73

ISSN: 2655-9595

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ISSN: 2655-9595
Page 2: ISSN: 2655-9595

ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Journal of Indonesian Agroforestry

Volume 1 Nomor 1, Desember Tahun 2018

Jurnal Agroforestri Indonesia adalah Media Publikasi Ilmiah resmi dari Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Agroforestry. Jurnal penelitian ini menerima dan memuat karya tulis ilmiah yang berasal dari hasil penelitian dan kajian

aspek biofisik, ekologi dan sosial ekonomi, silvikultur, konservasi dan biodiversitas, jasa lingkungan serta bidang kehutanan

- pertanian pada umumnya. Jurnal ini terbit secara berkala dua kali dalam setahun (Juni-Desember)

Journal of Indonesian Agroforestry is an official publication from Research and Development Institute for Agroforestry

Technology (BPPTA). The journal publishes article from research results and studies on ecology, socio economics,

silviculture, conservation, biodiversity, enviromental services and forestry and agriculture studies in general. This journal is

managed under e-journal based on Open Journal System (OJS). The Journal will be published twice a year in June and

December

.

Penanggungjawab (Editor in Chief) : Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry

Dewan Redaksi (Editorial Boards)

Ketua merangkap anggota (Chairman and

member) : Dr. Ir. Budiman Achmad, M.Sc.

Anggota (Members) : 1. Yonky Indrajaya,S.Hut. MT ( Perencanaan Kehutanan )

2. Dr. Betha Lusiana ( Pemodelan & Jasa Lingkungan)

3. Dr. Sanudin ( Sosiologi Ekonomi )

4. Dr. Satria Astana ( Ekonomi Kehutanan)

5. Dr. Leti Sundawati (Kehutanan Masyarakat)

6. Dr. Dedi Natawidjaja, M.Sc ( Sosial Ekonomi )

7. Dr. Triyono (kebijakan Kehutanan)

8. Dr. Asep Rohandi ( Silvikultur )

9. Dr. Dede J Sudrajat (Silvikultur,Teknologi Benih,Genetika)

10. Dr. Eny Widyawati (Biologi Tanah & Kesuburan Lahan )

11. Dr. Eming Widyana ( Biologi )

12. Dr. Murniati (Agroforestry & Hutan Kemasyarakatan)

13. Dr. Subekti Rahayu ( Biodiversitas )

Mitra Bestari (Peer reviewers) 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Sabarnurdin (Silvikultur & AF )

2. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto (Silvikultur & AF)

3. Dr. Ngaloken Ginting ( KTA & Hidrologi )

4. Prof. Dr. Ir. Pratiwi (Hidrologi dan Konservasi Tanah)

5. Dr. Boen M Purnama ( Kebijakan )

6. Dr. Suyanto ( Sosial Ekonomi )

7. Dr. Subarudi M. Wood (Kebijakan Kehutanan)

8. Prof. Dr. Ir. Hadi S Arifin (Ekologi & Manajemen Lansekap)

9. Prof. Dr. Ir. Kurniatun Hairiah (Karbon, PI & Tanah)

Sekretariat Redaksi (Editorial

Secretariat)

Ketua (Chairman) : Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian

Anggota (Members) : 1. Diana Kusumawardhana, S. Hut

2. Diki Hendarsah, S.Sos

3. Waswid

4. Gugi Darusman

Diterbitkan oleh (Published by) :

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry (Research and Development Institute for Agroforestry

Technology)

Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (Research , Development and Innovation agency)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ministry of Environment and Forestry Republic of Indonesia)

Alamat (Address) : Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4, Po. BOX 5 Ciamis 46201

Telepon (Phone) : 0265-771352

Fax (Fax) : 0265-775866

Email (Email) : [email protected]

Website : http//www.ejournal.forda-mof.org/ejournal- litbang/index.php/JAI

Page 3: ISSN: 2655-9595

e-ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia

JOURNAL OF INDONESIAN AGROFORESTRY

Volume 1 Nomor 1, Desember 2018

DAFTAR ISI

PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS TIGA VARIETAS JAHE PADA

BERBAGAI TINGKAT INTENSITAS CAHAYA DI BAWAH TEGAKAN

TUSAM (Productivity and Quality of Three Varieties of Ginger on Many Light

Intensity Levels Under Stand of Pine)

Gunawan dan Asep Rohandi ................................................................................... 1-13

PERKECAMBAHAN BENIH JAMBLANG (Syzygium cumini) PADA TIGA

PERLAKUAN PRA-PERKECAMBAHAN DAN MEDIA TABUR

(Germination of Jamblang (Syzygium cumini) Seeds on Three Treatments of

Pre-Germination and Sowing Media.)

Aris Sudomo dan Dila Swestiani ............................................................................ 15-22

KONDISI SOSIAL DAN KELEMBAGAAN PETANI HUTAN RAKYAT DI

KABUPATEN TASIKMALAYA (Socio and Institutional Conditions of

Farmers of the Private Forest in Tasikmalaya District)

Dian Diniyati ........................................................................................................... 23-32

AKSES DAN KONTROL RUMAH TANGGA PETANI DALAM

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN RAKYAT (Access and Control of

Farm Household in Management of Private Forest Resources)

Eva Fauziyah ........................................................................................................... 33-45

KERAGAMAN MAKROFAUNA TANAH PADA AGROFORESTRI JATI

(Tectona grandis) DAN JALAWURE (Tacca leontopetaloides) (The Diversity of Soil Macrofauna on Agroforestry Teak (Tectona grandis) and Polynesian

Arrowroot (Tacca leontopetaloides)

Aji Winara ............................................................................................................... 47-55

ANALISIS RENDEMEN NIRA DAN KUALITAS GULA AREN (Arenga

pinnata Merr.) DI KABUPATEN TASIKMALAYA (The analysis of Sap Water

Yield and Palm Sugar (Arenga pinnata Merr.) Quality in Tasikmalaya District)

Dedi Natawijaya, Suhartono dan Undang ............................................................... 57-64

Page 4: ISSN: 2655-9595

UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi Jurnal Agroforestri Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah

yang dimuat pada edisi Volume 1 Nomor 1, Desember 2018 :

1. Prof. Dr. Ir. Sambas Sabarnurdin (Silvikultur & Agroforestry)

2. Dr. Suyanto ( Sosial Ekonomi )

3. Dr. Subarudi M. Wood (Kebijakan Kehutanan)

Page 5: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia

e-ISSN : 2655-9595 Vol. 1 No.1, Desember 2018

Kata kunci yang dicantumkan adalah lembar bebas. lembar abstrak ini boleh diperbanyak

tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*26

Gunawan dan Asep Rohandi (Balai Penelitian

dan Pengembangan Teknologi Agroforestry)

Produktivitas dan Kualitas Tiga Varietas Jahe

Pada Berbagai Tingkat Intensitas Cahaya

di Bawah Tegakan Tusam

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 1 No. 1,

Desember 2018: Hal. 1-13

Besarnya kebutuhan tanaman obat dan

keterbatasan lahan pertanian untuk

pengembangannya dapat diatasi melalui

pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan

dengan menerapkan pola agroforestri. Penelitian

ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh perbedaan

varietas tanaman dan naungan tegakan tusam

(Pinus merkusii) terhadap produktivitas dan

kualitas jahe. Rancangan yang digunakan adalah

rancangan petak terbagi yang terdiri dari 3

ulangan dan menggunakan luasan 100 m2 untuk

setiap petak dengan jarak tanam 50 x 50 cm.

Petak utama berupa intensitas cahaya yaitu 50-

58% (kelas umur II), 68-77% (kelas umur I) dan

87-92% (miskin riap), sedangkan anak petak

adalah varietas jahe meliputi jahe putih kecil

(emprit), jahe putih besar (gajah) dan jahe merah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas

cahaya berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan

tinggi dan berat rimpang namun tidak

berpengaruh terhadap parameter persentase

tumbuh, kadar air, kandungan minyak atsiri,

serat, pati, dan abu. Varietas jahe berpengaruh

nyata terhadap persentase tumbuh, pertumbuhan

tinggi dan berat rimpang, tetapi tidak

berpengaruh terhadap kandungan kadar air,

kandungan minyak atsiri, serat, pati, dan abu.

Rata-rata hasil panen jahe tiap varietas adalah

5,54 ton/ha; 8,38 ton/ha dan; 6,7 ton/ha berturut

turut untuk jahe putih keccil, jahe putih besar dan

jahe merah, Agroforestri tanaman jahe di bawah tegakan tusam dapat dilakukan untuk meningkatkan

produktivitas lahan terutama pada tegakan miskin riap.

Kata kunci: Agroforestry, Jahe, Kayu

Pertukangan, Tusam (Pinus

merkusii), Tanaman obat

UDC/ODC 630*232.3

Aris Sudomo dan Dila Swestiani (Balai

Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Agroforestry)

Perkecambahan Benih Jamblang (Syzygium

cumini) pada Tiga Perlakuan Pra-Perkecambahan

dan Media Tabur

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 1 No. 1,

Desember 2018: Hal. 15-22

Perbanyakan generatif diperlukan dalam upaya

pengembangan tanaman obat jenis jamblang.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan

persentase dan kecepatan berkecambah benih

jamblang melalui perlakuan pra-perkecambahan

dan media tabur. Kombinasi perlakuan tersebut

adalah (1) media tanah (T) x perendaman air

biasa (AB), (2) media tanah x perendaman air

kelapa (AK), (3) media tanah (T) x kontrol (tanpa

perendaman benih) (K), (4) media pasir (P) x

perendaman air biasa (AB), (5) media pasir (P) x

perendaman air kelapa (AK), (6) media pasir (P)

x kontrol (K), (7) media tanah-pasir (TP) x

perendaman air kelapa (AK), (8) media tanah-

pasir (TP) x perendaman air biasa (AB), dan (9)

media tanah-pasir (TP) x kontrol (K). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa perlakuan

penaburan benih dengan media campuran

tanah+pasir dan pra-perkecambahan benih

dengan perendaman air kelapa selama 12 jam

menghasilkan persentase dan kecepatan

berkecambah terbesar (70%/4,96%). Persentase

berkecambah lebih dari 50% hanya dihasilkan

pada media tanah+pasir dengan perlakuan

pendahuluan perendaman air kelapa 12 jam dan

air biasa 12 jam. Peningkatan persentase dan

kecepatan berkecambah jamblang dicapai dengan

campuran media tanah+pasir dan perlakuan

praperkecambahan perendaman air kelapa.

Kata kunci: Jamblang, perkecambahan, media

dan generatif.

Page 6: ISSN: 2655-9595

UDC/ODC 630*26

Dian Diniyati (Balai Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Agroforestry)

Kondisi Sosial dan Kelembagaan Petani Hutan

Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 1 No. 1,

Desember 2018: Hal. 23-32

Kondisi sosial dan kelembagaan dapat

berpengaruh terhadap pengembangan hutan

rakyat di Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini

dilaksanakan di Desa Tanjungkerta, Desa

Sepatnunggal, dan Desa Karyabakti pada bulan

September dan Oktober 2011, tujuannya adalah

mengetahui kondisi sosial dan kelembagaan

petani. Jumlah responden yang dilibatkan

sebanyak 60 orang. Data yang dikumpulkan

terdiri dari data kondisi sosial ekonomi dan

kelembagaan. Pengumpulan data dilakukan

dengan teknik wawancara menggunakan

kuisioner. Data yang terkumpul dianalisis

menggunakan Dependency Ratio Keluarga Petani

(DR), Tingkat Partisipasi Kerja (TPK),

Pendapatan, dan Rasio Ketergantungan petani

(RK). Hasil kajian menunjukkan bahwa kondisi

sosial ekonomi petani dicirikan oleh umur, jenis

kelamin, pendidikan, pekerjaan, suku, agama,

status perkawinan, status dalam keluarga, dan

jumlah tanggungan keluarga Nilai DR dan TPK

pada usaha hutan rakyat tergolong masih rendah,

sedangkan nilai RK di Desa Tanjungkerta, Desa

Sepatnunggal dan Desa Karyabakti berturut-turut

adalah sebesar 12,50%, 16,42% dan 19,02%.

Kelembagaan yang ada di lokasi penelitian

dikelompok menjadi 3 kelompok yaitu 1)

lembaga perekonomian (koperasi dan arisan), 2)

lembaga sosial (kelompok tani, Gapoktan dan

pengajian) serta 3) gotong royong.

Kata kunci: Hutan rakyat, Kondisi Sosial,

Ekonomi, Kelembagaan

Perbedaan akses terhadap sumber daya alam

antara laki-laki dan perempuan menjadi salah

satu penyebab terjadinya kesenjangan gender.

Kondisi ini pada akhirnya dapat berdampak pada

lemahnya kontrol, manfaat, dan partisipasi

perempuan dalam kegiatan usahatani secara

keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis pola relasi gender dalam

pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten

Banyumas dan Kabupaten Banjarnegara pada

Bulan Mei sampai dengan Juli 2012. Penelitian

ini menggunakan pendekatan instrument Analisis

Gender (Socio Economic and Gender Analysis—

SEAGA), dimana pengumpulan data dilakukan

secara partisipatif pada kelompok tani dan

wawancara pada tingkat keluarga petani. Total

responden berjumlah 64 petani hutan rakyat yang

dipilih secara acak (laki-laki dan perempuan).

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan

tabulasi, persentase dan menggunakan Indeks

Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa akses dalam

pengelolaan hutan rakyat didominasi oleh laki-

laki seperti akses terhadap lahan, komoditas yang

diusahakan, pendidikan, pelatihan, penyuluhan

pertanian, modal, kredit, peralatan, pembibitan,

pemupukan, pola tanam, serta pengendalian hama

dan penyakit, sedangkan perempuan hanya lebih

dominan dalam pengolahan pascapanen dan pemasaran. Pada aspek kontrol di Kabupaten

Banyumas, perempuan mendominasi pada tahapan

kegiatan pemasaran, sementara di Kabupaten

Banjarnegara tidak ada dominasi baik pada

sumberdaya maupun tahapan kegiatan pengelolaan

hutan rakyat, namun kontrol terhadap komoditas

yang diusahakan, penyiraman, pemupukan dan

pemasaran dilakukan secara bersama-sama. Pola

relasi gender secara umum lebih dominan baik

terhadap sumberdaya maupun tahapan kegiatan

hutan rakyat yang ditunjukkan oleh nilai IKKG

yang lebih kecil dari 0,5.

Kata kunci: Akses, Kontrol, Hutan Rakyat, Pola

Relasi Gender

UDC/ODC 630*922.2

Eva Fauziyah (Balai Penelitian dan Pengembangan

Teknologi Agroforestry)

Akses dan Kontrol Rumah Tangga Petani Dalam

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Rakyat

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 1 No. 1, Desember

2018: Hal. 33-45

UDC/ODC 630*26

Aji Winara (Balai Penelitian dan Pengembangan

Teknologi Agroforestry)

Keragaman Makrofauna Tanah Pada Agroforestri Jati

(Tectona grandis) dan Jalawure (Tacca

leontopetaloides)

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 1 No. 1, Desember

2018: Hal. 47-55

Page 7: ISSN: 2655-9595

Jati dan jalawure merupakan pola agroforestri

baru guna mendukung ketahanan pangan

masyarakat sekitar hutan di wilayah pesisir

pantai. Hadirnya jalawure dibawah tegakan jati

tidak hanya diharapkan sebagai penyedia pangan

tetapi memberikan manfaat secara ekologi bagi

biodiversitas khususnya makrofauna tanah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

keragaman makrofauna tanah pada pola

agroforestri jati dan jalawure. Penelitian

dilaksanakan di Kabupaten Garut pada bulan

April 2017. Metode penelitian yang digunakan

adalah teknik monolit dan dianalisis dengan

penghitungan indek keragaman dan kekayaan

jenis. Objek penelitian adalah demplot

agroforestri dengan tiga jarak tanam jalawure

dibawah tegakan jati berumur 7 tahun dan jati

monokultur. Hasil penelitian menunjukkan

makrofauna tanah pada agroforestri jati dan

jalawure dijumpai sebanyak 5 jenis yang berasal

dari lima famili dan lima ordo. Ordo dominan

adalah coleoptera (INP = 133,93% -157,78%)

dan opisthophora (INP = 103,51%). Keragaman

dan kekayaan jenis makrofauna tanah pada pola

agroforestri jati dan jalawure tergolong rendah

(H’= 0,28-0,55; R’= 0,87-1,48). Meskipun

budidaya agroforestri dilakukan secara intensif

namun tidak dijumpai adanya perbedaan

keragaman makrofauna tanah jika dibandingkan

jati monokultur.

Kata kunci: Agroforestri jati dan jalawure,

Keragaman, Fauna tanah.

UDC/ODC 630*892.68

Dedi Natawijaya, Suhartono, Undang

(Universitas Siliwangi)

Analisis Rendemen Nira dan Kualitas Gula Aren

(Arenga pinnata Merr.) di Kabupaten

Tasikmalaya

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 1 No. 1,

Desember 2018: Hal. 57-64

Pengembangan pohon aren yang berkualitas

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan bahan

baku gula dan produk lainnya yang berbasis

tanaman aren. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis rendemen nira dan kualitas gula

aren (Arenga pinnata. Merr.) di Kabupaten

Tasikmalaya. Penelitian ini menggunakan metode

survey dan pengukuran langsung terhadap

parameter: kadar air, pH ,warna, tekstur, aroma,

rasa dan penampakan keseluruhan. Penentuan

lokasi penelitian dilakukan berdasarkan

pendekatan indikasi geografis. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa rendemen nira aren di Desa

Wandasari Kecamatan Bojonggambir Kabupaten

Tasikmalaya rata-rata sebesar 14,13 % untuk gula

cetak atau 1 kg gula setara dengan 7 lt nira, dan

13,07 % untuk gula semut atau 1 kg gula semut

memerlukan 7,6 lt nira. Kadar air rata-rata gula

cetak dan gula semut berturut turut adalah 3,5 %

dan 2,2 %.

Kata kunci: Aren, Rendemen nira, Kualitas gula.

Page 8: ISSN: 2655-9595

Journal of Indonesian Agroforestry

e-ISSN : 2655-9595 Vol. 1 No.1, Desember 2018

The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced

without permission or change.

UDC/ODC 630*26

Gunawan dan Asep Rohandi (Research and

Development Institute for Agroforestry

Technology)

Productivity and Quality of Three Varieties of

Ginger on Many Light Intensity Levels Under

Stand of Pine

Journal of Indonesian Agroforestry Vol. 1 No. 1,

December 2018: p. 1-13

The high demand of medicinal plants with limited

agricultural land availability can be solved by

the utilization of land under forest canopy

through applying agroforestry. This study aims to

assess the effect of different varieties of ginger

and different shading intensities of pine (Pinus

merkusii) on the productivity and quality of

ginger. The design used was a split plot design

consisting of 3 replicates with an area of 100 m2

for each plot and with spacing of 50 x 50 cm. The

main plot is the light intensity treatments, i.e. 50-

58% (age class II), 68-77% (age class I) and 87-

92% (poor increment), whereas the sub plot is

the varieties of ginger i.e.: small white ginger

(emprit), large white ginger (gajah) and red

ginger. Results showed that the light intensity

does not significantly affect the percentage of

growth, moisture content, volatile oil, fiber,

starch and ash. Varieties of ginger significantly

affect the percentage of growth, height growth

and weight of rhizome, but do not significantly

affect the moisture content, volatile oil, fiber,

starch and ash . The average yield of each variety

of ginger is 5.54 tons/ha, 8.38 tons/ha and 6.7 ton

/ha for small white ginger, large white ginger

and red ginger, respectively. Agroforestry of

ginger plant under pine stand can be done to

improve land productivity, especially in poor

stand increment.

Keywords: Agroforestry, ginger, medicinal plant,

pine (Pinus merkusii).

UDC/ODC 630*232.3

Aris Sudomo dan Dila Swestiani (Research and

Development Institute for Agroforestry

Technology)

Germination of Jamblang (Syzygium Cumini)

Seeds on Three Treatments of Pre-Germination

And Sowing Media

Journal of Indonesian Agroforestryi Vol. 1 No.

1, December 2018: p. 15-22

Generative propagation was needed as one of

efforts in developing jamblang as a medicinal

plant. This study aims to improve the percentage

and germination rate of jamblang seeds through

pre-germination and sowing media treatments.

The combination of treatments were (1) soil (T) x

water (AB), (2) soil (T) x coconut water (AK), (3)

soil (T) x control (without soaking treatment) (K),

(4) sand (P) x water (AB), (5) sand (P) x coconut

water (AK), (6) sand (P) x control (K), (7) mixed

soil-sand (TP) x water (AB), (8) mixed soil-sand

(TP) x water (AB), and (9) mixed soil-sand (TP) x

control (K). The results revealed that the

treatments of sowing seeds with mixed media soil

+ sand and pre-germination treatments by

soaking the seeds for 12 hours in coconut water

gave the highest percentage (70%) and

germination rate (4.96%). Percentage of

germination more than 50% only can be reached

by the seeds that sowed on mixed soil + sand with

pre-germination treatments soaked in coconut

water for 12 hours and in water for 12 hours. The

improvement in the percentage and germination

rate of jamblang were achieved by using mixed

sowing media soil + sand and pre-germination

treatment by soaking in coconut water.

Keywords: jamblang, germination, sowing media

and generative

Page 9: ISSN: 2655-9595

UDC/ODC 630*26

Dian Diniyati (Research and Development

Institute for Agroforestry Technology)

Socio and Institutional Conditions of Farmers of

the Private Forest in Tasikmalaya District

Journal of Indonesian Agroforestry Vol. 1 No. 1,

December 2018: p. 23-32

Socio and institutional conditions may affect the

private forest development in Tasikmalaya

District. This research was conducted in

Tanjungkerta, Sepatnunggal, and Karyabakti

villages from March to July 2011. The aim of the

research was to identify the socio and institution

conditions of farmers. The numbers of

respondents involved were 60 persons. Data were

collected by implementing interview technique

which was supported by questionnaires. The data

consisted of the condition of social and the

institution of farmers. The data were analyzed by

using Dependency Ratio (DR), Labour Force

Participation Rate (TPK), and Dependency Rate

of the farmers toward forest business (RK). The

result showed that the condition of social of

farmers were characterized by age, sex,

education, tribe, religion, marriage status, status

in family, and family dependent. The values of

DR and TPK toward private forest business were

categorized as low, meanwhile the value of RK in

Tanjungkerta, Sepatnunggal and Karyabakti

Villages were 12.50 %, 16.42 % and 19.02 %

respectively. The institutions available at

research location were grouped into three groups

i.e. 1) economic institution (cooperation and

regular social gathering), 2) social institution

(farmer group, farmer group union and

recitation) and 3) mutual cooperation.

Keywords: private forest, social condition,

economic condition, institution

Differences in access of natural resources

between men and women is one of the causes of

gender unequality. This condition may have an

impact on the lack of control, benefit, and

participation of women on farming activities.

This study aims to analyze the gender relation

pattern in private forest management in

Banyumas and Banjarnegara Districts.. Data

were collected by using questionnaire, interview

with farmer (men and women) and farmer groups

with Socio Economic and Gender Analysis

(SEAGA) instrument. Total respondents were 64

private forest farmers who were randomly

selected. Data were analzsed by tabulation,

percentage dan Equality adn Equity Index (EEI).

The results showed that acces in private forest

management were dominated by men e.g acces

on land, crops cultivated, education, training,

extension services, capital, credit, equipment,

nursery, fertilization, cropping pattern, and pest

and disease control. In contrary, women were

more dominant in post harvest processing, and

marketing activities. In Banyumas District,

women control were dominant in marketing,

while in Banjarnegara Distric, there was no

dominance in both resources and stage activities

but access and control were undertaken jointly

between men and women in crops cultivation,

watering, fertilization and marketing.The pattern

of gender relations in general was more

dominant both in terms of resources and the

stages activies of private forest as indicated by

EEI value tha is less than 0,5.

Keywords: acces, control, private forest, gender

relation pattern

UDC/ODC 630*922.2

Eva Fauziyah (Research and Development

Institute for Agroforestry Technology)

Access and Control of Farm Households in the

Management of Private Forest Resources

Journal of Indonesian Agroforestry Vol. 1 No. 1,

December 2018: p. 33-45

UDC/ODC 630*26

Aji Winara (Research and Development Institute

for Agroforestry Technology)

The Diversity of Soil Macrofauna on

Agroforestry Teak (Tectona grandis) and

Polynesian Arrowroot (Tacca leontopetaloides)

Journal of Indonesian Agroforestry Vol. 1 No. 1,

December 2018: p. 47-55

Page 10: ISSN: 2655-9595

Teak and polynesian arrowroot is a new pattern

of agroforestry to support food security of

communities around forests in coastal areas. The

presence of polynesian arrowroot under teak

stands is not only expected to be food sources but

also to provide ecological benefits for

biodiversity, especially soil macrofauna. The

study aims is to determine the diversity of soil

macrofauna in teak and polynesia arrowroot

agroforestry patterns. The study was conducted

in Garut Regency in April 2017. The method used

in this study was monolithic technique and

analyzed by calculating diversity and richness

index. The object was an agroforestry

demonstration plot with three polynesia

arrowroot spacings under 7-years-old teak stand

and monoculture teak. The results showed that

there were 5 soil macrofaunas in teak and

polynesian arrowroot agroforestry which are

from five families and five orders. The dominance

order was coleoptera with Important Value Index

(IVI) = 133.93% -157.78% and opisthophora

with IVI = 103.51%. The diversity and richness

of soil macrofauna in teak and polynesian

arrowroot agroforestry patterns is low (H '=

0.28-0.55; R' = 0.87-1.48). Although agroforestry

cultivation is carried out intensively, there is no

difference in the diversity of soil macrofauna

when compared to teak monoculture.

Keywords: Agroforestry teak and polynesian

arrowroot, diversity, soil fauna.

UDC/ODC 630*892.68

Dedi Natawijaya, Suhartono, Undang (Siliwangi

of University)

The analysis of Sap Water Yield and Palm Sugar

(Arenga pinnata Merr.) Quality in Tasikmalaya

District

Journal of Indonesian Agroforestry Vol. 1 No. 1,

December 2018: p. 57-64

Development of high quality palm tree is needed

for fulfilling the raw material of palm sugar and

other products based on palm tree. This study

aims to analyze the sap water yield and palm

sugar quality in Tasikmalaya District. The

method used in this study was survey and direct

measurement of water content, pH, colour,

texture, smell, taste, and performance. The

geographical indication approach was used to

determine the location of the study. The result

showed that the average of sap water for palm

sugar was 14.13% or 1 kg palm sugar equivalent

to 7 litre of sap water, meanwhile 1 kg palm

sugar powder equivalent to 7.6 litre of sap water

(13.07%). The water content of palm sugar and

palm sugar powder were 3.5% and 2.2%

respectively.

Keywords : palm, sap water, sugar.

Page 11: ISSN: 2655-9595

PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS TIGA VARIETAS JAHE

PADA BERBAGAI TINGKAT INTENSITAS CAHAYA

DI BAWAH TEGAKAN TUSAM

(Productivity and Quality of Three Varieties of Ginger on Many Light Intensity

Levels Under Stand of Pine)

Gunawan1 dan Asep Rohandi

2

1,2

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry

Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax. (0265) 775866

e-mail: [email protected]

Diterima 31 Juli 2018, direvisi 14 Desember 2018, disetujui 16 Desember 2018

ABSTRACT

The high demand of medicinal plants with limited agricultural land availability can be solved by the utilization of land

under forest canopy through applying agroforestry. This study aims to assess the effect of different varieties of ginger

and different shading intensities of pine (Pinus merkusii) on the productivity and quality of ginger. The design used was

a split plot design consisting of 3 replicates with an area of 100 m2 for each plot and with spacing of 50 x 50 cm. The

main plot is the light intensity treatments, i.e. 50-58% (age class II), 68-77% (age class I) and 87-92% (poor

increment), whereas the sub plot is the varieties of ginger i.e.: small white ginger (emprit), large white ginger (gajah)

and red ginger. Results showed that the light intensity does not significantly affect the percentage of growth, moisture

content, volatile oil, fiber, starch and ash. Varieties of ginger significantly affect the percentage of growth, height

growth and weight of rhizome, but do not significantly affect the moisture content, volatile oil, fiber, starch and ash .

The average yield of each variety of ginger is 5.54 tons/ha, 8.38 tons/ha and 6.7 ton /ha for small white ginger, large

white ginger and red ginger, respectively. Agroforestry of ginger plant under pine stand can be done to improve land

productivity, especially in poor stand increment.

Ke words: Agroforestry, ginger, medicinal plant, pine (Pinus merkusii)

ABSTRAK

Besarnya kebutuhan tanaman obat dan keterbatasan lahan pertanian untuk pengembangannya dapat diatasi

melalui pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan dengan menerapkan pola agroforestri. Penelitian ini bertujuan untuk

mengkaji pengaruh perbedaan varietas tanaman dan naungan tegakan tusam (Pinus merkusii) terhadap produktivitas dan

kualitas jahe. Rancangan yang digunakan adalah rancangan petak terbagi yang terdiri dari 3 ulangan dan menggunakan

luasan 100 m2 untuk setiap petak dengan jarak tanam 50 x 50 cm. Petak utama berupa intensitas cahaya yaitu 50-58%

(kelas umur II), 68-77% (kelas umur I) dan 87-92% (miskin riap), sedangkan anak petak adalah varietas jahe meliputi

jahe putih kecil (emprit), jahe putih besar (gajah) dan jahe merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas

cahaya berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan berat rimpang namun tidak berpengaruh terhadap parameter

persentase tumbuh, kadar air, kandungan minyak atsiri, serat, pati, dan abu. Varietas jahe berpengaruh nyata terhadap

persentase tumbuh, pertumbuhan tinggi dan berat rimpang, tetapi tidak berpengaruh terhadap kandungan kadar air,

kandungan minyak atsiri, serat, pati, dan abu. Rata-rata hasil panen jahe tiap varietas adalah 5,54 ton/ha; 8,38 ton/ha

dan; 6,7 ton/ha berturut turut untuk jahe putih keccil, jahe putih besar dan jahe merah, Agroforestri tanaman jahe di

bawah tegakan tusam dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan terutama pada tegakan miskin riap.

Kata kunci: Agroforestry, jahe, kayu pertukangan, tusam (Pinus merkusii), tanaman obat

I. PENDAHULUAN

Kebutuhan jahe (Zingiber officinale

Rosc.) untuk konsumsi dalam negeri maupun

tujuan ekspor cukup tinggi. Ekspor jahe tahun

2000 mencapai 14.341 ton dengan nilai devisa

6 juta US $ yang terdiri atas jahe kering 1.031

ton dengan nilai 6 juta US $ (Bermawie et al.,

Page 12: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 1-13)

2

2002). Sebagai salah satu komoditi ekspor

andalan nasional, jahe memerlukan

penanganan yang efektif dan efisien agar

produksi dan mutunya dapat terjamin.

