarnya donasi penumpang dikaitkan
dengan jumlah mil perjalanan dengan pesawat perusahaan tertentu).
3. Corporate Social Marketing. Kampanye untuk mendukung suatu perubahan
tertentu yang diharapkan terjadi atas suatu isu. Perubahan perilaku adalah yang
diharapkan terjadi dari aktivitas ini. Saat ini Corporate Social Marketing
umumnya dibangun dan diimplementasikan para profesional di pemerintahan
pusat maupun daerah, local public sector agencies, seperti fasilitas umum,
departemen kesehatan, transportasi, ekologi dan dalam organisasi nonprofit
lainnya.
4. Corporate Philanthropy. Kegiatan ini melakukan aktivitas berupa kontribusi
langsung berupa amal atau terhadap suatu permasalahan (isu). Lebih sering
dalam bentuk sumbangan uang dan betuk sumbangan lainnya. Hal ini
merupakan bentuk yang paling tradisional dari berbagai aktivitas CSR yang ada.
Isu utama yang didukung meliputi kesehatan masyarakat, pelayanan publik,
pendidikan, seni dan demikian pula perlindungan lingkungan.
5. Community Volunteering. Kegiatan ini menyediakan pelayanan pekerja sukarela
dari perusahaan kepada masyarakat. Hal ini merupakan inisiatif dari perusahaan
untuk mendukung dan menganjurkan karyawan, retail partner dan atau anggota
franchise untuk mendukung organisasi organisasi masyarakat setempat ataupun
31
permasalahan yang dihadapi. Kegiatan sukarela ini termasuk menyediakan
tenaga ahli, ide dan tenaga kerja. Perusahaan mendukung dengan menyediakan
waktu kerja untuk keperluan membantu masyarakat, maupun membentuk tim
untuk membantu masyarakat.
6. Socially Responsible Business Practice. Kegiatan ini mengadopsi dan
berinisiatif melakukan praktek bisnis maupun investasi yang mendukung
kepada permasalahan sosial yang ada. Sifat dari kegiatan ini adalah melakukan
hal yang melebihi apa yang dipersyaratkan oleh hukum dan peraturan yang ada
dan melebihi apa yang diharapkan (discretionary) terhadap komunitas seperti
karyawan, distributor, pemasok, mitra nonprofit dan demikian juga sebagai
anggota dari masyarakat umum. Sedangkan bidang aktivitasnya meliputi
kesehatan dan keselamatan, demikian pula kebutuhan emosional dan psikologis.
Saat ini praktek penyelenggaraan perusahaan telah bergeser dari menanggulangi
keluhan pelanggan, menanggulangi tekanan dari group-group penekan, kepada
kegiatan yang sifatnya proaktif mencari solusi atas permasalahan sosial yang
ada. Pada umumnya aktivitas ini didominasi oleh kegiatan manufacturing,
teknologi dan industri pertanian, dimana keputusan dibuat berkaitan dengan
supply chain, bahan baku, prosedur operasional dan keamanan karyawan.
CSR adalah tanggungjawab dari pengusaha, para direktur maupun
manager disamping tugas untuk memenuhi keinginan pemilik atau pemegang
saham, yaitu keuntungan perusahaan tetapi juga melakukan hal yang serupa
terhadap pemangku kepentingan dari perusahaan (Sacconi, 2006). Selanjutnya
sebagai pola CSR yang konsisten, perusahaan harus melakukan lebih dari apa
yang dipersyaratkan/diatur dalam perundang-undangan maupun peraturan
Pemerintah mengenai penanganan aspek lingkungan, keselamatan dan
kesehatan pekerja, berinvestasi dalam komunitas dimana perusahaan beroperasi.
Dengan demikian, perusahaan harus secara konsisten mengurangi dampak
emisinya terhadap mutu udara maupun air dan secara rutin mengurangi resiko
terhadap kesehatan dan keselamatan para karyawannya, serta berinvestasi
kepada masyarakat disekitar lokasi perusahaan lebih dari yang dipersyaratkan
32
untuk memperoleh ijin operasi dari masyarakat sekitar dalam bentuk
pembangunan jalan, pembangunan sarana sekolah, pelayanan kesehatan atau
juga bantuan subsidi terhadap pengembangan seni masyarakat, (Portney, diacu
dalam Hay et al., 2005).
Istilah CSR dan Pembangunan Berkelanjutan adalah saling berkait, bahkan
istilah keduanya dapat dipertukarkan (Hay et al., 2005). Bahkan CSR dikatakan
sebagai suatu konsep pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable
development (Permana, 2008)). Keberlanjutan disini didefinisikan sebagai kapasitas
penampung dari ekosistem untuk mengasimilasikan pemborosan agar tidak sampai
berkelebihan. Dan rataan hasil dari sumber daya yang terbaharui tidak akan
berlebihan pada rataan generasi (World Bank Group, diacu dalam Rudito et al.,
2004). Indikator keberlanjutan didefinisikan sebagai indikator yang memberikan
informasi secara langsung atau tidak langsung mengenai viabilitas di masa
mendatang dari berbagai level tujuan (sosial, ekonomi dan lingkungan)
(Senanayake, 1991). Sedangkan indikator untuk menilai keberlanjutan menurut
Walker and Reuter (1996) dibagi dalam dua tipe, yaitu : (1) indikator kondisi yang
mendefinisikan kondisi sistem relatif terhadap kondisi yang dapat digunakan untuk
menilai lingkungan; dan (2) indikator trend yang menggambarkan seluruh
kecenderungan linear dari suatu keadaan sumberdaya selama periode simulasi.
Partisipasi dunia usaha dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) adalah dengan mengembangkan program kepedulian perusahaan
kepada masyarakat disekitarnya (Ambadar, 2008). Berkesinambungan
(berkelanjutan) menurut pandangan Rasmussen (1996) juga adalah berarti berpikir
kesamping dan disekitar persimpangan-persimpangan, tidak hanya ke atas dan ke
bawah dalam hierarki, atau ke depan dan ke belakang dalam pengertian kita yang
biasa tentang waktu dan sejarah. Berarti berkelanjutan dalam konteks CSR
perusahaan harus memperhatikan masyarakat di sekitar perusahaan (disamping)
sebagai mitra yang berada di samping lokasi perusahaan, sebagai bagian dari
pemangku kepentingan perusahaan (stakeholders). Sebagaimana dikemukakan
CSR dari dunia usaha atau perusahaan memiliki ciri-ciri spesifik, sesuai dengan
33
jenis usaha (manufaktur, jasa, perkebunan, pertambangan dan energi), besarnya
perusahaan, financial performance, sensitivitas perusahaan, umur perusahaan, serta
luas cakupan wilayah operasinya. Ciri-ciri spesifik tersebut berpengaruh terhadap
klasifikasi tanggungjawab sosial, yang digambarkan dari jenis program, besaran
anggaran, serta luas cakupan wilayah tanggungjawab sosialnya, baik dalam
melayani kepentingan internal organisasi maupun kepentingan eksternal organisasi
yaitu publik atau masyarakat luas (Depsos, 2005).
Prinsip dasar dunia usaha dalam pelaksanaan CSR (Depsos, 2005) adalah :
1. Interdependensi antar pemangku kepentingan
2. Pemberdayaan
3. Partisipatif
4. Keswadayaan/kemandirian
5. Kepakaran
6. Prioritas
7. Menghargai keberagaman dan Hak Azasi Manusia atau HAM (diversity)
8. Good employee rsosialonship
9. Saling menguntungkan
10. Terpadu (peningkatan mutu lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat)
11. Good international rsosialonship
12. Praktek pasar yang terpercaya
13. Taat kepada peraturan yang berlaku terutama pajak (fiscal responsibility)
14. Akuntabilitas usaha (auditing, monitoring dan reporting)
15. Terukur (measurable)
16. Transparan
Dalam menjalankan aktivitas CSR, tidak ada standar atau praktek-praktek
tertentu yang dianggap terbaik. Setiap perusahaan memiliki karakteristik dan situasi
unik yang berpengaruh terhadap bagaimana memandang tanggungjawab sosial.
Implementasi CSR yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan sangat
bergantung kepada misi, budaya, lingkungan dan profil risiko (Susanto, 2007).
Meskipun tidak terdapat standar atau praktek-praktek tertentu yang dianggap
terbaik dalam pelaksanaan aktivitas CSR, namun kerangka kerja (frame work) yang
luas dalam pengimplementasian CSR masih dapat dirumuskan, yang didasarkan
pada pengalaman dan juga pengetahuan dalam bidang-bidang seperti manajemen
lingkungan (Susanto, 2007).
34
Pada saat ini, CSR yang dilaksanakan umumnya masih merupakan kegiatan
bersifat pengabdian kepada masyarakat ataupun lingkungan yang berada tidak jauh
dari lokasi tempat dunia usaha melakukan kegiatannya, dan sering kali kegiatannya
belum dikaitkan dengan tiga elemen yang menjadi kunci dari pembangunan
berkelanjutan (triple bottom lines), yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Kondisi utama yang harus ada dalam melaksanakan CSR berkelanjutan
adalah :
1. Perusahaan haruslah sehat dan tumbuh (Permana, 2008). Artinya perusahaan
harus dapat memliki profit yang cukup untuk melakukan CSR.
2. Program CSR baru dapat menjadi berkelanjutan apabila program yang dibuat
oleh suatu perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap
unsur yang ada di dalam perusahaan itu sendiri (Lesmana, 2006). Dengan
demikian, perlu ada dialog dengan para stakeholders untuk memahami
kebutuhan dan keinginannya (Bronchain, 2003).
3. Outcome/result CSR yang terukur/measurable (The Chartered Quality Institute,
2008).
4. Harus memiliki sistem management yang dapat mampu mencakup (meng-
cover), sehingga CSR dapat mencapai tujuan yang diinginkan (The Chartered
Quality Institute, 2008)
5. Menerapkan prinsip triple bottom line (profit, people dan planet), sehingga
program CSR ada kaitannya dengan operasional dan tujuan perusahaan,
sehingga semuanya berjalan sustainable (Permana, 2008). Perusahaan harus
berorientasi untuk mencari keuntungan yang memungkinkan untuk terus
beroperasi dan berkembang (profit), perusahaan harus memiliki kepedulian
terhadap kesejahteraan manusia (People) dan perusahaan harus peduli terhadap
lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman hayati. (Suharto, 2006). Dalam
pandangan Asia, CSR adalah komitmen perusahaan untuk beroperasi dengan
mencapai keberlanjutan dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dan
mencapai keseimbangan kepentingan pemangku kepentingan (Fukukawa, 2010)
35
6. Memasukkan CSR dalam bisnis inti dan proses organisasi (Pratomo, 2008).
Dalam hal ini mengetahui indeks keberkelanjutan dalam aktivitas CSR perlu
melakukan penilaian terhadap aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan
(Munasinghe, 1993), serta diidentifikasi atribut-atribut dari masing-masing
aspek atau dimensi.
2.2 Komitmen terhadap CSR
Komitmen terhadap CSR adalah instrumen-instrumen yang dibangun oleh
sebuah perusahaan yang mengindikasikan apa yang ingin dilakukan dalam rangka
memberi perhatian terhadap pengaruh sosial dan lingkungannya (Susanto, 2007).
Komitmen ini mengkomunikasikan sifat dan arah dari aktivitas sosial dan lingkungan,
sehingga membantu pihak lain memahami bagaimana perilaku perusahaan dalam
situasi-situasi tertentu. Dengan adanya komitmen CSR, menjadi jelas bagi pihak-
pihak lain mengenai apa yang bisa diharapkan dari perusahaan. Dengan
mengartikulasikan ekspektasi ini akan mengurangi kemungkinan terjadinya
kesalahpahaman.
