Upload
hahanh
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IMPLIKASI BUDAYA SIRI’ NA PESSE
TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
ISLAM BUGIS-MAKASSAR
(Studi Kasus di Leang-Leang, Kecamatan
Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi sebagai
salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
MUH NUR MUHAIMIN
1113054000008
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
iii
iv
iv
ABSTRAK
Muh Nur Muhaimin, Implikasi Budaya Siri’ Na Pesse
Terhadap Pemberdayaan Masyarakat Islam Bugis-Makassar
(Studi Kasus di desa Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung,
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan).
Siri‘ na pesse merupakan nilai yang hidup pada masyarakat
Bugis-Makassar. Sebagian pengamat menilai, siri‘ na pesse
merupakan budaya yang cenderung mendistorsi bahkan memberi
dasar perilaku pada perbuatan amuk dan kekerasan. Tapi bila
ditelisik lebih jauh, sejatinya siri‘ na pesse tidak hanya terpaku
pada kecenderung kekerasan, namun juga pada sudut humanis,
yang menghargai sesama dalam satu komunal, demi tercapainya
kehidupan yang sejahtera. Penulis ingin meneliti apakah siri‘ na
pesse‘ memiliki implikasi terhadap pemberdayaan masyarakat
Islam di Desa Leang-Leang. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan teknik pengamatan dan wawancara serta
dokumentasi. Waktu penelitian dimulai pada bulai Mei sampai
April 2018
Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya siri‘ na pesse‘
memiliki implikasi terhadap pemberdayaan masyarakat Islam di
Desa Leang-Leang. Keterikatan komunal dicontohkan pada
kegiatan palette bola yaitu mengangkat rumah secara bersama-
sama dan terdapat nilai-nilai Siri‘ na Pesse seperti Lempu‘
(ikhlas, aik, bersih diri, adil), Ammacaangeng (Kecendikiaan),
Awaraningeng (Keberanian), yang berhubungan dengan nilai-
nilai dasar yang mesti di pegang teguh oleh aktor pemberdayaan
masyarakat seperti kejujuran, keadilan, kepercayaan,
kebersamaan, kepedulian, dan beorientasi pada masa depan.
Kata Kunci : Pemberdayaan, Implikasi, Kebudayaan, Siri’,
Pesse.
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT, adalah kata yang paling
pantas kita ucapkan selaku hamba yang telah diberikan berbagai
nikmat, baik itu nikmat iman, nikmat sehat jasmani maupun
rohani, nikmat hidup. Dari semua nikmat yang telah diberikan,
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan melalui berbagai
pelajaran maupun pengalaman. Dan tak lupa sholawat serta salam
atas junjungan Nabi Muhammad SWA, yang telah mewasiatkan
kita pemahaman tentang hubungan manusia dengan Allah SWT
dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, tentunya banyak
pelajaran serta pengalaman begitu berharga yang penulis rasakan.
Selain itu, penulis bersyukur dapat mempersembahkan sebuah
karya untuk kedua orang tua, keluarga serta kerabat. Penulis
menyadari dalam skripsi ini jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu penulis berharap ketika menemukan kekeliruan di dalamnya
agar supaya memberi masukan kepada penulis, untuk dijadikan
bahan evaluasi dan intropeksi diri demi keberhasilan penulis di
masa mendatang.
Penulis menyampaikan terima kasih sebagai bentuk
penghargaan kepada:
vi
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor UIN Sarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Arief Subhan, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Wati Nilamsari, M.Si.. selaku Ketua Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Muhammad Hudri S.Ag., M.Pd., selaku Sekerteris
Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Rosita Tandos, M.A, M.Comdev., selaku Dosen
Pembimbing yang telah sabar dalam membimbing,
memotivasi penulis serta meluangkan waktu, tenaga,
pikiran di sela-sela kesibukannya.
6. Seluruh Dosen Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani proses
perkuliahan.
7. Kedua orang tua penulis, Muh Nurullah HD dan St
Nafisah yang penuh rasa cinta, tabah dalam merawat,
mendukung serta membimbing penulis sehingga sampai
pada tahap kehidupan saat ini.
8. Saudara-saudara penulis, Dahsan Mabrur, S.KM. Nur
Hidayah, S.KM. Muh Nur Qosyim Syamsuri, Muh Nur
Syuhudi Ramadhan, dan Ahmad Al Azfar yang semangat
vii
dalam membantu dan mengingatkan penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
9. Andi Dewi Mahardika calon tunggal, yang selalu menjadi
penyemangat dan berperan penting dalam penyelesaian
skripsi ini.
10. Seluruh Staf Kelurahan dan Masyarakat Leang-Leang
yang ramah dan berpartisipasi penuh dalam proses
penelitian skripsi penulis.
11. Keluarga seperjuangan Jurusan Pengembangan
Masyarakat Islam (PMI) Angkatan 2013. Serta kaka dan
adik Jurusan PMI yang memberikan pengalaman, saran,
dan motivasi dalam proses perkuliahan dan pembuatan
skripsi.
12. Kawan-kawan yang terhimpun dalam organisasi HMJ
PMI, DEMA-F FIDIKOM, DEMA-UIN JAKARTA, I.C.I
(Insan Cendekia Indonesia), HMI, SMGI, IKAMI. Tanpa
dinamika di forum, di jalan, serta dikampus. Sampai saat
ini mungkin penulis belum bisa memahami sebuah
perjuangan dan kesetiaan.
13. Calon Tokoh Nasional, kawan Muhamad Ihsan dan Abdul
Khalid yang setia menemani penulis terbaring dalam
dunia kampus, semoga mereka cepat bangun dan
menyadari zonanya yang seakan menyempit.
Semoga Allah SWT menjawab segala Do‟a dan harapan
saudara-saudara yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan
skripsi ini dan mohon maaf penulis sampaikan untuk pihak yang
viii
membantu tetapi tidak disebutkan dalam skripsi ini, namun tidak
mengurangi rasa terima kasih sedalam-dalamya.
Jakarta, 20 Juli 2018
Muh Nur Muhaimin
1113054000008
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................... iii
ABSTRAK .............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................ ix
DAFTAR TABEL ................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................. xiii
BAB PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................ 15
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 16
D. Metodologi Penelitian ........................................................ 17
E. Kerangka Teori .................................................................. 24
F. Tinjauan Pustaka Literatur Skripsi ................................... 28
G. Sistematika Penulisan ....................................................... 31
BAB II LANDASAN TEORI
A. Impikasi ............................................................................. 34
1. Pengertian Implikasi ..................................................... 34
B. Kebudayaan ...................................................................... 35
1. Pengertian Kebudayaan dan Perubahannya .................. 35
2. Kebudayaan dan Agama ............................................... 37
C. Kebudayaan Siri‘ na Pesse ................................................ 39
1. Pengertian Siri‘ na Pesse .............................................. 39
2. Nilai-Nilai Siri‘ na Pesse .............................................. 42
x
D. Pemberdayaan Masyarakat ................................................ 45
1. Definisi Pemberdayaan Masyarakat .............................. 45
2. Konsep,Tahapan dan Landasan Nilai-Nilai Pengembangan
Masyarakat Islam .......................................................... 48
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak dan Batas Wilayah desa Leang-Leang, Kecamatan
Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan ........ 58
B. Sejarah dan perkembangan kebudayaan siri‘ na pesse di
wilayah Desa Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung,
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. ............................. 64
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA LAPANGAN
A. Siri‘ na Pesse dalam perkembangan makna. ................... 68
B. Implikasi Logis Pemahaman Filosofis Dimensi
Kebudayaan Siri‘ na Pesse dalam Pemberdayaan
Masyarakat Bugis-Makassar.. ......................................... 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 92
B. Saran ................................................................................ 94
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 95
LAMPIRAN ............................................................................. 100
Wawancara
- Transkip Wawancara
- Keterangan Informan Penelitian
Surat-Surat
xi
- Rekomendasi Penelitian Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi
- Rekomendari Penelitian Kelurahan Leang-Leang
- Pengajuan Judul Skripsi
Dokumentasi Penelitian Kelurahan Leang-Leang
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Kependudukan ........................................................ 61
Tabel 1.2 : Tingkat Pendidikan Anak ....................................... 61
Tabel 1.3 : Struktur Mata Pencaharian ..................................... 62
Tabel 1.4 : Tenaga Kerja ........................................................... 62
Tabel 1.5 : Angkatan Kerja ....................................................... 63
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 : Peta Wilayah Desa Leang-Leang ........................ 63
Gambar 1.2 : Struktur Organisasi Kelurahan Leang-Leang ..... 64
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa sanskerta)
buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “Buddhi”
yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai
“hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”.
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa
asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari
kata latin colere. Artinya mengolah atau mengerjakan,
yaitu mengolah tanah atau bertani. Dan asal arti tersebut,
yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai segala
daya dan kegiatan manusia untuk mengelola dan
mengubah alam. E.B. Tylor pernah mencoba memberikan
definisi mengenai kebudayaan dalam karya Soerjono
Soekanto dan Budi Sulistyowati sebagai berikut
(terjemahannya) yang dikutip oleh dewi utari dan darsono
prawironegoro dalam sebuah karyanya:
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-
kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.1 Budaya sangat erat kaitannya dengan sosial,
karena terbentuknya budaya dipengaruhi oleh masyarakat
1
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu
Pengantar - Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Hlm. 149.
2
dan dibantu oleh instrumen sekitarnya. Dalam kajian
sosiologi budaya Dewi Utari dan Darsono Prawironegoro
juga mengutip Ernest Cassirer, yang menguraikan bahwa
ciri khas manusia adalah kemampuan manusia
menciptakan kebudayaan, yaitu menciptakan simbol yang
mempunyai makna tertentu; maka manusia disebut
“animal simbolicum”.2
Hanya saja, kebudayaan yang dibentuk oleh
masyarakat bila melihat inputnya, terkadang mampu
menerima perubahan yang mengantarkan ke arah lebih
baik, namun di sisi lain justru menolak nilai yang
mengantarkan pada tatanan yang lebih harmonis.
Kebudayaan yang cenderung tidak mengindahi tatanan
yang harmonis, menjadi objek yang harus dirubah melalui
mekanisme pengembangan masyarakat. Dalam buku
muhtadi dan tantan hermansyah juga mengutip pandangan
ibnu khaldun, melalui pengembangan dapat membina dan
meningkatkan kualitas masyarakat. Manusia yang secara
individu merupakan bagian dari masyarakat, memiliki
kelebihan namun secara kodrati memiliki kekurangan.
Kelebihan itulah yang perlu dibina agar dapat
mengembangkan potensi pribadi untuk membangun.3
2
Dewi Utari dan Darsono Prawironegoro, Pengantar Sosiologi,
Kajian Perilaku Sosial Dalam Sejarah Perkembangan Masyarakat (Jakarta:
Mitra Wacana Media, 2017), Hlm. 20. 3
Muhtadi dan Tantan Hermansyah, Manajemen Pengembangan
Masyarakat Islam (Ciputat: UIN JAKARTA PRESS, 2013 ), Hlm. 6.
3
Di Indonesia, terdapat berbagai macam
kebudayaan. Karena itu, Indonesia dapat dikatakan
sebagai bangsa yang majemuk karena terdiri atas berbagai
suku bangsa, adat istiadat, serta agama yang berbeda-
beda. Keanekaragaman tersebut terdapat di berbagai
wilayah yang tersebar dari sabang sampai marauke. Setiap
suku bangsa di Indonesia mempunyai kebiasaan hidup
yang berbeda-beda. Kebiasaan hidup itu menjadi budaya
serta ciri khas suku bangsa tertentu. Demi persatuan dan
kesatuan, seharusnya kita menghargai keanekaragaman
tersebut sehingga dapat menjadi satu bangsa yang
tangguh. Dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, kita
jadikan keragaman suku bangsa dan budaya sebagai salah
satu modal dasar dalam pengembangan masyarakat.
Keragaman suku bangsa dan budaya terbentuk dari
berbagai kelompok masyarakat yang tersebar diberbagai
wilayah di Indonesia, Setiap suku bangsa mempunyai
kebudayaan yang berbeda-beda. Misalnya, di daerah
Sulawesi Selatan terdapat banyak kebudayaan-
kebudayaan yang diciptakan oleh berbagai suku di setiap
daerahnya masing-masing. Tetapi, kebudayaan yang
menjadi konsumsi umum bagi masyarakat Sulawesi
Selatan adalah bahasa, pakaian, rumah, tari, lagu, dan
senjata yang menjadi ciri khas bagi masyarakat Sulawesi
Selatan. Selain itu, ada nilai yang sangat berpengaruh
dalam ruang lingkup sosial masyarakat Bugis-Makassar
4
dan menjadi slogan bagi masyarakat Sulawesi Selatan
terutama Bugis-Makassar yang di kenal sakral oleh
masyarakatnya yaitu budaya siri‘ na pesse.
Berbicara tentang siri‘ na pesse sama halnya
mengurai jiwa dalam masyarakat Bugis-Makassar. Siri‘
na Pesse adalah dua suku kata yang terdiri dari kata
“Siri‘‖ dan kata “Pesse”. C.H Alam Basjah dan Sappena
yang dikutip dalam karya mattulada memberikan batasan
atas kata Siri‘ dengan memberikan tiga golongan
pengertian, yaitu :Pertama,Siri‖ sama artinya dengan
malu, isin (Jawa), Shame (Inggris). Kedua, Siri‘
merupakan daya pendorong untuk melenyapkan
(membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya
terhadap apa atau siapa saja yang menyinggung perasaan
mereka. Hal ini merupakan kewajiban adat, kewajiban
yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukuman menurut
norma-norma adat jika tidak dilaksanakan. Ketiga, Siri‘
itu sebagai daya pendorong yang bisa juga di tujukan ke
arah pembangkitan tenaga untuk membanting tulang,
bekerja mati-matian, demi suatu pekerjan atau usaha.4
Berdasarkan definisi di atas, makna Siri‘ dapat
dilihat dari tiga konteks yang berbeda, yaitu:
4 Mattulada, LATOA : satu lukisan analitis terhadap antropologi
politik orang bugis, (Ujung Pandang : Hasanuddin University Press, 1995),
Hlm. 62.
5
1. Masiri‘-siri‘: Siri‘ yang dapat menimbulkan
perasaan malu-malu. Misalnya, seorang merasa malu
karena beru bertemu dengan seseorang yang disegani.
2. Siri‘-ripakasiri‘: Siri‘ dapat menimbulkan perasaan
malu yang menuntut perlakuan adil karena seorang telah
menghina atau memperlakukannya di luar batas
kemanusiaan.
3. Siri‘-masiri‘: Siri‘ yang dapat menimbulkan
perasaan malu, sehingga seseorang berusaha dengan
sekuat tenaga untuk mencapai suatu prestasi demi
tegaknya siri‘ pribadi dan keluarga atau kelompoknya.5
Selain memberi nasehat tentang tingkah laku sosial
yang baik, banyak ungkapan-ungkapan Bugis-Makassar
yang mengagungkan jenis-jenis perilaku yang tampak
bertentangan dengan aturan iniyang didasari oleh Siri‘,
yaitu rasa bangga dan malu. Christian pelras mengutip
pandangan Hamid Abdullah,
“Dalam kehidupan manusia Bugis-Makassar, Siri‘
merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka.
Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk
dibela dan dipertahankan di muka bumi selain dari pada
Siri‘. Bagi manusia Bugis-Makassar, Siri‘ adalah jiwa
mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Sebab
itu, untuk menegakkan dan membela Siri‘ yang
dianggap tercemar atau dicemari oleh orang lain, maka
manusia Bugis-Makassar akan bersedia mengorbankan
5 Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis, (Jakarta : Pro de Leader,
2016), Hlm. 103.
6
apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi
tegaknya Siri‘ dalam kehidupan mereka.”6
Sedangkan pengertian kata Pesse, atau lengkapnya
Pesse Babua, yang berarti „ikut merasakan penderitaan
orang lain dalam perut sendiri‟, mengindikasikan perasaan
haru (empati) yang mendalam terhadap tetangga, kerabat,
atau sesama anggota kelompok sosial. Hal ini
melambangkan solidaritas, tak hanya pada seseorang yang
telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam
kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba
kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita
sakit keras.7
Konsep Siri‘ na Pesse bagi masyarakat Bugus-
Makassar jika mengacu pada pengertian diatas,
merupakan pondasi dalam diri yang menjadikan
masyarakat Bugis-Makassar sebagai masyarakat sosial
yang bermartabat, dan mampu menciptakan lingkungan
yang harmonis. Siri‘ sebagai nilai yang timbul dalam diri
masyarakat Bugis-Makassar mampu menjadi motor
penggerak dalam melangkah untuk menghasilkan apa
yang diinginkan, dan Pesse sebagai rasa yang mampu
menjadi penyeimbang langkah dalam mencapai tujuan dan
berperan penting terhadap terciptanya keharmonisan
dalam lingkungan masyarakat Bugis-Makassar maka tidak
6 Christian Pelras, Manusia Bugis, (Jakarta : Forum Jakarta-Paris,
2006), Hlm. 251. 7 Christian Pelras, Manusia Bugis, Hlm. 252.
7
heran jika di setiap aktivitas masyarakat Bugis-Makassar
sering melekat kata Siri na Pesse‘.
Pribadi Siri‘ na Pesse adalah pribadi yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang
menjadikan prinsip “Tau Sipakatau” ( saling
memanusiakan sesama manusia) sebagai landasan dalam
bertindak. Pribadi yang khas yang menunjukkan
performasi yang menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, yaitu pribadi Siri‘ na Pesse yang siap berjuang
demi tegaknya harkat dan martabat manusia.
Ciri pribadi Siri‘ na Pesse terwujud dari pribadi
manusia Bugis-Makassar yang: Tawakkal kepada Allah
SWT, Mempunyai bawaan hati yang baik, Ikhlas, Jujur,
Cendekia, Berani, Teguh dalam pendirian, Konsekuen
dalam mengambil tindakan, Berdaya saing tinggi, Ulet,
Percaya pada usaha keras dan ketekunan, sehingga
keberhasilan dapat dicapai, Penciptaan, Berlaku wajar
atau patut, Cermat, Tanggung jawab, Terbuka, Merdeka,
Solider, Mencipta (merujuk pada tujuan akhir).8
Ciri pribadi Siri‘ na Pesse memang sudah melekat
erat pada masyarakat Bugis-Makassar. Tetapi, di zaman
modernisasi ini makna Siri‘ na Pesse malah di kerucutkan
dan memancing munculnya pandangan yang negatif
kepada masyarakat Bugis-Makassar.
8 Said, Jati Diri Manusia Bugis, Hlm. 97.
8
Modernisasi mencakup suatu transformasi sosial
kehidupan bersama yang tradisional atau pramodern,
dalam arti teknologi dan organisasi sosial, kearah pola-
pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara-negara
barat yang stabil. Perwujudan aspek modernisasi adalah
berkembangnya aspek-aspek kehidupan modern, seperti
mekanisasi, media massa yang teratur, urbanisasi,
peningkatan pendapatan per kapita dan sebagainya. Selain
itu, juga mencakup perubahan struktural yang
menyangkut lembaga-lembaga sosial, norma-norma,
stratifikasi sosial.hubungan sosial dan sebagainya.9
Dewasa ini, pergeseran pola hidup yang lebih
dominan pada aspek teknologi dan ekonomis maupun
politik berimbas pada budaya Siri‘ na Pesse masyarakat
Bugis-Makassar. Nilai-nilai yang terkandung pada prinsip
Siri‘ na Pesse seolah-olah mengerucut kepada makna
Siri‘-ripakasiri‘: Siri‘ yang dapat menimbulkan perasaan
malu, yang menuntut perlakuan adil karena seorang telah
menghina atau memperlakukannya di luar batas
kemanusiaan.
Perkawinan adalah hal yang banyak bersinggungan
dengan masalah Siri‘. Apabila pinangan seseorang ditolak,
pihak peminang bisa merasa mate siri‘ (kehilangan
kehormatan)sehingga terpaksa menempuh jalan kawin lari
9 Nanang Martono, Sosiologi perubahan sosial, (jakarta : raja wali
pres, 2016),Hlm. 173.
