Upload
voanh
View
414
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Praktik tolak dan panggil hujan tidak hanya dikenal oleh etnis lingkup
Nusantara, tetapi juga etnis manca negara. Media mencatat beberapa praktik tolak
dan panggil hujan, di antaranya, pelaksanaan tolak hujan pada pembukaan
Olimpiade Beijing tahun 2008, tradisi petani bertelanjang dada untuk memanggil
hujan di Bihar India, ritual tancap keris di Batangan, tolak hujan di Lampung,
atau nerang di Bali. Terminologi yang digunakan untuk merujuk pada teks tolak
dan panggil hujan mulai dari antisipasi, modifikasi, rekayasa, pengendalian,
menahan dan menangkis hujan, sampai pada cuaca buatan
(http://www.antaranews.com). Sebagian besar dari praktik itu bersifat ritual
kedaerahan dan diikuti oleh seluruh warga setempat. Akan tetapi, keterlibatan
warga tidak diikuti dengan pemahaman struktur dan makna tuturan yang
dilantunkan. Kesenjangan inilah yang menjadi pendorong bagi penulis untuk
mengangkat teks fungsional tolak dan panggil hujan dalam bentuk penelitian.
Dalam skala nasional, modifikasi cuaca diselenggarakan oleh Badan
Pengajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerjasama sama dengan Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Badan itu menerapkan teknik
rekayasa cuaca dengan menyemai garam Natrium Klorida yang berukuran 30-100
mikron. Garam dalam jumlah besar itu bersifat mengikat mendung sehingga dapat
jatuh pada daerah yang direncanakan. Hujan buatan itu biasanya dilaksanakan
2
untuk meminimalisasi kebakaran hutan dan kepentingan pertanian. Teknologi
semai itu merupakan rekayasa percepatan hujan. Sementara itu, penyemaian
garam yang berukuran di bawah 10 mikron dapat dimanfaatkan untuk menggeser
daerah hujan sebagaimana dilakukan untuk menanggulangi banjir di ibukota
Jakarta. Jadi, teknik semai garam dapat digunakan untuk melokalisasi daerah
hujan. Untuk menolak hujan, BPPT telah memperkenalkan teknologi laser.
Mendung yang terpapar laser menjadi pecah dan selanjutnya diarahkan ke luar
daerah proteksi. Modifikasi hujan dengan pemanfaatan teknologi itu diakui
berkendala pada beaya operasional (http: //www.antaranews.com).
Sebelum munculnya rekayasa cuaca yang mengedepankan teknologi,
masyarakat Indonesia tampaknya sudah akrab dengan tradisi tolak dan panggil
hujan dan dilaksanakan dalam lingkup kedaerahan. Misalnya, masyarakat Lombok
menyelenggarakan tradisi Turun Taun „mohon hujan‟ menjelang musim tanam,
dengan iringan lirik berikut (http://www.sumbawanews.com) (terjemahan oleh
penulis).
…Turun taun léq Gedong Sari,
turun tahun PREP Gedong Sari
„Turun hujan dari Gedong Sari‟
Mumbul katon suarga mulia,
menyembur tampak sorga mulia
„Semburan hujan laksana sorga mulia‟
Langan Dé Sida Allah nurunang sari,
PREP HON Tuhan turunkan sari
„Berkah rahmat Tuhan menurunkan kebahagiaan‟
Sarin merta sarin sedana…
kebahagiaan material kebahagiaan finansial
„Sumber kebahagiaan hidup‟
3
Tradisi tolak hujan juga dikenal dalam tradisi Kejawén (Jawa).
Permohonan dilakukan dengan mendirikan sapu lidi yang ditusukkan cabai dan
bawang merah, diiringi doa berikut (http://www.pranaindonesia.wordpress.com)
(terjemahan oleh penulis).
Niat ingsun ora ngadekaké sapu biasa,
niat 1 TG NEG -berdiri sapu biasa
„Niat hamba bukan sekedar mendirikan sapu biasa‟
Nanging sapu jagat kanggo ngresiki mendhung,
KONJ sapu jagat PREP -bersih mendung
„Tetapi sapu jagad yang mampu membersihkan mendung‟
Udan lan angin saka daérah ……..
hujan KONJ angin PREP daerah ….
„Hujan dan angin di wilayah ….‟
dibuang menyang ……..
buang-PAS PREP
„Dipindahkan ke daerah …….‟
sawetara wektu …. .
sementara waktu
„Untuk jangka waktu ……‟
saking kersaning Allah ingkang murbéng jagad…
PREP berkah Tuhan REL -kuasa alam
„Ini terjadi atas berkah Tuhan, Penguasa Semesta Alam‟
Dibandingkan dengan budaya etnis Jawa dan Sasak, etnis Bali dikenal
paling sering melakukan ritual sejenis. Praktik nerang „tolak hujan‟ bahkan dapat
ditemukan pada hampir di setiap acara besar di perkotaan atau pedesaan. Nerang
dilakukan dengan sarana sajen, rerajahan „simbol‟ dan bahasa. Secara empiris,
ritual tolak hujan itu dapat ditemukan pada kegiatan keagamaan yang berskala
kelompok, banjar, desa, hingga wilayah yang lebih luas. Pada upacara piodalan
4
„perayaan pura‟, pawiwahan „pernikahan‟, pasolahan „pementasan‟, pamelastian
„penyucian arca‟, pawintenan „penyucian diri‟, atau acara luar ruangan lainnya,
ritual nerang „tolak hujan‟ selalu dilaksanakan. Dalam perkembangannya, nerang
bahkan juga dimanfaatkan sebagai proteksi acara nonreligi, seperti pelantikan
pejabat, pergelaran seni budaya, pesta olahraga, pembukaan hotel, pembuatan
tanggul hingga pengecoran bangunan bertingkat. Sejalan dengan popularitas teks,
juru terang atau tukang terang „pawang hujan‟ menjadi label yang disandangkan
pada partisipan kunci (Wawancara dengan Ketua PHDI Bali).
Tingginya frekuensi pelaksanaan teks tolak hujan di Bali tampak tidak
sejalan dengan pengetahuan publik. Artinya, warga masyarakat yang kerap terlibat
dalam teks nerang „tolak hujan‟ tetap tidak memiliki pengetahuan yang memadai
tentang struktur tuturan yang dilantunkan maupun fungsi simbol-simbol yang
digunakan oleh tukang terang. Jadi, perlu ditelusuri pemicu kesenjangan antara
keterlibatan fisik dengan logika pengetahuan terhadap teks.
Menurut Badra (2001) salah satu pemicu keterbatasan pengetahuan publik
terhadap teks ritual tolak dan panggil hujan ialah adanya peringatan keras yang
membatasi semua pihak untuk membicarakannya. Peringatan yang dimaksud di
antaranya: (a) aywa wéra, ila-ila dahat „jangan gegabah, sangat berbahaya‟, (b) iti
kawruhan dahat pingit „ini ilmu yang sangat rahasia‟, (c) yén tan tatas wruha,
away wéra „jika belum menguasai dengan saksama, jangan gegabah, sangat
membahayakan‟, dan (d) rahasya temen, aywa wruhakena wong liyan „benar-
benar rahasia, jangan diperbincangkan dengan orang lain‟. Para penguasa ilmu
panrangan „tolak hujan‟ tidak diperkenankan memperbincangkannya karena
5
dapat mengurangi keampuhan ilmu tersebut. Pelanggar peringatan juga dapat
dijatuhi danda utpatta „denda atau hukuman‟ berupa gangguan kesehatan,
kebocoran keuangan, atau kesulitan komunikasi. Dengan demikian, regularitas
pelaksanaan teks tidak berdampak signifikan pada kognisi, dan penelitian ini
diharapkan dapat menjembatani kondisi tersebut.
Sejauh ini, pemerhati budaya Bali memandang teks tolak dan panggil hujan
sebagai aktivitas mistis, klenik, dan berkaitan dengan unsur gaib. Hooykaas
(1980: 35) mengklasifikasikan praktik pengendalian hujan etnis Bali sebagai salah
satu praktik sorcery „ilmu sihir‟. Pandangan itu didukung oleh Warna (1993: 706,
764, 721) yang menegaskan bahwa ritual tolak dan panggil hujan
memformulasikan kekuatan gaib. Di sisi lain, Suyadnya (2006: 10) menyatakan
bahwa teks tolak dan panggil hujan mengandung nilai keseimbangan elemen
mistis oposisional. Pelaksanaan teks panggil dan tolak hujan diyakini bersumber
pada ajaran Rwa Bhinnéda. Rwa berarti „dua‟ dan Bhinnéda berarti berbeda.
Secara bebas Rwa Bhinnéda mengandung makna dua elemen oposisional untuk
menjaga keseimbangan. Ajaran Rwa Bhinneda mengajarkan bahwa secara
alamiah setiap entitas memiliki sifat kebendaan dan energi. Energi yang
terkandung di dalam suatu benda merupakan motor penggerak dari kondisi
tertentu menuju kondisi lainnya. Demikianlah setiap entitas di dunia dipercaya
memiliki dua sisi yang berlawanan, seperti terang-gelap, manis-pahit, panas-
teduh, siang-malam, dan sebagainya. Badra (2001: 32) menegaskan bahwa teks
panggil dan tolak hujan bersifat pingit „rahasia‟ dan tabu untuk diperbincangkan
secara terbuka. Lebih jauh, Badra (2009: 56) mengklasifikasikan teks panggil dan
6
tolak hujan sebagai Kanda „ilmu kedigjayaan atau kesaktian‟. Terkait dengan
label sihir, mistis, pingit atau digjaya yang disandangkan pada teks, dipandang
perlu mengungkapkan seluk-beluk teks agar dapat dipahami secara holistik, mulai
dari fase persiapan hingga pascateks, menyangkut skema fungsi, skema tahapan,
struktur bahasa, makna ujaran, dan aspek lainnya. Dengan kata lain, penelitian
diharapkan dapat membantu pemahaman penutur Bahasa Bali ataupun penutur
yang memiliki bahasa dan budaya yang berbeda terhadap teks panggil dan tolak
hujan.
Pemilihan komunitas transmigran sebagai subjek penelitian dilatarbelakangi
oleh munculnya kontroversi pemertahanan kebiasaan dengan perubahan perilaku
kelompok transmigran di daerah yang baru. Hasil penelitian Satyawati (2009),
Mbete (1990), Putra (2010), Jamarani (2009), dan Malini (2011) menunjukkan
aspek pemertahanan tradisi dan bahasa yang dibawa dari daerah asal tetap
dilestarikan di daerah yang baru. Sebaliknya, penelitian Wolf dan Liebert (2001)
menunjukkan aspek perubahan sejalan dengan waktu dan kondisi lingkungan.
Satyawati (2009) dalam penelitiannya yang mengambil lokasi di Kabupaten Bima,
Sumbawa menyatakan bahwa Bahasa Bali bertahan hidup di antara dua bahasa
mayoritas yang dituturkan oleh penduduk asli Pulau Sumbawa. Komunitas
transmigran Bali tetap memelihara bahasa daerahnya di sentra pemukiman
sebagai bahasa penghubung internal kelompok. Sekalipun berstatus minoritas,
Bahasa Bali tidak ditinggalkan dan tetap menjadi media sosial di lingkungan
warga transmigran Bali. Sementara itu, penelitian Mbete (1990) yang bersifat
historis komparatif menunjukkan kaitan historis antara Bahasa Bali-Sasak-
7
Sumbawa. Dari sudut genetis ditemukan adanya hubungan kekerabatan ketiga
bahasa yang dibuktikan melalui penelusuran protobahasa. Dalam rekonstruksi
protobahasa, terdapat hubungan genetis yang dekat dengan kekerabatan rerata
mencapai 60%. Pada periode berikutnya, bahasa tersebut menunjukkan variasi
terpilah menjadi Bahasa Bali dan Bahasa Sumbawa-Sasak yang direalisasikan
dalam bentuk variasi tataran leksikon dan kelompok kata. Dengan demikian, ada
kemungkinan Bahasa Sumbawa dapat diadopsi oleh transmigran yang berbahasa
Bali atau Sasak. Penelitian Putra (2010) terkait tentang perjalanan siar Dang
Hyang Dwijendra dari Jawa ke Sumbawa mengungkapkan hubungan Bali-
Lombok-Sumbawa secara religius. Hubungan Jawa dan tiga pulau di bagian
timurnya secara historis telah terbina sejak masa kekuasaan kerajaan Majapahit
yang dibuktikan dengan peristiwa sejarah penyambutan masyarakat Sumbawa di
pura Agung Tambora. Dengan demikian, pengenalan budaya Hindu Majapahit
yang sudah masuk ke Sumbawa pada abad ke 14 berpotensi memudahkan proses
adaptasi antaretnis. Mencermati kebiasaan transmigran, Jamarani (2009)
mengungkapkan bahwa migrasi menjadi solusi mengatasi berbagai tekanan, salah
satunya adalah tekanan ekonomi. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari
imigran Iran yang bermigrasi ke Australia, Jamarani menemukan tiga motivasi
utama migrasi, yaitu (a) motivasi personal, seperti perkawinan, (b) motivasi sosial,
seperti mencari pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik, dan (c) motivasi politis,
seperti perbedaan politik dengan penguasa. Bersamaan dengan perpindahan
tempat tinggal tersebut, terjadi pula proses akulturasi dan adaptasi identitas pada
aspek kebiasaan, budaya, dan pandangan. Faktor pemertahanan kebiasaan juga
8
ditemukan oleh Malini (2011) pada komunitas Bali yang telah lebih dari setengah
abad bermukim di Lampung. Ranah ritual dan tradisi daerah asal yang bersifat
religius tetap dilestarikan. Jadi, pemertahanan cenderung dilakukan pada ranah-
ranah sensitif.
Di sisi lain, Wolf dan Liebert (2001) yang berfokus pada kajian
ekolinguistik menemukan bahwa dimensi waktu, tempat, dan pemenuhan
kebutuhan vital merupakan pemicu perubahan persepsi dan kebiasaan. Secara
kronologis, persepsi baru pada aspek kognitif diterima dan selanjutnya dijadikan
acuan dalam proses adaptasi. Persepsi kontekstual itu berdampak pada perubahan
perilaku. Hal itu dibuktikan dengan mencermati perubahan perilaku manusia
terkait pemenuhan kebutuhan air. Sumber pasokan air dari mata air dan sungai
menuju ke institusi menggeser persepsi yang bersifat sosio-historis konkrit
menuju titik abstrak. Kepedulian terhadap alam dan cinta lingkungan bergeser
menjadi anti ekologi, anonimis, objek keilmuan, dan pandangan barang bebas
pakai. Pada periode komersial yang lebih buruk, air bahkan disejajarkan dengan
uang, seperti ungkapan money tap „keran uang‟ atau money well „sumur uang‟.
Jadi, pemenuhan kebutuhan manusia akan air dinyatakan sebagai pemicu
perubahan kognisi dan perilaku.
Bila dicermati tampak adanya keterpilahan hasil penelitian. Kelompok
peneliti pertama menemukan bahwa perbedaan geografis antara daerah asal dan
daerah transmigran cenderung tidak mengubah kebiasaan dan pelaksanaan tradisi.
Akan tetapi, dua peneliti terakhir menemukan bahwa fenomena pemenuhan
kebutuhan vital, dalam hal ini air, berpotensi mengubah kognisi dan perilaku.
9
Kontroversi itu menarik untuk ditelusuri melalui pengungkapan kebiasaan
transmigran menghadapi krisis air. Masa pemukiman transmigran Bali yang telah
berlangsung lebih dari 40 tahun di Kabupaten Sumbawa dapat dillihat sebagai
waktu yang cukup lama untuk mengaji pemertahanan tradisi sensitif, khususnya
teks yang bertalian dengan pemenuhan kebutuhan air.
Di samping pertimbangan di atas, pemilihan subjek penelitian didorong
oleh beberapa pertanyaan yang menggelitik, di antaranya: (a) apakah kelompok
transmigran Bali masih melestarikan tradisi tolak dan panggil hujan? (b) apakah
teks dipimpin oleh seorang datuk, sanro atau juru terang? (c) apakah tuturan yang
dilantunkan disampaikan dalam satu bahasa daerah atau dikombinasikan dengan
Bahasa Indonesia dan bahasa daerah lain? (d) bagaimana cara memprediksi
keberhasilan teks? dan (f) siapa yang membantu terkabulnya permohonan
sehingga seseorang dimungkinkan dapat memanggil atau menolak hujan?
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian teks Neduh ‟panggil hujan‟ dan Nyelang
Galah ‟tolak hujan‟ komunitas transmigran Bali yang selanjutnya disingkat
TNNGB dirumuskanlah sebagai berikut.
(1) Bagaimanakah struktur skematik TNNGB?
(2) Bagaimanakah struktur modus dan diatesis klausa TNNGB ?
(3) Bagaimanakah struktur transitivitas TNNGB?
(4) Bagaimanakah struktur tematis dan sistem referensial TNNGB?
10
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dirinci menjadi dua bagian, yakni, tujuan
umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini ialah memberikan
gambaran TNNGB secara utuh. Dengan demikian, TNNGB dapat dipahami bukan
saja oleh komunitas penutur Bahasa Bali, tetapi juga oleh penutur bahasa lain
yang memiliki bahasa daerah dan budaya berbeda. Penggambaran mendalam itu
diharapkan dapat menjelaskan seluk-beluk pelaksanaan teks panggil dan tolak
hujan komunitas Bali sehingga dapat menghindari munculnya salah tafsir dari
komunitas yang memiliki sudut pandang berbeda. Untuk mencapai tujuan itu,
peneliti meneropong teks panggil dan tolak hujan sebagai teks, dalam arti, kajian
difokuskan pada persoalan kebahasaan, sedangkan simbol-simbol yang dilibatkan
tidak menjadi pembahasan utama.
Dari dimensi budaya, penelitian ini bertujuan mengungkapkan fenomena
budaya etnis Bali dalam hal melangsungkan mata pencaharian bertani di daerah
yang minim curah hujan. Tipe lahan olahan tadah hujan diprediksi dapat
memunculkan persepsi dan budaya bertani yang khas. Penelitian ini juga
dimaksudkan untuk mengedepankan kearifan dalam upaya pengembangan potensi
alam dan konservasi lingkungan.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pijakan bagi penelitian sejenis
pada etnis lain untuk memperoleh gambaran lintas budaya. Penelitian dapat
dijadikan bahan bagi penerbitan rekayasa teks tolak dan panggil hujan komunitas
Bali. Pemilihan lokasi tadah hujan ditujukan sebagai tolak pikir penerbitan
rekayasa teks keairan yang dapat dikaitkan dengan upaya konservasi hutan dan
11
tanah. Pelestarian sumber air dan hutan dalam skala luas dapat diharapkan
memberi kontribusi pada upaya minimalisasi global warming ‟pemanasan global‟
yang tengah menjadi agenda internasional.
Dari dimensi teori, penelitian yang berlandaskan teori Linguistik Sistemik
Fungsional (LSF) ini dimaksudkan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan
teori linguistik sekaligus menguji kemampuan teori yang menurut penggagasnya
mampu mengungkap teks berbagai bahasa dengan indikator spesifik. Dengan kata
lain, penelitian ini dapat menjadi pembuktian keunggulan dan pengembangan
teori.
Secara khusus, penelitian ini diharapkan mampu memberi jawaban yang
memadai atas permasalahan yang telah dirumuskan. Tujuan khusus penelitian ini
dapat diformulasikan sebagai berikut:
(1) mendeskripsikan struktur skematik TNNGB;
(2) menganalisis struktur modus dan diatesis klausa TNNGB;
(3) memerikan struktur transitivitas TNNGB;
(4) mendeskripsikan struktur tematis dan sistem referensial TNNGB.
Tujuan khusus di atas dapat dijabarkan sebagai berikut. Pada persoalan
struktur skematis, penelitian ini ditujukan untuk memperoleh gambaran tata
pelaksanaan teks, baik dilihat dari struktur kebahasaan, tahapan, fase, maupun
fungsi khusus yang diperankan oleh satuan-satuan tertentu. Dengan deskripsi itu
penelitian ini menyediakan informasi penahapan teks secara menyeluruh, baik
tahap-tahapan yang bersifat baku maupun penahapan yang dapat disesuaikan
dengan kondisi setempat. Penahapan dan fase dapat menjadi ciri khas transmigran,
12
dan dapat berbeda dengan kebiasaan di tempat lain. Pembahasan struktur modus
dan diatesis ditujukan untuk memberi paparan tipe hubungan antarpelibat, baik
pelibat yang terlibat secara langsung maupun terlibat secara oblik atau struktur
pelibat yang wajib dan tidak wajib hadir. Tipe respon yang diharapkan oleh
pembicara dan modus yang dipilih untuk menyatakannya. Sementara itu,
pembahasan struktur diatesis ditujukan untuk menjelaskan fungsi gramatikal dan
elemen semantis yang ditonjolkan. Berian struktur transitivitas dimaksudkan
untuk memperoleh gambaran tipe teks berdasarkan proses-proses yang
mendominasinya. Artinya, tipe proses yang dominan dapat merujuk pada pola
nalar atau tipe pengalaman yang tipikal. Persoalan struktur tematis diharapkan
dapat memberi deskripsi konfigurasi metafungsi dalam membentuk keutuhan
pesan. Secara pragmatis, elemen yang ditonjolkan akan ditempatkan pada posisi
inisial. Sistem referensial dikaji untuk memperoleh gambaran sistem acuan dan
entitas yang kerap diacu dan dilibatkan agar permohonan terpenuhi. Sistem acuan
itu dapat bersifat intrateks dan antarteks.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat akademis (teoretis)
dan manfaat praktis. Secara akademis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan
rujukan atau referensi informasi, sumbangan pemikiran, dan acuan data
kebahasaan bagi penelitian teks budaya, baik budaya Bali maupun budaya etnis
lain.
13
Penelitian ini diharapkan membawa manfaat bagi komunitas transmigran
khususnya merangsang pemertahanan tradisi dan Bahasa Bali, sekalipun latar dan
kondisi yang dihadapi berbeda dengan daerah asal. Pemertahanan bahasa ibu
sebagai bagian dari budaya masyarakat Bali diharapkan tetap terjaga sebagai jati
diri dan identitas kelompok sehingga dapat diperlakukan sejajar dengan kelompok
lain. Dengan identitas yang melekat pada setiap komunitas diharapkan tidak ada
pembedaan perlakuan terhadap kelompok pendatang dan kelompok asli.
Penelitian ini juga dimaksudkan mendorong transmigran untuk terus
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dan menanamkan kebiasaan
tersebut kepada generasi berikutnya. Di samping itu, penelitian ini juga
diharapkan turut mendorong pengembangkan fungsi Bahasa Bali yang kini
berstatus minoritas di Sumbawa untuk dapat dipertimbangkan sebagai muatan
lokal kebahasaan di tingkat dasar, khususnya pada sekolah dasar di lingkungan
pemukiman Bali.
Terkait dengan mata pencaharian transmigran sebagai petani, penelitian ini
diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah dokumentasi teks pertanian sehingga
fungsi dan keberadaan teks terdokumentasi dengan baik. Dokumentasi teks
dipandang penting mengingat pelaksanaan teks panggil hujan dipercaya dapat
menghindarkan petani dari penundaan masa tanam dan kegagalan panen.
Sumbawa yang dikenal memiliki curah hujan yang kecil dapat diantisipasi dengan
memohon hujan sebagai penawar kemarau yang panjang. Peran serta seluruh
anggota transmigran dalam teks bersifat mempererat hubungan antara petani yang
14
satu dan petani lainnya, antara petani dan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan antara
petani dan alam.
Secara spasial, wilayah transmigran diprediksi jarang dijadikan subjek
penelitian kebahasaan karena lokasinya terisolasi dan sulit dijangkau. Kesulitan
akses tampak merugikan kelompok transmigran yang turut mengambil peran
sebagai pendukung program pemerataan penduduk dan penyokong ketahanan
Nasional, termasuk berkontribusi dalam penyelamatan sumber alam dari upaya
eksploitasi. Kelompok transmigran merupakan motor penggerak pemberdayaan
potensi alam untuk memajukan pembangunan ekonomi daerah. Oleh sebab itu,
penelitian ini diharapkan dapat mengedepankan kelompok transmigran yang turut
andil dalam konservasi alam dan pembangunan sosial ekonomi. Manfaat lain
yang dapat diambil dari penelitian TNNGB ini ialah sebagai sarana untuk
mengetahui tradisi di daerah transmigran yang dapat menambah kekayaan
dokumentasi keberagaman budaya Nusantara.
Manfaat praktis yang dapat diambil dari permasalahan struktur skematis
teks ialah deteksi kepatutan pola pelaksanaan teks. Kementerian Agama
khususnya Bimas Hindu, PHDI, atau lembaga terkait lainnya dapat merevisi atau
menganjurkan pola yang patut. Pada persoalan gramatikal seperti struktur modus,
transitivitas, diatesis, tema, dan sistem acuan dapat ditarik manfaat pengetahuan
dan pengalaman yang dibutuhkan dalam prosesi teks tolak dan panggil hujan.
Pada akhirnya, deskripsi teks diharapkan dapat menetralisir tuduhan sebagai
pemuja berhala.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Pengantar
Sejauh ini, satu-satunya pustaka yang secara langsung menyinggung teks
tolak dan panggil hujan adalah Drawings of Balinese Sorcery (Hooykaas, 1980).
Hooykaas menampilkan berbagai gambar untuk menangkal dan mengundang
hujan. Akan tetapi, tampilan rerajahan „gambar‟ itu tidak dilengkapi dengan
kutipan tuturan yang dilantunkan. Berdasarkan pada penggunaan berbagai bentuk
sarana rerajahan yang berupa huruf atau gambar, aktivitas memanggil dan
menangkal hujan dikategorikan sebagai tindakan sihir (sorcery).
Sebagai acuan teoretis, penelitian TNNGB ini menggunakan beberapa
buku karya Halliday dan pengikutnya, di antaranya: (a) Exploration in the
Functions of Language (1973), (b) Cohesion in English (1975), (c) Language as
Sosial Semiotic (1978), (d) Language, Context and Text: Aspects of Language in a
Social Semiotics Perspective (1985), (e) An Introduction to Functional Grammar
(1985), (f) An Introduction to Functional Grammar (2004), dan (g) An
Introduction to Systemic Functional Grammar (1994).
2.2. Kajian Pustaka
Untuk meneropong fenomena yang diteliti, penelitian ini mengangkat
beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai bahan kajian pustaka. Kajian pustaka
16
dipilah menjadi tiga kategori, yakni (a) penelitian dengan objek teks magis, (b)
penelitian dengan teori sejenis, dan (c) penelitian terkait permasalahan. Penelitian
yang dimaksdud meliputi Hooykaas (1961, 1980), Usman (2009), Rasna (2010),
Arfinal (2004), Setia (2008), Sutama (2010), Sutjaja (2011), Pastika (2002), dan
Netra (2011).
2.2.1 Penelitian teks magis
Penelitian Hooykaas (1961) yang diterbitkan dalam buku berjudul Ritual
Purification of A Balinese Temple menyatakan bahwa sistem purifikasi di Bali
diawali dengan memercikkan tirta suci (springkling holy water). Pola purifikasi
pada setiap ritual dimulai dari pembersihan diri pemimpin upacara, areal upacara,
sarana upacara dan partisipan. Setelah tahapan purifikasi usai, barulah upacara
pokok boleh dilaksanakan. Sebagai sarana purifikasi digunakan sarana
pangresikan ‟pembersihan‟ berupa lis dalam berbagai varian bentuk, seperti lis
isuh-isuh, lis gede, lis teteg, atau lis pemanggang. Secara umum, lis terdiri atas
berbagai bentuk rangkaian janur yang merupakan simbol dari bagian tubuh
manusia dan isi alam semesta. Adapun bagian tubuh manusia yang ditemukan
pada lis, di antaranya: tangkar ‟dada‟, basang wayah ‟usus besar‟, basang nguda
‟usus halus‟, entud ‟lutut‟, prarai ‟wajah‟ dan tendas ‟kepala‟. Tumbuhan dan
hewan diwakili oleh ancak ‟pohon ancak‟, bingin ‟beringin‟, kukun kambing
‟kuku kambing‟, dan sebagainya. Berikut contoh saa ‟doa pemujaan‟ yang
digunakan pada proses purifikasi (Hooykaas, 1961: 16) (terjemahan oleh penulis).
17
a. Puniki titiang ngaturang lis teteg, lis pamanggang
DEM 1 TG -hatur NAMA
‟Hamba menghaturkan lis teteg, lis pamanggang‟
b. Busung maringgit, lad-ladan kukun kambing, talingan pangengeh
janur -ukir bekas kuku-DEF kambing hiasan pinggir
‟Janur berukir, hiasan berupa kuku kambing, pola hiasan lain‟
c. Tangga menek tangga tuun, waduk, pepusuhan, tulud
tangga -naik tangga ø- turun perut pusar ø-dorong
‟Tangga naik, tangga turun, perut, jantung, dan pembersih‟
d. Anuludaken lara pataka, ning janma manusa punika
dorong lara petaka PREP orang manusia DEM
‟Membersihkan lara petaka manusia‟
e. Pakulun mangkin ngaturang paduka Batara tumurun
1 TG Sirk -hatur HON Batara ø-turun
‟Hamba sekarang memohon agar paduka Batara turun‟
f. Angastrenin tirta Kamandalu, uriping Batari Gangga
sucikan air suci NAMA hidup NAMA
‟Menyucikan tirta Kamandalu diberkati Batari Gangga‟
g. Winadahan kundi manik ...
tempat kendi manik
‟Ditempatkan dalam kendi bermanik‟
Bait doa di atas merupakan pengharapan yang ditujukan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa untuk membersihkan manusia dan lingkungan dari lara petaka.
Tirta Kamandalu ‟air suci‟ yang dipercikkan dengan lis dipandang dapat
menyucikan manusia, sarana, dan lingkungan setempat dari semua debu, kotor,
cela, dan noda. Lis juga merupakan simbol kekuasaan imajinatif yang
menjembatani dunia nyata dengan dunia tak kasatmata, melalui tangga menek
‟tangga naik‟ dan tangga tuun ‟tangga turun‟. Pada prosesi ritual, lis pertama kali
dipercikkan pada stana Batara Surya ‟Dewa Matahari‟, diteruskan pada stana
18
dewa lainnya, sarana upacara, dan partisipan. Hooykaas menemukan bahwa etnis
Bali sangat yakin terhadap kekuasaan imajinatif yang dilambangkan dengan
percikan tirta, bahkan lis dipadankan dengan Sang Hyang Janur Kuning, yakni
dewa penguasa empat penjuru dunia yang terdiri atas Hyang Brahma, Hyang
Wisnu, Hyang Mahadewa, dan Hyang Siwa. Bentuk lis yang menyerupai pohon
beringin dengan akar berjuntai dipandang sebagai pohon pengharapan yang dapat
membawa kebaikan, keindahan, harapan, dan keberuntungan. Melalui
pembersihan itu diyakini setiap jengkal area, sarana, dan partisipan dibersihkan
kembali. Proses purifikasi juga dinyatakan sebagai cara ngadegang Siwa Brahma
‟memohon kuasa Tuhan‟ untuk membersihkan seisi dunia. Dengan demikian,
dapat diprediksi bahwa teks panggil dan tolak hujan juga memformulasikan tahap
purifikasi sebelum memasuki inti permohonan.
Dalam buku berikutnya yang diberi judul Drawings of Balinese Sorcery,
Hooykaas (1980: 45) mengklasifikasikan panrangan ‟tolak hujan‟ dan
pangujanan ‟panggil hujan‟ dalam kategori keeping watch, change and defence
‟penjaga, pengubah, dan bela diri‟. Tolak hujan dipadankan dengan the art of
clearing the sky ‟ilmu membersihkan langit‟, sedangkan panggil hujan dipadankan
dengan the art of making wind and rain ‟ilmu membuat angin dan hujan‟. Mantra
tolak dan panggil hujan merupakan gabungan antara mantra dan sarana teks.
Sarana yang dimaksud mencakup sajen dan rerajahan ‟gambar‟ yang biasanya
terdiri atas huruf atau figur. Untuk fungsi menolak hujan dapat digunakan
gambar figur Bhatara Yama ‟dewa penguasa surga yang mengadili roh setelah
melewati batas akhir hidup‟, Singambara ‟singa terbang‟ ataupun rerajahan
19
‟gambar‟ berbentuk lingkaran, persegi dan bentuk lainnya. Pada teks pangujanan
‟mengundang hujan‟ dapat digunakan rajahan Bhatara Guru, Bhatara Wisnu,
Hanoman ‟kera putih‟, atau Bhima ‟tokoh sakti dari Pandawa lima‟. Figur lain
yang sering dimunculkan adalah Demung Dodokan ‟dewa naga laut‟, Kalarau,
Yuyu ‟kepiting‟, Kodok ‟kodok‟, Dewa Langit Arsa Telu ‟dewa langit berkepala
tiga‟, atau Naga Nguyup Matanai ‟naga menelan matahari‟. Hooykaas
menyatakan bahwa praktik tolak hujan dapat digunakan sebagai proteksi
pertunjukan wayang kulit.
Hooykaas menampilkan berbagai bentuk rerajahan ‟gambar‟ yang jarang
diketahui publik. Penerbitan gambar-gambar figur sihir dari Bali tersebut
mencerminkan bahwa pengetahuan yang dipandang tabu telah digeser melalui
publikasi tingkat internasional. Dengan kata lain, terjadi kontroversi bahwa teks
dijaga ketat dari jangkauan penduduk lokal, tetapi dibuka lebar bagi peneliti luar
negeri. Kontribusi penelitian Hooykaas adalah pemahaman fungsi proses
purifikasi, di samping peran sarana, gambar ‟rerajahan‟, tujuan, dan struktur
tuturan yang dilantunkan pada tahap pembukaan teks.
Usman (2009) dalam penelitiannya terhadap teks tawa ‟pengobatan‟ dalam
tradisi Minangkabau menyatakan bahwa tawa (mantra atau manto dalam Bahasa
Minangkabau) dipakai oleh para dukun untuk maksud tertentu, misalnya,
mengobati penyakit atau meminta bantuan makhluk gaib. Tawa bersifat sakral,
tabu untuk dilantunkan sembarangan, atau dipraktikkan tanpa seijin ‟sang guru‟
apalagi oleh orang yang tidak cukup dewasa. Struktur tematik tawa menyangkut
asal usul makhluk gaib, manusia, hewan, tumbuhan dan penyakit. Isi tawa
20
cenderung bersifat tantangan, kutukan dan bujukan terhadap makhluk gaib agar
bersedia membantu. Inti dari kekuatan tawa bersifat mendalam dan harus
dilantunkan dengan prosodi tertentu. Tawa yang dilantunkan memiliki kekuatan
pada kata dan prosodi tertentu. Lantunan tawa dapat memanggil makhluk gaib dan
membujuknya untuk membantu proses penyembuhan. Ada kata yang harus
dilantunkan dengan nyaring dan kemudian tingkat kenyaringan menurun pada
silabis lain, atau ada suku kata yang dilantunkan lebih panjang dari suku lainnya.
Tawa selalu dikaitkan dengan fenomena sakit dan penyembuhan penyakit, baik
penyakit yang diakibatkan oleh hal logis maupun tidak logis. Dengan demikian,
tampaknya aspek kerja sama dengan makhluk gaib harus dicermati dalam upaya
memahami teks pangil dan tolak hujan.
Rasna (2010) dalam disertasinya tentang teks magis Aji Blegodawa
menyatakan bahwa teks Aji Blegodawa berhubungan dengan magis putih dan
magis hitam yang dibuktikan dengan kaitan konteks situasi dan budaya. Data yang
bersumber pada lontar tertulis sebagai korpus ditopang data sekunder dari praktisi
dikaji dengan kerangka teori Linguistik Sistemik Fungsional. Berdasarkan
penghitungan tipe proses, ditemukan bahwa proses material mendominasi
keseluruhan teks yang memiliki genre wacana prosedural tersebut. Dengan
demikian, diinterpretasikan bahwa prihal penestian berfokus pada tindakan atau
kejadian yang tidak dapat dilepaskan dari sirkumtan yang menerangkan cara,
tempat dan tujuan tindakan tertentu. Fungsi komunikasi lebih intensif dilakukan
dengan modus deklaratif dibandingkan dengan modus imperatif. Artinya, makna
keproseduralan teks direalisasikan dengan modus deklaratif yang menjalankan
21
fungsi nontipikal. Temuan yang paling menonjol ialah ditemukannya nilai yang
merusak kehidupan seperti hasrat berkuasa, hasrat berprestasi tinggi dalam aliran
magis tertentu, nilai hedonisme yaitu rasa senang tanpa memperhitungkan
keadaan orang lain di samping nilai-nilai universal. Dengan demikian, teks
panggil dan tolak hujan harus diteliti dari aspek kemungkinan adaya nilai
hedonisme dan nilai yang merusak kehidupan.
2.2.2 Penelitian dengan Teori Sistemik
Arfinal (2004) dalam penelitiannya yang mengambil objek teks
Pasambahan Kematian menemukan bahwa analisis transitivitas teks kematian
didominasi proses material dan mental, di atas proses relasional, verbal, perilaku,
dan wujud. Dominasi pelibat ditempati oleh partisipan I dalam peran sebagai
Pelaku dan Pengindra, sedangkan partisipan II sebagian besar diisi oleh Tujuan
atau Fenomena. Ditinjau dari frekuensi jumlah proses, teks didominasi oleh
perbuatan nyata, misalnya lari, pergi, dan membunuh. Dominasi kedua ditempati
oleh proses mental yang bermakna afektif. Ekspresi sikap yang banyak
dimunculkan, antara lain, ekspresi suka, kesal, dan benci. Proses perilaku
(behavioral) yang menunjukkan tingkah laku pelibat muncul dalam leksikon,
seperti tersenyum, menangis, atau bersin. Proses relasional sebagai relasi
proyektor dapat diproyeksikan dalam bentuk frasa nominal. Proses verbal
dinyatakan sebagai proyeksi ungkapan pembicara yang sering dimunculkan
dengan menghadirkan sirkumtansi waktu, tempat, tujuan, atau cara. Dengan
22
demikian, pemahaman teks harus didukung dengan temuan proses-proses
dominan yang merujuk pada ciri khas teks.
Setia (2008) yang menyoroti kasus peradilan terdakwa Bom Bali I
menemukan bahwa realisasi pengalaman terdakwa kasus Bom Bali I cenderung
berupa pernyataan atas peristiwa yang diketahui atau dilakukannya. Berdasarkan
frekuensi pemakaiannya, tipe proses yang paling dominan adalah proses material,
disusul tipe relasional, verbal, dan mental. Tipe proses mental yang dimunculkan,
di antaranya, bingung, terguncang, atau resah. Klausa ekspresi emosi itu
sesungguhnya merupakan tipe proses relasional dari sudut pandang yang berbeda.
Tingginya tingkat kekerapan penggunaan proses material secara ideologis
bermakna bahwa pertanyaan jaksa menuntut informasi objektif apa yang terjadi
dan apa dilakukan terdakwa dapat diamati dan dibuktikan. Terkait dengan
partisipan, ditemukan jenis partisipan insani dan noninsani dalam perbandingan
2,2 : 1 yang menunjukkan bahwa partisipan sangat berperan dan terlibat penuh
dalam proses peradilan. Teks peradilan itu menggunakan empat sirkumtansi
secara signifikan, yaitu keterangan penyerta, lokasi, cara, dan lokasi sebagai
dampak penggunaan bahasa dalam wacana hukum yang berlaku umum. Secara
ideologis, fenomena ini mengindikasikan bahwa orang yang pandai berbicara
berpeluang menguasai dan memenangkan perkara. Dengan demikian,
dimungkinkan keterampilan berbicara atau bernegosiasi juga diperlukan dalam
teks panggil dan tolak hujan agar permohonan dapat terkabul.
Sutama (2010) yang mengungkap perihal teks Pawiwahan ‟pernikahan‟
masyarakat adat Bali menemukan adanya beberapa lapis struktur yang bersifat
23
vertikal dan horizontal, di antaranya, struktur budaya, struktur makro, struktur
mikro, struktur makna, dan tekstur. Pada struktur makro ditemukan unsur yang
harus muncul, unsur yang boleh muncul dan frekuensi kemunculannya. Ulasan
struktur menuntun pada tekstur yang memuat fungsi unsur pendahuluan, isi, dan
penutup yang dijalin dengan alat kohesi. Metafungsi menghubungkan isi dan
ekspresi meliputi fungsi ideasional untuk merangkai pengalaman, fungsi
interpersonal untuk mempertukarkan informasi, sedangkan fungsi tekstual untuk
menggambarkan sesuatu. Pembahasan struktur modus ditinjau dari sudut pandang:
(a) fungsional yang melahirkan modus deklaratif, interogatif dan imperatif, (b)
modus dan residu dalam klausa, dan (c) modus dikaitkan dengan gramatika yang
melahirkan kategori proposisi dan proposal. Representasi pengalaman yang
direalisasikan dalam berbagai tipe proses didominasi oleh proses mental dan
proses relasional. Hal ini ditafsirkan positif karena pawiwahan mengacu pada
suatu rencana yang melibatkan banyak proses mental dan relasi yang memuat
ketermilikan yang terkait dengan eksistensi masing-masing pihak. Ideologi teks
pawiwahan dilatari budaya Bali seperti penentuan kekerabatan dan silsilah
keturunan mengikuti garis keturunan pihak laki-laki (purusa) yang dikenal
menganut sistem patrilineal. Indikasi kekuasaan purusa ‟laki-laki‟ terlihat dari
penentuan hari pernikahan dan tata cara pendukungnya sekalipun kedua pihak
berada pada lapisan sosial ekonomi yang setara. Jadi, kekuasaan pihak laki-laki
memaksa pihak perempuan bertindak sebagai penerima dan menyepakati
keputusan pihak laki-laki. Disertasi yang mengaplikasikan empat model teori LSF
masing-masing, (a) bahasa sebagai sistem, (b) bahasa sebagai sistem aturan, (c)
24
bahasa sebagai fenomena sosial, dan (d) bahasa memiliki fungsi, berhasil
mengungkap teks hingga lapisan terdalam berupa ideologi yang melatari kelahiran
teks tersebut. Dengan demikian, penelitian teks panggil dan tolak hujan ini harus
menelusuri kesimetrisan kekuasaan pelibat dan signifikansi peran masing-masing.
Sutjaja (2011) dalam penelitiannya yang berjudul ”Teks dan Rekayasa
Teks” memperkenalkan cakupan teks secara rinci. Dinyatakan bahwa teks dapat
dikelompokkan atas dua jenis, yakni teks kecil dan teks dalam arti sesungguhnya.
Teks kecil dapat berupa petunjuk atau pemberitahuan yang terdiri atas satu unit
kata, frasa atau klausa, misalnya, parkir, licin, cat basah, ruang tunggu, harap
tenang ada ujian, awas kaca, jembatan putus, atau sedia minuman dingin. Teks
kecil lainnya dapat berupa teks singkat, seperti ungkapan obituari, resep masakan,
resensi, atau abstrak. Teks dalam arti sesungguhnya mengaitkan tataran
ekstralinguistik dan tataran linguistik yang menekankan pada klausa yang
memiliki makna kamus dan peran, baik dalam kategori tata bahasa sebagai
Subjek-Predikat-Komplemen maupun kategori makna sebagai aktor, proses dan
partisipan. Analisis peran dalam pemaknaan difokuskan pada proses yang
diwujudkan dalam bentuk verba mencakup proses materi, perilaku, mental, verbal,
relasional, eksistensial dan metereologikal. Aspek lain yang diungkap adalah
konsep nominalisasi yang merujuk pada rank-shift dari klausa menjadi nomina
sehingga klausa dipampatkan dalam sebuah nomina turunan yang menyatukan
proses dan partisipan dalam sebuah kata benda. Dari sebuah teks dapat disusun
daftar kosakata dasar yang dipakai sesuai dengan kelas kata. Misalnya, kelas
25
konjungsi yang dapat digunakan sebagai acuan guna melihat jenis penalaran
dalam teks.
Dalam penelitian terdahulu yang berjudul A Semantic Interpretation of the
Nominal Group Structure in Bahasa Indonesia (1988), Sutjaja mengungkapkan
klasifikasi makna dan struktur kelompok nomina yang terkait dengan fungsi
gramatika. Ditemukan bahwa terdapat banyak perbedaan secara sistemik antara
struktur logis dan struktur semantis terutama makna dan interpretasi semantik
kelompok nomina. Penelitian struktur nomina tersebut bermanfaat dalam
penegasan konsep teks, penentuan tipe proses, dan interpretasi proses terhadap
alur penalaran. Dengan demikian, kajian teks harus mencakup struktur semantis
dan interpretasi berdasarkan pandangan pemakai teks.
2.2.3 Penelitian terkait dengan permasalahan
Pastika (2002) dalam penelitiannya yang berjudul ”Kesinambungan Topik
pada Diatesis Bahasa-Bahasa Austronesia” menyatakan bahwa kesinambungan
topik dibedakan atas dua jenis, yakni kesinambungan anaforis dan kataforis.
Kesinambungan pada Bahasa Bali, Filipina, Sulawesi, dan Indonesia
menunjukkan bahwa suatu referen dan antesedennya dapat diukur jarak dan
pengulangannya dalam teks. Terdapat kecenderungan bahwa argumen inti yang
mendapat penopikan akan berdampak pada frekuensi jenis diatesis yang
digunakan. Secara morfologis, Bahasa Bali memiliki tiga diatesis, yakni diatesis
Nasal Transitif, Zero Transitif, dan Ka-Pasif. Diatesis pertama merupakan Diatesis
Agentif, sedangkan dua diatesis terakhir digolongkan sebagai Diatesis Objektif.
Tata urutan klausa Agentif menempatkan Agen pada posisi sebelum verba dan
26
Komplemen terletak pada posisi posverba, sedangkan klausa Objektif
menempatkan Objek atau Pasien di awal verba. Tingginya derajat kesinambungan
topik pada Objek atau Pasien berakibat pemilihan Diatesis Objektif, sebaliknya
rendahnya derajat kesinambungan topik pada Objek atau Pasien mengarahkan
pemakaian Diatesis Agentif. Temuan menonjol dalam sistem diatesis itu adalah
tingkat topikalisasi pada Agen dan Pasien klausa Bahasa Bali menunjukkan
jumlah yang berimbang. Artinya, pemakai tidak hanya bermaksud memberi
penekanan pada Agen, tetapi juga pada Pasien.
Penelitian kesinambungan topik itu tampaknya berkaitan erat dengan
penelitian yang lebih besar, yakni Voice Selection in Balinese Narrative Discorse‟
(2006). Ditegaskan bahwa pilihan diatesis merupakan kajian aspek gramatikal
yang tidak dapat dilepaskan dari unsur wacana, seperti penataan alur, sehingga
ada argumen yang ditopikkan, dilatardepankan atau dilatarbelakangkan. Latar
wacana memotivasi variasi diatesis agar mampu mengakomodasi kepentingan
yang berbeda. Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, terdapat kemiripan
karakteristik struktur Diatesis Agentif dan Diatesis Objektif. Dengan demikian,
hasil penelitian Pastika dipandang memberi kontribusi positif terhadap struktur
dan ciri morfologis diatesis klausa TNNGB.
Penelitian Netra (2011) terhadap teks Melong Bulu komunitas petani adat
Bayan, Lombok Utara menemukan bahwa tema utama teks kepertanian di daerah
Lombok utara itu terdiri atas nilai yang bersumber pada aspek kognitif, di
antaranya, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, ketulus-ikhlasan,
penghargaan dan kepercayaan terhadap pemimpin, asal mula kehidupan, asal-usul
27
padi dan hama, keharmonisan, kesetiaan, introspeksi diri, permohonan permisi,
nasehat, dan permintaan maaf. Tema sentral teks bersumber pada tiga prinsip,
yang terdiri atas prinsip kognitif, prinsip makna, dan prinsip hubungan. Skema
wacana penanaman padi tradisional yang dikaji dengan teori eklektik itu
dihubungkan oleh ungkapan transisional yang dipakai sebagai penghubung antar
bagian, baik antara bagian pendahuluan dan isi maupun antara bagian isi dan
penutup. Netra menemukan kosakata teks yang dipakai tidak berbeda dengan
kosakata sehari-hari yang menuntunnya menggali unsur prosodi sebagai muatan
makna budaya yang khas. Nilai-nilai budaya seperti nilai ketangguhan, nilai
kearifan, nilai religius, nilai kemanusiaan, nilai kesantunan, nilai keadilan, nilai
solidaritas, nilai historis magis, dan nilai kepatuhan mewarnai pola berpikir para
petani. Dengan demikian, kontribusi penelitian Netra terletak pada kesamaan mata
pencaharian objek sehingga dimungkinkan adanya kemiripan nilai.
2.3 Konsep
Terkait dengan fenomena yang dikaji, penelitian ini mempergunakan
beberapa konsep dasar, antara lain, konsep teks, teks dan konteks, struktur, teks
neduh dan nyelang galah, komunitas transmigran Bali, dan kode bahasa. Batasan
masing-masing konsep dijabarkan di bawah ini.
2.3.1 Teks
Halliday (1978: 122) menyatakan bahwa teks adalah bahasa yang sedang
menjalankan fungsi dalam interaksi sosial. Yang dimaksud menjalankan fungsi
ialah bahasa yang digunakan pada konteks sosial tertentu, dioposisikan dengan
28
kata-kata yang terisolasi, atau kata-kata yang dituliskan di papan tulis. Dengan
demikian, teks selalu berkaitkan dengan konteks, dan bersifat multi dimensi. Teks
mengandung berbagai pandangan sebagai aktualisasi makna potensial yang
memungkinkan makna pada fungsi tertentu berhubungan dengan makna pada
fungsi lainnya (Halliday, 2004: 3). Konfigurasi makna dimunculkan pada sistem
leksikogramatika yang merupakan realisasi dari pemaknaan pada level di atasnya,
yang bukan saja mencakup konteks sosial tertentu, tetapi juga keseluruhan sistem
sosial. Oleh sebab itu, sekalipun teks tampak seperti rangkaian kata-kata,
sesungguhnya merupakan unit-unit semantik. Unit-unit semantik inilah yang
dikodekan dalam interaksi sosial. Pengodean terealisasi dalam rangkaian kata-kata
dan struktur tertentu yang membentuk tekstur. Sebagai fenomena sosial, teks
mengandung apa yang secara aktual dilakukan, dikatakan dan dimaknai. Artinya,
selalu terbuka kemungkinan adanya interelasi makna dari apa yang dikatakan
dengan apa yang dimaknai, atau apa yang dilakukan dengan apa yang dimaknai.
Hal itu sebagai dampak dari sifat teks sebagai unit semantik, yang
memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi. Di sisi lain, teks adalah
proses sosiosemantik melalui interaksi. Artinya, makna sosial tersebut
memerlukan masyarakat yang memperjuangkannya karena situasi adalah penentu
teks (Santono, 2008). Konsekuensinya, teks akan kehilangan makna bila pemakai
meninggalkannya.
Secara alamiah, kualitas sebuah teks tidak ditentukan oleh ukurannya
karena konsep teks memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari kalimat (Halliday,
1978: 135). Dengan demikian, teks tidak dapat diberi batasan berdasarkan jumlah
29
kalimat yang membentuknya, tetapi melebihi satuan kebahasaan. Sebagai batasan
kebahasaan, dikenal empat peringkat unit dasar pembentuk teks, antara lain: (a)
klausa, (b) kelompok kata atau frasa, (c) kata, dan (d) morfem, yang masing-
masing unit dapat membentuk bentuk kompleks yang terdiri atas satu atau lebih
unit yang ada di bawahnya. Setiap unit dapat menduduki fungsi tertentu pada level
di bawahnya (rank shift). Lebih jauh, teks adalah produk dan proses (Halliday,
1985: 10). Sebagai produk, teks adalah keluaran yang dapat direkam dan
dipelajari karena pada dasarnya teks menggunakan terminologi yang sistematis
yang ditunjukkan dalam susunan tertentu. Sebagai proses, teks merupakan proses
pemilihan makna secara simultan dalam pertukaran makna. Pergerakan makna
potensial menunjukkan lingkungan teks. Jadi, teks adalah bentuk pertukaran
sehingga bentuk teks yang paling mendasar adalah percakapan dalam interaksi
sosial (Halliday, 2004: 9).
Secara morfologis, teks berasal dari Bahasa Latin textus yang berarti
sesuatu yang dijalin secara bersamaan (Hogde dan Kress, 1988: 6). Terminologi
teks berbeda dengan wacana dari sudut pandang keilmuan (Kress, 1985: 27).
Wacana digunakan dalam kerangka berpikir sosiologi, sedangkan teks digunakan
dari sudut pandang linguistik. Dengan demikian, teks mengacu pada ekspresi
linguistik yang dimunculkan pada suatu bentuk praktik sosial yang dilakukan oleh
komunitas tertentu.
2.3.2 Teks dan konteks
Sebagai bahasa yang menjalankan fungsi, teks tidak dapat dilepaskan dari
konteks karena konteks merupakan sesuatu yang menyertai teks (something with,
30
or goes beyond what is said and written) (Halliday, 1985: 5). Setiap teks memiliki
konteks tertentu yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, konteks juga
merujuk pada lingkungan teks (total environment), baik yang bersifat budaya
maupun situasional. Konteks budaya bersifat lebih abstrak daripada konteks
situasi. (Halliday, 1978: 142). Konteks budaya mencakup ideologi dan genre,
sedangkan konteks situasi mencakup medan, pelibat, dan sarana kebahasaan.
Teks selalu memiliki latar belakang yang turut menentukan pemaknaan teks.
Hubungan teks dan konteks diilustrasikan sebagai kesatuan (Eggins, 1994: 113).
Artinya, konteks memperoleh realisasi pada level di bawahnya sehingga sesuatu
yang abstrak mendapat bentuk secara linguistik. Jadi, setiap kajian teks wajib
memperhitungkan konteks.
2.3.3 Struktur teks
Struktur berkaitan dengan kelompok kata, klausa, dan tekstur. Ditinjau dari
sudut kelompok kata, struktur merujuk pada pemilihan leksikon dan relasi
antarleksikon yang dapat hadir bersama. Dari sudut pandang klausa, struktur
merujuk pada susunan konstituen, seperti Agen-Predikator-Komplemen. Pada
sebuah teks, struktur dapat dipandang sebagai langkah-langkah dalam
merealisasikan tujuan tertentu. Struktur dapat juga dilihat sebagai rangkaian
langkah dan keterpautan antara langkah yang satu dan langkah berikutnya untuk
merealisasikan tujuan. Struktur dapat didefinisikan sebagai tekstur, yaitu
komposisi atau susunan teks yang memiliki hubungan di antara bagian-bagiannya
(Halliday, 2004: 5). Dalam teks menengah dan besar, terminologi struktur
dipadankan dengan struktur skematik, yakni tahapan yang dilalui sesuai konvensi
31
sosial untuk menjelaskan genre teks. Misalnya, tahapan pada ranah jual-beli
memiliki tahapan yang berbeda dengan tahapan percakapan formal. Hal itu
menunjukkan adanya struktur yang bersifat khas sehingga penutur dengan budaya
yang sama mengenali ranah pembicaraan dari satu tahap yang merupakan ciri
khusus tersebut (Eggins, 1994: 36). Struktur juga identik dengan skema yaitu
susunan fase atau penahapan. Fase dan tahap-tahap mencakup tahap pembukaan,
isi dan penutup, yang dilengkapi label fungsi formal dan fungsional. Label
formal adalah penahapan berdasarkan kesamaan bentuk atau tipe, sedangkan label
fungsional mencakup penahapan sesuai dengan fungsi. Setiap fase memberi
kontribusi tertentu untuk mencapai kesuksesan suatu genre (Eggins, 1994: 36).
2.3.4 Teks Neduh dan Nyelang Galah
Penelitian ini menggunakan terminologi neduh untuk teks panggil hujan,
dan nyelang galah untuk teks tolak hujan sesuai dengan istilah yang digunakan
oleh komunitas transmigran Bali di Sumbawa. Sebagai teks tradisional, teks
dilaksanakan dalam lingkup terbatas untuk tujuan tertentu. Leksikon neduh
berasal dari bentuk teduh „sejuk, tidak panas‟ (Warna, 1993:706). Neduh „panggil
hujan‟ dikenal pula dengan nunas ujan, atau nunas sabeh, sedangkan nyelang
galah „tolak hujan‟ disebut pula nunas/nyelang endang, nunas/nyelang galah,
nunas/nyelang embang, atau nunas panyelah. Meskipun Warna (1993)
mendefinisikan neduh sebagai aktivitas pergi ke pura untuk mohon maaf kepada
dewa-dewa, penelitian ini membatasi neduh sebagai aktivitas memohon hujan
bagi keberlangsungan pertanian.
32
2.3.5 Komunitas transmigran
Komunitas dapat didefinisikan sebagai kelompok organisme, manusia dan
sebagainya yang hidup dan berinteraksi di daerah tertentu. Komunitas juga dapat
dipadankan dengan masyarakat atau paguyuban (KBBI: 2008: 722). Komunitas
biasanya memiliki suatu identitas, yang menjelaskan kesamaan asal-usul,
kebiasaan, dan budaya.
Transmigran adalah penduduk yang berpindah tempat tinggal melalui
program transmigrasi yang dijalankan pemerintah yang pada mulanya
dimaksudkan untuk mengatasi penyebaran penduduk yang tidak seimbang dan
meningkatkan taraf hidup rakyat. Pada masa orde baru, transmigrasi ditujukan
untuk merealisasikan program swasembada beras dan meningkatkan ketahanan
nasional bidang ekonomi, sosial, dan budaya (Setiawan, 1994: 11). Dengan
demikian, komunitas transmigran Bali dalam penelitian ini mengacu pada
kelompok transmigran yang berasal dari Bali, baik Bali daratan maupun pulau
kecil di wilayah Propinsi Bali yang kemudian ditempatkan di sentra-sentra
pemukiman di wilayah Kabupaten Sumbawa. Dalam disertasi ini, komunitas
Bali, transmigran Bali, atau etnis Bali digunakan untuk merujuk pada komunitas
yang sama.
2.3.6 Kode bahasa
Kode bahasa mengacu pada jenis bahasa yang digunakan dalam
merealisasikan teks. Berdasarkan atas kode bahasa yang digunakan dalam teks
ritual Hindu Bali dikenal kategori mantra dan saa. Mantra adalah doa pujaan
yang dinyatakan dalam Bahasa Sansekerta, Bahasa Jawa Kuna atau Bahasa Kawi
33
Bali, sedangkan doa pujaan yang menggunakan Bahasa Bali ragam halus disebut
saa (Ruddyanto, 2008). Mantra mengacu pada ucapan yang memiliki kekuatan
magis atau ilmu gaib, dan berunsur puisi (rima, irama) (Warna, 1993: 592).
Penelitian ini berfokus pada tuturan berbahasa Bali yang berupa saa.
Terkait kode bahasa, Sidemen (2000: 91) mengklasifikasikan bahasa
kesusastraan Bali terdiri atas bahasa pasif dan bahasa aktif. Bahasa aktif adalah
bahasa yang digunakan sebagai media tutur. Sementara itu, bahasa pasif tidak
hidup dalam interaksi sosial sehari-hari, tetapi hidup dalam fungsi khusus. Dengan
demikian, penelitian ini mengklasifikasikan Bahasa Bali dinyatakan sebagai
bahasa aktif, sedangkan bahasa lainnya seperti Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa
Kuna atau Bahasa Kawi Bali dinyatakan sebagai bahasa pasif.Hal itu sejalan
dengan hasil penelitian Beratha (2002: 68) yang menemukan bahwa Bahasa
Sanskerta merupakan bahasa tertua dalam kesusastraan Bali setelah Bahasa Bali
Kuna berdasarkan prasasti Bali Kuna yang berangka tahun 882. Persentuhan
Bahasa Sanskerta dengan bahasa lokal di Pulau Jawa memunculkan Bahasa Jawa
Kuna. Perkembangan bahasa Jawa Kuna digantikan oleh Bahasa Jawa Tengahan
sejak kemunduran Majapahit. Bersamaan dengan berpindahnya kebudayaan pusat
Kerajaan Majapahit ke Bali, Bahasa Jawa Tengahan diterima di Bali dan disebut
Bahasa Kawi Bali atau Bali Kawi. Menurut Warna (1988) Bahasa Bali Kawi
lazim digunakan sebagai media menuliskan hasil rekaan oleh para pangawi
‟pengarang, pujangga‟ dan dipakai secara luas di bidang kesusastraan pada masa
kerajaan Bali memperoleh kejayaan, yakni sekitar tahun 1400 hingga tahun 1700.
Tidak ditemukan pustaka yang menjelaskan kedudukan Bahasa Kawi Bali sebagai
34
bahasa tutur. Dengan runtuhnya kejayaan raja-raja Bali, Bahasa Bali mulai
berkembang pesat yang selanjutnya terpilah atas dua dialek, yakni, dialek daratan
dan dialek Bali Mula. Bahasa Bali dialek daratan mendapat pengaruh dari bahasa
Jawa, sedangkan dialek Bali Mula atau Bali Aga ‟Bali asli‟ bersifat terbebas dari
pengaruh luar. Bahasa Bali dialek dataran diidentikkan dengan Bahasa Bali
modern yang ditandai dengan adanya ragam bahasa. Keberadaan dua dialek
Bahasa Bali itu dinyatakan sebagai inovasi tertentu setelah Bahasa Bali
mengalami masa perkembangan tersendiri sesuai dengan fungsi dan
kedudukannya. Dhanawaty (2002) menyatakan dialek Bali Mula dituturkan oleh
penduduk daerah pegunungan termasuk daerah Nusa Penida yang tidak
berinteraksi dengan kelompok luar. Dialek itu mempertahankan unsur bahasa
yang tidak mengenal unda-usuk ‟ragam bahasa‟. Dialek Bali Mula yang
dituturkan oleh penduduk pulau Nusa Penida disebut basa Nusa ‟Lek Nusa‟.
Penelitian ini menggunakan terminologi Bahasa Jawa Kuna untuk merujuk
Bahasa Jawa Kuna, Bahasa Jawa Tengahan, atau Bahasa Kawi Bali. Bahasa Bali
digunakan untuk mengacu Bahasa Bali dialek dataran atau Bahasa Bali modern
yang mengenal tingkatan. Bahasa Bali lek Nusa atau lek Nusa digunakan untuk
merujuk dialek Bali Mula yang dituturkan oleh transmigran yang berasal dari
pulau Nusa Penida dan pulau kecil di sekitarnya.
2.4 Landasan Teori
Penelitian ini dilakukan dengan berlandaskan pada Teori Linguistik
Sistemik Fungsional (LSF), disingkat teori Sistemik, yang digagas dan
35
dikembangkan oleh Halliday beserta pengikut-pengikutnya. Teori Sistemik
memandang bahwa makna tuturan bersifat sosiokultural. Artinya, secara alamiah
makna teks terbentuk dalam interaksi (Halliday dan Hasan, 1985: 10).
Pembentukan teks dimulai dari makna-makna yang dikodekan (coded) melalui
pilihan kata-kata dan pengodean kembali (recoded) dalam bentuk bunyi atau
lambang bunyi. Kekuatan kata muncul karena ekspresi tersebut sarat makna sesuai
dengan kepercayaan dan pengetahuan masyarakat setempat (belief and
knowledge) secara keseluruhan. Pemaknaan sosial menjadi titik sentral karena
perilaku manusia dapat berubah dari masa ke masa dan berbeda dari satu tempat
ke tempat lainnya. Jadi, pemaknaan terus disesuaikan dengan lingkungan hidup
(living environment) sehingga pemaknaan teks selalu tepat.
Halliday (1985) menegaskan bahwa terdapat dua ciri yang menonjol dari
teori Sistemik, yakni, ciri sistemik dan ciri fungsional. Ciri sistemik mengacu
pada kaitan relasi antar sistem. Artinya, sistem-sistem yang berbeda memiliki
keterkaitan paradigmatik tertentu. Secara fungsional, teks mengungkap relasi tata
urutan yang dikaitkan dengan fungsi. Kaitan fungsional bermula dari penelitian
Malinowski pada penduduk Kiriwinian di Kepulauan Trobriand, Pasifik Selatan.
Selanjutnya gagasan itu diteruskan oleh muridnya, Firth yang pada tahun 1950
menggagas elemen konteks yang terdiri atas partisipan, tindakan partisipan, fitur
relevan lain, dan efek dari aksi verbal. Lima tahun kemudian, Mitchell, kolega
Firth, berhasil membuktikan kontribusi konteks pada tuturan jual-beli yang
dilakukan penduduk Afrika Utara. Di sisi lain, Hymes, pakar antropologi
Amerika, mengembangkan konsep konteks situasi dengan elemen yang lebih
36
rinci, yakni bentuk, latar, partisipan, efek, kunci, medium, genre dan norma.
Dengan berpedoman pada temuan tersebut, Halliday terinspirasi menautkan
bahasa dengan acuan yang lebih luas, yaitu acuan situasi dan budaya dalam
memahami teks (Halliday, 1985: 7). Diyakini bahwa kata tanpa tautan linguistik
hanyalah sebuah pigmen yang tidak mewakili apa pun. Tautan konteks meminjam
semiotik yang berada di bawahnya, yakni bahasa sebagai realisasinya agar aspek
konteks dapar terekspresikan. Realisasi itu digambarkan dengan anak panah yang
melintasi garis pembatas. Dengan realisasi semacam itu, ideologi, konteks budaya,
dan konteks situasi yang bersifat abstrak memperoleh bentuk realisasi lingual.
Jadi, pada aspek semantik terjadi pertemuan realita nonlinguistik dengan potensi
bahasa yang menyediakan banyak pilihan. Dengan demikian, aspek abstrak dapat
dipetakan dalam teks. pemaknaan sosial ke dalam bentuk pemaknaan sehingga
teks dapat dipahami dengan benar setelah dilakukan reduksi terhadap ekspresi
nonsemantik.
Secara historis, konsep makna potensial bahasa (meaning potential of a
language) berakar pada variasi parole versi de Saussure. Distingsi langue adalah
tanda atau aturan umum, sedangkan parole sebagai suatu pesan khusus. Adanya
kekhususan parole berdampak pada alternasi pilihan yang dimungkinkan untuk
suatu makna potensial sehingga aturan umum diwujudkan menjadi lebih spesifik
melalui pengodean antarelemen (interface) linguistik dan nonlinguistik secara
semantis. Sejalan dengan pandangan potensi dan alternasi, Eggins (1994: 15)
menggambarkan sistem semiotik dengan mengaitkan makna dan ekspresi dalam
37
relasi yang tidak saling memaksa, seperti ditampilkan gambar berikut (diadopsi
dari Eggins, 1994: 15).
Gambar 2.1: Sistem Semiotik
Gambar (2.1) di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahasa berpotensi
sebagai media untuk mengekspresikan suatu pesan. Isi pesan (content) yang
bersifat abstrak diwujudkan secara manasuka sesuai dengan kemampuan
kebahasaan pelibat. Pembicara dapat memilih ekspresi yang dikehendaki untuk
gagasan yang dimilikinya karena hubungan isi dan ekspresi bersifat arbitrer.
Hubungan isi dan ekspresi bersifat tidak saling memaksa, karena aspek isi dan
ekspresi memiliki sistem masing-masing. Dengan kata lain, suatu maksud ujaran
dan substansi fonik atau grafis yang dipilih memiliki relasi yang tidak ketat.
Kemanasukaan suatu ekspresi diungkapkan oleh Halliday dan Matthiessen
(1999) terkait dengan karakteristik bahasa orang dewasa yang lebih kompleks
dibandingkan dengan bahasa kanak-kanak. Bahasa kanak-kanak cenderung
sangat sederhana, bahkan tidak mengandung tata bahasa, dengan alternasi ekspresi
yang terbatas. Di sisi lain, Eggins (1994: 3) mengakui unsur kemanasukaan dalam
mewujudkan suatu ide melalui penelitian sikap resonden terhadap teks crying
baby ‟bayi menangis‟. Ditemukan bahwa variasi tindakan yang diambil oleh
responden bersesuaian dengan pemahaman responden terhadap makna tangisan
CONTENT = signifie (that which is signified)
---------------------------- line of arbitrariness
EXPRESSION =signifiant (that which does the signifying)
38
bayi. Responden yang menafsirkan tangisan bayi sebagai ungkapan rasa lapar
melakukan tindakan menyuapi bayi. Responden yang menginterpretasikan
tangisan bayi sebagai ungkapan kondisi yang tidak menyenangkan melakukan
tindakan mengganti popok, menggendong, mengoleskan minyak urut di bagian
perut bayi, mendendangkan lagu, atau memainkan musik. Jadi, setiap tindakan
didasari atas interpretasi yang dimiliki dan diekspresikan dengan perilaku yang
relevan. Dengan demikian, ekspresi verbal dan tindakan yang dimunculkan dapat
berbeda-beda sejalan dengan pemahaman terhadap teks.
Bahasa adalah perilaku yang memiliki kekuatan (powerful behavior).
Misalnya, tidak ada penulis yang sekadar menulis, atau pembawa acara yang
sekadar berbicara, tetapi semuanya memiliki maksud (goals) tertentu yang hendak
dicapai. Agar tujuannya tercapai, penulis atau pembaca melakukan strategi
pemilihan kata dan kalimat sesuai dengan target pembaca/pendengar atau
mempertimbangkan faktor situasi. Ide dapat diekspresikan melalui berbagai
pilihan yang disediakan bahasa, tetapi aspek manasuka dalam ekspresi bersifat
diskret. Artinya, dari banyak pilihan yang tersedia akan dimunculkan satu pilihan
saja. Kediskretan diperkuat melalui teks lampu lalu lintas. Meskipun demikian,
dapat saja dua makna direalisasikan dalam satu bentuk. Misalnya, makna berhenti
dan hati-hati direalisasikan dengan satu warna merah. Sesungguhnya makna dapat
direalisasaikan dalam banyak cara, tetapi pemakai akan memilih satu pilihan yang
dipandangnya paling sesuai. Dengan demikian, isi pesan yang telah dipersiapkan
dapat diekspresikan dengan ungkapan verbal atau nonverbal tertentu. Pilihan
yang diambil ditentukan oleh sistem sosial dalam hal kebiasaan mengekspresikan
39
suatu pesan yang dapat berbeda dengan kebiasaan di tempat lain. Hubungan isi
dan ekspresi bersifat hubungan tidak ketat (no natural link), tetapi dibentuk
melalui pembiasaan. Singkatnya, ekspresi merupakan realisasi dari isi pesan
yang dipilih dari banyak kemungkinan yang disediakan bahasa.
Proses sampainya suatu isi pesan kepada mitra wicara dinyatakan melalui
proses pengodean (encoding) atau realisasi. Realisasi penyampaian pesan
melibatkan tiga level, yakni proses perancangan ide, proses pemilihan kata-kata,
dan proses ekspresi tempat ide direalisasikan dalam bentuk lingual (Eggins, 1994:
21). Dengan kata lain, suatu pesan dirancang dan ditata dalam pikiran, kemudian
direalisasikan dalam pilihan kata dan pilihan tata bahasa yang mampu mewakili
isi pesan dan pada akhirnya diutarakan secara lisan atau tulisan. Pada proses
tersebut terjadi proses pengodean oleh pembicara dan proses pemecahan kode
oleh penerima (Alwasilah, 1985: 17). Pihak pembicara melakukan proses
pengodean semantik, yakni gagasan dikodekan ke dalam kerangka gagasan,
dilanjutkan dengan pengkodean gramatika, yakni kerangka gagasan dikodekan
dalam kalimat, dan akhirnya dilakukan pengodean bunyi, yakni pesan diujarkan.
Dari sisi mitra wicara terjadi hal sebaliknya, yakni proses memecahkan kode
(decoding) mulai dari pemecahan kode fonologis, kode gramatikal, dan berakhir
pada pemecahan kode semantik.
Halliday merangkum empat konsep dasar studi kebahasaan yang bersifat
teknis. Pertama, bahasa sebagai teks dan sebagai sistem. Artinya, bahasa
mempekerjakan berbagai sistem, yakni sistem linguistik dan sistem di luar
linguistik. Kedua, bahasa sebagai bunyi. Artinya, bahasa pada dasarnya adalah
40
ekspresi kelisanan yang diujarkan dalam kata-kata, tetapi dapat pula dituliskan.
Ketiga, bahasa sebagai struktur. Artinya, terdapat konfigurasi dari bagian-
bagiannya sehingga terbentuk susunan tertentu yang dapat dipelajari. Keempat,
bahasa sebagai sumber. Artinya, bahasa menyediakan berbagai pilihan. Konsep-
konsep tersebut berjalan sebagai perangkat bahasa dan saling memudahkan dan
memberi fitur tersendiri terhadap dimensi dan prinsip tata urutan, seperti
ditampilkan tabel berikut (Halliday, 2004: 19-20) (terjemahan oleh penulis).