Komitmen CSR dapat memperbaiki mutu keterlibatan perusahaan dengan
pihak-pihak dimana mereka melakukan interaksi (Susanto, 2007). Komitmen CSR
harus dituangkan ke dalam pernyataan dengan bahasa yang tegas dan harus berisi
kewajiban-kewajiban dengan kata-kata yang jelas dan ringkas (Susanto, 2007). CSR
harus dapat diimplementasikan. Implementasi mengacu kepada keputusan, proses,
praktek, dan aktivitas keseharian yang menjamin bahwa perusahaan memenuhi
semangat dan menjalankan rencana tertulis yang telah disusun.
2.3 CSR, Etika Bisnis dan Good Corporate Governance (GCG)
Pada dasarnya CSR, Etika bisnis, dan Tata Kelola Perusahaan yang Baik atau Good
Corporate Governance saling berkaitan satu sama lain. CSR berkaitan, namun tidak
identik dengan etika bisnis. CSR berkaitan dengan tanggungjawab ekonomi, legal,
ethical, dan discretionary, sedangkan etika bisnis fokus kepada pertimbangan
moralitas dan perilaku individu dan kelompok dalam organisasi. Sehingga etika
bisnis dipandang sebagai komponen dari studi yang lebih luas dari CSR. Sedangkan
36
Good Corporate Governance (GCG) adalah alat dalam melaksanakan etika bisnis
(Kurniaty, 2008).
2.4 Industri Otomotif
Indonesia saat ini sedang dalam proses pembangunan diberbagai sektor,
termasuk industri otomotif. Industri Otomotif memainkan peranan penting dalam
proses pembangunan berkelanjutan. Berbagai type kendaraan telah dihasilkan
meliputi jenis sedan, 4x2 (Multi Purpose Vehicle/MPV), 4x4 (Sport Utility
Vehicle/SUV), Bus, Pick Up/truck, dan Kabin Ganda (double cabin) 4x2/4x4 sesuai
dengan katagorisasi SNI 09-1825-2002 (Gaikindo, 2008).
Pengertian dari masing-masing jenis kendaraan tersebut adalah :
1. Sedan
Dalam bahasa Inggris versi American English disebut sedan, sedangkan dalam
bahasa Inggris versi British English: saloon, adalah salah satu dari body style yang
paling umum dari mobil modern. Pada dasarnya merupakan mobil penumpang
dengan dua baris tempat duduk dengan ruang penumpang yang cukup memadai
dibagian ruang belakang untuk penumpang dewasa. Umumnya memiliki ruangan
terpisah untuk bagasi. Beberapa produsen mobil membuat mobil yang penempatan
mesinnya dibagian belakang, seperti Volkswagen (VW) misalnya. Berbagai jenis
sedan yang dibuat adalah jenis model 4 pintu dan model 2 pintu. Jenis sedan dibagi
dalam beberapa kategori yaitu (a) Cylinder Capacity (CC) ≤ 1.500 baik berbahan
bakar bensin (Gasoline = G) ataupun Solar (Diesel = D), (b) CC 1.501 – 3.000 (G)
/ 2.500 (D) dan (c). CC > 3.001 (G) / 2.501 (D)
2. 4 x 2 Multi Purpose Vehicle/MPV
MPV dikenal sebagai mobil penumpang. Jenis kendaraan ini memiliki jarak tinggi
antara body dengan tanah. Suatu MPV yang besar dapat menampung lebih dari 8
penumpang. Jenis yang dikenal adalah minibus. Jenis ini dibagi menjadi beberapa
kategori yaitu (a) CC ≤ 1.500 (G/D) dan (b) CC 1.501 – 2500 (G/D)
3. 4 x 4 Sport Utility Vehicle/SUV
SUV merupakan kendaraan berkemampuan off-road dengan empat roda
penggerak kendaraan (four-wheel drive) dan mampu melintasi segala medan
37
dengan body yang tinggi dan boxy. Jenis ini dibagi menjadi (a) CC ≤ 1.500
(G/D), (b) CC 1.501 – 3.000 (G) / 2.500 (D) dan (c). CC > 3.001 (G) / 2.501 (D)
4. Bus
Bus adalah kendaraan besar beroda yang digunakan untuk membawa penumpang
dalam jumlah besar. Jenis ini dibagi menjadi (a). Gross Vehicle Weight (GVW) 5
– 10 Ton (G/D) dan (b). GVW 10 – 24 Ton (G/D)
5. Pick Up/Truck
Pick up adalah kendaraan bermotor jenis ringan (light) dengan memiliki bak
terbuka dibagian belakang yang terpisah dengan kabin penumpang dan mampu
mengangkat barang-barang. Truck adalah kendaraan yang digunakan untuk
mengangkut barang-barang dan material. Jenis ini dibagi menjadi (a). Gross
Vehicle Weight (GVW) < 5 (G/D), (b). GVW 5 – 10 Ton (G/D), (c) GVW 10 –
24 Ton (G/D) dan (d) GVW > 24 Ton (G/D)
6. Kabin Ganda (double cabin) 4 x 2/4 x 4
Kendaraan Double Cabin adalah kendaraan bermotor dengan kabin ganda dalam
bentuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3
(tiga) orang (termasuk pengemudi), dengan massa total tidak lebih dari 5 ton.
Jenis ini meliputi GVW < 5 Ton (G/D) for all cc
Untuk mencapai industri otomotif berkelanjutan, maka aspek ekonomi, sosial
dan lingkungan perlu diperhatikan dan diseimbangkan. Tidak dapat industri otomotif
hanya memperhatikan sektor ekonomi dan sosial, karena aspek lingkungan menjadi
penentu pula dalam pembangunan industri otomotif berkelanjutan. Gambar 2
menjelaskan pengaruh otomotif terhadap lingkungan (Graedel et al., diacu dalam
Ayres and Ayres, 2002)
38
Gambar 2. Diagram sistem teknologi otomotif (Graedel et al., diacu dalam Ayres and
Ayres, 2001)
Gambar 2 menunjukkan pengaruh dari keberadaan otomotif yang diproduksi oleh
pabrikan yang berdampak terhadap phase proses produksi, penggunaan, proses daur
ulang sampai kepada phase ketersediaan infrastruktur jalan dan jembatan, hingga
kepada perubahan struktur sosial seperti persebaran komunitas, mal-mal, kegiatan
perekonomian dan sebagainya. Pengaruh terbesar dari otomotif terhadap lingkungan
bukannya pada lingkaran terkecil, yaitu mesin kendaraan maupun limbah yang
dikeluarkan oleh pabrik mobil, namun justru pada pengaruhnya terhadap penyebaran
masyarakat dalam skala wilayah maupun kegiatan usaha masyarakat, termasuk
didalamnya penyebaran pusat-pusat perbelanjaan atau mal-mal dan sebagainya.
Industri otomotif secara global amat beragam dan meliputi berbagai segmen
produk seperti engine parts, drive trasmission and steering parts, suspension & braking
parts, electrical parts dan komponen kendaraan lainnya. Industri otomotif meliputi
produsen dan dealer dari berbagai jenis kendaraan mulai dari luxury cars, passenger
Automobile
Subsystem
(e.g. the engine)
The automobile
. manufacture .use . recycle
Infrastructure technologies
. built infrastructure (e.g. highway)
. supply infrastructure (e.g.
petroleum industri)
Social structure
(e.g. dispersed communities and
businesses, malls)
39
cars, specialist vehicles, off-road vehicles, aksesories dan komponen kendaraan, produk
perlindungan kendaraan (car care products), environment and safety equipment, garage
and service equipment, moulds and dyes, oils and libricants, petrol vending machines,
tires, batteries and auto electrical, upholsteries dan banyak lagi.
Mobil itu sendiri juga membuat orang dapat bepergian dan mengangkut barang-
barang lebih jauh dan lebih cepat dan telah membuka pasar yang lebih besar untuk bisnis
dan komersial. Berbagai industri yang mendukung industri otomotif seperti perusahaan
asuransi, security, petroleum, industri disain dan konstruksi jalan raya. Selain itu dampak
yang timbul akibat mobilitas yang disediakan oleh mobil adalah seperti motels, drive-in
theathers dan fast-food restaurant. Sedemikian besar dampak yang ditimbulkan oleh
industri otomotif yang diestimasikan bahwa setiap pekerjaan yang tercipta di industri
perakitan mobil, tiga dari empat jenis pekerjaan tercipta dari industri komponen
kendaraan (Williams, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa industri otomotif membuka
kesempatan besar bagi terciptanya peluang usaha dari industri komponen kendaraan.
Sehingga bentuk tanggungjawab industri otomotif dalam hal keterkaitan antara mobilitas
dengan ekonomi dan pembangunan sosial dapat diwujudkan dalam bentuk seberapa besar
teknologi maupun bahan baku yang dapat di pasok yang merupakan produk lokal, serta
berupaya menguak segala perbedaan antara standar lokal dan global serta kinerjanya, dan
semakin merekatkan diri dengan pemasok lokal. Adapun komitmen umum dari industri
otomotif adalah bertanggungjawab atas seluruh mutu kehidupan sosial di wilayah dimana
perusahaan beroperasi (UNEP, 2002).
Industri otomotif dapat memberikan kesempatan untuk memasok komponen
mobil kedalam industri otomotif kepada masyarakat agar dapat membuka lapangan kerja
yang banyak bagi masyarakat sekitar dan mampu meningkatkan pendapatan. Demikian
pula sektor-sektor pendukung industri otomotif berpeluang dapat menyertakan
masyarakat sekitar untuk mengelolanya dalam bentuk usaha-usaha kecil seperti catering,
pengelolaan limbah pabrik, usaha cleaning service dan sebagainya.
Industri otomotif pada dasarnya menempati posisi strategis dalam pembangunan
nasional. Dengan adanya globalisasi dan pertumbuhan ekonomi telah mendorong
meningkatnya mobilitas dan motorisasi. Mobilitas itu sendiri merupakan kebutuhan dasar
40
manusia dan merupakan fasilitator utama dari pembangunan ekonomi dan mutu
kehidupan. Akses terhadap mobilitas, khususnya di negara berkembang berarti akses
tehadap pekerjaan, pendidikan dan kesehatan. Demikian juga berarti akses kepada
pemenuhan kebutuhan barang dan jasa, kesenangan dan kesempatan terhadap aktivitas
ekonomi, sosial dan budaya (UNEP, 2002). Sedemikian penting posisi industri otomotif
sebagai penghasil kendaraan bermotor (mobil), sehingga pembangunan industri otomotif
berkelanjutan amat diperlukan. Dalam menjalankan aktivitasnya industri mobil sebagai
pemangku kepentingan dari pembangunan nasional berkelanjutan diperlukan peran aktif
dalam kegiatan lebih dari sekedar mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk
kepentingan shareholders, artinya perusahaan perlu bertanggungjawab terhadap masalah-
masalah sosial yang timbul lebih daripada yang dipersyaratkan.
Aspek paling kritikal yang merupakan side effect atau efek samping dalam upaya
meningkatkan mobilitas adalah berkaitan dengan lingkungan (environment), dimana,
environmental performance is at the core of corporate best practice with regard to
sustainable development (UNEP, 2002), atau aspek lingkungan merupakan faktur
penentu dalam industri otomotif untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Meskipun
tidak mengurangi tingkat kepentingan dari kedua aspek lain (ekonomi dan sosial).
Saat ini kota Jakarta mendapat julukan sebagai kota nomor tiga terparah tingkat
polusi CO2-nya di dunia, hal ini diakibatkan sebagian besar oleh emisi gas buang
kendaraan bermotor. Hal ini amat merugikan bagi kesehatan masyarakat, khususnya kota
Jakarta. Menurut artikel di harian Kompas tanggal 30 November 2007 terdapat tulisan
yang merupakan hasil survei dari kerjasama Yayasan Pelangi, Organda DKI, ADB, Dinas
Perhubungan, DKI, BPS DKI ditemui kerugian akibat dari kemacetan di bulan Maret
2007 mencapai Rp. 43 triliun. Keadaan ini merupakan permasalahan yang timbul sebagai
fakta dari penggunaan kendaraan bermotor yang merupakan produk dari industri
otomotif. Tentu hal ini berakibat menjadikan industri otomotif menjadi tidak
berkelanjutan.
