Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Lidah Buaya
Tanaman lidah buaya (Aloe vera L.) merupakan tanaman yang banyak
tumbuh pada iklim tropis ataupun subtropis dan sudah digunakan sejak lama
karena fungsi pengobatannya. Lidah buaya dapat tumbuh di daerah beriklim
dingin dan juga di daerah kering, seperti Afrika, Asia dan Amerika. Hal ini
disebabkan bagian stomata daun lidah buaya dapat tertutup rapat pada musim
kemarau karena untuk menghindari hilangnya air daun. Lidah buaya dapat
tumbuh pada suhu optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 16-33oC dengan
curah hujan 1000-3000 mm dengan musim kering agak panjang, sehingga lidah
buaya termasuk tanaman yang efisien dalam penggunaan air (Furnawanthi,
2002).
Tanaman lidah buaya termasuk keluarga liliaceae yang memiliki sekitar
200 spesies. Dikenal tiga spesies lidah buaya yang dibudidayakan yakni Aloe
sorocortin yang berasal dari Zanzibar (Zanzibar aloe), Aloe barbadansis miller
dan Aloe vulgaris. Pada umumnya banyak ditanam di Indonesia adalah jenis
barbadansis yang memiliki sinonim Aloe vera linn (Tarigan, 2001). Jenis Aloe
yang banyak dikenal hanya beberapa antara lain Aloe nobilis, Aloe variegate,
Aloe vera (Aloe barbadansis), Aloe ferox miller, Aloe arborescens dan Aloe
schimperi (McVicar, 1994). Secara sistematis, tumbuhan lidah buaya ini
diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Asparagales
Famili : Asphodelaceae
Genus : Aloe L.
Spesies : Aloe vera L.
Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan
permukaan yang lebar, berdaging tebal, tidak bertulang, mengandung getah,
permukaan pelepah daun dilapisi lilin, bersifat sekulen, berat rata-rata per
pelepah adalah sekitar 0,5-1 kg dan tinggi 45-50 cm. Masa panen lidah buaya
sekitar 10-12 bulan setelah tanam, sehingga dalam satu tahun tanaman ini dapat
5
dipanen sebanyak 4 kali (3 bulan sekali). Tanaman lidah buaya ini akan terus
menghasilkan pelepah daun hingga 7-8 tahun dan (Furnawanthi, 2002).
Gambar 2.1 Lidah Buaya (Aloe vera L.) (Anonim, 2012) Jika daun dilepas dari tanaman, maka akan keluar getah yang berwarna
agak kekuningan di bagian yang terluka. Daun lidah buaya mengandung gel
yang apabila daun tersebut dikupas akan terlihat lendir yang mengeras yang
merupakan timbunan cadangan makanan (Sudarto, 1997). Daun lidah buaya
sebagian besar berisi pulp atau daging daun yang mengandung getah bening
dan lekat. Sedangkan bagian luar daun berupa kulit tebal yang berklorofil.
2.1.1 Gel Lidah Buaya
Menurut Yaron (1991), bahwa pelepah tanaman Aloe vera L. ini terdiri
dari beberapa bagian utama, yakni mucilage gel dan exudate (lendir). Bagian
utama mucilage gel terdiri atas berbagai macam polisakarida (glucomannan,
acetylated glucomannan, acemannan, galactogalacturan, dan
galactoglucoarabinomannan), mineral (calcium, magnesium, potassium, sodium,
iron, zinc, dan chromium), protein (enzim pectolytic, aloctindan lectin
(glikoprotein), serta jenis protein lain), ß- sitosterol, hidrokarbon rantai panjang,
dan ester. Bagian utama exudate (lendir) terdiri atas yellow sap (lendir berwarna
kuning) dan lendir tidak berwarna. Yellow sap mengandung berbagai komponen
seperti anthraquinone beserta turunannya, aloin (barbaloin), dan aloe-emodin,
sedangkan lendir tidak berwarna mengandung berbagai jenis komponen fenolik.
6
Gambar 2.2 Gel Lidah Buaya (Anonim, 2013) Gel lidah buaya ini tidak berwarna dan berbau, tidak mempengaruhi rasa
atau rupa dari buah, aman digunakan, alami serta aman bagi lingkungan. Gel
lidah buaya yang terdiri dari polisakarida, berperan menghalangi kelembaban
dan oksigen yang dapat mempercepat pembusukan makanan. Gel ini juga
mengandung antibiotik dan anti cendawan yang berpotensi memperlambat atau
menghalangi mikroorganisme yang mengakibatkan keracunan makanan pada
manusia (Reynolds dan Dweck, 1999).
2.1.2 Komposisi Gizi dan Kandungan Gel Lidah Buaya
Komposisi terbesar gel lidah buaya adalah air, yaitu 99.20% sisanya
adalah padatan yang terutama terdiri dari karbohidrat, yaitu mono dan
polisakarida. Polisakarida gel lidah buaya terutama terdiri dari glukomanan serta
sejumlah kecil arabinan dan galaktan. Monosakaridanya berupa D-glukosa, D-
manosa, arabinosa, galaktosa dan xylosa (Setiabudi, 2008).
Secara kuantitatif, protein dalam lidah buaya ditemukan dalam jumlah
yang cukup kecil, akan tetapi secara kualitatif protein gel lidah buaya kaya akan
asam-asam amino essensial terutama leusin, lisin, valin, dan histidin. Selain kaya
akan asam-asam amino essensial, gel lidah buaya juga kaya akan asam
glutamate dan asam aspartat. Vitamin dalam lidah buaya larut dalam lemak,
selain itu juga terdapat asam folat dan kolin dalam jumlah kecil (Setiabudi, 2008).
Komposisi kimia gel lidah buaya per 100 gram dapat dilihat pada Tabel 2.1.
7
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.)
Komponen Kadar
Energi (Kal) 1,73 – 2,30 Protein (gr) 0,10 – 0,06 Lemak (gr) 0,05 – 0,09 Karbohidrat (gr) 0,30 Kalsium (mg) 9,92 – 19,920 Besi (mg) 0,060 – 0,320 Vitamin A (IU) 2,00 – 4,60 Vitamin C (mg) 0,50 – 4,20 Thiamin (mg) 0,003 – 0,004 Riboflavin (mg) 0,001 – 0002 Niasin (mg) 0,038 – 0,040 Serat (gr) 0,30 Abu (gr) 0,10 Kadar Air (gr) 99,20
Sumber : Departemen Kesehatan R.I (1992)
Dari segi kandungan nutrisi, gel atau egene, lidah buaya mengandung
beberapa mineral seperti kalsium, magnesium, kalium, sodium, besi, zinc, dan
kromium. Beberapa vitamin dan mineral tersebut dapat berfungsi sebagai
pembentuk antioksidan alami, seperti fenol, flavonoid, vitamin C, vitamin E,
vitamin A, dan magnesium. Antioksidan ini berguna untuk mencegah penuaan
dini, serangan jantung, dan berbagai penyakit degeneratif (Astawan, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian, lidah buaya diketahui banyak mengandung
zat nutrisi seperti asam amino, mineral, vitamin, sterol, tanin, polisakarida (pektin,
glukoman, glukomanan) dan enzim serta zat bioaktif yang bermanfaat bagi
kesehatan, sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.2.
8
Tabel 2.2 Zat-zat yang terkandung dalam Gel Lidah Buaya
Zat Kegunaan
Vitamin B1, B2, Niasinamida, B6, cholin, asam folat
Bahan penting untuk menjalankan fungsi tubuh secara normal dan sehat.
Asam amino Bahan untuk pertumbuhan dan perbaikan dan untuk sintesa bahan lain.
Enzim oksidase, amylase, katalase, lipase, protease
Mengatur proses kimia dalam tubuh dan menyembuhkan luka dalam dan luar.