Tabel 2. 1
Dimensi Bahasa dan Urutan Prinsip-Prinsip Bahasa
No Dimensi Prinsip Susunan
1. Struktur
(Urutan Sintagmatik)
Ranking klausa - kelompok kata; frasa - kata
– morfem
2. Sistem
(Urutan Paradigmatik)
Kepatutan
(Delicacy)
tata bahasa - leksis
(leksikogramatika)
3. Stratifikasi Realisasi semantik-leksikogramatika-
fonologi- fonetik
4. Pemercontohan Contoh potensial – subpotensial; tipe
contoh – contoh
5. Metafungsi Metafungsi ideasional - interpersonal – tekstual
Dimensi dan urutan prinsip bahasa, seperti ditampilkan tabel (2.1) dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dimensi struktur yang disebut juga urutan
sintagmatik merupakan aspek komposisi bahasa yang dalam terminologi linguistik
dikaitkan dengan konstituensi. Dalam sistem tulisan, prinsip urutan berupa tataran
yang berlapis-lapis yang dibentuk oleh hubungan antarbagian, yakni suatu kata
41
terdiri atas morfem-morfem, frasa terdiri atas sejumlah kata, dan klausa disusun
oleh satu atau lebih kelompok kata. Seorang penulis dapat melakukan strategi
yang tidak terbatas (indeterminasi) dalam merancang karya tulisnya dengan
memanfaatkan klausa-klausa, kata, dan tanda baca demi menunjukan hubungan
antarlapisan. Klausa merupakan kategori unit semantik tertinggi, dan peringkat
terendah adalah morfem. Peringkat ini terkait dengan fungsi dan segmentasi
struktur. Semua urutan komposisi pada akhirnya menjadi varian dari motif
tunggal, yakni tataran makna dalam tata bahasa. Bila dilakukan analisis tata
bahasa, akan tampak bahwa setiap struktur merupakan bagian konfigurasi
sehingga setiap bagian memiliki fungsi pembeda. Jadi, bahasa lisan ataupun
tulisan mengandung makna-makna yang hendak diungkapkan, sekaligus
mencerminkan susunan struktur tata bahasa. Jadi, urutan sintagmatik
menampilkan relasi antarbagian, yakni, suatu bentuk dapat hadir bersama bentuk
lain dalam urutan sebelum atau sesudahnya untuk menciptakan suatu makna
(Eggins, 1994: 3).
Kedua, pada dimensi sistem diformulasikan konsep kepatutan atau
kebagusan (delicacy) dalam urutan paradigmatik. Setiap perangkat pilihan
merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terkandung nilai kepatutan yang
dibawa oleh rangkaian leksis sebagai realisasi tata bahasa. Kepatutan bersifat
sangat renik dan berfungsi untuk mengekspresikan aspek sistem yang lebih tinggi
ke dalam realisasi bahasa. Sebagai contoh, semua klausa dapat dikategorikan
positif atau negatif sehingga dalam sistem polaritas akan tampak positif dan tidak
positif yang dapat disejajarkan dengan negatif dan tidak negatif yang bersifat
42
saling menjelaskan. Aspek positif dan negatif merupakan ciri klausa kontras yang
dapat dibuat nyata dalam cara-cara yang berbeda untuk merepresentasikan sebuah
makna potensial bahasa. Eggins (1994: 17) menggambarkan kontras positif dan
negatif dalam suatu bentuk polaritas, seperti polaritas jenis kelamin yang dipilah
atas spesifikasi, di antaranya, son, boy „anak laki-laki‟. Sementara itu, child, brat
„anak‟, dan darling „kekasih‟ tidak mengandung spesifikasi jenis kelamin.
Ketiga, dimensi stratifikasi menunjukkan adanya strata dalam mengkaji
bahasa. Misalnya, kajian tentang cara penulisan (fonetik), tata bunyi (fonologi),
tata pembentukan kata (morfologi), dan tata bahasa (gramatika). Perbedaan sudut
kajian diizinkan oleh bahasa sebagai pengakuan realitas bahasa merupakan
sistem semiotik yang kompleks. Kompleksitas sistem makna mendekatkan
hubungan kosakata dengan tata bahasa, sehingga keduanya tidak lagi dipandang
sebagai strata yang berbeda, tetapi dipersatukan dalam terminologi
leksikogramatika. Karakteristik leksikogramatika diposisikan dalam satu
stratum, yang mencakup: (a) leksis dengan ciri terbuka, memiliki makna spesifik,
mengenal kolokasi, dan (b) tata bahasa dengan ciri sistem tertutup, memiliki
makna umum dan berstuktur (Halliday, 2004: 43). Dengan demikian, aspek
sintaksis dan morfologi dipadukan sebagai satu kesatuan karena kedekatan
struktur kata dan struktur klausa merupakan ciri bahasa universal. Jadi, setelah
makna direalisasikan dalam leksikogramatika yang dipilih barulah ekspresi
tersebut diujarkan atau dituliskan. Stratifikasi bahasa ditampilkan pada gambar
berikut (Halliday, 2004: 25) (terjemahan oleh penulis).
43
Gambar 2.2: Stratifikasi
Gambar stratifikasi (2.2) menunjukkan bahwa teks terbentuk atas
komponen ekstralinguistik dan komponen linguistik. Komponen ekstralinguistik
yang dimaksud adalah konteks atau lingkungan yang mendukung teks. Komponen
linguistik dapat dipilah atas komponen isi dan ekspresi. Isi mencakup maksud
pesan (semantik) dan rancangan kata yang hendak digunakan untuk menyatakan
isi pesan (leksikogramatika), sedangkan ekspresi merupakan realisasi isi yang
dapat diwujudkan dengan bunyi secara lisan (fonologi) ataupun bunyi yang
dinyatakan dalam lambang bunyi (fonetik). Stratifikasi juga mengandung
pengertian bahwa realisasi dari suatu pesan secara alamiah bersifat lisan.
Sementara itu, realisasi bahasa secara tertulis muncul kemudian. Jadi, bahasa
lisan baru dapat dianalisis setelah ditranskripsikan secara fonetis.
Keempat, keinstanan atau pemercontohan mengacu pada hubungan antara
contoh dengan sistem yang melatari contoh tersebut. Hal ini berkaitan dengan
keinginan menjelaskan bagaimana bahasa ditata dan bagaimana penataannya
berhubungan dengan fungsi bahasa untuk memenuhi hajat hidup manusia, dan
selalu ditemukan kesulitan dalam membuat segala sesuatu menjadi jelas. Hal ini
dipicu oleh usaha mempertahankan dua pandangan sekaligus, yakni pandangan
konteks
semantikleksiko -
gramatika
fonologi
fonetik
44
bahasa sebagai sistem dan pandangan bahasa sebagai teks. Tipe pemercontohan
digambarkan sebagai berikut (Halliday, 2004: 28) (terjemahan oleh penulis).
Gambar 2.3: Pemercontohan
Gambar pemercontohan (2.3) di atas pada dasarnya merupakan penjabaran
dalam strata yang sama, yakni bahasa dijabarkan dalam bentuk teks. Sebuah
percakapan antara penjual dan pembeli, pidato, peringatan, dan surat merupakan
contoh teks. Sistem merupakan pokok dasar potensi bahasa, dalam hal ini sumber
pembentuk makna. Hubungan sistem dan bahasa merupakan seperangkat teks
yang dapat dianalogikan dengan hubungan antara iklim dan cuaca yang hanya
dibedakan oleh sudut pandang. Seperti cuaca, teks ada di sekeliling kita dan dapat
memengaruhi kehidupan kita sehari-hari, sedangkan sistem adalah potensi yang
mendasari pengaruh tersebut.
Pendekatan Sistemik secara tegas mengakui adanya saling ketergantungan
antara bahasa dan konteks sosial dalam pemaknaan teks. Makna dibentuk oleh
sistem sosial dan digunakan oleh pengguna bahasa dan direfleksikan dalam bentuk
teks. Makna sosial ini bersifat konvensional di antara kelompok sehingga
kumpulan register-tipe
teks sistem (bahasa)
konteks budaya
institusi-tipe situasi konteks situasi
ssstuasi
teks
contoh-contoh
Sub potensi- tipe
contoh
potensi
45
pemakai teks dilatari oleh suatu potensi makna yang sama. Makna ini dapat saja
bergeser atau berubah sejalan dengan dinamika lingkungan sosial. Dengan kata
lain, situasi merupakan struktur semiotik yang turut menentukan seleksi
komponen semantik. Misalnya, medan menyeleksi makna pengalaman, pelibat
menyeleksi makna antarpelibat, sedangkan cara menyeleksi makna tekstual.
Aspek situasi membawa dampak terhadap sistem semantik yang akan
menjadi pertimbangan bagi seleksi makna sebelum direalisasikan dalam leksis.
Hal itu memperhitungkan jaringan makna yang dimulai dari umum menuju ke
khusus atau dari abstrak ke konkret. Melalui fitur semantik dapat diprediksi
gambaran situasi yang menyertainya. Strata semantik dipandang berperan sebagai
poros (pivot) dalam bahasa, ke atas sebagai penghubung ke konteks, ke bawah
penghubung ke leksikogramatika. Pada sistem semantiklah dimensi konteks
situasi dan budaya dijalin dalam kesatuan peristiwa linguistik. Jadi, peran sistem
semantik mencakup mengonstruksi teks dari konteks dan mengodekan makna ke
dalam struktur gramatika.
Kelima, dimensi metafungsi merupakan fungsi dasar bahasa yang
dikaitkan dengan lingkungan sosial. Bahasa digunakan untuk menguraikan
pengalaman manusia, menamakan benda-benda, dan menguraikan benda-benda ke
dalam kategori tertentu. Kemudian kategorisasi atas benda-benda diuraikan ke
dalam taksonomi yang lebih khusus. Pada saat menggunakan bahasa, ada sesuatu
lainnya terjadi secara bersamaan, misalnya ketika digunakan untuk menafsirkan
sesuatu, bahasa juga memerankan hubungan interpersonal dan sosial dengan orang
di sekitarnya. Dengan demikian, klausa di dalam tata bahasa bukan hanya
Tabel 2c: Implikasi Sarana
46
gambaran, tetapi juga mewakili beberapa proses, seperti melakukan, merasakan,
mengatakan dan lain-lain yang melibatkan partisipan dan kondisi tertentu. Klausa
juga sebuah proposisi, suatu anjuran, memberi informasi, bertanya, memerintah,
menawarkan sesuatu, atau kekaguman terhadap sesuatu atau seseorang. Bahasa
adalah tindakan aktif yang melibatkan partisipan dan menjalankan fungsi
interpersonal yang menyangkut interaksi antarpelibat. Perbedaan modus
pemaknaan tidak berasal dari luar, melainkan dari representasi sistem tata bahasa
dan sistem sosial. Hal itu mengindikasikan bahwa setiap pesan mengandung isi
dan ditujukan kepada seseorang sebagai penerima pesan, tanpa adanya saling
paksaan bentuk dan cara, tetapi menjadi pertimbangan konstruksi teks.
Kesinambungan konteks terjadi dari konteks yang paling abstrak menuju
ke konteks yang lebih kongkret dan bermuara pada poros semantik. Sistem
semantik mempertemukan konteks budaya (genre) dan konteks situasi (register)
dengan aspek leksikogramatika melalui metafungsi, meliputi (a) komponen medan
(field) yang merealisasikan metafungsi ideasional, (b) komponen pelibat (tenor)
yang merealisasikan metafungsi antarpelibat, dan (c) komponen cara (mode) yang
merealisasikan metafungsi tekstual. Meskipun demikian, penggunaan bahasa
dapat menjalankan lebih dari satu fungsi. Artinya, suatu tuturan mengandung
kesatuan pengalaman atau gagasan, hubungan antarpelibat, ataupun organisasi
pesan yang direalisasikan dengan leksikon dan ditata dalam susunan gramatikal
tertentu. Jadi, klausa mengandung makna leksikon dan struktur gramatika.
Komponen yang tidak dinyatakan dengan leksikon dimunculkan secara
gramatikal, atau sebaliknya. Dengan demikian, analisis fungsi penggunaan bahasa
47
berakhir pada struktur gramatika, seperti ditunjukkan jaringan makna berikut
(Halliday, 1973: 101).
Gambar 2.4: Jaringan Makna
Gambar (2.4) menunjukkan jaringan makna yang menjaga relasi
antarsistem dalam pertautan sehingga terbentuk jaringan atas komponen-
komponennya pa da setiap fungsi yang dijalankannya. Bahasa yang dipakai
dalam interaksi sosial sebagai teks fungsional dapat dianalisis terutama tuturan
yang berupa unit-unit semantik, sedangkan bentuk yang tidak terdeteksi secara
linguistis boleh ditanggalkan. Dengan demikian, interpretasi diperoleh
berdasarkan satuan-satuan yang memenuhi ciri semantis. Jadi, jaringan semantik
memungkinkan adanya korespondensi sistem-sistem yang berlainan. Jaringan
makna pada akhirnya bermuara pada stuktur gramatika, sebagai sesuatu yang
dapat direkam, dipelajari, dan diprediksi. Fungsi ideasional mencakup fungsi
logika dan ekspreriensial. Fungsi logika dapat diproyeksikan secara parataktik
atau hipotaktik, sedangkan pengalaman direalisasikan dalam berbagai tipe proses.
48
Fungsi antarpelibat dapat direalisasikan melalui struktur modus, modalitas, dan
diatesis, sedangkan fungsi tekstual direalisasikan dalam bentuk alat-alat kohesi.
Secara ringkas, keterhubungan konteks, fungsi semantik, dan realisasi bahasa
dapat digambarkan sebagai berikut (Diadopsi dari Halliday, 1978: 132)
(terjemahan oleh penulis).
Gambar 2.5: Fungsi Komponen dalam Sistem Semantis
Gambar (2.5) menunjukkan kaitan konteks, semantik wacana, dan
leksikogramatika sebagai realisasi bahasa. Konteks ideologi yang bersifat abstrak
mendapat realisasi pada level di bawahnya dan seterusnya hingga muncul dalam
pilihan leksikogramatika. Pertama, pengalaman diklasifikasikan atas tiga kelas
Ideasional Antarpelibat Tekstual
Kohesi Logika Eksperiensial
Struktural Non- Struktural
Ekspansi
Identitas
Proyeksi
Parataktik
Hipotaktik
Struktur Klausa Referensi
Elipsis/ Substitusi
Konjungsi
Kohesi Leksikal:
a.Reiterasi
b.Kolokasi
Klausa:
Transitivitas
Modulasi
Polaritas
Klausa:
Modus
Modalitas
Klausa:
Tema
Kel. Verbal:
Tipe Proses
Kala
Kel. Verbal:
Persona
Polaritas
Kel. Verbal:
Diatesis
Kontras
Kel. Nomina:
Tipe
partisipan:
Kelas Kualitas
Kuantitas
Kel. Nominal :
Persona (peran)
Kel. Nominal
Deiksis
Kel. Adverbial:
Kel. Preposisi
Tipe Sirk
Kel. Adverbial
Kel. Preposisi
Komen
Kel. Adverbial
Kel. Preposisi
Konjungsi
Struktur Informasi
49
kata utama, yakni verba, nomina, dan adverbia. Verba dikaitkan dengan fungsi
proses, nomina dikaitkan dengan fungsi partisipan, dan adverbia dikaitkan dengan
fungsi sirkumtansi. Proses berperilaku sebagai Predikator, partisipan berperilaku
sebagai argumen, sedangkan sirkumtansi berperilaku sebagai nonargumen. Kedua,
realisasi hubungan antarpelibat direalisasikan dalam struktur percakapan yang
memformulasikan modus komunikatif, diatesis, dan tipe respon yang diharapkan
(Halliday, 2004: 107). Ketiga, sebagai realisasi fungsi tekstual, klausa memiliki
struktur tematik Tema-Rema. Artinya, ada komponen klausa yang dijadikan tema
atau pokok, dan ada pula komponen yang diposisikan sebagai pendukung tema.
Salah satu cara pendalaman terhadap tema tertentu dapat dilakukan secara
referensial yang menunjukkan keterkaitan antarklausa.
Hubungan permasalahan yang hendak dijawab dan komponen teori
Sistemik yang dipakai mengajinya ditampilkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.2
Hubungan Permasalahan dan Teori
No Permasalahan Subteori LSF
1. Bagaimanakah struktur skematik
TNNGB?
Konteks budaya (Eggins, 1994)
2. Bagaimanakah struktur modus
dan diatesis klausa TNNGB?
Sistem Modus (Eggins, 1994)
Interpretasi Diatesis (Halliday, 2004)
3. Bagaimanakah struktur
transitivitas TNNGB?
Transitivitas (Eggins, 1994)
Klausa sbg. Representasi
(Halliday, 2004)
4. Bagaimanakah struktur tematis
dan sistem referensial TNNGB?
Klausa sebagai Pesan (Halliday, 2004)
Tema (Eggins , 1994)
Kohesi dan Wacana (Halliday, 2004)
50
2.5 Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian yang berbasis budaya, yang
dalam hal ini budaya etnis Bali. Aspek budaya yang diangkat mengaitkan budaya
ritual Hindu Bali yang diaplikasikan pada ranah pertanian tadah hujan.
Permasalahan pada ranah skematis ditunjukkan dengan struktur skematik. Secara
linguistis, penelitian berfokus pada metafungsi eksperiensial, pertukaran, dan
tektual. Dengan demikian, penelitian diharapkan dapat menghasilkan temuan yang
bermanfaat bagi pengembangan ilmu lingusitik dan pemahaman budaya.
Kerangka teoretis penelitian ditampilkan di bawah ini.
n 2.1: Model Penelitian
Bagan 2.1: Model Penelitian
Budaya Etnis Bali
Simpulan
Temuan/ Rekomendasi
Struktur
Struktur Modus
dan Diatesis
Struktur
Transitivitas
Struktur Tematis
dan Referensial
Nonstruktur
Aspek
Linguistik
Struktur
Skematik
TEKS
Teks Neduh dan Nyelang Galah
Komunitas Transmigran Bali
di Sumbawa (TNNGB)
51
Kerangka penelitian seperti ditampilkan bagan (2.1) dapat dijelaskan
sebagai berikut.
(1) Penelitian meneropong TNNGB sebagai suatu fenomena budaya etnis Bali
khususnya pada ranah pertanian yang menjadi sumber penghidupan
masyarakat transmigran.
(2) Sebagai suatu teks, TNNGB memiliki skema pelaksaaan yang berupa fase,
tahapan dan langkah yang saling menunjang. Skema pelaksanaan itu
dimaksudkan untuk menyukseskan tujuan. Dengan demikian, teks tidak
dapat dilakukan dengan tahapan yang sembarangan.
(3) Kajian atas aspek-aspek linguistik baik berupa representasi pengalaman, pola
pertukaran informasi, maupun tekstur pesan merupakan komponen yang
ditelaah berdasarkan struktur semantis dan struktur gramatika.
(4) Sistem referensial merupakan aspek nonstruktural yang diangkat. Kajian
yang bersifat kohesif itu dimaksudkan mendukung organisasi teks. Hal itu
dilakukan karena pemahaman teks tidak jarang membutuhkan tautan luar
teks, disamping tautan internal teks.
(5) TNNGB dilihat sebagai sebuah teks besar yang memiliki ciri linguistik
tersendiri, yang berkaitan erat dengan metafungsi.
(a) Struktur modus dan diatesis menjelaskan relasi anterpelibat dalam
menyatakan elemen yang ditonjolkan. Kecenderungan-
kecenderungan yang dilakukan pembicara terkait dengan
keinginannya untuk memengaruhi sikap dan perilaku pelibat lain.
52
Kajian struktur modus dan diatesis merupakan representasi fungsi
pertukaran.
(b) Struktur transitivitas mempresentasikan struktur pengalaman dan
gagasan. Realisasi itu menyangkut tipe tindakan yang dilakukan,
struktur valensi, dan keterangan lain yang mendukung kejelasan
pengalaman tersebut. Kajian struktur transitivitas diteropong
berdasarkan sudut pandang karakter Predikator.
(c) Struktur tematis menjelaskan penempatan elemen yang ditonjolkan.
Pembicara dapat menempatkan satu atau lebih elemen yang
ditonjolkan sebagai bentuk konfigurasi metafungsi. Untuk menjaga
tekstur, ada komponen internal teks yang dapat diacu kembali, tetapi
dapat juga merujuk acuan intrateks. Kajian ini penting untuk
menemukan acuan yang tepat sebagai pemenuhan kepentingan
pragmatik.
(6) Penelitian TNNGB dapat dikategorikan sebagai penelitian rintisan,
mengingat fenomena ini belum pernah diangkat dalam suatu penelitian.
Penelitian ini diharapkan tidak hanya memperoleh simpulan terkait dengan
permasalahan, tetapi juga menyumbangkan temuan baru dan rekomendasi.
53
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pengantar
Penelitian TNNGB ini dilaksanakan dengan menggunakan metode ilmiah,
yang mengikuti suatu prosedur yang memungkinkan peneliti mendeskripsikan
fenomena kebahasaan secara bertahap dan komprehensif. Terkait dengan
prosedur penelitian yang diikuti, berikut dijelaskan beberapa komponen penting
penelitian ilmiah, antara lain, rancangan penelitian, pendekatan penelitian, lokasi
penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik
pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik
penyajian hasil analisis.
3.2 Rancangan Penelitian
Penelitian TNNGB ini bersifat penelitian lapangan. Artinya, penelitian
dilaksanakan pada latar alamiah, dioposisikan dengan latar buatan. Penelitian ini
dapat dikategorikan sebagai penelitian etnosinkronis, dalam arti, deskripsi bentuk
dan fungsi bersifat tentatif pada waktu penelitian dilaksanakan dan berlaku pada
etnis tertentu di wilayah penelitian. Dengan demikian, pemaknaan teks bersifat
kedaerahan yang dapat saja berbeda dengan etnis yang sama di tempat berbeda.
Ciri sinkronik merujuk pada penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan
suatu fenomena pada waktu tertentu dan bagaimana fenomena tersebut
diungkapkan (Bungin, 2008: 181). Penelitian ini difokuskan pada tuturan lisan
54
TNNGB dan informasi lain yang terkait. Data kelinguistikan bersumber pada
percakapan dan monolog pada seluruh tahapan teks. Data kelinguistikan itu juga
didukung informasi yang diperoleh dengan wawancara mendalam dengan
informan kunci. Untuk menjelaskan alur penelitian, rancangan penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut.
Bagan 3.1: Rancangan Penelitian
Hasil Rekaman
Struktur Linguistik
a. Modus dan Diatesis
b. Transitivitas
c. Tematis dan Referensial
Struktur Skematik
DATA LISAN
PENELITIAN
TNNGB
Metode
Pemerolehan Data
a. Simak
b. Wawancara
Metode
Analisis Data a. Metode Padan
b. Metode Agih
Teknik:
Pilah dan Parafrasa
Metode
Penyajian Analisis
a. Formal
b. Informal
SIMPULAN / TEMUAN
Teori Linguistik Sistemik Fungsional
Residu
Hasil Wawancara
55
Rancangan penelitian (bagan 3.1) dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, kajian TNNGB didasarkan atas data lisan yang diperoleh dari teknik
rekam prosesi teks dan hasil wawancara. Dua jenis sumber data itu dikumpulkan
dengan metode simak dan wawancara. Metode simak didukung teknik simak
sadap, simak libat cakap, simak rekam, dan simak catat dikerjakan pada tahap
prosesi teks, sedangkan metode wawancara dikerjakan pada tahap lanjutan
berkaitan dengan persepsi. Pada tahap pengumpulan data, beberapa informasi
penting disadap, ditanyakan, direkam, dan dicatat. Data yang terjaring diseleksi
terlebih dahulu untuk mendapatkan data korpus. Data yang dimasukkan dalam
tahap analisis adalah data berbahasa Bali, sedangkan data berbahasa Sanskerta,
Jawa Kuna atau Kawi Bali disisihkan dari proses analisis. Tuturan berbahasa
Sanskerta, Jawa Kuna atau Kawi Bali merupakan ekspresi bahasa pasif yang
bersifat beku dalam teks religi Hindu Bali. Oleh sebab itu, tuturan dalam bahasa
pasif itu ditetapkan sebagai data residu. Keputusan itu diambil mengingat
tingkat kesulitan mendeskripsikan struktur transitivitas dan modus dari bahasa-
bahasa yang berbeda, di samping ketersediaan informan dan pertimbangan waktu
penelitian.
Kedua, data yang terkumpul selanjutnya diolah sebelum memasuki tahap
analisis. Data lisan ditranskripsikan dan ditransliterasikan ke dalam Bahasa
Indonesia. Langkah-langkah pengolahan data terdiri atas tahap-tahapan yang
memungkinkan proses analisis berjalan lancar. Pengolahan data dimulai dengan
melakukan identifikasi bentuk dengan cara mengenali bentuk-bentuk yang
sejenis. Bentuk yang kompleks disegmentasi untuk memudahkan identifikasi pola.
56
Pada tahap itu bentuk-bentuk yang sama diklasifikasikan dalam satu kategori.
Klasifikasi juga dibantu dengan komparasi sehingga dapat merujuk pada
determinasi atas status dari bentuk-bentuk tertentu. Pengolahan data pada akhirnya
diharapkan dapat merujuk pada solusi dan interpretasi. Interpretasi yang
dimunculkan merupakan hasil triangulasi yang berpedoman pada data korpus,
konfirmasi dengan informan, dan hasil analisis.
Ketiga, pada tahap analisis, peneliti mencermati data berlandaskan teori
yang dipilih, dengan mengaplikasikan metode agih dan padan. Artinya, proses
analisis melibatkan teknik pemadanan makna dari leksis yang dimunculkan dan
teknik parafrasa terhadap terminologi tertentu agar makna leksis terungkap
dengan jelas. Selanjutnya, hasil analisis disajikan secara formal dan informal,
yaitu penyajian hasil analisis dilakukan dalam bentuk deskripsi kata-kata
didukung gambar, diagram, bagan, atau tabel yang diharapkan dapat memperjelas
paparan. Korpus dianalisis dengan kerangka berpikir Linguistik Sistemik
Fungsional dalam pilahan struktur budaya dan struktur linguistik. Data prosesi
teks digunakan untuk menjawab permasalahan yang berkaitan dengan realisasi
fungsi ideasional, antarpelibat dan tekstual. Rekaman teks dan informasi lain
yang diperoleh melalui wawancara digunakan untuk mendukung pembahasan
struktur skematik. Dengan pengungkapan aspek budaya dan lingustik diharapkan
deskripsi TNNGB dapat merujuk pada simpulan. Yang paling penting, penelitian
diharapkan dapat menyumbangkan temuan baru dan rekomendasi terkait dengan
teks target.
57
3.3 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengikuti alur berpikir kualitatif.
Artinya, penelitian ditujukan untuk dapat memberi paparan yang rinci dan
sistematis yang dapat membentuk suatu pemahaman. Penelitian kualitatif
berpegang pada data yang berupa tuturan, dan bukan angka-angka. Tujuan
pendekatan kualitatif ialah membentuk pemahaman (verstehen) atas realitas
sosial, bukan dalil-dalil. Karakter penelitian kualitatif dijabarkan oleh Basrowi
dan Suwandi (2008: 25) sebagai berikut.
(a) Penelitian dilakukan pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu
keutuhan.
(b) Alat penelitian berupa human instrument, yakni peneliti sendiri.
(c) Wajib ada hubungan baik antara peneliti dan informan.
(d) Analisis data dilakukan secara induktif berdasarkan data lapangan
sehingga nilai-nilai yang tersirat sebagai bagian dari struktur analitik
dapat diperhitungkan.
(e) Desain penelitian bersifat sementara dan dapat disesuaikan dengan data
lapangan.
3.4 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Sumbawa, Propinsi
Nusa Tenggara Barat, khususnya sentra-sentra pemukiman transmigran Bali.
Adapun sentra yang dimaksud meliputi Kecamatan Lunyuk, Kecamatan Labuan
Badas, Kecamatan Plampang, Kecamatan Labangka, Kecamatan Utan, dan
58
Kecamatan Rhee. Daerah penelitian ini tersebar di tiga penjuru mata angin,
dengan jarak sekitar 50 - 100 km dari kota Sumbawa Besar. Populasi penelitian
diperkirakan berjumlah 12.000 jiwa dan jarang terjadi kontak dan mobilitas
warga antarsentra sangat terbatas.
Penelitian dipusatkan di Desa Sepayung, Kecamatan Plampang, dengan
pertimbangan: (a) Desa Sepayung merupakan desa Bali tertua di kecamatan
Plampang yang sebelumnya menaungi seluruh transmigran di kecamatan
Plampang, Labangka, dan Empang; (b) Dengan lahan tanam tadah hujan dan air
tanah yang asin, teks panggil hujan dilaksanakan sebagai satu-satunya cara
pemerolehan air; (c) Teks panggil hujan adalah harapan petani karena setiap
sungai telah berubah menjadi brang sampar (sungai mati). Di samping itu,
pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan akademis dan praktis. Secara
akademis, Desa Sepayung memungkinkan perolehan data dan penerapan Teori
Sistemik terhadap pemaknaan teks dari sudut pandang komunitas pemakai.
Secara praktis, teks panggil hujan diyakini mampu menyelamatkan mata
pencaharian seluruh lapisan masyarakat sehingga diangkat sebagai sebuah tradisi.
3.5 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yakni, data primer dan data
sekunder. Data primer dijaring dari tuturan dalam rangkaian prosesi teks, sejak
fase perencanaan, fase puncak, hingga fase penutup. Data sekunder diperoleh
melalui wawancara mendalam dengan informan. Data sekunder digunakan untuk
melengkapi data primer agar setiap permasalahan dapat dijawab tuntas. Data
59
primer digunakan untuk memperoleh gambaran struktur gramatika, sedangkan
data sekunder digunakan untuk memerikan pandangan, persepsi, dan nilai
budaya yang dijunjung tinggi, di samping melengkapi deskripsi leksikogramatika.
Data yang berhasil dikumpulkan diseleksi atas dasar kejelasan tuturan,
kelengkapan prosedur dari awal hingga akhir, sedikit kerusakan pada proses
perekaman, dan kesediaan informan mengikuti tahap wawancara. Berdasarkan
pertimbangan itu, enam dari delapan set data yang terkumpul ditetapkan data yang
terseleksi. Data korpus terdiri atas tiga seri data teks panggil hujan dan tiga seri
data teks tolak hujan dari tahap praritual, puncak ritual hingga tahap pascaritual.
Data tersebut diberi kode A1, A2, A3 untuk korpus data panggil hujan, sedangkan
korpus data tolak hujan diberi kode B1, B2, dan B.3. Masing-masing korpus
tersusun atas beberapa teks yang merupakan sebuah rangkaian.
Untuk mengumpulkan data sekunder (Sugiyono, 2010: 15), peneliti
mewawancarai informan kunci yang direkomendasikan oleh ketua PHDI
Kabupaten Sumbawa. Dalam penelitian ini, informan kunci mengacu pada orang
yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin teks memohon atau
menolak hujan. Penelitian mensyaratkan informan kunci dengan kriteria berikut
(Sudaryanto, 1993).
(a) berusia maksimal 60 tahun;
(b) sehat dan tidak mengalami cacat alat ucap/ dengar;
(c) menetap di Sumbawa dalam 25 tahun terakhir;
(d) mobilitas rendah;
(e) memahami seluk-beluk teks secara aktif.
60
3.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini mengacu pada alat-alat yang diperlukan untuk
mengungkapkan fenomena sosial yang sedang diteliti. Oleh sebab itu, peneliti
melengkapi diri dengan peralatan yang mendukung terkumpulnya data yang
diharapkan. Instrumen yang utama dalam penelitian adalah peneliti sendiri yang
dengan segala upaya menjalin hubungan baik dengan penguasa teks dan
komunitas yang diteliti demi memahami seluk-beluk objek penelitian.
Peneliti memanfaatkan beberapa peralatan, seperti buku catatan, kamera,
perekam suara (voice recorder), dan panduan wawancara. Kamera digunakan
untuk mendukumentasikan gambar persiapan dan pelaksanaan teks. Sementara itu,
perekam suara digunakan untuk mendokumentasikan tuturan setiap tahapan.
Proses perekaman dilakukan dengan atau tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Buku catatan digunakan untuk mencatat hasil wawancara terkait dengan
pandangan masyarakat terhadap teks.
3.7 Metode dan Teknik Pemerolehan Data
Dalam usaha menjaring data, peneliti menggunakan metode linguistik
lapangan, yakni peneliti secara langsung turun ke lapangan (Samarin, 1988:15).
Metode lapangan (field research) dilakukan dengan metode simak dan
wawancara untuk dapat mengumpulkan data kebahasaan, sekaligus berusaha
memahami fenomena yang dikaji. Dalam peran sebagai penyimak partisipatif
(participative observer), peneliti berperan secara aktif dan pasif. Peneliti berperan
aktif untuk mencatat hal-hal penting yang berkaitan dengan komunitas yang
61
diteliti termasuk kebiasaan, mata pencaharian, dan pandangan. Peneliti juga aktif
mrngajukan pertanyaan untuk memperoleh berian yang dibutuhkan. Di sisi lain,
peneliti bertindak pasif dalam seluruh tahapan teks sejak tahap persiapan hingga
tahap penutup.
Pemerolehan data dilakukan dengan mengikuti prosedur metode simak,
yakni peneliti aktif menyimak tuturan yang dilakukan oleh orang-orang yang
terlibat dalam teks. Metode pengumpulan data tersebut dilakukan dengan
beberapa teknik pendukung, seperti, teknik sadap, teknik simak libat cakap,
teknik rekam, dan teknik catat (Sudaryanto, 1993: 131). Berikut penjelasan
keempat teknik pendukung metode simak tersebut.
(a) Teknik Sadap merupakan teknik pengumpulan data dengan penyimakan
yang dilakukan dengan penyadapan pembicaraan sumber data. Peneliti
mencatat hal-hal yang dianggap penting.
(b) Teknik Libat Cakap adalah pemerolehan data yang dilakukan dalam tahap
penyediaan data melalui partisipasi dan menyimak. Peneliti turut ambil
bagian dalam dialog atau percakapan sekaligus menyimak pembicaraan
mitra wicara. Jadi, partisipasi peneliti bersifat aktif dan pasif. Aktif dalam
proses dialog dan pasif dalam mendengarkan mitra wicara. Metode cakap
dengan teknik cakap semuka itu dapat disejajarkan dengan teknik
wawancara, yaitu dengan cara berdialog dengan mitra wicara. Peneliti
dapat mengajukan pertanyaan untuk memperoleh informasi dan konfirmasi
bertalian dengan masalah yang diteliti.
62
(c) Teknik Rekam adalah cara pemerolehan data dengan cara merekam
tuturan informan. Teknik rekam digunakan untuk merekam tuturan selama
prosesi teks, di samping jawaban terbatas atas pertanyaan-pertanyaan dan
permintaan khusus yang diajukan kepada informan.
(d) Teknik Catat secara fonetis dilakukan terhadap tuturan yang diperoleh
melalui wawancara dan perekaman.
Secara rinci, langkah-langkah operasional yang dilakukan terkait dengan
pemerolehan data adalah sebagai berikut:
(1) melakukan wawancara awal;
(2) mencatat hasil pengamatan lapangan;
(3) mendokumentasikan peristiwa teks;
(4) melakukan perekaman prosesi teks;
(5) mentranskripsikan hasil rekaman;
(6) meminta informan mengoreksi hasil transkripsi;
(7) melakukan konfirmasi hasil transkripsi;
(8) melakukan transliterasi;
(9) melakukan segmentasi dan kodifikasi.
Data yang terseleksi sebagai data korpus adalah tuturan teks yang
dinyatakan dalam Bahasa Bali, sedangkan tuturan dalam lain tidak dimasukkan
dalam tahap analisis. Data korpus selanjutnya diolah sebagai persiapan memasuki
tahap analisis. Pengolahan data dikerjakan setelah seluruh korpus ditranskripsikan,
dikoreksi, dan diklarifikasi oleh informan kunci untuk selanjutnya
dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia. Koreksi dilakukan pada kesalahan
63
transkripsi, sedangkan klarifikasi dilakukan pada kelompok kata yang harus
disisipkan, ditanggalkan, direvisi, atau disempurnakan.
Pada tahap pengolahan, data diidentifikasi dan dipilah sesuai dengan
kepentingan analisis, yakni dimulai dari analisis teks sebagai satu teks besar
kemudian dipilah atas teks yang lebih kecil, tahap-tahapan dan komponen yang
lebih renik. Sebagai pemenuhan aspek budaya, teks dilihat dari nilai dan pola
pelaksanaan. Secara linguistis, klausa dicermati dari sudut pandang semantik,
gramatika, dan pragmatik. Kelompok yang memiliki kategori yang sama
dinyatakan memiliki status yang sama. Status komponen selanjutnya
dimanfaatkan sebagai bahan penentuan interpretasi. Dengan demikian, langkah
kerja pengolahan data dapat dapat dirinci sebagai berikut:
(a) menemukan lambang atau simbol verbal;
(b) melakukan segmentasi berdasarkan kesamaan lambang/simbol;
(c) mengidentifikasikan pola-pola;
(d) menentukan kategori;
(e) menentukan status atas komponen-komponen;
(f) melakukan interpretasi awal;
(g) konfirmasi dengan informan;
(h) menarik interpretasi sementara.
3.8 Metode dan Teknik Analisis Data
Proses pengolahan data dilakukan setelah korpus dipersiapkan memasuki
tahap analisis. Data yang dimasukkan dalam tahap analisis adalah data korpus,
64
yaitu data berbahasa Bali ragam halus, sedangkan data residu semata-mata
dipandang sebagai komponen pembentuk keutuhan teks. Interpretasi struktur
formal dilakukan dengan mencermati tata urutan, leksikon, dan makna yang
dimunculkan. Cara kerja demikian sejalan dengan metoda agih dan padan yakni
penggunaan alat bantu dari bahasa itu sendiri dan melakukan padanan makna yang
dapat merefleksikan makna yang dimaksud. Metode agih dipakai ketika
memproyeksikan struktur formal, sedangkan metode padan digunakan dalam
mengungkap makna yang merujuk pada padanan makna (Sudaryanto, 2003).
Untuk menjawab permasalahan struktur skematik, teks diteropong
berdasarkan kode bahasa, urutan penahapan, modifikasi tahap yang dibolehkan,
dan fungsi komponen-komponennya. Struktur modus menjelaskan jenis
komoditas yang dipertukarkan, maksud pembicara, dan jenis respon yang
diharapkan. Struktur diatesis dikerjakan dengan mempertimbangkan keaktifan
yang dimunculkan Predikator, valensi, dan pengisi fungsi gramatikal. Masalah
transitivitas dikerjakan dengan mencermati karakter Predikator klausa pembentuk
teks sehingga dapat merujuk pada tipe proses dan partisipan. Struktur tema
membahas komponen-komponen yang diposisikan di kiri Predikator. Komponen
yang ditempatkan di posisi inisial membentuk struktur tema tunggal pada struktur
klausa tak bermarkah. Kehadiran tema topikal, antarpelibat atau tekstual
membentuk struktur bermarkah. Keterkaitan antarkomponen teks dapat berupa
hubungan internal teks secara endoforis, sedangkan relasi dengan teks lain
bersifat eksoforis. Dengan demikian, makna leksikon dan struktur gramatikal
dapat ditelaah dengan sebaik-baiknya.
65
3.9 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis
Hasil analisis disajikan dalam bentuk laporan penelitian dengan
menggunakan metode informal dan formal (Sudaryanto, 1993: 145). Metode
informal adalah metode penyajian hasil analisis dengan menggunakan kata-kata
biasa dilengkapi tanda atau lambang-lambang linguistik. Metode formal adalah
penyajian hasil analisis dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang
tertentu. Jadi, hasil analisis tersaji melalui dekripsi kata-kata dan didukung
penyajian tabel, bagan dan gambar yang diharapkan membantu kejelasan deskripsi
secara ringkas dan akurat.
Data yang mementingkan pemahaman umum ditampilkan dalam pola dua
dimensi. Sementara itu, data yang dimaksudkan untuk menjelasan fitur leksikal
disajikan dalam pola tiga dimensi, yakni struktur klausa, gloss, dan
terjemahannya. Contoh klausa yang ditelaah juga ditampilkan dalam kolom dan
baris yang dimaksudkan untuk memberi penekanan pada segmentasi dan kategori
komponen. Selanjutnya, klausa dideskripsiskan sesuai dengan landasan teori yang
dipakai untuk membedah data dan menarik interpretasi berdasarkan hasil
triangulasi.
Sistematika disertasi tersusun atas bab-bab pembahasan yang disesuaikan
dengan susunan permasalahan yang diajukan. Disertasi ini terbagi atas tiga bagian,
masing-masing bagian awal, bagian inti, dan bagian penutup. Bagian awal
mendeskrispsikan latar belakang, landasan teori, metode penelitian, dan gambaran
umum wilayah penelitian. Bagian inti terdiri atas bab-bab yang memaparkan
pembahasan data berdasarkan pokok teori yang diaplikasikan. Bab analisis dapat
66
ditemukan mulai Bab V. Bab VI hingga bab IX berturut-turut menyajikan
pembahasan aspek gramatikal mencakup struktur modus, struktur transitivitas,
struktur diatesis, dan struktur tematis. Bab X mengungkapkan sistem referensial
baik yang bersifat situasional maupun kontekstual. Paparan temuan baru
penelitian dan simpulan ditampilkan pada bagian akhir. Bagian penutup terdiri
atas daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
67
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Sejarah Singkat Wilayah Penelitian
Kabupaten Sumbawa yang dahulu dikenal dengan nama Tana Samawa
„tanah Sumbawa‟ memiliki penduduk asli Etnis Samawa. Etnis asli Sumbawa itu
hidup berdampingan dengan Etnis Mbojo yang menetap di tiga kabupaten di
bagian timur pulau Sumbawa, mencakup Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu,
dan Kota Bima. Etnis Samawa „Sumbawa‟ menggunakan Basa Samawa „Bahasa
Sumbawa‟, sedangkan Etnis Mbojo berkomunikasi dengan Nggahi Mbojo „Bahasa
Mbojo atau Bahasa Bima‟. Wilayah pakai Bahasa Sumbawa meliputi Kabupaten
Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Dengan demikian, pulau
Sumbawa yang memiliki luas sekitar 14.386 km2
terpecah menjadi dua wilayah
bahasa, yakni wilayah pakai Bahasa Bima di bagian timur dan wilayah pakai
Bahasa Sumbawa di bagian barat. Di samping Bahasa Sumbawa dan Bahasa Bima
yang berstatus bahasa mayoritas, di Pulau Sumbawa juga hidup bahasa minoritas,
seperti Bahasa Bali, Bahasa Banjar, Bahasa Makasar, Bahasa Bugis, Bahasa
Cina, Bahasa Bajo, Bahasa Selayar, Bahasa Arab, Bahasa Jawa, dan Bahasa
Sasak. Bahasa-bahasa itu umumnya merupakan bahasa kelompok pendatang
dengan wilayah tutur terbatas. Sebagian besar kelompok pendatang itu
merupakan kelompok pedagang antarpulau, nelayan, atau petani peserta program
transmigrasi yang telah bermukim di Sumbawa sejak puluhan tahun (Satyawati,
2009).
68
Dasar hukum pendirian Kabupaten Sumbawa adalah UURI No. 64 Tahun
1958 dan UURI No. 69 Tahun 1958 tertanggal 11 Agustus 1958. Kelahiran
Kabupaten Sumbawa tidak terlepas dari pembentukan Propinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 64 Tahun
1958 dan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 yang merupakan tonggak sejarah
terbentuknya Daerah Swatantra Tingkat I (Daswati I) dan Daerah Swatantra
Tingkat II (Daswati II) di wilayah Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Pemerintah
membentuk enam Daswati II di lingkungan Daswati I NTB, masing-masing tiga
Daswati di Pulau Lombok, dan tiga Daswati di Pulau Sumbawa. Keenam Daswati
tersebut adalah Daswati II Lombok Barat, Daswati II Lombok Tengah, dan
Daswati II Lombok Timur, Daswati II Sumbawa, Daswati II Dompu dan Daswati
II Bima. Tanggal 22 Januari 1959 pejabat sementara (PS) Kepala Daerah
Swantantra Tingkat I NTB melakukan likuidasi, pengangkatan dan pelantikan
Muhammad Kaharuddin III sebagai PS Kepala Daerah Swantantra Tingkat II
Sumbawa. Momentum pelantikan itu selanjutnya diangkat sebagai hari lahir
Kabupaten Sumbawa yang menaungi wilayah barat Pulau Sumbawa yang terbagi
menjadi 14 kecamatan. Sejak berdiri, pemerintahan terus mengalami perubahan
dan mencari bentuk yang sesuai. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999, terjadi pemekaran kecamatan sehingga pemerintah Kabupaten
Sumbawa memiliki tambahan lima kecamatan baru, yakni Kecamatan Sekongkang,
Kecamatan Brang Réa, Kecamatan Alas Barat, Kecamatan Labangka, dan
Kecamatan Labuan Badas. Pemekaran kembali terjadi dengan dibentuknya
Kecamatan Tarano, Kecamatan Marongé, Kecamatan Unter Iwes, Kecamatan
69
Rhéé, Kecamatan Buér, dan Kecamatan Moyo Utara. Dengan didirikannya
Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) tahun 2003 yang dikukuhkan dengan UURI
No. 30 Tahun 2003, Kabupaten Sumbawa melepaskan lima kecamatan di ujung
barat pulau menjadi wilayah Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Dengan
demikian, Kabupaten Sumbawa berbatasan dengan Kabupaten Dompu di sebelah
timur dan Kabupaten Sumbawa Barat di sebelah barat. Pada pemekaran terakhir,
terbentuk empat kecamatan baru, yakni, Kecamatan Orong Telu, Kecamatan
Lénangguar, Kecamatan Lantung, dan Kecamatan Lopok. Kini, Kabupaten
Sumbawa mewilayahi bagian tengah pulau seluas 6.643.98 km2
yang terpecah
menjadi 24 kecamatan atau 158 desa dan 8 kelurahan.
Ditinjau dari luas wilayah, Kecamatan Empang, Kecamatan Lenangguar
dan Kecamatan Lunyuk merupakan tiga kecamatan terluas dengan proporsi
mencapai sembilan persen dari luas wilayah kabupaten. Wilayah tersempit dimiliki
oleh Kecamatan Sumbawa yang meliputi wilayah daerah seluas 44, 83 km2
atau
0,67% dari luas kabupaten. Berdasarkan jarak ke pusat kota Sumbawa Besar,
Kecamatan Tarano, Kecamatan Empang, dan Kecamatan Lunyuk merupakan tiga
kecamatan terjauh yang berjarak 103 km dan 93 km untuk dua kecamatan terakhir.
Dengan demikian, Lunyuk merupakan wilayah kecamatan terluas dan terjauh dari
kota Sumbawa Besar (Tim BPS, 2010: 60; 195-196).
Pada logo pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa tercantum motto
Sabalong Samaléwa yang dapat disingkat menjadi Samawa. Sabalong berasal dari
Bahasa Sumbawa sai „satu‟, dan balong „baik‟. Samaléwa berasal dari akar kata
sama „sama‟ dan lewa „terus, seimbang‟. Sabalong Samaléwa dimaknai sebagai
70
tekad untuk melanjutkan pembangunan yang seimbang, antara pembangunan fisik
dan mental spiritual, dengan melibatkan penduduk asli dan kaum pendatang. Logo
pemerintah daerah juga memuat mayung „menjangan‟ sebagai fauna khas
Sumbawa. Karakter menjangan yang tangkas, cerdik, dan gesit dimaknai sebagai
tekad pemerintah untuk menjadi pioner pembangunan di lingkungan Propinsi Nusa
Tenggara Barat.
4.2 Keadaan Alam dan Kependudukan
Wilayah Kabupaten Sumbawa terbentang pada kordinat 116‟420 BT -
118‟220 BT dan 8‟8
0 LS - 9‟7
0 LS. Ditinjau dari luas wilayah setiap kabupaten
terhadap luas Propinsi Nusa Tengggara Barat (NTB), tampak Kabupaten
Sumbawa menempati luas terbesar yakni 32,97%, disusul Kabupaten Bima
21,78%, dan Kabupaten Dompu seluas 11.58%. Dari sudut topografi, tanah
Sumbawa tidak rata dan berbukit-bukit. Ketinggian rata-rata berkisar antara 0
hingga 1.730 m dari permukaan air laut dan diarahkan sebagai sentra produksi
bahan pangan dan budi daya ternak. Ditinjau dari segi iklim, Sumbawa beriklim
tropis dengan temperatur berkisar antara 18,30C hingga 37,4
0C. Temperatur
maksimal terjadi pada bulan November dan minimal pada bulan Agustus,
sedangkan kelembaban udara berkisar 68% hingga 88%. Kelembaban udara
minimal terjadi pada bulan Oktober yang dipicu oleh curah hujan 0 mm yang
terjadi dari bulan Juni hingga September. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan
Februari yang diakibatkan oleh curah hujan maksimal yang mencapai 300 mm.
Rerata curah hujan tergolong kecil, yakni 108 mm dalam 94 hari dalam setahun.
71
Kelembaban udara minimal biasanya terjadi mulai bulan Juni hingga September
karena kurun waktu tersebut merupakan bulan tanpa hujan (Tim BPS, 2010: 10 -
41).
Penduduk Kabupaten Sumbawa berjumlah 420.750 jiwa dengan
kepadatan rata-rata 63 jiwa/km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kecamatan
Sumbawa dengan 1.204 jiwa/km2, sedangkan Kecamatan Orong Telu, Kecamatan
Ropang dan Kecamatan Lénangguar dihuni oleh 13 jiwa/km2. Kecilnya tingkat
kepadatan penduduk berimplikasi pada lambatnya pertumbuhan ekonomi dan
terbatasnya kesempatan kerja. Oleh sebab itu, lebih dari 7.000 pencari kerja
memilih bekerja menjadi TKI di luar negeri, meskipun tidak memiliki pendidikan
dan keterampilan yang memadai. Ditinjau dari agama yang dianut, hampir 96%
penduduk Kabupaten Sumbawa menganut agama Islam. Oleh sebab itu musola
dan mesjid dapat ditemukan di seluruh pelosok. Persentase penganut agama
Hindu, Katolik, Protestan, Budha, dan kepercayaan lainnya sangat kecil. Sebagai
wilayah yang sedang berkembang, etnis lokal harus bekerja keras mengejar
kemajuan zaman dan mengimbangi ketrampilan kelompok pendatang. Tidak dapat
dihindari munculnya perbedaan sosial ekonomi dan sudut pandang antara
kelompok asli dan kelompok pendatang. Perselisihan dan tindakan melawan
hukum kerap muncul terkait hubungan muda-mudi lintas etnis.
Pada bidang pendidikan, Kabupaten Sumbawa tergolong lebih maju
dibandingkan empat kabupaten/kota lain di Pulau Sumbawa. Program wajib
belajar 12 tahun telah terealisasi hingga ke desa-desa dengan dukungan lembaga
penyelenggara pendidikan dan pusat pengembangan keterampilan. Sentra-sentra
72
transmigran sudah dilengkapi dengan sekolah dasar. Di setiap kecamatan terdapat
pasar tradisional, pusat layanan kesehatan, dan lembaga perkreditan. Meskipun
demikian, jarak antara hunian transmigran dengan fasilitas umum masih sangat
jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Jarak tempuh dan keterbatasan sarana
transportasi menyisakan masalah rentan putus pendidikan dasar.
Topografi wilayah Sumbawa merupakan tanah kering dengan kontur
berbukit-bukit. Oleh sebab itu, masalah air menjadi masalah yang pelik bagi
penduduk. Meskipun pemerintah sudah mengantisipasi kelangkaan air dengan
menyediakan Wislick ‟tangki air‟, masih banyak daerah yang belum terjangkau.
Penduduk wilayah Kecamatan Utan, Kecamatan Rhee, Kecamatan Plampang, dan
Kecamatan Labangka sulit memperoleh air dari sumur yang digali secara
tradisional. Penduduk wilayah barat, seperti Menini, Batu Pedu, Sebedo, dan
Sepinduk memanfaatkan air rembesan akar pohon-pohon di punggung bukit,
berbagi dengan babi hutan dan binatang liar lainnya. Dari mata air yang berjarak
kurang lebih lima km dari perkampungan itu, air dialirkan ke rumah-rumah
penduduk secara bergilir. Setiap keluarga berhak menerima pembagian air selama
dua jam setiap dua hari untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Di sentra Prode
dan Labangka, penduduk harus berjalan sejauh lima ratus meter untuk
mendapatkan air dari tangki Wislick. Permasalahan air dihadapi pula oleh
transmigran di Kecamatan Plampang yang harus mandi dan mencuci dengan air
asin sebagai dampak lokasi yang berbatasan dengan teluk Santong. Pandangan
lain menyebutkan bahwa rasa asin pada air sumur tradisional diprediksi berasal
dari susunan abu vulkanik letusan Gunung Tambora.
73
4.3 Komunitas Transmigran Bali
Keberadaan Etnis Bali di Sumbawa tidak terlepas dari kebijakan
pemerintah dalam upaya pemberdayaan penduduk dan pengembangan potensi
daerah melalui program transmigrasi. Pemerintah menetapkan status Pulau
Sumbawa sebagai penerima transmigran yang berasal dari Jawa, Madura, Bali,
dan Lombok dengan Surat Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1973. Keputusan itu
dilandasi perbandingan luas wilayah dan jumlah penduduk, setelah sebagian besar
penduduk Sumbawa tewas akibat meletusnya Gunung Tambora dan wabah
penyakit. Dengan menjadi destinasi transmigrasi, Kabupaten Sumbawa yang
mewilayahi bagian tengah Pulau Sumbawa dan sederetan pulau kecil di pesisir
utara, seperti Pulau Moyo, Pulau Medang, Pulau Panjang, Pulau Liang, Pulau
Ngali, dan Pulau Rakit berhasil meningkatkan jumlah rata-rata penduduk menjadi
63 jiwa/km2. Masuknya pendatang ke Tana Samawa „tanah Sumbawa‟ berhasil
mewujudkan misi percepatan pembangunan daerah dalam prioritas sebagai sentra
pengembangan tanaman bahan makanan (Tabama) dan budi daya ternak (Tim
BPS, 2010: 60; 195).
Perlu ditegaskan bahwa penempatan transmigran Bali di Sumbawa
berbeda dengan pemberangkatan antarpulau sebelumnya. Bila pemberangkatan
ke berbagai wilayah di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi diselenggarakan
melalui program transmigrasi umum (Malini, 2011: 173), pemberangkatan ke
Pulau Sumbawa bersifat swakarsa atau spontan. Artinya, perpindahan baru
terlaksana setelah masyarakat aktif menghimpun diri, bersedia menanggung
seluruh beaya pemberangkatan, dan memperoleh rekomendasi penempatan dari
74
pemerintah daerah tujuan. Penempatan pertama terjadi pada bulan Juli 1969 di
Kecamatan Lunyuk, sekitar 95 km selatan kota Sumbawa Besar. Di bawah
pimpinan Pan Satub dan I Nyoman Sutantra, kelompok perintis yang terdiri atas
28 KK itu berhasil menembus hutan Lenangguar dalam dua hari perjalanan.
Daerah yang diperuntukkan bagi transmigran Bali dikenal sebagai daerah tertutup
di kalangan etnis Samawa. Mitos yang berkembang menyatakan bahwa setiap
orang yang memasuki wilayah tersebut tidak akan dapat keluar dalam kondisi
sehat, tetapi menjadi gila atau mati kelaparan. Wilayah yang diyakini angker itu
kini bernama Desa Sukamaju. Dalam tiga gelombang berikutnya, Kecamatan
Lunyuk terus menjadi tujuan transmigran Bali. Pada tahun 1972 transmigran dari
Lombok Timur dan transmigran lokal juga mengambil lokasi di Lunyuk.
Dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1973, lokasi
penempatan transmigran diperluas meliputi beberapa kecamatan di bagian barat,
selatan, dan timur ibu kota kabupaten. Gelombang transmigran Bali yang tiba
pada tahun 1975 hingga tahun 1978 ditempatkan di daerah Kecamatan Labuan
Badas, khususnya Desa Kanar dan Sampar Maras. Periode tahun 1980-1981
penerimaan transmigran Bali di Sumbawa dihentikan karena terjadi kerusuhan.
Perkampungan Bali dikepung dan beberapa rumah dibakar massa. Kondisi genting
juga memaksa transmigran Bali mengungsi ke lereng bukit atau meninggalkan
Pulau Sumbawa untuk sementara waktu. Setelah kondisi kondusif, kelompok
transmigran Bali mulai berdatangan dan ditempatkan di Kecamatan Utan,
Kecamatan Rhee, dan Kecamatan Plampang. Kelompok terakhir ditempatkan di
sentra pemukiman (SP) Prode dan Labangka. Antusiasme transmigran Bali
75
berpindah ke Kabupaten Sumbawa dimotivasi oleh keinginan memperoleh lahan
tanam yang luas. Pemilihan pulau Sumbawa didasarkan atas pertimbangan jarak
tempuh, vegetasi rendah, dan tipe tanah terbuka. Kini, generasi yang produktif
adalah generasi kedua atau ketiga (Wawancara dengan ketua PHDI Kabupaten
Sumbawa).
Tampaknya kontribusi Etnis Bali dalam memajukan potensi daerah telah
mendapat pengakuan dan diwujudkan dalam logo pemerintah daerah. Etnis Bali,
Jawa, dan Sasak disatukan dalam sebutan etnis Majapahit dan dikukuhkan sebagai
satu dari lima etnis pendukung kemajuan pembangunan Kabupaten Sumbawa.
Empat etnis lainnya adalah Etnis Samawa, Etnis Bugis, Etnis Makasar, dan Etnis
Banjar. Pada logo pemerintah daerah, kelima etnis itu disimbolkan dengan akar
yang menyangga tegaknya pohon beringin (Tim BPS, 2010: ix, 196).
Komunitas Bali dapat ditemukan di kota kabupaten ataupun di pedesaan.
Komunitas Bali yang menetap di kota kabupaten bekerja sebagai wirausahawan
atau pegawai. Mereka umumnya merupakan mantan karyawan unit Pekerjaan
Umum yang dikirim dari Bali untuk pengerjaan jalur Sumbawa-Bima. Sebagian
lagi merupakan mantan pencari kayu sawo atau kayu eboni di Pulau Moyo untuk
bahan patung di Bali. Bersamaan dengan selesainya proyek Trans Sumbawa dan
dikeluarkannya larangan menebang kayu di pulau-pulau kecil di kawasan utara
pulau Sumbawa, mereka memutuskan untuk menetap di Pulau Sumbawa sebagai
karyawan pada dinas setempat. Sebagian kecil lainnya merupakan transmigran
yang gagal memperoleh lahan di tempat tujuan. Transmigran gagal itu enggan
pulang ke Bali dan memilih hidup di kota dengan berwirausaha, sementara ada
76
juga yang berpindah ke Sumbawa karena tuntutan pekerjaan. Sekitar 80%
transmigran Bali hidup di sentra pemukiman dengan mata pencaharian sebagai
petani. Data statistik Kabupaten Sumbawa 2010 mencatat jumlah komunitas
transmigran Bali mencapai 11.264 jiwa, dan jumlah itu diprediksi sudah
berkembang pesat. Berikut sebaran pemukiman komunitas Bali (diadopsi dari
Tim BPS, 2010: 196).
Tabel 4.1
Komunitas Bali di Sumbawa
No. o Kecamatan Jumlah No Kecamatan Jumlah
1. 1 Sumbawa 2.939 jiwa 10. 10 Alas Barat 57 jiwa
2. 2 Lunyuk 2.467 jiwa 11. 11 Moyo Hulu 36 jiwa
3. 3 Labuan Badas 1.398 jiwa 12. 12 Lopok 20 jiwa
4. 4 Utan 1.403 jiwa 13. 13 Lapé 18 jiwa
5. 5 Rhéé 1.060 jiwa 14. 14 Lénangguar 13 jiwa
6. 6 Plampang 927 jiwa 15. 15 Moyo Hilir 11 jiwa
7. 7 Labangka 664 jiwa 16. 16 Empang 9 jiwa
8. 8 Alas 142 jiwa 17. 17 Buér 7 jiwa
9. 9 Tarano 93 jiwa Total : 11.264 jiwa
Tabel (4.1) di atas menunjukkan sebaran transmigran Bali dengan jumlah
terbesar bermukim di Kecamatan Sumbawa. Jumlah komunitas Bali di kota
Sumbawa sebagian besar bukan merupakan kelompok transmigran yang
berpindah untuk memperoleh lahan, tetapi kelompok yang menetap karena alasan
pekerjaan. Komunitas Bali dapat ditemukan pada hampir setiap kecamatan di
Kabupaten Sumbawa, kecuali Kecamatan Orong Telu, Kecamatan Batulanteh,
77
Kecamatan Unter Iwes, Kecamatan Moyo Utara, Kecamatan Ropang, Kecamatan
Lantung, dan Kecamatan Maronge. Jadi, transmigran Bali dapat ditemukan pada
sebagian besar wilayah kecamatan di Kabupaten Sumbawa.
Secara spasial, ada kecenderungan pola penataan kelompok transmigran.
Etnis asli Sumbawa ditempatkan pada wilayah desa yang berdekatan dengan pusat
kegiatan umum atau kota kecamatan. Tampaknya pemerintah daerah
memrioritaskan relokasi etnis asli sebelum pencanangan lahan bagi transmigran
luar pulau. Setiap sentra dibentuk dengan mempertemukan minimal tiga etnis,
yakni, satu etnis asli dan dua etnis pendatang. Etnis asli menghuni lahan yang
paling datar, dekat dengan akses jalan raya, dan fasilitas sosial. Kelompok
pendatang ditempatkan di wilayah yang lebih menjorok ke dalam, berbukit,
dengan akses jalan yang memprihatinkan. Komunitas Bali umumnya memilih
lokasi yang paling dalam, jauh dari pusat keramaian, berbatasan dengan bukit atau
berdampingan dengan laut. Di sentra selatan, komunitas Bali hidup berdampingan
dengan komunitas Samawa dan Sasak. Di sentra timur, komunitas Bali
bertetangga dengan komunitas Samawa dan Jawa, sedangkan di sentra barat,
komunitas Bali hidup berdampingan dengan komunitas Samawa, Bugis, dan
Sasak.
Persatuan antarkomunitas di sentra transmigran diwadahi Forum
Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB). Tujuan forum itu untuk membina
keharmonisan, menjembatani perbedaan antarkomunitas agar dapat secara
bersama-sama mengembangkan potensi daerah. Dibandingkan dengan sesama
kelompok pendatang, hubungan dengan komunitas lokal terjalin lebih akrab.
78
Persentuhan komunitas Bali dan Samawa telah terjalin sejak awal pemukiman.
Sebagai contoh, komunitas lokal bertindak sebagai pensuplai air minum, lauk-
pauk, makanan jadi, hingga penyedia lahan tambahan. Saat ini, aktivitas jual beli
antaretnis tidak saja dilakukan dengan uang, tetapi juga dengan sistem barter.
Etnis asli menukarkan lahan dengan sapi, sepeda, tali, atau radio. Kelompok
pendatang umumnya menukarkan hasil kebun dan beras dengan makanan olahan.
Ditinjau dari tipe petani, transmigran Bali adalah petani pemilik penggarap.
Artinya, lahan yang dimilikinya diolah dan ditanami secara mandiri, tanpa
melibatkan penyakap. Proses penanaman dan panen dikerjakan dengan sistem
maslisian ‟gotong royong‟ internal kelompok. Kekurangan tenaga kerja diambil
dari etnis Samawa dengan upah harian berkisar antara Rp 50.000,00 – Rp
60.000,00 (limapuluh ribu rupiah hingga enam puluh ribu rupiah). Pemilik lahan
dapat mempekerjakan tiga puluh hingga lima puluh orang pekerja dalam satu
lokasi sesuai dengan luas lahan. Setiap KK memiliki lahan tanam bervariasi mulai
dari 3-8 hektar. Pada setiap sentra, tujuh puluh lima persen luas lahan pertanian
dikuasai oleh komunitas Bali. Komoditas yang diproduksi adalah jagung, kacang-
kacangan, buah-buahan, dan padi. Jagung dipandang sebagai tanaman primadona.
Dalam sekali panen, petani dapat memperoleh 6 hingga 7 ton jagung kering /hektar
atau setara dengan Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) bersih. Tidak jarang
transmigran menyewa lahan etnis asli untuk menambah area tanam dan
meningkatkan jumlah penghasilan. Akan tetapi, produksi jagung dapat menyusut
pada kemarau panjang dan hantaman angin kering.
79
Hasil wawancara menunjukkan bahwa TNNGB yang dipraktikkan tidak
seluruhnya merupakan teks yang dibawa dari Bali. Para pamangku tidak membawa
buku atau lontar apapun ke Sumbawa, bahkan sebagian besar di antaranya tidak
dapat membaca lancar. Buku-buku penuntun mulai diusahakan ketika pemukiman
sudah mulai tertata, atau sekitar lima tahun setelah penempatan. Menghadapi
kemarau panjang yang menyulitkan semua petani, pamangku terpanggil pulang ke
Bali mencari acuan dan belajar. Akan tetapi, teks yang diperoleh adalah teks
nerang ‟tolak hujan‟ yang bersifat lisan. Teks nerang inilah yang kemudian
dimodifikasi disesuaikan dengan kebutuhan. Kondisi tadah hujan tidak
memungkinkan teks nerang difungsikan dan dinyatakan sebagai teks
nonfungsional. Teks nerang bahkan diyakini dapat membahayakan partisipan
kunci dan lingkungan. Dengan berpedoman pada teks nerang yang sudah
dipelajari, teks neduh ‟panggil hujan‟ mulai disusun. Selanjutnya, teks neduh
‟panggil hujan‟ dipraktikkan dan diterima sebagai teks fungsional (Wawancara
dengan Mangku Dastra, Plampang).
4.4 Organisasi Sosial
Di daerah pemukiman terdapat dua jenis organisasi sosial yang mewadahi
proses sosialisasi antaranggota. Organisasi sosial antarkomunitas mewadahi semua
komunitas di wilayah satu kecamatan dan memfasilitasi perbedaan yang ada pada
masing-masing kelompok. Pada wilayah sederajat desa juga terbentuk kelompok
yang lebih kecil yang beranggotakan semua anggota kelompok bersangkutan.
80
Organisasi antarkomunitas memiliki sifat keanggotaan yang terbuka bagi
kelompok-kelompok yang berada pada satu lingkungan kecamatan.
4.4.1 Organisasi antarkomunitas
Satu-satunya organisasi yang bersifat terbuka bagi semua kelompok adalah
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Keanggotaan orgnisasi kerukunan
itu meliputi semua komunitas yang menetap di suatu kecamatan, baik yang
menganut agama Islam, Kristen, Hindu, Bhuda, Katholik, maupun aliran
kepercayaan lainnya. Kepengurusan organisasi kerukunan terdiri atas tokoh adat
dan pemuka agama. Organisasi kerukunan bertujuan menciptakan keharmonisan
antarkomunitas termasuk meminimalisasi kemungkinan perselisihan, dan
menjembatani berbagai perbedaan pandangan. Pada pernikahan antaretnis,
organisasi kerukunan itu mensyaratkan adanya pengenalan dan pengajaran prinsip-
prinsip dasar agama yang akan dianut dan dikuatkan dengan bukti tertulis yang sah
menurut hukum bagi calon pasangan yang akan beralih keyakinan. Organisasi itu
juga mengatur tatanan sosial masyarakat, misalnya pemeliharaan ternak,
pembukaan kios, di samping hukuman bagi pelaku tindak pidana. Contohnya,
pemeliharaan babi harus dikandangkan tersembunyi dari pandangan umum,
sedangkan anjing tidak boleh dipelihara di areal perkampungan. Anggota
kelompok tidak dibolehkan membuka kios di luar sentra etnisnya. Oknum yang
terbukti melakukan tindakan melawan hukum diwajibkan meninggalkan desa.
Sebagai bentuk toleransi terhadap kepentingan kaum mayoritas, pemeliharaan
anjing hanya dilakukan di gubuk perladangan. Penduduk juga gemar memelihara
81
anjing pemburu yang ditugaskan menjaga ladang dari serbuan monyet, babi hutan,
banteng, atau rusa.
Satu-satunya sentra pemukiman transmigran Bali yang memiliki tata
kelola air adalah Desa Sukamaju, Lunyuk. Pengelolaan air ditangani oleh P3A
(Perkumpulan Petani Pengelola Air) yang bekerja sama dengan JPA (Juru Pintu
Air) yang bertugas di dam induk Pelara. Pengurus P3A dibantu oleh Malar
(pengatur air) bertugas mengawasi pembagian air. Sawah-sawah dapat ditanami
tiga kali setahun dengan dua kali padi dan sekali palawija, sedangkan lahan kering
di punggung-punggung bukit hanya dapat ditanami jagung satu kali dalam
setahun. Dengan sistem pembagian air yang bagus tidak mengherankan produksi
melimpah-ruah sehingga Lunyuk dijuluki ”Lumbung Sumbawa”.
Ironisnya, sungai Brang Beh yang melintasi Kecamatan Lunyuk hampir
setiap empat tahun membawa petaka banjir yang merendam lahan persawahan,
merusak pondok, dan menghanyutkan ternak. Penduduk lokal masih meyakini
mitos datuk Beh yang menyatakan bahwa sungai Beh merupakan lintasan bagi
datuk Beh „naga jantan‟ untuk menemui naga betina yang bersemayam di muara.
Pertemuan dua naga itu terjadi di gumbleng „aliran yang berkelok-kelok‟ di desa
Sukamaju. Setelah banjir reda akan muncul koloni ikan ipin yang sangat lezat.
Kisah enaknya ikan ipin dapat ditemukan pada lawas berikut.
Tangis anakne datuk Beh
tangis anak-DEF raja besar
„Tangis anaknya Datuk Beh‟
Siong tangis tekan tonang
NEG tangis gelang kalung
„Tidak meminta gelang kalung‟
82
Tangis ipin katutimu
tangis ipin masak-PAS
„Meminta ikan ipin yang lezat‟
Lawas Datuk Beh dapat dilihat sebagai anjuran membiasakan diri
menjalani pola hidup sederhana, tanpa perhiasan yang berlebihan. Sementara itu,
mitos datuk Beh mengajarkan hidup bersyukur karena selalu ada kebaikan yang
disisakan dari musibah tertentu. Akan tetapi, pemahaman yang keliru terhadap
implementasi hidup syukur dan sederhana itu berdampak pada lambatnya
perkembangan sosial-ekonomi masyarakat lokal.
4.4.2 Organisasi intrakomunitas
Terlepas dari tata pembagian wilayah secara administratif, komunitas Bali
membentuk organisasi internal yang mengatur pelaksanaan adat secara mandiri.
Transmigran membentuk desa adat, dusun, tempekan atau sekaa. Sebagai contoh,
dari 11 desa di Kecamatan Plampang, komunitas Bali dapat ditemukan di lima
desa, seperti desa SP 2 Prode, SP 3 Prode, Sepakat, Sepayung dan Plampang
dengan jumlah sekitar 276 KK. Persatuan komunitas Bali tingkat kecamatan
dipimpin oleh seorang pamangku yang menjabat sebagai ketua PHDI tingkat
kecamatan. Untuk tingkat yang lebih rendah, koordinasi dilakukan oleh kelian
atau bendesa ‟ketua adat‟. Sebagai desa tertua, desa adat Sepayung tidak saja
menaungi transmigran di Kecamatan Plampang, tetapi juga trasmigran Bali yang
bermukim di Kecamatan Empang dan Kecamatan Labangka. Secara internal,
organisasi keadatan Plampang terdiri atas tiga desa adat, yakni desa adat
Sepayung, desa adat Prode SP 2, dan desa adat Prode SP 3. Sementara itu,
83
transmigran di Desa Sepakat, Kecamatan Empang, dan Kecamatan Plampang
menggabungkan diri sebagai tempekan di bawah desa adat Sepayung.
Setiap desa adat dilengkapi pura Kahyangan Tiga, areal kuburan, dan balai
masyarakat. Meskipun demikian, tidak jarang salah satu dari pura Kahyangan Tiga
itu terletak pada desa atau kecamatan yang berbeda secara administratif.
Kebersamaan warga antarsentra yang berdampingan terlihat jelas pada
pelaksanaan melasti dan tawur agung dalam rangkaian pergantian tahun Çaka.
Pada setiap sentra didirikan pasraman sebagai pusat pewarisan budaya
Bali. Ruang belajar dan tenaga pengajar diusahakan secara swadaya, sedangkan
fasilitas belajar merupakan bantuan pemerintah melalui Kementerian Agama.
Pasraman menjadi pusat kegiatan belajar agama bagi siswa tingkat dasar hingga
menengah atas, sebagai solusi keterbatasan pengajar agama Hindu. Dari
pelatihan dan pengajaran di pasraman inilah pelajar memperoleh nilai rapor
untuk mata pelajaran agama. Pendidikan di pasraman dapat dilihat sebagai upaya
pemertahanan identitas kelompok di tengah kaum mayoritas.
Di samping organisasi keadatan, ditemukan juga organisasi kecil yang
disebut sekaa „kelompok‟. Kelompok tani, sekaa makidung „kelompok
bernyanyi‟, sekaa janger „kelompok tari‟, sekaa tabuh „kelompok orkestra‟, dan
sekaa maslisian „kelompok panen‟ mudah ditemukan. Kelompok yang paling
unik adalah sekaa sémér „kelompok sumur‟ atau kelompok ai „kelompok air‟.
Kelompok sumur di Plampang beranggotakan lima hingga delapan kepala
keluarga yang secara bergantian bertugas memeriksa bak dan pipa dari sumur ke
84
rumah-rumah dan ladang gembala. Air sumur ditampung dalam bak besar
sebelum digunakan untuk MCK.
4.5 Adat dan Budaya Religi
Transmigran Bali masih mempertahankan adat dan budaya daerah asal
dalam hal pola penataan pekarangan rumah yang mengaplikasikan konsep Asta
Kosala-Kosali „aturan tata ruang‟. Pekarangan disimbolkan sebagai tubuh yang
memiliki bagian kepala, badan, dan anggota. Arah terbitnya matahari atau gunung
diidentikkan dengan kepala sehingga dijadikan tempat bangunan suci. Arah
terbenamnya matahari atau laut dipandang ruang kotor yang dimanfaatkan untuk
lokasi dapur, kamar mandi, atau kandang ternak. Bagian tengah pekarangan
merupakan rumah tinggal. Di situ tidak ditemukan jineng „lumbung padi‟ atau bale
adat yang berfungsi religius. Pada lingkup desa terdapat pura Kahyangan Desa
dan pura kelompok. Pura kelompok yang ditemukan di setiap sentra adalah pura
Penyawangan Dalem Nusa atau Penataran Dalem Péd sebagai tempat pemujaan
figur Ratu Gede Mas Macaling.
