Upload
zkeee
View
26
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
GA kraniotomi
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
Massa intrakranial dapat berupa kongenital, neoplastik (benigna atau maligna),
infeksi (abses atau kista), atau vaskular (hematom atau malformasi). Kraniotomi adalah
prosedur yang paling sering digunakan untuk tatalaksana neoplasma otak. Tumor primer
biasanya berasal dari sel glia (astrositoma, oligodendroma, atau glioblastoma), sel
ependimal (ependimoma), atau jaringan penyokong (meningioma, schwannoma, atau
papilloma koroid)
Tanpa memperhatikan penyebabnya, massa intrakranial yang hadir ditentukan
berdasarkan prtumbuhannya, lokasi, dan tekanan intrakranial. Massa yang tumbuh
lambat biasanya tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama, berbeda dengan massa
yang tumbuh secara cepat biasanya akan menimbulkan gejala walaupun ukurannya
tidak terlalu besar. Gejala yang sering muncul adalah nyeri kepala, kejang, gangguan
fungsi kognitif dan neurologis secara umum, dan defisit neurologis fokal. Gejala yang
mengarah ke massa supratentorial meliputi kejang, hemiplegi, atau afasia, dimana gejala
yang muncul akibat massa infratentorial adalah disfungsi serebral (ataksia, nistagmus,
dan disartria), atau kompresi batang otak (kelumpuhan nervus kranilais, penurunan
kesadaran, atau respirasi abnormal). Jika tekanan intrakranial meningkat, maka tanda-
tanda hipertensi intrakranial juga akan muncul.
Evaluasi preoperative pada pasien yang akan menjalani kraniotomi harus
dilakukan untuk menentukan ada tidaknya hipertensi intrakranial. Teknik anestesi yang
digunakan pada pasien yang menjalani kraniotomi adalah anestesi umum dengan selalu
memperhatikan tekanan darah.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
II.1 Hasil Kunjungan
1. Identitas
Nama : Ny. R
Usia : 24 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Talang keramat, Palembang
No. Rekam Medis : 315866
Ruangan : Dahlia
Diagnosa : SOL
Tindakan : Kraniotomi
2. Anamnesis
a. Kebiasaan
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok
b. Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan, maupun udara
c. Riwayat Penyakit
Pasien mengakui memiliki riwayat hipertensi sejak 3 tahun terakhir dan
terkontrol dengan obat. Pasien tidak memiliki riwayat asma, penyakit
jantung, ginjal, hepar, diabetes mellitus dan kecelakaan/trauma.
d. Riwayat Operasi
Pasien belum pernah dioperasi sebelumnya
e. Keadaan Saat Ini
Pasien tidak sedang demam, batuk maupun flu. Saat ini keluhan pasien
berupa nyeri kepala.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
b. Kesadaran : compos mentis
3
c. Status Gizi : BB 58 kg
d. Tanda Vital:
• TD : 150/87 mmHg
• RR : 20 x/menit
• N : 72 x/ menit
• S : 36,00C
e. Kepala dan Leher: normochepal, konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
f. Thorax
• Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi :
o Batas atas kiri: ICS II LPS sinistra
o Batas atas kanan:ICS II LPS Dekstra
o Batas bawah kiri : ICS V LMC Sinistra
o Batas bawah kanan: ICS IV LPS Dextra
Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
• Paru
Inspeksi : pergerakan simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi: vesikular breath sound (+), rhonkhi (-), wheezing (-)
• Abdomen
Inspeksi : Perut datar, distensi (-)
Auskultasi : BU (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-)
• Ekstremitas : jejas (-), bekas trauma (-), massa (-), sianosis (-), turgor
kulit cukup, akral hangat
• Mallampati Skor : 1 (tampak pilar faring, palatum mole, dan uvula)
• Bukaan mulut : 3 jari pasien
• Jarak mento-hyoid : 2 jari pasien
4
• Jarak tiro-hyoid : 2 jari pasien
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Leukosit : 13,8 ribu/mm3
Hb :12,7 g/dl
Ht : 36 %
Trombosit : 353 ribu/mm3
PT : 10,8 detik
APTT : 23,6 detik
BT : 3 menit
CT : 6 menit
SGOT : 42 U/L
SGPT : 37 U/L
Ureum : 17 mg/dl
Kreatinin : 0,7 mg/dl
Na/Cl : 140/104
Kalium : 3,4
GDS : 254 mg/dl
b. Rontgen Thorax
Kesan : cor, pulmo, pleura, sinus dan diafragma, dalam batas normal
c. CT Scan Kepala
Kesan : Massa struktur inhomogen dengan tepi hemorrhage, lobulated,
ukuran ± 6,5x6,3 cm pada region frontal kiri disertai peritumoral edema
cerebri yang mendesak ventrikel lateral kiri kanan terutama kornu anterior,
penyempitan sulkus kortikalis dan fissure silvii kanan kiri, pendesakan falk
anterior ke kanan serta mid line shifting ke kanan.
