Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
v
ABSTRAK
Rifda Afifah. NIM 1115048000157. HARMONISASI PRINSIP HUKUM
TANGGUNG JAWAB SOSIAL-LINGKUNGAN PERUSAHAAN
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Skripsi Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019 M/ 1441 H, 105 Halaman + IX Halaman
Skripsi ini merupakaan penelitian yang diupayakan untuk menemukan
bagaimana kongkritisasi dari prinsip hukum yang berlaku terhadap ketentuan
mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan pertambangan
mineral dan batubara dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia serta akibat hukum bagi setiap korporasi yang tidak menjalankan
ketentuan tersebut. secara khusus, skripsi ini berusaha untuk membahas muatan
aturan hingga harmonisasi regulasi yang mengatur perihal tanggung jawab sosial
dan lingkungan perusahaan tambang mineral dan batubara yang diketahui dalam
praktek eksplorasinya memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kondisi
lingkungan dan sosial sekitar perusahaan.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berupa jenis penelitian
hukum normatif (normatif Legal Research) dilakukan dengan pengkajian sistem
perundang-undangan yang berlaku (statue aproach). Dalam pendekatan ini
peneliti berusaha menganalisa beberapa peraturan perundang-undanganan yang
terkait dengan prinsip hukum yang berlaku terhadap konsep tanggung jawab
lingkungan dan sosial perusahaan tambang Mineral dan Batubara di Indonesia.
Pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
kepustakaan (Library Research) serta inventarisasi peraturan perundang-
undangan, kemudian diklasifikasikan untuk selanjutnya dianalisis secara
mendalam serta dilakukan cross-check dengan peraturan perundang-undangan
yang lain untuk menemukan taraf harmonisasinya
Hasil penelitian ini menunjukan, berdasarkan harmonisasi peraturan perundang-
undangan ditemukan bahwa prinsip hukum tanggung jawab sosial dan lingkungan
ini bersifat wajib. Namun bagi setiap korporasi yang tidak menjalankan
kewajibannya tersebut hanya dikenakan sanksi adminstratif tidak dilengkapi
dengan instrumen penegakan hukum yang lain baik secara pidana maupun
perdata. Sanksi adminstratif tersebut berupa: Peringatan tertulis, Penghentian
sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha, dan/ atau Pencabutan izin.
Kata Kunci : Tanggung Jawab Sosial Lingkungan, Harmonisasi, Kepastian
Hukum
Pembimbing Skripsi : Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si.
Daftar Pustaka : Tahun 1989 sampai Tahun 2019.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa
Ta‟ala yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada peneliti dalam
proses penyusunan skripsi yang berjudul “HARMONISASI PRINSIP HUKUM
TANGGUNG JAWAB SOSIAL-LINGKUNGAN PERUSAHAAN
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA”, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
Nabi Muhammad Shollallahu „alaihi Wassallam, semoga kita semua
mendapatkan syafa’atnya di akhirat kelak. Amin.
Pencapaian ini tidak akan terwujud tanpa pertolongan Allah Subhanahu
wa Ta‟ala, berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya
kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat
saya mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si, Pembimbing Skripsi dan Prof. Dr. Andi
Salman Maggalatung, S.H. M.H, Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran dalam membimbing peneliti
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
vii
5. Kepala dan Staff Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan
peneliti untuk mencari dan meminjam buku-buku referensi dan sumber-
sumber data lainnya yang diperlukan.
6. Kepala dan Staff Pusat Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan meminjam buku-buku
referensi dan sumber-sumber data lainnya yang diperlukan.
7. Kepada Orang Tua Penulis, H. Imam Mursyid dan Nurhidayati Mahmudah
yang telah membimbing dan mensuport dengan penuh kasih sayang dan
kesabaran, serta dengan tulus mendidik, membesarkan, dan menyekolahkan
peneliti hingga peneliti sukses menyelesaikan jenjang perkuliahan Sarjana
(S1) Ilmu Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Terimakasih juga kepada Adik peneliti: Muhammad Ad’ha Alfarobi dan
Hanifa Dina Kamila yang senantiasa mensuport dan mendoakan.
8. Kepada Om Tubagus Wahyudi dan Mbak Dwi Andiyani yang telah menjadi
orang tua kedua peneliti, terimakasih atas segala ilmu, kebaikan, suport dan
doa yang diberikan kepada peneliti serta Kahfi BBC Motivator School yang
telah menjadi wadah peneliti untuk belajar dan berproses dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan.
9. Kepada teman-teman Darunnajah Angkatan 38, yang senantiasa mensuport
dan mendoakan peneliti sejak 2009- hingga saat ini: Qori, Bintun, Novi, Nisa,
Farda, Ula, Uswah, Upe, Gita, Pipeh,Virbot serta teman seperjuangan 38
yang lain yang selalu setia menemani hari-hari peneliti.
10. Kepada teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum Angkatan 2015, terimakasih
atas kebersamaan, doa, suport, dan kenangan manisnya selama masa
perkuliahan, Semoga silaturahmi di antara kita senantiasa terjalin harmonis.
11. Kepada Organisasi-organisasi yang telah membantu peneliti berproses
mencari jatidiri selama masa-masa perkuliahan: HMPS Ilmu Hukum, HMI
Komfaksy, Kohati Komfaksy, Corps WikiDPR, dan KKN 129 Mercusuar.
viii
12. Pihak-pihak lainnya yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian skripsi ini.
Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang
setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi
ini dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 05 November 2019
Rifda Afifah
ix
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................... 6
C. Tujuan dan Manfaat penelitian.................................................... 9
D. Tinjauan (Review) Kajian terdahulu ........................................... 10
E. Metode Penelitian........................................................................ 12
F. Sistematika Penelitian ................................................................. 16
BAB II TANGGUNG JAWAB SOSIAL-LINGKUNGAN
PERUSAHAAN TAMBANG MINERAL DAN BATUBARA
DI INDONESIA ................................................................................ 18
A. Kerangka Konsep ........................................................................ 18
1. Kedaulatan dan Penguasaan Negara atas Mineral dan
Batubara .............................................................................. 18
2. Sumber Daya Alam ............................................................. 20
3. Harmonisasi ........................................................................ 22
4. Tanggung jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibility) .................................................................... 23
5. Hukum Perusahaan ............................................................. 29
B. Kerangka Teori ........................................................................... 32
1. Good Corporate Governance (GCG) .................................. 32
2. Teori Kepastian Hukum ...................................................... 34
3. Teori Hukum Progresif ....................................................... 36
x
BAB III HIERARKI REGULASI KONSEP TANGGUNG JAWAB
SOSIAL -LINGKUNGAN PERUSAHAAN TAMBANG
MINERAL DAN BATUBARA DI INDONESIA .......................... 38
A. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam UUD NRI
1945 ............................................................................................. 38
B. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan
Perusahaan Tambang Mineral dan Batu Bara dalam Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia
1. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan
Perusahaan Tambang Mineral dan Batu Bara dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal
2. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan
Perusahaan Tambang Mineral dan Batubara dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas (UUPT) ................................................. 40
3. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan
Perusahaan Tambang Mineral dan Batubara dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara ................................. 42
4. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan
Perusahaan Tambang Mineral dan Batubara dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup .............. 44
C. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan
Perusahaan Tambang Mineral dan Batu Bara dalam Peraturan
Pemerintah................................................................................... 47
1. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan
Perusahaan Tambang Mineral dan Batubara dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 ........... 47
xi
2. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan
Perusahaan Tambang Mineral dan Batubara dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang
Reklamasi Pasca Tambang .................................................. 50
3. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan
Perusahaan Tambang Mineral dan Batubara dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan ............................ 51
4. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan
Perusahaan Tambang Mineral dan Batubara dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2018 Tentang
Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang baik ..................... 53
D. Potrait Kasus Permasalahan Lingkungan dan Sosial Akibat
Eksplorasi Tambang Mineral dan Batubara di Indonesia ........... 55
BAB IV HARMONISASI PRINSIP HUKUM TANGGUNG JAWAB
SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI
INDONESIA ..................................................................................... 58
A. Tanggung Jawab Sosial-Lingkungan Perusahaan
Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia ............................................. 58
B. Akibat Hukum bagi Perusahaan Pertambangan Mineral dan
Batubara yang tidak melaksanakan ketentuan Prinsip Hukum
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia ............... 84
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 91
A. Kesimpulan ................................................................................. 91
B. Rekomendasi .............................................................................. 93
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 94
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 mengenai kekayaan alam
yang berada di Indonesia bahwasanya: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”. P.L Coutrier memberikan pengertian tentang
arti penting Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945. Ada dua bagian penting yang
menarik dari bunyi pasal tersebut yaitu mengenai kekayaan yang terkandung di
dalam bumi dan di dalam air dikuasai oleh negara dan dengan demikian
mengandung arti, bahwa kepemilikan sumber kekayaan alam (SKA) tersebut
bukanlah milik pribadi dan bukan juga milik daerah dimana SKA tersebut
ditemukan tetapi, “milik rakyat negara Indonesia yang lainnya”. Secara implisit
ini juga mengandung arti bahwa pemanfaatanya dilakukan oleh negara. Karena
itu, ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya; dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat mengandung pengertian
mendorong SKA tersebut perlu diproduksi agar pendapatanya dapat
dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.1 Kekayaan alam milik rakyat
Indonesia yang dikuasakan kepada negara diamanatkan untuk dikelola dengan
baik dalam mencapai tujuan negara Indonesia. Pun pemerintah sebagai
representatif dari negara diberikan hak untuk mengelola (hak pengelolaan)
kekayaan sumber daya alam agar dapat dinikmati oleh rakyat banyak secara
berkeadilan dan merata. Lebih lanjut kemakmuran rakyat merupakan semangat
dan cita-cita akhir negara kebangsaan (welfare state) yang harus diwujudkan
oleh negara melalui pemerintah Indonesia. Pengelolaan sumber daya alam
merupakan instrumen untuk mencapainya.2
1 P.L Coutrier, “Hak Penguasaan Negara atas Bahan Galian Pertambangan dalam
2 Adrian Sutedi, “Hukum Pertambangan Cet- 1”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 24-25
2
Dalam pemanfaatan sumber daya mineral, turunan pasal 33 UUD NRI
1945 melahirkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, di dalamnya disebutkan bahwa:
“Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekayaan alam
yang tak terbarukan sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa yang
mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang
banyak”.3
Mengenai pengalihan hak penguasaan, negara tidak dapat mengalihkan
melebihi apa yang dikuasai. Sifat pengalihan hak penguasaan adalah hak
penyelenggaraan dalam bentuk pengusahaan pertambangan kepada pemegang
Kuasa Pertambangan. Kuasa pertambangan bukanlah memiliki bahan tambang
melainkan, izin untuk melakukan usaha pertambangan.4
Pada awalnya usaha pertambangan dilakukan semata-mata untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana yang termaktub
dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945, akan tetapi yang terjadi justru
sebaliknya dari sekian banyak perusahaan yang bergerak di bidang usaha
pertambangan kebanyakan dari mereka meraup keuntungan pribadinya sendiri.
Tanpa memperdulikan dan memikirkan kondisi lingkungan sekitar yang jauh
dari ambang kesejahteraan ekonomi dan kemajuan pendidikan bahkan banyak
dari lingkungan sekitar daerah industri pertambangan yang sudah menjadi
tanah yang tandus dan kering serta indikasi lainnya banyak diantaranya juga
lubang bekas tambang yang tak kunjung direklamasi, kerusakan kawasan
hutan, ketentuan membayar jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang
yang tidak dipenuhi juga terkesan dibiarkan begitu saja.
Maraknya pembukaan lahan pertambangan nampaknya tidak diimbangi
dengan kesadaran akan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan.
Lemahnya kesadaran mengenai aspek lingkungan acapkali menjadi ciri khas
dalam kegiatan pertambangan di negeri ini, khususnya di sektor penambangan
minerba (mineral dan batubara). Bagaimana tidak, kita sering disuguhkan fakta
3 W. Friedman, “Legal Theory”,(London: stevens & sons limited, 1960) , h.268
4 Adrian Sutedi, “Hukum Pertambangan Cet- 1”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 25
3
mengenai ratusan ribu hektar bekas wilayah KP (kuasa pertambangan) di
penjuru nusantara terbengkalai (rusak) pasca produksi oleh perusahaan
tambang yang beroperasi. Dampaknya, jelas mengancam kelestarian
lingkungan. Penurunan produktivitas lahan, tanah bertambah padat, terjadinya
erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya
flora dan fauna, terganggunya kesehatan masyarakat, serta perubahan iklim
mikro merupakan serangkaian kerugian yang akan diderita tidak hanya oleh
lingkungan dan masyarakat sekitar, namun bangsa Indonesia secara umum.5
Secara umum, masalah utama yang seringkali muncul selama operasi dan
pasca kegiatan pertambangan adalah masalah perubahan Lingkungan, dan
masalah perubahan bentang alam. Perubahan besar yang terlihat kasat mata
adalah perubahan morfologi dan topografi lahan, serta penurunan produktivitas
tanah. Secara lebih rinci, terdapat pula perubahan atau gangguan yang terjadi
pada flora dan fauna yang ada di lahan bekas tambang tersebut. Jaringan
Advokasi Tambang (JATAM) memperkirakan, sekitar 70 persen kerusakan
lingkungan Indonesia karena operasi pertambangan. Sekitar 3,97 juta hektare
kawasan lindung terancam kerusakan akibat kegiatan pertambangan, termasuk
keragaman hayati di sana. Tak hanya itu, daerah aliran sungai (DAS) rusak
parah meningkat dalam 10 tahun terakhir. Sekitar 4.000 DAS di Indonesia, 108
rusak parah.6 Isu sosial dan lingkungan kini menjadi isu yang menarik dan
marak diperbincangkan dalam kalangan pembisnis serta pemerhati hukum
lingkungan dan akademisi intelektual mengingat dampak yang sangat
signifikan dari akibat operasi kegiatan pertambangan mineral dan batubara di
Indonesia terhadap kerusakan lingkungan dan konflik sosial masyarakat. Untuk
mengatasi keresahan terhadap kerusakan lingkungan serta konflik sosial
masyarakat di daerah sekitar perusahaan dalam operasi kegiatan pertambangan,
5 Charisma Rahma Dinasih ,“inilah wajah pertambangan Indonesia”,
http://www.hijauku.com/2014/08/26/inilah-wajah-pertambangan-indonesia/, diakses pada tanggal
28 Mei 2019, pukul 23:30
6Charisma Rahma Dinasih ,“inilah wajah pertambangan Indonesia”,
http://www.hijauku.com/2014/08/26/inilah-wajah-pertambangan-indonesia/, diakses pada tanggal
28 Mei 2019, pukul 23:30
4
diantaranya diterapkan ketentuan mengenai tanggung jawab sosial dan
lingkungan oleh setiap korporasi yang bergerak dalam pemanfaatan sumber
daya alam. Tanggung Jawab Sosial Lingkungan sendiri atau yang lebih akrab
dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan
Upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan berdasarkan pada keseimbangan ekonomi, sosial,
dan lingkungan dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan
dampak posiitif tiap pilar.7 Dengan adanya konsep ini tentu akan sangat
membantu dalam proses pembangunan ekonomi yang merata untuk mencapai
kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya.
Ketentuan tanggung jawab sosial lingkungan yang berkaitan dengan
kegiatan operasi pertambangan mineral dan batubara terdapat dalam 4 undang-
undang, yakni: Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal Asing, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, serta Undang-Undang Nmor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta peraturan di
bawahnya.
Di dalam Pasal 74 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perusahaan tertulis bahwasanya: “perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam
wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Berdasarkan
pasal ini tentu memiliki makna yang kongkrit mengenai kewajiban perusahaan
yang bergerak di bidang yang berkaitan dengan pengeksplorasian sumber daya
alam, tidak terkecuali dengan pengeksplorasian usaha pertambangan. Namun
terkait dengan status, tata cara, bentuk-bentuk kewajiban mengenai tanggung
jawab tersebut diatur lewat peraturan pemerintah terkait. Secara eksplisit,
konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan di Indonesia memang diatur di
dalam UUPT, dan juga disebutkan di dalam Pasal 15 b Undang-Undang Nomor
7 Dedi Kurnia Syah Putra, Komunikasi CSR Politik, (Jakarta:Prenadamedia Grup, 2015), h.8
5
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Asing yang berbunyi bahwa, setiap
penanam modal berkewajiban untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan
yang baik serta menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan. Kemudian di
dalam undang-undang Minerba, di dalam Pasal 95 ditentukan bahwa setiap
pemegang izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus
bahwa wajib Melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
setempat. Perusahaan mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi,
terutama dalam peningkatan investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
dan penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan
ekonomi harus didukung oleh komitmen perusahaan maupun pemerintah.
Konsep ini pada hakikatnya memberikan implikasi positif bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan pembangunan
pemerintah, memperkuat investasi perusahaan, serta memperkuat jaringan
kemitraan antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan.8 Peraturan
perundang-undangan tersebut terdapat berbagai perbedaan istilah dan konsep
tanggung jawab sosial perusahaan. Perbedaan ini menimbulkan simpang-siur
dan dapat menjadi celah bagi perusahaan untuk tidak melakukan tanggung
jawab sosial perusahaan. Ketidaksinkronan istilah, konsep, ruang lingkup,
prosedur, sistem, persyaratan serta pelaksanaan di dalam peraturan perundang-
undangan tersebut menjadi menarik untuk dibedah lebih kongkrit. Pasalnya
bila hal ini memang dikenakan kewajiban, mengapa dalam peraturan
perundang-undangan terkait terdapat perbedaan istilah serta konsep sebagai
payung hukum pelaksanannya. Kemudian berkaitan dengan efektifitas
pelaksanaan, tentu konsep ini akan dapat berjalan dengan baik bila sudah
tersistemasi secara kongkrit dalam aturan regulasi serta disertai sanksi yang
mengikat pihak tersebut sehingga adanya kepastian hukum yang mengikat.
Pada kenyataanya, hal tersebut belum tercipta sebab peraturan perundang-
undangan yang ada belum mengatur pelaksanaan tanggung jawab sosial dan
lingkungan suatu perusahaan pertambangan mineral dan batubara secara
8 Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility, (Malang: In-Trans
Publishing, 2008), h. 15
6
lengkap dan tersistematis sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir Manan,
bahwasannya suatu peraturan perundang-undang tertulis harus memenuhi.
Dapat diartikan betapa pentingnya komponen lingkungan hidup untuk
menunjang dan memenuhi hak hidup manusia. Untuk itupun pengelolaan serta
perlindungan lingkungan hidup dalam operasi kegiatan pertambangan mineral
dan batubara harus tercipta dengan baik demi kepentingan hak rakyat Indonesia
terlebih dalam hal ini pentingnya pengelolaan lingkungan eksplorasi tambang
terhadap lingkungan dan sosial yang notabenya jelas bila tidak dikelola degan
baik maka akan dapat menimbulkan banyak kerugian baik kerugian secara
meteril maupun kerugian secara immaterial yang dampaknya sendiri dapat
dirasakan oleh rakyat yang hidup di sekitar industri tambang maupun dampak
yang besar baik secara ekonomi, materil maupun imateril di dalam lingkungan
perekonomian nasional.
Pun atas dasar pemaparan tersebut telah jelas mengenai urgensitas
tanggung jawab sosial dan lingkungan suatu perushaan tambang secara
filosofis berdasarkan aturan yang berlaku, memiliki tanggung jawab dalam
ranah pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, namun hal ini perlu
diindahkan melalui harmonisasi regulasi terkait dengan judul penelitian ini.
Supaya Pembahasan atas berbagai kompleksitas yang telah peneliti paparkan
sebelumnya, akan peneliti kaji dan tuangkan dalam skripsi yang berjudul:
“HARMONISASI PRINSIP HUKUM TANGGUNG JAWAB SOSIAL-
LINGKUNGAN PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN
BATUBARA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun masalah yang berhasil diidentifikasi oleh penulis adalah
sebagai berikut:
7
a. Maraknya pembukaan lahan pertambangan nampaknya tidak
dibarengi dengan kesadaran akan dampak yang ditimbulkan terhadap
lingkungan.
b. Lemahnya kesadaran mengenai aspek lingkungan acapkali menjadi
ciri khas dalam kegiatan pertambangan di negeri ini, khususnya di
sektor penambangan minerba.
c. Masalah utama yang seringkali muncul pasca kegiatgan pertambangan
adalah masalah perubahan Lingkungan, masalah perubahan bentang
alam serta masalah sosial berupa konflik yang acapkali terjadi di
lingkungan masyarakat sekitar perusahaan tambang.
d. Terdapat klausula dalam setiap undang-undang yang berbeda
mengenai prinsip hukum tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan tambang di Indonesia.
e. Ketidaksinkronan istilah, konsep, ruang lingkup, prosedur, sistem,
persyaratan serta pelaksanaan di dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai tanggung jawab sosial lingkungan
perusahaan tambang mineral dan batubara.
f. Banyak perusahaan ataupun para pihak pemangku kepentingan dari
Kuasa Tambang yang tidak mengindahkan Regulasi hukum terkait
dengan perlindungan hukum Lingkungan dalam operasi industri
tambang.
g. Kerusakan lingkungan kian meradang dikarenakan berbagai
pengerukan dilakukan tanpa memedulikan aspek lingkungan maupun
lahan. Hampir seluruh proses penambangan terbuka melalui beberapa
tahapan pengeboran, peledakan, pemilahan, pengangkutan, dan
penggerusan batuan bijih.
h. Adanya kewajiban untuk melakukan tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan yang memberdayakan sumber daya alam di
dalam undang-undang perseroan terbatas yang tidak dibarengi dengan
aturan yang sifatnya represif berupa pemberian sanksi.
8
i. Tidak ada sanksi yang tegas bagi pihak korporasi tambang mineral
dan batubara yang tidak memenuhi tanggung jawab sosial lingkungan.
instrumen penegakan hukum yang tidak dilengkapi dengan sanksi
pidana dan perdata.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang serta identifikasi permasalahan yang telah
peneliti paparkan sebelumnya, maka nampak begitu jelas kompleksitas
permasalahan terkait dengan prinsip hukum pelaksanaan tanggung jawab
sosial dan lingkungan suatu perusahaan tambang mineral dan batubara.