Meskipun tanaman jahe telah lama

dibudidayakan, tetapi pengembangan dalam

skala luas belum didukung oleh teknik

budidaya yang optimal dan

berkesinambungan sehingga produktivitas dan

mutunya rendah. Luas areal pengembangan

jahe di Indonesia pada tahun 2015 mencapai

15.323,82 ha dengan total produksi 313.064

ton (Badan Pusat Statistik, 2015) dan

produktivitas rata-rata sekitar 7,98 t/ha atau

setara dengan bobot rimpang 199,5 g per

rumpun pada populasi monokultur 40.000

tanaman (Bermawie, 2002). Selama ini di

Indonesia dikenal tiga tipe utama jahe, yaitu

jahe putih besar atau gajah atau badak, jahe

merah atau jahe sunti dan jahe putih kecil atau

jahe emprit. Ketiga tipe ini didasarkan pada

bentuk, warna, aroma rimpang (Rostiana,

Abdullah, Taryono, & Hadad, 1991).

Jahe adalah tanaman obat jenis

rimpang-rimpangan yang sudah banyak

dibudidayakan dan diteliti khasiat serta

kandungan bahan obatnya, baik pada lahan

monokultur, polikultur maupun di bawah

tegakan. Secara umum, budidaya tanaman

obat selama ini lebih banyak dilakukan pada

lahan pertanian primer dengan pola

monokultur. Sekitar 48,35% dari luas lahan

pertanian tanaman obat di Indonesia pada

tahun 2003 yang mencapai 14.33 ha

merupakan tanaman temulawak, kunyit,

kencur dan jahe, yang menyebar pada seluruh

propinsi Indonesia dengan sentra produksi

utama di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa

Timur (Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, 2007).

Besarnya permintaan kebutuhan

tanaman obat dan keterbatasan lahan

pertanian untuk dijadikan areal

pengembangan/budidaya tanaman obat

memerlukan intensifikasi lahan, diantaranya

melalui penerapan pola tanam campur.

Pengembangan tanaman obat di sektor

kehutanan dapat dilakukan melalui pola

agroforestri dengan memanfaatkan

/optimalisasi lahan di bawah tegakan.

Menurut Mayrowani & Ashari, (2011) dan

Triwanto, (2011), model pengembangan

agroforestri mempunyai prospek yang cukup

baik dalam kontribusinya terhadap

peningkatan pendapatan petani disamping

untuk menjaga keamanan dan kelestarian

hutan bersama masyarakat atau petani sekitar

hutan. Pada daerah tropik, dimana kegiatan

dan atau lahan pertanian cukup terbatas,

agroforestri merupakan alternatif

pengembangan ekonomi dan manajemen

konservasi keanekaragaman hayati (Neita &

Escobar, 2012). Beberapa praktek agroforestri

jahe yang sering dilakukan wilayah Pacific

Island seperti diantara barisan pohon kelapa,

aren, poplar, tanaman buah-buahan

(Valenzuela, 2011) ataupun pada tegakan

Ailanthus triphysa (Kumar, 2006). Hal

tersebut dapat dilakukan karena jahe dapat

beradaptasi di bawah naungan (Valenzuela,

2011).

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh perbedaan varietas dan

tingkat naungan terhadap produktivitas dan

kualitas tanaman jahe di bawah tegakan tusam

(Pinus merkusii). Hasil penelitian ini

diharapkan akan memberikan informasi

tentang paket teknologi yang sesuai untuk

mengembangkan tanaman jahe di bawah

tegakan tusam.

II. METODOLOGI

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di di RPH

Kenjuran, Kesatuan Pemangkuan Hutan

(KPH) Kedu Utara, BKPH Candiroto.

Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan Januari

sampai Desember 2013.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah tegakan tusam yang yang

terdiri dari tiga kelas tegakan hutan yaitu

kelas umur/KU I (0-10 tahun), II (10-20

Page 13: ISSN: 2655-9595

Produktivitas dan kualitas tiga verietas jahe......(Gunawan dan Asep Rohandi)

3

tahun) dan MR (miskin riap) dengan

intensitas cahaya seperti dicantumkan pada

Tabel 1. Tanaman jahe yang digunakan

adalah jahe putih besar (gajah), jahe putih

kecil (emprit) dan jahe merah yang berasal

dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan

Obat (Balitro) Bogor. Sementara itu, untuk

perlakuan pemupukan digunakan adalah

pupuk kandang sapi dan pupuk anorganik

(SP36 dan KCl) serta alat lainnya seperti

tambang, plastik, bambu dan lain-lain.

Alat yang digunakan untuk penelitian

ini meliputi alat untuk mengukur intensitas

cahaya berupa luxmeter, alat untuk

penanganan benih jahe, penanaman dan

pemeliharaan, timbangan, oven, alat tulis

dan lain-lain.

Tabel 1. Deskripsi kondisi tegakan tusam yang digunakan dalam kegiatan penelitian

Table 1. Description of pine stand conditions used in this study

No. Parameter

(Parameter)

Tegakan Tusam (Pine (Pinus merkusii) stand )

Kelas Umur I

(Age Class I)

Kelas Umur II

(Age Class II)

Miskin Riap

(poor increment)

1. Intensitas Cahaya (%) 68-77 50-58 87-92

2. Kerapatan Pohon (ph/ha) 1000 1000 400

3. Kimia Tanah :

- Nitrogen (%) 0,142 0,124 0,154

- Karbon Organik (%) 0,822 1,190 0,930

- Bahan Organik (%) 1,599 2,050 1,586

- P2O5 tersedia (ppm) 0,350 0,490 0,390

- K2O tersedia (me%) 11,023 10,721 9,517

- pH H2O 5,350 4,860 5,740

C. Rancangan Penelitian dan Persiapan

Tanaman

Rancangan penelitian menggunakan

Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design)

yang terdiri dari 3 ulangan dan menggunakan

luasan 100 m2 untuk setiap plot dengan jarak

tanam 50 x 50 cm. Petak utama (main plot)

berupa intensitas cahaya yaitu : 68-77% (KU

I), 50-58% (KU II) dan 87-92 (KU miskin

riap), sedangkan anak petak (sub plot) adalah

varietas jahe meliputi jahe putih kecil

(emprit), jahe putih besar (gajah) dan jahe

merah dengan desain dan layout penanaman

pada Gambar 1.

Gambar 1. Layout plot penanaman pola agroforestri jahe di bawah tegakan tusam

Figure 1. Layout of three varieties of ginger planting plots under pine stand

Persiapan lahan untuk penanaman

dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

pengolahan tanah untuk menggemburkan

tanah, pembuatan drainase agar air tidak

Keterangan (Remarks) :

0 : Tanaman Jahe (Ginger)

: Pohon Tusam (Stand of pine)

: Tanaman kopi (Coffea)

10 m

10 m

Page 14: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 1-13)

4

tergenang, dan pembuatan petak-petak dengan

ukuran 10 x 10 meter.

Benih/rimpang yang digunakan

adalah benih unggulan lokal yang berasal dari

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

(Balitro), Bogor. Sebelum ditanam, rimpang

diberi perlakuan pendahuluan untuk

memecahkan dormansi. Perlakuan tersebut

adalah pemotongan sebanyak 2-3 mata tunas

kemudian dijemur selama 4–6 hari berturut-

turut kurang lebih 4 jam setiap harinya dari

pagi sampai jam 11.00.

Penyemaian benih jahe dilakukan

dengan menaruh benih jahe diatas jerami

padi, kemudian di guyur air dan ditutup

dengan jerami hingga kondisi lingkungan

menjadi lembab. Bibit dapat ditanam setelah

muncul tunas dengan ketinggian 0,5 - 1 cm.

Seleksi bibit dilakukan sebelum ditanam di

lapangan, baik secara kualitas ataupun

kuantitas. Bibit ditanam pada lubang tanam

yang sudah dipupuk sesuai rancangan yang

telah ditentukan. Bibit jahe ditanam

berdasarkan jarak tanam 50 x 50 cm. Setelah

itu, bibit ditutup dengan tanah dan diberi

tanda/identitas untuk masing-masing plot.

Pemeliharaan tanaman jahe meliputi

pembersihan gulma, pembumbunan dan

pemberantasan hama penyakit.

Pembumbunan dilakukan juga untuk

memperbaiki saluran drainase pemisah petak

yang biasanya dilakukan setelah selesai

penyiangan.

Pelaksanaan evaluasi tanaman obat

dilakukan setiap 1 (satu) bulan sekali selama

5 (lima) bulan dengan parameter pertumbuhan

tanaman meliputi persentase tumbuh, tinggi

tanaman, produksi jahe (berat rimpang per

rumpun dan berat rimpang per hektar) dan

kualitas jahe (kadar air, kandungan minyak

atsiri, kandungan serat, kadar pati dan kadar

abu).

Pengukuran intensitas cahaya

menggunakan luxmeter sebanyak 2 buah

secara bersamaan, satu di tempat terbuka dan

satu di bawah naungan pada jam 10.00-13.00

WIB. Penghitungan intensitas cahaya relatif

(ICR) menggunakan rumus Sujatmoko (2011)

sebagai berikut :

Pengambilan sampel tanah dilakukan

secara komposit dari lima titik secara

diagonal, pada setiap plot pengamatan dengan

kedalaman10 - 20 cm dari permukaan tanah

(Suganda, Rachman, & Sutono, 2006).

Contoh tanah dari setiap plot dianalisis

tingkat kesuburannya di Laboratorium Tanah,

Fakultas Pertanian Universitas Jenderal

Soedirman, Purwokerto.

E. Analisis data

Data pengamatan dianalisis dengan

menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA)

berdasarkan Rancangan Petak Terpisah (Split

Plot Design). Jika perlakuan berpengaruh

nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple

Range Test (DMRT) pada α = 0,05. Analisis

data dilakukan dengan menggunakan program

SAS 9.1.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman

Evaluasi pertumbuhan dilakukan

setiap bulan setelah tanaman jahe tumbuh

selama 5 bulan, sedangkan persentase tumbuh

diamati pada saat tanaman berumur 5 bulan.

Hasil analisis ragam pengaruh intensitas

cahaya dan varietas terhadap parameter

pertumbuhan jahe selengkapnya dapat dilihat

pada Tabel 2.

100% x (lux) terbuka tempat di IC

(lux)naungan bawah di IC (%) ICR

Page 15: ISSN: 2655-9595

Produktivitas dan kualitas tiga verietas jahe......(Gunawan dan Asep Rohandi)

5

Tabel 2. Pengaruh intensitas cahaya dan varietas terhadap pertumbuhan jahe di bawah tegakan tusam

Table 2. The effect of light intensity and ginger variety on growth of ginger under pine stand

No Parameter

(Parameters)

Kuadrat Tengah (Mean Square)

Persentase Tumbuh

(Growth

Percentage)(%)

Tinggi (Height) (cm)

1BST 2BST 3BST 4BST 5BST

1. Intensitas Cahaya (Light

Intensity) 96,039 ns 61,44** 151,37** 188,59** 155,81** 152,44**

2. Varietas Jahe (Variety of

Ginger) 2688,768** 56,33** 44,59** 120,03** 154,48** 67,44**

3. Interaksi (Interaction) 212,626 ns 1,94** 11,20** 17,48** 7,31ns 3,7ns

Keterangan (Remarks): BST = Bulan Setelah Tanam (Months after planting); ** = Berpengaruh sangat nyata pada

selang kepercayaan 99% (very significant at 95% confident level); * = Berpengaruh nyata pada selang

kepercayaan 95% (significant at 95% confident level); ns = Tidak berpengaruh nyata pada selang

kepercayaan 95% (not significant at 95% confident level)

Hasil pengukuran tinggi menunjukkan

bahwa perlakuan kelas umur tegakan tusam

berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan

tinggi pada umur 1-5 BST, begitu juga

dengan perlakuan varietas jahe berpengaruh

nyata terhadap pertumbuhan tinggi. Hasil

interaksi antara kelas umur tegakan tusam

dengan varietas jahe berpengaruh nyata

terhadap pertumbuhan tanaman jahe umur 1-3

BST, sedangkan pada umur 4 dan 5 BST

tedak berpengaruh (Tabel 3). Hasil uji lanjut

Duncan perbedaan perlakuan terhadap

pertumbuhan tinggi jahe dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3. Persentase tumbuh dan tinggi tanaman umur 1-3 bulan setelah tanam pada masing-masing perlakuan

penelitian

Table 3. Growth percentage and height of crop on 1-3 month after planting on each research treatment

No. Perlakuan

(Treatments)

Pertumbuhan tinggi (high growth) (Bulan Setelah Tanam/BST/MAP)

1 2 3

1. BP1 13,67 bc 17,00 c 23,67 c

2. BP2 11,00 d 15,33 cd 21,67 cd

3. BP3 17,67 a 25,67 a 33,33 a

4. KP1 9,00 e 14,67 de 19,00 ef

5. KP2 7,33 e 15,33 cd 17,00 f

6. KP3 11,00 d 17,00 c 21,00 de

7. MP1 12,00 cd 16,00 cd 21,00 de

8. MP2 9,00 e 13,33 e 19,67 de

9. MP3 14,33 b 22,67 b 30,00 b

Keterangan (Remarks : B = Jahe besar (large white ginger); K = Jahe kecil (small white ginger); M = Jahe merah (red

ginger); P1 = Tusam KU I (Pine Age Class I); P2 = Tusam KU II (Pine Age Class II); P3 = Tusam KU

miskin riap (Pine Age Poor Increament)

Persentase tumbuh pada masing-

masing kelas umur memperlihatkan bahwa

persentase tumbuh paling tinggi diperoleh

pada KU I disusul KU II dan KU MR.

Sementara itu, untuk varietas jahe persentase

tumbuh paling tinggi diperoleh jahe merah

disusul jahe putih kecil dan paling rendah

varietas jahe putih besar (gajah).

Kombinasi antara perlakuan kelas

umur dengan varietas jahe tidak berpengaruh

Page 16: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 1-13)

6

nyata terhadap persentase tumbuh dan tinggi

tanaman. Hasanah (2003) menyatakan bahwa

sampai umur 2 bulan setelah tanam

pertumbuhan tanaman jahe (tinggi tanaman

dan jumlah anakan) tidak berbeda nyata

antara perlakuan monokultur dengan

tumpangsari, yang memberikan indikasi

bahwa penanaman jahe dapat dilakukan

secara tumpangsari (intercropping).

Persentase tumbuh terbaik diperoleh pada

jahe merah, sedangkan untuk perlakuan

naungan diperoleh pada intensitas cahaya 68-

77% (KU I) (Gambar 4).

Pertumbuhan tinggi terbaik dicapai

pada intensitas cahaya 87-92% (MR), disusul

intensitas cahaya 68-77% (KU I) dan yang

terakhir pada intensitas cahaya 50–58% (KU

II). Pada perlakuan perbedaan varietas jahe,

pertumbuhan terbaik diperoleh jahe putih

besar disusul jahe merah dan jahe putih kecil

(Gambar 2). Hasil tersebut berbeda dengan

penelitian Hadiyanto (2011) dimana jahe

putih kecil pada kondisi terbuka memiliki

pertumbuhan tinggi terbaik dibangdingkan

dengan jahe putih besar maupun merah.

Gambar 2. Pengaruh naungan tegakan tusam terhadap persentase tumbuh dan pertumbuhan tinggi tanaman jahe

Figure 2. The Effect of pine stand shade on the growth percentage and height of ginger

Pertumbuhan tinggi tanaman jahe pada

masing-masing naungan memperlihatkan

bahwa tingkat naungan 87-92% (MR)

mempunyai pertumbuhan paling tinggi

dibandingkan tingkat naungan lainnya. Hal ini

disebabkan karena kelas hutan MR memiliki

intensitas cahaya paling tinggi. Kondisi

tersebut dapat mendukung pertumbuhan jahe

karena tingkat naungan optimal untuk

pertumbuhan jahe adalah sebesar 25%

(Valenzuela, 2011). Tinggi tanaman

dipengaruhi nyata oleh intensitas cahaya

(Phonguodume et al., 2012) karena

berhubungan dengan laju fotosintesis,

khususnya kompetisi untuk meningkatkan

kemampuan penangkapan cahaya matahari

(terutama pada tempat ternaungi) yang

dipengaruhi oleh faktor waktu dan spasial

(Yuliani, Soemarno, Yanuwiadi, & Leksono,

2015).

Varietas jahe besar (gajah)

mempunyai pertumbuhan paling tinggi

disusul jahe merah dan jahe kecil. Hal ini

dikarenakan secara morfologi jahe putih besar

(gajah) mempunyai bentuk batang dan daun

lebih besar dibandingkan dengan jahe putih

61,73 c

79,01 b

96,29 a

0

20

40

60

80

100

120

JKP JKB JM

Per

sent

ase

Tum

buh

(%)

81,48

80,25

75,31

72

73

74

75

76

77

78

79

80

81

82

I II Mr

9,11 c

14,11 a

11,78 b

0

2

4

6

8

10

12

14

16

JKP JKB JM

Per

tum

buha

n T

ingg

i (cm

)

Varietas

11,56 b

9,11 c

14,33 a

0

2

4

6

8

10

12

14

16

I II Mr

Intensitas Cahaya (Kelas Umur)

Page 17: ISSN: 2655-9595

Produktivitas dan kualitas tiga verietas jahe......(Gunawan dan Asep Rohandi)

7

kecil dan jahe merah. Persentase tumbuh

tanaman jahe memperlihatkan bahwa pada

KU MR persentase tumbuhnya paling sedikit

dibandingkan dengan KU I dan II. Sedangkan

untuk varietas jahe persentase tumbuh paling

besar adalah varietas jahe merah disusul jahe

putih besar dan kecil (Gambar 2).

Gambar 3 menunjukkan pertumbuhan

tinggi pada masing-masing umur, dimana

terlihat bahwa perlakuan BP3 secara

konsisten menunjukkan pertumbuhan paling

tinggi. Perlakuan BP3 adalah varietas jahe

putih besar yang ditanam pada KU MR yang

memiliki intensitas cahaya paling tinggi.

Gambar 3. Pertumbuhan tinggi jahe umur 1 sampai 5 bulan setelah tanam pada masing-masing perlakuan

Figure 3. Height growth of ginger on 1 to 5 month old after planting on each treatment

.

B. Produksi dan Kualitas Hasil

Tanaman jahe untuk konsumsi ideal

dipanen umur 6–10 bulan, sedangkan untuk

digunakan sebagai bibit umur panen ideal

adalah 10–12 bulan. Pada penelitian ini jahe

yang dipanen akan digunakan untuk konsumsi

sehingga pemanenan hasil dilaksanakan bulan

November dimana umur tanaman jahe baru 8

bulan. Hasil panen berupa berat rimpang jahe

dan kandungan bahan kimianya disajikan

pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh naungan tegakan tusam dan varietas jahe terhadap kualitas hasil jahe

Table 4. The effect of pine stands shade and ginger varieties on the ginger quality

No Sumber Keragaman

(Source of varians)

Kuadrat Tengah (Mean square)

Berat

Rimpang

Kadar

Air

Kandungan

Minyak Atsiri

Kandungan

Serat

Kadar

Pati

Kadar

Abu

1. Naungan (Shade) 9436,25** 2,33ns 0,01ns 0,54ns 0,38ns 0,26ns

2. Varietas jahe (Ginger

varieties) 8883,17** 8,33ns 5,58** 10,63**

82,56*

* 3,27ns

3. Interaksi (Interaction) 5176,61** 0,67ns 0,03ns 0,55ns 2,53ns 0,04ns

Keterangan (Remarks): ** = Berpengaruh sangat nyata pada selang kepercayaan 99%

(very significant at 95% confident level); * = Berpengaruh nyata pada selang

kepercayaan 95% (significant at 95% confident level); ns = Tidak berpengaruh

nyata pada selang kepercayaan 95% (not significant at 95% confident level)

Page 18: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 1-13)

8

Data pada Tabel 4 memperlihatkan

hasil analisis varian dimana kelas umur

tegakan tusam berpengaruh nyata terhadap

berat rimpang namun tidak berpengaruh nyata

terhadap semua kandungan bahan kimia yang

dianalisa. Varietas jahe berpengaruh nyata

terhadap berat rimpang, kandungan minyak

atsiri, kandungan serat dan kadar pati.

Sedangkan varietas jahe tidak berpegaruh

nyata terhadap kadar air dan kadar abu. Hasil

interaksi kelas umur tegakan tusam dan

varietas jahe hanya berpengaruh nyata

terhadap berat rimpang namun tidak

berpengaruh nyata terhadap kadar air,

kandungan minyak atsiri, kandungan serat,

kadar pati dan kadar abu.

Tabel 5. Berat rimpang jahe pada umur 8 bulan pada masing-masing perlakuan penelitian

Table 5. Weight of 8 month old ginger rhizome of each research treatment)

No. Perlakuan

(Treatment)

Berat Rimpang

(Weight of Rhizome)

(gram/crop)

1. BP1 145,93 b

2. BP2 113,07 c

3. BP3 264,60 a

4. KP1 118,67 bc

5. KP2 105,47 c

6. KP3 122,33 bc

7. MP1 132,80 bc

8. MP2 111,67 c

9. MP3 134,73 bc

Keterangan (Remarks) : B) Jahe besar (large white ginger); K) Jahe kecil (small white ginger); M) Jahe merah (red

ginger); P1) Tusam KU I (Pine Age Class I); P2) Tusam KU II (Pine Age Class II); P3) Tusam KU miskin

riap (Pine Age Poor Increament)

Hasil uji lanjut (Tabel 5)

memperlihatkan bahwa berat rimpang paling

tinggi diperoleh varietas jahe besar yang

ditanam pada tegakan MR (intensitas cahaya

87-92%) dimana produktivitas per hektar

mencapai 5,4 - 12,7 ton/hektar dengan rata-

rata 8,38 ton/ha. Jika dibandingkan dengan

hasil penanaman jahe secara monokultur

dimana produktivitasnya berkisar 20 - 25

ton/hektar (Balitro, 2010) maka produksi jahe

dibawah tegakan tusam hanya mencapai 50%.

Secara umum terjadi penurunan produktivitas

jahe yang ditanam pada lokasi agroforestri

dibandingkan dengan hasil penelitian uji klon

dibeberapa lokasi yag dilakukan oleh

Bermawie (2002) didapatkan bahwa tanaman

jahe putih besar (gajah) mempunyai

produktivitas sebesar 374,5 gr/rumpun

penurunan sebesar 53%, jahe putih kecil

(emprit) 165,7 gr/rumpun penurunan sebesar

30%, dan jahe merah sebesar 404,7

gr/rumpun penurunan sebesar 69%.

Berdasakan standar perdagangan yang

ada dalam SPO budidaya tanaman jahe

(Balitro, 2010), maka hasil panen jahe masuk

ke dalam 2 kategori mutu saja, yaitu : Mutu 1

bobot 250 gram/rimpang, kulit tidak

terkelupas, tidak mengandung benda asing

dan kapang adalah hasil panen pada perlakuan

BP3, sedangkan perlakuan yang lain masuk

kedalam mutu 3 dimana bobot sesuai hasil

analisis, kulit yang terkelupas maksimum

10%, benda asing maksimum 3% dan kapang

maksimum 10%.

Penurunan hasil rimpang jahe yang

terjadi pada penelitian ini karena selain

tanaman tusam sebagai tanaman pokok, juga

terdapat tanaman kopi sebagai tanaman sela

Page 19: ISSN: 2655-9595

Produktivitas dan kualitas tiga verietas jahe......(Gunawan dan Asep Rohandi)

9

yang dapat menghalangi cahaya yang diterima

tanaman jahe sebagai tanaman bawah.

Sitompul & Purnomo (2005) menjelaskan

bahwa produksi biomasa tanaman termasuk

bagian yang bernilai ekonomis (bagian yang

dipanen) tersusun sebagian besar dari hasil

fotosintesis. Sementara radiasi matahari,

sebagai sumber utama cahaya bagi tanaman,

menjadi salah satu syarat utama kelangsungan

proses fotosintesis. Pengaruh dari radiasi

matahari pada pertumbuhan tanaman dapat

dilihat sangat jelas pada tanaman yang

tumbuh dibawah naungan. Cahaya memiliki

peran penting bagi pertumbuhan tanaman

disamping air, unsur hara dan media tumbuh.

Kurangnya fraksi cahaya yang mampu

menembus lantai hutan melewati tajuk pohon

dapat menjadi pembatas bagi pertumbuhan

tanaman yang berada di bawah tajuk. (Mayoli

& Isutsa, 2012) menjelaskan bahwa naungan

memodifikasi intensitas cahaya dan suhu yang

kemudian mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan tanaman dengan berbagai cara.

Menurut Zervoudakis, Salahas, Kaspiris, &

Konstantopoulou (2012), terjadi perbedaan

karakteristik pertumbuhan dan fisiologi

akibat pengaruh perbedaan intensitas cahaya.

Naungan mengurangi radiasi sinar

utama yang aktif pada fotosintesis sehingga

berakibat menurunnya asimilasi neto

(Lambers, ChapinIII, & Pons, 1998),

selanjutnya fotosintat yang disimpan di dalam

organ penyimpan, akibatnya terjadi

penurunan bobot umbi (Zamski & Schaffer,

1996). Klorofil b berfungsi sebagai antena

fotosintetik yang mengumpulkan cahaya.

Perubahan ukuran luas daun serta kadar

klorofil a dan b akibat pengaruh naungan

tanaman karet, menyebabkan peningkatan

bobot basah umbi dan bobot kering umbi talas

(Colocasia esculenta) Peningkatan kadar

klorofil b yang lebih tinggi dari pada klorofil

a adalah upaya tanaman mengefisiensikan

penangkapan energi cahaya untuk

fotosintesis, meskipun belum mampu

mengatasi penurunan hasil (Djukri, 2006).

Penanaman dengan perbedaan kelas

umur menunjukkan bahwa hasil tanaman jahe

paling tinggi adalah pada KU MR kemudian

disusul KU I dan II. Hal ini sesuai dengan

kondisi intensitas cahaya pada masing-masing

kelas umur. Pada KU II terlihat intensitas

cahayanya paling rendah yaitu berkisar antara

50-58%, kemudian KU I antara 68–77%, dan

KU MR 87-92%. Hal ini sejalan dengan

penelitian Parman (2010) dimana intensitas

cahaya berpengaruh nyata terhadap panjang

umbi, berat basah umbi dan berat kering umbi

pada tanaman lobak (Raphanus Sativus). Hal

ini berbeda dengan tanaman kapulaga

dibawah tegakan sengon dimana tanaman

kapulaga memperlihatkan hasil lebih baik

pada intesitas cahaya 30% dibandingkan

dengan kapulaga yang ditanam pada tegakan

sengon dengan intensitas cahaya 70%

(Prasetyo, 2004). Intensitas cahaya sangat

berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman

jahe dan juga hasil yang akan didapat

nantinya. Hal ini sejalan dengan penelitian

Wahyuni, Barus, & Sukri (2013) yang

menjelaskan bahwa pemberian naungan

berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan

berat rimpang dari tanaman jahe merah.

Sementara itu, Pamuji & Saleh (2010)

melaporkan bahwa jahe gajah toleran

terhadap naungan dengan intensitas 25 dan

50%.

Produktivitas agroforestri kombinasi

tusam-jahe menunjukkan bahwa produktivitas

tertinggi diperoleh pada tegakan MR (8,35

ton/ha), disusul KU I (6,36 ton/ha) dan KU II

(5,28 ton/ha). Sementara itu, berdasarkan

varietas dihasilkan produksi tertinggi pada

Jahe besar/gajah sebesar 8,38 ton/ha, jahe

merah 6,07 ton/ha dan jahe kecil 5,54 ton/ha

(Gambar 4). Hasil tersebut lebih tinggi

dibandingkan peneltian (Kumar, 2006) pada

agroforestri jahe dan Ailanthus triphysa

dengan kerapatan tegakan berbeda dengan

produktivitas jahe antara 3,6 - 5,0 ton/ha.

Page 20: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 1-13)

10

Keterangan (Remarks): JKB) Jahe besar (large white ginger); JKP) Jahe kecil (small white ginger); JM) Jahe merah

(red ginger); I) Tusam KU I (Pine Age Class I); II) Tusam KU II (Pine Age Class II); MR) Tusam KU

miskin riap (Pine Age Poor Increament)

Gambar 4. Hasil panen (produksi) jahe pada masing-masing perlakuan naungan tegakan tusam

Figure 4. Harvest result (production) of gingers on each pine stand shade treatments

Penanaman jahe dengan pola

agroforestri disatu sisi dapat menurunkan

produktivitas dari tanaman jahe namun disisi

lain dapat menekan laju penyebaran hama dan

penyakit tanaman jahe. Hermanto (2003)

melaporkan bahwa agroforestri jahe dengan

bawang putih dapat menekan serangan

penyakit layu bakteri hingga 89,48%. Hal

tersebut kemungkinan juga berlaku pada pola

agroforestri kombinasi tanaman jahe dibawah

tegakan tusam dan kopi dalam penelitian ini.

Sistem agroforestri dapat menghambat

perkembangan hama dan penyakit

dibandingkan pola monokultur (Smith,

Pearce, & Wolfe, 2013). Berdasarkan hasil

pengamatan tidak ditemukan adanya ganguan

hama dan penyakit yang cukup serius di

lokasi penanaman.

Keterangan (Remarks): JKB) Jahe besar (large white ginger); JKP) Jahe kecil (small white ginger); JM) Jahe merah

(red ginger)

Gambar 5. Hasil analisis kandungan bahan kimia pada masing-masing varietas jahe

Figure 5. Result of biochemist analysis on each ginger variety

Dari hasil analisa bahan kimia

menunjukkan bahwa besaran kadungan bahan

kimia tidak dipengaruhi oleh intensitas cahaya

dan hanya parameter kandungan minyak

atsiri, kandungan serat, dan kandungan pati

yang dipengaruhi oleh varietas jahe (Gambar

5). Analisis kandungan bahan kimia

berdasarkan varietas jahe menunjukkan

6,36

5,28

8,35

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

I II MR

Pro

du

ksi

(to

n/h

a)

Intensitas Cahaya (Kelas Umur)

5,54

8,38

6,07

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

JKP JKB JM

Varietas

JM JKP JKB

Page 21: ISSN: 2655-9595

Produktivitas dan kualitas tiga verietas jahe......(Gunawan dan Asep Rohandi)

11

bahwa untuk kadar air jahe putih besar

mempunyai kadar air paling tinggi disusul

jahe merah dan paling kecil adalah jahe putih

kecil. Hal ini senada dengan penelitian

Bermawie (2002) yaitu kadar air pada jahe

putih kecil, jahe putih besar, dan merah

berturut-turut adalah 7-17%; 9-12%; dan 9 -

14%. Tingginya kandungan minyak atsiri

berdasarkan varietas jahe berturut-turut adalah

jahe merah, jahe putih kecil, dan jahe putih

besar. Kadar pati paling tinggi pada varietas

jahe merah, kemudian disusul jahe putih besar

dan yang paling rendah adalah jahe putih

kecil. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian

Jyotsna, Ghosh, & Meitei (2012) yang

melaporkan bahwa terjadi perbedaan

signifikan kualitas seperti kandungan bahan

kering, oleoresin dan serat kasar pada

beberapa varietas jahe.

Keterangan (remarks): KU I) Tusam KU I (Pine Age Class I); KU II) Tusam KU II (Pine Age Class II); MR) Tusam

KU miskin riap (Pine Age Poor Increament)

Gambar 6. Hasil analisa kandungan bahan kimia pada masing-masing perlakuan naungan (kelas umur)

Figure 6. Result of biochemist analysis on each shade treatment

Sementara itu, perbedaan naungan

juga tidak berpengaruh terhadap kualitas atau

kandungan bahan kimia jahe (Gambar 6).

