Upload
vodien
View
230
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
ISLAM DAN NEGARA:
TELAAH PEMIKIRAN POLITIK K. H. AHMAD SANUSI DI INDONESIA
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Dendi Budiman
1113112000035
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
iii
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul “Islam dan Negara: Telaah Pemikiran Politik K. H.
Ahmad Sanusi di Indonesia”, yang disususn oleh Dendi Budiman, Jurusan Ilmu
Politk, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh pandangan bahwa politik Islam
merupakan penggabungan antara agama dan politik atau dalam aistilah gerakan
Islam modern, Islam adalah din wa daulah. Banyak cendekiawan, baik dari
kelompok muslim ataupun non-muslim yang menyakini bahwa agama Islam
merupakan cara hidup yang menyeluruh. Mencermati pembaharuan tentang
hubungan Islam dan negara, mereka cenderung mengatakan bahwa Islam dan
negara merupakan dua komponen integral yang tidak dapat dipahami dari satu sisi
saja. Argumentasi yang dikemukakan adalah sistem pemerintahan yang pernah
diekspresikan Rasulullah SAW ketika berada di Madinah. Salah seorang
cendekiawan muslim (ulama) Indonesia yang memiliki sudut pandang tentang
relasi Islam dan negara adalah K. H. Ahmad Sanusi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami
bagaimana pemikiran K. H. Ahmad Sanusi tentang hubungan Islam dan Negara.
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan
menjadikan hasil wawancara sebagai sumber primer dan library research
(penelitian pustaka) sebagai bahan sekunder.
Berdasarkan data yang diperoleh, penulis mengambil kesimpulan bahwa,
pemikiran K. H. Ahmad Sanusi mengenai relasi Islam dan Negara bersifat
simbiotik atau substansialistik. Beliau memandang bahwa negara haruslah
disesuaikan dengan mayoritas penduduknya. Dari mulai bentuk negara, sistem
pemerintahan dan lain-lain. Namun dalam konteks masyarakat Indonesia yang
mayoritas beragama Islam, K. H. Ahmad Sanusi tidak kemudian menghendaki
berdirinya sebuah negara Islam. Baginya konsep Republik dinilai sudah sangat
sesuai dengan konsep Imamah yang ia temukan dalam Islam, yaitu konsep negara
yang berkewajiban mengangkat seorang pemimpin dari kalangan masyarakat sipil
bukan berdasarkan keturunan seperti kerajaan.
Sebagai anggota BPUPKI, K. H. Ahmad Sanusi berperan aktif dalam
memberikan gagasannya dari perspektif Islam dalam merumuskan bentuk negara
Indonesia. Hal ini terbukti ketika perdebatan mengenai bentuk negara antara
kelompok aristokrat dengan kelompok nasionalis, K. H. Ahmad Sanusi
menengahi dan memberikan gagasannya dalam perspektif Islam dengan gagasan
menjadikan Indonesia sebagai Negara berbentuk Republik.
Kata kunci: K. H Ahmad Sanusi, Islam dan Negara, Imamah, Republik Indonesia
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa tercurah kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta keluarganya dan para sahabatnya hingga akhir zaman.
Akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Islam dan
Negara: Telaah Pemikiran Politik K. H. Ahmad Sanusi” Penulisan skripsi ini
untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam menyelesaikan penelitian ini sehingga menjadi sebuah skripsi,
banyak pihak dan lembaga yang turut membantu penulis yang jadi perantara
dalam menyelesaikan tugas akhir ini. tanpa bantuan pihak-pihak yang dimaksud,
mungkin penelitian ini tidak akan selesai. Keberhasilan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan doa semua yang
terlibat dalam penulisan ini. Dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf
apabila tidak dapat menyebutkan satu-persatu pada bagian ini. Namun penulis
harus mengucapkan terima kasih kepada beberapa diantara mereka, yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Iding Rasyidin, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Suryani, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Kepada dosen pembimbing Dr. A. Bakir Ihsan, M.Si yang bersedia
menerima penulis sebagai mahasiswa bimbingannya untuk menyelesaikan
proses penelitian skripsi ini. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Walaupun
penulis tidak menyebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terimakasih
v
atas bimbingan dan semangat intelektual dalam mentransfer ilmu kepada
kami. Terimakasih untuk selalu mengajarkan pentingnya keseriusan dalam
menuntut ilmu.
5. Lebih khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terkasih,
kedua orang tua penulis yaitu K. H. Achmad Efendy dan Hj. Kholifah.
Terima kasih telah menjadi orang tua yang luar biasa. Dengan penuh
kesabaran, ibu dan ayah tidak pernah berhenti mengingatkan penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas ketulusan cinta dan kasih
sayang ibu dan ayah selama ini, serta doa-doa di setiap sujudnya yang
selalu dipanjatkan untuk penulis.
6. Kepada semua narasumber yang paham mengenai pemikiran maupun
gerakan K. H. Ahmad Sanusi, yaitu Asep Mukhtar Mawardi M.Si, Dr.
Aab Abdullah, Dr. Syafruddin Amir, Munandi Shaleh M.Si, Prof.
Muhammad Iskandar, Prof Sulasman dan Prof Dedy Ismatullah. Terima
kasih telah memberikan penulis pengetahuan dan informasi berbagai
jawaban mengenai pemikiran K. H. Ahmad Sanusi tentang hubungan
Islam dan negara.
7. Kepada para pengurus organisasi masa Persatuan Ummat Islam yang telah
menerima serta membantu penulis dalam melakukan penelitian, karena
atas keramahan para pengurus dalam memudahkan penulis untuk mencari
data-data yang dibutuhkan. Kepada Perpustakan Pusat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, kepada Perpustakaan FISIP UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, kepada Perpustakaan Arsip Nasional. Penulis
mengucapkan terima kasih atas kebaikan dan keramahan para staff yang
vi
sangat memudahkan penulis dalam mencari data, buku, dan literatur yang
dibutuhkan.
8. Kepada kawan-kawan HMI KOMFISIP, terimakasih atas ilmunya, melalui
diskusi panjang beberapa tahun silam, terima kasih atas dukungan dan
semangatnya, mereka mengajarkan banyak hal, baik yang bersifat
akademis maupun non-akademis.
9. Kepada teman seperjuangan penulis, Ilmu Politik angkatan 2013, penulis
mengucapkan terima kasih atas dukungan semangat dan kebersamaannya,
serta spirit intelektual kalian selama dibangku kuliah dalam bertukar
pikiran, berbagi ilmu, canda dan tawa, kalian semua akan selalu ada dalam
hati penulis.
10. Kepada dulur-dulur sapanyabaan di Riungan Mahasiswa Sukabumi yang
ada di Jakarta, penulis haturkan hatur nuhun atas kebersamaannya selama
5 tahun penulis di Ciputat.
11. Kepada keluarga besar pondok pesantren Al- Quran Nurmedina,
khususnya kepada Ustad Endang Husna dan Ibu Ustadzah Arbiah Mahfud,
terimakasih atas segala kebaikan dan ketulusan membimbing penulis
selama ini, dan ilmu yang diberikan penulis haturkan terimakasih, semoga
menjadi bekal dunia sampai akhirat, amin.
12. Kepada kawan-kawan di Perkumpulan Gerakan Kebangsaan yang selalu
mendorong penulis untuk tetap maju dan komitmen merawat mimpi-
mimpi yang terpatri. Terimakasih telah menjadi tim yang solid.
vii
13. Kepada perempuan yang pernah ikut terlibat dalam perjuangan di Ciputat,
dengan tanpa menyebutkan namanya, penulis haturkan terimakasih atas
semua yang telah diberikan.
Tanpa adanya ridho Allah SWT melalui perantara dukungan dan bantuan
tersebut, mustahil penelitian skripsi ini akan selesai. Semoga Allah SWT
membalas kebaikan mereka. Diharapkan dengan tersusunnya skripsi ini dapat
memberikan khazanah baru keilmuan dan bermanfaat bagi para pembaca maupun
penulis secara pribadi. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kata sempurna, maka demi memperbaiki kualitas skripsi ini penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun ke arah kesempurnaan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 05 Juni 2018
Dendi Budiman
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ......... Error! Bookmark not defined.
ABSTRAKSI ......................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .............................................. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................... 2
A. Pernyataan Masalah........................................................................................ 2
B. Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 10
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 11
E. Metode Penelitian ......................................................................................... 14
1) Pendekatan Penelitian ......................................................................... 14
2) Teknik Pengumpulan Data.................................................................. 14
3) Teknik Analisis Data .......................................................................... 15
F. Sistematika Penulisan ................................................................................... 16
BAB II: KERANGKA TEORETIS ISLAM DAN NEGARA ......................... 18
A. Pengertian Negara ........................................................................................ 18
B. Pengertian Negara Dalam Perspektif Islam .................................................. 22
A. Daulah ................................................................................................. 23
B. Khilafah .............................................................................................. 24
C. Imamah ............................................................................................... 27
C. Bentuk-Bentuk Negara ........................................................................... 28
1. Bentuk Pemerintahan Kerajaan (Monarki) ............................................... 28
2. Bentuk Pemerintahan Republik ................................................................ 29
D. Hubungan Islam dan Negara dalam Perdebatan Ilmuan Politik .................. 30
a) Paradigma Integralistik ....................................................................... 31
b) Paradigma Sekularistik ....................................................................... 32
c) Paradigma Substansialistik ................................................................. 32
BAB III: BIOGRAFI K. H. AHMAD SANUSI ................................................ 34
viii
A. Riwayat Pendidikan...................................................................................... 34
B. Kiprah Perjuangan ........................................................................................ 42
1. Mendirikan Organisasi ........................................................................ 43
2. Mendirikan Perguruan Syamsul Ulum ................................................ 55
3. Menjadi Anggota BPUPKI ................................................................. 58
C. Karya Tulis ................................................................................................... 60
BAB IV: ISLAM DAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF K. H. AHMAD
SANUSI ................................................................................................................ 66
A. Pemikiran K. H. Ahmad Sanusi Tentang Islam ........................................... 66
1. Ibadah.................................................................................................. 68
2. Aqidah ................................................................................................. 72
3. Pendidikan Islam................................................................................. 75
B. Pemikiran K. H. Ahmad Sanusi Tentang
Negara ............................................................................................................... 78
C. Pemikiran K. H. Ahmad Sanusi Tentang Hubungan Islam dan Negara ...... 84
BAB V: PENUTUP ............................................................................................. 94
A. Kesimpulan .................................................................................................. 94
B. Saran ............................................................................................................. 95
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 2
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Persoalan antara Islam dan Negara pada masa moderen merupakan salah
satu kajian penting dalam khazanah politik dunia. Kajian ini meski telah cukup
lama menjadi perdebatan, namun belum terpecahkan.1 Sejarah mencatat umat
Islam belum memiliki rujukan tentang bagaimana sebaiknya Negara ideal menurut
Islam. Sebagai agama yang sempurna, yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang
sifatnya universal, dalam konteks politik kenegaraan, umat Islam seperti
mengalami “kebingungan” dalam menentukan track antara hubungan Islam dan
Negara.
Dalam khazanah pemikir politik Islam muncul tiga aliran pemikiran yang
menjadi arus utama, atau mazhab besar yang menyusun teori tentang hubungan
Islam dan negara.2 Mazhab pertama berpendapat bahwa: al-Quran tidak memiliki
rumusan yang baku tentang sistem politik dan Nabi Muhammad bukanlah utusan
Allah untuk membentuk kekuasaan politik. Tugasnya hanyalah menyampaikan
wahyu dari Allah SWT kepada ummatnya. Yang termasuk kedalam mazhab ini
anatara lain „Ali adul Al-Raziq dan Thaha Husein.
Mazhab kedua berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang
paripurna, yang didalamnya terdapat seperangkat aturan guna mengatur seluruh
lehidupan umat manusia termasuk politk ketatanegaraan. Mazhab ini menyakini
1 Azyumardi Azra, Pergolakan Pemikiran Islam dari Fundamentaslisme, Modernisme
Hingga Post-Mdernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hal.1. 2 Muhamad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstalisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Grup, 20016), hal.xiv.
3
bahwa Islam telah menyediakan sistem politik tertentu yang khusus yang harus
ditaati oleh ummatnya. Mazhab ini menyandarkan teorinya pada kenyataan bahwa
Nabi Muhamad SAW dalam praktiknya di Madinah telah membangun sebuah
negara dengan bentuknya yang modern, yang disebut negara Madinah, bentuk
negara inilah yang harus diteladani oleh umat Islam. Pengikut mazhab ini antara
lain adalah al-Maududi, kemudiam sHasan al-Bana dan Sayid Qutub. Ketiganya
bersepakat bahwa Madinah merupakan percontohan negara modern yang
dibangun oleh Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan mazhab ketiga berpandangan bahwa: Islam sama sekali tidak
menyediakan sistem politik yang baku sepeninggal Nabi Muhammad, yang layak
dan harus di taati oleh umat Islam. Akan tetapi Islam juga tidak membiarkan
umatnya tanpa pedoman dalam berkehidupan didunia ini, termasuk kehidupan
bernegara. Mazhab ini tidak kaku dalam menyusun teori-teorinya. Mereka
berpandangan bahwa Islam tidak melarang mengadopsi pemikiran-pemikiran dari
manapun, sekalipun dari Barat selama pemikiran itu tidak bertentangan dengan
prinsip umat Islam. Mereka mencontohkan seperti hak asasi manusia misalnya.
Tokoh yang mengamini dan masuk pada mazhab ini antara lain adalah
Muhammad Abduh, Husen Haikal, dan Muhammad Iqbal.
Perdebatan masalah hubungan agama dan negara selalu menarik dan tidak
pernah selesai dan habis oleh perkembangan zaman. Masalah kedudukan agama
dan negara sampai hari ini khususnya di Indoensia masih mencari bentuk negara
yang ideal, bagaimana posisi dan track hubungan agama khususnya Islam dengan
4
negara.3 Bahtiar Effendy dalam pengantarnya untuk buku “Gagalnya Islam
Politik” karya Olivier Roy berpandangan bahwa: mengangkat kembali keterkaitan
antara Islam dan politik bisa jadi merupakan persoalan yang “membosankan”.4
Hal ini bisa dipahami bahwa seringkali artikulasi yang hampir-hampir mengulang
wacana yang pernah ada. Padahal menurutnya, mestinya masalah hubungan antara
Islam dan Politik adalah subjek yang sangat menarik, dan sepanjang masa akan
muncul, sebab pada dasarnya Islam, umat Islam atau kawasan Islam, tak akan
pernah bisa dipisahkan dari persoalan-persoalan politik. Persoalan antara Islam
dan negara dalam masa moderen ini merupakan salah satu subyek penting,
meminjam istilahnya Azyumardi Azra, meski telah diperdebatkan para pemikir
Islam sejak hampir seabad lalu hingga dewasa ini, tetap belum terpecahkan secara
tuntas.5 Pada intinya Bahtiar maupun Azumardy Azra, menyakini bahwa umat
Islam tidak akan bisa dipisahkan dengan persoalan politik, Negara.
Agama dan negara merupakan sesuatu yang berbeda. Agama merupakan
sesuatu kebutuhan manusia, manusia membutuhkan kepercayaan. Hidup tanpa
kepercayaan sama sekali adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi.6 Agama
sifatnya batiniah, dia adalah wahyu, petunjuk Tuhan yang diturunkan kepada umat
3 Julimah, Pemikiran Agus Salim Tentang Hubungan Islam dan Negara, (Jakarta: Skripsi
Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatulah Jakarta,
2009), hal. 55. 4 Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 1996), hal. V.
5 Azyumardi Azra, Pergolakan Pemikiran Islam dari Fundamentaslime, Modernisme
Hingga Post-Mdernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 1. 6 Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan, kepercayaan itu akan melahirkan tata
nilai guna menopang hidup dan budayanya. Menurut Cak Nur, sapaan akrab Nurcholish Madjid,
hidup tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain
kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang bersamaan juga haruslah merpakan
kebenaran. Demikianpula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang
salah bukan saja tidak dikehendaki tetapi jua berbahaya. Baca di naskah Nilai-nilai Dasar
Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam Bab I tentang dasar-dasar kepercayaan, Himpunan
Mahasiswa Islam Cabang Ciputat, Modul Latihan Kader 1 (Ciputat: Bidang Pembinaan Anggota
HMI Cabang Ciputat, 2016), hal. 118
5
manusia melalui nabi dan rasulnya. Kebutuhan beragama juga meruapakan
kebutuhan fitrah manusia. Berbeda dengan negara, sebagai suatu kehidupan
berkelompok yang kemudian mendirikannya bukan saja atas dasar kebutuhan,
tetapi juga perjanjian masyarakat (kontrak sosial) dan juga atas dasar fungsi
manusia sebagai kholifah di muka bumi yang mengemban kekuasaan sebagai
amanahnya.7
Hubungan antara agama dan negara, kendatipun bagi umat Islam
merupakan sesuatu yang inhern tetapi jangan kemudian langsung melompat pada
kesimpulan bahwa umat Islam atau orang Islam itu tengah mempromosikan atau
bahkan hendak mendirikan negara teokrasi, sebab ini sama sekali berbeda.
Begitupun sebaliknya ketika orang Islam berpandangan bahwa agama dan negara
tidak bisa menyatu lalu kemudian kita berkesimpulan mereka tengah mengamini
negara sekuler. Yang demikian itu selalu memiliki klaim kebenaran yang oleh
sebagian kalangan dianggap berdimensi ilahiah, bahkan kadang-kadang
mempunyai implikasi-implikasi teologis.
Secara empirik msyarakat dunia khususnya umat muslim, menunjukkan
adanya hubungan yang canggung antara Islam dan negara, terutama pasca Perang
Dunia II.8 Berbagai ”eksperimen” dilakukan demi menyelaraskan antara
keduanya, anatara din dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim,
sehingga kemudian eksperimen-esperimen itu dalam banyak hal sangatlah
beragam. Penetrasi “Islam” kedalam politik dan negarapun sangat beragam.
Perdebatan panjangpun kerap terjadi untuk setidaknya menjawab; negara
7 Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 17.
8 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (1966-1994), (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hal.24.
6
manakah yang kira-kira dapat disebut betu-betul merupakan prototype (pola
dasar) dari apa yang disebut sebagai “Negara Islam”.9 Selanjutnya manakah yang
pantas menyandang predikat itu adalah Arab Saudi sebagai pusat ibadah umat
Islam dunia, ataukah Iran dengan sejarah intelektualnya yang gemilang atau
bahkan Indonesa sebagai negara dengan pemeluk Islam terbanyak di dunia yang
dapat disebut sebagai representasi “negara Islam” sesungguhnya?
Lantas bagaimana sebetulnya hubungan antara keduanya, antara Islam
sebagai din dan negara sebagai daulah. Para pemikir politik Islam berpandangan
bahwa hampir-hampir seluruh artikulasi pemikiran politik Islam tidak bisa lepas
dari bayang-bayang pemikiran bahwa (1) Islam dan politik tidak bisa dipisahkan;
(2) Islam dan politik itu bisa dipisahkan; (3) Islam dan politik mempunyai
keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-
formalistik, tetapi substansialistik.
Sejarah mencatat bahwa hubungan antara agama dan negara pada masa
awal-awal Islam mengungkapkan fakta sejarah yang begitu kaya sekaligus sangat
kompleks10
serta telah berlangsung cukup lama, dan keduanya pernah saling
“menguasai”, baik agama Kristiani maupun Islam.
Negara satu waktu pernah dikuasai oleh agama (Kristiani) ditandai dengan
diberlakukannya kekuasaan pastur dan gereja memiliki otoritas hukum. Artinya
nilai-nilai kekristenan merupakan hukum positif yang berlaku dan menuntut
ketaatan warganya. Begitupun dalam sejarah Islam, agama (Islam) sempat
9 Azyumardi Azra, Pergolakan Pemikiran Islam dari Fundamentaslime, Modernisme
Hingga Post-Mdernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 1. 10
Kajian mengenai sejarah Islam dan Politik lebih lengkap tentang tema ini bisa dilihat
dalam Munawir Sadjali, Islam dan tata Negara: Aliran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Pres,
1990), hal. 40.
7
menguasai negara, yakni pasca Nabi Muhammad SAW wafat dan beliau tidak
mewariskan sistem pemilihan kepala negara menurut Islam. Sehingga tidak ada
aturan yang baku dalam melakukan pemilihan kepala negara dan kepala
pemerintahan. Puncaknya agama (Islam) “menguasai” negara adalah pada masa
Dinasti Umayah.11
Sejarah politik Islam Indonesia modern, sejak Indonesia berdiri sebagai
negara bangsa (nation state) memiliki catatan menarik. Jika kita perbandingkan
pemikir Islam di Indonesia dengan di Timur tengah misalnya atau dunia Islam
lainnya, pemikiran Islam Indonesia memiliki khazanah pemikiran yang cukup
menarik. Sepanjang sejarah Indonesia, pemikiran politik Islam sudah berkembang
melewati batas-batas yang sudah disebutkan.12
Misalnya saja, pada tahun 1940-an
sampai awal 1960-an, ekspresi, artikulasi, dan detail pemikirannya berada di kubu
“golongan agama” dan “golongan nasionalis”. Sedemikian absolutismenya
ekspresi pemikiran Islam tersebut, seperti kemudian ditampilkan pada sidang
dewan Konstituante pada akhir 1950-an, sehingga kompromi dan negosiasi yang
diharapkan melahirkan pemikiran “jalan tengah”13
tidak terjadi.
Selanjutnya sejarah mencatat pada pertengahan tahun 1940-an, lebih
tepatnya ketika BPUPKI dan kemudian PPKI bersidang, ada unsur fait accomplay
11
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstalisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Grup, 20016), hal. 34. 12
Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 1996), hal.
VIII. 13
Jalan tengah yang dalam terminologinya Muanwir Syadzali “Indonesia bukan negara
teokrasi dan bukan juga negara sekuker” sebenarnya mempunyai pendukung yang cukup lumayan,
dibandingkan misalnya dengan dua ekstrem lainya yang saling berlawanan. Penjabaran selanjutnya
yaitu bahwasannya Indonesia merupakan negara yang mefasilitasi warganya di dalam
melaksanakan ajaran agamanya, meneguhkan keyakinan komunitas Islam bahwa Islam
tetapmenduduki tempat terhormat di Indonesia. Sederhananya karena wasilah jalan tengah itu,
negara bersedia mengakomodasi kepentingan-kepentingan komunitas Islam. Baca; Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1991), hal.20-50.
8
di dalamnya, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, kompromi (Piagam
Jakarta) terlalu dini diajukan.14
Kompromi yang dinilai terlalu dini ini bisa
dijelaskan bahwa waktu itu para tokoh Indonesia “sudah tidak sabar” ingin segera
mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Kemudian episode selanjutnya, ketika
Dewan Konstituante bertemu yakni pada tahun 1950-an, bangsa Indonesia pun
tidak bisa menyelesaikan dialog (antara “golongan Islam” dan “golongan
Nasionalis”) dengan baik. Implikasinya adalah sidang dihentikan oleh Soekarno
dengan dukungan angkatan bersenjata. Kendatipun bisa dipahami bahwa
keputusan Soekarno itu dilakukan untuk segera mengakhiri jalan buntu tadi, tetapi
kemudian itu menunjukan kekalahan Golongan Islam.
Kenyataan menunjukan bahwa kekalahan golongan Islam dalam
konstituante berakibat pada kehidupan ummat Islam dalam bernegara. Puncaknya
ketika presiden Soeharto berkuasa menahkodai orde baru dengan segala kekuatan
dan kehendak politiknya. Pada zaman itu penguasa orde baru tidak pernah
mengizinkan dialog-dialog yang menyangkut persoalan Islam dan politik
kenegaraan15
. Hanya suara-suara yang kebetulan saja sesuai dengan kepentingan
penguasa yang dibolehkan muncul kepermukaan dan dibolehkan berkembang.
Sementara suara yang saling bertentangan dengan hajat penguasa tidak pernah
sama sekali diberi ruang untuk tampil sebagai wacana, sehingga mereka yang
14
Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 1996), hal.
VIII. 15
Tindakan refresip yang dikangkangi oleh Orde Baru selama hampir 32 Tahun sama
sekali tidak mengijinkan suara-suara Islam muncul ke ruang-ruang publik. Nyaris seluruh aktfitas-
aktifas politik ummat Islam dibatasi ruang geraknya, sehingga sudah tentu ummat Islam tidak
memiliki ruang gerak dalam perpolitikan dikancah nasional. Baca; Olivier Roy, Gagalnya Islam
Politik, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 1996), cet.1, hal. X.
9
masih menyakini Islam secara ideologis dan politis sudah tentu dibatasi ruang
geraknya bahkan yang paling ekstrimnya dibungkam.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa persidangan BPUPKI cukup alot,
yang melibatkan banyak tokoh dari utusan macam-macam golongan diantaranya
golongan Islam dan golongan Nasionalis. Salah satu yang mewakili kelompok
Islam adalah K. H. Ahmad Sanusi, bersama K. H. Wahid Hasyim dan sejumlah
tokoh Islam lainya. K. H. Ahmad Sanusi berada di posisi nomor urut 2 dalam
keanggotaan BPUPKI dengan posisi duduk pada kursi nomor urut 36,16
pengaruhnya yang cukup kuat pada waktu itu membuatnya menjadi anggota
BPUPKI mewakili golongan Islam.17
Beliau adalah sosok Kiai jenius yang pernah
dimiliki bangsa Indonesia, beliau menjadi rujukan penting perkembangan
keilmuan Islam khususnya di Jawa Barat. Hal ini diperkuat dengan
keberhasilannya melahirkan organisasi masyarakat terbesar di Jawa Barat serta
Kiai-kiai besar yang memiliki pengaruh di Indonesia.18
.
