43
Inter-Religious Marriages Among Muslims, Negotiating Religious and Social Identity in Family and Community Penyusun : Abdullahi A. An-Na’im (ed.) Rohit Chopra, Jyoti Punwani, Codou Bop, Samnur Vardar Penerbit : Global Media Publications, New Delhi Tahun Terbit : 2005 Jumlah Hlm. : 302 Jannet dan Akif: Pada tahun 1920an, Akif, lelaki pengusaha berbangsa Turki, naik sebuah kereta api dari Paris menuju Marseilles. Dia kebagian tempat duduk berhadapan dengan seorang perempuan cantik rupawan berbangsa Perancis, bernama Jannet. Akif berpura-pura membaca koran, meskipun sebenarnya lewat lubang kecil yang ia bolongi dengan rokoknya, Akif terus mengintip Janet

Inter Religious

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Inter Religious

Inter-Religious Marriages Among Muslims,

Negotiating Religious and Social Identity in Family and Community

Penyusun : Abdullahi A. An-Na’im (ed.) Rohit Chopra, Jyoti Punwani, CodouBop, Samnur Vardar

Penerbit : Global Media Publications, New Delhi

Tahun Terbit : 2005

Jumlah Hlm. : 302

Jannet dan Akif: Pada tahun 1920an, Akif, lelaki pengusaha berbangsa Turki,naik sebuah kereta api dari Paris menuju Marseilles. Dia kebagian tempatduduk berhadapan dengan seorang perempuan cantik rupawan berbangsa Perancis,bernama Jannet. Akif berpura-pura membaca koran, meskipun sebenarnya lewatlubang kecil yang ia bolongi dengan rokoknya, Akif terus mengintip Janetsepanjang perjalanan itu. Sesekali mereka berdua bercanda, dan akhirnya taklama beberapa bulan kemudian Janette pindah ke Trabzon, sebuah kota di timurBlack Sea Coast, Turki, menjadi isteri Akif.

Republik Turki masih berusia muda saat itu, semuda usia revolusi yang barudilaluinya. Tak hanya Jannet yang mencicipi kehidupan baru Turki kala itu;segenap penduduk Turki baru melalui sebuah periode Pembaratan (Westernisasi)dan modernisasi dengan berbagai pembaharuan yang baru diperkenalkan. Janettemenjadi sosok ikon penting di Trabzon tahun 1920an dengan gaya dan topi-nyayang nyentrik. Dia tak pernah diminta pindah agama, berganti nama, termasukoleh suaminya, apalagi oleh ipar-iparnya. Dia dipanggil di kotanya dengansebutan Madame Akif, sebuah sebutan berbahasa Perancis.[i] Kemanjaannya pada

Page 2: Inter Religious

Akif kadang membuat bahan gurauan saudara-saudara iparnya.

Dalam keluarga tersebut, Kekristenan Janet tak pernah menjadi bahan omongan,sesuatu yang dianggap tabu. Tak seorang pun membicarakannya, ataumenjadikannya pergunjingan. Tiga orang anaknya diberi nama Muslim, disunat,dan dicatat menjadi warga negara Muslim berkebangsaan Turki layaknyakeluarga sekuler dan modernis saat itu. Tak pernah terbayangkan untukmendidik mereka berbahasa Perancis. Janette sendiri berbicara bahasa Turkisangat apik, meski dengan sedikit aksen yang khas. Satu-satunya hal dariPerancis yang tersisa di rumah itu adalah urusan masakan, denganmenghilangkan unsur daging babinya, juga tak sedikitpun memasukkan arak atauminuman alkohol yang lain.

Anak laki-laki keduanya jatuh cinta pada seorang perempuan dari Trabzon,ayah si gadis menolak mentah-mentah rencana perkawinan anak perempuannyadengan anak laki-laki seorang non-Muslim. Akhirnya, terlepas daripenolakannya, pernikahan tersebut tetap berlangsung.

Akif meninggal setelah usia perkawinannya berumur 28 tahun. Perasaan Janettehancur lebur atas kematian suaminya, menyadarkannya akan sebuah kenyataanyang seolah tak akan mampu ia hadapi. Bahwa sebagai seorang Kristiani padasaatnya kelak setelah ia juga meninggal tak boleh dimakamkan di sisisuaminya yang Muslim. Beberapa minggu setelah itu dia memutuskan pindahagama ke Islam dan kemudian menjalani hidupnya seperti biasa. Janette takmau balik ke Perancis, hidup di Trabzon menghabiskan sisa hari tuanya,ditemani anak lelaki pertama dan keluarganya. Setelah meninggal Janettedikubur di samping makam suaminya, dua puluh tahun setelah suaminyameninggal lebih dulu. Di sebuah pekuburan Muslim, dengan sebuah kaifiyahpenguburan layaknya untuk orang Islam.

Dengan menyuguhkan secara utuh penggalan cerita dari buku Abdullahi A.An-Na’im ini (hlm. 219-220), penulis berharap semoga kita sama-sama bisamerasakan getar kegelisahan An-Na’im. Kita bisa membayangkan sosok Akif danJannet adalah orang-orang biasa yang hidup di tengah masyarakat secarawajar. Ketertarikan Akif muda pada paras cantik Janette bukan sesuatu yanganeh bagi hidup sehari-hari kita dengan mobilitas gerak yang kian kencang,

Page 3: Inter Religious

kadang menghasilkan pertemuan tak sengaja terhadap perbedaan. Rumah tanggaseorang Muslim dan seorang Kristen awam tersebut tak pernah goyah karenawarna perbedaan agamanya. Hampir bisa dipastikan, Akif bukan sosok yangmendalami Islam secara khusus, demikian pula Janette tak tertarik denganpernak-pernik rumitnya teologi Kristen. Pantaslah kalau mereka juga takpernah berpikir untuk mencicipi apa yang disebut kaum New Age dengan istilahperenialitas, beyond belief atau lintas batas pengalaman keagamaan. Akif danJanette tak pernah menteorikan perbedaannya, namun merasakannya sebagaikewajaran manusiawi. Ahli kalam atau kaum teolog modern bersusah payahmenemukan konsep “peleburan” perbedaan iman, mencari titik temu. Akif danJanette membiarkan perbedaannya hidup secara lugas dan utuh apa adanyasepanjang menjalani rumah tangganya.

Jannet baru sadar setelah Akif meninggal. Meski dia hidup di Turki denganrezim baru yang penuh slogan sekuler, kotak-kotak sosial keagamaan telahterbentuk lama dan mapan. Pemakaman Islam hanya untuk orang-orang Islam,karena dia Kristen, kelak tak bisa disemayamkan di samping suaminya.Akhirnya Jannet memilih pindah agama, mendaku menjadi Islam, agar nantinyabisa dimakamkan di samping suaminya? Sebagai orang Islam, sebagian kitamungkin bangga melihat orang-orang non-Muslim pindah ke agama kita. Tapipernahkan kita sadar, dalam kasus Jannet, kepindahannya menjadi Islam adalahsindiran keras terhadap kita yang tak pernah berhasil membuat orang lainbebas dan nyaman sepenuhnya hidup di sisi kita. Seandainya dia diperkenankanberbaring untuk selamanya di sisi kubur suaminya dengan tetap memelukKristen, akankah Janette masuk Islam?

Penulis sedang melakukan sebuah riset independen, bersinggung erat denganfokus bahasan buku ini, pernikahan Muslim-non-Muslim di sebuah kota di Jawa.Penulis kaget melihat praktik administrasi perkawinan Muslim-non-Muslim dinegeri kita, khususnya selama hampir dua dekade belakangan ini. Betapatidak, sistem administrasi kita dengan enteng memaksa orang pindah agamakarena perkawinan. Bagi mereka yang mencatatkan perkawinanya di KantorUrusan Agama (KUA), pihak yang non-Muslim harus pindah menjadi Islam.Sementara bagi yang memilih ke Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil(KPPCS), tak ada pilihan lain kecuali pihak yang Muslim harus pindahmengikuti agama calon pasangannya yang non-Muslim. Seperti kasus Janette,mereka pindah agama karena tata sosial memaksanya. Kalau demikian, bukuAn-Na’im ini bukan saja relevan bagi pengalaman Turki, India dan Sinegal,tapi juga bagi pengalaman kita di Indonesia.