9
(silariang) untuk menghidupkan kembali harga dirinya.
Namun, bagi keluarga gadir yang “dilarikan” hal itu justru
merupakan penghinaan yang amat sangat, sehingga semua
kerabat laki-laki gadis itu merasa berkewajiban untuk
membunuh si pelaku demi menegakkan Siri‘ keluarga.
Tugas pembelaan kehormatan tersebut baru bisa berakhir
apabila upaya rekonsiliasi secara formal dilakukan,
setelah melewati proses negosiasi yang sangat rumit dan
lama di antara kedua pihak.
Situasi semacam ini, tentu saja, dapat
menyebabkan lahirnya dendam warisan sampai beberapa
generasi berikutnya. Jika si gadis ternyata pergi dengan si
pemuda bukan atas keinginannya sendiri tapi karena
dipaksa, jalan damai sudah tertutup. Bukan hanya si laki-
laki tapi juga seluruh kerabat laki-laki dianggap telah
melakukan penghinaan, dan semua bisa dibunuh tanpa
rasa sesal sedikit pun. Di Sulawesi Selatan, pada
dasawarsa 1980-an, setiap tahunnya masih banyak kasus
seperti itu yang ditangani boleh pengadilan. Banyak orang
yang rela menerima hukuman berat demi menegakkan
Siri‘ mereka.10
Contoh kasus yang hampir sama, pada tahun 2017
menuai peningkatan dibandingkan pada tahun 2016. Pada
tahun 2017 terdapat 2 kasus bunuh diri yang berkedok
cinta, hal ini yang menjadi pemicu timbulnya katalisator
10
Pelras, Manusia Bugis, Hlm. 251.
10
Siri‘ na Pesse yang negatif dan menjadi ketakutan ketika
hal ini dipandang biasa bagi masyarakat islam Bugis-
Makassar terutama di wilayah Maros.11
Hal yang sama dapat pula terjadi apabila
seseorang merasa tersinggung oleh kata-kata atau tindakan
orang lain yang dianggapnya tidak sopan, yang bagi orang
luar mungkin dianggap sepele. Semua anggota keluarga,
termasuk pengikut, dan pembantu ikut merasa tersinggung
dan akan melakukan tindakan pembalasan. Dalam
beberapa hal tertentu yang cukup ekstrem, orang yang
merasa tersinggung bisa melakukan amuk
(Jallo‘)─membunuh siapa saja (bahkan mereka yang tidak
terlibat di tempat itu). Meskipun pada akhirnya dia sendiri
akan terbunuh, dia akan merasa puas karena telah
menegakkan harga dirinya.12
Dari beberapa contoh kasus yang telah penulis
paparkan, jika kembali pada makna yang terkandung
dalam nilai Siri‘ na Pesse akan bertentangan antara
harapan dan realita dilapangan saat ini. Maka tidak heran
jika saat ini muncul pandangan-pandangan masyarakat
luar bahwa masyarakat Bugis-Makassar terkesan sensitif,
mudah tersinggung, agresif, gengsi tinggi. Hal ini terjadi
ketika konsep Siri‘ hanya mengandung makna harga diri
11
https://www.Makassar.tribunnews.com/2017/07/31/ini-dua-kasus-
bunuh-diri-karena-cinta-di-maros. Pukul 23.17 WIB, 20-01-2018.
12 Pelras, Manusia Bugis, Hlm. 252.
11
saja (Siri‘-ripakasiri‘), sedangkan tidak dibarengi dengan
Masiri‘-siri‘ (malu seperti biasanya malu) dan Siri‘-
masiri‘(malu ketika menjadi manusia yang tidak
produktif) dan disandingkan dengan Pesse.Maka, hal ini
yang kerap menimbulkan masalah sosial dalam
masyarakat Bugis-Makassar.
Masalah sosial merupakan akibat interaksi sosial
antar individu, antar individu dengan kelompok, atau
antar kelompok. Interaksi sosial berkisar pada ukuran nilai
adat-istiadat, tradisi, dan ideologi, yang ditandai dengan
suatu proses sosial yang disosiatif. Masalah sosial
merupakan suatu ketidak sesuaian antara unsur-unsur
kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan
kehidupan kelompok sosial atau menghambat
terpenuhnya keinginan-keinginan pokok warga kelompok
sosial tersebut sehingga menyebabkan kepincangan ikatan
sosial.13
Terputusnya interaksi antar individu maupun
kelompok dalam masyarakat Bugis-Makassar yang dilatar
belakangi oleh Siri‘ biasanya karena hasil dari ketidak
mampuan manusia Bugis-Makassar dalam
menyeimbangkan semua aspek yang terkandung dalam
budaya Siri‘ na Pesse. Jika dipahami secara mendalam
makna tentang nilai Siri‘na Pesse, maka, nilai-nilai Siri‘
13
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu
Pengantar - Edisi Revisi, Hlm. 314.
12
na Pesse jugalah yang mampu mengatasi masalah sosial
ketika terjadi di lingkungan masyarakat Bugis-Makassar.
Dalam hubungan dengan agama Islam, moh yahya
mustafa dalam sebuah karyanya yang berjudul Siri‘ dan
Pesse mengutip pendapat Hamka yang mengemukakan
sebagai berikut :
“Dipandang dari segi agama Islam, Siri‘ atau menjaga
harga diri itu sama dengan artinya menjaga syariat.
Menjaga harga diri dipandang dri segi Ilmu Akhlak
adalah suatu kewajiban moral yang paling tinggi
sehingga ada syair : jika tidak engkau pelihara hak
dirimu, engkau meringankan dia, orang lain pun akan
lebih meringankan, sebab itu hormatilah dirimu dan jika
suatu negeri sempit buat dia, pilih tempat lain yang
lebih lapang. Jikalau orang memakai Siri‘ islam ini
bertemu dengan perbuatan orang lain yang
merendahkan martabatnyajadi hina dia pasti membalas,
disinilah pepatah yang terkenal “Annaarlal aar”.
Artinya : “Biar bertikam daripada memikul malu”.
Tetapi Siri‘ yang demikian itu menurut islam harus
diperlihatkan pada segala seginya. Pertama meneguhkan
Iman dan Tawakkal kepada Allah SWT, sebab Iman dan
Tawakkal itu menimbulkan Nur atau cahaya pada diri
seorang Mu‟min sehingga walaupun dia tidak bercakap
sepatah jua pun, cahaya imannya telah memencar dari
matanya sehingga menimbulkan pengaruh kepada alam
yang berada disekelilingnya. Sehingga orang yang
tadinya ada berniat jahat kepada orang yang beriman,
baru melihat matanya sebentar saja orang yang berniat
jahat itu tidak dapat menentang lama, musti
tunduk.Orang yang teguh imannya itu mempunyai
Akhlakul Karimah, budi pekerti yang mulia. Menurut
Imam Ghazali :Siri‘ yang sejati ialah yang menengah
atau Al Ausath ..” malu termasuk iman, tegasnya orang
13
yang tidak bermalu adalah orang yang tidak beriman”.
Dan sebuah hadits lain : “Apabila engkau tidak malu,
berbuatlah sesuka hatimu” Kedua hadits tersebut
diriwayatkan oleh Bukhari”.
Kesimpulan dari Hamka, ditinjau dari segi Islam,
Siri‘ adalah semata-mata akibat dari pada orang yang
beriman. Sebab orang yang beriman itu pastilah
mempunyai Akhlak yang tinggi.14
Pada hakikatnya, jika nilai kebudayaan Siri‘ na
pesse diimplementasikan sesuai dengan makna yang
terkandung didalamnya, maka nilai ini dapat membentuk
masyarakat Bugis-Makassar menjadi pribadi yang
berakhlak, mandiri, produktif dan mempunyai solidaritas
yang tinggi antar sesama manusia.
Kemiskinan merupakan suatu keadaan seseorang
tidak sanggup untuk memelihara dirinya sendiri sesuai
dengan taraf kehidupan kelompoknya dan tidak mampu
memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisik dalam
kelompoknya tersebut.15
Mengacu pada prinsip Siri‘ na
Pesse, jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dapat
mengarahkan masyarakat Bugis-Makassar terhindar dari
kondisi masyarakat miskin.
14
Moh. Yahya Mustafa, A. Wanua Tangke, Anwar Nasyaruddin,
SIRI‘ DAN PESSE (Harga Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja),
(Makassar : PUSTAKA REFLEKSI, 2003), Hlm.20. 15
Asep Usman Ismail, al-Qur‘an dan Kesejahteraan Sosial,
(Tangerang: Lentera hati, 2012), Hlm.42.
14
Selain itu juga, pengimplementasian nilai-nilai
budaya Siri‘ na Pacce dapat menciptakan kohesi sosial
yang menurut Ibnu Khaldun sebagai ahli kohesi sosial
yang dikutip oleh m fahmi tharaba dalam sebuah
karyanya.
Terbukti dari jawabannya atas pertanyaan “apa
yang membuat masyarakat bersatu ?” Ia
mengemukakan bahwa para anggota suatu suku,
yang bersatu karena adanya asabiyah (perasaan
kelompok, kohesi, solidaritas), mengalahkan
mereka yang berada dalam tahapan urbanisasi
(tamaddun) atau mereka yang telah kehilangan
kohesi kelompok. Kemenangan tersebut dapat
mengakibatkan terciptanya suatu pemerintah atau
dinasti, dawlah, setelah lebih dari tiga atau paling
lama empat generasi, para anggota suku yang telah
menjadi orang kota itu, akan menghadapi
kelompok suku lain yang baru datang. Pola siklus
semacam itu mewarnai sejarah Islam.16
Jika di Sulawesi Selatan Siri‘ na Pesse diterapkan
dengan baik, maka tidak menutup kumungkinan provinsi
ini bisa menandingi Negara maju seperti Jepang yang
terkenal dengan Guilt-Culture (budaya rasa bersalah).
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menilai
perlu adanya penelitian yang mengkaji tentang
pemahaman nilai Siri‘ na Pesse pada masyarakat Bugis-
Makassar dan apakah implikasi terhadap pemberdayaan
16
M. Fahmi Tharaba, Sosiologi agama (konsep, metode, riset, dan
konflik sosial), (Malang: Madani, 2016), Hlm. 37.
15
masyarakat islam Bugis-Makassar sehingga nilai-nilai
yang terkandung dalam Siri‘ na Pesse dapat bernilai
positif bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, penulis
mengambil sebuah judul, “IMPLIKASI BUDAYA SIRI’
NA PESSE TERHADAP PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT ISLAM BUGIS-MAKASSAR (Studi
Kasus di desa Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung,
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam proposal penelitian ini, penulis
membatasi masalah pada implikasi kebudayaan Siri‘
na Pesse terhadap Pemberdayaan masyarakat islam
Bugis-Makassar. Sehingga dari pembatasan masalah
ini, memudahkan penulis untuk fokus pada implikasi
antara budaya Siri‘ na Pesse dan pemberdayaan
masyarakat saja.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada pembatasan masalah maka
rumusan masalah yang akan dijawab dalam skripsi ini
sebagai berikut :
a. Bagaimana masyarakat Bugis-Makassar
memahami kebudayaan Siri‘ na Pesse ?
b. Apa implikasi kebudayaan Siri‘ na Pesse terhadap
Pemberdayaan masyarakat islam Bugis-Makassar
?
16
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pemahaman kebudayaan Siri‘
na Pesse pada masyarakat Bugis-Makassar.
b. Untuk mengetahui implikasi kebudayaan Siri‘ na
Pesse terhadap pemberdayaan masyarakat islam
Bugis-Makassar.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
1) Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan
memperkaya teori-teori sosial yang berkaitan
dengan ilmu sosial pada jurusan Pengembangan
Masyarakat Islam khususnya, umunya pada
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
2) Penelitian ini diharapkan dapat menambah
khazanah keilmuan, pengalaman serta
meningkatkan kemampuan dalam menganalisa
berbagai kegiatan pemberdayaan yang ada di
lingkungkungan masyarakat.
b. Maanfaat Praktis
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sumber referensi bagi mahasiswa Pengembangan
Masyarakat Islam, agar dapat memperdalam
pengetahuan di bidang sosial-budaya.
2) Penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan yang
baik untuk masyarakat Bugis-Makassar dalam
memperkaya wawasan mengenai kebudayaan Siri‘
17
na Pesse sebagai budaya yang dapat membentuk
masyarakat yang mandiri.
D. Metodologi Penelitian
Agar lebih mudah dan sistematis dalam melakukan
penelitian, perlu adanya metodologi penelitian yang di
mana metodologi penelitian merupakan pembahasan
mengenai konsep toritik berbagai metode, kelebihan dan
kelemahannya, yang ada dalam karya ilmiah dilanjutkan
dengan pemilihan metode yang digunakan.17
Penulis
mencoba untuk memaparkar metodologi penelitian ini
melalui beberapa poin, di antaranya:
1. Pendekatan Penelitian.
Jenis penelitian yang penulis pakai dalam skripsi
ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan sebuah metode penelitian yang digunakan
dalam mengungkapkan permasalahan dalam
kehidupan kerja organisasi pemerintah, swasta,
kemasyarakatan, kepemudaan, perempuan, olahraga,
seni dan budaya, sehingga dapat dijadikan suatu
kebijakan untuk dilaksanakan demi kesejahteraan
bersama.18
Dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif yang merupakan sebuah metode
penelitian yang memusatkan hasil penemuan
17 Sedarmayanti, dan Syarifuddin Hidayat, Metodologi Penelitian
(Bandung : Mandar Maju, 2002). Hlm. 25. 18
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif (Teori dan Praktek),
(Jakarta : PT Bumi Aksara, 2013). Hlm. 80.
18
berbentuk data informasi dengan berpikir secara
induktif (menangkap femomena fakta sosial melalui
pengamatan di lapangan) kemudian menganilisa dan
berupaya melakukan teorisasi berdasarkan apa yang
diamatinya.19
Pendekatan ini digunakan dalam menganalisis
konsep Siri‘ na Pesse dalam masyarakat Bugis-
Makassar. Selain itu dengan memakai metode ini,
penulis berharap dapat menggambarkan dengan jelas
realitas sosial yang ada di masyarakat Bugis-Makassar
serta implikasi budaya Siri‘ na Pesse terhadap
Pemberdayaan masyarakat islam Bugis-Makassar.
2. Teknik Pengumpulan Data.
Dalam menjalani proses penelitian, dibutuhkan
teknik-teknik dalam mendapatkan dan mengumpulkan
data yang dibutuhkan dalam penelitian. Berikut adalah
teknik pengumpulan data :
a. Wawancara.
Rulam ahmad mengutip pendapat Dexter
yang menggambarkan wawancara adalah
sebuah percakapan dengan tujuan. Tujuan
wawancara antara lain untuk memperoleh
bentukan-bentukan di sini dan sekarang dari
orang, peristiwa, kegiatan, organisasi,
perasaan, motivasi, klaim, perhatian (concern),
19
M. Burhan Bungin. Penelitian Kualitatif edisi Kedua. (Jakarta :
Kencana, 2007). Hlm. 6
19
dan cantuman lainya; rekonstruk tentang
cantuman-cantuman seperti itu sebagaimana
dialami di masa lalu.20
Teknik ini merupakan teknik pengumpulan
data dengan cara bertemu lansung dengan
masyarakat yang menjadi suber pengumpulan
data. Untuk data yang lebih akurat, biasanya
memerlukan beberapa informanyang menjadi
target wawancara peneliti. Ada beberapa tahap
yang penulis akan lakukan sebelum
mewawancarai informan tersebut, yaitu :
memanfaatkan observasi sebagai cara
mendapatkan informan, menghubungi
informan melalui media elektronik,
menentukan jadwal pertemuan, dan bertemu
lansung sekaligus wawancara mengenai
pemahaman Siri‘ na Pesse dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Catatan Lapangan.
Pengertian dan kegunaan catatan lapangan
ini menurut Bodgan dan Biklen adalah bahwa
catatan yang tertulis merupakan sesuatu yang
didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan
dalam rangka pengumpulan data dan refleksi
terhadap data dalam penelitian kualitatif.
20
Rulam Ahmad, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta : AR-
RUZZ MEDIA, 2016). Hlm. 120.
20
Kegunaannya adalah untuk memperoleh
gambaran konkrit tentang kejadian di
lapangan.21
Catatan lapangan berperan penting dalam
melakukan penelitian, pasalnya catatan
lapangan merupakan data yang menjadi bukti
konkrit kejadian-kejadian yang terjadi di
lapangan serta dapat menjaga keaslian hasil
penelitian. Catatan lapangan ini yang akan
membatu dalam pengambilan kesimpulan dan
sumber yang akurat dalam mendeskripsikan
hasil penelitian.
c. Studi dokumen.
Dokumen merupakan salah satu alat yang
digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian kualitatif. Dokumen adalah catatan
tertulis yang isinya merupakan pernyataan
tertulis yang disusun oleh seseorang atau
lembaga untuk keperluan penguji suatu
peristiwa atau menyajikan akunting, dan
berguna bagi sumber data, bukti, informasi
kealamiahan yang sukar diperoleh, sukar
ditemukan dan membuka kesempatan untuk
lebih memperluas tubuh pengetahuan terhadap
21
Sedarmayanti, dan Syarifuddin Hidayat, Metodologi Penelitian.
Hlm. 85.
21
sesuatu yang diselidiki.22
Menurut Bungin
teknik dokumentasi adalah salah satu metode
pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian sosial untuk menelusuri data
historis.23
Teknik ini merupakan pola yang dilakukan
untuk memperkuat penemuan-penemuan
lapangan yang berbentuk dokumen atau foto-
foto yang didapatkan dari informan peneliti.
3. Tempat dan Waktu Penelitian.
a. Tempat Penelitian.
Lokasi penelitian berada di kampung
penulis sendiri, yakni di Desa Leang-Leang,
Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros,
Sulawesi Selatan. Melihat serta mengamati
realita sosial yang terjadi di Desa Leang-leang,
banyak hal yang menjadi pertanyaan ketika
kehidupan masyarakat di sandingkan dengan
budaya yang dianut. Kadan nilai-nilai yang
terkadung dalam Siri‘ na Pesse menjadi motor
penggerak dalam meningkatkan kualitas hidup
22
Sedarmayanti, dan Syarifuddin Hidayat, Metodologi Penelitian.
Hlm. 86. 23
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif (Teori dan Praktek).
Hlm. 177.
22
masyarakat desa Leang-Leang, kadang pula
nilai ini yang menjadi motor menggerak
terjadinya konflik sosial di desa Leang-Leang.
Sehingga penulis tertarik untuk mengamati
kejadian ini dan mengharapkan bisa menjadi
bahan bacaan bagi masyarakat desa.
b. Waktu Penelitian.
Waktu penelitian akan dimulai pada bulan
April dan diawali dengan perizinan akan
mengadakan penelitian dengan pemerintah
desa setempat, dan bertemu dengan tokoh
masyarakat desa. Agenda ini bertujuan untuk
mempermudah dalam melakukan penelitian,
pasalnya banyak masyarakat yang kurang
mampu untuk terbuka dalam membahas nilai-
nilai budaya. Dan ini yang akan menghambat
kelancaran dalam menjalani penelitian.
4. Teknik Pemeriksaan Keabsahan data.
Triangulasi sebagai salah satu teknik pemeriksaan
data secara sederhana dapat disimpulkan sebagai
upaya mengecek data dalam suatu penelitian, dimana
peneliti tidak hanya menggunakan satu sumber data,
satu metode pengumpulan data atau hanya
menggunakan pemahaman pribadi saja, tanpa
melakukan pengecekan kembali dengan penelitian
23
lain.24
Pada teknik pemeriksaan keabsahan data ini
mencakup pola pemeriksaan data yang penulis
dapatkan di lapangan, keseluruhan data ini akan di cek
kembali dan menyesuaikan hasil penelitian yang lain
agar data yang penulis dapatkan di lapangan
terpercaya.