Sebagaimana diketahui bahwa K. H. Ahmad Sanusi adalah sosok ulama
yang pejuang, pejuang yang ulama. Kiprahnya dalam bidang dakwah Islam tidak
diragukan, begitupun kiprah dan peranannya dalam memperjuangkan
16
Saafrudin Bahar, dkk., Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei-
22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1945), Cet. Ketiga, hal. Xxv dan xxvi. 17
Namun ternyata perjuangan serta kontribunya terhadap negara kurang begitu populer
dikalangan masyarakat Indonesai pada umumnya bahkan masyarakat Sukabumi skup lebih kecil
sekalipun, sehingga tentu tidak mengherankan jika ternyata masih banyak masyarakat kita,
Sukabumi khususnya tidak mengenal beliau selain nama jalan dan nama pesantren di Gunung
Puyuh Sukabumi. Baca; Munandi Saleh, K.H Ahmad Sanusi; Pemikiran dan Perjuangan dalam
Pergolakan Nasional, (Tangeran Selatan: Jelajah Nusa, 2016), Cetakan Keempat, hal. 2. 18
Organisasi masyarakat yang beliau rintis, PUI, telah memberikan pengaruh yang cukup
besar di Indonesia, salah satunya dengan lahirnya tokoh-tokoh ulama yang lahir dari didikan K. H.
Ahmad Sanusi. Diantara santrinya yang berhasil, Ibrahim Husen (pendiri Institut Ilmu Al-Quran,
pernah menjadi ketua MUI pusat), E.Z Muttaqien (pendiri Unisba), dan beberapa santrinya yang
berhasil mendirikan pesantren di Jawa Barat. Baca; Munandi Saleh, K. H. Ahmad Sanusi;
Pemikiran dan Perjuangan dalam Pergolakan Nasional, hal. 60.
10
kemerdekaan Indonesia, menggulung kolonialisme dan ikut serta merumuskan
dasar negara Indonesia. Kontribusinya dalam perjuangan kebangsaan di
tunjukannaya dalam perdebatan BPUPKI yang kemudian melahirkan bentuk
negara dan juga sistem pemerintahan Indonesia. Hal inilah yang menjadi
ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Islam dan
Negara; telaah atas Pemikiran Politik K. H. Ahmad Sanusi di Indonesia”
karena sejauh ini ternyata perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh Islam
termasuk K. H Ahmad Sanusi ternyata dianggap belum membuahkan hasil yang
maksimal.
B. Pertanyaan Penelitian
Penulisan skripsi ini secara umum ingin memberikan analisis mengenai
Peran K. H. Ahmad Sanusi dalam Pembentukan Negara Indonesia. Oleh karena
itu penulis menyimpulkan dalam dua pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana perspektif K. H. Ahmad Sanusi mengenai hubungan Islam dan
negara?
2. Sejauh mana kontribusi pemikiran politik K. H. Ahmad Sanusi dalam
pembentukan Negara Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengungkap hal-hal
sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan perspektif K. H Ahmad Sanusi tentang hubungan
Islam dan Negara.
2. Untuk menjelaskan sejauh mana kontribusi pemikiran politik K. H.
Ahmad Sanusi bagi pembentukan Negara Indonesia
11
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum penulis melakukan penulisan dan penelitian, penulis terlebih
dahulu melakukan pencarian beberapa sumber yang terkait untuk menghindari
pengulangan pembahasan. Beberapa sumber itu meiputi buku, skripsi, tesis,
disertasi dan karya ilmiah lainya yang sifatnya dapat dipertangung jawabkan
secara akademik dan ilmiah.
Sumber yang pertama adalah tesis dengan judul Haji Ahmad Sanusi dan
Kiprahnya dalam Pergolakan Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan
di Sukabumi1888-1950.ditulis oleh Asep Mukhtar Mawardi untuk Program
Magister Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
Semarang. Asep Mukhtar Mawardi adalah penulis pertama yang menulis tentang
K. H Ahmad Sanusi melalui skripsinya pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk program study Sejarah Kebudayaan Islam. Perbedaan dengan yang penulis
kaji adalah pada objek kajiannya yaitu pemikiran tokoh lebih spesifiknya pada
konteks relasi Islam dan Negara.
Sumber kedua adalah sebuah buku yang berjudul K. H. Ahmad Sanusi;
Pemikiran, Perjuangan, dalam Pergolakan Nasional yang ditulis oleh Drs. H.
Munandi Shaleh, M.Si, seorang dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Syamsul
Ulum, Gunung Puyuh, Sukabumi yang diterbitkan oleh penerbit Jelajah Nusa,
Pamulang Timur¸ Kota Tangerang Selatan, 2016. Penulis merupakan Ketua
Umum PUI Kota Sukabumi dan secara fasih mengetahui secara detail seluk beluk
sejarah perjuangan dan pemikiran K. H. Ahmad Sanusi. Perbedaan dengan skripsi
yang penulis tulis adalah pada titik fokus penelitian yang penulis sedang garap
12
yaitu pada fokus kajiannya bidang pemikiran politiknya saja, yang lebih spesifik
pada pandangan tokoh mengenai relasi Islam dan Negara.
Sumber ketiga adalah sebuah disertasi yang berjudul Persatuan Ummat
Islam (PUI): Latar Belakang dan Perkembangannya (1911-2011) yang ditulis
oleh DR. Wawan Hernawan, M. Ag untuk menyelesaikan studi pada bidang
Kajian Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Padjajaran,
Bandung. Peneelitian berisi kajian sosok pendiri organisasi Persatuan Ummat
Islam. Sebagai seorang pejuang dan pemikir yang karya dan baktinya terkristal
menjadi sebuah organisasi masa yang cukup besar dan diperhitungkan di
Indonesia. Kontribusi K. H. Ahmad Sanusi ini menjadi bukti bahwa dirinya tidak
hanya seorang pemikir Islam tetapi juga pejuang yang kontribusinya dirasakan
langsung oleh Indonesia. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penulis lebih
fokus pada kajian dan buah pikiran tokoh yang dipandang sebagai pendiri
organisasi ini yaitu pada pemikiran politiknya.
Sumber keempat adalah buku yang berjudul Riwayat Perjuangan K .H.
Ahmad Sanusi (1888-1950) diterbitkan oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia
Cabang Jawa Barat yang bekerjasama dengan Pemerintah Kota Sukabumi pada
tahun 2006. Buku ini ditulis oleh Miftahul Falah S.S, ditulis secara khusus untuk
keperluan pengajuan K. H. Ahmad Sanusi sebagai pahlawan nasional asal Jawa
Barat karena perjuangannya yang layak dan patut mendapat apresiasi dan
penghargaan sebagai pahlawan nasional. Selain itu, buku ini juga dimaksudkan
untuk mendokumentasikan riwayat hidup seorang ulama yang pejuang sehingga
nilai-nilai kejuangannya dapat diwariskan kepada generasi penerus. Sementara itu,
bagi keperluan Ilmu Sejarah, kiranya buku ini dapat menjadi sumbangan untuk
13
memperkaya historiografi Indonesia, khususnya dalam bentuk biografi tokoh.
Kesamaan dengan penelitian penulis adalah pada objek kajiannya yaitu membahas
tokoh yang sama. Adapaun pembedanya hanya pada kefokusannya saja yaitu pada
kajian pemikiran politik sang tokoh.
Sumber kelima adalah sebuah jurnal dengan judul “Dialektika Modernis
dan Tradisionalis Pemikiran Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran Hukum Islam
K. H. Ahmad Sanusi 1888-1950)” Jurnal Al-Qānūn, Vol. 11, No. 1, Juni 2008
yang ditulis oleh Yayan Suryana, seorang dosen pada Fakultas Syariah IAIN
Sunan Ampel Surabaya. perbedaan dengan penelitian penulis yang berfoks pada
pemikiran tokoh dalam kajian hukum Islam sedangkan yang sedang penulis kaji
dan teliti adalah fokus pada kajain pemikiran politknya.
Sumber keenam adalah sebuah laporan penelitian yang berjudul Peran
Politik K. H. Ahmad Sanusi di BPUPKI yang di tulis oleh Nina Lubis DKK yang
diterbitkan oleh Yayasan Masyarakat Sejarawana Indonesia tahun 2011. Buku ini
menjelaskan bagaimana kiprah dan proses K. H. Ahmad Sanusi dalam
memberikan gagasannya dalam sidang BPUPKI dalam perspektif Islam. Buku ini
berhasil menggambarkan dinamika persidangan sekaligus didalamnya silang
pendapat para tokoh dalam merumuskan bentu Negara. Selain itu juga penulis
menggambarkan kontribusi K. H Ahmad Sanusi dalam perumusan negaa republic
Indonesia. Perbedaan dengan penulisan yang digarap oleh penulis adalah
penelitian yang penulis lakukan lebih spesifik pada pandangan tokoh mengenai
relasi Islam dan Negara.
14
E. Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif dengan pendekatan penelitian analisis kualitatif. Pendekatan analisis
kualitatif dimaksudkan agar dapat memperoleh gambaran secara menyeluruh,
jelas dan mendalam mengenai hal-hal yang akan diteliti. Metode penelitian
kualitatif ini juga digunakan agar mengetahui makna dibalik fenomena yang ada.
Penelitian kualitatif yaitu penelitian dengan mengungkap gejala holistik-
kontekstual menjadi pengumpulan data dengan memanfaatkan peneliti sebagai
kunci utama dari pengumpulan data. Penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif dan
lebih menonjolkan proses dan makna, pendekatan yang digunakan juga cenderung
pendekatan induktif. Ciri penulisan dalam metode kualitatif disusun dalam bentuk
narasi sehingga menunjukkan nilai otentik.19
Maksud dari holistik dari penelitian kualitatif ini adalah menyeluruh dan
tidak dapat dipisah-pisahkan. Sehingga fokus penelitian tidak hanya menetapkan
penelitiannya berdasarkan variabel penelitian, melainkan juga fokus penelitian ini
akan secara keseluruhan situasi sosial yang diteliti meliputi aspek tempat (place),
pelaku (aktor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis.20
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan penulis adalah observasi
dokumen atau kajian kepustakaan sebagai sumber primer. Menurut Sutrisno Hadi
observasi merupakan suatu proses yang kompleks, yang tersusun dari berbagai
19
Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat., Metodologi Penelitian (Bandung: CV. Mandar
Maju, 2011), hal. 200. 20
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2006), hal. 233.
15
proses seperti proses biologis dan psikologis dan yang terpenting diantaranya
adalah proses pengamatan dan ingatan.21
Selain itu, penulis juga menggunakan
metode wawancara sebagai sumber sekunder. Metode wawancara adalah bentuk
komunikasi antara dua orang, melibatkan satu orang yang ingin memperoleh
informasi dari satu orang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
berdasarkan tujuan tertentu. Teknik ini melakukan tanya jawab secara langsung
dengan narasumber yang tepat atau pihak-pihak yang bersangkutan dengan
penelitian penulis demi mendapatkan data yang valid sebagai data primer.
Teknik Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, kemudian data dianalisis secara deskriptif,
yaitu digambarkan dan dijabarkan dengan kata-kata dan kalimat-kalimat terpisah
menurut kategorinya., untuk memperoleh kesimpulan. Sedangkan pola berfikir
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola berfikir deduktif, yakni proses
analisa yang berangkat dari misi dan gaya pemikiran yang sifatnya umum atau
pola berfikir yang diambil berdasarkan data umum untuk kemudian diaplikasikan
kepada kesimpulan yang bersifat khusus, setelah terlebih dahulu dilakukan
kategorisasi-kategorisasi. Menurut Sanapiah Faisal dalam bukunya Formt-Format
Penelitian Sosial, penelitian deskriptif (descriptive research) yang biasa disebut
juga penelitian taksonomik, seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau
21
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D, 162.
16
kenyataan sosia, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan
dengan masalah unit yang diteliti.22
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian skripsi ini penulis menyusun pembahasan menjadi
beberapa bagian sebagai sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan. Dalam bab ini penulis memaparkan permasalahan yang
melatarbelakangi pembahasan dan perumusan masalah serta tujuan terkait
penelitian tentang “Islam dan Negara: Telaah atas Pemikiran Politik K. H. Ahmad
Sanusi”. Pada bab ini juga dipaparkan tinjauan pustaka dan metode penelitian.
Bab II: kerangka Teoretis. Dalam bab ini difokuskan pada pembahasan teori-teori
negara, hingga terbentuknya Negara Islam secara umum. Selain itu, bab ini juga
membahas konsep-konsep tentang Negara Islam yang juga dibahas dan
dikemukakan oleh para pemikir politik Islam lainnya.
Bab III: Biografi. Pada bab ini penulis memfokuskan pembahasan mengenai
biografi K. H. Ahmad Sanusi, khususnya dalam konteks politik serta
pemikirannya mengenai Islam yang tertuang dalam karya-karyanya. Pada bab ini
juga diuraikan keberadaan K. H. Ahmad Sanusi yang dipercaya dalam panitia
BPUPKI merumuskan konsep Negara Indonesia.
Bab IV: Analisis. Bab ini merupakan bagian yang berisi analisis terhadap
pemikiran politik K. H. Ahmad Sanusi dan kontribusinya pada pembentukan
Negara Indonesia. Secara rinci bab ini menjelaskan mengenai pemikiran K. H.
22
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), hal. 20.
17
Ahmad Sanusi, sebagai tokoh muslim, mengenai Negara serta relasi Islam dan
Negara.
Bab V: Penutup. Bab ini merupakan kesimpulan dari pembahasan mengenai
skripsi ini, sekaligus menjadi penutup pada pokok permasalahan peran K. H.
Ahmad Sanusi dalam pembentukan negara Indonesia.
18
BAB II
KERANGKA TEORETIS ISLAM DAN NEGARA
A. Pengertian Negara
Negara merupakan istilah dalam bahasa Indoensia yang jika ditelusuri asal
katanya adalah terjemahan dari beberapa kata asing. Di Inggris misalnya, istilah
negara menggunakan kata state kemudian di Belanda dan Jerman istilah yang
digunakan adalah staat, atau etat dalam bahasa Prancis sedangkan dalam bahasa
arab sendiri daulah yang kesemuanya merujuk pada satu tafsiran yang sama yaitu
negara dalam bahasa Indonesia. Profesesor Miriam Budiarjo, salah seorang
ilmuwan politik Indonesia mendefiniskan Negara sebagai integrasi dari sebuah
kekuasaan politik, dalam hal ini negara diartikan sebagai alat dari masyarakat
yang memiliki kekuasaan untuk mengatur serta menertibkan hubungan antar
masyarakat.23
Pandangan ini cukup populer didalam khazanah keilmuan politik
Indonesia dan juga kerap menjadi rujukan beberapa ilmuan dalam mendefiniskan
negara.
Selain itu, dalam sebuah tata kelola negara, rakyat dituntut untuk taat pada
sejumlah pejabat negara melalui perundang-undangan atas sebuah kontrol
monopolistis dari kekuasaan yang sah dalam suatu negara.24
Negara mempunyai
hak untuk menuntut ketaatan warganya demi terselenggaraya stabilitas kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang kondsif dan dicita-citakan. Secara istilah,
negara diartikan sebagai sebuah organisasi tertinggi yang memiliki pemerintahan
23
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi,
2010), hal. 47. 24
Efriza, Ilmu Politik Dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan (Bandung:
Alvabeta, 2013), hal. 48.
19
yang berdaulat dengan tujuan untuk bersatu hidup dalam satu kawasan kelompok
masyarakat.25
Pemikir politik Islam memiliki tawaran sendiri dalam membahas soal
negara. Al-Mawardi26
misalnya, berpendapat bahwa asal mula negara terjadi
karena perbedaan bakat dalam diri manusia yang pada akhirnya mendorong
sesamanya untuk saling membantu. Karena pada dasarnya manusia mempunyai
kelemahan, sehingga untuk memenuhi semua kebutuhan umat manusia maka
perlu adanya persatuan dan saling membantu, hingga akhirnya terdapat
kesepakatan untuk mendirikan negara. Al-Mawardi mengemukakakan bahwa
negara terjadi juga karena kontrak sosial, dengan perjanjian dasar sukarela. Ketika
Al-Mawardi mengemukakakan teori kontrak sosialnya pada abad sebelas, di
Eropa teori kontrak sosial muncul untuk pertama kalinya pada abad ke enam
belas.27
Berbeda dengan Mawardi, Thomas Aquinas28
salah satu pemikir Barat
mendefinsikan negara sebagai lembaga sosial manusia yang paling tinggi dan
luas, yang fungsinya adalah menjamin manusia untuk memenuhi kebutuhan-
25
Pengertian ini mengandung nila konstitutif yang dimiliki oleh suatu negara berdaulat:
masyarakat (rakyat atau warga), wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Lebih lanjut dari
penegertian ini, negara identik dengan hak dan wewenang. Baca; A Ubaedillah dan Abdul
Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masaakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Penerbit Prenada Media Grup, 2016),hal.120. 26
Abu Hasan Ali bin Habib al-Mawardi al- Basri, hidup antara tahun 364nH atau
bertepatan dengan 975 M dan 450 H atau 1059 M. Dia adalah seorang pemikir Islam yang
terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi‟i, dan pejabat tinggi yang besar pengarushnya dalam
masa pemerintaha Abasiyah. Setelah berpindah -pindah dari satu kota keota lain sebagai hakim,
akhirya dia kembali dan menetap di Baghdad dan kemudian mendapatkan kedudukan yang
terhormat pada pemerintahan Khalifah Qadir. Baca; Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara ;
Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Universitas Indoensia Pers, 1993), cetakan ke 5, hal.
58. 27
Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: PT Radzja Grafindo Persada, 2010), hal. 9-50.
20
kebutuhan fisiknya yang melampaui kemampuan lingkungan sosial yang lebih
kecil seperti desa dan kota.29
Manusia bergantung pada manusia lainnya, tidak mungkin manusia dapat
mencapai kebahagiaan hidup tanpa manusia lain, ini merupakan hukum alamiah
dari setiap manusia. Menurut Thomas Aquinas hukum alam inilah yang mendasari
manusia berfikir untuk membentuk suatau negara. Hukum alam menurut Thomas
Aquinas merupakan partisipasi mahluk rasional dalam hukum abadi. Menurut
Aquinas manusia merupakan satu-satunya makhluk rasional yang dianugerahi
Tuhan penalaran, intelegensia dan akal budi, sehingga ekstitensi negara bersumber
dari sifat alami manusia. Menurut Aquinas salah satu sifat alamiah manusia
adalah wataknya yang bersifat sosial dan politis.30
Terbentuknya Negara
Negara terbentuk memiliki tujuannya masing-masing, namun secara
umum tujuan terbentuknya negara menurut Wilford Garner terbagi menjadi tiga,
pertama, tujuan asli atau tujuan utama yaitu untuk melakukan pemeliharaan,
ketertiban, keamanan, dan keadilan. Tujuan ini mengutamakan kebahagiaan
individu, maka jika tujuan ini tidak dipenuhi maka hadirnya negara tidak
dibenarkan. Kedua, tujuan sekunder, mengutamakan kesejahteraan kepentingan
bersama dari seluruh individu. Ketiga, tujuan negara dalam bidang peradaban,
29
Efriza, Ilmu Politik: dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan, (Bandung:
Alvabeta, 2013), hal. 42 30
Kabul Budiyono, Teori dan Filsafat Ilmu Politik (Bandung: Alfabeta, 2012), hal.20-
122.
21
maksud tujuan ini adalah memajukan peradaban dan meningkatkan kemajuan
negara.31
Terbentuknya negara berdasarkan unsur-unsur yang dipenuhi diantaranya:
a) Adanya wilayah, kekuasaan negara tersebut berlaku harus memiliki batas
wilayah
b) Adanya rakyat, sekumpulan orang yang telah menempati suatu tempat dan
telah sadar untuk bernegara
c) Adanya pemerintah (unsur primer), suatu badan yang dibentuk untuk
mengurus dan memimpin negara
d) Adanya kedaulatan (unsur primer), kekuasaan tertinggi yang berwenang
membuat UU dan melaksanakannya dengan semua cara termasuk secara
paksa
e) Adanya pengakuan (unsur sekunder), unsur tambahan yang menguatkan
keberadaan sebuah negara. Pengakuan dari dalam dan luar negeri,
pengakuan dari dalam negeri yaitu kerelaan warga negara untuk diperintah
oleh pemerintah yang sah, pengakuan dari luar negeri yaitu pengakuan
eksistensi sebuah pemerintahan yang sah dan berdaulat dari negara
tetangga.32
Tujuan Bernegara
Negara sebagai suatu asosiasi manusia di bentuk dengan tujuan-tujuan
tertentu, sesuai dengan ideologi, falsafah hidup bangsanya, atau kepentingan
31
Rudi Salam Sinaga, Pengantar Ilmu Politik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hal.13-
14. 32
Efriza, Ilmu Politik: dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan, (Bandung:
Alvabeta, 2013), hal.50-51.
22
masing-masing. Secara umum dapat di sebutkan bahwa tujuan akhir setiap negara
ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya. Para sarjana Ilmu Politik pada
umunnya telah sepakat bahwa suatu masyarakat politik dianggap sebagai negara
bila telah memenuhi tiga unsur yaitu: Adanya penduduk (rakyat), Adanya daerah
(wilayah), Adanya pemerintahan yang berdaulat.
Dalam teori politik Islam, keberadaan negara itu sangat penting dalam
rangka mengimplementasikan syariat Islam. Eksistensi negara untuk menegakan
keadilan, mewujudkan kesejahteraan rakyat, memelihara persatuan umat lewat
kerjasama dan tolong-menolong dan menciptakan keamanan keamanan.
Secara umum tujuan negara adalah bagaimana negara bisa memanusiakan
manusia, dan tujuan negara sama dengan tujuan hidup manusia, agar mencapai
kebahagiaan. Maka negara bertugas untuk mengusahakan kebahagiaan para
warganya. Secara garis besar, teori tujuan mendirikan Negara membagi arah
tujuan mendirikan Negara yaitu; Mencapai kekuasaan politik, Memelihara
keamanan, Ketertiban, Kebebasan.
B. Pengertian Negara Dalam Perspektif Islam
Teori tentang negara sudah cukup banyak dikumakakan oleh tokoh-tokoh
Islam. Adapun pengertian negara menurut para tokoh-tokoh Islam adalah:
1) Mohammad Natsir mengatakan bahwa negara merupakan suatu lembaga
yang memiliki hak, tugas dan memiliki tujuan ataui cita-cita yang
khusus.33
33
Mohammad Natsir, Islam sebagai Dasar Negara, (Bandung: Sega Arsy, 2004), hal.
200.
23
2) Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa negara adalah suatu bentuk tata
kelola atau pemerintah yang dibuat oleh manusia dengan menggunakan
ikatan solidaritas (ashabiah).34
3) Hasan al-Banna dalam buku M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam
Membangun Masyarakat Madani mengatakan bahwa negara adalah suatu
pemerintahan yang berisfat ilahiyah artinya segalanya harus dikemalikan
kepada Tuhan.35
Penjelasan diatas memiliki satu benang merah yang menyatukan bahwa
sebuah negara dapat diartikan sebagai sebuah kawasan yang membentang dari
ujung ke ujung wilayah kekuasaan yang didalamnya terdapat manusia yang
menempatinya yang kemudian terdapat pemimpin ataupun penguasa yang
disepakati bersama untuk mengatur, memaksa dan menjalankan roda
pemerintahan untuk kebaikan bersama.
Berikut adalah Istilah Negara dalam Islam.
A. Daulah
Daulah berasal dari bahasa Arab dari asal kata dala-yadulu-daulah sama
dengan bergilir, beredar, dan berputar. Kelompok sosial yang menetap pada suatu
wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur
kepentingan dan kemaslahatan mereka. Daulat dapat diartikan negara,
pemerintahan, kerajaan atau dinasti. Daulah diartikan sebagai sebuah sistem
kekuasaan dalam suatu wilayah tertentu yang memiliki unsur pemimpin, ideologi
34
Addurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Warisan Pemikiran
K.H. Abdurrahman Wahid, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hal.105. 35
M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta:
Logos, 2000), hal. 67.
24
sebagai pamndangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, undang-undang
yan disepakati sebagai dasar negara, batasan wilayah dan masyarakiat yang
tunduk pada sekelompok pejabat yang berkuasa. Kata daulah sering disandingkan
dengan kata Islam, yang artinya adalah sebuah tata kelola pemerintah yang
menganut atau merujuk pada aturan Islam.
Slogan Daulah Islamiyah adalah seperti yang dinyatakan Rab‟y bin Amir
di hadapan Rustum, pemimpin Persi, “Sesungguhnya Allah mengutus kami untuk
mengeluarkan manusia dari penyembahan terhadap manusia kepada Allah semata
dan kesempitan dunia kepada keluasannya, dari kelaliman berbagai macam agama
kepada keadilan Islam. Menurut sejarah, istilah ini pertama kali digunakan dalam
politik Islam ketika kekhalifahan dinasti Abbasiyyah meraih tampuk kekuasaan
pada pertengahan abad ke-8. Pada masa tersebut, kata daulah diartikan dengan
kemenangan. Giliran untuk meneruskan kekuasaan dan disnati, atau jika sebelum
masa Abbasiyyah pernah ada daulah Umayyah, maka selanjutnya adalah Bani
Abbas.36
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya daulah itu
terdiri dari tiga unsur yaitu, wilayah, rakyat dan pemerintahan.
B. Khilafah
Khilafah berasal dari bahasa Arab yang artinya pemimpin atau datang
kemudian. Khilafah menurut bahasa artinya adalah pengganti, duta,
kepemimpinan atau wakil, dan kata Khilafah ini bersinonim dengan kata Imamah
atau Imarah yang artinya pemerintahan atau kepemimpinan. Khilafah menurut
36
M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta:
Logos, 2000), hal. 78.