Page 4: Inter Religious

Buku Abdullahi A. An-Na’im ini tak saja mendedahkan sebuah riset di tiganegara Muslim dengan seksama, tak saja menyuguhkan analisis yang sangat kuatatas hubungan al-akhwal asy-syahsiyyah (personal law), kolonialisme dannegara Muslim modern, tapi juga cerita-cerita lugas di tingkat rakyat yangmenggugah kesadaran kita. Dengan mengambil fokus pada kajian pernikahanMuslim-non-Muslim, An-Na’im mengajak kita memeriksa tradisi kita sendiri.Tak jarang upaya seperti ini kadang dicurigai sebagai “liberalisme”. Namunbukankah kaum “liberal” pun belakangan ini tercengang ketika menyaksikanAn-Na’im menyerukan gagasannya konsepnya yang anti terhadap konsepmasyarakat sekuler.[ii] Menurutnya apa yang kita butuhkan di negara Muslimbukan membersihkan masyarakat dari pengaruh agama, tapi mengembalikankeberagamaan masyarakat kepada masyarakat sendiri secara otonom. Jadi agamadiberi ruang seluas-luasnya tumbuh dan berkembang di tingkat masyarakat,namun peran negara diminimalisir sedemikian rupa. Begitulah kiranya gagasandasar dia tentang negara sekuler, bukan masyarakat sekuler. Baik kaum“konservatif religius” maupun kaum “liberal sekuler” sama-sama terperangahtentang “jalan ketiga” ini.

An-Na’im, Titisan Kyai Taha

Mengapa peran negara perlu diminimalisir dalam hal urusan keagamaan ummat?Peristiwa hukuman mati terhadap kyai Mahmud Muhammad Taha,[iii] guruAn-Na’im, rupanya memberikan keinsyafan tersendiri bagi An-Na’im untukkonsisten menyerukan gagasan sekulerisasi negara dari legitimasi agama.Lebih dari itu, sosok kepribadian dan pemikiran sang kyai telah memberikaninspirasi terbesar bagi An-Na’im dalam orientasi akademik dan aktivismenyasejak awal hingga kini. Sehingga tak berlebih bila kita katakan An-Na’imadalah titisan kyai Taha. Kecintaan An-Na’im terhadap kyai Taha mendorongpembelaan An-Na’im terhadap posisi sang guru yang dihukum mati oleh rezimSudan pada masa kekuasaan paska Presiden Numairi tahun 1985. Pembelaantersebut ia tulis melalui dua artikel jurnal tak lama setelah sang gurudihukum mati. Kedua artikel itu adalah pertama, The Islamic Law of Apostacyand its Modern Applicability, A Case from a Sudan (Hukum Islam tentangKemurtadan and Penerapan Modernnya, sebuah Kasus dari Sudan)[iv]; dan keduaMahmud Muhammad Taha and the Crisis in Islamic Law Reform: Implications forInter-Religious Relations (Mahmud Muhammad Taha dan Krisis Pembaharuan HukumIslam: Berbagai Implikasinya terhadap Hubungan Antar Agama).[v] Dalammembahas bagian ini penulis merujuk pada dua artikel tersebut tanpa membuatendnote secara rinci dan beberapa tulisan pendukung.

Page 5: Inter Religious

Taha lahir sekitar tahun 1909 di Rufa’a, sebuah kota kecil di Sudan bagiantengah. Meski telah ditinggal ibunya wafat di usia enam tahun dan ayahnyadiusia sebelas tahun, Taha sempat mendapatkan pendidikan dengan baik denganbantuan familinya. Dia lulus dari jurusan teknik dari Gordon MemorialCollage, cikal bakal universitas Khartoum. Setelah tamat Taha sempat bekerjasebentar sebagai pegawai pemerintah di Departmen Jawatan Kereta Api milikpemerintah kolonial (kongsi) Inggris-Mesir. Bersamaan dengannya di akhir1930an dan awal 1940an memilih terlibat dalam pergerakan nasional melawanpemerintah kolonial.

Hingga kemudian dia menemui kesulitan dengan pekerjaan karena menentangkolonialisme, akhirnya Taha memutuskan mundur dan lebih memilih sebagaipejuang kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangan, kyai Taha mendirikanal-Hizb al-Jumhuri (Partai Republikan). Al-Hizb al-Jumhuri sebenarnyabukanlah partai politik dalam pengertian yang kita pahami pada umumnya. KyaiTaha dan para pengikutnya --menyebut diri al-Jumhuriun (Kaum Republikan)—menjadikan Al-Hizb al-Jumhuri sebagai kantong intelektual dan pergerakan.Secara keorganisasian lebih menyerupai konsep persaudaraan dalam tradisiSufi klasik dimana kyai Taha menjadi tokoh sentral, daripada organisasikepartaian yang mapan apalagi masuk ke wilayah politik kekuasaan. Setelahmuncul larangan tentang partai tahun 1969, al-Hizb al-Jumhuri berganti namamenjadi al-Ikhwan al-Jumhuriun (Persaudaraan Kaum Republikan). Kelompok inidari awal sampai kyai Taha dihukum mati, konsisten melakukan pendidikanpolitik rakyat melalui penerbitan dan penyebaran pamflet, membukakelas-kelas kajian, advokasi, menggelar kampanye publik di mana-mana sertademonstrasi. Posisi kelompok ini selalu mengancam rezim-rezim sepanjangsejarah Sudan.

Pada tahun 1946 kyai Taha ditahan oleh pemerintah kolonial karena tidak maumenghentikan penerbitan pamflet tuntutuan merdeka. Setelah tak lama kemudianbebas, pada tahun yang sama dipenjara lagi sampai tahun 1948 karena dituduhmemimpin pemberontakan kemerdekaan di Rufa’a. Pada masa tiga tahun dipenjarapemerintah kolonial dan beberapa tahun setelah bebas, kyai Taha sukaberkhalwat (mengasingkan diri), mempraktikkan sebuah tradisi tarekat danmengasah gagasan-gagasannya. Baru pada tahun 1951 kyai Taha memproklamirkangagasannya tentang Tatwir at-Tasyri’ al-Islami (evolusi legislasi Islam).Gagasan ini memusatkan diri pada konsep kebangkitan (an-nadhah) Islammelalui evolusi aspek-aspek tertentu dalam hukum Islam.

Page 6: Inter Religious

Menurut gagasan kyai Taha, Islam semula dihidupi di Makkah, Arab timur,sekitar tahun 610 sampai 622 M melalui dua konsep penting: kebebasan memilih(ismah) dan tanggunjawab personal atas pilihan itu. Banyak ayat-ayatal-Qur’an mendukung konsep ini.[vi] Semangat Islam adalah kesetaraan manusiadan keadilan tanpa memandang perbedaan gender dan agama. Sayangnnyamasyarakat Arab dimana Islam lahir pertama kali pada abad 7 tersebut “tidaksiap”. Tak mengherankan Nabi kemudian dikejar-kejar dan ingin dibunuh. Atastekanan yang bertubi-tubi, kemudian Nabi dan para sahabat bermigrasi(hijrah) ke Madinah, sebuah kota lain di Arab timur. Sejak saat ituayat-ayat al-Qur’an mulai “memuat” seruan-seruan pembalasan seperti jihad,perang untuk menyebarkan iman, diskriminasi terhadap non-Muslim danperempuan.[vii] Konsep Tatwir at-Tasyri’ al-Islami yang digagass kyai Tahamemberikan tekanan pada pentingnya penerapan spirit Islam fase Makkah yangpenuh dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan dalam tata kehidupan modernsaat ini. Kyai Taha lebih memilih konsepsi dari akar-akar Islam sendiri danmengakomodasi nilai-nilai yang sesuai dengan Islam dengan demokrasi maupunsosialisme. Walaupun mengagumi konsep pembangunan ekonomi sosialis, kyaiTaha sangat kuat menentang atheisme yang berakar pada Marxisme. Ketika rezimPresiden Numeiri mulai berkongsi dengan kelompok politisi Islam tahun 1977–dimana sebelumnya mereka menjadi lawan politik Numeiri-- pemerintahkemudian mengundangkan banyak hukum Syariat, salah satunya Undang-Undang(UU) Zakat. Kyai Taha menolak keras model-model penerapan Syariat sepertiini. Tetap konsisten dengan gagasan Tatwir at-Tasyri’ al-Islami, bagi kyaiTaha rakyat Sudan tak memerlukan UU Zakat yang tak lain hanya merupakanpolitisasi Islam. Rakyat tak membutuhkan program-program uluran tangankeibaan (charity) seperti itu. Rakyat Sudan memerlukan hak ekonomi yangbeliau sebut “pembangunan ekonomi sosialisme Islam yang berkeadilan”.

