31
Prolog Al-Qur`an adalah ruh semesta; olehnya segala yang ada lebih bermakna, karenanya segala yang gelap menjadi terang dan kepadanya segala pengetahuan bermuara. Ia ibarat sebuah pondasi kokoh, yang di atasnya berdiri bangunan menjulang berkilau cahaya, sehingga biasnya mampu menerangi setiap sudut cakrawala. Ia juga laksana tiang-tiang, yang menyangga berbagai apa yang membutuhkan penyangga. Iapun seperti bumi, yang darinya tumbuh berbagai pepohonan, bunga serta rerumputan yang menghias wajah dunia. Al-Qur`an adalah the way of life, sebuah kitab pedoman dalam menjalankan amanah kehidupan. , sepintas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, al-Qur`an diturunkan sebagai petunjuk atas segala sesuatu. Namun, apakah “segala sesuatu” yang dimaksud itu benar-benar meliputi segala aspek kehidupan manusia? Sebagian ulama mengatakan bahwa al-Qur’an memang tidak menjelaskan secara rinci seluruh urusan yang terkait dengan kehidupan manusia. Namun, di dalam al-Qur`an setidaknya telah mengandung pokok-pokok atau dasar-dasar dari segala jenis ilmu (baik secara tegas ataupun sebatas isyarat) yang berguna bagi kemaslahatan manusia secara khusus, serta keseimbangan tata kosmos secara umum. Abdullah bin Mas’ud berkata: “telah diturunkan di dalam al-Qur`an

Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

Prolog

Al-Qur`an adalah ruh semesta; olehnya segala yang ada lebih bermakna, karenanya segala yang gelap

menjadi terang dan kepadanya segala pengetahuan bermuara. Ia ibarat sebuah pondasi kokoh, yang di

atasnya berdiri bangunan menjulang berkilau cahaya, sehingga biasnya mampu menerangi setiap sudut

cakrawala. Ia juga laksana tiang-tiang, yang menyangga berbagai apa yang membutuhkan penyangga.

Iapun seperti bumi, yang darinya tumbuh berbagai pepohonan, bunga serta rerumputan yang menghias

wajah dunia. Al-Qur`an adalah the way of life, sebuah kitab pedoman dalam menjalankan amanah

kehidupan.

, sepintas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, al-Qur`an diturunkan sebagai petunjuk atas segala

sesuatu. Namun, apakah “segala sesuatu” yang dimaksud itu benar-benar meliputi segala aspek

kehidupan manusia? Sebagian ulama mengatakan bahwa al-Qur’an memang tidak menjelaskan secara

rinci seluruh urusan yang terkait dengan kehidupan manusia. Namun, di dalam al-Qur`an setidaknya

telah mengandung pokok-pokok atau dasar-dasar dari segala jenis ilmu (baik secara tegas ataupun

sebatas isyarat) yang berguna bagi kemaslahatan manusia secara khusus, serta keseimbangan tata

kosmos secara umum.

Abdullah bin Mas’ud berkata: “telah diturunkan di dalam al-Qur`an segala jenis ilmu, dan segala sesuatu

telah dijelaskan kepada kita di dalamnya”.

Senada dengan diktum di atas, Imam Syafi’i juga pernah berkata: “Tanyailah aku (tentang hal apapun)

sesuka kalian, maka aku akan memberi jawabannya dari dalam al-Qur`an!”.

Adapun pada makalah kali ini, penulis tidak hendak mengkaji tentang percabangan ilmu yang bersumber

Page 2: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

dari al-Qur’an, melainkan tentang ilmu al-Qur`an itu sendiri. Dengan kata lain, penulis hendak

memaparkan ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur`an, dalam rangka untuk mendekati al-Qur`an, guna

mencapai pemahaman sempurna atas kandungan wahyu tersebut.

Untuk itu, pada beberapa ruas selanjutnya, penulis akan menjelaskan tentang definisi dari terma “Ulûm

al-Qur`ân”, tema/obyek/pokok kajian dalam ilmu al-Qur`an, manfaat dan urgensitasnya, serta sejarah

perkembangannya sejak zaman kenabian hingga masa sekarang. Maka selanjutnya, penulis senantiasa

memohon petunjuk serta taufik dari Allah SWT, agar proses penulisan makalah ini menjadi mudah dan

bermanfaat bagi siapa saja. Amin.

Definisi Ulumul Qur`an

Terma Ulumul Qur`an, dalam bahasa Arab merupakan susunan idhâfi (gabungan dua kata). Yaitu

tersusun dari kata ulûm dan al-Qur`an. Kata “ulûm” adalah bentuk jama’ (plural) dari kata “ilmu”

(mashdar dari ‘alima) yang berarti pengetahuan atau pemahaman. Para ulama pun berbeda pendapat

tentang makna etimologis dari kata “ilmu”. Para filosof memaknai ilmu sebagai gambaran atas sesuatu

yang terdapat dalam ruang akal. Sedangkan para teolog mengartikan ilmu sebagai suatu sifat yang

dengan sifat itu seseorang mampu dengan jelas mengatakan tentang suatu perkara atau urusan.