Menurut Denzin dalam karya Imam Gunawan
yang berjudul Metode Penelitian Kualitatif teori dan
praktek, triangulasi terbagi menjadi empat macam
yaitu (1) Triangulasi Sumber; (2) Triangulasi Metode;
(3) Triangulasi Peneliti; (4) Triangulasi Teoritik.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
Triangulasi Metode untuk menjamin keabsahan data
penelitian, Triangulasi Metode merupakan upaya
dalam mengecek keabsahan data atau keabsahan
temuan penelitia. Triangulasi Metode memiliki dua
strategi, yaitu : (1) Pengecekan derajat kepercayaan
penemuan hasil penelitian beberapa teknik
pengumpulan data; dan (2) pengecekan derajat
kepercayaan beberapa sumber data dengan metode
yang sama.25
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan salah satu proses yang
penting dalam sebuah penelitian. Sebab, proses ini
24
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif (Teori dan Praktek).
Hlm. 222. 25
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif (Teori dan Praktek).
Hlm. 220.
24
membantu hasil penelitian agar tetap terjaga
kebaruannya dan kelengkapan datanya.
Analisis data merupakan proses pengurutan dan
pengorganisasian data ke dalam suatu pola, kategori
dan satu uraian dasar.26
Data yang dianalisis
merupakan temuan dari proses observasi, wawancara,
catatan lapangan dan dokumentasi. Setelah proses
analisi data dilakukan. Maka, data yang kita dapatkan
akan diketahui apakah terdapat kekurangan atau
jangka waktu data yang sudah terlalu lama. Jika data
yang ditemui sudah tidak membutuhkan tambahan,
maka data lapangan bisa dikatakan akurat dan
terpercaya.
6. Teknik Penulisan.
Untuk memudahkan penulis dalam membuat
struktur penulisan, penulis mengacu pada Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)
karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh
CeQDA (Center for Quality Development and
Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta Cetakan I, Januari 2007.
E. Kerangka Teori
1. Teori Implikasi.
Implikasi diartikan dalam sebuah kata
keterlibatan atau keadaan terlibat. Ada juga yang
26
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rajawali Pers,
2016). Hlm. 175.
25
mengartikan termasuk atau tersimpul, yang
disugestikan tetapi tidak dinyatakan.27
Jadi, teori ini
dapat membantu untuk memaknai apa itu implikasi
sehingga memudahkan penulis untuk menjelaskan
semua yang terkandung dalam skripsi ini.
2. Teori Kebudayaan.
Seorang antropolog, yaitu E.B. Tylor pernah
mencoba memberikan definisi mengenai kebudayaan
sebagai berikut (terjemahannya) yang dikutip oleh
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati dalam
sebuah karyanya: Kebudayaan adalah kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.28
Teori tentang kebudayaan menjadi
pondasi dalam skripsi ini, karena permasalahan yang
diangkat dalam skripsi ini berasal dari kebudayaan
yang dianut oleh masyarakat Bugis-Makassar.
3. Teori Siri‘ na Pesse.
Siri‘ na Pesse adalah dua suku kata yang terdiri
dari kata “Siri‘‖ dan kata “Pesse”. C.H Alam Basjah
dan Sappena yang dikutip dalam karya mattulada
27
Save M Dagun, KAMUS BESAR ILMU PENGETAHUAN, (Jakarta
: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 2013), Hlm. 609. 28
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu
Pengantar - Edisi Revisi, Hlm. 149.
26
memberikan batasan atas kata Siri‘ dengan
memberikan tiga golongan pengertian, yaitu
:Pertama,Siri‖ sama artinya dengan malu, isin (Jawa),
Shame (Inggris). Kedua, Siri‘ merupakan daya
pendorong untuk melenyapkan (membunuh),
mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa
atau siapa saja yang menyinggung perasaan mereka.
Hal ini merupakan kewajiban adat, kewajiban yang
mempunyai sanksi adat, yaitu hukuman menurut
norma-norma adat jika tidak dilaksanakan. Ketiga,
Siri‘ itu sebagai daya pendorong yang bisa juga di
tujukan ke arah pembangkitan tenaga untuk
membanting tulang, bekerja mati-matian, demi suatu
pekerjan atau usaha.29
Sedangkan pengertian kata Pesse, atau
lengkapnya Pesse Babua, yang berarti „ikut
merasakan penderitaan orang lain dalam perut
sendiri‟, mengindikasikan perasaan haru (empati)
yang mendalam terhadap tetangga, kerabat, atau
sesama anggota kelompok sosial. Hal ini
melambangkan solidaritas, tak hanya pada seseorang
yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja
dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan
serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau
29
Mattulada, LATOA : satu lukisan analitis terhadap antropologi
politik orang bugis, Hlm. 62.
27
menderita sakit keras.30
Teori tentang kebudayaan
Siri‘ na Pesse menjadi pengarah untuk memahami
kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar ini, sehingga
penulis mempunyai pedoman dalam mencari implikasi
budaya Siri‘ na Pesse terhadap Pemberdayaan
masyarakat Islam Bugis-Makassar.
4. Teori Pemberdayaan Masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya
peningkatan kualitas dan martabat golongan
masyarakat yang dalam keadaan miskin, dari upaya
tersebut dapat melepaskan diri dari keadaan tersebut.
Sedangkan pemberdayaan itu sendiri merupakan
upaya membangun kemampuan masyarakat dengan
pola mendorong, memotivasi, dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya. Dari potensi
tersebut dapat dikembangkan dengan tindakan nyata.31
Teori ini hampir sama dengan penulis paparkan diatas,
dan membantu penulis dalam memahami
pemberdayaan masyarakat dan tahapannya.
Selain memahami makna dari pada
Pemberdayaan Masyarakat itu sendiri, dalam
melaksanakan proses Pemberdayaan Masyarakat
tentunya perlu diketahui nilai-nilai yang harus
30
Christian Pelras, Manusia Bugis, Hlm. 252. 31
Zubaedi, Pengembangan Masyarakat (wacana & praktik), (Jakarta
: PRENADAMEDIA GROUP, 2013), Hlm. 24.
28
dijunjung tinggi oleh seorang Pemberdayaan
Masyarakat agar terhindar dari tindakan korupsi,
nepotisme dan hal-hal yang negatif sehingga dapat
mencederai proses Pemberdayaan Masyarakat.
Terdapat enam nilai-nilai dan prinsip-prinsip
Pemberdayaan Masyarakat yakni, kejujuran, keadilan,
kepercayaan, kebersamaan, kepedulian, berorientasi
pada masa depan.32
F. Tinjauan Pustaka Literatur Skripsi
Dalam pembuatan skripsi, tentunya dibutuhkan
tinjauan pustaka yang berguna untuk memperkuat konten
hasil penelitian serta membantu dalam menghindari
kesamaan-kesamaan hasil karya ilmiah. Biasanya tinjauan
pustaka mempunyai kemiripan dengan karya yang akan di
buat, hanya memiliki sedikit perbedaan atau ada pula
yang jauh dari kemiripan akan tetapi dalam ruang lingkup
yang sama.
Berikut adalah tinjauan pustaka yang
berkesinambungan dengan apa yang penulis angkat dalam
skripsi :
a. Buku yang berjudul LATOA (Satu Lukisan
Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang
Bugis), karya milik Mattulada, 1995. Kajian
buku ini meliputi penggalian sejarah mengenai
masyarakat Bugis dan ajaran-ajarannya. Buku
32
Muhtadi dan Tantan Hermansyah, Manajemen Pengembangan
Masyarakat Islam (Ciputat: UIN JAKARTA PRESS, 2013 ). Hlm. 19.
29
ini menjadi kamus yang lengkap jika ingin
mempelajari dan memahami apa itu Bugi,
bagaimana kebudayaannya dan apa prinsipnya.
Berbeda dengan skripsi ini, yang hanya terfokus
pada satu budaya dari masyarakat Bugis dan
bertujuan untuk menggali lebih dalam lagi
tentang Siri‘ na Pesse pada masyarakat Bugis-
Makassar, dan mencari titik temu implikasi
dengan Pemberdayaan masyarakat islam Bugis-
Makassar.
b. Buku yang berjudul Jati Diri Manusia Bugis,
karya milik Mashadi Said, tahun 2016. Buku ini
membahas tentang nilai-nilai yang terkandung
dalam kehidupan masyarakat bugis, selain itu
menyajikan konsep Siri‘ na Pesse yang
menempatkan manusia sebagai Tau yaitu Tau
Sipakatau, memanusiakan manusia. Perbedaan
dalam skripsi ini adalah fokus pembahasannya
mencakup realita sosial yang terjadi saat ini
dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar,
nilai-nilai yang terkandung dalam Siri‘ na Pesse
apakah masih diimplementasikan sebagai Tau
Sipakatau (memanusiakan manusia) atau sudah
mulai memudar.
c. Skripsi tahun 2017 yang berjudul ―Hubungan
Budaya Siri‘ na Pesse dengan Hadis Malu‖
karya, Abdullah(1111034000009), Program
30
Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penelitian skripsi ini
meneliti secara khusus hubungan budaya Siri‘
dengan hadis malu dan mengkaji makna Siri
dalam perspektif Islam. Perbedaannya antara
penelitian di atas dengan yang penulis teliti
adalah implikasi budaya Siri‘ na Pesse dalam
pengembangan masyarakat islam, merupakan
fokus pembahasan yang mengkaji aspek-aspek
pengembangan kualitas individu masyarakat
yang ada dalam nilai-nilai kebudayaan Siri‘ na
Pesse.
d. Skripsi tahun 2017 yang berjudul ―Toleransi
dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bugis‖
karya, Firdaus (1110032100022), Program
Studi Agama Agama, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Skripsi ini meneliti bagaimana nilai-
nilai Toleransi yang terkandung dalam kearifan
lokal masyarakat Bugis termasuk di dalamnya
Siri‘ na Pesse, tetapi skripsi ini mengkaji
kearifan lokal masyarakat Bugis secara umum.
Perbedaan antara skripsi diatas dengan skripsi
yang penulis buat adalah selain nilai toleransi
yang termasuk dalam pembahasan, terdapat
nilai-nilai Siri‘ na Pesse yang menjadi fokus
31
pembahasan yang bersinggungan dengan
pengembangan masyarakat islam. Sehingga
yang menjadi titik kesimpulan nantinya bukan
hanya tolerasin, namun termasuk juga motivasi
masyarakat Bugis-Makassar dalam
meningkatkan kualitas hidup.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Pada bagian ini mencakup beberapa pembahasan
yaitu, latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
metodologi penulisan, tinjauan pustaka literatur
skripsi, dan sistematika penulisan.
BAB II KERANGKA TEORI
Pada bagian ini merupakan penguraian teori-teori
mengenai Implikasi, Karakter, Kebudayaan,
kebudayaan Siri‘ na Pesse, dan Pemberdayaan
masyarakat.
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI
PENELITIAN
Pada bagian ini mencakup profil desa leang-leang
mulai dari sejarah, letak geografis, kependudukan,
dan pekerjaan masyarakat desa. Selain itu,
meliputi kebiasaan masyarakat yang menyentuh
dengan nilai-nilai budaya Siri‘ na Pesse.
32
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
LAPANGAN
Pada bagian ini merupakan analisis tentang
pemahaman masyarakat Bugis-Makassar tentang
budaya Siri‘ na Pesse dan korelasi terhadap
masyarakat islam Bugis Makassar yang dilihat dari
seberapa besar peran nila-nilai Siri‘ na Pesse
dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar
sebagai nila- nilai yang dapat meningkatkan
kualitas hidup masyarakat.
BAB V PENUTUP
Pada bagian ini merupakan kesimpulan dari hasil
keseluruhan penelitian dan analisis data, termasuk
beberapa temuan mengenai implikasi budaya Siri‘
na Pesse dalam Pemberdayaan masyarakat islam
Bugis-Makassar.
34
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Implikasi
Kata implikasi kerap kali dimaknakan sebagai
dampak. Tetapi, dalam kamus besar bahasa Indonesia kata
implikasi diartikan sebagai keterlibatan atau keadaan
terlibat.33
Penjabaran makna implikasi dipaparkan dalam
kamus besar imu pengetahuan yang membagi kata
implikasi menjadi dua :
1. Implikasi Faktual.
Implikasi faktual merupakan hubungan
antara dua keterangan dan di antara keterangan
yang satu dapat diturunkan dari keterangan
yang lainya dan bersifat faktual tidak
berdasarkan ketentuan logika, selain itu
keterangan ini berdasarkan suatu kaidah dalam
dunia kenyataan atau pengalaman.
2. Implikasi Logis.
Implikasi logis sering disebut implikasi
defisional. Suatu pernyataan atau keterangan
yang dihasilkan dari pernyataan yang lain,
implikasi logis juga dapat diartikan sebagai
satu pernyataan yang terdiri dari dua
33
https://www.kbbi.web.id/implikasi. Pukul 21.41 WIB, 21-02-2018.
35
pernyataan yang dihubungkan kata sambung,
seperti jikalau... maka..!.34
Apabila dikaitkan dengan penelitian
ini, sebagai contoh dari implikasi logis yaitu,
jika masyarakat Bugis-Makassar memahami
dan merealisasikan makna filosofis budaya
Siri‘ na Pesse, maka tiga dimensi “Sipakatau
(saling memanusiakan manusia), sipakainge
(saling mengingatkan), sipakalebbi (saling
menghargai)” kebudayaan akan terealisasikan.
B. Kebudayaan
1. Pengertian Kebudayaan
Budaya adalah bentuk jamak dari kata “budi” dan
“daya” yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Pada
dasarnya budaya berasal dari bahasa sanskerta,
budhayah, yaitu yaitu bentuk dari kata buddhi yang
berarti budi atau akal. Dalam bahasa Latin, budaya
berasal dari kata colera, dalam bahasa indonesia
berarti mengolah, dan mengerjakan, menyuburkan,
dan mengembangkan tanah (bertani).35
Pengertian kebudayaan menurut para ahli yang
dikutip dalam karya Elly M. Setiadi, dkk. Yaitu :
34
Save M Dagun, KAMUS BESAR ILMU PENGETAHUAN, Hlm.
609-610. 35
Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam dan Ridwan Effendi, Ilmu Sosial
& Budaya Dasar – Edisi Ketiga, (Jakarta: KENCANA, Cet. 13, 2017), Hlm.
27.
36
a. E.B. Tylor, budaya meliputi pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang
lain, serta kebiasaan yang didapat oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
b. R. Linton, kebudayaan dapat diartikan sebagai
konfigurasi tingkah laku yang dipelajari, yang
di mana unsur pembentukannya didukung dan
diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.
c. Koentjaraningrat, kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia
dengan belajar.
d. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi,
kebudayaan merupakan keseluruhan hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat.
e. Herkovits, kebudayaan adalah bagian dari
lingkungan hidup yang diciptakan oleh
manusia.36
Kebudayaan tentunya tidak bersifat statis, karena
mengikuti perkembangan manusia. Rotasi kehidupan
manusia menghasilkan ciptaan budaya dan
pembaharuan tentang budaya lama. Terdapat lima
faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan,
yaitu :
36
Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam dan Ridwan Effendi, Ilmu Sosial
& Budaya Dasar – Edisi Ketiga, Hlm. 28.
37
a. Perubahan lingkungan alam.
b. Perubahan yang disebabkan adanya kontak
dengan suatu kelompok.
c. Perubahan karena adanya penemuan
(discovery).
d. Perubahan yang terjadi karena suatu
masyarakat atau bangsa mengadopsi beberapa
elemen kebudayaan materiel yang telah
dikembangkan oleh bangsa lain.
e. Perubahan yang terjadi karena suatu bangsa
memodifikasi cara hidupnya dengan
mengadopsi pengetahuan atau kepercayaan
baru, atau karena perubahan dalam pandangan
hidup dan konsepsinya tentang realitas.37
2. Kebudayaan dan Agama
Menurut Hilman Hadikusuma yang dikutip oleh
Bustanuddin Agus mengungkapkan bahwa ada istilah
agama, agama budaya, dan kebudayaan agama.
Agama adalah ajaran yang diturunkan oleh Tuhan
untuk petunjuk bagi ummat manusia dalam menjalani
kehidupannya. Agama budaya adalah petunjuk hidup
yang berasal dari pemikiran dan kebudayaan manusia.
kebudayaan agama, yaitu hasil kreasi manusia
37
Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam dan Ridwan Effendi, Ilmu Sosial
& Budaya Dasar – Edisi Ketiga, Hlm. 44
38
beragama, seperti tafsir Al-Qur‟an, kaligrafi, dan
lainnya.38
Agama, budaya dan masyarakat jelas tidak akan
berdiri sendiri, ketiganya memiliki hubungan yang
sangat erat dalam dialektikanya; selaras dalam
menciptakan ataupun kemudian saling menegasikan.
Proses dialektika yang berjalan menurut Berger yang
dikutip oleh M. Fahim Tharaba, dialami agama
dengan tiga bentuk. Pertama, energi eksternalisasi
yang dimiliki individu dalam bermasyarakat kemudian
membentuk sebuah bentuk. Kedua, Objektifitasi atas
kreasi manusia dan akhirnya berputar kembali dalam
bentuk. Ketiga, dengan arus informasi yang
menginternalisasi ke dalam individu-individu. Dalam
dialektika ini, bukan berarti stagnan. Hasil
eksternalisasi yang terobjektivikasi selalu mengalami
perkembangan, manusia tidak pernah puas atas hasil
yang telah dicapai.39
38
Bustanuddin Agus, AGAMA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
(PENGANTAR ANTROPOLOGI AGAMA), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006), Hlm.33. 39
M. Fahmi Tharaba, Sosiologi agama (konsep, metode, riset, dan
konflik sosial), Hlm.124.
39
C. Kebudayaan Siri’ na Pesse
1. Pengertian Siri‘ na Pesse
Dalam kegiatan Seminar Masalah siri‘ Di
Sulawesi Selatan, menetapkan pengertian Siri‘ terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Siri‘ dalam sistem budaya, adalah pranata
pertahanan harga diri, kesusilaan dan hukum
agama sebagai salah satu nilai utama yang
mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran,
perasaan dan kemauan manusia.
b. Siri‘ dalam sistem sosial, adalah
mendinamisasi keseimbangan eksistensi
hubungan individu dan masyarakat untuk
menjaga kesinambungan kekerabatan.
c. Siri‘ dalam sistem kepribadian, adalah sebagai
perwujudan konkrit di dalam akal budi
manusia yang menjunjung tinggi kejujuran,
keseimbangan untuk menjaga harkat dan
martabak manusia.40
Siri‘ na Pesse adalah dua suku kata yang
terdiri dari kata “Siri‘‖ dan kata “Pesse”. C.H
Alam Basjah dan Sappena yang dikutip dalam
karya mattulada memberikan batasan atas kata
40
Laica Marzuki, SIRI‘ BAGIAN KESADARAN HUKUM BUGIS-
MAKASSAR (SEBUAH TELAAH FILSAFAT HUKUM), (Sulawesi Selatan:
Hasanuddin University Press, 1995), Hlm.50.
40
Siri‘ dengan memberikan tiga golongan
pengertian, yaitu :Pertama,Siri‖ sama artinya
dengan malu, isin (Jawa), Shame (Inggris). Kedua,
Siri‘ merupakan daya pendorong untuk
melenyapkan (membunuh), mengasingkan,
mengusir dan sebagainya terhadap apa atau siapa
saja yang menyinggung perasaan mereka. Hal ini
merupakan kewajiban adat, kewajiban yang
mempunyai sanksi adat, yaitu hukuman menurut
norma-norma adat jika tidak dilaksanakan. Ketiga,
Siri‘ itu sebagai daya pendorong yang bisa juga di
tujukan ke arah pembangkitan tenaga untuk
membanting tulang, bekerja mati-matian, demi
suatu pekerjan atau usaha.41
Sedangkan pengertian kata Pesse, atau
lengkapnya Pesse Babua, yang berarti „ikut
merasakan penderitaan orang lain dalam perut
sendiri‟, mengindikasikan perasaan haru (empati)
yang mendalam terhadap tetangga, kerabat, atau
sesama anggota kelompok sosial. Hal ini
melambangkan solidaritas, tak hanya pada
seseorang yang telah dipermalukan, namun juga
bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang
41
Mattulada, LATOA : satu lukisan analitis terhadap antropologi
politik orang bugis, Hlm. 62.