Upaya untuk mengurangi dampak emisi gas buang kendaraan bermotor adalah
dengan memberlakukan standar emisi gas buang sebagaimana yang telah diberlakukan
saat ini sebagaimana yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
41
4 Tahun 2009 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru
berikut.
Tabel 2. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M
dan N Berpenggerak Motor Bakar Cetus Api Berbahan Bakar Bensin
No.
Kategori (1)
Parameter
Nilai Ambang Batas
1. M1, GVW ≤ 2,5 ton, tempat duduk ≤,
tidak termasuk tempat duduk
pengemudi
CO
HC + Nox
2,2 gram/km
0,5 gram/km
2. M1, Tempat duduki 6-8 tidak
termasuk tempat duduk pengemudi,
GVW > 2,5 ton atau N1, GVW ≤ 3,5
ton
a. Kelas 1, RM ≤ 1.250 kg
b. Kelas II, 1250 kg < RM ≤ 1.700 kg
c. Kelas III, RM > 1.700 kg
CO
HC + Nox
CO
HC + Nox
CO
HC + Nox
2,2 gram/km
0,5 gram/km
4,0 gram/km
0,6 gram/km
5,0 gram/km
0,7 gram/km
Keterangan : (1) : Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian
tabel di atas, maka nilai ambang batas mengacu kepada pengkatagorian GVW
GVM : Gross Vehicle Weight adalah jumlah berat yang diperbolehkan (JBB)
RM : Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg
M1 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai
tidak lebih dari delapan tempat duduk (tidak termasuk tempat duduk
pengemudi).
N1 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai
jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari 0,75 ton
N2 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai
jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 3,5 tetapi tidak lebih dari
12 ton
N3 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai
jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 12 ton.
42
Pada dasarnya untuk lingkup internasional, penetapan ambang batas yang
dijadikan standar international adalah mengacu pada standar Euro. Berikut adalah
standar uji emisi yang berlaku secara international yang diadopsi oleh Indonesia dan
telah diberlakukan di Eropa, dan masa diberlakukannya (Wikipedia, 2009) berikut.
Tabel 3. Tabel Ambang Batas Emisi menurut standar EURO (gasoline)
Tier Date CO HC NOx HC+NOx PM
Euro 1† July 1992 2,72 (3.16) - - 0,97 (1,13) -
Euro 2 January 1996 2,2 - - 0,5 -
Euro 3 January 2000 2,3 0,2 0,15 - -
Euro 4 January 2005 1,0 0,1 0,08 - -
Euro 5 September 2009 1,0 0,1 0,06 - 0,005**
Euro 6 (future) September 2014 1,0 0,1 0,06 - 0,005**
* Before Euro 5, passenger vehicles > 2.500 kg were type approved as light commercial
vehicle N1 – I
** Applies only to vehicles with direct injection engines
† Values in brackets are conformity of production (COP) limits
Dari Tabel 3 telihat bahwa Eropa telah menerapkan ketentuan mengenai ambang
batas emisi gas buang kendaraan bermotor lebih dulu dan jauh lebih ketat dari yang
diberlakukan di Indonesia. Saat ini Indonesia baru menerapkan aturan tersebut yang
sesuai dengan Euro 2 dalam ketentuan Eropa.
3. CSR Industri Otomotif
Sesuai dengan konsepnya CSR adalah kewajiban perusahaan memaksimalkan
dampak positif dan meminimalisasikan dampak negatif dalam berkontribusi kepada
masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan jangka panjang masyarakat, serta
keinginannya. CSR berarti berperan dalam ekonomi masyarakat dan sumber daya
manusia atau SDM (Journal of Consumer Marketing (2001), diacu dalam Talaei and
43
Nejati, 2008). Kewajiban dari perusahaan adalah kepada pemangku kepentingan.
Kewajiban ini melampaui persyaratan legal dan tugas perusahaan kepada pemegang
saham. Pemenuhan kewajiban ini adalah dengan meminimalisasi dampak negatif,
serta segala bentuk kerugian dan memaksimalkan dampak menguntungkan secara
jangka panjang kepada masyarakat (Bloom and Gundlach (2001), diacu dalam Talaei
and Nejati, 2008).
Dalam CSR terdapat 4 dimensi yang diidentikkan dengan pembangunan
berkelanjutan, karena CSR berkaitan erat dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan (Talaei and Nejati, 2008). Bahkan CSR is the ultimate level toward
sustainable development. Unsur-unsur CSR yang dikemukakan Carroll (2000) adalah
dimensi Discretionary Responsibilities (tanggungjawab yang bersifat
kebijakan/sukarela), Ethical Responsibilities (tanggungjawab untuk berlaku etis
dalam berbisnis), Legal Responsibilities (tanggungjawab untuk mentaati segala
peraturan yang berlaku) , Economic Responsibilities (tanggung jawab ekonomi) telah
memenuhi aspek keberlanjutan (ekonomi, sosial dan lingkungan) dan identik dengan
prinsip keberlanjutan. Keempat unsur CSR ini harus merupakan sesuatu yang terpadu
tidak dapat terpisah-pisah. CSR harus memenuhi keempat unsur tersebut (Gambar 3).
Gambar 3. Kategorisasi CSR
Sejak tahun 1991 istilah kategori keempat yaitu Discretionary Responsibilities
diganti menjadi corporate citizenship (Solihin, 2009). Corporate citizenship yang
baik adalah dapat dirumuskan sebagai suatu pemahaman dan pengelolaan atas
pengaruh perusahaan secara luas terhadap masyarakat untuk kebaikan perusahaan dan
masyarakat secara keseluruhan (Marsden and Andrioff (1998), diacu dalam Solihin,
2009)
Tanggungjawab Altruistik/discreation
Tanggungjawab Moral
Tanggungjawab Legal
Tanggungjawab ekonomi
44
Atribut-atribut dari tiap-tiap dimensi tersebut dalam industri otomotif (Talaei
and Nejati, 2008) adalah :
1. Dimensi tanggungjawab Ekonomi (Novak (1996), diacu dalam Talaei and Nejati,
2008)
Hal ini adalah berupaya menguntungkan principals dengan cara memberikan
barang yang bermutu baik dengan harga fair kepada pelanggan, dengan tanggung
jawab ekonomi direalisasikan dalam bentuk :
a. Satisfying Customers (tingkat kepuasan pelanggan) adalah kepuasan pelanggan
terhadap produk (unit kendaraan) yang sesuai dengan nilainya.
b. Fair rate return (tingkat pengembalian yang fair)
Untuk memperoleh return yang fair atas dana-dana yang dipercayakan oleh
investor untuk ditanam di perusahaan.
c. Poverty eradication (pengentasan kemiskinan) menciptakan kesejahteraan yang
baru. Yaitu misalnya memperbesar jumlah saham yang ditanam di institusi non-
profit yang dimiliki oleh sosial, dan menolong mengangkat dari kemiskinan
dengan peningkatan upah.
d. Creating new jobs atau lapangan kerja yang tercipta.
e. Diversity citizens economic interests atau keragaman tingkat kepentingan
ekonomi dari masyarakat.
f. Generating upward mobility (tingkat mobilitas semakin meningkat) adalah
mengupayakan kepentingan umum demi mengedepankan mobilitas dan
memberikan perasaan kepada masyarakat bahwa kondisi ekonominya akan
membaik.
g. Promote innovation (pengembangan inovasi), yaitu frekuensi dalam
pengembangan model yang tercipta, perbaikan dalam metode produksi dan
besarnya saran-saran perbaikan metode kerja dari karyawan.
2. Dimensi tanggung jawab Legal
Aktivitas bisnis yang bermoral yaitu mentaati hukum dan perundang-undangan.
Namun hukum memiliki keterbatasan untuk meyakinkan perilaku yang
bertanggungjawab. Bisnis cenderung untuk reaktif terhadap adanya berbagai aturan-
45
aturan dalam hukum, bukannya proaktif untuk melakukan apa yang diinginkan
hukum, maka difokuskan bukan seberapa besar perusahaan mentaati aturan hukum
yang berlaku, namun seberapa tinggi tingkat pelanggaran terhadap hukum yang
dilakukan oleh perusahaan.
3.Dimensi tanggungjawab Ethical (Smith and Quelch (1993), diacu dalam Talaei and
Nejati, 2008). Dimensi ini melampaui hukum dan mencakup aspek moral,
melakukan hal yang benar, adil dan fair, menghormati hak-hak moral masyarakat,
menghindari kejahatan dan gangguan sosial, serta mencegah kejahatan akibat hal-
hal lain. Tanggungjawab etika ini lebih bersumber kepada agama dan kepercayaan,
tradisi moral, prinsip-prinsip kemanusiaan dan komitmen terhadap hak azasi
manusia (Novak (1996), diacu dalam Talaei and Nejati, 2008). Tanggungjawab
etika lebih merupakan tanggung jawab sosial.
4. Dimensi tanggungjawab Altruistik atau mementingkan kepentingan orang lain
adalah memberikan waktu dan dana untuk pelayanan sukarela, kumpulan sukarela
dan pemberian sukarela (discretionary). Dimensi ini lebih menekankan bahwa
tujuan perusahaan bukan hanya bertujuan kepentingan ekonomi dan kinerja
moralnya, tetapi juga kontribusi terhadap masyarakat (sosial). Sebagaimana
dikatakan oleh Henry Ford II yang mengatakan bahwa isi kontrak antara industri
dan masyarakat telah berubah bahwa industri juga memiliki kewajiban
berkontribusi kepada masyarakat tanpa transaksi komersial (Talaei and Nejati,
2008).
Indikator-indikator dari tiap-tiap dimensi tanggungjawab korporat dalam
industri otomotif merupakan indikator CSR untuk mengukur komitmen perusahaan
dalam industri otomotif terhadap tanggungjawab sosial. Indikator ini dapat diadaptasi
dengan modifikasi tertentu untuk memenuhi kebutuhan dan kondisi pada perusahaan
otomotif di tempat lain atau negara lain (Talaei and Nejati, 2008).
Pada dasarnya terdapat 4 macam pendekatan tentang tanggungjawab perusahaan
terhadap masyarakat atau CSR, yaitu :
1. Corporate Social Performance (CSP), sebuah teori berbasis sosiologi
46
2. Shareholder Value Theory atau Fiduciary Capitalism, yang lebih kepada teori
ekonomi
3. Stakeholders Theory, tinjauan dalam perspektif etika.
4. Corporate Citizenship Theory, sebuah tinjauan dalam studi politik
CSP adalah konfigurasi dalam organisasi bisnis terhadap prinsip-prinsip tanggung
jawab sosial, proses dari respons terhadap persyaratan sosial, dan kebijakan-
kebijakan, program-program dan hasil yang berwujud yang merefleksikan hubungan
atau relasi perusahaan kepada masyarakat (Wood (1991), diacu dalam Crane et al.,
2008). Dalam menentukan tanggungjawab secara spesifik dalam CSP maka perhatian
terhadap ekspektasi sosial berkaitan dengan kinerja perusahaan dan concern terhadap
kebutuhan sosial (Mele (2008), diacu dalam Crane et al., 2008). Bisnis memiliki
power dan power tersebut mempersyaratkan tanggungjawab. Masyarakat memberikan
lisensi kepada perusahaan dalam hal ini industri otomotif untuk beroperasi di
wilayahnya dan sebagai konsekuensinya, perusahaan harus melayani masyarakat
bukan hanya kepada penciptaan kemakmuran, tetapi juga kontribusi kepada
kebutuhan masyarakat dan memuaskan ekspektasi masyarakat terhadap bisnis (Mele
(2008), diacu dalam Crane et al., 2008).
