3
INTERAKSI WISATAWAN DENGAN MASYARAKAT LOKAL Hubungan Interaksi antara wisatawan dengan masyarakat dicirikan oleh empat hal ( UNESCO, 1976 ; Murphy, 1985 ; Sharpley, 1994 ). 1. Hubungannya bersifat sementara (transitory relationship), hub. Transitory dan non repetitive sering menyebabkan mereka yang berhub. Tdk memikirkan dampak interaksi mereka terhdp interaksi di masa yang akan datang., sehingga jarang memunculkan rasa saling percaya ( mutual trust ). Akibat lebih jauh masing-masing pihak mempunyai potensi untuk memeras dan saling membohongi. Wisatawan bisa membohongi masyarakat Lokal, dan masyarakat Lokal juga sering membohongi wisatawan. 2. Ada kendala ruang dan waktu yg menghambat hub. Wisatawan umumnya berkunjung secara musiman dan tidak berulang. Apalagi kenyataan bahwa fasilitas pariwisata umumnya hanya terkonsentrasi pada tempat tertentu, maka wisatawan hanya berhubungan secara intensif dengan sebagian anggota masyarakat yang secara langsung berhubungan dengan pelayanan terhadap wisatawan, sedangkan masyarakat yang jauh dari fasilitas pariwisata berhubungan kurang intensif. Apalagi beberapa usaha pariwisata ada yang sengaja berusaha mengurangi interaksi langsung antara wisatawan dengan masyarakat lokal untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi. 3. Dalam mass tourism, tdk ada hub. yg bersifat spontan antara wisatawan dgn masy. lokal, melainkan sebagian besar diatur dlm paket wisata yg ditangani oleh usaha pariwisata dgn jadwal yg ketat. Kegiatan pariwisata adalah kegiatan ekonomi, masyarakat lokal bekerja pada pariwisata adalah untuk mendapatkan penghasilan kehidupan. Dengan demikian interaksi yg terjadi antara wisatawan dgn masy lokal lbh banyak bersifat transaksi ekonomi. Hubungan antara manusia yg semula berdasarkan atas keramahtamahan tradisional, dlm pariwisata telah berubah menjadi keramah-tamahan yg dikomersilkan. 4. Hubungan atau interaksi umumnya bersifat unequal dan unbalanced, serta pada umumnya masy lokal merasa lbh inferior. Wisatawan lbh kaya, lbh berpendidikan, dan dlm suasana berlibur, sedangkan masyarakat lokal dlm suasana melakukan pekerjaan, penuh

Interaksi Wisatawan Dengan Masyarakat Lokal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

interaksi masyarakat

Citation preview

Page 1: Interaksi Wisatawan Dengan Masyarakat Lokal

INTERAKSI WISATAWAN DENGAN MASYARAKAT LOKAL

Hubungan Interaksi antara wisatawan dengan masyarakat dicirikan oleh empat hal ( UNESCO, 1976 ; Murphy, 1985 ; Sharpley, 1994 ).

1. Hubungannya bersifat sementara (transitory relationship), hub. Transitory dan non repetitive sering menyebabkan mereka yang berhub. Tdk memikirkan dampak interaksi mereka terhdp interaksi di masa yang akan datang., sehingga jarang memunculkan rasa saling percaya ( mutual trust ). Akibat lebih jauh masing-masing pihak mempunyai potensi untuk memeras dan saling membohongi. Wisatawan bisa membohongi masyarakat Lokal, dan masyarakat Lokal juga sering membohongi wisatawan.

2. Ada kendala ruang dan waktu yg menghambat hub. Wisatawan umumnya berkunjung secara musiman dan tidak berulang. Apalagi kenyataan bahwa fasilitas pariwisata umumnya hanya terkonsentrasi pada tempat tertentu, maka wisatawan hanya berhubungan secara intensif dengan sebagian anggota masyarakat yang secara langsung berhubungan dengan pelayanan terhadap wisatawan, sedangkan masyarakat yang jauh dari fasilitas pariwisata berhubungan kurang intensif. Apalagi beberapa usaha pariwisata ada yang sengaja berusaha mengurangi interaksi langsung antara wisatawan dengan masyarakat lokal untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi.