41
sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka,
mengalami musibah, atau menderita sakit keras.42
Disisi lain ada perbedaan makna pesse dalam
pandangan para budayawan. Bila kata pesse
bergabung dengan “perru” atau “babua”, dalam
ungkapan “mapesse perru‘na‘” (pedih hatinya)
maka artinya adalah kasihan atau perasaan iba,
tetapi dalam konteks ‗tau de‘gaga pessena‘ (orang
yang tidak memiliki nyali), maka pesse berarti
nyali. Orang yang tidak bernyali tidak mampu
memperjuangkan siri‘ (harkat dan martabat) dan
dijuluki tau de‘gaga pessena. Orang yang tidak
memiliki pesse memiliki sifaat penakut, munafik,
kecut, culas, lembek, malas, dan sejenisnya.
Sebaliknya, orang yang memiliki pesse memiliki
sifat berani, tangguh, ulet, tabah, sabar, rajin, dan
sejenisnya.43
Berdasarkan definisi di atas, makna Siri‘ dapat
dilihat dari tiga konteks yang berbeda, yaitu:
4. Masiri‘-siri‘: Siri‘ yang dapat menimbulkan
perasaan malu-malu. Misalnya, seorang merasa malu
karena beru bertemu dengan seseorang yang disegani.
42
Christian Pelras, Manusia Bugis, Hlm. 252. 43
Said, Jati Diri Manusia Bugis, Hlm. 125.
42
5. Siri‘-ripakasiri‘: Siri‘ dapat menimbulkan perasaan
malu yang menuntut perlakuan adil karena seorang telah
menghina atau memperlakukannya di luar batas
kemanusiaan.
6. Siri‘-masiri‘: Siri‘ yang dapat menimbulkan
perasaan malu, sehingga seseorang berusaha dengan
sekuat tenaga untuk mencapai suatu prestasi demi
tegaknya siri‘ pribadi dan keluarga atau kelompoknya.44
2. Nilai-Nilai Siri‘ na Pesse
Christian pelras mengutip pandangan Hamid
Abdullah mengenai hakikat Siri‘ jiwa masyarakat
Bugis-Makassar:
“Dalam kehidupan manusia Bugis-Makassar, Siri‘
merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka.
Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk
dibela dan dipertahankan di muka bumi selain dari
pada Siri‘. Bagi manusia Bugis-Makassar, Siri‘ adalah
jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka.
Sebab itu, untuk menegakkan dan membela Siri‘ yang
dianggap tercemar atau dicemari oleh orang lain, maka
manusia Bugis-Makassar akan bersedia mengorbankan
apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi
tegaknya Siri‘ dalam kehidupan mereka.”45
Siri‘ bukan semata-mata persoalan pribadi yang
muncul secara spontan. Siri‘ lebih sebagai sesuatu
yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk
44
Said, Jati Diri Manusia Bugis, Hlm. 103. 45
Christian Pelras, Manusia Bugis, (Jakarta : Forum Jakarta-Paris,
2006), Hlm. 251.
43
solidaritas sosial. hal ini dapat menjadi motif
penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong
tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis-
Makassar. itulah sebabnya mengapa banyak
intelektual Bugis-Makassar cenderung memuji Siri‘
sebagai suatu kebijakan. Mereka hanya mencela apa
yang mereka katakan sebagai bentuk penerapan Siri‘
yang salah sasaran. Menurut mereka, Siri‘ seharusnya
dan biasanya, memang seiring sejalan dengan pesse.46
Nilai-nilai dasar dalam budaya Siri‘ na Pesse yang
menjadi kekuatan dalam pribadi masyarakat Bugis-
Makassar di golongkan menjadi tiga, yaitu:
a. Lempu‘ (Jujur)
Lempu‘ jika dimaknai secara harfiah
adalah lurus, dalam bahasa Bugis Lempu‘
memiliki lawan kata Jekko‘ (bengkok). Kata
Lempu‘ dimaknai ikhlas, baik, bersih diri atau
adil, sehingga lawan kata dari Lempu‘ juga
dapat dimaknai culas, rurang, dusta, khianat,
tipu, aniaya, dan semacamnya.47
b. Ammacangeng (Kecendekiaan)
Macca berasal dari kata acca yang berarti
cakap, cendekia atau intelek. Dalam Lontara‘
46
Christian Pelras, Manusia Bugis, Hlm. 252. 47
Said, Jati Diri Manusia Bugis, Hlm.147.
44
disebutkan, orang yang mengetahui hukum
adat dan bijaksana disebut toaccata (orang
pintar kita).48
c. Awaraningeng (Keberanian)
Kata warani dalam bahasa indonesia berarti
berani. Orang yang berani adalah orang yang
tidak gampang takut, tidak mudah terkecut dan
tidak tergolong pencemas atau pengecut.
Keberanian biasa dikaitkan dengan kejantanan
atau kelaki-lakian. Dalam masyarakat Bugis,
orang yang berani sering disanjung dengan
gelar orowane (jantan).49
Ciri peribadi Siri‘ na Pesse terwujud dari peribadi
manusia Bugis-Makassar yang: Tawakkal kepada
Allah SWT, Mempunyai bawaan hati yang baik,
Ikhlas, Jujur, Cendekia, Berani, Teguh dalam
pendirian, Konsekuen dalam mengambil tindakan,
Berdaya saing tinggi, Ulet, Percaya pada usaha keras
dan ketekunan, sehingga keberhasilan dapat dicapai,
Penciptaan, Berlaku wajar atau patut, Cermat,
Tanggung jawab, Terbuka, Merdeka, Solider,
Mencipta (merujuk pada tujuan akhir).50
48
Said, Jati Diri Manusia Bugis, Hlm.154. 49
Said, Jati Diri Manusia Bugis, Hlm.161. 50
Said, Jati Diri Manusia Bugis, Hlm. 97.
45
D. Pemberdayaan Masyarakat
1. Definisi Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Isbandi Rukminto Adi Pemberdayaan
merupakan proses pengembangan dari keadaan kurang
berdaya sampai mempunyai daya untuk mencapai
kehidupan yang layak. Pemberdayaan semestinya
konsen terhadap individu, kelompok, atau komunitas
yang berusaha dalam mengontrol keahidupan diri
sendiri dan membentuk dasa depan yang layak.
Pemberdayaan juga dimaknai proses yang relatif terus
berjalan untuk peningkatan kualitas hidup.51
Menurut Chambers yang dikutip oleh Zubaedi,
pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai
sosial. konsep ini mencerminkan paradigma baru
pembangunan yang bersifat “people-centered”,
participatory, empowring, and sustainable. Konsep
pemberdayaan lebih luas dari sekedar upaya untuk
memenuhi kebutuhan dasar atau sekedar mekanisme
untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety
net).52
51
Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat
dan Investasi Komunitas, (Jakarta, Fakultas Ekonomi UI, 2001), Cet. Ke 1,
Hlm 32. 52
Zubaedi, Pengembangan Masyarakat (wacana & praktik), Hlm.24-
25.
46
Dalam karya Zubaedi juga mengutip pendapat Jim
Ife, konsep pemberdayaan memiliki hubungan erat
dua konsep pokok yakni: konsep power (“daya”) dan
konsep disadventaged (“ketimpangan”). Pengertian
pemberdayaan dapat dijelaskan dengan menggunakan
empat persfektif yaitu: persfektif pluralis, elitis,
strukturalis, dan post-strukturalis.
a. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari
perspektif pluralis adalah suatu proses untuk
menolong individu dan kelompok-kelompok
masyarakat yang kurang beruntung agar
mereka dapat bersaing secara lebih efektif
dengan kepentingan-kepentingan lain.
b. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari
perspektif elitis adalah suatu upaya untuk
bergabung dan memengaruhi kalangan elite
seperti para pemuka atau tokoh masyarakat,
pejabat, orang kaya, dan lain-lain, membentuk
aliansi dengan kalangan elite, melakukan
konfrontasi dan mengupayakan perubahan
pada kalangan elite.
c. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari
perspektif strukturalis adalah suatu agenda
perjuangan yang lebih menantang, karena
tujuan pemberdayaan dapat dicapai apabila
47
bentuk-bentuk ketimpangan struktural
deliminasi.
d. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari
perspektif post-strukturalis adalah suatu proses
yang menantang dan mengubah diskursus.
Pemberdayaan lebih ditekankan pada aspek
intelektualis ketimbang aktivitas, aksi atau
praksis.53
Dalam konteks masyarakat keberdayaan adalah
kemampuan individu yang senyawa dalam masyarakat
dan membangun keberdayaan masyarakat yang
bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar
anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat,
tentu memiliki keberdayaan yang tinggi. Keberdayaan
masyarakat merupakan unsur dasar yang
memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam
pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan
mencapai kemajuan.54
53
Zubaedi, Pengembangan Masyarakat (wacana & praktik), Hlm.26. 54
Totok Mardikanto dan Poerwoko Soebiato, Pemberdayaan
Masyatakat dalam Persepektif Kebijakan Publik (Bandung: Alfabeta, 2015),
Hlm. 52.
48
2. Konsep, Tahapan dan Landasan Nilai-Nilai
Pengembangan Masyarakat Islam.
Dalam proses Pengembangan Masyaraka
tentunya terdapat konsep yang menjadi pedoman,
maka konsep ini semestinya dipahami oleh aktor
dalam proses Pengembangan. Selain itu tahapan dan
landasan Nilai-Nilai PM (Pengembangan Masyarakat)
juga penting dalam proses aktualisasi dilapangan.
Dalam pembahasan mengenai konsep, penulis
tertarik untuk mengutip teori Ibnu Khaldun dalam
buku Muhtadi dan Tantan Hermansyah tentang konsep
dan tujuan PM yang terbagi menjadi lima konsep yaitu
:
1. Individu.
Ibnu Khaldun memaknai bahwa
manusia secara individu diberikan
kelebihan dan memiliki kekurangan.
Sehingga dari modal kelebihan yang sudah
ada mestinya dibina agar dapat
mengembangkan potensi pribadi dengan
agar dapat membangun.
2. Ashabiyah.
Kata Ashabiyah sangat terkenal
dalam pemikiran Ibnu Khaldun. Kata ini
49
bisa dimaknai kekeluargaan yang menjadi
kekuatan atas pertalian darah. Jika
kekuatan ini dibina dan diarahkan kepada
penguatan jiwa keagamaan maka dapat
menghasilkan sikap yang positif dalam
menegakkan Amar Ma‘ruf Nahi Munkar.
3. Masyarakat Ijtima‘ al-Insani.
Sikap alamiah manusia yang saling
membuhkan, tolong menolong serta
solidaritas yang tinggi menciptakan sistem
sosial masyarakat yang tergabung dalam
Ijtima‘ al-Insani. Maka dari sini perlu ada
pembinaan agar supaya terbentuk
masyarakat yang islami, dengan kekuatan
dari sifat alamiah manusia.
4. Negara.
Dalam konteks ini, negara menjadi
wadah dalam menciptakan tatanan
masyarakat yang ideal sesuai dalam ajaran-
ajaran yang terkandung dalam Islam
melalui kepemimpinan, konstitusi, atau
undang-undang.
5. Peradaban.
Hingga akhir dari proses Pengembangan
Masyarakat adalah terwujudnya
50
masyarakat madani (civil society) atau
masyarakat berperadaban, dengan nilai-
nilai keadilan yang tinggi, demokratisasi,
inklusivisme, independent, makmur dan
sejahterah.55
Selanjutnya ada tahap-tahap model
Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) mengacu
pada pengembangan masyarakat muslim di Madinah
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Kesuksesan Nabi Muhammad yang membawa
masyarakat dari kejahiliyahan (kebodohan) yang
tercampur aduk ke arah yang lebih tertata baik secara
tauhid, sosial, ekonomi, politik, budaya militer dan
lain sebaginya. Tahapan tersebut dari buku
Pengembangan Masyarakat Islam yang di tulis oleh
Nanih dan Agus. Adapun ketiga tahapan
Pengembangan Masyarakat Islam yaitu:
a) Takwin
Takwin adalah tahap pembentukan
masyarakat Islam. Kegiatan pokok tahap ini
adalah dakwah bil-lisan sebagai ikhtiar
sosialisasi akidah, ukhuwah, dan ta‘awun.
Semua aspek tersebut, ditata menjadi
55
Muhtadi dan Tantan Hermansyah, Manajemen Pengembangan
Masyarakat Islam (Ciputat: UIN JAKARTA PRESS, 2013 ), Hlm. 8-9.
51
instrumen sosiologi. Sasaran tahapan pertama
ini adalah terjadinya internalisasi Islam dalam
kepribadian masyarakat, kemudian
mengekspresikannya dalam ghirah dan sikap
membela keimanan dari tekanan struktural
(penindasan). Menurut Amrullah Ahmad, pada
tahap takwin, fundamental sosial Islam dalam
bentuk akidah, ukhuwah islamiyah, ta‟wun dan
sholat sudah dapat diletakkan oleh Nabi
Muhammad. Pada tahap ini telah terwujud
jamaah Islam swadaya yang akan menjadi
community base kegiatan dakwah Nabi
Muhammad.
b) Tanzim
Tanzim yakni tahap pembinaan dan
penataan masyatakat. Pada fase ini
internalisasi dan eksternalisasi Islam muncul
dalam bentuk institusionalisasi Islam secara
komprehensif dalam realitas sosial. Tahap ini
dimulai dengan hijrah Nabi ke Madinah. Fase
hijrah dimulai dengan pemahaman
karekteristik sosial masyarakat Madinah.
Pembinaan dan penataan masyarakat dilakukan
oleh Nabi dengan cara berdakwah. Dalam
pandangan Amrullah Ahmad, ada tiga
52
peristiwa dakwah yang strategis dalam
pengembangan masyarakat Islam. Pertama,
nabi Muhammad dalam menanta dan
mengembangkan masyarakat Islam berpijak
dari masjid. Masjid menjadi pusat semua
kegiatan dan aktivitas, musyawarah
masyarakat baik masalah politik, ekonomi,
militer dan kesejahteraan masyakat. Kedua,
untuk memperkuat basis komunitas muslim
awal, dakwah Islam sangat memerlukan
organisasi atau kelembagaan yang
merespresentasikan ukhuwah islamiyah
(integritas jumaah Muslim) baru di Madinah.
Hal ini dipandang sebagai penantaan
kelembagaan yang akan dijadikan alat untuk
mempertahankan bangunan inti umat Islam
yang berfungsi membina dan mengembangkan
masyarakat Islam Madinah. Ketiga, nabi
menciptakan landasan kehidupan politik
dengan menandatangani perjanjian dengan
semua kekuatan sosial dan politik yang ada.
c) Taudi‘
Taudi‘ adalah tahap keterlepasan dan
kemandirian. Pada tahap ini, umat telah siap
menjadi masyarakat mandiri, terutama secara
53
manajerial. Pada fase masyarakat mandiri atau
dikenal juga masyarakat madani problem
agama adalah pembebasan manusia dan dunia
dari kemiskinan, konflik etnis, penindasan atas
nama Negara, ideologi politik dan penindasan
agama. Tahap ini juga dilaksanakan dengan
dakwah yang diarahkan pada pemecahan
masalah. Yang diharapkan dari dakwah dalam
fase ini adalah; pertama, tumbuhnya
kepercayaan dan kemandirian umat serta
masyarakat sehingga berkembang sikap
optimis. Kedua, tumbuh kepercayaan terhadap
kegiatan dakwah guna mencapai tujuan
kehidupan yang lebih ideal. Ketiga,
berkembang suatu kondisi sosio-ekonomi-
budaya-politik-iptek sebagai landasan
peningkatan kualitas hidup atau peningkatan
kualitas sumber daya umat (SDU).
Melalui dakwah dan pengembangan
masyarakat, suatu komunitas masyarakat
muslim terkecil sekalipun dapat dikembangkan
menjadi komunitas sosial yang mempunyai
kemampuan internal yang berkembang mandiri
54
dalam menyelesaikan persoalan yang
dihadapinya.56
Dalam proses Pemberdayaan Masyarakat biasanya
terdapat kegagalan yang disebabkan oleh nilai-nilai
yang tidak dituangkan dalam prakteknya, sehingga
terkadang kegiatan positif ini hanya berdampak biasa-
biasa saja pada masyarakat. Adanya budaya korupsi,
kolusi dan nepotisme yang membuat program
Pemberdayaan Masyarakat sia-sia, sehingga dalam
melaksanakan program Pemberdayaan Masyarakat
sangat penting untuk memahami dan
mengaktualisasikan nilai-nilai yang menjadi landasan
dalam Pemberdayaan Masyarakat. Nilai-Nilai tersebut
dijelaskan dalam tulisan muhtadi dan tantan
hermansyah yang terbagi dalam enam kategori nilai,
yaitu:
1. Kejujuran
Nilai kejujuran (transparansi) sangat
penting dalam konteks Pemberdayaan
Masyarakat. Nilai ini harus melekat pada
setiap insan yang mengelola atau terlibat
dalam kegiatan Pemberdayaan Masyarakat,
sebab ketika nilai ini dikesampingkan maka
56
Nanih Machendarwaty dan Agus Ahmad Safei, PENGEMBANGAN
MASYARAKAT ISLAM: Dari Ideologi, Strategi dan Tradisi, (Bandung, PT.
Remaja Rosdakarya, 2001), h. 31-35
55
seberapa besar dana atau potensi yang
disumbangkan untuk kegiatan Pemberdayaan
ini tidak akan menghasilkan sesuatu.
2. Keadilan
Nilai adil atau merata adalah nilai yang
perlu ditanamkan dalam kegiatan
Pemberdayaan Masyarakat. Ketika tidak
adanya nilai ini dalam program PM , maka
akan mudah terjadi konfilk dalam internal
maupun masyarakat, sehingga ketika itu terjadi
maka program PM ini secara otomatis gagal.
3. Kepercayaan
Saling percaya antara pelaku
Pemberdayaan Masyarakat dan sasaran
tentunya sangat penting. Karena, perlu ada
kesepahaman antar keduanya dalam rangka
mewujudkan keberhasilan dalam progean
tersebut.
4. Kebersamaan
Nilai kebersamaan dan rasa saling tolong
menolong diperlukan salam proses
Pemberdayaan Masyarakat, dengan terjalinnya
kebersamaan antara pelaku dan sasaran akan
memudahkan dalam menyelesaikan
kompleksitas persoalan yang ada dalam
56
progam Pemberdayaan Masyarakat. Seberat
apapun persoalan yang dihadapi dalam proses
Pemberdayaan Masyarakat akan mudah
diselesaikan dengan kebersamaan atau tolong
menolong.
5. Kepedulian
Nilai kepedulian ini dimaknai komitmen
dalam melengkapi satu sama lain. Berbagi
berupa materil bagi masyarakat menengah ke
atas dapat membantu dalam melepaskan
jeratan persoalan bagi masyarakat menengah
ke bawah, kepedulian ini menjadi nilai
tersendiri dalam Pemberdayaan Masyarakat
yang biasanya terbawa dalam kesadaran
masyarakat sendiri.
6. Berorientasi pada masa depan
Nilai yang terakhir ini membawa kita
berfikir untuk melakukan sesuatu dengan hasil
yang bisa dinikmati dalam kurun waktu yang
panjang. Jadi, melakukan sesuatu tentunya
lebih baik ketika berlaku atau bermanfaat
dalam jangka waktu yang lama. Misalnya
menanam pohon, kegiatan ini akan bermanfaat
mulai hidupnya pohon sampai matinya dan
jangka waktu pohon ini tentunya lama, tidak
57
dengan sehari atau dua hari. Sebagai seorang
Pemberdaya Masyarakat tentunya menitik
beratkan pada kemaslahatan masa depan
masyarakat, sehingga program-program yang
disusun merupakan program yang bermanfaat
lama bagi masyarakat yang diberdayakan.57
57
Muhtadi dan Tantan Hermansyah, Manajemen Pengembangan
Masyarakat Islam, Hlm. 19.
58
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Profil Desa Leang-Leang
1. Letak Geografis
Desa Leang-Leang merupakan bagian dari
berbagai desa yang ada di Kecamatan Bantimurung,
Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi-Selatan.
Kecamatan Bantimurung terdiri dari delapan desa,
Kalabbirang, Minasabaji, Alatengae, Mattoangin,
Mangeloreng, Tukamasea, Baruga dan Leang-Leang.