Selulosa, glukosa, mannose, aldopentosa, ramnosa
Mengatur proses kimia dalam tubuh dan menyembuhkan luka dalam dan luar
Lignin Mempunyai kemampuan penyerapan yang tinggi, sehingga memudahkan peresapan gel ke kulit
Saponin Mempunyai kemampuan membersihkan dan bersifat antiseptik, bahan pencuci yang sangat baik
Sumber : Furnawanthi (2003)
2.1.3 Komponen Bioaktif Gel Lidah Buaya
Zat yang terkandung dalam gel lidah buaya tersebut memiliki aktivitas
antara lain sebagai antimikroba, penurun kolesterol darah, antidiabetes,
antikanker, antivirus, antijamur, antioksidan, mencegah chilling injury, serta dapat
menyembuhkan luka dan mencegah peradangan (anti-inflammatory). Lidah
buaya merupakan tanaman yang bermanfaat bagi kesehatan serta memiliki
kemampuan lain yang dapat dimanfaatkan untuk memperpanjang umur simpan
buah dan sayuran (Reynolds dan Dweck, 1999).
Lidah buaya mengandung beberapa senyawa bioaktif, diantaranya
adalah: gliko-protein (Yagi et al.,1997), senyawa-senyawa fenolik seperti aloe-
emodin (AE), aloin, barbaloin, suatu hydroxy-antrakinon (Susana et al., 2004),
derivat-sakarida (acetylated mannose atau acemannan) yang berfungsi sebagai
antiviral, prostaglandin dan asam-asam lemak (misalnya asam γ-linoleat) yang
bersifat sebagai antiinflamasi, antialergi, anti pembentukan gumpalan platelet
dan penyembuh luka serta enzim, asam amino,vitamin dan mineral. Senyawa
bioaktif seperti fenolik dan emodin biasanya bersifat sebagai antioksidan dan
labil sehingga mudah terurai atau kehilangan aktifitasnya. Komponen bioaktif
yang terkandung dalam lidah buaya (Aloe vera L.) dapat dilihat pada Tabel 2.3.
9
Tabel 2.3 Komponen Bioaktif yang terkandung pada Lidah Buaya (Aloe vera L.)
Komponen bioaktif Fungsionalitas
Acemannan
Anti-inflammatory, wound healing, anti-kanker, anti-virus, UV sunburn
Glikoprotein Anti-diabetes, anti-kanker Aloe emodin Anti-kanker, anti-oksidan, anti-
mikroba Lectin Anti-inflammatory, wound healing,
anti-kanker Aloin (Barbaloin) dan komponen fenolik Anti-mikroba , anti-oksidan Alomicin Anti-kanker
Sumber : Reynolds dan Dweck (1999).
Penggunaan gel lidah buaya telah diaplikasikan di industri pangan
sebagai ingredien pangan fungsional, dan salah satunya dengan menjadikan gel
lidah buaya berpotensi sebagai bahan untuk membentuk edible film alami. Hasil
penelitian Valverde et al. (2005) membuktikan bahwa gel lidah buaya sebagai
edible dapat berperan baik dalam menahan laju respirasi dan beberapa
perubahan fisiologis akibat proses pematangan pada buah anggur selama
penyimpanan, karena gel tersebut terdiri dari polisakarida yang mampu
mereduksi aktivitas enzim, menghambat transfer gas CO2 dan O2, serta
mengandung banyak komponen fungsional yang mampu menghambat
kerusakan produk pasca panen. Selain itu, senyawa antimikroba yang
terkandung dalam gel lidah buaya ternyata mampu mencegah poliferasi mikroba
pada buah anggur tersebut.
Ada pula teori yang menyebutkan telah menemukan kandungan zat aktif
dalam lidah buaya yang dapat berfungsi sebagai antimikroba, mengurangi racun,
bahan laksatif dan mempunyai kandungan antibiotik seperti kompleks
anthraquinone, aloin, barbaloin, aloe emodin dan acemannan.
(A) (B)
Gambar 2.3 Emodin (A) dan Anthraquinone (B) (Susana I.W et al., 2004.)
10
Menurut Setiabudi (2008), cairan lidah buaya mengandung unsur utama,
yaitu aloin, emodin, gum dan unsur lain seperti minyak atsiri. Setiabudi (2008)
menyatakan bahwa aloin merupakan bahan aktif yang bersifat sebagai antiseptik
dan antibiotik. Senyawa aloin merupakan kondensasi dari aloe emodin dengan
glukosa. Senyawa ini mempunyai rasa getir yang ditentukan pertama kali oleh
Smith pada tahun 1841. Selain itu, kandungan aloin pada Aloe Vera sebesar 18-
25%, Aloe perryi sebesar 7,5-10% dan Aloe ferox Miller sebesar 9-24,5%, serta
senyawa tersebut bermanfaat untuk mengatasi berbagai macam penyakit seperti
demam, sakit mata, tumor, penyakit kulit dan obat pencahar.
2.2 Buah Sukun
Sukun (Artocarpus communis) merupakan tanaman tropik sejati.
Tanaman sukun dapat digolongkan menjadi sukun berbiji yang disebut breadnut
dan tanpa biji disebut breadfruit. Tanaman ini tumbuh baik di daerah basah,
tetapi juga dapat tumbuh di daerah yang sangat kering, asalkan ada air, tanah,
dan aerasi tanah yang cukup. Sukun bahkan dapat tumbuh baik di pulau karang
dan pantai. Di musim kering, di saat tanaman lain tidak dapat atau merosot
produksinya, justru sukun dapat tumbuh dan berbuah lebat, sehingga sukun
dapat dijadikan sebagai pangan alternatif, karena keberadaannya tidak seiring
dengan pangan konvensional (beras), artinya keberadaan pangan ini dapat
menutupi kekosongan produksi pangan konvensional (Hadi dan Yuantika, 2012).
Secara sistematis, tumbuhan sukun ini diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus communis
11
Gambar 2.4 Buah Sukun (Artocarpus communis) (Anonim, 2011)
Menurut Hadi dan Yuantika (2012), sukun merupakan salah satu
tanaman yang bisa dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat. Buah sukun
terkandung banyak manfaat salah satunya dapat membantu proses pencernaan,
karena mengandung kandungan serat yang lebih tinggi mencapai 16 kali lipat
dari serat yang terkandung dalam beras. Hampir seluruh bagian tanaman sukun
dapat dimanfaatkan, salah satunya yaitu daging buah sukun. Bagian daging
buah yang bisa dimakan yaitu 70% untuk buah yang masih hijau dan 78% untuk
buah yang matang. Buah sukun yang telah matang cukup bagus sebagai sumber
vitamin A dan B komplek tetapi rendah vitamin C. Kandungan Ca dan P buah
sukun lebih baik daripada kentang dan diperkirakan menyerupai ubi jalar. Berikut
komposisi kimia dan zat gizi dalam 100 gram buah sukun muda dan tua dapat
dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Komposisi Kimia dan Gizi buah sukun (Artocarpus communis)
Zat Gizi Kadar
Sukun Muda Sukun Tua
Kalori (kal) 46 108 Air 87,1 69,1 Protein (g) 2,0 1,3 Lemak (g) 0,7 0,3 Karbohidrat (g) 9,2 28,2 Kalsium (mg) 59 21 Fosfor (mg) 46 59 Besi (mg) - 0,4 Vitamin B1 (mg) 0,12 0,12 Vitamin B2 (mg) 0,06 0,05 Vitamin C (mg) 21,00 17 Abu (g) 1,0 0,9
Sumber : Hadi dan Yuantika (2012)
12
2.2.1 Tepung Sukun
Di Indonesia, daerah penyebaran tanaman sukun merata di seluruh
daerah, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga pada saat musim
panen buah sukun melimpah dan harganya murah, maka buah dibiarkan busuk
tidak termanfaatkan, oleh karena itu diperlukan pengolahan produk setengah
jadi. Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara pengawetan
hasil panen, hal ini dilihat berdasarkan kandungan karbohidrat yang cukup
tinggi, sehingga buah sukun berpeluang untuk diolah menjadi tepung (Hadi dan
Yuantika, 2012).
Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi
yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat
komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak
sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Susanto dan Saneto.
