353
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Praktik tolak dan panggil hujan tidak hanya dikenal oleh etnis lingkup Nusantara, tetapi juga etnis manca negara. Media mencatat beberapa praktik tolak dan panggil hujan, di antaranya, pelaksanaan tolak hujan pada pembukaan Olimpiade Beijing tahun 2008, tradisi petani bertelanjang dada untuk memanggil hujan di Bihar India, ritual tancap keris di Batangan, tolak hujan di Lampung, atau nerang di Bali. Terminologi yang digunakan untuk merujuk pada teks tolak dan panggil hujan mulai dari antisipasi, modifikasi, rekayasa, pengendalian, menahan dan menangkis hujan, sampai pada cuaca buatan (http://www.antaranews.com). Sebagian besar dari praktik itu bersifat ritual kedaerahan dan diikuti oleh seluruh warga setempat. Akan tetapi, keterlibatan warga tidak diikuti dengan pemahaman struktur dan makna tuturan yang dilantunkan. Kesenjangan inilah yang menjadi pendorong bagi penulis untuk mengangkat teks fungsional tolak dan panggil hujan dalam bentuk penelitian. Dalam skala nasional, modifikasi cuaca diselenggarakan oleh Badan Pengajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerjasama sama dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Badan itu menerapkan teknik rekayasa cuaca dengan menyemai garam Natrium Klorida yang berukuran 30-100 mikron. Garam dalam jumlah besar itu bersifat mengikat mendung sehingga dapat jatuh pada daerah yang direncanakan. Hujan buatan itu biasanya dilaksanakan

inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

  • Upload
    voanh

  • View
    414

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Praktik tolak dan panggil hujan tidak hanya dikenal oleh etnis lingkup

Nusantara, tetapi juga etnis manca negara. Media mencatat beberapa praktik tolak

dan panggil hujan, di antaranya, pelaksanaan tolak hujan pada pembukaan

Olimpiade Beijing tahun 2008, tradisi petani bertelanjang dada untuk memanggil

hujan di Bihar India, ritual tancap keris di Batangan, tolak hujan di Lampung,

atau nerang di Bali. Terminologi yang digunakan untuk merujuk pada teks tolak

dan panggil hujan mulai dari antisipasi, modifikasi, rekayasa, pengendalian,

menahan dan menangkis hujan, sampai pada cuaca buatan

(http://www.antaranews.com). Sebagian besar dari praktik itu bersifat ritual

kedaerahan dan diikuti oleh seluruh warga setempat. Akan tetapi, keterlibatan

warga tidak diikuti dengan pemahaman struktur dan makna tuturan yang

dilantunkan. Kesenjangan inilah yang menjadi pendorong bagi penulis untuk

mengangkat teks fungsional tolak dan panggil hujan dalam bentuk penelitian.

Dalam skala nasional, modifikasi cuaca diselenggarakan oleh Badan

Pengajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerjasama sama dengan Badan

Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Badan itu menerapkan teknik

rekayasa cuaca dengan menyemai garam Natrium Klorida yang berukuran 30-100

mikron. Garam dalam jumlah besar itu bersifat mengikat mendung sehingga dapat

jatuh pada daerah yang direncanakan. Hujan buatan itu biasanya dilaksanakan

Page 2: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

2

untuk meminimalisasi kebakaran hutan dan kepentingan pertanian. Teknologi

semai itu merupakan rekayasa percepatan hujan. Sementara itu, penyemaian

garam yang berukuran di bawah 10 mikron dapat dimanfaatkan untuk menggeser

daerah hujan sebagaimana dilakukan untuk menanggulangi banjir di ibukota

Jakarta. Jadi, teknik semai garam dapat digunakan untuk melokalisasi daerah

hujan. Untuk menolak hujan, BPPT telah memperkenalkan teknologi laser.

Mendung yang terpapar laser menjadi pecah dan selanjutnya diarahkan ke luar

daerah proteksi. Modifikasi hujan dengan pemanfaatan teknologi itu diakui

berkendala pada beaya operasional (http: //www.antaranews.com).

Sebelum munculnya rekayasa cuaca yang mengedepankan teknologi,

masyarakat Indonesia tampaknya sudah akrab dengan tradisi tolak dan panggil

hujan dan dilaksanakan dalam lingkup kedaerahan. Misalnya, masyarakat Lombok

menyelenggarakan tradisi Turun Taun „mohon hujan‟ menjelang musim tanam,

dengan iringan lirik berikut (http://www.sumbawanews.com) (terjemahan oleh

penulis).

…Turun taun léq Gedong Sari,

turun tahun PREP Gedong Sari

„Turun hujan dari Gedong Sari‟

Mumbul katon suarga mulia,

menyembur tampak sorga mulia

„Semburan hujan laksana sorga mulia‟

Langan Dé Sida Allah nurunang sari,

PREP HON Tuhan turunkan sari

„Berkah rahmat Tuhan menurunkan kebahagiaan‟

Sarin merta sarin sedana…

kebahagiaan material kebahagiaan finansial

„Sumber kebahagiaan hidup‟

Page 3: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

3

Tradisi tolak hujan juga dikenal dalam tradisi Kejawén (Jawa).

Permohonan dilakukan dengan mendirikan sapu lidi yang ditusukkan cabai dan

bawang merah, diiringi doa berikut (http://www.pranaindonesia.wordpress.com)

(terjemahan oleh penulis).

Niat ingsun ora ngadekaké sapu biasa,

niat 1 TG NEG -berdiri sapu biasa

„Niat hamba bukan sekedar mendirikan sapu biasa‟

Nanging sapu jagat kanggo ngresiki mendhung,

KONJ sapu jagat PREP -bersih mendung

„Tetapi sapu jagad yang mampu membersihkan mendung‟

Udan lan angin saka daérah ……..

hujan KONJ angin PREP daerah ….

„Hujan dan angin di wilayah ….‟

dibuang menyang ……..

buang-PAS PREP

„Dipindahkan ke daerah …….‟

sawetara wektu …. .

sementara waktu

„Untuk jangka waktu ……‟

saking kersaning Allah ingkang murbéng jagad…

PREP berkah Tuhan REL -kuasa alam

„Ini terjadi atas berkah Tuhan, Penguasa Semesta Alam‟

Dibandingkan dengan budaya etnis Jawa dan Sasak, etnis Bali dikenal

paling sering melakukan ritual sejenis. Praktik nerang „tolak hujan‟ bahkan dapat

ditemukan pada hampir di setiap acara besar di perkotaan atau pedesaan. Nerang

dilakukan dengan sarana sajen, rerajahan „simbol‟ dan bahasa. Secara empiris,

ritual tolak hujan itu dapat ditemukan pada kegiatan keagamaan yang berskala

kelompok, banjar, desa, hingga wilayah yang lebih luas. Pada upacara piodalan

Page 4: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

4

„perayaan pura‟, pawiwahan „pernikahan‟, pasolahan „pementasan‟, pamelastian

„penyucian arca‟, pawintenan „penyucian diri‟, atau acara luar ruangan lainnya,

ritual nerang „tolak hujan‟ selalu dilaksanakan. Dalam perkembangannya, nerang

bahkan juga dimanfaatkan sebagai proteksi acara nonreligi, seperti pelantikan

pejabat, pergelaran seni budaya, pesta olahraga, pembukaan hotel, pembuatan

tanggul hingga pengecoran bangunan bertingkat. Sejalan dengan popularitas teks,

juru terang atau tukang terang „pawang hujan‟ menjadi label yang disandangkan

pada partisipan kunci (Wawancara dengan Ketua PHDI Bali).

Tingginya frekuensi pelaksanaan teks tolak hujan di Bali tampak tidak

sejalan dengan pengetahuan publik. Artinya, warga masyarakat yang kerap terlibat

dalam teks nerang „tolak hujan‟ tetap tidak memiliki pengetahuan yang memadai

tentang struktur tuturan yang dilantunkan maupun fungsi simbol-simbol yang

digunakan oleh tukang terang. Jadi, perlu ditelusuri pemicu kesenjangan antara

keterlibatan fisik dengan logika pengetahuan terhadap teks.

Menurut Badra (2001) salah satu pemicu keterbatasan pengetahuan publik

terhadap teks ritual tolak dan panggil hujan ialah adanya peringatan keras yang

membatasi semua pihak untuk membicarakannya. Peringatan yang dimaksud di

antaranya: (a) aywa wéra, ila-ila dahat „jangan gegabah, sangat berbahaya‟, (b) iti

kawruhan dahat pingit „ini ilmu yang sangat rahasia‟, (c) yén tan tatas wruha,

away wéra „jika belum menguasai dengan saksama, jangan gegabah, sangat

membahayakan‟, dan (d) rahasya temen, aywa wruhakena wong liyan „benar-

benar rahasia, jangan diperbincangkan dengan orang lain‟. Para penguasa ilmu

panrangan „tolak hujan‟ tidak diperkenankan memperbincangkannya karena

Page 5: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

5

dapat mengurangi keampuhan ilmu tersebut. Pelanggar peringatan juga dapat

dijatuhi danda utpatta „denda atau hukuman‟ berupa gangguan kesehatan,

kebocoran keuangan, atau kesulitan komunikasi. Dengan demikian, regularitas

pelaksanaan teks tidak berdampak signifikan pada kognisi, dan penelitian ini

diharapkan dapat menjembatani kondisi tersebut.

Sejauh ini, pemerhati budaya Bali memandang teks tolak dan panggil hujan

sebagai aktivitas mistis, klenik, dan berkaitan dengan unsur gaib. Hooykaas

(1980: 35) mengklasifikasikan praktik pengendalian hujan etnis Bali sebagai salah

satu praktik sorcery „ilmu sihir‟. Pandangan itu didukung oleh Warna (1993: 706,

764, 721) yang menegaskan bahwa ritual tolak dan panggil hujan

memformulasikan kekuatan gaib. Di sisi lain, Suyadnya (2006: 10) menyatakan

bahwa teks tolak dan panggil hujan mengandung nilai keseimbangan elemen

mistis oposisional. Pelaksanaan teks panggil dan tolak hujan diyakini bersumber

pada ajaran Rwa Bhinnéda. Rwa berarti „dua‟ dan Bhinnéda berarti berbeda.

Secara bebas Rwa Bhinnéda mengandung makna dua elemen oposisional untuk

menjaga keseimbangan. Ajaran Rwa Bhinneda mengajarkan bahwa secara

alamiah setiap entitas memiliki sifat kebendaan dan energi. Energi yang

terkandung di dalam suatu benda merupakan motor penggerak dari kondisi

tertentu menuju kondisi lainnya. Demikianlah setiap entitas di dunia dipercaya

memiliki dua sisi yang berlawanan, seperti terang-gelap, manis-pahit, panas-

teduh, siang-malam, dan sebagainya. Badra (2001: 32) menegaskan bahwa teks

panggil dan tolak hujan bersifat pingit „rahasia‟ dan tabu untuk diperbincangkan

secara terbuka. Lebih jauh, Badra (2009: 56) mengklasifikasikan teks panggil dan

Page 6: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

6

tolak hujan sebagai Kanda „ilmu kedigjayaan atau kesaktian‟. Terkait dengan

label sihir, mistis, pingit atau digjaya yang disandangkan pada teks, dipandang

perlu mengungkapkan seluk-beluk teks agar dapat dipahami secara holistik, mulai

dari fase persiapan hingga pascateks, menyangkut skema fungsi, skema tahapan,

struktur bahasa, makna ujaran, dan aspek lainnya. Dengan kata lain, penelitian

diharapkan dapat membantu pemahaman penutur Bahasa Bali ataupun penutur

yang memiliki bahasa dan budaya yang berbeda terhadap teks panggil dan tolak

hujan.

Pemilihan komunitas transmigran sebagai subjek penelitian dilatarbelakangi

oleh munculnya kontroversi pemertahanan kebiasaan dengan perubahan perilaku

kelompok transmigran di daerah yang baru. Hasil penelitian Satyawati (2009),

Mbete (1990), Putra (2010), Jamarani (2009), dan Malini (2011) menunjukkan

aspek pemertahanan tradisi dan bahasa yang dibawa dari daerah asal tetap

dilestarikan di daerah yang baru. Sebaliknya, penelitian Wolf dan Liebert (2001)

menunjukkan aspek perubahan sejalan dengan waktu dan kondisi lingkungan.

Satyawati (2009) dalam penelitiannya yang mengambil lokasi di Kabupaten Bima,

Sumbawa menyatakan bahwa Bahasa Bali bertahan hidup di antara dua bahasa

mayoritas yang dituturkan oleh penduduk asli Pulau Sumbawa. Komunitas

transmigran Bali tetap memelihara bahasa daerahnya di sentra pemukiman

sebagai bahasa penghubung internal kelompok. Sekalipun berstatus minoritas,

Bahasa Bali tidak ditinggalkan dan tetap menjadi media sosial di lingkungan

warga transmigran Bali. Sementara itu, penelitian Mbete (1990) yang bersifat

historis komparatif menunjukkan kaitan historis antara Bahasa Bali-Sasak-

Page 7: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

7

Sumbawa. Dari sudut genetis ditemukan adanya hubungan kekerabatan ketiga

bahasa yang dibuktikan melalui penelusuran protobahasa. Dalam rekonstruksi

protobahasa, terdapat hubungan genetis yang dekat dengan kekerabatan rerata

mencapai 60%. Pada periode berikutnya, bahasa tersebut menunjukkan variasi

terpilah menjadi Bahasa Bali dan Bahasa Sumbawa-Sasak yang direalisasikan

dalam bentuk variasi tataran leksikon dan kelompok kata. Dengan demikian, ada

kemungkinan Bahasa Sumbawa dapat diadopsi oleh transmigran yang berbahasa

Bali atau Sasak. Penelitian Putra (2010) terkait tentang perjalanan siar Dang

Hyang Dwijendra dari Jawa ke Sumbawa mengungkapkan hubungan Bali-

Lombok-Sumbawa secara religius. Hubungan Jawa dan tiga pulau di bagian

timurnya secara historis telah terbina sejak masa kekuasaan kerajaan Majapahit

yang dibuktikan dengan peristiwa sejarah penyambutan masyarakat Sumbawa di

pura Agung Tambora. Dengan demikian, pengenalan budaya Hindu Majapahit

yang sudah masuk ke Sumbawa pada abad ke 14 berpotensi memudahkan proses

adaptasi antaretnis. Mencermati kebiasaan transmigran, Jamarani (2009)

mengungkapkan bahwa migrasi menjadi solusi mengatasi berbagai tekanan, salah

satunya adalah tekanan ekonomi. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari

imigran Iran yang bermigrasi ke Australia, Jamarani menemukan tiga motivasi

utama migrasi, yaitu (a) motivasi personal, seperti perkawinan, (b) motivasi sosial,

seperti mencari pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik, dan (c) motivasi politis,

seperti perbedaan politik dengan penguasa. Bersamaan dengan perpindahan

tempat tinggal tersebut, terjadi pula proses akulturasi dan adaptasi identitas pada

aspek kebiasaan, budaya, dan pandangan. Faktor pemertahanan kebiasaan juga

Page 8: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

8

ditemukan oleh Malini (2011) pada komunitas Bali yang telah lebih dari setengah

abad bermukim di Lampung. Ranah ritual dan tradisi daerah asal yang bersifat

religius tetap dilestarikan. Jadi, pemertahanan cenderung dilakukan pada ranah-

ranah sensitif.

Di sisi lain, Wolf dan Liebert (2001) yang berfokus pada kajian

ekolinguistik menemukan bahwa dimensi waktu, tempat, dan pemenuhan

kebutuhan vital merupakan pemicu perubahan persepsi dan kebiasaan. Secara

kronologis, persepsi baru pada aspek kognitif diterima dan selanjutnya dijadikan

acuan dalam proses adaptasi. Persepsi kontekstual itu berdampak pada perubahan

perilaku. Hal itu dibuktikan dengan mencermati perubahan perilaku manusia

terkait pemenuhan kebutuhan air. Sumber pasokan air dari mata air dan sungai

menuju ke institusi menggeser persepsi yang bersifat sosio-historis konkrit

menuju titik abstrak. Kepedulian terhadap alam dan cinta lingkungan bergeser

menjadi anti ekologi, anonimis, objek keilmuan, dan pandangan barang bebas

pakai. Pada periode komersial yang lebih buruk, air bahkan disejajarkan dengan

uang, seperti ungkapan money tap „keran uang‟ atau money well „sumur uang‟.

Jadi, pemenuhan kebutuhan manusia akan air dinyatakan sebagai pemicu

perubahan kognisi dan perilaku.

Bila dicermati tampak adanya keterpilahan hasil penelitian. Kelompok

peneliti pertama menemukan bahwa perbedaan geografis antara daerah asal dan

daerah transmigran cenderung tidak mengubah kebiasaan dan pelaksanaan tradisi.

Akan tetapi, dua peneliti terakhir menemukan bahwa fenomena pemenuhan

kebutuhan vital, dalam hal ini air, berpotensi mengubah kognisi dan perilaku.

Page 9: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

9

Kontroversi itu menarik untuk ditelusuri melalui pengungkapan kebiasaan

transmigran menghadapi krisis air. Masa pemukiman transmigran Bali yang telah

berlangsung lebih dari 40 tahun di Kabupaten Sumbawa dapat dillihat sebagai

waktu yang cukup lama untuk mengaji pemertahanan tradisi sensitif, khususnya

teks yang bertalian dengan pemenuhan kebutuhan air.

Di samping pertimbangan di atas, pemilihan subjek penelitian didorong

oleh beberapa pertanyaan yang menggelitik, di antaranya: (a) apakah kelompok

transmigran Bali masih melestarikan tradisi tolak dan panggil hujan? (b) apakah

teks dipimpin oleh seorang datuk, sanro atau juru terang? (c) apakah tuturan yang

dilantunkan disampaikan dalam satu bahasa daerah atau dikombinasikan dengan

Bahasa Indonesia dan bahasa daerah lain? (d) bagaimana cara memprediksi

keberhasilan teks? dan (f) siapa yang membantu terkabulnya permohonan

sehingga seseorang dimungkinkan dapat memanggil atau menolak hujan?

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian teks Neduh ‟panggil hujan‟ dan Nyelang

Galah ‟tolak hujan‟ komunitas transmigran Bali yang selanjutnya disingkat

TNNGB dirumuskanlah sebagai berikut.

(1) Bagaimanakah struktur skematik TNNGB?

(2) Bagaimanakah struktur modus dan diatesis klausa TNNGB ?

(3) Bagaimanakah struktur transitivitas TNNGB?

(4) Bagaimanakah struktur tematis dan sistem referensial TNNGB?

Page 10: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

10

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat dirinci menjadi dua bagian, yakni, tujuan

umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini ialah memberikan

gambaran TNNGB secara utuh. Dengan demikian, TNNGB dapat dipahami bukan

saja oleh komunitas penutur Bahasa Bali, tetapi juga oleh penutur bahasa lain

yang memiliki bahasa daerah dan budaya berbeda. Penggambaran mendalam itu

diharapkan dapat menjelaskan seluk-beluk pelaksanaan teks panggil dan tolak

hujan komunitas Bali sehingga dapat menghindari munculnya salah tafsir dari

komunitas yang memiliki sudut pandang berbeda. Untuk mencapai tujuan itu,

peneliti meneropong teks panggil dan tolak hujan sebagai teks, dalam arti, kajian

difokuskan pada persoalan kebahasaan, sedangkan simbol-simbol yang dilibatkan

tidak menjadi pembahasan utama.

Dari dimensi budaya, penelitian ini bertujuan mengungkapkan fenomena

budaya etnis Bali dalam hal melangsungkan mata pencaharian bertani di daerah

yang minim curah hujan. Tipe lahan olahan tadah hujan diprediksi dapat

memunculkan persepsi dan budaya bertani yang khas. Penelitian ini juga

dimaksudkan untuk mengedepankan kearifan dalam upaya pengembangan potensi

alam dan konservasi lingkungan.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pijakan bagi penelitian sejenis

pada etnis lain untuk memperoleh gambaran lintas budaya. Penelitian dapat

dijadikan bahan bagi penerbitan rekayasa teks tolak dan panggil hujan komunitas

Bali. Pemilihan lokasi tadah hujan ditujukan sebagai tolak pikir penerbitan

rekayasa teks keairan yang dapat dikaitkan dengan upaya konservasi hutan dan

Page 11: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

11

tanah. Pelestarian sumber air dan hutan dalam skala luas dapat diharapkan

memberi kontribusi pada upaya minimalisasi global warming ‟pemanasan global‟

yang tengah menjadi agenda internasional.

Dari dimensi teori, penelitian yang berlandaskan teori Linguistik Sistemik

Fungsional (LSF) ini dimaksudkan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan

teori linguistik sekaligus menguji kemampuan teori yang menurut penggagasnya

mampu mengungkap teks berbagai bahasa dengan indikator spesifik. Dengan kata

lain, penelitian ini dapat menjadi pembuktian keunggulan dan pengembangan

teori.

Secara khusus, penelitian ini diharapkan mampu memberi jawaban yang

memadai atas permasalahan yang telah dirumuskan. Tujuan khusus penelitian ini

dapat diformulasikan sebagai berikut:

(1) mendeskripsikan struktur skematik TNNGB;

(2) menganalisis struktur modus dan diatesis klausa TNNGB;

(3) memerikan struktur transitivitas TNNGB;

(4) mendeskripsikan struktur tematis dan sistem referensial TNNGB.

Tujuan khusus di atas dapat dijabarkan sebagai berikut. Pada persoalan

struktur skematis, penelitian ini ditujukan untuk memperoleh gambaran tata

pelaksanaan teks, baik dilihat dari struktur kebahasaan, tahapan, fase, maupun

fungsi khusus yang diperankan oleh satuan-satuan tertentu. Dengan deskripsi itu

penelitian ini menyediakan informasi penahapan teks secara menyeluruh, baik

tahap-tahapan yang bersifat baku maupun penahapan yang dapat disesuaikan

dengan kondisi setempat. Penahapan dan fase dapat menjadi ciri khas transmigran,

Page 12: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

12

dan dapat berbeda dengan kebiasaan di tempat lain. Pembahasan struktur modus

dan diatesis ditujukan untuk memberi paparan tipe hubungan antarpelibat, baik

pelibat yang terlibat secara langsung maupun terlibat secara oblik atau struktur

pelibat yang wajib dan tidak wajib hadir. Tipe respon yang diharapkan oleh

pembicara dan modus yang dipilih untuk menyatakannya. Sementara itu,

pembahasan struktur diatesis ditujukan untuk menjelaskan fungsi gramatikal dan

elemen semantis yang ditonjolkan. Berian struktur transitivitas dimaksudkan

untuk memperoleh gambaran tipe teks berdasarkan proses-proses yang

mendominasinya. Artinya, tipe proses yang dominan dapat merujuk pada pola

nalar atau tipe pengalaman yang tipikal. Persoalan struktur tematis diharapkan

dapat memberi deskripsi konfigurasi metafungsi dalam membentuk keutuhan

pesan. Secara pragmatis, elemen yang ditonjolkan akan ditempatkan pada posisi

inisial. Sistem referensial dikaji untuk memperoleh gambaran sistem acuan dan

entitas yang kerap diacu dan dilibatkan agar permohonan terpenuhi. Sistem acuan

itu dapat bersifat intrateks dan antarteks.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat akademis (teoretis)

dan manfaat praktis. Secara akademis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan

rujukan atau referensi informasi, sumbangan pemikiran, dan acuan data

kebahasaan bagi penelitian teks budaya, baik budaya Bali maupun budaya etnis

lain.

Page 13: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

13

Penelitian ini diharapkan membawa manfaat bagi komunitas transmigran

khususnya merangsang pemertahanan tradisi dan Bahasa Bali, sekalipun latar dan

kondisi yang dihadapi berbeda dengan daerah asal. Pemertahanan bahasa ibu

sebagai bagian dari budaya masyarakat Bali diharapkan tetap terjaga sebagai jati

diri dan identitas kelompok sehingga dapat diperlakukan sejajar dengan kelompok

lain. Dengan identitas yang melekat pada setiap komunitas diharapkan tidak ada

pembedaan perlakuan terhadap kelompok pendatang dan kelompok asli.

Penelitian ini juga dimaksudkan mendorong transmigran untuk terus

berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dan menanamkan kebiasaan

tersebut kepada generasi berikutnya. Di samping itu, penelitian ini juga

diharapkan turut mendorong pengembangkan fungsi Bahasa Bali yang kini

berstatus minoritas di Sumbawa untuk dapat dipertimbangkan sebagai muatan

lokal kebahasaan di tingkat dasar, khususnya pada sekolah dasar di lingkungan

pemukiman Bali.

Terkait dengan mata pencaharian transmigran sebagai petani, penelitian ini

diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah dokumentasi teks pertanian sehingga

fungsi dan keberadaan teks terdokumentasi dengan baik. Dokumentasi teks

dipandang penting mengingat pelaksanaan teks panggil hujan dipercaya dapat

menghindarkan petani dari penundaan masa tanam dan kegagalan panen.

Sumbawa yang dikenal memiliki curah hujan yang kecil dapat diantisipasi dengan

memohon hujan sebagai penawar kemarau yang panjang. Peran serta seluruh

anggota transmigran dalam teks bersifat mempererat hubungan antara petani yang

Page 14: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

14

satu dan petani lainnya, antara petani dan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan antara

petani dan alam.

Secara spasial, wilayah transmigran diprediksi jarang dijadikan subjek

penelitian kebahasaan karena lokasinya terisolasi dan sulit dijangkau. Kesulitan

akses tampak merugikan kelompok transmigran yang turut mengambil peran

sebagai pendukung program pemerataan penduduk dan penyokong ketahanan

Nasional, termasuk berkontribusi dalam penyelamatan sumber alam dari upaya

eksploitasi. Kelompok transmigran merupakan motor penggerak pemberdayaan

potensi alam untuk memajukan pembangunan ekonomi daerah. Oleh sebab itu,

penelitian ini diharapkan dapat mengedepankan kelompok transmigran yang turut

andil dalam konservasi alam dan pembangunan sosial ekonomi. Manfaat lain

yang dapat diambil dari penelitian TNNGB ini ialah sebagai sarana untuk

mengetahui tradisi di daerah transmigran yang dapat menambah kekayaan

dokumentasi keberagaman budaya Nusantara.

Manfaat praktis yang dapat diambil dari permasalahan struktur skematis

teks ialah deteksi kepatutan pola pelaksanaan teks. Kementerian Agama

khususnya Bimas Hindu, PHDI, atau lembaga terkait lainnya dapat merevisi atau

menganjurkan pola yang patut. Pada persoalan gramatikal seperti struktur modus,

transitivitas, diatesis, tema, dan sistem acuan dapat ditarik manfaat pengetahuan

dan pengalaman yang dibutuhkan dalam prosesi teks tolak dan panggil hujan.

Pada akhirnya, deskripsi teks diharapkan dapat menetralisir tuduhan sebagai

pemuja berhala.

Page 15: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Pengantar

Sejauh ini, satu-satunya pustaka yang secara langsung menyinggung teks

tolak dan panggil hujan adalah Drawings of Balinese Sorcery (Hooykaas, 1980).

Hooykaas menampilkan berbagai gambar untuk menangkal dan mengundang

hujan. Akan tetapi, tampilan rerajahan „gambar‟ itu tidak dilengkapi dengan

kutipan tuturan yang dilantunkan. Berdasarkan pada penggunaan berbagai bentuk

sarana rerajahan yang berupa huruf atau gambar, aktivitas memanggil dan

menangkal hujan dikategorikan sebagai tindakan sihir (sorcery).

Sebagai acuan teoretis, penelitian TNNGB ini menggunakan beberapa

buku karya Halliday dan pengikutnya, di antaranya: (a) Exploration in the

Functions of Language (1973), (b) Cohesion in English (1975), (c) Language as

Sosial Semiotic (1978), (d) Language, Context and Text: Aspects of Language in a

Social Semiotics Perspective (1985), (e) An Introduction to Functional Grammar

(1985), (f) An Introduction to Functional Grammar (2004), dan (g) An

Introduction to Systemic Functional Grammar (1994).

2.2. Kajian Pustaka

Untuk meneropong fenomena yang diteliti, penelitian ini mengangkat

beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai bahan kajian pustaka. Kajian pustaka

Page 16: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

16

dipilah menjadi tiga kategori, yakni (a) penelitian dengan objek teks magis, (b)

penelitian dengan teori sejenis, dan (c) penelitian terkait permasalahan. Penelitian

yang dimaksdud meliputi Hooykaas (1961, 1980), Usman (2009), Rasna (2010),

Arfinal (2004), Setia (2008), Sutama (2010), Sutjaja (2011), Pastika (2002), dan

Netra (2011).

2.2.1 Penelitian teks magis

Penelitian Hooykaas (1961) yang diterbitkan dalam buku berjudul Ritual

Purification of A Balinese Temple menyatakan bahwa sistem purifikasi di Bali

diawali dengan memercikkan tirta suci (springkling holy water). Pola purifikasi

pada setiap ritual dimulai dari pembersihan diri pemimpin upacara, areal upacara,

sarana upacara dan partisipan. Setelah tahapan purifikasi usai, barulah upacara

pokok boleh dilaksanakan. Sebagai sarana purifikasi digunakan sarana

pangresikan ‟pembersihan‟ berupa lis dalam berbagai varian bentuk, seperti lis

isuh-isuh, lis gede, lis teteg, atau lis pemanggang. Secara umum, lis terdiri atas

berbagai bentuk rangkaian janur yang merupakan simbol dari bagian tubuh

manusia dan isi alam semesta. Adapun bagian tubuh manusia yang ditemukan

pada lis, di antaranya: tangkar ‟dada‟, basang wayah ‟usus besar‟, basang nguda

‟usus halus‟, entud ‟lutut‟, prarai ‟wajah‟ dan tendas ‟kepala‟. Tumbuhan dan

hewan diwakili oleh ancak ‟pohon ancak‟, bingin ‟beringin‟, kukun kambing

‟kuku kambing‟, dan sebagainya. Berikut contoh saa ‟doa pemujaan‟ yang

digunakan pada proses purifikasi (Hooykaas, 1961: 16) (terjemahan oleh penulis).

Page 17: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

17

a. Puniki titiang ngaturang lis teteg, lis pamanggang

DEM 1 TG -hatur NAMA

‟Hamba menghaturkan lis teteg, lis pamanggang‟

b. Busung maringgit, lad-ladan kukun kambing, talingan pangengeh

janur -ukir bekas kuku-DEF kambing hiasan pinggir

‟Janur berukir, hiasan berupa kuku kambing, pola hiasan lain‟

c. Tangga menek tangga tuun, waduk, pepusuhan, tulud

tangga -naik tangga ø- turun perut pusar ø-dorong

‟Tangga naik, tangga turun, perut, jantung, dan pembersih‟

d. Anuludaken lara pataka, ning janma manusa punika

dorong lara petaka PREP orang manusia DEM

‟Membersihkan lara petaka manusia‟

e. Pakulun mangkin ngaturang paduka Batara tumurun

1 TG Sirk -hatur HON Batara ø-turun

‟Hamba sekarang memohon agar paduka Batara turun‟

f. Angastrenin tirta Kamandalu, uriping Batari Gangga

sucikan air suci NAMA hidup NAMA

‟Menyucikan tirta Kamandalu diberkati Batari Gangga‟

g. Winadahan kundi manik ...

tempat kendi manik

‟Ditempatkan dalam kendi bermanik‟

Bait doa di atas merupakan pengharapan yang ditujukan kepada Tuhan

Yang Maha Kuasa untuk membersihkan manusia dan lingkungan dari lara petaka.

Tirta Kamandalu ‟air suci‟ yang dipercikkan dengan lis dipandang dapat

menyucikan manusia, sarana, dan lingkungan setempat dari semua debu, kotor,

cela, dan noda. Lis juga merupakan simbol kekuasaan imajinatif yang

menjembatani dunia nyata dengan dunia tak kasatmata, melalui tangga menek

‟tangga naik‟ dan tangga tuun ‟tangga turun‟. Pada prosesi ritual, lis pertama kali

dipercikkan pada stana Batara Surya ‟Dewa Matahari‟, diteruskan pada stana

Page 18: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

18

dewa lainnya, sarana upacara, dan partisipan. Hooykaas menemukan bahwa etnis

Bali sangat yakin terhadap kekuasaan imajinatif yang dilambangkan dengan

percikan tirta, bahkan lis dipadankan dengan Sang Hyang Janur Kuning, yakni

dewa penguasa empat penjuru dunia yang terdiri atas Hyang Brahma, Hyang

Wisnu, Hyang Mahadewa, dan Hyang Siwa. Bentuk lis yang menyerupai pohon

beringin dengan akar berjuntai dipandang sebagai pohon pengharapan yang dapat

membawa kebaikan, keindahan, harapan, dan keberuntungan. Melalui

pembersihan itu diyakini setiap jengkal area, sarana, dan partisipan dibersihkan

kembali. Proses purifikasi juga dinyatakan sebagai cara ngadegang Siwa Brahma

‟memohon kuasa Tuhan‟ untuk membersihkan seisi dunia. Dengan demikian,

dapat diprediksi bahwa teks panggil dan tolak hujan juga memformulasikan tahap

purifikasi sebelum memasuki inti permohonan.

Dalam buku berikutnya yang diberi judul Drawings of Balinese Sorcery,

Hooykaas (1980: 45) mengklasifikasikan panrangan ‟tolak hujan‟ dan

pangujanan ‟panggil hujan‟ dalam kategori keeping watch, change and defence

‟penjaga, pengubah, dan bela diri‟. Tolak hujan dipadankan dengan the art of

clearing the sky ‟ilmu membersihkan langit‟, sedangkan panggil hujan dipadankan

dengan the art of making wind and rain ‟ilmu membuat angin dan hujan‟. Mantra

tolak dan panggil hujan merupakan gabungan antara mantra dan sarana teks.

Sarana yang dimaksud mencakup sajen dan rerajahan ‟gambar‟ yang biasanya

terdiri atas huruf atau figur. Untuk fungsi menolak hujan dapat digunakan

gambar figur Bhatara Yama ‟dewa penguasa surga yang mengadili roh setelah

melewati batas akhir hidup‟, Singambara ‟singa terbang‟ ataupun rerajahan

Page 19: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

19

‟gambar‟ berbentuk lingkaran, persegi dan bentuk lainnya. Pada teks pangujanan

‟mengundang hujan‟ dapat digunakan rajahan Bhatara Guru, Bhatara Wisnu,

Hanoman ‟kera putih‟, atau Bhima ‟tokoh sakti dari Pandawa lima‟. Figur lain

yang sering dimunculkan adalah Demung Dodokan ‟dewa naga laut‟, Kalarau,

Yuyu ‟kepiting‟, Kodok ‟kodok‟, Dewa Langit Arsa Telu ‟dewa langit berkepala

tiga‟, atau Naga Nguyup Matanai ‟naga menelan matahari‟. Hooykaas

menyatakan bahwa praktik tolak hujan dapat digunakan sebagai proteksi

pertunjukan wayang kulit.

Hooykaas menampilkan berbagai bentuk rerajahan ‟gambar‟ yang jarang

diketahui publik. Penerbitan gambar-gambar figur sihir dari Bali tersebut

mencerminkan bahwa pengetahuan yang dipandang tabu telah digeser melalui

publikasi tingkat internasional. Dengan kata lain, terjadi kontroversi bahwa teks

dijaga ketat dari jangkauan penduduk lokal, tetapi dibuka lebar bagi peneliti luar

negeri. Kontribusi penelitian Hooykaas adalah pemahaman fungsi proses

purifikasi, di samping peran sarana, gambar ‟rerajahan‟, tujuan, dan struktur

tuturan yang dilantunkan pada tahap pembukaan teks.

Usman (2009) dalam penelitiannya terhadap teks tawa ‟pengobatan‟ dalam

tradisi Minangkabau menyatakan bahwa tawa (mantra atau manto dalam Bahasa

Minangkabau) dipakai oleh para dukun untuk maksud tertentu, misalnya,

mengobati penyakit atau meminta bantuan makhluk gaib. Tawa bersifat sakral,

tabu untuk dilantunkan sembarangan, atau dipraktikkan tanpa seijin ‟sang guru‟

apalagi oleh orang yang tidak cukup dewasa. Struktur tematik tawa menyangkut

asal usul makhluk gaib, manusia, hewan, tumbuhan dan penyakit. Isi tawa

Page 20: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

20

cenderung bersifat tantangan, kutukan dan bujukan terhadap makhluk gaib agar

bersedia membantu. Inti dari kekuatan tawa bersifat mendalam dan harus

dilantunkan dengan prosodi tertentu. Tawa yang dilantunkan memiliki kekuatan

pada kata dan prosodi tertentu. Lantunan tawa dapat memanggil makhluk gaib dan

membujuknya untuk membantu proses penyembuhan. Ada kata yang harus

dilantunkan dengan nyaring dan kemudian tingkat kenyaringan menurun pada

silabis lain, atau ada suku kata yang dilantunkan lebih panjang dari suku lainnya.

Tawa selalu dikaitkan dengan fenomena sakit dan penyembuhan penyakit, baik

penyakit yang diakibatkan oleh hal logis maupun tidak logis. Dengan demikian,

tampaknya aspek kerja sama dengan makhluk gaib harus dicermati dalam upaya

memahami teks pangil dan tolak hujan.

Rasna (2010) dalam disertasinya tentang teks magis Aji Blegodawa

menyatakan bahwa teks Aji Blegodawa berhubungan dengan magis putih dan

magis hitam yang dibuktikan dengan kaitan konteks situasi dan budaya. Data yang

bersumber pada lontar tertulis sebagai korpus ditopang data sekunder dari praktisi

dikaji dengan kerangka teori Linguistik Sistemik Fungsional. Berdasarkan

penghitungan tipe proses, ditemukan bahwa proses material mendominasi

keseluruhan teks yang memiliki genre wacana prosedural tersebut. Dengan

demikian, diinterpretasikan bahwa prihal penestian berfokus pada tindakan atau

kejadian yang tidak dapat dilepaskan dari sirkumtan yang menerangkan cara,

tempat dan tujuan tindakan tertentu. Fungsi komunikasi lebih intensif dilakukan

dengan modus deklaratif dibandingkan dengan modus imperatif. Artinya, makna

keproseduralan teks direalisasikan dengan modus deklaratif yang menjalankan

Page 21: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

21

fungsi nontipikal. Temuan yang paling menonjol ialah ditemukannya nilai yang

merusak kehidupan seperti hasrat berkuasa, hasrat berprestasi tinggi dalam aliran

magis tertentu, nilai hedonisme yaitu rasa senang tanpa memperhitungkan

keadaan orang lain di samping nilai-nilai universal. Dengan demikian, teks

panggil dan tolak hujan harus diteliti dari aspek kemungkinan adaya nilai

hedonisme dan nilai yang merusak kehidupan.

2.2.2 Penelitian dengan Teori Sistemik

Arfinal (2004) dalam penelitiannya yang mengambil objek teks

Pasambahan Kematian menemukan bahwa analisis transitivitas teks kematian

didominasi proses material dan mental, di atas proses relasional, verbal, perilaku,

dan wujud. Dominasi pelibat ditempati oleh partisipan I dalam peran sebagai

Pelaku dan Pengindra, sedangkan partisipan II sebagian besar diisi oleh Tujuan

atau Fenomena. Ditinjau dari frekuensi jumlah proses, teks didominasi oleh

perbuatan nyata, misalnya lari, pergi, dan membunuh. Dominasi kedua ditempati

oleh proses mental yang bermakna afektif. Ekspresi sikap yang banyak

dimunculkan, antara lain, ekspresi suka, kesal, dan benci. Proses perilaku

(behavioral) yang menunjukkan tingkah laku pelibat muncul dalam leksikon,

seperti tersenyum, menangis, atau bersin. Proses relasional sebagai relasi

proyektor dapat diproyeksikan dalam bentuk frasa nominal. Proses verbal

dinyatakan sebagai proyeksi ungkapan pembicara yang sering dimunculkan

dengan menghadirkan sirkumtansi waktu, tempat, tujuan, atau cara. Dengan

Page 22: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

22

demikian, pemahaman teks harus didukung dengan temuan proses-proses

dominan yang merujuk pada ciri khas teks.

Setia (2008) yang menyoroti kasus peradilan terdakwa Bom Bali I

menemukan bahwa realisasi pengalaman terdakwa kasus Bom Bali I cenderung

berupa pernyataan atas peristiwa yang diketahui atau dilakukannya. Berdasarkan

frekuensi pemakaiannya, tipe proses yang paling dominan adalah proses material,

disusul tipe relasional, verbal, dan mental. Tipe proses mental yang dimunculkan,

di antaranya, bingung, terguncang, atau resah. Klausa ekspresi emosi itu

sesungguhnya merupakan tipe proses relasional dari sudut pandang yang berbeda.

Tingginya tingkat kekerapan penggunaan proses material secara ideologis

bermakna bahwa pertanyaan jaksa menuntut informasi objektif apa yang terjadi

dan apa dilakukan terdakwa dapat diamati dan dibuktikan. Terkait dengan

partisipan, ditemukan jenis partisipan insani dan noninsani dalam perbandingan

2,2 : 1 yang menunjukkan bahwa partisipan sangat berperan dan terlibat penuh

dalam proses peradilan. Teks peradilan itu menggunakan empat sirkumtansi

secara signifikan, yaitu keterangan penyerta, lokasi, cara, dan lokasi sebagai

dampak penggunaan bahasa dalam wacana hukum yang berlaku umum. Secara

ideologis, fenomena ini mengindikasikan bahwa orang yang pandai berbicara

berpeluang menguasai dan memenangkan perkara. Dengan demikian,

dimungkinkan keterampilan berbicara atau bernegosiasi juga diperlukan dalam

teks panggil dan tolak hujan agar permohonan dapat terkabul.

Sutama (2010) yang mengungkap perihal teks Pawiwahan ‟pernikahan‟

masyarakat adat Bali menemukan adanya beberapa lapis struktur yang bersifat

Page 23: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

23

vertikal dan horizontal, di antaranya, struktur budaya, struktur makro, struktur

mikro, struktur makna, dan tekstur. Pada struktur makro ditemukan unsur yang

harus muncul, unsur yang boleh muncul dan frekuensi kemunculannya. Ulasan

struktur menuntun pada tekstur yang memuat fungsi unsur pendahuluan, isi, dan

penutup yang dijalin dengan alat kohesi. Metafungsi menghubungkan isi dan

ekspresi meliputi fungsi ideasional untuk merangkai pengalaman, fungsi

interpersonal untuk mempertukarkan informasi, sedangkan fungsi tekstual untuk

menggambarkan sesuatu. Pembahasan struktur modus ditinjau dari sudut pandang:

(a) fungsional yang melahirkan modus deklaratif, interogatif dan imperatif, (b)

modus dan residu dalam klausa, dan (c) modus dikaitkan dengan gramatika yang

melahirkan kategori proposisi dan proposal. Representasi pengalaman yang

direalisasikan dalam berbagai tipe proses didominasi oleh proses mental dan

proses relasional. Hal ini ditafsirkan positif karena pawiwahan mengacu pada

suatu rencana yang melibatkan banyak proses mental dan relasi yang memuat

ketermilikan yang terkait dengan eksistensi masing-masing pihak. Ideologi teks

pawiwahan dilatari budaya Bali seperti penentuan kekerabatan dan silsilah

keturunan mengikuti garis keturunan pihak laki-laki (purusa) yang dikenal

menganut sistem patrilineal. Indikasi kekuasaan purusa ‟laki-laki‟ terlihat dari

penentuan hari pernikahan dan tata cara pendukungnya sekalipun kedua pihak

berada pada lapisan sosial ekonomi yang setara. Jadi, kekuasaan pihak laki-laki

memaksa pihak perempuan bertindak sebagai penerima dan menyepakati

keputusan pihak laki-laki. Disertasi yang mengaplikasikan empat model teori LSF

masing-masing, (a) bahasa sebagai sistem, (b) bahasa sebagai sistem aturan, (c)

Page 24: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

24

bahasa sebagai fenomena sosial, dan (d) bahasa memiliki fungsi, berhasil

mengungkap teks hingga lapisan terdalam berupa ideologi yang melatari kelahiran

teks tersebut. Dengan demikian, penelitian teks panggil dan tolak hujan ini harus

menelusuri kesimetrisan kekuasaan pelibat dan signifikansi peran masing-masing.

Sutjaja (2011) dalam penelitiannya yang berjudul ”Teks dan Rekayasa

Teks” memperkenalkan cakupan teks secara rinci. Dinyatakan bahwa teks dapat

dikelompokkan atas dua jenis, yakni teks kecil dan teks dalam arti sesungguhnya.

Teks kecil dapat berupa petunjuk atau pemberitahuan yang terdiri atas satu unit

kata, frasa atau klausa, misalnya, parkir, licin, cat basah, ruang tunggu, harap

tenang ada ujian, awas kaca, jembatan putus, atau sedia minuman dingin. Teks

kecil lainnya dapat berupa teks singkat, seperti ungkapan obituari, resep masakan,

resensi, atau abstrak. Teks dalam arti sesungguhnya mengaitkan tataran

ekstralinguistik dan tataran linguistik yang menekankan pada klausa yang

memiliki makna kamus dan peran, baik dalam kategori tata bahasa sebagai

Subjek-Predikat-Komplemen maupun kategori makna sebagai aktor, proses dan

partisipan. Analisis peran dalam pemaknaan difokuskan pada proses yang

diwujudkan dalam bentuk verba mencakup proses materi, perilaku, mental, verbal,

relasional, eksistensial dan metereologikal. Aspek lain yang diungkap adalah

konsep nominalisasi yang merujuk pada rank-shift dari klausa menjadi nomina

sehingga klausa dipampatkan dalam sebuah nomina turunan yang menyatukan

proses dan partisipan dalam sebuah kata benda. Dari sebuah teks dapat disusun

daftar kosakata dasar yang dipakai sesuai dengan kelas kata. Misalnya, kelas

Page 25: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

25

konjungsi yang dapat digunakan sebagai acuan guna melihat jenis penalaran

dalam teks.

Dalam penelitian terdahulu yang berjudul A Semantic Interpretation of the

Nominal Group Structure in Bahasa Indonesia (1988), Sutjaja mengungkapkan

klasifikasi makna dan struktur kelompok nomina yang terkait dengan fungsi

gramatika. Ditemukan bahwa terdapat banyak perbedaan secara sistemik antara

struktur logis dan struktur semantis terutama makna dan interpretasi semantik

kelompok nomina. Penelitian struktur nomina tersebut bermanfaat dalam

penegasan konsep teks, penentuan tipe proses, dan interpretasi proses terhadap

alur penalaran. Dengan demikian, kajian teks harus mencakup struktur semantis

dan interpretasi berdasarkan pandangan pemakai teks.

2.2.3 Penelitian terkait dengan permasalahan

Pastika (2002) dalam penelitiannya yang berjudul ”Kesinambungan Topik

pada Diatesis Bahasa-Bahasa Austronesia” menyatakan bahwa kesinambungan

topik dibedakan atas dua jenis, yakni kesinambungan anaforis dan kataforis.

Kesinambungan pada Bahasa Bali, Filipina, Sulawesi, dan Indonesia

menunjukkan bahwa suatu referen dan antesedennya dapat diukur jarak dan

pengulangannya dalam teks. Terdapat kecenderungan bahwa argumen inti yang

mendapat penopikan akan berdampak pada frekuensi jenis diatesis yang

digunakan. Secara morfologis, Bahasa Bali memiliki tiga diatesis, yakni diatesis

Nasal Transitif, Zero Transitif, dan Ka-Pasif. Diatesis pertama merupakan Diatesis

Agentif, sedangkan dua diatesis terakhir digolongkan sebagai Diatesis Objektif.

Tata urutan klausa Agentif menempatkan Agen pada posisi sebelum verba dan

Page 26: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

26

Komplemen terletak pada posisi posverba, sedangkan klausa Objektif

menempatkan Objek atau Pasien di awal verba. Tingginya derajat kesinambungan

topik pada Objek atau Pasien berakibat pemilihan Diatesis Objektif, sebaliknya

rendahnya derajat kesinambungan topik pada Objek atau Pasien mengarahkan

pemakaian Diatesis Agentif. Temuan menonjol dalam sistem diatesis itu adalah

tingkat topikalisasi pada Agen dan Pasien klausa Bahasa Bali menunjukkan

jumlah yang berimbang. Artinya, pemakai tidak hanya bermaksud memberi

penekanan pada Agen, tetapi juga pada Pasien.

Penelitian kesinambungan topik itu tampaknya berkaitan erat dengan

penelitian yang lebih besar, yakni Voice Selection in Balinese Narrative Discorse‟

(2006). Ditegaskan bahwa pilihan diatesis merupakan kajian aspek gramatikal

yang tidak dapat dilepaskan dari unsur wacana, seperti penataan alur, sehingga

ada argumen yang ditopikkan, dilatardepankan atau dilatarbelakangkan. Latar

wacana memotivasi variasi diatesis agar mampu mengakomodasi kepentingan

yang berbeda. Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, terdapat kemiripan

karakteristik struktur Diatesis Agentif dan Diatesis Objektif. Dengan demikian,

hasil penelitian Pastika dipandang memberi kontribusi positif terhadap struktur

dan ciri morfologis diatesis klausa TNNGB.

Penelitian Netra (2011) terhadap teks Melong Bulu komunitas petani adat

Bayan, Lombok Utara menemukan bahwa tema utama teks kepertanian di daerah

Lombok utara itu terdiri atas nilai yang bersumber pada aspek kognitif, di

antaranya, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, ketulus-ikhlasan,

penghargaan dan kepercayaan terhadap pemimpin, asal mula kehidupan, asal-usul

Page 27: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

27

padi dan hama, keharmonisan, kesetiaan, introspeksi diri, permohonan permisi,

nasehat, dan permintaan maaf. Tema sentral teks bersumber pada tiga prinsip,

yang terdiri atas prinsip kognitif, prinsip makna, dan prinsip hubungan. Skema

wacana penanaman padi tradisional yang dikaji dengan teori eklektik itu

dihubungkan oleh ungkapan transisional yang dipakai sebagai penghubung antar

bagian, baik antara bagian pendahuluan dan isi maupun antara bagian isi dan

penutup. Netra menemukan kosakata teks yang dipakai tidak berbeda dengan

kosakata sehari-hari yang menuntunnya menggali unsur prosodi sebagai muatan

makna budaya yang khas. Nilai-nilai budaya seperti nilai ketangguhan, nilai

kearifan, nilai religius, nilai kemanusiaan, nilai kesantunan, nilai keadilan, nilai

solidaritas, nilai historis magis, dan nilai kepatuhan mewarnai pola berpikir para

petani. Dengan demikian, kontribusi penelitian Netra terletak pada kesamaan mata

pencaharian objek sehingga dimungkinkan adanya kemiripan nilai.

2.3 Konsep

Terkait dengan fenomena yang dikaji, penelitian ini mempergunakan

beberapa konsep dasar, antara lain, konsep teks, teks dan konteks, struktur, teks

neduh dan nyelang galah, komunitas transmigran Bali, dan kode bahasa. Batasan

masing-masing konsep dijabarkan di bawah ini.

2.3.1 Teks

Halliday (1978: 122) menyatakan bahwa teks adalah bahasa yang sedang

menjalankan fungsi dalam interaksi sosial. Yang dimaksud menjalankan fungsi

ialah bahasa yang digunakan pada konteks sosial tertentu, dioposisikan dengan

Page 28: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

28

kata-kata yang terisolasi, atau kata-kata yang dituliskan di papan tulis. Dengan

demikian, teks selalu berkaitkan dengan konteks, dan bersifat multi dimensi. Teks

mengandung berbagai pandangan sebagai aktualisasi makna potensial yang

memungkinkan makna pada fungsi tertentu berhubungan dengan makna pada

fungsi lainnya (Halliday, 2004: 3). Konfigurasi makna dimunculkan pada sistem

leksikogramatika yang merupakan realisasi dari pemaknaan pada level di atasnya,

yang bukan saja mencakup konteks sosial tertentu, tetapi juga keseluruhan sistem

sosial. Oleh sebab itu, sekalipun teks tampak seperti rangkaian kata-kata,

sesungguhnya merupakan unit-unit semantik. Unit-unit semantik inilah yang

dikodekan dalam interaksi sosial. Pengodean terealisasi dalam rangkaian kata-kata

dan struktur tertentu yang membentuk tekstur. Sebagai fenomena sosial, teks

mengandung apa yang secara aktual dilakukan, dikatakan dan dimaknai. Artinya,

selalu terbuka kemungkinan adanya interelasi makna dari apa yang dikatakan

dengan apa yang dimaknai, atau apa yang dilakukan dengan apa yang dimaknai.

Hal itu sebagai dampak dari sifat teks sebagai unit semantik, yang

memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi. Di sisi lain, teks adalah

proses sosiosemantik melalui interaksi. Artinya, makna sosial tersebut

memerlukan masyarakat yang memperjuangkannya karena situasi adalah penentu

teks (Santono, 2008). Konsekuensinya, teks akan kehilangan makna bila pemakai

meninggalkannya.

Secara alamiah, kualitas sebuah teks tidak ditentukan oleh ukurannya

karena konsep teks memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari kalimat (Halliday,

1978: 135). Dengan demikian, teks tidak dapat diberi batasan berdasarkan jumlah

Page 29: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

29

kalimat yang membentuknya, tetapi melebihi satuan kebahasaan. Sebagai batasan

kebahasaan, dikenal empat peringkat unit dasar pembentuk teks, antara lain: (a)

klausa, (b) kelompok kata atau frasa, (c) kata, dan (d) morfem, yang masing-

masing unit dapat membentuk bentuk kompleks yang terdiri atas satu atau lebih

unit yang ada di bawahnya. Setiap unit dapat menduduki fungsi tertentu pada level

di bawahnya (rank shift). Lebih jauh, teks adalah produk dan proses (Halliday,

1985: 10). Sebagai produk, teks adalah keluaran yang dapat direkam dan

dipelajari karena pada dasarnya teks menggunakan terminologi yang sistematis

yang ditunjukkan dalam susunan tertentu. Sebagai proses, teks merupakan proses

pemilihan makna secara simultan dalam pertukaran makna. Pergerakan makna

potensial menunjukkan lingkungan teks. Jadi, teks adalah bentuk pertukaran

sehingga bentuk teks yang paling mendasar adalah percakapan dalam interaksi

sosial (Halliday, 2004: 9).

Secara morfologis, teks berasal dari Bahasa Latin textus yang berarti

sesuatu yang dijalin secara bersamaan (Hogde dan Kress, 1988: 6). Terminologi

teks berbeda dengan wacana dari sudut pandang keilmuan (Kress, 1985: 27).

Wacana digunakan dalam kerangka berpikir sosiologi, sedangkan teks digunakan

dari sudut pandang linguistik. Dengan demikian, teks mengacu pada ekspresi

linguistik yang dimunculkan pada suatu bentuk praktik sosial yang dilakukan oleh

komunitas tertentu.

2.3.2 Teks dan konteks

Sebagai bahasa yang menjalankan fungsi, teks tidak dapat dilepaskan dari

konteks karena konteks merupakan sesuatu yang menyertai teks (something with,

Page 30: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

30

or goes beyond what is said and written) (Halliday, 1985: 5). Setiap teks memiliki

konteks tertentu yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, konteks juga

merujuk pada lingkungan teks (total environment), baik yang bersifat budaya

maupun situasional. Konteks budaya bersifat lebih abstrak daripada konteks

situasi. (Halliday, 1978: 142). Konteks budaya mencakup ideologi dan genre,

sedangkan konteks situasi mencakup medan, pelibat, dan sarana kebahasaan.

Teks selalu memiliki latar belakang yang turut menentukan pemaknaan teks.

Hubungan teks dan konteks diilustrasikan sebagai kesatuan (Eggins, 1994: 113).

Artinya, konteks memperoleh realisasi pada level di bawahnya sehingga sesuatu

yang abstrak mendapat bentuk secara linguistik. Jadi, setiap kajian teks wajib

memperhitungkan konteks.

2.3.3 Struktur teks

Struktur berkaitan dengan kelompok kata, klausa, dan tekstur. Ditinjau dari

sudut kelompok kata, struktur merujuk pada pemilihan leksikon dan relasi

antarleksikon yang dapat hadir bersama. Dari sudut pandang klausa, struktur

merujuk pada susunan konstituen, seperti Agen-Predikator-Komplemen. Pada

sebuah teks, struktur dapat dipandang sebagai langkah-langkah dalam

merealisasikan tujuan tertentu. Struktur dapat juga dilihat sebagai rangkaian

langkah dan keterpautan antara langkah yang satu dan langkah berikutnya untuk

merealisasikan tujuan. Struktur dapat didefinisikan sebagai tekstur, yaitu

komposisi atau susunan teks yang memiliki hubungan di antara bagian-bagiannya

(Halliday, 2004: 5). Dalam teks menengah dan besar, terminologi struktur

dipadankan dengan struktur skematik, yakni tahapan yang dilalui sesuai konvensi

Page 31: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

31

sosial untuk menjelaskan genre teks. Misalnya, tahapan pada ranah jual-beli

memiliki tahapan yang berbeda dengan tahapan percakapan formal. Hal itu

menunjukkan adanya struktur yang bersifat khas sehingga penutur dengan budaya

yang sama mengenali ranah pembicaraan dari satu tahap yang merupakan ciri

khusus tersebut (Eggins, 1994: 36). Struktur juga identik dengan skema yaitu

susunan fase atau penahapan. Fase dan tahap-tahap mencakup tahap pembukaan,

isi dan penutup, yang dilengkapi label fungsi formal dan fungsional. Label

formal adalah penahapan berdasarkan kesamaan bentuk atau tipe, sedangkan label

fungsional mencakup penahapan sesuai dengan fungsi. Setiap fase memberi

kontribusi tertentu untuk mencapai kesuksesan suatu genre (Eggins, 1994: 36).

2.3.4 Teks Neduh dan Nyelang Galah

Penelitian ini menggunakan terminologi neduh untuk teks panggil hujan,

dan nyelang galah untuk teks tolak hujan sesuai dengan istilah yang digunakan

oleh komunitas transmigran Bali di Sumbawa. Sebagai teks tradisional, teks

dilaksanakan dalam lingkup terbatas untuk tujuan tertentu. Leksikon neduh

berasal dari bentuk teduh „sejuk, tidak panas‟ (Warna, 1993:706). Neduh „panggil

hujan‟ dikenal pula dengan nunas ujan, atau nunas sabeh, sedangkan nyelang

galah „tolak hujan‟ disebut pula nunas/nyelang endang, nunas/nyelang galah,

nunas/nyelang embang, atau nunas panyelah. Meskipun Warna (1993)

mendefinisikan neduh sebagai aktivitas pergi ke pura untuk mohon maaf kepada

dewa-dewa, penelitian ini membatasi neduh sebagai aktivitas memohon hujan

bagi keberlangsungan pertanian.

Page 32: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

32

2.3.5 Komunitas transmigran

Komunitas dapat didefinisikan sebagai kelompok organisme, manusia dan

sebagainya yang hidup dan berinteraksi di daerah tertentu. Komunitas juga dapat

dipadankan dengan masyarakat atau paguyuban (KBBI: 2008: 722). Komunitas

biasanya memiliki suatu identitas, yang menjelaskan kesamaan asal-usul,

kebiasaan, dan budaya.

Transmigran adalah penduduk yang berpindah tempat tinggal melalui

program transmigrasi yang dijalankan pemerintah yang pada mulanya

dimaksudkan untuk mengatasi penyebaran penduduk yang tidak seimbang dan

meningkatkan taraf hidup rakyat. Pada masa orde baru, transmigrasi ditujukan

untuk merealisasikan program swasembada beras dan meningkatkan ketahanan

nasional bidang ekonomi, sosial, dan budaya (Setiawan, 1994: 11). Dengan

demikian, komunitas transmigran Bali dalam penelitian ini mengacu pada

kelompok transmigran yang berasal dari Bali, baik Bali daratan maupun pulau

kecil di wilayah Propinsi Bali yang kemudian ditempatkan di sentra-sentra

pemukiman di wilayah Kabupaten Sumbawa. Dalam disertasi ini, komunitas

Bali, transmigran Bali, atau etnis Bali digunakan untuk merujuk pada komunitas

yang sama.

2.3.6 Kode bahasa

Kode bahasa mengacu pada jenis bahasa yang digunakan dalam

merealisasikan teks. Berdasarkan atas kode bahasa yang digunakan dalam teks

ritual Hindu Bali dikenal kategori mantra dan saa. Mantra adalah doa pujaan

yang dinyatakan dalam Bahasa Sansekerta, Bahasa Jawa Kuna atau Bahasa Kawi

Page 33: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

33

Bali, sedangkan doa pujaan yang menggunakan Bahasa Bali ragam halus disebut

saa (Ruddyanto, 2008). Mantra mengacu pada ucapan yang memiliki kekuatan

magis atau ilmu gaib, dan berunsur puisi (rima, irama) (Warna, 1993: 592).

Penelitian ini berfokus pada tuturan berbahasa Bali yang berupa saa.

Terkait kode bahasa, Sidemen (2000: 91) mengklasifikasikan bahasa

kesusastraan Bali terdiri atas bahasa pasif dan bahasa aktif. Bahasa aktif adalah

bahasa yang digunakan sebagai media tutur. Sementara itu, bahasa pasif tidak

hidup dalam interaksi sosial sehari-hari, tetapi hidup dalam fungsi khusus. Dengan

demikian, penelitian ini mengklasifikasikan Bahasa Bali dinyatakan sebagai

bahasa aktif, sedangkan bahasa lainnya seperti Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa

Kuna atau Bahasa Kawi Bali dinyatakan sebagai bahasa pasif.Hal itu sejalan

dengan hasil penelitian Beratha (2002: 68) yang menemukan bahwa Bahasa

Sanskerta merupakan bahasa tertua dalam kesusastraan Bali setelah Bahasa Bali

Kuna berdasarkan prasasti Bali Kuna yang berangka tahun 882. Persentuhan

Bahasa Sanskerta dengan bahasa lokal di Pulau Jawa memunculkan Bahasa Jawa

Kuna. Perkembangan bahasa Jawa Kuna digantikan oleh Bahasa Jawa Tengahan

sejak kemunduran Majapahit. Bersamaan dengan berpindahnya kebudayaan pusat

Kerajaan Majapahit ke Bali, Bahasa Jawa Tengahan diterima di Bali dan disebut

Bahasa Kawi Bali atau Bali Kawi. Menurut Warna (1988) Bahasa Bali Kawi

lazim digunakan sebagai media menuliskan hasil rekaan oleh para pangawi

‟pengarang, pujangga‟ dan dipakai secara luas di bidang kesusastraan pada masa

kerajaan Bali memperoleh kejayaan, yakni sekitar tahun 1400 hingga tahun 1700.

Tidak ditemukan pustaka yang menjelaskan kedudukan Bahasa Kawi Bali sebagai

Page 34: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

34

bahasa tutur. Dengan runtuhnya kejayaan raja-raja Bali, Bahasa Bali mulai

berkembang pesat yang selanjutnya terpilah atas dua dialek, yakni, dialek daratan

dan dialek Bali Mula. Bahasa Bali dialek daratan mendapat pengaruh dari bahasa

Jawa, sedangkan dialek Bali Mula atau Bali Aga ‟Bali asli‟ bersifat terbebas dari

pengaruh luar. Bahasa Bali dialek dataran diidentikkan dengan Bahasa Bali

modern yang ditandai dengan adanya ragam bahasa. Keberadaan dua dialek

Bahasa Bali itu dinyatakan sebagai inovasi tertentu setelah Bahasa Bali

mengalami masa perkembangan tersendiri sesuai dengan fungsi dan

kedudukannya. Dhanawaty (2002) menyatakan dialek Bali Mula dituturkan oleh

penduduk daerah pegunungan termasuk daerah Nusa Penida yang tidak

berinteraksi dengan kelompok luar. Dialek itu mempertahankan unsur bahasa

yang tidak mengenal unda-usuk ‟ragam bahasa‟. Dialek Bali Mula yang

dituturkan oleh penduduk pulau Nusa Penida disebut basa Nusa ‟Lek Nusa‟.

Penelitian ini menggunakan terminologi Bahasa Jawa Kuna untuk merujuk

Bahasa Jawa Kuna, Bahasa Jawa Tengahan, atau Bahasa Kawi Bali. Bahasa Bali

digunakan untuk mengacu Bahasa Bali dialek dataran atau Bahasa Bali modern

yang mengenal tingkatan. Bahasa Bali lek Nusa atau lek Nusa digunakan untuk

merujuk dialek Bali Mula yang dituturkan oleh transmigran yang berasal dari

pulau Nusa Penida dan pulau kecil di sekitarnya.

2.4 Landasan Teori

Penelitian ini dilakukan dengan berlandaskan pada Teori Linguistik

Sistemik Fungsional (LSF), disingkat teori Sistemik, yang digagas dan

Page 35: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

35

dikembangkan oleh Halliday beserta pengikut-pengikutnya. Teori Sistemik

memandang bahwa makna tuturan bersifat sosiokultural. Artinya, secara alamiah

makna teks terbentuk dalam interaksi (Halliday dan Hasan, 1985: 10).

Pembentukan teks dimulai dari makna-makna yang dikodekan (coded) melalui

pilihan kata-kata dan pengodean kembali (recoded) dalam bentuk bunyi atau

lambang bunyi. Kekuatan kata muncul karena ekspresi tersebut sarat makna sesuai

dengan kepercayaan dan pengetahuan masyarakat setempat (belief and

knowledge) secara keseluruhan. Pemaknaan sosial menjadi titik sentral karena

perilaku manusia dapat berubah dari masa ke masa dan berbeda dari satu tempat

ke tempat lainnya. Jadi, pemaknaan terus disesuaikan dengan lingkungan hidup

(living environment) sehingga pemaknaan teks selalu tepat.

Halliday (1985) menegaskan bahwa terdapat dua ciri yang menonjol dari

teori Sistemik, yakni, ciri sistemik dan ciri fungsional. Ciri sistemik mengacu

pada kaitan relasi antar sistem. Artinya, sistem-sistem yang berbeda memiliki

keterkaitan paradigmatik tertentu. Secara fungsional, teks mengungkap relasi tata

urutan yang dikaitkan dengan fungsi. Kaitan fungsional bermula dari penelitian

Malinowski pada penduduk Kiriwinian di Kepulauan Trobriand, Pasifik Selatan.

Selanjutnya gagasan itu diteruskan oleh muridnya, Firth yang pada tahun 1950

menggagas elemen konteks yang terdiri atas partisipan, tindakan partisipan, fitur

relevan lain, dan efek dari aksi verbal. Lima tahun kemudian, Mitchell, kolega

Firth, berhasil membuktikan kontribusi konteks pada tuturan jual-beli yang

dilakukan penduduk Afrika Utara. Di sisi lain, Hymes, pakar antropologi

Amerika, mengembangkan konsep konteks situasi dengan elemen yang lebih

Page 36: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

36

rinci, yakni bentuk, latar, partisipan, efek, kunci, medium, genre dan norma.

Dengan berpedoman pada temuan tersebut, Halliday terinspirasi menautkan

bahasa dengan acuan yang lebih luas, yaitu acuan situasi dan budaya dalam

memahami teks (Halliday, 1985: 7). Diyakini bahwa kata tanpa tautan linguistik

hanyalah sebuah pigmen yang tidak mewakili apa pun. Tautan konteks meminjam

semiotik yang berada di bawahnya, yakni bahasa sebagai realisasinya agar aspek

konteks dapar terekspresikan. Realisasi itu digambarkan dengan anak panah yang

melintasi garis pembatas. Dengan realisasi semacam itu, ideologi, konteks budaya,

dan konteks situasi yang bersifat abstrak memperoleh bentuk realisasi lingual.

Jadi, pada aspek semantik terjadi pertemuan realita nonlinguistik dengan potensi

bahasa yang menyediakan banyak pilihan. Dengan demikian, aspek abstrak dapat

dipetakan dalam teks. pemaknaan sosial ke dalam bentuk pemaknaan sehingga

teks dapat dipahami dengan benar setelah dilakukan reduksi terhadap ekspresi

nonsemantik.

Secara historis, konsep makna potensial bahasa (meaning potential of a

language) berakar pada variasi parole versi de Saussure. Distingsi langue adalah

tanda atau aturan umum, sedangkan parole sebagai suatu pesan khusus. Adanya

kekhususan parole berdampak pada alternasi pilihan yang dimungkinkan untuk

suatu makna potensial sehingga aturan umum diwujudkan menjadi lebih spesifik

melalui pengodean antarelemen (interface) linguistik dan nonlinguistik secara

semantis. Sejalan dengan pandangan potensi dan alternasi, Eggins (1994: 15)

menggambarkan sistem semiotik dengan mengaitkan makna dan ekspresi dalam

Page 37: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

37

relasi yang tidak saling memaksa, seperti ditampilkan gambar berikut (diadopsi

dari Eggins, 1994: 15).

Gambar 2.1: Sistem Semiotik

Gambar (2.1) di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahasa berpotensi

sebagai media untuk mengekspresikan suatu pesan. Isi pesan (content) yang

bersifat abstrak diwujudkan secara manasuka sesuai dengan kemampuan

kebahasaan pelibat. Pembicara dapat memilih ekspresi yang dikehendaki untuk

gagasan yang dimilikinya karena hubungan isi dan ekspresi bersifat arbitrer.

Hubungan isi dan ekspresi bersifat tidak saling memaksa, karena aspek isi dan

ekspresi memiliki sistem masing-masing. Dengan kata lain, suatu maksud ujaran

dan substansi fonik atau grafis yang dipilih memiliki relasi yang tidak ketat.

Kemanasukaan suatu ekspresi diungkapkan oleh Halliday dan Matthiessen

(1999) terkait dengan karakteristik bahasa orang dewasa yang lebih kompleks

dibandingkan dengan bahasa kanak-kanak. Bahasa kanak-kanak cenderung

sangat sederhana, bahkan tidak mengandung tata bahasa, dengan alternasi ekspresi

yang terbatas. Di sisi lain, Eggins (1994: 3) mengakui unsur kemanasukaan dalam

mewujudkan suatu ide melalui penelitian sikap resonden terhadap teks crying

baby ‟bayi menangis‟. Ditemukan bahwa variasi tindakan yang diambil oleh

responden bersesuaian dengan pemahaman responden terhadap makna tangisan

CONTENT = signifie (that which is signified)

---------------------------- line of arbitrariness

EXPRESSION =signifiant (that which does the signifying)

Page 38: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

38

bayi. Responden yang menafsirkan tangisan bayi sebagai ungkapan rasa lapar

melakukan tindakan menyuapi bayi. Responden yang menginterpretasikan

tangisan bayi sebagai ungkapan kondisi yang tidak menyenangkan melakukan

tindakan mengganti popok, menggendong, mengoleskan minyak urut di bagian

perut bayi, mendendangkan lagu, atau memainkan musik. Jadi, setiap tindakan

didasari atas interpretasi yang dimiliki dan diekspresikan dengan perilaku yang

relevan. Dengan demikian, ekspresi verbal dan tindakan yang dimunculkan dapat

berbeda-beda sejalan dengan pemahaman terhadap teks.

Bahasa adalah perilaku yang memiliki kekuatan (powerful behavior).

Misalnya, tidak ada penulis yang sekadar menulis, atau pembawa acara yang

sekadar berbicara, tetapi semuanya memiliki maksud (goals) tertentu yang hendak

dicapai. Agar tujuannya tercapai, penulis atau pembaca melakukan strategi

pemilihan kata dan kalimat sesuai dengan target pembaca/pendengar atau

mempertimbangkan faktor situasi. Ide dapat diekspresikan melalui berbagai

pilihan yang disediakan bahasa, tetapi aspek manasuka dalam ekspresi bersifat

diskret. Artinya, dari banyak pilihan yang tersedia akan dimunculkan satu pilihan

saja. Kediskretan diperkuat melalui teks lampu lalu lintas. Meskipun demikian,

dapat saja dua makna direalisasikan dalam satu bentuk. Misalnya, makna berhenti

dan hati-hati direalisasikan dengan satu warna merah. Sesungguhnya makna dapat

direalisasaikan dalam banyak cara, tetapi pemakai akan memilih satu pilihan yang

dipandangnya paling sesuai. Dengan demikian, isi pesan yang telah dipersiapkan

dapat diekspresikan dengan ungkapan verbal atau nonverbal tertentu. Pilihan

yang diambil ditentukan oleh sistem sosial dalam hal kebiasaan mengekspresikan

Page 39: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

39

suatu pesan yang dapat berbeda dengan kebiasaan di tempat lain. Hubungan isi

dan ekspresi bersifat hubungan tidak ketat (no natural link), tetapi dibentuk

melalui pembiasaan. Singkatnya, ekspresi merupakan realisasi dari isi pesan

yang dipilih dari banyak kemungkinan yang disediakan bahasa.

Proses sampainya suatu isi pesan kepada mitra wicara dinyatakan melalui

proses pengodean (encoding) atau realisasi. Realisasi penyampaian pesan

melibatkan tiga level, yakni proses perancangan ide, proses pemilihan kata-kata,

dan proses ekspresi tempat ide direalisasikan dalam bentuk lingual (Eggins, 1994:

21). Dengan kata lain, suatu pesan dirancang dan ditata dalam pikiran, kemudian

direalisasikan dalam pilihan kata dan pilihan tata bahasa yang mampu mewakili

isi pesan dan pada akhirnya diutarakan secara lisan atau tulisan. Pada proses

tersebut terjadi proses pengodean oleh pembicara dan proses pemecahan kode

oleh penerima (Alwasilah, 1985: 17). Pihak pembicara melakukan proses

pengodean semantik, yakni gagasan dikodekan ke dalam kerangka gagasan,

dilanjutkan dengan pengkodean gramatika, yakni kerangka gagasan dikodekan

dalam kalimat, dan akhirnya dilakukan pengodean bunyi, yakni pesan diujarkan.

Dari sisi mitra wicara terjadi hal sebaliknya, yakni proses memecahkan kode

(decoding) mulai dari pemecahan kode fonologis, kode gramatikal, dan berakhir

pada pemecahan kode semantik.

Halliday merangkum empat konsep dasar studi kebahasaan yang bersifat

teknis. Pertama, bahasa sebagai teks dan sebagai sistem. Artinya, bahasa

mempekerjakan berbagai sistem, yakni sistem linguistik dan sistem di luar

linguistik. Kedua, bahasa sebagai bunyi. Artinya, bahasa pada dasarnya adalah

Page 40: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

40

ekspresi kelisanan yang diujarkan dalam kata-kata, tetapi dapat pula dituliskan.

Ketiga, bahasa sebagai struktur. Artinya, terdapat konfigurasi dari bagian-

bagiannya sehingga terbentuk susunan tertentu yang dapat dipelajari. Keempat,

bahasa sebagai sumber. Artinya, bahasa menyediakan berbagai pilihan. Konsep-

konsep tersebut berjalan sebagai perangkat bahasa dan saling memudahkan dan

memberi fitur tersendiri terhadap dimensi dan prinsip tata urutan, seperti

ditampilkan tabel berikut (Halliday, 2004: 19-20) (terjemahan oleh penulis).

