Upload
ngotruc
View
259
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Desain Lanskap
Desain lanskap merupakan perpaduan antara ilmu dan seni dalam menata
ruang luar (outdoor) melalui penataan elemen-elemen lanskap sehingga serasi
dengan lingkungan (VanDer Zanden dan Rodie 2008, Booth 1983). Menurut
Hannebaum (2002), desain lankap adalah suatu proses yang lengkap dalam
mengkombinasikan teknik seni dan komposisi yang fungsional. Penataan elemen
lanskap bertujuan untuk memuaskan keinginan manusia dan menyatukan fitur-
fitur yang terpisah sehingga bernilai estetik dan berkelanjutan (Loidl dan Bernard
2003, Fireza 2008).
Desain lanskap dinilai baik apabila mampu mengintegrasikan ekologi dan
manusia (Fireza 2008). Integrasi manusia berpengaruh pada desain lanskap
sehingga penting untuk memahami sifat dan hubungan timbal balik antara
ekologi, teknologi, dan budaya manusia (Vander Zanden dan Rodie 2008; Fireza
2008). Menurut VanDer Zanden dan Rodie (2008) dasar teori desain lanskap
adalah mengkombinasikan proses penyelesaian masalah yang universal dengan
human landscape dan menguatkan kualitas alam.
Desain akan menghasilkan ruang tiga dimensi sebagai wadah bagi kegiatan
manusia. Tatanan ruang merupakan perhatian utama dalam desain. Setiap ruang
memiliki bentuk, ukuran, warna, tekstur, dan kualitas laiinya. Pengorganisasian
ruang yang berbeda akan memberikan dampak yang berbeda bagi psikologis
manusia (Simonds dan Starke 2006).
Konsepsi mengenai ruang dikembangkan melalui beberapa pendekatan
yaitu: (1) pendekatan ekologis; (2) pendekatan ekonomi dan fungsional; dan (3)
pendekatan sosial politik. Pendekatan ekologis meninjau ruang sebagai kesatuan
ekosistem dengan komponen-komponen yang saling tekait dan berpengaruh
secara mekanis. Ruang dipandang sebagai sistem yang tertutup sehingga model
hubungan antar komponen dalam ruang dibuat tanpa mempertimbangkan faktor
eksternal. Pendekatan ekonomi dan fungsional meninjau ruang sebagai wadah
fungsional bagi berbagai kegiatan. Proses perkembangan pemanfaatan ruang oleh
manusia didasarkan pada pertimbangan jarak pusat kegiatan ke ruang kegiatan
penunjangnya. Pendekatan sosial-politik memandang ruang sebagai sarana
produksi dan akumulasi kekuasaan. Konflik yang terjadi pada ruang didefinisikan
sebagai konflik antar kelompok sosial sehingga pengendalian terhadap ruang oleh
suatu kelompok dianggap sangat penting (Harvey 1973 dalam Haryadi dan
Setiawan 2010).
Desain lanskap ideal diperoleh dengan mengkombinasikan bentuk melalui
prinsip pengorganisasian ruang atau prinsip desain. Prinsip desain adalah dasar
terwujudnya suatu rancangan atau ciptaan suatu bentuk agar komponen dan unsur
yang membentuknya dapat saling menyatu. Komponen dan unsur-unsur bentuk
mempunyai sifat masing-masing yang mempunyai karakteristik tersendiri. Hal ini
dikarenakan prinsip desain merupakan suatu hukum dalam hubungan atau rencana
dari penataan yang menentukan cara bagaimana elemen-elemen harus
dikombinasikan untuk menyempurnakan efek khusus.
Prinsip dasar dalam desain adalah keteraturan dan kesatuan yang dapat
memberikan keindahan. Keteraturan ini diperoleh melalui pendekatan tema
rancangan, antara lain keteraturan ruang formal, informal, simetris, atau
6
pendekatan dari segi keteraturan bentuk, misalnya alami, tradisional dan modern.
Kesatuan yang dimaksud adalah hubungan yang harmonis dari berbagai elemen
atau komponen unsur yang ada dalam suatu rancangan (Van Der Zanden, 2008).
Prinsip desain diaplikasikan pada tahap awal perencanaan konsep dan
dilanjutkan hingga tahap akhir pembuatan desain (Reid 1993). Adapun prinsip-
prinsip desain lanskap adalah :
1. Unity
Unity merupakan prinsip desain yang paling utama. Kualitas yang ditemukan
pada seluruh lanskap yang baik, berdasarkan ritme landform alami, dominasi
dari satu tipe vegetasi, human use dan bangunan yang telah menyatu dengan
lingkungan sekelilingnya. Unity merupakan keserasian pengaturan seluruh
unsur sehingga tidak berdiri sendiri-sendiri dan mempunyai hubungan satu
sama lain sehingga membentuk rancangan atau desain lanskap dalam satu
kesatuan yang menyeluruh.
2. Balance
Keseimbangan dalam desain berarti penyamaan tekanan visual suatu komposisi
antara unsur-unsur yang ada pada suatu desain lanskap. Dalam seluruh proses
kehidupan pada dasarnya memerlukan keseimbangan. Bentuk-bentuk
keseimbangan antara lain:
a. Keseimbangan Simetris : mempunyai sifat kaku namun agung, impresif dan
formal. Susunan elemen-elemen kiri dan kanan akan tampak sama besar.
Bobot visual yang sama antara kiri dan kanan didukung oleh susunan
elemen taman yang sama,
b. Keseimbangan asimetris : keseimbangan ini memberikan kesan gerak,
penempatan yang bersifat kebetulan dan santai. Elemen taman sebelah kiri
sumbu tidak sama persis dengan sebelah kanan setiap bobot visualnya sama.