Kekritisan sosok yang dikenal berpenampilan sederhana, rendah hati, dansaleh ini mengundang kemarahan para penguasa rezim Sudan. Kyai Taha sudahlama menjadi incaran penguasa Sudan. Tahun 1968, Mahkamah Tinggi SyariatKhartoum menjerat kyai Taha dengan tuduhan murtad dari Islam, tak lainkarena menentang Syariat Islam yang mulai didengungkan politisi Islam sayapkanan. Karena saat itu Mahkamah hanya memiliki hukum keluarga Islam, kyaiTaha bebas. Baru kemudian kyai Taha tak bisa berkutik dari ancaman parapenguasa Sudan dalam sebuah kasus tahun 1984. Rupanya para politisi sayapkanan Sudah sudah lama mempersiapkannya. Tahun 1983 mereka banyakmengundangkan hukum-hukum pidana Islam. Pada bulan Desember tahun itu,al-Ikhwan al-Jumhuriun mempublikasikan sebuah lieflet yang mempropagandakanpenolakan terhadap “paket hukum September 1983” yang diundangkan rezimNumeiri, tuntutan penyelesaian secara damai konflik di Sudan Selatan, danpenyelenggaraan debat nasional gagasan kebangkitan Islam. Pemerintahkemudian menangkap kyai Taha dan seorang polisi menginterogasi kyai Taha.

Page 7: Inter Religious

Dalam interogasinya tak ada pertanyaan atau pembahasan apapun yang berkaitandengan masalah kemurtadan (apostasy). Anehnya, setelah itu kyai Tahamenerima surat keputusan Presiden dimana ternyata Kementerian Negara BidangPidana menambahkan kasus tuduhan pidana Islam dan pelanggaran hadd. Usiakyai Taha saat itu 76 tahun, sementara menurut hukum pidana yang berlaku diSudan, terdakwa di atas usia 70 tahun tidak bisa dikenai sanksi hukumanmati. Tapi unsur politik sangat kuat dalam proses peradilan kyai Taha.Aturan-aturan yang berlaku tak dihiraukan lagi. Posisi tuduhan “murtad”itupun tak pernah jelas, bahkan Presiden tak bisa memberikan jawabanmemuaskan atas pertanyaan publik. Kyai Taha dieksekusi mati pada tanggal 18Januari 1985, suatu peristiwa yang membuat An-Na’im, sang murid, sangatterpukul.

An-Na’im tahu persis sebenarnya kyai Taha menjadi korban karenakeberaniannya menentang program-program Presiden Numeiri, terutamaproyek-proyek politik Islamisasi-nya. Perkenalan dan kedekatan An-Na’imdengan sang guru bermula ketika dia terlibat dalam menyokong gerakan KyaiTaha tahun 1968. Saat itu An-Na’im masih menjadi mahasiswa di UniversitasKhartoum dimana sang guru juga diluluskan darinya. Kalau dihitung tak kurangdari lima belas tahun An-Na’im terlibat dalam gerakan kyai Taha sampai tahun1984, bahkan saat An-Na’im menempuh pendidikan doktornya di Inggris padapertengahan tahun 1970an. Saat kyai Taha mengalami masa-masa sulit ataspenangkapannya tahun 1984, An-Na’im telah menjadi profesor bidang hukum danmenjadi ketua jurusan di Departemen Hukum Publik di Universitas Khartoum.Tak lama setelah itu, An-Na’im berkesempatan menjadi dosen tamu bidang hukumdi Universtias California (1985-1987) dan menjadi dosen tamu bidang HAM diUniversitas Saskatchewan Kanada (1985-1991).

Sepeninggal sang guru, An-Na’im tergerak untuk mengaktifkan kembali gerakankyai Taha. Karena itu pula di luar negeri dia selalu membuat kontrak kerjayang singkat. Tapi apa yang terjadi, kelompok politik sayap kanan dan kaumfundamentalis Islam yang dihasilkan dari kudeta tahun 1989 telah mengambilancang-ancang untuk “menghancurkan” An-Na’im bila dia pulang. Karena itukemudian An-Na’im menerima posisi Direktur Eksekutif untuk Afrika Watch yangberkantor di Wachington DC (1993-1995). Setelah itu, tahun 1995, hinggasekarang An-Na’im dipercaya menjadi pengajar di Emory Law School,Universitas Emory Amerika.

Sejak meninggalkan Sudan tahun 1985, An-Na’im sadar betul bahwa misiutamanya adalah mempublikasikan dan mengembangkan gagasan-gagasan sang guru,

Page 8: Inter Religious

kyai Taha. Benar, An-Na’im kemudian menerjemahkan dan menerbitkan sebuahbuku utama kyai Taha, Risâlah Tsâniyah min al-Islâm,[viii] dari bahasa Arabke bahasa Inggris dengan judul the Second Message of Islam (Risalah Keduadari Islam).[ix] Tak hanya berhenti disitu, An-Na’im mulai merancang kajianhukum dan HAM yang secara metodologis diturunkan dari gagasan-gagasan kyaiTaha dalam buku itu. Menurut An-Na’im, gagasan pembaharuan hukum kyai Tahaberpusat pada ide bahwa risalah Nabi Muhammad hanya bisa dipahami dalamkonteks historis Nabi. Sementara konteks historis masyarakat Muslim saat inisangat berbeda jauh dari konteks historis Nabi. Aspek-aspek hukum publikyang dihasilkan pada masa risalah Nabi meski diperbaharui untuk bisaditerapkan dalam konteks kekinian kita. Tak bisa disangkal, menurutAn-Na’im, masyarakat Muslim kini hidup dalam konteks kekinian nilai-nilaihak asasi manusia.

Salah satu “penerjemahan” gagasan kyai Taha yang lebih operasional lahirdari tangan sang murid pada tahun 1990. An-Na’im menerbitkan buku utuhpertamanya berjudul Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, HumanRights and International Law (Menatap Reformasi Islam: Kebebasan Sipil, HAM,dan Hukum Internasional).[x] Buku ini telah sampai ke kantong-kantong kajiandan gerakan kaum muda NU di Indonesia pada awal 1990an. Tak saja dibaca dandidiskusikan, buku ini juga memberikan inspirasi kuat gerakan kaum muda NUsaat itu, sejajar dengan buku-buku Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid,Fatimah Mernisi, Rifat Hassan dan Al-Jabiri. Buku-buku seperti ini mampu“memompa” spirit gerakan anak muda NU dalam melawan kekuasaan rezim Soehartoyang sejak akhir 1980an –sebagaimana rezim Numairi— condong melakukanpolitisasi Islam. Gerakan kaum muda NU ini kemudian menjadi salah satu basisgerakan penting Reformasi Indonesia 1998. Buku Toward an Islamic Reformationsudah diterjemahkan oleh LKiS sejak tahun 1995 dengan judul yang lebih“antusias”, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia,dan Hubungan Internasional dalam Islam.[xi] Sementara itu buku kyai TahaRisâlah Tsâniyah min al-Islâm, telah diterjemahkan oleh sebuah kantonggerakan anak muda NU yang lain di Surabaya, eLSAD tahun 1996 dengan judulSyari’ah Demokratik.[xii]

Setelah buku paling gress An-Na’im diterjemahkan juga ke Indonesia denganjudul Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah,[xiii]sebenarnya masih ada beberapa buku lain yang penting diketahui oleh publikIndonesia. Sebut saja empat diantaranya adalah Human Rights in Africa:Cross-Cultural Perspective (1990, ditulis bersama Francis M. Deng), TheCultural Dimention of Human Rights in the Arab World (2002), Inter-ReligiousMarriages Among Muslims, Negotiating Religious and Social Identity in Familyand Community (2005), dan African Constitutionalism and the Contingent Role

Page 9: Inter Religious

of Islam (2006). Salah satu buku tersebut adalah yang sedang kita bahassekarang. Sampai di sini apa yang perlu dicatat adalah pentingnyamengkaitkan posisi dan visi kyai Taha dalam rangkaian buku-buku An-Na’im.Karena atas dasar kecintaan kepada sang guru inilah An-Na’im bekerja kerasmengembangkan gagasan-gagasan kyai Taha.

