Upload
risna-irviani
View
17
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kebanyakan masyarakat kita hanya mengenal pembagian golongan darah berdasarkan
sistem ABO. Padahal selain sistem ABO ada juga pembagian darah berdasarkan sistem
rhesus. Pada sistem rhesus terdapat dua penggolongan yaitu rhesus positif (Rh+) dan rhesus
negatif (Rh-).
Ketika mendonorkan darah, kecocokan faktor Rhesus amat penting karena ketidakcocokan
golongan, misalnya donor dengan Rh+ sedangkan resipiennya Rh-, dapat menyebabkan produksi
antibodi terhadap antigen Rh(D) yang mengakibatkan hemolisis. Hal ini terutama terjadi pada
perempuan yang pada atau di bawah usia melahirkan karena faktor Rh dapat mempengaruhi janin
pada saat kehamilan.
Untuk itu sangat penting bagi kita mengenal lebih dalam apa itu rhesus darah positif dan negatif,
dan akibat apa saja yang akan ditimbul jika dua rhesus ini bertemu dalam satu individu.
B. Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini, yaitu untuk:
Menjelaskan penggolongan darah berdasarkan sistem rhesus
Menjelaskan Dasar genetika dari faktor Rh.
Menjelaskan peranan faktor Rh dalam klinik.
1
BAB II
ISI
A. Sejarah penggolongan sistem rhesus
Faktor Rh (singkatan dari rhesus) ditemukan oleh Landsteiner dan Wiener dalam tahun
1940. Dikatakan bahwa apabila seekor kelinci disuntik dengan darah dari kera Macaca
rhesus, maka kelinci membentuk antibodi. Antibodi ini akan menyebabkan menggumpalnya
eritrosit dari semua kera rhesus. Ini berarti berarti bahwa di permukaan eritrosit dari semua
kera itu terdapat antigen yang disebut antigen-Rh. Jika antiserum dari kelinci yang
mengandung anti-Rh itu digunakan untuk membuat tes Rh pada darah manusia,ternyata
bahwa orang dibedakan atas dua kelompok : [1]
1. Orang yang darahnya menunjukkan reaksi positif,artinya terjadi penggumpalan eritrosit
pada waktu dilakukan tes dengan anti-Rh, digoongkan sebagai orang Rh-positif
(disingkat Rh +). Berarti mereka ini memiliki antigen-Rh [1].
2. Orang yang darahnya menunjukkan reaksi negatif digolongkan sabagi orang Rh-negatif
(disingkat Rh-). Berarti mereka ini tidak memilik antigen-Rh [1].
Kira-kira 85 persen dari seluruh orang kulit putih adalah Rh positif dan 15 persennya Rh
negatif. Pada orang kulit hitam Amerika,persentase rh-positifnya kira-kira 95%, sedangkan
pada orang kulit hitam Afrika, hampir 100% [2].
B. Dasar genetika dari faktor Rh
Mula-mula mekanisme genetik dari sistem Rh ini nampaknya sangat sedehana sekali,
sehingga Landsteiner berpendapat bahwa ada atau tidaknya antigen-Rh pada permukaan
eritrosit orang ditentukan oleh alel R, karena itu orang Rh-positif mempunyaigenotip RR atau
Rr, sedangkan orang Rh-negatif mempunyai genotif rr. Sesudah Landsteiner, lebih banyak
antigen-Rh ditemukan; jumlahnya lebih dari 30, sehingga genetikanya lebih kompleks
daripada yang diduga semula, diantaranya :
2
1. Seorang penyelidik bagsa Amerika bernama Wiener mengemukakan bahwa ada
sekurang-kurangnya 10 alel ganda yang menempati sebuah lokus yang terdapat pada
kromosom no. 1. Setiap alel itu bertanggug jawab untuk membentuk sebuah atau lebih
banyak antigen-Rh, kecuali yang benar-benar resisif. Untuk Rh-positif alel-alelnya adalah
Rz, R1, R2, R0,. Alel-alel untuk Rh-negatif adalah ry, r’, r”, dan r [1].
2. Seorang penyelidik berkebangsaan Inggris bernama Fisher mengemukakan bahwa ada
kelompok yang terdiri dari paling sedikit 3 pseudoalel yang berangkai amat berdekatan,
yaitu D, d, C, c, E, dan e. Menurut literatur tahun 1983, sistem Fisher ini bahkan
dilengkapi dengan 2 pasang gen baru, yitu F, f, dan V, v. Dua pasang gen yang baru ini
belum dimasukkan disini [1].