3. Harmony
Komposisi suatu desain yang harmonis dapat dicapai dengan keselarasan antar
unsur-unsur pembentuknya. Harmoni berada diantara keserupaan yang absolut
dengan kontras yang tajam (perbedaan). Keserupaan yang terlalu besar
membosankan, kontras yang mencolok menimbulkan pemberontakan sehingga
keselarasan tidak tercapai. Desain akan harmonis bila menampilkan kesatuan
ide yang menyeluruh.
4. Rythm
Dalam menyusun komposisi desain dikenal istilah rhythm atau irama dalam
pengertian semu. Mata manusia dapat bergerak menikmati karya taman secara
visual sesuai dengan irama tertentu secara teratur dari satu benda ke benda
berikutnya. Perancangan lanskap yang berhasil akan menciptakan suatu alur
atau irama pemandangan. Irama dalam desain dapat memecah kemonotonan
yang membosankan.
5. Emphasis
Suatu komposisi desain akan hambar tanpa adanya dominansi atau aksen
sebagai titik pusat perhatian. Aksen atau titik perhatian dapat menggugah
semangat, menghidupkan suasana, memecah kemonotonan dan memberi
variasi maksimal. Kesan ini dapat diperoleh dengan cara membuat kontras,
kejutan, pembeda, penekanan dan fokalisasi (focal point).
Booth (1983) menjelaskan bahwa proses desain adalah mengkombinasikan
elemen desain lanskap. Elemen desain tersebut dikoordinasikan untuk
7
mengembangkan desain. Elemen lanskap merupakan unsur–unsur pembentuk
lanskap yang berpengaruh terhadap penampilan dan kualitas lanskap secara
keseluruhan (Sulistyantara 2002). Elemen desain lanskap terdiri atas bentukan
lahan (landform), material tanaman, bangunan, penutup permukaan tanah, site
structure, dan elemen air.
1. Bentukan lahan (landform)
Lahan sebagai bidang dasar merupakan elemen penting dalam desain lanskap.
Bentukan lahan atau topografi dapat menciptakan kesatuan dalam lanskap dan
dapat pula menjadi pemisah antar lanskap yang berbeda (Gambar 2). Selain itu
keberadaan landform juga berfungsi dalam menciptakan sensasi ruang,
pegaturan iklim mikro, serta pemanfaatan secara fungsional.
Gambar 2. Peranan landform dalam desain lanskap (sumber: Booth 1988)
2. Material Tanaman (Plant material)
Tanaman berperan dalam memberikan unsur kehidupan dalam lanskap dalam
satuan waktu yang terus berubah. Selain itu tanaman juga memiliki fungsi
secara arsitektural dan karakter visual yang memperindah lanskap. Secara
arsitektural, penggunaan material tanaman berpengaruh terhadap bidang tanah,
bidang vertikal, maupun bidang atap. Sehingga penataan terhadap ketiga
komponen tersebut dapat membentuk berbagai macam ruang luar. Ruang luar
yang dapat dibentuk oleh tanaman yaitu ruang terbuka, ruang semi-terbuka,
ruang berkanopi, penutupan ruang oleh kanopi pohon, dan ruang vertical
(Gambar 3).
3. Bangunan (Building)
Bangunan dalam lanskap berperan sebagai salah satu elemen keras. Bangunan
seringkali menjadi objek tunggal dalam taman atau dapat pula disusun
berkelompok sehingga terbentuk ruang antar bangunan (Gambar 4). Dalam
lanskap bangunan berfungsi dalam membentuk ruang, kontrol visual, rekayasa
iklim mikro, dan kontrol organisasi ruang.
4. Pavemen (Pavement)
Pavemen merupakan perkerasan yang diterapkan pada bidang tanah sehingga
dapat mengakomodasi penggunaan bidang lantai secara lebih intensif.
Pavemen berfungsi dalam mengarahkan sirkulasi, mempengaruhi skala tapak,
menyatukan tapak, dan menciptakan karakter khusus.
8
Gambar 3. Jenis ruang yang dapat dibentuk tanaman (sumber: Booth 1988)
Gambar 4. Ruang terbuka diantara kelompok bangunan (sumber: Booth 1988)
5. Struktur Tapak (Site structure)
Struktur dalam lanskap tersusun atas elemen yang berhubungan dalam
memudahkan pengguna untuk menikmati lanskap secara optimal. Dalam
jumlah massal, struktur ini termasuk elemen keras dengan kualitas arsitektural
yang menguatkan susunan spasial dan fungsi lanskap. Contoh struktur dalam
lanskap antara lain : tangga, ram, dinding, pagar, dan bangku taman.
6. Elemen Air (Water)
Air memiliki karakter khas dalam lanskap yang memberikan daya hidup bagi
lingkungan di sekitarnya. Air dapat menjadi elemen statis yang memberikan
keteduhan dan kenyamanan, atau menjadi elemen dinamis yang menarik
perhatian. Air memiliki sifat plastis dan berubah-ubah bentuk sehingga bentuk
air ditentukan oleh bentuk penampungnya.
9
Secara umum air dapat juga digunakan sebagai pengontrol iklim (Gambar 5) dan
suara bising. Sebagai pengontrol iklim, air dimanfaatkan untuk mendinginkan udara
yang bertiup kearah lahan darat disekitarnya.
