25

Click here to load reader

islam dan negara sekuler.doc

Embed Size (px)

Citation preview

1. Abstract

Syariah memiliki masa depan cerah dalam kehidupan publik masyarakat islam. Namun An-Naim tegas-tegas menolak penerapan syariah yang dipaksakan oleh tangan-tangan negara. Menurutnya, sebagai ajaran suci, syariah haruslah dilaksanakan oleh setiap Muslim secara suka rela, karena penerapannya oleh negara secara formal dan paksa, dapat menyebababkan prinsip-prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya. Oleh karena itu, negara secara kelembagaan haruslah dipisahkan dari islam agar syariah. Negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip agama manapun. Netralitas disini tidak berarti berarti negara secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat, melainkan semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung, berkeberatan, atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama. Karenanya, An-Naim dalam karya ini, mengadovsikan prinsip pemisahan kelembagaan antara islam dan negara, namun dengan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan Politik, melalui apa yang disebutnya sebagai public reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan prinsip-prinsip islam dalam kebijakan publik secara legitimate, namun tetap tunduk kepada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi politik. Dan penulis disini menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan Idiologis,pendekatan politik dan pendekatan historis.2. Problem, or Question, and Sense of Academic Crisis (The background)Negara adalah sebuah jaringan yang rumit dari organ-organ, institusi-isntitusi dan proses-proses, yang semestinya menerapkan kebijakan-kebijakan yang diambil melalui proses politik dalam setiap masyarakat. Dengan pengertian ini, negara seharusnya merupakan unit swa-kelola pemerintahan yang dijalankan secara lebih mantap dan terencana, sedangkan politik adalah proses dinamis dalam memilih di antara pilihan-pilihan kebijakan yang saling bertentangan, untuk menjalankan fungsi tersebut dan yang lainnya, negara harus memiliki apa yang disebut monopoli penggunaan kekuatan yang sah yaitu kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada seluruh penduduk tanpa resiko menghadapi perlawanan rakyat yang tunduk dibawah kekuasaannya. Oleh karena itu, perbedaan antara negara dan politik mengasumsikan interaksi yang ajek di antara organ-organ dan institusi-insitusi negara, disatu sisi, dan aktor-aktor politik sosial yang terorganisasi serta pandangan-pandangan yang berlawanan tentang kemaslahatan publik, disisi lain. Perbedaan ini juga beranjak dari suatu kesadaran yang serius akan resiko penyalahgunaan kekuataan negara yang memang memaksa. Penting untuk memastikan bahwa negara bukan sekedar sebuah pencerminan penuh dari politik-politik sehari-hari.Kegagalan membuat distingsi (pembedaan) antara negara dan politik cenderung membahayakan perdamaian, stabilitas, dan perkembangan yang sehat diseluruh masyarakat. Pasalnya, mereka yang terabaikan haknya untuk memperoleh pelayanan dan perlindungan negara serta berpartisipasi aktif dalam politik akan menarik diri atau terpaksa menempuh jalur kekerasan karena tidak ada cara-cara penanggulangan yang memadai.Alasan utama untuk menekankan pentingnya netralisis negara atas agama karena hal ini merupakan syarat mutlak pemenuhan ajaran-ajaran islam perwujudannya sebagai kewajiban kewajiban keagaman bagi setiap individu muslim. Namun tidak realistis dan tidak bijak mengharapkan masyarakat betul-betul memenuhi syarat syarat nalar publik karena pilihan-pilihan seperti itu diputuskan dalam alam dorongan dan niat yang bersifat batiniah. Sulit untuk menjelaskan mengapa masyarakat memilih dengan cara tertentu atau menjustifikasi agenda