Upload
risna-ariani
View
266
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ISI LAPSUS NEW.docx
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sirosis adalah penyakit kronis hepar, di mana terjadi destruksi dan
regenerasi difus sel-sel parengkim hepar dan peningkatan pertumbuhan jaringan
ikat difus yang menghasilkan disorganisasi arsitektur lobular dan vaskular. Sirosis
hepatis merupakan stadium akhir kerusakan sel-sel hepar yang kemudian menjadi
jaringan fibrosis. Kerusakan tersebut ditandai dengan distorsi arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif akibat nekrosis sel-sel hepar. Selanjutnya,
distorsi arsitektur hepar dan peningkatan vaskularisasi ke hepar menyebabkan
varises atau pelebaran pembuluh darah di daerah gaster maupun esofagus.1,2,3
World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan 783 000
pasien di dunia meninggal akibat sirosis hepatis. Sirosis hepatis paling banyak
disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di Indonesia
sirosis hepatis banyak dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan C karena
penyalahgunaan alkohol lebih jarang terjadi dibandingkan negara-negara barat.
Sekitar 57%, pasien sirosis hepatis terinfeksi hepatitis B atau C. South East Asia
Regional Office (SEARO) tahun 2011 melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia
Tenggara adalah pembawa hepatitis B, sedangkan sekitar 480 000 orang pembawa
hepatitis C.4,5,6
Perdarahan akibat pecahnya varises gastroesofagus (VGE) merupakan
komplikasi yang berbahaya bagi pasien sirosis hepatis. Sayangnya, pasien
seringkali datang untuk pertama kali karena hematemesis atau melena dan baru
kemudian terdiagnosis sirosis hepatis. Padahal ancaman kematian selalu ada
setiap terjadi perdarahan.7
I.2 Tujuan Penulisan
Penulisan bertujuan untuk menambah wawasan pada penulis dan kita
semua mengenai Sirosis Hepatis dengan Varises Esofagus dan penulisan juga
bertujuan untuk persyaratan mengikuti ujian stase Ilmu Penyakit Dalam.
1
BAB II
KASUS
Pasien LND, laki-laki, 30 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan
utama perut membesar. Pasien datang dalam kondisi sadar dan diantar oleh
keluarga ke RSUD dr. Doris Sylvanus pada tanggal 12 Juli 2015. Pasien
mengatakan perutnya di rasakan membesar 6 hari sebelum masuk rumah sakit.
Perutnya dirasakan semakin hari semakin membesar dan bertambah tegang,
namun keluhan perut membesar ini tidak sampai membuat pasien sesak dan
kesulitan bernapas.
Pasien juga mengeluh muntah darah sejak 6 hari sebelum masuk Rumah
Sakit, darah bergumpal dan kadang kadang berupa darah segar dengan volume
kurang lebih 1 gelas aqua, frekuensi 2 kali sehari dan muntah biasanya setelah
minum. Pasien mengatakan bahwa buang air besarnya berwarna merah segar
selama 3 hari, satu hari sebelum masuk Rumah Sakit buang air besar berwarna
hitam dengan frekuensi 2 kali per hari dan volume kira-kira ½ gelas setiap buang
air besar. Riwayat buang air kecil berwarna seperti teh (+). Selain itu, dikatakan
pula bahwa beberapa hari terakhir, pasien mengeluh nyeri pinggang. Keluhan
panas badan, rambut rontok dan gusi berdarah disangkal oleh pasien.
Pasien memiliki riwayat merokok selam kurang lebih 15 tahun. Selain itu
pasien juga memilki riwayat minum minuman beralkohol selama 2 tahun, 1 kali
seminggu, satu kali minum sebanyak ¼ gelas aqua. Riwayat transfusi darah di
sangkal.
Riwayat penyakit Hepatitis, DM, Hipertensi, Penyakit Jantung, penyakit
ginjal disangkal oleh pasien. Riwayat penyakit keluarga pasien mengaku tidak ada
anggota keluarganya yang mengalami keluhan seperti pasien, Riwayat penyakit
Hepatitis, DM, Hipertensi, Penyakit jantung, penyakit ginjal dalam keluarga
disangkal.
Riwayat pengobatan, pasien mengaku sebelumnya mengkonsumsi obat
anti nyeri karena sebelum masuk rumah sakit bapak berobat dengan keluhan nyeri
2
pinggang. Riwayat pribadi dan sosial pasien seorang pekerja di perusahaan,
kebiasan makan minum di sediakan oleh perusahaan tetapi makan tidak teratur.
Pada pemeriksaan Fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, vital sign yaitu tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
92x/menit reguler teraba kuat angkat, terisi penuh, pernafasan 21 X/menit, suhu
36,2°C, BB 52 kg, TB 165 cm dan IMT 19, 11 kg/m2.