Tata cara pelaksanaan piodalan pura tampak unik karena sebagian besar
bahan upacara merupakan donasi masyarakat. Barang yang dapat disumbangkan
di antaranya, semat, janur, kayu bakar, jajan, tebu, daun pisang, pisang, wakul,
tamas, ceper, atau kelapa, di samping dua kilogram beras dan uang sebesar Rp
10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai sumbangan wajib. Upacara umumnya
dilaksanakan secara sederhana sesuai dengan ajaran Siwa Bhuda, tanpa rangkaian
nyejer „perayaan hari kedua atau ketiga‟ atau makemit „berjaga di pura‟. Aktivitas
masaiban „menghaturkan persembahan harian‟ di tingkat keluarga jarang
85
ditemukan. Mabanten canang dilakukan pada sanggah atau pelinggih pada hari-
hari tertentu. Perayaan otonan „hari lahir‟, upacara penghargaan terhadap hewan
piaraan, tumbuhan, peralatan besi yang biasanya dilakukan pada tumpek menurut
kalender Bali sudah mulai ditinggalkan. Tradisi tabuh rah „sabung ayam‟
cenderung digantikan dengan kelapa dan telur.
Pengelolaan tradisi keadatan pada tingkat desa adat dilakukan oleh
pangurus adat dan paguyuban pamangku. Dua organisasi itu bekerja bersinergi
untuk kepentingan bersama.
Pengurus desa adat bertugas untuk menjalankan tugas keadatan. Organisasi
itu dipimpin oleh ketua adat yang disebut klian adat atau bendesa. Dalam
menjalankan tugas, ketua adat dibantu oleh sekretaris, bendahara, juru arah dan
serati. Pengurus adat adalah penanggung jawab atau penggerak dalam
melaksanakan ritual sebagaimana rencana yang telah disepakati oleh pihak
pamangku dengan pangurus adat. Oleh karena itu, pada setiap perencanaan ritual,
ketua adat harus berkordinasi dengan pihak pamangku yang akan nganteb
„menyelesaikan, memimpin ritual‟. Sekretaris bertugas mendokumentasikan hasil-
hasil rapat. Bendahara bertanggung jawab menghimpun dana warga dan
mendistribusikannya sesuai dengan keperluan. Juru arah bertugas menyampaikan
hasil rapat kepada anggota atau kepada ketua tempekan. Serati bertanggung jawab
dalam pengadaan sarana ritual. Biasanya serati dikordinasi oleh istri pamangku.
Sebagai pengabdi sosial, ketua adat, sekretaris, bendahara, juru arah dan serati
dibebaskan dari urunan „kewajiban‟ anggota.
86
Paguyuban pamangku adalah organisasi yang beranggotakan para
pamangku pura yang dipuja oleh seluruh komunitas, seperti pamangku pura
Puseh, pura Desa, pura Dalem dan pura Prajapati. Pamangku dipilih dengan
memperhatikan garis keturunan. Artinya, orang yang berasal dari keluarga
pamangku diharapkan bersedia ngayah „mengabdi‟ setelah kasungkemin
„disyahkan‟. Selain menjalankan tugas memimpin upacara, pamangku
berkewajiban memelihara kebersihan area pura. Sebagai imbalan pengabdiannya,
pamangku mendapat hak guna pakai laba pura „tanah milik pura‟ Luas tanah laba
yang berlokasi di samping pura itu umumnya tidak kurang dari setengah hektar.
Paguyuban pamangku dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh
masyarakat melalui bendesa adat dan kelompok pamangku Kahyangan Desa.
Pertimbangan penunjukan mencakup kemampuan dalam penguasaan mantra, tata
cara upacara, niwakang dewasa ‟menghitung hari baik‟, memberi pencerahan
agama, dan aspek lain. Ketua paguyuban pamangku bertanggung jawab secara
langsung pada setiap pelaksanaan ritual sejak tahap persiapan hingga selesai. Bila
berhalangan, ketua pamangku dapat menugaskan pamangku lain untuk
menyelesaikan ritual atau membagikan tugas kepada pamangku lain bila ada
kegiatan yang membutuhkan beberapa penyelesaian atau berlangsung pada waktu
yang bersamaan. Secara rinci ketua paguyuban pamangku memiliki tugas utama
sebagai berikut:
(a) memimpin upacara yang berskala desa adat dan menjaga kesucian pura;
(b) membina pamangku lain dalam pemahaman keagamaan;
(b) mewakili komunitas pada organisasi kerukunan umat beragama;
87
(c) menanamkan pengetahuan keagamaan dan tradisi bagi kaum muda;
(d) menjawab pertanyaan kelompok lain terkait kebiasaan keetnisan.
Isu sentral yang sering dipertanyakan oleh etnis lain adalah pengesahan
pernikahan, konsep banyak pura, kitab suci, makna banten, dan prosesi
pembakaran jasad. Sebagian besar pamangku mengikuti paham Siwa Bhuda yang
mementingkan kesucian niat di atas kompleksitas sarana. Hal itu diidentikkan
dengan mendengarkan swaraning wong pejah ‟suara orang mati‟ atau membaca
lontar tanpa sastra ‟lontar tak bertulis‟. Tampaknya, tatwa ‟filsafat agama‟
mendapat perhatian utama dibandingkan dengan prasarana.
4.6 Kebahasaan
Sebagai alat komunikasi antarkomunitas digunakan Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia juga digunakan ketika menerima tamu atau orang tak dikenal,
berbicara di tempat umum, atau saat bepergian ke luar desa. Terhadap komunitas
lokal digunakan bahasa campuran Samawa dan Indonesia.
Dalam interaksi internal kelompok digunakan Bahasa Bali dengan dua
dialek, yakni basa Nusa ‟Lek Nusa‟ dan basa Bali ‟dialek Bali dataran‟. Lek Nusa
mendominasi sistem komunikasi mengingat sebagian besar transmigran berasal
dari Nusa Penida dan sekitarnya. Mereka rata-rata tidak fasih berbahasa Bali dan
enggan mempelajari tingkatan bahasa yang rumit. Kelompok Nusa menggunakan
bahasa yang tidak mengenal tingkatan dan dilantunkan dengan aksen khas.
Mereka merasa tidak pantas berbahasa Bali karena berprofesi sebagai tani kui
„petani bodoh‟. Penutur Bahasa Bali diidentikkan dengan kaum cendikia yang
88
menjunjung tata kesopanan. Berikut ditampilkan struktur pronomina Bahasa Bali
lek Nusa.
Tabel 4.2
Struktur Pronomina Lek Nusa
Pronomina Subjek Komplemen Posesif
I Tunggal kola /k:l / la / l / la / l /
Jamak éba /èb/ ba /b/ ba /b/
II éda /èdə/ da /də/ da /də/
III éa /èyə/ éa /èyə/ éa /èyə/
Berdasarkan tabel (4.2) di atas diketahui bahwa bentuk pronomina dalam
lek Nusa memiliki bentuk khas dan berbeda dengan Bahasa Bali dialek daratan.
Bentuk pronomina itu tidak lazim digunakan oleh penutur ahasa Bali. Contoh
pemakaian pronomina disajikan di bawah ini.
(4.1) a. Mémék la ngladang
Ibu-DEF 1TG -ladang
„Ibu saya bekerja di ladang‟
b. Ea nyagor da kanti besoh
3TG -pukul 2TG KONJ bengkak
„Dia memukul kamu hingga bengkak‟
c. Kola maléang tuék la klambi
1TG -beli nenek 1TG baju
„Saya membelikan nenek saya baju‟
Klausa (4.1) menunjukkan pemakaian pronomina la „milik saya‟, éa „dia‟,
da „kamu‟, dan kola „saya‟ yang masing-masing berfungsi sebagai possesor (a),
89
Subjek dan Komplemen (b), dan benefaktif (c). Klausa (a) memiliki predikat
ngladang „ke ladang atau bekerja di ladang‟ merupakan klausa nominal yang
berasal dari nomina ladang dan dilekati pemarkah verba aktif {-}. Ngladang
dapat disejajarkan dengan melaut dalam Bahasa Indonesia, yakni Predikator dan
lokatif berfusi yang merujuk pada kebiasaan atau mata pencaharian. Pada klausa
tersebut terjadi perubahan peringkat (rank shift), artinya, ngladang dapat dilihat
sebagai bentuk gabungan frasa verbal dan frasa adverbial yang menjalankan
fungsi sebagai predikat. Predikat nyagor „memukul‟ (b) dan meleang
„membelikan‟ (c) sepadan dengan verba nyagur dan meliang pada Bahasa Bali
dialek daratan. Bunyi vokal ke dua pada verba nyagur dan meliang tampak
memperoleh pelemahan.
Di samping perbedaan pronomina, lek Nusa juga memiliki kosakata yang
khas, seperti ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel 4.3
Kosakata Bahasa Bali Lek Nusa
No Bahasa Bali Arti
Lek Nusa Dialek dataran
1. 1 bletok bényék kotor, berlumpur
2. 2 tua pekak kakek
3. 3 jaha dija ke mana
4. 4 lépéh kenyel lelah
5. 5 marau won payah
6. 6 ndok tusing tidak
7. 7 ngahot ngugut menggigit
8. 8 ngamah madaar makan
90
Tabel (4.3) menampilkan kosakata lek Nusa yang dipakai dalam pergaulan
sehari-hari. Verba ngamah „makan‟ dipakai secara luas, sedangkan pada Bahasa
Bali dialek daratan verba ngamah diperuntukkan bagi hewan atau dipakai sebagai
kata makian.
Ditinjau dari sudut fonologis, proses pengenduran vokal ditemukan dalam
frekuensi yang tinggi. Fitur unik lain adalah pemertahanan bunyi frikatif /h/ di
tengah suku kata yang biasanya dilesapkan pada dialek daratan. Proses fonologis
ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 4.4
Pergeseran Vokal
No. Lek Nusa Bahasa Bali Arti
1. kuhud kuud kelapa muda
duhi dui duri
2. nyahét nyait menjahit
jahé jaé jahe
3. barong bareng ikut
badong badeng hitam
4. tebol tebel tebal
besoh beseh bengkak
sékot seket lima puluh
5. getéh getih darah
lebéh lebih lebih
besék besik satu
6. séap siap ayam
91
léma lima lima
7. oyah uyah garam
opin upin tiup
8. bongkong bungkung cincin
olong ulung jatuh
9. ékoh ikuh ekor
10. sempi sampi sapi
Tabel (4.4) menunjukkan variasi bunyi vokal dan semivokal pada lek
Nusa. Bunyi frikatif /h/ (1, 2) pada posisi di antara dua vokal, seperti tampak
pada [duh] dan [jah] dipertahankan pada lek Nusa. Akan tetapi, hampir semua
bunyi vokal yang memiliki ciri silabis atau puncak kenyaringan mendapat
pergeseran tempat artikulasi. Pada (3, 4) fonem /ə/ pada posisi final dibundarkan
menjadi //. Kata [badə] dibunyikan [bad] akibat pengaruh vokal bawah /a/
yang mendahuluinya. Bunyi /ə/ yang tergolong vokal tengah mengalami
pembulatan menjadi vokal belakang bila berada pada suku terakhir, sedangkan
bunyi /ə/ pada suku posisi awal tetap dipertahankan seperti [bəsh]. Pada (5, 6)
tampak fonem /i/ yang yang tergolong vokal tinggi depan dikendurkan menjadi
vokal tengah //. Pengenduran berlaku juga pada bunyi tinggi depan /i/ pada suku
pertama ataupun suku kedua, seperti pada kata /gəth/ dan /sap/. Pada (7, 8)
fonem belakang bulat tinggi /u/ di posisi awal ataupun tengah dikendurkan
menjadi vokal tengah belakang //, misalnya [uyah] dibunyikan [yah] dan
[buku] dibunyikan [bk]. Pada (9), kata [ikuh] dibunyikan [kh] setelah
92
melewati proses pelemahan secara harmoni, yakni bunyi inisial /i/ dilemahkan
menjadi // dan bunyi /u/ dilemahkan menjadi //. Pelemahan juga dapat dilihat
pada kata [sampi] yang dibunyikan [səmpi].
93
BAB V
STRUKTUR SKEMATIK
5.1 Pengantar
Sebagai bahasa yang menjalankan fungsi, setiap teks selalu memiliki
skema tertentu yang menjelaskan ranah. Skema yang dimunculkan dapat
digunakan oleh pelibat lain mengenali ranah pembicaraan. Selanjutnya, skema
percakapan dapat menuntun pelibat untuk memberi respon yang sesuai. Eggins
(1994: 26) mendefinisikan ranah (genre) sebagai wadah atau cara yang
berorientasi pada tujuan atau aktivitas yang bertujuan dalam cara-cara yang sesuai
dengan budaya pembicara. Realisasi suatu ranah mengacu pada bagaimana
sesuatu dilaksanakan dengan bahasa ketika bahasa digunakan untuk mewujudkan
tujuan tertentu. Dengan demikian, suatu ranah tertentu memiliki struktur generik
yang khas dilihat dari tahap-tahapan atau pilihan leksikon yang digunakan. Pola
penahapan dan langkah kerja yang dilakukan oleh suatu kelompok mencerminkan
kebiasaan kelompok bersangkutan untuk merealisasikan suatu ranah. Jadi, tahap-
tahapan memiliki kontribusi positif dalam merepresentasikan ranah ke dalam
teks.
Secara teoretis, struktur skematik merupakan cara atau tahap pergerakan
dari A ke B pada suatu budaya untuk menunjukkan fungsi bahasa pada budaya
yang bersangkutan. Dalam upaya mencapai suatu maksud itulah, suatu komunitas
memiliki tata cara yang dapat saja berbeda dengan komunitas lainnya. Misalnya,
pada transaksi jual-beli dibutuhkan tahapan yang berbeda dengan teks
94
mendongeng atau bertaruh. Singkatnya, skema tahapan merupakan urutan
kegiatan dalam merealisasikan suatu ranah dalam menjalankan fungsinya. Jadi,
struktur skematik mencakup penahapan seluruh peristiwa teks, baik menyangkut
struktur bahasa, struktur makro, maupun struktur mikro.
Perbedaan tahapan dan langkah kerja tergantung pada budaya dan situasi
yang melatarbelakanginya. Situasi seperti apa yang dibicarakan, cara pelibat
membicarakannya, dan partisipan yang terlibat dalam situasi tersebut dijiwai oleh
budaya komunitas bersangkutan. Ranah sebagai konteks budaya selanjutnya
direalisasikan dalam konteks situasi yang ada di bawahnya. Konteks situasi itu
terdiri atas tiga komponen berikut (Eggins, 1994: 52).
(1) Medan (field) yakni unsur yang merujuk pada sesuatu atau peristiwa yang
sedang terjadi yang di dalamnya terlibat pembicaraan dengan media bahasa.
(2) Pelibat (tenor) mengacu pada orang-orang yang terlibat dalam peristiwa
bahasa, peran pelibat, kedudukan para pelibat, jenis hubungannya dengan
pelibat lain yang mempunyai arti penting dalam peristiwa yang tengah
berlangsung.
(3) Sarana (mode) merujuk pada peran yang dimainkan oleh bahasa yang
dipakai oleh para pelibat.
Struktur skematik tidak hanya mencakup rangkaian peristiwa pembentuk
teks, tetapi juga struktur struktur konstituen dan label fungsi. Struktur konstituen
adalah tata urutan konstituen pembentuk teks. Label fungsi adalah fungsi yang
dijalankan oleh klausa tertentu untuk mendukung fungsi yang lebih besar, baik
yang berkaitan dengan fungsi formal gramatika maupun fungsi semantik
95
fungsional. Teks tidak diukur dari jumlah kata yang digunakan, tetapi
kompleksitas fungsi dalam interaksi sosial. Dalam sudut pandang fungsi, sebuah
teks diibaratkan buku, yang secara formal tersusun atas beberapa bab, dan secara
fungsional tersusun atas bagian-bagian yang saling berkaitan. Bagian-bagian itu
ada yang menjalankan fungsi sebagai pembukaan, isi, atau penutup. Lebih lanjut,
setiap bagian tersebut juga mengemban fungsi tertentu, seperti tujuan, latar
belakang, argumentasi dan lain-lainnya (Eggins, 1994: 37).
Pandangan fungsional didukung pula oleh Larson (1998: 383) yang
menyatakan bahwa suatu teks terdiri atas proposisi, yakni konsep-konsep yang
berupa unit-unit semantik yang dikomunikasikan. Dari konsep-konsep tersebut
ada yang bertindak sebagai konsep sentral dan yang lainnya adalah konsep yang
berkaitan dengan konsep sentral tersebut. Konsep-konsep dapat dikelompokkan
berdasarkan klaster proposisi sehingga terbentuk episode sesuai dengan struktur
semantiknya. Dengan demikian, suatu teks pada dasarnya tidak hanya memiliki
tata urutan tahap-tahapan teks yang lebih kecil, tetapi setiap teks besar,
menengah, dan kecil juga memiliki fungsi yang mencerminkan kepaduan di antara
komponen-komponennya.
5.2 Struktur Kebahasaan
Dari segi kode bahasa yang digunakan, TNNGB tergolong teks yang
menggunakan kode bahasa majemuk. Teks disusun oleh teks-teks yang lebih
kecil yang dikodekan dengan satu hingga tiga bahasa. Pada setiap tahapan selalu
dimunculkan kode bahasa aktif, Bahasa Bali. Pada fase tertentu Bahasa Bali
96
dikombinasikan dengan bahasa pasif, di antaranya, Bahasa Sanskerta atau Bahasa
Sanskerta dan Bahasa Jawa Kuna. Dengan demikian, pelapisan struktur
kebahasaan TNNGB terdiri atas bahasa aktif yang dikombinasikan dengan bahasa
pasif yang berstatus nonmedia interaksi. Pemakaian bahasa pasif dapat dilihat
sebagai media memasuki ranah sensitif ketika seseorang berdoa, memuja, dan
memohon perlindungan Tuhan. Penguasaan bahasa pasif umumnya bersifat pasif,
dalam arti tuturan yang dilantunkan tidak dipahami secara harfiah. Bentuk
ekspresi bahasa pasif cenderung berupa sloka, yakni bait mantra yang terdiri atas
beberapa baris pada setiap bait. Kode bahasa itu biasanya dikutip dari
pendahulunya, buku petunjuk dari PHDI, dan sumber lain. Jadi, penggunaan
klausa bahasa pasif merupakan klausa yang tidak dirancang secara mandiri.
Kosakata Bahasa Bali lek Nusa tidak dimunculkan dalam teks. Hal itu
dapat dilihat sebagai pemilahan bahasa pergaulan dari bahasa ritual. Kosakata
pinjaman dari Bahasa Sumbawa, Bahasa Sasak, Bahasa Bugis, atau Bahasa Bima
juga tidak ditemukan. Akan tetapi, kosakata Bahasa Indonesia banyak dipinjam
pada fase persiapan.
Secara umum, bahasa yang digunakan pada fase persiapan adalah
Bahasa Bali ragam hormat dan dapat didahului salam pembuka berbahasa
Sanskerta Om swastiastu ‟semoga diberkahi Tuhan‟. Beberapa kosakata Bahasa
Indonesia yang kerap dimunculkan, di antaranya, terima kasih, cuaca, usulan,
tokoh agama, masyarakat, tugas, masalah, waktu, rapat, ketua adat, dan
sebagainya.
97
Setelah menyelesaikan fase persiapan, dimunculkan struktur kombinasi
tiga bahasa, masing-masing Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuna, dan Bahasa
Bali. Kombinasi itu ditemukan pada monolog fase puncak dan penutup. Pada
setiap bait tuturan berbahasa Sanskerta dan Jawa Kuna diawali dengan aksara suci
Om. Akasara suci merupakan simbol kekuasaan Tuhan sebagai pencipta,
pemelihara dan pelebur semesta. Om merupakan penyandian dari Am, Um, dan
Mam. Dalam pengucapannya, Om kerap diucapkan Ong yang mengacu pada
bentuk sandi dari Ang, Ung, dan Mang. Pamangku tampak lebih memilih bentuk
Ong untuk mendapatan bunyi yang ngereng ‟berkharisma‟. Kedua bentuk itu
mengacu pada kemahakuasaan Sang Hyang Widhi ‟Tuhan‟.
Variasi kode bahasa dalam teks dapat dikaitkan dengan fungsi antarpelibat
(Halliday dan Hasan, 1985: 16), yakni bahasa difungsikan sebagai sarana untuk
menyatakan relasi sosial. Relasi yang dimunculkan meliputi identitas diri, dan
kedekatan hubungan dengan mitra wicara. Pemakaian struktur bahasa aktif pasif
mencerminkan struktur relasi antarpelibat dalam strata berbeda. Kode bahasa pasif
mencerminkan jauhnya jarak antara manusia dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tuhan dimuliakan dan dipuja atas kemahakuasaan-Nya. Dengan bahasa pasif
manusia memohon pengampunan atas kekeliruan pada berbagai aspek.
Permohonan penyucian juga ditujukan atas debu kotor dan dosa. Dengan tipe
relasi vertikal, manusia memohon perkenan Tuhan dalam memberi perlindungan.
Proses permohonan pengampunan berlangsung berulang-ulang yang menunjukkan
sedemikian kotor dan tercelanya manusia dibandingkan Tuhan. Bait sloka yang
dilantunkan didominasi oleh pernyataan papa ‟alpha‟ dan memohon bimbingan
98
Tuhan. Sebagian besar tuturan berbahasa Sanskerta tidak dipahami secara harfiah
tetapi dipilih dalam hubungan hamba dan Penguasa semesta.
Pengalihan kode dari bahasa pasif ke bahasa aktif dapat dilihat sebagai
bentuk jalinan relasi vertikal yang diteruskan dengan relasi horizontal. Pengalihan
kode mencerminkan keberhasilan menjalin relasi dengan Tuhan dan manifestasi-
Nya sehingga pada bagian berikutnya dapat diupayakan tipe relasi horizontal yang
menautkan manusia dengan entitas yang setara. Kesetaraan itu tercermin dari kata
sandang yang digunakan, yakni I dan Ih. Pada masyarakat Bali kata sandang I
biasanya dipergunakan di depan nama laki-laki, sedangkan Ni untuk perempuan.
Kata sandang Ih dapat dipergunakan untuk memperoleh perhatian pihak yang
dimaksud. Dapat disimpulkan bahwa pemakaian Bahasa Sanskerta dan Bahasa
Bali Kawi dijadikan media menjalin harmoni dengan Sang Pencipta, sedangkan
dalam upaya menjalin harmoni dengan figur setara digunakan Bahasa Bali. Jadi,
ekspresi doa dan pemujaan dikodekan dengan bahasa yang berbeda dengan
ekspresi permintaan bantuan. Relasi ke atas diciptakan terlebih dahulu dengan
harapan permintaan bantuan dapat terkabulkan.
Berikut ditampilkan skema kebahasaan pada fase persiapan, puncak, dan
penutup (Data B2/A2).
Kode Bahasa Skema Bahasa Fase Persiapan
Sanskerta
Bali
Pembukaan …Om swastiastu. Napi wénten pak klian?...
„Salam. Ada berita apa, pak ketua adat?
Bali Inti …Kénten jero, niki jaga wénten kegiatan kerja
bakti ring pura Pucak. Kénten, duaning
99
pelinggih duéné sane kasendér jebol keni ujan
tiap-tiap hari. Mangkin duaning kénten titiang
nunasang mangda nunas embang …
„Begini jero (HON), ada rencana melakukan
kerja bakti memperbaiki pura yang longsor
terkikis hujan. Oleh sebab itu, saya minta agar
anda melakukan tolak hujan‟
Bali Penutup …Nggih jero. Mangkin titiang pamit jero
mangku, suksma...„Baiklah, jero (HON).
Sekarang saya mohon diri. Terima kasih‟
Kode Bahasa Skema Bahasa Fase Puncak dan Penutup
Sanskerta Pembukaan Om awignam astu nama sidyam…
„Ya Tuhan, semoga tiada rintangan‟
…Om sabda bayu idep sudanta wiguna…
„Ya Tuhan, semoga kata-kata, tenaga dan
pikiran hamba tertuju pada kebaikan.
…Om pertama suda, dwitya suda, tritya suda,
catur tisuda, panca misuda, sad tisuda, sapta
misuda…
„Ya Tuhan, pertama suci, kedua suci, ketiga
suci, keempat suci, kelima suci, keenam suci,
ketujuh suci‟. Ya Tuhan Yang Maha suci
semoga kesucian-Mu dapat menyucikan hingga
tujuh lapis cela dan dosa manusia‟
Jawa Kuna
Bali Inti …Om pakulun Ratu Sanghyang Agama, naweg
titiang tangkil ngaturang bakti...
„Ya Tuhan, Engkau Yang Maha Benar, hamba
menghadap padaMu dengan rasa bakti.
Sanskerta Penutup Om sidirastu tatastu werdiastu.
„Ya Tuhan, semoga kami terbebas dari berbagai
rintangan, mendapat kebahagiaan dan
kemajuan‟
100
Berdasarkan contoh tuturan yang digunakan pada fase persiapan, puncak,
dan penutup, struktur kebahasaan TNNGB dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Tabel 5.1
Struktur Kebahasaan TNNGB
No. Fase Pembukaan Isi Penutup
1 Persiapan (Sanskerta) Bali ^ Bali ^ Bali
2 Puncak Sanskerta ^ Jawa Kuna
Bali ^ Sanskerta
3 Penutup Sanskerta ^ Jawa Kuna
Bali ^ Sanskerta
Struktur kebahasaan TNNGB seperti ditunjukkan tabel (5.1) menyatakan
bahwa struktur bahasa fase persiapan didominasi oleh tuturan berbahasa Bali.
Sementara itu, fase puncak dan fase penutup dikodekan dengan mengombinasikan
Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuna, dan Bahasa Bali. Jadi, struktur kebahasaan
TNNGB menggunakan Bahasa Bali yang dikombinasikan dengan bahasa pasif,
seperti ditunjukkan gambar berikut.
Gambar 5.1: Struktur Bahasa TNNGB
Berdasarkan struktur bahasa (5.1) dapat dipahami bahwa teks TNNGB
yang digunakan oleh komunitas transmigran Bali memertahankan bahasa daerah
Sanskerta
Jawa Kuna
Bali
101
yang dibawa dari Bali. Unsur Bahasa Sanskerta dan Bahasa Jawa Kuna ditemukan
pada bagian non-inti fase puncak ritual dan fase penutup (panyineb). Bahasa itu
ditempatkan pada bagian pembukaan atau bagian penutup, sedangkan inti
permohonan dituturkan dalam Bahasa Bali. Teks bersifat terbebas dari kosakata
bahasa-bahasa yang hidup di sekitarnya. Kondisi ini mendukung temuan Malini
(2010) yang menyatakan bahwa kelompok transmigran tetap mempertahankan
bahasa dan tradisi yang bersifat sensitif. Kombinasi bahasa aktif dan pasif
semacam itu dapat dipandang sebagai struktur baku teks ritual etnis Bali.
5.3 Struktur Formal
Ditinjau dari sudut pandang formal, TNNGB dapat dikategorikan sebagai
teks permohonan. Hal itu diperkuat dengan dominasi permintaan pengampunan,
perlindungan, bantuan, dan berkah pada puncak teks. Permohonan itu tidak
bersifat permintaan individu tetapi harapan komunal yang difasilitasi oleh seorang
pelibat kunci. Permohonan yang disampaikan diperuntukkan bagi kepentingan
bersama sebagai kesatuan kelompok petani tadah hujan dan keberlangsungan
hidup seluruh umat manusia. Jadi, kebahagiaan yang dimohonkan bersifat
universal.
Struktur formal mengacu pada komponen-komponen teks sebagai bagian
dari keseluruhan. Secara formal teks memiliki tata cara pelaksanaan yang
dilakukan secara konvensional. Pelaksanaan teks neduh dapat memiliki tahap
pelaksanaan yang berbeda dari satu wilayah pemukiman dengan wilayah lainnya.
Ditemukan variasi tahapan yang terdiri atas empat, lima, atau tujuh tahapan,
102
bahkan dalam kondisi sangat mendesak dapat dilaksanakan dengan dua tahapan.
Pelaksanaan dengan empat tahapan terdiri atas tahap marembug ‟diskusi‟,
sangkep pangurus ‟rapat pengurus‟, mapengarah ‟menyampaikan hasil rapat‟,
dan neduh ‟mohon hujan‟. Pelaksanaan teks dalam lima tahap mencakup
nanginin pamangku ‟mengundang pamangku‟, sangkep pangurus ‟rapat pengurus
desa‟, nauhin juru arah ‟menugaskan penyampai berita‟, mapengarah
‟menyampaikan hasil rapat‟, dan neduh ‟mohon hujan‟. Pelaksanaan dengan tujuh
tahap merupakan pola yang paling rumit terdiri atas tahap rarembugan ‟diskusi‟,
nanginin pamangku ‟mengundang pamangku‟, sangkep pangurus ‟rapat‟, nauhin
serati ‟menugaskan tukang sajen‟, nauhin juru arah ‟menugaskan penyampai
berita‟, mapengarah ‟menyampaikan hasil rapat‟ dan neduh ‟mohon hujan‟.
Mencermati frekuensi pelaksanaan teks tampak bahwa pola pelaksanaan dalam
empat tahap merupakan struktur formal yang paling dominan. Tabel berikut
menunjukkan variasi tahapan teks neduh ‟panggil hujan;.
Tabel 5.2
Variasi Tahapan Neduh
Fase Persiapan Fase
Puncak
Kode 1 2 3 4 5 6 7
A1 Marembug Sangkep pangurus
Mape-
ngarah
Neduh
A2 Nanginin
pamangku
Sangkep pangurus
Nauhin
juru arah
Mape-
ngarah
Neduh
A3 Rarembug-
an
Nanginin
pamangku
Sangkep
pangurus
Nauhin
serati
Nauhin
juru arah
Mape-
Ngarah
Neduh
103
Berdasarkan tabel (5.2) tahap pelaksanaan teks neduh ‟panggil hujan‟
menunjukkan kesamaan pada tahap awal. Ketiga variasi dimulai dengan diskusi
antara ketua adat atau bendesa dan ketua pamangku. Diskusi awal itu kemudian
ditindaklanjuti dengan diskusi yang lebih intensif yang menghadirkan semua
pamangku Kahyangan Desa dan pengurus desa adat. Tahap sangkep ‟rapat‟ itu
digunakan sebagai ajang membahas segala seluk beluk rencana pelaksanaan teks,
termasuk penentuan sarana yang dibutuhkan. Selanjutnya, hasil rapat pengurus
harus disosialisasikan oleh juru arah kepada seluruh anggota atau ketua
kelompok.
Perbedaan yang menonjol dari tiga variasi tahapan di atas adalah hadir-
tidaknya serati ‟tukang sajen‟ dan juru arah pada rapat pengurus. Artinya,
komunitas yang memperlakukan serati ‟tukang sajen‟ dan juru arah sebagai
bagian dari pengurus desa memiliki tahapan yang lebih sederhana. Teks nauhin
serati dan nauhin juru arah disatukan dalam teks sangkep pengurus ‟rapat
pengurus‟. Sebaliknya, bila dua peran tersebut tidak diposisikan sebagai pengurus
desa dimunculkan teks nauhin serati dan teks nauhin juru arah tersendiri yang
berdampak pada penambahan jumlah tahapan. Dengan demikian, struktur formal
teks neduh dapat diringkas menjadi 4 tahap berikut.
Gambar 5.2: Struktur Formal Teks Neduh
1 2 3 4
Marembug Sangkep Pangurus Mapengarah Neduh
104
Gambar (5.2) menunjukkan prosedur formal pelaksanaan teks neduh. Tiga
tahapan pertama, masing-masing, marembug, sangkep pangurus dan mapengarah
digolongkan sebagai fase persiapan. Tahap sangkep pangurus merupakan tahap
inti dari fase persiapan, tempat segala seluk beluk teks dibicarakan, seperti
penentuan waktu pelaksanaan, sarana, dan pelibat. Tahap neduh merupakan fase
puncak dalam teks panggil hujan.
Berbeda dengan teks neduh yang cenderung dilakukan secara rutin, teks
nyelang galah sangat jarang dipraktikkan karena: (a) sangat sedikit ritual berskala
besar yang dilakukan warga, (b) curah hujan sangat kecil sehingga teks tolak
hujan tidak dibutuhkan, dan (c) hujan cenderung dipandang sebagai berkah
daripada gangguan. Teks nyelang galah dapat dilaksanakan dalam empat tahapan,
yakni tahap mapinunas ‟meminta bantuan‟, ngaturang pejatian ‟menyerahkan
sarana‟, nyelang galah ‟tolak hujan‟, dan panyineb ‟penutup‟. Dua tahapan
pertama tergolong fase persiapan. Fase puncak direalisasikan dengan teks
nyelang galah ‟tolak hujan‟, sedangkan fase penutup direalisasikan dalam teks
panyineb ‟penutup‟. Pola penahapan teks nyelang galah ditampilkan pada
gambar berikut.
Gambar 5.3: Struktur Formal Teks Nyelang Galah
1 2 3 4
Mapinunas Ngaturang Pajatian Nyelang Galah Panyineb
1 2 3 4
1 2 3
105
Tahapan teks nyelang galah seperti ditunjukkan gambar (5.3) bersifat
baku. Artinya, tidak ada tahap yang dapat ditanggalkan atau ditambahkan.
Kegagalan pada tahap mapinunas berdampak pada kegagalan memasuki tahap
berikutnya. Biasanya pemangku sangat selektif melakukan teks tolak hujan karena
dipandang bersifat menguntungkan secara parsial, sedangkan pihak lain tidak
diperhitungkan.
5.4 Struktur Makro
Setiap teks memiliki komponen-komponen yang bersifat menjelaskan
identitas teks, terutama konteks situasi yang melatarbelakanginya. Tidak ada teks
yang dapat dilepaskan dari konteks sebagai lingkungannya. Kaitan teks dengan
elemen konteks dipadankan dengan struktur makro. Konteks medan menjelaskan
tipe atau jenis peristiwa kebahasaan yang terjadi. Konteks pelibat menjelaskan
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa, kedudukan, dan hubungannya dengan
pelibat lain, sedangkan konteks sarana menjelaskan peran bahasa dalam peristiwa
bahasa dalam menjalankan fungsinya.
Struktur makro TNNGB mengaitkan teks dengan konteks medan, pelibat,
dan sarana sebagai elemen situasional, termasuk status pelibat yang wajib hadir
(Pw) maupun pelibat tidak wajib (Ptw), seperti tampak pada tabel di bawah ini.
106
Tabel 5.3
Struktur Makro Teks Neduh
No Fase Tahap Medan Pelibat Cara
1. Persiap
-an
Marembug Diskusi Pw: Ketua adat
Ketua pamangku
Percakapan
Semuka
Ptw: Sekretaris
Pamangku
Kahyangan Tiga
2. Sangkep
Pengurus Rapat Pw : Ketua adat
Ketua pamangku
Pamangku
Kahyangan Tiga
Pengurus adat
Percakapan
semuka
Ptw: Serati
Juru arah
Pamangku pura
Ulun Suwi
Ketua kelompok
3. Mape-
ngarah Pemberi
-tahuan
Pw: Juru arah
Warga
Percakapan
semuka
Ptw : -
4. Puncak Neduh Mohon
hujan
Pw: Ketua pamangku
Pengurus adat
Percakapan
monolog
Ptw : anggota
kelompok
Seperti tampak pada tabel (5.3), struktur makro teks neduh terdiri atas
empat tahapan yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, marembug
‟diskusi‟ adalah kegiatan persiapan yang dilakukan dengan melibatkan dua pihak,
yakni pihak keadatan dan pihak kepamangkuan. Pihak keadatan diwakili oleh
ketua adat, sedangkan pihak kepamangkuan diwakili oleh ketua paguyuban
pamangku. Biasanya ketua adat datang menemui ketua pamangku di rumahnya
dan percakapan dilakukan dengan cara semuka. Pada dasarnya marembug
107
berfungsi untuk menyampaikan suatu permasalahan yang memerlukan tindak
lanjut. Diskusi awal menjadi tonggak kesepahaman antara ketua adat dan ketua
pamangku terkait dengan permasalahan yang perlu ditangani. Setelah mendapat
pemberitahuan awal itu, biasanya ketua pamangku segera memeriksa hari baik
untuk pelaksanaan teks ritual.
Kedua, teks sangkep pangurus ‟rapat pengurus‟ merupakan tahap
lanjutan dari teks marembug. Ketua adat mengundang pangurus desa untuk rapat
berkaitan dengan kondisi yang harus ditangani bersama. Pihak yang menghadiri
rapat terdiri atas pihak pamangku dan pengurus adat. Pamangku pura Puseh, pura
Desa, pura Dalem dan pura Mrajapati adalah pelibat wajib dari pihak
kapamangkuan. Di sentra tertentu pamangku pura banjar dan pura Ulun Suwi juga
dapat dihadirkan. Pengurus adat yang wajib hadir adalah klian adat ‟ketua adat‟,
sekretaris, bendahara, sedangkan serati ‟tukang sajen‟, dan juru arah ‟pengerah
masa‟ dapat diwakili oleh pengurus desa adat. Sangkep pengurus biasanya
dilaksanakan di rumah ketua pamangku dengan pola percakapan semuka.
Pada rapat pengurus, ketua adat bertindak sebagai pengatur pembicaraan
sehingga tidak ada pembicaraan yang tumpang tindih. Ketua paguyuban
pamangku bertindak sebagai nara sumber tunggal. Kehadiran beberapa pamangku
lain bertindak sebagai peserta yang cenderung menyetujui rencana yang diajukan
ketua pamangku. Langkah kerja dalam rapat dimulai dari memperoleh
kesepakatan untuk neduh. Jika semua pamangku sudah sepakat untuk melakukan
permohonan hujan, pembicaraan dilanjutkan dengan perencanaan waktu
pelaksanaan, pengadaan sarana, seleksi pelibat, dan penugasan. Rapat cenderung
108
bersifat kordinasi agar setiap pihak yang berperan penting dalam masyarakat dapat
memberi masukan seperlunya terhadap rencana pelaksanaan ritual. Hasil rapat
pengurus dicatat oleh sekretaris adat, sedangkan bendahara bertugas menyerahkan
dana pengadaan sarana. Serati sebagai petugas pengadaan sarana biasanya
menerima dana sebesar Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah).
Ketiga, mapengarah ‟pemberitahuan‟ merupakan kegiatan menyampaikan
hasil rapat pangurus kepada warga atau ketua kelompok yang diharapkan tahu
atau hadir dalam pelaksanaan ritual. Kegiatan mapengarah dilaksanakan oleh juru
arah pada anggota sesuai dengan kluster tempat tinggal. Dengan demikian, juru
arah tidak harus menempuh jarak yang jauh untuk melaksanakan tugasnya,
mengingat pemberitahuan harus dilakukan secara resmi, langsung, dari rumah ke
rumah. Pemberitahuan biasanya dilakukan dua hari sebelum pelaksanaan dengan
memuat unsur-unsur, seperti (a) jenis atau rencana kegiatan, (b) waktu dan
tempat pelaksanaan, (c) partisipan yang wajib hadir, dan (d) perlengkapan yang
harus dibawa.
Keempat, neduh ‟mohon hujan‟ merupakan tahapan puncak teks panggil
hujan. Biasanya suara kulkul ‟kentongan‟ menjadi tanda dimulainya ritual. Sarana
didistribusikan sebagaimana mestinya, sedangkan pajatian dan upah-upahan
ditata di atas tikar di natar ‟halaman‟ pura. Pelibat yang aktif pada fase puncak
adalah ketua paguyuban pamangku. Jadi, secara makro tampak bahwa ketua
pamangku memegang peran kunci sehingga rumahnya dijadikan tempat untuk
merencanakan teks dan petunjuknya tidak mendapat kritik dari pelibat lain.
109
Tahapan neduh dengan empat tahap di atas merupakan pelaksanaan yang
bersifat rutin dan dilaksanakan setiap awal musim tanam, atau menjelang bulan
basah (pertengahan Desember sampai pertengahan Januari), seperti diwariskan
oleh generasi sebelumnya. Petani meyakini bahwa hujan yang turun setelah
neduh bersifat sabeh merta ‟hujan berkah, hujan yang menghidupkan‟. Pada
kondisi tertentu, neduh dapat pula dilaksanakan dengan tahapan yang lebih
sederhana, khususnya pada teks neduh tahap dua dan neduh ulang. Neduh tahap
dua dapat dilakukan menjelang musim buah apabila jagung yang berumur 45 hari
belum menunjukkan bakal buah. Dalam konteks itu, ketua adat dan ketua
pamangku merencanakan ritual neduh tahap dua yang biasanya dilakukan pada
Januari atau Februari. Neduh tahap dua terdiri atas tiga tahapan, yakni,
marembug, mapengarah, dan neduh. Perencanaan neduh tahap dua tidak
memerlukan tahap sangkep. Artinya, keputusan diambil oleh ketua adat dan ketua
pamangku, tanpa melibatkan pamangku Kahyangan Tiga dan pengurus adat
lainnya. Pelaksanaannya diikuti oleh partisipan terbatas, misalnya ketua
pamangku, ketua adat dan ketua tempekan ‟kelompok‟. Pelaksanaan neduh yang
paling ringkas dilakukan dalam dua tahapan, yakni marembug dan neduh, tanpa
pelaksanaan teks sangkep dan teks mapengarah. Pelaksanaan teks neduh ulang
itu dilakukan sebagai koreksi apabila neduh di awal musim belum berhasil.
Kesuksesan permohonan biasanya dilihat dari turunnya hujan hingga hari ketiga
setelah pelaksanaan neduh. Terhitung hari keempat harus diupayakan
pengulangan teks neduh. Pelaksanaan neduh ulang merupakan inisiatif ketua
paguyuban pamangku terkait wangsit ‟firasat‟ yang diterima. Berbeda dengan
110
neduh rutin, neduh ulang dilaksanakan secara nyeraya ‟dilakukan secara diam-
diam, waktu petang hari‟ dengan melibatkan ketua pamangku dan pengurus adat.
Berikut ditampilkan teks marembug antara ketua adat dan ketua pamangku
pada neduh ulang (Data A2/1.2).
Pelibat Aktif Tuturan
Klian adat Swastiastu jero mangku.
‟Salam, jero mangku‟
Ketua pamangku Swastiastu. Mai negak dini jero.
Jak pedidi manten niki?
‟Salam. Mari duduk dahulu. Anda sendiri saja?‟
Ketua adat Nggih, suksma
‟Ya, terima kasih‟
Ketua pamangku Niki jero klian. Sané limang rahina kan sampun
krama sami neduh, nanging jantos mangkin durung
kapica. Minab Ida durung suéca dawegé nika. Yén
mangkin titiang ngamanah majumu buin. Titiang sada
kukuh niki. Ngiring je mapinunas malih. Pedalem
kramané yen kekéné terus napi ya katunas?.
‟Pak Ketua Adat, empat hari yang lalu kita sudah
melakukan ritual panggil hujan tetapi hingga saat ini
belum terkabul. Saya menduga Tuhan belum berkenan
saat itu. Sekarang saya bermaksud untuk
mengulangnya. Saya agak kukuh. Mari kita memohon
lagi. Kasihan warga kalau begini terus, bagaimana
mereka bisa makan?
Ketua adat Yakti nika mangku. Punapiang niki semetoné sami.
Titiang ten uning napi, sinah mangkin jero sane
tunasin pamargi malih.
‟Benar itu Mangku. Kita pakan saudara kita semua.
Saya tidak tahu apa-apa tentu saya berharap petunjuk
dari anda lagi‟
Ketua pamangku Kené beli, ane ibi sanja polih je tiang wangsit. Mogi
saja Ida mapica. Lan majumu.
‟Begini kakak, tadi malam saya mendapat firasat.
Semoga beliau berkenan. Mari mencoba lagi‟
Ketua adat Nggih, nyak sagét gelis wenten pica.
111
‟ya, semoga saja segera ada pemberian‟.
Ketua pamangku Ne pamargine kanggoang sada nyilib. Bin mani
nyoréang paek sandikala lan mapinunas ke Taman.
Sareng ajak pengurusé apang ada ajak ngaba baktiné.
‟Ini pelaksanaan diam-diam. Besok menjelang petang
kita memohon di pura Taman. Ajak dan pengurus
untuk membawa sarana permohonan‟
Ketua adat Nggih, tiang ngiring. Dadosné sapunapi indik
baktiné?
‟Baik, saya setuju. Bagaimana penggarapan sarana
permohonan?‟
Ketua pamangku Biyang mangku suba ngaryanang. Siagaang raga
tenaga ngaba banten manten.
‟Istri saya sudah menyiapkannya. Siapkan tenaga
untuk membawanya saja‟
Ketua adat Nggih, nggih. Wénten malih? Yén nénten tiang jagi
pamit ngenikin pangurusé dumun.
‟Ya, ada lagi? Bila tidak ada saya mohon diri,
memberitahu pengurus‟
Ketua pamangku Nah, amonto dogén. Jalan pada ngastiti. Yén kal ada
acara, nah kemu margi jero.
‟Ya, sekian saja. Mari bersama berdoa. Bila anda ada
acara, ya silakan‟
Ketua adat Nggih kénten tiang pamit
‟Baik, saya mohon diri‟
Pada teks marembug di atas, tampak inisiatif untuk neduh ulang
diprakarsai oleh ketua pamangku. Tindakan itu diambil sebagai bentuk
perlindungan pada kelanjutan hidup petani. Penentuan hari dan pengadaan sarana
dilakukan secara mandiri dengan melibatkan istri pamangku selaku kordinator
serati. Bila teks neduh tidak dilakukan dikhawatirkan semua petani tidak dapat
memulai aktivitas bercocok tanam.
112
Teks neduh memerlukan sarana berupa sesajén, di antaranya, pajatian,
labaran, upah-upahan, dan pelengkap lainnya. Beras, jinah dan satukel benang
‟beras, uang dan seutas benang‟ merupakan simbol yang mewakili pangan,
kemakmuran, dan sandang. Sarana berupa upah-upahan dikategorikan sarana
khusus dan harus dikerjakan di rumah pamangku dan dikordinir oleh istri
pamangku. Upah-upahan dipersembahan kepada figur yang diharapkan dapat
membantu kesuksesan permohonan. Terdapat lima figur yang dilibatkan, yakni I
Ratu Ngurah Tabeng Langit ‟Penguasa Langit‟, I Gusti Wayan Teba, I Gusti
Made Jelawung, I Gusti Nyoman Pengadangadang, dan I Gusti Ketut Petung.
Persembahan untuk I Ratu Ngurah Tabeng Langit ditempatkan sebagai titik
sentral dikitari oleh persembahan untuk I Gusti Wayan Teba, I Gusti Made
Jelawung, I Gusti Nyoman Pengadangadang, dan I Gusti Ketut Petung di empat
arah angin. Selain upah-upahan, pamangku juga menggunakan sarana rerajahan
berupa empas marajah Ongkara merta ‟kura-kura bergambar aksara suci‟ yang
digambar pada media nyuh gadang ‟kelapa hijau‟. Sarana itu selanjutnya dialasi
kasa ‟kain putih‟ dan kalebok dening segara ‟dicemplungkan ke air‟ di akhir
ritual. Akan tetapi, pada wilayah barat ditemukan pemyebutan figur hitam dan
putih dengan sebutan I Wenara Petak ‟kera putih‟ dan I Sampati ‟burung hitam‟.
Kedua figur itupun dihaturkan persembahan upah-upahan sesuai dengan
warnanya.
Ditinjau dari pemohon, teks nyelang galah cenderung bersifat personal,
tetapi ada pula yang diajukan oleh kelompok. Kepentingan kelompok biasanya
lebih diperhatikan dibandingkan kepentingan perseorangan, di samping faktor
113
cuaca. Berikut ditampilkan struktur makro teks nyelang galah, termasuk pelibat
wajib (Pw) dan pelibat tidak wajib (Ptw).
Tabel 5.4
Struktur Makro Teks Nyelang Galah
No. Fase Tahap Medan Pelibat Cara
1. Persiapan Mapinunas Minta
bantuan
Pw: Ketua
pamangku
Pemohon
Percakapan
semuka
Ptw: Kerabat
2. Ngaturang
pejatian Menyerah-
kan sarana
Pw: Ketua
pamangku
Pemohon
Percakapan
semuka
Ptw: Kerabat
3. Puncak Nyelang
Galah Tolak
hujan
Pw: Ketua
pamangku
Percakapan
semuka
Ptw: -
4. Penutup Panyineb Penutup Pw : Ketua
pamangku
Percakapan
monolog
Ptw: -
Struktur makro teks nyelang galah seperti ditampilkan tabel (5.4) dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pertama, mapinunas ‟meminta bantuan‟ merupakan
tahap yang sangat menentukan bagi boleh-tidaknya ritual dilaksanakan atau
bersedia-tidaknya pamangku melakukan teks tolak hujan. Biasanya pemohon
menyatakan niatnya meminta bantuan dan kepentingan yang melandasinya. Bila
kepentingan tidak terlalu mendesak, atau dipandang sangat sulit menghentikan
hujan, permintaan cenderung ditolak. Sebaliknya, pada kepentingan yang sangat
mendesak, biasanya pamangku bersedia membantunya, sekaligus menjelaskan
sarana yang harus disiapkan.
114
Kedua, ngaturang pajatian „menyerahkan sarana‟ adalah tahapan
pemohon menyerahkan banten „sajen‟ yang telah ditetapkan dilengkapi
penguleman „undangan‟ Pada penyerahan banten dapat dinyatakan kembali
identitas pemohon, dan dasar kepentingan. Pamangku lebih memilih melakukan
tolak hujan di rumahnya, agar tidak menjadi pusat perhatian. Oleh sebab itu semua
sarana harus diserahkan ke rumah pamangku.
Ketiga, nyelang galah „tolak hujan‟ merupakan fase puncak dan
cenderung bersifat tertutup. Selama proses permohonan, sarana khusus seperti
dupa, api prakpak „nyala api dari daun kelapa kering‟, atau sembe layar „lentera
apung‟ harus tetap menyala sebagai perlambang sumber panas yang diharapkan
dapat menggagalkan pembentukan mendung sekaligus meredakan hujan. Bagian
inti tahapan nyelang galah bersifat oposisional dengan tuturan neduh. Artinya,
bila pada teks neduh diharapkan mendung bermunculan di semua penjuru, teks
nyelang galah bersifat menghalau mendung atau menggagalkan pembentukan
mendung yang baru.
Keempat, panyineb „penutup‟ merupakan fase yang dapat dikategorikan
sebagai fase penutup. Tahap itu dikenal pula dengan pamancut yakni fase
mengakhiri pemohonan. Bila teks panyineb tidak dilakukan dikhawatirkan hujan
tidak akan turun untuk tempo waktu panjang. Setelah teks panyineb dilakukan
sarana boleh kalebar „dinyatakan usai‟ dan api dapat dipadamkan. Jadi, teks
panyineb difungsikan sebagai upaya mengembalikan kondisi alam sebagaimana
mestinya.
115
Pada keempat fase di atas dapat dipahami bahwa ketua paguyuban
pamangku menjalankan fungsi sebagai partisipan kunci. Ketua paguyuban
pamangku berperan aktif sejak fase persiapan, puncak, hingga penutup.
Sebaliknya, ritual tidak dapat diselenggarakan tanpa kehadiran ketua pamangku.
Sarana rerajahan ‟gambar‟ dan upah-upahan ‟sarana khusus‟ yang
digunakan pada masing-masing desa tidak menunjukkan keseragaman. Teks
Nyelang galah memerlukan sarana berupa sembe layar ‟api terapung‟ dengan
rerajahan berupa Ongkara Pasupati. Rerajahan itu digambar pada jalinan lontar
untuk menyangga api. Pamangku lain dapat menggunakan sarana seikat dupa
menyala dan nyuh gading merajah Triaksara ‟kelapa gading bergambar tiga
aksara suci‟. Untuk ritual neduh ‟memanggil hujan‟ digunakan sarana nyuh
gadang merajah empas ‟kelapa hijau bergambar kura-kura‟ dilengkapi rerajahan
Ongkara merta. Pamangku lain menggunakan nyuh gadang ‟kelapa hijau‟
dengan rerajahan Dasaksara ‟sepuluh aksara suci‟.
Persamaan yang tampak pada sarana teks panggil dan tolak hujan adalah
jenis sarana banten. Untuk tujuan yang berbeda dibutuhkan sajén yang hampir
sama. Secara umum, teks neduh dan nyelang galah pada daerah tertentu
memerlukan jenis sarana sajen yang hampir sama. Persamaan juga dimunculkan
dalam struktur kebahasaaan dan struktur permohonan. Ditinjau dari struktur
tahapan, teks nyelang galah memunculkan tahap panyineb ‟penutup‟, sedangkan
teks neduh tidak memerlukan tahapan penutup. Hal itu mengindikasikan bahwa
hujan menjadi kebutuhan yang berkelanjutan.
116
5.5 Struktur Fungsional
Struktur fungsional mengaitkan susunan teks dengan tiga elemen
pembentuk kesatuan teks, baik elemen pendahuluan, isi maupun penutup (Eggins,
1994: 37). Struktur fungsional juga menjelaskan hubungan antarelemen dan
kontribusi setiap elemen terhadap teks secara keseluruhan. Skema fungsional teks
dapat digambarkan sebagai berikut.
Pembukaan
Bagian Isi
Penutup
Langkah membuka
Langkah Langkah menjelaskan
Langkah menutup
Tujuan membuka
Tujuan Tujuan menjelaskan
Tujuan menutup
Bagan 5.1: Skema Fungsional
Bagan (5.1) menunjukkan skema teks ditinjau dari bagian-bagian
pembentuknya, langkah, dan tujuan yang hendak dicapai. Setiap bagian tersusun
atas sub bagian yang mendukung unifikasi fungsi. Artinya, teks
merepresentasikan kesejajaran antara komponen, langkah, dan tujuan.
Bila dicermati tampak ada sebuah kondisi yang memotivasi pelaksanaan
teks. Teks neduh dipicu oleh krisis air yang mengakibatkan keterlambatan masa
F
U
N
G
S
I
I
117
tanam dan pertumbuhan buah. Agar petani dapat bercocok tanam dan
memperoleh panen yang baik maka dilaksanakanlah teks neduh. Teks harus
dilakukan dengan prosedur yang khas sebagai langkah mencapai suatu tujuan.
Struktur teks prosedural dapat dilihat pada ilustrasi berikut (diadopsi dari Larson,
1998: 405) (diterjemahkan oleh penulis).
Pembukaan Langkah 1
(kondisi)
Langkah 2
Langkah 3
Langkah 4
Prosedur
TUJUAN
Bagan 5.2: Struktur Teks Prosedural
Sebagaimana bagan (5.2), TNNGB dimotivasi oleh keinginan
menanggulangi kondisi tertentu. Penanggulangan itu memerlukan langkah kerja
yang berfokus pada tercapinya tujuan. Rangkaian langkah-langkah itu memiliki
tata urutan yang tidak dapat dipertukarkan. Jadi, TNNGB merupakan teks yang
mengaitkan kondisi dan prosedur yang disepakati untuk mencapai tujuan. Dengan
demikian terdapat kaitan antara komponen, langkah, dan tujuan seperti
ditunjukkkan tabel berikut.
118
Tabel 5.5
Struktur Fungsional TNNGB
Struktur Fungsional Teks Neduh
Tahap Bagian Langkah Tujuan
Langkah
Tujuan
Marembug Pembukaan Penerimaan ^ Bertamu Hujan
turun
Isi Penyampaian masalah ^
Permintaan tanggapan ^
Penerimaan masalah ^
Penyampaian tanggapan ^
Penyampaian tindak lanjut
^ Persetujuan ^
Menyampaikan
masalah
Penutup Mohon diri ^
Persetujuan
Menutup
pertemuan
Sangkep Pembukaan Penerimaan ^ Bertamu
Isi Pernyataan tujuan ^
Permintaan tanggapan ^
Penerimaan tujuan ^
Pernyataan tanggapan ^
Pernyataan tindak lanjut ^
Persetujuan ^
Merencanakan
ritual
Penutup Permintaan penutupan ^
Persetujuan
Menutup
pertemuan
Mape-
ngarah
Pembukaan Penerimaan tamu^ Bertamu
Isi Penyampaian tujuan ^
Penyampaian isi ^
Penegasan ^
Sosialisasi
rencana ritual
Penutup Permintaan mohon diri ^
Persetujuan
Menutup
pertemuan
Neduh Pembukaan Purifikasi ^
Permohonan berkat
anugerah ^ Permohonan ^
Pengampunan^
Pemujaan ^
Pemujaan
Isi Permohonan berkah ^
Pernyataan permohonan
dan alasan ^
Permohonan bantuan^
Pernyataan persembahan
Memohon
hujan
Penutup Permohonan pengabulan
dan terima kasih
Mohon
pengabulan dan
terima kasih
119
Struktur Fungsional Teks Nyelang Galah
Tahapan Bagian Langkah Tujuan
Langkah
Tujuan
Mapinunas Pembukaan Penerimaan ^ Bertamu
Hujan
berhenti
Isi Pernyataan masalah ^
Permintaan batuan ^
Penerimaan masalah ^
Pernyataan tanggapan ^
Persetujuan ^
Mohon
bantuan
Penutup Permintaan mohon diri ^
Persetujuan
Mohon diri
Ngaturang
Pajatian
Pembukaan Penerimaan ^ Bertamu
Isi Pernyataan tujuan ^
Penerimaan
Menyerah-
kan sarana
Penutup Permintaan mohon diri ^
Persetujuan
Mohon diri
Nyelang
Galah
Pembukaan Purifikasi ^
Permohonan berkah ^
Permohonan pengampunan
^ Pemujaan ^
Pemujaan
Isi Permohonan berkah ^
Pernyataan permohonan
dan alasan ^
Permohonan bantuan ^
Pernyataan persembahan
Menolak
hujan
Penutup Permohonan pengabulan ^
terima kasih
Mohon
pengabulan,
kedamaian,
dan terima
kasih
Panyineb
Pembukaan purifikasi ^
permohonan berkah ^
permohonan pengampunan
^pemujaan ^
Pemujaan
Isi permohonan berkah ^
permohonan penutupan ^
Menutup
tolak hujan
Penutup Permohonan pengabulan
^ terima kasih
Mohon
pengabulan
dan terima
kasih
Perlu ditegaskan bahwa langkah-langkah yang dimunculkan pada bagian
isi teks sangkep dilakukan secara berulang. Artinya, langkah pernyataan masalah,
120
permintaan tanggapan, pernyataan tindak lanjut, dan persetujuan dilakukan
beberapa kali sesuai dengan permasalahan yang didiskusikan. Pada teks sangkep
ditetapkan rencana, waktu pelaksanaan, pengadaan sarana, seleksi pelibat, dan
penugasan juru arah.
Langkah-langkah pada puncak teks neduh dan nyelang galah tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Langkah purifikasi dimunculkan
beberapa kali menyangkut: (a) pembersihan tempat duduk, muka, tangan, dan diri
pamangku dari kotor, cela dan dosa; (b) purifikasi terhadap aktivitas ritual agar
terbebas dari rintangan, dan dapat membawa manfaat bagi semua; (c)
permohonan pembersihan tempat ritual, sarana, dan pelibat; dan (d) pembersihan
kesalahan, dosa dan kekeliruan yang telah terjadi. Sebagaimana fungsi pemujaan
kepada Tuhan dalam berbagai kuasa-Nya, fungsi permohonan berkah/anugerah,
dan pengampunan dimunculkan beberapa kali, misalnya permohonan berkah dan
pengampunan bagi diri pamangku, sanak keluarga, dan masyarakat. Pada bagian
isi ditegaskan figur yang diharapkan membantu, jenis bantuan, dan persembahan.
Pada bagian penutup dinyatakan permohonan pengabulan, kedamaian, dan
ungkapan terima kasih.
5.5.1 Struktur fungsional fase persiapan
Secara rinci setiap tahapan memiliki bagian pembukaan, inti, dan penutup.
Bagian pembukaan pada fase persiapan cenderung berisikan salam agama, di
samping ucapan terima kasih, permintaan maaf, dan tegur sapa kekeluargaan,
seperti beberapa contoh ekspresi berikut (Data A1/1.1/ 1, 3, 4, 5).
121
(5.1) a. ...Om Swastiastu. Yéh, nggih jero klian...
salam KONT ya HON ketua adat
‟Salam, ketua adat‟
b. ...Punapi gatra niki, jero?...
TANYA kabar DEM HON
‟Apa kabar anda?
c. ...Peh jeg seken sajan sesaputané...
KONT serius INTENS pakaian-DEF
‟Pakaian anda rapi sekali‟
d. ...Ngiring mlinggih dumun....
IMPER -duduk Sirk
‟Mari silakan duduk‟.
Data (5.1) merupakan ungkapan penerimaan tamu oleh ketua pamangku.
Tampak penggunaan salam agama (a) dan ungkapan kekeluargaan (b).
Pernyataan (c) Peh jeg seken sajan sesaputané tidak dimaksudkan untuk memuji
pakaian yang dikenakan, tetapi cenderung menyadari ada suatu masalah serius
yang dibawa oleh pihak tamu. Bagian pembukaan fase persiapan juga dapat
direalisasikan dengan ekspresi permohonan maaf dan terima kasih, seperti
ditampilkan contoh berikut (Data A2/1/ 1, 2 dan A3/1/ 1, 2).
(5.2) a. ...Ampura, tiang nyelag abosbos niki jero mangku sareng sami,
KONT 1TG -sela Sirk DEM HON pamangku KUAN
Om Swastiastu...
salam
‟Maaf, saya menyela sebentar pembicaraan pamangku sekalian, salam‟
b. ...Naweg titiang niki antuk niki wenten baosang akidik...
KONT 1TG DEM PREP DEM EKS bicara KUAN
‟Maafkan saya karena ada sedikit kepentingan yang perlu dibicarakan‟
(5.3) a. ...Suksma niki indik sampun prasida rauh baik jero mangku muah
terima kasih PREP PERF bisa datang HON pamangku KONJ
122
tokoh agama lan tokoh masyarakat, pangurus adat dan dinas...
tokoh agama KONJ tokoh masyarakat, pengurus adat KONJ dinas
‟Terima kasih atas kehadiran para pamangku, tokoh agama, tokoh
masyarakat, pengurus adat, dan dinas‟
b. ...Jagi iring titiang ngeninin niki cuaca sane lintang panas...
FUT IMPER 1TG -bicara DEM cuaca REL INTENS panas
‟Akan saya ajak mendiskusikan cuaca yang panas sekali‟
Data (5.2) dan (5.3) berisikan ungkapan permintaan maaf dan terima kasih.
Kedua data tersebut tidak dimaksudkan dalam makna harfiah, tetapi sebuah cara
meminta perhatian. Pemusatan perhatian para pelibat mengindikasikan bahwa
pokok acara akan segera dimulai.
Fase mapengarah jarang diawali dengan salam agama, melainkan bentuk
vokatif yang merujuk tuan rumah atau panggilan agar yang dipanggil datang
mendekat. Perhatikan contoh berikut (Data A3/3/1 dan A1/3/1).
(5.4) a. ...Man, Man Yasa, mai je malu...
NAMA sini dulu
‟Nyoman Yasa, kemarilah‟ (memanggil tuan rumah)‟
b. ...Ngah, ne ada tugas abedik...
NAMA DEM ada tugas Sirk
‟Nengah, ini ada tugas‟ (memanggil tuan rumah)
‟
Data (5.4) tidak mengandung salam agama ataupun ungkapan honorifik.
Hal itu disebabkan oleh mitra wicara merupakan pihak yang setara. Juru arah
tidak menggunakan titel di depan nama anggota. Perlu diketahui bahwa peran
sebagai juru arah merupakan kewajiban yang harus diemban anggota secara
bergantian.
123
Berdasarkan contoh ekspresi pembukaan yang digunakan ternyata terdapat
empat variasi ekspresi pembukaan. Pertama, pembukaan diisi dengan ungkapan
salam Om Swastiastu ‟semoga semua sejahtera atas lindungan Ida Hyang Widhi‟,
seperti tampak pada contoh (5.1a dan 5.2a). Salam tersebut biasanya digunakan
bersama-sama vokatif yang merujuk pada peran sosial mitra wicara, seperti
mangku, bendesa, klian, biyang serati, atau kepala dusun. Ekspresi hormat
dipertegas dengan bentuk honorifik jero bagi pemegang peran sosial yang
tertinggi, seperti ketua adat dan ketua pamangku. Bentuk honorifik jero diberikan
oleh para pamangku, pengurus adat, dan anggota komunitas. Kedua, pembukaan
diisi dengan permintaan maaf, seperti tampak pada contoh (5.1c, dan 5.2 a, b).
Permintaan maaf disampaikan karena telah menyita waktu para pelibat atau
menyela percakapan yang tengah terjadi antarpelibat. Permintaan maaf
sesungguhnya lebih difokuskan untuk meminta perhatian yang menandakan ada
permasalahan yang harus diperhatikan. Ketiga, pembukaan diisi dengan ucapan
terima kasih, seperti contoh (5.3). Keempat, pembukaan diisi dengan tegur sapa
kekariban, seperti contoh (5.4). Nama depan dapat digunakan tanpa titel tertentu
yang mengindikasikan adanya keakraban di antara pelibat.
Fungsi mendasar bagian pembukaan adalah untuk membuka percakapan.
Pembukaan percakapan dapat diisi dengan salam pembuka, sedangkan ekpresi
lainnya seperti permintaan maaf, ucapan terima kasih, dan ekspresi kekariban
cenderung bersifat basa-basi untuk memperoleh perhatian atau mencairkan
ketegangan suasana. Jadi, permintaan maaf, ucapan terima kasih dan ekspresi
124
kekariban tidak mengandung makna harfiah, tetapi makna implikatif. Perhatikan
contoh pada tabel berikut.
Tabel 5.6
Bagian Pembukaan
Fase Bagi Bentuk Lingual Fungsi
Persiapan Salam
pembuka
Om swastiastu, jero klian.
‟salam, (HON) ketua adat‟
membuka
percakapan
Permintaan
maaf
Ampura, tiang nyelag
abosbos. ‟maaf, saya
menyela sebentar‟
meminta
perhatian
Ucapan terima
kasih
Suksma niki antuk prasida
rauh. ‟terima kasih atas
kehadiran anda‟
meminta
perhatian
Ekspresi
kekariban
Man man Yasa, mai je malu.
‟NAMA, kemarilah dulu‟
meminta
perhatian
Tabel (5.6) menunjukkan empat jenis ekspresi pada bagian pembukaan
yang digunakan pada fase persiapan untuk membuka percakapan. Ucapan salam
cenderung dimulai oleh pihak yang datang berkunjung atau pihak yang memiliki
peran sosial yang lebih rendah. Ekspresi meminta perhatian berfungsi
memperkecil kesenjangan antara pembicara dan pendengar. Dalam pertemuan
takformal, basa-basi dinyatakan dengan pernyataan kebetulan berjumpa,
menawarkan makanan atau minuman, menanyakan prihal kesehatan, hewan
piaraan atau ladang. Sebagian besar ekspresi umumnya diajukan oleh pihak yang
berkunjung, sambil menunggu sinyal kesiapan kedua belah pihak memasuki fase
125
berikutnya. Sinyal kesiapan memasuki bagian isi biasanya ditandai dengan
pertanyaan maksud kedatangan oleh pihak yang dikunjungi. Ungkapan seperti (a)
wénten napi niki? ‟ada apa ini?‟, (b) sinah ada mabuat ne ‟pasti ada hal yang
perlu‟, (c) gatra napi niki? ‟kepentingan apa gerangan?‟, (d) durus baosang
‟silahkan bercerita‟. Kesiapan menyampaikan isi dapat juga dinyatakan oleh tamu
dengan ungkapan minta waktu atau menyatakan permasalahan. Sebagai
contohnya, (a) Nunas galah niki... ‟saya minta waktu anda‟, (b) Niki napi, indik
... ‟ini prihal...‟. Sinyal kesiapan tersebut mengharuskan pelibat untuk segera
memasuki bagian isi tanpa memperpanjang basa-basi. Dengan kata lain, sinyal
kesiapan berfungsi sebagai penggiring pelibat menuju pada bagian isi.
Ungkapan tersebut digolongkan bersifat transisional, yakni ungkapan yang
difungsikan untuk mengaitkan bagian yang satu dengan bagian berikutnya.
Melalui ungkapan transisional, pelibat dituntun untuk beralih pada bagian yang
selanjutnya daripada menghabiskan waktu dengan tuturan yang tidak relevan.
Ketiadaan basa-basi menjadi indikasi bahwa teks berfungsi sebagai teks formal.
Bagian isi fase persiapan sangat bervariasi. Misalnya, teks marembug
berisikan pembicaraan untuk mengantisipasi kekeringan yang melanda pertanian
warga. Isi teks mapinunas merupakan permintaan bantuan kepada pamangku.
Bila disepakati, pembicaraan dapat berlanjut pada jenis sarana yang harus
disiapkan.
Sebelum memasuki bagian penutup, ada bagian isi yang menggiring
pelibat untuk segera mengakhiri percakapan. Bagian tersebut bersifat prapenutup,
yakni bagian yang memberi sinyal bahwa percakapan segera harus diakhiri.
126
Prapenutup biasanya diisi dengan ungkapan penegasan dengan mengulang
kembali simpulan yang dihasilkan, pernyataan acara yang harus segera dilakukan,
atau pernyataan menghemat waktu. Berikut ditampilkan ungkapan prapenutup
(Data A1/1.1/ 34, 45, 46 dan A3/4/ 17, 32 ).
(5.5) a. …Nggih, yen kénten, pang ten kasép, tiang jagi nauhin
ya kalau begitu KONJ NEG terlambat, 1TG FUT -undang
mangku sané lianan…
pamangku REL lain
„Ya, kalau begitu supaya tidak terlambat saya mohon diri untuk
mengundang pamangku lainnya‟
b. …Nggih, sampun molih titiang niki, pacuk makasami jero mangku
KONJ PERF dapat 1TG DEM, sepakat KUAN HON pamangku
sareng pangurusé indik ngamargiang peneduhan…
KONJ pengurus-DEF PREP -laksanakan panggil hujan
„Ya, rapat ini sudah menemukan kesepakatan antara pamangku dan
pangurus untuk pelaksanaan ritual panggil hujan‟
c. …Duaning galah pang ten liwat peteng, niki ngiring puputang dumun…
KONJ waktu agar NEG lewat malam DEM FUT -tutup dulu
„Karena waktu hampir larut, rapat segera saya tutup ‟
(5.6) a. …Kéto gen Yan, tiang kal dauhné malu sig pak Gedéné…
KONJ VOK, 1TG FUT barat-DEF PREP NAMA
„Sekian saja, sekarang saya mau ke rumah pak Gede‟
b. …Nggih, kénten manten, jero mangku …
KONJ itu saja VOK
„Ya, sekian saja, jero mangku‟
Bagian prapenutup merupakan cara untuk menutup bagian isi untuk
memasuki bagian penutup. Prapenutup dapat mengandung pernyataan bahwa
masih ada tugas atau pekerjaan lain yang mesti diselesaikan segera (5.5 a) (56a)
Dengan beban tugas berikutnya maka pelibat dapat mengajukan usul agar
127
pembicaraan segera ditutup. Prapenutup juga dapat dilakukan dengan
pertimbangan penghematan waktu mengingat pembicaraan sudah memakan waktu
yang cukup panjang dan hari semakin larut (5.5c). Ungkapan prapenutup yang
juga ditemukan adalah permintaan penutupan karena tujuan utama sudah tercapai
dan tidak ada lagi masalah lain yang harus dibicarakan (55b). Jadi, ungkapan
prapenutup menunjukkan keengganan pelibat untuk menghabiskan lebih banyak
waktu untuk membahas permasalahan yang sudah berhasil diselesaikan.
Bagian penutup berisikan salam penutup, ungkapan terima kasih, dan
ungkapan mohon diri. Pemakaian salam penutup religi Om shanti shanti shanti
Om digunakan pada penutupan pertemuan formal. Sementara itu, pada pertemuan
semiformal atau takformal, salam tersebut tidak dimunculkan. Fakta itu
menunjukkan penggunaan salam religi yang belum simetris, artinya, pertemuan
diawali dengan salam agama, tetapi ditutup tanpa salam agama. Berikut
ditampilkan ungkapan yang dipakai pada bagian penutup (Data A1/2/24, 30 dan
A2/1/92).
(5.7) a. ...Nggih suksma jero mangku, tiang jagi pamit ...
KONJ terima kasih VOK 1 TG FUT mohon diri
‟Terima kasih jero mangku, saya mohon diri‟
b. ...Nggih kénten, tiang mulih niki, ku ...
KONJ 1TG pulang DEM VOK
‟Baik, saya minta diri sekarang, jero mangku‟
c. ...Tiang sineb antuk paramashanti Om shanti shanti shanti Om.
1TG - tutup PREP salam penutup semoga damai damai damai.
suksma
terima kasih
‟Saya tutup dengan salam penutup. Terima kasih‟
128
Pada contoh (5.7) di atas tampak bagian penutup diisi dengan ucapan
terima kasih, ungkapan mohon diri, atau salam penutup, Pilihan yang cenderung
dipilih adalah ungkapan mohon diri. Dengan kata lain, berpamitan merupakan
ungkapan penutup perjumpaan yang paling sering dimunculkan. Secara rinci
struktur fungsional fase persiapan dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 5.4: Struktur Fungsional Fase Persiapan
Berdasarkan gambar (5.4) dapat diketahui bahwa fase persiapan terdiri
atas tiga bagian, yakni bagian pembukaan, isi, dan penutup yang dihubungkan
oleh ungkapan transisional. Transisi pertama menggiring pelibat untuk memasuki
bagian isi sehingga bagian tersebut dapat disebut praisi. Transisi kedua memandu
pelibat untuk mengakhiri atau menutup pembicaraan sehingga ungkapan tersebut
dapat disebut ungkapan prapenutup. Bagian pembukaan merupakan langkah
Penutup
Transisi
a. Salam penutup
b. Terima kasih
c. Permintaan maaf
d. Mohon diri
S
T
R
U
K
T
U
R
F
U
N
G
S
I
O
N
A
L
Pembukaan
Isi
a. Salam pembuka
b. Ucapan terima kasih
c. Permintaan maaf
d. Tegur sapa
Transisi
a. Pengenalan Topik
b. Pembahasan
paparan, tanggapan,
paparan lanjutan,
kesepakatan
c. Simpulan
129
membuka percakapan, bagian isi adalah langkah membicarakan masalah hingga
terbentuk kesepakatan dan simpulan, sedangkan langkah penutup adalah langkah
mengakhiri percakapan.