Desa ini sangat strategis, karena Desa Leang-
Leang dikenal Sampai ke mancanegara dengan Taman
Purbakalanya, Kecamatan Bantimurung merupakan
program pengembagan Taman Nasoinal di Kabupaten
Maros. Desa Leang-Leang terdiri dari dua lingkungan
(dusun), lingkungan panaikang dan lingkungan leang-
leang.
Batas wilayah Desa Leang-Leang dikelilingi
oleh satu kecamatan dan kelurahan, dua diantara
perbatasan yakni Desa-Desa. Di sebelah utara terdapat
Kecamatan Balocci, sebelah selatan Desa terdapat
Kelurahan Kalabbirang, di sebelah barat desa terdapat
Desa Mageloreng, dan yang terakhir di sebelah Timur
Desa Leang-Leang terdapat Desa Labuaja.
59
Adapun luas wilayah sesuai pengganaan di
Desa Leang-Leang yang terbagi dalam dua
dusun/lingkungan yakni Panaikang dan Leang-Leang,
untuk pemukiman dan pembangunan seluas 50 Ha,
karena tingkat produktifitas pertanian Desa Leang-
Leang tinggi, selaras dengan luas persawahan yang
berbanding jauh dengan pemukiman dan
pembangunan yakni luasnya mencapai 500 Ha,
sedangkan perkebunan hanya mencapai 35 Ha
luasnya, karenna letak desa Leang-Leang yang diapit
oleh pegunungan maka tak heran luas hutan lindung
Desa mencapai 1.015 Ha. Dengan jumlah RT Cuma
ada satu.
Jarak Tempuh Desa Leang-Leang untuk
sampai ke Kantor Kecamatan mencapai 5 KM saja,
sedangkan untuk jarak tempuh Desa Leang-Leang
untuk sampai ke Kantor Kabupaten mencapai 13 KM,
untuk jarak tempuh Desa ke kantor Provinsi mancapai
43 KM.
2. Visi & Misi Pemerintah Desa Leang-Leang
Visi :
“Dengan iman dan taqwa ,mari kita
meningkatkan pelayanan yang Prima Kepada
Masyarakat menuju Pemerintahan Kelurahan
60
Leang-Leang yang Lebih Baik (Good
Governance)”
Misi :
a. Mewujudkan Aparat Pemerintahan yang
fropesional ,bertaqwa ,berdisiplin,kreatif,bersih
dan bertanggung jawab.
b. Meningkatkan kemampuan dan kemadirian
masyarakat dengan menjujung tinggi nilai-nilai
agama dan budaya siapakatau (Memanusiakan
Manusia) dan abbulosibatang (Satu
rasa/Kerjasama).
3. Kependudukan & Tenaga Kerja
Mayoritas penduduk Desa Leang-Leang beragama
islam susai dengan jumlah tempat beribadah sebanyak
delapan buah, dibandingkan dengan agama lain yang
belum memiliki tempat beribadah di Desa Leang-
Leang. Karena letak geografis Desa Leang-Leang
yang berada di daerah pegunungan, maka mata
pencaharian masyarakat Desa Leang-Leang yaitu
lebih kepada pertanian dan sebagian masyarakatnya
menjadi peternak. Berikut ini adalah tabel
kependudukan dan Tenaga Kerja :
61
Tabel 1.1
Kependudukan
No Nama Desa Jumlah
KK
Jenis Kelamin
Jumlah Laki-
Laki Perempuan
1
Desa
Leang-
Leang
701 1.209 1.259 2,468
Sumber : Profil Desa Leang-Leang tahun 2017
Dari segi pendidikan, Desa Leang-Leang memiliki jumlah
Tingkat Pendidikan anak yang rata dan sesuai dengan daerah dan
mata pencaharian masyarakatnya. Dilihat dari tingginya jumlah
tamatan peserta didik di Sekolah Dasar (SD), begitupun tamatan
SMP, SMA, Akademi maupun Sarjana. Berikut tabel mengenai
tingkat pendidikan anak :
Tabel 1.2
Tingkat Pendidikan Anak
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Belum Sekolah 235 Jiwa
2 Tidak Tamat SD -
3 Tamat SD 861 Jiwa
4 Tamat SMP 377 Jiwa
5 Tamat SMA 399 Jiwa
6 Akademi 15 Jiwa
7 Sarjana (S1) 64 Jiwa
8 Sarjana (S2) 2 Jiwa
Sumber : Profil Desa Leang-Leang tahun 2017
62
Luasnya lahan pertanian yang dimiliki masyarakat Desa
Leang-Leang dan cuaca yang mendukung adanya kegiatan
pertanian khususnya petani padi, membuat masyarakat Desa
Leang-Leang lebih banyak memilih bertani. Selain bertani,
masyarakat Desa Leang-Leang disibukkan dengan kegiatan
peternakan. Misalnya ternak sapi, ayam, kambing, kerbau, itik
dll. Berikut tabel struktur mata pencaharian penduduk Desa
Leang-Leang dan Tabel Tenaga Kerja :
Tabel 1.3
Struktur Mata Pencaharian Penduduk
No Mata Pencaharian Jumlah
1 Petani 426 Jiwa
2 Peternak 498 Jiwa
3 PNS/ABRI 32 Jiwa
4 Wiraswasta 10 Jiwa
Sumber : Profil Desa Leang-Leang tahun 2017
Tabel 1.4
Tenaga Kerja
No Tenaga Kerja Jumlah
1 Pend. Non Usia Produktif (0-14)
Tahun 769 Jiwa
2 Pend. Usia Produktif (15-59) Tahun 1.144 Jiwa
3 Pend. Usia Lanjut (60 Tahun keatas) 253 Jiwa
Sumber : Profil Desa Leang-Leang tahun 2017
Keadaan wilayah yang mendukung minimnya tingkat
pengangguran membuat masyarakat Leang-Leang mandiri dan
produktif. Luasnya lahan pertanian dan peternakan serta adanya
Taman Prasejarah Leang-Leang dan dilengkapi dua Pabrik,
63
membuat masyarakat mudah dalam produktif di usia kerjanya.
Berikut tabel Angkatan Kerja :
Tabel 1.5
Angkatan Kerja
No Angkatan Kerja Jumlah
1 Penduduk Usia Kerja 1.835 Jiwa
2 Penduduk Usia Kerja yang bekerja 1.710 Jiwa
3 Penduduk Usia Kerja yang belum
bekerja 125 Jiwa
Sumber : Profil Desa Leang-Leang tahun 2017
Desa Leang-Leang banyak dalam gambaran peta :
Gambar 1.1. Petah Wilayah Desa Leang-Leang
Sumber : Profil Desa Leang-Leang tahun 2017
Struktur organisasi pemerintahan Kelurahan Leang-
Leang, Kecamatan Bantimurung :
64
Gambar 1.2. Struktur Organisasi Kelurahan Leang-Leang
Sumber : Profil Desa Leang-Leang tahun 2017
B. Sejarah dan Perkembangan Kebudayaan Siri’ na
Pesse di Wilayah Desa Leang-Leang
Kata Leang-Leang berasal dari bahasa Bugis yang
diartikan dalam bahasa Indonesia adalah Goa. Alasan
daerah ini dinamakan leang-leang (goa-goa) karena jalan
menuju kelurahan atau desa layaknya goa diapit oleh
gunung-gunung yang terletak di sebelah kanan dan kiri
jalan.
Sebelum daerah ini menjadi kelurahan, leang-
leang masih termasuk dalam lingkungan kelurahan Pakalu
kecamatan Bantimurung. Pada tahun 1982 terjadi
pemekaran dari kelurahan pakalu menjadi kelurahan
Leang-Leang. Sebelum pemekaran sampai saat ini
kelurahan Leang-Leang menjadi pusat penelitian Goa-
65
Goa di daerah Sulawesi-Selatan, tahun 1960 pemerintah
memulai pengelolaan setiap Goa yang ditemukan oleh
arkeolog sekaligus membuka Taman Prasejarah Leang-
Leang.58
Dahulu kala Leang-Leang menjadi salah satu
tempat yang aman dari penjajahan yang saat itu kental
dengan istilah kerja paksa, keadaan ini yang membuat
masyarakat yang terancam dengan penjajahan
mengadakan pelarian dari daerah khususnya daerah Bone
ke Leang-Leang. Konon katanya ada seorang saudagar
kaya raya yang menaungi rakyat saat itu yang dapat
membayar penjajah agar tidak mengganggu garis wilayah
kekuasaaannya, disisi lain memang daerah Leang-Leang
menjadi tempat persembunyian yang paling aman saat itu
dengan mandaki ke dalam Goa-Goa dan hal ini yang
sering dilakukan penduduk di kecamatan bantimurung
ketika diserang oleh penjajah.59
Persoalan yang paling utama pasca zaman
penjajahan yang di alami masyarakat Leang-Leang saat
itu adalah pendidikan. Keadaan masyarakat yang
bertempat tinggal di atas gunung menjadi penghambat
aktifnya masyarakat Leang-Leang dalam menempuh
pendidikan yang tinggi, pemikirian masyarakat pada saat
itu dominan ke pertanian dari pada pendidikan dengan
58
Hasil wawancara penulis dengan H. Tajuddin Rani di rumah
pribadinya, pada tanggal 24 April 2018, Pukul 11.17 WITA. 59
Hasil wawancara penulis dengan H. Tajuddin Rani di rumah
pribadinya, pada tanggal 24 April 2018, Pukul 11.17 WITA.
66
alasan biaya dan jarak tempuh sekolah dan rumah yang
lumayan jauh. Tahun 1969 bapak H. Tajuddin Rani
mendapat kepercayaan dari warga masyarakat untuk
memimpin daerah Leang-Leang, karena melihat situasi
pendidikan saat itu belum berjalan baik maka pak desa
berinisiatif mengajak warga untuk berpindah tempat
tinggal ke bawah gunung agar jarak tempuh sekolah tidak
jauh. Bagi masyarakat yang tidak ingin mengikuti
kegiatan belajar mengajar saat itu, di ancam untuk pindah
kampung oleh pak desa.60
Setelah inisiatif dalam mengatasi persoalan
pendidikan berjalan lancar, Leang-Leang dibagi menjadi
dua wilayah yakni Leang-Leang dan Panaikang.
Kehidupan masyarakat kala itu sudah normal layaknya
masyarakat desa semestinya.
Dahulu keadaan budaya di Leang-Leang begitu
kental, nilai-nilai leluhur saat itu sangat dijunjung tinggi
dengan mengaplikasikan budaya dalam kehidupan sehari-
hari masyarakatnya. Budaya Siri‘ na Pesse termasuk
didalam budaya masyarakat Leang-Leang yang dihargai
adanya, meskipun kala itu pemaknaan Siri‘ na Pesse lebih
kepada istilah Silariang (Nikah Lari) yang ujung dari
perselisihan ini kematian salah satu keluarga yang terkait
atau diasingkan dari kampung halaman.
60
Hasil wawancara penulis dengan H. Tajuddin Rani di rumah
pribadinya, pada tanggal 24 April 2018, Pukul 11.17 WITA.
67
Zaman milenial saat ini pemaknaan budaya Siri‘
na Pesse di daerah Leang-Leang sudah dimaknai secara
kompleks. Makna Siri‘ na Pesse tidak hanya dikaitkan
dalam situasi pernikahan saja, tetapi termasuk
didalamanya tentang Akhlak atau perilaku masyarakat,
pertanian dan kepedulian masyarakat sesama.
68
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISA DATA LAPANGAN
A. Siri’ na Pesse Dalam Perkembangan Makna.
Siri‘ na Pesse‘ merupakan budaya yang melekat
secara alamiah pada tiap aktivitas masyarakat Bugis-
Makassar. Bagi Suku Bugis-Makassar siri‘ telah menjadi
tujuan utama yang harus dijaga. Tanpa adanya siri‘, hidup di
dunia tidaklah berarti. Dengan kata lain, tiada suatu
kemuliaan yang patut diperjuangkan kecuali siri‘.61
Bahkan,
seorang peneliti Hamid Abdullah mengatakan, siri‘ dalam
kehidupan masyarakat Bugis-Makassar merupakan hal yang
prinsipil dalam diri mereka, dan tidak ada satu nilai untuk
dibela dan dipertahankan. Siri‘ dengan demikian adalah jiwa
mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka.62
Sebagai nilai yang melekat secara alamiah, siri‘ na
pesse‘ bukanlah sesuatu yang mudah untuk diungkap
permaknaannya sebab pada wilayah tertentu, ia merupakan
makna yang terkandung dalam pemahaman setiap individu
dan masyarakat. Karena itu, unsur defenisi yang diungkapkan
para peneliti dan pengkaji kebudayaan tidak secara bulat
dikonotasikan dengan kebenaran. Tidak sedikit para peneliti
dan pengkaji kebudayaan dengan sudut pandangnya masing-
61
Dalam Lontara menyebutkan: Siri‘ emmi ri onroang ri lino.
Artinya, hanya dengan berbekal malu kita hidup di dunia ini. Penjelasan lebih
lanjut dapat dilihat pada, Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 99 62
Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 100
69
masing mencoba memberikan pemahamannya tentang siri‘ na
pesse‘. Pada bagian ini, kita membaginya menjadi dua sudut
pandangan. Pertama, adalah mereka yang berasal dari luar
Negara Indonesia, dan kedua adalah mereka berasal dari
Negara Indonesia.
Untuk yang pertama, yaitu peneliti yang berasal dari
luar Negara Indonesia di antaranya adalah Dr. H. Tn. Chabot
(1950). Dia mengemukakan bahwa tiap-tiap perbuatan yang
melebihi orang lain, baik secara besar atau kecil, baik dengan
angan-angan atau dengan sesungguhnya, mengakibatkan
bahwa yang menderita perbuatan itu merasa harga dirinya
dalam masyarakat terganggu. Maka perbuatan itu disebut
dengan siri‘ sehingga motivasi dalam membalas lebih tinggi
daripada pada pebuatan orang tersebut.63
Sementara menurut
Shelly Errington, salah seorang antropolog dari Amerika yang
pernah mengadakan penelitian di Luwu (1976-1977)
mengatakan bahwa, yang terdapat didalam dirinya tidak ada
tujuan atau alasan hidup lebih tinggi, atau lebih penting
daripada menjaga siri‘nya, dan kalau merasa tersinggung,
atau ripakasiri‘ atau dipermalukan merasa lebih senang mati
dengan perkelahian untuk memulihkan siri‘nya daripada
hidup tanpa siri‘.64
Sementara permaknaan yang diberikan oleh peneliti
dalam negeri antara lain seperti yang diungkapkan Prof. Dr.
63
Abu Hamid, Siri‘ Dan Passe‘ (Harga Diri Orang Bugis, Makassar,
Mandar, Toraja), (Makassar: Pustaka Refleksi, 2003), hal, 14. 64
Abu Hamid, Siri‘ Dan Passe‘, hal, 14-15
70
Mashadi Said, bahwa siri‘ memiliki tiga makna. Pertama
adalah masiri‘ siri‘ yang dapat menimbulkan rasa malu-malu.
Misalnya, seorang merasa malu karena baru bertemu dengan
seseorang yang disegani. Kedua adalah siri‘ ripakasiri; yang
dapat menimbulkan perasaan malu yang menuntut perlakuan
adil karena seseorang telah menghina atau
memperlakukannya di luar batas kemanusiaan. Ketiga adalah
siri‘ masiri‘ yang dapat menimbulkan perasaan malu
sehingga seseorang berusaha dengan sekuat tenaga untuk
mencapai suatu prestasi demi tegaknya siri‘ pribadi dan
keluarga.65
Sementara menurut Zainal Abidin setelah melakukan
penelitian kemudian menyimpulkan bahwa siri‘ itu hanya dua
macam: pertama adalah siri‘ ripakasiri‘ adalah apa yang
terjadi apabila seseorang menghina atau mempermalukan
sesamanya manusia di luar batas kemanusiaan yang adil dan
berada di depan umum. Siri‘ ini lebih kepada kelompok
masyarakat apabila salah satunya dilecehkan atau dihina
harkat martabat mereka. Kedua, adalah siri‘ masiri‘ yaitu
pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan,
mengingatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan
dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi siri‘ orang
itu sendiri, keluarga dan kelompok. Siri‘ ini lebih kepada
individual seseorang dalam memahmi siri‘ sehingga
masyarakat Bugis-Makassar menjadikan siri‘ ini sebagai
65
Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis. Hal 103
71
pendorong untuk dirinya sendiri dalam mencapai sebuah
keberhasilan.66
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa siri‘ adalah perasaan malu yang timbul dari dalam diri
seseorang, sedangkan ripakasiri‘ adalah perasaan malu yang
ditimbulkan oleh seseorang atau kelompok terhadap orang
lain atau kelompok lain, dan masiri‘siri‘ adalah perasaan
malu-malu terhadap orang lain dikarenakan rasa hormat atau
segan kepada orang tersebut. Karena itu, siri‘ dapat muncul
sebagai akibat yang timbul dari dalam dan dari luar diri
seseorang.
Hanya saja, dalam konteks saat ini, siri‘ seringkali
dianggap sebagai kambing hitam atas prilaku destruktif dari
masyarakat Bugis-Masyarakat. Perkelahian dan pembunuhan
yang terjadi dalam banyak pandangan disebabkan karena
dorongan siri‘. Padahal perlu dipertegas, siri‘ sejatinya
merupakan motif penggerak kehidupan sosial dan pendorong
tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis-Makassar.
Karenanya banyak kalangan intelektual yang memuji siri‘
sebagai suatu kebijakan.
Siri‘ menurut ajaran leluhur mengandaikan
ditegakkannya kehormatan dan sikap tegas demi sebuah
kehormatan hidup. Hal ini disebabkan karena siri‘ tidak
berdiri sendiri melainkan ditopang oleh Pappaseng atau
66
Mustari Idris Mannahao, The Secret of siri‘ na pesse, (Makassar :
Pustaka Refleksi, 2010). Hal 5
72
pesan dan Pappangaja atau nasehat dan ajakan. Pappaseng
dan Pappangaja—banyak dimuat dalam Lontara—adalah
petuah-petuah leluhur yang mana salah satu contohnya dalam
ungkapan Taro Ada Taro Gau yang artinya satu kata satu
perbuatan. Yang dimaksud dengan satu kata satu perbuatan
adalah tekad atau cita-cita dan janji yang telah diucapkan
pasti dan harus dibuktikan dengan perbuatan nyata. Contoh
lain yaitu ungkapan Resopa Temanginggi Namalomo Naletei
Pammase Dewata yang artinya, hanya kerja keras disertai
sikap pantang menyerah yang akan mudah mendapatkan
limapahan rahmat dari Allah Swt. Dengan sikap yang pantang
menyerah masyarakat Bugis-Masyarakat dituntut untuk
memiliki keberanian dalam tantangan ujian hidup apapun.
Sementara itu, di samping siri‘ adalah pesse‘.
Keduanya selalu bersandingan. Menurut pengertiannya,
pesse‘ adalah ikut merasakan penderitaan orang lain dalam
perut sendiri. Ini mengindikasikan adanya perasaan haru atau
empati yang dalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama
kelompok sosial. karena dikatakan larut dalam penderitaan
orang lain, beberapa kalangan seperti Mangemba menilai
bahwa sifat larut itu dapat dirangkaikan dengan membantu
orang yang kehilangan siri‘-nya. Sebagai contoh, ketika
seorang ditampar di depan umum, maka orang ketiga yang
menyaksikan itu, turut larut dalam perasaan malu seperti yang
dirasakan oleh orang yang ditampar. Bahkan, orang ketiga
akan membantu orang yang ditampar untuk melakukan
73
pembalasan terhadap si penampar, baik pembalasan itu
bentuknya menampar kembali bahkan bisa sampai
membunuh.67
Menurut penulis sendiri, pesse‘ tidak harus
diasosiasikan dengan kekerasan. Misalnya, ikut membantu
masyarakat yang kesusahan, gotong royong dan lain
sebagainya. Hal ini melambangkan solidaritas yang lahir dari
kata pesse dan tidak hanya ada pada seseorang yang telah
dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok
sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan,
berduka, mengalami musibah, atau menderita sakit keras.68
Sampai di sini dapat disimpulkan, siri‘ na pesse‘
memiliki banyak makna serta mengalami transformasi dan
perkembangan makna. Dalam hal ini, penulis berpandangan
bahwa siri‘ na pesse‘ bermakna seperti yang didengungkan
oleh leluhur dan tertulis dalam Lontara dan Pengaddereng.