Menurut Fisher, apabila dalam genotip terdapat gen dominan D, maka fenotif orang itu
adalah Rh + ; jika gen dominan D tidak ada, fenotif orang itu adalah Rh-. Dikalangan orang
Rh- terdapat dua kelompok, yaitu :
a. Kelopok yang memiiki gen C saja (dCe) atau E saja (dcE) atau kedua-duanya C dan E
(dCE).
b. Kelompok yang tidak memiliki gen dominan sama sekali (dce) [1].
Berhubung dengan itu ada banyak kemungkinan genotip bagi seseorang. Misalnya saja
orang Rh+ dapat mempunyai genotip DCEDce
atau DCeDcE
, dsb. Kalau menurut Wiener ditukis
Rz Ro atauR1 R2, dsb. Orang Rh- dapat mempunyai genotip dcEdcE
,dCEdCe
,dsb. Menurut Wiener
ditulis r’ r”,ry r’,dsb. Sedangkan menurut Landstainer hanya dikenal genotif RR atau Rr
untuk orang Rh+,sedangkan untuk orang Rh- rr. Frekuensi terdapatnya faktor tidak sama
diberbagai bangsa/sukubangsa,namun nampaknya dimana-mana Rh + menunukkan
persentase lebih tinggi daripada Rh – [1].
C. Peranan faktor Rh dalam klinik
Seperti halnya dengan golongan darah A, B, AB, dan O, maka faktor Rh mempunyai arti
pentingdalam klinik. Dalam keadaan normal serum dan plasma darah orang tidak
3
mengandung anti-Rh, akan tetapi orang dapat distimulir (dipacu) untuk membentuk anti-Rh,
yaitu dengan jalan :
1. Transfusi darah
Bila seseorang dengan Rh-negatif sebelumnya tidak pernah terpajan dengan darah
Rh-positif, transfusi darah Rh-positif ke tubuh orang tersebut agaknya tidak segera
menyebabakan reaksi. Meskipun demikian, antibodi anti-Rh dalam jumlah yang cukup
dapat terbentuk selam 2 sampai 4 minggu berikutnya, yang akan menimbulkan aglutinasi
jika sel-sel darah transfusi masih terdapat di dalam sirkulasi. Sel darah transfusi ini
kemudian akan dihemolisis oleh sistem makrofag jaringan. Jadi, timbul reaksi transfusi
lambat, walaupun biasanya ringan. Pada transfusi darah Rh-positif selanjutnya ke orang
yang sama yang sudah terimunisasi terhadap faktor Rh, maka reaksi transfusi menjadi
sangat kuat dan dapat segera timbul serta sehebat reaksi transfusi akibat ketidakcocokan
golongan darah A atau B. [2]
Tabel kecocokan RBC [3]
Gol. Darah resipien Donor harus
AB + Golongan darah manapun
AB - O - A - B - AB -
A + O - O+ A - A +
A - O - A -
B + O - O + B - B +
B - O - B -
O + O - O +
O - O -
4
2. Eritroblastosis fetalis
Eritroblastosi fetalis adalah penyakit pada janin dan pada bayi lahir yang ditandai
oleh aglutinasi dan fagositosis sel darah merah janin. Pada sebagian besar eritroblastosis
fetalis, ibunya adalah Rh-negatif dan ayahnya Rh-positif. Bayi mempunyai antigen Rh-
positif yang diturunkan dari ayahnya dan ibu membentuk aglutinin anti-Rh akibat
terpajan denagan antigen Rh janin. Kemudian, aglutinin ibu berdifusi ke dalam tubuh
janin melalui plasenta dan menimbulkan aglutinasi sel darah merah. Kalau hemolisis
pada janin tersebut berat, bayi tersebut dapat meninggal in utero atau dapat mengalami
anemia, ikterus berat, dan edema (hidrops fetalis) [2,4].
Jika bayinya masih dapat bertahan dan dapat dilahirkan, jaringan hematopoietik bayi
mencoba untuk mengganti sel-sel darah merah yang mengalami hemolisis. Hati da limpa
menjadi sangat besar dan memproduksi sel darah merah dengan cara yang sama seperti
normal yang terjadi selama mas kehamilan,karena cepatnya produksi sel darah merah,
banyak bentuk sel darah merh yang muda, meliputi banyak bentuk blastik yang berinti,
dilepaskan dari sumsum tulang bayi ke dalam sistem sirkulasi,dan karena adanya sel
darah merah merah dalam bentuk blas berinti ini, penyakit tersebut dinamakan
eritroblastosis fetalis. Mereka memperlihatkan gangguan mental yang menetap atau
kerusakan area motorik otak akibat pengendapan bilirubin da dalm sel-sel neuron,
sehingga menyebabakan kehancuran sejumlah besar sel tersebut. Keadaan ini dinamakan
kernikterus [2].