Tabel 2. 1

Dimensi Bahasa dan Urutan Prinsip-Prinsip Bahasa

No Dimensi Prinsip Susunan

1. Struktur

(Urutan Sintagmatik)

Ranking klausa - kelompok kata; frasa - kata

– morfem

2. Sistem

(Urutan Paradigmatik)

Kepatutan

(Delicacy)

tata bahasa - leksis

(leksikogramatika)

3. Stratifikasi Realisasi semantik-leksikogramatika-

fonologi- fonetik

4. Pemercontohan Contoh potensial – subpotensial; tipe

contoh – contoh

5. Metafungsi Metafungsi ideasional - interpersonal – tekstual

Dimensi dan urutan prinsip bahasa, seperti ditampilkan tabel (2.1) dapat

dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dimensi struktur yang disebut juga urutan

sintagmatik merupakan aspek komposisi bahasa yang dalam terminologi linguistik

dikaitkan dengan konstituensi. Dalam sistem tulisan, prinsip urutan berupa tataran

yang berlapis-lapis yang dibentuk oleh hubungan antarbagian, yakni suatu kata

Page 41: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

41

terdiri atas morfem-morfem, frasa terdiri atas sejumlah kata, dan klausa disusun

oleh satu atau lebih kelompok kata. Seorang penulis dapat melakukan strategi

yang tidak terbatas (indeterminasi) dalam merancang karya tulisnya dengan

memanfaatkan klausa-klausa, kata, dan tanda baca demi menunjukan hubungan

antarlapisan. Klausa merupakan kategori unit semantik tertinggi, dan peringkat

terendah adalah morfem. Peringkat ini terkait dengan fungsi dan segmentasi

struktur. Semua urutan komposisi pada akhirnya menjadi varian dari motif

tunggal, yakni tataran makna dalam tata bahasa. Bila dilakukan analisis tata

bahasa, akan tampak bahwa setiap struktur merupakan bagian konfigurasi

sehingga setiap bagian memiliki fungsi pembeda. Jadi, bahasa lisan ataupun

tulisan mengandung makna-makna yang hendak diungkapkan, sekaligus

mencerminkan susunan struktur tata bahasa. Jadi, urutan sintagmatik

menampilkan relasi antarbagian, yakni, suatu bentuk dapat hadir bersama bentuk

lain dalam urutan sebelum atau sesudahnya untuk menciptakan suatu makna

(Eggins, 1994: 3).

Kedua, pada dimensi sistem diformulasikan konsep kepatutan atau

kebagusan (delicacy) dalam urutan paradigmatik. Setiap perangkat pilihan

merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terkandung nilai kepatutan yang

dibawa oleh rangkaian leksis sebagai realisasi tata bahasa. Kepatutan bersifat

sangat renik dan berfungsi untuk mengekspresikan aspek sistem yang lebih tinggi

ke dalam realisasi bahasa. Sebagai contoh, semua klausa dapat dikategorikan

positif atau negatif sehingga dalam sistem polaritas akan tampak positif dan tidak

positif yang dapat disejajarkan dengan negatif dan tidak negatif yang bersifat

Page 42: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

42

saling menjelaskan. Aspek positif dan negatif merupakan ciri klausa kontras yang

dapat dibuat nyata dalam cara-cara yang berbeda untuk merepresentasikan sebuah

makna potensial bahasa. Eggins (1994: 17) menggambarkan kontras positif dan

negatif dalam suatu bentuk polaritas, seperti polaritas jenis kelamin yang dipilah

atas spesifikasi, di antaranya, son, boy „anak laki-laki‟. Sementara itu, child, brat

„anak‟, dan darling „kekasih‟ tidak mengandung spesifikasi jenis kelamin.

Ketiga, dimensi stratifikasi menunjukkan adanya strata dalam mengkaji

bahasa. Misalnya, kajian tentang cara penulisan (fonetik), tata bunyi (fonologi),

tata pembentukan kata (morfologi), dan tata bahasa (gramatika). Perbedaan sudut

kajian diizinkan oleh bahasa sebagai pengakuan realitas bahasa merupakan

sistem semiotik yang kompleks. Kompleksitas sistem makna mendekatkan

hubungan kosakata dengan tata bahasa, sehingga keduanya tidak lagi dipandang

sebagai strata yang berbeda, tetapi dipersatukan dalam terminologi

leksikogramatika. Karakteristik leksikogramatika diposisikan dalam satu

stratum, yang mencakup: (a) leksis dengan ciri terbuka, memiliki makna spesifik,

mengenal kolokasi, dan (b) tata bahasa dengan ciri sistem tertutup, memiliki

makna umum dan berstuktur (Halliday, 2004: 43). Dengan demikian, aspek

sintaksis dan morfologi dipadukan sebagai satu kesatuan karena kedekatan

struktur kata dan struktur klausa merupakan ciri bahasa universal. Jadi, setelah

makna direalisasikan dalam leksikogramatika yang dipilih barulah ekspresi

tersebut diujarkan atau dituliskan. Stratifikasi bahasa ditampilkan pada gambar

berikut (Halliday, 2004: 25) (terjemahan oleh penulis).

Page 43: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

43

Gambar 2.2: Stratifikasi

Gambar stratifikasi (2.2) menunjukkan bahwa teks terbentuk atas

komponen ekstralinguistik dan komponen linguistik. Komponen ekstralinguistik

yang dimaksud adalah konteks atau lingkungan yang mendukung teks. Komponen

linguistik dapat dipilah atas komponen isi dan ekspresi. Isi mencakup maksud

pesan (semantik) dan rancangan kata yang hendak digunakan untuk menyatakan

isi pesan (leksikogramatika), sedangkan ekspresi merupakan realisasi isi yang

dapat diwujudkan dengan bunyi secara lisan (fonologi) ataupun bunyi yang

dinyatakan dalam lambang bunyi (fonetik). Stratifikasi juga mengandung

pengertian bahwa realisasi dari suatu pesan secara alamiah bersifat lisan.

Sementara itu, realisasi bahasa secara tertulis muncul kemudian. Jadi, bahasa

lisan baru dapat dianalisis setelah ditranskripsikan secara fonetis.

Keempat, keinstanan atau pemercontohan mengacu pada hubungan antara

contoh dengan sistem yang melatari contoh tersebut. Hal ini berkaitan dengan

keinginan menjelaskan bagaimana bahasa ditata dan bagaimana penataannya

berhubungan dengan fungsi bahasa untuk memenuhi hajat hidup manusia, dan

selalu ditemukan kesulitan dalam membuat segala sesuatu menjadi jelas. Hal ini

dipicu oleh usaha mempertahankan dua pandangan sekaligus, yakni pandangan

konteks

semantikleksiko -

gramatika

fonologi

fonetik

Page 44: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

44

bahasa sebagai sistem dan pandangan bahasa sebagai teks. Tipe pemercontohan

digambarkan sebagai berikut (Halliday, 2004: 28) (terjemahan oleh penulis).

Gambar 2.3: Pemercontohan

Gambar pemercontohan (2.3) di atas pada dasarnya merupakan penjabaran

dalam strata yang sama, yakni bahasa dijabarkan dalam bentuk teks. Sebuah

percakapan antara penjual dan pembeli, pidato, peringatan, dan surat merupakan

contoh teks. Sistem merupakan pokok dasar potensi bahasa, dalam hal ini sumber

pembentuk makna. Hubungan sistem dan bahasa merupakan seperangkat teks

yang dapat dianalogikan dengan hubungan antara iklim dan cuaca yang hanya

dibedakan oleh sudut pandang. Seperti cuaca, teks ada di sekeliling kita dan dapat

memengaruhi kehidupan kita sehari-hari, sedangkan sistem adalah potensi yang

mendasari pengaruh tersebut.

Pendekatan Sistemik secara tegas mengakui adanya saling ketergantungan

antara bahasa dan konteks sosial dalam pemaknaan teks. Makna dibentuk oleh

sistem sosial dan digunakan oleh pengguna bahasa dan direfleksikan dalam bentuk

teks. Makna sosial ini bersifat konvensional di antara kelompok sehingga

kumpulan register-tipe

teks sistem (bahasa)

konteks budaya

institusi-tipe situasi konteks situasi

ssstuasi

teks

contoh-contoh

Sub potensi- tipe

contoh

potensi

Page 45: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

45

pemakai teks dilatari oleh suatu potensi makna yang sama. Makna ini dapat saja

bergeser atau berubah sejalan dengan dinamika lingkungan sosial. Dengan kata

lain, situasi merupakan struktur semiotik yang turut menentukan seleksi

komponen semantik. Misalnya, medan menyeleksi makna pengalaman, pelibat

menyeleksi makna antarpelibat, sedangkan cara menyeleksi makna tekstual.

Aspek situasi membawa dampak terhadap sistem semantik yang akan

menjadi pertimbangan bagi seleksi makna sebelum direalisasikan dalam leksis.

Hal itu memperhitungkan jaringan makna yang dimulai dari umum menuju ke

khusus atau dari abstrak ke konkret. Melalui fitur semantik dapat diprediksi

gambaran situasi yang menyertainya. Strata semantik dipandang berperan sebagai

poros (pivot) dalam bahasa, ke atas sebagai penghubung ke konteks, ke bawah

penghubung ke leksikogramatika. Pada sistem semantiklah dimensi konteks

situasi dan budaya dijalin dalam kesatuan peristiwa linguistik. Jadi, peran sistem

semantik mencakup mengonstruksi teks dari konteks dan mengodekan makna ke

dalam struktur gramatika.

Kelima, dimensi metafungsi merupakan fungsi dasar bahasa yang

dikaitkan dengan lingkungan sosial. Bahasa digunakan untuk menguraikan

pengalaman manusia, menamakan benda-benda, dan menguraikan benda-benda ke

dalam kategori tertentu. Kemudian kategorisasi atas benda-benda diuraikan ke

dalam taksonomi yang lebih khusus. Pada saat menggunakan bahasa, ada sesuatu

lainnya terjadi secara bersamaan, misalnya ketika digunakan untuk menafsirkan

sesuatu, bahasa juga memerankan hubungan interpersonal dan sosial dengan orang

di sekitarnya. Dengan demikian, klausa di dalam tata bahasa bukan hanya

Tabel 2c: Implikasi Sarana

Page 46: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

46

gambaran, tetapi juga mewakili beberapa proses, seperti melakukan, merasakan,

mengatakan dan lain-lain yang melibatkan partisipan dan kondisi tertentu. Klausa

juga sebuah proposisi, suatu anjuran, memberi informasi, bertanya, memerintah,

menawarkan sesuatu, atau kekaguman terhadap sesuatu atau seseorang. Bahasa

adalah tindakan aktif yang melibatkan partisipan dan menjalankan fungsi

interpersonal yang menyangkut interaksi antarpelibat. Perbedaan modus

pemaknaan tidak berasal dari luar, melainkan dari representasi sistem tata bahasa

dan sistem sosial. Hal itu mengindikasikan bahwa setiap pesan mengandung isi

dan ditujukan kepada seseorang sebagai penerima pesan, tanpa adanya saling

paksaan bentuk dan cara, tetapi menjadi pertimbangan konstruksi teks.

Kesinambungan konteks terjadi dari konteks yang paling abstrak menuju

ke konteks yang lebih kongkret dan bermuara pada poros semantik. Sistem

semantik mempertemukan konteks budaya (genre) dan konteks situasi (register)

dengan aspek leksikogramatika melalui metafungsi, meliputi (a) komponen medan

(field) yang merealisasikan metafungsi ideasional, (b) komponen pelibat (tenor)

yang merealisasikan metafungsi antarpelibat, dan (c) komponen cara (mode) yang

merealisasikan metafungsi tekstual. Meskipun demikian, penggunaan bahasa

dapat menjalankan lebih dari satu fungsi. Artinya, suatu tuturan mengandung

kesatuan pengalaman atau gagasan, hubungan antarpelibat, ataupun organisasi

pesan yang direalisasikan dengan leksikon dan ditata dalam susunan gramatikal

tertentu. Jadi, klausa mengandung makna leksikon dan struktur gramatika.

Komponen yang tidak dinyatakan dengan leksikon dimunculkan secara

gramatikal, atau sebaliknya. Dengan demikian, analisis fungsi penggunaan bahasa

Page 47: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

47

berakhir pada struktur gramatika, seperti ditunjukkan jaringan makna berikut

(Halliday, 1973: 101).

Gambar 2.4: Jaringan Makna

Gambar (2.4) menunjukkan jaringan makna yang menjaga relasi

antarsistem dalam pertautan sehingga terbentuk jaringan atas komponen-

komponennya pa da setiap fungsi yang dijalankannya. Bahasa yang dipakai

dalam interaksi sosial sebagai teks fungsional dapat dianalisis terutama tuturan

yang berupa unit-unit semantik, sedangkan bentuk yang tidak terdeteksi secara

linguistis boleh ditanggalkan. Dengan demikian, interpretasi diperoleh

berdasarkan satuan-satuan yang memenuhi ciri semantis. Jadi, jaringan semantik

memungkinkan adanya korespondensi sistem-sistem yang berlainan. Jaringan

makna pada akhirnya bermuara pada stuktur gramatika, sebagai sesuatu yang

dapat direkam, dipelajari, dan diprediksi. Fungsi ideasional mencakup fungsi

logika dan ekspreriensial. Fungsi logika dapat diproyeksikan secara parataktik

atau hipotaktik, sedangkan pengalaman direalisasikan dalam berbagai tipe proses.

Page 48: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

48

Fungsi antarpelibat dapat direalisasikan melalui struktur modus, modalitas, dan

diatesis, sedangkan fungsi tekstual direalisasikan dalam bentuk alat-alat kohesi.

Secara ringkas, keterhubungan konteks, fungsi semantik, dan realisasi bahasa

dapat digambarkan sebagai berikut (Diadopsi dari Halliday, 1978: 132)

(terjemahan oleh penulis).

Gambar 2.5: Fungsi Komponen dalam Sistem Semantis

Gambar (2.5) menunjukkan kaitan konteks, semantik wacana, dan

leksikogramatika sebagai realisasi bahasa. Konteks ideologi yang bersifat abstrak

mendapat realisasi pada level di bawahnya dan seterusnya hingga muncul dalam

pilihan leksikogramatika. Pertama, pengalaman diklasifikasikan atas tiga kelas

Ideasional Antarpelibat Tekstual

Kohesi Logika Eksperiensial

Struktural Non- Struktural

Ekspansi

Identitas

Proyeksi

Parataktik

Hipotaktik

Struktur Klausa Referensi

Elipsis/ Substitusi

Konjungsi

Kohesi Leksikal:

a.Reiterasi

b.Kolokasi

Klausa:

Transitivitas

Modulasi

Polaritas

Klausa:

Modus

Modalitas

Klausa:

Tema

Kel. Verbal:

Tipe Proses

Kala

Kel. Verbal:

Persona

Polaritas

Kel. Verbal:

Diatesis

Kontras

Kel. Nomina:

Tipe

partisipan:

Kelas Kualitas

Kuantitas

Kel. Nominal :

Persona (peran)

Kel. Nominal

Deiksis

Kel. Adverbial:

Kel. Preposisi

Tipe Sirk

Kel. Adverbial

Kel. Preposisi

Komen

Kel. Adverbial

Kel. Preposisi

Konjungsi

Struktur Informasi

Page 49: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

49

kata utama, yakni verba, nomina, dan adverbia. Verba dikaitkan dengan fungsi

proses, nomina dikaitkan dengan fungsi partisipan, dan adverbia dikaitkan dengan

fungsi sirkumtansi. Proses berperilaku sebagai Predikator, partisipan berperilaku

sebagai argumen, sedangkan sirkumtansi berperilaku sebagai nonargumen. Kedua,

realisasi hubungan antarpelibat direalisasikan dalam struktur percakapan yang

memformulasikan modus komunikatif, diatesis, dan tipe respon yang diharapkan

(Halliday, 2004: 107). Ketiga, sebagai realisasi fungsi tekstual, klausa memiliki

struktur tematik Tema-Rema. Artinya, ada komponen klausa yang dijadikan tema

atau pokok, dan ada pula komponen yang diposisikan sebagai pendukung tema.

Salah satu cara pendalaman terhadap tema tertentu dapat dilakukan secara

referensial yang menunjukkan keterkaitan antarklausa.

Hubungan permasalahan yang hendak dijawab dan komponen teori

Sistemik yang dipakai mengajinya ditampilkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.2

Hubungan Permasalahan dan Teori

No Permasalahan Subteori LSF

1. Bagaimanakah struktur skematik

TNNGB?

Konteks budaya (Eggins, 1994)

2. Bagaimanakah struktur modus

dan diatesis klausa TNNGB?

Sistem Modus (Eggins, 1994)

Interpretasi Diatesis (Halliday, 2004)

3. Bagaimanakah struktur

transitivitas TNNGB?

Transitivitas (Eggins, 1994)

Klausa sbg. Representasi

(Halliday, 2004)

4. Bagaimanakah struktur tematis

dan sistem referensial TNNGB?

Klausa sebagai Pesan (Halliday, 2004)

Tema (Eggins , 1994)

Kohesi dan Wacana (Halliday, 2004)

Page 50: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

50

2.5 Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan model penelitian yang berbasis budaya, yang

dalam hal ini budaya etnis Bali. Aspek budaya yang diangkat mengaitkan budaya

ritual Hindu Bali yang diaplikasikan pada ranah pertanian tadah hujan.

Permasalahan pada ranah skematis ditunjukkan dengan struktur skematik. Secara

linguistis, penelitian berfokus pada metafungsi eksperiensial, pertukaran, dan

tektual. Dengan demikian, penelitian diharapkan dapat menghasilkan temuan yang

bermanfaat bagi pengembangan ilmu lingusitik dan pemahaman budaya.

Kerangka teoretis penelitian ditampilkan di bawah ini.

n 2.1: Model Penelitian

Bagan 2.1: Model Penelitian

Budaya Etnis Bali

Simpulan

Temuan/ Rekomendasi

Struktur

Struktur Modus

dan Diatesis

Struktur

Transitivitas

Struktur Tematis

dan Referensial

Nonstruktur

Aspek

Linguistik

Struktur

Skematik

TEKS

Teks Neduh dan Nyelang Galah

Komunitas Transmigran Bali

di Sumbawa (TNNGB)

Page 51: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

51

Kerangka penelitian seperti ditampilkan bagan (2.1) dapat dijelaskan

sebagai berikut.

(1) Penelitian meneropong TNNGB sebagai suatu fenomena budaya etnis Bali

khususnya pada ranah pertanian yang menjadi sumber penghidupan

masyarakat transmigran.

(2) Sebagai suatu teks, TNNGB memiliki skema pelaksaaan yang berupa fase,

tahapan dan langkah yang saling menunjang. Skema pelaksanaan itu

dimaksudkan untuk menyukseskan tujuan. Dengan demikian, teks tidak

dapat dilakukan dengan tahapan yang sembarangan.

(3) Kajian atas aspek-aspek linguistik baik berupa representasi pengalaman, pola

pertukaran informasi, maupun tekstur pesan merupakan komponen yang

ditelaah berdasarkan struktur semantis dan struktur gramatika.

(4) Sistem referensial merupakan aspek nonstruktural yang diangkat. Kajian

yang bersifat kohesif itu dimaksudkan mendukung organisasi teks. Hal itu

dilakukan karena pemahaman teks tidak jarang membutuhkan tautan luar

teks, disamping tautan internal teks.

(5) TNNGB dilihat sebagai sebuah teks besar yang memiliki ciri linguistik

tersendiri, yang berkaitan erat dengan metafungsi.

(a) Struktur modus dan diatesis menjelaskan relasi anterpelibat dalam

menyatakan elemen yang ditonjolkan. Kecenderungan-

kecenderungan yang dilakukan pembicara terkait dengan

keinginannya untuk memengaruhi sikap dan perilaku pelibat lain.

Page 52: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

52

Kajian struktur modus dan diatesis merupakan representasi fungsi

pertukaran.

(b) Struktur transitivitas mempresentasikan struktur pengalaman dan

gagasan. Realisasi itu menyangkut tipe tindakan yang dilakukan,

struktur valensi, dan keterangan lain yang mendukung kejelasan

pengalaman tersebut. Kajian struktur transitivitas diteropong

berdasarkan sudut pandang karakter Predikator.

(c) Struktur tematis menjelaskan penempatan elemen yang ditonjolkan.

Pembicara dapat menempatkan satu atau lebih elemen yang

ditonjolkan sebagai bentuk konfigurasi metafungsi. Untuk menjaga

tekstur, ada komponen internal teks yang dapat diacu kembali, tetapi

dapat juga merujuk acuan intrateks. Kajian ini penting untuk

menemukan acuan yang tepat sebagai pemenuhan kepentingan

pragmatik.

(6) Penelitian TNNGB dapat dikategorikan sebagai penelitian rintisan,

mengingat fenomena ini belum pernah diangkat dalam suatu penelitian.

Penelitian ini diharapkan tidak hanya memperoleh simpulan terkait dengan

permasalahan, tetapi juga menyumbangkan temuan baru dan rekomendasi.

Page 53: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

53

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pengantar

Penelitian TNNGB ini dilaksanakan dengan menggunakan metode ilmiah,

yang mengikuti suatu prosedur yang memungkinkan peneliti mendeskripsikan

fenomena kebahasaan secara bertahap dan komprehensif. Terkait dengan

prosedur penelitian yang diikuti, berikut dijelaskan beberapa komponen penting

penelitian ilmiah, antara lain, rancangan penelitian, pendekatan penelitian, lokasi

penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik

pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik

penyajian hasil analisis.

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian TNNGB ini bersifat penelitian lapangan. Artinya, penelitian

dilaksanakan pada latar alamiah, dioposisikan dengan latar buatan. Penelitian ini

dapat dikategorikan sebagai penelitian etnosinkronis, dalam arti, deskripsi bentuk

dan fungsi bersifat tentatif pada waktu penelitian dilaksanakan dan berlaku pada

etnis tertentu di wilayah penelitian. Dengan demikian, pemaknaan teks bersifat

kedaerahan yang dapat saja berbeda dengan etnis yang sama di tempat berbeda.

Ciri sinkronik merujuk pada penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan

suatu fenomena pada waktu tertentu dan bagaimana fenomena tersebut

diungkapkan (Bungin, 2008: 181). Penelitian ini difokuskan pada tuturan lisan

Page 54: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

54

TNNGB dan informasi lain yang terkait. Data kelinguistikan bersumber pada

percakapan dan monolog pada seluruh tahapan teks. Data kelinguistikan itu juga

didukung informasi yang diperoleh dengan wawancara mendalam dengan

informan kunci. Untuk menjelaskan alur penelitian, rancangan penelitian ini

dapat digambarkan sebagai berikut.

Bagan 3.1: Rancangan Penelitian

Hasil Rekaman

Struktur Linguistik

a. Modus dan Diatesis

b. Transitivitas

c. Tematis dan Referensial

Struktur Skematik

DATA LISAN

PENELITIAN

TNNGB

Metode

Pemerolehan Data

a. Simak

b. Wawancara

Metode

Analisis Data a. Metode Padan

b. Metode Agih

Teknik:

Pilah dan Parafrasa

Metode

Penyajian Analisis

a. Formal

b. Informal

SIMPULAN / TEMUAN

Teori Linguistik Sistemik Fungsional

Residu

Hasil Wawancara

Page 55: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

55

Rancangan penelitian (bagan 3.1) dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, kajian TNNGB didasarkan atas data lisan yang diperoleh dari teknik

rekam prosesi teks dan hasil wawancara. Dua jenis sumber data itu dikumpulkan

dengan metode simak dan wawancara. Metode simak didukung teknik simak

sadap, simak libat cakap, simak rekam, dan simak catat dikerjakan pada tahap

prosesi teks, sedangkan metode wawancara dikerjakan pada tahap lanjutan

berkaitan dengan persepsi. Pada tahap pengumpulan data, beberapa informasi

penting disadap, ditanyakan, direkam, dan dicatat. Data yang terjaring diseleksi

terlebih dahulu untuk mendapatkan data korpus. Data yang dimasukkan dalam

tahap analisis adalah data berbahasa Bali, sedangkan data berbahasa Sanskerta,

Jawa Kuna atau Kawi Bali disisihkan dari proses analisis. Tuturan berbahasa

Sanskerta, Jawa Kuna atau Kawi Bali merupakan ekspresi bahasa pasif yang

bersifat beku dalam teks religi Hindu Bali. Oleh sebab itu, tuturan dalam bahasa

pasif itu ditetapkan sebagai data residu. Keputusan itu diambil mengingat

tingkat kesulitan mendeskripsikan struktur transitivitas dan modus dari bahasa-

bahasa yang berbeda, di samping ketersediaan informan dan pertimbangan waktu

penelitian.

Kedua, data yang terkumpul selanjutnya diolah sebelum memasuki tahap

analisis. Data lisan ditranskripsikan dan ditransliterasikan ke dalam Bahasa

Indonesia. Langkah-langkah pengolahan data terdiri atas tahap-tahapan yang

memungkinkan proses analisis berjalan lancar. Pengolahan data dimulai dengan

melakukan identifikasi bentuk dengan cara mengenali bentuk-bentuk yang

sejenis. Bentuk yang kompleks disegmentasi untuk memudahkan identifikasi pola.

Page 56: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

56

Pada tahap itu bentuk-bentuk yang sama diklasifikasikan dalam satu kategori.

Klasifikasi juga dibantu dengan komparasi sehingga dapat merujuk pada

determinasi atas status dari bentuk-bentuk tertentu. Pengolahan data pada akhirnya

diharapkan dapat merujuk pada solusi dan interpretasi. Interpretasi yang

dimunculkan merupakan hasil triangulasi yang berpedoman pada data korpus,

konfirmasi dengan informan, dan hasil analisis.

Ketiga, pada tahap analisis, peneliti mencermati data berlandaskan teori

yang dipilih, dengan mengaplikasikan metode agih dan padan. Artinya, proses

analisis melibatkan teknik pemadanan makna dari leksis yang dimunculkan dan

teknik parafrasa terhadap terminologi tertentu agar makna leksis terungkap

dengan jelas. Selanjutnya, hasil analisis disajikan secara formal dan informal,

yaitu penyajian hasil analisis dilakukan dalam bentuk deskripsi kata-kata

didukung gambar, diagram, bagan, atau tabel yang diharapkan dapat memperjelas

paparan. Korpus dianalisis dengan kerangka berpikir Linguistik Sistemik

Fungsional dalam pilahan struktur budaya dan struktur linguistik. Data prosesi

teks digunakan untuk menjawab permasalahan yang berkaitan dengan realisasi

fungsi ideasional, antarpelibat dan tekstual. Rekaman teks dan informasi lain

yang diperoleh melalui wawancara digunakan untuk mendukung pembahasan

struktur skematik. Dengan pengungkapan aspek budaya dan lingustik diharapkan

deskripsi TNNGB dapat merujuk pada simpulan. Yang paling penting, penelitian

diharapkan dapat menyumbangkan temuan baru dan rekomendasi terkait dengan

teks target.

Page 57: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

57

3.3 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengikuti alur berpikir kualitatif.

Artinya, penelitian ditujukan untuk dapat memberi paparan yang rinci dan

sistematis yang dapat membentuk suatu pemahaman. Penelitian kualitatif

berpegang pada data yang berupa tuturan, dan bukan angka-angka. Tujuan

pendekatan kualitatif ialah membentuk pemahaman (verstehen) atas realitas

sosial, bukan dalil-dalil. Karakter penelitian kualitatif dijabarkan oleh Basrowi

dan Suwandi (2008: 25) sebagai berikut.

(a) Penelitian dilakukan pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu

keutuhan.

(b) Alat penelitian berupa human instrument, yakni peneliti sendiri.

(c) Wajib ada hubungan baik antara peneliti dan informan.

(d) Analisis data dilakukan secara induktif berdasarkan data lapangan

sehingga nilai-nilai yang tersirat sebagai bagian dari struktur analitik

dapat diperhitungkan.

(e) Desain penelitian bersifat sementara dan dapat disesuaikan dengan data

lapangan.

3.4 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Sumbawa, Propinsi

Nusa Tenggara Barat, khususnya sentra-sentra pemukiman transmigran Bali.

Adapun sentra yang dimaksud meliputi Kecamatan Lunyuk, Kecamatan Labuan

Badas, Kecamatan Plampang, Kecamatan Labangka, Kecamatan Utan, dan

Page 58: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

58

Kecamatan Rhee. Daerah penelitian ini tersebar di tiga penjuru mata angin,

dengan jarak sekitar 50 - 100 km dari kota Sumbawa Besar. Populasi penelitian

diperkirakan berjumlah 12.000 jiwa dan jarang terjadi kontak dan mobilitas

warga antarsentra sangat terbatas.

Penelitian dipusatkan di Desa Sepayung, Kecamatan Plampang, dengan

pertimbangan: (a) Desa Sepayung merupakan desa Bali tertua di kecamatan

Plampang yang sebelumnya menaungi seluruh transmigran di kecamatan

Plampang, Labangka, dan Empang; (b) Dengan lahan tanam tadah hujan dan air

tanah yang asin, teks panggil hujan dilaksanakan sebagai satu-satunya cara

pemerolehan air; (c) Teks panggil hujan adalah harapan petani karena setiap

sungai telah berubah menjadi brang sampar (sungai mati). Di samping itu,

pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan akademis dan praktis. Secara

akademis, Desa Sepayung memungkinkan perolehan data dan penerapan Teori

Sistemik terhadap pemaknaan teks dari sudut pandang komunitas pemakai.

Secara praktis, teks panggil hujan diyakini mampu menyelamatkan mata

pencaharian seluruh lapisan masyarakat sehingga diangkat sebagai sebuah tradisi.

3.5 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yakni, data primer dan data

sekunder. Data primer dijaring dari tuturan dalam rangkaian prosesi teks, sejak

fase perencanaan, fase puncak, hingga fase penutup. Data sekunder diperoleh

melalui wawancara mendalam dengan informan. Data sekunder digunakan untuk

melengkapi data primer agar setiap permasalahan dapat dijawab tuntas. Data

Page 59: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

59

primer digunakan untuk memperoleh gambaran struktur gramatika, sedangkan

data sekunder digunakan untuk memerikan pandangan, persepsi, dan nilai

budaya yang dijunjung tinggi, di samping melengkapi deskripsi leksikogramatika.

Data yang berhasil dikumpulkan diseleksi atas dasar kejelasan tuturan,

kelengkapan prosedur dari awal hingga akhir, sedikit kerusakan pada proses

perekaman, dan kesediaan informan mengikuti tahap wawancara. Berdasarkan

pertimbangan itu, enam dari delapan set data yang terkumpul ditetapkan data yang

terseleksi. Data korpus terdiri atas tiga seri data teks panggil hujan dan tiga seri

data teks tolak hujan dari tahap praritual, puncak ritual hingga tahap pascaritual.

Data tersebut diberi kode A1, A2, A3 untuk korpus data panggil hujan, sedangkan

korpus data tolak hujan diberi kode B1, B2, dan B.3. Masing-masing korpus

tersusun atas beberapa teks yang merupakan sebuah rangkaian.

Untuk mengumpulkan data sekunder (Sugiyono, 2010: 15), peneliti

mewawancarai informan kunci yang direkomendasikan oleh ketua PHDI

Kabupaten Sumbawa. Dalam penelitian ini, informan kunci mengacu pada orang

yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin teks memohon atau

menolak hujan. Penelitian mensyaratkan informan kunci dengan kriteria berikut

(Sudaryanto, 1993).

(a) berusia maksimal 60 tahun;

(b) sehat dan tidak mengalami cacat alat ucap/ dengar;

(c) menetap di Sumbawa dalam 25 tahun terakhir;

(d) mobilitas rendah;

(e) memahami seluk-beluk teks secara aktif.

Page 60: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

60

3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini mengacu pada alat-alat yang diperlukan untuk

mengungkapkan fenomena sosial yang sedang diteliti. Oleh sebab itu, peneliti

melengkapi diri dengan peralatan yang mendukung terkumpulnya data yang

diharapkan. Instrumen yang utama dalam penelitian adalah peneliti sendiri yang

dengan segala upaya menjalin hubungan baik dengan penguasa teks dan

komunitas yang diteliti demi memahami seluk-beluk objek penelitian.

Peneliti memanfaatkan beberapa peralatan, seperti buku catatan, kamera,

perekam suara (voice recorder), dan panduan wawancara. Kamera digunakan

untuk mendukumentasikan gambar persiapan dan pelaksanaan teks. Sementara itu,

perekam suara digunakan untuk mendokumentasikan tuturan setiap tahapan.

Proses perekaman dilakukan dengan atau tanpa meminta izin terlebih dahulu.

Buku catatan digunakan untuk mencatat hasil wawancara terkait dengan

pandangan masyarakat terhadap teks.

3.7 Metode dan Teknik Pemerolehan Data

Dalam usaha menjaring data, peneliti menggunakan metode linguistik

lapangan, yakni peneliti secara langsung turun ke lapangan (Samarin, 1988:15).

Metode lapangan (field research) dilakukan dengan metode simak dan

wawancara untuk dapat mengumpulkan data kebahasaan, sekaligus berusaha

memahami fenomena yang dikaji. Dalam peran sebagai penyimak partisipatif

(participative observer), peneliti berperan secara aktif dan pasif. Peneliti berperan

aktif untuk mencatat hal-hal penting yang berkaitan dengan komunitas yang

Page 61: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

61

diteliti termasuk kebiasaan, mata pencaharian, dan pandangan. Peneliti juga aktif

mrngajukan pertanyaan untuk memperoleh berian yang dibutuhkan. Di sisi lain,

peneliti bertindak pasif dalam seluruh tahapan teks sejak tahap persiapan hingga

tahap penutup.

Pemerolehan data dilakukan dengan mengikuti prosedur metode simak,

yakni peneliti aktif menyimak tuturan yang dilakukan oleh orang-orang yang

terlibat dalam teks. Metode pengumpulan data tersebut dilakukan dengan

beberapa teknik pendukung, seperti, teknik sadap, teknik simak libat cakap,

teknik rekam, dan teknik catat (Sudaryanto, 1993: 131). Berikut penjelasan

keempat teknik pendukung metode simak tersebut.

(a) Teknik Sadap merupakan teknik pengumpulan data dengan penyimakan

yang dilakukan dengan penyadapan pembicaraan sumber data. Peneliti

mencatat hal-hal yang dianggap penting.

(b) Teknik Libat Cakap adalah pemerolehan data yang dilakukan dalam tahap

penyediaan data melalui partisipasi dan menyimak. Peneliti turut ambil

bagian dalam dialog atau percakapan sekaligus menyimak pembicaraan

mitra wicara. Jadi, partisipasi peneliti bersifat aktif dan pasif. Aktif dalam

proses dialog dan pasif dalam mendengarkan mitra wicara. Metode cakap

dengan teknik cakap semuka itu dapat disejajarkan dengan teknik

wawancara, yaitu dengan cara berdialog dengan mitra wicara. Peneliti

dapat mengajukan pertanyaan untuk memperoleh informasi dan konfirmasi

bertalian dengan masalah yang diteliti.

Page 62: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

62

(c) Teknik Rekam adalah cara pemerolehan data dengan cara merekam

tuturan informan. Teknik rekam digunakan untuk merekam tuturan selama

prosesi teks, di samping jawaban terbatas atas pertanyaan-pertanyaan dan

permintaan khusus yang diajukan kepada informan.

(d) Teknik Catat secara fonetis dilakukan terhadap tuturan yang diperoleh

melalui wawancara dan perekaman.

Secara rinci, langkah-langkah operasional yang dilakukan terkait dengan

pemerolehan data adalah sebagai berikut:

(1) melakukan wawancara awal;

(2) mencatat hasil pengamatan lapangan;

(3) mendokumentasikan peristiwa teks;

(4) melakukan perekaman prosesi teks;

(5) mentranskripsikan hasil rekaman;

(6) meminta informan mengoreksi hasil transkripsi;

(7) melakukan konfirmasi hasil transkripsi;

(8) melakukan transliterasi;

(9) melakukan segmentasi dan kodifikasi.

Data yang terseleksi sebagai data korpus adalah tuturan teks yang

dinyatakan dalam Bahasa Bali, sedangkan tuturan dalam lain tidak dimasukkan

dalam tahap analisis. Data korpus selanjutnya diolah sebagai persiapan memasuki

tahap analisis. Pengolahan data dikerjakan setelah seluruh korpus ditranskripsikan,

dikoreksi, dan diklarifikasi oleh informan kunci untuk selanjutnya

dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia. Koreksi dilakukan pada kesalahan

Page 63: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

63

transkripsi, sedangkan klarifikasi dilakukan pada kelompok kata yang harus

disisipkan, ditanggalkan, direvisi, atau disempurnakan.

Pada tahap pengolahan, data diidentifikasi dan dipilah sesuai dengan

kepentingan analisis, yakni dimulai dari analisis teks sebagai satu teks besar

kemudian dipilah atas teks yang lebih kecil, tahap-tahapan dan komponen yang

lebih renik. Sebagai pemenuhan aspek budaya, teks dilihat dari nilai dan pola

pelaksanaan. Secara linguistis, klausa dicermati dari sudut pandang semantik,

gramatika, dan pragmatik. Kelompok yang memiliki kategori yang sama

dinyatakan memiliki status yang sama. Status komponen selanjutnya

dimanfaatkan sebagai bahan penentuan interpretasi. Dengan demikian, langkah

kerja pengolahan data dapat dapat dirinci sebagai berikut:

(a) menemukan lambang atau simbol verbal;

(b) melakukan segmentasi berdasarkan kesamaan lambang/simbol;

(c) mengidentifikasikan pola-pola;

(d) menentukan kategori;

(e) menentukan status atas komponen-komponen;

(f) melakukan interpretasi awal;

(g) konfirmasi dengan informan;

(h) menarik interpretasi sementara.

3.8 Metode dan Teknik Analisis Data

Proses pengolahan data dilakukan setelah korpus dipersiapkan memasuki

tahap analisis. Data yang dimasukkan dalam tahap analisis adalah data korpus,

Page 64: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

64

yaitu data berbahasa Bali ragam halus, sedangkan data residu semata-mata

dipandang sebagai komponen pembentuk keutuhan teks. Interpretasi struktur

formal dilakukan dengan mencermati tata urutan, leksikon, dan makna yang

dimunculkan. Cara kerja demikian sejalan dengan metoda agih dan padan yakni

penggunaan alat bantu dari bahasa itu sendiri dan melakukan padanan makna yang

dapat merefleksikan makna yang dimaksud. Metode agih dipakai ketika

memproyeksikan struktur formal, sedangkan metode padan digunakan dalam

mengungkap makna yang merujuk pada padanan makna (Sudaryanto, 2003).

Untuk menjawab permasalahan struktur skematik, teks diteropong

berdasarkan kode bahasa, urutan penahapan, modifikasi tahap yang dibolehkan,

dan fungsi komponen-komponennya. Struktur modus menjelaskan jenis

komoditas yang dipertukarkan, maksud pembicara, dan jenis respon yang

diharapkan. Struktur diatesis dikerjakan dengan mempertimbangkan keaktifan

yang dimunculkan Predikator, valensi, dan pengisi fungsi gramatikal. Masalah

transitivitas dikerjakan dengan mencermati karakter Predikator klausa pembentuk

teks sehingga dapat merujuk pada tipe proses dan partisipan. Struktur tema

membahas komponen-komponen yang diposisikan di kiri Predikator. Komponen

yang ditempatkan di posisi inisial membentuk struktur tema tunggal pada struktur

klausa tak bermarkah. Kehadiran tema topikal, antarpelibat atau tekstual

membentuk struktur bermarkah. Keterkaitan antarkomponen teks dapat berupa

hubungan internal teks secara endoforis, sedangkan relasi dengan teks lain

bersifat eksoforis. Dengan demikian, makna leksikon dan struktur gramatikal

dapat ditelaah dengan sebaik-baiknya.

Page 65: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

65

3.9 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis

Hasil analisis disajikan dalam bentuk laporan penelitian dengan

menggunakan metode informal dan formal (Sudaryanto, 1993: 145). Metode

informal adalah metode penyajian hasil analisis dengan menggunakan kata-kata

biasa dilengkapi tanda atau lambang-lambang linguistik. Metode formal adalah

penyajian hasil analisis dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang

tertentu. Jadi, hasil analisis tersaji melalui dekripsi kata-kata dan didukung

penyajian tabel, bagan dan gambar yang diharapkan membantu kejelasan deskripsi

secara ringkas dan akurat.

Data yang mementingkan pemahaman umum ditampilkan dalam pola dua

dimensi. Sementara itu, data yang dimaksudkan untuk menjelasan fitur leksikal

disajikan dalam pola tiga dimensi, yakni struktur klausa, gloss, dan

terjemahannya. Contoh klausa yang ditelaah juga ditampilkan dalam kolom dan

baris yang dimaksudkan untuk memberi penekanan pada segmentasi dan kategori

komponen. Selanjutnya, klausa dideskripsiskan sesuai dengan landasan teori yang

dipakai untuk membedah data dan menarik interpretasi berdasarkan hasil

triangulasi.

Sistematika disertasi tersusun atas bab-bab pembahasan yang disesuaikan

dengan susunan permasalahan yang diajukan. Disertasi ini terbagi atas tiga bagian,

masing-masing bagian awal, bagian inti, dan bagian penutup. Bagian awal

mendeskrispsikan latar belakang, landasan teori, metode penelitian, dan gambaran

umum wilayah penelitian. Bagian inti terdiri atas bab-bab yang memaparkan

pembahasan data berdasarkan pokok teori yang diaplikasikan. Bab analisis dapat

Page 66: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

66

ditemukan mulai Bab V. Bab VI hingga bab IX berturut-turut menyajikan

pembahasan aspek gramatikal mencakup struktur modus, struktur transitivitas,

struktur diatesis, dan struktur tematis. Bab X mengungkapkan sistem referensial

baik yang bersifat situasional maupun kontekstual. Paparan temuan baru

penelitian dan simpulan ditampilkan pada bagian akhir. Bagian penutup terdiri

atas daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

Page 67: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

67

BAB IV

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Sejarah Singkat Wilayah Penelitian

Kabupaten Sumbawa yang dahulu dikenal dengan nama Tana Samawa

„tanah Sumbawa‟ memiliki penduduk asli Etnis Samawa. Etnis asli Sumbawa itu

hidup berdampingan dengan Etnis Mbojo yang menetap di tiga kabupaten di

bagian timur pulau Sumbawa, mencakup Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu,

dan Kota Bima. Etnis Samawa „Sumbawa‟ menggunakan Basa Samawa „Bahasa

Sumbawa‟, sedangkan Etnis Mbojo berkomunikasi dengan Nggahi Mbojo „Bahasa

Mbojo atau Bahasa Bima‟. Wilayah pakai Bahasa Sumbawa meliputi Kabupaten

Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Dengan demikian, pulau

Sumbawa yang memiliki luas sekitar 14.386 km2

terpecah menjadi dua wilayah

bahasa, yakni wilayah pakai Bahasa Bima di bagian timur dan wilayah pakai

Bahasa Sumbawa di bagian barat. Di samping Bahasa Sumbawa dan Bahasa Bima

yang berstatus bahasa mayoritas, di Pulau Sumbawa juga hidup bahasa minoritas,

seperti Bahasa Bali, Bahasa Banjar, Bahasa Makasar, Bahasa Bugis, Bahasa

Cina, Bahasa Bajo, Bahasa Selayar, Bahasa Arab, Bahasa Jawa, dan Bahasa

Sasak. Bahasa-bahasa itu umumnya merupakan bahasa kelompok pendatang

dengan wilayah tutur terbatas. Sebagian besar kelompok pendatang itu

merupakan kelompok pedagang antarpulau, nelayan, atau petani peserta program

transmigrasi yang telah bermukim di Sumbawa sejak puluhan tahun (Satyawati,

2009).

Page 68: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

68

Dasar hukum pendirian Kabupaten Sumbawa adalah UURI No. 64 Tahun

1958 dan UURI No. 69 Tahun 1958 tertanggal 11 Agustus 1958. Kelahiran

Kabupaten Sumbawa tidak terlepas dari pembentukan Propinsi Nusa Tenggara

Barat (NTB) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 64 Tahun

1958 dan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 yang merupakan tonggak sejarah

terbentuknya Daerah Swatantra Tingkat I (Daswati I) dan Daerah Swatantra

Tingkat II (Daswati II) di wilayah Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Pemerintah

membentuk enam Daswati II di lingkungan Daswati I NTB, masing-masing tiga

Daswati di Pulau Lombok, dan tiga Daswati di Pulau Sumbawa. Keenam Daswati

tersebut adalah Daswati II Lombok Barat, Daswati II Lombok Tengah, dan

Daswati II Lombok Timur, Daswati II Sumbawa, Daswati II Dompu dan Daswati

II Bima. Tanggal 22 Januari 1959 pejabat sementara (PS) Kepala Daerah

Swantantra Tingkat I NTB melakukan likuidasi, pengangkatan dan pelantikan

Muhammad Kaharuddin III sebagai PS Kepala Daerah Swantantra Tingkat II

Sumbawa. Momentum pelantikan itu selanjutnya diangkat sebagai hari lahir

Kabupaten Sumbawa yang menaungi wilayah barat Pulau Sumbawa yang terbagi

menjadi 14 kecamatan. Sejak berdiri, pemerintahan terus mengalami perubahan

dan mencari bentuk yang sesuai. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999, terjadi pemekaran kecamatan sehingga pemerintah Kabupaten

Sumbawa memiliki tambahan lima kecamatan baru, yakni Kecamatan Sekongkang,

Kecamatan Brang Réa, Kecamatan Alas Barat, Kecamatan Labangka, dan

Kecamatan Labuan Badas. Pemekaran kembali terjadi dengan dibentuknya

Kecamatan Tarano, Kecamatan Marongé, Kecamatan Unter Iwes, Kecamatan

Page 69: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

69

Rhéé, Kecamatan Buér, dan Kecamatan Moyo Utara. Dengan didirikannya

Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) tahun 2003 yang dikukuhkan dengan UURI

No. 30 Tahun 2003, Kabupaten Sumbawa melepaskan lima kecamatan di ujung

barat pulau menjadi wilayah Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Dengan

demikian, Kabupaten Sumbawa berbatasan dengan Kabupaten Dompu di sebelah

timur dan Kabupaten Sumbawa Barat di sebelah barat. Pada pemekaran terakhir,

terbentuk empat kecamatan baru, yakni, Kecamatan Orong Telu, Kecamatan

Lénangguar, Kecamatan Lantung, dan Kecamatan Lopok. Kini, Kabupaten

Sumbawa mewilayahi bagian tengah pulau seluas 6.643.98 km2

yang terpecah

menjadi 24 kecamatan atau 158 desa dan 8 kelurahan.

Ditinjau dari luas wilayah, Kecamatan Empang, Kecamatan Lenangguar

dan Kecamatan Lunyuk merupakan tiga kecamatan terluas dengan proporsi

mencapai sembilan persen dari luas wilayah kabupaten. Wilayah tersempit dimiliki

oleh Kecamatan Sumbawa yang meliputi wilayah daerah seluas 44, 83 km2

atau

0,67% dari luas kabupaten. Berdasarkan jarak ke pusat kota Sumbawa Besar,

Kecamatan Tarano, Kecamatan Empang, dan Kecamatan Lunyuk merupakan tiga

kecamatan terjauh yang berjarak 103 km dan 93 km untuk dua kecamatan terakhir.

Dengan demikian, Lunyuk merupakan wilayah kecamatan terluas dan terjauh dari

kota Sumbawa Besar (Tim BPS, 2010: 60; 195-196).

Pada logo pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa tercantum motto

Sabalong Samaléwa yang dapat disingkat menjadi Samawa. Sabalong berasal dari

Bahasa Sumbawa sai „satu‟, dan balong „baik‟. Samaléwa berasal dari akar kata

sama „sama‟ dan lewa „terus, seimbang‟. Sabalong Samaléwa dimaknai sebagai

Page 70: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

70

tekad untuk melanjutkan pembangunan yang seimbang, antara pembangunan fisik

dan mental spiritual, dengan melibatkan penduduk asli dan kaum pendatang. Logo

pemerintah daerah juga memuat mayung „menjangan‟ sebagai fauna khas

Sumbawa. Karakter menjangan yang tangkas, cerdik, dan gesit dimaknai sebagai

tekad pemerintah untuk menjadi pioner pembangunan di lingkungan Propinsi Nusa

Tenggara Barat.

4.2 Keadaan Alam dan Kependudukan

Wilayah Kabupaten Sumbawa terbentang pada kordinat 116‟420 BT -

118‟220 BT dan 8‟8

0 LS - 9‟7

0 LS. Ditinjau dari luas wilayah setiap kabupaten

terhadap luas Propinsi Nusa Tengggara Barat (NTB), tampak Kabupaten

Sumbawa menempati luas terbesar yakni 32,97%, disusul Kabupaten Bima

21,78%, dan Kabupaten Dompu seluas 11.58%. Dari sudut topografi, tanah

Sumbawa tidak rata dan berbukit-bukit. Ketinggian rata-rata berkisar antara 0

hingga 1.730 m dari permukaan air laut dan diarahkan sebagai sentra produksi

bahan pangan dan budi daya ternak. Ditinjau dari segi iklim, Sumbawa beriklim

tropis dengan temperatur berkisar antara 18,30C hingga 37,4

0C. Temperatur

maksimal terjadi pada bulan November dan minimal pada bulan Agustus,

sedangkan kelembaban udara berkisar 68% hingga 88%. Kelembaban udara

minimal terjadi pada bulan Oktober yang dipicu oleh curah hujan 0 mm yang

terjadi dari bulan Juni hingga September. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan

Februari yang diakibatkan oleh curah hujan maksimal yang mencapai 300 mm.

Rerata curah hujan tergolong kecil, yakni 108 mm dalam 94 hari dalam setahun.

Page 71: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

71

Kelembaban udara minimal biasanya terjadi mulai bulan Juni hingga September

karena kurun waktu tersebut merupakan bulan tanpa hujan (Tim BPS, 2010: 10 -

41).

Penduduk Kabupaten Sumbawa berjumlah 420.750 jiwa dengan

kepadatan rata-rata 63 jiwa/km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kecamatan

Sumbawa dengan 1.204 jiwa/km2, sedangkan Kecamatan Orong Telu, Kecamatan

Ropang dan Kecamatan Lénangguar dihuni oleh 13 jiwa/km2. Kecilnya tingkat

kepadatan penduduk berimplikasi pada lambatnya pertumbuhan ekonomi dan

terbatasnya kesempatan kerja. Oleh sebab itu, lebih dari 7.000 pencari kerja

memilih bekerja menjadi TKI di luar negeri, meskipun tidak memiliki pendidikan

dan keterampilan yang memadai. Ditinjau dari agama yang dianut, hampir 96%

penduduk Kabupaten Sumbawa menganut agama Islam. Oleh sebab itu musola

dan mesjid dapat ditemukan di seluruh pelosok. Persentase penganut agama

Hindu, Katolik, Protestan, Budha, dan kepercayaan lainnya sangat kecil. Sebagai

wilayah yang sedang berkembang, etnis lokal harus bekerja keras mengejar

kemajuan zaman dan mengimbangi ketrampilan kelompok pendatang. Tidak dapat

dihindari munculnya perbedaan sosial ekonomi dan sudut pandang antara

kelompok asli dan kelompok pendatang. Perselisihan dan tindakan melawan

hukum kerap muncul terkait hubungan muda-mudi lintas etnis.

Pada bidang pendidikan, Kabupaten Sumbawa tergolong lebih maju

dibandingkan empat kabupaten/kota lain di Pulau Sumbawa. Program wajib

belajar 12 tahun telah terealisasi hingga ke desa-desa dengan dukungan lembaga

penyelenggara pendidikan dan pusat pengembangan keterampilan. Sentra-sentra

Page 72: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

72

transmigran sudah dilengkapi dengan sekolah dasar. Di setiap kecamatan terdapat

pasar tradisional, pusat layanan kesehatan, dan lembaga perkreditan. Meskipun

demikian, jarak antara hunian transmigran dengan fasilitas umum masih sangat

jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Jarak tempuh dan keterbatasan sarana

transportasi menyisakan masalah rentan putus pendidikan dasar.

Topografi wilayah Sumbawa merupakan tanah kering dengan kontur

berbukit-bukit. Oleh sebab itu, masalah air menjadi masalah yang pelik bagi

penduduk. Meskipun pemerintah sudah mengantisipasi kelangkaan air dengan

menyediakan Wislick ‟tangki air‟, masih banyak daerah yang belum terjangkau.

Penduduk wilayah Kecamatan Utan, Kecamatan Rhee, Kecamatan Plampang, dan

Kecamatan Labangka sulit memperoleh air dari sumur yang digali secara

tradisional. Penduduk wilayah barat, seperti Menini, Batu Pedu, Sebedo, dan

Sepinduk memanfaatkan air rembesan akar pohon-pohon di punggung bukit,

berbagi dengan babi hutan dan binatang liar lainnya. Dari mata air yang berjarak

kurang lebih lima km dari perkampungan itu, air dialirkan ke rumah-rumah

penduduk secara bergilir. Setiap keluarga berhak menerima pembagian air selama

dua jam setiap dua hari untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Di sentra Prode

dan Labangka, penduduk harus berjalan sejauh lima ratus meter untuk

mendapatkan air dari tangki Wislick. Permasalahan air dihadapi pula oleh

transmigran di Kecamatan Plampang yang harus mandi dan mencuci dengan air

asin sebagai dampak lokasi yang berbatasan dengan teluk Santong. Pandangan

lain menyebutkan bahwa rasa asin pada air sumur tradisional diprediksi berasal

dari susunan abu vulkanik letusan Gunung Tambora.

Page 73: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

73

4.3 Komunitas Transmigran Bali

Keberadaan Etnis Bali di Sumbawa tidak terlepas dari kebijakan

pemerintah dalam upaya pemberdayaan penduduk dan pengembangan potensi

daerah melalui program transmigrasi. Pemerintah menetapkan status Pulau

Sumbawa sebagai penerima transmigran yang berasal dari Jawa, Madura, Bali,

dan Lombok dengan Surat Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1973. Keputusan itu

dilandasi perbandingan luas wilayah dan jumlah penduduk, setelah sebagian besar

penduduk Sumbawa tewas akibat meletusnya Gunung Tambora dan wabah

penyakit. Dengan menjadi destinasi transmigrasi, Kabupaten Sumbawa yang

mewilayahi bagian tengah Pulau Sumbawa dan sederetan pulau kecil di pesisir

utara, seperti Pulau Moyo, Pulau Medang, Pulau Panjang, Pulau Liang, Pulau

Ngali, dan Pulau Rakit berhasil meningkatkan jumlah rata-rata penduduk menjadi

63 jiwa/km2. Masuknya pendatang ke Tana Samawa „tanah Sumbawa‟ berhasil

mewujudkan misi percepatan pembangunan daerah dalam prioritas sebagai sentra

pengembangan tanaman bahan makanan (Tabama) dan budi daya ternak (Tim

BPS, 2010: 60; 195).

Perlu ditegaskan bahwa penempatan transmigran Bali di Sumbawa

berbeda dengan pemberangkatan antarpulau sebelumnya. Bila pemberangkatan

ke berbagai wilayah di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi diselenggarakan

melalui program transmigrasi umum (Malini, 2011: 173), pemberangkatan ke

Pulau Sumbawa bersifat swakarsa atau spontan. Artinya, perpindahan baru

terlaksana setelah masyarakat aktif menghimpun diri, bersedia menanggung

seluruh beaya pemberangkatan, dan memperoleh rekomendasi penempatan dari

Page 74: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

74

pemerintah daerah tujuan. Penempatan pertama terjadi pada bulan Juli 1969 di

Kecamatan Lunyuk, sekitar 95 km selatan kota Sumbawa Besar. Di bawah

pimpinan Pan Satub dan I Nyoman Sutantra, kelompok perintis yang terdiri atas

28 KK itu berhasil menembus hutan Lenangguar dalam dua hari perjalanan.

Daerah yang diperuntukkan bagi transmigran Bali dikenal sebagai daerah tertutup

di kalangan etnis Samawa. Mitos yang berkembang menyatakan bahwa setiap

orang yang memasuki wilayah tersebut tidak akan dapat keluar dalam kondisi

sehat, tetapi menjadi gila atau mati kelaparan. Wilayah yang diyakini angker itu

kini bernama Desa Sukamaju. Dalam tiga gelombang berikutnya, Kecamatan

Lunyuk terus menjadi tujuan transmigran Bali. Pada tahun 1972 transmigran dari

Lombok Timur dan transmigran lokal juga mengambil lokasi di Lunyuk.

Dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1973, lokasi

penempatan transmigran diperluas meliputi beberapa kecamatan di bagian barat,

selatan, dan timur ibu kota kabupaten. Gelombang transmigran Bali yang tiba

pada tahun 1975 hingga tahun 1978 ditempatkan di daerah Kecamatan Labuan

Badas, khususnya Desa Kanar dan Sampar Maras. Periode tahun 1980-1981

penerimaan transmigran Bali di Sumbawa dihentikan karena terjadi kerusuhan.

Perkampungan Bali dikepung dan beberapa rumah dibakar massa. Kondisi genting

juga memaksa transmigran Bali mengungsi ke lereng bukit atau meninggalkan

Pulau Sumbawa untuk sementara waktu. Setelah kondisi kondusif, kelompok

transmigran Bali mulai berdatangan dan ditempatkan di Kecamatan Utan,

Kecamatan Rhee, dan Kecamatan Plampang. Kelompok terakhir ditempatkan di

sentra pemukiman (SP) Prode dan Labangka. Antusiasme transmigran Bali

Page 75: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

75

berpindah ke Kabupaten Sumbawa dimotivasi oleh keinginan memperoleh lahan

tanam yang luas. Pemilihan pulau Sumbawa didasarkan atas pertimbangan jarak

tempuh, vegetasi rendah, dan tipe tanah terbuka. Kini, generasi yang produktif

adalah generasi kedua atau ketiga (Wawancara dengan ketua PHDI Kabupaten

Sumbawa).

Tampaknya kontribusi Etnis Bali dalam memajukan potensi daerah telah

mendapat pengakuan dan diwujudkan dalam logo pemerintah daerah. Etnis Bali,

Jawa, dan Sasak disatukan dalam sebutan etnis Majapahit dan dikukuhkan sebagai

satu dari lima etnis pendukung kemajuan pembangunan Kabupaten Sumbawa.

Empat etnis lainnya adalah Etnis Samawa, Etnis Bugis, Etnis Makasar, dan Etnis

Banjar. Pada logo pemerintah daerah, kelima etnis itu disimbolkan dengan akar

yang menyangga tegaknya pohon beringin (Tim BPS, 2010: ix, 196).

Komunitas Bali dapat ditemukan di kota kabupaten ataupun di pedesaan.

Komunitas Bali yang menetap di kota kabupaten bekerja sebagai wirausahawan

atau pegawai. Mereka umumnya merupakan mantan karyawan unit Pekerjaan

Umum yang dikirim dari Bali untuk pengerjaan jalur Sumbawa-Bima. Sebagian

lagi merupakan mantan pencari kayu sawo atau kayu eboni di Pulau Moyo untuk

bahan patung di Bali. Bersamaan dengan selesainya proyek Trans Sumbawa dan

dikeluarkannya larangan menebang kayu di pulau-pulau kecil di kawasan utara

pulau Sumbawa, mereka memutuskan untuk menetap di Pulau Sumbawa sebagai

karyawan pada dinas setempat. Sebagian kecil lainnya merupakan transmigran

yang gagal memperoleh lahan di tempat tujuan. Transmigran gagal itu enggan

pulang ke Bali dan memilih hidup di kota dengan berwirausaha, sementara ada

Page 76: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

76

juga yang berpindah ke Sumbawa karena tuntutan pekerjaan. Sekitar 80%

transmigran Bali hidup di sentra pemukiman dengan mata pencaharian sebagai

petani. Data statistik Kabupaten Sumbawa 2010 mencatat jumlah komunitas

transmigran Bali mencapai 11.264 jiwa, dan jumlah itu diprediksi sudah

berkembang pesat. Berikut sebaran pemukiman komunitas Bali (diadopsi dari

Tim BPS, 2010: 196).

Tabel 4.1

Komunitas Bali di Sumbawa

No. o Kecamatan Jumlah No Kecamatan Jumlah

1. 1 Sumbawa 2.939 jiwa 10. 10 Alas Barat 57 jiwa

2. 2 Lunyuk 2.467 jiwa 11. 11 Moyo Hulu 36 jiwa

3. 3 Labuan Badas 1.398 jiwa 12. 12 Lopok 20 jiwa

4. 4 Utan 1.403 jiwa 13. 13 Lapé 18 jiwa

5. 5 Rhéé 1.060 jiwa 14. 14 Lénangguar 13 jiwa

6. 6 Plampang 927 jiwa 15. 15 Moyo Hilir 11 jiwa

7. 7 Labangka 664 jiwa 16. 16 Empang 9 jiwa

8. 8 Alas 142 jiwa 17. 17 Buér 7 jiwa

9. 9 Tarano 93 jiwa Total : 11.264 jiwa

Tabel (4.1) di atas menunjukkan sebaran transmigran Bali dengan jumlah

terbesar bermukim di Kecamatan Sumbawa. Jumlah komunitas Bali di kota

Sumbawa sebagian besar bukan merupakan kelompok transmigran yang

berpindah untuk memperoleh lahan, tetapi kelompok yang menetap karena alasan

pekerjaan. Komunitas Bali dapat ditemukan pada hampir setiap kecamatan di

Kabupaten Sumbawa, kecuali Kecamatan Orong Telu, Kecamatan Batulanteh,

Page 77: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

77

Kecamatan Unter Iwes, Kecamatan Moyo Utara, Kecamatan Ropang, Kecamatan

Lantung, dan Kecamatan Maronge. Jadi, transmigran Bali dapat ditemukan pada

sebagian besar wilayah kecamatan di Kabupaten Sumbawa.

Secara spasial, ada kecenderungan pola penataan kelompok transmigran.

Etnis asli Sumbawa ditempatkan pada wilayah desa yang berdekatan dengan pusat

kegiatan umum atau kota kecamatan. Tampaknya pemerintah daerah

memrioritaskan relokasi etnis asli sebelum pencanangan lahan bagi transmigran

luar pulau. Setiap sentra dibentuk dengan mempertemukan minimal tiga etnis,

yakni, satu etnis asli dan dua etnis pendatang. Etnis asli menghuni lahan yang

paling datar, dekat dengan akses jalan raya, dan fasilitas sosial. Kelompok

pendatang ditempatkan di wilayah yang lebih menjorok ke dalam, berbukit,

dengan akses jalan yang memprihatinkan. Komunitas Bali umumnya memilih

lokasi yang paling dalam, jauh dari pusat keramaian, berbatasan dengan bukit atau

berdampingan dengan laut. Di sentra selatan, komunitas Bali hidup berdampingan

dengan komunitas Samawa dan Sasak. Di sentra timur, komunitas Bali

bertetangga dengan komunitas Samawa dan Jawa, sedangkan di sentra barat,

komunitas Bali hidup berdampingan dengan komunitas Samawa, Bugis, dan

Sasak.

Persatuan antarkomunitas di sentra transmigran diwadahi Forum

Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB). Tujuan forum itu untuk membina

keharmonisan, menjembatani perbedaan antarkomunitas agar dapat secara

bersama-sama mengembangkan potensi daerah. Dibandingkan dengan sesama

kelompok pendatang, hubungan dengan komunitas lokal terjalin lebih akrab.

Page 78: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

78

Persentuhan komunitas Bali dan Samawa telah terjalin sejak awal pemukiman.

Sebagai contoh, komunitas lokal bertindak sebagai pensuplai air minum, lauk-

pauk, makanan jadi, hingga penyedia lahan tambahan. Saat ini, aktivitas jual beli

antaretnis tidak saja dilakukan dengan uang, tetapi juga dengan sistem barter.

Etnis asli menukarkan lahan dengan sapi, sepeda, tali, atau radio. Kelompok

pendatang umumnya menukarkan hasil kebun dan beras dengan makanan olahan.

Ditinjau dari tipe petani, transmigran Bali adalah petani pemilik penggarap.

Artinya, lahan yang dimilikinya diolah dan ditanami secara mandiri, tanpa

melibatkan penyakap. Proses penanaman dan panen dikerjakan dengan sistem

maslisian ‟gotong royong‟ internal kelompok. Kekurangan tenaga kerja diambil

dari etnis Samawa dengan upah harian berkisar antara Rp 50.000,00 – Rp

60.000,00 (limapuluh ribu rupiah hingga enam puluh ribu rupiah). Pemilik lahan

dapat mempekerjakan tiga puluh hingga lima puluh orang pekerja dalam satu

lokasi sesuai dengan luas lahan. Setiap KK memiliki lahan tanam bervariasi mulai

dari 3-8 hektar. Pada setiap sentra, tujuh puluh lima persen luas lahan pertanian

dikuasai oleh komunitas Bali. Komoditas yang diproduksi adalah jagung, kacang-

kacangan, buah-buahan, dan padi. Jagung dipandang sebagai tanaman primadona.

Dalam sekali panen, petani dapat memperoleh 6 hingga 7 ton jagung kering /hektar

atau setara dengan Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) bersih. Tidak jarang

transmigran menyewa lahan etnis asli untuk menambah area tanam dan

meningkatkan jumlah penghasilan. Akan tetapi, produksi jagung dapat menyusut

pada kemarau panjang dan hantaman angin kering.

Page 79: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

79

Hasil wawancara menunjukkan bahwa TNNGB yang dipraktikkan tidak

seluruhnya merupakan teks yang dibawa dari Bali. Para pamangku tidak membawa

buku atau lontar apapun ke Sumbawa, bahkan sebagian besar di antaranya tidak

dapat membaca lancar. Buku-buku penuntun mulai diusahakan ketika pemukiman

sudah mulai tertata, atau sekitar lima tahun setelah penempatan. Menghadapi

kemarau panjang yang menyulitkan semua petani, pamangku terpanggil pulang ke

Bali mencari acuan dan belajar. Akan tetapi, teks yang diperoleh adalah teks

nerang ‟tolak hujan‟ yang bersifat lisan. Teks nerang inilah yang kemudian

dimodifikasi disesuaikan dengan kebutuhan. Kondisi tadah hujan tidak

memungkinkan teks nerang difungsikan dan dinyatakan sebagai teks

nonfungsional. Teks nerang bahkan diyakini dapat membahayakan partisipan

kunci dan lingkungan. Dengan berpedoman pada teks nerang yang sudah

dipelajari, teks neduh ‟panggil hujan‟ mulai disusun. Selanjutnya, teks neduh

‟panggil hujan‟ dipraktikkan dan diterima sebagai teks fungsional (Wawancara

dengan Mangku Dastra, Plampang).

4.4 Organisasi Sosial

Di daerah pemukiman terdapat dua jenis organisasi sosial yang mewadahi

proses sosialisasi antaranggota. Organisasi sosial antarkomunitas mewadahi semua

komunitas di wilayah satu kecamatan dan memfasilitasi perbedaan yang ada pada

masing-masing kelompok. Pada wilayah sederajat desa juga terbentuk kelompok

yang lebih kecil yang beranggotakan semua anggota kelompok bersangkutan.

Page 80: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

80

Organisasi antarkomunitas memiliki sifat keanggotaan yang terbuka bagi

kelompok-kelompok yang berada pada satu lingkungan kecamatan.

4.4.1 Organisasi antarkomunitas

Satu-satunya organisasi yang bersifat terbuka bagi semua kelompok adalah

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Keanggotaan orgnisasi kerukunan

itu meliputi semua komunitas yang menetap di suatu kecamatan, baik yang

menganut agama Islam, Kristen, Hindu, Bhuda, Katholik, maupun aliran

kepercayaan lainnya. Kepengurusan organisasi kerukunan terdiri atas tokoh adat

dan pemuka agama. Organisasi kerukunan bertujuan menciptakan keharmonisan

antarkomunitas termasuk meminimalisasi kemungkinan perselisihan, dan

menjembatani berbagai perbedaan pandangan. Pada pernikahan antaretnis,

organisasi kerukunan itu mensyaratkan adanya pengenalan dan pengajaran prinsip-

prinsip dasar agama yang akan dianut dan dikuatkan dengan bukti tertulis yang sah

menurut hukum bagi calon pasangan yang akan beralih keyakinan. Organisasi itu

juga mengatur tatanan sosial masyarakat, misalnya pemeliharaan ternak,

pembukaan kios, di samping hukuman bagi pelaku tindak pidana. Contohnya,

pemeliharaan babi harus dikandangkan tersembunyi dari pandangan umum,

sedangkan anjing tidak boleh dipelihara di areal perkampungan. Anggota

kelompok tidak dibolehkan membuka kios di luar sentra etnisnya. Oknum yang

terbukti melakukan tindakan melawan hukum diwajibkan meninggalkan desa.

Sebagai bentuk toleransi terhadap kepentingan kaum mayoritas, pemeliharaan

anjing hanya dilakukan di gubuk perladangan. Penduduk juga gemar memelihara

Page 81: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

81

anjing pemburu yang ditugaskan menjaga ladang dari serbuan monyet, babi hutan,

banteng, atau rusa.

Satu-satunya sentra pemukiman transmigran Bali yang memiliki tata

kelola air adalah Desa Sukamaju, Lunyuk. Pengelolaan air ditangani oleh P3A

(Perkumpulan Petani Pengelola Air) yang bekerja sama dengan JPA (Juru Pintu

Air) yang bertugas di dam induk Pelara. Pengurus P3A dibantu oleh Malar

(pengatur air) bertugas mengawasi pembagian air. Sawah-sawah dapat ditanami

tiga kali setahun dengan dua kali padi dan sekali palawija, sedangkan lahan kering

di punggung-punggung bukit hanya dapat ditanami jagung satu kali dalam

setahun. Dengan sistem pembagian air yang bagus tidak mengherankan produksi

melimpah-ruah sehingga Lunyuk dijuluki ”Lumbung Sumbawa”.

Ironisnya, sungai Brang Beh yang melintasi Kecamatan Lunyuk hampir

setiap empat tahun membawa petaka banjir yang merendam lahan persawahan,

merusak pondok, dan menghanyutkan ternak. Penduduk lokal masih meyakini

mitos datuk Beh yang menyatakan bahwa sungai Beh merupakan lintasan bagi

datuk Beh „naga jantan‟ untuk menemui naga betina yang bersemayam di muara.

Pertemuan dua naga itu terjadi di gumbleng „aliran yang berkelok-kelok‟ di desa

Sukamaju. Setelah banjir reda akan muncul koloni ikan ipin yang sangat lezat.

Kisah enaknya ikan ipin dapat ditemukan pada lawas berikut.

Tangis anakne datuk Beh

tangis anak-DEF raja besar

„Tangis anaknya Datuk Beh‟

Siong tangis tekan tonang

NEG tangis gelang kalung

„Tidak meminta gelang kalung‟

Page 82: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

82

Tangis ipin katutimu

tangis ipin masak-PAS

„Meminta ikan ipin yang lezat‟

Lawas Datuk Beh dapat dilihat sebagai anjuran membiasakan diri

menjalani pola hidup sederhana, tanpa perhiasan yang berlebihan. Sementara itu,

mitos datuk Beh mengajarkan hidup bersyukur karena selalu ada kebaikan yang

disisakan dari musibah tertentu. Akan tetapi, pemahaman yang keliru terhadap

implementasi hidup syukur dan sederhana itu berdampak pada lambatnya

perkembangan sosial-ekonomi masyarakat lokal.

4.4.2 Organisasi intrakomunitas

Terlepas dari tata pembagian wilayah secara administratif, komunitas Bali

membentuk organisasi internal yang mengatur pelaksanaan adat secara mandiri.

Transmigran membentuk desa adat, dusun, tempekan atau sekaa. Sebagai contoh,

dari 11 desa di Kecamatan Plampang, komunitas Bali dapat ditemukan di lima

desa, seperti desa SP 2 Prode, SP 3 Prode, Sepakat, Sepayung dan Plampang

dengan jumlah sekitar 276 KK. Persatuan komunitas Bali tingkat kecamatan

dipimpin oleh seorang pamangku yang menjabat sebagai ketua PHDI tingkat

kecamatan. Untuk tingkat yang lebih rendah, koordinasi dilakukan oleh kelian

atau bendesa ‟ketua adat‟. Sebagai desa tertua, desa adat Sepayung tidak saja

menaungi transmigran di Kecamatan Plampang, tetapi juga trasmigran Bali yang

bermukim di Kecamatan Empang dan Kecamatan Labangka. Secara internal,

organisasi keadatan Plampang terdiri atas tiga desa adat, yakni desa adat

Sepayung, desa adat Prode SP 2, dan desa adat Prode SP 3. Sementara itu,

Page 83: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

83

transmigran di Desa Sepakat, Kecamatan Empang, dan Kecamatan Plampang

menggabungkan diri sebagai tempekan di bawah desa adat Sepayung.

Setiap desa adat dilengkapi pura Kahyangan Tiga, areal kuburan, dan balai

masyarakat. Meskipun demikian, tidak jarang salah satu dari pura Kahyangan Tiga

itu terletak pada desa atau kecamatan yang berbeda secara administratif.

Kebersamaan warga antarsentra yang berdampingan terlihat jelas pada

pelaksanaan melasti dan tawur agung dalam rangkaian pergantian tahun Çaka.

Pada setiap sentra didirikan pasraman sebagai pusat pewarisan budaya

Bali. Ruang belajar dan tenaga pengajar diusahakan secara swadaya, sedangkan

fasilitas belajar merupakan bantuan pemerintah melalui Kementerian Agama.

Pasraman menjadi pusat kegiatan belajar agama bagi siswa tingkat dasar hingga

menengah atas, sebagai solusi keterbatasan pengajar agama Hindu. Dari

pelatihan dan pengajaran di pasraman inilah pelajar memperoleh nilai rapor

untuk mata pelajaran agama. Pendidikan di pasraman dapat dilihat sebagai upaya

pemertahanan identitas kelompok di tengah kaum mayoritas.

Di samping organisasi keadatan, ditemukan juga organisasi kecil yang

disebut sekaa „kelompok‟. Kelompok tani, sekaa makidung „kelompok

bernyanyi‟, sekaa janger „kelompok tari‟, sekaa tabuh „kelompok orkestra‟, dan

sekaa maslisian „kelompok panen‟ mudah ditemukan. Kelompok yang paling

unik adalah sekaa sémér „kelompok sumur‟ atau kelompok ai „kelompok air‟.

Kelompok sumur di Plampang beranggotakan lima hingga delapan kepala

keluarga yang secara bergantian bertugas memeriksa bak dan pipa dari sumur ke

Page 84: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

84

rumah-rumah dan ladang gembala. Air sumur ditampung dalam bak besar

sebelum digunakan untuk MCK.