Perkawinan Antar Agama dan Identitas Komunal

Buku Inter-Religious Marriages Among Muslims, Negotiating Religious andSocial Identity in Family and Community terdiri dari satu bagian awal yangditulis An-Na’im dan tiga bagian lainnya masing-masing membahas hukumperkawinan antar agama di tiga negara Muslim: India, Sinegal dan Turki.Ketiga bagian tersebut diberi judul pertama, Discovering the Other,Discovering the Self: Inter-Religious Marriage amang Muslims in the GreaterBombay Area, India (Mengenal Yang Lain, Mengenal Diri Sendiri: PerkawinanAntar Agama diantara orang Muslim di Wilayah Bombai, India) yang ditulisRohit Chopra dan Jyoti Punwani. Kedua, Inter-Religious Marriage in Dakar,Thies and Ziguinchor, Sinegal (Perkawinan Antar Agama di Dakar, Thies danZiguinchor, Sinegal) yang disusun Codou Bop. Dan ketiga, Inter-ReligiousMarriage in the Greater Istambul Municipality, Turkey (Perkawinan AntarAgama di Kodya Istambul, Turki) yang ditulis Somnur Vardar.

Di Sinegal umat Muslim berkisar 94 persen dan umat Kristen berjumlahkira-kira 4 persen. Meskipun mereka memeluk agama-agama besar “dunia” (worldreligions), pada praktiknya saat bersamaan mereka masih mempercayai danmempraktikkan “agama” dan “keyakinan” lokal. Kekristenan di salah satunegeri Afrika Barat ini didominasi oleh Katolik, selaras dengan masuknyakoloni Perancis. Sementara umat Muslim hampir semua dari golongan Sunni.Empat kelompok tarekat Sufi yang mulai berkembang sejak akhir abad 19 danawal abad 20 masih hidup dengan kuat hingga sekarang: Tijaniyah, Muridiyah,Qadiriyah, dan Layenes. Belakangan ini muncul beberapa sayap Muslim“fundamentalis” di perkotaan yang berjumlah relatif sedikit. Sedangkan diTurki jumlah statistik agama sulit diandalkan, angka dalam sensus 1965sampai 1999 masih belum menempatkan kelompok minoritas Yahudi dan Kristendalam hitungan. Umat Muslim terdiri dari dua kelompok besar, Sunni danAlevi. Orang-orang Alevi memandang dirinya sebagai Syi’ah Turki. Kelompokminoritas non-Muslim terbesar adalah Yahudi, disusul berbagai aliranKekristenan seperti Katolik, Protestan, dan Kristen Syria. Minoritas

Page 10: Inter Religious

non-Muslim di Turki disebut dengan istilah “kelompok millet”. Kalau diSinegal dan Turki, umat Muslim merupakan agama mayoritas, tidak demikiandengan di India dimana Muslim menjadi minoritas. Di negara Asia Selatan ini,umat Hindu berjumlah sekitar 82 persen, sementara Muslim berjumlah kira-kira12 persen. Sisanya adalah umat Kristen, Sikh, Buddha, dan Jain. Awalnya umatMuslim cukup besar, namun setelah Pakistan memisahkan diri dari India,banyak umat Muslim India bermigrasi ke Pakistan. Kuatnya kasta yang berakardalam tradisi Hindu India ikut mempengaruhi strata sosial umat Muslimdisana, kelompok kelas atas disebut ashraf dan kelas rendah disebut ajlaf.

Islam pertama kali dikenal masyarakat Sinegal pada abad 11, namun selamaabad ini Islam masih dipeluk oleh sangat sedikit masyarakat, terbatas padakaum elit bangsawan. Pada abad berikutnya secara bertahap kaum pedagangSinegal menyebarkan Islam lebih luas. Ketika koloni Perancis datang kewilayah-wilayah yang sekarang disebut Sinegal pada abad 17 tak terbendungKatolik ikut masuk dan menyebar di negeri ini. Menariknya, secara bersamaankemudian Islam malah berkembang luas dan pesat, sebagai bagian dari sikapanti-kolonialisme yang dipersepsi sebagai Barat dan Kristen. Pergulatanhistoris kultural bangsa ini menghasilkan dua karakter sosial budaya yangcukup menonjol hingga sekarang. Pertama, identitas komunal masyarakatSinegal “melekat” paling kuat pada sistem kekerabatan-etnik, dibandingdengan identitas-identitas yang lain. Sistem kasta-kasta kuno masih kuatmengalir pada kelompok-kelompok etnik yang eksis hingga sekarang, kecualipada Joola Casamance, kelompok etnik terbesar kelima. Agama rupanya tidakmenjadi sistem komunal yang berarti, setidaknya jika dibandingkan dengansistem etnisitas. Di Sinegal, agama merupakan pilihan individual. Karenaitu, kalau muncul stigma di masyarakat lebih berakar pada stigma etnik,bukan stigma berdasarkan agama. Kedua, sistem sosial dicirikan denganmendalamnya sistem kekerabatan atau kekeluargaan. Ikatan keluarga hidupsangat kuat melebihi ikatan keagamaan. Sehingga tak mengherankan bila sebuahkeluarga beranggotakan Muslim dan Kristen yang sama-sama mendaku memilikisilsilah nenek moyang yang sama.

Bila diversitas sosial berdasarkan etnik sangat menonjol di Sinegal, tidakdemikian dengan di Turki. Di negeri ini diversitas agama jauh lebih kuatdibanding etnik. Yahudi dan Kristen telah lama hidup di Istambulberabad-abad sebelum penyerangan Sultan Mehmed II tahun 1453 yang akhirnyamerubah Kerajaan Roma Timur menjadi Kerajaan Utsmaniyah (Ottoman). Sebagianbesar komunitas Yahudi dan Kristen dari masa lalu tersebut masih hiduphingga kini, seperti yang bergabung ke Sinagog Yahudi Georgia, gerejaGeorgia Katolik Timur, gereja Bulgaria, gereja Katolik Timur Melkit, gerejaOrtodok Yunani, gereja Katolik Yunani, dan gereja-gereja Protestan yang

Page 11: Inter Religious

semuanya mencirikan pertemuan antara Kekristenan dengan etnik-etnik disekitar Asia Kecil hingga Balkan di Barat, Kaukus di timur sampai Krimea diutara, serta Afrika Utara hingga Semenanjung Arabia di selatan. Kompleksitaskeagamaan ini diperkaya lagi setelah Sultan tak lama kemudian mengundanglebih banyak orang-orang Armenia, Yahudi, dan Yunani untuk berdagang diIstambul. Di masa kekuasaan Sultan-Sultan Utsmaniyah, kaum Yahudi danKristen mendapatkan perlindungan. Perlindungan terhadap kaum Yahudi-Kristenberakar pada dua perjanjian lama, satu ditandatangani oleh Nabi Muhammad dansatu lagi ditandatangani oleh Khalifah Umar.[xiv] Yunani menjadi etnikterbesar di kota dan Kristen menjadi minoritas. Sementara Yahudi merupakanminoritas terbesar di kota bahkan juga sebelum pendudukan KekaisaranUtsmaniah. Meskipun mereka mendapatkan perlindungan tapi pada kenyatannyatak pernah dipandang sebagai “warga” (citizens) secara penuh, melainkanlebih dianggap sebagai zimmi.[xv] Paska Revolusi Yunani 1829 dan selamaPerang Dunia I terjadi konflik dan perang antara orang-orang Yunani danTurki. Hingga kemudian berdiri Republik Turki pada perang dunia II yanglebih mapan, tahun 1924. Di negeri baru ini orang-orang Yunani(Yahudi-Kristen) yang “tersisa” sekitar 10 persen, selebihnya orang-orangTurki (Muslim).