Gambar 5. Fungsi air sebagai pengontrol iklim
2.2 Lanskap Permukiman
Permukiman merupakan kelompok-kelompok rumah yang memiliki ruang
terbuka secara bersama dan merupakan kelompok yang cukup kecil untuk
melibatkan semua anggota keluarga untuk suatu aktivitas, tetapi cukup besar
untuk menampung fasilitas umum seperti tempat berbelanja, lapangan bermain,
dan daerah penyangga (Simonds 1983). Menurut Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1992, permukiman adalah lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik
kawasan perkotaan maupun perkotaan sebagai lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan
permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran
dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang
terstruktur. Pada dasarnya, permukiman (Settlement) merupakan suatu proses
seseorang mencapai dan menetap pada suatu daerah (Vander Zee 1986). Fungsi
dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan tempat tinggal
dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan fasilitas untuk pelayanan,
komunikasi, pendidikan dan rekreasi.
Permukiman merupakan proses pewadahan fungsional yang dilandasi oleh
pola aktivitas manusia serta adanya pengaruh setting (rona lingkungan) baik yang
bersifat fisik maupun non fisik (sosial budaya) yang secara langsung
mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya. Hubungan antar aspek
budaya (culture) dan lingkungan binaan (environment) dalam kaitannya dengan
perubahan berjalan secara komprehensif dari berbagai aspek kehidupan sosial
budaya masyarakat. Faktor pembentuk lingkungan dapat dibedakan menjadi dua
golongan (Rapoport, 1993) yakni faktor primer (sosio culture factors) dan faktor
sekunder (modifying factors). Lingkungan binaan seperti permukiman dapat
terbentuk secara organic atau dapat juga terbentuk melalui perencanaan.
Pertumbuhan organik pada lingkungan permukiman terjadi dalam proses yang
panjang dan berlangsung secara berkesinambungan. Lingkungan permukiman
10
merupakan refleksi dari kekuatan sosial budaya seperti kepercayaan, hubungan
keluarga, organisasi sosial, serta interaksi sosial antara individu.
Untuk membangun suatu permukiman perlu memperhatikan lanskap.
Rumah menjadi permukiman bila dipikirkan dalam kelipatannya baik sekumpulan
kesatuan yang terpisah di atas petak-petak lahan individual maupun sebagai
kelompok rumah gandeng, rumah susun, atau apartemen. lanskap permukiman
adalah perubahan bentuk historis dari situasi, dimana taman dipertahankan dalam
wujud rumahnya sendiri sampai wujud lainnya (taman lingkungan) serta
permukiman–permukiman ditata dalam suatu kawasan yang lebih luas seperti
pembangunan kota-kota baru. (Laurie, 1986).
Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar yaitu: (1)
rumah-rumah dan tanah beserta rumah; (2) tanah kapling rumah dan ruang tanah
beserta rumah; dan (3) tapak rumah dan perkarangan rumah. Perkarangan rumah
atau tempat-tempat rumah biasanya disusun dalam kelompok-kelompok yang
homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua
atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek (Gambar 6).
Bentuk dari permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk
perencanaan tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan
komplek-komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah. Perkarangan rumah
atau tempat-tempat rumah biasanya disusun dalam kelompok-kelompok yang
homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua
atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek (Vander Zee
1986).
Ukuran permukiman terbagi menjadi enam yaitu permukiman tunggal (satu
rumah), permukiman kecil (2-20 rumah), permukiman kecil-sedang (sampai
dengan 500 penduduk), permukiman besar (2000-5000 penduduk), permukiman
sangat besar (lebih besar dari 5000 penduduk). Kerapatan permukiman diukur
berdasarkan jarak antar rumah-rumah sepanjang jalan sehingga dapat
dikategorikan sangat jarang, jarang, rapat, sangat rapat, rapat-kompak. Tipe
permukiman dapat dibedakan menjadi tipe linear, tipe plaza, dan tipe permukiman
dengan pengaturan area atau streetplan (Vander Zee 1986).
Karakteristik permukiman menurut Kuswartojo (2005) dibedakan menjadi
permukiman informal dan permukiman formal. Permukiman informal adalah
permukiman yang tidak tertata dan identik dengan wilayah perdesaan. Koestoer
(1995) mengemukakan bahwa karakteristik permukiman di wilayah perdesaan
ditandai terutama oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya
cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari
sumber air.Permukiman formal adalah permukiman yang tertata dan identik
dengan wilayah perkotaan. Wilayah permukiman di perkotaan sering disebut
sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya
sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada
dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok dan
dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannya pun ditata secara
bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal.
11
Gambar 6. Kelompok dan komplek dari rumah-rumah dan pekarangan
(sumber: Vander Zee 1986)
2.2.1 Konsep Teritorialitas dalam Ruang Permukiman
Terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan karena adanya proses
pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktifitas
manusia serta pengaruh setting atau rona lingkungan, baik yang bersifat fisik
maupun non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola
kegiatan dan proses pewadahannya (Rapoport 1969). Secara umum adanya ruang
fungsional ini mendorong seseorang untuk membentuk teritori sebagai ruang yang
dikuasai. Porteous, (1977) menyatakan, teritorialitas adalah batas di mana
organisme hidup menentukan teritori dan mempertahankannya, terutama dari
kemungkinan intervensi atau agresi pihak lain. Proses terbentuknya teritorialitas
dicirikan dengan adanya rasa memiliki dan upaya kontrol terhadap suatu
lingkungan dalam bentuk penandaan tempat baik secara fisik maupun simbolik
(Altman, 1975 dan Brower, 1976)
Teritorialitas merupakan salah satu atribut arsitektur lingkungan dan
perilaku, sehingga didalamnya terjadi interaksi antara Individu dengan tujuan
kegiatan dan institusi dengan tujuan kebijaksanaan terhadap ruang. Keterkaitan
hubungan yang terjadi antar unsur teritorialitas ini menyebabkan teritorialitas
dapat dilihat sebagai atribut perilaku yang dapat diukur kualitasnya. Dengan
adanya interaksi antar unsur teritorialitas, maka kualitas teritori juga bisa diukur
dimana yang terjadi antara pelaku dan seting fisiknya (Burhanuddin, 2010).