4.5 Adat dan Budaya Religi

Transmigran Bali masih mempertahankan adat dan budaya daerah asal

dalam hal pola penataan pekarangan rumah yang mengaplikasikan konsep Asta

Kosala-Kosali „aturan tata ruang‟. Pekarangan disimbolkan sebagai tubuh yang

memiliki bagian kepala, badan, dan anggota. Arah terbitnya matahari atau gunung

diidentikkan dengan kepala sehingga dijadikan tempat bangunan suci. Arah

terbenamnya matahari atau laut dipandang ruang kotor yang dimanfaatkan untuk

lokasi dapur, kamar mandi, atau kandang ternak. Bagian tengah pekarangan

merupakan rumah tinggal. Di situ tidak ditemukan jineng „lumbung padi‟ atau bale

adat yang berfungsi religius. Pada lingkup desa terdapat pura Kahyangan Desa

dan pura kelompok. Pura kelompok yang ditemukan di setiap sentra adalah pura

Penyawangan Dalem Nusa atau Penataran Dalem Péd sebagai tempat pemujaan

figur Ratu Gede Mas Macaling.

Tata cara pelaksanaan piodalan pura tampak unik karena sebagian besar

bahan upacara merupakan donasi masyarakat. Barang yang dapat disumbangkan

di antaranya, semat, janur, kayu bakar, jajan, tebu, daun pisang, pisang, wakul,

tamas, ceper, atau kelapa, di samping dua kilogram beras dan uang sebesar Rp

10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai sumbangan wajib. Upacara umumnya

dilaksanakan secara sederhana sesuai dengan ajaran Siwa Bhuda, tanpa rangkaian

nyejer „perayaan hari kedua atau ketiga‟ atau makemit „berjaga di pura‟. Aktivitas

masaiban „menghaturkan persembahan harian‟ di tingkat keluarga jarang

Page 85: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

85

ditemukan. Mabanten canang dilakukan pada sanggah atau pelinggih pada hari-

hari tertentu. Perayaan otonan „hari lahir‟, upacara penghargaan terhadap hewan

piaraan, tumbuhan, peralatan besi yang biasanya dilakukan pada tumpek menurut

kalender Bali sudah mulai ditinggalkan. Tradisi tabuh rah „sabung ayam‟

cenderung digantikan dengan kelapa dan telur.

Pengelolaan tradisi keadatan pada tingkat desa adat dilakukan oleh

pangurus adat dan paguyuban pamangku. Dua organisasi itu bekerja bersinergi

untuk kepentingan bersama.

Pengurus desa adat bertugas untuk menjalankan tugas keadatan. Organisasi

itu dipimpin oleh ketua adat yang disebut klian adat atau bendesa. Dalam

menjalankan tugas, ketua adat dibantu oleh sekretaris, bendahara, juru arah dan

serati. Pengurus adat adalah penanggung jawab atau penggerak dalam

melaksanakan ritual sebagaimana rencana yang telah disepakati oleh pihak

pamangku dengan pangurus adat. Oleh karena itu, pada setiap perencanaan ritual,

ketua adat harus berkordinasi dengan pihak pamangku yang akan nganteb

„menyelesaikan, memimpin ritual‟. Sekretaris bertugas mendokumentasikan hasil-

hasil rapat. Bendahara bertanggung jawab menghimpun dana warga dan

mendistribusikannya sesuai dengan keperluan. Juru arah bertugas menyampaikan

hasil rapat kepada anggota atau kepada ketua tempekan. Serati bertanggung jawab

dalam pengadaan sarana ritual. Biasanya serati dikordinasi oleh istri pamangku.

Sebagai pengabdi sosial, ketua adat, sekretaris, bendahara, juru arah dan serati

dibebaskan dari urunan „kewajiban‟ anggota.

Page 86: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

86

Paguyuban pamangku adalah organisasi yang beranggotakan para

pamangku pura yang dipuja oleh seluruh komunitas, seperti pamangku pura

Puseh, pura Desa, pura Dalem dan pura Prajapati. Pamangku dipilih dengan

memperhatikan garis keturunan. Artinya, orang yang berasal dari keluarga

pamangku diharapkan bersedia ngayah „mengabdi‟ setelah kasungkemin

„disyahkan‟. Selain menjalankan tugas memimpin upacara, pamangku

berkewajiban memelihara kebersihan area pura. Sebagai imbalan pengabdiannya,

pamangku mendapat hak guna pakai laba pura „tanah milik pura‟ Luas tanah laba

yang berlokasi di samping pura itu umumnya tidak kurang dari setengah hektar.

Paguyuban pamangku dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh

masyarakat melalui bendesa adat dan kelompok pamangku Kahyangan Desa.

Pertimbangan penunjukan mencakup kemampuan dalam penguasaan mantra, tata

cara upacara, niwakang dewasa ‟menghitung hari baik‟, memberi pencerahan

agama, dan aspek lain. Ketua paguyuban pamangku bertanggung jawab secara

langsung pada setiap pelaksanaan ritual sejak tahap persiapan hingga selesai. Bila

berhalangan, ketua pamangku dapat menugaskan pamangku lain untuk

menyelesaikan ritual atau membagikan tugas kepada pamangku lain bila ada

kegiatan yang membutuhkan beberapa penyelesaian atau berlangsung pada waktu

yang bersamaan. Secara rinci ketua paguyuban pamangku memiliki tugas utama

sebagai berikut:

(a) memimpin upacara yang berskala desa adat dan menjaga kesucian pura;

(b) membina pamangku lain dalam pemahaman keagamaan;

(b) mewakili komunitas pada organisasi kerukunan umat beragama;

Page 87: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

87

(c) menanamkan pengetahuan keagamaan dan tradisi bagi kaum muda;

(d) menjawab pertanyaan kelompok lain terkait kebiasaan keetnisan.

Isu sentral yang sering dipertanyakan oleh etnis lain adalah pengesahan

pernikahan, konsep banyak pura, kitab suci, makna banten, dan prosesi

pembakaran jasad. Sebagian besar pamangku mengikuti paham Siwa Bhuda yang

mementingkan kesucian niat di atas kompleksitas sarana. Hal itu diidentikkan

dengan mendengarkan swaraning wong pejah ‟suara orang mati‟ atau membaca

lontar tanpa sastra ‟lontar tak bertulis‟. Tampaknya, tatwa ‟filsafat agama‟

mendapat perhatian utama dibandingkan dengan prasarana.

4.6 Kebahasaan

Sebagai alat komunikasi antarkomunitas digunakan Bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia juga digunakan ketika menerima tamu atau orang tak dikenal,

berbicara di tempat umum, atau saat bepergian ke luar desa. Terhadap komunitas

lokal digunakan bahasa campuran Samawa dan Indonesia.

Dalam interaksi internal kelompok digunakan Bahasa Bali dengan dua

dialek, yakni basa Nusa ‟Lek Nusa‟ dan basa Bali ‟dialek Bali dataran‟. Lek Nusa

mendominasi sistem komunikasi mengingat sebagian besar transmigran berasal

dari Nusa Penida dan sekitarnya. Mereka rata-rata tidak fasih berbahasa Bali dan

enggan mempelajari tingkatan bahasa yang rumit. Kelompok Nusa menggunakan

bahasa yang tidak mengenal tingkatan dan dilantunkan dengan aksen khas.

Mereka merasa tidak pantas berbahasa Bali karena berprofesi sebagai tani kui

„petani bodoh‟. Penutur Bahasa Bali diidentikkan dengan kaum cendikia yang

Page 88: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

88

menjunjung tata kesopanan. Berikut ditampilkan struktur pronomina Bahasa Bali

lek Nusa.

Tabel 4.2

Struktur Pronomina Lek Nusa

Pronomina Subjek Komplemen Posesif

I Tunggal kola /k:l / la / l / la / l /

Jamak éba /èb/ ba /b/ ba /b/

II éda /èdə/ da /də/ da /də/

III éa /èyə/ éa /èyə/ éa /èyə/

Berdasarkan tabel (4.2) di atas diketahui bahwa bentuk pronomina dalam

lek Nusa memiliki bentuk khas dan berbeda dengan Bahasa Bali dialek daratan.

Bentuk pronomina itu tidak lazim digunakan oleh penutur ahasa Bali. Contoh

pemakaian pronomina disajikan di bawah ini.

(4.1) a. Mémék la ngladang

Ibu-DEF 1TG -ladang

„Ibu saya bekerja di ladang‟

b. Ea nyagor da kanti besoh

3TG -pukul 2TG KONJ bengkak

„Dia memukul kamu hingga bengkak‟

c. Kola maléang tuék la klambi

1TG -beli nenek 1TG baju

„Saya membelikan nenek saya baju‟

Klausa (4.1) menunjukkan pemakaian pronomina la „milik saya‟, éa „dia‟,

da „kamu‟, dan kola „saya‟ yang masing-masing berfungsi sebagai possesor (a),

Page 89: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

89

Subjek dan Komplemen (b), dan benefaktif (c). Klausa (a) memiliki predikat

ngladang „ke ladang atau bekerja di ladang‟ merupakan klausa nominal yang

berasal dari nomina ladang dan dilekati pemarkah verba aktif {-}. Ngladang

dapat disejajarkan dengan melaut dalam Bahasa Indonesia, yakni Predikator dan

lokatif berfusi yang merujuk pada kebiasaan atau mata pencaharian. Pada klausa

tersebut terjadi perubahan peringkat (rank shift), artinya, ngladang dapat dilihat

sebagai bentuk gabungan frasa verbal dan frasa adverbial yang menjalankan

fungsi sebagai predikat. Predikat nyagor „memukul‟ (b) dan meleang

„membelikan‟ (c) sepadan dengan verba nyagur dan meliang pada Bahasa Bali

dialek daratan. Bunyi vokal ke dua pada verba nyagur dan meliang tampak

memperoleh pelemahan.

Di samping perbedaan pronomina, lek Nusa juga memiliki kosakata yang

khas, seperti ditampilkan dalam tabel berikut.

Tabel 4.3

Kosakata Bahasa Bali Lek Nusa

No Bahasa Bali Arti

Lek Nusa Dialek dataran

1. 1 bletok bényék kotor, berlumpur

2. 2 tua pekak kakek

3. 3 jaha dija ke mana

4. 4 lépéh kenyel lelah

5. 5 marau won payah

6. 6 ndok tusing tidak

7. 7 ngahot ngugut menggigit

8. 8 ngamah madaar makan

Page 90: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

90

Tabel (4.3) menampilkan kosakata lek Nusa yang dipakai dalam pergaulan

sehari-hari. Verba ngamah „makan‟ dipakai secara luas, sedangkan pada Bahasa

Bali dialek daratan verba ngamah diperuntukkan bagi hewan atau dipakai sebagai

kata makian.

Ditinjau dari sudut fonologis, proses pengenduran vokal ditemukan dalam

frekuensi yang tinggi. Fitur unik lain adalah pemertahanan bunyi frikatif /h/ di

tengah suku kata yang biasanya dilesapkan pada dialek daratan. Proses fonologis

ditampilkan pada tabel berikut.

Tabel 4.4

Pergeseran Vokal

No. Lek Nusa Bahasa Bali Arti

1. kuhud kuud kelapa muda

duhi dui duri

2. nyahét nyait menjahit

jahé jaé jahe

3. barong bareng ikut

badong badeng hitam

4. tebol tebel tebal

besoh beseh bengkak

sékot seket lima puluh

5. getéh getih darah

lebéh lebih lebih

besék besik satu

6. séap siap ayam

Page 91: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

91

léma lima lima

7. oyah uyah garam

opin upin tiup

8. bongkong bungkung cincin

olong ulung jatuh

9. ékoh ikuh ekor

10. sempi sampi sapi

Tabel (4.4) menunjukkan variasi bunyi vokal dan semivokal pada lek

Nusa. Bunyi frikatif /h/ (1, 2) pada posisi di antara dua vokal, seperti tampak

pada [duh] dan [jah] dipertahankan pada lek Nusa. Akan tetapi, hampir semua

bunyi vokal yang memiliki ciri silabis atau puncak kenyaringan mendapat

pergeseran tempat artikulasi. Pada (3, 4) fonem /ə/ pada posisi final dibundarkan

menjadi //. Kata [badə] dibunyikan [bad] akibat pengaruh vokal bawah /a/

yang mendahuluinya. Bunyi /ə/ yang tergolong vokal tengah mengalami

pembulatan menjadi vokal belakang bila berada pada suku terakhir, sedangkan

bunyi /ə/ pada suku posisi awal tetap dipertahankan seperti [bəsh]. Pada (5, 6)

tampak fonem /i/ yang yang tergolong vokal tinggi depan dikendurkan menjadi

vokal tengah //. Pengenduran berlaku juga pada bunyi tinggi depan /i/ pada suku

pertama ataupun suku kedua, seperti pada kata /gəth/ dan /sap/. Pada (7, 8)

fonem belakang bulat tinggi /u/ di posisi awal ataupun tengah dikendurkan

menjadi vokal tengah belakang //, misalnya [uyah] dibunyikan [yah] dan

[buku] dibunyikan [bk]. Pada (9), kata [ikuh] dibunyikan [kh] setelah

Page 92: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

92

melewati proses pelemahan secara harmoni, yakni bunyi inisial /i/ dilemahkan

menjadi // dan bunyi /u/ dilemahkan menjadi //. Pelemahan juga dapat dilihat

pada kata [sampi] yang dibunyikan [səmpi].

Page 93: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

93

BAB V

STRUKTUR SKEMATIK

5.1 Pengantar

Sebagai bahasa yang menjalankan fungsi, setiap teks selalu memiliki

skema tertentu yang menjelaskan ranah. Skema yang dimunculkan dapat

digunakan oleh pelibat lain mengenali ranah pembicaraan. Selanjutnya, skema

percakapan dapat menuntun pelibat untuk memberi respon yang sesuai. Eggins

(1994: 26) mendefinisikan ranah (genre) sebagai wadah atau cara yang

berorientasi pada tujuan atau aktivitas yang bertujuan dalam cara-cara yang sesuai

dengan budaya pembicara. Realisasi suatu ranah mengacu pada bagaimana

sesuatu dilaksanakan dengan bahasa ketika bahasa digunakan untuk mewujudkan

tujuan tertentu. Dengan demikian, suatu ranah tertentu memiliki struktur generik

yang khas dilihat dari tahap-tahapan atau pilihan leksikon yang digunakan. Pola

penahapan dan langkah kerja yang dilakukan oleh suatu kelompok mencerminkan

kebiasaan kelompok bersangkutan untuk merealisasikan suatu ranah. Jadi, tahap-

tahapan memiliki kontribusi positif dalam merepresentasikan ranah ke dalam

teks.

Secara teoretis, struktur skematik merupakan cara atau tahap pergerakan

dari A ke B pada suatu budaya untuk menunjukkan fungsi bahasa pada budaya

yang bersangkutan. Dalam upaya mencapai suatu maksud itulah, suatu komunitas

memiliki tata cara yang dapat saja berbeda dengan komunitas lainnya. Misalnya,

pada transaksi jual-beli dibutuhkan tahapan yang berbeda dengan teks

Page 94: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

94

mendongeng atau bertaruh. Singkatnya, skema tahapan merupakan urutan

kegiatan dalam merealisasikan suatu ranah dalam menjalankan fungsinya. Jadi,

struktur skematik mencakup penahapan seluruh peristiwa teks, baik menyangkut

struktur bahasa, struktur makro, maupun struktur mikro.

Perbedaan tahapan dan langkah kerja tergantung pada budaya dan situasi

yang melatarbelakanginya. Situasi seperti apa yang dibicarakan, cara pelibat

membicarakannya, dan partisipan yang terlibat dalam situasi tersebut dijiwai oleh

budaya komunitas bersangkutan. Ranah sebagai konteks budaya selanjutnya

direalisasikan dalam konteks situasi yang ada di bawahnya. Konteks situasi itu

terdiri atas tiga komponen berikut (Eggins, 1994: 52).

(1) Medan (field) yakni unsur yang merujuk pada sesuatu atau peristiwa yang

sedang terjadi yang di dalamnya terlibat pembicaraan dengan media bahasa.

(2) Pelibat (tenor) mengacu pada orang-orang yang terlibat dalam peristiwa

bahasa, peran pelibat, kedudukan para pelibat, jenis hubungannya dengan

pelibat lain yang mempunyai arti penting dalam peristiwa yang tengah

berlangsung.

(3) Sarana (mode) merujuk pada peran yang dimainkan oleh bahasa yang

dipakai oleh para pelibat.

Struktur skematik tidak hanya mencakup rangkaian peristiwa pembentuk

teks, tetapi juga struktur struktur konstituen dan label fungsi. Struktur konstituen

adalah tata urutan konstituen pembentuk teks. Label fungsi adalah fungsi yang

dijalankan oleh klausa tertentu untuk mendukung fungsi yang lebih besar, baik

yang berkaitan dengan fungsi formal gramatika maupun fungsi semantik

Page 95: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

95

fungsional. Teks tidak diukur dari jumlah kata yang digunakan, tetapi

kompleksitas fungsi dalam interaksi sosial. Dalam sudut pandang fungsi, sebuah

teks diibaratkan buku, yang secara formal tersusun atas beberapa bab, dan secara

fungsional tersusun atas bagian-bagian yang saling berkaitan. Bagian-bagian itu

ada yang menjalankan fungsi sebagai pembukaan, isi, atau penutup. Lebih lanjut,

setiap bagian tersebut juga mengemban fungsi tertentu, seperti tujuan, latar

belakang, argumentasi dan lain-lainnya (Eggins, 1994: 37).

Pandangan fungsional didukung pula oleh Larson (1998: 383) yang

menyatakan bahwa suatu teks terdiri atas proposisi, yakni konsep-konsep yang

berupa unit-unit semantik yang dikomunikasikan. Dari konsep-konsep tersebut

ada yang bertindak sebagai konsep sentral dan yang lainnya adalah konsep yang

berkaitan dengan konsep sentral tersebut. Konsep-konsep dapat dikelompokkan

berdasarkan klaster proposisi sehingga terbentuk episode sesuai dengan struktur

semantiknya. Dengan demikian, suatu teks pada dasarnya tidak hanya memiliki

tata urutan tahap-tahapan teks yang lebih kecil, tetapi setiap teks besar,

menengah, dan kecil juga memiliki fungsi yang mencerminkan kepaduan di antara

komponen-komponennya.

5.2 Struktur Kebahasaan

Dari segi kode bahasa yang digunakan, TNNGB tergolong teks yang

menggunakan kode bahasa majemuk. Teks disusun oleh teks-teks yang lebih

kecil yang dikodekan dengan satu hingga tiga bahasa. Pada setiap tahapan selalu

dimunculkan kode bahasa aktif, Bahasa Bali. Pada fase tertentu Bahasa Bali

Page 96: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

96

dikombinasikan dengan bahasa pasif, di antaranya, Bahasa Sanskerta atau Bahasa

Sanskerta dan Bahasa Jawa Kuna. Dengan demikian, pelapisan struktur

kebahasaan TNNGB terdiri atas bahasa aktif yang dikombinasikan dengan bahasa

pasif yang berstatus nonmedia interaksi. Pemakaian bahasa pasif dapat dilihat

sebagai media memasuki ranah sensitif ketika seseorang berdoa, memuja, dan

memohon perlindungan Tuhan. Penguasaan bahasa pasif umumnya bersifat pasif,

dalam arti tuturan yang dilantunkan tidak dipahami secara harfiah. Bentuk

ekspresi bahasa pasif cenderung berupa sloka, yakni bait mantra yang terdiri atas

beberapa baris pada setiap bait. Kode bahasa itu biasanya dikutip dari

pendahulunya, buku petunjuk dari PHDI, dan sumber lain. Jadi, penggunaan

klausa bahasa pasif merupakan klausa yang tidak dirancang secara mandiri.

Kosakata Bahasa Bali lek Nusa tidak dimunculkan dalam teks. Hal itu

dapat dilihat sebagai pemilahan bahasa pergaulan dari bahasa ritual. Kosakata

pinjaman dari Bahasa Sumbawa, Bahasa Sasak, Bahasa Bugis, atau Bahasa Bima

juga tidak ditemukan. Akan tetapi, kosakata Bahasa Indonesia banyak dipinjam

pada fase persiapan.

Secara umum, bahasa yang digunakan pada fase persiapan adalah

Bahasa Bali ragam hormat dan dapat didahului salam pembuka berbahasa

Sanskerta Om swastiastu ‟semoga diberkahi Tuhan‟. Beberapa kosakata Bahasa

Indonesia yang kerap dimunculkan, di antaranya, terima kasih, cuaca, usulan,

tokoh agama, masyarakat, tugas, masalah, waktu, rapat, ketua adat, dan

sebagainya.

Page 97: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

97

Setelah menyelesaikan fase persiapan, dimunculkan struktur kombinasi

tiga bahasa, masing-masing Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuna, dan Bahasa

Bali. Kombinasi itu ditemukan pada monolog fase puncak dan penutup. Pada

setiap bait tuturan berbahasa Sanskerta dan Jawa Kuna diawali dengan aksara suci

Om. Akasara suci merupakan simbol kekuasaan Tuhan sebagai pencipta,

pemelihara dan pelebur semesta. Om merupakan penyandian dari Am, Um, dan

Mam. Dalam pengucapannya, Om kerap diucapkan Ong yang mengacu pada

bentuk sandi dari Ang, Ung, dan Mang. Pamangku tampak lebih memilih bentuk

Ong untuk mendapatan bunyi yang ngereng ‟berkharisma‟. Kedua bentuk itu

mengacu pada kemahakuasaan Sang Hyang Widhi ‟Tuhan‟.

Variasi kode bahasa dalam teks dapat dikaitkan dengan fungsi antarpelibat

(Halliday dan Hasan, 1985: 16), yakni bahasa difungsikan sebagai sarana untuk

menyatakan relasi sosial. Relasi yang dimunculkan meliputi identitas diri, dan

kedekatan hubungan dengan mitra wicara. Pemakaian struktur bahasa aktif pasif

mencerminkan struktur relasi antarpelibat dalam strata berbeda. Kode bahasa pasif

mencerminkan jauhnya jarak antara manusia dan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tuhan dimuliakan dan dipuja atas kemahakuasaan-Nya. Dengan bahasa pasif

manusia memohon pengampunan atas kekeliruan pada berbagai aspek.

Permohonan penyucian juga ditujukan atas debu kotor dan dosa. Dengan tipe

relasi vertikal, manusia memohon perkenan Tuhan dalam memberi perlindungan.

Proses permohonan pengampunan berlangsung berulang-ulang yang menunjukkan

sedemikian kotor dan tercelanya manusia dibandingkan Tuhan. Bait sloka yang

dilantunkan didominasi oleh pernyataan papa ‟alpha‟ dan memohon bimbingan

Page 98: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

98

Tuhan. Sebagian besar tuturan berbahasa Sanskerta tidak dipahami secara harfiah

tetapi dipilih dalam hubungan hamba dan Penguasa semesta.

Pengalihan kode dari bahasa pasif ke bahasa aktif dapat dilihat sebagai

bentuk jalinan relasi vertikal yang diteruskan dengan relasi horizontal. Pengalihan

kode mencerminkan keberhasilan menjalin relasi dengan Tuhan dan manifestasi-

Nya sehingga pada bagian berikutnya dapat diupayakan tipe relasi horizontal yang

menautkan manusia dengan entitas yang setara. Kesetaraan itu tercermin dari kata

sandang yang digunakan, yakni I dan Ih. Pada masyarakat Bali kata sandang I

biasanya dipergunakan di depan nama laki-laki, sedangkan Ni untuk perempuan.

Kata sandang Ih dapat dipergunakan untuk memperoleh perhatian pihak yang

dimaksud. Dapat disimpulkan bahwa pemakaian Bahasa Sanskerta dan Bahasa

Bali Kawi dijadikan media menjalin harmoni dengan Sang Pencipta, sedangkan

dalam upaya menjalin harmoni dengan figur setara digunakan Bahasa Bali. Jadi,

ekspresi doa dan pemujaan dikodekan dengan bahasa yang berbeda dengan

ekspresi permintaan bantuan. Relasi ke atas diciptakan terlebih dahulu dengan

harapan permintaan bantuan dapat terkabulkan.

Berikut ditampilkan skema kebahasaan pada fase persiapan, puncak, dan

penutup (Data B2/A2).

Kode Bahasa Skema Bahasa Fase Persiapan

Sanskerta

Bali

Pembukaan …Om swastiastu. Napi wénten pak klian?...

„Salam. Ada berita apa, pak ketua adat?

Bali Inti …Kénten jero, niki jaga wénten kegiatan kerja

bakti ring pura Pucak. Kénten, duaning

Page 99: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

99

pelinggih duéné sane kasendér jebol keni ujan

tiap-tiap hari. Mangkin duaning kénten titiang

nunasang mangda nunas embang …

„Begini jero (HON), ada rencana melakukan

kerja bakti memperbaiki pura yang longsor

terkikis hujan. Oleh sebab itu, saya minta agar

anda melakukan tolak hujan‟

Bali Penutup …Nggih jero. Mangkin titiang pamit jero

mangku, suksma...„Baiklah, jero (HON).

Sekarang saya mohon diri. Terima kasih‟

Kode Bahasa Skema Bahasa Fase Puncak dan Penutup

Sanskerta Pembukaan Om awignam astu nama sidyam…

„Ya Tuhan, semoga tiada rintangan‟

…Om sabda bayu idep sudanta wiguna…

„Ya Tuhan, semoga kata-kata, tenaga dan

pikiran hamba tertuju pada kebaikan.

…Om pertama suda, dwitya suda, tritya suda,

catur tisuda, panca misuda, sad tisuda, sapta

misuda…

„Ya Tuhan, pertama suci, kedua suci, ketiga

suci, keempat suci, kelima suci, keenam suci,

ketujuh suci‟. Ya Tuhan Yang Maha suci

semoga kesucian-Mu dapat menyucikan hingga

tujuh lapis cela dan dosa manusia‟

Jawa Kuna

Bali Inti …Om pakulun Ratu Sanghyang Agama, naweg

titiang tangkil ngaturang bakti...

„Ya Tuhan, Engkau Yang Maha Benar, hamba

menghadap padaMu dengan rasa bakti.

Sanskerta Penutup Om sidirastu tatastu werdiastu.

„Ya Tuhan, semoga kami terbebas dari berbagai

rintangan, mendapat kebahagiaan dan

kemajuan‟

Page 100: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

100

Berdasarkan contoh tuturan yang digunakan pada fase persiapan, puncak,

dan penutup, struktur kebahasaan TNNGB dapat diilustrasikan sebagai berikut.

Tabel 5.1

Struktur Kebahasaan TNNGB

No. Fase Pembukaan Isi Penutup

1 Persiapan (Sanskerta) Bali ^ Bali ^ Bali

2 Puncak Sanskerta ^ Jawa Kuna

Bali ^ Sanskerta

3 Penutup Sanskerta ^ Jawa Kuna

Bali ^ Sanskerta

Struktur kebahasaan TNNGB seperti ditunjukkan tabel (5.1) menyatakan

bahwa struktur bahasa fase persiapan didominasi oleh tuturan berbahasa Bali.

Sementara itu, fase puncak dan fase penutup dikodekan dengan mengombinasikan

Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuna, dan Bahasa Bali. Jadi, struktur kebahasaan

TNNGB menggunakan Bahasa Bali yang dikombinasikan dengan bahasa pasif,

seperti ditunjukkan gambar berikut.

Gambar 5.1: Struktur Bahasa TNNGB

Berdasarkan struktur bahasa (5.1) dapat dipahami bahwa teks TNNGB

yang digunakan oleh komunitas transmigran Bali memertahankan bahasa daerah

Sanskerta

Jawa Kuna

Bali

Page 101: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

101

yang dibawa dari Bali. Unsur Bahasa Sanskerta dan Bahasa Jawa Kuna ditemukan

pada bagian non-inti fase puncak ritual dan fase penutup (panyineb). Bahasa itu

ditempatkan pada bagian pembukaan atau bagian penutup, sedangkan inti

permohonan dituturkan dalam Bahasa Bali. Teks bersifat terbebas dari kosakata

bahasa-bahasa yang hidup di sekitarnya. Kondisi ini mendukung temuan Malini

(2010) yang menyatakan bahwa kelompok transmigran tetap mempertahankan

bahasa dan tradisi yang bersifat sensitif. Kombinasi bahasa aktif dan pasif

semacam itu dapat dipandang sebagai struktur baku teks ritual etnis Bali.

5.3 Struktur Formal

Ditinjau dari sudut pandang formal, TNNGB dapat dikategorikan sebagai

teks permohonan. Hal itu diperkuat dengan dominasi permintaan pengampunan,

perlindungan, bantuan, dan berkah pada puncak teks. Permohonan itu tidak

bersifat permintaan individu tetapi harapan komunal yang difasilitasi oleh seorang

pelibat kunci. Permohonan yang disampaikan diperuntukkan bagi kepentingan

bersama sebagai kesatuan kelompok petani tadah hujan dan keberlangsungan

hidup seluruh umat manusia. Jadi, kebahagiaan yang dimohonkan bersifat

universal.

Struktur formal mengacu pada komponen-komponen teks sebagai bagian

dari keseluruhan. Secara formal teks memiliki tata cara pelaksanaan yang

dilakukan secara konvensional. Pelaksanaan teks neduh dapat memiliki tahap

pelaksanaan yang berbeda dari satu wilayah pemukiman dengan wilayah lainnya.

Ditemukan variasi tahapan yang terdiri atas empat, lima, atau tujuh tahapan,

Page 102: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

102

bahkan dalam kondisi sangat mendesak dapat dilaksanakan dengan dua tahapan.

Pelaksanaan dengan empat tahapan terdiri atas tahap marembug ‟diskusi‟,

sangkep pangurus ‟rapat pengurus‟, mapengarah ‟menyampaikan hasil rapat‟,

dan neduh ‟mohon hujan‟. Pelaksanaan teks dalam lima tahap mencakup

nanginin pamangku ‟mengundang pamangku‟, sangkep pangurus ‟rapat pengurus

desa‟, nauhin juru arah ‟menugaskan penyampai berita‟, mapengarah

‟menyampaikan hasil rapat‟, dan neduh ‟mohon hujan‟. Pelaksanaan dengan tujuh

tahap merupakan pola yang paling rumit terdiri atas tahap rarembugan ‟diskusi‟,

nanginin pamangku ‟mengundang pamangku‟, sangkep pangurus ‟rapat‟, nauhin

serati ‟menugaskan tukang sajen‟, nauhin juru arah ‟menugaskan penyampai

berita‟, mapengarah ‟menyampaikan hasil rapat‟ dan neduh ‟mohon hujan‟.

Mencermati frekuensi pelaksanaan teks tampak bahwa pola pelaksanaan dalam

empat tahap merupakan struktur formal yang paling dominan. Tabel berikut

menunjukkan variasi tahapan teks neduh ‟panggil hujan;.

Tabel 5.2

Variasi Tahapan Neduh

Fase Persiapan Fase

Puncak

Kode 1 2 3 4 5 6 7

A1 Marembug Sangkep pangurus

Mape-

ngarah

Neduh

A2 Nanginin

pamangku

Sangkep pangurus

Nauhin

juru arah

Mape-

ngarah

Neduh

A3 Rarembug-

an

Nanginin

pamangku

Sangkep

pangurus

Nauhin

serati

Nauhin

juru arah

Mape-

Ngarah

Neduh

Page 103: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

103

Berdasarkan tabel (5.2) tahap pelaksanaan teks neduh ‟panggil hujan‟

menunjukkan kesamaan pada tahap awal. Ketiga variasi dimulai dengan diskusi

antara ketua adat atau bendesa dan ketua pamangku. Diskusi awal itu kemudian

ditindaklanjuti dengan diskusi yang lebih intensif yang menghadirkan semua

pamangku Kahyangan Desa dan pengurus desa adat. Tahap sangkep ‟rapat‟ itu

digunakan sebagai ajang membahas segala seluk beluk rencana pelaksanaan teks,

termasuk penentuan sarana yang dibutuhkan. Selanjutnya, hasil rapat pengurus

harus disosialisasikan oleh juru arah kepada seluruh anggota atau ketua

kelompok.

Perbedaan yang menonjol dari tiga variasi tahapan di atas adalah hadir-

tidaknya serati ‟tukang sajen‟ dan juru arah pada rapat pengurus. Artinya,

komunitas yang memperlakukan serati ‟tukang sajen‟ dan juru arah sebagai

bagian dari pengurus desa memiliki tahapan yang lebih sederhana. Teks nauhin

serati dan nauhin juru arah disatukan dalam teks sangkep pengurus ‟rapat

pengurus‟. Sebaliknya, bila dua peran tersebut tidak diposisikan sebagai pengurus

desa dimunculkan teks nauhin serati dan teks nauhin juru arah tersendiri yang

berdampak pada penambahan jumlah tahapan. Dengan demikian, struktur formal

teks neduh dapat diringkas menjadi 4 tahap berikut.

Gambar 5.2: Struktur Formal Teks Neduh

1 2 3 4

Marembug Sangkep Pangurus Mapengarah Neduh

Page 104: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

104

Gambar (5.2) menunjukkan prosedur formal pelaksanaan teks neduh. Tiga

tahapan pertama, masing-masing, marembug, sangkep pangurus dan mapengarah

digolongkan sebagai fase persiapan. Tahap sangkep pangurus merupakan tahap

inti dari fase persiapan, tempat segala seluk beluk teks dibicarakan, seperti

penentuan waktu pelaksanaan, sarana, dan pelibat. Tahap neduh merupakan fase

puncak dalam teks panggil hujan.

Berbeda dengan teks neduh yang cenderung dilakukan secara rutin, teks

nyelang galah sangat jarang dipraktikkan karena: (a) sangat sedikit ritual berskala

besar yang dilakukan warga, (b) curah hujan sangat kecil sehingga teks tolak

hujan tidak dibutuhkan, dan (c) hujan cenderung dipandang sebagai berkah

daripada gangguan. Teks nyelang galah dapat dilaksanakan dalam empat tahapan,

yakni tahap mapinunas ‟meminta bantuan‟, ngaturang pejatian ‟menyerahkan

sarana‟, nyelang galah ‟tolak hujan‟, dan panyineb ‟penutup‟. Dua tahapan

pertama tergolong fase persiapan. Fase puncak direalisasikan dengan teks

nyelang galah ‟tolak hujan‟, sedangkan fase penutup direalisasikan dalam teks

panyineb ‟penutup‟. Pola penahapan teks nyelang galah ditampilkan pada

gambar berikut.

Gambar 5.3: Struktur Formal Teks Nyelang Galah

1 2 3 4

Mapinunas Ngaturang Pajatian Nyelang Galah Panyineb

1 2 3 4

1 2 3

Page 105: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

105

Tahapan teks nyelang galah seperti ditunjukkan gambar (5.3) bersifat

baku. Artinya, tidak ada tahap yang dapat ditanggalkan atau ditambahkan.

Kegagalan pada tahap mapinunas berdampak pada kegagalan memasuki tahap

berikutnya. Biasanya pemangku sangat selektif melakukan teks tolak hujan karena

dipandang bersifat menguntungkan secara parsial, sedangkan pihak lain tidak

diperhitungkan.

5.4 Struktur Makro

Setiap teks memiliki komponen-komponen yang bersifat menjelaskan

identitas teks, terutama konteks situasi yang melatarbelakanginya. Tidak ada teks

yang dapat dilepaskan dari konteks sebagai lingkungannya. Kaitan teks dengan

elemen konteks dipadankan dengan struktur makro. Konteks medan menjelaskan

tipe atau jenis peristiwa kebahasaan yang terjadi. Konteks pelibat menjelaskan

orang-orang yang terlibat dalam peristiwa, kedudukan, dan hubungannya dengan

pelibat lain, sedangkan konteks sarana menjelaskan peran bahasa dalam peristiwa

bahasa dalam menjalankan fungsinya.

Struktur makro TNNGB mengaitkan teks dengan konteks medan, pelibat,

dan sarana sebagai elemen situasional, termasuk status pelibat yang wajib hadir

(Pw) maupun pelibat tidak wajib (Ptw), seperti tampak pada tabel di bawah ini.

Page 106: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

106

Tabel 5.3

Struktur Makro Teks Neduh

No Fase Tahap Medan Pelibat Cara

1. Persiap

-an

Marembug Diskusi Pw: Ketua adat

Ketua pamangku

Percakapan

Semuka

Ptw: Sekretaris

Pamangku

Kahyangan Tiga

2. Sangkep

Pengurus Rapat Pw : Ketua adat

Ketua pamangku

Pamangku

Kahyangan Tiga

Pengurus adat

Percakapan

semuka

Ptw: Serati

Juru arah

Pamangku pura

Ulun Suwi

Ketua kelompok

3. Mape-

ngarah Pemberi

-tahuan

Pw: Juru arah

Warga

Percakapan

semuka

Ptw : -

4. Puncak Neduh Mohon

hujan

Pw: Ketua pamangku

Pengurus adat

Percakapan

monolog

Ptw : anggota

kelompok

Seperti tampak pada tabel (5.3), struktur makro teks neduh terdiri atas

empat tahapan yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, marembug

‟diskusi‟ adalah kegiatan persiapan yang dilakukan dengan melibatkan dua pihak,

yakni pihak keadatan dan pihak kepamangkuan. Pihak keadatan diwakili oleh

ketua adat, sedangkan pihak kepamangkuan diwakili oleh ketua paguyuban

pamangku. Biasanya ketua adat datang menemui ketua pamangku di rumahnya

dan percakapan dilakukan dengan cara semuka. Pada dasarnya marembug

Page 107: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

107

berfungsi untuk menyampaikan suatu permasalahan yang memerlukan tindak

lanjut. Diskusi awal menjadi tonggak kesepahaman antara ketua adat dan ketua

pamangku terkait dengan permasalahan yang perlu ditangani. Setelah mendapat

pemberitahuan awal itu, biasanya ketua pamangku segera memeriksa hari baik

untuk pelaksanaan teks ritual.

Kedua, teks sangkep pangurus ‟rapat pengurus‟ merupakan tahap

lanjutan dari teks marembug. Ketua adat mengundang pangurus desa untuk rapat

berkaitan dengan kondisi yang harus ditangani bersama. Pihak yang menghadiri

rapat terdiri atas pihak pamangku dan pengurus adat. Pamangku pura Puseh, pura

Desa, pura Dalem dan pura Mrajapati adalah pelibat wajib dari pihak

kapamangkuan. Di sentra tertentu pamangku pura banjar dan pura Ulun Suwi juga

dapat dihadirkan. Pengurus adat yang wajib hadir adalah klian adat ‟ketua adat‟,

sekretaris, bendahara, sedangkan serati ‟tukang sajen‟, dan juru arah ‟pengerah

masa‟ dapat diwakili oleh pengurus desa adat. Sangkep pengurus biasanya

dilaksanakan di rumah ketua pamangku dengan pola percakapan semuka.

Pada rapat pengurus, ketua adat bertindak sebagai pengatur pembicaraan

sehingga tidak ada pembicaraan yang tumpang tindih. Ketua paguyuban

pamangku bertindak sebagai nara sumber tunggal. Kehadiran beberapa pamangku

lain bertindak sebagai peserta yang cenderung menyetujui rencana yang diajukan

ketua pamangku. Langkah kerja dalam rapat dimulai dari memperoleh

kesepakatan untuk neduh. Jika semua pamangku sudah sepakat untuk melakukan

permohonan hujan, pembicaraan dilanjutkan dengan perencanaan waktu

pelaksanaan, pengadaan sarana, seleksi pelibat, dan penugasan. Rapat cenderung

Page 108: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

108

bersifat kordinasi agar setiap pihak yang berperan penting dalam masyarakat dapat

memberi masukan seperlunya terhadap rencana pelaksanaan ritual. Hasil rapat

pengurus dicatat oleh sekretaris adat, sedangkan bendahara bertugas menyerahkan

dana pengadaan sarana. Serati sebagai petugas pengadaan sarana biasanya

menerima dana sebesar Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah).

Ketiga, mapengarah ‟pemberitahuan‟ merupakan kegiatan menyampaikan

hasil rapat pangurus kepada warga atau ketua kelompok yang diharapkan tahu

atau hadir dalam pelaksanaan ritual. Kegiatan mapengarah dilaksanakan oleh juru

arah pada anggota sesuai dengan kluster tempat tinggal. Dengan demikian, juru

arah tidak harus menempuh jarak yang jauh untuk melaksanakan tugasnya,

mengingat pemberitahuan harus dilakukan secara resmi, langsung, dari rumah ke

rumah. Pemberitahuan biasanya dilakukan dua hari sebelum pelaksanaan dengan

memuat unsur-unsur, seperti (a) jenis atau rencana kegiatan, (b) waktu dan

tempat pelaksanaan, (c) partisipan yang wajib hadir, dan (d) perlengkapan yang

harus dibawa.

Keempat, neduh ‟mohon hujan‟ merupakan tahapan puncak teks panggil

hujan. Biasanya suara kulkul ‟kentongan‟ menjadi tanda dimulainya ritual. Sarana

didistribusikan sebagaimana mestinya, sedangkan pajatian dan upah-upahan

ditata di atas tikar di natar ‟halaman‟ pura. Pelibat yang aktif pada fase puncak

adalah ketua paguyuban pamangku. Jadi, secara makro tampak bahwa ketua

pamangku memegang peran kunci sehingga rumahnya dijadikan tempat untuk

merencanakan teks dan petunjuknya tidak mendapat kritik dari pelibat lain.

Page 109: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

109

Tahapan neduh dengan empat tahap di atas merupakan pelaksanaan yang

bersifat rutin dan dilaksanakan setiap awal musim tanam, atau menjelang bulan

basah (pertengahan Desember sampai pertengahan Januari), seperti diwariskan

oleh generasi sebelumnya. Petani meyakini bahwa hujan yang turun setelah

neduh bersifat sabeh merta ‟hujan berkah, hujan yang menghidupkan‟. Pada

kondisi tertentu, neduh dapat pula dilaksanakan dengan tahapan yang lebih

sederhana, khususnya pada teks neduh tahap dua dan neduh ulang. Neduh tahap

dua dapat dilakukan menjelang musim buah apabila jagung yang berumur 45 hari

belum menunjukkan bakal buah. Dalam konteks itu, ketua adat dan ketua

pamangku merencanakan ritual neduh tahap dua yang biasanya dilakukan pada

Januari atau Februari. Neduh tahap dua terdiri atas tiga tahapan, yakni,

marembug, mapengarah, dan neduh. Perencanaan neduh tahap dua tidak

memerlukan tahap sangkep. Artinya, keputusan diambil oleh ketua adat dan ketua

pamangku, tanpa melibatkan pamangku Kahyangan Tiga dan pengurus adat

lainnya. Pelaksanaannya diikuti oleh partisipan terbatas, misalnya ketua

pamangku, ketua adat dan ketua tempekan ‟kelompok‟. Pelaksanaan neduh yang

paling ringkas dilakukan dalam dua tahapan, yakni marembug dan neduh, tanpa

pelaksanaan teks sangkep dan teks mapengarah. Pelaksanaan teks neduh ulang

itu dilakukan sebagai koreksi apabila neduh di awal musim belum berhasil.

Kesuksesan permohonan biasanya dilihat dari turunnya hujan hingga hari ketiga

setelah pelaksanaan neduh. Terhitung hari keempat harus diupayakan

pengulangan teks neduh. Pelaksanaan neduh ulang merupakan inisiatif ketua

paguyuban pamangku terkait wangsit ‟firasat‟ yang diterima. Berbeda dengan

Page 110: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

110

neduh rutin, neduh ulang dilaksanakan secara nyeraya ‟dilakukan secara diam-

diam, waktu petang hari‟ dengan melibatkan ketua pamangku dan pengurus adat.

Berikut ditampilkan teks marembug antara ketua adat dan ketua pamangku

pada neduh ulang (Data A2/1.2).

Pelibat Aktif Tuturan

Klian adat Swastiastu jero mangku.

‟Salam, jero mangku‟

Ketua pamangku Swastiastu. Mai negak dini jero.

Jak pedidi manten niki?

‟Salam. Mari duduk dahulu. Anda sendiri saja?‟

Ketua adat Nggih, suksma

‟Ya, terima kasih‟

Ketua pamangku Niki jero klian. Sané limang rahina kan sampun

krama sami neduh, nanging jantos mangkin durung

kapica. Minab Ida durung suéca dawegé nika. Yén

mangkin titiang ngamanah majumu buin. Titiang sada

kukuh niki. Ngiring je mapinunas malih. Pedalem

kramané yen kekéné terus napi ya katunas?.

‟Pak Ketua Adat, empat hari yang lalu kita sudah

melakukan ritual panggil hujan tetapi hingga saat ini

belum terkabul. Saya menduga Tuhan belum berkenan

saat itu. Sekarang saya bermaksud untuk

mengulangnya. Saya agak kukuh. Mari kita memohon

lagi. Kasihan warga kalau begini terus, bagaimana

mereka bisa makan?

Ketua adat Yakti nika mangku. Punapiang niki semetoné sami.

Titiang ten uning napi, sinah mangkin jero sane

tunasin pamargi malih.

‟Benar itu Mangku. Kita pakan saudara kita semua.

Saya tidak tahu apa-apa tentu saya berharap petunjuk

dari anda lagi‟

Ketua pamangku Kené beli, ane ibi sanja polih je tiang wangsit. Mogi

saja Ida mapica. Lan majumu.

‟Begini kakak, tadi malam saya mendapat firasat.

Semoga beliau berkenan. Mari mencoba lagi‟

Ketua adat Nggih, nyak sagét gelis wenten pica.

Page 111: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

111

‟ya, semoga saja segera ada pemberian‟.

Ketua pamangku Ne pamargine kanggoang sada nyilib. Bin mani

nyoréang paek sandikala lan mapinunas ke Taman.

Sareng ajak pengurusé apang ada ajak ngaba baktiné.

‟Ini pelaksanaan diam-diam. Besok menjelang petang

kita memohon di pura Taman. Ajak dan pengurus

untuk membawa sarana permohonan‟

Ketua adat Nggih, tiang ngiring. Dadosné sapunapi indik

baktiné?

‟Baik, saya setuju. Bagaimana penggarapan sarana

permohonan?‟

Ketua pamangku Biyang mangku suba ngaryanang. Siagaang raga

tenaga ngaba banten manten.

‟Istri saya sudah menyiapkannya. Siapkan tenaga

untuk membawanya saja‟

Ketua adat Nggih, nggih. Wénten malih? Yén nénten tiang jagi

pamit ngenikin pangurusé dumun.

‟Ya, ada lagi? Bila tidak ada saya mohon diri,

memberitahu pengurus‟

Ketua pamangku Nah, amonto dogén. Jalan pada ngastiti. Yén kal ada

acara, nah kemu margi jero.

‟Ya, sekian saja. Mari bersama berdoa. Bila anda ada

acara, ya silakan‟

Ketua adat Nggih kénten tiang pamit

‟Baik, saya mohon diri‟

Pada teks marembug di atas, tampak inisiatif untuk neduh ulang

diprakarsai oleh ketua pamangku. Tindakan itu diambil sebagai bentuk

perlindungan pada kelanjutan hidup petani. Penentuan hari dan pengadaan sarana

dilakukan secara mandiri dengan melibatkan istri pamangku selaku kordinator

serati. Bila teks neduh tidak dilakukan dikhawatirkan semua petani tidak dapat

memulai aktivitas bercocok tanam.

Page 112: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

112

Teks neduh memerlukan sarana berupa sesajén, di antaranya, pajatian,

labaran, upah-upahan, dan pelengkap lainnya. Beras, jinah dan satukel benang

‟beras, uang dan seutas benang‟ merupakan simbol yang mewakili pangan,

kemakmuran, dan sandang. Sarana berupa upah-upahan dikategorikan sarana

khusus dan harus dikerjakan di rumah pamangku dan dikordinir oleh istri

pamangku. Upah-upahan dipersembahan kepada figur yang diharapkan dapat

membantu kesuksesan permohonan. Terdapat lima figur yang dilibatkan, yakni I

Ratu Ngurah Tabeng Langit ‟Penguasa Langit‟, I Gusti Wayan Teba, I Gusti

Made Jelawung, I Gusti Nyoman Pengadangadang, dan I Gusti Ketut Petung.

Persembahan untuk I Ratu Ngurah Tabeng Langit ditempatkan sebagai titik

sentral dikitari oleh persembahan untuk I Gusti Wayan Teba, I Gusti Made

Jelawung, I Gusti Nyoman Pengadangadang, dan I Gusti Ketut Petung di empat

arah angin. Selain upah-upahan, pamangku juga menggunakan sarana rerajahan

berupa empas marajah Ongkara merta ‟kura-kura bergambar aksara suci‟ yang

digambar pada media nyuh gadang ‟kelapa hijau‟. Sarana itu selanjutnya dialasi

kasa ‟kain putih‟ dan kalebok dening segara ‟dicemplungkan ke air‟ di akhir

ritual. Akan tetapi, pada wilayah barat ditemukan pemyebutan figur hitam dan

putih dengan sebutan I Wenara Petak ‟kera putih‟ dan I Sampati ‟burung hitam‟.

Kedua figur itupun dihaturkan persembahan upah-upahan sesuai dengan

warnanya.

Ditinjau dari pemohon, teks nyelang galah cenderung bersifat personal,

tetapi ada pula yang diajukan oleh kelompok. Kepentingan kelompok biasanya

lebih diperhatikan dibandingkan kepentingan perseorangan, di samping faktor

Page 113: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

113

cuaca. Berikut ditampilkan struktur makro teks nyelang galah, termasuk pelibat

wajib (Pw) dan pelibat tidak wajib (Ptw).

Tabel 5.4

Struktur Makro Teks Nyelang Galah

No. Fase Tahap Medan Pelibat Cara

1. Persiapan Mapinunas Minta

bantuan

Pw: Ketua

pamangku

Pemohon

Percakapan

semuka

Ptw: Kerabat

2. Ngaturang

pejatian Menyerah-

kan sarana

Pw: Ketua

pamangku

Pemohon

Percakapan

semuka

Ptw: Kerabat

3. Puncak Nyelang

Galah Tolak

hujan

Pw: Ketua

pamangku

Percakapan

semuka

Ptw: -

4. Penutup Panyineb Penutup Pw : Ketua

pamangku

Percakapan

monolog

Ptw: -

Struktur makro teks nyelang galah seperti ditampilkan tabel (5.4) dapat

dijelaskan sebagai berikut. Pertama, mapinunas ‟meminta bantuan‟ merupakan

tahap yang sangat menentukan bagi boleh-tidaknya ritual dilaksanakan atau

bersedia-tidaknya pamangku melakukan teks tolak hujan. Biasanya pemohon

menyatakan niatnya meminta bantuan dan kepentingan yang melandasinya. Bila

kepentingan tidak terlalu mendesak, atau dipandang sangat sulit menghentikan

hujan, permintaan cenderung ditolak. Sebaliknya, pada kepentingan yang sangat

mendesak, biasanya pamangku bersedia membantunya, sekaligus menjelaskan

sarana yang harus disiapkan.

Page 114: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

114

Kedua, ngaturang pajatian „menyerahkan sarana‟ adalah tahapan

pemohon menyerahkan banten „sajen‟ yang telah ditetapkan dilengkapi

penguleman „undangan‟ Pada penyerahan banten dapat dinyatakan kembali

identitas pemohon, dan dasar kepentingan. Pamangku lebih memilih melakukan

tolak hujan di rumahnya, agar tidak menjadi pusat perhatian. Oleh sebab itu semua

sarana harus diserahkan ke rumah pamangku.

Ketiga, nyelang galah „tolak hujan‟ merupakan fase puncak dan

cenderung bersifat tertutup. Selama proses permohonan, sarana khusus seperti

dupa, api prakpak „nyala api dari daun kelapa kering‟, atau sembe layar „lentera

apung‟ harus tetap menyala sebagai perlambang sumber panas yang diharapkan

dapat menggagalkan pembentukan mendung sekaligus meredakan hujan. Bagian

inti tahapan nyelang galah bersifat oposisional dengan tuturan neduh. Artinya,

bila pada teks neduh diharapkan mendung bermunculan di semua penjuru, teks

nyelang galah bersifat menghalau mendung atau menggagalkan pembentukan

mendung yang baru.

Keempat, panyineb „penutup‟ merupakan fase yang dapat dikategorikan

sebagai fase penutup. Tahap itu dikenal pula dengan pamancut yakni fase

mengakhiri pemohonan. Bila teks panyineb tidak dilakukan dikhawatirkan hujan

tidak akan turun untuk tempo waktu panjang. Setelah teks panyineb dilakukan

sarana boleh kalebar „dinyatakan usai‟ dan api dapat dipadamkan. Jadi, teks

panyineb difungsikan sebagai upaya mengembalikan kondisi alam sebagaimana

mestinya.

Page 115: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

115

Pada keempat fase di atas dapat dipahami bahwa ketua paguyuban

pamangku menjalankan fungsi sebagai partisipan kunci. Ketua paguyuban

pamangku berperan aktif sejak fase persiapan, puncak, hingga penutup.

Sebaliknya, ritual tidak dapat diselenggarakan tanpa kehadiran ketua pamangku.

Sarana rerajahan ‟gambar‟ dan upah-upahan ‟sarana khusus‟ yang

digunakan pada masing-masing desa tidak menunjukkan keseragaman. Teks

Nyelang galah memerlukan sarana berupa sembe layar ‟api terapung‟ dengan

rerajahan berupa Ongkara Pasupati. Rerajahan itu digambar pada jalinan lontar

untuk menyangga api. Pamangku lain dapat menggunakan sarana seikat dupa

menyala dan nyuh gading merajah Triaksara ‟kelapa gading bergambar tiga

aksara suci‟. Untuk ritual neduh ‟memanggil hujan‟ digunakan sarana nyuh

gadang merajah empas ‟kelapa hijau bergambar kura-kura‟ dilengkapi rerajahan

Ongkara merta. Pamangku lain menggunakan nyuh gadang ‟kelapa hijau‟

dengan rerajahan Dasaksara ‟sepuluh aksara suci‟.

Persamaan yang tampak pada sarana teks panggil dan tolak hujan adalah

jenis sarana banten. Untuk tujuan yang berbeda dibutuhkan sajén yang hampir

sama. Secara umum, teks neduh dan nyelang galah pada daerah tertentu

memerlukan jenis sarana sajen yang hampir sama. Persamaan juga dimunculkan

dalam struktur kebahasaaan dan struktur permohonan. Ditinjau dari struktur

tahapan, teks nyelang galah memunculkan tahap panyineb ‟penutup‟, sedangkan

teks neduh tidak memerlukan tahapan penutup. Hal itu mengindikasikan bahwa

hujan menjadi kebutuhan yang berkelanjutan.

Page 116: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

116

5.5 Struktur Fungsional

Struktur fungsional mengaitkan susunan teks dengan tiga elemen

pembentuk kesatuan teks, baik elemen pendahuluan, isi maupun penutup (Eggins,

1994: 37). Struktur fungsional juga menjelaskan hubungan antarelemen dan

kontribusi setiap elemen terhadap teks secara keseluruhan. Skema fungsional teks

dapat digambarkan sebagai berikut.

Pembukaan

Bagian Isi

Penutup

Langkah membuka

Langkah Langkah menjelaskan

Langkah menutup

Tujuan membuka

Tujuan Tujuan menjelaskan

Tujuan menutup

Bagan 5.1: Skema Fungsional

Bagan (5.1) menunjukkan skema teks ditinjau dari bagian-bagian

pembentuknya, langkah, dan tujuan yang hendak dicapai. Setiap bagian tersusun

atas sub bagian yang mendukung unifikasi fungsi. Artinya, teks

merepresentasikan kesejajaran antara komponen, langkah, dan tujuan.

Bila dicermati tampak ada sebuah kondisi yang memotivasi pelaksanaan

teks. Teks neduh dipicu oleh krisis air yang mengakibatkan keterlambatan masa

F

U

N

G

S

I

I

Page 117: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

117

tanam dan pertumbuhan buah. Agar petani dapat bercocok tanam dan

memperoleh panen yang baik maka dilaksanakanlah teks neduh. Teks harus

dilakukan dengan prosedur yang khas sebagai langkah mencapai suatu tujuan.

Struktur teks prosedural dapat dilihat pada ilustrasi berikut (diadopsi dari Larson,

1998: 405) (diterjemahkan oleh penulis).

Pembukaan Langkah 1

(kondisi)

Langkah 2

Langkah 3

Langkah 4

Prosedur

TUJUAN

Bagan 5.2: Struktur Teks Prosedural

Sebagaimana bagan (5.2), TNNGB dimotivasi oleh keinginan

menanggulangi kondisi tertentu. Penanggulangan itu memerlukan langkah kerja

yang berfokus pada tercapinya tujuan. Rangkaian langkah-langkah itu memiliki

tata urutan yang tidak dapat dipertukarkan. Jadi, TNNGB merupakan teks yang

mengaitkan kondisi dan prosedur yang disepakati untuk mencapai tujuan. Dengan

demikian terdapat kaitan antara komponen, langkah, dan tujuan seperti

ditunjukkkan tabel berikut.

Page 118: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

118

Tabel 5.5

Struktur Fungsional TNNGB

Struktur Fungsional Teks Neduh

Tahap Bagian Langkah Tujuan

Langkah

Tujuan

Marembug Pembukaan Penerimaan ^ Bertamu Hujan

turun

Isi Penyampaian masalah ^

Permintaan tanggapan ^

Penerimaan masalah ^

Penyampaian tanggapan ^

Penyampaian tindak lanjut

^ Persetujuan ^

Menyampaikan

masalah

Penutup Mohon diri ^

Persetujuan

Menutup

pertemuan

Sangkep Pembukaan Penerimaan ^ Bertamu

Isi Pernyataan tujuan ^

Permintaan tanggapan ^

Penerimaan tujuan ^

Pernyataan tanggapan ^

Pernyataan tindak lanjut ^

Persetujuan ^

Merencanakan

ritual

Penutup Permintaan penutupan ^

Persetujuan

Menutup

pertemuan

Mape-

ngarah

Pembukaan Penerimaan tamu^ Bertamu

Isi Penyampaian tujuan ^

Penyampaian isi ^

Penegasan ^

Sosialisasi

rencana ritual

Penutup Permintaan mohon diri ^

Persetujuan

Menutup

pertemuan

Neduh Pembukaan Purifikasi ^

Permohonan berkat

anugerah ^ Permohonan ^

Pengampunan^

Pemujaan ^

Pemujaan

Isi Permohonan berkah ^

Pernyataan permohonan

dan alasan ^

Permohonan bantuan^

Pernyataan persembahan

Memohon

hujan

Penutup Permohonan pengabulan

dan terima kasih

Mohon

pengabulan dan

terima kasih

Page 119: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

119

Struktur Fungsional Teks Nyelang Galah

Tahapan Bagian Langkah Tujuan

Langkah

Tujuan

Mapinunas Pembukaan Penerimaan ^ Bertamu

Hujan

berhenti

Isi Pernyataan masalah ^

Permintaan batuan ^

Penerimaan masalah ^

Pernyataan tanggapan ^

Persetujuan ^

Mohon

bantuan

Penutup Permintaan mohon diri ^

Persetujuan

Mohon diri

Ngaturang

Pajatian

Pembukaan Penerimaan ^ Bertamu

Isi Pernyataan tujuan ^

Penerimaan

Menyerah-

kan sarana

Penutup Permintaan mohon diri ^

Persetujuan

Mohon diri

Nyelang

Galah

Pembukaan Purifikasi ^

Permohonan berkah ^

Permohonan pengampunan

^ Pemujaan ^

Pemujaan

Isi Permohonan berkah ^

Pernyataan permohonan

dan alasan ^

Permohonan bantuan ^

Pernyataan persembahan

Menolak

hujan

Penutup Permohonan pengabulan ^

terima kasih

Mohon

pengabulan,

kedamaian,

dan terima

kasih

Panyineb

Pembukaan purifikasi ^

permohonan berkah ^

permohonan pengampunan

^pemujaan ^

Pemujaan

Isi permohonan berkah ^

permohonan penutupan ^

Menutup

tolak hujan

Penutup Permohonan pengabulan

^ terima kasih

Mohon

pengabulan

dan terima

kasih

Perlu ditegaskan bahwa langkah-langkah yang dimunculkan pada bagian

isi teks sangkep dilakukan secara berulang. Artinya, langkah pernyataan masalah,

Page 120: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

120

permintaan tanggapan, pernyataan tindak lanjut, dan persetujuan dilakukan

beberapa kali sesuai dengan permasalahan yang didiskusikan. Pada teks sangkep

ditetapkan rencana, waktu pelaksanaan, pengadaan sarana, seleksi pelibat, dan

penugasan juru arah.

Langkah-langkah pada puncak teks neduh dan nyelang galah tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan. Langkah purifikasi dimunculkan

beberapa kali menyangkut: (a) pembersihan tempat duduk, muka, tangan, dan diri

pamangku dari kotor, cela dan dosa; (b) purifikasi terhadap aktivitas ritual agar

terbebas dari rintangan, dan dapat membawa manfaat bagi semua; (c)

permohonan pembersihan tempat ritual, sarana, dan pelibat; dan (d) pembersihan

kesalahan, dosa dan kekeliruan yang telah terjadi. Sebagaimana fungsi pemujaan

kepada Tuhan dalam berbagai kuasa-Nya, fungsi permohonan berkah/anugerah,

dan pengampunan dimunculkan beberapa kali, misalnya permohonan berkah dan

pengampunan bagi diri pamangku, sanak keluarga, dan masyarakat. Pada bagian

isi ditegaskan figur yang diharapkan membantu, jenis bantuan, dan persembahan.

Pada bagian penutup dinyatakan permohonan pengabulan, kedamaian, dan

ungkapan terima kasih.

5.5.1 Struktur fungsional fase persiapan

Secara rinci setiap tahapan memiliki bagian pembukaan, inti, dan penutup.

Bagian pembukaan pada fase persiapan cenderung berisikan salam agama, di

samping ucapan terima kasih, permintaan maaf, dan tegur sapa kekeluargaan,

seperti beberapa contoh ekspresi berikut (Data A1/1.1/ 1, 3, 4, 5).

Page 121: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

121

(5.1) a. ...Om Swastiastu. Yéh, nggih jero klian...

salam KONT ya HON ketua adat

‟Salam, ketua adat‟

b. ...Punapi gatra niki, jero?...

TANYA kabar DEM HON

‟Apa kabar anda?

c. ...Peh jeg seken sajan sesaputané...

KONT serius INTENS pakaian-DEF

‟Pakaian anda rapi sekali‟

d. ...Ngiring mlinggih dumun....

IMPER -duduk Sirk

‟Mari silakan duduk‟.

Data (5.1) merupakan ungkapan penerimaan tamu oleh ketua pamangku.

Tampak penggunaan salam agama (a) dan ungkapan kekeluargaan (b).

Pernyataan (c) Peh jeg seken sajan sesaputané tidak dimaksudkan untuk memuji

pakaian yang dikenakan, tetapi cenderung menyadari ada suatu masalah serius

yang dibawa oleh pihak tamu. Bagian pembukaan fase persiapan juga dapat

direalisasikan dengan ekspresi permohonan maaf dan terima kasih, seperti

ditampilkan contoh berikut (Data A2/1/ 1, 2 dan A3/1/ 1, 2).

(5.2) a. ...Ampura, tiang nyelag abosbos niki jero mangku sareng sami,

KONT 1TG -sela Sirk DEM HON pamangku KUAN

Om Swastiastu...

salam

‟Maaf, saya menyela sebentar pembicaraan pamangku sekalian, salam‟

b. ...Naweg titiang niki antuk niki wenten baosang akidik...

KONT 1TG DEM PREP DEM EKS bicara KUAN

‟Maafkan saya karena ada sedikit kepentingan yang perlu dibicarakan‟

(5.3) a. ...Suksma niki indik sampun prasida rauh baik jero mangku muah

terima kasih PREP PERF bisa datang HON pamangku KONJ

Page 122: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

122

tokoh agama lan tokoh masyarakat, pangurus adat dan dinas...

tokoh agama KONJ tokoh masyarakat, pengurus adat KONJ dinas

‟Terima kasih atas kehadiran para pamangku, tokoh agama, tokoh

masyarakat, pengurus adat, dan dinas‟

b. ...Jagi iring titiang ngeninin niki cuaca sane lintang panas...

FUT IMPER 1TG -bicara DEM cuaca REL INTENS panas

‟Akan saya ajak mendiskusikan cuaca yang panas sekali‟

Data (5.2) dan (5.3) berisikan ungkapan permintaan maaf dan terima kasih.

Kedua data tersebut tidak dimaksudkan dalam makna harfiah, tetapi sebuah cara

meminta perhatian. Pemusatan perhatian para pelibat mengindikasikan bahwa

pokok acara akan segera dimulai.

Fase mapengarah jarang diawali dengan salam agama, melainkan bentuk

vokatif yang merujuk tuan rumah atau panggilan agar yang dipanggil datang

mendekat. Perhatikan contoh berikut (Data A3/3/1 dan A1/3/1).

(5.4) a. ...Man, Man Yasa, mai je malu...

NAMA sini dulu

‟Nyoman Yasa, kemarilah‟ (memanggil tuan rumah)‟

b. ...Ngah, ne ada tugas abedik...

NAMA DEM ada tugas Sirk

‟Nengah, ini ada tugas‟ (memanggil tuan rumah)

Data (5.4) tidak mengandung salam agama ataupun ungkapan honorifik.

Hal itu disebabkan oleh mitra wicara merupakan pihak yang setara. Juru arah

tidak menggunakan titel di depan nama anggota. Perlu diketahui bahwa peran

sebagai juru arah merupakan kewajiban yang harus diemban anggota secara

bergantian.

Page 123: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

123

Berdasarkan contoh ekspresi pembukaan yang digunakan ternyata terdapat

empat variasi ekspresi pembukaan. Pertama, pembukaan diisi dengan ungkapan

salam Om Swastiastu ‟semoga semua sejahtera atas lindungan Ida Hyang Widhi‟,

seperti tampak pada contoh (5.1a dan 5.2a). Salam tersebut biasanya digunakan

bersama-sama vokatif yang merujuk pada peran sosial mitra wicara, seperti

mangku, bendesa, klian, biyang serati, atau kepala dusun. Ekspresi hormat

dipertegas dengan bentuk honorifik jero bagi pemegang peran sosial yang

tertinggi, seperti ketua adat dan ketua pamangku. Bentuk honorifik jero diberikan

oleh para pamangku, pengurus adat, dan anggota komunitas. Kedua, pembukaan

diisi dengan permintaan maaf, seperti tampak pada contoh (5.1c, dan 5.2 a, b).

Permintaan maaf disampaikan karena telah menyita waktu para pelibat atau

menyela percakapan yang tengah terjadi antarpelibat. Permintaan maaf

sesungguhnya lebih difokuskan untuk meminta perhatian yang menandakan ada

permasalahan yang harus diperhatikan. Ketiga, pembukaan diisi dengan ucapan

terima kasih, seperti contoh (5.3). Keempat, pembukaan diisi dengan tegur sapa

kekariban, seperti contoh (5.4). Nama depan dapat digunakan tanpa titel tertentu

yang mengindikasikan adanya keakraban di antara pelibat.

Fungsi mendasar bagian pembukaan adalah untuk membuka percakapan.

Pembukaan percakapan dapat diisi dengan salam pembuka, sedangkan ekpresi

lainnya seperti permintaan maaf, ucapan terima kasih, dan ekspresi kekariban

cenderung bersifat basa-basi untuk memperoleh perhatian atau mencairkan

ketegangan suasana. Jadi, permintaan maaf, ucapan terima kasih dan ekspresi

Page 124: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

124

kekariban tidak mengandung makna harfiah, tetapi makna implikatif. Perhatikan

contoh pada tabel berikut.

Tabel 5.6

Bagian Pembukaan

Fase Bagi Bentuk Lingual Fungsi

Persiapan Salam

pembuka

Om swastiastu, jero klian.

‟salam, (HON) ketua adat‟

membuka

percakapan

Permintaan

maaf

Ampura, tiang nyelag

abosbos. ‟maaf, saya

menyela sebentar‟

meminta

perhatian

Ucapan terima

kasih

Suksma niki antuk prasida

rauh. ‟terima kasih atas

kehadiran anda‟

meminta

perhatian

Ekspresi

kekariban

Man man Yasa, mai je malu.

‟NAMA, kemarilah dulu‟

meminta

perhatian

Tabel (5.6) menunjukkan empat jenis ekspresi pada bagian pembukaan

yang digunakan pada fase persiapan untuk membuka percakapan. Ucapan salam

cenderung dimulai oleh pihak yang datang berkunjung atau pihak yang memiliki

peran sosial yang lebih rendah. Ekspresi meminta perhatian berfungsi

memperkecil kesenjangan antara pembicara dan pendengar. Dalam pertemuan

takformal, basa-basi dinyatakan dengan pernyataan kebetulan berjumpa,

menawarkan makanan atau minuman, menanyakan prihal kesehatan, hewan

piaraan atau ladang. Sebagian besar ekspresi umumnya diajukan oleh pihak yang

berkunjung, sambil menunggu sinyal kesiapan kedua belah pihak memasuki fase

Page 125: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

125

berikutnya. Sinyal kesiapan memasuki bagian isi biasanya ditandai dengan

pertanyaan maksud kedatangan oleh pihak yang dikunjungi. Ungkapan seperti (a)

wénten napi niki? ‟ada apa ini?‟, (b) sinah ada mabuat ne ‟pasti ada hal yang

perlu‟, (c) gatra napi niki? ‟kepentingan apa gerangan?‟, (d) durus baosang

‟silahkan bercerita‟. Kesiapan menyampaikan isi dapat juga dinyatakan oleh tamu

dengan ungkapan minta waktu atau menyatakan permasalahan. Sebagai

contohnya, (a) Nunas galah niki... ‟saya minta waktu anda‟, (b) Niki napi, indik

... ‟ini prihal...‟. Sinyal kesiapan tersebut mengharuskan pelibat untuk segera

memasuki bagian isi tanpa memperpanjang basa-basi. Dengan kata lain, sinyal

kesiapan berfungsi sebagai penggiring pelibat menuju pada bagian isi.

Ungkapan tersebut digolongkan bersifat transisional, yakni ungkapan yang

difungsikan untuk mengaitkan bagian yang satu dengan bagian berikutnya.

Melalui ungkapan transisional, pelibat dituntun untuk beralih pada bagian yang

selanjutnya daripada menghabiskan waktu dengan tuturan yang tidak relevan.

Ketiadaan basa-basi menjadi indikasi bahwa teks berfungsi sebagai teks formal.

Bagian isi fase persiapan sangat bervariasi. Misalnya, teks marembug

berisikan pembicaraan untuk mengantisipasi kekeringan yang melanda pertanian

warga. Isi teks mapinunas merupakan permintaan bantuan kepada pamangku.

Bila disepakati, pembicaraan dapat berlanjut pada jenis sarana yang harus

disiapkan.

Sebelum memasuki bagian penutup, ada bagian isi yang menggiring

pelibat untuk segera mengakhiri percakapan. Bagian tersebut bersifat prapenutup,

yakni bagian yang memberi sinyal bahwa percakapan segera harus diakhiri.

Page 126: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

126

Prapenutup biasanya diisi dengan ungkapan penegasan dengan mengulang

kembali simpulan yang dihasilkan, pernyataan acara yang harus segera dilakukan,

atau pernyataan menghemat waktu. Berikut ditampilkan ungkapan prapenutup

(Data A1/1.1/ 34, 45, 46 dan A3/4/ 17, 32 ).

(5.5) a. …Nggih, yen kénten, pang ten kasép, tiang jagi nauhin

ya kalau begitu KONJ NEG terlambat, 1TG FUT -undang

mangku sané lianan…

pamangku REL lain

„Ya, kalau begitu supaya tidak terlambat saya mohon diri untuk

mengundang pamangku lainnya‟

b. …Nggih, sampun molih titiang niki, pacuk makasami jero mangku

KONJ PERF dapat 1TG DEM, sepakat KUAN HON pamangku

sareng pangurusé indik ngamargiang peneduhan…

KONJ pengurus-DEF PREP -laksanakan panggil hujan

„Ya, rapat ini sudah menemukan kesepakatan antara pamangku dan

pangurus untuk pelaksanaan ritual panggil hujan‟

c. …Duaning galah pang ten liwat peteng, niki ngiring puputang dumun…

KONJ waktu agar NEG lewat malam DEM FUT -tutup dulu

„Karena waktu hampir larut, rapat segera saya tutup ‟

(5.6) a. …Kéto gen Yan, tiang kal dauhné malu sig pak Gedéné…

KONJ VOK, 1TG FUT barat-DEF PREP NAMA

„Sekian saja, sekarang saya mau ke rumah pak Gede‟

b. …Nggih, kénten manten, jero mangku …

KONJ itu saja VOK

„Ya, sekian saja, jero mangku‟

Bagian prapenutup merupakan cara untuk menutup bagian isi untuk

memasuki bagian penutup. Prapenutup dapat mengandung pernyataan bahwa

masih ada tugas atau pekerjaan lain yang mesti diselesaikan segera (5.5 a) (56a)

Dengan beban tugas berikutnya maka pelibat dapat mengajukan usul agar

Page 127: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

127

pembicaraan segera ditutup. Prapenutup juga dapat dilakukan dengan

pertimbangan penghematan waktu mengingat pembicaraan sudah memakan waktu

yang cukup panjang dan hari semakin larut (5.5c). Ungkapan prapenutup yang

juga ditemukan adalah permintaan penutupan karena tujuan utama sudah tercapai

dan tidak ada lagi masalah lain yang harus dibicarakan (55b). Jadi, ungkapan

prapenutup menunjukkan keengganan pelibat untuk menghabiskan lebih banyak

waktu untuk membahas permasalahan yang sudah berhasil diselesaikan.

Bagian penutup berisikan salam penutup, ungkapan terima kasih, dan

ungkapan mohon diri. Pemakaian salam penutup religi Om shanti shanti shanti

Om digunakan pada penutupan pertemuan formal. Sementara itu, pada pertemuan

semiformal atau takformal, salam tersebut tidak dimunculkan. Fakta itu

menunjukkan penggunaan salam religi yang belum simetris, artinya, pertemuan

diawali dengan salam agama, tetapi ditutup tanpa salam agama. Berikut

ditampilkan ungkapan yang dipakai pada bagian penutup (Data A1/2/24, 30 dan

A2/1/92).

(5.7) a. ...Nggih suksma jero mangku, tiang jagi pamit ...

KONJ terima kasih VOK 1 TG FUT mohon diri

‟Terima kasih jero mangku, saya mohon diri‟

b. ...Nggih kénten, tiang mulih niki, ku ...

KONJ 1TG pulang DEM VOK

‟Baik, saya minta diri sekarang, jero mangku‟

c. ...Tiang sineb antuk paramashanti Om shanti shanti shanti Om.