Perlu diketahui bahwa Insidens pasien yang mengalami Inkompatibilitas Rhesus
( yaitu rhesus negatif) adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang
pada bangsa asia. Rhesus negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya
perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif [5] .
Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif, risiko
terbentuknya antibodi sebesar 8%. Sedangkan insidens timbulnya antibodi pada
kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%.
Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses
sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respons imun sekunder yang timbul akibat
produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1% dari wanita akan
tersensitasi selama kehamilan, terutama trimester ketiga [5].
5
D. Pencegahan dan pengobatan eritroblastosis fetalis
Untuk meminilisasi bahaya eritroblastosis ini,hendaknya dilakukan pemantauan sejak
dini. Apabila ada potensi inkompabilitas pada golongan darah ibu dan anak, misalny Ibu
dengan Rh negatif dan ayah Rh positif, sebaiknya dilakukan pemantauan berkala antibodi
yang terbentuk dalam darah ibu. USG dapat menjadi alternatif pemantauan untuk mendeteksi
adanya bayi hidrop fetalis [6].
Antigen D pada sistem golongan darah Rh merupakan sumber masalah utama yang
menyebabkan timbulnya reaksi imun dari darah ibu dengan Rh negatif terhadap darah janin
dengan Rh positif. Pada tahun 1970, penurunan insidens eritroblastosis yang dramatis di
capai dengan pengembangan globin imunoglobulin Rh, suatu antibodi anti-D yang di
masukkan ke dalah darah ibu yang hamil, dan dimulai dari usia kehamilan 28-30 minggu.
Antibodi anti-D juga dimasukkan ke dalam darah ibu dengan Rh negatif yang melahirkan
bayi dengan Rh positif untuk mencegah sensitisasi ibu terhadap antigen D. Hal tersebut
sangat mengurangi risiko terbentuknya sejumlah besar antibodi D selama kehamilan
berikutya [2].
Mekanisme yang digunakan globin imunoglobulin Rh untuk mencegah sentisasi terhadap
antigen d tidak sepenuhnya dipahami, namun salah satu efek antibodi anti-D adalah
menghambat produksi antibodi yang terinduksi antigen dari limfosit b pada ibu hamil.
Antibodi anti-D yang dimasukkn juga menempel di tempat pengikatan antigen D apda sel
darah merah janin dengan Rh positif yang dapat menembus plasenta dan memasuki sirkulasi
ibu. Hal tersebut dapat mengganggu respons imun terhadap antigen D [2].
Pengobatan yang dilakukan untuk eritroblastosis fetalis adalah mengganti darah bayi
yang baru lahir dengan darah Rh-negatif. Sekitar 400 mililiter darah Rh-negatif dimasukkan
dalm waktu 1,5 jam atau lebih, sementara darah Rh-positif bayi dikeluarkan. Cara ini dapat
diulangi beberapa kali selama minggu-minggu pertama kehidupan, terutama untuk menjaga
kadar bilirubin agar tetap rendah dan dengan demikian mencegah terjadinya kenikterus. Pada
waktu sel darah Rh-negatif dari transfusi ini diganti dengan sel Rh-positif milik bayi, yaitu
suatu proses yang memerlukan waktu 6 minggu atau lebih, maka aglutini anti-rh yang berasal
dari ibu telah dihancurkan [2].
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rhesus Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada
eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-
antigen pada eritrositnya. Apabila dalam genotip terdapat gen dominan D, maka fenotif orang
itu adalah Rh + ; jika gen dominan D tidak ada, fenotif orang itu adalah Rh-. Gen dominan
tersebut dinamakan antigen-D, dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi
dan terjadinya eritroblastosis fetalis.
Untuk mencegah terjadinya ertroblastosis fetalis dapat dilakukan dengan globin
imunoglobulin Rh, suatu antibodi anti-D yang di masukkan ke dalah darah ibu yang hamil,
dan dimulai dari usia kehamilan 28-30 minggu.
Pengobatan yang dilakukan untuk eritroblastosis fetalis adalah mengganti darah bayi
yang baru lahir dengan darah Rh-negatif melalui transfusi darah.
B. Saran
Sebelum melakukan transfusi darah seharusnya mengetahui rhesus darah yang akan
didonorkan dan rhesus resipiennya. Sebelum menikah, kita juga sebaiknya mengetahui
rhesus darah kita dan calon pasangan kita untuk menghindari adanya resiko eritroblastosi
fetalis pada keturunan.
7