Menurut Altman dalam Porteous (1977), teritorialitas dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu teritorialitas primer, teritorialitas sekunder, dan teritorialias
umum.
1. Teritorialitas primer
Teritorialitas primer merupakan ruang yang dimiliki secara permanen oleh
seseorang atau kelompok tertentu. Gangguan terhadap ruang ini dianggap
sebagai penghinaan bagi penghuninya (contoh: rumah tinggal, ruang kantor).
2. Teritorialitas sekunder
Teritorialitas sekunder merupakan ruang yang dikuasai dan dikontrol oleh
seseorang atau kelompok tertentu namun masih mengijinkan orang/kelompok
lain untuk mengakses ruang tersebut.
12
3. Teritorialitas umum
Teritorialitas umum merupakan ruang yang hanya dapat dikuasai dalam waktu
singkat dan dapat diakses oleh semua orang
2.2.2 Pola Permukiman
Pola permukiman adalah bentuk persebaran tempat tinggal penduduk. Pola
permukiman di setiap wilayah berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perbedaan pola permukiman antara lain adalah relief, kesuburan tanah, keadaan
iklim, kondisi ekonomi, dan kultur masyarakat. Bentukan lahan (landform) dapat
berupa pegunungan, lembah, dataran tinggi, dataran rendah, kawasan berlereng,
atau daerah pantai. Perbedaan bentukan lahan menyebabkan perbedaan pola
adaptasi termasuk dalam penataan permukiman. Kesuburan tanah juga dapat
mempengaruhi pola permukiman. Tingkat kesuburan tanah di setiap tempat
berbeda-beda. Di daerah pedesaan, lahan yang subur merupakan sumber
penghidupan bagi penduduk sehingga tempat tinggal didirikan dengan pola
berkumpul dan memusat dekat dengan sumber penghidupannya. Faktor-faktor
iklim seperti curah hujan, intensitas radiasi Matahari dan suhu di setiap tempat
berbeda-beda. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah dan
kondisi alam daerah tersebut. Kondisi ini akan berpengaruh pada pola pemukiman
penduduk. Pada daerah dingin seperti pegunungan, dataran tinggi serta di Kutub
utara orang akan cenderung mendirikan tempat tinggal saling berdekatan dan
mengelompok. Sedangkan di daerah panas pemukiman penduduk cenderung lebih
terbuka dan agak terpencar. Kegiatan ekonomi seperti pusat-pusat perbelanjaan,
perindustrian, pertambangan, pertanian, perkebunan dan perikanan akan
berpengaruh pada pola pemukiman yang mereka pilih, terutama tempat tinggal
yang dekat dengan berbagai fasilitas yang menunjang kehidupannya, karena hal
itu akan memudahkan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Budaya
penduduk yang dipegang teguh oleh suatu kelompok masyarakat akan
berpengaruh pada pola pemukiman kelompok tersebut.
Pola permukiman menurut pemusatan masyarakat di Pulau Jawa dapat
dibagi menjadi pola permukiman memanjang (linear) mengikuti jalur lalu lintas
atau sungai, pola permukiman mengelompok (clustered), dan pola permukiman
tersebar (Yudohusodo 1991). Leibo (1986) membedakan pola permukiman di
wilayah perdesaan menjadi tiga (Gambar 7), yaitu :
1. the scattered formstead community merupakan pola permukiman dimana
sebagian orang berdiam di pusat layanan yang ada sementara lainnya tersebar
bersama sawah ladangnya masing-masing;
2. the cluster village merupakan pola permukiman dimana penduduk tinggal
mengelompok dengan dikelilingi sawah ladangnya;
3. the line village merupakan pola permukiman dimana rumah-rumah dibangun
mengikuti garis tertentu, menyilang, atau menyusur pinggiran sungai, kanal,
atau pantai. Sawah dan ladang penduduk diletakkan di belakang lokasi
permukiman.
13
Gambar 7. Pola permukiman di wilayah perdesaan (sumber: Leibo 1986)
2.3 Permukiman Tradisional
Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih
memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai
kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat
tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah.
Menurut Sasongko (2005), bahwa struktur ruang permukiman digambarkan
melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama,
selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul
dalam suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak
hanya mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi.
Menurut Habraken dalam Fauzia (2006), ditegaskan bahwa sebagai suatu
produk komunitas, bentuk lingkungan permukiman merupakan hasil kesepakatan
sosial, bukan merupakan produk orang per orang. Artinya komunitas yang
berbeda tentunya memiliki ciri permukiman yang berbeda pula. Perbedaan inilah
yang memberikan keunikan tersendiri pada bangunan tradisional, yang antara lain
dapat dilihat dari orientasi, bentuk, dan bahan bangunan serta konsep religi yang
melatarbelakanginya. Keunikan tersebut sekaligus menjadi salah satu daya tarik
bagi wisatawan. Oleh karena itu Koentjaraningrat (1987) menjelaskan bahwa
benda–benda hasil karya manusia merupakan wujud kebudayaan fisik, termasuk
di dalamnya adalah permukiman dan bangunan tradisional.
Menurut Norberg-Schulz dalam Sasongko (2005), bahwa struktur ruang
permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas
14
sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan
atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik
ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan orientasi saja tetapi juga objek
nyata dari identifikasi. Wikantiyoso dalam Krisna, Antariksa, dan Dwi Ari (2005)
menambahkan, bahwa permukiman tradisional adalah aset kawasan yang dapat
memberikan ciri ataupun identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut
terbentuk dari pola lingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial
budaya dan aktifitas ekonomi yang khas.