1TG - tutup PREP salam penutup semoga damai damai damai.

suksma

terima kasih

‟Saya tutup dengan salam penutup. Terima kasih‟

Page 128: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

128

Pada contoh (5.7) di atas tampak bagian penutup diisi dengan ucapan

terima kasih, ungkapan mohon diri, atau salam penutup, Pilihan yang cenderung

dipilih adalah ungkapan mohon diri. Dengan kata lain, berpamitan merupakan

ungkapan penutup perjumpaan yang paling sering dimunculkan. Secara rinci

struktur fungsional fase persiapan dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 5.4: Struktur Fungsional Fase Persiapan

Berdasarkan gambar (5.4) dapat diketahui bahwa fase persiapan terdiri

atas tiga bagian, yakni bagian pembukaan, isi, dan penutup yang dihubungkan

oleh ungkapan transisional. Transisi pertama menggiring pelibat untuk memasuki

bagian isi sehingga bagian tersebut dapat disebut praisi. Transisi kedua memandu

pelibat untuk mengakhiri atau menutup pembicaraan sehingga ungkapan tersebut

dapat disebut ungkapan prapenutup. Bagian pembukaan merupakan langkah

Penutup

Transisi

a. Salam penutup

b. Terima kasih

c. Permintaan maaf

d. Mohon diri

S

T

R

U

K

T

U

R

F

U

N

G

S

I

O

N

A

L

Pembukaan

Isi

a. Salam pembuka

b. Ucapan terima kasih

c. Permintaan maaf

d. Tegur sapa

Transisi

a. Pengenalan Topik

b. Pembahasan

paparan, tanggapan,

paparan lanjutan,

kesepakatan

c. Simpulan

Page 129: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

129

membuka percakapan, bagian isi adalah langkah membicarakan masalah hingga

terbentuk kesepakatan dan simpulan, sedangkan langkah penutup adalah langkah

mengakhiri percakapan.

5.5.2 Struktur fungsional fase puncak dan penutup

Monolog pada fase puncak dan fase penutup dilaksanakan oleh pamangku

dalam kondisi sadar sambil menjentikkan bunga dan memercikkan tirta ‟air suci‟.

Secara umum terdapat kesamaan struktur pada fase puncak dan fase penutup.

Bagian pembukaan diisi dengan bait-bait mantra yang bersifat menyucikan,

pernyataan pengampunan, memohon berkat agar ritual yang dijalankan sampai

pada tujuannya. Pada bagian isi, pamangku memohon berkah dan meminta

bantuan beberapa figur gaib. Selanjutnya dinyatakan jenis persembahan sebagi

wujud terima kasih atas bantuan tersebut. Bagian penutup berisi ucapan terima

kasih, permohonan maaf, dan mohon diri. Jadi, mantra yang dilantunkan pada

bagian pembukaan fase puncak tidak berbeda dengan bagian pembukaan fase

penutup. Secara garis besar, tuturan pembukaan fase puncak pada teks neduh dan

nyelang galah tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Perbedaan baru tampak

pada bagian isi, yakni mengundang mendung agar berkumpul atau menghalau

mendung agar menjauh dari lokasi ritual. Figur imajinatif diminta menyalakan api

agar semua mendung pecah atau memadamkan semua api agar mendung dapat

berkumpul untuk menjadi bahan hujan. Berikut ditampilkan struktur fungsional

fase puncak dan fase penutup.

Page 130: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

130

Gambar 5.5: Struktur Fungsional Fase Puncak dan Fase Penutup

Skema fungsional teks seperti ditunjukkan gambar (5.5) berlaku pada fase

puncak dan penutup. Dua fase itu memiliki struktur fungsional yang tidak

berbeda. Pada bagian pembukaan, ungkapan permohonan pembersihan menjadi

hal sentral. Pembersihan dapat dimaknai sebagai: (a) permohonan pembersihan

atas debu atau kotor yang ada pada diri, lokasi, dan sarana; (b) pembersihan atas

dosa, kekeliruan, dan kesalahan; dan (c) dijauhi dari kegelapan dan kebodohan.

Diharapkan Tuhan berkenan menyucikan seluruh pelibat, sarana, dan

lingkungan. Pada bagian isi dinyatakan inti permohonan, tujuan, permintaan

bantuan, penugasan kepada figur imajinatif, dan bentuk persembahan yang telah

disiapkan. Permohonan ditutup dengan ungkapan permohonan pengabulan,

kedamaian, dan terima kasih.

Penutup

a. Permohonan pengabulan

b. Permohonan kedamaian

b. Terima kasih

S

T

R

U

K

T

U

R

F

U

N

G

S

I

O

N

A

L

Pembukaan

Isi

a. Purifikasi

b. Permohonan berkat

c. Permohonan pengampunan

d. Pemujaan

a. Permohonan berkah

b. Pernyataan permohonan

c. Pernyataan alasan

d. Permohonan bantuan

e. Pernyataan persembahan

Page 131: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

131

BAB VI

STRUKTUR MODUS

6.1 Pengantar

Menurut pendekatan Sistemik, bahasa tidak hanya menjalankan fungsi

sebagai media untuk menggambarkan pengalaman, tetapi juga berfungsi sebagai

alat pertukaran dan alat merangkai pesan. Tiga fungsi bahasa tersebut lebih

dikenal dengan metafungsi bahasa. Leksikon „meta‟ merujuk pada hubungan dua

bidang karakter yang berbeda, sebagaimana metafisika, metabolisme, atau

metamorfosis (Hornby, 1978). Metafungsi itu merealisasikan konteks situasi yang

terdiri atas aspek medan, pelibat, dan penggunaan bahasa ke dalam tata bahasa

berdasarkan fungsi semantis. Proses realisasi konteks ke dalam tata bahasa

dijembatani oleh aspek semantis. Realisasi makna ke dalam tata bahasa itu

selanjutnya dikenal dengan terminologi leksikogramatika. Artinya, makna

direalisasikan dengan deretan pilihan leksikon yang disusun sedemikian rupa

dalam struktur gramatika tertentu untuk merealisasikan maksud pelibat. Struktur

gramatika yang merealisasikan makna eksperiensial disebut dengan struktur

Transitivitas. Struktur gramatika yang merealisasikan makna pertukaran

antarpelibat disebut dengan struktur Modus. Struktur gramatika yang

merealisasikan makna tekstual disebut dengan struktur Tematis.

Sebagai struktur yang merealisasikan relasi antarpelibat, struktur Modus

(Mood) mencakup dikotomi Modus-Residu (MOOD – RESIDU), dan struktur

Page 132: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

132

modus yang bersifat tipikal dalam proses interaksi. Analisis Modus mencermati

cara yang ditempuh pelibat dalam memanfaatkan bahasa sebagai media untuk

berkomunikasi atau bagaimana bahasa difungsikan dalam interaksi sosial. Jadi,

pembicara dapat memilih bentuk ekspresi, semiotik sosial, dan struktur kosakata

untuk menjalin hubungan dengan pendengar sehingga memungkinkan makna

terekspresi sesuai kepentingan pribadi pembicara. Dengan demikian, analisis

Modus berorientasi pada pihak pembicara, termasuk makna yang dipertukarkan,

leksikon yang dipilih untuk merealisasikan makna, tata bahasa, dan tipe respon

yang dikehendaki (Halliday, 2004: 106). Dalam kaitan itu, peran pelibat dipilah

menjadi dua, yaitu pembicara dan pendengar. Yang dimaksud dengan pembicara

ialah penulis (writer) dan pembicara (speaker), sedangkan pendengar mencakup

lawan wicara (listener), penyerta (audience), atau pembaca (reader).

Komposisi Modus-Residu mencerminkan komponen yang berfungsi

sebagai komponen utama dan komponen penunjang. Dalam kajian Sistemik,

setiap klausa lengkap mengandung kedua komponen tersebut. Akan tetapi,

komposisi Modus-Residu versi Sistemik tidak dapat dipadankan dengan nosi inti

(core)1 dan periphery (Vallin, 2005: 4). Halliday (2004: 111) dengan tegas

mendefinisikan Modus sebagai suatu elemen yang membawa argumen dan

bertanggung jawab atas kesuksesan dan kegagalan suatu proposisi (the nub of the

proposition). Dengan kata lain, Modus mengandung beban klausa sebagai sebuah

peristiwa interaksional di antara para pelibat. Jadi, berdasarkan batasan Modus itu

1 Dalam teori Relasional (Vallin: 2005) komponen inti mencakup Subjek, nuklius, dan argumen

wajib lainnya, sedangkan Adjung tergolong periphery.

Page 133: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

133

dapat ditarik simpulan bahwa Subjek sebagai argumen tertinggi secara sintaksis

merupakan komponen Modus. Rincian komponen Modus dalam Bahasa Inggris

terdiri atas (a) Subjek yang biasanya direalisasikan dengan kelompok nomina, dan

(ii) Operator verbal yang menjelaskan kala (tense), finit, polaritas ya/tidak, dan

modalitas (modality) yang menjelaskan probabilitas, frekuensi, intensitas,

kecenderungan, atau keharusan. Dalam Bahasa Inggris, identitas Modus dapat

diuji dari kemampuannya muncul dalam bentuk tag dan jawaban pendek, seperti

contoh (6.1) di bawah ini (diadopsi dari Eggins, 1994: 157).

a. Henry James wrote “The Bostonians”, didn‟t he?

b. He wasn‟t a physicist Yes, he was

No, he wasn‟t

Bentuk tag (a) dan jawaban pendek (b) itu merujuk pada Subjek dan Finit.

Bagian lain di dalam klausa (the rest of the clause), misalnya wrote “The

Bostonians (a) atau a physicist (b) dikategorikan sebagai Residu. Jadi, bagian

klausa yang tidak termasuk Modus merupakan komponen Residu. Residu bersifat

mendukung Modus, dan dapat diuji dengan penanggalan (ellipsed) pada jawaban

pendek dan bentuk tag.

Komponen Residu terdiri atas Predikator, Komplemen, dan Adjung.

Predikator biasanya direalisasikan oleh kelompok verbal, Komplemen

direalisasikan oleh kelompok nomina, sedangkan Adjung direalisasikan oleh

kelompok adverbia atau Sirkumtansi. Identitas Komplemen ialah partisipan yang

tidak penting (non-essensial participant) dalam klausa, tetapi memiliki potensi

Page 134: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

134

menduduki fungsi Subjek dalam klausa pasif. Identitas Modus-Residu yang dapat

diuji dengan bentuk tag dan jawaban pendek diprediksi juga berlaku pada bahasa-

bahasa lain yang memiliki tipe serupa dengan Bahasa Inggris. Pengertian struktur

tidak bermarkah adalah struktur tipikal atau susunan yang paling sering muncul

dan secara gramatika struktur tersebut tidak memuat prominensi tertentu.

Tidak semua argumen yang wajib muncul pada klausa transitif dapat

menduduki fungsi sebagai Modus. Modus klausa kanonis dalam pandangan

Sistemik biasanya memuat argumen tertinggi secara sintaksis, sementara argumen

kedua dan seterusnya dikategorikan sebagai Residu. Penelusuran struktur Modus

dipandang penting mengingat Bahasa Bali sebagai kode bahasa yang digunakan

untuk merealisasikan TNNGB diprediksi memiliki karakteristik berbeda dengan

Bahasa Inggris dalam hal tertentu. Oleh sebab itu, konsep Mood-Residu dalam

Bahasa Inggris yang digunakan sebagai dasar pengembangan teori Sistemik tidak

dapat diacu secara utuh.

Secara morfologis, verba aktif Bahasa Bali dapat dimarkahi prefiks {-}2

atau tanpa prefiks {-}. Kedua bentuk itu dapat dipadankan dengan konstruksi

nasal dan konstruksi zero (Artawa, 1998). Bentuk {-} disebut pula struktur nasal

transitif (Pastika, 2002) atau anunasika (Sulaga, 1996). Predikator yang

dimarkahi {-} dapat direalisasikan dengan beberapa varian bunyi nasal yang

homorgan dengan bunyi awal bentuk yang dilekatinya.

2 {-} yang dipakai pada disertasi ini mengacu pada bentuk dasar prefiks yang dapat

direalisasikan dengan beberapa alomorf. Distribusi {-} bersifat lebih luas daripada artifonem,

terutama kemampuannya melekat pada setiap bunyi vokal dan semivokal. Prefiks {-} dapat

membentuk verba transitif atau intransitif dari verba dasar dan bentuk prakategorial.

Page 135: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

135

6.2 Komposisi Modus - Residu

Dasar penentuan komponen Modus dengan pengujian bentuk tag atau

jawaban pendek tidak dimungkinkan dalam Bahasa Bali. Hal itu disebabkan oleh

ketidaktermilikan strategi serupa dalam Bahasa Bali. Perhatikan contoh berikut

(Data B2/3/5, 6).

(6.2) a. …Jero Bendesa sampun rauh ragané?...

HON SOS ASP -datang 3TG-DEF

„Ketua adat sudah datang?

*Jero Bendesa sampun rauh // ragane?

*Jero Bendesa sampun rauh, NEG ragané?

*Jero Bendesa sampun rauh ragané?

b. …Nggih, sampun…

ya ASP

„Ya, sudah‟

*nggih, ragané sampun

Bentuk ragane „3 TG‟ (a) mengacu pada Subjek jero Bendesa, tetapi

klausa di atas tidak dapat dilihat sebagai bentuk tag. Hal itu dibuktikan dengan

tidak adanya jeda sebelum leksikon ragane yang bersifat koreferen dengan

Subjek. Klausa itu juga tidak memunculkan negasi sebagai bentuk kontras

dengan bagian klausa yang mendahuluinya. Perubahan intonasi sebagaimana tag

dalam Bahasa Inggris juga tidak dimunculkan. Dengan demikian bentuk ragane

pada klausa di atas bukan merupakan bentuk tag, tetapi pronominal copy dari

Subjek. Pengujian dengan jawaban pendek sebagaimana Bahasa Inggris juga

menemukan kendala. Jawaban pendek terhadap klausa (a) ditampilkan pada (b)

ternyata tidak memunculkan Subjek. Jawaban pendek (b) tersusun atas ungkapan

Page 136: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

136

ya/tidak dan aspek. Klausa itu tidak dapat dibentuk dengan jawaban „ya/tidak‟

diikuti oleh Subjek dan negasi sebagaimana Bahasa Inggris. Bahasa Bali juga

tidak mengenal unsur Finit yang dinyatakan sebagai unsur yang membuat

proposisi menjadi definitif. Oleh sebab itu, pengujian komponen Modus-Residu

dengan bentuk tag dan jawaban pendek tidak berlaku pada Bahasa Bali.

Dalam kaitan Modus-Residu, tidak setiap Adjung dinyatakan sebagai

Residu. Kategori yang diperankan Adjung dipilah berdasarkan metafungsi.

Adjung Sirkumtansial yang menerangkan tempat, waktu, cara, alat, tujuan,

alasan, dan sebagainya dikategorikan sebagai Residu. Sementara itu, (i) Adjung

ekspresi sikap penilaian (assesment) terhadap klausa, (ii) Adjung vokatif, yakni

ekspresi yang mencerminkan siapa pembicara yang berikutnya (addressed the

next speaker), dan (iii) Adjung kontinuitas yang menjelaskan hubungan dengan

klausa sebelumnya tidak termasuk Modus maupun Residu. Berdasarkan fungsi

setiap komponen terhadap klausa, komposisi Modus-Residu Bahasa Inggris dapat

digambarkan sebagai berikut (diadopsi dari Eggins (1994: 171).

Page 137: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

137

Klausa

Non-Modus/Residu Klausa

Modus Residu

Adjung Subjek Predikator Komplemen Adjung

Modal

Operator Proses Sirkumtansial

Nomina FIN Modal Verba Nomina Adverbia/FP

Gambar 6.1: Komposisi Modus - Residu Bahasa Inggris

Gambar (6.1) menunjukkan elemen Modus-Residu dan non-Modus/Residu

dalam Bahasa Inggris. Tampak kehadiran proses dijadikan pembatas komponen

Modus dengan Residu. Artinya, elemen yang muncul di kiri proses dapat

dikategorikan sebagai Modus, sedangkan proses dan elemen yang mengikutinya

dapat dikategorikan sebagai Residu. Unsur tekstual seperti Adjung Vokatif,

Adjung Komen, dan Adjung Kontinuitas dapat muncul di depan Modus atau di

belakang Residu.

Dalam Bahasa Bali, unsur Finit seperti auxiliary ‟kata bantu‟ dan tobe

‟kopula‟ dalam Bahasa Inggris tidak ditemukan. Hal itu menyebabkan komponen

Modus Bahasa Bali cenderung lebih sederhana daripada Bahasa Inggris.

Persamaan yang ditunjukkan adalah tipologis kedua bahasa bahasa memiliki

konstruksi dasar Subjek-Predikat (S-P). Dengan demikian, komponen pokok

Vokatif

Komen

Kontinuitas

Page 138: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

138

konstruksi dasar Modus Bahasa Bali ialah Subjek/Agen, sedangkan komponen

pokok Residu ialah Predikator, seperti ditampilkan gambar di bawah ini.

Klausa

Non-Modus/Residu Klausa

Modus Residu

Adjung Subjek Predikator Komplemen Adjung

Modal

Operator Proses Sirkumtansial

Nomina Modal Verba Nomina Adverbia/FP

Gambar 6.2: Komposisi Modus - Residu Bahasa Bali

Mencermati gambar (6.2) dapat dilihat bahwa struktur Modus-Residu

Bahasa Bali mirip dengan Bahasa Inggris, kecuali pada unsur modal operator.

Pada Bahasa Bali, proses dapat dijadikan pembatas komponen Modus dan

Residu. Artinya, proses dan unsur yang mengikutinya tergolong Residu,

sedangkan yang mendahuluinya dapat dinyatakan sebagai Modus. Subjek yang

biasanya direalisasikan oleh kelompok nomina dapat dipandang sebagai inti

Modus, sedangkan proses merupakan inti dari komponen Residu pada struktur

kanonis.

Vokatif

Komen

Kontinuitas

Page 139: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

139

Selain hal di atas, perbedaan menonjol komposisi Modus-Residu Bahasa

Bali terhadap Bahasa Inggris terletak pada kemandirian komponen. Modus Bahasa

Inggris dapat menjangkau sebagian dari Residu sebagai dampak adanya fusi finit

ke bentuk Predikator. Contohnya, proses writes ‟menulis‟ mengandung makna ‟3

TG menulis‟ atau dapat dilihat sebagai bentuk does write ‟Finit menulis‟. Ikatan

Subjek-Predikat secara gramatikal itu tidak dimiliki oleh Bahasa Bali. Komposisi

Modus-Residu Bahasa Bali bersifat mandiri, tanpa menjangkau sebagian dari

komponen lainnya. Jadi, tidak dimungkinkan adanya ekstensi jangkauan

antarkomponen dalam klausa Bahasa Bali.

6.3 Struktur Proposisi

Pertukaran informasi melibatkan dua pihak, yakni pihak yang mengambil

inisiatif (initiating) untuk bertanya atau menyatakan sesuatu, dan pihak yang

memberi respons (responding). Respons yang diberikan dapat berupa respons

yang mendukung atau respons yang menentang. Akan tetapi, setiap pembicara

memiliki kepentingan tersendiri dalam pertukaran. Ada pembicara yang

melakukan interaksi dengan tujuan memberi dan meminta informasi, dan ada pula

yang memberi atau meminta layanan. Berdasarkan peran itu, Halliday

memperkenalkan terminologi Proposisi dengan Proposal. Proposisi adalah

interaksi yang dilakukan untuk tujuan mempertukarkan informasi, sedangkan

Proposal merupakan interaksi yang ditujukan untuk mempertukarkan barang atau

layanan. Dua kategori itu juga merujuk pada tipe respons yang diharapkan, yakni,

respons verbal pada Proposisi dan respons nonverbal pada Proposal. Sebagai

Page 140: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

140

pihak yang menentukan pilihan modus, pembicara dapat menggiring pendengar

untuk memunculkan perubahan sikap ataupun perubahan perilaku yang relevan.

Untuk memengaruhi pendengar, pembicara biasanya menyisipkan modalitas.

Modalitas dapat terdiri atas modalisasi dan modulasi. Modalisasi yang disisipkan

pada Proposisi dapat berupa unsur probabilitas (certainty) dan frekuensi

(usuality) seperti ditampilkan gambar bawah ini (diadopsi dari Halliday, 2004:

619) (terjemahan oleh penulis).

Gambar 6.3: Modalisasi

Berdasarkan gambar (6.3) dapat dilihat bahwa Modalisasi menghubungkan

kutub ‟ya‟ dan ‟tidak‟. Artinya, pilihan modalisasi mencerminkan sikap pembicara

terhadap kebenaran pernyataannya dan intensitas pengaruhi yang ditujukan

kepada pendengar. Dari sudut pandang pembicara, setiap pertanyaan atau

pernyataan yang diajukan harus mendapat respons yang sesuai dengan tujuan

pembicara.

Pada Proposisi yang bersifat memberi informasi, Subjek biasanya

ditempatkan sebagai unsur sentral. Sebaliknya, Proposisi yang mementingkan

Modalisasi

Probabilitas Frekuensi

ya

yakin selalu

barang kali biasanya

mungkin kadang-kadang

tidak

Page 141: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

141

perolehan informasi menempatkan unsur tanya dan Subjek sebagai Modus.

Perhatikan contoh klausa di bawah ini (Data B2/3/12, 13, 34, 35).

(6.3) a. …Ragane sampun sayaga …

3 TG ASP ø-siaga

„Beliau sudah siap‟

b. …Seratiné kan sampun biasa makarya bakti amunika …

serati-DEF ASP FREK -buat sajen KUAN

„Serati sudah biasa membuat sajen sebanyak itu‟

c. ...Sapunapi patutné bakti sané kamargiang? …

TANYA OBLI sarana REL PAS-jalan

‟Sarana apakah yang harus disiapkan?

d. …Mrasidayang minab seratiné ngarap nika?...

TANYA PROB tukang sajen-DEF -kerja DEM

„Sanggupkah serati menyiapkannya?‟

Ragane sampun sayaga

Seratiné (kan

sampun biasa)

makarya bakti amunika

Sapunapi

patutné

bakti sane

kamargiang

Mresidayang

minab

seratiné ngarap nika?

Kata Tanya Subjek Predikator Komplemen

MODUS RESIDU

Pada Proposisi (6.3) klausa (a, b) bersifat memberikan informasi,

sedangkan klausa (c, d) bersifat meminta informasi. Pada dua klausa pertama (a,

b) dapat dilihat bahwa Subjek menempati fungsi Modus. Proposisi yang bersifat

memberikan informasi itu menempatkan komponen Subjek, polaritas ya/tidak, dan

modalitas sebagai Modus. Proposisi yang bersifat meminta informasi, seperti

contoh (c, d) biasanya menempatkan unsur tanya sebagai Modus mendampingi

Page 142: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

142

Subjek. Dengan demikian, klausa interogatif itu cenderung memiliki dua

komponen Modus, yakni unsur yang ditanyakan dan Subjek. Klausa interogatif

menempatkan elemen tanya sapunapi ‟bagaimana‟ (c) dan mresidayang ‟sanggup‟

(d) di awal klausa sebagai komponen yang ditonjolkan. Kata tanya tersebut dapat

pula ditempatkan di akhir klausa, tetapi elemen tanya itu tidak mendapat

penekanan sebesar posisi awal klausa. Klausa interogatif (c) merupakan klausa

yang membutuhkan jawaban berupa uraian, sedangkan klausa (d) menerima

jawaban pendek ya/tidak. Ditinjau dari intonasi, Proposisi yang mengharapkan

informasi panjang biasanya dilantunkan dengan intonasi yang lebih datar

dibandingkan Proposisi yang mengharapkan jawaban ya/tidak. Perbedaan intonasi

itu mirip dengan klausa interogatif dalam balam Bahasa Inggris.

Klausa (6.3) merupakan percakapan terkait dengan kesediaan,

kelengkapan sarana, dan kesanggupan (ability). Informasi yang disediakan klausa

(a, b) di atas dapat dimaksudkan untuk menyatakan kesiapan peserta kunci dan

kelompok pengadaan sarana. Modalitas yang dimunculkan ialah patutne

‟sepatutnya‟ yang mencerminkan keharusan, sedangkan minab ‟mungkin‟ dan

biasa ‟biasa‟ menyatakan tingkat probabilitas.

Penggunaan Modulasi pada Proposisi TNNGB menunjukkan frekuensi yang

sangat kecil. Keterbatasan jumlah penggunaan Modalisasi dapat diinterpretasikan

sebagai berikut. Pertama, pembicara jarang menggunanakan Modalisasi karena

pembicara membicarakan sesuatu yang diyakini benar, atau didasarkan atas

pengalaman. Pembicara berbicara lugas sesuai dengan fakta atau pengetahuan

yang dimiliki. Dengan keyakinan itu, Modalisasi tidak dibutuhkan. Kedua, tema

Page 143: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

143

religius dipandang sebagai tema yang tidak boleh dicederai dengan keragu-raguan

oleh pendengar ataupun pendengar. Tampaknya ada etika bahwa pembicara tidak

dibolehkan berbicara berlebihan atau tampak memaksakan kehendak. Ketiga,

hubungan antara pembicara dengan pendengar terjalin dengan rasa saling percaya.

Artinya, pendengar sangat mempercayai informasi yang diperoleh, sedangkan

pembicara menyampaikan informasi yang diyakini membawa kebaikan bagi

semua warga. Kondisi demikian diprediksi menekan penggunaan unsur

modalitas.

Modalisasi cenderung digunakan pada tahap persiapan dibandingkan tahap

puncak. Berikut deretan Modalisasi yang dimunculkan TNNGB.

(a) minab ‟mungkin‟

(b) prasida ‟bisa‟

(c) janten ‟pasti‟

(d) mrasidayang ‟bisa‟

(e) biasa ‟biasa‟

(f) sering-sering ‟sering kali‟

(g) patut ‟harus‟

Penggunaan Modalisasi dalam jumlah terbatas mengindikasikan bahwa

modalisasi tidak berfungsi signifikan dalam pertukaran makna. Pamangku sebagai

pembicara kunci sudah mendapat kepercayaan dari anggota komunitas sehingga

sebagian besar informasi yang diberikan tidak dilengkapi unsur Modalitas.

Sebaliknya, anggota komunitas bersikap sangat percaya terhadap pamangku dan

Page 144: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

144

tidak berani meragukan kebenaran informasi yang diterima. Hal itu terjadi karena

pamangku dipandang memiliki pengetahuan dan kemampuan jauh di atas anggota

komunitas. Jadi, kepercayaan yang terjalin antarpelibat tidak membutuhkan

penggunaan Modalisasi.

Bila dicermati tipe nomina yang ditempatkan sebagai Modus, tampak

variasi Subjek insani dan noninsani (bukan manusia). Subjek noninsani

mencakup entitas selain manusia, seperti kekuatan ke-Tuhan-an yang

direalisasikan dengan beberapa manifestasi. Tabel berikut menunjukkan sebagian

dari nomina insani dan insani yang dimunculkan pada bagian isi fase puncak

TNNGB.

Tabel 6.1

Pelibat Insani dan Noninsani

Insani Noninsani

Panjak ‟rakyat‟ Batara Wisnu

Damuh ‟hamba, rakyat‟ Batara Mahadewa

Titiang ‟saya‟ Batara Iswara

Beli ‟kakak‟ (1 TG) Batara Brahma

Jero mangku Ratu Pangrenca Gumi

Krama ‟warga‟ Ratu Ngurah Tabeng Langit

Roban ‟saudara‟ I Gusti Wayan Taba

I Gusti Made Jelawung

I Gusti Nyoman Pengadangadang

I Gusti Ketut Petung

I Sampati ‟Garuda hitam‟

I Wenara Petak ‟Kera putih‟

Ratu Sang Hyang Agama ‟Tuhan‟

Tabel (6.1) menunjukkan TNNGB melibatkan pelibat noninsani lebih

dominan daripada pelibat insani. Pelibat insani dimunculkan secara berulang pada

fase persiapan. Fase puncak dan penutup didominasi oleh pelibat yang tidak

Page 145: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

145

kasatmata. Monolog pada fase puncak dan penutup seluruhnya ditujukan kepada

partisipan noninsasi, mulai dari tahapan memohon penyucian, pengampunan,

berkah, penjagaan, pemujaan, permohonan bantuan, hingga pernyataaan

persembahan.

Keterlibatan unsur insani dan noninsani mencerminkan bahwa teks

TNNGB menautkan unsur manusia dengan unsur lain, baik yang bersifat kasat

maupun tidak kasatmata. Dengan demikian, keberadaan manusia tampaknya tidak

sepenuhnya dapat menentukan keberhasilan permohonan. Dapat pula disimpulkan

bahwa banyak hal lain di luar manusia yang turut memberi kontribusi bagi

berhasilan permohonan dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, manusia harus

menjalin hubungan baik dengan manusia lain, alam lingkungan, Tuhan, dan

manifestasi-Nya.

6.4 Struktur Proposal

Berbeda dengan Proposisi yang melibatkan aktivitas memberi (giving)

dan meminta (demanding) informasi, Proposal biasanya bersifat mempertukarkan

barang (goods) atau layanan (sevices). Pada Proposal, pihak inisiator biasanya

mengharuskan pihak lain melakukan sesuatu, sedangkan pihak responsif dapat

melakukan perintah atau mengabaikannya. Dengan kata lain, Proposal lebih

mementingkan respons nonverbal daripada respons verbal. Pembicara

menghendaki permintaan atau perintah yang diberikan dipatuhi (compliance).

Pembicara dapat menyisipkan modulasi untuk mendorong pendengar

mematuhi permintaan yang diajukan. Modalitas yang disisipkan dapat berupa

Page 146: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

146

unsur obligasi (obligation) dan inklinasi (inclination), seperti ditampilkan di

bawah ini (diadopsi dari Halliday, 2004: 619) (terjemahan oleh penulis).

Modulasi

Obligasi Inklinasi

lakukan

harus sangat ingin sekali

diharapkan sangat ingin

diperbolehkan ingin

jangan lakukan

Gambar 6.4: Modulasi

Modulasi pada dasarnya digunakan untuk memengaruhi tingkah laku

pendengar. Pembicara berusaha menggiring mitra wicara untuk mematuhi

permintaan dalam bentuk perilaku nyata. Pembicara yang memberi perintah

dengan elemen obligasi atau inklinasi tingkat tinggi tidak memberi ruang bagi

pelibat lain untuk mengabaikan permintaannya.

Penggunaan Modulasi pada TNNGB menunjukkan distribusi yang

terbatas. Modulasi umumnya dimunculkan pada fase persiapan. Frekuensi yang

terbatas itu diprediksi terkait dengan dengan kesediaan pendengar untuk

melakukan tindakan yang diwajibkan. Berikut ditampilkan bentuk Modulasi yang

dimunculkan.

(a) lédang ‟berkenan‟

(b) suéca ‟bersedia‟

(c) ngemanahang ‟ingin‟

Page 147: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

147

(d) pas ‟cocok‟

(e) patutné ‟sepatutnya‟

(f) perlu ‟perlu‟

(g) sepatutné ‟ ‟sepatutnya‟

(h) durus ‟diperbolehkan‟

(i) sedeng ‟seharusnnya‟

(j) becikné ‟sebaiknya‟

Berdasarkan jumlah penggunaan Modulasi tampak bahwa pembicara tidak

melakukan upaya maksimal untuk memengaruhi perilaku pelibat lain. Hal itu

mengindikasikan adanya relasi simetris antara ekspresi keinginan dan keharusan.

Artinya, pendengar merasa berkewajiban melakukan tindakan yang sesuai dengan

petunjuk pamangku, sedangkan pamangku menginginkan pendengar

melaksanakan tindakan tertentu. Berimbangnya inklinasi dan obligasi tidak

mengharuskan munculnya modulasi yang berlebihan. Keterbatasan modulasi pada

fase puncak dan penutup diprediksi terkait dengan ranah ritual.

TNNGB memerlukan berbagai tindakan fisik pada setiap fase dan tahapan.

Untuk memperoleh tindakan nyata dari pendengar, pembicara menggunakan

Proposal yang berbentuk perintah maupun permintaan. Bentuk perintah diisi oleh

verba di awal klausa, sedangkan bentuk permintaan didahului oleh ungkapan

titiang nunas ‟saya mohon‟. Proposal juga dapat diperhalus dengan meletakkan

unsur lain di depan Predikator, misalnya numeral, Sirkumtansi, atau Medium,

seperti contoh berikut (Data A3/ 3/109, 110, 89, 126 ).

Page 148: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

148

(6.4) a. ...Asiki pajatiné unggahang di Gedong Déwi Danu...

NUM pajati-DEF -naik PREP

‟ Satu pajati persembahkan di Gedong Déwi Danu‟

b. ...Bénjang dados margiang...

Sirk MOD ø-jalan

‟Besok boleh dijalankan‟

c. ...Dados bakta ke pura baktiné...

MOD ø-bawa PREP pura sarana-DEF

‟Sarana itu bisa dibawa ke pura‟

d. ...I Ratu mulpulang sehananing méga...

ART Ratu -kumpul KUAN mendung

‟Engkau mengumpulkan semua mega‟

Dengan penambahan unsur lain di depan Predikator, pembicara

menyamarkan makna perintah menjadi makna informatif (a, b), permisif (c), atau

abilitas (d). Kesantunan perintah seolah-olah tidak memaksa pendengar

melakukan sesuatu, tetapi mempersilakannya. Pada klausa (a, b) dimunculkan

unsur Sirkumtansi yang berupa numeral dan keterangan waktu.

Pada Proposal yang tidak memunculkan mitra wicara, dapat dipahami

bahwa perintah ditujukan kepada orang kedua. Sebaliknya, pada fase puncak

dimunculkan Proposal yang memuat identitas mitra wicara. Cara demikian

mencerminkan pilihan pelibat di antara pendengar lainnya untuk melakukan

tindakan yang diharapkan. Pada bentuk yang lebih sopan, pendengar dipersilakan

melakukan sesuatu yang mendukung keberhasilan permohonan dengan ikhlas.

Pada kondisi itu, pembicara bersikap sebagai penerima bantuan (invite to receive).

Jadi, posisi sebagai pengaju permintaan bergeser menjadi penerima bantuan.

Gradasi kesopanan itu dapat dilihat pada contoh berikut (Data A2/3/ 126,

130, 131, 137, 140).

Page 149: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

149

(6.5) a ...Ratu Ngurah Tangkeb Langit, titiang nunas sabeh ...

Ratu NAMA 1 TG -minta hujan

‟Ratu Ngurah Tangkeb Langit, saya mohon hujan‟

b. ... Medalang sehananin kerug tatit ...

-keluarkan KUAN guruh kilat

‟Keluarkan semua guruh dan kilat‟

c. ... Ratu Ngurah wantah dados paneduh...

Ratu NAMA ATR -jadi peneduh

‟Engkau menjadi harapan‟

d. ... I Ratu nyimpen keluwung geni maring ambara...

ART Ratu -simpan pipa api PREP angkasa

‟Gusti Wayan agar menyimpan semua petir‟

e. ...I Ratu ledang mulpulang sehananin entikan gulem

ART Ratu berkenan -kumpul KUAN bakal mendung

manadi sabeh merta ...

- jadi hujan berkah

‟Semoga Tuhan bekenan mengumpulkan bakal mendung menjadi

hujan yang memberkahi‟

Gradasi kesopanan tampak pada rangkaian klausa teks tolak hujan (6.5) di

atas. Dengan menyampaikan tujuan, pembicara yang dipresentasikan oleh

pamangku memerintahkan Ratu Ngurah Tangkeb Langit mengeluarkan guruh dan

kilat. Setelah itu dimunculkan klausa relasional yang menjelaskan termohon

merupakan pihak yang dapat melindungi. Termohon dinyatakan memenuhi

atribut untuk mengabulkan permohonan dan memiliki keikhlasan melakukan hal

yang dimaksud. Pada akhirnya, pemohon tidak lagi berstatus sebagai pemberi

instruksi, tetapi berstatus sebagai penerima perkenan Tuhan. Pamangku

menempatkan Ratu Ngurah Tangkeb Langit sebagai pihak yang dengan senang

Page 150: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

150

hati melakukan bantuan kepada warga. Jadi, posisi Ratu Ngurah Tangkeb Langit

yang pada awalnya lebih rendah daripada pembicara sehingga dapat diperintah

secara perlahan dikembalikan menjadi figur yang dapat melakukan apa saja sesuai

kehendaknya. Ratu Ngurah Tangkeb Langit mengumpulkan semua mendung

untuk mendatangkan hujan bukan lagi atas pemintaan pamangku, tetapi karena

Beliau mampu melakukannya dan berkenan melakukannya. Jadi, kekuasaan

pamangku memerintah Ratu Ngurah Tangkeb Langit secara perlahan bergeser

menempatkan kekuasaan Ratu Ngurah Tangkeb Langit sebagai figur yang sangat

berkuasa dan dapat melakukan berbagai hal yang tidak dapat dilakukan manusia.

Jadi, rangkaian Proposal dapat menempatkan pendengar menjadi pihak yang aktif

melakukan perlindungan.

Pengedepanan (foregrounding) mitra wicara dalam hal ini, Ratu Ngurah

Tangkeb Langit, mengubah posisi pemohon menjadi pihak yang yang menerima

bantuan. Gradasi kesopanan itu memiliki struktur yang diawali dengan permintaan

pemohon (a, b) diikuti pernyataan abilitas termohon (c), termohon dipersilakan

melakukan abilitas yang dimaksud (d), dan termohon berkenan melakukan itu (d).

Gradasi permohonan itu mencerminkan bahwa manusia hanya dapat mengajukan

permohonan, sedangkan keberhasilan permohonan sangat bergantung pada

pertolongan dan perkenan Tuhan.

6.5 Sistem Modus

Modus atau mood mengandung pengertian sebagai kategori gramatikal

dalam bentuk verba yang mengungkapkan sikap pembicara terhadap apa yang

Page 151: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

151

diucapkannya atau suasana psikologis menurut sudut pandang pembicara

(Halliday, 2004: 619). Dengan demikian, struktur modus merupakan suasana hati

pihak pembicara dalam mengekspresikan tujuannya.

Klasifikasi modus berkaitan erat dengan dua hal pokok, yakni (i)

komoditas yang dipertukarkan dan (ii) peran yang dimainkan oleh pembicara.

Para pelibat dalam proses pertukaran tidak saja mempertukarkan informasi, tetapi

juga menyangkut pertukaran barang dan jasa layanan. Komoditas itu mendorong

pelibat untuk menyampaikan tujuan dengan modus tertentu (speech function).

Pembicara dapat mempertukarkan informasi dengan cara mengajukan pertanyaan

atau menyampaikan suatu pernyataan. Pada pertukaran barang dan jasa layanan,

pelibat dapat memberi instruksi, mengajukan permintaan atau penawaran.

Ditinjau dari peran pelibat, proses pertukaran melibatkan pelibat yang

memberi (giving) dan pelibat yang meminta (demanding). Dengan demikian,

proses pertukaran dapat dijadikan sarana bagi seorang pembicara untuk memberi

sesuatu kepada pendengar (inviting to give), atau meminta sesuatu dari

pendengar (inviting to receive). Peran pembicara dan komoditas yang

dipertukarkan itulah yang selanjutnya dijadikan acuan dalam sistem modus.

Dalam peran sebagai pemberi informasi atau jasa layanan, pelibat dapat memilih

modus penawaran atau pernyataan. Sebaliknya, pihak yang memerlukan informasi

atau jasa layanan dapat memilih modus memerintah atau bertanya.

Klasifikasi sistem Modus Bahasa Inggris didasarkan atas kehadiran

Predikator. Dengan batasan itu terdapat dua modus pokok, yakni modus mayor

dan modus minor. Modus mayor adalah struktur modus yang memiki Predikator,

Page 152: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

152

dioposisikan dengan modus minor. Modus indikatif dan imperatif tergolong

modus mayor. Modus imperatif berbeda dengan modus indikatif yang

memunculkan Subjek dan modal operator. Berikut ditampilkan sistem modus

Bahasa Inggris yang diadopsi dari Halliday (2004: 23) (terjemahan oleh penulis).

Gambar 6.5: Sistem Modus Bahasa Inggris

Sistem Modus Bahasa Inggris seperti tampak pada gambar (6.5) bersifat

tipikal. Modus deklaratif memiliki tata urutan Subjek^Finit^Predikator dan

digunakan oleh pembicara untuk menyatakan makna pernyataan. Makna bertanya

direalisasikan dengan modus interogatif dengan menempatkan elemen ya/tidak

atau kata tanya di awal klausa. Makna memerintah dinyatakan dalam modus

imperatif dengan menempatkan Predikator di awal klausa.

Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa Predikator dijadikan acuan bagi

kategori klausa. Klausa yang tidak mengandung Predikator tidak dapat

diklasifikasikan sebagai klausa indikatif maupun imperatif. Predikator klausa

Bahasa Inggris dapat pula direalisasikan dengan Finit.

Deklaratif

Indikatif Subjek ^ Finit

+ Modal

Mayor + Subjek

Predikator

Interogatif Ya/Tidak

Subjek^ Finit

Imperatif

Kata Tanya

Minor Tanya ^Finit

Page 153: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

153

Jika disejajarkan dengan sistem modus Bahasa Inggris, tampak Bahasa

Bali tidak memiliki komponen sejenis Finit yang memungkinkannya membentuk

klausa dengan predikator atau tanpa predikator. Artinya, meskipun sebagian besar

klausa memiliki susunan Subjek-Predikat, namun terdapat tipe klausa yang

memunculkan Predikator secara nonleksikal, seperti ditunjukkan contoh berikut

(Data A3/4/203, 210)

(6.6) a. …I Ratu ngrénca gumi…

ART Ratu -kuasa bumi

„Engkau menguasai dunia‟

b. …Titiang damuh cokor I Dewa…

1 TG kabut kaki ART Dewa

„Aku hamba-Mu‟

I Ratu ngrénca gumi

Titiang damuh cokor I Dewa

Subjek Predikator Komplemen

Klausa (a) menunjukkan kehadiran Predikator secara leksikal, sedangkan

klausa (b) memunculkan Predikator secara nonleksikal atau fitur. Ketidakhadiran

Predikator secara leksikal seperti contoh (b) biasanya didukung agnasi dan tetap

memiliki kesatuan makna. Klausa seperti (b) disebut pula klausa nominal (Sulaga,

1996) atau predikat nonverbal (Artawa, 1996). Klausa yang memunculkan

Predikator secara leksikal atau secara fitur tetap dapat dipahami oleh pelibat dan

tidak bersifat menghambat komunikasi. Kajian lebih lanjut tentang klausa dengan

fitur Predikator dipaparkan pada subbab proses relasi identifikasional (7.2.5.2).

Dengan demikian, sistem modus Bahasa Bali tidak sepenuhnya mengikuti sistem

Page 154: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

154

modus Bahasa Inggris, terutama pada komponen Finit. Prakiraan sistem modus

Bahasa Bali dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 6.6: Prakiraan Sistem Modus Bahasa Bali

Berdasarkan gambar (6.6) dapat dilihat bahwa sistem modus Bahasa Bali

memiliki pilihan struktur dengan atau tanpa Predikator. Kecuali unsur Finit,

struktur klausa mayor yang memiliki Predikator tampak mirip dengan struktur

mayor klausa Bahasa Inggris. Struktur klausa yang menghadirkan Predikator

maupun tanpa Predikator tetap mengandung kesatuan makna sebagai sebuah

klausa yang lengkap.

Distribusi modus tipikal menunjukkan bahwa modus komunikatif yang

paling banyak muncul pada TNNGB ialah modus imperatif. Makna perintah itu

dapat dinyatakan secara tipikal maupun nontipikal. Yang digolongkan sebagai

modus imperatif tipikal adalah klausa yang menempatkan Predikator di awal

klausa. Sebaliknya, klausa yang dikategorikan sebagai struktur imperatif

nontipikal adalah klausa perintah yang tidak diawali dengan Predikator.

Perhatikan contoh klausa imperatif tipikal berikut (Data A1/4/ 125, 128, 130,

131).

Deklaratif

Predikator Indikatif

Mayor Ya/Tidak

Interogatif

Tanpa Imperatif Kata

Predikator tanya

Minor

Page 155: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

155

(6.7) a. …Kemit ragan beliné…

ø-jaga raga-DEF kakak-DEF

„Jaga raga kakak (saya)‟

b. …Ngadeg sira Gusti Wayan Teba…

-berdiri 3 TG NAMA

„Bangkitlah wahai Gusti Wayan Teba‟

c. …Simpen geniné bang…

ø-simpan api-DEF merah

„Simpanlah api merah‟

d. …Medalang kerug tatit…

ø-keluar guntur kilat

„Keluarkan guntur kilat‟

Klausa (6.7) merupakan contoh penggunaan modus imperatif tipikal.

Predikator yang digunakan dapat berupa proses aktif yang dimarkahi dengan (-)

atau {-} pada Predikatornya. Struktur imperatif tipikal ditemukan pada bagian

isi fase puncak dan penutup.

Pada penggunaan struktur imperatif tipikal (a) tampak para pelibat memiliki

kekuasaan yang tidak simetris. Pembicara memiliki kekuasaan yang lebih tinggi

untuk dapat memerintah pelibat lain. Pembicara, dalam hal ini, pamangku

menempatkan diri sebagai pihak yang lebih tua dengan merujuk dirinya sebagai

beli ‟kakak‟. Relasi‟kakak-adik‟ memungkinkan pembicara mengajukan perintah

kepada saudara mudanya.

Distribusi modus yang dimunculkan TNNGB dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

Page 156: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

156

Tabel 6.2

Bentuk Modus TNNGB

No. Bentuk Modus Kode Teks

A1 A2 A3 B1 B2 B3 Jumlah

1. Deklaratif

penuh 92 57 29 184 48 25 435

eliptikal 36 17 20 25 14 17 129

2. Interogatif penuh 10 12 9 8 1 2 42

eliptikal 18 9 13 21 9 12 82

3. Interogatif

ya/tidak

penuh 4 7 4 9 2 3 29

eliptikal 9 10 4 9 8 2 42

4. Imperatif 136 82 74 220 41 69 622

5. Permintaan 120 60 72 126 67 82 527

Jumlah Klausa

425 254 225 602 190 212 1908

Tabel (6.2) menampilkan bentuk-bentuk Modus pada teks neduh ‟panggil

hujan‟ (A1, A2, A3) dan teks nyelang galah ‟tolak hujan‟ (B1, B2, B3).

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa TNNGB didominasi oleh modus

imperatif baik direalisasikan dengan bentuk perintah atau permintaan. Penggunaan

dua bentuk modus itu jauh lebih besar daripada bentuk modus deklaratif dan

interogatif. Hal itu mengindikasikan bahwa pelibat dilibatkan dalam berbagai

aktivitas nyata demi tercapainya tujuan. Dengan kata lain, TNNGB membutuhkan

banyak dukungan perilaku yang terkordinasi di antara para pelibat.

Bentuk deklaratif penuh umumnya dimunculkan pada paparan latar belakang

permohonan pada fase persiapan, fase puncak dan fase penutup. Bentuk deklaratif

eliptikal sebagian besar dimunculkan sebagai respon kesepahaman terhadap

Page 157: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

157

paparan yang diberikan oleh pelibat lain. Bentuk tanya didominasi oleh

permintaan penjelasan pelibat ketika menerima tugas tertentu.

Klausa yang dinyatakan sebagai klausa penuh adalah klausa yang

mengandung satu pikiran lengkap, yang dapat terdiri atas (a) ada pokok

pembicaraan yang disebut Subjek, (b) unsur yang menjadi komentar tentang

Subjek yang disebut Predikator, (c) unsur pelengkap dari predikat yang disebut

Objek atau Komplemen, dan (d) unsur yang merupakan penjelasan lebih lanjut

terhadap Subjek dan Predikat yang disebut Keterangan atau Sirkumtansi (Sirk).

Klausa yang dinyatakan sebagai klausa eliptikal ialah klausa yang tidak lengkap,

karena menanggalkan komponen tertentu. Penanggalan biasanya dilakukan pada

komponen yang sudah dibicarakan sebelumnya atau sudah dipahami oleh para

pelibat. Klausa penuh maupun klausa eliptikal tetap memiliki makna yang

lengkap.

Klausa eliptikal dapat menanggalkan salah satu unsur, di antaranya

Subjek, Predikator, Komplemen, atau Adjung. Dengan demikian struktur klausa

eliptikal dapat dilihat sebagai klausa tidak lengkap dari sudut pandang

kelengkapan struktur, tetapi klausa tersebut adalah klausa lengkap dalam arti

kesatuan makna. Penanggalan tidak menghambat kesepahaman pelibat, tetapi

dapat dilihat sebagai upaya menghindari pengulangan yang berlebihan dan

pemenuhan aspek estetis.

Klausa deklaratif eleptikal dimunculkan untuk merespons pernyataan,

pertanyaan, atau perintah. Klausa deklaratif tidak lengkap itu berisi ungkapan

penerimaan informasi atau penugasan. Klausa interogatif dapat direspon dengan

Page 158: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

158

memberi informasi yang dibutuhkan atau persetujuan. Klausa permintaan atau

perintah cenderung direspons dengan kesanggupan dan ditindaklanjuti secara

nyata. Yang paling menonjol TNNGB tidak memunculkan klausa yang

menunjukkan ekspresi berbantahan di antara pelibat.

Terkait dengan dominasi modus perintah dan permintaan dalam TNNGB

dapat dijelaskan sebagai berikut.

(1) TNNGB merupakan penggunaan bahasa dalam fungsinya untuk

mempertukarkan makna.

(2) Fungsi mempertukarkan itu meliputi tahapan:

(a) mengajukan berbagai pernyataan terkait fenomena cuaca dan

keberlangsungan mata pencaharian petani,

(b) mengajukan permintaan dan perintah terkait rencana pelaksanaan teks

sehingga setiap pelibat dapat berperan aktif dalam teks,

(c) mengajukan pertanyaan untuk memperoleh kejelasan rencana,

(d) memberikan perintah dan permintaan untuk membantu keberhasilan

permohonan.

(3) Fungsi bahasa untuk mempertukarkan tersebut secara teoritis harus

direalisaikan dengan modus tertentu, yakni modus deklaratif untuk

menyatakan pernyataan, modus interogatif untuk mempertanyakan sesuatu

atau mengajukan penawaran, sedangkan modus imperatif untuk memberikan

perintah, mengajukan permintaan atau mengajak untuk melakukan sesuatu.

Dengan demikian, TNNGB memiliki ciri utama teks permohonan yang

disampaikan dengan modus imperatif terhadap pelibat kasatmata ataupun

Page 159: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

159

pelibat tidak kasatmata. Dukungan aktif kedua tipe pelibat itu memungkinkan

tujuan tercapai. Respons yang diharapkan ialah respons nonverbal berupa

tindakan yang seusai. Sementara itu, modus lainnya merupakan modus

komplementer yang strategis dalam membentuk kesatuan makna teks.

6.6 Modus Nontipikal

Pada situasi khusus dapat terjadi kendala penggunaan modus tipikal.

Kendala situasi misalnya, dapat menjadi pertimbangan bagi pembicara untuk

beralih menggunakan modus nontipikal. Modus nontipikal disebut pula modus

termodulasi, yaitu modus yang difungsikan pada fungsi kedua (secondary

function). Modus nontipikal mengakomodasi ketidaksimetris makna dengan

struktur. Pergeseran pilihan modus dilakukan untuk mengakomodasi faktor

kepatutan yang bersifat konvensional. Artinya, latar tertentu meresepkan

pembicara untuk beralih pada modus nontipikal. Jadi, bahasa selalu menyediakan

cara untuk mengakomodasi hal-hal yang bersifat kultural. Modus tertentu dapat

dipergunakan untuk menyatakan makna yang tidak simetris dengan fungsi

umumnya. Dengan kata lain, modus komunikatif dapat difungsikan untuk maksud

yang berbeda dari fungsi tipikalnya.

Berdasarkan konfigurasi makna dan modus dapat diketahui bahwa modus

deklaratif tidak saja dapat digunakan untuk menyatakan makna menyatakan, tetapi

juga makna bertanya dan memerintah. Modus interogatif tidak hanya dapat

digunakan untuk makna bertanya, tetapi juga untuk kepentingan menyatakan dan

memerintah. Modus imperatif tidak hanya dapat digunakan untuk memerintah,

Page 160: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

160

tetapi juga menyatakan atau bertanya. Konfigurasi tiga modus tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut (diadopsi dari Larson, 1998: 263) (terjemahan oleh

penulis).

Gambar 6.7: Konfigurasi Makna dan Modus

Pada gambar (6.7) tampak fungsi tipikal modus digambarkan dengan garis

lurus, sedangkan fungsi nontipikal digambarkan dengan garis putus-putus.

Menurut Larson (1998: 263), pergeseran makna dan struktur gramatikal

dimotivasi oleh adanya konfigurasi makna dan struktur gramatikal (the possible

skewing of semantic illocutionary force and the grammatical form), sehingga

suatu makna dapat dinyatakan dalam beberapa pilihan modus. Jadi, ada

kebebasan bagi pembicara dalam merealisasikan makna dengan modus yang

sesuai. Secara struktural tidak tampak perbedaan signifikan antara struktur tipikal

dan nontipikal, tetapi perbedaannya terletak pada makna yang dikandung. Dengan

demikian, klausa termodulasi tidak cukup dipahami struktur formalnya saja, tetapi

harus dilanjutkan pada implikasi makna yang dikandung.

Yang paling menonjol terkait modus nontipikal dalam TNNGB ialah ada

kecenderungan menyatakan makna memerintah dengan modus nonimperatif.

Makna Struktur Gramatikal

Menyatakan Klausa Deklaratif

Bertanya Klausa Interogatif

Memerintah Klausa Imperatif

Page 161: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

161

Artinya, makna memerintah itu dapat direalisikan dengan menggunakan modus

lain. Untuk mencermati pilihan modus yang digunakan, berikut ditampilkan

contoh percakapan pada tahap mapinunas „meminta bantuan‟ yang melibatkan

ketua adat (KA) dan ketua paguyuban pamangku (P) (Data B2/1).

No Tuturan Tujuan Fungsi

1.

KA: Om Swastyastu, jero mangku

„Salam‟

Memberi

salam

Membuka

percakapan

2. P: Om Swastyastu „salam‟ Menjawab

salam

Kesiapan

menerima

3. P: Napi wénten pak klian?

„Ada apa, ketua adat?‟

Transisi Kesiapan

memasuki isi

4. KA: Kénten jero, niki jaga wénten

kegiatan kerja bhakti ring Pura

Pucak

„Begini, ada rencana kegiatan

kerja bakti di pura Pucak‟

Menyatakan

rencana

Memperkenal

kan topik

5. KA: Duaning pelinggih duéné sané

kasendér jebol

„Oleh karena tembok halaman

pura longsor‟

Menyatakan

kondisi

Pendalaman

topik

6. KA: Kénten, antuk keni ujan tiap

tiap hari

„Terkikis hujan setiap hari‟

Menyatakan

penyebab

Pendalaman

topik

7. KA: Mangkin duaning kénten, titiang

nunasang mangda nunas

embang

„Oleh sebab itu, sekarang saya

meminta agar anda

melaksanakan tolak hujan‟

Menyatakan

permintaan

Meminta

tanggapan

8. KA: Sapunapi patutné bakti sané

patut kekaryanin

„Sarananya apa saja?‟

Meminta

informasi

sarana

Meminta

informasi

lanjutan

9. KA: Trus malih kudang rahina

patutné titiang nauhin kramané

indik kerja baktiné ring pura,

jero mangku?

„Kapan seharusnya saya

mengajak warga mengadakan

Meminta

informasi

waktu

Meminta

informasi

lanjutan

Page 162: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

162

kerja bakti di pura?‟

10. P: Nggih, niki wénten galah malih

tigang rahina

„Baiknya tiga hari lagi‟

Menyatakan

waktu

Menerima

permasalahan

11. P: Indik bakti anggén nunas

embang punika baktiné wantah

bakti apajatian sareng pratista,

nasi manca warna muah nasi

putih kuning

„Sarananya adalah pejati, nasi

lima warna dan nasi putih

kuning‟

Menyatakan

sarana

Memberikan

informasi

12. P: Karuntutin antuk nasi

pawongwongan selem lan putih,

mebé ayam betutu putih

kuning.

„Lengkapi dengan nasi

pawongwongan hitam dan

putih‟.

Menyatakan

sarana

khusus

Memberikan

informasi

lanjutan

13. KA: Sampun nika mangku?

„Sudah itu saja?

Konfirmasi Konfirmasi

14. KA: Nggih. Suksma jero mangku

„Ya, terima kasih‟

Menerima

informasi

Menjawab

15. KA: Ngeninin indik bakti sané

keanggén: pajatian, pratista,

nasi pawongwongan, taler

segehan maulam bawang jaé

lan ayam betutu

„Untuk sarana dibutuhkan nasi

pajatian, pratista, nasi

pawongwongan, dan segehan

dengan bawang jahe ditambah

ayam betutu

Mengulang

informasi

Memastikan

informasi

16. KA: Nika patut bakti sané jaga

kekaryanin jero mangku?

„Benarkah sarana itu yang harus

disiapkan?

Konfirmasi Konfirmasi

17. P: Nggih

„Ya‟

Menerima Menyatakan

persetujuan

18. P: Malih nasi manca warna nika

„Juga nasi lima warna‟

Menyatakan

sarana

tambahan

Mengoreksi

informasi

19. P: Nggih, mangda becik titiang

nauhang ring tukang banten

druéné

„Baik, agar dapat saya

Merangkum Transisi

Page 163: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

163

sampaikan kepada tukang sajen‟

20. KA: Nggih, suksma, jero mangku

„Ya, terima kasih‟

Berterima

kasih

Menutup

percakapan.

21. P: Nggih, suksma

„Ya, terima kasih‟

Menerima Menyetujui

penutupan

22. KA: Suksma jero. Duaning sampung

nika, mangkin titiang pamit jero

mangku

„Saya mohon diri‟

Mohon diri Pernyataan

mohon diri

23. P: Suksma

„Terima kasih‟

Menerima Menyetujui

permohonan

mohon diri

24. KA: Nggih, suksma

„Ya, terima kasih‟

Menutup

percakapan

Berpisah

Percakapan pada teks mapinunas di atas diawali dengan salam pembuka

dan ditutup dengan berpamitan dan ucapan terima kasih. Ditinjau dari pilihan

modus yang digunakan, tampak modus deklaratif dimunculkan lebih dominan

daripada modus lain mengingat teks mapinunas „bertanya, meminta bantuan‟

merupakan teks kordinatif antara pemohon dengan pamangku. Modus deklaratif

dipakai untuk maksud memberikan penjelasan terkait dengan topik, berterima

kasih, menyatakan mohon diri, dan menerima pernyataan mohon diri. Sebagian

kecil dari klausa deklaratif itu dapat dipandang menjalankan fungsi memerintah,

seperti contoh (3, 7, 13, 16, 22). Contoh (3) mengandung perintah untuk meminta

mitra wicara memasuki isi permasalahan. Klausa deklaratif pada contoh (7)

dimaksudkan menyampaikan permintaan pelaksanaan nyelang galah. Contoh (13,

16) mengandung perintah menggenapi kelengkapan sarana yang diwajibkan.

Ekspresi prapenutup (19) menggiring pelibat menutup percakapan. Dengan

demikian, modus deklaratif dapat mengemban makna perintah yang santun. Hal

Page 164: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

164

itu menunjukkan bahwa komunitas Bali tidak hanya menyampaikan suatu pesan

secara tersurat, tetapi juga ada pesan yang dinyatakan secara tersirat.

Pada percakapan di atas tampak penggunaan modus nontipikal berkaitan

dengan fungsi pembicara, kekuasaan, ranah, dan senioritas. Pertama, ketua adat

adalah inisiator dari peristiwa mapinunas. Artinya, ketua adat berkepentingan

pada pelaksanaan teks dan mengambil inisiatif mendatangi ketua pamangku untuk

merencanakan ritual. Sebagai inisiator yang membutuhkan petunjuk pamangku

terkait dengan waktu, sarana, dan hal-hal lainnya, ketua adat tidak sepatutnya

menggunakan modus memerintah. Kedua, dalam hal kekuasaan, kedua pelibat

memiliki kekuasaan masing-masing dan tidak berstatus sebagai atasan dan

bawahan. Ketua adat memiliki kekuasaan terhadap krama „seluruh warga‟

sedangkan ketua pamangku memiliki kekuasaan keagamaan, meliputi semua

tatacara pelaksanaan adat dan agama. Jadi, masing-masing pihak memiliki

wilayah kekuasaan yang berbeda. Ketiga, ranah ritual keagamaan tidak

mengizinkan pelibat untuk menonjolkan kekuasaan masing-masing. Pembicaraan

ritual cenderung bernuansa formal, santun, dan setiap pelibat sangat menjaga

sikap dan ucapannya. Keempat, terkait dengan senioritas, pelibat yang lebih muda

sudah sepantasnya menghormati pelibat yang lebih tua. Pelibat muda tidak

sepatutnya memerintah pelibat yang lebih senior. Pada percakapan ketua adat dan

ketua paguyuban pamangku itu, makna imperatif dapat dimunculkan dalam modus

deklaratif termodulasi. Dengan demikian, makna imperatif dapat dinyatakan

secara santun.

Page 165: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

165

Berikut ditampilkan penggunaan contoh penggunaan modus nontipikal

pada fase sangkep pengurus ‟rapat‟ (Data B3/1/12, 7 dan A1/2/ 49, 68).

(6.8) a. ...Baan ujané ten rérénan, tiang maserah ring mangku niki...

KONJ ujan-DEF NEG berhenti, 1 TG -serah PREP mangku DEF

‟Karena hujan tidak henti-hentinya, saya berserah pada mangku‟

(Makna: Saya minta anda melakukan ritual tolak hujan)

b. ...Sinah ada gatra mabuat niki...

JUD EKS kabar -penting DEM

‟Pasti ada kabar penting ini‟.

(Makna: Ceritakan tujuan kedatangan anda!)

c. ...Kadi tiang setuju nika, minab taler pamangku lianan...

PREP 1TG setuju DEM, JUG juga pamangku lain

‟Saya sendiri setuju itu, kira-kira pamangku lain juga‟

(Makna: Nyatakan sikap anda!)

d. ...Santukan guminé panes kanti tandurané layu,

KONJ bumi-DEF panas KONJ tanaman-DEF layu,

‟Karena bumi demikian panas hingga tanaman layu,

nika sané mawinan tiang ngerauhin jero mangku...

DEM REL KONJ 1TG -datang HON SOS

Itu yang menyebabkan saya mendatangi jero mangku (anda)‟

(Makna: Mohon anda lakukan langkah penyelamatan tanaman warga)

Klausa (6.8) merupakan contoh penggunaan modus deklaratif dalam fungsi

lapis kedua. Pelibat klausa (a) adalah pemohon nyelang hujan dan ketua

pamangku, klausa (b) melibatkan ketua pamangku dan ketua adat. Klausa (c)

adalah pernyataan pamangku Puseh kepada ketua pamangku, sedangkan klausa

(d) merupakan pernyataan ketua adat kepada ketua pamangku. Ditinjau dari

fungsi komunikasi, tampak modus deklaratif yang digunakan dalam contoh di

atas bukan untuk menyatakan, tetapi untuk kepentingan memerintah (a, b, c, d).

Secara semantis, pembicara bermaksud menyuruh pelibat lain untuk melakukan

Page 166: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

166

sesuatu, tetapi terhalang oleh kendala tertentu. Misalnya pada klausa (a)

kekuasaan pelibat yang tidak simetris, tidak memungkinkan bagi pelibat dengan

kekuasaan lebih rendah memerintah pihak yang memiliki kekuasaan (power)

yang lebih tinggi. Ketidakberimbangan kekuasaan menyebabkan terjadinya

pergeseran pilihan dari modus tipikal menjadi modus termodulasi. Pada kluasa

(b), sekalipun ketua pamangku memiliki kekuasaan yang lebih dominan

dibandingkan dengan ketua adat, terdapat keinginan untuk menghormati

pemimpin sosial. Etika untuk menghormati antar pemimpin pura (c, d) memicu

pilihan modus nontipikal. Artinya, makna bertanya tidak disampaikan secara

langsung, tetapi dilakukan dengan modus lain demi menjunjung nilai kesopanan.

Pada klausa (d), ketua adat tidak langsung memerintah pamangku untuk

menyelamatkan tanaman warga, tetapi dilakukan dengan paparan yang mendasari

permintaan tersebut.

Makna memerintah dapat pula ditampilkan dalam bentuk klausa bersyarat

(conditional modulated declarative) seperti contoh berikut (Data A2/2/ 98, 122,

135).

(6.9) a. ...Yén ada waktu, de buin tundana...

bila EKS waktu, NEG lagi tunda-PAS

‟Bila ada waktu, jangan ditunda‟

b. ...Yén prasida antuk, tanggal dualikur niki dados margiang...

bila MOD PREP tanggal 24 DEM REL -jalan

‟Bila memungkinkan, tanggal 24 bisa dijalankan‟

.

c. ...Yén kénten, sangkepang prajuruné sami...

bila demikian, -rapat pemuka adat-DEF KUAN

‟Kalau demikian, rapatkan semua pemuka adat‟

Page 167: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

167

Klausa (6.9) disampaikan oleh ketua pamangku kepada peserta rapat yang

terdiri atas pangurus desa dan para pamangku. Klausa (a, b) berbentuk klausa

bersyarat sehingga makna perintah dapat dipahami seolah-olah tanpa paksaan.

Makna perintah dalam bentuk klausa bersyarat itu cenderung lunak, sehingga

lebih mudah memperoleh persetujuan. Perintah yang santun itu tentu sulit untuk

disanggah. Klausa (c) merupakan perintah yang berupa solusi yang harus

dikerjakan.

Nilai kesantunan makna memerintah juga dapat dimunculkan dengan modus

interogatif retoris. Perhatikan seperti contoh berikut (Data A1/1.3/ 9, 17).

(6.10) a. ...Napi ye katunas antuk panjak duéné?...

TANYA PAS-makan PREP hamba-DEF

‟Apa yang kami makan?‟

b. ...Jagi neduh sapunapi, mangda gelis wénten sabeh?...

MOD -teduh TANYA KONJ cepat EKS hujan

‟Apa perlu menjalankan ritual panggil hujan supaya segera hujan turun?‟

Kalimat interogatif retoris (6.10) bersifat tidak meminta jawaban. Klausa (a)

mengandung makna bahwa jika hujan tidak segera turun, rakyat akan sengsara dan

kelaparan. Oleh sebab itu, klausa (a) bermakna perintah ‟selamatkan hidup

warga‟. Klausa (b) mengandung makna usulan untuk melakukan ritual panggil

hujan. Dengan demikian, klausa (6.9 dan 6.10) tidak sepenuhnya bersifat

menerangkan atau menanyakan sesuatu, tetapi dapat dilihat sebagai klausa yang

berimplikasi perintah. Tampaknya terdapat etika untuk menyampaikan makna

memerintah secara santun pada pembicaraan ranah sensitif.

Page 168: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

168

Bila dominasi modus imperatif dikaitkan dengan struktur skematik dapat

diketahui bahwa pelaksanaan TNNGB membutuhkan dukungan perilaku pelibat.

Setiap tahapan merupakan langkah kerja yang harus dilaksanakan secara

bersinergi sesuai petunjuk ketua pamangku yang berfungsi sebagai partisipan

kunci. Respon fisik itu dikenakan pada setiap pelibat.

Page 169: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

169

BAB VII

STRUKTUR TRANSITIVITAS

7.1 Pengantar

Ditinjau dari medan komunikasi, bahasa dapat dipergunakan untuk

menggambarkan dunia logika (ideasional) dan dunia pengalaman (eksperiensial).

Logika umumnya dinyatakan dalam berbagai ekspansi atau proyeksi. Ekspansi

diperlukan karena ide tidak dapat dijelaskan dengan sebuah klausa sederhana,

tetapi identitas ide memerlukan paparan yang lebih luas. Di sisi lain, dunia

pengalaman biasanya dinyatakan dalam berbagai bentuk tipe proses yang

menggambarkan keaktifan pelaku dalam setiap pengalaman yang dialami.

Struktur transitivitas berfokus pada paparan pengalaman termasuk peran

pelaku dalam setiap pengalaman yang dialami. Pengalaman tentu tidak dapat

dilepaskan dengan bagaimana suatu proses dapat terjadi dan keterangan lain yang

mendukung proses tersebut. Secara garis besar, dunia pengalaman dapat dipilah

menjadi dua tipe, yakni peristiwa yang terjadi pada diri dan peristiwa yang terjadi

di luar diri. Pengalaman dalam diri melibatkan aspek kesadaran yang kemudian

dapat memunculkan persepsi, emosi, dan imajinasi. Pengalaman di luar diri

terdiri atas jenis peristiwa dan kejadian yang terjadi tanpa keterlibatan diri sendiri.

Dengan demikian, pengalaman berkaitan dengan proses peristiwa yang tengah

terjadi, partisipan yang terlibat dalam proses, dan keterangan lain yang

berhubungan dengan proses (Halliday, 2004: 175).

Page 170: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

170

Secara rinci, pengalaman dipilah menjadi beberapa kategori tipe proses,

termasuk hubungan antarelemen yang dibentuknya. Kategori proses yang

biasanya mengisi slot Predikator dinyatakan sebagai inti klausa yang memiliki

kemampuan mengikat kelas lain. Secara umum, kelompok verba dipetakan ke

dalam tipe proses, kelompok nomina dipetakan ke dalam partisipan, dan

kelompok adverbia dipetakan ke dalam Sirkumtansi (Eggins, 1994: 237). Tipe

proses berkaitan dengan medan teks, partisipan adalah pelibat yang terlibat dalam

proses secara sintaktis, sedangkan Sirkumtansi mencakup keterangan tempat, cara,

dan keterangan lain yang berhubungan dengan proses.

Sebagai realisasi dari metafungsi eksperiensial, antarpelibat, dan tekstual,

unsur proses, partisipan dan sirkumtansi memunculkan identitas subjek dalam

sudut pandang yang berbeda. Tipe proses memunculkan kategori subjek logis,

yakni Aktor yang secara logika merupakan pelaku aktif suatu proses. Partisipan

dikaitkan dengan fungsi subjek gramatikal, sedangkan Sirkumtansi melahirkan

subjek psikologis (Halliday, 2004: 56). Pemetaan tiga underlying subjek yang

kemudian disebut Aktor, Subjek, dan Tema dapat dilihat pada contoh klausa

berikut (diadosi dari Halliday, 2004: 56) (terjemahan oleh penulis).

(7.1) The duke gave my aunt this teapot

ART bangsawan beri 1TG bibi ART teko

„Bangsawan itu memberikan bibi saya teko ini‟

Page 171: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

171

Struktur Konstituen The duke gave my aunt this teapot

Argumen 1 Predikator 2 3

Subjek Psikologis Tema

Subjek Gramatikal Subjek

Subjek Logis Aktor

Pada contoh (7.1) di atas tampak klausa dengan Predikator gave

„memberi‟ memunculkan tiga argumen. Konstituen the duke merupakan Partisipan

I yang mengemban tiga fungsi sekaligus, yakni sebagai Tema, Subjek, dan Aktor.

Kelompok kata the duke berfungsi sebagai realisasi komponen dalam metafungsi

eksperiensial, antarpelibat, dan tekstual. Dengan demikian, the duke menjalankan

fungsi sebagai: (a) Tema, the duke adalah inti pesan atau tema terlihat dari

posisinya di awal klausa, (b) Subjek, the duke adalah argumen yang mendapat

Predikator, dan (c) sebagai Aktor, the duke merupakan pelaku dari kegiatan gave

„memberi‟. Dengan kata lain, secara pragmatik the duke adalah Tema, secara

gramatikal the duke menempati fungsi Subjek, sedangkan secara semantis logis,

the duke adalah Aktor. Pemetaan lurus subjek dalam tiga metafungsi berbeda itu

dikategorikan sebagai konstruksi tidak bermarkah dengan struktur dasar Subjek ^

Predikator ^ Komplemen ^ Adjung.

7.2 Tipe Proses

Analisis transitivitas berakar pada karakteristik semantik pengisi fungsi

Predikator. Terdapat tiga proses pokok yang digambarkan oleh Predikator,

masing-masing proses aktivitas (doing), proses kesadaran (sensing), dan proses

Page 172: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

172

hubungan (being). Proses pokok itu dijabarkan lagi dalam bentuk proses yang

lebih spesifik yang menyatakan keberadaan, perubahan, hubungan, perkataan,

perilaku dan pengindraan. Setiap tipe proses mengikat kelompok nomina dan

adverbia tertentu. Artinya, tipe proses tertentu dapat menyeleksi kelas nomina

yang berbeda sebagai partisipan yang terlibat langsung maupun tak langsung

dalam proses tersebut. Contohnya, proses material menginformasikan adanya

suatu kegiatan yang dilakukan oleh Aktor pada suatu waktu, tempat atau cara

tersendiri. Proses pokok menurunkan enam tipe proses yang terdiri atas proses

material, proses verbal, proses mental, proses perilaku, proses eksistensial , dan

proses relasional. Karakteristik tipe proses dapat dijabarkan sebagai berikut

(diadopsi dari Eggins, 1994: 228).

(a) Proses Material

Proses material merupakan tipe proses pokok yang menggambarkan dunia

fisik (physical worlds) dengan ciri mendasar adanya aktifitas doing

„melakukan‟ yang menunjukkan perubahan kongkret. Proses material

mencakup aktifitas melakukan, membuat dan kejadian atau peristiwa. Kelas

material dipilah menjadi dua: (a) Subtipe „melakukan‟ (doing) yang

mencakup aktivitas „melakukan‟ dan „membuat‟ yang biasanya ditunjukkan

oleh klausa material transitif. Argumen yang dimunculkan dapat berfungsi

sebagai Aktor dan Tujuan, dan (b) Subtipe „peristiwa‟ atau kejadian

(happening) yang biasanya ditunjukkan oleh klausa material intransitif.

Klausa intransitif memunculkan satu argumen yang otomatis berfungsi

sebagai Aktor pada verba aktif. Di samping dua peran tersebut, proses

Page 173: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

173

material yang memunculkan lebih dari dua argumen dapat memunculkan

fungsi Benefaktif (Benefactive), seperti Pengguna (Client) atau Penerima

(Recipient).

(b) Proses Perilaku

Proses perilaku atau proses tingkah laku (behaving) memiliki sebagian ciri

proses material dan sebagian ciri proses mental. Secara sematis, proses

perilaku merupakan perpaduan pengalaman “merasakan” (sensing) dan

“melakukan” (doing). Oleh sebab itu, proses perilaku dinyatakan

memformulasikan aspek fisiologis dan psikologis. Proses perilaku yang

dimaksud adalah perilaku manusia yang dilakukan dengan penuh kesadaran,

seperti tersenyum, melirik, batuk, atau menggerutu. Diakui bahwa proses

perilaku memiliki definisi yang tidak jelas karena dapat mengandung

kombinasi dua proses. Peran semantis tertinggi pada proses perilaku adalah

Petingkah Laku (Behaver).

(c) Proses Mental

Proses mental (sensing) tergolong proses utama yang menggambarkan

pengalaman dunia kesadaran (world of consciousness). Proses mental

ditandai dengan adanya pengindraan, seperti melihat (seeing), memikirkan

(thinking), menginginkan (wanting), atau merasakan (feeling). Peran

semantis tertinggi argumen pada tipe mental adalah Pengindra (Senser).