politik untuk dirinnya atau karib kerabatnya. Tujuannnya haruslah guna mendukung mendorong nalar dan penalaran publik, sambil terus mengurangi pengaruh-pengaruh eksklusif dari kenyakinan agama yang bersifat personal.Persoalan terminologi yang perlu dijelaskan disini menyangkut hubungan antara proposisi-proposisi dan istilah konsep sekularisme. Pemisahan islam dan negara, yang merupakan bagian awal, sekularisme biasanya dipahami dan ditolak dan ditolak oleh banyak umat muslim. Hubungan antara islam dan politik. Persepsi negatif tentang sekularisme yang umum di banyak dunia islam tidak membedakan pemisahan islam dan negara, dan keterhubungan islam dan politik disis lain. Pemisahan islam dan negara hanya dimengerti sebagai pengasingan islam sepenuhnya menjadi wilayah pribadi, dan dikeluarkan islam dari kebijakan publik, penulis lebih menggunakan istilah pluralisme daripada sekularisme untuk menghindari pandangan mereka yang negatif terhadap sekularisme. Pemakaian kata pluralisme cocok karena sekularisme pada dasarnya diperlukan bagi terwujudnya pluralisme secara praktis dan berkesinambungan. Persoalan terminologi lain adalah menggunakan istilah nagara teritorial ketimbanh negara bangsa karena ciri-ciri penting model eropa yang sekarang diimplementasikan oleh semua masyarakat islam adalah yurisdiksi eksklusif sebuah wilayah khusus dan penduduk yang tinggal didalamnya, tanpa menghiraukan apakah mereka merupakan sebuah bangsa atau bukan dalam arti yang sepenuhnya, penulis juga menemukan penekanan-penekanan pada bangsa sering membawa kebijakan-kebijakan otoritas yang menganggu penegasan diri individual dan komunal, yang sesunggahnya merupakan dasar awal pembentukan negara.Hubungan-hubungan antara islam, negara, dan masyarakat, sangat penting untuk mengklarifikasi makna dan istilah-istilah yang penulis gunakan, menjelaskan kembali untuk menghindari kebingungan dan salah pengertian yang mungkin muncul dari asumsi-asumsi yang salah atau asumsi-asumsi yang tak dapat dibenarkan seputar pemahaman bersama atas pokok bagi persoalan atau implikasi-implikasinya. Ini khususnya penting bagi tujuan penulis sabagai seorang muslim yang sedang berusaha mempengaruhi sikap muslim-muslim yang lain, dan bukan menjaga jarak atau impersonal terhadap mereka.Guna menggali dan mengembangkan teori islam, negara dan masyarakat seperti yang digambarkan penulis mempersiapkan dan menerapkan studi yang disajikan dengan cara memberikan prioritas khusus,. Dalam hal ini penulis mencoba berbicara tentang perlunya pendekatan persuasif dalam mengembangkan teori, dilihat dar cakupan berkaitan dengan peran publik syariah dan bukan persoalan doktrin dan praktek keagamaan dalam domain pribadi dan juga berkaitan dengan peran aktual syariah pada masa depan. Hubungan antara islam, negara dan politik sepanjang sejarah masyarakat islam jelas merefleksikan ketengan permanen antara visi ideal penyatuan islam dan negara dengan kebutuhan pemimpin agama untuk melanggengkan otonominya (agama) dari industri agama. Pemimpin agama membutuhkan otonomi dari negara untuk mempertahanka otoritas moralnya pada negara dan masyarakat secara keseluruhan. Kerangka dasar yang digunakan untuk memediasi ketegangan itu adalah adanya harapan umat islam kepada negara untuk memegang teguh prinsip-prinsip islam dalam menjalankan kewajibannya sekaligus menjaga wataknya yang sekular dan politis. Setiap masyarakt membutuhkan negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi penting, seperti memperthankan kedaulatan dari ancaman luar, menjaga perdamaian dan keamana publik dalam wilayahnya, menyelesaikan perselisihan antarwarga, serta menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk kebaikan bersama. Agar negara bisa menjalankan fungsi-fungsi tersebut, ia harus memilih