Pola tata ruang permukiman mengandug tiga elemen, yaitu ruang dengan
elemen penyusunnya (bangunan dan ruang disekitarnya), tatanan (formation) yang
mempunyai makna komposisi pattern atau model dari suatu komposisi. Pada
bagian lain Dwi Ari & Antariksa (2005) menyatakan bahwa permukiman
tradisional memiliki pola-pola yang membicarakan sifat dari persebaran
permukiman sebagai suatu susunan dari sifat yang berbeda dalam hubungan
antara faktor-faktor yang menentukan persebaran permukiman.
Terdapat kategori pola permukiman tradisional berdasarkan bentuknya yang
terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pola permukiman bentuk memanjang
terdiri dari memanjang sungai, jalan, dan garis pantai; Pola permukiman bentuk
melingkar; Pola permukiman bentuk persegi panjang; dan Pola permukiman
bentuk kubus.
2.4 Madura
2.4.1 Karakteristik Lanskap
Pulau Madura terletak di sebelah timur Pulau Jawa dan dibatasi oleh Selat
Madura hingga ke sebelah selatan, sedangkan bagian utara hingga ke timur Pulau
Madura berbatasan dengan Laut Jawa. Secara administratif Pulau Madura dibagi
menjadi empat wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Bangkalan, Kabupaten
Sampang, Kabupaten Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep.
Luas keseluruhan Pulau Madura adalah 5.304 km2 dengan posisi wilayah
berada pada ketinggian 2-350 m diatas permukaan laut. Wilayah terendah berada
di kawasan pantai, sedangkan wilayah tertinggi menyebar dibagian tengah pulau
yang sebagian besar berupa gundukan bukit kapur (Subaharianto dkk 2004).
Pulau Madura dikelilingi 67 pulau-pulau kecil. Kondisi perairan yang
memisahkan pulau-pulau kecil tergolong jernih dan tidak terlalu dalam. Perairan
ini menyimpan potensi taman laut yang menarik jika dapat dikembangkan secara
optimal (Subaharianto dkk 2004).
Secara geologis, Madura merupakan kelanjutan sistem Pegunungan Kapur
Utara di dataran Jawa. Hal ini menyebabkan tulang punggung Pulau Madura
adalah perbukitan berkapur dengan puncak tertingginya Gunung Tembuku pada
ketinggian 471 meter di atas permukaan laut. Bagian terbesar dari pulau ini adalah
bukit–bukit cadas yang tinggi dan punggung–punggung kapur yang lebar diselingi
bukit–bukit bergelombang. Hamparan dataran rendah banyak dijumpai di bagian
selatan, sedangkan di sebelah timur laut dapat ditemukan formasi gundukan pasir
laut membukit dengan tinggi mencapai 15 meter yang membentang sejauh 50
kilometer. Bukit pasir ini merupakan objek alam yang unik dan langka karena
bentangannya termasuk yang terpanjang di dunia (de Jonge 1989; Rifai 2007).
15
Kondisi tanah Madura sebagian termasuk jenis tanah liat, mediteran, litosol,
dan grumosol dengan kandungan phospat cukup tinggi sehingga berpotensi
sebagai bahan baku pupuk. Sebagian lain berupa jenis batu-batuan seperti batu
putih, batu kapur, batu gunung, dan batu bintang. Permukaan tanah di Madura
relatif lebih rata dibandingkan dengan Pulau Jawa. Dataran pantai terpenting
adalah dataran Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep. Perbukitan di sebelah timur
dan tenggara Madura dilanjutkan dalam bentuk pulau-pulau dan karang-karang di
laut.
Sejumlah sungai melintasi Pulau Madura dengan ukuran yang lebih kecil
dari Pulau Jawa. Pada musim kemarau sebagian besar dari sungai-sungai tersebut
mengering. Keberadaan sungai-sungai di Madura memberikan kontribusi besar
bagi kehidupan masyarakat Madura. Aliran sungai dimanfaatkan dalam kegiatan
pertanian dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga yaitu mandi dan cuci.
Iklim Pulau Madura bercirikan dua musim, musim barat atau musim hujan
(nembara) dan musim timur atau musim kemarau (nemor). Musim hujan selama 6
bulan biasanya hanya terjadi di daerah pedalaman yang tinggi. Di lereng–lereng
gunung yang lebih rendah, musim hujan hanya berlaku selama 3–4 bulan saja.
Sementara di sepanjang pantai utara dan daerah paling selatan, hujan hanya turun
saat masa awal tahun. Suhu udara pulau ini tergolong tinggi. Suhu saat musim
barat rata– rata mencapai 27°C, sedangkan pada musim timur mencapai 35°C.
Komposisi tanah dan dan curah hujan yang tidak merata menyebabkan
tanah Madura relatif kurang subur. Sebagian besar tanah yang diolah merupakan
tanah tegalan, sedangkan lahan–lahan yang sama sekali tidak subur di bagian
selatan umumnya dimanfaatkan untuk pembuatan garam (de Jonge 1989).
Ketandusan tanah dan iklim yang gersang menyebabkan jenis vegetasi yang ada
di pulau ini hanya terdiri dari tumbuhan daerah beriklim kering saja sehingga
keanekaragamannya tidak terlampau tinggi (Rifai 2007). Sebagian besar aktivitas
pertanian dilakukan di lahan tegalan dengan tanaman pokok jagung dan ubi. Areal
sawah sangat terbatas dan umumnya berupa sawah tadah hujan sehingga petani
Madura hanya menanam padi setahun sekali. Kuntowijoyo (1980) menyatakan
bahwa lingkungan Madura yang semacam ini merupakan representasi dari ekotipe
tegalan (tegalan ecotype).