5.5.2 Struktur fungsional fase puncak dan penutup
Monolog pada fase puncak dan fase penutup dilaksanakan oleh pamangku
dalam kondisi sadar sambil menjentikkan bunga dan memercikkan tirta ‟air suci‟.
Secara umum terdapat kesamaan struktur pada fase puncak dan fase penutup.
Bagian pembukaan diisi dengan bait-bait mantra yang bersifat menyucikan,
pernyataan pengampunan, memohon berkat agar ritual yang dijalankan sampai
pada tujuannya. Pada bagian isi, pamangku memohon berkah dan meminta
bantuan beberapa figur gaib. Selanjutnya dinyatakan jenis persembahan sebagi
wujud terima kasih atas bantuan tersebut. Bagian penutup berisi ucapan terima
kasih, permohonan maaf, dan mohon diri. Jadi, mantra yang dilantunkan pada
bagian pembukaan fase puncak tidak berbeda dengan bagian pembukaan fase
penutup. Secara garis besar, tuturan pembukaan fase puncak pada teks neduh dan
nyelang galah tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Perbedaan baru tampak
pada bagian isi, yakni mengundang mendung agar berkumpul atau menghalau
mendung agar menjauh dari lokasi ritual. Figur imajinatif diminta menyalakan api
agar semua mendung pecah atau memadamkan semua api agar mendung dapat
berkumpul untuk menjadi bahan hujan. Berikut ditampilkan struktur fungsional
fase puncak dan fase penutup.
130
Gambar 5.5: Struktur Fungsional Fase Puncak dan Fase Penutup
Skema fungsional teks seperti ditunjukkan gambar (5.5) berlaku pada fase
puncak dan penutup. Dua fase itu memiliki struktur fungsional yang tidak
berbeda. Pada bagian pembukaan, ungkapan permohonan pembersihan menjadi
hal sentral. Pembersihan dapat dimaknai sebagai: (a) permohonan pembersihan
atas debu atau kotor yang ada pada diri, lokasi, dan sarana; (b) pembersihan atas
dosa, kekeliruan, dan kesalahan; dan (c) dijauhi dari kegelapan dan kebodohan.
Diharapkan Tuhan berkenan menyucikan seluruh pelibat, sarana, dan
lingkungan. Pada bagian isi dinyatakan inti permohonan, tujuan, permintaan
bantuan, penugasan kepada figur imajinatif, dan bentuk persembahan yang telah
disiapkan. Permohonan ditutup dengan ungkapan permohonan pengabulan,
kedamaian, dan terima kasih.
Penutup
a. Permohonan pengabulan
b. Permohonan kedamaian
b. Terima kasih
S
T
R
U
K
T
U
R
F
U
N
G
S
I
O
N
A
L
Pembukaan
Isi
a. Purifikasi
b. Permohonan berkat
c. Permohonan pengampunan
d. Pemujaan
a. Permohonan berkah
b. Pernyataan permohonan
c. Pernyataan alasan
d. Permohonan bantuan
e. Pernyataan persembahan
131
BAB VI
STRUKTUR MODUS
6.1 Pengantar
Menurut pendekatan Sistemik, bahasa tidak hanya menjalankan fungsi
sebagai media untuk menggambarkan pengalaman, tetapi juga berfungsi sebagai
alat pertukaran dan alat merangkai pesan. Tiga fungsi bahasa tersebut lebih
dikenal dengan metafungsi bahasa. Leksikon „meta‟ merujuk pada hubungan dua
bidang karakter yang berbeda, sebagaimana metafisika, metabolisme, atau
metamorfosis (Hornby, 1978). Metafungsi itu merealisasikan konteks situasi yang
terdiri atas aspek medan, pelibat, dan penggunaan bahasa ke dalam tata bahasa
berdasarkan fungsi semantis. Proses realisasi konteks ke dalam tata bahasa
dijembatani oleh aspek semantis. Realisasi makna ke dalam tata bahasa itu
selanjutnya dikenal dengan terminologi leksikogramatika. Artinya, makna
direalisasikan dengan deretan pilihan leksikon yang disusun sedemikian rupa
dalam struktur gramatika tertentu untuk merealisasikan maksud pelibat. Struktur
gramatika yang merealisasikan makna eksperiensial disebut dengan struktur
Transitivitas. Struktur gramatika yang merealisasikan makna pertukaran
antarpelibat disebut dengan struktur Modus. Struktur gramatika yang
merealisasikan makna tekstual disebut dengan struktur Tematis.
Sebagai struktur yang merealisasikan relasi antarpelibat, struktur Modus
(Mood) mencakup dikotomi Modus-Residu (MOOD – RESIDU), dan struktur
132
modus yang bersifat tipikal dalam proses interaksi. Analisis Modus mencermati
cara yang ditempuh pelibat dalam memanfaatkan bahasa sebagai media untuk
berkomunikasi atau bagaimana bahasa difungsikan dalam interaksi sosial. Jadi,
pembicara dapat memilih bentuk ekspresi, semiotik sosial, dan struktur kosakata
untuk menjalin hubungan dengan pendengar sehingga memungkinkan makna
terekspresi sesuai kepentingan pribadi pembicara. Dengan demikian, analisis
Modus berorientasi pada pihak pembicara, termasuk makna yang dipertukarkan,
leksikon yang dipilih untuk merealisasikan makna, tata bahasa, dan tipe respon
yang dikehendaki (Halliday, 2004: 106). Dalam kaitan itu, peran pelibat dipilah
menjadi dua, yaitu pembicara dan pendengar. Yang dimaksud dengan pembicara
ialah penulis (writer) dan pembicara (speaker), sedangkan pendengar mencakup
lawan wicara (listener), penyerta (audience), atau pembaca (reader).
Komposisi Modus-Residu mencerminkan komponen yang berfungsi
sebagai komponen utama dan komponen penunjang. Dalam kajian Sistemik,
setiap klausa lengkap mengandung kedua komponen tersebut. Akan tetapi,
komposisi Modus-Residu versi Sistemik tidak dapat dipadankan dengan nosi inti
(core)1 dan periphery (Vallin, 2005: 4). Halliday (2004: 111) dengan tegas
mendefinisikan Modus sebagai suatu elemen yang membawa argumen dan
bertanggung jawab atas kesuksesan dan kegagalan suatu proposisi (the nub of the
proposition). Dengan kata lain, Modus mengandung beban klausa sebagai sebuah
peristiwa interaksional di antara para pelibat. Jadi, berdasarkan batasan Modus itu
1 Dalam teori Relasional (Vallin: 2005) komponen inti mencakup Subjek, nuklius, dan argumen
wajib lainnya, sedangkan Adjung tergolong periphery.
133
dapat ditarik simpulan bahwa Subjek sebagai argumen tertinggi secara sintaksis
merupakan komponen Modus. Rincian komponen Modus dalam Bahasa Inggris
terdiri atas (a) Subjek yang biasanya direalisasikan dengan kelompok nomina, dan
(ii) Operator verbal yang menjelaskan kala (tense), finit, polaritas ya/tidak, dan
modalitas (modality) yang menjelaskan probabilitas, frekuensi, intensitas,
kecenderungan, atau keharusan. Dalam Bahasa Inggris, identitas Modus dapat
diuji dari kemampuannya muncul dalam bentuk tag dan jawaban pendek, seperti
contoh (6.1) di bawah ini (diadopsi dari Eggins, 1994: 157).
a. Henry James wrote “The Bostonians”, didn‟t he?
b. He wasn‟t a physicist Yes, he was
No, he wasn‟t
Bentuk tag (a) dan jawaban pendek (b) itu merujuk pada Subjek dan Finit.
Bagian lain di dalam klausa (the rest of the clause), misalnya wrote “The
Bostonians (a) atau a physicist (b) dikategorikan sebagai Residu. Jadi, bagian
klausa yang tidak termasuk Modus merupakan komponen Residu. Residu bersifat
mendukung Modus, dan dapat diuji dengan penanggalan (ellipsed) pada jawaban
pendek dan bentuk tag.
Komponen Residu terdiri atas Predikator, Komplemen, dan Adjung.
Predikator biasanya direalisasikan oleh kelompok verbal, Komplemen
direalisasikan oleh kelompok nomina, sedangkan Adjung direalisasikan oleh
kelompok adverbia atau Sirkumtansi. Identitas Komplemen ialah partisipan yang
tidak penting (non-essensial participant) dalam klausa, tetapi memiliki potensi
134
menduduki fungsi Subjek dalam klausa pasif. Identitas Modus-Residu yang dapat
diuji dengan bentuk tag dan jawaban pendek diprediksi juga berlaku pada bahasa-
bahasa lain yang memiliki tipe serupa dengan Bahasa Inggris. Pengertian struktur
tidak bermarkah adalah struktur tipikal atau susunan yang paling sering muncul
dan secara gramatika struktur tersebut tidak memuat prominensi tertentu.
Tidak semua argumen yang wajib muncul pada klausa transitif dapat
menduduki fungsi sebagai Modus. Modus klausa kanonis dalam pandangan
Sistemik biasanya memuat argumen tertinggi secara sintaksis, sementara argumen
kedua dan seterusnya dikategorikan sebagai Residu. Penelusuran struktur Modus
dipandang penting mengingat Bahasa Bali sebagai kode bahasa yang digunakan
untuk merealisasikan TNNGB diprediksi memiliki karakteristik berbeda dengan
Bahasa Inggris dalam hal tertentu. Oleh sebab itu, konsep Mood-Residu dalam
Bahasa Inggris yang digunakan sebagai dasar pengembangan teori Sistemik tidak
dapat diacu secara utuh.
Secara morfologis, verba aktif Bahasa Bali dapat dimarkahi prefiks {-}2
atau tanpa prefiks {-}. Kedua bentuk itu dapat dipadankan dengan konstruksi
nasal dan konstruksi zero (Artawa, 1998). Bentuk {-} disebut pula struktur nasal
transitif (Pastika, 2002) atau anunasika (Sulaga, 1996). Predikator yang
dimarkahi {-} dapat direalisasikan dengan beberapa varian bunyi nasal yang
homorgan dengan bunyi awal bentuk yang dilekatinya.
2 {-} yang dipakai pada disertasi ini mengacu pada bentuk dasar prefiks yang dapat
direalisasikan dengan beberapa alomorf. Distribusi {-} bersifat lebih luas daripada artifonem,
terutama kemampuannya melekat pada setiap bunyi vokal dan semivokal. Prefiks {-} dapat
membentuk verba transitif atau intransitif dari verba dasar dan bentuk prakategorial.
135
6.2 Komposisi Modus - Residu
Dasar penentuan komponen Modus dengan pengujian bentuk tag atau
jawaban pendek tidak dimungkinkan dalam Bahasa Bali. Hal itu disebabkan oleh
ketidaktermilikan strategi serupa dalam Bahasa Bali. Perhatikan contoh berikut
(Data B2/3/5, 6).
(6.2) a. …Jero Bendesa sampun rauh ragané?...
HON SOS ASP -datang 3TG-DEF
„Ketua adat sudah datang?
*Jero Bendesa sampun rauh // ragane?
*Jero Bendesa sampun rauh, NEG ragané?
*Jero Bendesa sampun rauh ragané?
b. …Nggih, sampun…
ya ASP
„Ya, sudah‟
*nggih, ragané sampun
Bentuk ragane „3 TG‟ (a) mengacu pada Subjek jero Bendesa, tetapi
klausa di atas tidak dapat dilihat sebagai bentuk tag. Hal itu dibuktikan dengan
tidak adanya jeda sebelum leksikon ragane yang bersifat koreferen dengan
Subjek. Klausa itu juga tidak memunculkan negasi sebagai bentuk kontras
dengan bagian klausa yang mendahuluinya. Perubahan intonasi sebagaimana tag
dalam Bahasa Inggris juga tidak dimunculkan. Dengan demikian bentuk ragane
pada klausa di atas bukan merupakan bentuk tag, tetapi pronominal copy dari
Subjek. Pengujian dengan jawaban pendek sebagaimana Bahasa Inggris juga
menemukan kendala. Jawaban pendek terhadap klausa (a) ditampilkan pada (b)
ternyata tidak memunculkan Subjek. Jawaban pendek (b) tersusun atas ungkapan
136
ya/tidak dan aspek. Klausa itu tidak dapat dibentuk dengan jawaban „ya/tidak‟
diikuti oleh Subjek dan negasi sebagaimana Bahasa Inggris. Bahasa Bali juga
tidak mengenal unsur Finit yang dinyatakan sebagai unsur yang membuat
proposisi menjadi definitif. Oleh sebab itu, pengujian komponen Modus-Residu
dengan bentuk tag dan jawaban pendek tidak berlaku pada Bahasa Bali.
Dalam kaitan Modus-Residu, tidak setiap Adjung dinyatakan sebagai
Residu. Kategori yang diperankan Adjung dipilah berdasarkan metafungsi.
Adjung Sirkumtansial yang menerangkan tempat, waktu, cara, alat, tujuan,
alasan, dan sebagainya dikategorikan sebagai Residu. Sementara itu, (i) Adjung
ekspresi sikap penilaian (assesment) terhadap klausa, (ii) Adjung vokatif, yakni
ekspresi yang mencerminkan siapa pembicara yang berikutnya (addressed the
next speaker), dan (iii) Adjung kontinuitas yang menjelaskan hubungan dengan
klausa sebelumnya tidak termasuk Modus maupun Residu. Berdasarkan fungsi
setiap komponen terhadap klausa, komposisi Modus-Residu Bahasa Inggris dapat
digambarkan sebagai berikut (diadopsi dari Eggins (1994: 171).
137
Klausa
Non-Modus/Residu Klausa
Modus Residu
Adjung Subjek Predikator Komplemen Adjung
Modal
Operator Proses Sirkumtansial
Nomina FIN Modal Verba Nomina Adverbia/FP
Gambar 6.1: Komposisi Modus - Residu Bahasa Inggris
Gambar (6.1) menunjukkan elemen Modus-Residu dan non-Modus/Residu
dalam Bahasa Inggris. Tampak kehadiran proses dijadikan pembatas komponen
Modus dengan Residu. Artinya, elemen yang muncul di kiri proses dapat
dikategorikan sebagai Modus, sedangkan proses dan elemen yang mengikutinya
dapat dikategorikan sebagai Residu. Unsur tekstual seperti Adjung Vokatif,
Adjung Komen, dan Adjung Kontinuitas dapat muncul di depan Modus atau di
belakang Residu.
Dalam Bahasa Bali, unsur Finit seperti auxiliary ‟kata bantu‟ dan tobe
‟kopula‟ dalam Bahasa Inggris tidak ditemukan. Hal itu menyebabkan komponen
Modus Bahasa Bali cenderung lebih sederhana daripada Bahasa Inggris.
Persamaan yang ditunjukkan adalah tipologis kedua bahasa bahasa memiliki
konstruksi dasar Subjek-Predikat (S-P). Dengan demikian, komponen pokok
Vokatif
Komen
Kontinuitas
138
konstruksi dasar Modus Bahasa Bali ialah Subjek/Agen, sedangkan komponen
pokok Residu ialah Predikator, seperti ditampilkan gambar di bawah ini.
Klausa
Non-Modus/Residu Klausa
Modus Residu
Adjung Subjek Predikator Komplemen Adjung
Modal
Operator Proses Sirkumtansial
Nomina Modal Verba Nomina Adverbia/FP
Gambar 6.2: Komposisi Modus - Residu Bahasa Bali
Mencermati gambar (6.2) dapat dilihat bahwa struktur Modus-Residu
Bahasa Bali mirip dengan Bahasa Inggris, kecuali pada unsur modal operator.
Pada Bahasa Bali, proses dapat dijadikan pembatas komponen Modus dan
Residu. Artinya, proses dan unsur yang mengikutinya tergolong Residu,
sedangkan yang mendahuluinya dapat dinyatakan sebagai Modus. Subjek yang
biasanya direalisasikan oleh kelompok nomina dapat dipandang sebagai inti
Modus, sedangkan proses merupakan inti dari komponen Residu pada struktur
kanonis.
Vokatif
Komen
Kontinuitas
139
Selain hal di atas, perbedaan menonjol komposisi Modus-Residu Bahasa
Bali terhadap Bahasa Inggris terletak pada kemandirian komponen. Modus Bahasa
Inggris dapat menjangkau sebagian dari Residu sebagai dampak adanya fusi finit
ke bentuk Predikator. Contohnya, proses writes ‟menulis‟ mengandung makna ‟3
TG menulis‟ atau dapat dilihat sebagai bentuk does write ‟Finit menulis‟. Ikatan
Subjek-Predikat secara gramatikal itu tidak dimiliki oleh Bahasa Bali. Komposisi
Modus-Residu Bahasa Bali bersifat mandiri, tanpa menjangkau sebagian dari
komponen lainnya. Jadi, tidak dimungkinkan adanya ekstensi jangkauan
antarkomponen dalam klausa Bahasa Bali.
6.3 Struktur Proposisi
Pertukaran informasi melibatkan dua pihak, yakni pihak yang mengambil
inisiatif (initiating) untuk bertanya atau menyatakan sesuatu, dan pihak yang
memberi respons (responding). Respons yang diberikan dapat berupa respons
yang mendukung atau respons yang menentang. Akan tetapi, setiap pembicara
memiliki kepentingan tersendiri dalam pertukaran. Ada pembicara yang
melakukan interaksi dengan tujuan memberi dan meminta informasi, dan ada pula
yang memberi atau meminta layanan. Berdasarkan peran itu, Halliday
memperkenalkan terminologi Proposisi dengan Proposal. Proposisi adalah
interaksi yang dilakukan untuk tujuan mempertukarkan informasi, sedangkan
Proposal merupakan interaksi yang ditujukan untuk mempertukarkan barang atau
layanan. Dua kategori itu juga merujuk pada tipe respons yang diharapkan, yakni,
respons verbal pada Proposisi dan respons nonverbal pada Proposal. Sebagai
140
pihak yang menentukan pilihan modus, pembicara dapat menggiring pendengar
untuk memunculkan perubahan sikap ataupun perubahan perilaku yang relevan.
Untuk memengaruhi pendengar, pembicara biasanya menyisipkan modalitas.
Modalitas dapat terdiri atas modalisasi dan modulasi. Modalisasi yang disisipkan
pada Proposisi dapat berupa unsur probabilitas (certainty) dan frekuensi
(usuality) seperti ditampilkan gambar bawah ini (diadopsi dari Halliday, 2004:
619) (terjemahan oleh penulis).
Gambar 6.3: Modalisasi
Berdasarkan gambar (6.3) dapat dilihat bahwa Modalisasi menghubungkan
kutub ‟ya‟ dan ‟tidak‟. Artinya, pilihan modalisasi mencerminkan sikap pembicara
terhadap kebenaran pernyataannya dan intensitas pengaruhi yang ditujukan
kepada pendengar. Dari sudut pandang pembicara, setiap pertanyaan atau
pernyataan yang diajukan harus mendapat respons yang sesuai dengan tujuan
pembicara.
Pada Proposisi yang bersifat memberi informasi, Subjek biasanya
ditempatkan sebagai unsur sentral. Sebaliknya, Proposisi yang mementingkan
Modalisasi
Probabilitas Frekuensi
ya
yakin selalu
barang kali biasanya
mungkin kadang-kadang
tidak
141
perolehan informasi menempatkan unsur tanya dan Subjek sebagai Modus.
Perhatikan contoh klausa di bawah ini (Data B2/3/12, 13, 34, 35).
(6.3) a. …Ragane sampun sayaga …
3 TG ASP ø-siaga
„Beliau sudah siap‟
b. …Seratiné kan sampun biasa makarya bakti amunika …
serati-DEF ASP FREK -buat sajen KUAN
„Serati sudah biasa membuat sajen sebanyak itu‟
c. ...Sapunapi patutné bakti sané kamargiang? …
TANYA OBLI sarana REL PAS-jalan
‟Sarana apakah yang harus disiapkan?
d. …Mrasidayang minab seratiné ngarap nika?...
TANYA PROB tukang sajen-DEF -kerja DEM
„Sanggupkah serati menyiapkannya?‟
Ragane sampun sayaga
Seratiné (kan
sampun biasa)
makarya bakti amunika
Sapunapi
patutné
bakti sane
kamargiang
Mresidayang
minab
seratiné ngarap nika?
Kata Tanya Subjek Predikator Komplemen
MODUS RESIDU
Pada Proposisi (6.3) klausa (a, b) bersifat memberikan informasi,
sedangkan klausa (c, d) bersifat meminta informasi. Pada dua klausa pertama (a,
b) dapat dilihat bahwa Subjek menempati fungsi Modus. Proposisi yang bersifat
memberikan informasi itu menempatkan komponen Subjek, polaritas ya/tidak, dan
modalitas sebagai Modus. Proposisi yang bersifat meminta informasi, seperti
contoh (c, d) biasanya menempatkan unsur tanya sebagai Modus mendampingi
142
Subjek. Dengan demikian, klausa interogatif itu cenderung memiliki dua
komponen Modus, yakni unsur yang ditanyakan dan Subjek. Klausa interogatif
menempatkan elemen tanya sapunapi ‟bagaimana‟ (c) dan mresidayang ‟sanggup‟
(d) di awal klausa sebagai komponen yang ditonjolkan. Kata tanya tersebut dapat
pula ditempatkan di akhir klausa, tetapi elemen tanya itu tidak mendapat
penekanan sebesar posisi awal klausa. Klausa interogatif (c) merupakan klausa
yang membutuhkan jawaban berupa uraian, sedangkan klausa (d) menerima
jawaban pendek ya/tidak. Ditinjau dari intonasi, Proposisi yang mengharapkan
informasi panjang biasanya dilantunkan dengan intonasi yang lebih datar
dibandingkan Proposisi yang mengharapkan jawaban ya/tidak. Perbedaan intonasi
itu mirip dengan klausa interogatif dalam balam Bahasa Inggris.
Klausa (6.3) merupakan percakapan terkait dengan kesediaan,
kelengkapan sarana, dan kesanggupan (ability). Informasi yang disediakan klausa
(a, b) di atas dapat dimaksudkan untuk menyatakan kesiapan peserta kunci dan
kelompok pengadaan sarana. Modalitas yang dimunculkan ialah patutne
‟sepatutnya‟ yang mencerminkan keharusan, sedangkan minab ‟mungkin‟ dan
biasa ‟biasa‟ menyatakan tingkat probabilitas.
Penggunaan Modulasi pada Proposisi TNNGB menunjukkan frekuensi yang
sangat kecil. Keterbatasan jumlah penggunaan Modalisasi dapat diinterpretasikan
sebagai berikut. Pertama, pembicara jarang menggunanakan Modalisasi karena
pembicara membicarakan sesuatu yang diyakini benar, atau didasarkan atas
pengalaman. Pembicara berbicara lugas sesuai dengan fakta atau pengetahuan
yang dimiliki. Dengan keyakinan itu, Modalisasi tidak dibutuhkan. Kedua, tema
143
religius dipandang sebagai tema yang tidak boleh dicederai dengan keragu-raguan
oleh pendengar ataupun pendengar. Tampaknya ada etika bahwa pembicara tidak
dibolehkan berbicara berlebihan atau tampak memaksakan kehendak. Ketiga,
hubungan antara pembicara dengan pendengar terjalin dengan rasa saling percaya.
Artinya, pendengar sangat mempercayai informasi yang diperoleh, sedangkan
pembicara menyampaikan informasi yang diyakini membawa kebaikan bagi
semua warga. Kondisi demikian diprediksi menekan penggunaan unsur
modalitas.
Modalisasi cenderung digunakan pada tahap persiapan dibandingkan tahap
puncak. Berikut deretan Modalisasi yang dimunculkan TNNGB.
(a) minab ‟mungkin‟
(b) prasida ‟bisa‟
(c) janten ‟pasti‟
(d) mrasidayang ‟bisa‟
(e) biasa ‟biasa‟
(f) sering-sering ‟sering kali‟
(g) patut ‟harus‟
Penggunaan Modalisasi dalam jumlah terbatas mengindikasikan bahwa
modalisasi tidak berfungsi signifikan dalam pertukaran makna. Pamangku sebagai
pembicara kunci sudah mendapat kepercayaan dari anggota komunitas sehingga
sebagian besar informasi yang diberikan tidak dilengkapi unsur Modalitas.
Sebaliknya, anggota komunitas bersikap sangat percaya terhadap pamangku dan
144
tidak berani meragukan kebenaran informasi yang diterima. Hal itu terjadi karena
pamangku dipandang memiliki pengetahuan dan kemampuan jauh di atas anggota
komunitas. Jadi, kepercayaan yang terjalin antarpelibat tidak membutuhkan
penggunaan Modalisasi.
Bila dicermati tipe nomina yang ditempatkan sebagai Modus, tampak
variasi Subjek insani dan noninsani (bukan manusia). Subjek noninsani
mencakup entitas selain manusia, seperti kekuatan ke-Tuhan-an yang
direalisasikan dengan beberapa manifestasi. Tabel berikut menunjukkan sebagian
dari nomina insani dan insani yang dimunculkan pada bagian isi fase puncak
TNNGB.
Tabel 6.1
Pelibat Insani dan Noninsani
Insani Noninsani
Panjak ‟rakyat‟ Batara Wisnu
Damuh ‟hamba, rakyat‟ Batara Mahadewa
Titiang ‟saya‟ Batara Iswara
Beli ‟kakak‟ (1 TG) Batara Brahma
Jero mangku Ratu Pangrenca Gumi
Krama ‟warga‟ Ratu Ngurah Tabeng Langit
Roban ‟saudara‟ I Gusti Wayan Taba
I Gusti Made Jelawung
I Gusti Nyoman Pengadangadang
I Gusti Ketut Petung
I Sampati ‟Garuda hitam‟
I Wenara Petak ‟Kera putih‟
Ratu Sang Hyang Agama ‟Tuhan‟
Tabel (6.1) menunjukkan TNNGB melibatkan pelibat noninsani lebih
dominan daripada pelibat insani. Pelibat insani dimunculkan secara berulang pada
fase persiapan. Fase puncak dan penutup didominasi oleh pelibat yang tidak
145
kasatmata. Monolog pada fase puncak dan penutup seluruhnya ditujukan kepada
partisipan noninsasi, mulai dari tahapan memohon penyucian, pengampunan,
berkah, penjagaan, pemujaan, permohonan bantuan, hingga pernyataaan
persembahan.
Keterlibatan unsur insani dan noninsani mencerminkan bahwa teks
TNNGB menautkan unsur manusia dengan unsur lain, baik yang bersifat kasat
maupun tidak kasatmata. Dengan demikian, keberadaan manusia tampaknya tidak
sepenuhnya dapat menentukan keberhasilan permohonan. Dapat pula disimpulkan
bahwa banyak hal lain di luar manusia yang turut memberi kontribusi bagi
berhasilan permohonan dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, manusia harus
menjalin hubungan baik dengan manusia lain, alam lingkungan, Tuhan, dan
manifestasi-Nya.
6.4 Struktur Proposal
Berbeda dengan Proposisi yang melibatkan aktivitas memberi (giving)
dan meminta (demanding) informasi, Proposal biasanya bersifat mempertukarkan
barang (goods) atau layanan (sevices). Pada Proposal, pihak inisiator biasanya
mengharuskan pihak lain melakukan sesuatu, sedangkan pihak responsif dapat
melakukan perintah atau mengabaikannya. Dengan kata lain, Proposal lebih
mementingkan respons nonverbal daripada respons verbal. Pembicara
menghendaki permintaan atau perintah yang diberikan dipatuhi (compliance).
Pembicara dapat menyisipkan modulasi untuk mendorong pendengar
mematuhi permintaan yang diajukan. Modalitas yang disisipkan dapat berupa
146
unsur obligasi (obligation) dan inklinasi (inclination), seperti ditampilkan di
bawah ini (diadopsi dari Halliday, 2004: 619) (terjemahan oleh penulis).
Modulasi
Obligasi Inklinasi
lakukan
harus sangat ingin sekali
diharapkan sangat ingin
diperbolehkan ingin
jangan lakukan
Gambar 6.4: Modulasi
Modulasi pada dasarnya digunakan untuk memengaruhi tingkah laku
pendengar. Pembicara berusaha menggiring mitra wicara untuk mematuhi
permintaan dalam bentuk perilaku nyata. Pembicara yang memberi perintah
dengan elemen obligasi atau inklinasi tingkat tinggi tidak memberi ruang bagi
pelibat lain untuk mengabaikan permintaannya.
Penggunaan Modulasi pada TNNGB menunjukkan distribusi yang
terbatas. Modulasi umumnya dimunculkan pada fase persiapan. Frekuensi yang
terbatas itu diprediksi terkait dengan dengan kesediaan pendengar untuk
melakukan tindakan yang diwajibkan. Berikut ditampilkan bentuk Modulasi yang
dimunculkan.
(a) lédang ‟berkenan‟
(b) suéca ‟bersedia‟
(c) ngemanahang ‟ingin‟
147
(d) pas ‟cocok‟
(e) patutné ‟sepatutnya‟
(f) perlu ‟perlu‟
(g) sepatutné ‟ ‟sepatutnya‟
(h) durus ‟diperbolehkan‟
(i) sedeng ‟seharusnnya‟
(j) becikné ‟sebaiknya‟
Berdasarkan jumlah penggunaan Modulasi tampak bahwa pembicara tidak
melakukan upaya maksimal untuk memengaruhi perilaku pelibat lain. Hal itu
mengindikasikan adanya relasi simetris antara ekspresi keinginan dan keharusan.
Artinya, pendengar merasa berkewajiban melakukan tindakan yang sesuai dengan
petunjuk pamangku, sedangkan pamangku menginginkan pendengar
melaksanakan tindakan tertentu. Berimbangnya inklinasi dan obligasi tidak
mengharuskan munculnya modulasi yang berlebihan. Keterbatasan modulasi pada
fase puncak dan penutup diprediksi terkait dengan ranah ritual.
TNNGB memerlukan berbagai tindakan fisik pada setiap fase dan tahapan.
Untuk memperoleh tindakan nyata dari pendengar, pembicara menggunakan
Proposal yang berbentuk perintah maupun permintaan. Bentuk perintah diisi oleh
verba di awal klausa, sedangkan bentuk permintaan didahului oleh ungkapan
titiang nunas ‟saya mohon‟. Proposal juga dapat diperhalus dengan meletakkan
unsur lain di depan Predikator, misalnya numeral, Sirkumtansi, atau Medium,
seperti contoh berikut (Data A3/ 3/109, 110, 89, 126 ).
148
(6.4) a. ...Asiki pajatiné unggahang di Gedong Déwi Danu...
NUM pajati-DEF -naik PREP
‟ Satu pajati persembahkan di Gedong Déwi Danu‟
b. ...Bénjang dados margiang...
Sirk MOD ø-jalan
‟Besok boleh dijalankan‟
c. ...Dados bakta ke pura baktiné...
MOD ø-bawa PREP pura sarana-DEF
‟Sarana itu bisa dibawa ke pura‟
d. ...I Ratu mulpulang sehananing méga...
ART Ratu -kumpul KUAN mendung
‟Engkau mengumpulkan semua mega‟
Dengan penambahan unsur lain di depan Predikator, pembicara
menyamarkan makna perintah menjadi makna informatif (a, b), permisif (c), atau
abilitas (d). Kesantunan perintah seolah-olah tidak memaksa pendengar
melakukan sesuatu, tetapi mempersilakannya. Pada klausa (a, b) dimunculkan
unsur Sirkumtansi yang berupa numeral dan keterangan waktu.
Pada Proposal yang tidak memunculkan mitra wicara, dapat dipahami
bahwa perintah ditujukan kepada orang kedua. Sebaliknya, pada fase puncak
dimunculkan Proposal yang memuat identitas mitra wicara. Cara demikian
mencerminkan pilihan pelibat di antara pendengar lainnya untuk melakukan
tindakan yang diharapkan. Pada bentuk yang lebih sopan, pendengar dipersilakan
melakukan sesuatu yang mendukung keberhasilan permohonan dengan ikhlas.
Pada kondisi itu, pembicara bersikap sebagai penerima bantuan (invite to receive).
Jadi, posisi sebagai pengaju permintaan bergeser menjadi penerima bantuan.
Gradasi kesopanan itu dapat dilihat pada contoh berikut (Data A2/3/ 126,
130, 131, 137, 140).
149
(6.5) a ...Ratu Ngurah Tangkeb Langit, titiang nunas sabeh ...
Ratu NAMA 1 TG -minta hujan
‟Ratu Ngurah Tangkeb Langit, saya mohon hujan‟
b. ... Medalang sehananin kerug tatit ...
-keluarkan KUAN guruh kilat
‟Keluarkan semua guruh dan kilat‟
c. ... Ratu Ngurah wantah dados paneduh...
Ratu NAMA ATR -jadi peneduh
‟Engkau menjadi harapan‟
d. ... I Ratu nyimpen keluwung geni maring ambara...
ART Ratu -simpan pipa api PREP angkasa
‟Gusti Wayan agar menyimpan semua petir‟
e. ...I Ratu ledang mulpulang sehananin entikan gulem
ART Ratu berkenan -kumpul KUAN bakal mendung
manadi sabeh merta ...
- jadi hujan berkah
‟Semoga Tuhan bekenan mengumpulkan bakal mendung menjadi
hujan yang memberkahi‟
Gradasi kesopanan tampak pada rangkaian klausa teks tolak hujan (6.5) di
atas. Dengan menyampaikan tujuan, pembicara yang dipresentasikan oleh
pamangku memerintahkan Ratu Ngurah Tangkeb Langit mengeluarkan guruh dan
kilat. Setelah itu dimunculkan klausa relasional yang menjelaskan termohon
merupakan pihak yang dapat melindungi. Termohon dinyatakan memenuhi
atribut untuk mengabulkan permohonan dan memiliki keikhlasan melakukan hal
yang dimaksud. Pada akhirnya, pemohon tidak lagi berstatus sebagai pemberi
instruksi, tetapi berstatus sebagai penerima perkenan Tuhan. Pamangku
menempatkan Ratu Ngurah Tangkeb Langit sebagai pihak yang dengan senang
150
hati melakukan bantuan kepada warga. Jadi, posisi Ratu Ngurah Tangkeb Langit
yang pada awalnya lebih rendah daripada pembicara sehingga dapat diperintah
secara perlahan dikembalikan menjadi figur yang dapat melakukan apa saja sesuai
kehendaknya. Ratu Ngurah Tangkeb Langit mengumpulkan semua mendung
untuk mendatangkan hujan bukan lagi atas pemintaan pamangku, tetapi karena
Beliau mampu melakukannya dan berkenan melakukannya. Jadi, kekuasaan
pamangku memerintah Ratu Ngurah Tangkeb Langit secara perlahan bergeser
menempatkan kekuasaan Ratu Ngurah Tangkeb Langit sebagai figur yang sangat
berkuasa dan dapat melakukan berbagai hal yang tidak dapat dilakukan manusia.
Jadi, rangkaian Proposal dapat menempatkan pendengar menjadi pihak yang aktif
melakukan perlindungan.
Pengedepanan (foregrounding) mitra wicara dalam hal ini, Ratu Ngurah
Tangkeb Langit, mengubah posisi pemohon menjadi pihak yang yang menerima
bantuan. Gradasi kesopanan itu memiliki struktur yang diawali dengan permintaan
pemohon (a, b) diikuti pernyataan abilitas termohon (c), termohon dipersilakan
melakukan abilitas yang dimaksud (d), dan termohon berkenan melakukan itu (d).
Gradasi permohonan itu mencerminkan bahwa manusia hanya dapat mengajukan
permohonan, sedangkan keberhasilan permohonan sangat bergantung pada
pertolongan dan perkenan Tuhan.
6.5 Sistem Modus
Modus atau mood mengandung pengertian sebagai kategori gramatikal
dalam bentuk verba yang mengungkapkan sikap pembicara terhadap apa yang
151
diucapkannya atau suasana psikologis menurut sudut pandang pembicara
(Halliday, 2004: 619). Dengan demikian, struktur modus merupakan suasana hati
pihak pembicara dalam mengekspresikan tujuannya.
Klasifikasi modus berkaitan erat dengan dua hal pokok, yakni (i)
komoditas yang dipertukarkan dan (ii) peran yang dimainkan oleh pembicara.
Para pelibat dalam proses pertukaran tidak saja mempertukarkan informasi, tetapi
juga menyangkut pertukaran barang dan jasa layanan. Komoditas itu mendorong
pelibat untuk menyampaikan tujuan dengan modus tertentu (speech function).
Pembicara dapat mempertukarkan informasi dengan cara mengajukan pertanyaan
atau menyampaikan suatu pernyataan. Pada pertukaran barang dan jasa layanan,
pelibat dapat memberi instruksi, mengajukan permintaan atau penawaran.
Ditinjau dari peran pelibat, proses pertukaran melibatkan pelibat yang
memberi (giving) dan pelibat yang meminta (demanding). Dengan demikian,
proses pertukaran dapat dijadikan sarana bagi seorang pembicara untuk memberi
sesuatu kepada pendengar (inviting to give), atau meminta sesuatu dari
pendengar (inviting to receive). Peran pembicara dan komoditas yang
dipertukarkan itulah yang selanjutnya dijadikan acuan dalam sistem modus.
Dalam peran sebagai pemberi informasi atau jasa layanan, pelibat dapat memilih
modus penawaran atau pernyataan. Sebaliknya, pihak yang memerlukan informasi
atau jasa layanan dapat memilih modus memerintah atau bertanya.
Klasifikasi sistem Modus Bahasa Inggris didasarkan atas kehadiran
Predikator. Dengan batasan itu terdapat dua modus pokok, yakni modus mayor
dan modus minor. Modus mayor adalah struktur modus yang memiki Predikator,
152
dioposisikan dengan modus minor. Modus indikatif dan imperatif tergolong
modus mayor. Modus imperatif berbeda dengan modus indikatif yang
memunculkan Subjek dan modal operator. Berikut ditampilkan sistem modus
Bahasa Inggris yang diadopsi dari Halliday (2004: 23) (terjemahan oleh penulis).
Gambar 6.5: Sistem Modus Bahasa Inggris
Sistem Modus Bahasa Inggris seperti tampak pada gambar (6.5) bersifat
tipikal. Modus deklaratif memiliki tata urutan Subjek^Finit^Predikator dan
digunakan oleh pembicara untuk menyatakan makna pernyataan. Makna bertanya
direalisasikan dengan modus interogatif dengan menempatkan elemen ya/tidak
atau kata tanya di awal klausa. Makna memerintah dinyatakan dalam modus
imperatif dengan menempatkan Predikator di awal klausa.
Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa Predikator dijadikan acuan bagi
kategori klausa. Klausa yang tidak mengandung Predikator tidak dapat
diklasifikasikan sebagai klausa indikatif maupun imperatif. Predikator klausa
Bahasa Inggris dapat pula direalisasikan dengan Finit.
Deklaratif
Indikatif Subjek ^ Finit
+ Modal
Mayor + Subjek
Predikator
Interogatif Ya/Tidak
Subjek^ Finit
Imperatif
Kata Tanya
Minor Tanya ^Finit
153
Jika disejajarkan dengan sistem modus Bahasa Inggris, tampak Bahasa
Bali tidak memiliki komponen sejenis Finit yang memungkinkannya membentuk
klausa dengan predikator atau tanpa predikator. Artinya, meskipun sebagian besar
klausa memiliki susunan Subjek-Predikat, namun terdapat tipe klausa yang
memunculkan Predikator secara nonleksikal, seperti ditunjukkan contoh berikut
(Data A3/4/203, 210)
(6.6) a. …I Ratu ngrénca gumi…
ART Ratu -kuasa bumi
„Engkau menguasai dunia‟
b. …Titiang damuh cokor I Dewa…
1 TG kabut kaki ART Dewa
„Aku hamba-Mu‟
I Ratu ngrénca gumi
Titiang damuh cokor I Dewa
Subjek Predikator Komplemen
Klausa (a) menunjukkan kehadiran Predikator secara leksikal, sedangkan
klausa (b) memunculkan Predikator secara nonleksikal atau fitur. Ketidakhadiran
Predikator secara leksikal seperti contoh (b) biasanya didukung agnasi dan tetap
memiliki kesatuan makna. Klausa seperti (b) disebut pula klausa nominal (Sulaga,
1996) atau predikat nonverbal (Artawa, 1996). Klausa yang memunculkan
Predikator secara leksikal atau secara fitur tetap dapat dipahami oleh pelibat dan
tidak bersifat menghambat komunikasi. Kajian lebih lanjut tentang klausa dengan
fitur Predikator dipaparkan pada subbab proses relasi identifikasional (7.2.5.2).
Dengan demikian, sistem modus Bahasa Bali tidak sepenuhnya mengikuti sistem
154
modus Bahasa Inggris, terutama pada komponen Finit. Prakiraan sistem modus
Bahasa Bali dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 6.6: Prakiraan Sistem Modus Bahasa Bali
Berdasarkan gambar (6.6) dapat dilihat bahwa sistem modus Bahasa Bali
memiliki pilihan struktur dengan atau tanpa Predikator. Kecuali unsur Finit,
struktur klausa mayor yang memiliki Predikator tampak mirip dengan struktur
mayor klausa Bahasa Inggris. Struktur klausa yang menghadirkan Predikator
maupun tanpa Predikator tetap mengandung kesatuan makna sebagai sebuah
klausa yang lengkap.
Distribusi modus tipikal menunjukkan bahwa modus komunikatif yang
paling banyak muncul pada TNNGB ialah modus imperatif. Makna perintah itu
dapat dinyatakan secara tipikal maupun nontipikal. Yang digolongkan sebagai
modus imperatif tipikal adalah klausa yang menempatkan Predikator di awal
klausa. Sebaliknya, klausa yang dikategorikan sebagai struktur imperatif
nontipikal adalah klausa perintah yang tidak diawali dengan Predikator.
Perhatikan contoh klausa imperatif tipikal berikut (Data A1/4/ 125, 128, 130,
131).
Deklaratif
Predikator Indikatif
Mayor Ya/Tidak
Interogatif
Tanpa Imperatif Kata
Predikator tanya
Minor
155
(6.7) a. …Kemit ragan beliné…
ø-jaga raga-DEF kakak-DEF
„Jaga raga kakak (saya)‟
b. …Ngadeg sira Gusti Wayan Teba…
-berdiri 3 TG NAMA
„Bangkitlah wahai Gusti Wayan Teba‟
c. …Simpen geniné bang…
ø-simpan api-DEF merah
„Simpanlah api merah‟
d. …Medalang kerug tatit…
ø-keluar guntur kilat
„Keluarkan guntur kilat‟
Klausa (6.7) merupakan contoh penggunaan modus imperatif tipikal.
Predikator yang digunakan dapat berupa proses aktif yang dimarkahi dengan (-)
atau {-} pada Predikatornya. Struktur imperatif tipikal ditemukan pada bagian
isi fase puncak dan penutup.
Pada penggunaan struktur imperatif tipikal (a) tampak para pelibat memiliki
kekuasaan yang tidak simetris. Pembicara memiliki kekuasaan yang lebih tinggi
untuk dapat memerintah pelibat lain. Pembicara, dalam hal ini, pamangku
menempatkan diri sebagai pihak yang lebih tua dengan merujuk dirinya sebagai
beli ‟kakak‟. Relasi‟kakak-adik‟ memungkinkan pembicara mengajukan perintah
kepada saudara mudanya.
Distribusi modus yang dimunculkan TNNGB dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
156
Tabel 6.2
Bentuk Modus TNNGB
No. Bentuk Modus Kode Teks
A1 A2 A3 B1 B2 B3 Jumlah
1. Deklaratif
penuh 92 57 29 184 48 25 435
eliptikal 36 17 20 25 14 17 129
2. Interogatif penuh 10 12 9 8 1 2 42
eliptikal 18 9 13 21 9 12 82
3. Interogatif
ya/tidak
penuh 4 7 4 9 2 3 29
eliptikal 9 10 4 9 8 2 42
4. Imperatif 136 82 74 220 41 69 622
5. Permintaan 120 60 72 126 67 82 527
Jumlah Klausa
425 254 225 602 190 212 1908
Tabel (6.2) menampilkan bentuk-bentuk Modus pada teks neduh ‟panggil
hujan‟ (A1, A2, A3) dan teks nyelang galah ‟tolak hujan‟ (B1, B2, B3).
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa TNNGB didominasi oleh modus
imperatif baik direalisasikan dengan bentuk perintah atau permintaan. Penggunaan
dua bentuk modus itu jauh lebih besar daripada bentuk modus deklaratif dan
interogatif. Hal itu mengindikasikan bahwa pelibat dilibatkan dalam berbagai
aktivitas nyata demi tercapainya tujuan. Dengan kata lain, TNNGB membutuhkan
banyak dukungan perilaku yang terkordinasi di antara para pelibat.
Bentuk deklaratif penuh umumnya dimunculkan pada paparan latar belakang
permohonan pada fase persiapan, fase puncak dan fase penutup. Bentuk deklaratif
eliptikal sebagian besar dimunculkan sebagai respon kesepahaman terhadap
157
paparan yang diberikan oleh pelibat lain. Bentuk tanya didominasi oleh
permintaan penjelasan pelibat ketika menerima tugas tertentu.
Klausa yang dinyatakan sebagai klausa penuh adalah klausa yang
mengandung satu pikiran lengkap, yang dapat terdiri atas (a) ada pokok
pembicaraan yang disebut Subjek, (b) unsur yang menjadi komentar tentang
Subjek yang disebut Predikator, (c) unsur pelengkap dari predikat yang disebut
Objek atau Komplemen, dan (d) unsur yang merupakan penjelasan lebih lanjut
terhadap Subjek dan Predikat yang disebut Keterangan atau Sirkumtansi (Sirk).
Klausa yang dinyatakan sebagai klausa eliptikal ialah klausa yang tidak lengkap,
karena menanggalkan komponen tertentu. Penanggalan biasanya dilakukan pada
komponen yang sudah dibicarakan sebelumnya atau sudah dipahami oleh para
pelibat. Klausa penuh maupun klausa eliptikal tetap memiliki makna yang
lengkap.
Klausa eliptikal dapat menanggalkan salah satu unsur, di antaranya
Subjek, Predikator, Komplemen, atau Adjung. Dengan demikian struktur klausa
eliptikal dapat dilihat sebagai klausa tidak lengkap dari sudut pandang
kelengkapan struktur, tetapi klausa tersebut adalah klausa lengkap dalam arti
kesatuan makna. Penanggalan tidak menghambat kesepahaman pelibat, tetapi
dapat dilihat sebagai upaya menghindari pengulangan yang berlebihan dan
pemenuhan aspek estetis.
Klausa deklaratif eleptikal dimunculkan untuk merespons pernyataan,
pertanyaan, atau perintah. Klausa deklaratif tidak lengkap itu berisi ungkapan
penerimaan informasi atau penugasan. Klausa interogatif dapat direspon dengan
158
memberi informasi yang dibutuhkan atau persetujuan. Klausa permintaan atau
perintah cenderung direspons dengan kesanggupan dan ditindaklanjuti secara
nyata. Yang paling menonjol TNNGB tidak memunculkan klausa yang
menunjukkan ekspresi berbantahan di antara pelibat.
Terkait dengan dominasi modus perintah dan permintaan dalam TNNGB
dapat dijelaskan sebagai berikut.
(1) TNNGB merupakan penggunaan bahasa dalam fungsinya untuk
mempertukarkan makna.
(2) Fungsi mempertukarkan itu meliputi tahapan:
(a) mengajukan berbagai pernyataan terkait fenomena cuaca dan
keberlangsungan mata pencaharian petani,
(b) mengajukan permintaan dan perintah terkait rencana pelaksanaan teks
sehingga setiap pelibat dapat berperan aktif dalam teks,
(c) mengajukan pertanyaan untuk memperoleh kejelasan rencana,
(d) memberikan perintah dan permintaan untuk membantu keberhasilan
permohonan.
(3) Fungsi bahasa untuk mempertukarkan tersebut secara teoritis harus
direalisaikan dengan modus tertentu, yakni modus deklaratif untuk
menyatakan pernyataan, modus interogatif untuk mempertanyakan sesuatu
atau mengajukan penawaran, sedangkan modus imperatif untuk memberikan
perintah, mengajukan permintaan atau mengajak untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian, TNNGB memiliki ciri utama teks permohonan yang
disampaikan dengan modus imperatif terhadap pelibat kasatmata ataupun
159
pelibat tidak kasatmata. Dukungan aktif kedua tipe pelibat itu memungkinkan
tujuan tercapai. Respons yang diharapkan ialah respons nonverbal berupa
tindakan yang seusai. Sementara itu, modus lainnya merupakan modus
komplementer yang strategis dalam membentuk kesatuan makna teks.
6.6 Modus Nontipikal
Pada situasi khusus dapat terjadi kendala penggunaan modus tipikal.
Kendala situasi misalnya, dapat menjadi pertimbangan bagi pembicara untuk
beralih menggunakan modus nontipikal. Modus nontipikal disebut pula modus
termodulasi, yaitu modus yang difungsikan pada fungsi kedua (secondary
function). Modus nontipikal mengakomodasi ketidaksimetris makna dengan
struktur. Pergeseran pilihan modus dilakukan untuk mengakomodasi faktor
kepatutan yang bersifat konvensional. Artinya, latar tertentu meresepkan
pembicara untuk beralih pada modus nontipikal. Jadi, bahasa selalu menyediakan
cara untuk mengakomodasi hal-hal yang bersifat kultural. Modus tertentu dapat
dipergunakan untuk menyatakan makna yang tidak simetris dengan fungsi
umumnya. Dengan kata lain, modus komunikatif dapat difungsikan untuk maksud
yang berbeda dari fungsi tipikalnya.
Berdasarkan konfigurasi makna dan modus dapat diketahui bahwa modus
deklaratif tidak saja dapat digunakan untuk menyatakan makna menyatakan, tetapi
juga makna bertanya dan memerintah. Modus interogatif tidak hanya dapat
digunakan untuk makna bertanya, tetapi juga untuk kepentingan menyatakan dan
memerintah. Modus imperatif tidak hanya dapat digunakan untuk memerintah,
160
tetapi juga menyatakan atau bertanya. Konfigurasi tiga modus tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut (diadopsi dari Larson, 1998: 263) (terjemahan oleh
penulis).
Gambar 6.7: Konfigurasi Makna dan Modus
Pada gambar (6.7) tampak fungsi tipikal modus digambarkan dengan garis
lurus, sedangkan fungsi nontipikal digambarkan dengan garis putus-putus.
Menurut Larson (1998: 263), pergeseran makna dan struktur gramatikal
dimotivasi oleh adanya konfigurasi makna dan struktur gramatikal (the possible
skewing of semantic illocutionary force and the grammatical form), sehingga
suatu makna dapat dinyatakan dalam beberapa pilihan modus. Jadi, ada
kebebasan bagi pembicara dalam merealisasikan makna dengan modus yang
sesuai. Secara struktural tidak tampak perbedaan signifikan antara struktur tipikal
dan nontipikal, tetapi perbedaannya terletak pada makna yang dikandung. Dengan
demikian, klausa termodulasi tidak cukup dipahami struktur formalnya saja, tetapi
harus dilanjutkan pada implikasi makna yang dikandung.
Yang paling menonjol terkait modus nontipikal dalam TNNGB ialah ada
kecenderungan menyatakan makna memerintah dengan modus nonimperatif.
Makna Struktur Gramatikal
Menyatakan Klausa Deklaratif
Bertanya Klausa Interogatif
Memerintah Klausa Imperatif
161
Artinya, makna memerintah itu dapat direalisikan dengan menggunakan modus
lain. Untuk mencermati pilihan modus yang digunakan, berikut ditampilkan
contoh percakapan pada tahap mapinunas „meminta bantuan‟ yang melibatkan
ketua adat (KA) dan ketua paguyuban pamangku (P) (Data B2/1).
No Tuturan Tujuan Fungsi
1.
KA: Om Swastyastu, jero mangku
„Salam‟
Memberi
salam
Membuka
percakapan
2. P: Om Swastyastu „salam‟ Menjawab
salam
Kesiapan
menerima
3. P: Napi wénten pak klian?
„Ada apa, ketua adat?‟
Transisi Kesiapan
memasuki isi
4. KA: Kénten jero, niki jaga wénten
kegiatan kerja bhakti ring Pura
Pucak
„Begini, ada rencana kegiatan
kerja bakti di pura Pucak‟
Menyatakan
rencana
Memperkenal
kan topik
5. KA: Duaning pelinggih duéné sané
kasendér jebol
„Oleh karena tembok halaman
pura longsor‟
Menyatakan
kondisi
Pendalaman
topik
6. KA: Kénten, antuk keni ujan tiap
tiap hari
„Terkikis hujan setiap hari‟
Menyatakan
penyebab
Pendalaman
topik
7. KA: Mangkin duaning kénten, titiang
nunasang mangda nunas
embang
„Oleh sebab itu, sekarang saya
meminta agar anda
melaksanakan tolak hujan‟
Menyatakan
permintaan
Meminta
tanggapan
8. KA: Sapunapi patutné bakti sané
patut kekaryanin
„Sarananya apa saja?‟
Meminta
informasi
sarana
Meminta
informasi
lanjutan
9. KA: Trus malih kudang rahina
patutné titiang nauhin kramané
indik kerja baktiné ring pura,
jero mangku?
„Kapan seharusnya saya
mengajak warga mengadakan
Meminta
informasi
waktu
Meminta
informasi
lanjutan
162
kerja bakti di pura?‟
10. P: Nggih, niki wénten galah malih
tigang rahina
„Baiknya tiga hari lagi‟
Menyatakan
waktu
Menerima
permasalahan
11. P: Indik bakti anggén nunas
embang punika baktiné wantah
bakti apajatian sareng pratista,
nasi manca warna muah nasi
putih kuning
„Sarananya adalah pejati, nasi
lima warna dan nasi putih
kuning‟
Menyatakan
sarana
Memberikan
informasi
12. P: Karuntutin antuk nasi
pawongwongan selem lan putih,
mebé ayam betutu putih
kuning.
„Lengkapi dengan nasi
pawongwongan hitam dan
putih‟.
Menyatakan
sarana
khusus
Memberikan
informasi
lanjutan
13. KA: Sampun nika mangku?
„Sudah itu saja?
Konfirmasi Konfirmasi
14. KA: Nggih. Suksma jero mangku
„Ya, terima kasih‟
Menerima
informasi
Menjawab
15. KA: Ngeninin indik bakti sané
keanggén: pajatian, pratista,
nasi pawongwongan, taler
segehan maulam bawang jaé
lan ayam betutu
„Untuk sarana dibutuhkan nasi
pajatian, pratista, nasi
pawongwongan, dan segehan
dengan bawang jahe ditambah
ayam betutu
Mengulang
informasi
Memastikan
informasi
16. KA: Nika patut bakti sané jaga
kekaryanin jero mangku?
„Benarkah sarana itu yang harus
disiapkan?
Konfirmasi Konfirmasi
17. P: Nggih
„Ya‟
Menerima Menyatakan
persetujuan
18. P: Malih nasi manca warna nika
„Juga nasi lima warna‟
Menyatakan
sarana
tambahan
Mengoreksi
informasi
19. P: Nggih, mangda becik titiang
nauhang ring tukang banten
druéné
„Baik, agar dapat saya
Merangkum Transisi
163
sampaikan kepada tukang sajen‟
20. KA: Nggih, suksma, jero mangku
„Ya, terima kasih‟
Berterima
kasih
Menutup
percakapan.
21. P: Nggih, suksma
„Ya, terima kasih‟
Menerima Menyetujui
penutupan
22. KA: Suksma jero. Duaning sampung
nika, mangkin titiang pamit jero
mangku
„Saya mohon diri‟
Mohon diri Pernyataan
mohon diri
23. P: Suksma
„Terima kasih‟
Menerima Menyetujui
permohonan
mohon diri
24. KA: Nggih, suksma
„Ya, terima kasih‟
Menutup
percakapan
Berpisah
Percakapan pada teks mapinunas di atas diawali dengan salam pembuka
dan ditutup dengan berpamitan dan ucapan terima kasih. Ditinjau dari pilihan
modus yang digunakan, tampak modus deklaratif dimunculkan lebih dominan
daripada modus lain mengingat teks mapinunas „bertanya, meminta bantuan‟
merupakan teks kordinatif antara pemohon dengan pamangku. Modus deklaratif
dipakai untuk maksud memberikan penjelasan terkait dengan topik, berterima
kasih, menyatakan mohon diri, dan menerima pernyataan mohon diri. Sebagian
kecil dari klausa deklaratif itu dapat dipandang menjalankan fungsi memerintah,
seperti contoh (3, 7, 13, 16, 22). Contoh (3) mengandung perintah untuk meminta
mitra wicara memasuki isi permasalahan. Klausa deklaratif pada contoh (7)
dimaksudkan menyampaikan permintaan pelaksanaan nyelang galah. Contoh (13,
16) mengandung perintah menggenapi kelengkapan sarana yang diwajibkan.
Ekspresi prapenutup (19) menggiring pelibat menutup percakapan. Dengan
demikian, modus deklaratif dapat mengemban makna perintah yang santun. Hal
164
itu menunjukkan bahwa komunitas Bali tidak hanya menyampaikan suatu pesan
secara tersurat, tetapi juga ada pesan yang dinyatakan secara tersirat.
Pada percakapan di atas tampak penggunaan modus nontipikal berkaitan
dengan fungsi pembicara, kekuasaan, ranah, dan senioritas. Pertama, ketua adat
adalah inisiator dari peristiwa mapinunas. Artinya, ketua adat berkepentingan
pada pelaksanaan teks dan mengambil inisiatif mendatangi ketua pamangku untuk
merencanakan ritual. Sebagai inisiator yang membutuhkan petunjuk pamangku
terkait dengan waktu, sarana, dan hal-hal lainnya, ketua adat tidak sepatutnya
menggunakan modus memerintah. Kedua, dalam hal kekuasaan, kedua pelibat
memiliki kekuasaan masing-masing dan tidak berstatus sebagai atasan dan
bawahan. Ketua adat memiliki kekuasaan terhadap krama „seluruh warga‟
sedangkan ketua pamangku memiliki kekuasaan keagamaan, meliputi semua
tatacara pelaksanaan adat dan agama. Jadi, masing-masing pihak memiliki
wilayah kekuasaan yang berbeda. Ketiga, ranah ritual keagamaan tidak
mengizinkan pelibat untuk menonjolkan kekuasaan masing-masing. Pembicaraan
ritual cenderung bernuansa formal, santun, dan setiap pelibat sangat menjaga
sikap dan ucapannya. Keempat, terkait dengan senioritas, pelibat yang lebih muda
sudah sepantasnya menghormati pelibat yang lebih tua. Pelibat muda tidak
sepatutnya memerintah pelibat yang lebih senior. Pada percakapan ketua adat dan
ketua paguyuban pamangku itu, makna imperatif dapat dimunculkan dalam modus
deklaratif termodulasi. Dengan demikian, makna imperatif dapat dinyatakan
secara santun.
165
Berikut ditampilkan penggunaan contoh penggunaan modus nontipikal
pada fase sangkep pengurus ‟rapat‟ (Data B3/1/12, 7 dan A1/2/ 49, 68).
(6.8) a. ...Baan ujané ten rérénan, tiang maserah ring mangku niki...
KONJ ujan-DEF NEG berhenti, 1 TG -serah PREP mangku DEF
‟Karena hujan tidak henti-hentinya, saya berserah pada mangku‟
(Makna: Saya minta anda melakukan ritual tolak hujan)
b. ...Sinah ada gatra mabuat niki...
JUD EKS kabar -penting DEM
‟Pasti ada kabar penting ini‟.
(Makna: Ceritakan tujuan kedatangan anda!)
c. ...Kadi tiang setuju nika, minab taler pamangku lianan...
PREP 1TG setuju DEM, JUG juga pamangku lain
‟Saya sendiri setuju itu, kira-kira pamangku lain juga‟
(Makna: Nyatakan sikap anda!)
d. ...Santukan guminé panes kanti tandurané layu,
KONJ bumi-DEF panas KONJ tanaman-DEF layu,
‟Karena bumi demikian panas hingga tanaman layu,
nika sané mawinan tiang ngerauhin jero mangku...
DEM REL KONJ 1TG -datang HON SOS
Itu yang menyebabkan saya mendatangi jero mangku (anda)‟
(Makna: Mohon anda lakukan langkah penyelamatan tanaman warga)
Klausa (6.8) merupakan contoh penggunaan modus deklaratif dalam fungsi
lapis kedua. Pelibat klausa (a) adalah pemohon nyelang hujan dan ketua
pamangku, klausa (b) melibatkan ketua pamangku dan ketua adat. Klausa (c)
adalah pernyataan pamangku Puseh kepada ketua pamangku, sedangkan klausa
(d) merupakan pernyataan ketua adat kepada ketua pamangku. Ditinjau dari
fungsi komunikasi, tampak modus deklaratif yang digunakan dalam contoh di
atas bukan untuk menyatakan, tetapi untuk kepentingan memerintah (a, b, c, d).
Secara semantis, pembicara bermaksud menyuruh pelibat lain untuk melakukan
166
sesuatu, tetapi terhalang oleh kendala tertentu. Misalnya pada klausa (a)
kekuasaan pelibat yang tidak simetris, tidak memungkinkan bagi pelibat dengan
kekuasaan lebih rendah memerintah pihak yang memiliki kekuasaan (power)
yang lebih tinggi. Ketidakberimbangan kekuasaan menyebabkan terjadinya
pergeseran pilihan dari modus tipikal menjadi modus termodulasi. Pada kluasa
(b), sekalipun ketua pamangku memiliki kekuasaan yang lebih dominan
dibandingkan dengan ketua adat, terdapat keinginan untuk menghormati
pemimpin sosial. Etika untuk menghormati antar pemimpin pura (c, d) memicu
pilihan modus nontipikal. Artinya, makna bertanya tidak disampaikan secara
langsung, tetapi dilakukan dengan modus lain demi menjunjung nilai kesopanan.
Pada klausa (d), ketua adat tidak langsung memerintah pamangku untuk
menyelamatkan tanaman warga, tetapi dilakukan dengan paparan yang mendasari
permintaan tersebut.
Makna memerintah dapat pula ditampilkan dalam bentuk klausa bersyarat
(conditional modulated declarative) seperti contoh berikut (Data A2/2/ 98, 122,
135).
(6.9) a. ...Yén ada waktu, de buin tundana...
bila EKS waktu, NEG lagi tunda-PAS
‟Bila ada waktu, jangan ditunda‟
b. ...Yén prasida antuk, tanggal dualikur niki dados margiang...
bila MOD PREP tanggal 24 DEM REL -jalan
‟Bila memungkinkan, tanggal 24 bisa dijalankan‟
.
c. ...Yén kénten, sangkepang prajuruné sami...
bila demikian, -rapat pemuka adat-DEF KUAN
‟Kalau demikian, rapatkan semua pemuka adat‟
167
Klausa (6.9) disampaikan oleh ketua pamangku kepada peserta rapat yang
terdiri atas pangurus desa dan para pamangku. Klausa (a, b) berbentuk klausa
bersyarat sehingga makna perintah dapat dipahami seolah-olah tanpa paksaan.
Makna perintah dalam bentuk klausa bersyarat itu cenderung lunak, sehingga
lebih mudah memperoleh persetujuan. Perintah yang santun itu tentu sulit untuk
disanggah. Klausa (c) merupakan perintah yang berupa solusi yang harus
dikerjakan.
Nilai kesantunan makna memerintah juga dapat dimunculkan dengan modus
interogatif retoris. Perhatikan seperti contoh berikut (Data A1/1.3/ 9, 17).
(6.10) a. ...Napi ye katunas antuk panjak duéné?...
TANYA PAS-makan PREP hamba-DEF
‟Apa yang kami makan?‟
b. ...Jagi neduh sapunapi, mangda gelis wénten sabeh?...
MOD -teduh TANYA KONJ cepat EKS hujan
‟Apa perlu menjalankan ritual panggil hujan supaya segera hujan turun?‟
Kalimat interogatif retoris (6.10) bersifat tidak meminta jawaban. Klausa (a)
mengandung makna bahwa jika hujan tidak segera turun, rakyat akan sengsara dan
kelaparan. Oleh sebab itu, klausa (a) bermakna perintah ‟selamatkan hidup
warga‟. Klausa (b) mengandung makna usulan untuk melakukan ritual panggil
hujan. Dengan demikian, klausa (6.9 dan 6.10) tidak sepenuhnya bersifat
menerangkan atau menanyakan sesuatu, tetapi dapat dilihat sebagai klausa yang
berimplikasi perintah. Tampaknya terdapat etika untuk menyampaikan makna
memerintah secara santun pada pembicaraan ranah sensitif.
168
Bila dominasi modus imperatif dikaitkan dengan struktur skematik dapat
diketahui bahwa pelaksanaan TNNGB membutuhkan dukungan perilaku pelibat.
Setiap tahapan merupakan langkah kerja yang harus dilaksanakan secara
bersinergi sesuai petunjuk ketua pamangku yang berfungsi sebagai partisipan
kunci. Respon fisik itu dikenakan pada setiap pelibat.
169
BAB VII
STRUKTUR TRANSITIVITAS
7.1 Pengantar
Ditinjau dari medan komunikasi, bahasa dapat dipergunakan untuk
menggambarkan dunia logika (ideasional) dan dunia pengalaman (eksperiensial).
Logika umumnya dinyatakan dalam berbagai ekspansi atau proyeksi. Ekspansi
diperlukan karena ide tidak dapat dijelaskan dengan sebuah klausa sederhana,
tetapi identitas ide memerlukan paparan yang lebih luas. Di sisi lain, dunia
pengalaman biasanya dinyatakan dalam berbagai bentuk tipe proses yang
menggambarkan keaktifan pelaku dalam setiap pengalaman yang dialami.
Struktur transitivitas berfokus pada paparan pengalaman termasuk peran
pelaku dalam setiap pengalaman yang dialami. Pengalaman tentu tidak dapat
dilepaskan dengan bagaimana suatu proses dapat terjadi dan keterangan lain yang
mendukung proses tersebut. Secara garis besar, dunia pengalaman dapat dipilah
menjadi dua tipe, yakni peristiwa yang terjadi pada diri dan peristiwa yang terjadi
di luar diri. Pengalaman dalam diri melibatkan aspek kesadaran yang kemudian
dapat memunculkan persepsi, emosi, dan imajinasi. Pengalaman di luar diri
terdiri atas jenis peristiwa dan kejadian yang terjadi tanpa keterlibatan diri sendiri.
Dengan demikian, pengalaman berkaitan dengan proses peristiwa yang tengah
terjadi, partisipan yang terlibat dalam proses, dan keterangan lain yang
berhubungan dengan proses (Halliday, 2004: 175).
170
Secara rinci, pengalaman dipilah menjadi beberapa kategori tipe proses,
termasuk hubungan antarelemen yang dibentuknya. Kategori proses yang
biasanya mengisi slot Predikator dinyatakan sebagai inti klausa yang memiliki
kemampuan mengikat kelas lain. Secara umum, kelompok verba dipetakan ke
dalam tipe proses, kelompok nomina dipetakan ke dalam partisipan, dan
kelompok adverbia dipetakan ke dalam Sirkumtansi (Eggins, 1994: 237). Tipe
proses berkaitan dengan medan teks, partisipan adalah pelibat yang terlibat dalam
proses secara sintaktis, sedangkan Sirkumtansi mencakup keterangan tempat, cara,
dan keterangan lain yang berhubungan dengan proses.
Sebagai realisasi dari metafungsi eksperiensial, antarpelibat, dan tekstual,
unsur proses, partisipan dan sirkumtansi memunculkan identitas subjek dalam
sudut pandang yang berbeda. Tipe proses memunculkan kategori subjek logis,
yakni Aktor yang secara logika merupakan pelaku aktif suatu proses. Partisipan
dikaitkan dengan fungsi subjek gramatikal, sedangkan Sirkumtansi melahirkan
subjek psikologis (Halliday, 2004: 56). Pemetaan tiga underlying subjek yang
kemudian disebut Aktor, Subjek, dan Tema dapat dilihat pada contoh klausa
berikut (diadosi dari Halliday, 2004: 56) (terjemahan oleh penulis).
(7.1) The duke gave my aunt this teapot
ART bangsawan beri 1TG bibi ART teko
„Bangsawan itu memberikan bibi saya teko ini‟
171
Struktur Konstituen The duke gave my aunt this teapot
Argumen 1 Predikator 2 3
Subjek Psikologis Tema
Subjek Gramatikal Subjek
Subjek Logis Aktor
Pada contoh (7.1) di atas tampak klausa dengan Predikator gave
„memberi‟ memunculkan tiga argumen. Konstituen the duke merupakan Partisipan
I yang mengemban tiga fungsi sekaligus, yakni sebagai Tema, Subjek, dan Aktor.
Kelompok kata the duke berfungsi sebagai realisasi komponen dalam metafungsi
eksperiensial, antarpelibat, dan tekstual. Dengan demikian, the duke menjalankan
fungsi sebagai: (a) Tema, the duke adalah inti pesan atau tema terlihat dari
posisinya di awal klausa, (b) Subjek, the duke adalah argumen yang mendapat
Predikator, dan (c) sebagai Aktor, the duke merupakan pelaku dari kegiatan gave
„memberi‟. Dengan kata lain, secara pragmatik the duke adalah Tema, secara
gramatikal the duke menempati fungsi Subjek, sedangkan secara semantis logis,
the duke adalah Aktor. Pemetaan lurus subjek dalam tiga metafungsi berbeda itu
dikategorikan sebagai konstruksi tidak bermarkah dengan struktur dasar Subjek ^
Predikator ^ Komplemen ^ Adjung.
7.2 Tipe Proses
Analisis transitivitas berakar pada karakteristik semantik pengisi fungsi
Predikator. Terdapat tiga proses pokok yang digambarkan oleh Predikator,
masing-masing proses aktivitas (doing), proses kesadaran (sensing), dan proses
172
hubungan (being). Proses pokok itu dijabarkan lagi dalam bentuk proses yang
lebih spesifik yang menyatakan keberadaan, perubahan, hubungan, perkataan,
perilaku dan pengindraan. Setiap tipe proses mengikat kelompok nomina dan
adverbia tertentu. Artinya, tipe proses tertentu dapat menyeleksi kelas nomina
yang berbeda sebagai partisipan yang terlibat langsung maupun tak langsung
dalam proses tersebut. Contohnya, proses material menginformasikan adanya
suatu kegiatan yang dilakukan oleh Aktor pada suatu waktu, tempat atau cara
tersendiri. Proses pokok menurunkan enam tipe proses yang terdiri atas proses
material, proses verbal, proses mental, proses perilaku, proses eksistensial , dan
proses relasional. Karakteristik tipe proses dapat dijabarkan sebagai berikut
(diadopsi dari Eggins, 1994: 228).
(a) Proses Material
Proses material merupakan tipe proses pokok yang menggambarkan dunia
fisik (physical worlds) dengan ciri mendasar adanya aktifitas doing
„melakukan‟ yang menunjukkan perubahan kongkret. Proses material
mencakup aktifitas melakukan, membuat dan kejadian atau peristiwa. Kelas
material dipilah menjadi dua: (a) Subtipe „melakukan‟ (doing) yang
mencakup aktivitas „melakukan‟ dan „membuat‟ yang biasanya ditunjukkan
oleh klausa material transitif. Argumen yang dimunculkan dapat berfungsi
sebagai Aktor dan Tujuan, dan (b) Subtipe „peristiwa‟ atau kejadian
(happening) yang biasanya ditunjukkan oleh klausa material intransitif.
Klausa intransitif memunculkan satu argumen yang otomatis berfungsi
sebagai Aktor pada verba aktif. Di samping dua peran tersebut, proses
173
material yang memunculkan lebih dari dua argumen dapat memunculkan
fungsi Benefaktif (Benefactive), seperti Pengguna (Client) atau Penerima
(Recipient).
(b) Proses Perilaku
Proses perilaku atau proses tingkah laku (behaving) memiliki sebagian ciri
proses material dan sebagian ciri proses mental. Secara sematis, proses
perilaku merupakan perpaduan pengalaman “merasakan” (sensing) dan
“melakukan” (doing). Oleh sebab itu, proses perilaku dinyatakan
memformulasikan aspek fisiologis dan psikologis. Proses perilaku yang
dimaksud adalah perilaku manusia yang dilakukan dengan penuh kesadaran,
seperti tersenyum, melirik, batuk, atau menggerutu. Diakui bahwa proses
perilaku memiliki definisi yang tidak jelas karena dapat mengandung
kombinasi dua proses. Peran semantis tertinggi pada proses perilaku adalah
Petingkah Laku (Behaver).
(c) Proses Mental
Proses mental (sensing) tergolong proses utama yang menggambarkan
pengalaman dunia kesadaran (world of consciousness). Proses mental
ditandai dengan adanya pengindraan, seperti melihat (seeing), memikirkan
(thinking), menginginkan (wanting), atau merasakan (feeling). Peran
semantis tertinggi argumen pada tipe mental adalah Pengindra (Senser).
Dengan demikian, Pengindra hanya dapat diisi oleh argumen insani yang
berada dalam kondisi sadar.
174
(d) Proses Verbal
Proses verbal ditandai dengan adanya kegiatan berkata-kata (saying). Peran
tertinggi partisipan tipe verbal adalah Pemerkata (Sayer). Argumen lain
dapat hadir adalah Target/Penerima (Receiver), dan Perkataan (Verbiage).
(e) Proses Relasional
Proses relasional merupakan proses utama yang menggambarkan relasi
dunia abstrak (world of abstract relations). Tipe Relasional mencakup relasi
antara entitas dan atibut yang dimiliki, antara entitas dan identitas yang
dimiliki, atau antara simbol dan makna yang diwakilinya. Secara umum,
proses relasional bersifat menghubungkan antarpartisipan yang dimunculkan
dalam klausa. Proses relasional mewajibkan munculnya dua partisipan.