Dalam Lontara dan Pangaddereng, mengisyaratkan bahwa
terdapat nilai-nilai yang patut dilakukan yaitu: pertama,
lempu‘ yang berarti lurus. Kata lempu dimaknai dengan
ikhlas, baik, bersih diri atau adil, sehingga lawan dari lempu‘
dapat dimaknai culas, dusta, khianat, tipu, aniaya dan perbuat
negatif lainnya.69
Kedua, ammacangeng yang berarti cakap, cendikia,
atau intelek. Dalam Lontara disebutkan bahwa dikatakan
67
Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 131 68
Christian Pelras, Manusia Bugis, h. 252. 69
Said, Jati Diri Manusia Bugis, Hlm.147.
74
seseorang macca, karena mengetahui hukum adat dan
bijaksana dalam bersikap sehingga dipanggil dengan
toaccata, orang pintar kita. Ketiga, awaraningeng yang
berarti keberanian. Orang berani adalah orang yang tidak
gampang takut, tidak mudah terkecut dan tidak tergolong
pencemas atau pengecut.70
Nilai-nilai ini bila dilanggar atau tidak diindahkan,
akan menyebabkan munculnya rasa siri‘. Dari sinilah
kemudian siri‘ mendorong individu dan sosial untuk berubah
dari dalam dirinya sendiri. Dengan begitu siri‘ na pesse‘
memiliki tujuan yang baik dan menjadi pengikat antar sesama
masyarakat. Namun apakah masyarakat di era saat ini
memahami makna yang terkandung dalam siri‘ na pesse‘
masih tetap sama seperti yang digariskan sebelumnya? Untuk
mengetahui bagaimana presepsi masyarakat tentang siri‘ na
pesse‘, penulis melakukan penelitian di Desa Leang-Leang,
Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Provinsi
Sulawesi Selatan, yang dimulai sejak bulan April-Mei 2018.
Penulis melakukan wawancara terhadap 10 orang
masyarakat Desa Leang-Leang yang terdiri dari beragam
profesi. Hasil yang penulis temukan bahwa dari tiga
penjabaran makna siri‘ na pesse yakni masiri‘ siri‘, siri‘-
ripakasiri‘, siri‘ masiri‘ semuanya termasuk dalam
pandangan makna siri‟ dalam masyarakat desa Leang-Leang.
Kendati demikian terdapat makna yang lebih dominan
70
Said, Jati Diri Manusia Bugis, Hlm.161.
75
disepakati oleh masyarakat, walaupun ketiga penjabaran siri‘
ini disepakati adanya.
Dari 10 responden yang penulis wawancarai, tiga di
antaranya memaknai bahwa siri‘ pada era saat ini lebih
cenderung ke makna masiri‘ siri‘ yakni Siri‘ yang dapat
menimbulkan perasaan malu-malu. Misalnya, seorang merasa
malu karena baru bertemu dengan seseorang yang disegani.
Disisi lain ada empat orang yang lebih cenderung kepada
makna siri‘-ripakasiri‘, Siri‘ dapat menimbulkan perasaan
malu yang menuntut perlakuan adil karena seorang telah
menghina atau memperlakukannya di luar batas kemanusiaan.
Selebihnya terdapat sembilan responden cenderung
memaknai siri‘ dalam kata siri‘-masiri‘, yang artinya Siri‘
yang dapat menimbulkan perasaan malu, sehingga seseorang
berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai suatu prestasi
demi tegaknya siri‘ pribadi dan keluarga atau kelompoknya.
Sembilan orang responden yang memaknai siri‘
sebagai siri‘ masiri‘ berprofesi antara lain: seksi
Pemberdayaan Masyarakat Desa, juru pemelihara Desa,
kepala Desa, pendiri pemuda desa, dan ibu rumah tangga.
Sementara tujuh responden yang memaknai siri‘ sebagai siri‘
ripakasiri‘ berprofesi antara lain: tokoh masyarakat, petani,
ibu rumah tangga dan pemangku agama. Adapun sisnya,
responden yang memaknai siri‘ sebagai masiri‘siri‘
berprofesi sebagai pelajar dan ibu rumah tangga. Maka dapat
disimpulkan, masyarakat Desa Leang-Leang, cenderung
76
memaknai siri‘ sebagai siri‘ masiri‘ atau malu yang timbul
sebagai akibat dari dalam diri sendiri.
Selanjutnya, menurut masyarakat Desa Leang-Leang,
sepakat bahwa terdapat perbedaan makna antara siri‘ pada
masa lalu dan sekarang. Pada masa lalu, siri‘ dimaknai dalam
konten siri‘ ripakasiri‘ yang pada umumnya berujung pada
jallo atau amuk. Perbedaan itu ditandai dengan adanya
beberapa nilai yang masuk, seperti semakin berkembangnya
agama yang membawa nilai-nilai dan hukum. Sehingga, siri‘
saat ini cenderung pada bentuk motivasi agar dapat menjaga
nama baik diri sendiri dan keluarga.
Dalam pandangan penulis, perbedaan makna siri‘
antara masa lalu dan masa sekarang tidak lantas
menghilangkan makna siri‟ yang lain yaitu siri ripakasiri dan
masiri-masiri. Pada saat tertentu, siri‘ itu akan keluar sesuai
kondisi dan tempatnya. Misalnya saja, seseorang yang
merantau demi menjaga nama baik diri dan keluarganya agar
terhindar dari jurang kemiskinan. Namun setelah beberapa
lama, ia mendapati anak gadisnya kawin lari dengan laki-laki
yang tidak dikenalnya. Maka bisa dipastikan, tindakan yang
dilakukan akan mengarah pada bentuk jallo, atau lebih ke
siri‘ ripakasiri‘.
Adapun pesse‘ dalam pandangan penulis, memang
selalu berpasangan dengan siri‘, dalam artian semua makna
siri. Misalnya, pesse‘ yang berpasangan dengan siri‘
ripakasiri‘, maka orang ketiga yang menyaksikan, akan ikut
merasa tersentuh dengan tindakan orang yang membuat malu,
77
bahkan ikut membantu orang yang telah direbut
kehormatannya. Adapun bila pesse‘ dipasangkan dengan siri‘
masiri‘ maka tindakan yang timbul adalah akan membuat
orang ketiga meniru orang yang telah berhasil menjaga nama
baik keluargnya, dengan kata lain, juga akan ikut termotivasi
untuk melakukan hal yang sama. Hal yang sama juga terjadi
bila pesse‘ dipasangkan dengan masiri‘siri, orang ketiga akan
ikut merasa malu bila teman di sampingnya juga malu ketika
bertemu dengan orang yang lebih tua, atau yang lebih tinggi
sisi keilmuannya (to macca).
B. Implikasi Logis Pemahaman Filosofis Dimensi
Kebudayaan Siri’ na Pesse dalam Pemberdayaan
Masyarakat Bugis-Makassar.
Namun begitu, apakah siri‘ na pessse‘ sebagai pola
kebudayaan, mampu memberi implikasi dalam pemberdayaan
masyarakat? Dalam menjawab persoalan ini, mula-mula akan
dipaparkan tinjauan umum tentang pemberdayaan. Seperti
yang telah diulas sebelumnya, terdapat banyak ahli yang
memberikan pengertian dari pemberdayaan. Menurut Isbandi
Rukminto Adi, pemberdayaan merupakan proses
pengembangan dari keadaan kurang berdaya sampai
mempunyai daya untuk mencapai kehidupan yang layak.
Pemberdayaan konsen terhadap individu, kelompok atau
komunitas yang berusaha dalam mengontrol kehidupan diri
sendiri dan membentuk masa depan yang layak.
78
Pemberdayaan juga dimaknai proses relatif terus berjalan
untuk peningkat kualitas hidup. 71
Pengertian di atas mengadaikan bahwa pemberdayaan
adalah proses mengubah dari yang tidak berdaya menjadi
lebih berdaya, yang objeknya berupa individu, kelompok atau
komunitas, sehingga kehidupannya menjadi layak. Pengertian
ini lebih cenderung universal dan tidak terbatas pada batasan-
batasan tertentu. Sebab terdapat beberapa ahli yang
memberikan pengertian pemberdayaan terbatas pada satu
elemen, seperti ekonomi. Karena itu, untuk melakukan
pemberdayaan maka peningkatan ekonomi mutlak dilakukan.
Hal ini seperti yang dikatakan Chambers yang dikutip
oleh Zubaedi yang memaknai pemberdayaan masyarakat
sebagai sebuah konsep pembangunan ekonomi. Konsep
pemberdayaan lebih luas dari sekedar upaya untuk memenuhi
kebutuhan dasar atau sekedar mekanisme untuk mencegah
proses pemiskinan lebih lanjut. Bila pengertian ini dijadikan
penopang dasar dalam pemberdayaan, maka fokus utamanya
merujuk pada pemenuhan kebutuhan dasar.72
Hanya saja,
apakah dengan kecukupan ekonomi seseorang dapat
dikatakan layak? Maka itu penulis lebih cenderung pada
pengertian yang diberikan oleh Isbandi Rukminto Adi, sebab
tidak membatasi alat pemberdayaan masyarakat.
71
Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat
dan Investasi Komunitas, (Jakarta, Fakultas Ekonomi UI, 2001), Cet. Ke 1,
Hlm 32. 72
Zubaedi, Pengembangan Masyarakat (wacana & praktik), Hlm.24-
25.
79
Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan dalam
pemberdayaan masyarakat, dapat dilihat pada masa Nabi
Muhammad Saw. Pada masa ini, Nabi Muhammad Saw
berhasil membawa masyarakat dari kejahilan menuju
masyarakat yang tertata baik dari segi tauhid, sosial, ekonomi,
politik, serta berbagai segi kehidupan yang lain. Tahapan-
tahapan tersebut menurut Nanih dan Agus antara lain:
Pertama, Takwin. Takwin adalah tahap pembentukan
masyarakat Islam yang dimulai dengan dakwah dengan lisan,
sebagai bentuk sosialisasi akidah. Sasaran tahapan ini adalah
terjadinya internalisasi Islam dalam ghirah dan sikap
membela keimanan dari tekanan struktural. Kedua, Tanzim.
Ini adalah tahap pembinaan dan penataan masyarakat. Pada
fase ini internalisasi dan eksternalisasi Islam muncul dalam
bentuk institusionalisasi Islam secara komprehensif dalam
realitas sosial. Tahap ini dimulai dengan hijrahnya Nabi ke
Madinah. Ketiga, Taudi‘. Ini adalah tahap keterlepasan dan
kemandirian. Pada tahap ini umat telah siap menjadi
masyarakat mandiri terutama secara managerial. Pada fase
masyarakat mandiri ada masa pembebasan manusia dari dunia
kemiskinan, konflik etnis, penindasan atas nama Negara.
Dalam tahap-tahap pemberdayaan ini, tidak hanya
terbatas pada satu elemen penopang saja seperti ekonomi,
namun pemberdayaan yang dilakukan adalah dengan
menanamkan tauhid kepada masyarakat Muslim barulah
kemudian dilakukan pembinaan. Namun sebelum memasuki
tahap-tahap pemberdayaan masyarakat, yang tak kalah
80
pentingnya adalah sikap dasar dalam pemberdayaan. Menurut
Tantang dan Hermansyah, nilai dasar tersebut antara lain:
kejujuran, keadilan, kepercayaan, kebersamaan, kepedulian,
dan berorientasi pada masa depan. Sikap dasar ini seyogianya
melekat pada masing-masing pribadi serta menjadi penopang
untuk kemudian melakukan pemberdayaan. Sampai di sini,
dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan sejatinya proses
melakukan perubahan dari yang tidak berdaya menjadi
berdaya, dimana dalam melakukan pemberdayaan, melalui
beberapa tahap dan ditopang oleh sikap dasar dari sang
pemberdaya.
Selanjutnya, dalam rangka menjawab apakah siri‘ na
pesse‘ mampu memberi implikasi terhadap pemberdayaan
masyarakat, berikut akan dipaparkan hasil penelitian yang
penulis temukan. Dari wawancara yang dilakukan terhadap
masyarakat Desa Leang-Leang, semua responden sepakat
bahwa siri‘ na pesse‘ sangat berpengaruh dalam
pemberdayaan masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh
Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa, Bapak
Syarifuddin Talli. Menurutnya:
“siri‟ na pesse‟ itu pendorong motivasi dan semangat
dalam menghasilkan sesuatu dan akan membuat seseorang
merasa malu ketika menganggur. Selain itu, sebagai
perekat antar anggota masyarakat sehingga pelaksanaan
gotong royong sangat sering kami lakukan.”73
73
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Syarifuddin Talli di Kantor
Desa Leang-Leang pada tanggal 26 April 2018, Pukul 09.35 WITA
81
Lebih lanjut ia mengatakan, budaya siri‘ na pesse‘
menjadi perekat di antara masyarakat. Contoh lain yang bisa
disebutkan adalah palette bola, yang berarti mengangkat
rumah secara komunal. Di daerah Bugis, rumah yang
digunakan masyarakat pada umumnya adalah rumah
panggung yang bahan dasarnya berupa kayu. Bila sewaktu-
waktu pemilik rumah ingin pindah ke tempat lain, maka akan
melibatkan masyarakat banyak untuk membantu mengangkat
rumah.
Terkait dengan keterlibatan masyarakat dalam
melalukan palette bola, menurut bapak Baharuddin, orang di
kampung ini memang hatinya tergiring untuk membantu satu
sama lain, sehingga ada rasa siri‘ atau malu jika tidak ikut
andil dalam membantu. Sama halnya dengan menanam padi.
Menurut yang disampaikan oleh Kepala Desa, Burhan
Baso, bahwa:
“Budaya siri‟ na pesse itu sejatinya menguatkan
masyarakat dalam berbagai hal. Contohnya bekerja,
gotong royong, ibadah, akhlak semua itu membuat
masyarakat berdaya. Siri‟ na pesse‟ menjadi satu alasan
yang dapat mempererat tali persaudaraan dengan istilah
satu rasa. Ketika tanganku sakit maka aku ikut sakit.”74
Sementara menurut Irfan Hidayat, Pendiri Ikatan
Pemuda Leang-Leang ketika diwawancari di salah satu
warung kopi:
74
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Burhan Baso pada tanggal
26 April 2018, Pukul 09.35 WITA.
82
“Bahwa siri‟ na pesse‟ membuat orang-orang di desa ini
malu bila dia bekerja keras sementara temannya
menganggur, makanya di sini rasa solidaritasnya timbul.
Maka itu siri‟ na pesse‟ menjadi kekuatan dasar bagi
masyarakat untuk kompak, empati terhadap yang lain
serta produktif.”75
Dari pemaparan ini, dapat disimpulkan, bahwa secara
serempak masyarakat Desa Leang-Leang menganggap bahwa
siri‘ na pesse‘ mempunyai andil dalam pemberdayaan
masyarakat. Siri‘ na pesse‘ dalam pandangan mereka secara
garis besarnya mempunyai tiga implikasi terhadap
pemberdayaan masyarakat, yaitu :
1. Siri‘ na pesse‘ mampu membangkitkan motivasi menuju
kesuksesan sehingga dapat membawa orang lain
terpancing untuk mengikutinya. Pada konteks ini, siri‘
yang timbul adalah siri‘ masiri‘ sedangkan dalam konteks
pemberdayaan di jelaskan Unsur-unsur pemberdayaan
masyarakat menurut Suhendra, antara lain: (1) Kemauan
politik yang mendukung, (2) Suasana kondusif untuk
mengembangkan potensi secara menyeluruh, (3)
Motivasi, (4) Potensi masyarakat, (5) Peluang yang
tersedia, (6) Kerelaan mengalihkan wewenang, (7)
Perlindungan, (8) Kesadaran.76
Dalam unsur-unsur
Pemberdayaan Masyarakat terdapat motivasi pada poin ke
tiga yang dalam pandangan penulis motivasi juga ikut
75
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Irfan Hidayat pada tanggal
27 April 2018 pukul 17.14 WITA. 76
Suhendra, Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan Masyarakat.
(Bandung: Alfabeta, 2006) Hlm.87.
83
andil dalam Pemberdayaan Masyarakat sebab tanpa
motivasi, masyarakat ataupun pelaku PM tidak mampu
bersaing melawan kemalasan dan hambatan lainnya. Hal
ini didukung oleh pernyataan Bapak H. Tajuddin Rani.
Menurutnya :
“Iya berperan, karena banyak kegiatan-kegiatan
masyarakat disini didorong sama budaya Siri na Pesse ini.
Anak muda kalo pengangguran itu di sini malu atau Siri‘,
makanya dari rasa malu ini yang bikin anak muda disini
semangat cari kerja.”77
2. Siri‘ na pesse‘ mampu membuat rasa solidaritas yang kuat
dari para anggota masyarakat sehingga mendorong orang
lain merasa malu bila tidak saling membantu. Sebagai
contoh tindakan konkrit masyarakat dalam menciptakan
solidaritas yang kuat yang di dasari oleh kebudayaan siri‘
na pesse ini, yaitu :
a. Palette Bola (upacara pemindahan rumah).
Proses pemindahan secara bersama-sama adalah
kebudayaan turun-temurun yang sampai saat ini masih
ada di daerah Leang-Leang. Upacara ini biasanya
dipimpin oleh ketua adat, yang prosesnya memiliki
pra-pasca acara. Di awali dengan panjatan do‟a oleh
ketua adat dengan sajian makanan dari tuan rumah
yakni baje‘ (ketan dan santan) masakan khas
Sulawesi.
77
Hasil wawancara penulis dengan H. Tajuddin Rani di rumah
pribadinya, pada tanggal 24 April 2018, Pukul 11.17 WITA.
84
Setelah proses berdo‟a dan makan bersama, masuk
ke acara inti yang di awali dengan penurunan
perabotan rumah guna meringankan beban ketika
mengangkat rumah. Selanjutnya, pemasangan bambu
di bawah rumah untuk pegangan warga ketika
mengangkat nanti. Ketika pemasangan bambu telah
selesai, masuk ke acara pemindahan rumah yang
dilakukan oleh warga secara bersama-sama yang di
pandu oleh ketua adat dan beberapa pembantu untuk
mengarahkan sampai ketujuan. Berikut gambar
upacara palette bola :
Foto proses pemindahan rumah masyarakat Bugis-Makassar.
78
Proses pemindahan rumah ini biasanya dilakukan
hanya dalam kurun waktu satu hari, dimulai dari pagi
sampai sore. Namun setelah proses pemindahan
78
http://takaitu.com/kenalin-tradisi-pindah-rumah-ala-suku-bugis-
cuma-ada-di-indonesia-lho/. Diakses pada 03, Januari 2019. Pukul17.30 WIB.
85
rumah terlaksana, upacara belum selesai saat itu juga.
Setahun kemudian upacara dilanjutkan dengan tradisi
tolak bala dalam istilah bugis di kenal dengan
“maccera bola‖ tradisi ini diyakini agar rumah
terhindar mara bahaya. Di pimpin oleh pemangku adat
yang di awali dengan pembacaan do‟a bersama,
setelah itu barulah masuk ke acara inti yakni
pemotongan ayam. Darah ayam yang dipotong tidak
lansung dibuang, melainkan dioleskan ketiang
penyangga rumah. Setelah tradisi tersebut selesai,
barulah ditutup dengan makan bersama yang telah
disajikan oleh tuan rumah.