2.4.2 Karakter dan Budaya Masyarakat Madura
Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang memiliki gaya bicara
yang khas dengan karakter dominan keras dan mudah tersinggung. Walaupun
demikian, masyarakat Madura juga merupakan pribadi yang hangat, disiplin, dan
rajin bekerja. Orang Madura tampak selalu ceria, lugu, suka berterus terang, dan
apa adanya. Namun, citra sifat kaku dan kasar masih melekat karena rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat yang umumnya berasal dari daerah pedesaan.
Orang Madura juga dikenal mempunyai kesetiaan pada sistem dan pranata
sosialnya. Ketekunan dan etos kerja yang tinggi menyebabkan mereka tidak takut
melakukan pekerjaan apa saja (Rifai 2007). Secara umum, Rifai (2007)
menyebutkan bahwa karakter orang Madura adalah ego tinggi, kaku dan kasar,
pemberani, teguh pendirian, apa adanya, tulus setia, tertib, pamer, keras kepala,
responsif, ulet, berjiwa wirausaha, suka berpetualang, hemat dan cermat, dan
agamis.
Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang religius. Dapat
dikatakan ajaran islam secara kental telah mewarnai budaya dan peradaban
16
Madura (Rifai 2007; Hidayah 1996). Islam telah menjadi identitas etnis, sehingga
tidak aneh jika orang Madura juga memiliki hubungan yang khas dengan ulama.
Ulama Madura dikenal dengan sebutan kiai. Gelar kiai merupakan gelar
kehormatan yang diberikan masyarakat kepada ahli agama islam yang memimpin
pondok pesantren dan mengajarkan kitab-kitab islam klasik. Kiai memiliki
pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat Madura bahkan hingga
melampaui batas-batas geografi desa dan masyarakat tempat pesantrennya berada
(Dhofier 1994).
Penghormatan yang tinggi terhadap ulama didasarkan pada falsafah dan
prinsip hidup orang madura yang terdapat pada ungkapan buppa’-bhabbhu’, guru,
rato; yang dalam bahasa Indonesia berarti bapak-ibu, guru, pemerintah. Ungkapan
tersebut mencerminkan hierarki penghormatan dikalangan masyarakat Madura.
Bagi orang Madura penghormatan yang pertama dan utama harus diberikan
kepada kedua orang tua yang telah melahirkan, merawat, dan mengasuh hingga
dewasa. Penghormatan pada orang tua merupakan kewajiban dan hal etik dari
agama islam yang harus dilaksanakan. Penghormatan selanjutnya diberikan pada
guru. Pengertian guru yang dimaksud adalah kiai. Kiai telah mengajarkan ilmu
agama kepada santri-santri. Kiai juga dianggap dekat pada kesucian agama islam
sehingga harus dihormati dan diteladani. Penghormatan kepada kedua orang tua
dan kiai menjadi dasar untuk memberikan bakti pada ratu. Ratu dalam hal ini
bermakna raja atau pemerintah. Seorang Madura dianggap baik apabila mampu
menjalankan prinsip ini (Subaharianto dkk 2004, Taufiurrahman 2007).
Menurut Woodward (1989) dalam kategori tertentu, islam di Madura tidak
dapat dikatakan sebagai islam murni, tetapi termasuk “islam lokal” yaitu islam
yang bercampur dengan adat seperti Abangan atau Agama Adam di Jawa (Geertz
1989). Selain melaksanakan ajaran agama dengan taat, orang Madura juga
mempertahankan kepercayaan asal yang mempercayai bahwa roh leluhur
mempunyai kekuatan yang dapat memberikan perlindungan. Gejala ini tampak
pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan upacara selamatan tanah dan rumah
(rokat), upacara mengirim doa melalui sesaji yang telah didoakan kiai, dan
kebiasaan mengubur jenazah di pekarangan atau tanah tegalnya.
Tanah mempunyai ikatan dengan roh leluhur dalam hal penguasaan.
Menurut kepercayaan orang Madura, secara gaib tanah yang dimiliki oleh
seseorang juga masih dikuasai oleh roh leluhur yang dulu memiliki tanah tersebut.
Roh leluhur yang telah meninggal akan menyatu dengan tanah sehingga orang
yang memiliki tanah harus tahu asal usul pemilik tanah sebab akan berkaitan
dengan pengiriman doa dan pemohonan berkah. Secara fisik tanah dimiliki
seseorang tetapi secara gaib roh leluhur menyatu dengan tanah dan mempunyai
hak kekuasaan atas tanah tersebut (Subaharianto dkk 2004).
Hubungan tanah dan leluhur juga tampak pada tata cara penguburan
jenazah. Setiap keluarga besar (extended family) pada umumnya memiliki
kuburan keluarga sendiri. Pekuburan keluarga tersebut diletakkan di sebelah timur
pekarangan atau di tanah tegalnya. Masyarakat Madura pada dasarnya tidak
mengenal pemakaman umum, kecuali masyarakat perkotaan yang lahannya
terbatas. Setiap keluarga sudah memiliki lokasi tertentu sebagai tempat mengubur
jenazah bagi anggota keluarga yang meninggal sehingga tidak jarang dijumpai
pemakaman yang kecil dan berdempetan dengan tanah pekarangan oarang lain.
17
Keberadaan makam-makam kecil ini dapat ditemui di wilayah perdesaan
(Subaharianto dkk 2004).