25
istilah yaitu struktur pemerintahan yang pelaksanaannya diatur berdasarkan
syariat Islam. Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan
khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia
untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban risalah Islam ke
seluruh penjuru dunia.37
Khilafah dalam politik Islam ialah sistem pemerintahan Islam yang
meneruskan sistem pemerintahan Rasullullah SAW. Sistem khilafah ini pertama
kali digunakan dalam politik Islam setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada
masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan
dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai Pengganti Rasulullah
yang bertugas meneruskan misi-misinya.38
Sedangkan menurut Bernard Lewis
istilah khalifah muncul pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam
suatu prasasti Islam di Arabia.
Dalam pengertian Syari‟ah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang
yang menggantikan Nabi saw dalam kepemimpinan negara Islam (al-Dawlah al-
Islamiyah). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam
perkembangan selanjutnya, istilah khilafah digunakan untuk menyebut negara
Islam itu sendiri. Khilafah ini perlu diwujudkan oleh umat Islam, untuk mencapai
persatuan dan kesatuan umat Islam. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam
surah Al Baqarah ayat 30 yang artinya :
“..Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
37
Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi‟ah: Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad ke 20, (Bandung: Pustaka, 1998), hal. 8. 38
M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta:
Logos, 2000), hal.80.
26
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui”.
AL-Baidawi menjelaskan bahwa khalifah dalam ayat di atas mengandung
arti bahwa kholifah merupakan wakil tuhan dimuka bumi, artinya tuhan
mewakilkan dirinya kepada para kholifah dimuka bumi. Dalam ayat tersebut yang
termasuk kholifah adalah Nabi Adam a.s, serta nabi-nabi lain yang diutus oleh
Allah SWT kemuka bumi dengan tugas memakmurkan bumi dan menjalankan
hukum-hukum-Nya.39
Oleh karena itu, tidak heran jika pemilihan pemimpinnya
melalui ijma yang kemudian di Bay‟ah. inilah yang menurut Harun Nasution
sistem ini lebih mirip dengan sistem republik dari pada sistem monarki atau
kerajaan.40
Dalam sejarah Islam, isilah kholifah pertama kali digunakan oleh sahabat
Nabi, Abu Bakar ketika dirinya terpilih sebagai pengganti Nabi di Madinah.
Dalam pidato politiknya, Abu Bakar menyebut dirinya sebagai Kholifah Rosul
Allah.41
Jadi secara sederhana, khalifah adalah satu jabatan penggganti Nabi dalam
kepemimpinan negara, dimana Nabi berfungsi sebagai penyampai amanah dari
Allah dan fungsi sebagai pelaksana perintah Allah dalam memimpin dunia.
Tatkala Rasulullah telah wafat, maka berakhirlah fungsinya sebagai Rasul,
sedangkan fungsinya yang kedua masih tetap, yang harus dilanjutkan oleh
39
Abdul Wahid Khan, Rasulullah di Mata Sarjana Barat, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2002), hal. 80. 40
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1999),
hal. 95. 41
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta , PT Raja
Grafindo Persada, 1997), hal. 44.
27
umatnya yang sanggup. Karena orang yang sanggup itu melanjutkan tugas Rasul
dalam soal ini, maka dia dinamakan Khalifah.
C. Imamah
Di dalam al-Qur‟an konsep imamah itu sendiri dijelaskan dalam surah an-
Nisa ayat 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.42
Dalam ayat diatas, sangat jelas disebutkan bahwa Nabi sesungguhnya
memiliki tugas ganda, pertama menyampaikan risalah dari Allah yang kedua
menegakkan peraturan di dunia. Pasca Rosul wafat, secara otomati umat Islam
berkewajiban memilih seorang pengganti Rosul dalam hal tugasnya yang kedua,
maka tampilah Abu Bakar sebagai penerus Rosul dalam hal menjalankan tugas
keduanya, yaitu sebagai penegak aturan di dunia.43
Salah satu pemikir yang akrab dengan istilah Imamah adalah Ali Syariati.
Ia menawarkan sekaligus mempromosikan konsepsi tentang imamah dengan
tulisan-tulisannya. Menurutnya, imamah yang berasal dari kata imam adalah
manusia teladan, syahid, dan perwujudan real manusia konsepsional, singkatnya
imam bukanlah makhluk supra manusia, sebab yang diatas manusia hanyalah
Allah, tapi ia adalah manusia super.44
Disini jelas bahwa Ali Syariati
42
Departemen agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: PT Syamil Cipta
Media, 2007), hal. 154. 43
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Konstektualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Grup, 2016), hal. 131. 44
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1995), hal. 129.
28
membayangkan bahwa seorang imam adalah manusia yang sudah selesai dengan
dirinya, dia adalah cerminan manusia teladan dengan segala sifat dan prilaku yang
baik dan umggul dibanding manuia yang lain.
C. Bentuk-Bentuk Negara
Bentuk Negara adalah serangkaian system yang disepakati dalam suatu
Negara untuk mengatur dan mengelola suatu Negara. Dalam dunia politik, bentuk
Negara dengan bentuk pemerintahan bisa dikatakan sama, tidak dibedakan antara
keduanya. Dalam khazanah teori klasik, bentuk Negara dapat dibedakan dengan
jumlah orang yang memerintahnya. Adapun bentuk pemerintahan secara umum
dibedakan menjadi dua, diantaranya bentuk pemerintahan Monarki (kerajaan),
demokrasi dan republic.45
1. Bentuk Kerajaan (Monarki)
Monarki atau kerajaan adalah sebuah sistem pemerintahan yang merujuk
pada sebuah sistem keluarga, artinya setiap pergantian kekuasaan ddasarkan pada
satu keluarga atau berbasis keturunan. Tokoh sepeerti Jellinek mengemukakan
bahwa monarki atau kerajaan merupakan pemerintakan kehendak satu keluarga
yang menekankan karakteristik sifat-sifat dasar keluarga atau keturunan sebagai
bentuk kekuasaan tertinggi.46
Secara umum terdapat tiga model pemerintahan Monarki:47
a. Monarki Absolut, sebuah pemerintahan yang dikepalai oleh seorang
raja, ratu, syah atau kaisar. Dalam sistem ini raja adalah hukum,
segala ucapan raja merupakan hukum yang harus ditaati oleh
45
Zulkifli Hamid, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Rajawali pers, 2009), hal.51.
46 Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsi Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau
dari Pandangan Al-Qurān, (Jakarta: LSIK, 1993), hal.84.
47 T. Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal.17
29
warganya. Pemerintahan ini berlaku ketika masa revolusi Perancis
dan juga pernah diterapkan oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara.
b. Monarki Konstitusional, merupakan sebuah pemerintahan yang
dijalankan oleh seorang raja namun tetap dibatasi oleh konstitusi
atau hukum yang berlaku. Salah satu negara yang masih memakai
sistem ini diantaranya Saudi Arabia.
c. Monarki Parlementer, sebuah sistem pemerintahan yang dikepalai
oleh seorang raja dan parlemen atau wakil-wakil rakyat diparlemen
dengan tugas membuat aturan atau undang-undang yang akan
diberlakukan. Dalam sistem ini kekuasaan raja dibatasi oleh undang-
undang yang disusun oleh anggota parlemen.
2. Bentuk Pemerintahan Republik
Secara istilah, kata Republik meruapakan penggeabungan dua kata yaitu
Re dan Publik yang jika diartikan menjadi kembali ke publik atau kembali kepada
rakyat, atau sederhananya kekuasaan tertinggi adalah rakyat.48
Sistme
pemerintaha republik sendiri secara umum dapat dibedakan menjadi tiga bentuk:49
a. Republik absolut
Sistem pemerintahan republik absolute hampir bisa dikatakan sistem
yang otoriter, kekuasaan presiden sangat berkuasa tanpa batasan dan
mengabaikan sifat asli dari sistem republik itu sendiri secara umum.
Kekuasaan seorang presiden dalam sistem republik absoliute
48
Syafi‟i, Pengantar Ilmu Pemerintahan, (Bandung: Refika, 2001), hal.40. 49
Mohd Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi HTN dan CV Sinar Bakti, 1983), hal.163-167.
30
sangatlah terpusat dan tidak menghargai kebebasan dan hak asasi.
Setiap rakyat yang menentang pemerintah dianggap kontra negara
dan tidak segan dibungkam bahkan ditiadakan.
b. Republik konstitusional
Sistem pemerintaha republik konstitusional merupakan sebuah
praktek kekuasaan pemerintah yang dipimpin oleh seorang presiden
dengan tetap menjadikan udanga-undang sebagai asas tertinggi
dalam bernegara. Pada praktiknya, republik konstitusional merujuk
pada undang-undang yang berlaku pada suatu negara artinya
undang-undang dijadikan hukum tertinggi dalam menjalankan suatu
negara.
c. Republik parlementer
Dalam sistem ini kekuasaan tertinggi berada pada parlemen. Dalam
sistem ini tidak mengenal presiden sebagai kepala negara, presiden
hanya sebagai simbol negara saja. Kepala pemerintahan dalams
sistem ini adalah perdana mentri. Jadi secara sederhananya,
parlemenlah yang berkuasa untuk memilih sorang perdana mentri
sebagai kepala negara dan parlemen juga yang memiliki kewenangan
dalam menjatuhkan perdana mentriapabila terjadi hal-hal yamg
menyimpang..
D. Hubungan Islam dan Negara dalam Perdebatan Ilmuan Politik
Persoalan relasi atau hubungan antara agama dan negara dalam Islam
masih menjadi topik yang masih debetable. Kendatipun isu ini merupakan isu
yang kuno, tetapi pada realitanya persoalan ini masih tetap menjadi perdebatan
31
dalam dunia politik kontemporer. Bahkan menurut Azyumardi Azra, perdebatan
ini telah belangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini.
lebih lanjut Azra dalam bukunya mengatakan bahwa
“ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara
diilhami oleh hubungan yang agak canggung dalam Islam sebagai agama
dan negara. Berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara
din dan konsep kultur politik masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut
dalam banyak hal sangat beragam”50
Dalam perdebatan masalah hubungan antara agama dan negara, terdapat
tiga aliran besar yang menjadi rujukan utama dalam kontek relasi Islam dan
Negara. Pertama adalah pandangan Integralistik, kedua adalah pandanan
Sekularistik dan ketiga adalah pamdangan Substamsialistik.
a) Paradigma Integralistik
Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi tersebut dengan
mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Pandangan ini menyakini
bahwa tidak ada pemisahan antara hubungan Islam sebagai agama dan negara
sebagai organisasi tertinggi dalam masyarakat. Pandangan ini dikuatkan dengan
dalil bahwa agama Islam sudah mengatur seluruh aspek kehidupan, jadi al-Quran
dan Hadis sebagai rujukan utama umat Islam itu mengandung seluruh atau
seperangkat aturan untuk kemaslahatan umat manusia. Selain itu dalam agama
Islam, tidak mengenal pemisahan anatara Islam dan Politik atau kenegaraan,
terbukti ketika Nabi Muhammad SAW berada di kota Madinah, beliau mendirikan
sebuah negara yang disebut sebagai negara Madinah.51
50
Muhammad Husein, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad
Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hal. 88. 51
M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta:
Logos, 2000), hal. 60.
32
Ilmuwan yang mengamini pandangan ini diantaranya adalah: Muhammad
Rasyid Ridha, lahir 1865 dan wafat 1935 Masehi, Abu a‟la al- Maududi, lahir
1903 wafat 1979 Masehi, Sayyid Quthb, lahir 1906 wafat 1966 Masehi dan
Ayatullah Khomeini, lahir 1900 wafat 1989 Masehi.52
b) Paradigma Sekularistik
Kelompok ini sangat menentang pandangan integralistik, baginya tidak
ada hubungan yang baku antara Islam dan Negara. Islam dan negara harus
dipisahkan secara total, sebab jika urusan agama dibwa-bawa ke negara maka
akan terjadi pertentangan atau campur aduk anatara urusan duniawi dengan urusan
ketuhanan. Selain itu, pandangan ini sangat menentang apabila Islam dijadikan
sebagai dasar negara bahkan menjadi aturan sebuah negara atau paling tidak
menolak determinasi Islam dalam bentuk apapun.53
Tokoh-tokoh yang termasuk
dalam kelompok ini yaitu : Ali Abdul Razik (1888-1966), Thaha Husein (1889-
1973) dan Mustafa Kemal Attaturk.54
c) Paradigma Substansialistik
Paradigma ini mengatakan bahwa Islam tidak mempunyai sistem
pemerintahan yang baku, yang berarti bahwa umat Islam dapat memodifikasi
ajaran-ajarannya sehingga dapat menerapkan sistem pemerintahan yang sesuai
dengan kondisi masyarakat pada saat itu selama tidak bertentangan dengan ajaran-
ajaran Islam. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam kelompok ini yaitu : Muhammad
52
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:
UI Pres, 1991), hal. 131. 53
M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, hal. 41. 54
Muhammad Thahir Azhari, Negara Hukum: Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta:
Prenada Media, 2004), hal. 20.
33
Abduh, lahir 1849 wafat 1905 Masehi, Muhammad Iqbal, lahir 1877 wafat 1938
Masehi, Muhammad Husein Haikal, lahir 1888 wafat 1956 Masehi. Sementara
beberpa tokoh di Indonesia yang dapat di golongkan kedalam kelompok ini yaitu
Agus Salim, lahir 8 Oktober 1884 wafat 4 November 1954 dan Muhammad
Natsir, lahir 1908 wafat 1993 Masehi. Abduh mengatakan bahwa Islam memang
telah mengatur hubungan antara sesama manusia, dengan tujuan agar hubungan
antar manusia berjalan sesuai dengan yang di inginkan maka diperlukannya
seorang pemimpin atau raja yang akan mengawasi berjalannya sistem politik
tersebut.55
55
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hal.132
34
BAB III
BIOGRAFI K. H. AHMAD SANUSI
A. Riwayat Pendidikan
Ahmad Sanusi adalah seorang kyai yang ikut andil terlibat dalam
perjuangan mengusir kaum penjajah dan menolak segala bentuk imperialisme
sekaligus ikut aktif menyumbangkan gagasannya dalam merumuskan NKRI
melalui BPUPKI. Bersama-sama dengan tokoh nasional lainnya, K. H. Ahmad
Sanusi berfikir keras dan berjuang tuntas memerdekakan bangsa Indonesia.
Kiprahnya dalam dunia pergerakan sekaligus keilmuan sudah tidak diragukan
lagi. Dalam dunia pergerakan, selain yang disebutkan diatas, Sanusi juga
mendirikan organisasi sosial kemasyarakatan serta ikut serta dalam organisasi-
organisasi yang sudah ada terlebih dahulu. Sedangkan didunia pendidikan dan
keilmuan, dia tunjukan dengan mendirikan lembaga pendidikan formal maupun
nonformal.
Mengenai riwayat kelahirannya, Ahmad Sanusi seperti ditulis oleh Sanusi
sendiri dalam arsip Pendaftaran Orang Jang Terkemuka Jang Ada di Djawa pada
2602/1942, beliau dilahirkan pada malam Jum‟at, 12 Muharam 1306/18
September 188856
bertempat di desa Cicantayan57
onderdistr Cikembar distrik
56
Terdapat beberapa pendapat yang berbeda mengenai tanggal kelaihiran Ahmad Sanusi,
misalnya berdasarkan yang ditulis dalam nisan makamnya, Ahmad Sanusi lahir pada 3 Muharam
1306. Tangga itu jelas berbeda dengan dengan keterangan yang terdapat dalam Pendaftaran Orang
Indonesia Jang Terkemuka Jang Ada di Djawa sebagaimana dibuktikan diatas yang ditulis
langsung olehnya sendiri. Sumber lain misalnya para penulis seperti Iskandar (1993: 2), Sulasman
(2007:19), Mawardi (1985: 41) menulis kelahiran Ahmd Sanusi pada 18 September 1889.
Sementara yang cukup populer, Falah (2009: 9) justru menyebutkan keduanya, yaitu antara tahun
1888 dan 1889, alasannya berdasarkan pada ANRI, RA, III-6. No. S283 dan Sipahoetar (1946: 72)
dan untuk 1889 berdasarkan pada pemeriksaan Ahmad Sanusi oleh Karnabarata seorang Wedana
Patih Afdelling Soelabumi pada 07 Oktober 1919. Ketika itu Ahmad Sanusi mengaku berusia 30
tahun. Baca Wawan Hernawan, Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011), (Bandung:Yayasan
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, 2014), hal. 59.
35
Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Sanusi kecil akrab dipanggil “Uci” oleh ayah dan
ibunya yang bernama Abdurohim ibn Yasin dan Ibu Empok.58
Perbedaan
pendapat ini bisa dipahami bahwa selayaknya orang yang lahirkan pada zaman
dimana belum ada kejelasan tentang “hari esok” masih dalam kungkungan kaum
penjajah di tamba dengan faktor lain seperti orang yang dilahirkan diperkampngan
jauh dari keramaian kota dengan tipikal masyarakatnya tidak terlalu peduli dengan
hal demikian itu.
Secara garis keturunan, silsilah keluarga K. H. Ahmad Sanusi memiliki
silsilah keturunan kau teradang dan memiliki pengaruh pada masanya. Menurut
salah satu sumber, K. H. Ahmad Sanusi masih memiliki garis keturunan dengan
pembesar yang menyebarkan agama Islam di Pamijahan, Tasikmalaya yang
bernama Abdul Muhyi, yaitu dari kakeknya bernama Yasin.59
Yasin yang
kemudian berpindah dari Tasimalaya ke Sukabumi dan menetap di Cicantayan.
Bersama istri tercinta, Naisari, Yasin membangun keluarga baru di tanah
Sukabumi yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi asalnya,
Tasikmalaya. Hasil dari berkeluarganya itu, Yasin beserta istri yang dikasihinya
dikaruniai sepuluh orang putra dan putri yaitu 1) Sardan, 2) Eming Ja‟ud, 3)
Coon, 4) Maryam, 5) iti, 6) Abdoerahim, 7) Fatmah, 8) Eming Emot, 9) Majid,
10) Rohman. Sedangkan dari garis keturunan ayahnya dari Anggadipa
57
Tjantajan atau Cantayan ketika Sanusi dilahirkan masih merupakan kampung terpencil
yang lokasi diapit diantara dua bukit yaitu gung Walat dan gung Sunda. Menurut penuturan
Mawardi (1985: 5) setiap orang yang hendak menuju kampung itu harus menyebrangi jembatan
sederhana yang melintasi sungai Cantayan (sekarang masuk wilayah kecamatan Cisaat). Dari
jemabatan itu kemudian melintasi jalan terjal berbatu kapurke arah selatan sekitar 4 kilo meter. 58
Wawan Hernawan, Seabad Persatuan Ummat Islam, (1911-2011), 2014,
hal. 60. 59
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi, (Bandung: MSI Cabang
Jawa Barat bekerjasama dengan Pemerintah Kota Sukabumi, 2006), hal.9.
36
(Tumenggung Wiradadaha III, dikenal Dalem Sawidak bupati Sukapura keII)
melalui jalur ayahnya.60
Sanusi kecil tumbuh dan besar dari keluarga yang sangat sederhana dan
menjungjung tinggi ilai-nilai keislaman. Hidup di sebuah kampung terpencil
dengan akses yang cukup sulit maka tak ayal mayoritas penduduknya memilih
untuk menjadi petani penggarap yang hidup dan tumbuh dari tanah dan keringat
sendiri. Seperti laiknya anak kecil pada umunya, Sanusi kecil menghabiskan masa
kecilnya dengan bermain selayaknya anak kecil seumurannya. Yang berbeda
adalah Sanusi kecil sudah dikasih amanah untuk mengurus, menggembala hewan
ternak atau ngangon.
Tumbuh dilingkungan yang agamis, sanusi dianggap mendapatkan
perlakuan yang cukup istimewa dari masyarakat sekitar. Abah sanusi sebagai
pengasiuh pesantren61
sekaligus ulama didaerah itu membuatnya tak ayal
mendapat perlakuan istimewa. Ini juga yang menjadi nilai tambah Sanus kecil
dalam hal keleluasaannya dalam hal mencari ilmu yang sebanyak-banyaknya.
Seperti halnya ulama ulama di Jawa, yang menginginkan putra-putrinya mewarisi
apa yang sudah dimulainya yaitu menjadi alim ulama. Begitu juga perlakuan yang
didapatkan Sanusi. Dia ditempa di pesantren Cantayan binaan ayahnya sebelum
dikirm untuk belajar ke asuhan orang lain.
60
Wawan Hernawan, Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011), (Bandung:
Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, 2014), hal. 59. 61
Pada zaman itu, pesantren abahnya Amad Sanusi sudah cukup populer sehingga
memiliki santri yangcukup banyak dan berasal dari berbagai daerah seperti dari Cianjur, Bogor
dan Sukabumi sendiri. Pesantren Cantayan binaan Abdurohim, ayaha Ahmad Sanusi ini
memiliki pengaruh yang cukup kuat d zamannya, beberapa kali kegiatan di pesantren ini
dicurigai oleh pihak pejajah karena kegiatannya yang berhasil merebut dan
mengumpulkankekuatanasyarakat sekitar. Baca: Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H
Ahmad Sanusi. (Bandung: MSI Cabang Jawa Barat bekerjasama dengan Pemerintah Kota
Sukabumi, 2006), hal.10.
37
Selama kurun waktu 16 tahun, Ahmad Sanusi berada dalam bimbingan
keluarganya berada dilingkungan pesantren Cantayan dan mendalami ilmu-ilmu
penegetahuan agama langsung dari orang tuanya. Setelah beranjak usia dewasa,
sekitara usia 17 tahun Ahmad Sanusi mulai merantau keluar kampung
mengemban tugas suci, untuk mencari ilmu sekaligus menunaikan kewajibannya
sebagai seorang muslim yang taat dan patuh.
Atas titah ayahnya, K.H Abdurahim, Sanusi yang beranjak dewasa mulai
merantau, menambah pengalaman dan memperluas pergaulan dengan masyarakat
luas. Dari kobong ke kobong, dari pesantren ke pesantren Sanusi jalani. Ia
menimba ilmu ke berbagai pesantren di Jawa Barat dan sekitarnya. Kecintaannya
terhadap ilmu pengetahuan tetap ia lanjutkan kendatipun kondisinya sudah
menikah. Jadi selepas menikah Ahmad Sanusi tetap melanjutkan
penegmbaraannya mengemban misi suci mencari ilmu bahkan sampai ke negeri
Timur Tengah, yanki sampai ke kota Makkah.
Setelah pengembaraan panjang di tanah Parahiyangan, Jawa Barat, tahun
1909, akhirnya kembalilah sang bujang kekampung halaman, menjemput rindu
dan cinta yang sempat mekar di tanah kelahiranya, Sukabumi. Sesosok perempuan
yang sama sekali tidak di setting sebelumnya oleh dirinya, kecuali sekenario Allah
SWT yang dengan begitu piaiawai mempertemukan dua insan yang pada akhirnya
memutuskan untu saling mencinta sampai badan tak lagi bernayawa. Sesosok itu
tidak lain dan tidak bukan merupakan kawannya ketika nyantri di pesantren
Babakan Selawi Baros Sukabumi. Dialah Siti Djuwariyah putri Kiai Haji Affandi
dari Kebon Pedesyang membuatnya memutuskan untuk mengakhiri masa
lajangnya. Sekitar kira-kira Ahmad Sanusi berusia 17 tahunan pada kisaran tahun
38
1905 Ahmad Sanusi mulai serius dan memfokuskan dirinya untuk mempelajari
disiplin ilmu agama. Atas restu dan rekomendasi ayahnya, berangkatlah Sanusi
menunaikan misi suci ke berbagai pesantren di Jawa Barat dan sekitarnya. Dari
kobomg ke kobong, dari pesantren ke pesantren Sanusi masuki dan tingali.
Beberapa kobong yang pernah ia tiduri antara lain:
1) Pesantren Selajambe (Cisaat Sukabumi), pimpinan ajengan Soleh/Ajengan
Anwar yang menghabiskan waktu selama kurang lebih enam bulan;
2) Pesantre Sukamantri (Cisaat Sukabumi), pimpinan Ajengan Muhammad
Siddiq dan menghabiskan waktu kurang lebih selama dua bulan;
3) Pesantren Sukaraja (Sukaraja Sukabumi) Pimpinan Ajengan
Sulaeman/Ajengan Hafidz selama kurang lebih sekitar enam bulan;
4) Pesantren Cilaku (Cilaku, Cianjur) untuk belajar ilmu tasawuf selama
kurang lebih nyantri satu tahun;
5) Pesantren Ciajag (Cianjur) sekitar lima bulan;
6) Pesantren Gentur (Cianjur) dibawah asuhan Ajengan Qurtubi Gentru
selama enam bulan;
7) Pesantren Buniasih (Cianjur) selama sekitar tiga bulan;
8) Pesantren Kresek Blubur Limbangan (Garut) selama kurang lebih tujuh
bulam;
9) Pesantren Sumursari (Garut) selama empat bulan;
10) Pesantren Gudang (Tasikmalaya) pimpinan K.H R. Suja‟i selama kurang
lebih satu tahun.
39
Jadi lamanya Ahmad Sanusi mengembara di pesantren Jawa Barat kurang
lebih sekitar 4,5 tahun.62
Setelah menikah, tekadnya untuk menuntut ilmu tak surut begitu saja.
Meski sudah membangun bahtera kehidupan bersama sangkekasih hati, tidak
lantas menyurutkan niatnya menuntut ilmu. Tahun 1910 Ahmad Sanusi bersama
istri berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji. Setelah masa haji sudah
usai, lantas kemudian tidak langsung pulang ke tanah air, tetapi mukim sementara
waktu di kota Makah al-Mukarramah demi memperdalam ilmu agama kurang
lebih sekitar lima tahun. 63
Kehidupan di Mekkah bersama istrinya ini Ahmad Sanusi bersinggungan
dengan berbagai pemikiran, mazhab serta tokoh-tokoh ilmuwan Islam di sana.