Dari kegiatan upacara palette bola ini, penulis
menyimpulkan bahwa kegiatan ini memiliki nilai
manfaat yang sangat besar. Dari rasa siri‘ na pesse
yang timbul dalam dari masyarakat dengan prinsip
malu ketika tidak saling membantu satu sama lain,
maka ketika itu pula timbul solidaritas yang kuat dari
masyarakat.
b. Mappalili (upacara sebelum penanaman padi)
Di masyarakat Bugis upacara penanam padi
bersama-sama di kenal dengan istilah mappalili,
tradisi ini dilakukan sebelum petani turun ke sawah, di
pimpin oleh tokoh adat dan di isi berbagai sajian
makanan khas masyarakat Bugis. Upacara ini di isi
dengan do‟a bersama yang diniatkan untuk kelancaran
dan keberkahan proses bertani sebelum dan setelah
86
panen. Setelah upacara ini digelar, barulah masyarakat
berbondong-bondong untuk membajak sawah. Makna
dari upacara ini adalah meningkatkan keimanan
masyarakat serta mangajak masyarakat untuk kompak
dan saling membantu satu dengan yang lain, ini juga
yang akan membuat orang lain malu bila tidak
membantu. Berikut di bawah ini contoh gambar proses
penanaman padi bersama-sama :
Foto proses penanaman padi secara bersama-sama.79
Dari dua contoh yang penulis sajikan. Lagi-lagi,
siri‘ yang timbul dalam konteks ini adalah siri‘ masiri‘
dan Tau Sipakatau (saling memanusiakan manusia). Poin
ke dua ini Siri‘ na Pesse cenderung pada konteks
partisipasi masyarakat dalam membentuk tatanan sosial
yang harmonis dan solid. Zubaedi menjelaskan, upaya
79
https://makassar.terkini.id/menjaga-tradisi-petani-sulawesi-selatan/.
Diakses pada 03, Januari 2019. Pukul17.55 WIB.
87
partisipasi warga melalui program pengembangan
masyarakat diawali dengan cara mengunggah kesadaran
masyarakat akan hak-haknya untuk hidup secara lebih
bermutu, adanya realitas kompleksitas permasalahan yang
dihadapi, serta perlunya tindakan konkret dalam
mengupayakan perbaikan kehidupan.80
3. Siri‘ na pesse mengarahkan cara berfikir individu
masyarakat Bugis-Makassar. Implikasi pengarahan cara
berfikir secara langsung merupakan tabiat alami dari
budaya siri‘ na Pesse‘ yang menekankan pada sisi
kolektivistis. Gaya berpikir kolektivistis lebih cenderung
pada konsep holistik dalam melihat masalah. Inilah yang
tidak dimiliki oleh masyarakat Barat yang lebih
cenderung individualistis. Masyarakat yang padanya
tertanam cara berpikir holistik rupanya enggan untuk
melakukan inflasi diri.
Seperti misalnya, masyarakat Timur cenderung
prestasi yang dimilikinya tidak lain karena atas usaha-
usaha bersama kelompok atau komunal. Contoh lain
adalah ketika melihat sebuah gambar seorang berbadan
besar yang mengintimidasi seorang yang berbadan lebih
kecil. Pada konteks ini masyarakat dengan gaya berpikir
individualis yang mengesampingkan segi holistik
berpandangan, itu adalah tindakan yang buruk. Sementara
masyarakat Timur, memberikan opsi lain dengan
anggapan, mungkin yang berbadan besar adalah ayah
80
Zubaedi, Pengembangan Masyarakat: Wacana & Praktki, h. 34
88
yang sedang memarahi seorang yang berbadan kecil yaitu
anaknya.81
Maka dalam posisi demikian, budaya holistik
yang sedikit-banyaknya terdapat dalam budaya Siri‘ na
Pesse‘ tidak mendasarkan sepenuhnya kebenaran atas
dirinya sendiri, melainkan menyandarkannya pada
otoritas, baik itu sebuah nilai atau ucapan yang dalam hal
ini adalah tekanan hidup ideal yang telah digariskan.
Singkatnya, dalam budaya Siri‘ na Pesse‘ individu
diarahkan ke nilai yakni Ammacangeng (kecendekiaan,
intelek, cakap).
Penulis berpendapat nilai Siri‘ na Pesse jika di kaitkan
pada tindakan konkrit masyarakat Leang-Leang sangatlah
berpengaruh, sebab nilai-nilai Siri‘ na Pesse seperti masiri‘ siri‘
adalah rasa yang timbul ketika tidak membatu satu sama lain
ketika tetanggan ataupun kerabar dalam keadaan sulit disisi lain
diperkuat oleh Pesse yang dimaknai sebagai rasa perih dalam diri
yang terasa ketika terdapat keluarga dan kerabat yang merasa
sakit. Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan Bapak Burhan
Baso, bahwa:
“memang ini salah satu alasan yang dapat mempererat tali
persaudaraan dengan istilah satu rasa. Ketika tetanggaku
sakit maka aku ikut sakit, kurang lebih begitu. Selain itu
biasanya ada undangan untuk gotong royong dengan
istilah bugis Mappada‘, ini panggilan adat untuk
melakukan gotong royong.”82
81
www.bbc.com, diakses pada 7 Oktober 2018, pukul 16:40 WIB. 82
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Burhan Baso pada tanggal
26 April 2018, Pukul 09.35 WITA.
89
Tiga komponen siri‘ na pesse‘ yang mampu
memberikan implikasi terhadap permberdayaan masyarakat
ini, sedikit-banyaknya mempunyai kemiripan dengan konsep
ashabiyah yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun, hanya
dengan catatan, nir-pertalian darah, sebab konsep ashabiyah
atau solidaritas menurut Ibnu Khaldun lebih disebabkan
karena pertalian darah, sementara siri‘ na pesse‘ mencakup
hampir seluruh elemen masyarakat dan telah mendarah
daging dalam setiap sisi kehidupannya.
Hanya saja, tiga komponen siri‘ na pesse‘ dalam
anggapan masyarakat Desa Leang-Leang dapat memberi
implikasi pada pemberdayaan masyarakat Islam, dalam hemat
penulis bukanlah pemberdayaan secara direct. Bila
pemberdayaan dimaknai dengan proses pengembangan
masyarakat dari yang tidak berdaya menjadi lebih berdaya,
serta dimaknai proses yang relatif terus menerus berjalan
untuk peningkatan kualitas hidup, maka siri‘ na pesse‘ tidak
seluruhnya mencakup kriteria tersebut. Dalam analisis
penulis, siri‘ na pesse‘ lebih kepada upaya katalisator dan
instrumen dalam permberdayaan. Siri‘ na pesse‘ lebih
condong pada nilai dasar dan penopang dalam melakukan
pemberdayaan masyarakat seperti kejujuran, keadilan,
kepercayaan, kebersamaan, kepedulian, dan beorientasi pada
masa depan.
Hal ini dimungkinkan sebab siri‘ na pesse‘ memuat
beberapa sikap dasar tersebut. Dalam siri‘ na pesse‘, terdapat
90
nilai dasar yaitu: pertama, Lempu atau jujur. Bila dimaknai,
Lempu‘ secara harfiyah adalah lurus, lawan kata dari jekko‘
atau bengkok. Lempu‘ juga dimaknai dengan ikhlas, baik,
bersih diri atau adil, sehingga lawan dari lempu‘ adalah culas,
rurang, dusta, khianat, tipu, aniaya, dan berbagai prilaku
disetruktif lainnya.83
Kedua, Ammacaangeng atau
kecendikiaan. Dalam Lontara disebutkan orang yang
mengetahui adat dan kebijaksanaan disebut toaccata, yaitu
orang pintar kita. 84
Ketiga, Awaraningeng atau keberanian.
Warani dalam bahasa Indonesia berarti berani. Orang yang
berani adalah orang yang tidak gampang takut, tidak mudah
terkecut dan tidak tergolong pencemas dan pengecut. 85
Sikap dasar dalam siri‘ na pesse‘ ini sangat terkait
bahkan mirip dengan sikap dasar yang harus dimiliki oleh
seorang pemberdaya. Kebersamaan misalnya, sebagai sikap
yang harus dimiliki seorang pemberdaya. Nilai kebersamaan
diperlukan dalam proses Pemberdayaan Masyarakat. Dengan
terjalinnya kebersamaan antara pelaku dan sasaran akan
meudahkan menyelesaikan kompleksitas persoala yang ada
dalam program Pemberdayaan Masyarakat. Seberat apapun
persoalan yang dihadapi dalam proses pemberdayaan
masyarakat akan mudah diselesaikan dengan kebersamaan
atau tolong menolong. Pada saat yang sama, Siri‘ na pesse‘
secara bulat membawa semangat yang sama yaitu
83
Said, Jati Diri Manusia Bugis, Hlm.147. 84
Said, Jati Diri Manusia Bugis, Hlm.154. 85
Said, Jati Diri Manusia Bugis, Hlm.161.
91
kebersamaan. Maka demikian, siri‘ na pesse‘ dapat memberi
implikasi pemberdayaan masyarakat namun tidak secara
langsung, melainkan sebagai instrumen dan katalisator dari
pemberdayaan masyarakat.
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melalui berbagai proses penyelesaian
skripsi ini, penelitian yang berjudul Impikasi Budaya
Siri‘ na Pesse‟ Terhadap Pemberdayaan Masyarakat Islam
Bugis-Makassar di wilayah Leang-Leang, Bantimurung,
Maros, Sulawesi-Selatan di uraikan dengan hasil
penelitian lapangan melalui observasi, wawancara dan
sebagainya serta kajian pustaka sebelumnya, maka penulis
dapat menyimpulkan sebagai berikut :
Pertama, implikasi yang diartikan sebagai keterkaitan
antara kebudayaan Siri‘ na Pesse dan Pemberdayaan
Masyarakat Islam menjadi kunci dalam membatasi kajian
skripsi ini. Keterkaitan antara kebudayaan Siri‘ na Pesse
dan Pemberdayaan Masyarakat Islam ditinjau dari Nilai-
Nilai kebudayaan yang dijunjung tinggi serta diterapkan
oleh masyarakat Bugis-Makassar dan Nilai-Nilai yang
perlu dijunjung tinggi seorang Pemberdaya Masyarakat
yang Nilai keduanya berperan penting pada hasil dari
pengaktualisasiannya.
Dari berbagai macam nilai-nilai yang terkandung
dalam kebudayaan Siri‘ na Pesse yang dipegang teguh
oleh masyarakat Bugis Makassar antara lain lempu‘
(ikhlas, baik, bersih diri atau adil), ammacangeng (cakap,
93
cendikia, atau intelek), awaraningeng (keberanian). Disisi
lain nilai dasar dalam melakukan pemberdayaan antara
lain kejujuran, keadilan, kepercayaan, kebersamaan,
kepedulian, dan berorientasi pada masa depan. Nilai-nilai
tersebut mempunya keterkaitan yang tentunya memiliki
dampak yang positif bagi masyarakat Bugis-Makassar dan
aktor dalam pemberdayaan masyarakat.
Kedua, nilai kebudayaan Siri‘ na Pesse jika
patokannya bersumber dari pemaparan di atas maka
manusia Bugis-Makassar tentunya memiliki karakter
assimellereng (kesetiakawanan sosial) yang mengarahkan
manusia Bugis-Makassar menjadi manusia yang berdaya
dengan tolak ukur yang penulis dapatkan dilapangan
seperti Palette‘ Bola ( Gotong Royong Pindah Rumah),
Massarapo (Gotong Royong Acara Perkawinan), Masiri‘
siri‘ (malu ketika tidak produktif) yang diakui adanya
oleh masyarakat Desa Leang-Leang. Selain itu, jika dalam
tahapan pemberdayaan diperlukan nilai dasar sesuai yang
dipaparkan diatas agar menghindari tindakan-tindakan
yang negatif seperti korupsi, nepotisme dan sebagainya
dan menghambat kesuksesan agenda pemberdayaan.
Maka, ketika individu manusia Bugis-Makassar berdaya
melalui nilai-nilai Kebudayaan Siri‘ na Pesse, secara
lansung manusia Bugis-Makassar lebih mudah dalam
memberdayakan dan diberdayakan.
94
B. Saran
Sebagai bentuk pesan untuk pembaca, tentunya
penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini tidak
lepas dari berbagai kekurangan dan keterbatasan. Penulis
berharap hasil penelitian ini dapat menjadi pemantik
dalam mengkaji lebih dalam lagi tentang pemberdayaan
masyarakat islam serta pengenalan dan pelestarian
budaya-budaya daerah nusantara. Selain itu, penulis juga
mengharapkan penelitian ini dapat berlanjut untuk
menghasilkan temuan-temuan baru mengenai implikasi
budaya Siri‘ na Pesse dalam pemberdayaan masyarakat
islam agar nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam
kebudayaan tersebut dapat diterima oleh masyarakat luar
dari Bugis-Makassar dan di implementasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
95
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
Adi, Isbandi Rukminto, Pemberdayaan, Pengembangan
Masyarakat dan Investasi Komunitas, (Jakarta,
Fakultas Ekonomi UI, Cet. Ke 1, 2001).
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rajawali
Pers, 2016).
Agus, Bustanuddin, AGAMA DALAM KEHIDUPAN
MANUSIA (PENGANTAR ANTROPOLOGI
AGAMA), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006).
Ahmad, Rulam. Metodologi Penelitian Kualitatif
(Yogyakarta : AR-RUZZ MEDIA, 2016).
Bungin, M. Burhan. Penelitian Kualitatif edisi Kedua.
(Jakarta : Kencana, 2007).
Gunawan, Heri, PENDIDIKAN KARAKTER Konsep dan
Iplementasi, (Bandung: ALFABETA, 2012).
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif (Teori dan
Praktek), (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2013).
Hamid, Abu, Siri‘ Dan Passe‘ (Harga Diri Orang Bugis,
Makassar, Mandar, Toraja), (Makassar: Pustaka
Refleksi, 2003), hal, 14.
Ismail, Asep Usman.al-Qur‘an dan Kesejahteraan Sosial,
(Tangerang: Lentera hati, 2012).
96
Machendarwaty, Nanih. dan Safei, Agus Ahmad,
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM: Dari
Ideologi, Strategi dan Tradisi, (Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 2001).
Mannahao, Mustari Idris, The Secret of siri‘ na pesse,
(Makassar : Pustaka Refleksi, Cet. Ke 1, 2010).
Hal 5.
Mardikanto, Totok. dan Soebiato, Poerwoko,
Pemberdayaan Masyatakat dalam Persepektif
Kebijakan Publik (Bandung: Alfabeta, 2015).
Martono, Nanang.Sosiologi perubahan sosia, Edisi Revisi
(jakarta : raja wali pres, 2016).
Marzuki, Laica, SIRI‘ BAGIAN KESADARAN HUKUM
BUGIS-MAKASSAR (SEBUAH TELAAH
FILSAFAT HUKUM), (Sulawesi Selatan:
Hasanuddin University Press, 1995).
Mattulada.LATOA : satu lukisan analitis terhadap
antropologi politik orang bugis, (Ujung Pandang :
Hasanuddin University Press 1995).
M Dagun, Save. KAMUS BESAR ILMU
PENGETAHUAN, (Jakarta : Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 2013).
M. Setiadi, Elly, A. Hakam, Kama dan Effendi, Ridwan,
Ilmu Sosial & Budaya Dasar – Edisi Ketiga,
(Jakarta: KENCANA, Cet. 13, 2017).
Moh. Yahya Mustafa, A. Wanua Tangke, Anwar
Nasyaruddin.SIRI‘ DAN PESSE (Harga Diri
97
Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja),
(Makassar : PUSTAKA REFLEKSI, 2003).
Muhtadi dan Tantan Hermansyah.Manajemen
Pengembangan Masyarakat Islam (Ciputat: UIN
JAKARTA PRESS, 2013).
Said, Mashadi. Jati Diri Manusia Bugis, (Jakarta : Pro de
Leader 2016).
Sedarmayanti, dan Syarifuddin Hidayat, Metodologi
Penelitian (Bandung : Mandar Maju, 2002).
Soekanto, Soerjono dan Sulistyowati, Budi. Sosiologi
Suatu Pengantar - Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013).
Suhendra, Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan
Masyarakat. (Bandung: Alfabeta, 2006).
Tharaba, M. Fahmi.Sosiologi Agama (konsep, metode,
riset, dan konflik sosial), (Malang: Madani, 2016).
Utari, Dewi dan Darsono Prawironegoro.Pengantar
Sosiologi, Kajian Perilaku Sosial Dalam Sejarah
Perkembangan Masyarakat (Jakarta: Mitra
Wacana Media, 2017).
Zubaedi, Pengembangan Masyarakat (wacana & praktik),
(Jakarta : PRENADAMEDIA GROUP, 2013).
98
Sumber Pendukung :
Profil Desa Leang-Leang tahun 2017
Sumber Website :
https://www.kbbi.web.id/implikasi. Pukul 21.41 WIB, 21-
02-2018.
https://www.Makassar.tribunnews.com/2017/07/31/ini-
dua-kasus-bunuh-diri-karena-cinta-di-maros. Pukul
23.17 WIB, 20-01-2018.
www.bbc.com, diakses pada 7 Oktober 2018, pukul 16:40
WIB
http://takaitu.com/kenalin-tradisi-pindah-rumah-ala-suku-
bugis-cuma-ada-di-indonesia-lho/. Diakses pada
03 Januari 2019. Pukul17.30 WIB.
https://makassar.terkini.id/menjaga-tradisi-petani-
sulawesi-selatan/. Diakses pada 03, Januari 2019.
Pukul17.55 WIB.
Sumber Wawancara :
Hasil wawancara penulis dengan H. Tajuddin Rani di
rumah pribadinya, pada tanggal 24 April 2018,
Pukul 11.17 WITA.
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Syarifuddin Talli
di Kantor Desa Leang-Leang pada tanggal 26
April 2018, Pukul 09.35 WITA.
99
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Burhan Baso
pada tanggal 26 April 2018, Pukul 09.35 WITA.
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Irfan Hidayat
pada tanggal 27 April 2018 pukul 17.14 WITA.
Transkip wawancara Dengan Sesepuh (Tokoh Masyarakat)
Leang-Leang
Nama : H. Tajuddin Rani
Tanggal Penelitian : 24 April 2018, Pukul 11.17 WITA
Tempat : Rumah
Status/Pekerjaan : Tokoh Masyarakat
1. T : Apa yang anda pahami tentang budaya Siri‘ na Pesse
sebagai masyarakat desa Leang-Leang ?
J : Siri‘ na Pesse yang saya tau adalah rasa malu yang
ada dalam diri kita yang bisa bikin kita tidak
sembarangan dalam melakukan sesuatu. Jadi, orang-
orang biasanya kalau membahas yang namanya Siri‘ itu
harga diri yang harus di jaga dalam hal keseharian kita.
2. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse termasuk budaya yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat desa Leang-Leang.
Jelaskan ?
J : Iya pasti. Karena kalau orang hilang Siri‘ na Pesse
dalam dirinya, apapun itu dia lakukan. Seperti mencuri,
nikah lari, saling bunuh. Alhamdulillah di Leang-Leang
sampai saat ini masih kental yang namanya malu itu.
3. T : Apakah ada perbedaan pada masyarakat Leang-Leang
antara budaya Siri‘ na Pesse yang dahulu dan yang
sekarang ?
J : Pasti ada ya. Dulu itu, Siri‘ na Pesse sering
bersentuhan lansung dengan pertikaian gara-gara nikah.
Ada anak muda yang nikah lari atau silariang dan
keluarga dari perempuan tidak terima dan mengancam
keluarga laki-laki sampai-sampai dua keluarga itu
bertikai sampai ada salah satu korban meninggal baru
selesai pertikaian. Sekarang sudah jarang yang seperti itu,
lebih kepada malu dalam hal tidak membantu tetangga
atau sering disebut gotong royong.
4. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse berperan penting dalam
kemandirian masyarakat desa Leang-Leang. Jelaskan ?
J : Iya berperan, karena banyak kegiatan-kegiatan
masyarakat disini didorong sama budaya Siri na Pesse
ini. Anak muda kalo pengangguran itu di sini malu atau
Siri‘, makanya dari rasa malu ini yang bikin anak muda
disini semangat cari kerja.
5. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse dapat mempererat tali
persaudaraan bagi masyarakat desa Leang-Leang.
Contohnya ?
J : Iya bisa. Karena di sini banyak pekerjaan itu yang
dikerja dengan sama-sama, malu rasanya atau Siri kalau
tetangga butuh dan kita tidak bantu. Makanya di sini
alhamdulillah masyarakat masih kuat gotong royongnya.
Palette Bola (memindahkan rumah) salah satu
contohnya.
6. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse memberdayakan
masyarakat Leang-Leang. Alasannya ?
J : Iya. Dari budaya Siri na Pesse ini masyarakat kompak
atau solidaritasnya tinggi, selain itu juga menambah
semangat setiap orang untuk terus berjuang supaya bisa
berpenghasilan atau cukup dalam mejalani hidup.
Transkip wawancara Dengan Seksi Pemberdayaan
Masyarakat Kel. Leang-Leang
Nama : Syarifuddin Talli
Tanggal Penelitian : 25 April 2018, Pukul 09.30 WITA
Tempat : Kantor Kelurahan
Status/Pekerjaan : Seksi Pemberdayaan Masyarakat (PM)
Kel. Leang-Leang
1. T : Apa yang anda pahami tentang budaya Siri‘ na Pesse
sebagai masyarakat desa Leang-Leang ?
J : Menurut saya Siri na Pesse merupakan nilai
kebudayaan yang dipegang teguh oleh orang tua kita dan
turun temurun kepada anak-anaknya. Siri ini artinya malu
yah, biasanya disandingkan dengan harga diri. Jadi
apapun itu kalau berkaitan dengan harga diri, ada
kekuatan dari dalam diri masyarakat untuk menjaga hal
tersebut.
2. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse termasuk budaya yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat desa Leang-Leang.
Jelaskan ?
J : Iya sampai saat ini budaya itu masih dijunjung tinggi.
Karena memang nilai ini yang sangat penting ada dalam
diri masyarakat karena membahas banyak hal untuk bisa
di praktekkan sehari-hari.
3. T : Apakah ada perbedaan pada masyarakat Leang-Leang
antara budaya Siri‘ na Pesse yang dahulu dan yang
sekarang ?
J : Memang ada perbedaanya apalagi dalam segi
pendidikan. Dulu masyarakat sangat minim
pendidikannya makanya sangat mudah ditemukan orang
gampang tersinggung sampai bunuh-bunuhan, sekarang
masyarakat sudah pintar jadi budaya malu betul-betul
hanya untuk menjaga tatakrama antar sesama.
4. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse berperan penting dalam
kemandirian masyarakat desa Leang-Leang. Jelaskan ?
J : Iya bisa. Karena dari rasa malu ketika kita tidak
produktif maka menambah semangat kita dalam
menghasilkan sesuatu.
5. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse dapat mempererat tali
persaudaraan bagi masyarakat desa Leang-Leang.
Contohnya ?
J : Bisa, karena disini kita saling menghargai satu sama
lain yang muda menghormati yang tua, yang tua
menghargai yang muda. Disini lebih kepada etika
sesama. Gotong royong disini juga masih sangat kental,
seperti membangun irigasi sama-sama, Palette Bola
(Pindah Rumah), menanam padi sama-sama.
6. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse memberdayakan
masyarakat Leang-Leang. Alasannya ?
J : Iya, karena mulai dari diri sendiri itu punya semangat
dalam menghasilkan sesuatu dari rasa malu ketika
menganggur. Selain itu masyarakat dikuatkan dengan
gotong royong sehingga menghasilkan lingkungan yang
produktif.
Transkip wawancara Dengan Kepala Kelurahan Leang-
Leang
Nama : Burhan Baso
Tanggal Penelitian : 26 April 2018, Pukul 09.35 WITA
Tempat : Kantor Kelurahan
Status/Pekerjaan : Kepala Kelurahan Leang-Leang
1. T : Apa yang anda pahami tentang budaya Siri‘ na Pesse
sebagai masyarakat desa Leang-Leang ?
J : Budaya Siri‘ na Pesse bisa dimaknai malu dan sakit
bisa juga dimaknai harga diri. Budaya ini sebenarnya
sangat penting bagi masyarakat sulawesi, sebab budaya
ini bisa mensugesti masyarakat untuk bekerja maksimal
dengan landasan malu ketika tidak sukses.
2. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse termasuk budaya yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat desa Leang-Leang.
Jelaskan ?
J : Sebenarnya Leang-Leang ini merupakan kelurahan
tapi seperti desa. Karena budaya Siri‘ na Pesse masih
sangat dijunjung tinggi bahkan disini masih dianggap
sangat sakral, dimana-mana ketika orang berbicara sakral
maka bisa dibilang penting untuk kita jaga.
3. T : Apakah ada perbedaan pada masyarakat Leang-Leang
antara budaya Siri‘ na Pesse yang dahulu dan yang
sekarang ?
J : Tentu ada, ini kan bergeser, zaman dahulu memang
kental hubungan antar tetangga karena berbeda dengan
saat ini yang sudah didominasi oleh media sosial. Tapi
tidak bisa dipungkiri sampai saat ini gotong royong di
Leang-Leang masih kental.
4. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse berperan penting dalam
kemandirian masyarakat desa Leang-Leang. Jelaskan ?
J : saya kira iya, ini menjadi semangat dalam melakukan
sesuatu yang positif.
5. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse dapat mempererat tali
persaudaraan bagi masyarakat desa Leang-Leang.
Contohnya ?
J : memang ini salah satu alasan yang dapat mempererat
tali persaudaraan dengan istilah satu rasa. Ketika
tetanggaku sakit maka aku ikut sakit, kurang lebih begitu.
Selain itu biasanya ada undangan untuk gotong royong
dengan istilah bugis Mappada‘, ini panggilan adat untuk
melakukan gotong royong.
6. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse memberdayakan
masyarakat Leang-Leang. Alasannya ?
J : iya, sebab budaya Siri‘ na Pesse ini dapat menguatkan
masyarakat dalam berbagai hal. Contohnya bekerja,
gotong royong, ibadah, akhlak semua itu membuat
masyarakat berdaya.
Transkip wawancara Dengan Tokoh Pemuda Leang-Leang
Nama : Irfan Hidayat
Tanggal Penelitian : 27 April 2018, Pukul 17.14 WITA
Tempat : Warkop Dg Roe
Status/Pekerjaan : Pendiri Ikatan Pemuda Leang-Leang
(IKPAL)
1. T : Apa yang anda pahami tentang budaya Siri‘ na Pesse
sebagai masyarakat desa Leang-Leang ?
J : Budaya Siri‘ na Pesse yang saya pahami itu malu, bisa
juga diartikan harga diri. Malu ketika menjadi manusia
yang tidak menghasilkan sesuatu, bisa juga dipermalukan
itu yang bergerak adalah harga diri.
2. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse termasuk budaya yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat desa Leang-Leang.
Jelaskan ?
J : Iya sangat di junjung tinggi, karena ini budaya sudah
turun temurun dan dipegang tegus sebagai falsafah
masyarakat Bugis-Makassar apalagi di Leang-Leang.
3. T : Apakah ada perbedaan pada masyarakat Leang-Leang
antara budaya Siri‘ na Pesse yang dahulu dan yang
sekarang ?
J : Pastinya ada. Kalau tidak salah dulunya Siri‘ na Pesse
bersinggungan dengan harga diri sehingga dalam
mempertahankan harga diri mengorbankan nyawa adalah
hal yang biasa. Jaman sekarang lebih condong ke
suksesnya seseorang.
4. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse berperan penting dalam
kemandirian masyarakat desa Leang-Leang. Jelaskan ?
J : Iya jelas, sebab nilai-nilai yang terkadung dalam Siri‘
na Pesse ini mengajarkan kita untuk berjuang dalam
hidup. Biasanya anak muda di Leang-Leang
mengaktualisasikan dengan aktif dalam organisasi, dari
karang taruna, remaja mesjid, Ikatan Pemuda, pemuda
tani di Leang-Leang aktif.
5. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse dapat mempererat tali
persaudaraan bagi masyarakat desa Leang-Leang.
Contohnya ?
J : Iya. Orang-orang disini malu kalau dia kerja lantas
temannya menganggur, makanya disini rasa
solidaritasnya timbul. Selain itu gotong royong dalam
agenda sering kita laksanakan.
6. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse memberdayakan
masyarakat Leang-Leang. Alasannya ?
J : Bisa, soalnya dari sini bisa menjadi kekuatan dasar
bagi masyarakat untuk kompak, empati terhadap yang
lain, produktif.
Transkip wawancara Dengan Tokoh Agama Leang-Leang
Nama : H. Muhammad Nur
Tanggal Penelitian : 02 Mei 2018, Pukul 18.00 WITA
Tempat : Mesjid
Status/Pekerjaan : Pemuka Agama Leang-Leang
1. T : Apa yang anda pahami tentang budaya Siri‘ na Pesse
sebagai masyarakat desa Leang-Leang ?
J : Budaya Siri‘ na Pesse diartikan harga diri dari
masyarakat, biasanya ada istilah lebih baik mati dari pada
rendah di hadapan orang.
2. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse termasuk budaya yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat desa Leang-Leang.
Jelaskan ?
J : Iya. Mungkin ini akan dipakai terus menerus oleh
masyarakat Sulawesi, karena ini warisan nenek moyang
kita.
3. T : Apakah ada perbedaan pada masyarakat Leang-Leang
antara budaya Siri‘ na Pesse yang dahulu dan yang
sekarang ?
J : Kalau dahulu mungkin sering ditemukan kejadian
saling bunuh lantaran Siri‘ na Pesse ini, mungkin kalau
sekarang karena agama sudah menyebar luas dan
pendidikan sudah tinggi sudah jarang ada kejadiaan
seperti itu.
4. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse berperan penting dalam
kemandirian masyarakat desa Leang-Leang. Jelaskan ?
J : Iya berperan, karena biasanya banyak orang yang
malu kalau tidak bermanfaat hidupnya. Makanya dengan
adanya rasa malu ini yang bikin orang mandiri.
5. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse dapat mempererat tali
persaudaraan bagi masyarakat desa Leang-Leang.
Contohnya ?
J : Bisa, karena saling memahami satu sama lain dengan
budaya ini. Masih sering ada gotong royong kalau ada
momentum seperti buka puasa bersama, acara maulid.
6. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse memberdayakan
masyarakat Leang-Leang. Alasannya ?
J : Iya karena di atas sebenarnya itu menjadi kekuatan
yang timbul dari tekanan Siri‘ na Pesse sehingga
masyarakat terberdayakan dengan dipegang teguhnya
budaya ini.
Transkip wawancara Dengan Masyarakat Leang-Leang
Nama : H. Baharuddin
Tanggal Penelitian : 01 Mei 2018, Pukul 17.30 WITA
Tempat : Rumah
Status/Pekerjaan : Petani
1. T : Apa yang anda pahami tentang budaya Siri‘ na Pesse
sebagai masyarakat desa Leang-Leang ?
J : Siri‘ na Pesse itu budaya yang bikin seseorang itu
malu ketika tidak sukses, malu ketika dipermalukan,
malu kalau tidak membantu satu sama lain. Bisa juga
Siri‘ ini harga diri masyarakat.
2. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse termasuk budaya yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat desa Leang-Leang.
Jelaskan ?
J : Iya pasti. Karena budaya ini sudah dari leluhur kita
dan dipakai samapai saat ini bukan hanya di Leang-
Leang hampir semua daerah di Sulawesi.
3. T : Apakah ada perbedaan pada masyarakat Leang-Leang
antara budaya Siri‘ na Pesse yang dahulu dan yang
sekarang ?
J : Pasti ada, walaupun makna tidak berubah. Tapi,
pengaplikasiaannya mungkin saat ini berubah. Lebih
kepada hubungan baik bagi sesama dan sekarang sudah
jarang yang namanya saling bunuh karena Siri‘ na Pesse.
4. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse berperan penting dalam
kemandirian masyarakat desa Leang-Leang. Jelaskan ?
J : Iya berperan, karena imi menekan seserorang untuk
bisa berbuat sesuatu sehingga seseorang itu bisa mandiri
dan produktif.
5. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse dapat mempererat tali
persaudaraan bagi masyarakat desa Leang-Leang.
Contohnya ?
J : Ya sangat bisa. Soalnya biasanya orang di sini
memang hatinya tergiring untuk membantu satu sama
lain, sehingga ada rasa Siri‘ atau malu jika tidak ikut
andil dalam membantu. Contohnya Palette Bola
(memindahkan rumah), menanam padi, membangun
rumah-rumahan untuk pernikahan.
6. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse memberdayakan
masyarakat Leang-Leang. Alasannya ?
J : iya karena budaya ini yang membuat masyarakat
Bugis-Makassar atau masyarakat Lenag-Leang bisa
menjadi berdiri di atas kaki sendiri, kompak satu sama
lain, masyarakat terkordinir dengan rapih melalui budaya
ini.
Transkip wawancara Dengan Masyarakat Leang-Leang
Nama : Sri Wahyuni
Tanggal Penelitian : 01 Mei 2018, Pukul 17.17 WITA
Tempat : Rumah
Status/Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
1. T : Apa yang anda pahami tentang budaya Siri‘ na Pesse
sebagai masyarakat desa Leang-Leang ?
J : Budaya malu yang sudah lama ada pada masyarakat
dan dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
2. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse termasuk budaya yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat desa Leang-Leang.
Jelaskan ?
J : Iya seperti jawaban saya sebelumnya
3. T : Apakah ada perbedaan pada masyarakat Leang-Leang
antara budaya Siri‘ na Pesse yang dahulu dan yang
sekarang ?
J : Iya, tentu sudah ada perbedaan kalau yang dulu betul-
betul di jaga, kalau melihat sekarang sudah banyak
pergeseran, bahkan sebagian masyarakat sudah tidak
mempraktikan budaya Siri‘ sendiri.
4. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse berperan penting dalam
kemandirian masyarakat desa Leang-Leang. Jelaskan ?
J : Iya, sangat berperan penting karena budaya Siri‘
sebagai kontrol dalam masyarakat Bugis-Masyarakat
apalagi di daerah Leang-Leang.
5. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse dapat mempererat tali
persaudaraan bagi masyarakat desa Leang-Leang.
Contohnya ?
J : Kalau menurut saya sangat mempererat karena budaya
Siri‘ sebagai bentuk dalam menjaga etika sehingga satu
sama lain menghormati. Seperti Mappatabe‘ (permisi
ketika lewat).
6. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse memberdayakan
masyarakat Leang-Leang. Alasannya ?
J : Iya, karena budaya Siri‘ menanamkan nilai
kepercayaan diri yang tinggi kepada masyarakat Leang-
Leang.
Transkip wawancara Dengan Pengelola Taman Purbakala
Leang-Leang
Nama : Asri
Tanggal Penelitian : 25 April 2018, Pukul 13.03 WITA
Tempat : Taman Purbakala Leang-Leang
Status/Pekerjaan : Juru Pemeliharaan Taman Purbakala
Leang-Leang
1. T : Apa yang anda pahami tentang budaya Siri‘ na Pesse
sebagai masyarakat desa Leang-Leang ?
J : Siri‘ na Pesse artinya malu dan pedih, biasanya kalau
merasakan yang namanya malu itu pasti hatinya
merasakan pedih. Mungkin itu artinya Siri‘ na Pesse.
2. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse termasuk budaya yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat desa Leang-Leang.
Jelaskan ?
J : Iya sampai sekarang orang masih pakai budaya Siri‘
na Pesse ini. Hubungan masyarakat masih terjalin dengan
baik di Leang-Leang ini kurang ada yang namanya
pertikaian.
3. T : Apakah ada perbedaan pada masyarakat Leang-Leang
antara budaya Siri‘ na Pesse yang dahulu dan yang
sekarang ?
J : Mungkin dulu masih banyak pertikaian atas nama Siri‘
na Pesse, sekarang saya pikir sudah sangant jarang
terjadi.
4. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse berperan penting dalam
kemandirian masyarakat desa Leang-Leang. Jelaskan ?
J : Iya saya pikir sangat berperan, karena orang-orang
terpaksa berjuang karena malu ketika rendah atau
pengangguran.
5. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse dapat mempererat tali
persaudaraan bagi masyarakat desa Leang-Leang.
Contohnya ?
J : Bisa, karena dengan budaya ini orang bisa saling
tolong menolong, menghormati, menjaga hubungan satu
sama lain. Contoh dari budaya ini seperti menanam padi,
persiapan pernikahan, memindahkan rumah dengan cara
diangkat.
6. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse memberdayakan
masyarakat Leang-Leang. Alasannya ?
J : Iya memberdayakan soalnya sebagian dari tingkah
laku masyarakat Bugis-Makassar dipengaruhi oleh
budaya ini sehingga orang sulawesi terkenal sebagai
seorang pekerja keras. Begitupun di Leang-Leang ini
sendiri.
Transkip wawancara Dengan Pemuda Leang-Leang
Nama : Baso Raja
Tanggal Penelitian : 24 April 2018, Pukul 11.17 WITA
Tempat : Balai tempat kumpul pemuda
Status/Pekerjaan : SMA
1. T : Apa yang anda pahami tentang budaya Siri‘ na Pesse
sebagai masyarakat desa Leang-Leang ?
J : Siri‘ na Pesse seperti harga diri atau malu.
2. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse termasuk budaya yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat desa Leang-Leang.
Jelaskan ?
J : Termasuk, karena orang lebih bermartabat kalau
punya rasa Siri‘ na Pesse.
3. T : Apakah ada perbedaan pada masyarakat Leang-Leang
antara budaya Siri‘ na Pesse yang dahulu dan yang
sekarang ?
J : Mungkin jaman dahulu lebih kental budayanya dari
pada jaman sekarang. Sekarang sudah ada teknologi jadi
banyak lebih ke teknologi dari pada budaya.
4. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse berperan penting dalam
kemandirian masyarakat desa Leang-Leang. Jelaskan ?
J : Bisa jadi, karena biasanya orang malu kalau tidak ada
kerjanya.
5. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse dapat mempererat tali
persaudaraan bagi masyarakat desa Leang-Leang.
Contohnya ?
J : Bisa, soalnya anak muda disini solidaritasnya tinggi
saling tolong menolong sering adakan acara bersama.
6. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse memberdayakan
masyarakat Leang-Leang. Alasannya ?
J : iya memberdayakan, karena orang kalau kompak atau
solid sebih mudah menghasilkan sesuatu. Biasanya anak
muda di sini maju sama-sama jatuh sama-sama.
Transkip wawancara Dengan Masyarakat Leang-Leang
Nama : Hasmiati
Tanggal Penelitian : 03 Mei 2018, Pukul 16.18 WITA
Tempat : Rumah
Status/Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
1. T : Apa yang anda pahami tentang budaya Siri‘ na Pesse
sebagai masyarakat desa Leang-Leang ?
J : Budaya Siri‘ na Pesse itu artinya budaya malu, malu
kalau tidak berhasil atau malu kalau berbuat kesalahan.
Biasa juga dipermalukan oleh salah satu anggota
keluarga.
2. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse termasuk budaya yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat desa Leang-Leang.
Jelaskan ?
J : Iya, karena itu budaya nenek moyang kita.
3. T : Apakah ada perbedaan pada masyarakat Leang-Leang
antara budaya Siri‘ na Pesse yang dahulu dan yang
sekarang ?
J : Dulu masih sering kita ketemu dengan istilah nikah
lari atau Silariang, orang yang tidak di restui oleh orang
tuanya makanya dia nikah lari. Sekarang sudah jarang
yang seperti itu. Sekarang lebih sering Siri kalau
pengangguran atau tidak ada kerjaan.
4. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse berperan penting dalam
kemandirian masyarakat desa Leang-Leang. Jelaskan ?
J : Penting, karena ini harga diri kita. Sangat malu
rasanya kalau bergantung terus dengan orang tua,
makanya budaya ini membawa kita lebih mandiri.
5. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse dapat mempererat tali
persaudaraan bagi masyarakat desa Leang-Leang.
Contohnya ?
J : Iya, orang biasanya disini malu kalau ada tetangga
yang hajatan terus kita tidak ikut membantu. Makanya
Siri‘ na Pesse ini bikin kita erat antara satu dengan yang
lain, contohnya acara maulid, pernikahan, menanam padi.
6. T : Apakah budaya Siri‘ na Pesse memberdayakan
masyarakat Leang-Leang. Alasannya ?
J : iya, karena dari Siri‘ na Pesse masyarakat punya
kekuatan untuk mandiri atau solidaritas yang tinggi
sesama masyarakat.
DOKUMENTASI PENELITIAN DESA LEANG-LEANG