1994). Berikut kandungan kimia dan gizi dalam 100 gram tepung sukun dapat
dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Kandungan Kimia dan Gizi dalam 100 gram Tepung Sukun
Komponen Kadar
Protein (g) 3,6 Lemak (g) 0,8 Karbohidrat (g) 78,9 Kalsium (mg) 58,8 Fosfor (mg) 165,2 Besi (mg) 1,1 Vitamin B1 (mg) 0,34 Vitamin B2 (mg) 0,17 Vitamin C (mg) 1747,6
Sumber : Hadi dan Yuantika (2012) Keuntungan dari pengolahan produk setengah jadi yaitu, sebagai bahan baku
yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, awet
serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Tepung sukun mengandung
kadar amilosa antara 17-24%, kadar amilopektin antara 76-83%, kadar total gula
antara 0,21-0,32%, pektin cukup tinggi yaitu sekitar 20%, vitamin A (64 IU) dan
vitamin C (9 mg/100 mg) (Suismono dan Suyanti, 2008).
13
2.3 Umbi Ganyong
Umbi ganyong (Canna edulis Ker.) adalah salah satu jenis tanaman tropis
yang dapat hidup di Indonesia baik tumbuh liar maupun dibudidayakan,
khususnya di lahan kering. Umbi ganyong umumnya berukuran panjang 10-15
cm dan diameter 5-9 cm. Bagian tengahnya tebal dan dikelilingi oleh berkas
bersisik dengan akar serabut tebal. Sifat kimia ganyong mengandung serat dan
enzim phenolase yang tinggi, sehingga ganyong termasuk umbi berserat yang
mudah mengalami pencoklatan. Keuntungan produksi ganyong antara lain tahan
ditempat teduh, tahan terhadap kekeringan, dan efisiensi dalam penggunaan air
serta tahan terhadap hama dan penyakit dalam tanamannya (Herman et al.,
1997). Klasifikasi taksonomi dari tanaman ganyong adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyte
Sub divisi : Angiosperrnae
Kelas : Monocotyledone
Bangsa : Zingiberales
Suku : Cannanneae
Marga : Canna
Jenis : Canna edulis Ker.
Gambar 2.5 Umbi Ganyong (Canna edulis Ker.) (Anonim, 2010) Ganyong merupakan salah satu bahan pangan non beras yang bergizi cukup
tinggi, terutama kandungan karbohidrat (Rukmana, 2008). Zat lain yang ada di
dalamnya adalah fosfor, kalsium, besi, vitamin B1, glukosa, alkaloid, dan getah.
Umbi ini mengandung serat dan zat besi yang lebih tinggi daraipada kentang
(Murtini, 2007). Komposisi kimia dan gizi dalam 100 gram umbi ganyong dapat
dilihat Tabel 2.6.
14
Tabel 2.6 Komposisi Kimia dan Gizi dalam 100 gram Umbi Ganyong
Komponen Kadar
Kalori (kal) 95,00 Protein (g) 1,00 Lemak (g) 0,11 Karbohidrat (g) 22,60 Kalsium (mg) 21,00 Phosphor (mg) 70,00 Besi (mg) 20,00 Vitamin B1 (mg) 0,10 Vitamin C (mg) 10,00 Air (g) 75,00 Bagian dapat dimakan (%) 68
Sumber : Susanto, et al. (1994)
2.3.1 Tepung Umbi Ganyong
Menurut Widowati dan Damardjati (2001) pengolahan ganyong menjadi
tepung merupakan alternatif proses yang dapat dikembangkan. Bentuk tepung
mempunyai keunggulan antara lain mudah dicampur dan diformulasikan serta
mempermudah proses transportasi dan penyimpanan. Tepung ganyong adalah
tepung yang dibuat langsung dari umbinya yang sudah tua dan baik (tidak ada
tanda-tnada kebusukan). Berikut komposisi kimia tepung umbi ganyong dapat
dilihat pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Komposisi Kimia per 100 gram Tepung Umbi Ganyong
Komponen Kadar (%)
Air 6,69 Abu 2,89 Lemak 1,22 Protein 0,73 Serat kasar 5,64 Pati 40,18
Sumber : Richana dan Titi (2004)
Tepung ganyong memiliki sifat fisikokimia yang mirip dengan terigu,
namun tidak mempunyai gluten dan tepungnya mudah dicerna, baik sekali untuk
makanan bayi maupun orang sakit. Oleh karena itu, tepung ganyong dapat
digunakan sebagai substitusi terigu yang sesuai dengan produk akhir yang
diinginkan, selain itu tepung ganyong memiliki sifat amilografi yang spesifik
sehingga tekstur produk yang dihasilkan menjadi lembut dan renyah (Widowati
15
dan Damardjati, 2001). Berikut rasio amilosa dan amilopektin dari beberapa
umbi-umbian dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8 Rasio Amilosa dan Amilopektin per 100 gram dari Beberapa Umbi-
umbian
Jenis umbi Komposisi (%)
Kadar amilosa Kadar amilopketin
Umbi kelapa 23,6a 76,4a Gembili 23,2a 76,8 a Ganyong 22,0b 80,0b Suweg 19,2a 80,8a
Sumber : a. Richana dan Titi (2004)
b. Thitipraphunkul et al. (2003)
2.4 Edible Film
2.4.1 Definisi dan Fungsi Edible Film
Pengemasan makanan yaitu suatu proses pembungkusan makanan
dengan bahan pengemas yang sesuai. Pengemasan dapat dibuat dari satu atau
lebih bahan yang memiliki kegunaan dan karakteristik yang sesuai untuk
mempertahankan dan melindungi makanan hingga ke tangan konsumen,
sehingga kualitas dan keamanannya dapat dipertahankan. Bahan pengemas
yang dapat digunakan antara lain plastik, kertas, logam, dan kaca (Robertson,
1993).
Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan pertimbangan
ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam pengawetan. Sekitar
60% dari poliethilen dan 27% dari polyester diproduksi untuk membuat bahan
pengemas yang digunakan dalam produk makanan. Akan tetapi penggunaan
material sintetis tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan. Oleh karena
itu pada saat ini dibutuhkan penelitian mengenai bahan pengemas yang dapat
diuraikan (biodegradable). Adanya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan
harus ramah lingkungan maka penggunaan kemasan edible (edible packaging)
adalah suatu yang sangat menjanjikan (Han et al., 2005).
Edible packaging dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu edible film,
edible coating dan enkapsulasi. Perbedaan antara edible coating dengan edible
film adalah pada cara aplikasinya. Edible coating langsung dibentuk pada
produk, sedangkan edible film tidak dibentuk langsung pada produk yang akan
dikemas/dilapisi. Enkapsulasi adalah edible packaging yang berfungsi untuk
16
membawa zat flavour berbentuk serbuk. Edible film merupakan salah satu
bahan pengemas pangan yang dalam 10 tahun terakhir mendapatkan perhatian
serius dari ahli pangan sebagai bahan pengemas alternatif dengan
mempertahankan warna pigmen alami gizi, sebagai pengawet dan
mempertahankan warna sehingga menjaga mutu produk (Masruroh et al., 2013).
Edible film didefinisikan dengan dua prinsip, pertama dinyatakan dapat
dimakan dan harus aman untuk dimakan dan kedua tersusun dari sebuah bahan
pembentuk film, khususnya sebuah polimer. Edible film mempunyai potensi
besar dalam berbagai macam penggunaan, dapat melapisi permukaan makanan,
memisahkan komponen-komponen yang berbeda, atau berperan sebagai
selubung, kantong, atau pembungkus . Edible film merupakan lapisan tipis yang
dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas makanan yang berfungsi
sebagai penghambat transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan
zat pelarut) atau sebagai carier bahan makanan atau aditif dan untuk
meningkatkan penanganan makanan (Krochta, 1992).
Fungsi edible film adalah sebagai penghalang migrasi minyak, gas, atau
uap air, dan pembawa senyawa aktif seperti antioksidan, antimikroba, pewarna
dan flavour. Fungsi perlindungan ini dapat meningkatkan kualitas pangan,
sehingga meningkatkan umur simpan dan meningkatkan keamanan pangan,
karena film atau selaput banyak digunakan karena tidak membahayakan
kesehatan manusia, dapat dimakan serta mudah diuraikan alam (biodegradable).