Sedangkan kata “al-Qur`an” adalah bentuk isim mashdar dari “qara`a”, berposisi sama dengan kata

“qirâ`ah” yang berarti bacaan. Menurut sebagian ulama, meskipun bentuk kata “Qur’an” adalah

mashdar (bacaan), namun ia bermakna seperti maf`ûl (yang dibaca). Pada tahap selanjutnya, kata al-

Qur’an dinisbatkan kepada satu kitab suci (kalam Allah yang mu’jiz) yang diturunkan kepada nabi

Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun.

Page 3: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

Sehingga secara tersusun (idhâfi), Ulumul Qur’an, dapat kita pahami adanya berbagai ilmu pengetahuan

yang terkait-kelindan dengan al-Qur`an. Dengan kata lain, ada berbagai ilmu yang digunakan oleh para

ulama dalam rangka memahami al-Qur`an. Imam Suyuthi mendefinisikan Ulumul Qur`an sebagai sebuah

ilmu yang membahas tentang keadaan al-Qur`an dari segi proses turun, sanad, etika serta makna-

maknanya, yang terkait dengan hukum-hukum dan lain sebagainya.

Atau dengan ungkapan lain kita dapat mengartikan Ulumul Qur`an sebagai: kumpulan pembahasan-

pembahasan yang terkait dengan al-Qur`an dalam segi proses turunnya, urutannya, proses

pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, tafsirnya, i’jaznya, nasikh-mansukhnya, pembelaan

terhadap berbagai syubhat (tuduhan-tuduhan seputar al-Qur`an) dan pembahasan lainnya.

Obyek Kajian Ulumul Qur`an

Sebelum kita merumuskan tentang maudlu’ atau obyek kajian Ulumul Qur`an, perlu kiranya kita

membedakan antara definisi Ulumul Qur`an sebagai sebuah susunan idhâfi dan Ulumul Qur`an sebagai

sebuah nama dari disiplin ilmu yang komprehensif dan sistematis. Jika yang kita maksud adalah Ulumul

Qur`an yang didefinisikan secara idhâfi (sebagaimana dijelaskan di atas), maka obyek kajiannya adalah

al-Qur`an yang ditinjau dari satu bentuk parsial dari ilmu-ilmu tersebut. Misalnya al-Qur`an ditinjau dari

sisi asbabun nuzul saja, al-Qur`an dari segi ilmu i’rab-nya saja dan lain sebagainya.

Di sisi lain, jika yang kita maksud adalah Ulumul Qur`an yang berbentuk sebuah disiplin ilmu

komprehensif dan sistematis (ulûm al-Qur`an bi ma’na al-mudawwan), maka obyek kajiannya adalah: al-

Qur’an yang ditinjau dari seluruh aspek keilmuan yang terkait dengannya.

Alhasil, obyek pembahasan Ulumul Qur`an ditinjau dari makna idhâfi/laqabi lebih sempit dan terbatas,

Page 4: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

oleh sebab hanya meninjau al-Qur`an dengan satu pisau analisa saja, yaitu dengan satu disiplin tertentu.

Sementara Ulumul Qur`an sebagai kitab al-mudawwan lebih luas dan menyeluruh.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan sejauh mana obyek kajian Ulumul Qur`an. Namun

sebagian besar mengatakan, bahwa Ulumul Qur`an meliputi berbagai macam ilmu-ilmu keagamaan (al-

ulûm al-dîniyyah) dan ilmu-ilmu bahasa Arab (al-ulûm al-Arabiyyah). Sehingga jika kita petakan, maka

tema kajian Ulumul Qur`an antara lain meliputi hal-hal berikut:

1. Proses dan sebab turunnya al-Qur`an (Nuzûl al-Qur`an wa Sababuhu).

2. Ilmu qirâ`at (cara pembacaan al-Qur`an).

3. Pembahasan sanad. Yaitu berbagai rangkaian riwayat hadits yang terkait dengan al-Qur`an.

4. Persoalan kata-kata al-Qur`an. Antara lain membahas berbagai kata yang dianggap ambigu dalam al-

Qur`an, amm, khash, muthlaq, muqayyad dan lain sebagainya.

5. Tentang penggalian makna al-Qur`an yang terkait dengan hukum perkara tertentu.

6. Membahas karakteristik setiap ayat dan mengklasifikasikannya sesuai tempat turunyya ayat (Makki,

Madani, Safari, Hadlari, dsb.).

Dan masih banyak lagi pembahasan yang terangkup dalam disiplin Ulumul Qur`an. Untuk lebih

detailnya, kita bisa langsung merujuk ke berbagai kitab Ulumul Qur`an yang tersebar di berbagai

perpustakaan dan toko buku.

Urgensitas Ulumul Qur`an

Setelah melihat beberapa pemaparan di atas, mulai dari definisi hingga obyek serta ruang lingkup

kajiannya, kita akan dengan mudah menemukan urgensitas dan manfaat dari mempelajari Ulumul

Qur`an. Antara lain adalah:

Page 5: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

- Mampu menguasai berbagai ilmu pendukung dalam rangka memahami makna yang terkandung dalam

al-Qur`an.

- Selain itu, dengan mempelajari Ulumul Qur`an, secara otomatis kita telah membekali diri dengan

persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap, dalam rangka membela al-Qur`an dari berbagai tuduhan

dan fitnah yang muncul dari pihak lain.

