13
II. TINJAUAN PUSTAKA A. BIOPESTISIDA Biopestisida adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri, virus dan jamur. Biopestisida tidak menimbulkan kekebalan atau resistensi terhadap hama target, aman bagi lingkungan, manusia dan hama non target. Berbagai biopestisida telah dilaporkan dapat mengendalikan hama dan penyakit tanaman, diantaranya : 1. Insektisida biologi (Bioinsektisida) Berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya. Pada saat ini insektisida biologi sudah digunakan dan diperdagangkan secara luas. Mikroba yang berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah Bacillus thuringiensis. B. thuringiensis var. kurstaki telah diproduksi sebagai insektisida biologi dan diperdagangkan dalam berbagai nama seperti Dipel, Sok-Bt, Thuricide, Certan dan Bactospeine. Sedangkan B. thuringiensis var. israelensis dengan nama dagang Bactimos, BMC, Teknar dan Vektobak. Insektisida ini efektif untuk membasmi larva nyamuk dan lalat (Sastroutomo, 1992). Jenis insektisida biologi yang lain adalah yang berasal dari protozoa, Nosema locustae, yang telah dikembangkan untuk mengendalikan belalang dan jengkerik. Nama dagangnya adalah NOLOC, Hopper Stopper, sdangkan nematoda yang pertama kali didaftarkan sebagai insektisida ialah Neoplectana carpocapsae, yang diperdagangkan dengan nama Spear, Saf-T-Shield. Insektisida ini digunakan untuk membunuh rayap (Sastroutomo, 1992). 2. Herbisida biologi (Bioherbisida) Termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan menggunakan bakteri, jamur dan virus. Bioherbisida yang pertama kali digunakan ialah DeVine yang berasal dari Phytophthora palmivora yang digunakan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA A. BIOPESTISIDA · Jenis insektisida biologi yang lain adalah yang berasal dari protozoa, Nosema ... Class Gamma Proteobacteria Ordo Pseudomonadales Family Pseudomonadaceae

Embed Size (px)

Citation preview

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BIOPESTISIDA

Biopestisida adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti

bakteri, virus dan jamur. Biopestisida tidak menimbulkan kekebalan atau resistensi

terhadap hama target, aman bagi lingkungan, manusia dan hama non target. Berbagai

biopestisida telah dilaporkan dapat mengendalikan hama dan penyakit tanaman,

diantaranya :

1. Insektisida biologi (Bioinsektisida)

Berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme

yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan

terhadap hewan-hewan lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan

digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus

menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya.

Pada saat ini insektisida biologi sudah digunakan dan diperdagangkan secara

luas. Mikroba yang berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah

Bacillus thuringiensis. B. thuringiensis var. kurstaki telah diproduksi sebagai

insektisida biologi dan diperdagangkan dalam berbagai nama seperti Dipel, Sok-Bt,

Thuricide, Certan dan Bactospeine. Sedangkan B. thuringiensis var. israelensis

dengan nama dagang Bactimos, BMC, Teknar dan Vektobak. Insektisida ini efektif

untuk membasmi larva nyamuk dan lalat (Sastroutomo, 1992).

Jenis insektisida biologi yang lain adalah yang berasal dari protozoa, Nosema

locustae, yang telah dikembangkan untuk mengendalikan belalang dan jengkerik.

Nama dagangnya adalah NOLOC, Hopper Stopper, sdangkan nematoda yang

pertama kali didaftarkan sebagai insektisida ialah Neoplectana carpocapsae, yang

diperdagangkan dengan nama Spear, Saf-T-Shield. Insektisida ini digunakan untuk

membunuh rayap (Sastroutomo, 1992).

2. Herbisida biologi (Bioherbisida)

Termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan

menggunakan bakteri, jamur dan virus. Bioherbisida yang pertama kali digunakan

ialah DeVine yang berasal dari Phytophthora palmivora yang digunakan untuk

mengendalikan Morrenia odorata, gulma pada tanaman jeruk. Bioherbisida yang

kedua dengan menggunakan Colletotrichum gloeosporioides yang diperdagangkan

dengan nama Collego dan digunakan pada tanaman padi dan kedelai di Amerika

(Sastroutomo, 1992).