salah satu dari sejumlah kebijakn yang slaing bertentangan dan mempunyai monopoli yang efektif untuk menggunakan kekuatannya dalam memgimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut.Semua muslim saat ini tinggal disebuah teritori yang disebut sebagai the nation state (negara bangsa), yang berdasarkan model eropa telah menjadi model yang dimapankan melalui penjajahan, bahkan di negara yang secara formal tidak pernah dijajah. Menurut sarjana barat, model negara seperti ini ditandai dengan adanya administrasi dan tata hukum yang terpusat dan terorganisasi secara birokratis dan dijalankan oleh sekolompok administratur, serta mempunyai otoritas atas apapun yang terjadi diwilayah kekuasaannya, basis teritorial dan monopoli untuk menggunakan kekuasaan. Karakter inheren negara yang opresip dan hegomonik, pada karakter teritorial nagara daripada klaimnya sebagai representasi satu bangsa yang koheren dan homogen. Legitimasi dan kekuatan negara tergantung pada keterhubungannya dengan aktor sosial dan politik lain dan juga pada otonomnya dari pengaruh mereka. Semakin terhubung sebuah negara dengan masyarakatnya, akan semakin rendah resikonya untuk kehilangan otonomi. Banyaknya kelompok kepentingan yang bersaing untuk mempengaruhi kebijakan negara malah akan menjaga keseimbangan pengaruh yang mereka miliki terhadap negara.Konflik antara syariah dan konstitusionalisme, dan kemungkinan memediasi konflik tersebut dengan merujuk pada islam secara lebih luas dapat diterapkan juga dalam kasus HAM. Dengan demikian, kita mulai dengan mengklarifikasi ketengan yang mungkin timbul antara syariah dan HAM, kemudian mengekspolarasi cara-cara untuk menyelesaikan ketengan tersebut melalui reformasi islam. Mengakui adanya konflik dan memahami sifatnya sangat penting untuk melakukan proses mediasi dan penyelesain konflik, konflik yang terjadi antara syariah dan HAM biasanya berkisar seputar isu hak perempuan dan non muslim. Penyelesaian konflik antara syariah dan prinsip kebebasan beragama dalam hak asasi manusia melalui reformasi yang islami. Untuk menghidari kebbingungan, penulis nyatakan bahwa percaya terhadap adanya kemungkinan, bahkan keharusan, untuk menginterpetasisumber-sumber islam untuk menegaskan dan melindungi kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan. Konflik antara aturan agama dan hak kebebasan beragamatidak hanya terjadi pada islam tapi juga terjadi dalam tradisi agama dan ideologi lain. Satu hal penting juga perlu dicatat adalah bahwa prinsip-prinsip syariah jarang diaplikasikan secara sistematis dan ketat pada masa lalu, bahkan lebih jarang pada masa sekarang. Meskipun demikian keberadaan prinsip-prinsip tersebut menimbulkan konflik yang fundamental dengan ide dasar HAM universal dan menjadi sumber pelanggaran terhadap praktik kebebasan beragama. Dengan demikian, sebagai seorang muslim, untuk menghadapi isu ini penulis menegakkan integritas moral terhadap kepercayaan sekaligus menolak praktek pelanggaran HAM meskipun hal ini mungkin jarang terjadi pada ssat sekarangSengitnya perbincangan dan kontroversi dalam persoalan relasasiislam dan HAM disebabkan antara lain bahwa HAM yang mendapatkan konotasi dan makna kongkritnya dalam deklarasi HAM diakui atau tidak, didasarkan pada asumsi yang dibelakangnya berdiri yaitu paham sekularisme dan dan liberalisme. Karena bias sekularisme dan liberalisme inilah, penerimaan gagasan HAM modern tentu saja menjadi persoalan, terutama bagi yang berkeyakinan bahwa islam adalah agama kaffah, islam bukan hanya aqidah, melainkan juga syariah. Atau dalam pernyataan yang lebih politis islam bukan hanya agama din melainkan juga negara. Dengan keyakinan seperti itu menerima sekularismr berarti mereduksi islam atau menghambat pengalaman islam secara menyeluruh.