Kandungan bahan kimia berdasarkan naungan

(kelas umur) memperlihatkan bahwa KU I

dan KU MR hasilnya hampir sama,

sedangkan KU II hasilnya paling rendah. Hal

ini sesuai dengan hasil pengamatan intensitas

cahaya yang dilakukan pada masing-masing

kelas umur dimana KU II memiliki intensitas

cahaya paling rendah. Hasil berbeda

menunjukkan bahwa naungan berpengaruh

secara signifikan terhadap kandungan pati dan

karbohidrat pada varietas grapevine (Vitis

vinifera) (Köse, 2014) dan kandungan

fisikokimia umbi garut (Maranta

arundinacea) (Djafaar et al., 2010).

IV. KESIMPULAN

Intensitas naungan berpengaruh

terhadap persentase tumbuh dan pertumbuhan

tinggi tanaman jahe, sedangkan perbedaan

varietas berpengaruh nyata terhadap

persentase tumbuh, pertumbuhan tinggi,

kandungan minyak atsiri, kandungan serat

dan kadar pati. Interaksi antara kedua faktor

tersebut hanya berpengaruh nyata terhadap

pertumbuhan tinggi dan berat rimpang.

Produksi tanaman jahe tertinggi diperoleh

pada tegakan tusam dengan intensitas cahaya

87-92% (miskin riap/MR) sebesar 5,54 ton/ha

jahe putih kecil, 8,38 ton/ha jahe putih besar

dan 6,7 ton/ha untuk jahe merah. Kualitas

jahe terbaik diperoleh pada jahe merah

dengan kadar air 8,44%, kadar minyak atsiri

3,69%, kadar serat 6,9%, kadar abu 5,99%

dan kadar pati 42,73%. Agroforestri jahe di

bawah tegakan tusam terutama pada tegakan

miskin riap dapat dilakukan untuk

meningkatkan produktivitas lahan meskipun

belum mampu meningkatkan kualitas hasil

jahe.

KU I KU II MR

Page 22: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 1-13)

12

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. (2007). Prospek dan Arah

Pengembangan Agribisnis Tanaman

Obat (Edisi Kedu). Jakarta: Departemen

Pertanian.

Badan Pusat Statistik. (2015). Statstk

Tanaman Biofarmaka (Statstcs of

Medical Plants) Indonesia 2015. Badan

Pusat Statistik.

Bermawie, N. (2002). Uji Aadaptibilitas

Klon-klon Harapan Jahe Pada

Berbagai Kondisi Agroekologi. Bogor.

Bermawie, N., Syahid, S. F., Hadad, E. A.,

Hobir, Ajijah, N., & Rukmana, D.

(2002). Uji Adaptasi Klon-Klon

Harapan Jahe Pada Berbagai Kondisi

Agroekologi. Bogor.

Djukri. (2006). The plant characters and corm

production of taro as catch crop under

the young rubber stands. Biodiversitas,

Journal of Biological Diversity, 7(3),

256–259.

https://doi.org/10.13057/biodiv/d07031

2

Hadiyanto, D. K. (2011). Pengaruh

Komposisi Media Organik Terhadap

Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas

Jahe (Zingiber officinale Rosc.).

Jember.

Jyotsna, N., Ghosh, D. C., & Meitei, W. I.

(2012). Study of growth , yield and

quality of organically grown ginger

varieties under rainfed condition of

Manipur, 8(1), 17–21.

Köse, B. (2014). Effect of Light Intensity and

Temperature on Growth and Quality

Parameters of Grafted Vines, 42(2),

507–515.

Kumar, B. M. (2006). Agroforestry : the new

old paradigm for Asian food security.

Journal of Tropical Agriculture, 44, 1–

14. Retrieved from http://www.jtropag.in/index.php/ojs/arti

cle/viewFile/162/150

Lambers, H., ChapinIII, F. S., & Pons, T. L.

(1998). Plant Physiological Ecology.

Springer, New York, NY.

https://doi.org/https://doi.org/10.1007/9

78-1-4757-2855-2

Mayoli, R. N., & Isutsa, D. . (2012).

Relationships of Light Intensity and

Temperature With Growth and

Development of Preconditioned and

Shaded. International Journal Of

Advanced Biological Research, 2(1),

24–29.

Mayrowani, H., & Ashari. (2011).

Pengembangan Agroforestry untuk

Mendukung Ketahanan Pangan dan

Pemberdayaan Petani Sekitar Hutan.

Forum Penelitian Agro Ekonomi, 29(2),

83–98. Retrieved from

https://www.neliti.com/publications/641

54/pengembangan-agroforestry-untuk-

mendukung-ketahanan-pangan-dan-

pemberdayaan-peta

Neita, J. C., & Escobar, F. (2012). The

potential value of agroforestry to dung

beetle diversity in the wet tropical

forests of the Pacific lowlands of

Colombia. Agroforestry Systems, 85(1),

121–131.

https://doi.org/10.1007/s10457-011-

9445-9

Pamuji, S., & Saleh, B. (2010). Pengaruh

intensitas naungan buatan dan dosis

pupuk K terhadap pertumbuhan dan

hasil Jahe Gajah. Akta Agrosia, 13(1),

62–69.

Parman, S. (2010). Pengaruh Intensitas

Cahaya Terhadap Produksi Umbi

Tanaman Lobak (Raphanus Sativus L).

Buletin Anatomi Dan Fisiologi, 18(2),

29–38.

https://doi.org/10.1080/0164795910868

3892

Phonguodume, C., Lee, D. K., Sawathvong,

S., Park, Y. D., Hoo, w M., &

Page 23: ISSN: 2655-9595

Produktivitas dan kualitas tiga verietas jahe......(Gunawan dan Asep Rohandi)

13

Combalicer, E. A. (2012). Effects of

Light Intensities on Growth

Performance, Biomass Allocation and

Chlorophyll Content of Five Tropical

Deciduous Seedlings in Lao PDR.

Environmental Science and

Management, 6(7), 60–67.

Prasetyo. (2004). Budidaya Kapulaga Sebagai

Tanaman Sela Pada Tegakan Sengon.

Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia,

6(1), 22–31.

Rostiana, O., Abdullah, A., Taryono, &

Hadad, E. A. (1991). Jenis-Jenis

Tanaman Jahe. Edisi Khusus Littro,

7(I), 7–10.

Sitompul, S. M., & Purnomo, D. (2005).

Peningkatan Fungsi Agronomi Sistem

Agroforestry Jati, Pinus dengan

Penggunaan Varietas Tanaman Jagung

Toleran Irradiasi Rendah. Agrosains,

7(2), 92.

Smith, J., Pearce, B. D., & Wolfe, M. S.

(2013). Reconciling productivity with

protection of the environment: Is

temperate agroforestry the answer?

Renewable Agriculture and Food

Systems, 28(1), 80–92.

https://doi.org/10.1017/S174217051100

0585

Suganda, H., Rachman, A., & Sutono. (2006).

Petunjuk Pengambilan Contoh Tanah

(pp. 3–24). Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan

Pertanian.

Sujatmoko, S. (2011). Adaptasi permudaan

Pohon Gyrinops verstegii (Gilg.)

Domke (Akusuk) Sebagai Penghasil

Gaharu Terhadap Lingkungan Cahaya

di Tegakan Alam Gunung Timan.

Universitas Gadjah mada.

Triwanto, J. (2011). Marginal Dalam Upaya.

Humanity, 7(September), 23–27.

Valenzuela, H. (2011). Farm and Forestry

Production and Marketing Profile of

Ginger (Zingiber officinale). Elevitch,

C.R., 1–11.

Wahyuni, L., Barus, A., & Sukri. (2013).

Respon Pertumbuhan Jahe Merah

Terhadap Pemberian Naungan Dan

Beberapa Teknik Bertanam. Jurnal

Online Agroteknologi, 1(4), 1171–1182.

Yuliani, Soemarno, Yanuwiadi, B., &

Leksono, A. S. (2015). The

Relationship between Habitat Altitude,

Enviromental Factors and

Morphological Characteristics of

Pluchea Indica, Ageratum Conyzoides

and Elephantopus Scaber. OnLine

Journal of Biological Sciences, 15(3),

143–151.

https://doi.org/10.3844/ojbsci.2015.143.

151

Zamski, E., & Schaffer, A. (1996).

Photoassimilate distribution in plants.

Source-Sink Relationships. Grapes. Eds.

Marcel Dekker, Inc. New York.

https://doi.org/10.1201/9780203743539

Zervoudakis, G., Salahas, G., Kaspiris, G., &

Konstantopoulou, E. (2012). Influence

of Light Intensity on Growth and

Physiological Characteristics of

Common Sage (Salvia officinalis L.).

BRAZILIAN ARCHIVES OF BIOLOGY

AND TECHNOLOGY, 55(February),

89–95.

Page 24: ISSN: 2655-9595

PERKECAMBAHAN BENIH JAMBLANG (Syzygium cumini) PADA TIGA

PERLAKUAN PRA-PERKECAMBAHAN DAN MEDIA TABUR

(Germination of Jamblang (Syzygium Cumini) Seeds on Three Treatments of Pre-Germination

And Sowing Media)

Aris Sudomo1 dan Dila Swestiani

2

1,2

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry

Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax. (0265) 775866

Email: [email protected]

Diterima 2 Oktober 2018, direvisi 14 Desember 2018, disetujui 17 Desember 2018

ABSTRACT

Generative propagation was needed as one of efforts in developing jamblang as a medicinal plant. This study aims to

improve the percentage and germination rate of jamblang seeds through pre-germination and sowing media treatments.

The combination of treatments were (1) soil (T) x water (AB), (2) soil (T) x coconut water (AK), (3) soil (T) x control

(without soaking treatment) (K), (4) sand (P) x water (AB), (5) sand (P) x coconut water (AK), (6) sand (P) x control

(K), (7) mixed soil-sand (TP) x water (AB), (8) mixed soil-sand (TP) x water (AB), and (9) mixed soil-sand (TP) x

control (K). The results revealed that the treatments of sowing seeds with mixed media soil + sand and pre-germination

treatments by soaking the seeds for 12 hours in coconut water gave the highest percentage (70%) and germination rate

(4.96%). Percentage of germination more than 50% only can be reached by the seeds that sowed on mixed soil + sand

with pre-germination treatments soaked in coconut water for 12 hours and in water for 12 hours. The improvement in

the percentage and germination rate of jamblang were achieved by using mixed sowing media soil + sand and pre-

germination treatment by soaking in coconut water.

Keywords: jamblang, germination, sowing media and generative

ABSTRAK

Perbanyakan generatif diperlukan dalam upaya pengembangan tanaman obat jenis jamblang. Penelitian ini bertujuan

untuk meningkatkan persentase dan kecepatan berkecambah benih jamblang melalui perlakuan pra-perkecambahan dan

media tabur. Kombinasi perlakuan tersebut adalah (1) media tanah (T) x perendaman air biasa (AB), (2) media tanah x

perendaman air kelapa (AK), (3) media tanah (T) x kontrol (tanpa perendaman benih) (K), (4) media pasir (P) x

perendaman air biasa (AB), (5) media pasir (P) x perendaman air kelapa (AK), (6) media pasir (P) x kontrol (K), (7)

media tanah-pasir (TP) x perendaman air kelapa (AK), (8) media tanah-pasir (TP) x perendaman air biasa (AB), dan (9)

media tanah-pasir (TP) x kontrol (K). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penaburan benih dengan media

campuran tanah+pasir dan pra-perkecambahan benih dengan perendaman air kelapa selama 12 jam menghasilkan

persentase dan kecepatan berkecambah terbesar (70%/4,96%). Persentase berkecambah lebih dari 50% hanya dihasilkan

pada media tanah+pasir dengan perlakuan pendahuluan perendaman air kelapa 12 jam dan air biasa 12 jam.

Peningkatan persentase dan kecepatan berkecambah jamblang dicapai dengan campuran media tanah+pasir dan

perlakuan praperkecambahan perendaman air kelapa.

Kata Kunci: Jamblang, perkecambahan, media dan generatif.

I. PENDAHULUAN

Jamblang (Syzygium cumini (L.)

Skeels.) merupakan keluarga suku Myrtaceae

yang mulai sulit ditemukan keberadaannya.

Hal ini disebabkan oleh relatif terbatasnya

upaya budidaya oleh masyarakat karena belum

mengetahui manfaat obat dari tanaman

jamblang. Padahal setiap bagian dari tanaman

jamblang bermanfaat sebagai obat. Manfaat

dari tanaman jamblang antara lain: biji sebagai

obat diabetes, buah sebagai antioksidan dan

antikanker, kulit buah sebagai obat disentri dan

daun sebagai penguat gigi dan gusi (Swami et

Page 25: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 15-22)

16

al., 2012 ; Prince et al., 2008; Afify et al.,

2011; Namasivaan et al., 2008 ; Soni et al.,

2011).

Jamblang merupakan salah satu jenis

tanaman konservasi yang dapat tumbuh pada

tanah marjinal yang terjal dan berbatu, karena

sistem perakarannya yang berakar tunggang

dan kompak. Kawasan tropis dan subtropis

merupakan habitat alami tumbuhan jamblang

(Rosannah et al., 2015; Kumar et al., 2010).

Beberapa hutan rakyat jamblang ditemukan di

Dusun Jojoran Wetan, Desa Triwidadi,

Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul,

Yogyakarta. Habitat jamblang tersebut berada

pada ketinggian di bawah 300 mdpl dengan

suhu 28–30oC, kondisi tanah

perbukitan/pegunungan, dengan lapisan tanah

tipis, banyak bebatuan, tanah kurang subur

(Anonim, 2013).

Biji S. cumini relatif besar, berdaging

sehingga berdasarkan bentuk fisiknya dapat

digolongkan ke dalam benih rekalsitran. Benih

rekalsitran mudah berkecambah tetapi cepat

kehilangan viabilitas (Pratiwi et al., 2012).

Benih berkualitas ditandai dengan daya

kecambah dan kecepatan berkecambah yang

tinggi sedangkan hasil penelitian Mudiana

(2007) menunjukkan bahwa persentase

perkecambahan benih jamblang putih pada

media campuran tanah + pasir masih relatif

rendah (53,33%). Oleh karena itu, metode

untuk meningkatkan daya kecambah dan

kecepatan berkecambah benih jamblang masih

diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui media perkecambahan yang

optimum (tanah, tanah+pasir, pasir) dan

perendaman air kelapa dan air tawar suhu

ruangan dalam meningkatkan dan

mempercepat perkecambahan benih S. cumini.

II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Persemaian

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Agroforestry Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa

Barat. Pengamatan dilaksanakan selama dua

bulan dari bulan Desember 2014 sampai

dengan Januari 2015.

B. Bahan Penelitian

Bahan berupa benih jamblang yang

berasal dari pohon induk di Arboretum Kebun

Binatang Gembiraloka, Yogyakarta. Buah

masak yang diunduh merupakan buah yang

telah masak secara fisiologis dengan ciri buah

berwarna ungu kehitaman (varietas jamblang

hitam) sebanyak 450 buah hasil seleksi yang

diekstraksi dengan cara pencucian untuk

menghilangkan daging buah yang kemudian

dikeringanginkan. Lama proses ekstraksi benih

dari pengunduhan buah sampai dengan

menjadi benih untuk penaburan adalah sekitar

4-5 hari.

Benih jamblang yang diuji adalah

benih segar dan diberi perlakuan pendahuluan.

Media perkecambahan yang diujicobakan

adalah tanah, pasir, dan campuran tanah dan

pasir (1:1). Bahan yang digunakan untuk

perendaman benih adalah air kelapa dan air

tawar suhu ruangan.

C. Metode Penelitian

Percobaan ini menggunakan 9

perlakuan yaitu (1) Tanah (T) x Air Biasa

(AB), (2) Tanah x Air Kelapa (AK), (3) Tanah

(T) x Kontrol (K), (4) Pasir (P) x Air Biasa

(AB), (5) Pasir (P) x Air Kelapa (AK), (6)

Pasir (P) x Kontrol (K), (7) Tanah-Pasir (TP) x

Air Kelapa (AK), (8) Tanah-Pasir (TP) x Air

Biasa (AB), dan (9) Tanah-Pasir (TP) x

Kontrol (K). Sembilan perlakuan di atas

masing-masing menggunakan 50 benih

sehingga total benih adalah 450. Perlakuan

pendahuluan sebelum ditanam pada media

semai meliputi: (1) dilakukan perendaman

benih selama 12 jam dengan air kelapa

sebanyak 150 benih (2) perendaman dengan air

sebanyak 150 benih, dan (3) tanpa perlakuan

perendaman (kontrol) sebanyak 150 benih.

Penyiraman terhadap benih yang telah ditanam

di media tabur dilakukan 1 hari sekali.

Penyiraman dilakukan dengan sprayer

Page 26: ISSN: 2655-9595

Perkecambahan jenis jamblang......(Aris Sudomo dan Dila Swestiani)

17

sehingga menghasilkan semburan air yang

relatif kecil dan tidak merubah posisi benih.

D. Pengumpulan dan Analisis Data

Parameter yang diamati selama

perkecambahan benih jamblang adalah awal

benih berkecambah (hari setelah tanam/HST),

durasi berkecambah, kecepatan

perkecambahan dan daya perkecambahan (%)

(Sadjad., 1993). Pencatatan dimulai sejak hari

pertama ditemukan benih yang berkecambah

hingga tidak ada lagi benih yang berkecambah.

Pertambahan jumlah benih yang berkecambah

dihitung dan dicatat setiap hari secara

kumulatif. Data yang didapat dianalisis dengan

deskriptif kuantitatif untuk setiap kombinasi

perlakuan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

peningkatan daya berkecambah (70%),

kecepatan berkecambah (4,96 KN/etmal) dan

50% berkecambah (26 hari) paling optimal

didapatkan dengan penggunaan media tabur

campuran tanah dan pasir 1:1 (b/b) dengan

perlakuan pendahuluan perendaman benih

pada air kelapa. Terkecuali pada parameter

nilai perkecambahan, kombinasi media tabur

campuran tanah dan pasir dengan perlakuan

pendahuluan perendaman dengan air

memberikan nilai tertinggi pada parameter

nilai perkecambahan sebagaimana disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil daya berkecambah, kecepatan berkecambah, hari pertama berkecambah, lama hari berkecambah dan

nilai perkecambahan benih S. cuminii pada perlakuan 3 jenis bahan perendaman dan 3 media tabur.

Table 1. The result of germination percentage, germination rate, the first day of germination, length of germination,

50% germination, and germination value of S. cuminii seeds on 3 types of soaking methods and 3 types of

sowing media.

Perlakuan

(Treatments)

Daya

Berkecambah

(Germination

Capacity (%)

Kecepatan

Berkecambah

(Germination

Rate)

(KN%/Etmal

x hari

(KN%/Etmal

x day))

Hari Pertama

Berkecambah

(The First Day Of

Germination)

(hari (days))

Lama Hari

Berkecambah/

Length Of Germination

(hari (days))

50%

Berkecambah

(50%

Germination)

(hari/days)

Nilai

Perkecambahan

(Germination Value)

TP - AK 70 4,96 14 28 26 2,32

TP - AB 54 3,52 14 28 27 3,31

TP - K 44 3,42 14 28 0 1,41

P - AK 22 3,16 14 24 0 0,67

P - AB 28 4,74 14 22 0 1,27

P - K 22 3,19 14 24 0 0,48

T - AK 40 0,40 19 28 0 1,86

T - AB 34 0,36 19 26 0 1,59

T - K 32 0,23 19 28 0 1,31

Keterangan (Remarks) : TP = tanah+pasir (1:1) (mixed sand+top soil), T= tanah (topsoil), P = pasir (sand), AK = air

kelapa 12 jam (coconut water 12 hours), AB = air biasa 12 jam (normal water 12 hours), K = kontrol (control/no

soaking)

Page 27: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 15-22)

18

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Ju

mla

h b

iji b

erk

ecam

bah

(Nu

mber

of

ger

min

ati

ng s

eeds)

Hari ke- (days )

TP - AK TP - AB TP - K P - AK P - AB P - K T - AK T - AB T - K

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 2 0 2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9 3 0 3 1

Da

ya

per

kec

am

ba

ha

n

(Ger

min

ati

on

per

cen

tag

e)

(%)

Durasi perkecambahan (Germination duration) (Hari/day)

TP-AK TP-A TP-K P-AK P-A P-K T-AK T-A T-K

Keterangan (Remarks) : TP = tanah+pasir (1:1) (mixed sand+top soil), T= tanah (topsoil), P = pasir (sand), AK =

air kelapa 12 jam (coconut water 12 hours), AB = air biasa 12 jam (normal water 12 hours), K = kontrol (control/no

soaking)

Gambar 1. Persentase perkecambahan jamblang pada kombinasi perlakuan 3 media tabur dan 3 metode perendaman

Figure 1. Germination percentage of jamblang on three combinations of 3 sowing media and 3 soaking methods

Gambar 2. Jumlah benih jamblang berkecambah per hari pada 3 jenis metode perendaman dan 3 jenis media tabur

Figure 2. The number of germinating seeds per day on the 3 pre-germination treatments and 3 sowing media

Page 28: ISSN: 2655-9595

Perkecambahan jenis jamblang......(Aris Sudomo dan Dila Swestiani)

19

B. Pembahasan

Menurut Schmidt (2000) faktor-faktor

yang mempengaruhi perkecambahan benih di

antaranya adalah mutu benih, perlakuan awal

(pematahan dormansi), dan kondisi

perkecambahan (air, suhu, media, cahaya).

Media perkecambahan dan perlakuan

pendahuluan merupakan salah satu faktor

penting yang dapat mempengaruhi

keberhasilan perkecambahan benih.

Daya berkecambah benih jamblang

pada kesembilan kombinasi perlakuan masih

menunjukkan hasil yang rendah. Penggunaan

media tabur berupa campuran tanah + pasir

dengan perlakuan pendahuluan perendaman air

kelapa (TP-AK) dan air biasa (TP-AB)

berturut-turut menghasilkan daya berkecambah

70% dan 54%.

Perkecambahan dalam campuran tanah

dan pasir menghasilkan perkecambahan lebih

besar daripada dengan tanah atau pasir saja.

Campuran tanah + pasir menghasilkan media

dengan porositas dan aerasi optimal

dibandingkan media tanah atau pasir saja,

dimana pada tahap awal perkecambahan benih

membutuhkan media dengan porositas baik

untuk pertumbuhan calon akar (Sudomo,

2012). Media pasir memiliki porositas yang

tertinggi tetapi memiliki kemampuan menahan

air yang rendah. Hal ini menghambat proses

awal perkecambahan yang relatif memerlukan

air. Tanah memiliki kemampuan menyimpan

air yang tinggi tetapi aerasi yang kurang baik

untuk respirasi benih. Media dengan porositas,

aerasi dan kemampuan menyimpan air yang

optimal mendukung penyerapan air dan

respirasi benih untuk berkecambah. Menurut

Mudiana (2007) media yang baik untuk

perkecambahan jamblang adalah tidak terlalu

basah atau lembab, sebab daya berkecambah

akan berkurang jika media terlalu lembab.

Perkecambahan jamblang dengan

media campuran tanah + pasir mulai

berkecambah pada hari ke-18 dengan

persentase kecambah 53,33% (Mudiana,

2007). Pada penelitian ini, kombinasi tanah +

pasir menghasilkan awal berkecambah yang

hampir sama dengan pasir (14 hari) tetapi

dengan durasi perkecambahan benih jamblang

terlama pada semua perlakuan pendahuluan

(28 hari) dibanding tanah saja (26-28 hari) dan

pasir saja (22-24 hari). Hal ini menunjukkan

kombinasi media tersebut mampu

memperpanjang durasi perkecambahan

dibanding tanah atau pasir saja. Dan hanya

pada media campuran tanah + pasir persentase

berkecambah lebih dari 50% tercapai pada hari

ke-26 dan ke-27. Media dengan aerasi dan

porositas yang baik diperlukan untuk respirasi

benih selama proses perkecambahan.

Kemampuan media menyimpan air diperlukan

benih dalam menyerap air untuk proses awal

perkecambahan. Media campuran pasir dan

tanah menjadi titik optimal dalam

menyediakan media dengan aerasi, porositas

dan kemampuan menyimpan air.

Pada hari ke-14 benih mulai

berkecambah dengan persentase relatif lebih

banyak pada media tanah + pasir dan pasir.

Kemudian baru menunjukkan peningkatan

perkecambahan pada hari ke-19 s/d ke-24.

Pada media tanah bahkan baru menunjukkan

peningkatan di hari ke-26-28. Hal disebabkan

oleh kemampuan tanah menyimpan air secara

stabil sehingga mampu menyediakan kondisi

yang optimal bagi benih sampai akhir

pengamatan.

Wulandari et al. (2015) menyatakan

bahwa perkecambahan merbau darat (Intsia

palembanica) pada media tanah+pasir (1:1)

menghasilkan persentase kecambah 80,250%.

Media perkecambahan yang optimum untuk

perkecambahan benih mengkudu (Morinda

citrifolia L) adalah media tanah + kompos 1:1

(b/b) (Murniati & Suminar, 2006).

Benih dengan kecepatan berkecambah

yang tinggi berarti mempunyai vigoritas benih

yang baik. Benih yang ditabur relatif seragam

dan baru sehingga mempunyai potensi

berkecambah yang baik. Perbedaan kecepatan

berkecambah bisa disebabkan oleh perbedaan

jenis media tabur dan perlakuan pendahuluan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

kombinasi media tabur tanah + pasir dengan

perlakuan pendahuluan perendaman air kelapa

mampu meningkatkan kecepatan berkecambah

Page 29: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 15-22)

20

4,96 KN%/etmal. Putri et al. (2013)

menyatakan bahwa air kelapa mengandung

berbagai makro nutrien asam amino, mineral

dan fitohormon yang bermanfaat untuk

meningkatkan perkecambahan benih. Menurut

Ilyas (2012) dormansi endogen dapat

dipatahkan dengan perubahan fisiologis seperti

pemasakan embrio rudimenter, respon

terhadap zat pengatur tumbuh, perubahan suhu

dan ekspos ke cahaya. Air kelapa bisa

mengatasi dormansi endogen dengan

perubahan fisologis benih berupa respon

terhadap zat pengatur tumbuh yang terkandung

dalam air kelapa.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan

bahwa air kelapa juga dapat membantu

meningkatkan viabilitas benih malapari pada

media pasir + tanah, Morus macroura (pada

media kapas basah) dan kopi (pada media

tanah gambut dan pupuk kandang dengan

perbandingan 2:1) (Anwar et al., 2008 ; Turnip

et al. 2014 ; Suita & Syamsuwida, 2015).

Peningkatan daya berkecambah juga terjadi

pada benih cempaka dan kacang tanah yang

terlebih dahulu direndam air kelapa (Kurniaty

et. al. 2003; Nurussintani et al., 2013).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan

bahwa daya berkecambah benih pada

perendaman air lebih baik dibandingkan

kontrol /tanpa perendaman pada ketiga media

(tanah + pasir , pasir dan tanah). Perendaman

air dapat meningkatkan penyerapan air dan

melunakkan kulit benih sebagai proses awal

perkecambahan. Perlakuan skarifikasi dan

perendaman air selama 24 jam memberikan

hasil yang terbaik pada benih Arenga pinnata

(Rinaldi, 2010).

Air merupakan salah satu syarat

penting bagi berlangsungnya proses

perkecambahan benih (Sutopo, 2002; Murniati,

2013). Tahapan awal yang terjadi pada proses

perkecambahan adalah penyerapan air oleh biji

yang menyebabkan melunaknya kulit biji.

Oleh karena itu perendaman dalam air sebelum

dikecambahkan memegang peranan penting

agar benih yang telah menyerap air bisa

muncul atau tumbuh calon akar. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian Suita & Syamsuwida

(2015) yang menyebutkan bahwa perendaman

benih malapari pada air biasa selama 24 jam

dapat mematahkan dormansi sehingga

menghasilkan daya berkecambah sampai 100%

dengan media pasir + tanah. Pada benih

Manilkara kauki (L.) Dubard dengan

perlakuan direndam air-jemur selama 3 hari

secara umum menghasilkan perkecambahan

lebih baik pada media pasir + tanah (Sudrajat

& Megawati, 2010).

Dalam penelitian ini perlakuan

perendaman benih dilakukan secara seragam

yaitu selama 12 jam. Dengan kombinasi

perlakuan media tabur, media perendaman

benih dan lama waktu perendaman selama 12

jam, TP-AK memberikan hasil yang paling

optimal. Beberapa hasil penelitian memberikan

hasil persentase perkecambahan yang optimum

dengan perendaman dengan air selama 12 jam.

Sebagaimana penelitian (Marthen et al., 2013)

yang mendapatkan hasil perkecambahan benih

Paraserianthes falcataria L. sebesar 100%

dengan dicelup air panas 60°C selama 4 menit

dan direndam dalam air biasa selama 12 jam

pada Uji Kertas digulung dengan Plastik

(UKDp). Daya berkecambah Arenga pinnata

pada media pasir lebih tinggi dibanding

tanah+kompos (Rofik & Murniati, 2008).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Perlakuan pendahuluan terhadap benih

S. cumini berupa perendaman dengan air

kelapa selama 12 jam kemudian

dikecambahkan dengan media campuran tanah

+ pasir 1:1 (b/b) mampu menghasilkan daya

dan kecepatan berkecambah terbaik (70%/

4,94% KN%/etmal x day). Daya berkecambah

lebih dari 50% hanya dihasilkan pada

perlakuan TP-AK dan TP-AB masing masing

tercapai pada hari ke-26 dan ke-27 dengan

nilai perkecambahan berturut-turut 2,32 dan

3,31. Kombinasi tanah + pasir relatif

menghasilkan awal berkecambah yang sama

dengan media tabur pasir saja (14 hari).

Meskipun demikian durasi perkecambahan

benih S. cumini pada media tanah + pasir

adalah yang terlama (28 hari) dibandingkan

Page 30: ISSN: 2655-9595

Perkecambahan jenis jamblang......(Aris Sudomo dan Dila Swestiani)

21

dengan tanah saja (26-28 hari) dan pasir saja

(22-24 hari).

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada Balai Penelitian dan Pengembangan

Teknologi Agroforestry dalam penelitian

Penerapan Agroforestry Tanaman Hutan

Penghasil Obat Jenis Jamblang (Syzygium

cumini) yang telah mendukung dan mendanai

penelitian ini; dan kepada Edi Nurrochman dan

Srita Nursuse Febianti selaku teknisi dalam

penelitian ini. Penulis juga mengucapkan

terimakasih kepada Adang Bayu Pamungkas

S.Hut, Msc. atas bantuannya mengambil dan

mengirimkan buah jamblang.

DAFTAR PUSTAKA

Afify, A. E. M. R., Fayed, S. a, Shalaby, E. a,

& El-shemy, H. a. (2011). Syzygium

cumini (pomposia) active principles

exhibit potent anticancer and antioxidant

activities. African Journal of Pharmacy

and Pharmacology, 5(July), 948–956.

Anonim. (2013). Monografi Kelurahan

Triwidadi Kecamatan Pajangan

Kabupaten Bantul.