DD : Meningioma; astrocytoma.
5
5. Kesan ASA (The American Society of Anesthesiologist)
ASA 2 (Pasien dengan penyakit sistemik sedang; hipertensi terkontrol,
hiperglikemia)
II.2 Status Anastesi
Anastesi dilakukan pada posisi terlentang dengan posisi kepala dielevasikan 150.
Lama anastesi 3 jam (pukul 08.30 – 11.30) dan lama operasi 2.5 jam (pukul 08.45-
11.15).
1. Rencana Anestesi : anestesi umum dengan intubasi
a. Premedikasi
Fentanyl (1-3 µg/kgBB) = 58 mcg – 174 mcg → 100 mcg
Sediaan 2cc : 50 µg/cc → 2 cc
b. Induksi
Propofol (2-3 mg/kgBB) = 116 mg – 174 mg → 150 mg
Sediaan 20 cc: 10 mg/ml → 15 cc
c. Pelumpuh Otot
Attracurium (0,5-0,6 mg/kgBB) = 29 mg – 34.8 mg → 30 mg
Sediaan 2,5cc: 10 mg/ml → 3 cc
Rumatan (0,1 mg/kgBB) = 0,1 x 58 = 5,8 mg à 5 mg = 0,5 cc
d. Pemasangan ETT
Dewasa wanita à digunakan ETT biasa dengan cuff ukuran 7,0
e. Maintenance
N2O & O2 serta sevofluran 2 Vol%
BMR O2 : 3-5 ml/kgBB
: 174 – 290 ml → 250 ml x 12 = 3000 ml = 3 L
N2O : O2 = 1 : 1 = 2 L : 2 L
6
f. Monitoring :
o Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi selama anestesia :
pengamatan tanda klinis (kualitatif) seperti pergerakan dada, observasi
reservoir breathing bag, serta pastikan stabilitas ETT tetap terjaga
terutama karena akses jalan napas tidak didapatkan selama prosedur
kraniotomi.
o Pemantauan oksigenasi selama anestesia : pemantauan dibantu dengan
pemasangan pulse oximetri untuk mengetahui saturasi O2
o Pemantauan adekuat tidaknya fungsi sirkulasi pasien :
o Pemantauan tekanan darah arterial dan denyut jantung
o Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesia
Input : berupa Infus (kristaloid dan solusi koloid)
Output : Perdarahan, urin
Perhitungan
Maintenance : (4x10) + (2x10) + (1x38) = 98 ml
Operasi (6 ml/kg/jam) : 348 ml
Puasa (6 jam) : 6 x 98 = 588 ml
Pemberian
Jam I : ½ puasa + Maintenance + Operasi = 294 + 98 + 348 = 740
Jam II : ½ puasa + Maintenance + Operasi = 294 + 98 + 348 = 740
Jam III : Maintenance + Operasi = 98 + 348 = 446
Kebutuhan cairan selama operasi 740 + 740 + 446 = 1656 ml
Cairan yang diberikan selama anestesi RL jumlah 1500 cc, HES 6%
jumlah 500 cc
Cairan yang keluar selama operasi
- Urin ± 700 ml
- Perdarahan 500 cc
- Total jumlah cairan keluar 1200 ml
7
Tabel 1. Pemantauan Tanda-Tanda Vital Selama Operasi
Sistol Diastol Nadi MAP 08.30 150 87 98 108 08.45 122 88 80 99 09.00 98 62 72 74 09.15 96 58 69 70 09.30 98 60 69 72 09.45 94 54 63 70 10.00 94 49 63 64 10.15 96 48 61 64 10.30 98 53 59 68 10.45 101 56 60 71 11.00 113 63 65 79 11.15 108 64 65 78 11.30 114 68 60 83
o Lain-lain :
§ Inj. Furosemide 20 mg
§ Inj. Ondancentron 8 mg
§ Inj. Ketorolac 30 mg
§ Inj. Asam Tranexamat 1 g
§ Inj. Neostigmin 1,5 mg + Atropine 0.5 mg (3 : 2)
g. Recovery Room (Aldrette Score)
Kesadaran : 1 (bangun cepat namun kembali tertidur)
Pernafasan : 2 (dapat nafas dalam, batuk)
0 20 40 60 80 100 120
MAP (Mean Arterial Pressure)
MAP
8
Tekanan darah : 1 (TD berubah 20 - 50%)
Aktivitas : 2 (4 ekstremitas dapat digerakkan)
Warna kulit/SpO2 : 2 (merah muda (pink), tanpa O2, SaO2 > 92%)
TOTAL : 8
h. Tindak Lanjut