Kepala : konjungtiva anemis, sklera ikterik, leher : massa (-), pembesaran
KGB (-) dan peningkatan JVP (-), thoraks : tampak simetris kiri dan kanan, tidak
ada ketinggalan gerak hemithoraks kanan dan kiri tidak tampak adanya retraksi
dan spider nevi (-). Pada palpasi fremitus taktil pada hemithoraks kanan dan kiri
normal, perkusi sonor, auskultasi suara nafas dasar vesikuler di kedua paru, tidak
terdengar adanya rhonki maupun wheezing. Cor : Kardiomegali (-), ictus kordis
tidak terlihat dan tidak teraba, auskultasi S1S2 tunggal regular, murmur (-) dan
gallop (-). Abdomen : Dari pemeriksaan abdomen, pada inspeksi tampak adanya
distensi, dari palpasi didapatkan hepar dan lien sulit di evaluasi, ada nyeri tekan
pada daerah epigastrium, dari perkusi abdomen didapatkan asites (+) dengan tes
undulasi. Ekstremitas inferior: pitting edema (+/+).
Pemeriksaan Laboratorium : Eritrosit 1,86 jt/uL, Hb 5,6 g/dL, leukosit
8.050 µL, trombosit 242.000/µL, hematokrit 16,8%, GDS 115 mg/dL, kreatinin
1,27 mg/dL, SGOT 95 u/L, SGPT 74 u/L, Albumin 3,36 mg/dL, total protein 5,43
mg/dL , globulin 2,07 mg/dL, bilirubin total 0,65 mg/dL , bilirubin direk 0,43
mg/dL , HbsAg (+).
Pemeriksaan darah tepi, kesan : aktivasi neutrophil dan anemia normositik
normokromik.
Pemeriksaan USG abdomen, kesan: sirosis hepatis kemungkinan malignan
dengan hipertensi portal, varises oesophagus, asites permagna.
Pemeriksaan foto thorax PA, kesan: efusi pleura kanan minimal.
Diagnosa adalah Sirosis hepatis dengan varises Esofagus.
3
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA dan PEMBAHASAN
III.1. Tinjauan Pustaka
III.1.1. Definisi Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis adalah penyakit hepar yang menahun yang difus yang
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya
dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hepar yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hepar
akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur
akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut.8
III.1.2. Epidemiologi
Di Amerika, sirosis hepatis menjadi penyebab kematian ke 12 dengan
29.165 kematian pada tahun 2007 dan rata-rata angka mortalitas 9,7 per 100.000
orang. Angka kejadian di Indonesia menunjukkan pria lebih banyak menderita
sirosis dari wanita (2 - 4: 1), terbanyak didapat pada usia dekade kelima.4
World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan 783 000
pasien di dunia meninggal akibat sirosis hepatis. Sirosis hepatis paling banyak
disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di Indonesia
sirosis hepatis banyak dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan C karena
penyalahgunaan alkohol lebih jarang terjadi dibandingkan negara-negara barat.
Sekitar 57%, pasien sirosis hepatis terinfeksi hepatitis B atau C. South East Asia
Regional Office (SEARO) tahun 2011 melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia
Tenggara adalah pembawa hepatitis B, sedangkan sekitar 480.000 orang pembawa
hepatitis C.5
Hipertensi portal, ascites dan varises bleeding adalah komplikasi paling
sering pada penderita sirosis hepatis. Varises esophagus memiliki dampak klinis
yang sangat besar, dengan resiko mortalitas sebesar 17-42% tiap terjadinya
perdarahan. Varises dapat terbentuk pada setiap lokasi tubuler saluran cerna tetapi
varises paling sering terjadi pada beberapa sentimeter dari distal oesofagus.
4
Sekitar 50% pasien sirosis akan mengalami varises gastrooesophageal. Frekuensi
varises oesofagus sekitar 30% - 70% sedangkan varises gaster sekitar 5 – 33%.
Varises oesofagus akan terbentuk sebesar 5 – 8% pertahun, namun varises yang
cukup besar untuk menimbulkan resiko perdarahan hanya 1-2% kasus. Sekitar 30-
40% pasien dengan varises kecil akan menjadi varises besar setiap tahun sehingga
akan beresiko perdarahan.9
III.I.3. Etiologi Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis bisa dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penyalahgunaan
alkohol dan infeksi virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering.
Tabel 1. Etiologi Umum Sirosis Hepatis8
Untuk penentuan derajat keparahan dan prognosis pembedahan, maka
klasifikasi derajat keparahan yang sering digunakan adalah klasifikasi Child-
Turcotte-Pugh.