Beberapa edible film komersial Jepang tersedia dalam berbagai warna dan juga
diperkaya dengan vitamin serta zat-zat gizi lainnya untuk melakukan perbaikan
gizi tanpa merusak keutuhan produk pangan (Rimadianti, 2007).
Keuntungan penggunaan edible film untuk kemasan bahan makanan
adalah untuk memperpanjang umur simpan produk serta tidak mencemari
lingkungan karena edible film ini dapat dimakan bersama produk yang
dikemasnya. Menurut Guilbert dan Biquet (1990), terdapat beberapa keuntungan
dari edible film dibanding bahan pengemas sintetik, diantaranya yaitu :
1. Film dapat dikonsumsi dengan produk yang dikemas, tidak menimbulkan efek
beracun.
2. Film dapat mempertinggi sifat-sifat organoleptik bahan yang dikemas, seperti
rasa, warna, dan bahan-bahan pemanis yang dimasukkan di dalamnya.
17
3. Film dapat digunakan dalam bahan pengemas multilayer yakni bersama-
sama dengan film yang tidak dapat dimakan, dimana edible film menjadi
lapisan dalam yang berhubungan langsung dengan bahan makanan.
4. Bahan-bahan untuk membuat edible film murah dan teknologi pembuatannya
sederhana.
Edible film berantimikroba merupakan bentuk pengemas yang
menjanjikan. Komponen yang berada didalamnya dapat mengontrol
pertumbuhan mikroorganisme dengan cara mengurangi laju pertumbuhan dan
menekan populasi maksimum mikroba dan memperpanjang fase lag mikroba
target (Brody, 2005).
Selain edible film istilah lain untuk kemasan yang berasal dari bahan hasil
pertanian adalah biopolimer, yaitu polimer dari hasil pertanian yang digunakan
sebagai bahan baku film kemasan tanpa dicampur dengan polimer sintetis
(plastik). Bahan polimer diperoleh secara murni dari hasil pertanian dalam bentuk
tepung, pati atau isolat. Komponen polimer hasil pertanian adalah polisakarida
(karbohidrat), polipeptida (protein) dan lipida. Ketiganya mempunyai sifat
termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak sebagai
film kemasan. Keunggulan polimer hasil pertanian adalah bahannya yang
berasal dari sumber yang terbarui (renewable) yang dapat dihancurkan secara
alami (biodegradable) (Han et al., 2005).
2.4.2 Bahan Baku Pembuatan Edible Film
Komponen edible film dapat dibedakan menjadi tiga kategori yakni
hidrokoloid, lipid, dan komposit. Hidrokoloid termasuk protein, turunan selulosa,
alginate, pati, pektin, dan polisakarida lainnya. Lipid termasuk lilin, asilgliserol,
dan asam lemak, sedangkan komposit mengandung gabungan dari komponen
hidrokoloid dan lipid. Film komposit dapat berdiri sebagai bilayer, dimana satu
lapisan adalah hidrokoloid dan lapisan lain adalah lipid, atau sebagai kesatuan
dimana komponen lipid dan hidrokoloid saling menyebar rata (Maharani, 2009).
Maharani (2009) mengatakan bahwa hidrokoloid adalah suatu polimer
larut air, yang mampu membentuk koloid dan mampu mengentalkan larutan atau
mampu membentuk gel dari larutan tersebut. Hidrokoloid yang digunakan dalam
pembuatan edible film adalah protein atau karbohidrat. Film yang dibentuk dari
karbohidrat dapat berupa pati, gum dan pati yang dimodifikasi secara kimia.
Pemanfaatan dari senyawa yang berantai panjang ini sangat penting karena
18
tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah, dan bersifat non toksik.
Selain itu juga dapat menggunakan bahan-bahan berbasis protein.
1. Hidrokoloid
Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah protein
atau karbohidrat. Film yang dibentuk dari pati, gum (alginat, pektin, dan gum
arab), dan pati yang dimodifikasi secara kimia. Pembentukan film berbahan
dasar protein antara lain dapat menggunakan kasein, protein kedelai, gluten
gandum, dan protein jagung. Film yang terbuat dari hidrokoloid sangat baik
sebagai penghambat perpindahan oksigen, karbondioksida, dan lemak, serta
memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik, sehinggga sangat baik
digunakan untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah hancur (Krochta et
al., 1994).
Lidah buaya memiliki kandungan polisakarida yang berupa pektin,
glukomanan dan galaktomanan. Polisakarida sebagai bahan dasar edible film
dapat dimanfaatkan untuk mengatur udara sekitarnya dan memberikan ketebalan
atau kekentalan pada larutan edible film. Pemanfaatan dari edible film ini penting
karena tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah, dan bersifat
nontoksik (Krochta et al., 1994).
Glukomanan mempunyai sifat-sifat antara selulosa dengan
galaktomanan, yaitu dapat mengkristal dan dapat membentuk struktur serat-serat
halus. Selain itu, glukomanan juga dapat membentuk gel yang bersifat elastis.
Keadaan ini mengakibatkan glukomanan mempunyai manfaat yang lebih luas
daripada selulosa dan galaktomanan, salah satunya yaitu dapat dikembangkan
lebih lanjut menjadi edible film (Susilowati, 2001). Larutan glukomanan dalam air
pada temperatur ruang akan memberikan kekentalan yang tinggi tetapi tidak larut
dalam larutan NaOH 20%. Larutan kental glukomanan dengan penambahan air
kapur dapat membentuk gel. Gel yang terbentuk bersifat tidak mudah pecah
(Yudiani 1994).
Menurut Irianto et al., (2006), glukomanan memiliki peranan yang sangat
penting dalam pembuatan edible film, karena glukomanan dapat membentuk gel
yang bersifat elastis. Sedangkan menurut Fennema et al., (1993), salah satu
metode pembuatan edible film adalah dengan pembentukan gel dari biopolimer
yang dilanjutkan dengan penguapan pelarut.
Pada umumnya, film yang tidak terbuat dari pati mudah sekali rusak
(Barus, 2002). Penggunaan glukomanan dari gel lidah buaya yang
19
dikombinasikan dengan jenis tepung yaitu tepung sukun dan tepung umbi
ganyong untuk membuat edible film diharapkan akan menghasilkan edible film
yang kuat namun tetap ulet atau elastis, serta mempunyai sifat penghambat yang
bagus terhadap uap air.
2. Lipida
Film yang berasal dari lipida sering digunakan seagai penghambat uap
air, atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk- produk permen.
Film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan menghasilkan
kekuatan struktur film yang kurang baik. Lipida yang sering digunakan sebagai
edible film antara lain lilin (wax), asam lemak, monogliserida, dan resin. Alasan
mengapa lipida ditambahkan dalam edible film adalah untuk memberi sifat
hidrofobik (Krochta et. al., 1994).
3. Komposit
Komposit film terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Aplikasi dari
komposit film dapat dalam lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan
merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan lipida, atau dapat
berupa gabungan lipida dan hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan dari
hidrokolid dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen
lipida dan hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap
penguapan air dan hidrokoloid dapat memberikan daya tahan. Film gabungan
antara lipida dan hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan
dan sayuran (Krochta et al., 1994)
2.4.3 Pembentukan Edible Film
Komposit film dapat dibuat dengan menggabungkan dua atau lebih
biopolymer, sehingga menghasilkan satu lapisan film yang homogen. Berbagai
biopolymer dapat digabungkan untuk membentuk sebuah film dengan
karakteristik yang unik, yang merupakan hasil gabungan dari sifat-sifat yang
diinginkan dari tiap komponennya. Bahan biopolimer membentuk film secara
umum tergelatinisasi untuk menghasilkan larutan pembentuk film, kemudian
pengeringan hidrogen akan menghilangkan kelebihan pelarut dari struktur gel
(Han dan Gennadios, 2005).