Reputasi perusahaan adalah berkaitan dengan penerimaan dari masyarakat dimana
perusahaan beroperasi (Lewis (2003), diacu dalam Crane et al., 2008). Dalam
pendekatan CSP ini terdapat tiga tingkatan atau level dalam melaksanakan CSR,
meliputi level berikut,
1. Institutional
2. Organizational
3. Individual
Untuk melakukan evaluasi terhadap CSP dilakukan berdasarkan tingkatan Reactive,
Defensive, Accomodative, dan Proactive (RDAP) sebagaimana dikemukakan Wartick
and Cochran (1985), Carroll (1979), diacu dalam Clarkson (1995). Skala RDAP
tersebut adalah seperti dimuat pada tabel 4.
47
Tabel 4. Skala RDAP
No. Rating Posture or Strategy Performance
1 Reactive Deny Responsibility Doing less than required
2 Defensive Admit Responsibility but fight it Doing the least that is required
3 Accomodative Accept Responsibility Doing all that is required
4 Proactive Anticipate responsibility Doing more than is required
Carroll (1979), diacu dalam Clarkson (1995) merinci lagi atas hal berikut :
1. Fight all the way (Reactive)
2. Do only what is required (Defensive)
3. Be progressive (Accommodative)
4. Lead the industry (Proactive)
Pengertian masing-masing Rating adalah : Reactive yang bersifat menunggu dan tidak
melakukan apa-apa, kalau terdesak baru bertindak, merasa tidak betanggungjawab;
Defensive lebih mengarah ke diri sendiri, bertindak (melaksanakan tanggungjawab)
asal menguntungkan perusahaan dalam jangka pendek, sekedar memenuhi aturan
yang ada; Accomodative bersifat terbuka dan mulai mempertimbangkan masukan dari
luar tanpa tergantung lagi terhadap ada tidaknya keuntungan perusahaan dalam
jangka pendek, lebih bertanggungjawab terhadap masalah-masalah sosial yang ada.
Sedangkan Proactive justru menjadi pelopor dan pemimpin dalam melakukan
kegiatan sosial, peka terhadap masalah-masalah sosial yang ada.
Menurut pendapat Tunggal (2008), strategi reaktif adalah strategi kepekaan
sosial, yaitu perusahaan memilih untuk berbuat kurang dari apa yang diharapkan
masyarakat dan mengabaikan tanggungjawab atas masalah, Strategi defensif adalah
strategi kepekaan sosial, yaitu perusahaan memilih mengakui tanggungjawabnya atas
suatu masalah tetapi melakukan usaha terkecil untuk memenuhi harapan masyarakat,
strategi akomodatif adalah strategi kepekaan sosial, yaitu perusahaan memilih
menerima tanggungjawab atas masalah dan melakukan semua yang diharapkan
masyarakat untuk memecahkan persoalan dan strategi proaktif adalah strategi
kepekaan sosial, yaitu perusahaan akan mengantisipasi tanggungjawab atas masalah
48
sebelum terjadinya dan akan berusaha lebih dari apa yang diharapkan masyarakat
untuk menyelesaikan persoalan.
2.6. Lokasi pabrik dan dampaknya terhadap masyarakat
Praktek dalam melaksanakan CSR seiring dengan proses pengembangan
industri otomotif di Indonesia yang merupakan perusahaan multi nasional harus
diiringi kesadaran adanya kesempatan memeratakan kesejahteraan. Komitmen ini
selayaknya diterjemahkan dengan menempatkan perusahaan sebagai tetangga yang
baik dengan komitmen penuh pada upaya peningkatan kesejahteraan komunitas dan
pelestarian lingkungan (Amri dan Sarosa, 2008). Hal ini dapat dilihat dari lokasi
dimana perusahaan itu berada.
Lokasi pabrik otomotif dapat berlokasi di dalam suatu kawasan industri atau
diluar kawasan industri. Bila industri berada dilokasi diluar kawasan industri, maka
masalah tata ruang dan bangunan lain disekitarnya akan menjadi pertimbangan.
Kehadiran industri otomotif disuatu tempat yang bukan didalam suatu areal kawasan
industri akan mengakibatkan perubahan peruntukan lahan dan mempengaruhi pola
pemanfaatan lahan dan ruang sebelumnya (Kemeneg LH, 2007). Masalah tersebut
tidak akan muncul, bila pabrik terletak di kawasan industri yang disediakan oleh
pemerintah daerah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Apabila lokasi
pabrik tidak terletak dikawasan industri, tetapi justru dikawasan padat penduduk,
maka pabrik berpotensi menggangu tingkat kenyamanan kawasan. Gangguan tersebut
khususnya diakibatkan oleh aktivitas pabrik dan lalu lalangnya kendaraan pabrik.
Juga adalah lalu lalang produk mobil jadi yang dikirim keluar pabrik ke daerah
pemasarannya.
Berbagai manfaat yang dapat dirasakan terhadap industri yang berada dalam
kawasan industri (BPPT, 2004) antara lain adalah :
1. Terdapat suatu sosial manajemen Badan Usaha Kawasan Industri atau KI yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan di Kawasan Industri tersebut.
2. KI dibangun pada lahan kritis yang telah terencana dengan baik dalam suatu master
plan yang dikaitkan dengan tata ruang wilayah setempat, sehingga tidak
menimbulkan konflik dengan lingkungan sekitar.
49
3. Setiap KI dilengkapi dengan fasilitas pengolahan air limbah (waste water
treatment plant), dimana semua air limbah pabrik dinetralisir terlebih dahulu,
sebelum dialirkan kembali ke sungai, sehingga tidak menimbulkan pencemaran
lingkungan.
4. Membuka kesempatan kerja sekitar
5. Masyarakat di sekitar tidak akan terganggu aktivitas pabrik karena dalam
AMDAL dan site plan telah menetapkan sistem buffer zone.
6. Masyarakat sekitar dapat memanfaatkan fasilitas sosial dan fasilitas umum
(masjid, lapangan olah raga dan sebagainya) yang dipersiapkan oleh pengelola KI.
Dampak kehadiran suatu industri terhadap masyarakat sekitar menurut Usman
(2006) adalah meliputi keresahan sosial, konflik (benturan), integrasi sosial dan
kelestarian nilai-nilai sosial. Keresahan sosial ditandai dengan protes yang dilakukan
oleh penduduk lokal (tertulis atau lisan), demonstrasi dan gerakan-gerakan politik
lainnya yang dilandasi oleh ketidakpuasan.
Konflik (benturan) dalam kajian dampak lingkungan meliputi hubungan di
antara penduduk lokal, antar penduduk lokal dan pendatang, serta antar pendatang.
Apabila konflik semacam itu sering terjadi, dampak suatu usaha atau kegiatan adalah
negatif. Sebaliknya, apabila jarang terjadi (bahkan hampir tidak pernah), dampaknya
adalah nol. Selanjutnya konflik dapat juga diidentifikasi dari keberadaan organisasi
kemasyarakatan (keagamaan, olah raga, kesenian, dan lain-lain). Apabila organisasi
kemasyarakatan tersebut hanya didominasi oleh pendatang, sedangkan penduduk
lokal berada dipinggiran atau bahkan tidak terlibat sama sekali, berarti dampaknya
adalah negatif. Dapat pula diidentifikasi dari keberadaan media (tradisional dan
modern) yang memungkinkan terjalinnya interaksi antara penduduk asli dan
pendatang. Apabila media semacam itu tidak berkembang, dampaknya adalah negatif.
Sedangkan kelestarian nilai-nilai kultural dapat diidentifikan dari keberadaan upacara
keagamaan, upacara adat dan upacara ”siklus kehidupan” (berkaitan dengan
kelahiran, perkawinan dan kematian). Apabila upacara-upacara semacam itu
terganggu atau semakin terabaikan, dampaknya negatif apabila masih dapat
dilestarikan dampaknya nol (Usman, 2006).
50
Kerekatan sosial (social cohesion) menurut Council of Europe adalah
kemampuan masyarakat untuk menjamin kesejahteraan anggota-anggotanya dalam
jangka panjang, termasuk menjamin akses yang adil terhadap berbagai sumber daya
yang tersedia, dengan penghargaan terhadap kehormatan manusia dan perbedaan-
perbedaan yang ada, penghargaan terhadap otonomi individu dan kelompok, serta
partisipasi yang bertanggung jawab dalam urusan-urusan bersama (Amri dan Sarosa,
2008). Kehadiran industri otomotif dalam hal ini dapat mempengaruhi terhadap
kerekatan sosial (social kohesion) pada masyarakat disekitar lokasi perusahaan
berada. Indikator untuk mengukur kerekatan sosial tersebut menurut Amri dan
Sarosa (2008) adalah meliputi :
1. Apakah terjadi perasaan terkucil (isolation) atau perasaaan menjadi bagian dari
komunitas tersebut (belonging).
2. Apakah ada hak yang sama (inclusion) atau timpang (exclusion) terhadap masing-
masing anggota komunitas khususnya terhadap kesempatan dan akses terhadap
sumber daya, pekerjaan dan layanan sosial/publik.
3. Apakah terjadi partisipasi atau keengganan partisipasi.
4. Ada perasaan dihargai atau tidak dihargai.
5. Kehadirannya dirasakan sah atau tidak sah.
Budaya mempunyai dampak positif terhadap kerekatan sosial, dengan demikian
kelestarian budaya juga menjadi bagian dari pengembangan masyarakat (ISO, 2007).
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keeratan sosial (social cohesion)
menurut International Business Leaders Forum (IBLF), diacu dalam Amri dan Sarosa
(2008) adalah :
1. Membantu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan mutu hidup.
2. Membangun kepercayaan dan rasa saling menghormati.
3. Memperkecil konflik, khususnya yang diakibatkan oleh aktivitas perusahaan
4. Membantu mengatasi kriminalitas.
5. Mendukung social entrepreneurs (wirausaha sosial) lokal.
6. Penyediaan layanan sosial dalam situasi-situasi sulit-misalnya bencana dan
konflik.
51
7. Mendorong toleransi antar agama, entik, dan lain-lain.
8. Mendukung kegiatan budaya dan pemeliharaan warisan budaya.
Dampak ekonomi dari kehadiran suatu industri terhadap masyarakat sekitar
menurut Usman (2006) adalah pola usaha ekonomi, waktu kegiatan usaha ekonomi,
dan kesempatan kerja. Pola usaha ekonomi adalah bentuk mata pencaharian
penduduk lokal setelah kehadiran suatu usaha atau kegiatan. Apabila bentuk mata
pencaharian menjadi bervariasi, dampaknya dapat dikatakan positif. Sebaliknya,
apabila bentuk pencahariannya tidak berbeda dengan sebelumnya, dampaknya adalah
nol. Waktu kegiatan ekonomi adalah jumlah jam kerja yang dihabiskan penduduk
lokal untuk bekerja sesuai dengan mata pencahariannya. Apabila waktu yang
dihabiskan lebih sedikit (dalam arti lebih efisien dan efektif) keberadaan usaha
positif, bila lebih lama dampaknya negatif.
Kesempatan kerja adalah jumlah lowongan yang disediakan oleh suatu usaha
untuk penduduk lokal. Bila jumlah lowongan kerja (baik untuk tenaga kerja terlatih
maupun tidak terlatih) yang disediakan banyak, dampaknya positif, sebaliknya bila
sedikit dampaknya negatif. Pola pemanfaatan sumber daya alampun dapat dijadikan
indikator yaitu diidentifikasi melalui seberapa jauh SDA dapat dimanfaatkan oleh
penduduk lokal disekitar usaha atau kegiatan tersebut. Apabila dalam jangka waktu
tertentu penduduk lokal semakin sulit memanfaatkan SDA yang ada, dampaknya
adalah negatif.
Pada dasarnya, industri otomotif adalah industri yang banyak menyerap bahan
baku namun juga banyak menghasilkan eksternalitas berupa limbah yang dihasilkan,
baik itu limbah cair maupun padat, serta polusi udara dan kebisingan. Menurut
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
No.02/MENKLH/I/1998 yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan
udara adalah masuk dan dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain kedalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara
oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi
sesuai dengan peruntukannya. Pada proses produksi, disamping menghasilkan
52
produksi utama menimbulkan berbagai jenis limbah seperti limbah cair, limbah gas,
limbah padat dan kebisingan.