3. Fungisida biologi (Biofungisida)

Biofungisida yang dipakai untuk mengendalikan penyakit jamur. Beberapa

biofungisida yang telah digunakan adalah spora Trichoderma sp. untuk

mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai

dengan merek dagang Saco P dan Biotri P (Novizan, 2002).

Biofungisida lainnya menurut Novizan (2002), yaitu kelompok Gliocladium

yaitu G. roseum dan G. virens. Produk komersialnya dengan merek dagang

Ganodium P yang direkomendasikan untuk mengendalikan busuk akar pada cabai

akibat serangan jamur Sclerotium rolfsii dan B. subtilis untuk mengendalikan

serangan jamur Fusarium sp. pada tanaman tomat. Bakteri ini telah diproduksi

secara masal dengan merek dagang Emva dan Harmoni BS (Novizan, 2002).

B. LIMBAH CAIR TAHU

Tahu merupakan makanan yang mempunyai nilai tinggi dalam memenuhi

kriteria makanan sehat, karena tahu mempunyai nilai gizi yang tinggi sehingga baik

jika dikonsumsi. Pada sisi lain proses pembuatan tahu menghasilkan dua jenis limbah

yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat dari proses pembuatan tahu sudah

banyak dimanfaatkan tetapi untuk limbah cairnya masih sedikit. Limbah cair tahu

merupakan cairan yang berasal dari sari kedelai yang disaring dalam proses menjadi

tahu melalui proses pengumpalan protein sari kedelai. Limbah cair tahu sebagian

besar mengandung bahan organik berupa protein, lemak, karbohidrat dan bahan an

organik (Ca, Fe, Cu, Na, N, P, K, Cl, Mg). Proses pembuatan tahu dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir pembuatan tahu (Moertinah dan Djarwanti, 2003)

Limbah cair tahu dapat digunakan sebagai media fermentasi karena masih

mengandung nutrisi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba. Komposisi

dan karakteristik fisika limbah cair tahu dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi limbah cair tahu

Komponen Penggumpal

CaSO4 ( a ) CaSO4 ( b ) Asam asetat

Air ( % b/v) - 99.007 -

Pati ( % b/v) - 0.010 -

Glukosa ( % b/v) 0.009 - 0.037

Total N ( % b/v) 0.043 0.157 0.023

Abu ( % b/v) - 0.209 -

Ca ( ppm ) 34.030 24.37 2.940

Cu ( ppm ) 0.178 - 0.107

Na ( ppm ) 0.591 - 0.537

Mg ( ppm ) - 2.961 -

Fe ( ppm ) - 0.143 -

a. Kuswardani ( 1985 ) b. Rochani ( 1986 )

Tabel 2. Karakteristik fisika limbah cair tahu

No Karakteristik Hasil Pengukuran

1 Suhu 37-45°C

2 Padatan terendap 175-190 mg/l

3 Padatan tersuspensi 635-660 mg/l

4 Padatan total 810-850 mg/l

5 Warna 2225-2250 Pt.co

6 Amonia-Nitrogen 23,3-23,5 mg/l

7 Nitrit-Nitrogen 3,5-4,0 mg/l

8 Nitrat-Nitrogen 32-40 mg/l

9 pH 4-6

10 Kebutuhan oksigen biologi (BOD) 6000-8000 mg/l

11 kebutuhan oksigen kimia (COD) 7500-14000 mg/l

( Nurhasan,1987)

C. Pseudomonas putida

Genus Pseudomonas dapat dibedakan berdasarkan berbagai karakter

fisiologis dan genetiknya. P. fluorescens dikelompokkan ke dalam bakteri ungu

kelompok gamma, bersama P. aeroginosa, P. putida, dan P. syringae yang disebut

subkelompok flourescens. Pada penelitian ini menggunakan Pseudomonas putida

untuk memproduksi biopestisida.