Islam pertamakali masuk anak benua India sekitar abad 8. Sejak saat ituhingga tahun 1343 India dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Hindu yang silihberganti penguasa. Sampai akhirnya orang-orang Islam sempat memerintahlangsung selama dua abad (1343-1534), dipimpin Sultan-Sultan Gujarat. Padaperiode ini mulai tumbuh kuat masyarakat Muslim pribumi India dimanakeberadaan sosial, ekonomi, dan budaya mereka secara bertahap terjalin kuatberkat hubungannya dengan kelompok sosial yang lebih luas. Masyarakat Muslimdi Bombay paling awal adalah Natia atau Nawait yang merupakan perkawinansilang antara laki-laki Islam Arab dan perempuan Hindu India. Hingga akhirabad 19 masyarakat Muslim di India terbagi ke dalam Arab, Memon, KonkaniMohammedan, Bohra, Khoja, Mughal Deobandi, Bareilvi dan beberapa kelompokMuslim Sunni dan Syiah lainnya. Konflik ketegangan keagamaan di negeri bekasjajahan Inggris ini tak saja antara Hindu-Muslim, tapi juga antaraSunni-Syiah. Kelompok Syiah sering menyindir bahwa kaum Sunni kurangberpendidikan dan terlalu fanatik. Sementara itu kaum Sunni menghinakeislaman kaum Syiah hanya separuh, karena kelompok Khoja dan Bohra ikutmemperingati upacara Diwali, sebuah tradisi Hindu.

Dari tiga negara yang menjadi studi kasus buku ini, konflik antar agama bisadikatakan hampir tidak terjadi dalam sejarah modern Sinegal dan sebaliknyaterjadi beberapa kali baik di India maupun di Turki. Di tingkat institusikeagamaan, para tokoh agama di Sinegal telah menginisiasi dialog antar agama

Page 12: Inter Religious

sejak akhir tahun 1960an. Tidak hanya di tingkat elit, dialog jugaberlangsung di tingkat pemimpin keagamaan lokal dan di desa-desa. Sudahmenjadi kebiasaan di antara mereka untuk saling mengundang ketika salah satupihak mempunyai perhelatan keagamaan. Sekolah dan klinik kesehatan Katolikyang sangat banyak dan berkualitas juga berperan mendekatkan umat Katolikkepada kaum Muslim dan warga sekitar. Keharmonisan relasi antar agama initak selamanya tanpa tantangan. Belakangan ini kelompok-kelompok“fundamentalis” keagamaan mulai bermunculan, meskipun jumlahnya takseberapa. Kelompok yang pada umumya muncul di perkotaan tersebut tak sajamuncul dari kalangan Muslim, tapi juga Katolik. Bagi kelompok“fundamentalis” Katolik yang tidak sepakat dengan kebijakan dialog dariVatikan merasa pendekatan dialog menghambat perkembangan Katolik di Sinegal,sebab jumlah umat Katolik tak pernah bertambah.

Konflik antar agama cukup besar pernah terjadi di Turki tahun 1955. Konflikberawal dari rumor bahwa rumah Ataturk di Thessalonica dibom oleh kelompokNasionalis etnik Yunani. Karena rumor ini muncul kemarahan kaum Muslimdimana eskalasi konflik meningkat menjadi kemarahan terhadap semua kelompokminoritas non-Muslim, terutama Yahudi. Kerusuhan yang hanya terjadi dua haribulan September 1955 tersebut mengakibatkan tak kurang dari empat ribu tokoterbakar, dua ribu rumah penduduk terbakar, tiga jiwa meninggal dan tigapuluh orang terluka.[xvi] Setelah kudeta militer berlangsung tahun 1960 diTurki, pejabat pemerintah yang terjatuh diadili dan mengaku terlibat dalamkonflik tersebut. Sejak saat itu hingga kini tidak pernah terjadi lagikonflik antar agama yang signifikan di Turki. Ada perang sipil yangmengakibatkan cukup besar pemeluk Kristen dan warga Kurdi migrasi keIstambul tahun 1980an dan 1990an, tapi tidak memiliki unsur konflikkeagamaan.

Kalau konflik antar agama di Turki terakhir terjadi lima puluh tahun lalu,dua konflik antar agama yang sangat besar di India terjadi belum ada limabelas tahun lalu. Pertama, konflik terbesar bulan Desember 1992 sampaiJanuari 1993 yang akhirnya mengarah pada pembakaran Masjid Babri. Konflikini awalnya bermula dari pemukulan warga Hindu oleh beberapa orang Islam.Setelah diberitakan dalam sebuah koran, pemukulan tersebut mengundangkemarahan orang-orang Hindu. Shiv Sena, sebuah kelompok “fundamentalis”Hindu yang memiliki afiliasi politik, memimpin pengerahan massa danterjadilah konflik yang mengerikan rakyat. Sebuah laporan menyebut terdapat900 orang meninggal (575 Muslim, 275 Hindu, 45 tak dikenali, dan 5 orangpemeluk agama lain). Jumlah yang luka-luka lebih besar lagi, 2036 dimana1105 diantaranya Muslim, 893 Hindu dan 38 orang pemeluk agama lain. Kedua,sebuah konflik tahun 2002 menyusul terbakarnya sebuah kereta api yang

Page 13: Inter Religious

membawa banyak kader RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh) setelah mengikutiupacara keagamaan di sebuah Pura di dekat masjid Babri. Akibat terbakarnyakereta tersebut sejumlah 41 kader RSS meninggal dan sisanya penumpang lain.Kasus ini mengundang kekerasan anti-Muslim yang memakan korban jauh lebihbesar. Sejumlah 1000 umat Islam meninggal, sebagiannya terbakar hidup-hidupkarena pembakaran kampung-kampung dimana penduduknya beragama Islam.[xvii]

Dari pembahasan di atas, kita bisa mengetahui sekilas konteks negara-negaradimana An-Na’im dan timnya menyelenggarakan penelitian tentang perkawinanantar agama. Pertanyaan lebih lanjutnya adalah bagaimana hukum perkawinanantara agama di ketiga negara tersebut? Apakah konteks sosial, budaya, danpolitik di tiap negara itu mampu mempengaruhi model hukum perkawinan antaragama yang berbeda? Bagaimana perkawinan antar agama dalam tiap kontekstersebut turut membentuk identitas komunal masyarakat?

Geneologi hukum (positif) perkawinan di India berakar pada beberapakebijakan pemerintah kolonial Inggris pada awal abad 18. Ketika sebuahMahkamah Agung didirikan di Kalkuta tahun 1774 dinyatakan bahwa pemerintahmenjamin peradilan hukum personal (personal laws) orang-orang pribumi sesuaihukum tradisi aslinya (natives). Pengertian tradisi asli ini mengacu padadua hal sekaligus: adat dan agama. Namun pada kenyataannya posisi hukum adattak pernah dipertimbangkan dalam praktik. Termasuk misalnya dalam kasus umatHindu dan Muslim yang hidup dalam satu adat yang sama. Sehingga padapraktiknya kebijakan kolonial “membiarkan” sejak awal diferensiasi hukumpersonal --dimana perkawinan termasuk di dalamnya-- berdasarkan agama.Setelah masa kolonial, kebijakan seperti ini diteruskan oleh pemerintahIndia. Kini, hukum personal warga India dipilah dalam agama-agama sepertiHindu, Islam, Kristen, Parsi, dan Yahudi. Uniknya, agama-agama sepertiBuddha, Jain, Sikh dan beberapa gerakan keagamaan baru “Hindu” sepertiBrahmo Samaj, Prarthana Samaj, serta Arya Samaj semuanya diklasifikasikansebagai Hindu di depan hukum. Perkawinan umat Hindu di depan hukum dipandangsebagai sebuah proses sakramen, bukan kontraktual. Karena itu hubunganperkawinan harus diselenggarakan secara sempurna dari tata cara keagamaanseperti dalam upacara saptapadi (tujuh tahap mengelilingi api) dan pembacaanmantra-mantra suci. Sedangkan hukum perkawinan umat Islam dipandang sebagaisebuah kontrak sipil berdasarkan hukum Islam. Agar sebuah perkawinan menuruthukum personal Islam syah harus dihadiri oleh para saksi dalam sebuahpertemuan yang sama.