Proses produksi menghasilkan limbah yang mengandung bahan-bahan yang
dapat menimbulkan efek kerusakan pada lingkungan. Limbah cair dapat berfungsi
sebagai sumber pencemaran. Limbah cair mempunyai sifat fisik yang meliputi warna,
bau, suhu, padatan, minyak dan lemak. Sifat kimia air ditandai dengan adanya zat
anorganik dalam limbah dan ukuran yang paling sering digunakan adalah pengukuran
kandungan Biological Oxygen Demand (BOD), pH, Alkalinitas, Hardness, Logam-
logam berat, Nitrogen dan Phospor (Ginting, 2008). Kandungan organik dan
anorganik dalam limbah memberikan dampak pada badan penerima (sungai) bila
terdapat nilai-nilai diluar ukuran-ukuran yang ditetapkan (baku mutu limbah). Limbah
gas/udara dihasilkan dari pabrik dapat merubah komposisi udara disekitar lingkungan
pabrik. Pengukuran komposisi udara dilingkungan pabrik seperti SO2, CO, CO2,
NOX, H2S, debu sangat diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kandungan gas
telah melampaui baku mutu emisi dan baku mutu ambien (Ginting, 2008). Disamping
pengukuran limbah gas juga diukur kebisingan pabrik yang dapat mengganggu
masyarakat sekitar. Pukulan-pukulan dalam pabrik, suara mesin, suara lalu lintas
kendaraan yang keluar masuk pabrik baik kendaraan jadi hasil produksi maupun yang
mengangkut bahan baku.
Ada 4 (empat) pendekatan dalam pengelolaan dampak lingkungan hidup
kegiatan industri, yaitu pendekatan penyesuaian lahan, pendekatan sosial, pengolahan
limbah dan pengaturan prosedur kerja (Kemeneg LH, 2007), yaitu :
4. Pendekatan Penyesuaian Lahan
Pendekatan ini dilakukan untuk pengelolaan dampak dari sumber dampak lokasi
pabrik ke luar kawasan industri. Pabrik yang berdiri di luar kawasan industri akan
mengakibatkan konflik pemanfaatan lahan dan ruang.
5. Pendekatan Sosial
Pendekatan ini dilakukan untuk upaya pengelolaan sumber dampak berkaitan
dengan aspek penerimaan dan pengupahan tenaga kerja.
6. Pengolahan Limbah
53
Pendekatan ini dilakukan terutama untuk mengelola sumber dampak dari
pemakaian air, pengelolaan limbah cair, pengelolaan limbah padat, pengelolaan
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan aktivitas produksi. Pengelolaan
terhadap limbah B3 dilakukan dengan melakukan pemisahan berdasarkan jenis
dan karakteristik limbah yang kemudian didistribusikan ke pihak yang telah
ditunjuk untuk menangani limbah B3. Perbaikan design dapat berupa upaya untuk
mengurangi sumber pencemar, penggunaan kembali bahan kimia, atau mengganti
peralatan dan bahan yang lebih baik menurut standar yang diperbolehkan.
4. Pengaturan Prosedur Kerja
Upaya untuk mengelola sumber dampak dari pemakaian air, pengelolaan limbah
cair, pengelolaan limbah padat, pengelolaan limbah B3 dan aktivitas produksi,
dapat dilakukan dengan pengaturan prosedur kerja. Pendekatan ini setidaknya
akan dapat memperbesar dampak positif. Dalam hal ini, kesempatan kerja akan
bertambah, karena jam kerja yang sama dapat diisi oleh beberapa orang tenaga
kerja. Dengan demikian kesempatan penerimaan tenaga kerja dan upah tenaga
kerja yang disediakan akan lebih banyak. Dampak negatif berupa konflik
hubungan antar penduduk dapat diperkecil atau bahkan dihilangkan.
Pemukiman tenaga kerja menimbulkan rangsangan pada masyarakat untuk
diprioritaskan menjadi tenaga kerja. Masyarakat sekitar terdiri dari latar belakang
sosial dan budaya yang berbeda-beda dan tidak jarang menimbulkan ketegangan.
Adanya pabrik berdiri mendorong peningkatan jumlah penduduk di satu sisi, tetapi di
sisi lain dapat mengurangi jumlah penduduk karena mereka harus pindah. Perubahan
yang diakibatkan tenaga kerja adalah meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat
dan perubahan sistem ekonomi masyarakat setempat. Pola kegiatan ekonomi sehari-
hari mengalami perubahan. Dengan beroperasinya perusahaan masyarakat sekitar
boleh jadi berhasil memanfaatkan kehadiran industri dengan memperoleh pendapatan
yang lebih baik. Warung-warung tumbuh, toko-toko bahan bangunan berdiri, rumah
pondokan berdiri, jumlah penduduk semakin meningkat (Ginting, 2008).
54
2.7. Produk Mobil
Standar lingkungan dari mobil yang diproduksi (Astra International Tbk,
2002) adalah meliputi :
1. Mengurangi sumber limbah.
2. Mengurangi penggunaan material berbahaya.
3. Mengurangi pengunaan energi termasuk adalah tingkat konsumsi bahan bakar
mobil yang diproduksi sesuai kelasnya.
4. Meningkatkan umur produk.
5. Meningkatkan potensi daur ulang (recycleablity).
6. Potensi untuk di proses ulang (remanufacture).
7. Ketaatan terhadap aturan emisi gas buang sesuai Kep Men LH no.141/2003.
8. Persyaratan dalam baku tingkat kebisingan sesuai Kep Men LH no.48/1996.
Pelaksanaan kegiatan CSR pada dasarnya telah memiliki suatu kerangka acuan
(frame work) yang dijadikan patokan secara global dalam melaksanakan aktivitas
CSR, yaitu Global Reporting Initiative (GRI). GRI adalah sistem pelaporan kinerja
CSR yang dikenal secara global paling komprehensif (Tanimoto and Suzuki, 2008).
Khusus dalam aspek otomotif isu-isu utama yang menjadi fokus dalam melaksanakan
CSR dalam aktivitas Sustainable Mobility (mobilitas berkelanjutan) (GRI, 2004) yaitu
perjalanan pribadi dan transportasi barang-barang dan orang (goods transport) masih
menjadi faktor dalam pencemaran (polusi) dan kemacetan di daerah perkotaan. Isu
keselamatan, termasuk keselamatan pejalan kaki (pedistrian) adalah isu yang semakin
meningkat, khususnya di negara-negara berkembang. Selanjutnya, emisi carbon
dioxide (CO2) yang berkorelasi langsung dengan tingkat konsumsi bahan bakar fosil,
kontribusi kepada efek gas rumah kaca dan dampaknya terhadap pemanasan global.
Produsen kendaraan bermotor akan sangat berkepentingan untuk memenuhi
permintaan konsumen global, serta mengurangi dampak lingkungan dan sosial
melalui upaya yang lebih lagi ( GRI, 2004).
Jenis-jenis isu dalam otomotif (GRI, 2004) adalah :
1. Emisi gas rumah kaca/perubahan iklim (Greenhouse Gas Emissions/Climate
change)
55
Gas-gas yang terperangkap di atmosfir sering disebut greenhouse gases (gas-gas
rumah kaca). Keberadaan gas-gas rumah kaca inilah yang menyebabkan
meningkatnya pemanasan global (US.EPA, 2008). Gas-gas yang masuk dalam
jenis ini adalah :
a. Carbon Dioxide (CO2).
Gas ini masuk ke atmosfir melalui pembakaran bahan bakar fosil (oil, natural
gas dan coal), limbah solid, produk kayu dan pohon, serta hasil reaksi kimia
lainnya seperti industri semen. CO2 dapat berpindah dari atmosfir
(sequestered) ketika diabsorbsi oleh tanaman (pohon) sebagai bagian dari
siklus karbon biologis.
b. Methane (CH4)
Methane diemisikan selama produksi dan transportasi coal, gas alam, dan oil.
c. Nitrous Oxide (N2O)
Diemisikan selama aktivitas pertanian dan industri, termasuk melalui
pembakaran bahan bakar fosil dan limbah solid.
d. Fluorinated Gases
Gas ini terdiri atas hydrofluorocarbons, perfluorocarbons, dan sulfur
hexafluoride, seperti CFCs, HCFCs, dan halons. Dalam kuantitas yang kecil,
namun sering disebut sebagai gas-gas berpontensi rumah kaca yang tinggi
(high global warming potential gases). Emisi kendaraan bermotor merupakan
penyumbang terbesar gas rumah kaca sebesar 60-70%, 10% oleh industri,
sisanya dari pembakaran sampah, asap dapur dan lainnya ( Harjono, 2008).
2. Mutu udara (Air quality)
Akibat polusi kendaraan bermotor di perkotaan dapat juga menimbulkan udara
yang tidak sehat. Seperti diketahui kendaraan bermotor mengeluarkan gas CO,
Nox, dan Sox, Pb, PM10 yang dapat merusak kesehatan. Menurut hasil penelitian
Indonesian Hazardous Materials and Waste Research atau IHWaR di tahun 2008,
secara umum satu kendaraan bermotor menghasilkan 8,22 kilogram (kg) karbon
dioksida per hari. Sementara sebuah pohon berdiameter tajuk 15 m mampu
menyerap karbon 28,224 kg per hari, yang digunakan untuk proses fotosintesis.
56
Untuk pertambahan kendaraan keluaran baru, dibutuhkan rataan minimal 5 pohon
untuk menyerap karbon secara optimal dengan kondisi fisik memiliki ukuran
tajuk rataan 1 m. Secara logika ukuran tajuk sangat menentukan dalam
penyerapan karbondioksida dalam fotosintesisnya. Artinya korporasi otomotif
dapat memulainya dengan lima pohon untuk setiap kendaraan bermotor yang
diproduksi.
3. Kebisingan (Noise).
Kebisingan adalah jenis polusi dijalan raya yang merupakan kolektifitas sosial
bunyi (suara) dari kendaraan bermotor. Suara tersebut berasal dari mesin, ban,
aerodynamic, dan sosial pengereman. Faktor yang mempengaruhi terhadap
bunyi adalah traffic operations (speed, truck mix, age of vehicle fleet), roadway
surface type, tire types, roadway geometrics, terrain, micrometeorology dan the
geometry of area structures.
4. Aspek keselamatan (Safety aspects)
Hal ini merupakan upaya menghindarkan kecelakaan berkendara atau efek
berbahaya yang dapat timbul dari kejadian kecelakaan dan secara khusus
merupakan upaya melindungi terhadap kehidupan manusia dan kesehatan. Safety
features atau fitur-fitur keselamatan terdiri dari 2 (dua) kelompok besar :
a. Active Safety
Hal ini berkaitan dengan sosial kendaraan yang menggunakan informasi
tentang lingkungan luar kendaraan untuk merubah respons dari kendaraan dan
memperbaiki keamanan berkendara dalam waktu sebelum kecelakaan terjadi
atau selama periode kecelakaan (crash) dengan tujuan menghindari
kecelakaan yang parah. Sistem tersebut merespon terhadap kendaraan lain
ataupun dari kendaraan terhadap infrastruktur jalan raya. Seperti RADAR-
based crash avoidance systems atau sistem radar anti kecelakaan, sosial
pengereman (antilock braking system/ABS).
b. Passive Safety
Hal ini adalah berkaitan dengan ketika sebuah kecelakaan berpotensi atau
benar-benar terjadi, berbagai sistem keselamatan pasif bekerja untuk
57
meminimalisasi dampak terhadap individu-individu yang terlibat. Contoh alat
yang digunakan adalah Safety Belt, Airbags, dan sebagainya.