Pentingnya perspektif islam untuk menjaga netralitas negara terhadap agama disamping pentingnya menjaga keterhubungan antara isalm dan politik disisi lain. Namun, masih ada ketegangan yang belum terselesaikan menyangkut konsep-konsep, seperti konstitusionalisme, HAM dan warga negara dalam perspektif islam, statusnya yang diformulasikan ditengah masyarakat islam asia dan afrika. Penulis merekomendasikan agar kita lebih memfokuskan diri pada dinamika dan proses internal untuk menbangun dan mengonsolidasiakn konstitusionalisme, HAM, dan kewarganegaraan ditengah masyarakat muslim dengan menggunakan istilah mereka sendiri dan bukan menyebutnya sebagai pemaksaan barat. Berbagai kegagalan dan kemunduran yang kita saksikan dalam masyarakat islam dewasa ini merupakan sebuah keniscayaan belaka dari sebuahb proses evolusi dan pemapaman konsep-konsep tersebut. Masalah lain yang berkaitan dengan hubungan agama dan negara yang harus dihadapi oleh masyarakat mana pun saat ini adalah masalah status konstitusi dan hukum agama. Seperti yang sudah kita lihat, sekularisme memungkinkan adanya berbagai macam variasi pilhan status agama dalam undang-undang dasar. Salh satunya dengan mengizinkan para pemuka agama berpartisipasi dalam institusi-isntitusi negara atau badan legislatif dan membiarkan mereka berusaha untuk mempromasikan nilai-nilai agama mereka seperti anggota legislatif terpilih lain. Masalah hubungan agama dan negara juga berlaku pada persoalan keuangan dan organisasi keagamaan. Jika ajaran-ajaran islam tidak dibatasi penerapannya hanya pada persoalan-persoalan privat, apa kewajiban yang harus negara penuhi menyangkut gaji ulama dan ilmuan islam, paradoks permanen dalam persaingan antara peran otonomi dan otoritas agama di satu sisi dan otoritas politik, kekuasaan hukum, dan negara dipihak lain. Paradoks ini dipicu oleh larakter dasra kedua institusi , disatu sisi komunitas-komunitas agama membutuhkan kerja sama negara untuk melaksanakan misinya , namun betapa pun kaya terorganisasinya sebuah komunitas agama, ia tidak bisa menghindari konflik dengan negara karena keduanya berusaha untuk memengaruhi , bila tidak mengontrol , perilaku warga negara yang tinggal disatu wilayah yang sama. Pendekatan yang diklarifikasi penulis untuk mengenali paradoks permanen dan kemudian mencari cara untuk memediasi konsekunsinya melalui seperangkat mekanisme daripada memaksakan sebuah solusi akhir yang jelas. Dengan demikian, kita membutuhkan diskursus keislaman untuk melegitimasi dan mengefektikan startegi yang diperlukan untuk mengatur peran publik islam.Hubungan antara islam, negara, dan masyarakat di indonesia cenderung memunculkan dikotonomi yang keliru dan dilema yang tak perlu. Adalah sebuah kekeliruan bila kita membayangkan adanya dikotonomi yang tajam antara negara islam dan negara sekuler hanya dengan melihat adanya institusi politi sekuler , terutama dalam kondisi masyarakat mulsilm dewasa ini. Perlu untuk dicatat bahwa memisahkan agama dari d ari adat istiadat atau budaya dalam pengalaman historis maupun kotemporer masyarakat indonesia adalah sesuatu yang tidak mungkin karena masyarakat indonesia tidak dapat hidup dalam kotegorianalisis yang abstrak semacam itu. Perdebatan seputar sekularisme pada masa pra-kemerdekaan dan terus berlanjut hingga masa sesudahnya bisa disederhanakan dalam dua faksi, yaitu nasionalis sekular atau nasionalis yang netral agama dan nasionalis islam. Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan agama dari negara didefinisikan melalui pancasila. Ini penting untuk dicatat karena pancasila tidak memasukkan kata sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk memisahkan agama dan politk atau menegaskan bahwa negara harus memilki agama. Pancasila berfungsi sebagai kerangka yang mengatur masyarakat ditingkat nasional maupun lokal, sebagai individu orang indonesia bisa dan bahkan didorong untuk memiliki pandangan hidup personal yang berdasarkan agama. Banyaknya variasi pendapat mengenai hubungan antara islam dan negara yang membentang dari peleburan total hingga pemisahan total memperlihatkan bahwa pemahaman tentang sekularisme di indonesia sangat majemuk. Sebagai analisis final, penulis menekankan bahwa yang terpenting dari semua proses tetap hidup dan konstriktif. Menerapkan model negara islam atau negara sekuler dalam konteks indonesia sangat problematik. Contoh teredensi negatif bisa dilihat dari sejarah pasca kemerdekaan indonesia, termasuk fatwa terbaru MUI yang menyatakan bahwa sekularisme dan pluralisme sebagai anti islam.3. The Prior Research on Topic Negara tidak bisa dilepaskan dari pemerintahan. Pemerintah menurut Shively adalah sekelompok rakyat yang didalamnya Negara mempunyai otoritas tertinggi menjalankan aktivitas atas nama Negara. Ada dua aliran terkait dengan hubungan antara Islam dan Negara. Pertama, pendukung hubungan/relasi Islam dan Negara. Sebuah sistem hukum membutuhkan pemerintahan yang akan mengadopsi dan seperangkat aparat yang akan mengimplementasikan serta menegakkan sanksi-sanksi. Hukum Islam atau disebut juga dengan Syariah Islam sebagai sebuah sistem hukum tentu membutuhkan Negara untuk menegakkannya sehingga dibutuhkan pemerintahan Islam. Kedua, aliran yang menolak hubungan Islam dengan Negara (sekulerisme).