Hukum personal perkawinan bagi umat Muslim di India berpedoman pada Hukum

Page 14: Inter Religious

Penerapan Syariat 1937. Buku ini tidak banyak mengeksplorasi sisi materialhukum Syariat tersebut, tapi memberikan indikasi bahwa hukum “sekuler” tetapmemberi ruang pada legalisasi perkawinan Muslim-non-Muslim. Di tingkatwacana Hukum Penerapan Syariat, masih banyak dibicarakan perdebatanperkawinan laki-laki Muslim dengan perempuan kitabiyah. Di Indian kitabiyahpada praktiknya diidentifikasi dengan dua kelompok agama, Yahudi danKristen, yang kebetulan keduanya memiliki pengikut. Sebagaimana disebut diatas, di India hukum personal dipilah-pilah ke dalam agama-agama yangberbeda. Hukum Perkawinan Hindu 1955 menutup kemungkinan perkawinan antaragama, Hindu-non-Hindu. Sedangkan Hukum Perkawinan Kristen 1872memperbolehkan perkawinan Kristen-non-Kristen asal perkawinandiselenggarakan dengan tata cara peraturan Kristen. Sebagian pasanganMuslim-Kristen, tanpa menghiraukan unsur gender, pada praktiknya ada yangmenikah di gereja dan menggunakan Hukum Perkawinan Kristen 1872. Namun, padaumumnya perkawinan antar-agama, termasuk Muslim-non-Muslim, dipraktikkandibawah sebuah UU yang disebut UU Perkawinan Khusus 1954. Dalam risetnya dibuku ini, Rohit Chopra dan Jyoti Punwani mewawancarai pasangan perkawinanMuslim-non-Muslim, baik Muslim-Parsi, Muslim-Hindu, Muslim-Jain, danMuslim-Kristen tentang banyak sisi yang menyangkut perkawinan mereka.

Untuk kasus Turki, Somnur Vardar tidak mendeskripsikan hukum (positif)perkawinan antar agama di Turki. Vardar mengkaji sisi-sisi sosiologi danantropologis relasi antara kedua pasangan dan lingkungannya. Dari informasiyang ada dalam buku ini kita tetap bisa memastikan bahwa cukup banyakberlangsung perkawinan Muslim-non-Muslim di Turki yang diberi ruang dalamsistem administrasi pemerintah. Di sini Vardar menganalisis cukup banyakkasus perkawinan Muslim-non-Muslim, terutama Muslim-Yahudi danMuslim-Kristen. Di tingkat keluarga bukan saja perkawinan Muslim-non-Muslimyang mengundang kontroversi, tapi perkawinan antar dua kelompok Muslimterbesar (Sunni-Alevi) kadang juga masih menimbulkan ketegangan.

Sementara itu hukum perkawinan di Sinegal berpedoman pada Undang-UndangKeluarga 1972. Hukum ini berlaku umum bagi semua warga negara tanpamembedakan agama dan asal (etnik). Dari sepuluh larangan perkawinan tak satupun yang menyangkut agama maupun perbedaan agama. Penduduk diberikan tigapilihan: Pertama, menikah tercatat (registered marriage). Pernikahan jenisini diselenggarakan di kantor catatan sipil yang dihadiri kedua mempelai.Dengan dihadiri dua orang saksi dan seorang pegawai yang mencatat perkawinanmereka. Rupanya sistem ini tidak menekankan unsur perkawinan menurut agama,tapi lebih bersifat pencatatan administrasi. Kedua, pernikahan yangdisyahkan oleh pemimpin agama atau tradisi dengan kehadiran pegawai pencatatperkawinan dari kantor catatan sipil. Ketiga, perkawinan tidak tercatat atau

Page 15: Inter Religious

hanya diselenggarakan menurut tata cara agama atau tradisi. Karena negaramengakui keberadaan agama dan tradisi, kemudian perkawinan jenis inipundianggap sah. Meskipun pada kenyataannya mereka tidak memiliki jaminan hukumsekuat dua jenis perkawinan yang lain. Surat perjanjian pernikahan (maritaldeclaration) “terlambat” harus dibuat paling lambat dua bulan setelahperkawinan. Dengan sistem peraturan perkawinan ini membuat perkawinanantar-agama tidak menghadapi masalah di depan hukum. Kalau perkawinan antaragama tidak menghadapi masalah, kesetaraan gender menghadapi tantangan yangrumit. Poligami merupakan praktik yang biasa di masyarakat Sinegal. Berakardari tradisi etnik dan pandangan Islam “klasik”, seorang suami Muslim takjarang memiliki empat orang isteri. Pada praktiknya poligami juga “merembet”ke pemeluk Katolik dimana seorang suami Katolik memiliki lebih dari satuisteri. Tentu mereka menghadapi kesulitan administrasi dari gereja, namunmereke telah terbiasa mempraktikkannya. Satu bagian buku yang ditulis CodouBop tentang kasus Sinegal ini tidak saja membahas dinamika perkawinan antaragama di masyarakat, tapi juga memberi perhatian pada problem-problem genderdi sekitarnya.

Menurut analisis Abdullahi Ahmad An-Na’im, acapkali kita mengasumsikanmasyarakat Muslim menjalankan Syariah dalam hukum personal atau hukumkeluarga secara ketat sebagai sebuah resistensi terhadap hukum “sekuler”yang ada. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa asumsi seperti ituterkadang menyederhanakan masalah dan tak selamanya tepat. Buku inimembuktikan pada praktiknya umat Muslim di Turki, Sinegal dan India semuanyahidup dalam masyarakat yang multi etinik dan multi agama. Oleh sebab ituterdapat berbagai praktik hukum yang berbeda. Masyarakat Muslim memilikikeragaman hubungan-hubungan terhadap apa yang mereka yakini –atau setidaknyamereka praktikkan-- sebagai Syariah sebagai sesuatu yang tidak selalu fixed.Dengan kata lain, identitas sosial umat Muslim merupakan bentukan darisisi-sisi historis dan kontekstual. Perkawinan bukan saja terkait dengankedua pasangan pengantin. Ikatan keluargaan dan kepentingan politik sertaekonomi tak jarang mewarnai sebuah perkawinan. Penelitian ini sangat menarikuntuk menilik perkawinan antar agama Muslim-non-Muslim untuk mengertibagaimana berbagai identitas dipahamai, dialami dan dinegosiasikan oleh umatMuslim dalam konteks sosial, hukum dan politik tertentu.

Tak bisa disangkal, sebagian besar negeri yang saat ini didiami oleh banyakumat Muslim adalah negara-negara bekas jajahan bangsa-bangsa Eropa.Menariknya, hukum personal Islam (syari’at al-ahwal as-syakhsiyah) luputdari transformasi kolonialisme. Hukum personal Islam tersebut biasanyamenyangkut perkawinan, perceraian, pengasuhan anak dan hukum waris.Sementara di luar hukum personal, semua telah ditransformasikan menurut

Page 16: Inter Religious

nalar modern kolonialisme, seperti dalam hal hukum hak milik, hukum dagang,hukum kriminal, hukum administrasi negara, hukum tanah dan lain sebagainya.Setelah kolonialisme berakhir, umat Muslim kini mewarisi keterpecahbelahanhukum. Pada satu sisi hukum personal memakai hukum Islam klasik, di sisilain dalam hukum non-personal memakai hukum “sekuler”. Pada praktiknya umatMuslim kalau menikah menggunakan hukum Islam, tapi kalau urusan hak milikmenggunakan hukum sekuler. Menurut An-Na’im kondisi ini membawa paradoksdalam kehidupan umat Muslim kontemporar. Studi ini kurang tertarik untukbicara “halal-haram” dalam pengertian fiqih, tapi lebih mencerminkan sebuahkajian legal antropology (antropologi hukum).