3. Dalam mass tourism, tdk ada hub. yg bersifat spontan antara wisatawan dgn masy. lokal, melainkan sebagian besar diatur dlm paket wisata yg ditangani oleh usaha pariwisata dgn jadwal yg ketat. Kegiatan pariwisata adalah kegiatan ekonomi, masyarakat lokal bekerja pada pariwisata adalah untuk mendapatkan penghasilan kehidupan. Dengan demikian interaksi yg terjadi antara wisatawan dgn masy lokal lbh banyak bersifat transaksi ekonomi. Hubungan antara manusia yg semula berdasarkan atas keramahtamahan tradisional, dlm pariwisata telah berubah menjadi keramah-tamahan yg dikomersilkan.

4. Hubungan atau interaksi umumnya bersifat unequal dan unbalanced, serta pada umumnya masy lokal merasa lbh inferior. Wisatawan lbh kaya, lbh berpendidikan, dan dlm suasana berlibur, sedangkan masyarakat lokal dlm suasana melakukan pekerjaan, penuh kewajiban dan mengharapkan uang wisatawan.Posisi yg tdk seimbang ini menyebabkan terjadinya hubungan eksploitatif, atau inferior – superior. Di lain pihak, karena masy lokal mempunyai pengetahuan yg lbh baik terhadap situasi lokal (termasuk budaya ), maka wisatawan juga bisa menempati posisi inferior dan tereksploitasi.

Perbedaan budaya merupakan hal yg sangat penting untuk mendapatkan perhatian di dlm interaksi wisatawan dgn masy lokal. Reisinger (1997) menyatakan :

“Cultural differences, together with asymmetry of the frequent and transitory tourist host contact, are the most important factors which influence interaction difficulties between tourist and host ( Pearce, 1982). Therefore, understanding of cross cultural tourist host contact and the influence of the cultural background of tourist and hosts is the key feature for identification of the cultural potential for tourist host interaction and the effects of this interaction on the overall tourist holiday satisfaction”.

Page 2: Interaksi Wisatawan Dengan Masyarakat Lokal

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP WISATAWAN

Dalam hubungan dengan evolusi sikap masyarakat terhadap wisatawan, Doxey ( 1976 ) mengembangkan kerangka teori yang disebut Irindex ( irritation index). Model ini menggambarkan perubahan sikap masyarakat lokal terhadap wisatawan secara linier. Sikap yg mulanya positif berubah menjadi semakin negatif seiring dengan pertambahan jumlah wisatawan. Tahapan tersebut seperti dipaparkan sbb:

1. Euphoria

Kedatangan wisatawan diterima dengan baik. Ini terjadi pada fase fase awal perkembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata, dan pada umumnya daerah tujuan wisata tersebut belum mempunyai perencanaan.

2. Apathy

Masyarakat menerima wisatawan sebagai sesuatu yang lumrah, dan hubungan antara masyarakat dengan wisatawan di dominasi oleh hubungan komersial. Perencanaan yang dilakukan pada daerah tujuan wisata pada fase ini umumunya hanya menekankan pada aspek pemasaran.

3. Annoyance

Titik kejenuhan sudah hampir dicapai, dan masyarakat mulai merasa terganggu dengan kehadiran wisatawan. Perencanaan umumnya berusaha meningkatkan sarana dan prasarana, tetapi belum ada usaha membatasi pertumbuhan.

4. Antagonism

Masyarakat secara terbuka sudah menunjukkan ketidaksenangannya, dan melihat wisatawan sebagai sumber masalah. Pada fase ini perencana baru menyadari pentingnya perencanaan menyeluruh. Persepsi masyarakat ( Euphoria, Apathy, Annoyance dan Antagonism) terhadap wisatawan sangat tergantung dari perkembangan suatu daerah tujuan wisata. Daerah tujuan wisata memiliki siklus kehidupannya sendiri seperti yg dikemukakan oleh Butler ( 1980 ):

- Exploration - Stagnation

-Involvement - Decline

-Development - Rejuvenation

-Consolidation