Anwar, A., Renfiyeni, & Jamsari. (2008).

Metode perkecambahan benih Andalas

(Morus macroura Mig). Jerami, 1(1).

Aris Sudomo. (2012). Perkecambahan benih

Sengon (Falcataria moluccana (MIQ.)

BARNEBY & J.W. GRIMES) pada 4

jenis media. In Prosiding SNaPP (pp. 37–

42).

Ilyas, S. (2012). Ilmu dan teknologi benih. IPB

Press.

Kumar, R., Ramamurthy, V., & Sharma, G.

(2010). Checklist of insects associated

with Jamun (Syzygium cuminii Skeels)

from India. Biological Forum — An

International Journal, 2(1), 1–5.

Kurniaty, R., Yuniarti, N., Muharam, A.,

Kartiana, E. R., Ismiati, E., & Royani, H.

(2003). Teknik penanganan benih jenis

andalan setempat di Sulawesi Selatan,

Bali, Kalimantan Barat dan Jawa Barat

(LUC No 385). Bogor.

Marthen, Kaya, E., & Rehatta, H. (2013).

Pengaruh perlakuan pencelupan dan

perendaman terhadap perkecambahan

benih sengon. Agrologia, 1, 10–16.

Mudiana, D. (2007). Perkecambahan

Syzygium cumini (L.) Skeels.

Biodiversitas, 8, 39–42.

Murniati, E. (2013). Fisiologi perkecambahan

dan dormansi benih (Dasar ilmu dan

teknologi benih). IPB Press.

Murniati, E., & Suminar, M. (2006). Pengaruh

jenis media perkecambahan dan

perlakuan pra perkecambahan terhadap

viabilitas benih mengkudu (Morinda

citrifolia L.) dan hubungannya dengan

sifat dormansi benih. Bul. Agron, 34(2),

119–123.

Namasivaan, R., Ramachandran, B., &

Decharaman, M. (2008). Effect of

aqueous extract of Syzygium cuminii

pulp on antioxidant defense system in

streptozotocin induced diabetic rats.

Internasional Journal Of Post Harvest

Techonolgy, 2008 Pp 137-145, 7(2), 137–

145.

Nurussintani, W., Damanhuri, &

Purnamaningsih, S. L. (2013). Perlakuan

pematahan dormansi terhadap daya

tumbuh benih 3 varietas kacang tanah

(Arachis hypogaea). Jurnal Produksi

Tanaman, 1(1), 86–93.

Pratiwi, R. D., Rabaniyah, R., & Purwantoro,

A. (2012). Pengaruh jenis dan kadar air

media simpan terhadap viabilitas benih

Lengkeng (Dimocarpus longan Lour.).

Vegetalika, 1(2).

Prince P., & Venon M. (2008). Effect of

syzygium in plasma antioxidant on

alloxant induced diabetes in rats. Journal

Of Clinical Biochemistry And Nutrition.,

Page 31: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 15-22)

22

25, 81–86.

Putri, B., Vickry, A. H., & Maharani, H. W.

(2013). Pemanfaatan air kelapa sebagai

pengkaya media pertumbuhan mikroalga

Tetraselmis sp. In Prosiding Semirata

FMIPA Universitas Lampung (pp. 135–

142).

Rinaldi. (2010). Pengaruh skarifikasi dan lama

perendaman terhadap perekecambahan

benih Aren (Arenga pinnata). Jurnal

Ikatan Keluarga Besar Universitas

Jambi, 112, 33–37.

Rofik, A., & Murniati, E. (2008). Pengaruh

perlakuan deoperkulasi benih dan media

perkecambahan untuk meningkatkan

viabilitas benih Aren (Arenga pinnata

(Wurmb.) Merr.). Bul. Agron, 36(1), 33–

40.

Rosannah, A. F., Pasaribu, N., & Hannum, S.

(2015). Distribusi Syzygium cumini (L)

Skeels di Aceh Besar. Biosfera, 32(3),

143–146.

Sadjad S. (1993). Dari benih kepada benih.

Jakarta: Gramedia Widia Sarana.

Schmidt, L. (2000). Pedoman penanganan

benih tanaman hutan tropis dan

subtropis. Terjemahan. Jakarta.:

Kerjasama Direktorat Jenderal

Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial

dengan Indonesia Forest Seed Project PT.

Gramedia.

Soni, J., Ansari, U., Sharma, D., & Soni, S.

(2011). Predictive data mining for

medical diagnosis: An overview of heart

disease prediction. International Journal

of Computer Applications, 17(8), 43–48.

Sudrajat, D. J., & Megawati. (2010).

Keragaman morfologi dan respon

perlakuan pra perkecambahan benih dari

lima populasi sawo kecik (Manilkara

kauki ( L .) Dubard). Jurnal Penelitian

Hutan Tanaman, 7(2), 67–76.

Suita, E., & Syamsuwida, D. (2015).

Peningkatan daya dan kecepatan

berkecambah benih Malapari (Pongamia

pinnata). Jurnal Perbenihan Tanaman

Hutan, 3(1), 49–59.

Sutopo, L. (2002). Teknologi Benih. PT Raja

Grafindo Persada Jakarta.

Swami, S. B., Thakor, N. S. J., Patil, M. M., &

Haldankar, P. M. (2012). Jamun

(Syzygium cuminii(L.)): A review of its

food and medicinal uses. Food and

Nutrition Sciences, 03(08), 1100–1117.

Turnip, M., Hedty, & Mukarlina. (2014).

Pemberian H2SO4 dan air kelapa pada uji

viabilitas biji Kopi Arabika (Coffea

arabika L .), 3(1), 7–11.

Wulandari, W., Bintoro, A., & Duryat. (2015).

Pengaruh ukuran berat benih terhadap

perkecambahan benih Merbau Darat

(Intsia palembanica). Jurnal Sylva

Lestari, 3(2), 79–87.

Page 32: ISSN: 2655-9595

KONDISI SOSIAL DAN KELEMBAGAAN PETANI HUTAN RAKYAT

DI KABUPATEN TASIKMALAYA

(Socio and Institutional Conditions of Farmers of the Private Forest in Tasikmalaya District)

Dian Diniyati1

1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry

Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax. (0265) 775866

e-mail: [email protected]

Diterima 10 Oktober 2018, direvisi 19 November 2018, disetujui 28 Desember 2018

ABSTRACT

Socio and institutional conditions may affect the private forest development in Tasikmalaya District. This research was

conducted in Tanjungkerta, Sepatnunggal, and Karyabakti villages from March to July 2011. The aim of the research

was to identify the socio and institution conditions of farmers. The numbers of respondents involved were 60 persons.

Data were collected by implementing interview technique which was supported by questionnaires. The data consisted of

the condition of social and the institution of farmers. The data were analyzed by using Dependency Ratio (DR), Labour

Force Participation Rate (TPK), and Dependency Rate of the farmers toward forest business (RK). The result showed

that the condition of social of farmers were characterized by age, sex, education, tribe, religion, marriage status, status

in family, and family dependent. The values of DR and TPK toward private forest business were categorized as low,

meanwhile the value of RK in Tanjungkerta, Sepatnunggal and Karyabakti Villages were 12.50 %, 16.42 % and 19.02

% respectively. The institutions available at research location were grouped into three groups i.e. 1) economic

institution (cooperation and regular social gathering), 2) social institution (farmer group, farmer group union and

recitation) and 3) mutual cooperation.

Keywords: private forest, social condition, economic condition, institution

ABSTRAK

Kondisi sosial dan kelembagaan dapat berpengaruh terhadap pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanjungkerta, Desa Sepatnunggal, dan Desa Karyabakti pada bulan September dan

Oktober 2011, tujuannya adalah mengetahui kondisi sosial dan kelembagaan petani. Jumlah responden yang dilibatkan

sebanyak 60 orang. Data yang dikumpulkan terdiri dari data kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan. Pengumpulan

data dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuisioner. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan

Dependency Ratio Keluarga Petani (DR), Tingkat Partisipasi Kerja (TPK), Pendapatan, dan Rasio Ketergantungan

petani (RK). Hasil kajian menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi petani dicirikan oleh umur, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan, suku, agama, status perkawinan, status dalam keluarga, dan jumlah tanggungan keluarga Nilai

DR dan TPK pada usaha hutan rakyat tergolong masih rendah, sedangkan nilai RK di Desa Tanjungkerta, Desa

Sepatnunggal dan Desa Karyabakti berturut-turut adalah sebesar 12,50%, 16,42% dan 19,02%. Kelembagaan yang ada

di lokasi penelitian dikelompok menjadi 3 kelompok yaitu 1) lembaga perekonomian (koperasi dan arisan), 2) lembaga

sosial (kelompok tani, Gapoktan dan pengajian) serta 3) gotong royong.

Kata kunci: Hutan rakyat, kondisi sosial, ekonomi, kelembagaan

I. PENDAHULUAN

Usaha hutan rakyat merupakan salah

satu potensi perekonomian yang banyak

dikembangkan petani di Kabupaten

Tasikmalaya. Pengembangannya biasanya

dilakukan dengan menerapkan pola

agroforestri utamanya untuk mendapatkan fungsi ekonomi, tanpa mengabaikan fungsi

sosial dan lingkungannya. Praktek-praktek

agroforestri yang sudah berkembang di

Indonesia dicirikan oleh tingkat resilience

Page 33: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 23-32)

24

yang tinggi dibandingkan dengan praktik-

praktik yang berbasis pertanian atau hutan

monokultur (Sabarnurdin, Budiadi, &

Suryanto, 2011).

Model pengelolaan hutan rakyat di

Kabupaten Tasikmalaya tidak bisa dipisahkan

dari kondisi sosial petaninya, misalnya tingkat

pendidikan yang berpengaruh terhadap bentuk

pengelolaan hutan rakyat. Aspek pendidikan

berpengaruh terhadap usaha dan peluang yang

dapat dilakukan (Ruhimat, 2014; Waluyo,

Ulya, & Martin, 2010). Dalam perencanaan,

aspek sosial harus dipertimbangkan karena

bisa meningkatkan efektivitas pengelolaan

hutan dan tingkat keberterimaan model

pengelolaan oleh masyarakat (Pirani &

Mousavi, 2016). Dan hal ini dapat

diwujudkan jika kelembagaan di tingkat

petani sudah mapan dan befungsi dengan

baik.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui kondisi sosial dan kelembagaan

petani hutan rakyat di Kabupaten

Tasikmalaya. Informasi yang dihasilkan

diharapkan dapat dijadikan bahan

pertimbangan untuk mengembangkan

kapasitas petani dalam menjalankan usaha

hutan rakyat.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan

September-Oktober 2011 di Desa

Tanjungkerta Kecamatan Pagerageung, , Desa

Sepatnunggal, Kecamatan Sodonghilir, dan

Desa Karyabakti, Kecamatan Parungponteng.

Petani hutan rakyat anggota kelompok tani

dijadikan sebagai responden dipilih secara

acak sederhana (simple random sampling)

sebanyak 20 orang/desa sehingga total 60

orang.

Data yang dikumpulkan adalah data

sosial (umur, jenis kelamin, pendidikan, suku,

agama, status perkawinan, status dalam

keluarga, jumlah tanggungan dan status

kependudukan) dan data kelembagaan

(lembaga perekonomian/koperasi, lembaga

sosial dan lembaga gotong royong). Data

primer dikumpulkan dengan cara wawancara

menggunakan kuesioner yang telah

dipersiapkan terlebih dahulu dan survei

lapangan. Data sekunder yang dikumpulkan

meliputi data dan informasi dari desa dan

pemerintah/instansi terkait penelitian.

Data yang diperoleh selanjutnya

dikelompokkan dan ditabulasi sesuai tujuan,

sehingga maknanya mudah diinterpretasikan.

Untuk mengetahui kondisi sosial dan

kelembagaan petani hutan rakyat, dilakukan

analisis sebagai berikut (Dephutbun, 2000;

Sari, 2011) :

1. Dependency Ratio Keluarga Petani

Dimana:

DR = Dependency ratio

PDUK = Penduduk di luar usia kerja

PUK = Penduduk usia kerja

Menurut (Dephutbun, 2000) kriteria dari

rasio ketergantungan (DR) adalah semakin

tinggi nilai DR menujukkan semakin buruk

tanggungan penduduk usia kerja.

2. Tingkat Partisipasi Kerja (TPK)

Dimana:

TPK = Tingkat partisipasi kerja

JAK = Jumlah angkatan kerja

PUK = Penduduk usia kerja

Kriterianya adalah semakin tinggi

nilai TPK maka tenaga kerja keluarga yang

terlibat di hutan rakyat semakin banyak.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Sosial Petani Hutan Rakyat

Kondisi sosial merupakan salah satu

karakteristik petani yang dapat mempengaruhi

pengambilan keputusan tentang kegiatan serta

usaha yang akan dijalankannya. Penyuluh

Kecamatan Pagerageung Enda (perscom,

Oktober 24, 2011) mengemukakan bahwa

aspek sosial diantaranya tingkat pendidikan petani yang tergabung dalam kelompok tani,

Page 34: ISSN: 2655-9595

Kondisi Sosial Dan Kelembagaan Petani Hutan Rakyat …….(Dian Diniyati)

25

dapat berimbas terhadap tingkat adopsi

inovasi serta wawasan, dan kekuatan

berorganisasi. Petani yang berpendidikan

formal tinggi lebih memprioritaskan luaran

pada aspek lingkungan sosial dan punya peran

dalam membangun kapasitas adaptasi dan

berkompetisi dalam bidang ekonomi (Fielke

& Bardsley, 2014). Semakin lama pendidikan

formal mampu mendorong terjadinya

kegiatan berwawasan lingkungan meskipun

tidak berpengaruh nyata terhadap isu

pemanasan global dan williness to pay pada

pajak lingkungan (Chankrajang & Muttarak,

2016). Semakin tinggi pendidikan petani

semakin besar pasar tenaga kerja dan peluang

mendapat gaji lebih menarik (Besamusca,

Tijdens, Keune, & Steinmetz, 2015). Uraian

mengenai kondisi karakteristik petani hutan

rakyat diperllihatkan pada Tabel 1.

Terlihat bahwa usaha hutan rakyat di

lokasi penelitian juga diminati oleh

perempuan demikian juga di Kabupaten

Ciamis dimana kegiatan hutan rakyat dengan

pola agroforestri mampu menarik minat

perempuan (Achmad, Purwanto, Sabarnurdin,

& Sumardi, 2015). Petani perempuan di Desa

Tanjungkerta berjumlah 4 orang (20%), yang

tersebar pada umur 30-59 tahun. Petani

perempuan di Desa Sepatnunggal berjumlah 1

orang (5%) yang berada pada umur 50-59

tahun, sedangkan di Desa Karyabakti yang

berumur antara 30-39 tahun sebanyak 1 orang

(5%), berumur antara 40-49 tahun sebanyak

2 orang (10%), dan umur antara 50-59 tahun

sebanyak 1 orang (5%). Banyaknya tenaga

kerja perempuan yang terlibat dalam

pengembangan hutan rakyat dapat

meningkatkan pendapatan keluarga sehingga

dapat membantu mengurangi kemiskinan

(Buvinić & Gupta, 1997).

Umur petani perempuan yang terlibat

dalam kegiatan hutan rakyat termasuk dalam

selang umur produktif, sedangkan kondisi

umur laki-laki di Desa Tanjungkerta dan

Desa Sepatnunggal, tidak hanya berada pada

selang umur produktif saja, melainkan juga

berada pada umur tua yaitu lebih dari 70

tahun. Hadirnya petani usia tua menunjukkan

bahwa kegiatan di hutan rakyat tidak hanya

diminati oleh petani usia muda saja.

Menurut Biro Pusat Statistik tahun

2016, penduduk usia kerja adalah penduduk

berumur 15 tahun sampai 64 tahun. Penduduk

di luar usia kerja adalah mereka yang berusia

di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.

Berdasarkan kriteria tersebut, maka ada petani

aktif yang tidak tergolong sebagai usia kerja,

khususnya di Desa Tanjungkerta dan

Sepatnunggal karena ada petani yang berusia

> 70 tahun. Partisipasi tenaga kerja usia tua

(65 tahun ke atas) di negara maju lebih kecil

tingkatannya dibandingkan dengan di negara

berkembang, yaitu 4% di Hungaria

berbanding 91% di Mozambique (Clark &

Anker, 1993).

Umumnya tenaga kerja yang terlibat

dalam kegiatan hutan rakyat di lokasi

penelitian berumur > 30 tahun. Hal ini terjadi

karena pada awalnya para petani tidak bekerja

langsung di sektor hutan rakyat, melainkan

bekerja di sektor non-formal seperti berjualan

dan buruh bangunan di daerah Bandung,

Jakarta, Kuningan dan Kota Tasikmalaya.

Namun setelah merasa tua kembali ke desa

dan bekerja sebagai petani khususnya petani

hutan rakyat.

Berdasarkan kondisi demikian

ternyata tingkat partisipasi kerja (TPK)

anggota keluarga yang bekerja pada usaha

hutan rakyat untuk seluruh lokasi penelitian

hampir sama yaitu : Desa Tanjungkerta

sebesar 43%, Desa Karyabakti sebesar 42%

dan Desa Sepatnunggal sebesar 41 %. Hal ini

menunjukkan bahwa tingkat partisipasi kerja

keluarga petani pada usaha hutan rakyat

masih rendah. Rendahnya partisipasi kerja

keluarga petani pada usaha hutan rakyat

dikarenakan ada anggapan bahwa usaha hutan

rakyat tidak memerlukan pekerjaan yang

intensif, daur usahanya lama dan umumnya

diusahakan pada lahan yang sempit. Lain

halnya dengan tingkat partisipasi keluarga

petani pada usaha sayuran di Dusun Wara

Desa Batu Merah Kota Ambon yang

menunjukkan bahwa partisipasi kerja

keluarga petani cukup tinggi, dikarenakan

Page 35: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 23-32)

26

usaha sayuran memerlukan tenaga kerja yang

intensif dan daur usahanya pendek (Sari,

2011).

Tenaga kerja yang aktif terlibat di

hutan rakyat hanyalah tenaga kerja keluarga

yaitu ibu dan bapak, sedangkan tenaga kerja

anak tidak terlibat dalam kegiatan usaha hutan

rakyat dikarenakan masih sekolah dan lebih

senang bekerja di sektor lain. Padahal tenaga

kerja anak merupakan salah satu sumber

tenaga yang dapat digunakan pada usaha

hutan rakyat. Penggunaan tenaga kerja

keluarga secara langsung dapat mengurangi

biaya produksi yang dikeluarkan untuk

membayar upah tenaga kerja (Abdi, FIl, &

Hasyim, 2014).

Di Desa Tanjungkerta terlihat bahwa

petani yang berumur 50 tahun lebih rata-rata

berpendidikan sekolah dasar (SD) meskipun

ada petani yang lulus sekolah lanjutan tingkat

atas (SLTA) dan terdapat petani yang telah

lulus perguruan tinggi. Kondisi pendidikan di

Desa Sodonghilir yaitu petani yang berusia

lebih dari 50 tahun berpendidikan paling

tinggi adalah sekolah dasar, sedangkan petani

yang berumur lebih muda berpendidikan

paling rendah adalah tamat SLTP dan SLTA

serta ada satu petani yang telah lulus

perguruan tinggi. Kondisi pendidikan di Desa

Karyabakti rata-rata untuk usia 50 tahun ke

atas adalah lulus SD demikian halnya dengan

petani yang umurnya jauh lebih muda. Di

desa ini tidak ada petani yang lulus perguruan

tinggi. Kondisi pendidikan petani hutan

rakyat ini sama dengan kondisi di Kabupaten

Ciamis, seperti disampaikan oleh Achmad et

al., (2015) berdasarkan hasil penelitian

diketahui bahwa kondisi pendidikan petani

hutan rakyat di Kabupaten Ciamis mayoritas

lulusan SD.

Tingkat pendidikan petani di setiap

lokasi penelitian masih rendah yaitu lulusan

SD. Setiawan, (2009) mengatakan bahwa

kondisi SDM dalam bidang pertanian di

Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya

tingkat pendidikan petani juga diikuti oleh

rendahnya produktivitas kerja. Rendahnya

produktivitas tenaga kerja pertanian tersebut

terkait dengan kondisi umur, tingkat

pendidikan, curahan jam kerja, dan luas

garapan petani. Padahal tingkat pendidikan ini

sangat berpengaruh terhadap peluang usaha

serta penyerapan inovasi yang dapat

dilakukan oleh petani. Gunawan et al., (2013)

mengatakan bahwa latar belakang pendidikan

penting diketahui karena sangat menentukan

tingkat penerimaan inovasi dan

mempengaruhi persepsi sehingga dapat

menentukan berhasil atau tidaknya suatu

program pemerintah.

Tabel 2 menunjukkan bahwa petani

memiliki kesamaan dalam agama, suku dan

status pernikahan meskipun belum tentu

menjadi kepala rumah tangga, terutama bagi

petani wanita karena pada umumnya sebagai

anggota keluarga (istri), paling banyak

terdapat di Desa Tanjungkerta yaitu sebanyak

5 orang dan paling sedikit di Desa

Sepatnunggal sebanyak 1 orang.

Namun ada satu petani wanita di Desa

Karyabakti yang menjadi kepala rumah

tangga, dikarenakan suaminya sudah

meninggal. Petani wanita sering terlibat

dalam kegiatan usaha hutan rakyat dan

pertanian sehingg memahami masalah

pengembangannya.

Jumlah anggota keluarga merupakan

salah satu sumber tenaga kerja bagi usaha

pertanian dan kehutanan. Seperti disampaikan

oleh Sari (2011) bahwa jumlah anggota

keluarga yang banyak sangat menguntungkan

dari segi penyediaan tenaga kerja terutama

jika cukup tersedia lapangan kerja yang

sesuai, sebaliknya anggota keluarga yang

banyak dalam satu keluarga petani dapat juga

menjadi beban tanggungan.

Hasil analisis diketahui bahwa angka

beban tanggungan (DR) di lokasi penelitian

yaitu Desa Tanjungkerta sebesar 4,6%, Desa

Karyabakti sebesar 21,7% dan Desa

Sepatnunggal 12,5%. Nilai DR yang paling

tinggi terjadi di Desa Karyabakti, dikarenakan

petani banyak berusia muda yang memiliki

anak masih muda (berusia di bawah 15 tahun)

berstatus sebagai pelajar sehingga masih

menjadi tanggungan orang tua. Sedangkan

Page 36: ISSN: 2655-9595

Kondisi Sosial Dan Kelembagaan Petani Hutan Rakyat …….(Dian Diniyati)

27

dua desa lainnya nilai DR nya tergolong

rendah dikarenakan usia petani tergolong tua,

sehingga anak-anaknya juga sudah banyak

yang berusia tua (berusia di atas 15 tahun)

dan sudah bekerja sehingga tidak menjadi

tanggungan orang tua.

Kesamaan lainnya yaitu status

kependudukan, hampir seluruh petani

merupakan penduduk asli, kecuali di Desa

Sepatnunggal dan Karyabakti ada 3 orang

petani yang mengaku sebagai penduduk

pendatang, lain desa namun masih satu

Kabupaten.

Tabel 1. Kondisi Sosial Petani Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya

Table 1. Social conditions of private forest farmers in Tasikmalaya District

No. Desa (village)

Kelompok umur

(age group)

Tahun (year)

Jenis kelamin

(gender)

Jumlah orang dan

% (number –

people and %)

Lama

pendidikan

(duration of

education)

Jumlah orang

dan %

(number –

people and %)

1. Desa

Tanjungkerta

Kecamatan

Pagerageung

a. 30-39 Perempuan 1 (5) 9 tahun 1 (5)

b. 40-49 Laki-laki 3 (15) 6 tahun 2 (10)

Perempuan 1 (5) 12 tahun 2 (10)

c. 50-59 Laki-laki 2 (10) 6 tahun 4 (20)

Perempuan 2 (10) d. 60-69 Laki-laki 9 (45) 6 tahun 6 (30)

9 tahun 1 (5)

12 tahun 1 (5)

15 tahun 1 (5) e. > 70 Laki-laki 2 (10) 6 tahun 1 (5)

12 tahun 1 (5)

Jumlah 20 (100) 20 (100)

2. Desa

Sepatnunggal

Kecamatan

Sodonghilir

a. 30-39 Laki-laki 1 (5) 12 tahun 1 (5) b. 40-49 Laki-laki 7 (35) 9 tahun 3 (15)

10 tahun 1 (5)

12 tahun 3 (15)

c. 50-59 Laki-laki 5 (25) 6 tahun 5 (25) Perempuan 1 (5) 9 tahun 1 (5)

d. 60-69 Laki-laki 5 (25) 6 tahun 4 (20)

9 tahun 1 (5)

e. > 70 Laki-laki 1 (5) 17 tahun 1 (5) Jumlah 20 (100) 20 (100)

3. Desa Karyabakti,

Kecamatan

Parungponteng

a. 30-39 Laki-laki 8 (40) 6 tahun 4 (20) Perempuan 1 (5) 9 tahun 4 (20)

12 tahun 1 (5) b. 40-49 Laki-laki 3 (15) 6 tahun 3 (15)

Perempuan 2 (10) 9 tahun 2(10

c. 50-59 Laki-laki 2 (10) 6 tahun 3 (15)

Perempuan 1 (5) d. 60-69 Laki-laki 3 (15) 4 tahun 1 (5)

6 tahun 1 (5)

9 tahun 1 (5)

e. > 70 - 0 - 0 Jumlah 20 (100)

Page 37: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 23-32)

28

Berdasarkan hasil olahan data

dihasilkan kondisi yang homogen. Kondisi

ini dapat dijadikan sebagai modal sosial yang

memudahkan dalam penyampaian suatu

program kegiatan, baik yang dilaksanakan

oleh pemerintah setempat maupun pemerintah

pusat. Karakteristik yang homogen akan

memudahkan dalam pembinaan masyarakat,

selain itu penerapan suatu program akan

berlangsung lebih mudah karena dapat dengan

cepat ditiru dan dilaksanakan oleh

masyarakat.

Tabel 2. Kondisi Sosial Lainnya

Table 2. Other Social conditions

No. Uraian (description) Desa/ orang (village/people)

Tanjungkerta Sepatnunggal Karyabakti

1. Suku

Sunda 20 20 20

2. Agama

Islam 20 20 20

3. Status perkawinan

Menikah 20 20 20

4. Status dalam keluarga

Kepala keluarga 15 19 17

Istri 5 1 3

5. Jumlah tanggungan keluarga (jiwa)

a. 0-1 4 6 2

b. 2-3 13 11 11

c. 4-5 3 3 6

d. > 6 0 0 1

6. Status kependudukan

a. Asli penduduk desa 20 17 17

b. Pendatang 0 3 3

Sumber (Source): diolah dari data primer (processed from primary data), 2011

B. Kondisi Kelembagaan

Kelembagaan yang terdapat di lokasi

penelitian cukup beragam, baik kelembagaan

formal maupun non-formal. Namun tidak

semua kelembagaan yang ada di desa selalu

berfungsi, banyak juga kelembagaan yang

hanya tinggal papan nama saja. Hal ini terjadi

karena tidak semua petani yang ada di lokasi

penelitian terlibat aktif di lembaga yang ada

di desa. Banyak faktor yang mendorong

petani untuk terlibat aktif dalam satu lembaga

dan jika faktor pendorong tersebut sudah

tidak ada, maka petani banyak yang tidak

terlibat lagi. Faktor pendorong keterlibatan

petani pada kelompok biasanya berwujud rasa

kebersamaan dalam mencapai tujuan dan

menanggulangi permasalahan (Wuysang,

2014). Dari hasil wawancara dan pengamatan,

jenis-jenis lembaga yang ada di desa

penelitian tercantum pada Tabel 3.

Page 38: ISSN: 2655-9595

Kondisi Sosial Dan Kelembagaan Petani Hutan Rakyat …….(Dian Diniyati)

29

Tabel 3. Jenis Kelembagaan yang terdapat di Lokasi Penelitian

Table 3. Types of Institutional available in Research Area

No Jenis Lembaga (type of institution)

Lokasi Penelitian (Research sites)

Desa (village)

Tanjungkerta

Desa (village)

Sepatnunggal

Desa (village)

Karyabakti

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

A. Lembaga perekonomian (economic

institutions)

1. Koperasi (Cooperative)

- Aktif (active) 2 10 0 0 1 5

- Tidak aktif (not active) 18 90 20 100 19 95

- Anggota (member) 2 10 0 0 1 5

- pengurus (care taker) 0 0 0 0 0 0

2. Arisan (regular social gathering)

- Aktif (active) 4 20 2 10 4 20

- Tidak aktif (not active) 16 80 18 90 16 80

- Anggota (member) 4 20 1 5 4 20

- pengurus (care taker) 0 0 1 5 0 0

B. Lembaga sosial (social institutions)

1. Kelompok tani (farmers)

- Aktif (active) 20 100 12 60 13 65

- Tidak aktif (not active) 0 0 8 40 7 35

- Anggota (member) 17 85 7 35 12 60

- pengurus (care taker) 3 15 5 25 1 5

2. Gapoktan

- Aktif (active) 3 15 1 5 0 0

- Tidak aktif (not active) 17 85 19 90 20 100

- Anggota (member) 0 0 0 0 0 0

- pengurus (care taker) 3 15 1 5 0 0

3. Pengajian (recitation)

- Aktif (active) 19 95 19 95 19 95

- Tidak aktif (not active) 1 5 1 5 1 5

- Anggota (member) 17 85 15 75 17 85

- pengurus (care taker) 2 10 4 20 2 10

C. Gotong royong (mutual cooperation) di

pertanian dan kebersihan

20 100 20 100 20 100

Sumber (Source): diolah dari data primer (processed from primary data), 2011

Page 39: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 23-32)

30

Kelembagaan yang melibatkan petani

dilokasi penelitian dikelompokkan menjadi

tiga kelompok yaitu: 1) lembaga

perekonomian, 2) lembaga sosial dan 3)

lembaga gotong royong. Menurut Dephutbun

(2000), kajian kelembagaan tersebut

menggunakan kriteria berfungsi atau tidaknya

lembaga di masyarakat.

Hasil kajian menunjukkan bahwa

lembaga perekonomian yang ada di lokasi

penelitian adalah koperasi dan arisan. Namun

tidak seluruh petani terlibat aktif dalam

lembaga tersebut padahal tujuannya adalah

untuk membantu keuangan petani. Mayoritas

petani di lokasi penelitian mengatakan bahwa

tidak terlibatnya di koperasi dan arisan

disebabkan tidak ada uang, dan pendapatan

yang dihasilkan setiap harinya hanya cukup

untuk kehidupan harian saja.

Lembaga sosial terdiri dari kelompok

tani, Gapoktan dan pengajian. Petani di Desa

Tanjungkerta 100% terlibat dalam kelompok

tani, sedangkan di Desa Sepatnunggal dan

Desa Karyabakti tidak seluruhnya terlibat,

yaitu 60% dan 65%, disebabkan karena jenis

pekerjaan yang dilakukan mengharuskan

petani tidak selalu tinggal di desa.