Untuk itu peneliti mempertajam aspek permasalahan dalam penelitian ini
supaya tidak terjadi simpang-siur dalam penulisan skripsi. Pembatasan
masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah terkait dengan
analisis harmonisasi regulasi serta prinsip hukum tanggung jawab sosial
dan lingkungan perusahaan tambang Indonesia dalam pendekatan
peraturan perundang-undangan. sehingga dapat diketahui prinsip hukum
yang berlaku dari proses pengharmonisasian undang-undang tersebut.
supaya kelak didapatkan solusi dari permasalahan tersebut.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan
masalah yang telah dikaji dan dipaparkan sebelumnya, terkait dengan
harmonisasi regulasi tanggung jawab sosial dan lingkungan di Indonesia
yang notaben permasalahanya telah ditentukan bersifat wajib namun hal
ini masih diniscayakan berkaitan dengan ketidaksinkronan konsep, istilah,
dan aturan yang berlaku dalam undang-undang yang bersangkutan serta
tidak adanya peraturan pemerintah yang mengatur masalah ini secara
spesifik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa suatu
peraturan tertulis harus mewadahi kepastian hukum sehingga pada
prakteknya akan memberikan kepastian hukum. Terdapat sejumlah kasus
berkaitan dengan akibat operasi pertambangan yang menimbulkan konflik
sosial dan lingkungan seperti di Halmahera, Kalimantan, dan Nusa
9
Tenggara dan menimbulkan banyak keresahan dalam lingkungan
masyarakat. Mempertegas arah pembahasan dari permasalahan utama
yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah skripsi ini
adalah harmonisasi regulasi dan Prinsip Hukum tanggung jawab sosial
lingkungan Perusahaan Tambang Mineral dan Batubara dan akibat
hukumnya. Untuk mempermudah peneliti maka perumusan masalah di
atas dapat dibuat dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah harmonisasi regulasi dan Prinsip Hukum tanggung
jawab sosial lingkungan Perusahaan Tambang Mineral dan Batubara
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia?
b. Apa akibat hukum bagi setiap koorporasi tambang di Indonesia yang
tidak melaksankan ketentuan tanggung jawab terhadap sosial dan
lingkungan?
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan diadakanya penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui harmonisasi regulasi tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan tambang mineral dan batubara di Indonesia
b. Untuk mengetahui akibat hukum bagi setiap perusahaan yang tidak
mengindahkan kewajibanya dalam tanggung jawab sosial dan
lingkungan
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang hendak dicapai, maka peneliti dalam penelitian
ini berharap besar agar hasil penelitian ini yang dituangkan dalam bentuk
skripsi akan dapat memberikan manfaat yang nyata bagi khalayak umum
terkhusus di bidang perlindungan hukum Lingkungan akibat dari kegiatan
eksploitasi dan industri pertambangan di Indonesia serta konsep tanggung
jawab sosial dan lingkungan yang berlaku bagi perusahaan tersebut.
10
Adapun manfaat penelitian yang ingin dihadirkan oleh penulis adalah
sebagai berikut:
a. Secara Teoritis
1) Dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum terkhusus di
bidang praktek hukum dalam industri pertambangan di Indonesia
2) Diharapkan dapat memberikan serta menambah refrensi terkait
dengan perlindungan hukum lingkungan akibat kegiatan usaha
pertambangan
3) Dapat menerapkan ilmu-ilmu yang selama ini dipelajari dalam
masa perkuliahan baik dalam penerapan analisis hukum maupun
penerapanya secara langsung di lapangan
b. Secara praktek
1) Menjadi salah satu sarana dalam pengembangan serta penalaran
pola pikir ilmiah dalam penerapan ilmu hukum yang selama ini
telah didapatkan dalam dunia perkuliahan.
2) Diharapkan hasil penelitian ini akan dapat menjadi informasi serta
sumber ilmu pengetahuan terkait dengan perlindungan hukum
lingkungn akibat dari kegiatan usaha pertambangan.
D. Tinjauan (Review) Kajian terdahulu
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti, penelitian
tentang perlindungan hukum lingkungan akibat industri pertambangan serta
tanggung jawab sosial lingkungan sudah pernah dilakukan oleh beberapa
kalangan akademisi intelektual. Namun, penelitian-penelitian tersebut memiliki
sejumlah fokus yang berbeda dengan fokus penelitian skripsi ini. Adapun
kajian (review) studi terdahulu yang terkait dengan pembahasan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1. Skripsi ditulis oleh Wahyu Purnamasari dari Jurusan Ilmu Hukum,
Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2016. dalam skripsinya yang berjudul: “Regulasi
dan Implementasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PT Mutiara
11
Agam dan PT. Tirta Investama”. Fokus pada pembahasan skripsi ini
adalah terkait implementasi CSR pada dua objek perusahaan tersebut. lain
halnya dengan pembahasan penelitian ini terkait dengan harmonisasi
hukum tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan tambang
mineral dan batubara di Indonesia.
2. Skripsi yang ditulis oleh Tedi Sudarna dari Jurusan Perbandingan Mazhab
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
Tahun 2015, dengan skripsinya yang berjudul: “Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi pada Kasus PT. Lapindo Brantas menurut perspektif
Hukum Islam”. Fokus pada pembahasan skripsi ini adalah terkait dengan
praktek Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Kasus PT. Lapindo
Brantas menurut perspektif Hukum Islam sedangkan pokok penelitian
yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengeni persoalan harmonisasi
regulasi tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan tambang di
Indonesia serta akibat hukum bagi setiap perusahaan yang tidak
mengindahkan kewajiban tersebut. Persamaan dalam pembahasan
penelitian ini adalah terletak pada penjabaran umum akibat hukum dari
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan tambang di Indonesia.
3. Jurnal yang ditulis oleh Indah Dwi Qurbani dan Milda Istiqomah dari
Program studi Ilmu Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya,
Malang, Tahun 2018, dengan Jurnal yang berjudul: “Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perusahaan Tambang: Paradigma Baru
Pengelolaan CSR di Indonesia”. Fokus pada skripsi ini adalah terkait
paradigma atau konsep dasar pemikiran mengenai mengenai pengelolaan
CSR di Indonesia sedangkan fokus penelitian dalam skripsi ini adalah
mengenai harmonisasi regulasi tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan tambang di Indonesia. Persamaan pembahasan dalam
penelitian ini adalah terletak pada sejarah regulasi tanggung jawab sosial
dan lingkungan perusahaan tambang di Indonesia sehingga persamaan
penelitian tersebut dapat menjadi salah satu kajian peneliti dalam
pembahasan skripsi ini.
12
4. Jurnal yang ditulis oleh Leli Sari dan Bismar Nasution Fakultas Hukum,
Universitas Sumatera Utara, Medan, 2017, dalam Jurnal yang berjudul:
“Corporate Social Responsibility Perusahaan Pertambangan Terhadap
Masyarakat dan Lingkungan untuk Pembangunan Berkelanjutan”. Fokus
pada skripsi ini terkait dengan urgensitas CSR Perusahaan Tambang untuk
Pembangunan berkelanjutan. Persamaan pembahasan dalam skripsi ini
adalah terkait dengan konsep CSR Perusahaan Tambang di Indonesia.
Namun soal perbedaan, dalam jurnal ini membahas fungsi CSR
perusahaan tambang untuk pembangunan berkelanjutan, sedangkan fokus
skripsi peneliti membahas terkait prinsip hukum yang berlaku bagi konsep
CSR perusahaan tambang mineral dan batubara di Indonesia.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi.9 Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif berupa jenis penelitian hukum normatif (normatif Legal
Research). Penelitian yang dilakukan dengan pengkajian sistem
perundang-undangan yang berlaku.10
dimana dalam penelitian ini
pengolahan data pada pokoknya merupakan kegiatan untuk mengadakan
sistemasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang mengacu kepada
norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang
ada.11
Penelitian ini pun menekankan kepada penelitian merupakan suatu
kegiatan ilmiah yaitu usaha untuk menganalisa serta mengadakan
konstruksi secara metodelogis, sistematis, konsisten.12
Metode penelitian
9 Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenata Media, 2005), h. 35
10Soerjono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Rineka Cipta, 2003), h.
56
11 Sri Mamudji et. Al., “Metode Penelitian dan Penulisan Hukum”, (Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Indonesia, 2005), h. 68
12 Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, (Jakarta: UI-Press, 1986), h.3
13
merupakan persyaratan penting untuk menjawab permasalahan yang
timbul dari latar belakang masalah yang berfungsi untuk mengarahkan
penelitian.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam skripsi ini peneliti menggunakan dua pendekatan sebagai
berikut:
a. Pendekatan Perundang-undangan (statue aproach).
Pendekatan ini dirasa penting sebab peneliti berusaha
menganalisa beberapa peraturan perundang-undanganan yang terkait
dengan prinsip hukum yang berlaku untuk konsep tanggung jawab
lingkungan dan sosial perusahaan tambang di Indonesia. Dalam hal ini
peneliti berusaha melakukan pendekatan terhadap Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Minerba dan harmonisasinya dengan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
pengelolaan Lingkungan Hidup berkaitan dengan konsep Tanggung
Jawab sosial dan lingkungan terkhusus dalam operasi perusahaan
tambang di Indonesia mengingat maraknya kelalaian perusahaan
tambang di Indonesia terhadap kondisi lingkungan dan sosial sekitar
daerah tambang. Dalam pembahasan skirpsi ini dilakukan harmonisasi
yang selaras dengan UUD NRI 1945 dan Pancasila sebagai landasan
filosofis dalam mencapai tujuan dan cita-cita Negara Indonesia.
b. Metode Perbandingan (Comparative Aproach)
Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan dengan
membandingkan berbagai peraturan perundang-undangan mengenai
tanggung jawab sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan operasi
perusahaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
c. Pendekatan Konseptual
Pendekatan dalam penelitian ini sesuai dengan metode
penelitian Normatif yang pada prinsipnya menjunjung tinggi norma
hukum sebagai dasar penelitian didukung dengan pendekatan
kepustakaan dari berbagai literatur yang terkait dalam pembahasan
14
skripsi ini. konsep yang dibangun dalam penelitian ini berupa
pembedahan konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan
3. Metode Pengumpulan Data Penelitian
Pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah
penelitian kepustakaan (Library Research) dan dokumen-dokumen yang
terkait dengan pembahasan skripsi ini. Objek penelitian dalam skripsi ini
terfokus pada literatur (kepustakaan) berupa buku-buku, peraturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen, baik dokumen cetak maupun
elektronik. Serta berbagai hasil penelitian terdahulu yang membahas
mengenai kajian harmonisasi prinsip hukum tanggung jawab Lingkungan
oleh perusahaan tambang mineral dan batubara.
4. Sumber Penelitian
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam suatu penelitian dapat
berwujud data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan dan/ atau
inventarisasi undang-undang yang berlaku selaras dengan pembahasan
skripsi ini. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat merupakan data
primer, sedangkan data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan dan
dokumentasi disebut data sekunder.13
Jenis penelitian ini menggunakan
data sekunder, bahan dan sumber penelitian dibagi menjadi tiga jenis,
yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Pada penulisan ini terdapat Bahan hukum yang sifatnya autoratif
yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer tersebut
meliputi peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau
berbagai risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan,
atau putusan-putusan hukum.14
Bahan Hukum tersebut antara lain
adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Minerba dan
harmonisasinya dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
13
Ronny Hanitjo Soemitro, “Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri”, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), h.10
14 Petter Muhammad Marzuki, “Penulisan Hukum”, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 141
15
Tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup serta
peraturan lainnya yang berkaitan dengan konsep Tanggung Jawab
sosial dan lingkungan terkhusus dalam operasi perusahaan tambang di
Indonesia.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang Peneliti gunakan dalam penelitian
ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan Hukum
Pertambangan, Hukum Tanggung jawab sosial dan lingkungan,
Hukum Pidana Korporasi, Hukum Perusahaan, Jurnal-jurnal ataupun
materi-materi yang berkaitan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan rujukan yang sekiranya dapat memberikan
petunjuk serta penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
dalam penggarapan penelitian dan penulisan skripsi ini. Diantaranya
adalah Kamus, Ensiklopedia, Berita Hukum, dan lain-lain.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Praktek pengolahan serta penganalisisan data dalam penelitian ini
dimulai dengan mengkompilasi berbagai dokumen peraturan Perundang-
undangan yang berlaku serta dilengkapi dengan bahan hukum lainya yang
sekiranya selaras dengan judul penelitaian skripsi ini. Selanjutnya dari
hasil tersebut, dikaji isi (content), kata-kata (word), makna (meaning),
simbol, ide-ide, tema, dan berbagai pesan lainya yang terdapat pada isi
Undang-Undang serta Regulasi yang berkaitan dengan penelitian ini. Data
atau bahan hukum yang telah terkumpul melalui proses inventarisasi
hukum, kemudian diklasifikasikan untuk selanjutnya dianalisis secara
mendalam dengan cara menggali asas, nilai, serta norma pokok yang
terkandung di dalamnya. Selanjutnya dilakukan cross-check dengan
peraturan perundang-undangan yang lain untuk menemukan taraf
harmonisasinya, adakah inkonsistensi di antara peraturan perundang-
undangan tersebut. Analisis data tersebut dilakukan secara kualitatif
16
melalui penelaahan logika berfikir secara deduktif.15
Sehingga dari hasil
tersebut akan tampak lebih jelas data yang akan diolah kemudian diteliti
lebih lanjut untuk mendapatkan analisis yang diharapkan serta dapatnya
kesimpulan penelitian dan solusi yang baik.
6. Teknik penulisan
Teknik penulisan dalam pembahasan skripsi ini sesuai dengan
kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku : “pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.
F. Sistematika Penelitian
Agar dapat memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai
penelitian ini, oleh karena itu dibuatlah sistematika penulisan skripsi yang
terangkum sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini dipaparkan latar belakang masalah, perumusan
masalah, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
tinjauan studi terdahulu, metodelogi penelitian, sistematika
penulisan.
BAB II: LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
TANGGUNG JAWAB SOSIAL-LINGKUNGAN
PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN
BATUBARA
Bab ini akan membahas tinjauan umum berkaitan dengan konsep
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan pertambangan
mineral dan batubara di Indonesia. Ulasan teori berupa teori
kepastian hukum dan teori hukum progresif yang dikaitkan dengan
konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan kegiatan eksplorasi
pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
BAB III: HIERARKI REGULASI KONSEP TANGGUNG JAWAB
SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN
15
Suteki dan Galang Taufani, Metode Penelitian Hukum (filsafat, teori, dan praktis),(Depok:
PT Raja Grafindo Persada, 2018), h. 267
17
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Mengupas mengenai harmonisasi regulasi tanggung jawab sosial
dan lingkungan perusahaan pertambangan mineral dan batubara
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Pembahasan dalam bab ini berisikan pemaparan dari Regulasi
tersebut beserta beberapa potrait kasus akibat eksplorasi
pertambangan mineral dan batubara terhadap aspek lingkungan dan
sosial dalam kehidupan masyarakat nusantara.
BAB IV: HARMONISASI PRINSIP HUKUM TANGGUNG JAWAB
SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Membahas mengenai analisis serta interpretasi Peneliti dalam
pembahasan penelitian skripsi ini mengenai harmonisasi tanggung
jawab sosial lingkungan perusahaan pertambangan mineral dan
batubara di Indonesia
BAB V: PENUTUP
Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan, saran, serta
rekomendasi atas temuan yang peneliti temukan dalam penelitian
ini.
18
BAB II
TANGGUNG JAWAB SOSIAL-LINGKUNGAN PERUSAHAAN
TAMBANG MINERAL DAN BATUBARA DI INDONESIA
A. Kerangka Konsep
1. Kedaulatan dan Penguasaan Negara atas Mineral dan Batubara
Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia (UUD
1945) Pasal 33 ayat (3) menyebutkan: “Bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dikuasai oleh Negara
memaknai Hak penguasaan Negara atas aset kekayaan alam. Negara
berdaulat muklak atas kekayaan sumber daya alam. Digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dimaknai hak kepemilikan yang sah
atas kekayaan alam adalah rakyat Indonesia. Kedua makna ini merupakan
kesatuan. Hak penguasaan negara merupakan instrumen sedangkan
“sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” adalah tujuan akhir pengelolaan
kekayaan alam.1
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara
tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdek, berdaulat, adil,
dan makmur. Sementara itu, di dalam pertimbangan atau landasan filosofi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah ditegaskan bahwa:
“Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah
hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam yang
tak terbarukan sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang
banyak, karena itu pengelolaannya, harus dikuasai ole Negara
untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian
nasional dalam usaha untuk mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.”
1 Elli Ruslina, “Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Pembangunan Hukum
Ekonomi Indonesia”, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Pasundan, 2012), h. 1
19
Landasan filosofi ini, ditegaskan kembali dalam Pasal 4 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang berbunyi:
“Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak
terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh
negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat”.2
Apabila dikaji landasan filosofis dan landasan yuridis di atas,
ternyata didapatkan bahwa: (1). Sumber daya mineral dan batubara
merupakan karunia dari Tuhan yang Maha Esa; dan (2). Sumber daya
mineral dan batubara itu digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Supaya sumber daya mineral dan batubara dapat digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran, maka negara telah memberikan
kewenangan kepada pemerintah dan/ atau pemerintah daerah untuk
menyelenggarakan penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber
daya mineral dan batubara. Pemerintah dan/ atau pemerintah daerah dapat
menyelenggarakan sendiri dan/ atau menunjuk pihak lainnya.
Makna penguasaan negara ialah negara mempunyai kebebasan atau
kewenangan penuh (volldige bevoegdheid) untuk menentukan
kebijaksanaan yang diperlukan dalam bentuk:
1. Mengatur (regelen);
2. Mengurus (besturen); dan
3. Mengawasi (toezichthouden).
Mengatur diartikan sebagai upaya untuk menyusun, membuat, dan
menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara, sehingga dengan
adanya peraturan itu, pelaksanaan kegiatan pertambangan dapat dilakukan
dengan baik. Mengurus diartikan sebagai upaya untuk mengusahakan dan
mengelola sumber daya alam mineral dan batu bara. Mengusahakan dan
mengelola diartikan sebagai upaya untuk mengerjakan dan melaksanakan
2 Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h.
57
20
kegiatan pertambangan mineral dan batubara, baik yang dilakukannya
sendiri maupun dengan ditunjuk pihak lainnya. Mengawasi artinya suatu
upaya dari negara untuk melihat, menjaga, dan mengamati pelaksanaan
kegiatan pertambangan, sehingga tidak terjadi kerusakan lingkungan.3
Dalam hal pengalihan hak penguasaan, negara tidak dapat
mengalihkan melebihi apa yang dikuasai. Sifat pengalihan hak penguasaan
adalah hak penyelenggaraan dalam bentuk pengusahaan pertambangan
kepada pemegang KP. Kuasa Pertambangan bukanlah hak memiliki bahan
tambang melainkan izin untuk melakukan usaha pertambangan.
Penguasaan oleh negara ini adalah upaya mengatur pemanfaatan sumber
daya tambang mineral dan batubara agar dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Kontrak Karya bukan suatu mekanisme pengalihan hak negara,
tetapi hanya sarana atau instrumen yang memungkinkan pihak swasta
dapat berpartisipasi dalam usaha pertambangan. Membiarkan pihak swasta
memiliki hak monopoli dalam menguasai, mengusahakan, dan
mendistribusi hasil produksi usaha pertambangan melanggar konstitusi
negara dan dapat merugikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.4
2. Sumber Daya Alam
Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang berasal dari alam
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Yang
tergolong di dalamnya bukan hanya komponen biotik seperti hewan,
tumbuhan, dan mikroorganisme. Tetapi juga komponen abiotik seperti
minyak bumi, gas alam, serta berbagai jenis logam, air, dan tanah.
Terdapat beberapa pendapat mengenai pembagian sumber daya alam,
antara lain ditinjau dari sifat umum ekosistemnya dibagi menjadi dua
golongan besar yaitu, SDA terestris (daratan) dan SDA akuatik (perairan).
Meskipun demikian, dalam pengelolaan SDA umumnya dikenal tiga
macam sumber daya alam didasarkan pada sifatnya, yaitu:
3 Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h.
58
4 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta:Sinar Grafika, 2011), h.24-26
21
a. Sumber daya alam yang dapat dipulihkan (renewable resources),
dimana aliran sumber daya tergantung pada manajemennya, dengan
beberapa kemungkinan persediaannya dapat menurun, lestari atau
meningkat.
Contoh: tanah, hutan, dan margasatwa
b. Sumber daya alam yang tidak dapat dipulihkan (non renewable atau
deposit resources), dimana persediaannya tetap dan terdiri dari:
1) Secara fisik persediaan akan habis seluruhnya. Contoh: batu bara,
minyak bumi, dan gas alam;
2) Persediaan menurun, tetapi dapat digunakan kembali (daur ulang).
Contoh: kelompok logam dan karet.
c. Sumber daya alam yang tidak akan habis (continue atau flow
resources). Dimana tersedia secara berkelanjutan. Terdiri dari:
1) Persediaannya tidak terbatas dan tidak terpengaruh oleh tindakan
manusia. Contoh: energi matahari;
2) Persediaannya terbatas, tetapi terpengaruh oleh tindakan manusia.
Contoh: bentang alam dan keindahan alam.5
Dalam pengertian umum, sumber daya didefinisikan sebagai
sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Dapat juga dikatakan
bahwa sumber daya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan
barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Grima dan
Berkes mendefinisikan sumber daya sebagai suatu aset untuk pemenuhan
kepuasan dan untilitas manusia. Rees lebih jauh, mengatakan bahwa
sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumber daya harus memiliki dua
kriteria yaitu:
a) Harus ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan untuk
memanfaatkannya;
b) Harus ada permintaan (demand) terhadap sumber daya tersebut.6
5 Muhammad Ilham Arisaputra, Reforma agraria di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2015),
h. 61
6 Akhmad Fauzi, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Mineral: Teori dan aplikasi, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006)
22
3. Harmonisasi
Harmonisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-
undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu
bidang tertentu. Proses sinkronisasi peraturan bertujuan untuk melihat
adanya keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya.
harmonisasi dilakukan baik secara vertikal dengan peraturan yang ada di
atasnya maupun secara horizontal dengan peraturan yang setara.
Maksud dari kegiatan harmonisasi adalah agar substansi yang
diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling
melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis
pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya.