Tipe relasional dapat dipilah menjadi dua subtipe, yakni (a) relasi
identifikasi (Identifying) yang ditandai dengan hadirnya peran Penyandang
Identitas (Token) dan Nilai (Value), dan (b) relasi atributif yang ditandai
dengan hadirnya peran Penyandang Atribut (Carrier) dan Atribut.
(f) Proses Eksistensial
Proses eksistensial atau proses wujud mempresentasikan suatu keberadaan.
Proses eksistensial ditandai dengan adanya Wujud (Existent). Dalam
Bahasa Inggris, klausa tipe Eksistensial biasanya diawali dengan there
is/are „ada‟ yang tidak mengemban fungsi semantis apa pun (empty
content), tetapi difokuskan pada pernyataan keberadaan. Dengan demikian,
proses eksistensial mengikat satu partisipan, yakni Wujud.
175
Pilahan tipe proses memungkinkan adanya persinggungan antarproses
yang berdampingan, seperti digambarkan di bawah ini.
Gambar 7.1: Tipe Proses
Gambar (7.1) menunjukkan adanya tiga kelas pokok, yakni (a) proses
relasi abstrak (world of abstrack relations) yang menyatakan being „menjadi‟, (b)
proses fisik (physical world) yang menyatakan aktivitas (doing), dan (c) proses
kesadaran (world of conciousness) yang menyatakan aktivitas merasakan
(sensing). Dengan kata lain, proses relasional, proses material, dan proses mental
merupakan tiga proses pokok, sedangkan proses perilaku, proses eksistensial , dan
proses verbal merupakan tipe proses sekunder yang memiliki karakteristik
perpaduan dua proses pokok yang mendampinginya. Di bawah ini ditampilkan
tipe proses dan peran semantis yang dimunculkan setiap proses (Diadopsi dari
Halliday, 2004: 260 -172; dan Eggins, 1994: 228) (diterjemahkan oleh penulis).
DOING
SENSING BEING SENSING
SENSING BEING
Proses Material
Proses Verbal
Proses Relasional
Proses Perilaku Proses Eksistensional
Proses Mental
176
Tabel 7.1
Tipe Proses dan Partisipan
Tipe Proses Partisipan
Terlibat Langsung
Partisipan
Terlibat secara Oblik
Material Peristiwa Aktor
Tujuan, Benefaktif
Melakukan
Mental Persepsi Pengindra
Fenomena
- Pengetahuan
Keinginan
Emosi
Verbal Pemerkata Target, Perkataan
Perilaku Petingkah Laku Tingkah Laku,
Fenomena
Eksistensial Wujud -
Relasional Atributif Penyandang, Atribut -
Identifikasional Token, Nilai -
Sistem ketransitifan seperti ditunjukkan tabel (7.1) di atas dirancang
berdasarkan perilaku tipe proses pada Bahasa Inggris dan dinyatakan dapat
dipakai untuk menganalisis Predikator dalam teks berbagai bahasa di dunia. Peran
partisipan sebagai argumen dipilah atas argumen yang terlibat langsung dan
terlibat secara manasuka. Partisipan yang berhubungan langsung dengan
Predikator (directly involved) dikategorikan sebagai partisipan wajib, sedangkan
partisipan yang berhubungan dengan Predikator secara oblik (obliquely involved)
dinyatakan sebagai partisipan tak wajib. Argumen yang terlibat langsung dapat
terdiri atas dua partisipan yang dinyatakan sebagai Partisipan I dan Partisipan II.
Partisipan I adalah partisipan yang mengandung peran semantik tertinggi,
misalnya Aktor (Actor), Petingkah Laku (Behaver), Pengindra (Senser),
177
Pemerkata (Sayer), Penyandang, (Carrier), Token atau Wujud (Existent) atau
tergantung pada tipe proses yang dinyatakan oleh Predikator klausa yang
bersangkutan.
Secara logika, teori Sistemik memandang setiap tuturan yang dipakai baik
lisan maupun tertulis adalah klausa yang bermakna dan cocok (appropriate).
Dengan demikian, setiap partisipan atau Sirkumtansi yang dimunculkan pada
suatu jenis proses adalah relevan dan cocok pada klausa bersangkutan.
7.2.1 Proses Material
Proses material pada dasarnya mencakup dua subtipe, yakni (a) tipe
“melakukan” (doing), dan (b) tipe menyatakan “peristiwa” (happening). Dengan
demikian, proses material mencakup paparan kegiatan yang di dalamnya
terkandung makna perubahan yang dihasilkan melalui proses “melakukan” atau
paparan tentang suatu peristiwa yang terjadi. Proses material meliputi setiap
klausa yang menyatakan peristiwa ataupun proses perbuatan kongkret, riil, atau
aksi tangible. Makna mendasar tipe “peristiwa” adalah adanya entitas melakukan
sesuatu atau dapat menjawab pertanyaan „apa yang dilakukan X? Sementara itu,
tipe “melakukan” adalah klausa yang dapat menjawab pertanyaan „apa yang
dilakukan X terhadap Y? Jadi, proses material adalah proses yang menyatakan
tindakan kongkret yang dilakukan oleh Aktor.
Jumlah partisipan pada proses material dapat bervariasi tergantung pada
jenis proses yang dilakukan. Proses material yang menjangkau satu partisipan
cenderung menggambarkan peristiwa, sedangkan pada klausa yang memunculkan
dua partisipan atau lebih bersifat menggambarkan aktivitas “melakukan” atau
178
“membuat”. Partisipan yang paling sering muncul pada proses material adalah
Aktor dan Tujuan. Pada verba aktif, Aktor pada proses material dapat dipetakan
ke Subjek. Sebaliknya, pada verba pasif partisipan tersebut cenderung dipetakan
ke Adjung. Pada klausa aktif yang memunculkan dua partisipan, pelaku dari
tindakan yang dinyatakan Predikator merupakan Partisipan I, tetapi pada verba
pasif fungsi Aktor biasanya dinyatakan sebagai Partisipan II yang berstatus Oblik.
Klausa intransitif proses material menghendaki ada satu Tujuan (Goal) dalam
sebuah klausa. Yang dimaksud Tujuan adalah argumen yang memiliki peluang
menduduki peran Subjek pada klausa pasif dengan menggeser posisi Aktor
menjadi Oblik.
Berikut contoh klausa proses material yang mengikat Aktor dan Tujuan
(Eggins, 1994: 232) (terjemahan oleh penulis).
(7.2) a. They tested my blood
3 PL periksa-PAS 1T darah
„Mereka memeriksa darah saya‟
b. These two wonderful Swiss men left their dinner
DEM NUM tampan Swiss pria pergi 3PL makan malam
„Dua orang Swiss yang tampan ini meninggalkan makan malamnya‟
Kegiatan tested (a) dan left (b) merupakan Predikator masing-masing
klausa di atas yang memerlukan pelaku. Aktor dari kegiatan tersebut dinyatakan
oleh kelompok nomina they (a) dan these two wonderful Swiss men (b) yang dapat
langsung dipetakan ke Subjek. Frasa my blood pada klausa (a) dan their dinner
pada klausa (b) dikategorikan sebagai Tujuan, karena kelompok nomina tersebut
merupakan Tujuan dari kegiatan tested dan left. Penentuan peran Tujuan
179
didukung kemampuan kelompok nomina itu menduduki peran Subjek pada bentuk
pasif, (a) My blood was tested „darah saya diperiksa‟ dan (b) Their dinner was left
„makan malamnya ditinggalkan‟.
Peran semantik lain yang dapat muncul pada proses material adalah
Jangkauan. Menurut Halliday, relasi antara proses dengan Jangkauan bersifat
lebih erat dibandingkan dengan Tujuan. Jangkauan dapat memiliki ciri sebagai (a)
pernyataan ulang (restatement) dari proses, (b) dijangkau oleh proses, (c) domain
proses, atau (d) mengikuti verba dummy (kosong). Contohnya, a song pada klausa
they sing a song „mereka menyanyikan sebua lagu‟ adalah pernyataan ulang dari
aktivitas sing „bernyanyi‟. The blood merupakan Jangkauan pada klausa they
transfused the blood „mereka mentransfusikan darah‟ karena the blood sudah
dijangkau oleh Predikator mentransfusikan sebagai satu-satunya entitas yang
dapat ditransfusikan. Jangkauan dapat berupa domain dari proses dan kerap hadir
dalam frasa berkata depan seperti he plays beautifully on the piano „dia
memainkan piano dengan sangat baik‟. Ciri lain Jangkauan adalah dapat muncul
mengikuti verba kosong (dummy verbs) seperti take, give, like, do, have, dan
make, seperti contoh, (a) she take a rest „dia beristirahat‟ yang dapat dipadankan
dengan she rested, (b) You give me a smile „kamu tersenyum‟ yang dapat
dipadankan dengan you smiled to me, (c) I make a mistake „saya salah‟ yang dapat
dipadankan dengan I mistake, atau (d) He had a bath „dia mandi‟ yang dapat
dipadankan dengan he bathed. Jangkauan menghasilkan kalimat yang janggal bila
diposisikan sebagai Subjek pada klausa pasif. Jadi, Jangkauan dibedakan dari
Tujuan dalam hal kemungkinan menduduki fungsi Subjek.
180
Ditinjau dari valensi, suatu proses dapat menghadirkan satu hingga tiga
argumen. Contohnya, proses material dapat mengikat tiga argumen dengan peran
sebagai Aktor, Benefaktif dan Tujuan. Benefaktif adalah peran semantik yang
diemban partisipan yang mendapat keuntungan dari proses. Benefaktif dipilah
menjadi dua, masing-masing: (a) Pengguna (Client) yakni partisipan yang
menyatakan untuk siapa suatu pekerjaan dilakukan, dan (b) Penerima (Recipient)
yakni partisipan yang menyatakan untuk siapa sesuatu diberikan. Benefaktif
dapat hadir dengan preposisi maupun tanpa preposisi.
Berikut contoh klausa proses material subtipe “peristiwa” dan
“melakukan”. Subtipe “peristiwa” dapat dilihat pada contoh (a), sedangkan
subtipe “melakukan” ditunjukkan contoh (b, c) (Data A2/5/ 122, 126, 130).
(7.3) a. …Ratu lédang mapica sabeh…
2 TG MOD -beri hujan
„Semoga Engkau (Tuhan) memberi hujan‟
b. …Titiang nyelang pepatih duéné…
1 TG -pinjam patih DEF
„Saya meminjam patih paduka‟
c. …I Ratu micayang kaula duéné merta …
2 TG -beri-BEN rakyat DEF berkah
„Engkau (Tuhan) memberikan kami berkah‟
Ratu ledang mapica sabeh
Titiang nyelang pepatih duéné
I Ratu micayang kaula duéné merta
Aktor Proses material
Partisipan I Predikator Partisipan II
181
Dengan Predikator mapica „mengabulkan‟, klausa (a) mengikat dua
argumen, yakni Ratu „Ratu, Tuhan‟ yang secara otomatis mengambil peran
semantik Aktor dan sabeh „hujan‟ sebagai Tujuan. Klausa (a) dapat
diklasifikasikan sebagai proses material tipe “peristiwa” yang berfungsi
menjelaskan peristiwa yang terjadi. Pengujian klausa tersebut dilakukan dengan
kemampuan menjawab „apa yang dilakukan X?‟ Jawaban pertanyaan diperoleh
pada klausa (a) yakni mapica sabeh „memberikan hujan‟. Klausa (b) memiliki
Predikator nyelang „meminjam‟ yang mengikat dua argumen, masing-masing
Aktor dan Tujuan. Predikator nyelang „meminjam‟ (c) dilibatkan dua partisipan,
yakni pelaku yang meminjam dan entitas yang dipinjam. Proses peminjaman
dilakukan oleh orang pertama tunggal titiang „1 TG‟. Penggunaan titiang
tergolong leksikon ragam halus tinggi dibandingkan tiang atau icang „saya‟.
Ragam hormat tersebut digunakan karena partisipan I mengajukan permintaan
kepada figur yang sangat tinggi dan dihormati. Predikator micayang (c)
menghadirkan tiga argumen, yakni partisipan yang memberikan, apa yang
diberikan, dan kepada siapa barang itu diberikan. Tiga argumen itu berfungsi
sebagai Aktor, Benefaktif, dan Tujuan, yang masing-masing diisi oleh I Ratu
„Tuhan‟, kaula duéné „rakyat paduka‟, dan merta „berkah‟. Peran benefaktif yang
dimiliki oleh kaula duéné adalah Penerima, yakni partisipan yang menerima
keuntungan dari kegiatan yang dinyatakan oleh Predikator. Jadi, partisipan I dari
klausa material pada contoh (6.1) adalah Aktor, sedangkan Partisipan II dapat
berperan sebagai Benefaktif atau Tujuan.
182
Pengujian terhadap klausa proses material subtipe “melakukan” dapat
dilakukan dengan mengajukan pertanyaan „apa yang dilakukan X terhadap Y?‟
Jawaban atas pertanyaan itu merujuk pada proses material tipe “melakukan”,
seperti tampak pada dua contoh (b, c) di atas. Secara umum, ikatan Sirkumtansi
pada klausa material fase puncak TNNGB jarang ditemukan, baik keterangan
waktu, durasi, tempat, maupun cara. Tidak ditemukan pemakaian Sirkumtansi
tempat dan waktu mencerminkan bahwa ritual tidak dibatasi oleh durasi waktu
dan areal tertentu. Dengan kata lain, setiap klausa dimaknai sebagai tuturan yang
mengandung makna waktu kekinian sesuai dengan waktu pelaksanaan teks.
Klausa material khususnya yang ditemukan pada bagian isi dapat dipahami
memuat makna waktu teks dipraktikkan dan area kelokalan sejalan dengan zona
tempat. Jadi, klausa material fase puncak dan penutup memiliki makna tempat,
waktu, dan aspek yang diikat oleh pelaksanaan teks.
Proses material subproses “peristiwa” cenderung direalisasikan dengan
predikator berprefiks {ma-}, seperti pada lekikon matanding „menyiapkan sajen‟,
mapengarah „memberitahukan‟, magendu wirasa „bercengkrama‟, atau
masayuban „berteduh‟. Verba aktif pada subtipe “melakukan” dapat dimarkahi
{-} dengan beberapa bentuk realisasinya, seperti ditunjukkan tabel berikut
(Diadopsi dari Sulaga (1996; 119); Artawa (1998: 7)).
183
Tabel 7.2
Proses Morfofonemis
No
Bentuk Dasar Bentuk Turunan
dengan prefiks {-}
Makna
1. bakta makta membawa
2. pulpulang mulpulang mengumpulkan
3. tutup nutup menutup
4. dabdabang nandabang menyiapkan
5. selang nyelang meminjam
6. rauhang ngrauhang menghadirkan
7. genahang ngenahang menaruh
8. unggahang ngunggahang menaikkan
9. anggen nganggen memakai
10. icen ngicen memberi
Pelekatan prefiks {-} pada sebuah bentuk mengalami proses
morfofonemis yang memunculkan bentuk turunan yang mempertahankan makna
“melakukan”. Proses material yang dimarkahi {-ang} seperti tampak pada
micayang „memberikan‟ dapat menghadirkan lebih banyak partisipan
dibandingkan dengan pemarkah {-}. Hal itu disebabkan oleh potensi pemarkah
{-ang} untuk memunculkan fungsi benefaktif. Tiga klausa proses material (7.3)
ditampilkan kembali untuk membandingkan pemarkahan pada Predikator dan
jumlah partisipan yang dimunculkan.
Ratu mapica sabeh
Titiang nyelang pepatih duéné
I Ratu micayang kaula duéné merta
X Predikator Y Z
184
Predikator proses material dengan pemarkah aktif {ma-} umumnya
mengikat satu partisipan wajib, sedangkan proses yang dimarkahi {-(-in/-ang)}
mampu mengikat minimal dua partisipan. Dengan kata lain, klausa material
dengan pemarkah {ma-} memiliki unsur X (Y), sedangkan pemarkah {-(-in/-
ang)} memiliki unsur X, Y, (Z). Jadi, argumen minimal yang harus muncul pada
klausa proses material adalah unsur X yang berstatus Aktor.
Secara morfologis semantis, subtipe proses material dalam Bahasa Bali
dapat digambarkan pada kontinum proses seperti di bawah ini.
Tipe “Peristiwa” Tipe “Melakukan”
Pemarkah {ma-} Pemarkah {-(-in/-ang)}
Partisipan = 1 Partisipan > 1
Fungsi: Aktor, (Tujuan) Fungsi: Aktor, Tujuan,
(Penerima)
Gambar 7.2: Proses Material
Gambar (7.2) menunjukkan perbedaan pemarkah morfologis Bahasa Bali
terkait dengan dua subproses material. Subtipe “peristiwa” cenderung dimarkahi
berbeda dengan tipe “melakukan”. Dilihat dari bentuk afiks yang melekat pada
proses material dapat diketahui bahwa subtipe “melakukan” memiliki realisasi
prefiks yang variatif.
185
TNNGB memunculkan klausa dengan penderetan Aktor dengan
menyebutkan satu per satu. Aktor jamak itu selanjutnya dinyatakan dalam salinan
pronomina, seperti tampak pada klausa berikut (Data B1/4/ 89).
(7.4) a. … [[Adi bhatara Wisnu, adi bhatara Brahma, adi bhatara Mahadewa,
adi bhatara Iswara]i [ngiring adii kemit ragan beliné]] …
VOK NAMA MOD VOK -jaga raga-POS VOK-DEF
„Adik bhatara Wisnu, adik bhatara Brahma, adik bhatara Mahadewa,
adik bhatara Iswara, mari adik jaga raga kakak‟.
Adi bhatara Wisnu, adi bhatara
Brahma, adi bhatara
Mahadewa, adi bhatara Iswarai
ngiring adii kemit ragan
beline
Aktor Aktor Pengguna
Pada klausa Adi bhatara Wisnu, adi bhatara Brahma, adi bhatara
Mahadewa, adi bhatara Iswara, ngiring adi kemit ragan beline tampak
penderetan figur batara yang diharapkan membantu menjaga diri partisipan kunci.
Pamangku menyebut dirinya sebagai beli “kakak (saya). Klausa itu dapat
dikategorikan sebagai klausa sederhana yang memberi penegasan pada identitas
mitra wicara di samping hubungan kekerabatan diantaranya. Predikator tipe
melakukan kemit atau ngemit „menjaga‟ mengharuskan hadirnya dua partisipan,
yakni Partisipan I sebagai pihak yang menjaga, dan Partisipan II sebagai pihak
yang yang membutuhkan penjagaan. Predikator didahului modalitas ngiring
„mari‟ yang menyatakan ajakan atau suruhan yang santun. Diharapkan lima figur
batara menjadi Aktor pada proses material subtipe “melakukan” itu. Beli „kakak
(saya)‟ menempat fungsi benefaktif. Tampak relasi koreferensial antara bhatara
186
Wisnu, bhatara Brahma, bhatara Mahadewa, dan bhatara Iswara dengan leksikon
adi. Oleh karena itu, klausa di atas tidak dapat dinyatakan memiliki Subjek
ganda. Klausa imperatif tersebut mempergunakan bentuk register kekeluargaan
beli-adi „kakak-adik‟. Bhatara Wisnu, bhatara Brahma, bhatara Mahadéwa, dan
bhatara Iswara diperlakukan sebagai adik, sedangkan pamangku menempatkan
dirinya sebagai kakak. Tampaknya, dengan status sebagai saudara tua, pamangku
dapat memberi perintah terhadap saudara-saudara mudanya.
Terkait penggunaan vokatif beli, terdapat perbedaan yang menonjol. Pada
fase persiapan, pamangku memposisikan diri sebagai “adik” bagi ketua adat atau
pamangku lain. Hal itu berkaitan dengan mitra wicara yang lebih tua dan
dihormati. Pada fase puncak dan fase penutup, vokatif beli digunakan untuk
mengacu pada diri sendiri, sedangkan mitra wicara ditempatkan sebagai adi
„adik‟. Perlu ditelusuri konsep dasar yang mengizinkan pamangku
memperlakukan bhatara Wisnu, bhatara Brahma, bhatara Mahadewa, dan
bhatara Iswara. sebagai “adik”. Paparan tentang beli-adi „kakak-adik‟ ditampilkan
pada subbab referensi eksoforis (10.4).
Berikut ditampilkan klausa proses material yang bersumber pada fase
persiapan (a, b, c), dan fase puncak (d, e) yang dilengkapi dengan Sirkumtansi
„keterangan‟ yang memperjelas proses (Data B3/2, 19 dan A2/4/ 120, 139, 151).
(7.5) a. …Ngiring malinggih dumun…
MOD -duduk Sir
„Mari silakan duduk‟
b. …Yen kénten, tiang mapamit mangkin…
KONJ 1 TG -mohon diri Sir
„Kalau demikian, saya mohon diri sekarang‟
187
c. …Niki tiang ngaturang Ratu pajatian…
DEM 1 TG -beri 2 TG sarana
„Saya menghaturkan sarana sajen‟
d. … I Ratu mapica sabeh mangda kaulané prasida matetanduran…
2 TG -beri hujan PREP rakyat-DEF dapat -tanam
„I Ratu memberi hujan agar rakyat dapat bertanam‟
e. …I Sampati ngrecah mendung mangda punah…
NAMA -pecah mendung KONJ gagal
„I Sampati memecah mendung agar sirna‟
Malinggih dumun
Tiang mapamit mangkin
Tiang ngaturang Ratu pajatian
I Ratu mapica sabeh mangda kaulané
prasida matetanduran
I Sampati ngarecah mendung mangda punah
S P K K A
Aktor
Seperti tampak pada klausa (a, b, c) di atas, klausa material fase persiapan
kerap diikuti oleh Adjung Sirkumtansial, berupa keterangan waktu dan tempat.
Pada fase puncak dimunculkan proses material yang dimunculkan cenderung
dilengkapi Sirkumtansi alasan atau tujuan (d, e). Jadi, klausa material TNNGB
berkaitan erat dengan Sirkumtansi tempat, waktu, cara, atau tujuan. Yang
menonjol adalah teks tidak memunculkannya Adjung Sirkumtansial yang
menerangkan waktu, tempat, dan penyerta pada fase puncak dan fase penutup. Hal
itu mengindikasikan bahwa penjelasan lokasi, waktu, dan penyerta mengacu pada
konteks setempat.
Pemarkah {-ang} dapat menunjukkan makna berbeda bila dilekatkan
pada adjektiva. Pelekatan {-ang)} pada kelas adjektiva tidak menunjukkan
188
peningkatan valensi, tetapi memunculkan makna kausatif. Perhatikan contoh
berikut (Data A2/2/ 56, 59).
(7.6) a. …Ngiring nginggihang indik paduwasan…
MOD -setuju-KAUS PREP hari baik
„Mari mendiskusikan tentang hari baik‟
b. … Kramané jagi ngamecikang priyangan Ida…
warga-DEF ASP -baik-KAUS tempat 3TG
„Warga akan memperbaiki pura‟
Pemarkah {-ang)} pada contoh (a, b) tidak mengandung makna
benefaktif seperti halnya bila dilekatkan pada verba, tetapi memunculkan makna
kausatif. Predikator nginggihang (a) yang diderivasi dari nggih „ya, cocok‟
bermakna „membuat menjadi cocok, baik, atau sama‟. Pada ngamecikang (b)
yang diderivasi dari becik „baik‟ memunculkan makna „membuat menjadi baik
atau lebih baik‟. Berikut ditampilkan beberapa leksikon proses material.
1. ngamargiang „melakukan‟ 13. ngambil „mengambil‟
2. ngebitin „melihat‟ 14. puputang „menutup‟
3. gaenang „buatkan‟ 15. nyelang „meminjam‟
4. ngaryanin „membuat‟ 16. makarya „membuat‟
5. ngampehang „meniup‟ 17. ngarauhin „menghadiri‟
6. nutup ‟menutup‟ 18. ngejang „menaruh‟
7. nganggen „memakai‟ 19. tadah „nikmati, makan‟
8. ngumpulang „mengumpulkan‟ 20. ngunggahang „menaikkan
9. ngeberang „menerbangkan‟ 21.ngarauhang mendatangkan‟
10. munahang „memusnahkan‟ 22. majalan „berjalan‟
189
11. nyingakin „melihat‟ 23. ngicen „memberi‟
12. nurunang „menurunkan‟ 24. mangrecah “memecah‟
7.2.2 Proses Perilaku
Proses perilaku dinyatakan memiliki ciri di antara proses mental dan
proses material, yakni melibatkan tindakan fisiologikal dan psikologikal. Artinya,
proses perilaku merupakan tindakan biologis yang dimunculkan berdasarkan
pengalaman psikologis yang diterima atau dimiliki. Proses perilaku cenderung
tidak berkaitan langsung dengan orang lain terbukti dengan kehadiran satu
argumen wajib, yakni Petingkah Laku (Behaver). Secara psikologis, proses
perilaku melibatkan dua peristiwa berurutan secara cepat dalam diri Petingkah
Laku, yakni peristiwa yang berkaitan dengan pengalaman mental, yang kemudian
direalisasikan dengan ekspresi biologis yang dapat dilihat atau didengar oleh
orang lain. Ekspresi pengalaman itu dinyatakan dalam bentuk tindakan alamiah,
misalnya tertawa, menarik napas panjang, menangis, bermimpi atau mendesah.
Predikator lain seperti tertawa, berdehem, bersin, tertawa, tersenyum, menangis,
melirik, mimpi, mengutuk, dan mengunyah juga digolongkan sebagai klausa
proses perilaku.
Dinyatakan bahwa proses perilaku memiliki perbedaan yang paling tipis
dibandingkan dengan proses lainnya. Proses perilaku mengandung karakteristik
material dan sebagian lagi memiliki ciri proses mental. Menyerupai proses
mental dalam hal melibatkan kesadaran untuk melakukan tindakan, tetapi proses
itu sendiri cenderung bersifat kegiatan fisik. Proses tingkah laku dapat
menghadirkan partisipan lain dalam fungsi Fenomena, yakni sesuatu yang diindra.
190
Sebagai contoh, Simon sniffed the soup „Simon membaui sup‟ (Eggins, 1994:
249). Perlu ditegaskan bahwa klausa tersebut mengindikasikan sop tidak ada
dalam jangkauan mata Simon. Proses sniffed melibatkan pengalaman tentang
„bau‟ dan tindakan „mengangkat hidung‟. Proses perilaku hanya dapat dilakukan
oleh partisipan insani terhadap suatu fenomena tertentu. Berikut beberapa contoh
klausa proses perilaku yang dikutip dari Eggins (1994: 250).
1 She sighed with despair
2 He smiled a broad smile
3 She was crying with frustration
4 George laughed at the girl‟s stupidity
5 He coughed loudly
Partisipan I Proses perilaku Sirkumtansi
Predikator sighed „mendesah‟, coughed „terbatuk-batuk‟, laughed
„tertawa‟ dan cying „menangis‟ dan smiled „tersenyum‟ merupakan tindakan yang
tampak dan keluar dari suatu keadaan kejiwaaan tertentu. Keempat klausa
perilaku tersebut mengikat satu partisipan, yakni Petingkah Laku dan dilengkapi
Sirkumtansi. Pengalaman kejiwaan dan proses fisik selalu terkandung pada
klausa perilaku.
Proses perilaku tidak dimunculkan dalam TNNGB. Hal itu diduga terkait
dengan proses perilaku yang tidak berkaitan dengan teks. Ketidakmunculan
klausa perilaku merupakan konsekuensi teks formal. Meskipun demikian, klausa
proses perilaku ditemukan dalam percakapan sehari-hari, seperti contoh berikut.
191
(7.7) a. …I Nengah kedék ingkel-ingkel…
NAMA ø-tertawa terpingkal-RED
„I Nengah tertawa terpingkal-pingkal‟
b. … Cerik-ceriké pada makenyem…
anak-anak-DEF semua -senyum
„Semua anak tersenyum-senyum‟
I Nengah kedek ingkel-ingkel
Cerik-cerike pada makenyem
Predikator
Petingkah Laku Proses Tingkah Laku Sirk
Klausa (7.7) dapat digolongkan sebagai proses tingkah laku karena
ditandai tindakan fisik. Klausa (a) I Nengah kedek ingkel-ingkel dapat
dimaknai sebagai proses terjadinya pengalaman mental yang kemudian
memunculkan tindakan tertentu. Artinya, seseorang memperoleh pengalaman
yang menggelikan sehingga secara otomatis muncul aktivitas tertawa.
Sirkumtansi cara ingkel-ingkel „terpingkal-pingal‟ mengindikasikan perilaku
yang ditunjukkan memiliki tingkat intensitas tertentu. Sementara itu, klausa (b)
mengandung proses perilaku yang dinyatakan dengan leksikon makenyem
mengandung makna „tersenyum‟ sebagai perilaku tersipu malu. Pada kedua
contoh di atas, Petingkah Laku berstatus sebagai orang ketiga. Artinya, pelibat
lain dapat menangkap perilaku yang ditunjukkannya dan menyatakan dalam
tuturan.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa orang pertama juga dapat bertindak
sebagai Petingkah Laku, seperti contoh berikut.
192
(7.8) a. … Tiang ngipi katekain nak lingsir mapujut …
1 TG N -mimpi PAS-datang orang tua diikat (rambut)
„Saya bermimpi didatangi pendeta‟
b. …Kanti kapupungan tiang nyakupang tangan…
sampai tergesa-gesa 1 TG -cakup-KAUS tangan
„Segera saya mencakupkan tangan‟
Pada proses perilaku di atas, Petingkah Laku diisi oleh orang pertama,
yakni penutur sendiri. Perilaku ngipi „bermimpi‟ dan kapupungan „tergesa-gesa‟
digolongkan sebagai perilaku karena aktivitas fisik tertentu dilibatkan di
dalamnya. Pada klausa (a) tampak Petingkah Laku memiliki pengetahuan tentang
nak lingsir mapujut „orang tua yang rambutnya diikat di bagian atas kepala‟ yang
merujuk pada seorang pendeta atau orang suci. Pengetahuan itu membuatnya
kapupungan „tergesa-gesa‟ memberi salam hormat dan siap menerima petunjuk
beliau. Jadi, perilaku kapupungan nyakupang tangan muncul karena adanya
pengalaman bagaimana tata cara menerima kedatangan seorang pendeta. Secara
singkat, ciri mendasar proses perilaku adalah adanya partisipan yang memiliki
ciri insani merasakan pengalaman dan memberi reaksi fisik terhadap pengalaman
tersebut.
7.2.3 Proses Mental
Suatu Predikator dapat dikategorikan sebagai proses mental (sensing) bila
di dalamnya terkandung proses Pengindraan, seperti makna perseptif
(perception), kognitif (cognition), desideratif (desideration), dan emotif
(emotion). Makna perseptif dilakukan dengan melihat (seeing), makna kognitif
diperoleh dengan proses berpikir, menduga, mengira, atau memutuskan (thinking),
193
makna desideratif dinyatakan dengan keinginan (wanting), sedangkan makna
emotif ditunjukkan dengan perasaan (feeling). Proses mental merupakan jawaban
atas pertanyaan ‟Apa yang kamu rasakan atau pikirkan tentang X? Dengan ciri
sebagai jawaban pertanyaan tersebut, proses mental cenderung menghadirkan
partisipan yang memiliki indra dan mampu melakukan Pengindraan terhadap
sesuatu. Jadi, proses mental melibatkan dua partisipan yang terlibat langsung
dalam proses, yakni Pengindra dan Fenomena yang diindra.
Halliday (2004: 197) menyatakan proses mental melibatkan Pengindra
(Senser) sebagai Partisipan I dengan ciri memiliki kesadaran untuk mengindra.
Ciri makhluk berkesadaran dipandang sebagai ciri Pengindra karena hanya Agen
insani yang dapat melakukan Pengindraan. Sebagian besar klausa proses mental
emosi dapat diperbandingkan dalam tingkatan yang berbeda. Secara gramatikal,
perbandingan dapat ditunjukkan dengan more than „lebih .. dari‟, di samping
skala afektif tertentu, seperti hate-dislike-like-love „benci, tidak suka, suka,
mencintai‟. Partisipan II dalam proses mental adalah Fenomena, yakni entitas
yang diinginkan, dirasakan, atau dipikirkan, baik berupa klausa persepsi maupun
klausa faktual. Fenomena biasanya berupa klausa bawahan dari proses mental.
Misalnya, I‟d give blood pada I thought I‟d give blood „Saya pikir saya akan
menyumbangkan darah‟. Fenomena juga dapat berupa sesuatu yang dipersepsikan.
Misalnya, Experts believe (something) „para pakar yakin‟. Kehadiran something
„sesuatu (yang dipercaya)‟ dapat ditampilkan atau disembunyikan.
Klausa dengan pengantar seperti „saya pikir/kira/duga/yakin‟ merupakan
identitas klausa mental. Klausa mental dengan klausa pengantar sangat jarang
194
dimunculkan dalam TNNGB. Cara yang umum digunakan adalah merujuk pada
hasil Pengindraan orang kedua. Pada proses Pengindraan yang dilakukan oleh
orang pertama, pihak Pengindra dapat dinyatakan secara tersirat. Berikut
ditampilkan beberapa contoh proses mental (Data B1/1/16, 19 dan Data A1/1.3/
98, 102).
(7.9) a. …Yén Pak Komang muatang, tiang jagi mapinunas ring Ida...
jika VOK -penting 1TG MOD -minta PREP 3TG
„Jika Pak Komang benar-benar menginginkan, saya akan memohon
pada Beliau‟
b. …Pak Komang da bes sebet, pét ten kadagingin…
VOK NEG sedih jika NEG PAS-isi
„Pak Komang jangan terlalu sedih jika tidak terkabul‟
c. …Becik margiang peneduhané ring dina Jumat poné…
baik -laku mohon hujan PREP hari Jumat pon-DEF
„Sebaiknya ritual panggil hujan dilakukan pada Jumat pon‟.
d. …Sami setuju mangda gelis wénten sabeh…
KUAN setuju KONJ cepat ada hujan
„Kami semua setuju agar segera turun hujan‟
Yén Pak
Komang
muatang tiang jagi
mapinunas ring Ida
Pak Komang da bes sebet, pét ten
kadagingin
Becik margiang
peneduhané
ring dina Jumat
poné
Sami setuju mangda gelis wénten
sabeh
Predikator
Pengindra Proses mental Fenomena
Predikator (a) muatang „benar-benar menginginkan‟ mengandung
keinginan kuat (desideration). Klausa tersebut menghadirkan satu partisipan yakni
195
Pak Komang, sedangkan Fenomena tidak dimunculkan. Meskipun demikian, dari
klausa yang mengikutinya dapat dipahami bahwa Fenomena berkaitan dengan
harapan tertentu. Artinya, aktivitas mapinunas „memohon‟ akan dilaksanakan bila
benar-benar dibutuhkan. Pada contoh (b) Predikator sebet „sedih‟ dapat
dikategorikan sebagai proses mental emotif yang berkaitan dengan perasaan
(feeling). Sama dengan contoh (a), klausa (b) menghadirkan Pengindra „Pak
Komang‟. Dengan kata lain, proses mental desideratif dapat dinyatakan dengan
Predikator muatang „sangat menginginkan‟, sedangkan peoses mental emotif
dapat dinyatakan dengan Predikator sebet „sedih‟ dalam Bahasa Bali. Tampak
pada klausa (c) Becik margiang peneduhanne ring dina Jumat pone „Sebaiknya
laksanakan ritual panggil hujan pada hari Jumat pon yang akan datang‟ ada upaya
menyampaikan hasil Pengindraan tanpa menyebutkan partisipan Pengindra. Pada
klausa (c) Pengindra melakukan proses kognisi untuk memutuskan hari baik
pelaksanaan ritual panggil hujan. Sekalipun Pengindra tidak dinyatakan secara
tersurat, tetapi dapat dirujuk pada pelibat yang berbicara. Cara menyatakan
Pengindra yang tersirat itu dapat dilihat sebagai upaya mementingkan hasil proses
mental daripada pelaku yang melakukan Pengindraan. Untuk mempertegas proses
kognitif yang terjadi pada pelaku Pengindraan, klausa (c), dapat didahului oleh
klausa pengantar, seperti (i) Yen kadi titiang „kalau saya‟, (ii) Manahang titiang
„menurut hemat saya‟, atau (iii) Minabang titiang „saya pikir‟. Di sisi lain, klausa
(d) menunjukkan upaya mewakili atau mengatasnamakan orang banyak
dilengkapi ungkapan pengharapan.
196
Pada beberapa klausa proses mental, Pengindra atau Fenomena tidak
dimunculkan. Meskupun demikian, pelibat tetap dapat memahami Pengindra atau
fenomena yang berkaitan dengan pengindraan itu. Tidak ada proses mental yang
bebas dari Fenomena atau muncul tanpa Pengindra karena ketidakhadirannya
dapat dijelaskan oleh konteks yang lebih luas.
Contoh berikut menunjukkan empat tipe proses mental, masing-masing,
(a) tipe perseptif, (b) kognitif, (c) desideratif, dan (d) emotif (Data A1/1.3).
(7.10) a. …Tandurané sampun majanten layu…
Tanaman-DEF PERF -pasti layu
„Tanaman pasti sudah layu‟
b. …Minab seratiné sami uning indik pakaryané…
kiranya tukang banten-DEF KUAN -tahu PREP kerja-DEF
„Kiranya tukang sajen tahu pekerjaan itu‟
c. …Sami nyaratang ujan…
KUAN -ingin hujan
„Semua warga mengharapkan hujan‟
d. …Sami sametoné lega driki…
semua saudara-DEF senang Sirk
„Semua warga merasa senang di sini‟
Sampun majanten tandurané layu
Minab, seratiné uning indik pakaryane
Sami nyaratang ujan
Sami sametoné lega driki
Pengindra Proses mental Fenomena
Klausa (7.10) digolongkan sebagai proses mental dengan adanya proses
Pengindraan. Pada klausa (a) proses mental dilakukan dengan perseptif yang
197
direalisasikan dengan Predikator mejanten „pasti, dipastikan‟. Proses itu dilakukan
dengan indra penglihatan dalam intensitas tertentu. Majanten dapat dimaknai
sebagai hasil proses „melihat, memperhatikan, memastikan‟ sehingga muncul
kepastian berdasarkan hasil penglihatan. Dengan demikian, klausa tersebut adalah
jenis proses mental tipe „persepsi‟. Sekalipun klausa tersebut tidak memunculkan
fungsi Pengindra sebagai pelibat yang melakukan Pengindraan, tetapi fitur
tersebut tetap terpahami. Secara konseptual, proses Pengindraan itu dilakukan
oleh pembicara. Dengan demikian, klausa (a) dapat dipahami sebagai tiang
nyantenang tandurané sampun layu „saya sudah memastikan tanaman layu‟.
Klausa (b) Minab, seratiné uning indik pakaryané „kiranya tukang banten tahu
tentang pekerjaan itu‟, menghadirkan Predikator uning „tahu, mengerti, yang
menunjukkan Pengindraan perseptif. Klausa (b) dapat dipadankan dengan klausa
Seratine minab uning indik pakaryane. Dengan demikian, fungsi Pengindra
ditempati oleh seratine. Klausa (c) Sami nyaratang ujan „semua menginginkan
hujan‟ temasuk proses mental tipe „keinginan‟. Predikator mental nyaratang
„menginginkan dengan intensitas tertentu, sangat ingin‟ mengandung keinginan
yang kuat. Pengindra pada klausa (c) adalah sami „semua orang‟. Klausa (d)
Sami sametoné lega driki „semua transmigran senang di sini‟ menunjukkan proses
mental tipe emotif. Predikator lega cenderung menjelaskan rasa syukur, dan
kegembiraan memperoleh lahan tanam yang luas.
Pada klausa di atas (a), Pengindra tidak dimunculkan secara tersurat. Hal
itu dilakukan sebagai upaya menonjolkan hasil Pengindraan, dan tidak
mementingkan individu yang melakukan Pengindraan. Ketidakmunculan
198
Pengindra juga mencerminkan hasil Pengindraan cenderung bersifat relatif.
Artinya, Pengindra lain dapat memberi persepsi berbeda terhadap fenomena
yang sama. Jadi, terdapat dua pertimbangan tidak dimunculkan Pengindra , yaitu
(i) hasil Pengindraan yang bersifat personal, dan (ii) menonjolkan hasil daripada
pelaku proses Pengindraan. Cara menyamarkan Pengindra tidak berarti
melesapkan fitur pelaku Pengindraan. Artinya, suatu satuan gramatikal yang
harus hadir dapat saja hadir dalam bentuk fitur, dan tetap dapat dipahami oleh
pelibat lain. Jadi, pelibat aktif dalam sebuah klausa mental selalu terdiri atas
Pengindra dan Fenomena, baik dimunculkan secara tersurat maupun tersirat.
Perhatikan klausa mental berikut (Data A3/3/ 123- 126).
(7.11) a. …Titiang nglungsur sinampura…
1 TG -minta maaf
„Saya minta maaf‟
b. …Titiang nglungsur jagaté sami mangda aman tentrem…
1 TG -minta bumi KUAN KONJ aman tenteram
„Saya minta bumi menjadi aman dan tenteram‟
c. …Titiang nunas sarining paneduhan pingit…
1 TG -minta intisari panggil hujan sakral
„Saya minta kemampuan panggil hujan yang manjur‟
d. …Titiang nunas sabeh merta…
1 TG -minta hujan berkah
„Saya minta hujan yang memberkahi‟
Keempat klausa pada contoh (7.11) memiliki Predikator sejenis, yakni
nglungsur atau nunas „berharap, minta, memohon‟ yang dapat dikategorikan
sebagai tipe mental keinginan (wanting). Pengindra diisi oleh orang pertama
tunggal, dalam hal ini, atas nama kelompok. Jenis permohonan yang diinginkan
199
tidak berupa barang, tetapi berbagai layanan, seperti (a) sinampura „maaf,
pengampunan‟, (b) jagaté sami mangda aman tentrem „ketentraman jagat raya‟,
(c) sarining paneduhan pingit „kemampuan memanggil hujan yang manjur‟.
Klausa (d) menyatakan fenomena berupa barang yakni sabeh merta „hujan
berkah‟. Deretan klausa proses mental yang berurutan tersebut dapat dilihat
sebagai permohonan yang sangat bersungguh-sungguh. Meskipun keempat klausa
menegaskan orang pertama sebagai Pengindra tetapi keberhasilan permohonan
merupakan kehendak banyak dan demi keberkahan hidup semua manusia.
Beberapa Predikator dalam proses mental ditampilkan di bawah ini.
1. kompak „serempak‟
2. engsap „lupa‟
3. bedak „haus‟
4. uning „sanggup, tahu‟
5. nyantenang „memastikan‟
6. lega „senang‟
7. muatang „mementingkan‟
8. setuju „setuju‟
9. sebet „sedih‟
10. ngelintang „melebihi batas, sangat‟
11. puputang „tutup‟
12. iwang „salah‟
13. seleg „tekun, serius‟
14. méweh „susah‟
200
7.2.4 Proses Verbal
Proses verbal merupakan kategori verba yang dilakukan dengan proses
berkata-kata. Proses verbal biasanya menuntut hadirnya satu argumen wajib
yakni Pemerkata (Sayer). Sementara itu, proses verbal dapat menghadirkan
argumen tidak wajib lain, seperti Target dan Perkataan (Verbiage). Target
adalah partisipan yang berperan sebagai penerima pembicaraan atau partisipan
kepada siapa pembicaraan itu diarahkan. Perkataan adalah kata-kata yang
dinyatakan dalam proses tersebut. Kedua argumen itu bersifat manasuka (Eggins,
1994: 228). Sangat sulit menemukan contoh proses verbal, seperti berjanji,
bersumpah, atau menasehati dalam TNNGB. Predikator dalam proses verbal yang
dimunculkan antara lain, nunasang „menanyakan‟, netesang „menanyakan dengan
teliti‟, mapiteket „berpesan‟, mapinunas „menanyakan‟, seperti diperlihatkan
contoh berikut (Data A3/1/ 12-14 dan Data A3/2/ 19).
(7.12) a. …Titiang mapinunas mangkin…
1 TG -tanya Sirk
„Saya bertanya sekarang‟
b. …Titiang nunasang indik paduwasan…
1 TG -tanya-BEN PREP hari baik
„Saya menanyakan prihal hari baik‟
c. …Titiang taler netesang indik baktiné …
1 TG KONJ -tanya PREP sarana-DEF
„Saya juga menanyakan tentang sarana‟
d. …Jero bendesa mapiteket kénten manten…
HON SOS -pesan DEM saja
„Ketua adat berpesan itu saja‟
201
Predikator (a) nunasang „menanyakan‟ dilakukan dengan berkata-kata
kepada Target. Argumen orang pertama tunggal titiang „saya‟ menempati peran
sebagai Pemerkata (Sayer), sedangkan fungsi Target tidak dimunculkan secara
linguistis. Meskipun demikian, kehadiran Target dapat dipahami secara
kontekstual karena sangat jarang seseorang berbicara tanpa pendengar.
Paduwasan „hari baik‟ (a) dan baktine „sarana‟ (b) menempati fungsi Perkataan,
dan ditandai dengan pemarkah preposisi indik „prihal‟. Pemarkah {-ang} pada
nunasang dan netesang mengandung arti bahwa pertanyaan yang diajukan tidak
semata-mata atas kepentingan Pemerkata, tetapi juga menjadi kepentingan pelibat
lain. Dengan kata lain, jawaban atas pertanyaan akan menjadi informasi yang
bermanfaat bagi berbagai pihak.
Setiap proses verbal selalu dipandang melibatkan tiga partisipan, yakni
partisipan yang bertindak sebagai Pemerkata, Target, dan Perkataan.
Ketidakhadiran salah satu partisipan dapat dirunut secara kontekstual. Pada
klausa (c) jero bendesa mapiteket kenten manten „ketua adat berpesan itu saja‟
memiliki Predikator mapiteket „berpesan‟ yang juga dapat digolongkan sebagai
Titiang nunasang indik paduwasan
Titiang sampun netesang indik baktine
Jero bendesa mapiteket kénten manten
Titiang mapinunas mangkin
Partisipan I Predikator
Pemerkata Proses verbal Target Perkataan
202
proses verbal. Meskipun Target tidak dimunculkan secara leksikal, tetapi
dipahami sebagai „1 TG‟ yang berkedudukan sebagai penerima pesan. Pada klausa
(d) titiang mapinunas mangkin dimaknai sebagai titiang mapinunas (ring …)
(indik ....) mangkin „Saya bertanya pada … tentang…. sekarang‟. Klausa (d)
merupakan ungkapan untuk mendapatkan petunjuk, nasehat, atau bantuan
nonbarang lainnya. Jadi, ketidakhadiran argumen yang menempati fungsi Target
dan Perkataan tidak membuat klausa verbal kehilangan acuan. Bagian yang tidak
dimunculkan secara leksikal itu tetap dapat saja dipahami oleh pelibat berdasarkan
konteks.
Proses verbal dapat mengandung proyeksi yang bersifat kutipan langsung
maupun kutipan tak langsung, seperti ditampilkan contoh di bawah ini (Data
A3/1/ 15, 20).
(7.13) a. …Titiang mapinunas malih pidan wénten paduwasan
1 TG -tanya TANYA EKS hari baik
neduh, jero mangku?
panggil hujan, HON VOK
„Saya menanyakan kapan ada hari baik untuk mohon hujan?
b. …Tiang mapinunas indik galah peneduhané …
1 TG -tanya PREP waktu panggil hujan-DEF
„Saya menanyakan tentang waktu mohon hujan‟
Tiang mapinunas malih pidan wénten
peduwasan neduh
jero mangku?
Tiang mapinunas indik galah
peneduhané
Pemerkata Proses verbal Perkataan Target
203
Klausa (a) adalah contoh proses verbal dengan proyeksi langsung. Tiang
adalah Pemerkata, malih pidan wénten peduwasan neduh adalah Perkataan dan
jero mangku adalah Target. Pada klausa (b) Target kepada siapa pertanyaan
diajukan tidak dinyatakan secara leksikal, tetapi dapat dimaknai mitra wicara pada
klausa itu ialah pamangku. Mitra wicara lain tidak dimungkinkan karena
permasalahan galah „hari baik‟ hanya diketahui oleh pamangku. Jadi, Target pada
proses verbal selalu ada, baik dimunculkan atau tidak dimunculkan mengingat
tidak ada orang yang berbicara tanpa mitra wicara.
Predikator nguningang „memberitahukan‟ dan wehin „memberikan‟ juga
dapat dikategorikan proses verbal. Perhatikan contoh berikut (Data A1/3/ 103 dan
Data A1/2/77).
(7.14) a. …Adi nguningang ring Ida …
VOK -tahu PREP 3 TG
„Adik (kamu) menyampaikan kepada Tuhan‟
b. …Durus wéhin titiang sapunapi patutné…
MOD ø-beri 1TG TANYA benar-DEF
„Mohon beritahu saya bagaimana sebaiknya‟
Pada klausa (a) proses verbal nguningang memunculkan dua partisipan
yakni orang kedua adi (Engkau) sebagai Pemerkata dan Ida sebagai Target,
sedangkan Perkataan tidak dimunculkan. Berbeda dengan (a), klausa (b)
Adi nguningang ring Ida
Durus wéhin titiang sapunapi patutné
Pemerkata Proses verbal Target Perkataan
204
memunculkan Target titiang „ 1TG‟ dan Perkataan sapunapi patutné „bagaimana
sebaiknya‟, tetapi tidak memunculkan Pemerkata secara tersurat. Peran Pemerkata
yang dimaksud pada dialog bersangkutan adalah orang kedua. Klausa durus
wéhin titiang sapunapi patutné „mohon beritahu saya bagaimana sebaiknya‟ tidak
berkonotasi meminta materi, tetapi petunjuk atau nasihat. Dengan kata lain, proses
verbal tidak mengharuskan munculnya semua partisipan secara tersurat, tetapi
dimungkinkan untuk menyatakannya secara tersirat.
Proses verbal tidak banyak ditemukan dalam fase puncak, tetapi pada
fase persiapan frekuensi kemunculannya cukup tinggi. Hal itu menunjukkan
bahwa tahapan perencanaan membutuhkan koordinasi antarpelibat yang
memainkan peran penting dalam sistem sosial.
Berikut ditampilkan daftar proses verbal.
1. ngusul „mengajukan usul‟ 11. nyinahang „menjelaskan‟
2. orahin „beritahukan‟ 12 sineb „menutup‟
3. nguningang „memberitahukan‟ 13. wéhin „berikan‟
4. ngepah „membagi tugas‟ 14. nakénin „menanyakan
5. nyelasang „menjelaskan‟ 15. nunasin „menanyakan‟
6. ngarahin „memberitahu‟ 16. takénin „tanyakan‟
7. macukang „menyatukan pendapat‟ 17. nauhang „mengundang‟
8. nauhin „memberitahukan‟
9. mapiuning „mempermaklumkan‟
10. nunasang „menanyakan‟
205
7.2.5 Proses Relasional
Proses relasional menyatakan adanya relasi atau peran yang dimainkan
antara unsur pertama dan unsur kedua. Unsur pertama umumnya dinyatakan
dengan X, sedangkan unsur kedua dinyatakan dengan A. Relasi yang
dimunculkan dapat berupa hubungan ‟ X adalah A‟ seperti contoh Diana is a
blood donor „ Diana adalah seorang donor darah‟ atau You are very skinny
„Kamu sangat kurus‟. Proses relasional juga dapat menjelaskan relasi lain seperti
„X ada di A‟ dalam contoh The operation was in Genewa „operasi itu dilakukan
di Genewa‟ atau „X memiliki A‟ dalam contoh Diana has a daughter „Diana
memiliki seorang anak perempuan‟ (Eggins, 1994: 255).
Proses relasional dapat dipilah atas proses Atributif dan Identifikasional
dengan dasar pertimbangan tipe relasi yang dimunculkan. Sebagai contoh, proses
atributif mengandung relasi A merupakan atribut dari X, sedangkan proses
identifikasional mengandung relasi A merupakan identitas dari X. Kedua jenis
relasi tersebut (Eggins 1994: 256; Halliday, 2004: 216) dipilah lagi atas tipe
pengisi atribut atau tipe identitas sehingga setiap tipe memiliki subkelas
intensitas, sirkumtansial, dan kepemilikan. Tipe intensitas menjelaskan „X adalah
A‟; tipe sirkumtansial menjelaskan „X ada di A‟; dan tipe posesif menjelaskan
„X memiliki A‟. X mengacu pada peran Penyandang, sedangkan A mengacu
pada atribut atau identitas. Pilahan proses relasional dapat digambarkan sebagai
berikut (Diadopsi dari Eggins, 1994: 256).
206
Intensif
Atributif Posesif
Proses Sirkumtansial
Relasional
Intensif
Identifikasional Posesif
Sirkumtansial
Gambar 7.3: Proses Relasional
Mengingat kedua proses atributif dan identifikasional merupakan pilahan
dari proses relasional, maka perlu diberikan batasan dari masing-masing subtipe.
Perbandingan kedua tipe proses relasional dinyatakan dengan alternasi struktur.
Artinya, struktur alternasi dimiliki oleh subtipe identifikasional, sedangkan
subtipe atributif tidak memungkinkan alternasi tersebut. Contoh klausa subtipe
proses relasional atributif dan identifikasional ditampilkan dalam tabel di bawah
ini (Halliday, 2004: 216).
Atributif
„A adalah atribut dari X‟
Identifikasional
„A adalah identitas dari X‟
1). Intensitas
„X adalah A‟
Sarah is wise Sarah is the leader;
The leader is Sarah
2). Posesif
„X memiliki A‟
Peter has a piano The piano is Peter‟s;
Peter‟s is the piano
3). Sirkumtansial
„X ada di A‟
The fair is on Tuesday Tomorrow is the 10th
;
The 10th
is tomorrow
Dengan mengambil data dari Bahasa Inggris, Halliday membedakan dua
subtipe proses relasional berdasarkan kemungkinan bentuk reversibilitas. Proses
207
relasional dalam Bahasa Inggris cenderung direalisasikan dengan tobe. Klausa
yang memiliki alternasi struktur melalui reposisi dinyatakan sebagai tipe
identifikasional.
Strategi berbeda diusulkan oleh Eggins (1994) dengan melakukan
substitusi terhadap tobe dengan verba yang sesuai. Substitusi itu dimaksudkan
untuk menguji kemungkinan bentuk pasif yang dihasilkan. Klausa yang
menghasilkan bentuk pasif yang berterima diklasifikasikan sebagai tipe
identifikasional. Sebaliknya, klausa yang gagal dipasifkan atau menghasilkan
klausa pasif yang tidak berterima diklasifikasikan sebagai tipe atributif. Berikut
contoh pengujian untuk menentukan tipe intensitas relasi atributif dan
identifikasional (Eggins, 1994: 258).
Atributif Intensitas Identifikasional Intensitas
The soup is wonderful Her smile is pleasure
The soup tasted wonderful Her smile expressed pleasure
*Wonderful was tasted by the soup Pleasure was expressed by her smile
Pada kolom atributif, tobe berhasil disubstitusi dengan verba taste „terasa‟
dengan mempertimbangan kesepadanan makna dengan klausa semula. Klausa
tersebut menghasilkan klausa pasif yang tidak berterima. Dengan
ketidakberterimaan itu, klausa The soup is wonderful diklasifikasikan sebagai
klausa atributif. Di sisi lain, substitusi terhadap tobe dengan verba expressed
„menunjukkan‟ berhasil membentuk klausa pasif yang berterima. Jadi, klausa the
208
soup is wonderful „sop itu enak‟ dinyatakan sebagai klausa atributif. Sebaliknya,
klausa Her smile is pleasure „senyumnya tulus‟ dikategorikan sebagai klausa
identifikasional. Substitusi tobe dengan verba juga dapat dilakukan untuk
memilah subtipe posesif dan sirkumtansial pada relasi atributif dan
identifikasional. Akan tetapi, mengingat Bahasa Bali tidak mengenal tobe untuk
dapat melakukan substitusi seperti prakarsa Eggins. Penelitian ini
mengaplikasikan pengujian dengan mereposisi argumen (proses reversibilitas)
versi Halliday.
7.2.5.1 Proses Relasi Atributif
Proses relasi atributif menuntut hadirnya satu peran semantis, yakni
Penyandang (Carrier). Kehadiran Partisipan I bersifat wajib hadir karena
kehadirannya membawa atribut tertentu. Contoh klausa relasi atributif intensitas,
sirkumtansial, dan kepemilikan ditampilkan di bawah ini. (Data A1/4 dan A2/3).
(7.15) a. …(Makadi) titian madué roban…
seperti 1 TG -punya saudara
„Saya mempunyai keluarga‟
b. …Ida maparab I Gusti Ngurah Tangkeb Langit…
3 TG -nama NAMA
„Beliau bergelar I Gusti Ngurah Tangkeb Langit‟
c. …Rerajahan mapinda empas…
gambar -bentuk kura-kura
„Gambar berupa kura-kura‟
d. …Gulemé saking kidul muang kangin…
mendung-DEF PREP barat KONJ timur
„Mendung yang berasal dari arah barat dan timur‟
209
e. Tiang niki saking kelompok tengah, Sekarwana
1 TG DEM PREP NAMA
„Saya dari kelompok tengah, Sekarwana‟
Ida maparab I Gusti Ngurah Tangkeb Langit
Rerajahané mapinda empas
Makadi titiang madué roban
Gulemé saking kidul muang kangin
Tiang niki saking kelompok tengah, Sekarwana
Penyandang Relasi Atributif Atribut
X A
Contoh-contoh yang ditampilkan pada (7.15) terdiri atas tiga subtipe
atributif. Klausa (a) merupakan contoh klausa atributif intensitas, klausa (b, c)
adalah klausa atributif posesif, dan klausa (d) merupakan contoh klausa atributif
sirkumtansial. Dua klausa pertama menunjukkan atribut yang dimiliki
Penyandang. Predikator maparab „bernama‟ pada klausa Ida maparab I Gusti
Ngurah Tangkeb Langit menyatakan atribut nama, sedangkan Predikator
mapinda „berupa‟ pada klausa Rerajahane mapinda empas menyatakan atribut
bentuk. Pada klausa (c) terdapat atribut kepemilikan yang dinyatakan dengan
verba relasi madue „memiliki‟. Klausa (d, e) menyatakan atribut sirkumtansial
lokasi saking „berasal dari‟ atau mengandung relasi asal-usul.
Pengujian klausa relasional atributif dapat dilakukan dengan proses
reversibilitas, yakni pembalikan posisi Penyandang dan Atribut. Klausa relasional
210
atributif biasanya tidak dapat menurunkan klausa gramatikal dalam proses
reversibilitas. Hasil proses reversibilitas klausa (7.15) ditampilkan di bawah ini.
1. *I Gusti Ngurah Tangkeb Langit maparab Ida
2. *Empas mapinda rerajahané
3. *Roban madué titiang
4. *Kidul muang kangin saking gulemé
5. *Kelompok tengah, Sekarwana saking tiang niki
Hasil proses reversibilitas menghasilkan klausa tak berterima (*). Oleh
sebab itu, klausa (7.15) telah terbukti merupakan klausa atributif. Berikut daftar
proses relasi atributif yang dimunculkan pada TNNGB.
1. saking „dari‟
2. maka „sebagai‟
3. masari „berisi‟
4. wakil ‟wakil‟
5. wantah „bagaikan‟
6. masarana „dengan sarana‟
7. maparab „bernama‟
8. mapinda „berupa‟
9. madué „memiliki‟
10. maulam „dengan lauk‟
211
7.2.5.2 Proses Relasi Identifikasional
Klausa proses identifikasional memiliki karakteristik yang berbeda
dengan proses atributif, baik secara semantis maupun gramatikal. Secara
semantis, klausa identifikasional tidak menyatakan klasifikasi, tetapi
mendefinisikan atau memberi batasan. Secara gramatikal, proses tersebut
melibatkan dua partisipan, masing-masing Penyandang Identitas dan Nilai.
Penyandang disebut juga Token adalah Partisipan I pada relasi identifikasional.
Partisipan II proses identifikasional diisi oleh Nilai (value) yang merujuk pada
identitas yang dimiliki. Kedua partisipan merupakan partisipan wajib, artinya,
Token dan Nilai harus dimunculkan secara tersurat karena terlibat langsung
dalam proses. Nilai harus diisi oleh kelompok nomina definite. Karakteristik
proses identifikasional intensitas adalah A serves to define the identity of X „A
berprilaku untuk memberi batasan terhadap identitas X‟. Pada contoh you are
the skinniest one here „kamu orang terkurus di sini‟, tampak ciri the skinniest
one here merupakan identitas yang dimiliki oleh A. Jadi, sifat relasi
identifikasional adalah „X berprilaku memberi tanda atau batasan identitas A‟.
Seperti telah disinggung pada butir (7.2.5) bahwa ciri yang membedakan
proses relasi identifikasional dari relasi atributif adalah reversibilitas. Yang
dimaksud reversibilitas adalah peluang unsur X dan A dapat dipertukarkan
(Halliday, 2004: 215). Hal itu dapat dilakukan karena masing-masing partisipan
proses identifkasi bersifat mandiri (autonomous). Dengan otonomi yang dimiliki
oleh setiap partisipan dimungkinkan reversibilitas berjalan sukses, seperti contoh
(1, 2) berikut.
212
1a. Married women are the real victims
b. The real victims are married women
2a. You are the skinniest one here
b. The skinniest one here is you
c. The skinniest one here is represented by you
Klausa asal Married women are the real victims dapat direposisi menjadi
The real victims are married women tanpa mengubah makna. Peluang
reversibilitas dapat berdampak pada ketidakpastian partisipan dalam peran Token
dan Nilai (Value). Oleh sebab itu, ditegaskan bahwa partisipan Token adalah
partisipan yang mengandung nama (name), bentuk (form), penyandang (holder),
tanda (sign) atau pemilik (occupant) dari Nilai. Sementara itu, Nilai memberi
makna (meaning), referensi (referent), fungsi (function), status atau peran dari
Token. Pengujian lain diusulkan oleh Eggins, dengan mencermati pengisi
Subjek. Token atau Penyandang Identitas adalah pengisi peran Subjek pada
struktur aktif, sedangkan Nilai adalah partisipan yang berperan sebagai Subjek
pada bentuk pasif. Contoh (2 a, b) merupakan contoh pengujian berdasarkan
pengisi Subjek. Subjek pada klausa aktif adalah Token, You, sedangkan Subjek
pada klausa pasif adalah Nilai, the skinniest one here.
Beberapa klausa proses relasional tipe identifikasional yang ditemukan
pada TNNGB ditampilkan di bawah ini (Data A2/3.2/97,151, 155 dan A3/1/104,
109).
213
(7.16) a. …Titiang makadi jan banggul dué…
1 TG -sebagai tangga POS
„Saya sebagai pelayan umat‟
b. …Ida wantah pangenca gumi driki …
3 TG ATR penguasa bumi LOK
„Beliau penguasa daerah ini‟
c. …Guminé driki duén Ida…
bumi-DEF LOK POS 3 TG
„Daerah ini milik Beliau‟
d. …Sabehé paican Ida Sesuhunan…
hujan-DEF -beri 3TG junjungan
„Hujan adalah pemberian Tuhan‟
e. …Pinunasé wantah sabeh merta…
permohonan-DEF ATR hujan berkah
„Kami memohon hujan yang memberkahi‟
f. …Nunas ujané saian ring pura Wahyu…
-mohon hujan-DEF FREK PREP
„Ritual mohon hujan biasanya dilaksanakan di pura Wahyu‟.
a. Titiang makadi jan banggul dué
b. Ida wantah pangenca gumi driki
c. Gumine driki duén Ida
d. Sabehé paican Ida Sesuhunan
e. Pinunasé wantah sabeh merta
f. Nunas ujané saian ring pura Wahyu
Token Predikator Nilai
X A
Enam contoh klausa pada (7.16) di atas terdiri atas contoh proses relasi
identifikasional dalam tiga subtipe. Subtipe intensitas ditunjukkan oleh klausa (a,
b), tipe posesif (c, d), dan tipe sirkumtansial (e, f). Pada klausa (a) terdapat
Predikator makadi „sebagai‟ yang berfungsi sebagai pemarkah identitas intensitas,
sedangkan pada empat klausa di bawahnya (b, c, d, e) pemarkah relasi tidak
214
dimunculkan. Klausa terakhir memunculkan perdikator saian „sering kali‟ yang
menunjukkan derajat frekuensi. Dengan demikian, proses relasi identifikasional
dalam Bahasa Bali dapat dimunculkan dengan pemarkah relasi tertentu ataupun
tanpa pemarkah relasi. Pengujian terhadap klausa relasi identifikasional (7.16)
dilakukan dengan reversibilitas, yakni mempertukarkan unsur A dan X berikut.
a. Jan banggul dué makadi titiang
b. Pangenca gumi driki Ida
c. Duén Ida gumine driki
d. Paican Ida Sesuhunan sabehé
e Sabeh merta wantah pinunasé
f. Ring pura Wahyu saian nunas ujané
Nilai Predikator Token
A X
Pengujian reversibilitas berhasil pada seluruh klausa. Klausa relasi
identifikaional dapat mempertukarkan kedua argumennya tanpa mengubah makna.
Dengan demikian, klausa di atas merupakan klausa identifikasional. Predikator
relasi, seperti makadi „seperti‟, wantah „sebagai‟, saian „lebih sering‟ cenderung
terbuka pada pertukaran posisi Nilai dan Token. Klausa yang tidak memunculkan
proses relasi (b, c, d) tetap mencerminkan relasi, dalam hal ini relasi posesif.
Sebagian dari proses relasi identifikasional dapat dimunculkan tanpa
pemarkah proses atau lebih dikenal dengan klausa nominal. Akan tetapi, dalam
kajian Sistemik klausa semacam itu dapat dilihat sebagai klausa dengan fitur
predikator. Predikator yang berbentuk fitur tidak dimunculkan secara tersurat,
215
tetapi keberadaannya tetap dapat dipahami secara gramatikal. Kondisi semacam
itu mengindikasikan bahwa klausa Bahasa Bali mengizinkan struktur klausa
dengan Predikator secara leksikal atau secara gramatikal. Ketidakmunculan
Predikator proses relasional tidak berdampak pada ketidakberterimaan. Jadi,
klausa yang menggambarkan relasi identifikasional dapat dinyatakan dengan atau
tanpa Predikator leksikal.
Klausa relasi berikut juga merupakan klausa tanpa pemarkah proses atau
menghadirkan Predikator dalam bentuk fitur.
(7.17) a. Titiang damuh cokor I Dewa…
1 TG embun kaki ART Dewa
„Saya hamba-Mu (Tuhan)‟
b. Jeroné jan banggul Idané
VOK-DEF tangga 3 TG-DEF
„ Anda adalah tangga beliau‟
c. Titiang juru arah duéné
1 TG tukang beritahu POS-DEF
„Saya sebagai pengerah massa‟
Titiang damuh cokor I Dewa
Jeroné jan banggul Idané
Titiang juru arah duéné
Token Predikator Nilai
X A
Klausa realsi di atas dimunculkan tanpa Predikator dan reposisi Token dan
Nilai tidak menemui kendala apapun. Jadi, klausa relasi identifikaional
mengizinkan pembentukan klausa tanpa Predikator. Pada kasus demikian, agnasi
216
biasanya dapat ditambahkan untuk menegaskan kedudukan Token mendahului
Nilai. Jadi, Predikator relasional dapat dimarkahi secara leksikal atau fitural.
Secara kultural, label jan banggul diberikan kepada pamangku „pemimpin
pura‟. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pronomina orang pertama pada
klausa titiang makadi jan banggul due mengacu pada pamangku atau pernyataan
tersebut disampaikan oleh seorang pamangku. Secara harfiah, jan banggul dapat
diartikan tangga yang biasa difungsikan sebagai alat bantu mencapai ketinggian
tertentu. Dengan kata lain, pamangku dipandang sebagai partisipan yang mampu
menghubungkan bawah-atas, dalam hal ini, mengomunikasikan permohonan
manusia kepada Sang Pencipta.
Tidak banyak Predikator proses relasi identifikasional yang dimunculkan.
Berikut beberapa contoh proses relasi identifikasional .
1. makadi „sebagai‟
2. pinaka „sebagai‟
3. saian „sering kali‟
4. yukti „benar-benar‟
5. satmaka „sebagai‟
6. panganteb „pelengkap‟
7. masarana „dengan sarana‟
7.2.6 Proses Eksistensial
Tipe proses eksistensial menyatakan keberadaan suatu hal atau benda.
Proses tersebut menuntut hadirnya satu partisipan yang berperan sebagai Wujud.
Argumen lain yang sering dimunculkan dalam proses eksistensial adalah
217
sirkumtansi. Proses eksistensial merupakan padanan dari struktur introductory
there dalam Bahasa Inggris (Eggins, 1994: 254). Pada klausa Eksistensial
introductory there tidak merepresentasikan makna tertentu, tetapi harus
dimunculkan karena setiap klausa membutuhkan Subjek. Dengan demikian,
introductory there bersifat bebas makna dan tidak mendapat penekanan
(unstressed). Jadi, secara struktur introductory there berperan sebagai Subjek,
tetapi tidak mengandung peran semantis tertentu. Dalam contoh there was snow
on the ground „ada salju di tanah‟, there berperan secara struktur, yakni
menempati posisi Subjek, sedangkan proses eksistensial dinyatakan dengan tobe
atau verba seperti arise „muncul‟, dan occur „terjadi‟. Berikut ditampilkan contoh
proses eksistensial (Dikutip dari Eggins, 1994: 254).
There was snow on the ground
There were two wonderful Swiss men on the restaurant
Eksistensial Wujud Sirkumtansi
Pada ketiga klausa di atas, there merupakan Subjek yang tidak
merepresentasikan makna ataupun merujuk pada tempat. Dengan ketiadaan peran
semantis yang dijalankan, introductory there dapat dibiarkan tanpa penjelasan
dalam analisis transitivitas (Eggin, 1994: 255).
Dalam Bahasa Bali penanda proses eksistensial dinyatakan dengan
pemarkah Eksistensial seperti ada „ada‟ atau wenten „ada‟, seperti contoh klausa
berikut (Data A3/2/ 23-25 ).
218
(7.18) a. …Né ada pangarahan uli désa…
EKS pemberitahuan PREP desa
„Ada pemberitahuan dari desa‟
b. …Wénten berita penting …
EKS berita penting
„Ada berita penting‟
c. …Niki galah becik malih petang rahina…
EKS waktu baik PREP NUM hari
„Ada hari baik empat hari lagi‟
Niki galah becik malih petang rahina
Né ada pengarahan uli désa
Wénten berita penting minab
Proses eksistensial Wujud Sirkumtansi
Proses eksistensial dalam klausa di atas dinyatakan dengan niki „ada‟, ne
„ada‟, wenten „ada‟ yang berfungsi sebagai penunjuk keberadaan suatu wujud.
Bahasa Bali tidak mengenal introductory there sebagaimana Bahasa Inggris.
Klausa tersebut diyakini berupa proses eksistensial karena menyatakan
keberadaan yang diwujudkan dalam wujud yakni galah becik „hari baik‟,
pengarahan „pemberitahuan‟, berita penting „berita penting‟ maupun titiang
„saya‟. Pemarkah proses eksistensial tersebut mengantarkan pendengar untuk
mengetahui suatu wujud tertentu yang dibicarakan. Niki (a) atau ne (b) tidak
berfungsi sebagai demonstrativa atau kata penunjuk, tetapi cenderung menyatakan
keberadaan. Niki dan ne keduanya berarti „ada‟ dalam ragam berbeda. Niki
merupakan bentuk ragam hormat, sedangkan -ne adalah bentuk biasa (andap).
Proses eksistensial juga dapat dinyatakan dengan wenten dan ada „ada‟ dengan
wenten tergolong ragam hormat, sedangkan ada termasuk ragam biasa.
219
Bentuk wénten juga dapat mengambil bentuk hormat lainnya yakni
kawentenan „keberadaan‟, seperti klausa berikut (Data A1/1.3/ 34, 22).
(7.19) a …Kawéntenan tandurané layu…
EKS tanaman-DEF layu
„Keberadaan tanaman yang layu‟
b. …Kawéntenan sametoné driki di Plampang…
EKS saudara-DEF LOK PREP
„Keberadaan saudara kita di Plampang ini‟
Klausa (7.19) menunjukkan Eksistensial suatu wujud masing-masing
tandurané „tanaman‟ dan semetoné „saudara‟. Kedua klausa di atas terdiri atas
satu partisipan, yaitu Wujud. Klausa tersebut diawali oleh pemarkah proses
eksistensial kawentenan ‟keberadaan‟ yang merupakan bentuk turunan dari
wenten „ada‟. Bahasa Bali mengizinkan klausa eksistensial dimunculkan dengan
pemarkah eksistensial dan Wujud tanpa subjek pengantar, seperti introductory
there pada Bahasa Inggris.
Bila dilihat dari struktur kalimat, tampak struktur klausa proses
eksistensial menggunakan tata kalimat yang tidak bersifat kanonis. Pada bahasa
yang bertipe S-P-K-A umumnya Subjek menempati posisi inisial, tetapi tidak
demikian pada struktur proses eksistensial . Proses itu menggunakan konstruksi
inversi, yakni Subjek dimunculkan pada posisi posverba. Pengedepanan
Kawéntenan tandurané layu
Kawéntenan sametoné driki di Plampang
Proses eksistensial Wujud Sirkumtansi
220
Predikator dilakukan untuk kepentingan pragmatik, yakni menjadikan proses
eksistensial sebagai unsur yang ditonjolkan. Klausa proses eksistensial (7.19)
di atas diderivasi dari klausa berikut.