Keterlibatan petani di kelompok tani

tidak hanya sebagai anggota saja melainkan

juga banyak yang menjadi pengurus

kelompok. Petani merasakan bahwa adanya

kelompok tani memberikan manfaat terhadap

aktivitas harian. Alasan petani mau

bergabung dengan kelompok tani yaitu karena

diajak untuk bergabung dalam kelompok tani,

menambah pergaulan dan aktivitas,

meningkatkan pengetahuan serta

mendapatkan informasi tentang pertanian dan

kehutanan dan faktor ekonomi (mendapat

bantuan bibit dan pupuk). Manfaat menjadi

anggota KTP/KTH adalah mendapatkan

bantuan baik berupa bantuan bibit tanaman,

bantuan sarana produksi, bantuan ternak sapi

dan pinjaman dana (Kadir et al., 2012).

Gapoktan merupakan gabungan dari

kelompok tani biasanya yang terlibat adalah

para pengurus kelompok tani. Oleh Karena itu

tidak semua petani terlibat aktif di Gapoktan.

Petani di Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal

dan Karyabakti yang terlibat sebanyak 15%,

5% dan 0% sehingga wajar jika masih

banyak petani yang kurang paham dengan

kegiatan di Gapoktan, karena ternyata tidak

seluruh anggota kelompok tani bisa menjadi

anggota Gapoktan. Lebih jauh disampaikan

oleh Cahyono & Tjokropandojo (2002)

bahwa lembaga petani KTNA dan Gapoktan

dianggap belum berperan sama sekali

terhadap petani. Lain halnya dengan kegiatan

pengajian seluruh petani di lokasi penelitian

terlibat aktif. Hanya ada satu orang saja yang

tidak terlibat dalam kegiatan pengajian

disebabkan karena faktor domisili, yaitu lebih

sering tinggal di kota Tasikmalaya. Kegiatan

pengajian biasanya dilakukan satu minggu

sekali. Pengajian bapak dan ibu dibedakan

waktunya, biasanya pengajian ibu dilakukan

pada waktu siang hari sedangkan pengajian

bapak dilakukan pada waktu malam hari.

Kegiatan gotong royong merupakan

kegiatan yang banyak dilakukan oleh petani

di lokasi penelitian. Kegiatan gotong royong

yang banyak dilakukan terdiri dari kegiatan

usahatani, kebersihan dan keamanan

lingkungan. Gotong royong untuk kebersihan

biasanya dilakukan setiap satu bulan sekali.

Jenis pekerjaan yang dilakukan terdiri dari

membersihkan masjid/musola/madrasah,

membuat gapura, membersihkan

jalan/selokan, dan memperbaiki saluran air.

Seluruh warga akan terlibat dalam kegiatan

gotong royong ini, karena masih ada budaya

malu jika tidak bisa terlibat dalam kegiatan

gotong royong. Namun jika terpaksa tidak

bisa hadir biasanya akan menggantikannya

dengan cara memberi makanan dan minuman.

Demikian juga dalam hal gotong royong

untuk keamanan jika tidak bisa hadir akan

dikenai sangsi berupa uang sebesar Rp

10.000,-.

Page 40: ISSN: 2655-9595

Kondisi Sosial Dan Kelembagaan Petani Hutan Rakyat …….(Dian Diniyati)

31

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Usaha hutan rakyat merupakan salah

satu sumber utama pendapatan petani di

Kabupaten Tasikmalaya. Namun tingkat

partisipasi kerja (TPK) petani dan

keluarganya pada usaha hutan rakyat di Desa

Tanjungkerta, Desa Karyabakti dan Desa

Sepatnunggal masih tergolong rendah,

berturut-turut sebesar 43 %, 42 % dan 41 %.

Demikian juga dengan rasio ketergantungan

petani terhadap usaha hutan rakyat juga masih

rendah yaitu 12,5% (Desa Tanjungkerta),

16,4% (Desa Sepatnunggal) dan 19,0% (Desa

Karyabakti). Kelembagaan yang berfungsi

dan bermanfaat adalah kelembagaan sosial

(kelompok tani dan pengajian) serta gotong

royong, dikarenakan petani merasakan

manfaat langsung dan terlibat aktif pada dua

kelompok kelembagaan tersebut. Dengan

kondisi yang demikian maka teknologi dan

inovasi tentang pengembangan hutan rakyat

terbaru perlu terus diinformasikan kepada

petani melalui penyuluhan dan pelatihan.

Dilaksanakan oleh instansi terkait supaya

kontribusi hutan rakyat terhadap

kesejahteraan keluarga petani semakin

meningkat serta menjadikan usaha hutan

rakyat sebagai sumber pendapatan utama

yang optimal.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Balai Penelitian Teknologi

Agroforestry yang mendanai kegiatan

penelitian ini, penyuluh kehutanan Kabupaten

Tasikmalaya yang telah mendampingi selama

kegiatan penelitian dilakukan, petani hutan

rakyat yang telah bersedia mengikuti seluruh

tahapan kegiatan penelitian serta rekan

sejawat yang telah membantu pengumpulan

data dilapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdi, FIl,. Hasyim, H, A. S. F. (2014).

Faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap penggunaan tenaga kerja luar

keluarga pada usaha tani padi sawah.

Agribisnis USU, 1–12.

Achmad, B., Purwanto, R. H., Sabarnurdin,

S., & Sumardi. (2015). Tngkat

pendapatan dan curahan tenaga kerja

pada hutan rakyat di Kabupaten

Ciamis. Jurnal Ilmu Kehutanan, 9(2),

2015.

Besamusca, J., Tijdens, K., Keune, M., &

Steinmetz, S. (2015). Working Women

Worldwide. Age Effects in Female

Labor Force Participation in 117

Countries. World Development,

74(August 2013), 123–141.

http://doi.org/10.1016/j.worlddev.2015.

04.015

Buvinić, M., & Gupta, G. R. (1997). Female-

Headed Households and Female-

Maintained Families: Are They Worth

Targeting to Reduce Poverty in

Developing Countries? Economic

Development and Cultural Change,

45(2), 259–280.

http://doi.org/10.1086/452273

Cahyono, S., & Tjokropandojo, D. S. (2002).

Peran Kelembagaan Petani Dalam

Mendukung Keberlanjutan Pertanian

Sebagai Basis Pengembangan Ekonomi

Lokal. Jurnal Perencanaan Wilayah

Dan Kota B SAPPK, 2(1), 15–23.

Chankrajang, T., & Muttarak, R. (2016).

Green Returns to Education: Does

Schooling Contribute to Pro-

Environmental Behaviours? Evidence

from Thailand Thanyaporn

Chankrajang and Raya Muttarak 1 6

May 2016, 131(May), 434–448.

http://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2016.

09.015

Clark, R. L., & Anker, R. (1993). Cross-

National Analysis of Labor Force

Participation of Older Men and

Women. Economic Development and

Cultural Change, 41(3), 489--512 CR--

Copyright © 1993 The Universit.

http://doi.org/10.2307/1154313

Page 41: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 23-32)

32

Dephutbun. (2000). Pedoman Survei Sosial

Ekonomi Kehutanan Indonesia

(PSSEKI) (2nd ed.). Bogor: PSSEKI.

Fielke, S. J., & Bardsley, D. K. (2014). The

importance of farmer education in

South Australia. Land Use Policy, 39,

301–312.

http://doi.org/10.1016/j.landusepol.201

4.02.006

Gunawan, H., Bismark, M., & Krisnawati, H.

(2013). Kajian Sosial Ekonomi

Masyarakat Sekitar Sebagai Dasar

Penetapan Tipe Penyangga Taman

Nasional Gunung Merbabu, Jawa

Tengah (Socio Economic Assessment

Of Surounding Communities For The

Basis Of Buffer Zone Establishment In

Mount Merbabu National Park, Cent.

Penelitian Hutan Dan Konservasi

Alam, 10(2), 103–119.

Kadir, A., Awang, S. A., Hadi, R., &

Poedjirahajoe, E. (2012). Analisis

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Sekitar Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung (Socio-Economic

Analysis of Community Around

Bantimurung Bulusaraung National

Park , South Sulawesi Province ) Balai

Penelitian Kehutanan Makassar ,

Sulawesi Selatan Mahasiswa Program

Doktor pada P. Manusia Dan

Lingkungan, 19(1), 1–11.

Nasution, R. (2009). Pengaruh Modal Kerja,

Luas Lahan, dan Tenaga Kerja

Terhadap Pendapatan Usahatani Nenas.

Skripsi.

Pirani, F. J., & Mousavi, S. A. (2016).

Integrating Socio-Economic and

Biophysical Data To Enhance

Watershed Management and Planning.

Journal of Hydrology, 540, 727–735.

http://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2016.0

5.072

Ruhimat, I. S. (2014). Faktor-faktor Untuk

Peningkatan Kemandirian Petani

dalam Pengelolaan Hutan Rakyat:

Studi Kasus Di Desa Ranggang,

Kabupaten Tanah Laut, Kalimatan

Selatan (Factors Improving Self-

reliance of Farmers in Community

Forest Management: Case Study in

Rangga. Jurnal Penelitian Sosial Dan

Ekonomi Kehutanan, 11(3), 237–249.

Sabarnurdin, S., Budiadi, & Suryanto, P.

(2011). Agroforestri Untuk Indonesia:

Strategi Kelestarian Hutan dan

Kemakmuran (1st ed.). Yogyakarta:

Cakrawala Media.

Sari, M. (2011). Keadaan Sosial Ekonomi

Petani Sayuran (Studi Kasus Di Dusun

Kembang Buton Wara Desa Batu

Merah, Kota Ambon). Jurnal Budidaya

Pertanian, 7(1), 47–52.

Setiawan, I. (2009). Peran Sektor Pertanian

Dalam Penyerapan Tenaga Kerja Di

Indonesia.

Waluyo, E. A., Ulya, N. A., & Martin, E.

(2010). Perencanaan sosial dalam

rangka pengembangan hutan rakyat di

sumatera selatan (Jurnal Penelitian

Hutan Dan Konservasi Alam, 7(3),

271–280.

Wuysang, R. (2014). Modal Sosial

Kelompok Tani Dalam Meningkatkan

Pendapatan Keluarga Suatu Studi

Dalam Pengambangan Usaha

Kelompok Tani Di Desa Tincep

Kecamatan Sonder. Journal “Acta

Diurna,” III(4), 1–20.

Page 42: ISSN: 2655-9595

AKSES DAN KONTROL RUMAH TANGGA PETANI

DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN RAKYAT

(Access and Control of Farm Households in the Management of Private Forest Resources)

Eva Fauziyah1

1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry

Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax. (0265) 775866

e-mail: [email protected]

Diterima 24 Oktober 2018, direvisi 1 November 2018, disetujui 21 Desember 2018

ABSTRACT

Differences in access of natural resources between men and women is one of the causes of gender unequality. This

condition may have an impact on the lack of control, benefit, and participation of women on farming activities. This

study aims to analyze the gender relation pattern in private forest management in Banyumas and Banjarnegara

Districts.. Data were collected by using questionnaire, interview with farmer (men and women) and farmer groups with

Socio Economic and Gender Analysis (SEAGA) instrument. Total respondents were 64 private forest farmers who were

randomly selected. Data were analzsed by tabulation, percentage dan Equality adn Equity Index (EEI). The results

showed that acces in private forest management were dominated by men e.g acces on land, crops cultivated, education,

training, extension services, capital, credit, equipment, nursery, fertilization, cropping pattern, and pest and disease

control. In contrary, women were more dominant in post harvest processing, and marketing activities. In Banyumas

District, women control were dominant in marketing, while in Banjarnegara Distric, there was no dominance in both

resources and stage activities but access and control were undertaken jointly between men and women in crops

cultivation, watering, fertilization and marketing.The pattern of gender relations in general was more dominant both in

terms of resources and the stages activies of private forest as indicated by EEI value tha is less than 0,5.

Keywords: acces, control, private forest, gender relation pattern

ABSTRAK

Perbedaan akses terhadap sumber daya alam antara laki-laki dan perempuan menjadi salah satu penyebab terjadinya

kesenjangan gender. Kondisi ini pada akhirnya dapat berdampak pada lemahnya kontrol, manfaat, dan partisipasi

perempuan dalam kegiatan usahatani secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola relasi gender

dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Banjarnegara pada Bulan Mei sampai dengan

Juli 2012. Penelitian ini menggunakan pendekatan instrument Analisis Gender (Socio Economic and Gender Analysis—

SEAGA), dimana pengumpulan data dilakukan secara partisipatif pada kelompok tani dan wawancara pada tingkat

keluarga petani. Total responden berjumlah 64 petani hutan rakyat yang dipilih secara acak (laki-laki dan perempuan).

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan tabulasi, persentase dan menggunakan Indeks Kesetaraan dan Keadilan

Gender (IKKG). Hasil penelitian menunjukkan bahwa akses dalam pengelolaan hutan rakyat didominasi oleh laki-laki

seperti akses terhadap lahan, komoditas yang diusahakan, pendidikan, pelatihan, penyuluhan pertanian, modal, kredit,

peralatan, pembibitan, pemupukan, pola tanam, serta pengendalian hama dan penyakit, sedangkan perempuan hanya

lebih dominan dalam pengolahan pascapanen dan pemasaran. Pada aspek kontrol di Kabupaten Banyumas, perempuan

mendominasi pada tahapan kegiatan pemasaran, sementara di Kabupaten Banjarnegara tidak ada dominasi baik pada

sumberdaya maupun tahapan kegiatan pengelolaan hutan rakyat, namun kontrol terhadap komoditas yang diusahakan,

penyiraman, pemupukan dan pemasaran dilakukan secara bersama-sama. Pola relasi gender secara umum lebih

dominan baik terhadap sumberdaya maupun tahapan kegiatan hutan rakyat yang ditunjukkan oleh nilai IKKG yang

lebih kecil dari 0,5.

Kata kunci: akses, kontrol, hutan rakyat, pola relasi gender

Page 43: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 33-45)

34

I. PENDAHULUAN

Pengertian gender berbeda dengan

pengertian seks/jenis kelamin. Pembagian

jenis kelamin ditentukan oleh organ biologis

yang melekat secara permanen dan fungsinya

tidak dapat dipertukarkan (Fakih, 2007).

Sementara itu, gender merupakan pemilahan

peran dan hubungan antara laki-laki dan

perempuan, bagian konsepsi pengorganisasian

”pembagian kerja”, baik dalam keluarga,

rumah tangga, masyarakat luas, dan

merupakan bagian dari kehidupan sosial

budaya, dimana perbedaan keduanya adalah

sebuah keniscayaan (Elizabeth, 2007).

Terkait dengan pemilahan peran dan

hubungan laki-laki dan perempuan dalam

pengelolaan sumberdaya alam, berbagai

organisasi bekerja untuk mengkaji mengenai

pentingnya keberadaan kepemilikan dan

kontrol perempuan terhadap aset untuk

berbagai hasil pembangunan, baik untuk

perempuan sendiri dan untuk keluarga mereka

(Ruth Meinzen-Dick et al., 2011). Namun,

pria pada umumnya diuntungkan dalam

kepemilikan aset, mengingat norma gender

yang mengatur kepemilikan asset dimana pria

cenderung memiliki lebih banyak aset dan

bernilai tinggi daripada wanita, dan

membangun aset perempuan telah menjadi

prioritas pembangunan global (Deere, Oduro,

Swaminathan, & Doss, 2013), beberapa

intervensi pertanian juga mempertimbangkan

dampak terhadap aset pada tingkat individu

atau bahkan rumah tangga (Johnson, Kovarik,

Meinzen-Dick, Njuk, & Quisumbing, 2016).

Kondisi ini juga ditemui di Indonesia, dimana

sebagian masyarakatnya menerapkan sistem

patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai

pemenang dan mendominasi dalam sistem

social termasuk penguasaan asset.

Kemajuan zaman, tuntutan ekonomi

keluarga serta kebutuhan akan tenaga kerja

wanita telah mengubah pola pikir wanita

Indonesia. Saat ini banyak wanita yang masuk

ke dunia kerja dan terlibat dalam sektor

publik, tetapi banyak juga wanita yang

memilih pekerjaan domestik. Hal ini

dikarenakan mereka menyadari peran gender

wanita dalam mendidik anak, mengurus

keluarga, merawat serta mengelola rumah,

sehingga memilih pekerjaan yang bisa

dikerjakan di rumah (Sari, Purnomo, &

Rahayu, 2009).

Perempuan menjadi bagian yang

penting dari tenaga kerja di sektor pertanian,

baik itu pada penyediaan sarana pertanian,

budidaya tanaman dan ternak, pengolahan dan

pascapanen, hingga pemasaran hasil pertanian

(Yuwono, 2013). Hal yang sama juga terjadi

pada pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan

secara bersama-sama oleh laki-laki dan

perempuan. Namun, peran perempuan pada

pengelolaan tanaman non kayu terlihat lebih

besar dibandingkan pada pengelolaan

tanaman kayu. Peran tersebut terlihat jelas

terutama pada kegiatan pemeliharaan, panen,

dan pasca panen. Peran laki-laki lebih banyak

pada kegiatan yang membutuhkan tenaga,

sedangkan perempuan pada kegiatan-kegiatan

yang membutuhkan kesabaran dan

ketelatenan (Fauziyah, Firdaus, & Sanudin,

2013). Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis pola relasi gender dalam

pengelolaan hutan rakyat.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di

Kabupaten Banyumas dan Kabupaten

Banjarnegara, Jawa Tengah. Pengamatan

lapangan dan wawancara dilakukan di empat

desa yaitu Desa Kemawi Kecamatan

Somagede dan Desa Baseh Kecamatan

Kedungbanteng di Kabupaten Banyumas serta

Desa Kebutuhduwur Kecamatan Pagedongan

dan Desa Bondolharjo Kecamatan Punggelan

di Kabupaten Banjarnegara pada bulan Mei

sampai dengan Juli 2012. Pertimbangan

pemilihan lokasi penelitian diantaranya

adalah pengelolaan lahan di keempat desa ini

didominasi oleh hutan rakyat dan di dalam

pengelolaanya melibatkan tidak hanya laki-

laki tetapi juga perempuan.

Page 44: ISSN: 2655-9595

Akses dan kontrol rumah tangga petani......(Eva Fauziyah)

35

Dalam proses penulisan naskah ini ada

beberapa kendala yang dihadapi, sehingga

baru dapat diterbitkan, namun demikian

kondisinya dianggap masih relevan karena

kondisi pembagian kerja petani dalam

pengelolaan hutan rakyat tidak mengalami

banyak perubahan.

B. Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data primer dilakukan

secara partisipatif melalui diskusi,

wawancara, pengisian kuesioner, dan

pengamatan langsung terhadap pengelolaan

hutan rakyat di lokasi penelitian. Data primer

yang dikumpulkan berupa data akses dan

kontrol petani baik laki-laki maupun

perempuan terhadap sumberdaya hutan rakyat

pada beberapa tahapan kegiatan di hutan

rakyat. Data sekunder diperoleh dari hasil

penelitian dan studi pustaka yang

berhubungan dengan bidang penelitian. Data

sekunder tersebut diantaranya adalah data

luasan hutan rakyat, dan data pengelolaan

hutan rakyat pada umumnya di lokasi

penelitian.

Sampel responden adalah anggota

kelompok tani yang dipilih secara acak

(random sampling) yang terdiri dari laki-laki

dan perempuan masing-masing sebanyak 32

orang (total 64 orang). Dari seluruh anggota

kelompok tani yang ada, dipilih dengan

menggunakan nomor undian dan diambil

sebanyak 64 nomor undian secara acak.

Dengan menggunakan pendekatan

instrumen Sosial Ekonomi dan Analisis

Gender (Socio Economic and Gender

Analysis–SEAGA) secara partisipatif

(Hartomo, 2007), diperoleh informasi tentang

bagaimana laki-laki dan perempuan

mengalokasikan sumberdaya dalam

pengelolaan hutan rakyat seperti lahan,

palawija, informasi, pendidikan, pelatihan,

penyuluhan pertanian, hasil penjualan, kredit,

modal, dan peralatan kerja dan bagaimana

tahapan-tahapan kegiatan pengelolaan hutan

rakyat dilakukan meliputi: pengolahan tanah,

pembibitan, pola tanam, pemupukan,

pemeliharaan, penyiraman, pengendalian

hama dan penyakit, pengolahan hasil panen,

dan pemasaran hasil.

Pada setiap tahapan tersebut pendapat

responden dipilah menurut pendapat laki-laki

dan perempuan. Pendapat tersebut dituangkan

dalam bentuk jawaban apakah lebih banyak

laki-laki (L), lebih banyak perempuan (P) atau

keduanya (LP) pada akses dan kontrol

terhadap sumberdaya maupun terhadap

tahapan kegiatan. Pendapat petani laki-laki

dan perempuan baik dalam bentuk kualitatif

maupun kuantitatif selanjutnya dianalisis

menggunakan tabulasi dan persentase untuk

melihat pola relasi (hubungan) laki-laki

sebagai suami dan perempuan sebagai isteri

(suami-isteri) dalam melakukan kegiatan

pengelolaan hutan rakyat (Hartomo, 2007).

Secara kuantitatif pola relasi gender petani

dalam melakukan kegiatan hutan

rakyatditunjukkan dalam bentuk nilai Indeks

Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG).

Secara matematis, angka IKKG dihitung

menggunakan rumus sebagai berikut:

dimana:

= proporsi perempuan yang mempunyai karakteristik tertentu

= proporsi perempuan yang

mempunyai karakteristik lainnya

= proporsi laki-laki yang mempunyai karakteristik yang sama

= proporsi laki-laki yang mempunyai karakteristik lainnya

Pola relasi gender secara kuantitatif

ditunjukkan dalam bentuk angka IKKG

seperti ditunjukkan Tabel 1.

Page 45: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 33-45)

36

Tabel 1. Nilai IKKG dan klasifikasi pola relasi laki-

laki dan perempuan

Table 1. EEI value and relation pattern classification

of men and women

No.

(No.)

IKKG

(EEI)

Klasifikasi

(Clasification)

Simbol

(Symbol)

1. 0.0 < IKKG ≤

0.50

Dominan Laki-

laki

DL

2. 0.5 < IKKG ≤

1.0

Bersama-sama BS

3. IKKG > 1.0 Dominan

Perempuan

DP

Keterangan (Remarks): DL = Dominan laki-laki; BS =

Laki-laki dan perempuan sama-sama dominan; DP =

Dominan perempuan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengelolaan Hutan Rakyat di Lokasi

Penelitian

Provinsi Jawa Tengah memiliki luas

hutan rakyat 623.200 ha. Kabupaten

Banjarnegara memiliki luas hutan rakyat

5,49% dari luas hutan rakyat di Jawa Tengah

yaitu 34.185,10 ha (Dirjen BPDAS-PS dan

PT Surveyor Indonesia, 2011). Secara umum

petani hutan rakyat di Kabupaten

Banjarnegara menerapkan sistem agroforestri

melalui kombinasi antara tanaman kayu

dengan tanaman semusim. Tanaman kayu

yang dominan adalah sengon (Paraserianthes

falcataria). Jenis-jenis tanaman yang tumbuh

baik di Kabupaten Banjarnegara terbagi

dalam tiga zona, yaitu 1) Zona Utara (daerah

pegunungan): kayu putih (Eucaplyptus alba),

kopi (Coffea arabica) sebagai tanaman

pokok, dan kentang (Solanum tuberosum L),

kubis (Brassica oleracea var. Capitata),

jagung (Zea mays) sebagai tanaman semusim;

2) Zona Tengah (daerah datar) meliputi

sengon (Paraserianthes falcataria) dan jabon

(Anthocephalus cadamba) sebagai tanaman

pokok, dan kapulaga (Amomum cordammum),

pisang (Musa paradisiaca), salak (Salacca

zalacca) sebagai tanaman semusim; dan 3) Zona Selatan (daerah gelombang, kering)

meliputi pinus (Pinus merkusii), damar

(Agathis damara) sebagai tanaman pokok,

dan ketela pohon (Manihot esculenta) sebagai

tanaman semusim (Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Kabupaten Banjarnegara, 2011).

Kabupaten Banyumas memiliki hutan

rakyat yang tersebar hampir di seluruh

kecamatan dengan dominasi sengon.

Sementara tanaman non kayu yang potensial

di Kabupaten Banyumas adalah cengkeh

(Syzigium aromaticum), pala (Myristica

fragrans), kelapa (Cocos nucifera), lada

(Piper nigrum) dan lain sebagainya. .

Kabupaten Banyumas memiliki luas hutan

rakyat 38.955,89 ha (6,25% dari luas total

hutan rakyat di Jawa Tengah). Petani hutan

rakyat di Kabupaten Banyumas juga

menerapkan pola agroforestri melalui

kombinasi antara tanaman kayu dengan

tanaman semusim. Hutan rakyat pada

umumnya didominasi oleh jenis sengon,

namun belakangan ini minat masyarakat

untuk menanam sengon mulai menurun.

Berdasarkan ketinggian tempat,

pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten

Banyumas dibagi menjadi tiga tipe yakni: 1)

bagian barat, didominasi oleh jenis jati

(Tectona grandis), ketinggian sampai 150 m

dpl, 2) bagian tengah, didominasi oleh jenis

albasia sedangkan jati tidak cocok karena

dingin (lereng kaki Gunung Slamet),

ketinggian sampai 300 m dpl, 3) bagian timur,

didominasi oleh jenis albasia, ketinggian

sekitar 150 m dpl (Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Kabupaten Banyumas, 2011).

Jenis-jenis tanaman non kayu di

Kabupaten Banyumas yang merupakan

tanaman perkebunan dan dikembangkan

secara agroforestri yaitu kelapa, cengkeh,

vanili (Vannili planifolia), lada, pala ,

kapulaga, dan tanaman empon-empon seperti

jahe (Zingiber Officinale), kunyit (Curcuma

Domestica Val), kencur (Kaempferia

Galangan), lengkuas (Alpinia Galanga Sw)

dan lain sebagainya. Salak juga ditemukan di

Kabupaten Banyumas khususnya Kecamatan

Kedungbanteng, namun produksinya tidak

banyak.

Pengelolaan hutan rakyat secara umum

di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten

Banjarnegara memiliki kesamaan dalam

Page 46: ISSN: 2655-9595

Akses dan kontrol rumah tangga petani......(Eva Fauziyah)

37

setiap tahapannya. Tahapan hutan rakyat

meliputi pemilihan dan penyediaan bibit,

persiapan lahan dan penanaman,

pemeliharaan (pembersihan gulma/rumput,

pemupukan, penyemprotan hama penyakit

tanaman (HPT), penyulaman, penjarangan,

pemangkasan), serta pemanenan.

Penyediaan bibit tanaman kayu untuk

hutan rakyat kebanyakan dilakukan dengan

membeli dari pasar atau pedagang keliling,

berupa anakan yang tumbuh sendiri, bantuan

pemerintah maupun membibitkan sendiri.

Sementara untuk bibit tanaman pertanian atau

tanaman non kayu banyak diperoleh dengan

cara membeli. Persiapan lahan dilakukan

dengan pembersihan lahan, pembuatan lubang

tanaman dan pemberian pupuk dasar dan

sebagian adapula yang menerapkan sistem

cemplongan. Pemeliharaan terhadap hutan

rakyat khususnya tanaman kayu pada

mumnya tidak dilakukan secara intensif.

Pemupukan hanya dilakukan di awal tanam

atau setelah tanaman di panen. Pupuk yang

digunakan adalah pupuk kandang dan pupuk

kimia. Penyulaman, pemangkasan dan

penjarangan dilakukan sesuai kondisi

tanaman dan ketersediaan modal. Sementara

penyemprotan untuk hama penyakit jarang

dilakukan terlebih untuk tanaman kayu.

Pemanenan tanaman kayu sebagian

besar dilakukan dengan sistem tebang pilih

tetapi secara borongan karena dinilai lebih

praktis. Proses penjualan atau pemasaran

dilakukan secara individu ke

bandar/tengkulak yang datang ke rumah atau

ke kebun. Sementara untuk tanaman non

kayu dilakukan dirumah atau dipasar, dengan

harapan mendapat nilai jual yang lebih tinggi.

B. Akses dan Kontrol Rumahtangga Petani

Akses dan kontrol terhadap

sumberdaya dan tahapan kegiatan

pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten

Banyumas dan Kabupaten Banjarnegara

menurut para responden laki-laki dan

perempuan dapat dilihat pada Tabel 2 dan

Tabel 3.

Baik di Kabupaten Banyumas maupun

di Kabupaten Banjarnegara persentase akses

dan kontrol laki-laki secara umum terlihat

lebih besar. Menurut Septiadi dan Wigna

(2013) perbedaan peran gender antara laki-

laki dan perempuan dalam masyarakat yang

mengarah pada praktik ketimpangan gender

dapat diidentifikasi dengan melihat

keterlibatan peran antara laki-laki dan

perempuan dalam aktivitas, akses dan kontrol

dalam rumah tangga.

Akses dan kontrol laki-laki di

Kabupaten Banjarnagera lebih tinggi

dibandingkan di Kabupaten Banyumas dan

sebaliknya akses dan kontrol perempuan di

Kabupaten Banjarnegara cenderung lebih

rendah di bandingkan di Kabupaten

Banyumas. Hal ini dimungkinkan karena

jenis penyusun hutan rakyat yang berbeda dan

adanya beberapa keluarga petani di Banyumas

yang bekerja tidak hanya di sektor pertanian,

sehingga pada waktu-waktu tertentu beberapa

kegiatan di hutan rakyat banyak dilakukan

perempuan.

Wujud kesetaraan dan keadilan gender

dalam keluarga terdiri dari akses, partisipasi,

kontrol, dan manfaat. Dalam penelitian ini

wujud kesetaraan dan keadilan gender

dibatasi pada aspek akses dan kontrol. Akses

menurut Puspitawati (2012) didefinisikan

sebagai kapasitas untuk menggunakan

sumberdaya untuk sepenuhnya berpartisipasi

secara aktif dan produktif (secara sosial,

ekonomi dan politik) dalam masyarakat

termasuk akses ke sumberdaya, pelayanan,

tenaga kerja dan pekerjaan, informasi dan

manfaat, dengan kata lain akses adalah

peluang atau kesempatan dalam memperoleh

atau menggunakan sumberdaya alam.

Sementara kontrol adalah penguasaan atau

wewenang atau kekuatan untuk mengambil

keputusan.