5. Kemacetan (Congestion).
Kemacetan berkendara (traffic congestion) adalah ketika volume dari kendaraan
menghasilkan permintaan ruang yang lebih besar daripada kapasitas jalan yang
tersedia. Karakteristiknya adalah kecepatan kendaraan rendah, waktu tempuh
lama dan meningkatnya antrian. Ada berbagai penyebab terjadinya kemacetan
yaitu : bottlenecks, kecelakaan lalu lintas, cuaca buruk, zona pekerjaan, rambu
lalu lintas tidak tersedia, adanya event dijalan raya dan kapasitas kendaraan tidak
seimbang dengan jumlah penumpang yang akan diangkut.
6.Infrastruktur (Infrastructure)
Hal ini merupakan struktur teknik yang mendukung sebuah masyarakat, seperti
jalan, sarana air bersih, penjernihan air, sistem manajemen banjir, komunikasi
(internet, saluran telepon, broadcasting) dan sebagainya. Bentuk lain dari
infrastruktur adalah teknologi informasi, software development tools, jaringan
sosial dan politik dan sebagainya.
7. Akses kepada mobilitas (Access to mobility).
Mobilitas diukur dengan jumlah perjalanan per orang per hari. Mobilitas
meningkat sesuai dengan pendapatan, mobilitas bervariasi sesuai dengan
karakteristik sosial dan ekonomi, dan laki-laki cenderung lebih bepergian dari
pada perempuan (Vasconcellos, 2001). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
mobilitas adalah income, gender, usia, kedudukan dan tingkat pendidikan
(Vasconcellos, 2001). Akses kepada mobilitas adalah akses kepada pekerjaan,
pasar dan tujuan lainnya.
8. Emerging markets (pasar yang baru tumbuh)
Hal ini adalah digunakan untuk menggambarkan mengenai keadaan sosial dari
suatu negara, atau aktivitas bisnis dalam proses industrialisasi yang cepat. Disebut
juga ekonomi yang bertumbuh cepat atau rapid growing economy. Memiliki 4
karakteristik adalah: (1) kekuatan ekonomi dengan populasi besar, sumber daya
yang besar dan pasar yang besar, (2) merupakan masyarakat yang transisi dalam
58
reformasi ekonomi dan politik, (3) memiliki pertumbuhan tercepat di dunia, (4)
merupakan masyarakat yang kritis dalam menanggapi isu (Li, 2008). Artinya
Indonesia sebagai salah satu emerging market memiliki tingkat pertumbuhan
dalam industri otomotif yang tinggi dengan sumber daya berlimpah ruah dan low
costs. Emerging Market yang merupakan tempat dimana industri otomotif
mencari pertumbuhan pendapatan yang tinggi (Deloitte and Touche, 2008).
Dalam Emerging Market terdapat jumlah angkatan kerja yang tersedia dalam
jumlah besar dan memerlukan penyaluran. Indonesiapun merupakan pasar bagi
produk otomotif yang amat besar, sehingga penyerapan produk, tetapi tinggi yang
tidak diimbangi dengan penyediaan infratsruktur pendukung akan menciptakan
permasalahan tersendiri.
9. Produk dan jasa (product and services)
Pada saat ini produk mobil yang dihasilkan oleh industri otomotif di Indonesia,
khususnya oleh Indomobil Group masih didominasi oleh pemakaian bahan bakar
fosil atau bensin dan solar. Masih belum ada produk yang dihasilkan yang
menggunakan energi alternatif seperti biofuel, tenaga listrik ataupun tenaga
matahari yang diproduksi secara massal. Berbagai isu dari produk otomotif dari
mulai bahan-bahan yang digunakan dalam membuat mobil, apakah menggunakan
bahan yang berbahaya atau tidak, konsumsi bahan bakar, jenis bahan bakar,
kelengkapan keselamatan kendaraan, dan sebagainya.
10. Kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar (Contribution to local
welfare).
Agar perusahaan dapat beroperasi dengan “tenang” disuatu tempat, maka
kehadiran perusahaan harus dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat
sekitar dan memberikan peningkatan pendapatan. Sebab perusahaan yang justru
menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar atau tidak berdampak apa-
apa terhadap kesejahteraan masyarakat maka kehadirannya ditempat itu tidak
akan bertahan lama, akan terusir. Demikian pula kehadiran dari kelompok
perusahaan di lingkungan Indomobil Group harus dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan. Demikian pula produk berupa mobil
59
yang dihasilkan juga mendukung kepada kesejahteraan masyarakat. Mobil yang
dihasilkan harus mampu mengakomodasikan kepentingan masyarakat pemakai
terhadap kepentingan mobilitas.
Dalam aspek lingkungan khususnya di industri, apabila industri telah
memenuhi persyaratan ambang batas mutu lingkungan atau baku mutu limbah
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
Republik Indonesia dengan program PROPER atau Program Penilaian Peringkat
Pengelolaan lingkungan pada perusahaan (Kemeneg LH, 2006), yaitu peringkat Biru
maka perusahaan telah dianggap taat (memenuhi persyaratan) dan bila mampu
melebihi yang dipersyaratkan (beyond compliance), perusahaan masuk katagori
socially responsible atau melaksanakan CSR.
2.8. Persepsi Pemangku kepentingan
Pengertian persepsi adalah proses dimana individu memilih,
mengorganisasikan dan mengartikan stimulus yang diterima melalui alat inderanya
menjadi suatu makna (Rangkuti, 2002) Persepsi pemangku kepentingan adalah
pemahaman atau pemberian makna dari pemangku kepentingan atas aktivitas CSR
oleh industri otomotif yaitu kinerja industri otomotif dan aktivitas CSR yang
dilakukannya yang didapat dari proses penginderaan. Konsep ”persepsi” pada
dasarnya merupakan pandangan individu terhadap suatu obyek. Akibat adanya
stimulus, individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan atau penolakan
terhadap stimulus tersebut (Sarwono, 1995). Merton (1982), diacu dalam Saribanon
(2007) menyatakan bahwa individu tidak hanya merespon situasi obyektif, tetapi juga
sosial makna situasi tersebut menurut kepentingannya. Persepsi pemangku
kepentingan terhadap apa yang sudah dilakukan oleh industri otomotif sebagai
aktivitas CSR ditanggapi.
Persepsi mengenai lingkungan yang mencakup harapan, aspirasi, ataupun
keinginan terhadap suatu mutu lingkungan tertentu sebaiknya dipahami secara
subyektif, yakni dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dan sosiokultural
masyarakat (Achda T, 2007). Karena itu mutu lingkungan harus didefinisikan secara
60
umum sebagai lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau
sekelompok orang. Pandangan tersebut menyempurnakan pandangan sebelumnya
yang mengartikan mutu lingkungan hanya dari aspek fisik, biologi dan kimia
(Sarwono (1995) diacu dalam Achda T, 2007). Lingkungan adalah bagian dalam
aktivitas CSR, maka secara lebih luas dapat dikatakan bahwa persepsi mengenai CSR
mencakup didalamnya adalah harapan, aspirasi ataupun keinginan terhadap suatu
mutu aktivitas CSR tertentu yang dipahami secara subyektif yang terkait dengan
aspek-aspek psikologis dan sosiokultural masyarakat atau memenuhi preferensi
imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Persepsi ditentukan oleh faktor
personal dan faktor situasional (Rahmat, 2000).
Persepsi pada dasarnya timbul akibat dari tiga aktivitas yaitu adanya exposure,
attention dan interpretation (Hawkins et al., 2001), dimana exposure muncul bila ada
stimulus berupa aktivitas CSR dari industri otomotif. Exposure dapat tersusun dari
yang sifatnya acak (random) menjadi sesuatu yang sengaja dilakukan (deliberate).
Selanjutnya attention atau perhatian muncul bila aktivitas CSR sebagai stimulus
mengaktifkan syaraf-syaraf sensorik dari penerima dan menghasilkan sensasi menuju
ke otak untuk diproses. Attention bergerak dari low involvement menuju ke high
involvement atau dari keterlibatan yang rendah menuju ke yang tinggi. Sejumlah
karakteristik dari stimulus yang dapat menimbulkan attention dari si penerima
meliputi :
1. Stimulus factor meliputi ukuran dan intensitas, warna, pergerakan atau movement,
isolation, format, kontras, mutu informasi dan information overload atau begitu
banyaknya informasi, sehingga terpaksa harus menimbulkan perhatian.
2. Individual factor yang merupakan karaktersitik dari individu dimana kebutuhan
dan minat (interest) dari seseorang menjadi penentu dalam suatu stimulus akan
menjadi attention bagi seseorang.
3. Situational factor atau stimulus yang tidak dapat menarik perhatian (attention) dari
sipenerima akibat dari situasi yang tidak menyenangkan yang timbul pada saat itu.
Interpretation atau interpretasi muncul setelah berbagai attention muncul dan
diberi arti atau makna oleh si penerima. Sebagai contoh adalah our beliefs about a
61
new product are influenced by our beliefs about capabilities and social responsibility
of the company that produce it ((Hawkins, et al., 2001). Expectation atau ekspektasi
adalah bentuk dari interpretasi seseorang terhadap stimulus dan interpretasi seseorang
terhadap stimulus tersebut adalah konsisten dengan ekspektasinya (Hawkins et al.,
2001).
2.9 Analisis Kebijakan
Kebijakan adalah a means to an end atau alat untuk mencapai sebuah tujuan
(Suharto, 2010). Kebijakan publik merupakan studi yang berkaitan dengan problem
yang krusial di masyarakat. Adanya suatu kebijakan publik, pada gilirannya akan
menghasilkan peraturan perundang-undangan (rule) sebagai barang-barang publik
(public goods) (Nawawi, 2009). Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan
pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan (Dunn, 2003). Menurut
Majchrzak (1984), diacu dalam Danim (2005), penelitian kebijakan sebagai proses
penyelenggaraan penelitian untuk mendukung kebijakan atau analisis terhadap
masalah-masalah sosial yang bersifat fundamental secara teratur untuk membantu
pengambil kebijakan memecahkan masalah dengan jalan menyediakan rekomendasi
berorientasi pada tindakan atau tingkah laku pragmatik. Penelitian kebijakan
mempunyai berbagai metode penelitian yang relevan dengan penelitian kebijakan
diantaranya penelitian kasus (studi kasus). Metode ini dimaksudkan untuk
mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan dan posisi saat ini serta
interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat given: individu, kelompok,
institusi atau masyarakat. Penelitian kasus dilakukan secara mendalam terhadap unit
sosial tertentu, dimana hasil penelitian tersebut memberikan gambaran yang luas dan
mendalam mengenai unit sosial itu. Subyek atau unit yang diteliti relatif terbatas,
akan tetapi peubah dan kondisi yang diteliti sangat luas dimensinya (Danim, 2005).
Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur yang lazim
dipakai dalam pemecahan masalah manusia (Dunn, 2003) yaitu :
1. Definisi (perumusan masalah), yaitu menghasilkan informasi mengenai kondisi-
kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.
62
2. Prediksi (peramalan), menyediakan informasi mengenai konsekwensi dimasa
mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan
sesuatu.
3. Preskripsi (rekomendasi), menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan
rsosialf dari konsekwensi dimasa depan dari suatu pemecahan masalah.
4. Deskripsi (pemantauan), menghasilkan informasi tentang konsekwensi sekarang
dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan.
5. Evaluasi, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekwensi
pemecahan atau pengatasan masalah.
Adapun bentuk-bentuk analisis kebijakan meliputi :
1. Analisis kebijakan prospektif, yaitu berupa produksi dan transformasi informasi
sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Atau apa yang akan
terjadi dan apa yang harus dilakukan.
2. Analisis retrospektif, yaitu penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi
kebijakan dilakukan.
3. Analisis kebijakan yang terintegrasi, merupakan bentuk analisis yang
mengkombinasikan gaya operasi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan
transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil.
Pada penelitian ini model kebijakan adalah model normatif yaitu memberikan dalil
dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai). Masalah-
masalah keputusan normatif biasanya dalam bentuk mencari nilai-nilai variabel yang
terkontrol (kebijakan) yang akan menghasilkan manfaat yang terbesar (nilai) (Dunn,
2003). Analisis yang dipilih merupakan gabungan antara analisis kebijakan prospektif
dan retrospektif dimana analisis yang yang dilakukan pada penciptaan dan
transformasi informasi, sesudah aksi kebijakan dilakukan, maupun sebelum
(terintegrasi).