20
Menurut Guilbert dan Gontard (1995), tahapan pembuatan edible film
sebagai berikut:
a. Pensuspensian bahan dalam pelarut
Pembuatan larutan film diawali dengan pensuspensian bahan dalam pelarut
seperti etanol, air, atau bahan pelarut lain.
b. Penambahan plasticizer
Plasticizer ditambahkan untuk memperbaiki sifat mekanik yaitu memberikan
fleksibilitas pada sebuah polimer film sehingga film lentur ketika dibengkokkan,
tidak mudah putus dan kuat.
c. Pengaturan suhu
Pengaturan suhu pada pembuatan edible film bertujuan membentuk pati
tergelatinisasi yang merupakan awal pembentukan film. Suhu pemanasan akan
menentukan sifak mekanik edible film karena suhu ini menentukan tingkat
gelatinisasi yang terjadi dan sifat fisik pasta yang terbentuk.
Gelatinisasi adalah proses terbentuknya gel yang diawali dengan
pengembangan granula pati. Pengembangan ini terjadi karena kemampuan
granula menyerap air, secara alami pati tidak larut dalam air dingin tetapi
menyerap air kira-kira 25-30%. Dengan meningkatnya suhu, ikatan hydrogen
antara molekul amilosa dan molekul air sebagai pelarut cenderung lepas.
Selama mengembang garnula pati melepas molekul amilosa dan beberapa
molekul amilopektin yang mempunyai derajat polimerisasi rendah, larut, dan
meninggalkan granula secara difusi (Ramadhan, 2009).
d. Pengeringan
Pengeringan bertujuan untuk menguapkan pelarut sehingga diperoleh film.
Suhu memperngaruhi waktu pengeringan dan kenampakan film yang dihasilkan.
2.4.4 Sifat Fisik Edible Film
Penentuan karakteristik fisik dan mekanis dari struktur film berhubungan
dengan parameter fisik kimiawi, yang meliputi kekuatan mekanis, elatisitas,
kelembaban dan permeasi gas, warna, viskositas, karakteristik termoplastik dan
lain-lain (Sothornvit dan Krochta, 2000). Sifat-sifat fisik edible film antara lain:
a. Ketebalan edible film
Ketebalan dipengaruhi oleh jumlah padatan terdapat pada larutan bahan
pembuat edible film (Olabarrieta, 2005). Ketebalan edible film mempengaruhi laju
uap air, gas dan senyawa volatil lainnya. Sebagai kemasan, semakin tebal edible
21
film, maka kemampuan penahannya akan semakin besar atau semakin sulit
dilewati uap air, sehingga umur simpan produk akan semakin panjang (McHugh
dan Krochta, 1994).
b. Transimisi uap air edible film
Permeabilitas didefinisikan sebagai transmisi uap air ke dalam suatu bahan
tanpa menyebabkan keretakan atau kerusakan bahan tersebut. Permeabilitas
suatu bahan terhadap uap air dapat diketahui dari tingkat kecepatan perpindahan
uap air pada bahan tersebut (Fitriana, 2002).
Proses transmisi uap air dan gas berlangsung secara difusi melalui ruang
pori, karena edible film terbentuk dari proses gelatinisasi pati. Sifat barrier edible
film terhadap uap air dan gas ditunjukkan oleh permeabilitas yang semakin besar
nilainya menunjukkan bahwa edible film semakin mudah dilewati uap air dan gas
(Fitriana, 2002).
c. Warna edible film
Perubahan warna edible film dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi bahan
pembentuk edible film dan suhu pengeringan. Warna edible film akan
mempengaruhi penampakan produk sehingga lebih menarik (Rayas et al., 1997).
d. Perpanjangan edible film atau elongasi
Perpanjangan edible film atau elongasi merupakan kemampuan
perpanjangan bahan saat diberikan gaya tarik (Gontard et al., 1993). Nilai
elongasi menunjukkan kemampuan edible film untuk meregang. Peregangan
terjadi karena struktur molekul yang berlekuk mengalami gaya tarikan sehingga
membentuk struktur yang lurus (Van Vlack, 1995). Nilai perpanjangan suatu film
dipengaruhi oleh komposisi bahan dasar film, plasticizer berupa asam lemak
maupun golongan poliol dapat meningkatkan perpanjangan film (Park et al.,
1993).
e. Kekuatan peregangan edible film atau tensile strength
Kekuatan peregangan edible film merupakan kemampuan bahan dalam
menahan tekanan yang diberikan saat bahan tersebut berada dalam regangan
maksimumnya. Kekuatan peragangan menggambarkan tekanan maksimum yang
dapat diterima oleh bahan atau sampel. Peregangan secara terus menerus akan
menekan bahan sehingga terjadi perubahan peregangan. Pada saat dimana
bahan tidak mampu lagi menahan gaya tekanan, maka terjadi cracking yaitu titik
dimana deformasi permanen terjadi. Titik inilah merupakan data yang diukur
untuk mendapatkan nilai renggang putus (Gontard et al., 1993).
22
Film yang lentur dan kuat dapat dibuat dari pati yang mengandung
amilosa. Struktur amilosa memingkinkan pembentukan ikatan hidrogen dengan
molekul tetangganya dan selama pemanasan mampu membentuk jaringan tiga
dimensi yang dapat menangkap air untuk menghasilkan gel yang kuat.
Amilopektin dalam granula pati tidak memiliki kemampuan membentuk jaringan
oleh karena itu pemilihan pati yang digunakan ditentukan oleh kadar amilosa.
Polisakarida yang larut air untuk memberikan efek efek pembentuk viskositas
(Achmadi, 2011).
2.4.5 Penelitian Edible Film yang Pernah Dilakukan di THP FTP UB
Penelitian edible film sudah banyak dilakukan dengan berbagai macam
bahan penyusun dan konsentrasi. Berikut merupakan data hasil perlakuan
terbaik dari studi tentang edible film yang telah dilakukan di jurusan THP FTP UB
dapat dilihat pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Hasil Perlakuan Terbaik dari Beberapa Studi Pembuatan Edible Film
No Bahan Penyusun dan Konsentrasi
Ketebalan (mm)
Elongasi (%)
Tensile Strength (N/cm2)
Referensi
1 T.porang:kitosan (0,75%:0,75%)
0,04 1,97 2,8 Ellita (2009)
2 T.Porang:ekstrak wortel (0,53%:0,4%)
0,02 22,64 0,19 Wahyu (2009)
3 T.Porang: Karagenan (7%:3%)
0,03 37,99 1,12 Juni (2009)
4 T.Porang: Minyak atsiri Kayu Manis (4%:20%)
0,06 19,62 0,99 Pramadita (2011)
5 Karagenan:ekstrak kubis ungu (7%:20%)
0,04 9,83 0,36 Aditya (2012)
6. Pati jahe:asam stearat (1,75%:0,71%)
0,09 8,37 1,72 Nasaputra (2012)
7 Karagenan:ekstrak sari buah murbei (7%:20%)
0,14 625 4,2 Wiramuktii (2012)
8 Pati tapioka:suhu pengeringan (6%:60oC)
0,17 53,33 2,38 Putra (2013)
9 Karagenan:ekstrak daun jati (7%:20%)
0,18 54,33 1,034 Ponco (2013)
23
Berdasarkan Tabel 2.9 edible film dengan ketebalan paling kecil adalah
hasil penelitian Wahyu (2009) sedangkan edible film dengan ketebalan tertinggi
adalah hasil penelitian Ponco (2013). Tensile strength dan Elongasi yang
dihasilkan dari penelitian-penelitian edible film di THP FTP UB menunjukkan
bahwa tensile strength dan elongasi dari hasil penelitian Wiramukti (2012)
merupakan yang paling baik. Elongasi merupakan proses pemanjangan
maksimal yang dialami oleh edible film saat mulai sobek (Krochta et al., 1994),
sehingga dapat dilihat bahwa elongasi edible film dari hasil penelitian Wiramuktii
(2012) merupakan elongasi yang paling baik. Begitupula dengan tensile strength
yang menurut Mindarwati (2006) merupakan tekanan regangan maksimal yang
bisa diterima edible fim hingga putus, tensile strength hasil penelitian Adyafahmi
(2012) juga merupakan tensile strength yang paling baik.