Tabel 2. Klasifikasi Sirosis dengan Skor Child-Turcotte-Pugh8
* Sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh, kelas A (5-6 poin) mengindikasikan
5
penyakit hati least severe, kelas B (7-9 poin) mengindikasikan penyakit hati
moderately severe dan kelas C (10-15 poin) mengindikasikan most severe.
# Hanya salah satu. Pemanjangan waktu protrombin atau INR yang digunakan.
III.1.4. Patofisiologi
Infeksi hepatitis viral tipe B atau C menimbulkan peradangan sel hati.
Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas, terjadi kolaps
lobulus hati dan ini memacu timbulnya jarigan parut disertai terbentuknya septa
fibrosa difus dan nodul sel hati. Walaupun etiologinya berbeda, gambaran
histologis sirosis hepatis sama atau hampir sama.3
Patogenesis sirosis menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya
peranan sel stelata (stellate cell), yang berperan dalam keseimbangan matriks
ekstraseluler dan proses degradasi, jika terpapar faktor tertentu secara terus
menerus (misal hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik) maka sel stelata akan
menjadi sel yang membentuk kolagen dan jika terus berlangsung maka jaringan
hati normal akan diganti oleh jaringan ikat Septa bisa dibentuk dari sel reticulum
penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat
menghubungkan daerah porta yang satu dengan yang lainnya atau porta dengan
sentral (bridging necrosis).3
Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai ukuran
dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan aliran
darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian dapat pula terjadi
pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya terjadi
peradangan dari sirosis pada sel duktules, sinusoid retikuloendotel, terjadi
abrogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversibel menjadi
ireversibel bila telah tertbentuk septa permanen yang aselular pada daerah porta
dan parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung etiologi sirosis. Pada sirosis
dengan etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah portal, pada
sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limfosit T dan makrofag
menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya
6
fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septa
aktif ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.8
III.1.5. Tanda dan Gejala
1. Fase Kompensasi Sempurna
Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali atau bisa juga keluhan
samar-samar tidak khas seperti pasien merasa tidak sehat, merasa kurang
kemampuan kerja, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual,
kadang mencret atau konstipasi, berat badan menurun, kelemahan otot dan
perasaan cepat lelah akibat deplesi protein. Keluhan dan gejala tersebut tidak
banyak bedanya dengan pasien hepatitis kronik aktif tanpa sirosis hepatis dan
tergantung pada luasnya kerusakan parenkim hati.3
2. Fase Dekompensasi
Manifestasi klinis pasien sirosis pada fase dekompensasi secara garis besar
dibagi menjadi 2 yaitu 3:
a. Manifestasi Gagal Hepatoseluler
Ikterus terjadi pada 60 % penderita selama perjalanan penyakitnya dan
biasanya hanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih sering terjadi.
Penderita dapat menjadi ikterus selama fase dekompensasi disertai gangguan
reversibel fungsi hati. Gangguan endokrin sering terjadi pada sirosis. Hormon
korteks adrenal, testis, dan ovarium dimetabolisme dan diinaktifkan oleh hati.
Gangguan pada hati juga akan mengganggu proses metabolime dan inaktivasi
dari hormon-hormon tersebut. Spider nevy yang terdiri dari arteriola sentral
tempat memancarnya banyak pembuluh darah halus akan terlihat pada kulit
terutama di bagian leher, dada, dan bahu. Spider nevy, atrofi testis,
ginekomastia, alopesia pada dada dan aksila, serta eritema palmaris diduga
disebabkan oleh kelebihan estrogen dalam sirkulasi. Peningkatan pigmentasi
kulit juga diduga disebabkan oleh aktivitas hormon perangsang melanosit
(Melanocyt-stimulating Hormone) yang bekerja secara berlebihan. Gangguan
hematologik yang sering terjadi pada sirosis adalah kecenderungan
perdarahan, anemia, leukopenia dan trombositopenia. Penderita sering
7
mengalami perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar.
Masa protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini dapat terjadi akibat
berkurangnya pembentukan faktor-faktor pembekuan oleh hati. Anemia,
leukopenia, dan trombositopenia diduga disebabkan oleh hipersplenisme.
Limpa tidak hanya membesar, tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel
darah dari sirkulasi. Mekanisme lain yang juga menyebabkan anemia adalah
defisiensi besi, asam folat, dan vitamin B 12 yang terjadi sekunder akibat
kehilangan darah dan peningkatan hemolisis eritrosit. Penderita juga akan
lebih mudah terserang infeksi.
Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites dan dapat
dijelaskan akibat hipoalbuminemia serta retensi garam dan air. Kegagalan hati
untuk inaktivasi aldosteron dan hormone anti diuretik merupakan penyebab
retensi natrium dan air. Fetor hepatikum merupakan bau apek manis yang
terdeteksi dari napas penderita dan diyakini terjadi akibat ketidakmampuan
hati dalam memetabolisme metionin. Gangguan neurologis yang paling serius
pada sirosis lanjut adalah ensefalopati hepatikum yang diyakini akibat
kelainan metabolisme ammonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap
toksin.
b. Manifestasi Hipertensi Portal
Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena
porta yang menetap di atas nilai normal (6-12 cm H2O). Tanpa memandang
penyakit dasarnya, mekanisme primer penyebab hipertensi portal adalah
peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati. Selain itu biasanya
terjadi peningkatan aliran arteria splanknikus. Kombinasi kedua faktor yaitu
menurunnya aliran keluar melalui vena hepatika dan meningkatnya aliran
masuk bersama-sama menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal.
Pembebanan yang berlebihan sistem portal ini merangsang timbulnya aliran
kolateral guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Tekanan balik pada
sistem portal mengakibatkan splenomegali dan sebagian bertanggung jawab
terhadap tertimbunnya asites. Asites merupakan penimbunan cairan encer
intraperitoneal yang mengandung sedikit protein. Faktor utama patogenesis
8
asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (Hipertensi
Portal) dan penurunan tekanan osmotic koloid akibat hipoalbuminemia.
Faktor lain yang berperan adalah retensi natrium dan air serta peningkatan
sintesis dan aliran limfe hati.
Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi
portal terdapat pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui melalui
saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi vena-vena ini (Varises
Oesofagus) varises ini terjadi sekitar 70% pada pasien dengan sirosis lanjut.
Perdarahan pada varises ini sering menyebabkan kematian. Sirkulasi kolateral
juga melibatkan vena superficial dinding abdomen dan timbulnya sirkulasi ini
mengakibatkan dilatasi venavena skitar umbilicus (Caput Medusae). Sistem
vena rectal membantu dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena
berdilatasi dan dapat menyebabkan berkembangnya hemorrhoid interna,
perdarahan pada hemorhhoid yang pecah biasanya tidak hebat, karena
tekanan di daerah ini tidak setinggi tekanan pada esophagus karena jarak yang
lebih jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis dapat dijelaskan
berdasarkan kongestif pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan darah yang
lebih tinggi pada vena lienalis.
III.1.6. Diagnosis
Diagnosis sirosis hepatis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, labo-
ratorium dan pemeriksaan penunjang. Pada stadium kompensasi sempurna
kadang-kadang sulit menegakkan diagnosis sirosis hepatis. Pada stadium
dekompensasi kadang tidak sulit menegakkan diagnosis dengan adanya asites,
edema pretibial, splenomegali, vena kolateral, eritema palmaris. Pada
pemeriksaan laboratorium darah tepi sering didapatkan anemia normositik
normokrom, leukepenia dan trombositopenia. Waktu protrombin sering
memanjang. Tes fungsi hati dapat normal terutama pada penderita yang masih
tergolong kompensata-inaktif. Pada stadium dekompensata ditemui kelainan
fungsi hati. Kadar alkali fosfatase sering meningkat terutama pada sirosis billier.
Pemeriksaan elektroforesis protein pada sirosis didapat-kan kadar albumin rendah
dengan pening-katan kadar gama globulin.1,2,10
9
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan noninvasif, aman dan mempunyai
ketepatan yang tinggi. Gambaran USG pada sirosis hepatis tergantung pada berat
ringannya penyakit. Keterbatasan USG adalah sangat tergantung pada
subjektifitas pemeriksa dan pada sirosis pada tahap awal sulit didiagnosis.
Pemeriksaan serial USG dapat menilai perkembangan penyakit dan mendeteksi
dini karsinoma hepato-selular. Pemeriksaan scanning sering pula dipakai untuk
melihat situasi pembesaran hepar dan kondisi parengkimnya. Diagnosis pasti
sirosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologik jaringan hati yang di dapat
dari biopsi.1,2,10
III.1.7. Pemeriksaan Penunjang3,8
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom
mikrositer atau makrositer. Anemia bisa, akibat hipersplenisme dengan
leukopenia dan trombositopenia.
a) Kenaikan enzim transaminase / SGOT, SGPT tidak merupakan petunjuk
tentang berat dan luasnya kerusakan parenkhim hati. Kenaikan kadarnya
didalam serum timbul akibat kebocoran dari sel yang mengalami
kerusakan. Peninggian kadar gama GT sama dengan transaminase, ini
lebih sensitif tetapi kurang spesifik. Pemeriksaan bilirubin, transaminase
dan gama GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
b) Albumin. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin
merupakan tanda kurangnya daya hati dalam menghadapi stress.
c) Pemeriksaan CHE. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun.
d) Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan
pembatasan garam dalam diet.
e) Pemanjangan masa protombin merupakan petunjuk adanya penurunan
fungsi hati. Pemberian vit. K parenteral dapat memperbaiki masa
protrombin.