Husayn Ahmad Amin mengatakan bahwa Islam harus berkembang dan berubah agar bisa berperan serta dalam komunitas dunia. Beliau mencurahkan banyak pembahasannya mengenai persoalan pembaharuan Syariah. Menurutnya, ketetapan dan peraturan Syariah bisa berkembang. Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah Syariah bisa bersatu dengan Negara sekuler.

Sekuler erat kaitan dengan paham liberal. Sulaiman Al Khirasyi menyebutkan bahwa liberalisme adalah paham yang mengutamakan kebebasan individu. Yang dimaksud dengan kebebasan disini ialah setiap individu bebas melakukan perbuatan. Negara tak memiliki hak mengatur. Perbuatan itu hanya dibatasi oleh undang-undang yang dibuat sendiri dan tidak terikat oleh agama. Dengan kata lain liberalisme adalah sisi lain dari sekulerisme.

Sekulerisme lahir dari rahim peradaban Barat. Menurut Sayyid Quthb, Islam dan Barat tidak sesuai. Beberapa sarjana juga mengemukakan bahwa tidak ada istilah dalam bahasa Arab yang merujuk kepada kata sekular dan sekularisme. Sekularisme diterjemahkan kedalam bahasa Arab sebagai "alamaniyah", yang berasal dari kata "alam(dunia atau universal)", atau "ilmaniyah", yang ditarik dari kata "ilm(sains atau ilmu pengetahuan)". Terminologi "alamaniyah" pertama kali muncul diakhir abad kesembilan belas di kamus Muhit al-Muhit yang ditulis oleh seorang sarjana Kristen Lebanon bernama scholar Butrus al-Bustani. Beberapa sumber mengatakan bahwa sekularisme diambil dari kata "la diniyah(tidak beragama)", yang dinyatakan sebagai sesuatu yang diluar agama.

Definisi dan penerapan dari sekularisme khususnya masalah keagamaan dalam masyarakat, sangat berbeda antara negara dengan muslim dan negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Istilah sekularisme sering digunakan untuk menjelaskan pemisahan antara kehidupan bermasyarakat dan segala yang berhubungan dengan pemerintahan dari masalah keagamaan, atau secara sederhana sekularisme adalah pemisahan antara agama dan politik. Sekularisme dalam Islam sering diperbandingkan dengan Islamisme dan para sekularis cenderung untuk mengambil sikap berlawanan dengan Islam dalam hal politik dan nilai sosial. Diantara sarjana barat dan intelektual muslim, ada beberaapa perdebatan mengenai sekularisme termasuk di dalamnya mengenai pemahaman dalam kehidupan politik dan dan campur tangan agama dalam pemerintahan yang sah.

Konsep sekularisme memiliki pengertian yang berbeda diantara para sekularis muslim. Reaksi para intelektual muslim terhadapsekularisasi juga berbeda. Di sisi lain, sekularisme dianggap suatu keburukan oleh para intelektual muslim yang merasa bahwa keagamaan tidak bisa dihilangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Di sisi lain, sekularisme dianggap cocok dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, penyelidikan sekularisme telah menginspirasi beberapa sarjana Muslim yang memperdebatkan bahwa bentuk pemerintahan sekular adalah jalan terbaik untuk menjalankan syariat Islam. Ditambah lagi, Beberapa sarjana berpendapat bahwa bentuk pemerintahan sekular telah ada di dunia Islam sejak abad pertengahan.

Namun, sebagian negara dengan mayoritas penduduknya adalah muslim menyatakan negaranya sebagai negara sekular, Dan sebagian lainnya memiliki dualisme sistem pemerintahan dimana umat muslim dapat melakukan kegiatan bermasyarakat di bawah undang-undang syariah. Bentuknya bisa berbeda-beda di tiap negara, tetapi biasanya mencangkup masalah pernikahan, perceraian, warisan dan perwalian anak.