2.5 Gliserol
Pembuatan edible film diperlukan bahan tambahan yaitu plasticizer.
Penambahan tersebut biasanya dimaksudkan untuk memperbaiki sifat-sifat fisik,
organoleptik, nutrisi, dan sifat-sifat mekanik dari kemasan edible film (Ward dan
Hadlye, 1993). Plasticizer adalah bahan organik yang ditambahkan dengan
maksud untuk memperlemah kekakuan dari polimer sekaligus meningkatkan
fleksibilitas polimer.
Pada umumnya plasticizer yang digunakan dalam edible film adalah
monosakarida, disakarida atau oligosakarida (misalnya glukosa, sirup fruktosa-
glukosa, sukrosa, dan madu), polysols (gliserol, sorbitol, gylceril derivatives dan
polietilen glikol), dan lipid serta turunannya (fospolipid, asam lemak, dan
surfaktan). Umumnya penambahan plasticizer sekitar 10-60% dari berat kering
tergantung dari kekakuan polimer (Han, 2005).
Gliserol merupakan senyawa alkohol polihidrat dengan tiga buah gugus
hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen) dengan rumus kimia C3H8O3.
Gliserol berbentuk cair, tidak berbau, transparan, higroskopis dan memiliki sifat
mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas air, serta menurunkan Aw
bahan. Penambahan gliserol berfungsi sebagai plasticizer yang menghasilkan
film yang lebih fleksibel dan halus, selain itu gliserol sebagai pengawet,
humektan dan antimikroba. Penyimpanan gliserol dapat disimpan pada tempat
kering, sejuk, dan jauh dari sinar matahari (Sumarto, 2008). Sifat fisik dan kimia
gliserol dapat dilihat pada Tabel 2.10.
24
Tabel 2.10 Sifat Fisik dan Kimia Gliserol
Sifat Nilai
Berat Molekul (g/mol) 9,2 Titik Cair 18,2 Titik Didih 290 Densitas (25oC) (cm3/g) 1,2613 Viskositas (25oC) (cps) 954 Higroskopositas Menengah-tinggi Kelarutan dalam air (25oC) Terbatas Ketahanan terhadap suhu tinggi Stabil Viskositas pada 70% (25oC) (cps) 17
Sumber : Griffin dan Lynch (1968)
Gliserol bersifat netral, tidak berwarna, pada suhu pembekuan akan
berupa cairan sangat kental yang menunjukkan bahwa gliserol mempunyai titik
didih yang tinggi. Gliserol dapat dilarutkan dalam air atau alkohol, tetapi tidak
larut minyak. Sementara itu, banyak senyawa lain yang lebih mudah larut dalam
gliserol dari pada dalam air atau alkohol. Jadi termasuk bahan pelarut yang baik
(Westerman, 1997). Gliserol efektif digunakan sebagai plasticizer pada film
hidrofilik, seperti pektin, pati, gelatin, dan modifikasi pati, maupun pembuatan
edible film berbasis protein. Gliserol merupakan suatu molekul hidrofilik yang
relatif kecil dan mudah disisipkan diantara rantai protein dan membentuk ikatan
hidrogen yang gugus amida dan protein gluten (Liu et al.,2005).
Menurut Kusumasmarawati (2007), saat terjadi gelatinisasi, granula pati
pecah dan molekul-molekul amilosa dan amilopektin terlarut ke dalam larutan.
Molekul-molekul amilosa dan amilopektin saling berhubungan sebagian besar
melalui ikatan hidrogen, sehingga jika tanpa plasticizer amilosa dan amilopektin
akan membentuk suatu film dan suatu struktur yang bifasik dengan satu daerah
kaya amilosa dan amilopektin. Interaksi-interaksi antara molekul-molekul amilosa
dan amilopektin mendukung formasi film, menjadikan film jadi rapuh dan kaku.
Keberadaan dari plasticizer di dalam film bisa menyela pembentukan double
helices dari amilosa dengan cabang amilopektin, lalu mengurangi interaksi
antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin, sehingga meningkatkan
fleksibilitas film.
25
2.6 Antioksidan
2.6.1 Definisi dan Fungsi Antioksidan
Antioksidan yaitu senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas,
seperti: enzim SOD (Superoksida Dismutase), gluthatione, dan katalase.
Antioksidan dapat diperoleh dari asupan makanan yang banyak mengandung
vitamin C, vitamin E dan betakaroten serta senyawa fenolik. Bahan pangan yang
dapat menjadi sumber antioksidan alami, seperti rempah-rempah, coklat, biji-
bijian, buah-buahan, sayur-sayuran seperti buah tomat, pepaya, jeruk dan
sebagainya (Winarto, 2005).
Antioksidan sebagai bahan tambahan pangan, batas maksimum
penggunaannya telah diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
772/Menkes/Per/IX/88, antioksidan yang diizinkan penggunannya antara lain
asam askorbat, asam eritrobat, askorbil palmitat, askorbil stearat, butil
hidroksilanisol (BHA), butil hidrokinin tersier, butyl hidroksitoluen, dilauril
tiodipropionat, propil gallat, timah (II) klorida, alpha tokoferol, tokoferol,
campuran pekat.
Menurut Minorsky (2002) yang berkaitan dengan fungsinya, senyawa
antioksidan diklasifikasikan dalam lima tipe antioksidan, yaitu:
1. Primary antioxidants
Primary antioxidants yaitu senyawa-senyawa fenol yang mampu memutus
rantai reaksi pembentukan radikal bebas asam lemak. Dalam hal ini memberikan
atom hidrogen yangri berasal dari gugus hidroksi senyawa fenol, sehingga
terbentuk senyawa yang stabil. Senyawa antioksidan termasuk didalam
kelompok ini yaitu BHA, BHT, PG, TBHQ, dan tokoferol.
2. Oxygen scavengers
Oxygen scavengers yaitu senyawa-senyawa yang berperan sebagai pengikat
oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi, senyawa tersebut akan
mengadakan reaksi oksigen yang berada dalam sistem sehingga jumlah oksigen
akan berkurang. Senyawa yang termasuk didalam kelompok ini yaitu vitamin C
(asam askorbat), askorbilpalmitat, asam eritorbat, dan sulfit.
3. Secondary antioxidants
Secondary antioxidants yaitu senyawa-senyawa yang mempunyai
kemampuan berdekomposisi hidroperoksida menjadi produk akhir yang stabil.
Tipe antioksidan ini pada umumnya digunakan untuk menstablikan polyolefin
resin. Contohnya asam tiodipropionat, dan dilauriltiopropionat.
26
4. Antioxidative enzimel
Antioxidative enzimel yaitu enzim yang berperan mencegah terbentuknya
radikal bebas, contohnya glukose oksidase, superoksidase dismutase (SOD),
glutation peroksidase, dan katalase.
5. Chelators sequestrants
Chelators sequestrants yaitu senyawa-senyawa yang mampu mengikat
logam seperti besi dan tembaga yang mampu mengkatalis reaksi oksidasi lemak.
Senyawa yang termasuk didalamnya adalah asam sitrat, asam amino,
ethylenediaminetetra acetid acid (EDTA), dan fosfolipid.
2.6.2 Antioksidan pada Lidah Buaya
Lidah buaya mengandung antioksidan. Yen et al. (2000) mengatakan
bahwa komponen antron dan antraquinon dalam ekstrak Aloe vera telah diteliti
kemampuanya sebagai antioksidan. Berdasarkan penelitiannya menggunakan
bahan yang telah diisolasi yaitu aloe emodin dan emodin ternyata kedua
senyawa tersebut aktivitas antioksidan dengan pengujian dalam sistem asam
linoleat dan kemampuan memerangkap radikal hidroksi. Selain itu lidah buaya
mengandung fenol. Sari lidah buaya mempunyai kandungan fenol 5080.56 μg/g.
Senyawa antioksidan potensial telah berhasil diisolasi dari ekstrak
methanol Aloe vera dengan teknik kombinasi kromatografi kolom (coloum
chromatography) dan kromatografi lapis tipis (thin layer chromatography).