o Observasi tanda-tanda vital post operasi
o O2 nasal kanul 3 LPM
o Ketorolac 3x30 mg (iv)
o Ondansentron 2x4 mg (iv)
o Diet bertahap
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Teknik anestesi harus disesuaikan apabila terdapat peningkatan tekanan
intrakranial (hipertensi intrakranial) dan perfusi marginal serebral. Sebagai
tambahannya, banyak ahli bedah saraf membutuhkan posisi pasien (mis, duduk,
tengkurap) yang dapat menimbulkan komplikasi dalam prosedur anestesi.
III.1. Hipertensi Intrakranial
Hipertensi intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan intrakranial
diatas 15 mmHg. Hipertensi intrakranial dapat disebabkan oleh bertambahnya massa
jaringan atau cairan, penekanan pada fraktur tulang kepala, intervensi pada absorpsi
cairan serebrospinal (CSS), volume darah serebral yang sangat banyak, atau edema
otak. Peningkatan tekanan darah arterial periodik dengan penurunan refleks denyut
jantung (respon Cushing) berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial yang
berlangsung selama 1 – 15 menit.
Tatalaksana hipertensi intrakranial secara ideal harus ditujukan pada penyebab
utamanya. Gangguan metabolik dikoreksi, dan prosedur pembedahan dilakukan apabila
pasien memang sanggup. Edema vasogenik (yang sering berhubungan dengan adanya
tumor) dapat memberikan respon terhadap kortikosteroid (dexamethasone). Tanpa
memperhatikan penyebab, pengaturan cairan, agen osmotik, dan loop diuretic biasanya
efektif dalam menurunkan tekanan intrakranial dan edema otak. Diuretik menurunkan
tekanan intrakranial dengan membindahkan cairan intraselular dari jaringan otak
normal. Hiperventilasi moderat (PaCO2 30-33 mmHG) dapat membantu menurunkan
aliran darah otak dan tekanan intrakranial secara akut.
Manitol dengan dosis 0.25-0.5 g/kg, efektif untuk menurunkan cairan dan
tekanan intrakranial secara cepat. Osmolalitas serum sebesar 300-315mOsm/L adalah
tujuan utamanya. Manitol dapat secara perlahan meurunkan tekanan dengan efek
vasodilatasinya walaupun lemah. Penggunaan loop diuretic (furosemide) memiliki efek
yang kurang maksimal dibandingkan dengan manito, membutuhkan sekitar 30 menit,
namun dapat memberikan keuntungan tambahan untuk menurunkan produksi CSS.
10
Kombinasi penggunaan manitol dan furosemid dapat berlangsung sinergis namun harus
selalu dipantau konsentrasi potasium serumnya.
III.2. Anestesi dan kraniotomi pada pasien dengan lesi massa
III.2.1. Manajemen Preoperatif
Evaluasi preoperatif pada pasien yang menjalani karniotomi dibutuhkan untuk
menentukan ada tidaknya hipertensi intrakranial. CT scan dan MRI harus membuktikan
kehadiran edema otak, pergeseran garis tengah lebih dari 0.5 cm dan kompresi
ventrikel. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk menilai ada tidaknya defisit sensorik
dan motorik serta status mental pasien. Pengobatan pasien seperti kortikosteroid,
diuretik, dan terapi antikonvulsan perlu diketahui. Hasil laboratorium perlu
menyingkirkan hiperglikemia terinduksi kortikosteroid, gangguan elektrolit akibat
penggunaan diuretik, atau sekresi abnormal hormon antidiuretik.