Adapun tujuan dari kegiatan harmonisasi adalah untuk mewujudkan
landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan
kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut
secara efektif dan efisien. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir
Manan bahwa suatu peraturan tertulis hendaknya memuat 3 unsur: 1) jelas
dalam perumusan; 2) konsisten dalam perumusannya baik secara internal
peraturan perundang-undangan tersebut dan secara eksternal harmonis
dengan peraturan perundang-undangan terkait; 3) penggunaan bahasa yang
tepat dan mudah dimengerti.7
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu:
a. Harmonisasi Vertikal: Dilakukan dengan melihat apakah suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang
tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Disamping harus memerhatikan hierarki peraturan perundang-
undangan, sinkronisasi vertikal harus juga memperhatikan
kronologis tahun dan nomor peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
7 Bagir Manan, “Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara”, (Bandung:
Mandar Maju, 1995), h. 6
23
b. Harmonisasi Horizontal: Dilakukan dengan melihat pada berbagai
peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang
yang sama atau terkait. Sinkronisasi horizontal juga harus
dilakukan secara kronologis, sesuai dengan urutan waktu
ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Secara umum, prosedur sinkronisasi diawali dengan inventarisasi,
yaitu suatu kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi
tentang peraturan perundang-undangan terkait. Selanjutnya dilakukan
analisa terhadap substansi.8
Proses harmonisasi peraturan perundang-undangan dilakukan
sesuai dengan hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang merujuk pada Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
berbunyi:
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3) Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi; dan
7) Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
4. Tanggung jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)
a. Pengertian Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social
Responsibility)
Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social
responsibility (CSR) pada dasarnya adalah sebuah kebutuhan bagi
korporat untuk dapat berinteraksi dengan komunitas lokal sebagai
bentuk masyarakat secara keseluruhan. Kebutuhan korporat untuk
8 Novianto M. Hantoro, “Bagian Pertama Hukum tata negara/ Hukum Konstitusi, (Jakarta:
Peneliti Madya bidang Hukum Tata Negara, 2015), h.8-9
24
beradaptasi dan guna mendapatkan keuntungan sosial dari
hubungannya dengan komunitas lokal, sebuah keuntungan sosial
berupa kepercayaan (trust). CSR tentunya sangat berkaitan dengan
kebudayaan perusahaan dan etika bisnis yang harus dimiliki oleh
budaya perusahaan, karena untuk melaksanakan CSR diperlukan suatu
budaya yang didasari oleh etika yang bersifat adaptif.
Korporat dalam melaksanakan bisnisnya tentu tidak hanya
berusaha mendapatkan keuntungan secara finansial belaka, akan tetapi
keuntungan sosial tentunya menjadi sasaran juga untuk pada gilirannya
akan menguatkan pendapatan finansial. Keuntungan sosial diperlukan
oleh korporat berupa kepercayaan (trust) dari masyarakat terhadap
korporat dan pada gilirannya akan dapat mencegah konflik sosial
antara masyarakat dengan korporat. CSR dapat didefinisikan sebagai
tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para
stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat di sekitar
wilayah kerja dan pengoperasian perusahaan.9
Tidak jarang terjadi hubungan yang tidak baik antara korporat
dengan masyarakat sekitarnya yang pada dasarnya adalah stakeholders
dari korporat yang bersangkutan, dan bisa saja merupakan konsumen
dari produk yang dihasilkan oleh korporat. Stakeholders disini
dimaknai sebagai individu dan atau kelompok yang dapat
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aktivitas suatu korporat. Begitu
juga adanya hubungan dengan korporat lainnya sebagai suatu unit
usaha yang sama atau berbeda, tentunya akan berhubungan satu
dengan yang lainnya, hubungan tersebut bisa berupa hubungan
perkongsian, atau juga hubungan kompetisi.10
Perusahaan sebagai bagian dari komunitas masyarakat dalam
menjalankan kegiatan usahanya mempunyai tiga jenis tanggung jawab
9 Sugeng Santoso, “Konsep Corporate Social Responsibility dalam Perspektif Konvensional
dan Fiqh Sosial”, h. 3
10Bambang Rudito dan Melia Famiola, “CSR (Corporate Social Responsibility)”,
(Bandung:Penerbit Rekayasa Sains, 2013), h. 1-2
25
yang berbeda-beda kepada pemangku kepentingan (stakeholders),
ketiga tanggung jawab tersebut ialah:
1. Economic Responsibility. Tanggung jawab kepada para pemegang
saham dalam bentuk pengelolaan perusahaan agar menghasilkan
laba yang optimal. Selain itu, terdapat tanggung jawab ekonomi
kepada para kreditur yang telah menyediakan pinjaman bagi
perusahaan, dalam bentuk menyisihkan sebagian kas perusahaan
untuk membayar angsuran pokok dan bunga pinjaman yang jatuh
tempo.
2. Legal Responsibility. Perusahaan harus mematuhi berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai bentuk
tanggung jawab perusahaan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan
“arena permainan bisnis” yang relatif adil bagi semua pelaku
bisnis.
3. Social Responsibility. Tanggung jawab perusahaan dalam bentuk
komitmen secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan
komunitas dan lingkungan sekitar.11
Apabila dikaitkan dengan Corporate Social Responsibility
pertama kali dikemukakan oleh Howard Rothman pada tahun 1953
yang menerbitkan bukunya yang berjudul Social Responsibilty of the
Businessman yang membawanya dinobatkan sebagai bapak CSR.
Dalam perkembangannya pemikiran Bowen terus dikembangkan
secara terus menerus oleh beberapa ahli. Pada awalnya kegiatan CSR
hanya berorientasi pada Phylanthropy, tetapi saat ini telah dijadikan
sebagai salah satu strategi perusahaan untuk meningkatkan “citra
perusahaan”.
Apabila dikaitkan dengan konsep waves of changes (gelombang
perubahan) di perusahaan yang terdiri atas The First Wave, The Second
Wave, The Third Wave, The Fourth Wave, CSR sesuai dengan konsep
11
Bachrawi Sanusi, “Sistem Ekonomi: suatu pengantar”,(Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2000), h.3
26
The Fourth Wave yang memiliki ciri, perusahaan tidak hanya
berorientasi pada produksi tetapi ke arah mengabdi dan berperan dalam
mengatasi isu global seperti global warning, pengentasan kemiskinan,
penggundulan hutan demi kebaikan umat manusia.12
Terdapat beberapa definisi mengenai CSR yang telah dikenal
antara lain:
“Upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar
keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan
meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan
dampak posiitif tiap pilar”.
He commitment of businesses to contribute to sustainable economic
development by working with employees, their families, the local
community and society at large to improve their lives in ways that are
good for business and for development. (international finance
corporation).
Use it (corporate) resources and engage in activities designed to
increse its profits so long as it stays within the rules of the game, which
is to stay, engages in open and free competition without deception or
fraud. (Milton Friedman).
Berangkat dari beragam definisi di atas, sering kali jika berbicara
tentang CSR maka Mindset yang terbangun biasanya tentang perilaku
korporasi. Padahal jika ditelaah lebih jauh, persoalanya lebih dari
sekedar itu, yakni korporasi dituntut turut serta dalam pembangunan,
korelasinya dengan perbaikan ekonomi, terciptanya keseimbangan
sosial, sehingga akan muncul persepsi saling membangun.13
The world Business Council for sustainable Development
(WBCSD) dalam publikasinya making Good Business sense
12
Herlien Budiono, “Mengapa Perusahaan Wajib Melaksanakan Tanggung J awab Sosial
Terhadap Lingkungan (Dilema Perusahaan di antara Negara, Masyarakat, dan Pasar), Jurnal
Legislasi Vol. 6 No. 2 Juni 2009, h. 214-215
13 Dedi Kurnia Syah Putra, Komunikasi CSR Politik, (Jakarta:Prenadamedia Grup, 2015), h.8
27
mendefinisikan CSR sebagai: “Continuing commitment by business to
behave ethically and contribute to economic development while
improving the quality of life of the workforce and their families as well
as of the local community and society large”. Artinya komitmen
berkelanjutan dari kalangan bisnis untuk berprilaku etis dan memberi
kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya mengingkatkan kualitas
kehidupan karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal, dan
masyarakat luas pada umumnya.
Menurut The World Bussines Council for Sustainable
Development (WBCSD) dinyatakan bahwa Cosporate Social
Responsibility adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan ksryawan para
perusahaan, keluarga karyawan tersebut berikut komunitas-komunitas
(lokal) dan masyarakat secara keseluruhan dalam meningkatkan
kualitas kehidupan. Dari pernyataan ini, terlihat adanya usaha untuk
ikut terlibat dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan sehingga
dengan demikian kemandirian sebuah masyarakat menjadi tolak ukur
keberhasilan suatu perusahaan. 14
Selain itu juga terdapat juga konsep Corporate Social
Responsibility yang digambarkan sebagai proses penting dalam
pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari
stakeholders. Kegiatan yang dilakukan tersebut, baik bersifat internal
maupun eksternal. Pernyataan ini lebih mengarah pada bentuk
keuntungan sosial yang akan diperoleh sebuah perusahaan apabila
melakukan kegiatan CSR. Dengan mengeluarkan modal yang tidak
sedikit akan memperoleh keuntungan sosial yang besar yang pada
giliranya akan mendapatkan keuntungan finansial.
Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate social
responsibility) pada dasarnya juga terkait dengan budaya perusahaan
14
Dedi Kurnia Syah Putra, Komunikasi CSR Politik, (Jakarta:Prenadamedia Grup, 2015), h.9
28
yang ada yang dipengaruhi oleh etika perusahaan yang bersangkutan.
Budaya perusahaan terbentuk dari para individu sebagai anggota
perusahaan yang bersangkutan dan biasanya dibentuk oleh sistem dalam
perusahaan. Sistem perusahaan khususnya alur dominasi para pemimpin
memegang peranan penting dalam pembentukan budaya perusahaan,
pemimpin perusahaan dengan motivasi yang dalam etikanya yang
mengarah pada kemanusiaan akan dapat memberikan nuansa budaya
perusahaan secara keseluruhan.15
b. CSR dan Pembangunan Nasional
Pembangunan nasional pada dasarnya tidak hanya tanggung
jawab pemerintah untuk melaksanakannya, tetapi juga anggota
masyarakat dan juga pihak swasta yang berwujud korporat untuk
terlibat langsung maupun tidak langsung dalam usaha pengembangan
masyarakat. Untuk memahami pelaksanaan CSR di Indonesia,
sebaiknya berangkat dari pemahaman CSR terlebih dahulu. CSR
berkembang pada akhir tahun 90’an dengan ditandai munculnya
definisi CSR oleh WBSD (World Business Council for Sustainable
Development) tahun 1995, sebuah lembaga forum bisnis yang digagas
oleh Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk kalangan bisnis agar
dapat berkontribusi dalam pembangunan. Konteks saat itu adalah
pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development), suatu konsep
pembangunan demi masa depan tanpa merusak sumber daya alam, di
mana mencoba menyatukan 3 elemen pembangunan yaitu: ekonomi,
sosial, dan sosial.16
Gagasan CSR oleh WBSD sangat dipengaruhi oleh roh
pembangunan berkelanjutan ini. Pemahaman yang muncul adalah
bagaimana dunia bisnis dapat berkontribusi terhadap pembangunan
15
Dedi Kurnia Syah Putra, “Komunikasi CSR Politik”, (Jakarta:Prenadamedia Grup, 2015),
h.9
16 Dedi Kurnia Syah Putra, Komunikasi CSR Politik, (Jakarta:Prenadamedia Grup, 2015), h.9
29
berkelanjutan secara luas, dan secara mikro terhadap masyarakat yang
ada di sekitarnya. Bisa disimak definisi CSR oleh WBSD, “Corporate
social responsibility is the continuing commitment by business to
contribute to economic development while improving the quality of life
of the workforce and their families as well as the community and
society at large”. (1995). Atau dalam konteks ini CSR dimaknai
sebagai komitmen bisnis untuk berprilaku etis, beroperasi secara legal
dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi sekaligus
meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, serta
masyarakat lokal dan masyarakat pada umumnya.
5. Hukum Perusahaan
a. Pengertian Perseroan terbatas
Istilah Perseroan Terbatas (PT) dahulunya dikenal dengan
istilah Naamloze Vennootschaap (NV). Istilah lainnya Corporate
Limited (Co.Ltd), Serikat Dagang Benhard (SDN BHD).
Pengertian Perseroan Terbatas terdiri dari dua kata, yakni:
“Perseroan” dan “Terbatas”. Perseroan merujuk kepada modal PT
yang terdiri dari sero-sero atau saham-saham. Adapun kata terbatas
merujuk pada pemegang yang luasnya hanya sebatas pada nilai
nominal semua saham yang dimilikinya.
Perseroan terbatas yang selanjutnya disebut PT merupakan
badan usaha yang paling banyak dan lazim digunakan. Hal ini
dilatarbelakangi dengan pertimbangan status badan hukum yang
melekat pada PT. 17
Pada zaman Hindia-Belanda, bentuk semacam ini disebut
Naamloze Vennotschap yang disingkat N.V. (Persekutuan tanpa
nama).18
Menurut Achmad Ichsan dan Rachmadi Usman
17
Zainal Asikin dan L. Wira Pria Suhartana, Pengantar Hukum Perusahaan, (Jakarta:
Kencana, 2016), h. 51
18 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2: Bentuk-Bentuk
Perusahaan, (Jakarta:Djambatan, 1999), h. 90
30
mengemukakan bahwa Naamloze artinya tanpa nama, yang
maksudnya adalah hal pemberian nama perusahaan tidak memakai
nama salah satu anggota persero, melainkan menggunakan nama
berdasarkan pada tujuan dari usahanya.19
Berdasar pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
pengertian perseroan terbatas (perseroan) adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka untuk dapat disebut
sebagai perusahaan PT menurut UUPT harus memenuhi unsur-unsur:
1) Berbentuk badan hukum yang merupakan persekutuan modal.
2) Didirikan atas dasar perjanjian.
3) Melakukan kegiatan usaha.
4) Modalnya terbagi saham-saham.
5) Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UUPT serta
peraturan pelaksanaannya.
Sebagai badan hukum, PT bukanlah makhluk hidup seperti
manusia, ia adalah makhluk artifical. Badan hukum tidak memiliki
daya pikir, kehendak, dan kesadaran sendiri sehingga PT tidak dapat
bertindak dan melakukan perbuatan hukum tanpa perantara manusia,
tetapi manusia tersebut tidak bertindak atas nama dirinya sendiri
melainkan atas nama dan tanggung jawab PT sebagai badan hukum.20
PT merupakan perusahaan yang oleh undang-undang dinyatakan
sebagai perusahaan yang berbadan hukum. Dengan status yang
demikian itu, PT menjadi subjek hukum yang menjadi pendukung hak
19
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung: PT.
Alumni, 2004), h. 47
20 Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Hukum Perseroan dan Perkumpulan Koperasi,
Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni, 1986), h. 17
31
dan kewajiban, sebagai badan hukum, PT memiliki kedudukan
mandiri (persona standi in judicio) yang tidak tergantung kepada
pemegang sahamnya. Hal ini berarti PT dapat melakukan perbuatan-
perbuatan hukum seperti manusia dan dapat pula mempunyai
kekayaan atau utang (ia bertindak dengan perantaraan pengurusnya).21
b. Jenis-jenis PT
Berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam UUPT dan
UUPM, maka PT dapat dibedakan ke dalam dua jenis:
1) PT Terbuka, yaitu perseroan yang modal dan jumlah pemegang
sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau perseroan yang
melakukan penawaran umum, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal. (Pasal 1 Ayat (6) UUPT).
Menurut UUPM PT Terbuka atau Perusahaan Publik adalah
perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh
300 pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-
kurangnya Rp 3 miliar atau suatu jumlah pemegang saham atau
modal disetor yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah.
2) PT Tertutup adalah perseroan yang tidak termasuk dalam kategori
PT terbuka.
c. Pendirian PT
Untuk mendirikan suatu perseroan harus memenuhi
persyaratan materiel, antara lain:
1) Perjanjian antara dua orang atau lebih.
2) Dibuat dengan akta autentik.
3) Modal dasar perseroan.
4) Pengambilan saham saat perseroan didirikan.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UUPT, yang dimaksud dengan
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
21
Zainal Asikin dan L. Wira Pria Suhartana, Pengantar Hukum Perusahaan, (Jakarta:
Kencana, 2016), h. 62-78
32
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Berdasarkan definisi perseroan menurut UUPT, dapat dipahami
bahwa perseroan memiliki unsur-unsur sebagai berikut:22
1) Berbentuk badan hukum:
2) Didirikan berdasarkan perjanjian:
3) Melakukan kegiatan usaha:
4) Modal dasar:23
B. Kerangka Teori
1. Good Corporate Governance (GCG)
Konsep Good Corporate Governance mulai diperbincangkan di
Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Saat krisis ekonomi melanda Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Dengan adanya krisis tersebut, banyak
perusahaan mengalami kegagalan karena tidak mampu bertahan. Salah
satu penyebabnya adalah karena pertumbuhan ekonomi yang dicapai
selama ini tidak dibangun di atas landasan yang kokoh sesuai prinsip
pengelolaan perusahaan yang sehat. Good Corporate Governance sebagai
alternative solusi dalam menanggapi permasalahan gejolak perekonomian
pada masa itu.
Beberapa hal yang menyebabkan kegagalan dan krisis ekonomi
pada saat itu diantaranya: sistem hukum yang buruk, tidak konsistennya
standar akuntansi dan audit, praktek-praktek perbankan yang lemah, dan
kurangnya perhatian Board of Directors (BOD) terhadap hak-hak
pemegang saham minoritas.24
22
Zainal Asikin dan L. Wira Pria Suhartana, Pengantar Hukum Perusahaan, (Jakarta:
Kencana, 2016), h. 62-78
23 Zainal Asikin dan L. Wira Pria Suhartana, Pengantar Hukum Perusahaan, (Jakarta:
Kencana, 2016), h. 62-78
24 Mas Achmad Daniri, “Good Corporate Governance: Konsep dan penerapannya dalam
konteks Indonesia, cet I”, (Jakarta:Ray Indonesia, 2006), h. 3
33
Menurut Organization for Economic Corporation and
Development (OECD) yang dikutip oleh Ismail Solihin berpendapat bahwa
corporate governance adalah “corporate governance is the system by
which business corporations are directed ang controlled. The corporate
governance structure specifies the distribution of the right and
responsibilities among different participants in the corporation, such as
the board, managers, shareholders, and other stakeholders”. Artinya
bahwa corporate governance merupakan suatu sistem untuk mengarahkan
dan mengendalikan perusahaan. Struktur corporate governance
menetapkan distribusi hak dan kewajibn di antara berbagai pihak yang
terlibat dalam suatu korporasi seperti: dewan direksi, manager, pemegang
saham, dan pemangku kepentingan lainnya.25
Menurut komite Cadburry, Good Corporate Governance adalah
prinsip mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai
keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam
memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders
khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Sedangkan menurut Center
for Eropean Policy Studies (CEPS), Good Corporate Governance
merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses
serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen
perusahaan. Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri mengenai
GCG. Beberapa negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak
mirip walaupun ada sedikit perbedaan istilah. Kelompok negara maju
(OECD), umpamanya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen
perusahaan bertanggungjawab pada shareholdersnya.26
Menurut Munir Fuady terdapat lima prinsip dasar GCG yakni:
a. Keterbukaan (transparency),
b. Akuntabilitas (accountability),
25
Ismail Solihin, “Corporate Social Responsibility: from Charity to Sustainability”, (Jakarta:
Salemba Empat, 2009), h.115
26 Mas Achmad Daniri, “Good Corporate Governance: Konsep dan penerapannya dalam
konteks Indonesia, cet I”, (Jakarta:Ray Indonesia, 2006), h. 7
34
c. Tanggung jawab (responsibility),
d. Kemandirian (independency),
e. Keadilan (fairness).27
2. Teori Kepastian Hukum
Menurut Hans Kelsen, Hukum adalah sebuah sistem norma. Norma
adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau dass sollen
dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.
Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-
undang yang berisi aturan-aturan yang besifat umum menjadi pedoman
bagi individu bertingkah laku dalam masyarakat, baik dalam hubungannya
dengan sesama individu maupun hubungan dengan masyarakat. Aturan-
aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.28
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai
identitas. Yaitu, sebagai berikut:
a. Asas Kepastian Hukum (rechmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut
yuridis.
b. Asas Keadilan Hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut
filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di
depan pengadilan.
c. Asas Kemanfaatan Hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau
utility.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,
yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan
kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
27
Munir Fuady, “Bisnis Kotor:Anatomi Kejahatan Kerah Putih”, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2004), h. 34
28 Petter Mahmud Marzuki, “Pengantar Ilmu Hukum”, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 58
35
negara terhadap individu. Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-
Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivisme di dunia
hukum yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang
mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar
menjamin terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari
aturan-aturan hukum membuktikan bahwa tidak bertujuan untuk
mewujudkan keadilan atau kemanfaatan , melainkan semata-mata untuk
kepastian.29
Konsep kepastian hukum mencakup sejumlah aspek yang saling
terkait. Salah satu aspek dari kepastian hukum ialah perlindungan yang
diberikan kepada individu terhadap kesewenang-wenangan individu
lainnya, hakim, dan adminstrasi (pemerintah). Kepercayaan dan kepastian
hukum yang seharusnya dapat dikaitkan individu berkenaan dengan apa
yang dapat diharapkan individu yang akan dilakukan penguasa, termasuk
juga kepercayaan akan konsistensi putusan-putusan hakim atau
adminstrasi (pemerintah).30
Herlien Budiono mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan
ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama norma hukum
tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak
dapat dijadikan sebagai pedoman prilaku bagi semua orang. Apeldorn
mengatakan bahwa kepastian hukum memiliki dua segi yaitu dapat
ditentukannya hukum dalam hal yang kongkret dan keamanan hukum. Hal
ini berarti pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apa yang
menjadi hukum dalam suatu hal tertentu sebelum ia memulai perkara dan
perlindungan para pihak dalam kesewenangan hakim.31
29
Dosminikus Rato, “Filsafat Hukum mencari dan memahami hukum”, (Yogyakarta: PT.
Presindo, 2010), h. 59
30 I.H. Hijmans, “Dalam Het Recht der werrkelijkheid, dalam Herlien Budiono, Asas
Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia- Hukum perjanjian berdasarkan asas-asas Wigati
Indonesia”, (Bandung: Aditya Bakti, 2006), h. 208
31 A. Madjedi Hasan, “Kontrak Minyak dan Gas Bumi berazaz keadilan dan Kepastian
Hukum”, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2009), h. 36
36
3. Teori Hukum Progresif
Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum progresif adalah
menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari
peraturan (according the letter), melainkan menurut semangat dan makna
lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum.
Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan
kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan
dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap
penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain dari
pada yang bisa dilakukan.32
Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri melainkan seluruhnya untuk
manusia dan masyarakat, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia. Dalam
hukum progresif, pemikiran hukum yang benar adalah yang bertolak dari
paradigma “Hukum untuk Manusia”. Ujian terhadap keberhasilan suatu
hukum adalah kemampuan untuk membuktikan bahwa produk hukum itu
berorientasi pada manusia, dengan cara melayani, mensejahterakan, dan
membahagiakan umat manusia. Dengan perkataan lain, hukum progresif
lebih berorientasi kepada substansi dari bentuk. Bentuk apapun seperti,
struktur, sistem, dan peraturan perundang-undangan serta regulasi tidak
boleh menghambat arus menuju substansi, dalam hal ini adalah terkait
kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.33
Ada 3 (tiga) metode hukum progresif, diantaranya ialah: terbuka,
dinamis, dan mengalir. Dikatakan bahwa hukum pada waktu yang lampau
lebih berurusan dengan upaya mencari keadilan seperti diwakili alam
pikiran hukum alam. Dalam konteks Trias Politica, hukum hanyalah
undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif, sementara badan
yudikatif hanya sebagai corong undang-undang (la bouche qui pronounce
de la loi ). Dengan demikian pengadilan bukan lagi menjadi rumah
32
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), h. Xii
33 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif berhadapan dengan kemapanan, “dalam Jurnal
Hukum Profresif, Volume: 4/Nomor1/April 2008, (Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, 2008), h.2
37
keadilan, melainkan rumah undang-undang. Hukum ditutup rapat dengan
undang-undang secara total yang selalu top down, akan menghasilkan
hukum yang tidak tahan goncangan. Ibarat jembatan, Satjipto Rahardjo
melukiskan sebagai berikut:
“Sebuah jembatan dapat berdiri kokoh karena disatukan melalui
sekrup-sekrup yang menyatukan bagian-bagian dari jembatan itu.
Pengencangan sekrup yang total akan menyebabkan jembatan itu
tidak tahan goncangan. Sebaliknya, apabila sekrup-sekrup itu tidak
dipasang dengan kekencangan maksimal, melainkan memberi
ruang untuk menghadapi goncangan, maka jembatan itu akan lebih
kuat.”
38
BAB III
HIERARKI REGULASI KONSEP TANGGUNG JAWAB SOSIAL -
LINGKUNGAN PERUSAHAAN TAMBANG MINERAL DAN BATUBARA
DI INDONESIA
A. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam UUD NRI 1945
Landasan filosofis kegiatan pertambangan mineral dan batubara di
Indonesia tidaklah terlepas dari Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang
berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. Mineral dan batubara merupakan kekayaan alam yang tidak
terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan
penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaanya
harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi
perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat secara berkeadilan. Pasal 33 UUD NRI 1945 merupakan pesan moral
filosofis dan budaya dalam konstitusi Republik Indonesia di bidang kehidupan
Ekonomi.1
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan pesan moral dan
pesan budaya dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia di bidang
kehidupan ekonomi. Pasal ini bukan hanya sekedar memberi petunjuk tentang
susunan perekonomian dan wewenang negara mengatur kegiatan
perekonomian, melainkan mencerminkan cita-cita, suatu keyakinan yang
dipegang teguh, serta diperjuangkan secara konsisten oleh para pimpinan
bangsa.2 Pesan konstitusional tersebut tampak jelas, bahwa yang dituju adalah
suatu sistem ekonomi tertentu, yang bukan ekonomi kapitalistik (berdasar
paham invidualisme), namun suatu sistem ekonomi berdasar kebersamaan dan
berdasar pada asas kekeluargaan.3
1 Elli Ruslina, Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pembangunan Hukum
Ekonomi Indonesia, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Pasundan, 2012), h.50
2 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi suatu Negara, (Bandung:
Mandar Maju, 1995), h. 413
3 Herman Soewardi, Koperasi: suatu kumpulan makalah, (Bandung: Ikopin, 1989), h. 413
39
B. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan
Tambang Mineral dan Batu Bara dalam Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia
1. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan
Tambang Mineral dan Batu Bara dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Terkait dengan ketentuan ataupun regulasi yang berkaitan dengan
konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan di Indonesia, berikut
beberapa ketentuan yang dapat dikategorikan sebagai peraturan tersebut,
di dalam Pasal 15, 16, 17, dan 34 Undang-Undang Penanaman Modal
disebutkan keterangan mengenai konsep tanggung jawab sosial dan
lingkungan bagi para penanam modal di Indonesia. Keterangan tersebut
berbunyi sebagai berikut:
Disebutkan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 Tentang Penanaman Modal huruf a dan b mengenai kewajiban
penanam modal yang berkewajiban untuk melakukan tanggung jawab
sosial.4 Berkaitan dengan konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan di
Indonesia, setiap penanam modal berkewajiban untuk menerapkan prinsip
tata kelola perusahaan yang baik serta menerapkan tanggung jawab sosial
perusahaan. Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-Undang Penanaman
Modal menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial
perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan
penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat setempat. Konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan
tersebut merupakan upaya untuk menerapkan prinsip tata kelola
perusahaan yang baik sebagaimana yang telah termaktub dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
4 Letezia Tobing, “Aturan-Aturan Hukum Corporate Social Responsibility”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ ulasan/lt52716870e6a0f/aturan-aturan-hukum-
corporate-social-responsibility/, Diakses pada Tanggal 30 November 2019, Pukul: 06:48 WIB
40
Konsep tersebut sejalan dengan upaya untuk menjaga kelestarian
lingkungan hidup sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 16
huruf (d) bahwasannya: “Setiap penanam modal bertanggung jawab untuk
Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup”. Yang kemudian di dalam Pasal
17, diberikan penjelasan lebih lanjut terkait dana demi pemulihan lokasi
yang telah terjamah oleh kegiatan operasi serta eksplorasi sumber daya
alam. Bunyi dari Pasal 17 tersebut adalah:
“Penanam modal yang mengusahakan Sumber Daya Alam
yang tak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap
untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan
Lingkungan Hidup yang pelaksanaanya diatur sesuai ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan”.
Penjelasan Pasal 17 Undang-Undang Penanaman Modal
menyebutkan bahwa ketentuan ini dimaksud untuk mengantisipasi
kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan penanaman modal.
Konsekuensi dari perusahaan yang tidak melaksanakan amanah
dari pasal tersebut kemudian dijelaskan di dalam Pasal 34 Undang-Undang
Penanaman Modal, yang berbunyi sebagai berikut:
“Badan Usaha atau perseorangan Pasal 15 dapat dikenai
sanksi adminstratif berupa: Peringatan tertulis, Pembatasan
kegiatan usaha, Pembekuan kegiatan usaha dan/ atau fasilitas
penanaman modal, Pencabutan kegiatan usaha dan/ atau fasilitas
penanaman modal”.
2. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan
Tambang Mineral dan Batubara dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT)
Pengaturan mengenai konsep tanggung jawab sosial dan
lingkungan atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah Corporate Social
Responsibility (CSR) dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas secara
khusus termaktub dalam Undang-Undang ini dikenal dengan istilah
“Tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Tanggung jawab sosial
lingkungan yang dimaksud dalam undang-undang ini mengalami sedikit
41
penambahan. Tambahan konsep tanggung jawab sosial dalam undang-
undang ini, berupa frasa yang ditambahkan dengan “tanggung jawab sosial
dan lingkungan”.
Konseptor UUPT, A. Partomuan Pohan, alasan dicantumkannya
klausula tanggung jawab sosial dan lingkungan untuk mengurangi praktik
bisnis yang tidak etis serta untuk meminimalisir dampak negatif dari
proses produksi bisnis terhadap publik dan lingkungan sekitar perusahaan.
Tanggung jawab sosial lingkungan dapat dipahami sebagai sebuah relasi
atau interkoneksi antara perusahaan dengan para pemangku kepentingan
perusahaan tersebut, termasuk misalnya dengan pelanggan, pemasok,
kreditur, karyawan, hingga masyarakat khususnya mereka yang
berdomisili di wilayah perusahaan tersebut menjalankan aktivitas
operasionalnya. Perusahaan bertanggung jawab untuk menjamin bahwa
kegiatan operasionalnya mampu menghasilkan barang dan/atau jasa secara
ekonomis, efisien, dan bermutu untuk kepuasan pelanggan disamping
untuk memperoleh keuntungan.5 Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas disebutkan di dalam Pasal 1
Ayat (3) Maknanya sendiri adalah
“komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan
sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”.
Selanjutnya pengaturan CSR bagi Perseroan Terbatas menjadi
bersifat mandatory khususnya untuk perusahaan yang bergerak dalam
pengeksploitasian sumber daya alam.6 sebagaimana disebutkan di dalam
Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Yang bunyinya sebagai
berikut:
5 A.F. Elly Erawaty, Persoalan Hukum Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan
Dalam Perundang-Undangan Ekonomi Di Indonesia, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-
pedata/847-persoalan-hukum-seputar-tanggung-jawab-sosial-dan-lingkungan-perseroan-dalam
perundang-undangan-ekonomi-indonesia.html, Diakses pada Tanggal 30 November 2019, Pukul
06:58
6 Sefriani dan Sri Wartini, Model Kebijakan Hukum Tanggung Jawab Sosial Di Indonesia,
(Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2016), h. 4
42
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan;
2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran;
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Di dalam bagian penjelasan undang-undang ini disebutkan bahwa
Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan perseroan yang
serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat setempa kemudian yang dimaksud dengan Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah Perseroan
yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah Perseroan yang
tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan
usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Yang
dimaksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan terkait.
3. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan
Tambang Mineral dan Batubara dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
Menimbang atau konsiderans dalam suatu peraturan perundang-
undangan memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan di
43
Indonesia.7 Disebutkan di dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 bahwa:
“Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekayaan
alam yang tak terbarukan sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa
yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup
orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh
Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi
perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran, dan
kesejahteraan rakyat secara berkeadilan”.
Undang-undang ini tentunya membahas secara spesifikasi
mengenai kaidah eksplorasi pertambangan mineral dan batu bara di
Indonesia. Terdapat beberapa ketentuan yang dapat dikatakan sebagai
salah satu landasan riil mengenai prinsip hukum tanggung jawab sosial
dan lingkungan suatu perusahaan tambang mineral dan batu bara di
Indonesia. Ketentuan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
Termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengenai asas ataupun
pedoman dari kegiatan eksplorasi pertambangan mineral dan batubara di
Indonesia. asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Manfaat, keadilan, dan keseimbangan.
2. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa.
3. Partisipasif, transparansi, dan akuntabilitas.
4. Berkelanjutan dab berwawasan lingkungan.
Selanjutnya di dalam Pasal 95 undang-undang ini disebutkan
beberapa ketentuan yang diwajibkan bagi pemegang izin usaha
pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus. kewajiban tersebut
diantaranya adalah: Menerapkan kaidah pertambangan yang baik,
Meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/ atau batubara,
Melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat.
7 Maria Farida, “Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya”,
(Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 108
44
Dilanjutkan dengan beberapa ketentuan sebagai penjelas Pasal 95
terkait kewajiban dalam melaksankaan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat yang termaktub dalam Pasal 108 sebagai berikut:
1. Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan
dan pemberdayaan masyarakat;
2. Penyusunan program dan perencanaan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) dikonsultasikan kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat.
Terkait dengan penjelasan dari pasal-pasal tersebut mengenai
kaidah Corporate Social Responsibility (CSR) dalam undang-undang ini
tidak disebutkan sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan secara
tersurat. Undang-Undang ini menyebutkan CSR dengan frasa program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. program pengembangan
dan pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu bagian dari aspek
tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai aplikasi untuk meredam
potensi konflik sosial dengan masyarakat sekitar yang ditujukan untuk
kepentingan masyarakat.8 Walau berbeda secara istilah dan bunyi pasal
terkait, namun berkaitan dengan konsep, dua hal tersebut tetap sejalan
adanya. prinsip yang dikemukakan juga bersifat wajib sebagaimana telah
disebutkan dalam aturan sebelumnya. Pemberdayaan Masyarakat sendiri
yang dimaksud disebutkan di dalam Pasal 1 Ayat (28) bahwa: “usaha
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat baik secara individual
maupun kolektif agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya”.
4. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan
Tambang Mineral dan Batubara dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menjadi pengawal dalam
8 Dimas Hutomo, Kewajiban Perusahaan Tambang Melakukan CSR,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c468d7988077/kewajiban-perusahaan-
tambang-melaksanakan-csr/, Diakses pada Tanggal 30 November 2019, Pukul: 07:49.
45
pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Sebab sumber
daya alam dan lingkungan hidup merupakan dua hal yang tidak dapat
terpisahkan. UUPPLH yang merupakan “ketentuan” bagi perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, maka undang-undang sektoral yang
berkaitan dengan lingkungan hidup seperti: pertanian, kehutanan,
pertambangan harus tunduk dan patuh terhadap UUPPLH, pelaksanaan
undang-undang sektoral tersebut tidak boleh bertentangan dengan
UUPPLH, segala penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup harus berpedoman dengan UUPPLH
yang berfungsi sebagai umbrella act atau umbrella provission. UUPPLH
ini menjadi ketentuan pokok bagi peraturan-peraturan lingkungan hidup
yang sudah ada (Lex Lata) maupun peraturan lebih lanjut (Lex Ferandai
atau ketentuan organik) atas lingkungan hidup.9
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup disebutkan dalam
Pasal 2 bahwa dalam implementasinya berasaskan tangung jawab negara,
kelestarian dan berkelanjutan, keserasian dan keseimbangan, keterpaduan,
manfaat, kehati-hatian, keadilan, ekoregion, keanekaragaman hayati,
pencemar membayar, partisipatif, kearifan lokal, tata kelola pemerintah
yang baik, dan otonomi daerah. Tujuan dari adanya undang-undang ini
pun berkaitan dengan prinsip Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
dalam lingkup khusus kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh Perusahaan
Pertambangan di Indonesia. Beberapa ketentuan yang berkaitan adalah
sebagai berikut:
Kegiatan pertambangan mineral dan batubara merupakan kegiatan
yang berdampak terhadap lingkungan dan sosial. mineral dan batubara
merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan sehingga di dalam
pelaksanannya diperlukan analisis mengenai dampak lingkungan supaya
dapat diperkirakan terkait kerusakan lingkungan yang akan terjadi sebagai
9 Dahlia Kusuma Dewi, dkk, Izin Lingkungan dalam Kaitannya Dengan Penegakan
Adminstrasi Lingkungan Dan Pidana Lingkungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), (Medan: Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, 2014), h. 124
46
tindakan preventif dari kemungkinan kerusakan yang lebih parah. di dalam
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 disebutkan mengenai
kriteria dampak usaha yang berkaitan dengan lingkungan. berikut
bunyinya:
1. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL;
2. Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
a. Besar jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha
dan/atau kegiatan;
b. Luas wilayah penyebaran dampak;
c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. Banyaknya komponen Lingkungan Hidup lain yang terkena
dampak;
e. Sifat kumulatif dampak;
f. Berbaik atau tidak berbaliknya dampak, dan/atau;
g. Kriteria lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkaitan dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan, maka
AMDAL yang perlu dipersiapkan bukan hanya AMDAL mengenai kondisi
lingkungan sekitar perusahaan namun juga mencakup AMDAL sosial.
Suatu AMDAL yang didekati dengan studi sosial disebut sebagai social
impact assessment (SIA). Kajian yang dapat dianalisis dalam AMDAL
sosial dapat diuji melalui pola-pola kehidupan sosial: sistem nilai, sistem
norma, aspirasi, dan kebiasaan. Armour sebagaimana dikutip oleh Sudarto,
mencoba mencoba menginventarisasikan perubahan itu melalui aspek-
aspek: (1) Cara hidup; (2) Budaya termasuk di dalamnya nilai, norma, dan
kepercayaan; (3) Komunitas meliputi struktur penduduk, kohesi sosial,
stabilitas masyarakat, sarana, dan prasarana yang diakui sebagai sarana
umum masyarakat.10
10
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan,(Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2004), h. 265
47
Terdapat ketentuan mengenai ganti kerugian dan pemulihan
terhadap lingkungan hidup yang termaktub di dalam Pasal 87 Undang-
Undang ini yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap pertanggungjawaban usaha dan/ atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum baerupa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian
pada orang lain atau Lingkungan Hidup wajib membayar ganti
rugi dan/ atau melakukan tindakan tertentu”.
Karena setiap usaha harus disertai pertanggungjawaban. maka
hadirnya klausula tersebut sebagai salah satu aspek pertanggungjawaban
korporasi terhadap lingkungan. Penjelasan mengenai Pasal 87 tersebut
adalah sebagai berikut: Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas
yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar
membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/ atau
perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk
melakukan tindakan tertentu, misalnya perintah untuk: Memasang atau
memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku
mutu lingkungan hidup yang ditentukan, Memulihkan fungsi lingkungan
hidup; dan/ atau, Menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya
pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup.
C. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan
Tambang Mineral dan Batu Bara dalam Peraturan Pemerintah
1. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan
Tambang Mineral dan Batubara dalam Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009.
Sejalan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara maka perlu dilakukan
penataan kembali pengaturan yang berkaitan dengan kegiatan usaha
pertambangan dan batubara agar dalam pengelolaannya dapat dilakukan
seoptimal mungkin, efisisen, transparan, berkelanjutan, dan berwawasan
48
lingkungan serta berkeadilan sehingga didapatkan manfaat sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Berikut ketentuan yang terkait dengan
pembahasan penelitian ini.
Berkaitan dengan program pemberdayaan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara bahwasannya dipaparkan dalam Pasal 106 BAB XII
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 bunyinya adalah sebagai
berikut:
Tentang Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat di sekitar
WIUP dan WIUPK bahwasannya berbunyi sebagai berikut:
“(1) Pemegang IUP dan IUK wajib menyusun program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar WIUP
dan WIUPK; (2) Program sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
harus dikonsultasikan kepada Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/ Kota, dan Masyarakat setempat; (3)
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat
mengajukan usulan program kegiatan pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat kepada Bupati/ walikota setempat
untuk diteruskan kepada pemegang IUP atau IUPK; (4)
Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) diprioritaskan untuk masyarakat di sekitar
WIUP dan WIUPK yang terkena dampak langsung akibat aktifitas
pertambangan; (5) Prioritas masyarakat sebagaimana dimaksud
pada Ayat (4) merupakan masyarakat yang berada dekat kegiatan
operasional penambangan dengan tidak melihat batas adminstrasi
wilayah kecamatan/ kabupaten; (6) program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibiayai dari alokasi biaya program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat pada anggaran dan biaya pemegang
IUP atau IUPK setiap tahun; (7) Alokasi biaya program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada Ayat (6) dikelola oleh pemegang IUP atau IUPK”.
Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai program
pemberdayaan dan pengembangan masyarakat adalah salah satu upaya
yang diberikan oleh perusahaan pertambangan mineral dan batubara untuk
memberikan kontribusi nyata bagi pola kehidupan masyarakat sekitar
dengan prioritas masyarakat yang berada dekat kegiatan operasional
49
penambangan dengan tidak melihat batas adminstrasi wilayah kecamatan/
kabupaten. program ini dapat dikonsultasikan dengan pemerintah terkait
dan masyarakat setepat. Terkait alokasi biaya, dianggarkan oleh anggaran
perusahaan tiap tahunnya.
Termaktub di dalam Pasal 107, bahwa:
“Pemegang IUP dan IUPK setiap tahun wajib
menyampaikan rencana dan biaya pelaksanaan program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari
rencana kerja dan anggaran biaya tahunan kepada Menteri,
Gubernur, atau Bupati/ Walikota sesuai dengan kewenangannya
untuk mendapat persetujuan”.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa rencana dan biaya anggaran
program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat daerah wajib
dilaporkan kepada pihak terkait tak ubahnya sebagai salah satu kontrol
yang dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk menjamin pelaksanaan
program ini11
yang kemudian di dalam Pasal 108, disebutkan bahwa:
“Setiap pemegang IUP Operasional Produksi dan IUPK
Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan realisasi program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setiap 6 (enam)
bulan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/ Walikota sesuai
dengan Kewenanganya”.
Salah satu bentuk kontrol pemerintah dalam upaya ini adalah
mewajibkan setiap pemangku produksi pertambangan mineral dan
batubara untuk melaporkan realisasi dari program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat tersebut untuk menjamin agar program tersebut
dapat terealisasi dengan baik. Ketentuan lebih lanjut mengenai program
ini akan dijelaskan di dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 109: “Ketentuan Lebih lanjut mengenai
Pengembangan dan Pemberdayaan masyarakat diatur dengan Peraturan
Menteri”.
11
Naskah Akademik Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
50
2. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan
Tambang Mineral dan Batubara dalam Peraturan Pemerintah Nomor
78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi Pasca Tambang.
Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah
perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap
air tanah dan air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan morfologi
dan topografi lahan.12
Lebih jauh lagi adalah perubahan iklim mikro yang
disebabkan perubahan kecepatan angin, gangguan habitat biologi berupa
flora dan fauna, serta penurunan produktifitas tanah dengan akibat menjadi
tandus atau gundul Dilakukan upaya reklamasi. selain bertujuan untuk
mencegah erosi atau mengurangi kecepatan aliran air limpasan, reklamasi
dilakukan untuk menjaga lahan agar tidak labil dan lebih produktif. Yang
pada akhirnya dengan reklamasi diharapkan menghasilkan nilai tambah
bagi lingkungan dan menciptakan keadaan yang jauh lebih baik
dibandingkan keadaan sebelumnya.13
Reklamasi pasca tambang merupakan salah satu aspek tanggung
jawab sosial dan lingkungan sebagaimana hal ini merupakan salah satu
bagian pertanggungjawaban korporasi terhadap operasi perusahaan di
bidang sumber daya alam dan mineral dalam kegiatan pertambangan
mineral dan batubara.Disebutkan di dalam BAB II tentang Prinsip
Reklamasi dan Pasca Tambang yang secara spesifik disebutkan di dalam
Pasal 2 bahwasanya berbunyi sebagai berikut:
“Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib
melaksanakan reklamasi, Pemegang IUP Operasi Produksi dan
IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan
pascatambang, Reklamasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan eksplorasi,
12
Sabtanto Joko Suprapto, Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang Dan Aspek
Konservasi Bahan Galian, http://psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?option=com_content&
view=article&id=609&It, Diakses pada Tanggal 30 Oktober 2019, Pukul 11:26 WIB
13 Naskah Akademik Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi Pasca
Tambang.
51
Reklamasi dan pasca tambang sebagaimana dimaksud pada Ayat
(2) dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan
pertambangan dengan sistem dan metode: Penambangan terbuka;
dan Penambangan bawah tanah”.