Penutup, Refleksi Pengalaman Kita

Saat ini penulis sedang melakukan penelitian independen tentang perkawinanantar agama di Indonesia, khususnya menekankan kasus perkawinanMuslim-non-Muslim. Penelitian ini mengkaji dua hal. Pertama, menelusurigeneologi hukum perkawinan antar agama di Indonesia sejak masa kolonialhingga era Reformasi. Pada tingkat tertentu, geneologi ini tak bisadilepaskan dari wacana keagamaan yang dikonstruk oleh ulama dan organisasikeagamaan di Indonesia tentang perkawinan Muslim-non-Muslim, khususunya padamasa paska kolonial. Kedua, mengeksplorasi life story beberapa keluargaperkawinan Muslim-non-Muslim yang menekankan pada peristiwa sebelum menikah,respon keluarga, bagaimana menghadapi aturan larangan negara, danpengelolaan perbedaan agama dalam keluarga, termasuk pendidikan agama anak.Sebagaimana riset An-Na’im, kajian ini merupakan studi legal antropologydengan studi kasus di sebuah kota di Jawa. Sebagai riset yang sedangberjalan masih terlalu dini untuk menyusun kesimpulan. Namun ada beberapahopotesis awal yang sudah mulai bisa dibangun, tentu perlu diuji terus.

Pertama, pada aras wacana keagamaan yang dimunculkan oleh organisasi massakeislaman terjadi trend penutupan peluang perkawinan Muslim-non-Muslim dariwaktu ke waktu. NU dalam bahtsul masail yang dihasilkan dari Munas 1960memulai pemunculan wacana, disusul oleh MUI tahun 1980 dan Muhammadiyahtahun 1989. Belakangan ini, MUI mengulangi fatwa tersebut pada tahun 2005.Dalam konteks perkawinan Muslim-non-Muslim di Indonesia, keputusan Munas NUtahun 1960 masih cukup kabur.[xviii] Tidak demikian dengan fatwa MUI tahun1980 dan keputusan tarjih Muhammadiyah 1989. Kedua keputusan keagamaan yangdisebut terakhir ini dengan tegas menyebut argumen konteks keindonesiaannya,yakni permasalahan ketakutan perpindahan agama.[xix] Sejauh riset penulisasumsi perpindahan agama tak selamanya dipraktikkan di keluarga perkawinanMuslim-non-Muslim. Lebih jauh sebenarnya tak ada pola yang baku dalam hal(a) apakah salah satu pasangan benar-benar pindah agama atau tidak; (b)

Page 17: Inter Religious

kalau terjadi konversi pada satu sisi apakah suami atau isteri yang pindahagama dan di sisi lain apakah pihak yang Muslim atau yang non-Muslim yangpindah agama; (c) apakah anak dididik agama sesuai agama isteri atau suamipada satu sisi dan apakah dididik secara Islam atau non-Islam di sisi lain.Banyak faktor yang berperan disini, termasuk tak jarang bias gender dalamrelasi suami-isteri. Hampir bisa dipastikan fatwa dan keputusan-keputusankeagamaan di Indonesia yang “mengharamkan” perkawinan beda agama tidakdilengkapi dengan riset yang memadai. Argumen-argumen dibangun berdasarkanasumsi dan prasangka, alih-alih sebenarnya untuk kepentingan identitaskomunal sebagaimana banyak disinggung dalam buku Abudullahi Ahmed An-Na’im.

Kedua, di tingkat hukum positif, kolonialisme Belanda telah menanamkansegregasi hukum Islam-non-Islam sejak lahirnya Staatblad 1982 No. 152tentang Priesteradden op Java en Madura (Pengadilan Ulama/Agama di Jawa danMadura). Segregasi ini diwarisi demikian saja oleh sistem hukum personalpemerintah Indonesia setelah kemerdekaan. Perkawinan antar agama, termasukMuslim-non-Muslim tetap memiliki ruang di Indonesia sepanjang sejarahkolonial hingga awal tahun 1990. Seperti kasus di Sinegal, hukum perkawinanIndonesia modern pernah mengenal pencatatan sipil perkawinan tanpa unsuragama yang memberikan peluang besar pada legalitas perkawinan antar agama,termasuk Muslim-non-Muslim. Kemungkinan perkawinan Muslim-non-Muslim semakinsempit setelah lahir Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.Banyak Kantor Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil (KPPCS)[xx] tidak maumencatat perkawinan antar agama, terutama Muslim-non-Muslim. Namun adasebagian KPPCS tetap “berani” mencatat perkawinan Muslim-non-Muslim sampaisekarang. Dari tiga distrik (kabupaten/kota) yang menjadi fokus risetpenulis, satu KPPCS memperbolehkan perkawinan antar agama, termasukMuslim-non-Muslim. Sementara dua KPPCS yang lain “tidak berani” melakukanhal demikian, bahkan antara pemeluk Katolik dan Kristen, karena di Indonesiasecara administratif keduanya dianggap dua agama yang berbeda.

Ketiga, sejauh kajian etnografi penulis, penyempitan dan penutupankemungkinan perkawinan Muslim-non-Muslim baik dari sisi wacana keagamaanmaupun administrasi sipil pemerintahan memunculkan model resistensi ummatdan warga negara yang sangat menarik dikaji. Bagi kaum “abangan”,[xxi]fatwa-fatwa keagamaan seperti “angin lalu” yang tak pernah mereka hiraukansebab identitas keagamaan bukan satu hal yang dominan dalam identitasdirinya. Sedangkan untuk kaum “santri” mereka mengembangkan “tafsir”keagamaannya sendiri. Resistensi tak saja muncul dari kalangan ummat Muslim,tapi juga dari beberapa kyai dan sarjana lokal yang pada satu sisi tidakmemiliki hubungan dengan institusi keagamaan “produsen” fatwa keagamaan ataudi sisi lain menjaga jarak dengan insitutsi keagamaan tersebut meskipunmereka memiliki hubungan kultural yang kuat dengannya. Di Jawa bagian baratdan tengah, peran empat kyai (pesantren) dan sarjana (kampus) yangmasing-masing telah menikahkan puluhan atau bahkan ratusan kasus perkawinanMuslim-non-Muslim menjadi fakta resistensi terhadap institusi fatwa

Page 18: Inter Religious

keagamaan.

Sementara itu resistensi warga negara terhadap kantor pemerintahan yangtidak memberikan peluang perkawinan Muslim-non-Muslim dengan mudah dapatdisiasati oleh warga negara. Telah lazim terjadi di masyarakat pembuatanKartu Tanda Penduduk (KTP) mendadak sebelum perkawinan untuk menyesuaikanurusan administrasi agama yang sama kedua mempelai. Ketika KTP pasangancalon suami-isteri sampai hari perkawinan belum selesai, salah satu pasanganbisa menggantinya dengan membuat surat pernyataan pindah agama. Di KantorUrusan Agama (KUA), tentu yang non-Muslim harus pindah ke Islam. Sebaliknya,di KPPCS pihak yang Muslim wajib pindah ke non-Islam. Temuan penulismenunjukkan fakta menarik tentang pengaruh teologi Islam dalam sistemadministrasi perkawinan antar warga non-Muslim. Misalnya di KPPCS pihakProtestan juga harus menulis surat pindah agama ke Katolik, sebab secaraadministrasi dianggap sebagai dua agama yang berbeda. Padahal keduanyamembolehkan pemberkatan perkawinan (baca: akad nikah) bersama. Padakenyataannya negara tak punya perangkat sama sekali untuk mengontrol apakahyang bersangkutan benar-benar pindah agama atau sekedar memanipulasiidentitas administratif untuk perkawinan.