Bakteri antagonis P. putida termasuk ke dalam genus Pseudomonas, yang

berbentuk lengkung batang atau ramping berukuran ( 0,5-1,0) x ( 1,5-5,0 ) µm dan

bergerak dengan satu atau beberapa flagelum polar. Bakteri ini bersifat gram negatif,

aerob, berjenis metabolisme respirasi dengan oksigen sebagai penerima elektron

akhir. Golongan bakteri antagonis ini tidak mempunyai fase istirahat, tidak

fermentasi, katalase positif, dan mempunyai pigmen hijau, biru, ungu, merah muda,

atau kuning yang menyebar terutama pada medium kaya zat besi, dan beberapa

spesies tidak berpigmen. Bakteri juga bersifat kemolitotrof fakultatif, menggunakan

CO2 dan bahan organik sebagai sumber energi bagi pertumbuhannya ( Soesanto,

2008 ). Klasifikasi bakteri Pseudomonas putida dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi bakteri Pseudomonas putida

Kingdom Eubacteria Phylum Proteobacteria Class Gamma Proteobacteria Ordo Pseudomonadales Family Pseudomonadaceae Genus Pseudomonas Species putida

Gambar 2. Gambar Pseudomonas putida (www.google.com)

Bakteri P. putida mempunyai habitat ekologi yang mirip dengan bakteri

antagonis lainnya, khususnya dari genus Pseudomonas. Kondisi dengan kelembaban

tinggi dan kaya bahan organik, terutama rizosfer dan rizoplan, sangat disukainya.

Bakteri mempunyai kemampuan mengoloni akar secara agresif, sehingga dikenal

dengan istilah rhizobakteri. Kemampuannya yang tinggi tersebut disebabkan oleh

tingkat pertumbuhan yang tinggi, pergerakannya dan ketertarikan terhadap bahan

kimia atau kemotaksis, terutama terhadap eksudat akar, yang menyediakan unsur

nutrisi seperti C, N, dan Fe (Soesanto, 2008).

Bakteri antagonis Pseudomonas putida dikenal dapat menghasilkan

antibiotika dan siderofor, yang mampu menekan pertumbuhan tular-tanah. Selain itu,

bakteri dapat berperan sebagai rhizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman (PGPR).

Antibiotika yang dihasilkan antara lain pyrolnitrin, pyocyanin, asam pseudomonat,

floroglusinol, dan fenazin. Siderofor diproduksi secara luar sel yang mempunyai

daya ikat sangat kuat terhadap besi (III) dan berperan sebagai penghambat

pertumbuhan patogen, faktor pertumbuhan tanaman, dan sebagai antibiotika. Selain

itu, bakteri antagonis ini juga mempunyai kemampuan bersaing yang tinggi sebagai

salah satu mekanisme antagonisnya. Persaingan dilakukan terhadap nutrisi dan

tempat infeksi. Persaingan terhadap ion besi (III) dengan mikroba tular-tanah lainnya

dapat menekan infeksi patogen (Soesanto, 2008).

D. Nematoda Pratylenchus brachyurus

Pratylenchus brachyurus adalah salah satu spesies nematoda parasit yang

sangat merusak pertanaman nilam di Indonesia. Serangan P. brachyurus pada

tanaman nilam menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, warna daun merah

atau kekuning-kuningan dan menyebabkan luka nekrosis pada akar rambut dan

kadang-kadang akar membusuk (Mustika et al. 1995; Harni & Mustika 2000). Selain

menghambat pertumbuhan tanaman, infeksi P. brachyurus juga mampu menurunkan

kandungan klorofil dan kadar minyak, baik pada kultivar rentan maupun agak tahan

(Sriwati 1999). Kerusakan akibat serangan nematoda tersebut pada tanaman nilam

dapat menurunkan hasil sampai 85% (Mustika et al. 1995). Klasifikasi P. brachyurus

dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Klasifikasi bakteri P. brachyurus

Kingdom Animalia

Phylum Nematoda

Class Adenophorea

Subclass Diplogasteria

Ordo Tylenchida

Superfamily Tylenchoidea

Family Pratylenchidae

Subfamily Pratylenchinae

Genus Pratylenchus

Species P. brachyurus

(Thorne,1961)