Premedikasi
Obat-obatan sedatif atau opioid sebaikanya dihindari bila dicurigai adanya
hipertensi intrkranial. Hiperkapnia akibat depresi napas dapat pula meningkatkan
tekanan intrakranial. Kortikosteroid dan terapi antikonvulsan sebaiknya dilanjutkan
hingga waktunya pembedahan.
III.2.2. Manajemen Intraoperatif
Monitoring
Selain monitoring standar, perlu juga tambahan monitoring tekanan intraarterial
dan kateter urin selama pasien menjalani kraniotomi. Perubahan cepat pada tekanan
darah selama prosedur anestesi, posistioning, dan manipulasi pembedahan sebaiknya
dilakukan dengan tuntunan dari monitoring tekanan darah. Selain itu, analisis gas darah
arteri diperlukan untuk mengatur PaCO2. Banyak ahli anestesi neuro me-nol-kan
transducer tekanan arteri setingkat kepala (meatus auditorius eksterna) – daripada
atrium kanan – untuk memfasilitasi kalkulasi tekanan perfusi serebral. Akses vena
sentral dan montiroing tekanan perlu dipertimbangkan apabila pasien membutuhkan
obat-obatan vasoaktif. Kateter urin diberlukan karena penggunaan diuretik, durasi
pembedahan yang cukup lama, dan fungsinya sebagai penunjuk terapi cairan. Fungsi
11
neuromuskular perlu diamati pada sisi yang tidak terkena hemiparese karena respon
berkedut/tersentak biasanya resisten pada sisi yang terkena. Monitoring visual evoked
potensial juga dapat membantu dalam pencegahan kerusakan nervus optik selama
reseksi tumor hipotalamus.
Alat ventrikular, intraparenkimal, dan subdural dapat dipasang oleh ahli bedah
saraf untuk mengukur tekanan intrakranial. Tranducernya harus di-nol-kan sama
dengan tranducer untuk tekanan arteri. Kateter ventikulostomi dapat memantu
pengeluaran cairan serebrospinal untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Induksi
Induksi anestesi dan intubasi trakea merupakan periode kritis pada pasien
dengan tekanan intrakranial yang meningkat. Tekanan intrakranial dapat diperbaiki
dengan diuretik osmotik, dexamethasone, atau pengeluaran CSS dalam volume yang
kecil melalui ventriculostomy drain. Tujuan dari teknik apapun adalah memberikan
induksi anestesi dan mengintubasi trakea tanpa meningkatkan TIK. Hipertensi yang
berkelanjutan dapat meningkatkan TIK, dan berisiko herniasi.
Teknik induksi yang paling sering digunakan adalah dengan propofol yang
disertai hiperventilasi untuk menurunkan TIK dan menumpulkan efek merugikan pada
laringoskopi dan intubasi. Pasien yang kooperatif dapat diminta untuk hiperventilasi
sebelum periode preoksigenasi. Semua pasien menerima ventilasi terkontrol setelah
propofol diinjeksikan. Penghambat neuromuskular diberikan untuk memfasilitasi
ventilasi dan mencegah ejanan atau batuk, dimana keduanya dapat secara tiba-tiba
meningkatkan TIK. Opioid intravena yang diberikan bersama dengan propofol dapat
menumpulkan respon simpatetik, terutama pada pasien muda. Esmolol, 0.5-1.0 mcg/kg
efektif dalam mencegah takikardi yang berhubungan dengan intubasi.
Teknik induksi saat ini dapat bervariasi tergantung respon individual pasien dan
penyakit yang menyertai. Succinylcholine secara teori dapat meningkatkan TIK,
terutama bila intubasi dilakukan sebelum anestesi dalam tercapai. Walaupun begitu,
succinylcholine merupakan obat pilihan untuk induksi cepat atau adanya kekhawatiran
penyulit pada jalan napas.
Hipertensi dalam induksi dapat diatasi dengan β1-blocker atau memperdalam
anestesi dengan tambahan propofol. Konsentrasi rendah pada agen inhalasi (mis,
12
sevoflurane) dapat juga digunakan. Sevoflurane dapat membantu dalam pengaturan
aliran darah otak dan vasodilatasi, ini merupakan agen inhalasi yang disarankan pada
pasien dengan TIK meningkat.