Galah becik niki malih petang rahina
Pengarahan né ada uli désa
Berita penting wénten minab
Subjek Proses eksistensial Sirkumtansi
Pada klausa (a) Niki galah becik malih petang rahina „ada hari baik empat
hari lagi‟ diderivasi dari klausa Galah becik niki malih petang rahina. Kedua
klausa mengandung makna yang sama, tetapi penekanannya berbeda. Klausa Niki
galah becik malih petang rahina mementingkan proses eksistensial, sedangkan
klausa Galah becik niki malih petang rahina mementingkan proses relasional.
Jadi, secara struktur klausa eksistensial memiliki penekanan yang berbeda
dengan struktur kanonis.
Beberapa klausa proses eksistensial dan prakiraan struktur asalnya
ditampilkan di bawah ini (Data A3/3).
(7.20) a. …Ten wénten sabeh uli nem bulan niki…
NEG EKS hujan PREP NUM bulan DEM
„Tidak ada hujan sejak enam bulan terakhir‟
b. …Wénten pasadok saking jero klian duéné…
EKS penyampaian PREP HON SOS POS-DEF
„Ada penyampaian dari ketua adat‟
c. …Sampun wénten pajatian anggén upasaksi…
ASP EKS pajatian PREP saksi
„Sudah ada pajati untuk mohon berkah Tuhan‟
221
d. …Wénten dua pendapat saking kelompok tengah…
EKS NUM pendapat PREP kelompok tengah
„Sudah ada dua pendapat dari kelompok tengah‟
Klausa (7.20) mementingkan keberadaan yang dapat dipadankan dengan
struktur introductory there dalam Bahasa Inggris. Seperti tampak pada klausa di
atas, bentuk negatif proses eksistensial dapat didahului oleh pemarkah negasi ten
„tidak‟ (a), atau pemarkah aspek sampun „sudah‟ (c). Dengan proses eksistensial,
keberadaan atau ketidakberadaan ditonjolkan dengan memosisikan pemarkah
eksistensial di awal klausa. Sementara itu, wujud nomina yang ditonjolkan dan
Sirkumtansi yang mendukung keberadaan menempati posisi pos-eksistensial.
Struktur klausa eksistensial tampak menggunakan struktur yang tidak kanonis
bahasa S-P-K-(A). Oleh karena itu, klausa (7.19) dapat dirunut ke dalam struktur
asal seperti di bawah ini.
Sabeh ten wénten uli nem bulan niki
Pasadok wénten saking jero klian duéné
Pajatian sampun wénten anggén upasaksi
Dua pendapat wénten saking kelompok tengah
Wujud Proses eksistensial Sirkumtansi
Subjek Predikator Komplemen
Klausa asal di atas cenderung tidak menjadi pilihan yang digemari. Pelibat
memilih struktur proses eksistensial yang mengedepankan keberadaan, bukan
Wujud. Hal itu dapat dimaknai sebagai keinginan memberi fokus pada makna
pada keberadaan, bukan pada struktur fungsi.
222
Data menunjukkan bahwa proses eksistensial sangat erat kaitannya dengan
kehadiran Sirkumtansi. Setiap klausa Eksistensial selalu memunculkan
Sirkumtansi tertentu. Klausa (a) diikuti oleh Sirkumtansi durasi waktu uli nem
bulan „sejak enam bulan terakhir‟. Pada klausa di bawahnya berturut-turut
dimunculkan sirkumtansi asal, tujuan dan tempat. Jadi, dapat ditarik simpulan
bahwa proses eksistensial berkaitan erat dengan Sirkumtansi untuk menjelaskan
tempat, waktu, tujuan, alasan, atau sumber keberadaan. Sirkumtansi tersebut
dapat pula hadir dengan atau tanpa preposisi. Proses eksistensial tergolong
proses yang paling bergantung pada kemunculan Sirkumtansi. Berdasarkan contoh
yang telah ditampilkan di atas, berikut Predikator proses eksistensial .
1. kawéntenan „keberadaan‟
2. niki „ada‟
3. wantah „ada‟
4. ada „ada‟
5. ne „ada‟
6. wénten „ada‟
7.3 Interpretasi Tipe Proses
Setelah tipe proses TNNGB ditelaah, ternyata ada beberapa hal penting
yang harus dicatat. Pertama, ada ciri menonjol yang ditemukan pada klausa
proses relasional, yakni tingginya frekuensi proses tersebut digunakan sebagai
ungkapan perumpamaan. Beberapa proses relasional yang digunakan dalam
bentuk metafora ditampilkan di bawah ini (Data A1/4/ 226, 236, 327).
223
(7.21) a. …Titiang makadi jan banggul dué…
1 TG -sebagai tangga POS
„Saya sebagai pelayan Beliau‟
b. …Kramané sami bedak…
warga-DEF KUAN haus
„Semua orang mengharapkan hujan‟
c. …Titiang damuh cokor I Dewa…
1 TG embun kaki ART Dewa
„Saya hanyalah hambaMu (Tuhan)‟
Tampaknya klausa relasional cenderung digunakan untuk menyatakan
metafora, terutama kemiripan sifat dan fungsi. Pada klausa (a, b) tampak orang
pertama tunggal diibaratkan seperti „embun‟ dan „tukang sapu‟. Pemakaian
metafora perumpamaan tersebut dipilih atas dasar adanya kesamaan sifat atau
fungsi antara entitas yang sesungguhnya dan benda yang dijadikan pembanding.
Pada klausa (c) digunakan metafora bedak „haus‟ yang secara harfiah merujuk
pada „keinginan untuk minum‟ dalam makna yang lebih luas menjadi „sangat
mengharapkan turunnya hujan‟. Jadi, penggunaan metafora yang dimunculkan
berkaitan erat dengan ketakwaan masyarakat terhadap Tuhan dan harapan
memperoleh hujan.
Kedua, TNNGB ternyata memiliki proses verbal yang agak berbeda
dengan proses verba pada umumnya. Ditemukan proses verbal dengan dua
dimensi, yakni (a) mengandung proses berkata-kata, dan (b) mengandung proses
material. Proses verbal dua dimensi itu dapat dilihat sebagai dua proses yang
berurutan, yang pada mulanya berupa proses verbal dalam penyampaian informasi
kemudian harus dilanjutkan dengan proses material oleh Target. Jadi, informasi
yang disampaikan mengandung implikasi perintah yang wajib dipatuhi. Dengan
224
kata lain, Perkataan yang disampaikan harus diidentifikasi oleh Target sebagai
pemberitahuan dan permintaan. Jadi, proses verbal unik itu menuntut pemahaman
pesan dan merealisasikanya dalam bentuk tindakan yang relevan. Dengan
demikian, proses verbal unik yang direalisasikan dengan leksikon nauhin,
nanginin, mapengarah, dan ngarahin „memberitahukan‟ tidak hanya menunutut
pemahaman pesan yang disampaikan, tetapi juga menuntut tipe respons nonverbal
yang harus dimunculkan pada waktu yang ditetapkan. Implikasi Predikator
demikian dapat dipadankan dengan perlokusi pada tindak tutur (Austin, 1976)
atau implikatur pada teori pragmatik (Levinson, 1987). Proses verbal dua
dimensi itu dapat dilihat sebagai verba yang mengandung dua proses berikut.
a. Proses verbal : „X menyampaikan A pada B‟
b. Proses material: „B melakukan A‟
Perkataan pada proses verbal dua dimensi itu bersifat mengikat dan
pelanggarnya dapat dijatuhi denda. Secara kultural, anggota yang tidak dapat
mematuhi proses verbal dua dimensi hingga tiga kali berturut-turut atau sesuai
kesepakatan dapat dijatuhi sanksi tertentu.
Ketiga, hasil penghitungan terhadap kemunculan tipe proses menunjukkan
variasi seperti ditampilkan di bawah ini.
225
Tabel 7.3
Rekapitulasi Tipe Proses
Tipe Proses Neduh Nyelang Galah Jumlah %
A1 A2 A3 B1 B2 B3
Material 226 62 128 528 48 41 1033 54,2%
Eksistensial 132 40 71 206 28 26 503 26,4%
Relasional 31 13 29 78 7 5 163 9,4%
Perilaku 0 0 0 0 0 0 0 0%
Verbal 21 12 22 24 25 6 110 5,5%
Mental 18 21 19 26 5 10 99 5,3%
Jumlah 428 148 269 862 113 88 1908
Tabel rekapitulasi tipe proses (7.3) menunjukkan jumlah klausa pada teks
nyelang galah lebih banyak daripada jumlah klausa pada teks neduh. Hal itu
disebabkan adanya tahapan pascaritual berupa panyineb atau pamancut
„penutup‟. Keberadaan teks penutup mengindikasikan bahwa teks nyelang galah
bersifat lebih pelik.
Tabel (7.3) juga menunjukkan distribusi jumlah klausa pada setiap proses
bervariasi. Distribusi tertinggi didominasi oleh proses material, yakni mencapai
54,2% yang sebagian besar dimunculkan pada ritual nyelang galah. Tingginya
frekuensi kemunculan proses material dimaknai sebagai karakter teks yang
memerlukan berbagai tindakan “melakukan” baik dalam fase persiapan, fase
puncak, maupun fase penutup. Pelibat diwajibkan melakukan banyak tindakan riil
agar permohonan dapat berhasil. Demikian pula, para figur tidak kasatmata
diperintahkan melakukan berbagai tugas untuk kesuksesan permohonan,
226
termasuk menyimpan atau mengeluarkan api, membasmi atau menarik mendung,
mengumpulkan atau memecah mendung sesuai dengan kebutuhan. Proses
eksistensial menempati jumlah tertinggi kedua, yakni 26,4%. Artinya, ritual
melibatkan banyak entitas dalam berbagai wujud, misalnya mendung, hujan, air,
api, hari baik, kesepakatan, air laut, sarana umum, dan sarana khusus lainnya.
Berbagai wujud dilibatkan dalam ritual, baik wujud insani maupun wujud
noninsani. Proses relasional menempati jumlah keempat terbesar yang dimaknai
sebagai upaya mempertautkan berbagai entitas yang ada satu dengan lainnya agar
terjalin harmoni. Relasi antarbenda mencerminkan keterkaitan secara langsung
ataupun tidak langsung. Misalnya, hubungan individu dengan kelompok, individu
dengan alam, individu dengan Tuhan. Dengan relasi itu, setiap benda yang ada di
dunia tidak bersifat mandiri, tetapi berhubungan dengan benda lainnya dan dapat
dimanfaatkan oleh manusia.
Bila rekapitulasi tipe proses pada struktur transitivitas dikaitkan dengan
sistem modus dapat diketahui bahwa dominasi modus imperatif dalam TNNGB
sejalan dengan tingginya jumlah proses material yang harus dikerjakan. Pelibat
diwajibkan menyelesaikan pekerjaan tertentu agar permohonan dapat terkabul.
Dukungan perilaku para pelibat harus relevan dengan prosedur yang disepakati
sesuai petunjuk partisipan kunci. Sejauh ini, tidak ditemukan ekspresi penolakan
terhadap tugas yang dibebankan. Jadi, TNNGB membutuhkan dukungan fisik
seluruh pelibat.
227
BAB VIII
STRUKTUR DIATESIS
8.1 Pengantar
Menurut Eggins (1994: 156), struktur diatesis selalu mengandung motivasi
semantis dan pragmatis. Artinya, sebagai bagian dari realisasi makna pertukaran,
diatesis tidak hanya mengandung kesatuan pesan yang dinyatakan dalam struktur
tertentu, tetapi juga komponen yang dikedepankan oleh pembicara. Susunan kata
dalam klausa yang digunakan untuk mengekspresikan pokok pesan
mencerminkan orientasi pembicara. Jadi, pilihan struktur diatesis selalu memihak
pembicara yang memungkinkannya menyampaikan informasi tertentu dengan
susunan leksikon yang diinginkan.
Di sisi lain, Halliday (2004: 55) mengaitkan struktur diatesis dengan
karakteristik Predikator dan fungsi gramatikal yang diperankan oleh argumen.
Oleh sebab itu, struktur diatesis tidak dapat dilepaskan dari tipe proses dan fungsi.
Berdasarkan batasan itu, Subjek didefinisikan secara semantis, pragmatis, dan
struktur. Secara semantis, Subjek merupakan realisasi fungsi gramatikal tertinggi.
Secara pragmatis, Subjek adalah elemen yang dipertanggungjawabkan oleh
pembicara terkait dengan validitas pesan yang disampaikan. Subjek merupakan
unit yang menentukan proposisi dapat diyakini atau ditolak. Secara struktur,
Subjek dapat dibatasi sebagai sesuatu yang mendapat predikat [That of which
something is being predicated (that is, on which rests the truth of the argument)
(Halliday, 2004: 55)]. Dengan kata lain, Subjek merupakan sesuatu yang dijadikan
228
titik awal untuk menyampaikan pesan dan berperan sebagai unit yang mengambil
tanggung jawab.
Telaah struktur diatesis bertolak dari struktur klausa yang tidak bermarkah
atau tidak mengandung prominensi tertentu. Sebuah klausa dinyatakan sebagai
klausa yang tidak bermarkah bila fungsi tertinggi semantis dipetakan pada fungsi
tertinggi secara gramatikal. Pola pemetaan klausa tidak bermarkah dapat dilihat
pada klausa Her nephew sent her flowers „Keponakannyai mengirimkannyai
bunga‟ di bawah ini (diadopsi dari Halliday, 2004: 296).
Fungsi Her nephew sent her flowers
a. Semantis Agen
b. Pragmatis Tema
c. Gramatikal Subjek
Contoh di atas menunjukkan hadirnya fungsi Agen yang direalisasikan
dengan kelompok kata her nephew „keponakannya (laki-laki)‟. Fungsi semantis
Agen dipetakan secara lurus pada fungsi pragmatik dan gramatikal. Pemetaan
lurus itu dinyatakan sebagai konstruksi tidak bermarkah atau klausa yang tidak
mengandung prominensi tertentu (non-prominent). Sebaliknya, klausa bermarkah
adalah konstruksi yang mementingkan suatu unsur atau mengandung prominensi,
seperti contoh berikut (diadopsi dari Halliday, 2004: 296).
229
Subjek
a. By her nephew she was sent flowers
b. To his aunt he sent flowers
c. At the high jump John wins every time
Pada contoh (a, b, c) di atas, tampak upaya untuk menonjolkan komponen
tertentu. Komponen yang ditonjolkan pada klausa (a) adalah by her nephew „oleh
keponakannya‟ yang berstatus sebagai Agen pada verba pasif. Pengedepanan
Agen terjadi atas kepentingan untuk menjadikan Agen sebagai Tema. Pada klausa
(b) Penerima to his aunt „untuk bibinya‟ ditonjolkan. Klausa (c) menonjolkan
Jangkauan at the high jump „pada cabang loncat tinggi‟. Jadi, kepentingan
mengedepankan komponen selain Subjek menghasilkan klausa bermarkah yang
dapat menghasilkan pemetaan tidak lurus.
8.2 Struktur Diatesis Efektif
Berdasarkan kajian Sistemik, kemunculan fitur Agen merupakan penentu
struktur diatesis efektif. Klausa yang memiliki proses aktif pada Predikatornya
tentu memiliki Agen. Klausa semacam itu dapat dinyatakan sebagai klausa efektif.
Sebaliknya, klausa yang tidak mengandung keaktifan secara semantis tidak
mengandung fitur Agen. Klausa yang demikian dinyatakan sebagai klausa Medial.
Dengan demikian, terdapat dua indikator yang digunakan untuk menentukan jenis
diatesis dalam sudut pandang Sistemik, yakni (a) keaktifan pada proses yang
dinyatakan oleh Predikator dan kehadiran Agen. Klausa efektif dapat
direalisasikan dengan struktur Diatesis Operatif atau Reseptif.
230
Untuk membandingkan klausa efektif dan nonefektif ditampilkan contoh
berikut (diadopsi dari Matthiessen dan Halliday, 1997: 20) (terjemahan oleh
penulis).
(8.1) a. The wind opened the door
ART angin buka-PAST ART pintu
„Angin menyebabkan pintu itu terbuka‟
b. The door opened
ART pintu buka-PAST
„Pintu itu terbuka‟
Meskipun klausa (8.1) memiliki Predikator yang sama, opened „membuka,
terbuka‟, tetapi tidak dapat dipandang memiliki diatesis yang sama. Klausa (a)
merupakan klausa transitif yang menghadirkan dua argumen, masing-masing, the
wind „angin‟ dan the door „pintu‟. The wind adalah Agen dari peristiwa yang
dinyatakan oleh predikat atau inisiator yang menyebabkan predikat terjadi,
sedangkan the door menempati peran Tujuan. Dengan demikian, klausa (a) The
wind opened the door „angin membuka pintu‟ dapat dikategorikan sebagai klausa
efektif. Pada klausa (b) The door opened „pintu itu terbuka‟ terdapat satu
argumen yakni the door yang secara otomatis berfungsi sebagai Subjek. Dalam
struktur tersebut, the door bukanlah Agen, tetapi lebih cenderung sebagai
Medium, yakni argumen perantara yang mengizinkan predikat opened terjadi.
Dengan demikian, klausa the door opened tidak dapat digolongkan sebagai klausa
efektif.
Perlu ditegaskan bahwa identitas Agen adalah elemen penyebab (causer)
yang memungkinkan suatu peristiwa terjadi. Agen mengacu pada partisipan yang
231
Jangkauan
+Jangkauan
Non Jangkauan
Operatif
+Agen/S
Medium/K
Proses aktif
Non-
Agentif
Reseptif
+Medium/S
Proses pasif Agentif
+Agen/ A
memiliki kemampuan melakukan tindakan seperti dinyatakan predikat.
Berdasarkan batasan itu, klausa yang tidak menyatakan proses aktif dan
Subjeknya tidak menjadi penyebab terjadinya proses dapat dikategorikan sebagai
klausa Medial.
Struktur diatesis menurut Halliday dapat dilihat pada gambar di bawah ini
(diadopsi dari Halliday, 2004: 297) (terjemahan oleh penulis).
Medial
Agensi
Efektif
Gambar 8.1: Struktur Diatesis Bahasa Inggris
Berdasarkan gambar (8.1) dapat dijelaskan bahwa pilahan diatesis dalam
teori Sistemik dilakukan atas dasar keagenan, sehingga melahirkan pilahan klausa
yang memiliki Agen dan klausa yang tidak memiliki Agen. Struktur klausa yang
tidak mengandung Agen disebut klausa Medial, sedangkan struktur yang memiliki
Agen disebut klausa efektif. Klausa efektif direalisasikan dengan dua diatesis,
232
yakni Diatesis Operatif dan Diatesis Reseptif. Dua tipe klausa efektif itu
dinyatakan memiliki kedekatan antara satu dengan lainnya. Artinya, setiap klausa
Operatif memiliki peluang dinyatakan dalam struktur Reseptif dengan
menempatkan Partisipan II klausa Operatif menjadi Subjek pada klausa Reseptif.
Jadi, yang menjadi penentu diatesis Efektif ialah adanya proses aktif dan
kehadiran Agen yang terlibat aktif dalam proses tersebut.
Seperti telah disinggung pada butir (6.2) verba Bahasa Bali dapat berupa
verba berprefiks {-} atau tanpa prefiks {-}. Klausa yang menggunakan
Predikator {-} lebih dikenal sebagai Diatesis Aktif (Artawa,1998), atau Diatesis
Agentif (Pastika, 2002). Contoh (a) dikutip dari Artawa (1998: 8), sedangkan
klausa (b) dikutip dari Pastika (2002: 116).
(8.2) a. Tiang nyépak cicing-é
1 TG -tendang anjing-DEF
‟Saya menendang anjing itu‟
b. Pan Belog tuara nakonang aji malu
NAMA NEG -tanya harga Sirk
‟Pan Belog tidak menanyakan harga terlebih dahulu‟
Tampaknya penentuan tipe klausa Aktif atau Agentif di atas (8.2)
berpedoman pada proses aktif yang dinyatakan Predikator dan kehadiran Aktor
sebagai pelaku proses dalam fungsi Subjek/Agen. Sesungguhnya pandangan
serupa juga terjadi pada sudut pandang Sistemik, tetapi klausa semacam itu
dinamakan dengan Diatesis Operatif. Artinya, terdapat operasi atau tindakan yang
dilakukan oleh Aktor dan Aktor merupakan argumen wajib hadir. Dengan
233
demikian, Diatesis Operatif dapat dipadankan dengan Diatesis Aktif atau
Diatesis Agentif.
Dilihat dari bentuk morfologis, verba berprefiks {-} dan tanpa prefiks
{} menunjukkan fungsi Subjek yang berbeda. Hal itu dapat dilihat pada tiga
klausa berikut (Data A1/2/43, 56, 58).
(8.3) a. …Kramané makta prani ke Pura Taman…
Warga-DEF -bawa sajen PREP
‟Warga membawa sajén ke pura Taman‟
b. …I Nengah sampun mapengarah…
NAMA PERF -beritahu
‟I Nengah sudah memberitahu‟
c. …Pajatiné aturin tiang benjang…
NAMA sajen-DEF -beri 1 TG Sirk
‟Sajen saya serahkan besok‟
Kramané makta prani ke Pura Taman
I Nengah (sampun) mapengarah
Pajatiné aturin tiang benjang
Subjek Predikator Komplemen Adjung
Predikator yang dilekati pemarkah aktif {-} (a, b) memunculkan Subjek
yang diisi oleh Agen. Sementara itu, Predikator yang mengandung pemarkah {-}
(c) memunculkan Subjek dalam fungsi non-Agen. Agen tiang ‟1 TG‟ tidak
menduduki fungsi gramatikal tertinggi, tetapi dimunculkan sebagai
Komplemen/Agen. Tampaknya, Agen klausa Bahasa Bali tidak harus menduduki
fungsi tertinggi Subjek, tetapi dapat pula ditempatkan sebagai argumen yang
234
menempati fungsi yang lebih rendah. Jadi yang terpenting ialah adanya proses
aktif pada Predikator dan kehadiran Agen bersifat wajib. Berikut ditampilkan
prakiraan struktur Diatesis Operatif Bahasa Bali berdasarkan sudut pandang
Sistemik.
Klausa
Modus Residu
Subjek Predikator Komplemen
Proses aktif
Agen {- (-in/-ang)}
Non-Agen {- (-in/-ang)}
Gambar 8.2: Struktur Klausa Operatif Bahasa Bali
Predikator yang dimarkahi prefiks {-} dapat membentuk struktur klausa
dengan Subjek/Agen. Sebaliknya, Predikator yang dimarkahi zero prefiks {-}
tidak menempatkan Agen sebagai Subjek. Dengan alternasi fungsi itu dapat
ditarik simpulan bahwa Subjek klausa Operatif Bahasa Bali dapat berupa Agen
atau non-Agen.
Bila dikaitkan dengan komposisi Modus-Residu dapat dinyatakan bahwa
struktur Subjek/Agen merupakan kondisi tipikal, sedangkan struktur Subjek/non-
Agen sudah mengakomodasi kepentingan pragmatis. Jadi, struktur Subjek/Agen
235
atau Subjek/Medium dimungkinkan menduduki fungsi Modus. Sebagai
konsekuensi struktur Subjek/Medium, Agen dapat dimunculkan sebagai argumen
yang memiliki status yang lebih rendah.
8.2.1 Diatesis Operatif
Indikator pokok klausa Operatif ialah munculnya Subjek/Agen sebagai
argumen wajib pada proses aktif. Agen dapat ditemukan pada klausa yang
mengandung proses aktif, di antaranya klausa proses material, proses mental,
proses verbal, dan proses perilaku. Subjek/Agen yang dimunculkan oleh proses
aktif itu memiliki dua argumen wajib (inherent), yakni Agen dan Komplemen.
Argumen tertinggi secara semantis, yakni Agen dipetakan secara simetris pada
peran tertinggi gramatikal, seperti ilustrasi berikut.
Gambar 8.3: Pemetaan Diatesis Operatif
Gambar (8.3) menunjukkan bahwa sebagai pengisi fungsi tertinggi secara
semantis Agen dipetakan pada struktur gramatikal yang tertinggi pula. Pemetaan
lurus antarstruktur itu menghasilkan pemetaan Subjek/Agen sedangkan
Komplemen diisi oleh Medium.
Berikut contoh klausa proses material dalam Diatesis Operatif (Data
B1/3/ 109, 124, 125).
Struktur Semantis Agen Medium
Struktur Gramatikal Subjek Komplemen
236
(8.4) a. …Mogi I Ratu mapica…
semoga ART Ratu -beri
„Semoga Ratu (Tuhan) memberkati‟
b. …I Wanara Petak ngrauhang sekancan angin…
ART NAMA -datang-KAUS KUAN angin
„I Wenara Petak mendatangkan angin‟
c. …I Sampati ngunggahang toya segara manadi entikan gulem…
ART NAMA -naik-KAUS air laut -jadi bakal mendung
„I Sampati menaikkan air laut menjadi bakal mendung‟
I Ratu mapica
I Wanara Petak ngrauhang sekancan angin
I Sampati ngunggahang toya
segara
manadi entikan
gulem
Agen Proses material Medium
S P K A
Pada tiga klausa (8.4) terdapat unsur Agen yang dimunculkan pada
posisi awal klausa. Kehadiran Agen pada posisi demikian menunjukkan status
sebagai partisipan yang terlibat langsung dalam proses atau bersifat wajib hadir.
Dengan demikian, klausa material dapat digolongkan memiliki struktur Operatif.
Argumen yang menduduki fungsi Subjek ialah I Ratu „Engkau (Tuhan) (a), I
Wenara Petak „kera putih‟ (b), dan I Sampati (c).
Klausa (a) tergolong klausa material subtipe “peristiwa”, sedangkan dua
klausa berikutnya (b, c) merupakan klausa material subtipe proses “melakukan”.
Klausa material subtipe “melakukan” memiliki unsur X dan unsur Y. Kedua tipe
klausa di atas tidak berkendala untuk dinyatakan sebagai klausa Operatif .
237
Berikut ditampilkan contoh klausa proses material yang menghadirkan
Agen, Benefaktif, dan Tujuan (Data A1/2/92, 103).
(8.5) a. …Gusti Ngurah micayang krama duéné merta…
NAMA -beri-BEN warga POS-DEF berkah
„Gusti Wayan memberikan warga berkah‟
b. …Iraga ngaturang Ida Sesuhunan pajatian…
1 JM -hatur-BEN 3 TG junjungan sajén
„Kita menghaturkan beliau pajatian‟
Gusti Ngurah micayang krama duéné merta
Iraga ngaturang Ida Sesuhunan pajatian
Partisipan I Partisipan II
Agen Proses
material
Klausa tipe material (8.5) di atas menghadirkan tiga argumen. Klausa (a)
menghadirkan Gusti Ngurah sebagai Subjek/Agen dan krama due „warga‟
sebagai Benefaktif, sedangkan merta „berkah‟ sebagai Tujuan. Klausa (b)
memunculkan Subjek/Agen Iraga „kita‟, Ida Sesuhunan „Junjungan‟ sebagai
Benefaktif, dan pajatian sebagai Tujuan. Meskipun Subjek klausa (a)
memunculkan figur tidak kasatmata Gusti Ngurah dan Ida Sesuhunan, tetapi
dipahami memiliki properti melebihi ciri humanis yang mampu mennunjukkan
keaktifan maksimal.
Klausa proses mental juga dapat dinyatakan dalam Diatesis Operatif,
seperti ditampilkan contoh di bawah ini (Data 2A/2/35, 93).
238
(8.6) a. …Krama sami nyaratang ujan…
Warga KUAL -ingin hujan
„Semua warga mengharapkan hujan‟
b. …Pamangku sami sampun acc indik peneduhané …
SOS KUAL PERF sepakat PREP mohon hujan
„Semua pamangku sudah sepakat untuk mohon hujan‟
Sami nyaratang ujan
Pamangku sami sampun acc indik peneduhane
Semantis Agen Proses mental
Gramatikal Subjek
Proses mental menghendaki dua partisipan wajib dan partisipan I klausa
itu harus humanis untuk dapat melakukan pengindraan. Klausa (8.6) merupakan
klausa proses mental yang di dalamnya terkandung pengindraan dengan
keinginan, emosi, dan kognitif. Pada klausa (a) terjadi proses nyaratang yang
dilakukan dengan keinginan dalam intensitas tertentu, sedangkan (b) acc
dilakukan dengan kognisi emotif. Krama sami „semua warga‟ pada klausa (a)
merujuk pada seluruh warga baik komunitas transmigran maupun lokal.
Berikut ditampilkan contoh klausa perilaku dan verbal (Data A3/2/ 129,
134).
(8.7) a. …Tiang nauhin krama mulai bénjang…
1 TG -beritahu warga PREP Sirk
„Saya akan memberitahu warga mulai besok‟
b. …Cerik-ceriké pada makenyem…
anak-DEF-JM KUAN -senyum
„Semua anak tersenyum‟
239
Tiang nauhin krama mulai bénjang
Cerik-ceriké pada makenyem
Partisipan 1 2
Semantis Agen Proses
Gramatikal Subjek
Klausa (a) di atas dapat digolongkan klausa verbal karena dilakukan
dengan berkata-kata. Klausa (b) tergolong klausa perilaku karena menunjukkan
tindakan fisik tertentu. Pemerkata „1TG‟ berperan sebagai Subjek/Agen dan
fungsi Target diisi oleh krama „warga‟ pada klausa (a). Subjek klausa perilaku (b)
diisi oleh Petingkah Laku cerik-cerike „anak-anak‟. Dengan adanya satu partisipan
yang terlibat langsung dalam proses, klausa perilaku berkendala untuk dipasifkan.
Diduga keterbatasan klausa perilaku untuk dipasifkan tidak hanya
dihambat oleh kendala jumlah argumen, tetapi juga pertimbangan semantis.
Petingkah laku tidak sepenuhnya merupakan Agen, tetapi cenderung mengandung
fitur Medium. Artinya, perilaku yang ditunjukkan tidak dapat dikendalikan secara
penuh. Makeyem „tersenyum‟ (b) dapat dipandang sebagai reaksi alamiah yang
tidak dapat dikendalikan, sebagaimana „tersenyum, menangis, atau batuk‟.
Berdasarkan contoh klausa sebelumnya (8.4 - 8.7) dapat ditarik simpulan
bahwa struktur Operatif ditunjukkan oleh klausa proses material, proses mental,
proses verbal, dan proses perilaku. Empat proses itu mengandung keaktifan yang
pada predikatnya. Klausa Operatif pada dasarnya mempertautkan struktur
konstituen, struktur semantis, dan struktur gramatikal secara simetris, tanpa
mengemban prominensi tertentu.
240
Bila dilakukan perbandingkan properti Agen klausa TNNGB, tampak
derajat keagenan yang bervariasi. Derajat keagenan klausa proses material lebih
nyata dibandingkan dengan Agen pada proses verbal dan mental. Rentang
keagenan dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 8.4: Hierarki Agen TNNGB
Gambar (8.4) menunjukkan hierarki keagenan, yakni tingginya peran Agen
suatu proses untuk melakukan sesuatu atau mengendalikan aktivitasnya. Pada
hierarki Agen3 di atas tampak Agen proses material menempati posisi tertinggi
dalam hal mengendalikan aktivitas. Sebagai implikasi kemampuan tersebut, Agen
proses material mampu menentukan Tujuan, Penerima, Pengguna, atau cara yang
dipilih pada proses tersebut. Pada level di bawahnya ditempati oleh Agen proses
mental dan proses verbal. Sementara itu, klausa perilaku memiliki fitur Agen yang
lemah dan sulit mengendalikan aktivitasnya. Proses relasional dan proses
eksistensial tidak memiliki ciri Agen. Dengan bukti di atas dapat diketahui bahwa
3 Kontinum Agen/non-Agen versi Sistemik tidak dapat dipadankan dengan nosi Aktor dan
Undergoer (Folley dan Van Vallin, 1984).
Agen
Aktor
Pengindra
Pemerkata
Petingkah Laku
Penyandang
Wujud
Non-Agen
241
klausa proses material, verbal, dan mental lebih potensial membentuk Diatesis
Reseptif dibandingkan proses lainnya.
Klausa Operatif biasanya dapat diuji dengan cara mereposisi argumen-
argumennya. Restrukturisasi itu dikenal dengan proses reversibilitas. Pandangan
itu bersumber pada perspektif transitif, yaitu model yang memandang setiap
proses memiliki variabel tersendiri pada masing-masing proses, sehingga harus
diperlakukan berbeda sesuai dengan proses tersebut. Ciri menonjol perspektif
transitif adalah adanya konfigurasi Aktor + Proses dengan peran Aktor yang
berbeda-beda sesuai dengan tipe proses. Selain perspektif model transitif yang
dijadikan pertimbangan kajian diatesis yang dikaitkan dengan proses, dikenal pula
perspektif model ergatif. Model ergatif memandang setiap proses memiliki
kesamaan, sehingga dapat dilakukan generalisasi. Perspektif ergatif cenderung
melakukan generalisasi bahwa setiap klausa memiliki struktur Medium + Proses
(Halliday, 2004: 281)
Berpegangan pada tipe proses klausa TNNGB, penelitian ini mengikuti
perspektif transitif dengan pertimbangan setiap proses memiliki variabel tersendiri
yang berbeda dengan proses lainnya. Bila pengujian dengan proses reversibilitas
berhasil, akan diperoleh struktur turunan yang mempertahankan proses aktif dan
Agen dihadirkan secara wajib. Yang terpenting ialah klausa yang dihasilkan
dalam proses reversibilitas harus memiliki makna yang sama atau tidak
menyimpang dari klausa asalnya. Reposisi dapat diberlakukan terhadap setiap
pengisi peran gramatikal sehingga argumen yang sebelumnya tidak menduduki
fungsi tertinggi dapat diposisikan pada fungsi tertinggi.
242
Berikut ditampilkan klausa Operatif yang menggunakan bentuk predikator
dengan pemarkah {-} diikuti klausa reversibilitas yang dimunculkan (Data A2/2/
45, 62, 102).
(8.8) a. …Ipun nandur kacang ijo…
3 SG -tanam kacang ijo
„Dia menanam kacang hijau‟
b. …Tiang nauhin krama mulai bénjang…
1 TG -beritahu warga Sirk
„Saya akan memberi tahu warga mulai besok‟
c. …Ipun ngaturin jero mangku uleman…
3 TG -beri HON VOK sajen
„Dia memberikan jero mangku sajen‟
No. S P K Struktur
a. (1) Ipun nandur kacang
ijo
S/Ag--P-K
(2) Kacang
ijo
tandur ipun S/Med--P-K/Ag
(3) *Kacang
ijo
nandur ipun *S/Med--P-K/Ag
-
b. (1) Tiang nauhin krama mulai
bénjang S/Ag--P-K-A
(2) Kramané dauhin tiang mulai
bénjang S/Med--P-K/Ag-A
(3) *Kramané nauhin tiang mulai
bénjang *S/Ag--P-K/Ag-A
c. (1) Ipun ngaturin jero
mangku
uleman S/Ag--P-K1-K2
(2) Jero
mangku
aturin ipun uleman S/Med--P-K/Ag-
K2
243
Struktur klausa pada baris pertama merupakan klausa Operatif, sedangkan
klausa pada baris di bawahnya merupakan struktur reversibilitas. Klausa (a, b)
memiliki struktur S/Ag--P-K atau merupakan klausa bervalensi dua. Contoh (c)
merupakan contoh klausa dengan valensi tiga dengan struktur S/Ag--P-K1-K2.
Klausa (8.8) itu memiliki alternasi struktur, seperti ditampilkan pada baris di
bawahnya. Klausa (a) Ipun nandur kacang ijo dapat memunculkan struktur
Kacang ijo tandur ipun dengan struktur . Klausa (b) Tiang nauhin krama mulai
bénjang dapat memunculkan struktur Krama dauhin tiang mulai bénjang yang
tersusun atas S/Med--P-K/Ag. Klausa (c) Ipun ngaturin jero mangku uleman
memiliki dua Komplemen, yakni Pengguna jero mangku dan Medium uleman.
Klausa tersebut dapat membentuk dua model struktur reversibilitas. Pengedepanan
Pengguna menghasilkan struktur klausa Jero mangku aturin ipun uleman dengan
susunan S/Med--P-K/Ag-K2. Pengedepanan Medium menghasilkan struktur
Uleman aturin ipun majeng jero mangku dengan susunan S/Med--P-K/Ag-
K1/OBL. Upaya pengedepanan Komplemen/Medium berdampak pada penurunan
valensi. Komplemen/Pengguna yang sebelumnya merupakan partisipan wajib
berubah menjadi partisipan Oblik dan dimarkahi preposisi majeng „untuk‟.
Dengan demikian, struktur reversibilitas pada klausa bervalensi tiga dapat
(3) Uleman aturin ipun majeng
jero
mangku
S/Med--P-K/Ag-
K1/OBL
(4) *Jero
mangku
ngaturin ipun uleman *S/Ag--P-K/Med-
K2
244
membentuk struktur S/Med--P-K/Ag-K2 atau S/Med--P-K/Ag-K1/OBL.
Tampaknya, pada klausa bervalensi tiga terdapat kecenderungan untuk mereposisi
Komplemen yang lebih dekat dengan Predikator. Pengedepanan Komplemen yang
kedua berdampak pada penurunan valensi.
Berdasarkan contoh (8.8) dapat dipahami bahwa klausa Operatif Bahasa
Bali dapat diuji dengan mereposisi argumen-argumennya. Keberhasilan itu
didukung dengan menanggalkan pemarkah aktif {-} menjadi {-}. Struktur
reversibilitas juga dapat dilihat sebagai upaya Medium fokus. Jadi, struktur
reversibilitas dapat dipandang sebagai struktur turunan dari klausa Operatif
dengan tetap mewajibkan kehadiran Agen dan proses aktif. Dengan kata lain,
klausa Operatif dapat mengakomodasi aspek gramatikal pada struktur dasar dan
aspek pragmatis pada struktur turunan. Klausa Operatif Bahasa Bali terbuka
untuk mendudukkan Agen atau Medium sebagai Subjek gramatikal. Kondisi itu
mencerminkan bahwa terdapat kebiasaan berkomunikasi etnis Bali untuk memberi
penekanan pada Agen atau Medium dan Agen.
Secara struktur, pemarkah {-} pada Predikator biasanya mengharuskan
Agen berposisi di kiri verba, sedangkan Medium ditempatkan di kanan verba.
Pada struktur reversibilitas terjadi susunan yang sebaliknya. Medium
dimunculkan pada posisi preverbal, sedangkan Agen dimunculkan pada posisi
posverba. Reversibilitas diizinkan dengan mengubah bentuk Predikator {-}
menjadi bentuk {-}. Apabila pemarkah {-} tetap dipertahankan, klausa yang
245
terbentuk adalah klausa ganjil (baris a3) atau mengandung makna yang berbeda
dengan klausa asalnya (lihat contoh 8.8 baris b3, dan baris c4).
Pengujian dengan reposisi argumen tidak berkendala pada proses material,
mental, dan verbal. Akan tetapi, klausa proses perilaku tidak dapat diuji dengan
cara tersebut. Kendala itu diakibatkan oleh keterbatasan argumen dan karakteristik
Petingkah Laku yang tidak benar-benar Agen. Artinya, perilaku yang ditunjukkan
dalam proses perilaku tidak sepenuhnya dapat dikendalikan.
Komplemen yang dapat dijadikan Fokus melalui proses reversibilitas harus
memenuhi ciri nomina definit. Dalam Bahasa Bali, kedefinitan dimarkahi
dengan {-(n)é}. Distribusi pemarkah definit dipengaruhi oleh bunyi akhir nomina
yang dilekati. Nomina yang memiliki bunyi akhir berupa konsonan mendapat
pemarkah definit {-é}, di antaranya, tegalé „kebun-DEF‟, cubangé „bak-DEF‟,
duéné „milik-DEF‟, atau seméré „sumur-DEF‟. Di satu sisi, pemarkah definit
{né} digunakan pada nomina yang berakhir dengan bunyi vokal. Misalnya,
mertané „berkah-DEF‟, kramané „warga-DEF‟, metené „pohon mete-DEF‟,
sampiné „sapi-DEF‟, baktiné „sajen-DEF‟, atau kubuné „pondok-DEF‟. Jadi,
pemarkah kedefinitan {(n)é} menjadi {-é} bila berhimpitan dengan bunyi
konsonan, dan menjadi {-né} bila berhimpitan dengan bunyi vokal.
Pemarkah definit {-né} dapat juga merujuk pada kepemilikan orang
ketiga. Pemarkah kepemilikan {-né} menjadi {-né} bila dilekatkan pada nomina
yang diakhiri oleh bunyi konsonan, dan menjadi {-n-né} bila berhimpitan dengan
bunyi vokal. Dengan distribusi demikian dimunculkan bentuk umahné
„rumahnya‟, tegalné „kebunnya‟, timpalné „temannya‟, atau pipisné „uangnya‟.
246
Pelekatan pemarkah kepemilikan pada nomina yang berakhir dengan bunyi vokal
diikuti oleh proses geminasi. Dengan proses itu dimunculkan nomina giginné
„giginya‟, kubunné „pondoknya‟, sampinné „sapinya‟, rokonné „rokoknya‟
bunganné „bunganya‟, balénné „rumahnya‟, atau nasinné „nasinya‟.
Dilihat dari karakteristik Agen tampaknya tidak semua Agen dapat
menempati fungsi sebagai Komplemen pada klausa reversibilitas. Agen dengan
ciri pronomina dan bukan nama sebenarnya (proper name) cenderung
mengizinkan reversibilitas, seperti ditunjukkan contoh (8.9) berikut.
(8.9) Klausa Asal
(S/Ag--P-K- K-A)
Reversibilitas
(S/Med--P-K/Ag-K-A)
a. Tiang nutug jero mangku ka pura
1 TG -ikut HON SOS PREP
„Saya ikut jero mangku ke pura‟
Jero mangku tutug tiang ka
pura
I Kadék nutug jero mangku ke ura *Jero mangku tutug I Kadék
ka pura
b. Cai nanem jagung unggul
2 TG -tanam jagung
„Kamu menanam jagung unggul‟
Jagung unggul tanem cai
Anaké tua ento nanem jagung
unggul
*Jagung unggul tanem anaké
tua ento
c. Ipun ngalapang tiang jagung muda
3 TG -petik 1TG jagung muda
„Dia memetikkan saya jagung muda‟
Tiang alapang ipun jagung
muda
Jagung muda alapang ipun
tiang
Pak Kadus ngalapang tiang jagung
muda
*Tiang alapang pak Kadus
jagung muda
*Jagung muda alapang pak
Kadus tiang
247
Pada contoh (8.9) tampak klausa (a, b. c) memunculkan Subjek/Agen yang
diisi oleh pronomina tunggal tidak berkendala dalam reversibilitas. Klausa (a)
Tiang nutug jero mangku ka pura membentuk klausa Jero mangku tutug tiang ka
pura „Jero mangku yang saya ikuti ke pura‟. Sementara itu, klausa (b) Cai nanem
jagung unggul „Kamu menanam jagung unggul‟ menurunkan klausa Jagung
unggul tanem cai „Jagung unggul yang kamu tanam‟. Klausa dengan Komplemen
ganda (c) Ipun ngalapang tiang jagung muda „Dia memetikkan saya jagung
muda‟ dapat memunculkan klausa Jagung muda alapang ipun tiang atau Tiang
alapang ipun jagung muda. Reversibilitas menemui kendala bila Agen diisi
dengan vokatif atau nama sebenarnya. Reversibilitas dengan karakter Agen
demikian itu memunculkan klausa yang tidak berterima, seperti (a) *Jero mangku
tutug Kadék ke pura, (b) *Jagung unggul tanem anaké tua ento, atau (c) *Jagung
muda alapang pak Kadus tiang. Tampaknya kesuksesan reversibilitas harus
didukung oleh tipe klausa transitif yang memiliki Agen berupa pronomina umum
dan bukan nama sebenarnya.
Pada klausa reversibilitas, Komplemen klausa asal dikedepankan dan
menjadi Subjek/Fokus. Pemokusan itu menggeser Agen ke posisi kedua pada
struktur reversibilitas. Pola pemetaan klausa Operatif asal dan struktur
reversibilitas dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 8.5: Pemetaan Struktur Reversibilitas
Klausa asal Subjek/Agen Komplemen
Klausa Reversibilitas Subjek/Fokus Komplemen/Agen
248
Berdasarkan gambar (8.5) di atas dapat dicermati bahwa terdapat
perbedaan perlakuan terhadap Agen pada klausa asal dan klausa reversibilitas
yang diturunkan. Struktur dasar memiliki struktur Subjek/Agen dan
Medium/Komplemen, sedangkan struktur reversibilitas memiliki Subjek/Medium
dan Agen/Komplemen. Secara gramatikal, struktur reversibilitas mendudukkan
Medium sebagai Subjek/Fokus. Struktur turunan itu mempertahankan jumlah
argumen wajib dan merujuk pada keaktifan Agen. Jadi, struktur klausa
reversibilitas menghasilkan pemetaan silang tanpa penurunan valensi.
Rekapitulasi struktur klausa Operatif asal dan turunan dapat dirangkum
dalam tabel berikut.
Tabel 8.1
Struktur Diatesis Operatif
Klausa
dengan 2 Partisipan
Klausa
dengan 3 Partisipan
Struktur Asal S/Ag - -P - K/Med S/Ag - -P - K1 - K2
Struktur
Turunan
S/Med - -P - K/Ag S/Med - -P - K/Ag- K2
S/Med - -P - K/Ag - K1/OBL
Pada tabel (8.1) di atas tampak jumlah argumen pada klausa transitif tidak
mengalami perubahan dalam struktur turunannya. Akan tetapi, salah satu argumen
klausa ditransitif bergeser ke posisi Oblik. Argumen yang biasanya didudukkan
sebagai Oblik ialah argumen yang berfungsi sebagai Benefaktif (Penerima),
seperti ditampilkan contoh (8.8/c3).
249
8.2.2 Diatesis Reseptif
Diatesis Reseptif merupakan struktur klausa yang memiliki tipe proses
aktif sebagaimana klausa Operatif, tetapi kehadiran Agen bersifat manasuka.
Dalam pandangan fungsional, Diatesis Reseptif merupakan diatesis turunan yang
diperoleh dengan menempatkan Komplemen klausa Operatif menjadi Subjek
pada klausa Reseptif, sedangkan Agen difungsikan sebagai argumen manasuka.
Setiap klausa transitif Operatif berpeluang untuk dinyatakan dalam struktur
Reseptif. Perubahan status Agen menjadi argumen Oblik pada klausa Reseptif
menghasilkan pemetaan silang, seperti gambar berikut.
Argumen I Argumen II
Diatesis Operatif Subjek
Agen
Komplemen
Diatesis Reseptif Subjek
Medium
Adjung
Gambar 8.6: Pemetaan Diatesis Reseptif
Pemetaan Diatesis Reseptif seperti ditunjukkan gambar (8.6) berupa
pemetaan tidak simetris. Artinya, peran semantis tertinggi tidak dipetakan pada
fungsi gramatikal tertinggi. Dengan pemetaan tersebut tampak bahwa argumen
semantis tertinggi dipetakan pada argumen Oblik. Pemetaan silang itu
menempatkan Agen pada posisi Adjung dan biasanya dimarkahi preposisi.
Artawa (1998) dan Pastika (2002) sepakat bahwa {ka-} merupakan
pemarkah proses pasif. Klausa dengan pemarkah {ka-} dipadankan dengan
Diatesis Objektif atau Diatesis Pasif. Pemarkah {ka-} juga dapat dilihat sebagai
250
pemarkah Diatesis Reseptif berdasarkan pandangan Sistemik karena menerangkan
proses pasif dan Subjek bersifat menerima (receive) tindakan.
Struktur klausa Reseptif Bahasa Bali dapat direalisasikan dengan
pemarkah {ka-} dan dapat dilihat sebagai upaya menyamarkan Agen. Perhatikan
contoh (a, b) berikut (Data B1/4/ 233, 236 dan Data A2/2/65).
(8.10) a. …Ratu Ngurah katurang saji punjung maiwak ayam sekuning…
HON NAMA PAS-beri nasi - ikan ayam kuning
„Ratu Ngurah dihaturkan nasi dan ayam kuning betutu‟
b. …Gusti Wayan katurang ketipat dampulan mabé taluh mapanggang…
HON NAMA PAS-beri ketupat -ikan telur -panggang
„Gusti Wayan dihaturkan ketupat dan telur panggang‟
c. …Baktiné sampun kakaryanin olih biyang mangku…
bakti-DEF PERF PAS-buat PREP ibu VOK
Sarana sudah disiapkan oleh istri jero mangku‟
Ratu
Ngurah
katurang saji punjung maiwak
ayam sekuning mabetutu
Gusti
Wayan
katurang ketipat dampulan mabé
taluh mapanggang
Baktiné sampun
kakaryanin
olih biyang
mangku
Subjek Proses Pasif Komplemen Adjung
Pada klausa (8.10) di atas tampak Predikator klausa Reseptif dimarkahi
dengan pemarkah pasif {ka-}. Pada klausa tersebut muncul Partisipan I sebagai
pengisi peran Subjek, yakni Ratu Ngurah, Gusti Wayan, dan Baktiné „sarana‟.
Subjek pada dua klausa pertama merupakan Subjek/Penerima dari aktivitas yang
dinyatakan dalam Predikator. Dua figur itu adalah figur tidak kasatmata yang
251
dimintakan bantuan untuk membantu tercapainya ritual. Komplemen yang
dimunculkan adalah saji „persembahan‟. Agen tidak dinyatakan secara tersurat,
tetapi dapat dipahami keberadaannya. Pada klausa (c) Agen dimunculkan dalam
bentuk Oblik. Hal itu menunjukkan bahwa penggunaan Diatesis Reseptif
menekankan pada fungsi Medium.
Pada fase puncak khususnya tahap persembahan tampak ada
kecenderungan pergeseran diatesis, dari Diatesis Operatif ke Diatesis Reseptif.
Diatesis Operatif digunakan pada tahap mengajukan permohonan, seperti Titiang
nunas sabeh „Saya mohon hujan‟ atau Titiang ngawentenang bakti „Saya
menyiapkan sajen‟. Pada tahap berikutnya, digunakan Diatesis Reseptif, seperti
Niki katurang segehan manca warna ring ibu pertiwi „Ini dihaturkan sajen lima
warna kepada ibu pertiwi (dewa penguasa tanah)‟ atau Gusti Made katurang
ketipat kelanan maiwak taluh mapindang „Gusti Made dipersembahkan ketupat
dan telur pindang‟. Pergeseran diatesis itu dapat dimaknai sebagai cara
menjunjung nilai persembahan. Artinya, pada tahap mempersembahkan sesuatu
yang dikedepankan adalah Penerima dan media persembahan.
Agen klausa Reseptif biasanya dimarkahi preposisi olih atau antuk „oleh‟
pada ragam halus, sedangkan pada ragam biasa (andap) dapat digunakan preposisi
baan atau tekén „oleh‟, seperti tampak pada contoh (c). Klausa Reseptif yang
dimarkahi dengan pemarkah pasif {ka-} mengandung rasa hormat dan cenderung
dipakai pada ranah ritual atau pembicaraan formal. Penggunaan pemarkah {ka-}
dapat mengacu pada Agen yang terbuka, baik berupa pronomina pertama, kedua,
atau ketiga. Pemarkah {-a} sebagai pemarkah Diatesis Reseptif masih
252
dipertanyakan karena pemarkah tersebut cenderung mengacu pada orang ketiga
saja. Kedua model klausa Reseptif itu ditampilkan dalam contoh di bawah ini
(Data A3 /4/239 dan A2/1/44).
(8.11) a. …Baktiné sampun kabuat (antuk biyang serati)…
sarana PERF PAS-bawa PREP ibu tukang banten
„Sajen sudah dibawa oleh tukang banten‟
Baktiné sampun kabuat (olih I Nengah )
( 3 TG)
b. …Météné sepega (baan I Kayan) …
mete-DEF -potong-3 TG PREP NAMA
„Pohon mete itu dipotong (oleh I Kayan)‟
Météné sepega (baan I Kayan tekén I Nengah)\
( 3 JM)
*Météné sepega baan icang/cai
1 TG / 2TG
Baktine sampun
kakaryanin
antuk biyang serati
Météné sepega baan I Kayan
Partisipan 1 2
Gramatikal Subjek Adjung
Seperti tampak pada contoh (8.11) di atas, klausa di atas menggunakan
pemarkah {ka-} dan {a-}. Pemarkah {ka-} dan {-a} diyakini merupakan
pemarkah Diatesis Reseptif berdasarkan karakteristik: (a) memiliki tipe proses
pasif dan Subjek merupakan Komplemen pada Diatesis Operatif, (b)
menghadirkan Agen sebagai Adjung atau ditanggalkan, dan (c) memiliki
Subjek/Medium merupakan argumen yang menerima tindakan.
253
Pemarkah Reseptif {ka-} dimunculkan pada ragam hormat dan Agen dapat
didahului preposisi antuk atau olih „oleh‟. Pemarkah {a-} mengandung makna
ragam biasa (andap) dan Agen biasanya dimunculkan dengan preposisi baan
„oleh‟. Bila dicermati tampak Agen diatesis Reseptif dengan pemarkah {ka-}
dapat diisi oleh pronomina umum. Hal itu terbukti dengan diterimanya klausa
Baktiné sampun kakaryanin (antuk titiang / ragané / ipun) „sarana sudah
disiapkan (oleh 1TG, 2TG, 3TG)‟. Sebaliknya, struktur Reseptif dengan
pemarkah {-a} hanya dapat diikuti oleh Agen berupa orang ketiga. Sebagai
contoh, Météné sepega (baan I Kayan) / (baan I Kayan teken I Nengah) „mété itu
dipotong (oleh 3 TG/3 JM). Penempatan Agen berupa orang pertama atau kedua
menghasilkan klausa ganjil. Keterbatasan Agen inilah yang membuat pemarkah {-
a} disangsikan sebagai pemarkah diatesis Pasif. Meskipun demikian, berdasarkan
kajian Sistemik klausa dengan Predikator yang dimarkahi {ka-) dan {a-}
memenuhi kriteria sebagai diatesis Reseptif berdasarkan perspektif transitif.
Pada klausa tertentu kehadiran Agen klausa Reseptif tidak dapat
ditanggalkan. Agen harus dimunculkan secara tersurat, seperti contoh klausa di
bawah ini (Data B1/2/56).
(8.12) a. …Titiang kabanda antuk galah…
1 SG PAS-ikat PREP waktu
„Saya diikat oleh waktu‟
b. …Jagungé (ka)tempuh angin …
jagung-DEF PAS-kena angin
„ Jagung itu dilanda angin topan‟
c. …Ai Cente kasilemin celeng alas…
air keladi PAS-tenggelam babi hutan
„Mata air Ai Cente dimasuki babi hutan‟
254
*Titiang kabanda
*Jagungé katempuh
*Ai Cente kasilemin
Titiang kabanda antuk galah
Jagungé katempuh angin
Ai Cente kasilemin celeng alas
Medium Proses Agen
Klausa (8.11) menunjukkan ciri khusus klausa Reseptif Bahasa Bali. Pada
contoh (a, b, c) di atas tampak Agen tidak dimunculkan sebagai argumen
manasuka. Agen bersifat wajib untuk dinyatakan secara tersurat. Pada klausa di
atas kehadiran Agen klausa Reseptif dapat dimarkahi preposisi (a) ataupun tanpa
preposisi (b, c). Hal itu dibuktikan dengan sulit diterimanya klausa Titiang
kabanda, Jagungé katempuh ataupun Ai Cente kasilemin. Perilaku unik Agen
tersebut dapat dipahami sebagai dampak dari Agen yang tidak benar-benar Agen,
tetapi Agen Pemicu (Inisiator) yang berkaitan dengan kekuatan alam. Galah
„waktu‟ tidak benar-benar dapat mengikat, seperti klausa *Galahé manda titiang
„waktu mengikat saya. Klausa tersebut diprediksi bukan merupakan klausa
derivasi dari klausa Operatif. Hal serupa juga terjadi pada klausa (b, c). Jadi,
Bahasa Bali memerlakukan Agen/Pemicu berbeda dengan Agen nyata. Agen yang
benar-benar Agen dapat dimunculkan secara manasuka, sedangkan Agen pemicu
bersifat wajib hadir. Kedua perilaku Agen klausa Reseptif itu tidak bertentangan
dengan sistem diatesis yang selalu bersifat biner. Dengan dua struktur itu, klausa
255
Reseptif berpotensi menonjolkan dua komponen sekaligus, yakni Medium dan
Agen.
Tipe proses material, proses mental, dan proses verbal tidak bermasalah
dalam pembentukan klausa Reseptif, seperti tampak pada contoh berikut (Data
A2/4.2/212 dan A2/2/ 45, 77).
(8.13) a. … Gusti Wayan katurang ketipat dampulan…
NAMA PAS-beri ketupat
„Gusti Wayan dihaturkan ketupat dampulan‟
b. …Pedinaan katuréksa olih jero mangku…
hari PAS-periksa PREP HON mangku
„Hari baik diperiksa oleh jero mangku‟
c. …Kramané kadauhin mangda tedun …
warga PAS-undang KONJ turun
„Warga diundang hadir‟
Tiga contoh di atas (8.13) menunjukkan klausa proses material, proses
mental, dan proses verbal berpeluang membentuk klausa Reseptif. Sebaliknya,
proses perilaku, relasional, dan eksistensial berkendala dinyatakan dalam struktur
Reseptif akibat rendahnya ketransitifan yang ditunjukkan Predikator atau
keterbatasan jumlah partisipan. Dengan demikian, tipe proses relasional dan
eksistensial terbukti tidak memenuhi kriteria diatesis Operatif ataupun Reseptif.
Kaitan proses dan diatesis efektif Bahasa Bali dapat diringkas sebagai berikut.
256
Tabel 8.2
Proses dan Diatesis Operatif -Reseptif
No Tipe Proses Diatesis Efektif
Operatif Reseptif
1 Material √ √
2 Mental √ √
3 Verbal √ √
4 Tingkah Laku √ -
5 Relasional - -
6 Eksistensial - -
Tampak pada tabel (8.2) bahwa tipe proses material, proses mental, dan
proses verbal tidak berkendala pada diatesis Operatif ataupun Reseptif.
Sebaliknya, proses relasional dan eksistensial tidak dapat dinyatakan memiliki
struktur efektif. Sementara itu, proses perilaku menunjukkan karakter yang unik,
yakni dapat dinyatakan dalam klausa Operatif, tetapi berkendala pada diatesis
Reseptif. Dengan demikian, terdapat tiga karakter proses terkait kategori diatesis,
yakni: (a) tidak berkendala pada diatesis Operatif dan Reseptif, (b) berkendala
pada diatesis Operatif dan Reseptif, dan (c) berkendala pada diatesis Reseptif.
8.3 Diatesis Medial
Diatesis Medial adalah struktur klausa yang fungsi Subjeknya diisi oleh
Jangkauan, yakni partisipan yang tidak memiliki ciri keagenan ataupun
kepasienan, tetapi memiliki keterkaitan dengan dengan proses. Jangkauan dapat
257
dipadankan dengan Medium dalam hal mengizinkan suatu relasi terjadi. Fitur
Agen tidak dimiliki, karena predikat yang digunakan tidak mengandung aktivitas.
Karakter Subjek yang mengandung ciri Medium dan predikatnya tidak
mengandung nilai keaktifan dapat ditemukan pada klausa proses relasional dan
proses eksistensial. Partisipan yang berperan sebagai Penyandang baik relasi
atributif ataupun relasi identifikasi tidak mengemban peran semantis sebagai
Agen. Partisipan I proses relasional dan Eksistensial gagal memenuhi kriteria
klausa efektif. Sekalipun demikian, kegagalan memasuki diatesis efektif tidak
secara otomatis menutup peran dan penggunaan dua proses bersangkutan. Proses
relasional dan proses eksistensial sangat dominan dalam pengungkapan
keberadaan suatu benda atau menyatakan hubungan yang terbentuk di antara
benda-benda yang ada di dunia. Jadi, proses relasional dan proses eksistensial
tidak memiliki potensi menyatakan keaktifan, tetapi dapat mengungkapkan
keberadaan dan hubungan antarbenda.
Berbeda dengan empat proses sebelumnya, proses relasional dan proses
eksistensial tidak memiliki aspek keaktifan pada Predikator, seperti tampak pada
dua klausa berikut (Data A1/4.2/ 248, 87).
(8.14) a. …Titiang wantah juru sapuh Ida…
1 TG ATR tukang sapu 3TG
„Saya adalah pelayan Beliau (Tuhan)‟
b. …Wénten paduwasan malih petang rahina…
EKS hari baik PREP NUM hari
„Ada hari baik empat hari lagi‟
258
Titiang wantah juru sapuh Ida
Wénten paduwasan malih petang rahina
Proses Subjek Proses
Klausa (8.14) terdiri atas dua tipe proses, masing-masing (a) proses
relasional dan (b) proses eksistensial yang keduanya tidak memperlihatkan
keagenan pada Subjeknya. Klausa (a) memiliki Subjek titiang „saya‟ sebagai
Penyandang atribut, sedangkan Predikator wantah „memang‟ tidak menyatakan
keaktifan. Ketidak aktifan juga tampak pada proses eksitensial (b). Oleh sebab itu,
klausa proses relasional dan proses eksistensial dapat dinyatakan sebagai klausa
Medial4.
Berikut ditampilkan potensi tipe proses dalam menmbentuk Diatesis
Operatif, Reseptif, dan Medial.
4 Klausa Medial versi Sistemik tidak mengandung pengertian bahwa Subjek adalah Agen dan
Pasien dari aktivitas yang dinyatakan predikat atau S=A/P.
259
Tabel 8.3
Tipe Proses dan Diatesis
No Tipe Proses Diatesis Efektif Diatesis
Medial Operatif Reseptif
1 Material √ √ -
2 Mental √ √ -
3 Verbal √ √ -
4 Tingkah Laku √ - -
5 Relasional - - √
6 Eksistensial - - √
Tabel (8.3) mencerminkan bahwa pembicara dapat memilih diatesis yang
sesuai untuk menyatakan berbagai tipe proses. Proses material, proses verbal, dan
proses mental dapat membentuk klausa Efektif, sedangkan proses relasional dan
eksistensial cenderung membentuk klausa Medial. Proses perilaku dapat
membentuk klausa Operatif, tetapi berkendala untuk dinyatakan dalam klausa
reversibilitas atau klausa Reseptif.
Berpedoman pada sistem diatesis Bahasa Inggris dan pertimbangan
karakter proses yang dimunculkan TNNGB dari sudut pandang teori Sistemik
dapat diprediksi sistem diatesis Bahasa Bali sebagai berikut.
260
Jangkauan
Jangkauan/Subjek
Non Jangkauan
Operatif
(i) Agen/Subjek
(ii) Medium/Subjek
Proses aktif
Non-
Agentif
Reseptif
Medium/Subjek
Proses pasif Agentif
a. Agen/A
b. Agen/K
Gambar 8.7: Sistem Diatesis Bahasa Bali
Berdasarkan gambar (8.7) dapat diketahui bahwa tuturan teks berbahasa
Bali memiliki dua struktur klausa efektif, yakni klausa berdiatesis Operatif dan
Reseptif. Klausa Operatif umumnya menempatkan Agen sebagai Subjek, tetapi
klausa turunan bersifat mengedepankan Subjek/Medium. Agen pada bentuk
turunan yang dikenal dengan struktur reversibilitas itu difungsikan sebagai
Komplemen. Pada klausa Reseptif tampak Bahasa Bali tidak sepenuhnya
mengikuti ciri universal yang mendudukkan Agen sebagai Adjung. Pada Agen
yang bersifat inisiator atau kekuatan alam, Agen harus dimunculkan secara
tersurat dalam fungsi Komplemen, bukan Adjung. Dengan demikian, proses pasif
yang dikandung predikator tetap mengedepankan Medium. Variasi diatesis
Bahasa Bali dapat dilihat sebagai kecenderungan atau kebiasaan etnis Bali
mengungkapkan suatu pesan dengan menilik dua unsur, yakni Agen dan Medium.
Medial
Efektif
Agen
261
Dominasi klausa Operatif dan Medial dibandingkan klausa Reseptif pada
TNNGB dapat dipahami sebagai bentuk keaktifan dari pelibat menjalin harmoni
dengan benda-benda di sekitarnya. Temuan ini sejalan dengan tingginya jumlah
proses material dan proses eksistensial pada struktur transitivitas.
262
BAB IX
STRUKTUR TEMATIS
9.1 Pengantar
Seperti diketahui, teks merupakan satuan semantik yang elemen-
elemennya saling bertautan. Pertautan itu membentuk jaringan yang
mencerminkan adanya negosiasi antar bagian. Konsep negosiasi itulah yang
disebut fungsi tekstual yang sekaligus membedakan teks dengan nonteks. Dalam
fungsi menyatakan organisasi pesan, leksikon ditata sedemikian rupa sehingga
membentuk tekstur dan relevan dengan tujuan (Eggins, 1994:273).
Struktur tematis berkaitan dengan bagaimana tema ditata sesuai dengan
sistem informasi. Struktur tema tidak dapat dilepaskan dari komponen Tema-
Rema dan organisasi informasi. Identitas Tema secara struktur adalah elemen
klausa yang menduduki posisi inisial, mendahului Rema. Bagian yang dapat
dikategorikan sebagai Tema adalah bagian yang berkontribusi secara signifikan
dalam komunikasi. Hal itu terjadi karena Tema menjalankan tugas sebagai titik
awal pesan dan menegaskan tentang apa klausa itu (what the clause is going
about) (Halliday, 2004: 67). Tema dinyatakan tidak bermarkah bila dipetakan ke
Subjek yang direalisasikan oleh kelompok nomina. Sebaliknya, Tema bermarkah
biasanya ditandai dengan intonasi yang berbeda, terutama bila diisi oleh kelompok
adverbial, frasa berpreposisi, atau kelompok nomina yang tidak berstatus Subjek.
Peletakan Tema di awal klausa berkaitan dengan kecenderungan manusia dalam
berkomunikasi yang dimulai dari informasi yang telah diketahui (given
263
information) atau dikenali dari konteks (Halliday, 2004: 67). Rema adalah bagian
klausa yang mendukung pengembangan Tema sehingga kemunculannya secara
posisional mengikuti Tema. Bila dikaitkan dengan struktur informasi, Tema
cenderung mengandung informasi lama, sedangkan Rema mengandung informasi
baru. Berikut ditampilkan sistem Tema-Rema (Eggins, 1994: 274) (terjemahan
oleh penulis).
Gambar 9.1: Sistem Tema-Rema Bahasa Inggris
Berdasarkan gambar (9.1) dapat diketahui bahwa pada prinsipnya setiap
klausa sederhana mengandung satu tema topikal. Akan tetapi, klausa dapat juga
memiliki tema majemuk yang terdiri atas tema topikal dan tema lainnya, seperti
tema tekstual dan tema antarpelibat. Hal itu menunjukkan bahwa struktur tema
Tunggal
+Tema Topikal Attitudinal
+Tema topikal; +Tema Antarpelibat
Antarpelibat ^Topikal
Majemuk Konjungtif
+Tema tekstual
Tekstual^Topikal
Kombinasi
+Tema tektual; +Tema antarpelibat
Tekstual^Antarpelibat^Topikal
Tak bermarkah
Subjek/Tema (deklaratif)
Kata Tanya/Tema (Wh-interogatif)
Finit/Tema (interogatif)
Proses/Tema (imperatif)
Bermarkah
Lain/Tema
264
tidak dapat dilepaskan dari metafungsi. Kelompok kata yang berfungsi dalam
representasi pengalaman disebut tema topikal. Kelompok kata yang berfungsi
dalam proses pertukaran disebut tema antarpelibat. Tema antarpelibat itu biasanya
direalisasikan dengan Adjung vokatif. Kelompok kata yang berfungsi dalam
organisasi pesan disebut tema tekstual dan biasanya direalisasikan dengan Adjung
konjungtif atau Adjung kontinuitas. Berikut ditampilkan contoh klausa dalam
struktur tema tunggal dan majemuk (diadopsi dari Eggins, 1994: 282).
No TEMA REMA
a This was in Genewa
b In Greece, they give you nothing
c Simon, isn‟t that where they put the
needle in?
d Oh, they give you a cup of tea
Kontinuitas Vokatif Finit
Tekstual Antarpelibat Topikal
Contoh (a, b) di atas memiliki tema tunggal, sedangkan contoh (c, d)
memunculkan tema majemuk. Tema tunggal pada (a) ditempati oleh Penyandang,
sedangkan (b) ditempati oleh Sirkumtansial lokatif. Kausa (c) memiliki dua tipe
tema, yakni tema antarpelibat yang direalisasikan dengan vokatif dan finit
mendampingi tema topikal. Klausa (d) memiliki tema tekstual yang direalisasikan
dengan Adjung kontinuitas dan tema topikal.
Kelompok kata yang muncul setelah tema topikal dikategorikan sebagai
Rema. Artinya, elemen transitivitas digunakan sebagai pembatas Tema-Rema,
265
sejalan dengan kategori Modus-Residu pada sistem modus. Pada konstruksi tidak
bermarkah, elemen tema topikal menduduki posisi inisial. Dengan demikian,
kausa deklaratif memiliki Subjek/Tema, sedangkan klausa imperatif memiliki
Predikator/Tema. Klausa interogatif memiliki Tema berupa komponen Polaritas
atau kata tanya. Berdasarkan struktur Tema tunggal itu, kehadiran komponen
antarpelibat atau komponen tekstual di awal klausa dapat membentuk klausa yang
memiliki struktur tema majemuk.
Bila klausa deklaratif Bahasa Inggris umumnya memiliki tema tunggal
yang direalisasikan oleh Aktor dan Sirkumtansi, sistem tema tunggal klausa
Bahasa Bali dapat pula diduduki oleh Tujuan. Artinya, setiap elemen transitivitas
dimungkinkan untuk menduduki fungsi tema topikal. Hal itu terkait dengan
sistem diatesis Bahasa Bali yang mengizinkan non-Aktor menduduki fungsi
Subjek.
9.2 Pengembangan Tema
Pada TNNGB dimunculkan tiga teknik pengembangan tema sebagai upaya
membentuk kohesi. Pengembangan Tena dilakukan dengan reiterasi, zigzag, dan
majemuk. Pengembangan tema dengan repetisi itu bersifat pengulangan elemen
yang difokuskan. Repetisi semacam itu menghasilkan klausa yang fokus pada
elemen tertentu, sementara elemen lain tidak mendapat pengembangan.
Pengembangan Tema dengan cara zigzag dikenal pula dengan progresi tema,
yakni pengembangan Rema menjadi Tema klausa berikutnya. Artinya, Rema dari
sebuah klausa dapat dikedepankan menjadi Tema pada klausa berikutnya. Pada
266
tipe pengembangan majemuk setiap elemen Rema dapat dijadikan Tema pada
klausa bawahan.
Tema yang banyak dimunculkan berkaitan dengan partisipan. Bentuk
partisipan orang pertama yang dimunculkan direalisasikan dengan leksikon
titiang, tiang „saya (ragam hormat)‟. Partisipan lain dirujuk dengan leksikon jero
„anda (2 TG/PL)‟ diikuti dengan fungsi sosial atau keagamaan yang diemban, di
antaranya, jero bendesa, jero klian, „ketua adat‟, jero mangku „pemimpin pura‟,
atau jero adat „ketua adat‟. Klausa dengan Tema orang pertama jamak biasanya
direalisasikan dengan sami „kami semua‟, kramané „warga‟, semetoné „saudara
kami‟, atau tiang madué roban „saudara saya‟. Tema dalam bentuk orang pertama
tunggal atau jamak itu cenderung dikembangkan dengan repetisi untuk
menegaskan identitas diri, khususnya pada fase persiapan ritual maupun tahap
mengajukan permohonan. Tema lain yang juga dikembangkan secara repetisi
adalah Gusti Wayan Teba, I Gusti Made Jelawung, I Gusti Nyoman
Pengadangadang, dan I Gusti Ketut Petung, I Wenara Petak dan I Sampati. Tema
yang dimunculkan dalam bentuk nama figur Ke-Tuhanan dikembangkan dengan
logika zigzag. Artinya, warga mohon bantuan Beliau dan selanjutnya Beliau
bertindak melakukan pertolongan. Di sini dimunculkan kata ganti berupa Ida atau
I Ratu „Beliau atau Engkau‟ yang tidak hanya ditujukan kepada figur feminim,
tetapi dapat merujuk berbagai figur, seperti Hyang Wisnu, Dewi Gangga, Dewi
Danu, Hyang Baruna, Sang Hyang Bayu, I Ratu Ngurah Tabeng Langit, atau
Sang Hyang Agama. Pengembangan Komposisi Tema majemuk dapat dilihat
pada pembahasan sarana sajen. Setiap tipe sarana yang ditetapkan dilengkapi
267
dengan elaborasi tujuan dan distribusi. Berikut contoh klausa yang dimaksud
(Data A1/4/ 283-285, 309-310 dan data A2/2/ 123-126).