Dengan demikian, Pengindra hanya dapat diisi oleh argumen insani yang

berada dalam kondisi sadar.

Page 174: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

174

(d) Proses Verbal

Proses verbal ditandai dengan adanya kegiatan berkata-kata (saying). Peran

tertinggi partisipan tipe verbal adalah Pemerkata (Sayer). Argumen lain

dapat hadir adalah Target/Penerima (Receiver), dan Perkataan (Verbiage).

(e) Proses Relasional

Proses relasional merupakan proses utama yang menggambarkan relasi

dunia abstrak (world of abstract relations). Tipe Relasional mencakup relasi

antara entitas dan atibut yang dimiliki, antara entitas dan identitas yang

dimiliki, atau antara simbol dan makna yang diwakilinya. Secara umum,

proses relasional bersifat menghubungkan antarpartisipan yang dimunculkan

dalam klausa. Proses relasional mewajibkan munculnya dua partisipan.

Tipe relasional dapat dipilah menjadi dua subtipe, yakni (a) relasi

identifikasi (Identifying) yang ditandai dengan hadirnya peran Penyandang

Identitas (Token) dan Nilai (Value), dan (b) relasi atributif yang ditandai

dengan hadirnya peran Penyandang Atribut (Carrier) dan Atribut.

(f) Proses Eksistensial

Proses eksistensial atau proses wujud mempresentasikan suatu keberadaan.

Proses eksistensial ditandai dengan adanya Wujud (Existent). Dalam

Bahasa Inggris, klausa tipe Eksistensial biasanya diawali dengan there

is/are „ada‟ yang tidak mengemban fungsi semantis apa pun (empty

content), tetapi difokuskan pada pernyataan keberadaan. Dengan demikian,

proses eksistensial mengikat satu partisipan, yakni Wujud.

Page 175: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

175

Pilahan tipe proses memungkinkan adanya persinggungan antarproses

yang berdampingan, seperti digambarkan di bawah ini.

Gambar 7.1: Tipe Proses

Gambar (7.1) menunjukkan adanya tiga kelas pokok, yakni (a) proses

relasi abstrak (world of abstrack relations) yang menyatakan being „menjadi‟, (b)

proses fisik (physical world) yang menyatakan aktivitas (doing), dan (c) proses

kesadaran (world of conciousness) yang menyatakan aktivitas merasakan

(sensing). Dengan kata lain, proses relasional, proses material, dan proses mental

merupakan tiga proses pokok, sedangkan proses perilaku, proses eksistensial , dan

proses verbal merupakan tipe proses sekunder yang memiliki karakteristik

perpaduan dua proses pokok yang mendampinginya. Di bawah ini ditampilkan

tipe proses dan peran semantis yang dimunculkan setiap proses (Diadopsi dari

Halliday, 2004: 260 -172; dan Eggins, 1994: 228) (diterjemahkan oleh penulis).

DOING

SENSING BEING SENSING

SENSING BEING

Proses Material

Proses Verbal

Proses Relasional

Proses Perilaku Proses Eksistensional

Proses Mental

Page 176: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

176

Tabel 7.1

Tipe Proses dan Partisipan

Tipe Proses Partisipan

Terlibat Langsung

Partisipan

Terlibat secara Oblik

Material Peristiwa Aktor

Tujuan, Benefaktif

Melakukan

Mental Persepsi Pengindra

Fenomena

- Pengetahuan

Keinginan

Emosi

Verbal Pemerkata Target, Perkataan

Perilaku Petingkah Laku Tingkah Laku,

Fenomena

Eksistensial Wujud -

Relasional Atributif Penyandang, Atribut -

Identifikasional Token, Nilai -

Sistem ketransitifan seperti ditunjukkan tabel (7.1) di atas dirancang

berdasarkan perilaku tipe proses pada Bahasa Inggris dan dinyatakan dapat

dipakai untuk menganalisis Predikator dalam teks berbagai bahasa di dunia. Peran

partisipan sebagai argumen dipilah atas argumen yang terlibat langsung dan

terlibat secara manasuka. Partisipan yang berhubungan langsung dengan

Predikator (directly involved) dikategorikan sebagai partisipan wajib, sedangkan

partisipan yang berhubungan dengan Predikator secara oblik (obliquely involved)

dinyatakan sebagai partisipan tak wajib. Argumen yang terlibat langsung dapat

terdiri atas dua partisipan yang dinyatakan sebagai Partisipan I dan Partisipan II.

Partisipan I adalah partisipan yang mengandung peran semantik tertinggi,

misalnya Aktor (Actor), Petingkah Laku (Behaver), Pengindra (Senser),

Page 177: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

177

Pemerkata (Sayer), Penyandang, (Carrier), Token atau Wujud (Existent) atau

tergantung pada tipe proses yang dinyatakan oleh Predikator klausa yang

bersangkutan.

Secara logika, teori Sistemik memandang setiap tuturan yang dipakai baik

lisan maupun tertulis adalah klausa yang bermakna dan cocok (appropriate).

Dengan demikian, setiap partisipan atau Sirkumtansi yang dimunculkan pada

suatu jenis proses adalah relevan dan cocok pada klausa bersangkutan.

7.2.1 Proses Material

Proses material pada dasarnya mencakup dua subtipe, yakni (a) tipe

“melakukan” (doing), dan (b) tipe menyatakan “peristiwa” (happening). Dengan

demikian, proses material mencakup paparan kegiatan yang di dalamnya

terkandung makna perubahan yang dihasilkan melalui proses “melakukan” atau

paparan tentang suatu peristiwa yang terjadi. Proses material meliputi setiap

klausa yang menyatakan peristiwa ataupun proses perbuatan kongkret, riil, atau

aksi tangible. Makna mendasar tipe “peristiwa” adalah adanya entitas melakukan

sesuatu atau dapat menjawab pertanyaan „apa yang dilakukan X? Sementara itu,

tipe “melakukan” adalah klausa yang dapat menjawab pertanyaan „apa yang

dilakukan X terhadap Y? Jadi, proses material adalah proses yang menyatakan

tindakan kongkret yang dilakukan oleh Aktor.

Jumlah partisipan pada proses material dapat bervariasi tergantung pada

jenis proses yang dilakukan. Proses material yang menjangkau satu partisipan

cenderung menggambarkan peristiwa, sedangkan pada klausa yang memunculkan

dua partisipan atau lebih bersifat menggambarkan aktivitas “melakukan” atau

Page 178: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

178

“membuat”. Partisipan yang paling sering muncul pada proses material adalah

Aktor dan Tujuan. Pada verba aktif, Aktor pada proses material dapat dipetakan

ke Subjek. Sebaliknya, pada verba pasif partisipan tersebut cenderung dipetakan

ke Adjung. Pada klausa aktif yang memunculkan dua partisipan, pelaku dari

tindakan yang dinyatakan Predikator merupakan Partisipan I, tetapi pada verba

pasif fungsi Aktor biasanya dinyatakan sebagai Partisipan II yang berstatus Oblik.

Klausa intransitif proses material menghendaki ada satu Tujuan (Goal) dalam

sebuah klausa. Yang dimaksud Tujuan adalah argumen yang memiliki peluang

menduduki peran Subjek pada klausa pasif dengan menggeser posisi Aktor

menjadi Oblik.

Berikut contoh klausa proses material yang mengikat Aktor dan Tujuan

(Eggins, 1994: 232) (terjemahan oleh penulis).

(7.2) a. They tested my blood

3 PL periksa-PAS 1T darah

„Mereka memeriksa darah saya‟

b. These two wonderful Swiss men left their dinner

DEM NUM tampan Swiss pria pergi 3PL makan malam

„Dua orang Swiss yang tampan ini meninggalkan makan malamnya‟

Kegiatan tested (a) dan left (b) merupakan Predikator masing-masing

klausa di atas yang memerlukan pelaku. Aktor dari kegiatan tersebut dinyatakan

oleh kelompok nomina they (a) dan these two wonderful Swiss men (b) yang dapat

langsung dipetakan ke Subjek. Frasa my blood pada klausa (a) dan their dinner

pada klausa (b) dikategorikan sebagai Tujuan, karena kelompok nomina tersebut

merupakan Tujuan dari kegiatan tested dan left. Penentuan peran Tujuan

Page 179: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

179

didukung kemampuan kelompok nomina itu menduduki peran Subjek pada bentuk

pasif, (a) My blood was tested „darah saya diperiksa‟ dan (b) Their dinner was left

„makan malamnya ditinggalkan‟.

Peran semantik lain yang dapat muncul pada proses material adalah

Jangkauan. Menurut Halliday, relasi antara proses dengan Jangkauan bersifat

lebih erat dibandingkan dengan Tujuan. Jangkauan dapat memiliki ciri sebagai (a)

pernyataan ulang (restatement) dari proses, (b) dijangkau oleh proses, (c) domain

proses, atau (d) mengikuti verba dummy (kosong). Contohnya, a song pada klausa

they sing a song „mereka menyanyikan sebua lagu‟ adalah pernyataan ulang dari

aktivitas sing „bernyanyi‟. The blood merupakan Jangkauan pada klausa they

transfused the blood „mereka mentransfusikan darah‟ karena the blood sudah

dijangkau oleh Predikator mentransfusikan sebagai satu-satunya entitas yang

dapat ditransfusikan. Jangkauan dapat berupa domain dari proses dan kerap hadir

dalam frasa berkata depan seperti he plays beautifully on the piano „dia

memainkan piano dengan sangat baik‟. Ciri lain Jangkauan adalah dapat muncul

mengikuti verba kosong (dummy verbs) seperti take, give, like, do, have, dan

make, seperti contoh, (a) she take a rest „dia beristirahat‟ yang dapat dipadankan

dengan she rested, (b) You give me a smile „kamu tersenyum‟ yang dapat

dipadankan dengan you smiled to me, (c) I make a mistake „saya salah‟ yang dapat

dipadankan dengan I mistake, atau (d) He had a bath „dia mandi‟ yang dapat

dipadankan dengan he bathed. Jangkauan menghasilkan kalimat yang janggal bila

diposisikan sebagai Subjek pada klausa pasif. Jadi, Jangkauan dibedakan dari

Tujuan dalam hal kemungkinan menduduki fungsi Subjek.

Page 180: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

180

Ditinjau dari valensi, suatu proses dapat menghadirkan satu hingga tiga

argumen. Contohnya, proses material dapat mengikat tiga argumen dengan peran

sebagai Aktor, Benefaktif dan Tujuan. Benefaktif adalah peran semantik yang

diemban partisipan yang mendapat keuntungan dari proses. Benefaktif dipilah

menjadi dua, masing-masing: (a) Pengguna (Client) yakni partisipan yang

menyatakan untuk siapa suatu pekerjaan dilakukan, dan (b) Penerima (Recipient)

yakni partisipan yang menyatakan untuk siapa sesuatu diberikan. Benefaktif

dapat hadir dengan preposisi maupun tanpa preposisi.

Berikut contoh klausa proses material subtipe “peristiwa” dan

“melakukan”. Subtipe “peristiwa” dapat dilihat pada contoh (a), sedangkan

subtipe “melakukan” ditunjukkan contoh (b, c) (Data A2/5/ 122, 126, 130).

(7.3) a. …Ratu lédang mapica sabeh…

2 TG MOD -beri hujan

„Semoga Engkau (Tuhan) memberi hujan‟

b. …Titiang nyelang pepatih duéné…

1 TG -pinjam patih DEF

„Saya meminjam patih paduka‟

c. …I Ratu micayang kaula duéné merta …

2 TG -beri-BEN rakyat DEF berkah

„Engkau (Tuhan) memberikan kami berkah‟

Ratu ledang mapica sabeh

Titiang nyelang pepatih duéné

I Ratu micayang kaula duéné merta

Aktor Proses material

Partisipan I Predikator Partisipan II

Page 181: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

181

Dengan Predikator mapica „mengabulkan‟, klausa (a) mengikat dua

argumen, yakni Ratu „Ratu, Tuhan‟ yang secara otomatis mengambil peran

semantik Aktor dan sabeh „hujan‟ sebagai Tujuan. Klausa (a) dapat

diklasifikasikan sebagai proses material tipe “peristiwa” yang berfungsi

menjelaskan peristiwa yang terjadi. Pengujian klausa tersebut dilakukan dengan

kemampuan menjawab „apa yang dilakukan X?‟ Jawaban pertanyaan diperoleh

pada klausa (a) yakni mapica sabeh „memberikan hujan‟. Klausa (b) memiliki

Predikator nyelang „meminjam‟ yang mengikat dua argumen, masing-masing

Aktor dan Tujuan. Predikator nyelang „meminjam‟ (c) dilibatkan dua partisipan,

yakni pelaku yang meminjam dan entitas yang dipinjam. Proses peminjaman

dilakukan oleh orang pertama tunggal titiang „1 TG‟. Penggunaan titiang

tergolong leksikon ragam halus tinggi dibandingkan tiang atau icang „saya‟.

Ragam hormat tersebut digunakan karena partisipan I mengajukan permintaan

kepada figur yang sangat tinggi dan dihormati. Predikator micayang (c)

menghadirkan tiga argumen, yakni partisipan yang memberikan, apa yang

diberikan, dan kepada siapa barang itu diberikan. Tiga argumen itu berfungsi

sebagai Aktor, Benefaktif, dan Tujuan, yang masing-masing diisi oleh I Ratu

„Tuhan‟, kaula duéné „rakyat paduka‟, dan merta „berkah‟. Peran benefaktif yang

dimiliki oleh kaula duéné adalah Penerima, yakni partisipan yang menerima

keuntungan dari kegiatan yang dinyatakan oleh Predikator. Jadi, partisipan I dari

klausa material pada contoh (6.1) adalah Aktor, sedangkan Partisipan II dapat

berperan sebagai Benefaktif atau Tujuan.

Page 182: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

182

Pengujian terhadap klausa proses material subtipe “melakukan” dapat

dilakukan dengan mengajukan pertanyaan „apa yang dilakukan X terhadap Y?‟

Jawaban atas pertanyaan itu merujuk pada proses material tipe “melakukan”,

seperti tampak pada dua contoh (b, c) di atas. Secara umum, ikatan Sirkumtansi

pada klausa material fase puncak TNNGB jarang ditemukan, baik keterangan

waktu, durasi, tempat, maupun cara. Tidak ditemukan pemakaian Sirkumtansi

tempat dan waktu mencerminkan bahwa ritual tidak dibatasi oleh durasi waktu

dan areal tertentu. Dengan kata lain, setiap klausa dimaknai sebagai tuturan yang

mengandung makna waktu kekinian sesuai dengan waktu pelaksanaan teks.

Klausa material khususnya yang ditemukan pada bagian isi dapat dipahami

memuat makna waktu teks dipraktikkan dan area kelokalan sejalan dengan zona

tempat. Jadi, klausa material fase puncak dan penutup memiliki makna tempat,

waktu, dan aspek yang diikat oleh pelaksanaan teks.

Proses material subproses “peristiwa” cenderung direalisasikan dengan

predikator berprefiks {ma-}, seperti pada lekikon matanding „menyiapkan sajen‟,

mapengarah „memberitahukan‟, magendu wirasa „bercengkrama‟, atau

masayuban „berteduh‟. Verba aktif pada subtipe “melakukan” dapat dimarkahi

{-} dengan beberapa bentuk realisasinya, seperti ditunjukkan tabel berikut

(Diadopsi dari Sulaga (1996; 119); Artawa (1998: 7)).

Page 183: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

183

Tabel 7.2

Proses Morfofonemis

No

Bentuk Dasar Bentuk Turunan

dengan prefiks {-}

Makna

1. bakta makta membawa

2. pulpulang mulpulang mengumpulkan

3. tutup nutup menutup

4. dabdabang nandabang menyiapkan

5. selang nyelang meminjam

6. rauhang ngrauhang menghadirkan

7. genahang ngenahang menaruh

8. unggahang ngunggahang menaikkan

9. anggen nganggen memakai

10. icen ngicen memberi

Pelekatan prefiks {-} pada sebuah bentuk mengalami proses

morfofonemis yang memunculkan bentuk turunan yang mempertahankan makna

“melakukan”. Proses material yang dimarkahi {-ang} seperti tampak pada

micayang „memberikan‟ dapat menghadirkan lebih banyak partisipan

dibandingkan dengan pemarkah {-}. Hal itu disebabkan oleh potensi pemarkah

{-ang} untuk memunculkan fungsi benefaktif. Tiga klausa proses material (7.3)

ditampilkan kembali untuk membandingkan pemarkahan pada Predikator dan

jumlah partisipan yang dimunculkan.

Ratu mapica sabeh

Titiang nyelang pepatih duéné

I Ratu micayang kaula duéné merta

X Predikator Y Z

Page 184: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

184

Predikator proses material dengan pemarkah aktif {ma-} umumnya

mengikat satu partisipan wajib, sedangkan proses yang dimarkahi {-(-in/-ang)}

mampu mengikat minimal dua partisipan. Dengan kata lain, klausa material

dengan pemarkah {ma-} memiliki unsur X (Y), sedangkan pemarkah {-(-in/-

ang)} memiliki unsur X, Y, (Z). Jadi, argumen minimal yang harus muncul pada

klausa proses material adalah unsur X yang berstatus Aktor.

Secara morfologis semantis, subtipe proses material dalam Bahasa Bali

dapat digambarkan pada kontinum proses seperti di bawah ini.

Tipe “Peristiwa” Tipe “Melakukan”

Pemarkah {ma-} Pemarkah {-(-in/-ang)}

Partisipan = 1 Partisipan > 1

Fungsi: Aktor, (Tujuan) Fungsi: Aktor, Tujuan,

(Penerima)

Gambar 7.2: Proses Material

Gambar (7.2) menunjukkan perbedaan pemarkah morfologis Bahasa Bali

terkait dengan dua subproses material. Subtipe “peristiwa” cenderung dimarkahi

berbeda dengan tipe “melakukan”. Dilihat dari bentuk afiks yang melekat pada

proses material dapat diketahui bahwa subtipe “melakukan” memiliki realisasi

prefiks yang variatif.

Page 185: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

185

TNNGB memunculkan klausa dengan penderetan Aktor dengan

menyebutkan satu per satu. Aktor jamak itu selanjutnya dinyatakan dalam salinan

pronomina, seperti tampak pada klausa berikut (Data B1/4/ 89).

(7.4) a. … [[Adi bhatara Wisnu, adi bhatara Brahma, adi bhatara Mahadewa,

adi bhatara Iswara]i [ngiring adii kemit ragan beliné]] …

VOK NAMA MOD VOK -jaga raga-POS VOK-DEF

„Adik bhatara Wisnu, adik bhatara Brahma, adik bhatara Mahadewa,

adik bhatara Iswara, mari adik jaga raga kakak‟.

Adi bhatara Wisnu, adi bhatara

Brahma, adi bhatara

Mahadewa, adi bhatara Iswarai

ngiring adii kemit ragan

beline

Aktor Aktor Pengguna

Pada klausa Adi bhatara Wisnu, adi bhatara Brahma, adi bhatara

Mahadewa, adi bhatara Iswara, ngiring adi kemit ragan beline tampak

penderetan figur batara yang diharapkan membantu menjaga diri partisipan kunci.

Pamangku menyebut dirinya sebagai beli “kakak (saya). Klausa itu dapat

dikategorikan sebagai klausa sederhana yang memberi penegasan pada identitas

mitra wicara di samping hubungan kekerabatan diantaranya. Predikator tipe

melakukan kemit atau ngemit „menjaga‟ mengharuskan hadirnya dua partisipan,

yakni Partisipan I sebagai pihak yang menjaga, dan Partisipan II sebagai pihak

yang yang membutuhkan penjagaan. Predikator didahului modalitas ngiring

„mari‟ yang menyatakan ajakan atau suruhan yang santun. Diharapkan lima figur

batara menjadi Aktor pada proses material subtipe “melakukan” itu. Beli „kakak

(saya)‟ menempat fungsi benefaktif. Tampak relasi koreferensial antara bhatara

Page 186: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

186

Wisnu, bhatara Brahma, bhatara Mahadewa, dan bhatara Iswara dengan leksikon

adi. Oleh karena itu, klausa di atas tidak dapat dinyatakan memiliki Subjek

ganda. Klausa imperatif tersebut mempergunakan bentuk register kekeluargaan

beli-adi „kakak-adik‟. Bhatara Wisnu, bhatara Brahma, bhatara Mahadéwa, dan

bhatara Iswara diperlakukan sebagai adik, sedangkan pamangku menempatkan

dirinya sebagai kakak. Tampaknya, dengan status sebagai saudara tua, pamangku

dapat memberi perintah terhadap saudara-saudara mudanya.

Terkait penggunaan vokatif beli, terdapat perbedaan yang menonjol. Pada

fase persiapan, pamangku memposisikan diri sebagai “adik” bagi ketua adat atau

pamangku lain. Hal itu berkaitan dengan mitra wicara yang lebih tua dan

dihormati. Pada fase puncak dan fase penutup, vokatif beli digunakan untuk

mengacu pada diri sendiri, sedangkan mitra wicara ditempatkan sebagai adi

„adik‟. Perlu ditelusuri konsep dasar yang mengizinkan pamangku

memperlakukan bhatara Wisnu, bhatara Brahma, bhatara Mahadewa, dan

bhatara Iswara. sebagai “adik”. Paparan tentang beli-adi „kakak-adik‟ ditampilkan

pada subbab referensi eksoforis (10.4).

Berikut ditampilkan klausa proses material yang bersumber pada fase

persiapan (a, b, c), dan fase puncak (d, e) yang dilengkapi dengan Sirkumtansi

„keterangan‟ yang memperjelas proses (Data B3/2, 19 dan A2/4/ 120, 139, 151).

(7.5) a. …Ngiring malinggih dumun…

MOD -duduk Sir

„Mari silakan duduk‟

b. …Yen kénten, tiang mapamit mangkin…

KONJ 1 TG -mohon diri Sir

„Kalau demikian, saya mohon diri sekarang‟

Page 187: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

187

c. …Niki tiang ngaturang Ratu pajatian…

DEM 1 TG -beri 2 TG sarana

„Saya menghaturkan sarana sajen‟

d. … I Ratu mapica sabeh mangda kaulané prasida matetanduran…

2 TG -beri hujan PREP rakyat-DEF dapat -tanam

„I Ratu memberi hujan agar rakyat dapat bertanam‟

e. …I Sampati ngrecah mendung mangda punah…

NAMA -pecah mendung KONJ gagal

„I Sampati memecah mendung agar sirna‟

Malinggih dumun

Tiang mapamit mangkin

Tiang ngaturang Ratu pajatian

I Ratu mapica sabeh mangda kaulané

prasida matetanduran

I Sampati ngarecah mendung mangda punah

S P K K A

Aktor

Seperti tampak pada klausa (a, b, c) di atas, klausa material fase persiapan

kerap diikuti oleh Adjung Sirkumtansial, berupa keterangan waktu dan tempat.

Pada fase puncak dimunculkan proses material yang dimunculkan cenderung

dilengkapi Sirkumtansi alasan atau tujuan (d, e). Jadi, klausa material TNNGB

berkaitan erat dengan Sirkumtansi tempat, waktu, cara, atau tujuan. Yang

menonjol adalah teks tidak memunculkannya Adjung Sirkumtansial yang

menerangkan waktu, tempat, dan penyerta pada fase puncak dan fase penutup. Hal

itu mengindikasikan bahwa penjelasan lokasi, waktu, dan penyerta mengacu pada

konteks setempat.

Pemarkah {-ang} dapat menunjukkan makna berbeda bila dilekatkan

pada adjektiva. Pelekatan {-ang)} pada kelas adjektiva tidak menunjukkan

Page 188: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

188

peningkatan valensi, tetapi memunculkan makna kausatif. Perhatikan contoh

berikut (Data A2/2/ 56, 59).

(7.6) a. …Ngiring nginggihang indik paduwasan…

MOD -setuju-KAUS PREP hari baik

„Mari mendiskusikan tentang hari baik‟

b. … Kramané jagi ngamecikang priyangan Ida…

warga-DEF ASP -baik-KAUS tempat 3TG

„Warga akan memperbaiki pura‟

Pemarkah {-ang)} pada contoh (a, b) tidak mengandung makna

benefaktif seperti halnya bila dilekatkan pada verba, tetapi memunculkan makna

kausatif. Predikator nginggihang (a) yang diderivasi dari nggih „ya, cocok‟

bermakna „membuat menjadi cocok, baik, atau sama‟. Pada ngamecikang (b)

yang diderivasi dari becik „baik‟ memunculkan makna „membuat menjadi baik

atau lebih baik‟. Berikut ditampilkan beberapa leksikon proses material.

1. ngamargiang „melakukan‟ 13. ngambil „mengambil‟

2. ngebitin „melihat‟ 14. puputang „menutup‟

3. gaenang „buatkan‟ 15. nyelang „meminjam‟

4. ngaryanin „membuat‟ 16. makarya „membuat‟

5. ngampehang „meniup‟ 17. ngarauhin „menghadiri‟

6. nutup ‟menutup‟ 18. ngejang „menaruh‟

7. nganggen „memakai‟ 19. tadah „nikmati, makan‟

8. ngumpulang „mengumpulkan‟ 20. ngunggahang „menaikkan

9. ngeberang „menerbangkan‟ 21.ngarauhang mendatangkan‟

10. munahang „memusnahkan‟ 22. majalan „berjalan‟

Page 189: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

189

11. nyingakin „melihat‟ 23. ngicen „memberi‟

12. nurunang „menurunkan‟ 24. mangrecah “memecah‟

7.2.2 Proses Perilaku

Proses perilaku dinyatakan memiliki ciri di antara proses mental dan

proses material, yakni melibatkan tindakan fisiologikal dan psikologikal. Artinya,

proses perilaku merupakan tindakan biologis yang dimunculkan berdasarkan

pengalaman psikologis yang diterima atau dimiliki. Proses perilaku cenderung

tidak berkaitan langsung dengan orang lain terbukti dengan kehadiran satu

argumen wajib, yakni Petingkah Laku (Behaver). Secara psikologis, proses

perilaku melibatkan dua peristiwa berurutan secara cepat dalam diri Petingkah

Laku, yakni peristiwa yang berkaitan dengan pengalaman mental, yang kemudian

direalisasikan dengan ekspresi biologis yang dapat dilihat atau didengar oleh

orang lain. Ekspresi pengalaman itu dinyatakan dalam bentuk tindakan alamiah,

misalnya tertawa, menarik napas panjang, menangis, bermimpi atau mendesah.

Predikator lain seperti tertawa, berdehem, bersin, tertawa, tersenyum, menangis,

melirik, mimpi, mengutuk, dan mengunyah juga digolongkan sebagai klausa

proses perilaku.

Dinyatakan bahwa proses perilaku memiliki perbedaan yang paling tipis

dibandingkan dengan proses lainnya. Proses perilaku mengandung karakteristik

material dan sebagian lagi memiliki ciri proses mental. Menyerupai proses

mental dalam hal melibatkan kesadaran untuk melakukan tindakan, tetapi proses

itu sendiri cenderung bersifat kegiatan fisik. Proses tingkah laku dapat

menghadirkan partisipan lain dalam fungsi Fenomena, yakni sesuatu yang diindra.

Page 190: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

190

Sebagai contoh, Simon sniffed the soup „Simon membaui sup‟ (Eggins, 1994:

249). Perlu ditegaskan bahwa klausa tersebut mengindikasikan sop tidak ada

dalam jangkauan mata Simon. Proses sniffed melibatkan pengalaman tentang

„bau‟ dan tindakan „mengangkat hidung‟. Proses perilaku hanya dapat dilakukan

oleh partisipan insani terhadap suatu fenomena tertentu. Berikut beberapa contoh

klausa proses perilaku yang dikutip dari Eggins (1994: 250).

1 She sighed with despair

2 He smiled a broad smile

3 She was crying with frustration

4 George laughed at the girl‟s stupidity

5 He coughed loudly

Partisipan I Proses perilaku Sirkumtansi

Predikator sighed „mendesah‟, coughed „terbatuk-batuk‟, laughed

„tertawa‟ dan cying „menangis‟ dan smiled „tersenyum‟ merupakan tindakan yang

tampak dan keluar dari suatu keadaan kejiwaaan tertentu. Keempat klausa

perilaku tersebut mengikat satu partisipan, yakni Petingkah Laku dan dilengkapi

Sirkumtansi. Pengalaman kejiwaan dan proses fisik selalu terkandung pada

klausa perilaku.

Proses perilaku tidak dimunculkan dalam TNNGB. Hal itu diduga terkait

dengan proses perilaku yang tidak berkaitan dengan teks. Ketidakmunculan

klausa perilaku merupakan konsekuensi teks formal. Meskipun demikian, klausa

proses perilaku ditemukan dalam percakapan sehari-hari, seperti contoh berikut.

Page 191: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

191

(7.7) a. …I Nengah kedék ingkel-ingkel…

NAMA ø-tertawa terpingkal-RED

„I Nengah tertawa terpingkal-pingkal‟

b. … Cerik-ceriké pada makenyem…

anak-anak-DEF semua -senyum

„Semua anak tersenyum-senyum‟

I Nengah kedek ingkel-ingkel

Cerik-cerike pada makenyem

Predikator

Petingkah Laku Proses Tingkah Laku Sirk

Klausa (7.7) dapat digolongkan sebagai proses tingkah laku karena

ditandai tindakan fisik. Klausa (a) I Nengah kedek ingkel-ingkel dapat

dimaknai sebagai proses terjadinya pengalaman mental yang kemudian

memunculkan tindakan tertentu. Artinya, seseorang memperoleh pengalaman

yang menggelikan sehingga secara otomatis muncul aktivitas tertawa.

Sirkumtansi cara ingkel-ingkel „terpingkal-pingal‟ mengindikasikan perilaku

yang ditunjukkan memiliki tingkat intensitas tertentu. Sementara itu, klausa (b)

mengandung proses perilaku yang dinyatakan dengan leksikon makenyem

mengandung makna „tersenyum‟ sebagai perilaku tersipu malu. Pada kedua

contoh di atas, Petingkah Laku berstatus sebagai orang ketiga. Artinya, pelibat

lain dapat menangkap perilaku yang ditunjukkannya dan menyatakan dalam

tuturan.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa orang pertama juga dapat bertindak

sebagai Petingkah Laku, seperti contoh berikut.

Page 192: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

192

(7.8) a. … Tiang ngipi katekain nak lingsir mapujut …

1 TG N -mimpi PAS-datang orang tua diikat (rambut)

„Saya bermimpi didatangi pendeta‟

b. …Kanti kapupungan tiang nyakupang tangan…

sampai tergesa-gesa 1 TG -cakup-KAUS tangan

„Segera saya mencakupkan tangan‟

Pada proses perilaku di atas, Petingkah Laku diisi oleh orang pertama,

yakni penutur sendiri. Perilaku ngipi „bermimpi‟ dan kapupungan „tergesa-gesa‟

digolongkan sebagai perilaku karena aktivitas fisik tertentu dilibatkan di

dalamnya. Pada klausa (a) tampak Petingkah Laku memiliki pengetahuan tentang

nak lingsir mapujut „orang tua yang rambutnya diikat di bagian atas kepala‟ yang

merujuk pada seorang pendeta atau orang suci. Pengetahuan itu membuatnya

kapupungan „tergesa-gesa‟ memberi salam hormat dan siap menerima petunjuk

beliau. Jadi, perilaku kapupungan nyakupang tangan muncul karena adanya

pengalaman bagaimana tata cara menerima kedatangan seorang pendeta. Secara

singkat, ciri mendasar proses perilaku adalah adanya partisipan yang memiliki

ciri insani merasakan pengalaman dan memberi reaksi fisik terhadap pengalaman

tersebut.

7.2.3 Proses Mental

Suatu Predikator dapat dikategorikan sebagai proses mental (sensing) bila

di dalamnya terkandung proses Pengindraan, seperti makna perseptif

(perception), kognitif (cognition), desideratif (desideration), dan emotif

(emotion). Makna perseptif dilakukan dengan melihat (seeing), makna kognitif

diperoleh dengan proses berpikir, menduga, mengira, atau memutuskan (thinking),

Page 193: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

193

makna desideratif dinyatakan dengan keinginan (wanting), sedangkan makna

emotif ditunjukkan dengan perasaan (feeling). Proses mental merupakan jawaban

atas pertanyaan ‟Apa yang kamu rasakan atau pikirkan tentang X? Dengan ciri

sebagai jawaban pertanyaan tersebut, proses mental cenderung menghadirkan

partisipan yang memiliki indra dan mampu melakukan Pengindraan terhadap

sesuatu. Jadi, proses mental melibatkan dua partisipan yang terlibat langsung

dalam proses, yakni Pengindra dan Fenomena yang diindra.

Halliday (2004: 197) menyatakan proses mental melibatkan Pengindra

(Senser) sebagai Partisipan I dengan ciri memiliki kesadaran untuk mengindra.

Ciri makhluk berkesadaran dipandang sebagai ciri Pengindra karena hanya Agen

insani yang dapat melakukan Pengindraan. Sebagian besar klausa proses mental

emosi dapat diperbandingkan dalam tingkatan yang berbeda. Secara gramatikal,

perbandingan dapat ditunjukkan dengan more than „lebih .. dari‟, di samping

skala afektif tertentu, seperti hate-dislike-like-love „benci, tidak suka, suka,

mencintai‟. Partisipan II dalam proses mental adalah Fenomena, yakni entitas

yang diinginkan, dirasakan, atau dipikirkan, baik berupa klausa persepsi maupun

klausa faktual. Fenomena biasanya berupa klausa bawahan dari proses mental.

Misalnya, I‟d give blood pada I thought I‟d give blood „Saya pikir saya akan

menyumbangkan darah‟. Fenomena juga dapat berupa sesuatu yang dipersepsikan.

Misalnya, Experts believe (something) „para pakar yakin‟. Kehadiran something

„sesuatu (yang dipercaya)‟ dapat ditampilkan atau disembunyikan.

Klausa dengan pengantar seperti „saya pikir/kira/duga/yakin‟ merupakan

identitas klausa mental. Klausa mental dengan klausa pengantar sangat jarang

Page 194: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

194

dimunculkan dalam TNNGB. Cara yang umum digunakan adalah merujuk pada

hasil Pengindraan orang kedua. Pada proses Pengindraan yang dilakukan oleh

orang pertama, pihak Pengindra dapat dinyatakan secara tersirat. Berikut

ditampilkan beberapa contoh proses mental (Data B1/1/16, 19 dan Data A1/1.3/

98, 102).

(7.9) a. …Yén Pak Komang muatang, tiang jagi mapinunas ring Ida...

jika VOK -penting 1TG MOD -minta PREP 3TG

„Jika Pak Komang benar-benar menginginkan, saya akan memohon

pada Beliau‟

b. …Pak Komang da bes sebet, pét ten kadagingin…

VOK NEG sedih jika NEG PAS-isi

„Pak Komang jangan terlalu sedih jika tidak terkabul‟

c. …Becik margiang peneduhané ring dina Jumat poné…

baik -laku mohon hujan PREP hari Jumat pon-DEF

„Sebaiknya ritual panggil hujan dilakukan pada Jumat pon‟.

d. …Sami setuju mangda gelis wénten sabeh…

KUAN setuju KONJ cepat ada hujan

„Kami semua setuju agar segera turun hujan‟

Yén Pak

Komang

muatang tiang jagi

mapinunas ring Ida

Pak Komang da bes sebet, pét ten

kadagingin

Becik margiang

peneduhané

ring dina Jumat

poné

Sami setuju mangda gelis wénten

sabeh

Predikator

Pengindra Proses mental Fenomena

Predikator (a) muatang „benar-benar menginginkan‟ mengandung

keinginan kuat (desideration). Klausa tersebut menghadirkan satu partisipan yakni

Page 195: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

195

Pak Komang, sedangkan Fenomena tidak dimunculkan. Meskipun demikian, dari

klausa yang mengikutinya dapat dipahami bahwa Fenomena berkaitan dengan

harapan tertentu. Artinya, aktivitas mapinunas „memohon‟ akan dilaksanakan bila

benar-benar dibutuhkan. Pada contoh (b) Predikator sebet „sedih‟ dapat

dikategorikan sebagai proses mental emotif yang berkaitan dengan perasaan

(feeling). Sama dengan contoh (a), klausa (b) menghadirkan Pengindra „Pak

Komang‟. Dengan kata lain, proses mental desideratif dapat dinyatakan dengan

Predikator muatang „sangat menginginkan‟, sedangkan peoses mental emotif

dapat dinyatakan dengan Predikator sebet „sedih‟ dalam Bahasa Bali. Tampak

pada klausa (c) Becik margiang peneduhanne ring dina Jumat pone „Sebaiknya

laksanakan ritual panggil hujan pada hari Jumat pon yang akan datang‟ ada upaya

menyampaikan hasil Pengindraan tanpa menyebutkan partisipan Pengindra. Pada

klausa (c) Pengindra melakukan proses kognisi untuk memutuskan hari baik

pelaksanaan ritual panggil hujan. Sekalipun Pengindra tidak dinyatakan secara

tersurat, tetapi dapat dirujuk pada pelibat yang berbicara. Cara menyatakan

Pengindra yang tersirat itu dapat dilihat sebagai upaya mementingkan hasil proses

mental daripada pelaku yang melakukan Pengindraan. Untuk mempertegas proses

kognitif yang terjadi pada pelaku Pengindraan, klausa (c), dapat didahului oleh

klausa pengantar, seperti (i) Yen kadi titiang „kalau saya‟, (ii) Manahang titiang

„menurut hemat saya‟, atau (iii) Minabang titiang „saya pikir‟. Di sisi lain, klausa

(d) menunjukkan upaya mewakili atau mengatasnamakan orang banyak

dilengkapi ungkapan pengharapan.

Page 196: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

196

Pada beberapa klausa proses mental, Pengindra atau Fenomena tidak

dimunculkan. Meskupun demikian, pelibat tetap dapat memahami Pengindra atau

fenomena yang berkaitan dengan pengindraan itu. Tidak ada proses mental yang

bebas dari Fenomena atau muncul tanpa Pengindra karena ketidakhadirannya

dapat dijelaskan oleh konteks yang lebih luas.

Contoh berikut menunjukkan empat tipe proses mental, masing-masing,

(a) tipe perseptif, (b) kognitif, (c) desideratif, dan (d) emotif (Data A1/1.3).

(7.10) a. …Tandurané sampun majanten layu…

Tanaman-DEF PERF -pasti layu

„Tanaman pasti sudah layu‟

b. …Minab seratiné sami uning indik pakaryané…

kiranya tukang banten-DEF KUAN -tahu PREP kerja-DEF

„Kiranya tukang sajen tahu pekerjaan itu‟

c. …Sami nyaratang ujan…

KUAN -ingin hujan

„Semua warga mengharapkan hujan‟

d. …Sami sametoné lega driki…

semua saudara-DEF senang Sirk

„Semua warga merasa senang di sini‟

Sampun majanten tandurané layu

Minab, seratiné uning indik pakaryane

Sami nyaratang ujan

Sami sametoné lega driki

Pengindra Proses mental Fenomena

Klausa (7.10) digolongkan sebagai proses mental dengan adanya proses

Pengindraan. Pada klausa (a) proses mental dilakukan dengan perseptif yang

Page 197: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

197

direalisasikan dengan Predikator mejanten „pasti, dipastikan‟. Proses itu dilakukan

dengan indra penglihatan dalam intensitas tertentu. Majanten dapat dimaknai

sebagai hasil proses „melihat, memperhatikan, memastikan‟ sehingga muncul

kepastian berdasarkan hasil penglihatan. Dengan demikian, klausa tersebut adalah

jenis proses mental tipe „persepsi‟. Sekalipun klausa tersebut tidak memunculkan

fungsi Pengindra sebagai pelibat yang melakukan Pengindraan, tetapi fitur

tersebut tetap terpahami. Secara konseptual, proses Pengindraan itu dilakukan

oleh pembicara. Dengan demikian, klausa (a) dapat dipahami sebagai tiang

nyantenang tandurané sampun layu „saya sudah memastikan tanaman layu‟.

Klausa (b) Minab, seratiné uning indik pakaryané „kiranya tukang banten tahu

tentang pekerjaan itu‟, menghadirkan Predikator uning „tahu, mengerti, yang

menunjukkan Pengindraan perseptif. Klausa (b) dapat dipadankan dengan klausa

Seratine minab uning indik pakaryane. Dengan demikian, fungsi Pengindra

ditempati oleh seratine. Klausa (c) Sami nyaratang ujan „semua menginginkan

hujan‟ temasuk proses mental tipe „keinginan‟. Predikator mental nyaratang

„menginginkan dengan intensitas tertentu, sangat ingin‟ mengandung keinginan

yang kuat. Pengindra pada klausa (c) adalah sami „semua orang‟. Klausa (d)

Sami sametoné lega driki „semua transmigran senang di sini‟ menunjukkan proses

mental tipe emotif. Predikator lega cenderung menjelaskan rasa syukur, dan

kegembiraan memperoleh lahan tanam yang luas.

Pada klausa di atas (a), Pengindra tidak dimunculkan secara tersurat. Hal

itu dilakukan sebagai upaya menonjolkan hasil Pengindraan, dan tidak

mementingkan individu yang melakukan Pengindraan. Ketidakmunculan

Page 198: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

198

Pengindra juga mencerminkan hasil Pengindraan cenderung bersifat relatif.

Artinya, Pengindra lain dapat memberi persepsi berbeda terhadap fenomena

yang sama. Jadi, terdapat dua pertimbangan tidak dimunculkan Pengindra , yaitu

(i) hasil Pengindraan yang bersifat personal, dan (ii) menonjolkan hasil daripada

pelaku proses Pengindraan. Cara menyamarkan Pengindra tidak berarti

melesapkan fitur pelaku Pengindraan. Artinya, suatu satuan gramatikal yang

harus hadir dapat saja hadir dalam bentuk fitur, dan tetap dapat dipahami oleh

pelibat lain. Jadi, pelibat aktif dalam sebuah klausa mental selalu terdiri atas

Pengindra dan Fenomena, baik dimunculkan secara tersurat maupun tersirat.

Perhatikan klausa mental berikut (Data A3/3/ 123- 126).

(7.11) a. …Titiang nglungsur sinampura…

1 TG -minta maaf

„Saya minta maaf‟

b. …Titiang nglungsur jagaté sami mangda aman tentrem…

1 TG -minta bumi KUAN KONJ aman tenteram

„Saya minta bumi menjadi aman dan tenteram‟

c. …Titiang nunas sarining paneduhan pingit…

1 TG -minta intisari panggil hujan sakral

„Saya minta kemampuan panggil hujan yang manjur‟

d. …Titiang nunas sabeh merta…

1 TG -minta hujan berkah

„Saya minta hujan yang memberkahi‟

Keempat klausa pada contoh (7.11) memiliki Predikator sejenis, yakni

nglungsur atau nunas „berharap, minta, memohon‟ yang dapat dikategorikan

sebagai tipe mental keinginan (wanting). Pengindra diisi oleh orang pertama

tunggal, dalam hal ini, atas nama kelompok. Jenis permohonan yang diinginkan

Page 199: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

199

tidak berupa barang, tetapi berbagai layanan, seperti (a) sinampura „maaf,

pengampunan‟, (b) jagaté sami mangda aman tentrem „ketentraman jagat raya‟,

(c) sarining paneduhan pingit „kemampuan memanggil hujan yang manjur‟.

Klausa (d) menyatakan fenomena berupa barang yakni sabeh merta „hujan

berkah‟. Deretan klausa proses mental yang berurutan tersebut dapat dilihat

sebagai permohonan yang sangat bersungguh-sungguh. Meskipun keempat klausa

menegaskan orang pertama sebagai Pengindra tetapi keberhasilan permohonan

merupakan kehendak banyak dan demi keberkahan hidup semua manusia.

Beberapa Predikator dalam proses mental ditampilkan di bawah ini.

1. kompak „serempak‟

2. engsap „lupa‟

3. bedak „haus‟

4. uning „sanggup, tahu‟

5. nyantenang „memastikan‟

6. lega „senang‟

7. muatang „mementingkan‟

8. setuju „setuju‟

9. sebet „sedih‟

10. ngelintang „melebihi batas, sangat‟

11. puputang „tutup‟

12. iwang „salah‟

13. seleg „tekun, serius‟

14. méweh „susah‟

Page 200: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

200

7.2.4 Proses Verbal

Proses verbal merupakan kategori verba yang dilakukan dengan proses

berkata-kata. Proses verbal biasanya menuntut hadirnya satu argumen wajib

yakni Pemerkata (Sayer). Sementara itu, proses verbal dapat menghadirkan

argumen tidak wajib lain, seperti Target dan Perkataan (Verbiage). Target

adalah partisipan yang berperan sebagai penerima pembicaraan atau partisipan

kepada siapa pembicaraan itu diarahkan. Perkataan adalah kata-kata yang

dinyatakan dalam proses tersebut. Kedua argumen itu bersifat manasuka (Eggins,

1994: 228). Sangat sulit menemukan contoh proses verbal, seperti berjanji,

bersumpah, atau menasehati dalam TNNGB. Predikator dalam proses verbal yang

dimunculkan antara lain, nunasang „menanyakan‟, netesang „menanyakan dengan

teliti‟, mapiteket „berpesan‟, mapinunas „menanyakan‟, seperti diperlihatkan

contoh berikut (Data A3/1/ 12-14 dan Data A3/2/ 19).

(7.12) a. …Titiang mapinunas mangkin…

1 TG -tanya Sirk

„Saya bertanya sekarang‟

b. …Titiang nunasang indik paduwasan…

1 TG -tanya-BEN PREP hari baik

„Saya menanyakan prihal hari baik‟

c. …Titiang taler netesang indik baktiné …

1 TG KONJ -tanya PREP sarana-DEF

„Saya juga menanyakan tentang sarana‟

d. …Jero bendesa mapiteket kénten manten…

HON SOS -pesan DEM saja

„Ketua adat berpesan itu saja‟

Page 201: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

201

Predikator (a) nunasang „menanyakan‟ dilakukan dengan berkata-kata

kepada Target. Argumen orang pertama tunggal titiang „saya‟ menempati peran

sebagai Pemerkata (Sayer), sedangkan fungsi Target tidak dimunculkan secara

linguistis. Meskipun demikian, kehadiran Target dapat dipahami secara

kontekstual karena sangat jarang seseorang berbicara tanpa pendengar.

Paduwasan „hari baik‟ (a) dan baktine „sarana‟ (b) menempati fungsi Perkataan,

dan ditandai dengan pemarkah preposisi indik „prihal‟. Pemarkah {-ang} pada

nunasang dan netesang mengandung arti bahwa pertanyaan yang diajukan tidak

semata-mata atas kepentingan Pemerkata, tetapi juga menjadi kepentingan pelibat

lain. Dengan kata lain, jawaban atas pertanyaan akan menjadi informasi yang

bermanfaat bagi berbagai pihak.

Setiap proses verbal selalu dipandang melibatkan tiga partisipan, yakni

partisipan yang bertindak sebagai Pemerkata, Target, dan Perkataan.

Ketidakhadiran salah satu partisipan dapat dirunut secara kontekstual. Pada

klausa (c) jero bendesa mapiteket kenten manten „ketua adat berpesan itu saja‟

memiliki Predikator mapiteket „berpesan‟ yang juga dapat digolongkan sebagai

Titiang nunasang indik paduwasan

Titiang sampun netesang indik baktine

Jero bendesa mapiteket kénten manten

Titiang mapinunas mangkin

Partisipan I Predikator

Pemerkata Proses verbal Target Perkataan

Page 202: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

202

proses verbal. Meskipun Target tidak dimunculkan secara leksikal, tetapi

dipahami sebagai „1 TG‟ yang berkedudukan sebagai penerima pesan. Pada klausa

(d) titiang mapinunas mangkin dimaknai sebagai titiang mapinunas (ring …)

(indik ....) mangkin „Saya bertanya pada … tentang…. sekarang‟. Klausa (d)

merupakan ungkapan untuk mendapatkan petunjuk, nasehat, atau bantuan

nonbarang lainnya. Jadi, ketidakhadiran argumen yang menempati fungsi Target

dan Perkataan tidak membuat klausa verbal kehilangan acuan. Bagian yang tidak

dimunculkan secara leksikal itu tetap dapat saja dipahami oleh pelibat berdasarkan

konteks.

Proses verbal dapat mengandung proyeksi yang bersifat kutipan langsung

maupun kutipan tak langsung, seperti ditampilkan contoh di bawah ini (Data

A3/1/ 15, 20).

(7.13) a. …Titiang mapinunas malih pidan wénten paduwasan

1 TG -tanya TANYA EKS hari baik

neduh, jero mangku?

panggil hujan, HON VOK

„Saya menanyakan kapan ada hari baik untuk mohon hujan?

b. …Tiang mapinunas indik galah peneduhané …

1 TG -tanya PREP waktu panggil hujan-DEF

„Saya menanyakan tentang waktu mohon hujan‟

Tiang mapinunas malih pidan wénten

peduwasan neduh

jero mangku?

Tiang mapinunas indik galah

peneduhané

Pemerkata Proses verbal Perkataan Target

Page 203: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

203

Klausa (a) adalah contoh proses verbal dengan proyeksi langsung. Tiang

adalah Pemerkata, malih pidan wénten peduwasan neduh adalah Perkataan dan

jero mangku adalah Target. Pada klausa (b) Target kepada siapa pertanyaan

diajukan tidak dinyatakan secara leksikal, tetapi dapat dimaknai mitra wicara pada

klausa itu ialah pamangku. Mitra wicara lain tidak dimungkinkan karena

permasalahan galah „hari baik‟ hanya diketahui oleh pamangku. Jadi, Target pada

proses verbal selalu ada, baik dimunculkan atau tidak dimunculkan mengingat

tidak ada orang yang berbicara tanpa mitra wicara.

Predikator nguningang „memberitahukan‟ dan wehin „memberikan‟ juga

dapat dikategorikan proses verbal. Perhatikan contoh berikut (Data A1/3/ 103 dan

Data A1/2/77).

(7.14) a. …Adi nguningang ring Ida …

VOK -tahu PREP 3 TG

„Adik (kamu) menyampaikan kepada Tuhan‟

b. …Durus wéhin titiang sapunapi patutné…

MOD ø-beri 1TG TANYA benar-DEF

„Mohon beritahu saya bagaimana sebaiknya‟

Pada klausa (a) proses verbal nguningang memunculkan dua partisipan

yakni orang kedua adi (Engkau) sebagai Pemerkata dan Ida sebagai Target,

sedangkan Perkataan tidak dimunculkan. Berbeda dengan (a), klausa (b)

Adi nguningang ring Ida

Durus wéhin titiang sapunapi patutné

Pemerkata Proses verbal Target Perkataan

Page 204: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

204

memunculkan Target titiang „ 1TG‟ dan Perkataan sapunapi patutné „bagaimana

sebaiknya‟, tetapi tidak memunculkan Pemerkata secara tersurat. Peran Pemerkata

yang dimaksud pada dialog bersangkutan adalah orang kedua. Klausa durus

wéhin titiang sapunapi patutné „mohon beritahu saya bagaimana sebaiknya‟ tidak

berkonotasi meminta materi, tetapi petunjuk atau nasihat. Dengan kata lain, proses

verbal tidak mengharuskan munculnya semua partisipan secara tersurat, tetapi

dimungkinkan untuk menyatakannya secara tersirat.

Proses verbal tidak banyak ditemukan dalam fase puncak, tetapi pada

fase persiapan frekuensi kemunculannya cukup tinggi. Hal itu menunjukkan

bahwa tahapan perencanaan membutuhkan koordinasi antarpelibat yang

memainkan peran penting dalam sistem sosial.

Berikut ditampilkan daftar proses verbal.

1. ngusul „mengajukan usul‟ 11. nyinahang „menjelaskan‟

2. orahin „beritahukan‟ 12 sineb „menutup‟

3. nguningang „memberitahukan‟ 13. wéhin „berikan‟

4. ngepah „membagi tugas‟ 14. nakénin „menanyakan

5. nyelasang „menjelaskan‟ 15. nunasin „menanyakan‟

6. ngarahin „memberitahu‟ 16. takénin „tanyakan‟

7. macukang „menyatukan pendapat‟ 17. nauhang „mengundang‟

8. nauhin „memberitahukan‟

9. mapiuning „mempermaklumkan‟

10. nunasang „menanyakan‟

Page 205: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

205

7.2.5 Proses Relasional

Proses relasional menyatakan adanya relasi atau peran yang dimainkan

antara unsur pertama dan unsur kedua. Unsur pertama umumnya dinyatakan

dengan X, sedangkan unsur kedua dinyatakan dengan A. Relasi yang

dimunculkan dapat berupa hubungan ‟ X adalah A‟ seperti contoh Diana is a

blood donor „ Diana adalah seorang donor darah‟ atau You are very skinny

„Kamu sangat kurus‟. Proses relasional juga dapat menjelaskan relasi lain seperti

„X ada di A‟ dalam contoh The operation was in Genewa „operasi itu dilakukan

di Genewa‟ atau „X memiliki A‟ dalam contoh Diana has a daughter „Diana

memiliki seorang anak perempuan‟ (Eggins, 1994: 255).

Proses relasional dapat dipilah atas proses Atributif dan Identifikasional

dengan dasar pertimbangan tipe relasi yang dimunculkan. Sebagai contoh, proses

atributif mengandung relasi A merupakan atribut dari X, sedangkan proses

identifikasional mengandung relasi A merupakan identitas dari X. Kedua jenis

relasi tersebut (Eggins 1994: 256; Halliday, 2004: 216) dipilah lagi atas tipe

pengisi atribut atau tipe identitas sehingga setiap tipe memiliki subkelas

intensitas, sirkumtansial, dan kepemilikan. Tipe intensitas menjelaskan „X adalah

A‟; tipe sirkumtansial menjelaskan „X ada di A‟; dan tipe posesif menjelaskan

„X memiliki A‟. X mengacu pada peran Penyandang, sedangkan A mengacu

pada atribut atau identitas. Pilahan proses relasional dapat digambarkan sebagai

berikut (Diadopsi dari Eggins, 1994: 256).

Page 206: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

206

Intensif

Atributif Posesif

Proses Sirkumtansial

Relasional

Intensif

Identifikasional Posesif

Sirkumtansial

Gambar 7.3: Proses Relasional

Mengingat kedua proses atributif dan identifikasional merupakan pilahan

dari proses relasional, maka perlu diberikan batasan dari masing-masing subtipe.

Perbandingan kedua tipe proses relasional dinyatakan dengan alternasi struktur.

Artinya, struktur alternasi dimiliki oleh subtipe identifikasional, sedangkan

subtipe atributif tidak memungkinkan alternasi tersebut. Contoh klausa subtipe

proses relasional atributif dan identifikasional ditampilkan dalam tabel di bawah

ini (Halliday, 2004: 216).

Atributif

„A adalah atribut dari X‟

Identifikasional

„A adalah identitas dari X‟

1). Intensitas

„X adalah A‟

Sarah is wise Sarah is the leader;

The leader is Sarah

2). Posesif

„X memiliki A‟

Peter has a piano The piano is Peter‟s;

Peter‟s is the piano

3). Sirkumtansial

„X ada di A‟

The fair is on Tuesday Tomorrow is the 10th

;

The 10th

is tomorrow

Dengan mengambil data dari Bahasa Inggris, Halliday membedakan dua

subtipe proses relasional berdasarkan kemungkinan bentuk reversibilitas. Proses

Page 207: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

207

relasional dalam Bahasa Inggris cenderung direalisasikan dengan tobe. Klausa

yang memiliki alternasi struktur melalui reposisi dinyatakan sebagai tipe

identifikasional.

Strategi berbeda diusulkan oleh Eggins (1994) dengan melakukan

substitusi terhadap tobe dengan verba yang sesuai. Substitusi itu dimaksudkan

untuk menguji kemungkinan bentuk pasif yang dihasilkan. Klausa yang

menghasilkan bentuk pasif yang berterima diklasifikasikan sebagai tipe

identifikasional. Sebaliknya, klausa yang gagal dipasifkan atau menghasilkan

klausa pasif yang tidak berterima diklasifikasikan sebagai tipe atributif. Berikut

contoh pengujian untuk menentukan tipe intensitas relasi atributif dan

identifikasional (Eggins, 1994: 258).

Atributif Intensitas Identifikasional Intensitas

The soup is wonderful Her smile is pleasure

The soup tasted wonderful Her smile expressed pleasure

*Wonderful was tasted by the soup Pleasure was expressed by her smile

Pada kolom atributif, tobe berhasil disubstitusi dengan verba taste „terasa‟

dengan mempertimbangan kesepadanan makna dengan klausa semula. Klausa

tersebut menghasilkan klausa pasif yang tidak berterima. Dengan

ketidakberterimaan itu, klausa The soup is wonderful diklasifikasikan sebagai

klausa atributif. Di sisi lain, substitusi terhadap tobe dengan verba expressed

„menunjukkan‟ berhasil membentuk klausa pasif yang berterima. Jadi, klausa the

Page 208: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

208

soup is wonderful „sop itu enak‟ dinyatakan sebagai klausa atributif. Sebaliknya,

klausa Her smile is pleasure „senyumnya tulus‟ dikategorikan sebagai klausa

identifikasional. Substitusi tobe dengan verba juga dapat dilakukan untuk

memilah subtipe posesif dan sirkumtansial pada relasi atributif dan

identifikasional. Akan tetapi, mengingat Bahasa Bali tidak mengenal tobe untuk

dapat melakukan substitusi seperti prakarsa Eggins. Penelitian ini

mengaplikasikan pengujian dengan mereposisi argumen (proses reversibilitas)

versi Halliday.

7.2.5.1 Proses Relasi Atributif

Proses relasi atributif menuntut hadirnya satu peran semantis, yakni

Penyandang (Carrier). Kehadiran Partisipan I bersifat wajib hadir karena

kehadirannya membawa atribut tertentu. Contoh klausa relasi atributif intensitas,

sirkumtansial, dan kepemilikan ditampilkan di bawah ini. (Data A1/4 dan A2/3).

(7.15) a. …(Makadi) titian madué roban…

seperti 1 TG -punya saudara

„Saya mempunyai keluarga‟

b. …Ida maparab I Gusti Ngurah Tangkeb Langit…

3 TG -nama NAMA

„Beliau bergelar I Gusti Ngurah Tangkeb Langit‟

c. …Rerajahan mapinda empas…

gambar -bentuk kura-kura

„Gambar berupa kura-kura‟

d. …Gulemé saking kidul muang kangin…

mendung-DEF PREP barat KONJ timur

„Mendung yang berasal dari arah barat dan timur‟

Page 209: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

209

e. Tiang niki saking kelompok tengah, Sekarwana

1 TG DEM PREP NAMA

„Saya dari kelompok tengah, Sekarwana‟

Ida maparab I Gusti Ngurah Tangkeb Langit

Rerajahané mapinda empas

Makadi titiang madué roban

Gulemé saking kidul muang kangin

Tiang niki saking kelompok tengah, Sekarwana

Penyandang Relasi Atributif Atribut

X A

Contoh-contoh yang ditampilkan pada (7.15) terdiri atas tiga subtipe

atributif. Klausa (a) merupakan contoh klausa atributif intensitas, klausa (b, c)

adalah klausa atributif posesif, dan klausa (d) merupakan contoh klausa atributif

sirkumtansial. Dua klausa pertama menunjukkan atribut yang dimiliki

Penyandang. Predikator maparab „bernama‟ pada klausa Ida maparab I Gusti

Ngurah Tangkeb Langit menyatakan atribut nama, sedangkan Predikator

mapinda „berupa‟ pada klausa Rerajahane mapinda empas menyatakan atribut

bentuk. Pada klausa (c) terdapat atribut kepemilikan yang dinyatakan dengan

verba relasi madue „memiliki‟. Klausa (d, e) menyatakan atribut sirkumtansial

lokasi saking „berasal dari‟ atau mengandung relasi asal-usul.

Pengujian klausa relasional atributif dapat dilakukan dengan proses

reversibilitas, yakni pembalikan posisi Penyandang dan Atribut. Klausa relasional

Page 210: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

210

atributif biasanya tidak dapat menurunkan klausa gramatikal dalam proses

reversibilitas. Hasil proses reversibilitas klausa (7.15) ditampilkan di bawah ini.

1. *I Gusti Ngurah Tangkeb Langit maparab Ida

2. *Empas mapinda rerajahané

3. *Roban madué titiang

4. *Kidul muang kangin saking gulemé

5. *Kelompok tengah, Sekarwana saking tiang niki

Hasil proses reversibilitas menghasilkan klausa tak berterima (*). Oleh

sebab itu, klausa (7.15) telah terbukti merupakan klausa atributif. Berikut daftar

proses relasi atributif yang dimunculkan pada TNNGB.

1. saking „dari‟

2. maka „sebagai‟

3. masari „berisi‟

4. wakil ‟wakil‟

5. wantah „bagaikan‟

6. masarana „dengan sarana‟

7. maparab „bernama‟

8. mapinda „berupa‟

9. madué „memiliki‟

10. maulam „dengan lauk‟

Page 211: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

211

7.2.5.2 Proses Relasi Identifikasional

Klausa proses identifikasional memiliki karakteristik yang berbeda

dengan proses atributif, baik secara semantis maupun gramatikal. Secara

semantis, klausa identifikasional tidak menyatakan klasifikasi, tetapi

mendefinisikan atau memberi batasan. Secara gramatikal, proses tersebut

melibatkan dua partisipan, masing-masing Penyandang Identitas dan Nilai.

Penyandang disebut juga Token adalah Partisipan I pada relasi identifikasional.

Partisipan II proses identifikasional diisi oleh Nilai (value) yang merujuk pada

identitas yang dimiliki. Kedua partisipan merupakan partisipan wajib, artinya,

Token dan Nilai harus dimunculkan secara tersurat karena terlibat langsung

dalam proses. Nilai harus diisi oleh kelompok nomina definite. Karakteristik

proses identifikasional intensitas adalah A serves to define the identity of X „A

berprilaku untuk memberi batasan terhadap identitas X‟. Pada contoh you are

the skinniest one here „kamu orang terkurus di sini‟, tampak ciri the skinniest

one here merupakan identitas yang dimiliki oleh A. Jadi, sifat relasi

identifikasional adalah „X berprilaku memberi tanda atau batasan identitas A‟.

Seperti telah disinggung pada butir (7.2.5) bahwa ciri yang membedakan

proses relasi identifikasional dari relasi atributif adalah reversibilitas. Yang

dimaksud reversibilitas adalah peluang unsur X dan A dapat dipertukarkan

(Halliday, 2004: 215). Hal itu dapat dilakukan karena masing-masing partisipan

proses identifkasi bersifat mandiri (autonomous). Dengan otonomi yang dimiliki

oleh setiap partisipan dimungkinkan reversibilitas berjalan sukses, seperti contoh

(1, 2) berikut.

Page 212: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

212

1a. Married women are the real victims

b. The real victims are married women

2a. You are the skinniest one here

b. The skinniest one here is you

c. The skinniest one here is represented by you

Klausa asal Married women are the real victims dapat direposisi menjadi

The real victims are married women tanpa mengubah makna. Peluang

reversibilitas dapat berdampak pada ketidakpastian partisipan dalam peran Token

dan Nilai (Value). Oleh sebab itu, ditegaskan bahwa partisipan Token adalah

partisipan yang mengandung nama (name), bentuk (form), penyandang (holder),

tanda (sign) atau pemilik (occupant) dari Nilai. Sementara itu, Nilai memberi

makna (meaning), referensi (referent), fungsi (function), status atau peran dari

Token. Pengujian lain diusulkan oleh Eggins, dengan mencermati pengisi

Subjek. Token atau Penyandang Identitas adalah pengisi peran Subjek pada

struktur aktif, sedangkan Nilai adalah partisipan yang berperan sebagai Subjek

pada bentuk pasif. Contoh (2 a, b) merupakan contoh pengujian berdasarkan

pengisi Subjek. Subjek pada klausa aktif adalah Token, You, sedangkan Subjek

pada klausa pasif adalah Nilai, the skinniest one here.

Beberapa klausa proses relasional tipe identifikasional yang ditemukan

pada TNNGB ditampilkan di bawah ini (Data A2/3.2/97,151, 155 dan A3/1/104,

109).

Page 213: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

213

(7.16) a. …Titiang makadi jan banggul dué…

1 TG -sebagai tangga POS

„Saya sebagai pelayan umat‟

b. …Ida wantah pangenca gumi driki …

3 TG ATR penguasa bumi LOK

„Beliau penguasa daerah ini‟

c. …Guminé driki duén Ida…

bumi-DEF LOK POS 3 TG

„Daerah ini milik Beliau‟

d. …Sabehé paican Ida Sesuhunan…

hujan-DEF -beri 3TG junjungan

„Hujan adalah pemberian Tuhan‟

e. …Pinunasé wantah sabeh merta…

permohonan-DEF ATR hujan berkah

„Kami memohon hujan yang memberkahi‟

f. …Nunas ujané saian ring pura Wahyu…

-mohon hujan-DEF FREK PREP

„Ritual mohon hujan biasanya dilaksanakan di pura Wahyu‟.

a. Titiang makadi jan banggul dué

b. Ida wantah pangenca gumi driki

c. Gumine driki duén Ida

d. Sabehé paican Ida Sesuhunan

e. Pinunasé wantah sabeh merta

f. Nunas ujané saian ring pura Wahyu

Token Predikator Nilai

X A

Enam contoh klausa pada (7.16) di atas terdiri atas contoh proses relasi

identifikasional dalam tiga subtipe. Subtipe intensitas ditunjukkan oleh klausa (a,

b), tipe posesif (c, d), dan tipe sirkumtansial (e, f). Pada klausa (a) terdapat

Predikator makadi „sebagai‟ yang berfungsi sebagai pemarkah identitas intensitas,

sedangkan pada empat klausa di bawahnya (b, c, d, e) pemarkah relasi tidak

Page 214: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

214

dimunculkan. Klausa terakhir memunculkan perdikator saian „sering kali‟ yang

menunjukkan derajat frekuensi. Dengan demikian, proses relasi identifikasional

dalam Bahasa Bali dapat dimunculkan dengan pemarkah relasi tertentu ataupun

tanpa pemarkah relasi. Pengujian terhadap klausa relasi identifikasional (7.16)

dilakukan dengan reversibilitas, yakni mempertukarkan unsur A dan X berikut.

a. Jan banggul dué makadi titiang

b. Pangenca gumi driki Ida

c. Duén Ida gumine driki

d. Paican Ida Sesuhunan sabehé

e Sabeh merta wantah pinunasé

f. Ring pura Wahyu saian nunas ujané

Nilai Predikator Token

A X

Pengujian reversibilitas berhasil pada seluruh klausa. Klausa relasi

identifikaional dapat mempertukarkan kedua argumennya tanpa mengubah makna.

Dengan demikian, klausa di atas merupakan klausa identifikasional. Predikator

relasi, seperti makadi „seperti‟, wantah „sebagai‟, saian „lebih sering‟ cenderung

terbuka pada pertukaran posisi Nilai dan Token. Klausa yang tidak memunculkan

proses relasi (b, c, d) tetap mencerminkan relasi, dalam hal ini relasi posesif.

Sebagian dari proses relasi identifikasional dapat dimunculkan tanpa

pemarkah proses atau lebih dikenal dengan klausa nominal. Akan tetapi, dalam

kajian Sistemik klausa semacam itu dapat dilihat sebagai klausa dengan fitur

predikator. Predikator yang berbentuk fitur tidak dimunculkan secara tersurat,

Page 215: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

215

tetapi keberadaannya tetap dapat dipahami secara gramatikal. Kondisi semacam

itu mengindikasikan bahwa klausa Bahasa Bali mengizinkan struktur klausa

dengan Predikator secara leksikal atau secara gramatikal. Ketidakmunculan

Predikator proses relasional tidak berdampak pada ketidakberterimaan. Jadi,

klausa yang menggambarkan relasi identifikasional dapat dinyatakan dengan atau

tanpa Predikator leksikal.

Klausa relasi berikut juga merupakan klausa tanpa pemarkah proses atau

menghadirkan Predikator dalam bentuk fitur.

(7.17) a. Titiang damuh cokor I Dewa…

1 TG embun kaki ART Dewa

„Saya hamba-Mu (Tuhan)‟

b. Jeroné jan banggul Idané

VOK-DEF tangga 3 TG-DEF

„ Anda adalah tangga beliau‟

c. Titiang juru arah duéné

1 TG tukang beritahu POS-DEF

„Saya sebagai pengerah massa‟

Titiang damuh cokor I Dewa

Jeroné jan banggul Idané

Titiang juru arah duéné

Token Predikator Nilai

X A

Klausa realsi di atas dimunculkan tanpa Predikator dan reposisi Token dan

Nilai tidak menemui kendala apapun. Jadi, klausa relasi identifikaional

mengizinkan pembentukan klausa tanpa Predikator. Pada kasus demikian, agnasi

Page 216: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

216

biasanya dapat ditambahkan untuk menegaskan kedudukan Token mendahului

Nilai. Jadi, Predikator relasional dapat dimarkahi secara leksikal atau fitural.

Secara kultural, label jan banggul diberikan kepada pamangku „pemimpin

pura‟. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pronomina orang pertama pada

klausa titiang makadi jan banggul due mengacu pada pamangku atau pernyataan

tersebut disampaikan oleh seorang pamangku. Secara harfiah, jan banggul dapat

diartikan tangga yang biasa difungsikan sebagai alat bantu mencapai ketinggian

tertentu. Dengan kata lain, pamangku dipandang sebagai partisipan yang mampu

menghubungkan bawah-atas, dalam hal ini, mengomunikasikan permohonan

manusia kepada Sang Pencipta.

Tidak banyak Predikator proses relasi identifikasional yang dimunculkan.

Berikut beberapa contoh proses relasi identifikasional .

1. makadi „sebagai‟

2. pinaka „sebagai‟

3. saian „sering kali‟

4. yukti „benar-benar‟

5. satmaka „sebagai‟

6. panganteb „pelengkap‟

7. masarana „dengan sarana‟

7.2.6 Proses Eksistensial

Tipe proses eksistensial menyatakan keberadaan suatu hal atau benda.

Proses tersebut menuntut hadirnya satu partisipan yang berperan sebagai Wujud.

Argumen lain yang sering dimunculkan dalam proses eksistensial adalah

Page 217: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

217

sirkumtansi. Proses eksistensial merupakan padanan dari struktur introductory

there dalam Bahasa Inggris (Eggins, 1994: 254). Pada klausa Eksistensial

introductory there tidak merepresentasikan makna tertentu, tetapi harus

dimunculkan karena setiap klausa membutuhkan Subjek. Dengan demikian,

introductory there bersifat bebas makna dan tidak mendapat penekanan

(unstressed). Jadi, secara struktur introductory there berperan sebagai Subjek,

tetapi tidak mengandung peran semantis tertentu. Dalam contoh there was snow

on the ground „ada salju di tanah‟, there berperan secara struktur, yakni

menempati posisi Subjek, sedangkan proses eksistensial dinyatakan dengan tobe

atau verba seperti arise „muncul‟, dan occur „terjadi‟. Berikut ditampilkan contoh

proses eksistensial (Dikutip dari Eggins, 1994: 254).

There was snow on the ground

There were two wonderful Swiss men on the restaurant

Eksistensial Wujud Sirkumtansi

Pada ketiga klausa di atas, there merupakan Subjek yang tidak

merepresentasikan makna ataupun merujuk pada tempat. Dengan ketiadaan peran

semantis yang dijalankan, introductory there dapat dibiarkan tanpa penjelasan

dalam analisis transitivitas (Eggin, 1994: 255).

Dalam Bahasa Bali penanda proses eksistensial dinyatakan dengan

pemarkah Eksistensial seperti ada „ada‟ atau wenten „ada‟, seperti contoh klausa

berikut (Data A3/2/ 23-25 ).

Page 218: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

218

(7.18) a. …Né ada pangarahan uli désa…

EKS pemberitahuan PREP desa

„Ada pemberitahuan dari desa‟

b. …Wénten berita penting …

EKS berita penting

„Ada berita penting‟

c. …Niki galah becik malih petang rahina…

EKS waktu baik PREP NUM hari

„Ada hari baik empat hari lagi‟

Niki galah becik malih petang rahina

Né ada pengarahan uli désa

Wénten berita penting minab

Proses eksistensial Wujud Sirkumtansi

Proses eksistensial dalam klausa di atas dinyatakan dengan niki „ada‟, ne

„ada‟, wenten „ada‟ yang berfungsi sebagai penunjuk keberadaan suatu wujud.

Bahasa Bali tidak mengenal introductory there sebagaimana Bahasa Inggris.

Klausa tersebut diyakini berupa proses eksistensial karena menyatakan

keberadaan yang diwujudkan dalam wujud yakni galah becik „hari baik‟,

pengarahan „pemberitahuan‟, berita penting „berita penting‟ maupun titiang

„saya‟. Pemarkah proses eksistensial tersebut mengantarkan pendengar untuk

mengetahui suatu wujud tertentu yang dibicarakan. Niki (a) atau ne (b) tidak

berfungsi sebagai demonstrativa atau kata penunjuk, tetapi cenderung menyatakan

keberadaan. Niki dan ne keduanya berarti „ada‟ dalam ragam berbeda. Niki

merupakan bentuk ragam hormat, sedangkan -ne adalah bentuk biasa (andap).

Proses eksistensial juga dapat dinyatakan dengan wenten dan ada „ada‟ dengan

wenten tergolong ragam hormat, sedangkan ada termasuk ragam biasa.

Page 219: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

219

Bentuk wénten juga dapat mengambil bentuk hormat lainnya yakni

kawentenan „keberadaan‟, seperti klausa berikut (Data A1/1.3/ 34, 22).

(7.19) a …Kawéntenan tandurané layu…

EKS tanaman-DEF layu

„Keberadaan tanaman yang layu‟

b. …Kawéntenan sametoné driki di Plampang…

EKS saudara-DEF LOK PREP

„Keberadaan saudara kita di Plampang ini‟

Klausa (7.19) menunjukkan Eksistensial suatu wujud masing-masing

tandurané „tanaman‟ dan semetoné „saudara‟. Kedua klausa di atas terdiri atas

satu partisipan, yaitu Wujud. Klausa tersebut diawali oleh pemarkah proses

eksistensial kawentenan ‟keberadaan‟ yang merupakan bentuk turunan dari

wenten „ada‟. Bahasa Bali mengizinkan klausa eksistensial dimunculkan dengan

pemarkah eksistensial dan Wujud tanpa subjek pengantar, seperti introductory

there pada Bahasa Inggris.

Bila dilihat dari struktur kalimat, tampak struktur klausa proses

eksistensial menggunakan tata kalimat yang tidak bersifat kanonis. Pada bahasa

yang bertipe S-P-K-A umumnya Subjek menempati posisi inisial, tetapi tidak

demikian pada struktur proses eksistensial . Proses itu menggunakan konstruksi

inversi, yakni Subjek dimunculkan pada posisi posverba. Pengedepanan

Kawéntenan tandurané layu

Kawéntenan sametoné driki di Plampang

Proses eksistensial Wujud Sirkumtansi

Page 220: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

220

Predikator dilakukan untuk kepentingan pragmatik, yakni menjadikan proses

eksistensial sebagai unsur yang ditonjolkan. Klausa proses eksistensial (7.19)

di atas diderivasi dari klausa berikut.