Beberapa tokoh ulama dan pergerakan yang ia temui untuk dijadian guru maupun
teman diskusi diantaranya adalah:
Dari kalangan ulama yang ia temui diantaranya adalah:
1. Syeikh Shaleh Bafadil
2. Syeikh Maliki
3. Syeikh Ali Thayib
4. Syeikh Said Jamani
5. Haji Muammad Junaedi
6. Haji Abdullah Jawawi
7. Haji Mukhtar
62
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan
Pemikiran keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950. (Semarang: Program
Magister Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2011), hal 90-91. 63
Munandi Shaleh, K. H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangan dalam Pergolakan
Nasional (Tangerang Selatan: Jelajah Nusa, 2016), hal. 5.
40
Sedangkan dari Kaum pergerakan diantaranya adalah:
1. K. H. Abdul Halim (pendiri PUI Majalengka)
2. Raden Haji Abdul Muluk (tokoh Syarikat Islam)
3. K. H. Abdul Wahab Hasbullah (tokoh pendiri NU)
4. K. H. Mas Mansyur (Tokoh Muhammadiyah)64
Waktu yang terbilang singkat ini tak disia-siakan oleh Ahmad Sanusi. Lima
tahun di Makkah ia manfaatkan untuk memperdalam ilmu agama Islam dengan
sangat serius sehingga, meminjam istilahnya Munandi Shaleh, bahwa dalam
tradisi lisan yang berkembang dikalangan ulama-ulama di Sukabumi bahwa ketika
seseorang sudah dianggap menguasai disiplin ilmu agama Islam makaa akan
mendapat penghargaan berupa kehormatan menjadi imam shalat di Mesjidil
Haram. Penghargaan ini untuk mengapresisasi seorang ulama yang dianggap
memiliki kapasitas keilmuan dan kepandaian yang ia miliki yang diberikan oleh
syeikh yang ada di Makkah.65
Selain prestasi atas keilmuan dan kepandaiannya sehingga menjadi imam di
mesjidil Haram, ia juga dipandang sebagai ulama yang patas dan layak dijadikan
sebagai guru panutan yang pantas diikuti seperti yang diungkapkan oleh salah
seorang syekh di Makkah ketika itu.66
Ketinggain ilmu dan kepandaiannya
64
Dari prtemuan dengan berbagai tokoh ini Ahmad Sanusi mulai membangun relasi
pergerakan dengan berbagai kalangan, utamanya dengan tokoh pergakan dari nusantara sehingga
ketika ia pulang kampung kemudian berjuang bersama-sama tokoh prgerakan nasional dalam
melawan penjajah dan turut sea mermuskan dasar negara. Baca Asep Mukhtar Mawardi , Haji
Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan Pemikiran Keislaman dan Pergerkan
Kebangsaan di Sukabumi1888-1950, (Semarang: Program Magister Ilmu Sejarah Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro, 2011), hal.18. 65
Munandi Shaleh, K.H Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangan dalam Pergolakan
Nasional (Tangerang Selatan: Jelajah Nusa, 2016), hal. 5. 66
Perkataan syeikh itu mengungkapkan ketinggian ilmu yang dimiliki oleh Ahmad
Sanusi sehingga sampai keluar sepenggal kalimat yang cukup pulerwaktu itu dan bahkan
41
masyhur di Mekkah, bahkan sebelum ia pulang ke tanah air, Ahmad Sanusi
berkemsempatan menjadi pengajar, guru di Mekkah al-Mukarromah tepatnya di
Masjidil Haram.
Kepandaian dan ilmu yang dimilikinya, menjadikannya sebagai pribadi
yang cerdas dalam bersikaf, lantang menyuarakan kebenaran, dan salah satu
keahliannya yang lain adalah pandai beretorika dan berdiplomasi. Popularitas
seorang Ahmad Sanusi semakin menjadi buah bibir ulama di Mekkah apalagi
ketika satu waktu terjadi insiden, namanya dipanggil oleh seorang penguasa di
kota Mekkah gara-gara penjelasannya mengenai ciri-ciri dajal kepada murid-
muridnya ketika mengajar. Beliau menyampaikan apa yang telah dijelaskan baik
dalam Al-Quran, Hadits, maupun kesepakatan para ulama. Ciri-ciri dajal yang ia
sampaikan ini ternyata memiliki kesamaan dengan penguasa yang ada di Mekkah.
Sontak berita mengenai pemanggilanya tersebar keseluruh saentero Mekah.
Singkatnya, tibalah waktu persidangan sekaligus eksekusi mati yang akan
ditimpakan kepada Ahmad Sanusi gara-gara penjelasannya mengenai dajal yang
menyigung perasaan sang penguasa. Didampingi dua algojo dengan pedang
ditangan siap mengekseskusi mati leher Ahmad Sanusi.
Dengan santai dan piawai, Ahmad Sanusi menjelaskan duduk perkara yang
sedang diperbincangkan. Kecerdasan dan kelihaian retorikanya itu berhasil
membatalkan hukuman yang hendak ditimpakan kepada Ahmad Sanusi. Kabar
informasinya menyebar ke nusantara, tanah kelahirannya. Ungkan itu berbunyi ”jika ada orang
Sukabumi yang hendak belajar memperdalam ilmu agama, ia tidak perlu beagkat jauh-jauh ke
Makkah karena di Sukabumi telah ada seorang guru agama yang memiliki ilmuyang telah cukup
untuk dijadikan sebagai guru panutan yang pantas diikiuti”. Hasil wawancara dengan Syafruddin
Amir, di Kota Sukabumi pada tanggal 20 Desmber 2017
42
mengenai Ahmad Sanusi yang gagal dieksekusi mati sontak tersebar keseluruh
Mekkah bahkan sampai juga ke tanah kelahirannya,Sukabumi.67
Di Mekkah pula, ia pertama kali mengenal Syarikat Islam, organisasi
keagamaan yang ada di Indonesia melalui Abdul Muluk tepatnya pada tahun
1913. Pada pertemuan itu Abdul Muluk sempat memperlihatkan dan menjelaskan
SI kepada Ahmad Sanusi termasuk memperlihatkan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Syarikat Islam. Penjelasan Abdul Muluk itu
spontan direspon positif oleh Ahmad Sanusi dan tertarik masuk kedalam
keangotaan SI. Menurut Ahmad Sanusi, SI memiliki tujuan yang sesuai dengan
apa yang dicita-citakan dan harapannya. Tetapi proses masuknya Ahmad Sanusi
menjadi anggota SI terbilang berbeda dengan anggota lain. Pasalnya Abdul Muluk
merasa tidak memiliki wewenang untuk membai‟at sehingga masuknya Ahmad
Sanunsi kedalam SI tidak melalui Sumpah (bai‟at) tetapi langsung didaftarkan
sebagai anggota SI.68
B. Kiprah Perjuangan
Lima tahun berlalu. Ahmad Sanusi kemudian memutuskan untuk pulang
kampung ke tanah air, tepatnya ke Sukabumi. Sekitar tahun 1915, bulan Juli
Ahmad Sanusi bersama istri pulang kembali ke tanah air dan langsung menuju
Cantayan, Sukabumi. Seperti halnya orang sudah bepergian jauh, sudah pasti
membawa buah tangan sebagai oleh-oleh. Ahmad Sanusi bersama istri membawa
sejumlah kitab kuning sebagai hasil pengembaraannya menjalani misi suci,
67
Informasi ini selain geger di Mekah, temat kejadian itu berlangsung, tetapi ja menyebar
ke Sukabumi melalui mulut ke mulut jamaah haji yang sudah selesai melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah. Hasil wawancara dengan Syafruddin Amir. 68
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H Ahmad Sanusi, (Bandung: MSI Cabang
Jawa Barat bekerjasama dengan Pemerintah Kota Sukabumi, 2006), hal. 24.
43
mencari ilmu sampai ke tanah suci kota Mekkah. Kitab kuning pada waktu itu
masih tergolong barang langka dikalangan ulama dan pesantren di Sukabumi dan
sekitarnya.
Sejak kepulangannya itu, Ahmad Sanusi perlahan mulai membangun karir,
mengamalkan ilmu yang sudah ia dalami selama perjalanan hidupnya menimba
ilmu ke berbagai tempat dan daerah. Tak begitu lama, namanya begitu cepat
populer dikalangan masyarakat Jawa Barat, sehingga berbondong-bondong santri
hendak belajar ilmu agama kepadanya. Meminjam istilahnya Sipahoetar dan
Sulasman, Ahmad Sanusi memiliki tak kurang dari 20.000 orang santri yang
pernah belajar langsung kepadanya.69
Menyakini bahwa cita-cita dan harapan perjuangan tidak bisa dicapai
tanpa usaha-usaha yang teratur dan penuh kebijaksanaan, maka Ahmad Sanusi
melakukan perjuangan-perjuangan guna merealisasikan cita-citanya dengan
berbagai macam cara. Dakwah dengan lisan atau ceramah misalnya, kemudian
juga dakwah tulisan dengan menerbitkan majalah dan menulis buku dan juga
kitab. Termasuk juga membina kader ummat Islam dengan mendirikan Perguruan
Syamsul Ulum dan mendirikan organisasi sebagai wadah perjuangan.
1. Mendirikan Organisasi
Pada kisaran permulaan abad ke 20, pemerintah kolonial Hindia Belanda
sedang galak-galalnya menanamkan pengaruh terhadap kaum pribumi. Semua
gerakan dan pimpinan pergerakan yang tercium oleh pemerintah akan diatangkap
69
Santri-santrinya berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat dan sekitarnya. Banyak
ulama di Jawa Barat dan pesantren di Jawa Barat khususnya adalah alumni buah tangan dingin
K. H. Ahmad Sanusi. Hasil wawancara dengan Munandi Shaleh pada tanggal 13 Desember
2017, di Sukabumi.
44
dan bungkam tanpa proses pengadilan. Salah seorang yang menjadi bulan-bulanan
pemerintah waktu adalah Ahamd Sanusi. Di tahun 1926, pemerintah kolonial
Hindia Belanda menangkap Ahmad Sanusi dengan dugaan kuat bahwa
penangkapan itu didasari atast infoormasi yang diberikan politieke Inclichtingen
Dienst (PID), sebuah lembaga mata-mata yang sengaja dibuat oleh pemerintahan
Kolnial Hindia Belanda yang bertugas memata-matai setiap aktifitas kaum
pribumi.70
Alasan yang digunakan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk
menangkap Ahmad Sanusi pertama adalah beberapa kegiatan publikasi yang
dilakukannya yang berdampak pada munculnya anggapan bahwa Ahmad Sanusi
sedang melakukan perlawanan terhadap pemerintah.
Kedua, Ahmad Sanusi dituduh bersekongkol dengan gembong komunis
yanng bernama Kiai Samin (nama samaran Darsono) guna melakukan
pemberontakan melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tuduhan ini
kemudian diperkuat dengan adanya insiden pemutusan saluran kabel telegraf
kereta api yang melintas di kampung Genteng, tempat pesantren Ahmad Sanusi.
Insiden ini ditafsirkan oleh pemerintah sebagai bentuk sabotase yang dilancarkan
oleh anak buah kiai Samin. Insiden ini terjadi sekitar tahun 1925. Setelah
ditangkap, Ahmad Sanusi ditahan kurang kebih hampir selama dua tahun tanpa
proses pengadilan, hal ini disebabkan karena pada waktu itu di Sukabumi belum
terdapat landraad atau lembaga pengadilan. Setengah tahun kemudian Ahmad
Sanusi dipindahkan ke Cianjur karena di Cianjur sudah ada lembaga pengadilan.
Setelah dari Cianjur kemudain pemerintah Hindia Belanda memindahkannya ke
70
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan
Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950. (Semarang: Program
Magister Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2011), hal. 102-103.
45
berbagai tempat, dari mulai ke Tanah Abang, Batavia. Pengasingan dan
penahanan ini belakangan di pahami bahwa ternyata bukan karena faktor
pengaruh publikasi tulisannya yang dianggap membahayakan ataupun
kedekatannya dengan kiai Samin yang dianggap melakukan persekongkolan untuk
melawan pemerintah, tetapi justru pemerintah menganggap aktifitas Ahmad
Sanusi yang meresahkan dan mengganggu ketertiban khususnya di daerah
Priyangan Barat.
Kekhawatiran pemerintah kolonial Hindia Belanda inipun diperkuat
dengan munculnya informasi yang beredar bahwa lambat laun pengaruh fatwa-
fatwa yang dikeluarkan Ahmad Sanusi dapat mempengaruhi sebagian masyarakat
yang kelak akan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya faham revolusioner71
yang
kelak akan membahayakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Namun apabila
tujuan pemerintah adalah untuk memutuskan pengaruh bahkan lebih jauhnya lagi
menghilangkan pengaruh Ahmad Sanusi dari masyarakat, langkah ini dipandang
tidak efektif dan boleh dikatakan sia-sia. Hal ini bisa dilihat, meskipun Ahmad
Sanusi diasingkan sampai ke Batavia, namun tidak menghentikan pengaruhnya
terhadap masyarakat yang membutuhkan pencerahan ilmu keagamaannya.
Selanjutnya Ahmad Sanusi mengajukan permohonan pindah dari
Kampung Bali kecil No. Tanah Abang, Batavia ke Gemeente Meester Conelis,
daerah Jati Negara sekarang.72
Surat itu kemudian disampaikan secara estafet ke
Gubernur Jenderal, mulai dari Bupati, Komisaris Polisi dan seterusnya. Ajuan
71
Mohammad Iskandar. Para Pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran Kiai dan
Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001) hal 246 72
Munandi Shaleh, K.H Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangan dalam Pergolakan
Nasional, (Tangerang Selatan: Jelajah Nusa, 2016), hal.15.
46
permohonan pemindahan Ahmad Sanusi ini kemudian menuai polemik diantara
pejabat dalam tubuh pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Polemik ini terjadi
karena berbeda pandangan antara pihak Bupati dengan Gubernur Jenderal. Bupati
Batavia misalnya, yang tidak berkeberatan apabila Ahmad Sanusi dipindahkan,
sebab menurutnya akan lebih membahayakan apabila Ahmad Sanusi tetap tinggal
di Batavia. Bupati sudah lama mencium bahwa Ahmad Sanusi sudah melakukan
kontak dengan para propaganda PNI (pimpinan Mr. Sartono) yang waktu itu
kebetulan berpusat di Tanah Abang, Batavia.73
Berbeda dengan Bupati Batavia, komisaris Polisi justru menolak
pemindahan Ahmad Sanusi. Sebab menurutnya pemindahan itu akan menambah
pekerjaan baru. Sekarang saja Ahmad Sanusi masih bisa melakukan kontak
dengan murid-muridnya dan juga propaganda PNI padahal dengan pengamanan
yang cukup tinggi, apalagi jika dipindahkan ke Msseter Cornelis yang
pengawasannya tidak terlalu ketat penjagaannya, bisa membahayakan. Pendapat
ini kemudian di dukung juga oleh Residen Batavia J.C. de Bergh yang
mengungkapkan bahwa memindahkan Ahmad Sanusi ke Meester Cornelis sama
saja menumbuhkan persemaian baru disamping persemaian yang sudah ada di
Tanah Abang, Batavia. Begitu juga dengan pendapat Gubernur jawa Barat yang
menolak pemindahan Ahmad Sanusi.74
Silang pendapat terus berlanjut. Kali ini ditambah lagi dengan masuknya
pendapat Adviseur voor Inlandasche Zaken (penasehat untuk urusan pribumi),
73
Munandi Shaleh, K.H Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangan dalam Pergolakan
Nasional, hal. 5. 74
Mohammad Iskandar. Para Pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran Kiai dan
Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. hal 248
47
Gobe mamandang bahwa permohonan Ahmad Sanusi tidak perlu ada yang
ditakutkan. Menurutnya selama dipengasingan, tulisan-tulisan Ahmad Sanusi
selalu bernuansa agama dan menurutnya cukup bagus untuk dogma dan ritual
keagamaan bagi orang-orang awam. Jadi bagi Gobe memindahkan Ahmad Sanusi
justru sebetulnya lebih mengasingkannya ketimbang berada di Batavia.75
Pada waktu yang bersamaan, ketika pejabat pemerintah sedang sibuk
antara menolak atau menerima permohonan pemindahannya, Ahmad Sanusi pun
sibuk menerima para ulama dan muridnya untuk menginformasikan sejumlah
perkembangan di karesidenan Priangan khususnya di Afdeling Sukabumi.
Belakangan diketahui bahwa permohonan pemindahan Ahmad Sanusi didasarkan
pada keinginannya untuk melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang selalu
disodorkan kepadanya. Manurutnya persoalan yang dipertanyakn oleh muridnya
sebenarnya tidak prinsifil dan bisa dipecahkan oleh ulama lainnya. Ia memandang
bahwa masalah kepentingan umum merupakan kewajiban para kiai dan ulama
lainnya, tanpa dirinya pun tetap akan ada yang memikirkannya.
Selain itu ia pun kemudian mulai intensif melakukan kontak dengan
muridnya. Hasilnya adalahh terbit juga majalah bulanan yang diberinama al-
Hidajatoel Islamijah (AHI) terbit pertama kali pada bulan Maret 1931 (al-
Hidajatoel Islamijah No. 1. Maret 1931).76
denngan diterbitkannya majalah
bulanan itu semakin menguatkan kontak antara Ahmad Sanusi dengan muridnya.
75
Mohammad Iskandar. Para Pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran Kiai dan
Ulama di Jawa Barat, 1900-195. hal 248 76
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan
Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950, (Semarang, Program
Magister Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2011), hal. 205.
48
Pada saat yang bersamaan, di afdellinng (daerah jajahan) Sukabumi
muncul dua kekuatan besar yang menyita perhatian publik. Pertama adalah
munculnya kamu Mujadid yang semakin gencar dalam menyebarkan pahamnya
hingga ke pelosok daerah. Kedua Partai Sarekat Islam yang pergerakannya mulai
mengkhawatirkan pemerintah kolonial. Kemunculan dua kekuatan ini kemudian
direspon pemerintah dengan mengintruksikan ulama kaum untuk membuat
organisasi baru untuk membendung kekuatan tadi. Muncullah Mh. Hasan Basri
sebagai ketua ulama kaum dari Pesantren Babakan, Cicurug segera mengajak
ulama lain untuk bergabung. Tidak lupa juga ia mengundang Ahmad Sanusi,
namun karena Ahmad Sanusi sudah paham tabiat Mh. Hasan, maka ia memilih
untuk tidak hadir.77
Selanjutnya meskipun tanpa dihadiri Ahmad Sanusi, pertemuan itu tetap
berjalan dan mengahasilkan beberapa kesepakatan diantaranya yaitu: Mendirikan
Satu perhimpunan yang diberi nama Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII) yang
Berazaskan Islam dengan tujuannya adalah “Menuju Kebahagiaan Umat dengan
memakai jalan/mazhab Ahlu Sunnah wal Jama‟ah.78
Setelah disepakati paltform perjuangannya langkah selanjutnya adalah
memilih pucuk kepemimpinan atau ketua. Pada awalnya yang akan djadikan ketua
adalah Mh. Hasan Basri, namun kemudian terjadi penolakan dari kelompok ulama
lain yang bukan ulama kaum. Kuat dugaan karena jumlah ulama kaum ialah
jumlah, sementara ulama diluar kelompok ulama kaum menginginkan Ahmad
77
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan
Pemikiran Keislaman Dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950. hal 198 78
Sulasman, K. H. Ahmad Sanusi (1889-1950); Berjuang dari Pesantren ke Parlemen,
(Bandung: PW PUI Jawa Barat, 2007), hal. 69-70.
49
Sanusi sebagai ketua, maka ulama kaumm memilih untuk mengalah dan jadilah
Ahmad Sanusi sebagai ketua AII. Pada awalnya Ahmad Sanusi menolak untuk
menjadi ketua namun setelah mendappat penjelasan dari Dasoeki, Ahmad Sanusi
pun sepakat atas perlunya pendirian organisasi AII dan bersedia menjadi ketua.
kemudian Batavia Centrum dipilih sebagai tempat kantoor Hofbestuur Al-
Ittihadijatoel Islamijjah, pada waktu itu kantor pusat PB AII bertempat di Tanah
Tinggi No. 191, Kramat-Batavia.79
AII yang baru lahir dengan segala
dinamikanya kemudian meneguhkan misi utamanya sebagai organisasi yang
menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam dan misi keindonesiaan yang
selanjutnya dirumuskan dalam Anggaran Dasar AII seperti termaktub dalam pasal
2 sebagai berikut:
“..1) Mendjoengjoeng Ttinggi dan memadjoekan agama Islam firqah Ahli
Soenah wal Djsma‟ah;
2) Memajoekan kecerdasan dan prikehidoepan orang moeslimin
Indonesia;..”80
Dari rumusan tujuan ini bisa dipahami bahwa AII memiliki misi keislaman
dan juga misi keindonesiaan dengan memfokuskan usahanya pada kemajuan
kecerdasan ummat Islam Indonesia. Dari sini pula kita bisa melihat bahwa AII
merupakan organisasi yang memadukan nilai-nilai keislaman dan juga nilai
keindonesiaan atau dengan kata lain bagi AII tidak ada masalah antara konsepsi
tentang Islam sebagai agama dan ajaran dengan Indonesia sebagai sebuah negara.
Sejak awal pendiriannya, AII bukanlah organisasi politik tetapi merupakan
oranisasi sosial kemasyarakatan yang berfokus pada pemberdayaan ummat
79
Miftahul Falah, Riawayat Perjuangan K.H Ahmad Sanusi.hal.78 80
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan
Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950, (Semarag: Program
Magister Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2011), hal.208.
50
dengan meningkatkan tradisi literasi warga dengan perbaikan pendidikannya.
Untuk membantu penyebaran gagasan dakwah, pada tahun 1940-an, AII
kemudian mendirikan sebuah majalah dakwah yang bernama “Suara Muslim”
dengan harapan mampu menjawab persoalan-persoalan yang berkembang di
masyarakat. Selanjutnya majalah ini berganti nama menjadi “Suara Perhimpunan
Al Ittihadyatul Islamiyah”.
Foto: Majalah Suara Perhimpunan Al Ittihadyatul Islamiyah
Sumber: Dokumentasi Keluarga Syamsul Ulum
Pada tanggal 3 Juli 1934 Gubernur Jenderal De Jonge mengeluarkan
keputusan untuk mengembalikan K. H. Ahmad Sanusi ke Sukabumi dengan
51
setatus tahanan kota.81
Kembalinya Ahmad Sanusi ke Sukabumi memberikan
angin segar sekaligus ancaman serius bagi lawan politiknya dan mereka yang
tidak suka terhadap pergerakannya. Popularitas Ahmad Sanusi semakin tak
terbendung apalagi setelah ia dibebaskan dari status tahanan secara otomatis
memberikan keleluasaan untuk melakukan segala bentuk kegiatan memimpin AII
ataupun ceramah-ceramah keagamaan lainnya. Beberapa bulan setelah
pembebasan Ahmad Sanusi, AII kemudian melangsungkan kongres ke-3 di
Bandung pada tanggal 23-26 Desember 1939.82
Pada kongres ke-3 ini AII berhasil melakukan reorganisi dan melakukan
prosesi estafet kepemimpinan dari Ahmad Sanusi ke Abdoerahim sebagai
Hoofdbestuur atau ketua umum terpilih. Abdoerahim diyakini mampu membawa
organisasi menuju kearah yang lebih baik dengan melihat track recordnya sebagai
kader terbaik organisasi. Setelah lengser dari jabatan sebagai ketua, Ahmad
Sanusi kemudia diamnahkan menjabat sebagai Adviseur atau penasehat
organisasi.
81
Muhammad Iskandar, Kiyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi, (Jakarta: PB PUI, 1993),
hal.15. 82
Kongres ke-3 AII berada dalam bayang-bayang perang Asia Timur Raya yang
sewaktu-waktu bisa saja meletus dan dampaknya tentu saja akan berdampak ke Indonesia. Pada
saat yang sama pula, di pemerintahan Hindia Belanda mulai banyak bermunculan partai
atauorganisasi yang berlandaskan agama (Islam) atau yang netral agama. Mayoritas dari mereka
telah mengikatkan dirinya dengan fedeerasi . hal ini dipandang kuat dugaan menjadi penyebab
utama muncul usulan dari beberapa anggota AII yang mengusulkan agar AII mendeklarasikan diri
menjadi sebuah partai politik seperti halnya organisasi-organisasi lain. Baca: Wawan Hernawan.
Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011), (Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarawan
Indonesia Cabang Jawa Barat. 2009), hal. 142.
52
Sampai dengan bulan Agustus 1940, tercatat AII telah memiliki 28 cabang
yang tersebar di Jawa Barat dan Batavia pada waktu itu, diantara cabang itu
adalah:83
No TEMPAT KETERANGAN
1. Sukabumi Sukabumi
2. Cantayan Sukabumi
3. Cibadak Sukabumi
4. Cicurug Sukabumi
5. Jampangkulon Sukabumi
6. Surade Sukabumi
7. Palabuahanratu Sukabumi
8. Buitenzorg Bogor
9. Bojongkorod Bogor
10. Praseda Sukabumi
11. Sarena Cianjur
12. Gununghandeuleum Bogor
13. Pasir Tanjung Cianjur
14. Cipanas Cianjur
15. Babakan Sirna Sukabumi
16. Pacet Cianjur
17. Sukanagara Cianjur
18. Cianjur Cianjur
19. Cibeber Cianjur
20. Sindangkerta Cililin, Bandung
21. Gununghalu Cililin, Bandung
22. Soreang Bandung
23. Bandung Bandung
24. Cinebel Tasikmalaya
25. Ciamis Ciamis
26 Cipari Garut
27. Meester Cornelis Batavia
28 Batavia Batavia
83
Selain merapihkan struktur organisasi dan juga kepengurusan, di tahun ini pula AII
memutuskan untuk menambah lima buah majelis guna menjawab kebutuhan organisasi , majelis
itu diantaranya: (1) Madjelis Tardjih (2) Madjelis Tabligh dan propaganda (3) Madjelis Sosial (4)
Madjelis Ekonomi (5) Madjelis Ittihad Madaris Islamijjah. Selain itu juga AII kemudian
menetapkan dua organisasi otonom yaitu barisan Ittihad Islamijjah untuk pemuda dan Zainabijah
(barisan ibu-ibu dan pemudi). Baca: Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya
dalam Pergolakan Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950.