Terkait dengan pelaksanaan rencana pasca tambang dalam kegiatan
eksplorasi bisnis pertambangan mineral dan batubara, disebutkan di dalam
Pasal 10 pada poin (d) bahwa: “Rencana pascatambang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, yang salah satunya disebut sebagai Program
Pasca Tambang, meliputi: Reklamasi pada lahan bekas tambang dan lahan
di luar bekas tambang, Pemeliharaan hasil reklamasi, Pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat, dan Pemantauan.
3. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan
Tambang Mineral dan Batubara dalam Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang biasa dikenal dengan
CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan komitmen perusahaan
atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang
berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara
perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan hidup.14
CSR
merupakan praktek komitmen dari kepedulian komunitas bisnis terhadap
lingkungannya, baik itu lingkungan di luar perusahaan yakni masyarakat
berdampak maupun pihak yang terlibat dalam perusahaan tersebut, yakni
berkaitan dengan pekerja dan berhubungan dengan hal itu.15
Peraturan Pemerintah ini menjelaskan mengenai prinsip
pelaksanaan CSR di Indonesia, terdapat keterkaitan dengan prinsip
tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam lingkup khusus mengenai
14
Naskah Akademik Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan.
15 Sugeng Santoso, Konsep Corporate Social Responsibility dalam Perspektif Konvensional
dan Fiqh Sosial, h. 3
52
status CSR Perusahaan Tambang mineral dan batubara di Indonesia yang
notabennya diketahui memiliki dampak yang sangat signifikan baik secara
lingkungan dan sosial di sekitar perusahaan. Ketentuan tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
Ketentuan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan
disebutkan di dalam Pasal 3 sebagaimana berikut:
“Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 menjadi kewajiban bagi perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan
dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang”.
Kemudian ketentuan tersebut dilanjutkan dengan klausula yang
berbunyi sebagai berikut: “Kewajiban sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1) dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan perseroan”. dari
bunyi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tanggung jawab sosial dan
lingkungan terhadap perusahaan tambang mineral dan batubara sifatnya
adalah wajib yang dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan
perseroan.
Disebutkan di dalam Pasal 4, bahwasannya:
“Tanggung Jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh
Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan Perseroan setelah
mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS sesuai dengan
anggaran dasar perseroan, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan
Perundang-Undangan”.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh direksi
sesuai dengan rencana kerja perseroan sesuai denga persetujuan dewan
komisaris dalam RUPS yang dilakukan sesuai dengan anggaran
perusahaan. yang kemudian disebutkan di dalam ayat selanjutnya:
“Rencana kerja tahunan Perseroan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Kemudian di dalam
pelaksanaanya tersebut perseroan harus memperhatikan kepatutat dan
53
kewajaran yang kemudian realisasi nya tersebut diperhitungkan sebagai
biaya perseroan. ketentuan ini disebutkan di dalam Pasal 5.
Ditemukan adanya sanksi ataupun Punishment di dalam Pasal 7,
bahwa: “Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang tidak
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. yang dilanjutkan
reward ataupun penghargaan bagi setiap korporasi yang melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan ini. ketentuan tersebut ditentukan di
dalam Pasal 8 Ayat (2), yang berbunyi sebagai berikut: “Perseroan yang
telah berperan serta melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat diberikan penghargaan oleh
instansi yang berwenang”.16
4. Regulasi mengenai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan
Tambang Mineral dan Batubara dalam Peraturan Pemerintah Nomor
26 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang
baik.
Tak dapat dipungkiri setiap kerusakan lingkungan akibat usaha
atau kegiatan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia masih
menjadi masalah yang tak kunjung usai karena perilaku pengelola tambang
yang meninggalkan lahan begitu saja setelah lahan tersebut tidak produktif
lagi. padahal semestinya pengelola tambang harus mengusahakan
pembangunan berkelanjutan bagi warga sekitar lokasi tambang. oleh
karena itu, penting bagi pengelola tambang untuk mempraktikan good
mining practice.17
Penerapan prinsip ini akan dapat memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya untuk perusahaan, masyarakat, pemerintah, dan
lingkungan. Perusahaan akan dapat keuntungan yang maksimal secara
16
Naskah Akademik Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan.
17 Sarti Wanda Soamole, Pengelolaan Good Minning Practice pada Pengelolaan Limbah
Tambang,https://www.kompasiana.com/sartiwandas6347/5db04019097f361cee62df22/penerapan-
good-mining-practice-pada-pengelolaan-limbah-tambang?page=all, Diakses pada Tanggal 30
November 2019, Pukul 12:22 WIB
54
aman, masyarakat akan dapat peningkatan kesejahteraan, serta pemerintah
akan lebih efektif dalam kontrol pengawasan operasi usaha. Atas dasar
tersebut maka hadirlah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2018
Tentang Kaidah Pertambangan yang Baik. beberapa ketentuan berkaitan
dengan prinsip tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan tambang
mineral dan batubara disebutkan sebagai berikut:
Termaktub di dalam Pasal 4 Ayat (1), bahwa: “Pemegang IUP
Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/ atau pemurnian dalam
kegiatan pengolahan dan/ atau pemurnian wajib melaksanakan kaidah
pertambangan yang baik”. kemudian disebutkan di dalam Ayat (2) bahwa:
“Kaidah pertambangan yang baik untuk kegiatan pengolahan dan/ atau
pemurnian sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: Kaidah teknik
pengolahan dan/ atau pemurnian dan Tata kelola pengusahaan pengolahan
dan/ atau pemurnian. Ketentuan mengenai kaidah pertambangan yang baik
meliputi dasar ketentuan tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan sebagaimana disebutkan dalam Ayat (4) bahwa: “Tata kelola
pengusahaan pengolahan dan/ atau pemurnian sebagaimana dimaksud
pada Ayat (2) Huruf b meliputi pelaksanaan aspek salah satunya mengenai
Tanggung jawab sosial dan lingkungan”.
Kemudian terkait sanksi, di dalam Pasal 50 Ayat (5) disebutkan
sanksi adminstratid yang dapat dikenakan kepada korporasi yang
bersangkutan. di dalam klausula tersebut disebutkan bahwasanya:
“Pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/ atau
pemurnian yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 8 Ayat (1),Pasal 10 Ayat (2), Pasal 12 Ayat
(2), Pasal 16, Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (3), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 22
Ayat (3), Pasal 25, Pasal 29 Ayat (2), Pasal 31, Pasal 33. Pasal 35, Pasal
36 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (4), Pasal 37, Pasal 38 Ayat (2), dan Pasal
42 dikenakan sanksi adminstratif”. keterangan mengenai Sanksi
admindtratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan Ayat (7)
55
disebutkan di dalam Ayat (8). Sanksi tersebut berupa: Peringatan tertulis,
Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha, dan/ atau
Pencabutan izin.
Dijelaskan kembali di dalam Pasal 53 bahwa: “Sanksi adminstratif
berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 Ayat (8)
huruf c dikenakan kepada pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi,
IUP Operasi produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan
dan/ atau pemurnian, IUJP, atau IPR yang tidak melaksanakan kewajiban
sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi berupa
penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52”.
D. Potrait Kasus Permasalahan Lingkungan dan Sosial Akibat Eksplorasi
Tambang Mineral dan Batubara di Indonesia
Isu lingkungan hidup menjadi isu yang sangat penting mengingat
keberadaan lingkungan sangat krusial dalam kehidupan lingkungan dan sosial
masyarakat. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) memperkirakan, sekitar
70 (tujuh puluh) persen kerusakan lingkungan Indonesia karena operasi
pertambangan. Sekitar 3,97 juta hektare kawasan lindung terancam kerusakan
akibat kegiatan pertambangan, termasuk keragaman hayati di sana. Tak hanya
itu, daerah aliran sungai (DAS) rusak parah meningkat dalam 10 tahun
terakhir. Sekitar 4.000 DAS di Indonesia, 108 rusak parah.18
Sebagai contoh kasus pencemaran lingkungan akibat dari kegiatan
pertambangan, PT Newmont Nusa Tenggara (Newmont), telah beroperasi
selama 12 tahun tetapi warga desa dekat tambang, seperti Desa Tongo
Sejorong, Kabupaten Sumbawa Barat, sampai saat ini hidup dalam
kemiskinan. Mereka telah kehilangan sumber kehidupan, dari hutan sampai
air bersih. Kehidupan warga pun jauh dari sejahtera. Jarak tambang dari Desa
18
Charisma Rahma Dinasih, inilah wajah pertambangan Indonesia,
http://www.hijauku.com/2014/08/26/inilah-wajah-pertambangan-indonesia/, diakses pada tanggal
28 Mei 2019, pukul 23:30 WIB
56
Tongo-Sejorong, sekitar empat kilometer. Ini desa yang dilintasi pipa saluran
limbah ke Teluk Senunu. Desa ini terdekat tambang, terdiri dari Dusun
Tongo, Dusun Sejorong dan Dusun Temelang, ada sekitar 700 keluarga. Hutan
rusak, dan sungai-sungai tercemar. Sumber-sumber air warga pun habis,
otomatis mereka kesulitan air bersih. Untuk mendapatkan air bersih dari
Newmont, warga harus memiliki kartu khusus. “Jadi seakan masyarakat
tergantung dari Newmont. Padahal, karena tambanglah sumber air rusak,” kata
Ki Bagus dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Jatam juga akan
menginvestigasi limbah yang mengalir ke sungai itu.”19
Kemudian berkaitan dengan konflik sosial serta pencideraan hak-hak
masyarakat terdapat sejumlah kasus. diantaranya, Penguasaan lahan di
Kalimantan Barat (Kalbar) yang didominasi oleh perusahaan. Dengan total
penduduk 4,3 juta jiwa, lahan yang bisa diakses masyarakat hanya 700 ribu
hektar. Selebihnya, sudah dikapling untuk kepentingan perkebunan sawit, izin
usaha pertambangan, dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam
serta hutan tanaman. Seluas 1,5 juta hektar Izin Usaha Pertambangan (IUP) di
Kalimantan Barat diberikan kepada 651 perusahaan. Tinggal 30 persen atau
4,4 juta hektar luas daratan dapat diakses oleh 4,3 juta jiwa penduduk
Kalimantan Barat. Wilayah yang dapat diakses oleh masyarakat ini juga masih
harus dikurangi kawasan konservasi dan lindung seluas 3,7 juta hektar. Jadi,
sisa lahan 700 ribu hektar itu dibagi 4,3 juta penduduk. kondisi lahan yang
sangat sempit, bisa menimbulkan banyak persoalan bagi masyarakat. Apalagi,
bagi mereka yang menggantungkan hidup kepada lahan seperti pertanian,
karet, kelapa, holtikultura, dan jenis tanaman lokal lain. Konflik pemanfaatan
lahan akibat kegiatan investasi pertambangan, HTI-HPH dan perkebunan,
tidak hanya memposisikan masyarakat lokal berhadapan dengan perusahaan,
juga dengan pemerintah daerah. Bahkan konflik antarmasyarakat secara
horizontal. Tidak jarang, masyarakat berhadapan dengan aparat keamanan.
sejak 2004, konflik meningkat dari 26 menjadi 104 kasus. Bahkan 70 orang
19
Sapariah Saturi, Warga Sekitar Newmont yang Kehilangan Hutan Dan Hidup Dalam
Kemiskinan, https://www.mongabay.co.id/2013/08/26/warga-sekitar-newmont-yang-kehilangan-
hutan-dan-hidup-dalam-kemiskinan/, Diakses pada Tanggal 21 Oktober 2019, Pukul: 23:01 WIB
57
masyarakat desa dan aktivis telah ditahan dengan tuduhan menolak ekspansi
kegiatan eksplorasi pertambangan. 20
Di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara
(Malut), PT Weda Bay Nickel (WBN) memiliki konsesi tambang seluas
54.874 hektar, terbesar di Indonesia. Sekitar 35.155 hektar berada di hutan
lindung. Tak hanya konflik agraria, kerusakan lingkungan pun menjadi
permasalahan yang kerap terjadi sebagai akibat operasi perusahaan. Sejak
awal masuk pada 1999, perusahaan sudah berkonflik dengan masyarakat adat
Sawai dan Tobelo Dalam. Eksploitasi pertambangan oleh perusahaan ini
menyebabkan masyarakat adat terancam dan tersingkir dari tanah leluhur
mereka. konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat terjadi di
beberapa desa, seperti Desa Gemaf, Kobe, Sagea, Lelilef, dan Tobelo
Dalam. Perusahaan tambang masuk, hak-hak masyarakat adatpun terampas.
Perampasan tanah adat Suku Sawai, desa-desa mereka masuk konsesi. Juga
dengan Suku Tobelo Dalam. Wilayah adat mereka dikuasai perusahaan. Tak
hanya perampasan lahan, beberapa desa terancam di relokasi karena kampung
masuk dalam konsesi perusahaan. Di desa-desa masyarakat adat itu ada sekitar
140 keluarga. 21
20
Andi Fachrizal, Tersedot ke Perusahaan, Lahan Buat Warga Kalbar Tersisa 700 Ribu
Hektar, https://www.mongabay.co.id/2013/05/24/tersedot-ke-perusahaan-lahan-buat-warga-
kalbar-tersisa-700-ribu-hektar/, Diakses pada Tanggal 21 Oktober 2019, Pukul; 18:01 WIB
21 Sapariah Saturi, Weda Bay Nickel, Berkonflik dengan Masyarakat Adat, Hutan Lindung
pun Terancam,https://www.mongabay.co.id/2013/06/07/weda-bay-nickel-berkonflik-dengan-
masyarakat-adat-hutan-lindung-pun-terancam/, Diakses pada Tanggal 21 Oktober 2019, Pukul;
18:01 WIB
58
BAB IV
HARMONISASI PRINSIP HUKUM TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN
LINGKUNGAN PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN
BATUBARA DI INDONESIA
A. Tanggung Jawab Sosial-Lingkungan Perusahaan Pertambangan Mineral
dan Batubara dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan
Republik Indonesia menyebutkan: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 33 UUD NRI 1945 merupakan
pesan moral filosofis dan budaya dalam konstitusi Republik Indonesia di
bidang kehidupan Ekonomi.1 Makna penguasaan negara ialah negara
mempunyai kebebasan atau kewenangan penuh (volldige bevoegdheid) untuk
menentukan kebijaksanaan yang diperlukan dalam bentuk: Mengatur
(regelen), Mengurus (besturen), dan, Mengawasi (toezichthouden).
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 merupakan pesan moral dan pesan
budaya dalam konstitusi Republik Indonesia di bidang kehidupan ekonomi.2
Kekayaan alam milik rakyat Indonesia yang dikuasakan kepada Negara
diamanatkan untuk dikelola dengan baik untuk mencapai tujuan bernegara
Indonesia. Pemerintah sebagai representasi negara diberi hak untuk
mengelola (hak pengelolaan) kekayaan sumber daya alam agar dapat
dinikmati oleh rakyat banyak secara berkeadilan dan merata. Lebih lanjut,
kemakmuran rakyat merupakan semangat dan cita-cita negara kesejahteraan
(welfare state ) yang harus diwujudkan oleh negara dan pemerintah
Indonesia. Pengelolaan sumber daya alam merupakan salah satu instrumen
untuk mencapainya. Supaya sumber daya mineral dan batubara dapat
1 Elli Ruslina, Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pembangunan Hukum
Ekonomi Indonesia, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Pasundan, 2012), h.50
2 Elli Ruslina, “Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Pembangunan Hukum
Ekonomi Indonesia”, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Pasundan, 2012), h. 1
59
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran, maka negara telah
memberikan kewenangan kepada pemerintah dan/ atau pemerintah daerah
untuk menyelenggarakan penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber
daya mineral dan batubara. Pemerintah dan/ atau pemerintah daerah dapat
menyelenggarakan sendiri dan/ atau menunjuk pihak lainnya.
Namun yang terjadi saat ini ialah paradigma mengenai pemanfaatan
sumber daya alam lebih berorientasi pada sumber pendapatan demi meraih
keuntungan perusahaan sebesar-besarnya. Dalam UUD 1945, keberadaan
sumber daya mineral dan energi sebagai salah satu bagian dari sumber daya
alam di dalam perut bumi hanya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan
hidup manusia melalui kegiatan pertambangan. Saat ini Eksploitasi sumber
daya alam hanya diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa
memperhatikan secara proporsional kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Mayoritas perusahaan pertambangan mineral dan batubara lebih
mementingkan keuntungan perusahaan dan mengabaikan sumber daya alam
yang dapat diperbaharui yang tumbuh di atasnya.
Landasan filosofis religius berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
alam mineral telah dijelaskan di dalam Alquran. khususnya mengenai emas,
tembaga, perak dan batubara. Disebutkan di dalam AlQur’an Surat Fathir
Ayat (27), Allah SWT berfirman:
Artinya: “Tidaklah kamu melihat Bahwasannya Allah menurunkan
hujan dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan
yang beraneka macam jenisnya. Dan diantara gunung-gunung itu
ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya
dan ada pula yang hitam pekat”. (Q.S. Fathir: 27).
Dalam Realitasnya, bahwa sumber daya alam yang banyak
dieksploitasi oleh perusahaan berada di gunung. Sumber daya alam yang
berada di gunung itu meliputi: emas, tembaga, perak, dan batubara. kata garis
60
putih dan merah di dalam Alquran ditafsirkan sebagai emas, tembaga, dan
perak. sedangkan yang berwarna hitam pekat ditafsirkan sebagai batubara.
dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sumber daya alam merupakan
ciptaan Allah SWT yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi maka
pemanfaatanya juga harus diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat sebagai
salah satu upaya menciptakan Negara yang makmur (welfare state).3
Karena itu, konsep dan pola usaha pertambangan batubara harus
sesuai pada prinsip keadilan (equality), keseimbangan (balances), demokrasi
(democracy), dan keberlanjutan (sustainable) yang melibatkan antar generasi.
Konsep dan pola ini hanya dapat terlaksana dengan baik jika melibatkan
semua pihak yang terkait secara optimal.
Dampak yang dapat muncul dari adanya perusahaan tambang yang
beroperasi di daerah pemukiman antara lain pencemaran lingkungan.
Pencemaran kelestarian lingkungan tersebut menyangkut dimensi waktu tidak
hanya saat ini, tetapi juga masa yang akan datang, disamping itu juga
menyangkut dimensi ruang tidak hanya lokal, melainkan juga nasional
bahkan global. Keluasan intensitas perubahan lingkungan selalu lebih besar
dari pada yang telah direncanakan. Pada kenyataannya, perubahan lingkungan
tersebut, dikenal adanya efek samping dari proses pembangunan yang dapat
bersifat positif maupun negatif.
Sebagai contoh, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) sebagai salah
satu peneliti dan jaringan advokasi yang bergerak di bidang pertambangan
memperkirakan, sekitar 70 persen kerusakan lingkungan Indonesia
karena operasi pertambangan. Sekitar 3,97 juta hektare kawasan lindung
terancam kerusakan akibat kegiatan pertambangan, termasuk keragaman
hayati di sana. Tak hanya itu, daerah aliran sungai (DAS) rusak parah
3 Afzalur Rahman, Al-Quran Sumber Ilmu Pengetahuan. Diterjemahkan oleh DRS. H. M
Arifin., M.E.d, (Jakarta: Rhineka Cipta, 2000), h. 162
61
meningkat dalam 10 tahun terakhir. Sekitar 4.000 DAS di Indonesia, 108
rusak parah.4
Studi yang dilakukan oleh suhaela et al 1995 misalnya, menjelaskan
bahwa penambangan batubara di Bukit Asam (Sumatera Selatan) dan
Ombilin (Sumatera Barat) selain berdampak positif terhadap pemenuhan
sumber energi, juga berdampak negatif terhadap lingkungan, yaitu terjadinya
perubahan topografi, karena terbentuknya lubang-lubang bekas galian
tambang, gangguan biologi, perubahan aliran permukaan, penurunan mutu
udara dengan meningkatnya debu di udara, penurunan kesuburan tanah,
berkurangnya keanekaragaman flora dan fauna, serta timbulnya masalah
sosial pada masyarakat di sekitar lokasi pertambangan. Terdapat dampak
negatif selain lubang tambang dan air asam tambang yang langsung timbul
dari kegiatan pertambangan seperti: berkurangnya debit air sungai dan tanah,
pencemaran air, kerusakan hutan, hingga erosi, dan sedimentasi tanah,
dimana dampak ini masih eksplorasi sumber daya alam, maka diciptakan
suatu ketentuan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan suatu
perusahaan terhadap operasi perusahaan yang menggunakan atau
mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Ketentuan yang berlaku
tersebut tak ubahnya menjadi masalah yang belum terpecahkan secara tuntas
dalam kegiatan pertambangan di Indonesia.5
Bahkan tak hanya kasus lingkungan, konflik sosial pun acapkali
menjadi permasalahan yang menyorot kegiatan eksplorasi pertambangan.
Beberapa kasus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut; Penguasaan lahan di
Kalimantan Barat (Kalbar) yang didominasi oleh perusahaan. Dengan total
penduduk 4,3 juta jiwa, lahan yang bisa diakses masyarakat hanya 700 ribu
hektar. Selebihnya, sudah dikapling untuk kepentingan perkebunan sawit, izin
usaha pertambangan, dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan
4Charisma Rahma Dinasih ,“inilah wajah pertambangan Indonesia”,
http://www.hijauku.com/2014/08/26/inilah-wajah-pertambangan-indonesia/, Diakses pada Tanggal
28 Mei 2019, Pukul 23:30 WIB
5 Soemarwoto O, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), h. 3
62
alam serta hutan tanaman. Seluas 1,5 juta hektar Izin Usaha Pertambangan
(IUP) di Kalimantan Barat diberikan kepada 651 perusahaan. Tinggal 30
persen atau 4,4 juta hektar luas daratan dapat diakses oleh 4,3 juta jiwa
penduduk Kalimantan Barat. Wilayah yang dapat diakses oleh masyarakat ini
juga masih harus dikurangi kawasan konservasi dan lindung seluas 3,7 juta
hektar. Jadi, sisa lahan 700 ribu hektar itu dibagi 4,3 juta penduduk. kondisi
lahan yang sangat sempit, bisa menimbulkan banyak persoalan bagi
masyarakat. Apalagi, bagi mereka yang menggantungkan hidup kepada lahan
seperti pertanian, karet, kelapa, holtikultura, dan jenis tanaman lokal lain.
Konflik pemanfaatan lahan akibat kegiatan investasi pertambangan, HTI-
HPH dan perkebunan, tidak hanya memposisikan masyarakat lokal
berhadapan dengan perusahaan, juga dengan pemerintah daerah. Bahkan
konflik antarmasyarakat secara horizontal. Tidak jarang, masyarakat
berhadapan dengan aparat keamanan. sejak 2004, konflik meningkat dari 26
menjadi 104 kasus. Bahkan 70 orang masyarakat desa dan aktivis telah
ditahan dengan tuduhan menolak ekspansi kegiatan eksplorasi
pertambangan.6 Akibat operasi kegiatan pertambangan di daerah tersebut
menyebabkan konflik yang berkepanjangan. bahkan kebijakan yang hadir
naisnya tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan hanya mengutamakan
kepentingan operasi usaha pertambangan.