Galah becik niki malih petang rahina

Pengarahan né ada uli désa

Berita penting wénten minab

Subjek Proses eksistensial Sirkumtansi

Pada klausa (a) Niki galah becik malih petang rahina „ada hari baik empat

hari lagi‟ diderivasi dari klausa Galah becik niki malih petang rahina. Kedua

klausa mengandung makna yang sama, tetapi penekanannya berbeda. Klausa Niki

galah becik malih petang rahina mementingkan proses eksistensial, sedangkan

klausa Galah becik niki malih petang rahina mementingkan proses relasional.

Jadi, secara struktur klausa eksistensial memiliki penekanan yang berbeda

dengan struktur kanonis.

Beberapa klausa proses eksistensial dan prakiraan struktur asalnya

ditampilkan di bawah ini (Data A3/3).

(7.20) a. …Ten wénten sabeh uli nem bulan niki…

NEG EKS hujan PREP NUM bulan DEM

„Tidak ada hujan sejak enam bulan terakhir‟

b. …Wénten pasadok saking jero klian duéné…

EKS penyampaian PREP HON SOS POS-DEF

„Ada penyampaian dari ketua adat‟

c. …Sampun wénten pajatian anggén upasaksi…

ASP EKS pajatian PREP saksi

„Sudah ada pajati untuk mohon berkah Tuhan‟

Page 221: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

221

d. …Wénten dua pendapat saking kelompok tengah…

EKS NUM pendapat PREP kelompok tengah

„Sudah ada dua pendapat dari kelompok tengah‟

Klausa (7.20) mementingkan keberadaan yang dapat dipadankan dengan

struktur introductory there dalam Bahasa Inggris. Seperti tampak pada klausa di

atas, bentuk negatif proses eksistensial dapat didahului oleh pemarkah negasi ten

„tidak‟ (a), atau pemarkah aspek sampun „sudah‟ (c). Dengan proses eksistensial,

keberadaan atau ketidakberadaan ditonjolkan dengan memosisikan pemarkah

eksistensial di awal klausa. Sementara itu, wujud nomina yang ditonjolkan dan

Sirkumtansi yang mendukung keberadaan menempati posisi pos-eksistensial.

Struktur klausa eksistensial tampak menggunakan struktur yang tidak kanonis

bahasa S-P-K-(A). Oleh karena itu, klausa (7.19) dapat dirunut ke dalam struktur

asal seperti di bawah ini.

Sabeh ten wénten uli nem bulan niki

Pasadok wénten saking jero klian duéné

Pajatian sampun wénten anggén upasaksi

Dua pendapat wénten saking kelompok tengah

Wujud Proses eksistensial Sirkumtansi

Subjek Predikator Komplemen

Klausa asal di atas cenderung tidak menjadi pilihan yang digemari. Pelibat

memilih struktur proses eksistensial yang mengedepankan keberadaan, bukan

Wujud. Hal itu dapat dimaknai sebagai keinginan memberi fokus pada makna

pada keberadaan, bukan pada struktur fungsi.

Page 222: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

222

Data menunjukkan bahwa proses eksistensial sangat erat kaitannya dengan

kehadiran Sirkumtansi. Setiap klausa Eksistensial selalu memunculkan

Sirkumtansi tertentu. Klausa (a) diikuti oleh Sirkumtansi durasi waktu uli nem

bulan „sejak enam bulan terakhir‟. Pada klausa di bawahnya berturut-turut

dimunculkan sirkumtansi asal, tujuan dan tempat. Jadi, dapat ditarik simpulan

bahwa proses eksistensial berkaitan erat dengan Sirkumtansi untuk menjelaskan

tempat, waktu, tujuan, alasan, atau sumber keberadaan. Sirkumtansi tersebut

dapat pula hadir dengan atau tanpa preposisi. Proses eksistensial tergolong

proses yang paling bergantung pada kemunculan Sirkumtansi. Berdasarkan contoh

yang telah ditampilkan di atas, berikut Predikator proses eksistensial .

1. kawéntenan „keberadaan‟

2. niki „ada‟

3. wantah „ada‟

4. ada „ada‟

5. ne „ada‟

6. wénten „ada‟

7.3 Interpretasi Tipe Proses

Setelah tipe proses TNNGB ditelaah, ternyata ada beberapa hal penting

yang harus dicatat. Pertama, ada ciri menonjol yang ditemukan pada klausa

proses relasional, yakni tingginya frekuensi proses tersebut digunakan sebagai

ungkapan perumpamaan. Beberapa proses relasional yang digunakan dalam

bentuk metafora ditampilkan di bawah ini (Data A1/4/ 226, 236, 327).

Page 223: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

223

(7.21) a. …Titiang makadi jan banggul dué…

1 TG -sebagai tangga POS

„Saya sebagai pelayan Beliau‟

b. …Kramané sami bedak…

warga-DEF KUAN haus

„Semua orang mengharapkan hujan‟

c. …Titiang damuh cokor I Dewa…

1 TG embun kaki ART Dewa

„Saya hanyalah hambaMu (Tuhan)‟

Tampaknya klausa relasional cenderung digunakan untuk menyatakan

metafora, terutama kemiripan sifat dan fungsi. Pada klausa (a, b) tampak orang

pertama tunggal diibaratkan seperti „embun‟ dan „tukang sapu‟. Pemakaian

metafora perumpamaan tersebut dipilih atas dasar adanya kesamaan sifat atau

fungsi antara entitas yang sesungguhnya dan benda yang dijadikan pembanding.

Pada klausa (c) digunakan metafora bedak „haus‟ yang secara harfiah merujuk

pada „keinginan untuk minum‟ dalam makna yang lebih luas menjadi „sangat

mengharapkan turunnya hujan‟. Jadi, penggunaan metafora yang dimunculkan

berkaitan erat dengan ketakwaan masyarakat terhadap Tuhan dan harapan

memperoleh hujan.

Kedua, TNNGB ternyata memiliki proses verbal yang agak berbeda

dengan proses verba pada umumnya. Ditemukan proses verbal dengan dua

dimensi, yakni (a) mengandung proses berkata-kata, dan (b) mengandung proses

material. Proses verbal dua dimensi itu dapat dilihat sebagai dua proses yang

berurutan, yang pada mulanya berupa proses verbal dalam penyampaian informasi

kemudian harus dilanjutkan dengan proses material oleh Target. Jadi, informasi

yang disampaikan mengandung implikasi perintah yang wajib dipatuhi. Dengan

Page 224: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

224

kata lain, Perkataan yang disampaikan harus diidentifikasi oleh Target sebagai

pemberitahuan dan permintaan. Jadi, proses verbal unik itu menuntut pemahaman

pesan dan merealisasikanya dalam bentuk tindakan yang relevan. Dengan

demikian, proses verbal unik yang direalisasikan dengan leksikon nauhin,

nanginin, mapengarah, dan ngarahin „memberitahukan‟ tidak hanya menunutut

pemahaman pesan yang disampaikan, tetapi juga menuntut tipe respons nonverbal

yang harus dimunculkan pada waktu yang ditetapkan. Implikasi Predikator

demikian dapat dipadankan dengan perlokusi pada tindak tutur (Austin, 1976)

atau implikatur pada teori pragmatik (Levinson, 1987). Proses verbal dua

dimensi itu dapat dilihat sebagai verba yang mengandung dua proses berikut.

a. Proses verbal : „X menyampaikan A pada B‟

b. Proses material: „B melakukan A‟

Perkataan pada proses verbal dua dimensi itu bersifat mengikat dan

pelanggarnya dapat dijatuhi denda. Secara kultural, anggota yang tidak dapat

mematuhi proses verbal dua dimensi hingga tiga kali berturut-turut atau sesuai

kesepakatan dapat dijatuhi sanksi tertentu.

Ketiga, hasil penghitungan terhadap kemunculan tipe proses menunjukkan

variasi seperti ditampilkan di bawah ini.

Page 225: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

225

Tabel 7.3

Rekapitulasi Tipe Proses

Tipe Proses Neduh Nyelang Galah Jumlah %

A1 A2 A3 B1 B2 B3

Material 226 62 128 528 48 41 1033 54,2%

Eksistensial 132 40 71 206 28 26 503 26,4%

Relasional 31 13 29 78 7 5 163 9,4%

Perilaku 0 0 0 0 0 0 0 0%

Verbal 21 12 22 24 25 6 110 5,5%

Mental 18 21 19 26 5 10 99 5,3%

Jumlah 428 148 269 862 113 88 1908

Tabel rekapitulasi tipe proses (7.3) menunjukkan jumlah klausa pada teks

nyelang galah lebih banyak daripada jumlah klausa pada teks neduh. Hal itu

disebabkan adanya tahapan pascaritual berupa panyineb atau pamancut

„penutup‟. Keberadaan teks penutup mengindikasikan bahwa teks nyelang galah

bersifat lebih pelik.

Tabel (7.3) juga menunjukkan distribusi jumlah klausa pada setiap proses

bervariasi. Distribusi tertinggi didominasi oleh proses material, yakni mencapai

54,2% yang sebagian besar dimunculkan pada ritual nyelang galah. Tingginya

frekuensi kemunculan proses material dimaknai sebagai karakter teks yang

memerlukan berbagai tindakan “melakukan” baik dalam fase persiapan, fase

puncak, maupun fase penutup. Pelibat diwajibkan melakukan banyak tindakan riil

agar permohonan dapat berhasil. Demikian pula, para figur tidak kasatmata

diperintahkan melakukan berbagai tugas untuk kesuksesan permohonan,

Page 226: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

226

termasuk menyimpan atau mengeluarkan api, membasmi atau menarik mendung,

mengumpulkan atau memecah mendung sesuai dengan kebutuhan. Proses

eksistensial menempati jumlah tertinggi kedua, yakni 26,4%. Artinya, ritual

melibatkan banyak entitas dalam berbagai wujud, misalnya mendung, hujan, air,

api, hari baik, kesepakatan, air laut, sarana umum, dan sarana khusus lainnya.

Berbagai wujud dilibatkan dalam ritual, baik wujud insani maupun wujud

noninsani. Proses relasional menempati jumlah keempat terbesar yang dimaknai

sebagai upaya mempertautkan berbagai entitas yang ada satu dengan lainnya agar

terjalin harmoni. Relasi antarbenda mencerminkan keterkaitan secara langsung

ataupun tidak langsung. Misalnya, hubungan individu dengan kelompok, individu

dengan alam, individu dengan Tuhan. Dengan relasi itu, setiap benda yang ada di

dunia tidak bersifat mandiri, tetapi berhubungan dengan benda lainnya dan dapat

dimanfaatkan oleh manusia.

Bila rekapitulasi tipe proses pada struktur transitivitas dikaitkan dengan

sistem modus dapat diketahui bahwa dominasi modus imperatif dalam TNNGB

sejalan dengan tingginya jumlah proses material yang harus dikerjakan. Pelibat

diwajibkan menyelesaikan pekerjaan tertentu agar permohonan dapat terkabul.

Dukungan perilaku para pelibat harus relevan dengan prosedur yang disepakati

sesuai petunjuk partisipan kunci. Sejauh ini, tidak ditemukan ekspresi penolakan

terhadap tugas yang dibebankan. Jadi, TNNGB membutuhkan dukungan fisik

seluruh pelibat.

Page 227: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

227

BAB VIII

STRUKTUR DIATESIS

8.1 Pengantar

Menurut Eggins (1994: 156), struktur diatesis selalu mengandung motivasi

semantis dan pragmatis. Artinya, sebagai bagian dari realisasi makna pertukaran,

diatesis tidak hanya mengandung kesatuan pesan yang dinyatakan dalam struktur

tertentu, tetapi juga komponen yang dikedepankan oleh pembicara. Susunan kata

dalam klausa yang digunakan untuk mengekspresikan pokok pesan

mencerminkan orientasi pembicara. Jadi, pilihan struktur diatesis selalu memihak

pembicara yang memungkinkannya menyampaikan informasi tertentu dengan

susunan leksikon yang diinginkan.

Di sisi lain, Halliday (2004: 55) mengaitkan struktur diatesis dengan

karakteristik Predikator dan fungsi gramatikal yang diperankan oleh argumen.

Oleh sebab itu, struktur diatesis tidak dapat dilepaskan dari tipe proses dan fungsi.

Berdasarkan batasan itu, Subjek didefinisikan secara semantis, pragmatis, dan

struktur. Secara semantis, Subjek merupakan realisasi fungsi gramatikal tertinggi.

Secara pragmatis, Subjek adalah elemen yang dipertanggungjawabkan oleh

pembicara terkait dengan validitas pesan yang disampaikan. Subjek merupakan

unit yang menentukan proposisi dapat diyakini atau ditolak. Secara struktur,

Subjek dapat dibatasi sebagai sesuatu yang mendapat predikat [That of which

something is being predicated (that is, on which rests the truth of the argument)

(Halliday, 2004: 55)]. Dengan kata lain, Subjek merupakan sesuatu yang dijadikan

Page 228: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

228

titik awal untuk menyampaikan pesan dan berperan sebagai unit yang mengambil

tanggung jawab.

Telaah struktur diatesis bertolak dari struktur klausa yang tidak bermarkah

atau tidak mengandung prominensi tertentu. Sebuah klausa dinyatakan sebagai

klausa yang tidak bermarkah bila fungsi tertinggi semantis dipetakan pada fungsi

tertinggi secara gramatikal. Pola pemetaan klausa tidak bermarkah dapat dilihat

pada klausa Her nephew sent her flowers „Keponakannyai mengirimkannyai

bunga‟ di bawah ini (diadopsi dari Halliday, 2004: 296).

Fungsi Her nephew sent her flowers

a. Semantis Agen

b. Pragmatis Tema

c. Gramatikal Subjek

Contoh di atas menunjukkan hadirnya fungsi Agen yang direalisasikan

dengan kelompok kata her nephew „keponakannya (laki-laki)‟. Fungsi semantis

Agen dipetakan secara lurus pada fungsi pragmatik dan gramatikal. Pemetaan

lurus itu dinyatakan sebagai konstruksi tidak bermarkah atau klausa yang tidak

mengandung prominensi tertentu (non-prominent). Sebaliknya, klausa bermarkah

adalah konstruksi yang mementingkan suatu unsur atau mengandung prominensi,

seperti contoh berikut (diadopsi dari Halliday, 2004: 296).

Page 229: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

229

Subjek

a. By her nephew she was sent flowers

b. To his aunt he sent flowers

c. At the high jump John wins every time

Pada contoh (a, b, c) di atas, tampak upaya untuk menonjolkan komponen

tertentu. Komponen yang ditonjolkan pada klausa (a) adalah by her nephew „oleh

keponakannya‟ yang berstatus sebagai Agen pada verba pasif. Pengedepanan

Agen terjadi atas kepentingan untuk menjadikan Agen sebagai Tema. Pada klausa

(b) Penerima to his aunt „untuk bibinya‟ ditonjolkan. Klausa (c) menonjolkan

Jangkauan at the high jump „pada cabang loncat tinggi‟. Jadi, kepentingan

mengedepankan komponen selain Subjek menghasilkan klausa bermarkah yang

dapat menghasilkan pemetaan tidak lurus.

8.2 Struktur Diatesis Efektif

Berdasarkan kajian Sistemik, kemunculan fitur Agen merupakan penentu

struktur diatesis efektif. Klausa yang memiliki proses aktif pada Predikatornya

tentu memiliki Agen. Klausa semacam itu dapat dinyatakan sebagai klausa efektif.

Sebaliknya, klausa yang tidak mengandung keaktifan secara semantis tidak

mengandung fitur Agen. Klausa yang demikian dinyatakan sebagai klausa Medial.

Dengan demikian, terdapat dua indikator yang digunakan untuk menentukan jenis

diatesis dalam sudut pandang Sistemik, yakni (a) keaktifan pada proses yang

dinyatakan oleh Predikator dan kehadiran Agen. Klausa efektif dapat

direalisasikan dengan struktur Diatesis Operatif atau Reseptif.

Page 230: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

230

Untuk membandingkan klausa efektif dan nonefektif ditampilkan contoh

berikut (diadopsi dari Matthiessen dan Halliday, 1997: 20) (terjemahan oleh

penulis).

(8.1) a. The wind opened the door

ART angin buka-PAST ART pintu

„Angin menyebabkan pintu itu terbuka‟

b. The door opened

ART pintu buka-PAST

„Pintu itu terbuka‟

Meskipun klausa (8.1) memiliki Predikator yang sama, opened „membuka,

terbuka‟, tetapi tidak dapat dipandang memiliki diatesis yang sama. Klausa (a)

merupakan klausa transitif yang menghadirkan dua argumen, masing-masing, the

wind „angin‟ dan the door „pintu‟. The wind adalah Agen dari peristiwa yang

dinyatakan oleh predikat atau inisiator yang menyebabkan predikat terjadi,

sedangkan the door menempati peran Tujuan. Dengan demikian, klausa (a) The

wind opened the door „angin membuka pintu‟ dapat dikategorikan sebagai klausa

efektif. Pada klausa (b) The door opened „pintu itu terbuka‟ terdapat satu

argumen yakni the door yang secara otomatis berfungsi sebagai Subjek. Dalam

struktur tersebut, the door bukanlah Agen, tetapi lebih cenderung sebagai

Medium, yakni argumen perantara yang mengizinkan predikat opened terjadi.

Dengan demikian, klausa the door opened tidak dapat digolongkan sebagai klausa

efektif.

Perlu ditegaskan bahwa identitas Agen adalah elemen penyebab (causer)

yang memungkinkan suatu peristiwa terjadi. Agen mengacu pada partisipan yang

Page 231: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

231

Jangkauan

+Jangkauan

Non Jangkauan

Operatif

+Agen/S

Medium/K

Proses aktif

Non-

Agentif

Reseptif

+Medium/S

Proses pasif Agentif

+Agen/ A

memiliki kemampuan melakukan tindakan seperti dinyatakan predikat.

Berdasarkan batasan itu, klausa yang tidak menyatakan proses aktif dan

Subjeknya tidak menjadi penyebab terjadinya proses dapat dikategorikan sebagai

klausa Medial.

Struktur diatesis menurut Halliday dapat dilihat pada gambar di bawah ini

(diadopsi dari Halliday, 2004: 297) (terjemahan oleh penulis).

Medial

Agensi

Efektif

Gambar 8.1: Struktur Diatesis Bahasa Inggris

Berdasarkan gambar (8.1) dapat dijelaskan bahwa pilahan diatesis dalam

teori Sistemik dilakukan atas dasar keagenan, sehingga melahirkan pilahan klausa

yang memiliki Agen dan klausa yang tidak memiliki Agen. Struktur klausa yang

tidak mengandung Agen disebut klausa Medial, sedangkan struktur yang memiliki

Agen disebut klausa efektif. Klausa efektif direalisasikan dengan dua diatesis,

Page 232: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

232

yakni Diatesis Operatif dan Diatesis Reseptif. Dua tipe klausa efektif itu

dinyatakan memiliki kedekatan antara satu dengan lainnya. Artinya, setiap klausa

Operatif memiliki peluang dinyatakan dalam struktur Reseptif dengan

menempatkan Partisipan II klausa Operatif menjadi Subjek pada klausa Reseptif.

Jadi, yang menjadi penentu diatesis Efektif ialah adanya proses aktif dan

kehadiran Agen yang terlibat aktif dalam proses tersebut.

Seperti telah disinggung pada butir (6.2) verba Bahasa Bali dapat berupa

verba berprefiks {-} atau tanpa prefiks {-}. Klausa yang menggunakan

Predikator {-} lebih dikenal sebagai Diatesis Aktif (Artawa,1998), atau Diatesis

Agentif (Pastika, 2002). Contoh (a) dikutip dari Artawa (1998: 8), sedangkan

klausa (b) dikutip dari Pastika (2002: 116).

(8.2) a. Tiang nyépak cicing-é

1 TG -tendang anjing-DEF

‟Saya menendang anjing itu‟

b. Pan Belog tuara nakonang aji malu

NAMA NEG -tanya harga Sirk

‟Pan Belog tidak menanyakan harga terlebih dahulu‟

Tampaknya penentuan tipe klausa Aktif atau Agentif di atas (8.2)

berpedoman pada proses aktif yang dinyatakan Predikator dan kehadiran Aktor

sebagai pelaku proses dalam fungsi Subjek/Agen. Sesungguhnya pandangan

serupa juga terjadi pada sudut pandang Sistemik, tetapi klausa semacam itu

dinamakan dengan Diatesis Operatif. Artinya, terdapat operasi atau tindakan yang

dilakukan oleh Aktor dan Aktor merupakan argumen wajib hadir. Dengan

Page 233: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

233

demikian, Diatesis Operatif dapat dipadankan dengan Diatesis Aktif atau

Diatesis Agentif.

Dilihat dari bentuk morfologis, verba berprefiks {-} dan tanpa prefiks

{} menunjukkan fungsi Subjek yang berbeda. Hal itu dapat dilihat pada tiga

klausa berikut (Data A1/2/43, 56, 58).

(8.3) a. …Kramané makta prani ke Pura Taman…

Warga-DEF -bawa sajen PREP

‟Warga membawa sajén ke pura Taman‟

b. …I Nengah sampun mapengarah…

NAMA PERF -beritahu

‟I Nengah sudah memberitahu‟

c. …Pajatiné aturin tiang benjang…

NAMA sajen-DEF -beri 1 TG Sirk

‟Sajen saya serahkan besok‟

Kramané makta prani ke Pura Taman

I Nengah (sampun) mapengarah

Pajatiné aturin tiang benjang

Subjek Predikator Komplemen Adjung

Predikator yang dilekati pemarkah aktif {-} (a, b) memunculkan Subjek

yang diisi oleh Agen. Sementara itu, Predikator yang mengandung pemarkah {-}

(c) memunculkan Subjek dalam fungsi non-Agen. Agen tiang ‟1 TG‟ tidak

menduduki fungsi gramatikal tertinggi, tetapi dimunculkan sebagai

Komplemen/Agen. Tampaknya, Agen klausa Bahasa Bali tidak harus menduduki

fungsi tertinggi Subjek, tetapi dapat pula ditempatkan sebagai argumen yang

Page 234: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

234

menempati fungsi yang lebih rendah. Jadi yang terpenting ialah adanya proses

aktif pada Predikator dan kehadiran Agen bersifat wajib. Berikut ditampilkan

prakiraan struktur Diatesis Operatif Bahasa Bali berdasarkan sudut pandang

Sistemik.

Klausa

Modus Residu

Subjek Predikator Komplemen

Proses aktif

Agen {- (-in/-ang)}

Non-Agen {- (-in/-ang)}

Gambar 8.2: Struktur Klausa Operatif Bahasa Bali

Predikator yang dimarkahi prefiks {-} dapat membentuk struktur klausa

dengan Subjek/Agen. Sebaliknya, Predikator yang dimarkahi zero prefiks {-}

tidak menempatkan Agen sebagai Subjek. Dengan alternasi fungsi itu dapat

ditarik simpulan bahwa Subjek klausa Operatif Bahasa Bali dapat berupa Agen

atau non-Agen.

Bila dikaitkan dengan komposisi Modus-Residu dapat dinyatakan bahwa

struktur Subjek/Agen merupakan kondisi tipikal, sedangkan struktur Subjek/non-

Agen sudah mengakomodasi kepentingan pragmatis. Jadi, struktur Subjek/Agen

Page 235: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

235

atau Subjek/Medium dimungkinkan menduduki fungsi Modus. Sebagai

konsekuensi struktur Subjek/Medium, Agen dapat dimunculkan sebagai argumen

yang memiliki status yang lebih rendah.

8.2.1 Diatesis Operatif

Indikator pokok klausa Operatif ialah munculnya Subjek/Agen sebagai

argumen wajib pada proses aktif. Agen dapat ditemukan pada klausa yang

mengandung proses aktif, di antaranya klausa proses material, proses mental,

proses verbal, dan proses perilaku. Subjek/Agen yang dimunculkan oleh proses

aktif itu memiliki dua argumen wajib (inherent), yakni Agen dan Komplemen.

Argumen tertinggi secara semantis, yakni Agen dipetakan secara simetris pada

peran tertinggi gramatikal, seperti ilustrasi berikut.

Gambar 8.3: Pemetaan Diatesis Operatif

Gambar (8.3) menunjukkan bahwa sebagai pengisi fungsi tertinggi secara

semantis Agen dipetakan pada struktur gramatikal yang tertinggi pula. Pemetaan

lurus antarstruktur itu menghasilkan pemetaan Subjek/Agen sedangkan

Komplemen diisi oleh Medium.

Berikut contoh klausa proses material dalam Diatesis Operatif (Data

B1/3/ 109, 124, 125).

Struktur Semantis Agen Medium

Struktur Gramatikal Subjek Komplemen

Page 236: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

236

(8.4) a. …Mogi I Ratu mapica…

semoga ART Ratu -beri

„Semoga Ratu (Tuhan) memberkati‟

b. …I Wanara Petak ngrauhang sekancan angin…

ART NAMA -datang-KAUS KUAN angin

„I Wenara Petak mendatangkan angin‟

c. …I Sampati ngunggahang toya segara manadi entikan gulem…

ART NAMA -naik-KAUS air laut -jadi bakal mendung

„I Sampati menaikkan air laut menjadi bakal mendung‟

I Ratu mapica

I Wanara Petak ngrauhang sekancan angin

I Sampati ngunggahang toya

segara

manadi entikan

gulem

Agen Proses material Medium

S P K A

Pada tiga klausa (8.4) terdapat unsur Agen yang dimunculkan pada

posisi awal klausa. Kehadiran Agen pada posisi demikian menunjukkan status

sebagai partisipan yang terlibat langsung dalam proses atau bersifat wajib hadir.

Dengan demikian, klausa material dapat digolongkan memiliki struktur Operatif.

Argumen yang menduduki fungsi Subjek ialah I Ratu „Engkau (Tuhan) (a), I

Wenara Petak „kera putih‟ (b), dan I Sampati (c).

Klausa (a) tergolong klausa material subtipe “peristiwa”, sedangkan dua

klausa berikutnya (b, c) merupakan klausa material subtipe proses “melakukan”.

Klausa material subtipe “melakukan” memiliki unsur X dan unsur Y. Kedua tipe

klausa di atas tidak berkendala untuk dinyatakan sebagai klausa Operatif .

Page 237: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

237

Berikut ditampilkan contoh klausa proses material yang menghadirkan

Agen, Benefaktif, dan Tujuan (Data A1/2/92, 103).

(8.5) a. …Gusti Ngurah micayang krama duéné merta…

NAMA -beri-BEN warga POS-DEF berkah

„Gusti Wayan memberikan warga berkah‟

b. …Iraga ngaturang Ida Sesuhunan pajatian…

1 JM -hatur-BEN 3 TG junjungan sajén

„Kita menghaturkan beliau pajatian‟

Gusti Ngurah micayang krama duéné merta

Iraga ngaturang Ida Sesuhunan pajatian

Partisipan I Partisipan II

Agen Proses

material

Klausa tipe material (8.5) di atas menghadirkan tiga argumen. Klausa (a)

menghadirkan Gusti Ngurah sebagai Subjek/Agen dan krama due „warga‟

sebagai Benefaktif, sedangkan merta „berkah‟ sebagai Tujuan. Klausa (b)

memunculkan Subjek/Agen Iraga „kita‟, Ida Sesuhunan „Junjungan‟ sebagai

Benefaktif, dan pajatian sebagai Tujuan. Meskipun Subjek klausa (a)

memunculkan figur tidak kasatmata Gusti Ngurah dan Ida Sesuhunan, tetapi

dipahami memiliki properti melebihi ciri humanis yang mampu mennunjukkan

keaktifan maksimal.

Klausa proses mental juga dapat dinyatakan dalam Diatesis Operatif,

seperti ditampilkan contoh di bawah ini (Data 2A/2/35, 93).

Page 238: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

238

(8.6) a. …Krama sami nyaratang ujan…

Warga KUAL -ingin hujan

„Semua warga mengharapkan hujan‟

b. …Pamangku sami sampun acc indik peneduhané …

SOS KUAL PERF sepakat PREP mohon hujan

„Semua pamangku sudah sepakat untuk mohon hujan‟

Sami nyaratang ujan

Pamangku sami sampun acc indik peneduhane

Semantis Agen Proses mental

Gramatikal Subjek

Proses mental menghendaki dua partisipan wajib dan partisipan I klausa

itu harus humanis untuk dapat melakukan pengindraan. Klausa (8.6) merupakan

klausa proses mental yang di dalamnya terkandung pengindraan dengan

keinginan, emosi, dan kognitif. Pada klausa (a) terjadi proses nyaratang yang

dilakukan dengan keinginan dalam intensitas tertentu, sedangkan (b) acc

dilakukan dengan kognisi emotif. Krama sami „semua warga‟ pada klausa (a)

merujuk pada seluruh warga baik komunitas transmigran maupun lokal.

Berikut ditampilkan contoh klausa perilaku dan verbal (Data A3/2/ 129,

134).

(8.7) a. …Tiang nauhin krama mulai bénjang…

1 TG -beritahu warga PREP Sirk

„Saya akan memberitahu warga mulai besok‟

b. …Cerik-ceriké pada makenyem…

anak-DEF-JM KUAN -senyum

„Semua anak tersenyum‟

Page 239: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

239

Tiang nauhin krama mulai bénjang

Cerik-ceriké pada makenyem

Partisipan 1 2

Semantis Agen Proses

Gramatikal Subjek

Klausa (a) di atas dapat digolongkan klausa verbal karena dilakukan

dengan berkata-kata. Klausa (b) tergolong klausa perilaku karena menunjukkan

tindakan fisik tertentu. Pemerkata „1TG‟ berperan sebagai Subjek/Agen dan

fungsi Target diisi oleh krama „warga‟ pada klausa (a). Subjek klausa perilaku (b)

diisi oleh Petingkah Laku cerik-cerike „anak-anak‟. Dengan adanya satu partisipan

yang terlibat langsung dalam proses, klausa perilaku berkendala untuk dipasifkan.

Diduga keterbatasan klausa perilaku untuk dipasifkan tidak hanya

dihambat oleh kendala jumlah argumen, tetapi juga pertimbangan semantis.

Petingkah laku tidak sepenuhnya merupakan Agen, tetapi cenderung mengandung

fitur Medium. Artinya, perilaku yang ditunjukkan tidak dapat dikendalikan secara

penuh. Makeyem „tersenyum‟ (b) dapat dipandang sebagai reaksi alamiah yang

tidak dapat dikendalikan, sebagaimana „tersenyum, menangis, atau batuk‟.

Berdasarkan contoh klausa sebelumnya (8.4 - 8.7) dapat ditarik simpulan

bahwa struktur Operatif ditunjukkan oleh klausa proses material, proses mental,

proses verbal, dan proses perilaku. Empat proses itu mengandung keaktifan yang

pada predikatnya. Klausa Operatif pada dasarnya mempertautkan struktur

konstituen, struktur semantis, dan struktur gramatikal secara simetris, tanpa

mengemban prominensi tertentu.

Page 240: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

240

Bila dilakukan perbandingkan properti Agen klausa TNNGB, tampak

derajat keagenan yang bervariasi. Derajat keagenan klausa proses material lebih

nyata dibandingkan dengan Agen pada proses verbal dan mental. Rentang

keagenan dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 8.4: Hierarki Agen TNNGB

Gambar (8.4) menunjukkan hierarki keagenan, yakni tingginya peran Agen

suatu proses untuk melakukan sesuatu atau mengendalikan aktivitasnya. Pada

hierarki Agen3 di atas tampak Agen proses material menempati posisi tertinggi

dalam hal mengendalikan aktivitas. Sebagai implikasi kemampuan tersebut, Agen

proses material mampu menentukan Tujuan, Penerima, Pengguna, atau cara yang

dipilih pada proses tersebut. Pada level di bawahnya ditempati oleh Agen proses

mental dan proses verbal. Sementara itu, klausa perilaku memiliki fitur Agen yang

lemah dan sulit mengendalikan aktivitasnya. Proses relasional dan proses

eksistensial tidak memiliki ciri Agen. Dengan bukti di atas dapat diketahui bahwa

3 Kontinum Agen/non-Agen versi Sistemik tidak dapat dipadankan dengan nosi Aktor dan

Undergoer (Folley dan Van Vallin, 1984).

Agen

Aktor

Pengindra

Pemerkata

Petingkah Laku

Penyandang

Wujud

Non-Agen

Page 241: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

241

klausa proses material, verbal, dan mental lebih potensial membentuk Diatesis

Reseptif dibandingkan proses lainnya.

Klausa Operatif biasanya dapat diuji dengan cara mereposisi argumen-

argumennya. Restrukturisasi itu dikenal dengan proses reversibilitas. Pandangan

itu bersumber pada perspektif transitif, yaitu model yang memandang setiap

proses memiliki variabel tersendiri pada masing-masing proses, sehingga harus

diperlakukan berbeda sesuai dengan proses tersebut. Ciri menonjol perspektif

transitif adalah adanya konfigurasi Aktor + Proses dengan peran Aktor yang

berbeda-beda sesuai dengan tipe proses. Selain perspektif model transitif yang

dijadikan pertimbangan kajian diatesis yang dikaitkan dengan proses, dikenal pula

perspektif model ergatif. Model ergatif memandang setiap proses memiliki

kesamaan, sehingga dapat dilakukan generalisasi. Perspektif ergatif cenderung

melakukan generalisasi bahwa setiap klausa memiliki struktur Medium + Proses

(Halliday, 2004: 281)

Berpegangan pada tipe proses klausa TNNGB, penelitian ini mengikuti

perspektif transitif dengan pertimbangan setiap proses memiliki variabel tersendiri

yang berbeda dengan proses lainnya. Bila pengujian dengan proses reversibilitas

berhasil, akan diperoleh struktur turunan yang mempertahankan proses aktif dan

Agen dihadirkan secara wajib. Yang terpenting ialah klausa yang dihasilkan

dalam proses reversibilitas harus memiliki makna yang sama atau tidak

menyimpang dari klausa asalnya. Reposisi dapat diberlakukan terhadap setiap

pengisi peran gramatikal sehingga argumen yang sebelumnya tidak menduduki

fungsi tertinggi dapat diposisikan pada fungsi tertinggi.

Page 242: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

242

Berikut ditampilkan klausa Operatif yang menggunakan bentuk predikator

dengan pemarkah {-} diikuti klausa reversibilitas yang dimunculkan (Data A2/2/

45, 62, 102).

(8.8) a. …Ipun nandur kacang ijo…

3 SG -tanam kacang ijo

„Dia menanam kacang hijau‟

b. …Tiang nauhin krama mulai bénjang…

1 TG -beritahu warga Sirk

„Saya akan memberi tahu warga mulai besok‟

c. …Ipun ngaturin jero mangku uleman…

3 TG -beri HON VOK sajen

„Dia memberikan jero mangku sajen‟

No. S P K Struktur

a. (1) Ipun nandur kacang

ijo

S/Ag--P-K

(2) Kacang

ijo

tandur ipun S/Med--P-K/Ag

(3) *Kacang

ijo

nandur ipun *S/Med--P-K/Ag

-

b. (1) Tiang nauhin krama mulai

bénjang S/Ag--P-K-A

(2) Kramané dauhin tiang mulai

bénjang S/Med--P-K/Ag-A

(3) *Kramané nauhin tiang mulai

bénjang *S/Ag--P-K/Ag-A

c. (1) Ipun ngaturin jero

mangku

uleman S/Ag--P-K1-K2

(2) Jero

mangku

aturin ipun uleman S/Med--P-K/Ag-

K2

Page 243: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

243

Struktur klausa pada baris pertama merupakan klausa Operatif, sedangkan

klausa pada baris di bawahnya merupakan struktur reversibilitas. Klausa (a, b)

memiliki struktur S/Ag--P-K atau merupakan klausa bervalensi dua. Contoh (c)

merupakan contoh klausa dengan valensi tiga dengan struktur S/Ag--P-K1-K2.

Klausa (8.8) itu memiliki alternasi struktur, seperti ditampilkan pada baris di

bawahnya. Klausa (a) Ipun nandur kacang ijo dapat memunculkan struktur

Kacang ijo tandur ipun dengan struktur . Klausa (b) Tiang nauhin krama mulai

bénjang dapat memunculkan struktur Krama dauhin tiang mulai bénjang yang

tersusun atas S/Med--P-K/Ag. Klausa (c) Ipun ngaturin jero mangku uleman

memiliki dua Komplemen, yakni Pengguna jero mangku dan Medium uleman.

Klausa tersebut dapat membentuk dua model struktur reversibilitas. Pengedepanan

Pengguna menghasilkan struktur klausa Jero mangku aturin ipun uleman dengan

susunan S/Med--P-K/Ag-K2. Pengedepanan Medium menghasilkan struktur

Uleman aturin ipun majeng jero mangku dengan susunan S/Med--P-K/Ag-

K1/OBL. Upaya pengedepanan Komplemen/Medium berdampak pada penurunan

valensi. Komplemen/Pengguna yang sebelumnya merupakan partisipan wajib

berubah menjadi partisipan Oblik dan dimarkahi preposisi majeng „untuk‟.

Dengan demikian, struktur reversibilitas pada klausa bervalensi tiga dapat

(3) Uleman aturin ipun majeng

jero

mangku

S/Med--P-K/Ag-

K1/OBL

(4) *Jero

mangku

ngaturin ipun uleman *S/Ag--P-K/Med-

K2

Page 244: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

244

membentuk struktur S/Med--P-K/Ag-K2 atau S/Med--P-K/Ag-K1/OBL.

Tampaknya, pada klausa bervalensi tiga terdapat kecenderungan untuk mereposisi

Komplemen yang lebih dekat dengan Predikator. Pengedepanan Komplemen yang

kedua berdampak pada penurunan valensi.

Berdasarkan contoh (8.8) dapat dipahami bahwa klausa Operatif Bahasa

Bali dapat diuji dengan mereposisi argumen-argumennya. Keberhasilan itu

didukung dengan menanggalkan pemarkah aktif {-} menjadi {-}. Struktur

reversibilitas juga dapat dilihat sebagai upaya Medium fokus. Jadi, struktur

reversibilitas dapat dipandang sebagai struktur turunan dari klausa Operatif

dengan tetap mewajibkan kehadiran Agen dan proses aktif. Dengan kata lain,

klausa Operatif dapat mengakomodasi aspek gramatikal pada struktur dasar dan

aspek pragmatis pada struktur turunan. Klausa Operatif Bahasa Bali terbuka

untuk mendudukkan Agen atau Medium sebagai Subjek gramatikal. Kondisi itu

mencerminkan bahwa terdapat kebiasaan berkomunikasi etnis Bali untuk memberi

penekanan pada Agen atau Medium dan Agen.

Secara struktur, pemarkah {-} pada Predikator biasanya mengharuskan

Agen berposisi di kiri verba, sedangkan Medium ditempatkan di kanan verba.

Pada struktur reversibilitas terjadi susunan yang sebaliknya. Medium

dimunculkan pada posisi preverbal, sedangkan Agen dimunculkan pada posisi

posverba. Reversibilitas diizinkan dengan mengubah bentuk Predikator {-}

menjadi bentuk {-}. Apabila pemarkah {-} tetap dipertahankan, klausa yang

Page 245: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

245

terbentuk adalah klausa ganjil (baris a3) atau mengandung makna yang berbeda

dengan klausa asalnya (lihat contoh 8.8 baris b3, dan baris c4).

Pengujian dengan reposisi argumen tidak berkendala pada proses material,

mental, dan verbal. Akan tetapi, klausa proses perilaku tidak dapat diuji dengan

cara tersebut. Kendala itu diakibatkan oleh keterbatasan argumen dan karakteristik

Petingkah Laku yang tidak benar-benar Agen. Artinya, perilaku yang ditunjukkan

dalam proses perilaku tidak sepenuhnya dapat dikendalikan.

Komplemen yang dapat dijadikan Fokus melalui proses reversibilitas harus

memenuhi ciri nomina definit. Dalam Bahasa Bali, kedefinitan dimarkahi

dengan {-(n)é}. Distribusi pemarkah definit dipengaruhi oleh bunyi akhir nomina

yang dilekati. Nomina yang memiliki bunyi akhir berupa konsonan mendapat

pemarkah definit {-é}, di antaranya, tegalé „kebun-DEF‟, cubangé „bak-DEF‟,

duéné „milik-DEF‟, atau seméré „sumur-DEF‟. Di satu sisi, pemarkah definit

{né} digunakan pada nomina yang berakhir dengan bunyi vokal. Misalnya,

mertané „berkah-DEF‟, kramané „warga-DEF‟, metené „pohon mete-DEF‟,

sampiné „sapi-DEF‟, baktiné „sajen-DEF‟, atau kubuné „pondok-DEF‟. Jadi,

pemarkah kedefinitan {(n)é} menjadi {-é} bila berhimpitan dengan bunyi

konsonan, dan menjadi {-né} bila berhimpitan dengan bunyi vokal.

Pemarkah definit {-né} dapat juga merujuk pada kepemilikan orang

ketiga. Pemarkah kepemilikan {-né} menjadi {-né} bila dilekatkan pada nomina

yang diakhiri oleh bunyi konsonan, dan menjadi {-n-né} bila berhimpitan dengan

bunyi vokal. Dengan distribusi demikian dimunculkan bentuk umahné

„rumahnya‟, tegalné „kebunnya‟, timpalné „temannya‟, atau pipisné „uangnya‟.

Page 246: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

246

Pelekatan pemarkah kepemilikan pada nomina yang berakhir dengan bunyi vokal

diikuti oleh proses geminasi. Dengan proses itu dimunculkan nomina giginné

„giginya‟, kubunné „pondoknya‟, sampinné „sapinya‟, rokonné „rokoknya‟

bunganné „bunganya‟, balénné „rumahnya‟, atau nasinné „nasinya‟.

Dilihat dari karakteristik Agen tampaknya tidak semua Agen dapat

menempati fungsi sebagai Komplemen pada klausa reversibilitas. Agen dengan

ciri pronomina dan bukan nama sebenarnya (proper name) cenderung

mengizinkan reversibilitas, seperti ditunjukkan contoh (8.9) berikut.

(8.9) Klausa Asal

(S/Ag--P-K- K-A)

Reversibilitas

(S/Med--P-K/Ag-K-A)

a. Tiang nutug jero mangku ka pura

1 TG -ikut HON SOS PREP

„Saya ikut jero mangku ke pura‟

Jero mangku tutug tiang ka

pura

I Kadék nutug jero mangku ke ura *Jero mangku tutug I Kadék

ka pura

b. Cai nanem jagung unggul

2 TG -tanam jagung

„Kamu menanam jagung unggul‟

Jagung unggul tanem cai

Anaké tua ento nanem jagung

unggul

*Jagung unggul tanem anaké

tua ento

c. Ipun ngalapang tiang jagung muda

3 TG -petik 1TG jagung muda

„Dia memetikkan saya jagung muda‟

Tiang alapang ipun jagung

muda

Jagung muda alapang ipun

tiang

Pak Kadus ngalapang tiang jagung

muda

*Tiang alapang pak Kadus

jagung muda

*Jagung muda alapang pak

Kadus tiang

Page 247: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

247

Pada contoh (8.9) tampak klausa (a, b. c) memunculkan Subjek/Agen yang

diisi oleh pronomina tunggal tidak berkendala dalam reversibilitas. Klausa (a)

Tiang nutug jero mangku ka pura membentuk klausa Jero mangku tutug tiang ka

pura „Jero mangku yang saya ikuti ke pura‟. Sementara itu, klausa (b) Cai nanem

jagung unggul „Kamu menanam jagung unggul‟ menurunkan klausa Jagung

unggul tanem cai „Jagung unggul yang kamu tanam‟. Klausa dengan Komplemen

ganda (c) Ipun ngalapang tiang jagung muda „Dia memetikkan saya jagung

muda‟ dapat memunculkan klausa Jagung muda alapang ipun tiang atau Tiang

alapang ipun jagung muda. Reversibilitas menemui kendala bila Agen diisi

dengan vokatif atau nama sebenarnya. Reversibilitas dengan karakter Agen

demikian itu memunculkan klausa yang tidak berterima, seperti (a) *Jero mangku

tutug Kadék ke pura, (b) *Jagung unggul tanem anaké tua ento, atau (c) *Jagung

muda alapang pak Kadus tiang. Tampaknya kesuksesan reversibilitas harus

didukung oleh tipe klausa transitif yang memiliki Agen berupa pronomina umum

dan bukan nama sebenarnya.

Pada klausa reversibilitas, Komplemen klausa asal dikedepankan dan

menjadi Subjek/Fokus. Pemokusan itu menggeser Agen ke posisi kedua pada

struktur reversibilitas. Pola pemetaan klausa Operatif asal dan struktur

reversibilitas dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 8.5: Pemetaan Struktur Reversibilitas

Klausa asal Subjek/Agen Komplemen

Klausa Reversibilitas Subjek/Fokus Komplemen/Agen

Page 248: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

248

Berdasarkan gambar (8.5) di atas dapat dicermati bahwa terdapat

perbedaan perlakuan terhadap Agen pada klausa asal dan klausa reversibilitas

yang diturunkan. Struktur dasar memiliki struktur Subjek/Agen dan

Medium/Komplemen, sedangkan struktur reversibilitas memiliki Subjek/Medium

dan Agen/Komplemen. Secara gramatikal, struktur reversibilitas mendudukkan

Medium sebagai Subjek/Fokus. Struktur turunan itu mempertahankan jumlah

argumen wajib dan merujuk pada keaktifan Agen. Jadi, struktur klausa

reversibilitas menghasilkan pemetaan silang tanpa penurunan valensi.

Rekapitulasi struktur klausa Operatif asal dan turunan dapat dirangkum

dalam tabel berikut.

Tabel 8.1

Struktur Diatesis Operatif

Klausa

dengan 2 Partisipan

Klausa

dengan 3 Partisipan

Struktur Asal S/Ag - -P - K/Med S/Ag - -P - K1 - K2

Struktur

Turunan

S/Med - -P - K/Ag S/Med - -P - K/Ag- K2

S/Med - -P - K/Ag - K1/OBL

Pada tabel (8.1) di atas tampak jumlah argumen pada klausa transitif tidak

mengalami perubahan dalam struktur turunannya. Akan tetapi, salah satu argumen

klausa ditransitif bergeser ke posisi Oblik. Argumen yang biasanya didudukkan

sebagai Oblik ialah argumen yang berfungsi sebagai Benefaktif (Penerima),

seperti ditampilkan contoh (8.8/c3).

Page 249: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

249

8.2.2 Diatesis Reseptif

Diatesis Reseptif merupakan struktur klausa yang memiliki tipe proses

aktif sebagaimana klausa Operatif, tetapi kehadiran Agen bersifat manasuka.

Dalam pandangan fungsional, Diatesis Reseptif merupakan diatesis turunan yang

diperoleh dengan menempatkan Komplemen klausa Operatif menjadi Subjek

pada klausa Reseptif, sedangkan Agen difungsikan sebagai argumen manasuka.

Setiap klausa transitif Operatif berpeluang untuk dinyatakan dalam struktur

Reseptif. Perubahan status Agen menjadi argumen Oblik pada klausa Reseptif

menghasilkan pemetaan silang, seperti gambar berikut.

Argumen I Argumen II

Diatesis Operatif Subjek

Agen

Komplemen

Diatesis Reseptif Subjek

Medium

Adjung

Gambar 8.6: Pemetaan Diatesis Reseptif

Pemetaan Diatesis Reseptif seperti ditunjukkan gambar (8.6) berupa

pemetaan tidak simetris. Artinya, peran semantis tertinggi tidak dipetakan pada

fungsi gramatikal tertinggi. Dengan pemetaan tersebut tampak bahwa argumen

semantis tertinggi dipetakan pada argumen Oblik. Pemetaan silang itu

menempatkan Agen pada posisi Adjung dan biasanya dimarkahi preposisi.

Artawa (1998) dan Pastika (2002) sepakat bahwa {ka-} merupakan

pemarkah proses pasif. Klausa dengan pemarkah {ka-} dipadankan dengan

Diatesis Objektif atau Diatesis Pasif. Pemarkah {ka-} juga dapat dilihat sebagai

Page 250: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

250

pemarkah Diatesis Reseptif berdasarkan pandangan Sistemik karena menerangkan

proses pasif dan Subjek bersifat menerima (receive) tindakan.

Struktur klausa Reseptif Bahasa Bali dapat direalisasikan dengan

pemarkah {ka-} dan dapat dilihat sebagai upaya menyamarkan Agen. Perhatikan

contoh (a, b) berikut (Data B1/4/ 233, 236 dan Data A2/2/65).

(8.10) a. …Ratu Ngurah katurang saji punjung maiwak ayam sekuning…

HON NAMA PAS-beri nasi - ikan ayam kuning

„Ratu Ngurah dihaturkan nasi dan ayam kuning betutu‟

b. …Gusti Wayan katurang ketipat dampulan mabé taluh mapanggang…

HON NAMA PAS-beri ketupat -ikan telur -panggang

„Gusti Wayan dihaturkan ketupat dan telur panggang‟

c. …Baktiné sampun kakaryanin olih biyang mangku…

bakti-DEF PERF PAS-buat PREP ibu VOK

Sarana sudah disiapkan oleh istri jero mangku‟

Ratu

Ngurah

katurang saji punjung maiwak

ayam sekuning mabetutu

Gusti

Wayan

katurang ketipat dampulan mabé

taluh mapanggang

Baktiné sampun

kakaryanin

olih biyang

mangku

Subjek Proses Pasif Komplemen Adjung

Pada klausa (8.10) di atas tampak Predikator klausa Reseptif dimarkahi

dengan pemarkah pasif {ka-}. Pada klausa tersebut muncul Partisipan I sebagai

pengisi peran Subjek, yakni Ratu Ngurah, Gusti Wayan, dan Baktiné „sarana‟.

Subjek pada dua klausa pertama merupakan Subjek/Penerima dari aktivitas yang

dinyatakan dalam Predikator. Dua figur itu adalah figur tidak kasatmata yang

Page 251: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

251

dimintakan bantuan untuk membantu tercapainya ritual. Komplemen yang

dimunculkan adalah saji „persembahan‟. Agen tidak dinyatakan secara tersurat,

tetapi dapat dipahami keberadaannya. Pada klausa (c) Agen dimunculkan dalam

bentuk Oblik. Hal itu menunjukkan bahwa penggunaan Diatesis Reseptif

menekankan pada fungsi Medium.

Pada fase puncak khususnya tahap persembahan tampak ada

kecenderungan pergeseran diatesis, dari Diatesis Operatif ke Diatesis Reseptif.

Diatesis Operatif digunakan pada tahap mengajukan permohonan, seperti Titiang

nunas sabeh „Saya mohon hujan‟ atau Titiang ngawentenang bakti „Saya

menyiapkan sajen‟. Pada tahap berikutnya, digunakan Diatesis Reseptif, seperti

Niki katurang segehan manca warna ring ibu pertiwi „Ini dihaturkan sajen lima

warna kepada ibu pertiwi (dewa penguasa tanah)‟ atau Gusti Made katurang

ketipat kelanan maiwak taluh mapindang „Gusti Made dipersembahkan ketupat

dan telur pindang‟. Pergeseran diatesis itu dapat dimaknai sebagai cara

menjunjung nilai persembahan. Artinya, pada tahap mempersembahkan sesuatu

yang dikedepankan adalah Penerima dan media persembahan.

Agen klausa Reseptif biasanya dimarkahi preposisi olih atau antuk „oleh‟

pada ragam halus, sedangkan pada ragam biasa (andap) dapat digunakan preposisi

baan atau tekén „oleh‟, seperti tampak pada contoh (c). Klausa Reseptif yang

dimarkahi dengan pemarkah pasif {ka-} mengandung rasa hormat dan cenderung

dipakai pada ranah ritual atau pembicaraan formal. Penggunaan pemarkah {ka-}

dapat mengacu pada Agen yang terbuka, baik berupa pronomina pertama, kedua,

atau ketiga. Pemarkah {-a} sebagai pemarkah Diatesis Reseptif masih

Page 252: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

252

dipertanyakan karena pemarkah tersebut cenderung mengacu pada orang ketiga

saja. Kedua model klausa Reseptif itu ditampilkan dalam contoh di bawah ini

(Data A3 /4/239 dan A2/1/44).

(8.11) a. …Baktiné sampun kabuat (antuk biyang serati)…

sarana PERF PAS-bawa PREP ibu tukang banten

„Sajen sudah dibawa oleh tukang banten‟

Baktiné sampun kabuat (olih I Nengah )

( 3 TG)

b. …Météné sepega (baan I Kayan) …

mete-DEF -potong-3 TG PREP NAMA

„Pohon mete itu dipotong (oleh I Kayan)‟

Météné sepega (baan I Kayan tekén I Nengah)\

( 3 JM)

*Météné sepega baan icang/cai

1 TG / 2TG

Baktine sampun

kakaryanin

antuk biyang serati

Météné sepega baan I Kayan

Partisipan 1 2

Gramatikal Subjek Adjung

Seperti tampak pada contoh (8.11) di atas, klausa di atas menggunakan

pemarkah {ka-} dan {a-}. Pemarkah {ka-} dan {-a} diyakini merupakan

pemarkah Diatesis Reseptif berdasarkan karakteristik: (a) memiliki tipe proses

pasif dan Subjek merupakan Komplemen pada Diatesis Operatif, (b)

menghadirkan Agen sebagai Adjung atau ditanggalkan, dan (c) memiliki

Subjek/Medium merupakan argumen yang menerima tindakan.

Page 253: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

253

Pemarkah Reseptif {ka-} dimunculkan pada ragam hormat dan Agen dapat

didahului preposisi antuk atau olih „oleh‟. Pemarkah {a-} mengandung makna

ragam biasa (andap) dan Agen biasanya dimunculkan dengan preposisi baan

„oleh‟. Bila dicermati tampak Agen diatesis Reseptif dengan pemarkah {ka-}

dapat diisi oleh pronomina umum. Hal itu terbukti dengan diterimanya klausa

Baktiné sampun kakaryanin (antuk titiang / ragané / ipun) „sarana sudah

disiapkan (oleh 1TG, 2TG, 3TG)‟. Sebaliknya, struktur Reseptif dengan

pemarkah {-a} hanya dapat diikuti oleh Agen berupa orang ketiga. Sebagai

contoh, Météné sepega (baan I Kayan) / (baan I Kayan teken I Nengah) „mété itu

dipotong (oleh 3 TG/3 JM). Penempatan Agen berupa orang pertama atau kedua

menghasilkan klausa ganjil. Keterbatasan Agen inilah yang membuat pemarkah {-

a} disangsikan sebagai pemarkah diatesis Pasif. Meskipun demikian, berdasarkan

kajian Sistemik klausa dengan Predikator yang dimarkahi {ka-) dan {a-}

memenuhi kriteria sebagai diatesis Reseptif berdasarkan perspektif transitif.

Pada klausa tertentu kehadiran Agen klausa Reseptif tidak dapat

ditanggalkan. Agen harus dimunculkan secara tersurat, seperti contoh klausa di

bawah ini (Data B1/2/56).

(8.12) a. …Titiang kabanda antuk galah…

1 SG PAS-ikat PREP waktu

„Saya diikat oleh waktu‟

b. …Jagungé (ka)tempuh angin …

jagung-DEF PAS-kena angin

„ Jagung itu dilanda angin topan‟

c. …Ai Cente kasilemin celeng alas…

air keladi PAS-tenggelam babi hutan

„Mata air Ai Cente dimasuki babi hutan‟

Page 254: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

254

*Titiang kabanda

*Jagungé katempuh

*Ai Cente kasilemin

Titiang kabanda antuk galah

Jagungé katempuh angin

Ai Cente kasilemin celeng alas

Medium Proses Agen

Klausa (8.11) menunjukkan ciri khusus klausa Reseptif Bahasa Bali. Pada

contoh (a, b, c) di atas tampak Agen tidak dimunculkan sebagai argumen

manasuka. Agen bersifat wajib untuk dinyatakan secara tersurat. Pada klausa di

atas kehadiran Agen klausa Reseptif dapat dimarkahi preposisi (a) ataupun tanpa

preposisi (b, c). Hal itu dibuktikan dengan sulit diterimanya klausa Titiang

kabanda, Jagungé katempuh ataupun Ai Cente kasilemin. Perilaku unik Agen

tersebut dapat dipahami sebagai dampak dari Agen yang tidak benar-benar Agen,

tetapi Agen Pemicu (Inisiator) yang berkaitan dengan kekuatan alam. Galah

„waktu‟ tidak benar-benar dapat mengikat, seperti klausa *Galahé manda titiang

„waktu mengikat saya. Klausa tersebut diprediksi bukan merupakan klausa

derivasi dari klausa Operatif. Hal serupa juga terjadi pada klausa (b, c). Jadi,

Bahasa Bali memerlakukan Agen/Pemicu berbeda dengan Agen nyata. Agen yang

benar-benar Agen dapat dimunculkan secara manasuka, sedangkan Agen pemicu

bersifat wajib hadir. Kedua perilaku Agen klausa Reseptif itu tidak bertentangan

dengan sistem diatesis yang selalu bersifat biner. Dengan dua struktur itu, klausa

Page 255: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

255

Reseptif berpotensi menonjolkan dua komponen sekaligus, yakni Medium dan

Agen.

Tipe proses material, proses mental, dan proses verbal tidak bermasalah

dalam pembentukan klausa Reseptif, seperti tampak pada contoh berikut (Data

A2/4.2/212 dan A2/2/ 45, 77).

(8.13) a. … Gusti Wayan katurang ketipat dampulan…

NAMA PAS-beri ketupat

„Gusti Wayan dihaturkan ketupat dampulan‟

b. …Pedinaan katuréksa olih jero mangku…

hari PAS-periksa PREP HON mangku

„Hari baik diperiksa oleh jero mangku‟

c. …Kramané kadauhin mangda tedun …

warga PAS-undang KONJ turun

„Warga diundang hadir‟

Tiga contoh di atas (8.13) menunjukkan klausa proses material, proses

mental, dan proses verbal berpeluang membentuk klausa Reseptif. Sebaliknya,

proses perilaku, relasional, dan eksistensial berkendala dinyatakan dalam struktur

Reseptif akibat rendahnya ketransitifan yang ditunjukkan Predikator atau

keterbatasan jumlah partisipan. Dengan demikian, tipe proses relasional dan

eksistensial terbukti tidak memenuhi kriteria diatesis Operatif ataupun Reseptif.

Kaitan proses dan diatesis efektif Bahasa Bali dapat diringkas sebagai berikut.

Page 256: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

256

Tabel 8.2

Proses dan Diatesis Operatif -Reseptif

No Tipe Proses Diatesis Efektif

Operatif Reseptif

1 Material √ √

2 Mental √ √

3 Verbal √ √

4 Tingkah Laku √ -

5 Relasional - -

6 Eksistensial - -

Tampak pada tabel (8.2) bahwa tipe proses material, proses mental, dan

proses verbal tidak berkendala pada diatesis Operatif ataupun Reseptif.

Sebaliknya, proses relasional dan eksistensial tidak dapat dinyatakan memiliki

struktur efektif. Sementara itu, proses perilaku menunjukkan karakter yang unik,

yakni dapat dinyatakan dalam klausa Operatif, tetapi berkendala pada diatesis

Reseptif. Dengan demikian, terdapat tiga karakter proses terkait kategori diatesis,

yakni: (a) tidak berkendala pada diatesis Operatif dan Reseptif, (b) berkendala

pada diatesis Operatif dan Reseptif, dan (c) berkendala pada diatesis Reseptif.

8.3 Diatesis Medial

Diatesis Medial adalah struktur klausa yang fungsi Subjeknya diisi oleh

Jangkauan, yakni partisipan yang tidak memiliki ciri keagenan ataupun

kepasienan, tetapi memiliki keterkaitan dengan dengan proses. Jangkauan dapat

Page 257: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

257

dipadankan dengan Medium dalam hal mengizinkan suatu relasi terjadi. Fitur

Agen tidak dimiliki, karena predikat yang digunakan tidak mengandung aktivitas.

Karakter Subjek yang mengandung ciri Medium dan predikatnya tidak

mengandung nilai keaktifan dapat ditemukan pada klausa proses relasional dan

proses eksistensial. Partisipan yang berperan sebagai Penyandang baik relasi

atributif ataupun relasi identifikasi tidak mengemban peran semantis sebagai

Agen. Partisipan I proses relasional dan Eksistensial gagal memenuhi kriteria

klausa efektif. Sekalipun demikian, kegagalan memasuki diatesis efektif tidak

secara otomatis menutup peran dan penggunaan dua proses bersangkutan. Proses

relasional dan proses eksistensial sangat dominan dalam pengungkapan

keberadaan suatu benda atau menyatakan hubungan yang terbentuk di antara

benda-benda yang ada di dunia. Jadi, proses relasional dan proses eksistensial

tidak memiliki potensi menyatakan keaktifan, tetapi dapat mengungkapkan

keberadaan dan hubungan antarbenda.

Berbeda dengan empat proses sebelumnya, proses relasional dan proses

eksistensial tidak memiliki aspek keaktifan pada Predikator, seperti tampak pada

dua klausa berikut (Data A1/4.2/ 248, 87).

(8.14) a. …Titiang wantah juru sapuh Ida…

1 TG ATR tukang sapu 3TG

„Saya adalah pelayan Beliau (Tuhan)‟

b. …Wénten paduwasan malih petang rahina…

EKS hari baik PREP NUM hari

„Ada hari baik empat hari lagi‟

Page 258: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

258

Titiang wantah juru sapuh Ida

Wénten paduwasan malih petang rahina

Proses Subjek Proses

Klausa (8.14) terdiri atas dua tipe proses, masing-masing (a) proses

relasional dan (b) proses eksistensial yang keduanya tidak memperlihatkan

keagenan pada Subjeknya. Klausa (a) memiliki Subjek titiang „saya‟ sebagai

Penyandang atribut, sedangkan Predikator wantah „memang‟ tidak menyatakan

keaktifan. Ketidak aktifan juga tampak pada proses eksitensial (b). Oleh sebab itu,

klausa proses relasional dan proses eksistensial dapat dinyatakan sebagai klausa

Medial4.

Berikut ditampilkan potensi tipe proses dalam menmbentuk Diatesis

Operatif, Reseptif, dan Medial.

4 Klausa Medial versi Sistemik tidak mengandung pengertian bahwa Subjek adalah Agen dan

Pasien dari aktivitas yang dinyatakan predikat atau S=A/P.

Page 259: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

259

Tabel 8.3

Tipe Proses dan Diatesis

No Tipe Proses Diatesis Efektif Diatesis

Medial Operatif Reseptif

1 Material √ √ -

2 Mental √ √ -

3 Verbal √ √ -

4 Tingkah Laku √ - -

5 Relasional - - √

6 Eksistensial - - √

Tabel (8.3) mencerminkan bahwa pembicara dapat memilih diatesis yang

sesuai untuk menyatakan berbagai tipe proses. Proses material, proses verbal, dan

proses mental dapat membentuk klausa Efektif, sedangkan proses relasional dan

eksistensial cenderung membentuk klausa Medial. Proses perilaku dapat

membentuk klausa Operatif, tetapi berkendala untuk dinyatakan dalam klausa

reversibilitas atau klausa Reseptif.

Berpedoman pada sistem diatesis Bahasa Inggris dan pertimbangan

karakter proses yang dimunculkan TNNGB dari sudut pandang teori Sistemik

dapat diprediksi sistem diatesis Bahasa Bali sebagai berikut.

Page 260: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

260

Jangkauan

Jangkauan/Subjek

Non Jangkauan

Operatif

(i) Agen/Subjek

(ii) Medium/Subjek

Proses aktif

Non-

Agentif

Reseptif

Medium/Subjek

Proses pasif Agentif

a. Agen/A

b. Agen/K

Gambar 8.7: Sistem Diatesis Bahasa Bali

Berdasarkan gambar (8.7) dapat diketahui bahwa tuturan teks berbahasa

Bali memiliki dua struktur klausa efektif, yakni klausa berdiatesis Operatif dan

Reseptif. Klausa Operatif umumnya menempatkan Agen sebagai Subjek, tetapi

klausa turunan bersifat mengedepankan Subjek/Medium. Agen pada bentuk

turunan yang dikenal dengan struktur reversibilitas itu difungsikan sebagai

Komplemen. Pada klausa Reseptif tampak Bahasa Bali tidak sepenuhnya

mengikuti ciri universal yang mendudukkan Agen sebagai Adjung. Pada Agen

yang bersifat inisiator atau kekuatan alam, Agen harus dimunculkan secara

tersurat dalam fungsi Komplemen, bukan Adjung. Dengan demikian, proses pasif

yang dikandung predikator tetap mengedepankan Medium. Variasi diatesis

Bahasa Bali dapat dilihat sebagai kecenderungan atau kebiasaan etnis Bali

mengungkapkan suatu pesan dengan menilik dua unsur, yakni Agen dan Medium.

Medial

Efektif

Agen

Page 261: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

261

Dominasi klausa Operatif dan Medial dibandingkan klausa Reseptif pada

TNNGB dapat dipahami sebagai bentuk keaktifan dari pelibat menjalin harmoni

dengan benda-benda di sekitarnya. Temuan ini sejalan dengan tingginya jumlah

proses material dan proses eksistensial pada struktur transitivitas.

Page 262: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

262

BAB IX

STRUKTUR TEMATIS

9.1 Pengantar

Seperti diketahui, teks merupakan satuan semantik yang elemen-

elemennya saling bertautan. Pertautan itu membentuk jaringan yang

mencerminkan adanya negosiasi antar bagian. Konsep negosiasi itulah yang

disebut fungsi tekstual yang sekaligus membedakan teks dengan nonteks. Dalam

fungsi menyatakan organisasi pesan, leksikon ditata sedemikian rupa sehingga

membentuk tekstur dan relevan dengan tujuan (Eggins, 1994:273).

Struktur tematis berkaitan dengan bagaimana tema ditata sesuai dengan

sistem informasi. Struktur tema tidak dapat dilepaskan dari komponen Tema-

Rema dan organisasi informasi. Identitas Tema secara struktur adalah elemen

klausa yang menduduki posisi inisial, mendahului Rema. Bagian yang dapat

dikategorikan sebagai Tema adalah bagian yang berkontribusi secara signifikan

dalam komunikasi. Hal itu terjadi karena Tema menjalankan tugas sebagai titik

awal pesan dan menegaskan tentang apa klausa itu (what the clause is going

about) (Halliday, 2004: 67). Tema dinyatakan tidak bermarkah bila dipetakan ke

Subjek yang direalisasikan oleh kelompok nomina. Sebaliknya, Tema bermarkah

biasanya ditandai dengan intonasi yang berbeda, terutama bila diisi oleh kelompok

adverbial, frasa berpreposisi, atau kelompok nomina yang tidak berstatus Subjek.

Peletakan Tema di awal klausa berkaitan dengan kecenderungan manusia dalam

berkomunikasi yang dimulai dari informasi yang telah diketahui (given

Page 263: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

263

information) atau dikenali dari konteks (Halliday, 2004: 67). Rema adalah bagian

klausa yang mendukung pengembangan Tema sehingga kemunculannya secara

posisional mengikuti Tema. Bila dikaitkan dengan struktur informasi, Tema

cenderung mengandung informasi lama, sedangkan Rema mengandung informasi

baru. Berikut ditampilkan sistem Tema-Rema (Eggins, 1994: 274) (terjemahan

oleh penulis).

Gambar 9.1: Sistem Tema-Rema Bahasa Inggris

Berdasarkan gambar (9.1) dapat diketahui bahwa pada prinsipnya setiap

klausa sederhana mengandung satu tema topikal. Akan tetapi, klausa dapat juga

memiliki tema majemuk yang terdiri atas tema topikal dan tema lainnya, seperti

tema tekstual dan tema antarpelibat. Hal itu menunjukkan bahwa struktur tema

Tunggal

+Tema Topikal Attitudinal

+Tema topikal; +Tema Antarpelibat

Antarpelibat ^Topikal

Majemuk Konjungtif

+Tema tekstual

Tekstual^Topikal

Kombinasi

+Tema tektual; +Tema antarpelibat

Tekstual^Antarpelibat^Topikal

Tak bermarkah

Subjek/Tema (deklaratif)

Kata Tanya/Tema (Wh-interogatif)

Finit/Tema (interogatif)

Proses/Tema (imperatif)

Bermarkah

Lain/Tema

Page 264: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

264

tidak dapat dilepaskan dari metafungsi. Kelompok kata yang berfungsi dalam

representasi pengalaman disebut tema topikal. Kelompok kata yang berfungsi

dalam proses pertukaran disebut tema antarpelibat. Tema antarpelibat itu biasanya

direalisasikan dengan Adjung vokatif. Kelompok kata yang berfungsi dalam

organisasi pesan disebut tema tekstual dan biasanya direalisasikan dengan Adjung

konjungtif atau Adjung kontinuitas. Berikut ditampilkan contoh klausa dalam

struktur tema tunggal dan majemuk (diadopsi dari Eggins, 1994: 282).

No TEMA REMA

a This was in Genewa

b In Greece, they give you nothing

c Simon, isn‟t that where they put the

needle in?

d Oh, they give you a cup of tea

Kontinuitas Vokatif Finit

Tekstual Antarpelibat Topikal

Contoh (a, b) di atas memiliki tema tunggal, sedangkan contoh (c, d)

memunculkan tema majemuk. Tema tunggal pada (a) ditempati oleh Penyandang,

sedangkan (b) ditempati oleh Sirkumtansial lokatif. Kausa (c) memiliki dua tipe

tema, yakni tema antarpelibat yang direalisasikan dengan vokatif dan finit

mendampingi tema topikal. Klausa (d) memiliki tema tekstual yang direalisasikan

dengan Adjung kontinuitas dan tema topikal.

Kelompok kata yang muncul setelah tema topikal dikategorikan sebagai

Rema. Artinya, elemen transitivitas digunakan sebagai pembatas Tema-Rema,

Page 265: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

265

sejalan dengan kategori Modus-Residu pada sistem modus. Pada konstruksi tidak

bermarkah, elemen tema topikal menduduki posisi inisial. Dengan demikian,

kausa deklaratif memiliki Subjek/Tema, sedangkan klausa imperatif memiliki

Predikator/Tema. Klausa interogatif memiliki Tema berupa komponen Polaritas

atau kata tanya. Berdasarkan struktur Tema tunggal itu, kehadiran komponen

antarpelibat atau komponen tekstual di awal klausa dapat membentuk klausa yang

memiliki struktur tema majemuk.

Bila klausa deklaratif Bahasa Inggris umumnya memiliki tema tunggal

yang direalisasikan oleh Aktor dan Sirkumtansi, sistem tema tunggal klausa

Bahasa Bali dapat pula diduduki oleh Tujuan. Artinya, setiap elemen transitivitas

dimungkinkan untuk menduduki fungsi tema topikal. Hal itu terkait dengan

sistem diatesis Bahasa Bali yang mengizinkan non-Aktor menduduki fungsi

Subjek.

9.2 Pengembangan Tema

Pada TNNGB dimunculkan tiga teknik pengembangan tema sebagai upaya

membentuk kohesi. Pengembangan Tena dilakukan dengan reiterasi, zigzag, dan

majemuk. Pengembangan tema dengan repetisi itu bersifat pengulangan elemen

yang difokuskan. Repetisi semacam itu menghasilkan klausa yang fokus pada

elemen tertentu, sementara elemen lain tidak mendapat pengembangan.

Pengembangan Tema dengan cara zigzag dikenal pula dengan progresi tema,

yakni pengembangan Rema menjadi Tema klausa berikutnya. Artinya, Rema dari

sebuah klausa dapat dikedepankan menjadi Tema pada klausa berikutnya. Pada

Page 266: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

266

tipe pengembangan majemuk setiap elemen Rema dapat dijadikan Tema pada

klausa bawahan.

Tema yang banyak dimunculkan berkaitan dengan partisipan. Bentuk

partisipan orang pertama yang dimunculkan direalisasikan dengan leksikon

titiang, tiang „saya (ragam hormat)‟. Partisipan lain dirujuk dengan leksikon jero

„anda (2 TG/PL)‟ diikuti dengan fungsi sosial atau keagamaan yang diemban, di

antaranya, jero bendesa, jero klian, „ketua adat‟, jero mangku „pemimpin pura‟,

atau jero adat „ketua adat‟. Klausa dengan Tema orang pertama jamak biasanya

direalisasikan dengan sami „kami semua‟, kramané „warga‟, semetoné „saudara

kami‟, atau tiang madué roban „saudara saya‟. Tema dalam bentuk orang pertama

tunggal atau jamak itu cenderung dikembangkan dengan repetisi untuk

menegaskan identitas diri, khususnya pada fase persiapan ritual maupun tahap

mengajukan permohonan. Tema lain yang juga dikembangkan secara repetisi

adalah Gusti Wayan Teba, I Gusti Made Jelawung, I Gusti Nyoman

Pengadangadang, dan I Gusti Ketut Petung, I Wenara Petak dan I Sampati. Tema

yang dimunculkan dalam bentuk nama figur Ke-Tuhanan dikembangkan dengan

logika zigzag. Artinya, warga mohon bantuan Beliau dan selanjutnya Beliau

bertindak melakukan pertolongan. Di sini dimunculkan kata ganti berupa Ida atau

I Ratu „Beliau atau Engkau‟ yang tidak hanya ditujukan kepada figur feminim,

tetapi dapat merujuk berbagai figur, seperti Hyang Wisnu, Dewi Gangga, Dewi

Danu, Hyang Baruna, Sang Hyang Bayu, I Ratu Ngurah Tabeng Langit, atau

Sang Hyang Agama. Pengembangan Komposisi Tema majemuk dapat dilihat

pada pembahasan sarana sajen. Setiap tipe sarana yang ditetapkan dilengkapi

Page 267: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

267

dengan elaborasi tujuan dan distribusi. Berikut contoh klausa yang dimaksud

(Data A1/4/ 283-285, 309-310 dan data A2/2/ 123-126).