(Semarang, program Magister Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
2011), hal. 209.
53
Sumber: Diolah dari buku Munandi Shaleh, K.H Ahmad Sanusi: Pemikiran dan
Perjuangan dalam Pergolakan Nasional
Setelah berjalan kondusif, AII terus berupaya menata diri dan merapihkan
organisasi mewujudkan tujuannya sebagai organisasi yang mengusung misi
keIslaman dan juga misi keindinonesiaan. Seiring berjalan waktu, persentuhan AII
dengan organisasi lain mulai bersentuhan, salah satunya dengan Perikatan Umat
Islam pimpinan K.H Abdoel Halim, Majalengka. Persahabatan antara Ahmad
Sanusi dengan Abdoel Halim sejatinya sudah berlangsung cukup lama.84
Sejak
perantauannya ketika di kota Mekkah keduanya sudah menjalin hubungan baik
yang dipersatukan oleh kesamaan tekad dan cita-cita, mewujudkan kehidupan
ummat Islam yang lebih baik.
Abdoel Halim yang mewakili Perikatan Ummat Islam dan Ahmad Sanusi
mewakili Persatuan Ummat Islam Indonesia sudah sangat akrab dan satu sama
lain sering saling berkunjung dalam kapasitasnya sebagai pimpinan organisasi.
Rupanya kedekatan antara keduanya menghasilkan dugaan bahwa keduanya
berinisiatif untuk melakukan fusi organisasi.85
Namun sejarah berkehendak lain. Sebelum niatan itu terwujud, Ahmad
Sanusi lebih dulu meninggalkan dunia dengan segala perjuangannya. Ia
84
Wawan Hernawan, Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011), (Bandung: Yayasan
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, 2009), hal.179. 85
Sebetulnya usulan untuk melakukan fusi organisasi dengan organisasi lain yang
sepaham dengan AII sudah disusulkan ketika kongres ke-4 di Cianjur tahun 1940. Usulan tersebut
datang dari peserta utusan Bogor dan Karang Tengah, Sukabumi. Namun demikian pada waktu itu
forum menolak usulan untuka melakukan fusi karena waktu itu menurut forum segalanya belum
memungkinkan. Nampaknya, kendatipun usulan itu ditolak oleh forum, namun ternyata selalu
membayang-bayangi pikiran Ahmad Sanusi. Ia membenarkan apa yang disulkan bahwa untuk
melebarkan sayap dan jangkauan dakwah haruslah melakukan fusi dengan organisasi yang
sepaham dengan AII. Sampai akhirnya Ahmad Sanusi bertemu dengan Perikatan Umat Islam
pimpinan Abdoel Halim yang jellas memiliki kesamaan misi organisasi. Kepad Abdoel Halim,
niatan itu ia sampaikan. Bak gayung bersambut, niatan Ahmad Sanusi mendapat respon positif dan
Abdoel Halim menyepakati dengan niatan melakukan fusi organisasi guna syi‟ar Islam yang lebih
luas. Baca: Wawan Hernawan, Seabad Persatuan Ummat Islam, (1911-2011), hal.181.
54
meninggalkan pekerjaan yang belum terselesaikan salah satunya yaitu melakukan
fusi organisasi yang sudah disepakati dengan Abdoel Halim. Ahmad Sanusi tutup
usia pada hari ahad malam, tanggal 15 Syawal 1369/31 Juli 1950 dalam usia
genap 63 tahun.86
Cita-cita untuk melakukann fusi organisasi pun kemudian dilanjutkan oleh
kawan seperjuangnya, yakni kakanda Samsuddin (Mr. Samsuddin) dengan
mengirimkan surat kepada Abdoel Halim dengan maksud dan tujuan untuk segera
melakukan fuusi organiasi. Singkatnya, pada hari sabtu tanggal 05 April 1952/9
Rajab 1371, hari yang direncanakan unntuk melangsungkan fusi tiba. Memilih
tempat di Gedung Nasional (sekarang Balaikota) Bogor, dilangsungkanlah prosesi
musyawarah tentang fusi kedua organisasi ini.
Seusai musyawarah selesai, tampillah Afandi Ridwan naik keatas podium,
membacakan Naskah Fusi yang berbunyi sebagai berikut:
“... Dengan penuh keikhlasan dan bertanggung jawab terhadap Allah
SWT., atas keselamatan ummat Islam Indonesia serta berhasrat besar
untuk bersatu dalam mencapai cita-cita Islam raya dan kebahagiaan
Ummat di dunia dan akhirat, sebagai pencerminan hikmat intisab
menyatakan lebirnya (fusi) kedua organisasi PUI dan PUII dengan
berdirinya Persatuan Ummat islam yang berkedudukan pusatya di kota
Bandung, kota provinsi Jawa Barat...”87
Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai hari fusi organisasi Persatuan
Ummat Islam, yaitu tanggal 5 April dan selalu diperingati disetiap tahun oleh
pengurus dan juga keluarga besar Persatuan Ummat Islam.
86
Munandi Shaleh, K.H Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangan dalam Pergolakan
Nasional (Tangerang Selatan , Jelajah Nusa, 2016), hal. 18. 87
Wawan Hernawan, Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011), hal 2.
55
2. Mendirikan Perguruan Syamsul Ulum
Seperti telah diulas diawal bahwa peran Ahmad Sanusi selain sebagai
seorang yang aktif dalam dunia pergerakan, ia juga memfokuskan diri untuk
membina kader umat Islam. Salah satu wujud nyata dari pengabdiannya terhadap
dunia pendidikan keummatan, ia wujudkan dengan mendirikan sekaligus
mengurus lembaga pendidikan. Pada mulanya lembaga pendidikan ini ia warisi
dari ayahnya langsung, K. H. Abdoerohim, pesantren Cantayan. Kemudian seiring
berjalannya waktu, Ahmad Sanusi yang didampingi istri tercinta mendirikan
lembaga pendidikan serupa yakni pondok pesantren di bilangan Genteng,
Sukabumi yang kemudian ia dijuluki sebagai “Ajengan Genteng”.
Sekembalinya Ahmad Sanusi dari pengasingan pada tahun 1934, ia
kemudian mendirikan pesantren masih di daerah kelahirannya, Sukabumi.
Berlokasi di daerah Gunung Puyuh, Kota Sukabumi (sekarang) Ahmad Sanusi
mencurahkan segala tenaga, daya dan pikirannya untuk melakukan pembinaan
kepada santri-santri dan para ulama di sekitar pesantren. Karakteristik pribadinya
sebagai pejuang masih lekat dalam jiwanya sehingga tidak jarang ia secara tegas
menyampaikan sikap bahwa “Belanda adalah Musuh Agama dan Bangsa”, sikap
ini kemudian ditaati oleh para santri dan ulama dan menjadi motivasi
perjuangan.88
Lembaga pendidikan yang ia rintis dengan penuh perjuangan dan dedikasi
yang tinggi demi ummat Islam Sukabumi, khususnya, ia beri nama Pondok
Pesantren “Syamsul „Ulum”. Pada mulanya lembaga ini hanya mengurusi
88
Wawancara pribadi dengan Aa Abdullah, seorang kepala sekolah SMA Syamsul Ulum
sekaligus murid dari K. H. Ahmad Sanusi, pada tanggal 13 Desember 2017 di Sukabumi.
56
pengajian klasik dan cermah-ceramah mingguan dan bulanan. Namun seiring
berjalannya waktu, lembaga rintisannya ini berkembang dengan memperluas
cakupan garapannya. Sampai hari ini, lembaga pendidikan besutan Ahmad Sanusi
ini menjadi lembaga yang terbilang besar, dengan mengelola beberapa lembaga
pendidikan, seperti TPQ, MTs, MA, sampai perguruan tinggi dengan payung
hukum dibawah naungan “Perguruan Syamsul „Ulum”. Karena letaknya berada di
daerah Gunung Puyuh Kota Sukabumi, sehingga namanya kemudian ditambahkan
menjadi Perguruan Syamsul „Ulum, Gunung Puyuh Kota Sukabumi.89
Perkembangan pesantren Gunung Puyuh (Syamsul „Ulum) cukup pesat,
alumni Pesantren Genteng Babakan Sirna dan Gunungpuyuh yang tersebar
dimana-mana, mereka tidak tinggal diam dan mendirikan cabang-cabang.
Bersama-sama masyarakat setempat, didirikan Pesantren, Madrasah, dan Majlis
Ta‟lim Umum, Majlis Ta‟lim uumini yang sehari-hari berfungsi sebagai
Madrasah. Satu atau dua kali dalam seminggu digunakan untuk ceramah-ceramah,
untuk membina, dan untuk menyeragamkan pelajaran, metoda dan tuntunan
lainnya. Dibidang pendidikan, dibentuk Ittihadul Madaris Islamiyah (IMI) yang
dibentuk oleh K. H. Ahmad Sanusi sendiri. Kemudian beliau menyusun
buku Majmu‟ul Furun (Antologi Bidang Studi) yang terbit tiga bulan sekali secara
terus-menerus.
Mengangkat visi mulia yang termaktub dalam visi lembaga, yakni:
„‟Terwujudnya Santri Yang Waladun Sholiahun Tafaqqoh Fiddin yang
Berkualitas, Beriman, Berilmu Amaliyah dan Beramal Ilmiyah‟‟
Visi ini kemudian dijabarkan dalam rumusan Misi sebagai berikut:
89
http://syamsululum.or.id/tentang-kami/sejarah/ diakses pada tangal 10 Desember 2017
57
1. Mewujudkan santri sebagai kader pendidikan,dakwah dan perjuangan
2. Meningkatkan pemahaman kitab kuning dengan keunggulan atau disting
program tahfizh al-Qur‟an dan berbahasa Arab- Inggris
3. Meningkatkan keterampilan santri dalam berfastabiqul khairot dengan
lembaga lain .
Seperti halnya lembaga pendidikan pada umunya, Syamsul „Ulum pun
mengusung karakteristik sebagai identitas dan jati dirinya, yakni:
Berakhlakul karimah
Berdisiplin ibadah
Berilmu barokah
Sampai hari ini, warisan lembaga pendidikan Ahmad Sanusi yang ia rintis
sejak terbebasnya statusnya sebagai tahanan pemerintah kolonial Hindia Belanda
telah mengukir sejarah sekaligus memberikan kontribusi bagi negeri ini. Hari ini
lembaga pendidikan besutan Ahmad Sanusi ini sudah memasuki generasi ketiga,
yang dipimpin oleh Dedy Ismatullah, cucu Ahmad Sanusi.
Foto: Promosi Perguruan Syamsul Ulum oleh K. H Ahmad Sanusi
58
Sumber: Dokumentasi Syamsul Ulum
3. Menjadi Anggota BPUPKI
Sebagai negara yang di jajah, nasib Indonesia bergantung pada negara yang
menjajahnya. Pasca Belanda henkang, dan Jepang mulai menancapkan
pengaruhnya di nusantara, Indonesia mau tidak mau berada dalam kurungan
Jepang. Sekitar tahun 1944, Jepang ikut terlibat dalam Perang Dunia II. Amerika
dan sekutunya tidak henti-hentinya mendesak Jepang dalam Perang Asia Timur
raya. Puncaknya ketika tentara Jepang semakin terdesak yang ditandai dengan
penguasaan Pulau Saipan oleh Pasukan Amerika Serikat. Dalam kondisi
keterdesakan itu, Jepang berupaya meraup dukungan dari rakyat Indonesia agar
bisa membantu Jepamng dalam Perang Asia Timur Raya. Sebagai strategi Jepang
demi meraih simpati dan dukungan Indoensia, maka pada 7 September 1944,
59
Perdana Menteri Jenderal Kuniaki Koiso mengumumkan bahwa daerah Hindia
Timur (Indonesia) “diperkenankan merdeka kelak di kemudian hari”. Strategi itu
dilakukan Jepang sebagai upaya menandingi rayuan Amerika dan sekutunya yang
menjanjikan memberikan kemerdekaan Indoensia apabila Indonesia mau
membantu Amerika dan sekutunya dalam perang Asia Timur Raya.90
Menindaklanjuti rencana itu, kemudian pada 1 Maret 1945, Jepang
mengumumkan pembentukkan sebuah badan yang berfokus persiapan
kemerdekaan Indoenesia. Badan itu bernama Dokuritsu Junbi Cosakai yang
dalam baha Indonesianya menjadi Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan( BPUPKI). Badan ini diketuai oleh R. T. Radjiman Wediodiningrat,
dialah yang mengomando jalannya badan ini sesuai dengan fungsinya yaitu
mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting yang berhubungan dengan persiapan
pembentukan negara Indonesia merdeka.
Setelah terbentuk, kemudian BPUPKI secara resmi dikukuhkan dan dilantik
oleh Jepang Pada 28 Mei 1945. Peresmian itu dilanjutkan dengan pelantikan ketua
dan para anggota BPUPKI yang diiringi dengan pengibaran bendera Merah Putih
dan Hinomaru. K. H. Ahmad Sanusi diangkat oleh pemerintahan Jepang sebagai
anggota badan tersebut. Ahmad Sanusi menempati kursi nomor 36.91
K. H. Ahmad Sanusi yang mewakili kelompok Islam memberikan
argmentasinya dalam perspektif Islam dalam setiap persidangan. Kendatipun K.
H. Ahmad Sanusi berlatar belakang pendidikan pesantren lokal ditambah dengan
90
A. H. Nasution, Tentara Nasional Indonesia, (Djakarta: Jajasan Pustaka Militer, 1977),
hal.106. 91
Saafroedin Bahar dkk., Risalah Sidang BPUPKI, PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,
(Jakarta, Ghalia Indonesia untuk umum atas izin Menteri Sekretaris Negara RI, 1995), hal. xxvii
60
pendidikan di Timur Tengah, tetapi tidak kalah argument dengan para tokoh lain
yang mengenyam pendidikan Barat. Terbukti dalam risalah sidang BPUPKI, K.
H. Ahmad Sanusi banyak memberikan argumentasinya dalam sidang-sidang yang
digelar oleh BPUPKI.
Foto Peta Lokasi Tempat Duduk Sidang BPUPKI
Sumber: Saafroedin Bahar, Risalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI); 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia, 1995, hal. xxvii.
C. Karya Tulis
Seperti telah disinggung dimuka, bahwa Ahmad Sanusi merupakan sosok
yang cerdas dan cakap dalam memperjuangkan dakwahnya dalam bentuk lisan,
ceramah ataupun dengan tulisan, buku, majalah dan sebagainya. Keteguhan dan
61
kekuatannya memegang prinsif dan menyampaikan dakwahnya sangat kuat dan
tidak pernah gentar.
Dakwah melalui lisan ia buktikan dengan aktifitas pengajiannya kepada
santri-santrinya di pondok pesantren maupun kepada warga di sekitarnya.
Mendirikan perguruan Syamsul Ulum sampai akhir hayatnya ia abdikan hampir
seluruh hidupnya untuk berdakwah. Ia termasuk kiai yang prduktif dalam
menghasilkan karya tulis, baik itu buku, kitab ataupun tulisan yang dipublikasikan
lewat media masa. Salah satu upaya dakwah dalam bentuk tulisan ia menerbitkan
majalah al-Hidayah al-Islamiyah (Petunjuk Islam) dan majalah at-Tabligh al-
Islami (Dakwah Islam).92
Berdasarkan pengakuan Ahmad Sanusi bahwa karyanya berjumlah 125
judul kitab yang terdiri dari 101 judul kitab berbahasa Sunda dan 24 judul kitab
lainnya berbahasa Indonesia.93
Namun demikian, menurut keluarga ahli warisnya,
jumlah karya Ahmad Sanusi lebih dari yang disebutkan diatas. Pengakuan
keluarganya justru jumlahnya lebih dari 125 judul, sebab masih ada karangan
yang belum tercatat, baik yang masih dalam bentuk manuskrip dan belum tercetak
ataupun yang sudah tercetak, jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar 400-an
judul kitab.94
Berikut adalah kumpulan karya yang berhasil penulis rangkum.
92
Munandi Shaleh, K. H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangan dalam Pergolakan
Nasional, (Tangerang Selatan: Jelajah Nusa, 2016), hal. 53. 93
Hasil wawancara dengan Syafruddin Amir pada tanggal 13 Desember 2017 di Kota
Sukabumi 94
Perbedaan jumlah ini bisa dipahami bahwa ketika Ahmad Sanusi melakukan
pengakuan itu adalah berada dikisaran tahun 1942, sedangkan beliau meninggal pada tahun 1950.
Ada rentang waktu sekitar hampir enam tahun yang memungkinkan bertambahnya karya beliau
sedangkan data yang berada di arsip tersebut tidak di perbaharui. Selain itu juga rentang waktu
antara 1942 sampai 1950 adalah masa dimana Ahmad Sanusi bukanlah tahanan kota ataupun tahan
Hindia Belanda sehingga keleluasaannya dalam menulai dan berekspresi, berdakwan melalui
tulisan bisa lebih leluasa dibandingkan ketika statusnya msih merupakan tahanan. Kemudian juga
62
No Jenis Kitab Judul Kitab
01. Kitab Tafsir al-Quran dan
Ilmu Tajwid
1. Raudatul Irfan
2. Tamsiyatul Muslimin
3. Tafsir Maljuttolibin
4. Maljuttolibin
5. Tijatul Gilman
6. Hiljatullisan
7. Sirodjul Muminin
8. Tafsir Surat Yasin
9. Tafsir Surat Waqiah
10. Tafsir Surat Tabarok
11. Tafsir Surat Duchon
12. Tafsir Surat Kahfi
13. Tafsir Surat Yasin Waqiah
14. Hilaatul Iman
15. Silahul Irfan
02. Kitab Hadits 1. Tafsir Buchori
2. Alhidayah
03. Kitab Ilmu Tauhid/Aqidah 1. Al Lu un-Nadid
2. Matan Ibrahim Bajuri
3. Matan Sanusi
4. Majmaul Fawaid
5. Tauhidul Muslimin wa Aqoidul
Mukminin
6. Tarjamah Djaurottauhid
7. Al-Mufhimat
8. Hiljatul Aqli
9. Al-Muthohirot
10. Lu Lu Unnadien Ilmu Tauhid
11. Nurul Yakin
12. Usulul Islam
13. Silahoul Mahiyah Firqoh
14. HuljatulAqli
15. Assujufussorimah
04. Kitab Ilmu Fiqh 1. Al-Djuharotul Mardiyah
2. Tardjamah Fiqih Akbar
3. Hilyatul Gulam
4. Miftahu Darissalam
5. Al Adwiyatussafiah
6. Al Ukudul fachriah
7. Bab Zakat dan Fithrah
8. Bab Nikah
9. Targhib Tarhib
faktor pendudukan Belanda maupun Jepang dalam kurun waktu 1945 sampai ia wafat tahun 1950
cukup memberikan peluang terhadap produktifitas menulis. Baca Munandi Shaleh, K.H Ahmad
Sanusi: Pemikiran dan Perjuangan dalam Pergolakan Nasional, hal 58
63
10. Kitab Talkin
11. Bab Kematian
12. Bab Bersentuh
13. Kitab Tiung
14. Ijtihad taqilied
15. Dijafah dan Shodaqoh
16. Hidajatussomad
05. Kitab
Ahlaq/Tasawuf/tariqat/
Aurod/Doa
1. Misbahu falah
2. Sirodjul Afkar
3. Miftahul Gina
4. Kitab Asmaul Husna
5. Dalilussairien
6. Doa Nabi Ibrahim
7. Fachrul Albab
8. Pengadjaran Istri
9. Tarjamah Kitab Hikam
10. Fadoilul Kasbi
11. Tarbijatul Islam
06. Kitab Ilmu Mantiq Muthijatul Gulam
07. Kitab Ilmu Bad‟e Al Kalimatul Mubajjinah
08. Kitab Sejarah 1. Tarikh Ahli Sunah
2. Lidjamul Guddar
3. Miftahurrohmah
09. Kitab Jum‟ah 1. Tanbihatullabah
2. Bab Jum‟ah
3. Sirodjul Umah
4. Fathul Muqlatien
10. Kitab Bahasa 1. Bahasan Ajurumiyah
2. Durusunahwiyah
3. Kasjfunniqob
4. Matan Sorof Bina
5. Bahasan Nadhom Yaqulu
6. Tanwiruribat
11. Kitab Munadoroh Tarjamah Ilmu Munadhoroh
12. Kitab Ilmu Bayan Kifayatul Mubtadi
13. Lain-lain 1. Tahdzirul Afkar
2. Tahdzirul Awam
Sumber: diolah dari buku “K.H Ahmad Sanusi: Pemikiran dan
Perjuangan dalam Pergolakan Nasional”, dan hasil wawancara langsung dengan
beberapa santri dan staf pengajar di perguruan Syamsul Ulum.
Keberhasilan dari dakwah Ahmad Sanusi bisa dilihat dari buah
peninggalannya. Diantara keberhasilannya mendidik dan membina ummat adalah
lahirnya ulama-ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang mapan dan
64
posisinya di masyarakat dijadikan tumpuan dan teladan dalam mempertanyakan
segala persoalan. Murid-muridnya yang dianggap berhsil misalnya Ajengan Khoir
Afandi (Pendiri Pondok pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya),
Ajengan Soleh Iskandar (Tokoh Militer, yang atas jasanya namanya dijadikan
jalan antara Bogor-Parung), Ajengan E.Supriatna Mubarok (Pendiri Pondok
Pesantren Salafi Terpadu Darusyifa al-Fitrat, Perguruan Yaspida Sukabumi), DR.
K. H. E. Z. Muttaqin (pendiri UNISBA Bandung), Prof. K. H. Ibrahim Husein
(Mantan Rektor IIQ dan pernah menjadi Ketua Majelis Fatwa MUI Pusat).95
Hampir semua putra K. H. Ahmad Sanusi menjadi ulama, misalnya saja K. H.
Ujang Juwaeni Sanusi, K. H. Nunung Najmuddin Sanusi, Prof. Dr. K. H.
Solehuddin Sanusi, K. H. Fadullah Sanusi, dan dr. K .H. Didin Muhibuddin
Sanusi.
Selain itu juga, pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan Jenderal
Soeharto mengangkat K. H. Ahmad Sanusi sebagai Perintis Kemerdekaan dan
mendapat anugerah penghargaan Bintang Maha Putera Utama pada tanggal 12
Agustus 1992. Selanjutnya 17 tahun berlalu, K. H. Ahmad Sanusi kembali
mendapat penghargaan mendapat Bintang Maha Putera Adipradana dari presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 10 November 2009. Sebetulnya, K. H.
Ahmad Sanusi sudah sejak tahun 2007 diusulkan menjadi pahlawan nasional,
salah satunya oleh Yayasan Sejarawan Masyarakat Indonesia Cabang Jawa Barat
95
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan
Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950, (Semarang: Program
Magister Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2011), hal. 67.
65
dan juga oleh Pemerintah Kota Sukabumi96
kala itu. Namun, sampai hari ini status
kepahlawanan K. H. Ahmad Sanusi belum juga diakui oleh pemerintah Republik
Indonesia.
96
Tokoh ulama dan pejuang kemerdekaan K. H. Ahmad Sanusi asal Sukabumi hingga
kini belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Padahal, sosok tersebut sangat berjasa dalam
perjalanan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. K. H. Ahmad Sanusi merupakan anggota
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. Ia
merupakan satu-satunya anggota BPUPKI yang belum ditetapkan menjadi pahlawan nasional.„‟
Kami sudah menempuh semua prosedur unuk menetapkan KH Ahmad Sanusi menjadi pahlawan
nasional,‟‟ ujar Wali Kota Sukabumi Mohamad Muraz. Baca:
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/02/03/o1y5u5394-pemkot-sukabumi-
perjuangkan-kh-ahmad-sanusi-jadi-pahlawan-nasional diakses pada tanggal 29 Desember 2017
66
BAB IV
ISLAM DAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF K. H. AHMAD SANUSI
Pada bab ini penulis memaparkan pemikiran Ahmad Sanusi tentang
hubungan Islam dan Negara. Penelitian yang penulis lakukan merupakan
penelitian yang sifatnya kepustakaan (library research) sebagai bahan primer dan
wawancara sebagai bahan sekunder.
A. Pemikiran K. H. Ahmad Sanusi Tentang Islam
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW membawa misi
kemanusiaan yang universal, dengannya ajaran Islam mampu diterima oleh
banyak kalangan dan tersebar ke seluruh penjuru dunia. Islam masuk ke nusantara
pada mulanya dibawa oleh pedagang yang singgah ke nusantara. Sifatnya yang
universal dan mampu diterima oleh masyarakat nusantara membuat Islam dengan
mudah diterima oleh penduduk nusantara dengan akulturasi budaya nusantara.
Keberhasilan itu juga yang membuat para ulama nusantara mengadapatasi strategi
itu sehingga Islam semakin kuat di nusantara. K. H. Ahmad Sanusi pun
melakukan hal serupa, ia melakukan pendekatan persuasif dalam menjalankan
misi dakwahnya kepada masyarakat. Kendatipun responnya pro dan kontra tetapi
dakwah Islam K. H. Ahmad Sanusi terus berjalan.