Tentang hubungan agama dan negara dalam islam adalah agama yang paripurna yang mencakup segalagalanya termasuk masalah negara oleh karena itu agama tidak dapat dipisahkan dari negara dan urusan negara adalah urusan agama serta sebaliknya aliran kedua mengatakan bahwa islam tidak ada hubungannya dengan negara karena islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan menurut aliran ini Nabi Muhammad tidak mempunyai misi untuk mendirikan negara.

Aliran ketiga berpendapat bahwa islam tidak mencakup segala-galanya tapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat termasuk bernegara.

Sementara itu Hussein Mohammad menyebutkan bahwa dalam islam ada dua model hubungan agama dan negara.

Hubungan integralistik dapat diartikan sebagai hubungan totalitas dimana agama merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipasahkan keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu.

Hubungan simbiosis mutualistik bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutuhkan sebab tanpa agama akan terjadi kekacauan dan amoral dalam negara.

Ibnu taimiyah (tokoh sunni salafi) berpendapat bahwa agama dan negara benar benar berkelindahan tanpa tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya sementara itu tanpa disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.Selanjutnya al-Ghazali dalam bukunya Aliqtishad fi Alitiqat mengatakan bahwa agama dan negara adalah dua anak kembar agama adalah dasar dan penguasa/kekuasaaan negara adalah penjaga segala sesuatu yang tidak memiliki dasar akan hancur dan sesuatu yang tidak memeiliki penjaga akan sia-sia

Mengingat kompleksitas politis dan historis negara bangsa Indonesia sejauh menyangkut kehidupan agama dan umat beragama dan juga political and social repercussions yang bias muncul pada masa sekarang ini dalam masa masa transisi mendatang maka jelas masih sangat sulit mencari format yang tepat dan accep table bagi banyak pihak dalam reposisihubungan agama dan negara.

Akan tetapi agaknya satu hal sangat jelas bahwa akan sulit dibayangkan jika reposisi itu dimaksudkan untuk menyisihkan begitu saja peran pemerintah dalam mengatur kehidupan warga negara termasuk dalam kehidupan beragama,khususnya dalam aspek administrasi keagamaan bukan aspek teologis masing masing agama dan akan lebih sulit lagi jika reposisi itu dimaksudkan untuk memisahkan agama dan negara melalui pemisahan kedap air(Waterlight separation)dengan kata lain mengubah Indonesia menjadi negara sekuler setidaknya sebagian besar umat islam belum siap untuk menerima perubahan itu.

Gerakan islam syariat dalam aktualisasi gerakannya ternyata tidaklah tunggal. Gerakan ini menujukkan variasi sedikit berbeda yakni Hizbut Tahrir Indonesia lebih kuat pada orientasi politik dengan cita-cita membentuk kekhalifahan islam atau negarah khlaifah, yang tidak lain sebagai bentuk negara islam klasik,Majelis Mujahidin Indonesia lebih menekankan pada penegakkan syariat tetapi tidak mendukung terbentuknya kekhalifan, serta KPPSI dan kelompok-kelompok syariat didaerah-daerah lebih menekankan pada penerapan syariat islam melalui legitimasi dan tuntuan pembentukan otonomi khusus untuk pemberlakuan syariat.

Mengenai gerakan islam syariat yang memperjuangkan formalisasi penerapan syariat dalam institusi negara/pemerintahan menjadi penting dengan tujuan sebagai berikut:1)diperolehnya penjelasan mengenai fenomena keagamaan khusunya yang menyangkut sistem kenyakinan/paham islam (pandangan dunia) yang menumbuhkan milintasi kelompok islam yang memperjuangkan penerapan syariat islam secara formal dalam institusi negara/pemerintahan;2)diperolehnya penjelasan seputar kelahiran dan pertumbuhan gerakan islam syariat yang diasumsikan tidak berada dalam suasana kosong tetapi terkait dengan berbagi kondisi kondisi sosial yang kompleks dalam kehidupan umat islam dan masyarakat indonesia;3)diperolehnya penjelasan tentang kehadiran gerakan islam syariat dalam dinamika perkembangan umat islam dan masyarakat dinegeri ini, baik dalam sejarah masa lalu maupun perkembangan saat ini.