Pratylenchus brachyurus mempunyai dua anul pada daerah bibir dan

panjang tubuh antara 0,45 – 0,75 mm. Stilet kelihatan agak kaku dengan panjang 17-

22 µm, kekar dan berkembang dengan baik serta memiliki knop. Jantan jarang

ditemukan bahkan tidak ada. Pada nematoda betina tidak terlihat spermateka yang

mengindikasikan spermateka tidak berfungsi. Lokasi vulva jauh ke belakang,

jaraknya kurang dari dua kali panjang ekor, ujung ekor membulat dan tumpul

(Thorne, 1961). Morfologi spesies Pratylenchus brachyurus dapat dilihat pada

Gambar 3.

Gambar 3. Pratylenchus brachyurus. A: Female posterior region; B, C: Female tails; D: Femalelabial region; E: En face view; F: Entire female; G: SEM micrographs ofen face view; H: SEM micrographs of female tail. Rectangular box indicatesphasmid position. (Scale bars: G = 2 µm; H = 5 µm.) ,Corbett (1976)

Gambar 4. Siklus Hidup Pratylenchus brachyurus (Singh dan Sitaramaiah,1993)

Singh dan Sitaramaiah (1993) mengemukakan bahwa semua stadia mulai

larva instar 2 sampai dewasa dari nematoda ini dapat masuk ke dalam akar. Kondisi

yang sesuai untuk penetrasi biasanya pada daerah elongasi. Setelah masuk ke dalam

akar, nematoda mengkonsumsi isi sel kortek yang menyebabkan luka meluas pada

akar. Luka tersebut pada awalnya kecil dan secara bertahap akan membesar karena

aktivitas makan nematoda yang berlangsung terus menerus. Nematoda ini

menyelesaikan siklus hidupnya dalam jaringan akar dan dapat berpindah dari akar

tua ke akar yang lebih muda. Siklus hidup (Gambar 4) dapat berlangsung dalam 30-

75 hari tergantung pada kesesuaian tanaman inang dan kondisi lingkungan.

E. AERASI DAN BIOREAKTOR KOLOM GELEMBUNG

Mikroorganisme membutuhkan oksigen yang berbeda-beda. Pada proses

fermentasi aerob, campuran mikroorganisme, nutrien dan udara merupakan hal yang

penting dan utama. Untuk memperoleh hal tersebut, perlu dilakukan agitasi dan

aerasi secara terus menerus selama proses fermentasi. Hal ini penting apabila kultur

ditumbuhkan dalam tangki atau labu (Vandekar dan Dulmage, 1982).

Agitasi dan aerasi merupakan metode penyediaan dan pemasokan oksigen

yang sesuai untuk kebutuhan mikroorganisme di dalam bioreaktor dan untuk

mempertahankan kondisi aerobik serta membuang gas karbondioksida yang

dihasilkan selama fermentasi ( Hartoto, 1991 ).

Tujuan utama aerasi adalah memberikan oksigen yang cukup untuk

kebutuhan metabolisme mikroorganisme pada kultur terendam ( Standbury and

Whitaker, 1984 ). Bioreaktor yang digunakan pada penelitian ini adalah bioreaktor

kolom gelembung ( bubble column ). Bioreaktor kolom gelembung merupakan

bioreaktor yang berbentuk kolom yang dilengkapi dengan pemasok udara dari bagian

bawah dan tanpa pengadukan mekanis. Pada biorektor ini, pencampuran semata-mata

bergantung pada sirkulasi udara yang dimasukkan ( Crueger, 1987 ).

Menurut Pons, et al. ( 1987 ), bioreaktor kolom gelembung menunjukkan

proses pengadukan dan transfer oksigen yang baik. Selain itu, laju perpindahan

oksigen dapat mencapai nilai maksimum ( Crueger, 1987 ). Pergerakan gelembung-

gelembung udara tersebut menurut Deckwer ( 1990 ) dapat terjadi secara bersamaan

atau gerakan bolak-balik sehingga membentuk pola sirkulasi yang menyebabkan

pengadukan yang intensif dalam fasa cairan.