- Tentu saja, dengan mengetahui berbagai perangkat dan sarana yang ada, seorang penafsir (mufassir)

akan lebih mudah dalam mengartikan al-Qur`an dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.

Biasanya, dalam tradisi ulama’ klasik mereka mengatakan bahwa, urgensitas sebuah ilmu pengetahuan

dinilai dari tiga hal pokok. Pertama, dilihat dari sisi obyek kajiannya. Kedua, dinilai dari segi tujuannya.

Dan ketiga, dipandang dari sisi sejauh mana kebutuhan manusia akan ilmu tersebut. Bertolak dari ketiga

parameter tersebut, kita dapat mengatakan bahwa Ulumul Qur`an merupakan ilmu yang mulia dan

sangat penting, karena meliputi tiga aspek penilaian tersebut sekaligus.

Imam Zarkasyi (w. 794 H) maupun Imam Suyuthi (w. 911 H), keduanya mengungkapkan keprihatinan

mereka akan Ulumul Qur`an. Mengingat, menurut mereka, para pendahulu mereka belum ada

seorangpun yang menyusun sebuah kitab Ulumul Qur`an secara lengkap, sebagaimana mereka telah

menyusun Ulumul Hadits. Hal ini mereka ungkapkan dalam pendahuluan di kitab mereka masing-

masing, yaitu “al-Burhân dan al-Itqân”.

Sejarah Perkembangan Ulumul Qur`an

a. Fase Turunnya al-Qur`an

Masa ini dimulai dari masa Nabi Muhammad SAW dan berjalan hingga masa khalifah Umar bin Khattab

ra. Pada periode ini, para sahabat belumlah perlu akan adanya sebuah ilmu tertentu dalam rangka untuk

Page 6: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

memahami al-Qur`an. Sebab, secara alamiah mereka telah mampu memahami kandungan al-Qur`an

secara baik karena mereka merupakan orang Arab asli yang masih memiliki dzauq (cita rasa bahasa) dan

pemahaman yang mendalam terhadap bahasa Arab, bahasa al-Qur`an.

Meskipun demikian, pada waktu-waktu tertentu mereka juga menemukan beberapa kesulitas dalam

memahami sebuah ayat. Namun mengingat Nabi Muhamad masih hidup, para sahabat bisa langsung

menanyakan permasalahan tersebut kepada Nabi. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di antara

mereka dalam memahami kata “dzulm” dalam surat al-An’am ayat 82.

Pada masa ini Ulumul Qur`an memang belum terbentuk sebagai suatu teori keilmuan tertentu

sebagaimana yang ada sekarang. Namun secara praktek, para sahabat sebenarnya telah secara otomatis

menerapkannya. Cikal bakal Ulumul Qur`an ini mereka dapatkan dari bergabai penjelasan Nabi, juga

berbagai riwayat tentang asbâbun nuzul yang mereka dapatkan melalui jalur transmisi lisan ke lisan.

b. Fase Perintisan Ulumul Qur`an

Hingga sampailah pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, dimana pada fase ini terjadi sebuah

peristiwa besar dalam sejarah al-Qur`an, yaitu penulisan dan pembukuan al-Qur`an dalam sebuah

mushaf khusus. Pada masa ini, beliau membentuk sebuah tim yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit dan

beranggotakan beberapa sahabat lain guna menyatukan ragam bacaan al-Qur’an.

Pada saat yang sama, beliau memerintahkan untuk membakar berbagai catatan al-Qur`an pribadi yang

dimiliki oleh umat Islam waktu itu, sebagai sebuah antisipasi agar tak terjadi perselisihan di antara

mereka, akibat bacaan al-Qur`an yang berbeda-beda. Dengan demikian, muncullah sebuah ilmu baru

yang dikenal saat itu dengan sebutan “Ilmu Rasm Qur`ân” atau “Ilmu Rasm Utsmâni”.

Page 7: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

Berlanjut pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana dicatat sejarah, bahwa

beliau memerintahkan kepada Abul Aswad al-Du`ali untuk menyusun sebuah kaidah tertentu dalam

rangka menjaga bahasa Arab dari kerusakan. Berangkat dari situ terciptalah sebuah ilmu baru yang

dikenal dengan “Ilmu Nahwu” atau “Ilmu I’rab al-Qur`an”.

Maka pada fase ini, kita dapat mengatakan bahwa benih dari kemunculan Ulumul Qur`an telah mulai

tumbuh. Adapun para punggawa yang menggawangi tranformasi keilmuan al-Qur`an pada masa ini

antara lain adalah:

I. Dari kalangan Sahabat: Empat Khalifah pertama, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin

Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.

II. Dari kalangan Tabi’in: Mujahid, Atha’ bin Yasar, Ikrimah, Qatadah, Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jubair dan

Zaid bin Aslam.