Potrait-potrait kerusakan lingkungan dan konflik sosial menjadi
masalah yang utama terkait dengan keberlangsungan operasi usaha kegiatan
eksplorasi pertambangan mineral dan batubara. Kekhawatiran akan
kecenderungan dampak negatif yang timbul dari kegiatan usaha tersebut
menjadi kegelisahan rakyat setempat. Isu-isu sosial dan lingkungan
merupakan salah satu dari sederet tantangan yang sulit dihadapi oleh
perusahaan pertambangan mineral dan batubara. Isu tersebut mengakibatkan
dampak negatif pada lapangan kerja, manajemen resiko, permintaan
6 Andi Fachrizal, “Tersedot ke Perusahaan, Lahan Buat Warga Kalbar Tersisa 700 Ribu
Hektar”, https://www.mongabay.co.id/2013/05/24/tersedot-ke-perusahaan-lahan-buat-warga-
kalbar-tersisa-700-ribu-hektar/, Diakses pada Tanggal 21 Oktober 2019, Pukul; 18:01 WIB
63
konsumen, reputasi, dan biaya operasi. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, maka salah satu inovasi yang ada adalah terkait dengan ketentuan
tanggung jawab sosial lingkungan yang berlaku bagi perusahaan tersebut.
Seiring berkembangnya dunia usaha, maka pemerintah bersama
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melakukan
penyempurnaan terhadap Undang-Undang Perseroan Terbatas yang lama
yakni; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 yang diganti dengan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2009. Undang-undang tersebut dinilai dapat
mengakomodir kegiatan bisnis perusahaan di Indonesia. Salah satunya
mengenai permasalahan yang acapkali terjadi dalam perkembangan dunia
bisnis yang mengeksploitasi sumber daya alam yakni dalam mengatasi
problematika lingkungan dan sosial pada permasalahan terkait sosial dan
lingkungan yang diakibatkan dari operasi dan eksploitasi perusahaan tersebut.
Terdapat beberapa ketentuan dalam UUPT mengenai tanggung jawab sosial
dan lingkungan. Tak ubahnya ketentuan tersebut sebagai salah satu solusi
yang efektif menanggapi permasalahan sosial dan lingkungan bagi
perusahaan pengeksploitasi sumber daya alam. Tanggung jawab sosial
lingkungan dalam pasal ini cenderung dianggap sebagai sebuah kewajiban
bagi perseroan yang berkegiatan usaha mengolah atau berkaitan dengan
sumber daya alam saja.7 Ketentuan tersebut berbunyi sebagai berikut:
Ketentuan di dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas yang mengandung kaidah terkait kewajiban
tanggung jawab sosial dan lingkungan suatu perusahaan yang memanfaatkan
sumber daya alam di Indonesia tak terkecuali berkaitan dengan kegiatan
eksplorasi pertambangan mineral dan batubara adalah sebagai berikut:
7 Marthin, Marthen B. Salinding, Inggit Akim, Implementasi Prinsip Corporate Social
Responsibility (CSR) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas, (Tarakan: Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan, 2017), h. 115
64
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan;
2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran;
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Di dalam pasal tersebut tertuliskan mengenai kewajiban bagi setiap
perusahaan dalam bidang usaha yang berkaitan dengan eksploitasi sumber
daya alam terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan demi terciptanya
hubungan perseroan dan kegiatan usaha yang serasi, seimbang, dan sesuai
dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat sekitar. hal ini
sejalan sesuai dengan landasan filosofis UUD NRI dalam upaya pemanfaatan
sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat. Tanggung jawab sosial dan
lingkungan atau yang akrab disebut sebagai corporate social responsibility
merupakan sebuah kebutuhan bagi korporat untuk dapat berinteraksi dengan
komunitas lokal sebagai bentuk pendekatan masyarakat secara keseluruhan.
Kebutuhan korporat untuk beradaptasi dan guna mendapatkan keuntungan
sosial dari hubungannya dengan komunitas lokal, sebuah keuntungan sosial
berupa kepercayaan (trust). CSR tentunya sangat berkaitan dengan
kebudayaan perusahaan dan etika bisnis yang harus dimiliki oleh budaya
perusahaan, karena untuk melaksanakan CSR diperlukan suatu budaya yang
didasari oleh etika yang bersifat adaptif.8 Sumber daya alam sendiri yang
8 Bambang Rudito dan Melia Famiola, CSR (Corporate Social Responsibility), (Bandung:
Penerbit Rekayasa Sains, 2013), h. 1-2
65
dimaksudkan merupakan sumber daya alam yang terbarukan maupun tidak
terbarukan. Karena pemanfaatannya telah diamanahkan dalam UUD 1945
agar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta
memaksimalkan kesejahteraan rakyat.
Masyarakat pada umumnya sangat menyambut dengan antusias pola
CSR terkait operasi bisnis pertambangan mineral dan batubara. terlebih
dengan kondisi bahwa industri pertambangan merupakan industri yang
memiliki dampak sosial dan lingkungan yang relatif tinggi jika dibandingkan
dengan industri lainnya. Industri ini mengambil dan memanfaatkan sumber
daya alam yang berada di bawah permukaan bumi untuk kemudian
diekstraksi dan diproses lebih lanjut menjadi produk-produk akhir yang
dibutuhkan pasar. Dampak dari kegiatan eksplorasi sering sekali bersentuhan
dengan daya dukung lingkungan hidup.9
Penerapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan salah
satu cara ataupun aplikasi perusahaan dalam mewujudkan tata kelola
perusahaan yang baik atau yang biasa disebut sebagai Good Corporate
Governance. Good Corporate Governance sendiri merupakan suatu sistem
dan proses yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha
disamping bertujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan dalam jangka
panjang dengan memperhatikan kepentingan stakeholders serta berlandaskan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip Responsibility
yang terdapat dalam kesatuan prinsip GCG merupakan prinsip yang selaras
dengan kaidah CSR. Berdasarkan prinsip Responsibility, setiap perusahaan
bertanggung jawab terhadap segala hal yang berhubungan dengan kegiatan
operasi perusahaan. Salah satunya, berkenaan dengan tanggung jawab sosial
dan lingkungan perusahaan
9 Dede Abdul Hasyir, Perencanaan CSR pada Perusahaan Pertambangan Kebutuhan untuk
terlaksananya Tanggung Jawab Sosial yang Terintegrasi dan Komprehensif, (Bandung: Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Departemen Akuntansi, Universitas Padjajaran, 2016), h. 106
66
Tentunya dalam implementasinya, Tanggung Jawab sosial dan
lingkungan atau CSR dalam mewujudkan Good Corporate Governance
diperlukan prinsip hukum yang jelas serta adanya kepastian hukum yang
mengatur secara spesifik mengenai kaidah tersebut. Selama ini masih sedikit
perusahaan yang sadar dan serius dalam melakukaan program CSR ini.
Mungkin salah satunya dikarenakan masih minimnya pengetahuan mengenai
prinsip yang berlaku bagi setiap korporat yang menjalankan kegiatan
usahanya dalam bidang yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam
di Indonesia. Bahkan permasalahan yang acapkali terjadi menimbulkan
banyak sikap kontra dari masyarakat dalam kegiatan usaha pertambangan
sebab dirasa merugikan dan menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap
masyarakat sekitar usaha pertambangan seperti kasus di Halmahera.
Di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara
(Malut), PT Weda Bay Nickel (WBN) memiliki konsesi tambang seluas
54.874 hektar, terbesar di Indonesia. Sekitar 35.155 hektar berada di hutan
lindung. Tak hanya konflik agraria, kerusakan lingkungan pun menjadi
permasalahan yang kerap terjadi sebagai akibat operasi perusahaan. Sejak
awal masuk pada 1999, perusahaan sudah berkonflik dengan masyarakat adat
Sawai dan Tobelo Dalam. Eksploitasi pertambangan oleh perusahaan ini
menyebabkan masyarakat adat terancam dan tersingkir dari tanah leluhur
mereka. konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat terjadi di
beberapa desa, seperti Desa Gemaf, Kobe, Sagea, Lelilef, dan Tobelo
Dalam. Perusahaan tambang masuk, hak-hak masyarakat adatpun terampas.
Perampasan tanah adat Suku Sawai, desa-desa mereka masuk konsesi. Juga
dengan Suku Tobelo Dalam. Wilayah adat mereka dikuasai perusahaan. Tak
hanya perampasan lahan, beberapa desa terancam di relokasi karena kampung
masuk dalam konsesi perusahaan. Di desa-desa masyarakat adat itu ada
sekitar 140 keluarga. 10
Kasus kerusakan lingkungan dan konflik sosial
10
Sapariah Saturi, Weda Bay Nickel, Berkonflik dengan Masyarakat Adat, Hutan Lindung
pun Terancam,https://www.mongabay.co.id/2013/06/07/weda-bay-nickel-berkonflik-dengan-
67
masyarakat adat menjadi hal yang sengit diperbincangkan oleh kalangan
pebisnis, pemerhati sosial dan lingkungan serta para tetuah adat. Pasalnya hal
ini sangat berdampak bagi kegiatan masyarakat adat di Halmahera bahkan
banyak aktifitas sosial dan perekonomian masyarakat adat tersebut terhalang
karena adanya aktifitas pertambangan di daerah mereka. Patutnya hal seperti
ini menjadi kegelisahan dan catatan urgensi bisnis yang dilakukan oleh para
perusahaan yang bergerak di bidang pengeksploitasian pertambangan mineral
dan batubara di Indonesia yang pada hasilnya akan tercipta Good Corporate
Governance yang akan membawa dampak positif baik secara sosial dan
keseimbangan fungsi lingkungan sebab pada prakteknya perusahaan
menjalankan bisnis dengan memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan
masyarakat daerah.
Prinsip yang terkandung dalam kaidah tanggung jawab sosial dan
lingkuungan menjadi salah satu instrumen hukum yang strategis untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menciptakan kelestarian
lingkungan hidup.11
Pelaksanaan GCG pada program CSR menunjukan
dengan diterapkannya Good Corporate Governance melalui program CSR
maka image perusahaan juga akan meningkat. Karena laporan perusahaan
telah menggunakan triple bottom line yang artinya perusahaan tidak hanya
berpijak pada single bottom line yaitu nilai perusahaan atau mengejar profit
semata melainkan tanggung jawab perusahaan diorientasikan kepada 3 aspek
yaitu, profit, people, planet. Seperti halnya konsep yang digagas oleh John
Elkington dan terkenal dengan istilah Triple Bottom Line, dari sini dapat
dititikberatkan bahwa idealnya perusahaan tambang tidak hanya
mempertimbangkan aspek keuntungan sebesar-besarnya dalam
masyarakat-adat-hutan-lindung-pun-terancam/, Diakses pada Tanggal 21 Oktober 2019, Pukul;
18:01 WIB
11 Naskah Akademik Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan
68
mengeksploitasi sumber daya alam dan pemasarannya, melainkan harus
memperhatikan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat juga.12
Berdasarkan penelitian-penelitian mengenai GCG dalam implementasi
CSR juga dapat dilihat dari sustainability Report Ricoh Group yang
menggunakan Good Corporate Governance dalam implementasi CSR
sehingga membuat program tersebut lebih terarah, fokus, terstruktur, dan
mengalami progresivitas terhadap program CSR terkhusus dalam bisnis
pertambangan mineral dan batubara. Dengan adanya CSR terkhusus dalam
bidang pertambangan Mineral dan batubara, maka akan terminimalisir
berbagai kekhawatiran tersebut sebab pada konsepnya CSR dalam konsep
hukum bisnis di Indonesia dipersiapkan sebagai salah satu aplikasi berbisnis
yang menyelamatkan lingkungan serta menghormati kebudayaan sosial yang
berlaku di dalam lingkungan masyarakat.
Pengharmonisasian prinsip tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan tambang mineral dan batubara dilakukan agar dapat teridentifikasi
dengan jelas bagaimana prinsip yang berlaku mengenai konsep tanggung
jawab sosial dan lingkungan yang berlaku di Indonesia, Peneliti telah
memaparkan beberapa regulasi yang terkait dan berhubungan dengan
ketentuan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan
tambang mineral dan batubara di Indonesia pada bab sebelumnya. Agar dapat
ditemukan kesatuan prinsip hukum yang berlaku mengenai kaidah tanggung
jawab sosial dan lingkungan perusahaan pertambangan mineral dan batubara
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga pada hasilnya
akan dapat diimplementasikan dengan baik. Adapun hierarki dari ketentuan
tersebut, peneliti gambarkan dalam kesatuan segitiga hierarki sebagai berikut:
12
Aisya Morina Haque, Penerapan Aspek 3P (Profit, People, Planet) Usaha Menjaga
Suistainability Perusahaan Pertambangan, http://morinahaque.blogspot.com/2016/01/penerapan-
aspek-3p-profit-planet-people.html, Diakses pada Tanggal 23 Oktober 2019, Pukul; 10:48 WIB
69
Pengharmonisasian atau Sinkronisasi peraturan perundang-undangan
sendiri adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada
dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Adapun tujuan
dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan
suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang
memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efektif dan efisien.
Dalam penelitian ini, sinkronisasi peraturan perundang-undangan dilakukan
dengan dua cara, yakni yang pertama dengan cara sinkronisasi vertikal yang
lewat media ini peneliti berusaha untuk melihat, menelaah, memperhatikan
serta mengkaji peraturan perundang-undangan yang bersifat vertikal dari
hierarki teratas sampai kemudian anak perundang-undangan yang berlaku
sesuai dengan permasalahan penelitian ini. Kemudian cara yang kedua,
70
Sinkronisasi Horizontal, dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan
perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau
terkait.13
Proses sinkronisasi ini dilakukan dengan melakukan inventarisasi
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ketentuan mengenai
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan tambang mineral dan
batubara di Indonesia serta diurutkan berdasarkan hierarki peraturan
perundang-undangan yang berkiblat pada Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Dari gambar tersebut nampak jelas mengenai beberapa peraturan
terkait dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam lingkup
perusahaan tambang mineral dan batubara di Indonesia. Sejak disahkannya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, yang
dalam Bab V tertera mengenai aturan hukum yang pertama terkait konsep
CSR di Indonesia yang dikenakan kewajiban bagi setiap korporasi yang
bergerak dalam operasi bisnis sumber daya alam. Sumber daya alam yang
dimaksud termasuk Sumber daya alam yang terbarukan serta sumber daya
alam yang tidak dapat dipulihkan (non renewable atau deposit resources).14
Hal ini selaras dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 tentang
pengeksploitasian kekayaan alam di bumi Indonesia yang penggunaannya
diarahkan untuk kesejahteraan rakyat serta kemakmuran bangsa Indonesia.
Sehingga dapat dikatakan aplikasi tanggung jawab sosial dan lingkungan
dalam kegiatan eksplorasi tambang mineral dan batu bara merupakan
pengejewantahan dari Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945.
Konsepsi ini peneliti kaitkan dengan beberapa undang-undang segaris
atau pun sederajat dan beberapa peraturan terkait di bawahnya. Ditelaah lebih
lanjut mengenai Ketentuan dalam UUPT tersebut, terkait kewajiban tanggung
13
Novianto M. Hantoro, “Bagian Pertama Hukum tata negara/ Hukum Konstitusi, (Jakarta:
Peneliti Madya bidang Hukum Tata Negara, 2015), h.8-9
14 Akhmad Fauzi, “Ekonomi Sumber Daya Alam dan Mineral: Teori dan aplikasi”, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h.11
71
jawab sosial dan lingkungan di bidang sumber daya alam secara horizontal
memiliki hubungan yang saling melengkapi. Namun ada beberapa klausula
dalam undang-undang tersebut yang tidak selaras satu sama lain. Beberapa
undang-undang tersebut penulis gambarkan keterkaitannya sebagai berikut:
Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal disebutkan bahwa: setiap penanam modal berkewajiban
untuk Menerapkan Prinsip tata kelola Perusahaan yang baik dan
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Pengertian tanggung jawab
sosial tersebut lebih menekankan perlunya perusahaan mencapai hubungan
yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan
budaya masyarakat setempat. Sekilas juga bermakna tidak hanya sekedar
mengganggu kedamaian lingkungan sekitar saja, tanpa disertai
pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat yang terjadi dari operasi kegiatan
bisnis pertambangan seperti dalam kasus-kasus yang tersebar di sumatera,
halmahera, kalimantan barat, sumatera serta kasus lainnya di pelosok
nusantara. Frasa pun ini sejalan dengan apa yang termaktub dalam Pasal 74
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, yang
bunyinya sebagai berikut: “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”. Dari undang-undang Penanaman
UU PMA
UU PT
UU
MINERBA
UU
PPLH
72
modal, ditemukan benang merah mengenai kewajiban tanggung jawab sosial
suatu perusahaan yang kemudian dilanjutkan dengan klausula khusus dalam
undang-undang perseroan terbatas bahwa kewajiban tanggung jawab sosial
lingkungan tersebut berlaku bagi setiap korporasi yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang eksplorasi sumber daya alam. Jika membedah kegiatan
yang termasuk di dalamnya eksplorasi sumber daya alam, dapat
diklasifikasikan menjadi dua bidang. Yakni: sumber daya alam yang
terbarukan dan sumber daya alam yang tidak terbarukan.15
Salah satu bagian
dari sumber daya alam yang tak terbarukan tersebut adalah kegiatan
eksplorasi pertambangan mineral dan batubara. Yang notabenya menjadi
objek penelitian dalam penelitian ini. Namun terkait dengan kelanjutan dari
klausula tersebut mengenai ketentuan lebih lanjut akan dijelaskan dalam
peraturan pemerintah sebagai bahan yuridis implementasinya.
Dari diagram cycle horizontal mengenai kaidah tanggung jawab sosial
dan lingkungan perusahaan tambang mineral dan batu bara dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, peneliti telah menemukan
hubungan yang selaras antara Undang-Undang Penanaman Modal Asing
dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Namun dalam Undang-Undang
Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak ditemukan terkait dengan klausula
yang berbunyi mengenai kaidah prinsip hukum yang berlaku tentang
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan yang beroperasi dalam
kegiatan eksplorasi tambang mineral dan batubara. Peneliti hanya
menemukan bagian yang sedikit menyinggung ketentuan CSR dan tetap
berkaitan dengan prinsip yang disebutkan dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas dan Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Ketentuan dalam
Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut disebutkan
dalam Pasal 108 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pertambangan Mineral dan
Batubara yang berbunyi bahwasannya: “Pemegang IUP dan IUPK wajib
menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat”,
15
Muhammad Ilham Arisaputra, Reforma agraria di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika,
2015), h. 61
73
dilanjutkan dengan klausula yang berbunyi, “Penyusunan program dan
perencanaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dikonsultasikan kepada
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat”. Pola pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat tersebut, merupakan salah satu bagian dari pola
CSR di bagian sosial yang sangat berkaitan dengan kebudayaan perusahaan
dan etika bisnis yang harus dimiliki oleh budaya perusahaan, karena untuk
melaksanakan CSR diperlukan suatu budaya yang didasari oleh etika yang
bersifat adaptif. Keuntungan sosial diperlukan oleh korporat berupa
kepercayaan (trust) dari masyarakat terhadap korporat dan pada gilirannya
akan dapat mencegah konflik sosial antara masyarakat dengan korporat.16
Dari ke tiga undang-undang tersebut berkaitan dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang menjadi pengawal dalam pelaksanaan pengelolaan
sumber daya alam di Indonesia. Sebab sumber daya alam dan lingkungan
hidup merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Prinsip berbisnis
dalam perekonomian nasional didasarkan untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang maju demi mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam
Pasal 3 Huruf h Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, disebutkan dengan jelas bahwa salah satu tujuan dari perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup adalah “mengendalikan sumber daya alam
secara bijaksana”. Hal tersebut sebagai salah satu landasan yuridis mengenai
konsep tanggung jawab sosial lingkungan dalam operasi pertambangan
mineral dan batu bara. Tentunya hal ini sebagai amanah terkhusus bagi setiap
korporasi pertambangan mineral dan batubara untuk menjalankan bisnis
tersebut dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada secara bijaksana.
Undang-Undang ini pun sebagai salah satu undang-undang preventif
dalam menangani pencegahan kerusakan lingkungan maupun konflik sosial
yang akan terjadi dalam kegiatan operasi perusahaan. Pasal 22 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 memberikan peringatan bahwa: “Setiap usaha
16
Sugeng Santoso, Konsep Corporate Social Responsibility dalam Perspektif Konvensional
dan Fiqh Sosial, h. 3
74
dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib
memiliki AMDAL”. Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria: (1)
Besar jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan; (2) Luas wilayah penyebaran dampak; (3) Intensitas dan lamanya
dampak berlangsung; (4) Banyaknya komponen Lingkungan Hidup lain yang
terkena dampak; (5) Sifat kumulatif dampak; (6) Berbaik atau tidak
berbaliknya dampak, dan/atau; (7) Kriteria lain sesuai perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pasal 23 Ayat (1b) disebutkan kriteria usaha dan/
atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib
dilengkapi AMDAL yang terdiri atas beberapa komponen, salah satunya
adalah: Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbarukan maupun yang
tidakterbarukan. Tentu hal ini menjadi salah satu langkah preventif bagi
setiap korporasi pertambangan mineral dan batubara untuk mempersiapkan
AMDAL sebelum melakukan operasi pertambangan.
Secara horizontal, keselarasan dalam harmonisasi peraturan
perundang-undangan terkait tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan mineral dan batubara di Indonesia memiliki hubungan yang jelas
berkaitan, dalam hal ini peneliti memperhatikan hubungan yang berkaitan
secara horizontal dalam ke empat undang-undang tersebut. Namun peneliti
mengkritisi berdasarkan analisis kajian isi (content), kata-kata (word), makna
(meaning), simbol, ide-ide, tema, dan berbagai pesan lainya yang terdapat
pada isi Undang-Undang17
serta Regulasi yang berkaitan dengan penelitian
skripsi ini, terdapat ketidaksesuaian atau disharmonisasi konsep dan
mekanisme tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam
peraturan perundang-undangan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Peraturan Perundang-undangan tersebut seperti berusaha untuk saling-
melengkapi namun ada perbedaan konsep yang ada serta pengaturan ini
tersebar dalam berbagai undang-undang sehingga muncul beragam konsep
yang simpang-siur. klausula dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
17
Suteki dan Galang Taufani, Metode Penelitian Hukum (filsafat, teori, dan praktis), (Depok:
PT Raja Grafindo Persada, 2018), h. 267
75
Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sendiri sebagai undang-undang
khusus terkait pertambangan mineral dan batu bara, yang terlihat berbeda
dengan konten CSR sebagaimana berbunyi, “Pemegang IUP dan IUPK wajib
menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat”. Hal ini
menunjukan klausula tersebut masih tidak selaras dengan yang disebutkan di
dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, walaupun sebenarnya program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dari
tanggung jawab sosial perusahaan.