Analisis secara in vitro menggunakan homogenet otak tikus, menunjukkan
bahwa aktivitas antioksidan senyawa tersebut sama kuatnya dengan yang
ditunjukkan bahwa aktivitas antioksidan senyawa tersebut sama kuatnya dengan
yang ditunjukkan oleh alfatokoferol (vitamin E). Hasil identifikasi menunjukkan
bahwa senyawa tersebut tergolong ke dalam golongan fenolik (Astawan, 2006).
Unsur-unsur yang ditemukan pada daun lidah buaya menunjukkan
adanya hubungan yang saling sinergis dalam mempertahankan integritas status
antioksidan dalam tubuh. Pengujian dengan menggunakan tikus radiasi yang
diberi filtrate jus daun lidah buaya sebanyak 0,25 ml/kg berat badan/hari, selama
5 hari sebelum irradiasi dan 10 hari setelah irradiasi, menunjukkan adanya
perbaikan yang nyata terhadap aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD)
dan katalase pada organ paru-paru, ginjal, dan jantung (Astawan, 2006). SOD
dan katalase merupakan enzim dan sekaligus antioksidan intraseluler yang
27
sangat bermanfaat untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap
berbagai penyakit.
2.6.3 Mekanisme Kerja Antioksidan
Menurut Gordon (1990), bahwa mekanisme kerja antioksidan memiliki
dua fungsi:
1. Fungsi pertama merupakan fungsi antioksidan primer, yaitu sebagai pemberi
atom hidrogen. Senyawa ini dapat member atom hidrogen secara cepat ke
radikal lipida atau mengubahnya ke bentuk stabil, sementara turunan radikal
antioksidan tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibandingkan radikal lipid.
2. Fungsi kedua merupakan fungsi antioksidan sekunder, yaitu memperlambat
laju antioksidan dengan mekanisme pemutusan rantai oksigen dengan
mengubah radikal lipida ke bentuk lebih stabil.
Menurut Soeksmanto dan Simanjuntak (2007), bahwa antioksidan
berperan dengan cara :
1. Mengkatalisis radikal bebas oleh enzim SOD, katalase, dan peroksidase.
2. Mengikat pro-oksidan (ion Fe, Cu, dan hem), contohnya transferin,
haptoglobin, hemopeksin, dan seruloplasmin.
3. Membersihkan ROS oleh antioksidan dari senyawa-senyawa dengan berat
molekul kecil seperti glutation tereduksi (GSH), asam askorbat, bilirubin, a-
tokoferol dan asam urat.
Efektivitas antioksidan disebabkan oleh sifat senyawa yang akan
dilindungi. Tubuh mempunyai mekanisme yang dapat menetralisir bahaya radikal
bebas dengan sistem antioksidan, namun timbulnya penyakit disebabkan karena
jumlah radikal bebas melebihi jumlah sistem antioksidan (Gunawan, 2010).
2.6.4 Metode Pengujian Aktivitas Antioksidan
Metode pengujian yang sering digunakan untuk uji aktivitas antiradikal
adalah metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil). Metode DPPH berfungsi untuk
mengukur elektron tunggal seperti transfer hidrogen sekaligus untuk mengukur
aktivitas penghambatan radikal bebas. Metode ini sangat cocok untuk skrining
awal berbagai sampel terutama ekstrak tumbuhan (Waji dan Andis, 2009).
Metode DPPH menggunakan 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil sebagai sumber
radikal bebas. DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) adalah radikal bebas stabil
28
berwarna ungu yang digunakan secara luas untuk pengujian kemampuan
penangkapan radikal bebas dari beberapa komponen alam seperti komponen
fenolik, antosianin atau ekstrak kasar. Metode ini sering digunakan untuk
mendeteksi kemampuan antiradikal suatu senyawa sebab hasilnya terbukti
akurat, reliabel, relatif cepat dan praktis (Prakash, 2001). Mekanisme reaksi
senyawa antioksidan dengan DPPH. Berikut mekanismenya:
Gambar 2. 6 Mekanisme Reaksi Antioksidan dengan DPPH (Waji dan Andis, 2009) DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen akan membentuk molekul
diagmatik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH, akan menetralkan
karakter radikal bebas dari DPPH, mekanisme reaksi dapat dilihat pada Gambar
2.6. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan, maka
warna larutan berubah dari ungu menjadi kuning terang dan absorbansi pada
panjang gelombang 517 nm akan hilang. Perubahan ini dapat diukur secara
stoikiometri sesuai dengan jumlah elektrin atau atom hidrogen yang ditangkap
oleh molekul DPPH akibat adanya zat antioksidan (Waji dan Andis, 2009).
2.7 Antimikroba
2.7.1 Definisi dan Faktor Penghambat Antimikroba
Menurut Pelczar dan Reid (1979), senyawa antimikroba adalah senyawa
biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba.
Antimikroba yang dicampur atau diberikan pada permukaan bahan pangan akan
memperpanjang umur simpan bahan pangan tersebut. Penambahan antimikroba
dapat dilakukan dengan cara mencampurnya ke dalam bahan kemasan yang
kemudian dalam jumlah kecil akan bermigrasi ke dalam bahan pangan. Cara ini
efektif diberikan pada kemasan vakum karena bahan kemasan dapat
bersentuhan langsung dengan permukaan pangan.
29
Kemasan film atau coating antimikroba mempunyai kelebihan yaitu dapat
lebih melindungi produk karena dapat mematikan secara langsung pada saat
mikroba kontak dengan bahan kemasan. Antimikroba dapat bersifat bakterisidal
(membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal
(membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang), dan
germisidal (menghambat germinasi spora bakteri) (Fardiaz, 1992).
Faktor-Faktor yang mempengaruhi kerja zat antimikroba dalam
menghambat atau membasmi mikroorganisme. Semuanya harus
dipertimbangkan agar zat antimikroba tersebut dapat bekerja secara efektif.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kerja zat antimikroba menurut Khunaifi
(2010) adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi atau intensitas zat antimikroba.
Semakin tinggi konsentrasi suatu zat antimikroba semakin tinggi daya
antimikrobanya, artinya banyak mikroba akan terbunuh lebih cepat bila
konsentrasi zat tersebut lebih tinggi.
2. Jumlah mikrorganisme
Semakin banyak jumlah organisme yang ada maka makin banyak pula waktu
yang diperlukan untuk membunuhnya
3. Suhu
Kenaikkan suhu dapat meningkatkan keefektifan suatu disinfektan atau
bahan mikrobial. Hal ini disebabkan zat kimia merusak mikroorganisme melalui
reaksi kimia. Reaksi kimia bisa dipercepat dengan meninggikan suhu.
4. Spesies mikroorganisme.
Spesies mikroorganisme menunjukkan ketahanan yang berbeda-beda
terhadap suatu bahan kimia tertentu.
5. Adanya bahan organik.
Adanya bahan organik asing dapat menurunkan keefektifan zat kimia
antimikrobial dengan cara menonaktifkan bahan kimia tersebut. Adanya bahan
organik dalam campuran zat antimikroba dapat mengakibatkan:
a. Penggabungan zat antimikroba dengan bahan organik membentuk
produk yang tidak bersifat antimikroba.
b. Penggabungan zat antimikroba dengan bahan organik menghasilkan
suatu endapan sehingga antimikroba tidak mungkin lagi mengikat
mikroorganisme.
30
c. Akumulasi bahan organik pada permukaan sel mikroba seperti protein,
selulosa, hemiselulosa, lignin, dan amilum menjadi suatu pelindung yang
akan menganggu kontak antara zat antibakteri dengan sel.
6. Keasaman (pH) dan kebasaan (pOH).
Mikroorganisme yang hidup pada pH asam akan lebih mudah dibasmi pada
suhu rendah dan dalam waktu yang singkat bila dibandingkan dengan
mikroorganisme yang hidup pada pH basa.