III. Dari kalangan Tabi’ Tabi’in: Malik bin Anas, yaitu murid dari Zaid bin Aslam.

Tiga generasi inilah yang secara tidak langsung telah merintis kemunculan Ulumul Qur`an. Menabur

benih-benih persemaiannya. Oleh sebab itu, tak heran jika pada masa selanjutnya akan bermunculan

berbagai karya yang terangkup dalam disiplin Ulumul Qur`an. Hadir pada abad kedua, ketiga dan

seterusnya, para ulama yang secara aktif dan elaboratif menyemai pertumbuhan Ulumul Qur`an. Untuk

lebih detail akan dijelaskan pada poin (c) berikut!

c. Fase Penulisan dan Pembukuan Ulumul Qur`an

Memasuki pertengahan abad ke-2 Hijriyah, muncul sebuah kitab karangan Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160

H), seorang ahli hadits dari kota Basrah sekaligus amirul mukminin dalam bidang hadits dengan kitab

“Mushannaf”nya yang merupakan kumpulan-kumpulan hadits penjelas al-Qur’an. Pada masa ini juga

Page 8: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

tumbuh seorang ahli tafsir yang menjadi guru ahli Hijaz, Ali al-Madini (w. 198 H). Selain beliau berdua

ada juga Waki` bin al-Jarrah, yang ketiganya ini merupakan para ulama ahli hadits sekaligus pakar tafsir

pada masanya.

Kemudian di abad ke-3 hadir Abu ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm yang menulis tentang “Nasikh dan

Mansûkh”. Dalam bidang “Qirâ`ât dan Fadlâ`il al-Qur`ân” ada Muhammad bin Ayyub al-Dharîs (w. 294 H)

yang bermukim di Makkah. Sementara di Madinah ada Muhammad bin Khalaf al-Marzubân (w. 309 H)

dengan kitabnya “al-Hâwî fî Ulûm al-Qur`ân”. Lalu disusul oleh Muhammad bin Jarir al-Thabari (w. 310

H) dengan kitab “Jami’ul Bayan fî Ta’wîli Âyyi al-Qur`ân”.

Pada abad ke-4, Abu Bakar Muhammad bin Qasim al-Anbari (w. 328 H) dengan karyanya “Ajâ`ib Ulûm al-

Qur`ân”. Abul Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) tampil dengan buah karyanya “al-Muhtazin fî Ulûm al-Qur`ân”.

Abu Bakar al-Sijistani (w. 330 H) menulis buku dalam tajuk “Gharîb al-Qur`ân”. Al-Baqilani (w. 403 H)

mempunyai sebuah karya berjudul “I’jâz al-Qur`ân”.

Beranjak menuju abad ke-5, Ibrahim bin Sa’id al-Hûfi (w. 430 H) menulis sebuah kitab berjudul “al-

Burhân fî Ulûm al-Qur`ân” dan juga “I’râb al-Qur`ân”. Sementara itu, dalam bidang ilmu qira’at, Abu Amr

al-Dâni (w. 442 H) menulis sebuah kitab bertajuk “al-Taisîr fi al-Qirâ`ât al-Sab’”.

Sampai di penghujung abad ke-6, Abul Qasim Abdurrahman yang lebih dikenal dengan nama al-Suhaili

(w. 581 H) menulis sebuah kitab dalam tema “Mubhamât al-Qur`ân”. Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) menulis

dua kitab sekaligus dalam bidang Ulumul Qur’an: “Funûn al-Afnân fî Ulûm al-Qur`ân” dan “al-Mujtabâ fî

Ulûm tata’allaqu bi al-Qur`ân”.

Memasuki abad ke-7, ‘Alamuddin al-Sahawi (w. 641 H) mengarang sebuah buku berjudul “Jamâl al-

Page 9: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

Qurrâ`”. Sementara itu, di lain pihak, Abu Syâmah (w. 665 H) menulis kitab “al-Mursyid al-Wajîz fîma

yata’allaqu bi al-Qur`ân al-Azîz”. Menurut imam Suyuthi, kedua kitab ini merupakan kitab sederhana

yang disusun dalam ranah kajian Ulumul Qur`an.

Abad ke-8 Hijriyah merupakan fase awal penyusunan disiplin Ulumul Qur`an dalam sebuah kitab yang

komprehensif dan sistematis. Yaitu digawangi oleh imam Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H) melalui

magnum opus beliau, “al-Burhan fî Ulûm al-Qur`ân”.

Memuncak ke panggung singgasananya, Ulumul Qur`an sebagai sebuah disiplin keilmuan semakin eksis

dan mapan di abad ke-9. Muhammad bin Sulaiman al-Kâfiji (w. 873 H), menulis sebuah kitab dalam

bidang Ulumul Qur`an yang judulnya tak sampai kepada kita. Namun menurut imam Suyuthi,

sebagaimana yang beliau catumkan dalam mukaddimah kitab “al-Itqân”, bahwa al-Kâfiji pernah

mengatakan: “Aku telah menulis sebuah kitab dalam bidang ilmu Tafsir yang belum pernah ditulis (oleh

orang lain) sebelumnya”.

Masih pada abad 9 ini, Jalaluddin al-Bulqîni, guru imam Suyuthi juga telah menulis sebuah kitab berjudul

“Mawâqi’ al-Ulûm min mawâqi’ al-Nujûm” yang mencakup 50 tema pembahasan dalam bidang Ulumul

Qur`an. Disusul oleh imam Suyuthi (w. 911 H), beliau mengarang dua kitab dalam bidang Ulumul Qur`an,

yaitu “al-Tahbîr fî Ulûm al-Tafsîr” dan “al-Itqân fi Ulûm al-Qur`ân”. Adapun kitab pertama imam Suyuthi

tiada lain merupakan penjabaran dari kitab al-Bulqîni, yang mana beliau sempurnakan lagi pembahasan-

pembahasannya hingga mencapai 102 jenis.