10
f) Peninggian kadar gula darah pada sirosis hati fase lanjut disebabkan
kurangnya kemampuan sel hati membentuk glikogen.
g) Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HBS Ag/ HBS Ab,
HbeAg/ HbeAb, HBV DNA, HCV RNA.
Pada pemeriksaan darah, saat ini dapat ditentukan apakah pada pasien
mengalami sirosis atau tidak dengan menghitung dengan rumus P2/MS yakni
ratio jumlah platelet dan fraksi monosit serta fraksi segmentasi neutrofil.
Keterangan.
Untuk indikator sirosis hepatis bila nilai P2/MS < 45.0 maka berarti ada sirosis
hepatis, bila nilai > 60.0 berarti tidak ada sirosis hepatis. Untuk indikator
fibrosis yang signifikan, bila nilai P2/MS <62.0 berarti ada fibrosis signifikan,
namun bila nilai > 115.0 berarti tidak ada fibrosis signifikan
2. Pemeriksaan AFP
Pemeriksaan AFP penting dalam menentukan apakah telah terjadi
transformasi kearah keganasan. Nilai AFP > 500 – 1000 mempunyai nilai
diagnostik suatu kanker hati primer.
3. Pemeriksaan penunjang lainnya.
EGD, USG, CT-Scan, ERCP, Angiografi.
III.1.8. Penatalaksanaan
Terapi dan prognosis sirosis hepatis tergantung pada derajat komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi portal.3
1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang cukup baik, dilakukan kontrol
yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori dan protein,
11
lemak secukupnya (DH III-IV). Bila timbul ensefalopati hepatikum,
protein dikurangi (DH I).
2. Pasien sirosis hepatis dengan penyebab diketahui, seperti alkohol,
hemokromatosis, penyakit Wilson, diobati penyebabnya.
3. Ada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul.
a) Untuk asites, diberi rendah garam 0,5 gr/hari dan total cairan 1,5 l/hr
spironolakton dimulai dengan dosis awal 4 x 25 mg/hr dinaikkan sampai
total dosis 800 mg sehari. Idealnya penurunan berat badan 1 kg/hr. Bila
perlu dikombinasikan dengan furosemid.
b) Perdarahan varises esofagus. Pasien dirawat dirumah sakit sebagai kasus
perdarahan saluran cerna atas.
c) Untuk ensefalopati dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian
KCL pada hipokalemia, mengurangi pemasukan protein makanan dengan
memberi diet DH I, aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami
perdarahan pada varises, dilakukan klisma untuk mengurangi absorpsi
bahan nitrogen dan pemberian duphalac 2 x C II.
4. Peritonitis bacterial spontan diberi antibiotik pilihan, seperti cefotaxim 2
gr/8 jam iv.
III.1.9. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis
hepatis, akibat kegagalan dari fungsi hati dan hipertensi porta, diantaranya1,9:
1. Ensepalopati Hepatikum
Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang
bersifat reversibel dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hepatis
setelah mengeksklusi kelainan neurologis dan metabolik. Derajat keparahan dari
kelainan ini terdiri dari derajat 0 (subklinis) dengan fungsi kognitif yang masih
bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien sudah jatuh ke keadaan koma.
Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh karena adanya
gangguan metabolisme energi pada otak dan peningkatan permeabelitas sawar
darah otak. Peningkayan permeabelitas sawar darah otak ini akan memudahkan
12
masuknya neurotoxin ke dalam otak. Neurotoxin tersebut diantaranya, asam
lemak rantai pendek, mercaptans, neurotransmitter palsu (tyramine, octopamine,
dan betaphenylethanolamine), amonia, dan gamma-aminobutyric acid (GABA).
Kelainan laboratoris pada pasien dengan ensefalopati hepatik adalah berupa
peningkatan kadar amonia serum.
2. Varises Esophagus
Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh
hipertensi porta yang biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien saat
diagnosis sirosis dibuat. Varises ini memiliki kemungkinan pecah dalam 1 tahun
pertama sebesar 5-15% dengan angka kematian dalam 6 minggu sebesar 15-20%
untuk setiap episodenya.
3. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)
Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang sering dijumpai
yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa adanya bukti infeksi
sekunder intra abdominal. Biasanya pasien tanpa gejala, namun dapat timbul
demam dan nyeri abdomen.