Positioning
Kraniotomi frontal, temporal, dan preoksipital dilakukan dalam posisi supinasi.
Kepala dielevasikan sebanyak 15-30o untuk memfasilitasi drainase CSS. Kepala juga
dapat dimiringkan ke salah satu sisi untuk keperluan pembedahan. Fleksi atau rotasi
berlebihan pada leher dapat menghalangi drainage vena jugular dan dapat meningkatkan
TIK. Sebelum dan setelah positioning, ET harus selalu diperiksa dan diamankan. Dan
sirkuit pernapasan harus terpasang dengan baik. Risiko terlepasnya sirkuit napas dapat
meningkat karena jalan napas pasien tidak mudah diakses setelah prosedur bedah akan
dimulai.
Gambar 1. Posisi elevasi yang dapat digunakan dalam kraniotomi
13
Gambar 2. Posisi duduk pada kraniotomi
Pemeliharaan Anestesi
Anestesi dapat dipelihara dengan anestesi inhalasi, total intravenous anesthesia
techniques (TIVA), atau kombinasi opioid dan hipnotik intravena (biasanya propofol)
dan agen inhalasi dosis rendah. Walaupun preiode stimulasi hanya sedikit, penghambat
neuromuskular disarankan – kecuali terdapat kontraindikasi – untuk mencegah pasien
mengejan, melawan, atau bergerak. Kebutuhan penambahan agen anestesi diperkirakan
terjadi selama intubasi, insisi kulit, pembukaan dural, manipulasi periosteal, termasuk
penempatak Mayfied pin dan penutupan. TIVA dengan ramifentanil dan propofol
memfasilitasi penilaian kedaruratan dan status neurologis pasien.
Hiperventilasi sebaiknya tetap dilakukan selama intraopertaif untuk
mempertahankan PaCO2 pada kisaran 30-35 mmHg. Penurunan tekanan PaCO2
berhubungan dengan iskemia serebri dan disosiasi oksigen yang terganggu pada
hemoglobin. Penggunaan ventilasi tekanan positif dengan volume tidal yang tinggi,
waktu inspirasi yang lebih panjang, dan peningkatan Positive End Expiratory Pressure
(PEEP) akan mengurangi aliran balik vena sehingga dapat membantu mempertahankan
tekanan darah. Akan tetapi peningkatan volume tidal pada pemberian ventilasi mekanik
juga akan meningkatkan ruang rugi dan meningkatkan tekanan intratoraks sehingga
14
akan mengurangi aliran darah balik otak yang akhirnya menyebabkan peninggian
tekanan intrakranial.
Penggantian cairan intravena harus dibatasi dengan kristaloid bebas glukosa atau
solusi koloid. Hiperglikemia sering terjadi pada pasien bedah saraf (efek kortikosteroid)
dan dapat menyebabkan cedera otak iskemik. Solusi koloid dapat dipergunakan untuk
mengembalikan defisit volume intravaskular, dimana solusi kristaloid isotonik
digunakan untuk mempertahankan kebutuhan cairan. Prosedur pembedahan saraf
seringkali berhubungan dengan kehilangan darah secara tersembunyi dibawah kain atau
di lantai.
Emergence
Pasien yang menjalani kraniotomi elektif dapat dilakukan ekstubasi pada akhir
prosedur pembedahan, selama fungsi neurologis intak. Pasien yang tetap diintubasi
sebaiknya ditidurkan untuk menghindari agitasi. Ekstubasi dalam ruang operasi
membutuhkan kemampuan khusus selama mengeluarkannya. Ejanan atau lawanan pada
ET dapat memicu hemoragik intrakranial atau memperburuk edema serebral. Pada saat
kulit sedang ditutup, pasien sebaiknya sudah bernapas secara spontan. Setelah kepala
selesai dibebat dan akses penuh pada pasien telah kembali (meja dikembalikan ke posisi
awal saat induksi), semua gas anestesi diberhentikan dan penghambat neuromuskular
dikembalikan (reversed). Proses membangunkan pasien dengan cepat dapat membantu
untuk penilaian status neurologis pasien dan biasanya terjadi bila proses anestesi
berjalan dengan baik. Bila dosis opioid atau agen sedatif berlebihan maka akan terjadi
proses membangunkan pasien yang lebih lama. Reeksplorasi segera perlu dilakukan.