(9.1) a. …Titiang tangkil sané mangkin …

1 TG -datang REL Sirk

„Saya menghadap sekarang‟

…Taler titiang sampun ngawéntenang bakti…

KONT 1 TG ASP -ada sarana

„Saya sudah menyiapkan sarana‟

…Titiang kedeh mapinunas …

1 TG MOD -minta

„Saya datang untuk memohon‟

b. …Titiang nyelang papatih duéné I Sampati…

1 TG -pinjam patih POS-DEF NAMA

„Saya meminjam patih paduka yang bernama I Sampati‟

…I Sampati sakti ngamenekang toya segara…

NAMA sakti -naik air laut

„I Sampati mampu menaikkan air laut‟

…Toya segara manadi awun ambung-ambung…

air laut -jadi awan di angkasa

„Air laut menjadi awan di angkasa‟

c. …Jero serati makarya canang penyahcah, daksina, taler labaran…

VOK SOS -buat NAMA sarana

„Jero serati membuat berbagai jenis sarana‟

…Penyacahé katur ring soang-soang pelinggih…

NAMA sarana-DEF PAS- hatur PREP

„Canang panyahcah dihaturkan pada setiap pelinggih‟

…Daksina anggen upasaksi…

NAMA -sebagai saksi

„Daksina sebagai Upasaksi‟

…Labaran putih selem taler manca warna…

NAMA sarana putih hitam KONJ NUM warna

„Labaran putih, hitam, dan lima warna‟

Page 268: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

268

Klausa (a) menunjukkan pendalaman tema dengan repetisi. Elemen yang

ditonjolkan digali secara terus menerus sesuai kepentingan. Klausa (b) merupakan

klausa yang dikembangkan secara zigzag, dan (c) dikembangkan dengan teknik

majemuk. Ketiga tipe pengembangan Tema yang ditemukan pada TNNGB dapat

diilustrasikan sebagai berikut.

a. Reiterasi

b. Zigzag

c. Majemuk

Gambar 9.2: Pengembangan Tema

Pengembangan Tema dengan struktur reiterasi mencerminkan upaya

pendalaman sebuah Tema yang dipandang signifikan. Tema tertentu digali dengan

seksama dalam beberapa klausa. Pola zigzag mengindikasikan upaya

pengembangan Tema dan Rema secara bergantian. Elemen Rema pada klausa

sebelumnya dikedepankan menjadi Tema pada klausa di bawahnya. Dengan pola

zigzag Tema dan Rema dipandang sama penting. Pola Majemuk menempatkan

setiap elemen Rema dapat menjadi Tema pada klausa di bawahnya. Pola demikian

dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang berkaitan dengan Tema

Page 269: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

269

utama. Jadi, TNNGB menempatkan unsur Tema dan Rema sebagai bagian yang

sama penting untuk dielaborasi pada klausa berikutnya.

9.3 Tema Tunggal dan Majemuk

Seperti telah disinggung pada butir (9.1), Tema suatu klausa dalam kondisi

tidak bermarkah merupakan klausa bertema tunggal sebagai representasi fungsi

eksperiensial. Pada metafungsi eksperiensial itu, Aktor, Tujuan, dan Adjung

Sirkumtansial berpotensi menduduki fungsi sebagai tema topikal. Secara struktur

semua konstituen yang mengikuti Tema topikal dikategorikan sebagai Rema.

Berikut ditampilkan klausa yang memiliki tema tunggal (Data A2/3/62, 66, 69, 71

dan B1/1/ 5)

(9.2) a. … Ipun juru arah duéné…

3 TG tukang beritahu POS-DEF

„Dia salah seorang juru arah kita‟

b. …Bénjang semeng, tiang mulai mapengarah …

Sirk 1 TG mulai -beritahu

„Mulai besok pagi saya menyosialisasikan hasil rapat‟

c. …Biyang mangku sampun ngaryanang upah-upahané…

ibu SOS ASP -buat sajen RED-DEF

„Istri pamangku sudah membuatkan sajen-sajennya‟

d. …Rapeté niki titiang sineb antuk parama shanti…

rapat-DEF DEM 1TG -tutp PREP salam penutup

„Rapat ini saya tutup dengan salam penutup‟

e. …Titiang mamanah nunas panyelah…

1 TG -ingin -minta waktu

„Saya bermaksud mohon tolak hujan‟

Page 270: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

270

TEMA REMA

a Ipun

(Penyandang)

juru arah duéné

b Bénjang semeng,

(Sirk)

ipun mulai mapengarah

c Biyang mangku

(Aktor)

sampun ngaryanang upah-upahané

d Rapaté niki

(Tujuan)

sineb titiang mangkin antuk parama

shanti

e Titiang

(Pengindera)

mamanah nunas panyelah

Contoh (9.2) menunjukkan klausa yang memiliki tema tunggal yang

ditempati oleh tema topikal, baik berupa Penyandang (a), Pengindra (b), Tujuan

(c), Aktor (d) maupun Sirkumtansi (e). Klausa (a, c, d, e) memiliki tema topikal

yang diisi oleh Subjek/Tema dalam berbagai fungsi, sedangkan klausa (b)

memiliki Adjung/Tema. Dengan demikian, setiap komponen eksperiensial

mendapat peluang menduduki fungsi Tema pada struktur tema tunggal. Artinya,

Aktor tidak secara otomatis menempati fungsi sebagai Tema bila didahului oleh

argumen ekperiensial lain. Jadi, struktur tema tunggal klausa TNNGB adalah

sebagai berikut:

(a) Tema Topikal/Aktor

(b) Tema Topikal/Tujuan

(c) Tema Topikal/Sirkumtansi

Struktur tema majemuk terdiri atas tema topikal yang didahului oleh tema

lainnya, seperti ditampilkan contoh di bawah ini (Data A3/3/ 45, 51,54, 68 dan

A2/4/ 93).

Page 271: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

271

(9.3) a. …Nggih, titiang setuju indik pemarginé…

ya 1TG -setuju PREP jalan-DEF

„Ya, saya setuju dengan rencana itu‟

b. …Kedeh titiang nunas sabeh…

KOM 1TG -minta hujan

„Dengan penuh harapan, saya minta hujan‟

c. …Minabang titiang seratiné sampun uning…

-pikir 1 TG VOK SOS-DEF ASP -tahu

„Saya kira, tukang sajen sudah tahu‟

d. …Mangkin dumun jero klian, dadosné titiang ten nyén purun nyemak

Sirk VOK SOS ATR 1TG NEG berani -ambil

keputusan pedidi…

keputusan Sirk

„Tunggu dulu ketua adat, saya tidak berani mengambil keputusan

sendiri‟

e. …Taler I Wenara Petak katurang nasi wongwongan putih…

KONT ART NAMA PAS-beri NAMA sarana

„Juga I Wenara Petak dipersembahkan nasi wongwongan putih‟

No TEMA REMA

Tekstual Antarpelibat Topikal

a Nggih,

(Kontinuitas)

titiang

setuju indik

pamargine

b Kedeh

(Komen)

titiang nunas sabeh

c Minabang titiang

(Sikap)

seratine sampun uning

d Mangkin

dumun

(Kontinuitas)

jero

klian,

(VOK)

dadosne,

(Kontinu-

itas)

titiang ten nyen purun

ngambil keputusan

pedidi

e Taler

(Konjungtif)

I Wenara

Petak

katurang nasi

wongwongan putih

Contoh klausa (9.3) merupakan klausa dengan tema majemuk. Artinya,

tema eksperiensial didahului oleh tema tekstual, tema antarpelibat, atau keduanya.

Page 272: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

272

Tema yang mendahului tema topikal dapat direalisasikan dengan tema kontinuitas

(a, d), tema komen (b), tema sikap pembicara (attitudinal) (c), tema konjungtif

(e), tema vokatif (d). Tema tersebut merupakan realisasi komponen tekstual dan

antarpelibat yang ditempatkan mendahului tema topikal. Tema tekstual berupa

Adjung kontinuitas menunjukkan kelanjutan dari rangkaian informasi

sebelumnya, sedangkan tema konjungtif menyatakan informasi tambahan. Tema

antarpelibat menjelaskan hubungan pembicara dengan pelibat lain dalam hal

memilih pembicara selanjutnya. Kemunculan tema antarpelibat dan tekstual

menunjukkan bahwa tema topikal bukanlah menjadi satu-satunya tema yang

hendak ditonjolkan. Dengan kata lain, struktur tema majemuk mencerminkan

adanya kepentingan semantis, gramatikal, dan pragmatis dalam sebuah klausa.

Struktur tema majemuk klausa TNNGB dapat diringkas sebagai berikut.

(a) Tema tekstual ^ Tema topikal.

(b) Tema antarpelibat ^ Tema topikal.

(c) Tema sikap ^ Tema topikal.

(d) Tema tekstual ^ Tema antarpelibat ^ Tema topikal

9.4 Kebermarkahan Tema

Dalam struktur tak bermarkah, elemen yang menempati fungsi Tema

adalah kelompok kata yang ditempatkan pada awal klausa. Dalam konstruksi tidak

bermarkah, tema klausa deklaratif adalah Subjek, tema klausa imperatif adalah

proses, sedangkan tema klausa interogatif mencakup kelompok kata polaritas atau

kata tanya. Meskipun demikian, struktur klausa yang digunakan oleh pembicara

Page 273: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

273

tidak selalu mengikuti struktur kanonis. Pembicara dapat memilih struktur sendiri

sesuai dengan kepentingan pesan, seperti contoh klausa di bawah ini (Data B1/2/

13 dan B1/3/ 205, 212).

(9.4) a. …Nggih, sarana lénan tiang ngaryanang driki…

KONT sarana lain 1 TG -buat Sirk

„Sarana lain saya siapkan sendiri‟

b. …Singgih pakulun Ratu Sanghyang Agama, kaula duéné

HON VOK NAMA hamba-DEF

ngawéntenang bakti…

-ada persembahan

„Ya, Tuhan Yang Maha Benar, hamba menghaturkan persembahan‟

c. …Pinunas titiang, I Ratu dados panyarang…

minta 1 TG NAMA ATR pengering

„Hamba mohon I Ratu (Engkau) menahan hujan‟

No TEMA REMA

a Nggih, sarana lénan,

(Tujuan)

tiang ngaryanang driki

b Singgih pakulun Ratu

Sanghyang Agama,

(VOK)

kaula duéné ngawentenang

bakti

c Pinunas titiang,

(Sikap)

I Ratu dados penyarang

Klausa (9.4) memiliki struktur bermarkah karena Subjek didahului oleh

komponen lain. Subjek klausa (a) didahului oleh tema tekstual berupa Adjung

kontinuitas, klausa (b) didahului tema antarpelibat berupa Adjung vokatif,

sedangkan klausa (c) memiliki Tema sikap (attitudinal). Dengan demikian,

struktur tema bermarkah klausa deklaratif TNNGB dapat terdiri atas tiga struktur

berikut.

Page 274: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

274

(a) Tema interpersonal ^ Subjek

(b) Tema tekstual ^ Subjek

(c) Tema topikal ^ Subjek

(d) Tema tekstual ^ Tema interpersonal ^ Tema topikal ^ Subjek

Pada klausa imperatif, tema tunggal terbentuk oleh proses. Kehadiran

komponen lain mendahului proses membentuk struktur tema majemuk. Struktur

tema majemuk klausa imperatif dapat dilihat pada contoh klausa berikut (Data

B2/2/ 19, 24 dan B1/2/ 129, 132).

(9.5) a. …Yén kénten, mani abaang a pajatian…

KONT Sirk -bawa NUM sarana

„Kalau begitu, besok bawalah satu pejati‟

b. …Ring pelinggih Dewi Danu taler unggahang pajatian asoroh…

PREP tempat NAMA KONT -naik sarana NUM

„Di stana Dewi Danu juga persembahkan satu pajati‟

c. …Ih Gusti Wayan Teba ngadeg…

ART NAMA -berdiri

„Wahai Gusti Wayan Teba bangkitlah‟

d. …Sekancan méga punahang maring ambara…

semua mendung -pecah PREP angkasa

„Gagalkan semua mendung di angkasa‟

TEMA REMA

a Yen kenten,

(KONT)

mani

(Sirk)

abaang a pajatian

b Ih Gusti Wayan Teba

(VOK)

ngadeg

c Sekancan mega

(Komplemen)

punahang maring ambara

d Ring pelinggih Dewi Danu (Sirkumtansi)

taler (KONJ)

unggahang pajatian asoroh

Page 275: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

275

Empat klausa (9.5) memiliki struktur bermarkah karena proses tidak

ditempatkan pada posisi inisial. Pada klausa (a), Predikator didahului oleh

Adjung kontinuitas dan Sirkumtansi. Klausa (b) memiliki Adjung vokatif yang

menjelaskan identitas mitra wicara. Klausa (c) memiliki tema eksperiensial

sekancan mega „semua mendung‟ yang berstatus sebagai Tujuan dalam struktur

transitivitas. Klausa (d) menampilkan Adjung sirkumtansial dan konjungtif. Jadi,

struktur tema bermarkah klausa imperatif adalah sebagai berikut.

(a) Tema tekstual ^ Proses

(b) Tema antarpelibat ^ Proses

(c) Tema topikal ^ Proses

(d) Tema tekstual ^ Tema antarpelibat ^ Tema topikal ^ Proses

Tema klausa interogatif biasanya direalisasikan dengan pertanyaan

ya/tidak atau kata tanya. Tidak jarang struktur klausa interogatif ya/tidak memiliki

struktur yang sama dengan kalusa deklaratif, tetapi dibedakan dalam intonasi.

Kejelasan makna bertanya dapat ditegaskan dengan elemen suprasegmental.

Klausa interogatif itu bisanya diberikan intonasi naik untuk menunjukkan ekspresi

tanya “ya/tidak”. Di satu sisi, klausa interogatif dengan kata tanya dapat diketahui

dengan mudah berdasarkan kata tanya dan intonasi. Perhatikan contoh klausa

interogatif berikut (Data A2/3/61, 66, 78, 89, 95 ).

(9.6) a. …Makejang pamangku dué sampun setuju niki?…

KUAN SOS POS PERF setuju DEM

„Apakah semua pamangku setuju?

b. …Mangkin dumun, jero krama wénten pitakén malih?…

KONT HON warga EKS pertanyaan lagi

„Tunggu dulu, ada warga yang mengajukan pertanyaan lagi?‟

Page 276: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

276

c. …Tugas napi wénten niki?…

tugas apa EKS DEM

„Ada tugas apa?‟

d. …Pejatiné, malih pidan jagi maanggén, Pak Adat?…

sarana TANYA ASP -pakai VOK

„Untuk kapan dipakainya sajen itu, Pak Adat?

e. …Indik Adat Suka Damai ring dija polih tugas?…

PREP NAMA TANYA -dapat tugas

„Dimana kelompok adat Suka Damai bertugas?‟

No TEMA REMA

a Sami

(Sirk)

pamangku due

(VOK)

sampun setuju niki?

b Mangkin dumun,

(KONT)

jero krama

(VOK)

wenten pitaken malih?

c Tugas

(Wujud)

napi wenten niki?

d Pejatine,

(Tujuan)

malih

pidan

jagi

maanggen

pak

adat?

(VOK)

e Indik adat Suka Damai,

(Penyandang)

ring

dija

polih tugas?

Klausa (a, b) tergolong klausa interogatif ya/tidak. Klausa interogatif itu

direalisasikan dengan sampun „sudah/belum (halus)‟ dan wenten „ada/tidak

(halus)‟ Klausa interogatif dengan kata tampak pada kata tanya napi „apa‟ (halus),

(c), malih pidan „kapan‟(halus) (d), dan ring dija „di mana‟ (halus). Unsur

interogatif itu didahului oleh fungsi lain sehingga dapat dinyatakan sebagai klausa

bertema majemuk.

Leksikon lain yang dapat mengekspresikan elemen polaritas dalam Bahasa

Bali, di antaranya, suba „sudah‟ (biasa), durus/payu „jadi (halus/biasa)‟,

Page 277: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

277

kayun/nyak „mau (halus/biasa)‟, ada „ada (biasa)‟. Struktur tema klausa interogatif

bermarkah dapat terdiri atas susunan berikut.

(a) Tema topikal ^ Polaritas / Tanya

(b) Tema antarpelibat ^ Polaritas / Tanya

(c) Tema tekstual ^ Polaritas / Tanya

(d) Tema tekstual ^ Tema antarpelibat ^ Tema topikal ^ Polaritas / Tanya

Kelompok kata yang berfungsi sebagai Tema dalam struktur tak

bermarkah dapat diuji. Pengujian tema topikal klausa deklaratif dapat dilakukan

dengan mempertanyakan Subjek, sedangkan pengujian tema klausa imperatif

dapat dilakukan dengan menanyakan proses. Pengujian tema klausa interogatif

dapat dilakukan dengan mengganti intonasi naik menjadi intonasi turun, atau

mensubstitusi elemen tanya dengan informasi yang dibutuhkan.

Halliday (2004: 124) menegaskan bahwa tema bermarkah lebih umum

diisi oleh Adkung Sirkumtansial yang direalisasikan oleh kelompok adverbia dan

frasa berpreposisi dibandingkan dengan Komplemen. Hal itu dapat digambarkan

dengan ilustrasi berikut.

Gambar 9.3: Kebermarkahan Tema

Tema tak bermarkah Subjek

Adjung

Tema bermarkah Komplemen

Page 278: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

278

Ilustrasi (9.3) menunjukkan bahwa Komplemen tergolong elemen yang

paling bermarkah dalam stuktur Tema. Artinya, penempatan Komplemen sebagai

Tema memerlukan upaya yang maksimal. dalam konstruksi tidak bermarkah

klausa memiliki struktur Subjek/Tema. Kondisi itu juga berlaku pada klausa

Bahasa Bali. Adjung memiliki potensi lebih besar dikedepankan menjadi Tema

daripada Komplemen. Akan tetapi, pengedepanan Komplemen tidak berkendala

dalam Bahasa Bali dengan dukungan elemen suprasegmental. Kemungkinan itu

dapat dilihat pada klausa deklaratif di bawah ini (Data A3/4/ 49)

(9.7) a. … Biyang serati ngaryanang pajati nemnem soroh…

ibu SOS -buat sarana NUMB

„Tukang sajen membuat pajati enam buah‟

b. …Nemnem soroh biyang serati ngaryanang pajati…

NUMB ibu SOS -buat sarana

„Enam buah tukang sajen membuat pajati‟

c. …Pajati // biyang serati ngaryanang nemnem soroh…

sarana ibu SOS -buat NUMB

„Pajati anda buat enam buah‟

No TEMA REMA

Subjek Predikator Komplemen Adjung

a Biyang

serati

ngaryanang pejati nemnem

soroh

b Nemnem

soroh

biyang

serati

ngaryanang pejati

c Pejati // biyang

serati

ngaryanang nemnem soroh

Berdasarkan sebuah klausa tidak bermarkah (a) dapat dibentuk struktur

berbeda dengan mengedepankan Adjung (b) dan Komplemen (c). Penempatan

Page 279: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

279

Adjung sirkumtansial (b) sebagai tema tampak tidak membutuhkan penekanan

sebagaimana pengedepanan Komplemen. Hal itu mengindikasikan tata urutan

proses-Komplemen lebih ketat dibandingkan proses-Adjung. Jadi, dengan

dukungan aspek suprasegmental, Komplemen dapat ditempatkan sebagai Tema

dalam klausa Bahasa Bali. Klausa imperatif berikut juga tampak mengedepankan

Komplemen (Data B3/1/12, 19, 27).

(9.8) a. …Canang raka // karyanang kutus…

NAMA sarana -buat NUM

„Canang raka, buatkan delapan buah‟

b. …Nyuh gading // alapang di jaba pura…

kelapa gading -petik PREP

„Kelapa gading, petikkan di halaman pura‟

c. …Nasi pawongwongané // wentenang kakalih …

sarana EKS NUM

„Siapkan dua buah sarana‟

No TEMA REMA

S P K A

a Canang raka, (2 TG) karyanang kutus

b Nyuh gading,

(2 TG) alapang di jaba

pura

c Nasi

pawongwongané,

(2 TG) wentenang kakalih

Pada klausa (9.8) di atas, Komplemen diposisikan sebagai tema

bermarkah. Keberterimaan klausa Komplemen/Tema membutuhkan dukungan

intonasi berbeda dari komponen rema. Penempatan Komplemen sebagai tema

biasanya didukung kehadiran Adjung sirkumtansial, di antaranya, Sirkumtansi

Page 280: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

280

waktu, tempat, cara atau numeral. Jadi, Bahasa Bali mengizinkan struktur

bermarkah dengan Komplemen atau Adjung sebagai Tema, mendahului tema

topikal.

Pengembangan tema secara hipotaktis merupakan strategi mengembangan

Tema dalam klausa yang sama. Komponen Rema biasanya dijadikan Tema pada

klausa sematan. Relasi itu dimaksudkan untuk menambahkan informasi atau

pengembangan Rema. Cara yang umum dipakai adalah dengan perelatifan

sehingga terbentuk klausa kompleks. Klausa-klausa pada klausa kompleks

memiliki sifat ketergantungan, artinya, klausa sematan bergantung pada klausa

induk. Contoh (b-d) berikut merupakan contoh relasi hipotaktis yang diderivasi

dari klausa (a). Pemisah antarklausa ditandai dengan kolom berarsir (diadopsi dari

Eggins, 1994: 295).

No TEMA REMA TEMA REMA

a Diana has donated

blood for 36th

time

b It was Diana who

(Topikal)

had donated

blood 36

times

c It was the 36th

time

that

(Struktural)

Diana

(Topikal)

had donated

blood

d It was blood that

(Struktural)

Diana

(Topikal)

had donated

for the 36th

time

Klausa sederhana dengan Subjek/Tema (a) dapat diberikan penekanan

tertentu pada elemen yang diinginkan. Klausa sematan memberi penekanan pada

Page 281: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

281

Aktor (b), Sirkumtansi (c), dan Komplemen (d). Perelatifan yang ditambahkan

pada elemen tertentu membuatnya lebih topikal. Jadi, perelatifan dapat digunakan

untuk memberi penekanan pada elemen Rema untuk menjadi elemen topikal.

Mencermati klausa turunan yang dihasilkan dari klausa Diana has donated

blood for 36th

time „Diana sudah melakukan donor darah sebanyak 36 kali‟ di atas

tampaknya Bahasa Bali juga mengizinkan pengembangkan Tema - Rema dengan

cara tersendiri. Bagian yang pada klausa induk berstatus Rema dapat ditonjolkan

dengan penambahan pemarkah relatif ané, atau sané „yang‟ sehingga membentuk

klausa sematan. Dengan perelatifan itu Rema dapat menjadi Tema pada klausa

sematan, seperti ditunjukkan klausa berikut (Data B2/2/ 23, 56 dan Data A2/2/

39).

(9.9) a. …Niki nunas galahé berlawanan dengan keinginan masyarakat

DEM -minta waktu-DEF berlawanan PREP keinginan masyarakat

ané bedak tekén yéh…

REL haus PREP air

„Ritual mohon hujan berlawanan dengan keinginan masyarakat yang

haus akan air‟

b. …Kénten kerja baktiné ngamecikang pelinggih duéné

KONT kerja bakti-DEF -baik pelinggih POS-DEF

sané kasendér jebol…

REL PAS-tembok jebol

„Gotong royong memperbaiki tembok pelinggih yang jebol‟

c. …Niki indik paneduhan sané kamargiang masané mangkin…

DEM PREP mohon hujan REL PAS-laksana Sirk

sampun kaping telu…

PERF KUAN NUMB

„Mohon hujan yang dilaksanakan periode ini sudah tiga kali‟

Page 282: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

282

d. …Sapunapi patutné bakti sané patut kakaryanin?…

TANYA MOD sarana REL MOD PAS-buat

„Sarana apa yang harus disiapkan?‟

e. …Titiang nyelang pepatih Idané sané maparab I Sampati

1 TG -pinjam patih 3 TG REL -nama NAMA

taler I Wenara Petak…

KONJ NAMA

„Saya meminjam patih paduka yang bernama I Sampati dan I Wenara

Petak‟

No TEMA REMA TEMA REMA

a Niki nunas

galahé

berlawanan

dengan

keinginan

masyarakat

ané

(Topikal)

bedak tekén yéh

b Kénten

kerja

baktiné

ngamecikang

pelinggih

duéné

sane

(Topikal)

kaséndér jebol

c Niki indik

paneduhan

sané

(Topikal)

kamargiang

masané mangkin

sampun ka ping

telu

d Sapunapi patutné bakti sane

(Topikal)

patut kakaryanin

e Titiang

nyelang

pepatih idané

sane

(Topikal)

maparab I

Sampati taler I

Wenara Petak

Garis berarsir dimaksudkan sebagai pembatas klausa induk dan klausa

sematan. Klausa kompleks di atas memiliki logika hipotaktis, yakni terdapat

ketergantungan antarklausa. Tema klausa sematan adalah elemen Rema klausa

utama atau klausa sematan bergantung pada klausa lainnya. Ketergantungan

Page 283: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

283

antarklausa terjadi karena kepentingan menambahkan informasi baru pada elemen

klausa induk. Perelatifan yang dilakukan terhadap Rema klausa induk

membuatnya berstatus Tema pada klausa sematan dalam hubungan koreferensial.

Ditinjau dari struktur informasi, Tema-Rema klausa induk merupakan informasi

yang terberi, sedangkan Rema klausa sematan berstatus informasi baru.

Tampaknya hubungan koreferensial dan kedekatan jarak mengizinkan elemen

tersebut digantikan dengan pemarkah relatif.

Komponen perelatifan sané, ané „yang (halus/biasa)‟ dapat digunakan

secara bebas tanpa dipengaruhi oleh persona. Relasi hipotaktis juga dapat pula

dinyatakan dengan klausa bersyarat yén “jika-maka”, seperti contoh berikut (Data

A3/3/143, 246, 176, 190).

(9.10) a. …Yén sampun indik pejatiné, titiang nunas mapamit mangkin…

jika PERF PREP sarana, 1TG -minta -pamit Sirk

„Jika pejati sudah diterima, saya mohon diri‟

b. …Yén durung Ida mapica, ngiring mapinunas malih…

jika IMPERF 3 TG -beri, mari -minta lagi

„Jika beliau belum mengabulkan, mari memohon kembali‟

c. …Yén beli muatang, titiang jagi mapinunas…

jika kakak -perlu, 1TG IMPERF -mohon

„Jika anda mendesak, saya akan memohon‟

d. …Yén sampun pacuk, rapaté jagi tutup titiang…

jika PERF ø-sepakat, rapat-DEF IMPERF ø-tutup 1TG

„Jika semua sudah sepakat, rapat akan saya tutup‟

Page 284: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

284

No TEMA REMA TEMA REMA

a Yén

sampun indik

pejatiné,

titiang nunas mapamit

mangkin

b Yén durung Ida

mapica,

(1 JM)

ngiring mapinunas

malih

c Yén beli muatang, titiang jagi mapinunas

d Yén sampun pacuk, rapaté jagi tutup titiang

Pada relasi “jika-maka” di atas klausa utama merupakan syarat bagi

tercapainya klausa sematan. Ketergantungan klausa sematan biasanya tidak

mengacu pada sebuah komponen tertentu, tetapi pada keseluruhan klausa induk.

Artinya, jika kondisi pada klausa induk telah terpenuhi, klausa sematan akan

terpenuhi pula. Sebaliknya, jika kondisi yang dinyatakan klausa induk tidak

terpenuhi, klausa sematan menjadi gagal. Distribusi penggunaan perelatifan ané,

sané „yang‟ dan relasi yén “jika maka” sebagai pembentuk relasi hipotaktis

ditampilkan di bawah ini.

Tabel 9.1

Distribusi Perelatifan

Teks Hipotaktis

Perelatifan Jika-Maka

ané sané yén

Neduh A1 7 14 4

A2 3 9 2

A3 9 24 7

Nyelang

galah

B1 4 18 13

B2 5 12 6

B3 2 10 4

Jumlah 30 87 36

Persentase 20 % 56 % 24 %

Page 285: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

285

Berdasarkan tabel (9.1) di atas tampak penggunaan relasi logika hipotaktis

dengan perelatifan dengan sane lebih dominan daripada penggunaan ane.

Leksikon bentuk hormat itu dipilih terkait dengan ranah percakapan formal

religius. Frekuensi kemunculan proyeksi hipotaksis yang kecil mencerminkan

bahwa pembicara cenderung memilih klausa sederhana. Penggunaan bentuk

bersyarat mengindikasikan bahwa setiap langkah teks harus dikerjakan dengan

prosedur yang telah disepakati. Jadi, kebermarkahan Tema yang dimunculkan

pada fase persiapan TNNGB mengindikasikan adanya keinginan mengakomodasi

kepentingan semantis, gramatikal, dan pragmatis dalam teks yang melahirkan

struktur tema majemuk.

Page 286: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

286

BAB X

SISTEM REFERENSIAL

10.1 Pengantar

Alat-alat kohesif menjalankan fungsi tekstual. Alat kohesi seperti

referensi, ellipsis, dan konjungsi memungkinkan suatu unsur dijalin dengan unsur

lain yang ada di kiri atau di kanan. Artinya, alat kohesi berfungsi membentuk

hubungan dengan elemen yang muncul sebelumnya atau sesudahnya dalam jarak

tertentu. Yang tergolong alat kohesi gramatikal adalah konjungsi, referensi, dan

ellipsis dan substitusi. Referensi merupakan tipe alat kohesi yang mengandung

makna yang sama dengan elemen yang diacu. Berbeda dengan konjungsi yang

bersifat transisi antarklausa, referensi mengacu pada nomina, proses, atau

adverbial. Dalam metafungsi, sistem referensi menjalankan fungsi membentuk

hubungan antarklausa sehingga dua elemen yang berjauhan dapat dijalin.

Referensi juga dapat menghubungkan butir informasi lama dihubungkan dengan

informasi baru secara berkesinambungan (given and new information string).

Berdasarkan teks berbahasa Inggris dinyatakan ada kecenderungan untuk

mengacu kembali informasi lama setelah diendapkan beberapa saat dalam pikiran

pendengar/pembaca.

Halliday (2004: 552) memperkenalkan dua tipe referensi, yakni referensi

yang berkaitan dengan lingkungan teks dan referensi internal teks. Referensi

dengan lingkungan menghasilkan tipe referensi eksoforis, sedangkan referensi

internal teks dinyatakan sebagai referensi endoforis. Referensi endoforis dapat

Page 287: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

287

berupa acuan terhadap suatu kelompok nomina yang telah diketahui oleh

pendengar/pembaca secara anaforis ataupun kataforis. Dengan demikian, pengacu

dan anteseden yang diacu bersifat koreferensial (co-reference) dan dapat saling

menggantikan. Singkatnya, referensi endoforis bersifat referensial atau

menemukan acuan di dalam teks secara logogenesis (sesuai sistem pemaknaan

yang dianggap tepat) mendahului (kataforis) atau setelah anteseden (anaforis).

Berdasarkan teks Bahasa Inggris, Halliday menemukan adanya kecenderungan

untuk menggunakan referensi anaforis dibandingkan referensi kataforis. Artinya,

secara alamiah manusia memilih memulai komunikasi dengan butir informasi

yang telah dibagi dengan pendengar.

Dari segi kemunculannya, sistem referensi dapat dipandang sebagai

pengulangan atau penguatan (re-iteration) informasi tertentu. Artinya, semakin

tinggi frekuensi kemunculan suatu nomina dalam sistem acuan mengindikasikan

urgensi informasi tersebut terhadap organisasi teks (Halliday dan Hasan, 1975:

33). Akan tetapi, tidak setiap butir informasi yang dimiliki pembicara dapat dibagi

dengan pelibat. Artinya, ada informasi yang disembunyikan, dinyatakan secara

tersirat, atau tidak dibagi dengan pelibat lain. Perlakuan terhadap informasi

semacam itu mengindikasikan bahwa pembicara mengendalikan informasi yang

dimilikinya. Jadi, dibutuhkan kemampuan berbahasa yang baik untuk memahami

makna tersirat.

Page 288: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

288

10.2 Sistem Referensial

Sistem referensi merupakan alat kohesi yang berfungsi menjaga

kesinambungan tema. Sistem referensi didefinisikan sebagai alat menata

pergerakan dari satu tema tertentu menuju tema berikutnya secara bertahap

(Halliday, 1985: 48). Ikatan kohesi digambarkan sebagai seutas tali yang

menghubungkan dua simpul (Hasan, 1985:73). Sekalipun demikian, tidak semua

simpul menemukan acuan dalam teks secara leksikal, tetapi ada ikatan yang

terbentuk secara tersirat. Tidak jarang interpretasi terhadap teks tidak diperoleh

secara mudah di dalam teks, karena ada kemungkinan hubungan terselubung

(opaque link) dengan teks lain. Teks seakan-akan mengalami keterbatasan

tekstur. Dalam kasus demikian, referensi luar teks harus ditemukan. Perhatikan

klausa berikut yang seakan-akan tanpa hubungan referensi. Dalam kasus

demikian, harus digali referensi lingkungan (Diadopsi dari Halliday dan Hasan,

1975) (terjemahan oleh penulis).

(10.1) a. Stop doing that here

berhenti lakukan DEM Sirk

I‟m trying to work

1 TG coba kerja

„Berhentilah melakukan itu di sini, saya sedang bekerja‟

b. I sent the lady a card and

1TG kirim-PAST ART perempuan ART kartu KONJ

she wrote me a poem

3 TG tulis-PAST 1 TG ART puisi

„Saya mengirimkan perempuan itu kartu dan dia menulis sebuah

puisi untuk saya‟

Page 289: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

289

Bila dicermati klausa (a) di atas, tampaknya leksikon that „itu‟ , dan here

„di sini‟ tidak bertautan dengan I „saya‟ atau work „kerja‟. Oleh sebab itu,

pertautan harus ditemukan pada aspek luar teks untuk menjelaskan hubungan dua

klausa tersebut. Pada klausa (b) I sent the lady a card and she wrote me a poem

„Saya mengirimkan wanita itu sebuah kartu dan dia menulis sebuah puisi untuk

saya‟ bisa saja the lady dan she merupakan orang yang berbeda dengan fitur

bersama [+ perempuan], tetapi berdasarkan konteks kalimat dapat disimpulkan

bahwa she dan the lady mengacu pada orang yang sama. Oleh sebab itu, kalimat

di atas dapat dipahami sebagai acuan yang menggambarkan hubungan sebab

akibat.”Saya mengirimkan sebuah kartu” adalah penyebab dan “Dia menulis

sebuah puisi untuk saya” adalah akibat.

Untuk memperjelas sistem referensial ditampilkan gambar berikut

(diadopsi dari Halliday, 2004: 553) (terjemahan penulis).

Referensi

terhadap

Sebelum Sedang Sesudah

Lingkungan Eksoforis Eksoforis

Teks Endoforis Anaforis alat

referensi

Kataforis

Gambar 10.1: Tipe Referensi

Berdasarkan gambar (10.1) dapat diketahui bahwa sistem referensi teks

dapat bersifat internal teks ataupun di luar teks. Referensi endoforis dan referensi

eksoforis menemukan acuannya di dalam teks, sedangkan referensi eksoforis

memerlukan pertautan dengan teks di lingkungannya. Pilahan referensi endoforis

Page 290: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

290

didasarkan kemunculan anteseden yang diacu. Dibandingkan dengan referensi

kataforis, referensi anaforis dalam Bahasa Inggris cenderung dapat mengikat

anteseden yang dimunculkan jauh sebelumnya (long chains).

Penelitian Moreno (2003: 111) menemukan dua tipe kohesi anaforis

yang didasarkan atas bentuk hubungan yang terjadi antara anteseden dan pengacu.

Sistem kohesi anaforis dipilah menjadi kohesi satu-satu dan kohesi tekstual.

Kohesi satu-satu ((point to point cohesion) adalah hubungan satu pengacu dengan

satu kelompok nomina, sedangkan kohesi tekstual bersifat kohesi pengapsulan

(encapsulisation). Artinya, suatu bentuk dapat mengacu pada serangkaian

informasi yang sebelumnya, atau mengacu pada satu atau beberapa klausa di

atasnya. Kohesi pengapsulan merupakan kohesi yang terjadi antara satu bentuk

tertentu terhadap satu bentuk lainnya, misalnya suatu klausa dapat diacu oleh

sebuah kata. Berikut contoh yang digunakan untuk mempertegas perbedaan dua

tipe kohesi tersebut (Diadopsi dari Moreno, 2003: 111) (terjemahan oleh penulis).

(10.2) a. In my day, I was expected to annonate

PREP 1 TG-POS hari, 1 TG PAS harap-PAS tandai

scripts to explain my marks to the chief examiner.

naskah jelaskan 1 TG-POS nilai PREP ART ketua penguji

„Dalam tugas harian, saya diminta untuk menganalisis naskah dan

menjelaskan penilaian saya kepada ketua penguji‟

Remove that requirement, tanpa DEM persyaratan

and the examining process will only appear

KONJ ART ujian proses FUT hanya tampak

to be more open

jadi lebih terbuka

„Tanpa persyaratan itu, proses ujian akan lebih terbuka‟

Page 291: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

291

b. Wash and core six cooking apples.

cuci KONJ kupas NUM apel

„Cuci dan kupas enam apel‟

Put them into firefroof dish.

taruh 3 JM-PRON PREP tahan panas piring

„Letakkan di atas piring yang tahan panas‟

Remove that requirement pada contoh (a) bertautan dengan kalimat

sebelumnya, yakni In my day, I was expected to annonate scripts to explain

my marks to the chief examiner. Dengan demikian, that requirement dinyatakan

sebuah bentuk pengapsulan atau bentuk kecil dari kalimat yang mendahuluinya.

Sementara itu, klausa (b) yang dikutip dari Halliday, leksikon them merujuk pada

frasa nomina six cooking apples. Kaitan konteks dapat menjelaskan bahwa apel

yang diletakkan di atas piring tahan panas adalah apel yang sama. Dengan contoh

di atas dapat ditarik simpulan bahwa refernsi pengapsulan memiliki anteseden

berupa klausa atau beberapa klausa, sedangkan kohesi satu satu menunjukkan

hubungan suatu kata terhadap sebuah kata atau kelompok kata. Jadi, referensi

tidak saja mengaitkan nomina dengan suatu anteseden yang berupa kelompok

nomina, tetapi dapat juga mengacu pada satu atau beberapa klausa.

10.3 Referensi Endoforis

Sistem referensi endoforis mengacu pada anteseden yang dimunculkan

internal teks. Keterpautan antara anteseden dan pengacu dapat terjadi pada dua

klausa berbeda dengan posisi mendahului atau mengkuti anteseden.

Page 292: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

292

Berdasarkan bentuk pengacu dan anteseden yang diacu, klausa TNNGB

memunculkan referensi endoforik yang direalisasikan dengan sinonimi atau

repetisi. Bentuk sinonimi dan repetisi sebagian atau seluruhnya dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 10.1

Bentuk Referensi Satu-Satu

No Bentuk Sinonimi Makna Frek.

1. Wenara Petak Wenara Putih kera putih 6 kali

2. kawula duéné panjak druéné rakyat, hamba 6 kali

3. gulem méga, mendung mendung 6 kali

4. méga dedet méga peteng mendung pekat 3 kali

5. nasi

pawongwongan

selem

nasi / saji

pawongan ireng

sajen berwarna

hitam

4 kali

6. nasi

pawongwongan

putih

nasi /saji

pawongan petak

sajen berwarna

putih

4 kali

7. ajengan nasi, saji nasi 4 kali

8. duéné druéné milik 4 kali

Bila dalam Bahasa Inggris, anteseden yang diacu umumnya diganti dengan

kata ganti, TNNGB cenderung memunculkannya dengan bentuk yang sama atau

padanannya. Pengulangan komponen tersebut mencerminkan signifikansi

komponen itu dalam teks.

Berikut ditampilkan teks dengan referensi endoforis anaforis dan kataforis.

Relasi anaforis ditunjukkan dengan panah ke atas, sedangkan endoforis kataforis

ditunjukkan dengan panah ke bawah (Data A2/5.2/ 121-141).

Page 293: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

293

No. Klausa

1. Om pakulun (1) Ratu Sanghyang Agama, naweg (2) titiang tangkil

ngaturang (4) bakti

2. Sane mangkin (2) titiang nyelang pepatih (1) I Ratu sane maparab

(3a) I Sampati taler (3b) I Wenara Petak

3. Niki (2) titiang ngawentenang (4) bakti ajengan pawongwongan

selem lan putih

4. Saha (4) maulam tasik bawang jae.

5. Santukan puniki (2b) kawulane ngawentenang (4) bakti jaga nunas

(5) ujan

6. Santukan niki (2b) kawulane tetanduran (2b) ipun sami layu.

7. Maka lantaran (2b) ipun beras, jinah, canang mesari asep dupa

8. Manawi wenten kirang langkung rerehang ring pasar agung

9. Rehning (2b) panjak (1) duéné kalintang tambet.

10. (2b) Kawula (1) druene jagi nunas (5) ujan.

11. Duaning (7) asapunika, (2a) titiang nyelang pepatih (1) duéné (3a) I

Sampati mangda ngumpulang (6) guleme mangda kumpul ring

ambara

12. Taler (3b) I Wenara Putih mangda ngrauhang angin saking gunung anggen ngemenekang toya segarane ke ambara manadi (5) sabeh.

13. Majeng ring (3a) I Sampati niki katurang nasi wongwongan ireng taler

majeng (3b) I Wenara Petak katurang nasi wongwongan putih.

14. Mangda sami pada ledang

15. Mangda (1) I Ratu ledang mapica (5) sabeh.

16. Inggih (1) Ratu Sanghyang Agama mangda ledang mapica (5) sabeh.

17. Sane mangkin (3a) I Sampati dados bayangan ring nasi wong-

wongan selem muah (3b) I Wenara Petak ring nasi pawongwongan

putih.

18. (3a) I Sampati ngocak (9) toya segarane saha prasida nunggahang

sekancan toya menadi entikan (6) gulem.

19. (3b) I Wenara Petak mangda ngarawuhang angin saking gunung

ngunggahang (9 toya segarane manadi (6)mendung.

20. (3b) I Sampati ledang ngeberang sekancam entikan gulem mapulpul manadi (6) mega peteng

21. Sane mangkin (3b) I Wenara Petak manadi angin nurunang (6) mega

dedet manadi (5) sabeh kaanggen merta antuk (2b) kawula (1) druene

sami.

Page 294: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

294

„Ya Tuhan Yang Maha Benar, hamba menghadap menghaturkan bhakti. Hamba

menghadap bermaksud meminjam patih paduka yang bergelar I Sampati dan I

Wenara Petak. Kami persembahan nasi berbentuk manusia hitam dan putih

dilengkapi dengan bawang dan jahe sebagai sarana memohon hujan karena

tanaman rakyat paduka semua layu. Sebagai pelengkap, kami persembahkan

beras, uang, canang sari dan dupa harum. Bila ada kekurangannya mohon

dicukupkan karena hamba paduka sangat bodoh. Hamba bermaksud memohon

hujan dan meminjam patih paduka. I Sampati agar mengumpulkan mendung dan I

Wenara Petak agar mendatangkan angin dari gunung untuk mengangkat air laut

ke angkasa menjadi hujan. Untuk I Sampati kami persembahkan nasi

pawongwongan hitam dan nasi pawongwongan putih untuk I Wenara Petak.

Semoga Engkau berkenan meluluskan permohonan kami‟

„Ya Tuhan hamba mohon hujan. Sekarang hamba meminjam dua patih paduka

yakni I Sampati dan I Wenara Petak. I Sampati menjadi bayangan pada nasi

pawongwongan hitam sedangkan I Wenara Petak menjadi bayangan pada nasi

pawongwongan putih. I Sampati berkenan memutar air laut dan menaikkan

sekalian air menjadi bahan mendung. I Wenara Petak berkenan mengundang

angin dari gunung menaikkan sekalian air laut menjadi mendung. I Wenara Petak

berkenan menerbangkan sekalian bahan mendung berkumpul di angkasa menjadi

mendung tebal. Sekarang I Wenara Petak menjadi angin menurunkan mendung

tebal menjadi hujan berkat bagi para hambanya‟.

Isi teks neduh di atas ditampilkan untuk menunjukkan keterkaitan

antarklausa. Kaitan tersebut dapat dirunut dari panah penghubung dan penomoran.

Bagian isi teks neduh di atas memunculkan referensi endoforis anaforis yang lebih

dominan daripada endoforis kataforis. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya

tanda panah ke atas mengacu pada kelompok kata yang dimunculkan sebelumnya.

Informasi tentang Ratu Sanghyang Agama, I Sampati, dan I Wenara

Petak bersifat terbatas pada teks. Teks hanya menyediakan informasi bahwa

ketiga figur tersebut diposisikan sebagai termohon. I Sampati, dan I Wenara

Petak merupakan patih dari Ratu Sanghyang Agama. Pendengar yang menyimak

Page 295: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

295

teks dengan cermat pun belum dapat menyimpulkan identitas figur tersebut.

Ditinjau dari struktur informasi, identitas figur tersebut dapat digolongkan

sebagai informasi yang tidak dibagi atau informasi yang disembunyikan. Oleh

sebab itu, dibutuhkan teks lain yang menyediakan penjelasan tentang figur

termohon itu.

Pihak pemohon dinyatakan dalam pronomina titiang „1 TG‟ atau kawula,

panjak „rakyat, hamba‟. Pada leksikon titiang, kawula dan panjak terkandung

makna ekslusif pembicara, pembicara dan warga, atau kelompok petani. Leksikon

titiang mengacu pada diri pamangku yangmengambil peran sebagai mediator

permohonan. Pada klausa (1, 2), pamangku menyatakan diri sebagai

perseorangan, tetapi pada klausa (3) dan seterusnya pamangku menunjukkan diri

sebagai bagian dari kelompok atau perwakilan kelompok. Permohonan melibatkan

(4) bakti „sarana‟ sebagai media untuk memohon (5) sabeh „hujan‟. Hal itu dapat

dipahami sebagai kewajiban menghaturkan sesuatu dalam ritual permohonan

dengan berpegangan pada prinsip keseimbangan. Skema budaya teks permohonan

TNNGB dapat diilustrasikan seperti di bawah ini.

Gambar 10.2: Skema Teks

Termohon

Pemohon

Tujuan:

Permohonan

Sarana

a. sarana sajen

b. sarana khusus

Page 296: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

296

Berdasarkan gambar (10.2) di atas dapat dipahami bahwa TNNGB

merupakan teks permohonan yang diajukan oleh pemohon sebagai perorangan

atau kelompok. Permohonan disampaikan dengan sarana tertentu sebagai simbol

kesungguhan permohonan. Tampaknya, tidak ada satu permohonan pun yang

bebas sarana, karena sarana dipandang sebagai media bakti.

Sistem referensial yang ditunjuukan teks di atas, sebagian besar berupa

referensi endoforis anaforis, sedangkan referensi kataforis dimunculkan dalam

frekuensi yang kecil. Contoh referensi karaforik yang dimunculkan adalah pepatih

„patih‟ pada klausa (2) dipertegas dengan nama I Sampati dan I Wenara Petak,

bakti „sarana‟ pada klausa (3) dipertegas dengan nama dan jenis sarana berupa

ajengan pawongwongan hitam dan putih, dan lantaran „sarana‟ pada klausa (7)

dijelaskan dengan sarana penggenap, berupa beras, uang, dupa, dan canang sari.

Sifat referensi kataforis cenderung memunculkan informasi besar terlebih dahulu,

kemudian ditampilkan informasi pendukungnya yang lebih rinci. Skema

koherensi teks di atas dapat digambarkan sebagai berikut.

Page 297: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

297

Ratu Sanghyang Agama mohon ijin

mengabulkan

permohonan

Termohon I Sampati mengumpulkan mendung

mengguncang air laut

I Wenara Petak mengundang angin

menerbangkan air ke langit

bakti nasi pawongwongan selem

nasi pawongwongan putih

Sarana pelengkap beras, uang, benang

canang sari dan dupa

kekurangannya belikan di pasar agung

mohon dimaafkan

Pemohon pemohon titiang „saya‟

kawula due „rakyat‟

tujuan mohon hujan

mengatasi tanaman layu

Gambar 10.3: Koherensi Teks

Koherensi teks seperti ditunjukkan gambar (10.3) mencerminkan jalinan

antar klausa untuk membangun kepaduan informasi. Pesan tersebut dapat

dijabarkan sebagai berikut. (1) Melalui pamangku, rakyat memohon bantuan Ratu

Sanghyang Agama (Tuhan Yang Maha Benar), dan dua patih beliau yang bergelar

I Sampati dan I Wenara Petak untuk menurunkan hujan, (2) Permohonan

diajukan karena rakyat mengalami kekeringan hingga tanaman layu akibat

kekurangan hujan, dan (3) Sebagai sarana permohonan dipersembahkan bakti

berupa nasi pawongwongan hitam dan putih, dan pelengkap sarana lainnya.

K

O

H

E

R

E

N

S

I

Page 298: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

298

Kekurangan dan kekeliruan lain agar dimaafkan. Jadi, teks permohonan tersebut

terdiri atas empat elemen, yakni (a) identitas pemohon, (b) tujuan, (c) termohon

dan (d) sarana. Empat elemen itu tampaknya sudah diangkat sebagai tradisi teks

permohonan komunitas Hindu Bali.

10.3.1 Referensi Anaforis

Berdasarkan data (A2/5) di atas, terhitung pemakaian referensi endoforis

mencapai 30 kali yang terdiri atas 27 referensi anaforis dan 3 referensi kataforis.

Frekuensi endoforis tampak jauh lebih banyak digunakan untuk menghubungkan

suatu informasi dengan informasi lainnya dalam teks secara bertahap. Referensi

endoforis meliputi pemunculan anteseden sebagai informasi yang terberi

sebelum informasi baru yang ditambahkan. Tingginya frekuensi anaforis

mencerminkan kecenderungan kelompok penutur untuk menggunakan informasi

yang sudah diperkenalkan sebelumnya sebagai acuan menuju pada informasi yang

lebih mendalam. Jadi, referensi anaforis berperan sebagai upaya pendalaman

informasi.

Referensi anaforis ditemukan pada hampir semua klausa teks neduh di

atas. Hal itu menunjukkan kebiasaan penutur memilih cara menambahkan

informasi secara bertahap dari informasi yang sudah dibagi sebelumnya. Dengan

kata lain, penambahan informasi dilakukan setelah informasi lama diendapkan

pada memori pendengar atau pembaca. TNNGB memunculkan referensi anaforis

yang menemukan antesedennya pada klausa di kirinya, baik satu klausa di atasnya

maupun klausa yang lebih jauh. Anteseden pemilik, seperti pada idané, kawulané,

Page 299: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

299

duéné, druéné mengacu pada milik dari I Ratu Sanghyang Agama yang

dimunculkan pada klausa pertama yang berjarak empat hingga sepuluh klausa di

atasnya. Jarak referensi yang berjauhan tidak menimbulkan ambiguitas karena I

Ratu Sanghyang Agama merupakan satu-satunya kelompok kata yang memiliki

fitur tinggi [+tinggi] sehingga berpeluang memiliki kepemilikan tertentu, dalam

hal ini, patih dan kawula „rakyat, hamba‟.

Sebagian besar referensi anaforis pada teks merupakan referensi satu-satu.

Artinya, satu bentuk mewakili satu kelompok nomina yang berfungsi sebagai

referennya. Meskipun demikian, referensi pengapsulan juga digunakan seperti

tampak pada klausa (11). Bentuk deiksis asapunika „begitu‟ ternyata merujuk

beberapa klausa di atasnya, yakni klausa (1-10). Leksikon asapunika mewakili

seluruh situasi yang digambarkan klausa-klausa di atasnya yang memberi

deskripsi alasan permohonan, bentuk permohonan, sarana yang disiapkan,

kelengkapan sarana, dan permohonan maaf. Leksikon asapunika merupakan

pengapsulan dari klausa-klausa yang menyatakan kondisi yang melatarbelakangi

dilaksanakannya teks mohon hujan. Oleh sebab itu, pengapsulan anaforis dapat

dipandang sebagai rangkuman dari rangkaian informasi sebelumnya, sedangkan

referensi satu-satu merupakan pendalaman bertahap terhadap informasi tertentu

yang sudah diberikan.

10.3.2 Referensi Kataforis

Berbeda dengan referensi endoforis yang memiliki ciri kehadiran

anteseden mendahului pengacu, anteseden referensi kataforis memunculkan

Page 300: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

300

anteseden sesudah pengacu. Struktur informasi dalam referensi kataforis itu

biasanya menampilkan informasi yang bersifat umum dan diikuti informasi yang

lebih renik. Acuan kataforis dapat pula dilihat sebagai aplikasi sistem informasi

umum-khusus. Anteseden cenderung menyediakan informasi umum dan pengacu

menyediakan informasi lanjutan yang lebih rinci, seperti tampak pada klausa

berikut (Data A2/5/ 202-203).

(10.3) a. … Sané mangkin titiang nyelang pepatih idané sané

Sirk 1 TG -pinjam patih 3TG-DEF REL

maparab I Sampati taler I Wenara Petak…

-nama NAMA KONJ NAMA

„Sekarang saya meminjam pepatih beliau yang bergelar I Sampati dan I

Wenara Petak‟

b. …Niki titiang ngawéntenang bakti ajengan pawongwongan

DEM 1 TG -buat-BEN sarana NAMA sarana

selem lan putih…

hitam KONJ putih

„Ini kami haturkan sajen berupa nasi pawongwongan hitam dan putih‟

Pada klausa (10.3) di atas referensi kataforis ditandai dengan cetak tebal,

sedangkan anteseden digarisbawahi. Leksikon pepatih idane (2) dijelaskan

dengan gelar dua patih, yakni I Sampati dan I Wenara Petak yang dimunculkan

kemudian. Dengan kata lain, pepatih idané dapat menggantikan I Sampati dan I

Wenara Petak. Demikian pula, bakti (3) dapat menggantikan kelompok kata

ajengan pawongwongan hitam dan putih. Pada klausa itu, bakti mengacu pada

sarana ritual yang dipertegas dengan jenis sajen yang dihaturkan. Jadi, bentuk

pepatih, dan bakti dapat menyubstitusi kelompok nomina yang mengikutinya.

Page 301: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

301

Jarak antara anteseden dan pengacu pada referensi kataforis cenderung bersifat

ketat. Artinya, sebuah referensi kataforis akan segera menemukan antesedennya

pada klausa yang bersangkutan. Hubungan acuan dan pengacu kataforis sangat

erat terbukti dengan kemunculannya yang relatif berurutan dalam pola relasi satu-

satu (point to point).

Referensi pengapsulan kataforis (cataforical encapsulazion) juga

dimunculkan pada teks, seperti puniki „begini‟ atau sapuniki „begini‟ seperti

ditampilkan di bawah ini (Data A3/1.3/ 11-17).

(10.4) a. …Puniki jero mangku. Gatra kewentenan indik pertaniane driki niki

mangkin, tetandurane niki kirangan toya. Niki sane tunasang ring jero

mangku, sapunapi antuk. Santukan gumine panes kanti tanduran

kramane sami layu, nika wawinan tiang ngerauhin jero mangku.

Punapi minab wenten galah jagi neduh sapunapi?...

„Ya, begini jero mangku. Kabar keberadaan pertanian di sini saat ini,

tanaman kekurangan air. Ini yang saya tanyakan pada anda, bagaimana

caranya. Karena bumi panas hingga tumbuhan warga menjad layu, itu

sebabnya saya mendatangi anda. Bagaimana apa mungkin ada waktu

untuk mohon hujan?‟

b. …Nanging sapuniki dumun. Pang ten nyen kadi titiang mengambil

sebuah keputusan ngeraga, nah manawi wenten semeton titiang

makadi mangku druene taler, mekadi jero mangku Puseh, Desa,

Prajapati mangda ada ajak titiang magendu wirasa nginggihang

inggian padinan, pang ten titiang misang-misang raga, ten enak nika,

becik dauhing mangku duéné dumun. Saja panes nak yakti sampun

kelintang niki…

„Oh, begitu. Ya, tetapi begini dulu. Agar saya tidak mengambil

keputusan sendiri, karena masih ada saudara saya seperti mangku

Puseh, Desa dan Prajapati, agar ada yang saya ajak untuk berdiskusi

membicarakan hari baik. Supaya saya tidak seenaknya saja, sebaiknya

undang mangku lainnya dulu. Memang benar, musim panas sudah

melewati batas‟

Page 302: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

302

Leksikon yang dicetak tebal puniki dan sapuniki „begini‟ di atas

merupakan contoh referensi yang bersifat pengapsulan dari beberapa klausa yang

mengikutinya. Deiksis puniki dan sapuniki itu dipakai sebagai titik awal rangkaian

informasi baru yang akan diungkap. Sesuai dengan sifatnya, hubungan

pengapsulan terjadi antara satu referensi dan serangkaian informasi yang

mengikutinya.

Berdasarkan contoh kalusa yang sudah diulas sebelumnya dapat

disimpulkan bahwa TNNGB menggunakan empat jenis referensi endoforis, yakni

anaforis satu-satu, anaforis pengapsulan, kataforis satu-satu dan kataforis

pengapsulan. Karakteristik keempat tipe referensi endoforis itu dirangkum dalam

tabel berikut.

Tabel 10.2

Referensi Endoforis

No. Endoforis Posisi

Anteseden

Jarak dari Referen

1. Anaforis satu-satu kiri satu atau lebih klausa

2. Pengapsulan anaforis kiri satu atau lebih klausa

3. Kataforis satu-satu kanan klausa yang sama

4. Pengapsulan kataforis kanan satu atau lebih klausa

Tabel di atas menunjukkan bahwa referensi endoforis yang bertipe

hubungan satu-satu menggunakan satu bentuk referen untuk satu anteseden yang

diacu, sedangkan hubungan pengapsulan menggunakan suatu bentuk untuk

mengacu pada serangkaian informasi, baik yang sudah diberikan ataupun yang

Page 303: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

303

akan diberikan. Jarak anteseden dan referen pada referensi anaforis satu-satu lebih

longgar dibandingkan referensi yang sama pada tipe kataforis. Referensi endoforis

anaforis dan kataforis dapat dilihat sebagai cara bahasa menambahkan informasi

sejalan dengan prinsip pemercontohan. Artinya, tidak dimungkinkan untuk dapat

menjelaskan suatu fenomena dalam sebuah klausa yang kompleks sekalipun,

tetapi memerlukan pengelanan secara bertahap.

10.4 Referensi Eksoforis

Tidak setiap kelompok nomina yang dipakai dalam teks dapat ditemukan

acuannya dengan mudah di dalam teks. Frasa nomina yang sulit dipahami

diprediksi membutuhkan referensi eksoforis. Artinya, diperlukan latar

pengetahuan yang memadai atau sama dengan penutur untuk memahaminya.

Pada TNNGB nama-nama figur termohon yang dimintakan bantuan

menyukseskan permohonan membutuhkan acuan luar teks secara eksoforis.

Asumsi itu dibangun karena dengan membaca teks target saja, nama figur

termohon belum dapat dikenali dengan baik, ditambah keengganan informan

untuk membicarakannya. Memperbincangkan figur tidak kasatmata yang

diharapkan membantu permohonan dipandang tabu dan dapat mendatangkan

petaka. Oleh sebab itu dilakukan penggalian intertekstual dengan rekomendasi

pamangku dan ditemukan bahwa figur Ratu Sanghyang Agama, I Sampati, dan

I Wenara Petak bersumber pada konsep dualistik. Dalam konsep dualistik,

perubahan bersifat alamiah, artinya, kondisi hujan dapat berubah menjadi terang,

Page 304: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

304

atau sebaliknya atas perkenan Tuhan. Figur Dualistik yang dilibatkan memiliki

identitas seperti di bawah ini.

Tabel 10.3

Figur Dualistik

Nama Figur Dualistik

No. Fitur I Sampati I Wenara Petak

1. Tipe burung garuda kera putih

2. Warna hitam putih

3. Kemampuan mengatur air mengatur angin

4. Konotasi kendaraan Hyang Wisnu Sang Hyang Bayu

Tampak pada tabel (10.3) I Sampati I dan I Wenara Petak dipersepsikan

sebagai dua orang patih yang memiliki kesaktian tersendiri. I Sampati

diidentikkan dengan figur berupa burung garuda hitam, sedangkan I Wenara

Petak adalah kera yang berbulu putih. Kedua patih itu akan menjalankan tugas

dengan izin dari Ratu Sanghyang Agama „Tuhan, kebenaran‟. Status I Sampati

dan I Wenara Petak sebagai abdi dari Ratu Sanghyang Agama dapat dipahami

sebagai pelaksanaan permohonan harus diabdikan bagi kebenaran.

Di sisi lain, TNNGB yang ditemukan pada wilayah berbeda menggunakan

figur-figur yang bersumber pada ajaran persaudaraan. Hal itu dapat dilihat dari

penggunaan nama I Gusti Wayan Teba, I Gusti Made Jelawung, I Gusti Nyoman

Pengadangadang dan I Gusti Ketut Petung yang mengabdi pada I Ratu Ngurah

Tangkeb Langit „Penguasa Langit, Tuhan‟. Prinsip ajaran persaudaraan adalah

membina hubungan baik dengan empat entitas yang menemani proses kelahiran,

Page 305: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

305

di antaranya darah, lendir, air ketuban, dan ari-ari. “Empat saudara” itu kelak

dapat menjadi pengawal yang sangat sakti dan setia melindungi tuannya.

Pemerolehan kesaktian itu didapatkan melalui proses panjang (Indra, 2001 : 6).

“Saudara Empat” dikenal sebagai pengasuh si janin selama masa prenatal.

Pengasuhan oleh empat saudara itu memungkinkan si janin tumbuh dengan baik.

Pengasuhan berlanjut hingga si bayi lahir dan sejak kelahiran itu pengasuh

digelari babu „pengasuh‟ masing-masing babu Lembana, babu Abra, babu Ugyan

dan babu Kere. Setelah bayi pupus pusar, ”saudara empat” mendapat gelar baru

menjadi I Kala, I Pretta, I Dengen, dan I Yanta, seperti ditunjukkan tabel berikut

(Indra, 2001 : 8).

Tabel 10.4

“Saudara Empat” (1)

No „“Saudara Empat” Gelar (1) Gelar (2)

1 Getih „darah‟ Babu Lembana I Kala

2 Yeh nyom „air ketuban‟ Babu Abra I Dengen

3 Lamad „lendir‟ Babu Ugyan I Pretta

4 Ari-ari „ari-ari‟ Babu Kere I Yanta

Tabel (10.4) menunjukkan proses perubahan gelar “saudara empat” yang

berperan sebagai pengasuh setia si cabang bayi agar terhindar dari berbagai

gangguan. Pada periode si anak bisa berlari dan berbicara (lumaku nyambat meme

bapa babunta), “saudara empat” memperoleh gelar baru, yakni I Jalahir, I

Salahir, I Makahir, dan I Mokahir. Nama-nama itu ditafsirkan tidak sepenuhnya

berasal dari budaya Bali, tetapi menerima pengaruh dari budaya lain. Pada masa

Page 306: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

306

itu, saudara empat meninggalkan si anak untuk berkelana amarah-marah desa

„menjelajah desa‟ menuju empat arah angin. Proses pengembaraan berlangsung

bertahun-tahun hingga diperoleh kesaktian setara detya „raksasa sakti‟.

Tabel 10.5

“Saudara Empat” (2)

No Gelar (3) Arah Pengembaraan Gelar (4)

1 I Jalahir mangetan „ke timur‟ I Yanggapati

2 I Salahir mangulon „ke barat‟ I Mrajapati

3 I Makahir mangidul„ke selatan‟ I Banaspati

4 I Mokahir mangulor „ke utara‟ I Banaspati Raja

Tabel (10.5) menunjukkan keempat bhuta yang sudah berubah nama

menjadi I Jalahir, I Salahir, I Makahir, dan I Mokahir mengembara untuk

memperoleh kesaktian. Dengan kemampuan yang diperoleh dalam pengembaraan,

“saudara empat” dapat dipanggil masuk ke dalam tubuh atau ke luar dari tubuh

sesuai jalan wasuk wtunya ‟masuk keluarnya‟ jika diperlukan. Klausa berikut

menyatakan jalan masuk “saudara empat” (Indra, 2001: 9).

(10.5) a. …Ih Yanggapatti, manjingakna sira, ri cangkem, anrus ring papusuh...

ART NAMA masuk-IMP 2TG PREP mulut KONJ PREP jantung

„Ih Yanggapati, masuklah engkau melalui mulut terus ke jantung‟

b. ...Ih Mrajapatti, manjingakna sira ring irung, anrus ring ungsilan…

ART NAMA masuk-IMP 2TG PREP hidung KONJ PREP ginjal

„Ih Mrajapati, masuklah engkau melalui hidung terus ke ginjal‟

c. …Ih Banaspati, manjingakna sira ring soca, anrus ring atti...

ART NAMA masuk-IMP 2TG PREP mata KONJ PREP hati

„Ih Banaspati, masuklah engkau melalui mulut terus ke hati‟

Page 307: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

307

d. …Ih Banaspati Raja. manjingakna sira, ring karna, anrus ring ampru…

ART NAMA masuk-IMP 2TG PREP telinga PREP empedu

„Ih Banaspati Raja masuklah engkau melalui mulut terus ke empedu‟

“Saudara empat” biasanya dipanggil masuk ke dalam tubuh untuk

menghadang musuh, mengawal memasuki karang tenget „daerah kramat‟,

membasmi sakit dalam tubuh, dan lain-lain. Setelah tugas diselesaikan, “saudara

empat” dapat dikembalikan dengan saa berikut (Sudirga, 1996: 18).

(10.6) a. …Ih Yanggapatti, mtu ring pepusuh, amargga ring cangkem… ART NAMA keluar PREP jantung berjalan PREP mulut „Ih Yanggapatti keluarlah dari jantung melalui mulut‟

b. … Ih Mrajapatti, mtu ring ungsilan, amargga ring karnna… ART NAMA keluar PREP ginjal berjalan PREP telinga „Ih Mrajapatti keluarlah dari ginjal melalui telinga‟

c. …Ih Banaspati, mtu ring hati, amargga ring nétra… ART NAMA keluar PREP hati berjalan PREP mata „Ih Banaspati keluarlah dari hati melalui mata‟

d. …Ih Banaspati Raja, mtu ring ampru amrgga ring irung... ART NAMA keluar PREP jantung berjalan PREP mulut „Ih Banaspati Raja keluarlah dari empedu melalui hidung‟

Setelah periode itu, “saudara empat” memperoleh kemampuan yang lebih

tinggi sehingga digelari Gusti (Arnita, 2001). Beliau digelari I Gusti Wayan Teba,

I Gusti Made Jelawung, I Gusti Nyoman Pengadangadang dan I Gusti Ketut

Petung. Keempat Gusti merupakan patih yang mengabdi pada I Gusti Ngurah

Tangkeb Langit atau Ratu Ngurah Tangkeb Langit. Diprediksi I Ratu Ngurah

Tangkeb Langit merujuk pada Tuhan sebagai sumber dan penggerak (starter)

dari segala yang ada. Pada tahap berikutnya, keempat saudara dapat digelari

Page 308: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

308

batara. Yang paling menonjol ialah “saudara empat” hanya dapat memenuhi

permohonan atas perkenan Tuhan karena statusnya mengabdi pada kebenaran.

Dengan penggalian eksoforis dapat diketahui bahwa TNNGB

menempatkan konsep duslistik dan persaudaraan sebagai acuan luar teks. Figur

dualistik dan “saudara empat” turut berperan dalam menyukseskan permohonan.

Meskipun demikian, tidak setiap pelaksanaan selalu berhasil. Teks yang belum

terkabul biasanya dapat diulang kembali hingga Tuhan berkenan mengabulkan

permohonan yang dimaksud. Jadi, Tuhan ditempatkan sebagai satu-satunya

harapan yang dapat menjawab permohonan.

10.5 Interpretasi Sistem Referensial

Terkait dengan sistem informasi, tampaknya informasi yang bersifat

umum dimunculkan secara endoforis dan dibagi secara tersurat. Di sisi lain,

informasi khusus cenderung dimunculkan secara eksoforis, atau disembunyikan

dari pelibat lain. Kesenjangan itu menyebabkan teks tidak mudah dapat dipahami

secara utuh oleh masyarakat umum. Sejauh ini, penguasaan teks terbatas pada

pamangku saja, bahkan orang terdekatnya pun tidak mengetahui prihal teks secara

lengkap. Temuan acuan eksoforis mendukung pelabelan teks yang bersifat

spiritual magis karena memerlukan pertolongan makhuk tidak kasatmata, sesuai

konsep dualistik atau konsep persaudaraan. Akan tetapi, label teks sebagai

aktivitas sihir harus dikoreksi mengingat figur tidak kasatmata itu hanya boleh

bergerak atas perkenan Tuhan. Jadi, keberhasilan permohonan sepenuhnya berada

di tangan Tuhan.

Page 309: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

309

Disamping penggunaan referensi endoforis dan eksoforis yang relatif tetap

di atas, TNNGB juga menggunakan deiksis yang cenderung memiliki acuan yang

berubah-ubah. Bentuk pronomina yang mengacu pada pelibat teks dimunculkan

dalam bentuk titiang, tiang „saya (1TG/JM)‟, sedangkan orang kedua ditunjuk

dengan jero „anda‟. Orang ketiga dimunculkan dengan Ida, atau ipun „dia‟. Teks

juga memunculkan pronominal ekslusif, beli adi „kakak-adik‟ yang difungsikan

sebagai pengganti orang pertama atau kedua dalam ragam akrab. Pronomina

Demonstrativa yang digunakan untuk mengacu tempat atau jarak ialah driki „di

sini‟, drika „di sana‟, niki, „ini‟, dan nika, „itu‟. Referensi komparatif bersifat

menjelaskan persamaan atau perbedaan identitas. Artinya, suatu hal yang

dibicarakan dibandingkan dengan hal lain yang dipandang cocok. Tabel berikut

menampilkan bentuk deiksis yang digunakan.

Tabel 10.6

Deiksis

Koreferensial Komparatif

Persona Demonstratif

sapuniki,

sekadi,

minakadi

sapunika

Pronomina Posesif

niki, driki

I titiang, beli,

panjak,

damuh,

(n)-e)

II jero, adi,

Ratu

nika, drika

III Ida, ipun

Deiksis yang berupa persona, demonstrativa, dan komparatif merupakan

tipe referensi yang memiliki acuan yang cenderung tidak tetap dan berpindah-

Page 310: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

310

pindah sesuai konteks. Perubahan acuan tidak berpengaruh terhadap pemahaman

pelibat. Artinya, perubahan acuan dengan mudah dapat dipahami oleh pelibat

langsung dibandingkan pelibat yang tidak terlibat dalam teks.

Berdasarkan paparan acuan di atas dapat dipahami bahwa sistem

referensial TNNGB tidak hanya mencakup sistem refernsi yang bersifat tetap,

tetapi juga deiksis yang berpindah-pindah. Sistem referensi TNNGB dapat

dirangkum dalam gambar berikut.

Gambar 10.4: Sistem Referensi TNNGB

Gambar (10.4) merangkum sistem referensial yang dimunculkan dalam

TNNGB. Teks menggunakan referensi anaforis satu-satu dalam frekuensi yang

lebih dominan dibandingkan referensi anaforis pengapsulan. Pola acuan itu

mengindikasikan bahwa komunitas transmigran lebih memilih struktur acuan yang

repetisi

Posisi Anaforik satu-satu

Acuan sinonimi

pengapsulan

Endoforik Kataforik satu-satu

pengapsulan

Tetap

Sifat acuan

Acuan tidak tetap

Deiksis

Eksoforik Dualistik

merujuk teks lain

Persaudaraan

R

E

F

E

R

E

N

S

I

Page 311: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

311

sederhana. Penggunaan referensi eksoforis dapat dilihat sebagai upaya untuk

menjaga informasi khusus dari jangkauan publik atau ada informasi yang harus

dirahasiakan. Tipe informasi yang signifikan disimpan dalam kognisi pembicara,

dan tidak boleh dibagi. Dominasi referensi anaforis dibandingkan eksoforis

sejalan dengan pola berbicara universal, yakni berawal dari satu informasi yang

sudah dimiliki. Jadi, TNNGB merupakan teks yang mengambil acuan endoforis

untuk butir informasi yang dapat dibagi, sedangkan informasi yang bersifat

rahasia dimunculkan dalam sistem acuan eksoforis.

Page 312: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

312

BAB XI

TEMUAN BARU PENELITIAN

11.1 Pengantar

Penelitian teks Neduh dan Nyelang Galah komunitas petani transmigran

Bali di Sumbawa ini dapat digolongkan sebagai penelitian rintisan karena

fenomena serupa belum pernah diangkat dalam suatu penelitan. Dengan

mengaplikasikan teori Linguistik Sistemik Fungsional, teks tidak hanya dipandang

berupa satuan linguistik, tetapi juga mengandung konsep nonlinguistik. Penelitian

ini dilakukan secara maksimal untuk menjawab permasalahan terkait dengan

skema tahapan dan struktur yang pada akhirnya merujuk pada temuan baru.

11.2 Temuan Baru

Temuan baru yang dihasilkan dalam penelitian TNNGB bersifat temuan

lapangan. Dua temuan yang dapat dipandang sebagai novelty dapat dipaparkan

sebagai berikut.

(1) Konotasi yang disandang teks bersifat situasional. Artinya, faktor tempat

atau waktu berdampak pada perbedaan konotasi komunitas di daerah asal

dengan komunitas transmigran. Transmigran Bali di Sumbawa memandang

teks tolak hujan sebagai teks yang nonfungsional. Teks tolak hujan bersifat

melawan kepentingan umum, mengingat sebagian besar penduduk bekerja

sebagai petani tadah hujan. Lahan yang diolah terbentang dari lembah

Page 313: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

313

hingga punggung bukit yang berkontur miring. Pertanian lahan kering dan

curah hujan yang kecil menyebabkan munculnya kekhawatiran bahwa

pelaksanaan teks tolak hujan dapat menyebabkan hujan tidak akan turun

untuk waktu yang lama. Lebih jauh, upaya menolak hujan dipandang dapat

mendatangkan petaka bagi partisipan kunci. Menolak hujan diyakini

mengandung tindakan ngamenékang panyarang „menaikkan pembocor‟

yang berdampak pada gagalnya persekutuan mendung. Sarang „bocor‟ yang

terjadi pada alam dapat berdampak buruk pada partisipan kunci, di antaranya

susah rejeki, boros, sakit nonmedis, kesulitan komunikasi, hingga cedek

yusa „pendek usia‟. Pandangan negatif juga ditujukan pada terminologi

nerang. Kata nerang dimaknai sebagai tindakan memaksa, egoistik, dan

melawan alam. Oleh sebab itu, terminologi nerang ditanggalkan dan

diganti dengan nyelang galah yang mengandung makna koperatif dan

permisif. Sebaliknya, teks panggil hujan diterima sebagai teks protektif

fungsional. Transmigran menggunakan terminologi neduh „teduh, tidak

panas‟, bukan untuk memohon perlindungan kepada dewa-dewa atas hama

atau penyakit, tetapi difokuskan untuk memohon hujan. Neduh bahkan

diyakini dapat mengubah karakter hujan badai menjadi sabeh merta „hujan

yang memberkati‟. Dengan demikian, teks neduh tidak hanya dimaksudkan

untuk menawar kemarau yang panjang, tetapi dapat memberkati hidup setiap

orang. Tidak setiap orang diizinkan untuk memimpin teks tolak atau panggil

hujan. Teks hanya boleh dilakukan oleh ketua paguyuban pamangku di

tingkat desa adat atau pamangku lain yang ditunjuk. Ketua pamangku juga

Page 314: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

314

harus dapat memberi bantuan penyembuhan secara tradisional, pencerahan

rohani, dan ramalan. Kelebihan yang dimiliki membuat warga patuh, segan,

apatis dan menjadi pengikut semata. Peran ketua pamangku tidak hanya

bertanggung jawab ke dalam kelompok, tetapi harus dapat mengantisipasi

isu dan tekanan dari kelompok lain. Penggunaan persembahan, banyak pura,

dan keragaman cara kerap dipakai pembentuk label pemuja berhala dan ini

berpotensi menjadi pembenar tindakan anarkhis. Dengan demikian, ketua

pamangku diharuskan aktif memodifikasi tradisi dan penerapan nilai-nilai

religius agar tidak memunculkan kecurigaan pihak lain. Jadi, peran ketua

pamangku di wilayah transmigran menyangkut ritual keagamaan dan

pencitraan di mata kelompok lain.