PBS sering timbul pada pasien dengan cairan asites yang kandungan
proteinnya rendah ( < 1 g/dL ) yang juga memiliki kandungan komplemen yang
rendah, yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya aktivitas opsonisasi. PBS
disebabkan oleh karena adanya translokasi bakteri menembus dinding usus dan
juga oleh karena penyebaran bakteri secara hematogen. Bakteri penyebabnya
antara lain Escherechia coli, Streptococcus pneumoniae, spesies Klebsiella, dan
organisme enterik gram negatif lainnya. Diagnose SBP berdasarkan pemeriksaan
pada cairan asites, dimana ditemukan sel polimorfonuklear lebih dari 250 sel /
mm3 dengan kultur cairan asites yang positif.
4. Sindrom Hepatorenal
Sindrom hepatorenal merepresentasikan disfungsi dari ginjal yang dapat
diamati pada pasien yang mengalami sirosis dengan komplikasi ascites. Sindrom
ini diakibatkan oleh vasokonstriksi dari arteri ginjal besar dan kecil sehingga
menyebabkan menurunnya perfusi ginjal yang selanjutnya akan menyebabkan
13
penurunan laju filtrasi glomerulus. Diagnosa sindrom hepatorenal ditegakkan
ketika ditemukan cretinine clearance kurang dari 40 ml/menit atau saat serum
creatinine lebih dari 1,5 mg/dl, volume urin kurang dari 500 mL/d, dan sodium
urin kurang dari 10 mEq/L.
5. Sindrom Hepatopulmonal
Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal.
III.1.10. Prognosis
Prognosis tidak baik bila3
1. Ikterus yang menetap atau bilirubin darah > 1,5 mg%
2. Asites refrakter atau memerlukan diuretik dosis besar
3. Kadar albumin rendah (< 2,5 gr%)
4. Kesadaran menurun tanpa faktor pencetus
5. Hati mengecil
6. Perdarahan akibat varises esophagus
7. Komplikasi neurologis
8. Kadar protrombin rendah
9. Kadar natrium darah rendah (< 120 meq/i), tekanan systole < 100 mmHg
III.2.1 Pembahasan
Pada kasus ini seorang laki-laki 30 tahun datang ke RSUD dr.Doris
Sylvanus Palangkaraya, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
didapatkan:
1. Keluhan utama perut membesar
2. Adanya muntah darah (hematemesis)
3. BAB darah merah segar (hematoskezia) dan BAB hitam ( melena)
4. Pemeriksaan fisik: konjungtiva anemis, sklera ikterik, dari pemeriksaan
abdomen pada inspeksi tampak adanya distensi, hepar dan lien sulit di
evaluasi, ada nyeri tekan pada daerah epigastrium, dari perkusi abdomen
didapatkan asites (+) dengan tes undulasi, terdapat pitting edema pada
ekstremitas inferior.
14
Berdasarkan hal diatas diagnosis sementara yang dapat ditegakkan adalah
Sirosis Hepatis dengan varises esofagus. Untuk lebih memastikannya maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain.
Pemeriksaan Laboratorium :
Hemoglobin 5,6 g/dL (Anemia)
SGOT 95 u/L (meningkat)
SGPT 74 u/L (meningkat)
Albumin 3,36 mg/dl (Hipoalbuminemia)
bilirubin direk 0,43 mg/dL (hiperbilirubinemia)
HbsAg (+)
Pemeriksaan Darah Tepi:
Kesan : aktivasi neutrophil dan anemia normositik normokromik
Pemeriksaan USG abdomen:
Kesan: sirosis hepatis kemungkinan malignan dengan hipertensi portal, varises
oesophagus, asites permagna.
Pemeriksaan foto thorax PA:
Kesan: efusi pleura kanan minimal.
Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang yang lain mendukung ditegakkannya diagnosis sirosis
hepatis dengan varises esofagus. Selain itu, kemungkinan pasien ini mengalami
peningkatan tekanan vena porta yang menyebabkan sistem vena rektal membantu
dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena berdilatasi dan dapat
menyebabkan berkembangnya hemorrhoid interna. Pada pasien ini tiga hari
sebelum masuk rumah sakit mengalami hematoskezia (BAB darah segar) yang
diasebabkan oleh pecahnya hemorrhoid, namun perdarahan pada hemorhhoid
yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan di daerah ini tidak setinggi
tekanan pada esophagus karena jarak yang lebih jauh dari vena porta. Pada pasien
15
ini juga terdapat asites yang disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik
pada kapiler usus (Hipertensi Portal) dan penurunan tekanan osmotik koloid
akibat hipoalbuminemia.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah pasien memerlukan istirahat yang
cukup, makanan yang adekuat dan seimbang. Protein diberikan dengan jumlah 1 -
1,5 g/kg BB. Lemak antara 30% - 40 % jumlah kalori dan sisanya adalah hidrat
arang. Bila timbul tanda-tanda ensefalopati jumlah protein diturunkan.