Kebanyakan pasien dibawa ke ICU postoperatif untuk monitoring neurologis lebih
ketat.
15
BAB IV
PEMBAHASAN
Perempuan usia 44 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalankan operasi
kraniotomi pada tanggal 16 September 2015 dengan diagnosis pre operatif yaitu SOL.
Rencana pre-operatif adalah dengan pemberian maintenance cairan sesuai berat badan
serta dipuasakan selama 6 jam sebelum operasi yang bertujuan untuk memperkecil
kemungkinan adanya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah saat dilakukan
anestesi.
Pada operasi untuk pasien ini, metode anestesi yang dipilih adalah anestesi umum
dengan intubasi trakea. Tujuan dari teknik ini adalah memberikan induksi anestesi dan
mengintubasi trakea tanpa meningkatkan TIK. Teknik induksi yang digunakan adalah
dengan propofol yang disertai hiperventilasi untuk menurunkan TIK dan menumpulkan
efek merugikan pada laringoskopi dan intubasi. Pasien ini menerima ventilasi terkontrol
setelah propofol diinjeksikan. Penghambat neuromuskular (attracurium) diberikan untuk
memfasilitasi ventilasi dan mencegah ejanan atau batuk, dimana keduanya dapat secara
tiba-tiba meningkatkan TIK. Lalu diberikan inhalasi gas anestesi untuk
mempertahankan prosedur anestesi selama operasi kraniotomi berlangsung. Gas
anestesi yang digunakan adalah sevoflurani yang bekerja memblok ganglion simpatik
menyebabkan hambatan ganglion otonom melalui mekanisme inhibisi kompetitif
asetilkolin. Sevoflurane juga dapat membantu dalam pengaturan aliran darah otak dan
vasodilatasi.
Setelah induksi maka dilakukan pengaturan posisi pembedahan dimana kepala
dielevasikan sebanyak 15-30o untuk memfasilitasi drainase CSS. Kepala juga
dimiringkan ke salah satu sisi untuk keperluan pembedahan kraniotomi. Sebelum dan
setelah positioning, ET diperiksa dan diamankan. Dan sirkuit pernapasan dipastikan
terpasang dengan baik.
Setelah prosedur selesai, gas anestesi sevofluran diturunkan perlahan agar pasien
mudah dibangunkan. Setelah itu lakukan bagging untuk memancing pasien agar dapat
bernafas normal. Jika pasien sudah dapat bernapas normal dilakukan ekstubasi lalu
disungkup hingga pasien sadar dan dapat membuka mata.
16
BAB V
KESIMPULAN
Pada operasi kraniotomi, teknik anestesi yang dipilih seharusnya dapat
mengendalikan tekanan intrakranial dalam tingkat yang normal. Teknik anestesi disertai
dengan pengaturan posisi agar kepala dielevasikan 15-30o.Metode anestesi yang dipilih
adalah anestesi umum dengan intubasi trakea. Tujuan dari teknik ini adalah memberikan
induksi anestesi dan mengintubasi trakea tanpa meningkatkan TIK. Teknik induksi yang
digunakan adalah dengan propofol yang disertai hiperventilasi untuk menurunkan TIK
dan menumpulkan efek merugikan pada laringoskopi dan intubasi. Pasien ini menerima
ventilasi terkontrol setelah propofol diinjeksikan. Penghambat neuromuskular
(attracurium) diberikan untuk memfasilitasi ventilasi dan mencegah ejanan atau batuk,
dimana keduanya dapat secara tiba-tiba meningkatkan TIK. Lalu diberikan inhalasi gas
anestesi untuk mempertahankan prosedur anestesi selama operasi kraniotomi
berlangsung. Selama prosedur anestesi, dilakukan monitoring pada tekanan intrakranial,
tekanan darah, serta repirasi. Setelah prosedur selesai, gas anestesi sevofluran
diturunkan perlahan agar pasien mudah dibangunkan. Setelah itu lakukan bagging untuk
memancing pasien agar dapat bernafas normal. Jika pasien sudah dapat bernapas normal
dilakukan ekstubasi lalu disungkup hingga pasien sadar dan dapat membuka mata.