Pemikiran dan gerakan K. H. Ahmad Sanusi merupakan pemikiran
keislaman yang tergolong Substansialistik. Aliran berpikir yang tidak
mengedepankan hal-hal yang sifatnya formalistik, yang sifatnya cangkangnya,
tetapi lebih menohok pada isi dari ajaran Islam itu sendiri atau istilah lainnya
substansialistik. Pandangan ini menunjukan bahwa K. H. Ahmad Sanusi
merupakan ulama yang moderat yang memiliki pemikiran mencerahkan terhadap
67
kehidupan keagamaan di Indonesia. Hal ini yang kemudian menjadi corak
pembeda antara PUI, organisasi yang dibesarkannya, dengan organisasi lain
semisal NU yang lebih memunculkan Islam tradisonalnya ataupun
Muhammadiyah dengan Islam modernisnya di Indonesia. K. H. Ahmad Sanusi
menjadi jalan tengah antara keduanya, ia terlihat moderat, tidak sepenuhnya
menolak gerakan modernis dalam Islam tetapi juga tidak sepenuhnya menolak
tradisi Islam yang sudah lama mengakar dalam tradisi Islam Indonesia.
Pada permulaan abad 20, muncul dua kelompok keagamaan yang satu
sama lain saling bertentangan. Kelompok ini merupakan bias dari kondisi Islam
Internasinal yang masuk ke Indonesia. Dua kelompok itu adalah kelompok Islam
Modernis yang menghendaki pembaharuan Islam dalam artian mengembalikan
Islam pada aslinya dan menolak segala ajaran yang dikelompokan Bid‟ah.
Persyarikatan Ulama (1911), Muhammadiyah (1912), dan Persatuan Islam (1923)
dipandang sebagai organisasi yang menyebarkan ide-ide pembaharuan di
kalangan umat Islam di Indonesia. Di bidang pendidikan, berdirinya Al Jami‟yyah
Al Khairiyah (1905) dan Al Irsyad (1914) merupakan eksponen dari gerakan
pembaharuan di Indonesia.97
Gagasan dari gerakan ini menyakini bahwa Indonesia tidak akan mungkin
bisa bersaing atau bahkan setidaknya menghadapi gempuran kelompok
kolonialisme Belanda yang membawa semnagat misionaris dan kristenisasi.
Kelompok modernis Islam menyakini hanya dengan umat Islam kembali pada
97
Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis (1923-1983), (Bandung: Gema Syahida,
1995), hal.19.
68
ajaran awal dan mempelajari sejarah kejayaan Islam, barulah bisa memperoleh
metode untuk menghadapi Belanda dan misionaris Kristen.98
Kemudian, kelompok tradisionalis sebagai kelompok yang bertentangan
dengan kelompok modernis tadi justru berupaya untuk melestarikan dan juga
memperaktikan ajaran Islam yang telah menjadi tradisi dan lumrah dipakai oleh
nenek moyang mereka. Kelompok tradisionalis ini kerap kali menyebut dirinya
sebagai kelompok Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadikan mazhab imam
Syafi‟i sebagai rujukan. Salah satu organisasi keagamaan yang berhaluan
tradisionalis adalah Nahdlatul Ulama (1926). Organisasi termasuk yang teresar di
Indonesia terutama di kalangan Islam tradisionalis dan memiliki fungsi sebagai
penghambat ajaran kelompok modernis.99
K. H Ahmad Sanusi tidak masuk kedalam kedua kelompok diatas, tetapi
justru berupaya mensintesakan keduanya. Meminjam istilahnya Sulasman, K. H
Ahmad Sanusi adalah seorang tradisional progresif.100
Di satu sisi, K. H. Ahmad
Sanusi masih mengikuti mazhab yakni hasil pemikiran para ulama terdahulu.
Akan tetapi, dalam kegiatan yang bersifat praktis K. H. Ahmad Sanusi memiliki
semangat pembaharu.101
1. Ibadah
Salah satu pemikiran K. H Ahmad Sanusi yang dianggap berbeda dengan
tradisi yang pada waktu itu lazim di masyarakat, misalnya tentang zakat. K. H.
98
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1991),
hal. 37. 99
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, 1991, hal 336. 100
Wawancara pribadi pada tanggal 10 April 2018 di komplek perguruan Syamsul Ulum
Sukabumi 101
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi, (Bandung: MSI Cabang
Jawa Barat bekerjasama dengan Pemerintah Kota Sukabumi, 2006), hal.51.
69
Ahmad Sanusi berpendapat bahwa masalah zakat fitrah ataupun zakat mall adalah
urusan ummat Islam bukan urusan pemerintah. Sehingga semuanya harus diatur
dan dikelola oleh ummat Islam dan dimanfaat sebanyak-banyaknya untuk
kemaslahatan ummat Islam. Begitupun dengan Amil yang bertugas
mengumpulkan zakat adalah harus mereka yang ditunjuk oleh ummat Islam. Hal
ini mendapat respon kontra dari pemerintah kolonial Belanda, sebab paad waktu
itu yang menunjuk seorang Amil adalah pemerintah.102
Pada waktu itu yang ditugaskan menjadi Amil adalah ulama pakauman,
kelompok ulama yang dibentuk oleh pemerintah. Sehingga ketika zakat sudah
terkumpul maka hasilnya dibagi 70% disetorkan kepada pengoeloe (petugas
pemerintah) di kabupaten sedangkan sisanya di berikan kepada lebe atau Amil
sebagai gajinya sebesar 30%. Praktik seperti ini ditentang keras oleh K. H. Ahmad
Sanusi sebab menurutnya praktek seperti dinilai sebagai sesuatu yang salah
kaprah serta sangat bertentangan dengan al-Qur‟an dan al-Hadits. Fatwa K. H.
Ahmad Sanusi ini mendapat respons positif dari kalangan masyarakat luas,
sehingga dampaknya, setiap kali penghitungan zakat fitrah ataupun zakat mall,
hasilnya semakin berkurang. Ini menunjukan bahwa kepercayaan terhadap ulama
pakauman menipis sedangkan tingkat kepercayaan kepada K. H. Ahmad Sanusi
semakin meningkat. Fenomena seperti ini mulai terjadi sekitar tahun 1928, dan
terus menguat di masyarakat.103
102
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi, 2006, hal.53. 103
Mohammad Iskandar, Para pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran Kiai dan
Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001), hal. 25.
70
K. H. Ahmad Sanusi termasuk tokoh ulama yang moderat, ia tidak terlalu
dekat dengan pemerintah begitupun ia bukanlah ulama yang berpikiran radikal.
Seperti dijelaskan juga oleh Munandi Shaleh.
“… secara spectrum, Ahmad Sanusi berada di tengah-tengah, ia
tidak berada di kiri ataupun berada di kanan. Kalau kita lihat
Muhammadiyah seringkali disebut sebagai kelompok reformis Islam
sedangkan NU seringkali di istilahkan sebagai penjaga tradisi, PUI yang
digawangi oleh Ahmad Sanusi berada di tengah-tengah, ia menghendaki
pembaharuan, tetapi juga tidak ingin menghilangkan tradisi lama.”104
Menurut analisis penulis, Ahmad Sanusi cukup berbeda pemikirannya
dengan kelompok Muhammadiyah ataupun NU sebagai kelompok mayoritas di
Indonesia. Dia justru menghendaki perpaduan antara keduanya, yang memadukan
nilai-nilai pembaharuan sekaligus tidak menghilangkan tradisi lama yang sesuai
dengan ajaran Islam. Dari kasus pengumpulan zakat ini kita bisa melihat
pemikiran Ahmad Sanusi yang menolak bahwa tidak semua urusan agama Islam
harus di urus oleh pemerintah, ataupun tidak setiap urusan agama bisa
diselesaikan oleh pemerintah.
Selain itu, pandangan keislaman yang berbeda dengan tradisi yang
berkembang di masyarakat adalah tentang praktik selametan untuk orang yang
telah meninggal. Ahmad Sanusi terang-terangan menentang praktik tersebut.
Baginya praktik selametan, hari ketiga, hari ketujuh dan seterusnya adalah
perbuatan keagamaan yang hukumnya makruh. Apalagi ketika masyarakat
menganggap bahwa praktik seperti demikian adalah suatu ketentuan agama Islam,
maka dengan tegas ia katakan hukumnya adalah haram karena bertentangan
dengan ajaran sebab tidak ada satu ayatpun dalam al-Quran yang menyebutkan
104
Hasil wawancara pribadi dengan Munandi Shaleh, Ketua Umum PUI Kota Sukabumi
pada tanggal 13 Desember 2017 di Sukabumi.
71
tradisi demikian. Menurutnya praktik upacara kematian dan segala halnya adalah
hanya warisan karuhun belaka yang tidak bersumber dari ajaran Islam dan tidak
memiliki implikasi apapun ketika hal demikian tidak dilaksanakan. Beliau
menganjurkan agar meninggalkan praktik demikian karena lebih mendekatkan
kepada kemusrikan, akan tetapi jika tetap dipertahankan maka sifatnya hanya
sedekah kematian.
“…mengenai selametan, mama (Ahmad Sanusi) tidak melarang
praktik tradisi selametan, karena ia memandang bahwa tradisi demikian
baik meskipun tidak ada satu keteranganpun dalam ajaran Islam yang
menganjurkan selametan”105
Kemudian masalah lain yang cukup popular pada zamannya adalah
translate al-Quran ke huruf latin. Ulama kebanyakan berpendapat bahwa tidak
boleh hukumnya menulis huruf al-Quran dengan menggunakan huruf latin.
Berbeda dengan K. H. Ahmad Sanusi, baginya boleh-boleh saja menulis huruf al-
Quran dengan menggunakan huruf latin Sebab menurutnya pada awal penulisan
al-Quran, huruf yang digunakan pada waktu itu adalah khat Utsmani dan itu
merupakan huruf yang sangat sederhana, sesuai dengan perkembangan teknis
menulis abad ke-7 Masehi. Pada waktu itu, khat Utsmani masih berupa huruf
Arab gundul bahkan sama kali tidak memiliki titik dan juga tanda baca, sehingga
jelas dampaknya tidak bisa dibedakan antara huruf yang satu dengan huruf yang
lain yang sifat dan cara membunyikannya hampir sama.106
105
Wawancara pibadi dengan Syafruddin Amir, salah satu pengurus Yayasan Syamsul
Ulum dan juga keluarga Ahmad Sanusi pada tanggal 15 Desember 2017 di Komplek Perguruan
Syamsul Ulum, Kota Sukabumi. 106
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya Dalam Pergolakan
Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950. (Semarang: Program
Magister Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2011), hal.23.
72
Dari kasus diatas menunjukan bahwa Pemikiran Ahmad Sanusi terlihat
sinkretis, menurut penulis ia bisa menerima sesuatu hal yang sudah menjadi
tradisi lama di masyarakat meskipun tidak ada sama sekali terdapat dalam ajaran
agama Islam. Jadi menurut hemat penulis, Ahmad Sanusi bisa berdamai dengan
traidisi lama, dengan pertimbangan mengambil sisi positifnya dan
kemanfaatannya di masyarakat dari pada harus menolak sama sekali dan
melakukan pembaharuan. Bagi penulis, ia sosok yang mampu menerjemahkan
ajaran dengan realitas yang terjadi di masyarakat tanpa harus mempertentangan.
Kasus diatas menunjukkan pendirian K. H. Ahmad Sanusi yang memiliki
semangat pembaharu namun tidak meninggalkan tradisi leluhurnya.
2. Aqidah
Dalam bidang aqidah, Ahmad Sanusi jelas sekali menganut paham Ahli
Sunnah Wal Jamaah atau yang kemudian dikenal dengan kelompok Sunni.
Kemudian dalam bidang fiqih, ia menganut paham fiqih Syafi‟i. Pandangan dalam
bidang fiqih, Ahmad Sanusi membenarkan apabila ada orang yang mengikuti
pemikiran fiqih dari empat madzhab, tetapi Ahmad Sanusi lebih cenderung untuk
berpegang teguh pada aliran pemikiran fiqih Syafi‟i seperti ditagskannya dalam
buku Aljauharot al Mardiyah fi Mukhtasar al Furu „as-Syafi‟iyyah. Dalam bidang
sosial dan dakwah Ahmad Sanusi merumuskannya dalam organisasi besutannya,
AII. Ahmad Sanusi menjabarkan bahwa ada 39 sifat yang harus dimiliki oleh
seorang pendakwah, para penganjur dan para pemimpin. Ke-39 sifat itu haruslah
dimiliki diantaranya adalah, rendah hati, tidak kaku lidah, penyayang, dermawan,
tidak berkepala batu, merdeka, adil, menegerti persoalan, mengerti perintah dan
larangan syara, menjalankan ajaran, tidak sombong, memelihara penampilan,
73
memiliki pikiran yang jernih, teguh hati, bermaksud menegakkan agama,
menjunjung syariat Islam, menuruti perintah Allah, menghidupkan sunnah Rasul,
tidak riya, tidak munafik, tidak plin-plan, tidak ingkar janji, berahlak baik dan
haruslah pemaaf.107
Fenomena yang ramai menyerang aqidah Islamiyah pada waktu itu
maraknya penyebaran Ahmadiyah di Indonesia. Selanjutnya sikap K. H. Ahmad
Sanusi dalam menyikapi Ahmadiyah tentu saja menolak dan menentang kehadiran
sekte Ahmadiyah di Indonesia, khususnya di Sukabumi, kampung halamannya.
Ahmadiyah memiliki dua aliran, yaitu pertama aliran Ahmadiyah Qodyani yang
dikenal sebagai Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)108
sedangkan yang kedua
adalah Ahmadiyah Lahore yang kita kenal sebagai Gerakan Ahmadiyah Indonesia
(GAI)109
.
Ajaran Ahmadiyah Qodyani pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh
Rahmat Ali pada tahun 1925 sedangkan Ahmadiyah Lahore pertama kali
diperkenalkan di Indonesia oleh Mirza Wali Ahmad Beig tahun 1925. Ahmadiyah
Qodyani hari ini berpusat di Bogor sedangkan Ahmadiyah Lahore berpusat di
Jogjakarta. Kedua aliran dalam sekte Ahmadiyah ini sama-sama bersifat tertutup
artinya ajaran Ahmadiyah hanya diajarkan kepada jemaahnya saja atau orang-
107
Hasil wawancara dengan Munandi Shaleh, Ketua Umum PUI Kota Sukabumi, pada 13
Desember 2017 di Sukabumi 108
Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (berpusat di Bogor), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad
adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi yang tidak membawa syariat baru. Baca:
Muhammad Sholikhin., Kontroversi Ahmadiyah: Fakta, Sejarah, Gerakan dan Aqidah Jemaat
Ahmadiyah Indonesia.,(Yogyakarta, Garudhawacana, 2013) hal. 24 109
Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad
Baig dan Maulana Ahmad, datang ke Yogyakarta. Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang
sekretaris di organisasi Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam
Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai "Organisasi Saudara
Muhammadiyah". Baca: Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta:
LkiS, 2006) hal.13.
74
orang yang sudah melakukan bay‟at terhadap pimpinan tertinggi mereka, yang
disebut sebagai al-Masih al-Mau‟ud atau Sang Juru Selamat yang Dijanjikan
Kedatangannya. Pimpinan Ahmadiyah pertama atau al-Masih al-Mau‟ud adalah
Mirza Gulam Ahmad (1835-1908) yang lahir di kota Qodiyan, sebuah wilayah di
India yang berbatasan dengan Pakistan. Mirza merupakan pendiri sekte ini dan
diposisikan sebagai “Nabi” oleh para pengik Ahmadiyah. Selain itu, Mirza pun
mendeklarasikan dirinya sebagai Imam Mahdi110
, Meisha, sekaligus sebagai
titisan Batara Krisna.
Sebagai upaya membendung sekaligus menentang ajaran Ahmadiyah baik
itu Qodyani maupun yang Lahore, Ahmad Sanusi menulis sebuah kitab yang ia
beri judul Nurul Yaqien Fi Mahwi Madzahib al La‟ien wal Mutannabiien wal
Mubtadien, yang diterbitkan dua jilid yang isi keduanya merupakan bentuk
penolakan terhadap ajaran Ahmadiyah. Dalam kitab itu, Ahmad Sanusi
menjelaskan dengan panjang lebar penolakannya terhadap ajaran Ahmadiyah
dengan pertama-tama ia jelaskan bagaimana sejarah Nabi Muhammad SAW
sebagai nabi terakhir dan tidak akan ada lagi nabi setelah nabi Muhammad SAW.
Ahmad Sanusi juga dalam kitabnya ini dengan tegas mengatakan bahwa orang
yang menyatakan dirinya nabi setelah nabi Muhammad SAW adalah ”pembohong
besar”. Selain itu juga ia jelaskan bagaiman sejarah hidup Nabi Muhammad SAW,
demikian juga mukzizatnya yang paling fenomenal yakni al-Quran al-Karim.111
110
Imam Mahdi sebenarnya adalah sebuah nama gelar sebagaimana halnya dengan
gelar khalifah, amirul mukminin dan sebagainya. Imam Mahdi dapat diartikan secara bebas
bermakna "Pemimpin yang telah diberi petunjuk". Dalam bahasa Arab, kata Imam berarti
"pemimpin", sedangkan Mahdi berarti "orang yang mendapat petunjuk". 111
Mohammad Iskandar. Para pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran Kiai dan
Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001) hal 246.
75
3. Pendidikan Islam
Pandangan dalam pendidikan Ahmad Sanusi menggagas perubahan dalam
sistem pengelolaan pesantren untuk menjawab institute Soeka Boemi yang
dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda. Institute ini pada waktu sedang populer
di kalangan pendidik masyarakat Sukabumi. Ia mengusulkan adanya perubahan
yang mendasar dari sistem pendidikan pesantren. Salah satu bukti gagasannya ia
tuangkan dengan mendirikan perguruan Syamsul U‟lum.112
Perbedaan yang cukup mendasar Syamsul Ulum dengan pesantren pada
umunya adalah dengan menegaskan adanya kurikulum, tingkatan kelas, natasan
usia peserta didik, konsep kelas, iuran bulanan, dewan guru dan syarat
pendaftaran. Selain itu ia juga mengagas adanya madrasah yang berada dalam
lingkungan pesantren dengan sistem pendidikan klasikal. Artinya model
pendidikan menggunakan kelas, ada bangku dan juga meja untuk proses kegiatan
belajar mengajar dan dipandu oleh seorang guru dalam setiap kelasnya. Dalam
bidang literasi, Ahmad Sanusi beruapaya meningkatna kualitas pendidikan di
Sukabumi Khsusnya dengan menulis sebuah kitab atau buku yang berisikan
pemahaman dalam bidang ilmu al-Quran. Harapan dari penulisan buku ini adalah
untuk meningkatakan pemahaman ulama atau guru yang mengajar sekaligus
murid yang sedang belajar ilmu al-Quran. Kitab ini mulai terbit dan beredar di
pasaran pada bulan Oktober 1934 dan mendapatkan antusias yang cukup luar
biasa dikalangan masyarakat umum sehingga laku keras di pasaran.
“… mama (Ahmad Sanusi) itu menghendaki suatu perpaduan
antara tradisi pesantren di Jawa Barat dengan sebuah tradisi penddikan
yang dikembangkan kaum colonial Belanda waktu itu. Mama melihat
112
http://syamsululum.or.id/tentang-kami/sejarah/ diakses pada tangal 10 Desember 2017
76
tidak semua yang dating dari Barat itu negative dan harus di jauhi, saya
melihat mama mengajarkan kepada kita semua bahwa kita harus bisa
menyesuaikan dengan zaman, tidak boleh tidak”113
Pengamatan penulis mengenai pemikiran pendidikan Ahmad Sanusi, ia
cukup piawai dalam melihat dan menerjemahkan fenomena yang berkembang di
masyarakat. Pendidikan, tidak bisa dipisahkan atau dikotomi antara pendidikan
agama dan pendidikan umu. Begitu juga dengan metode pengajaran yang
dilakukan, harus disesuaikan dengan perkembangan. Ahmad Sanusi, termasuk
ulama yang rasional, dia tidak secara mentah-mentah tradisi Barat, tetapi justru ia
menerima selama itu adalah kebaikan dan baik untuk kemajuan ummat Islam
Indonesia. Jadi terlihat corak berfikir Ahmad Sanusi yang ingin berupaya
mengkolaborasikan antara tradisi lama dengan tradisi baru yang dating dari Barat.
Pandangan dalam bidang ekonomi keummatan Ahmad Sanusi
menginginkan bahwa sistem ekonomi itu berbentuk koperasi, yang semuanya
dikembalikan kepada masyarakat atau anggota koperasi itu sendiri. Modalnya di
peroleh dari rakyat, dikelola oleh rakyat, dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat
sebagai anggota koperasi itu sendiri. “.. masalah ekonomi, Ahmad Sanusi, sangat
mengidam-idamkan system Koperasi. Bagi mama system koperasi ini sangat
sesuai dengan tradisi Indonesia, bukan system Kapitalis seperti sekarang ini”114
Pada awalnya Ahmad Sanusi begitu bersemangat terhadap SI sampai
kemudian ia menenmukan beberapa kejanggalan dan ketidaksepahaman terhadap
SI. Puncaknya adalah ketika SI mulai bermain politik. Bagi Ahmad Sanusi, SI
113
Wawancara pribadi dengan Aab Abdulah, kepala sekolah MA Syamsul Ulum dan juga
sekaligus murid dari K. H Badri Sanusi, putra K.H Ahmad Sanusi, pada tanggal 13 Desember
2017 di rumahnya, di komplek perguruan Syamsul Ulum Kota Sukabumi 114
Wawancara pribadi dengan Munandi Shaleh, pada tanggal 13 Desember 2017 di
Sukabumi
77
jangan dulu berpolitik, karena baginya terlalu dini jika SI pada waktu itu sudah
berpolitik. Dampak dari pergeseran perjuangan SI kearah politik menimbulkan
perpecahan dalam tubuh SI itu sendiri. SI sontak terpecah menjadi tiga kubu yang
saling bersebrangan. Kubu pertama adalah kubu Haji Sirod (Presiden SI lokal
Sukabumi) yang dengan jelas berorientasi kepada politik. Kubu kedua di kepalai
oleh Sardjono (penulis dan juga SI Lokasl Sukabumi) yang pada gilirannya
memimpin Syarekat Rakyat atau SI Merah yang berorientasi Komunis, dan kubu
Ahmad Sanusi (Adviseur SI Lokal Sukabumi), yang bertekad memajukan agama
dan ekonomi keummatan.115
Ketidakcocokan dan ketidaksepahaman inilah pada tahun 1916, selepas
menjabat Adviseur selama kurang lebih sepuluh bulan, Ahmad Sanusi
menyatakan lepas dan keluar dari Syarikat Islam. Kemudin seteah memutuskan
keliar dari SI. Ahmad Sanusi menuangkan cita-citanya dalam Al-Ittihadijatul
Islamiyah (AII), organisasi baru yang dipimpinnya itu, ia tuangkan segala bentuk
gagasan tentang ekonomi keummatan yang ia cita-citakan selama ini. Cita-cita
ekonomi keummatan yang dicita-citakan Ahmad Sanusi ini ia lembagakan dalam
Anggaran Dasar perhimpunan AII pada pasal 03 ayat (f) yaitu:
”perhimpunan Al-Ittihadiyatoel Islmiyyah akan mengadakan Baitul Mall
(kumpulan uang modal) jang maksudnja hendak memberikan pertolongan
kepada lid-lidnja oentoek perniagaan dan peroesahaannja, jaitu
mengadakan perbagai barang jang menjadi keperloean, baik koperasi-
koperasi jang didirikan oleh kaoem Al-Ittihadiyyatul Islamiyyah, maka
baetulmall poela sebagai verkop centerale”116
115
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan
Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950, (Semarang: Program
Magister Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana, 2011), hal.99 116
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan
Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950. (Semarang, Program
Magister Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2011), hal 20
78
Pemikiran ekonomi keummatan Ahmad Sanusi kemudian ia populerkan
dalam berbagai tulisan. Ia memandang bahwa kehidupan dunia dan agama bisa
ditegakkan bila ditopang oleh empat soko guru yaitu, pertanian, perdagangan,
indiustri dan politik.117
Pertama dalam bidang pertanian adalah ekonomi hulu dan
utama. Artinya pertanian adalah hal yang paling pertama, hulu atau produksi
pertama dan ini bisa dikerjakan oleh siapapun. Kedua perdagangan, hal yang
kedua ini dilakukan ketika sumber hasil pertanian melimpah dan terjadi surplus
barang produk pertanian sehingga harus dilakukan perdagangan. Ketiga adalah
industri. Guna menambah nilai jual maka hasil pertanian atau apapun haruslah
dilakukan pengolahan sehingga menambah nilai jual dan menambah kuantitas
produksi. Keempat yaitu politik. Bagi Ahmad Sanusi, politik disini diartikan
untuk menentukan kebijakan bidang pertanian, perdagangan, dan industri
sehingga ketiganya dimaksimalkan untuk kesejahteraan ummat. Keempat soko
guru itu yang menurut Ahmad Sanusi syarat mutlak untuk tercapainya kehidupan
dunia dan kesejahteraan ekonomi ummat.
B. Pemikiran K. H. Ahmad Sanusi Tentang Negara
Mengenai pemikiran tentang kenegaraan dimulai sejak beliau aktif dalam
kegiatan-kegiatan yang sifatnya mendorong ke arah Indonesia merdeka. Puncak-
puncaknya adalah ketika pemerintah Jepang memasukannya menjadi anggota
BPUPKI. Disanalah Ahmad Sanusi secara total mengusulkan atau memberikan
pandangannya mengenai bentuk negara dari perspektif Islam yang bersumber dari
al-Quran yang suci dan al-Hadits.
117
Hasil wawancara dengan Munandi Shaleh, Ketua Umum PUI Kota Sukabumi, pada
tanggal 15 Desember 2017 di kediamannya, Jl Bayangkara, Kota Sukabumi.