Page 47: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 33-45)

38

Tabel 2. Akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan tahapan kegiatan menurut responden di Kabupaten Banyumas

Table 2. Acces and control to resources and stage of activities according to respondents in Banyumas District

Uraian

(Descriptions)

Akses

(Access)

Kontrol

(Control)

Responden

petani laki-

laki

(Men farmer

respondent)

Responden

petani

perempuan

(Women

farmer

respondent)

Responden

petani laki-

laki

(Men farmer

respondent)

Responden

petani

perempuan

(Women

farmer

respondent)

Sumberdaya (Resources) L P L P L P L P

(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)

1. Lahan hutan rakyat (Private forest land) 62,5 50,0 100 37,5 68,8 37,5 68,8 37,5

2. Komoditas yang diusahakan (Crops

cultivated)

81,3 25,0 93,8 93,8 87,5 18,8 87,5 18,8

3. Informasi (Information) 87,5 18,8 93,8 43,8 87,5 18,8 87,5 18,8

4. Pendidikan (Education) 87,5 25,0 100 25 93,8 12,5 93,8 12,5

5. Pelatihan (Training) 93,8 68,8 100 18,8 81,3 25 81,3 25

6. Penyuluhan pertanian (Agricultural

extention )

7,5 18,8 100 50 93,8 18,8 93,8 18,75

7. Hasil penjualan (Sales revenue) 93,8 43,8 50 68,8 87,5 37,5 75 37,5

8. Modal (Capital) 93,8 37,5 93,8 37,5 87,5 37,5 87,5 37,5

9. Kredit (Credit) 93,8 37,5 87,5 31,3 81,3 31,3 81,3 31,3

10. Peralatan Kerja (Equipment) 93,8 37,5 100 25 75 31,3 75 31,3

Tahapan Kegiatan(Stage of actvity)

1. Pengolahan lahan (Land cultivation) 93,8 25,0 93,8 50 81,3 25 81,3 25

2. Pembibitan (Nursery) 93,8 25,0 87,5 75 75 31,3 75 31,3

3. Pola tanam (Cropping pattern) 93,8 31,3 87,5

56,3 75 37,5 75 37,5

4. Pemupukan (Fertilization) 93,8 31,3 87,5 62,5 87,5 25 87,5 37,5

5. Pemeliharaan (Maintenance) 93,8 31,3 87,5 75,0 87,5 31,3 87,5 37,5

6. Penyiraman (Watering) 93,8 31,3 87,5 75,0 81,3 31,3 81,3 31,3

7. Pengendalian hama dan penyakit (Pest and

disease control)

93,8 31,3 87,5 75,0 81,3 31,3 81,3 31,3

8. Pengolahan pascapanen (Post harvest

processing)

25,0 100 50 100 81,3 43,8 81,3 43,8

9. Pemasaran(Marketing) 56,3 87,5 50 81,3 69,2 75 56,3 75

Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2012

Page 48: ISSN: 2655-9595

Akses dan kontrol rumah tangga petani......(Eva Fauziyah)

39

Tabel 3. Akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan tahapan kegiatan menurut responden di Kabupaten Banjarnegara

Table 3. Acces and control to resources and stage of activities according to respondents in Banjarnegara District

Uraian

(Descriptions)

Akses

(Access)

Kontrol

(Control)

Responden

petani laki-

laki

(Men farmer

respondent)

Responden

petani

perempuan

(Women

farmer

respondent)

Responden

petani laki-

laki

(Men farmer

respondent)

Responden

petani

perempuan

(Women

farmer

respondent)

Sumberdaya (Resources) L P L P L P L P

(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)

1. Lahan hutan rakyat (Private forest land) 62,5 62,5 87,5 50 62,5 43,8 62,5 43,8

2. Komoditas yang diusahakan (Crops

cultivated)

93,8 25 93,8 81,3 62,5 50 62,5 50

3. Informasi (Information) 93,8 25 87,5 87,5 62,5 31,3 75 31,3

4. Pendidikan (Education) 100 18,8 87,5 81,3 87,5 31,3 25 31,3

5. Pelatihan (Training) 100 25 81,3 62,5 87,5 18,8 87,5 18,8

6. Penyuluhan pertanian (Agricultural

extention )

100 18,8 81,3 75 18,8 31,3 81,3 25

7. Hasil penjualan (Sales revenue) 93,8 43,8 68,8 100 81,3 31,3 81,3 31,3

8. Modal (Capital) 100 255 100 81,3 81,3 31,3 81,3 31,3

9. Kredit (Credit) 100 31,3 100 87,5 81,3 37,5 75 37,5

10. Peralatan Kerja (Equipment) 100 6,3 100 62,5 87,5 18,8 87,5 18,8

Tahapan Kegiatan (Stage of actvity)

1. Pengolahan lahan (Land cultivation) 87,5 25 81,3 81,3 87,5 18,8 87,5 18,8

2. Pembibitan (Nursery) 100 18,8 81,3 87,5 81,3 25 87,5 25

3. Pola tanam (Cropping pattern) 100 18,8 81,3 81,3 75 37,5 68,8 43,8

4. Pemupukan (Fertilization) 100 18,8 75 93,8 25 37,5 75 37,5

5. Pemeliharaan (Maintenance) 87,5 37,5 68,8 93,8 75 43,8 75 50

6. Penyiraman (Watering) 87,5 31,3 68,8 100 81,3 31,3 81,3 31,3

7. Pengendalian hama dan penyakit (Pest and

disease control)

87,5 31,3 75 75 87,5 25 87,5 25

8. Pengolahan pascapanen (Post harvest

processing)

62,5 93,8 62,3 93,8 75 50 68,8 43,8

9. Pemasaran (Marketing) 56,3 93,8 81,3 56,3 62,5 50 50 50

Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2012

Berdasarkan Tabel 2 dan 3 dapat

dilihat bahwa menurut responden laki-laki

dan perempuan, akses terhadap sumberdaya

dan tahapan kegiatan pengelolaan hutan

rakyat lebih didominasi oleh laki-laki.

Dominasi laki-laki tersebut terutama terhadap

sumberdaya seperti lahan hutan rakyat,

komoditas yang diusahakan, informasi,

pendidikan, pelatihan, penyuluhan pertanian,

modal, kredit, dan peralatan kerja. Demikian

halnya akses terhadap tahapan kegiatan

pengelolaan hutan rakyat seperti pengolahan

lahan, ppembibitan, pola anam, pemupukan,

penyiraman, dan pengendalian hama dan

penyakit.

Perempuan terlibat pada sektor

pertanian karena perempuan memiliki rasa

tanggung jawab dan kepemilikan yang besar

Page 49: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 33-45)

40

terhadap keluarga. Perempuan lebih responsif

dalam mengatasi persoalan pangan keluarga

dan upaya peningkatan pendapatan

dibandingkan laki-laki, sehingga kesempatan

bekerja di luar rumah diperoleh oleh para

petani perempuan (Farmia, 2006). Elizabeth

(2007) menyatakan bahwa keberadaan

perempuan yang mau bekerja membantu laki-

laki sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Keadaan ini tergambar dalam setiap tahapan

kegiatan usahatani yang dilakukan, mulai dari

pembibitan hingga pengolahan hasil panen

dan pemasaran. Pekerjaan mengurus dan

mengatur rumah tangga (domestic work),

meski tidak memberi penghasilan langsung,

pada dasarnya merupakan pekerjaan yang

ekonomis produktif.

Akses terhadap informasi yang

dimiliki oleh laki-laki di lokasi penelitian

relatif lebih besar dibandingkan dengan

perempuan.. Laki-laki lebih dominan dalam

mengakses informasi dari televisi dimana

televisi merupakan sumber informasi utama

karena televisi menjadi satu-satunya sumber

informasi elektronik di desa. Demikian pula

akses laki-laki terhadap sumber informasi

yang berupa pendidikan, penyuluhan,

pelatihan ataupun brosur juga relatif dominan.

Bagi laki-laki (suami), peran perempuan

dalam hal penyuluhan dan brosur hanya

sekedar diberi tahu saja, tanpa harus

dilibatkan secara langsung. Hal inilah yang

mengakibatkan informasi-informasi yang bisa

menambah pengetahuan dan keterampilan

tidak bisa diperoleh dengan maksimal oleh

perempuan. Seperti hasil penelitian E.W.

Chirwa, Mvula, Dorward, and Matita. (2011)

dan Smale (2011), yang menunjukkan bahwa

karena hal tersebut menyebabkan petani

perempuan di negara yang sedang

berkembang tingkat adopsi terhadap teknologi

penggunaan jenis bibit modern menjadi lebih

rendah dibandingkan laki-laki, walaupun

hubungan antara gender dan adopsi biasanya

tidak siginifikan.

Hal tersebut juga terkait dengan peran

dan status wanita dalam mengurus rumah

tangga seperti dinyatakan oleh Elizabeth

(2007) bahwa dalam semua strata peran dan

status perempuan dalam mengurus

keberlangsungan rumah tangga terindikasi

lebih tinggi dibanding laki-laki (kepala

keluarga). Masih menurut Elizabeth (2007),

pada dasarnya wanita memiliki peranan ganda

dalam rumah tangga yakni: 1) peran kerja

sebagai ibu rumah tangga, meski tidak

langsung menghasilkan pendapatan, secara

produktif bekerja mendukung kaum pria

(kepala keluarga) untuk mencari penghasilan

(uang); dan 2) berperan sebagai pencari

nafkah (tambahan ataupun utama).

Perempuan di kedua kabupaten

mempunyai akses yang lebih dominan

dibandingkan dengan laki-laki dalam

pengolahan hasil panen dan pemasaran. Hal

ini ditandai dengan besarnya peluang dan

kesempatan yang diberikan kepada

perempuan untuk secara langsung

bernegosiasi dengan pedagang atau pembeli

yang akan membeli hasil pertanian mereka.

Dalam hal ini, laki-laki hanya sekedar

diberikan informasi oleh perempuan terkait

dengan pola distribusi dan penjualan mereka

dan hasil penjualannyapun sepenuhnya

diorientasikan untuk kebutuhan sehari-hari

bagi semua anggota keluarga. Dominasi

perempuan di sektor pertanian tersebut telah

berlangsung lama dan dipandang sebagai

sesuatu yang wajar (Wahyuni, 2007). Oleh

karena itu, perempuan petani harus diberi

kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk

memperoleh akses kepada lahan dan

sumberdaya yang lain, seperti kredit,

teknologi, dan pengetahuan.

Laki-laki dan perempuan memiliki

akses yang hampir sama dalam kegiatan

pemeliharaan di hutan rakyat. Hal ini sejalan

dengan beberapa hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa petani perempuan

mempunyai akses yang sama dengan laki-laki

dalam peningkatan input pertanian seperti

pemupukan, persemaian, peningkatan hasil

jagung sebanyak 16% di Malawi, 17% di

Ghana dan 19% di Kenya Barat

(World_Bank, 2012).

Page 50: ISSN: 2655-9595

Akses dan kontrol rumah tangga petani......(Eva Fauziyah)

41

Implementasi program pembangunan

pertanian di tingkat desa menunjukkan akses

laki-laki terhadap program pembangunan

lebih besar dibanding perempuan (Hastuti,

2004). Paradigma modernisasi dalam

pelaksanaan pembangunan pertanian yang

mengutamakan prinsip efisiensi, secara nyata

telah mengakibatkan terjadinya berbagai

perubahan pada masyarakat petani, baik

struktur sosial, budaya dan politik terutama

pada struktur ekonomi di perdesaan. Alokasi

sumberdaya pertanian terbukti tidak

memberikan kesempatan yang sama

berdasarkan gender. Penerapan teknologi

pertanian modern telah meminggirkan bahkan

menghilangkan akses dan kontrol perempuan

petani khususnya pada aspek budidaya (Hesti,

2012). Proyek-proyek pembangunan tidak

banyak melibatkan perempuan, sehingga

dalam introduksi teknologi pertanian petani

perempuan tidak memperoleh akses

sebagaimana pada petani laki-laki.

Nilai IKKG di kedua lokasi penelitian

untuk setiap variabel sumberdaya dan tahapan

kegiatan hutan rakyat pada aspek akses dan

kontrol disajikan dalam Tabel 4 dan 5.

Tabel 4. Nilai IKKG untuk setiap variabel sumberdaya dan tahapan kegiatan di Kabupaten Banyumas

Table 4. EEI value for every variable of resources and stage of activities in Banyumas District

Uraian Akses Kontrol

(Description) (Acces) (Control)

IKKG Klasifikasi IKKG Klasifikasi

(EEI) (Clasification) (EEI) (Clasification)

Sumberdaya (Resources)

1. Lahan hutan rakyat (Private forest land) 0,3 DL 0,3 DL

2. Komoditas yang diusahakan (Crops cultivated) 0,31 DL 0,05 DL

3. Informasi (Information) 0,1 DL 0,05 DL

4. Pendidikan(Education) 0,07 DL 0,02 DL

5. Pelatihan (Training) 0,15 DL 0,09 DL

6. Penyuluhan pertanian(Agricultural extention) 0,1 DL 0,04 DL

7. Hasil penjualan (Sales revenue) 0,8 BS 0,21 DL

8. Modal (Capital) 0,16 DL 0,18 DL

9. Kredit (Credit) 0,14 DL 1,15 DL

10.Peralatan kerja (Equipment) 0,1 DL 0,17 DL

Tahapan Kegiatan (Stage of Activity)

1. Pengolahan lahan (Land cultivation) 0,14 DL 0,09 DL

2. Pembibitan (Nursery) 0,23 DL 0,17 DL

3. Pola tanam (Cropping pattern) 0,21 DL 0,25 DL

4. Pemupukan (Fertilization) 0,24 DL 0,12 DL

5. Pemeliharaan (Maintenance) 0,29 DL 0,15 DL

6. Penyiraman (Watering) 0,29 DL 0,15 DL

7. Pengendalian hama dan penyakit (Pest and

disease control)

0,29 DL 0,15 DL

8. Pengolahan hasil hutan (Post harvest processing) 8,00 DP 0,29 DL

9. Pemasaran (Marketing) 2,53 DP 1,44 DP

Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2012

Keterangan (Remarks): DL = Dominan Laki-laki; BS= Laki-Laki dan Perempuan sama-sama dominan; DP = Dominan

Perempuan

Page 51: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 33-45)

42

Tabel 5. Nilai IKKG untuk setiap variabel sumberdaya dan tahapan kegiatan di Kabupaten Banjarnegara

Table 5. EEI value for every variable of resources and stage of activities in Banjarnegara District

Uraian Akses Kontrol

(Description) (Acces) (Control)

IKKG Klasifikasi IKKG Klasifikasi

(EEI) (Clasification) (EEI) (Clasification)

Sumberdaya (Resources)

1. Lahan hutan rakyat (Private forest land) 0,57 BS 0,49 DL

2. Komoditas yang diusahakan (Crops cultivated) 0,23 DL 0,64 BS

3. Informasi (Information) 0,27 DL 0,21 DL

4. Pendidikan(Education) 0,17 DL 0,63 BS

5. Pelatihan (Training) 0,19 DL 0,05 DL

6. Penyuluhan pertanian (Agricultural Extention) 0,17 DL 0,51 BS

7. Hasil penjualan ( Sales revenue) 0,68 BS 0,15 DL

8. Modal (Capital) 0,2 DL 0,15 DL

9. Kredit (Credit) 0,27 DL 0,23 DL

10. Peralatan kerja (Equipment) 0,04 DL 0,05 DL

Tahapan Kegiatan (Stage of Activity)

1. Pengolahan lahan (Land cultivation) 0,29 DL 0,05 DL

2. Pembibitan (Nursery) 0,20 DL 0,09 DL

3. Pola tanam (Cropping pattern) 0,19 DL 0,32 DL

4. Pemupukan (Fertilization) 0,23 DL 0,75 BS

5. Pemeliharaan (Maintenance) 0,58 BS 0,39 DL

6. Penyiraman (Watering) 0,52 BS 0,15 DL

7. Pengendalian hama dan penyakit (Pest and

disease control)

0,36 DL 0,08 DL

8. Pengolahan hasil hutan (Post harvest processing) 2,25 DP 0,42 DL

9. Pemasaran (Marketing) 1,15 DP 0,8 BS

Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2012

Keterangan (Remarks): DL = Dominan Laki-laki; BS= Laki-Laki dan Perempuan sama-sama dominan; DP = Dominan

Perempuan

Pada Tabel 4 dan 5 terlihat bahwa

sebagian besar akses maupun kontrol terhadap

sumberdaya dan tahapan kegiatan didominasi

oleh laki-laki yang ditunjukkan oleh nilai

IKKG sebesar kurang dari 0,5. Terdapat dua

variabel akses di Kabupaten Banyumas

maupun di Kabupaten Banjarnegara yang

didominasi oleh perempuan yaitu akses

terhadap pengolahan hasil dan pemasaran.

Sementara kegiatan yang dilakukan secara

bersama-sama baik oleh laki-laki maupun

perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat di

Kabupaten Banjarnegara lebih banyak

dibandingkan dengan di Kabupaten

Banyumas. Di Kabupaten Banyumas hanya

akses terhadap hasil penjualan yang dilakukan

bersama dengan nilai IKKG 0,80; sedangkan

di Kabupaten Banjarnegara akses terhadap

sumberdaya lahan (0,57) dan hasil penjualan

(0,68) serta akses terhadap kegiatan

pemeliharaan (0,58) dan penyiraman. (0,52).

Pada Tabel 4 dan 5 juga terlihat

kontrol terhadap sumberdaya dan tahapan

kegiatan di hutan rakyat di dominasi oleh

Page 52: ISSN: 2655-9595

Akses dan kontrol rumah tangga petani......(Eva Fauziyah)

43

laki-laki. Kontrol yang didominasi

perempuan di Kabupaten Banyumas terlihat

pada tahapan pemasaran, sedangkan di

Kabupaten Banjarnegara tidak ada

sumberdaya maupun kegiatan yang

didominasi perempuan, tetapi terdapat 3

variabel yang dilakukan bersama yaitu kontrol

terhadap komoditas yang diusahakan,

penyuluhan pertanian dan kontrol terhadap

kegiatan pemupukan. Meskipun persentase

responden yang menyatakan bahwa dalam

melakukan akses dan kontrol terhadap sumber

daya dilakukan secara bersama-sama antara

suami dan istri, namun disini peran istri juga

sangat lemah yaitu hanya sebagai pendengar

atau lebihnya sebagai pertimbangan,

pengambil keputusan tetap suami (Sari et al.,

2009).

Akses dan kontrol laki-laki dan

perempuan yang berbeda tersebut dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut

(Palit, 2009) faktor-faktor yang

mempengaruhi akses dan kontrol laki-laki dan

perempuan terhadap sumberdaya dan manfaat

terdiri dari dua yaitu faktor internal dan faktor

eksternal (Palit, 2009). Faktor internal

mencakup umur, pendidikan formal, jumlah

anggota keluarga, luas lahan/modal dan

pendapatan. Faktor eksternal mencakup

intensitas mengakses informasi dan

keterlibatan dalam kelompok. Faktor

penguasaan lahan rumah tangga,

keikutsertaan suami-istri dalam kegiatan

kelompok dan pengetahuan lokal suami istri

dalam budidaya tanaman di lahan hutan

mempengaruhi akses dan kontrol pada

rumahtangga petani terlebih pada laki-laki.

Sedangkan pada rumah tangga buruh tani,

faktor-faktor tersebut tidak mempengaruhi

akses dan kontrol atas sumberdaya dalam

kegiatan pengelolaan hutan rakyat

(Rahmawati & Sunito, 2013).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pola relasi gender dalam pengelolaan

hutan rakyat di Kabupaten Banyumas dan

Kabupaten Banjarnegara menunjukkan bahwa

laki-laki masih mendominasi dalam akses

terhadap sumberdaya hutan rakyat seperti:

lahan, komoditas yang diusahakan,

pendidikan, pelatihan, penyuluhan pertanian,

modal, kredit, serta peralatan maupun akses

terhadap tahapan kegiatan pengelolaan hutan

rakyat seperti pengolahan lahan, pembibitan,

pemupukan, pola tanam, pemeliharaan, serta

pengendalian hama dan penyakit. Perempuan

hanya lebih dominan dalam akses terhadap

pengolahan pasca panen dan pemasaran. Pada

aspek kontrol di Kabupaten Banyumas,

perempuan mendominasi pada tahapan

kegiatan pemasaran, sementara di Kabupaten

Banjarnegara tidak ada dominasi baik pada

sumberdaya maupun tahapan kegiatan

pengelolaan hutan rakyat, namun kontrol

terhadap komoditas yang diusahakan dan

penyiraman, pemupukan dan pemasaran

dilakukan secara bersama-sama.

B. Saran

Dominasi perempuan dalam

pengelolaan hutan rakyat terutama pada

penjualan hasil panen, pengolahan

pascapanen dan pemasaran dipandang sebagai

sesuatu yang wajar. Memperhatikan peran

sentral perempuan dalam pengelolaan hutan

rakyat sehingga perempuan harus diberi

kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk

memperoleh akses dan kontrol terhadap

sumberdaya dan tahapan kegiatan dalam

pengelolaan hutan rakyat. Untuk

meningkatkan peran perempuan dalam

pengelolaan hutan rakyat, diperlukan

dukungan baik dari pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah (provinsi/kabupaten)

melalui pelibatan perempuan dalam

penyuluhan/pelatihan seperti pelatihan

tentang pengolahan pascapanen dan perluasan

jaringan pemasaran untuk meningkatkan nilai

tambah dari hutan rakyat. Selain itu juga

perlu peningkatan keterlibatan perempuan

dalam kegiatan dan kepengurusan kelompok

tani, dimana selama ini perempuan biasanya

hanya dilibatkan secara terbatas seperti

Page 53: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 33-45)

44

sebagai tenaga upahan dalam kegiatan/proyek

kelompok.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan

kepada Balai Penelitian dan Pengembangan

Teknologi Agroforestry atas kesempatannya

sehingga kegiatan penelitian ini dapat

dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA

Deere, C. D., Oduro, A. D., Swaminathan, H.,

& Doss, C. (2013). Property rights and

the gender distribution of wealth in

Ecuador, Ghana, and India. The Journal

of Economic Inequality, 11, 249-265.

E.W. Chirwa, E. W., Mvula, P. M., Dorward,

A., & Matita., M. (2011). Gender and

Intrahousehold Use of Fertilizers in The

Malawi Farm Input Subsidy

Programme. Future Agriculture

Working Paper 02. Retrieved from

http://www.dfid.gov.uk.

Elizabeth, R. (2007). Pemberdayaan Wanita

Mendukung Strategi Gender

Mainstreaming dalam Kebijakan

Pembangunan Pertanian di Perdesaan.

Forum Penelitian Agro Ekonomi, 25

(2), 126-135.

Fakih, M. (2007). Analisis gender &

transformasi sosial Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Farmia, A. (2006). Peran perempuan

indonesia dalam pembangunan

Pertanian Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian.,

2 (1), 35-41.

Fauziyah, E., Firdaus, N., & Sanudin. (2013).

Pemilihan jenis dan pembagian peran

dalam pengelolaan hutan rakyat

berbasis HHBK. Paper presented at the Seminar Nasional Hasil Penelitian

HHBK, Mataram.

Hartomo, W. (2007). Kebijakan Sistem

Usahatani Berkelanjutan Responsif

Gender di Kabupaten Karanganyar

Provinsi Jawa Tengah.

Hastuti, E. L. (2004). Hambatan sosial budaya

dalam pengarusutamaan gender di

Indonesia Retrieved from

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffil

e s/WP_50_2004.pdf.

Hesti, R. W. (2012). Identifikasi Kebutuhan

Teknologi Pertanian dalam Usaha

Pertanian Semi-arid Menurut Perspektif

Petani Perempuan: Tantangan Bagi

Peneliti. Retrieved from

http://hartapplcng.blogspot.com/

2012/04/identifikasi-kebutuhan-

teknologi.html

Johnson, N. L., Kovarik, C., Meinzen-Dick,

R., Njuk, J., & Quisumbing, A. (2016).

Gender, assets, and agricultural

development: lessons from eight

projects World Development, 83, 295-

311.

Palit, M. A. (2009). Status dan peran wanita

tani etnik papua dalam pengambilan

keputusan rumahtangga di Distrik

Sentani Kabupaten Sentani Provinsi

Papua. . (Tesis), Institut Pertanian

Bogor. , Bogor.

Rahmawati, F., & Sunito, M. A. (2013).

Faktor-faktor yang mempengaruhi akses

dan kontrol laki-laki dan perempuan

dalam pengelolaan sumberdaya hutan

rakyat (Studi: Desa Gunung Bunder II,

Kecamatan Pamijahan, Kabupaten

Bogor, Provinsi Jawa. Sodality: Jurnal

Sosiologi Pedesaan, Desember 2013,

206-221.

Ruth Meinzen-Dick, Johnson, N.,

Quisumbing, A., Jemimah Njuki,

Behrman, J., Rubin, D., . . . Waithanji.,

E. (2011). Gender, assets, and

agricultural development programs: a

conceptual framework Retrieved from

Washington, DC:

Page 54: ISSN: 2655-9595

Akses dan kontrol rumah tangga petani......(Eva Fauziyah)

45

Sari, A. I., Purnomo, S. H., & Rahayu, E. T.

(2009). Sistem pembagian kerja, akses

dan kontrol terhadap sumber daya

ekonomi dalam keluarga peternak

rakyat sapi potong di Kabupaten

Grobogan. Sains Peternakan, 7 (1)

Maret 36-44.

Smale, M. (2011). Does household headship

affect demand for hybrid maize seed in

kenya? an exploratory analysis based

on 2010 survey data. . Retrieved from

East Lansing, MI.:

Wahyuni, E. S. (2007). Perempuan petani dan

penanggulangan kemiskinan.

Agrimedia, 12 (1).

World_Bank. (2012). Gender Equality and

Develonpment. Retrieved from

Washington, DC:

Yuwono, D. M. (2013). Pengarusutamaan

Gender Dalam Pembangunan Pertanian:

Kasus Pada Pelaksanaan Program Feati

Di Kabupaten Magelang. Badan

Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa

Tengah. SEPA, 10(1), 140-147.

Page 55: ISSN: 2655-9595

KERAGAMAN MAKROFAUNA TANAH PADA AGROFORESTRI JATI

(Tectona grandis) DAN JALAWURE (Tacca leontopetaloides)

(The Diversity of Soil Macrofauna on Agroforestry Teak (Tectona grandis) and Polynesian

Arrowroot (Tacca leontopetaloides)

Aji Winara1

1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry

Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax. (0265) 775866

Email: [email protected]

Diterima 22 November 2018, direvisi 14 Desember 2018, disetujui 22 Desember 2018

ABSTRACT

Teak and polynesian arrowroot is a new pattern of agroforestry to support food security of communities around forests

in coastal areas. The presence of polynesian arrowroot under teak stands is not only expected to be food sources but

also to provide ecological benefits for biodiversity, especially soil macrofauna. The study aims is to determine the

diversity of soil macrofauna in teak and polynesia arrowroot agroforestry patterns. The study was conducted in Garut

Regency in April 2017. The method used in this study was monolithic technique and analyzed by calculating diversity

and richness index. The object was an agroforestry demonstration plot with three polynesia arrowroot spacings under

7-years-old teak stand and monoculture teak. The results showed that there were 5 soil macrofaunas in teak and

polynesian arrowroot agroforestry which are from five families and five orders. The dominance order was coleoptera

with Important Value Index (IVI) = 133.93% -157.78% and opisthophora with IVI = 103.51%. The diversity and

richness of soil macrofauna in teak and polynesian arrowroot agroforestry patterns is low (H '= 0.28-0.55; R' = 0.87-

1.48). Although agroforestry cultivation is carried out intensively, there is no difference in the diversity of soil

macrofauna when compared to teak monoculture.

Keywords: Agroforestry teak and polynesian arrowroot, diversity, soil fauna.

ABSTRAK

Jati dan jalawure merupakan pola agroforestri baru guna mendukung ketahanan pangan masyarakat sekitar hutan di

wilayah pesisir pantai. Hadirnya jalawure dibawah tegakan jati tidak hanya diharapkan sebagai penyedia pangan tetapi

memberikan manfaat secara ekologi bagi biodiversitas khususnya makrofauna tanah. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui keragaman makrofauna tanah pada pola agroforestri jati dan jalawure. Penelitian dilaksanakan di

Kabupaten Garut pada bulan April 2017. Metode penelitian yang digunakan adalah teknik monolit dan dianalisis

dengan penghitungan indek keragaman dan kekayaan jenis. Objek penelitian adalah demplot agroforestri dengan tiga

jarak tanam jalawure dibawah tegakan jati berumur 7 tahun dan jati monokultur. Hasil penelitian menunjukkan

makrofauna tanah pada agroforestri jati dan jalawure dijumpai sebanyak 5 jenis yang berasal dari lima famili dan lima

ordo. Ordo dominan adalah coleoptera (INP = 133,93% -157,78%) dan opisthophora (INP = 103,51%). Keragaman dan

kekayaan jenis makrofauna tanah pada pola agroforestri jati dan jalawure tergolong rendah (H’= 0,28-0,55; R’= 0,87-

1,48). Meskipun budidaya agroforestri dilakukan secara intensif namun tidak dijumpai adanya perbedaan keragaman

makrofauna tanah jika dibandingkan jati monokultur.

Kata kunci: agroforestri jati dan jalawure, keragaman, fauna tanah.

I. PENDAHULUAN

Invertebrata tanah kelompok

makrofauna merupakan organisme yang

berperan dalam ekosistem seperti berperan

positif dalam memperbaiki sifat tanah baik

secara langsung berupa ketersediaan hara

tanah ataupun penyedia sumber makanan bagi

mikrofauna tanah yang akan memperbaiki

sifat tanah (Lavelle et al., 2006). Sistem

budidaya tanaman akan berpengaruh terhadap

keragaman fauna tanah seperti pengelolaan

lahan yang intensif dapat menurunkan

Page 56: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 47-55)

48

keragaman fauna tanah (Jouquet, Dauber,

Lagerlo, Lavelle, & Lepage, 2006).

Agroforestri merupakan sebuah sistem

kombinasi pola tanam antara tanaman

kehutanan dengan tanaman pertanian dengan

tujuan untuk kelestarian manfaat ekonomi,

ekologi dan sosial. Biodiversitas menjadi

salah satu tolok ukur kelestarian ekologi

dalam sebuah sistem agroforestri, bahkan

sistem agroforestri dapat meningkatkan

biodiversitas dibandingkan pola tanam

monokultur (Jose, 2012). Pola agroforestri

secara sosial telah menjadi penyedia bagi

ketahanan pangan 1,2 juta masyarakat di

dunia (Jamnadass et al., 2013). Demikian pula

di Indonesia, diharapkan agroforestri menjadi

penyedia ketahanan pangan dari hutan baik

lokal maupun nasional. Pada tingkat nasional,

komoditi padi, jagung dan kedelai menjadi

prioritas nasional untuk dikembangkan pada

pola agroforestri khususnya pada areal

perhutanan sosial. Sementara itu, beberapa

jenis komoditi umbi-umbian menjadi

komoditi untuk ketahanan pangan lokal baik

yang sudah mapan seperti ketela pohon

maupun alternatifnya.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI) telah merekomendasikan 22 jenis

umbi-umbian alternatif dalam mendukung

ketahanan pangan di antaranya adalah

jalawure (Tacca leontopetaloides) (Maryanto,

2013). Umbi jalawure mengandung

karbohidrat hingga 89% dengan kandungan

energi dari umbi kering hingga 366 Kcal/100

g sehingga cukup untuk menjadi substitusi

karbohidrat dengan kandungan energi tidak

berbeda jauh dengan beberapa jenis pangan

alternatif lain seperti tepung gandum dan

garut (Wardah, Sambas, Ridwan, & Ariani,

2017). Sejak lama sebagian masyarakat

pesisir di Indonesia secara turun temurun

telah memanfaatkan tepung umbi jalawure

sebagai makanan tambahan berupa aneka

macam kue kering dan basah hingga roti

seperti masyarakat di Garut, Madura dan

Kepulauan Karimun Jawa (Martin, Aviana,

Hapsari, Rantau, & Ermayanti, 2012; Budi &

Sihotang, 2013; Setiawan, 2013; Aatjin,

Lelemboto, Koapaha, & Mamahit, 2013).