Sementara itu, kitab “al-Itqân”, menurut beberapa ulama modern dinilai banyak mengutip dari kitab “al-

Burhân” karya imam Zarkasyi. Meskipun menurut penuturan imam Suyuthi beliau lebih menjabarkan

Page 10: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

dan melengkapi lagi pembahasan-pembahasan dalam “al-Itqân”, namun beberapa ulama menilai justru

imam Suyuthi lebih meringkas beberapa penjabaran yang ada di “al-Burhân”. Terlepas dari pendapat

para ulama di atas, kedua kitab tersebut (“al-Burhân” dan “al-Itqân”) merupakan dua rujukan primer

dalam bidang Ulumul Qur’an. Secara jelas dapat kita lihat, bahwa ulama-ulama setelah masa imam

Suyuthi, ketika hendak menulis kitab di bidang Ulumul Qur`an pasti meletakkan “al-Burhân” dan “al-

Itqân” di urutan pertama daftar buku-buku rujukan.

Epilog

Kajian Ulumul Qur`an tak berhenti begitu saja pada masa imam Suyuthi. Namun ia terus berkembang

dan menjadi salah satu disiplin ilmu yang subur, karena selalu saja menjadi wacara hangat di setiap

masa. Adab-abad setelah itu kita dapat menemukan lebih banyak lagi buku-buku yang berbicara tentang

Ulumul Qur`an. Sebut saja buku berjudul “al-Mabâhits fî Ulûm al-Qurân”. Satu judul ini digunakan oleh

beberapa pengarang sekaligus dalam karya mereka. Syeikh Mannâ’ al-Qattân misalnya. Di samping itu

juga ada Dr. Subhi al-Shalih yang menggunakan judul sama.

Syeikh Muhammad Abdullah Darraz menulis kitab berjudul “Naba’ul Adzîm”. Ada juga “al-Tibyân fî Ulûm

al-Qur`ân” karya Syeikh Thâhir al-Jazâ`iri. Syeikh Muhammad Ali Salâmah menulis kitab berjudul

“Manhaj al-Furqân fî Ulûm al-Qur`ân”. Dan masih banyak lagi kitab-kitab dalam ranah Ulumul Qur`an.

Sebagai penutup, penulis hendak mengutip pernyataan imam Zarkasyi dalam mukaddimah kitab al-

Burhân-nya: “Dan ketahuilah, bahwa tidaklah satu jenis dari berbagai jenis pembahasan ini (yang ada

dalam al-Burhân), jika seandainya seseorang ingin meneliti dan mengkajinya, maka akan habislah

umurnya, sementara ia belum menyelesaikan (keseluruhan)nya. Maka kami ringkaslah setiap

pembahasan sesuai aslinya, dan kami berikan lambang serta rumus-rumus dalam berbagai babnya.

Page 11: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

Karena sesungguhnya proses berproduksi dan berkarya membutuhkan waktu yang sangat panjang,

sementara umur manusia sangat pendek...!”

Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

BAB I

PENDAHULUAN

Memasuki abad kedua puluh Masehi, keadaan dunia ditandai oleh

kemajuan yang dicapai oleh Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan

teknologi dengan segala implikasinya, yaitu berupa penjajahan mereka atas

dunia Islam. Negara-negara yang dahulu masuk ke dalam hegemoni Islam

seperti Spanyol, India, Sisilia, dan sebagainya sudah mulai melepaskan diri

dari Islam dan berdiri sendiri sebagai Negara yang sepenuhnya berada di

luar ideology Islam. Demikian pula Negara-negara yang secara ideologis

sepenuhnya dikuasai Islam juga sudah banyak yang menjadi jajahan

bangsa-bangsa lain. Negara-negara tersebut antara lain adalah Mesir, Turki,

Malaysia, dan Indonesia.

Menghadapi keadaan yang demikian itu, umat Islam mencari sebab-

sebabnya. Sebab-sebab tersebut yang utama diantaranya karena umat Islam

tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya

perpecahan.

Page 12: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

BAB II

PEMBAHASAN

ISLAM SEBAGAI OBJEK ILMU PENGETAHUAN

A.    Berbagai Pendekatan Tentang Islamisasi Ilmu PengetahuanPara cendekiawan muslim untuk melakukan islamisasi ilmu dan teknologi

adalah merupakan kesalahan, sebab hal ini dapat menjebak kita pada

pendkatan yang menganggap bahwa Islam hanya semata-mata sebagai

ideology. Menurut Usep Fathuddin misalnya termasuk yang menganggap

bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak perlu. Lebih lanjut

ia mengatakan hemat saya, Islamisasi ilmu, bukanlah kerja ilmiah, apalagi

kerja kreatif. Sebab yang dibutuhkan umat dan lebih-lebih lagi bagi para

cendekiawannya adalah menguasai dan mengembangkan ilmu.