Hubungan tanah dan leluhur yang sangat erat menyebabkan penjualan tanah
pada dasarnya dianggap sama dengan menjual roh leluhur. Oleh sebab itu pantang
bagi orang Madura untuk menjual tanah pekarangan atau tanah tegalan kepada
orang luar yang bukan saudara. Penjualan tanah kepada orang luar akan
merupakan aib bagi pemilik tanah dan dapat berakibat ecapok tola atau kenneng
tola (tidak selamat atau sial).
Sistem kekerabatan yang berlaku pada setiap kelompok etnis menunjukkan
berbagai variasi yang menggambarkan bentuk jalinan sosial yang lebih luas.
Kerabat merupakan kerangka dasar terbentuknya ikatan sosial yang paling primer
(Subaharianto dkk 2004). Masyarakat Madura termasuk masyarakat yang
menganut hubungan kekerabatan bilateral patrilineal (Hidayah 1996). Hubungan
kekerabatan ini memperhitungkan garis keturunan laki–laki dan perempuan secara
sama dan setara sehingga sebutan kekerabatan bagi keluarga pihak laki–laki tidak
berbeda dengan sebutan untuk keluarga pihak perempuan. Landasan ikatan
kekerabatan yang penting bagi orang Madura adalah hubungan pertalian darah
seketurunan dalam keluarga. Rasa keeratan tersebut diperlihatkan dan dipelihara
dengan menggunakan sistem pengelompokan bhala (kerabat) atau taretan
(persaudaraan) secara bertingkat. Konsep dasar kriteria kerabat tersebut
ditumpukan pada asas seperindukan sebagai landasan utamanya (Rifai 2007).
Pada sistem pewarisan hubungan kekerabatan patrilineal ini tidak berlaku
secara konsisiten, terutama pada pewarisan tanah pekarangan dan rumah.
Berdasarkan adat, anak perempuan berhak mewarisi rumah dan tanah pekarangan.
Hal ini disebabkan sistem matrilokal yang berlaku di Madura. Seorang laki-laki
yang sudah menikah akan tinggal menetap di rumah istri dan keluar dari keluarga
batihnya sendiri sementara seorang istri harus menyiapkan rumah di
pekarangannya. Pola bermukim ini menunjukkan bahwa ikatan hubungan
kekerabatan di Madura lebih kuat pada kaum perempuan. Pewarisan tanah tegalan
berbeda dengan tanah pekarangan. Anak laki-laki dan perempuan memiliki bagian
yang sama dalam pembagian waris tanah tegalan. Tanah tegalan mempunyai
kekuatan mengikat dalam kegiatan budidaya pertanian berupa kebersamaan dalam
mengolah tanah secara gotong royong. Bentuk ikatan gotong royong biasanya
berdasarkan kepemilikan tanah yang berdekatan. Para pemilik tanah yang
berdekatan biasanya masih satu keluarga karena tanah tegal yang diolah
merupakan hasil pembagian warisan (tanah sangkolan).
Kegiatan sosial di perdesaan Madura diselenggarakan oleh organisasi massa
yang dibentuk oleh masyarakat sendiri. Organisasi massa yang banyak dijumpai
umumnya berlandaskan keagamaan. Ada kelompok yang secara teratur bertemu
dan melakukan pembacaan diba’i dan barzanji dengan diiringi bunyi-bunyian
hadrah atau samrah. Kamrat adalah organisasi massa lain yang lebih umum
kegiatannya. Kadangkala kegiatan pertemuan teratur organisasi massa diikat pula
dengan kegiatan arisan (Rifai 2007)
Dalam hal seni seni sastra, masyarakat Madura mengenal peribahasa,
pepatah, dan kata-kata bijak seperti saloka. Baik pepatah, peribahasa, maupun
saloka merupakan representasi dari kearifan lokal masyarakat Madura (Sadik
2012). Didalamnya terdapat simbol atau kiasan yang berisi falsafah hidup dan
norma dalam bermasyarakat dan memelihara alam. Selain itu masyarakat Madura
18
juga mengenal seni tembang dan lagu. Tembang dan lagu ini umumnya memiliki
makna yang menggambarkan adat kebiasaan masyarakat sehari-hari atau dapat
pula berisi nasihat tentang nilai-nilai kehidupan (Junianto 2008, Syafiuddin 2011).
2.4.3 Permukiman Madura
Masyarakat Madura memiliki tipologi pola pemukiman sendiri dan tipologi
bentuk rumahnya sendiri yang masih tetap dipegang di daerah perantauannya.
Tipologi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang
tipe. Tipologi arsitektur berkaitan dengan elemen – elemen pembentuk bangunan
(Anonimous, 2009). Menurut Tulistiyantoro (2005), tipologi pola pemukiman di
Madura adalah pemukiman yang berdasarkan keterikatan terhadap keluarga batih
(keluarga luas), yakni Tanean Lanjang (Gambar 8). Sedangkan tipologi huniannya
menurut Wiryoprawiro (1986) adalah Pegun, Trompesan, Pacenan, Kampung,
Limasan, Surabayanan.
Permukiman tradisional Madura umumnya merupakan kumpulan rumah
yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Biasanya letaknya berdekatan
dengan lahan garapan, mata air, atau sungai. Lahan garapan dan kompleks rumah
dibatasi oleh tanaman hidup atau guludan tanah yang disebut galengan. Susunan
rumah disusun menurut hierarki keluarga. Keluarga paling tua berada berada di
sebelah barat dan keluarga paling muda di sebelah timur. Di ujung paling barat
terdapat langgar yang menjadi orientasi permukiman secara keseluruhan
(Tulistyantoro 2005).