Kalangan islam syariat di indonesia seperti Hizbut tahrr, komite indonesia untuk solidaritas dunia islam,dan lain-lain, mengkritik dan menolak keras pemikiran-pemikiran dekontruksionis atau liberal lainnya. Bagi para aktivis gerakan islam syariat itu, syariat islam sebagai sumber mata iar bagi umat islam dan merupakan bagian dari iman yang harus dilaksanakan dalam kehidupan, termasuk kehidupan negara. Sedangkan mengenai penerapan syariat dalam negara hanyalah soal waktu, yang memerlukan pendidikan untuk meningkatkan pemahaman tentang islam sehingga pada akhirnya akan mendukung gagasan penegakan syariat islam.

4. The Theoritical Framework/ Approach and Research Methodology Kerangka dasar pendekatan yang digunakan penulis dalam buku Islan dan Negara Sekuler, menggunakan pendekatan:1. Pendekatan idiologis dalam hubungan islam dan negara dan politik sepanjang sejarah masyarakat islam jelas merefleksikan ketengangan permanen antara visi ideal penyatuan islam dan negara dengan kebutuhan pemimpin agama untuk melanggengkan agama dari institusi negara.

2. Pendekatan politik dimana Abdullahi Ahmed An-Naim disini menjelaskan tentang budaya politik amerika serikat mencerminkan contoh yang bagus tentang bagaimana negosiasi tak langsung terjadi antara negara dan agama dalam masalah kebijakan publik yang krusial. Meskipun pemisahan negara dan agama adalah nilai sosial dan politik yang telah mapan dalam budaya politik publik amerika.3. Pendekatan Historis yang Abdullahi Ahmed An-Naim maksud disini penyebaran islam di daerah india beberapa dekade setelah Rasulullah meninggal, tapi umat islam membutuhkan waktu berabad-abad untuk menjadi sekelompok minoritas yang berkuasa diberbagai bagian negeri ini, umat islam di India pelan-pelan mengembangkan tradisi toleransi dan koeksistensi yang membuat mereka bisa berinteraksi dan berasimilasi dengan komunitas agama lain yang tinggal disana.5. The Result of Research/The Conclusion/Research Finding Pandangan yang diajukan penulis berangkat dari asumsi bahwa umat islam di manapun,i kebaik sabagai minorotas maupun mayoritas, dituntut untuk menjalankan syariah islam sebagai bagian dari kewajiban agamanya. Tuntutan ini akan dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya manakala negara bersikap netral ter hadap semua doktrin keagamaan dan tidak berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundang-undangan negara. Artinya, masyarakat tidak dapat benar-benar menjalankan agama sesuai dengan keyakinan dan pemahamannya tentang islam apabila orang-orang yang menggunakan kekuasaan negara memaksakan pemahaman mereka tentang syariah kepada masyarakat secara keseluruhan, baik muslim maupun non muslim.Penting untuk dicatat bahwa dalam perkembangan hukum islam, keputusan hukum dan peraturan penguasa tidak mengikat para ahli hukum. Keputusan hukum dan peraturan penguasa mungkin memiliki kekuataan hukm yang mengikat dalam konteks masa itu, tapi keduanya bukan merupakan bagian integral dari doktrin formal hukum islam. Hanya fatwa yang dikeluarkan oleh para ahli hukum dan tulisan-tulisan sistematis para pakar hukum saja yang dipandang sah sebagai ekskpresi kehendak tuhan.

Masa depan syariah sebagai sistem normatif islam dikalangan umat, tetapi bukan melalui penerapan prinsip-prinsipnya secara paksa oleh kekuatan negara. Dilihat dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Sebaliknya prinisp-prinsip syariah akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negara. Oleh karena itu, pemisahan islama dan negara secara kelembangaan sangat diperlukan agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat masyarakat islam.Kitab suci al-quran menyebutkan bahwa tujuan dan cita-cita negara islam adalah untuk mengadakan usaha-usaha pembentukan,pemeliharaan, dan pengembangan amal-amal kebijakan, yang hal ini memang dikehendaki oleh Allah terhadap manusia sepenuhnya dan juga untuk penghindaran dan penghapusan amal-amal buruk dan jahat dalam kehidupan manusia yang sangat dibenciNya, dalam kata-kata iqbak dinyatakan, Negara hanyalah merupakan suatu usaha untuk mencapai spritual organisasi manusia.