Bioreaktor kolom gelembung merupakan biorektor yang mempunyai

konstruksi sederhana, mudah perawatannya, mempunyai sistem pencampuran, sistem

pindah panas maupun pindah massa yang sangat baik ( Deckwer, 1990 ). Selain itu,

bioreaktor jenis ini membutuhkan pasokan energi kurang dari 1,0 KW/m3, sedangkan

bioreaktor tangki berpengaduk membutuhkan energi 1,0-2,0 KW/m3. Hartoto (1991)

menyebutkan bahwa bila dibandingkan dengan bioreaktor teragitasi secara mekanis,

bioreaktor kolom gelembung dapat menghasilkan biomassa dan yield metabolit

sekunder yang lebih tinggi.

F. KINETIKA KULTIVASI

Kinetika fermentasi menggambarkan pertumbuhan dan pembentukan produk

oleh mikroorganisme. Kinetika fermentasi juga menggambarkan kegiatan sel-sel

istirahat dan mati karena banyak produk komersial yang diproduksi setelah

pertumbuhan sel terhenti (Gumbira-Said, 1987) selanjutnya Judoamidjojo et al.,

(1989) mengemukakan pula bahwa kinetika fermentasi secara umum dikaji

berdasarkan laju penggunaan substrat, laju pertumbuhan biomassa dan laju

pembentukan produk.

Gambar 5. Bioreaktor Kolom Gelembung

Ciri-ciri pertumbuhan mikrobial adalah waktu yang dibutuhkan untuk

menggandakan massa atau jumlah sel. Waktu ganda massa sel dapat berbeda dengan

waktu ganda jumlah sel karena massa sel dapat meningkat tanpa peningkatan jumlah

sel (Gumbira-Said, 1987).

Pertumbuhan mikroorganisme pada fase eksponensial dapat dinyatakan

dalam persamaan sebagai berikut :

................................................................................................(1)

atau

..................................................................................................(2)

Dimana, X = Konsentrasi sel (g/l)

N = Konsentrasi sel (total sel/l)

T = selang waktu (jam)

µx = Laju pertumbuhan sel (jam-1 massa)

µo = Laju pertumbuhan sel (jam-1 jumlah)

Pada umumnya pertumbuhan sel diukur dengan peningkatan massa sel,

sehingga µx dapat digunakan. Nilai besaran µxX adalah laju pertumbuhan volumetrik

(produktivitas volumetrik) dalam g/l.jam. pengintegralan keseimbangan (1)

memberikan :

.............................................................................................(3)

Jika laju pertumbuhan spesifik adalah tetap, maka keseimbangan (3) dapat

menghasilkan persamaan berikut :

.................................................................................................(4)

=µxX

=µoN

dXx = µ dt

ln(푋푋표) = 휇∆푡

atau

LnXt = Ln Xo + µ ∆t ................................................................................................(5)

Keseimbangan (4) dapat diselesaikan untuk kasus dimana ∆푡=td, yaitu waktu

yang dibutuhkan untuk mendapatkan massa sel dua kali jumlah massa sel semula, Xt

= 2Xo, sehingga :

td = .............................................................................................(6)

Menurut Wang et al.,(1978), koefisien hasil sel terhadap sumber karbon

dinyatakan sebagai Y x/s, sedangkan koefisien konversi nutrien dalam substrat

menjadi produk pada periode tertentu dinyatakan sebagai Yp/s. Perhitungannya

menggunakan persamaan berikut:

Yx/s = ...........................................................................................(7)

Yp/s = .............................................................................................(8)

Koefisien konversi nutrien dalam substrat berhubungan dengan efisiensi penggunaan substrat. Perhitungan untuk menghitung efisiensi penggunaan substrat adalah sebagai berikut :

% penggunaan substrat = ....................................................(9)

Ln 2µ

Δ푋Δ푆

Δ푃Δ푆

푆표 − 푆푡푆표