(9.1) a. …Titiang tangkil sané mangkin …
1 TG -datang REL Sirk
„Saya menghadap sekarang‟
…Taler titiang sampun ngawéntenang bakti…
KONT 1 TG ASP -ada sarana
„Saya sudah menyiapkan sarana‟
…Titiang kedeh mapinunas …
1 TG MOD -minta
„Saya datang untuk memohon‟
b. …Titiang nyelang papatih duéné I Sampati…
1 TG -pinjam patih POS-DEF NAMA
„Saya meminjam patih paduka yang bernama I Sampati‟
…I Sampati sakti ngamenekang toya segara…
NAMA sakti -naik air laut
„I Sampati mampu menaikkan air laut‟
…Toya segara manadi awun ambung-ambung…
air laut -jadi awan di angkasa
„Air laut menjadi awan di angkasa‟
c. …Jero serati makarya canang penyahcah, daksina, taler labaran…
VOK SOS -buat NAMA sarana
„Jero serati membuat berbagai jenis sarana‟
…Penyacahé katur ring soang-soang pelinggih…
NAMA sarana-DEF PAS- hatur PREP
„Canang panyahcah dihaturkan pada setiap pelinggih‟
…Daksina anggen upasaksi…
NAMA -sebagai saksi
„Daksina sebagai Upasaksi‟
…Labaran putih selem taler manca warna…
NAMA sarana putih hitam KONJ NUM warna
„Labaran putih, hitam, dan lima warna‟
268
Klausa (a) menunjukkan pendalaman tema dengan repetisi. Elemen yang
ditonjolkan digali secara terus menerus sesuai kepentingan. Klausa (b) merupakan
klausa yang dikembangkan secara zigzag, dan (c) dikembangkan dengan teknik
majemuk. Ketiga tipe pengembangan Tema yang ditemukan pada TNNGB dapat
diilustrasikan sebagai berikut.
a. Reiterasi
b. Zigzag
c. Majemuk
Gambar 9.2: Pengembangan Tema
Pengembangan Tema dengan struktur reiterasi mencerminkan upaya
pendalaman sebuah Tema yang dipandang signifikan. Tema tertentu digali dengan
seksama dalam beberapa klausa. Pola zigzag mengindikasikan upaya
pengembangan Tema dan Rema secara bergantian. Elemen Rema pada klausa
sebelumnya dikedepankan menjadi Tema pada klausa di bawahnya. Dengan pola
zigzag Tema dan Rema dipandang sama penting. Pola Majemuk menempatkan
setiap elemen Rema dapat menjadi Tema pada klausa di bawahnya. Pola demikian
dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang berkaitan dengan Tema
269
utama. Jadi, TNNGB menempatkan unsur Tema dan Rema sebagai bagian yang
sama penting untuk dielaborasi pada klausa berikutnya.
9.3 Tema Tunggal dan Majemuk
Seperti telah disinggung pada butir (9.1), Tema suatu klausa dalam kondisi
tidak bermarkah merupakan klausa bertema tunggal sebagai representasi fungsi
eksperiensial. Pada metafungsi eksperiensial itu, Aktor, Tujuan, dan Adjung
Sirkumtansial berpotensi menduduki fungsi sebagai tema topikal. Secara struktur
semua konstituen yang mengikuti Tema topikal dikategorikan sebagai Rema.
Berikut ditampilkan klausa yang memiliki tema tunggal (Data A2/3/62, 66, 69, 71
dan B1/1/ 5)
(9.2) a. … Ipun juru arah duéné…
3 TG tukang beritahu POS-DEF
„Dia salah seorang juru arah kita‟
b. …Bénjang semeng, tiang mulai mapengarah …
Sirk 1 TG mulai -beritahu
„Mulai besok pagi saya menyosialisasikan hasil rapat‟
c. …Biyang mangku sampun ngaryanang upah-upahané…
ibu SOS ASP -buat sajen RED-DEF
„Istri pamangku sudah membuatkan sajen-sajennya‟
d. …Rapeté niki titiang sineb antuk parama shanti…
rapat-DEF DEM 1TG -tutp PREP salam penutup
„Rapat ini saya tutup dengan salam penutup‟
e. …Titiang mamanah nunas panyelah…
1 TG -ingin -minta waktu
„Saya bermaksud mohon tolak hujan‟
270
TEMA REMA
a Ipun
(Penyandang)
juru arah duéné
b Bénjang semeng,
(Sirk)
ipun mulai mapengarah
c Biyang mangku
(Aktor)
sampun ngaryanang upah-upahané
d Rapaté niki
(Tujuan)
sineb titiang mangkin antuk parama
shanti
e Titiang
(Pengindera)
mamanah nunas panyelah
Contoh (9.2) menunjukkan klausa yang memiliki tema tunggal yang
ditempati oleh tema topikal, baik berupa Penyandang (a), Pengindra (b), Tujuan
(c), Aktor (d) maupun Sirkumtansi (e). Klausa (a, c, d, e) memiliki tema topikal
yang diisi oleh Subjek/Tema dalam berbagai fungsi, sedangkan klausa (b)
memiliki Adjung/Tema. Dengan demikian, setiap komponen eksperiensial
mendapat peluang menduduki fungsi Tema pada struktur tema tunggal. Artinya,
Aktor tidak secara otomatis menempati fungsi sebagai Tema bila didahului oleh
argumen ekperiensial lain. Jadi, struktur tema tunggal klausa TNNGB adalah
sebagai berikut:
(a) Tema Topikal/Aktor
(b) Tema Topikal/Tujuan
(c) Tema Topikal/Sirkumtansi
Struktur tema majemuk terdiri atas tema topikal yang didahului oleh tema
lainnya, seperti ditampilkan contoh di bawah ini (Data A3/3/ 45, 51,54, 68 dan
A2/4/ 93).
271
(9.3) a. …Nggih, titiang setuju indik pemarginé…
ya 1TG -setuju PREP jalan-DEF
„Ya, saya setuju dengan rencana itu‟
b. …Kedeh titiang nunas sabeh…
KOM 1TG -minta hujan
„Dengan penuh harapan, saya minta hujan‟
c. …Minabang titiang seratiné sampun uning…
-pikir 1 TG VOK SOS-DEF ASP -tahu
„Saya kira, tukang sajen sudah tahu‟
d. …Mangkin dumun jero klian, dadosné titiang ten nyén purun nyemak
Sirk VOK SOS ATR 1TG NEG berani -ambil
keputusan pedidi…
keputusan Sirk
„Tunggu dulu ketua adat, saya tidak berani mengambil keputusan
sendiri‟
e. …Taler I Wenara Petak katurang nasi wongwongan putih…
KONT ART NAMA PAS-beri NAMA sarana
„Juga I Wenara Petak dipersembahkan nasi wongwongan putih‟
No TEMA REMA
Tekstual Antarpelibat Topikal
a Nggih,
(Kontinuitas)
titiang
setuju indik
pamargine
b Kedeh
(Komen)
titiang nunas sabeh
c Minabang titiang
(Sikap)
seratine sampun uning
d Mangkin
dumun
(Kontinuitas)
jero
klian,
(VOK)
dadosne,
(Kontinu-
itas)
titiang ten nyen purun
ngambil keputusan
pedidi
e Taler
(Konjungtif)
I Wenara
Petak
katurang nasi
wongwongan putih
Contoh klausa (9.3) merupakan klausa dengan tema majemuk. Artinya,
tema eksperiensial didahului oleh tema tekstual, tema antarpelibat, atau keduanya.
272
Tema yang mendahului tema topikal dapat direalisasikan dengan tema kontinuitas
(a, d), tema komen (b), tema sikap pembicara (attitudinal) (c), tema konjungtif
(e), tema vokatif (d). Tema tersebut merupakan realisasi komponen tekstual dan
antarpelibat yang ditempatkan mendahului tema topikal. Tema tekstual berupa
Adjung kontinuitas menunjukkan kelanjutan dari rangkaian informasi
sebelumnya, sedangkan tema konjungtif menyatakan informasi tambahan. Tema
antarpelibat menjelaskan hubungan pembicara dengan pelibat lain dalam hal
memilih pembicara selanjutnya. Kemunculan tema antarpelibat dan tekstual
menunjukkan bahwa tema topikal bukanlah menjadi satu-satunya tema yang
hendak ditonjolkan. Dengan kata lain, struktur tema majemuk mencerminkan
adanya kepentingan semantis, gramatikal, dan pragmatis dalam sebuah klausa.
Struktur tema majemuk klausa TNNGB dapat diringkas sebagai berikut.
(a) Tema tekstual ^ Tema topikal.
(b) Tema antarpelibat ^ Tema topikal.
(c) Tema sikap ^ Tema topikal.
(d) Tema tekstual ^ Tema antarpelibat ^ Tema topikal
9.4 Kebermarkahan Tema
Dalam struktur tak bermarkah, elemen yang menempati fungsi Tema
adalah kelompok kata yang ditempatkan pada awal klausa. Dalam konstruksi tidak
bermarkah, tema klausa deklaratif adalah Subjek, tema klausa imperatif adalah
proses, sedangkan tema klausa interogatif mencakup kelompok kata polaritas atau
kata tanya. Meskipun demikian, struktur klausa yang digunakan oleh pembicara
273
tidak selalu mengikuti struktur kanonis. Pembicara dapat memilih struktur sendiri
sesuai dengan kepentingan pesan, seperti contoh klausa di bawah ini (Data B1/2/
13 dan B1/3/ 205, 212).
(9.4) a. …Nggih, sarana lénan tiang ngaryanang driki…
KONT sarana lain 1 TG -buat Sirk
„Sarana lain saya siapkan sendiri‟
b. …Singgih pakulun Ratu Sanghyang Agama, kaula duéné
HON VOK NAMA hamba-DEF
ngawéntenang bakti…
-ada persembahan
„Ya, Tuhan Yang Maha Benar, hamba menghaturkan persembahan‟
c. …Pinunas titiang, I Ratu dados panyarang…
minta 1 TG NAMA ATR pengering
„Hamba mohon I Ratu (Engkau) menahan hujan‟
No TEMA REMA
a Nggih, sarana lénan,
(Tujuan)
tiang ngaryanang driki
b Singgih pakulun Ratu
Sanghyang Agama,
(VOK)
kaula duéné ngawentenang
bakti
c Pinunas titiang,
(Sikap)
I Ratu dados penyarang
Klausa (9.4) memiliki struktur bermarkah karena Subjek didahului oleh
komponen lain. Subjek klausa (a) didahului oleh tema tekstual berupa Adjung
kontinuitas, klausa (b) didahului tema antarpelibat berupa Adjung vokatif,
sedangkan klausa (c) memiliki Tema sikap (attitudinal). Dengan demikian,
struktur tema bermarkah klausa deklaratif TNNGB dapat terdiri atas tiga struktur
berikut.
274
(a) Tema interpersonal ^ Subjek
(b) Tema tekstual ^ Subjek
(c) Tema topikal ^ Subjek
(d) Tema tekstual ^ Tema interpersonal ^ Tema topikal ^ Subjek
Pada klausa imperatif, tema tunggal terbentuk oleh proses. Kehadiran
komponen lain mendahului proses membentuk struktur tema majemuk. Struktur
tema majemuk klausa imperatif dapat dilihat pada contoh klausa berikut (Data
B2/2/ 19, 24 dan B1/2/ 129, 132).
(9.5) a. …Yén kénten, mani abaang a pajatian…
KONT Sirk -bawa NUM sarana
„Kalau begitu, besok bawalah satu pejati‟
b. …Ring pelinggih Dewi Danu taler unggahang pajatian asoroh…
PREP tempat NAMA KONT -naik sarana NUM
„Di stana Dewi Danu juga persembahkan satu pajati‟
c. …Ih Gusti Wayan Teba ngadeg…
ART NAMA -berdiri
„Wahai Gusti Wayan Teba bangkitlah‟
d. …Sekancan méga punahang maring ambara…
semua mendung -pecah PREP angkasa
„Gagalkan semua mendung di angkasa‟
TEMA REMA
a Yen kenten,
(KONT)
mani
(Sirk)
abaang a pajatian
b Ih Gusti Wayan Teba
(VOK)
ngadeg
c Sekancan mega
(Komplemen)
punahang maring ambara
d Ring pelinggih Dewi Danu (Sirkumtansi)
taler (KONJ)
unggahang pajatian asoroh
275
Empat klausa (9.5) memiliki struktur bermarkah karena proses tidak
ditempatkan pada posisi inisial. Pada klausa (a), Predikator didahului oleh
Adjung kontinuitas dan Sirkumtansi. Klausa (b) memiliki Adjung vokatif yang
menjelaskan identitas mitra wicara. Klausa (c) memiliki tema eksperiensial
sekancan mega „semua mendung‟ yang berstatus sebagai Tujuan dalam struktur
transitivitas. Klausa (d) menampilkan Adjung sirkumtansial dan konjungtif. Jadi,
struktur tema bermarkah klausa imperatif adalah sebagai berikut.
(a) Tema tekstual ^ Proses
(b) Tema antarpelibat ^ Proses
(c) Tema topikal ^ Proses
(d) Tema tekstual ^ Tema antarpelibat ^ Tema topikal ^ Proses
Tema klausa interogatif biasanya direalisasikan dengan pertanyaan
ya/tidak atau kata tanya. Tidak jarang struktur klausa interogatif ya/tidak memiliki
struktur yang sama dengan kalusa deklaratif, tetapi dibedakan dalam intonasi.
Kejelasan makna bertanya dapat ditegaskan dengan elemen suprasegmental.
Klausa interogatif itu bisanya diberikan intonasi naik untuk menunjukkan ekspresi
tanya “ya/tidak”. Di satu sisi, klausa interogatif dengan kata tanya dapat diketahui
dengan mudah berdasarkan kata tanya dan intonasi. Perhatikan contoh klausa
interogatif berikut (Data A2/3/61, 66, 78, 89, 95 ).
(9.6) a. …Makejang pamangku dué sampun setuju niki?…
KUAN SOS POS PERF setuju DEM
„Apakah semua pamangku setuju?
b. …Mangkin dumun, jero krama wénten pitakén malih?…
KONT HON warga EKS pertanyaan lagi
„Tunggu dulu, ada warga yang mengajukan pertanyaan lagi?‟
276
c. …Tugas napi wénten niki?…
tugas apa EKS DEM
„Ada tugas apa?‟
d. …Pejatiné, malih pidan jagi maanggén, Pak Adat?…
sarana TANYA ASP -pakai VOK
„Untuk kapan dipakainya sajen itu, Pak Adat?
e. …Indik Adat Suka Damai ring dija polih tugas?…
PREP NAMA TANYA -dapat tugas
„Dimana kelompok adat Suka Damai bertugas?‟
No TEMA REMA
a Sami
(Sirk)
pamangku due
(VOK)
sampun setuju niki?
b Mangkin dumun,
(KONT)
jero krama
(VOK)
wenten pitaken malih?
c Tugas
(Wujud)
napi wenten niki?
d Pejatine,
(Tujuan)
malih
pidan
jagi
maanggen
pak
adat?
(VOK)
e Indik adat Suka Damai,
(Penyandang)
ring
dija
polih tugas?
Klausa (a, b) tergolong klausa interogatif ya/tidak. Klausa interogatif itu
direalisasikan dengan sampun „sudah/belum (halus)‟ dan wenten „ada/tidak
(halus)‟ Klausa interogatif dengan kata tampak pada kata tanya napi „apa‟ (halus),
(c), malih pidan „kapan‟(halus) (d), dan ring dija „di mana‟ (halus). Unsur
interogatif itu didahului oleh fungsi lain sehingga dapat dinyatakan sebagai klausa
bertema majemuk.
Leksikon lain yang dapat mengekspresikan elemen polaritas dalam Bahasa
Bali, di antaranya, suba „sudah‟ (biasa), durus/payu „jadi (halus/biasa)‟,
277
kayun/nyak „mau (halus/biasa)‟, ada „ada (biasa)‟. Struktur tema klausa interogatif
bermarkah dapat terdiri atas susunan berikut.
(a) Tema topikal ^ Polaritas / Tanya
(b) Tema antarpelibat ^ Polaritas / Tanya
(c) Tema tekstual ^ Polaritas / Tanya
(d) Tema tekstual ^ Tema antarpelibat ^ Tema topikal ^ Polaritas / Tanya
Kelompok kata yang berfungsi sebagai Tema dalam struktur tak
bermarkah dapat diuji. Pengujian tema topikal klausa deklaratif dapat dilakukan
dengan mempertanyakan Subjek, sedangkan pengujian tema klausa imperatif
dapat dilakukan dengan menanyakan proses. Pengujian tema klausa interogatif
dapat dilakukan dengan mengganti intonasi naik menjadi intonasi turun, atau
mensubstitusi elemen tanya dengan informasi yang dibutuhkan.
Halliday (2004: 124) menegaskan bahwa tema bermarkah lebih umum
diisi oleh Adkung Sirkumtansial yang direalisasikan oleh kelompok adverbia dan
frasa berpreposisi dibandingkan dengan Komplemen. Hal itu dapat digambarkan
dengan ilustrasi berikut.
Gambar 9.3: Kebermarkahan Tema
Tema tak bermarkah Subjek
Adjung
Tema bermarkah Komplemen
278
Ilustrasi (9.3) menunjukkan bahwa Komplemen tergolong elemen yang
paling bermarkah dalam stuktur Tema. Artinya, penempatan Komplemen sebagai
Tema memerlukan upaya yang maksimal. dalam konstruksi tidak bermarkah
klausa memiliki struktur Subjek/Tema. Kondisi itu juga berlaku pada klausa
Bahasa Bali. Adjung memiliki potensi lebih besar dikedepankan menjadi Tema
daripada Komplemen. Akan tetapi, pengedepanan Komplemen tidak berkendala
dalam Bahasa Bali dengan dukungan elemen suprasegmental. Kemungkinan itu
dapat dilihat pada klausa deklaratif di bawah ini (Data A3/4/ 49)
(9.7) a. … Biyang serati ngaryanang pajati nemnem soroh…
ibu SOS -buat sarana NUMB
„Tukang sajen membuat pajati enam buah‟
b. …Nemnem soroh biyang serati ngaryanang pajati…
NUMB ibu SOS -buat sarana
„Enam buah tukang sajen membuat pajati‟
c. …Pajati // biyang serati ngaryanang nemnem soroh…
sarana ibu SOS -buat NUMB
„Pajati anda buat enam buah‟
No TEMA REMA
Subjek Predikator Komplemen Adjung
a Biyang
serati
ngaryanang pejati nemnem
soroh
b Nemnem
soroh
biyang
serati
ngaryanang pejati
c Pejati // biyang
serati
ngaryanang nemnem soroh
Berdasarkan sebuah klausa tidak bermarkah (a) dapat dibentuk struktur
berbeda dengan mengedepankan Adjung (b) dan Komplemen (c). Penempatan
279
Adjung sirkumtansial (b) sebagai tema tampak tidak membutuhkan penekanan
sebagaimana pengedepanan Komplemen. Hal itu mengindikasikan tata urutan
proses-Komplemen lebih ketat dibandingkan proses-Adjung. Jadi, dengan
dukungan aspek suprasegmental, Komplemen dapat ditempatkan sebagai Tema
dalam klausa Bahasa Bali. Klausa imperatif berikut juga tampak mengedepankan
Komplemen (Data B3/1/12, 19, 27).
(9.8) a. …Canang raka // karyanang kutus…
NAMA sarana -buat NUM
„Canang raka, buatkan delapan buah‟
b. …Nyuh gading // alapang di jaba pura…
kelapa gading -petik PREP
„Kelapa gading, petikkan di halaman pura‟
c. …Nasi pawongwongané // wentenang kakalih …
sarana EKS NUM
„Siapkan dua buah sarana‟
No TEMA REMA
S P K A
a Canang raka, (2 TG) karyanang kutus
b Nyuh gading,
(2 TG) alapang di jaba
pura
c Nasi
pawongwongané,
(2 TG) wentenang kakalih
Pada klausa (9.8) di atas, Komplemen diposisikan sebagai tema
bermarkah. Keberterimaan klausa Komplemen/Tema membutuhkan dukungan
intonasi berbeda dari komponen rema. Penempatan Komplemen sebagai tema
biasanya didukung kehadiran Adjung sirkumtansial, di antaranya, Sirkumtansi
280
waktu, tempat, cara atau numeral. Jadi, Bahasa Bali mengizinkan struktur
bermarkah dengan Komplemen atau Adjung sebagai Tema, mendahului tema
topikal.
Pengembangan tema secara hipotaktis merupakan strategi mengembangan
Tema dalam klausa yang sama. Komponen Rema biasanya dijadikan Tema pada
klausa sematan. Relasi itu dimaksudkan untuk menambahkan informasi atau
pengembangan Rema. Cara yang umum dipakai adalah dengan perelatifan
sehingga terbentuk klausa kompleks. Klausa-klausa pada klausa kompleks
memiliki sifat ketergantungan, artinya, klausa sematan bergantung pada klausa
induk. Contoh (b-d) berikut merupakan contoh relasi hipotaktis yang diderivasi
dari klausa (a). Pemisah antarklausa ditandai dengan kolom berarsir (diadopsi dari
Eggins, 1994: 295).
No TEMA REMA TEMA REMA
a Diana has donated
blood for 36th
time
b It was Diana who
(Topikal)
had donated
blood 36
times
c It was the 36th
time
that
(Struktural)
Diana
(Topikal)
had donated
blood
d It was blood that
(Struktural)
Diana
(Topikal)
had donated
for the 36th
time
Klausa sederhana dengan Subjek/Tema (a) dapat diberikan penekanan
tertentu pada elemen yang diinginkan. Klausa sematan memberi penekanan pada
281
Aktor (b), Sirkumtansi (c), dan Komplemen (d). Perelatifan yang ditambahkan
pada elemen tertentu membuatnya lebih topikal. Jadi, perelatifan dapat digunakan
untuk memberi penekanan pada elemen Rema untuk menjadi elemen topikal.
Mencermati klausa turunan yang dihasilkan dari klausa Diana has donated
blood for 36th
time „Diana sudah melakukan donor darah sebanyak 36 kali‟ di atas
tampaknya Bahasa Bali juga mengizinkan pengembangkan Tema - Rema dengan
cara tersendiri. Bagian yang pada klausa induk berstatus Rema dapat ditonjolkan
dengan penambahan pemarkah relatif ané, atau sané „yang‟ sehingga membentuk
klausa sematan. Dengan perelatifan itu Rema dapat menjadi Tema pada klausa
sematan, seperti ditunjukkan klausa berikut (Data B2/2/ 23, 56 dan Data A2/2/
39).
(9.9) a. …Niki nunas galahé berlawanan dengan keinginan masyarakat
DEM -minta waktu-DEF berlawanan PREP keinginan masyarakat
ané bedak tekén yéh…
REL haus PREP air
„Ritual mohon hujan berlawanan dengan keinginan masyarakat yang
haus akan air‟
b. …Kénten kerja baktiné ngamecikang pelinggih duéné
KONT kerja bakti-DEF -baik pelinggih POS-DEF
sané kasendér jebol…
REL PAS-tembok jebol
„Gotong royong memperbaiki tembok pelinggih yang jebol‟
c. …Niki indik paneduhan sané kamargiang masané mangkin…
DEM PREP mohon hujan REL PAS-laksana Sirk
sampun kaping telu…
PERF KUAN NUMB
„Mohon hujan yang dilaksanakan periode ini sudah tiga kali‟
282
d. …Sapunapi patutné bakti sané patut kakaryanin?…
TANYA MOD sarana REL MOD PAS-buat
„Sarana apa yang harus disiapkan?‟
e. …Titiang nyelang pepatih Idané sané maparab I Sampati
1 TG -pinjam patih 3 TG REL -nama NAMA
taler I Wenara Petak…
KONJ NAMA
„Saya meminjam patih paduka yang bernama I Sampati dan I Wenara
Petak‟
No TEMA REMA TEMA REMA
a Niki nunas
galahé
berlawanan
dengan
keinginan
masyarakat
ané
(Topikal)
bedak tekén yéh
b Kénten
kerja
baktiné
ngamecikang
pelinggih
duéné
sane
(Topikal)
kaséndér jebol
c Niki indik
paneduhan
sané
(Topikal)
kamargiang
masané mangkin
sampun ka ping
telu
d Sapunapi patutné bakti sane
(Topikal)
patut kakaryanin
e Titiang
nyelang
pepatih idané
sane
(Topikal)
maparab I
Sampati taler I
Wenara Petak
Garis berarsir dimaksudkan sebagai pembatas klausa induk dan klausa
sematan. Klausa kompleks di atas memiliki logika hipotaktis, yakni terdapat
ketergantungan antarklausa. Tema klausa sematan adalah elemen Rema klausa
utama atau klausa sematan bergantung pada klausa lainnya. Ketergantungan
283
antarklausa terjadi karena kepentingan menambahkan informasi baru pada elemen
klausa induk. Perelatifan yang dilakukan terhadap Rema klausa induk
membuatnya berstatus Tema pada klausa sematan dalam hubungan koreferensial.
Ditinjau dari struktur informasi, Tema-Rema klausa induk merupakan informasi
yang terberi, sedangkan Rema klausa sematan berstatus informasi baru.
Tampaknya hubungan koreferensial dan kedekatan jarak mengizinkan elemen
tersebut digantikan dengan pemarkah relatif.
Komponen perelatifan sané, ané „yang (halus/biasa)‟ dapat digunakan
secara bebas tanpa dipengaruhi oleh persona. Relasi hipotaktis juga dapat pula
dinyatakan dengan klausa bersyarat yén “jika-maka”, seperti contoh berikut (Data
A3/3/143, 246, 176, 190).
(9.10) a. …Yén sampun indik pejatiné, titiang nunas mapamit mangkin…
jika PERF PREP sarana, 1TG -minta -pamit Sirk
„Jika pejati sudah diterima, saya mohon diri‟
b. …Yén durung Ida mapica, ngiring mapinunas malih…
jika IMPERF 3 TG -beri, mari -minta lagi
„Jika beliau belum mengabulkan, mari memohon kembali‟
c. …Yén beli muatang, titiang jagi mapinunas…
jika kakak -perlu, 1TG IMPERF -mohon
„Jika anda mendesak, saya akan memohon‟
d. …Yén sampun pacuk, rapaté jagi tutup titiang…
jika PERF ø-sepakat, rapat-DEF IMPERF ø-tutup 1TG
„Jika semua sudah sepakat, rapat akan saya tutup‟
284
No TEMA REMA TEMA REMA
a Yén
sampun indik
pejatiné,
titiang nunas mapamit
mangkin
b Yén durung Ida
mapica,
(1 JM)
ngiring mapinunas
malih
c Yén beli muatang, titiang jagi mapinunas
d Yén sampun pacuk, rapaté jagi tutup titiang
Pada relasi “jika-maka” di atas klausa utama merupakan syarat bagi
tercapainya klausa sematan. Ketergantungan klausa sematan biasanya tidak
mengacu pada sebuah komponen tertentu, tetapi pada keseluruhan klausa induk.
Artinya, jika kondisi pada klausa induk telah terpenuhi, klausa sematan akan
terpenuhi pula. Sebaliknya, jika kondisi yang dinyatakan klausa induk tidak
terpenuhi, klausa sematan menjadi gagal. Distribusi penggunaan perelatifan ané,
sané „yang‟ dan relasi yén “jika maka” sebagai pembentuk relasi hipotaktis
ditampilkan di bawah ini.
Tabel 9.1
Distribusi Perelatifan
Teks Hipotaktis
Perelatifan Jika-Maka
ané sané yén
Neduh A1 7 14 4
A2 3 9 2
A3 9 24 7
Nyelang
galah
B1 4 18 13
B2 5 12 6
B3 2 10 4
Jumlah 30 87 36
Persentase 20 % 56 % 24 %
285
Berdasarkan tabel (9.1) di atas tampak penggunaan relasi logika hipotaktis
dengan perelatifan dengan sane lebih dominan daripada penggunaan ane.
Leksikon bentuk hormat itu dipilih terkait dengan ranah percakapan formal
religius. Frekuensi kemunculan proyeksi hipotaksis yang kecil mencerminkan
bahwa pembicara cenderung memilih klausa sederhana. Penggunaan bentuk
bersyarat mengindikasikan bahwa setiap langkah teks harus dikerjakan dengan
prosedur yang telah disepakati. Jadi, kebermarkahan Tema yang dimunculkan
pada fase persiapan TNNGB mengindikasikan adanya keinginan mengakomodasi
kepentingan semantis, gramatikal, dan pragmatis dalam teks yang melahirkan
struktur tema majemuk.
286
BAB X
SISTEM REFERENSIAL
10.1 Pengantar
Alat-alat kohesif menjalankan fungsi tekstual. Alat kohesi seperti
referensi, ellipsis, dan konjungsi memungkinkan suatu unsur dijalin dengan unsur
lain yang ada di kiri atau di kanan. Artinya, alat kohesi berfungsi membentuk
hubungan dengan elemen yang muncul sebelumnya atau sesudahnya dalam jarak
tertentu. Yang tergolong alat kohesi gramatikal adalah konjungsi, referensi, dan
ellipsis dan substitusi. Referensi merupakan tipe alat kohesi yang mengandung
makna yang sama dengan elemen yang diacu. Berbeda dengan konjungsi yang
bersifat transisi antarklausa, referensi mengacu pada nomina, proses, atau
adverbial. Dalam metafungsi, sistem referensi menjalankan fungsi membentuk
hubungan antarklausa sehingga dua elemen yang berjauhan dapat dijalin.
Referensi juga dapat menghubungkan butir informasi lama dihubungkan dengan
informasi baru secara berkesinambungan (given and new information string).
Berdasarkan teks berbahasa Inggris dinyatakan ada kecenderungan untuk
mengacu kembali informasi lama setelah diendapkan beberapa saat dalam pikiran
pendengar/pembaca.
Halliday (2004: 552) memperkenalkan dua tipe referensi, yakni referensi
yang berkaitan dengan lingkungan teks dan referensi internal teks. Referensi
dengan lingkungan menghasilkan tipe referensi eksoforis, sedangkan referensi
internal teks dinyatakan sebagai referensi endoforis. Referensi endoforis dapat
287
berupa acuan terhadap suatu kelompok nomina yang telah diketahui oleh
pendengar/pembaca secara anaforis ataupun kataforis. Dengan demikian, pengacu
dan anteseden yang diacu bersifat koreferensial (co-reference) dan dapat saling
menggantikan. Singkatnya, referensi endoforis bersifat referensial atau
menemukan acuan di dalam teks secara logogenesis (sesuai sistem pemaknaan
yang dianggap tepat) mendahului (kataforis) atau setelah anteseden (anaforis).
Berdasarkan teks Bahasa Inggris, Halliday menemukan adanya kecenderungan
untuk menggunakan referensi anaforis dibandingkan referensi kataforis. Artinya,
secara alamiah manusia memilih memulai komunikasi dengan butir informasi
yang telah dibagi dengan pendengar.
Dari segi kemunculannya, sistem referensi dapat dipandang sebagai
pengulangan atau penguatan (re-iteration) informasi tertentu. Artinya, semakin
tinggi frekuensi kemunculan suatu nomina dalam sistem acuan mengindikasikan
urgensi informasi tersebut terhadap organisasi teks (Halliday dan Hasan, 1975:
33). Akan tetapi, tidak setiap butir informasi yang dimiliki pembicara dapat dibagi
dengan pelibat. Artinya, ada informasi yang disembunyikan, dinyatakan secara
tersirat, atau tidak dibagi dengan pelibat lain. Perlakuan terhadap informasi
semacam itu mengindikasikan bahwa pembicara mengendalikan informasi yang
dimilikinya. Jadi, dibutuhkan kemampuan berbahasa yang baik untuk memahami
makna tersirat.
288
10.2 Sistem Referensial
Sistem referensi merupakan alat kohesi yang berfungsi menjaga
kesinambungan tema. Sistem referensi didefinisikan sebagai alat menata
pergerakan dari satu tema tertentu menuju tema berikutnya secara bertahap
(Halliday, 1985: 48). Ikatan kohesi digambarkan sebagai seutas tali yang
menghubungkan dua simpul (Hasan, 1985:73). Sekalipun demikian, tidak semua
simpul menemukan acuan dalam teks secara leksikal, tetapi ada ikatan yang
terbentuk secara tersirat. Tidak jarang interpretasi terhadap teks tidak diperoleh
secara mudah di dalam teks, karena ada kemungkinan hubungan terselubung
(opaque link) dengan teks lain. Teks seakan-akan mengalami keterbatasan
tekstur. Dalam kasus demikian, referensi luar teks harus ditemukan. Perhatikan
klausa berikut yang seakan-akan tanpa hubungan referensi. Dalam kasus
demikian, harus digali referensi lingkungan (Diadopsi dari Halliday dan Hasan,
1975) (terjemahan oleh penulis).
(10.1) a. Stop doing that here
berhenti lakukan DEM Sirk
I‟m trying to work
1 TG coba kerja
„Berhentilah melakukan itu di sini, saya sedang bekerja‟
b. I sent the lady a card and
1TG kirim-PAST ART perempuan ART kartu KONJ
she wrote me a poem
3 TG tulis-PAST 1 TG ART puisi
„Saya mengirimkan perempuan itu kartu dan dia menulis sebuah
puisi untuk saya‟
289
Bila dicermati klausa (a) di atas, tampaknya leksikon that „itu‟ , dan here
„di sini‟ tidak bertautan dengan I „saya‟ atau work „kerja‟. Oleh sebab itu,
pertautan harus ditemukan pada aspek luar teks untuk menjelaskan hubungan dua
klausa tersebut. Pada klausa (b) I sent the lady a card and she wrote me a poem
„Saya mengirimkan wanita itu sebuah kartu dan dia menulis sebuah puisi untuk
saya‟ bisa saja the lady dan she merupakan orang yang berbeda dengan fitur
bersama [+ perempuan], tetapi berdasarkan konteks kalimat dapat disimpulkan
bahwa she dan the lady mengacu pada orang yang sama. Oleh sebab itu, kalimat
di atas dapat dipahami sebagai acuan yang menggambarkan hubungan sebab
akibat.”Saya mengirimkan sebuah kartu” adalah penyebab dan “Dia menulis
sebuah puisi untuk saya” adalah akibat.
Untuk memperjelas sistem referensial ditampilkan gambar berikut
(diadopsi dari Halliday, 2004: 553) (terjemahan penulis).
Referensi
terhadap
Sebelum Sedang Sesudah
Lingkungan Eksoforis Eksoforis
Teks Endoforis Anaforis alat
referensi
Kataforis
Gambar 10.1: Tipe Referensi
Berdasarkan gambar (10.1) dapat diketahui bahwa sistem referensi teks
dapat bersifat internal teks ataupun di luar teks. Referensi endoforis dan referensi
eksoforis menemukan acuannya di dalam teks, sedangkan referensi eksoforis
memerlukan pertautan dengan teks di lingkungannya. Pilahan referensi endoforis
290
didasarkan kemunculan anteseden yang diacu. Dibandingkan dengan referensi
kataforis, referensi anaforis dalam Bahasa Inggris cenderung dapat mengikat
anteseden yang dimunculkan jauh sebelumnya (long chains).
Penelitian Moreno (2003: 111) menemukan dua tipe kohesi anaforis
yang didasarkan atas bentuk hubungan yang terjadi antara anteseden dan pengacu.
Sistem kohesi anaforis dipilah menjadi kohesi satu-satu dan kohesi tekstual.
Kohesi satu-satu ((point to point cohesion) adalah hubungan satu pengacu dengan
satu kelompok nomina, sedangkan kohesi tekstual bersifat kohesi pengapsulan
(encapsulisation). Artinya, suatu bentuk dapat mengacu pada serangkaian
informasi yang sebelumnya, atau mengacu pada satu atau beberapa klausa di
atasnya. Kohesi pengapsulan merupakan kohesi yang terjadi antara satu bentuk
tertentu terhadap satu bentuk lainnya, misalnya suatu klausa dapat diacu oleh
sebuah kata. Berikut contoh yang digunakan untuk mempertegas perbedaan dua
tipe kohesi tersebut (Diadopsi dari Moreno, 2003: 111) (terjemahan oleh penulis).
(10.2) a. In my day, I was expected to annonate
PREP 1 TG-POS hari, 1 TG PAS harap-PAS tandai
scripts to explain my marks to the chief examiner.
naskah jelaskan 1 TG-POS nilai PREP ART ketua penguji
„Dalam tugas harian, saya diminta untuk menganalisis naskah dan
menjelaskan penilaian saya kepada ketua penguji‟
Remove that requirement, tanpa DEM persyaratan
and the examining process will only appear
KONJ ART ujian proses FUT hanya tampak
to be more open
jadi lebih terbuka
„Tanpa persyaratan itu, proses ujian akan lebih terbuka‟
291
b. Wash and core six cooking apples.
cuci KONJ kupas NUM apel
„Cuci dan kupas enam apel‟
Put them into firefroof dish.
taruh 3 JM-PRON PREP tahan panas piring
„Letakkan di atas piring yang tahan panas‟
Remove that requirement pada contoh (a) bertautan dengan kalimat
sebelumnya, yakni In my day, I was expected to annonate scripts to explain
my marks to the chief examiner. Dengan demikian, that requirement dinyatakan
sebuah bentuk pengapsulan atau bentuk kecil dari kalimat yang mendahuluinya.
Sementara itu, klausa (b) yang dikutip dari Halliday, leksikon them merujuk pada
frasa nomina six cooking apples. Kaitan konteks dapat menjelaskan bahwa apel
yang diletakkan di atas piring tahan panas adalah apel yang sama. Dengan contoh
di atas dapat ditarik simpulan bahwa refernsi pengapsulan memiliki anteseden
berupa klausa atau beberapa klausa, sedangkan kohesi satu satu menunjukkan
hubungan suatu kata terhadap sebuah kata atau kelompok kata. Jadi, referensi
tidak saja mengaitkan nomina dengan suatu anteseden yang berupa kelompok
nomina, tetapi dapat juga mengacu pada satu atau beberapa klausa.
10.3 Referensi Endoforis
Sistem referensi endoforis mengacu pada anteseden yang dimunculkan
internal teks. Keterpautan antara anteseden dan pengacu dapat terjadi pada dua
klausa berbeda dengan posisi mendahului atau mengkuti anteseden.
292
Berdasarkan bentuk pengacu dan anteseden yang diacu, klausa TNNGB
memunculkan referensi endoforik yang direalisasikan dengan sinonimi atau
repetisi. Bentuk sinonimi dan repetisi sebagian atau seluruhnya dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 10.1
Bentuk Referensi Satu-Satu
No Bentuk Sinonimi Makna Frek.
1. Wenara Petak Wenara Putih kera putih 6 kali
2. kawula duéné panjak druéné rakyat, hamba 6 kali
3. gulem méga, mendung mendung 6 kali
4. méga dedet méga peteng mendung pekat 3 kali
5. nasi
pawongwongan
selem
nasi / saji
pawongan ireng
sajen berwarna
hitam
4 kali
6. nasi
pawongwongan
putih
nasi /saji
pawongan petak
sajen berwarna
putih
4 kali
7. ajengan nasi, saji nasi 4 kali
8. duéné druéné milik 4 kali
Bila dalam Bahasa Inggris, anteseden yang diacu umumnya diganti dengan
kata ganti, TNNGB cenderung memunculkannya dengan bentuk yang sama atau
padanannya. Pengulangan komponen tersebut mencerminkan signifikansi
komponen itu dalam teks.
Berikut ditampilkan teks dengan referensi endoforis anaforis dan kataforis.
Relasi anaforis ditunjukkan dengan panah ke atas, sedangkan endoforis kataforis
ditunjukkan dengan panah ke bawah (Data A2/5.2/ 121-141).
293
No. Klausa
1. Om pakulun (1) Ratu Sanghyang Agama, naweg (2) titiang tangkil
ngaturang (4) bakti
2. Sane mangkin (2) titiang nyelang pepatih (1) I Ratu sane maparab
(3a) I Sampati taler (3b) I Wenara Petak
3. Niki (2) titiang ngawentenang (4) bakti ajengan pawongwongan
selem lan putih
4. Saha (4) maulam tasik bawang jae.
5. Santukan puniki (2b) kawulane ngawentenang (4) bakti jaga nunas
(5) ujan
6. Santukan niki (2b) kawulane tetanduran (2b) ipun sami layu.
7. Maka lantaran (2b) ipun beras, jinah, canang mesari asep dupa
8. Manawi wenten kirang langkung rerehang ring pasar agung
9. Rehning (2b) panjak (1) duéné kalintang tambet.
10. (2b) Kawula (1) druene jagi nunas (5) ujan.
11. Duaning (7) asapunika, (2a) titiang nyelang pepatih (1) duéné (3a) I
Sampati mangda ngumpulang (6) guleme mangda kumpul ring
ambara
12. Taler (3b) I Wenara Putih mangda ngrauhang angin saking gunung anggen ngemenekang toya segarane ke ambara manadi (5) sabeh.
13. Majeng ring (3a) I Sampati niki katurang nasi wongwongan ireng taler
majeng (3b) I Wenara Petak katurang nasi wongwongan putih.
14. Mangda sami pada ledang
15. Mangda (1) I Ratu ledang mapica (5) sabeh.
16. Inggih (1) Ratu Sanghyang Agama mangda ledang mapica (5) sabeh.
17. Sane mangkin (3a) I Sampati dados bayangan ring nasi wong-
wongan selem muah (3b) I Wenara Petak ring nasi pawongwongan
putih.
18. (3a) I Sampati ngocak (9) toya segarane saha prasida nunggahang
sekancan toya menadi entikan (6) gulem.
19. (3b) I Wenara Petak mangda ngarawuhang angin saking gunung
ngunggahang (9 toya segarane manadi (6)mendung.
20. (3b) I Sampati ledang ngeberang sekancam entikan gulem mapulpul manadi (6) mega peteng
21. Sane mangkin (3b) I Wenara Petak manadi angin nurunang (6) mega
dedet manadi (5) sabeh kaanggen merta antuk (2b) kawula (1) druene
sami.
294
„Ya Tuhan Yang Maha Benar, hamba menghadap menghaturkan bhakti. Hamba
menghadap bermaksud meminjam patih paduka yang bergelar I Sampati dan I
Wenara Petak. Kami persembahan nasi berbentuk manusia hitam dan putih
dilengkapi dengan bawang dan jahe sebagai sarana memohon hujan karena
tanaman rakyat paduka semua layu. Sebagai pelengkap, kami persembahkan
beras, uang, canang sari dan dupa harum. Bila ada kekurangannya mohon
dicukupkan karena hamba paduka sangat bodoh. Hamba bermaksud memohon
hujan dan meminjam patih paduka. I Sampati agar mengumpulkan mendung dan I
Wenara Petak agar mendatangkan angin dari gunung untuk mengangkat air laut
ke angkasa menjadi hujan. Untuk I Sampati kami persembahkan nasi
pawongwongan hitam dan nasi pawongwongan putih untuk I Wenara Petak.
Semoga Engkau berkenan meluluskan permohonan kami‟
„Ya Tuhan hamba mohon hujan. Sekarang hamba meminjam dua patih paduka
yakni I Sampati dan I Wenara Petak. I Sampati menjadi bayangan pada nasi
pawongwongan hitam sedangkan I Wenara Petak menjadi bayangan pada nasi
pawongwongan putih. I Sampati berkenan memutar air laut dan menaikkan
sekalian air menjadi bahan mendung. I Wenara Petak berkenan mengundang
angin dari gunung menaikkan sekalian air laut menjadi mendung. I Wenara Petak
berkenan menerbangkan sekalian bahan mendung berkumpul di angkasa menjadi
mendung tebal. Sekarang I Wenara Petak menjadi angin menurunkan mendung
tebal menjadi hujan berkat bagi para hambanya‟.
Isi teks neduh di atas ditampilkan untuk menunjukkan keterkaitan
antarklausa. Kaitan tersebut dapat dirunut dari panah penghubung dan penomoran.
Bagian isi teks neduh di atas memunculkan referensi endoforis anaforis yang lebih
dominan daripada endoforis kataforis. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya
tanda panah ke atas mengacu pada kelompok kata yang dimunculkan sebelumnya.
Informasi tentang Ratu Sanghyang Agama, I Sampati, dan I Wenara
Petak bersifat terbatas pada teks. Teks hanya menyediakan informasi bahwa
ketiga figur tersebut diposisikan sebagai termohon. I Sampati, dan I Wenara
Petak merupakan patih dari Ratu Sanghyang Agama. Pendengar yang menyimak
295
teks dengan cermat pun belum dapat menyimpulkan identitas figur tersebut.
Ditinjau dari struktur informasi, identitas figur tersebut dapat digolongkan
sebagai informasi yang tidak dibagi atau informasi yang disembunyikan. Oleh
sebab itu, dibutuhkan teks lain yang menyediakan penjelasan tentang figur
termohon itu.
Pihak pemohon dinyatakan dalam pronomina titiang „1 TG‟ atau kawula,
panjak „rakyat, hamba‟. Pada leksikon titiang, kawula dan panjak terkandung
makna ekslusif pembicara, pembicara dan warga, atau kelompok petani. Leksikon
titiang mengacu pada diri pamangku yangmengambil peran sebagai mediator
permohonan. Pada klausa (1, 2), pamangku menyatakan diri sebagai
perseorangan, tetapi pada klausa (3) dan seterusnya pamangku menunjukkan diri
sebagai bagian dari kelompok atau perwakilan kelompok. Permohonan melibatkan
(4) bakti „sarana‟ sebagai media untuk memohon (5) sabeh „hujan‟. Hal itu dapat
dipahami sebagai kewajiban menghaturkan sesuatu dalam ritual permohonan
dengan berpegangan pada prinsip keseimbangan. Skema budaya teks permohonan
TNNGB dapat diilustrasikan seperti di bawah ini.
Gambar 10.2: Skema Teks
Termohon
Pemohon
Tujuan:
Permohonan
Sarana
a. sarana sajen
b. sarana khusus
296
Berdasarkan gambar (10.2) di atas dapat dipahami bahwa TNNGB
merupakan teks permohonan yang diajukan oleh pemohon sebagai perorangan
atau kelompok. Permohonan disampaikan dengan sarana tertentu sebagai simbol
kesungguhan permohonan. Tampaknya, tidak ada satu permohonan pun yang
bebas sarana, karena sarana dipandang sebagai media bakti.
Sistem referensial yang ditunjuukan teks di atas, sebagian besar berupa
referensi endoforis anaforis, sedangkan referensi kataforis dimunculkan dalam
frekuensi yang kecil. Contoh referensi karaforik yang dimunculkan adalah pepatih
„patih‟ pada klausa (2) dipertegas dengan nama I Sampati dan I Wenara Petak,
bakti „sarana‟ pada klausa (3) dipertegas dengan nama dan jenis sarana berupa
ajengan pawongwongan hitam dan putih, dan lantaran „sarana‟ pada klausa (7)
dijelaskan dengan sarana penggenap, berupa beras, uang, dupa, dan canang sari.
Sifat referensi kataforis cenderung memunculkan informasi besar terlebih dahulu,
kemudian ditampilkan informasi pendukungnya yang lebih rinci. Skema
koherensi teks di atas dapat digambarkan sebagai berikut.
297
Ratu Sanghyang Agama mohon ijin
mengabulkan
permohonan
Termohon I Sampati mengumpulkan mendung
mengguncang air laut
I Wenara Petak mengundang angin
menerbangkan air ke langit
bakti nasi pawongwongan selem
nasi pawongwongan putih
Sarana pelengkap beras, uang, benang
canang sari dan dupa
kekurangannya belikan di pasar agung
mohon dimaafkan
Pemohon pemohon titiang „saya‟
kawula due „rakyat‟
tujuan mohon hujan
mengatasi tanaman layu
Gambar 10.3: Koherensi Teks
Koherensi teks seperti ditunjukkan gambar (10.3) mencerminkan jalinan
antar klausa untuk membangun kepaduan informasi. Pesan tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut. (1) Melalui pamangku, rakyat memohon bantuan Ratu
Sanghyang Agama (Tuhan Yang Maha Benar), dan dua patih beliau yang bergelar
I Sampati dan I Wenara Petak untuk menurunkan hujan, (2) Permohonan
diajukan karena rakyat mengalami kekeringan hingga tanaman layu akibat
kekurangan hujan, dan (3) Sebagai sarana permohonan dipersembahkan bakti
berupa nasi pawongwongan hitam dan putih, dan pelengkap sarana lainnya.
K
O
H
E
R
E
N
S
I
298
Kekurangan dan kekeliruan lain agar dimaafkan. Jadi, teks permohonan tersebut
terdiri atas empat elemen, yakni (a) identitas pemohon, (b) tujuan, (c) termohon
dan (d) sarana. Empat elemen itu tampaknya sudah diangkat sebagai tradisi teks
permohonan komunitas Hindu Bali.
10.3.1 Referensi Anaforis
Berdasarkan data (A2/5) di atas, terhitung pemakaian referensi endoforis
mencapai 30 kali yang terdiri atas 27 referensi anaforis dan 3 referensi kataforis.
Frekuensi endoforis tampak jauh lebih banyak digunakan untuk menghubungkan
suatu informasi dengan informasi lainnya dalam teks secara bertahap. Referensi
endoforis meliputi pemunculan anteseden sebagai informasi yang terberi
sebelum informasi baru yang ditambahkan. Tingginya frekuensi anaforis
mencerminkan kecenderungan kelompok penutur untuk menggunakan informasi
yang sudah diperkenalkan sebelumnya sebagai acuan menuju pada informasi yang
lebih mendalam. Jadi, referensi anaforis berperan sebagai upaya pendalaman
informasi.
Referensi anaforis ditemukan pada hampir semua klausa teks neduh di
atas. Hal itu menunjukkan kebiasaan penutur memilih cara menambahkan
informasi secara bertahap dari informasi yang sudah dibagi sebelumnya. Dengan
kata lain, penambahan informasi dilakukan setelah informasi lama diendapkan
pada memori pendengar atau pembaca. TNNGB memunculkan referensi anaforis
yang menemukan antesedennya pada klausa di kirinya, baik satu klausa di atasnya
maupun klausa yang lebih jauh. Anteseden pemilik, seperti pada idané, kawulané,
299
duéné, druéné mengacu pada milik dari I Ratu Sanghyang Agama yang
dimunculkan pada klausa pertama yang berjarak empat hingga sepuluh klausa di
atasnya. Jarak referensi yang berjauhan tidak menimbulkan ambiguitas karena I
Ratu Sanghyang Agama merupakan satu-satunya kelompok kata yang memiliki
fitur tinggi [+tinggi] sehingga berpeluang memiliki kepemilikan tertentu, dalam
hal ini, patih dan kawula „rakyat, hamba‟.
Sebagian besar referensi anaforis pada teks merupakan referensi satu-satu.
Artinya, satu bentuk mewakili satu kelompok nomina yang berfungsi sebagai
referennya. Meskipun demikian, referensi pengapsulan juga digunakan seperti
tampak pada klausa (11). Bentuk deiksis asapunika „begitu‟ ternyata merujuk
beberapa klausa di atasnya, yakni klausa (1-10). Leksikon asapunika mewakili
seluruh situasi yang digambarkan klausa-klausa di atasnya yang memberi
deskripsi alasan permohonan, bentuk permohonan, sarana yang disiapkan,
kelengkapan sarana, dan permohonan maaf. Leksikon asapunika merupakan
pengapsulan dari klausa-klausa yang menyatakan kondisi yang melatarbelakangi
dilaksanakannya teks mohon hujan. Oleh sebab itu, pengapsulan anaforis dapat
dipandang sebagai rangkuman dari rangkaian informasi sebelumnya, sedangkan
referensi satu-satu merupakan pendalaman bertahap terhadap informasi tertentu
yang sudah diberikan.
10.3.2 Referensi Kataforis
Berbeda dengan referensi endoforis yang memiliki ciri kehadiran
anteseden mendahului pengacu, anteseden referensi kataforis memunculkan
300
anteseden sesudah pengacu. Struktur informasi dalam referensi kataforis itu
biasanya menampilkan informasi yang bersifat umum dan diikuti informasi yang
lebih renik. Acuan kataforis dapat pula dilihat sebagai aplikasi sistem informasi
umum-khusus. Anteseden cenderung menyediakan informasi umum dan pengacu
menyediakan informasi lanjutan yang lebih rinci, seperti tampak pada klausa
berikut (Data A2/5/ 202-203).
(10.3) a. … Sané mangkin titiang nyelang pepatih idané sané
Sirk 1 TG -pinjam patih 3TG-DEF REL
maparab I Sampati taler I Wenara Petak…
-nama NAMA KONJ NAMA
„Sekarang saya meminjam pepatih beliau yang bergelar I Sampati dan I
Wenara Petak‟
b. …Niki titiang ngawéntenang bakti ajengan pawongwongan
DEM 1 TG -buat-BEN sarana NAMA sarana
selem lan putih…
hitam KONJ putih
„Ini kami haturkan sajen berupa nasi pawongwongan hitam dan putih‟
Pada klausa (10.3) di atas referensi kataforis ditandai dengan cetak tebal,
sedangkan anteseden digarisbawahi. Leksikon pepatih idane (2) dijelaskan
dengan gelar dua patih, yakni I Sampati dan I Wenara Petak yang dimunculkan
kemudian. Dengan kata lain, pepatih idané dapat menggantikan I Sampati dan I
Wenara Petak. Demikian pula, bakti (3) dapat menggantikan kelompok kata
ajengan pawongwongan hitam dan putih. Pada klausa itu, bakti mengacu pada
sarana ritual yang dipertegas dengan jenis sajen yang dihaturkan. Jadi, bentuk
pepatih, dan bakti dapat menyubstitusi kelompok nomina yang mengikutinya.
301
Jarak antara anteseden dan pengacu pada referensi kataforis cenderung bersifat
ketat. Artinya, sebuah referensi kataforis akan segera menemukan antesedennya
pada klausa yang bersangkutan. Hubungan acuan dan pengacu kataforis sangat
erat terbukti dengan kemunculannya yang relatif berurutan dalam pola relasi satu-
satu (point to point).
Referensi pengapsulan kataforis (cataforical encapsulazion) juga
dimunculkan pada teks, seperti puniki „begini‟ atau sapuniki „begini‟ seperti
ditampilkan di bawah ini (Data A3/1.3/ 11-17).
(10.4) a. …Puniki jero mangku. Gatra kewentenan indik pertaniane driki niki
mangkin, tetandurane niki kirangan toya. Niki sane tunasang ring jero
mangku, sapunapi antuk. Santukan gumine panes kanti tanduran
kramane sami layu, nika wawinan tiang ngerauhin jero mangku.
Punapi minab wenten galah jagi neduh sapunapi?...
„Ya, begini jero mangku. Kabar keberadaan pertanian di sini saat ini,
tanaman kekurangan air. Ini yang saya tanyakan pada anda, bagaimana
caranya. Karena bumi panas hingga tumbuhan warga menjad layu, itu
sebabnya saya mendatangi anda. Bagaimana apa mungkin ada waktu
untuk mohon hujan?‟
b. …Nanging sapuniki dumun. Pang ten nyen kadi titiang mengambil
sebuah keputusan ngeraga, nah manawi wenten semeton titiang
makadi mangku druene taler, mekadi jero mangku Puseh, Desa,
Prajapati mangda ada ajak titiang magendu wirasa nginggihang
inggian padinan, pang ten titiang misang-misang raga, ten enak nika,
becik dauhing mangku duéné dumun. Saja panes nak yakti sampun
kelintang niki…
„Oh, begitu. Ya, tetapi begini dulu. Agar saya tidak mengambil
keputusan sendiri, karena masih ada saudara saya seperti mangku
Puseh, Desa dan Prajapati, agar ada yang saya ajak untuk berdiskusi
membicarakan hari baik. Supaya saya tidak seenaknya saja, sebaiknya
undang mangku lainnya dulu. Memang benar, musim panas sudah
melewati batas‟
302
Leksikon yang dicetak tebal puniki dan sapuniki „begini‟ di atas
merupakan contoh referensi yang bersifat pengapsulan dari beberapa klausa yang
mengikutinya. Deiksis puniki dan sapuniki itu dipakai sebagai titik awal rangkaian
informasi baru yang akan diungkap. Sesuai dengan sifatnya, hubungan
pengapsulan terjadi antara satu referensi dan serangkaian informasi yang
mengikutinya.
Berdasarkan contoh kalusa yang sudah diulas sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa TNNGB menggunakan empat jenis referensi endoforis, yakni
anaforis satu-satu, anaforis pengapsulan, kataforis satu-satu dan kataforis
pengapsulan. Karakteristik keempat tipe referensi endoforis itu dirangkum dalam
tabel berikut.
Tabel 10.2
Referensi Endoforis
No. Endoforis Posisi
Anteseden
Jarak dari Referen
1. Anaforis satu-satu kiri satu atau lebih klausa
2. Pengapsulan anaforis kiri satu atau lebih klausa
3. Kataforis satu-satu kanan klausa yang sama
4. Pengapsulan kataforis kanan satu atau lebih klausa
Tabel di atas menunjukkan bahwa referensi endoforis yang bertipe
hubungan satu-satu menggunakan satu bentuk referen untuk satu anteseden yang
diacu, sedangkan hubungan pengapsulan menggunakan suatu bentuk untuk
mengacu pada serangkaian informasi, baik yang sudah diberikan ataupun yang
303
akan diberikan. Jarak anteseden dan referen pada referensi anaforis satu-satu lebih
longgar dibandingkan referensi yang sama pada tipe kataforis. Referensi endoforis
anaforis dan kataforis dapat dilihat sebagai cara bahasa menambahkan informasi
sejalan dengan prinsip pemercontohan. Artinya, tidak dimungkinkan untuk dapat
menjelaskan suatu fenomena dalam sebuah klausa yang kompleks sekalipun,
tetapi memerlukan pengelanan secara bertahap.
10.4 Referensi Eksoforis
Tidak setiap kelompok nomina yang dipakai dalam teks dapat ditemukan
acuannya dengan mudah di dalam teks. Frasa nomina yang sulit dipahami
diprediksi membutuhkan referensi eksoforis. Artinya, diperlukan latar
pengetahuan yang memadai atau sama dengan penutur untuk memahaminya.
Pada TNNGB nama-nama figur termohon yang dimintakan bantuan
menyukseskan permohonan membutuhkan acuan luar teks secara eksoforis.
Asumsi itu dibangun karena dengan membaca teks target saja, nama figur
termohon belum dapat dikenali dengan baik, ditambah keengganan informan
untuk membicarakannya. Memperbincangkan figur tidak kasatmata yang
diharapkan membantu permohonan dipandang tabu dan dapat mendatangkan
petaka. Oleh sebab itu dilakukan penggalian intertekstual dengan rekomendasi
pamangku dan ditemukan bahwa figur Ratu Sanghyang Agama, I Sampati, dan
I Wenara Petak bersumber pada konsep dualistik. Dalam konsep dualistik,
perubahan bersifat alamiah, artinya, kondisi hujan dapat berubah menjadi terang,
304
atau sebaliknya atas perkenan Tuhan. Figur Dualistik yang dilibatkan memiliki
identitas seperti di bawah ini.
Tabel 10.3
Figur Dualistik
Nama Figur Dualistik
No. Fitur I Sampati I Wenara Petak
1. Tipe burung garuda kera putih
2. Warna hitam putih
3. Kemampuan mengatur air mengatur angin
4. Konotasi kendaraan Hyang Wisnu Sang Hyang Bayu
Tampak pada tabel (10.3) I Sampati I dan I Wenara Petak dipersepsikan
sebagai dua orang patih yang memiliki kesaktian tersendiri. I Sampati
diidentikkan dengan figur berupa burung garuda hitam, sedangkan I Wenara
Petak adalah kera yang berbulu putih. Kedua patih itu akan menjalankan tugas
dengan izin dari Ratu Sanghyang Agama „Tuhan, kebenaran‟. Status I Sampati
dan I Wenara Petak sebagai abdi dari Ratu Sanghyang Agama dapat dipahami
sebagai pelaksanaan permohonan harus diabdikan bagi kebenaran.
Di sisi lain, TNNGB yang ditemukan pada wilayah berbeda menggunakan
figur-figur yang bersumber pada ajaran persaudaraan. Hal itu dapat dilihat dari
penggunaan nama I Gusti Wayan Teba, I Gusti Made Jelawung, I Gusti Nyoman
Pengadangadang dan I Gusti Ketut Petung yang mengabdi pada I Ratu Ngurah
Tangkeb Langit „Penguasa Langit, Tuhan‟. Prinsip ajaran persaudaraan adalah
membina hubungan baik dengan empat entitas yang menemani proses kelahiran,
305
di antaranya darah, lendir, air ketuban, dan ari-ari. “Empat saudara” itu kelak
dapat menjadi pengawal yang sangat sakti dan setia melindungi tuannya.
Pemerolehan kesaktian itu didapatkan melalui proses panjang (Indra, 2001 : 6).
“Saudara Empat” dikenal sebagai pengasuh si janin selama masa prenatal.
Pengasuhan oleh empat saudara itu memungkinkan si janin tumbuh dengan baik.
Pengasuhan berlanjut hingga si bayi lahir dan sejak kelahiran itu pengasuh
digelari babu „pengasuh‟ masing-masing babu Lembana, babu Abra, babu Ugyan
dan babu Kere. Setelah bayi pupus pusar, ”saudara empat” mendapat gelar baru
menjadi I Kala, I Pretta, I Dengen, dan I Yanta, seperti ditunjukkan tabel berikut
(Indra, 2001 : 8).
Tabel 10.4
“Saudara Empat” (1)
No „“Saudara Empat” Gelar (1) Gelar (2)
1 Getih „darah‟ Babu Lembana I Kala
2 Yeh nyom „air ketuban‟ Babu Abra I Dengen
3 Lamad „lendir‟ Babu Ugyan I Pretta
4 Ari-ari „ari-ari‟ Babu Kere I Yanta
Tabel (10.4) menunjukkan proses perubahan gelar “saudara empat” yang
berperan sebagai pengasuh setia si cabang bayi agar terhindar dari berbagai
gangguan. Pada periode si anak bisa berlari dan berbicara (lumaku nyambat meme
bapa babunta), “saudara empat” memperoleh gelar baru, yakni I Jalahir, I
Salahir, I Makahir, dan I Mokahir. Nama-nama itu ditafsirkan tidak sepenuhnya
berasal dari budaya Bali, tetapi menerima pengaruh dari budaya lain. Pada masa
306
itu, saudara empat meninggalkan si anak untuk berkelana amarah-marah desa
„menjelajah desa‟ menuju empat arah angin. Proses pengembaraan berlangsung
bertahun-tahun hingga diperoleh kesaktian setara detya „raksasa sakti‟.
Tabel 10.5
“Saudara Empat” (2)
No Gelar (3) Arah Pengembaraan Gelar (4)
1 I Jalahir mangetan „ke timur‟ I Yanggapati
2 I Salahir mangulon „ke barat‟ I Mrajapati
3 I Makahir mangidul„ke selatan‟ I Banaspati
4 I Mokahir mangulor „ke utara‟ I Banaspati Raja
Tabel (10.5) menunjukkan keempat bhuta yang sudah berubah nama
menjadi I Jalahir, I Salahir, I Makahir, dan I Mokahir mengembara untuk
memperoleh kesaktian. Dengan kemampuan yang diperoleh dalam pengembaraan,
“saudara empat” dapat dipanggil masuk ke dalam tubuh atau ke luar dari tubuh
sesuai jalan wasuk wtunya ‟masuk keluarnya‟ jika diperlukan. Klausa berikut
menyatakan jalan masuk “saudara empat” (Indra, 2001: 9).
(10.5) a. …Ih Yanggapatti, manjingakna sira, ri cangkem, anrus ring papusuh...
ART NAMA masuk-IMP 2TG PREP mulut KONJ PREP jantung
„Ih Yanggapati, masuklah engkau melalui mulut terus ke jantung‟
b. ...Ih Mrajapatti, manjingakna sira ring irung, anrus ring ungsilan…
ART NAMA masuk-IMP 2TG PREP hidung KONJ PREP ginjal
„Ih Mrajapati, masuklah engkau melalui hidung terus ke ginjal‟
c. …Ih Banaspati, manjingakna sira ring soca, anrus ring atti...
ART NAMA masuk-IMP 2TG PREP mata KONJ PREP hati
„Ih Banaspati, masuklah engkau melalui mulut terus ke hati‟
307
d. …Ih Banaspati Raja. manjingakna sira, ring karna, anrus ring ampru…
ART NAMA masuk-IMP 2TG PREP telinga PREP empedu
„Ih Banaspati Raja masuklah engkau melalui mulut terus ke empedu‟
“Saudara empat” biasanya dipanggil masuk ke dalam tubuh untuk
menghadang musuh, mengawal memasuki karang tenget „daerah kramat‟,
membasmi sakit dalam tubuh, dan lain-lain. Setelah tugas diselesaikan, “saudara
empat” dapat dikembalikan dengan saa berikut (Sudirga, 1996: 18).
(10.6) a. …Ih Yanggapatti, mtu ring pepusuh, amargga ring cangkem… ART NAMA keluar PREP jantung berjalan PREP mulut „Ih Yanggapatti keluarlah dari jantung melalui mulut‟
b. … Ih Mrajapatti, mtu ring ungsilan, amargga ring karnna… ART NAMA keluar PREP ginjal berjalan PREP telinga „Ih Mrajapatti keluarlah dari ginjal melalui telinga‟
c. …Ih Banaspati, mtu ring hati, amargga ring nétra… ART NAMA keluar PREP hati berjalan PREP mata „Ih Banaspati keluarlah dari hati melalui mata‟
d. …Ih Banaspati Raja, mtu ring ampru amrgga ring irung... ART NAMA keluar PREP jantung berjalan PREP mulut „Ih Banaspati Raja keluarlah dari empedu melalui hidung‟
Setelah periode itu, “saudara empat” memperoleh kemampuan yang lebih
tinggi sehingga digelari Gusti (Arnita, 2001). Beliau digelari I Gusti Wayan Teba,
I Gusti Made Jelawung, I Gusti Nyoman Pengadangadang dan I Gusti Ketut
Petung. Keempat Gusti merupakan patih yang mengabdi pada I Gusti Ngurah
Tangkeb Langit atau Ratu Ngurah Tangkeb Langit. Diprediksi I Ratu Ngurah
Tangkeb Langit merujuk pada Tuhan sebagai sumber dan penggerak (starter)
dari segala yang ada. Pada tahap berikutnya, keempat saudara dapat digelari
308
batara. Yang paling menonjol ialah “saudara empat” hanya dapat memenuhi
permohonan atas perkenan Tuhan karena statusnya mengabdi pada kebenaran.
Dengan penggalian eksoforis dapat diketahui bahwa TNNGB
menempatkan konsep duslistik dan persaudaraan sebagai acuan luar teks. Figur
dualistik dan “saudara empat” turut berperan dalam menyukseskan permohonan.
Meskipun demikian, tidak setiap pelaksanaan selalu berhasil. Teks yang belum
terkabul biasanya dapat diulang kembali hingga Tuhan berkenan mengabulkan
permohonan yang dimaksud. Jadi, Tuhan ditempatkan sebagai satu-satunya
harapan yang dapat menjawab permohonan.
10.5 Interpretasi Sistem Referensial
Terkait dengan sistem informasi, tampaknya informasi yang bersifat
umum dimunculkan secara endoforis dan dibagi secara tersurat. Di sisi lain,
informasi khusus cenderung dimunculkan secara eksoforis, atau disembunyikan
dari pelibat lain. Kesenjangan itu menyebabkan teks tidak mudah dapat dipahami
secara utuh oleh masyarakat umum. Sejauh ini, penguasaan teks terbatas pada
pamangku saja, bahkan orang terdekatnya pun tidak mengetahui prihal teks secara
lengkap. Temuan acuan eksoforis mendukung pelabelan teks yang bersifat
spiritual magis karena memerlukan pertolongan makhuk tidak kasatmata, sesuai
konsep dualistik atau konsep persaudaraan. Akan tetapi, label teks sebagai
aktivitas sihir harus dikoreksi mengingat figur tidak kasatmata itu hanya boleh
bergerak atas perkenan Tuhan. Jadi, keberhasilan permohonan sepenuhnya berada
di tangan Tuhan.
309
Disamping penggunaan referensi endoforis dan eksoforis yang relatif tetap
di atas, TNNGB juga menggunakan deiksis yang cenderung memiliki acuan yang
berubah-ubah. Bentuk pronomina yang mengacu pada pelibat teks dimunculkan
dalam bentuk titiang, tiang „saya (1TG/JM)‟, sedangkan orang kedua ditunjuk
dengan jero „anda‟. Orang ketiga dimunculkan dengan Ida, atau ipun „dia‟. Teks
juga memunculkan pronominal ekslusif, beli adi „kakak-adik‟ yang difungsikan
sebagai pengganti orang pertama atau kedua dalam ragam akrab. Pronomina
Demonstrativa yang digunakan untuk mengacu tempat atau jarak ialah driki „di
sini‟, drika „di sana‟, niki, „ini‟, dan nika, „itu‟. Referensi komparatif bersifat
menjelaskan persamaan atau perbedaan identitas. Artinya, suatu hal yang
dibicarakan dibandingkan dengan hal lain yang dipandang cocok. Tabel berikut
menampilkan bentuk deiksis yang digunakan.
Tabel 10.6
Deiksis
Koreferensial Komparatif
Persona Demonstratif
sapuniki,
sekadi,
minakadi
sapunika
Pronomina Posesif
niki, driki
I titiang, beli,
panjak,
damuh,
(n)-e)
II jero, adi,
Ratu
nika, drika
III Ida, ipun
Deiksis yang berupa persona, demonstrativa, dan komparatif merupakan
tipe referensi yang memiliki acuan yang cenderung tidak tetap dan berpindah-
310
pindah sesuai konteks. Perubahan acuan tidak berpengaruh terhadap pemahaman
pelibat. Artinya, perubahan acuan dengan mudah dapat dipahami oleh pelibat
langsung dibandingkan pelibat yang tidak terlibat dalam teks.
Berdasarkan paparan acuan di atas dapat dipahami bahwa sistem
referensial TNNGB tidak hanya mencakup sistem refernsi yang bersifat tetap,
tetapi juga deiksis yang berpindah-pindah. Sistem referensi TNNGB dapat
dirangkum dalam gambar berikut.
Gambar 10.4: Sistem Referensi TNNGB
Gambar (10.4) merangkum sistem referensial yang dimunculkan dalam
TNNGB. Teks menggunakan referensi anaforis satu-satu dalam frekuensi yang
lebih dominan dibandingkan referensi anaforis pengapsulan. Pola acuan itu
mengindikasikan bahwa komunitas transmigran lebih memilih struktur acuan yang
repetisi
Posisi Anaforik satu-satu
Acuan sinonimi
pengapsulan
Endoforik Kataforik satu-satu
pengapsulan
Tetap
Sifat acuan
Acuan tidak tetap
Deiksis
Eksoforik Dualistik
merujuk teks lain
Persaudaraan
R
E
F
E
R
E
N
S
I
311
sederhana. Penggunaan referensi eksoforis dapat dilihat sebagai upaya untuk
menjaga informasi khusus dari jangkauan publik atau ada informasi yang harus
dirahasiakan. Tipe informasi yang signifikan disimpan dalam kognisi pembicara,
dan tidak boleh dibagi. Dominasi referensi anaforis dibandingkan eksoforis
sejalan dengan pola berbicara universal, yakni berawal dari satu informasi yang
sudah dimiliki. Jadi, TNNGB merupakan teks yang mengambil acuan endoforis
untuk butir informasi yang dapat dibagi, sedangkan informasi yang bersifat
rahasia dimunculkan dalam sistem acuan eksoforis.
312
BAB XI
TEMUAN BARU PENELITIAN
11.1 Pengantar
Penelitian teks Neduh dan Nyelang Galah komunitas petani transmigran
Bali di Sumbawa ini dapat digolongkan sebagai penelitian rintisan karena
fenomena serupa belum pernah diangkat dalam suatu penelitan. Dengan
mengaplikasikan teori Linguistik Sistemik Fungsional, teks tidak hanya dipandang
berupa satuan linguistik, tetapi juga mengandung konsep nonlinguistik. Penelitian
ini dilakukan secara maksimal untuk menjawab permasalahan terkait dengan
skema tahapan dan struktur yang pada akhirnya merujuk pada temuan baru.
11.2 Temuan Baru
Temuan baru yang dihasilkan dalam penelitian TNNGB bersifat temuan
lapangan. Dua temuan yang dapat dipandang sebagai novelty dapat dipaparkan
sebagai berikut.
(1) Konotasi yang disandang teks bersifat situasional. Artinya, faktor tempat
atau waktu berdampak pada perbedaan konotasi komunitas di daerah asal
dengan komunitas transmigran. Transmigran Bali di Sumbawa memandang
teks tolak hujan sebagai teks yang nonfungsional. Teks tolak hujan bersifat
melawan kepentingan umum, mengingat sebagian besar penduduk bekerja
sebagai petani tadah hujan. Lahan yang diolah terbentang dari lembah
313
hingga punggung bukit yang berkontur miring. Pertanian lahan kering dan
curah hujan yang kecil menyebabkan munculnya kekhawatiran bahwa
pelaksanaan teks tolak hujan dapat menyebabkan hujan tidak akan turun
untuk waktu yang lama. Lebih jauh, upaya menolak hujan dipandang dapat
mendatangkan petaka bagi partisipan kunci. Menolak hujan diyakini
mengandung tindakan ngamenékang panyarang „menaikkan pembocor‟
yang berdampak pada gagalnya persekutuan mendung. Sarang „bocor‟ yang
terjadi pada alam dapat berdampak buruk pada partisipan kunci, di antaranya
susah rejeki, boros, sakit nonmedis, kesulitan komunikasi, hingga cedek
yusa „pendek usia‟. Pandangan negatif juga ditujukan pada terminologi
nerang. Kata nerang dimaknai sebagai tindakan memaksa, egoistik, dan
melawan alam. Oleh sebab itu, terminologi nerang ditanggalkan dan
diganti dengan nyelang galah yang mengandung makna koperatif dan
permisif. Sebaliknya, teks panggil hujan diterima sebagai teks protektif
fungsional. Transmigran menggunakan terminologi neduh „teduh, tidak
panas‟, bukan untuk memohon perlindungan kepada dewa-dewa atas hama
atau penyakit, tetapi difokuskan untuk memohon hujan. Neduh bahkan
diyakini dapat mengubah karakter hujan badai menjadi sabeh merta „hujan
yang memberkati‟. Dengan demikian, teks neduh tidak hanya dimaksudkan
untuk menawar kemarau yang panjang, tetapi dapat memberkati hidup setiap
orang. Tidak setiap orang diizinkan untuk memimpin teks tolak atau panggil
hujan. Teks hanya boleh dilakukan oleh ketua paguyuban pamangku di
tingkat desa adat atau pamangku lain yang ditunjuk. Ketua pamangku juga
314
harus dapat memberi bantuan penyembuhan secara tradisional, pencerahan
rohani, dan ramalan. Kelebihan yang dimiliki membuat warga patuh, segan,
apatis dan menjadi pengikut semata. Peran ketua pamangku tidak hanya
bertanggung jawab ke dalam kelompok, tetapi harus dapat mengantisipasi
isu dan tekanan dari kelompok lain. Penggunaan persembahan, banyak pura,
dan keragaman cara kerap dipakai pembentuk label pemuja berhala dan ini
berpotensi menjadi pembenar tindakan anarkhis. Dengan demikian, ketua
pamangku diharuskan aktif memodifikasi tradisi dan penerapan nilai-nilai
religius agar tidak memunculkan kecurigaan pihak lain. Jadi, peran ketua
pamangku di wilayah transmigran menyangkut ritual keagamaan dan
pencitraan di mata kelompok lain.