Pada asites pasien harus melakukan tirah baring dan terapi diawali dengan
diet rendah garam. Konsumsi garam sebaiknya sebanyak 5,2 gr atau 90
mmol/hari. Diet rendah garam juga disertai dengan pemberian diuretik. Diuretic
yang diberikan awalnya dapat dipilih spironolakton dengan dosis 100- 200 mg
sekali perhari. Respon diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari tanpa edema kaki atau 1kg/hari dengan edema kaki. Apabila pemberian
spironolakton tidak adekuat dapat diberikan kombinasi berupa furosemid dengan
dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid dapat ditambah hingga dosis maksimal
160mg/hari. Parasintesis asites dilakukan apabila ascites sangat besar. Biasanya
pengeluarannya mencapai 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
Perdarahan varises esofagus ( hematemesis , hematemesis dengan melena
atau melena saja ). Pasien dirawat di rumah sakit sebagai kasus perdarahan saluran
cerna atas. Pertama dilakukan pemasangan NGT tube untuk mengetahui apakah
perdarahan berasal dari saluran cerna, disamping melakukan aspirasi cairan
lambung yang berisi darah dan untuk mengetahui apakah perdarahan sudah
berhenti atau belum. Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik di bawah 100
mmHg, nadi di atas 100x/ menit atau Hb di bawah 9 g% dilakukan pemberian
IVFD dekstrosa atau salin dan tranfusi darah secukupnya. Diberikan vasopresin 2
amp 0,1 g dalam 500 cc cairan D 5% atau salin. Untuk mencegah rebleeding
dopat diberikan cbat penyekat reseptor beta (beta bloker) secara oral dalam dosis
yang dapat menurunkan denyut nadi sampai 25%.
Peritonitis bakterial spontan biasa dijumpai pada pasien sirosis alkoholik
dengan asites dan dapat diberikan terapi antibiotik pilihan seperti cefotaksim 2 g/8
jam i.v, amoksisilin atau golongan aminoglikosida.
16
Kasus Kepustakaan
1. Asites
Parasentesis
Vip albumin 3x1
-Diuretik yang diberikan awalnya dapat
dipilih spironolakton dengan dosis 100-
200 mg sekali perhari. Respon diuretik
dapat dimonitor dengan penurunan berat
badan 0,5 kg/hari tanpa edema kaki atau
1kg/hari dengan edema kaki. Apabila
pemberian spironolakton tidak adekuat
dapat diberikan kombinasi berupa
furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari.
Pemberian furosemid dapat ditambah
hingga dosis maksimal 160mg/hari.
-Parasintesis asites dilakukan apabila
ascites sangat besar. Biasanya
pengeluarannya mencapai 4-6 liter dan
dilindungi dengan pemberian albumin
2. Varises Esofagus
Transfusi darah
Asam traneksamat
3 x 500 mg
Vitamin K
Carbazochrome 25 mg
(IV drip)
-Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik
di bawah 100 mmHg, nadi di atas 100x/
menit atau Hb di bawah 9 g% dilakukan
pemberian IVFD dekstrosa atau salin dan
tranfusi darah secukupnya. Diberikan
vasopresin 2 amp 0,1 g dalam 500 cc
cairan D 5% atau salin.
-Sebelum berdarah dan sesudah berdarah
bisa diberikan penyekat beta
(propranolol). Waktu perdarahan akut,
bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktreotid (stomatostatin menyebabkan
vasokonstriksi sphlancnic selektif dan
menurunkan tekanan portal dan aliran
darah portal) diteruskan dengan tindakan
skleroterapi atau ligase endoskopi.
17
3. Cefotaxime 3x1 g -Pemberian obat tersebut untuk mencegah
peritonitis bakterial spontan.
- Pada pasien ini, ditemukan hematemesis
melena oleh karena itu perlu dilakukan
sterilisasi usus dengan pemberian
laksansia, antibiotika atau keduanya. Hal
ini ditujukan untuk mengurangi jumlah
bakteri di usus yang bisa menyebabkan
peritonitis bakterial spontan serta
mengurangi produksi amonia oleh bakteri
di usus yang dapat menyebabkan
ensepalopati hepatikum jika terlalu
banyak amonia yang masuk ke peredaran
darah.
-Pemakaian laksansia laktulosa diberikan
secara oral dengan dosis 60-120 ml
perhari untuk merangsang defekasi.
Laktulosa merupakan suatu disakarida
sintesis yang tidak diabsorbsi oleh usus
halus, tetapi dihidrolisis oleh bakteri usus
besar, sehingga terjadi lingkungan dengan
pH asam yang akan menghambat
penyerapan amoniak. Selain itu, frekuensi
defekasi bertambah sehingga
memperpendek waktu transit protein di
usus. Penggunaan laktulosa bersama
antibiotika yang tidak absorbsi usus
seperti neomisin, akan memberikan hasil
yang lebih baik.