2.7.2 Antimikroba pada Lidah Buaya Lidah buaya memiliki aktivitas antara lain sebagai antimikroba, penurun
kolesterol darah, antidiabetes, antikanker, antivirus, antijamur, antioksidan,
mencegah chilling injury, serta dapat menyembuhkan luka dan mencegah
peradangan (anti-inflammatory). Lidah buaya merupakan tanaman yang
bermanfaat bagi kesehatan serta memiliki kemampuan lain yang dapat
dimanfaatkan untuk memperpanjang umur simpan buah dan sayuran (Reynolds
dan Dweck, 1999).
Lidah buaya terdiri dari kulit dan gel/cairan. Cairan lidah buaya
mengandung unsur utama, yaitu aloin, emodin, gum dan unsur lain seperti
minyak atsiri. Cairan bening seperti jeli diperoleh dengan membelah batang lidah
buaya. Gel ini mengandung zat antibakteri dan antijamur yang dapat
menstimulasi fibroblast yang berfungsi menyembuhkan luka (Robinson, 1995).
Berikut senyawa aktif yang berperan sebagai aktivitas antimikroba:
1. Lidah buaya memiliki daya antimikroba pada beberapa bakteri seperti
Staphylococus aureus, E. coli, Pseudomonas aeroginosa, Candida albicans,
M. simegmatis, K. pneumonia, E. faecalis, M.luteus dan B. sphericus (Agarry
et al., 2008).
2. Lidah buaya mengandung antrakuinon dan kuinon yang memiliki efek
antimikroba. Selain itu, lupeol, asam salisilat, nitrogen urea, asam sinamat,
fenol, sulfur dan minyak atsiri dalam lidah buaya juga berfungsi sebagai
antimikroba (Jatnika, 2009).
3. Saponin yang terkandung di dalam lidah buaya memiliki sifat yang mirip
seperti sabun yaitu dapat menurunkan tegangan permukaan membran
sitoplasma sel bakteri sehingga permeabilitas membran sel turun. Gangguan
enzimatis sistem regulasi dalam sel dapat terjadi sehingga sel tidak bisa
berfungsi normal. Saponin dapat melarutkan lipid pada membran sel bakteri
31
(lipoprotein), akibatnya dapat menurunkan tegangan permukaan lipid, fungsi
sel bakteri menjadi tidak normal dan sel bakteri lisis dan mati (Robinson,
1995).
4. Minyak atsiri dalam lidah buaya berfungsi sebagai antimikroba yang bekerja
dengan cara memecah lipid pada membran sel bakteri dan mitokondria serta
mengganggu struktur sel (Robinson, 1995).
Semua zat tersebut bekerja secara sinergis untuk menghambat kerja
enzim pada proses biosintesis peptidoglikan dan lipopolisakarida, merusak
membran plasma serta menyebabkan terganggunya permeabilitas membran
dalam fungsinya sebagai antimikroba (Jatnika, 2009).
2.7.3 Mekanisme Kerja Antimikroba
Mekanisme aktivitas penghambatan mikroorganisme oleh senyawa
antimikroba menurut Hammer et al. (1999) dapat melalui beberapa faktor,
diantaranya:
1. Mengganggu komponen penyusun dinding sel
Dinding sel mikroba tersusun atas peptidoglikan (disusun oleh senyawa gula
dan asam amino). Lapisan peptidoglikan tunggal saling berikatan dengan lapisan
lainya melalui bagian rantai asam aminonya, sehingga membentuk suatu ikatan
silang yang kuat menutupi seluruh sel. Jika pembentukan dinding sel tidak
sempurna, maka bakteri akan mudah mengalami lisis baik karena fisik maupun
tekanan osmotik dan menyebabkan sel mikroba mati.
2. Bereaksi dengan membran sel sehingga mengakibatkan peningkatan
permeabilitas dan menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel.
Adanya senyawa antimikroba yang dapat berikatan dengan gugus folat pada
fosfolipid yang terdapat pada membran sel mikroba, maka dapat merubah
permeabilitas selektif membran sel. Kerusakan membran sel mikroba dapat
menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel, antara lain
protein dan asam nukleat, sehingga dapat mengganggu kelangsungan hidup sel
mikroba.
3. Menginaktifkan enzim esensial yang berakibatkan terhambatnya sintesis
protein dan destruksi atau kerusakan fungsi metarial genetik.
Adanya senyawa antimikroba yang berupa asam dapat menghambat beberapa
enzim yang terlibat pada siklus asam sitrat, antara lain asam α-ketoglutarat dan
32
asam suksinatdehidrogenase. Selain itu, terdapat senyawa lain (asam sorbat)
yang dapat membentuk ikatan kovalen dengan gugus SH pada enzim, sehingga
enzim menjadi inaktif. Untuk kehidupannya, mikroba perlu mensintesa berbagai
protein. Sintesa protein berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan
tRNA.
2.7.4 Metode Pengujian Aktivitas Antimikroba
Metode pengujian aktivitas antibakteri menggunakan Metode Difusi
(metode lempeng). Pada cara difusi agar digunakan media agar padat dan
reservoir yang dapat berupa cakram kertas, silinder atau cekungan yang dibuat
pada media padat. Larutan uji akan berdifusi dari pencadang ke permukaan
media agar padat yang telah diinokulasi mikroba. mikroba akan terhambat
pertumbuhannya dengan pengamatan berupa lingkaran atau zona disekeliling
pencadang (Rostinawati, 2009)
Berikut ini beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi metode difusi agar
yaitu (Rostinawati, 2009):
1. Pradifusi, perbedaan waktu pradifusi mempengaruhi jarak difusi dari zat uji
yaitu difusi antar pencadang.
2. Ketebalan medium agar adalah penting untuk memperoleh sensitivitas yang
optimal. Perbedaan ketebalan media agar mempengaruhi difusi dari zat uji ke
dalam agar, sehingga akan mempengaruhi diameter hambat. Makin tebal
media yang digunakan akan makin kecil diameter hambat yang terjadi.
3. Kerapatan inokulum, ukuran inokulum merupakan faktor terpenting yang
mempengaruhi lebar daerah hambat, jumlah inokulum yang lebih sedikit
menyebabkan obat dapat berdifusi lebih jauh, sehingga daerah yang
dihasilkan lebih besar, sedangkan jika jumlah inokulum lebih besar maka
akan dihasilkan daerah hambat yang kecil.
4. Komposisi media agar, perubahan komposisi media dapat merubah sifat
media sehingga jarak difusi berubah. Media agar berpengaruh terhadap
ukuran daerah hambat dalam hal mempengaruhi aktivitas beberapa mikroba,
mempengaruhi kecepatan difusi antibakteri dan mempengaruhi kecepatan
pertumbuhan antimikroba.
5. Suhu inkubasi, kebanyakan bakteri tumbuh baik pada suhu 370C
6. Waktu inkubasi disesuaikan dengan pertumbuhan mikroba, karena luas
daerah hambat ditentukan beberapa jam pertama, setelah diinokulasikan
33
pada media agar, maka daerah hambat dapat diamati segera setelah adanya
pertumbuhan mikroba.
7. Pengaruh pH, adanya perbedaan pH media yang digunakan dapat
menyebabkan perbedaan jumlah zat uji yang berdifusi, pH juga menentukan
jumlah molekul zat uji yang mengion. Selain itu pH berpengaruh terhadap
pertumbuhan mikroba.
Sedangakan faktor yang dapat mempengaruhi ukuran zona
penghambatan dan harus dikontrol adalah (Rustanti, 2009):
1. Konsentrasi mikroba pada permukaan medium. Semakin tinggi konsentrasi
mikroba maka zona penghambatan akan semakin kecil.
2. Kedalaman medium pada cawan petri. Semakin tebal medium pada cawan
petri maka zona penghambatan akan semakin kecil.
3. Nilai pH dari medium. Beberapa antibiotika bekerja dengan baik pada kondisi
asam dan beberapa kondisi alkali/basa.
4. Kondisi aerob/anaerob. Beberapa antimikrobial kerja terbaiknya pada kondisi
aerob dan yang lainnya pada kondisi aerob.