79
Sebelum Indonesia terbentuk dan diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan
Moch. Hatta, terdapat serangkaian persidangan-persidangan seperti BPUPKI dan
PPKI. Sidang-sidang itu, seperti juga di tulis oleh Saafroedin Bahar dkk dalam
bukunya Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), menyebutkan bahwa persidangan itu berlangsung sejak
tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 22 Agustus 1945 dimana K. H. Ahmad
Sanusi menjadi salah satu dari 60 orang anggota (6 anggota tambahan) yang
dipimpin oleh satu orang ketua dan dua orang wakil ketua. Selain itu juga beliau
masuk dalam anggota yang merumuskan Pembela Tanah Air (PETA).118
Ahmad Sanusi juga ikut terlibat aktif dalam memberikan gagasannya
terutama mengenai perspektif Islam. Demi mengapresiasi jasa-jasa serta
kontribusi pemikirannya, pemerintah Republik Indonesia kemudian menjadikan
K. H. Ahmad Sanusi sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)119
dan anggota Dewan Pertimbangan Agung yang pertama.120
Pada tanggal 18 Agustus, ketika sedang berlangsung pembahasan tentang
rancangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Merdeka, Ahmad
Sanusi mendukung perubahan yan diusulakan oleh Abdul Fatah Hasan mengenai
118
Saafroedin Bahar dkk., Risalah Sidang BPUPKI, PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,
(Jakarta, Ghalia Indonesia untuk umum atas izin Menteri Sekretaris Negara RI, 1995) hal.124 119
Komite Nasional Indonesia Pusat (sering disingkat dengan KNIP) dibentuk
berdasarkan Pasal IV, Aturan Peralihan, Undang-Undang Dasar 1945 dan dilantik serta mulai
bertugas sejak tanggal 29 Agustus 1945 sampai dengan Februari 1950. KNIP merupakan Badan
Pembantu Presiden, yang keanggotaannya terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai
golongan dan daerah-daerah termasuk mantan Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia. KNIP ini diakui seba1gai cikal bakal badan legislatif di Indonesia, sehingga tanggal
pembentukannya diresmikan menjadi Hari Jadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Baca: https://id.wikipedia.org/wiki/Komite_Nasional_Indonesia_Pusat#Referensi diakses pada
tanggal 29 Desember 2017 120
Djohan Effenfi, Haji Ahmad Sanusi dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta:
PT Cipta Adi Pustaka, 1990) sebagaimana dikutip oleh Asep Mukhtar Mawardi dan Munandi
Shaleh. hal.99
80
Bab 10 pasal 29 ayat (2) yakni kalimat “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama apapun dan beribadat menurut agamanya
masing-masing” dirubah menjadi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk yang memeluk agama lain untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaan masing-masing”.
Dukungan Ahmad Sanusi didasarkan pada argumen bahwa Negara
Indonesia adalah manyoritas penduduknya memeluk atau beragama Islam
sehingga, menurutnya, kalau kalimat itu tidak dirubah maka dikhawatirkan akan
menyinggung perasaan ummat muslim Indonesia.
Sementara itu, pandangan Ahmad Sanusi otomatis menolak pasal dan ayat
yang sama dikemukakan oleh salah satu tokoh Muhammadiyah, yaitu Abdul
Kahar Muzakir yang mengusulkan agar supaya kalimat tersebut tidak berbau
agama. Bahkan lebih jauh Kahar Muzakir malah mengusulkan dari permulaan
pernyataan Indonesia merdeka sampai pada pasal di dalam Undang-Undang Dasar
menyebutkan bahwa kata Allah atau agama Islam dihilangkan.
“…kami sekalian yang dinamakan wakil-wakil umat Islam mohon dengan
hormat, supaya permulaan pernyatan Indobesia Merdeka sampai kepada
pasal di dalam Undang-undang Dasar itu menyebut-nyebut Allah atau
agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu.
(memukul meja)121
Berbeda halnya dengan Kahar Muzakir yang berpandangan sekuler
mengenai hubungan antara agama dan Negara, Ahmaad Sanusi justru mendukung
K. H. Masjkur justru yang mengusulkan untuk mencantumkan kalimat „menurut
agamanya‟. Karena menurut Masjkur, sulit kiranya untuk mendamaikan kedua
121
Saafroedin Bahar dkk., Risalah Sidang BPUPKI, PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,
(Jakarta, Ghalia Indonesia untuk umum atas izin Menteri Sekretaris Negara RI, 1995), hal.347
81
pandangan yang berbeda.122
Ketika sidang hampir menemui jalan buntu, dan
forum mengalami keterbelahan diamtara dua opsi, Ahmad Sanusi dengan tegas
menolak usul Ir. Soekarno dan ketua sidang Radjiman yang hendak melakukan
pengambilan suara terbanyak. Bagi K. H Ahmad Sanusi, perkara agama atau
kepercayaan tidak bisa diputuskan dengan mengambil suara terbanyak. Beliau
pada konteks ini menolak menyerahlan putusan yang berkaitan dengan
kepercayaan tidak bisa dipaksakan diserahkan kepada mayoritas.123
Paradigma substansialistik Ahmad Sanusi terlihat tatkala beliau menentang
keras dilakukannya pengumutan suara terbanyak (voting) dengan anggapan bahwa
masalah agama tidak bisa diambil suara terbanyak.
“Perkara agama tidak bisa diambil suara terbanyak, kita terima saja
usulan Tuan Kahar Muzakir atau Tuan Masjkur, mengenai perkara usul
yang “menurut agama” jangan memakai perkataan “agamanya”, karena
Negara Indoensia, walaupun tidak memakai agama tentu akan menjadi
Indoensia Merdeka”. Selanjutnya Ahmad Sanusi mengusulkan bahwa
“usul yang menggunakan perkataan “menurut agama” jangan memakai
kata “nya” kalau diterima. Kalaupun usulan saya tidak diterima saya tidak
keberatan; ummat Islam harus memiliki negara yang dimufakatai”124
Usul Ahmad Sanusi ini mendapat respons positif dari peserta sidang yang
lain, salah satu yang menerima usulan tersebut adalah Ir. Soekarno selaku ketua
yang juga merangkap anggota panitia yang merangcang Undang-Undang Dasar
Indonesia Merdeka. Selain Ir. Soekarno, usulan Ahmad Sanusi juga diperkuat
dengan diterima oleh ketua sidang BPUPKI yaitu Dr. K.R.T Radjiman
Wedyodiningrat.
122
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H Ahmad Sanusi, (Bandung: MSI Cabang
Jawa Barat bekerjasama dengan Pemerintah Kota Sukabumi, 2006), hal. 178. 123
Sulasman, Kiyai Haji Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren ke Parlemen, (Jakarta:
Jurnal Sejafrah Lontar, Vol.5 No.2 Juli- Desember 2008) 124
Saafroedin Bahar dkk., Risalah Sidang BPUPKI, PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,
(Jakarta, Ghalia Indonesia untuk umum atas izin Menteri Sekretaris Negara RI, 1995) hal.124
82
Menurut analisis pnulis, Ahmad Sanusi menyakini bahwa tidak semua
urusan agama harus di selesaikan oleh Negara. Beberapa urusan agama (Islam)
tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada Negara, ada beberapa urusan yang
mutlak penyelesaiannya harus di selesaikan oleh umat Islam itu sendiri yang
merujuk pada sumber ajaran yakni al-Quran dan al-Hadits. Pendapat K. H Ahmad
Sanusi tersebut menunjukan kontradiksi terhadap paradigma sekularistik dan
integralistik, jadi yang di harapkan dan dicita-citakannya betul-betul sesuatu yang
substansi, isinya bukan lagi rangka atau cangkangnya. Pandangan seperti ini
dikategorkan sebagai Islam Kultural yang dikembangkan oleh Donald K.
Emerson.125
Selain bentuk Negara, K. H Ahmad Sanusi juga ikut merumuskan
Mengenai Pembelaan Negara Republik Indonesia. Sebagai negara yang akan
dibentuk dan diproklamasikan tentu saja akan menghadapi berbagai tantangan dan
perlawanan, baik itu dari sekutu ataupun dari pihak lain yang tidak menghendaki
kemerdekaan bangsa Indonesia. Rumusan tentang keharusan setiap warga negara
125
Teori ini mencoba mempertanyakan validitas tesis bahwa “Islam yang
berada di luar kekuasaan adalah Islam yang tidak lengkap,” atau menganggap
bahwa “kaum Muslim yang tidak terus-menerus meng-upayakan perealisasian
negara Islam adalah kaum Muslim yang tidak berbuat yang sesungguhnya demi
Islam.” Dengan kata lain, teorinya adalah upaya untuk meneliti kembali kaitan
doktrinal yang formal antara Islam dan politik dan Islam dan negara. Kelompok
Muslim militan mungkin menganut pandangan bahwa Islam dan politik tidak
dapat dipisahkan, karena mereka percaya bahwa Islam yang berada di luar
kekuasaan adalah Islam yang tidak lengkap. Baca: Bahtiar Efendi, Islam dan
Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina,
1998), hal.50.
83
dalam membela negara Indonesia ini kemudian dirumuskan dalam sidang
Pembelaan Tanah Air.126
Hasil dari pertemuan ini merumuskan setidaknya ada 12 poin penting yang
berhasil dirumuskan, yang isinya adalah tentang kewajiban setiap warga negara
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia.127
Sementara, sebagai anggota yang merumuskan Pembela Tanah Air,
Ahmad Sanusi termasuk anggota yang aktif memberikan gagasannya dari
perspektif agama Islam dalam hal keharusan membela tanah air. Hal ini terbukti
dari hasil rumusan sidang Pembela Tanah Air yang memuat begitu banyak istilah-
istilah atau slogan-slogan keislaman dalam menyeru terhadap pembelaan tanah
air. Di antara istilah itu misalnya terdapat kata Jihad di Jalan Allah, baginya
ungkapan itu menjadi motivasi bagi rakyat khususnya kaum muslim Indonesia
untuk memperjuangkan dan juga mempertahankan kemerdekaan dan kemandirian
menjadi senjata utama ummat Islam dalam memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan.
Ahmad Sanusi menyakini bahwa dengan semangat jihad yang digelorakan
dengan perpaduan semangat nasionalisme akan mampu melahirkan nilai-nilai
kejuangan guna memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan dari
ancaman kolonial.128
Dari sini terlihat jelas bagaimana seorang Ahmad Sanusi
yang merupakan toko agama (ulama) tetapi juga mendukung negara republik yang
126
Saafroedin Bahar dkk., Risalah Sidang BPUPKI, PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,
1995, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia) hal.396-398. 127
Saafroedin Bahar dkk., Risalah Sidang BPUPKI, PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,
1995, hal.396-398. 128
Nina Lubis, dkk., Peran Politik K.H Ahmad Sanusi di BPUPKI, (Bandung: Yayasan
Masyarakat Sejarawan Indonesia, 2011), hal. 56
84
tidak hanya berjuang demi agamanya saja tetapi juga berjuang demi bangsa dan
negaranya.
C. Pemikiran K. H. Ahmad Sanusi Tentang Hubungan Islam dan Negara
Seperti sudah penulis singgung pada bab sebelumnya, bahwa urusan
hubungan agama dan negara selalu menjadi topik yang menarik untuk
diperdebatkan di kalangan ilmuwan politik di berbagai Negara seperti halnya
rezim komunis di Rusia dan Eropa Timur yang jelas-jelas menafikan agama,
akhirnya pemerintahannya pun pupus oleh waktu129
. Sedangkan polarisasi yang
sama terjadi di kalangan ilmuwan politik Islam, yang sampai hari ini masih terjadi
perbedaan pendapat.
Puncak perdebatan ini biasanya diawali dari pertanyaan, apakah benar
Rasulullah pernah mendirikan atau menganjurkan negara Islam (Islamic state);
apakah Madinah itu adalah sebuah negara bukan Negara suku (clannish state)
seperti yang dikemukakan Ali Abdur Raziq.130
Apakah institusionalisasi Islam
dalam bentuk negara merupakan kewajiban syariat, ataukah; semata-mata
kebutuhan rasional seperti yang diteorikan Ibnu Khaldun.131
Oleh karena itu,
jumhur ulama mewajibkan adanya pemerintahan, kewajiban ini didasarkan
kepada:
Ijma sahabat
Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau akibat
tidak adanya pemerintahan
129
Maarif, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an, Vol III, No. 1, 1992: 98. 130
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:
UI Pres, 1991), hal. 131. 131
H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu
Syariah, 124
85
Melaksanakan tugas-tugas keagamaan
Mewujudkan keadilan yang sempurna132
1. Hubungan Agama dalam Bernegara
Dalam padangan K. H. Ahmad Sanusi hubungan antara agama dan negara
dalam konteks Indonesia, adalah sebuah hubungan yang harusnya saling
menguntungkan atau simbiosis mutualisme.133
Artinya menurut K.H Ahmad
Sanusi, bagi ummat Islam wajib hukumnya untuk mendirikan sebuah negara yang
merdeka, negara yang terbebas dari belenggu negara manapun, sehingga Amar
Ma‟ruf Nahyi Munkar dapat ditegakan. Dalam fikih siyasah, ulama-ulama besar
Islam misalnya, tokoh ulama yang berbicara tentang hubungan antara agama dan
negara ini antara lain diutarakan oleh Syekh Mahmud Syaltaut yang kemudian
dikutip oleh Munawir Sjadzali sebagai berikut, demikian eratnya hubungan antara
agama dan negara dalam ajaran Islam seperti fundamen dengan bangunannya.
Oleh karena itu, wajar saja kalau di dalam Islam terdapat ajaran-ajaran tentang
kenegaraan. Hal ini dikemukakan oleh Abd. Karim Zaedan, M. Yusuf Musa dan
Abdul Kadir Audah.134
Namun karena mayoritas penduduk Indonesia adalah memeluk agama
Islam, maka sudah sepantasnya ummat Islam mendapat posisi yang lebih seperti
mengakomodir kepentingan ummat Islam dalam hal kehidupan keagamaan,
kendatipun negaranya bukan negara Islam.
132
H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu
Syariah, 125 133
Wawancara dengan Asep Muhtar Mawardi, pada tanggal 05 Januari 2018 di kantor
Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta Selatan. 134
H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-
rambu syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2003), hal.125.
86
Pada konteks ini terlihat bahwa K. H. Ahmad Sanusi memandang bahwa
negara tidak lain adalah sebuah sarana atau alat untuk mewujudkan cita-cita
bersama.135
“…Kalaupun usulan saya tidak diterima saya tidak keberatan; ummat
Islam harus memiliki negara yang dimufakati”136
Dari penggalan kalimat ketika sidang BPUPKI ini terlihat bahwa Negara
bagi K. H. Ahmad Sanusi tidak lain hanyalah alat, mau apapun bentuknya yang
penting ummat Islam memiliki Negara yang disepakati sehingga tujuan amar
maruf nakhyi mungkar bisa dijalankan dan umat Islam bisa menjalankan
ibadahnya dengan tenang tanpa ada satu perkara pun yang menjadi penggaggu
seperti ketika masih dalam penjajahan.
Mengenai bentuk negara, K. H. Ahmad Sanusi tidak menghendaki
berdirinya suatu negara Islam seperti halnya yang dicita-citakan oleh
Kartosuwiryo dan kawan-kawannya. Tetapi bagi K. H. Ahmad Sanusi bentuk
negara yang ideal dalam pandangan Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-
Hadits adalah sebuah negara yang dipimpin oleh seorang Imam, atau dengan kata
lain K. H. Ahmad Sanusi menghendaki negara Indonesia itu berbentuk Imamat.
Konsep Imamat yang dikemukakan oleh K. H. Ahmad Sanusi ini berbeda dengan
konsep Imamat yang digagas oleh Ali Syariati. Bagi K. H. Ahmad Sanusi, konsep
Imamat menurutnya tidak berbeda dengan ritual ibadah ummat Islam yakni shalat
yang dipimpin oleh seorang imam, dan semua para nabi yang diutus Allah SWT
135
Hasil wawancara pribadi dengan Munandi Shaleh pada 15 Desember 2017 di
Sukabumi. 136
Saafroedin Bahar dkk., Risalah Sidang BPUPKI, PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,
(Jakarta, Ghalia Indonesia untuk umum atas izin Menteri Sekretaris Negara RI, 1995) hal.124
87
pun mereka adalah seorang Imam bukan seorang raja. Imamat bagi K. H. Ahmad
Sanusi tidak lain adalah republik.137
Berikut penjelasan K.H Ahmad Sanusi:
“...ada dikatakan dalam surat Jusuf yang artinya: wajib mengangkat
seorang yang menjadi kepala negara, yang menjamin negara. Oleh larena
itu, supaya kita bahagia, saya setuju bahwa negara Indonesia yang menjadi
kepala seorang Imam. 95% itu, dari yang paling kecil sampai yang paling
besar, belajar bahwa negara harus dibentuk dengan mengangkat seorang
kepala, sedang saudara-saudara, kita semua keturunan nabi-nabi semuanya
ada 124.000, tetapi tidak ada dari mereka yang menjadi raja, semuanya
adalah imam; maka kepala negara yang harus mengganti, yang harus
merdeka, harus dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu, saudara-saudara
sekalian, dalam menghadapi suasasna pengangkatan seorang kepala, saya
khawatir, bahwa jika kita mengangkat seorang raja, perkataan yang disebut
Maswa, artinya kelebihan, ialah perkataan yang begitu berfaedah, malahan
boleh jadi membawa suatu akibat hal lain yang kurang mendatangkan
keamanan, atau mendatangkan kelemahan atau perpecahan. Oleh karena
itu, seperti sudah saya tinjau, mudah-mudahan kemungkinan yang begitu
ditiadakan”138
K. H. Ahmad Sanusi mengungkapkan bahwa gagasannya mengenai
konsep Imamat sebagai bentuk negara tidak ada bedanya dengan konsep Republik
yang ditawarkan oleh Moch. Yamin. Maka jelas bahwa menurut pandangan K. H.
Ahmad Sanusi, tidak ada beda antara konsep Republik dengan konsep Imamat.
Jadi jelas bahwa tidak ada pertentangan anatara konsep Republik dengan Islam.
Jika dilihat dari pemikirannya, Ahmad Sanusi termasuk yang mengamini
paradigma Substansialistik yang menyakini bahwa lebih penting menegakan amar
ma‟ruf nahyi munkar, tegaknya syariat Islam di Indonesia, daripada mendirikan
sebuah negara Islam. Ahmad Sanusi lebih mendukung konsep republik yang
137
Sulasman, Kiyai Haji Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren ke Parlemen (Jakarta:
Jurnal Sejarah Lontar, Vol 5 No 2 Juli-Desember 2008) 138
Pada mulamya muncul perdebatan anatara kalangan Aristokrat dengan kelompok
nasioalis. Pada waktu itu dari kelompok aristokrat mengusulkan agar bentuk negara itu adalah
kerajaan dengan landasan sejrah nusantara selalu diwarnai oleh kerajaan. Pedapat ini ditentang
oleh Moch. Yamin yang mengusulkan konsep Republik sebagai bentuk negara. Ditengah
perdebatan itu, K.H Ahmad Sanusi angkat bicara menanggapi persoalan itu dari erspektif Islam.
Baca: Saafroedin Bahar dkk., Risalah Sidang BPUPKI, PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,
(Jakarta, Ghalia Indonesia untuk umum atas izin Menteri Sekretaris Negara RI, 1995), hal.124.
88
menurutnya tidak ada pertentangan dengan yang ia temukan dalam Islam dari
pada harus mendukung konsep negara Islam ataupun negara berbentuk kerajaan,
sebab menurutnya konsep negara republik lebih sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia.
Dari sini bisa terlihat bahwa Ahmad Sanusi termasuk orang yang
mengamini paradigm substansialistik, paradigma yang tidak menghendaki Islam
tidak dilihat secara legal formalistik, tetapi harus dilihat secara substansi. Karena
itu dalam perdebatan BPUPKI ia lebih mendukung kelompok nasionalis yang
diwakili oleh M. Yamin dari pada harus mendukung kelompok Islam yang
mengendaki berdirinya Negara Islam ataupun Negara kerajaan. Bagi penulis ini
merupakan sebuah catatan sejarah bagaimana sumbangsih kelompok Islam yang
moderat, menerima konsep yang bukan datang dari Islam, tetapi diyakini tidak
bertentangan dengan ajaran Islam sehingga diterima sebagai sebuah alternatife
demi kemaslahatan bersama.
2. Persatuan Umat
Persentuhan pemikiran kebangsaan K. H. Ahmad Sanusi dengan tokoh
keangsaan lain dimulai ketika akhir kekuasaan kolonial Belanda dan permulaan
Jepang mulai masuk ke Indonesia. Ketika itu, tokoh-tokoh kebangsaan lain seperti
Muhammad Hatta, Sutan Syahrir yang baru kembali dari pembuangannya di
Banda Neira yang kemudian menjalani masa tahanan poitik di Sukabumi,
tepatmya di Agent Polioceschol.139
Dari sini, pertemuan antara K. H Ahmad
Sanusi mulai intens membicarakan gagasan kebangsaannya denga tokoh
139
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan
Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950. (Semarang, Program
Magister Ilmu Sejarah, 2011) hal.223
89
kebangsaan lain, sehingga mulai ada kesaamaan frame berfikir antara K. H.
Ahmad Sanusi dengan tokoh nasionalis lainnya.
Selain dengan Hatta dan Syahrir, persentuhan pemikiran K.H Ahmad
Sanusi pun bertemu dengan Ir. Soekarno pada pertemuan-pertemuan di Sukabumi,
salah satumya adalah pada bulan Desember 1942 terjadi pertemuan antara
Gunseikan dengan tokoh-tokoh pergerakan di Hotel Salabintana
Sukabumi. Pertemuan Salabintana melahirkan organisasi Pembela Tanah Air
(Peta) yang melibatkan Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan
Kyai Haji Mas Mansjur. Haji Ahmad Sanusi sebagai wakil dari masyarakat
Sukabumi memasukkan Ketua Barisan Ittihad Islamijjah (BII) dan Ketua Bagian
Ekonomi AII dalam jajaran Perwira Tinggi Peta, yaitu Kyai Haji Mohammad
Basjoeni yang kemudian dikenal sebagai Kolonel Basjuni, dan K.H. Abdullah bin
Nuh. Haji Ahmad Sanusi sendiri pada bulan 19 Mei 1943 diangkat sebagai
anggota Kaikyo Kyoshi Koshu-cho (instruktur pelatihan militer bagi para kyai)
yang dibentuk Jepang dalam rangka konsolidasi politik Jepang terhadap umat
Islam Indonesia.140
Seiring berjalannya waktu, pemerintah kolonial Jepang semakin
menancapkan kekuasaannya di Indonesia, termasuk di Sukabumi. Salah satu
dampak ketidak sukaan Jepang dengan kelompok Islam, maka pada tahun 1943
seluruh organisasi Islam dibubarkan, tak terkecuali AII.141
Namun berkat
diplomasi K. H Ahmad Sanusi yang waktu itu menjabat sebagai Dewan Penasehat
140
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan
Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950, hal.228 141
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan
Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950, hal.228
90
Karesidenan Bogor142
dengan pemerintah kolonial Jepang yang waktu itu
membutuhkan bantuan untuk kepentingannya dalam perang Asia Timur Raya,
maka AII bisa kembali berdiri dengan syarat harus mengganti nama menggunakan
kata Indonesia. Alhasil, 4 bulan setelah dibubarkan oleh Jepang, pada tanggal 01
Februari 1944, AII kembali berdiri dengan nama bnaru yaitu Persatuan Oemat
Islam Indonesia (POII).143
Penggunaan kalimat “persatuan” dalam organisasi binaan Ahamd Sanusi
merupakan loncatan sikap politik Ahmad Sanusi yang awalnya hanya bersifat
lokal kemudian berubah menjadi lebih luas, nasional. Selain itu juga, kata
“persatuan” dalam POII merupakan manifestasi dari Islam sebagai ajaran atau
doktrin pemersatu. Sebagaimana firman Allah SWT: ”kana an-nasu ummatan
wahidatan”144
yang artinya bahwa ”pada dasarnya manusia itu merupakan satu
umat atau satu bangsa”. Dalam padanan kata POII, terdapat kata “Indonesia”
yang menunjukkan adanya sikaf tegas K. H. Ahmad Sanusi yang menjadikan AII
termasuk didalamnya seluruh anggota, pengikutnya di Sukabumi untuk bersatu,
berjuang dalam bingkai keindonesiaan.
Kemudian atas usulan peserta Musyawarah AII di Cianjur waktu itu, ia
memutuskan untuk melebur organisasi yang ia bangun dengan organisasi lain
yang sefaham yaitu Perikatan Ummat Islam yang ada di Majalengka. Ia
mempertimbankan apa yang diusulkan oleh peserta sidang waktu yang
142
Haji Ahmad Sanusi diangkat sebagai anggota Shu Sangi Kai (Dewan Penasehat
Daerah) Keresidenen Bogor pada Januari 1944, Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari
Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Terjemahan Daniel Dhakidae (Jakarta:
Pusataka Jaya, 1980), hlm. 286. 143
Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan
Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di Sukabumi1888-1950, hal.230 144
Al-Qur‟an, Surat Albaqarah ayat 213.
91
mengatakan bahwa jika ingin memperluas cakupan dakwah, harus meleburkan
dengan organisasi yang sefaham. Meskipun kedekatan antara K. H. Ahmad Sanusi
dengan K. H. Abdoel Halim Majalengka, pendiri Perikatan Ummat Islam sudah
berlangsung cukup lama, namun kedekatannya itu tidak langsung kemudian
muncul ide untuk menyatukan organisasi yang masing-masing bangun sendiri.