Setelah peneliti menelaah harmonisasi prinsip hukum tanggung jawab
sosial dan lingkungan kegiatan pertambangan mineral dan batubara dalam
peraturan perundang-undangan secara horizontal, maka selanjutnya peneliti
melakukan kajian khusus harmonisasi peraturan perundang-undangan yang
dilakukan secara vertikal, dengan memperhatikan hierarki peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan konsep tanggung jawab
sosial dan lingkungan perusahaan tambang mineral dan batubara di Indonesia.
Secara vertikal terdapat beberapa ketentuan terkait yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Dalam BAB XII Pasal 106 Tentang Pengembangan dan
Pemberdayaan Masyarakat di sekitar WIUP dan WIUPK Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009, terdapat klausula yang berbunyi terkait dengan
“Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat diprioritaskan untuk
masyarakat di sekitar WIUP dan WIUPK yang terkena dampak langsung
akibat aktifitas pertambangan”. Ketentuan ini sebagai salah satu perlindungan
hukum bagi masyarakat sekitar yang bermukim di lokasi pertambangan.
Didukung juga mengenai regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun
2010 Tentang Reklamasi Pasca Tambang Program Pasca Tambang, dalam
Pasal 10 tentang rencana pasca tambang yang meliputi: Reklamasi pada lahan
bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang, Pemeliharaan hasil
reklamasi, Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; dan Pemantauan.
76
Kesatuan prinsip hukum tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan pertambangan mineral dan batubara secara vertikal didukung
dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010
Tentang Reklamasi Pasca Tambang. di dalam peraturan tersebut, termaktub
bahwasannya BAB II tentang Prinsip Reklamasi dan Pasca Tambang yang
secara spesifik disebutkan di dalam Pasal 2 bahwasanya berbunyi sebagai
berikut: Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib melaksanakan
reklamasi, Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi
wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang, Reklamasi sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan
eksplorasi, Reklamasi dan pasca tambang sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan pertambangan dengan
sistem dan metode: Penambangan terbuka; dan Penambangan bawah tanah.
Di dalam ketentuan PP ini tidak disebutkan secara jelas mengenai
tanggung jawab sosial lingkungan perusahaan tambang, frasa yang ditemukan
di dalam Pasal 10 terkait dengan Pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat sebagai salah satu program pasca tambang. Reklamasi pasca
tambang merupakan salah satu aspek tanggung jawab sosial dan lingkungan
sebagaimana hal ini merupakan salah satu bagian pertanggungjawaban
korporasi terhadap lingkungan dari operasi perusahaan di dalam kegiatan
pertambangan mineral dan batubara.
Prinsip hukum mengenai tanggung jawab sosial lingkungan
perusahaan tambang mineral dan batubara di Indonesia bersifat wajib
didukung dengan pengharmonisasian undang-undang secara vertikal dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan. Yang disebutkan dalam Pasal 3 Ayat (1) yang berbunyi
sebagai berikut:
“Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 menjadi kewajiban bagi perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan
sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang”.
77
Dalam pasal selanjutnya, diberikan arahan bahwa Tanggung Jawab
sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja
tahunan Perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau
RUPS sesuai dengan anggaran dasar perseroan, kecuali ditentukan lain dalam
Peraturan Perundang-Undangan. Rencana kerja tahunan harus memuat
rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung
jawab sosial dan lingkungan. Artinya setiap perusahaan adalah berkewajiban
mencantumkan rencana dan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan
untuk masyarakat sekitar sebagai bentuk pengabdian korporat terhadap
masyarakat sekitar baik secara sosial maupun lingkungan. Perencanaan
penyelengaraan tersebut bertujuan untuk menentukan alokasi anggaran serta
mengetahui permasalahan dan kebutuhan penerima manfaat. Perencanaan
merupakan satu kesatuan bagian dengan rencana kerja dan anggaran
perusahaan. Untuk mengetahui permasalahan dan kebutuhan penerima
manfaat, perusahaan melakukan 3 kegiatan diantaranya: kegiatan identifikasi
permasalahan penerima manfaat, pemetaan penerima manfaat, dan
penyusunan program.18
PP tersebut menandakan bahwa pelaksanaan CSR di Indonesia
bukanlah lagi bersifat kedermawanan atau sukarela yang bergantung pada
moral individu setiap perusahaan, melainkan bersifat mandatory atau
kewajiban. Secara garis besar PP ini terkesan memberikan dukungan terhadap
kegelisahan para pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara dalam
menerapkan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Secara garis besar, konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan
lebih banyak memiliki dampak yang positif dari pada yang negatif karena
pada dasarnya konsep ini membawa perbaikan kehidupan di bidang ekonomi,
sosial, dan lingkungan masyarakat sekitar perusahaan. Dengan berubahnya
kewajiban konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan dari kewajiban
18
Naskah Akademik Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan, h. 73
78
moral menjadi kewajiban hukum bagi setiap perusahaan terutama yang
bergerak di bidang pengeksploitasian sumber daya alam sebagai pemenuhan
rasa keadilan untuk menjamin kesejahteraan. Prioritas politik perekonomian
yang demokratis adalah diletakannya kemakmuran masyarakat di atas
kemakmuran seseorang. Pengusaha tentu harus mengubah paradigma berfikir
bahwa pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan
tidaklah merugikan perusahaan. Sebaliknya, antara perusahaan dan
masyarakat terdapat hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.
Namun ditelaah lebih lanjut, Peneliti menemukan terdapat sejumlah
kelemahan dalam PP Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan. Di antara kelemahan dari PP ini sebagai berikut: PP Nomor
47 Tahun 2012 aturan pelaksana yang hadir sebagai kiblat CSR di Indonesia
tidak merinci bagaimana proses penerapan prinsip kewajiban yang berlaku
untuk konsep tanggung jawab sosial dan bahwa lingkungan di Indonesia. Di
dalam penjelasannya, PP ini hanya menjelaskan pengaturan tanggung jawab
sosial dan lingkungan dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan perseroan dan
potensi resiko yang harus ditanggung oleh perseroan sesuai dengan kegiatan
usahanya yang tidak mengurangi kewajiban sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.19
Sedangkan nilai kepatutan
dan kewajaran satu perusahaan tentu tidak lah sama dengan perusahaan lain,
batasan nilai kepatutan dan kewajaran pun belum bisa dijadikan acuan
kongkrit perusahaan dalam mengimplementasikan tanggung jawab sosial dan
lingkungan.
Kepatutan dan kewajaran sebagaimana disebutkan dalam ketentuan
tersebut bersifat sangat general serta dapat menimbulkan kesimpang-siuran
interpretasi hukum sehingga dapat menyebabkan kerancuan praktek CSR di
Indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak juga disebutkan standar
19 Letezia Tobing, “Aturan-aturan Hukum Corporate Social Responsibility”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52716870e6a0f/aturan-aturan-hukum-
corporate-social-responsibility/, Diakses pada Tanggal 23 Oktober 2019, Pukul 14:45 WIB
79
alokasi dana CSR yang dapat dijalankan oleh perusahaan bersangkutan. Tidak
terdapatnya acuan dana CSR tersebut menimbulkan dilematika praktek CSR
di Indonesia. Sehingga tak dapat dipungkiri masih banyak perusahaan yang
meniscayakan program CSR dalam daftar program kerja tahunan perusahaan.
Usulan terkait dengan alokasi dana CSR masih berupa wacana dan menjadi
perdebatan yang hangat dalam proses persidangan di Komisi VIII DPR-RI
sejak tahun 2017 bahkan hingga saat ini. Wakil Ketua Komisi VIII DPR
Abdul Malik Haramain mengatakan, dari usulan yang masuk, besaran dana
CSR yang harus diberikan perusahaan harusnya mencapai 2 persen, 2,5
persen, atau 3 persen dari keuntungan. Komisi VIII DPR RI juga
mengusulkan agar segera dibentuk RUU Tanggung Jawab Sosial Lingkungn.
Malik selaku perwakilan Komisi VIII DPR RI mengatakan, RUU Tanggung
Jawab Sosial diinisiasi dengan beberapa tujuan. Pertama, memperkuat
kewajiban bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial
mereka ke masyarakat. Selama ini pelaksanaan program CSR walau sudah
ada, namun masih lemah regulasi. Dari sisi akuntabilitas, pelaksanaan
program CSR juga dilihat oleh DPR rendah dan tidak transparan. sehingga
melalui rancangan undang- undang ini, pelaksanaan program CSR yang
selama ini tidak terkoordinasi dengan baik, akan ditata.20
Sebagai payung hukum khusus (Lex Specialis Derogat Lex Generalis)
pelaksanaan tanggung jawab sosial lingkungan suatu perusahaan di Indonesia,
PP ini terlihat belum sempurna sebab PP ini tidak memperhatikan proses
pelaksanaan, pengawasan, bentuk-bentuk CSR yang dapat diterapkan,
klasifikasi perusahaan yang melakukan CSR, serta prinsip
pertanggungjawaban perusahaan secara lebih kongkrit. Sejatinya hukum yang
tertulis harus memuat peraturan perundang-undangan yang mampu menjadi
payung hukum serta meneduhkan segala permasalahan terkait dengan gejala
sosial lingkungan yang berlaku dalam undang-undang tersebut. Namun
20
Agus Triyono dan Dikky Setiawan, "DPR Siapkan UU soal CSR, Perusahaan Akan
Dibebankan 2 Persen hingga 3 Persen", https://nasional.kompas.com/read/2016/04/25/09114111/
DPR.Siapkan.UU.soal.CSR.Perusahaan.Akan.Dibebankan.2.Persen.hingga.3.Persen?page=all.,
Diakses pada Tanggal 23 Oktober 2019, Pukul: 17 :10
80
mengingat terdapat sejumlah kelemahan dalam PP ini sehingga menjadi
kegelisahan bagi para korporasi yang bergerak di bidang eksploitasi sumber
daya alam terkhusus pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Maka
dalam hal ini
Daya dukung secara yuridis terkait tanggung jawab sosial dan
lingkungan untuk perusahaan tambang mineral dan batubara dijewantahkan
juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2018 Tentang
Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang baik. Di dalam Pasal 4 termaktub
bahwasanya “Pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/
atau pemurnian dalam kegiatan pengolahan dan/ atau pemurnian wajib
melaksanakan kaidah pertambangan yang baik”. Salah satu pelaksanaan tata
kelola perusahaan tersebut, meliputi aspek dalam Ayat (4 f) yakni, mengenai
aspek tanggung jawab sosial dan lingkungan. Bila perusahaan tidak
memenuhi aturan yang berlaku tersebut, maka sanksi yang dikenakan adalah
Sanksi admindtratif berupa: Peringatan tertulis; Penghentian sementara
sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan/ atau Pencabutan izin.
Berdasarkan harmonisasi peraturan tersebut baik secara vertikal dan
horizontal, tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban bagi
perusahaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, sebab
perusahaan tambang mineral dan batubara merupakan salah satu perusahaan
yang bergerak dalam pemanfaatan sumber daya alam. Sejalan dengan
landasan filosofis kitab konstitusional bangsa Indonesia yakni UUD 1945
telah diketahui bahwa pada hakikatnya pertambangan merupakan salah satu
aspek yang fundamental terkait dengan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. Dengan adanya kewajiban ini dalam kegiatan bisnis yang
berlangsung dapat mencegah kemungkinan kerusakan lingkungan serta
berbagai konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Namun, peneliti mengkritisi inkosisten yang terjadi pada ketentuan-
ketentuan tanggung jawab sosial-lingkungan yang dalam hal ini berobjek
pada perusahaan tambang mineral dan batubara yang mana ketentuan tersebut
81
tersebar dalam 4 undang-undang beserta turunan undang-undang tersebut.
Tersebarnya Inkosisten yang terjadi tersebut menimbulkan simpang- siur
atapun dilema dalam penerapan konsep tanggung jawab sosial dan
lingkungan di Indonesia. Sejatinya peraturan perundang-undangan tertulis
haruslah memuat unsur yang harmonis baik secara vertikal dan horizontal
dengan peraturan perundang-undangan lainya. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh pakar hukum adminstrasi indonesia, Menurut Bagir
Manan, suatu peraturan tertulis harus memuat 3 unsur: 1) jelas dalam
perumusan; 2) konsisten dalam perumusannya baik secara internal peraturan
perundang-undangan tersebut dan secara eksternal harmonis dengan peraturan
perundang-undangan terkait; yang terakhir 3) penggunaan bahasa yang tepat
dan mudah dimengerti.21
dapat disimpulkan bahwa inkonsistensi yang ada
dalam peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan kedilemaan
aplikasi hukum baik dari pemerintah, masyarakat, dan perusahaan yang
bersangkutan. sebagai negara yang berdaulat bebas, diharapkan kepada alat
pelengkap negara baik Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk segera membentuk kepastian hukum yang harmonis baik secara vertikal
dan horizontal dalam kesatuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
terkait kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan suatu perusahaan
yang bergerak dalam bidang pengeksploitasian sumber daya alam. Herlien
Budiono mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan ciri yang tidak
dapat dipisahkan dari hukum, terutama norma hukum tertulis. Hukum tanpa
nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat dijadikan sebagai
pedoman prilaku bagi semua orang. Apeldorn pun juga mengatakan bahwa
kepastian hukum memiliki dua segi yaitu dapat ditentukannya hukum dalam
hal yang kongkret dan keamanan hukum. Hal ini berarti pihak yang mencari
keadilan ingin mengetahui apa yang menjadi hukum dalam suatu hal tertentu
sebelum ia memulai perkara dan perlindungan para pihak dalam
21
Bagir Manan, “Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi suatu Negara”, (Bandung:
Mandar Maju. 1995), h. 6
82
kesewenangan hakim.22
Pun dengan adanya kepastian hukum yang mengatur
terkait hal ini nantinya akan tercipta hubungan yang harmonis baik dari
masyarakat daerah operasi pertambangan, pemerintah selaku pihak pengawas,
perusahaan beserta stakeholders dan shareholders.
Konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan
pertambangan mineral dan batubara di Indonesia yang terkenal memiliki
dampak yang sangat berpengaruh baik secara sosial dan lingkungan
membutuhkan landasan yang kuat untuk implementasinya, karena tanpa
landasan yang kuat akan sulit diharapkan membawa dampak yang positif bagi
masyarakat. Tanggung jawab sosial dan lingkungan atau dikenal dengan
Corporate Social Responsibility (CSR) sendiri memiliki pilar-pilar yang
mendasari pelaksanaannya. menurut Prince of Wales International Business
Forum, ada lima pilar aktivitas CSR, yaitu: 1)Building Human Capital, ini
berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan sumber daya
manusia yang handal, sedangkan secara eksternal perusahaan dituntut
melakukan pemberdayaan masyarakat; 2) Strengthening Economies,
perusahaan dituntut untuk tidak menjadi kaya sendiri sementara komunitas di
lingkungannya miskin. Perusahaan harus memberdayakan ekonomi
sekitarnya; 3) Assesing Social Chesion, upaya untuk menjaga keharmonisan
dengan masyarakat sekitarnya agar tidak menimbulkan konflik; 4)
Encouraging Good Governance, perusahaan dalam menjalankan bisnisnya
harus mengacu kepada good corporate governance; 5) protecting the
environment, perusahaan harus berupaya menjaga kelestarian lingkungan.
Sebagaimana yang terkonsep dalam teori hukum progresif bahwa
hukum tidak ada untuk dirinya sendiri melainkan seluruhnya untuk manusia
dan masyarakat, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia. Dalam hukum
progresif, pemikiran hukum yang benar adalah yang bertolak dari paradigma
“Hukum untuk Manusia”. Ujian terhadap keberhasilan suatu hukum adalah
kemampuan untuk membuktikan bahwa produk hukum itu berorientasi pada
22
A. Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi berazaz keadilan dan Kepastian
Hukum, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2009), h. 8
83
manusia, dengan cara melayani, mensejahterakan, dan membahagiakan umat
manusia. Dengan perkataan lain, hukum progresif lebih berorientasi kepada
substansi dari bentuk. Bentuk apapun seperti, struktur, sistem, dan peraturan
perundang-undangan serta regulasi tidak boleh menghambat arus menuju
substansi, dalam hal ini adalah terkait kesejahteraan dan kebahagiaan umat
manusia.23
Pada tujuannya hukum yang tercipta adalah untuk kebahagiaan
manusia. Undang-undang terbaru mengenai pengelolaan tanggung jawab
sosial dan lingkungan perusahaan pertambangan mineral dan batubara di
Indonesia diharapkan menjadi progresifitas berbisnis yang memberikan
manfaat tidak hanya bagi perusahaan yang mendapatkan profit, melainkan
masyarakat dan pemerintah baik pusat dan daerah dalam mencapai
pembangunan perekonomian yang progresif.
Rancangan mengenai Undang-Undang yang mengatur perihal
tanggung jawab sosial dan lingkungan pun kerap dibahas sejak tahun 2009,
hingga pada Juli 2016 dibentuk naskah akademik mengenai Rancangan
Undang-Undang Tanggung Jawab Sosial dan lingkungan Perusahaan. Namun
hingga saat ini undang-undang yang dicita-citakan tersebut belumlah
terealisasi. Rancangan Undang-Undang tersebut diharapkan dapat menjawab
segala kegelisahan yang ada terkait dengan ketentuan tanggung jawab sosial
dan lingkungan di Indonesia yang masih simpang-siur dan terdapat
disharmonisasi istilah dan konsep dalam peraturan perundang-undangan yang
ada selama ini. Di dalam Naskah akademik tersebut terkonsep mengenai
jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup pengaturan undang-undang.
Berkaitan dengan kategori program yang dapat dikenakan bagi setiap
perusahaan atau penanam modal disebutkan diantaranya, (1) Pengembangan
masyarakat; (2) Pelestarian Lingkungan Hidup; (3) Pembinaan
kewirausahaan. Ketiga komponen tersebut menjadi wacana terkait aspek
23
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif berhadapan dengan kemapanan, “dalam Jurnal
Hukum Profresif, Volume: 4/Nomor1/April 2008, (Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, 2008), h.2
84
program tanggung jawab sosial dan lingkungan yang akna dicantumkan
dalam rancangan undang-undang tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Agar program tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahan
tambang mineral dan batubara dapat berjalan efektif, berkelanjutan, serta
memberi dampak yang bermanfaat bagi pembangunan perekonomian negara
serta kesejahteraan masyarakat, maka pelaksanaannya harus didukung dengan
kolaborasi yang baik dari pemerintah, masyarakat, serta korporasi yang
bersangkutan. Yang terpenting agar implementasinya dapat berjalan dengan
baik serta memberikan manfaat sesuai dengan konsep Triple Bottom Line
(profit, people, planet), maka diharapkan kepada pemerintah beserta DPR
agar dapat menciptakan aturan yang lebih kongkrit, spesifik, serta dapat
menyempurnakan aturan-aturan sebelumnya yang notabenya masih simpang
siur serta menyebabkan kegalauan bagi pihak-pihak terkait dan cenderung
diabaikan oleh korporasi yang bersangkutan untuk dapat memberikan
kepastian hukum yang dapat menjamin keadilan bagi semua elemen baik itu
pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Peraturan hukum yang progresif
tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan pertambangan
mineral dan batubara dalam suatu undang-undang khusus yang memuat
prinsip hukum, prosedur implementasi, pengawasan, sistem
pertanggungjawaban secara paripurna diharapkan agar segera terealisasi
dalam tujuannya dapat memberikan kepastian hukum yang kongkrit.
B. Akibat Hukum bagi Perusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara
yang tidak melaksanakan ketentuan Prinsip Hukum Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan di Indonesia
Hukum yang baik adalah hukum yang bersifat represif serta preventif
bagi maslahah umat manusia. Sifat preventif hukum diupayakan agarnya
mencegah kemungkinan hal buruk yang akan terjadi atau mencegah
terjadinya sengketa, mengarahkan tindakan pemerintah agar lebih hati-hati
dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi. Kemudian perlindungan
hukum represif diupayakan agar bila pelanggaran atau suatu kejahatan yang
85
menyebabkan kerugian terjadi, hukum dapat hadir dan cakap bertindak
sebagai tiang keadilan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.24
Dalam aspek hukum ini, sesuai dengan harmonisasi peraturan
perundang-undangan, peneliti tidak menemukan sanksi yang tegas terkait
dengan pelanggaran kewajiban CSR bagi setiap korporasi yang bergerak
dalam bidang eksplorasi sumber daya alam yang notabennya diketahui
bersifat wajib. Sesuatu tersebut diwajibkan sebab dalam kegiatan bisnis
eksplorasi tambang mineral dan batubara memberikan dampak yang sangat
berbahaya baik secara lingkungan dan sosial. namun yang dikhawatirkan bila
tidak adanya sanksi yang bersifat represif serta preventif untuk
menanggulangi hal ini, maka akan lalainya korporasi-korporasi yang bergerak
di bidang pertambangan mineral dan batubara dengan kepeduliannya serta
kewajibannya terhadap sosial dan lingkungan.
Upaya penegakan hukum yang tercipta dengan baik memungkinkan
hukum tersebut akan berlaku secara progresif membina masyarakat hukum
agar terciptanya keadilan dan kesejahteraan rakyat. Agar hukum dapat
berlaku secara progresif maka diperlukan kepastian hukum yang kongkrit
dalam mengatur permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Herlien
Budiono mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan ciri yang tidak
dapat dipisahkan dari hukum, terutama norma hukum tertulis. Hukum tanpa
nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat dijadikan sebagai
pedoman prilaku bagi semua orang.25
Dalam proses penelitian, peneliti
berusaha membedah beberapa undang-undang serta peraturan yang ada di
bawahnya terkait prinsip tanggung jawab sosial-lingkungan yang berlaku bagi
perusahan tambang mineral dan batubara, hasil penelitian menemukan bahwa
akibat hukum bagi setiap korporasi yang tidak menjalankan kewajibannya di
bidang tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam operasi pertambangan
24
Luthfi Febryka Nola, Upaya Perlindungan Hukum secara Terpadu bagi Tenaga Kerja
Indonesia (TKI), (Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2016), h.40
25
25 A. Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi berazaz keadilan dan Kepastian
Hukum, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2009), h. 36
86
mineral dan batubara berupa sanksi adminstratif yang ditemukan di dalam
beberapa ketentuan yang berlaku di Indonesia. Beberapa ketentuan tersebut
adalah sebagai berikut:
Konsekuensi dari perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban
CSR tersebut kemudian dijelaskan di dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, yang berbunyi sebagai berikut:
“Badan Usaha atau perseorangan sebagaimana disebutkan ketentuannya
dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi adminstratif berupa”: Peringatan tertulis,
Pembatasan kegiatan usaha, Pembekuan kegiatan usaha dan/ atau fasilitas
penanaman modal, Pencabutan kegiatan usaha dan/ atau fasilitas penanaman
modal.