Sasaran utama suatu negara islam menurit al-quran adalah untuk mrlaksanakan usaha-usaha dengan segala sumbernya yang ada pada kekuatan yang terorganisasi demi terlaksananya program reformasi yang telah islam canangkan demi kemajuan hidup umat manusia. Tujuan negara islam adalah untuk menganjurkan perbuatan perbuatan baik yang memang islam sangat mengharapkan kepada manusia untuk mengamalkan dan juga bertujuan melarang serta menghancurkan dengan sepenuh kekuatan segala bentuk perbuatan keji dan mungkar, yang memang islam memandang sebagai sebab-sebab timbulnya tindak-tindak tekanan, eksploitasi, dan keruwetan.

6. The Contribution to Knowledge Buku ini dapat dijadikan bahan referensi dan acuan untuk semua kalangan Tinggi dan kaum terpelajar Muslim yang ingin mengetahui bagaimana islam dan negara sekular,jugasebagai bahan masukan atau sumber informasi untuk diskusi dan perdebatan tentang tarik tambang syariah, sekularisme dan negara

Buku ini memberikan masukan penting mengenal bagaimana cara menjawab persoalan antara sekularisme, negara dan agama. Menjembatani antara sekularisme, negara dan medernitas, bahwa kaum muslimin harus menerima kebutuhan akan perubahan yang berdasarkan prinsip-prinsip islam. Menyajikan sebuah aspek tentang keberlangsungan syariah dalam sebuah negara sekuler7. The Bookreviewer Critique toward the Book Abdullah ahmed an-naim mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif dalam islam dikalangan umat islam, tetapi bukan melalui penerapan-penerapan prinsip-prinsipnya secara paksa oleh kekuatan negara. Kita lihat dari sifat dan tujuannnya,syariah hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya.buku ini sangat penting dan cukup lengkap untuk dijadikan bahan diskusi untuk mengetahui berbagai hal tentang islam, negara, dan HAM,setelah dikompratifkan dengan buku yang membahas tentang islam dan negara,kurangnya contoh-contoh tentang bagaimana islam mendukung HAM, Banyak terdapat rujukan-rujukan, bahkan hampir sulit ditemukan sebuah pernyataan yang muncul tanpa disertai dengan rujukan dan kutipan. Hal ini mengakibatkan kesulitan untuk menemukan ide asli dari penulisnya sendiri penulis kurang memberikan kontribusi atau pembahasan bagaimana islam dan negara sekuler yang ada dinegara indonesia. 8. The References, ShivelyW. Philips, Power and Choice (New York:McGraw-Hill, 1993) hlm.29

Vaezi Ahmed,2006, Agama Politik, NalarPolitik Islam Jakarta:Citra

Al Khirasyi SulaimanHaqiqat Libraliyah Wa Mauqiful Muslim Minha, , hlm. 12

Rosyada Dede, 2000 Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan masyarakat madani, Jakarta: IAN Jakarta PressAhmed Abdullahi n-Naim, 2007 Islam dan negara sekular,menegosiasikan masa depan syariah, Bandung : 2007Syakaut Syekh Hussain, 1996 Hak asasi manusia dalam islam,Jakarta:Gema insani press Abdullah ahmed an-naim,islam dan negara sekuler,hlm 18

Yusdani,fiqih politik muslim, hlm 197

W. Philips Shively, Power and Choice (New York:McGraw-Hill, 1993) hlm.29

Ahmed Vaezi, Agama Politik, NalarPolitik Islam (Jakarta:Citra,2006), hlm.8

Haqiqat Libraliyah Wa Mauqiful Muslim Minha, Sulaiman Al Khirasyi, hlm. 12

Dede Rosyada, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan masyarakat madani, (Jakarta:

IAN Jakarta Press, 2000) hal, 31-33

Haedar Nasir, islam syariat, hlm xxi

Haedar Nashir, islam syariat, hlm 11

Ibid. hlm.43-44

Khaled M. Abou EL Fadl, Atas nama Tuhan, hlm.33

Iqbal, the reconstruction of religious thought in islam, hlm.155

Dr . Syekh Syaukat Hussain, hak asasi manusia dalam islam,hlm.16