Islamisasi ilmu hanyalah kerja kreatif atas karya orang saja. Sampai

tingkat tertentu, tak ubahnya sebagai kerja tukang dipinggir jalan. Manakala

orang atau atau seseorang ilmuan berhasil menciptakan atau

mengembangkan ilmu, maka orang Islam (sebagian, tentunya), akan

mencoba menangkap dan berusaha mengislamkannya.

Sementara itu, terdapat sejumlah kelompok ilmuawan yang mendukung

gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Mulyanto misalnya mengatakan

bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang sebaagai proses

penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan criteria

pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkanya.

Page 13: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

Dengan kata lain, Islam hanya berlaku sebagai criteria etis di luar struktur

ilmu pengetahuan.

Asumsi dasarnya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai.

Konsekuensi logisnya mereka menganggap mustahil munculnya ilmu

pengetahuan Islam, sebagaimana mustahilnya pemunculan ilmu

pengetahuan Marxisme. Dan islam beserta ideology-ideologi lainnya, hanya

mampu merasuki subjek ilmu pengetahuan dan tidak pada ilmu itu sendiri.

Senada dengan Mulyono, Haidar Bagir, sungguhpun secara eksplisit tidak

menjelaskan pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan, namun secara implicit

melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan itu penting. Dalam kaitan ini, ia

misalkan mengemukakan tentang perlunya dibentuk sains yang islami. Umat

islam butuh sebuah system sains yang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya,

material dan spiritual.

System sains yang ada kini tak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan

tersebut. Ini disebabkan karena sains modern mengandung nilai-nilai khas

Barat yang melekat padanya, nilai-nilai ini banyak bertentangan dengan

nilai-nilai Islam selain itu, telah terbukti menimbulkan ancaman bagi umat

islam dan bagi berlangsungnya kehidupan umat di dunia.

B.     Realisasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Penyebab islamisasi ilmu pengetahuan, sebagaimana dikemukakan

Dawam Rahardjo biasanya terkait dengan nama Ismail Faruqi, seorang

sarjana kelahiran Palestina yang kini bermukim di Amerika Serikat. Ia

dianggap sebagai pencetus utama gagasan ini, yang diikuti dengan

Page 14: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

pendirian sebuah lembaga penelitian Internasional Institute of Islamic

Thought atau yang lebih dikenal dengan singkatan III-T yang berkantor

pusat, mula-mula di mobil dari Washington D.C.

Tapi orang Malaysia tidak menganggapnya demikian. Mereka

mengatakan bahwa pencetus ide Islamisasi pengetahuan itu adalah seorang

sarjana budaya Melayu berkebangsaan Malaysia, Naquib Alatas, adik

kandung Husein Alatas. Itu dicuri oleh Ismail Faruqi Naquib Alatas sendiri,

dengan dukungan Wakil Perdana Menteri Malaysia ketika itu, Anwar Ibrahim,

membentuk lembaga sendiri dengan nama Internasional Institut of Islamic

Thought and Civilization (ISTAC) yang berbasisi di Kuala Lumpur, dengan

gedung dan kompleksnya yang megah dan artistic, diatas sebuah bukit.

Menurut Dawam Rahardjo, bahwa pemikiran Faruqi tentang Islamisasi

ilmu pengetahuan sebenarnya terfokus pada dua bidang studi. Pertama,

adalah Arabisme, mungkin karena pengaruh darah Palestinanya dan kedua,

adalah Islam. Dua bidang itu dilihat orang sebagai dua hal yang saling

berjalin berkelindan. Tapi pada mulanya ia menekuni masalah Arabisme.

Dari ketekunannya itu lahirlah karya monumental, empat jilid buku On

Arabisme Urban and Religion yang mendominasi diskursusnya. Baru tahap

keduanya ia mulai bergeser kepada studi Islam. Sejak itu ia mulai terjerat

oleh aktivisme yang menjadi gerakan Islam. Ia tidak hanya bergerak dalam

wacana ilmiah dan akademis tetapi juga melakukan advokasi politik.

Pandangan makin bergeser dalma melihat peranan penting Islam. Dengan

berbasis pada pandangannya tentang Islam yang demikian itulah, maka

Page 15: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

pemikiran Faruqi akhirnya mengkristal dalam gagasan Islamization of

Knowledge yang kemudian menjadi salah satu agenda yang mewarnai dunia

islam, dan sekaligus menimbulkan bahan perbedaan (wacana) di kalangan

para ahli, sebagaimana telah disinggung diatas.

Terlepas dari pro kontra sebagaimana tersebut diatas, gejala menunjukan

bahwa Islam sebagai sebuah ide kemasyarakatan, kebudayaan dan

peradaban sebagaimana dikemukakan oleh Ismail Faruqi diatas, tampak

makin diterima kehadirannya oleh masyarakat. Integrasi nilai-nilai Islam ke

dalam berbagai aspek kehidupan tampak makin terus berkembang nilai-nilai

Islam bukan hanya tercermin dalam kerangka bangunan ilmu pengetahuan,

melainkan juga tercermin dalam berbagai aspek kehidupan yang lebih luas

lagi, yaitu ekonomi, social, budaya, politik, seni, dan sebagainya.