Kemudian di dalam Pasal 74 Ayat (3) Undang-Undang Perseroan
Terbatas disebutkan bahwa, “Perseroan yang tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni mengenai tanggung
jawab sosial dan lingkungan, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”. Sanksi tersebut kemudian akan dijelaskan
dalam peraturan pemerintah sebagai turunan dari undang-undang ini.
Pasal 87 Undang-Undang 32 Tahun 2009 sebagai payung hukum
dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia berbunyi sebagai berikut:
“Setiap pertanggungjawaban usaha dan/ atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum baerupa pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang
lain atau Lingkungan Hidup wajib membayar ganti rugi dan/ atau
melakukan tindakan tertentu”.
Sanksi tersebut diberikan pada kegiatan yang secara potensial dapat
menimbulkan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup serta
pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatanya.
Dalam ketentuan ini dapat ditarik pernyataan bila suatu korporasi tambang
melalaikan tanggung jawab terhadap lingkungan terlebih menyebabkan
kerusakan lingkungan dalam kegiatan operasinya serta bertindak boros dalam
pengeksplorasian tambang mineral dan batubara, maka korporat yang
bersangkutan dikenakan sanksi berupa ganti rugi sebagai akibat hukumnya.
87
Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum
lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan
membayar ganti rugi, pencemar dan/ atau perusak lingkungan hidup dapat
pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan tertentu, misalnya
perintah untuk: Memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah
sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan,
Memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/ atau, Menghilangkan atau
memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/ atau perusakan
lingkungan hidup
Ditemukan adanya ketentuan sanksi ataupun Punishment di dalam
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan. bahwa: “Perseroan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3 yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”. Dalam peraturan tersebut tidak dijelaskan sanksi seperti apa yang
dapat dikenakan bagi setiap korporasi yang tidak menjalankan kewajibannya
terkait dengan tanggung jawab sosial lingkungan. Pasalnya peraturan
pemerintah ini adalah payung hukum dari pelaksanaan tanggung jawab sosial
dan lingkungan di Indonesia. Namun soal prosedur pelaksanaan, PP tersebut
tidak merinci secara khusus akibat hukum perusahaan yang melalaikan
kewajibannya dalam CSR. Pasal tersebut dilanjutkan reward ataupun
penghargaan bagi setiap korporasi yang melaksanakan tanggung jawab sosial
dan lingkungan ini. ketentuan tersebut ditentukan di dalam Pasal 8 Ayat (2),
yang berbunyi sebagai berikut: “Perseroan yang telah berperan serta
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diberikan penghargaan oleh instansi yang berwenang”.
Kemudian terkait sanksi, di dalam Pasal 50 Ayat (5) Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Kaidah
Pertambangan yang baik. Disebutkan sanksi adminstratif yang dapat
dikenakan kepada korporasi yang bersangkutan. di dalam klausula tersebut
disebutkan bahwasanya: “Pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk
88
pengolahan dan/ atau pemurnian yang tidak mematuhi atau melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf (f) dikenakan sanksi
adminstratif”. keterangan mengenai Sanksi adminstratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) disebutkan di dalam ayat 8.
Sanksi tersebut berupa: Peringatan tertulis, Penghentian sementara sebagian
atau seluruh kegiatan usaha, dan/ atau Pencabutan izin.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sanksi yang berlaku bagi
ketentuan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan tambang mineral
dan batubara di Indonesia hanya berupa sanksi adminstratif. Diketahui
bahwasannya dalam instrumen penegakan hukum ada 3 (tiga) unsur yaitu
adanya sanksi adminstratif, pidana, dan perdata. dengan memenuhi 3 unsur
tersebut maka akan hadirnya kepastian hukum yang kemudian dapat disertai
penegakan hukum (Law Enforcement) yang baik sesuai dengan kaidah
peraturan perundang-undangan. Agar suatu norma perundang-undangan dapat
dipatuhi oleh setiap elemen, maka di dalam suatu norma biasanya diadakan
sanksi atau penguat. Sanksi tersebut bersifat negatif bagi setiap pelanggarnya
dan bersifat positif bagi pihak yang mematuhinya. Menurut Peneliti, akibat
hukum terkait kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan terkhusus
bagi perusahaan tambang mineral dan batubara belum memenuhi instrumen
penegakan hukum yang baik. Sanksi bagi ketentuan ini agar dilengkapi baik
secara perdata maupun pidana. Dalam hal perdata perlu diberlakukan sanksi
sebab acapkali terjadi peristiwa yang merugikan masyarakat akibat kegiatan
eksplorasi tambang dan mineral. sehingga lewat ketentuan perdata, pihak
yang dirugikan dapat melakukan gugatan sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku. kemudian terkait ketentuan pidana, maka dalam hal ini peneliti
mengharapkan agar dimasukannya sanksi yang bersifat pidana dalam klausula
undang-undang terkait, sebab seringkali operasi ini menimbulkan
pelanggaran dan kejahatan baik secara sosial dan lingkungan. Dengan adanya
pengenaan sanksi pidana dalam konteks ini, maka dapat memberikan daya
paksa yang kuat agar norma ini dapat ditaati dengan baik serta memberikan
efek jera bagi perusahaan yang melanggar ketentuan ini.
89
Efek atau akibat dari kegiatan eksplorasi pertambangan dan mineral
cenderung berdampak negatif seperti meningkatnya ancaman tanah longsor,
kerusakan lingkungan, sengketa agraria masyarakat adat, serta gangguan
kesehatan masyarakat setempat maka perlunya dipersiapkan sanksi perdata
atau penegakan hukum melalui instrumen hukum perdata. Instrumen sanksi
hukum perdata tersebut berlaku untuk setiap perbuatan atau tindakan perdata
yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap pihak lain, maka
pihak yang bersangkutan dapat mengganti kerugian sebagai akibat dari
perbuatannya itu. Jadi fokus pada sanksi perdata dalam hal ini adalah tuntutan
pembayaran ganti kerugian.26
Kemudian berkenaan dengan sanksi pidana, agar ketentuan hukum
dalam konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahan tambang
mineral dan batubara di Indonesia bersifat represif dalam hakikatnya dapat
menjadi perlindungan hukum dari pelanggaran ataupun kemungkinan
kejahatan yang dapat terjadi dalam kegiatan eksplorasi tambang, seperti
pencemaran limbah maka diperlukan sanksi pidana. Dalam penegakan hukum
lingkungan, menurut Loebby Loqman, apabila suatu korporasi melakukan
tindak pidana berupa pencemaran atau perusakan lingkungan hidup maka ada
tiga kemungkinan yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya,
kemungkinan pertama manusianya, kemungkinan kedua korporasi (badan
hukum), kemungkinan ketiga kedua-duanya27
. Adapun hukuman pidananya
dijatuhkan secara kumulatif, yaitu pidana penjara bagi pengurusnya yang
bertanggung jawab, dan pidana denda dijatuhkan kepada perusahaan.
Indonesia sebagai negara berkembang memiliki potensi yang luar
biasa untuk menjadi negara yang paling maju dan makmur di dunia. potensi
itupun dapat kita lihat dari kekayaan alam yang berlimpah yang tersebar pada
puluhan ribu pulau di seluruh nusantara. Tentunya pembangunan
26
Sodikin, “Diktat Hukum Lingkungan”, (Jakarta: Fakultas Hukum Muhammadiyah Jakarta,
2014), h. 85-86
27 Loebby Loqman, “Pertanggungjawaban Pidana bagi Korporasi dalam Tindak Pidana
Hukum Lingkungan, Makalah”, (Jakarta: Univ. Pancasila, 1991), h. 19
90
perekonomian yang adil dan makmur dapat terealisasi dengan maksimal
ketika pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia tersistemasi dalam
prosedural hukum yang memiliki kepastian hukum yang dapat mewadahi para
pelaku bisnis, pemerintah, dan masyarakat. Dalam hal ini diharapkan kepada
produser legislasi yakni Pemerintah beserta Dewan Perwakilan Rakyat untuk
menciptakan produk hukum khusus yang dapat memberikan kepastian hukum
dalam berbisnis pertambangan di Indonesia terkhusus mengenai spesifikasi
konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sebab masuknya konsep
Corporate Social Responsibility dalam bisnis pertambangan mineral dan
batubara akan membawa berkah perubahan tidak hanya bagi perusahaan,
tetapi juga bagi stakeholders (pemangku kepentingan), lingkungan, dan
masyarakat bila disertai dengan undang-undang yang dinamis dan progresif.
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan perumusan masalah dan analisis yang telah dipaparkan
pada bab sebelumnya, maka ditemukan kesimpulan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Berdasarkan harmonisasi peraturan tersebut baik secara vertikal dan
horizontal, tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban
bagi perusahaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, sebab
perusahaan tambang mineral dan batubara merupakan salah satu
perusahaan yang bergerak dalam pemanfaatan sumber daya alam. Peneliti
mengkritisi inkosisten yang terjadi pada ketentuan-ketentuan tanggung
jawab sosial-lingkungan yang dalam hal ini berobjek pada perusahaan
tambang mineral dan batubara yang mana ketentuan tersebut tersebar
dalam 4 undang-undang yakni: Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal, Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara beserta turunan undang-undang tersebut yakni: Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010
Tentang Reklamasi Pasca Tambang, Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Kaidah
Pertambangan yang baik. Tersebarnya Inkosisten yang terjadi tersebut
menimbulkan simpang- siur atapun dilema dalam penerapan konsep
tanggung jawab sosial dan lingkungan di Indonesia.
2. Akibat hukum bagi setiap korporasi yang tidak menjalankan
kewajibannya di bidang tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam
92
operasi pertambangan mineral dan batubara berupa sanksi adminstratif
yang ditemukan di dalam beberapa ketentuan yang berlaku di Indonesia.
Beberapa ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 34 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Pasal 74 Ayat
(3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,
Pasal 87 undang-undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Pasal 50
Ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2018 Tentang
Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang baik. Sanksi adminstratif tersebut
berupa: Peringatan tertulis, Penghentian sementara sebagian atau seluruh
kegiatan usaha, dan/ atau Pencabutan izin. Dapat diketahui bahwasannya
dalam instrumen penegakan hukum diketahui 3 (tiga) unsur yaitu adanya
sanksi adminstratif, pidana, dan perdata. dengan memenuhinya 3 unsur
tersebut maka akan hadirnya kepastian hukum yang kemudian dapat
disertai penegakan hukum yang baik sesuai dengan kaidah peraturan
perundang-undangan. Menurut Peneliti, akibat hukum terkait kewajiban
tanggung jawab sosial dan lingkungan terkhusus bagi perusahaan tambang
mineral dan batubara belum memenuhi instrumen penegakan hukum
sempurna. Sanksi bagi ketentuan ini agar dilengkapi baik secara perdata
maupun pidana. Dalam hal perdata perlu diberlakukan sanksi sebab
acapkali terjadi peristiwa yang merugikan masyarakat akibat kegiatan
eksplorasi tambang dan mineral. sehingga lewat ketentuan perdata, pihak
yang dirugikan dapat melakukan gugatan sesuai dengan prosedur hukum
yang berlaku. Kemudian dengan adanya pengenaan sanksi pidana dalam
konteks ini, maka dapat memberikan daya paksa yang kuat agar norma ini
dapat ditaati dengan baik serta memberikan efek jera bagi perusahaan yang
melanggar ketentuan ini.
93
B. Rekomendasi
Rekomendasi dan saran yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengingat pentingnya tanggung jawab sosial dan lingkungan untuk
kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup, maka
diperlukan suatu undang-undang yang mengatur secara komprehensif
perihal tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam sebuah
undang-undang sehingga akan memberikan kepastian hukum baik untuk
pemerintah, perusahaan selaku pelaku bisnis, dan masyarakat sekitar
perusahaan
2. Kampanye atau Sosialisasi secara berkelanjutan perlu dilakukan oleh
Kementerian Sosial tentang kewajiban tanggung jawab sosial dan
lingkungan terkait perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam di
Indonesia terkhusus operasi tambang mineral dan batubara di Indonesia
secara spesifik dan masiv sebab masih banyaknya korporasi yang
mengabaikan kewajiban ini
3. Dalam aturan hukum yang terbaru nantinya, agar dibentuk secara progresif
memenuhi sanksi yang tegas sesuai 3 (tiga) instrumen penegakan hukum
baik secara adminstratif, perdata, maupun pidana. lewat ketentuan perdata,
pihak yang dirugikan dapat melakukan gugatan sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku. Kemudian, dimasukannya sanksi yang bersifat
pidana dalam klausula undang-undang terkait, sebab seringkali operasi ini
menimbulkan pelanggaran dan kejahatan baik secara sosial dan
lingkungan.
4. Agar program tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahan tambang
mineral dan batubara dapat berjalan efektif, berkelanjutan, serta memberi
dampak yang bermanfaat bagi pembangunan perekonomian negara serta
kesejahteraan masyarakat, maka pelaksanaannya harus didukung dengan
kolaborasi yang baik dari pemerintah, masyarakat, serta korporasi yang
bersangkutan.
94
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arisaputra, Muhammad ilham. Reforma agraria di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. 2015
Azheri, Busyra dan Isa Wahyudi. Corporate Social Responsibility. Malang: In-
Trans Publishing, 2008
Coutrier,. P.L. Hak Penguasaan Negara atas Bahan Galian Pertambangan
dalam perspektif Otonomi Daerah. Makasar. 2001
Daniri, M. A. Good Corporate Governance: Konsep dan penerapannya dalam
konteks Indonesia, cet I,. Jakarta:Ray Indonesia. 2006
Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya”.
Yogyakarta: Kanisius. 2007.
Fauzi, Akhmad. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Mineral: Teori dan aplikasi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2006
Friedman, W. legal theory. London: stevens & sons limited. 1960
Fuady, Munir.Bisnis Kotor:Anatomi Kejahatan Kerah Putih. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti. 2004
Hantoro, Noviant. M. Bagian Pertama Hukum tata negara/ Hukum Konstitusi.
Jakarta: Peneliti Madya bidang Hukum Tata Negara. 2015
Hasan, A. Madjedi. Kontrak Minyak dan Gas Bumi berazaz keadilan dan
Kepastian Hukum. Jakarta: Fikahati Aneska. 2009
HS, Salim. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara.Jakarta: Sinar Grafika.
2014
Hijmans, I.H. dalam Het Recht der werrkelijkheid, dalam Herlien Budiono, Asas
Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia- Hukum perjanjian
berdasarkan asas-asas Wigati Indonesia. Bandung: Aditya Bakti. 2006
Loqman, Loebby. Pertanggungjawaban Pidana bagi Korporasi dalam Tindak
Pidana Hukum Lingkungan, Makalah. Jakarta. Univ. Pancasila. 1991
Mamudji, Sri. et. Al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Indonesia. 2005
Manan, Bagir. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi suatu Negara.
Bandung: Mandar Maju. 1995
Marzuki, P.M. Penulisan Hukum. Jakarta: Kencana. 2010
95
Purwosutjipto, H.M.N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2: Bentuk-
Bentuk Perusahaan. Jakarta:Djambatan.1999
Putra, Dedi K. S. Komunikasi CSR Politik. Jakarta:Prenadamedia Grup. 2015
Rahardjo,Satjipto. Hukum Progresif berhadapan dengan kemapanan, “dalam
Jurnal Hukum Profresif, Volume: 4/Nomor1/April 2008. Semarang:
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. 2008
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta:
Genta Publishing. 2009
Rato, Dosminikus. Filsafat Hukum mencari dan memahami hukum.Yogyakarta:
PT. Presindo.2010
Ridho, Ali. Badan Hukum dan Kedudukan Hukum Perseroan dan Perkumpulan
Koperasi, Yayasan, Wakaf.Bandung: Alumni.1986
Rudito, B, Melia Famiola. CSR (Corporate Social Responsibility).
Bandung:Penerbit Rekayasa Sains. 2013
Sanusi, Bachrawi. Sistem Ekonomi: suatu pengantar. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2000
Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press
Soerjono, Abdurrahman, H. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:Rineka Cipta.
2003
Soemitro, Ronny Hanitjo. Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta:
Ghalia Indonesia. 1990
Soewardi, Herman. Koperasi: suatu kumpulan makalah.Bandung: Ikopin. 1989
Solihin, Ismail. Corporate Social Responsibility: from Charity to Sustainability.
Jakarta:Salemba Empat. 2009
Suhartana. L. W. P, Zainal Asikin. Pengantar Hukum Perusahaan. Jakarta:
Kencana. 2016
Sutedi, Adrian. Hukum Pertambangan Cet- 1.Jakarta: Sinar Grafika. 2011
Taufani, G, Suteki. Metode Penelitian Hukum (filsafat, teori, dan praktis). Depok:
PT Raja Grafindo Persada. 2018
Usman,Rachmadi. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas.Bandung:
PT. Alumni. 2004
96
JURNAL
Dewi, Dahlia Kusuma dkk. “Izin Lingkungan dalam Kaitannya Dengan
Penegakan Adminstrasi Lingkungan Dan Pidana Lingkungan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Medan: Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. 2014.
Hasyir, Dede Abdul. Perencanaan CSR pada Perusahaan Pertambangan
Kebutuhan untuk terlaksananya Tanggung Jawab Sosial yang Terintegrasi
dan Komprehensif. Bandung: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Departemen
Akuntansi, Universitas Padjajaran. 2016
Salinding, Marthen B, Marthin, dkk. “Implementasi Prinsip Corporate Social
Responsibility (CSR) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas”. Tarakan: Fakultas Hukum Universitas
Borneo Tarakan. 2017.
Nola, Luthfi Febryka. Upaya Perlindungan Hukum secara Terpadu bagi Tenaga
Kerja Indonesia (TKI). Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.
2016
Ruslina, Elli. Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pembangunan
Hukum Ekonomi Indonesia. Bandung: Fakultas Hukum Universitas
Pasundan. 2012
Sodikin. “Diktat Hukum Lingkungan”. Jakarta: Fakultas Hukum Muhammadiyah
Jakarta 2014
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang pokok-pokok pertambangan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009
97
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi Pasca Tambang
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Kaidah
Pertambangan yang baik.
INTERNET
A.F. Elly Erawaty. “Persoalan Hukum Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perseroan Dalam Perundang-Undangan Ekonomi Di Indonesia”.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pedata/847-persoalan-hukum-
seputar-tanggung-jawab-sosial-dan-lingkungan-perseroan-dalam-
perundang-undangan-ekonomi-indonesia.html, Diakses pada Tanggal 30
November 2019. Pukul 06:58.
Dinasih, Charisma Rahma. “inilah wajah pertambangan Indonesia”.
http://www.hijauku.com/2014/08/26/inilah-wajah-pertambangan-indonesia/,
diakses pada tanggal 28 Mei 2019. pukul 23:30.
Fachrizal, Andi. “Tersedot ke Perusahaan, Lahan Buat Warga Kalbar Tersisa 700
Ribu Hektar”. https://www.mongabay.co.id/2013/05/24/tersedot-ke-
perusahaan-lahan-buat-warga-kalbar-tersisa-700-ribu-hektar/. diakses pada
tanggal 21 Oktober 2019. pukul: 18:01
Haque, Aisya Morina. “Penerapan Aspek 3P (Profit, People, Planet) Usaha
Menjaga Suistainability Perusahaan Pertambangan”.
\http://morinahaque.blogspot.com/2016/01/penerapan-aspek-3p-profit-
planet-people.html, Diakses pada Tanggal 23 Oktober 2019. Pukul: 10:48
WIB
Hutomo, Dimas. “Kewajiban Perusahaan Tambang Melakukan CSR”.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c468d7988077/kewaji
ban-perusahaan-tambang-melaksanakan-csr/. Diakses pada Tanggal 30
November 2019. Pukul: 07:49.
98
Saturi, Sapariah. “Warga Sekitar Newmont yang Kehilangan Hutan Dan Hidup
Dalam Kemiskinan. https://www.mongabay.co.id/2013/08/26/warga-
sekitar-newmont-yang-kehilangan-hutan-dan-hidup-dalam-kemiskinan/.
Diakses pada Tanggal 21 Oktober 2019. Pukul: 23:01 WIB
Saturi, Sapariah. “Weda Bay Nickel, Berkonflik dengan Masyarakat Adat, Hutan
Lindung pun Terancam”. https://www.mongabay.co.id/2013/06/07/weda-
bay-nickel-berkonflik-dengan-masyarakat-adat-hutan-lindung-pun-
terancam/. Diakses pada Tanggal 21 Oktober 2019. Pukul: 18:01 WIB.
Setiawan, Dicky dan Agus Triyono."DPR Siapkan UU soal CSR, Perusahaan
Akan Dibebankan 2 Persen hingga 3 Persen".
https://nasional.kompas.com/read/2016/04/25/09114111/DPR.Siapkan.UU.s
oal.CSR.Perusahaan.Akan.Dibebankan.2.Persen.hingga.3.Persen?page=all.,
Diakses pada Tanggal 23 Oktober 2019. Pukul: 17 :10
Soamole, Sarti Wanda. “Pengelolaan Good Minning Practice pada Pengelolaan
Limbah Tambang”.
https://www.kompasiana.com/sartiwandas6347/5db04019097f361cee62df2
2/penerapan-good-mining-practice-pada-pengelolaan-limbah-
tambang?page=all. Diakses pada Tanggal 30 November 2019. Pukul 12:22
WIB.
Suprapto, Sabtanto Joko. Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang Dan Aspek
Konservasi Bahan Galian.
http://psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&i
d=609&It. Diakses pada Tanggal 30 Oktober 2019. Pukul 11:26 WIB
Tobing, Letezia. “Aturan-aturan Hukum Corporate Social Responsibility”.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52716870e6a0f/aturan-
aturan-hukum-corporate-social-responsibility/. Diakses pada Tanggal 23
Oktober 2019. Pukul 14:45 WIB