Agroforestri jalawure di bawah

tegakan jati merupakan model pola tanam

jalawure yang sedang dikembangkan dalam

skala demplot di Kabupaten Garut karena

secara alami jalawure mampu tumbuh di

bawah tegakan seperti dijumpai di bawah

tegakan hutan jati, akasia, mindi, ketapang

dan hutan bambu (Setyowati, Susiarti, &

Rugayah, 2012; Setiawan, 2013; Susiarti,

2015). Model agroforestri jalawure dinilai

berpotensi menjadi penyedia cadangan

pangan alternatif di wilayah pesisir

Kabupaten Garut baik dikembangkan secara

monokultur maupun agroforestri dengan

tegakan jati (Winara, 2018). Agroforestri jati

dan jalawure merupakan model agroforestri

baru sehingga kajian mengenai lingkungan

agroforestri belum pernah dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh agroforestri jati dan jalawure

terhadap keragaman makrofauna tanah.

II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan

April 2017. Lokasi penelitian adalah demplot

agroforestri dengan pohon utama jati (Tectona

grandis) berumur 7 tahun (jarak tanam 2 m x

3 m dan rataan luas bidang dasar 0,17 m2) dan

tanaman bawah jalawure (T. leontopetaloides)

berumur 6 bulan sebagaimana disajikan dalam

Gambar 1. Demplot penelitian terletak di

Desa Cigadog Kecamatan Cikelet Kabupaten

Garut, Provinsi Jawa Barat.

Gambar 1. Demplot agroforestri jati dan jalawure

(tanda panah) di Kabupaten Garut

Figure 1. Demonstration plots of agroforestry teak and

polynesian arrowroot (arrow sign) in Garut Regency

Page 57: ISSN: 2655-9595

Keragaman makrofauna tanah pada agroforestri......(Aji Winara)

49

B. Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan

antara lain sampel fauna tanah, alkohol 70%

dan perlengkapan koleksi spesimen. Adapun

alat yang digunakan dalam penelitian ini

antara lain cangkul, sekop dan meteran.

C. Metode

Demplot agroforestri jati-jalawure

dibangun dengan rancangan acak kelompok

dengan 4 perlakuan meliputi perlakuan

kontrol tanpa jalawure atau monokultur jati

dan tiga perlakuan jarak tanam jalawure di

bawah tegakan jati (agroforestri) meliputi

jarak tanam 50 x 50 cm, 75 x 75 cm dan 100 x

100 cm, setiap perlakuan diulang 3 kali (3

kelompok). Plot perlakuan agroforestri

mendapatkan pemupukan dasar berupa pupuk

kandang kotoran sapi dengan dosis 5 ton/ha.

Gambar 2. Letak plot pengamatan makrofauna tanah

Figure 1. The location of soil macrofauna plot

observation

Teknik pengumpulan data makrofauna

tanah menggunakan metode monolit dengan

teknik sortasi tangan (hand sortation

technique) mengacu pada Anwar (2006)

dengan modifikasi pada peletakan plot

penelitian. Plot berukuran 30 cm x 30 cm

dengan kedalaman 25 cm diletakkan secara

disengaja pada setiap plot perlakuan

penelitian dengan arah garis diagonal

terhadap plot (Gambar 2). Jumlah plot

pengamatan setiap perlakuan jarak tanam

jalawure adalah 9 plot sehingga total menjadi

36 plot pengamatan. Sampel tanah dilakukan

ekstraksi secara langsung di lokasi penelitian,

kemudian sampel makrofauna tanah

dikumpulkan dan diawetkan menggunakan

alkohol 70% untuk dilakukan identifikasi

morfologis di laboratorium Balai Penelitian

dan Pengembangan Teknologi Agroforestry.

D. Analisis Data

Analisis deskriptif dilakukan untuk

mengetahui gambaran makrofauna tanah

menggunakan pendekatan indeks nilai penting

jenis, indeks keragaman jenis Shannon-

Wienner, indeks kekayaan jenis Margalef,

indeks kemerataan jenis Shannon-Wienner

dan indeks kesamaan jenis Sorrensens

kuantitatif.

∑ (

)

(

) ∑

.......... (1)

.............................. (2)

dimana adalah indeks keragaman jenis

Shannon-Wienner, adalah indeks kekayaan

jenis Margalef, adalah indeks kemerataan jenis, adalah indeks kesamaan jenis

Sorrensens kualitatif, adalah jumlah

individu tiap jenis , adalah jumlah total

seluruh populasi, adalah loagritma natural,

adalah jumlah jenis, adalah jumlah

populasi di lokasi , adalah jumlah

populasi di lokasi , adalah jumlah

terendah dari dua populasi jenis antara kedua

lokasi dan .

Nilai ndeks keragaman jenis menurut

Shannon-Wienner didefinisikan sebagai

berikut:

- > 3 menunjukkan keragaman jenis melimpah tinggi

- 1 ≤ ≤ 3 menunjukkan keragaman jenis

melimpah sedang

- < 1 menunjukkan keragaman jenis rendah

Nilai indeks kekayaan jenis Margalef

didefinisikan sebagai berikut:

- > 5 menunjukkan kekayaan jenis tinggi

- 3,5 ≤ ≤ 5 menunjukkan kekayaan jenis

sedang

Plot agroforestri

Plot

monolit

Page 58: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 47-55)

50

- < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis

rendah

Nilai indeks kemerataan jenis ( )

menunjukkan tingkat kemerataan jenis pada

suatu komunitas dengan rentang nilai 0 – 1.

Kemerataan jenis suatu pada komunitas

semakin tersebar merata jika nilainya

mendekati angka 1 dan demikian pula

sebaliknya jika nilainya mendekati nol maka

semakin tidak merata jenis pada komunitas

tersebut.

Nilai kesamaan jenis ( )

menunjukkan tingkat kesamaan jenis antar

komunitas dengan rentang nilai 0 – 1. Nilai

tersebut menunjukkan semakin mendekati

angka 1 maka semakin sama jenis yang

terdapat diantara dua komunitas tersebut, demikian pula sebaliknya semakin mendekati

nilai nol berarti semakin berbeda jenis pada

kedua komunitas tersebut.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi dan Nilai Penting Jenis

Komposisi dan nilai penting jenis

makrofauna tanah pada pola agroforestri jati

jalawure dan monokultur jati di Kabupaten

Garut disajikan pada Tabel 1. Sebanyak 5

jenis makrofauna tanah yang berasal dari 5

famili dan 5 ordo dijumpai pada pola

agroforestri jati-jalawure, sedangkan pada

pola tanam monokultur jati dijumpai 4 jenis

makrofauna yang berasal dari 4 famili dan 4

ordo.

Beberapa jenis makrofauna tanah yang

dijumpai pada beberapa pola tanam

agroforestri jalawure di antaranya Lumbricus

sp. (Ordo Ophisthopora), Microtermes sp.

(Ordo Isoptera), Phyllophaga sp. (Ordo

Coleoptera), Oniscus sp. (Ordo Isopoda) dan

Geophilo sp. (Ordo Geophilomorpha).

Terdapat dua jenis makrofauna tanah yang

tergolong soil engineer yang banyak berperan

dalam dekomposisi bahan organik dalam

tanah (Jouquet et al., 2006), yaitu kelompok

cacing (Ordo Ophisthopora) dan rayap (Ordo

Isoptera).

Beberapa jenis makrofauna tanah

mendominasi pada agroforestri jati-jalawure

dan monokultur jati (Tabel 1) di antaranya

cacing tanah jenis Lumbricus sp.

mendominasi pola agroforestri jati-jalawure

pola 1 (INP = 103,51 %) dan jati monokultur

(INP = 82,15 %). Jenis Lumbricus merupakan

cacing tanah pemakan serasah yang cukup

efektif dalam dekomposisi bahan organik

(Anwar, 2009).

Cacing tanah dapat meningkatkan

kesuburan tanah dan ketersediaan hara karena

proses dekomposisi bahan organik menjadi

lebih cepat 2-5 kali dibandingkan bahan

organik tanpa kehadiran organism tersebut

(Maftu’ah & Susanti, 2009). Hasil

dekomposisi bahan organik mati oleh cacing

tanah menyediakan unsur hara yang tersedia

bagi tanaman berupa kotoran cacing.

Sementara itu, pada pola agroforestri

jati-jalawure 2 dan 3 didominasi oleh uret

jenis Phyllophaga sp. dengan nilai INP

berturut-turut sebesar 133,93 % dan 157,78

%. Jenis Phyllophaga sp. ditemukan pula

pada jati monokultur dengan nilai INP sebesar

53,63 % di bawah kelimpahan cacing tanah.

Jenis Phyllophaga sp. tergolong herbivor

yang bersifat hama penting terutama bagi

beberapa tanaman pertanian. Pupuk kandang

sangat disukai oleh Phyllophaga terutama

pupuk kandang dari ternak sapi (Brandhorst-

Hubbard, Flanders, & Appel, 2001).

Kehadiran Phyllophaga lebih banyak pada

pola agroforestri kemungkinan berkaitan

dengan pemberian pupuk kandang dalam pola

agroforestri sedangkan pada monokultur tidak

ada penambahan pupuk kandang.

Page 59: ISSN: 2655-9595

Keragaman makrofauna tanah pada agroforestri......(Aji Winara)

51

Tabel 1. Nilai penting jenis makrofauna tanah pada beberapa pola agroforestri jati-jalawure dan monokultur jati

Table 1. Important values of soil macrofauna species in teak-polynesian arrowroot agroforestry and teak

monoculture.

Pola

(Pattern)

/No

Jenis

(Species)

Famili

(Family)

Ordo

(Ordo)

KR

(%)

FR

(%)

INP

(%)

K

1 Lumbricus sp. Annelidae Opisthopora 42,11 40,04 82,15

2 Phyllophaga sp. Scarabaeidae Coleoptera 31,58 30,03 61,61

3 Microtermes sp. Termitidae Isoptera 21,05 20,02 41,07

4 Forficula sp. Forficulidae Dermaptera 5,26 10,01 15,27

Total 100,00 100,25 200,25

AF1

1 Lumbricus sp. Annelidae Opisthopora 53,33 50,18 103,51

2 Microtermes sp. Termitidae Isoptera 13,33 14,34 27,67

3 Oniscus sp. Oniscidae Isopoda 6,67 7,17 13,84

4 Phyllophaga sp. Scarabaeidae Coleoptera 20,00 21,51 41,51

5 Geophilo sp. Geophilidae Geophilomorpha 6,67 7,17 13,84

Total 100,00 100,36 200,36

AF2

1 Phyllophaga sp. Scarabaeidae Coleoptera 62,50 71,43 133,93

2 Lumbricus sp. Annelidae Opisthopora 25,00 14,29 39,29

3 Geophilo sp. Geophilidae Geophilomorpha 12,50 14,29 26,79

Total 100,00 100,00 200,00

AF3

1 Phyllophaga sp. Scarabaeidae Coleoptera 80,00 77,78 157,78

2 Oniscus sp. Oniscidae Isopoda 10,00 11,11 21,11

3 Microtermes sp. Termitidae Isoptera 10,00 11,11 21,11

Total 100,00 100,00 200,00

Keterangan: K = Monokultur jati; AF 1= Jati-jalawure jarak tanam 0,5 x 0,5 m; AF 2 = Jati-jalawure jarak tanam 0,75

x 0,75 m; AF 3 = Jati-jalawure jarak tanam 1 x 1 m; KR = Kerapatan relatif; FR = Frekuensi relatif; INP =

Indeks nilai penting.

Remark: K = Teak monoculture; AF 1= Teak-polynesian arrowroot with spacing 0.5 x 0.5 m; AF 2 = Teak-polynesian

arrowroot with spacing 0.75 x 0.75 m; AF 3 = Teak-polynesian arrowroot with spacing 1 x 1 m; KR =

Relative density; FR = Relative frequency; INP = Important Value Index.

B. Keragaman, Kekayaan, Kemerataan

dan Kesamaan Jenis

Keragaman jenis makrofauna tanah

pada pola agroforestri jati-jalawure

berdasarkan indeks Shannon-Wienner ( )

sebesar 0,28 - 0,55, sedangkan pada

monokultur jati sebesar 0,55 (Tabel 2). Hal ini

menunjukkan keragaman makrofauna tanah

pada kedua jenis pola tanam tersebut berada

pada kategori yang sama yaitu tergolong

rendah yang ditunjukkan dengan nilai indeks

keragaman jenis Shannon-Wienner ( ) lebih

kecil dari 1.

Hasil analisis kekayaan jenis

makrofauna tanah (Tabel 2) menunjukkan

bahwa kekayaan jenis ( ) makrofauna tanah pada pola monokultur jati sebesar 1,31,

sedangkan pada pola agroforestri jati-jalawure

berkisar pada nilai sebesar 0,87-1,48. Nilai

kekayaan makrofauna pada kedua pola

tersebut tergolong pada tingkatan yang sama

Page 60: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 47-55)

52

yaitu tergolong kekayaan jenis rendah ( <

3,5).

Berdasarkan indeks kemerataan jenis

menunjukkan bahwa pola agroforestri jati dan

jalawure pada pola AF1 dan AF2 tidak

berbeda jauh dengan monokultur jati (K)

dengan tingkat kemerataan jenis cukup besar

yaitu 0,80-0,82 atau sekitar 80-82 % tersebar

merata sedangkan kemerataan jenis

makrofauna pada monokultur jati mencapai

88 % sebagaimana Tabel 2. Meskipun

demikian kemerataan jenis pada pola AF3

lebih rendah yaitu sebesar 0,58 atau tersebar

merata sebesar 58 %.

Tabel 2. Nilai Indeks Keragaman, Kekayaan dan Kemerataan Jenis makrofauna tanah pada beberapa pola agroforestri

jati-jalawure dan monokultur jati

Table 2. The value of diversity, richness and evenness species index of soil macrofauna in some patterns of teak-

polynesian arrowroot agroforestry and teak monoculture

Parameter

(Parameter) K AF1 AF2 AF3

0,55 0,28 0,55 0,49

1,31 1,48 0,96 0,87

0,88 0,8 0,82 0,58

Keterangan: K = Monokultur jati; AF 1= Jati-Jalawure jarak tanam 0,5 x 0,5 m; AF 2 = Jati-Jalawure jarak tanam 0,75

x 0,75 m; AF 3 = Jati-Jalawure jarak tanam 1 x 1 m; = Indeks Keragaman Shannon-Wienner; =

Indeks Kekayaan Margalef; = Indeks Kemerataan. Remark: K = Teak monoculture; AF 1= Teak-polynesian arrowroot with spacing 0.5 x 0.5 m; AF 2 = Teak-polynesian

arrowroot with spacing 0.75 x 0.75 m; AF 3 = Teak-polynesian arrowroot with spacing 1 x 1 m. =

Shannon-Wienner biodiversity index; = Margalef richness index; = Eveness index.

Tingkat keragaman dan kekayaan

jenis makrofauna pada pola agroforestri jati-

jalawure dan monokultur jati tergolong sama

kemungkinan karena perbedaan jumlah jenis

tumbuhan pada agroforestri dengan

monokultur hanya satu jenis yaitu jalawure

sehingga tidak berpengaruh pada hadirnya

makrofauna yang lebih beragam. Keragaman

makrofauna tanah lebih banyak berkaitan

dengan ketersediaan dan kualitas bahan

organik tanah dan sisa-sisa biomassa tanaman

bawah sebagai sumber bahan makanan

(Korboulewsky, Perez, & Chauvat, 2016).

Demikian pula adanya perbedaan perlakuan

budidaya antar pola tanam agroforestri dan

monokultur seperti adanya input pupuk

kandang pada pola agroforestri jati-jalawure,

tidak berpengaruh pada peningkatan kategori

keragaman jenis makrofauna tanah jika

dibandingkan dengan keragaman makrofauna

tanah pada pola monokultur jati (tanpa input

pupuk kandang).

Selain itu pengelolaan agroforestri jati

jalawure lebih intensif dibandingkan

monokultur jati seperti adanya penyiangan

dan pendangiran tanah secara rutin sehingga

berpengaruh pada keragaman makrofauna

tanah. Hal ini sebagaimana menurut Halwany

(2014) dan Phophi, Mafongoya, Odindo, &

Magwaza (2017) bahwa diversitas fauna

tanah mengalami penurunan seiring dengan

meningkatnya pengelolaan tanah yang

intensif pada sistem budidaya tanaman.

Page 61: ISSN: 2655-9595

Keragaman makrofauna tanah pada agroforestri......(Aji Winara)

53

Tabel 3. Indeks kesamaan jenis makrofauna tanah pada beberapa pola agroforestri jati-jalawure dan monokultur jati

Table 3. The value of simmilarity species index of soil macrofauna in some patterns of teak-polynesian arrowroot and

teak monoculture

Pola (pattern) K AF 1 AF 2 AF 3

K 1,00 0,72 0,48 0,38

AF1 0,72 1,00 0,52 0,32

AF2 0,48 0,52 1,00 0,55

AF3 0,38 0,32 0,55 1,00 Keterangan: K = Monokultur jati; AF 1= Jati-Jalawure jarak tanam 0,5 x 0,5 m; AF 2 = Jati-Jalawure jarak tanam 0,75

x 0,75 m; AF 3 = Jati-Jalawure jarak tanam 1 x 1 m. Remark: K = Teak monoculture; AF 1= Teak-polynesian arrowroot with spacing 0.5 m x 0.5 m; AF 2 = Teak-

polynesian arrowroot with spacing 0.75 m x 0.75 m; AF 3 = Teak-polynesian arrowroot with spacing 1 m x 1

m.

Tabel 3 menunjukkan kesamaan jenis

makrofauna tanah pada beberapa pola

agroforestri jalawure sebesar 32% - 55%,

sementara itu jika dibandingkan dengan

monokultur jati terdapat pola agroforestri

yang memiliki kesamaan jenis lebih tinggi

yaitu sebesar 72% (AF1). Hal ini

menunjukkan kehadiran jenis makrofauna

tanah pada agroforestri jati jalawure dan

monokultur jati tidak mengalami perbedaan

jenis yang besar.

Berdasarkan kajian keragaman,

kekayaan, kemerataan dan kesamaan jenis

makrofauna tanah antar pola agroforestri jati

jalawure dan monokultur jati menunjukkan

pola agroforestri jati jalawure tidak

berpengaruh terhadap eksistensi makrofauna

tanah. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya

kesamaan kategori tingkat kekayaan dan

keragaman jenis makrofauna tanah antara

pola tanam agroforestri jati jalawure dengan

monokultur jati.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Makrofauna tanah pada agroforestri

jati dan jalawure dijumpai sebanyak 5 jenis

yang berasal dari lima famili dan lima ordo.

Keragaman dan kekayaan jenis makrofauna

tanah pada pola agroforestri jati dan jalawure

tergolong rendah (H’= 0,28 - 0,55; R’= 0,87-

1,48) dengan nilai kesamaan jenis

dibandingkan dengan pola monokultur

sebesar 38 % - 72 % .

B. Saran

Pola agroforestri jati dan jalawure

dapat dikembangkan untuk ketahanan pangan

di wilayah pesisir karena tidak berpengaruh

negatif terhadap keragaman makrofauna

tanah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada BPPTA yang

telah membiaya penelitian ini, juga kepada

Bapak Dadi sebagai pemilik lahan hutan jati

dan Kelompok Tani Muara Tani 2 di Desa

Cigadog, Kecamatan Cikelet, Kabupaten

Garut yang telah membantu teknis penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Aatjin, A. Z., Lelemboto, M. B., Koapaha, T.,

& Mamahit, L. P. (2013). Pemanfaatan

Pati Tacca (Tacca leontopetaloides) Pad

Pembuatan Biskuit. COCOS, 2(1), 1–8.

Anwar, E. K. (2006). Pengambilan Contoh

untuk Penelitian Fauna Tanah. In R.

Saraswati, E. Husen, & R. D. M.

Simanungkalit (Eds.), Metode Analisis

Biologi Tanah (pp. 249–258). Bogor:

Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan

Pertanian.

Page 62: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 47-55)

54

Anwar, E. K. (2009). Efektivitas cacing tanah

Pheretima hupiensis , Edrellus sp . dan

Lumbricus sp . dalam proses

dekomposisi bahan organik. J. Tanah

Trop., 14(2), 149–158.

Brandhorst-Hubbard, J. ., Flanders, K. L., &

Appel, A. G. (2001). Oviposition site

and food preference of the green June

beetle (Coleoptera: Scarabaeidae).

(Abstract). Journal of Economic

Entomology, 94(3), 628–633. Retrieved

from

https://academic.oup.com/jee/article-

abstract/94/3/628/2217317

Halwany, W. (2014). Peranan makrofauna

tanah terhadap ekosistem. Galam, VII(2),

49–54.

Jamnadass, R., Place, F., Torquebiau, E.,

Iiyama, M., Sileshi, G. W., Kehlenbeck,

K., … Dawson, I. K. (2013).

Agroforestry for food and nutritional

security. Unasylva, 64, 23–29.

Jose, S. (2012). Agroforestry for conserving

and enhancing biodiversity. Agroforest

Syst, 85(March), 1–8.

https://doi.org/10.1007/s10457-012-

9517-5

Jouquet, P., Dauber, J., Lagerlo, J., Lavelle,

P., & Lepage, M. (2006). Soil

invertebrates as ecosystem engineers :

Intended and accidental effects on soil

and feedback loops. Applied Soil

Ecology, 32, 153–164.

https://doi.org/10.1016/j.apsoil.2005.07.

004

Korboulewsky, N., Perez, G., & Chauvat, M.

(2016). How tree diversity affects soil

fauna diversity : A review. Soil Biology

and Biochemistry, 94, 94–106.

https://doi.org/10.1016/j.soilbio.2015.11.

024

Lavelle, P., Decaëns, T., Aubert, M., Barot,

S., Blouin, M., Bureau, F., & Margerie,

P. (2006). Soil invertebrates and

ecosystem services. European Journal of

Soil Biology, 42(2006), 3–15.

https://doi.org/10.1016/j.ejsobi.2006.10.

002

Maftu’ah, E., & Susanti, M. A. (2009).

Komunitas cacing tanah pada beberapa

penggunaan lahan gambut di Kalimantan

Tengah. Berita Biologi, 9(4), 371–378.

Martin, A. F., Aviana, A., Hapsari, B. W.,

Rantau, D. E., & Ermayanti, M. (2012).

Uji fitokimia dan aktivitas antioksidan

pada tanaman ex vitro dan in vitro tacca

leontopetaloides. In Prosiding Seminar

Nasional XV “Kimia dalam

Pembangunan “. Yogyakarta: Jaringan

Kerjasama Kimia Indonesia.

https://doi.org/10.13140/RG.2.1.3648.87

29

Maryanto, I. (2013). Bioresources Untuk

Pembangunan Ekonomi Hijau. (D.

Susiloningsih, Ed.). Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Phophi, M. M., Mafongoya, P. L., Odindo, A.

O., & Magwaza, L. S. (2017). Screening

cover crops for soil macrofauna

abundance and diversity in conservation

agriculture. Sustainable Agriculture

Research, 6(4), 142–149.

https://doi.org/10.5539/sar.v6n4p142

Setiawan, E. (2013). Eksplorasi Tacca

leontopetaloides (L) : Pola sebaran dan

ekologi di kabupaten Bangkalan. In

Prosiding Seminar Nasional

“Menggagas Kebangkitan Komoditas

Unggulan Lokal Pertanian dan

Kelautan” (pp. 570–574). Madura:

Fakultas Pertanian Universitas

Trunojoyo.

Setyowati, N., Susiarti, S., & Rugayah.

(2012). Tacca leontopetaloides:

Persebaran dan Potensinya sebagai

Sumber Pangan Lokal di Jawa Timur,

536(April), 31–40.

Sihotang, V. B. L. (2013). The Utilization of

Kecondang ( T . leontopetaloides ) in

Karimunjawa Island as Alternative Food.

Page 63: ISSN: 2655-9595

Keragaman makrofauna tanah pada agroforestri......(Aji Winara)

55

In Proceeding ICGRC 2013 (pp. 44–48).

Malang: Universitas Brawijaya.

Susiarti, S. (2015). Potensi To’toan ( Tacca

leontopetaloides ( L .) O . Kuntze )

sebagai bahan pangan di Pulau Kagean,

Jawa Timur. Berita Biologi, 14(1), 97–

103.

Wardah, Sambas, E. ., Ridwan, & Ariani, D.

(2017). Starch Product of Wild Plants

Species Jalawure ( Tacca

leontopetaloides L .) Kuntze as The

Source of Food Security in The South

Coastal West Java Starch Product of

Wild Plants Species Jalawure ( Tacca

leontopetaloides L .) Kuntze as The

Source of Food Sec. In International

Conference on Food Science and

Engineering 2016: Material Science and

Engineering 193 (pp. 1–10). IOP

Publishing. https://doi.org/10.1088/1757-

899X/193/1/012035

Winara, A. (2018). Potensi agroforestri

jalawure (Tacca leontopetaloides) untuk

ketahanan pangan lokal di Kabupaten

Garut. In Prosiding Seminar Nasional

Agroforestry 2018 (pp. 84–89). Ciamis:

Balai Litbang Teknologi Agroforestry-

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat-

Masyarakat Agroforestri Indonesia.

Page 64: ISSN: 2655-9595

ANALISIS RENDEMEN NIRA DAN KUALITAS GULA AREN (Arenga

pinnata Merr.) DI KABUPATEN TASIKMALAYA

(The analysis of Sap Water Yield and Palm Sugar (Arenga pinnata Merr.) Quality in

Tasikmalaya District)

Dedi Natawijaya1, Suhartono

2, Undang

3

1,2,3

Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

Kampus. Jl. Siliwangi no. 24 Po. Box. 164 Tasikmalaya 46115.Telp.(0265) 323531

email : [email protected]

Diterima 13 Desember 2018, direvisi 26 Desember 2018, disetujui 28 Desember 2018

ABSTRACT

Development of high quality palm tree is needed for fulfilling the raw material of palm sugar and other products based

on palm tree. This study aims to analyze the sap water yield and palm sugar quality in Tasikmalaya District. The

method used in this study was survey and direct measurement of water content, pH, colour, texture, smell, taste, and

performance. The geographical indication approach was used to determine the location of the study. The result showed

that the average of sap water for palm sugar was 14.13% or 1 kg palm sugar equivalent to 7 litre of sap water,

meanwhile 1 kg palm sugar powder equivalent to 7.6 litre of sap water (13.07%). The water content of palm sugar and

palm sugar powder were 3.5% and 2.2% respectively.

Keywords : palm, sap water, sugar

ABSTRAK

Pengembangan pohon aren yang berkualitas dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku gula dan produk

lainnya yang berbasis tanaman aren. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis rendemen nira dan kualitas gula aren

(Arenga pinnata. Merr.) di Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini menggunakan metode survey dan pengukuran

langsung terhadap parameter: kadar air, pH ,warna, tekstur, aroma, rasa dan penampakan keseluruhan. Penentuan lokasi

penelitian dilakukan berdasarkan pendekatan indikasi geografis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen nira

aren di Desa Wandasari Kecamatan Bojonggambir Kabupaten Tasikmalaya rata-rata sebesar 14,13 % untuk gula cetak

atau 1 kg gula setara dengan 7 lt nira, dan 13,07 % untuk gula semut atau 1 kg gula semut memerlukan 7,6 lt nira.

Kadar air rata-rata gula cetak dan gula semut berturut turut adalah 3,5 % dan 2,2 %.

Kata kunci: Aren, rendemen nira, kualitas gula.

I. PENDAHULUAN

Tanaman aren (Arenga pinnata Merr.)

merupakan tanaman yang sudah lama dikenal

masyarakat dan memiliki prospek ekonomi

yang cukup tinggi. Pohon aren yang ada saat

ini kebanyakan masih merupakan tanaman

liar, namun sebagian besar bagian pohon aren

bermanfaat dan dapat digunakan untuk

berbagai kebutuhan, mulai dari bagian fisik

seperti akar, batang, daun dan ijuk maupun

hasil produksi seperti nira, pati/tepung dan

buah .

Tanaman aren sangat potensial dalam

mengatasi kekurangan pangan dan mudah

beradaptasi baik pada berbagai agroklimat,

mulai dari dataran rendah sampai 1.400 m di

atas permukaan laut. Tanaman aren sangat

cocok pada kondisi landai dengan kondisi

agroklimat beragam seperti daerah

pegunungan di mana curah hujan tinggi

dengan tanah bertekstur liat berpasir dan

kisaran suhu 20-25°C (Mariati, 2013).

Page 65: ISSN: 2655-9595

Analisis Rendemen Nira Dan Kualitas Gula Aren …….(Dedi Natawijaya, Suhartono, Undang)

58

Keragaman agroklimat di setiap

daerah menyebabkan hasil ekonomi dari

setiap daerah berbeda-beda. Contoh dari

penelitian Damayanti, N.P; Sugiyanta, I.G

dan Suwarni, (2012) di Kabupaten Ogan

Komring Ulu selatan, rata-rata pendapatan

petani per bulan dari pemanfaatan pohon aren

masih tergolong rendah yaitu sebesar Rp

995.000,-. Besarnya pendapatan rata-rata total

rumah tangga yaitu sebesar Rp.2.151.667,-,

dengan demikian sumbangan dari

pemanfaatan pohon aren terhadap total

pendapatan rumah tangga sebesar 46 %.

Estimasi laju perkembangan areal

tanaman aren di beberapa provinsi, areal

tanam di seluruh Indonesia mencapai 60.482

ha dengan produksi gula aren sebesar 30.376

ton/tahun (Ditjenbun, 2003). Areal dan

produksi gula yang terbesar terdapat pada

provinsi-provinsi: Jawa Barat 13.135 ha

dengan produksi 6.686 ton gula/tahun, Papua

10.000 ha dengan 2.000 ton gula/tahun,

Sulawesi Selatan 7.293 ha dengan produksi

3.174 ton gula/tahun, dan Sulawesi Utara

6.000 ha dengan produksi 3.000 ton gula/ha

(Effendi, 2010).

Pohon aren dapat tumbuh dengan baik

pada ketinggian 500 m – 800 m dpl. Pohon ini

tidak membutuhkan tanah yang terlalu subur,

dapat hidup di semua kondisi tanah (tanah

liat, tanah berkapur dan tanah berpasir). Curah

hujan yang ideal untuk pohon aren sekitar 1.

200 mm/tahun, kedalaman air tanah 1-3 m,

suhu rata-rata 25oC beriklim sedang sampai

basah, tetapi tidak tahan pada daerah yang

kadar asamnya tinggi. Pada umumnya pohon

aren bisa tumbuh di hampir setiap daerah di

Indonesia.

Kabupaten Tasikmalaya memiliki

potensi untuk mengembangkan tanaman aren.

Agroklimat Kabupaten Tasikmalaya dan

sekitarnya memiliki eksisting tanaman aren

hutan yang jumlahnya cukup besar. Di

Kecamatan Bojonggambir seperti Desa

Bojong Kapol, Wandasari dan Girimukti

tercatat jumlah pohon aren sebanyak 38.378

pohon aren hutan yang berkembang secara

alami . Saat ini populasi aren di alam semakin

berkurang. Hal ini disebabkan oleh

banyaknya pohon yang sudah tua, sehingga

tidak produktif lagi, sedangkan upaya

peremajaan populasi aren belum dilakukan

secara maksimal (Mujahidin,. Sutrisno,. Dian,

L,. Tri, H. dan Izu, 2003). Banyaknya

masyarakat yang memanfaatkan aren untuk

kegiatan industri rumah tangga, tanpa adanya

upaya peremajaan dikhawatirkan akan

menyebabkan populasi aren semakin

terancam (Lutony, 1993).