Singkatnya, setelah berunding dan satu sama lain baik itu dari pihak AII dan
Perikatan Ummat Islam, akhirnya disepakati melebur menjadi satu organisasi
yang bernama Persatuan Umat Islam.145
Selanjjutnya ide persatuannya ini mengkristal dalam dirinya, sehingga
pada sidang BPUPKI, beliau sampaikan bahwa mustahil mewujudkan sebuah
negara yang merdeka, mewujudkan masyarakat adil makmur tanpa persatuan.
“… paduka tuan ketua, supaya hal-hal yang bertentangan sejak dari
permulaan pembicaraan sampai waktu ini diselesaikan dengan bertukar
pikiran sehingga senyata-nyatanya kita menjadi satu, supaya Negara tetap
menjadi satu, negara persatuan baru”.146
Ide persatuannya semakin terlihat dalam persidangan BPUPKI yang sangat
rentan silang pendapat dan berbeda argument. K. H. Ahamd Sanusi khawatir akan
terjadi perpecahan jika anggota sidang waktu itu selalu keras dalam persidangan.
Ketika sidang BPUPKI memperbincangkan persoalan siapa yang patut menjadi
Kepala Negara jika Indonesia merdeka, K. H. Ahmad Sanusi menyampaikan
tanggapan berdasarkan pemikiran yang melompat dari konsep ”persatuan
seagama” ke konsep ”persatuan nasional” dengan tidak lagi mengatasnamakan
145
Wawan Hernawan, Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011), (Bandung: Yayasan
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, 2009). Hal.185 146
Saafroedin Bahar dkk., Risalah Sidang BPUPKI, PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus
1945,1995, hal.350.
92
agama yang dipeluk K. H. Ahmad Sanusi. K. H. Ahmad Sanusi telah melompat
dari “persatuan Islam” ke “persatuan Indonesia”.
Dalam debat terbuka di BPUPKI, terlihat bahwa “nasionalisme Haji
Ahmad Sanusi melampaui keyakinan agama yang dipeluknya”. Kuat dugaan
bahwa interaksi Haji Ahmad Sanusi dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia,
organisasi politik dan dengan Pemerintah Pendudukan Balatentara Jepang
melahirkan sikap nasionalisme baru yang melampaui sekat-sekat keagamaan dan
etnis. Haji Ahmad Sanusi telah lupa dan telah melupakan bahwa ia pernah
berselisih paham dengan bangsa sendiri atas nama keyakinan agama. Haji Ahmad
Sanusi pernah bertikai dengan kaum Islam Modernis, bertikai dengan kaum Islam
Tradisional, dengan kelompok tarekat, dengan Sekte Ahmadiah dan dengan
tetangga sendiri bernama “Regent dan Pengoeloe”.
Ide persatuannya ini sudah tertanam semenjak ia baru pulang dari kota
Mekkah al-Mukarommah. Ketika itu, ia berkenalan dengan salah satu anggota SI
yang kemudian mengenalkannya dengan SI dan sekaligus juga mendaftarakan
keanggotan K. H. Ahmad Sanusi sebagai anggta SI. Penyemaiannya ide persatuan
ini beliau semai misalkan ketika statusnya masih sebagai tahanan pemerintah
Hindia Belanda di Batavia. Ahmad Sanusi sudah mulai menyebarkan ide
persatuannya ini kepada murid-murdnya yang datang ke Batavia untuk bertanya
ataupun untuk melaporkan perkembangan ummat Islam di Sukabumi.
Menurut analisis penulis, ide persatuannya ini ia dapatkan dari
persentuhannya dengan organisasi Syarikat Islam yang waktu itu sempat ia ikuti.
Seperti sudah lumrah di Indonesia, bahwa organisasi pertama di Indonesia dengan
basis kebangsaan sekaligus berorientasi pada Indonesia merdeka adalah Syarikat
93
Islam dengan pucuk kepemimpinannya adalah Hadji Oemar Said Tjokroaminoto.
Dari Tjokro lah menurut penulis, K. H Ahmad Sanusi menemukan ide persatuan
yang pada gilirannya iapun ikut menyemai ide ini kepada masyarakat luas.
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, penulis menemukan beberapa hal
yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan. K. H. Ahmad Sanusi adalah seorang
pemikir Islam Indonesia yang cukup kritis dan produktif dalam melakukan
dakwah-dakwah kemanusiaan. Pemikiran keislamannya sangat luas, ia tidak
hanya berbicara soal satu disiplin ilmu saja, tetapi banyak disiplin ilmu yang ia
tekuni. Kepakaran K. H. Ahmad Sanusi meliputi disiplin Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqih,
Ilmu Tasawuf, dan Ilmu al-Quran. Hal ini dibuktikan dengan karyanya yang
tersebar di masyarakat dan masih dikaji di beberapa lembaga pendidikan
pesantren sebagai rujukan para santri dan kiyai, khususnya di Jawa Barat. Maka
tidak heran apabila Moch Iskandar menyebutnya sebagai kiai ortodoks progresif
seperti halnya Asep Mukhtar Mawardi, meskipun Hary. J. Benda
mengelompokannya kedalam jajaran kiai ortodoks.
Konsep negara. K. H. Ahmad Sanusi harus mengakomodir kepentingan
umat Isam sebagai agama mayoritas, dan negara sebagai alat perjuangan untuk
mewujudkan masyarakat adil makmur dengan tegaknya syariat Islam di
Indoensia. Beliau juga memandang bahwa negara haruslah disesuaikan dengan
mayoritas penduduknya, artinya negara harus sesuai dengan kondisi masyarakat
yang menempatinya. Dari mulai bentuk negara, sistem pemerintahan dan lain-lain.
Namun, dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, K.
H. Ahmad Sanusi tidak kemudian menghendaki berdirinya sebuah negara Islam.
Baginya konsep Republik dipandang sangat sesuai dengan konsep Imamah yang
95
ia temukan dalam Islam, yaitu konsep negara yang berkewajiban mengangkat
seorang pemimpin dari kalangan masyarakat sipil bukan berdasarkan keturunan
seperti kerajaan. K.H Ahmad Sanusi menakini bahwa semua para nabi yang diutus
oleh Allah SWT mereka adalah seorang imam bukan seorang raja. Jadi jelas
dalam pandangan K. H. Ahmad Sanusi tidak ada pertentangan antara konsep
Republik dengan Islam. Kontribusi mengenai konsep bentuk Negara tersebut
beliau paparkan tatkala menjadi anggota BPUPKI.
Penulis menempatkan pemikiran Ahmad Sanusi dalam kategori paradigma
simbiotik Substansialistik, dimana ia menyakini bahwa tidak perlu menjadikan
Indonesia sebagai Negara Islam tetapi cukup kita sebagai ummat Islam
menegakkan syariat Islam tanpa harus menjadikannya Negara Islam.
B. Saran
Tekad yang kuat dan perjuangan yang tiada henti demi kemaslahatan
ummat manusia dengan membawa nilai-nilai keIslaman menjadi waarisan
berharga yang diwariskan K. H. Ahmad Sanusi kepada kita. Keteguhan dalam
memegang prinsif dan tidak gentar, selalu berani dan lantang dalam
menyampaikan sebuah kebenaran menjadi teladan untuk kita, generasi setelahnya.
Bagaikan mata air keteladanan yang menyegarkan apabila kita hendak mengambil
hikmh dari setiap perjuangan K. H. Ahmad Sanusi.
Memaknai Islam dengan pandangan yang luas juga sebagai ajaran yang
haq lagi sempurna dengan segala nila-nilai yang terkandung didalamnya,
hendaknya selalu menjadi tindakan kaum muslim yang aplikatif dalam
berkehidupan bernegara sehingga akan terhindar dari kejumudan dan kepicikan
bertindak. Ajaran Islam yang menjunjung tinggi semangat persaudaraan universal,
96
demokratis, kesetaraan, keadlan sosial dan juga keadilan ekonomi, akan dapat
mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Menyakini bahwa Islam adalah agama yang menuntun ummatnya menuju
kebahagian yang sempurna, bahagia didunia dan bahagia di akhirat. Karena itu,
semua yang dianjurkan dan diperintahkan oleh Allah SWT melalui nabi-nabinya
dan temaktub dalam kitab sucinya, tidak ada satupun yang menyesatkan kepada
jalan keburukan dan menyusahkan ummatnya. Oleh sebab itu mentaati segala
perintahnya merupakan pangkal kemerdekaan, keserasian dan kebahagiaan hidup
dunia dan akhirat.
2
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal:
Azhari, Muhammad Tahir. 2004. Negara Hukum. Jakarta: Prenada Media.
Azra Azyumardi, 1996, Pergolakan Pemikiran Islam dari Fundamentaslime,
Modernisme Hingga Post-Mdernisme Jakarta: Paramadina,
Bahar, Saafroedin dkk. 1995. Risalah Sidang BPUPKI, PPKI 28 Mei 1945-22
Agustus 1945, Jakarta, Ghalia Indonesia untuk umum atas izin Menteri
Sekretaris Negara RI.
Benda, Hary.J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada
Masa Pendudukan Jepang, Terjemahan Daniel Dhakidae. Jakarta:
Pusataka Jaya.
Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Ikrar
Mandiriabadi.
Budiyono, Kabul., 2012., Teori dan Filsafat Ilmu Politik, Bandung: Alfabeta
Cabang Ciputat, HMI. 2014. Modul Latihan Kader 1. Ciputat: Bidang Pembinaan
Anggota HMI Cabang Ciputat.
Djazuli, A. 2003, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam
Rambu-rambu syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media group
Effendy Bahtiar, 1998, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina.
Effendy Bahtiar, 2005, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi,
dan Negara yang Tidak Mudah Jakarta: Ushul Press
Effendi, Djohan, 1990, Haji Ahmad Sanusi dalam Ensiklopedia Nasional
Indonesia Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka,
3
Efriza, 2013, Ilmu Politik: dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan,
Bandung: Alvabeta.
Enayat, Hamid, 1998, Reaksi Politik Sunni dan Syi‟ah: Pemikiran Politik
Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, Bandung: Pustaka.
Faisal, Sanapiah. 2005. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Falah, Miftahul. 2006. Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi. Bandung: MSI
Cabang Jawa Barat bekerjasama dengan Pemerintah Kota Sukabumi.
Hamid, Zulkifli. 2009. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Rajawali pers.
Hernawan, Wawan. 2009. Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011).
Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.
Huda, Ni‟matul. 2010. Ilmu Negara. Jakarta: PT Radzja Grafindo Persada.
Husein, Muhammad. 2000. Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik,
dalam Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi. Yogyakarta:
LKIS.
Iqbal, Muhamad. 2016 Fiqih Siyasah: Kontekstalisasi Doktrin Politik Islam.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup.
Iskandar, Mohammad. 2001. Para pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran
Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Iskandar, Muhammad. 1993. Kiyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi. Jakarta: PB PUI.
Julimah, 2009, Pemikiran Agus Salim Tentang Hubungan Islam dan Negara,
Jakarta: Skripsi Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatulah Jakarta
Kansil, T. 2005. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
4
Khan, Abdul Wahid. 2002. Rasulullah di Mata Sarjana Barat. Yogyakarta:
Mitra Pustaka.
Kusnadi, Mohammad dan Harmelly Ibrahim. 1983. Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi HTN dan CV Sinar Bakti.
Lubis, Nina dkk. 2011. Peran Politik K.H Ahmad Sanusi di BPUPKI. Bandung:
Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia.
Maarif. 1992. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an.
Mawardi, Asep Mukhtar, 2011, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam
Pergolakan Pemikiran Keislaman dan Pergerkan Kebangsaan di
Sukabumi1888-1950. (Semarang, Program Magister Ilmu Sejarah Program
Pasca Sarjana)
Nasution A. H., 1977, Tentara Nasional Indonesia, Djakarta: Jajasan Pustaka
Militer
Nasution, Harun, 1999, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI
Press, 1999.
Natsir, Mohammad. 2004. Islam sebagai Dasar Negara. Bandung: Sega Arsy.
Noer, Deliar, 1991, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942.
Pulungan, Suyuthi. 1997. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta,
PT Raja Grafindo Persada.
Ramayulis. 201. Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
RI, Departemen agama, 2007 Al-Quran dan Terjemahannya, Bandung: PT
Syamil Cipta Media.
Roy, Olivier. 1996. Gagalnya Islam Politik. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
5
Sedarmayanti dan Hidayat. Syarifudin. 2011. Metodologi Penelitian. Bandung:
CV. Mandar Maju.
Sahaleh, Munandi. 2016. K.H Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangan dalam
Pergolakan Nasional. Tangerang Selatan , Jelajah Nusa.
Sholikhin, 2013 Kontroversi Ahmadiyah: Fakta, Sejarah, Gerakan dan Aqidah
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Yogyakarta, Garudhawacana
Sinaga, Rudi Salam. 2013. Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sjadzali, Munawir. 1991. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: UI Pres.
Sugiono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta.
Sulasman. 2008. Kiyai. Haji. Ahmad Sanusi (1889-1950); Berjuang dari
Pesantren ke Parlemen. Jakarta: Jurnal Sejarah Lontar Vol.5 No.2.
Syafi‟i. 2001. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: Refika.
Syamsuddin, M. Din. 200. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat
Madani. Jakarta: Logos.
Syariati, Ali. 1995. Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung:
Pustaka Hidayah.
Thaba, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (1966-
1994). Jakarta: Gema Insani Press.
Ubaedillah, A dan Abdul Rozak, 2016, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan
Masaakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bekerjasama dengan Penerbit Prenada Media Grup
Wahid, Abdul Khan, 2002, Rasulullah di Mata Sarjana Barat, Yogyakarta:
Mitra Pustaka
6
Wahid, Addurrahman, 2010, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Warisan
Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
Wildan Dadan, 1995, Sejarah Perjuangan Persis (1923-1983), Bandung: Gema
Syahida.
Yatim, Badri. 1993, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pres.
Zulkarnain, Iskandar. 2006. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.
Wawancara:
Wawancara dengan Aab Abdulah, kepala sekolah MA Syamsul Ulum dan juga
sekaligus murid dari K. H. Badri Sanusi, putra K. H Ahmad Sanusi, pada
tanggal 13 Desember 2017 di rumahnya, di komplek perguruan Syamsul
Ulum Kota Sukabumi
Wawancara dengan Asep Mukhtar Mawardi, orang pertama yang menulis tentang
K. H. Ahmad Sanusi dan juga Pengurus Pusat PUI, pada tanggal 05 Januari
2018 di kantornya di gedung Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Wawancara pribadi dengan Munandi Shaleh, Ketua Umum PUI Kota Sukabumi
pada tanggal 13, 15, 21 Desember 2017 di Sukabumi.
Wawancara dengan Syafruddin Amir, salah satu pengurus Yayasan Syamsul
Ulum dan juga keluarga Ahmad Sanusi pada tanggal 15 Desember 2017 di
Komplek Perguruan Syamsul Ulum, Kota Sukabumi.
Wawancara dengan Prof Sulasman, salah satu pembicara kunci pada seminar
nasional “Peran K. H. Ahmad Sanusi dalam Membentuk Negara Indonesia”
pada tanggal 10 April 2018 di komplek Perguruan Syamsul Ulum Kota
Sukabumi
7
Internet:
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/02/03/o1y5u5394-
pemkot-sukabumi-perjuangkan-kh-ahmad-sanusi-jadi-pahlawan-nasional
diakses pada tanggal 29 Desember 2017
http://syamsululum.or.id/tentang-kami/sejarah/ diakses pada tangal 10 Desember
2017
https://id.wikipedia.org/wiki/Komite_Nasional_Indonesia_Pusat#Referensi
diakses pada tanggal 29 Desember 2017
2
LAMPIRAN
Transkip wawancara
Wawawncara dengan Munandi Shaleh di kediamannya, jalan Bayangkara Kota
Sukabumi
Pertanyaan: Bagaimana keterlibatan Ahmad Sanusi dalam pergerkan nasional?
Jawaban: ya, K. H. Ahmad Sanusi adalah putra Sukabumi yang sejak belajar di
Mekkah sudah mulai tertarik dengan persoalan kebangsaan terbukti ketika beliau
menggabungkan dirinya pada Syarikat Islam menjadi anggota. Dari perkenalanm
itu Ahmad Sanusi mulai terlibat aktif dalam pergerakan kebangsaan. Setridaknya
ketika masih di Mekkah, beliau melakukakn pembelaan terhadap SI yang waktu
itu sedang diserang oleh berbagai isu negatif. Pembelaan itu ia buktikan dengan
menulis beberapa tulisan dan pada gilirannya tulisan tulisan itu sampai ke tanah
air dan dibaca oleh kelompok pergerakkan di tanah air. Kemudian, pasca
kepulangannya dari Mekkah, beliau selain disibukkan dengan kegiatan mengajar
3
di pesantren besutan ayahnya, kemudian mendirikan pesantren sendiri, Ahmad
Sanusi juga mulai secara langsung terjun melakukan agitasi dan propaganda untuk
melawan penjajah. Bahkan kalau kita buka sejarah perjuangan revolusi di
Sukabumi, yang menggerakkan kekuatan rakyat Sukabumi ketika terjadi revolusi
di Sukabumi, itu adalah Ahmad Sanusi. Ya, beliau ini berhasil menguimpulkan
kelompok kiai dan santriyang ada di Sukabumi dan sekitarnya untuk melawan
kekuatan Belanda. Menjelang kemerdekaan, keterlibatan Ahmad Sanusi semakin
terlihat, apalagi ketika Jepang memasukkannya kedalam dekuretsi junbi kasokai
BPUPKI versi Jepang yang sebelmnya juga menjadi anggota Masyumi bentukan
Jepang. Kedatipun masuknya Ahmad Sanusi adalah berkat tangan Jepang, namun
ketika perang kemerdekaan semakin memuncak, peran Ahmada Sanusi semakin
jelas, dia tidak sama sekali menjadi boneka Jepang, tetapi jelas terlihat bersatu
dengan tokoh gerakkan nasional lainnya.
Pertanyaan: bagaimana pandangan Ahmad Sanusi melihat relasi Islam dan
Negara?
Jawaban: terkait tema itu, kita bisa lihat dalam risalah sidang BPUKI. Dalam buku
itu kita bisa melihat bagaimana corak berfikir dan pandangan Ahmad Sanusi
mengenai konsep kenegaraan. Menurut hemat saya, pandangan Ahmad Sanusi
adalah pandangan yang moderat, berbeda dengan kelompok Islam lain seperti
Kahar Muzakar dperwakilan Muhammadiyah yang cenderung lebih ekstrem
dengan mengajukan agar Undang-Undang kita ini sama sekali tidak berbau
agama. Hal ini tentu saja menimbulkan perdebatan panjang antara kelompok
Islam dengan kelompok Islam sendiri. Tetapi ketegangan itu berhasil ditengahi
4
dengan argumentasi yang dikemukakan oleh Ahmad Sanusi. Pandangan yang
akomodatif dan bisa diterima oleh kelompok manapun.
Pertanyaan: lebuh spesifik, bagaimana konsep negara menurut Ahmad Sanusi?
Jawaban: begini, dalam sidang BPUPKI ada banyak hal yang didiskusikan, salah
satunya dalah bentuk negara Indonesia. Dalam risalah sidang itu bisa kita lihat
kelompok mana saja yang bertikai ketika merumuskan bentuk negara. Pada waktu
itu mengemuka perbedaan pendapat antara kelompok aristokrat dengan kelompok
nasionalis. Kelompok pertama menghendaki berdirinya sebuah negara dengan
bentuk kerajaan dengan asumsi bahwa sejarah di nusantara ini adalah sejarah
kejayaan kerajaan, dari mulai Majapahit, Sriwijaya, Padjajaran dan seterusnya.
Kemudian ini bertolak belakang dengan kelompok nasionalis yang justru
menginginkan berdirinya sebuah negara republik. Perdebatan ini berlangsung
cukup lama sampai akhirnya pimpinan sidang, Radjiman, hendak melakuakan
pengambilan suara. Namun sebelum itu terjadi, Ahmad Sanusi angkat bicara
dengan memaparkan pandangannya dalam perspektif agama Islam. Singkatnya
argumentasi Ahamd Sanusi bisa diterima oleh peserta sidang. Menurut Ahmad
Sanusi konsep negara harus disesuaikan dengan mayoritas warganya, jangan
sampai yang mayority tersinggung sebab tidak terakomodir. Baginya konsep
republik diyakini sesuai dengan ajaran Islam atau ada kesamaan anatara konsep
imamah yang ia temukan dalam al-Quran. Akhirnya perdebatan itu bisa selesai.
Pertanyaan: bagaimana pandangan keislaman Ahmad Sanusi?
5
Jawaban: Ahmad Sanusi adalah seorang kaia, dalam istilah kita Ajengan, sebuah
pangkat diatas level kaiai atau ustad. Ajengan Ahmad Sanusi menjadi rujukan
ummat Islam di Jawa Barat khususnya di Sukabumi. Kalau kita melihat NU lebih
meninjolkan Islam Tradisonalnya, kemudian Muhammadiyah terlihat sebaagai
Islam Modernis, nah Ahamd Sanusi dengan mendirikan PUI, ia hendak
mensintesakan anatara kelompok tradisionalis dengan kelompok modernis.
2
Wawancara dengan Asep Mukhtar Mawardi di Kantornya, Gedung Arsip
Nasional Republik Indonesia
Pertanyaan: bagaimana sosok Ahmad Sanusi dimata bapak sebagai penulis utama
beliau?
Jawaban: bagi saya Ahmad Sanusi, selain sosok seorng guru agama, spiritual yang
mumpuni dengan segala keilmuan yang dia miliki, Ahmad Sanusi juga adalah
pejuang emerdekaan yang gigih dan konsisten dalam perjuangannya. Artinya
berjuangnya dia itu tidak musiman, bahkan kalau kita lihat sejarah beliau, beliau
adalah salah satu yang sangat berjasa dalam melakukan perlawanan terhadap
Belanda di Jawa Barat. Jadi bagi saya jelas Ahmad Sanusi, meskipun belum
dianugerahi gelar kepahlawanan, tetapi beliau adalah pahlawan yang
sesungguhnya.
Pertanyaan: bagaimana konsep kenegaraan menurut Ahmad Sanusi?
3
Jawaban: sebenarnya tidak banyak Ahmad Sanusi bicara soal itu, karena kan jelas
Ahmad Sanusi adalah seorang ulama. Ya kegiatannnya pasti tidak akan jauhdari
kegiatan keagamaan. Tapi kita bisa lacak pemikiran kenegaraan beliau ini dalam
risalah sidang BPUPKI. Konsep kenegaraan yang beliau utarakan ketika masa
persidangan itu saya kira yang dapat kita jadikan rujukan dalam melihat
pandangan kenegaraan beliau.
Pertanyaan: bagaimana konteks sosial politilk pada masa Ahmad Sanusi menjadi
seorang pemuka agama?
Jawaban: Pada masa itu, sekitara permulaan abad ke 20, muncul dua kekuatan
besar yang saling berlawanan. Pertama adalah kelompok Islam modernis dan
kedua adalah kelompok tradisionalis. Keduanya saling menampilkan dan
menunjukan pengaruhnya. Akhirnya masyarakat kebingungan, disinilah Ahmad
Sanusi tampil menjadi penengah bahkan penyegar yang mencerahkan dalam
mendakwahkan Islam. Adakalanya beliau terlihat sangat modernis tetapi dalam
waktu yang lain beliau justru sangat tradisionalis. Bagi saya itu adalah strategi
dakwah Ahmad Sanusi
Pertanyaan: apa peran politik Ahmad Sanusi dalam pembentukan negara
Indonesia?
Jawaban: Kalau bicara peran, yang ikut sidang dalam BPUPKI itu sangat jelas
mereka memiliki pengaruh besar. Berkat merekalah bangsa ini menjadi sekarang
ini. Artinya buah diskusi mereka kita hari ini menjadi bangsa yang ramah, bangsa
yang berhasil melewati fase yang cukup sulit, yang tidak semua negara dengan
4
jumlah suku dan budayanya yang heterogen. Kita bisa lihatlah negara – negara
yang gagal melewati fase kosolidasi menuju negara yang mapan. Negara dengan
mayoritas muslim lain seperti di Timur Tengah bisa kita jadikan pembanding lah.
Jadi jelas kalau ditanay apa peran politiknya, ya megara Indonesia inilah hasil dari
peran beliau.
2
Wawancara dengan prof Iskandar pada acara seminar nasional “kontribusi K. H
Ahmad Sanusi dalam pembentukan Republik Indonesia” yang digelar di
perguruan Syamsul Ulum.
Pertanyaan: sangat spesifik prof, dalam perdebatan relasi Islam dan Negara
terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama integralistik, sekularistik dan simbiotik.
Bagaimana prof melihat pandangan Islam dan Negara menurut Ahmad Sanusi?
Jawab: ya, pertama harus dibaca lagi bagaimana ketiga teori itu dibangun. Kedua
baru kita lihat bagaimana pandangan Ahmad Sanusi, jadi jangan dipaksakan
dicocokkan supaya sesuai. Yang jelas tidak mungkin Ahmad Sanusi berpandagan
Sekularistik. Bisa jadi Integralistik atau juga bisa jadi Simbiotik. Ini yang harus
dijelaskan ulang. Mana yang lebih bisa menjelaskan pandangan Ahmad Sanusi
mengenai relasi Islam dan Negara ini.
3
Pertanyaan: sederhananya bagaimana prof?
Jawaban: ya itu tadi jangan dipaksakan, harus dibaca secara menyeluruh jangan
sepoting-potong.
Pertanyaan: penegasan prof, menurut prof sendiri masuk dalam kategori mana
prof?
Jawaban: saya pikir ini harus dikaji lebih dalam, namun kemungkinan besar beliau
ini kan seorang ulama yang moderat, yang ingin mendamaikan kelompok yang
cukup ektrem begitu. Saya pikir lebih sesuai kalau pandangan Ahmad Sanusi
masuk dalam ketegori Simbiotik.
2
Photo K. H. Ahmad Sanusi