Akhirnya, perkawinan Muslim-non-Muslim, sebagaimana studi dan buku An-Na’im,merupakan subjek studi sosial yang sangat menarik untuk melihat relasiantara perkembangan (hukum) Islam, negara, masyarakat, dan identitas sosial.Pada aras wacana keagamaan, temuan-temuan studi sosial dan humaniora sepertiini menjadi bahan-bahan penting pertimbangan keputusan keagamaan. Hal initentu sejauh para pelaku wacana keagamaan mau mendengar hasil-hasil kajiansosial. Dalam bidang keagamaan harus diakui bahwa kajian sosial tidakmemiliki otoritas sekuat kajian atau fatwa keagamaan itu sendiri. Namun,fatwa keagamaan yang tidak mau menilik temuan-temuan sosial acapkali menjadisesuatu yang tidak dihiraukan oleh masyarakat. Fatwa larangan perkawinanantar agama dengan baik menggambarkan kondisi ini. Pada aras administrasisistem pencatatan sipil, UU Sistem Administrasi Kependudukan (Adminduk) 2006telah membuka kemungkinan institusionalisasi perkawinan antar agama,meskipun masih menyisakan diskriminasi. Pada saat bersamaan saat ini sedangdibahas Rancangan UU Terapan Peradilan Agama (RUU PA) yang padapekembangannya akan menutup kemungkinan perkawinan Muslim-non-Muslim. Kalausaja dalam bidang perkawinan antar agama, umat Islam di Indonesia memilikihak pilih sebagaimana hukum waris untuk mengurus ke Pengadilan Negeri akanmenjadi sumbangan penting upaya menghindari manipulasi praktik administrasidan konversi agama di masyarakat. Indonesia tentu beda dengan Turki, Sinegalmaupun India, namun pelajaran penting dari studi di tiga negara tersebutperlu dipertimbangkan.

Page 19: Inter Religious

===============

Suhadi Cholil menyelesaikan pendidikan menengah di Madrasah Aliyah ProgramKhusus (MAPK) Yogyakarta dan melanjutkan studi di Fak. Syariah IAIN SunanKalijaga sambil menjadi santri kalong di Ponpes Wakhid Hasyim Sleman.Menempuh pendidikan pascasarjana di Prodi Agama dan Lintas Budaya UGM.Selama tahun 1999-2005 menjadi peneliti di Lembaga Kajian Islam dan Sosial(LKiS) Yogyakarta. Saat ini mengajar dan bekerja sebagai Kabag Akademik diProdi Agama dan Lintas Budaya UGM serta aktif menjadi pengurus pengembanganpendidikan tinggi di Ponpes Sunan Pandanaran Yogyakarta. Pada tahun 2007menjadi peneliti tamu di Asia Research Institute-National University ofSingapore.

[i] Dalam bahasa Perancis, perempuan yang telah bersuami (nyonya) dipanggilMadame, sementara mereka yang belum bersuami (nona) disebut Mademoiselle.

[ii] Wawancara, “Abdullahi Ahmed An-Na’im: Negara Sekuler Yes, MasyarakatSekuler No”, Majalah Gatra, No. 38, 2 Agustus 2007.

[iii] Dalam tulisan-tulisannya An-Na’im selalu menyertakan sebutan Ustadhketika menyebut nama Mahmud Muhammad Taha. Untuk konteks Islam diIndonesian, penulis lebih memilih kata Kyai dalam pengertian yang setaradengan Ustadh dalam konteks Islam di Sudan.

[iv] Abdullahi Ahmed An-Na’im, “The Islamic Law of Apostasy and Its ModernApplicability, A Case from the Sudan”, dalam Religion (1986) 16, hlm.197-224.

[v] Abdullahi Ahmed An-Na’im, “Mahmud Muhammad Taha and the Crisis inIslamic Law Reform: Implications for Inter-Religious Relations”, dalamJournal of Ecumenical Studies, 25: 1, Winter 1988.

Page 20: Inter Religious

[vi] Sebagiannya misalnya: Qur’an 16: 125; 18: 29; 49: 13; dan 2: 228.

[vii] Lihat misalnya: Qur’an 9: 5, 125; 4: 34.

[viii] Kyai Taha menerbitkan gagasan-gagasannya berbahasa Arab tak kurangdalam 33 buku. Diantara yang terkenal adalah as-Safar al-awwal, al-IslâmRisâlah as-Shalâh, Baînâ wa Baîna Mahkamah ar-Riddah, Rasâil wa Maqâlâtal-Kitâb al-Awwal, Rasâil wa Maqâlât al-Kitâb al-Tsâni, al-Islâm waIhsâniyah al-Qarn al-‘Isyrin, min Daqâiq Haqâ’id ad-Dîn.

[ix] Mahmoud Mohammad Taha, the Second Message of Islam by Ustadh MahmoudMohammad Taha, New York: Syracuse University Press, 1987.

[x] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation, 1990

[xi] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syariat Islam, Yogyakarta: LKiS,..... Penerbit LKiS juga menerbikan perdebatan internasional terhadap bukuToward an Islamic Reformation, yakni Dekonstruksi Syariah Islam II,Yogyakarta: LKiS, 1996.

[xii] Mahmoud Mohammad Taha, Syari’ah Demokratik, Surabaya: eLSAD, 1996.

[xiii] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler: MenegosiasikanMasa Depan Syariah, Bandung: Mizan, 2007.

[xiv] Tentang dua dokumen perjanjian ini Abdullahi Ahmed An-Na’im merujukpada Elcin Macar, Cumburiyet Doneminde Istambul Rum Patrikhanesi, Istambul:Iletisim, 2003.

[xv] Zimmi secara harfiah berarti orang yang dilindungi. Dalam hukum Islamklasik dan khazanah politik Islam Zimmi diartikan seseorang yang hidup disebuah wilayah Muslim yang menjadi pemeluk agama non-Muslim dimana secararesmi agama tersebut “ditoleransi”.

[xvi] Samnur Vardar, “Inter-Religious Marriage in the Greater IstambulMunicipality, Turkey”, dalam Abdullahi Ahmed An-Na’im, Inter-ReligiousMarriages Among Muslims, Negotiating Religious and Social Identity in Familyand Community, New Delhi: Global Media Publications, hlm. 246.

[xvii] Rohit Chopra dan Jyoti Punwani, “Discovering the Other, Discoveringthe Self: Inter-Religious Marriage among Muslims in the Greater Bombay Area,India” dalam Abdullahi Ahmed An-Na’im, Inter-Religious Marriages AmongMuslims, hlm. 61-63. Dalam kasus korban kekerasan 1992-1993 Rohit Chopra danJyoti Punwani mengutip laporan yang ditulis the Srikrishna Commission yangditerbitkan tahun 1998. Sementara untuk kasus kekerasan 2002 mengutip Dionne

Page 21: Inter Religious

Busha, “The Facts from Godjra”, Frontline, 2 Agustus 2002.

[xviii] Kekaburan ini terutama tidak diikuti oleh penjelasan yang memadahitentang konteks keindonesiaan dalam dokumen bahtsul masail tersebut. Lihat:K.H. A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas UlamaNahdlatul Ulama Kesatu (1926) s.d. Ketigapuluh (2000), Depok: PPRMI-QultumMedia, 2004, hlm. 184-185. Mujiburrahman berusaha mengkaitkan bahtsul masailtersebut dengan kepentingan politik NU dimana pada bersamaan NU saat itumenjadi partai politik. Kepentingan itu berkenaan dengan perdebatan ditingkat parlemen tentang Rancangan UU Perkawinan yang mulai bergulir sejakawal tahun 1950an. Lihat bab IV “Religion, Family Law, and the State” dalamMujiburrahman, Feeling Threatened, ISIM Dissertation, Amsterdam: AmsterdamUniversity Press, 2007. Penulis cenderung berpedoman pada teks dokumenbahtsul masa’il 1960 dimana tidak menjelaskan secara implisit kontekskeindonesiaannya. Isi teks bahtsul masail NU tersebut sangat berbeda dalammuatannya dengan fatwa MUI 1980 & 2005 serta hasil tarjih Muhammadiyah tahun1989.

[xix] Tentang Fatwa MUI 1980 dan tarjih Muhammadiyah tahun 1989 bisa dilihatdalam Suhadi, Kawin Lintas Agama, Perspektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta:LKiS, khususnya bab II.

[xx] Dulu Kantor Catatan Sipil (KCS)

[xxi] Penjelasan mutakhir terbaik tentang konsep masyarakat “abangan” bisadilihat dalam bab 4 “the Birth of the Abangan” (Lahirnya Abangan) dalam bukuM.C. Ricklefs, Polarising Javanese Society, Islamic and Other Visions (c.1830-1930), Singapore: NUS Press, 2007, hlm. 84-104.

[Non-text portions of this message have been removed]