C.    Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Kini kita sampai pada uraian yang menggambarkan praktik Islamisasi ilmu

pengetahuan. Dalam hubungan ini, terdapat sejumlah pendekatan yang

dapat digunakan.

Pertama, Islamisasi dapat dilakukan dengan cara menjadikan Islam

sebagai landasan penggunaan ilmu pengetahuan (aksiologi), tanpa

mempersalahkan aspek ontologism dan epistemology ilmu pengetahuan

tersebut. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dan teknologinya tidak

dipermasalahkan. Yang dipermasalahkan adalah orang yang

mempergunakannya. Cara ini melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan

Page 16: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

hanya sebagai beberapa etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan

dan criteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan

dikembangkannya.

Dengan kata lain, Islamisasi pengetahuan dalam cara yang pertama ini

yaitu melihat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dalam arti produksinay

adalah netral. Pengaruh keagamaan seorang yang menggunakan ilmu

pengetahuan dan teknologi jelas amat dibutuhkan jika dipadukan dengan

keahlian dan ketelitian masing-masing.

Kedua, Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan

dengan cara memasukan nilai-nilai Islami ke dalam konsep ilmu

pengetahuan dan teknologi tersebut. Asumsi dasarnya adalah ilmu

pengetahuan tersebut tidak netral, melainkan penuh muatan nilai-nilai yang

dimasukan oleh orang yang merancangnya. Dengna demikian, islamisasi

ilmu pengetahuan dan teknologi harus di lakukan terhadap ilmu

pengetahuan dan teknologi itu sendiri.

Ketiga,Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui

penerapan konsep tauhid dalam arti seluas-luasnya. Tauhid bukanlah

dipahami secara teocentris, yaitu mempercayai dan meyakini adanya Tuhan

dengan segala sifat kesempurnaan yang dimiliki-Nya serta jauh dari sifat-

sifat yagn tidak sempurna, melainkan tauhid yang melihat bahwa antara

manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, dan manusia dengan

segenap ciptaan Tuhan lainnya adalah merupakan satu kesatuan yang saling

Page 17: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

membutuhkan dan saling mempengaruhi, dan semuanya itu merupakan

wujud tanda kekuasaan dan kebesaran Tuhan.

Keempat, Islamisasi ilmu pengetahuan dapat pula dilakukan melalui

inisiatif pribadi melalui proses pendidikan yang diberikan secara berjenjang

dan berkesinambungan. Dalam praktiknya tidak ada ilmu agama dan ilmu

umum yang disatukan, atau ilmu umum yang diislamkan lalu diajarkan

kepada seseorang. Yang terjadi adalah sejak kecil ke dalam diri seseorang

sudah ditanamkan jiwa agama yang kuat, praktik pengalaman tradisi

keagamaan dan sebagainya. Setelah itu, kepadanya diajarkan dasar-dasar

ilmu agama yang kuat, diajarkan Al-Qur’an baik dari segi membaca maupun

memahami isinya. Selain itu juga, diajarkan hubungan antara satu ilmu

dengan ilmu lainnya secara umum. Selanjutnya ia mempelajari berbagai

bidang ilmu dan keahlian sesuai dengan bidang yang diminatinya.

Dengan demikian, maka islamisasi ilmu pengetahuan dapat dilakukan

dengan memetakan anak didik di dalam memasuki lembaga pendidikannya,

tanpa harus mengubah bentuk sekolah atau kurikulum atau lainnya.

Pendekatan ini pun cukup efektif, bahkan dapat dilihat pada sosok ilmuawan

dimasa lalu sebagai Ibn Sina, Ibn Rasyd, Al-Razi dan sebagainya.

D.    Islam Normatif

Islam dari segi normative, memiliki pedoman yang jelas yakni wahyu

berupa Al-Qur’an dan Sabda Nabi berupa Hadis, yang menjelaskan pesan-

pesan Al-Qu’ran lebih detail. Kajian terhadap Islam sebagai wahyu Allah

bukan bertujuan untuk mempertanyakan kebenaran Al-Qur’an dan Ajaran-

Page 18: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

ajaranya, melainkan mempertanyakan bagaimana mempelajari cara

membaca Al-Qur’an, bagaimana memahami ayat-ayat Al-Qur’an , apa

hubungan ayat satu dengan ayat lainya atau surat satu dengan surat lainya,

kenapa bahasa Al-Qur’an memakai istilah ini bukan itu, dan lain sebagainya.

Sudah jelas bagi kaum Muslim bahwa Islam adalah wahyu Allah yang

diturunakn kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Jika kita bandingkan dengan kitab

suci yang lain, Yahudi misalnya, sebagai agama yang lebih tua kehadirannya

dari agama-agama samawi lainya, kerapkali terdengar kritik yang mentakan

bahwa teks “wasiat sepuluh” tidak ada pada zaman Nabi Musa dan bukan

ajaran Nabi Musa. Demikian pula, dengan kitab suci agama Nasrani, sejarah

keaslian perjanjian lima tidak begitu jelas.