Nira aren mengandung gula antara 10-

15% , baik bunga jantan maupun bunga betina

(Hasbullah, 2001). Namun biasanya, tandan

bunga jantan dapat menghasilkan nira dengan

kualitas lebih baik dan lebih banyak. Oleh

karena itu penyadapan nira hanya dilakukan

pada tandan bunga jantan. Nira aren cepat

mengalami perubahan menjadi asam karena

terjadi proses fermentasi. Proses fermentasi

mulai terjadi pada saat nira keluar dari tandan

bunga aren, karena nira memiliki kandungan

gizi yang cukup tinggi (Gafar, P.A., dan

Heryani, 2012)

Komposisi nira aren mengandung air

87,66%, gula 12,04%, protein 0,36%, serta

lemak dan abu masing-masing 0,36% dan

0,21%, sehingga berpotensi untuk tempat

tumbuh dan berkembangnya mikroba seperti

jamur atau bakteri (Gafar, P.A., dan Heryani,

2012). Selain itu, pada umumnya wadah

penampung nira tidak bersih dan sudah

terdapat mikroba sehingga proses fermentasi

berlangsung dengan cepat. Nira yang baru

menetes dari tandan bunga mempunyai

derajat keasaman (pH) sekitar 7, tetapi karena

pengaruh keadaan sekitarnya cairan itu mudah

mengalami kontaminasi oleh mikroba dan

terjadi proses fermentasi sehingga pH nira

menurun (Soetedjo, J.N.M., Suharto, 2009)

Bagi masyarakat di Kabupaten

Tasikmalaya pohon aren merupakan salah

satu sumber pendapatan rumah tangga,

terutama dari pengolahan nira menjadi gula

aren dan gula semut, kolang kaling, sapu lidi,

tepung aren, tuak, ijuk dan lain-lain. Tanaman

aren memiliki beberapa kelebihan dan salah

satunya adalah sebagai salah satu sumber

Page 66: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 57-64)

59

penghasil bio-ethanol. Aren memproduksi

6.000 liter- 40.000 liter bio-ethanol perhektar

pertahun (Effendi, 2010). Menurut beberapa

penelitian untuk membuat 1 liter Bio-ethanol

FGA (full grade alcohol) dengan kadar 99,5%

dapat dibuat dari 12-15 liter nira aren. Dengan

demikian tanaman aren juga dapat

dikembangkan sebagai penghasil energi

alternatif (Evaliza, 2014).

Hasil nira aren berbeda-beda untuk

setiap daerah, misalnya di Kabupaten

Tapanuli Selatan sebesar 6,82 liter perbatang

per hari, di Minahasa mencapai 10-20 liter

perbatang per hari, di Kabupaten Lima Puluh

Kota rata-rata 15 liter per batang dalam sekali

penyadapan, serta di Kutai Timur rata rata

12,14 liter perhari (Evaliza, 2014). Di Jawa

Tengah satu pohon aren mampu

menghasilkan 20 - 40 liter nira per hari (Dinas

Kehutanan Jawa Tengah, 2010). Rata-rata

petani pelaku usaha industri pengolahan aren

dalam satu harinya memperoleh sekitar 20 -

30 liter nira per pohon. Dari 7 - 8 liter nira

diperoleh rata-rata 1 kg gula merah tergantung

dari kadar konsentrasi gula di dalam nira.

Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis rendemen nira dan kualitas gula

aren di daerah Wandasari Bojonggambir

kabupaten Tasikmalaya dengan harapan dapat

diperoleh informasi tentang kekurangan dan

kelebihan proses pengolahan gula yang

dilakukan oleh petani setempat.

II. BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa

Wandasari Kecamatan Bojonggambir

Kabupaten Tasikmalaya yaitu dilaksanakan

pada bulan Agustus 2017. Alat penampung

nira yang digunakan petani adalah berupa ruas

bambu petung (lodong bambu). Metode yang

digunakan adalah survey dan pengukuran

langsung (kualitatif deskriptif dan pengukuran

langsung) terhadap beberapa parameter:

kadar air, pH ,warna, tekstur, aroma, rasa dan

penampakan keseluruhan Jumlah lokasi yang

dijadikan sampel sebanyak 11 tempat. Untuk

data pengukuran langsung berupa pengujian

di laboratorium Fakultas Pertanian

Universitas Siliwangi (Unsil). Data yang

diperoleh dianalisis dengan perhitungan rata-

rata. Analisa kualitas gula dilaksanakan di

laboratorium Fakultas Pertanian Unsil yang

meliputi : kadar air, pH, warna, tekstur,

aroma, rasa dan penampakan keseluruhan.

Tabel 1. Data Kondisi air nira milik petani penyadap di Desa Wandasari, Kecamatan Bojong gambir, Kabupaten

Tasikmalaya

Table 1. Sap water condition belong to tapping farmers in Wandasari Village, Bojong gambir Sub-district,

Tasikmalaya

No

Nama petani

(farmers)

Lokasi sampel

(Location)

Warna nira

(Colour)

pH

Umur

tanaman

(Tree Age)

Tahun

(Year)

Hasil nira/pohon

(Yield of sap

water/tree)

Liter

(litre)

1 Jejen/Umayah Cinangela Coklat muda 5 20 25

2 Supriatna Legok Lame Coklat terang 6 10 25

3 Dede Kurniawan Legok Jambu Coklat terang 6 8 15

4 Usup Cisoka Coklat tua 6 9 12

5 Nasrudin Bojong kapol Coklat tua 7 17 17

6 Cucu Rosita Bojong salam Coklat 7 9 20

7 Jeje/Jili Cipetir Coklat tua 8 18 20

8 Jumaeli Cibeureum Coklat tua 8 8 30

9 Jalal Burujul Coklat tua 8 15 15

10 Sulaeman Cinangela Coklat 9 8 30

11 Utin Tajmudin Pasir nagara Coklat 10 8 20

Page 67: ISSN: 2655-9595

Analisis Rendemen Nira Dan Kualitas Gula Aren …….(Dedi Natawijaya, Suhartono, Undang)

60

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengambilan sampel air nira

yang ada di Desa Wandasari Kecamatan

Bojonggambir Kabupaten Tasikmalaya,

diperoleh data kondisi nira dengan

karakterikstik seperti disajikan dalam Tabel

1.Tabel 1 menunjukkan bahwa kondisi nira

para petani memiliki keragaman dalam hal

warna nira dari mulai warna coklat muda

sampai coklat tua agak kehitaman, pH nira

dengan kisaran 5 sampai 10 dimana pH 5

menunjukkan pH yang asam sedangkan pH

10 sudah tergolong basa. Perbedaan pH dan

warna nira tampaknya disebabkan oleh

kebersihan alat tampung, proses penyadapan

dan juga jarak pohon ke rumah petani yang

membutuhkan waktu lebih lama. Hal ini akan

mengakibatkan kualitas hasil gula yang

diperoleh akan bervariasi pula. pH yang

terlalu asam maupun yang basa selain dapat

mempengaruhi rasa gula juga dapat

mengakibatkan kegagalan dalam proses

pengolahan.

Tidak diperoleh data terkait jenis

pohon aren yang ada di kebun masing-masing

petani, apakah termasuk jenis aren kawung

ageung, kawung saeran, kawung kembang,

atau kawung monyet. Perbedaan jenis aren

ini akan berpotensi adanya perbedaan dalam

hasil nira maupun rendemen gula yang

dihasilkan. Hal ini masih perlu pendataan

lebih lanjut terutama yang berkaitan dengan

hal-hal seperti tinggi pohon, diameter batang,

banyak/sedikitnya tandan caruluk (bunga

betina).

Berdasarkan hasil pengamatan

lapangan di Desa Wandasari secara umum

terdapat tiga kelompok umur tanaman aren

yaitu anakan pohon dengan usia kurang dari 2

tahun, pohon muda yang berusia antara 4-8

tahun, dan pohon dewasa yang produktif

berusia lebih dari 8 tahun. Penyadapan

dilakukan pada pohon aren yang sudah

berumur 10-12 tahun dan setelah bunga jantan

mekar (tua). Ciri-ciri bunga jantan yang sudah

siap disadap diantaranya adalah sebagai

berikut :

a. Bunga sudah mekar dan bagian dalam

bunga (benang sari) berwarna kuning.

b. Sudah tercium bau yang sangat tajam

apabila kita berada di bawah pohon aren.

c. Di sekitar tandan bunga keluar getah

yang sangat lengket.

d. Bunga sudah berwarna hijau tua, hitam

atau ungu kehitaman.

Apabila tanda-tanda tersebut sudah

muncul maka penyadapan sudah dapat

dilakukan dimulai dengan pembersihan

batang pohon aren dari ijuk dan membuka

salumpitnya (pelepah), kemudian dilanjutkan

dengan pemasangan tangga, pemukulan

pelepah bunga, mengayun-ayun tandan bunga

dan memotong tandan bunga. Setiap tandan

bunga jantan dapat disadap niranya setiap

hari, selama kira-kira 5-7 bulan berturut-turut,

tergantung panjang tandan, jumlah ruas pada

tandan dan kesuburan pohonnya.

Pada proses penyadapan, dalam upaya

agar nira tidak cepat basi dikenal istilah

pemberian raru. Raru merupakan bahan

pengawet alami yang dapat berasal dari

bahan-bahan daun-daunan, seperti daun togog

(famili Moraceae), daun jambu air (Syzigium

aquea Burn.f.), daun manggis (Garcinia

mangostana L.) dan pucuk bambu tali

(Gigantochloa apus). Raru yang berasal dari

tumbuhan digunakan dengan cara meremas-

remas 2-3 lembar daunnya dengan tangan,

kemudian dimasukkan ke dalam lodong.

Sedangkan raru yang berasal dari sabun

batangan, digunakan dengan cara

memasukkan sedikit bubuk sabun batangan ke

dalam lodong. Bahan pengawet alami atau

raru yang digunakan oleh petani aren diduga

mengandung komponen tannin yang aktif

sebagai bahan antimikroba (Irawan, 2009).

Menurut (Kusumah, 1992), sifat-sifat tannin

yang penting sebagai bahan pengawet adalah

bersifat fungisida dan menghambat adsorpsi

permukaan oleh khamir.

Page 68: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 57-64)

61

Kerusakan nira yang menyebabkan

nira menjadi asam, berbuih putih dan

berlendir akan menghasilkan gula berwarna

cokelat kehitaman, lembek atau lunak sampai

tidak dapat dicetak. Kerusakan nira dapat

disebabkan akibat pisau sadap dan lodong

yang kurang bersih. Untuk mengatasinya

(Kusumah, 1992), pisau sadap dan lodong

harus dijaga kebersihannya. Pisau sadap

sebaiknya dibersihkan dengan air bersih dan

dibilas dengan air panas, kemudian

dikeringkan baru disimpan. Lodong harus

dibilas beberapa kali dengan air dingin dan air

panas lalu diasapi untuk mempercepat proses

pengeringan.

Hasil pengujian terhadap rata-rata

rendemen nira pada gula cetak dan gula semut

disajikan pada Tabel. 2. Rata-rata rendemen

gula cetak adalah 14,13 % . Ini berarti bahwa

dalam 7 liter nira akan diperoleh 1 kg gula.

Sedangkan rendemen gula semut

menunjukkan rata-rata 13,07 %, yang berarti

bahwa dalam 7,6 liter nira akan dihasilkan 1

kg gula semut. Hasil uji rendemen nira pada

penelitian lain rata-rata 11,18% (Evaliza,

2014), 15% (Pontoh, 2013), dan 10,48%

(Lempang, 2012).

Hasil penelitian Lempang (2012) di

Kabupaten Maros provinsi Sulawesi Selatan

menunjukkan bahwa volume produksi nira

aren dari setiap tandan bunga jantan rata-rata

4,5 liter/hari dengan kisaran antara 2,8 sampai

7,0 liter/hari dengan waktu penyadapan setiap

tandan 1,5 sampai 3 bulan (rata-rata 2,5

bulan). Pada tanaman aren yang sehat setiap

tandan bunga jantan bisa menghasilkan nira

sebanyak 900-1.800 liter/tandan, sedangkan

pada tanaman aren yang pertumbuhannya

kurang baik hanya rata-rata 300-400

liter/tandan (Lutony, 1993).

Tabel 2. Hasil analisis rendemen gula aren di Desa Wandasari Kecamatan Bojong Gambir Kab. Tasikmalaya

Table 2. Analysis of palm sugar yield Wandasari Village, Bojong gambir Sub-district, Tasikmalaya

No.

Sampel

Rendemen Gula Cetak (%)

(yield of sugar)

Rendemen Gula Semut (%)

(yield of sugar)

1 19,10 19,10

2 21,81 18,18

3 14,14 12,54

4 10,00 8,41

5 10,51 11,08

6 8,86 8,30

7 15,36 14,42

8 13,28 13,13

9 12,09 11,56

10 19,10 19,10

11 11,13 7,90

Rata-rata 14,13 13,07

Hasil pengujian terhadap kualitas gula

meliputi rata-rata kadar air, pH, warna,

tekstur, aroma dan rasa gula aren cetak dan

gula semut dapat dilihat pada Tabel 3. Kadar

air gula cetak sebesar 3,5 % dan gula semut

sebesar 2,0 % termasuk kualitas baik karena

kadar gula masih ada pada kisaran yang direkomendasikan oleh Dewan Standar

nasional Industri. Kadar air yang

direkomendasi (Badan Standarisasi Nasional,

1995), pada gula semut maksimum sebesar

3%. Demikian pula untuk nira nilai pH nya

berada pada kisaran antara 6 sampai 7

merupakan pH yang ideal yaitu mendekati

netral sampai netral. Kadar air rata-rata gula

pada umumnya sekitar 6,33 %, kadar abu

rata-rata 0,24 % dan padatan tak larut 5,06 %.

Pengawasan terhadap kadar air sangat

penting untuk mempertahankan mutu produk. Air yang terdapat dalam bentuk bebas pada

bahan pangan dapat membantu terjadinya

proses kerusakan pangan. Kadar air dalam

suatu bahan berperan dalam reaksi kimia,

perubahan enzimatis ataupun pertumbuhan

Page 69: ISSN: 2655-9595

Analisis Rendemen Nira Dan Kualitas Gula Aren …….(Dedi Natawijaya, Suhartono, Undang)

62

mikroorganisme. Hal tersebut terjadi

umumnya pada kadar air tinggi dan akan

dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan

seperti pH dan suhu.

Tabel 3. Hasil analisis kualitas dan sensoris gula aren di Desa Wandasari Kecamatan Bojong Gambir Kab.

Tasikmalaya

Table 3. Analysis and organoleptic analysis of palm sugar Wandasari Village, Bojong gambir Sub-district,

Tasikmalaya

Rata-rata

(average)

Gula Cetak

(print of sugar)

Gula Semut (ant

of sugar)

Analisa kualitas dan

sensoris gula aren

Kadar air 3,5 % 2,0 %

pH 6-7 6-7

Warna Coklat Coklat muda

Tekstur Keras normal Keras normal

Aroma Harum Harum

Rasa Manis Manis

Faktor yang paling berpengaruh

terhadap tingginya kadar air gula aren kristal

adalah titik akhir pemasakan, pemberian

bahan tambahan, pengolahan, pengemasan,

serta penyimpanan. Titik akhir pemasakan

yang rendah akan menyebabkan evaporasi air

dalam gula rendah sehingga kadar air gula

menjadi tinggi. Pemberian bahan tambahan

mengakibatkan impurities dalam gula

semakin tinggi sehingga gula menjadi

semakin higroskopis.

Kadar air yang tinggi akan

ditunjukkan oleh tekstur produk yang sedikit

lembab. Gula sifatnya higroskopis, yakni

mudah menyerap air, kadar air yang tinggi

akan memudahkan untuk penyerapan air dari

udara sehingga daya simpan produk akan

lebih pendek. Kadar air gula semut yang

tinggi akan memicu terjadinya penggumpalan

gula (clumping), hal ini juga akan mengurangi

kualitas fisik produk (Susi, 2013). Bahan

padatan tak larut yang tinggi pada bahan atau

nira, akan memberikan efek pada tingginya

kandungan padatan tak larut pada gula. Hal

ini dapat diantisipasi dengan cara melakukan

penyaringan sehingga dapat meminimalkan

padatan tak larut termasuk partikel kotoran di

dalamnya. Gula cetak yang berkualitas buruk

biasanya berasal dari kualitas nira yang

kurang baik pula, pada proses pemasakan gula

nira harus memiliki pH antara 6-7. Jika pH

nira kurang dari 6 atau bahkan cenderung

asam, maka sukrosa pada nira sudah

terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa

sehingga proses kristalisasi akan kurang baik

(Susi, 2013).

Salah satu kriteria mutu gula aren

yang telah ditetapkan oleh Standard Nasional

Industri (SNI) adalah warna gula. Mengenai

warna gula palma, Badan Standarisasi

Nasional (1995) telah menetapkan standar

warna gula yaitu warna kuning kecokelatan

sampai cokelat. Penetapan kadar air yang

terkandung pada gula aren sangat penting

untuk mengetahui kandungan padatan yang

terkandung pada gula tersebut sehingga akan

mempermudah perhitungan kandungan

sukrosa dan gula pereduksi. Berdasarkan

ketentuan (SNI) bahwa kadar air untuk gula

palma cetakan maksimal 10 % dan

kandungan gula pereduksi maksimal 10 %.

Adanya gula pereduksi dalam gula

aren disebabkan adanya ragi yang

menfermentasi sukrosa menjadi gula

pereduksi. Semakin tinggi kandungan gula

pereduksi dalam gula aren maka kualitas gula

semakin kurang baik (Pontoh, 2013).

Tingginya kadar gula pereduksi dapat

disebabkan oleh perlakuan bahan baku (nira)

yang terkontaminasi baik dari penyadapan

nira sampai pada proses pengolahan produk

gula. Semakin rendah kadar gula pereduksi

maka semakin bagus kualitas gula, dan

sebaliknya semakin tinggi kadar gula

Page 70: ISSN: 2655-9595

Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 57-64)

63

reduksinya maka semakin rendah kualitas

gula tersebut. Terdapat korelasi positif antara

pH dan gula pereduksi terhadap warna gula

aren.

Nira aren yang langsung di olah lebih

baik dari nira aren yang telah mengalami

proses penyimpanan (Baharuddin., M. Muin.,

2007). Kondisi keasaman nira sangat berperan

dalam pembentukan warna gula (Nurlela,

2002). Mikroba seperti jamur akan cepat

berkembang biak bila kebutuhan hidupnya

terpenuhi, yaitu berupa makanan yang cukup

dari nira, oksigen (O2), suhu yang sesuai, dan

tidak adanya faktor penghambat pertumbuhan

dan perkembangannya, maka jamur akan

dapat merombak kandungan gula dari nira

yang segar menjadi nira yang terfermentasi

sehingga nira akan berubah menjadi semakin

masam, pahit atau beraroma alkohol.

Nira mempunyai kandungan air antara

75 – 90 %, zat padat total sebesar 15 -19,7%

yang meliputi kadar sukrosa sebesar 12,3 -

17.4%, gula reduksi 0,5 -1%, protein 0,23 -

0,32% dan abu 0,11 - 0,41%. Karakteristik

nira adalah 84,4% air, 14,35 % karbohidrat

(terutama sukrosa), 0,66% abu, 0,11%

protein, 0,17% lemak dan 0,31% lain-nya

(Nurlela, 2002). Adapun jenis-jenis Bakteri

yang dapat tumbuh pada nira adalah: Bacillus

subtillis, Baterium aceti, Micrococcus yaitu

Escherichia, Sachromo bacterium,

Flavobakterium, Leuconostoc mesenteroides,

L. dextranicum, Lactobacillus plantarum,

Sarcina dari genus Pediococcus, Acetobacter

(Susi, 2013).

Nira yang baru keluar dari tandan

bunga aren biasanya mempunyai nilai

keasaman antara 6,5 sampai 7 (netral). Proses

fermentasi yang terjadi pada nira bisa

menyebabkan pH nira turun. Beberapa pabrik

gula yang mengolah nira masih menerima

nira dari petani atau memberi toleransi pada

nira aren sampai pada pH 6. Di bawah pH 6

nira sudah dianggap tidak baik untuk diolah

menjadi gula dengan mutu yang baik.

Ada beberapa upaya untuk

mempertahankan mutu nira tetap baik

bertahan seperti pada saat nira baru keluar

dari jaringan pohon yang terluka, yaitu berasa

manis, segar dan berkesan aroma alam yang

khas yaitu :

(1). Mengurangi terjadinya kontak antara nira

dengan udara di sekitarnya sejak nira

keluar dari tandan pohon aren.

(2). Desinfeksi wadah penampungan nira

seperti : mencuci, mengasap dan

sebagainya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Rendemen nira aren di Desa wandasari

Kecamatam Bojonggambir Kabupaten

Tasikmalaya memiliki rendemen rata-rata

untuk gula cetak sebesar 14,13 % (1 kg

gula cetak setara dengan 7 liter nira) dan

gula semut sebesar 13,07 % (1 kg gula

semut setara dengan 7,6 liter nira) .

2. Kualitas gula cetak memiliki karakteristik

rasa manis, aroma harum, tekstur keras

normal, kisaran pH antara 6-7, warna

coklat dan kadar air 3,5 %, sedang untuk

gula semut memiliki karakteristik rasa

manis, aroma harum, tekstur keras

normal, kisaran pH 6 -7, warna coklat

muda dengan kadar air sebesar 2 %.

B. Saran

1. Alat penampung (lodong bambu) harus

selalu dicuci dengan desinfectan agar

kebersihan nira tetap terjaga.

2. Sebelum dimasak, nira disaring agar

kualitas gula yang dihasilkan lebih

bersih.

3. Alat sadap harus selalu bersih, serta

lodong penampung harus tertutup rapat

agar tidak masuk kotoran jika terjadi

hujan maupun masuknya serangga lain.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami sampaikan kepada Ketua

LPPM Unsil serta Dekan Fakultas Pertanian

yang telah membantu pendanaan penelitian

ini.

Page 71: ISSN: 2655-9595

Analisis Rendemen Nira Dan Kualitas Gula Aren …….(Dedi Natawijaya, Suhartono, Undang)

64

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. (1995). Gula

Palma. Jakarta.

Baharuddin., M. Muin., dan H. B. (2007).

Pemanfaatan nira aren (Arenga pinnata

Merr.) sebagai bahan pembuatan gula

putih kistal. J. Perennial., 3, 40–43.

Damayanti, N.P; Sugiyanta, I.G dan Suwarni,

N. (2012). Pemanfaatan Pohon Aren

sebagai Sumber Ekonomi Keluarga di

Desa Air Rupik Kecamatan Banding

Agung Kabupaten Oku Selatan. Jurnal

FKIP UNILA, 1–8.

Dinas Kehutanan Jawa Tengah. (2010).

Budidaya dan Potensi Pengembangan

Tanaman Aren. Semarang: Publikasi

Dishut Jateng.

Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan

Timur. (2013). Data Luas Areal dan

Produksi Tanaman Aren. Dinas

Perkebunan Provinsi Kalimantan Timu.

Samarinda: Dinas Perkebunan Provinsi

Kalimantan Timur.

Effendi, D. S. (2010). Prospek Pengembangan

Tanaman Aren (Arenga pinnata Merr)

Mendukung Kebutuhan Bioetanol di

Indonesia. Jurnal Perspektif, 9(1), 36–

46.

Evaliza, D. (2014). Analisis Finansial

Tanaman Aren di nagari Andaleh Baruh

Bukik Kecamatan Sungayang Kabupaten

Tanah Datar. Jurnal Agribisnis

Kerakyatan, 4(1), 36–46.

Gafar, P.A., dan Heryani, S. (2012).

Pengembangan Proses Pengolahan

Minuman Nira Aren Dengan Teknik

Ultrafiltrasi dan Deodorisasi. Jurnal

Hasil Penelitian Industri, 25(1), 1–10.

Hasbullah. (2001). Teknologi Tepat Guna

Agroindustri Kecil Sumatera Barat.

Padang: Dewan Ilmu Pengetahuan,

Teknologi dan Industri Sumatera Barat.

Kusumah, R. . (1992). Mempelajari Pengaruh

Penambahan Pengawet pada Nira Aren

(Arenga pinnata Merr.) Terhadap Mutu

Gula Merah, Gula Semut, Sirup Nira dan

Gula Putih yang Dihasilkan. Bogor:

Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Lempang, M. (2012). Pohon Aren dan

Manfaat Produksinya. Info Teknis

EBONI. Balai Penelitian Kehutanan

Makassar.

Lutony, T. . (1993). Tanaman Sumber

Pemanis. Jakarta: Penebar Swadaya.

Mariati, R. (2013). Potensi Produksi dan

Prospek Pengembangan Tanaman Aren

(Arenga pinnata Merr ) di Kalimantan

Timur. Jurnal Agrifor, 7(2), 196–205.

Mujahidin,. Sutrisno,. Dian, L,. Tri, H. dan

Izu, A. F. (2003). Aren Budidaya dan

Prospeknya. Bogor: Pusat Konservasi

Tumbuhan Kebun Raya Bogor LIPI.

Nurlela, E. (2002). Kajian Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Pembentukan Warna

Gula Merah. Bogor: Fakultas Teknologi

Pertanian IPB.

Pontoh, J. (2013). Penentuan Kandungan

Sukrosa Pada Gula Aren Dengan Metode

Enzimatik. J. Chem. Pro, 6, 26–33.

Soetedjo, J.N.M., Suharto, I. (2009).

Perancangan dan Uji Coba Alat

Evaporator Nira Aren Laporan

Penelitian LPPM. Bandung.

Sunanto, H. (1997). Aren Budidaya dan

Multigunanya. Yogyakarta: Kanisius.

Susi. (2013). Pengaruh Keragaman Gula Aren

Cetak Terhadap Kualitas Gula Aren

Kristal (Palm Sugar) Produksi

Agroindustri Kecil. Jurnal Ziraa’ah,

36(1), 1–11.

Page 72: ISSN: 2655-9595

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

JURNAL AGROFORESTRI INDONESIA

1. Jurnal Agroforestri Indonesia adalah Media Publikasi Ilmiah resmi dari Balai Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Agroforestry. Jurnal penelitian ini menerima dan memuat karya tulis

ilmiah yang berasal dari hasil penelitian dan kajian aspek biofisik, ekologi dan sosial ekonomi,

silvikultur, konservasi dan biodiversitas, jasa lingkungan serta bidang kehutanan - pertanian pada

umumnya. Jurnal ini terbit secara berkala dua kali dalam setahun (Juni-Desember)

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf Times New Roman, font ukuran 12 dan jarak 2

(dua) spasi pada kertas A4 putih pada satu permukaan dan disertai file elektroniknya. Pada semua tepi

kertas disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm. Naskah sebanyak 2 (dua) rangkap dikirimkan kepada

Sekretariat Redaksi Jurnal Agroforestri Indonesia. File elektronik dikirim ke Sekretariat Redaksi

dalam bentuk CD atau dikirim melalui email ke alamat: [email protected]

3. Penulis menjamin bahwa naskah yang diajukan belum pernah dimuat/diterbitkan dalam publikasi

manapun, dengan cara mengisi blanko pernyataan yang dapat diperoleh di Sekretariat Redaksi

Publikasi Jurnal Agroforestri Indonesia. Pengajuan naskah oleh penulis yang berasal dari

instansi/institusi (bukan perorangan) di luar Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Agroforestry harus disertai dengan surat pengantar dari instansi/institusi.

4. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, bersifat spesifik, efektif dan sebaiknya tidak terlalu

panjang berkisar antara 10 - 15 kata serta harus mencerminkan isi tulisan. Di bawah judul ditulis

terjemahannya dalam bahasa Inggris yang tercetak dengan huruf kecil dan miring. Nama penulis (satu

atau lebih) dicantumkan di bawah judul dengan huruf kecil. Di bawah nama ditulis institusi asal

penulis dan alamat lengkap instansi/institusi.

5. Isi Naskah terdiri atas: ABSTRACT dengan Keywords dan ABSTRAK dengan Kata Kunci,

PENDAHULUAN, METODE PENELITIAN, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN,

PERSANTUNAN (kalau ada), DAFTAR PUSTAKA dan LAMPIRAN (kalau ada).

6. ABSTRAK dibuat dalam Bahasa Indonesia sebaiknya tidak lebih dari 250 kata dan Inggris sebaiknya

tidak lebih dari 150 kata dalam satu paragraf. Isinya berupa intisari permasalahan, tujuan, rancangan

penelitian dan kesimpulan yang dinyatakan secara kuantitatif. Bahasa Inggris ditulis dengan huruf

kecil miring dan bahasa Indonesia ditulis tegak, jarak 1 (satu) spasi. Keywords dan kata kunci masing-

masing tidak lebih dari 5 kata kunci.

7. PENDAHULUAN berisi : latar belakang/masalah, tujuan penelitian dan hipotesis (tidak harus ada).

8. METODE PENELITIAN berisi : Waktu dan Tempat, Bahan dan Alat, Metode, Rancangan

Penelitian (kalau ada), Analisa Data. Metode disajikan secara ringkas namun jelas.

9. HASIL DAN PEMBAHASAN berisi : Hasil dan Pembahasan, dibuat terpisah atau dijadikan satu.

10. Tabel diberi nomor, judul tabel dan keterangan yang diperlukan. Judul, isi dan keterangan tabel

ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris secara jelas dan singkat. Judul tabel diletakkan di atas

tabel. Keterangan tabel ditulis dengan ukuran huruf lebih kecil dari dari judul tabel.

11. Gambar, Grafik dan Foto harus jelas dan dibuat kontras, diberi judul dan keterangan dalam bahasa

Indonesia dan Inggris. Judul gambar, grafik dan foto diberi nomor dan diletakkan di bawah gambar.

Foto renik atau peta harus diberi skala. Keterangan gambar, grafik dan foto ditulis dengan ukuran

huruf lebih kecil dari judul gambar, grafikdan foto.

12. KESIMPULAN disampaikan secara ringkas (dalam bentuk pointers bernomor), padat, serta

diusahakan dinyatakan secara kuantitatif.

13. PERSANTUNAN berupa ucapan terima kasih kepada orang /instansi/organisasi yang benar-benar

membantu.

14. DAFTAR PUSTAKA mengikuti Pedoman Pengujian Karya Tulis Ilmiah Bidang Badan Litbang

Kehutanan Edisi kedua tahun 2009 (minimal 15 pustaka, dengan referensi yang berkualitas, dan

dianjurkan 10 tahun terakhir), disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan tahun

terbit, seperti contoh berikut :

Steel, R.G.D. And J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics. McGraw Hill Book.,

Inc. New York. 633 pp.

Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., Kanninen, M. 2011. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen.

Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR, Bogor Indonesia.

15. Dewan Redaksi dan Sekretariat Redaksi berhak mengubah dan memperbaiki isi naskah sepanjang tidak

mengubah substansi tulisan. Naskah yang tidak diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis.

Page 73: ISSN: 2655-9595