Metodologi penelitian dalam kebijakan saat ini secara umum dicirikan oleh bentuk
multiplisisme kritis (Dunn, 2003). Multiplisisme kritis merupakan sintesis kreatif dari
beragam riset dan praktik analisis meliputi beberapa bidang analisis kebijakan penting
diantaranya adalah (1) operasionisme berganda yaitu penggunaan secara serempak
63
perbandingan berpasangan dan skala pilihan paksa, atau ukuran-ukuran biaya dan
manfaat didasarkan pada belanja konsumen (preferensi yang diungkapkan) dan
penyusunan skala atribut berganda, (2) penelitian multimetode yaitu penggunaan
berbagai metode secara bersama-sama untuk mengamati proses dan hasil kebijakan,
(3) sintesis analisis berganda, (4) analisa multivariat, (5) analisis pelaku berganda, (6)
analisis perspektif berganda, yaitu disertakannya berbagai perspektif seperti etis,
politis, organisasional, ekonomi, sosial, kultural, psikologis, (7) komunikasi
multimedia (Dunn, 2003). Sehingga desain penelitian ini akan mengacu pada konsep
multiplisisme kritis baik penggunaan perbandingan berpasangan dan skala pilihan
paksa.
2.10 Kebijakan CSR berkelanjutan sebagai kebijakan publik
Kebijakan CSR sebagai kebijakan publik sebagaimana telah diatur oleh
undang-undang adalah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government,
dalam arti hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang
menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha maupun
masyarakat madani (civil society). (Suharto, 2010). Karena CSR telah diatur oleh
undang-undang yaitu Undang-Undang Perseoran Terbatas (UU PT) nomor 40 tahun
2007 dan Undang-Undang Penanaman Modal (UU PM) nomor 25 tahun 2007, maka
CSR telah menjadi kebijakan publik. Sebagai kebijakan publik maka CSR wajib
(compulsory) untuk dilaksanakan oleh perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
Terdapat beberapa pendekatan dalam analisis kebijakan publik (Nawawi, 2009) yaitu :
1. Teori Sistem, yaitu reaksi sistem politik untuk kebutuhan yang timbul dari
lingkungan sekitarnya.
2. Teori kelompok, yaitu keseimbangan yang dicapai oleh perjuangan kelompok
dalam suatu kejadian dan hal tersebut memberikan keseimbangan dimana
kelompok yang bertentangan berusaha memberikan bobot pada keinginannya.
3. Teori elite, adalah nilai atau pilihan elite pemerintah semata. Kebijakan publik
ditentukan tanpa melibatkan atau menyerap aspirasi publik tetapi sepenuhnya
diputuskan oleh elite yang mengatur.
64
4. Teori proses fungsional, pembentukan kebijakan publik dengan melihat pada
bermacam-macam aktivitas proses fungsional yang terjadi dalam proses
kebijakan.
5. Teori kelembagaan, analisis kebijakan tentang kelembagaan pemerintah
(institutionalism).
Dalam penelitian ini pendekatan dalam analisis kebijakan publik terhadap CSR
adalah lebih mengarah kepada teori fungsional yang melihat proses pembentukan
kebijakan CSR berkelanjutan sebagai kebijakan publik dengan melihat pada
bermacam-macam aktivitas proses fungsional yang terjadi dalam proses kebijakan.
Sebagai induk dari kebijakan CSR dalam industri otomotif maka UU PT dan
UU PM belum diikuti oleh aturan pelaksanaan (implementasi), seperti besarnya
anggaran untuk CSR, jenis-jenis kegiatan CSR, dan sebagainya, meskipun pada
beberapa bagian telah juga diatur seperti aspek lingkungan dalam Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009, masalah ketenagakerjaan
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Terdapat beberapa kemungkinan intervensi
pemerintah terkait dengan CSR berikut (Petkoski and Twose, 2003) :
65
Tabel 5. Berbagai kemungkinan intervensi pemerintah dalam kebijakan publik
Public Sector Roles
Mandating Command
and control
legislation
Regulators and
inspectorates
Legal and fiscal penalties
and rewards
Facilitating
Enabling
legislation
Creating incentives Capacity building
Funding
support
Raising awareness Stimulating markets
Partnering Combining
resources
Stakeholders
engagement
Dialogue
Endorsing Political support Publicity and praise
Dari tabel 5 diatas adalah berbagai jenis intervensi pemerintah dalam kebijakan CSR
yang dapat dilakukan pada berbagai katagori. Artinya bahwa sebagai produk dari
kebijakan publik maka pengaturan CSR dalam bentuk undang-undang adalah salah satu
bentuk dari sejumlah bentuk intervensi pemerintah terhadap CSR perusahaan.
Tabel 6. Type dari program kebijakan dan instrumen kebijakan
Tabel 6 menunjukkan berbagai tipe dari program kebijakan dan instrumen kebijakan
yang menunjukkan kekuasaan dan kontrol untuk mengatur perilaku dari kelompok target
meliputi (1) regulative programs menggunakan pendekatan legal dan legitimasi untuk
Item Regulative programs Motivation
programs
Persuasion programs Public activity
programs
Dominant
policy
instrument
General rules Economic
incentives
Communication Organisation
Positive
motivation
Permission/Contract/
Rights
Subsidies/Grant Information/Encouragement
/Appeals
Expansion of
public service
Negative
motivation
Prohibition/Command/
Control
Tax/Dues/Fines Misinformation/Discourage-
ment/Threats
Reduction of
public service
Means of
control
Behavioural control Incentive control Attitudinal control Supply control
Implemen-
tation
problems
Resistance from policy
addresses and
violation of norms
Uncertain
effects and
coordination
problems
Low efficiency and control Success depends
on attractivity/
over –or under
investment
possible/
exclusion of the
„needy‟
66
memberi ijin atau melarang, (2) motivation programs menggunakan kebijakan moneter
sebagai hadiah (reward) maupun menahan (withhold), (3) persuasion programs adalah
untuk mendorong ataupun menghambat, (4) public policy programs berupa perluasan
maupun pengurangan pelayanan publik (Bredgaard, 2003). Dari berbagai instrumen
kebijakan Publik maka dapat dipilih jenis kegiatan yang dapat memenuhi kepentingan
masyarakat sekitar dan dan kepentingan bisnis (business interests).
Gambar 4. Bagan keterkaitan instrumen antara program kebijakan publik dengan
kepentingan perusahaan
Dengan adanya masing-masing kepentingan baik Pemerintah dengan public policy
programs maupun terhadap korporat dengan business interests maka perlu ada jembatan
(bridging) untuk menyatukan keduanya demi kepentingan bersama (Bredgaard, 2003)
sebagaimana pada Gambar 4. Baik itu sikap penerimaan dalam menyikapi kebijakan
pemerintah karena adanya kepentingan ekonomi dari perusahaan (accept), adanya
Policy Program and Business Interests
P
U
B
L
I
C
P
O
L
I
C
Y
P
R
O
G
R
A
M
S
B
U
S
I
N
E
S
S
I
N
T
E
R
E
S
T
S
Motivation
program
Economic
interests
Behavioural
interests
Competencies
and resources
Persussion
program
Regulative
program
Public activity
program
Accept
Pressure
Help
67
penekanan (pressure) baik itu akibat dari aturan dan kehendak pemerintah maupun
tekanan dari internal organisasi, atau sikap membantu (help) yang diterima akibat dari
kebijakan pemerintah dengan memperhitungkan kompetensi dan sumberdaya yang
dimiliki perusahaan. Meskipun telah ada undang-undang perseroan terbatas maupun
undang-undang penanaman modal yang mewajibkan korporat untuk melakukan CSR dan
juga telah ada aturan aturan yang berkaitan dengan CSR seperti undang-undang
lingkungan hidup, undang-undang perlindungan konsumen dan sebagainya. Di Indonesia
ada sebagian kelompok yang menganut pandangan Reflexive Law Theory dengan self
regulation atau mengatur sendiri dimana pelaksanaan CSR adalah diatur sendiri-sendiri
oleh masing-masing perusahaan sedangkan evaluasi dari pelaksanaannya yang akan
menilai adalah masyarakat, dimana perusahaan membuat laporan aktivitas CSR masing-
masing. Di negara Indonesia lebih kepada pelaksanaan CSR dengan konsep hukum yang
berdasarkan necessity dan possibility. Artinya ada ranah yang perlu diatur dengan public
policy dan ada yang tidak seperti masalah pengelolaan lingkungan hidup,
ketenagakerjaan yang telah diatur dengan undang-undang. Namun tidak ada aturan yang
mengatur tentang besarnya sumbangan yang harus diberikan perusahaan kepada
masyarakat untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan sebagainya
Jenis kebijakan dalam aktivitas CSR adalah mengikuti prinsip yang dianut masing-
masing perusahaan. Dalam memandang berbagai masalah yang timbul disekeliling
lingkungan perusahaan terdapat beberapa kebijakan yang dianut yaitu :
1. Perusahaan menganggap bahwa perusahaan dalam keadaan siap berkembang pesat
dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal tanpa peningkatan CSR
berkelanjutan. Kondisi ini mengacu kepada pendapat dari Milton Friedman, diacu
dalam Solihin (2008) bahwa tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) adalah
menjalankan bisnis sesuai dengan kehendak pemilik perusahaan (owners), biasanya
dalam bentuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya dengan senantiasa
mengindahkan aturan dasar yang digariskan dalam suatu masyarakat sebagaimana
diatur oleh hukum dan perundang-undangan, atau the social responsibility of
business is to increase its profits. Dengan demikian, tujuan perusahaan korporasi
adalah memaksimalisasi laba atau nilai pemegang saham (shareholder‟s value).
68
Pengembangan usaha tanpa peningkatan kinerja CSR. Dalam hal ini, Perusahaan
bukanlah lembaga sosial yang harus memikirkan tingkat kesejahteraan masyarakat,
khususnya masyarakat sekitar. Aktivitas CSR dilakukan dalam kaitannya untuk
memaksimalkan laba perusahaan. Aktivitas CSR seperti ini dilakukan sebagaimana
yang ada sekarang (business as usual) dan apabila dilakukan lebih dari kondisi ini,
maka seluruhnya dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap
maksimalisasi laba. Perusahaan lebih mempertimbangkan kepada private marginal
costs atau biaya persatuan barang/jasa yang dibuat dalam mempertimbangkan
keputusan dalam produksi dan akan beroperasi di bawah socially optimum market
equlibrium ketika social costs melampaui firms‟ private costs (Redman, 2005).
Socially optimum market equilibrium adalah keadaan dimana terdapat keseimbangan
antara antara permintaan dan penawaran yang mengakomodir biaya-biaya sosial
(externalities). Berarti dalam hal ini, externalities yang muncul akibat aktivitas
perusahaan, baik dampak langsung maupun dampak tidak langsung akibat
keberadaan perusahaan seperti pencemaran udara, air, kerenggangan sosial dan
perilaku konsumtif tidak masuk dalam private marginal costs. Lebih jauh dikatakan
bahwa donasi waktu maupun uang kepada perbaikan lingkungan ataupun
penanggulangan kemiskinan masyarakat lebih kepada “pencurian” terhadap modal
pemilik. Cara pandang perusahaan lebih kepada cost dan benefit jangka pendek
(Redman, 2005). Perusahaan adalah pribadi artifisial dan memiliki tanggungjawab
artifisial pula, sehingga yang memiliki tanggungjawab yang sebenarnya adalah para
karyawan terhadap pemilik perusahaan, yaitu berupa keuntungan (Friedman, 1970).