(2) TNNGB adalah teks prosedural yang didominasi oleh klausa imperatif.
Akan tetapi, sebagian besar makna imperatif itu dinyatakan secara santun
dengan modus termodulasi. Gradasi kesantunan yang dimunculkan
mencerminkan pergerakan makna perintah menjadi makna relasional dan
ketermilikan abilitas. Selanjutnya, mitra wicara dikedepankan
(foregrounding) menjadi pihak yang sanggup dan berkenan melakukan
sesuatu. Dalam proses itu, mitra wicara dipersilakan menunjukkan
kemampuan yang dimiliki sejalan dengan permohonan. Gradasi kesantuan
pada dialog satu arah itu menjembatani permohonan dan penerimaan. Jadi,
menghadapi kesulitan yang tidak terjangkau, manusia dapat mengajukan
permohonan dan siap menanggung keberhasilan/kegagalan. Tuturan yang
ditujukan kepada Tuhan sebagian besar disampaikan dalam Bahasa
315
Sanskerta dan Jawa Kuna dengan diawali Om „Ya, Tuhan‟. Jalinan relasi
horizontal dengan makhluk setara dituturkan dalam Bahasa Bali diawali kata
sandang Ih atau I. Jadi, relasi ke atas dan ke samping dikodekan dengan
bahasa yang berbeda. Harmoni segi tiga itu tampak sejalan dengan ajaran Tri
Hita Karana, yang terdiri atas: (i) pawongan „menjaga hubungan harmonis
antarmanusia‟, (ii) palemahan „menjaga hubungan harmonis dengan alam
lingkungan‟, dan (iii) parahyangan „menjaga hubungan harmonis dengan
Tuhan‟. Sejauh ini, teks tidak pernah ditujukan sebagai bentuk arogansi dan
mencelakai orang lain, tetapi diabdikan untuk pemeliharaan hidup umat
manusia. Di samping itu, ditemukan keterkaitan teks dengan konsep luar
teks secara eksoforis. Konsep lingkungan teks yang diacu ialah konsep
dualistik dan konsep persaudaraan. Tampak keberhasilan permohonan tidak
dimonopoli oleh kemampuan seseorang tetapi membutuhkan pertolongan
figur lain yang diberkati Tuhan. Figur dualistik hitam putih atau figur
“saudara empat” merupakan figur yang banyak dilibatkan untuk membantu
keberhasilan permohonan. Selanjutnya, atas bantuan itu dipersembahkan
sajen sebagai wujud terima kasih. Tipe acuan eksoforis itu membuktikan
bahwa TNNGB tidak dapat dilepaskan dari dukungan faktor spiritual yang
memformulasikan makhuk tidak kasatmata. Meskipun demikian, konotasi
teks sebagai aktivitas sihir tidak dapat dibenarkan sepenuhnya karena
keberhasilan permohonan merupakan karunia Tuhan dan difungsikan bagi
pemeliharaan hidup di tengah krisis air.
316
BAB XII
SIMPULAN DAN SARAN
12.1 Simpulan
Penelitian ini difokuskan untuk menemukan jawaban atas persoalan teks
panggil dan tolak hujan sehingga berhasil menemukan jawaban yang memadai
atas seluruh permasalahan yang diajukan yang kemudian dinyatakan sebagai
simpulan penelitian. Permasalahan struktur skematis, modus, transitivitas,
diatesis, tematis, dan sistem referensi dapat dideskripsikan secara maksimal
melalui proses triangulasi yang berpedoman pada penelusuran data korpus, sintesa
teori, dan konfirmasi partisipan kunci yang mengetahui seluk-beluk teks.
Simpulan yang dapat ditarik dipaparkan di bawah ini.
(1) Analisis skema penahapan menunjukkan bahwa TNNGB merupakan teks
yang memiliki empat lapis struktur, di antaranya, struktur kebahasaan,
struktur formal, struktur makro, dan struktur fungsional. Dari segi
kebahasaan, TNNGB merupakan teks yang mengombinasikan bahasa aktif
dan bahasa pasif. Bahasa pasif, seperti Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna
berperan pada bagian pembukaan teks, sedangkan inti permohonan
disampaikan dalam Bahasa Bali ragam halus. Pelapisan bahasa
diinterpretasikan sebagai upaya menjalin harmoni vertikal dan horizontal.
Di samping itu, kombinasi bahasa aktif dan pasif dapat dipandang sebagai
upaya menjaga kesakralan dan melestarikan penggunaan bahasa yang
mengandung nilai historis religius. Secara formal, teks neduh „mohon
317
hujan‟ merupakan teks yang dikehendaki oleh seluruh komunitas
transmigran sehingga dapat dipraktikkan hingga tiga kali dalam satu kali
musim tanam. Ketergantungan terhadap air hujan menyebabkan teks neduh
„panggil hujan‟ diberi label teks fungsional. Struktur formal teks neduh
terdiri atas marembug „diskusi‟, sangkep pengurus „rapat‟ , mapengarah
„pemberitahuan‟, dan neduh „panggil hujan‟. Dalam kondisi mendesak,
tahap sangkep „rapat‟ , dan mapengarah „pemberitahuan‟ dapat
ditanggalkan. Struktur formal teks nyelang galah bersifat baku, artinya,
tidak ada tahapan yang dapat ditanggalkan. Kegagalan pada tahap awal
berdampak pada penundaan ritual. Struktur formal teks nyelang galah
terdiri atas tahap mapinunas „meminta bantuan‟, ngaturang pajatian
„menyerahkan sarana‟, nyelang galah „tolak hujan‟, dan panyineb
„penutup‟. Selain tipe kerja atau jenis bantuan yang diharapkan tidak
tampak perbedaan yang menonjol pada sarana persembahan maupun
tuturan. Ditinjau dari tuturan yang dilantunkan pada fase puncak neduh dan
nyelang galah, isi permohonan bersifat oposisional. Secara makro teks
dikaitkan dengan aspek medan, pelibat dan cara. Fase persiapan dilakukan
di rumah ketua pamangku dengan percakapan semuka, sedangkan fase
puncak dan penutup dilaksanakan secara monolog. Pelibat yang terlibat
langsung adalah ketua pamangku dan ketua adat. Secara fungsional, ada
bagian teks yang berfungsi sebagai bagian pembukaan, isi, dan penutup.
Tahapan pada fase persiapan dihubungkan dengan ungkapan transisional
tanpa sisipan humor. Hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat
318
transmigran lebih memilih pola berbicara yang menukik pada pokok
permasalahan. Struktur unsur yang ada pada bagian pembukaan adalah
salam, dan tegur sapa, sedangkan struktur isi mengandung inti atau pokok
peristiwa, seperti pengenalan masalah, pembahasan, tanggapan, persetujuan
dan simpulan. Struktur penutup mengandung ucapan terima kasih dan
perpisahan. Bagian pembukaan fase puncak dan penutup terdiri atas
fungsi purifikasi, mohon pengampunan, dan pujian. Bagian isi mengandung
ungkapan permohonan, alasan, figur yang diharapkan dapat membantu,
persembahan, dan ditutup dengan permohonan pengabulan dan ungkapan
terima kasih.
(2) Teks panggil dan tolak hujan (TNNGB) memiliki komposisi Modus-Residu
yang lebih sederhana dibandingkan komposisi Modus-Residu Bahasa
Inggris. Hal itu terjadi karena klausa Bahasa Bali tidak mengenal Finit dan
Kopula sehingga tidak dimungkinkan adanya fusi komponen Modus pada
unsur Residu. Setiap unsur bersifat mandiri yang tidak menjangkau unsur
lainnya. Modus terdiri atas Subjek, polaritas, dan modalitas. Komponen
Residu mencakup Predikator, Komplemen, dan Adjung. Ditinjau dari tipe
komoditas yang dipertukarkan, TNNGB lebih banyak mempertukarkan
barang dan layanan dibandingkan pertukaran informasi. TNNGB lebih
didominasi oleh Proposal dibandingkan Proposisi. Artinya, teks
memerlukan berbagai tindakan nyata para pelibat. Percakapan cenderung
tidak mengharapkan jawaban uraian, melainkan jawaban nonverbal berupa
tindakan fisik. Kategori Proposisi dan Proposal yang berkaitan erat dengan
319
komoditas pertukaran dan respons itu jarang mendapat sisipan modalitas.
Dari sudut pandang pembicara, minimnya modalitas menunjukkan bahwa
pesan yang dipertukarkan adalah benar dan mendapat respon positif. Dari
sisi pendengar, minimnya modalitas dapat dilihat sebagai bentuk kepatuhan
anggota terhadap pemimpin. Petunjuk yang diterima diyakini sangat tepat,
dan harus dipatuhi. Dominasi Proposal menunjukkan bahwa perubahan
tingkah laku menjadi orientasi utama dibandingkan perubahan sikap.
Ditinjau dari modus percakapan, pemakaian modus yang paling produktif
adalah modus deklaratif, baik dalam fungsi tipikal ataupun nontipikal.
Makna memerintah sebagian besar dinyatakan secara halus dalam modus
deklaratif termodulasi, sebagai bentuk pertimbangan konteks dan
merealisasikan aspek kepatutan. Dengan cara itu, pendengar tidak merasa
direndahkan, tetapi merasa berkewajiban dan dipersilakan melakukan hal
tertentu. Gradasi kesopanan itu menempatkan pendengar sebagai partisipan
sukarela yang melakukan tindakan tertentu sesuai dengan kemampuan
yang dimilikinya. Dengan foregrounding semacam itu, pembicara
memosisikan diri sebagai penerima bantuan. Di samping modus tipikal,
teks juga memformulasikan beberapa klausa nontipikal. Pergeseran modus
itu dikaitkan dengan ranah, relasi pelibat, dan kesantunan. Penggunaan
modus nontipikal atau modus terrmodulasi dapat mengimplikasikan fungsi
komunikasi pada lapis kedua. Struktur diatesis tidak dapat dilepaskan dari
bentuk Predikator Bahasa Bali yang dapat berupa verba berprefiks {-} dan
tanpa prefiks {-}. Konstruksi dasar klausa tersusun atas Subjek--
320
Predikator (S--P) yang membentuk struktur Subjek/Aktor dan
Komplemen/Medium. Verba tanpa prefiks {-} menghasilkan struktur
turunan yang menempatkan Aktor pada posisi non-Subjek. TNNGB
memunculkan diatesis Operatif, Reseptif, dan Medial. Diatesis Operatif
memiliki Subjek/Agen pada proses aktif atau Subjek/Medium pada bentuk
turunan. Proses aktif memiliki struktur kanonis yang dimarkahi prefiks
nasal {-} dan dapat menurunkan struktur reversibilitas dengan verba tanpa
prefiks {-}. Klausa reversibilitas memiliki struktur Subjek/Medium dan
Komplemen/Agen. Kedua struktur tersebut mengandung makna proses
aktif, tetapi berbeda dalam perlakuan terhadap Agen. Struktur kanonis
menempatkan Agen pada posisi preverbal, sedangkan klausa struktur
reversibilitas menempatkan pada posverbal. Pada klausa bervalensi dua,
klausa reversibilitas memiliki struktur S/Med--P-K/Ag-A. Pada klausa
bervalensi tiga dimunculkan struktur S/Med--P-K1/Ag-K2 atau S/Med--P-
K2/Ag-K1/OBL. Dengan demikian, klausa Operatif Bahasa Bali dapat
berfokus pada Agen atau non-Agen. Pada proses pasif, diatesis Reseptif
dimarkahi dengan {ka-} atau {-a}. Tipe Agen pada klausa yang dimarkahi
{a-} cenderung mengacu pada orang ketiga, sedangkan pemarkah {ka-}
bersifat lebih terbuka. Dalam pandangan Sistemik, kedua struktur itu dapat
dinyatakan sebagai klausa berdiatesis Reseptif. Meskipun secara umum,
klausa Reseptif menghadirkan Agen secara manasuka, tetapi Agen
inisiator yang bersifat kekuatan alam harus dimunculkan secara tersurat.
321
Pada klausa Titiang kabanda antuk galah „Saya diikat oleh waktu‟, Agen
tidak dapat ditanggalkan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa strategi
komunikasi etnis Bali tidak semata-mata mementingkan pelaku atau hasil
kegiatan, tetapi kedua komponen tersebut dapat memperoleh penekanan.
Dikaitkan dengan tipe proses, diatesis Operatif dibentuk oleh klausa
proses material, mental, dan verbal, sedangkan klausa proses relasional
dan eksistensional menyatakan makna Medial. Proses perilaku
menunjukkan karakter yang berbeda, yakni dapat menyatakan makna
Operatif, tetapi tidak memiliki peluang dipasifkan akibat keterbatasan
jumlah argumen dan sifat Agen yang tidak dapat mengendalikan tindakan.
Penggunaan diatesis Operatif dan Medial mendominasi teks sedangkan
Diatesis Reseptif hanya dimunculkan pada tahap persembahan. Dominasi
semacam itu mencerminkan teks yang mengedepankan tindakan,
keberadaan, dan relasi antaentitas. Dengan kata lain, keberhasilan teks
membutuhkan berbagai tindakan nyata, eksistensi benda-benda, dan relasi
antarentitas yang terjalin dengan harmonis.
(3) Analisis transitivitas yang merupakan penjabaran dunia pengalaman
berkaitan dengan tipe proses, partisipan dan keterangan tentang proses.
Proses pokok yang mencakup proses aktivitas, kesadaran, dan hubungan
dijabarkan menjadi enam proses yang lebih spesifik. Berpedoman pada tipe
proses yang dimunculkan, TNNGB didominasi oleh proses material yang
mengindikasikan bahwa teks membutuhkan berbagai persiapan dan
tindakan dari pelibat. Dominasi kedua diduduki oleh proses wujud atau
322
eksistensional yang mengindikasikan keterkaitan berbagai benda dan
simbol terhadap teks. Tiga proses lainnya yakni proses relasional, verbal
dan mental dimunculkan dalam frekuensi yang kecil. Artinya, proses
relasional, verbal dan mental tidak berfungsi secara signifikan di dalam
teks. Sementara itu, proses perilaku tidak dimunculkan sama sekali.
Distribusi proses semacam itu mengindikasikan teks bernuansa formal
sehingga perkataan, perilaku, dan pengindraan yang tidak berhubungan
langsung dengan teks tidak boleh dimunculkan. Sebaliknya, teks
memunculkan tipe proses verbal unik yang direalisasikan dengan leksikon
nauhin, nanginin, dan ngarahin „memberitahukan‟. Proses verbal itu dapat
dinyatakan sebagai proses dua dimensi yang menjangkau proses berkata-
kata dan proses material. Perkataan tidak saja bersifat pemberitahuan,
tetapi menuntut Target untuk merealisasikan pesan dalam bentuk tindakan
nyata. Sanksi dapat dijatuhi kepada pelibat yang mengabaikannya. Dengan
kemunculan tipe proses dua dimensi itu dapat dipahami bahwa TNNGB
merupakan teks yang membutuhkan partisipasi nyata pelibat semua strata
sosial dalam kerangka kordinasi.
(4) Kajian struktur tematis meneropong komponen-komponen yang
ditonjolkan. Penempatan komponen tertentu di awal klausa mencerminkan
kehendak pembicara menonjolkan Tema. Selanjutnya, Tema dapat
dikembangkan dengan tiga pola, masing-masing re-iterasi, zigzag,
majemuk. Pengembangan secara re-iterasi berupa penguatan Tema yang
berulang kali dimunculkan untuk pendalaman. Pengembangan secara
323
zigzag memungkinkan setiap elemen mendapat pengembangan yang
seimbang, sementara pola majemuk menitikberatkan pada elaborasi faktor
pendukung Tema. Ditinjau dari jumlah Tema yang ditonjolkan dikenal
Tema Tunggal dan Tema Majemuk. Tema Tunggal terbentuk atas Tema
Topikal, yakni representasi makna eksperiensial, seperti fungsi Aktor,
Tujuan, dan Sirkumtansi. Tema Majemuk dibentuk dengan munculnya
tema antarpelibat dan tema tekstual di samping Tema Topikal. Secara
distribusional, bagian besar klausa TNNGB merupakan klausa dengan
Tema Majemuk dengan susunan tema tekstual^ antarpelibat^eksperiensial.
Tema antarpelibat biasanya direalisasikan dalam bentuk vokatif, sedangkan
tema tekstual dapat berupa Adjung kontinuitas atau konjungtif. Dengan
demikian, struktur Tema Majemuk tergolong konstruksi bermarkah dalam
konfigurasi metafungsi. Ditinjau dari potensi argumen non-Subjek
menduduki Tema, tampak Adjung memiliki potensi yang lebih besar
daripada Komplemen. Potensi itu mencerminkan keketatan relasi
Predikator terhadap Komplemen dibandingkan Adjung. Penempatan
Komplemen sebagai Tema membutuhkan dukungan aspek suprasegmental.
Pengedepan Komplemen/Tujuan dan Adjung/Sirkumtansi pada struktur
bermarkah mengindikasikan bahwa budaya berbahasa etnis Bali dapat
menonjolkan berbagai komponen. Ditinjau dari organisasi teks TNNGB
dibangun melalui sistem referensi endoforis dan eksoforis. Secara endoforis
tampak dominasi acuan anaforis dibandingkan kataforis. Artinya, ada
kebiasaan masyarakat untuk menambah informasi berdasarkan butir
324
informasi yang telah dibagi di antara pelibat. Ditinjau dari jarak referen dan
anteseden, referensi anaforis memiliki kemampuan mengacu yang kuat
menjangkau anteseden pada beberapa klausa di atasnya yang berupa
kelompok kata atau kelompok klausa. Sebaliknya, referensi kataforik
menjangkau anteseden yang mendampinginya dalam klausa yang sama.
Pilihan referensi kataforik dapat dilihat sebagai upaya menyiapkan
pendengar atau pembaca untuk menerima informasi rinci sebagai salinan
informasi besar sebelumnya. Dengan demikian, hubungan referen dengan
anteseden bersifat saling menggantikan. Secara eksoforis, TNNGB
berkaitan erat dengan ajaran “persaudaraan” dan konsep dualistik. Kedua
teks itu dapat dilihat sebagai teks sumber yang menjelaskan seluk-beluk
pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan dalam mempelajari teks.
Hubungan eksoforis itu menegaskan bahwa TNNGB tergolong teks yang
melibatkan kerjasama dengan makhluk tidak kasatmata. Akan tetapi, setiap
figur tidak kasatmata itu hanya dapat membantu keberhasilan permohonan
bila diperkenankan Tuhan. Dengan demikian, kurang tepat bila TNNGB
dikategorikan sebagai aktivitas sihir mengingat keberhasilan permohonan
sepenuhnya merupakan perkenan Tuhan dan diabdikan untuk pemeliharaan
hidup.
12.2 Saran
Penelitian ini dilakukan secara maksimal untuk mengungkapkan seluk-
beluk TNNGB. Meskipun demikian, penelitian ini masih membutuhkan
325
penelitian lanjutan untuk menjadikannya lebih sempurna. Misalnya, penelitian di
daerah tadah hujan versi etnis Samawa, disandingkan dengan teks serupa di Bali,
atau daerah transmigran lainnya. Peneliti berikutnya dapat memanfaatkan hasil
penelitian ini sebagai pijakan dan selanjutnya dapat melakukan pengembangan
sesuai bidang dan komunitas yang diteliti. Perlu disadari bahwa masyarakat
pemukiman transmigran merupakan masyarakat plural dan kaya perbedaan
pandangan. Kondisi demikian berpotensi menjadi daerah rawan konflik dengan
mengoposisikan kelompok asli dengan kelompok pendatang. Oleh karena itu,
peneliti yang mengambil objek komunitas transmigran sebaiknya menyadari dan
mempelajari situasi setempat dan selanjutnya turut ambil bagian dalam
mengedukasi masyarakat akan makna kebhinekaan.
Secara teoretis, belum ditemukan kelemahan teori Sistemik dalam
mengungkapkan seluk-beluk struktur TNNGB. Setiap butir permasalahan
skematik dan gramatikal tidak menyisakan permasalahan baru. Oleh sebab itu,
direkomendasikan pengaplikasian teori Sistemik untuk mengaji struktur teks
bahasa daerah lintas etnis tanah air.
326
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Ch. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa
Arfinal. 2004. ”Sistem Transitivitas pada Teks Pasambahan Kematian di Kota
Padang”. Dalam Linguistika Vol.11. Denpasar: Program Studi Magister
dan Doktor Universitas Udayana.
Arnita, G. dkk. 2001. Kajian Alih Aksara dan Alih Bahasa Lontar Panugrahan
Dalem. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali
Artawa, K. 1998. ”Ergativity and Balinese Syntax”. Dalam Dardjowijoyo, S.,
dkk., ed. Nusa: Linguistics Studies of Indonesian and Other Languages in
Indonesia. Volume 12.
Austin, J. 1976. How to do Things with Words. Bristol: J.W. Arrow Smith Ltd.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. 2011. Kabupaten Sumbawa dalam
Angka 2010. Sumbawa Besar: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Prakiraan Cuaca Indonesia.
http://www.bmkg.go.id. Diunduh 12 Desember 2012.
Badra, G. 2009. Bibliografi Budaya Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi
Bali.
Badra, G. 2001. Alih Aksara Lontar 2001 Pragolan/Panerang. Denpasar: Dinas
Kebudayaan Propinsi Bali.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka
Cipta.
Beratha, S. 2002. ”Evolusi Afiks Verba Bahasa Bali”. Dalam Bawa, W. dan
Pastika, W., peny. Austronesia: Bahasa, Budaya dan Sastra. Denpasar:
CV. Bali Media.
Direktorat Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi. 2011. Potensi Sumber
Daya Hutan Produksi Nusa Tenggara Barat.
http: //www.litbang.deptan.go.id. Diunduh tanggal 11 Mei 2011.
Bonvillain, N. 2003. Language, Culture and Communication: The Meaning of
Messages. New Jersey: Pearson Education Inc.
Bungin, B. 2008. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
327
Bungin, B. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Coulthard, M. 1985. An Introduction to Discourse Analysis. Longman Group Ltd.
Coupland, N. dan Jaworski, A. 1997. Sociolinguistics: A Reader and Coursebook.
London: Macmilland Press Ltd.
Dhanawaty, M. 2002. “Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigran
Lampung Tengah” (disertasi). Jogjakarta: Universitas Gajah Mada.
Dijk, T. 1985. ”Introduction: Level and Dimensions of Discourse Analysis”.
Dalam Dijk, T., ed. Dimensions of Discourse. Volume 2. Amsterdam:
Academic Press.
Dijk, T. 1985. “Semantic Discourse Analysis”. Dalam Dijk, T, ed. Dimensions of
Discourse. Volume 2. Amsterdam: Academic Press.
Donald, M. 1998. “Clause and Verbal Group System in Chinese: A Text Based
Functional Grammar” (tesis). Dalam ASFLA (Australian Systemic
Functional Linguistics Association). Sydney: Macquarie University.
Djijosuroto, K. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Eggins, S. 1994. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. London:
Pinter Publisher Ltd.
Eggins, S dan Slade, D. 1997. Analyzing Casual Conversation. London: Equinox
Publishing Ltd.
Fairclough, N. 1989. Language and Power. Longman Group UK Limited.
Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language.
New York: Longman Publishing.
Gara, W. 2006. “Wacana Sumodana Usaba Sembah pada Masyarakat Tenganan
Pegringsingan” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Givon, T. 1979. “Syntax and Semantics”. Dalam Givon, T., ed. Discourse and
Syntax. Vol.12. Colorado: Academic Press.
Halliday, M.A.K. 1985. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold.
Halliday, M.A.K. dan Matthiessen. 1985. An Introduction to Functional
Grammar. London : Edward Arnold.
328
Halliday, M.A.K. 1973. Exploration in the Functions of Language. London:
Edward Arnold.
Halliday, M.A.K dan Hasan. 1985. Language, Context and Text: Aspects of
Language in a Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University
Press.
Halliday, M.A.K. dan Hasan. 1975. Cohesion in English. Sydney: Longman.
Halliday, M.A.K. 2004. An Introduction to Functional Grammar. London:
Edward Arnold.
Hasan dan Jonathan. 2005. Language, Society and Consciousness. London:
Equinox Publishing Ltd.
Hodge, R. dan Kress. 1988. Social Semiotics. Oxford: Polity Press.
Hooykaas, J. 1961. Ritual Purification of a Balinese Temple. Amsterdam: N.V.
Noord Hollandsche Uitgevers Maatschsppij.
Hooykaas, J. 1980. Drawings of Balinese Sorcery. Leiden: E. J. Brill.
Hopper, P. 1979. “Aspect and Foregrounding in Discourse”. Dalam Givon, T., ed.
Syntax and Semantics. Volume 12. Los Angeles: Academic Press.
Hornby, A.S. 1978. Oxford Student‟s Dictionary of Current English. Oxford:
Oxford University Press.
Indra, I.B. 2001. Kanda Mpat Dewa. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali.
Jamarani, M. 2009. “A Study of Language and Cultures in Contact among Iranian
Female Immigrants in Australia” (disertasi). Brisbane: University of
Queensland SLCCS.
Kantor Berita Antara. 2010. Teknologi Modifikasi Cuaca.
http: //www. antaranews.co. Diunduh tanggal 11 Mei 2011.
Kantor Berita Bali Post. 2010. Pawang Hujan Kawal Pelantikan Bupati Made
Gianyar. http: //www.balipost.co.id. Diunduh tanggal 11 Mei 2011.
Kantor Berita Sumbawa. 2008. Lombok antara Batur Bali dan Semeton Sasak.
http: //www.sumbawanews.com. Dunduh tanggal 11 Mei 2011.
Kantor Berita Kompas. 2010. Pawang Hujan untuk Membubarkan Demonstran.
http: //www.kompas.com. Diunduh tanggal 11 Mei 2011.
329
Kardji, W. 1999. Ilmu Hitam dari Bali. Denpasar: CV Bali Media.
Kearns, J. 1984. Using Language: The Structure of Speech Acts. Albany: State
University of New York Press.
Kovecses, Z. 2006. Language, Mind and Culture, New York: Oxford University
Press, Inc.
Kress, G. 1985. Ideological Structure in Discourse. Dalam Dijk, T,. ed. Dimension
of Discourse. Volume 2. Amsterdam: Academic Press.
Larson, M. 2010. Meaning-Based Translation. New York: University Press of
America Inc.
Levinson, S. 1987. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Luardini, M. 2007. “Wacana Air dalam Legenda Dayak Ngaju, Kalimantan
Tengah” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Linguistik
Universitas Udayana.
Lucy, N. 1995. Social Semiotics: Course Study Guide and Reader, Perth;
Murdoch University.
Malini, L. 2011. “Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigran di Provinsi
Lampung” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Linguistik
Universitas Udayana.
Mbete, A. 1990. Rekonstruksi ProtoBahasa Bali-Sasak-Sumbawa. Dalam
Linguistika. Denpasar: Program Studi Magister (S2) dan Doktor (S3)
Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Mertha, P. 1997. Kanda Pat Rajapeni. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya
Bali
Moreno, A. 2003. “The Role of Cohesion Devices as Textual Constraints on
Relevance: A Discourse as Process View”. Dalam Scheu, Dagmar dan
Lopez Maestre, ed. Journal of English Studies: Discourse Analysis Today.
Spain: University of Murcia Vol. 3.
Mulyawan, W. 2010. “Struktur Wacana Iklan Media Cetak: Kajian Struktur Van
Dijk” Dalam Linguistika Vol. 17. Denpasar: Program Studi Magister (S2)
dan Doktor (S3) Universitas Udayana.
Netra, M. 2011. “Wacana Ritual Melong Pare Bulu Komunitas Petani Adat
Bayan, Lombok Utara: Kajian Etnopragmatik” (disertasi). Denpasar:
Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana.
330
Oktavianus. 2005. “Kias dalam Bahasa Minangkabau” (disertasi). Denpasar:
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Padmadewi, N. 2005. ”Tuturan Masyarakat Buleleng dan Konstruksi Gender”.
(disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas
Udayana.
Palmer, G. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of
Texas Press.
Pastika, W. 1999. “Voice Selection in Balinese Narrative Discourse” (tesis Ph.D).
Canberra: The National Australian University.
Pastika, W. 2002. “Kesinambungan Topik pada Diatesis Bahasa-Bahasa
Austronesia: Bali, Pilipina, Sulawesi, dan Indonesia”. Dalam Bawa, W.
dan Pastika, W., peny. Austronesia: Bahasa, Budaya dan Sastra.
Denpasar: CV Bali Media.
Pekandelan, M. dan Yendra. 2007. Kanda Empat Sari: Sakti Tanpa Guru.
Surabaya: Paramita
Putra, I.B. 2010 ”Dharmayatra dalam Teks Dwijendra Tattwa: Analisis Resepsi”
(disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Purwa, M. 1996. ”Telaah Kohesi Gramatikal dalam Wacana Bahasa Jurnalistik”.
Dalam Aksara: Jurnal Bahasa dan Sastra. Denpasar: Balai Penelitian
Bahasa.
Rasna, W. 2010. ”Teks Aji Blegodawa: Sebuah Kajian Linguistik Sistemik
Fungsional” (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Ruddyanto, C. dkk. 2008. Kamus Bali Indonesia, Edisi ke-2. Jogjakarta: Yayasan
Pustaka Nusatama.
Satyawati, M. 2009. ”Valensi dan Relasi Sintaktik Bahasa Bima”. (disertasi).
Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Setiawan, N. 1994. Satu Abad Transmigrasi di Indonesia: Perjalanan dan
Pelaksanaan 1905-2005. Bandung: Pusat Penelitian Kependudukan
Universitas Padjajaran.
Schiffrin, D. 1994. Approaches to Discourse. Oxford: Blackwell Publishers
Setia, E. 2008. ”Klausa Kompleks dan Realisasi Pengalaman dalam Teks
Peradilan (Kasus Bom Bali I): Sebuah Analisis Linguistik Fungsional
331
Sistemik” (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Simpen, W. 2007. Kesantunan Berbahasa pada Penutur Bahasa Kambera di
Sumba Timur. Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
Sidemen, I.B. dkk. 2000. Kusumanjali: Persembahan kepada Dang Hyang
Nirartha. Denpasar: Yayasan Darmopadesa.
Subandia, M. 1993. Dasakanda. Denpasar: Kantor Pusat Dokumentasi Budaya
Bali.
Sudiarga, M. 1996. Krakahsari/ Kanda Mpatsari. Denpasar: Kantor Dokumentasi
Budaya Bali.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugono, D., dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Suharno, I. 1982. ”Linguistik Kultural: Peranan Manusia dalam Telaah Bahasa”.
Dalam Indonesian Journal of Cultural Studies. Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Jogjakarta: Duta
Wacana University Press.
Sulaga, N. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar: Balai Penelitian
Bahasa.
Sunaryo, A. 2010. ”Penggunaan Tenaga Prana untuk Menolak Hujan”
http://www.pranaindonesia.wordpress.com. Diunduh tanggal 11 Mei 2011.
Sutama, P. 2010. “Teks Ritual Pawiwahan Masyarakat Adat Bali: Analisis
Linguistik Sistemik Fungsional” (disertasi). Denpasar: Program Studi
Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Surpha, W. 1985. Kusuma Dewa. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat.
Sutjaja, I. G. M. 1988. Semantic Interpretation of the Nominal Group in Structure
in Bahasa Indonesia (disertasi). Sydney: Department of Lingusitics
University of Sydney.
332
Sutjaja, I G. M. 2005. Teks dan Rekayasa Teks. Dalam Linguistika Vol. 12.
Denpasar: Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Universitas
Udayana.
Suyadnya, I. G. N. 2006. Aywa Wera dan Pemahamannya. Denpasar: Paramita
Tannen, D. 1994. Gender and Discourse, New York: Oxford University
Usman, F. 2007. “Tawa dalam Pengobatan Tradisional Minangkabau: Sebuah
Kajian Linguistik Antropologi”. (disertasi). Denpasar: Program Studi
Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Vallin, R. 2005. Exploring The Syntax-Semantics Interface. Cambridge:
Cambridge University Press.
Warna, W., dkk. 1988. Kamus Kawi - Bali. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar
Propinsi Bali.
Warna, W., dkk. 1993 Kamus Bali - Indonesia. Denpasar: Dinas Pengajaran
Daerah Tingkat I Bali.
Windia, K. 1972. Kanda Empat. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali
Wolf dan Liebert. 2001. ”The Sociohistorical Dynamics of Language and
Cognition”. Dalam Fill, A. dan Muhlhaulsler, ed. The Ecolonguistics
Reader. London: Creative Print and Design.
333
LAMPIRAN
1. Peta Lokasi Penelitian
(Sumber: Sumbawa dalam Angka 2010 (2010: xix, xxi))
334
2. Lambang dan Motto Daerah Penelitian
.
(Sumber: Sumbawa dalam Angka 2010 (2010: ix))
Motto Daerah Kabupaten Sumbawa
"SABALONG SAMALEWA"
Artinya: Membangun secara seimbang dan serasi antara
pembangunan fisik material dengan pembangunan mental
spiritual, antara pembangunan dunia dan akhirat
335
3. Daftar Informan
1. Nama : I Nyoman Dastra
Umur : 47 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Br Kembang Sari Sepayung
Jabatan : Pamangku Pura Dalem Sepayung
Ketua Paguyuban Pamangku Sepayung
Ketua PHDI Kecamatan Plampang
Keterangan : Informan Kunci
2. Nama : I Made Suarya Dala, SH
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : PNS pada Dinas Kehutanan
Alamat : Kota Sumbawa
Jabatan : Ketua PHDI Kabupaten Sumbawa
3. Nama : I Wayan Gampil
Umur : 55 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Br. Kembang Sari Sepayung
Jabatan : Ketua Adat Sepayung
4. Nama : I Made Madu
Umur : 65 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Dusun Wanagiri Utan
Jabatan : Ketua pamangku Sebedo, Utan
5. Nama : I Made Sutantra
Umur : 65 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Sukamaju Lunyuk
Jabatan : Ketua PHDI Kecamatan Lunyuk
6. Nama : I Made Suweca
Umur : 46 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Sukamaju Lunyuk
Jabatan : Bendesa Sukamaju
7. Nama : I Ketut Ribu
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Sukamaju Lunyuk
Jabatan : Ketua Paguyuban Pamangku Lunyuk
336
4. Teks Neduh (Kode A1)
1. Marembug ‘Diskusi‟
Tempat : Rumah Pamangku Dalem
Pelibat : Ketua adat : I Nyoman Gampil
Pamangku Dalem / Ketua payububan pamangku : I Nyoman
Dastra
Cara : Percakapan semuka
Bahasa Bali halus
Ketua adat Om Swastiastu , jero mangku
„Salam, jero mangku‟
Ketua pamangku Nggih, Om Swastiastu. Yeh, nggih jero klian. Punapi
gatra niki jero? Jeg sadah seken niki sesaputanné .
Ngiring malinggih dumun.
‟Ya, salam. Oh, ya jero klian. Bagaimana kabar ini jero?
Pakaian anda rapi tampaknya. Mari duduk dulu‟.
Ketua adat Nggih… Puniki jero mangku. Gatra kewentenan indik
pertaniané driki niki mangkin, tetandurane niki kirangan
toya. Niki sané tunasang ring jero mangku, sapunapi
antuk. Santukan guminé panes kanti tanduran kramané
sami layu, nika mawinan tiang ngerauhin jero mangku.
Punapi minab wénten galah jagi neduh sapunapi?
„Ya, begini jero mangku. Kabar keberadaan pertanian di
sini saat ini, tanaman kekurangan air. Ini yang saya
tanyakan pada anda, bagaimana caranya. Oleh karena
bumi panas hingga tumbuhan warga menjad layu, itu
sebabnya saya mendatangi anda. Bagaimana apa
mungkin ada waktu untuk mohon hujan?
Ketua pamangku Oh kenten. Nggih. Nanging sapuniki dumun pang ten
nyen kadi titiang mengambil sebuah keputusan ngeraga,
nah manawi wenten semeton tityang makadi mangku
druene taler, makadi jero mangku Puseh, Desa,
Prajapati mangda ada ajak titiang magendu wirasa
nginggihang inggian pedinaan, pang ten tityang misang-
misang raga, ten enak nika, becik dauhing mangku duéné
dumun. Saja panes nak yakni sampun kelintang niki.
„Oh begitu. Ya. Tetapi begini dulu. Agar saya tidak
mengambil keputusan sendiri, karena masih ada saudara
saya seperti mangku Puseh, Desa dan Prajapati, agar ada
yang saya ajak untuk berdiskusi membicarakan hari baik.
Supaya saya tidak seenaknya saja, sebaiknya undang
mangku lainnya dulu. Benar panas sudah melebihi ini‟.
Ketua adat Inggih, nawegang dumun jero mangku. Tyang jagi
337
nauhin jero mangku sane tiosan. Dina benjang tyang
meriki malih ngiring ragane. Nggih, yen kenten, tyang
nunas mepamit dumun jagi nauhin mangku sane lianan.
„Ya, saya permisi dahulu jero mangku. Saya akan
mengundang mangku lainnya. Besok saya datang lagi
menyertai beliau. Ya, kalau begitu saya mohon diri dulu
untuk mengundang mangku lainnya‟.
Ketua pamangku Nggih, nggih margi „ya, ya silakan‟
Ketua adat
Tyang nunas mepamit jero mangku
„Saya mohon diri, jero mangku‟
Ketua pamangku Nggih, durus durus
„Ya, silakan‟
2. Sangkep Pengurus „Rapat pengurus‟
Tempat: Rumah Pamangku Dalem
Pelibat : Pengurus adat dan Paguyuban pamangku
Cara : Percakapan semuka
Bahasa Bali halus
Ketua adat Om Swastiastu
„salam‟
Ketua pamangku Om Swastiastu.
Yeh jero klian malih. Napi wenten malih niki?
„Salam. Oh, jero klian lagi. Ada apa ini?
Ketua adat Niki tiyang sampun nauhin jero mangku Kahyangan Tiga
druene. Ngiring ngiring
„Ini saya sudah mengajak jero mangku Kahyangan Tiga.
Mari silahkan‟
Ketua pamangku Swastiastu jero mangku. Yeh pak pengurus taler rauh
„Salam, jero mangku. Oh, pak pengurus juga datang‟
Bu Mangku Ngiring ngiring malinggih driki. Mangku, Pak Klian
Adat,Made lan Nengah ngajeng dumun.
„Mari masuk, duduk di sini. Mangku, pak klian adat,
Made dan Nengah mari makan dulu‟.
Bersama Nggih, tyang sampun.
„Ya, saya sudah‟
Ketua adat Nggih, niki malih tiyang rauh jero mangku ngelanturang
bawose dibi niki. Indik mbigbagang keadaan desane niki
kepanesan punapi antuk? Sampun rauh mangkin mangku
Puseh, Desa lan Prajapati. Taler pengurus duéné
sampun nyarengin. Mangkin tyang nunasang ring jero
mangku malih pidan kadi dados?
„Ya, ini saya datang lagi melanjutkan pembicaraan
kemarin. Tentang keadaan desa kita yang kepanasan,
338
bagaimana caranya. Sudah datang mangku Puseh, Desa
dan Prajapati. Juga para pengurus adat menyertai.
Sekarang saya bertanya pada jero mangku kapan ada
waktu?
Ketua pamangku Oh kenten. Nggih, puniki jero mangku sami taler jero
pengurus, wenten pasadok jero adat kaping tityang wawu
indik kemaro panjang niki. Dadosne tityang nunas
mangda jerone rauh sami apang ada ajak tityang
magendu wirasa. Yen becik iring ambil, yen kaon
mangda wenten sane ngingetin. Kenten tujuanne. Indik
galah, tityang nyingakin dedinaan dumun.
„Oh begitu. Begini, jero mangku sekalian juga jero
pengurus, ada penyampaian jero adat kepada saya
tentang kemarau panjang ini. Jadi saya minta agar anda
datang semua untuk saya ajak berdiskusi. Bila baik, mari
kita ambil, bila keliru supaya ada yang mengingatkan.
Begitu tujuannnya. Tentang waktu, saya melihat kalender
dahulu‟
Ketua pamangku Dek, maiang kone tanggalane! Yeh, kacan bapake bin
besik!
„Dek, bawa kemari kalender itu. Oh ya, kacamata bapak
juga‟
Anak Ne pak
„ini pak‟ (menyodorkan kalender dan kacamata)
Bu mangku Niki wedange dumun. Jajane kanggiang kering
„Ini kopinya diminum dulu. Maaf, kuenya kering‟
Ketua pamangku Durus durus pang ten nyem kopine jero
„Silakan, agar kopinya tidak dingin‟.
Ketua pamangku (setelah memeriksa kalender).
Nggih, yen kenten niki jero klian. Pang ten kadat, tyang
je masih niki medue tanduran sampun layu, napi malih
semeton duéné. Nggih yen presida antuk niki jero klian,
niki tanggal patlikur niki, Sukra pon niki sane marginin.
Yen presida antuk ngaryanin sajen niki. Yeh malah nyen
tyang manten, mangku sane tiosan sapunapi yen
ngemargiang ring tanggal dua empat niki?
„Ya, kalau begitu, supaya tidak terlambat, saya juga
punya tanaman sudah layu, apalagi warga kita. Baik, bila
memungkinkan tanggal 24 ini, Jumat pon ini kita
laksanakan. Persiapan. Bila persiapan banten dapat
diselesaikan. Oh ya, malah saya sendiri, mangku lainnya
bagaimana bila dilaksanakan tanggal 24 ini ?‟
Mangku Puseh Nggih, nika margiang sampun cocok. Minabang mangku
siosan taler kenten. „Ya, itu sudah cocok untuk
dilaksanakan. Saya kira pamangku lain begitu juga‟
339
Mangku Prajapati Kadi mangku sane tiosan, tyang setuju nika. Pang gelis
ada ujan, pedalem tandurane.
„Seperti mangku lainnya, saya setuju itu. Supaya segera
ada hujan, kasihan tanaman kita‟
Ketua pamangku Nggih, sareng sami setuju indik pedinan niki?
„Ya, sudah semuanya setuju tentang waktu ini?‟
Mangku Desa Tyang patuh kadi mangku duéné, setuju ngemargiang
peneduhan pang gelis wenten sabeh, merta.
„Saya setuju seperti mangku lainnya, setuju
melaksanakan peneduhan agar segera ada hujan berkah‟
Ketua pamangku Nggih.. yen sampun kenten berarti sampun didukung oleh
segenap mangku sami. Kenten kocap jero klian tanggal
patlikur puniki dina sukra pon nggih.
„Ya, kalau sudah begitu berarti sudah didukung oleh
segenap pamangku. Begitulah jero klian, tanggal 24 ini
hari Jumat pon ini‟.
Ketua adat Nggih, mangkin tiyang jagi nakenin serati due napi
mresidayang ngaryanin banten niki.
„Baik, sekarang saya menanyakan kesiapan tukang sajen‟
Ketua pamangku Niki, galah becik wenten bin petang rahina. Nuju,
tanggal patlikure niki. Punapi bes joh paek? Kentenang
biyang mangku dumun indik ngaryaning upakara sareng
seratine.
„Ini ada hari baik empat hari lagi. Tepatnya tanggal 24
ini. Bagaimana tentang jauh dekatnya? Katakan
demikian pada bu mangku dulu untuk membuat sarana
upakara‟.
Ketua adat Nggih
„ya‟
Ketua pamangku De, mai malu
„De, kemarilah‟ (memanggil istrinya)
Bu mangku Napi wenten? „ada apa?‟
Ketua adat Kenten, biyang jagi mekarya upakara peneduhan kadi
sane sampun-sampun malih petang rahina niki.
Mresidayang niki indik galah?
„Begini. Anda diminta membuat sajen mohon hujan
seperti yang sudah sudah lagi empat hari‟. Bisakah anda
menyiapkan sajen dalam waktu tersebut?‟
Bu mangku Upakarane kadi ne sampun memargi gen niki?
„Sarananya seperti yang sudah berjalan saja?‟
Ketua pamangku Nah, ten je bes makeh san. Anu gaenang pajatian
nemnem cukup.
„Ya, tidak banyak. Buatkan enam pajatian saja cukup‟
Bu mangku Kadi biasa nika, pajatiang ring pura Puseh, Desa,
Dalem, Mrajapati lan Ring Pesiraman. „Seperti biasa.
Pejati di pura Puseh, Desa, Dalem, Mrajapati dan di
340
pura Taman‟
Ketua pamangku Bin besik anggen upasaksi, biyang
„Satu lagi untuk upasaksi, bu‟.
Bu mangku Nggih, nyidang minab serati duéné ngarap nika.
„Ya, saya pikir tukang banten bisa menggarapnya‟.
Ketua pamangku Kenten sampun jero klian lan mangku sami, kadi iraga
ngemargiang paneduhan, nunas sabeh sinah iraga
mapiuning ring Kahyangan Tiga dumun, mangda Ida
mapica waranugraha. Ida maring Pura Puseh, Desa
kelawan Dalem taler Prajapati. Inggihan saji sane jagi
katur, ring Pura Dalem karyanang tigang pajatian. Yen
ring Puseh Desa taler ring gedong Dewi Danu. Dadosne
nem pajatian tegepin antuk canang-canang sane tiosan.
Ring Pura Taman, ring pesiraman puniki, ring genah
iraga mapinunas ngelungsur sabeh puniki janten iraga
ngaturang saji mantuk Ida Hyang Wisnu mangda
mapica. Taler katur ring sesuhunan mantuk Ida Hyang
Dewi Danu karyanang tigang pejati tegepin antuk srana
sane siosan. Nggih?
„Begitulah jero klian dan mangku semua, seperti biasa
kita melaksanakan peneduhan, mohon hujan, tentu kita
mempermaklumkan pada Kahyangan Tiga dulu agar
beliau memberi anugrah. Beliau yang berstana di pura
Puseh, Dalem, Prajapati. Mengenai sajen yang
dihaturkan, di pura Dalem buatkan tiga pajatian. Untuk
di pura Puseh dan gedong Dewi Danu. Jadi enam
pajatian lengkapi dengan canang-canang yang lainnya.
Di pura Taman, di permandian, tempat kita mohon hujan
tentu kita haturkan sajen untuk DewaWisnu agar beliau
berkenan. Juga persembahan untuk Dewi Danu buatkan
tiga pejati dilengkapi sarana pelengkapnya. Ya?
Ketua adat Nggih
„ya‟
Ketua pamangku Nggih niki nak iraga sampun sering-sering ngemargiang
niki ten je perlu ngaturang sedetail mungkin tapi yang
jelas serati due sampun pada uning inggihan bebanten
sane sampun biasa kemargiang, ten kenten? Serati due
nak sube biasa mekarya banten sejumlah nika. Khan
iraga saban tahun bahkan sebilang musim tanam iraga
ngemargiang peneduhan bisa dua tiga kali. Nah nika
tergantung keadaan cuaca. Nah kadi mangkin sampun,
ping kuda nika, ping tiga sampun rauh Desember kanti
mangkin. Nggih wantah amunika dumun jero klian, atur
posisine sareng sami, dauhin kramane sami.
„Ya, ini kita sudah sering melaksanakan ini, tidak perlu
saya jelaskan secara rinci tapi yang jelas tukang banten
341
sudah tahu tentang sarana yang biasa dupakai, yak an?
Tukang banten sudah biasa membuat banten sejumlah
itu. Kan kita setiap tahun bahkan setiap musim tanam
kita melaksanakan ritual mohon hujan beberapa kal.
Sudah tiga kali sejak Desember sampai sekarang. Ya,
sekian saja dulu jero klian, atur posisi kita semua dan
beritahukan warga semua‟
Ketua adat Nggih kenten sampun jero mangku. Mangkin nunas
galah jagi ngenikain prajuru ngarah.
„Baik, begitulah jero mangku‟. Sekarang saya minta
waktu untuk menugaskan petugas untuk meneryskan
kesepakatan ini‟
Ketua pamangku Inggih inggih. Lanturang sampun nika.
„Ya, ya. Lanjutkan saja‟
Ketua adat Kene Ngah, ne nak kal neduh bin petang dina. Arahin
kramane. Orahin masih juru arahe ane sibak kelod jak
tengah. Sing suba jelas to busan. Dauhin kramane
kayang sukra pone apang tedun ngaturang bakti ring
Pura Taman. Ngaba sarana sembahyang. Be jelas to?
„Begini Ngah. Ini akan ada ritual mohon hujan empat
hari lagi. Beritahu juga juru arah bagian selatan dan
tengah. Sudah jelas tadi, kan? Beritahu warga pada hari
Jumat pon agar hadir menghaturkan bhakti di pura
Taman. Membawa sarana sembahyang. Sudah jelas itu?‟
Juru arah Nggih sampun jelas. Bin mani tyang mulai mejalan
ngarah.
„Ya, sudah jelas. Besok saya mulai memberitahukan
warga‟
Pengurus adat Nggih. Kenten sampun jero mangku sami, sampun molih
tityang niki. Pacuk maka sami pengurus lan jero mangku
indik ngmargiang peneduhan. Yen, kenten duaning galah
pang ten liwat peteng, niki ngiring puputang dumun.
„Ya, begitulah para mangku sekalian, sudah berhasil saya
ini. Sepakat semua pengurus dan pamangku untuk
menjalankan ritual mohon hujan. Kalau begitu, karena
waktu supaya tidak terlalu larut, mari kita tutup dahulu‟
Bersama Nggih jero mangku, tiyang nas pamit.
„Baik jero mangku, saya mohon diri‟
Ketua pamangku O kenten? Nggih nggih.
„Oh, begitu? Silakan.
Ketua adat Pamit jero
„Saya mohon diri, jero‟
Ketua pamangku Nggih, margi. Sukma nyen jero klian.
„Ya, ya. Terima kasih pak ketua adat‟
Ketua pamangku Yeh, bli mangku Desa, nyak seleg suba I Gede megae ?
„Yeh! Kakak mangku Desa, rajinkah I Gede bekerja?
342
Mangku Desa Anu nak magae di bengkel. Lantas ye ditu ngredit
tegakan pang ada abana ulah ulih
„Dia bekerja di bengkel, sekalian di sana mencicil motor
untuk pulang-pergi‟
3. Mapengarah „Pemberitahuan‟
Tempat : Rumah warga
Pelibat : Juru arah (I Nengah Ardika) dan warga
Cara : Percakapan semuka
Bahasa Bali halus
Juru arah Yan, .. Yan Swastiastu
„Yan, salam‟
Warga Swastiastu. Engken Ngah?
„Salam. Ada apa, Ngah?
Juru arah Tiyang ngarah, ne Yan. Ne mapan kramane kal neduh
bin puan, tyang ngarahin kramane apang tedun. Dadine
Wayan jak makejang pang hadir je.
„Saya membertitahu ini, Yan. Ini karena aka nada
upacara mohon hujan dua hari lagi, saya memberitahu
warga untuk hadir. Jadi Wayan dan keluarga agar hadir‟
Warga Ring bulakan ne?
„ Di Bulakan tempatnya?
Juru arah Ae, di pura Bulakan, Yan. Yeh ne pang sing engsap,
nganggo pakean adat.
„Ya, di pura Bulakan, Yan. Ya, supaya saya tidak lupa,
pakai pakaian adat‟
Warga Ngaba banten kone?
„Membawa sajen kah?
Juru arah Indik banten suba kekaryanin jak biyang serati.
Dadine ngaba bakti dogen.
„Prihal banten sudah dibuat oleh tukang sajen. Jadi
membawa sarana sembahyang saja‟
Warga Jam kuda ne? „Jam berapa?‟
Juru arah Yeh saja, ngaturang baktine sawetara jam 2 sore.
„Oh ya, hadir sekitar jam 2 sore‟.
Warga Nyoreang berarti to. Nah nah
„Agak sore. Ya, ya‟
Juru arah Keto gen Yan, tyang dauhne malu sig pak Gedene
„Sekian saja, Yan. Saya ke rumah sebelah selatan ke pak
Gede dulu‟
Warga Nah, trimakasih, Ngah. Suksma
„Nah, terima kasih, Ngah. Terima kasih‟
Juru arah Suksma mewali, pak Wayan.
„Terma kasih kembali, pak Wayan‟
343
4. Neduh „Mohon hujan‟
Tempat : Pura Taman
Pelibat : Warga
Pemimpin : I Nyoman Dastra
Cara : Percakapan monolog
Bahasa Sansekerta, Jawa Kuna, dan Bali
Pembukaan
Aum awigenamastu nama siwa
sidyam
Aum padmasana ya namah suaha.
Aum prasada stiti siwa suci nirmala
ya namah suaha
Ya, Tuhan semoga tidak ada
rintangan.
Ya, Tuhan, hamba memujaMu
sebagai Siwa. Ya Tuhan, berkatilah
tindakan hamba.
Aum Ang Brahma suka ya nama
suaha
Aum dupa ya namah suaha.
Aum Ang dupa dipastra ya namah
suaha
Ya, Tuhan sebagai Brahma sumber
kebahagiaan
Ya Tuhan, hormat hamba kepada
dupa, sinar suci kebahagaiaan
Om kara sudamam suaha
Om kara hati ya namah suaha
Ya, Tuhan, bersihkanlah hamba dan
jadikan lebih bersih
Om ang rah pat astra ya namah
suaha
Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu
sebagai api yang menyala
Om pakulun Sanghyang Kawisuara,
Sanghyang Guru Reke,
Sanghyang Saraswati,
suksma nugraha.
Om sasolah salampah tan keneng
lara rogo wiguna, danda utpata,
tan kapadrawa dening Hyang
Mami
Ya, Tuhan yang Maha Pencipta,
Maha Guru, dang Maha Tahu
anugrahilah kami agar tindakan kami
terhindar dari cacat, kesalahan, dusta
dan kutukan.
Om indah ta kita
sang buta mangan mantra.
Nini buta mantra
antara murub
Om sang buta kala dengen
aturaken sarining ulun
ripada Sanghyang Saraswati .
Sira tinanggepan dening ingsun
Weh akena kesidianku
Ya, Tuhan, hindarkan hamba dari
gangguan para buta yang menguasai
mantra.
Ya, para buta serahkan kepandaianmu
pada Sanghyang Saraswati untuk
diterimakan kepadaku. Berikan aku
kesidianmu.
344
Ong sa ba ta i,
Ong na ma si wa ya
Ong mang ung mang
Ong sa ba ta i,
Ong na ma si wa ya
Ong ang ung mang
Ong ang ung mang siwa sadasiwa,
paramasiwa
Om sabda bayu idep sudanta
wiguna.
Ong sidirastu serayusat prayoga ya
namah suaha
Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu dalam
berbagai perwujudan-Mu.
Ya, Tuhan, semoga tindakan hamba
berhasil dan bermanfaat.
Ong ung rapat astra ya namah
suaha
Ong atma tatwatma sudamam
suaha.
Ong ksamam sampurna ya namah
suaha
Ong sri pasupati ya ong pat.
Ong subem narwastu
Ong purnam bawantu,
Ong sukem bawantu,
Ong sriem bawantu,
Ong sapta werdi astu, tatastu suaha
Ya, Tuhan hamba memuja-Mu sebagai
api yang menyala. Ya Tuhan,
sucikanlah hamba.
Ya, Tuhan, ampunilah hamba
Ya, Tuhan, sempurnakanlah tindakan
hamba, sehinga tiada kekurangan,
tetapi membawa kebahagiaan,
kemakmuran dan kemajuan. Semoga.
Ong rang ring sah pramasiwa
gangga amerta ya namah suaha
Ong sang narmada ya namah suaha
Ong sang sindu ya namah suaha
Ong sang gangga ya namah suaha
Ong sang saraswati ya namah
suaha
Ong sang erawati ya namah suaha
Ong sang nadi sertah ya namah
suaha
Ong sang nadi suta ya namah suaha
Ong sang garbadaya ya namah
suaha
Ong sang serayusca ya namah
suaha
Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu
sebagai air amerta dari Paramasiwa.
Hamba juga memujamu dalam gelar
perwujudan sebagai penguasa mata
air, pengetahuan, penguasa sungai
besar dan kecil.
Ong rah pat astra ya namah suaha
Ong Ong Ong
Ong angkara suda siwa setah
jagatnata hitangkarah abiwada
wadumah genta sabda parikasiya
Ya, Tuhan hamba memuja-Mu sebagai
api yang menyala.
Ya, Tuhan yang Maha Mulia dan
Maha Abadi, sumber segala
kegembiraan dan kesejahteraan. Ya
345
tah
Ong genta sabda maha sertah
Ongkara parikirtitah
candra nada windu nadakem,
sapu lingga siwa tatwamca.
Ong gentayur pujianta dewa,
kabawa bawa kemersu,
warada labda sandeah,
wara sidi luir senggayum
Ong ang ung mang
Ong kang kasol kaya suarya ya
namah suaha.
Tuhan, Engkau raja dunia yang dipuja
dalam nyanyian kehormatan, diiringi
suara genta yang sangat merdu,
mengagungkan nama Tuhan.
Ya, Tuhan yang memenuhi alam dan
angkasa dengan keindahan dan
cahaya, kebenaran.
Ya, Tuhan, Engkau adalah suara
genta yang ada dalam setiap pekerjaan
yang akan dan sudah dilakukan.
Engkau pemberi anugerah pada setiap
pekerjaan yang akan dilakukan karena
suara genta sesungguhnya
mengantarkan untuk memperoleh
anugerah itu. Ya Tuhan, terimalah
hormat hamba pada-Mu.
Om ksama suamem maha dewa
sarwa prani hitangkarah,
mamoca sarwa papebyah
palayasca sada siwaya
Om papaham papakarmaham,
papatma papasambawah, trahimam
pundari kaksa, sebahya biantara
sucih.
Om ksanta wiyah kayika dosah
Om kesanta wiyah wacika mama,
ksantawiyah manasa dosah,
tat pramadat ksama swamem
Om inak mantra inak padem,
inak bakti tatwam ca
inak bakti inak wali sada siwa
namas stute.
Om mantra inam bakti,
inam karya inam
yatpucitan maha dewa paripurnam
tadastu inam.
Ya, Tuhan, ampunilah hamba oh
Mahadewa yang menganugrahi
keselamatan bagi semua. Ya Tuhan,
bebaskanlah hamba dari semua papa,
dan lindungilah hamba Oh Siwa.
Ya, Tuhan, hamba sungguh papa, jiwa
hamba papa, kelahiran hamba juga
papa, maka ampunilah dosa perbuatan
hamba. Ampuni dosa perkataan dan
pikiran hamba. Ampunilah hamba dari
kelainan dan cacat.
Ya, Tuhan, hamba sungguh kurang
dalam memahami mantra, kurang
dalam hal bakti, dan kurang dalam hal
kemajuan dan kebajikan. Hormat
hamba pada Siwa.
Ya, Tuhan, hamba sungguh kurang
dalam mantra dan bakti, bahkan hina
dalam kerja. Oleh karenanya, hamba
memuja-Mu oh Dewa yang Agung
Dewa yang Maha Sempurna.
346
Om apsu dewa pawitrani
ganggadewi nama stuta,
wiguna klesa winarsanam
toyam parisudayate.
Om sarwa papa winarsanam
sarwa klesa winarsanam
sarwa roga winarsanam
sarwa boga napuniat
Ya, Tuhan sebagai air yang
menyucikan, melenyapkan segala
segala kotoran.
Ya, Tuhan, Engkau bersihkan dan
semua macam papa, kotoran,
penyakit dari tubuh hamba. Engkau
berikan segala yang menyenangkan.
Om panca aksara
maha mertam pawitra,
papanasanam papa koti
sahasranam,
agadem bawet segarem
Om panca aksara
prama Brahma pawitra,
papanasanam mantra ta pradnyan,
nama suka loka werdi subem.
Ya, Tuhan, Engkau adalah lima
aksara yang meresapi air suci hingga
berkhasiat untuk membersihkan dan
melenyapkan papa. Ia adalah obat
bagaikan lautan bagi ratusan ribu
penyakit.
Ya, Tuhan sebagai lima aksara suci
Brahman yang menyucikan dosa dan
merupakan mantra akhir, tertinggi
dan memenuhi alam siwa loka.
Om Gangga Dewi Saraswati
sinam wisanam
surya muna mahati sertah
serayuce maha nadi.
Om gangga sindu saraswati
surya muna gadawari
narmada kuweri mahendra tenaya
cerman wati weruhem
Om gangga dewi maha punyem,
gangga somawa manggalem
manggalem siwa keranam
siwa kumba mahetanem
Om tirta adnyanam maha merta,
angga segara mara lataya,
nareyana di aglo soropi,
kumba tirta maha gangga
Ya, Tuhan dalam berbagai
perwujudan yang memancarkan
keindahan, kebesaran, dan kemajuan
ilmu pengetahuan.
Ya, Tuhan yang berwujud Gangga
yang berjasa, memberikan amerta dan
berkah. Engkau merupakan bejana
Siwa yang paling utama.
Ya, Tuhan berkatilah tirta ini menjadi
berkah, kebijaksanaan maha amerta.
Aliran air Gangga adalah bejana air
suci.
347
Om gangga duara prasciwa
gangga segara senggama,
sarwang gatra durlabata
tribista dewayun serawa
Om papaham papakarmaham
papatma papa sambawa
trahimam pundari kaksah
sembahya biyantara suci
Om gangga dewi nama aksarem
ongkare pari kerti titem wigenem,
sarwa klese winasanem,
rogo dosa moksa sanem.
Ya, Tuhan, Engkau bagaikan hulu,
aliran dan muara Gangga. Tiga
tempat itu menjadikan bumi
memperoleh kesempurnaan dan
terbebas dari marabahaya.
Ya, Tuhan, perbuatana hamba
sungguh papa, jiwa hamba papa,
kelahiran hamba juga papa, maka
lindungilah hamba dari salah dan
dengan banten suci ini.
Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu
sebagai Dewi Gangga sebagai pelebur
segala rintangan, cemar, penyakit, dan
dosa
Om ayu bale werdi sakti keranem,
mertium jaya sesuwatem,
roge diksaya kusta dusta kelusem
candra praba baisuarem.
Om ring tirtanca catur bujam,
trinayana wiala pawitram,
sitanca merta madya susangkem
karem jiwa diksaya
wiyaktangsangkem
Om mertiun jaya dewa sia,
ya nama nia nurketayat
dirgayusa nawa panoti,
sang rana dijayem bawet.
Om sidirastu tatastu suaha
Om ayu werdi yasa werdisca
darma sentana werdisca sentuta,
sapta werdiyah.
Ya, Tuhan, semoga kekuatan hidup
berkembang dan bersinar
menghasilkan kemajuan pengetahuan
dan kemampuan, menang atas dusta,
dan kematian.
Oh, Tuhan Siwa yang bertangan
empat, bermata tiga, berselempang
ular yang meresap ke dalam tirta
amerta memelihara kebahagiaan dan
kekuatan jiwa yang tak pernah luntur.
Ya, Tuhan, kami percaya siapapun
yang mengucapkan mantra puja
kepada-Mu akan memperoleh
kejayaan atas kematian, berumur
panjang, dan menang dalam
perselisihan. Semoga berhasil.
Ya, Tuhan, semoga kebenaran
berkembang sepanjang jaman, dalam
diri dan tujuh keturunan.
Om idam basma paran guyan
Pawitra papa nasanem
sarwa klesa winasanam.
Ya, Tuhan, bhasma ini amat rahasia,
menyucikan, menghilangkan papa
dan segala bentuk cemar.
Om rah pat astra ya namah suaha.
Om atma tatwatma sudamam
suaha
Om ksama sampurna ya namah
suaha.
Ya, Tuhan hamba memuja-Mu dalam
wujud api yang menyala. Sebagai
hakekat atma yang suci maka
sucikanlah hamba.
Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu
348
Om sri pasupati ong pat
Om sarwa balikem pertiwi
brahma wisnu iswara
anaking dewa putra sarwada
sarwa nastu ya nama suaha
sebagai penyempurna setiap tindakan.
Ya, Tuhan, dalam berbagai
perwujudan ampunilah kesalahan dan
dosa hamba dan hindarilah hamba
dari segala bentuk hukuman tetapi
berikanlah hamba kecukupan hidup
yang mendamaikan.
Om perajayeng sarwa doh suda
mala
suda klesa suda danda
suda petaka suda rogah
Om bayu putrastu ya namah suaha.
Ya, Tuhan, hindarkan hamba dari
bahaya, petaka, dan hukuman.
Berikan hamba kesehatan dan
kebahagiaan yang selayaknya.
Om Wisnu Wisnu rahadi triadi
Sri Wisnu prajapati kasertah,
warahe kalpa pretama
kala yuga kala mangsa kala ita.
Om yuga naksatra nityam
wabakten palem bakti kaminaya
sarwa pratista karsia
subagem astu tatastu suaha.
Ya, Tuhan, Engkau adalah Wisnu
yang mengatur perputaran jaman,
baik jaman permulaan, pertengahan
dan akhir.
Ya, Tuhan, pada masa peralihan yang
membingungkan, berikan hamba
kecerdasan pikiran untuk mengikuti
jalan-Mu.
Om ganapati namastute
wiguna klesa winasanam
sarwa kaya prasidantam
nama karya prasidantu.
Om winayaken ganapati,
sarwa wignena klesa winasanam
mahe sakti karanam nityam,
twam ganapati warapradam,
dipata ya namah suaha
Ya, Tuhan, dalam perwujudan
Ganapati hilangkanlah cemar dan
rintangan sehingga setiap usaha dapat
berhasil.
Ya, Tuhan, dalam perwujudan
Ganapati yang baik. Engkau
melemyapkan cemar dan rintangan
sehingga setiap pekerjaan membawa
hasil yang hebat. Hamba memuja-Mu
sebagai pemberi anugerah dan
penerangan.
Om pertama suda, dwitya suda,
tritya suda, catur tasuda,
panca misuda, sad tisuda, sapta
misuda
Om subem wariastu tatastu ya
namah suaha.
Om siwa amerta ya namah suaha.
Om sada siwa amerta ya namah
suaha.
Om prama siwa amerta ya namah
Ya, Tuhan, yang menyucikan hingga
tahap ketujuh, semoga semua
berbahagia.
Ya Tuhan, hamba memuja-Mu
sebagai Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa
dan perwujudan lain. Bersihkanlah
hamba dan sucikanlah pikiran,
349
suaha.
Om candra amerta ya namah
suaha.
Om gangga amerta ya namah
suaha,
Om siwa sudamam suaha,
Om sudam suaha,
Om suasti sudamam suaha.
Ong rang ring sah parama siwa
amerta ya namah suaha
perkataan dan perbuatan hamba.
Hormat hamba pada Tuhan Yang
Maha Pemberi.
Om jnana astra sarining empu
wisesa
Segau angluaraken
tepung tawar amunahaken sebel
kandel ya namah suaha
Ya, Tuhan Yang Maha Bijaksana.
Sebagai sumber kebenaran Engkau
dapat menghapus setiap cemar dan
kotor.
Om adityasyaparam joti
rakta teja namastute
sweta pangkaja madhyasta
bhaskara ya namostute
Om dewa dewi mahasidi
yajnana nirmalatmaka,
laksmi sidhisca dirgayuh,
nirwigna sukha werdisca
Om awignam astu nama sidayam.
Ya, Tuhan dalam wujud sinar
matahari merah di tengah teratai
putih. Warnamu menyala hebat.
Hamba menghormati dan memuja-
Mu.
Ya, Tuhan dalam perwujudan dewa-
dewi yang maha sidi dan berjnana
suci. Berikanlah hamba kebahagian,
kesempurnaan dan panjang umur.
Semoga terbebas dari rintangan, dan
mendapat kebahagiaan dan kemajuan
atas anugerah Tuhan.
Isi
Om adi betara Wisnu, adi betara
Brahma, adi betara Mahadewa, adi
betara Iswara,
Adi ngiring kemit ragan beline
Beli nunasang jagat mangda sadia
rahayu
Diastun beli ngelah roban mangda
sadia rahayu.
Ngiring adi nguningang ring Ida.
„Ya, Tuhan semoga apa yang hamba
kerjakan menemui keberhasilan. Adik
batara Wisnu, adik batara Brahma,
adik batara Mahadewa, adik batara
Iswara. Adik mari jaga raga kakak.
Kakak memohonkan kebahagiaan
jagat raya. Sekalipun kakak punya
saudara semoga mereka bahagia. Mari
adik memohonkan kepada beliau‟.
350
Titiang damuh cokor I Dewa
titiang bakti,
iwang antuk bakti
titiang nglungsur sinampura
Titiang nglungsur jagate sami
mangda aman tentrem,
mangda tan wenten kekacauan
punapa punapi.
Diastun titiang madue roban
mangda mangguh kerahajengan.
Mangda ledang ida ngicen kesidian
„Saya hamba paduka. Hamba bhakti.
Kalaupun ada yang tidak berkenan
mohon dimaafkan. Hamba memohon
maaf karena berani mengajukan
permohonan demi ketentraman dunia
dan terhindar dari segala bentuk
kekacauan. Begitupun sanak saudara
hamba agar memperoleh kebahagiaan.
Semoga Tuhan berkenan memberi
kesidian‟
Sane mangkin titiang nunas ring
ida meraga Hyang Kuasa.
Titiang nunas sarining paneduhan
pingit. Titiang nunas sabeh merta
santukan metetanduran panjak
druene kirangan toya.
„Sekarang hamba mohon pada Tuhan
Yang Maha Kuasa. Hamba mohon
anugerah kemampuan memanggil
hujan yang jitu. Permohonan itu
hamba peruntukkan bagi tanaman
rakyat paduka yang layu, kekurangan
air‟.
Ih I Ratu Ngurah Tangkeb Langit
ngadeg
Titiang nunas ujan mangda dados
merta.
Titiang nyelang pepatih druene.
Ngadeg Gusti Wayan Teba, ngadeg
Gusti Gade Jelawung, ngadeg
Gusti Nyoman Pengadangadang,
ngadeg Gusti Ketut Petung. Titiang
nunas tulung pacang nunas sabeh.
„Wahai Ratu Ngurah Tangkeb Langit
hadirlah. Hamba mohon hujan untuk
menghidupkan. Hamba meminjam
patih paduka.
Hadirlah Gusti Wayan Teba
Hadirlah Gusti Made Jelawung
Hadirlah Gusti Nyoman
Pengadangadang, Hadirlah Gusti
Ketut Petung.
Hamba mohon bantuan untuk
mengundang hujan.
Ih I Gusti Wayan Teba ngadeg
Simpen genine ireng
Medalang kerug tatit
Unggahang empas segarane
mangda ngebek penuh ring
ambara.
Gusti Wayan katuran ketipat
dampulan mabe taluh
mepanggang.
Wahai Gusti Wayan Teba bangkitlah.
Simpanlah api hitam. Keluarkan
gemuruh dan kilat. Naikkan kura-kura
laut agar memenuhi angkasa. Untuk
Gusti Wayan hamba persembahkan
ketupat dampulan dan telur panggang
351
Ih Gusti Made Jelawung ngadeg.
Simpen genine bang
Sehananing entikan gulem mangda
tumbuh
Gusti Made katurang ketipat
kelanan mabe taluh mapindang.
Wahai Gusti Made Jelawung
bangkitlah. Simpan api hitam. Semua
bakal mendung agar tumbuh. Untuk
Gusti Made dipersembahkan ketupat
kelanan dan telur pindang
Ih Gusti Nyoman
Pengadangadang, ngadeg
Simpen genine kuning sehananing
entikan gulem mangda tumbuh.
Gusti Nyoman katuran ketipat gong
mabe taluh bekasem.
Wahai Gusti Nyoman
Pengadangadang bangkitlah. Simpan
api kuning. Semua bakal mendung
agar tumbuh. Untuk Gusti Nyoman
dipersembahkan ketupat gong dan
telur asin.
Ih Gusti Ketut Petung ngadeg.
Simpen genine putih
Tutup bayu bebiyunge, sehananing
entikan gulem mangda mapulpul
ring ambara
Gusti Ketut katuran ketipat gangsa
mabe taluh angsa maguling.
Wahai Gusti Ketut Petung bangkitlah.
Simpan api putih. Hentikan putaran
angin. Semua bakal mendung agar
berkumpul di angkasa. Untuk Gusti
Ketut dihaturkan ketupat gangsa dan
telur angsa guling.
Ih Ratu Ngurah Tangkeb Langit,
tutup sampun keluwung genine
maring ambara, mangda tumbuh
sehananing gulem ring ambara.
Titiang nunas cakra sudarsana
mangda munggah ring ambara,
muter sahananing gulem manadi
hujan.
Ratu Ngurah katuran saji punjung
maiwak ayam sekuning mabetutu.
Wahai Gusti Ngurah Tangkeb Langit
tutuplah pipa api di angkasa. Agar
semua bakal mendung tumbuh di
angkasa. Hamba mohon roda
Sudarsana agar dinaikkan ke angkasa
memutar semua mendung menjadi
hujan. Untuk Ratu Ngurah dihaturkan
saji punjung dan ayam betutu.
Penutup
Om sidhirastu tatastu werdiastu
Om.
Om shanti shanti shanti Om
Ya, Tuhan, semoga upaya ini berhasil
dan memberi kebahagiaan pada
semua.
Ya, Tuhan, semoga semua mahluk
hidup dengan damai.
352
5. Foto Penelitian
Genangan air dipompa untuk ladang Bak penampungan air sumur
Dam Pelara, Lunyuk Akses jalan ke Buin Rare, Plampang
Kerja bakti pembangunan pura Teluk Santong
353
Neduh di Plampang Sarana nyuh gadang dicemplungkan
ke air
Rerajahan empas maongkara Sembe layar
Nyelang Galah di Utan Wawancara dengan informan