- Neomisin diberikan 2-4 gram perhari
baik secara oral atau secara enema,
walaupun pemberian oral lebih baik
18
kecuali terdapat tanda-tanda ileus
-Metronidazole 4x250 mg perhari
merupakan alternative.
4. Omeprazole 2x40 mg Pemberian obat tersebut sebagai
pelindung mukosa lambung agar tidak
terjadi perdarahan akibat erosi gastropati
hipertensi porta.
19
BAB IV
KESIMPULAN
Telah kami laporkan sebuah kasus, laki-laki usia 30 tahun dengan
diagnosa sirosis hepatis dengan varises esofagus. Dari anamnesis didapatkan
keluhan utama perut membesar, adanya muntah darah (hematemesis), BAB darah
merah segar (hematoskezia) dan BAB hitam (melena). Pasien memiliki riwayat
merokok dan minum minuman beralkohol. Riwayat BAK berwarna seperti teh
(+). Dari pemeriksaan fisik di dapatkan konjungtiva anemis, sklera ikterik, dari
pemeriksaan abdomen pada inspeksi tampak adanya distensi, hepar dan lien sulit
di evaluasi, ada nyeri tekan pada daerah epigastrium, dari perkusi abdomen
didapatkan asites (+) dengan tes undulasi, terdapat pitting edema pada ekstremitas
inferior. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan hemoglobin 5,6 g/dL
(Anemia), SGOT 95 u/L (meningkat), SGPT 74 u/L (meningkat), albumin 3,36
mg/dl (Hipoalbuminemia), bilirubin direk 0,43 mg/dL (hiperbilirubinemia),
HbsAg (+). Hasil pemeriksaan darah tepi didapatkan aktivasi neutrophil dan
anemia normositik normokromik. Dari pemeriksaan USG abdomen di dapatkan
sirosis hepatis kemungkinan malignan dengan hipertensi portal, varises esofagus
dan asites permagna. Dari pemeriksaan foto thorax PA di temukann efusi pleura
kanan minimal.
Terapi cairan yang didapat pada pasien ini yaitu infus NaCl 0,9% dan
D5%. Untuk mengatasi varises esofagus di berikan terapi asam traneksamat 3 x
500 mg, Vitamin K, Carbazochrome 25 mg (IV drip) dan transfusi darah. Terapi
untuk asites pada pasien ini yaitu parasentesis dan pemberian vip albumin 3x1.
Cefotaxime 3x1 g di berikan pada pasien ini untuk mengurangi jumlah bakteri di
usus yang bisa menyebabkan peritonitis bakterial spontan. Omeprazole 2x40 mg
diberikan sebagai pelindung mukosa lambung agar tidak terjadi perdarahan akibat
erosi gastropati hipertensi porta.
Prognosis pasien Dubia ad malam sebab pada pasien ini terdapat
perdarahan varises esofagus, asites, anemia dan hipoalbuminemia.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherlock S, Dooley J. The portal venous system and portal hypertension.
In: Sherlock s, editor. Disease of the liver and biliary system. 11 th ed.
Paris: Blackwell Publishing;2002.p.147-86.
2. Behrman RE dan Vaughn VC. The liver and billiary system. Dalam:
Nelson WE, penyunting. Text book of pediatrics, edisi ke-17.
Philadelphia: Saunders, 2004; 1304-49.
3. Nurdjanah S. Sirosis hati. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 443.
4. Perz JF, Armstrong GL, Farrington LA, Hutin YJF, Bell BP. The
contributions of hepatitis B virus and hepatitis C virus infections to
cirrhosis and primary liver cancer worldwide. Hepatol. 2006;45:529-38.
5. WHO. Viral hepatitis in the WHO South-East Asia region. New Delhi:
WHO; 2011.
6. Setiawan, Poernomo Budi. Sirosis hati. In: Askandar Tjokroprawiro,
PoernomoBoedi Setiawan, et al. Buku Ajar Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. 2007. Page 129-136.
7. Garcia-Tsao G, Bosch J. Management of varices and variceas hemorrhage
in cirrhosis. N Engl J Med. 2010;362:823-32.
8. Suk T.K. Revision and Update on clinical practice guideline for liver
cirrhosis. The Korean journal of hepatology 2012;18:1-21
9. De franchis R. Revising consensus in portal hypertension: report of the
Baveno V consensus workshop on methodology of diagnosis and therapy
in portal hypertension. J hepatol 2010;53:762-768
10. Catherine PC, Eric MG, Sanjiv C. Cirrhosis and Portal Hypertension: an
Overview. In: Lawrence SF, Emmel BK, editors. Handbook of liver
disease. 2nd.ed.Philadelphia: Curchill Livingstone;2004.p.125-37.
21