Selanjutnya apabila ada penggunaan lain untuk melakukan CSR yang sifatnya bukan
profit oriented atau motif keuntungan finansial, tetapi socially oriented atau
environmentally oriented, maka harus dipisahkan pendanaannya dari aktivitas utama
perusahaan (Friedman, 1970). Dalam hal ini, manajer perusahaan telah memasuki
ranah politik dengan aktivitas pilantropis yang seharusnya menjadi tanggungjawab
Pemerintah dan juga sekaligus juga telah berlaku sebagai prinsipal (mewakili pemilik
perusahaan) dan bukan sebagai agen perusahaan yang menerima gaji dari pemilik
perusahaan (Solihin, 2009). Sebagai konsekuensi dari kebijakan seperti ini, berarti
69
apabila ada pengurangan produksi akibat adanya penurunan penjualan, maka sikap
perusahaan mengarah kepada pengurangan karyawan. Demikian pula dalam hal
adanya efisiensi, baik dalam prosedur kerja maupun penggunaan alat-alat kerja atau
rasionalisasi karyawan maka tindakan pengurangan karyawan adalah hal yang
lumrah dilakukan, termasuk komposisi antara karyawan yang berasal dari penduduk
lokal dan pendatang adalah lebih didasarkan pada profesionalisme, maupun selera
dari perusahaan, sepanjang tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut. Bentuk
yayasan atau lembaga tersendiri adalah model yang paling tepat untuk bentuk
kebijakan CSR yang menganut kebijakan seperti ini karena sifatmya terpisah dari
aktivitas utama perusahaan (core business).
2. Strategi CSR yang dilakukan adalah mulai meningkatkan kinerja CSR semata-mata
karena memang saat ini sedang trend dimana-mana. Kata-kata CSR bergema
diberbagai tempat. Berbagai perusahaan atas nama CSR melakukan kegiatan amal
(charity) dan phylantrophis (kebajikan) mulai dari menyumbang untuk bencana
alam, penanaman pohon, pemberian beasiswa kepada pelajar berprestasi dan
sebagainya, tanpa perlu melihat relevansinya terhadap kinerja usaha. CSR seperti ini
dilakukan semata-mata hanya faktor ketulusan hati ataupun mengikuti trend. Dalam
strategi ini juga keterkaitan antara aktivitas CSR yang dilakukan dengan jenis usaha
yang dilakukan juga tidak diperhitungkan.
Pada dasarnya dalam kebijakan ini tidak seluruh aktivitas CSR harus
mempertimbangkan kinerja usaha seperti dalam program Community Development
yang merupakan aktivitas bagian dari CSR tidak dapat dipertahankan sebagai
kepentingan korporasi semata (keamanan perusahaan), tetapi benar-benar
menjalankan dalam konteks yang benar (Rochman, 2006). Dalam kebijakan ini
menganut bahwa idiology of firms that have made commitments to environmental
and social goals without evidence that corporate citizenship lead to tangible
financial gains (Redman, 2005). Artinya perusahaan tidak menyandarkan kepada
keuntungan finansial semata atas kebijakan CSR dari apa yang telah dilakukan
terhadap lingkungan dan sosial. Dengan demikian tidak tergantung kinerja usaha.
Selanjutnya dikatakan oleh Redman (2005) : this idiology functions on the idea that
70
the businesses, like people, have moral obligations and responsibilities that extend
beyond the financial world. Selanjutnya three is an expectation that a company will
do thew right thing, and there is no reason to advertise that we are filfilling this
obligation (Redman, 2005).
Artinya perusahaan memiliki kewajiban moral dan tanggungjawab melebihi
tanggung jawab finansial. Dan diharapkan dalam melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawab ini (CSR) tidak signifikan untuk diiklankan sebagai promosi
perusahaan.
Berbagai aktivitas CSR dalam hal ini adalah seperti terciptanya kondisi keamanan
didesa atau kelurahan dimana perusahaan berlokasi, mengutamakan perekrutan
tenaga lokal sebagai tenaga kerja di perusahaan, keeratan hubungan antara
perusahaan dan para karyawan dengan masyarakat setempat, dimana perusahaan
berkedudukan adalah bentuk-bentuk kebijakan CSR yang sesuai dengan type ini.
3. Upaya integrasi aktivtas CSR dalam aktivitas utama perusahaan merupakan hal yang
utama dalam aktivitas peningkatan kinerja CSR dan kinerja usaha secara bersama-
sama. Mengintegrasikan CSR dalam strategi inti perusahaan berpengaruh kepada
peningkatan produktivitas dan sebagai katalis kepada proses keberlanjutan yang
kompetitif (Boulouta and Pitelis, 2011). Mc Williams and Siegel, diacu dalam
Venugopal (2010) mengemukakan konsep “profit maximizing CSR” dimana belanja
untuk CSR diperlakukan sebagai investasi sebagaimana investasi lainnya seperti pada
bagian Research and Development (R&D). Konsep ini melihat bahwa inovasi dan
kemakmuran masyarakat harus konsisten seiring dengan maksimisasi profit. Namun
bukan berarti profit jangka pendek sebagaimana halnya pada kebijakan yang pertama,
namun termasuk juga manfaat yang sifatnya intangible dan jangka panjang. Dalam hal
ini ternyata tidak mudah untuk melakukannya sebagaimana yang dikemukakan oleh
Redman (2005) : policymakers should consider current indexes for business success,
accounting practices, and valuation of intangible assets. Selanjutnya it require
transforming averages citizens‟ understanding about value creation and expanding
definitions of success to include social and enviromental triumph. Kebijakan ini
memerlukan pertimbangan atas “keberadaan/positioning” perusahaan dalam mencapai
71
target yang diharapkan, kemampuan dalam penilaian dan pencatatan aktiva tidak
berwujud seperti goodwill dalam pembukuan perusahaan. Dan pemahaman terhadap
pengertian masyarakat akan penciptaan nilai dan perluasan pengertian sukses
mencakup sosial dan lingkungan.
Strategi yang dilakukan dengan perbaikan kinerja CSR namun dengan tetap
memperhitungkan pertumbuhan usaha. Artinya sama-sama meningkat. Kinerja
perusahaan semakin baik seiring dengan peningkatan kinerja CSR berkelanjutan dan
pertumbuhannya keduanya yang rsosialf stabil. Aktivitas CSR yang dilakukanpun
harus sejalan dengan jenis usaha, yang merupakan perpaduan dari kedua strategi
sebelumnya. Dalam jangka panjang kondisi yang demikian dapat menjamin
keberlanjutan aktivitias CSR dan pengembangan usaha.
2.11. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Beberapa penelitian yang dilakukan tentang CSR adalah penelitian yang
dilakukan oleh Fendri dari Program Magister Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor (SPS-IPB) berupa thesis tentang strategi program pemberdayaan masyarakat
dan implikasinya terhadap kebijakan Pemerintah studi kasus PT. RAPP, CECOM,
dan Pemerintah Kota Pekanbaru yang dilakukan pada periode November 2007 s/d
Januari 2008 yang melakukan metode penelitian dengan mengadakan studi komparasi
antara petani binaan CECOM (yayasan yang dibentuk oleh PT. RAPP untuk
melaksanakan pemberdayaan masyarakat) dengan yang diluar binaan CECOM
dengan analisis Strengths, Weakness, Opportunities and Threats (SWOT)
menunjukkan bahwa aktivitas tersebut dapat mengubah secara signifikan kondisi
sosial, ekonomi dan teknologi masyarakat meskipun ada peningkatan. Demikian pula
peran Pemerintah Kota Pekanbaru belum kelihatan. Penelitian yang dilakukan oleh
Sumaryo dari SPS-IPB dalam disertasi tentang implementasi CSR dalam
pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan studi kasus di
Provinsi Lampung yang melakukan penelitian pada Nopember 2007 s/d April 2008
yang mengkaji pengaruh pelaksanaan CSR terhadap peningkatan pengetahuan,
keterampilan dan sikap masyarakat sasaran dalam berusaha ekonomi produktif serta
meneliti pengaruh CSR terhadap tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga
72
masyarakat sekitar perusahaan menggunakan teknik analisis deskriptif eksplanasi
kausalitas historis, korelasional dan dilanjutkan dengan analisis Structural Equation
Modelling (SEM) menunjukkan bahwa masyarakat berpersepsi bahwa CSR
merupakan kegiatan perusahaan membantu masyarakat dalam bidang fisik, sosial,
budaya dan atau ekonomi agar masyarakat lebih berdaya dan mandiri, sehingga
terbantu dalam meningkatkan kesejahteraannya sementara manajemen perusahaan
memahami bahwa dengan memberikan bantuan fisik untuk pembangunan prasarana
pendidikan, ibadah dan sosial, bantuan pendidikan dan menjalin kemitraan dengan
masyarakat serta memenuhi aturan dalam pengolahan limbah cair perusahaan berarti
telah melaksanakan tanggungjawab sosialnya (CSR).
Karakter dan perilaku masyarakat tidak berubah akibat adanya program CSR
oleh perusahaan. Disebutkan juga bahwa model integratif dan partisispatif adalah
model yang paling tepat untuk dilaksanakan oleh perusahaan yang dapat
meminimalkan konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya, serta dapat
menampung aspirasi dan kebutuhan dasar masyarakat yang diakomodasi dalam
program CSR yang akan dijalankan oleh perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh
Nani Julijanti dari SPS-IPB Program Magister Pengembangan masyarakat dalam
thesis tentang persepsi masyarakat terhadap program-program CSR PT. Aqua Golden
Mississippi (AGM), kasus di Kabupaten Sukabumi, bertujuan mengkaji keragaman
program CSR, mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap program-
program CSR dan mengetahui bagaimana rancangan perbaikan terhadap program-
program CSR dari PT. AGM. Penelitian dilakukan periode Desember 2006 s/d
Nopember 2007 dilakukan menggunakan metode penelitian analisis kualitatif dengan
triangulasi. Selanjutnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) atas dasar analisa
keadaaan dengan Rapid Rural Appraisal. Dari serangkaian program CSR yang
dilakukan oleh PT. AGM maka beberapa program yang dinilai bermanfaat adalah
penampungan air bersih terkait kemudahan mendapatkan air, penghijauan,
kesejahteraan sosial dan keagamaan. Namun dinilai kurang manfaatnya dalam
kaitannya dengan kesempatan kerja yang diterima masyarakat. Strategi yang harus
dilakukan adalah pembentukan forum rembug masyarakat, peningkatan program
73
keahlian masyarakat dalam pengolahan limbah dan pertanian, peningkatan ekonomi
masyarakat berupa bimbingan usaha dan peminjaman modal usaha serta
pembangunan fasilitas air bersih. Strategi tidak langsung adalah mendorong
pemerintah desa dan kecamatan untuk bersungguh-sungguh meningkatkan
komitmennya dalam pemberdayaan masyarakat serta membuat Peraturan Daerah
yang memiliki posisi tawar yang tinggi yang mewajibkan perusahaan untuk
melaksanakan CSR dan membentuk konsorsium perusahaan untuk menyamakan
persepsi tentang CSR.
Penelitian mengenai otomotif di Indonesia dilakukan oleh Centre for Strategic
and International Studies (CSIS), di Jakarta pada July 1999 mengenai Pembangunan
Industri Otomotif Indonesia (The Development of The Indonesian Automotive
Industry) tentang pembangunan industri otomotif Indonesia mulai 1980 – 1990an
meneliti perkembangan industri otomotif dalam tiga kelompok jenis otomotif, yaitu
sedan, kendaraan komersial dan komponen dengan metode diskriptif, disimpulkan
bahwa kelompok sedan memiliki pasar yang amat terbagi-bagi (fragmentation),
sehingga amat sulit meningkatkan local component dibandingkan dengan jenis
lainnya (kendaraan komersial) dan berdampak pada perkembangan indsutri
komponen yang menjadi kurang efisien untuk jenis sedan dibandingkan dengan jenis
lainnya.
Hasil penelitian khusus bidang otomotif yang meneliti masalah CSR dalam
industri otomotif dalam kaitannya dengan masyarakat sekitar belum ditemui, terutama
yang melihat secara konsep aspek-aspek apakah yang harus menjadi prioritas sesuai
kebutuhan dan harapan masyarakat sekitar.