Gambar 8. Taneyan lanjhang (sumber: Maningtyas 2011)
Sebuah tempat permukiman keluarga tidak terbentuk dari sebuah rumah,
melainkan terdiri dari beberapa rumah yang mengelompok dan biasanya
merupakan satu keluarga (Sadik 1996; dan Rifai 2007). Pada umumnya, di
sekeliling komplek permukiman tersebut diberi pagar dengan tanaman pepohonan
(pagar hidup) baik berupa bambu atau tanaman keras lainnya yang ditanam sangat
rapat. Bahkan terkadang tanaman pohon tersebut masih diikat dengan bilah–bilah
bambu. Bagi masyarakat Madura permukiman adalah sebuah benteng bagi
penghuninya. Sehingga pagar yang mengelilinginya haruslah dapat menahan
ancaman dari luar seperti musuh atau binatang buas (Sadik 1996). Kondisi ini
merupakan bentuk adaptasi masyarakat terhadap kondisi alam Madura yang panas
serta pemanfaatan lahan yang efisien dimana satu halaman dipakai bersama-sama
dan menjadi pusat aktivitas kemasyarakatan dalam suatu permukiman (Maulidi
2011).
19
Pola pemukiman pada Pulau Madura menurut Wiryoprawiro (1986) pada
dasarnya merupakan pola pemukiman yang tersebar, karena mengikuti tempat
dimana ada wilayah yang subur (Gambar 9). Maulidi (2011) menyebutkan bahwa
Sistem pertanian tegal dan pertanian tadah hujan membentuk unit lingkungan
permukiman pedesaan yang terpencar. Berbeda halnya dengan pola pemukiman
Madura di pesisir, menurut Citrayati (2008), adalah mengikuti adanya jalan dan
beroriantasi pada adanya laut.
Gambar 9. Permukiman tradisional madura (sumber: Maulidi 2011)
Pola permukiman tradisional Madura yang ideal disebut tanean lanjhang.
Tanean lanjhang bermakna halaman panjang yang tersusun dari deretan rumah
yang berjajar dari barat hingga ke timur sesuai dengan jumlah anak perempuan.
Pola permukiman tanean lanjhang menunjukkan hubungan yang erat antara
tanah/lahan dengan kekerabatan. Penghuni tanean lanjhang adalah anak-anak
perempuan dari sebuah keluarga inti bersama suami dan anak-anaknya.
2.4.4 Taman Rumah Tinggal Tradisional Madura
Rumah tinggal tradisional madura terdiri dari beberapa rumah tinggal yang
memiliki ikatan kekerabatan. Komplek rumah tinggal tradisional ini disebut
taneyan lanjhang. Taneyan lanjhang terdiri dari beberapa elemen yang disusun
dari barat ke timur (Maningtyas 2011), yaitu :
1. roma
roma merupakan istilah untuk rumah tinggal dalam taneyan. Rumah tinggal ini
dibedakan menjadi dua, yaitu rumah induk dan rumah anak perempuan. Rumah
induk dinamakan dengan roma tongghu. Biasanya rumah induk dibangun di
sebelah barat pada sisi utara taneyan dengan menghadap ke selatan. Sementara
rumah-rumah anak perempuan dibangun di sebelah timur rumah induk dengan
pola berjajar membentuk barisan bangunan yang linear (Gambar 10)
2. Langghar
Langghar merupakan penanda bagi suatu taneyan yang mandiri. Selain itu
langghar juga berperan sebagai pusat aktivitas dalam taneyan dan tempat
untuk menerima tamu. Pada umumnya langghar dibangun di ujung barat
taneyan berhadapan langsung dengan pintu masuk (Gambar 11).
3. dapor dan kandang
dapor merupakan istilah untuk dapur pemilik taneyan. Dapur tersebut
dibangun berhadapan dengan rumah tinggal masing-masing pada sisi selatan
taneyan. Sedangkan kandang dibangun di sisi selatan taneyan menghadap ke
utara. Seringkali kandang juga dibangun bersisian dengan dapur (Gambar 12).
20
Gambar 10. Tata Letak Roma (Sumber: Maningtyas 2011)
Gambar 11. Tata Letak Langghar (sumber: Maningtyas 2011)
Gambar 12. Tata letak Dapor dan Kandang
4. Taneyan
Taneyan merupakan halaman yang dikelilingi bangunan, berupa hamparan
tanah kosong. Fungsi taneyan adalah untuk menjemur hasil pertanian,
melaksanakan ritual adat atau hajatan keluarga. Vegetasi dalam taneyan tidak
boleh terlalu tinggi sehingga menutupi pandangan dari langghar.
roma
21
5. Pagar hidup
pagar hidup merupakan barisan pohon atau semak yang tumbuh rapat
disekeliling taneyan lanjhang. Pagar hidup ini sekaligus menjadi batas area
sekaligus menjadi pelindung taneyan dari bahaya binatang atau musuh dari
luar.
6. Pamengkang
Pamengkang merupakan kebun tempat menanan tanaman kebutuhan sehari-
hari. Biasanya pamengkang diletakkan di belakang bangunan rumah tinggal
atau disekeliling taneyan diluar komplek bangunan.
Secara umum, elemen yang nilai budaya paling tinggi dan dianggap paling suci
diletakkan di sisi paling barat dari taneyan.
Konsep desain taman rumah tinggal tradisional Madura adalah adanya ruang
publik (taneyan) berbentuk axis yang menghubungkan pintu masuk dengan ruang
semi publik (langghar) dengan desain berupa ruang terbuka sehingga pandangan
meluas dan tidak terhalang. Sedangkan ruang privat dan servis saling berhadapan
dan dipisahkan oleh ruang publik untuk mengakomodasi pelayanan umum tanpa
mengganggu aktivitas pribadi penghuni (Maningtyas dan Gunawan 2011).