Bahkan Michael Hart dalam bukunya seratus tokoh yang paling

berpengaruh dalam sejarah menyatakan bahwa sebagian terbesar informasi

yang diperoleh tentang kehidupan Yesus tidak karu-karuan, simpang siur

tak menentukan kaum Nasrani sangat sulit menelususri orisinalitas Injil. Lagi

pula Injil tidak bisa disamakan dengan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah atau

disamakan dengan kata-kata Nabi Isa AS. Hart menulis bahwa “Orang yang

menjadi penulis bagian-bagian penting perjanjian baru dan merupakan

penganjur pertama orang-orang agar memeluk agama Nasrani adalah St.

Paul.”

E.     Islam Aktual

Page 19: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

Islam actual memahami ekspresi religious para penganutnya dalam

bentuk pengamalan. Dari sudut pandang ini, tampak corak dan ragam

pengamalan yang berbeda-beda di satu tempat dengan tempat lainya.

Namun, corak pengamalan itu terbatas pada hal yang bukan prinsip

melainkan menyangkut dengan sesuatu yang biasa disebut dengan Furu’.

Dari sudut pandang doktrin, Islam adalah agama yang di wahyukan oleh

Allah, agama satu-satunya yang benar dan diterima di sisi Allah sesuai

dengan surat Ali Imran ayat 19. Disamping ajaran yang bersifat doktrin,

Islam juga merupakan agama yang dapat diteliti dari berbagai sudut

pandang seperti sejarahnya, akidahnya, hukumnya, moralnya dan

sosiologinya.

Sedangkan dipandang dari penganutnya, Islam dapat diteliti dari

berbagai sudut pandang, misalnya bagaiamana ketaatan penganutnya

terhadap agamanya. Dari segi ini, meminjam istilah Atho Muzhar, Islam

dapat dipandang sebagai “Produk budaya, produk sejarah, gejala social dan

lain-lain.” Islam sebagai Produk Budaya akan member corak yang berbeda

antara satu daerah dengan daerah yang lain karena masing-masing

penganut dimasing-masing wilayah akan berbeda-beda.

Dalam hal islam sebagai produk budaya dan sejarah memberikan

gambaran kepada kita bahwa campur tangan manusia dlaam membedah

atau memformulasikan ajarna, mazhab, pendapat dan renungannya

demikian dominan. Mereka sama-sama mendasarkan pendapatnya atas teks

wahyu atau sunnah Nabi. Menghadapi islam dalam wajahnya yang berasal

Page 20: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

dari produk sejarah mendorong kita untuk berijtihad untuk mencari

kebenaran atau keluar dari lingkungan social keagamaan yang menurut

penilaian kita tidak sesuai dengan teks yang ada.

F.     Memahami Islam Secara Komprehenshif

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar orang berpendapat

tentang Islam, atau menyaksikan orang yang mengamalkan ajaran Isalam.

Kadang-kadang kita menyaksikan ada pendapatnya yang ekstrim, yang

longgar, bahkan ada yang serba boleh. Ada juga penilaian orang luar Islam

terhadap islam yang terkesan miring bahkan negative, di samping tidak

sedikit yang netral dan fair.

Untuk memahami islam secara utuh (komprehenshif), memang tidak

dapat hanya dengan mengandalkan satu pendapat. Orang memahami islam

dari sudut tafsir al-Qur’an saja, tanpa mempertimbangkan hal-hal yang lain,

maka keislamannya dianggap parsial. Demikian juga, mengamalkan Islam

dari sudut pandang hokum fiqih semata, juga akan tidak utuh. Dengan

demikian, untuk memahami islam secara benar dapat ditempuh dengan

beberapa cara yaitu:

Pertama, Islam harus dipelajari dari sumber yang asli, yaitu Al-Qur’an dan

As-Sunnah. Kekeliruan memahami islam adalah karena orang yang hanya

mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari

bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau melalui pengenalan dari kitab-

Page 21: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

kitab fiqih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan

perkembangan zaman.

Kedua, Islam harus dapat dipelajari secara integral, tidak parsial, artinya

ia dipelajari secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang bulat.

Memahami Islam secara parsial akan menimbulkna sikap skeptic, bimbang,

dan tidak pasti.

Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para

ulama’ besar, kaum zua’ma dan sarjana-sarjana Islam, karena pada

umumnya mereka telah memiliki pemahaman tentang islam yang

menyeluruh.

Page 22: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pada uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

Islamisasi ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk

mentransformasikan nilai-nilai keislaman ke dalam berbagai bidang

kehidupan manusia, khususnya ilmu pengetahuan. Dengan Islamisasi ilmu

pengetahuan dapat diketahui dengan jelas, bahwa Islam bukan hanya

mengatur segi-segi ritualitas dalam arti sholat, puasa, zakat, dan haji

melainkan sebuah ajaran yang mengintegrasikan segi-segi kehidupan dunia

termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ditengah-tengah perdebatan disekitar setuju atau tidak setuju dengan

Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, tampaknya Islamisasi ilmu

pengetahuan tersebut pada akhirnya merupakan suatu keharusan. Lahirnya

Industri perbankan yang berbasiskan Syariah seperti yang dipraktikan pada

Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah,

Bank BRI Syariah, Bank Mega Syariah dan sebagainya.

Page 23: Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, 1998, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Didin Saefuddin Buchori, 2005, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana Pustaka.

Read more: http://grupsyariah.blogspot.com/2012/06/islam-sebagai-objek-ilmu-pengetahuan.html#ixzz2t0sJrWN3