(2) TNNGB adalah teks prosedural yang didominasi oleh klausa imperatif.

Akan tetapi, sebagian besar makna imperatif itu dinyatakan secara santun

dengan modus termodulasi. Gradasi kesantunan yang dimunculkan

mencerminkan pergerakan makna perintah menjadi makna relasional dan

ketermilikan abilitas. Selanjutnya, mitra wicara dikedepankan

(foregrounding) menjadi pihak yang sanggup dan berkenan melakukan

sesuatu. Dalam proses itu, mitra wicara dipersilakan menunjukkan

kemampuan yang dimiliki sejalan dengan permohonan. Gradasi kesantuan

pada dialog satu arah itu menjembatani permohonan dan penerimaan. Jadi,

menghadapi kesulitan yang tidak terjangkau, manusia dapat mengajukan

permohonan dan siap menanggung keberhasilan/kegagalan. Tuturan yang

ditujukan kepada Tuhan sebagian besar disampaikan dalam Bahasa

Page 315: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

315

Sanskerta dan Jawa Kuna dengan diawali Om „Ya, Tuhan‟. Jalinan relasi

horizontal dengan makhluk setara dituturkan dalam Bahasa Bali diawali kata

sandang Ih atau I. Jadi, relasi ke atas dan ke samping dikodekan dengan

bahasa yang berbeda. Harmoni segi tiga itu tampak sejalan dengan ajaran Tri

Hita Karana, yang terdiri atas: (i) pawongan „menjaga hubungan harmonis

antarmanusia‟, (ii) palemahan „menjaga hubungan harmonis dengan alam

lingkungan‟, dan (iii) parahyangan „menjaga hubungan harmonis dengan

Tuhan‟. Sejauh ini, teks tidak pernah ditujukan sebagai bentuk arogansi dan

mencelakai orang lain, tetapi diabdikan untuk pemeliharaan hidup umat

manusia. Di samping itu, ditemukan keterkaitan teks dengan konsep luar

teks secara eksoforis. Konsep lingkungan teks yang diacu ialah konsep

dualistik dan konsep persaudaraan. Tampak keberhasilan permohonan tidak

dimonopoli oleh kemampuan seseorang tetapi membutuhkan pertolongan

figur lain yang diberkati Tuhan. Figur dualistik hitam putih atau figur

“saudara empat” merupakan figur yang banyak dilibatkan untuk membantu

keberhasilan permohonan. Selanjutnya, atas bantuan itu dipersembahkan

sajen sebagai wujud terima kasih. Tipe acuan eksoforis itu membuktikan

bahwa TNNGB tidak dapat dilepaskan dari dukungan faktor spiritual yang

memformulasikan makhuk tidak kasatmata. Meskipun demikian, konotasi

teks sebagai aktivitas sihir tidak dapat dibenarkan sepenuhnya karena

keberhasilan permohonan merupakan karunia Tuhan dan difungsikan bagi

pemeliharaan hidup di tengah krisis air.

Page 316: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

316

BAB XII

SIMPULAN DAN SARAN

12.1 Simpulan

Penelitian ini difokuskan untuk menemukan jawaban atas persoalan teks

panggil dan tolak hujan sehingga berhasil menemukan jawaban yang memadai

atas seluruh permasalahan yang diajukan yang kemudian dinyatakan sebagai

simpulan penelitian. Permasalahan struktur skematis, modus, transitivitas,

diatesis, tematis, dan sistem referensi dapat dideskripsikan secara maksimal

melalui proses triangulasi yang berpedoman pada penelusuran data korpus, sintesa

teori, dan konfirmasi partisipan kunci yang mengetahui seluk-beluk teks.

Simpulan yang dapat ditarik dipaparkan di bawah ini.

(1) Analisis skema penahapan menunjukkan bahwa TNNGB merupakan teks

yang memiliki empat lapis struktur, di antaranya, struktur kebahasaan,

struktur formal, struktur makro, dan struktur fungsional. Dari segi

kebahasaan, TNNGB merupakan teks yang mengombinasikan bahasa aktif

dan bahasa pasif. Bahasa pasif, seperti Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna

berperan pada bagian pembukaan teks, sedangkan inti permohonan

disampaikan dalam Bahasa Bali ragam halus. Pelapisan bahasa

diinterpretasikan sebagai upaya menjalin harmoni vertikal dan horizontal.

Di samping itu, kombinasi bahasa aktif dan pasif dapat dipandang sebagai

upaya menjaga kesakralan dan melestarikan penggunaan bahasa yang

mengandung nilai historis religius. Secara formal, teks neduh „mohon

Page 317: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

317

hujan‟ merupakan teks yang dikehendaki oleh seluruh komunitas

transmigran sehingga dapat dipraktikkan hingga tiga kali dalam satu kali

musim tanam. Ketergantungan terhadap air hujan menyebabkan teks neduh

„panggil hujan‟ diberi label teks fungsional. Struktur formal teks neduh

terdiri atas marembug „diskusi‟, sangkep pengurus „rapat‟ , mapengarah

„pemberitahuan‟, dan neduh „panggil hujan‟. Dalam kondisi mendesak,

tahap sangkep „rapat‟ , dan mapengarah „pemberitahuan‟ dapat

ditanggalkan. Struktur formal teks nyelang galah bersifat baku, artinya,

tidak ada tahapan yang dapat ditanggalkan. Kegagalan pada tahap awal

berdampak pada penundaan ritual. Struktur formal teks nyelang galah

terdiri atas tahap mapinunas „meminta bantuan‟, ngaturang pajatian

„menyerahkan sarana‟, nyelang galah „tolak hujan‟, dan panyineb

„penutup‟. Selain tipe kerja atau jenis bantuan yang diharapkan tidak

tampak perbedaan yang menonjol pada sarana persembahan maupun

tuturan. Ditinjau dari tuturan yang dilantunkan pada fase puncak neduh dan

nyelang galah, isi permohonan bersifat oposisional. Secara makro teks

dikaitkan dengan aspek medan, pelibat dan cara. Fase persiapan dilakukan

di rumah ketua pamangku dengan percakapan semuka, sedangkan fase

puncak dan penutup dilaksanakan secara monolog. Pelibat yang terlibat

langsung adalah ketua pamangku dan ketua adat. Secara fungsional, ada

bagian teks yang berfungsi sebagai bagian pembukaan, isi, dan penutup.

Tahapan pada fase persiapan dihubungkan dengan ungkapan transisional

tanpa sisipan humor. Hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat

Page 318: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

318

transmigran lebih memilih pola berbicara yang menukik pada pokok

permasalahan. Struktur unsur yang ada pada bagian pembukaan adalah

salam, dan tegur sapa, sedangkan struktur isi mengandung inti atau pokok

peristiwa, seperti pengenalan masalah, pembahasan, tanggapan, persetujuan

dan simpulan. Struktur penutup mengandung ucapan terima kasih dan

perpisahan. Bagian pembukaan fase puncak dan penutup terdiri atas

fungsi purifikasi, mohon pengampunan, dan pujian. Bagian isi mengandung

ungkapan permohonan, alasan, figur yang diharapkan dapat membantu,

persembahan, dan ditutup dengan permohonan pengabulan dan ungkapan

terima kasih.

(2) Teks panggil dan tolak hujan (TNNGB) memiliki komposisi Modus-Residu

yang lebih sederhana dibandingkan komposisi Modus-Residu Bahasa

Inggris. Hal itu terjadi karena klausa Bahasa Bali tidak mengenal Finit dan

Kopula sehingga tidak dimungkinkan adanya fusi komponen Modus pada

unsur Residu. Setiap unsur bersifat mandiri yang tidak menjangkau unsur

lainnya. Modus terdiri atas Subjek, polaritas, dan modalitas. Komponen

Residu mencakup Predikator, Komplemen, dan Adjung. Ditinjau dari tipe

komoditas yang dipertukarkan, TNNGB lebih banyak mempertukarkan

barang dan layanan dibandingkan pertukaran informasi. TNNGB lebih

didominasi oleh Proposal dibandingkan Proposisi. Artinya, teks

memerlukan berbagai tindakan nyata para pelibat. Percakapan cenderung

tidak mengharapkan jawaban uraian, melainkan jawaban nonverbal berupa

tindakan fisik. Kategori Proposisi dan Proposal yang berkaitan erat dengan

Page 319: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

319

komoditas pertukaran dan respons itu jarang mendapat sisipan modalitas.

Dari sudut pandang pembicara, minimnya modalitas menunjukkan bahwa

pesan yang dipertukarkan adalah benar dan mendapat respon positif. Dari

sisi pendengar, minimnya modalitas dapat dilihat sebagai bentuk kepatuhan

anggota terhadap pemimpin. Petunjuk yang diterima diyakini sangat tepat,

dan harus dipatuhi. Dominasi Proposal menunjukkan bahwa perubahan

tingkah laku menjadi orientasi utama dibandingkan perubahan sikap.

Ditinjau dari modus percakapan, pemakaian modus yang paling produktif

adalah modus deklaratif, baik dalam fungsi tipikal ataupun nontipikal.

Makna memerintah sebagian besar dinyatakan secara halus dalam modus

deklaratif termodulasi, sebagai bentuk pertimbangan konteks dan

merealisasikan aspek kepatutan. Dengan cara itu, pendengar tidak merasa

direndahkan, tetapi merasa berkewajiban dan dipersilakan melakukan hal

tertentu. Gradasi kesopanan itu menempatkan pendengar sebagai partisipan

sukarela yang melakukan tindakan tertentu sesuai dengan kemampuan

yang dimilikinya. Dengan foregrounding semacam itu, pembicara

memosisikan diri sebagai penerima bantuan. Di samping modus tipikal,

teks juga memformulasikan beberapa klausa nontipikal. Pergeseran modus

itu dikaitkan dengan ranah, relasi pelibat, dan kesantunan. Penggunaan

modus nontipikal atau modus terrmodulasi dapat mengimplikasikan fungsi

komunikasi pada lapis kedua. Struktur diatesis tidak dapat dilepaskan dari

bentuk Predikator Bahasa Bali yang dapat berupa verba berprefiks {-} dan

tanpa prefiks {-}. Konstruksi dasar klausa tersusun atas Subjek--

Page 320: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

320

Predikator (S--P) yang membentuk struktur Subjek/Aktor dan

Komplemen/Medium. Verba tanpa prefiks {-} menghasilkan struktur

turunan yang menempatkan Aktor pada posisi non-Subjek. TNNGB

memunculkan diatesis Operatif, Reseptif, dan Medial. Diatesis Operatif

memiliki Subjek/Agen pada proses aktif atau Subjek/Medium pada bentuk

turunan. Proses aktif memiliki struktur kanonis yang dimarkahi prefiks

nasal {-} dan dapat menurunkan struktur reversibilitas dengan verba tanpa

prefiks {-}. Klausa reversibilitas memiliki struktur Subjek/Medium dan

Komplemen/Agen. Kedua struktur tersebut mengandung makna proses

aktif, tetapi berbeda dalam perlakuan terhadap Agen. Struktur kanonis

menempatkan Agen pada posisi preverbal, sedangkan klausa struktur

reversibilitas menempatkan pada posverbal. Pada klausa bervalensi dua,

klausa reversibilitas memiliki struktur S/Med--P-K/Ag-A. Pada klausa

bervalensi tiga dimunculkan struktur S/Med--P-K1/Ag-K2 atau S/Med--P-

K2/Ag-K1/OBL. Dengan demikian, klausa Operatif Bahasa Bali dapat

berfokus pada Agen atau non-Agen. Pada proses pasif, diatesis Reseptif

dimarkahi dengan {ka-} atau {-a}. Tipe Agen pada klausa yang dimarkahi

{a-} cenderung mengacu pada orang ketiga, sedangkan pemarkah {ka-}

bersifat lebih terbuka. Dalam pandangan Sistemik, kedua struktur itu dapat

dinyatakan sebagai klausa berdiatesis Reseptif. Meskipun secara umum,

klausa Reseptif menghadirkan Agen secara manasuka, tetapi Agen

inisiator yang bersifat kekuatan alam harus dimunculkan secara tersurat.

Page 321: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

321

Pada klausa Titiang kabanda antuk galah „Saya diikat oleh waktu‟, Agen

tidak dapat ditanggalkan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa strategi

komunikasi etnis Bali tidak semata-mata mementingkan pelaku atau hasil

kegiatan, tetapi kedua komponen tersebut dapat memperoleh penekanan.

Dikaitkan dengan tipe proses, diatesis Operatif dibentuk oleh klausa

proses material, mental, dan verbal, sedangkan klausa proses relasional

dan eksistensional menyatakan makna Medial. Proses perilaku

menunjukkan karakter yang berbeda, yakni dapat menyatakan makna

Operatif, tetapi tidak memiliki peluang dipasifkan akibat keterbatasan

jumlah argumen dan sifat Agen yang tidak dapat mengendalikan tindakan.

Penggunaan diatesis Operatif dan Medial mendominasi teks sedangkan

Diatesis Reseptif hanya dimunculkan pada tahap persembahan. Dominasi

semacam itu mencerminkan teks yang mengedepankan tindakan,

keberadaan, dan relasi antaentitas. Dengan kata lain, keberhasilan teks

membutuhkan berbagai tindakan nyata, eksistensi benda-benda, dan relasi

antarentitas yang terjalin dengan harmonis.

(3) Analisis transitivitas yang merupakan penjabaran dunia pengalaman

berkaitan dengan tipe proses, partisipan dan keterangan tentang proses.

Proses pokok yang mencakup proses aktivitas, kesadaran, dan hubungan

dijabarkan menjadi enam proses yang lebih spesifik. Berpedoman pada tipe

proses yang dimunculkan, TNNGB didominasi oleh proses material yang

mengindikasikan bahwa teks membutuhkan berbagai persiapan dan

tindakan dari pelibat. Dominasi kedua diduduki oleh proses wujud atau

Page 322: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

322

eksistensional yang mengindikasikan keterkaitan berbagai benda dan

simbol terhadap teks. Tiga proses lainnya yakni proses relasional, verbal

dan mental dimunculkan dalam frekuensi yang kecil. Artinya, proses

relasional, verbal dan mental tidak berfungsi secara signifikan di dalam

teks. Sementara itu, proses perilaku tidak dimunculkan sama sekali.

Distribusi proses semacam itu mengindikasikan teks bernuansa formal

sehingga perkataan, perilaku, dan pengindraan yang tidak berhubungan

langsung dengan teks tidak boleh dimunculkan. Sebaliknya, teks

memunculkan tipe proses verbal unik yang direalisasikan dengan leksikon

nauhin, nanginin, dan ngarahin „memberitahukan‟. Proses verbal itu dapat

dinyatakan sebagai proses dua dimensi yang menjangkau proses berkata-

kata dan proses material. Perkataan tidak saja bersifat pemberitahuan,

tetapi menuntut Target untuk merealisasikan pesan dalam bentuk tindakan

nyata. Sanksi dapat dijatuhi kepada pelibat yang mengabaikannya. Dengan

kemunculan tipe proses dua dimensi itu dapat dipahami bahwa TNNGB

merupakan teks yang membutuhkan partisipasi nyata pelibat semua strata

sosial dalam kerangka kordinasi.

(4) Kajian struktur tematis meneropong komponen-komponen yang

ditonjolkan. Penempatan komponen tertentu di awal klausa mencerminkan

kehendak pembicara menonjolkan Tema. Selanjutnya, Tema dapat

dikembangkan dengan tiga pola, masing-masing re-iterasi, zigzag,

majemuk. Pengembangan secara re-iterasi berupa penguatan Tema yang

berulang kali dimunculkan untuk pendalaman. Pengembangan secara

Page 323: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

323

zigzag memungkinkan setiap elemen mendapat pengembangan yang

seimbang, sementara pola majemuk menitikberatkan pada elaborasi faktor

pendukung Tema. Ditinjau dari jumlah Tema yang ditonjolkan dikenal

Tema Tunggal dan Tema Majemuk. Tema Tunggal terbentuk atas Tema

Topikal, yakni representasi makna eksperiensial, seperti fungsi Aktor,

Tujuan, dan Sirkumtansi. Tema Majemuk dibentuk dengan munculnya

tema antarpelibat dan tema tekstual di samping Tema Topikal. Secara

distribusional, bagian besar klausa TNNGB merupakan klausa dengan

Tema Majemuk dengan susunan tema tekstual^ antarpelibat^eksperiensial.

Tema antarpelibat biasanya direalisasikan dalam bentuk vokatif, sedangkan

tema tekstual dapat berupa Adjung kontinuitas atau konjungtif. Dengan

demikian, struktur Tema Majemuk tergolong konstruksi bermarkah dalam

konfigurasi metafungsi. Ditinjau dari potensi argumen non-Subjek

menduduki Tema, tampak Adjung memiliki potensi yang lebih besar

daripada Komplemen. Potensi itu mencerminkan keketatan relasi

Predikator terhadap Komplemen dibandingkan Adjung. Penempatan

Komplemen sebagai Tema membutuhkan dukungan aspek suprasegmental.

Pengedepan Komplemen/Tujuan dan Adjung/Sirkumtansi pada struktur

bermarkah mengindikasikan bahwa budaya berbahasa etnis Bali dapat

menonjolkan berbagai komponen. Ditinjau dari organisasi teks TNNGB

dibangun melalui sistem referensi endoforis dan eksoforis. Secara endoforis

tampak dominasi acuan anaforis dibandingkan kataforis. Artinya, ada

kebiasaan masyarakat untuk menambah informasi berdasarkan butir

Page 324: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

324

informasi yang telah dibagi di antara pelibat. Ditinjau dari jarak referen dan

anteseden, referensi anaforis memiliki kemampuan mengacu yang kuat

menjangkau anteseden pada beberapa klausa di atasnya yang berupa

kelompok kata atau kelompok klausa. Sebaliknya, referensi kataforik

menjangkau anteseden yang mendampinginya dalam klausa yang sama.

Pilihan referensi kataforik dapat dilihat sebagai upaya menyiapkan

pendengar atau pembaca untuk menerima informasi rinci sebagai salinan

informasi besar sebelumnya. Dengan demikian, hubungan referen dengan

anteseden bersifat saling menggantikan. Secara eksoforis, TNNGB

berkaitan erat dengan ajaran “persaudaraan” dan konsep dualistik. Kedua

teks itu dapat dilihat sebagai teks sumber yang menjelaskan seluk-beluk

pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan dalam mempelajari teks.

Hubungan eksoforis itu menegaskan bahwa TNNGB tergolong teks yang

melibatkan kerjasama dengan makhluk tidak kasatmata. Akan tetapi, setiap

figur tidak kasatmata itu hanya dapat membantu keberhasilan permohonan

bila diperkenankan Tuhan. Dengan demikian, kurang tepat bila TNNGB

dikategorikan sebagai aktivitas sihir mengingat keberhasilan permohonan

sepenuhnya merupakan perkenan Tuhan dan diabdikan untuk pemeliharaan

hidup.

12.2 Saran

Penelitian ini dilakukan secara maksimal untuk mengungkapkan seluk-

beluk TNNGB. Meskipun demikian, penelitian ini masih membutuhkan

Page 325: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

325

penelitian lanjutan untuk menjadikannya lebih sempurna. Misalnya, penelitian di

daerah tadah hujan versi etnis Samawa, disandingkan dengan teks serupa di Bali,

atau daerah transmigran lainnya. Peneliti berikutnya dapat memanfaatkan hasil

penelitian ini sebagai pijakan dan selanjutnya dapat melakukan pengembangan

sesuai bidang dan komunitas yang diteliti. Perlu disadari bahwa masyarakat

pemukiman transmigran merupakan masyarakat plural dan kaya perbedaan

pandangan. Kondisi demikian berpotensi menjadi daerah rawan konflik dengan

mengoposisikan kelompok asli dengan kelompok pendatang. Oleh karena itu,

peneliti yang mengambil objek komunitas transmigran sebaiknya menyadari dan

mempelajari situasi setempat dan selanjutnya turut ambil bagian dalam

mengedukasi masyarakat akan makna kebhinekaan.

Secara teoretis, belum ditemukan kelemahan teori Sistemik dalam

mengungkapkan seluk-beluk struktur TNNGB. Setiap butir permasalahan

skematik dan gramatikal tidak menyisakan permasalahan baru. Oleh sebab itu,

direkomendasikan pengaplikasian teori Sistemik untuk mengaji struktur teks

bahasa daerah lintas etnis tanah air.

Page 326: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

326

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Ch. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa

Arfinal. 2004. ”Sistem Transitivitas pada Teks Pasambahan Kematian di Kota

Padang”. Dalam Linguistika Vol.11. Denpasar: Program Studi Magister

dan Doktor Universitas Udayana.

Arnita, G. dkk. 2001. Kajian Alih Aksara dan Alih Bahasa Lontar Panugrahan

Dalem. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali

Artawa, K. 1998. ”Ergativity and Balinese Syntax”. Dalam Dardjowijoyo, S.,

dkk., ed. Nusa: Linguistics Studies of Indonesian and Other Languages in

Indonesia. Volume 12.

Austin, J. 1976. How to do Things with Words. Bristol: J.W. Arrow Smith Ltd.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. 2011. Kabupaten Sumbawa dalam

Angka 2010. Sumbawa Besar: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Prakiraan Cuaca Indonesia.

http://www.bmkg.go.id. Diunduh 12 Desember 2012.

Badra, G. 2009. Bibliografi Budaya Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi

Bali.

Badra, G. 2001. Alih Aksara Lontar 2001 Pragolan/Panerang. Denpasar: Dinas

Kebudayaan Propinsi Bali.

Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka

Cipta.

Beratha, S. 2002. ”Evolusi Afiks Verba Bahasa Bali”. Dalam Bawa, W. dan

Pastika, W., peny. Austronesia: Bahasa, Budaya dan Sastra. Denpasar:

CV. Bali Media.

Direktorat Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi. 2011. Potensi Sumber

Daya Hutan Produksi Nusa Tenggara Barat.

http: //www.litbang.deptan.go.id. Diunduh tanggal 11 Mei 2011.

Bonvillain, N. 2003. Language, Culture and Communication: The Meaning of

Messages. New Jersey: Pearson Education Inc.

Bungin, B. 2008. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Page 327: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

327

Bungin, B. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Coulthard, M. 1985. An Introduction to Discourse Analysis. Longman Group Ltd.

Coupland, N. dan Jaworski, A. 1997. Sociolinguistics: A Reader and Coursebook.

London: Macmilland Press Ltd.

Dhanawaty, M. 2002. “Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigran

Lampung Tengah” (disertasi). Jogjakarta: Universitas Gajah Mada.

Dijk, T. 1985. ”Introduction: Level and Dimensions of Discourse Analysis”.

Dalam Dijk, T., ed. Dimensions of Discourse. Volume 2. Amsterdam:

Academic Press.

Dijk, T. 1985. “Semantic Discourse Analysis”. Dalam Dijk, T, ed. Dimensions of

Discourse. Volume 2. Amsterdam: Academic Press.

Donald, M. 1998. “Clause and Verbal Group System in Chinese: A Text Based

Functional Grammar” (tesis). Dalam ASFLA (Australian Systemic

Functional Linguistics Association). Sydney: Macquarie University.

Djijosuroto, K. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Eggins, S. 1994. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. London:

Pinter Publisher Ltd.

Eggins, S dan Slade, D. 1997. Analyzing Casual Conversation. London: Equinox

Publishing Ltd.

Fairclough, N. 1989. Language and Power. Longman Group UK Limited.

Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language.

New York: Longman Publishing.

Gara, W. 2006. “Wacana Sumodana Usaba Sembah pada Masyarakat Tenganan

Pegringsingan” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas

Udayana.

Givon, T. 1979. “Syntax and Semantics”. Dalam Givon, T., ed. Discourse and

Syntax. Vol.12. Colorado: Academic Press.

Halliday, M.A.K. 1985. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold.

Halliday, M.A.K. dan Matthiessen. 1985. An Introduction to Functional

Grammar. London : Edward Arnold.

Page 328: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

328

Halliday, M.A.K. 1973. Exploration in the Functions of Language. London:

Edward Arnold.

Halliday, M.A.K dan Hasan. 1985. Language, Context and Text: Aspects of

Language in a Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University

Press.

Halliday, M.A.K. dan Hasan. 1975. Cohesion in English. Sydney: Longman.

Halliday, M.A.K. 2004. An Introduction to Functional Grammar. London:

Edward Arnold.

Hasan dan Jonathan. 2005. Language, Society and Consciousness. London:

Equinox Publishing Ltd.

Hodge, R. dan Kress. 1988. Social Semiotics. Oxford: Polity Press.

Hooykaas, J. 1961. Ritual Purification of a Balinese Temple. Amsterdam: N.V.

Noord Hollandsche Uitgevers Maatschsppij.

Hooykaas, J. 1980. Drawings of Balinese Sorcery. Leiden: E. J. Brill.

Hopper, P. 1979. “Aspect and Foregrounding in Discourse”. Dalam Givon, T., ed.

Syntax and Semantics. Volume 12. Los Angeles: Academic Press.

Hornby, A.S. 1978. Oxford Student‟s Dictionary of Current English. Oxford:

Oxford University Press.

Indra, I.B. 2001. Kanda Mpat Dewa. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali.

Jamarani, M. 2009. “A Study of Language and Cultures in Contact among Iranian

Female Immigrants in Australia” (disertasi). Brisbane: University of

Queensland SLCCS.

Kantor Berita Antara. 2010. Teknologi Modifikasi Cuaca.

http: //www. antaranews.co. Diunduh tanggal 11 Mei 2011.

Kantor Berita Bali Post. 2010. Pawang Hujan Kawal Pelantikan Bupati Made

Gianyar. http: //www.balipost.co.id. Diunduh tanggal 11 Mei 2011.

Kantor Berita Sumbawa. 2008. Lombok antara Batur Bali dan Semeton Sasak.

http: //www.sumbawanews.com. Dunduh tanggal 11 Mei 2011.

Kantor Berita Kompas. 2010. Pawang Hujan untuk Membubarkan Demonstran.

http: //www.kompas.com. Diunduh tanggal 11 Mei 2011.

Page 329: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

329

Kardji, W. 1999. Ilmu Hitam dari Bali. Denpasar: CV Bali Media.

Kearns, J. 1984. Using Language: The Structure of Speech Acts. Albany: State

University of New York Press.

Kovecses, Z. 2006. Language, Mind and Culture, New York: Oxford University

Press, Inc.

Kress, G. 1985. Ideological Structure in Discourse. Dalam Dijk, T,. ed. Dimension

of Discourse. Volume 2. Amsterdam: Academic Press.

Larson, M. 2010. Meaning-Based Translation. New York: University Press of

America Inc.

Levinson, S. 1987. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

Luardini, M. 2007. “Wacana Air dalam Legenda Dayak Ngaju, Kalimantan

Tengah” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Linguistik

Universitas Udayana.

Lucy, N. 1995. Social Semiotics: Course Study Guide and Reader, Perth;

Murdoch University.

Malini, L. 2011. “Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigran di Provinsi

Lampung” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Linguistik

Universitas Udayana.

Mbete, A. 1990. Rekonstruksi ProtoBahasa Bali-Sasak-Sumbawa. Dalam

Linguistika. Denpasar: Program Studi Magister (S2) dan Doktor (S3)

Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Mertha, P. 1997. Kanda Pat Rajapeni. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya

Bali

Moreno, A. 2003. “The Role of Cohesion Devices as Textual Constraints on

Relevance: A Discourse as Process View”. Dalam Scheu, Dagmar dan

Lopez Maestre, ed. Journal of English Studies: Discourse Analysis Today.

Spain: University of Murcia Vol. 3.

Mulyawan, W. 2010. “Struktur Wacana Iklan Media Cetak: Kajian Struktur Van

Dijk” Dalam Linguistika Vol. 17. Denpasar: Program Studi Magister (S2)

dan Doktor (S3) Universitas Udayana.

Netra, M. 2011. “Wacana Ritual Melong Pare Bulu Komunitas Petani Adat

Bayan, Lombok Utara: Kajian Etnopragmatik” (disertasi). Denpasar:

Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Page 330: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

330

Oktavianus. 2005. “Kias dalam Bahasa Minangkabau” (disertasi). Denpasar:

Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Padmadewi, N. 2005. ”Tuturan Masyarakat Buleleng dan Konstruksi Gender”.

(disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas

Udayana.

Palmer, G. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of

Texas Press.

Pastika, W. 1999. “Voice Selection in Balinese Narrative Discourse” (tesis Ph.D).

Canberra: The National Australian University.

Pastika, W. 2002. “Kesinambungan Topik pada Diatesis Bahasa-Bahasa

Austronesia: Bali, Pilipina, Sulawesi, dan Indonesia”. Dalam Bawa, W.

dan Pastika, W., peny. Austronesia: Bahasa, Budaya dan Sastra.

Denpasar: CV Bali Media.

Pekandelan, M. dan Yendra. 2007. Kanda Empat Sari: Sakti Tanpa Guru.

Surabaya: Paramita

Putra, I.B. 2010 ”Dharmayatra dalam Teks Dwijendra Tattwa: Analisis Resepsi”

(disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Purwa, M. 1996. ”Telaah Kohesi Gramatikal dalam Wacana Bahasa Jurnalistik”.

Dalam Aksara: Jurnal Bahasa dan Sastra. Denpasar: Balai Penelitian

Bahasa.

Rasna, W. 2010. ”Teks Aji Blegodawa: Sebuah Kajian Linguistik Sistemik

Fungsional” (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program

Pascasarjana Universitas Udayana.

Ruddyanto, C. dkk. 2008. Kamus Bali Indonesia, Edisi ke-2. Jogjakarta: Yayasan

Pustaka Nusatama.

Satyawati, M. 2009. ”Valensi dan Relasi Sintaktik Bahasa Bima”. (disertasi).

Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas

Udayana.

Setiawan, N. 1994. Satu Abad Transmigrasi di Indonesia: Perjalanan dan

Pelaksanaan 1905-2005. Bandung: Pusat Penelitian Kependudukan

Universitas Padjajaran.

Schiffrin, D. 1994. Approaches to Discourse. Oxford: Blackwell Publishers

Setia, E. 2008. ”Klausa Kompleks dan Realisasi Pengalaman dalam Teks

Peradilan (Kasus Bom Bali I): Sebuah Analisis Linguistik Fungsional

Page 331: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

331

Sistemik” (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program

Pascasarjana Universitas Udayana.

Simpen, W. 2007. Kesantunan Berbahasa pada Penutur Bahasa Kambera di

Sumba Timur. Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana

Universitas Udayana.

Sidemen, I.B. dkk. 2000. Kusumanjali: Persembahan kepada Dang Hyang

Nirartha. Denpasar: Yayasan Darmopadesa.

Subandia, M. 1993. Dasakanda. Denpasar: Kantor Pusat Dokumentasi Budaya

Bali.

Sudiarga, M. 1996. Krakahsari/ Kanda Mpatsari. Denpasar: Kantor Dokumentasi

Budaya Bali.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Sugono, D., dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Suharno, I. 1982. ”Linguistik Kultural: Peranan Manusia dalam Telaah Bahasa”.

Dalam Indonesian Journal of Cultural Studies. Jakarta: Fakultas Sastra

Universitas Indonesia.

Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Jogjakarta: Duta

Wacana University Press.

Sulaga, N. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar: Balai Penelitian

Bahasa.

Sunaryo, A. 2010. ”Penggunaan Tenaga Prana untuk Menolak Hujan”

http://www.pranaindonesia.wordpress.com. Diunduh tanggal 11 Mei 2011.

Sutama, P. 2010. “Teks Ritual Pawiwahan Masyarakat Adat Bali: Analisis

Linguistik Sistemik Fungsional” (disertasi). Denpasar: Program Studi

Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Surpha, W. 1985. Kusuma Dewa. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat.

Sutjaja, I. G. M. 1988. Semantic Interpretation of the Nominal Group in Structure

in Bahasa Indonesia (disertasi). Sydney: Department of Lingusitics

University of Sydney.

Page 332: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

332

Sutjaja, I G. M. 2005. Teks dan Rekayasa Teks. Dalam Linguistika Vol. 12.

Denpasar: Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Universitas

Udayana.

Suyadnya, I. G. N. 2006. Aywa Wera dan Pemahamannya. Denpasar: Paramita

Tannen, D. 1994. Gender and Discourse, New York: Oxford University

Usman, F. 2007. “Tawa dalam Pengobatan Tradisional Minangkabau: Sebuah

Kajian Linguistik Antropologi”. (disertasi). Denpasar: Program Studi

Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Vallin, R. 2005. Exploring The Syntax-Semantics Interface. Cambridge:

Cambridge University Press.

Warna, W., dkk. 1988. Kamus Kawi - Bali. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar

Propinsi Bali.

Warna, W., dkk. 1993 Kamus Bali - Indonesia. Denpasar: Dinas Pengajaran

Daerah Tingkat I Bali.

Windia, K. 1972. Kanda Empat. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali

Wolf dan Liebert. 2001. ”The Sociohistorical Dynamics of Language and

Cognition”. Dalam Fill, A. dan Muhlhaulsler, ed. The Ecolonguistics

Reader. London: Creative Print and Design.

Page 333: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

333

LAMPIRAN

1. Peta Lokasi Penelitian

(Sumber: Sumbawa dalam Angka 2010 (2010: xix, xxi))

Page 334: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

334

2. Lambang dan Motto Daerah Penelitian

.

(Sumber: Sumbawa dalam Angka 2010 (2010: ix))

Motto Daerah Kabupaten Sumbawa

"SABALONG SAMALEWA"

Artinya: Membangun secara seimbang dan serasi antara

pembangunan fisik material dengan pembangunan mental

spiritual, antara pembangunan dunia dan akhirat

Page 335: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

335

3. Daftar Informan

1. Nama : I Nyoman Dastra

Umur : 47 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Br Kembang Sari Sepayung

Jabatan : Pamangku Pura Dalem Sepayung

Ketua Paguyuban Pamangku Sepayung

Ketua PHDI Kecamatan Plampang

Keterangan : Informan Kunci

2. Nama : I Made Suarya Dala, SH

Umur : 50 tahun

Pekerjaan : PNS pada Dinas Kehutanan

Alamat : Kota Sumbawa

Jabatan : Ketua PHDI Kabupaten Sumbawa

3. Nama : I Wayan Gampil

Umur : 55 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Br. Kembang Sari Sepayung

Jabatan : Ketua Adat Sepayung

4. Nama : I Made Madu

Umur : 65 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Dusun Wanagiri Utan

Jabatan : Ketua pamangku Sebedo, Utan

5. Nama : I Made Sutantra

Umur : 65 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Sukamaju Lunyuk

Jabatan : Ketua PHDI Kecamatan Lunyuk

6. Nama : I Made Suweca

Umur : 46 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Sukamaju Lunyuk

Jabatan : Bendesa Sukamaju

7. Nama : I Ketut Ribu

Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Sukamaju Lunyuk

Jabatan : Ketua Paguyuban Pamangku Lunyuk

Page 336: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

336

4. Teks Neduh (Kode A1)

1. Marembug ‘Diskusi‟

Tempat : Rumah Pamangku Dalem

Pelibat : Ketua adat : I Nyoman Gampil

Pamangku Dalem / Ketua payububan pamangku : I Nyoman

Dastra

Cara : Percakapan semuka

Bahasa Bali halus

Ketua adat Om Swastiastu , jero mangku

„Salam, jero mangku‟

Ketua pamangku Nggih, Om Swastiastu. Yeh, nggih jero klian. Punapi

gatra niki jero? Jeg sadah seken niki sesaputanné .

Ngiring malinggih dumun.

‟Ya, salam. Oh, ya jero klian. Bagaimana kabar ini jero?

Pakaian anda rapi tampaknya. Mari duduk dulu‟.

Ketua adat Nggih… Puniki jero mangku. Gatra kewentenan indik

pertaniané driki niki mangkin, tetandurane niki kirangan

toya. Niki sané tunasang ring jero mangku, sapunapi

antuk. Santukan guminé panes kanti tanduran kramané

sami layu, nika mawinan tiang ngerauhin jero mangku.

Punapi minab wénten galah jagi neduh sapunapi?

„Ya, begini jero mangku. Kabar keberadaan pertanian di

sini saat ini, tanaman kekurangan air. Ini yang saya

tanyakan pada anda, bagaimana caranya. Oleh karena

bumi panas hingga tumbuhan warga menjad layu, itu

sebabnya saya mendatangi anda. Bagaimana apa

mungkin ada waktu untuk mohon hujan?

Ketua pamangku Oh kenten. Nggih. Nanging sapuniki dumun pang ten

nyen kadi titiang mengambil sebuah keputusan ngeraga,

nah manawi wenten semeton tityang makadi mangku

druene taler, makadi jero mangku Puseh, Desa,

Prajapati mangda ada ajak titiang magendu wirasa

nginggihang inggian pedinaan, pang ten tityang misang-

misang raga, ten enak nika, becik dauhing mangku duéné

dumun. Saja panes nak yakni sampun kelintang niki.

„Oh begitu. Ya. Tetapi begini dulu. Agar saya tidak

mengambil keputusan sendiri, karena masih ada saudara

saya seperti mangku Puseh, Desa dan Prajapati, agar ada

yang saya ajak untuk berdiskusi membicarakan hari baik.

Supaya saya tidak seenaknya saja, sebaiknya undang

mangku lainnya dulu. Benar panas sudah melebihi ini‟.

Ketua adat Inggih, nawegang dumun jero mangku. Tyang jagi

Page 337: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

337

nauhin jero mangku sane tiosan. Dina benjang tyang

meriki malih ngiring ragane. Nggih, yen kenten, tyang

nunas mepamit dumun jagi nauhin mangku sane lianan.

„Ya, saya permisi dahulu jero mangku. Saya akan

mengundang mangku lainnya. Besok saya datang lagi

menyertai beliau. Ya, kalau begitu saya mohon diri dulu

untuk mengundang mangku lainnya‟.

Ketua pamangku Nggih, nggih margi „ya, ya silakan‟

Ketua adat

Tyang nunas mepamit jero mangku

„Saya mohon diri, jero mangku‟

Ketua pamangku Nggih, durus durus

„Ya, silakan‟

2. Sangkep Pengurus „Rapat pengurus‟

Tempat: Rumah Pamangku Dalem

Pelibat : Pengurus adat dan Paguyuban pamangku

Cara : Percakapan semuka

Bahasa Bali halus

Ketua adat Om Swastiastu

„salam‟

Ketua pamangku Om Swastiastu.

Yeh jero klian malih. Napi wenten malih niki?

„Salam. Oh, jero klian lagi. Ada apa ini?

Ketua adat Niki tiyang sampun nauhin jero mangku Kahyangan Tiga

druene. Ngiring ngiring

„Ini saya sudah mengajak jero mangku Kahyangan Tiga.

Mari silahkan‟

Ketua pamangku Swastiastu jero mangku. Yeh pak pengurus taler rauh

„Salam, jero mangku. Oh, pak pengurus juga datang‟

Bu Mangku Ngiring ngiring malinggih driki. Mangku, Pak Klian

Adat,Made lan Nengah ngajeng dumun.

„Mari masuk, duduk di sini. Mangku, pak klian adat,

Made dan Nengah mari makan dulu‟.

Bersama Nggih, tyang sampun.

„Ya, saya sudah‟

Ketua adat Nggih, niki malih tiyang rauh jero mangku ngelanturang

bawose dibi niki. Indik mbigbagang keadaan desane niki

kepanesan punapi antuk? Sampun rauh mangkin mangku

Puseh, Desa lan Prajapati. Taler pengurus duéné

sampun nyarengin. Mangkin tyang nunasang ring jero

mangku malih pidan kadi dados?

„Ya, ini saya datang lagi melanjutkan pembicaraan

kemarin. Tentang keadaan desa kita yang kepanasan,

Page 338: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

338

bagaimana caranya. Sudah datang mangku Puseh, Desa

dan Prajapati. Juga para pengurus adat menyertai.

Sekarang saya bertanya pada jero mangku kapan ada

waktu?

Ketua pamangku Oh kenten. Nggih, puniki jero mangku sami taler jero

pengurus, wenten pasadok jero adat kaping tityang wawu

indik kemaro panjang niki. Dadosne tityang nunas

mangda jerone rauh sami apang ada ajak tityang

magendu wirasa. Yen becik iring ambil, yen kaon

mangda wenten sane ngingetin. Kenten tujuanne. Indik

galah, tityang nyingakin dedinaan dumun.

„Oh begitu. Begini, jero mangku sekalian juga jero

pengurus, ada penyampaian jero adat kepada saya

tentang kemarau panjang ini. Jadi saya minta agar anda

datang semua untuk saya ajak berdiskusi. Bila baik, mari

kita ambil, bila keliru supaya ada yang mengingatkan.

Begitu tujuannnya. Tentang waktu, saya melihat kalender

dahulu‟

Ketua pamangku Dek, maiang kone tanggalane! Yeh, kacan bapake bin

besik!

„Dek, bawa kemari kalender itu. Oh ya, kacamata bapak

juga‟

Anak Ne pak

„ini pak‟ (menyodorkan kalender dan kacamata)

Bu mangku Niki wedange dumun. Jajane kanggiang kering

„Ini kopinya diminum dulu. Maaf, kuenya kering‟

Ketua pamangku Durus durus pang ten nyem kopine jero

„Silakan, agar kopinya tidak dingin‟.

Ketua pamangku (setelah memeriksa kalender).

Nggih, yen kenten niki jero klian. Pang ten kadat, tyang

je masih niki medue tanduran sampun layu, napi malih

semeton duéné. Nggih yen presida antuk niki jero klian,

niki tanggal patlikur niki, Sukra pon niki sane marginin.

Yen presida antuk ngaryanin sajen niki. Yeh malah nyen

tyang manten, mangku sane tiosan sapunapi yen

ngemargiang ring tanggal dua empat niki?

„Ya, kalau begitu, supaya tidak terlambat, saya juga

punya tanaman sudah layu, apalagi warga kita. Baik, bila

memungkinkan tanggal 24 ini, Jumat pon ini kita

laksanakan. Persiapan. Bila persiapan banten dapat

diselesaikan. Oh ya, malah saya sendiri, mangku lainnya

bagaimana bila dilaksanakan tanggal 24 ini ?‟

Mangku Puseh Nggih, nika margiang sampun cocok. Minabang mangku

siosan taler kenten. „Ya, itu sudah cocok untuk

dilaksanakan. Saya kira pamangku lain begitu juga‟

Page 339: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

339

Mangku Prajapati Kadi mangku sane tiosan, tyang setuju nika. Pang gelis

ada ujan, pedalem tandurane.

„Seperti mangku lainnya, saya setuju itu. Supaya segera

ada hujan, kasihan tanaman kita‟

Ketua pamangku Nggih, sareng sami setuju indik pedinan niki?

„Ya, sudah semuanya setuju tentang waktu ini?‟

Mangku Desa Tyang patuh kadi mangku duéné, setuju ngemargiang

peneduhan pang gelis wenten sabeh, merta.

„Saya setuju seperti mangku lainnya, setuju

melaksanakan peneduhan agar segera ada hujan berkah‟

Ketua pamangku Nggih.. yen sampun kenten berarti sampun didukung oleh

segenap mangku sami. Kenten kocap jero klian tanggal

patlikur puniki dina sukra pon nggih.

„Ya, kalau sudah begitu berarti sudah didukung oleh

segenap pamangku. Begitulah jero klian, tanggal 24 ini

hari Jumat pon ini‟.

Ketua adat Nggih, mangkin tiyang jagi nakenin serati due napi

mresidayang ngaryanin banten niki.

„Baik, sekarang saya menanyakan kesiapan tukang sajen‟

Ketua pamangku Niki, galah becik wenten bin petang rahina. Nuju,

tanggal patlikure niki. Punapi bes joh paek? Kentenang

biyang mangku dumun indik ngaryaning upakara sareng

seratine.

„Ini ada hari baik empat hari lagi. Tepatnya tanggal 24

ini. Bagaimana tentang jauh dekatnya? Katakan

demikian pada bu mangku dulu untuk membuat sarana

upakara‟.

Ketua adat Nggih

„ya‟

Ketua pamangku De, mai malu

„De, kemarilah‟ (memanggil istrinya)

Bu mangku Napi wenten? „ada apa?‟

Ketua adat Kenten, biyang jagi mekarya upakara peneduhan kadi

sane sampun-sampun malih petang rahina niki.

Mresidayang niki indik galah?

„Begini. Anda diminta membuat sajen mohon hujan

seperti yang sudah sudah lagi empat hari‟. Bisakah anda

menyiapkan sajen dalam waktu tersebut?‟

Bu mangku Upakarane kadi ne sampun memargi gen niki?

„Sarananya seperti yang sudah berjalan saja?‟

Ketua pamangku Nah, ten je bes makeh san. Anu gaenang pajatian

nemnem cukup.

„Ya, tidak banyak. Buatkan enam pajatian saja cukup‟

Bu mangku Kadi biasa nika, pajatiang ring pura Puseh, Desa,

Dalem, Mrajapati lan Ring Pesiraman. „Seperti biasa.

Pejati di pura Puseh, Desa, Dalem, Mrajapati dan di

Page 340: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

340

pura Taman‟

Ketua pamangku Bin besik anggen upasaksi, biyang

„Satu lagi untuk upasaksi, bu‟.

Bu mangku Nggih, nyidang minab serati duéné ngarap nika.

„Ya, saya pikir tukang banten bisa menggarapnya‟.

Ketua pamangku Kenten sampun jero klian lan mangku sami, kadi iraga

ngemargiang paneduhan, nunas sabeh sinah iraga

mapiuning ring Kahyangan Tiga dumun, mangda Ida

mapica waranugraha. Ida maring Pura Puseh, Desa

kelawan Dalem taler Prajapati. Inggihan saji sane jagi

katur, ring Pura Dalem karyanang tigang pajatian. Yen

ring Puseh Desa taler ring gedong Dewi Danu. Dadosne

nem pajatian tegepin antuk canang-canang sane tiosan.

Ring Pura Taman, ring pesiraman puniki, ring genah

iraga mapinunas ngelungsur sabeh puniki janten iraga

ngaturang saji mantuk Ida Hyang Wisnu mangda

mapica. Taler katur ring sesuhunan mantuk Ida Hyang

Dewi Danu karyanang tigang pejati tegepin antuk srana

sane siosan. Nggih?

„Begitulah jero klian dan mangku semua, seperti biasa

kita melaksanakan peneduhan, mohon hujan, tentu kita

mempermaklumkan pada Kahyangan Tiga dulu agar

beliau memberi anugrah. Beliau yang berstana di pura

Puseh, Dalem, Prajapati. Mengenai sajen yang

dihaturkan, di pura Dalem buatkan tiga pajatian. Untuk

di pura Puseh dan gedong Dewi Danu. Jadi enam

pajatian lengkapi dengan canang-canang yang lainnya.

Di pura Taman, di permandian, tempat kita mohon hujan

tentu kita haturkan sajen untuk DewaWisnu agar beliau

berkenan. Juga persembahan untuk Dewi Danu buatkan

tiga pejati dilengkapi sarana pelengkapnya. Ya?

Ketua adat Nggih

„ya‟

Ketua pamangku Nggih niki nak iraga sampun sering-sering ngemargiang

niki ten je perlu ngaturang sedetail mungkin tapi yang

jelas serati due sampun pada uning inggihan bebanten

sane sampun biasa kemargiang, ten kenten? Serati due

nak sube biasa mekarya banten sejumlah nika. Khan

iraga saban tahun bahkan sebilang musim tanam iraga

ngemargiang peneduhan bisa dua tiga kali. Nah nika

tergantung keadaan cuaca. Nah kadi mangkin sampun,

ping kuda nika, ping tiga sampun rauh Desember kanti

mangkin. Nggih wantah amunika dumun jero klian, atur

posisine sareng sami, dauhin kramane sami.

„Ya, ini kita sudah sering melaksanakan ini, tidak perlu

saya jelaskan secara rinci tapi yang jelas tukang banten

Page 341: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

341

sudah tahu tentang sarana yang biasa dupakai, yak an?

Tukang banten sudah biasa membuat banten sejumlah

itu. Kan kita setiap tahun bahkan setiap musim tanam

kita melaksanakan ritual mohon hujan beberapa kal.

Sudah tiga kali sejak Desember sampai sekarang. Ya,

sekian saja dulu jero klian, atur posisi kita semua dan

beritahukan warga semua‟

Ketua adat Nggih kenten sampun jero mangku. Mangkin nunas

galah jagi ngenikain prajuru ngarah.

„Baik, begitulah jero mangku‟. Sekarang saya minta

waktu untuk menugaskan petugas untuk meneryskan

kesepakatan ini‟

Ketua pamangku Inggih inggih. Lanturang sampun nika.

„Ya, ya. Lanjutkan saja‟

Ketua adat Kene Ngah, ne nak kal neduh bin petang dina. Arahin

kramane. Orahin masih juru arahe ane sibak kelod jak

tengah. Sing suba jelas to busan. Dauhin kramane

kayang sukra pone apang tedun ngaturang bakti ring

Pura Taman. Ngaba sarana sembahyang. Be jelas to?

„Begini Ngah. Ini akan ada ritual mohon hujan empat

hari lagi. Beritahu juga juru arah bagian selatan dan

tengah. Sudah jelas tadi, kan? Beritahu warga pada hari

Jumat pon agar hadir menghaturkan bhakti di pura

Taman. Membawa sarana sembahyang. Sudah jelas itu?‟

Juru arah Nggih sampun jelas. Bin mani tyang mulai mejalan

ngarah.

„Ya, sudah jelas. Besok saya mulai memberitahukan

warga‟

Pengurus adat Nggih. Kenten sampun jero mangku sami, sampun molih

tityang niki. Pacuk maka sami pengurus lan jero mangku

indik ngmargiang peneduhan. Yen, kenten duaning galah

pang ten liwat peteng, niki ngiring puputang dumun.

„Ya, begitulah para mangku sekalian, sudah berhasil saya

ini. Sepakat semua pengurus dan pamangku untuk

menjalankan ritual mohon hujan. Kalau begitu, karena

waktu supaya tidak terlalu larut, mari kita tutup dahulu‟

Bersama Nggih jero mangku, tiyang nas pamit.

„Baik jero mangku, saya mohon diri‟

Ketua pamangku O kenten? Nggih nggih.

„Oh, begitu? Silakan.

Ketua adat Pamit jero

„Saya mohon diri, jero‟

Ketua pamangku Nggih, margi. Sukma nyen jero klian.

„Ya, ya. Terima kasih pak ketua adat‟

Ketua pamangku Yeh, bli mangku Desa, nyak seleg suba I Gede megae ?

„Yeh! Kakak mangku Desa, rajinkah I Gede bekerja?

Page 342: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

342

Mangku Desa Anu nak magae di bengkel. Lantas ye ditu ngredit

tegakan pang ada abana ulah ulih

„Dia bekerja di bengkel, sekalian di sana mencicil motor

untuk pulang-pergi‟

3. Mapengarah „Pemberitahuan‟

Tempat : Rumah warga

Pelibat : Juru arah (I Nengah Ardika) dan warga

Cara : Percakapan semuka

Bahasa Bali halus

Juru arah Yan, .. Yan Swastiastu

„Yan, salam‟

Warga Swastiastu. Engken Ngah?

„Salam. Ada apa, Ngah?

Juru arah Tiyang ngarah, ne Yan. Ne mapan kramane kal neduh

bin puan, tyang ngarahin kramane apang tedun. Dadine

Wayan jak makejang pang hadir je.

„Saya membertitahu ini, Yan. Ini karena aka nada

upacara mohon hujan dua hari lagi, saya memberitahu

warga untuk hadir. Jadi Wayan dan keluarga agar hadir‟

Warga Ring bulakan ne?

„ Di Bulakan tempatnya?

Juru arah Ae, di pura Bulakan, Yan. Yeh ne pang sing engsap,

nganggo pakean adat.

„Ya, di pura Bulakan, Yan. Ya, supaya saya tidak lupa,

pakai pakaian adat‟

Warga Ngaba banten kone?

„Membawa sajen kah?

Juru arah Indik banten suba kekaryanin jak biyang serati.

Dadine ngaba bakti dogen.

„Prihal banten sudah dibuat oleh tukang sajen. Jadi

membawa sarana sembahyang saja‟

Warga Jam kuda ne? „Jam berapa?‟

Juru arah Yeh saja, ngaturang baktine sawetara jam 2 sore.

„Oh ya, hadir sekitar jam 2 sore‟.

Warga Nyoreang berarti to. Nah nah

„Agak sore. Ya, ya‟

Juru arah Keto gen Yan, tyang dauhne malu sig pak Gedene

„Sekian saja, Yan. Saya ke rumah sebelah selatan ke pak

Gede dulu‟

Warga Nah, trimakasih, Ngah. Suksma

„Nah, terima kasih, Ngah. Terima kasih‟

Juru arah Suksma mewali, pak Wayan.

„Terma kasih kembali, pak Wayan‟

Page 343: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

343

4. Neduh „Mohon hujan‟

Tempat : Pura Taman

Pelibat : Warga

Pemimpin : I Nyoman Dastra

Cara : Percakapan monolog

Bahasa Sansekerta, Jawa Kuna, dan Bali

Pembukaan

Aum awigenamastu nama siwa

sidyam

Aum padmasana ya namah suaha.

Aum prasada stiti siwa suci nirmala

ya namah suaha

Ya, Tuhan semoga tidak ada

rintangan.

Ya, Tuhan, hamba memujaMu

sebagai Siwa. Ya Tuhan, berkatilah

tindakan hamba.

Aum Ang Brahma suka ya nama

suaha

Aum dupa ya namah suaha.

Aum Ang dupa dipastra ya namah

suaha

Ya, Tuhan sebagai Brahma sumber

kebahagiaan

Ya Tuhan, hormat hamba kepada

dupa, sinar suci kebahagaiaan

Om kara sudamam suaha

Om kara hati ya namah suaha

Ya, Tuhan, bersihkanlah hamba dan

jadikan lebih bersih

Om ang rah pat astra ya namah

suaha

Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu

sebagai api yang menyala

Om pakulun Sanghyang Kawisuara,

Sanghyang Guru Reke,

Sanghyang Saraswati,

suksma nugraha.

Om sasolah salampah tan keneng

lara rogo wiguna, danda utpata,

tan kapadrawa dening Hyang

Mami

Ya, Tuhan yang Maha Pencipta,

Maha Guru, dang Maha Tahu

anugrahilah kami agar tindakan kami

terhindar dari cacat, kesalahan, dusta

dan kutukan.

Om indah ta kita

sang buta mangan mantra.

Nini buta mantra

antara murub

Om sang buta kala dengen

aturaken sarining ulun

ripada Sanghyang Saraswati .

Sira tinanggepan dening ingsun

Weh akena kesidianku

Ya, Tuhan, hindarkan hamba dari

gangguan para buta yang menguasai

mantra.

Ya, para buta serahkan kepandaianmu

pada Sanghyang Saraswati untuk

diterimakan kepadaku. Berikan aku

kesidianmu.

Page 344: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

344

Ong sa ba ta i,

Ong na ma si wa ya

Ong mang ung mang

Ong sa ba ta i,

Ong na ma si wa ya

Ong ang ung mang

Ong ang ung mang siwa sadasiwa,

paramasiwa

Om sabda bayu idep sudanta

wiguna.

Ong sidirastu serayusat prayoga ya

namah suaha

Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu dalam

berbagai perwujudan-Mu.

Ya, Tuhan, semoga tindakan hamba

berhasil dan bermanfaat.

Ong ung rapat astra ya namah

suaha

Ong atma tatwatma sudamam

suaha.

Ong ksamam sampurna ya namah

suaha

Ong sri pasupati ya ong pat.

Ong subem narwastu

Ong purnam bawantu,

Ong sukem bawantu,

Ong sriem bawantu,

Ong sapta werdi astu, tatastu suaha

Ya, Tuhan hamba memuja-Mu sebagai

api yang menyala. Ya Tuhan,

sucikanlah hamba.

Ya, Tuhan, ampunilah hamba

Ya, Tuhan, sempurnakanlah tindakan

hamba, sehinga tiada kekurangan,

tetapi membawa kebahagiaan,

kemakmuran dan kemajuan. Semoga.

Ong rang ring sah pramasiwa

gangga amerta ya namah suaha

Ong sang narmada ya namah suaha

Ong sang sindu ya namah suaha

Ong sang gangga ya namah suaha

Ong sang saraswati ya namah

suaha

Ong sang erawati ya namah suaha

Ong sang nadi sertah ya namah

suaha

Ong sang nadi suta ya namah suaha

Ong sang garbadaya ya namah

suaha

Ong sang serayusca ya namah

suaha

Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu

sebagai air amerta dari Paramasiwa.

Hamba juga memujamu dalam gelar

perwujudan sebagai penguasa mata

air, pengetahuan, penguasa sungai

besar dan kecil.

Ong rah pat astra ya namah suaha

Ong Ong Ong

Ong angkara suda siwa setah

jagatnata hitangkarah abiwada

wadumah genta sabda parikasiya

Ya, Tuhan hamba memuja-Mu sebagai

api yang menyala.

Ya, Tuhan yang Maha Mulia dan

Maha Abadi, sumber segala

kegembiraan dan kesejahteraan. Ya

Page 345: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

345

tah

Ong genta sabda maha sertah

Ongkara parikirtitah

candra nada windu nadakem,

sapu lingga siwa tatwamca.

Ong gentayur pujianta dewa,

kabawa bawa kemersu,

warada labda sandeah,

wara sidi luir senggayum

Ong ang ung mang

Ong kang kasol kaya suarya ya

namah suaha.

Tuhan, Engkau raja dunia yang dipuja

dalam nyanyian kehormatan, diiringi

suara genta yang sangat merdu,

mengagungkan nama Tuhan.

Ya, Tuhan yang memenuhi alam dan

angkasa dengan keindahan dan

cahaya, kebenaran.

Ya, Tuhan, Engkau adalah suara

genta yang ada dalam setiap pekerjaan

yang akan dan sudah dilakukan.

Engkau pemberi anugerah pada setiap

pekerjaan yang akan dilakukan karena

suara genta sesungguhnya

mengantarkan untuk memperoleh

anugerah itu. Ya Tuhan, terimalah

hormat hamba pada-Mu.

Om ksama suamem maha dewa

sarwa prani hitangkarah,

mamoca sarwa papebyah

palayasca sada siwaya

Om papaham papakarmaham,

papatma papasambawah, trahimam

pundari kaksa, sebahya biantara

sucih.

Om ksanta wiyah kayika dosah

Om kesanta wiyah wacika mama,

ksantawiyah manasa dosah,

tat pramadat ksama swamem

Om inak mantra inak padem,

inak bakti tatwam ca

inak bakti inak wali sada siwa

namas stute.

Om mantra inam bakti,

inam karya inam

yatpucitan maha dewa paripurnam

tadastu inam.

Ya, Tuhan, ampunilah hamba oh

Mahadewa yang menganugrahi

keselamatan bagi semua. Ya Tuhan,

bebaskanlah hamba dari semua papa,

dan lindungilah hamba Oh Siwa.

Ya, Tuhan, hamba sungguh papa, jiwa

hamba papa, kelahiran hamba juga

papa, maka ampunilah dosa perbuatan

hamba. Ampuni dosa perkataan dan

pikiran hamba. Ampunilah hamba dari

kelainan dan cacat.

Ya, Tuhan, hamba sungguh kurang

dalam memahami mantra, kurang

dalam hal bakti, dan kurang dalam hal

kemajuan dan kebajikan. Hormat

hamba pada Siwa.

Ya, Tuhan, hamba sungguh kurang

dalam mantra dan bakti, bahkan hina

dalam kerja. Oleh karenanya, hamba

memuja-Mu oh Dewa yang Agung

Dewa yang Maha Sempurna.

Page 346: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

346

Om apsu dewa pawitrani

ganggadewi nama stuta,

wiguna klesa winarsanam

toyam parisudayate.

Om sarwa papa winarsanam

sarwa klesa winarsanam

sarwa roga winarsanam

sarwa boga napuniat

Ya, Tuhan sebagai air yang

menyucikan, melenyapkan segala

segala kotoran.

Ya, Tuhan, Engkau bersihkan dan

semua macam papa, kotoran,

penyakit dari tubuh hamba. Engkau

berikan segala yang menyenangkan.

Om panca aksara

maha mertam pawitra,

papanasanam papa koti

sahasranam,

agadem bawet segarem

Om panca aksara

prama Brahma pawitra,

papanasanam mantra ta pradnyan,

nama suka loka werdi subem.

Ya, Tuhan, Engkau adalah lima

aksara yang meresapi air suci hingga

berkhasiat untuk membersihkan dan

melenyapkan papa. Ia adalah obat

bagaikan lautan bagi ratusan ribu

penyakit.

Ya, Tuhan sebagai lima aksara suci

Brahman yang menyucikan dosa dan

merupakan mantra akhir, tertinggi

dan memenuhi alam siwa loka.

Om Gangga Dewi Saraswati

sinam wisanam

surya muna mahati sertah

serayuce maha nadi.

Om gangga sindu saraswati

surya muna gadawari

narmada kuweri mahendra tenaya

cerman wati weruhem

Om gangga dewi maha punyem,

gangga somawa manggalem

manggalem siwa keranam

siwa kumba mahetanem

Om tirta adnyanam maha merta,

angga segara mara lataya,

nareyana di aglo soropi,

kumba tirta maha gangga

Ya, Tuhan dalam berbagai

perwujudan yang memancarkan

keindahan, kebesaran, dan kemajuan

ilmu pengetahuan.

Ya, Tuhan yang berwujud Gangga

yang berjasa, memberikan amerta dan

berkah. Engkau merupakan bejana

Siwa yang paling utama.

Ya, Tuhan berkatilah tirta ini menjadi

berkah, kebijaksanaan maha amerta.

Aliran air Gangga adalah bejana air

suci.

Page 347: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

347

Om gangga duara prasciwa

gangga segara senggama,

sarwang gatra durlabata

tribista dewayun serawa

Om papaham papakarmaham

papatma papa sambawa

trahimam pundari kaksah

sembahya biyantara suci

Om gangga dewi nama aksarem

ongkare pari kerti titem wigenem,

sarwa klese winasanem,

rogo dosa moksa sanem.

Ya, Tuhan, Engkau bagaikan hulu,

aliran dan muara Gangga. Tiga

tempat itu menjadikan bumi

memperoleh kesempurnaan dan

terbebas dari marabahaya.

Ya, Tuhan, perbuatana hamba

sungguh papa, jiwa hamba papa,

kelahiran hamba juga papa, maka

lindungilah hamba dari salah dan

dengan banten suci ini.

Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu

sebagai Dewi Gangga sebagai pelebur

segala rintangan, cemar, penyakit, dan

dosa

Om ayu bale werdi sakti keranem,

mertium jaya sesuwatem,

roge diksaya kusta dusta kelusem

candra praba baisuarem.

Om ring tirtanca catur bujam,

trinayana wiala pawitram,

sitanca merta madya susangkem

karem jiwa diksaya

wiyaktangsangkem

Om mertiun jaya dewa sia,

ya nama nia nurketayat

dirgayusa nawa panoti,

sang rana dijayem bawet.

Om sidirastu tatastu suaha

Om ayu werdi yasa werdisca

darma sentana werdisca sentuta,

sapta werdiyah.

Ya, Tuhan, semoga kekuatan hidup

berkembang dan bersinar

menghasilkan kemajuan pengetahuan

dan kemampuan, menang atas dusta,

dan kematian.

Oh, Tuhan Siwa yang bertangan

empat, bermata tiga, berselempang

ular yang meresap ke dalam tirta

amerta memelihara kebahagiaan dan

kekuatan jiwa yang tak pernah luntur.

Ya, Tuhan, kami percaya siapapun

yang mengucapkan mantra puja

kepada-Mu akan memperoleh

kejayaan atas kematian, berumur

panjang, dan menang dalam

perselisihan. Semoga berhasil.

Ya, Tuhan, semoga kebenaran

berkembang sepanjang jaman, dalam

diri dan tujuh keturunan.

Om idam basma paran guyan

Pawitra papa nasanem

sarwa klesa winasanam.

Ya, Tuhan, bhasma ini amat rahasia,

menyucikan, menghilangkan papa

dan segala bentuk cemar.

Om rah pat astra ya namah suaha.

Om atma tatwatma sudamam

suaha

Om ksama sampurna ya namah

suaha.

Ya, Tuhan hamba memuja-Mu dalam

wujud api yang menyala. Sebagai

hakekat atma yang suci maka

sucikanlah hamba.

Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu

Page 348: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

348

Om sri pasupati ong pat

Om sarwa balikem pertiwi

brahma wisnu iswara

anaking dewa putra sarwada

sarwa nastu ya nama suaha

sebagai penyempurna setiap tindakan.

Ya, Tuhan, dalam berbagai

perwujudan ampunilah kesalahan dan

dosa hamba dan hindarilah hamba

dari segala bentuk hukuman tetapi

berikanlah hamba kecukupan hidup

yang mendamaikan.

Om perajayeng sarwa doh suda

mala

suda klesa suda danda

suda petaka suda rogah

Om bayu putrastu ya namah suaha.

Ya, Tuhan, hindarkan hamba dari

bahaya, petaka, dan hukuman.

Berikan hamba kesehatan dan

kebahagiaan yang selayaknya.

Om Wisnu Wisnu rahadi triadi

Sri Wisnu prajapati kasertah,

warahe kalpa pretama

kala yuga kala mangsa kala ita.

Om yuga naksatra nityam

wabakten palem bakti kaminaya

sarwa pratista karsia

subagem astu tatastu suaha.

Ya, Tuhan, Engkau adalah Wisnu

yang mengatur perputaran jaman,

baik jaman permulaan, pertengahan

dan akhir.

Ya, Tuhan, pada masa peralihan yang

membingungkan, berikan hamba

kecerdasan pikiran untuk mengikuti

jalan-Mu.

Om ganapati namastute

wiguna klesa winasanam

sarwa kaya prasidantam

nama karya prasidantu.

Om winayaken ganapati,

sarwa wignena klesa winasanam

mahe sakti karanam nityam,

twam ganapati warapradam,

dipata ya namah suaha

Ya, Tuhan, dalam perwujudan

Ganapati hilangkanlah cemar dan

rintangan sehingga setiap usaha dapat

berhasil.

Ya, Tuhan, dalam perwujudan

Ganapati yang baik. Engkau

melemyapkan cemar dan rintangan

sehingga setiap pekerjaan membawa

hasil yang hebat. Hamba memuja-Mu

sebagai pemberi anugerah dan

penerangan.

Om pertama suda, dwitya suda,

tritya suda, catur tasuda,

panca misuda, sad tisuda, sapta

misuda

Om subem wariastu tatastu ya

namah suaha.

Om siwa amerta ya namah suaha.

Om sada siwa amerta ya namah

suaha.

Om prama siwa amerta ya namah

Ya, Tuhan, yang menyucikan hingga

tahap ketujuh, semoga semua

berbahagia.

Ya Tuhan, hamba memuja-Mu

sebagai Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa

dan perwujudan lain. Bersihkanlah

hamba dan sucikanlah pikiran,

Page 349: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

349

suaha.

Om candra amerta ya namah

suaha.

Om gangga amerta ya namah

suaha,

Om siwa sudamam suaha,

Om sudam suaha,

Om suasti sudamam suaha.

Ong rang ring sah parama siwa

amerta ya namah suaha

perkataan dan perbuatan hamba.

Hormat hamba pada Tuhan Yang

Maha Pemberi.

Om jnana astra sarining empu

wisesa

Segau angluaraken

tepung tawar amunahaken sebel

kandel ya namah suaha

Ya, Tuhan Yang Maha Bijaksana.

Sebagai sumber kebenaran Engkau

dapat menghapus setiap cemar dan

kotor.

Om adityasyaparam joti

rakta teja namastute

sweta pangkaja madhyasta

bhaskara ya namostute

Om dewa dewi mahasidi

yajnana nirmalatmaka,

laksmi sidhisca dirgayuh,

nirwigna sukha werdisca

Om awignam astu nama sidayam.

Ya, Tuhan dalam wujud sinar

matahari merah di tengah teratai

putih. Warnamu menyala hebat.

Hamba menghormati dan memuja-

Mu.

Ya, Tuhan dalam perwujudan dewa-

dewi yang maha sidi dan berjnana

suci. Berikanlah hamba kebahagian,

kesempurnaan dan panjang umur.

Semoga terbebas dari rintangan, dan

mendapat kebahagiaan dan kemajuan

atas anugerah Tuhan.

Isi

Om adi betara Wisnu, adi betara

Brahma, adi betara Mahadewa, adi

betara Iswara,

Adi ngiring kemit ragan beline

Beli nunasang jagat mangda sadia

rahayu

Diastun beli ngelah roban mangda

sadia rahayu.

Ngiring adi nguningang ring Ida.

„Ya, Tuhan semoga apa yang hamba

kerjakan menemui keberhasilan. Adik

batara Wisnu, adik batara Brahma,

adik batara Mahadewa, adik batara

Iswara. Adik mari jaga raga kakak.

Kakak memohonkan kebahagiaan

jagat raya. Sekalipun kakak punya

saudara semoga mereka bahagia. Mari

adik memohonkan kepada beliau‟.

Page 350: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

350

Titiang damuh cokor I Dewa

titiang bakti,

iwang antuk bakti

titiang nglungsur sinampura

Titiang nglungsur jagate sami

mangda aman tentrem,

mangda tan wenten kekacauan

punapa punapi.

Diastun titiang madue roban

mangda mangguh kerahajengan.

Mangda ledang ida ngicen kesidian

„Saya hamba paduka. Hamba bhakti.

Kalaupun ada yang tidak berkenan

mohon dimaafkan. Hamba memohon

maaf karena berani mengajukan

permohonan demi ketentraman dunia

dan terhindar dari segala bentuk

kekacauan. Begitupun sanak saudara

hamba agar memperoleh kebahagiaan.

Semoga Tuhan berkenan memberi

kesidian‟

Sane mangkin titiang nunas ring

ida meraga Hyang Kuasa.

Titiang nunas sarining paneduhan

pingit. Titiang nunas sabeh merta

santukan metetanduran panjak

druene kirangan toya.

„Sekarang hamba mohon pada Tuhan

Yang Maha Kuasa. Hamba mohon

anugerah kemampuan memanggil

hujan yang jitu. Permohonan itu

hamba peruntukkan bagi tanaman

rakyat paduka yang layu, kekurangan

air‟.

Ih I Ratu Ngurah Tangkeb Langit

ngadeg

Titiang nunas ujan mangda dados

merta.

Titiang nyelang pepatih druene.

Ngadeg Gusti Wayan Teba, ngadeg

Gusti Gade Jelawung, ngadeg

Gusti Nyoman Pengadangadang,

ngadeg Gusti Ketut Petung. Titiang

nunas tulung pacang nunas sabeh.

„Wahai Ratu Ngurah Tangkeb Langit

hadirlah. Hamba mohon hujan untuk

menghidupkan. Hamba meminjam

patih paduka.

Hadirlah Gusti Wayan Teba

Hadirlah Gusti Made Jelawung

Hadirlah Gusti Nyoman

Pengadangadang, Hadirlah Gusti

Ketut Petung.

Hamba mohon bantuan untuk

mengundang hujan.

Ih I Gusti Wayan Teba ngadeg

Simpen genine ireng

Medalang kerug tatit

Unggahang empas segarane

mangda ngebek penuh ring

ambara.

Gusti Wayan katuran ketipat

dampulan mabe taluh

mepanggang.

Wahai Gusti Wayan Teba bangkitlah.

Simpanlah api hitam. Keluarkan

gemuruh dan kilat. Naikkan kura-kura

laut agar memenuhi angkasa. Untuk

Gusti Wayan hamba persembahkan

ketupat dampulan dan telur panggang

Page 351: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

351

Ih Gusti Made Jelawung ngadeg.

Simpen genine bang

Sehananing entikan gulem mangda

tumbuh

Gusti Made katurang ketipat

kelanan mabe taluh mapindang.

Wahai Gusti Made Jelawung

bangkitlah. Simpan api hitam. Semua

bakal mendung agar tumbuh. Untuk

Gusti Made dipersembahkan ketupat

kelanan dan telur pindang

Ih Gusti Nyoman

Pengadangadang, ngadeg

Simpen genine kuning sehananing

entikan gulem mangda tumbuh.

Gusti Nyoman katuran ketipat gong

mabe taluh bekasem.

Wahai Gusti Nyoman

Pengadangadang bangkitlah. Simpan

api kuning. Semua bakal mendung

agar tumbuh. Untuk Gusti Nyoman

dipersembahkan ketupat gong dan

telur asin.

Ih Gusti Ketut Petung ngadeg.

Simpen genine putih

Tutup bayu bebiyunge, sehananing

entikan gulem mangda mapulpul

ring ambara

Gusti Ketut katuran ketipat gangsa

mabe taluh angsa maguling.

Wahai Gusti Ketut Petung bangkitlah.

Simpan api putih. Hentikan putaran

angin. Semua bakal mendung agar

berkumpul di angkasa. Untuk Gusti

Ketut dihaturkan ketupat gangsa dan

telur angsa guling.

Ih Ratu Ngurah Tangkeb Langit,

tutup sampun keluwung genine

maring ambara, mangda tumbuh

sehananing gulem ring ambara.

Titiang nunas cakra sudarsana

mangda munggah ring ambara,

muter sahananing gulem manadi

hujan.

Ratu Ngurah katuran saji punjung

maiwak ayam sekuning mabetutu.

Wahai Gusti Ngurah Tangkeb Langit

tutuplah pipa api di angkasa. Agar

semua bakal mendung tumbuh di

angkasa. Hamba mohon roda

Sudarsana agar dinaikkan ke angkasa

memutar semua mendung menjadi

hujan. Untuk Ratu Ngurah dihaturkan

saji punjung dan ayam betutu.

Penutup

Om sidhirastu tatastu werdiastu

Om.

Om shanti shanti shanti Om

Ya, Tuhan, semoga upaya ini berhasil

dan memberi kebahagiaan pada

semua.

Ya, Tuhan, semoga semua mahluk

hidup dengan damai.

Page 352: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

352

5. Foto Penelitian

Genangan air dipompa untuk ladang Bak penampungan air sumur

Dam Pelara, Lunyuk Akses jalan ke Buin Rare, Plampang

Kerja bakti pembangunan pura Teluk Santong

Page 353: inviting and rejecting rain texts by balinese migrant community in

353

Neduh di Plampang Sarana nyuh gadang dicemplungkan

ke air

Rerajahan empas maongkara Sembe layar

Nyelang Galah di Utan Wawancara dengan informan